mi/m irfan pemerintah dorong monarki di yogyakarta · beberapa waktu lalu adalah salah satu bentuk...

1
SEKRETARIS Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Siti Nurbaya mengatakan reformasi birokrasi masih bisa diperbaiki jika pelaksanaannya diintensifkan. “Kalau intensifkan, reformasi birokrasi bisa diperbaiki. Sistem bisa diperbaiki,” ujarnya saat ditemui seusai Seminar ketahanan ekonomi bertajuk Desain Efek- tivitas Birokrasi untuk Meningkatkan Kesejahteraan Warga Negara, di Galeri Nasional Indonesia, kemarin. Terkait reformasi birokrasi itu, ia menjelaskan sudah ada grand design yang sebenarnya sudah disiapkan pemerintah. “Ada remu- nerasi. Setiap tahun juga ada penilaian. Bahkan kalau tidak puas dengan penilaian dari atasan, bawahan bisa mengirim surat,” paparnya. Ia juga menambahkan ada tiga faktor utama dalam hal reforma- si birokrasi yaitu akuntabilitas publik, media massa, dan kontra birokrasi. (*/P-2) MA Minta DPR Buat UU Contempt of Court KETUA Mahkamah Agung Harin Tumpa meminta DPR untuk membuat UU yang mengatur perihal penghinaan terhadap penga- dilan (contempt of court). Hal itu disampaikannya seusai menyam- paikan Laporan Tahunan MA 2010, kemarin. “Kekerasan yang terjadi atas putusan pengadilan Temanggung beberapa waktu lalu adalah salah satu bentuk contempt of court. Saat ini UU-nya belum ada. Kita minta ke DPR untuk memprioritaskan UU itu,” ujarnya. Menurutnya, keberadaan UU itu cukup penting, apalagi kasus kekerasan yang belakangan terjadi diakibatkan ketidakpuasan putu- san di pengadilan. “Kita semua merasa miris. Kekerasan terjadi kare- na sekelompok orang memaksakan rasa keadilannya sendiri. Mereka tidak puas dengan putusan pengadilan sehingga memaksakan apa yang dia rasakan. Ini suatu hal yang harus dicegah. Tidak bisa orang bicara keadilan tanpa melalui proses hukum.” (CC/P-2) Irwasum Polri Kembalikan Gratifikasi INSPEKTUR Pengawasan (Irwa- sum) Mabes Polri Komjen Nanan Sukarna mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengembalikan uang penerimaan gratikasi. Uang yang dikembalikan ke kas negara itu sejumlah Rp68 juta dan US$15.600 (setara lebih dari Rp138 juta dengan kurs Rp8.900). Dengan demikian, kalau ditotal, Nanan mengembalikan sekitar Rp206 juta. “Kebetulan saya pada 21 November 2010 melaksana- kan pernikahan anak saya. Kemudian saya mendapatkan uang hasil mantu itu. Kemudian saya sudah laporkan ke KPK dan telah dianalisis,” tutur Nanan di kantor KPK di Jakarta, kemarin. (*/ Ant/P-1) Presiden Kunjungi Brunei Darussalam PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono sejak kemarin berada di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, untuk kunjungan kenegaraan selama dua hari. Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menjelaskan, kunjungan kenegaraan tersebut diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan di bidang pertanian dan perika- nan. “Akan pula dibicarakan peningkatan kerja sama di berbagai bidang lainnya,” katanya di Jakarta, kemarin. Selain itu, lanjut dia, Presiden dijadwalkan akan menanam pohon di Taman Peranginan Tasek Lama, Bandar Seri Begawan. “Kunjungan kenegaraan ini akan mempererat hubungan antara Indonesia dan Brunei Darussalam. Rencana kerja sama konkret di bidang konsuler, perdagangan, dan pertanian juga akan semakin meningkatkan bobot dan substansi hubungan kedua negara,” terangnya. (Ant/P-2) gubernur utama, Sri Sultan Hamengku Buwono menjalan- kan kewenangannya sebagai sul- tan. Padahal, selama ini Sultan sebagai gubernur menjalankan tugas-tugas pemerintahan RI, bukan tugas-tugas kesultanan. “Kalau menerapkan sultan menjadi gubernur utama, itu seperti sultan-sultan Melayu. Agak rumit kalau seperti ini. Kalau diberi kesempatan seperti itu, justru konik akan terjadi,” jelasnya. Yusril tidak melihat ada keis- timewaan yang perlu menjadi masalah. Sultan tetap tak akan imun pada hukum dan dapat umum dengan Komisi II DPR di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. “Kalau kita melihat sejarah Yogyakarta, selama ini Sultan itu sudah jadi gubernur. Dia tidak lagi menjalankan jabatannya sebagai sultan. Ini beda dengan monarki konstitusional,” terang Yusril dalam paparannya. Menurutnya, sejak Indone- sia merdeka, otomatis tidak ada pemerintahan di dalam pemerintahan, termasuk Yog- yakarta. Dengan menyatakan diri bergabung dengan NKRI, pemerintahan oleh kesultanan sudah tidak ada lagi. Sri Sultan Hamengku Buwono X, lanjut- nya, tidak lagi menjalankan pe- merintahan dengan kekuasaan sebagai seorang sultan, tetapi melalui kekuasaan seorang gubernur. Karena itu, jika sistem yang digunakan seperti diatur da- lam draf RUU Keistimewaan DIY, ujarnya, secara tidak lang- sung pemerintah menjadikan provinsi DIY sebagai monarki. Dia mengatakan, dengan sis- tem gubernur utama dan wakil ANATA SYAH FITRI M ANTAN Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra me- nilai draf Rancangan Undang- Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diajukan pemerintah justru men- dorong sistem pemerintahan di provinsi itu menjadi monarki. Harusnya, pemerintah tetap membiarkan sistem pemerintah- an daerah yang saat ini berjalan dengan menempatkan Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kepala daerah secara otomatis. Hal itu disampaikan Yusril selaku pakar hukum tata negara dalam rapat dengar pendapat Pemerintah Dorong Monarki di Yogyakarta Daerah yang selama puluhan tahun hidup tenteram dengan kearifan lokalnya kini diusik dengan dalih demokrasi. DINAMIKA Reformasi Birokrasi Diintensifkan saja diproses seperti warga negara lainnya. Sementara hak-hak kesultanan misalnya hak pertanahan, menurutnya, bukan hak Sultan sebagai pri- badi, melainkan hak kesultanan sebagai badan yang diatur ke- khususannya melalui UU. Jangan kaku Yusril berharap pemerintah jangan terlalu kaku dalam me- nerapkan konsep demokrasi dalam RUU Keistimewaan DIY. Kompromi, ujarnya, merupa- kan solusi yang tepat untuk hal tersebut. Pemerintah dimintanya tidak terlalu kaku dalam memaknai Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 ten- tang istilah gubernur, bupati, dan wali kota yang harus dipi- lih secara demokratis. Padahal ketentuan dari Pasal 18 B UUD 1945 itu memberi kemungkinan bagi daerah-daerah yang diakui secara khusus dan istimewa un- tuk diatur secara tersendiri. Pada kesempatan itu, anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat Abdul Gafar Patappe memper- BAHAS RUU KEISTIMEWAAN: Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memberikan penjelasan kepada Komisi II DPR terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. 3 JUMAT, 25 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA P OLKAM Kalau menerapkan sultan menjadi gubernur utama, itu seperti sultan-sultan Melayu. Agak rumit kalau seperti ini.” Yusril Ihza Mahendra Pakar hukum tata negara MI/M IRFAN tanyakan kadar demokrasi kalau Sri Sultan ditetapkan sebagai kepala daerah. Menurutnya, pemilihan secara langsung, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah jalan terbaik. Di sisi lain, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Alexan- der Litaay menyambut baik masukan dari Yusril tersebut. Menurutnya, pemerintah tidak perlu memaksakan suatu kon- sep yang tidak sesuai dengan masyarakat Yogyakarta. “Kita memaksa mereka untuk menggunakan ‘sepatu baru’. Padahal kalau digunakan, kaki mereka bisa lecet. Biarkan me- reka dengan sistem yang ada,” kata dia. Anggota Komisi II dari Fraksi Golkar Agun Gunanjar Sudarsa juga merasa heran atas tindakan pemerintah yang dianggapnya akan merusak ketenteraman yang telah terjaga selama ini di Yogyakarta. “Yogya sudah adem ayem, ada apa sih malah mau diubah lagi,” ujarnya. (*/P-2) [email protected] Nanan Soekarna Inspektur Pengawasan Umum Polri MI/SUSANTO

Upload: trinhhanh

Post on 11-Aug-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MI/M IRFAN Pemerintah Dorong Monarki di Yogyakarta · beberapa waktu lalu adalah salah satu bentuk contempt of court. Saat ini UU-nya belum ada. Kita minta ke DPR untuk memprioritaskan

SEKRETARIS Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Siti Nurbaya mengatakan reformasi birokrasi masih bisa diperbaiki jika pelaksanaannya diintensifkan. “Kalau intensifkan, reformasi birokrasi bisa diperbaiki. Sistem bisa diperbaiki,” ujarnya saat ditemui seusai Seminar ketahanan ekonomi bertajuk Desain Efek-tivitas Birokrasi untuk Meningkatkan Kesejahteraan Warga Negara, di Galeri Nasional Indonesia, kemarin.

Terkait reformasi birokrasi itu, ia menjelaskan sudah ada grand design yang sebenarnya sudah disiapkan pemerintah. “Ada remu-nerasi. Setiap tahun juga ada penilaian. Bahkan kalau tidak puas dengan penilaian dari atasan, bawahan bisa mengirim surat,” paparnya.

Ia juga menambahkan ada tiga faktor utama dalam hal reforma-si birokrasi yaitu akuntabilitas publik, media massa, dan kontra birokrasi. (*/P-2)

MA Minta DPR Buat UU Contempt of CourtKETUA Mahkamah Agung Harifi n Tumpa meminta DPR untuk membuat UU yang mengatur perihal penghinaan terhadap penga-dilan (contempt of court). Hal itu disampaikannya seusai menyam-paikan Laporan Tahunan MA 2010, kemarin.

“Kekerasan yang terjadi atas putusan pengadilan Temanggung beberapa waktu lalu adalah salah satu bentuk contempt of court. Saat ini UU-nya belum ada. Kita minta ke DPR untuk memprioritaskan UU itu,” ujarnya.

Menurutnya, keberadaan UU itu cukup penting, apalagi kasus kekerasan yang belakangan terjadi diakibatkan ketidakpuasan putu-san di pengadilan. “Kita semua merasa miris. Kekerasan terjadi kare-na sekelompok orang memaksakan rasa keadilannya sendiri. Mereka tidak puas dengan putusan pengadilan sehingga memaksakan apa yang dia rasakan. Ini suatu hal yang harus dicegah. Tidak bisa orang bicara keadilan tanpa melalui proses hukum.” (CC/P-2)

Irwasum Polri Kembalikan GratifikasiINSPEKTUR Pengawasan (Irwa-sum) Mabes Polri Komjen Nanan Sukarna mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengembalikan uang penerimaan gratifi kasi.

Uang yang dikembalikan ke kas negara itu sejumlah Rp68 juta dan US$15.600 (setara lebih dari Rp138 juta dengan kurs Rp8.900). Dengan demikian, kalau ditotal, Nanan mengembalikan sekitar Rp206 juta. “Kebetulan saya pada 21 November 2010 melaksana-kan pernikahan anak saya. Kemudian saya mendapatkan uang hasil mantu itu. Kemudian saya sudah laporkan ke KPK dan telah dianalisis,” tutur Nanan di kantor KPK di Jakarta, kemarin. (*/Ant/P-1)

Presiden Kunjungi Brunei DarussalamPRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono sejak kemarin berada di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, untuk kunjungan kenegaraan selama dua hari.

Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menjelaskan, kunjungan kenegaraan tersebut diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan di bidang pertanian dan perika-nan. “Akan pula dibicarakan peningkatan kerja sama di berbagai bidang lainnya,” katanya di Jakarta, kemarin.

Selain itu, lanjut dia, Presiden dijadwalkan akan menanam pohon di Taman Peranginan Tasek Lama, Bandar Seri Begawan. “Kunjungan kenegaraan ini akan mempererat hubungan antara Indonesia dan Brunei Darussalam. Rencana kerja sama konkret di bidang konsuler, perdagangan, dan pertanian juga akan semakin meningkatkan bobot dan substansi hubungan kedua negara,” terangnya. (Ant/P-2)

gubernur utama, Sri Sultan Hamengku Buwono menjalan-kan kewenangannya sebagai sul-tan. Padahal, selama ini Sultan sebagai gubernur menjalankan tugas-tugas pemerintahan RI, bukan tugas-tugas kesultanan.

“Kalau menerapkan sultan menjadi gubernur utama, itu seperti sultan-sultan Melayu. Agak rumit kalau seperti ini. Kalau diberi kesempatan seperti itu, justru konfl ik akan terjadi,” jelasnya.

Yusril tidak melihat ada keis-timewaan yang perlu menjadi masalah. Sultan tetap tak akan imun pada hukum dan dapat

umum dengan Komisi II DPR di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

“Kalau kita melihat sejarah Yogyakarta, selama ini Sultan itu sudah jadi gubernur. Dia tidak lagi menjalankan jabatannya sebagai sultan. Ini beda dengan monarki konstitusional,” terang Yusril dalam paparannya.

Menurutnya, sejak Indone-sia merdeka, otomatis tidak ada pemerintahan di dalam pemerintahan, termasuk Yog-yakarta. Dengan menyatakan diri bergabung dengan NKRI, pemerintahan oleh kesultanan sudah tidak ada lagi. Sri Sultan Hamengku Buwono X, lanjut-nya, tidak lagi menjalankan pe-merintahan dengan kekuasaan sebagai seorang sultan, tetapi melalui kekuasaan seorang gu bernur.

Karena itu, jika sistem yang digunakan seperti diatur da-lam draf RUU Keistimewaan DIY, ujarnya, secara tidak lang-sung pemerintah menjadikan provinsi DIY sebagai monarki.

Dia mengatakan, dengan sis-tem gubernur utama dan wakil

ANATA SYAH FITRI

MANTAN Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra me-

nilai draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diajukan pemerintah justru men-dorong sistem pemerin tahan di provinsi itu menjadi monarki.

Harusnya, pemerintah tetap membiarkan sistem pemerintah-an daerah yang saat ini berjalan dengan menempatkan Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kepala daerah secara otomatis.

Hal itu disampaikan Yusril selaku pakar hukum tata negara dalam rapat dengar pendapat

Pemerintah Dorong Monarki di Yogyakarta

Daerah yang selama puluhan tahun hidup tenteram dengan kearifan lokalnya kini diusik dengan dalih demokrasi.

DINAMIKAReformasi Birokrasi Diintensifkan

saja diproses seperti warga negara lainnya. Sementara hak-hak kesultanan misalnya hak pertanahan, menurutnya, bukan hak Sultan sebagai pri-badi, melainkan hak kesultanan sebagai badan yang diatur ke-khususannya melalui UU.

Jangan kakuYusril berharap pemerintah

jangan terlalu kaku dalam me-nerapkan konsep demokrasi dalam RUU Keistimewaan DIY. Kompromi, ujarnya, merupa-kan solusi yang tepat untuk hal tersebut.

Pemerintah dimintanya tidak terlalu kaku dalam memaknai Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 ten-tang istilah gubernur, bupati, dan wali kota yang harus dipi-lih secara demokratis. Padahal ketentuan dari Pasal 18 B UUD 1945 itu memberi kemungkinan bagi daerah-daerah yang diakui secara khusus dan istimewa un-tuk diatur secara tersendiri.

Pada kesempatan itu, anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat Abdul Gafar Patappe memper-

BAHAS RUU KEISTIMEWAAN: Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memberikan penjelasan kepada Komisi II DPR terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

3JUMAT, 25 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA POLKAM

Kalau menerapkan sultan menjadi

gubernur utama, itu seperti sultan-sultan Melayu. Agak rumit kalau seperti ini.”Yusril Ihza MahendraPakar hukum tata negara

MI/M IRFAN

tanyakan kadar demokrasi kalau Sri Sultan ditetapkan sebagai kepala daerah. Menurutnya, pemilihan secara langsung, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah jalan terbaik.

Di sisi lain, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Alexan-der Litaay menyambut baik masukan dari Yusril tersebut. Menurutnya, pemerintah tidak perlu memaksakan suatu kon-sep yang tidak sesuai dengan masyarakat Yogyakarta.

“Kita memaksa mereka untuk menggunakan ‘sepatu baru’. Padahal kalau digunakan, kaki mereka bisa lecet. Biarkan me-reka dengan sistem yang ada,” kata dia.

Anggota Komisi II dari Fraksi Golkar Agun Gunanjar Sudarsa juga merasa heran atas tindakan pemerintah yang dianggapnya akan merusak ketenteraman yang telah terjaga selama ini di Yogyakarta. “Yogya sudah adem ayem, ada apa sih malah mau diubah lagi,” ujarnya. (*/P-2)

[email protected]

Nanan SoekarnaInspektur Pengawasan Umum Polri

MI/SUSANTO