metodologi perencanaan bendungan

45

Click here to load reader

Upload: kukuh-prasetyo-pangudi-utomo

Post on 26-Jul-2015

2.032 views

Category:

Documents


114 download

DESCRIPTION

pehamapan teori yang mendukung perencanaan bendungan

TRANSCRIPT

Page 1: Metodologi Perencanaan Bendungan

METODOLOGI PERENCANAAN

BENDUNGAN

2.1. Debit banjir rancangan

2.1.1 Data yang diperlukan dalam perhitungan

Dalam perencanaan bendungan tipe urugan maka data-data hidrologi yang

diperlukan untuk perhitungan- perhitungan hidrologi adalah data curah hujan, data

debit sungai, luas daerah aliran sungai selama beberapa periode sebagai acuan untuk

membuat curah hujan rancangan dan debit banjir rancangan yang digunakan untuk

perencanaan pembuatan tubuh bendungan. Data- data yang diperoleh dari pencatatan-

pencatatan dan pengukuran-pengukuran tersebut merupakan data-data yabg sangat

penting sebagai bahan analisa-analisa dan perhitungan-perhitungan guna menentukan

kapasitas calon waduk, tinggi serta volume calon tubuh bendungan dan penetapan debit

banjir rencana untuk menentukan kapasitas bangunan pelimpah atau saluran-saluran

banjir lainnya. Guna pembuatan rencana teknis banguan pelimpah sebuah bendungan,

maka diperlukan suatu debit yng realistis. Untuk itu angka-angka hasil perhitungan

hydrologi perlu diuji dengan menggunakan data-data banjir banjir besar dari pencatatan

pencatatan/ pengamatan setempat. Sedangkan data-data curah hujan pada pembangunan

sebuah bendungan diperlukan untuk penganalisaan 2(dua) aspek utama yaitu

Penganalisaan kapasitas persediaan air yang terdapat di daerah pengaliran yang

mengalir melalui tempat kedudukan calon bendungan serta fluktuasi

debitnya,dalam peride-periode harian, bulanan, tahunan atau periode jangka

yang panjang (multi yers period)

Penganalisaan karakteristik debit banjir, antara lain mengenai kpasitas debit

banjir, durasi banjir, musim terjadinya banjir dan peride- periode perulangnnya.

Data curah hujan tersebut biasanya data curah hujan jam-jaman, hujan harian, distribusi

curah hujan pada saat terjadi hujan yang lebat, dan lain lain.

Pada tugas besar Konstruksi Bendungan 1 ini telah disediakan beberapa data

yang siap saji untuk pernencanaan sebuah bendungan urugan, antara lain :

1. Luas DAS

2. Panjang alur sungai utama (sungai terpanjang)

3. Koef. karakteristik HSS Nakayasu

4

Page 2: Metodologi Perencanaan Bendungan

5

4. Koef. Pengaliran

5. Hujan rancangan dengan kala ulang 25 th

6. Hujan rancangan dengan kala ulang 50 th

7. Hujan rancangan dengan kala ulang 200 th

8. Hujan rancangan dengan kala ulang 1000 th

9. Hujan rancangan dengan kala ulang PMF th

Adapun nantinya data-data diatas akan digunakan untuk perhitungan hidrologi

antara lain penetapan banjir rancangan, penentuan kala ulang (return period) banjir

rancangan , penentuan debit maksimum banjir yang mungkin terjadi (probable

maximum flood), pembuatan hidrograf banjir rancangan sebagai debit inflow banjir

untuk perencanaan bangunan pelepasan (outlet works) pada konstruksi bendungan.

2.1.2 Perhitungan Debit Banjir Rencana

Pada prinsipnya debit banjir rencana diperoleh dari hasil-hasil perhitungan curah

hujan rencana dengan memasukkan beberapa faktor kondisi daerah pengaliran, sedang

debit banjir rencana didapat dari perhitungan curah hujan maksimum rata-rata yang

jatuh didaerah pengaliran dan jangka waktu sejak terkumpulnya air hujan tersebut pada

saat terjadinya debit besar pada tempat kedudukan calon tubuh bendungan. Besarnya

jangka waktu terebut tergantung dari kondisi topografi dan geologi daerah pengaliran.

Hanya setelah diketahui angka-angka hubungan antara curah hujan dan debit banjir

rencana dapat dihitung dengan metode unit hidrograf. Secara garis besarnya perhitungan

tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahapan sebagai berikut :

Perhitungan curah hujan maximum rencana

Perhitungan debit banjir rencana

Pengujian hasil perhitungan debit banjir rencana

2.1.3 Kriteria Debit Banjir Rancangan

Untuk kriteria banjir rancangan yang akan dipakai dalam design

bangunan maka dalam pelaksanaan tugas besar ini telah ditetapkan untuk

a) Q 25 th untuk perencanaan diversion tunnel dan cover dam

b) Q 50 th untuk kontrol keamanan tinggi cover dam

c) Q 200 th untuk pertimbangan perencanaan peredam energi (stilling basin)

d) Q 1000 th untuk perencanaan pelimpah (spillway) dan maindam

Page 3: Metodologi Perencanaan Bendungan

6

e) Q PMF untuk kontrol keamanan kapasitas pelimpah (spillway) terhadap bahaya

overtopping diatas puncak tubuh bendungan utama (top dam)

2.2. Storage Curve

Fungsi utama tampungan waduk adalah sebagai penampung air dan sebagai

stabilisator aliran air yang terjadi pada suatu daerah aliran sungai. Oleh karena itu, hal

yang paling penting diperhatikan dari karakteristik fisik waduk adalah berapa besar

kapasitas tampungannya.

Perencanaan penentuan lokasi waduk, ditentukan dari peta kontur dan survei

topografi lokasi bendungan yang dilaksanakan, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.18.

Luas yang tertandai di peta kontur berikut ini adalah lokasi waduk rencana. Elevasi

kontur dan area yang direncanakan di masing-masing elevasi dapat diplot dari kurva

hasil hubungan antara kapasitas waduk dan elevasi pada peta kontur, hubungan

kapasitas waduk dan elevasi disebut kurva kapasitas tampungan waduk. Untuk lebih

jelasnya seperti pada Gambar 2.2

Gambar2.1 Kurva kapasitas tampungan waduk

Untuk menghitung volume antar interval kontur dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut (Santosh Kumar, 2001:882) :

(2-)

atau dengan pendekatan :

(2-)

Page 4: Metodologi Perencanaan Bendungan

7

Dimana menunjukkan luasan di antara garis elevasi berurutan yang

mempunyai interval tingginya adalah h. Dari kapasitas tampungan berbagai tinggi

permukaan air yang diplot dan dianalisis akan diperoleh kurva kapasitas tampungan

waduk.

2.3. Hidrolika Terowongan

Sistem Pengelak Banjir dengan komponen utama berupa saluran pengelak dan

bendungan pengelak direncanakan sedemikian rupa, sehingga dapat mengalirkan debit

banjir yang mungkin terjadi dalam periode pelaksanaan konstruksi suatu bedungan dan

agar dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya limpasan-limpasan di atas mercu

bendungan pengelak yang dapat menyebabkan genangan genangan pad daerah calon

tubuh bendungan yang sedang dikerjakan.

Beberapa faktor terpenting yang akan menentukan karakteristika hidrolika suatu

saluran pengelak adalah :

Kemiringan dasar saluran pengelak

Ukuran saluran pengelak

Karakteristika terpenting saluran pengelak

Panjang saluran pengelak

Kekasaran dinding saluran pengelak

Kombinasi dari beberapa faktor-faktor tersebut akan sangat menentukan

kapasitas saluran pengelak.

Kemiringan saluran pengelak yang berupa terowongan (terowongan Pengelak)

biasanya diambil untuk aliran sub-kritis ataupun untuk aliran superkritis. Pada kedua

kondisi tersebut, maka posisi titik kontrol hidrlisnya biasanya tergantung dari hubungan

antara bentuk daerah pemasukan aliran serta tinggi tekanan air di daerah ini dan

tergantung pula pada kondisi pengaliran di ujung saluran tersebut.

Untuk analisis hidrolika pada saluran pengelak ini dibahas mengenai kapasitas

pengaliran melalui saluran pengelak, baik melalui terowongan maupun conduit karena

prinsip dasar dari ke-dua pengelak tersebut adalah sama. Kapasitas pengaliran saluran

ini dibedakan menjadi dua kondisi yaitu, pada saat aliran bebas (free flow) yaitu pada

saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran terbuka dan kondisi pada saat

aliran tertekan yaitu pada saat sifat hidrolik yang terjadi berupa hidrolika saluran

tertutup.

Page 5: Metodologi Perencanaan Bendungan

8

2.3.1 Kriteria Aliran pada Terowongan

a. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut USBR

Menurut USBR (United States Bureau of Reclamation) kriteria aliran pada

terowongan dapat dibagi menjadi delapan tipe aliran. Faktor geometri saluran, faktor

aliran dalam aliran tekan maupun aliran bebas, kemiringan saluran, ukuran, bentuk,

panjang, dan kekasaran menentukan jenis aliran pada terowongan. Kombinasi efek dari

faktor tersebut menentukan lokasi kontrol yang dalam bagiannya juga menentukan

karakteristik debit terowongan. Lokasi dari kontrol saluran apakah berupa aliran penuh

total (tekan) atau penuh sebagian, membentuk hubungan tinggi muka air dengan debit

yang lewat.

Kemiringan terowongan mugkin saja landai atau curam; yang mana

kemiringannya mungkin lebih datar atau curam dari lainnya untuk debit tertentu hanya

akan mendukung aliran pada tathapan aliran kritis. Untuk kedua kemiringan

terowonngan landai maupun curam, kontrol keduanya bisa jadi pada masukan ataau

keluaran, tergantung pada geometri mulut masukan dan hubungan tinggi muka air fan

kondisi aliran di keluaran. Macam kondisi yang bisa menentukan tipe aliran tertentu

ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Jika masukan terowongan tidak dalam kondisi tenggelam, kontrol terowongan

dengan kemiringan yang landai maka aliran penuih sebagian akan terjadi di keluaran.

Jika keluaran terowongan penuh total, aliran pada titik ini akan mengalir dengan

kedalaman kritis. Kondisi ini ditunjukkan pada kondisi 1 Gambar 2.3. Jika muka air

hilir cukup tinggi untuk membentuk kedalaman lebih besar dari kritis, tinggi muka air

hilir akan mengontrol aliran pada hulu tubuh terowongan. Jika muka air hilir

menenggelamkan keluaran, terowongan mungkin penuh sebagian sepanjang

terowongan dan akhirnya akan menenggelamkan masukan. Kondisi aliran ini

digambarkan sesuai kondisi 6 pada Gambar 2.2. Sampai aliran terowongan penuh,

alirannya biasanya pada subkritis, dan debit ditentukan dengan persamaan Bernoulli.

Perhitungan dimulai pada outlet dimana level muka air menenggelamkan inlet dan

dimana H/D > 1,2. Kontrol pada kedalaman kritis bisa diletakkan di inlet jika

terowongan relatif pendek sehingga loncatan tidak terjadi di dalam tubuh terowongan.

Kondisi ini ditunjukkan pada kondisi 4.

Page 6: Metodologi Perencanaan Bendungan

9

Jika terowongan memiliki kemiringan yang curam dan mulut masukan tidak

tengggelam, aliran akan dikontrol oleh kedalaman aliran di inlet, seperti diindikasikan

pada kondisi 3. Permukaan air akan turun secara tiba-tiba menuju kedalaman kritis pada

mulut masukan, dan aliran saluran terbuka berada pada kecepatan superkritis akan

terjadi sepanjang tubuh terowongan. Debit pada tampungan akan berpengaruh pada

aliran saluran, dengan asumsi kedalaman aliran kritis terjadi di mulut masukan

terowongan.

Setelah inlet tenggelam atau dimana H melampaui 1,2D, masih dimungkinkan

terjadi aliran saluran terbuka pada tingkatan superkritis pada tubuh terowongan, seperti

digambarkan pada kondisi 5, jika kontrol tetap pada mulut masukan. Pada kasus ini,

aliran pada inlet dapat disamakan dengan aliran pada orifice atau pada pintu sorong.

Kondisi aliran ini bergantung pada formasi konstruksi pada atas mulut masukan

sehibgga ruang batas udara terbentuk sepanjang bagian atas tubuh terowongan sehingga

terjadi aliran penuh sebagian sepanjang terowongan.

Karena tinggi muka air pada mulut masukan dan hasil dari peningkatan debit,

gesekan saluran atau disturbansi lokal akan menekan tubuh terowongan menjadi aliran

penuh total sampai dekat pada outlet, menutup terowongan hingga akhir hilir.

Kecepatan aliran yang tinggi di dalam terowongan akan membawa beberapa udara

yang terjebak pada bagian atas tubuh terowongan, mengurangi tekanan pada tekanan

hingga di bawah tekanan atmosfer. Lebih lanjut lagi, jika mulut masukan memiliki

bentuk yang bertujuan untuk mengurangi konstraksi inlet, tubuh terowongan akan mulai

mengalir pada aliran penuh total dekat inlet, setelah itu zona aliran penuh total akan

memanjang secara tiba-tiba sampai turun pada outlet. Efek dari kondisi aliran penuh

total ini akan menjadi draft-tube action (mirip dengan siphonic action) yang akan

meningkatkan debit. Peningkatan debit mengakibatkan penurunan lebih dalam dari

hulu pada inlet. Sebuah vortex akan terbentuk, dan udara akan masuk ke dalam

terowongan yang akan merusak draft-tube action. Pengurangan debit akan

menghasilkan kembalinya kontrol orifice pada inlet. Dengan seketika, gaya aliran penuh

total akan terbentuk lagi, dan siklusnya terus berulang. Pergantian antara gaya-gaya

pemulaian dan penghentian akan menyebabkan aliran berpusar/ bergetar yang

menyebabkan fenomena hantaman yang ditunjukkan pada kondisi 7. Ketika kondisi

tampungan berada pada H/D > 1,5 penurunan muka air pada mulut masukan tidak akan

Page 7: Metodologi Perencanaan Bendungan

10

cukup kuat untuk menghasilkan gaya aliran penuh total, dan aliran mantap pada pipa

penuh ditunjukkan pada kondisi 8 akan berlaku.

Jika diinginkan bahwa terowongan tidak berupa aliran penuh total, geometri

pada inlet menjadi pertimbangan penting. Inletnya harus dibentuk untuk menghasilkan

efisiensi debit maksimum dan mengatasi dengan baik konstraksi bagian atas inlet yang

akan membuat permukaan pada udara bebas di dalam tubuh terowongan untuk semua

tingkatan muka air tampungan. Bentuk inlet bersudut menghasilkan konstraksi yang

diinginkan tanpa mengurangi kapasitas debit utama. Konstraksi pada inlet dapat

terbentuk (tetapi pada kapasitas hidrolik yang dikurangi) dengan inlet yang

diproyeksikan, dengan mengubah sudut inlet dengan menyamakan dengan kemiringan

hilir, dengan bentuk gelang orifice yang lebih kecil dari diameter terowongan, atau

dengan menutup dinding muka bagian atas dari mulut masukan terowongan.

Jika terowongan diizinkan untuk mengalir penuh total hingga tinggi muka air

yang lebih tinggi, kontrolnya akan terjadi pada outlet dan geometri inlet akan

berpengaruh lebih kecil. Pada kasus ini inlet harus dibentuk untuk meminimalisasikan

konstraksi pancar untuk mencegah abrasi dari aliran masuk dari tubuh terowongan

karena aliran pipa penuh total diinginkan pada semua kondisi kecuali ketika inlet tidak

tenggelam. Bentuk yang lebih streamline akan mengurangi kehilangan pada mulut

masukan untuk kondisi penuh total. Penghilangan konstraksi dicapai dengan

membulatkan inlet atau dengan membuat sudut transisi bertahap menuju ke tubuh

terowongan.

Gambar 2.2 Model Kondisi Aliran pada Terowongan dengan Kemiringan/ Slope

Landai dan Curam.

Sumber: Design of Small Dams, 1987:423

Page 8: Metodologi Perencanaan Bendungan

11

b. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Richard French

Berdasar dari buku Open Channel Hydraulics dari Richard H. French debit yang

melewati terowongan ditentukan melalui aplikasi dari persamaan kontinuitas dan

energi diantara bagian pengarah dan bagian hilir terowongan yang berada pada tubuh

terowongan (Gambar 4.11). Lokasi bagian hilir tergantung pada pembagian aliran di

dalam terowongan.

Gambar 2.3 Skema Definisi Aliran di Dalam Terowongan

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F.,1985:365

Untuk kebutuhan perhitungan, aliran melalui terowongan dibagi ke dalam enam

bagian berdasarkan muka air hulu dan muka air hilir. Enam tipe aliran dan masing-

masing karakterisitiknya akan dijelaskan di Tabel 3.1. Di tabel tersebut, D = dimensi

vertikal maksimum terowongan, y1 = kedalaman aliran bagian hulu, yc = kedalaman

kritis aliran, z = elevasi terowongan relatif terhadap datum sampai keluaran (outlet)

terowongan, dan y4 = kedalaman aliran bagian hilir. Pada Gambar 3.2 persamaan

debit aliran melalui berbagai macam tipe aliran di terowongan dijelaskan. Di

persamaan tersebut, CD = koefisien debit, Ac = luas pada aliran saat kedalaman kritis,

ū1 = kecepatan rerata pada bagian hulu, α1 = koefisien koreksi energi kinetik pada

bagian hulu, hf1-2 = LwQ2/K1Kc = kehilangan energi karena gesekan pada bagian hulu

ke mulut masukan (inlet) terowongan, Lw = jarak dari bagian hulu ke mulut masukan

terowongan, K1 = tetapan pada bagian hulu, Kc = tetapan pada kedalaman kritis, hf2-3 =

Page 9: Metodologi Perencanaan Bendungan

12

LQ2/K2K3 = kehilangan energi karena gesekan pada tubuh terowongan, dan L =

panjang tubuh terowongan. Berdasarkan dari keenam klasifikasi aliran tersebut,

karakteristik aliran bisa dilihat sebagai berikut:

a. Aliran Tipe 1

Pada jenis aliran ini, kedalaman kritis terjadi di sekitar mulut masukan

terowongan. Agar aliran tipe 1 ini bisa terjadi persyaratan yang harus

dipenuhi :

1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan tidak boleh melebihi 1,5.

2. Kemiringan tubuh terowongan So harus lebih besar dari kemiringan kritis

Sc.

3. Elevasi muka air hilir y4 harus kurang dari elevasi muka air pada bagian

kritis.

b. Aliran Tipe 2

Pada jenis aliran ini, kedalaman kritis terjadi pada mulut keluaran

terowongan. Agar aliran tipe 2 ini bisa terjadi persyaratan yang harus

dipenuhi :

1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan tidak boleh melebihi 1,5.

2. Kemiringan tubuh terowongan So harus kurang dari kemiringan kritis Sc.

3. Elevasi muka air hilir y4 tidak boleh melebihi muka air pada bagian

kritis.

c. Aliran Tipe 3

Pada jenis aliran ini, profil aliran berubah lambat laun merupakan faktor

penentu, kedalaman kritis tidak dapat terjadi, dan elevasi muka air hulu

merupakan fungsi dari elevasi hilir. Pada jenis aliran ini, aliran subkritis

terjadi pada seluruh panjang terowongan. Agar aliran tipe 3 ini bisa terjadi

persyaratan yang harus dipenuhi :

1. Rasio tinggi muka air dan diameter terowongan harus kurang dari 1,5.

2. Elevasi muka air hilir tidak cukup untuk menenggelamkan mulut

keluaran terowongan. Bagaimanapun elevasinya melampaui kedalaman

kritis pada mulut keluaran.

Page 10: Metodologi Perencanaan Bendungan

13

3. Batas terendah dari muka air hilir adalah seperti berikut: (a) elevasi

muka air hilir lebih besar dari elevasi kedalaman kritis pada mulut

masukan terowongan jika kondisi aliran serupa pada kedalaman kritis

seperti pada mulut masukan, dan (b) elevasi muka air hilir lebih besar

dari elevasi muka air kritis pada mulut keluaran jika kemiringan

terowongan serupa dengan kedalaman muka air kritis akan terjadi pada

kondisi jatuh-bebas.

d. Aliran Tipe 4

Pada jenis aliran ini, aliran terowongan penuh, dan besar aliran bisa

diperkirakan secara langsung dari persamaan energi. Untuk aliran tipe 4 ini,

kehilangan energi terjadi diantara bagian 1 dan 2 dan bagian 3 dan 4

biasanya diabaikan. Kehilangan berdasarkan perluasan aliran berubah tiba-

tiba pada mulut keluaran terowongan diasumsi dengan persamaan (h3-h4)

e. Aliran Tipe 5

Pada jenis aliran ini, aliran superkritis pada mulut masukan terowongan

dan rasio tinggi muka air hulu dengan diameter terowongan melampaui 1,5.

Namun elevasi muka air hilir masih di bawah terowongan, atau terowongan

hampir penuh.

f. Alliran Tipe 6

Pada jenis aliran ini, rasio tinggi muka air hulu-diameter terowongan

melampaui 1,5, aliran terowongan hampir penuh, dan mulut keluaran

terowongan tidak tenggelam. Flowchart di bawah nanti menjelaskan cara

mengklasifikasikan aliran terowongan dari keenam kategori berikut di atas.

Page 11: Metodologi Perencanaan Bendungan

14

Gambar 2.4 Gambar Klasifikasi Tipe Aliran pada Terowongan

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F, 1986: 368

Tabel 3.1 Karakteristik Aliran di Dalam Terowongan (Bodhaine, 1976)

Sumber : Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1985:366

Tabel 3.2 Tabel Klasifikasi Aliran pada Terowongan dan Rumus Alirannya

TipeTipe Aliran pada

TerowonganPersamaan Debit

Page 12: Metodologi Perencanaan Bendungan

15

Tipe 1

Kedalaman kritis pada mulut masukan.(h1-z)/D < 1,5h4/hc < 1,0So > Sc

Tipe 2

Kedalaman kritis pada mulut keluaran(h1-z)/D < 1,5h4/hc < 1,0So > Sc

Tipe 3

Aliran air tenang(h1-z)/D < 1,5h4/hc ≤ 1,0h4/hc > 1,0

Tipe 4

Mulut keluaran tenggelam(h1-z)/D > 1,0h4/D > 1,0

Tipe 5

Aliran air pada mulut masukan berubah tiba-tiba(h1-z)/D ≥ 1,5h4/Dc ≤ 1,0

Tipe 6

Aliran bebas pada mulut keluaran(h1-z)/D ≥ 1,5h4/D ≤ 1,0

Sumber: Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1986:368

Gambar 2.5 Diagram Alir Penentuan Jenis Aliran pada Terowongan

Page 13: Metodologi Perencanaan Bendungan

16

Sumber: Open Channel Hydraulics, Richard H.F., 1986:370

c. Kriteria Aliran pada Terowongan Menurut Ven Te Chow

Dari buku Hidrolika Saluran Terbuka karangan Ven Te Chow, terowongan

adalah jenis yang unik dari suatu penyempitan dan jalan masuknya merupakan

penyempitan dengan bentuk khusus. Terowongan bersifat seperti saluran terbuka,

asalkan alirannya mengisi seluruh bagian gorong-gorong tersebut. Karakteristik

alirannya sangat rumit, karena aliran tersebut dikontrol oleh beberapa variabel,

antara lain: geometri pemasukan, kemiringan, ukuran, kekasaran, keadaan air

bawah, dan lain-lainnya. Oleh karena itu penelitian mengenai aliran yang melalui

terowongan harus dilakukan dilaboratorium atau penelitian lapangan.

Terowongan akan terisi penuh, bila jalan keluarnya terendam, atau bila jalan

keluarnya tidak terendam, tetapi air atasnya mempunyai tinggi dan kubah yang

panjang. Sesuai dengan penelitian laboratorium, bila jalan keluar terowongan biasa

tidak terendam, maka jalan masuknya tidak perlu terendam, jika air atasnya lebih

kecil dari suatu besaran kritis tertentu, yang diberi tanda H*. Nilai H* bervariasi

antara 1,2 sampai 1,5 kali tinggi terowongaan, tergantung pada geometri masukan,

karakteristik kubah dan keadaan saluran terowongan. Untuk analisa pendahuluan

Page 14: Metodologi Perencanaan Bendungan

17

dapat digunakan batas atas H* = 1,5d, di mana d = tinggi terowongan. Hal ini

disebabkan dari perhitungan didapatkan, bahwa bila perendaman tidak menentu,

maka ketepatan perhitungan yang lebih besar didapatkan dengan menganggap

masukan dalam keadaan tidak terendam.

Gambar 2.6 Kriteria untuk Terowongan Pipa, Kotak Panjang dan Pendek Secara

Hidrolis dengan Kubah Beton; dan Masukan Berbentuk Persegi, Lingkaran atau

Pengurasan Miring dari Dinding Ujung Vertikal; Dilengkapi dengan atau Tanpa

Dinding Samping

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:444

Penelitian laboratorium juga menunjukkan bahwa pada suatu terowongan

(biasanya mempunyai potongan persegi pada bagian atas masukan), tidak akan memiliki

aliran penuh sekalipun masukan berada di bawah ketinggian air atas, bila saluran keluar

tidak terendam. Pada kondisi demikan, aliran yang masuk ke terowongan akan

menyusut, hingga kedalamannya lebih kecil daripada tinggi kubah terowongan; dengan

cara yang sangat mirip dengan penyusutan aliran air pada pintu air geser tegak.

Kecepatan air yang tinggi akan berlanjut sepanjang kubah, kemudian akan berkurang

secara perlahan-lahan, akibat kehilangan gesekan. Bila terowongan tidak cukup panjang

untuk mengizinkan penambahan kedalaman aliran di penyempitan hingga memenuhi

kubah, maka aliran pada terowongan tidak akan terisi penuh. Keadaan demikian

dinamakan pendek secara hidrolis. Sebaliknya, dikatakan panjang secara hidrolis, bila

aliran pada terowongan penuh, seperti yang terjadi pada pipa.

Penentuan suatu terowongan panjang atau pendek secara hidrolis, tidak dapat

ditentukan oleh panjang kubah saja. Tetapi tergantung pada karakteristik yang lain,

diantaranya: kemiringan, ukuran, geometri masukan, air atas, keadaan saluran masuk

dan keluar, dan lain-lainnya. Suatu terowongan, mungkin menjadi pendek secara

hidrolis, bila aliran hanya sebagian penuh, atau bila air atas lebih besar dari niali kritis.

Page 15: Metodologi Perencanaan Bendungan

18

Untuk situasi demikian, suatu grafik yang dibuat Carter (Gambar 2.6 dan Gambar

2.7), dapat digunakan untuk membedakan secara kasar antara terowongan pendek secara

hidrolis, dengan saluran masuk terendam, dapat memperlengkapi dirinya sendiri secara

otomatis, aliran menjadi penuh. Dari hasil penelitian laboratorium yang dilakukan Li

dan Patterson, terjadinya aksi memperlengkapi dirinya sendiri, disebabkan oleh

kenaikan air hingga bagian atas gorong-gorong. Kenaikan ini pada kebanyakan

kasus disebabkan oleh loncatan hidrolik, pengaruh air balik pada jalan keluar, atau

terbentuknya gelombang permukaan diam di dalam kubah.

Gambar 2.7 Kriteria untuk Terowongan Pendek dan Panjang Secara Hidrolis, dengan

Kubah Kasar dari Pipa Bergelombang.

Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka,Ven Te Chow, 1997:445

Untuk keperluan praktis, aliran gorong-gorong dapat digolongkan dalam 6 jenis,

dan ditunjukkan pada Gambar 2.8. ldentifikasi masing-masing jenis dapat

diielaskan sesuai dengan sketsa berikut:

A. Jalan keluar terendam……………………………… Jenis 1

B. Jalan keluar tidak direndam

1. Air atas lebih tinggi daripada nilai kritis

a. Terowongan panjang secara hidrolis………. Jenis 2

b. Terowongan yang pendek secara hidrolis.. Jenis 3

2. Air atas lebih rendah daripada nilai kritis

Page 16: Metodologi Perencanaan Bendungan

19

a. Air bawah lebih tinggi daripada kedalaman kritis Jenis 4

b. Air bawah lebih rendah daripada kedalaman kritis

i. Kemiringan subkritis…………………………………. Jenis 5

ii. Kemiringan superkritis………………………………. Jenis 6

Gambar 2.8 Jenis Aliran Terowongan

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:446

Jika saluran keluarnya terendam, aliran pada terowongan akan memenuhi

seluruh bagian, serupa dengan aliran pada pipa dan alirannya termasuk jenis 1. Bila

saluran keluar tidak terendam, maka air atas mempunyai kemungkinan lebih besar atau

lebih kecil dibandingkan nilai kritisnya. Jika air atas lebih besar dibanding nilai

kritis, kemungkinan terowongan bersifat panjang atau pendek secara nilai; dan

untuk membedakan hal ini, digunakan grafik pada Gambar 2.6 dan 2.7. Jika

terowongan panjang secara hidrolis, alirannya termasuk jenis 2, sedangkan jika

pendek secara hidrolis, maka alirannya berjenis 3. Bila air atas lebih kecil daripada

nilai kritis, maka pada saluran keluar, air bawah mungkin lebih besar atau lebih

Page 17: Metodologi Perencanaan Bendungan

20

kecil dibanding kedalaman kritis aliran. Untuk air bawah yang lebih besar, alirannya

termasuk jenis 4. Sedangkan untuk air bawah lebih kecil, alirannya berjenis 5, bila

kemiringan terowongannya subkritis; dan berjenis 6, bila kemiringannya superkritis.

Pada penggolongan di atas, terdapat kekecualian, yakni bahwa aliran jenis 1,

dapat terjadi dengan air atas sedikit lebih besar dari nilai kedalaman kritis, atau

dengan air atas lebih tinggi daripada bagian atas saluran keluar, asalkan kemiringan

dasar terowongan sangat curam. Jenis 1 dan 2, termasuk aliran pipa, sedang yang

lainnya termasuk aliran saluran terbuka. Untuk aliran jenis 3, terowongan berperan

seperti suatu orifis. Koefisien pelepasan beragam kira-kira dari 0,45 sampai 0,75.

Untuk aliran jenis 4, 5, dan 6, jalan masuknya terendam air, dan terowongan

berperan seperti penyekat. Koefisien pelepasan beragam kira-kira dari 0,75 sampai

0,95, tergantung pada geometri masukkan dan kondisi air atas. Pada Gambar 3.11,

terlihat bahwa aliran jenis 4 adalah aliran subkritis pada sepanjang kubah. Aliran

jenis 5 adalah aliran subkritis, oleh karena itu penampang kontrolnya terletak pada

saluran keluar.

Survai Geologi Amerika Serikat, telah mengembangkan suatu prosedur

terinci yang dapat digunakan untuk perhitungan hidrolik perancangan

terowongan. Untuk keperluan praktis, dapat digunakan suatu penyelesaian

pendekatan dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.12 dan 3.13, masing-

masing untuk terowongan kotak dan lingkaran. Kedua kurva hanya berlaku untuk

terowongan yang mempunyai saluran masuk berpenampang bujur sangkar:

Page 18: Metodologi Perencanaan Bendungan

21

Gambar 2.9 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan Pada Terowongan Kotak, dengan

Satuan untuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.

Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448

Gambar 2.10 Grafik untuk Nilai Air Atas Pendekatan pada Terowongan Lingkaran,

dengan Saluran Masuk Bujur Sangkar, Aliran Sebagian Penuh.

Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997:448

Page 19: Metodologi Perencanaan Bendungan

22

2.3.2 Aliran Bebas (free flow)

Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan terjadi aliran bebas apabila tinggi muka

air di waduk (H) ≤ 1,5diameter pengelak (D). Untuk menentukan besarnya debit

yang lewat pengelak pada keadaan aliran bebas dapat digunakan rumus Manning bila

aliran adalah subkritis.

Gambar 2.11 Hidrolika Aliran dalam Pengelak Pada Aliran Bebas

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446

v = (3-1)

Q = A. v (3-2)

dimana:

v = kecepatan aliran (m/detik)

n = koefisien kecepatan manning (untuk beton n= 0,014)

R = jari-jari hidrolis =A/P (m)

A = luas penampang basah (m2)

S = kemiringan alur pengelak

Untuk memeriksa pada kedalaman berapa terjadi pengaliran kritis digunakan

rumus :

Qc = (3-3)

F = (3-4)

Dimana:

Qc = debit yang melewati pengelak dalam kondisi kritis (m3/detik)

g = percepatan gravitasi (= 9,81 m/detik2)

A = luas penampang basah (m2)

F = bilangan Froude

H = kedalaman aliran (m)

Kondisi aliran tersebut sangat perlu untuk diketahui, karena dengan demikian

dapat diketahui karakteristik hidrolisnya. Bila kondisi aliran pada berbagai kedalaman

Page 20: Metodologi Perencanaan Bendungan

23

air superkritis (Q > Qc atau F > 1), maka rumus Manning tidak berlaku dan harus

digunakan rumus dalam kondisi kritis sebagai berikut:

Gambar 2.12 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak pada Kondisi Superkritis

Sumber: Hidrolika Saluran Terbuka, Ven Te Chow, 1997; 446

vc = (3-5)

Yc = 2/3 H (3-6)

vc = (3-7)

Qc = A (3-8)

Dimana:

Hc = kedalaman aliran kritis (m)

2.3.3 Aliran Tekan (Pressure Flow)

Diasumsikan bahwa aliran tekan ini akan terjadi bila tinggi air di waduk (H) >

1,5 diameter pengelak (D). Pada keadaan demikian digunakan rumus:

Gambar 2.13 Hidrolika Aliran Dalam Pengelak Pada Aliran Tekan

Q = A. v (3-9)

v = (3-10)

dimana:

H = kedalaman air waduk dihitung dari dasar inlet pengelak (m)

Page 21: Metodologi Perencanaan Bendungan

24

D = tinggi pengelak (m)

L = panjang pengelak (m)

θ = sudut yang dibentuk oleh alur pengelak

c = jumlah koefisien kehilangan energi

Untuk jumlah kehilangan energi dapat dihitung berdasarkan desain saluran yang

dibuat oleh perencana.

2.4. Perencanaan Coferdam

2.4.1 Tinggi Bendungan

Yang dimaksud dengan tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi

permukaan pondasi dan elevasi mercu bendungan. Permukaan pondasi adalah dasar

dinding kedap air atau dasar daripada zone kedap air. Apabila pada bendungan tidak

terdapat dinding kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis

perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi udik mercu bendungan dengan

permukaan pondasi alas bendungan tersebut. Untuk menentukan tinggi bendungan

secara optimal harus memperhatikan tinggi ruang bebas dan tinggi air untuk operasi

waduk (Soedibyo, 1993)

2.4.2 Tinggi Jagaan (freeboard)

Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum rencana

air dalam waduk dan elevasi mercu bendungan. Elevasi permukaan air maksimum

rencana biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk. Kadang – kadang elevasi

permukaan air penuh normal atau elevasi permukaan banjir waduk lebih tinggi dari

elevasi banjir rencana dan dalam keadaan yang demikian, yang disebut permukaan

air maksimum rencana adalah elevasi yang paling tinggi yang diperkirakan akan

dicapai oleh permukaan waduk tersebut. Selain itu dalam hal–hal tertentu tambahan

tinggi tembok penahan ombak di atas mercu bendungan kadang–kadang

diperhitungkan pula pada penentuan tinggi jagaan.

Dalam menentukan tinggi jagaan perlu memperhatikan hal–hal sebagai berikut :

1. Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon bendungan

2. Pertimbangan–pertimbangan tentang karakteristika dari banjir abnormal

3. Kemungkinan timbulnya ombak–ombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh

angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi

Page 22: Metodologi Perencanaan Bendungan

25

4. Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena

timbulnya kerusakan–kerusakan atau kemacetan pada bangunan pelimpah

5. Tingkat kerugian yang mungkin dapat ditimbulkan dengan jebolnya bendungan

yang berangkutan

Kemudian untuk perhitungan secara teknis tinggi jagaan (Hf) untuk bendungan

ditentukan dari dua keadaan muka air waduk sewaktu bajir dengan kriteria sebagai

berikut:

a. Tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir dengan periode ulang 1000

tahun melimpah di atas bangunan pelimpah dan pada keadaan ini tidak boleh

terjadi kerusakan sedikitpun pada bendungan.

b. Dikontrol dengan tinggi kenaikan permukaan air akibat banjir boleh jadi

terbesar (Probable Maximum Flood= PMF) melilmpah di atas bangunan

pelimpah dan pada keadaan ini bendungan diizinkan mengalami kerusakan

ringan tetapi harus tetap stabil.

Oleh karena kriteria di atas maka pada keadaan (a) tinggi jagaan harus

mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin sangat kuat (S)

2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan karena angin (Hw)

3. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh gempa (He)

4. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan (Hr)

5. Tinggi kenaikan permukaan air akibat kemacetan pada waktu operasi pintu

pelimpah (h). tinggi kenaikan permukaan air ini didasarkan pada

perbandingan debit banjir dan lamanya kemacetan yang terjadi dan

sebaliknya perbandingan luas permukaan daerah genangan dan jumlah pintu.

Untuk pelimpah yang dilengkapi pintu, sebagai perkiraan diambil sebesar

0,50m.

Sedangkan pada keadaan (b) hanya akan mempertimbangkan hal sebagai

berikut:

1. Tinggi kenaikan muka air waduk karena angin kuat (S)

2. Tinggi kenaikan ombak/ gelombang yang diakibatkan oleh karena angin kuat

(Hw)

3. Tinggi rayapan gelombang/ ombak pada lereng bendungan yang diakibatkan

oleh angin kuat (Hr)

Page 23: Metodologi Perencanaan Bendungan

26

2.4.2.1 Perhitungan Tinggi Jagaan

a. Pada banjir 1000 tahunan, tinggi jagaaan dihitung dengan rumus:

Hf = ½ Hw + S + Hr + He + h

Dimana :

Hf = tinggi jagaan

Hw = tinggi kenaikan ombak karena angin

S = tinggi kenaikan muka air karena angin sangat kuat

Hr = tinggi rayapan gelombang pada lereng bendungan

He = tinggi kenaikan ombak akibat gempa

h = tinggi kenaikan muka air waduk akibat kemacetan operasi pintu

1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson sebagai berikut:

Hw = (3-14)

berlaku untuk F < 32 km

dimana :

Hw = tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)

v = kecepatan angin (km/ jam)

F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

2. S dihitung dengan rumus Zuider Zee, sebagai berikut :

S = (3-15)

Dimana :

S = kenaikan tinggi muka air karena angin (wind set up) (m)

v = kecepatan angin (km/jam)

F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

D = kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m)

α = sudut antara bidang tegak lurus sumbu bendungan dengan arah

gelombang (0)

3. Hr dihitung dengan rumus sebagai berikut, dengan menganggap

bahwa gesekan di lereng bendungan kecil:

Hr = (3-16)

Dimana :

Hr = tinggi rayapan gelombang (wave run up ) (ft)

Page 24: Metodologi Perencanaan Bendungan

27

vg = kecepatan gelombang (ft/ detik)

vg = 5+2.Hd (Gaillard) (3-17)

Hd = tinggi gelombang desain (ft)

= 1,3 Hw

g = gravitasi (32,18 ft/detik2)

4. He dihitung dengan rumus Seiichi Sato, sebagai berikut :

He = (3-18)

Dimana :

He = tinggi gelombang akibat gempa (m)

k = koefisien gempa

τ = periode gelombang (= 1detik)

= siklus gempa

g = gaya gravitasi bumi (9,81 m/detik2)

H0 = kedalaman air waduk (m)

b. Pada banjir boleh jadi terbesar/ maksimum (Probable Maximum Flood,

PMF) tinggi jagaan dihitung dengan rumus :

Hf = ½Hw + S + Hr

1. Hw dihitung dengan rumus Molitor Stevenson,

Hw =

berlaku untuk F < 32 km

dimana :

Hw = tinggi kenaikan ombak/ gelombang (m)

v = kecepatan angin (km/ jam)

F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

2. S dihitung dengan rumus Zuider Zee, sebagai berikut :

S =

Dimana :

S = kenaikan tinggi muka air karena angin (wind set up) (m)

v = kecepatan angin (km/jam)

F = panjang efektif fetch = lintasan ombak (km)

D = kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m)

Page 25: Metodologi Perencanaan Bendungan

28

α = sudut antara bidang tegak lurus sumbu bendungan dengan arah

gelombang (0)

3. Hr dihitung dengan rumus sebagai berikut, dengan menganggap

bahwa gesekan di lereng bendungan kecil:

Hr =

Dimana :

Hr = tinggi rayapan gelombang (wave run up ) (ft)

vg = kecepatan gelombang (ft/ detik)

vg = 5+2.Hd (Gaillard)

Hd = tinggi gelombang desain (ft)

= 1,3 Hw

g = gravitasi (32,18 ft/detik2)

Tinggi jagaan yang dihitung di atas adalah hanya akibat dari kenaikan muka air

waduk itu sendiri. Untuk ini masih perlu diberi penambahan tinggi urugan sebagai

cadangan tinggi jagaan akibat adanya penurunan yang terjadi pada bendungan yang

telah dibangun. Penurunan terbesar urugan karena beratnya sendiri akan terjadi

selama pemadatan. Selanjutnya penurunan akan terjadi dengan pertambahan sangat

kecil dan berkembang menurut umur bendungan dan fluktuasi air waduk. Untuk

memperkirakan peurunan total dipakai rumus empiris sebagai berikut :

Stot = 0,4%.H (3-19)

Dimana :

Stot = penurunan total (m)

H = tinggi urugan = tinggi bendungan (m)

Selain dari cara yang telah dibuat di atas The Japanese National Committee on

Large Dams (JANCOLD) telah menyusun standar minimal tinggi ruang bebas seperti

pada tabel. Di dalam standar ini maka yang di ambil sebagai permukaan air tertinggi

adalah FSL dan bukan TWL.

Tabel 2.1 Standar Ruang Bebas Menurut JANCOLD

No Tinggi bendungan (m) Bendungan beton Bendungan urugan

1.

2.

< 50

50 – 100

1 m

2 m

2 m

3 m

Page 26: Metodologi Perencanaan Bendungan

29

3. > 100 2,5 m 3,5 m

Sumber : Soedibyo 1993

2.4.3 Tinggi Cofferdam

Penetapan tinggi mercu bendungan pengelak udik (cofferdam hulu), biasanya

didasarkan pada elevasi permukaan air yang terdapat di depan pintu pemasukan

saluran pengelak ditambah tinggi jagaan yang diperlukan untuk keamanan

cofferdam tersebut. Untuk detail perhitungan tinggi cofferdam bisa dilakukan

perhitungan penelusuran banjir.

2.5. Stabilitas Coferdam

2.5.1 Perhitungan Stabilitas pada Lereng Coffer Dam

2.5.1.1 Stabilitas Lereng BendunganDalam banyak kasus, untuk membangun sebuah bendungan urugan diharapkan

mampu membuat perhitungan stabilitas talud guna memeriksa keamanan talud alamiah,

talud galian, dan talud timbunan yang didapatkan. Faktor yang perlu dilakukan dalam

pemeriksaan tersebut adalah menghitung dan membandingkan tegangan geser yang

terbentuk sepanjang permukaan retak yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari

tanah yang bersangkutan (Das, BM; 1994).

2.5.1.2 Analisis Stabilitas Talud Metode Irisan Fellenius

Gambar 2.14 Sketsa Sederhana Analisis Stabilitas Lereng Metode Fellenius

(Sumber : Das, BM; 1994)

Analisis stabilitas dengan menggunakan metode irisan, dapat dijelaskan

dengan memperhatikan Gambar 2.14 dengan AC merupakan lengkungan lingkaran

sebagai permukaan bidang longsor percobaan. Tanah yang berada di atas bidang

longsor percobaan di bagi dalam beberapa irisan tegak. Lebar dari tiap–tiap irisan

tidak harus sama. Perhatikan suatu satuan tebal tegak lurus irisan melintang talud

Page 27: Metodologi Perencanaan Bendungan

30

seperti gambar. Gaya–gaya yang bekerja pada irisan tertentu ditunjukkan dalam

Gambar 2.15. Wn adalah berat irisan. Gaya–gaya Nr dan Tr adalah komponen tegak

dan sejajar dari reaksi R. Pn dan Pn+1 adalah gaya normal yang bekerja pada sisi–sisi

irisan. Demikian juga, gaya geser yang bekerja pada sisi irisan adalah Tn dan Tn+1.

Untuk memudahkan, tegangan air pori di anggap sama dengan nol. Gaya Pn dan Tn

adalah sama besar dengan resultan Pn+1, dan Tn+1, dan juga garis–garis kerjanya

segaris.

Gambar 2.15 Irisan Untuk Analisis Stabilitas Lereng Metode Fellenius

Sumber : Das, BM; 1994

Untuk pengamatan keseimbangan

Nr = Wn . cos n (3-40)

Gaya geser perlawanan dapat dinyatakan sebagai berikut

Tr = (3-41)

Tegangan normal dalam persamaan di atas adalah sama dengan

= (3-42)

Untuk keseimbangan blok percobaan ABC, momen gaya dorong terhadap titik O

adalah sama dengan momen gaya perlawanan terhadap titik O, atau

= (3-

43)

atau

Page 28: Metodologi Perencanaan Bendungan

31

= (3-44)

Dimana pada persamaan di atas sama dengan dengan = lebar

potongan irisan ke-n.

Perhatikan bahwa harga n bisa negatif atau positif. Harga n positif bila talud

bidang longsor yang merupakan sisi bawah dari irisan, berada pada kwadran yang sama

dengan talud maka tanah yang merupakan sisi atas dari irisan. Untuk mendapatkan

angka keamanan yang minimum yaitu angka keamanan untuk lingkaran kritis beberapa

percobaan dibuat dengan cara mengubah letak pusat lingkaran yang dicoba.

2.5.1.3 Analisis Stabilitas Talud Metode Irisan Bishop

Pada tahun 1995, Bishop memperkenalkan suatu penyelesaian yang lebih

teliti daripada metode irisan yang sederhana. Dalam metode ini, pengaruh gaya–gaya

pada sisi tepi tiap irisan diperhitungkan. Gaya – gaya yang bekerja pada irisan nomor n,

yang ditunjukkan dalam Gambar 2.16, digambarkan dalam Gambar 2.16 (a).

Sekarang, misalkan Pn – Pn+1 = P; Tn – Tn+1 = T. Juga, kita dapat menulis bahwa

Tr = (3-45)

Gambar 2.16 Metode Irisan Bishop Yang Disederhanakan; (a) Gaya – Gaya yang

Bekerja Pada Irisan Nomor N, (b) Poligon Gaya Untuk Keseimbangan

Page 29: Metodologi Perencanaan Bendungan

32

Sumber : Das, BM; 1994

Gambar 2.16(b) menunjukkan poligon gaya untuk keseimbangan dari irisan

nomor n. Jumlahkan gaya dalam arah vertikal.

Wn + T = (3-46)

atau,

Nr = (3-47)

Untuk keseimbangan blok ABC (Gambar 2.16), ambil momen terhadap O

= (3-

48)

dengan,

Tr = = (3-49)

Dengan memasukkan persamaan (3-47) dan (3-48) ke persamaan (3-49), maka

didapatkan :

= (3-50)

dengan

= (3-51)

Untuk penyederhanaan, bila kita mengumpamakan T = 0, maka persamaan berubah

menjadi :

= (3-

52)

Page 30: Metodologi Perencanaan Bendungan

33

Gambar 2.17 Variasi dengan dan

Sumber : Das, BM; 1994

Perhatikan bahwa Fs muncul pada kedua sisi dari persamaan (2-91). Oleh

karena itu, cara coba–coba perlu dilakukan untuk mendapatkan harga Fs. Gambar 2.17

menunjukkan variasi dari dengan untuk bermacam – macam harga .

Seperti pada metode irisan sederhana, beberapa bidang longsor harus diselidiki

untuk mendapatkan bidang longsor yang paling kritis yang akan memberikan angka

keamanan minimum.

2.5.1.4 Analisis Stabilitas dengan Metode Irisan dengan Rembesan Tetap

Pada Gambar 2.18 menunjukkan sebuah talud dengan rembesan yang tetap.

Untuk potongan nomor n, tekanan air pori rata – rata pada dasar potongan adalah sama

dengan . Gaya total yang disebabkan oleh tekanan air pori pada dasar

potongan nomor n adalah sama dengan .

Page 31: Metodologi Perencanaan Bendungan

34

Gambar 2.18 Stabilitas Talud Dengan Rembesan Yang Tetap

Sumber : Das, BM; 1994

Jadi persamaan (4-50) untuk metode irisan yang sederhana akan

disempurnakan untuk menentukan

= (3-53)

Begitu juga persamaan (2-89) untuk metode irisan yang disederhanakan

menurut Bishop akan disempurnakan ke persamaan berikut

= (3-54)

Perlu diperhatikan bahwa dalam persamaan (4-51) dan (4-52) adalah berat

total irisan. Dengan menggunakan metode irisan dan bermacam–macam asumsi

yang lain, Bishop, Margenstern (1960) dan Spencer (1967) memberikan grafik

(chart) untuk menentukan angka keamanan dari talud yang sederhana dengan

memperhitungkan pengaruh tekanan air pori.

Page 32: Metodologi Perencanaan Bendungan

35

2.6. Gambar Perencanaan