mewacanakan ekonomi dan melihat kembali pembangunan filemereka-mereka yang berada di...

12
1 Ekonomi-ekonomi “yang lain”: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan Muhammad Azka Gulsyan https://indoprogress.com/2017/03/ekonomi-ekonomi-yang-lain-mewacanakan-ekonomi-dan-melihat-kembali-pembangunan/ 13 March 2017 Harian IndoPROGRESS KINI Indonesia kembali dipimpin oleh rezim developmentalis , yang mengingatkan kita pada masa-masa-masa Orde Baru, tentu dengan varian yang berbeda. Kata ‘Pembangunan’, semenjak rezim Jokowi, kembali mengemuka sebagai sebuah wacana dominan. Pemerintahan Jokowi terlihat bergairah sekali untuk melaksanakan pembangunan ini. Kita dapat melihat, salah satunya dari anggaran APBN, di mana pada tahun 2017 anggaran infrastruktur akan mencapai Rp387.3 triliun[1] . Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp70,2 triliun dari tahun sebelumnya. Jika membandingkan dengan rezim sebelumnya, ini merupakan sebuah angka yang memiliki peningkatan relatif besar. Lebih lanjut, dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016[2] , dicanangkan terdapat 225 proyek strategis nasional. Menyebut beberapa dari proyek-proyek pembangunan tersebut: 47 pembangunan ruas jalan tol, 11 pembangunan sarana dan pra sarana kereta api antar kota, 6 pembangunan infrastruktur kereta api dalam kota, 10 proyek revitalisasi bandar udara, 4 pembangunan bandar udara baru, 12 pembangunan pelabuhan, 59 pembangunan bendungan, 24 pembangunan kawasan industri, dan beberapa proyek lainnya. Tidak berhenti di situ, pada tahun ini diwacanakan akan ditambah 78 proyek strategis nasional baru[3] . Tidak boleh pula dilupakan bagaimana Presiden Jokowi bahkan hingga begitu sering turun langsung ke lapangan untuk mengecek pembangunan proyek-proyek tersebut dan memastikan semua berjalan sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan, mengindikasikan betapa pembangunan-pembangunan ini menjadi perhatian serius presiden. Berbagai proyek-proyek pembangunan tersebut inijika berhasil terimplementasi, dan karenanya nampak penting sekali bagi pemerintah untuk menyingkirkan segala “hambatan”—akan menjadi sebuah legacy dari Presiden Jokowi yang luar biasa, setidaknya secara kuantitatif. Namun, benarkah pembangunan selalu akan membawa kemaslahatan? Atau, dalam konteks tertentu, justru bisa sebaliknya?

Upload: vuphuc

Post on 01-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

1

Ekonomi-ekonomi “yang lain”:

Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan

Muhammad Azka Gulsyan

https://indoprogress.com/2017/03/ekonomi-ekonomi-yang-lain-mewacanakan-ekonomi-dan-melihat-kembali-pembangunan/

13 March 2017

Harian IndoPROGRESS

KINI Indonesia kembali dipimpin oleh rezim developmentalis, yang mengingatkan kita

pada masa-masa-masa Orde Baru, tentu dengan varian yang berbeda.

Kata ‘Pembangunan’, semenjak rezim Jokowi, kembali mengemuka sebagai sebuah wacana

dominan. Pemerintahan Jokowi terlihat bergairah sekali untuk melaksanakan

pembangunan ini. Kita dapat melihat, salah satunya dari anggaran APBN, di mana pada

tahun 2017 anggaran infrastruktur akan mencapai Rp387.3 triliun[1].

Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp70,2 triliun dari tahun sebelumnya. Jika

membandingkan dengan rezim sebelumnya, ini merupakan sebuah angka yang memiliki

peningkatan relatif besar. Lebih lanjut, dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016[2],

dicanangkan terdapat 225 proyek strategis nasional.

Menyebut beberapa dari proyek-proyek pembangunan tersebut: 47 pembangunan ruas

jalan tol, 11 pembangunan sarana dan pra sarana kereta api antar kota, 6 pembangunan

infrastruktur kereta api dalam kota, 10 proyek revitalisasi bandar udara, 4 pembangunan

bandar udara baru, 12 pembangunan pelabuhan, 59 pembangunan bendungan, 24

pembangunan kawasan industri, dan beberapa proyek lainnya.

Tidak berhenti di situ, pada tahun ini diwacanakan akan ditambah 78 proyek strategis

nasional baru[3].

Tidak boleh pula dilupakan bagaimana Presiden Jokowi bahkan hingga begitu sering turun

langsung ke lapangan untuk mengecek pembangunan proyek-proyek tersebut dan

memastikan semua berjalan sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan,

mengindikasikan betapa pembangunan-pembangunan ini menjadi perhatian serius

presiden. Berbagai proyek-proyek pembangunan tersebut ini—jika berhasil

terimplementasi, dan karenanya nampak penting sekali bagi pemerintah untuk

menyingkirkan segala “hambatan”—akan menjadi sebuah legacy dari Presiden Jokowi

yang luar biasa, setidaknya secara kuantitatif. Namun, benarkah pembangunan selalu

akan membawa kemaslahatan? Atau, dalam konteks tertentu, justru bisa sebaliknya?

Page 2: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

2

Pertama-tama klaim kemaslahatan tersebut akan dapat dibantah jika kita merujuk

kepada data Konsorsium Agraria Nasional (2016)[4], yang pada tahun 2016 saja

terdapat sebanyak 450 konflik agraria, yang secara langsung maupun tidak langsung

merupakan ekses dari pembangunan tersebut. Tetapi bukan perihal ini yang akan menjadi

fokus bahasan pada artikel ini.

Saya akan mencoba mendalami pertanyaan di atas dengan melihat dari perspektif lain

yang jarang disentuh oleh para ekonom arus utama. Dalam hal ini, ilmuan politik James C.

Scott[5] memberikan sebuah perspektif yang penting namun seringkali terlupakan:

perspektif mereka-mereka yang tinggal jauh dari pusat-pusat kekuasaan negara,

mereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan

sejarah beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di pelosok Asia Tenggara

daratan—yang ia katakan bahwa corak yang sama juga akan ditemukan di tempat lain,

termasuk Indonesia—dan menemukan bahwa kelompok masyarakat lokal tersebut bukan

hanya memiliki corak sosial-budaya tersendiri yang unik seperti yang jamak diketahui.

Tetapi mereka juga memiliki suatu sistem ekonomi sendiri, yang berbeda dengan sistem

ekonomi yang dominan yang berlaku.

Kalimat terakhir ini perlu untuk digarisbawahi, yakni bahwa beberapa kelompok

masyarakat pada tingkat lokal memiliki “suatu sistem ekonomi sendiri”, dan ia berbeda

dengan sistem ekonomi yang dominan yang mana pada hari ini, dalam konteks Indonesia

dan dunia pada umumnya, adalah ekonomi pasar.

Untuk itu saya perlu menggunakan sebuah terma untuk keperluan analisis pada artikel

ini, yang akan dinamakan ‘ekonomi “yang lain”’ (dan kita akan sering menggunakan

bentuk jamak ‘ekonomi-ekonomi “yang lain”’ karena keberadaannya yang bervariasi

pada berbagai kelompok masyarakat lokal), yang dapat didefinisikan sebagai “suatu

sistem ekonomi yang hidup dan bekerja pada masyarakat di tingkat lokal yang

menggunakna rasionalitas serta sistem kerja yang berbeda dengan sistem ekonomi

dominan yang berlaku”.

Perlu diberi catatan di sini, bahwa ekonomi dominan yang dimaksud tidak hanya bisa

merujuk kepada ekonomi pasar semata, ekonomi komando pada negara-negara komunis di

masa sebelum akhir Perang Dingin juga dapat dikategorikan ke dalam ekonomi dominan

tersebut, yang mana pada negara-negara tersebut sistem ekonomi komando yang

menempati posisi dominan di atas ekonomi-ekonomi “yang lain” yang ada pada

kelompok-kelompok masyarakat lokal.

Page 3: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

3

Sedangkan penggunaan kata “yang lain” bukan untuk menempatkan sistem-sistem

ekonomi tersebut pada posisi yang tingkat kepentingannya lebih rendah, melainkan untuk

membangun pemahaman bahwa sistem ekonomi yang dominan berlaku pada hari ini

bukanlah satu-satunya, tetapi sesungguhnya eksis (dengan berbagai variasinya dan

spekturm perbedaan) sistem-sistem ekonomi di samping yang dominan itu, yang hidup

dan bekerja pada kelompok-kelompok masyarakat di tingkat lokal (karenanya

menggunakan tanda “..”). Oleh karena itu terma ini menjadi penting karena

ekonomi-ekonomi “yang lain” tersebut sungguh jarang—jika tidak sama sekali—disadari

terlebih dicoba dipahami oleh pemerintah ataupun akadamisi ekonomi kebanyakan.

Dengan terma ini maka kini dapat dibangun pembedaan antara ‘ekonomi dominan’ dan

‘ekonomi-ekonomi “yang lain”’ tersebut untuk memahami eksistensi sistem-sistem

ekonomi di luar sistem ekonomi dominan (pasar).

Absennya kajian terhadap keberadaan dan juga cara kerja dari sistem-sistem ekonomi

“yang lain” dalam literatur-literatur ekonomi pada umumnya dapat dipahami karena ilmu

ekonomi menganggap dirinya sebagai sebuah ilmu yang saintifik, dan karenanya

beranggapan bahwa apa yang kini disebut ‘ekonomi’ adalah sesuatu yang mengandung

kebenaran objektif dan bebas nilai.

Begitulah yang dijelaskan oleh Arturo Escobar (1994)[7], dan karenanya ia membangun

kritikan terhadap itu dengan berargumen bahwa kelahiran ilmu ekonomi sendiri

sesungguhnya merupakan hasil dari suatu diskursus wacana. Untuk memahaminya,

Escobar menelusuri sejarah perkembangan ilmu ekonomi dan menyatakan bahwa ilmu

ekonomi sendiri adalah sebuah wacana yang mulai dikembangkan pasca berakhirnya

Perang Dunia Ke-2[8], bermula dari dunia Barat setelah berakhirnya era kolonialisme

atas berbagai jajahannya, dan kemudian disebarkan dengan berbagai cara seperti

dengan institutionalisasi ilmu ekonomi dengan pembentukan berbagai institusi ekonomi

global ataupun pada level nasional di negara-negara berkembang dengan asistensi

negara-negara Barat. Dengan jalan menempatkan ekonomi sebagai sebuah wacana ini[9],

maka konsekuensinya adalah dapat terbuka pemahaman-pemahaman baru atas apa yang

kita kenal sebagai ‘ekonomi’, yang jarang terbahas dalam literatur-literatur utama

ekonomi yang beranggapan ekonomi adalah objektif dan bebas nilai. Dengan begitu

etidaknya dua konsekuensi pemahaman yang dapat ditarik dari sini.

Pertama, dengan menempatkan ekonomi sebagai wacana, maka (ilmu) ekononomi yang

kita kenal sekarang sesungguhnya adalah sebuah wacana yang sedang mendominasi saja;

dengan kata lain—mengutip Escobar[10]—“sesungguhnya di dunia ini eksis dan terus

eksis model-model ekonomi yang lain” dan dengan menambahkan catatan: “yang tidak

kalah saintifik” dibandingkan model ekonomi yang saat ini mendominasi. Dengan begitu,

Page 4: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

4

terbuka pintu bagi kita untuk menulusuri, menganalisis, hingga membangun model-model

serta teori-teori dari ilmu ekonomi “yang lain” tersebut.

Konsekuensi kedua, dengan menempatkan ekonomi sebagai wacana, maka kita akan dapat

melihat bahwa terdapat kontestasi antara wacana-wacana ekonomi yang ada, yang mana

kekuatan atau kekuasaan (power) yang akan menentukan siapa yang akan mendominasi

dan siapa yang harus menyingkir.

Dengan begitu ekonomi pasar yang kini dominan merupakan wacana yang sedang “menang”

dalam kontestasi tersebut, dan wacana ekonomi-ekonomi “yang lain” adalah wacana yang

sedang harus menyingkir dan hanya hidup di pelosok-pelosok negerti yang jauh dari

pengaruh kekuasaan. Maka pembangunan yang dilakukan pemerintah dengan perspektif

ini dapat dipandang sebagai perluasan pengaruh penguasaan dari wacana ekonomi

pemenang tersebut.

Kedua poin konsekuensi dari pewacanaan ekonomi tersebutlah yang akan menjadi

pembahasan pada dua bagian berikutnya: Yaitu, apa dan bagaimana sesungguhnya sistem

ekonomi-ekonomi “yang lain” tersebut? Dan bagaimana menyikapi pembangunan dari

pemerintah (yang berarti perluasan ekonomi dominan) dengan menempatkan diri dari

perspektif ekonomi “yang lain”?

Memahami Keberadaan Ekonomi “Yang Lain”

Mencari seperti apa dan bagaimana rasionalitas dan sistem kerja (terlebih model dan

teori) dari ekonomi-ekonomi “yang lain” pada buku-buku teks ekonomi arus utama akan

sangatlah sulit—jika tidak mengatakan tidak ada. Namun penjelasan atas sistem-sistem

ekonomi tersebut bukannya tidak ada, praktik ekonomi “yang lain” pada

kelompok-kelompok masyarakat lokal dalam batas tertentu bisa kita dapatkan dalam

karya-karya penelitian antropologi. Penelusuran kehidupan dari budaya lokal dalam

penelitian etnografi mereka, sedikit banyak membuka pula penjelasan akan

praktik-praktik ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat lokal, yang dapat dipahami

perbedaannya dengan praktik yang berlaku pada ekonomi dominan; meski memang sulit

atau belum dapat ditemukan model-model atau teori yang menjelaskan sistem-sistem

ekonomi tersebut sebagaimana yang telah begitu banyak tersedia dan matang pada

sistem ekonomi dominan. Meski begitu ada pula penelitian antropologi yang berfokus

kepada perihal kehidupan ekonomi “yang lain” dari masyarakat lokal, yang dapat kita

ambil sebagai contoh untuk gambaran praktik ekonomi “yang lain” ini.

Page 5: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

5

Salah satu contoh tersebut adalah dari antropolog Belanda Jacqueline Vel, dalam

bukunya “Ekonomi-Uma: Penerapan adat dalam dinamika ekonomi berbasis

kekerabatan[11]”, yang melakukan penelitian terhadap kehidupan ekonomi masyarakat

Desa Lawonda di Sumba, Nusa Tenggara TImur. ‘Uma’ berarti “rumah-rumah [tradisional]

yang menunjuk pada kelompok-kelompok sosial keturunan dari pasangan suami-istri yang

telah mendirikan ‘rumah induk’ (uma kalada)[12]”, tetapi di samping itu uma juga merujuk

kepada kesatuan sosial yang bersifat komunal. Di atas uma, terdapat kabihu yang bisa

diartikan sebagai klan. Dalam sistem ekonomi “yang lain” di sana, tanah dan sumber

dayanya dimiliki secara kolektif oleh tiap-tiap kabihu yang akan dimanfaatkan secara

kolektif oleh tiap kabihu[13].

Oleh para tetua adat melalui musyawarah, kemudian ditentukan pembagian tanah untuk

usaha pertanian dan mengatur tugas bagi masing-masing anggota uma. Pembagian tugas

tersebut didasarkan pada pembedaan menurut gender, generasi, dan status sosial

secara tradisional[14]. Dengan tanah yang dimiliki secara kolektif oleh kabihu atau uma,

yang kemudian digarap dengan pembagian kerja kolektif dari para anggota, roda

ekonomi-uma dari masyarakat Lawonda berputar untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Namun di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya yang tidak dapat

diproduksi sendiri oleh uma dan kabihu, atau pertukaran kebutuhan-kebutuhan pribadi di

dalam kabihu, masyarakat Lawonda akan melakukan pertukaran. Akan tetapi pertukaran

yang dilakukan berbeda dengan paradigma pertukaran yang biasa dilakukan dalam

ekonomi pasar. Mereka melakukan pertukaran berdasarkan apa yang dinamakan oleh Vel

sebagai “moralitas pertukaran[15]”, di mana tata cara serta tingkatan (level) pertukaran

akan berbeda ditentukan berdasarkan jarak sosial, yang oleh Vel diidentifikasi ke dalam

tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah ‘kita-kita’ untuk pertukaran kepada sesama

anggota kabihu. Pada tingkat ini mereka melakukan transaksi dengan cara saling

berhutang secara umum; sebuah cara transaksi yang sangat tidak wajar bagi orang luar

Lawonda.

Tetapi di sana, saling berhutang ini justru menjadi suatu simbol ikatan yang sangat dalam

antara kedua orang yang bertransaksi dan transaksi dilakukan bukan sekadar untuk

mencari keuntungan, tetapi menjadi ”jaminan terbaik bagi keterjaminan sosial seseorang

dan bagi kelangsungan hidup dari unit sosial yang lebih luas (dimana) orang itu

terhisab”[16]. Dalam suatu cerita yang dikutip Vel, bahkan orang Lawonda

berterimakasih kepada orang yang telah menolongnya dalam suatu kesulitan dengan cara

meminta uang untuk berhutang kepada nya, bukan dengan ucapan terimakasih[17].

Page 6: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

6

Pada tingkat kedua, terdapat jarak sosial ‘bukan orang lain’ yang biasanya terjadi antara

orang pada kabihu yang berbeda, tetapi telah ada ikatan-ikatan khusus seperti melalui

pernikahan antara anggotanya. Pada tingkat ini, mereka melakukan transaksi dengan

pinjaman terperinci atau barter secara langsung. Adapun transaksi dengan menggunakan

uang (jual-beli) seperti yang sangat umum pada ekonomi pasar, justru terjadi hanya

kepada ‘orang lain’ atau bahkan ‘lawan’ (secara tradisional). Dalam hal ini mereka

menggunakan uang, tetapi ini merupakan simbol ketiadaan ikatan sosial yang kuat atau

bahkan pertentangan antara pihak yang bertransaksi. Karenanya transaksi ini hanya

dilakukan kepada orang luar Lawonda (termasuk membayar pajak ke negara) serta

kepada anggota kabihu lain yang bertikai dan bukan menjadi aktivitas ekonomi yang

utama.

Contoh dari ekonomi “yang lain” atas masyarakat Lawonda memberikan kita sebuah

gambaran bagaimana sesungguhnya eksis suatu sistem ekonomi yang bekerja

berdasarkan rasionalitas dan sistem kerja yang berbeda, yang mungkin sulit dipahami

oleh orang yang terbiasa hidup dalam lingkungan ekonomi pasar. Hal-hal yang dianggap

“rasional” dan “sudah semestinya” pada masyarakat yang hidup dalam lingkungan ekonomi

pasar, seperti rasionalitas akumulasi kekayaan, komodifikasi sumber daya alam dan

tenaga kerja, transaksi dengan menggunakan uang, atau kepemilikan pribadi atas

properti, ternyata tidak berlaku bagi mereka. Tetapi itu bukan berarti menandakan

bahwa mereka terbelakang dengannya (mengenai terbelakang atau tidak ini tentu

dibutuhkan kesepakatan indikator), jika dilihat dari keberlanjutan kehidupan, dengan

sistem seperti itu terbukti mereka dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya dan dengan

sifat komunalitasnya tidak ada anggota yang akan dibiarkan tidak berdaya. Dan

sistem-sistem ekonomi “yang lain” seperti contoh pada Lawonda itu dapat diperkirakan

eksis pula pada masyarakat-masyarakat lokal lainnya, tentu dengan keunikannya

masing-masing, yang sesungguhnya dapat kita katakan sebagai sebuah “kemajemukan

ekonomi”.

Namun bagaimana dan bisakah pola-pola perekonomian “yang lain” tersebut dijelaskan

dalam analisis-analisis ekonomi? Upaya untuk memodelkan ekonomi “yang lain”, yang

berbeda dengan ekonomi pasar yang dominan telah diupayakan oleh beberapa kalangan,

meski belum seluas ekonomi dominan. Yang cukup berpengaruh dari situ dapat kita sebut

James C. Scott dengan bukunya yang menjadi klasik, “The Moral Economy of the Peasant”

(1976)[18]. Analisis yang lebih sophisticated oleh Elinor Ostrom[19], yang berhasil

membawa terma the commons (atau sumber daya yang dimiliki secara kolektif oleh suatu

kelompok masyarakat) yang banyak ditemui pada sistem-sistem ekonomi “yang lain” pada

masyarakat lokal ke dalam diskusi ekonomi formal. Scott dan Ostrom secara kebetulan

berlatar belakang ilmuan politik, bukan ekonomi.

Page 7: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

7

Scott membangun model argumen tentang ekonomi moral yang bekerja pada

petani-petani di perdesaan. Menurutnya, perekonomian mereka bekerja bukan atas

keinginan untuk “mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”, seperti yang seringkali

dijadikan asumsi dasar yang menjadi fondasi teori-teori ekonomi pasar (dan karenanya ia

menyebut banyak perilaku ekonomi petani yang sulit dipahamai dengan pisau analisis

ekonomi pasar), tetapi mereka menjalankan ekonominya berdasarkan apa yang ia sebut

moralitas subsisten dan resiprokal. Menurutnya, petani lebih mementingkan kehidupan

subsistennya, yakni keterjaminan pemenuhan kebutuhan hidup dengan resiko minimal

ketimbang berupaya mencari keuntungan sebesar-besarnya tetapi mengandung resiko

yang membawa mereka ke bawah garis subsisten untuk bertahan. Dan karena itu pula,

mereka juga membangun hubungan resiprokal (timbal balik) di antara sesama untuk suatu

jaminan kehidupan untuk saling membantu di saat masa-masa sulit (menghilangkan

resiko). Penjelasan ini secara terbatas dapat menjelaskan sistem transaksi berhutang

dan barter yang berdasarkan kekerabatan yang ada pada contoh masyarakat Lawonda di

atas.

Sedangkan Ostrom berkontribusi dalam membangun penjelasan ekonomi atas

kepemilikan sumberdaya secara kolektif oleh masyarakat. Dengan menggunakan

perangkat analisis game theory dan analisis institusi, Ostrom membangun argumen

bahwa untuk menghindari the tragedy of commons dalam penggunaan sumber daya alam,

solusi terbaik bukan terdapat pada hak kepemilikan (property rights) model ekonomi

pasar yang individual, pun juga bukan pada model hak kepemilikan oleh negara seperti

pada negara-negara sosialis dan komunis. Keberlanjutan (sustainability) atas

pemanfaatan sumberdaya alam justru dapat tercapai dengan model hak kepemilikan

secara kolektif oleh masyarakat, seperti yang dianut oleh masyarakat-masyarakat

tradisional lokal dengan ekonomi “yang lain” nya, termasuk contoh masyarakat Lawonda di

atas. Ostorm melanjutkan bahwa hal tersebut dapat terjadi dengan persyaratan: adanya

institusi lokal yang bekerja dengan baik. ‘Baik’ di sini didefinisikan sebagai institusi yang

memenuhi prinsip-prinsip desain institusi yang ia identifikasi, yaitu sumberdaya yang

batas-batasnya terdefinisi dengan jelas, pemanfaatan yang sesuai dengan kondisi lokal,

adanya pilihan kolektif melalui partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan,

monitoring yang efektif, sanksi gradual atas pelanggaran kesepakatan (aturan),

mekanisme konflik resolusi, dan self-determination atas kelompok masyarakat pemilik

sumberdaya tersebut yang diakui oleh otoritas. Maka masyarakat-masyarakat lokal yang

telah memiliki institusi (adat) yang matang dan memenuhi prinsip-prinsip di atas, secara

teoritis sesungguhnya sanggup mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya

alam secara lebih efisien dan sustainable.

Page 8: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

8

Akan tetapi meski telah terdapat upaya-upaya, pemahaman terhadap ekonomi-ekonomi

“yang lain” tersebut masih sangat minim dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan

terhadap ekonomi-ekonomi yang dominan (entah kiri atau kanan). Ketidakpahaman akan

sistem perekonomian yang eksis pada masyarakat-masyarat lokal tersebut, membuat

berbagai kebijakan dan aksi yang diambil oleh rezim hanya berdasarkan pertimbangan

dari perspektif ekonomi dominan (dalam konteks Indonesia: pasar) yang bisa jadi bukan

membawa maslahat melainkan merusak tatanan lokal yang telah ada, karena

sesungguhnya—dengan mewacanakan ekonomi—wacanan-wacana ekonomi tersebut

berkontestasi satu sama lainnya, kontestasi yang seringkali tidak seimbang.

Menyikapi Pembangunan

Maka dari itu kita perlu untuk melihat konsekuensi pemahaman yang kedua dari

menempatkan ekonomi sebagai wacana ini, yaitu bahwa “kemajemukan ekonomi” atau

keberadaan ekonomi-ekonomi “yang lain” dengan segala kekayaan variasinya tersebut

yang ada pada masyarakat-masyarakat lokal seperti yang dijelaskan di atas,

sesungguhnya berada dalam kontestasi wacana ekonomi secara tidak seimbang dengan

wacana ekonomi “raksasa” yang dominan saat ini, yakni ekonomi pasar. Dan

pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah pintu masuknya:

pembangunan berarti perluasan lingkup pengaruh (kekuasaan) ekonomi dominan terhadap

ekonomi-ekonomi “yang lain” yang masih hidup di berbagai pelosok negeri, di saat

kelompok masyarakat di pelosok-pelosok tersebut bisa jadi telah memiliki institusi

ekonominya tersendiri (yang bekerja berdasarkan model dan teori dari ekonomi “yang

lain”) dan hidup bersahaja dengannya. Pembangunan yang membawa serta wacana

ekonomi pasar akan menekan keruntuhan sistem-sistem ekonomi “yang lain” dengan

segala institusi pendukungnya dan menyerap mereka ke dalam sistem ekonomi dominan

(pasar) tersebut. Masyarakat lokal yang mungkin selama ini hidup berkecukupan secara

bersahaja bisa jadi justru mengalami kesukaran luar biasa karena tidak dapat survive

pada lingkungan sistem ekonomi yang baru (pasar) dan harus mengikuti logika-logika nya.

Maka menjawab pertanyaan yang diajukan di awal, pembangunan menurut perspektif

orang-orang “pelosok” tidak selalu membawa kemaslahatan, dan justru bisa jadi

sebaliknya.

Meski begitu, saya tidak ingin membawa kepada romantisme ekonomi lokal. Kita harus

memahami pula bahwa ekonomi “yang lain” pada masyarakat lokal bukan berarti pasti

merupakan sistem yang terbaik yang menjamin kesejahteraan kepada seluruh

masyarakatnya dan membawa keadilan sosial. Kembali mengambil contoh masyarakat

Page 9: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

9

Lawonda dari Jacqueline Val, dalam sistem ekonomi-uma mereka, ada kelas-kelas sosial

yang mana dalam strutkur ekonomi politiknya terdapat juga golongan bangsawan yang

tidak bekerja secara nyata[20] tetapi menjadi pemilik, sedangkan orang-orang golongan

bawah yang bekerja membajak sawah dan mengurus ternak untuk kemudian

hasil-hasilnya dibagi berdasarkan aturan-aturan kolektif untuk “kesejahteraan

bersama”. Maka dalam sistem ekonomi-ekonomi “yang lain” bisa jadi pula terdapat

ketidakadilan sosial dan eksploitasi suatu kelas terhadap kelas lainnya.

Adanya kontestasi dan penekanan terhadap ekonomi-ekonomi “yang lain” melalui

pembangunan, juga tidak lantas membawa kita kepada kesimpulan bahwa pembangunan

adalah tidak perlu dan harus dihentikan, ini akan menjadi kesimpulan yang terburu-buru.

Pembangunan dapat pula membawa kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak dapat

diberikan oleh sistem ekonomi lokal mereka seperti fasilitas-fasilitas sosial, kesehatan,

atau pendidikan, juga infrastrutur-infrastruktur untuk menunjang dan memudahkan

kehidupan. Juga merupakan kekeliruan berdasarkan romantisme jika kita menganggap

bahwa pada masyarakat lokal tersebut dengan sistem ekonomi “yang lain” nya dianggap

statis dan tidak mengalami perubahan. Mereka juga mengalami perubahan dan karenanya

juga berhak untuk menikmati kemajuan-kemajuan yang telah diciptakan oleh peradaban

manusia. Maka ini sesungguhnya menjadi suatu dilema yang tidak sederhana, dan menjadi

perdebatan pada tataran filosofis (yang tidak dimaksudkan diselesaikan pada artikel

singkat ini).

Namun dengan demikian, lantas bagaimana kita menyikapi pembangunan? Inilah yang

menjadi tantangan yang harus dijawab. Karenanya pemahaman atas keberadaan

ekonomi-ekonomi “yang lain” tersebut harus dilanjutkan dengan perumusan model-model

dan teori-teori ekonomi yang bekerja dalam wacana ekonomi-ekonomi lokal tersebut;

atau dengan kata lain, model dan teori yang tidak bias ekonomi dominan (pasar). Dan

dengan begitu kemudian dapat dirumuskan model pembangunan yang tepat, yang

membawa kemaslahatan dan peningkatan kualitas hidup tanpa merusak tatanan-tananan

ekonomi lokal yang telah bekerja dengan dan mesti dipertahankan, sembari mengubah

tatanan-tananan ekonomi lokal yang merugikan kehidupan masyarakat lokal di sana. Ini

perlu menjadi agenda penelitian-penelitian ke depannya.

Tetapi untuk saat ini, di tengah keterbatasan pemahaman atas ekonomi-ekonomi “yang

lain” tersebut, jawaban terbaik sejauh ini yang dapat diberikan oleh teori-teori

perencanaan pembangunan adalah dengan menerapkan “communicative turn” dalam

pembangunan melalui model-model pembangunan partisipatif—dengan segala

variannya[21]. Pendekatan ini berusaha mengurangi ekses negatif dari pembangunan dan

berusaha melestarikan sistem-sistem yang ada pada masyarakat dengan cara melibatkan

Page 10: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

10

mereka dalam pembangunan: masyarakat lokal menjadi subjek atas pembangunan.

Pendekatan ini menghargai masyarakat sebagai subjek yang dinamis, bukan statis, tetapi

perubahan tersebut bukan dengan penekanan dari atas yang mana justru membawa serta

merta sistem dominan dan menekan sistem-sistem lokal yang telah bekerja. Yang

dilakukan adalah masyarakat lokal menentukan nasibnya sendiri mengenai apa, bagaimana,

dan seberapa besar perubahan akan dilakukan melalui pembangunan tersebut. Model

pembangunan seperti inilah yang sesungguhnya telah coba diupayakan melalui

program-program seperti PNPM Mandiri dan UU Desa. Tetapi sepertinya Presiden

Jokowi lebih menyukai pembangunan melalui projek-projek besar secara langsung oleh

pemerintah yang hasilnya dapat terlihat langsung. Maka keberadaan ekonomi-ekonomi

“yang lain” dan kehidupan masyarakat lokal yang bergantung kepadanya patut untuk

dikhawatirkan.***

Penulis adalah Peneliti tamu di Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University

———–

[1] http://www.kemenkeu.go.id/apbn2017, diakses pada 2 Maret 2017

[2] PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016

TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL

[3]

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170210120827-78-192592/pemerintah-tamb

ah-78-proyek-strategis-nasional/, di akses pada 26 Februari 2017.

[4] http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2016/, diakses

pada 2 Maret 2017. Angka ini meningkat drastis dari jumlah konflik tahun lalu yang

sejumlah 252 konflik agraria (sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria. Catatan Akhir

Tahun 2015. 2015)

[5] Lihat Scott, James C.. The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of

Upland Southeast Asia. 2009. Yale University Press.

[6] Pelosok di sini dalam artian jarak pengaruh dari pusat-pusat kekuasaan ekonomi

politik negara, bukan jarak geografi. Meski begitu jarak geografi tentu akan berkolerasi

dengan penyebaran pengaruh.

Page 11: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

11

[7]Escobar, Arturo. Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third

World. 1994. New Jersey: Princeton University Press

[8] sebelumnya yang lebih berkembang adalah ilmu ekonomi politik.

[9] Yang Esobar terhadap ilmu ekonomi, khusunya ekonomi pembangunan (berdasarkan

paparan Esobar sendiri dalam bukunya) adalah mirip dengan apa yang dilakukan oleh

Edward Said terhadap “ilmu” orientalisme (lihat Said, Edward. Orientalism.1978. New

York: Random House, Inc.), yang dengan menempatkan Orientalisme sebagai wacana,

sehingga dapat disadari bahwa orientalisme bukanlah sebuah ilmu yang objektif dan

bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai-nilai dominasi Barat terhadap belahan dunia lainnya.

[10] Escobar (1976), hlm. 62

[11] Vel, Jacqueline. Ekonomi-Uma: Penerapan adat dalam dinamika ekonomi berbasis

kekerabatan. 2010. Jakarta: HuMa-Jakarta; Van Vollenhoven Institute, Leiden

University; KITLV-Jakarta

[12] Id., hlm. 68; lihat juga hlm. 12

[13] Id., hlm. 175

[14] Id., hlm. 140

[15] Id., hlm. 67; lihat juga hlm. 88

[16] Id., hlm. 15

[17] Id., hlm. 65

[18] Scott, James C.. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in

Southeast Asia. 1976. New Haven and London: Yale University Press

[19]Ostrom, Elinor. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective

Action. 1990. Cambridge: Cambridge University Press. Untuk penjelasan-penjelasan

lainnya dari Ostorm mengenai the commons, lihat: Ostrom dkk (1994) Rules, Game, and

Common-pool Resources; Ostrom, E. And Ostrom, E. (2005) Understandng Institutional

Diversity; Dolsak, N. dan E. Ostrom (edt.) (2003) The Commons in the New Millennium;

Ostrom, E. (2012) The Future of the Commons

[20] Lihat: Vel (2010), hlm. 77 dan 145.

Page 12: Mewacanakan Ekonomi dan Melihat Kembali Pembangunan filemereka-mereka yang berada di “pelosok”[6] negeri. Scott menelusuri kehidupan dan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang

12

[21] Lihat misalnya: Healey, P. Collaborative Planning: Shaping Places in Fragmented

Societies. 1997. Vancouver: UBC Press; Woltjer, J. Consensus Planning: The relevance

of communicative planning theory in Dutch infrastructure development. 2000. Ashgate

Pub Ltd dan lain-lain; juga dalam beberapa artikel jurnal seperti: Baiocchi, G. (2001)

Participation, Activism, and Politics: The Porto Alegre Experiment and Deliberative

Democratic Theory; Fischer, F. (2006) Participatory Governance as Deliberative

Empowerment: the Cultural Politics of Discursive Space; Gupta, M.D., dkk (2006)

State-Community Synergies in Community-Driven Development; dan lain-lain.