ketika filsafat pencerahan (kembali) menjadi mitos

8

Click here to load reader

Upload: aureliusratu

Post on 30-Jul-2015

109 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

1

Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

Tulisan ini pertama-tama adalah sebuah refleksi filosofis atas bangkitnya perlawanan terhadap era Pencerahan. Perlawanan atau reaksi terhadap tujuan yang diemban oleh masa Pencerahan sangatlah bervariasi dan bahkan luas. Karena itu, tulisan ini hanya akan memberi perhatian pada salah satu aspek dari Teori Kritis dalam menyikapi kegagalan Pencerahan, yakni aplikasi pemikiran Freud atas tujuan Pencerahan1.

Pencerahan – sebenarnya agak aneh juga menyebutnya – pada dasarnya merupakan sistem filsafat yang bertumpu pada kemampuan Rasio. Dikatakan Pencerahan karena Rasio atau Akal Budi dianggap mampu menerangi setiap jalan kehidupan manusia untuk hidup bersama dengan baik dalam masyarakat dan Negara. Karena itu, semakin Akal Budi ini tercerahkan, maka semakin baik pula kehidupan manusia. Immanuel Kant-lah yang pertama mencetuskan pendirian demikian. Selanjutnya diikuti oleh Schelling, Fichte dan berpuncak pada sistem besar filsafat Hegel. Umumnya, keempat tokoh filsuf ini dikelompokkan ke dalam Idealisme Jerman.

Lahirnya Idealisme (di) Jerman2

Pemikiran para filsuf Idealis (Idealisme Jerman) tidaklah muncul begitu saja. Pemikiran mereka – selanjutnya disebut Idealisme Jerman saja – merupakan tanggapan terhadap Revolusi Perancis. Revolusi Perancis bukanlah semata gambaran tentang pemberontakan kaum ini atau pun kaum itu (seperti belajar sejarah di sekolah dulu). Revolusi Perancis menandaskan dua hal penting:

1. Putusnya relasi Agama dengan politik. 2. Kehancuran tata hidup bersama yang ditandai oleh

runtuhnya dasar Agama (sekaligus dasar hidup) dalam masyarakat.

Lantaran dua dasar inilah, para filsuf idealisme kemudian berusaha mencari dan menetapkan dasar RASIONAL bagi

1 Sumber dari tulisan ini banyak diambil dari Herbert Marcuse. Reason and Revolution (Hegel and The Rise of Social Theory), Second Edition. Routledge & Kegan Paul LTD: London, 1955 dan Yvonne Sherratt. Adorno’s Positive Dialectic. Cambridge University Press: Cambridge, 2002. 2 Lih. Herbert Marcuse. Idem. Hal 3-29

Page 2: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

2

tata hidup umat manusia. Harapan utamanya adalah jaminan kebebasan individu dan tata hidup bersama yang baik sehingga perdamaian3 tercipta. Karena itu, masing-masing filsuf tersebut lantas menetapkan sebuah sistem filsafat yang – menurut mereka pastinya – mampu memberi dasar rasional ini.

Batu pijakan bagi pemikiran mereka adalah pemahaman tentang Subjektivitas (Self, Ich, Ego, Rasio). Mengapa subjektivitas? Karena bagi para filsuf Idealisme, subjek manusia memiliki potensi untuk menata dan mengatur kehidupan dan alam untuk kesejahteraan bersama. Sebagaimana yang dikatakan Hegel, “Tidak pernah, semenjak matahari menjadi pusat dan planet-planet mengitarinya, eksistensi manusia diletakkan di pikirannya”4. Subjek manusia mampu meletakkan seluruh realitas dalam bingkai rasio-nya. Bahkan katanya lagi, “He (subjek manusia, penulis) is thus not at the mercy of the facts that surround him”5. Subjek manusia tidak boleh lagi tunduk pada otoritas di luar dirinya. Inilah peralihan yang dilihat oleh Idealisme Jerman dari ketidakdewasaan (immaturity) ke dewasa (maturity)6.

Akan tetapi, sebagaimana dipahami oleh Herbert Marcuse (dan juga Adorno serta Horkheimer), filsafat Hegel rupanya menciptakan kontradiksi bagi dirinya sendiri ketika berhadapan dengan realitas sosial yang ada. Lho, bukannya dalam filsafat Hegel, seluruh realitas ini justru bersifat Rasional? Benar. Bagi Hegel, Rasio tidak akan pernah bisa menata dan membangun realitas yang lebih baik jika realitas itu sendiri belum rasional.

Nah, rasionalitas itu hanya bisa terjadi ketika Subjek masuk ke dalam realitas itu sendiri. Bingung gak? Sebenarnya tidak juga jika mengetahui bahwa pemahaman yang satu ini diadopsi Hegel dari pemikiran Spinoza mengenai Substansi. Ringkasnya, realitas objektif pada dasarnya adalah pengejawantahan Subjek sendiri. Hegel mengungkapkan pemahamannya ini dengan kalimat terkenal, bahwa “Rasio adalah Subjek dalam substansinya”. Gagasan ini – mengikuti pendirian Spinoza – berarti memahami realitas sebagai proses penyatuan dari segala apa yang ada. Karena itu, segala sesuatu yang ada itu adalah nyata (riil, red) sejauh masuk dalam proses dialektika Rasio7. Geliat Rasio ini hanya mungkin dalam kebebasan. Kebebasan dan Rasio bukanah 2 hal yang bertentangan, melainkan saling membutuhkan dan mempengaruhi (ingat inti filsafat Hegel adalah struktur Rasio itu sendiri)8.

3 Perdamaian merupakan tujuan utama Pencerahan. 4 Herbert Marcuse. Loc Cit. 5 Pemahaman ini akan sangat penting ketika masuk dalam pembahasan selanjutnya. 6 Herbert Marcuse menyatakannya sebagai berikut, “Man had passed the long period of IMMATURITY during which he had been victimized by overwhelming natural and social forces, and had become the autonomous subject of his own development. From now on, the struggle with nature and with social organization was to be guided by his own progress in knowledge. The world was to be an order of reason”. Herbert Marcuse. Loc Cit. 7 Hegel sebenarnya tidak pernah menggunakan terminologi Dialektika untuk menggambarkan penyatuan melalui proses antagonis. Para rival Hegel-lah yang memberi istilah ini. 8 “The core of Hegel's philosophy is a structure the concepts of which freedom, subject, mind, notion are derived from the idea of reason. Unless we succeed in unfolding the content of these ideas and the intrinsic connection

Page 3: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

3

Nah, medium bagi realitas supaya menjadi rasional ini adalah alam (nature). Mengapa? Karena Subjektivitas itu pada dasarnya merupakan realisasi atau perwujudan Rasio melalui dan dalam alam.

Implikasi pemikiran Hegel ini begitu luar biasa dan dapat dikatakan pula Hegel adalah filsuf terakhir yang menafsirkan dan melihat dunia ini sebagai Rasio dengan menempatkan sejarah dan alam di bawah Pikiran/Rasio dan Kebebasan.

Filsafat Hegel dan Teori Sosial9

Setelah Hegel meninggal tahun 1831, para Hegelian (pengikut Hegel) terpecah menjadi dua, yakni Hegelianisme Kiri dan Hegelianisme Kanan. Pada pertengahan abad ke-19, rivalitas ini membuat pengaruh Hegel mulai memudar. Beruntung idealisme Hegel dihidupkan kembali di dataran Inggris oleh T.H.Green (1836-1882), F.H. Bradley (1846-1924), and Bernard Bosanquet (1848-1923). Berkaitan dengan isi filsafat Hegel itu sendiri, tampak hanya Marx yang mewarisi sekaligus mengambilalih daya kritis atau pendirian kritis Hegel. Di lain pihak, sistem filsafat Hegel justru secara intrinsik menyiratkan sebuah transisi dari filsafat ke ilmu sosial. Atau dengan kata lain, filsafat Hegel menghubungkan teori-teori sosial baik sebelum dan sesudahnya. Ini menjadi pintu masuk untuk memahami gagasan Teori Kritis. Kok bisa?

Pertama-tama, filsafat Hegel termasuk dalam tradisi filsafat Barat. Semenjak Renaisans bergulir – yang kemudian ditandai mulai pudarnya dasar dogma Agama – filsafat lantas mengambil pijakan berpikirnya pada golongan/kelas menengah. Slogan kritis kelas menengah kala itu berpusat pada rasionalitas. Tema inilah yang kemudian dieksplorasi secara hebat oleh para pemikir renaisans dan sesudahnya semisal Descartes, Hobbes, Spinoza, Leibniz.. Slogan ini merupakan cetusan reaksi terhadap perdebatan kebasahan pengetahuan, perlawanan terhadap dogmatisme Gereja dan kekuasaan mutlak Raja.

Gagasan Rasionalitas ini pada mulanya tidaklah bermaksud anti-agama. Gagasan ini tetap menerima bahwa seluruh ciptaan berasal dari Allah. Poinnya, pemikiran tentang Allah masih diterima dalam slogan RASIO demikian. Yang tidak diterima adalah bahwa adanya pemberangusan terhadap hak-hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan pengetahuannya. Patut disayangkan bahwa dalam perkembangan kemudian Rasio memisahkan diri dan menentukan dirinya sebagai penjelasan terakhir bagi perjalanan sejarah

among them, Hegel's system will seem to be obscure metaphysics, which it in fact never was”. Herbert Marcuse. Loc Cit . 9 Lih. Herber Marcuse. Op Cit . Hal. 251- 261

Page 4: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

4

umat manusia. Peristiwa ini kemudian ditandai oleh pemenggalan kepala Raja Louis XVI beserta istrinya Marie Antoinette di Perancis dengan guillotine tahun 179310. Sejak saat itu – Revolusi Perancis dan kemudian Revolusi Industri – aktivitas RASIO menjadi tolak ukur dan dasar bagi kemajuan umat manusia.

Hegel dan para filsuf Idealisme menerima pemikiran ini. Terutama Hegel, ia bahkan mengembangkan lebih jauh lagi gagasan ini sehingga mencakup Negara. Ok,

mungkin sebelumnya perlulah dijelaskan mengapa para filsuf ini dikategorikan filsuf Idealisme. Mengapa disebut Idealisme? Ini terjadi karena perkembangan industri di Jerman kala itu tidak begitu menggeliat dibanding Perancis dan Inggris. Ini belum lagi penyebaran kelas menengah di Jerman saat itu begitu luas dan masih berlakunya sistem feudal menyebabkan sulitnya memikirkan revolusi. Gagasan mengenai revolusi industri karena itu hanya tinggal menjadi teori belaka. Dengan lain kata, ketika Revolusi Perancis menegaskan masuknya kebebasan ke dalam hidup sehari-hari, para filsuf Jerman justru sibuk dengan gagasan kebebasan tersebut. Usaha nyata – kalau dikatakan demikian – untuk menetapkan dasar RASIONAL bagi masyarakat diletakkan pada tataran filosofis yang tampil dalam elaborasi gagasan RASIONALITAS itu sendiri.

Well, dari semua penjelasan di atas, poin yang mau dikatakan adalah – sebagaimana dinyatakan Marx – bahwa sistem filsafat Hegel ini dengan gemilang menyatukan prinsip kelas menengah (kelas bourgeois) dalam gagasan Pikiran atau Realitas – yang nantinya dilihat sebagai SISTEM. Dalam perjalanan selanjutnya, Karl Marx akan mengadopsi pemikiran ini dan menciptakan dialektika-nya sendiri.11 Selain oleh Marx, gagasan Hegel rupanya akan dimodifikasi oleh Fascisme Italia dan Nasional Sosialis Jerman di bawah Hitler.12

10 Awal gerakan Revolusi Perancis pada dasarnya bermula tahun 1789, yakni penyerbuan Benteng Bassile yang sekaligus penjara bagi tahanan politik dan tahanan lainnya. 11 Meskipun Marx berhasil menciptakan dialektika materialis-historisnya dan sekaligus mengubah haluan dari sistem Hegel, Marx tetaplah masih mewarisi semangat Pencerahan. Lih. Herbert Marcuse. Op Cit . Hal. 273-320. 12 Lih. Herbert Marcuse. Idem. Hal. 402-419

Page 5: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

5

(Ketika) Freud (masuk) dalam Tradisi Filsafat Barat13

Dialektika Pencerahan merupakan buku yang ditulis oleh Adorno dan Horkheimer dan dimaksudkan sebagai usaha memahami – terutama peristiwa Holocaust – kekejaman (barbarism) dan penindasan terhadap umat manusia. Bagi Adorno dan Horkheimer, peristiwa tersebut pada dasarnya menunjukkan secara telak kemunduran filsafat. Mereka berdua menyebutnya sebagai Mitifikasi Filsafat . Bagaimana mereka berdua

bisa sampai pada kesimpulan demikian? Salah satu gagasan yang diambilalih dan diaplikasikan dalam pmikiran mereka adalah pemikiran Freud tentang Subjektivitas, terutama menyangkut apa yang disebut Kedewasaan (MATURITY ) dan bagaimana kemudian Rasionalitas itu dilihat. Gagasan Freud inilah yang menjadi kunci untuk menyibak tabir kegagalan Pencerahan (sekaligus Filsafat itu sendiri).

Untuk menyatakan kegagalan itu, hal pertama yang harus dianalisa adalah apa tujuan dari pencerahan. Sebagaimana telah disinggung di atas, tujuan utama Pencerahan – seperti dilihat Kant – adalah bahwa manusia harus menjadi tuan atas tindakan dan hidupnya. Manusia harus mandiri dalam pengetahuan. Manusia harus bersandar pada potensi yang dimilikinya, yakni Akal Budi (Rasionalitas). Dalam bahasa psikologi, ini dikenal sebagai ‘kedewasaan’. Akan tetapi, apa yang ditunjukkan Pencerahan justru adalah ketidakdewasaan. Puncak (negasi) Pencerahan – yang terekam dalam peristiwa NAZI – justru titik balik kembali ke pemikiran mitos. Lho, kok bisa? Adorno dan Horkheimer menjelaskan hal ini dari cerita Odysseus yang dianalisa melalui perspektif Freud.

Sebagaimana yang sering diceritakan, setelah perang Troya, Odysseus bersama pasukannya hendak pulang ke tanah kelahirannya. Tapi, perjalanan pulang ini tidaklah mudah. Mengapa? Karena kemarahan para dewa di mana Odysseus (dan pasukan Yunani) bukan saja menghancurkan kota, tapi juga kuil para dewa. Tindakan ini, bagi Adorno dan Horkheimer, merusak hukum keseimbangan yang berlaku dalam pemikiran mitologis. Hukum Keseimbangan (Law of Equivalence) adalah prinsip utama dalam keselarasan manusia dengan dewa/i serta alam tempat manusia hidup. Apa akibatnya ketika hukum keseimbangan ini rusak?

13 Lih. Yvonne Sherratt. Adorno’s Positive Dialectic. Cambridge University Press: Cambridge, 2002. Hal 71-90.

Page 6: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

6

Bagi Adorno dah Horkheimer, rusaknya hukum keseimbangan ini menandakan kemunculan bentuk baru dari self (subjektivitas), yakni otonomitas, kemandirian. Pemikiran demikian dengan telak menunjuk pada tujuan Pencerahan. Dengan kata lain, ketika pemikiran mitologis disamakan dengan ketidakdewasaan, maka otonomitas dan kemandirian manusia menandaskan kedewasaan. Akhirnya, kedewasaan berarti kebahagiaan. Pernyataan terakhir sangatlah penting mengingat Freud sebenarnya juga masih terkena imbas tujuan Pencerahan. Di satu sisi, Freud adalah tokoh yang masih masuk dalam Pencerahan, tapi di sisi lain titik pijak pemikirannya justru berbeda dari Pencerahan (yakni Akal Budi).

Nah, bagi Adorno dan Horkheimer, kedewasaan berarti menyiratkan ‘full sense of self’. Apa maksudnya? Pada mulanya, Freud hanya berusaha menganalisa struktur self. Struktur ini terdiri dari dua, yakni Id dan Ego. Tapi, rupanya ia tidak puas. Freud kemudian menyatakan bahwa subjektivitas, yakni self, sebagai sesuatu yang aktif di dalam dunia. Bagaimana wujud keaktifan itu? Freud menyebutnya sebagai instink (desire, dorongan). Menurut Freud, instink ini, baik Id dan Ego, masing-masing memiliki tujuan. Jika Id mencari kesenangan, Ego justru mencari cara mempertahankan diri.

Ringkasnya, cara untuk mencapai tujuan inilah yang menuntun dan mempengaruhi pada cara bagaimana Self itu mendapatkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya.

Melalui analisa terhadap cerita Odysseus, Adorno dan Horkheimer melihat bahwa perkembangan filsafat Pencerahan rupanya mulai pelan-pelan menutup diri terhadap realitas luar dan makna yang terkandung di dalamnya. Ini persis seperti ketika Odysseus dan pasukannya menutup diri terhadap dendang lagu Siren yang sangat indah dan memikat (dalam mitologi Yunani, Siren digambarkan berbentuk separuh burung dan separuh manusia). Tindakan menutup telinga ini jelas ada harganya. Keselamatan untuk pulang sampai ke kampung halaman harus dibayar dengan dan melalui usaha mempertahankan diri (Ego) dari realitas luar yang bisa mengancam keselamatan tersebut. Dan parahnya lagi, tindakan ini menghilangkan daya imaginasi manusia atas realitas. Manusia mulai dipermiskin. Mengapa? Karena bagi Adorno dan Horkheier, Odysseus tidak mampu (dan tidak mau) menyelami keindahan dan makna musik.

Page 7: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

7

Arti imajinasi begitu sangat penting di sini. Mengapa? Imaginasi menekankan pengalaman. Ketika pengalaman akan keindahan musik itu tidak diterima, maka makna keindahan tersebut juga akan hilang. Begitu jugalah yang terjadi dengan semangat Pencerahan. Untuk mencapai tujuannya, Subjek Pencerahan harus mengontrol, menata, mengatur Objek (pulang ke kampung halaman) dan orang lain (para pendayug perahu serta teman-teman Odysseus). Dengan kata lain, Subjek Pencerahan melihat dunia ini dalam bentuk INSTRUMENTAL.14 Akibatnya, Subjek Pencerahan mengorbanan kesenangan

sensualitas. Subjek kehilangan makna dunia ini sebagai tempat yang penuh arti. Atas analisa terhadap cerita Odysseus, Adorno dan Horkheimer melihat kemunduran Pencerahan mulai dari kegagalan untuk mencapai tujuan internalnya sendiri, yakni MATURITY (Kedewasaan).

Ketika relasi dengan realitas luar menjadi lenyap, usaha Id untuk mencapai tujuan jelas dari sendirinya lenyap. Akibatnya Self terpecah. Jika Ego masih berelasi dengan dunia luar, maka Id – untuk memuaskan hasrat dan mencapai tujuannya – menciptakan tujuan ilusif bagi dirinya sendiri (bandingkan gagasan Feurbach tentang Tuhan). Inilah tahap ketika Id justru berbalik kembali ke tahap narsistik, masa kekanak-kanakan. Dengan kata lain, desakan Id ini justru membuat kemunduran bagi Self. Demikian jugalah filsafat Pencerahan.

Adorno dan Horkheimer menunjuk kemunduran Pencerahan dengan peristiwa di mana Odysseus dan pasukannya mendarat di sebuah pulau dan situ ada tanaman yang kemudian menyebabkan beberapa anak buah Odysseus adiktif dan tidak mau pulang ke kampung halamannya (dalam bahasa Inggris disebut Lotus-Eaters). Yang menjadi persoalan Adorno dan Horkheimer adalah lantaran sifat adiktif-nya, tanaman ini justru tidak memiliki isi realitas di dalam dirinya. Tanaman ini justru membuat anak buah Odysseus terhanyut dan tenggelam oleh ilusi yang mereka ciptakan sendiri akibat memakan tanaman itu. Ilusi dari tanaman itu pada dasarnya menegaskan kesenangan yang justru terpisah atau tidak ada hubungan dengan REALITAS. Kesenangan yang muncul di sini pada dasarnya hasil dari Id itu sendiri . Bagi Adorno dan Hokheimer, gambaran Lotus/tanaman itu tampak dalam kedok/topeng kebudayaan Industri. Kebudayaan Industri dengan kata lain mengungkapkan ketidakdewasaan. Ketika manusia terputus dari realitas, saat itulah manusia mundur ke dalam situasi mitos.

14 Pemahaman tentang pengetahuan Instrumental harus dimengerti dengan baik di sini. Pengetahuan hanya berkaitan dengan dorongan Ego, bukan Id. Sementara itu, dorongan Id justru dapat menentukan makna bagi pemenuhan kebutuhan dorongannya. Atau dengan kata lain, realitas hanya dapat memiliki makna melalui pemenuhan kepuasaan – nya Id.

Page 8: Ketika Filsafat Pencerahan (Kembali) Menjadi Mitos

8

Lebih lanjut, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa ilusi yang diciptakan oleh Id telah menggantikan bukan saja isi realitas, tapi juga makna substantif-nya. Ini adalah kemunduran filsafat Pencerahan yang sangat parah bagi Adorno dan Horkheimer. Tapi, tahap kemunduran ini belumlah berakhir? Kok bisa…

Masih ada sebagian struktur Subjek yang berelasi dengan realitas (tapi dengan cara instrumental), yakni Ego. Hasil dari relasi Ego dengan realitas ini menciptakan tujuan instrumen, yakni dorongan Id itu (akhirnya) terpenuhi. Atau dengan kata lain, Ego memberikan pengetahuan, logika, teknologi kepada Id sebagai Objek kepuasaan. Ini berakibat bahwa apa yang bersifat instrumental (instrumentalitas) itu lantas menjadi sumber Kesenangan (bagi Id). Struktur Subjek, i.e: Id, bukan saja tidak mampu lagi menghasilkan ilusinya sendiri, Id bahkan hanya bersandar pada bagaimana Ego itu sendiri berelasi dengan realitas. Karena itu, seluruh penjelasan dari Id sungguh-sungguh bersifat instrumental semata. Filsafat Pencerahan MEREDUKSI semua pengetahuan menjadi semata INSTRUMENTAL. Pencerahan adalah Filsafat yang menyamakan kebenaran dengan semata Sistematika (Prosedur) Ilmiah. Pencerahan lantas menjadi satu dari sekian banyak penjelasan terhadap dunia sebagai KESELURUHAN atau bahkan tidak dapat

dijelaskan sama sekali (MITOS).

Dengan demikian, struktur Self yang melambangkan filsafat Pencerahan ternyata dalam perjalanannya semakin terkungkung di dalam tujuan ilusi-instrumental yang dimunculkan oleh ketakutannya (Self itu sendiri) terhadap Yang Lain (the Other). Tujuan Pencerahan, yakni Kedewasaan, ternyata tidak dapat dibangun dari dan oleh Self/Ich/AKu itu sendiri. Peristiwa NAZI merupakan salah satu contoh di mana kehadiran Yang Lain ditolak dan menggantikannya dengan ilusi Führer Hitler yang paranoid.