mi jagung

106
SKRIPSI PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM) Oleh : ROHANA DWI KURNIAWATI F 24102014 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: annisa-novtiana

Post on 20-Oct-2015

97 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

karakteristik mi jagung dengan uji mutu fisik kimia serta organoleptik

TRANSCRIPT

Page 1: mi jagung

SKRIPSI

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL

PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI

F 24102014

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: mi jagung

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL

PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI

F 24102014

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 3: mi jagung

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL

PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG

DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ROHANA DWI KURNIAWATI

F 24102014

Dilahirkan pada tanggal 14 April 1984

Di Madiun

Tanggal lulus:...............................

Menyetujui,

Bogor, September 2006

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Sutrisno Koswara, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen

Page 4: mi jagung

KATA PENGANTAR

Bismillahirromanirrohim,

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena

hanya berkat rahmat, berkah, dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir, dengan judul: Penentuan Desain Proses dan

Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati

Jagung Dan Corn Gluten Meal (CGM). Shalawat dan salam semoga selalu

tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW.

Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu selama penulis

menempuh pendidikan di IPB khususnya dalam penyusunan tugas akhir ini.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

membantu penulis baik dari segi moral maupun material Pihak-pihak tersebut

antara lain:

1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing I atas

bimbingan, wawasan, motivasi dan dukungan yang selalu diberikan

kepada penulis.

2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSc., selaku dosen pembimbing II atas

arahan, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis.

3. Bapak Dr. Sukarno, atas kesediannya meluangkan waktu untuk menjadi

dosen penguji penulis.

4. Ibunda tercinta, terimakasih atas doa, kepercayaan, dan kasih sayang yang

senantiasa tercurahkan tiada henti kepada penulis.

5. Kakak penulis (Rukmi Nur Wijayanti), terimakasih atas masukan dan

dorongan semangatnya.

6. Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang telah

memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

7. Ibu Rubiyah, Teh Ida, , Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Wahid , Pak Rozak,

Mbak Ari, Pak Koko, Pak Sidiq, Pak Iyas, Pak Nur dan seluruh teknisi

Lab. yang telah banyak membantu penulis.

8. Pustakawan-pustakawan perpustakaan Fateta, PAU, dan LSI, terimakasih

atas segala bantuannya.

Page 5: mi jagung

9. Teman-teman sebimbingan sekaligus seperjuangan penelitian: Nisa

(makasih banget masukan-masukannya, keep on movin’), Bobby,

terimakasih telah menjadi orang-orang yang paling bisa diandalkan, Ari

Fahmi, terimakasih atas bantuannya.

10. Kakak-kakak kelas tersayang Kak Hendri, Mbak Okta, Mbak Irus, Kak

Udin terimakasih atas masukan, saran dan bantuannya.

11. Rury, Ririn, Rizki, Nisa, terimakasih telah berbagi keceriaan, dan

kenangan. Apapun, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kita di masa

datang semoga persahabatan tetap terjalin.

12. Jasminers tersayang : Isyana, Ririn, Ucil, Nurul, eRLin, Mbak Ningsih,

Dhani, Dian, Rita. Trima kasih atas kebersamaannya selama ini.

13. Teman-teman gol A: Mus, Herold, Iqbal, Nisvi, Fajar, Inda, Christ, Tina,

Endang, Tintin, Julia, Ami’, Dadik, Ari, Didin, Novi, Mangi, Olga,

Dhenok, Reza, Papang, special thx to A3 : Zulkipli, Heru, dan Rahmat ....

senang bekerjasama dengan kalian.

14. United colour of TPG 39: alin, manto, susan, evrin, qco, rury, ajeng, desma, astri, arif, tono, evi, ijal, fafa, eko, jay, marlyn, anita, nea, hani, vivi, apong, andreas, dedi, kiki, samsul, fahrul, yoga, ulik, putra, yudhan, yayah, maya, farah, feni, karen, steisi, hanif, irwan, eva, prasna, bekti, sari, rina, ribka, hana, molid, gumi, rikza, risky, ina, tisha, elvina, nene’, nuy, beta, randy, kinoy, dian k s, vero, meilin, kanyaka, inal , dikres, dora, nanda, pretty, shinta, hanSib, risna, woro, stut, arvi, inggrid, ratry, yeye’........................................ terima kasih telah berbagi kenangan yang indah selama di TPG.

15. Teman-teman se TPG (angk. 38, 40, 41), dan se IPB thanks for the

memories. Semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga.

16. Teman-teman IMPATA. Thanks for make me feel like home di Bogor ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab

itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi

ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2006

Penulis

Page 6: mi jagung

Rohana Dwi Kurniawati. F24102014. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSc.

RINGKASAN

Produk pangan berbasis jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan untuk mendukung program pemerintah yang mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007. Diversifikasi produk pangan berbahan dasar jagung diharapkan dapat menambah alternatif pengembangan industri pangan berbasis jagung. Menurut Juniawati (2003) produk mi jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan, mengingat produk mi merupakan komoditi yang sudah cukup dikenal masyarakat. Pengembangan mi basah dengan bahan utama pati jagung dilakukan untuk memberi alternatif bahan baku yang bisa digunakan dalam pembuatan mi basah yang aman.

Bahan baku yang digunakan adalah pati jagung, corn gluten meal (CGM), pati kacang hijau, CMC, guar gum, garam, baking powder, dan air. Tahapan penelitian dimulai dengan penentuan desain proses yang paling optimum. Penentuan desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2,5 menit. Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%.

Urutan pencampuran bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) pada metode Budiyah (2005) dilakukan dengan mencampur bahan tambahan dengan bagian pati yang tidak dikukus. Urutan pencampuran bahan tersebut menghasilkan mi basah dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) tinggi. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan ke dalam bagian pati yang digelatinisasi. Perubahan tersebut secara nyata mampu menurunkan KPAP. Desain proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak.

Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik mi terutama elongasi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau (hunkwe). Variasi substitusi pati kacang hijau yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Substitusi pati kacang hijau 5% menghasilkan mi jagung basah matang dengan % elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan - 251.2 gf, dan resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf.

Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan guar gum, sedangkan variasi konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan

Page 7: mi jagung

2%. KPAP terendah diperoleh pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%.

Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71%, kadar abu 0.41%, kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah dan mi non terigu.

Page 8: mi jagung

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rohana Dwi Kurniawati. Penulis

adalah putri kedua dari pasangan Sukaya (Alm) dan Suwarti yang

dilahirkan di Madiun pada tanggal 14 April 1984. Penulis

menempuh pendidikan dasar di SDN Kepolorejo II Magetan (1990-

1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Magetan (1996-

1999), dan pendidikan menengah lanjutan di SMUN 1 Magetan (1999-2002).

Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut

Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002. Selama menempuh

pendidikan di IPB penulis sering mengikuti kegiatan kepanitiaan antara lain, pada

kegiatan Lomba Futsal yang diselenggarakan BEM TPB (2002), Lepas Landas

Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian ( 2003), Masa Orientasi Siswa TPG (BAUR

2003), dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII (2004), The 4th National Student

Paper Competition (2004). Penulis juga tercatat sebagai anggota HIMITEPA

(Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), dan IMPATA (Ikatan

Mahasiswa, Pelajar dan Alumni Magetan). Selain itu penulis bersama tim juga

pernah mendapatkan kesempatan melaksanakan kegiatan kewirausahaan sebagai

bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh

DIKTI dengan judul ”Kerupuk Susu Sebagai Alternatif Cemilan Bergizi”. Sebagai

tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Penentuan Desain Proses

dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung

dan Corn Gluten Meal (CGM)”.

Page 9: mi jagung

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Tujuan ....................................................................................................... 3

C. Manfaat ..................................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4

A. PATI .......................................................................................................... 4

1. Granula Pati ......................................................................................... 4

2. Kompsisi kimia pati ............................................................................ 7

B. KOMPONEN PATI .................................................................................. 7

1. Amilosa ............................................................................................... 8

2. Amilopektin ........................................................................................ 9

C. SIFAT-SIFAT PATI ................................................................................. 10

1. Gelatinisasi .......................................................................................... 10

2. Suhu Gelatinisasi ................................................................................. 11

3. Retrogradasi ........................................................................................ 13

D. PROSES PEMBUATAN PATI ................................................................ 14

E. CORN GLUTEN MEAL (CGM) ............................................................... 17

F. PATI KACANG HIJAU ........................................................................... 17

G. MI BASAH ............................................................................................... 21

1. Jenis Mi Basah .................................................................................... 22

2. Proses Pengolahan Mi Basah .............................................................. 22

3. Karakteristik Mi Basah ....................................................................... 25

H. MI PATI .................................................................................................... 28

I. MI JAGUNG ............................................................................................. 29

Page 10: mi jagung

ii

III. BAHAN DAN METODOLOGI ............................................................. 35

A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................... 35

B. METODOLOGI ........................................................................................ 35

1. Tahapan Penelitian ............................................................................... 35

a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) ........... 35

b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung

Basah Matang ................................................................................ 36

c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang ............................. 37

d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Mi Jagung

Basah Matang ................................................................................ 38

2. Pengamatan .......................................................................................... 38

a. Analisis Sifat Fisik ........................................................................ 38

a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Menggunakan

Mikroskop Polarisasi ............................................................... 38

a2. Analisa Warna ......................................................................... 39

a3. Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi ... 39

a4. Analisis Kekerasan dan Kelengketan ..................................... 40

a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan .............. 40

a6. Analisis Derajat Gelatinisasi .................................................. 41

b. Analisis Sifat Kimia ...................................................................... 42

b1. Analisis Kadar Air Metode Oven ........................................... 42

b2. Analisis Kadar Abu ................................................................ 43

b3. Analisisi Kadar Lemak Metode Soxhlet ................................ 43

b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl ..................... 44

b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ............................ 45

3.Analisis data ............................................................................................. 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 46

A. Karakterisasi Bahan Baku ......................................................................... 46

1. Karakterisasi Pati Jagung .................................................................... 46

2. Karakterisasi Corn Gluten Meal (CGM) ............................................. 46

Page 11: mi jagung

iii

B. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang 48

1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum ...................... 49

2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP ............................ 51

a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang

dikukus terhadap %elongasi mi ................................................. 53

b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus

terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan ................................ 55

c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus

terhadap kekerasan mi ................................................................... 56

d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus

terhadap kelengketan mi ............................................................... 57

e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi .................. 58

f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus

terhadap tingkat gelatinisasi .......................................................... 61

3. Proses pembuatan mi jagung basah .................................................... 63

C. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang........................................ 67

1. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % Elongasi mi .......................... 68

2. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi mi terhadap

tarikan .................................................................................................. 69

3. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi ............................ 70

4. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi ......................... 71

D. Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)

Mi Jagung Basah Matang .......................................................................... 73

E. Analisis proksimat mi jagung basah matang ............................................. 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79

LAMPIRAN ..................................................................................................... 83

Page 12: mi jagung

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati ......................................... 5

Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin .................................... 9

Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis

pati .................................................................................................... 12

Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan ..................................... 27

Tabel 5. Formula mi jagung basah dengan subtitusi hunkwe ......................... 37

Tabel 6. Karakteristik pati jagung ................................................................... 46

Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM ......................................................... 47

Tabel 8. Komposisi kimia CGM ..................................................................... 48

Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum ................................................ 50

Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum ............................................ 51

Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum..................... 66

Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang ........................................ 75

Page 13: mi jagung

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Granula pati kentang ..................................................................... 6

Gambar 2. Granula tapioka ............................................................................. 6

Gambar 3. Granula pati garut .......................................................................... 6

Gambar 4. Granula pati jagung ....................................................................... 6

Gambar 5. Diagram alir pembuatan mi basah terigu ..................................... 24

Gambar 6. Diagram proses pembuatan mie jagung instan metode

Budiyah (2005) ............................................................................. 36

Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh. 43

Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan

akibat pemasakan mi jagung basah matang .................................. 52

Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah

matang ........................................................................................... 53

Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi terhadap

tarikan mi jagung basah matang .................................................... 55

Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah

matang .............................................................................. 56

Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah

matang .......................................................................................... 57

Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi,

resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang .. 58

Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan

dan kelengketan mi jagung basah matang ...................................... 59

Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan BTP 62

Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan penambahan

BTP ............................................................................................... 62

Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah ................................... 67

Gambar 18. Mi jagung basah matang ............................................................... 67

Gambar 19. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi jagung basah

matang ........................................................................................... 68

Page 14: mi jagung

vi

Gambar 20. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi terhadap

tarikan mi jagung basah matang .................................................... 69

Gambar 21. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasans mi jagung basah

matang ........................................................................................... 70

Gambar 22. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi jagung basah

matang ........................................................................................... 72

Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan

padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang ..................... 74

Page 15: mi jagung

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap KPAP ............................................................... 78

Lampiran 2. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap % Elongasi ....................................................... 78

Lampiran 3. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap resistentensi terhadap tarikan ........................... 78

Lampiran 4. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap kekerasan .......................................................... 79

Lampiran 5. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan

BTP terhadap kelengketan ...................................................... 79

Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap % elongasi mi ......................................................... 79

Lampiran 6b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap % elongasi mi ........................................................... 80

Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi ........................... 80

Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

sifat resistensi mi terhadap tarikan ......................................... 80

Lampiran 8a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap kekerasan mi ............................................................. 81

Lampiran 8b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

kekerasan mi ........................................................................... 81

Lampiran 9a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe

terhadap kelengketan mi ......................................................... 81

Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

kelengketan mi ........................................................................ 82

Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi

CMC terhadap KPAP .............................................................. 82

Page 16: mi jagung

viii

Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi

CMC terhadap KPAP .............................................................. 82

Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi

Guar gum terhadap KPAP ....................................................... 83

Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 1% terhadap KPAP .............................................. 83

Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 1.5% terhadap KPAP ........................................... 83

Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 2% terhadap KPAP .............................................. 84

Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati

dari beberapa jenis pati............................................................ 89

Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi pati .................................................. 89

Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan

dengan gel pati kacang hijau ................................................... 90

Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses

persiapan mi ............................................................................ 90

Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang

hijau ......................................................................................... 90

Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati

kacang hijau ............................................................................ . 91

Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas

(90oC) ...................................................................................... 91

Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang

terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau. ........ 92

Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering

yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ...... 92

Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak

yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ...... 92

Page 17: mi jagung

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negara-

negara di Asia, termasuk Indonesia. Profil mi terigu telah melekat kuat pada

masyarakat, sehingga terobosan-terobosan mi baru selalu dibandingkan

dengan mi terigu, terutama dari sisi penerimaan sensorinya. Eviandaru dkk

mensitir data dari majalah Asian Week (25 Mei 2001) seperti dikutip oleh

Sawit (2003) menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi negara ke dua

terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mi instan, padahal

Indonesia bukanlah negara penghasil gandum. Secara tidak langsung,

kebutuhan terigu Indonesia dicukupi dengan impor. Indonesia sendiri menurut

Sawit (2003) menduduki posisi 6 importir gandum dunia dengan total impor 4

juta ton (tahun 2001/2).

Salah satu produk mi terigu yang banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini

adalah mi basah. Produksi mi basah cukup besar dan semakin meningkat. Data

tahun 2001 menunjukkan produksi mi basah mencapai 8.561.173 kg (BPS,

2001).dan tahun 2002 produksinya meningkat menjadi 92.492.696 kg (BPS,

2002). Peningkatan jumlah produksi ini menunjukkan tingginya permintaan

konsumen terhadap mi basah. Data lain menyebutkan konsumsi mi basah/

orang / minggu pada tahun 2001, 2002, 2003, dan 2004 berturut-turut adalah

0.003, 0.004, 0.003, 0.003 kg (BPS, 2004). Mi basah yang dikonsumsi berupa

produk olahan mi basah seperti mi ayam (mi basah mentah), mi bakso dan

taoge goreng (mi basah matang). Namun akhir-akhir ini mi basah banyak

dikhawatirkan keamanannya karena rentan mengandung bahan kimia

berbahaya, seperti formalin dan boraks.

Kedua hal diatas mendorong pemikiran untuk melakukan diversifikasi

pangan, mencari alternatif bahan baku lain sebagai bahan dasar pembuatan mi

basah yang aman. Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi

dikembangkan adalah jagung. Jagung memiliki nilai gizi yang cukup

memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan

pokok. Rachman (2004) menyatakan berdasarkan data permintaan komoditas

Page 18: mi jagung

2

tanaman pangan utama untuk konsumsi rumah tangga, jagung menempati

urutan kedua setelah beras. Meskipun pada perkembangannya konsumsi total

jagung mengalami penurunan karena pergeseran pola konsumsi masyarakat di

beberapa wilayah. Hasil penelitian Erwidodo dan Ariani (1997) seperti dikutip

oleh Rachman (2004) pergeseran terjadi pada kelompok pendapatan

menengah ke atas terutama di wilayah perkotaan ke arah pangan yang siap

saji, seperti instan, mi lainnya, roti, dan kue-kue yang banyak dibuat dengan

menggunakan bahan baku gandum (terigu).

Pemilihan jagung sebagai bahan baku pada penelitian kali ini sejalan

dengan rencana aksi pemantapan ketahanan pangan 2005-2010 yang

dicanangkan pemerintah. Aksi pemantapan ketahanan pangan kali ini

memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima

komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi.

Arah pengembangan komoditas jagung sendiri adalah menuju swasembada

pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan

arah pengembangan di atas, salah satu upaya peningkatan kapasitas produksi

jagung akan dilakukan dengan peningkatan nilai tambah jagung. Salah satu

aksi yang direncanakan dalam peningkatan nilai tambah jagung adalah

pengembangan industri berbasis jagung produk untuk dalam negeri (Deptan,

2005).

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mensukseskan

pengembangan industri berbasis jagung adalah dengan mengarahkan

diversifikasi pangan menggunakan jagung atau produk olahan jagung sebagai

bahan baku. Beberapa penelitian sebelumnya telah merintis diversifikasi

pangan dengan jagung atau produk olahan jagung sebagai bahan baku utama.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak membahas tentang

pembuatan mi jagung instan. Juniawati (2003) membuat mi jagung instan

dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2005) melakukan diversifikasi

pembuatan mi jagung instan dengan bahan dasar pati jagung dan Corn Gluten

Meal (CGM). Fadlilah (2005) melakukan perbaikan proses metode Budiyah

(2005) dan memperbaiki elastisitas mi dengan mensubtitusi sebagian CGM

dengan gluten.

Page 19: mi jagung

3

Selain itu, jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit,

subtitusi bagi industri mie pengguna terigu. Hal tersebut cukup penting dalam

usaha lebih memasyarakatkan jagung, sebab menurut kajian preferensi

konsumen terhadap produk-produk pangan non beras, mie merupakan produk

yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan

sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Oleh karena itu

usaha diversifikasi pangan mi berbahan dasar jagung cukup berpotensi untuk

dikembangkan.

Salah satu produk olahan jagung yang banyak dikenal dan digunakan

oleh masyarakat adalah pati jagung. Pati jagung bisa dikatakan sebagai produk

utama olahan jagung untuk industri pangan. Penggunaan pati jagung sebagai

bahan baku produk pangan dapat menjamin ketersediaan bahan baku. Hal ini

yang mendasari penggunaan pati jagung sebagai bahan baku pembuatan mi

basah pada penelitian kali ini. Pembuatan mi basah jagung didasarkan pada

penelitian sebelumnya. Namun tetap harus dilakukan perbaikan desain proses

dan perbaikan karakteristik mi untuk mendapatkan produk dengan

karakteristik yang optimum.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain proses dan formulasi mi

basah optimum berbahan dasar pati jagung dan CGM.

C. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini

dapat dijadikan acuan dalam aplikasi pembuatan mi basah non terigu. Selain

itu penelitian ini dapat dijadikan tambahan wawasan adanya alternatif bahan

baku selain terigu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi

basah.

Page 20: mi jagung

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PATI

Pati adalah karbohidrat yang tersimpan dalam bentuk granular di

dalam organ tanaman. Secara kimia, pati adalah polimer dari unit glukosa

yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik (Balagopalan et., al, 1988). Pati

memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran,

komposisi, lokasi hilum, permukaan granula dan kekristalan granulanya

(Belitz, dan Grosch, 1999, dan Hodge dan Osman, 1976).

Pati merupakan sumber energi utama bagi tanaman. Deposit granula

pati terdapat pada setiap jaringan tanaman, seperti pada biji (jagung, gandum,

beras, sorghum, kacang-kacangan), akar (garut, ubi, singkong), batang

(sagu), umbi (kentang), buah, dan daun (tembakau). Pati yang dijual secara

komersial umumnya bersumber dari biji serealia (jagung, beras, gandum,

sorghum), umbi, akar (singkong, ubi, garut), dan batang (sagu).

Secara umum, pati komersial dibedakan dalam 3 kelompok besar .

Jenis pati yang termasuk kelompok pertama adalah pati yang berasal dari

umbi, akar, dan batang, kelompok kedua adalah pati dari serealia. Kedua

kelompok pati ini dibedakan berdasarkan sifat fisik dan komposisi kimianya.

Sedangkan kelompok ketiga adalah pati yang berasal dari waxy starches

(waxy maize, waxy rice, waxy sorghum). Kelompok ketiga ini berasal dari

serealia namun memiliki sifat seperti pati yang berasal dari akar.

1. Granula Pati

Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda satu sama

lain. Perbedaan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber pati,

dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Perbedaan bentuk dan

ukuran beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1- 4

menunjukkan beberapa bentuk granula pati.

Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat,

tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa

granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-

Page 21: mi jagung

5

lapisan tipis yang tersusun terpusat. Menurut Swinkle (1985), fraksi-

fraksi pati tersusun teratur secara radial terhadap hilum.

Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri

dari unit kristal dan unit amorphus. Unit kristal lebih tahan terhadap

perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphus dapat menyerap air

dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan

(Hodge dan Osman, 1976).

Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati

Jenis pati Sumber

Rentang diameter granula

(µm)

Rata-rata diameter granula

(µm)

Bentuk granula

Jagunga Sereal

3-26 15 Bulat (round),

polygonal

Kentanga Umbi

5-100 33 Oval, bundar

(spherical)

Ganduma Sereal 2-35 15 Bulat. Lenticular

Tapiokaa Akar 4-35 20 Oval, truncated

Sorghuma Sereal 3-26 15 Bulat, polygonal

Berasa Sereal

3-8 5 Polygonal,

angular

Sagua Batang 5-65 30 Oval, truncated

Garuta Akar 5-70 30 Oval, truncated

Ubia Akar 3-24 15 Polygonal

Kacang

hijaub Biji

7-26 NA Oval, bulat

Keterangan : a : Swinkles (1985), b : Chen (2003), NA : Not available

Granula pati tersusun atas daerah-daerah kristalin hingga tidak

kristalin atau amorphus. Transisi antar daerah ini terjadi secara gradual.

Daerah kristalin tebentuk karena adanya gaya ikatan hidrogen yang

menghubungkan molekul pati yang sejajar satu sama lain. Gaya ikatan

Page 22: mi jagung

6

hidrogen tersebut mendorong rantai molekul pati membentuk bundel

kristalin atau micelles (Swinkle, 1985).

Gambar 1. Granula pati kentang Gambar 2. Granula tapioka

Gambar 3. Granula Pati garut Gambar 4. Granula Pati jagung

Sumber : Anonima (2003)

Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi

amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah

amorphus. Komplek amilosa-lipid yang banyak terdapat pada pati

serealia dapat membentuk daerah kristalin lemah. Komplek amilosa-

lipid memperkuat struktur granula pati yang berakibat dapat

menghambat pengembangan granula (Swinkle, 1985).

Granula pati bersifat mampu merefleksikan cahaya polarisasi

sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Sifat ini disebut sifat

birefringence. Menurut Hoseney (1998), sifat birefringence pati

disebabkan karena granula pati memiliki derajat keteraturan molekul

yang tinggi. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat

Page 23: mi jagung

7

dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi,

intensitas sifat birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati

dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).

2. Komposisi kimia pati

Komposisi penyusun utama pati adalah glukosa. Secara umum

pati mempunyai kadar air sekitar 10-20% (w/w) dan beberapa elemen

minor seperti lemak, protein dan mineral. Menurut Hoseney (1998)

meskipun elemen minor tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat

kecil, namun keberadaannya dapat berpengaruh terhadap karakteristik

pati.

Pati serealia memiliki kandungan lemak lebih tinggi

dibandingkan pati non serealia. Pati serealia mengandung sekitar 0,5-0,8

% lemak sedangkan pati kentang dan tapioka hanya mengandung

kurang lebih 0.1% lemak. Lemak teradapat dalam bentuk komplek

dengan amilosa. Komplek lemak-amilosa bersifat tidak larut dalam air,

namun akan terdisosisi jika dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu.

Keberadaan lemak dalam pati dapat berpengaruh terhadap sifas fisik

pati. Komplek lemak-amilosa cenderung menghambat pengembangan

dan kelarutan pati. Menurut Hoseney (1998) jenis lemak dalam pati

umumnya termasuk dalam jenis lemak polar.

Kandungan protein pada pati sangat kecil. Kandungan protein

tapioka dan pati kentang hanya sekitar 0.1% (w/w) sedangkan

kandungan protein serealia berkisar 0,3-0,5%.

Kandungan mineral pati juga sangat rendah. Menurut Swinkles

(1985), Kandungan mineral yang banyak terdapat pada pati komersial

adalah sodium, kalium, magnesium, kalsium dan fosfor.

B. KOMPONEN PATI

Pati tersusun atas dua jenis unit polimer glukosa yaitu amilosa dan

amilopektin. Kedua fraksi tersebut menyusun pati dalam rasio dan struktur

yang berbeda antar sumber pati. Amilosa dikenal sebagai fraksi linier,

Page 24: mi jagung

8

sedangkan amilopektin dikenal sebagai fraksi bercabang. Menurut Chen

(2003) struktur dan komposisi kedua fraksi tersebut berperan penting dalam

menentukan sifat pati. Kandungan amilosa pada kebanyakan pati berkisar

antara (15-30%) (Swinkles, 1985).

1. Amilosa

Amilosa pada umumnya diasumsikan sebagai polimer linier dari

α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α -1-4. Tidak semua amilosa

terdapat dalam bentuk linier, sebagian amilosa juga bercabang. Namun

cabang pada amilosa sangat panjang dan sangat sedikit, sehingga

molekul amilosa dianggap berperilaku sebagai kesatuan yang tidak

bercabang (Swinkles, 1985).

Struktur linier amilosa bisa tersusun dari lebih dari 6000 unit

glukosa. Sedangkan amilosa yang bercabang biasanya mengandung 3-

20 cabang dengan panjang rata-rata cabang berkisar 500 unit glukosa

(Swinkle, 1985). Bobot molekul amilosa sendiri berkisar antara

250.000. Bobot molekul amilosa bervariasi antar spesies bahkan dalam

satu spesies dan sangat tergantung dari tingkat kematangan tanaman

(Hoseney, 1998).

Struktur amilosa yang panjang dan linier memberikannya

beberapa karakteristik yang unik. Amilosa mampu membentuk komplek

dengan alkohol organik, iodin, dan asam. Amilosa membentuk komplek

yang tidak larut dengan alkohol dan iodin. Komplek amilosa dan iodin

memberikan warna biru. Komplek warna biru yang terbentuk sering

dijadikan indikator keberadaan pati yang mengandung amilosa. Selain

itu, struktur linier amilosa juga bertanggungjawab terhadap sifat amilosa

yang cenderung berikatan satu sama lain dan membentuk endapan.

Amilosa dapat stabil dalam larutan bila pH larutan dipertahankan dalam

kondisi basa. Menurut Hoseney (1998) hal ini disebabkan adanya

muatan positif yang diinduksi grup OH, dan muatan ini pada rantai

berdekatan menolak satu sama lain.

Page 25: mi jagung

9

2. Amilopektin

Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4)

pada rantai lurusnya, serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya.

Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari

keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hoseney, 1998). Tingkat

percabangan amilopektin sangat tinggi. Rantai percabangan amilopektin

rata-rata terdiri dari 20-25 unit glukosa. Tiap cabang hanya dipisahkan

oleh satu unit glukosa. Bobot molekul amilopektin sendiri sangat besar

yakni 108 (Hoseney, 1998). Bobot molekul ini termasuk yang terbesar

yang pernah ditemukan di alam.

Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin Sifat Amilosa Amilopektin

Struktur molekul Linier (α-1-4) Bercabang (α-1-4,

α-1-6)

Bobot molekul 106 Dalton 108 Dalton

Derajat polimerisasi 1500-6000 3 x 105, 3 x 106

Komplek helik Kuat Lemah

Komplek warna

dengan Iodin

Biru Ungu-kemerahan

Kelarutan Tidak stabil Stabil

Retrogradasi Cepat Lambat

Sifat gel Keras, tidak dapat

balik

Lembut, dapat balik

Sifat film Kuat Lemah dan rapuh

Sumber: Chen (2003)

Struktur bercabang amilopektin menyebabkan molekul ini lebih

stabil dalam larutan (Balagopalan, 1988). Amilopektin membentuk

komplek berwarna ungu dengan iodin. Amilopektin dan amilosa dapat

dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu

gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi

Page 26: mi jagung

10

tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin

merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976).

Beberapa karakteristik fisikokimia yang membedakan amilosa dan

amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.

C. SIFAT-SIFAT PATI

Rasio amilosa dan amilopektin pada pati memegang peranan penting

dalam penentuan sifat pati. Identifikasi sifat pati penting dalam menentukan

proses, kondisi penyimpanan, atau pemilihan jenis pati yang tepat untuk

diaplikasikan.

1. Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk

menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang

terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Syarat utama terjadinya

gelatinisasi adalah adanya pati, air, dan pemanasan. Namun tidak semua

kombinasi ketiga faktor tersebut menghasilkan gelatinisasi. Terdapat

minimum jumlah air dan suhu pemanasan tertentu yang harus tercapai.

Pati murni bersifat tiak larut dalam air dingin atau air dengan

suhu di bawah suhu gelatinisasinya. Saat pati ditambahkan pada air

dingin, molekul air akan berpenetrasi secara bebas ke dalam granula

pati. Dalam kondisi ini, pati hanya mampu menyerap air sebanyak 30%

dari bobot keringnya (Hoseney, 1998). Granula pati hanya akan sedikit

mengembang dalam air dingin (sekitar 10-15% dari diameter semula).

Pengembangan granula pati dalam air dingin bersifat dapat balik. Jika

pati dikeringkan kembali, granula akan menyusut dan kembali ke

ukuran semula.

Ketika granula pati dipanaskan dalam air, air akan masuk ke

dalam granula pati. Seiring dengan naiknya suhu pemanasan, jumlah air

yang terserap akan semakin meningkat. Penyerapan air bersifat dapat

balik hingga tercapai suhu tertentu (suhu awal gelatinisasi) dimana

penyerapan air bersifat tidak dapat balik (Eliasson dan Gudmunsson,

Page 27: mi jagung

11

1996). Penyerapan air menyebabkan pengembangan granula pati.

Pengembangan pertama terjadi di daerah amorphus, karena ikatan

hidrogen pada daerah ini lebih lemah dibandingkan daerah kristalin.

Selanjutnya pengembangan granula mulai mengganggu keteraturan

struktur granula pati, yang menyebabkan mulai hilangnya sifat

birefringence. Menurut Winarno (2002), suhu dimana sifat

birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal

gelatinisasi. Seiring mengembangnya ukuran granula pati, fraksi

amilosa mulai keluar dari granula. Namun granula pati belum pecah

karena masih tertahan oleh misel yang belum terganggu atau rusak oleh

hidrasi air dan pemanasan. Viskositas larutan meningkat karena semakin

banyak air yang terperangkap dalam granula. Hidrasi air berkelanjutan

mulai merusak struktur kristalin. Rusaknya struktur kristalin

menyebabkan hilangnya ikatan yang mampu menahan struktur granula

pati. Sifat birefringence hilang, granula pati mulai pecah, dan viskositas

larutan akan menurun. Hilangnya sifat birefringence menunjukkan

gelatinisasi telah terjadi secara sempurna. Secara singkat perubahan

fisik yang terjadi selama gelatinisasi adalah mengembangnya granula

pati yang diiringi dengan hilangnya sifat birefringence, meningkatnya

kekentalan, terlarutnya fraksi amilosa pati (bobot molekul rendah).

2. Suhu Gelatinisasi

Gelatinisasi terjadi jika suhu gelatinisasi telah tercapai. Suhu

gelatinisasi menurut Whistler dan Daniel (1996) adalah suhu dimana

sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang.

Suhu gelatinisasi biasanya berupa kisaran suhu. Hal ini disebabkan

bervariasinya ukuran bentuk, dan energi yang diperlukan untuk

pengembangan granula pati. Umumnya granula pati berukuran besar

akan tergelatinisasi terlebih dahulu kemudian diikuti granula pati

dengan ukuran yang lebih kecil. Selain itu, suhu gelatinisasi juga

dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media

pemanasan (Collison,1968). Menurut Wirakartakusumah (1981),

Page 28: mi jagung

12

keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi

adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen

lain dalam media pemanasnya.

Suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam

granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati

menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.

Greenwood (1979) menyatakan bahwa semakin banyak amilosa pada

pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan

integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat

ikatan intramolekulernya. Suhu gelatinisasi tidak mempunyai hubungan

jelas dengan kandungan amilosa pati, karena pati normal dan waxy

starches dari spesies yang sama memiliki rentang suhu gelatinisasi yang

sama (Balagopalan, 1988). Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi

sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan

amilopektin (Juliano, 1985). Derajat gelatinisasi beberapa jenis pati

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis pati

Jenis pati Amilosa (%)

Amilopektin (%)

Suhu gelatinisasi (oC)

Jagunga 28 72 62-72

Kentanga 21 79 58-68

Ganduma 28 72 58-64

Tapiokaa 17 83 59-69

Sorghuma 28 72 68-78

Sagua 27 73 60-72

Garuta 20 80 62-70

Kacang hijau 32-35b 65-68 b 63-69c

Keterangan : a : Swinkles (1985), b: Chen et al., (1988), c : Lii et al., (1988)

Page 29: mi jagung

13

3. Retrogradasi

Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan

fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan

sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah

meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan,

retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan

terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin

pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama

struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa. Lebih lanjut,

Swinkle (1985) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat

retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1).

meningkatnya viskositas, 2). meningkatnya kekeruhan, 3). terbentuknya

lapisan tak larut pada pasta panas, 4). terbentuknya endapan partikel pati

yang tidak larut, 5). terbentuknya gel, dan 6). keluarnya air dari pasta

(sineresis).

Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari

banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa

retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan,

suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan

komponen lain (Swinkle, 1985). Terjadinya peristiwa retrogradasi lebih

mudah terjadi pada suhu rendah dan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan

retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau

diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10

dan sangat lambat pada pH dibawah 2.

Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah

fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama

lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi

pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada

dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat

amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi

amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi

akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200

Page 30: mi jagung

14

unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa

retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi

ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu

pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh

retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin.

Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati

serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang

atau tapioka. Menurut Swinkle (1988) hal ini disebabkan tingginya

kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200-

1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak

dapat mendorong terjadinya retrogradasi.

D. PROSES PEMBUATAN PATI

Pati jagung komersial dihasilkan dari jagung pipil dengan metode

penggilingan basah. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen

dasar yaitu: pati, lembaga, serat, dan protein. Keempat komponen tersebut

dapat diolah menjadi produk-produk seperti dekstrin, sirup glukosa, pakan

ternak, minyak jagung, dan lain-lain (Corn Refiner Assosiation, 2002).

Tahap-tahap pembuatan pati dengan metode penggilingan basah meliputi

penanganan pasca panen jagung (pengeringan, dan penyimpanan),

pembersihan (cleaning), perendaman (steeping), dan pemisahan komponen-

komponen kernel jagung. Tahap pemisahan kernel jagung dibagi lagi

menjadi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan

halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, dan terakhir tahap

starch finishing (Johnnson dan May, 2003).

Jagung yang berasal dari ladang dikeringkan dan disimpan dalam

silo. Faktor yang harus diperhatikan selama penyimpanan adalah kadar air

jagung. Kadar air yang aman untuk penyimpanan jangka panjang adalah

sekitar 15% atau kurang. Jagung yang disimpan harus telah memenuhi syarat

mutu yang ditentukan. Menurut (Johnnson dan May, 2003) faktor yang

diperhatikan dalam pemilihan mutu jagung adalah daya simpan dan

Page 31: mi jagung

15

penampakan (bobot, adanya materi asing atau konmtaminan, total kernel

yang rusak).

Jagung yang lolos inspeksi memasuki tahap pembersihan (cleaning)

dibersihkan. Pada tahap ini, jagung dibersihkan dari kotoran dan kontaminan

asing (sekam, batu, pecahan kernel, bagian tubuh serangga, pasir, logam dan

lain-lain).

Tahap selanjutnya adalah perendaman. Jagung direndam dalam air

yang telah dicampur SO2 dengan konsentrasi tertentu (0.12-0.2%).

Perendaman dilakukan selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu

52°C. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam kernel meningkatkan

kadar airnya dari 15% menjadi 45%. Difusi air menyebabkan ukuran kernel

membengkak dua kali ukuran semula, melunakkan kernel dan memudahkan

pemisahan pada tahap selanjutnya. Air sisa perendaman dievaporasi hingga

mencapai 40-50% padatan, dicampur serat jagung, dikeringkan dan dijual

sebagai corn gluten feed atau sebagai fermentation enhancer.

Menurut Johnnson dan May (2003) penggunaan SO2 sangat penting

karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida matrix

protein yang membungkus granula pati, sehingga dapat membebaskn granula

pati. Selain itu SO2 mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi

pertumbuhan bakteri asam laktat (Lactobacillus). Asam laktat yang

dihasilkan bakteri asam laktat dapat membantu pemisahan pati dan

meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan. Asam laktat dapat meningkatkan

pelunakan biji, melarutkan protein endosperm, dan melemahkan dinding sel

endosperm.

Tahap pemisahan kernel dimulai dengan penggilingan kasar dan

pemisahan lembaga. Sebelum lembaga jagung dipisahkan menggunakan

hydroclone, jagung terlebih dahulu digiling kasar untuk memecah kernel

tanpa memecah lembaga. Selama perendaman, lembaga jagung menjadi lebih

elastis, sehingga diharapkan tidak akan pecah dengan pengilingan kasar.

Selanjutnya lembaga dipisahkan dari pecahan kernel jagung dalam

hydroclone berdasarkan perbedaan berat jenis. Larutan kernel jagung dan

lembaga dari penggilingan kasar dipompa masuk ke hydroclone. Dalam

Page 32: mi jagung

16

hydroclone larutan lembaga dan kernel jagung teraduk oleh hembusan angin

yang diberikan dan mendapat gaya sentrifugal. Lembaga akan terdorong

keatas, dan pecahan kernel jagung terpisah kebawah. Lembaga yang terpisah,

dicuci, dihilangkan kadar airnya dengan pengepresan, dikeringkan

dikeringkan hingga kadar air 3% kemudian didinginkan. Lembaga yang

dikeringkan bisa diolah lebih lanjut untuk ekstraksi minyak minyak jagung.

Tahap selanjutnya adalah penggilingan halus dan pemisahan serat.

Pada tahap ini, lumpur jagung dari penggilingan kasar digiling dalam

penggilingan kuat yang akan menggerus jagung sehingga pati dan glutennya

keluar dari dalam kernel. Selanjutnya suspensi pati, gluten, dan serat

dialirkan ke atas ayakan cembung yang dapat menahan serat tetapi

meneruskan pati. Serat yang terkumpul diayak lagi untuk menghilangkan

residu pati atau protein, kemudian dipompa menuju lini pakan untuk

dijadikan pakan hewan. Suspensi pati dan gluten yang disebut mill starch

dialirkan menuju starch separators.

Tahap pemisahan dan pemurnian pati dari mill starch dilakukan

berdasarkan perbedaan berat jenis pati dan gluten. Gluten memiliki densitas

yang lebih rendah dibandingkan pati. Mill starch dialirkan dalam sentrifuse,

sehingga gluten mengambang lalu dipompa ke lini pakan. Pati dengan sisa

protein sekitar 1-2% dilarutkan lalu dicuci 8 sampai 14 kali. Pelarutan dan

pencucian yang berulang di dalam hydroclones digunakan utuk

menghasilkan pati berkualitas tinggi dengan sisa protein yang sangat rendah.

Pati dengan kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99.5%.

Sebagian pati dikeringkan untuk dijual sebagai pati tak termodifikasi,

sebagiannya lagi dijual sebagai pati-pati yang sudah dimodifikasi atau

mengalami proses lanjutan menjadi dekstrin dan sirup glukosa (Corn Refiner

Assosiation, 2002). Tahap starch finishing dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan konsumen. Lumpur pati bisa langsung dikeringkan atau diberi

perlakuan dengan beberapa senyawa kimia seperti pemutih atau asam

(memodifikasi sifat protein) untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Page 33: mi jagung

17

E. CORN GLUTEN MEAL (CGM)

Produk utama jagung lainnya selain pati adalah Corn Gluten Meal

(CGM). CGM merupakan produk sampingan utama penggilingan basah (wet

milling). CGM diproduksi setelah lembaga, serat, dan pati dihilangkan

dalam proses penggilingan basah. Setelah komponen tersebut dihilangkan

akan dihasilkan light gluten (LG). LG kemudian dipekatkan menghasilkan

heavy gluten (HG). Setelah itu, HG dihilangkan airnya melalui proses

penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum menghasilkan gluten

cake (GC). Akhirnya, GC dikeringkan dengan menggunakan rotary drum

dryers menghasilkan CGM (Rausch et al., 2003).

CGM biasanya digunakan sebagai sumber protein pakan ternak.

CGM jarang digunakan dalam industri pangan karena ia memiliki aroma

khas yang kurang disukai. Peningkatan nilai tambah CGM di bidang pangan

telah dirintis pada penelitian terdahulu. Budiyah (2005) pada penelitiannya

menggunakan CGM sebagai bahan baku pembuatan mi jagung instan. CGM

ditambahkan sebagai bahan baku untuk meningkatkan kadar protein produk.

Selain itu komplementasi CGM juga berperan dalam memberikan warna

alami karena pigmen kuning yang terkandung pada CGM. Budiyah (2005)

juga melaporkan penambahan CGM dapat mempengaruhi tekstur dan

kemudahan terbentuknya adonan. Selain itu Wu et al., (2001) juga

menggunakan CGM untuk memfortifikasi kandungan protein pada produk

spaghetti karena CGM merupakan sumber protein nabati yang tidak

mengandung kolesterol dan rendah kandungan asam lemak jenuh.

F. PATI KACANG HIJAU

Pati kacang hijau merupakan salah satu hasil olahan kacang hijau.

Pembuatan pati kacang hijau secara tradisional sudah sering dilakukan yaitu

dengan cara menggiling kacang hijau yang sudah dikupas menjadi bentuk

pasta. Selanjutnya ditambahkan air berlebih, dan disaring dengan kain

penyaring untuk memisahkan selulosa. Selanjutnya filtrat diendapkan, dicuci,

dan diendapkan lagi sampai didapatkan filtrat yang jernih. Setelah itu,

Page 34: mi jagung

18

barulah residu pati dikeringkan (Siegel dan Fawcett, 1976, seperti dikutip

oleh Fawzya, 1983).

Penggunaan pati kacang hijau atau yang dikenal dengan nama

hunkwe di Indonesia, kebanyakan hanya digunakan sebagai bahan baku

pembuatan kue-kue basah. Namun di beberapa negara asia seperti Thailand,

dan Cina pati kacang hijau merupakan salah satu bahan baku pembuatan mi

yang cukup digemari. Mi berbahan dasar pati kacang hijau dikenal dengan

nama Tong-Fung di Cina. Karakteristik tekstur mi yang unik dan rendahnya

cooking loss menjadikan mi ini termasuk salah satu masakan cina yang

digemari.

Pati kacang hijau sangat disukai sebagai bahan dasar pembuatan mi

pati karena ia menghasilkan mi dengan penampakan dan karakteristik yang

diinginkan. Karakteristik mi pati kering yang diinginkan dinilai dari

keseragaman, cooking quality dan eating quality. Faktor lain yang

diiperhatikan konsumen saat membeli mi pati kering adalah tidak berwarna,

tidak mengkilap (glossy), dan tidak transparan. Sedangkan untuk mi pati

matang karakteristik yang paling penting adalah mouthfeel dan tekstur. Mi

harus tetap kokoh (firm) dan tidak lengket setelah dimasak. Mi pati yang

bagus memiliki waktu masak yang singkat dengan kehilangan padatan yang

rendah, dan rasa yang hambar (Chen et al., 1988). Namun produksi mi pati

kacang hijau tetap memiliki kendala yaitu harga pati kacang hijau yang

mahal. Mahalnya harga pati kacang hijau mendorong banyak penelitian di

bidang mi pati untuk mencari jenis pati yang lebih murah namun

menghasilkan mi dengan karakteristik seperti mi pati kacang hijau.

Riset ekstensif banyak dilakukan di Taiwan. Riset dilakukan dengan

karakterisasi sifat fisikokimia dan kualitas mi dari baerbagai macam jenis

pati. Hasil riset menunjukkan kehilangan padatan selama pemasakan mi pati

kacang hijau paling rendah walau telah dimasak hingga 12 jam, sedangkan

mi komersial dan mi dari pati ubi mengalami 100% cooking loss. Studi

menggunakan mikroskop elektron menunjukkan terdapat struktur rigid dalam

mi pati kacang hijau yang tidak terdapat dalam mi pati lainnya. Hasil riset

tentang sifat fisikokimia pati menggunakan Brabender Viscoamylogram

Page 35: mi jagung

19

menunjukkan jenis granula pati kacang hijau adalah pati ikatan silang bertipe

C. Pati ikatan silang memiliki ketahanan penurunan viskositas terhadap asam

lebih tinggi. Selain itu pati tipe C menunjukkan kestabilan viskositas yang

tinggi terhadap pemanasan suhu tinggi. Namun percobaan pembuatan mi pati

menggunakan pati kacang polong yang memiliki sifat fisikokimia sama

dengan kacang hijau menghasilkan mi pati dengan tekstur yang tidak bagus.

Menurut (Chen et al.,1988), tekstur unik mi pati kacang hijau tidak hanya

disebabkan kandungan amilosanya yang tepat (32%-35%), tapi juga struktur

molekulernya yang spesifik yang menghasilkan ikatan atau viskositas mi

pati yang kuat dan stabil.

Kim et al., (1996) mencoba mencari jenis pati lain yang berpotensi

menggantikan pati kacang hijau. Penelitian menggunakan pati dari dua jenis

kacang-kacangan (pinto dan navy bean), kentang dari dua jenis genotip

(ND651-9, Mainechip), dan pati kentang komesial. Kedua jenis kacang-

kacangan tersebut dipilih karena dianggap memiliki sifat fisikokimia yang

paling mirip dengan pati kacang hijau dan memiliki rendemen pati lebih

tinggi dibanding pati kacang hijau. Kedua jenis kacang ini diharapkan

menjadi sumber pati yang potensial yang menghasilkan mi pati berkualitas

tinggi dibandingkan mi pati kacang hijau. Penggunaan pati kentang

digunakan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan

bahwa beberapa genotip pati kentang cukup berpotensi sebagai bahan baku

pembuatan mi pati. Mi berbahan dasar pati kentang dilaporkan memiliki

penampakan transparan, tekstur yang lembut dan licin, dan memiliki tingkat

penyerapan kuah yang tinggi.

Kim et al., (1996) membandingkan beberapa parameter, yaitu

cooking quality (cooking loss dan cooked weight), dan karakteristik sensori

mi pati dari beberapa jenis pati di atas dengan mi komersial yang terbuat

dari pati kacang hijau. Lampiran 15 dan 16 menunjukkan hasil analisis

cooking quality, tekstur, dan sensori yang dilakukan Kim et al., (1996). Hasil

penelitian mereka menunjukkan mi berbahan dasar kacang-kacangan

memiliki cooking quality yang hampir sama dengan mi pati komersial yang

dibuat dari pati kacang hijau. Hasil pengukuran tekstur mi menggunakan

Page 36: mi jagung

20

texture profile analyzer (TPA) menunjukkan mi dari pati kacang-kacangan

memiliki nilai kekerasan lebih tinggi tapi nilai kelengketan lebih rendah

dibandingkan mi dari pati kentang. Hasil analisis sensori menunjukkan mi

pati kentang memiliki nilai transparansi lebih tinggi dibanding mi dari pati

kacang-kacangan. Selain itu hasil analisis sensori terhadap penerimaan

keseluruhan panelis juga menunjukkan mi pati kentang dengan genotip

Minechip dinilai memiliki karakteristik menyamai mi pati komersial,

sehingga genotip ini dianggap cocok untuk dikembangkan sebagai bahan

baku pembuatan mi pati komersial.

Penelitian lain tentang usaha eksplorasi jenis pati yang lebih murah

untuk menggantikan mi pati kacang hijau juga dilakukan oleh Chen (2003).

Chen (2003) menggunakan pati ubi dari varietas (SuShu2, SuShu8 dan

XuShu18). Chen (2003) membandingkan karakteristik fisik dan sensori mi

yang dihasilkan dari ketiga varietas tersebut dengan mi yang dibuat dari pati

kacang hijau. Karakteristik fisik mi dari ketiga varietas yang paling

mendekati mi pati kacang hijau dan secara sensori masih diterima konsumen

dianggap paling berpotensi untuk dikembangkan.

Selain itu Chen (2003) juga melakukan penelitian tentang

kemungkinan memprediksi kualitas mi dari sifat gel yang dihasilkan.

Karakteristik gel yang diamati meliputi storage modulus (G’) yang

menunjukkan nilai kekerasan gel, loss tan (tan δ) menunjukkan elatisitas gel,

dan maximum strain yang menunjukkan tegangan maksimum gel.

Karakteristik gel pada penelitian Chen (2003) dapat dilihat pada Lampiran

17. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pati dengan tingkat

kekerasan dan elastisitas tinggi akan menghasilkan mi pati berkualitas tinggi.

Sedangkan pengukuran karakteristik mi yang diamati meliputi

karakteristik fisik menggunakan alat (texture profile analyzer) dan analisis

sensori. Karakteristik fisik yang diamati meliputi, kelengketan, cutting

behaviour, perpanjangan mi (extention), cooking loss dan indeks

pengembangan. Hasil analisis fisik, sensori, dan gambar produk akhir mi pati

yang dihasilkan pada penelitian Chen (2003) juga dapat dilihat pada

Lampiran 18, 19, 20, 21, 22.

Page 37: mi jagung

21

Menurut Chen (2003) pengukuran kelengketan perlu dilakukan tidak

hanya untuk melihat karakter kelengketan mi pada beberapa tahapan proses

tapi juga untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan dalam pembuatan

mi. Perlakuan yang diberikan adalah pembekuan. Perlakuan pembekuan

terbukti mempermudah pemisahan mi pati ubi. Sedangkan mi pati kacang

hijau memiliki kelengketan yang paling rendah dan tidak memerlukan

perlakuan pembekuan untuk memisahkan untaian mi-nya. Karakteristik

kelengketan diukur dengan mengukur cohesive force (Fco), yaitu gaya yang

diperlukan untuk melepaskan dua untai mi yang dilekatkan satu sama lain.

Karakteristik perpanjangan mi diukur dengan parameter modulus

perpanjangan (E) yang menunjukkan kekerasan regangan (stretch stiffness)

dan perpanjangan relatif (re) yang mengukur kemampuan memanjang

(stretchability) mi. Karakteristik cutting behaviour ditunjukkan oleh

parameter cutting force (Fc) dan peningkatan rasio panjang (rc) mi. Cutting

force menunjukkan kekerasan mi, sedangkan peningkatan rasio panjang (rc)

menunjukkan fleksibilitas mi.

Karakteristik mi yang diinginkan pada penelitian ini adalah mi yang

elastis, tekstur stabil dalam air panas, cukup keras, dan tidak lengket. Mi

yang elastis dan cukup keras ditunjukkan dengan nilai cutting behaviour dan

perpanjangan mi yang tinggi. Kestabilan dalam air panas ditunjukkan dengan

rendahnya nilai cooking loss dan tingginya nilai indeks pengembangan.

Sedangkan rendahnya kelengketan ditunjukkan dengan semakin rendahnya

nilai cohesive force (Fco).

Hasil penelitian Chen (2003) menunjukkan pati ubi dari varietas

Sushu8 mampu menghasilkan mi pati kering dengan kualitas yang

sebanding dengan mi pati kacang hijau, bahkan kualitas mi pati ubi masak

lebih baik daripada mi pati kacang hijau. Hasil analisis sensori juga

menunjukkan, varietas Sushu8 menghasilkan mi yang lebih disukai

dibanding mi pati dari kedua varietas lainnya.

Page 38: mi jagung

22

G. MI BASAH

Mi merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau

tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang

diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2987-1992). Mi basah umumnya

dibuat dengan bahan dasar terigu. Mi terigu menurut Astawan (1999) dapat

dikelompokkan mejadi mi segar/mentah, mi basah, dan mi instan.

1. Jenis Mi Basah

Berdasarkan produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mi yaitu

mi basah (mi ayam dan mi kuning) dan mi kering (mi telor dan mi

instant). Komposisi kedua jenis tersebut di atas hampir sama. Perbedaan

keduanya adalah pada kadar air, kadar protein dan tahapan proses

pembuatannya.

Berdasarkan bahan baku utamanya, mi basah dapat dibedakan

menjadi dua yaitu mi basah yang terbuat dari terigu dan mi basah yang

terbuat dari tepung aren. Mi basah yang terbuat dari tepung aren dikenal

masyarakat dengan mi “gleser” (Badrudin, 1994). Namun kebanyakan

masyarkat lebih mengenal mi basah dengan bahan baku utama terigu.

Mi gleser hanya dikenal masyarakat di daerah tertentu.

Mi basah dengan bahan baku terigu dapat digolongkan dalam dua

kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mi basah mentah dan mi

basah matang. Perbedaan keduanya adalah pada tahapan setelah

pemotongan. Setelah pemotongan, mi basah mentah hanya ditaburi

tapioka untuk menghindari untaian mi lengket satu sama lain.

Sedangkan pada mi basah matang, setelah dipotong, mi direbus dan di

olesi minyak. Pengolesan minyak bertujuan agar untaian mi matang

tidak lengket satu sama lain. Perbedaan tahap perebusan tersebut

menyebabkan kedua jenis mi tersebut memiliki perbedaan kadar air

yang cukup besar. Mi basah mentah memiliki kadar air sekitar 35%,

sedangkan mi basah matang memiliki kadar air sekitar 52% (Astawan,

1999).

Page 39: mi jagung

23

2. Proses Pengolahan Mi Basah

Bahan utama pembuatan mi basah adalah tepung dan air,

sedangkan bahan tambahan lain diantaranya adalah garam, air abu, dan

telur. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber

karbohidrat dan protein, dan sumber gluten yang memberi sifat kenyal

dan elastis.

Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat

air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi. Air abu yang biasa

digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat

(K2CO3), kalium polifosfat (KH2PO4). Air abu digunakan sebagai bahan

alkali yang digunakan dalam pembuatan mi. Fungsi bahan alkali

tersebut berbeda-beda. Na2CO3 berfungsi untuk meningkatkan

kehalusan tekstur mi, K2CO3 untuk meningkatkan kekenyalan mi.

sedangkan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi

(Badrudin, 1994).

Penggunaan telur sebagai bahan baku jarang digunakan dalam

skala industri. Telur sendiri cukup berperan dalam kemudahan

pembentukan adonan. Kuning telur mengandung lesitin yang dapat

mempercepat hidrasi air pada tepung terigu dan mengembangkan

adonan. Potein dan lemak bersifat mengikat dan menahan air, sehingga

memudahkan terigu menyerap air. Selain itu kegunaan telur adalah

dapat meningkatkan kandungan protein dan lemak.

Proses pembuatan mi basah terdiri dari proses pencampuran,

pembentukan lembaran, pembentukan mi dan perebusan. Tahapan

proses pembuatan mi dapat dilihat pada Gambar 5.

Tahapan pencampuran bertujuan untuk menghasilkan adonan

yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan

dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus.

Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, elastis,

dan mengembang normal.

Setelah pengadukan, tahap selanjutnya adalah pembentukan

lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk

Page 40: mi jagung

24

menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi

lembaran. Tahap sheeting dilakukan dengan melewatkan adonan

berulang-ulang di antara dua roll logam pengepres. Sheeting dilakukan

hingga ketebalan lembaran 1,5-2 mm (Astawan,1999). Hasil akhir yang

diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat

yang searah, sehingga mi yang dihasilkan elastis, kenyal dan halus

(Badrudin,1994).

Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Mi Basah Terigu (Astawan,1999)

Tahap selanjutnya adalah pemotongan lembaran. Proses ini

bertujuan membentuk lembaran pita-pita mi dengan dengan lebar 1-3

mm. Setelah tahap pemotongan, jenis mi yang dihasilkan adalah mi

basah mentah. Tahap berikutnya untuk memperoleh mi basah matang

adalah dengan mengukus atau merebus mi mentah. Pengukusan atau

perebusan mi mentah bertujuan agar terjadi gelatinisasi pati dan

Terigu + air

Pencampuran dengan bahan tambahan

Pengadukan hingga homogen

Pembentukan lembaran

Pemotongan

Perebusan (2 menit)

Penirisan dan pendinginan

Pemberian minyak goreng

Mi basah matang

Mi basah mentah

Page 41: mi jagung

25

koagulasi protein sehingga mi menjadi kenyal (Badrudin, 1994).

Menurut Astawan (1999), perebusan harus dilakukan pada suhu tinggi

selama kurang lebih 2 menit. Suhu perebusan yang tinggi akan

mempersingkat waktu perebusan. Waktu prebusan yang terlalu lama

akan menyebabkan mi terlalu lembek.

Tahap terakhir dari pembuatan mi basah matang adalah

pelumasan mi yang telah direbus dengan minyak goreng. Pelumasan

bertujuan agar mi tidak menjadi lengket satu sama lain. Selain itu

menurut Mugiarti (2001) seperti dikutip oleh Gracecia (2005)

penggunaan minyak dapat memberikan cita rasa dan memperbaiki

penampakan mi menjadi mengkilap.

3. Karakteristik Mi Basah

Jenis mi terigu yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia

menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi instan dan chinesse wet noodle

atau yang kita kenal dengan mi basah. Formula maupun proses

pembuatan mi basah yang dikenal di Indonesia awalnya mengadopsi

dari Cina. Namun pada perkembangannya, produsen mi basah di

Indonesia banyak melakukan modifikasi terutama dalam segi formulasi.

Beberapa produsen mensubstitusi terigu dengan tapioka untuk

meminimalkan biaya produksi. Namun, modifikasi pada formulasi

maupun pada proses diharapkan tidak memberikan perubahan nyata

pada karakteristik fisik maupun penampakan mi basah yang dihasilkan.

Mi basah matang di Cina dikenal dengan nama Hokkien noodle.

Menurut Miskelly (1996), mi Hokkien banyak dikenal di Malaysia,

Indonesia, dan Singapura. Mi Hokkien dimasak selama 1-2 menit

dengan bagian tengah yang belum tergelatinisasi. Karakteristik fisik mi

Hokkien telah ditetapkan untuk mempermudah penelitian-penelitian

yang berkaitan dengan mi tersebut.

Mi Hokkien tergolong dalam mi alkali. Menurut Miskelly (1996),

evaluasi terhadap mi alkali dilakukan terhadap warna, penampakan,

karakteristik saat dimasak (kehilangan padatan akibat pemasakan),

Page 42: mi jagung

26

eating quality (kekerasan, kelengketan, elastisitas), dan tekstur. Mi

alkali seharusnya berwarna kuning, simetris, dapat dimasak dengan

cepat dan tidak hancur. Selain itu, setelah dimasak mi tidak lengket dan

memiliki tekstur yang elastis dan kenyal.

Karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam

pembuatan mi basah adalah warna dan tekstur (Hou dan Krouk,1998).

Secara fisik, diameter mi basah berkisar antara 1,5-2mm

(Astawan,1999). Hou dan Krouk (1998) menyatakan persyaratan warna

untuk mi basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar

dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, masih menurut

Hou dan Krouk (1998), mi basah matang harus memiliki tekstur yang

kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit, dan memiliki tekstur yang

stabil dalam air panas.

Pengukuran parameter kualitas mi bisa dilakukan secara subyektif

menggunakan panelis terlatih atau bisa juga dilakukan secara obyektif

menggunakan beberapa instrumen pengukuran. Pengukuran secara

subyektif agak sulit dilakukan karena menggunakan panelis terlatih

yang memerlukan latihan intensif dan tidak bisa langsung menguji

sampel dalam jumlah banyak. Pengukuran kualitas mi banyak dilakukan

menggunakan alat seperti chromameter, spektrofotometer, texture

analyzer atau rheoner. Karakteristik fisik yang diukur meliputi warna,

cooking loss, kekerasan, kelengketan dan persen elongasi.

Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatan.

Oleh karena itu pengamatan yang dilakukan tidak hanya dilakukan pada

produk akhir, melainkan pada produk intermediet di setiap tahapan

pembuatan. Menurut Hou dan Kruk (1998). Tahapan proses yang perlu

diperhatikan pada pembuatan mi basah matang antara lain adalah tahap

pencampuran, pembentukan lembaran, pemotongan, dan perebusan.

Parameter yang diamati pada tahap pencampuran adalah penyerapan air

yang optimum, ukuran partikel adonan kecil dan seragam. Sedangkan

pada tahap pembentukan lembaran, parameter yang diamati adalah

adonan mudah dibentuk lembaran, permukaan halus, tidak mudah sobek

Page 43: mi jagung

27

dan bebas dari noda. Setelah terbentuk lembaran, tahap selanjutnya

adalah pemotongan. Untaian mi yang diharapkan adalah memiliki

ukuran yang tepat, dan hasil potongan yang rapi. Sedangkan pada tahap

perebusan, mi memiliki coooking loss rendah atau secara visual, air

rebusan tidak terlalu keruh.

Mi basah termasuk komoditas pangan yang mudah rusak.

Kerusakan mi basah utamanya disebabkan oleh tumbuhnya mikroba. Mi

basah sangat mudah ditumbuhi kapang karena karakteristik kimia mi

basah sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroba. Menurut

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2005) seperti dikutip oleh

Gracecia (2005), mi basah mentah memiliki kadar air 26-27%,

sedangkan mi basah matang memiliki kadar air 64-65%. Selain kadar air

yang tinggi aw mi basah juga cukup tinggi. aw mi basah matang adalah

0.92-0,93. Kadar air dan aw yang tinggi sangat cocok untuk

pertumbuhan mikroba perusak. Selain kadar air dan aw, karakteristik

kimia yang penting untuk mengetahui kualitas mi adalah pH. Mi basah

dianggap belum rusak jika pH mi masih pada kisaran pH basa yakni

sekitar 7,55 untuk mi mentah. Menurut Astawan (1999). Kerusakan mi

basah matang terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam.

Walaupun mi basah termasuk bahan pangan yang mudah rusak,

namun ia telah menjadi salah satu bahan pangan yang dikonsumsi

sebagai sumber energi selain nasi. Komposisi zat gizi mi basah matang

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan Komposisi Gizi Jumlah

Energi Protein Lemak Karbohidrat Ca P Fe Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air

86 Kalori 0,6 g 3,3 g 14,0 g 14 mg 13 mg 0,8 mg 0 SI 0 mg 0 mg 80,0 g

Sumber : Direktorat Gizi, Depkes (1992) seperti dikutip olah Astawan (1999).

Page 44: mi jagung

28

H. MI PATI

Berdasarkan bahan utamanya, mi digolongkan menjadi dua yaitu mi

terigu dan mi non terigu. Mi pati tergolong dalam mi non terigu. Berbeda

dengan mi terigu yang memiliki gluten sebagai pembentuk tekstur mi,

struktur mi pati dibentuk oleh matrik yang terbentuk akibat gelatinisasi.

Sehingga karakteristik pati sangat berpengaruh terhadap kualitas mi pati yang

dihasilkan. Berbeda dengan mi terigu yang dibuat dengan metode sheeting,

pembuatan mi pati kebanyakan menggunakan metode ekstrusi.

Hingga saat ini, menurut Kim et al., (1996) karakteristik mi pati

terbaik dari segi tekstur dan penampakan dan menjadi acuan dalam

pengembangan kualitas mi pati adalah mi pati yang dibuat dari pati kacang

hijau. Galvez and Resurreccion (1992) seperti dikutip oleh Kim et al., (1996)

melaporkan kualitas mi pati yang diinginkan adalah mi dengan tekstur yang

kokoh (firm), tidak lengket, transparan, waktu pemasakan singkat, rasa tawar

dan cooking loss kecil. Pati kacang hijau menghasilkan mi pati dengan

kualitas terbaik karena sifat patinya yang tinggi kandungan amilosa,

keterbatasan pengembangan granula, pasta pati stabil selama pemanasan dan

pengadukan, dan memiliki kecenderungan retrogradasi yang tinggi.

Jenis mi pati yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah mi dari

sagu. Mi jenis ini banyak dikembangkan di daerah bogor dan Sukabumi.

Masyarakat mengenal mi ini dengan nama ”Mi gleser” atau Mi srodot”

karena teksturnya yang licin. Pembuatan mi gleser diawali dengan

pembuatan ”lem sagu” sebagai pengikat. Lem sagu dibuat dengan memasak

kurang lebih 1/3 bagian pati dalam air mendidih (pati:air = 1:2). Lem sagu

dicampur dengan sisa pati kering. Adonan diaduk hingga licin dan dapat

dicetak. Cetakan mi sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada bagian

bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mi

sagu akan keluar dari cetakan. Selanjutnya, mi direbus dalam air mendidih

sampai mengapung dan direndam dalam air dingin yang mengalir, kemudian

ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mi tidak saling melengket, mi

dilumuri minyak sayur (Taufiq, 2005)

Page 45: mi jagung

29

I. MI JAGUNG

Mi jagung adalah mi yang dibuat dengan bahan utama hasil olahan

jagung (tepung atau pati). Beberapa penelitian sebelumnya mengembangkan

mi instan berbahan dasar tepung jagung dan pati jagung dengan penambahan

protein jagung (Corn Gluten Meal) dan penambahan gluten terigu. Metode

yang digunakan menyerupai pembuatan mi terigu, yakni menggunakan

metode sheeting dengan beberapa modifikasi.

Pembuatan mi jagung instan berbahan dasar tepung jagung

dikembangkan oleh Juniawati (2003). Menurut Juniawati (2003), proses

pembuatan mie jagung instan terdiri dari pencampuran, pengukusan pertama,

pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Proses

pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah

pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan

pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi.

Pada pembuatan mi jagung, suspensi tepung jagung dengan air pada

saat pengukusan mengalami proses gelatinisasi. Gelatinisasi menyebabkan

pengembangan granula pati. Pengembangan granula pati berpengaruh

terhadap massa adonan. Setelah pengukusan dihasilkan massa adonan yang

kohesif dan cukup elastis ketika diuleni (Juniawati, 2003).

Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah

adonan yang dimasak, akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang

diharapkan hampir sama. Adonan yang telah dikukus mengalami pemasakan

yang tidak merata dimana bagian dalamnya sangat sedikit menerima panas

sehingga tingkat kemasakan ataupun tingkat gelatinisasinya paling rendah.

Untuk meratakan kadar air dan tingkat gelatinisasi diperlukan pengulian.

Dalam hal ini, air merupakan faktor yang menentukan konsistensi adonan

setelah pemasakan (Juniawati, 2003).

Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang

lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah

dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Massa adonan yang lunak dan

kohesif, mudah dibuat lembaran, mudah dicetak, menghasilkan mi dengan

Page 46: mi jagung

30

tekstur yang halus dan tidak mudah patah terdapat pada perbandingan tepung

dengan air 1:1 (Juniawati, 2003).

Mi hasil pengukusan pertama tidak dapat langsung dikeringkan

karena pada pengukusan pertama, proses gelatinisasi belum sempurna atau

mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua.

Pengukusan pertama memang tidak ditujukan untuk membuat mi matang

namun untuk menghasilkan massa adonan yang dapat dicetak. Apabila

pengukusan pertama ditujukan juga untuk mematangkan mi maka

pengukusan harus lebih lama. Pengukusan yang lebih lama akan

meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga

sulit dicetak (Juniawati, 2003).

Mi hasil pengukusan pertama apabila langsung dikeringkan maka

ketika dimasak akan hancur. Hal ini disebabkan apabila proses gelatinisasi

belum cukup maka pati tergelatinisasi yang mampu bertindak sebagai zat

pengikat tidak dapat mengikat secara sempurna partikel-partikel yang ada

dalam bahan sehingga ketika dimasak dalam air akan larut. Proses

pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan

kedua. Pada saat pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan

gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa

berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk

matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat.

Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila

dimasak tidak hancur (Juniawati, 2003)..

Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga

mi kering dan dapat disimpan lama. Pengeringan mi jagung dilakukan

dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-75oC selama 1-1.5 jam.

Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan (Juniawati, 2003).

Faktor kritikal yang menjadi variabel bebas adalah volume air yang

ditambahkan dan waktu pengukusan pertama. Berdasarkan hasil optimasi,

maka hasil volume air dan waktu pengukusan yang optimum pada

pengolahan mie jagung instan adalah 50 ml selama 15 menit dengan tingkat

gelatinisasi yang dihasilkan adalah 80.77%. Waktu pengukusan kedua adalah

Page 47: mi jagung

31

30 menit. Hasilnya diperoleh waktu masak mi jagung instan selama 7 menit

(Juniawati, 2003).

Waktu masak mi jagung instan selama 7 menit belum memenuhi

persyaratan SNI bagi mi instan yang menyatakan bahwa waktu masak mi

instan adalah 4 menit. Oleh karena itu dibutuhkan bahan tambahan yang

dapat menghasilkan waktu masak selama 4 menit. Bahan tambahan yang

digunakan yaitu baking powder sebanyak 0.3% (Juniawati, 2003).

Mi jagung instan memiliki daya serap air (DSA) 91.97% dan

kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) 8.47%. Hasil analisis

proksimat untuk mi jagung instan adalah kadar air 11.67%, kadar abu 1.20%,

kadar protein 6.16%, kadar lemak 2.27%, karbohidrat 78.69%, pati 65.92%.

Nilai energi yang terkandung dalam mi jagung instan adalah 360 kkal/100

gram. Tingginya kadar karbohidrat dan energi yang terkandung pada mi

jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan alternatif

pilihan produk pangan pokok. Kandungan serat pada mi jagung instan adalah

6.80%. Apabila mi jagung instan disajikan sebanyak 100 gram maka

kebutuhan serat yang dipenuhi dari mi jagung instan adalah 23-27% per hari

(Juniawati, 2003).

Budiyah (2004) melakukan riset mengenai mi jagung instan yang

terbuat dari pati jagung dan protein jagung (corn gluten meal). Dalam proses

pembuatan mi jagung tersebut, Budiyah (2004) melakukan penyesuaian pada

desain proses pembuatan mi jagung instan dari metode Juniawati (2003).

Penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena bahan baku yang digunakan

berbeda dan terdapat banyak kesulitan untuk melakukan scale up pembuatan

mi jagung instan dengan metode yang digunakan Juniawati (2003) antara

lain adalah derajat gelatinisasi pati yang tidak konsisten.

Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan memisahkan adonan

menjadi dua bagian. Adonan pertama adalah pati dan CGM yang dicampur

air, kemudian dikukus hingga mengalami gelatinisasi sempurna. Sedangkan,

adonan kedua adalah pati yang dicampur dengan bahan tambahan lainnya

tanpa mengalami proses gelatinisasi. Selanjutnya adonan yang tergelatinisasi

dan adonan yang tidak tergelatinisasi dicampur dengan varimixer sampai

Page 48: mi jagung

32

adonan menjadi homogen. Proses ini bertujuan untuk membentuk adonan

yang baik, memiliki cukup kadar air, dan matriks pati yang belum

tergelatinisasi serta bahan-bahan lain terikat ke dalam matriks pati yang telah

tergelatinisasi sehingga memudahkan pembentukan adonan yang kalis.

Mi jagung yang dikembangkan Budiyah (2004) memiliki daya serap

air 74.31%, kehilangan akibat pemasakan 20.10%, kekuatan tekstur 18 gf,

dengan waktu rehidrasi 4 menit. Hasil analisis proksimat untuk mi jagung

instan tersebut adalah kadar air 7.47%, kadar abu 1.44%, kadar protein kasar

3.32%, kadar karbohidrat 81.91%, dengan nilai energi 379 kkal.

Fadlillah (2005) menyatakan bahwa metode yang dikembangkan oleh

Budiyah (2004) akan menyulitkan bagi industri sebab industri harus

menambah feeder ekstra dan mengatur ulang aliran proses pada peralatannya.

Hal tersebut akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh

sebab itu, dibutuhkan desain proses dimana proses pengukusan pertama

dapat dilakukan pada seluruh bagian adonan. Salah satu faktor yang menjadi

pertimbangan penting pada pengukusan pertama adalah kecukupan tingkat

gelatinisasi, sehingga dapat terbentuk adonan yang kalis, elastis, kohesif, dan

mudah dicetak menjadi mi.

Fadlillah (2005) telah melakukan penelitian pengukusan seluruh

bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Pengukusan

seluruh bagian adonan pada suhu 70oC selama empat menit belum

menghasilkan adonan yang kuat dan elastis. Pengukusan seluruh adonan

pada suhu 70oC selama tujuh menit sudah menghasilkan adonan yang lebih

baik. Namun, adonan belum terlalu elastis, kasar dan masih patah.

Pengukusan selama 10 menit pada suhu 70oC menghasilkan adonan yang

lebih kuat, namun karena gelanitisasi hanya terjadi sebagian, maka adonan

yang dihasilkan masih kasar. Sedangkan, pada pengukusan selama 13 menit,

adonan yang dihasilkan lebih licin dan halus tetapi lengket di mesin mi.

Untuk mempermudah pembuatan adonan yang kalis dan

meningkatkan elastisitas mi, dilakukan penambahan protein gluten terigu

(Fadlillah, 2005). Penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan

dengan penambahan corn gluten meal (CGM), dengan total penambahan

Page 49: mi jagung

33

10% dari adonan. Penambahan protein gluten terigu kurang dari 5%, tidak

terlalu berpengaruh terhadap karakteristik adonan dan elastisitas mi jagung

instan. Penambahan gluten terigu di atas 5%, akan meningkatkan kekerasan

mi jagung instan. Pada perbandingan protein gluten terigu instan dengan

CGM 5:5, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar 15,57 Kgf.

Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3, diperoleh nilai

kekerasan sebesar 46,33 Kgf. Pada perbandingan protein gluten

terigu:CGM sebesar 9:1, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar

53,33 Kgf.

Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan bahwa selain

meningkatkan kekerasan, penambahan protein gluten terigu juga

meningkatkan elatisitas mi jagung instan. Pada penambahan protein gluten

terigu:CGM sebesar 5:5, diperoleh nilai elongasi mi jagung instan sebesar

124,41%. Nilai elongasi meningkat menjadi 130,32%, pada perbandingan

protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3. Pada perbandingan protein gluten

terigu:CGM sebesar 9:1, nilai elongasi mi jagung instan meningkat menjadi

150,63%. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, mi

jagung instan sudah dapat dimasak seperti cara memasak mi terigu instan.

Penambahan protein gluten terigu juga akan mempersingkat waktu

pengukusan pertama, dan menghasilkan adonan yang lebih kalis, halus, dan

lembut.

Selain di Indonesia, pembuatan mi berbahan baku jagung juga telah

dikembangkan di India oleh Sowbhagya, Chakrabhavi Mallappa, Ali, dan

Syed Zakiuddin. Tahapan proses pembuatan mi jagung yang mereka

kembangkan adalah sebagai berikut :

1. Jagung dibuat menjadi grit

2. Grit jagung direndam dalam larutan sulfur dioksida

3. Grit dikeringkan dan digiling menjadi tepung

4. Tepung jagung diayak dengan ayakan 60 mesh

5. Tepung ditambah garam dan air

6. Campuran dikukus untuk membentuk tekstur tepung

Page 50: mi jagung

34

7. Campuran ditambah dengan air panas untuk menghasilkan adonan

yang homogen

8. Adonan yang sudah homogen diekstrusi sehingga membentuk

untaian mi

9. Untaian mi dikukus dan dikeringkan

(Sowbhagya et al., 2000)

Grit yang digunakan adalah grit yang rendah lemak (< 1,0 %). Grit

jagung direndam dalam metabisulphite atau potassium metabisulphite,

dengan konsentrasi yang equivalen dengan konsentrasi 0.05-0.3% SO selama

kurang lebih 8 – 20 jam pada suhu 30-60oC. Jumlah garam yang

ditambahkan 1-2% dan jumlah air yang ditambahkan 15-20%. Campuran ini

dikukus. Setelah pengukusan campuran ditambah air panas sehingga pati

tergelatinisasi sesuai dengan tingkat yang diinginkan dan terbentuk untaian

mi dengan kohesi yang lebih baik. Adonan ini kemudian diekstrusi. Mi hasil

ekstrusi ini kemudian dikukus pada suhu 60-90oC selama 30-120 menit.

Perendaman dalam larutan sulfur dioksida diketahui dapat

menyebabkan matriks protein mengalami pembengkakan gradual dan

akhirnya akan menyebabkan pati terlepas dari matriks protein (Sowbhagya et

al., 2000). Terlepasnya pati dari matriks protein menyebabkan perbaikan

daya ikat bahan-bahan yang dimasak. Pati yang terlepas akan berinteraksi

satu sama lain sehingga menyebabkan meningkatnya stabilitas produk yang

dimasak selama rekonstitusi dan membantu mengurangi kehilangan padatan

produk.

Karakteristik mi yang dihasilkan adalah waktu pemasakan 10 menit,

cooking loss 7.4-9.3 %, firmness 36.8-39.3 %, elastic recovery 12.1-12.5%,

dan kandungan amilosa 30.3-31.2 %. Waktu pemasakan mi yang dihasilkan

belum memenuhi standar waktu pemasakan yang hanya 4 menit, selain itu

proses pembuatan mi seperti di atas membutuhkan waktu yang lama karena

harus melalui tahapan pembuatan tepung terlebih dahulu.

Page 51: mi jagung

35

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan

baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah

maizena, protein jagung/ corn gluten meal (CGM), dan pati kacang hijau (pati

kacang hijau). Sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam,

baking powder, CMC (Carboxyl Methyl Cellulose), guar gum. Bahan kimia

yang digunakan adalah HCl 0,5 N, KOH 0,2 N, akuades, heksana, H2SO4

pekat, HgO, larutan NaOH-Na2SO3, larutan asam borat jenuh, larutan HCl

0,02 N, larutan iodium, dan indikator (campuran 2 bagian Metil Merah 0,2%

dalam alkohol dan 1 bagian Metilen biru dalam 0,2% alkohol).

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan mi meliputi mesin mi, mi

dan alat-alat masak. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia

meliputi rheoner, texture analyzer, mikroskop polarisasi, timbangan jangka

sorong, sentrifuse, stirer, spektrofotometer, gelas piala, pipet mohr, magnetic

stirer, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjeldahl, oven, cawan

aluminium, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik,

tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.

B. METODOLOGI

1. Tahapan Penelitian

a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM)

Penelitian kali ini menggunakan pati jagung dan protein jagung

(Corn Gluten Meal) sebagai bahan baku utama pembuatan mi basah

jagung. Oleh karena itu perlu dilakukan tahap karakterisasi pati jagung

dan CGM. Karakterisasi bahan baku meliputi karakterisasi sifat fisik

dan kimia (kadar air, kadar protein kasar, kadar lemak, dan kadar abu).

Page 52: mi jagung

36

b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang

Pembuatan mi basah jagung merupakan pengembangan dari

pembuatan mi jagung instan. Desain proses dan formulasi pada

penelitian kali ini didasarkan pada penelitian mi jagung instan metode

Budiyah (2005). Selain itu desain proses pembuatan mi basah jagung

juga menggabungkan pembuatan mi basah terigu. Gambar 6

menunjukkan metode pembuatan mi jagung instan metode Budiyah

(2005). Beberapa variabel proses yang diubah meliputi jumlah air yang

ditambahkan, dan waktu pengukusan. Parameter yang diamati pada

tahap ini adalah karaketistik fisik mi yang dihasilkan, meliputi

kekerasan, kelengketan, % elongasi, resistensi terhadap tarikan, KPAP

dan derajat gelatinisasi.

Pencampuran sampai merata Pencampur sampai merata

Pengukukusan sampai tergelatinisasi sempurna (7 menit)

Pencampuran sampai adonan menjadi kalis

Pembentukan lembaran, pencetakan, dan pemotongan (Pressing, slitting, cutting)

Pengukukusan (10 menit)

(tahap pematangan bagian yang belum tergelatinisasi)

Pengeringan pada suhu 60-70oC selama 2 jam

Pendinginan (cooling)

Pengemasan

Gambar 6. Diagram proses pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005).

Pati(450 g/setengah total pati yang dibutuhkan) + CGM 100 g + air 350 ml

Pati (450 g/setengah total pati) + baking powder 0,3% + Garam 1% + CMC 1%

Page 53: mi jagung

37

c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang

Perbaikan elongasi mi dilakukan dengan mensubstitusi sebagian

pati jagung yang dikukus dengan pati kacang hijau. Tujuan pemilihan

pati kacang hijau untuk memperbaiki sifat fisik mi terutama pati

kacang hijau merupakan bahan baku mi pati yang dianggap

memberikan karakteristik fisik dan cooking quality yang paling baik.

Selain itu penelitian sebelumnya telah menggunakan gluten terigu

untuk meningkatkan elongasi mi jagung instan. Penelitian kali ini ingin

menghasilkan produk pangan bebas gluten atau yang dikenal dengan

istilah gluten free food, sehingga dicari alternatif bahan pangan selain

gluten terigu untuk meningkatkan elongasi mi. Parameter yang diamati

pada tahap penelitian ini adalah semua parameter pengukuran fisik

kecuali parameter KPAP. Substitusi pati kacang hijau yang paling baik

memperbaiki sifat elongasi mi tanpa menurunkan atau paling tidak

hanya sedikit menurunkan karakteristik fisik mi yang lain akan dipilih

untuk tahap penelitian selanjutnya. Tabel 5 menunjukkah tingkat

substitusi pati kacang hijau yang digunakan pada formulasi mi basah

jagung.

Tabel 5. Formula mi basah jagung dengan substitusi pati kacang hijau

Komposisi* (%) Formula 1

Formula 2

Formula 3

Formula 4

Formula 5

Maizena yang dikukus 45 40 35 30 25

Maizena yang tidak dikukus 45 45 45 45 45

Pati pati kacang hijau 0 5 10 15 20

CGM 100 mesh 10 10 10 10 10 Air 30 30 30 30 30 CMC 1 1 1 1 1 Garam 1 1 1 1 1 Baking powder 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3

* : dihitung berdasarkan total pati + CGM

Page 54: mi jagung

38

d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Mi Basah Jagung Matang

Perbaikan sifat kehilangan padatan akibat pemasakan dilakukan

dengan memvariasikan jenis pengikat dan konsentrasi yang digunakan.

Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan Guar gum.

Konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan 2%. Parameter

yang diamati adalah kehilangan padatan akibat pemasakan.

e. Analisis Proksimat Produk Akhir

Analisis proksimat yang dilakukan meliputi pengukuran kadar air,

kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar dan kadar

karbohidrat (by difference)

2. Pengamatan

a. Analisis Sifat Fisik

Analisis fisik yang dilakukan meliputi pengukuran % elongasi

dan resistensi terhadap tarikan menggunakan Rheoner, pengukuran

kekerasan dan kelengketan mi menggunakan texture analyzer,

pengukuran warna menggunakan chromameter, pengukuran

kehilangan padatan akibat pemasakan menggunakan metode

gravimetri, dan pengamatan sifat birefringent pati menggunakan

mikroskop polarisasi.

a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Dengan Menggunakan Mikroskop Polarisasi

Pengamatan sifat birefringence pati di di bawah

mikroskop polarisasi dilakukan untuk mengetahui kecukupan

proses gelatinisasi. Sampel disuspensikan dalam akuades dan

diaduk secara merata. Kemudian, satu tetes sampel diteteskan ke

gelas objek dan diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sampel

yang bukan berupa tepung perlu ditepungkan terlebih dahulu

Page 55: mi jagung

39

hingga diperoleh ukuran partikel yang dapat disuspensikan dalam

akuades.

Pati yang belum mengalami proses gelatinisasi akan

memiliki sifat birefringence sehingga ketika diamati dengan

mikroskop polarisasi akan tampak granula-granula yang

mengkilat dan berwarna. Sedangkan, pati yang telah mengalami

gelatinisasi sempurna tidak memiliki sifat birefringence, sehingga

tidak tampak di bawah mikroskop polarisasi.

a2. Analisis Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching,1999)

Sampel dipotong 2-3 mm dan ditempatkan pada wadah

yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L

menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam

sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau

ditunjukkan oleh nilai a(a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0- (-

80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning

ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0-

(-70) untuk warna biru). Nilai hue dikelompokkan sebagai

berikut:

Red purple : Hue° 342-18 Green : Hue°162-198

Red : Hue°18-54 Purple : Hue°306-342

Yellow red : Hue°54-90 Blue purple : Hue°270-306

Yellow : Hue°90-126 Blue green : Hue°198-234

Blue : Hue°234-270 Yellow green : Hue°126-162

a3. Analisis Sifat Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi Menggunakan Rheoner

Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit

kedua ujung mie yang akan diukur kekerasan dan elastisitasnya.

Beban yang digunakan 0.1 volt (5 gf/0.25cm), test speed 1 mm/s,

dan chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi

Page 56: mi jagung

40

diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua

ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan

antara kekuatan (kgf) dan waktu (s).

Cara perhitungan :

Kekerasan

Kekerasan = Jarak ke puncak kurva (cm) x 5 gf

0.25 cm

Persen elongasi

b = lebar kurva (mm) x 1.5

c = (a2 + b2) ½, dimana a = 12 mm

Δ L = (2 xc) – 24

% elongasi = (Δ L/ 24) x 100%

a4. Analisis Kelengketan dan Kekerasan Kenggunakan Texture Analyzer TAXT-2

Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter

35 mm. Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai

berikut: pre test speed 2.0 mm/s, test speed 0.1 mm/s, rupture

test distance 75%, dan force 100g, test mode : measure force in

compression.

Sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe

diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya

berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan

waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute(+) peak, dan

nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute(-) peak. Satuan

kedua parameter ini adalah gram force (gF).

a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Oh et al., 1985)

Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram

mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum

Page 57: mi jagung

41

perebusan, mie ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan

kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang dan

dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu

ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

KPAP = 1 - berat sampel setelah dikeringkan x 100% berat awal (1- kadar air contoh)

a6. Analisis Derajat Gelatinisasi (Birch et al., 1973)

Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan

kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat

gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk

pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0-

100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan

merebus 10 g pati jagung dalam 200 ml air hingga menjadi

bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi adalah pati.

Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk

memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%,

60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi

100% dan tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan

derajat gelatinisasi 20%, 40:60 untuk sampel dengan derajat

gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi

60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%.

Tahap selanjutnya adalah pembacaan absorbansi masing-

masing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan

dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5

ml akuades. Campuran ini kemudian di-stirer selama satu menit

dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan di-stirer kembali selama

lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan

disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm.

Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke

dalam dua tabung reaksi A dan B masing-masing sebanyak 0,5

ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua

Page 58: mi jagung

42

tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam

tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan

akuades masing-masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9

ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan

dibaca absorbansinya menggunakan spektofotometer dengan

panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan

blanko pembacaan larutan pada tabung B.

Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat

gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y.

Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan

hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh

berupa :

Y = a + bX

dimana y merupakan absorbansi, x merupakan derajat

gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta.

Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama

seperti di atas. Dan derajat gelatinisasinya dihitung dengan

menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva

b. Analisis Sifat Kimia

Analisa kimia yang dilakukan pada produk mi jagung instan

adalah analisa proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar protein

kasar lemak kasar abu. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara

by difference.

b1. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan

dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang

lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui

beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven

bersuhu 100°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya

konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam

Page 59: mi jagung

43

desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan

rumus:

Kadar air (% b.b) = c – (a – b) x 100% c

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)

b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

b2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600

°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam

cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala

pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan

pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 4-6

jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian

didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar abu (% b.b) = c – (a – b) x 100% c

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)

b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

b3. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven

bersuhu 100-110°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram,

dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat

ekstrksi (soxhlet) yang telah berisi pelarurt (dietil eter atau

heksan)

Page 60: mi jagung

44

Refluk dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut

yang ada di adalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak

yang berisi lemak hasil ekstruksi dipanaskan dalam oven bersuhu

100°C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan

ditimbang.

Kadar lemak (% b.b) = a – b x 100% c Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g)

b = berat labu kosong (g)

c = berat sampel awal (g)

b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl(AOAC, 1995)

Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml

HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan

diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan

0.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel

lebih dari 15 mg, ditabahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg

bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam

sampai cairan menjadi jernih.

Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi,

dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-

Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat

destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang

telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah

metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2%

dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan

HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan

warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan

dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan

sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:

Page 61: mi jagung

45

Kadar N (%) = (ml HCl spl – ml HCl blk) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein (% b.b) = % N x faktor konversi (6.25)

b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat (% b.b) = 100% - (P + KA + A + L )

Keterangan : P = kadar protein (%)

KA = kadar air (%)

A = abu (%)

L = kadar lemak (%)

3. Analisis Data

Data pengukuran fisik karakteristik mi basah jagung diolah

menggunakan program SPSS 11.5. Jenis analisis statistik yang digunkaan

meliputi uji T, dan uji keragaman atau ANOVA. Jika sampel yang

dianalisis dengan ANOVA menunjukkan hasil berbeda nyata, dilakukan

uji lanjut Duncan.

Page 62: mi jagung

46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Bahan Baku

1. Karakterisasi Pati Jagung

Pati jagung yang digunakan berasal dari PT. Suba Indah Tbk.

Karakteristik pati jagung yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik pati jagung Parameter Satuan Pati jagung *

Kadar air % 10.21

Kadar protein (b/b) % 0.56

Kadar abu % 0.05

Kadar lemak (b/b) % 0.68

Karbohidrat by difference % 88.5

Kandungan pati % 98.01

pH (5% suspensi) - 5.18

Residu SO2 ppm 9.21

Lolos ayakan 100 mesh % 99.81

Viskositas cps 900

Serat % -

Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004)

2. Karakterisasi Corn Gluten Meal (CGM)

CGM merupakan salah satu hasil samping dari proses pembuatan

pati metode penggilingan basah. CGM biasanya digunakan sebagai bahan

baku pakan ternak unggas. CGM memiliki aroma yang kuat dan

kecenderungan membentuk ketengikan karena tingginya kandungan asam

lemak tak jenuh. Hal ini menyebabkan CGM kurang diminati industri

pangan. Menurut Laztity (1986) seperti dikutip oleh Budiyah (2005)

diperlukan ekstraksi pigmen, minyak, dan flavor tertentu agar CGM untuk

menambah nilai guna CGM di bidang pangan.

Page 63: mi jagung

47

Penampakan fisik CGM adalah granula kasar berukuran tidak

seragam, dan berwarna kuning emas. Tahap pengayakan perlu dilakukan

sebelum CGM digunakan. Ukuran CGM yang digunakan adalah 100 mesh.

Menurut Budiyah (2005) ukuran CGM berpengaruh terhadap adanya

tidaknya sifat sandiness pada produk akhir. Semakin kecil ukuran partikel

CGM akan semakin menurunkan sandiness pada produk akhir.

Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM

Perlakuan Hasil L a b ho

CGM sebelum diayak 68.46 +11.15 +88.38 82.85

CGM 100 mesh 73.89 +5.72 +90.62 86.7

Warna kuning CGM disebabkan adanya pigmen Xanthofil pada

jagung. Proses pengayakan menyebabkan perubahan warna CGM. Hasil

pengukuran warna pada Tabel 7 menunjukkan warna CGM termasuk warna

kuning kemerahan karena memiliki Hueo berkisar 54-90. Selain itu,

perlakuan pengayakan ternyata dapat meningkatkan kecerahan CGM

terlihat dari meningkatnya nilai L CGM setelah pengayakan. Gambar 7

menunjukkan perbedaan warna CGM sebelum dan setelah diayak 100

mesh.

A B Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh

Keterangan : A : CGM sebelum

diayak B : CGM 100 mesh

Page 64: mi jagung

48

Tabel 8. Komposisi kimia CGM

Komposisi (% bk) CGM yang digunakan

Syarat mutu CGM*

Kadar air 8.23 Maks. 10

Kadar protein kasar 65.02 Min. 60

Kadar lemak kasar 4.35 Min. 2.5

Kadar abu 2.02 Maks. 2.5

* ) SNI 01-4484-1998

Tabel 8 menunjukkan komposisi kimia CGM yang digunakan.

Hasil pengamatan menunjukkan CGM yang digunakan masih memenuhi

syarat mutu CGM. Menurut Budiyah (2005) selama penyimpanan,

kandungan kimia CGM yang rentan terdegradasi adalah kandungan lemak.

Degradasi lemak menimbulkan bau tengik pada CGM.

B. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang

Rancangan proses pembuatan mi jagung basah merupakan kombinasi

dari proses pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) dan mi basah

terigu. Tahap awal pembuatan mi jagung basah mengikuti metode Budiyah

(2005). Tahapan proses pembuatan mi jagung metode Budiyah meliputi tahap

pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, pengukusan

kedua, dan pengeringan. Modifikasi mulai dilakukan setelah tahap

pemotongan atau setelah terbentuk mi jagung basah mentah. Jika pada

pembuatan mi jagung instan, setelah tahap pemotongan, mi dikukus dan

dikeringkan, maka pada mi jagung basah, tahap berikut yang dilakukan adalah

perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah

pelumasan minyak.

Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan proses pembuatan mi

terigu. Proses pembuatan mi jagung merupakan kombinasi mi pati dan mi

terigu. Terigu memiliki gluten yang mampu membentuk masa adonan yang

elastis dan kohesif bila ditambah air dan uleni. Pada mi pati, sebagian pati

harus tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi bertindak sebagai gluten yang

mengikat sisa pati lainnya. Selama pengukusan, granula pati akan

Page 65: mi jagung

49

mengembang karena proses gelatinisasi. Sebagian fraksi amilosa keluar dari

granula dan membentuk matrik yang berfungsi memerangkap sisa pati yang

ditambahkan saat tahap pengulian, sehingga terbentuk adonan yang dapat

dibentuk lembaran dan dicetak.

Tahap penentuan desain proses optimum pembuatan mi jagung basah

matang dimulai dari penentuan jumlah air dan waktu pengukusan yang

optimum. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat gelatinisasi yang

cukup sehingga menghasilkan adonan yang bisa dibentuk dan dipotong pada

ukuran yang diinginkan. Setelah didapat jumlah air dan waktu pengukusan

yang optimum, dilakukan perbaikan kehilangan akibat pemasakan (KPAP) mi

karena KPAP yang dihasilkan masih cukup tinggi. Perbaikan KPAP dilakukan

dengan menambahkan bahan tambahan (garam, CMC, dan baking powder)

pada bagian yang dikukus. Selain parameter KPAP, pada tahap penentuan

desain proses ini diamati pula pengaruh penambahan bahan tambahan pada

bagian yang diukus terhadap beberapa karakteristik fisik mi. Hal ini dilakukan

untuk menentukan langkah perbaikan selanjutnya yang perlu dilkukan untuk

memperbaiki karakteristik fisik mi. Karakteristik fisik mi yang diamati

meliputi % elongasi, kekerasan, kelengketan, dan resistensi terhadap tarikan

dan derajat gelatinisasi pati. Pengamatan granula pati dilakukan secara

kualitatif menggunakan mikroskop polarisasi dan secara kuantitatif

menggunakan metode kimia.

1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum

Jumlah air yang ditambahkan, waktu dan suhu pengukusan

memegang peranan penting demi tercapainya tingkat gelatinisasi optimum.

Tingkat gelatinisasi optimum berarti matriks pati yang terbentuk cukup

untuk mengikat sisa pati yang tidak tergelatinisasi dan mampu membentuk

adonan yang bisa dibentuk dan tidak lengket di mesin mi. Tidak

tercapainya tingkat gelatinisasi yang optimum menyebabkan adonan

terlalu kering dan sulit dibentuk lembaran dan tidak dapat dipotong.

Tingkat gelatinisasi pati yang berlebihan menyebabkan lembaran mi

Page 66: mi jagung

50

lengket di mesin mi sehingga tidak dapat dicetak pada ukuran yang

diinginkan.

Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum Air yang ditambahkan* Hasil pengamatan

35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus

33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus

30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus * Penambahan didasarkan terhadap jumlah total pati + CGM

Tabel 9 menunjukkan jumlah air optimum untuk pembuatan mi

jagung basah pada penelitian ini adalah 30%. Penentuan jumlah air pada

tahap optimasi didasarkan pada formulasi Budiyah (2005). Budiyah (2005)

menggunakan penambahan air 35% untuk 1 kg adonan. Penelitian kali ini

menggunakan skala yang lebih kecil, yakni 100 g adonan (total pati +

CGM). Jumlah air 35% menghasilkan adonan yang terlalu basah,

penambahan air harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena

penambahan air yang tidak hati-hati menyebabkan air tidak terserap semua

ke dalam adonan dan menghasilkan adonan pseudoplastis yang tidak dapat

dikukus. Oleh karena itu dilakukan pengurangan jumlah air yang

ditambahkan menjadi 33%. Penambahan air masih harus dilakukan dengan

hati-hati, walaupun kemungkinan terbentuk adonan yang tidak dapat

dikukus lebih kecil. Adonan pseudoplastis yang terbentuk masih bisa

diatasi dengan mengukus adonan dalam bentuk kepalan-kepalan.

Pengukusan dalam bentuk kepalan menghasilkan pematangan adonan yang

kurang merata. Selanjutnya, pengurangan air dilakukan hingga jumlah air

yang ditambahkan hanya 30%, adonan yang dihasilkan cukup basah,

homogen, dan dapat dikukus tanpa dikepal.

Page 67: mi jagung

51

Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum Waktu

pengukusan Hasil pengamatan

10 menit Adonan dapat dibentuk lembaran, cukup lembab, tapi terlalu lengket/elastis untuk dibentuk lembaran di ukuran roll 1,4

5 menit Adonan dapat dibentuk lembaran tapi masih lengket untuk dibentuk lembaran di ukuran roll 1,4

3 menit Adonan dapat dibentuk lembaran, cukup lembab dan dapat dipotong di ukuran roll 1,4.

Selain jumlah air yang ditambahkan, kecukupan waktu dan suhu

pengukusan juga sangat penting. Tabel 10 menunjukkan penentuan waktu

yang optimum untuk pengukusan adonan. Setelah dikukus, adonan

tergelatinisasi dicampur dengan sisa pati yang tidak digelatinisasi, diuli

hingga homogen dan dibentuk lembaran pada mesin. Waktu pengukusan

optimum menghasilkan pati tergelatinisasi yang cukup untuk membentuk

adonan yang tidak lengket di mesin mi. Hasil pengamatan menunjukkan,

waktu pengukusan 10 dan 5 menit menghasilkan adonan yang mampu

mengikat sisa pati, dapat dibentuk lembaran, tetapi masih terlalu lengket

jika dipotong pada ukuran roll yang diinginkan (1,4). Waktu pengukusan 3

menit memberikan waktu pengukusan yang optimum. Lama pengukusan

dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, namun tingkat

gelatinisasi yang diharapkan hampir sama.

2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP

Setelah terpilih jumlah air dan waktu pengukusan yang optimum,

masalah lain yang ditemukan adalah tingginya kehilangan padatan akibat

pemasakan (KPAP) mi saat direbus. KPAP yang tinggi tidak dikehendaki

karena menyebabkan kuah mi menjadi keruh. Hal ini mungkin disebabkan

BTP (garam, baking powder, dan CMC) yang digunakan ditambahkan

pada pati yang tidak ikut tergelatinisasi. BTP yang ditambahkan pada pati

yang tidak digelatinisasi menyebabkan fungsi BTP kurang optimum dalam

pembentukan adonan maupun dalam menghasilkan mi dengan

karakteristik yang diinginkan. Oleh karena dilakukan perbaikan desain

Page 68: mi jagung

52

proses dengan mencoba menambahkan BTP pada bagian pati yang

dikukus untuk mengurangi KPAP.

Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang

Gambar 8 menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang

tergelatinisasi dapat menurunkan KPAP mi saat direbus. Hasil uji

perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 1) dengan selang

kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang

dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan KPAP.

Metode Budiyah (2005) menambahkan semua BTP yang

digunakan pada pati yang tidak dikukus. Perlakuan ini tidak menghasilkan

produk dengan KPAP tinggi, karena adanya tahap pengukusan kedua yang

memungkinkan BTP bekerja dan menghasilkan mi dengan KPAP rendah.

KPAP atau cooking loss bisa didefinisikan sebagai lepasnya

massa padatan mi ke air rebusan. Menurut Chen et al., (2003) KPAP

terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan

. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan

kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi

keruh juga menjadikan kuah mi lebih kental (thick). Tingginya KPAP juga

menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lemah dan kurang licin.

KPAP yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya

kemampuan matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak

tergelatinisasi. Oleh karena itu diperlukan bahan tambahan yang mampu

16.525

14.14

12.5

13

13.5

14

14.5

15

15.5

16

16.5

17

BTP tidak dikukus BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

Kehi

lang

an P

Adat

an A

kiba

t Pe

mas

akan

(KPA

P)

Page 69: mi jagung

53

membantu pengikatan pati. Bahan tambahan pangan yang dipakai dan

berfungsi sebagai pengikat adalah CMC. CMC mampu berfungsi sebagai

pengikat jika berinteraksi dengan air dan membentuk gel. Gel CMC yang

terbentuk akan membantu pengikatan pati yang tidak tergelatinisasi,

sehingga mampu menurunkan KPAP. Interaksi CMC dengan air

dimungkinkan dengan menambahkan CMC pada bagian pati yang akan

dikukus.

a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap %elongasi mi

Persen elongasi adalah pertambahan panjang mi akibat gaya

tarikan. Sifat ini termasuk karakteristik mi yang sangat penting. Mi

dengan %elongasi tinggi menunjukkan karaktersitik mi yang tidak

mudah putus. Sifat ini penting karena kita tidak ingin mengonsumsi mi

yang hancur saat dimakan

Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah matang

Gambar 9 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada

adonan yang dikukus menyebabkan penurunan %elongasi mi. Hasil uji

perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 2) dengan selang

20.55

11.66

0

5

10

15

20

25

BTP tidak dikukus BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

% E

long

asi

Page 70: mi jagung

54

kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati

yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan %elongasi mi.

BTP yang ditambahkan meliputi garam, baking powder dan

CMC. Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur,

mengikat air, meningkatkan elastisitas, dan fleksibilitas mi (Budiyah,

2005). Baking powder merupakan campuran dari Na2CO3:K2CO3

(2:1). Bahan ini dapat mebuat struktur bahan menjadi lebih berpori

karena kemampuannya membentuk gas CO2. Struktur bahan yang

berpori diharapkan dapat mempercepat hidrasi air saat pemasakan.

CMC sendiri berfungsi sebagai bahan penstabil, pengikat, dan

membantu pengikatan air.

Eliasson dan Gudmunsson (1996) menyatakan tingginya

amilosa terlarut dan tingginya kemampuan pengembangan granula

mampu meningkatkan elastisitas. Sebaliknya tingginya amilopektin

terlarut dapat mengganggu pembentukan gel dan menurunkan

elastisitas. Hal ini menunjukkan kecukupan gelatinisasi sangat

menentukan sifat elongasi mi. Selama gelatinisasi, granula pati akan

mengembang dan fraksi amilosa akan terlarut keluar dari granula.

Jumlah air yang cukup berpengaruh terhadap pengembangan granula

dan jumlah amilosa terlarut. Penambahan CMC akan mengurangi porsi

air yang bisa diserap oleh pati, sehingga proses gelatinisasi kurang

optimum. Hal ini menyebabkan penurunan %elongasi mi.

Kantanka dan Acquistucci (1996) menyatakan bahwa

penambahan garam pada granula pati yang rapuh dapat meningkatkan

kekuatan granula pati sehingga meningkatkan pengembangan pati.

Tetapi penambahan garam pada granula pati yang kuat dapat

menghambat gelatinisasi sehingga menghambat pengembangan

granula. Pengaruh penambahan garam terhadap sifat gelatinisasi pati

tergantung dari konsentrasi garam yang ditambahkan. Eliasson dan

Gudmunsson (1996) menyatakan penambahan garam dapat

menghambat gelatinisasi hingga konsentrasi tertentu. Penambahan

garam berlebihan justru akan menurunkan suhu gelatinisasi.

Page 71: mi jagung

55

Baking powder bepengaruh terhadap pH air yang digunakan.

Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pH hanya berpengaruh

kecil terhadap sifat pati, karena pati sendiri biasanya tidak bermuatan.

Namun Eliasson dan Gudmunsson (1996) melaporkan modulus

elatisitas optimum pati terjadi pada pH 9.4 dan terendah pada 5.6,

walaupun perbedaannya elastik modulusnya kecil. pH air yang

ditambahkan pada pati yang dikukus adalah 7.10

b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan

Resistensi terhadap tarikan adalah nilai yang menggambarkan

kemampuan untaian mi untuk menahan gaya tarikan dengan besaran

tertentu. Semakin tinggi nilai karakteristik ini menunjukkan untaian mi

tidak mudah patah.

Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi

terhadap tarikan mi jagung basah matang

Gambar 10 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada

adonan yang dikukus menyebabkan penurunan sifat resistensi terhadap

tarikan mi. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran

3) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP

16.6

14.4

13

13.5

14

14.5

15

15.5

16

16.5

17

BTP tidak dikukus BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

Res

iste

nsi t

erha

dap

tarik

an (g

f)

Page 72: mi jagung

56

pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan

sifat resistensi untaian mi terhadap tarikan.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penambahan BTP pada

adonan yang dikukus menurunkan derajat gelatinisasi, sehingga

menurunkan fraksi amilosa terlarut. Hal ini menyebabkan matrik yang

terbentuk kurang kuat sehingga menurunkan nilai resistensi terhadap

tarikan.

c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kekerasan mi

Kekerasan mi dalam definisi sensori dimaksudkan sebagai gaya

yang diperlukan untuk menggigit untaian mi. Pengukuran kekerasan

mi dilakukan dengan menekan untaian mi hingga ketebalan tertentu.

Kekerasan mi dilihat dari gaya yang diperlukan untuk menekan mi

hingga ketebalan yang ditentukan.

Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah matang

Gambar 11 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada

adonan yang dikukus menyebabkan penurunan kekerasan mi. Hasil uji

perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 4) dengan selang

kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati

yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan kekerasan mi.

1348.3

937.8

0200400600800

1000120014001600

BTP tidak dikukus BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

Kek

eras

an (g

f)

Page 73: mi jagung

57

BTP yang ditambahkan menyebabkan turunnya amilosa

terlarut. Amilosa terlarut akan berikatan satu sama lain membentuk

matriks pengikat. Amilosa cenderung mengalami retrogradasi yang

dapat meningkatkan kekerasan mi. Turunnya jumlah amilosa terlarut

menyebabkan fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih

sedikit sehingga tekstur mi menjadi lebih lunak. Selain itu adanya gel

CMC juga berkontribusi terhadap lebih lunaknya tekstur mi.

d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kelengketan mi

Karakteristik kelengketan termasuk salah satu parameter yang

penting untuk diukur karena parameter ini berkaitan dengan kualitas

mi itu sendiri. Karakteristik kelengketan yang dimaksud disini adalah

kecenderungan mi untuk menempel satu sama lain. Kelengketan

diukur dengan gaya yang diperlukan unutuk menarik probe yang

menekan mi dari permukaan mi. Pengukuran kekerasan dilakuakn

bersamaan dengan pengukuran kekerasan mi.

Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah matang

Gambar 12 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada

adonan yang dikukus menyebabkan penurunan kelengketan mi. Hasil

uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 5) dengan selang

-558.98

-158.96

-600

-500

-400

-300

-200

-100

0BTP tidak dikukus BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

Kel

engk

etan

(gf)

Page 74: mi jagung

58

kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati

yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan kelengketan mi.

Kelengketan pada permukaan mi disebabkan adanya fraksi

amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati (Eliasson dan

Gudmunssson, 1996). Selain itu (Moss et al., 1987 seperti dikutip oleh

Miskelly, 1996) kelengketan pada permukaan mi disebabkan karena

terurainya matriks protein dan pengembangan yang berlebihan dari

granula pati. Penambahan BTP menurunkan amilosa terlarut sehingga

kelengketan mi juga menurun.

e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi

Secara lebih singkat pengaruh pengukusan BTP terhadap

karakteristik mi dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Gambar 13

menunjukkan pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik %

elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP. Sedangkan Gambar 14

menunjukkan pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter

kekerasan dan kelengketan.

Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang

20.55

11.66

16.614.4

16.525 14.14

0

5

10

15

20

25

BTP tidakdikukus

BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

Hasi

l pen

guku

ran

%El

onga

si,

resi

sten

si te

rhad

ap ta

rikan

, dan

KP

AP m

i

%Elongasi (%)

Resistensi Terhadaptarikan (gf)KPAP (%)

Page 75: mi jagung

59

Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan

dan kelengketan mi jagung basah matang

Gambar 13 dan 14 menunjukkan penambahan BTP pada bagian

yang dikukus menyebabkan penurunan semua karakteristik mi. Hal ini

menunjukkan keberadaan BTP berpengaruh terhadap tingkat

gelatinisasi pati. Berkurangnya jumlah amilosa terlarut menyebabkan

menurunnya % elongasi mi dan matriks yang terbentuk juga kurang

kuat. Kurang kuatnya matriks yang terbentuk ditunjukkan dengan

turunnya karakteristik resistensi terhadap tarikan. Kekerasan mi yang

menurun disebabkan oleh jumlah amilosa yang bertanggungjawab

terhadap sifat retrogradasi juga berkurang. Selain itu, adanya gel CMC

juga berkontribusi terhadap lebih lunaknya tekstur mi. Amilosa terlarut

juga bertanggung jawab terhadap kelengketan mi. Penambahan BTP

menurunkan jumlah amilosa terlarut sehingga kelengketan mi juga

menurun.

Tidak semua penurunan karakteristik mi menurunkan kualitas

mi. Penurunan KPAP dan kelengkatan justru hal yang diinginkan.

Sebaliknya penurunan %elongasi, resistensi terhadap tarikan, dan

kekerasan adalah hal yang dihindari. Penurunan KPAP adalah tujuan

dari dilakukannya penambahan BTP pada bagian yang dikukus. Oleh

karena itu pada tahapan proses selanjutnya dilakukan dengan

penambahan BTP pada bagian yang dikukus. Perbaikan karakteristik

937.8

1348.3

-158.96

-558.98-1000

-500

0

500

1000

1500

BTP tidak dikukus BTP dikukus

Perlakuan terhadap BTP

Hasi

l pen

guku

ran

keke

rasa

n da

n ke

leng

keta

n m

i

Kekerasan (gf)Kelengketan (gf)

Page 76: mi jagung

60

% elongasi, resistensi terhada tarikan dan kekerasan mi dilakukan pada

tahap selanjutnya.

Sampai saat ini belum ada data secara kuantitatif yang

menunjukkan karakteristik mi basah yang ideal. Namun masyarakat

yang telah lebih dahulu mengenal mi basah terigu akan menganggap

mi basah terigu adalah mi dengan karakteristik terbaik dan akan

cenderung membandingkan produk mi basah baru dengan mi basah

terigu. Karakteristik mi basah di Indonesia mengacu pada mi basah

cina (Hou dan Kruk, 1998). Menurut Hou dan Kruk (1998)

karakteristik tekstur yang diinginkan pada mi basah matang cina

adalah kenyal, elastis, tidak lengket, good bite, dan memiliki tekstur

yang stabil dalam air panas.

Karakteristik elastis dapat dilihat dari hasil pengukuran

parameter % elongasi dan resistensi terhadap tarikan. Semakin tinggi

% elongasi dan resistensi terhadap tarikan menunjukkan semakin

baiknya nilai elastisitas mi. Karakteristik kelengketan dapat dilihat

pada pengukuran parameter kelengketan dengan texture analyzer. Mi

dengan tingkat kelengketan rendah lebih disukai karena kita tidak

menghendaki untaian mi menempel di gigi saat dikunyah atau sulit

disumpit/disendok karena menempel satu sama lain. Karakteristik

tekstur yang stabil dalam air panas dapat dilihat dari hasil pengukuran

KPAP. Tekstur yang stabil ditunjukkan dengan semakin rendahnya

nilai KPAP. Karakteristik good bite dan kekenyalan dapat dilihat dari

hasil pengukuran nilai kekerasan. Definisi good bite untuk mi basah

matang cina menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi dengan tekstur

yang agak keras jika digigit (hard bite). Karakteristik kekerasan untuk

jenis mi lain bisa berarti lebih lunak namun tetap kokoh (firm bite),

atau bisa juga berarti lunak (softer).

Hasil pengukuran karakteristik mi menunjukkan, karakteristik

% elongasi mi sebesar 11.66 masih jauh dari % elongasi mi sagu yang

mencapai 33.36% atau mi basah terigu yang mencapai 98.40%.

Karakteristik resistensi terhadap tarikan juga menurun dari 16.6 gf

Page 77: mi jagung

61

menjadi 14.4 gf. Nilai ini juga masih jauh jika dibandingkan mi basah

terigu yang mencapai 39.2 namun sama dengan mi sagu yaitu 14.4.

Karakteristik lain yang juga mengalami penurunan adalah kekerasan.

Kekerasan mi jagung bsah matang pada tahap ini turun dari 1348.3 gf

menjadi 937.8 gf. Penurunan ini menyebabkan karakteristik mi jagung

basah matang semakin jauh dari karakterstik kekerasan mi terigu yang

lebih keras dan mencapai angka 2797.12gf. Namun penamabahan

bahan tambahan pada bagian yang dikukus menyebabkan penurunan

KPAP dan kelengketan. Parameter kelengketan turun dari -558.98 gf

menjadi -158.96 gf. Nilai KPAP ini justru lebih kecil dibanding mi

asah terigu (-435.7 gf) walaupun masih lebih besar jika dibandingkan

mi sagu (-82.52 gf). Dari segi ekonomi, penurunan kelengketan. KPAP

mi basah jagung turun dari 16.525% menjadi 14.14%. Sementara itu

KPAP mi basah terigu masih lebih baik yaitu 10.84%. mi bisa berarti

pengurangan jumlah minyak yang digunakan. Hal ini tentu sangat

menguntungkan jika benar-benar diterapkan dalm industri. KPAP

turuKarakteristik mi basah matang terigu yang dijadikan acuan dapat

dilihat pada Tabel 11. Pengukuran terhadap mi sagu juga dilakukan

karena dilihat dari bahan bakunya, mi basah jagung menggunakan

bahan dasar pati jagung. Mi sagu dipilih karena mi tersebut adalah mi

pati yang paling mudah didapat dan dijual dalam bentuk mi basah

matangnya.

f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap tingkat gelatinisasi

Penentuan derajat gelatinisasi dilakukan berdasarkan pada

intensitas warna kompleks antara amilosa dan iodin (Birch dan Green,

1973). Selama gelatinisasi, amilosa akan berdifusi keluar dari granula,

semakin sempurna gelatinisasi semakin banyak fraksi amilosa yang

keluar dari granula. Amilosa terlarut akan stabil pada pH basa.

Indikator iodin ditambahkan agar terbentuk komplek warna biru dan

bisa dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

Page 78: mi jagung

62

Penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus ternyata

menurunkan derajat gelatinisasi pati. Derajat gelatinisasi pati adonan

yang dikukus dengan BTP adalah 51.82%, sedangkan derajat

gelatinisasi pati adonan yang dikukus tanpa BTP adalah 67.27%.

Derajat gelatinisasi yang lebih rendah menunjukkan semakin

rendahnya amilosa terlarut.

Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan

BTP Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan

penambahan BTP Keterangan : : Granula pati tergelatinisasi :Granula pati belum tergelatinisasi

Page 79: mi jagung

63

Pengukuran derajat gelatinisasi secara kualitatif bisa dilakukan

menggunakan mikroskop polarisasi. Granula pati yang belum

tergelatinisasi memperlihatkan sifat birefringence, yaitu sifat

merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap

terang (biru-kuning). Semakin banyak granula pati yang tidak lagi

menunjukkan sifat birefringence menunjukkan semakin besar derajat

gelatinisasi. Gambar 15 dan 16 menunjukkan pengaruh penambahan

bahan tambahan pada bagian pati yang dikukus terhadap derajat

gelatinisasi pati adonan mi. Panah hitam pada Gambar 15

menunjukkan granula pati yang telah kehilangan sifat birefringence.

Sedangkan panah biru pada Gambar 16 menunjukkan granula yang

masih memiliki sifat birefringence. Granula yang tergelatinisasi

terlihat transparan dan tidak lagi memancarkan cahaya terpolarisasi

(biru-kuning). Hasil pengamatan menunjukkan penambahan bahan

tambahan pada bagian adonan yang dikukus menyebabkan

berkurangnya jumlah granula pati yang tergelatinisasi. Hal ini dapat

terlihat dari masih banyaknya granula pati yang masih memiliki sifat

birefringence (Gambar 16).

3. Proses pembuatan mi jagung basah

Tujuan utama penentuan desain proses penambhan BTP pada

adonan yang dikukus adalah untuk memperbaiki cooking loss. Hasil

pengamatan menunjukkan penambahan BTP pada bagian adonan yang

dikukus berpengaruh nyata menurunkan cooking loss. Oleh karena itu,

penambahan BTP pada bagian adonan yang dikukus digunakan untuk

tahapan proses selanjutnya.

Proses pembuatan mi basah jagung dimulai dengan metode

Budiyah (2005) namun dalam pelaksanaannya metode ini menghasilkan

mi dengan KPAP yang sangat tinggi. Selanjutnya desain proses pembuatan

mi basah jagung dibuat dengan prosedur seperti pada Gambar 17.

Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pembagian pati menjadi dua

bagian sama besar. Sebagian pati dicampur dengan CGM dan CMC dan

Page 80: mi jagung

64

diaduk hingga homogen. Garam dan baking powder dilarutkan dalam air

kemudian ditambahkan pada pati yang telah dicampur dengan CGM dan

CMC.

Air ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diuli untuk

memastikan hidrasi air yang merata dan homogen. Selanjutnya adonan

tersebut dikukus selama 3 menit dan suhu inti adonan mencapai 75oC.

Proses pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi pati, agar terbentuk

matriks sebagai pengganti gluten terigu. Matriks yang terbentuk berfungsi

sebagai pengikat dalam pembentukan adonan.

Setelah tiga menit, adonan yang tergelatinisasi dicampurkan

dengan sisa pati yang tidak digelatinisasi. Adonan dicampur dan diuli

hingga homogen. Proses ini bertujuan agar matrik pati yang tidak

digelatinisasi terikat dalam matriks yang tergelatinisasi, terbentuk adonan

yang baik, bisa dibentuk lembaran dan tidak lengket di mesin mi.

Tahap selanjutnya adalah pengepresan. Adonan yang telah

homogen dibentuk lembaran dengan melewatkan adonan pada dua roll

pengepres pada ketebalan tertentu. Lembaran dipress setahap demi setahap

dari roll ukuran besar hingga roll dengan ukuran ketebalan yang

diinginkan. Ukuran roll terkecil yang digunakan pada pembuatan mi kali

ini adalah adalah 1.4. Ukuran roll ini menghasilkan lembaran mi dengan

ketebalan 1.5-1.7 mm. Setelah mencapai tebal lembaran yang diinginkan,

lembaran mi masuk ke tahap slitting. Tahap ini adalah tahap dimana

lembaran mi dipotong menjadi untaian mi. Ketajaman roll pemotong

sangat penting untuk diperhatikan. Roll pemotong yang kurang tajam

menyebabkan untaian mi tidak terpotong denga rapi dan bergerigi. Hasil

potongan yang kurang rapi akan berpengaruh terhadap cooking quality mi.

Potongan yang kurang rapi dapat meningkatkan KPAP.

Mi yang telah dipotong harus segera direbus karena penundaan

perebusan menyebabkan mi menjadi keras, kering dan mudah patah. Hal

ini disebabkan air dalam matriks gel pati menguap (retrogradasi). Proses

perebusan bertujuan mematangkan untaian mi. Selama perebusan, pati

yang belum tergelatinisasi akan tergelatinisasi dan membentuk tekstur mi

Page 81: mi jagung

65

yang lembut, lunak, dan kenyal. Hou dan Kruk (1998) menyebutkan

beberapa hal yang harus diperhatikan selama perebusan mi antara lain : 1).

Bobot air rebusan minimal adalah sepuluh kali bobot mi mentah, 2).

Wadah perebus bisa merendam semua bagian mi, 3). pH air rebusan

berkisar 5.5-6.0, 4). Waktu perebusan harus dikontrol untuk mendapatkan

hasil rebusan yang optimum, 5). Suhu perebusan harus dipertahankan pada

suhu 98-100oC selama perebusan.

Waktu perebusan termasuk salah satu tahapan proses yang

penting. Oleh karena itu dilakukan percobaan untuk menentukan waktu

perebusan mi yang optimum. Kruger et al., (1996), menyatakan bahwa

waktu pemasakan tergantung pada lebar dan ketebalan untaian mi. Waktu

pemasakan optimum menurut Kruger et al., (1996) adalah waktu ketika

bagian putih di tengah diameter untaian mi tepat menghilang. Hou dan

Kruk menyatakan perebusan mi basah terigu biasanya berlangsung selama

45-90 detik hingga tercapai 80-90% pati tergelatinisasi. Moss ( 1982)

seperti dikutip oleh Miskelly (1996) menyatakan bahwa mi Hokkien (mi

basah cina) direbus selama 1-2 menit selama proses dan masih

meninggalkan bagian yang tidak tergelatinisasi di bagian tengah mi.

Astawan (1999) melakuakan perebusan mi basah matang selama 2 menit,

dengan catatan api yang digunakan harus besar. Api yang besar

mempersingkat waktu perebusan mi. Waktu perebusan yang terlalu lama

menyebabkan tekstur mi terlalu lembek.

Tabel 11 menunjukkan waktu perebusan optimum yang

digunakan pada pembuatan mi kali ini. Pemilihan waktu perebusan awal, 2

menit, didasarkan pada standar waktu perebusan mi basah terigu. Waktu

perebusan 2 menit masih menghasilkan mi yang belum matang dan keras.

Hal ini terlihat dari bagian putih di tengah mi masih cukup besar.

Perebusan hingga 2.5 menit terlihat memberikan hasil yang paling

optimum, meskipun bagian putih ditengah mi masih terlihat. Bagian putih

di tengah mi masih terlihat hingga waktu pemasakan 3 menit masih.

Tekstur mi yang dihasilkan pada waktu perebusan ini terlihat lembek dan

kurang menarik.

Page 82: mi jagung

66

Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum Waktu perebusan

(menit) Hasil pengamatan

2 Mi belum matang, bagian putih ditengah masih

cukup besar dan mi masih keras

2.5 Mi sudah matang, bagian putih mengecil dan

mi cukup kenyal

3 Mi matang, bagian putih masih ada, tetapi

tekstur mi terlihat terlalu lembek

Tahap selanjutnya setelah perebusan adalah pelumasan mi dengan

minyak sayur. Tahap ini dilakukan untuk mencegah untaian mi menempel

satu sama lain. Setelah perebusan, untaian mi ditiriskan dari air rebusan,

dibilas dengan air kurang lebih 15 detik, ditiriskan, dan dilumuri minyak.

Pembilasan untaian mi dengan air dimaksudkan untuk membersihkan sisa

fraksi pati di permukaan mi yang dapat menyebabkan kelengketan.

Selanjutnya mi dilumuri minyak. Jumlah minyak yang digunakan adalah

2% dari total bobot mi yang telah ditiriskan. Jumlah minyak yang

ditambahkan didasarkan pada jumlah minyak yang biasa digunakan pada

mi basah. Hou dan Kruk (1998) menyatakan setelah direbus, mi basah cina

dilumuri dengan 1-2% minyak sayur untuk mencegah untaian mi

menempel satu sama lain. Miskelly (1996) menyatakan jumlah minyak

yang ditambahkan bisa lebih besar jika mi tidak cukup dibilas atau

didinginkan. Pelumuran minyak juga berfungsi untuk memperbaiki

penampakan mi agar mengkilap (Mugiarti 2001; Bogasari, 2005). Proses

pembuatan mi basah jagung matang lebih lengkap dapat dilihat pada

Gambar 17. Sedangkan gambar produk mi jagung basah matang dapat

dilihat pada Gambar 18.

Page 83: mi jagung

67

Pengadukan hingga homogen

Pengukusan (3 menit)

Pencampuran dengan sisa maizena (45 g)

Pengadukan hingga homogen

Pembentukan lembaran dan pemotongan

Perebusan (2.5 menit)

Perendaman dalam air dingin (sambil digoyang) selama 15 detik

Penirisan

Penambahan minyak (2%)

Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah

Gambar 18. Mi jagung basah matang

C. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang

Perbaikan elastisitas dilakukan dengan mensubstitusi sebagian maizena

yang dikukus dengan pati kacang hijau. Substitusi dilakukan adalah 5%, 10%,

Air 30 ml + garam 1% + baking powder 0.3%

45 g maizena + 10 g CGM + CMC 1%

Mi jagung basah mentah

Mi jagung basah matang

Page 84: mi jagung

68

15%, dan 20% dari total adonan (pati+CGM). Hal ini dilakukan untuk

memperbaiki kualitas adonan yang tergelatinisasi, sehingga diharapkan dapat

memperbaiki karakteristik fisik mi. Subtitusi pati kacang hijau diharapkan

dapat meningkatkan %elongasi, kekekrasan, dan resistensi terhadap tarikan,

tapi menurunkan kelengketan dan KPAP.

1. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap % Elongasi mi

Substitusi pati kacang hijau diharapkan mampu meningkatkan %

elongasi mi. Tingkat substitusi yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan

20%.

Gambar 19 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu

meningkatkan elongasi mi. Hasil uji sidik ragam dengan selang

kepercayaan 95% (Lampiran 6a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau

berpengaruh nyata terhadap peningkatan elongasi mi. Hasil uji lanjut

Duncan (Lampiran 6b) menunjukkan penambahan pati kacang hijau pada

semua tingkat substitusi berpengaruh nyata terhadap peningkatan elongasi

mi. Namun peningkatan konsentrasi substitusi pati kacang hijau tidak

meningkatkan elongasi mi secara nyata.

Gambar 19. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap % elongasi mi jagung basah matang

11.66

15.86 16.0316.86 16.45

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

0% hunkwe 5% hunkwe 10% hunkwe 15% hunkwe 20% hunkwe

Subtitusi hunkwe yang digunakan

% E

long

asi

Page 85: mi jagung

69

Penambahan pati kacang hijau diharapkan meningkatkan jumlah

amilosa terlarut. Tetapi jumlah air yang terbatas menyebabkan terbatasnya

perkembangan granula dan jumlah amilosa yang terlarut juga tidak optimal.

Sehingga peningkatan jumlah pati kacang hijau yang ditambahkan tidak

diikuti dengan peningkatan elongasi secara gradual. Kurang optimalnya

hasil yang diperoleh mungkin juga disebabkan perbedaan proses yang

digunakan. Lii et all., (1988) menyebutkan pati pati kacang hijau memiliki

tingkat pengembangan dan kelarutan yang tinggi pada suhu 95oC. Selain

jumlah air yang terbatas, suhu pengukusan tidak mencapai suhu tersebut,

sehingga pengembangan dan kelarutan pati kacang hijau tidak sempurna.

Waktu perebusan mi yang terlalu singkat, tidak memberikan kesempatan

bagi granula pati untuk mengembang optimum. Hal ini menyebabkan

penambahan pati kacang hijau tidak memberikan hasil yang diinginkan.

2.Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan

Pati kacang hijau memiliki kecenderungan retrogradasi yang

tinggi. Sifat ini yang menjadikan mi pati berbahan baku pati kacang hijau

memiliki karakteristik paling disukai karena teksturnnya yang kokoh.

Kontribusi amilosa pati kacang hijau diharapkan bisa meningkatkan tekstur

mi jagung.

Gambar 20. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi jagung basah matang

14.415.73

16.87

20.7322.27

0

5

10

15

20

25

0% hunkwe 5% hunkwe 10% hunkwe 15% hunkwe 20% hunkwe

Subtitusi hunkwe yang digunakan

Res

iste

nsi t

erha

dap

tarik

an (g

f)

Page 86: mi jagung

70

Gambar 20 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu

meningkatkan resistensi mi terhadap tarikan. Hasil uji sidik ragam dengan

selang kepercayaan 95% (Lampiran 7a) menunjukkan substitusi pati kacang

hijau berpengaruh nyata terhadap peningkatan karakteristik resistensi mi

terhadap tarikan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7b) menunjukkan pada

tingkat substitusi 5% tidak berbeda nyata dengan resistensi mi terhadap

tarikan tanpa substitusi. Resistensi mi tanpa substitusi berbeda nyata dengan

tingkat substitusi 10%, 15%, dan 20%. Sedangkan tingkat substitusi mi 5%

tidak berbeda nyata dengan tingkat substitusi 10% tetapi berbeda nyata

dengan tingkat substitusi 15%, dan 20%. Meningkatnya jumlah amilosa

terlarut meningkatkan kekuatan matriks pengikat sehingga meningkatkan

resistensi terhadap tarikan mi.

3. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kekerasan mi

Kekerasan mi dipengaruhi oleh sifat retrogradasi pati. Retrogradasi

meningkatkan kekerasan mi. Fraksi pati yang bertanggungjawab atas sifat

retrogradas adalah amilosa. Semakin banyak amilosa terlarut

kecenderungan retrogradasi akan semakin tinggi.

Gambar 21. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kekerasans mi jagung basah matang

937.81 964.89

1478.2

1774.671579.26

0200400600800

100012001400160018002000

0% hunkwe 5% hunkwe 10%hunkwe

15%hunkwe

20%hunkwe

Subtitusi hunkwe yang digunakan

Kek

eras

an (g

f)

Page 87: mi jagung

71

Gambar 21 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu

meningkatkan kekerasan mi. Hasil uji sidik ragam dengan selang

kepercayaan 95% (Lampiran 8a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau

berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi. Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan substitusi pati kacang hijau 5% tidak berbeda nyata dengan

mi tanpa substitusi. Kekerasan keduanya berbeda nyata dengan mi dengan

substitusi 10%, 15%, dan 20%. Kekerasan mi pada substitusi 10% tidak

berbeda nyata dengan taraf substitusi 20% dan kekerasan keduanya berbeda

nyata dengan kekerasan mi pada substitusi 15%.

Kekerasan mi dengan substitusi pati kacang hijau terlihat meningkat

hingga taraf substitusi 15%. Kekerasan mi pada tingkat substitusi pati

kacang hijau 20% terlihat menurun. Hal ini disebabkan mungkin

disebabkan terbatasnya air yang dapat digunakan untuk pengembangan

granula, sehingga kelarutan amilosa menurun. Taraf substitusi 15%

mungkin taraf substitusi optimum untuk formulasi mi pada penelitian kali

ini. Karena penambahan pati kacang hijau lebih dari 15 % tidak

menunjukkan perbaikan yang signifikan, bahkan mengalami penurunan.

4. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kelengketan mi

Kelengketan mi dipengaruhi oleh fraksi amilosa yang keluar saat

pemasakan. Smith (1999) mengemukakan jaringan protein juga berperan

dalam pencegahan sifat lengket pada pasta. Jaringan protein yang tidak

cukup kuat menahan pati tergelatinisasi menyebabkan pasta yang dimasak

menjadi lengket.

Page 88: mi jagung

72

Gambar 22. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kelengketan mi jagung basah matang

Gambar 22 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu

meningkatkan kelengketan mi hingga taraf substitusi 15%. Nilai

kelengketan menurun pada tingkat substitusi 20%. Hasil uji sidik ragam

dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 9a) menunjukkan substitusi pati

kacang hijau berpengaruh nyata terhadap karakteristik kelengketan mi.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9b) menunjukkan kelengketan mi tanpa

substitusi berbeda nyata dengan mi tersubstitusi pati kacang hijau.

Kelengketan mi pada substitusi pati kacang hijau 5% berbedanya nyata

dengan mi pada substitusi pati kacang hijau 10%, 15%, dan 20%.

Kelengketan pada substitusi 10% berbeda nyata dengan kelengketan pada

tingkat substitusi 15% tapi tidak berbeda nyata dengan kelengketan pada

substitusi 20%.

Semakin tinggi tinggi tingkat substitusi semakin meningkatkan

amilosa terlarut yang bertanggungjawab terhadap kelengketan mi. Sehingga

peningkatan konsentrasi pati kacang hijau meningkatkan kecenderungan

kelengketan mi. Tetapi jumlah air yang terbatas menyebabkan

pengembangan pati pati kacang hijau terbatas sehingga membatasi

kelarutan amilosa. Hal ini menyebabkan penurunan kelengketan pada

tingkat substitusi 20%.

-158.96

-251.2

-612.44

-724.73

-598.21

-800

-700

-600

-500

-400

-300

-200

-100

00% hunkwe 5% hunkwe 10%

hunkwe15%

hunkwe20%

hunkwe

Subtitusi hunkwe yang digunakan

Kel

engk

etan

(gf)

Page 89: mi jagung

73

Berdasarkan hasil pengamatan, substitusi pati kacang hijau yang paling

optimum dalam memperbaiki karakteristik fisik mi adalah mi jagung dengan

substitusi pati kacang hijau sebesar 5%. Substitusi pati kacang hijau 5%

menghasilkan mi dengan karakteristik %elongasi 15.86%, resistensi terhadap

tarikan 15.73gf, kekerasan 964.89 gf dan kelengketan -251.2gf. Formulasi

optimum ini akan digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.

D. Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Mi Jagung Basah Matang

Perbaikan KPAP mi dilakukan dengan mencoba jenis pengikat baru

yakni penggunaan guar gum. Pemilihan guar gum didasarkan pada penelitian

sebelumnya. Fadlillah (2005) melakukan percobaan dengan memvariasikan

beberapa jenis bahan tambahan pangan untuk memperbaiki KPAP mi jagung

instan. Bahan tambahan pangan yang digunakan adalah guar gum, carboxyl

methil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan Na2CO3

dengan konsentrasi 1%. Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan guar

gum 1% menunjukkan KPAP yang paling rendah. Penelitian kali ini selain

mencoba jenis pengikat baru, dilakukan pula variasi konsentrasi untuk

mendapatkan konsentrasi pengikat yang optimum untuk mengurangi KPAP.

Konsentrasi pengikat yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan 2%. Penentuan

variasi konsentrasi ini didasarkan pada penelitian sebelumnya. Budiyah (2005)

menyatakan bahwa penggunaan CMC konsentrasi 0.5% masih menghasilkan

mi dengan cooking loss tinggi Namun penggunaan CMC hingga 2%

menghasilkan mi instan dengan tekstur yang terlalu kenyal. Pengamatan

parameter KPAP pada kedua penelitian sebelumnya dilakukan secara visual

dengan mengamati air rebusan mi. Penelitian kali ini ingin melihat pengaruh

konsentrasi dan jenis pengikat secara kuantitatif. Asumsi yang digunakan,

semakin tinggi konsentrasi pengikat nilai KPAP mi akan semakin rendah.

Gambar 23 menunjukkan peningkatan konsentrasi CMC justru

menaikkan KPAP. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 10a) menunjukkn

kenaikkan konsentrasi CMC berpengaruh nyata terhadap kenaikkan KPAP mi.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10b) menunjukkan KPAP mi dengan

Page 90: mi jagung

74

konsentrasi CMC 1% berbeda nyata dengan KPAP mi dengan konsentrasi

CMC 1.5 dan 2%. Sedangkan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 1.5% tidak

berbeda nyata dengan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 2%.

Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang

Peningkatan konsentrasi CMC berarti mengurangi jumlah air yang

diperlukan untuk gelatinisasi. Penggunaan CMC yang optimum adalah pada

konsentrasi 1% karena penambahan 0.5% menyebabkan peningkatan KPAP

yang cukup tinggi. Gel pengikat yang terbentuk oleh CMC dengan air

mungkin cukup besar. Namun jumlah pati yang tidak tergelatinisasi secara

optimum juga meningkat sehingga matriks amilosa yang terbentuk tidak

optimum. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan daya ikat matrik secara

keseluruhan.

Gambar 23 juga menunjukkan peningkatan konsentrasi guar gum dapat

meningkatkan KPAP. Namun hasil uji sidik ragam (Lampiran 11)

menunjukkan kenaikkan konsentrasi guar gum tidak berpengaruh nyata

terhadap peningkatan KPAP mi. Pengikatan air oleh guar gum tidak sebesar

pengikatan CMC, sehingga jumlah air yang tersedia masih cukup untuk

menggelatinisasi pati secara optimum.

Gambar 23 juga menunjukkan pengaruh jenis pengikat terhadap KPAP

pada konsentrasi yang sama. Penggunaan guar gum menunjukkan KPAP yang

lebih kecil pada semua tingkat konsentrasi. Hasil uji perbedaan rata-rata

13.48

16.24 16.88

12.8 13.22 13.95

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

1% 1.50% 2%

Konsentrasi binder

Kehi

anga

n pa

data

n ak

ibat

pe

mas

akan

(KPA

P)

CMCGuar gum

Page 91: mi jagung

75

dengan selang kepercayaan 95% mengenai pengaruh jenis konsentrasi

terhadap KPAP (Lampiran 12) menunjukkan, pada konsentrasi pengikat 1%,

KPAP mi menggunakan guar gum tidak berbeda nyata dengan KPAP mi yang

menggunakan CMC. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan selang kepercayaan

95% mengenai pengaruh jenis konsentrasi terhadap KPAP menunjukkan,

pada konsentrasi pengikat 1.5% (Lampiran 13), dan 2% (Lampiran 14) KPAP

mi menggunakan guar gum berbeda nyata dengan KPAP mi menggunakan

CMC. Secara keseluruhan, dari pemilihan jenis pengikat dan konsentrasi yang

digunakan penggunaan guar gum 1% terlihat memberikan hasil yang paling

optimum.

E. Analisis proksimat mi jagung basah matang

Analisis proksimat dilakukan pada mi jagung basah matang dengan

formulasi terpilih. Mi jagung basah yang diuji proksimat adalah mi dengan

substitusi pati kacang hijau 5% dan menggunakan guar gum 1% sebagai

pengikat. Hasil analisis proksimat mi jagung basah matang dapat dilihat pada

Tabel 12. Tujuan utama analisis proksimat ini adalah untuk melihat apakah mi

yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu mi basah terutama dari segi

kandungan proteinnya.

Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang

Parameter (bk) Mi jagung Mi sagu* Kadar air 63.71 % 79.00%

Kadar abu 0.41% 2.43%

Kadar protein 7.14% 3.52%

Kadar lemak 4.49% 24.67%

Kadar karbohidrat 87.99% 69.38%

* : Purwani et al., (2004) seperti dikutip oleh Azriani (2006)

Kadar air mi jagung basah matang adalah sebesar 63.71% (bb).

Sementara itu, kadar air mi basah matang untuk terigu berkisar antara 64-65%

(Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 2005, seperti dikutip oleh Gracecia,

2005). Hasil pengkuran kadar air mi jagung basah matang menunjukkan nilai

yang lebh rendah dibandingkan mi basah matang terigu. Jika dibandingkan

Page 92: mi jagung

76

dengan mi berbasis pati lainnya, dalam hal ini mi sagu, kadar air mi jagung

juga masih lebih rendah.

Kadar abu mi jagung basah adalah 0.41%. Kadar abu mi jagung basah

lebih kecil dibandingkan kadar abu mi sagu yang mencapai 2.43%. Hal ini

dipengaruhi oleh perbedaan bahan tambahan yang digunakan dalam

pembuatan kedua jenis mi. Mi sagu yang umum diperdagangkan umumnya

menggunakan tambahan pottasium alum (KAl(SO4)2 12 H2O) untuk

memperbaiki karakteristik mi yang dihasilkan. Selain potasium alum, alkali

lain yang sering digunakan adalah sodium karbonat atau kalium karbonat. Mi

jagung basah yang dihasilkan hanya menggunakan sodium karbonat atau

kalium karbonat sebagai sumber alkali. Perbedaan sumber dan jumlah alkali

yang digunakan menyebabkan jauhnya perbedaan kadar abu kedua jenis mi.

Menurut SNI 01-2987-1992 kadar abu maksimal untuk mi basah adalah

3.75%-4.62% (bk). Hal ini menunjukkan kadar abu mi jagung basah masih

memenuhi standar mutu.

Kadar protein kasar mi jagung basah adalah 7.14%. Kadar protein mi

jagung basah jauh lebih tinggi dibandingkan mi sagu (3.52%). Hal ini

menandakan penambahan CGM terbukti mampu menambah kadar protein mi.

Kadar protein mi basah menurut SNI 01-2987-1992 minimal 3.75%-4.62%

(bk). Sedangkan menurut SNI 01-3551-1996 seperti dikutip oleh Budiyah

(2005), kadar protein minimal mi non-terigu adalah 4%. Kadar protein mi

jagung terlihat masih memenuhi kedua standar minimal protein.

Kadar lemak kasar diukur dengan metode Soxhlet. Kadar lemak mi

jagung basah matang adalah sebesar 4.49%. Sementara itu mi sagu memiliki

kadar lemak yang jauh lebih tinggi yaitu 24.67%. Tingginya kadar lemak mi

sagu mungkin disebabkan jumlah minyak yang digunakan sebagai pelumas mi

lebih banyak dibandingkan jumlah minyak yang digunakan pada pembuatan

mi jagung basah matang.

Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference. Perhitungan

kadar karbohidrat didasarkan pada pengurangan 100% terhadap kadar air,

kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat mi jagung basah

matang adalah 87.99%. Kadar karbohidrat mi sagu adalah 69.39%.

Page 93: mi jagung

77

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan

mi instan jagung metode Budiyah (2005) dengan beberapa modifikasi untuk

mendapatkan hasil paling optimal. Penentuan desain proses meliputi

penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan

waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu

perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3

menit dan 2,5 menit. Urutan pencampuran bahan pada metode Budiyah

(2005) menghasilkan mi basah dengan KPAP tinggi. Perbaikan desain proses

untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan

(garam, baking powder, CMC) ke dalam bagian pati yang digelatinisasi.

Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung

kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan

menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%. Desain

proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran,

pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman

dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak.

Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik

mi terutama elongasi mi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi

sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau. Hasil yang

optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%.

Substitusi hunkwe 5% menghasilkan mi basah jagung matang dengan

%elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan -251.2 gf, dan

resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf.

Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan

memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. KPAP terendah diperoleh

pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%.

Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang

yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71% (bb), kadar abu 0.41%,

Page 94: mi jagung

78

kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat

dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat

menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah

dan mi non terigu.

B. SARAN

Mi basah jagung cukup berpotensi untuk dikembangkan. Namun

karakteristik fisik mi ini masih perlu diperbaiki terutama dari karakteristik %

elongasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi penggunaan pati atau

tepung yang bisa digunakan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi

Penelitian lanjutan tentang umur simpan, atau bahan kemasan yang sesuai

untuk memperlama umur simpan mi basah jagung perlu dilakukan untuk

meningkatkan daya saing mi ini.

Page 95: mi jagung

LAMPIRAN

Page 96: mi jagung

83

Lampiran 1. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F

Sig.

t

df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

KPAP Equal variances assumed

1.034 .348 -2.907 6 .027 -2.3850 .82053 -4.39277 -.37723

Equal variances not assumed

-2.907 4.792 .035 -2.3850 .82053 -4.52203 -.24797

Lampiran 2. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap %

Elongasi

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper ELONGASI Equal

variances assumed

4.926 .035 -7.579 28 .000 -8.8880 1.17267 -11.29012 -6.48592

Equal variances not assumed

-7.579 18.146 .000 -8.8880 1.17267 -11.35028 -6.42576

Lampiran 3. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap

resistentensi terhadap tarikan

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper RSISTNSI Equal

variances assumed

10.266 .003 -2.849 28 .008 -2.2000 .77213 -3.78164 -.61836

Equal variances not assumed

-2.849 21.332 .010 -2.2000 .77213 -3.80422 -.59578

Page 97: mi jagung

84

Lampiran 4. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

DifferenceStd. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper KKERASAN Equal

variances assumed

3.350 .078 -7.211 28 .000 -410.4800 56.92304 -527.08157 -293.87843

Equal variances not assumed

-7.211 23.869 .000 -410.4800 56.92304 -527.99746 -292.96254

Lampiran 5. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap

kelengketan

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper KLNGKTAN Equal

variances assumed

.000 .997 18.284 28 .000 370.3933 20.25756 328.89761 411.88906

Equal variances not assumed

18.284 27.813 .000 370.3933 20.25756 328.88506 411.90161

Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap %

elongasi mi ANOVA ELONGASI

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 267.172 4 66.793 15.904 .000 Within Groups 293.984 70 4.200 Total 561.155 74

Page 98: mi jagung

85

Lampiran 6b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi

ELONGASI Duncan

Konsentrasi hunkwe N

Subset for alpha = .05

1 2 0% hunkwe 15 11.6639 5% hunkwe 15 15.867110% hunkwe 15 16.026620% hunkwe 15 16.453315% hunkwe 15 16.8614Sig. 1.000 .233

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000. Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat

resistensi terhadap tarikan mi ANOVA RSISTNSI

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 675.867 4 168.967 50.089 .000 Within Groups 236.133 70 3.373 Total 912.000 74

Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat

resistensi mi terhadap tarikan RSISTNSI Duncan

Konsentrasi hunkwe N

Subset for alpha = .05

1 2 3 4 0% hunkwe 15 14.4000 5% hunkwe 15 15.7333 15.7333 10% hunkwe 15 16.8667 15% hunkwe 15 20.7333 20% hunkwe 15 22.2667 Sig. .051 .095 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.

Page 99: mi jagung

86

Lampiran 8a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi

ANOVA KKERASAN

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 8512686.0

78 4 2128171.519 99.890 .000

Within Groups 1491365.892 70 21305.227

Total 10004051.970 74

Lampiran 8b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

kekerasan mi KKERASAN Duncan

Konsentrasi hunkwe N

Subset for alpha = .05

1 2 3 0% hunkwe 15 937.8067 5% hunkwe 15 964.8867 10% hunkwe 15 1478.2000 20% hunkwe 15 1579.2600 15% hunkwe 15 1774.6733Sig. .613 .062 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000. Lampiran 9a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap

kelengketan mi ANOVA KLNGKTAN

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 3428281.1

51 4 857070.288 130.902 .000

Within Groups 458318.272 70 6547.404

Total 3886599.423 74

Page 100: mi jagung

87

Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi

KLNGKTAN Duncan

Konsentrasi hunkwe N

Subset for alpha = .05

1 2 3 4 15% hunkwe 15 -724.7267 10% hunkwe 15 -612.4400 20% hunkwe 15 -598.2067 5% hunkwe 15 -251.2000 0% hunkwe 15 -188.5867 Sig. 1.000 .632 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000. Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi CMC

terhadap KPAP ANOVA KPAP

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 26.076 2 13.038 10.461 .004 Within Groups 11.217 9 1.246 Total 37.293 11

Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi CMC

terhadap KPAP KPAP Duncan

konsentrasi CMC N

Subset for alpha = .05

1 2 cmc 1% 4 13.4819 cmc 1,5% 4 16.2392cmc 2% 4 16.8796Sig. 1.000 .438

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

Page 101: mi jagung

88

Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi Guar gum terhadap KPAP

ANOVA KPAP

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2.726 2 1.363 .909 .437 Within Groups 13.503 9 1.500 Total 16.229 11

Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 1% terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper KPAP Equal

variances assumed

.004 .953 -.658 6 .535 -.6814 1.03612 -3.21669 1.85389

Equal variances not assumed

-.658 6.000 .535 -.6814 1.03612 -3.21674 1.85394

Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada

konsentrasi 1.5% terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper KPAP Equal

variances assumed

17.248 .006 -4.791 6 .003 -3.0180 .62997 -4.55944 -1.47646

Equal variances not assumed

-4.791 4.167 .008 -3.0180 .62997 -4.73969 -1.29621

Page 102: mi jagung

89

Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 2% terhadap KPAP

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper KPAP Equal

variances assumed

.001 .979 -3.810 6 .009 -2.9255 .76785 -4.80442 -1.04668

Equal variances not assumed

-3.810 5.887 .009 -2.9255 .76785 -4.81319 -1.03791

Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati dari

beberapa jenis pati

Starch Cooked weight (g)a

Cooking loss (%)a

TPA Meansb Hardness

(kg) Cohesiveness

Mainechip 32.9bc 3.4a 1.16bc 0.62a ND651-9 3502a 3.3a 1.03c 0.61a Avebed 29.7d 2.8a 0.85d 0.54b Navy bean 31.0cd 0.9c 1.24b 0.35d Pinto bean 28.1e 1.3bc 1.75a 0.41c Commerciale 32.4bc 1.9b 0.77d 0.62a

Sumber : Kim et al., (1996) Keterangan tabel a : Nilai yang dilaporka adalah rataan dari dua kali ulangan b : Nilai yang dilaporkan adalah rataan dari lima kali pengamatan c : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan d : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company e : Diproduksi dari pati kacang hijau Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi patia

Pati Rata-ratab TR SL FI CH TP OA

Commercialc 11.21bd 11.24a 9.19c 9.03b 4.60b 12.04a Avebee 11.91a 9.67b 9.20c 10.17a 5.47a 10.09c Mainechip 10.83b 11.28a 11.16a 10.32a 4.94ab 11.92a ND651-9 11.93a 10.97a 10.20b 10.11a 5.04ab 11.15b Navy bean 5.41d 10.86a 11.17a 8.05c 4.82b 7.01d Pinto bean 6.05c 10.92a 11.80a 10.19a 5.00ab 7.40d

Sumber : Kim et al., (1996)

Page 103: mi jagung

90

Keterangan tabel a : skala rating : 0 (rendah) hingga 15 (tinggi) b : TR = transparancy, SL=slipperiness FI=firmness CH=chewiness TP=tooth

packing,OA=overall acceptability c : Diproduksi dari pati kacang hijau d : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak

signifikan e : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan

dengan gel pati kacang hijau. Sampel G’ (Pa) Tan δ Max strain

SuShu2 160c ± 10 0.034a ± 0.004 0.35a ± 0.03 SuShu8 300b ± 17 0.030a ± 0.003 0.35a ± 0.05 XuShu18 320b ± 30 0.027a ± 0.004 0.33a ± 0.04 Kacang hijau 820a ± 27 0.007b ± 0.001 0.38a ± 0.03

Sumber : Chen (2003) N = 3 Rataan sampel dengan huruf yang sama dalam satu kolom adalah berbeda nyata p<0.05 Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses

persiapan mi

Sampel Mi

Mentah Setelah pembekuan Masak

SuShu2 0.043a ± 0.005 0.0106a ± 0.0019 0.0075a ± 0.0018 SuShu8 0.033b ± 0.005 0.0068b ± 0.0023 0.0049b ± 0.0015 XuShu18 0.024c ± 0.006 0.0065b ± 0.0023 0.0050b ± 0.0011 Kacang hijau 0.019c ± 0.004 0.0044b ± 0.0015 0.0046b ± 0.0014

Sumber : Chen (2003) Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau

Sampel Mi kering Mi masak E (Pa) re Fc (N) rc E (Pa) re Fc (N)

SuShu2

4.74x108c (0.38x108)

9.70x10-2b (0.8 x10-2)

10.40c (1.39)

7.45 x10-2b (1.95 x10-2)

2.62 x105c (0.55 x105)

1.23 x10-1b (0.20 x10-1)

1.13 x10-1c (0.24 x10-1)

SuShu8 5.6x108ab (0.44x108)

2.15 x10-2a (0.33 x10-1)

19.69a (2.22)

1.13 x10-1a (0.19 x10-1)

4.32 x105b (0.67 x105)

2.59 x10-1a (0.72 x10-1)

1.58 x10-1b (0.28 x10-1)

XuShu18

4.95x108bc (0.73 x108)

1.11 x10-1b (0.26 x10-1)

15.16ab (2.32)

8.95 x10-2ab (1.72 x10-2)

4.13 x105b (0.64 x105)

2.16 x10-1a (0.36 x10-1)

1.50 x10-1b (0.21 x10-1)

Kacang hijau

6.10 x108a (1.22 x108)

1.15 x10-1b (2.41 x10-2)

19.79a (2.06)

9.86 x10-2a (1.39 x10-2)

1.18 x106a (1.65 x105)

1.99 x10-1a (2.93 x10-2)

2.94 x10-1a (4.41 x10-2)

Sumber : Chen (2003) N= 8. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda secara signifikan pada p<0.5. Angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi.

Page 104: mi jagung

91

Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.

Sumber : Chen (2003) Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas (90oC) Sumber : Chen (2003)

Page 105: mi jagung

92

Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.

Sumber : Chen (2003) Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering

yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau

Sampel Atribut Kesukaan Warna Transparansi Glossiness Fleksibilitas SuShu2 10.9 ± 2.0a 5.6 ± 3.2c 5.0 ± 2.5c 6.2 ± 3.4b 5.3 ± 2.1c SuShu8 6.9 ± 2.1c 9.6 ± 2.9a 8.9 ± 3.2ab 10.3 ± 2.3a 10.1 ± 2.6aXuShu18 8.7 ± 1.6b 6.9 ± 2.1b 7.5 ± 2.3b 7.8 ± 2.7b 8.1 ± 2.6b Kacang hijau 5.5 ± 2.2c 10.5 ± 3.1a 11.1 ± 3.2a 10.5 ± 2.5a 11.7 ± 1.4aSumber : Chen (2003) N = 12. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda nyata pada p<0.05. Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak

yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau

Sumber : Chen (2003)

Sampel Atribut Kesukaan Warna Transparansi Glossiness Elastisitas Kelicinan Kekerasan Kekenyalan SuShu2 6.8±3.4a 6.1±3.5a 7.7±3.1a 6.1±3.5b 9.4±3.1a 4.8±2.0c 5.9±2.1b 6.3±3.1b SuShu8 5.4±3.7a 7.3±4.3a 9.4±1.8a 11.5±2.1a 11.0±1.9a 8.3±3.2ab 9.8±2.0a 11.8±2.6aXuShu18 6.3±2.9a 6.2±2.8a 8.1±2.5a 7.9±3.5b 9.6±2.0a 6.6±2.2b 8.7±2.8a 7.6±2.6b Kacang hijau

6.0±4.2a 5.1±2.6a 9.2±2.7a 8.8±4.5b 11.0±2.2a 10.0±2.7a 10.3±2.6a 8.5±3.0b

Page 106: mi jagung

93