mitos pulung gantung di gunung kidul

27
PULUNG GANTUNG Mitos Bunuh Diri Di Gunung Kidul ABSTRAK Masyarakat di Gunung Kidul Yogyakarta selalu mengkaitkan kejadian bunuh diri dengan hadirnya Pulung Gantung. Pulung gantung digambarkan sebagai bola api dengan ekor panjang yang berkelebat dari langit, terkadang melintas di daerah tertentu, berhenti di atas rumah atau diatas pohon atau terbang diam dalam waktu relatif lama. Masyarakat Gunung Kidul terutama di desa terpencil percaya bahwa lokasi rumah di sekitas jatuhnya pulung guntung salah satu anggota keluarganya akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri atau menceburkan diri ke sumur. Lokasi Gunung kidul yang terletak dipegunungan kapur dengan tanah yang terjal dan berbatu yang kering dan kesulitan air pada musim kemarau, masyarakat yang miskin dengan modernisasi tertinggal dari daerah lain di sekitar Yogjakarta, tekanan sosial ekonomi diduga menjadi sebab tingginya angka bunuh diri di daerah ini. Bunuh diri merupakan fenomena psikologis, social dan budaya yang oleh masyarakat Gunung Kidul dianngap hal biasa terkait dengan datangnya Pulung Gantung yang tidak bisa dihindari. PULUNG GANTUNG Pulung gantung menurut beberapa saksi digambarkan Bentuknya seperti lintang tapi besar, bundar tapi bercahaya bisa kuning, hijau, putih, merah, kemerah-merahan ya ini terus belakangnya seperti ular panjang lha ini bisa hinggap di pohon-pohon besar, 1

Upload: suher-lambang

Post on 25-May-2015

7.419 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mitos pulung gantung di gunung kidul

PULUNG GANTUNGMitos Bunuh Diri Di Gunung Kidul

ABSTRAK

Masyarakat di Gunung Kidul Yogyakarta selalu mengkaitkan kejadian bunuh diri dengan hadirnya Pulung Gantung. Pulung gantung digambarkan sebagai bola api dengan ekor panjang yang berkelebat dari langit, terkadang melintas di daerah tertentu, berhenti di atas rumah atau diatas pohon atau terbang diam dalam waktu relatif lama. Masyarakat Gunung Kidul terutama di desa terpencil percaya bahwa lokasi rumah di sekitas jatuhnya pulung guntung salah satu anggota keluarganya akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri atau menceburkan diri ke sumur.

Lokasi Gunung kidul yang terletak dipegunungan kapur dengan tanah yang terjal dan berbatu yang kering dan kesulitan air pada musim kemarau, masyarakat yang miskin dengan modernisasi tertinggal dari daerah lain di sekitar Yogjakarta, tekanan sosial ekonomi diduga menjadi sebab tingginya angka bunuh diri di daerah ini. Bunuh diri merupakan fenomena psikologis, social dan budaya yang oleh masyarakat Gunung Kidul dianngap hal biasa terkait dengan datangnya Pulung Gantung yang tidak bisa dihindari.

PULUNG GANTUNG

Pulung gantung menurut beberapa saksi digambarkan Bentuknya seperti lintang tapi besar, bundar tapi bercahaya bisa kuning, hijau, putih, merah, kemerah-merahan ya ini terus belakangnya seperti ular panjang lha ini bisa hinggap di pohon-pohon besar, rumah juga bisa. Hadir berkisar sehabis magrib (18.00 – 20.00) atau menjelang subuh (02.00 – 04.00).

Orang orang di Gunung Kidul percaya pulung gantung sebagai isyarat kematian yang mendekati kepastian. Pulung dalam bahasa Jawa berarti wahyu atau isyarat atau petunjuk dari Tuhan atau anugrah, kebahagiaan, kita sering mendengar kata “Ketiban Pul;ung” untuk orang orang yang mendapatkan berkah atau anugrah. Tapi kalau Pulung Gantung tidak seorangpun yang bersyukur jika rumahnya didekati.

“Ketiban Pulung Gantung” dianggap sebagai isyarat kematian, beberapa orang percaya bahwa sebelum seseorang melakukan tindakan bunuh diri, dia akan terobsesi melakukan

1

Page 2: Mitos pulung gantung di gunung kidul

tindakan yang dia sukai kadang terobsesi melakukannya di tempat dimana dia akan bunuh diri, ada yang berhasil selamat dari pulung gantung menceritakan bahwa ada seorang tua yang mengajaknya kesuatu tempat. Arah yang dihadap oleh pelaku gantung diri biasanya adalah tempat pulung gantung selanjutnya, misal jika jika pelaku gantung diri menghadap barat, maka pelaku selanjutnya dari arah barat.

MITOS

Mitos atau dalam bahasa Yunani mythos adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar belakang masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan mahluk yang ada di dalamnya, serta dianggap benar benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan para mahluk penghuninya, mengacu pada cerita tradisional. Mitos dapat timbul sebagai catatan peristiwa yang dilebih lebihkan.

Pengertian mitos menurut para ahli :

E.B.Tylor :Penafsiran ritual yang keliru

Max Muller :Penyakit bahasa

Joseph Campbell :

Mitos memiliki 4 fungsi utama sbb :

1. Fungsi Mistis – Menafsirkan kekaguman atas alam semesta2. Fungsi Sosiologis – Mendukung dan mengesahkan tata tertib sosial tertentu3. Fungsi Kosmologis – Menjelaskan bentuk alam semesta4. Fungsi Pendagogis – Bagaimana menjalani hidup sebagai manusia dalam keadaan

apapun.

Perbedaan mitos dengan legenda dan cerita rakyat adalah cerita rakyat dapat berlatar belakang kapanpun dan dimanapun dan tidak harus dianggap suci oleh masyarakat yang melestarikannya. Legenda seperti mitos, dianggap benar benar terjadi namun dilatar belakangi masa yang lebih terkini, saat dunia sudah terbentuk.

2

Page 3: Mitos pulung gantung di gunung kidul

BUNUH DIRI

Clinton dalam Mental Heath Nursing Parctice (1995:262) :

Upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan , individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati, Perilaku bunuh diri meliputi isyarat isyarat percobaan atau ancaman verbal yang mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.

Bunuh diri adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh individu itu sendiri atau atas kemauannya.

Euthanasia : Seseorang yang meminta untuk dirinya dibunuh karena pasrah akan kondisinya.

Pencetus bunuh diri sebagian besar karena kejadian memalukan, interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, ancaman penjara, putus asa, lansia, penyakit kronis dan narkoba.

Motif bunuh diri :

1. Putus asa dan depresi2. Cobaan hidup dan tekanan lingkungan3. Gangguan kejiwaan4. Himpitan ekonomi5. Penyakit yang tidak kunjung sembuh

Faktor yang mempengaruhi bunuh diri :

1. Mood dan biokimiawi otak2. Riwayat gangguan mental3. Meniru, Imitasi dan Pembelajaran4. Isolasi social dan hubungan manusia5. Hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar6. Religuitas

Dalam ilmu sosiologi 3 penyebab bunuh diri :

1. Egoistic suicide ( bunuh diri karena urusan pribadi)2. Altruistic suicide ( bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain)3. Anomic suicide ( bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan)

3

Page 4: Mitos pulung gantung di gunung kidul

PULUNG GANTUNG DARI SEGI ANTROPOLOGI DAN PSIKOLOGI

Demografi dan Sejarah Gunung Kidul

Kabupaten Gunung Kidul berada diprovinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, ibukotanya Wonosari Perbatasan : Utara dan Timur berbatasan dengan Jawa Tengah, Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, Barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman.

Sebagian besar wilayahnya adalah perbukitan dan pegunungan kapur bagian dari pegunungan Sewu, sebagian besar merupakan wilayah tandus yang pada musim kemarau sering terjadi bencana kekeringan.

Gunung Kidul telah dihuni oleh spesies manusia sejak 700 tahun lalu. Banyak ditemukan bukti bukti arkeologis keberadaan manusia ditemukan di gua gua dan diperbukitan kapur Gunung Kidul terutama dikecamatan Ponjong. Kecenderungan manusia menempati Gunung Kidul saat itu disebabkan sebgian besar dataran rendah di Yogjakarta masih digenangi air.

Kedatangan manusia pertama di Gunung Kidul terjadi pada akhir periode Pleistosen, saat itu Ras Australoid bermigrasi dari pegunungan Sewu di Pacitan Jawa Timur melewati lembah lembah kapur Wonogiri Jawa Tengah hingga akhirnya mencapai pesisir pantai selatan Gunung Kidul melalui jalur Bengawan Solo Purba. Dari sekitar 460 gua kapur di Gunung Kidul hamper setengahnya menjadi hunian manusia Purba. Dari 72 gua horizontal di ujung utara Gunung Sewu, kecamatan Ponjong yang terapit Ledok Wonosari di barat dan Ledok Baturetno di Timur, 14 goa diantaranya merupakan bekas hunian manusia purba, ditemukan delapan individu 5 dewasa, 2 anak anak, 1 bayi dan ditemukan alat alat batu seperti batu giling, beliung persegi, mata panah, tulang, peralatan batu, tulang, tanduk dan serut kerang. Selain itu di Goa Seropan di Kecamatan Semanu juga ditemukan bukti keberadaan manusia Purba, tahun 2008 ditemukan potongan tulang kaki, gigi dan rusuk mamalia.

Pulung Gantung Sebagai Delusi

Delusi adalah kesalahpahaman seseorang yang serius tentang apa yang terjadi, dengan kata lain kesalahpahaman tentang apa yang mereka lihat, dengar atau piker. Orang yang delusi sangat memegang keyakinan yang tidak rasional dan tidak realistis yang sangat sulit untuk berubah, bahkan ketika orang itu dihadapkan pada bukti yang bertentangan dengan khayalan. Orang awam biasa mengangap delusi sebagai “paranoid” dimana orang yang delusi merasa curiga berlebihan dan terus menerus terhadap konspirator yang akan mencelakainya.

Mungkin saja secara kebetulan pernah ada yang melihat komet atau meteor yang kemudian bersamaan dengan kejadian bunuh diri di Gunung Kidul.

4

Page 5: Mitos pulung gantung di gunung kidul

Mitos Bawah Sadar Kolektif / Arketipe– Carl Gustav Jung

Mitologi merupakan akumulasi gambaran gambaran yang parallel dengan kehidupan manusia, akumulasi yang bertumbuh dalam ketidaksadaran dan didalamnya aspek aspek tertentu dari eksistensi manusia mendapatkan ungkapan secara simbolis (palung gantung). Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran yang telah dikemukakan oleh Carl Gustav Jung tentang pengembangan dari suatu teori Sigmund freud tentang alam tak sadar kolektif dan isi psikisnya. Mitos “bawah sadar kolektif” tersebut dinamai arketipe, bilamana kita tarik garis lurus dengan mitos pulung gantung di Gunung Kidul maka akan menjadi jelas buat kita bahwa suatu mitologi dapat berpengaruh secara nyata di dalam keseharian masyarakat setempat.

Pengertian arketipe berasal dari hasil penyelidikan yang berulang-ulang. Misalnya cerita mite dan dongeng-dongeng dari dunia sastra mengandung pola-pola dasar tertentu, yang muncul dimana-mana. Kita menemukan pola-pola dasar yang sana ini dengan fantasi-fantasi, mimpi-mimpi, igauan-igauan, dan khayalan-khayalan dari individu yang hidup hari ini. Bayangan-bayangan dan asosiasi-asosiasi yang khas inilah yang disebut oleh Carl Gustav Jung sebagai gagasan-gagasan arketipis. Semakin hidup gagasan-gagasan arketipis ini, semakin mereka diwarnai khusus oleh nada dasar perasaan yang kuat. Mereka meninggalkan kesan, mempengaruhi dan menarik perhatian kita. Gagasan-gagasan arketipis ini berasal dari arketipe, yang dari dirinya sendiri merupakan suatu bentuk yang tak kelihatan, tak sadar, praeksisten. Bentuk ini merupakan bagian dari struktur warisan milik psike dan ia bisa mengungkapkan diri secara spontan dimana saja dan kapan saja. Karena kodrat nalurinya, arketipe memberi otonomi kepada kompleks itu.

Bunuh diri sebagai imitasi/meniru – Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura

Karena banyaknya kasus bunuh diri di Daerah Gunung Kidul yang dikaitkan dengan phenomena Pulung Gantung sehingga masyarakat menggangap bunuh diri sebagai hal yang serius dan tidak serius. Masyarakat belajar dari generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori pembelajaran social Albert Bandura .

Determinis Resiprokal (reciprocal determinism): pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrl lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling-determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem social.

5

Page 6: Mitos pulung gantung di gunung kidul

Daftar Pustaka

Darmaningtyas, Pulung Gantung, cetakan pertama , Yogjakarta: Salwa Press 2002

Jatmika, Sidik, Urip Mung Mampir Ngguyu, Cetakan ke 1, Yogjakarta: Kanisius 2009

Sumber lain :

Kumpulan modul Antropologi, Jakarta: Universitas Mercubuana 2012

http://indonesiaartnews.or.id

http://id.wikipedia.org

Disusun oleh Kelompok IV :

HAPRILA KURNIA 46111110037

WATUR TATUR LITA 46111120008

YOSEPH SIGIT WIBOWO 46111120016

ENY LASMIATUN 46111120022

HURRIAH IRDAWATI 46111120034

PERISTIWA DAN NARASUMBERAdalah salah seorang narasumber ; Wage Daksinarga, 32, seorang pekerja teater, penulis dan sekarang juga mengemudi truk pengangkutan pasir. Ia tinggal dan lahir di desa Paliyan, Gunungkidul, dan selama 2 tahun (2001-2003) meneliti kasus bunuh diri (pulung gantung) di sana untuk bukunya dengan judul: Talipati.

Pendapat Wage mengenai pemikiran ataupun pandangan masyarakat Gunungkidul tentang pulung gantung adalah bahwa fenomena ini merupakan suatu bentuk pemahaman masyarakat yang

6

Page 7: Mitos pulung gantung di gunung kidul

dilandasi unsur-unsur bawah sadarnya.

“Ketika mereka ditanya tentang pulung gantung mungkin yang tercetus merupakan imajinasinya. Bisa jadi bukan suatu pengalaman nyata yang dialaminya karena batasan antara sadar dan bawah sadarnya tipis, sudah sekian ribu tahun masyarakat Jawa dikungkung oleh yang namanya mitos dan terus membentuk aksi dalam otak mereka.”

Ivan Sagita: “Dalam suatu kejadian bunuh diri di Gunungkidul, apakah masyarakat selalu mengkaitkan kejadian tersebut dengan pulung gantung atau mereka melihat kejadian ini sebagai bunuh diri biasa saja seperti kejadian yang banyak terjadi di kota-kota besar, sebagian karena alasan-alasan ekonomi, konflik rumah tangga atau kekerasan dan lain sebagainya?” (Kompas, 13/12/2009)

Wage: “Sebagian besar masyarakat Gunungkidul bila mana mereka tidak berbohong, dalam hati mereka akan mengkaitkannya dengan pulung gantung karena pada prinsip ini tidak ada dalam masyarakat Jawa.”

Ditambahkan pula oleh Wage “Setelah kejadian, biasanya saya tidak langsung ke korban tetapi saya ke warung, tambal ban, tukang bensin dan dalam pembicaraan mereka misalnya ada sekelompok 4 orang minimal 3 orangmengkaitkan kejadian tersebut dengan pulung gantung.”

Inilah suatu pernyataan yang merujuk bahwa ketidaksadaran kolektif telah menghidupi dan dihidupi oleh mereka sendiri.

SarnoLepas dari satu mati tertampung di mati yang lain…..Untuk ke dua kalinya kami berkunjung di kediaman Sarno. Seperti pada umumnya, rumah yang sangat sederhana dengan dinding bambu beralaskan tanah, sederet genting tipis yang tampak ringkih. Rumah yang tak teraliri listrik, seonggok teplok (lampu minyak tanah) tergantung dari langit-langit. Di dalam rumah, sebuah dipan kayu dan sebuah meja yang mengisi rumah tersebut. Tampak disudut, dibatasi selembar triplek, Sarno seorang korban yang selamat dari usahanya bunuh diri, kini telah terbaring lumpuh selama 8 tahun. Hanya tubuh bagian atas yang masih bisa digerakkan dan sekian lama dia tidak pernah turun dari tempat tidur. Dalam keseharian ia melihat orang-orang

7

Page 8: Mitos pulung gantung di gunung kidul

hanya dengan tatapan mata nanar, marah dan tak berbicara apapun. Sang istri yang menemani dan merawatnya meski tak jarang tamparan, erangan marah yang didapat.

Sarno, seorang yang selamat dari suatu usaha untuk kematian dirinya kini mengalami bentuk kematian yang berbeda; selamat dari kematian yang satu dijemput oleh kematian yang lain. Satu ketidaksadaran keseharian dengan tak tahu lagi antara sakit ataupun bahagia, berada dalam suatu titik nol. Adakah makhluk yang lain yang seperti Sarno ini yang selalu dilekati oleh suatu kematian. Usaha untuk membebaskan dirinya dari permasalahan dengan menjatuhkan dirinya ke dalam sebuah lubang (luweng) sedalam 12 meter tak berhasil. Tertolong oleh tim SAR meskipun dengan tulang punggung yang patah sehingga kelumpuhan menyertainya.

Seiring dengan kejadian tersebut, ketika terangkat dari lubang dia masih bisa berbicara dengan lemah, dikatakan bahwa seorang tua berbaju putih menuntunnya untuk terjun ke dalam lubang itu. Tetapi, alasan Sarno melakukan tindakan tersebut simpang-siur. Beberapa orang mengaitkannya karena stres alasan ekonomi tetapi sebagian orang mengaitkannya dengan orang tua berbaju putih sebagai pengejawantahan dari pulung gantung dalam bentuk yang lain.

KaserKeluarga dan kesukaan telah kau tinggalkan…..Suatu kejadian pada hari Jumat, 2 Oktober 2009 di sebuah gubuk petani di pantai Ngetun, ditemukan seorang laki-laki bernama Kaser (bukan nama sebenarnya), 55, warga Tepus yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Kejadian ini mengantar kami keesokan harinya untuk mengetahui lebih lanjut tentang permasalahan pulung gantung, sebuah hubungan fenomena alam dengan manusia. Ini merupakan kali kesekian kami secara langsung datang ke daerah Gunung Kidul. Wilayah Tepus merupakan ujung tenggara kawasan Gunung Kidul yang dekat dengan Wonogiri. Melewati bukit kapur serta hutan jati yang tandus, tidaklah mudah mencari kediaman pelaku bunuh diri tersebut. Halaman tanah kemerahan dengan dikeraskan batu karang putih, rumah limasan yang

8

Page 9: Mitos pulung gantung di gunung kidul

tampak muram berdinding papan berlantaikan potongan batu putih sederhana bersuasana mengiringi kesedihan yang terpancar dari wajah istri serta anaknya.

Penuturan mereka, Kaser pamit untuk pergi memancing ke pantai sebelum ditemukan gantung diri. Tidak ada tanda-tanda hendak bunuh diri ataupun menunjukkan hal-hal yang aneh saat itu, serta tidak ada permasalahan dengan pihak manapun semasa hidupnya sehingga pamit memancing yang merupakan hobinya tidak menjadi kecurigaan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kaser sering membawa hasil pancingan baik ikan besar maupun kecil untuk lauk keluarganya.

Sesaat setelah Kaser dikubur, di wilayah Prigi yang tidak jauh dari kecamatan Tepus ada pula warga yang nggantung (bunuh diri dengan gantung diri) dan langsung dimakamkan hari itu juga untuk menghindari korban lainnya. Ada hal yang menarik saat kami melakukan percakapan dengan narasumber ini, dengan tenangnya ia menceritakan bahwa kakak perempuan, keponakan, kakak ipar, tetangga serta besannya semua meninggal dikarenakan gantung diri. Menurutnya pulung gantung-lah penyebab kematian mereka. Menurut adat Jawa di Gunungkidul, jika seseorang meninggal karena bunuh diri maka cara pemakamannya tanpa dimandikan serta tanpa dibungkus kain mori. Karena diyakini jika menggunakan prosesi tersebut akan menimbulkan kejadian yang berkelanjutan. PaserSemisal Paser yang menggantung di gubuk dekat pantai, dengan posisi yang lututnya masih menyentuh tanah, posisi seperti orang berlutut sangat tidak mungkin jeratan tali bisa merenggut nyawanya. Sedangkan nggantung secara logis adalah posisi kaki yang minimal 5 cm menggantung dan tidak menyentuh tanah. Lebih lanjut menurut Kasiar, Pulung gantung adalah makhluk halus yang menjadi mata-mata orang sehingga orang tersebut lupa ingatan, tidak tahu dia digantung, ada “kawan-kawan” yang membantu seseorang tersebut mengakhiri hidupnya.

SuradiSalah satu dari mereka adalah Suradi yang sekitar 2 bulan lampau mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan pulung gantung. Kejadian tersebut menurut pengakuannya adalah diawali datangnya dua laki-laki setengah baya di pagi hari yang mengajaknya pergi, selang sekian

9

Page 10: Mitos pulung gantung di gunung kidul

hari Suradi pun bersiap untuk mengikuti mereka tetapi karena pada hari itu cuaca terik maka mereka menunggu hingga sore hari “…mengko wae nek wis ra panas.. (nanti saja kalau sudah tidak panas)” ujar salah satu dari mereka.

Petang telah datang, beranjaklah Suradi hendak meninggalkan rumah untuk mengikuti tamunya tersebut. Bagi keluarganya, dalam beberapa hari itu tingkah laku serta tindakan Suradi tampak ganjil dan juga selalu tercetus kata “…Mesakke wong loro kui, wis nunggu kawit mau, aku arep lunga melu (kasihan dua orang itu, sudah menunggu dari tadi, aku akan pergi ikut mereka).” Perasaannya saat itu hanyalah girang dan girang serta sangat berkeinginan untuk pergi dengan ke dua orang tersebut.

Sebaliknya bagi keluarganya, situasi menjadi tidak terkendali. Kata-kata “diajak” dan “pergi” yang terlontar dari Suradi terdengar aneh bagi keluarga, ditambah lagi karena mereka tidak melihat seorangpun yang menunggu Suradi di depan rumah, tepatnya di bawah barongan bambu (sekelompok pohon bambu yang lebat) seperti yang dikatakan Suradi. Omongan dan igauan berulang yang tidak terarah, menambah kekhawatirkan keluarga. Dan, puncaknya ketika berkelebat Suradi hendak pergi, lolongan tangis dan teriakan keluargapun tak kuasa untuk menahannya. Hal ini adalah situasi tak sadar bagi Suradi, dekapan erat oleh para tetangga tak kuasa menghentikannya. Dia mengibaskan segala pelukan warga dengan tenaganya yang tiba-tiba menjadi sangat kuat, upaya terakhir sang istri dengan menarik kaos bagian tengkuk leher Suradi membuat ia malah mendekap erat batu besar yang seakan menjadi lekat dengan tubuhnya. Tarikan keluarga serta tetangga tak mampu menarik Suradi kembali kedalam rumah.

Samijo

Sabtu, 2 Januari 2010 pukul 15.00 WIB kami tiba di Gunung Kidul. Salah satu informasi yang kami dapat dari Polsek Tepus tentang kejadian bunuh diri oleh Samijo seorang jejaka berusia 30 tahun yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di hutan sebelah rumahnya menggunakan seutas tali plastik hijau sepanjang 3 meter pada hari Selasa, 23 Juni 2009.

Tidaklah mudah untuk mencapai kediaman keluarga alm. Samijo, Desa Sidoharjo, Tepus. Seorang

10

Page 11: Mitos pulung gantung di gunung kidul

pegawai Puskesmas Pak Sutejo mengantar kami ke tempat tersebut.

Sebuah daerah yang jauh dari jalan besar, pelosok, jalan tanah beralas batu putih kurang lebih 2 km dari jalan besar, perkampungan yang sangat sederhana, rumah dengan dinding papan, sekeliling perkebunan yang lengang tampak beberapa hewan ternak dan keseluruhan bersuasanakan diam. Kami jumpa dengan adiknya Samijo yang bernama Painem usia 26 tahun tengah menggendong anak kecil. Raut mukanya menjadi kaku dan dingin ketika kami mengutarakan maksud kedatangan kami untuk mengetahui lebih dalam tentang kematian kakaknya “…nanti nunggu bapak aja dari sawah, sekarang saya kalo ingat itu masih nangis sedih….” itulah kata yang kami terima. Suatu penolakan dari dia untuk membicarakan kematian Samijo. Kami menunggu dengan beberapa orang di halaman tentangga. Tak ada satu kalimat pun yang membicarakan kejadian tersebut. Pengamatan kami beralih pada sekeliling, teras beralaskan tanah terletak sebuah lesung kayu panjang yang digunakan untuk menumbuk padi, jagung, serta gaplek. Tampak beberapa ayam lalu lalang, beberapa diam mengerami telurnya. Terlihat juga anjing yang lewat dengan menggigit batang jagung kering.

“…Ya, beginilah keadaan kami, tak ada apa-apa…” selalu diucapkan sebuah kalimat dengan kata-kata yang berisikan penolakan seakan hendak mengatakan juga bahwa tak layaklah mereka menjadi bahan pengamatan atau bahan keingin tahuan kami karena tak ada apapun di situ. Tersirat demikianlah yang hendak disampaikan oleh Painem. “Kalian berada diluar, saya berada di dalam dan kalian tak tahu apapun tentang kami” kesimpulan inilah yang kami dapatkan ketika menunggu.

Selang sekian waktu, kakaknya datang, bergegas, dengan membawa rumput dipanggul di atas kepalanya untuk makanan ternak yang dimiliki oleh keluarga. Tak lama kakak tertuanya datang, kami pun berinisiatif berdiri di depan pintu rumah. Kini Painem membukakan pintu rumah dan mempersilakan masuk. Sebuah ruang tamu yang sederhana, seperangkat meja kursi, di sudut tampak TV dan DVD player. Ruang tamu yang berdinding papan kayu dan beralaskan batu putih sederhana itu tampak lengang.

“…Biasa mawon boso Jowo, ngoko wae…ben iso cepet, mengko soale kula ajeng teng Wonosari kerja lembur. (biasa saja menggunakan bahasa Jawa ngoko, biar cepat karena saya akan segera pergi ke Wonosari untuk kerja lembur).” Dengan alasan akan segera kerja lembur di Wonosari Daerah Jeruk, tingkah Kris sebagai kakak tertua dari korban tampak “mempertahankan” keluarga ketika kami datang untuk mengetahui lebih lanjut tentang peristiwa Samijo.

11

Page 12: Mitos pulung gantung di gunung kidul

“…Tidak ada satu masalah apapun diantara kami sekeluarga, Samijo hanya sakit gigi tiga hari dengan gusi yang bengkak. Sepertinya berlubang dan kami sudah mengantarkannya ke dokter...” penjelasan awal dari Kris. Tidak ada tanda apapun Samijo akan melakukan tindakan nekat. Tertangkap bahwa bukan masalah keluarga atau pun sakit gigi yang mengantar Samijo melakukan tindakan tersebut.

“..Yo mergo barang sing wigati kae. (ya, karena sesuatu yang tidak jelas wujudnya itu…)” ujar Pak Kris.

“Maksudnya pak? Apa ini ada hubungannya dengan pulung gantung?”

“Ya…”serentak mereka menjawab.

“Jadi kalian percaya dengan pulung gantung?”

Mereka empat bersaudara serempak mengatakan bahwa mereka mempercayai adanya pulung gantung.

Ditambahkan pula oleh Kris bahwa seminggu sebelum kejadian kurang lebih pukul 18.30 WIB, malam Jumat Legi dia bersama istrinya melihat dhadhung (tali tambang) yang merah serta hijau menyala mbendhol (bulat)…lebih tinggi dari pohon kelapa. Seperti ular yang bagian depannya bulat menyala… Mereka sangat percaya bahwa hal tsb yang mengakibatkan Samijo melakukan tindakan meniadakan diri tersebut.

“Sesuatu” mempengaruhi orang yang sedang kosong pikirannya. Disimpulkan oleh Kris bahwa Samijo melakukan tindakan bunuh diri “karena pengaruh dari dadung (tali tambang) yang merah serta hijau menyala mbendol (bulat)” yang diyakininya sebagai pulung gantung.

Aib, sakit gigi, tentunya tidak berhubungan dalam hal ini. Seperti halnya tidak ada hubungan antara gigi berlubang dengan kematiannya. Kesedihan dan sakitnya seseorang yang ditinggalkan oleh salah satu anggota keluarganya jelas tampak ketika kami mengunjungi mereka. Kelengangan suasana dan gurauan anak kecil tetangga dengan pohon-pohon hijau di sekitarnya meskipun tak memberi suasana hati yang damai. Keluarga bergegas sebagai ungkapan penolakan bagi orang yang hendak mencoba untuk membongkar peristiwa Samijo.

Pertahanan diri mereka dan merasa mereka adalah mereka tercetus ketika Sainem

12

Page 13: Mitos pulung gantung di gunung kidul

mempersilakan kami untuk meminum teh sajiannya “…Itu airnya dari air hujan…” ucap Sainem setelah seteguk kami meminumnya. Banyak makna di balik kata itu, mengungkapkan bahwa daerah mereka merupakan daerah yang sulit air atau kata yang bermakna: Minumlah, ini merupakan kepahitan kami.

Parmo“Pak…!!!” Sebuah teriakan dari Pram sang anak yang berusia 1,5 tahun tak pelak membuat ibunya yang sedang mencuci segera berlari kearah asal suara. Dengan tidak percaya, dia melihat suaminya telah pergi untuk selamanya. Dilihatnya Pram sedang memeluk kaki bapaknya yang telah bergantung layu. Seperti sebuah pagutan pelukan pada sebuah tiang, sebuah tokoh religius tidak dalam moment duduk memeluk (pieta) melainkan Sang Bunda di dalam kesedihannya memeluk tiang salib dimana jarak beberapa inci di atasnya kaki terpaku kuat. Tetapi dalam hal ini sang Pram bukanlah tokoh berskala besar itu, memeluk kaki bukan pada sebuah tiang, melainkan pada kaki yang berayun karena lehernya bergantung pada sebuah tali, sehingga menjadi garis titik hilang antara leher dan tubuh yang merupakan sebuah media bukti bangunan fana dan kaki berayun ini merupakan jejak terakhir dari keberadaan ayahnya yang masih dapat diraih oleh dekapan Pram. Bagi istri Parmo, mungkin kejadian bunuh diri ini sendiri tidaklah bertambah berat jika peristiwa ini tanpa diiringi seorang anak yang memeluk erat kaki berayun tersebut. Semua ini adalah kesedihan yang rangkap baginya. Kehilangan suami yang bergantung serta melihat kesedihan Pram memeluk jasad ayahnya. Hal ini merupakan batas antara religiositas (kembalinya ke yang di Atas) dengan kenyataan (kesedihan Pram); seperti suatu batas antara kaki yang tersalib di sebuah tiang dengan sebuah kenyataan kini yakni kaki yang bergantung karena bunuh diri. Pendar-pendar religiositas dari sebuah kematian menemui titik nyata berbentuk kesedihan. Peristiwa sebelum senja itu membekas untuk selamanya di kehidupan Pram.

Sebelum kejadian tersebut, Parmo adalah sosok petani yang rajin, selain bekerja diladang dia pun mencari pakan ternak di pekarangan dekat rumahnya. Menurut penduduk Bolorejo, Semin Gunung Kidul, tempatnya mencari pakan ternak adalah tempat yang wingit (angker) sehingga sangat memungkinkan kalau Parmo telah diganggu oleh makhluk gaib sesaat sebelum mengakhiri hidupnya dengan cara gantung gantung diri di dapur rumahnya. Dia bertumpu menggunakan kronjot (sejenis keranjang anyaman dari bambu yang biasanya digunakan masyarakat desa untuk membawa rumput ataupun hasil tani yang ditempatkan di belakang motor/sepeda) yang diletakkan di atas meja.

Ketika diruntut dari silsilah keluarga berdasarkan garis keturunan ibu, Parmo adalah generasi

13

Page 14: Mitos pulung gantung di gunung kidul

keempat sekaligus orang ketiga yang melakukan gantung diri. Pertama adalah simbah buyut yang dua kali gagal dalam percobaan untuk mengakhiri hidupnya, yang kedua adik dari ibunya (paman dari Parmo) yang berhasil mengakhiri hidupnya, dan yang ketiga adalah Parmo sendiri.

Menurut penuturan Pak Tardi kakak tertua dari Parmo yang tinggal serumah dengan keluarga Parmo, adik keempatnya itu nekat mengakhiri hidupnya dikarenakan pikiran kacau oleh adanya isu berkembang di masyarakat sekitar yang mengatakan bahwa mantan istrinya hamil karena ulahnya. Padahal saat itu Parmo telah menata hidup dengan istri barunya yang memberinya seorang anak. Hal ini berbeda dengan penuturan istrinya: karena mencari rumput di tempat wingitlah sehingga ia diganggu penunggu daerah tersebut. Hal itulah penyebab tindakan nekat Parmo. Sedangkan masyarakat sekitar selalu mengaitkan dengan pulung gantung. Ada sebuah pertanda yang telah dirasakan oleh kakak ketiga Parmo yang sedang merantau di Jakarta, sebuah mimpi yang menunjukan adanya begitu banyak ular yang berkumpul di rumah Parmo dan itulah akhir hidup Parmo.

Sebuah luka yang dialami Pram sangat berpengaruh terhadap kejiwaannya karena di usia yang masih sangat muda ia menyaksikan dan mendekap kaki ayahnya yang tergantung. Sekarang usia Pram sudah 4 tahun dan kejadian tersebut sudah 2,5 tahun berlalu. Ketika kami berbincang dengan kakak serta istri Parmo, Pram mendampingi mereka, tepatnya dia duduk bergayut pada ibunya, selalu tak ingin lepas dalam dekapan. Terbayang oleh kami bagaimana sembari berteriak dia mendekap kaki ayahnya. Kini yang didekap Pram bukanlah kaki ayahnya pada saat mengalami ajal melainkan tubuh hangat ibunya dengan gerakan dadanya menggambarkan tarikan nafas yang hidup. Pergantian dekapan dari yang dingin kaku dan sedih ke dekapan hangat tubuh yang sekarang disertai sisa-sisa trauma pikiran yang lampau, kini semakin membuat Pram tak hendak lepas bergayut dari ibunya. Setiap tarikan nafas dari ibunya menjadikan Pram seolah-olah mendapat nafas baru untuk mengobati traumanya. Hal semacam ini bagi Pram merupakan suatu kebutuhan bagi nafas rohaninya. Ibu tidak hanya menjadi sebuah bumi tempat dia berpijak, ibu merupakan udara bagi paru-paru rohani traumatiknya. Ketergantungan oksigen tidak sekadar oksigen di udara melainkan setiap hela nafas ibunya merupakan oksigen rohaninya, dapat dikatakan bahwa kehidupannya didapat dari orang yang mencintainya.

SugiarjoTempat kejadian bunuh diri Sugiarjo, ditunjukan kepada kami oleh tetangganya. Tepatnya di sisi selatan rumah tinggal, sebuah kebun yang sedikit berundak, terdapat sebuah pohon mangga namun kini telah ditebang, dalam bayangan kami pohon itu tidak terlalu besar tetapi cukup kuat

14

Page 15: Mitos pulung gantung di gunung kidul

sebagai tempat menggantung tubuh Sugiarjo. Tetanda tempat menggantung tersebut, kini menjadi tempat penting bagi keluarga yang ditinggalkannya. Tapal batas berakhirnya Sugiarjo menjadi sebuah tempat yang sanggup membekukan memori kebahagiaan keluarga pada almarhum. Tapal batas ini membekukan segala kenangan tentang Sugiarjo dengan demikian kesedihan mereka sekeluarga tidak dapat mencair hilang. Bagi anggota keluarga, tapal batas tersebut akan selintas terlihat ketika berjalan kebelakang rumah, meskipun pohon mangga telah ditebang tetapi dari cara mereka menunjuk tempat tersebut, terbaca oleh kami bahwa memori anggota keluarga Sugiarjo tidak akan pupus dengan tertebangnya pohon itu.

Sugiarjo, kini berada di dalam kebekuan memori kesedihan keluarganya dan harta keluarga tersebut merupakan sebuah bentuk tapal batas, tetenger hilangnya hidup.

Seperti pada pagi hari biasanya, sekitar pukul 03.00 pagi, sang emak ke dapur untuk memasak, ketika hendak mengambil kayu bakar di sisi rumah terlihat sebentuk tubuh tergantung pada pohon mangga. Dia hafal benar dengan pemilik tubuh tersebut. Seketika dia berteriak histeris dan seketika itu pula hilang kesadarannya. Keluarga dan tetangga yang mendengar jeritan tersebut, segera berlari ke arah sumber suara. Waktu seakan menjadi diam. Sugiarjo yang mereka kenal cerdas, pandai bergaul dengan hobi bermain gitar dan bernyanyi dengan adiknya serta mempunyai semangat yang tinggi untuk bekerja kini telah meninggal bergantung di pohon mangga. Sebentuk siluet tubuhnya menjadi asesori tak lazim di pohon tersebut. Tetangga dan keluarganya tidak segera menurunkan tubuh Sugiarjo menunggu petugas dari kepolisian. Seisi keluarga, kerabat dan tetangga merasakan diamnya waktu semakin panjang, mereka dipaksa untuk melihat lebih cermat bagaimana Sugiarjo dengan wajah menunduk, dingin membatu, berayun dari dahan pohon. Seketika ada jarak yang jauh antara mereka dengan Sugiarjo. Dan mereka menyadarkan diri mereka bahwa tubuh yang bergantung itu milik Sugiarjo.

Cuplikan percakapan kami dengan keluarganya:

“Ada firasat apa sebelum kejadian?”

“Tidak ada, biasa saja”

“Mungkin ada pesan atau dia pamit sebelum kejadian ?”

“Tidak ada pesan apapun, tidak ada kelainan. Bahkan berkelakuan seperti biasanya.”

15

Page 16: Mitos pulung gantung di gunung kidul

“Atau mungkin ada masalah?”

“Tidak ada.”

Tapal batas di dalam kebudayaan Jawa merupakan suatu hal yang penting. Bahkan kitab kejawen yang banyak membahas tentang tata letak terdapat di kitab primbon; dan memberikan makna yang penting terhadap tata letak, posisi rumah ataupun tata letak ruangan yang antara lain berpengaruh terhadap rejeki atau malapetaka pemiliknya. Kerangka berpikir maupun aktifitas keseharian selalu mengacu kepada tertanda ilmu hitung menghitung berdasarkan ilmu jawa tersebut. Dalam hal ini diharapkan seseorang mendapat suatu keselamatan. Kini tetenger itu bukan merupakan tetenger yang bersifat abstraksi dalam wacana. Bagi keluarga Sugiarjo tetenger di sini menjadi tetenger yang nyata bagi suatu kehilangan satu anggota keluarganya. Dasar hitung menghitung berdasar primbon merupakan suatu hal yang rumit bila dibandingkan dengan pohon mangga tempat bergantungnya Sugiarjo. Pohon mangga telah hilang, kini suatu legalitas terhadap kekuatan suatu tetanda yang berada di dalam alam pikiran tidak lagi dikaitkan dengan tetanda yang riil (pohon mangga telah ditebang). Bagi keluarga Sugiarjo tetanda sebenarnya adalah pada simpul-simpul pikiran dan terbawa selamanya.

Ketidakadaan gejala serta tanpa alasan apapun bagi anggota keluarga bahwa Sugiarjo akan melakukan bunuh diri membuat tindakan tersebut tidak dapat dimengerti. Ketidakmengertian ini seperti halnya ketidakmengertian bagaimana hilangnya sebuah pohon mangga masih dapat menjadi suatu tetanda kesedihan yang hidup di alam pikiran mereka. Kesedihan yang hidup berdampingan dengan kehidupan keseharian mereka.

PartodirjoSebuah bayangan fiktif di kepala ketika kami pertama kali mengetuk sebuah rumah papan sederhana dengan jalan setapak yang gelap. Bayangan fiktif tentang seseorang bernama Partodirjo, kami katakan demikian karena pada saat pintu rumah terbuka seketika kami melihat sekeluarga dalam ruangan sederhana gelap, berderet-deret lajur anak-anak berbaring di lantai dengan posisi yang sama tengkurap dan wajah relatif riang. Ibu dari anak-anak tersebut juga neneknya bersanding lekat dalam suasana kekeluargaan. Rasa duka yang sebelumnya terbayang oleh kami ternyata tidak kami jumpai, melainkan suasana tradisional komunal yang ada di depan

16

Page 17: Mitos pulung gantung di gunung kidul

kami saat itu, sedangkan bayangan almarhum Partodirjo yang merupakan kakek bagi keluarga tersebut tak kami dapatkan dalam bias-bias kedukaan di keluarga.

Bagi kami sebagai orang luar, Partodirjo adalah sebuah sosok dalam permasalahan kesedihan yang telah hilang. Dan kini ternyata telah menjadi tokoh fiktif yang hilang oleh suasana kehangatan pada keluarga tersebut.

Lintasan-lintasan ingatan kami sebelum menemukan alamat itu dan sewaktu bertanya kepada pemuda-pemuda di warung dengan jawabannya yang ringan “Oh, Parto yang meninggal karena bunuh diri itu” lalu disambung seorang pemuda yang membawa kami ke tempat keluarga Parto dengan perasaan yang biasa saja tanpa selintas pun menyinggung kejadian yang baru menimpa keluarga tersebut. Semuanya ini seakan menghantar kami ke dalam permasalahan yang kini tidak ada. Ada apa ini?

Tak mungkin sebuah kehilangan tak memberikan jejak kesedihan bagi mereka. Dengan kedekatan pada saat mereka berbaring bersama, bersinggungan badan satu sama lain diantara mereka, lajur-lajur berbaring mereka di lantai dan berhimpitan di sebuah ruangan yang relatif longgar seakan memberi gambaran kepada kami sebuah kesedihan akan terasa mudah jika dihadapi bersama. Sebuah gambaran keluarga tradisional yang berdasarkan suatu ikatan kekeluargaan yang erat, tampak nyata di keluarga ini.

Menurut Triyoga (1991: 5) struktur keseluruhan dari masyarakat, alam dan alam adikodrati tercipta dalam keadaan selaras atau harmonis. Selain dirinya sendiri, segala yang ada dalam struktur keselarasan kosmos dihayati sebagai hidup, berhayat dan berjiwa. Oleh sebab itu, manusia Jawa dalam kehidupannya harus selalu mengembangkan sikap rukun dan hormat terhadap dirinya sendiri, sesama manusia, alam dan alam adikodrati, demi terjaganya kesatuan dan keselarasan kosmos. Sikap rukun dan hormat ini diekspresikan dalam bentuk bahwa segala situasi hendaknya ia bersikap sedemikian rupa sehingga sesuai dengan posisinya, baik yang horisontal maupun vertikal, sehingga tidak menimbulkan konflik baik bagi batinnya sendiri, sesamanya, alam maupun alam adikodrati. (dalam Triyoga, Lucas Sasongko, 1991, Manusia Jawa dan Gunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press).

Kenyataan kejadian yang menimpa Parto bukan lagi menjadi pikulan bagi masing-masing anggota keluarga tersebut melainkan telah menjadi permasalahan bersama. Memori terhadap Parto adalah memori bersama sehingga kesedihannyapun adalah kesedihan yang dihadapi bersama. Dengan bersikap seperti ini seakan-akan mereka sanggup mengurainya menjadi ringan.

17

Page 18: Mitos pulung gantung di gunung kidul

Dengan dasar berperilaku seperti ini dan mempunyai kepercaryaan bahwa setiap individu diharapkan untuk menjaga keharmonisan dan juga setiap individu menyandang muatan adikodrati seperti hal-nya dia menjaga bahwa keseluruhan alam mempunyai daya hidup, berhayat dan berjiwa demi menjaga kesatuan dan keselarasan bagi sesamanya.

Kami mengikuti irama keluarga itu, beramah tamah sebagai tamu bagi mereka. Setelah mengamati lebih lanjut ternyata Sumirah; istri Partodirjo merupakan bagian tersendiri dari kebersamaan kegembiraan keluarga itu, dia relatif tidak beringsut dari duduknya yang bersimpuh melekat kebumi, jemari tanganpun tidak bergerak dari lututnya, ujung jarinya tak sadar menunjuk tanah di depannya seakan dia ingin mengatakan bahwa bumi tempat yang diinjaknya itu merupakan alam kosmos yang selain dihormatinya tetapi juga telah mempunyai kekuasaan untuk merenggut suami dari sisinya. Posisi duduknya yang membatu mencerminkan suatu kepasrahan hidup. Dengan posisi duduk yang demikian untuk waktu yang lama, bisa dimengerti juga sebagai suatu posisi meditasi Buddha di dalam keseharian. Penghayatan suatu kesedihan yang bergerak dan larut dalam keseharian. Tak banyak kata-kata dari bibirnya. Wajahnya diam membatu, sekilas matanya berkaca-kaca. Dan perlahan kami ingin juga mengetahui cerita dan permasalahan di sekitar Partodirjo.

Partodirjo, sosok yang tidak beruntung di matanya. Sejak kecil telah akrab dengan kegelapan pada siang hari, kelainan pada matanya menyebabkan tidak dapat menikmati terangnya siang hari. Pendar-pendar matahari baginya malah menjadi siksaan yang menyebabkan menjadi gelap. Kegelapan yang lebih gelap bagi Parto adalah di siang hari. Baginya, siang tak ada. Yang ada hanyalah semangat ikut dalam aktivitas keseharian untuk berkebun. Tanpa mengeluh dia melakukan rutinitas tersebut walaupun pada 4-5 tahun terakhir fisiknya sudah tidak memungkinkan lagi karena penyakit liver yang dideritanya juga. Meski gelap bagi Parto tidak lagi menjadi gelap bagi dirinya, semangat menjalani keseharian: mencangkul, membersihkan rumput dan menanam pohon merupakan suatu hal yang ringan bagi Parto karena didasari oleh semangat dan ikatan kekeluargaan. Gelap menjadi terang karena ini semua dan Parto pun telah menjadi terbiasa dengan situasi ini. 5 tahun telah lewat dengan kemenangan hati si Parto.

Tetapi suatu pagi di hari rabu tanggal 14 Juli 2010, di dekat pantai di daerah Ngobaran telah menjadi saksi sebuah kekalahan dari upaya hidup seseorang. Leher Partodirjo terjerat pada seutas tali kecil yang diikatkan pada kayu atap sebuah gubuk tempat dia beristirahat ketika berladang. Saat menggantung, kaki Partodirjo masih menyentuh tanah seperti layaknya posisi yang beringsut, jongkok tidak berdiri pun tidak, hal ini membuat masih ada cukup ruang di

18

Page 19: Mitos pulung gantung di gunung kidul

tenggorokannya untuk bernafas, posisi tubuh yang sama sekali tidak bergantung, sangat berbeda dengan bayangan kami tentang gantung diri pada umumnya. Kejadian ini kembali kami jumpai di Gunung Kidul bahwa suatu posisi dengan tak lazimnya orang gantung diri telah mengakibatkan hilangnya nyawa Partodirjo. Tarikan tali di leher dan “jejakan kaki” di tanah sepertinya adalah dua kutub antara tarikan mati dan hidup, batas tipis mati dan hidup terbaca di posisi ini. Bila sang kaki lebih kuat menjejakan ke bumi, leher akan mendapat ruang untuk bernapas sedangkan leher akan berayun pada jeratan tali bila mana memang kaki dibiarkan lunglai tak menapak tanah. Ini membutuhkan suatu pilihan atau kehendak yang besar untuk mengabaikan garis keselamatan dengan membiarkan leher terjerat. Pada titik hidup terakhir pun kehendak mati tidak menjadikan suatu penyesalan dan entah tenaga atau dorongan apa sehingga bertekad menentukan pilihannya.

“Kalau dimengerti secara logika cara bunuh dirinya Partodirjo tidak masuk akal, tidak mengakibatkan kematian. Karena posisi menggantungnya dengan kaki yang menyentuh tanah dan tidak bergantung masih bisa bernafas lega tetapi inilah yang dinamakan takdir, mungkin takdir kakak saya harus berakhir seperti ini, dengan posisi demikian bisa mengakibatkannya meninggal dunia.” demikian kata adik Partodirjo mengomentari kematian kakaknya.

Tentang keanehan posisi gantung diri ini bagi mereka ada penyebabnya, seperti yang dia katakan: “Jadi pada kejadian seperti ini bola apilah penyebabnya dan pasti ada yang melihatnya dan kalau tidak ada bola api tersebut tidak akan terjadi bunuh diri ini. Itupun akan berakibat pada orang yang sedang kosong pikirannya. Ini mitos yang benar-benar terjadi.”

Jiwa yang Diletakkan pada Tanda Cinta

Seorang anak perempuan yang duduk dikelas 4 SD berusia sekitar 10 tahun, tinggal di daerah Playen ditemukan oleh pamannya menggantung diri di kamarnya. Seutas sabuk kecil melilit di lehernya, berkait dengan pinggiran ranjang besinya. Pinggiran ranjang yang berhias bentuk hati dan berwarna hijau pupus merupakan tempat “menaruh” nyawanya. Seakan suatu kesejukan hijau dan gambaran berbentuk hati menjadi suatu keinginan yang diharapkan bagi si anak. Angan-angan yang tidak didapatkan sehingga dia menaruh kecewa pada sekelilingnya. Seringkali bagi masyarakat mengetahui kejadian besar semacam ini dilakukan atas dasar suatu alasan yang

19

Page 20: Mitos pulung gantung di gunung kidul

teramat sederhan. Di samping itu, masyarakat sekitar juga kerap mengaitkannya dengan pulung gantung. Versi yang berbeda akan memberikan suatu alasan yang berbeda pula atas suatu kejadian.

Suatu hari, ia tidak bersekolah dikarenakan satu-satunya seragam yang hendak dipakai masih basah. Di benaknya, tentu alasan ini tidak dapat diterima oleh pembina di sekolahnya dan pastinya akan mendapatkan teguran. Tak ayal, kekalutan terhadap sekeliling merupakan suatu ancaman dari pikirannya sendiri. Maka, diam-diam dicarilah sebuah tempat yang aman untuk menaruh hati kanaknya itu.

Seragam basah bukanlah merupakan suatu pembenaran untuk alasan tindakan fatal tersebut. Perihal sederhana tentang seragam merupakan suatu bentuk kerapuhan dan kekhawatiran terhadap sekeliling, serta bagaimana penerimaan terhadap dirinya. Satu hari absen bersekolah dan kekesalan terhadap sepotong seragam basahnya menjadikannya kesal sekaligus sedih berkepanjangan. Baginya dan di mata teman-temannya, tak ada alasan untuk tak bersekolah serta; tak ada alasan seragam dapat menjadi basah.

Kakinya masih dapat dijejakan pada kasur tempat tidur, sehingga tak terlalu menggantung posisi tubuhnya, tetapi kemauan serta tekad untuk meniadakan dirinya itu membuat topangan yang seharuasnya masih dapat dilakukan agar tetap bernafas, walau di leher telah terjerat sepotong sabuk tetap dia memilih untuk menggantungkan tubuhnya pada jeratan dileher. Pilihan telah diambil antara jejakan kaki di kasur yang dapat membuat dia tetap bernafas atau tarikan sabuk di leher. Tetapi si anak telah mengambil keputusan terakhir dengan mengabaikan jejakan kaki di kasur ranjangnya. Keputusan ini adalah pilihan, mengambil kesakitan daripada kenyamanan empuknya kasur (hidup).

20

Page 21: Mitos pulung gantung di gunung kidul

21