Download - mi jagung
SKRIPSI
PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL
PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG
DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)
Oleh :
ROHANA DWI KURNIAWATI
F 24102014
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL
PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG
DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ROHANA DWI KURNIAWATI
F 24102014
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENENTUAN DESAIN PROSES DAN FORMULASI OPTIMAL
PEMBUATAN MI JAGUNG BASAH BERBAHAN DASAR PATI JAGUNG
DAN CORN GLUTEN MEAL (CGM)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ROHANA DWI KURNIAWATI
F 24102014
Dilahirkan pada tanggal 14 April 1984
Di Madiun
Tanggal lulus:...............................
Menyetujui,
Bogor, September 2006
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ir. Sutrisno Koswara, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen
KATA PENGANTAR
Bismillahirromanirrohim,
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena
hanya berkat rahmat, berkah, dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir, dengan judul: Penentuan Desain Proses dan
Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati
Jagung Dan Corn Gluten Meal (CGM). Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad, SAW.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu selama penulis
menempuh pendidikan di IPB khususnya dalam penyusunan tugas akhir ini.
Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis baik dari segi moral maupun material Pihak-pihak tersebut
antara lain:
1. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing I atas
bimbingan, wawasan, motivasi dan dukungan yang selalu diberikan
kepada penulis.
2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSc., selaku dosen pembimbing II atas
arahan, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis.
3. Bapak Dr. Sukarno, atas kesediannya meluangkan waktu untuk menjadi
dosen penguji penulis.
4. Ibunda tercinta, terimakasih atas doa, kepercayaan, dan kasih sayang yang
senantiasa tercurahkan tiada henti kepada penulis.
5. Kakak penulis (Rukmi Nur Wijayanti), terimakasih atas masukan dan
dorongan semangatnya.
6. Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang telah
memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.
7. Ibu Rubiyah, Teh Ida, , Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Wahid , Pak Rozak,
Mbak Ari, Pak Koko, Pak Sidiq, Pak Iyas, Pak Nur dan seluruh teknisi
Lab. yang telah banyak membantu penulis.
8. Pustakawan-pustakawan perpustakaan Fateta, PAU, dan LSI, terimakasih
atas segala bantuannya.
9. Teman-teman sebimbingan sekaligus seperjuangan penelitian: Nisa
(makasih banget masukan-masukannya, keep on movin’), Bobby,
terimakasih telah menjadi orang-orang yang paling bisa diandalkan, Ari
Fahmi, terimakasih atas bantuannya.
10. Kakak-kakak kelas tersayang Kak Hendri, Mbak Okta, Mbak Irus, Kak
Udin terimakasih atas masukan, saran dan bantuannya.
11. Rury, Ririn, Rizki, Nisa, terimakasih telah berbagi keceriaan, dan
kenangan. Apapun, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kita di masa
datang semoga persahabatan tetap terjalin.
12. Jasminers tersayang : Isyana, Ririn, Ucil, Nurul, eRLin, Mbak Ningsih,
Dhani, Dian, Rita. Trima kasih atas kebersamaannya selama ini.
13. Teman-teman gol A: Mus, Herold, Iqbal, Nisvi, Fajar, Inda, Christ, Tina,
Endang, Tintin, Julia, Ami’, Dadik, Ari, Didin, Novi, Mangi, Olga,
Dhenok, Reza, Papang, special thx to A3 : Zulkipli, Heru, dan Rahmat ....
senang bekerjasama dengan kalian.
14. United colour of TPG 39: alin, manto, susan, evrin, qco, rury, ajeng, desma, astri, arif, tono, evi, ijal, fafa, eko, jay, marlyn, anita, nea, hani, vivi, apong, andreas, dedi, kiki, samsul, fahrul, yoga, ulik, putra, yudhan, yayah, maya, farah, feni, karen, steisi, hanif, irwan, eva, prasna, bekti, sari, rina, ribka, hana, molid, gumi, rikza, risky, ina, tisha, elvina, nene’, nuy, beta, randy, kinoy, dian k s, vero, meilin, kanyaka, inal , dikres, dora, nanda, pretty, shinta, hanSib, risna, woro, stut, arvi, inggrid, ratry, yeye’........................................ terima kasih telah berbagi kenangan yang indah selama di TPG.
15. Teman-teman se TPG (angk. 38, 40, 41), dan se IPB thanks for the
memories. Semoga tali silaturahmi kita tetap terjaga.
16. Teman-teman IMPATA. Thanks for make me feel like home di Bogor ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab
itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Penulis
Rohana Dwi Kurniawati. F24102014. Penentuan Desain Proses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Dibawah Bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Ir. Sutrisno Koswara, MSc.
RINGKASAN
Produk pangan berbasis jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan untuk mendukung program pemerintah yang mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007. Diversifikasi produk pangan berbahan dasar jagung diharapkan dapat menambah alternatif pengembangan industri pangan berbasis jagung. Menurut Juniawati (2003) produk mi jagung sangat berpotensi untuk dikembangkan, mengingat produk mi merupakan komoditi yang sudah cukup dikenal masyarakat. Pengembangan mi basah dengan bahan utama pati jagung dilakukan untuk memberi alternatif bahan baku yang bisa digunakan dalam pembuatan mi basah yang aman.
Bahan baku yang digunakan adalah pati jagung, corn gluten meal (CGM), pati kacang hijau, CMC, guar gum, garam, baking powder, dan air. Tahapan penelitian dimulai dengan penentuan desain proses yang paling optimum. Penentuan desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2,5 menit. Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%.
Urutan pencampuran bahan tambahan (garam, baking powder, CMC) pada metode Budiyah (2005) dilakukan dengan mencampur bahan tambahan dengan bagian pati yang tidak dikukus. Urutan pencampuran bahan tersebut menghasilkan mi basah dengan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) tinggi. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan ke dalam bagian pati yang digelatinisasi. Perubahan tersebut secara nyata mampu menurunkan KPAP. Desain proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak.
Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik mi terutama elongasi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau (hunkwe). Variasi substitusi pati kacang hijau yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Substitusi pati kacang hijau 5% menghasilkan mi jagung basah matang dengan % elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan - 251.2 gf, dan resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf.
Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan guar gum, sedangkan variasi konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan
2%. KPAP terendah diperoleh pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%.
Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71%, kadar abu 0.41%, kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah dan mi non terigu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rohana Dwi Kurniawati. Penulis
adalah putri kedua dari pasangan Sukaya (Alm) dan Suwarti yang
dilahirkan di Madiun pada tanggal 14 April 1984. Penulis
menempuh pendidikan dasar di SDN Kepolorejo II Magetan (1990-
1996), pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Magetan (1996-
1999), dan pendidikan menengah lanjutan di SMUN 1 Magetan (1999-2002).
Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2002. Selama menempuh
pendidikan di IPB penulis sering mengikuti kegiatan kepanitiaan antara lain, pada
kegiatan Lomba Futsal yang diselenggarakan BEM TPB (2002), Lepas Landas
Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian ( 2003), Masa Orientasi Siswa TPG (BAUR
2003), dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XII (2004), The 4th National Student
Paper Competition (2004). Penulis juga tercatat sebagai anggota HIMITEPA
(Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), dan IMPATA (Ikatan
Mahasiswa, Pelajar dan Alumni Magetan). Selain itu penulis bersama tim juga
pernah mendapatkan kesempatan melaksanakan kegiatan kewirausahaan sebagai
bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh
DIKTI dengan judul ”Kerupuk Susu Sebagai Alternatif Cemilan Bergizi”. Sebagai
tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Penentuan Desain Proses
dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung
dan Corn Gluten Meal (CGM)”.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Tujuan ....................................................................................................... 3
C. Manfaat ..................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
A. PATI .......................................................................................................... 4
1. Granula Pati ......................................................................................... 4
2. Kompsisi kimia pati ............................................................................ 7
B. KOMPONEN PATI .................................................................................. 7
1. Amilosa ............................................................................................... 8
2. Amilopektin ........................................................................................ 9
C. SIFAT-SIFAT PATI ................................................................................. 10
1. Gelatinisasi .......................................................................................... 10
2. Suhu Gelatinisasi ................................................................................. 11
3. Retrogradasi ........................................................................................ 13
D. PROSES PEMBUATAN PATI ................................................................ 14
E. CORN GLUTEN MEAL (CGM) ............................................................... 17
F. PATI KACANG HIJAU ........................................................................... 17
G. MI BASAH ............................................................................................... 21
1. Jenis Mi Basah .................................................................................... 22
2. Proses Pengolahan Mi Basah .............................................................. 22
3. Karakteristik Mi Basah ....................................................................... 25
H. MI PATI .................................................................................................... 28
I. MI JAGUNG ............................................................................................. 29
ii
III. BAHAN DAN METODOLOGI ............................................................. 35
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................... 35
B. METODOLOGI ........................................................................................ 35
1. Tahapan Penelitian ............................................................................... 35
a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) ........... 35
b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung
Basah Matang ................................................................................ 36
c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang ............................. 37
d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Mi Jagung
Basah Matang ................................................................................ 38
2. Pengamatan .......................................................................................... 38
a. Analisis Sifat Fisik ........................................................................ 38
a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Menggunakan
Mikroskop Polarisasi ............................................................... 38
a2. Analisa Warna ......................................................................... 39
a3. Analisis Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi ... 39
a4. Analisis Kekerasan dan Kelengketan ..................................... 40
a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan .............. 40
a6. Analisis Derajat Gelatinisasi .................................................. 41
b. Analisis Sifat Kimia ...................................................................... 42
b1. Analisis Kadar Air Metode Oven ........................................... 42
b2. Analisis Kadar Abu ................................................................ 43
b3. Analisisi Kadar Lemak Metode Soxhlet ................................ 43
b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl ..................... 44
b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference) ............................ 45
3.Analisis data ............................................................................................. 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 46
A. Karakterisasi Bahan Baku ......................................................................... 46
1. Karakterisasi Pati Jagung .................................................................... 46
2. Karakterisasi Corn Gluten Meal (CGM) ............................................. 46
iii
B. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang 48
1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum ...................... 49
2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP ............................ 51
a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang
dikukus terhadap %elongasi mi ................................................. 53
b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus
terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan ................................ 55
c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus
terhadap kekerasan mi ................................................................... 56
d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus
terhadap kelengketan mi ............................................................... 57
e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi .................. 58
f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus
terhadap tingkat gelatinisasi .......................................................... 61
3. Proses pembuatan mi jagung basah .................................................... 63
C. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang........................................ 67
1. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % Elongasi mi .......................... 68
2. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi mi terhadap
tarikan .................................................................................................. 69
3. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi ............................ 70
4. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi ......................... 71
D. Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)
Mi Jagung Basah Matang .......................................................................... 73
E. Analisis proksimat mi jagung basah matang ............................................. 75
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79
LAMPIRAN ..................................................................................................... 83
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati ......................................... 5
Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin .................................... 9
Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis
pati .................................................................................................... 12
Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan ..................................... 27
Tabel 5. Formula mi jagung basah dengan subtitusi hunkwe ......................... 37
Tabel 6. Karakteristik pati jagung ................................................................... 46
Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM ......................................................... 47
Tabel 8. Komposisi kimia CGM ..................................................................... 48
Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum ................................................ 50
Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum ............................................ 51
Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum..................... 66
Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang ........................................ 75
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Granula pati kentang ..................................................................... 6
Gambar 2. Granula tapioka ............................................................................. 6
Gambar 3. Granula pati garut .......................................................................... 6
Gambar 4. Granula pati jagung ....................................................................... 6
Gambar 5. Diagram alir pembuatan mi basah terigu ..................................... 24
Gambar 6. Diagram proses pembuatan mie jagung instan metode
Budiyah (2005) ............................................................................. 36
Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh. 43
Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan
akibat pemasakan mi jagung basah matang .................................. 52
Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah
matang ........................................................................................... 53
Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi terhadap
tarikan mi jagung basah matang .................................................... 55
Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah
matang .............................................................................. 56
Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah
matang .......................................................................................... 57
Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi,
resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang .. 58
Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan
dan kelengketan mi jagung basah matang ...................................... 59
Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan BTP 62
Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan penambahan
BTP ............................................................................................... 62
Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah ................................... 67
Gambar 18. Mi jagung basah matang ............................................................... 67
Gambar 19. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi jagung basah
matang ........................................................................................... 68
vi
Gambar 20. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat resistensi terhadap
tarikan mi jagung basah matang .................................................... 69
Gambar 21. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasans mi jagung basah
matang ........................................................................................... 70
Gambar 22. Pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi jagung basah
matang ........................................................................................... 72
Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan
padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang ..................... 74
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan
BTP terhadap KPAP ............................................................... 78
Lampiran 2. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan
BTP terhadap % Elongasi ....................................................... 78
Lampiran 3. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan
BTP terhadap resistentensi terhadap tarikan ........................... 78
Lampiran 4. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan
BTP terhadap kekerasan .......................................................... 79
Lampiran 5. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan
BTP terhadap kelengketan ...................................................... 79
Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe
terhadap % elongasi mi ......................................................... 79
Lampiran 6b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe
terhadap % elongasi mi ........................................................... 80
Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe
terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi ........................... 80
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap
sifat resistensi mi terhadap tarikan ......................................... 80
Lampiran 8a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe
terhadap kekerasan mi ............................................................. 81
Lampiran 8b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap
kekerasan mi ........................................................................... 81
Lampiran 9a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe
terhadap kelengketan mi ......................................................... 81
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap
kelengketan mi ........................................................................ 82
Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi
CMC terhadap KPAP .............................................................. 82
viii
Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi
CMC terhadap KPAP .............................................................. 82
Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi
Guar gum terhadap KPAP ....................................................... 83
Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada
konsentrasi 1% terhadap KPAP .............................................. 83
Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada
konsentrasi 1.5% terhadap KPAP ........................................... 83
Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada
konsentrasi 2% terhadap KPAP .............................................. 84
Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati
dari beberapa jenis pati............................................................ 89
Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi pati .................................................. 89
Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan
dengan gel pati kacang hijau ................................................... 90
Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses
persiapan mi ............................................................................ 90
Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang
hijau ......................................................................................... 90
Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati
kacang hijau ............................................................................ . 91
Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas
(90oC) ...................................................................................... 91
Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang
terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau. ........ 92
Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering
yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ...... 92
Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak
yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau ...... 92
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Mi telah menjadi salah satu makanan pokok bagi kebanyakan negara-
negara di Asia, termasuk Indonesia. Profil mi terigu telah melekat kuat pada
masyarakat, sehingga terobosan-terobosan mi baru selalu dibandingkan
dengan mi terigu, terutama dari sisi penerimaan sensorinya. Eviandaru dkk
mensitir data dari majalah Asian Week (25 Mei 2001) seperti dikutip oleh
Sawit (2003) menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi negara ke dua
terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mi instan, padahal
Indonesia bukanlah negara penghasil gandum. Secara tidak langsung,
kebutuhan terigu Indonesia dicukupi dengan impor. Indonesia sendiri menurut
Sawit (2003) menduduki posisi 6 importir gandum dunia dengan total impor 4
juta ton (tahun 2001/2).
Salah satu produk mi terigu yang banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini
adalah mi basah. Produksi mi basah cukup besar dan semakin meningkat. Data
tahun 2001 menunjukkan produksi mi basah mencapai 8.561.173 kg (BPS,
2001).dan tahun 2002 produksinya meningkat menjadi 92.492.696 kg (BPS,
2002). Peningkatan jumlah produksi ini menunjukkan tingginya permintaan
konsumen terhadap mi basah. Data lain menyebutkan konsumsi mi basah/
orang / minggu pada tahun 2001, 2002, 2003, dan 2004 berturut-turut adalah
0.003, 0.004, 0.003, 0.003 kg (BPS, 2004). Mi basah yang dikonsumsi berupa
produk olahan mi basah seperti mi ayam (mi basah mentah), mi bakso dan
taoge goreng (mi basah matang). Namun akhir-akhir ini mi basah banyak
dikhawatirkan keamanannya karena rentan mengandung bahan kimia
berbahaya, seperti formalin dan boraks.
Kedua hal diatas mendorong pemikiran untuk melakukan diversifikasi
pangan, mencari alternatif bahan baku lain sebagai bahan dasar pembuatan mi
basah yang aman. Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi
dikembangkan adalah jagung. Jagung memiliki nilai gizi yang cukup
memadai dan di beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan
pokok. Rachman (2004) menyatakan berdasarkan data permintaan komoditas
2
tanaman pangan utama untuk konsumsi rumah tangga, jagung menempati
urutan kedua setelah beras. Meskipun pada perkembangannya konsumsi total
jagung mengalami penurunan karena pergeseran pola konsumsi masyarakat di
beberapa wilayah. Hasil penelitian Erwidodo dan Ariani (1997) seperti dikutip
oleh Rachman (2004) pergeseran terjadi pada kelompok pendapatan
menengah ke atas terutama di wilayah perkotaan ke arah pangan yang siap
saji, seperti instan, mi lainnya, roti, dan kue-kue yang banyak dibuat dengan
menggunakan bahan baku gandum (terigu).
Pemilihan jagung sebagai bahan baku pada penelitian kali ini sejalan
dengan rencana aksi pemantapan ketahanan pangan 2005-2010 yang
dicanangkan pemerintah. Aksi pemantapan ketahanan pangan kali ini
memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima
komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, tebu dan daging sapi.
Arah pengembangan komoditas jagung sendiri adalah menuju swasembada
pada tahun 2007 dan daya saing ekspor pada tahun 2008. Untuk mewujudkan
arah pengembangan di atas, salah satu upaya peningkatan kapasitas produksi
jagung akan dilakukan dengan peningkatan nilai tambah jagung. Salah satu
aksi yang direncanakan dalam peningkatan nilai tambah jagung adalah
pengembangan industri berbasis jagung produk untuk dalam negeri (Deptan,
2005).
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mensukseskan
pengembangan industri berbasis jagung adalah dengan mengarahkan
diversifikasi pangan menggunakan jagung atau produk olahan jagung sebagai
bahan baku. Beberapa penelitian sebelumnya telah merintis diversifikasi
pangan dengan jagung atau produk olahan jagung sebagai bahan baku utama.
Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak membahas tentang
pembuatan mi jagung instan. Juniawati (2003) membuat mi jagung instan
dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2005) melakukan diversifikasi
pembuatan mi jagung instan dengan bahan dasar pati jagung dan Corn Gluten
Meal (CGM). Fadlilah (2005) melakukan perbaikan proses metode Budiyah
(2005) dan memperbaiki elastisitas mi dengan mensubtitusi sebagian CGM
dengan gluten.
3
Selain itu, jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit,
subtitusi bagi industri mie pengguna terigu. Hal tersebut cukup penting dalam
usaha lebih memasyarakatkan jagung, sebab menurut kajian preferensi
konsumen terhadap produk-produk pangan non beras, mie merupakan produk
yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar konsumen sebagai makanan
sarapan maupun sebagai makanan selingan (Juniawati, 2003). Oleh karena itu
usaha diversifikasi pangan mi berbahan dasar jagung cukup berpotensi untuk
dikembangkan.
Salah satu produk olahan jagung yang banyak dikenal dan digunakan
oleh masyarakat adalah pati jagung. Pati jagung bisa dikatakan sebagai produk
utama olahan jagung untuk industri pangan. Penggunaan pati jagung sebagai
bahan baku produk pangan dapat menjamin ketersediaan bahan baku. Hal ini
yang mendasari penggunaan pati jagung sebagai bahan baku pembuatan mi
basah pada penelitian kali ini. Pembuatan mi basah jagung didasarkan pada
penelitian sebelumnya. Namun tetap harus dilakukan perbaikan desain proses
dan perbaikan karakteristik mi untuk mendapatkan produk dengan
karakteristik yang optimum.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan desain proses dan formulasi mi
basah optimum berbahan dasar pati jagung dan CGM.
C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini
dapat dijadikan acuan dalam aplikasi pembuatan mi basah non terigu. Selain
itu penelitian ini dapat dijadikan tambahan wawasan adanya alternatif bahan
baku selain terigu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi
basah.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI
Pati adalah karbohidrat yang tersimpan dalam bentuk granular di
dalam organ tanaman. Secara kimia, pati adalah polimer dari unit glukosa
yang dihubungkan oleh ikatan α-glikosidik (Balagopalan et., al, 1988). Pati
memiliki karakteristik tertentu berdasarkan bentuk, ukuran, distribusi ukuran,
komposisi, lokasi hilum, permukaan granula dan kekristalan granulanya
(Belitz, dan Grosch, 1999, dan Hodge dan Osman, 1976).
Pati merupakan sumber energi utama bagi tanaman. Deposit granula
pati terdapat pada setiap jaringan tanaman, seperti pada biji (jagung, gandum,
beras, sorghum, kacang-kacangan), akar (garut, ubi, singkong), batang
(sagu), umbi (kentang), buah, dan daun (tembakau). Pati yang dijual secara
komersial umumnya bersumber dari biji serealia (jagung, beras, gandum,
sorghum), umbi, akar (singkong, ubi, garut), dan batang (sagu).
Secara umum, pati komersial dibedakan dalam 3 kelompok besar .
Jenis pati yang termasuk kelompok pertama adalah pati yang berasal dari
umbi, akar, dan batang, kelompok kedua adalah pati dari serealia. Kedua
kelompok pati ini dibedakan berdasarkan sifat fisik dan komposisi kimianya.
Sedangkan kelompok ketiga adalah pati yang berasal dari waxy starches
(waxy maize, waxy rice, waxy sorghum). Kelompok ketiga ini berasal dari
serealia namun memiliki sifat seperti pati yang berasal dari akar.
1. Granula Pati
Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber pati,
dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Perbedaan bentuk dan
ukuran beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1- 4
menunjukkan beberapa bentuk granula pati.
Dalam keadaan murni, granula pati berwarna putih, mengkilat,
tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa
granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-
5
lapisan tipis yang tersusun terpusat. Menurut Swinkle (1985), fraksi-
fraksi pati tersusun teratur secara radial terhadap hilum.
Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri
dari unit kristal dan unit amorphus. Unit kristal lebih tahan terhadap
perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphus dapat menyerap air
dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan
(Hodge dan Osman, 1976).
Tabel 1. Bentuk dan ukuran beberapa granula pati
Jenis pati Sumber
Rentang diameter granula
(µm)
Rata-rata diameter granula
(µm)
Bentuk granula
Jagunga Sereal
3-26 15 Bulat (round),
polygonal
Kentanga Umbi
5-100 33 Oval, bundar
(spherical)
Ganduma Sereal 2-35 15 Bulat. Lenticular
Tapiokaa Akar 4-35 20 Oval, truncated
Sorghuma Sereal 3-26 15 Bulat, polygonal
Berasa Sereal
3-8 5 Polygonal,
angular
Sagua Batang 5-65 30 Oval, truncated
Garuta Akar 5-70 30 Oval, truncated
Ubia Akar 3-24 15 Polygonal
Kacang
hijaub Biji
7-26 NA Oval, bulat
Keterangan : a : Swinkles (1985), b : Chen (2003), NA : Not available
Granula pati tersusun atas daerah-daerah kristalin hingga tidak
kristalin atau amorphus. Transisi antar daerah ini terjadi secara gradual.
Daerah kristalin tebentuk karena adanya gaya ikatan hidrogen yang
menghubungkan molekul pati yang sejajar satu sama lain. Gaya ikatan
6
hidrogen tersebut mendorong rantai molekul pati membentuk bundel
kristalin atau micelles (Swinkle, 1985).
Gambar 1. Granula pati kentang Gambar 2. Granula tapioka
Gambar 3. Granula Pati garut Gambar 4. Granula Pati jagung
Sumber : Anonima (2003)
Daerah kristalin pada kebanyakan pati tersusun atas fraksi
amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat pada daerah
amorphus. Komplek amilosa-lipid yang banyak terdapat pada pati
serealia dapat membentuk daerah kristalin lemah. Komplek amilosa-
lipid memperkuat struktur granula pati yang berakibat dapat
menghambat pengembangan granula (Swinkle, 1985).
Granula pati bersifat mampu merefleksikan cahaya polarisasi
sehingga terlihat kristal gelap terang (biru-kuning). Sifat ini disebut sifat
birefringence. Menurut Hoseney (1998), sifat birefringence pati
disebabkan karena granula pati memiliki derajat keteraturan molekul
yang tinggi. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat
7
dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi,
intensitas sifat birefringence-nya lemah jika dibandingkan dengan pati
dengan kadar amilopektin tinggi (Hoseney, 1998).
2. Komposisi kimia pati
Komposisi penyusun utama pati adalah glukosa. Secara umum
pati mempunyai kadar air sekitar 10-20% (w/w) dan beberapa elemen
minor seperti lemak, protein dan mineral. Menurut Hoseney (1998)
meskipun elemen minor tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat
kecil, namun keberadaannya dapat berpengaruh terhadap karakteristik
pati.
Pati serealia memiliki kandungan lemak lebih tinggi
dibandingkan pati non serealia. Pati serealia mengandung sekitar 0,5-0,8
% lemak sedangkan pati kentang dan tapioka hanya mengandung
kurang lebih 0.1% lemak. Lemak teradapat dalam bentuk komplek
dengan amilosa. Komplek lemak-amilosa bersifat tidak larut dalam air,
namun akan terdisosisi jika dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu.
Keberadaan lemak dalam pati dapat berpengaruh terhadap sifas fisik
pati. Komplek lemak-amilosa cenderung menghambat pengembangan
dan kelarutan pati. Menurut Hoseney (1998) jenis lemak dalam pati
umumnya termasuk dalam jenis lemak polar.
Kandungan protein pada pati sangat kecil. Kandungan protein
tapioka dan pati kentang hanya sekitar 0.1% (w/w) sedangkan
kandungan protein serealia berkisar 0,3-0,5%.
Kandungan mineral pati juga sangat rendah. Menurut Swinkles
(1985), Kandungan mineral yang banyak terdapat pada pati komersial
adalah sodium, kalium, magnesium, kalsium dan fosfor.
B. KOMPONEN PATI
Pati tersusun atas dua jenis unit polimer glukosa yaitu amilosa dan
amilopektin. Kedua fraksi tersebut menyusun pati dalam rasio dan struktur
yang berbeda antar sumber pati. Amilosa dikenal sebagai fraksi linier,
8
sedangkan amilopektin dikenal sebagai fraksi bercabang. Menurut Chen
(2003) struktur dan komposisi kedua fraksi tersebut berperan penting dalam
menentukan sifat pati. Kandungan amilosa pada kebanyakan pati berkisar
antara (15-30%) (Swinkles, 1985).
1. Amilosa
Amilosa pada umumnya diasumsikan sebagai polimer linier dari
α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α -1-4. Tidak semua amilosa
terdapat dalam bentuk linier, sebagian amilosa juga bercabang. Namun
cabang pada amilosa sangat panjang dan sangat sedikit, sehingga
molekul amilosa dianggap berperilaku sebagai kesatuan yang tidak
bercabang (Swinkles, 1985).
Struktur linier amilosa bisa tersusun dari lebih dari 6000 unit
glukosa. Sedangkan amilosa yang bercabang biasanya mengandung 3-
20 cabang dengan panjang rata-rata cabang berkisar 500 unit glukosa
(Swinkle, 1985). Bobot molekul amilosa sendiri berkisar antara
250.000. Bobot molekul amilosa bervariasi antar spesies bahkan dalam
satu spesies dan sangat tergantung dari tingkat kematangan tanaman
(Hoseney, 1998).
Struktur amilosa yang panjang dan linier memberikannya
beberapa karakteristik yang unik. Amilosa mampu membentuk komplek
dengan alkohol organik, iodin, dan asam. Amilosa membentuk komplek
yang tidak larut dengan alkohol dan iodin. Komplek amilosa dan iodin
memberikan warna biru. Komplek warna biru yang terbentuk sering
dijadikan indikator keberadaan pati yang mengandung amilosa. Selain
itu, struktur linier amilosa juga bertanggungjawab terhadap sifat amilosa
yang cenderung berikatan satu sama lain dan membentuk endapan.
Amilosa dapat stabil dalam larutan bila pH larutan dipertahankan dalam
kondisi basa. Menurut Hoseney (1998) hal ini disebabkan adanya
muatan positif yang diinduksi grup OH, dan muatan ini pada rantai
berdekatan menolak satu sama lain.
9
2. Amilopektin
Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4)
pada rantai lurusnya, serta ikatan ß-(1,6) pada titik percabangannya.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 persen dari
keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hoseney, 1998). Tingkat
percabangan amilopektin sangat tinggi. Rantai percabangan amilopektin
rata-rata terdiri dari 20-25 unit glukosa. Tiap cabang hanya dipisahkan
oleh satu unit glukosa. Bobot molekul amilopektin sendiri sangat besar
yakni 108 (Hoseney, 1998). Bobot molekul ini termasuk yang terbesar
yang pernah ditemukan di alam.
Tabel 2. Sifat Fisikokimia Amilosa dan Amilopektin Sifat Amilosa Amilopektin
Struktur molekul Linier (α-1-4) Bercabang (α-1-4,
α-1-6)
Bobot molekul 106 Dalton 108 Dalton
Derajat polimerisasi 1500-6000 3 x 105, 3 x 106
Komplek helik Kuat Lemah
Komplek warna
dengan Iodin
Biru Ungu-kemerahan
Kelarutan Tidak stabil Stabil
Retrogradasi Cepat Lambat
Sifat gel Keras, tidak dapat
balik
Lembut, dapat balik
Sifat film Kuat Lemah dan rapuh
Sumber: Chen (2003)
Struktur bercabang amilopektin menyebabkan molekul ini lebih
stabil dalam larutan (Balagopalan, 1988). Amilopektin membentuk
komplek berwarna ungu dengan iodin. Amilopektin dan amilosa dapat
dipisahkan dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu
gelatinisasi. Fraksi terlarut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi
10
tidak larut adalah amilopektin. Pada pati serealia, amilopektin
merupakan elemen dari struktur kristal (Hodge dan Osman, 1976).
Beberapa karakteristik fisikokimia yang membedakan amilosa dan
amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.
C. SIFAT-SIFAT PATI
Rasio amilosa dan amilopektin pada pati memegang peranan penting
dalam penentuan sifat pati. Identifikasi sifat pati penting dalam menentukan
proses, kondisi penyimpanan, atau pemilihan jenis pati yang tepat untuk
diaplikasikan.
1. Gelatinisasi
Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk
menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang
terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air. Syarat utama terjadinya
gelatinisasi adalah adanya pati, air, dan pemanasan. Namun tidak semua
kombinasi ketiga faktor tersebut menghasilkan gelatinisasi. Terdapat
minimum jumlah air dan suhu pemanasan tertentu yang harus tercapai.
Pati murni bersifat tiak larut dalam air dingin atau air dengan
suhu di bawah suhu gelatinisasinya. Saat pati ditambahkan pada air
dingin, molekul air akan berpenetrasi secara bebas ke dalam granula
pati. Dalam kondisi ini, pati hanya mampu menyerap air sebanyak 30%
dari bobot keringnya (Hoseney, 1998). Granula pati hanya akan sedikit
mengembang dalam air dingin (sekitar 10-15% dari diameter semula).
Pengembangan granula pati dalam air dingin bersifat dapat balik. Jika
pati dikeringkan kembali, granula akan menyusut dan kembali ke
ukuran semula.
Ketika granula pati dipanaskan dalam air, air akan masuk ke
dalam granula pati. Seiring dengan naiknya suhu pemanasan, jumlah air
yang terserap akan semakin meningkat. Penyerapan air bersifat dapat
balik hingga tercapai suhu tertentu (suhu awal gelatinisasi) dimana
penyerapan air bersifat tidak dapat balik (Eliasson dan Gudmunsson,
11
1996). Penyerapan air menyebabkan pengembangan granula pati.
Pengembangan pertama terjadi di daerah amorphus, karena ikatan
hidrogen pada daerah ini lebih lemah dibandingkan daerah kristalin.
Selanjutnya pengembangan granula mulai mengganggu keteraturan
struktur granula pati, yang menyebabkan mulai hilangnya sifat
birefringence. Menurut Winarno (2002), suhu dimana sifat
birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal
gelatinisasi. Seiring mengembangnya ukuran granula pati, fraksi
amilosa mulai keluar dari granula. Namun granula pati belum pecah
karena masih tertahan oleh misel yang belum terganggu atau rusak oleh
hidrasi air dan pemanasan. Viskositas larutan meningkat karena semakin
banyak air yang terperangkap dalam granula. Hidrasi air berkelanjutan
mulai merusak struktur kristalin. Rusaknya struktur kristalin
menyebabkan hilangnya ikatan yang mampu menahan struktur granula
pati. Sifat birefringence hilang, granula pati mulai pecah, dan viskositas
larutan akan menurun. Hilangnya sifat birefringence menunjukkan
gelatinisasi telah terjadi secara sempurna. Secara singkat perubahan
fisik yang terjadi selama gelatinisasi adalah mengembangnya granula
pati yang diiringi dengan hilangnya sifat birefringence, meningkatnya
kekentalan, terlarutnya fraksi amilosa pati (bobot molekul rendah).
2. Suhu Gelatinisasi
Gelatinisasi terjadi jika suhu gelatinisasi telah tercapai. Suhu
gelatinisasi menurut Whistler dan Daniel (1996) adalah suhu dimana
sifat birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang.
Suhu gelatinisasi biasanya berupa kisaran suhu. Hal ini disebabkan
bervariasinya ukuran bentuk, dan energi yang diperlukan untuk
pengembangan granula pati. Umumnya granula pati berukuran besar
akan tergelatinisasi terlebih dahulu kemudian diikuti granula pati
dengan ukuran yang lebih kecil. Selain itu, suhu gelatinisasi juga
dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta keadaan media
pemanasan (Collison,1968). Menurut Wirakartakusumah (1981),
12
keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses gelatinisasi
adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-komponen
lain dalam media pemanasnya.
Suhu gelatinisasi juga dipengaruhi oleh associative force dalam
granula pati. Semakin tinggi suhu gelatinisasi suatu jenis pati
menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut.
Greenwood (1979) menyatakan bahwa semakin banyak amilosa pada
pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan
integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat
ikatan intramolekulernya. Suhu gelatinisasi tidak mempunyai hubungan
jelas dengan kandungan amilosa pati, karena pati normal dan waxy
starches dari spesies yang sama memiliki rentang suhu gelatinisasi yang
sama (Balagopalan, 1988). Tetapi setelah mencapai suhu gelatinisasi
sifat pati tergelatinisasi tergantung pada fraksi pati yaitu amilosa dan
amilopektin (Juliano, 1985). Derajat gelatinisasi beberapa jenis pati
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rasio amilosa, amilopektin dan suhu gelatinisasi beberapa jenis pati
Jenis pati Amilosa (%)
Amilopektin (%)
Suhu gelatinisasi (oC)
Jagunga 28 72 62-72
Kentanga 21 79 58-68
Ganduma 28 72 58-64
Tapiokaa 17 83 59-69
Sorghuma 28 72 68-78
Sagua 27 73 60-72
Garuta 20 80 62-70
Kacang hijau 32-35b 65-68 b 63-69c
Keterangan : a : Swinkles (1985), b: Chen et al., (1988), c : Lii et al., (1988)
13
3. Retrogradasi
Retrogradasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
fenomena rekristalisasi pati yang tergelatinisasi. Beberapa perubahan
sifat reologi yang terjadi karena proses retrogradasi antara lain adalah
meningkatnya kekerasan atau kerapuhan. Selama penyimpanan,
retrogradasi dapat terlihat dari hilangnya sifat pengikatan air dan
terbentuknya kembali fraksi kristalin. Berbeda dengan fraksi kristalin
pada pati yang utamanya tersusun oleh amilopektin, penyusun utama
struktur kristalin pati teretrogradasi adalah amilosa. Lebih lanjut,
Swinkle (1985) menyebutkan beberapa fenomena yang terjadi akibat
retrogradasi. Fenomena-fenomena tersebut antara lain: 1).
meningkatnya viskositas, 2). meningkatnya kekeruhan, 3). terbentuknya
lapisan tak larut pada pasta panas, 4). terbentuknya endapan partikel pati
yang tidak larut, 5). terbentuknya gel, dan 6). keluarnya air dari pasta
(sineresis).
Retrogradasi adalah peristiwa yang komplek dan tergantung dari
banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi peristiwa
retrogradasi adalah tipe pati, konsentrasi pati, prosedur pemasakan,
suhu, waktu penyimpanan, pH, prosedur pendinginan, dan keberadaan
komponen lain (Swinkle, 1985). Terjadinya peristiwa retrogradasi lebih
mudah terjadi pada suhu rendah dan konsentrasi pati tinggi. Kecepatan
retrogradasi optimum pada pH 5-7 dan menurun pada pH dibawah atau
diatas rentang pH tersebut. Retrogradasi tidak terjadi pada pH diatas 10
dan sangat lambat pada pH dibawah 2.
Fraksi pati yang berperan pada peristiwa retrogradasi adalah
fraksi amilosa. Fraksi amilosa yang terlarut dapat berikatan satu sama
lain membentuk agregat yang tidak larut air. Dalam larutan (konsentrasi
pati rendah), agregat amilosa akan membentuk endapan. Tetapi pada
dispersi yang lebih terkonsentrasi (konsentrasi pati lebih tinggi), agregat
amilosa akan memerangkap air dan membentuk gel. Ukuran fraksi
amilosa juga berperan penting terhadap laju retrogradasi. Retrogradasi
akan optimum pada fraksi amilosa pada derajat polimerisasi 100-200
14
unit glukosa. Fraksi amilopektin kurang berperan dalam peristiwa
retrogradasi. Amilopektin bisa mengalami retrogradasi pada kondisi
ekstrim, misalnya pada konsentrasi pati tinggi, atau pada suhu
pembekuan. Peristiwa staling pada roti adalah salah satu contoh
retrogradasi yang disebabkan oleh amilopektin.
Jenis pati juga berpengaruh terhadap laju retrogradasi. Pati
serealia lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan pati kentang
atau tapioka. Menurut Swinkle (1988) hal ini disebabkan tingginya
kadar amilosa pati serealia, ukuran molekul amilosa kecil (DP 200-
1200), dan tingginya kandungan lemak. Tingginya kandungan lemak
dapat mendorong terjadinya retrogradasi.
D. PROSES PEMBUATAN PATI
Pati jagung komersial dihasilkan dari jagung pipil dengan metode
penggilingan basah. Penggilingan basah menghasilkan empat komponen
dasar yaitu: pati, lembaga, serat, dan protein. Keempat komponen tersebut
dapat diolah menjadi produk-produk seperti dekstrin, sirup glukosa, pakan
ternak, minyak jagung, dan lain-lain (Corn Refiner Assosiation, 2002).
Tahap-tahap pembuatan pati dengan metode penggilingan basah meliputi
penanganan pasca panen jagung (pengeringan, dan penyimpanan),
pembersihan (cleaning), perendaman (steeping), dan pemisahan komponen-
komponen kernel jagung. Tahap pemisahan kernel jagung dibagi lagi
menjadi tahap penggilingan kasar dan pemisahan lembaga, penggilingan
halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian pati, dan terakhir tahap
starch finishing (Johnnson dan May, 2003).
Jagung yang berasal dari ladang dikeringkan dan disimpan dalam
silo. Faktor yang harus diperhatikan selama penyimpanan adalah kadar air
jagung. Kadar air yang aman untuk penyimpanan jangka panjang adalah
sekitar 15% atau kurang. Jagung yang disimpan harus telah memenuhi syarat
mutu yang ditentukan. Menurut (Johnnson dan May, 2003) faktor yang
diperhatikan dalam pemilihan mutu jagung adalah daya simpan dan
15
penampakan (bobot, adanya materi asing atau konmtaminan, total kernel
yang rusak).
Jagung yang lolos inspeksi memasuki tahap pembersihan (cleaning)
dibersihkan. Pada tahap ini, jagung dibersihkan dari kotoran dan kontaminan
asing (sekam, batu, pecahan kernel, bagian tubuh serangga, pasir, logam dan
lain-lain).
Tahap selanjutnya adalah perendaman. Jagung direndam dalam air
yang telah dicampur SO2 dengan konsentrasi tertentu (0.12-0.2%).
Perendaman dilakukan selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam) pada suhu
52°C. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam kernel meningkatkan
kadar airnya dari 15% menjadi 45%. Difusi air menyebabkan ukuran kernel
membengkak dua kali ukuran semula, melunakkan kernel dan memudahkan
pemisahan pada tahap selanjutnya. Air sisa perendaman dievaporasi hingga
mencapai 40-50% padatan, dicampur serat jagung, dikeringkan dan dijual
sebagai corn gluten feed atau sebagai fermentation enhancer.
Menurut Johnnson dan May (2003) penggunaan SO2 sangat penting
karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida matrix
protein yang membungkus granula pati, sehingga dapat membebaskn granula
pati. Selain itu SO2 mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi
pertumbuhan bakteri asam laktat (Lactobacillus). Asam laktat yang
dihasilkan bakteri asam laktat dapat membantu pemisahan pati dan
meningkatkan jumlah pati yang dihasilkan. Asam laktat dapat meningkatkan
pelunakan biji, melarutkan protein endosperm, dan melemahkan dinding sel
endosperm.
Tahap pemisahan kernel dimulai dengan penggilingan kasar dan
pemisahan lembaga. Sebelum lembaga jagung dipisahkan menggunakan
hydroclone, jagung terlebih dahulu digiling kasar untuk memecah kernel
tanpa memecah lembaga. Selama perendaman, lembaga jagung menjadi lebih
elastis, sehingga diharapkan tidak akan pecah dengan pengilingan kasar.
Selanjutnya lembaga dipisahkan dari pecahan kernel jagung dalam
hydroclone berdasarkan perbedaan berat jenis. Larutan kernel jagung dan
lembaga dari penggilingan kasar dipompa masuk ke hydroclone. Dalam
16
hydroclone larutan lembaga dan kernel jagung teraduk oleh hembusan angin
yang diberikan dan mendapat gaya sentrifugal. Lembaga akan terdorong
keatas, dan pecahan kernel jagung terpisah kebawah. Lembaga yang terpisah,
dicuci, dihilangkan kadar airnya dengan pengepresan, dikeringkan
dikeringkan hingga kadar air 3% kemudian didinginkan. Lembaga yang
dikeringkan bisa diolah lebih lanjut untuk ekstraksi minyak minyak jagung.
Tahap selanjutnya adalah penggilingan halus dan pemisahan serat.
Pada tahap ini, lumpur jagung dari penggilingan kasar digiling dalam
penggilingan kuat yang akan menggerus jagung sehingga pati dan glutennya
keluar dari dalam kernel. Selanjutnya suspensi pati, gluten, dan serat
dialirkan ke atas ayakan cembung yang dapat menahan serat tetapi
meneruskan pati. Serat yang terkumpul diayak lagi untuk menghilangkan
residu pati atau protein, kemudian dipompa menuju lini pakan untuk
dijadikan pakan hewan. Suspensi pati dan gluten yang disebut mill starch
dialirkan menuju starch separators.
Tahap pemisahan dan pemurnian pati dari mill starch dilakukan
berdasarkan perbedaan berat jenis pati dan gluten. Gluten memiliki densitas
yang lebih rendah dibandingkan pati. Mill starch dialirkan dalam sentrifuse,
sehingga gluten mengambang lalu dipompa ke lini pakan. Pati dengan sisa
protein sekitar 1-2% dilarutkan lalu dicuci 8 sampai 14 kali. Pelarutan dan
pencucian yang berulang di dalam hydroclones digunakan utuk
menghasilkan pati berkualitas tinggi dengan sisa protein yang sangat rendah.
Pati dengan kualitas baik memiliki tingkat kemurnian lebih dari 99.5%.
Sebagian pati dikeringkan untuk dijual sebagai pati tak termodifikasi,
sebagiannya lagi dijual sebagai pati-pati yang sudah dimodifikasi atau
mengalami proses lanjutan menjadi dekstrin dan sirup glukosa (Corn Refiner
Assosiation, 2002). Tahap starch finishing dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen. Lumpur pati bisa langsung dikeringkan atau diberi
perlakuan dengan beberapa senyawa kimia seperti pemutih atau asam
(memodifikasi sifat protein) untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
17
E. CORN GLUTEN MEAL (CGM)
Produk utama jagung lainnya selain pati adalah Corn Gluten Meal
(CGM). CGM merupakan produk sampingan utama penggilingan basah (wet
milling). CGM diproduksi setelah lembaga, serat, dan pati dihilangkan
dalam proses penggilingan basah. Setelah komponen tersebut dihilangkan
akan dihasilkan light gluten (LG). LG kemudian dipekatkan menghasilkan
heavy gluten (HG). Setelah itu, HG dihilangkan airnya melalui proses
penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum menghasilkan gluten
cake (GC). Akhirnya, GC dikeringkan dengan menggunakan rotary drum
dryers menghasilkan CGM (Rausch et al., 2003).
CGM biasanya digunakan sebagai sumber protein pakan ternak.
CGM jarang digunakan dalam industri pangan karena ia memiliki aroma
khas yang kurang disukai. Peningkatan nilai tambah CGM di bidang pangan
telah dirintis pada penelitian terdahulu. Budiyah (2005) pada penelitiannya
menggunakan CGM sebagai bahan baku pembuatan mi jagung instan. CGM
ditambahkan sebagai bahan baku untuk meningkatkan kadar protein produk.
Selain itu komplementasi CGM juga berperan dalam memberikan warna
alami karena pigmen kuning yang terkandung pada CGM. Budiyah (2005)
juga melaporkan penambahan CGM dapat mempengaruhi tekstur dan
kemudahan terbentuknya adonan. Selain itu Wu et al., (2001) juga
menggunakan CGM untuk memfortifikasi kandungan protein pada produk
spaghetti karena CGM merupakan sumber protein nabati yang tidak
mengandung kolesterol dan rendah kandungan asam lemak jenuh.
F. PATI KACANG HIJAU
Pati kacang hijau merupakan salah satu hasil olahan kacang hijau.
Pembuatan pati kacang hijau secara tradisional sudah sering dilakukan yaitu
dengan cara menggiling kacang hijau yang sudah dikupas menjadi bentuk
pasta. Selanjutnya ditambahkan air berlebih, dan disaring dengan kain
penyaring untuk memisahkan selulosa. Selanjutnya filtrat diendapkan, dicuci,
dan diendapkan lagi sampai didapatkan filtrat yang jernih. Setelah itu,
18
barulah residu pati dikeringkan (Siegel dan Fawcett, 1976, seperti dikutip
oleh Fawzya, 1983).
Penggunaan pati kacang hijau atau yang dikenal dengan nama
hunkwe di Indonesia, kebanyakan hanya digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kue-kue basah. Namun di beberapa negara asia seperti Thailand,
dan Cina pati kacang hijau merupakan salah satu bahan baku pembuatan mi
yang cukup digemari. Mi berbahan dasar pati kacang hijau dikenal dengan
nama Tong-Fung di Cina. Karakteristik tekstur mi yang unik dan rendahnya
cooking loss menjadikan mi ini termasuk salah satu masakan cina yang
digemari.
Pati kacang hijau sangat disukai sebagai bahan dasar pembuatan mi
pati karena ia menghasilkan mi dengan penampakan dan karakteristik yang
diinginkan. Karakteristik mi pati kering yang diinginkan dinilai dari
keseragaman, cooking quality dan eating quality. Faktor lain yang
diiperhatikan konsumen saat membeli mi pati kering adalah tidak berwarna,
tidak mengkilap (glossy), dan tidak transparan. Sedangkan untuk mi pati
matang karakteristik yang paling penting adalah mouthfeel dan tekstur. Mi
harus tetap kokoh (firm) dan tidak lengket setelah dimasak. Mi pati yang
bagus memiliki waktu masak yang singkat dengan kehilangan padatan yang
rendah, dan rasa yang hambar (Chen et al., 1988). Namun produksi mi pati
kacang hijau tetap memiliki kendala yaitu harga pati kacang hijau yang
mahal. Mahalnya harga pati kacang hijau mendorong banyak penelitian di
bidang mi pati untuk mencari jenis pati yang lebih murah namun
menghasilkan mi dengan karakteristik seperti mi pati kacang hijau.
Riset ekstensif banyak dilakukan di Taiwan. Riset dilakukan dengan
karakterisasi sifat fisikokimia dan kualitas mi dari baerbagai macam jenis
pati. Hasil riset menunjukkan kehilangan padatan selama pemasakan mi pati
kacang hijau paling rendah walau telah dimasak hingga 12 jam, sedangkan
mi komersial dan mi dari pati ubi mengalami 100% cooking loss. Studi
menggunakan mikroskop elektron menunjukkan terdapat struktur rigid dalam
mi pati kacang hijau yang tidak terdapat dalam mi pati lainnya. Hasil riset
tentang sifat fisikokimia pati menggunakan Brabender Viscoamylogram
19
menunjukkan jenis granula pati kacang hijau adalah pati ikatan silang bertipe
C. Pati ikatan silang memiliki ketahanan penurunan viskositas terhadap asam
lebih tinggi. Selain itu pati tipe C menunjukkan kestabilan viskositas yang
tinggi terhadap pemanasan suhu tinggi. Namun percobaan pembuatan mi pati
menggunakan pati kacang polong yang memiliki sifat fisikokimia sama
dengan kacang hijau menghasilkan mi pati dengan tekstur yang tidak bagus.
Menurut (Chen et al.,1988), tekstur unik mi pati kacang hijau tidak hanya
disebabkan kandungan amilosanya yang tepat (32%-35%), tapi juga struktur
molekulernya yang spesifik yang menghasilkan ikatan atau viskositas mi
pati yang kuat dan stabil.
Kim et al., (1996) mencoba mencari jenis pati lain yang berpotensi
menggantikan pati kacang hijau. Penelitian menggunakan pati dari dua jenis
kacang-kacangan (pinto dan navy bean), kentang dari dua jenis genotip
(ND651-9, Mainechip), dan pati kentang komesial. Kedua jenis kacang-
kacangan tersebut dipilih karena dianggap memiliki sifat fisikokimia yang
paling mirip dengan pati kacang hijau dan memiliki rendemen pati lebih
tinggi dibanding pati kacang hijau. Kedua jenis kacang ini diharapkan
menjadi sumber pati yang potensial yang menghasilkan mi pati berkualitas
tinggi dibandingkan mi pati kacang hijau. Penggunaan pati kentang
digunakan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan
bahwa beberapa genotip pati kentang cukup berpotensi sebagai bahan baku
pembuatan mi pati. Mi berbahan dasar pati kentang dilaporkan memiliki
penampakan transparan, tekstur yang lembut dan licin, dan memiliki tingkat
penyerapan kuah yang tinggi.
Kim et al., (1996) membandingkan beberapa parameter, yaitu
cooking quality (cooking loss dan cooked weight), dan karakteristik sensori
mi pati dari beberapa jenis pati di atas dengan mi komersial yang terbuat
dari pati kacang hijau. Lampiran 15 dan 16 menunjukkan hasil analisis
cooking quality, tekstur, dan sensori yang dilakukan Kim et al., (1996). Hasil
penelitian mereka menunjukkan mi berbahan dasar kacang-kacangan
memiliki cooking quality yang hampir sama dengan mi pati komersial yang
dibuat dari pati kacang hijau. Hasil pengukuran tekstur mi menggunakan
20
texture profile analyzer (TPA) menunjukkan mi dari pati kacang-kacangan
memiliki nilai kekerasan lebih tinggi tapi nilai kelengketan lebih rendah
dibandingkan mi dari pati kentang. Hasil analisis sensori menunjukkan mi
pati kentang memiliki nilai transparansi lebih tinggi dibanding mi dari pati
kacang-kacangan. Selain itu hasil analisis sensori terhadap penerimaan
keseluruhan panelis juga menunjukkan mi pati kentang dengan genotip
Minechip dinilai memiliki karakteristik menyamai mi pati komersial,
sehingga genotip ini dianggap cocok untuk dikembangkan sebagai bahan
baku pembuatan mi pati komersial.
Penelitian lain tentang usaha eksplorasi jenis pati yang lebih murah
untuk menggantikan mi pati kacang hijau juga dilakukan oleh Chen (2003).
Chen (2003) menggunakan pati ubi dari varietas (SuShu2, SuShu8 dan
XuShu18). Chen (2003) membandingkan karakteristik fisik dan sensori mi
yang dihasilkan dari ketiga varietas tersebut dengan mi yang dibuat dari pati
kacang hijau. Karakteristik fisik mi dari ketiga varietas yang paling
mendekati mi pati kacang hijau dan secara sensori masih diterima konsumen
dianggap paling berpotensi untuk dikembangkan.
Selain itu Chen (2003) juga melakukan penelitian tentang
kemungkinan memprediksi kualitas mi dari sifat gel yang dihasilkan.
Karakteristik gel yang diamati meliputi storage modulus (G’) yang
menunjukkan nilai kekerasan gel, loss tan (tan δ) menunjukkan elatisitas gel,
dan maximum strain yang menunjukkan tegangan maksimum gel.
Karakteristik gel pada penelitian Chen (2003) dapat dilihat pada Lampiran
17. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa pati dengan tingkat
kekerasan dan elastisitas tinggi akan menghasilkan mi pati berkualitas tinggi.
Sedangkan pengukuran karakteristik mi yang diamati meliputi
karakteristik fisik menggunakan alat (texture profile analyzer) dan analisis
sensori. Karakteristik fisik yang diamati meliputi, kelengketan, cutting
behaviour, perpanjangan mi (extention), cooking loss dan indeks
pengembangan. Hasil analisis fisik, sensori, dan gambar produk akhir mi pati
yang dihasilkan pada penelitian Chen (2003) juga dapat dilihat pada
Lampiran 18, 19, 20, 21, 22.
21
Menurut Chen (2003) pengukuran kelengketan perlu dilakukan tidak
hanya untuk melihat karakter kelengketan mi pada beberapa tahapan proses
tapi juga untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan dalam pembuatan
mi. Perlakuan yang diberikan adalah pembekuan. Perlakuan pembekuan
terbukti mempermudah pemisahan mi pati ubi. Sedangkan mi pati kacang
hijau memiliki kelengketan yang paling rendah dan tidak memerlukan
perlakuan pembekuan untuk memisahkan untaian mi-nya. Karakteristik
kelengketan diukur dengan mengukur cohesive force (Fco), yaitu gaya yang
diperlukan untuk melepaskan dua untai mi yang dilekatkan satu sama lain.
Karakteristik perpanjangan mi diukur dengan parameter modulus
perpanjangan (E) yang menunjukkan kekerasan regangan (stretch stiffness)
dan perpanjangan relatif (re) yang mengukur kemampuan memanjang
(stretchability) mi. Karakteristik cutting behaviour ditunjukkan oleh
parameter cutting force (Fc) dan peningkatan rasio panjang (rc) mi. Cutting
force menunjukkan kekerasan mi, sedangkan peningkatan rasio panjang (rc)
menunjukkan fleksibilitas mi.
Karakteristik mi yang diinginkan pada penelitian ini adalah mi yang
elastis, tekstur stabil dalam air panas, cukup keras, dan tidak lengket. Mi
yang elastis dan cukup keras ditunjukkan dengan nilai cutting behaviour dan
perpanjangan mi yang tinggi. Kestabilan dalam air panas ditunjukkan dengan
rendahnya nilai cooking loss dan tingginya nilai indeks pengembangan.
Sedangkan rendahnya kelengketan ditunjukkan dengan semakin rendahnya
nilai cohesive force (Fco).
Hasil penelitian Chen (2003) menunjukkan pati ubi dari varietas
Sushu8 mampu menghasilkan mi pati kering dengan kualitas yang
sebanding dengan mi pati kacang hijau, bahkan kualitas mi pati ubi masak
lebih baik daripada mi pati kacang hijau. Hasil analisis sensori juga
menunjukkan, varietas Sushu8 menghasilkan mi yang lebih disukai
dibanding mi pati dari kedua varietas lainnya.
22
G. MI BASAH
Mi merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau
tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang
diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2987-1992). Mi basah umumnya
dibuat dengan bahan dasar terigu. Mi terigu menurut Astawan (1999) dapat
dikelompokkan mejadi mi segar/mentah, mi basah, dan mi instan.
1. Jenis Mi Basah
Berdasarkan produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis mi yaitu
mi basah (mi ayam dan mi kuning) dan mi kering (mi telor dan mi
instant). Komposisi kedua jenis tersebut di atas hampir sama. Perbedaan
keduanya adalah pada kadar air, kadar protein dan tahapan proses
pembuatannya.
Berdasarkan bahan baku utamanya, mi basah dapat dibedakan
menjadi dua yaitu mi basah yang terbuat dari terigu dan mi basah yang
terbuat dari tepung aren. Mi basah yang terbuat dari tepung aren dikenal
masyarakat dengan mi “gleser” (Badrudin, 1994). Namun kebanyakan
masyarkat lebih mengenal mi basah dengan bahan baku utama terigu.
Mi gleser hanya dikenal masyarakat di daerah tertentu.
Mi basah dengan bahan baku terigu dapat digolongkan dalam dua
kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mi basah mentah dan mi
basah matang. Perbedaan keduanya adalah pada tahapan setelah
pemotongan. Setelah pemotongan, mi basah mentah hanya ditaburi
tapioka untuk menghindari untaian mi lengket satu sama lain.
Sedangkan pada mi basah matang, setelah dipotong, mi direbus dan di
olesi minyak. Pengolesan minyak bertujuan agar untaian mi matang
tidak lengket satu sama lain. Perbedaan tahap perebusan tersebut
menyebabkan kedua jenis mi tersebut memiliki perbedaan kadar air
yang cukup besar. Mi basah mentah memiliki kadar air sekitar 35%,
sedangkan mi basah matang memiliki kadar air sekitar 52% (Astawan,
1999).
23
2. Proses Pengolahan Mi Basah
Bahan utama pembuatan mi basah adalah tepung dan air,
sedangkan bahan tambahan lain diantaranya adalah garam, air abu, dan
telur. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber
karbohidrat dan protein, dan sumber gluten yang memberi sifat kenyal
dan elastis.
Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat
air, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi. Air abu yang biasa
digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat
(K2CO3), kalium polifosfat (KH2PO4). Air abu digunakan sebagai bahan
alkali yang digunakan dalam pembuatan mi. Fungsi bahan alkali
tersebut berbeda-beda. Na2CO3 berfungsi untuk meningkatkan
kehalusan tekstur mi, K2CO3 untuk meningkatkan kekenyalan mi.
sedangkan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mi
(Badrudin, 1994).
Penggunaan telur sebagai bahan baku jarang digunakan dalam
skala industri. Telur sendiri cukup berperan dalam kemudahan
pembentukan adonan. Kuning telur mengandung lesitin yang dapat
mempercepat hidrasi air pada tepung terigu dan mengembangkan
adonan. Potein dan lemak bersifat mengikat dan menahan air, sehingga
memudahkan terigu menyerap air. Selain itu kegunaan telur adalah
dapat meningkatkan kandungan protein dan lemak.
Proses pembuatan mi basah terdiri dari proses pencampuran,
pembentukan lembaran, pembentukan mi dan perebusan. Tahapan
proses pembuatan mi dapat dilihat pada Gambar 5.
Tahapan pencampuran bertujuan untuk menghasilkan adonan
yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan
dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus.
Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak lengket, elastis,
dan mengembang normal.
Setelah pengadukan, tahap selanjutnya adalah pembentukan
lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk
24
menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi
lembaran. Tahap sheeting dilakukan dengan melewatkan adonan
berulang-ulang di antara dua roll logam pengepres. Sheeting dilakukan
hingga ketebalan lembaran 1,5-2 mm (Astawan,1999). Hasil akhir yang
diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat
yang searah, sehingga mi yang dihasilkan elastis, kenyal dan halus
(Badrudin,1994).
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Mi Basah Terigu (Astawan,1999)
Tahap selanjutnya adalah pemotongan lembaran. Proses ini
bertujuan membentuk lembaran pita-pita mi dengan dengan lebar 1-3
mm. Setelah tahap pemotongan, jenis mi yang dihasilkan adalah mi
basah mentah. Tahap berikutnya untuk memperoleh mi basah matang
adalah dengan mengukus atau merebus mi mentah. Pengukusan atau
perebusan mi mentah bertujuan agar terjadi gelatinisasi pati dan
Terigu + air
Pencampuran dengan bahan tambahan
Pengadukan hingga homogen
Pembentukan lembaran
Pemotongan
Perebusan (2 menit)
Penirisan dan pendinginan
Pemberian minyak goreng
Mi basah matang
Mi basah mentah
25
koagulasi protein sehingga mi menjadi kenyal (Badrudin, 1994).
Menurut Astawan (1999), perebusan harus dilakukan pada suhu tinggi
selama kurang lebih 2 menit. Suhu perebusan yang tinggi akan
mempersingkat waktu perebusan. Waktu prebusan yang terlalu lama
akan menyebabkan mi terlalu lembek.
Tahap terakhir dari pembuatan mi basah matang adalah
pelumasan mi yang telah direbus dengan minyak goreng. Pelumasan
bertujuan agar mi tidak menjadi lengket satu sama lain. Selain itu
menurut Mugiarti (2001) seperti dikutip oleh Gracecia (2005)
penggunaan minyak dapat memberikan cita rasa dan memperbaiki
penampakan mi menjadi mengkilap.
3. Karakteristik Mi Basah
Jenis mi terigu yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia
menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi instan dan chinesse wet noodle
atau yang kita kenal dengan mi basah. Formula maupun proses
pembuatan mi basah yang dikenal di Indonesia awalnya mengadopsi
dari Cina. Namun pada perkembangannya, produsen mi basah di
Indonesia banyak melakukan modifikasi terutama dalam segi formulasi.
Beberapa produsen mensubstitusi terigu dengan tapioka untuk
meminimalkan biaya produksi. Namun, modifikasi pada formulasi
maupun pada proses diharapkan tidak memberikan perubahan nyata
pada karakteristik fisik maupun penampakan mi basah yang dihasilkan.
Mi basah matang di Cina dikenal dengan nama Hokkien noodle.
Menurut Miskelly (1996), mi Hokkien banyak dikenal di Malaysia,
Indonesia, dan Singapura. Mi Hokkien dimasak selama 1-2 menit
dengan bagian tengah yang belum tergelatinisasi. Karakteristik fisik mi
Hokkien telah ditetapkan untuk mempermudah penelitian-penelitian
yang berkaitan dengan mi tersebut.
Mi Hokkien tergolong dalam mi alkali. Menurut Miskelly (1996),
evaluasi terhadap mi alkali dilakukan terhadap warna, penampakan,
karakteristik saat dimasak (kehilangan padatan akibat pemasakan),
26
eating quality (kekerasan, kelengketan, elastisitas), dan tekstur. Mi
alkali seharusnya berwarna kuning, simetris, dapat dimasak dengan
cepat dan tidak hancur. Selain itu, setelah dimasak mi tidak lengket dan
memiliki tekstur yang elastis dan kenyal.
Karakteristik fisik penting yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan mi basah adalah warna dan tekstur (Hou dan Krouk,1998).
Secara fisik, diameter mi basah berkisar antara 1,5-2mm
(Astawan,1999). Hou dan Krouk (1998) menyatakan persyaratan warna
untuk mi basah matang adalah warna kuning cerah dan tidak pudar
dalam 24 jam. Sedangkan untuk persyaratan tekstur, masih menurut
Hou dan Krouk (1998), mi basah matang harus memiliki tekstur yang
kenyal, elastis, tidak lengket, mudah digigit, dan memiliki tekstur yang
stabil dalam air panas.
Pengukuran parameter kualitas mi bisa dilakukan secara subyektif
menggunakan panelis terlatih atau bisa juga dilakukan secara obyektif
menggunakan beberapa instrumen pengukuran. Pengukuran secara
subyektif agak sulit dilakukan karena menggunakan panelis terlatih
yang memerlukan latihan intensif dan tidak bisa langsung menguji
sampel dalam jumlah banyak. Pengukuran kualitas mi banyak dilakukan
menggunakan alat seperti chromameter, spektrofotometer, texture
analyzer atau rheoner. Karakteristik fisik yang diukur meliputi warna,
cooking loss, kekerasan, kelengketan dan persen elongasi.
Kualitas mi sangat ditentukan oleh kondisi proses pembuatan.
Oleh karena itu pengamatan yang dilakukan tidak hanya dilakukan pada
produk akhir, melainkan pada produk intermediet di setiap tahapan
pembuatan. Menurut Hou dan Kruk (1998). Tahapan proses yang perlu
diperhatikan pada pembuatan mi basah matang antara lain adalah tahap
pencampuran, pembentukan lembaran, pemotongan, dan perebusan.
Parameter yang diamati pada tahap pencampuran adalah penyerapan air
yang optimum, ukuran partikel adonan kecil dan seragam. Sedangkan
pada tahap pembentukan lembaran, parameter yang diamati adalah
adonan mudah dibentuk lembaran, permukaan halus, tidak mudah sobek
27
dan bebas dari noda. Setelah terbentuk lembaran, tahap selanjutnya
adalah pemotongan. Untaian mi yang diharapkan adalah memiliki
ukuran yang tepat, dan hasil potongan yang rapi. Sedangkan pada tahap
perebusan, mi memiliki coooking loss rendah atau secara visual, air
rebusan tidak terlalu keruh.
Mi basah termasuk komoditas pangan yang mudah rusak.
Kerusakan mi basah utamanya disebabkan oleh tumbuhnya mikroba. Mi
basah sangat mudah ditumbuhi kapang karena karakteristik kimia mi
basah sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroba. Menurut
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2005) seperti dikutip oleh
Gracecia (2005), mi basah mentah memiliki kadar air 26-27%,
sedangkan mi basah matang memiliki kadar air 64-65%. Selain kadar air
yang tinggi aw mi basah juga cukup tinggi. aw mi basah matang adalah
0.92-0,93. Kadar air dan aw yang tinggi sangat cocok untuk
pertumbuhan mikroba perusak. Selain kadar air dan aw, karakteristik
kimia yang penting untuk mengetahui kualitas mi adalah pH. Mi basah
dianggap belum rusak jika pH mi masih pada kisaran pH basa yakni
sekitar 7,55 untuk mi mentah. Menurut Astawan (1999). Kerusakan mi
basah matang terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam.
Walaupun mi basah termasuk bahan pangan yang mudah rusak,
namun ia telah menjadi salah satu bahan pangan yang dikonsumsi
sebagai sumber energi selain nasi. Komposisi zat gizi mi basah matang
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Gizi Mi Basah/ 100 gram bahan Komposisi Gizi Jumlah
Energi Protein Lemak Karbohidrat Ca P Fe Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air
86 Kalori 0,6 g 3,3 g 14,0 g 14 mg 13 mg 0,8 mg 0 SI 0 mg 0 mg 80,0 g
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes (1992) seperti dikutip olah Astawan (1999).
28
H. MI PATI
Berdasarkan bahan utamanya, mi digolongkan menjadi dua yaitu mi
terigu dan mi non terigu. Mi pati tergolong dalam mi non terigu. Berbeda
dengan mi terigu yang memiliki gluten sebagai pembentuk tekstur mi,
struktur mi pati dibentuk oleh matrik yang terbentuk akibat gelatinisasi.
Sehingga karakteristik pati sangat berpengaruh terhadap kualitas mi pati yang
dihasilkan. Berbeda dengan mi terigu yang dibuat dengan metode sheeting,
pembuatan mi pati kebanyakan menggunakan metode ekstrusi.
Hingga saat ini, menurut Kim et al., (1996) karakteristik mi pati
terbaik dari segi tekstur dan penampakan dan menjadi acuan dalam
pengembangan kualitas mi pati adalah mi pati yang dibuat dari pati kacang
hijau. Galvez and Resurreccion (1992) seperti dikutip oleh Kim et al., (1996)
melaporkan kualitas mi pati yang diinginkan adalah mi dengan tekstur yang
kokoh (firm), tidak lengket, transparan, waktu pemasakan singkat, rasa tawar
dan cooking loss kecil. Pati kacang hijau menghasilkan mi pati dengan
kualitas terbaik karena sifat patinya yang tinggi kandungan amilosa,
keterbatasan pengembangan granula, pasta pati stabil selama pemanasan dan
pengadukan, dan memiliki kecenderungan retrogradasi yang tinggi.
Jenis mi pati yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah mi dari
sagu. Mi jenis ini banyak dikembangkan di daerah bogor dan Sukabumi.
Masyarakat mengenal mi ini dengan nama ”Mi gleser” atau Mi srodot”
karena teksturnya yang licin. Pembuatan mi gleser diawali dengan
pembuatan ”lem sagu” sebagai pengikat. Lem sagu dibuat dengan memasak
kurang lebih 1/3 bagian pati dalam air mendidih (pati:air = 1:2). Lem sagu
dicampur dengan sisa pati kering. Adonan diaduk hingga licin dan dapat
dicetak. Cetakan mi sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada bagian
bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mi
sagu akan keluar dari cetakan. Selanjutnya, mi direbus dalam air mendidih
sampai mengapung dan direndam dalam air dingin yang mengalir, kemudian
ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mi tidak saling melengket, mi
dilumuri minyak sayur (Taufiq, 2005)
29
I. MI JAGUNG
Mi jagung adalah mi yang dibuat dengan bahan utama hasil olahan
jagung (tepung atau pati). Beberapa penelitian sebelumnya mengembangkan
mi instan berbahan dasar tepung jagung dan pati jagung dengan penambahan
protein jagung (Corn Gluten Meal) dan penambahan gluten terigu. Metode
yang digunakan menyerupai pembuatan mi terigu, yakni menggunakan
metode sheeting dengan beberapa modifikasi.
Pembuatan mi jagung instan berbahan dasar tepung jagung
dikembangkan oleh Juniawati (2003). Menurut Juniawati (2003), proses
pembuatan mie jagung instan terdiri dari pencampuran, pengukusan pertama,
pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan. Proses
pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah
pencampuran bahan dilakukan pengukusan. Apabila tidak dilakukan
pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi.
Pada pembuatan mi jagung, suspensi tepung jagung dengan air pada
saat pengukusan mengalami proses gelatinisasi. Gelatinisasi menyebabkan
pengembangan granula pati. Pengembangan granula pati berpengaruh
terhadap massa adonan. Setelah pengukusan dihasilkan massa adonan yang
kohesif dan cukup elastis ketika diuleni (Juniawati, 2003).
Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah
adonan yang dimasak, akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang
diharapkan hampir sama. Adonan yang telah dikukus mengalami pemasakan
yang tidak merata dimana bagian dalamnya sangat sedikit menerima panas
sehingga tingkat kemasakan ataupun tingkat gelatinisasinya paling rendah.
Untuk meratakan kadar air dan tingkat gelatinisasi diperlukan pengulian.
Dalam hal ini, air merupakan faktor yang menentukan konsistensi adonan
setelah pemasakan (Juniawati, 2003).
Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang
lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah
dicetak ke dalam bentuk lembaran dan mi. Massa adonan yang lunak dan
kohesif, mudah dibuat lembaran, mudah dicetak, menghasilkan mi dengan
30
tekstur yang halus dan tidak mudah patah terdapat pada perbandingan tepung
dengan air 1:1 (Juniawati, 2003).
Mi hasil pengukusan pertama tidak dapat langsung dikeringkan
karena pada pengukusan pertama, proses gelatinisasi belum sempurna atau
mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua.
Pengukusan pertama memang tidak ditujukan untuk membuat mi matang
namun untuk menghasilkan massa adonan yang dapat dicetak. Apabila
pengukusan pertama ditujukan juga untuk mematangkan mi maka
pengukusan harus lebih lama. Pengukusan yang lebih lama akan
meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga
sulit dicetak (Juniawati, 2003).
Mi hasil pengukusan pertama apabila langsung dikeringkan maka
ketika dimasak akan hancur. Hal ini disebabkan apabila proses gelatinisasi
belum cukup maka pati tergelatinisasi yang mampu bertindak sebagai zat
pengikat tidak dapat mengikat secara sempurna partikel-partikel yang ada
dalam bahan sehingga ketika dimasak dalam air akan larut. Proses
pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan
kedua. Pada saat pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan
gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa
berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk
matriks yang seragam sehingga kekuatan ikatan antar granula meningkat.
Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila
dimasak tidak hancur (Juniawati, 2003)..
Proses pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air sehingga
mi kering dan dapat disimpan lama. Pengeringan mi jagung dilakukan
dengan menggunakan oven pada kisaran suhu 60-75oC selama 1-1.5 jam.
Pengeringan dianggap cukup jika mi mudah dipatahkan (Juniawati, 2003).
Faktor kritikal yang menjadi variabel bebas adalah volume air yang
ditambahkan dan waktu pengukusan pertama. Berdasarkan hasil optimasi,
maka hasil volume air dan waktu pengukusan yang optimum pada
pengolahan mie jagung instan adalah 50 ml selama 15 menit dengan tingkat
gelatinisasi yang dihasilkan adalah 80.77%. Waktu pengukusan kedua adalah
31
30 menit. Hasilnya diperoleh waktu masak mi jagung instan selama 7 menit
(Juniawati, 2003).
Waktu masak mi jagung instan selama 7 menit belum memenuhi
persyaratan SNI bagi mi instan yang menyatakan bahwa waktu masak mi
instan adalah 4 menit. Oleh karena itu dibutuhkan bahan tambahan yang
dapat menghasilkan waktu masak selama 4 menit. Bahan tambahan yang
digunakan yaitu baking powder sebanyak 0.3% (Juniawati, 2003).
Mi jagung instan memiliki daya serap air (DSA) 91.97% dan
kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) 8.47%. Hasil analisis
proksimat untuk mi jagung instan adalah kadar air 11.67%, kadar abu 1.20%,
kadar protein 6.16%, kadar lemak 2.27%, karbohidrat 78.69%, pati 65.92%.
Nilai energi yang terkandung dalam mi jagung instan adalah 360 kkal/100
gram. Tingginya kadar karbohidrat dan energi yang terkandung pada mi
jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan alternatif
pilihan produk pangan pokok. Kandungan serat pada mi jagung instan adalah
6.80%. Apabila mi jagung instan disajikan sebanyak 100 gram maka
kebutuhan serat yang dipenuhi dari mi jagung instan adalah 23-27% per hari
(Juniawati, 2003).
Budiyah (2004) melakukan riset mengenai mi jagung instan yang
terbuat dari pati jagung dan protein jagung (corn gluten meal). Dalam proses
pembuatan mi jagung tersebut, Budiyah (2004) melakukan penyesuaian pada
desain proses pembuatan mi jagung instan dari metode Juniawati (2003).
Penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena bahan baku yang digunakan
berbeda dan terdapat banyak kesulitan untuk melakukan scale up pembuatan
mi jagung instan dengan metode yang digunakan Juniawati (2003) antara
lain adalah derajat gelatinisasi pati yang tidak konsisten.
Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan memisahkan adonan
menjadi dua bagian. Adonan pertama adalah pati dan CGM yang dicampur
air, kemudian dikukus hingga mengalami gelatinisasi sempurna. Sedangkan,
adonan kedua adalah pati yang dicampur dengan bahan tambahan lainnya
tanpa mengalami proses gelatinisasi. Selanjutnya adonan yang tergelatinisasi
dan adonan yang tidak tergelatinisasi dicampur dengan varimixer sampai
32
adonan menjadi homogen. Proses ini bertujuan untuk membentuk adonan
yang baik, memiliki cukup kadar air, dan matriks pati yang belum
tergelatinisasi serta bahan-bahan lain terikat ke dalam matriks pati yang telah
tergelatinisasi sehingga memudahkan pembentukan adonan yang kalis.
Mi jagung yang dikembangkan Budiyah (2004) memiliki daya serap
air 74.31%, kehilangan akibat pemasakan 20.10%, kekuatan tekstur 18 gf,
dengan waktu rehidrasi 4 menit. Hasil analisis proksimat untuk mi jagung
instan tersebut adalah kadar air 7.47%, kadar abu 1.44%, kadar protein kasar
3.32%, kadar karbohidrat 81.91%, dengan nilai energi 379 kkal.
Fadlillah (2005) menyatakan bahwa metode yang dikembangkan oleh
Budiyah (2004) akan menyulitkan bagi industri sebab industri harus
menambah feeder ekstra dan mengatur ulang aliran proses pada peralatannya.
Hal tersebut akan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh
sebab itu, dibutuhkan desain proses dimana proses pengukusan pertama
dapat dilakukan pada seluruh bagian adonan. Salah satu faktor yang menjadi
pertimbangan penting pada pengukusan pertama adalah kecukupan tingkat
gelatinisasi, sehingga dapat terbentuk adonan yang kalis, elastis, kohesif, dan
mudah dicetak menjadi mi.
Fadlillah (2005) telah melakukan penelitian pengukusan seluruh
bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Pengukusan
seluruh bagian adonan pada suhu 70oC selama empat menit belum
menghasilkan adonan yang kuat dan elastis. Pengukusan seluruh adonan
pada suhu 70oC selama tujuh menit sudah menghasilkan adonan yang lebih
baik. Namun, adonan belum terlalu elastis, kasar dan masih patah.
Pengukusan selama 10 menit pada suhu 70oC menghasilkan adonan yang
lebih kuat, namun karena gelanitisasi hanya terjadi sebagian, maka adonan
yang dihasilkan masih kasar. Sedangkan, pada pengukusan selama 13 menit,
adonan yang dihasilkan lebih licin dan halus tetapi lengket di mesin mi.
Untuk mempermudah pembuatan adonan yang kalis dan
meningkatkan elastisitas mi, dilakukan penambahan protein gluten terigu
(Fadlillah, 2005). Penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan
dengan penambahan corn gluten meal (CGM), dengan total penambahan
33
10% dari adonan. Penambahan protein gluten terigu kurang dari 5%, tidak
terlalu berpengaruh terhadap karakteristik adonan dan elastisitas mi jagung
instan. Penambahan gluten terigu di atas 5%, akan meningkatkan kekerasan
mi jagung instan. Pada perbandingan protein gluten terigu instan dengan
CGM 5:5, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar 15,57 Kgf.
Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3, diperoleh nilai
kekerasan sebesar 46,33 Kgf. Pada perbandingan protein gluten
terigu:CGM sebesar 9:1, diperoleh nilai kekerasan mi jagung instan sebesar
53,33 Kgf.
Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan bahwa selain
meningkatkan kekerasan, penambahan protein gluten terigu juga
meningkatkan elatisitas mi jagung instan. Pada penambahan protein gluten
terigu:CGM sebesar 5:5, diperoleh nilai elongasi mi jagung instan sebesar
124,41%. Nilai elongasi meningkat menjadi 130,32%, pada perbandingan
protein gluten terigu:CGM sebesar 7:3. Pada perbandingan protein gluten
terigu:CGM sebesar 9:1, nilai elongasi mi jagung instan meningkat menjadi
150,63%. Pada perbandingan protein gluten terigu:CGM sebesar 9:1, mi
jagung instan sudah dapat dimasak seperti cara memasak mi terigu instan.
Penambahan protein gluten terigu juga akan mempersingkat waktu
pengukusan pertama, dan menghasilkan adonan yang lebih kalis, halus, dan
lembut.
Selain di Indonesia, pembuatan mi berbahan baku jagung juga telah
dikembangkan di India oleh Sowbhagya, Chakrabhavi Mallappa, Ali, dan
Syed Zakiuddin. Tahapan proses pembuatan mi jagung yang mereka
kembangkan adalah sebagai berikut :
1. Jagung dibuat menjadi grit
2. Grit jagung direndam dalam larutan sulfur dioksida
3. Grit dikeringkan dan digiling menjadi tepung
4. Tepung jagung diayak dengan ayakan 60 mesh
5. Tepung ditambah garam dan air
6. Campuran dikukus untuk membentuk tekstur tepung
34
7. Campuran ditambah dengan air panas untuk menghasilkan adonan
yang homogen
8. Adonan yang sudah homogen diekstrusi sehingga membentuk
untaian mi
9. Untaian mi dikukus dan dikeringkan
(Sowbhagya et al., 2000)
Grit yang digunakan adalah grit yang rendah lemak (< 1,0 %). Grit
jagung direndam dalam metabisulphite atau potassium metabisulphite,
dengan konsentrasi yang equivalen dengan konsentrasi 0.05-0.3% SO selama
kurang lebih 8 – 20 jam pada suhu 30-60oC. Jumlah garam yang
ditambahkan 1-2% dan jumlah air yang ditambahkan 15-20%. Campuran ini
dikukus. Setelah pengukusan campuran ditambah air panas sehingga pati
tergelatinisasi sesuai dengan tingkat yang diinginkan dan terbentuk untaian
mi dengan kohesi yang lebih baik. Adonan ini kemudian diekstrusi. Mi hasil
ekstrusi ini kemudian dikukus pada suhu 60-90oC selama 30-120 menit.
Perendaman dalam larutan sulfur dioksida diketahui dapat
menyebabkan matriks protein mengalami pembengkakan gradual dan
akhirnya akan menyebabkan pati terlepas dari matriks protein (Sowbhagya et
al., 2000). Terlepasnya pati dari matriks protein menyebabkan perbaikan
daya ikat bahan-bahan yang dimasak. Pati yang terlepas akan berinteraksi
satu sama lain sehingga menyebabkan meningkatnya stabilitas produk yang
dimasak selama rekonstitusi dan membantu mengurangi kehilangan padatan
produk.
Karakteristik mi yang dihasilkan adalah waktu pemasakan 10 menit,
cooking loss 7.4-9.3 %, firmness 36.8-39.3 %, elastic recovery 12.1-12.5%,
dan kandungan amilosa 30.3-31.2 %. Waktu pemasakan mi yang dihasilkan
belum memenuhi standar waktu pemasakan yang hanya 4 menit, selain itu
proses pembuatan mi seperti di atas membutuhkan waktu yang lama karena
harus melalui tahapan pembuatan tepung terlebih dahulu.
35
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan
baku utama dan bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah
maizena, protein jagung/ corn gluten meal (CGM), dan pati kacang hijau (pati
kacang hijau). Sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah air, garam,
baking powder, CMC (Carboxyl Methyl Cellulose), guar gum. Bahan kimia
yang digunakan adalah HCl 0,5 N, KOH 0,2 N, akuades, heksana, H2SO4
pekat, HgO, larutan NaOH-Na2SO3, larutan asam borat jenuh, larutan HCl
0,02 N, larutan iodium, dan indikator (campuran 2 bagian Metil Merah 0,2%
dalam alkohol dan 1 bagian Metilen biru dalam 0,2% alkohol).
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan mi meliputi mesin mi, mi
dan alat-alat masak. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia
meliputi rheoner, texture analyzer, mikroskop polarisasi, timbangan jangka
sorong, sentrifuse, stirer, spektrofotometer, gelas piala, pipet mohr, magnetic
stirer, tabung reaksi, tabung sentrifuse, labu lemak, labu kjeldahl, oven, cawan
aluminium, cawan porselen, timbangan, alat ekstraksi soxhlet, pemanas listrik,
tanur, erlenmeyer, dan alat destilasi.
B. METODOLOGI
1. Tahapan Penelitian
a. Karakterisasi Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM)
Penelitian kali ini menggunakan pati jagung dan protein jagung
(Corn Gluten Meal) sebagai bahan baku utama pembuatan mi basah
jagung. Oleh karena itu perlu dilakukan tahap karakterisasi pati jagung
dan CGM. Karakterisasi bahan baku meliputi karakterisasi sifat fisik
dan kimia (kadar air, kadar protein kasar, kadar lemak, dan kadar abu).
36
b. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang
Pembuatan mi basah jagung merupakan pengembangan dari
pembuatan mi jagung instan. Desain proses dan formulasi pada
penelitian kali ini didasarkan pada penelitian mi jagung instan metode
Budiyah (2005). Selain itu desain proses pembuatan mi basah jagung
juga menggabungkan pembuatan mi basah terigu. Gambar 6
menunjukkan metode pembuatan mi jagung instan metode Budiyah
(2005). Beberapa variabel proses yang diubah meliputi jumlah air yang
ditambahkan, dan waktu pengukusan. Parameter yang diamati pada
tahap ini adalah karaketistik fisik mi yang dihasilkan, meliputi
kekerasan, kelengketan, % elongasi, resistensi terhadap tarikan, KPAP
dan derajat gelatinisasi.
Pencampuran sampai merata Pencampur sampai merata
Pengukukusan sampai tergelatinisasi sempurna (7 menit)
Pencampuran sampai adonan menjadi kalis
Pembentukan lembaran, pencetakan, dan pemotongan (Pressing, slitting, cutting)
Pengukukusan (10 menit)
(tahap pematangan bagian yang belum tergelatinisasi)
Pengeringan pada suhu 60-70oC selama 2 jam
Pendinginan (cooling)
Pengemasan
Gambar 6. Diagram proses pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005).
Pati(450 g/setengah total pati yang dibutuhkan) + CGM 100 g + air 350 ml
Pati (450 g/setengah total pati) + baking powder 0,3% + Garam 1% + CMC 1%
37
c. Perbaikan Elongasi Mi Jagung Basah Matang
Perbaikan elongasi mi dilakukan dengan mensubstitusi sebagian
pati jagung yang dikukus dengan pati kacang hijau. Tujuan pemilihan
pati kacang hijau untuk memperbaiki sifat fisik mi terutama pati
kacang hijau merupakan bahan baku mi pati yang dianggap
memberikan karakteristik fisik dan cooking quality yang paling baik.
Selain itu penelitian sebelumnya telah menggunakan gluten terigu
untuk meningkatkan elongasi mi jagung instan. Penelitian kali ini ingin
menghasilkan produk pangan bebas gluten atau yang dikenal dengan
istilah gluten free food, sehingga dicari alternatif bahan pangan selain
gluten terigu untuk meningkatkan elongasi mi. Parameter yang diamati
pada tahap penelitian ini adalah semua parameter pengukuran fisik
kecuali parameter KPAP. Substitusi pati kacang hijau yang paling baik
memperbaiki sifat elongasi mi tanpa menurunkan atau paling tidak
hanya sedikit menurunkan karakteristik fisik mi yang lain akan dipilih
untuk tahap penelitian selanjutnya. Tabel 5 menunjukkah tingkat
substitusi pati kacang hijau yang digunakan pada formulasi mi basah
jagung.
Tabel 5. Formula mi basah jagung dengan substitusi pati kacang hijau
Komposisi* (%) Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Maizena yang dikukus 45 40 35 30 25
Maizena yang tidak dikukus 45 45 45 45 45
Pati pati kacang hijau 0 5 10 15 20
CGM 100 mesh 10 10 10 10 10 Air 30 30 30 30 30 CMC 1 1 1 1 1 Garam 1 1 1 1 1 Baking powder 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
* : dihitung berdasarkan total pati + CGM
38
d. Perbaikan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan Mi Basah Jagung Matang
Perbaikan sifat kehilangan padatan akibat pemasakan dilakukan
dengan memvariasikan jenis pengikat dan konsentrasi yang digunakan.
Jenis pengikat yang digunakan adalah CMC dan Guar gum.
Konsentrasi yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan 2%. Parameter
yang diamati adalah kehilangan padatan akibat pemasakan.
e. Analisis Proksimat Produk Akhir
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi pengukuran kadar air,
kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar dan kadar
karbohidrat (by difference)
2. Pengamatan
a. Analisis Sifat Fisik
Analisis fisik yang dilakukan meliputi pengukuran % elongasi
dan resistensi terhadap tarikan menggunakan Rheoner, pengukuran
kekerasan dan kelengketan mi menggunakan texture analyzer,
pengukuran warna menggunakan chromameter, pengukuran
kehilangan padatan akibat pemasakan menggunakan metode
gravimetri, dan pengamatan sifat birefringent pati menggunakan
mikroskop polarisasi.
a1. Pengamatan Sifat Birefringence Pati Dengan Menggunakan Mikroskop Polarisasi
Pengamatan sifat birefringence pati di di bawah
mikroskop polarisasi dilakukan untuk mengetahui kecukupan
proses gelatinisasi. Sampel disuspensikan dalam akuades dan
diaduk secara merata. Kemudian, satu tetes sampel diteteskan ke
gelas objek dan diamati di bawah mikroskop polarisasi. Sampel
yang bukan berupa tepung perlu ditepungkan terlebih dahulu
39
hingga diperoleh ukuran partikel yang dapat disuspensikan dalam
akuades.
Pati yang belum mengalami proses gelatinisasi akan
memiliki sifat birefringence sehingga ketika diamati dengan
mikroskop polarisasi akan tampak granula-granula yang
mengkilat dan berwarna. Sedangkan, pati yang telah mengalami
gelatinisasi sempurna tidak memiliki sifat birefringence, sehingga
tidak tampak di bawah mikroskop polarisasi.
a2. Analisis Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching,1999)
Sampel dipotong 2-3 mm dan ditempatkan pada wadah
yang transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L
menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam
sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau
ditunjukkan oleh nilai a(a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0- (-
80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning
ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0-
(-70) untuk warna biru). Nilai hue dikelompokkan sebagai
berikut:
Red purple : Hue° 342-18 Green : Hue°162-198
Red : Hue°18-54 Purple : Hue°306-342
Yellow red : Hue°54-90 Blue purple : Hue°270-306
Yellow : Hue°90-126 Blue green : Hue°198-234
Blue : Hue°234-270 Yellow green : Hue°126-162
a3. Analisis Sifat Resistensi Terhadap Tarikan dan Persen Elongasi Menggunakan Rheoner
Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit
kedua ujung mie yang akan diukur kekerasan dan elastisitasnya.
Beban yang digunakan 0.1 volt (5 gf/0.25cm), test speed 1 mm/s,
dan chart speed 40 mm/menit. Sampel yang telah direhidrasi
40
diletakkan pada probe dan dijepit sedemikian rupa pada kedua
ujungnya. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan
antara kekuatan (kgf) dan waktu (s).
Cara perhitungan :
Kekerasan
Kekerasan = Jarak ke puncak kurva (cm) x 5 gf
0.25 cm
Persen elongasi
b = lebar kurva (mm) x 1.5
c = (a2 + b2) ½, dimana a = 12 mm
Δ L = (2 xc) – 24
% elongasi = (Δ L/ 24) x 100%
a4. Analisis Kelengketan dan Kekerasan Kenggunakan Texture Analyzer TAXT-2
Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter
35 mm. Pengaturan TAXT-2 yang digunakan adalah sebagai
berikut: pre test speed 2.0 mm/s, test speed 0.1 mm/s, rupture
test distance 75%, dan force 100g, test mode : measure force in
compression.
Sampel dengan panjang yang melebihi diameter probe
diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya
berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan dan
waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute(+) peak, dan
nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute(-) peak. Satuan
kedua parameter ini adalah gram force (gF).
a5. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (Oh et al., 1985)
Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram
mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum
41
perebusan, mie ditiriskan dan disiram air, kemudian ditiriskan
kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang dan
dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu
ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:
KPAP = 1 - berat sampel setelah dikeringkan x 100% berat awal (1- kadar air contoh)
a6. Analisis Derajat Gelatinisasi (Birch et al., 1973)
Penentuan derajat gelatinisasi diawali dengan pembuatan
kurva standar yang menggambarkan hubungan antara derajat
gelatinisasi dan absorbansi. Sampel yang digunakan untuk
pembuatan kurva standar adalah sampel yang tergelatinisasi 0-
100%. Sampel yang tergelatinisasi 100% diperoleh dengan
merebus 10 g pati jagung dalam 200 ml air hingga menjadi
bening. Sedangkan sampel yang tidak tergelatinisasi adalah pati.
Lalu dibuat campuran dari kedua sampel tersebut untuk
memperoleh sampel dengan derajat gelatinisasi pati 20%, 40%,
60%, dan 80%. Perbandingan antara pati yang tergelatinisasi
100% dan tidak tergelatinisasi adalah 20:80 untuk sampel dengan
derajat gelatinisasi 20%, 40:60 untuk sampel dengan derajat
gelatinisasi 40%, 60:40 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi
60%, dan 80:20 untuk sampel dengan derajat gelatinisasi 80%.
Tahap selanjutnya adalah pembacaan absorbansi masing-
masing sampel. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dan
dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml lalu ditambahkan 47,5
ml akuades. Campuran ini kemudian di-stirer selama satu menit
dan ditambahkan 2,5 ml KOH 0,2 N dan di-stirer kembali selama
lima menit. Campuran ini kemudian dipipet sebanyak 10 ml dan
disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm.
Supernatan yang diperoleh dipipet dan dimasukkan ke
dalam dua tabung reaksi A dan B masing-masing sebanyak 0,5
ml. Kemudian ditambahkan 0,5 ml HCl 0,5 N ke dalam kedua
42
tabung reaksi. Sebanyak 0,1 ml iodin ditambahkan ke dalam
tabung reaksi B. Lalu ke dalam kedua tabung reaksi ditambahkan
akuades masing-masing sebanyak 9 ml untuk tabung A dan 8,9
ml untuk tabung B. Kedua tabung ini kemudian dikocok dan
dibaca absorbansinya menggunakan spektofotometer dengan
panjang gelombang 625 nm. Larutan pada tabung A merupakan
blanko pembacaan larutan pada tabung B.
Kurva standar dibuat dengan memplotkan derajat
gelatinisasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y.
Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan
hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh
berupa :
Y = a + bX
dimana y merupakan absorbansi, x merupakan derajat
gelatinisasi, sedangkan a dan b merupakan konstanta.
Absorbansi sampel diukur dengan metode yang sama
seperti di atas. Dan derajat gelatinisasinya dihitung dengan
menggunakan persamaan linear yang diperoleh dari kurva
b. Analisis Sifat Kimia
Analisa kimia yang dilakukan pada produk mi jagung instan
adalah analisa proksimat yang meliputi analisis kadar air, kadar protein
kasar lemak kasar abu. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara
by difference.
b1. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan
dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (kurang
lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui
beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven
bersuhu 100°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai beratnya
konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam
43
desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan
rumus:
Kadar air (% b.b) = c – (a – b) x 100% c
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)
b = berat cawan (g)
c = berat sampel awal (g)
b2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600
°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam
cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala
pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan
pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600°C selama 4-6
jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian
didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Kadar abu (% b.b) = c – (a – b) x 100% c
Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g)
b = berat cawan (g)
c = berat sampel awal (g)
b3. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven
bersuhu 100-110°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram,
dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat
ekstrksi (soxhlet) yang telah berisi pelarurt (dietil eter atau
heksan)
44
Refluk dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut
yang ada di adalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstruksi dipanaskan dalam oven bersuhu
100°C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan
ditimbang.
Kadar lemak (% b.b) = a – b x 100% c Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g)
b = berat labu kosong (g)
c = berat sampel awal (g)
b4. Analisis Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldahl(AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml
HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan
diletakkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan
0.9 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel
lebih dari 15 mg, ditabahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg
bahan organik di atas 15 mg. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam
sampai cairan menjadi jernih.
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi,
dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-
Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat
destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam erlenmeyer yang
telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah
metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2%
dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan
HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan
warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan
dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan
sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus:
45
Kadar N (%) = (ml HCl spl – ml HCl blk) x N HCl x 14.007 x 100 mg sampel Kadar protein (% b.b) = % N x faktor konversi (6.25)
b5. Analisis Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat (% b.b) = 100% - (P + KA + A + L )
Keterangan : P = kadar protein (%)
KA = kadar air (%)
A = abu (%)
L = kadar lemak (%)
3. Analisis Data
Data pengukuran fisik karakteristik mi basah jagung diolah
menggunakan program SPSS 11.5. Jenis analisis statistik yang digunkaan
meliputi uji T, dan uji keragaman atau ANOVA. Jika sampel yang
dianalisis dengan ANOVA menunjukkan hasil berbeda nyata, dilakukan
uji lanjut Duncan.
46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Bahan Baku
1. Karakterisasi Pati Jagung
Pati jagung yang digunakan berasal dari PT. Suba Indah Tbk.
Karakteristik pati jagung yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik pati jagung Parameter Satuan Pati jagung *
Kadar air % 10.21
Kadar protein (b/b) % 0.56
Kadar abu % 0.05
Kadar lemak (b/b) % 0.68
Karbohidrat by difference % 88.5
Kandungan pati % 98.01
pH (5% suspensi) - 5.18
Residu SO2 ppm 9.21
Lolos ayakan 100 mesh % 99.81
Viskositas cps 900
Serat % -
Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004)
2. Karakterisasi Corn Gluten Meal (CGM)
CGM merupakan salah satu hasil samping dari proses pembuatan
pati metode penggilingan basah. CGM biasanya digunakan sebagai bahan
baku pakan ternak unggas. CGM memiliki aroma yang kuat dan
kecenderungan membentuk ketengikan karena tingginya kandungan asam
lemak tak jenuh. Hal ini menyebabkan CGM kurang diminati industri
pangan. Menurut Laztity (1986) seperti dikutip oleh Budiyah (2005)
diperlukan ekstraksi pigmen, minyak, dan flavor tertentu agar CGM untuk
menambah nilai guna CGM di bidang pangan.
47
Penampakan fisik CGM adalah granula kasar berukuran tidak
seragam, dan berwarna kuning emas. Tahap pengayakan perlu dilakukan
sebelum CGM digunakan. Ukuran CGM yang digunakan adalah 100 mesh.
Menurut Budiyah (2005) ukuran CGM berpengaruh terhadap adanya
tidaknya sifat sandiness pada produk akhir. Semakin kecil ukuran partikel
CGM akan semakin menurunkan sandiness pada produk akhir.
Tabel 7. Hasil pengukuran warna CGM
Perlakuan Hasil L a b ho
CGM sebelum diayak 68.46 +11.15 +88.38 82.85
CGM 100 mesh 73.89 +5.72 +90.62 86.7
Warna kuning CGM disebabkan adanya pigmen Xanthofil pada
jagung. Proses pengayakan menyebabkan perubahan warna CGM. Hasil
pengukuran warna pada Tabel 7 menunjukkan warna CGM termasuk warna
kuning kemerahan karena memiliki Hueo berkisar 54-90. Selain itu,
perlakuan pengayakan ternyata dapat meningkatkan kecerahan CGM
terlihat dari meningkatnya nilai L CGM setelah pengayakan. Gambar 7
menunjukkan perbedaan warna CGM sebelum dan setelah diayak 100
mesh.
A B Gambar 7. Perbandingan warna CGM sebelum diayak dan CGM 100 mesh
Keterangan : A : CGM sebelum
diayak B : CGM 100 mesh
48
Tabel 8. Komposisi kimia CGM
Komposisi (% bk) CGM yang digunakan
Syarat mutu CGM*
Kadar air 8.23 Maks. 10
Kadar protein kasar 65.02 Min. 60
Kadar lemak kasar 4.35 Min. 2.5
Kadar abu 2.02 Maks. 2.5
* ) SNI 01-4484-1998
Tabel 8 menunjukkan komposisi kimia CGM yang digunakan.
Hasil pengamatan menunjukkan CGM yang digunakan masih memenuhi
syarat mutu CGM. Menurut Budiyah (2005) selama penyimpanan,
kandungan kimia CGM yang rentan terdegradasi adalah kandungan lemak.
Degradasi lemak menimbulkan bau tengik pada CGM.
B. Penentuan Desain Proses Optimum Pembuatan Mi Jagung Basah Matang
Rancangan proses pembuatan mi jagung basah merupakan kombinasi
dari proses pembuatan mi jagung instan metode Budiyah (2005) dan mi basah
terigu. Tahap awal pembuatan mi jagung basah mengikuti metode Budiyah
(2005). Tahapan proses pembuatan mi jagung metode Budiyah meliputi tahap
pencampuran, pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, pengukusan
kedua, dan pengeringan. Modifikasi mulai dilakukan setelah tahap
pemotongan atau setelah terbentuk mi jagung basah mentah. Jika pada
pembuatan mi jagung instan, setelah tahap pemotongan, mi dikukus dan
dikeringkan, maka pada mi jagung basah, tahap berikut yang dilakukan adalah
perebusan, perendaman dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah
pelumasan minyak.
Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan proses pembuatan mi
terigu. Proses pembuatan mi jagung merupakan kombinasi mi pati dan mi
terigu. Terigu memiliki gluten yang mampu membentuk masa adonan yang
elastis dan kohesif bila ditambah air dan uleni. Pada mi pati, sebagian pati
harus tergelatinisasi. Pati tergelatinisasi bertindak sebagai gluten yang
mengikat sisa pati lainnya. Selama pengukusan, granula pati akan
49
mengembang karena proses gelatinisasi. Sebagian fraksi amilosa keluar dari
granula dan membentuk matrik yang berfungsi memerangkap sisa pati yang
ditambahkan saat tahap pengulian, sehingga terbentuk adonan yang dapat
dibentuk lembaran dan dicetak.
Tahap penentuan desain proses optimum pembuatan mi jagung basah
matang dimulai dari penentuan jumlah air dan waktu pengukusan yang
optimum. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat gelatinisasi yang
cukup sehingga menghasilkan adonan yang bisa dibentuk dan dipotong pada
ukuran yang diinginkan. Setelah didapat jumlah air dan waktu pengukusan
yang optimum, dilakukan perbaikan kehilangan akibat pemasakan (KPAP) mi
karena KPAP yang dihasilkan masih cukup tinggi. Perbaikan KPAP dilakukan
dengan menambahkan bahan tambahan (garam, CMC, dan baking powder)
pada bagian yang dikukus. Selain parameter KPAP, pada tahap penentuan
desain proses ini diamati pula pengaruh penambahan bahan tambahan pada
bagian yang diukus terhadap beberapa karakteristik fisik mi. Hal ini dilakukan
untuk menentukan langkah perbaikan selanjutnya yang perlu dilkukan untuk
memperbaiki karakteristik fisik mi. Karakteristik fisik mi yang diamati
meliputi % elongasi, kekerasan, kelengketan, dan resistensi terhadap tarikan
dan derajat gelatinisasi pati. Pengamatan granula pati dilakukan secara
kualitatif menggunakan mikroskop polarisasi dan secara kuantitatif
menggunakan metode kimia.
1. Penentuan jumlah air dan waktu pengukusan optimum
Jumlah air yang ditambahkan, waktu dan suhu pengukusan
memegang peranan penting demi tercapainya tingkat gelatinisasi optimum.
Tingkat gelatinisasi optimum berarti matriks pati yang terbentuk cukup
untuk mengikat sisa pati yang tidak tergelatinisasi dan mampu membentuk
adonan yang bisa dibentuk dan tidak lengket di mesin mi. Tidak
tercapainya tingkat gelatinisasi yang optimum menyebabkan adonan
terlalu kering dan sulit dibentuk lembaran dan tidak dapat dipotong.
Tingkat gelatinisasi pati yang berlebihan menyebabkan lembaran mi
50
lengket di mesin mi sehingga tidak dapat dicetak pada ukuran yang
diinginkan.
Tabel 9. Penentuan jumlah air yang optimum Air yang ditambahkan* Hasil pengamatan
35% Adonan terlalu basah dan tidak dapat dikukus
33% Adonan masih terlalu basah, perlu dikepal saat dikukus
30% Adonan cukup basah dan bisa dikukus * Penambahan didasarkan terhadap jumlah total pati + CGM
Tabel 9 menunjukkan jumlah air optimum untuk pembuatan mi
jagung basah pada penelitian ini adalah 30%. Penentuan jumlah air pada
tahap optimasi didasarkan pada formulasi Budiyah (2005). Budiyah (2005)
menggunakan penambahan air 35% untuk 1 kg adonan. Penelitian kali ini
menggunakan skala yang lebih kecil, yakni 100 g adonan (total pati +
CGM). Jumlah air 35% menghasilkan adonan yang terlalu basah,
penambahan air harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena
penambahan air yang tidak hati-hati menyebabkan air tidak terserap semua
ke dalam adonan dan menghasilkan adonan pseudoplastis yang tidak dapat
dikukus. Oleh karena itu dilakukan pengurangan jumlah air yang
ditambahkan menjadi 33%. Penambahan air masih harus dilakukan dengan
hati-hati, walaupun kemungkinan terbentuk adonan yang tidak dapat
dikukus lebih kecil. Adonan pseudoplastis yang terbentuk masih bisa
diatasi dengan mengukus adonan dalam bentuk kepalan-kepalan.
Pengukusan dalam bentuk kepalan menghasilkan pematangan adonan yang
kurang merata. Selanjutnya, pengurangan air dilakukan hingga jumlah air
yang ditambahkan hanya 30%, adonan yang dihasilkan cukup basah,
homogen, dan dapat dikukus tanpa dikepal.
51
Tabel 10. Penentuan waktu pengukusan optimum Waktu
pengukusan Hasil pengamatan
10 menit Adonan dapat dibentuk lembaran, cukup lembab, tapi terlalu lengket/elastis untuk dibentuk lembaran di ukuran roll 1,4
5 menit Adonan dapat dibentuk lembaran tapi masih lengket untuk dibentuk lembaran di ukuran roll 1,4
3 menit Adonan dapat dibentuk lembaran, cukup lembab dan dapat dipotong di ukuran roll 1,4.
Selain jumlah air yang ditambahkan, kecukupan waktu dan suhu
pengukusan juga sangat penting. Tabel 10 menunjukkan penentuan waktu
yang optimum untuk pengukusan adonan. Setelah dikukus, adonan
tergelatinisasi dicampur dengan sisa pati yang tidak digelatinisasi, diuli
hingga homogen dan dibentuk lembaran pada mesin. Waktu pengukusan
optimum menghasilkan pati tergelatinisasi yang cukup untuk membentuk
adonan yang tidak lengket di mesin mi. Hasil pengamatan menunjukkan,
waktu pengukusan 10 dan 5 menit menghasilkan adonan yang mampu
mengikat sisa pati, dapat dibentuk lembaran, tetapi masih terlalu lengket
jika dipotong pada ukuran roll yang diinginkan (1,4). Waktu pengukusan 3
menit memberikan waktu pengukusan yang optimum. Lama pengukusan
dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, namun tingkat
gelatinisasi yang diharapkan hampir sama.
2. Penentuan desain proses untuk mengurangi KPAP
Setelah terpilih jumlah air dan waktu pengukusan yang optimum,
masalah lain yang ditemukan adalah tingginya kehilangan padatan akibat
pemasakan (KPAP) mi saat direbus. KPAP yang tinggi tidak dikehendaki
karena menyebabkan kuah mi menjadi keruh. Hal ini mungkin disebabkan
BTP (garam, baking powder, dan CMC) yang digunakan ditambahkan
pada pati yang tidak ikut tergelatinisasi. BTP yang ditambahkan pada pati
yang tidak digelatinisasi menyebabkan fungsi BTP kurang optimum dalam
pembentukan adonan maupun dalam menghasilkan mi dengan
karakteristik yang diinginkan. Oleh karena dilakukan perbaikan desain
52
proses dengan mencoba menambahkan BTP pada bagian pati yang
dikukus untuk mengurangi KPAP.
Gambar 8. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang
Gambar 8 menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang
tergelatinisasi dapat menurunkan KPAP mi saat direbus. Hasil uji
perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 1) dengan selang
kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati yang
dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan KPAP.
Metode Budiyah (2005) menambahkan semua BTP yang
digunakan pada pati yang tidak dikukus. Perlakuan ini tidak menghasilkan
produk dengan KPAP tinggi, karena adanya tahap pengukusan kedua yang
memungkinkan BTP bekerja dan menghasilkan mi dengan KPAP rendah.
KPAP atau cooking loss bisa didefinisikan sebagai lepasnya
massa padatan mi ke air rebusan. Menurut Chen et al., (2003) KPAP
terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi saat pemasakan
. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air rebusan dan menyebabkan
kekeruhan. Fraksi pati yang keluar selain menyebabkan kuah mi menjadi
keruh juga menjadikan kuah mi lebih kental (thick). Tingginya KPAP juga
menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lemah dan kurang licin.
KPAP yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya
kemampuan matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak
tergelatinisasi. Oleh karena itu diperlukan bahan tambahan yang mampu
16.525
14.14
12.5
13
13.5
14
14.5
15
15.5
16
16.5
17
BTP tidak dikukus BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Kehi
lang
an P
Adat
an A
kiba
t Pe
mas
akan
(KPA
P)
53
membantu pengikatan pati. Bahan tambahan pangan yang dipakai dan
berfungsi sebagai pengikat adalah CMC. CMC mampu berfungsi sebagai
pengikat jika berinteraksi dengan air dan membentuk gel. Gel CMC yang
terbentuk akan membantu pengikatan pati yang tidak tergelatinisasi,
sehingga mampu menurunkan KPAP. Interaksi CMC dengan air
dimungkinkan dengan menambahkan CMC pada bagian pati yang akan
dikukus.
a. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap %elongasi mi
Persen elongasi adalah pertambahan panjang mi akibat gaya
tarikan. Sifat ini termasuk karakteristik mi yang sangat penting. Mi
dengan %elongasi tinggi menunjukkan karaktersitik mi yang tidak
mudah putus. Sifat ini penting karena kita tidak ingin mengonsumsi mi
yang hancur saat dimakan
Gambar 9. Pengaruh pengukusan BTP terhadap % elongasi mi jagung basah matang
Gambar 9 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada
adonan yang dikukus menyebabkan penurunan %elongasi mi. Hasil uji
perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 2) dengan selang
20.55
11.66
0
5
10
15
20
25
BTP tidak dikukus BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
% E
long
asi
54
kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati
yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan %elongasi mi.
BTP yang ditambahkan meliputi garam, baking powder dan
CMC. Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, memperkuat tekstur,
mengikat air, meningkatkan elastisitas, dan fleksibilitas mi (Budiyah,
2005). Baking powder merupakan campuran dari Na2CO3:K2CO3
(2:1). Bahan ini dapat mebuat struktur bahan menjadi lebih berpori
karena kemampuannya membentuk gas CO2. Struktur bahan yang
berpori diharapkan dapat mempercepat hidrasi air saat pemasakan.
CMC sendiri berfungsi sebagai bahan penstabil, pengikat, dan
membantu pengikatan air.
Eliasson dan Gudmunsson (1996) menyatakan tingginya
amilosa terlarut dan tingginya kemampuan pengembangan granula
mampu meningkatkan elastisitas. Sebaliknya tingginya amilopektin
terlarut dapat mengganggu pembentukan gel dan menurunkan
elastisitas. Hal ini menunjukkan kecukupan gelatinisasi sangat
menentukan sifat elongasi mi. Selama gelatinisasi, granula pati akan
mengembang dan fraksi amilosa akan terlarut keluar dari granula.
Jumlah air yang cukup berpengaruh terhadap pengembangan granula
dan jumlah amilosa terlarut. Penambahan CMC akan mengurangi porsi
air yang bisa diserap oleh pati, sehingga proses gelatinisasi kurang
optimum. Hal ini menyebabkan penurunan %elongasi mi.
Kantanka dan Acquistucci (1996) menyatakan bahwa
penambahan garam pada granula pati yang rapuh dapat meningkatkan
kekuatan granula pati sehingga meningkatkan pengembangan pati.
Tetapi penambahan garam pada granula pati yang kuat dapat
menghambat gelatinisasi sehingga menghambat pengembangan
granula. Pengaruh penambahan garam terhadap sifat gelatinisasi pati
tergantung dari konsentrasi garam yang ditambahkan. Eliasson dan
Gudmunsson (1996) menyatakan penambahan garam dapat
menghambat gelatinisasi hingga konsentrasi tertentu. Penambahan
garam berlebihan justru akan menurunkan suhu gelatinisasi.
55
Baking powder bepengaruh terhadap pH air yang digunakan.
Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pH hanya berpengaruh
kecil terhadap sifat pati, karena pati sendiri biasanya tidak bermuatan.
Namun Eliasson dan Gudmunsson (1996) melaporkan modulus
elatisitas optimum pati terjadi pada pH 9.4 dan terendah pada 5.6,
walaupun perbedaannya elastik modulusnya kecil. pH air yang
ditambahkan pada pati yang dikukus adalah 7.10
b. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan
Resistensi terhadap tarikan adalah nilai yang menggambarkan
kemampuan untaian mi untuk menahan gaya tarikan dengan besaran
tertentu. Semakin tinggi nilai karakteristik ini menunjukkan untaian mi
tidak mudah patah.
Gambar 10. Pengaruh pengukusan BTP terhadap sifat resistensi
terhadap tarikan mi jagung basah matang
Gambar 10 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada
adonan yang dikukus menyebabkan penurunan sifat resistensi terhadap
tarikan mi. Hasil uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran
3) dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP
16.6
14.4
13
13.5
14
14.5
15
15.5
16
16.5
17
BTP tidak dikukus BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Res
iste
nsi t
erha
dap
tarik
an (g
f)
56
pada bagian pati yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan
sifat resistensi untaian mi terhadap tarikan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penambahan BTP pada
adonan yang dikukus menurunkan derajat gelatinisasi, sehingga
menurunkan fraksi amilosa terlarut. Hal ini menyebabkan matrik yang
terbentuk kurang kuat sehingga menurunkan nilai resistensi terhadap
tarikan.
c. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kekerasan mi
Kekerasan mi dalam definisi sensori dimaksudkan sebagai gaya
yang diperlukan untuk menggigit untaian mi. Pengukuran kekerasan
mi dilakukan dengan menekan untaian mi hingga ketebalan tertentu.
Kekerasan mi dilihat dari gaya yang diperlukan untuk menekan mi
hingga ketebalan yang ditentukan.
Gambar 11. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan mi jagung basah matang
Gambar 11 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada
adonan yang dikukus menyebabkan penurunan kekerasan mi. Hasil uji
perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 4) dengan selang
kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati
yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan kekerasan mi.
1348.3
937.8
0200400600800
1000120014001600
BTP tidak dikukus BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Kek
eras
an (g
f)
57
BTP yang ditambahkan menyebabkan turunnya amilosa
terlarut. Amilosa terlarut akan berikatan satu sama lain membentuk
matriks pengikat. Amilosa cenderung mengalami retrogradasi yang
dapat meningkatkan kekerasan mi. Turunnya jumlah amilosa terlarut
menyebabkan fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih
sedikit sehingga tekstur mi menjadi lebih lunak. Selain itu adanya gel
CMC juga berkontribusi terhadap lebih lunaknya tekstur mi.
d. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap kelengketan mi
Karakteristik kelengketan termasuk salah satu parameter yang
penting untuk diukur karena parameter ini berkaitan dengan kualitas
mi itu sendiri. Karakteristik kelengketan yang dimaksud disini adalah
kecenderungan mi untuk menempel satu sama lain. Kelengketan
diukur dengan gaya yang diperlukan unutuk menarik probe yang
menekan mi dari permukaan mi. Pengukuran kekerasan dilakuakn
bersamaan dengan pengukuran kekerasan mi.
Gambar 12. Pengaruh pengukusan BTP terhadap kelengketan mi jagung basah matang
Gambar 12 menunjukkan perlakuan penambahan BTP pada
adonan yang dikukus menyebabkan penurunan kelengketan mi. Hasil
uji perbedaan rata-rata Independent T-test (Lampiran 5) dengan selang
-558.98
-158.96
-600
-500
-400
-300
-200
-100
0BTP tidak dikukus BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Kel
engk
etan
(gf)
58
kepercayaan 95% menunjukkan penambahan BTP pada bagian pati
yang dikukus berpengaruh nyata terhadap penurunan kelengketan mi.
Kelengketan pada permukaan mi disebabkan adanya fraksi
amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati (Eliasson dan
Gudmunssson, 1996). Selain itu (Moss et al., 1987 seperti dikutip oleh
Miskelly, 1996) kelengketan pada permukaan mi disebabkan karena
terurainya matriks protein dan pengembangan yang berlebihan dari
granula pati. Penambahan BTP menurunkan amilosa terlarut sehingga
kelengketan mi juga menurun.
e. Pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik mi
Secara lebih singkat pengaruh pengukusan BTP terhadap
karakteristik mi dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Gambar 13
menunjukkan pengaruh pengukusan BTP terhadap karakteristik %
elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP. Sedangkan Gambar 14
menunjukkan pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter
kekerasan dan kelengketan.
Gambar 13. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter % Elongasi, resistensi terhadap tarikan dan KPAP mi jagung basah matang
20.55
11.66
16.614.4
16.525 14.14
0
5
10
15
20
25
BTP tidakdikukus
BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Hasi
l pen
guku
ran
%El
onga
si,
resi
sten
si te
rhad
ap ta
rikan
, dan
KP
AP m
i
%Elongasi (%)
Resistensi Terhadaptarikan (gf)KPAP (%)
59
Gambar 14. Pengaruh pengukusan BTP terhadap parameter kekerasan
dan kelengketan mi jagung basah matang
Gambar 13 dan 14 menunjukkan penambahan BTP pada bagian
yang dikukus menyebabkan penurunan semua karakteristik mi. Hal ini
menunjukkan keberadaan BTP berpengaruh terhadap tingkat
gelatinisasi pati. Berkurangnya jumlah amilosa terlarut menyebabkan
menurunnya % elongasi mi dan matriks yang terbentuk juga kurang
kuat. Kurang kuatnya matriks yang terbentuk ditunjukkan dengan
turunnya karakteristik resistensi terhadap tarikan. Kekerasan mi yang
menurun disebabkan oleh jumlah amilosa yang bertanggungjawab
terhadap sifat retrogradasi juga berkurang. Selain itu, adanya gel CMC
juga berkontribusi terhadap lebih lunaknya tekstur mi. Amilosa terlarut
juga bertanggung jawab terhadap kelengketan mi. Penambahan BTP
menurunkan jumlah amilosa terlarut sehingga kelengketan mi juga
menurun.
Tidak semua penurunan karakteristik mi menurunkan kualitas
mi. Penurunan KPAP dan kelengkatan justru hal yang diinginkan.
Sebaliknya penurunan %elongasi, resistensi terhadap tarikan, dan
kekerasan adalah hal yang dihindari. Penurunan KPAP adalah tujuan
dari dilakukannya penambahan BTP pada bagian yang dikukus. Oleh
karena itu pada tahapan proses selanjutnya dilakukan dengan
penambahan BTP pada bagian yang dikukus. Perbaikan karakteristik
937.8
1348.3
-158.96
-558.98-1000
-500
0
500
1000
1500
BTP tidak dikukus BTP dikukus
Perlakuan terhadap BTP
Hasi
l pen
guku
ran
keke
rasa
n da
n ke
leng
keta
n m
i
Kekerasan (gf)Kelengketan (gf)
60
% elongasi, resistensi terhada tarikan dan kekerasan mi dilakukan pada
tahap selanjutnya.
Sampai saat ini belum ada data secara kuantitatif yang
menunjukkan karakteristik mi basah yang ideal. Namun masyarakat
yang telah lebih dahulu mengenal mi basah terigu akan menganggap
mi basah terigu adalah mi dengan karakteristik terbaik dan akan
cenderung membandingkan produk mi basah baru dengan mi basah
terigu. Karakteristik mi basah di Indonesia mengacu pada mi basah
cina (Hou dan Kruk, 1998). Menurut Hou dan Kruk (1998)
karakteristik tekstur yang diinginkan pada mi basah matang cina
adalah kenyal, elastis, tidak lengket, good bite, dan memiliki tekstur
yang stabil dalam air panas.
Karakteristik elastis dapat dilihat dari hasil pengukuran
parameter % elongasi dan resistensi terhadap tarikan. Semakin tinggi
% elongasi dan resistensi terhadap tarikan menunjukkan semakin
baiknya nilai elastisitas mi. Karakteristik kelengketan dapat dilihat
pada pengukuran parameter kelengketan dengan texture analyzer. Mi
dengan tingkat kelengketan rendah lebih disukai karena kita tidak
menghendaki untaian mi menempel di gigi saat dikunyah atau sulit
disumpit/disendok karena menempel satu sama lain. Karakteristik
tekstur yang stabil dalam air panas dapat dilihat dari hasil pengukuran
KPAP. Tekstur yang stabil ditunjukkan dengan semakin rendahnya
nilai KPAP. Karakteristik good bite dan kekenyalan dapat dilihat dari
hasil pengukuran nilai kekerasan. Definisi good bite untuk mi basah
matang cina menurut Hou dan Kruk (1998) adalah mi dengan tekstur
yang agak keras jika digigit (hard bite). Karakteristik kekerasan untuk
jenis mi lain bisa berarti lebih lunak namun tetap kokoh (firm bite),
atau bisa juga berarti lunak (softer).
Hasil pengukuran karakteristik mi menunjukkan, karakteristik
% elongasi mi sebesar 11.66 masih jauh dari % elongasi mi sagu yang
mencapai 33.36% atau mi basah terigu yang mencapai 98.40%.
Karakteristik resistensi terhadap tarikan juga menurun dari 16.6 gf
61
menjadi 14.4 gf. Nilai ini juga masih jauh jika dibandingkan mi basah
terigu yang mencapai 39.2 namun sama dengan mi sagu yaitu 14.4.
Karakteristik lain yang juga mengalami penurunan adalah kekerasan.
Kekerasan mi jagung bsah matang pada tahap ini turun dari 1348.3 gf
menjadi 937.8 gf. Penurunan ini menyebabkan karakteristik mi jagung
basah matang semakin jauh dari karakterstik kekerasan mi terigu yang
lebih keras dan mencapai angka 2797.12gf. Namun penamabahan
bahan tambahan pada bagian yang dikukus menyebabkan penurunan
KPAP dan kelengketan. Parameter kelengketan turun dari -558.98 gf
menjadi -158.96 gf. Nilai KPAP ini justru lebih kecil dibanding mi
asah terigu (-435.7 gf) walaupun masih lebih besar jika dibandingkan
mi sagu (-82.52 gf). Dari segi ekonomi, penurunan kelengketan. KPAP
mi basah jagung turun dari 16.525% menjadi 14.14%. Sementara itu
KPAP mi basah terigu masih lebih baik yaitu 10.84%. mi bisa berarti
pengurangan jumlah minyak yang digunakan. Hal ini tentu sangat
menguntungkan jika benar-benar diterapkan dalm industri. KPAP
turuKarakteristik mi basah matang terigu yang dijadikan acuan dapat
dilihat pada Tabel 11. Pengukuran terhadap mi sagu juga dilakukan
karena dilihat dari bahan bakunya, mi basah jagung menggunakan
bahan dasar pati jagung. Mi sagu dipilih karena mi tersebut adalah mi
pati yang paling mudah didapat dan dijual dalam bentuk mi basah
matangnya.
f. Pengaruh penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus terhadap tingkat gelatinisasi
Penentuan derajat gelatinisasi dilakukan berdasarkan pada
intensitas warna kompleks antara amilosa dan iodin (Birch dan Green,
1973). Selama gelatinisasi, amilosa akan berdifusi keluar dari granula,
semakin sempurna gelatinisasi semakin banyak fraksi amilosa yang
keluar dari granula. Amilosa terlarut akan stabil pada pH basa.
Indikator iodin ditambahkan agar terbentuk komplek warna biru dan
bisa dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.
62
Penambahan BTP pada bagian pati yang dikukus ternyata
menurunkan derajat gelatinisasi pati. Derajat gelatinisasi pati adonan
yang dikukus dengan BTP adalah 51.82%, sedangkan derajat
gelatinisasi pati adonan yang dikukus tanpa BTP adalah 67.27%.
Derajat gelatinisasi yang lebih rendah menunjukkan semakin
rendahnya amilosa terlarut.
Gambar 15. Granula pati pada adonan yang dikukus tanpa penambahan
BTP Gambar 16. Granula pati pada adonan yang dikukus dengan
penambahan BTP Keterangan : : Granula pati tergelatinisasi :Granula pati belum tergelatinisasi
63
Pengukuran derajat gelatinisasi secara kualitatif bisa dilakukan
menggunakan mikroskop polarisasi. Granula pati yang belum
tergelatinisasi memperlihatkan sifat birefringence, yaitu sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga terlihat kristal gelap
terang (biru-kuning). Semakin banyak granula pati yang tidak lagi
menunjukkan sifat birefringence menunjukkan semakin besar derajat
gelatinisasi. Gambar 15 dan 16 menunjukkan pengaruh penambahan
bahan tambahan pada bagian pati yang dikukus terhadap derajat
gelatinisasi pati adonan mi. Panah hitam pada Gambar 15
menunjukkan granula pati yang telah kehilangan sifat birefringence.
Sedangkan panah biru pada Gambar 16 menunjukkan granula yang
masih memiliki sifat birefringence. Granula yang tergelatinisasi
terlihat transparan dan tidak lagi memancarkan cahaya terpolarisasi
(biru-kuning). Hasil pengamatan menunjukkan penambahan bahan
tambahan pada bagian adonan yang dikukus menyebabkan
berkurangnya jumlah granula pati yang tergelatinisasi. Hal ini dapat
terlihat dari masih banyaknya granula pati yang masih memiliki sifat
birefringence (Gambar 16).
3. Proses pembuatan mi jagung basah
Tujuan utama penentuan desain proses penambhan BTP pada
adonan yang dikukus adalah untuk memperbaiki cooking loss. Hasil
pengamatan menunjukkan penambahan BTP pada bagian adonan yang
dikukus berpengaruh nyata menurunkan cooking loss. Oleh karena itu,
penambahan BTP pada bagian adonan yang dikukus digunakan untuk
tahapan proses selanjutnya.
Proses pembuatan mi basah jagung dimulai dengan metode
Budiyah (2005) namun dalam pelaksanaannya metode ini menghasilkan
mi dengan KPAP yang sangat tinggi. Selanjutnya desain proses pembuatan
mi basah jagung dibuat dengan prosedur seperti pada Gambar 17.
Pembuatan mi basah jagung diawali dengan pembagian pati menjadi dua
bagian sama besar. Sebagian pati dicampur dengan CGM dan CMC dan
64
diaduk hingga homogen. Garam dan baking powder dilarutkan dalam air
kemudian ditambahkan pada pati yang telah dicampur dengan CGM dan
CMC.
Air ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diuli untuk
memastikan hidrasi air yang merata dan homogen. Selanjutnya adonan
tersebut dikukus selama 3 menit dan suhu inti adonan mencapai 75oC.
Proses pengukusan bertujuan untuk menggelatinisasi pati, agar terbentuk
matriks sebagai pengganti gluten terigu. Matriks yang terbentuk berfungsi
sebagai pengikat dalam pembentukan adonan.
Setelah tiga menit, adonan yang tergelatinisasi dicampurkan
dengan sisa pati yang tidak digelatinisasi. Adonan dicampur dan diuli
hingga homogen. Proses ini bertujuan agar matrik pati yang tidak
digelatinisasi terikat dalam matriks yang tergelatinisasi, terbentuk adonan
yang baik, bisa dibentuk lembaran dan tidak lengket di mesin mi.
Tahap selanjutnya adalah pengepresan. Adonan yang telah
homogen dibentuk lembaran dengan melewatkan adonan pada dua roll
pengepres pada ketebalan tertentu. Lembaran dipress setahap demi setahap
dari roll ukuran besar hingga roll dengan ukuran ketebalan yang
diinginkan. Ukuran roll terkecil yang digunakan pada pembuatan mi kali
ini adalah adalah 1.4. Ukuran roll ini menghasilkan lembaran mi dengan
ketebalan 1.5-1.7 mm. Setelah mencapai tebal lembaran yang diinginkan,
lembaran mi masuk ke tahap slitting. Tahap ini adalah tahap dimana
lembaran mi dipotong menjadi untaian mi. Ketajaman roll pemotong
sangat penting untuk diperhatikan. Roll pemotong yang kurang tajam
menyebabkan untaian mi tidak terpotong denga rapi dan bergerigi. Hasil
potongan yang kurang rapi akan berpengaruh terhadap cooking quality mi.
Potongan yang kurang rapi dapat meningkatkan KPAP.
Mi yang telah dipotong harus segera direbus karena penundaan
perebusan menyebabkan mi menjadi keras, kering dan mudah patah. Hal
ini disebabkan air dalam matriks gel pati menguap (retrogradasi). Proses
perebusan bertujuan mematangkan untaian mi. Selama perebusan, pati
yang belum tergelatinisasi akan tergelatinisasi dan membentuk tekstur mi
65
yang lembut, lunak, dan kenyal. Hou dan Kruk (1998) menyebutkan
beberapa hal yang harus diperhatikan selama perebusan mi antara lain : 1).
Bobot air rebusan minimal adalah sepuluh kali bobot mi mentah, 2).
Wadah perebus bisa merendam semua bagian mi, 3). pH air rebusan
berkisar 5.5-6.0, 4). Waktu perebusan harus dikontrol untuk mendapatkan
hasil rebusan yang optimum, 5). Suhu perebusan harus dipertahankan pada
suhu 98-100oC selama perebusan.
Waktu perebusan termasuk salah satu tahapan proses yang
penting. Oleh karena itu dilakukan percobaan untuk menentukan waktu
perebusan mi yang optimum. Kruger et al., (1996), menyatakan bahwa
waktu pemasakan tergantung pada lebar dan ketebalan untaian mi. Waktu
pemasakan optimum menurut Kruger et al., (1996) adalah waktu ketika
bagian putih di tengah diameter untaian mi tepat menghilang. Hou dan
Kruk menyatakan perebusan mi basah terigu biasanya berlangsung selama
45-90 detik hingga tercapai 80-90% pati tergelatinisasi. Moss ( 1982)
seperti dikutip oleh Miskelly (1996) menyatakan bahwa mi Hokkien (mi
basah cina) direbus selama 1-2 menit selama proses dan masih
meninggalkan bagian yang tidak tergelatinisasi di bagian tengah mi.
Astawan (1999) melakuakan perebusan mi basah matang selama 2 menit,
dengan catatan api yang digunakan harus besar. Api yang besar
mempersingkat waktu perebusan mi. Waktu perebusan yang terlalu lama
menyebabkan tekstur mi terlalu lembek.
Tabel 11 menunjukkan waktu perebusan optimum yang
digunakan pada pembuatan mi kali ini. Pemilihan waktu perebusan awal, 2
menit, didasarkan pada standar waktu perebusan mi basah terigu. Waktu
perebusan 2 menit masih menghasilkan mi yang belum matang dan keras.
Hal ini terlihat dari bagian putih di tengah mi masih cukup besar.
Perebusan hingga 2.5 menit terlihat memberikan hasil yang paling
optimum, meskipun bagian putih ditengah mi masih terlihat. Bagian putih
di tengah mi masih terlihat hingga waktu pemasakan 3 menit masih.
Tekstur mi yang dihasilkan pada waktu perebusan ini terlihat lembek dan
kurang menarik.
66
Tabel 11. Hasil pengamatan waktu perebusan mi yang optimum Waktu perebusan
(menit) Hasil pengamatan
2 Mi belum matang, bagian putih ditengah masih
cukup besar dan mi masih keras
2.5 Mi sudah matang, bagian putih mengecil dan
mi cukup kenyal
3 Mi matang, bagian putih masih ada, tetapi
tekstur mi terlihat terlalu lembek
Tahap selanjutnya setelah perebusan adalah pelumasan mi dengan
minyak sayur. Tahap ini dilakukan untuk mencegah untaian mi menempel
satu sama lain. Setelah perebusan, untaian mi ditiriskan dari air rebusan,
dibilas dengan air kurang lebih 15 detik, ditiriskan, dan dilumuri minyak.
Pembilasan untaian mi dengan air dimaksudkan untuk membersihkan sisa
fraksi pati di permukaan mi yang dapat menyebabkan kelengketan.
Selanjutnya mi dilumuri minyak. Jumlah minyak yang digunakan adalah
2% dari total bobot mi yang telah ditiriskan. Jumlah minyak yang
ditambahkan didasarkan pada jumlah minyak yang biasa digunakan pada
mi basah. Hou dan Kruk (1998) menyatakan setelah direbus, mi basah cina
dilumuri dengan 1-2% minyak sayur untuk mencegah untaian mi
menempel satu sama lain. Miskelly (1996) menyatakan jumlah minyak
yang ditambahkan bisa lebih besar jika mi tidak cukup dibilas atau
didinginkan. Pelumuran minyak juga berfungsi untuk memperbaiki
penampakan mi agar mengkilap (Mugiarti 2001; Bogasari, 2005). Proses
pembuatan mi basah jagung matang lebih lengkap dapat dilihat pada
Gambar 17. Sedangkan gambar produk mi jagung basah matang dapat
dilihat pada Gambar 18.
67
Pengadukan hingga homogen
Pengukusan (3 menit)
Pencampuran dengan sisa maizena (45 g)
Pengadukan hingga homogen
Pembentukan lembaran dan pemotongan
Perebusan (2.5 menit)
Perendaman dalam air dingin (sambil digoyang) selama 15 detik
Penirisan
Penambahan minyak (2%)
Gambar 17. Desain proses pembuatan mi jagung basah
Gambar 18. Mi jagung basah matang
C. Perbaikan Elastisitas Mi Jagung Basah Matang
Perbaikan elastisitas dilakukan dengan mensubstitusi sebagian maizena
yang dikukus dengan pati kacang hijau. Substitusi dilakukan adalah 5%, 10%,
Air 30 ml + garam 1% + baking powder 0.3%
45 g maizena + 10 g CGM + CMC 1%
Mi jagung basah mentah
Mi jagung basah matang
68
15%, dan 20% dari total adonan (pati+CGM). Hal ini dilakukan untuk
memperbaiki kualitas adonan yang tergelatinisasi, sehingga diharapkan dapat
memperbaiki karakteristik fisik mi. Subtitusi pati kacang hijau diharapkan
dapat meningkatkan %elongasi, kekekrasan, dan resistensi terhadap tarikan,
tapi menurunkan kelengketan dan KPAP.
1. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap % Elongasi mi
Substitusi pati kacang hijau diharapkan mampu meningkatkan %
elongasi mi. Tingkat substitusi yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan
20%.
Gambar 19 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu
meningkatkan elongasi mi. Hasil uji sidik ragam dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 6a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau
berpengaruh nyata terhadap peningkatan elongasi mi. Hasil uji lanjut
Duncan (Lampiran 6b) menunjukkan penambahan pati kacang hijau pada
semua tingkat substitusi berpengaruh nyata terhadap peningkatan elongasi
mi. Namun peningkatan konsentrasi substitusi pati kacang hijau tidak
meningkatkan elongasi mi secara nyata.
Gambar 19. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap % elongasi mi jagung basah matang
11.66
15.86 16.0316.86 16.45
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0% hunkwe 5% hunkwe 10% hunkwe 15% hunkwe 20% hunkwe
Subtitusi hunkwe yang digunakan
% E
long
asi
69
Penambahan pati kacang hijau diharapkan meningkatkan jumlah
amilosa terlarut. Tetapi jumlah air yang terbatas menyebabkan terbatasnya
perkembangan granula dan jumlah amilosa yang terlarut juga tidak optimal.
Sehingga peningkatan jumlah pati kacang hijau yang ditambahkan tidak
diikuti dengan peningkatan elongasi secara gradual. Kurang optimalnya
hasil yang diperoleh mungkin juga disebabkan perbedaan proses yang
digunakan. Lii et all., (1988) menyebutkan pati pati kacang hijau memiliki
tingkat pengembangan dan kelarutan yang tinggi pada suhu 95oC. Selain
jumlah air yang terbatas, suhu pengukusan tidak mencapai suhu tersebut,
sehingga pengembangan dan kelarutan pati kacang hijau tidak sempurna.
Waktu perebusan mi yang terlalu singkat, tidak memberikan kesempatan
bagi granula pati untuk mengembang optimum. Hal ini menyebabkan
penambahan pati kacang hijau tidak memberikan hasil yang diinginkan.
2.Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap sifat resistensi mi terhadap tarikan
Pati kacang hijau memiliki kecenderungan retrogradasi yang
tinggi. Sifat ini yang menjadikan mi pati berbahan baku pati kacang hijau
memiliki karakteristik paling disukai karena teksturnnya yang kokoh.
Kontribusi amilosa pati kacang hijau diharapkan bisa meningkatkan tekstur
mi jagung.
Gambar 20. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap sifat resistensi terhadap tarikan mi jagung basah matang
14.415.73
16.87
20.7322.27
0
5
10
15
20
25
0% hunkwe 5% hunkwe 10% hunkwe 15% hunkwe 20% hunkwe
Subtitusi hunkwe yang digunakan
Res
iste
nsi t
erha
dap
tarik
an (g
f)
70
Gambar 20 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu
meningkatkan resistensi mi terhadap tarikan. Hasil uji sidik ragam dengan
selang kepercayaan 95% (Lampiran 7a) menunjukkan substitusi pati kacang
hijau berpengaruh nyata terhadap peningkatan karakteristik resistensi mi
terhadap tarikan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7b) menunjukkan pada
tingkat substitusi 5% tidak berbeda nyata dengan resistensi mi terhadap
tarikan tanpa substitusi. Resistensi mi tanpa substitusi berbeda nyata dengan
tingkat substitusi 10%, 15%, dan 20%. Sedangkan tingkat substitusi mi 5%
tidak berbeda nyata dengan tingkat substitusi 10% tetapi berbeda nyata
dengan tingkat substitusi 15%, dan 20%. Meningkatnya jumlah amilosa
terlarut meningkatkan kekuatan matriks pengikat sehingga meningkatkan
resistensi terhadap tarikan mi.
3. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kekerasan mi
Kekerasan mi dipengaruhi oleh sifat retrogradasi pati. Retrogradasi
meningkatkan kekerasan mi. Fraksi pati yang bertanggungjawab atas sifat
retrogradas adalah amilosa. Semakin banyak amilosa terlarut
kecenderungan retrogradasi akan semakin tinggi.
Gambar 21. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kekerasans mi jagung basah matang
937.81 964.89
1478.2
1774.671579.26
0200400600800
100012001400160018002000
0% hunkwe 5% hunkwe 10%hunkwe
15%hunkwe
20%hunkwe
Subtitusi hunkwe yang digunakan
Kek
eras
an (g
f)
71
Gambar 21 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu
meningkatkan kekerasan mi. Hasil uji sidik ragam dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 8a) menunjukkan substitusi pati kacang hijau
berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi. Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan substitusi pati kacang hijau 5% tidak berbeda nyata dengan
mi tanpa substitusi. Kekerasan keduanya berbeda nyata dengan mi dengan
substitusi 10%, 15%, dan 20%. Kekerasan mi pada substitusi 10% tidak
berbeda nyata dengan taraf substitusi 20% dan kekerasan keduanya berbeda
nyata dengan kekerasan mi pada substitusi 15%.
Kekerasan mi dengan substitusi pati kacang hijau terlihat meningkat
hingga taraf substitusi 15%. Kekerasan mi pada tingkat substitusi pati
kacang hijau 20% terlihat menurun. Hal ini disebabkan mungkin
disebabkan terbatasnya air yang dapat digunakan untuk pengembangan
granula, sehingga kelarutan amilosa menurun. Taraf substitusi 15%
mungkin taraf substitusi optimum untuk formulasi mi pada penelitian kali
ini. Karena penambahan pati kacang hijau lebih dari 15 % tidak
menunjukkan perbaikan yang signifikan, bahkan mengalami penurunan.
4. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kelengketan mi
Kelengketan mi dipengaruhi oleh fraksi amilosa yang keluar saat
pemasakan. Smith (1999) mengemukakan jaringan protein juga berperan
dalam pencegahan sifat lengket pada pasta. Jaringan protein yang tidak
cukup kuat menahan pati tergelatinisasi menyebabkan pasta yang dimasak
menjadi lengket.
72
Gambar 22. Pengaruh substitusi pati kacang hijau terhadap kelengketan mi jagung basah matang
Gambar 22 menunjukkan substitusi pati kacang hijau mampu
meningkatkan kelengketan mi hingga taraf substitusi 15%. Nilai
kelengketan menurun pada tingkat substitusi 20%. Hasil uji sidik ragam
dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 9a) menunjukkan substitusi pati
kacang hijau berpengaruh nyata terhadap karakteristik kelengketan mi.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9b) menunjukkan kelengketan mi tanpa
substitusi berbeda nyata dengan mi tersubstitusi pati kacang hijau.
Kelengketan mi pada substitusi pati kacang hijau 5% berbedanya nyata
dengan mi pada substitusi pati kacang hijau 10%, 15%, dan 20%.
Kelengketan pada substitusi 10% berbeda nyata dengan kelengketan pada
tingkat substitusi 15% tapi tidak berbeda nyata dengan kelengketan pada
substitusi 20%.
Semakin tinggi tinggi tingkat substitusi semakin meningkatkan
amilosa terlarut yang bertanggungjawab terhadap kelengketan mi. Sehingga
peningkatan konsentrasi pati kacang hijau meningkatkan kecenderungan
kelengketan mi. Tetapi jumlah air yang terbatas menyebabkan
pengembangan pati pati kacang hijau terbatas sehingga membatasi
kelarutan amilosa. Hal ini menyebabkan penurunan kelengketan pada
tingkat substitusi 20%.
-158.96
-251.2
-612.44
-724.73
-598.21
-800
-700
-600
-500
-400
-300
-200
-100
00% hunkwe 5% hunkwe 10%
hunkwe15%
hunkwe20%
hunkwe
Subtitusi hunkwe yang digunakan
Kel
engk
etan
(gf)
73
Berdasarkan hasil pengamatan, substitusi pati kacang hijau yang paling
optimum dalam memperbaiki karakteristik fisik mi adalah mi jagung dengan
substitusi pati kacang hijau sebesar 5%. Substitusi pati kacang hijau 5%
menghasilkan mi dengan karakteristik %elongasi 15.86%, resistensi terhadap
tarikan 15.73gf, kekerasan 964.89 gf dan kelengketan -251.2gf. Formulasi
optimum ini akan digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.
D. Perbaikan Cooking Loss/ Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) Mi Jagung Basah Matang
Perbaikan KPAP mi dilakukan dengan mencoba jenis pengikat baru
yakni penggunaan guar gum. Pemilihan guar gum didasarkan pada penelitian
sebelumnya. Fadlillah (2005) melakukan percobaan dengan memvariasikan
beberapa jenis bahan tambahan pangan untuk memperbaiki KPAP mi jagung
instan. Bahan tambahan pangan yang digunakan adalah guar gum, carboxyl
methil cellulose (CMC), alginat, tawas, dan campuran K2CO3 dan Na2CO3
dengan konsentrasi 1%. Hasil penelitian Fadlillah (2005) menunjukkan guar
gum 1% menunjukkan KPAP yang paling rendah. Penelitian kali ini selain
mencoba jenis pengikat baru, dilakukan pula variasi konsentrasi untuk
mendapatkan konsentrasi pengikat yang optimum untuk mengurangi KPAP.
Konsentrasi pengikat yang digunakan adalah 1%, 1.5%, dan 2%. Penentuan
variasi konsentrasi ini didasarkan pada penelitian sebelumnya. Budiyah (2005)
menyatakan bahwa penggunaan CMC konsentrasi 0.5% masih menghasilkan
mi dengan cooking loss tinggi Namun penggunaan CMC hingga 2%
menghasilkan mi instan dengan tekstur yang terlalu kenyal. Pengamatan
parameter KPAP pada kedua penelitian sebelumnya dilakukan secara visual
dengan mengamati air rebusan mi. Penelitian kali ini ingin melihat pengaruh
konsentrasi dan jenis pengikat secara kuantitatif. Asumsi yang digunakan,
semakin tinggi konsentrasi pengikat nilai KPAP mi akan semakin rendah.
Gambar 23 menunjukkan peningkatan konsentrasi CMC justru
menaikkan KPAP. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 10a) menunjukkn
kenaikkan konsentrasi CMC berpengaruh nyata terhadap kenaikkan KPAP mi.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10b) menunjukkan KPAP mi dengan
74
konsentrasi CMC 1% berbeda nyata dengan KPAP mi dengan konsentrasi
CMC 1.5 dan 2%. Sedangkan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 1.5% tidak
berbeda nyata dengan KPAP mi dengan konsentrasi CMC 2%.
Gambar 23. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengikat terhadap kehilangan padatan akibat pemasakan mi jagung basah matang
Peningkatan konsentrasi CMC berarti mengurangi jumlah air yang
diperlukan untuk gelatinisasi. Penggunaan CMC yang optimum adalah pada
konsentrasi 1% karena penambahan 0.5% menyebabkan peningkatan KPAP
yang cukup tinggi. Gel pengikat yang terbentuk oleh CMC dengan air
mungkin cukup besar. Namun jumlah pati yang tidak tergelatinisasi secara
optimum juga meningkat sehingga matriks amilosa yang terbentuk tidak
optimum. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan daya ikat matrik secara
keseluruhan.
Gambar 23 juga menunjukkan peningkatan konsentrasi guar gum dapat
meningkatkan KPAP. Namun hasil uji sidik ragam (Lampiran 11)
menunjukkan kenaikkan konsentrasi guar gum tidak berpengaruh nyata
terhadap peningkatan KPAP mi. Pengikatan air oleh guar gum tidak sebesar
pengikatan CMC, sehingga jumlah air yang tersedia masih cukup untuk
menggelatinisasi pati secara optimum.
Gambar 23 juga menunjukkan pengaruh jenis pengikat terhadap KPAP
pada konsentrasi yang sama. Penggunaan guar gum menunjukkan KPAP yang
lebih kecil pada semua tingkat konsentrasi. Hasil uji perbedaan rata-rata
13.48
16.24 16.88
12.8 13.22 13.95
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1% 1.50% 2%
Konsentrasi binder
Kehi
anga
n pa
data
n ak
ibat
pe
mas
akan
(KPA
P)
CMCGuar gum
75
dengan selang kepercayaan 95% mengenai pengaruh jenis konsentrasi
terhadap KPAP (Lampiran 12) menunjukkan, pada konsentrasi pengikat 1%,
KPAP mi menggunakan guar gum tidak berbeda nyata dengan KPAP mi yang
menggunakan CMC. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan selang kepercayaan
95% mengenai pengaruh jenis konsentrasi terhadap KPAP menunjukkan,
pada konsentrasi pengikat 1.5% (Lampiran 13), dan 2% (Lampiran 14) KPAP
mi menggunakan guar gum berbeda nyata dengan KPAP mi menggunakan
CMC. Secara keseluruhan, dari pemilihan jenis pengikat dan konsentrasi yang
digunakan penggunaan guar gum 1% terlihat memberikan hasil yang paling
optimum.
E. Analisis proksimat mi jagung basah matang
Analisis proksimat dilakukan pada mi jagung basah matang dengan
formulasi terpilih. Mi jagung basah yang diuji proksimat adalah mi dengan
substitusi pati kacang hijau 5% dan menggunakan guar gum 1% sebagai
pengikat. Hasil analisis proksimat mi jagung basah matang dapat dilihat pada
Tabel 12. Tujuan utama analisis proksimat ini adalah untuk melihat apakah mi
yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu mi basah terutama dari segi
kandungan proteinnya.
Tabel 12. Hasil analisis proksimat mi basah matang
Parameter (bk) Mi jagung Mi sagu* Kadar air 63.71 % 79.00%
Kadar abu 0.41% 2.43%
Kadar protein 7.14% 3.52%
Kadar lemak 4.49% 24.67%
Kadar karbohidrat 87.99% 69.38%
* : Purwani et al., (2004) seperti dikutip oleh Azriani (2006)
Kadar air mi jagung basah matang adalah sebesar 63.71% (bb).
Sementara itu, kadar air mi basah matang untuk terigu berkisar antara 64-65%
(Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, 2005, seperti dikutip oleh Gracecia,
2005). Hasil pengkuran kadar air mi jagung basah matang menunjukkan nilai
yang lebh rendah dibandingkan mi basah matang terigu. Jika dibandingkan
76
dengan mi berbasis pati lainnya, dalam hal ini mi sagu, kadar air mi jagung
juga masih lebih rendah.
Kadar abu mi jagung basah adalah 0.41%. Kadar abu mi jagung basah
lebih kecil dibandingkan kadar abu mi sagu yang mencapai 2.43%. Hal ini
dipengaruhi oleh perbedaan bahan tambahan yang digunakan dalam
pembuatan kedua jenis mi. Mi sagu yang umum diperdagangkan umumnya
menggunakan tambahan pottasium alum (KAl(SO4)2 12 H2O) untuk
memperbaiki karakteristik mi yang dihasilkan. Selain potasium alum, alkali
lain yang sering digunakan adalah sodium karbonat atau kalium karbonat. Mi
jagung basah yang dihasilkan hanya menggunakan sodium karbonat atau
kalium karbonat sebagai sumber alkali. Perbedaan sumber dan jumlah alkali
yang digunakan menyebabkan jauhnya perbedaan kadar abu kedua jenis mi.
Menurut SNI 01-2987-1992 kadar abu maksimal untuk mi basah adalah
3.75%-4.62% (bk). Hal ini menunjukkan kadar abu mi jagung basah masih
memenuhi standar mutu.
Kadar protein kasar mi jagung basah adalah 7.14%. Kadar protein mi
jagung basah jauh lebih tinggi dibandingkan mi sagu (3.52%). Hal ini
menandakan penambahan CGM terbukti mampu menambah kadar protein mi.
Kadar protein mi basah menurut SNI 01-2987-1992 minimal 3.75%-4.62%
(bk). Sedangkan menurut SNI 01-3551-1996 seperti dikutip oleh Budiyah
(2005), kadar protein minimal mi non-terigu adalah 4%. Kadar protein mi
jagung terlihat masih memenuhi kedua standar minimal protein.
Kadar lemak kasar diukur dengan metode Soxhlet. Kadar lemak mi
jagung basah matang adalah sebesar 4.49%. Sementara itu mi sagu memiliki
kadar lemak yang jauh lebih tinggi yaitu 24.67%. Tingginya kadar lemak mi
sagu mungkin disebabkan jumlah minyak yang digunakan sebagai pelumas mi
lebih banyak dibandingkan jumlah minyak yang digunakan pada pembuatan
mi jagung basah matang.
Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference. Perhitungan
kadar karbohidrat didasarkan pada pengurangan 100% terhadap kadar air,
kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat mi jagung basah
matang adalah 87.99%. Kadar karbohidrat mi sagu adalah 69.39%.
77
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Desain proses pembuatan mi jagung didasarkan pada pembuatan
mi instan jagung metode Budiyah (2005) dengan beberapa modifikasi untuk
mendapatkan hasil paling optimal. Penentuan desain proses meliputi
penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan, dan
waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu
perebusan optimum pada penelitian kali ini berturut-turut adalah 30%, 3
menit dan 2,5 menit. Urutan pencampuran bahan pada metode Budiyah
(2005) menghasilkan mi basah dengan KPAP tinggi. Perbaikan desain proses
untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan
(garam, baking powder, CMC) ke dalam bagian pati yang digelatinisasi.
Variabel jumlah air dan lama waktu pengukusan bisa berubah tergantung
kapasitas produksi. Namun variabel berubah tersebut diharapkan
menghasilkan derajat gelatinisasi optimum yakni mencapai 51%. Desain
proses pembuatan mi basah jagung matang meliputi pencampuran,
pengukusan, pengulian, pencetakan, pemotongan, perebusan, perendaman
dalam air dingin, penirisan, dan terakhir adalah pelumasan minyak.
Tahap penelitian selanjutnya adalah perbaikan karakteristik fisik
mi terutama elongasi mi. Upaya perbaikan dilakukan dengan substitusi
sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau. Hasil yang
optimum ditunjukkan oleh subtisusi maizena oleh pati kacang hijau 5%.
Substitusi hunkwe 5% menghasilkan mi basah jagung matang dengan
%elongasi 15.86%, kekerasan 964.89 gf, kelengketan -251.2 gf, dan
resistensi terhadap tarikan sebesar 15.73 gf.
Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan
memvariasikan jenis dan konsentrasi pengikat. KPAP terendah diperoleh
pada penggunaan guar gum dengan konsentrasi 1%.
Hasil uji analisis proksimat menunjukkan mi basah jagung matang
yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 63.71% (bb), kadar abu 0.41%,
78
kadar protein kasar 7.14%, kadar lemak 4.49%, dan kadar karbohidrat
dihitung dengan cara by difference sebesar 87.99%. Hasil analisis proksimat
menunjukkan kadar protein produk telah memenuhi standar SNI mi basah
dan mi non terigu.
B. SARAN
Mi basah jagung cukup berpotensi untuk dikembangkan. Namun
karakteristik fisik mi ini masih perlu diperbaiki terutama dari karakteristik %
elongasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi penggunaan pati atau
tepung yang bisa digunakan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi
Penelitian lanjutan tentang umur simpan, atau bahan kemasan yang sesuai
untuk memperlama umur simpan mi basah jagung perlu dilakukan untuk
meningkatkan daya saing mi ini.
LAMPIRAN
83
Lampiran 1. Hasil uji Independent T-test terhadap pengaruh pengukusan BTP terhadap KPAP
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F
Sig.
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
KPAP Equal variances assumed
1.034 .348 -2.907 6 .027 -2.3850 .82053 -4.39277 -.37723
Equal variances not assumed
-2.907 4.792 .035 -2.3850 .82053 -4.52203 -.24797
Lampiran 2. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap %
Elongasi
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper ELONGASI Equal
variances assumed
4.926 .035 -7.579 28 .000 -8.8880 1.17267 -11.29012 -6.48592
Equal variances not assumed
-7.579 18.146 .000 -8.8880 1.17267 -11.35028 -6.42576
Lampiran 3. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap
resistentensi terhadap tarikan
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper RSISTNSI Equal
variances assumed
10.266 .003 -2.849 28 .008 -2.2000 .77213 -3.78164 -.61836
Equal variances not assumed
-2.849 21.332 .010 -2.2000 .77213 -3.80422 -.59578
84
Lampiran 4. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap kekerasan
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
DifferenceStd. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper KKERASAN Equal
variances assumed
3.350 .078 -7.211 28 .000 -410.4800 56.92304 -527.08157 -293.87843
Equal variances not assumed
-7.211 23.869 .000 -410.4800 56.92304 -527.99746 -292.96254
Lampiran 5. Hasil uji Independent T-test, pengaruh pengukusan BTP terhadap
kelengketan
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper KLNGKTAN Equal
variances assumed
.000 .997 18.284 28 .000 370.3933 20.25756 328.89761 411.88906
Equal variances not assumed
18.284 27.813 .000 370.3933 20.25756 328.88506 411.90161
Lampiran 6a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap %
elongasi mi ANOVA ELONGASI
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 267.172 4 66.793 15.904 .000 Within Groups 293.984 70 4.200 Total 561.155 74
85
Lampiran 6b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap % elongasi mi
ELONGASI Duncan
Konsentrasi hunkwe N
Subset for alpha = .05
1 2 0% hunkwe 15 11.6639 5% hunkwe 15 15.867110% hunkwe 15 16.026620% hunkwe 15 16.453315% hunkwe 15 16.8614Sig. 1.000 .233
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000. Lampiran 7a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat
resistensi terhadap tarikan mi ANOVA RSISTNSI
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 675.867 4 168.967 50.089 .000 Within Groups 236.133 70 3.373 Total 912.000 74
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap sifat
resistensi mi terhadap tarikan RSISTNSI Duncan
Konsentrasi hunkwe N
Subset for alpha = .05
1 2 3 4 0% hunkwe 15 14.4000 5% hunkwe 15 15.7333 15.7333 10% hunkwe 15 16.8667 15% hunkwe 15 20.7333 20% hunkwe 15 22.2667 Sig. .051 .095 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.
86
Lampiran 8a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kekerasan mi
ANOVA KKERASAN
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 8512686.0
78 4 2128171.519 99.890 .000
Within Groups 1491365.892 70 21305.227
Total 10004051.970 74
Lampiran 8b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap
kekerasan mi KKERASAN Duncan
Konsentrasi hunkwe N
Subset for alpha = .05
1 2 3 0% hunkwe 15 937.8067 5% hunkwe 15 964.8867 10% hunkwe 15 1478.2000 20% hunkwe 15 1579.2600 15% hunkwe 15 1774.6733Sig. .613 .062 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000. Lampiran 9a. Hasil analisis sidik ragam pengaruh subtitusi hunkwe terhadap
kelengketan mi ANOVA KLNGKTAN
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 3428281.1
51 4 857070.288 130.902 .000
Within Groups 458318.272 70 6547.404
Total 3886599.423 74
87
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh subtitusi hunkwe terhadap kelengketan mi
KLNGKTAN Duncan
Konsentrasi hunkwe N
Subset for alpha = .05
1 2 3 4 15% hunkwe 15 -724.7267 10% hunkwe 15 -612.4400 20% hunkwe 15 -598.2067 5% hunkwe 15 -251.2000 0% hunkwe 15 -188.5867 Sig. 1.000 .632 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000. Lampiran 10a. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi CMC
terhadap KPAP ANOVA KPAP
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 26.076 2 13.038 10.461 .004 Within Groups 11.217 9 1.246 Total 37.293 11
Lampiran 10b. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh peningkatan konsentrasi CMC
terhadap KPAP KPAP Duncan
konsentrasi CMC N
Subset for alpha = .05
1 2 cmc 1% 4 13.4819 cmc 1,5% 4 16.2392cmc 2% 4 16.8796Sig. 1.000 .438
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
88
Lampiran 11. Hasil uji sidik ragam pengaruh peningkatan konsentrasi Guar gum terhadap KPAP
ANOVA KPAP
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2.726 2 1.363 .909 .437 Within Groups 13.503 9 1.500 Total 16.229 11
Lampiran 12. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada
konsentrasi 1% terhadap KPAP
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper KPAP Equal
variances assumed
.004 .953 -.658 6 .535 -.6814 1.03612 -3.21669 1.85389
Equal variances not assumed
-.658 6.000 .535 -.6814 1.03612 -3.21674 1.85394
Lampiran 13. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada
konsentrasi 1.5% terhadap KPAP
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper KPAP Equal
variances assumed
17.248 .006 -4.791 6 .003 -3.0180 .62997 -4.55944 -1.47646
Equal variances not assumed
-4.791 4.167 .008 -3.0180 .62997 -4.73969 -1.29621
89
Lampiran 14. Hasil uji Independent T-test pengaruh jenis pengikat pada konsentrasi 2% terhadap KPAP
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig.
(2-tailed) Mean
Difference Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper KPAP Equal
variances assumed
.001 .979 -3.810 6 .009 -2.9255 .76785 -4.80442 -1.04668
Equal variances not assumed
-3.810 5.887 .009 -2.9255 .76785 -4.81319 -1.03791
Lampiran 15. Data cooking quality dan texture profile analyzer (TPA) mi pati dari
beberapa jenis pati
Starch Cooked weight (g)a
Cooking loss (%)a
TPA Meansb Hardness
(kg) Cohesiveness
Mainechip 32.9bc 3.4a 1.16bc 0.62a ND651-9 3502a 3.3a 1.03c 0.61a Avebed 29.7d 2.8a 0.85d 0.54b Navy bean 31.0cd 0.9c 1.24b 0.35d Pinto bean 28.1e 1.3bc 1.75a 0.41c Commerciale 32.4bc 1.9b 0.77d 0.62a
Sumber : Kim et al., (1996) Keterangan tabel a : Nilai yang dilaporka adalah rataan dari dua kali ulangan b : Nilai yang dilaporkan adalah rataan dari lima kali pengamatan c : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan d : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company e : Diproduksi dari pati kacang hijau Lampiran 16. Skor evaluasi sensori mi patia
Pati Rata-ratab TR SL FI CH TP OA
Commercialc 11.21bd 11.24a 9.19c 9.03b 4.60b 12.04a Avebee 11.91a 9.67b 9.20c 10.17a 5.47a 10.09c Mainechip 10.83b 11.28a 11.16a 10.32a 4.94ab 11.92a ND651-9 11.93a 10.97a 10.20b 10.11a 5.04ab 11.15b Navy bean 5.41d 10.86a 11.17a 8.05c 4.82b 7.01d Pinto bean 6.05c 10.92a 11.80a 10.19a 5.00ab 7.40d
Sumber : Kim et al., (1996)
90
Keterangan tabel a : skala rating : 0 (rendah) hingga 15 (tinggi) b : TR = transparancy, SL=slipperiness FI=firmness CH=chewiness TP=tooth
packing,OA=overall acceptability c : Diproduksi dari pati kacang hijau d : Nilai rataan dengan huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan e : Pati kentang komersial yang didapat dari Avebe company Lampiran 17. Stress sweep gel pati dari tiga varietas ubi Cina dibandingkan
dengan gel pati kacang hijau. Sampel G’ (Pa) Tan δ Max strain
SuShu2 160c ± 10 0.034a ± 0.004 0.35a ± 0.03 SuShu8 300b ± 17 0.030a ± 0.003 0.35a ± 0.05 XuShu18 320b ± 30 0.027a ± 0.004 0.33a ± 0.04 Kacang hijau 820a ± 27 0.007b ± 0.001 0.38a ± 0.03
Sumber : Chen (2003) N = 3 Rataan sampel dengan huruf yang sama dalam satu kolom adalah berbeda nyata p<0.05 Lampiran 18. Kelengketan (Fco (N)) mi pati pada beberapa tahapan proses
persiapan mi
Sampel Mi
Mentah Setelah pembekuan Masak
SuShu2 0.043a ± 0.005 0.0106a ± 0.0019 0.0075a ± 0.0018 SuShu8 0.033b ± 0.005 0.0068b ± 0.0023 0.0049b ± 0.0015 XuShu18 0.024c ± 0.006 0.0065b ± 0.0023 0.0050b ± 0.0011 Kacang hijau 0.019c ± 0.004 0.0044b ± 0.0015 0.0046b ± 0.0014
Sumber : Chen (2003) Lampiran 19. Karakteristik tekstur mi dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau
Sampel Mi kering Mi masak E (Pa) re Fc (N) rc E (Pa) re Fc (N)
SuShu2
4.74x108c (0.38x108)
9.70x10-2b (0.8 x10-2)
10.40c (1.39)
7.45 x10-2b (1.95 x10-2)
2.62 x105c (0.55 x105)
1.23 x10-1b (0.20 x10-1)
1.13 x10-1c (0.24 x10-1)
SuShu8 5.6x108ab (0.44x108)
2.15 x10-2a (0.33 x10-1)
19.69a (2.22)
1.13 x10-1a (0.19 x10-1)
4.32 x105b (0.67 x105)
2.59 x10-1a (0.72 x10-1)
1.58 x10-1b (0.28 x10-1)
XuShu18
4.95x108bc (0.73 x108)
1.11 x10-1b (0.26 x10-1)
15.16ab (2.32)
8.95 x10-2ab (1.72 x10-2)
4.13 x105b (0.64 x105)
2.16 x10-1a (0.36 x10-1)
1.50 x10-1b (0.21 x10-1)
Kacang hijau
6.10 x108a (1.22 x108)
1.15 x10-1b (2.41 x10-2)
19.79a (2.06)
9.86 x10-2a (1.39 x10-2)
1.18 x106a (1.65 x105)
1.99 x10-1a (2.93 x10-2)
2.94 x10-1a (4.41 x10-2)
Sumber : Chen (2003) N= 8. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda secara signifikan pada p<0.5. Angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi.
91
Lampiran 20. Cooking loss mi pati yang terbuat tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.
Sumber : Chen (2003) Lampiran 21. Indek pengembangan mi pati yang direndam dalam air panas (90oC) Sumber : Chen (2003)
92
Lampiran 22. Penampakan mi pati kering (D) dan mi pati masak (C) yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan pati kacang hijau.
Sumber : Chen (2003) Lampiran 23. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati kering
yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau
Sampel Atribut Kesukaan Warna Transparansi Glossiness Fleksibilitas SuShu2 10.9 ± 2.0a 5.6 ± 3.2c 5.0 ± 2.5c 6.2 ± 3.4b 5.3 ± 2.1c SuShu8 6.9 ± 2.1c 9.6 ± 2.9a 8.9 ± 3.2ab 10.3 ± 2.3a 10.1 ± 2.6aXuShu18 8.7 ± 1.6b 6.9 ± 2.1b 7.5 ± 2.3b 7.8 ± 2.7b 8.1 ± 2.6b Kacang hijau 5.5 ± 2.2c 10.5 ± 3.1a 11.1 ± 3.2a 10.5 ± 2.5a 11.7 ± 1.4aSumber : Chen (2003) N = 12. Rataan sampel dengan huruf yang berbeda dalam kolom yang sama adalah berbeda nyata pada p<0.05. Lampiran 24. Nilai rata-rata skala atribut sensori dan kesukaan mi pati masak
yang terbuat dari tiga varietas ubi cina dan kacang hijau
Sumber : Chen (2003)
Sampel Atribut Kesukaan Warna Transparansi Glossiness Elastisitas Kelicinan Kekerasan Kekenyalan SuShu2 6.8±3.4a 6.1±3.5a 7.7±3.1a 6.1±3.5b 9.4±3.1a 4.8±2.0c 5.9±2.1b 6.3±3.1b SuShu8 5.4±3.7a 7.3±4.3a 9.4±1.8a 11.5±2.1a 11.0±1.9a 8.3±3.2ab 9.8±2.0a 11.8±2.6aXuShu18 6.3±2.9a 6.2±2.8a 8.1±2.5a 7.9±3.5b 9.6±2.0a 6.6±2.2b 8.7±2.8a 7.6±2.6b Kacang hijau
6.0±4.2a 5.1±2.6a 9.2±2.7a 8.8±4.5b 11.0±2.2a 10.0±2.7a 10.3±2.6a 8.5±3.0b
93