mitos-mitos lokal berhadapan dengan mitos-mitos global: suatu refleksi tentang eksistensi mitos...

7
1 MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN Yohanes Manhitu PENDAHULUAN Kita hidup di sebuah zaman, di mana isu-isu global terus-menerus menerobos hampir seluruh aspek kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, termasuk pelosok- pelosok negeri kita yang sebelumnya terisolasi dari pengaruh dunia luar. Disadari atau tidak, isu-isu tersebut kini menjadi konsumsi kita sehari-hari sebagai topik pembicaraan, dari tingkat obrolan di meja makan atau di warung kopi yang memicu debat kusir, hingga ulasan mendalam dan menyeluruh di media televisi oleh pakar-pakar berkelas dunia. Ada isu yang menarik perhatian dan menggairahkan semangat hidup yang sedang surut. Ada pula juga yang membebani pikiran kita, terlebih jika isu-isu itu menimbulkan kekhawatiran dan keresahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Istilah Global Village (Dusun Global) yang selalu dihubungkan dengan Marshall McLuhan 1 , yang populer melalui dua bukunya yang masing-masing berjudul The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media (1964) membangkitkan kesadaran bahwa kita hidup di suatu dunia yang seolah-seolah semakin menyempit. Di era kemajuan teknologi informasi ini, kita seakan-akan hidup di dusun yang sama walaupun mungkin tidak sempat berhadapan muka. Dan di dusun yang sama, banyak hal terus melekat pada kelompok tertentu dan dianggap sebagai hal-hal yang bersifat lokal. Dan ada pula hal-hal yang telah diterima dan diyakini bersama, baik secara sukarela maupun terpaksa, dan diberi label ‟global‟, yang tidak jarang mendesak hal-hal yang berlabel lokalsehingga semakin kehilangan ruang hidup. Kehadiran dusun global dengan arus globalisasinya itu setali tiga uang dengan dua sisi mata uang. Di satu sisi, kita boleh berbesar hati bahwa kita telah menjadi warga global dengan kemungkinan akses antarbangsa yang lebih luas dan bahkan sangat luas hingga nyaris tak terbatas. Ini suatu hal yang barangkali tidak pernah dibayangkan sebelumnya dan merupakan anugerah ilahi melalui tangan-tangan kreatif manusia yang patut disyukuri. Tetapi di sisi lain, kita harus sungguh-sungguh arif-bijaksana dalam menyikapi kemungkinan hanyutnya banyak aset budaya lokal oleh arus globalisasi yang kian deras. Sebagai suatu bangsa yang berkebudayaan adiluhung yang sangat menjunjung tinggi moto Bhinneka Tunggal Ika dengan memajukan ketunggalikaan tanpa mengorbankan kebhinekaan, kita patut mengaktifkan radar kearifan kita dalam menyikapi kecenderungan-kecenderungan global yang muncul dari waktu ke waktu, yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal. Salah satu dampak negatif globalisasi terhadap kehidupan masyarakat lokal adalah tergesernya peranan Yohanes Manhitu adalah penulis, penerjemah, peminat bahasa dan sastra, pengajar lepas bahasa Spanyol dan Tetun (Timor-Leste). Tulisan-tulisannya dapat dibaca di http://ymanhitu.blogspot.com dan http://ymanhitu-works.blogspot.com. Pertanyaan-pertanyaan tentang makalah ini dapat dikirimkan ke alamat e-mail yang terdapat di http://www.facebook.com/yohanes.manhitu. 1 Marshall McLuhan adalah seorang filsuf Kanada yang kadang-kadang dianggap sebagai ”bapak dunia maya”. Silakan baca lebih lengkap di http://www.caslon.com.au/biographies/mcluhan.htm.

Upload: ymanhitu

Post on 29-Jul-2015

431 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Sebuah tulisan yang berisikan refleksi tentang realitas mitos-mitos lokal (khususnya mitos-mitos Timor-Dawan) yang berhadapan dengan mitos-mitos global

TRANSCRIPT

Page 1: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

1

MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL:

SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

Yohanes Manhitu

PENDAHULUAN

Kita hidup di sebuah zaman, di mana isu-isu global terus-menerus menerobos

hampir seluruh aspek kehidupan manusia di berbagai belahan dunia, termasuk pelosok-

pelosok negeri kita yang sebelumnya terisolasi dari pengaruh dunia luar. Disadari atau

tidak, isu-isu tersebut kini menjadi konsumsi kita sehari-hari sebagai topik pembicaraan,

dari tingkat obrolan di meja makan atau di warung kopi yang memicu debat kusir, hingga

ulasan mendalam dan menyeluruh di media televisi oleh pakar-pakar berkelas dunia. Ada

isu yang menarik perhatian dan menggairahkan semangat hidup yang sedang surut. Ada

pula juga yang membebani pikiran kita, terlebih jika isu-isu itu menimbulkan

kekhawatiran dan keresahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Istilah Global Village (Dusun Global) yang selalu dihubungkan dengan Marshall

McLuhan1,

yang populer melalui dua bukunya yang masing-masing berjudul The

Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan Understanding Media

(1964) membangkitkan kesadaran bahwa kita hidup di suatu dunia yang seolah-seolah

semakin menyempit. Di era kemajuan teknologi informasi ini, kita seakan-akan hidup di

dusun yang sama walaupun mungkin tidak sempat berhadapan muka. Dan di dusun yang

sama, banyak hal terus melekat pada kelompok tertentu dan dianggap sebagai hal-hal

yang bersifat lokal. Dan ada pula hal-hal yang telah diterima dan diyakini bersama, baik

secara sukarela maupun terpaksa, dan diberi label ‟global‟, yang tidak jarang mendesak

hal-hal yang berlabel ‟lokal‟ sehingga semakin kehilangan ruang hidup.

Kehadiran dusun global dengan arus globalisasinya itu setali tiga uang dengan

dua sisi mata uang. Di satu sisi, kita boleh berbesar hati bahwa kita telah menjadi warga

global dengan kemungkinan akses antarbangsa yang lebih luas dan bahkan sangat luas

hingga nyaris tak terbatas. Ini suatu hal yang barangkali tidak pernah dibayangkan

sebelumnya dan merupakan anugerah ilahi melalui tangan-tangan kreatif manusia yang

patut disyukuri. Tetapi di sisi lain, kita harus sungguh-sungguh arif-bijaksana dalam

menyikapi kemungkinan hanyutnya banyak aset budaya lokal oleh arus globalisasi yang

kian deras. Sebagai suatu bangsa yang berkebudayaan adiluhung yang sangat menjunjung

tinggi moto Bhinneka Tunggal Ika dengan memajukan ketunggalikaan tanpa

mengorbankan kebhinekaan, kita patut mengaktifkan radar kearifan kita dalam menyikapi

kecenderungan-kecenderungan global yang muncul dari waktu ke waktu, yang dapat

menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal. Salah satu dampak

negatif globalisasi terhadap kehidupan masyarakat lokal adalah tergesernya peranan

Yohanes Manhitu adalah penulis, penerjemah, peminat bahasa dan sastra, pengajar lepas bahasa Spanyol

dan Tetun (Timor-Leste). Tulisan-tulisannya dapat dibaca di http://ymanhitu.blogspot.com dan

http://ymanhitu-works.blogspot.com. Pertanyaan-pertanyaan tentang makalah ini dapat dikirimkan ke

alamat e-mail yang terdapat di http://www.facebook.com/yohanes.manhitu. 1 Marshall McLuhan adalah seorang filsuf Kanada yang kadang-kadang dianggap sebagai ”bapak dunia

maya”. Silakan baca lebih lengkap di http://www.caslon.com.au/biographies/mcluhan.htm.

Page 2: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

2

mitos-mitos lokal, yang mau tidak mau berhadapan dengan mitos-mitos global yang

menerobos berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat melalui berbagai media

komunikasi, misalnya televisi, yang mudah diakses berbagai lapisan masyarakat.

Makalah ini dimaksudkan untuk secara sekilas menyoroti realitas ‟konflik‟ yang

terjadi antara mitos-mitos lokal dan mitos-mitos global di masyarakat Dawan, yang

berdiam di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa realitas yang mirip atau sama juga dapat

ditemukan di daerah-daerah lain di Indonesia, khususnya di Timor Barat (NTT).

ARTI ’MITOS’, ’LOKAL’, DAN ’GLOBAL’

Berikut ini adalah arti mitos lokal dan mitos global menurut kamus:

a. Mitos

Secara etimologis, “mitos” berasal dari kata Yunani mythos yang berarti

omongan, pikiran, kisah, atau dongeng yang tidak diketahui asal-usulnya.2 Menurut

Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Sixth Edition (Oxford

University Press, 2000), myth (mitos) berarti (1) a story from ancient times, especially

one that was told to explain natural events or to describe the early history of a people

(suatu cerita dari zaman purbakala, khususnya yang diceritakan untuk menjelaskan

kejadian-kejadian alam atau untuk menggambarkan sejarah awal suatu bangsa) (2)

something that many people believe but that does not exist or is false (sesuatu yang

diyakini banyak orang tetapi tidak ada atau tidak benar).

b. Lokal

Berarti „di suatu tempat‟ atau „setempat‟. (KBBI, 1999). Dalam hal ini masyarakat

Timor-Dawan, khususnya yang mendiami wilayah Timor Tengah Utara (TTU).

c. Global

KBBI menyebutkan dua definisi kata ‟global‟: (1) secara umum dan keseluruhan

(2) bersangkut-paut, mengenai, ke ruang lingkup dunia. Dalam hal ini, meliputi seluruh

dunia tetapi berada di luar wilayah kehidupan masyarakat Dawan (TTU).

MITOS-MITOS LOKAL DAN MITOS-MITOS GLOBAL

Berlandaskan makna kamus di atas, dapat dirumuskan bahwa mitos-mitos lokal

adalah cerita-cerita tentang asal-usul atau kejadian alam masyarakat setempat atau hal-hal

yang diyakini masyarakat di suatu tempat walaupun belum terbukti benar. Sedangkan

mitos-mitos global adalah hal-hal yang diyakini secara umum atau menyeluruh dan

mencakup seluruh dunia meskipun kebenarannya belum terbukti.

2 Dikutip dari Online Etymology Dictionary < http://www.etymonline.com/index.php?term=myth>

Page 3: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

3

Berikut ini, kita akan melihat beberapa contoh mitos masyarakat Dawan (Atoin-

Metô) dan posisinya di hadapan mitos-mitos atau keyakinan global. Untuk memudahkan

pembahasannya, mitos-mitos tersebut kita bagi kedalam beberapa kelompok.

1. Lingkungan Keluarga

a. Kisah kepahlawanan para leluhur: Setiap keluarga di Timor (Dawan) mempunyai

kisah tentang kepahlawan para leluhurnya dan keberanian mereka mengarungi

lautan dan mengatasi berbagai kesulitan hingga tiba di tanah Timor. Kisah seperti

ini sangat penting untuk memelihara harkat, martabat, dan semangat juang suatu

keluarga (besar). Tetapi sekarang kisah-kisah ini tampaknya kalah populer dengan

kisah-kisah pahlawan impor yang menjadi representasi mitos global.

b. Adalah ‟keramat‟ sehingga tidak boleh menggoyang kaki saat duduk di kursi

(karena ibu/bapak akan meninggal), menengadah ketika seorang perempuan

menaiki tangga ke atau sedang berada di loteng (karena bisa buta), menyanyi

ketika makan (tidak bisa menakar persediaan pangan), menggaris-garis dengan

tujuan untuk bermain saja (bisa membuat ‟empunya tanah‟ murka), duduk di pintu

(bisa sulit bernapas), bermain-main air secara berlebihan (bisa ditelan buaya), dll.

Semua mitos ini harus dipandang sebagai ajaran moral dengan metode lama yang

tetap mengandung kebenaran bila ditafsirkan dengan konteks lama pula. Arus

global yang ikuti pola pikir serba rasional bisa begitu saja menggerus semua ini.

c. Lelaki memegang kapak, perempuan memegang pemintal atau pria membuat,

wanita memelihara. Ini mitos lokal yang menunjukkan pembagian tugas

tradisional di dalam rumah tangga demi kesejahteraan bersama, tanpa bermaksud

mendiskriminasikan jenis kelamin tertentu. Meskipun demikian, tidak dapat

dipungkiri bahwa terjadi penafsiran yang tergesa-gesa dan keliru sehingga

perempuan sering diposisikan secara inferior. Mitos global lebih menekankan

kesederajatan hampir dalam segala aspek kehidupan dan bisa mengabaikan nilai-

nilai lokal sehingga menghasilkan loncatan yang terkesan mendadak dan sangat

jauh. Dewasa ini banyak keluarga di Timor, khususnya TTU, yang terpaksa harus

tercerai-berai karena para ibu rumah tangga meninggalkan anak-anak dan suami

mereka untuk menjadi TKW di luar negeri. Ini juga akibat tekanan ekonomi

sesuai dengan tuntutan global.

2. Lingkungan Alam

a. Tanah itu ada empunya (naijane nmuî in tuan): Karena mitos ini, orang Timor

pada masa silam sangat menghormati tanah dan segala isinya. Setiap penggalian

tanah dengan kedalaman tertentu, misalnya untuk kuburan, akan didahului doa

‟membuka tanah‟. Orang yakin bahwa menggali tanah tanpa tujuan yang jelas

sama dengan melukai bumi. Tetapi pada era globalisasi ini sudah berapa banyak

lupa yang diderita pertiwi, khususnya di Timor, dan lebih khusus lagi TTU?

b. Batu dan pohon berpenunggu (fatu nok in tuan, haube nok in tuan): Tidak setiap

batu, bukit, atau gunung bisa didaki semau-maunya. Begitu pula, tidak setiap

pohon bisa dipanjat, apalagi ditebang. Karena ada empunya, orang tidak boleh

berbuat sekehendak hatinya, sebab akibatnya bisa fatal. Mitos ini harus dipandang

Page 4: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

4

sebagai ajakan untuk menghormati alam agar batu/bukit/gunung dan pohon tetap

lestari demi kepentingan masyarakat. Lalu apa yang terjadi setelah mitos-mitos

global yang lebih menekankan aspek fiisik batu dan kayu itu menggerogoti orang-

orang tertentu? Batu yang mungkin dulunya menjadi simbol persatuan suku dan

kayu-kayu besar yang tumbuh dekat mata air menjadi raib entah ke mana. Apa

yang sudah terjadi di lingkungan alam kita?

c. Buaya dan belut menjaga air (beï ma tune nane apao-oe(l)): Buaya mempunyai

kekuatan magis dalam kepercayaan lama orang Timor sehingga diberi nama

Besimnasi (secara harfiah berarti ”besi tua”).3 Walaupun belut tidak sepopuler

buaya, ia pun dianggap sebagai penjaga air (apao-oe(l)). Bahkan ikan-ikan besar

pun diberi predikat yang sama. Dengan mitos ini, habitat hewan-hewan air tidak

terancam rusak. Pada zaman sekarang, rasa hormat kepada air dan segala isinya

seakan hilang begitu saja. Orang menghalalkan segala cara untuk mencapai

tujuan. Tidak heran kita melihat orang meracuni ikan, belut, udang, dan bahkan

buaya di sungai tanpa memikirkan akibatnya terhadap ekosistem air tawar.

d. Burung-burung itu pemberi tanda baik dan buruk (kolo nfe ’takaf alekot ma

amleüt): Hal ini telah lama diyakini orang Timor. Ada sejumlah burung yang

berperan aktif dalam siklus kehidupan manusia, mulai dari mengabarkan

kedatangan tamu, musibah ringan dan berat, ancaman santet, pergantian musim,

kunjungan arwah leluhur, dll. Hewan unggas ini sekarang hampir punah akibat

pemburuan tak terkontrol dengan senapan angin berteleskop dan racun unggas.

Globalisasi lebih mengedepankan sirene-sirene bahaya yang baru dibunyikan

beberapa menit sebelum suatu kejadian buruk akan timbul. Korban berjatuhan

karena orang sama sekali tidak membaca pertanda musibah itu sebelumnya.

3. Lingkungan Masyarakat

a. Orang tidak bisa hidup sendiri (tmatulun-tmabab, tmafít-tmatoup): Mitos ini

mendorong orang Timor untuk hidup bersama dan saling menolong, terutama

dalam wujud gotong-royong. Karena itu, prinsip nekaf mesê-ansaof mesê (sehati-

sejiwa) melandasi kebersamaan. Namun pada zaman sekarang, dengan pengaruh

globalisasi yang makin mengedepankan individualisme dan egoismo, kebiasaan

bekerja sama perlahan-lahan mulai berkurang. Ada orang yang masa bodoh dan

menutup rapat pintu rumahnya ketika tetangganya mendapat musibah.

b. Setiap tempat ada penjaganya (bale es-es nok kun in tuan), biasanya disebutkan

dalam rangkaian empat nama penghuni perdana (misalnya Ato-Bana-Lake-Sanak,

keempat pemangku adat di Bikomi, TTU): Mitos ini akan menolong kita untuk

menelusuri kehidupan awal di suatu tempat. Berdasarkan tutur adat terpercaya

mengenai awal mula terbentuknya sebuah wilayah, dapat diketahui siapa yang

layak menjadi pemangku adat lokal. Dengan demikian, akan dapat diketahui

pembagian wilayah dan hak atas tanah di daerah tersebut. Pada masa kini,

pembagian wilayah yang tidak mempertimbangkan mitos akan menimbulkan

konflik perampasan hak atas tanah yang menelan korban jiwa dan materi.

3 Lihat pembahasan Andreas Tefa Sawu tentang Besimnasi: Dewa Air dalam buku Di Bawah Naungan

Gunung Mutis hal. 109

Page 5: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

5

HAMBATAN DALAM PELESTARIAN MITOS-MITOS LOKAL

Mitos-mitos lokal adalah bagian dari kebudayaan lokal yang ikut membentuk pola

pikir masyarakat lokal. Artinya cara berpikir dan bertindak masyarakat lokal dipengaruhi

dan pada taraf tertentu bahkan ditentukan mitos-mitos mereka. Semakin kuat mitos-mitos

itu, makin kuat pula pengaruhnya terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat.

Upaya pelestariannya tidak terlepas dari hambatan, baik internal maupun

eksternal. Di sini, secara asumtif4 dapat dilihat beberapa hambatan umum dalam

melestarikan mitos-mitos lokal di Timor, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Utara.

a. Ketiadaan tradisi tulis (yang kuat) dalam masyarakat lokal: Sebagaimana

diketahui, karena tidak pernah mempunyai aksara sendiri (seperti yang dimiliki

suku bangsa Jawa, Bali, Sunda, Batak, Bugis-Makasar, dll.), sebagian besar

kebudayaan lokal di Indonesia bagian timur tidak mempunyai tradisi tulis

sehingga mitos-mitos lokal diwariskan secara lisan saja. Dengan demikian, ada

kemungkinan banyak mitos lokal sudah punah.

b. Ketiadaan mitologi5 lokal yang lengkap dan tuntas: Sampai saat ini belum

dijumpai mitologi yang terdokumentasi secara lengkap dalam suku-suku bangsa

di Indonesia bagian timur, khususnya di pulau Timor. Dalam hal ini, mitologi

Yunani boleh dipandang sebagai contoh yang ideal.

c. Kurangnya minat dan perhatian generasi masa kini pada kebudayaan lokal,

terutama bahasa daerah: Tanpa pemahaman bahasa daerah yang baik, seorang

anak Timor pada masa kini akan sulit memahami dan mengakpresiasi kekayaan

budaya lokal, termasuk mitos-mitos lokal. Perlu diingat bahwa suatu kebudayaan

tidak akan bisa dimengerti secara penuh tanpa memahami bahasa kebudayaan

tersebut, apalagi bahasa-bahasa daerah Timor, misalnya bahasa Dawan (Uab

Metô), yang sangat kaya akan simbol.

d. Secara global terdapat anggapan sebagian orang bahwa mitos-mitos (lokal) itu

harus dihancurleburkan untuk menciptakan yang baru, yang lebih sesuai dengan

kebutuhan zaman. Hal ini ditunjukkan dengan jelas oleh Franz Boas6 sebagai

berikut: ”On dirait que les univers mythologiques sont destinés à être pulvérisés à

peine formés, pour que de nouveaux univers naissent de leurs débris.”7 (Rupanya

dunia mitologis ditakdirkan untuk dihacurleburkan menjadi bagian-bagian yang

nyaris tak ada, agar di atas puing-puingnya dibangun dunia yang baru). Jika

anggapan ini semakin menguat melalui kehadiran mitos-mitos global di tingkat

lokal, maka hambatan dalam pelestarian mitos-mitos lokal akan semakin besar.

4 Penulis belum melakukan penelitian lapangan dan mengkaji benturan mitos-mitos lokal dan mitos-mitos

global di tingkat masyarakat lokal. Tetapi sebagai bagian dari masyarakat Dawan (orang Timor-Dawan),

penulis mencoba secara empiris mengedepankan hambatan-hambatan yang terdapat di masyarakat. 5 Mitologi adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai

kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan. (KBBI, 1999) 6 Franz Boas adalah seorang antropolog Amerika kelahiran Prusia (Jerman) dari penghujung abad ke-19

dan ke-20, pendiri aliran antropologi relativis dan kultursentris yang dominan pada abad ke-20. Biografinya

dapat dibaca lebih lengkap di http://www.biography.com/articles/Franz-Boas-9216786. 7 Dikutip oleh Claude Lévi-Strauss dalam karyanya yang berjudul Anthropologie Sctructurele (hal. 227).

Aslinya terdapat dalam pendahuluan buku James Teit tentang Traditions of the Thompson River Indians of

British Columbia yang berjudul Memoirs of the American Folklore Society, VI (1898), hal. 18.

Page 6: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

6

KEMUNGKINAN PENCEGAHAN DAN PEMECAHAN

Benturan antara mitos-mitos lokal dan mitos-mitos global telah, sedang, dan akan

terjadi. Lebih-kurang ada tiga cara orang menyikapi kehadiran mitos-mitos global:

melawan sekuat tenaga, mencari jalan tengah (via media, via bona) agar tidak menggerus

mitos lokal, atau membiarkan saja globalisasi merajalela tanpa kontrol. Tampaknya kita

tidak mungkin bisa menolak globalisasi secara mutlak tetapi tetap selektif menerima

kehadirannya. Dan untuk mencegah hilangnya mitos-mitos lokal yang masih relevan

pada masa sekarang, terutama agar identitas lokal masih terus terpelihara, hal-hal berikut

dapat dipandang sebagai tawaran solusi:

a. Membentuk lembaga adat baru atau meningkatkan fungsi lembaga-lembaga

kebudayaan yang telah ada sebelumnya dengan tugas mempromosikan

kebudayaan lokal, terutama yang bersifat mitologis. Lembaga ini menjadi mitra

dekat pemerintah daerah dalam pemajuan kebudayaan lokal dan harus mudah

diakses oleh masyarakat setempat.

b. Menginventarisasikan dan mengkaji mitos-mitos lokal agar dapat dikenal lebih

luas dan dijadikan pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara. Hal ini tentu

tidak dimaksudkan untuk menggantikan posisi kitab suci atau doktrin agama

tertentu, tetapi menjadi bahan studi kebudayaan dan penelitian ilmiah demi

pencerahan masyarakat dan pencerdasan kehidupan bangsa.

c. Menyusun suatu mitologi yang komprehensif dalam setiap suku bangsa di

Indonesia, terutama yang mendiami wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara,

NTT. Ini bisa dilakukan secara pribadi atau kelompok dalam kerja sama yang erat

dengan para tokoh ada suku tersebut, terutama dengan para ahli silsilah.

d. Menggunakan kearifan lokal sebagai titik tolak penyelesaian isu-isu lokal.

Melibatkan para tokoh adat dan ahli tradisi dalam penyelesaikan suatu masalah

tempatan akan lebih mudah daripada mendudukkan seseorang yang kurang paham

tentang situasi dan kondisi suatu masyarakat lokal.

PENUTUP

Sebagai penutup, dapat diulangi di sini bahwa: (1) Isu-isu global termasuk mitos-

mitos global telah menerobos segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, terutama

masyarakat wilayah Biimaffo (Biboki, Insana, Miomaffo) di Provinsi Nusa Tenggara

Timur; (2) Kehadiran dusun global membawa dampak yang menguntungkan dan juga

merugikan; (3) Mitos-mitos lokal dan mitos-mitos global terus bersaing dalam

memperebutkan pengaruh dalam masyarakat lokal, terutama di Kabupaten Timor Tengah

Utara; (4) Masyarakat TTU masih kaya akan mitos-mitos lokal yang relevan dengan

kehidupan masa ini asal diinterpretasikan dengan semangat baru, dan (4) Perlu diambil

langkah-langkah konkret demi pelestarian dan kelestarian mitos-mitos lokal yang

menjadi aset kebudayaan Nusantara.

Page 7: MITOS-MITOS LOKAL BERHADAPAN DENGAN MITOS-MITOS GLOBAL: SUATU REFLEKSI TENTANG EKSISTENSI MITOS TIMOR-DAWAN

7

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hornby, A.S. 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Sixth Edition. Oxford:

Oxford University Press.

Lévi-Strauss, Claude. 1958 et 1974. Anthropologie Structurale. Paris: Libraire Plon

Parera, ADM, dan (editor) Gregor Neonbasu. 1994. Sejarah Pemerintahan Raja-Raja

Timor. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Sa‟u (Sawu), Andreas Tefa. 2004. Di Bawah Naungan Gunung Mutis. Ende: Penerbit

Nusa Indah

Schulte Nordholt, H.G. 1971. The Political System of the Atoni of Timor. Den Haag:

Martinus Nijhoff

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka

Situs dan Blog

Franz Boas Biography. 2010. Encyclopædia Britannica, Inc

<http://www.biography.com/articles/Franz-Boas-9216786?part=0> Diakses pada

tanggal 16 September 2011

Manhitu, Yohanes. 2007. Kearifan lokal: mutiara yang ditemukan kembali. Sebuah

artikel <http://ymanhitu.blogspot.com/2007/07/kearifan-lokal-mutiara-yang-

ditemukan.html> Diakses pada tanggal 16 September 2011

Marshall McLuhan. 2006. Caslon Analytics: Biographies

<http://www.caslon.com.au/biographies/mcluhan.htm> Diakses pada tanggal 16

September 2011

Online Etymology Dictionary <http://www.etymonline.com/index.php?term=myth>

Diakses pada tanggal 16 September 2011