mitos gendhing dalam upacara bersih dusun dalungan

12
93 Volume 12 No. 2 Desember 2019 Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan... Pendahuluan Masyarakat Dalungan adalah komunitas petani pedesaan Jawa yang masih percaya dengan pertanda atau kejadian-kejadian di alam sekitar yang berhubungan dengan perkara gaib. Masyarakat Dalungan juga percaya adanya mitos yang tersebar di masyarakat sejak jaman dulu dan membekas hingga sekarang melalui cerita sebagai sebuah ajaran dalam bermasyarakat, sehingga mitos tersebut dapat mempengaruhi pola pikir manusia dalam tatanan kehidupan. Hal itu menandakan bahwa mitos merupakan produk perjalanan budaya yang unik, diceritakan dan dilambangkan dengan benda atau simbol-simbol yang menghadirkan pesan atau makna yang berkaitan dengan aturan masa lalu, ide, ingatan serta kenangan (lihat Barthes 1981: 193; Kasanova MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN, KELURAHAN MACANAN, KECAMATAN KEBAKKRAMAT, KABUPATEN KARANGANYAR Ita Puspita Dewi Pengajar di Rhythm Star Music School Email: [email protected] | 0857-2614-2704 ABSTRACT This paper, entitled “Gendhing Myth in the Bersih Dusun Ceremony in Dalungan, Macanan, Kebakkramat, Karanganyar” started from the writer’s interest in seeing the socio-cultural phe- nomenon that has become an annual tradition for Dalungan Hamlet residents. This study aims to uncover the gendhing posted by the community in the bersih dusun ceremony of the Dalungan hamlet. The myth of Gendhing is inseparable from the factors that influence the existence of sacred values related to the rite. The magical value that exists in the Gendhing is based on the cultural belief system of Javanese actors and other supporting elements of ritual such as folklore and cul- tural values inherited from the ancestors. The myth of Gendhing must also be supported by the presence of dhanyang and also the pundhèn caretaker, as well as community leaders such as the RW leader, RT leader, Dalungan elders, and the entire Dalungan community. This research uses qualita- tive research methods, including observation, data collection, data analysis, data presentation, and conclusions. This research uses P.S Hary Susanto’s myth theory which explains the myths according to Mercia Eliade’s thought, which is to solve problems related to the myths of Javanese cultural society and the myth of Gendhing in the clean ritual of the Dalungan hamlet. Keywords: myth, compulsory gendhing, bersih dusun. and Widjajanti 2018: 104; Hasanudin dalam Kasanova and Widjajanti 2018: 104). Mitos bukan hanya sekedar cerita yang dikisahkan, namun juga merupakan kenyataan yang dihayati hingga memiliki daya untuk membangkitkan loyalitas yang seragam pada sebuah masyarakat (Malinowski 1979: 101; Anderson 2008: 10). Kumpulan mitos yang ada di Jawa seringkali dihubungkan dengan adanya prosesi-prosesi sakral, mulai dari kelahiran, pernikahan, dan kematian. Bahkan, beberapa aktivitas yang berhubungan dengan ritual keagamaan masih sering dikaitkan dengan adanya mitos, seperti halnya pada upacara bersih dusun atau upacara hari besar lainnya yang melibatkan sebuah ritual. Pada umumnya, mitos seringkali dihubungkan dengan sarana dan prasarana yang bersifat gaib, bersifat tidak nyata atau tidak

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

93Volume 12 No. 2 Desember 2019

Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan...

Pendahuluan

Masyarakat Dalungan adalah komunitaspetani pedesaan Jawa yang masih percaya denganpertanda atau kejadian-kejadian di alam sekitar yangberhubungan dengan perkara gaib. MasyarakatDalungan juga percaya adanya mitos yang tersebardi masyarakat sejak jaman dulu dan membekashingga sekarang melalui cerita sebagai sebuah ajarandalam bermasyarakat, sehingga mitos tersebut dapatmempengaruhi pola pikir manusia dalam tatanankehidupan. Hal itu menandakan bahwa mitosmerupakan produk perjalanan budaya yang unik,diceritakan dan dilambangkan dengan benda atausimbol-simbol yang menghadirkan pesan atau maknayang berkaitan dengan aturan masa lalu, ide, ingatanserta kenangan (lihat Barthes 1981: 193; Kasanova

MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN,KELURAHAN MACANAN, KECAMATAN KEBAKKRAMAT,

KABUPATEN KARANGANYAR

Ita Puspita DewiPengajar di Rhythm Star Music School

Email: [email protected] | 0857-2614-2704

ABSTRACT

This paper, entitled “Gendhing Myth in the Bersih Dusun Ceremony in Dalungan, Macanan,Kebakkramat, Karanganyar” started from the writer’s interest in seeing the socio-cultural phe-nomenon that has become an annual tradition for Dalungan Hamlet residents. This study aims touncover the gendhing posted by the community in the bersih dusun ceremony of the Dalunganhamlet. The myth of Gendhing is inseparable from the factors that influence the existence of sacredvalues related to the rite. The magical value that exists in the Gendhing is based on the culturalbelief system of Javanese actors and other supporting elements of ritual such as folklore and cul-tural values inherited from the ancestors. The myth of Gendhing must also be supported by thepresence of dhanyang and also the pundhèn caretaker, as well as community leaders such as the RWleader, RT leader, Dalungan elders, and the entire Dalungan community. This research uses qualita-tive research methods, including observation, data collection, data analysis, data presentation, andconclusions. This research uses P.S Hary Susanto’s myth theory which explains the myths accordingto Mercia Eliade’s thought, which is to solve problems related to the myths of Javanese culturalsociety and the myth of Gendhing in the clean ritual of the Dalungan hamlet.

Keywords: myth, compulsory gendhing, bersih dusun.

and Widjajanti 2018: 104; Hasanudin dalamKasanova and Widjajanti 2018: 104).

Mitos bukan hanya sekedar cerita yangdikisahkan, namun juga merupakan kenyataan yangdihayati hingga memiliki daya untuk membangkitkanloyalitas yang seragam pada sebuah masyarakat(Malinowski 1979: 101; Anderson 2008: 10).Kumpulan mitos yang ada di Jawa seringkalidihubungkan dengan adanya prosesi-prosesi sakral,mulai dari kelahiran, pernikahan, dan kematian.Bahkan, beberapa aktivitas yang berhubungandengan ritual keagamaan masih sering dikaitkandengan adanya mitos, seperti halnya pada upacarabersih dusun atau upacara hari besar lainnya yangmelibatkan sebuah ritual. Pada umumnya, mitosseringkali dihubungkan dengan sarana dan prasaranayang bersifat gaib, bersifat tidak nyata atau tidak

Page 2: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

94 Volume 12 No. 2 Desember 2019

dapat dibuktikan secara kasat mata. Di sinilahmanusia cenderung mengacu pada mitos sebagaiseperangkat simbol sekaligus abstraksi pengalamandi masa lampau, untuk mengklasifikasikan danmenertibkan fenomena yang ada di alam pikirannya(lihat Iswidayanti 2007: 180-181; Yulia and Okwita2017: 381).

Kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifatgaib, atau tidak dapat dibuktikan secara kasat matayang dalam dalam pengertian lain juga disebuttakhayul atau folk belief (lihat Danandjaya 1986:153) telah menjadi budaya kebanyakan orang Jawadalam kaitannya menghayati kepercayaan terhadapTuhan Yang Maha Esa. Takhayul dalam hal ini dapatdimaknai sebagai sarana pengajaran untukmengingatkan manusia terhadap hal-hal yang tidakdapat dibuktikan secara akal, namun berkaitan eratdengan bangunan keselarasan hubungan hidupmanusia, alam gaib, dan alam semesta dan duniaseperti yang dijelaskan oleh Uniawati (2012: 4). Dikalangan masyarakat Jawa, terdapat peringatan agar‘tidak melupakan asal’. Peringatan tersebutmengharuskan masyarakat Jawa memiliki sikap elingkepada Sang Pencipta, waspada terhadap apa yangdilakukan dan yang belum terjadi, percaya akanadanya kekuasaan Tuhan dan yang diciptakan baikyang nyata maupun tak kasat mata, serta mituhuatau selalu mengikuti peraturan. Begitulahmasyarakat Jawa kebanyakan dalammemperlakukan mitos dalam orientasi kehidupanyang telah diyakini.

Masyarakat Dalungan sendiri masih banyakmempercayai makhluk-makhluk yang biasanyadisebut dhanyang. Salah satunya teraktualisasikanmelalui upacara bersih dusun, yaitu upacara adatatau tradisi dalam masyarakat yang diselenggarakanuntuk membersihkan dusun dari gangguan-gangguanmakhluk gaib yang dapat mengakibatkanmalapetaka dan marabahaya, serta memohonkeselamatan dan ketentraman hidup melalui berbagaiprosesi ritual yang melibatkan pemberian sesajikepada dhanyang. Pusat dari segala terjadinyamitos yang ada pada upacara bersih dusun Dalunganterletak pada kekuasaan dhanyang tersebut. Haltersebut mempengaruhi adanya mitos tentang

gendhing-gendhing khusus yang diwajibkan saatprosesi upacara berlangsung. Melalui sebuah ritustertentu, mitos-mitos tentang dewa-dewa ataumakhluk-makhluk ilahi terus ada dan diyakini olehmasyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Hal itumenunjukkan bahwa ritual dan upacara desamemainkan peran penting dalam melestarikan sistemkeagamaan lama, termasuk bentuk-bentuk tradisilainnya seperti musik, tarian, dan/atau teater yangmenjadi prasyarat penting dan terkait langsung didalamnya (Nicolas 2019: 55).

Sejarah terjadinya upacara bersih dusunDalungan berkaitan erat dengan cerita rakyat tentangKyai Jaka Dholog yang dipercaya sebagaidhanyang setempat (lihat Wibowo 2018: 2). Ceritarakyat tersebut diwariskan secara lisan dari generasike generasi, serta diyakini kebenarannya olehmasyarakat Dalungan. Cerita tersebut bermulaketika sebuah daerah kecil yang memiliki tanahgersang dan tandus didatangi oleh sosok misteriusbernama Kyai Jaka Dholog yang merupakan patihdari Pakubuwono V. Tanah gersang dan tandusmenyebabkan penduduk tergolong miskin, karenaselalu gagal ketika bertani. Kedatangan Kyai JakaDholog bermaksud untuk melakukan semedi(bertapa) di sebuah candi peninggalan Hindu,berupa artefak kecil berbentuk yoni. Setelah KyaiJaka Dholog melakukan semedi beberapa waktu,taraf kehidupan masyarakat semakin membaik.Namun tak lama kemudian, tepatnya pada hari JumatLegi, Kyai Joko Dholog menghilang dan didugamasuk ke dalam candi.

Cerita selanjutnya (lihat Wibowo 2018: 37),kemudian pada abad ke-17 hiduplah seorangsesepuh yang dihormati bernama Suwarso. Saatmelakukan puasa ngebleng (penuh) selama satu harisatu malam, di dalam mimpinya, Suwarso didatangisesosok lelaki memakai baju warna hitam, bercelanahitam, memakai ikat gadhung mlathi, danmembawa galungan kendi berisi air. Sosok lelakitersebut adalah Kyai Jaka Dholog sebagai penguasadan penjaga daerah tersebut. Kyai Jaka Dhologmemberi petunjuk kepada Suwarso, bahwa jikapenduduk ingin tanahnya menjadi subur dansejahtera, berilah daerah tersebut dengan nama

Page 3: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

95Volume 12 No. 2 Desember 2019

Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan...

“Galungan”. Kata galungan memiliki maknabahwa tanah tersebut subur dan kaya air sepertigalungan yang selalu dibawa oleh Kyai JakaDholog, sehingga penduduk setempat yang disepuhiSuwarso, memberi nama pada daerah tersebutdukuh Galungan. Lambat laun, dukuh Galunganberubah nama dengan sendirinya menjadi “DukuhDalungan”, karena ucapan dari mulut ke mulutsehingga mengalami perubahan huruf depan.

Gambar 1. Prosesi doa dalam upacara bersihdusun Dalungan di pundhèn

(foto oleh Ita Puspita Dewi, 2017)

Pelaksanaan bersih dusun Dalungan yangdi dalamnya terdapat prosesi doa seperti yangditunjukkan pada gambar 1, dilakukan pada hariJumat legi, berkaitan dengan hari saat Kyai JakaDholog menghilang. Hari Jumat dan pasaran JawaLegi dalam pelaksanaan bersih dusun dianggappaling baik untuk berkomunikasi dengan leluhur. Halini mengandung makna, bahwa hari tersebutmembawa berkah bagi masyarakat dukuh Dalungan.Menurut pemikiran Susanto (1987: 61), manusiatidak mampu mendekati Yang Kudus secaralangsung, karena Yang Kudus itu transenden,sedangkan manusia adalah makhuk temporal yangterikat di dalam dunianya. Dengan demikian, manusiadapat mengenal Yang Kudus yaitu melalui simbol.Simbol merupakan suatu cara untuk dapat sampaipada pengenalan akan Yang Kudus dan yangtransenden. Semua yang dilakukan oleh manusiapada umumnya melibatkan simbol. Hal tersebutmenandakan bahwa setiap ritus dilakukan denganmelibatkan berbagai sarana simbol-simbol, begitujuga dengan adanya mitos.

Upacara ritual bersih dusun di dukuhDalungan diselenggarakan berdasarkan hati nuraniyang tulus dari warga masyarakat, untuk meneruskantradisi yang telah berjalan secara turun-temurun darinenek moyang sebagai bentuk hierofani. Sejalandengan pemikiran Susanto (1987: 196), hierofanimerupakan sasaran penting penghayat kepercayaandalam menjalankan bersih dusun, agar dapatmencapai kesucian. Kesucian berarti tanda-tandaakan datangnya keselamatan hidup. Tujuan utamadari proses hierofani tidak hanya formalitas ritualtahunan, namun memiliki bobot spiritual yang luarbiasa. Unsur-unsur mitos yang terkandung didalamnya sangat kuat dan berperan akan adanyaupacara tersebut. Ritual bersih dusun menjadisebuah wahana untuk; (1) menyatukan rasa syukurkepada Tuhan Yang Maha Esa atas ketentramanpenduduk dusun, (2) memberi penghormatan padaroh leluhur atau cikal bakal dusun, dan (3) mengharappengayoman dari Tuhan Yang Maha Esa agar panenyang akan datang lebih meningkat dan taraf hidupmasyarakat dusun lebih sejahtera (lihat juga Wibowo2018: 35).

Mitos-Mitos dalam Ritual Bersih DusunDalungan

Gambar 2. Prosesi kenduri bersih dusun dihalaman artefak berupa candi berbentuk Yoni

(foto oleh Muhamad Aji Kuncoro, 2017)

Masyarakat Dusun Dalungan melaksanakanupacara ritual bersih dusun melalui prosesi kenduriseperti yang ditunjukkan pada gambar 2 di halamancandi (pundhèn) peninggalan zaman Hindu yang

Page 4: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

96 Volume 12 No. 2 Desember 2019

dinamakan candi yoni. Mitos tentang pundhèn(tempat yang dianggap suci dan sakral) bagimasyarakat Dalungan tampaknya sudah mengakardan sangat mempengaruhi tingkah laku kehidupanmasyarakat pendukungnya. Menurut MartoSamiyun (wawancara 20 Desember 2018), jurukunci pundhèn, artefak yang diyakini memiliki nilaimagis ini sudah ada sejak lama, dan hingga sekarangbelum dapat dipastikan usianya. Artefak iniberbentuk segi empat, berupa candi kecil yangmenyerupai bentuk yoni (alat kelamin perempuan),dengan panjang 1,3 meter dan lebar 1 meter. Di sisidepan bagian bawah terdapat relief menyerupaibentuk anak kecil. Artefak tersebut diidentifikasisebagai simbol kesuburan.

Sejarah kemunculan artefak tersebut tidakada yang mengetahui pasti ceritanya. Masyarakatmempercayai candi yoni sebagai jelmaan Kyai JakaDholog yang menghilang pada saat ber-semedi.Menurut Sukino (Wawancara, 20 Desember 2018),warga Dusun Dalungan, konon artefak tersebutdatang sendiri, pernah dipindahkan di Dusun Nayandan Dusun Nangsri (dusun sebelah barat DusunDalungan), namun kembali lagi; dari situ masyarakatmempercayai bahwa artefak tersebut diturunkanoleh Sang Pencipta untuk melindungi DusunDalungan beserta warga masyarakatnya.

Menurut Marto Samiyun (wawancara 20Desember 2018), terdapat 3 dhanyang yangdiyakini terdapat pada pundhèn tersebut,diantaranya adalah Kyai Jagadala, Kyai Panjipra,dan Kyai Gendongali. Ketiga nama tersebut menjadisebutan untuk dhanyang bagi masyarakat yangmempercayainya, dan juga bagi mereka yang seringberdoa meminta suatu hal kepada Sang Penciptamelalui pundhèn tersebut. Tak banyak orang yangmengetahui sejarah adanya dhanyang yangmenunggu pundhèn tersebut, namun masyarakatsetempat meyakini dhanyang tersebut sebagai cikalbakal terbentuknya Dusun Dalungan.

Kepercayaan masyarakat terhadap mitos-mitos dhanyang pada pundhèn turut mempengaruhikepercayaan masyarakat terhadap kekuatan mitospada gendhing-gendhing yang disajikan dalamupacara bersih dusun. Kenyataan tersebut tampak

seperti penjelasan Susanto (1987: 76) mengenaiasal-usul mitos, disebutkan bahwa mitosmengisahkan bagaimana suatu realitas itu muncul danbereksistensi, serta bagaimana manusia harus hidupdalam masyarakat dengan tata tertib dan norma-norma tertentu. Asal-usul sebuah tempat yangdianggap sakral, dalam hal ini pundhèn Dalungan,membentuk peraturan-peraturan baru yangdimitoskan, seperti mitos yang terkandung dalamgendhing yang berkaitan erat pada pundhèntersebut.

Masyarakat berdoa melalui pundhèn,dhanyang, dan sesajèn kepada Tuhannya. Sepertiyang telah dijelaskan oleh Susanto, apabila sebuahpohon atau batu menjadi objek pemujaan,sebenarnya orang tidak menyembah pohon belaka,atau hanya menyembah batu melulu. Orangmenyembah pohon atau batu itu sebagai bentukhierofani. Pohon atau batu yang disembah itumerupakan perwujudan dari Yang Kudus. Denganhadirnya Sang Kudus, setiap benda menjadi sesuatuyang lain walaupun benda itu tetap tampak sepertibendanya (Susanto 1987: 62).

Beberapa orang percaya bahwa mitosmerupakan hasil personifikasi dan kekuatan bendamati. Begitu pula pada upacara bersih dusunDalungan, segala bentuk mitos didasari atas adanyapundhèn yang dianggap sebagai tempat sakral olehmasyarakat pemilik budaya. Pundhèn tersebutdiyakini memiliki kekuatan besar atas keselamatandusun, bahwa tempat itulah yang melindungi dusundari segala macam bahaya. Hal ini tentunya ataskehendak dan kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

Gendhing dalam Bersih Dusun Dalungan

Gendhing merupakan istilah yang digunakanmasyarakat karawitan Jawa, Bali, Sunda, danbeberapa daerah lain di Indonesia untukmenyebutkan bentuk komposisi musikal karawitanyang menyajikan seni suara, baik instrumentalmaupun vokal atau gabungan dari keduanya.Martopengrawit (1975: 3) menyebut gendhingsebagai susunan nada yang telah memiliki bentuk,sedangkan Supanggah (2007: 70) mengartikan

Page 5: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

97Volume 12 No. 2 Desember 2019

Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan...

gendhing sebagai sesuatu yang lebih kompleks darisekedar urusan susunan nada dan bentuk. Gendhingmerupakan salah satu istilah yang sangat penting didalam karawitan dan gamelan. Istilah ini digunakanuntuk memberi nama lagu-lagu nyang disajikan olehgamelan baik secara instrumental saja maupundengan vokal, dan di dalam gendhing inilah terutamakonsep pathet beroperasi (Hastanto 2009: 47-48).

Di dalam karawitan, istilah gendhing bisadiartikan sebagai lagu yang memiliki bentuk danstruktur tertentu. Menurut Rusdiyantoro(Wawancara 3 Juli 2019), gendhing dapat diartikanhanya sebagai instrumentalia saja, namun untukkarawitan di Jawa Tengah khususnya, gendhingdapat berupa instrumentalia beserta vokalianya.Gendhing itu lebih dahulu ada, kemudian vokalisnyamasuk atau mengikuti. Hal tersebut juga dijelaskandalam Serat Centhini yang berbunyi “gendhingmuni tinabuh kalawan tangan”, artinya gendhingtersebut berbunyi ketika sudah ditabuh dengantangan.

Supanggah (2007: 104) menjelaskan bahwagendhing juga dapat dikategorikan menurutukurannya, serta dibedakan menjadi tiga kategori.a. Gendhing Ageng, biasanya ditandai dengan

durasi gendhing yang relatif panjang. Gendhingini biasanya ditandai dengan istilah KethukKerep dan Kethuk Arang. Kerep berarti‘kerap’ dan arang berarti ‘jarang’. Bentukgendhing yang termasuk dalam kategoriGendhing Ageng yaitu Gendhing Kethuk 4Awis dan Kethuk 8 atau 4 Kerep.

b. Gendhing Tengah atau Sedheng (sedang),biasanya ditandai dengan durasi yang tidakterlalu pendek maupun panjang. Bentukgendhing yang termasuk dalam kategoriGendhing Tengah yaitu gendhing-gendhingKethuk 2 Kerep.

c. Gendhing Alit, biasanya ditandai denganpenulisan judul gendhing yang tidakmenyertakan kata “gendhing” di dalamnya.Gendhing ini biasanya memiliki durasi yangpendek. Bentuk dan struktur yang termasukdalam kategori Gendhing Alit yaitu Lancaran,Ketawang, dan Ladrang.

Menurut ukurannya, gendhing-gendhingwajib yang ada pada upacara bersih dusunDalungan termasuk di dalam kategori GendhingTengahan dan Gendhing Alit. Ladrang WilujengLaras Sléndro Pathet Manyura dan LadrangÉling-éling Laras Sléndro Pathet Manyuratermasuk di dalam kategori Gendhing Alit karenamemiliki struktur dan bentuk gendhing berupaLadrang, sedangkan Gambirsawit GendhingKethuk 2 Kerep Inggah 4 Laras Sléndro PathetSanga termasuk dalam kategori GendhingTengahan karena bentuk dan strukturnya berupaKethuk 2 Kerep. Berikut adalah contoh penyebutanbentuk gendhing dalam karawitan gaya Surakarta.

Tabel 1. Contoh penyebutan bentuk gendhing

“Ladrang” menjadi sebutan untuk bentukgendhing, “Wilujeng” merupakan nama gendhing,“Laras Pélog” adalah Laras gamelan yangdigunakan untuk menyajikan gendhing tersebut,sedangkan “Pathet Barang” merupakan wilayahnada yang digunakan dalam menyajikan gendhingpada gamelan.

Dalam ritual bersih dusun, gendhingbiasanya disajikan sebagai pertunjukan untuk saranahiburan atau iringan pertunjukan lain. Namun, lainhalnya dengan dusun Dalungan, yang memilikigendhing wajib dalam ritual bersih dusun. Biasanya,masyarakat penghayat kepercayaan menyajikangendhing wajib saat upacara berlangsung. Terdapattiga gendhing wajib yang selalu disajikan, yakniLadrang Wilujeng Laras Sléndro PathetManyura, Ladrang Éling-éling Laras SléndroPathet Manyura, dan Gendhing GambirsawitLaras Sléndro Pathet Sanga. Gendhing-gendhingtersebut merupakan gendhing umum yang biasadisajikan dalam pementasan karawitan yangbiasanya disebut dengan klenèngan gaya Surakarta.

Ketiga gendhing wajib tersebut merupakangendhing-gendhing yang sangat populer, namun hal

Bentuk

Gendhing Nama Gendhing Jenis Laras Jenis Pathet

Ketawang Subakastawa Pélog Barang

Page 6: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

98 Volume 12 No. 2 Desember 2019

itu menjadi menarik karena masyarakat DusunDalungan mempercayai adanya mitos pada ketigagendhing tersebut. Masyarakat Dalungan justrumemaknai gendhing-gendhing tersebut menjadi halyang sakral dan diwajibkan untuk keperluan saranaritual bersih dusun, sehingga gendhing-gendhingtersebut dianggap suci dan agung. Kepercayaanterhadap mitos menjadikan bentuk-bentuk gendhingtradisional karawitan tetap terawat dan terjagakeasliannya dengan bentuk dan struktur yangkonvensional dan baku (pakem), agak berbedadengan kasus-kasus pelestarian lainnya yangcenderung ditempuh melalui proses inovasi ataupembaruan yang signifikan (lihat Wahyudi 2018: 42;Kiswanto dkk 2019: 12).

Masyarakat Dalungan percaya akan adanyakekuatan pada ketiga gendhing wajib tersebut, yangdapat memberikan kesejahteraan bagi kehidupanmasyarakat Dalungan. Meskipun demikian, ceritayang ada di balik gendhing-gendhing tersebut adalahhal-hal buruk yang dapat menimpa masyarakatDalungan jika ketiga gendhing wajib tersebut tidakdimainkan dalam bersih dusun. Hal tersebut tidaklepas dari keberadaan pundhèn yang menjadi pusatatau sumber kekuatan. Masyarakat Dalunganpercaya bahwa Yang Kudus adalah yang sungguh-sungguh nyata, menjadi sumber kekuatan dan semuaenergi. Dalam upacara tersebut, sesuatu yang bersifatmagis dapat menjadi sesuatu yang agung, namunjuga dapat menakutkan sebagai penyebab hidup danmati.

Samiyun sebagai juru kunci pundhènmenjelaskan bahwa “kono kuwi ampuh(dhanyangé), kudu dituruti apa penjalukane lanapa kesenangané. Nèk senengané tayub ya kuduènèk, Wilujeng, Éling-éling, Gambirsawit ya kududiunèkné, merga kuwi kesenengané telu mau,”yang berarti “dhanyang tersebut sangat kuat, harusdituruti apapun yang diinginkan. Jika suka dengankesenian tayub ya harus ada, Ladrang Wilujeng,Ladrang Éling-éling, dan Gendhing Gambirsawitya harus dibunyikan, karena itu adalah kesukaanketiga dhanyang tersebut” (wawancara 14 Februari2019).

Masyarakat Dalungan juga menceritakangendhing berdasarkan judul serta cakepan atau teksmusikal. Teks musikal dan judul ketiga gendhingtersebut merupakan doa dari hasil orientasi spiritualmasyarakat setempat. Masyarakat Dalunganpercaya bahwa teks musikal ketiga gendhing tersebutberkaitan dengan perilaku dan menjadi sebuahpengajaran yang ditunjukan kepada seluruh pelakutradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk danmakna dari teks musikal masing-masing gendhing.

1. Ladrang Wilujeng Laras Sléndro PathetManyura

“Ladrang Wilujeng” adalah salah satugendhing yang usianya relatif muda. Ladrang inidiciptakan pada masa Patih Sasradiningrat IV padakurun tahun 1889-1910, tepatnya di KepatihanSurakarta. Sebagai salah satu gendhing yang populerdi kalangan masyarakat Jawa, Ladrang Wilujengumumnya dimainkan sebagai sebuah ungkapan doauntuk meminta keselamatan (Rusdiyantoro,wawancara 3 Juli 2019). Hal tersebut sesuai denganterminologinya yang berarti ‘keselamatan’. Olehkarena itu, secara logis, syair teks di dalamnyaselayaknya berisi permohonan keselamatan pula.Ladrang Wilujeng juga termasuk sebagaiGendhing Gérong, jenis tembang-nya adalahSalisir. Khusus dalam upacara bersih dusunDalungan, Ladrang Wilujeng disajikan denganLaras Slendro Pathet Manyura dengan geronganSalisir Puspagiwang dengan cakepan danterjemahan bebas sebagai berikut.

(1) Parabé Sang ‘Smarabangun, sepatdomba Kali Oya, aja dolan lan wong priya,nggeramèh nora prasaja. (2) Garwa SangSindura Prabu, wicara mawa karana, ajadolan lan wanita, tan nyata asring katarka.(3) Sembung langu munggwing gunung, kunirwisma kembang rekta, aja ngguyu ujarira,wong lanang sok asring cidra.

(1) Dialah Sang Asmarabangun, ikan sepatbesar dari Sungai Oya, jangan bermain-maindengan pria, jika tidak ingin diremehkan

Page 7: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

99Volume 12 No. 2 Desember 2019

Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan...

karena sesuatu yang ditutupi; (2) Isteri PrabuSindura, berbicara dengan berteka-teki,jangan bermain dengan wanita, karena tidakbisa diterka maksud yang sebenarnya; (3)Tanaman sambung yang berada dipegunungan, kunyit yang ditanam dipekarangan rumah dengan bunganya yangberwarna merah, jangan mengikutiucapannya, karena para lelaki sering ingkarjanji.

Teks musikal diatas berisi tentang petuahhidup berkeluarga dan bermasyarakat; untuk selaluwaspada terhadap godaan dunia; untuk tidak selalumerasa unggul, karena kehancuran seseoranghanyalah karena mulut dan tindakannya; serta untukmenjaga hati dan selalu berada di jalan yang lurus,sebab harga diri dalam bermasyarakat bisa hancurkarena kesalahan orang yang sering ingkar janji.

Dari kutipan lagu di atas, tampak bahwatidak satu kata pun yang secara eksplisitmengandung pengertian tentang keselamatan.Menurut Rusdiyantoro (wawancara 3 Juli 2019),isi dari teks di atas adalah kondisi sosial di tahun1880-an yang menyatakan bahwa jangan pergidengan laki-laki yang bukan saudara, jangan pergidengan perempuan yang bukan saudara, janganpergi ke sana, jangan berbuat bohong; pada intinyatentang larangan-larangan yang harus dijauhi demikeselamatan masing-masing. Teks tersebut jugadiambil dari “Ketawang Puspagiwang” yangteksnya cukup populer pada zaman itu.

Selain menjadi salah satu gendhing wajibdalam ritual bersih dusun Dalungan, LadrangWilujeng juga sering disajikan dalam rangkaianupacara Tingalan Jumenengan di KeratonKasunanan Surakarta. Dalam upacara tersebut,Ladrang Wilujeng merupakan gendhing doakeselamatan. Melihat hal tersebut, jelaslah bahwayang menjadi doa keselamatan di dalam LadrangWilujeng bukan hanya dari teks syair atau cakepansecara konvensional, namun juga dari kekuatanmakna gendhing itu sendiri.

2. Ladrang Éling-éling Laras Sléndro PathetManyura

Gendhing ini merupakan gendhing yangumum tersebar di beberapa daerah di Jawa. Secarausia, gendhing ini tergolong dalam gendhing tua,namun hingga sekarang belum bisa dipastikansejarahnya. Menurut Rusdiyantoro (wawancara 3Juli 2019), salah satu dosen jurusan karawitan diISI Surakarta, Ladrang Éling-éling diasumsikanberasal dari rakyat, bukan ciptaan kalangan kerajaanatau keraton. Gendhing tersebut beredar dimasyarakat, kemudian terjadi mobilitas horisontaldi mana gendhing tersebut beredar kepadamasyarakat, sekaligus mobilitas vertikal ke kalangankeraton. Gendhing tersebut diadopsi oleh kalangankeraton menjadi Gendhing Éling-éling Suralaya,Éling-éling Badranaya, atau Éling-élingKasmaran. Hal tersebut diasumsikan karena tidakadanya bukti secara tekstual adanya sejarahLadrang Éling-éling yang pasti.

Dalam pandangan ketua RT setempat,Sukimin, Ladrang Éling-éling diartikan sebagaisalah satu media untuk mengingat, dalam hal inikepada siapa saja terutama pada Tuhan Yang MahaEsa. Sebab, dalam keadaan sadar, manusia lebihpeka terhadap makhluk-makhluk lain, sedangkandalam keadaan tidak sadar atau setengah sadar,manusia akan mudah sekali mengalami trance.Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa Éling-élingsebenarnya merupakan contoh atau teladan bagiseseorang untuk selalu ingat. Senada denganpenuturan juru kunci pundhèn, Samiyun, bahwaLadrang Éling-éling dijadikan sebagai gendhingwajib supaya masyarakat selalu ingat terhadap SangPencipta, cikal bakal dusun, dan jasa leluhur.Harapannya, tradisi bersih dusun Dalungan dapattetap dilaksanakan sesuai waktu yang telahditentukan.

Hal lain disampaikan oleh Sumali(wawancara 12 Juli 2019), salah satu tokoh senimandi Dusun Dalungan, bahwa Ladrang Éling-élingsatu dekade yang lalu merupakan bagian inggahdari Gendhing Gambirsawit, namun sudah tidaklagi dilakukan selama sepuluh tahun terakhir ini. Haltersebut dikarenakan beberapa faktor, antara lain

Page 8: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

100 Volume 12 No. 2 Desember 2019

kurangnya pengetahuan pengrawit mengenaigendhing-gendhing yang dimaksud, sehingga lambatlaun tradisi tersebut hanya berhenti pada judulgendhing saja.

Ladrang Éling-éling dalam upacara bersihdusun Dalungan disajikan dengan GéronganLadrang Éling-éling Sléndro Pathet Manyura,dengan teks dan terjemahan bebas sebagai berikut.

Nenggih satriya gung para pandhawa,oncat saking praja Astina kèh pra janma, Bélasungkawa, Adhuh déwa, Ayomana p’raPandhawa.Kesatria Pandhawa, meninggalkankerajaan Astina, semua orang merasa sedih atau turutberbela sungkawa, memohon kepada dewa untukselalu melindungi para Pandhawa.

Tabel 2. Gérongan Ladrang Éling-éling SléndroPathet Mnayura

Makna teks musikal di atas mengingatkankepada sesama manusia agar selalu ingat kepadaTuhannya. Apabila manusia membuat kesalahan,maka ia harus berani menanggung akibatnya. Sepertihalnya sedikit kesalahan seorang raja yang dapatmembuat seluruh rakyat menderita. Dalam hal ini,manusia janganlah sampai menentang apapun yangsudah diatur oleh Tuhan, akan tetapi bila mendapattantangan, maka perlu dihadapi.

Teks atau cakepan pada GéronganLadrang Éling-éling Laras Sléndro PathetManyura seakan mengajak kita untuk kembali

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Éling berarti ingat,dalam suasana suka maupun duka, kita diajak untukselalu ingat kepada sang pencipta. Gendhing tersebutmengingatkan masyarakat Dalungan untuk selalumengingat jasa-jasa serta mendoakan orang tua,nenek moyang, maupun pahlawan yang telah tiada.Dalam teks tersebut, terdapat pengajaran bahwakehidupan itu sifatnya sementara, dan semua akankembali kepada Sang Pencipta. Gendhing ini jugamengingatkan kepada kehidupan yang kekal, yaitukematian. Melalui gendhing tersebut, masyarakatDalungan mengharapkan perlindungan kepadaTuhan Yang Maha Esa dari mala petaka, sertasenantiasa selalu mendekatkan diri kepada TuhanSang Pencipta Alam.

3. Gendhing Gambirsawit Laras SléndroPathet Sanga

Gambirsawit merupakan salah satu bentukgendhing yang umum dimainkan di Jawa. MenurutBabad Tanah Jawa, Gendhing Gambirsawitdiciptakan pada masa kerajaan Pajang (1668-1687)oleh seorang empu; akan tetapi dalam SeratCenthini, dijelaskan bahwa gendhing ini diciptakanpada pemerintahan Pakubuwono IV pada tahun1891. Lain halnya dengan Wedapradangga yangmenjelaskan bahwa Gendhing Gambirsawitdiciptakan olah Kanjeng Sunan Kalijaga (lihatPrajapangrawit 1990).

Pada masa itu, diceritakan bahwa KanjengSunan Kalijaga membuat gendhing Laras SléndroPathet Sanga yang diambil dari lagu pathetansanga, yaitu Ladrang Gonjang-Ganjing danGambirsawit Kethuk 2 Kerep Inggah 4. KanjengSunan Kalijaga menciptakan kedua gendhingtersebut dengan maksud sebagai perlambang. Dalamhati orang Jawa yang baru saja memeluk AgamaIslam, “rasanya tidak karuan” seperti bumi yangsedang gonjang-ganjing (terguncang). Akan tetapi,setelah dirasakan lama kelamaan, ternyataajarannya hampir sama dengan agama yang dianutsebelumnya (Buddha). Cara beribadahnya berbeda,namun isiannya sama, yaitu menyembah Tuhan Allah.Setelah benar-benar mantap memeluk Agama Islam,Kanjeng Sunan Kalijaga merasa padhang (terang

Nenggih satriya gung parapandhawa, oncat saking prajaAstina kèh pra janma, Bélasungkawa, Adhuh déwa, Ayomanap’ra Pandhawa.

Kesatria Pandhawa, meninggalkankerajaan Astina, semua orang merasasedih atau turut berbela sungkawa,memohon kepada dewa untuk selalumelindungi para Pandhawa.

Page 9: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

101Volume 12 No. 2 Desember 2019

Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan...

jalan hidupnya), marem (puas dan mantap hatinya),dan gembira (bergembira karena menemukan duahal yang cocok), sehingga dari itu terciptalahgendhing kedua, yaitu Gendhing GambirsawitKethuk 2 Kerep Inggah 4.

Gendhing Gambirsawit oleh orang Jawadijadikan sebagai pelukisan atas kehidupanmasyarakat yang sudah tenang, tentram, makmur,dan tidak ada lagi kekacauan atas kekuasaan bahkanagama. Gambir diartikan sebagai ‘bunga’,sedangkan sawit berarti ‘kembar’ atau ‘sepasang’.Semua yang sifatnya sepasang merupakan “sawit”.Hal ini sangat relevan dengan tempat yang dijadikansebagai pusat upacara bersih dusun Dalungan, yangmana terdapat artefak berupa yoni. Yoni biasanyadipasangkan dengan lingga, sedangkan pada masaNeolitikum, lingga dan yoni diartikan sepasangsimbol kesuburan antara laki-laki dan perempuan.

Berkaitan dengan mitos yang ada, artefaktersebut merupakan cikal bakal dusun, atau pusatnilai magis dan spiritual di dusun tersebut. Makasangatlah relevan apabila Gendhing GambirsawitKethuk 2 Kerep inggah 4 laras Sléndro Sangadijadikan sebagai salah satu gendhing wajib padaupacara bersih dusun Dalungan, mengingat sebagaisalah satu persembahan hormat kepada cikal bakaldusun, ia secara oral memiliki nilai magis yang sangattinggi. Hal tersebut diperkuat dengan adanya cerita-cerita tentang dhanyang dan pundhèn.

Seperti yang telah dijelaskan dalamBothekan II oleh Rahayu Supanggah, bahwa secaraukuran, Gendhing Gambirsawit termasuk dalamgolongan gendhing tengahan karena memilikibentuk kethuk 2 kerep inggah 4. GendhingGambirsawit merupakan gendhing tua yang usianyakurang lebih 200 tahun. Secara musikal, GendhingGambirsawit memiliki garap yang bagus dan mudahuntuk dimainkan, sehingga popularitas gendhing inicukup baik di kalangan karawitan di Surakarta.Menurut Sumali, dalam upacara bersih dusunDalungan sepuluh tahun yang lalu, GendhingGambirsawit masih disajikan dengan mengambilbagian kibar-nya saja, karena kebutuhan dalammengiringi tari tayub. Namun setelah satu dekadeterakhir, hal terebut mulai luntur dan berubah dengan

menyajikan gendhing secara utuh. Seni dan tradisibersifat dinamis dan dapat berubah sesuai kondisilingkungan, media, ekonomi dan masih banyak faktorlainnya. Gendhing Gambirsawit Kethuk 2 KerepInggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga yangdimainkan dalam upacara bersih dusun Dalunganmenggunakan tembang Asmarandana dengancakepan sebagai berikut.

Tabel 3. Cakepan tembang Asmarandana

Teks musikal tersebut merupakanpengajaran tentang kepribadian orang Jawa, jikaseseorang mempunyai cita-cita yang luhur dan muliajangan hanya bekerja, namun juga harusmengimbanginya dengan cara-cara tertentu. Sesuaidengan tradisi orang Jawa yang memiliki filosofi yangmendalam, yaitu bisa menahan lapar dan kantuk,jatuhnya wahyu biasanya mengitari orang-orangseperti itu.

Kalimat aja turu soré kaki merupakankalimat peringatan yang berarti tidak boleh tidur padasore hari. Secara mitos, waktu sore merupakanpergantian waktu dari siang ke malam, dari terangke gelap. Pada masa itulah pergantian alam dimulai.Kata turu atau tidur dalam hal ini bukan hanyasekedar berarti memejamkan mata, namun jugawujud absennya kesadaran. Penggalan cakepanatau teks tersebut berkaitan erat dengan upacarabersih dusun Dalungan yang dilaksanakan padasore hari dan dilanjutkan pada malam hari. Melalui

Aja turu soré kaki, ana Déwa nglalangjagad, nyangking bokor kencanané, isinédonga tetulak, sandhang kalawanpangan, yaiku bagéyanipun, wong melèksabar narima.

Jangan tidur sore hari, ada Dewa sedangberkeliling dunia, menjinjing bejana emas,isinya doa tolak bala, pakaian jugamakanan, pada bagian tersebut, disaatsedang sadar harus senantiasa bersabardan menerima kenyataan.

Page 10: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

102 Volume 12 No. 2 Desember 2019

Gendhing Gambir Sawit, masyarakat Dalungandihimbau untuk tidak tidur di sore hari dan dianjurkanuntuk memperbanyak aktivitas religius di sore hari.

Cakepan lain yang berbunyi ana déwanglanglang jagad, nyangking bokor kencanané,isiné donga tetulak. Teks tersebut merupakanmetafora, bahwa kesadaran tersebut hadir di dalamdiri manusia. Kesadaran ini ibarat bokor atau bejanayang terbuat dari emas, berisi air bunga. Kesadarantersebut tentunya harus diisi dengan hal-hal yangbermanfaat dan gembira, utamanya doa-doakeselamatan atau penolak bala. Teks selanjutnyaberbunyi sandhang kalawan pangan, yaikubagéyanipun, wong melèk sabar narima. Dalamhal ini dianalisis bahwa rizki itu datang kepada orang-orang yang bersabar, bersyukur, dan orang-orangyang paham akan balas budi (wawancara Sumali,12 Juli 2019).

Peran Gendhing Gambirsawit dalamupacara bersih dusun Dalungan sangatlah penting.Menurut Samiyun, gendhing tersebut merupakangendhing yang paling disukai oleh dhanyang yangada di pundhèn. Selain memiliki filosofi gendhingyang menarik, mitos gendhing Gambirsawit didasarikaitannya dengan dhanyang atau cikal bakal dusun,sehingga sebagian besar masyarakat Dalungan akanpatuh terhadap apa yang sudah menjadi tradisisebelumnya, hingga kebiasaan tersebut berubahmenjadi mitos yang hingga kini diyakini olehmasyarakat Dalungan.

Penutup

Mitos gendhing dalam upacara bersihdusun Dalungan merupakan salah satu bentuk tradisicegah dhusun yang dilakukan oleh masyarakatKecamatan Kebakkramat, khususnya DusunDalungan. Kehadiran ritual bersih dusun Dalungansangat erat kaitannya dengan kehidupan sosialbudaya masyarakat pendukungnya, yaitu budayasosial melalui aktivitas doa dan pesta kenduribersama, bergembira dengan menikmati keseniantayub, dan mempelajari gendhing-gendhing wajibyang disajikan.

Dalam alam pikir orang Jawa, sebuah tradisiritual perlu dijaga setidaknya secara lisan. Dalamhal ini diharapkan sebuah tradisi yang hingga sekarangmembangun Jawa tidak hilang tanpa membekassuara. Hingga mitos-mitos lain di Jawa jugadisampaikan sebagai acuan dan relasi yang dibangun.Adanya mitos gendhing pada upacara bersih dusunDalungan hingga sekarang masih bertahan dandiyakini masyarakat setempat sebagai sesuatu yangsakral. Elemen-elemen lain yang juga mempengaruhikesakralan ritual adalah sajian tayub yang diiringitiga gendhing wajib, yaitu Ladrang Wilujeng LarasSléndro Pathet Manyura, Ladrang Éling-élingLaras Sléndro Pathet Manyura, dan GendhingGambirsawit Kethuk 2 Kerep inggah 4 LarasSléndro Pathet Sanga. Gendhing-gendhing tersebutmerupakan gendhing yang wajib disajikan ketikabersih dusun berlangsung.

Pertunjukan karawitan dari berbagaikelompok sering ditampilkan dalam upacara bersihdusun Dalungan. Dengan hal ini, garap gendhing bisasaja dikemas dengan cara berbeda pula, karenamasing-masing pengrawit biasanya memiliki gaya.Jadi, mitos tersebut tidak terbangun dari garapgendhing yang dipakai, melainkan dari fungsi danmakna dari ketiga gendhing tersebut.

Sajian gendhing wajib dalam upacara bersihdusun Dalungan sebagai prosesi ritual memilikibeberapa fungsi, bentuk dan makna. Fungsi tersebutdibagi menjadi dua, yaitu fungsi sosial dan fungsihubungan antara layanan dan seni. Makna yangtergandung dalam ketiga gendhing wajib tersebutmemiliki makna yang luas.

Penulis menyadari bahwa mitos gendhingdalam upacara bersih dusun Dalungan memilikipotensi menarik untuk dilestarikan sebagai asetkebudayaan daerah, khususnya KabupatenKaranganyar. Demi menjaga kesenian tersebut,penulis berharap ada kerjasama yang baik antaramasyarakat dengan aparatur pemerintah derah.Upacara bersih dusun Dalungan telah ditetapkanoleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar sebagaipotensi cagar budaya yang ada di KabupatenKaranganyar.

Page 11: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

103Volume 12 No. 2 Desember 2019

Ita Puspita Dewi: Mitos Gendhing dalam Upacara Bersih Dusun Dalungan, Kelurahan Macanan...

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R. O’. 2008. Mitologi DanToleransi Orang Jawa. Yogyakarta:Jejak.

Barthes, Roland. 1981. Mithologies. New York:Granada Publising.

Danandjaya, J. 1986. Folklor Indonesia: IlmuGosip, Dongeng, Dan Lain-Lain.Jakarta: Pustaka Grafitipers.

Hastanto, Sri. 2009. Konsep Pathet DalamKarawitan Jawa. Surakarta: ProgramPascasarjana Bekerja Sama Dengan ISIPress Surakarta.

Iswidayanti, Sri. 2007. “Fungsi Mitos DalamKehidupan Sosial Budaya MasyarakartPendukungnya (The Function of Myth inSocial Cultural Life of Its SupportingCommunity).” Harmonia: Journal ofArts Research and Education 8(2):180–84.

Kasanova, Ria and Sri Widjajanti. 2018. “Mitos DanKontramitos Dalam Novel MantraPenjinak Ular Karya Kuntowijoyo.”Deiksis: Jurnal Pendidikan BahasaDan Sastra Indonesia 5(2):102–11.

Kiswanto, Rr. Paramitha Dyah Fitriasari, and TimbulHaryono. 2019. “Transformasi MultipelDalam Pengembangan Seni KudaKepang.” Dance and Theatre Review2(1):1–16.

Malinowski, Bronislaw. 1979. “The Role of Magicand Religion.” Reader in ComparativeReligion 86.

Martopengrawit. 1975. Pengetahuan KarawitanJilid 1. Surakarta: ASKI.

Nicolas, Arsenio. 2019. “Traditional Music andContemporary Trends: Music in Asean

Communities.” Sorai: Jurnal PengkajianDan Penciptaan Musik 12(1):54–56.

Prajapangrawit, R. Ng. 1990. “Serat Sujarah UtawiRiwayating Gamelan Wedhapradangga.”in Gothek: Jilid I-VI. Surakarta: STSISurakarta dengan Fort Foundation.

Supanggah, Rahayu. 2007. Bothekan KarawitanII. Surakarta: ISI Press.

Susanto, S. P. Harry. 1987. Mitos MenurutPemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:Kanisius.

Uniawati. 2012. “Takhayul Seputar Kehamilan DanKelahiran Dalam Pandangan OrangLabuan Bajo: Tinjauan AntropologiSastra.” Patanjala 4(1):1–13.

Wahyudi, Joko. 2018. “Pengaruh Karawitan GayaSragen Pada Selera MasyarakatKebakkramat.” Sorai: JurnalPengkajian Dan Penciptaan Musik11(2).

Wibowo, Yuliyanto Tri. 2018. “KebertahananGending-Gending Baku Dalam UpacaraRitual Bersih Desa Di Dukuh Dalungan,Desa Macanan, KecamatanKebakkramat.” Program Studi S-1 SeniKarawitan Fakultas Seni PertunjukanInstitut Seni Indonesia Surakarta.

Yulia, Desma and Afrinel Okwita. 2017. “SejarahPerkembangan Mitos Sebagai KehidupanSosial Masyarakat Sugi KecamatanMoro Kabupaten Karimun Pada Tahun1998-2015.” Jurnal Dimensi 6(3):380–92.

DAFTAR NARASUMBER

Marto Samiyun (84 tahun), sesepuh atau juru kuncipundhen. Dalungan, Macanan,Kebakkramat, Karanganyar.

Page 12: MITOS GENDHING DALAM UPACARA BERSIH DUSUN DALUNGAN

104 Volume 12 No. 2 Desember 2019

Rusdiyantoro, S.Kar., M.Sn (61 tahun), dosenkarawitan ISI Surakarta. Benowo,Ngringo, Jaten, Karanganyar.

Sukimin (65 tahun), ketua RT Dusun Dalungan.Dalungan, Macanan, Kebakkramat,Karanganyar.

Sukino (54 tahun), tokoh masyarakat (pelakutradisi). Dalungan, Macanan,Kebakkramat, Karanganyar.

Sumali (55 tahun), seniman, pematung, pelukis(tokoh masyarakat). Dalungan, Macanan,Kebakkramat, Karanganyar.