metode demonstrasi dalam logika...

125
METODE DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun oleh: Lukman Hakim 11140331000027 Di Bawah Bimbingan Dosen Pembimbing Skripsi Dra. Tien Rohmatin, MA NIP. 196808031994032002 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 13-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

METODE DEMONSTRASI

DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Lukman Hakim

11140331000027

Di Bawah Bimbingan

Dosen Pembimbing Skripsi

Dra. Tien Rohmatin, MA

NIP. 196808031994032002

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul METODE DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-

FĀRĀBĪ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 25 Juni 2019. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam

Jakarta, 25 Juni 2019

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Dra. Tien Rohmatin, MA

NIP. 19680803 199403 2 002

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Abdul Hakim Wahid, MA

NIP. 197804242015 03 1 001

Anggota

Penguji I,

Kusen, Ph. D

Penguji II,

Iqbal Hasanuddin, M. Hum

Pembimbing,

Dra. Tien Rohmatin, MA

NIP. 19680803 199403 2 002

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama : Lukman Hakim

NIM : 11140331000027

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 13 Juni 2019

Lukman Hakim

i

ABSTRAK

METODE DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ

Kata Kunci: Demonstrasi, Logika, al-Fārābī

Tulisan ini memfokuskan pada metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī yang ditulis

dalam bukunya Manṭiq ‘inda al-Fārābī: Kitāb al-Burhān atau secara singkat disebut

Logika Perspentif al-Fārābī: Demonstrasi. Dalam buku tersebut al-Fārābī menulis

mengenai metode demonstrasi untuk menghasilkan kesimpulan yang benar dan sesuai

dengan bukti rasional. Metode ini merupakan jenis silogisme yang berbeda dari bentuk-

bentuk silogisme lainnya, yang lebih mengedepankan bukti rasional yang sesuai

dengan kenyataan. Selain itu, metode demonstrasi, juga merupakan metode untuk

mendapatkan pengetahuan saintifik yang diambil dari kesimpulan yang logis dan dapat

dipertanggungjawabkan. Menurut al-Fārābī pengetahuan demonstrasi hanya dapat

ditempuh melalui metode demonstratif, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui

ketetapan akal tanpa proses observasi dan bertemu langsung, mengetahui melalui

esensi dan substansinya.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka

(library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-

penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan

masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang

metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī.

Hasil penelitin ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa metode demonstrasi

memuat prinsip-prinsip rasional yang dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah

kepastian pengetahuan dengan silogisme yang tersusun dari proposisi-proposisi yang

sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya (yaqīniyyah) dan niscaya

menghasilkan konklusi benar. Maka dari itu, tulisan ini menfokuskan pada metode

demonstrasi yang tujuan akhir dari pendekatan ini adalah mengetahui bentuk-bentuk

dasar yang merupakan eksistensi benda-benda yang ada secara pasti.

ii

KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang

berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW

Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Agama (S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik

secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan

terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Risdi dan Ibunda Moplihah yang

telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus

sehingga skripsi ini dapat selesai;

2. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas

semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;

3. Teman-teman Pondok Pesantren Sulaimaniyah Cabang Ciputat;

4. Seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014;

5. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung

dan membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

iii

Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda

dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca

umumnya.

Jakarta, 13 Mei 2019

Lukman Hakim

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ṭ ṭ ط a a ا

ẓ ẓ ظ b b ب

‘ ‘ ع t t ت

gh gh غ ts th ث

f f ف j j ج

q q ق ḥ ḥ ح

k k ك kh kh خ

l l ل d d د

m m م dz dh ذ

n n ن r r ر

w w و z z ز

h h ه s s س

’ ’ ء sy sh ش

y y ي ṣ ṣ ص

h h ة ḍ ḍ ض

Vocal Panjang

Arab Indonesia Inggris

ā ā آ

ī ī إى

ū ū أو

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv

DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 9

F. Metode Penelitian ........................................................................................ 10

BAB II BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ ..................................................................... 12

A. Latar Belakang Pendidikan .......................................................................... 12

B. Karya-Karya ................................................................................................ 16

C. Al-Fārābī dan Falsafahnya ........................................................................... 19

1. Emanasi ............................................................................................... 20

2. Falsafah Kenabian............................................................................... 26

3. Falsafah Politik ................................................................................... 28

4. Logika ................................................................................................. 35

D. Peran dan Pengaruh ..................................................................................... 38

BAB III LOGIKA DAN PERKEMBANGANNYA ........................................ 43

A. Definisi Logika ............................................................................................ 43

B. Urgensi Studi Logika ................................................................................... 50

C. Sejarah Perkembangan Logika .................................................................... 58

1. Logika Pada Zaman Yunani Kuno...................................................... 59

2. Logika Pasca Sokrates ........................................................................ 60

3. Logika Pada Abad Pertengahan .......................................................... 64

4. Logika Pada Era Modern .................................................................... 66

BAB IV DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ ........................ 69

A. Logika Aristoteles ........................................................................................ 69

B. Logika Al-Fārābī: Demonstrasi ................................................................... 72

vi

C. Argumen Demonstrasi (Burhān) ................................................................. 83

D. Silogisme Demonstrasi (Qiyās Burhānī) ..................................................... 87

1. Jenis-Jenis Silogisme Demonstratif .................................................... 91

2. Syarat-Syarat Premis dalam Demonstrasi........................................... 94

E. Metode Burhānī (Demonstrasi) ................................................................... 96

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 108

A. Kesimpulan ................................................................................................ 108

B. Saran .......................................................................................................... 110

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tokoh-tokoh failasūf1 Yunani mewariskan banyak pola pemikiran yang

masih terus bertahan dan bahkan mampu mempengaruhi pemikir-pemikir

setelahnya. Perkembangan pemikiran sampai sekarang tidak luput dari

sumbangsih mereka. Salah satu tokoh failasūf yang sangat berperan penting dan

berpengaruh kuat terutama dalam menyumbang rumusan metode berpikir,

adalah Aristoteles2 (348-322 SM.). Dalam karya besarnya, Organon,3 terdapat

pokok pembahasan mengenai instrumen berpikir logis. Hingga, Organon masih

menjadi rujukan utama metode logika berpikir dalam mencari kebenaran.

Aristoteles melahirkan metode kebenaran dengan silogisme deduktif yang

sering diistilahkan dengan logika formal (Manṭiq al-Ṣūrī), logika

tradisional/klasik (Manṭiq al-Qadīm), logika silogistik, dan lain-lainnya.4 Tidak

1 Failasūf adalah Istilah yang dipakai dalam bahasa Arab untuk menyebut subjek atau

seseorang yang cinta kebijaksaan (Philosopher). Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab (Libanon: Dār al-

Ma’ārif, 1981), h. 3461. 2 Aristoteles dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, berdekatan dengan kota Macedonia,

tepatnya pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi Amyntas II, raja Macedonia.

Aristoteles meninggal sekitar usia 62 tahun. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat

Barat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), h. 163. 3 Organon adalah kumpulan dari enam risalah karya Aristoteles (384-322 SM.). Pertama,

adalah Categories yang membahas tentang term-term yang simpel, partikular, diferensia dan

katagori-katagori yang universal (sepuluh katagori Aristoteles). Kedua, On Interpretation

membahas tentang proposisi, penegasan atau negasi, menjelaskan tentang statemen yang valid

maupun yang tidak valid, dan inferensi. Ketiga, Prior Analylics berisi tentang inferensi dan

pembuktian silogisme. Keempat, Posterior Analytics tentang demonstrasi pembuktian ilmiah yang

berdasarkan premis-premis. Kelima, Topics yang membahas penalaran dialektik yang berdasar dari

yang disepakati bukan premis meyakinkan. Terakhir, On Sophistical Reputation yang membahas

tentang silogisme yang tidak valid (al-qiyas al-mughliṭa). Richard Mc. Keon, (ed), Introduction to

Aristotle (New York: the Modern Library, 1947), h. 2. 4 Aristoteles sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah logika, tetapi menggunakan

istilah analitika, untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang

benar. Adapun untuk meneliti argumen yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan

kebenarannya menggunakan istilah dealektika. Istilah silogisme atau logika tradisional atau metode

2

bisa disangkal bahwa logika adalah karya falsafah5 terbesar yang dihasilkan oleh

Aristoteles, yang menyebabkannya sebagai pelopor, atau bapak logika. Metode

berpikir rasional menurut Aristoteles merupakan metode terbaik untuk

memperoleh konklusi demi meraih pengetahuan dan mencapai kebenaran. Ia

merupakan seperangkat alat analisis dan cara berpikir yang dengannya mampu

membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka setiap ilmu

dipastikan membutuhkan logika, dan tidak sebaliknya.

Metode logika formal Aristoteles ini mempunyai pengaruh hingga generasi

selanjutnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa logika Aristoteles memainkan peran

yang sangat signifikan dalam sejarah intelektual umat manusia.6 Sampai saat ini,

buku-buku rujukan dan pegangan logika sebagian besar diisi oleh kontribusi

Aristoteles, khususnya dalam dunia Islam.

Perkembangan semua disiplin keilmuan di dalam dunia Islam, terjadi pada

masa pemerintahan Abbasiyah7 abad ke-13 Masehi. Pada saat itulah ilmu

pengetahuan dalam Islam mencapai puncaknya. Kemajuan yang diperoleh

tidaklah dicapai secara spontan, namun melalui perkembangan sedikit-demi

sedikit dan terus-menerus. Bermula dari penerjemahan buku-buku Yunani ke

dalam bahasa Arab skala besar-besaran pada paruh kedua pemerintahan

deduksi dikenal pada masa kini, bermula dari Alexander Aphrodisiasi (abad ke 3 SM.) menggunakan

istilah logika, sebagai alat dan mikanisme penalaran untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan

premis-premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari penalaran deduktif. Jan Hendrik Rapar,

Pengantar Logika Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 1. 5 Falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui

usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.

Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,

Buku Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461. 6 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 2. 7 Kekhalifahan Bani Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas bin Abdul Muṭalib, paman

Rasulullah dari pihak bapak. Dinasti ini berdiri pada tahun 132 H. Ali Muhammad Ash-Shallabi,

Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah (Jakarta: Ummul Qura, 2016), h. 133.

3

Umayyah8 abad ke-8 Masehi. Pengaruh falsafah Yunani secara mendalam terjadi

pada kekhalifahan al-Ma’mūn9 pada tahun 215 H., menjadikan Baghdad sebagai

jantung keilmuan Islam. Al-Ma’mūn mendirikan akademik penerjemahan

dengan nama Bait al-Ḥikmah, yang menggalakkan penerjemahan buku-buku

Yunani ke dalam bahasa Arab. Sosok Aristoteles menempati urutan pertama

dalam banyaknya buku yang diterjemahkan,10 terutama terkait dengan dasar

peletakan logika Aristoteles sebagai instrumen dalam memperoleh ilmu

pengetahuan.11

Aristotelianisme memiliki sejarah yang istimewa dalam dunia Islam.

Tulisan-tulisan Aristoteles banyak diminati oleh para sarjana Muslim. Di antara

karya-karya Aristoteles yang dipelajari dengan seksama di kalangan penganut

mazhab Paripatetik12 dunia Islam adalah karya-karya di bidang logika.

Gelombang penerjemahan warisan budaya bangsa Yunani telah

menstimulasi proses kegiatan ilmiah dan menuntun pada perkembangan

keilmuan di dunia Islam, dan secara khusus di bidang logika. Tidak ada edisi

8 Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, suku Quraisy dari

keluarga Umayyah. Kesepakatan terjadi atas kekhalifahan Muawiyah, dan seluruh rakyat sepakat

untuk membaiatnya pada tahun 41 H. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah Daulah Umawiyah dan

Abbasiyah, h. 35-39. 9 Dia adalah Abdullah bin Hārūn bin Muḥammad bin Abdullah. Dilahirkan pada tahun 170

H. dan meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 218 H. Beliau mencintai ilmu, tetapi tidak memiliki

pengetahuan yang mendalam tentangnya. Al-ma’mūn memerintahkan agar buku-buku karya orang-

orang terdahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah

Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, h. 142-143. 10 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),

h. 12. 11 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas,

1980), h. 21. 12 Mazhab Paripatetik (Masya’i) adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”

dengan Aristoteles. Karena kelahiran mazhab ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan

menghidupkan falsafah Aristoteles. Beberapa tokoh failasūf Islam yang dikatagorikan kepada aliran

Paripatetik adalah al-Kindī (w. 866), al-Fārābī (w. 950), Ibn Sīnā (w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196),

dan Naṣir al-Din Thūsī (w. 1274). Mulyadhi Kertanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar

Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 27.

4

yang lebih baik menyaingi komentar-komentar dalam bahasa Syiriac, yang

muncul abad kelima sampai abad keduabelas, atau edisi dalam bahasa Arabnya,

sederet tokoh-tokoh Muslim yang berpengaruh terlibat dalam bidang ini,

terutama failasūf terkemuka Islam awal, bernama al- Fārābī.13

Al-Fārābī dianggap sebagai failasūf Islam pertama yang secara sungguh-

sungguh mengkaji falsafah Yunani Klasik. Kemampuannya memahami,

menjabarkan, serta mengkomperasikan falsafah Yunani klasik Aristoteles

dengan falsafah Islam membentuk reputasinya sebagai salah satu failasūf kaliber

dunia.

Al-Fārābī adalah penerus tradisi intelektual al-Kindī,14 tetapi dengan

kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih

tinggi lagi. Jika al-Kindī dipandang sebagai seorang failasūf Muslim dalam arti

kata yang sebenarnya, al-Fārābī disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar

piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.

Dalam kajian falsafah Islam, nama failasūf Muslim al-Fārābī (Latin:

Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena dapat

“mengawinkan” antara falsafah dan agama, melainkan juga karena prestasinya

dalam menjelaskan dan mengulas-ulang pandangan Aristoteles. Karena itu, ia

mendapat gelar istimewa sebagai al-Mu‘allim al-Tsānī (Guru Kedua), karena ia

13 Al-Fārābī Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan

Ibn Auzalagh yang biasa disingkat al-Fārābī (870-950 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan

Parsi, yang dilahirkan di Wasij, Distrik Farab (Turkestan). Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof

dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), h. 65. 14 Al-Kindī, alkindus, nama lengkapnya Abū Yusūf Ya’qūb ibn Ishāq al-Kindī, lahir di

Kufah, Iraq (sekarng), sekitar tahun 185-252/801-866, pada masa khalifah Harun al-Rasyīd (786-

809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M). M. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim

(Bandung, Mizan, 1996), 11, dan Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis

Filsafat Islam, h. 207.

5

merupakan orang pertama yang memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan

Arab-sebagaimana Aristoteles mendapat predikat “Guru Pertama” karena ia

orang pertama yang menemukan ilmu logika.15 Penilaian ini didasarkan dengan

jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Dengan demikian

maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan tajam dari para

komentator karya Aristoteles, terutama dalam dunia ilmu mantik.

Mantik disebut pula dengan logika, berasal dari kata sifat logike (bahasa

Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau

kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan

yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.

Jadi, menurut etimologinya logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang

dinyatakan dalam bahasa, dan berpikir itu sendiri adalah suatu kegiatan jiwa

untuk mencapai pengetahuan.16

Karangan al-Fārābī dalam kajian ilmu mantik (logika) terkumpul dalam

empat jilid, yaitu: jilid pertama, Kitāb al-maqūlāt dan Kitāb al-‘Ibarāh. Jilid

kedua, Kitāb al-Qiyās dan Kitāb al-Tahlīl. Jilid ketiga, Kitāb al-Jadal. Jilid

keempat, Kitāb al-Burhān dan Kitāb al-Syarāiṭu al-Yakīn.

Dalam kajian skripsi ini, penulis mengkhususkan bahasan tentang kitāb al-

burhān yang merupakan salah satu karya terpenting dalam logika al-Fārābī. Al-

burhān merupakan kitab yang membahas tentang pembuktian-pembuktian logis

dalam berpikir. Kitāb al-burhān adalah ringkasan dan terjemah sekaligus

15 Husayin Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja

Rosdakarya), h. 128. 16 Chaerudji Abdulchalik, Ilmu Mantiq: Undang-undang Berfikir Valid (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 1.

6

komentar al-Fārābī terhadap karya Aristoteles, yaitu Posterior Analytics, yang

al-Fārābī sebut sebagai Second Analytics (anālūṭīqā al-tsānī) atau Last Analytics

(anālūṭīqā al-ākhir).17 Dalam kitāb al-burhān sendiri, al-Fārābī menjelaskan

tentang metode demonstrasi untuk menghasilkan kesimpulan yang benar dan

sesuai dengan bukti rasional. Demonstrasi (burhān),18 yaitu kaidah-kaidah yang

mempelajari pernyataan-pernyataan demonstratif, kaidah-kaidah berkenaan

dengan persoalan-persoalan falsafah dan berkaitan dengan semua tindakan yang

lebih utama dan lebih sempurna. Ikhwān al-Ṣafā’19 mengatakan bahwa

demonstrasi (burhān) merupakan standar para failasūf yang dengannya mereka

dapat mengetahui kejujuran dari kebohongan dalam ucapan, kebenaran dari

kesalahan dalam pendapat, dan kebenaran dari kesalahan dalam keyakinan, serta

kebaikan dari keburukan dalam tindakan.20 Demonstrasi adalah prinsip-prinsip

17 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 5-6. 18 Penulis menggunakan term “demonstrasi” sebagai terjemahan dari “al-burhān” terdapat

beberapa alasan, pertama, secara etimologi, term al-burhān (bahasa Arab) memiliki makna yang

sepadan dengan demonstrasi (bahasa Indonesia) yaitu membuktikan, menunjukkan, bukti (dalīl)

atau petunjuk (bayyinah). Lihat, Atābik ‘Alī dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Kamus Kontemporer

(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 321, Maḥmud Yūnus, Qāmūs ‘Arabī-Indūnisī (Jakarta:

PT. Maḥmud Yūnus wa al-dzuriyyah, 1990), h. 63, dan

https://kamuslengkap.com/kamus/sinonim/arti-kata/demonstrasi. Kedua, secara terminologi, dalam

beberapa buku yang penulis baca, kata demonstrasi (demonstration) menurut sarjanawan memiliki

definisi yang sama dengan definisi al-burhān menurut al-Fārābī, yaitu, prinsip-prinsip rasional yang

dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah kepastian tentang pengetahuan ilmiah. Lihat, Al-

Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 38, Laurence Johnstone, A Short

Introduction to The Study of Logic (London: Longmans, 1887), h. 88-89, dan Richard F. Clarke,

Logic (London: Longmans, 1921), h. 420, dll. Ketiga, kata demonstrasi - oleh sebagian sarjanawan

yang mengkaji tentang logika al-Fārābī - dipakai untuk menjelaskan tentang silogisme dalam logika

al-Fārābī yang merujuk pada karyanya yaitu Kitāb al-Burhān. Lihat, Seyyed Hossein Nasr dan

Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 226, dan Humaidi, Paradigma Sains

Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 82. 19 Ikhwān al-Ṣafā’ (Persaudaraan Suci) adalah organisasi yang bergerak dalam bidang

keilmuan dan juga bertendensi pada politik yang berhubungan dengan kondisi dunia Islam pada saat

itu. Perkumpulan ini lahir pada abad ke-4 H/10 M di kota Basrah. Dari Basrah, Ikhwān al-Ṣafā’ terus

menyebar dan berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Sirajuddin Zar, Filsafat

Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139. 20 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 82-83.

7

rasional yang dapat membentuk seseorang menghasilkan sebuah kepastian

pengetahuan.

Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam

mengetahui metode demonstrasi al-Fārābī. Sebab metode ini merupakan jenis

silogisme yang berbeda dari bentuk-bentuk silogisme lainnya, yang lebih

mengedepankan bukti rasional yang sesuai dengan kenyataan. Demonstrasi

adalah silogisme yang tersusun dari premis-premis yang jelas untuk

menghasilkan kesimpulan yang pasti.21 Selain itu, metode demonstrasi juga

merupakan metode untuk mendapatkan pengetahuan saintifik yang diambil dari

kesimpulan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dalam

penulisan skripsi ini, mengetahui metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī

menjadi sangat penting untuk dijelaskan secara mendalam.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa al-Fārābī memiliki beberapa

karangan dalam ilmu mantik. Salah satu karangan beliau adalah Kitāb al-Burhān

atau bisa disebut “kitab tentang pembuktian” atau juga disebut demonstrasi.

Kitab tersebut merupakan tulisan terakhir dari empat jilid karangan al-Fārābī

lainnya, dan merupakan kitab yang membahas tentang metode demonstrasi.

Oleh karena itu, tulisan ini memfokuskan pada konsep mengenai metode

demonstrasi perspektif logika al-Fārābī.

21 Mufaḍḍal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, (İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011), h. 14-15.

8

2. Rumusan Masalah

Dengan mengetahui batasan masalah, yang telah disebutkan sebelumnya,

Penulis menetapkan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

Bagaimana metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pemaparan tentang rumusan masalah di atas, tujuan

penelitian dapat di tetapkan sebagai berikut:

1. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pandangan al-Fārābī

mengenai logika secara mendalam, agar dipahami sebagai jalan untuk

berpikir logis dan sistematis.

2. Selain tujuan di atas, penulis juga ingin mengetahui metode demonstrasi

dalam pandangan al-Fārābī , sehingga penulis bisa memberikan keterangan

khusus mengenai pemikiran logika al-Fārābī .

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan fokus permasalahan dan tujuan yang disebutkan di atas,

penelitian ini dapat bermanfaat:

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat bertambah wawasan mengenai

pemikiran logika al-Fārābī tentang metode demonstrasi.

2. Penelitian ini diharap bisa memberikan sumbangsih literatur terutama

dalam kajian pemikiran tentang metode demonstrasi menurut

pandangan logika al-Fārābī.

9

E. Tinjauan Pustaka

Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya

yang membahas tentang pemikiran al-Fārābī. Adapun karya tersebut membahas

tentang pemikiran falsafah politik al-Fārābī, seperti yang penulis temukan dalam

karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi

Koencoro salah satu mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah

Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2000-2001.

Adapun skripsi tersebut berjudul Relevansi Politik Abad Modern dalam

Rekonstruksi Pemikiran al-Fārābī. Di dalam skripsinya, ia membahas

sepenuhnya pemikiran yang dituangkan al-Fārābī, yang dibandingkan dengan

pemikiran Ayatullah Khomeini tentang konsep imamah (Wilayah al-Faqih)

terhadap pemerintah Iran juga tentang struktur tubuh Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB).

Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya karya akademik dalam

bentuk skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Muhammad Fanshobi salah

satu mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Ushuluddin Program Studi

Aqidah dan Falsafah. Adapun skripsi tersebut berjudul Konsep Kepemimpinan

dalam Negara Utama al-Fārābī. Dalam skripsi tersebut membahas mengenai al-

Fārābī yang telah menyumbangkan pemikiran falsafah politiknya terhadap

khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan

istilah Negara Utama. Dalam skripsi tersebut juga dibahas tentang negara ideal

yang di dalamnya terdapat pembagian negara-negara berdasarkan ideologi

menurut al-Fārābī.

10

Selain itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi.

Skripsi tersebut ditulis oleh Siti Rahayu Rahmayanti salah satu mahasiswi UIN

Syarif Hidayatullah Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Falsafah Islam.

Adapun skripsi tersebut berjudul Pengaruh Musik Terhadap Kejiwaan Manusia

Menurut al-Fārābī. Dalam karya akademik tersebut, ia membahas mengenai

aplikasi musik religi terhadap jiwa manusia, yang di fokuskan kepada kasus

musik gambus el-Syamwel Cilandak.

Dengan tinjauan tersebut, sejauh yang penulis telusuri, tidak ada skripsi

yang membahas mengenai metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī. Karya

akademik tentang al-Fārābī yang penulis telusuri hanya pada pemikiran tentang

konsep negara utama dan pengaruh musik terhadap kejiwaan menurut al-Fārābī.

Sehingga, jika memang demikian, penelitian yang dilakukan oleh penulis

menjadi penelitian perdana yang mengangkat tema ini.

F. Metode Penelitian

1. Sumber Data Penelitian

Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil

karya al-Fārābī yaitu al-Manṭiq ‘inda al-Fārābī: Kitāb al-Burhān atau

Mantik Pespektif al-Fārābī: Demonstrasi dan Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Sedangkan

data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti buku

Organon: Posterior Analytics karya Aristoteles, ‘Ilm Manṭiq yang ditulis

Muḥammad Nūr Ibrāhīmī, Introduction to Logics yang ditulis oleh Irving

M. Copi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi yang ditulis oleh Humaidi,

dan buku tentang yang terkait lainnya, maupun artike-artikel yang

11

mengandung pembahasan tentang konsep mantik perspektif al-Fārābī.

Sumber yang berkaitan dengan analisis yang ditulis oleh para sarjana dan

cendikiawan yang menggeluti pemikiran al-Fārābī. Data yang lain ialah

seperti ensiklopedia, kamus, internet, koran, jurnal, dan lain-lain, yang

relavan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap rujukan

penulis dalam skripsi ini.

2. Teknik Penelitian

Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di dalam

penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait

permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai

literatur, baik primer maupun skunder.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis

deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam

tentang metode demonstrasi perspektif logika al-Fārābī.

3. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti transliterasi yang

digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat

Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

12

BAB II

BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ

A. Latar Belakang Pendidikan

Abu Nasr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlagh al-Fārābī,

yang dikenal dengan al-Fārābī, merupakan failasūf Islam yang lahir di Wasij

Distrik Fārāb (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di Transoxdiana (sekarang

Uzbekistan), pada tahun (257H/870 M).1 Nama al-Fārābī sendiri diambil dari

desa tempat kelahirannya yaitu di Fārāb. Ayahnya bernama Muḥammad Ibn

Auzalgh adalah seorang Jendral Panglima Perang Parsi. Ayahnya adalah seorang

Iran dan menikah dengan wanita Turkestan. Kemudian dia menjadi Perwira

tentara Turkestan. Karena itu, al-Fārābī dikatakan berasal keturunan Turkestan.2

Lingkungan Distrik Fārāb yang mayoritas penduduknya berpaham fiqh

Syafi’iyah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkinkan

al-Fārābī muda menerima pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini

memiliki kecerdasan istimewa dan bakat untuk menguasai hampir setiap subjek

yang dipelajari. Pendidikan dasar al-Fārābī dimulai dengan mempelajari dasar-

dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi al-Qur’an, hadis, tafsir, dan

fikih. Sedangkan ilmu bahasa al-Fārābī memiliki kecakapan yang luar biasa.

Bahasa yang dikuasai antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan, bahkan

ada yang mengatakan bahwa al-Fārābī mampu berbicara dalam tujuh puluh

1 Al-Fārābi, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Al-Atruk: al-Maktabah al-Azhar, 1234

H/1906 M), Cet ke- 1, h. 1. 2 Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-2, h. 30.

13

macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa,

meliputi bahasa Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.3

Setelah mendapatkan pendidikan awal, al-Fārābī juga mempelajari falsafah

dan matematika serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu

lain. Sejak muda hingga dewasa, dia bergelut di dunia ilmu pengetahuan. Pada

masa mudanya, al-Fārābī belajar falsafah dan logika kepada seorang Kristen

Nestorian, yaitu Yuḥannā ibn Ḥaylān4 (w. 910), dan belajar kepada Abū Bisyr

Mattā ibn Yūnus al-Qunnā’ī5 (w. 940).6 Kemudian, pada tahun 920 M, al-Fārābī

kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat

itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian

belajar falsafah dari Yuhana bin Jilad.7

Pada masa kekhalifahan al-Muktafī8 (902-908 M.) dan awal kekhalifahan

al-Muqtadīr9 (908-932 M.) al-Fārābī pergi ke Konstantinopel10 untuk

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Pers, 1993), h. 49. 4 Yuḥannā ibn Ḥaylān, failasūf Kristen yang pada tahun 820 telah pergi ke Baghdad dan

kemudian menjadi guru dari sarjana Islam pertama dalam falsafah Yunani bernama al-Fārābī (872-

950). http://www.tahoor.com/en/Article/View/117917. diakses pada 08 Mei 2019, 07.00 WIB. 5 Abū Bisyr Mattā ibn Yūnus al-Qunnā’ī adalah seorang failasūf Kristen yang memainkan

peran penting dalam transmisi karya-karya Aristoteles ke dunia Islam. Ia terkenal terkenal karena

mendirikan Sekolah Failasūf Aristotelian di Baghdad. https://en.wikipedia.org/

wiki/Abu_Bishr_Matta_ibn_Yunus. diakses pada 12 Mei 2019, 06.20 WIB. 6 Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26. 7 Ainur Rahman Hidayat, Filsafat Berpikir (Pamekasan: Duta Media, 2018), h. 17. 8 Al-Muktafī Billah, Abu Muḥammad adalah anak al-Mu'taḍid (892-902) dengan seorang

budak Turki. Ia lahir pada Rajab 264 H. Ia dilantik menjadi khalifah Daulah Abbasiyah ke-18 ketika

ayahnya sakit, pada hari Jumat usai shalat Ashar 19 Rabiul Awwal 289 H, pada usianya yang ke-25.

Al-Muktafi hanya memerintah selama 6 tahun 6 bulan 19 hari. Al-Muktafī meninggal dalam usia

yang sangat muda. Dia meninggal pada malam Ahad, tanggal dua belas Dzulqa’dah tahun 295 H.

Dia meninggalkan delapan anak laki-laki dan delapan anak perempuan. Kemudian al-Muktafī

digantikan oleh saudaranya al-Muqtadīr (908-932 M). Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’ (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2009), cet ke-6, h. 451-453. 9 Al-Muqtadīr Billah, Abu al-Fadhl, bernama Ja’far bin al-Mu’taḍīd. Dia dilahirkan pada

bulan Ramadhan tahun 282 H. Dia adalah khalifah termuda dan belum pernah ada seorang khalifah

pun yang memerintah sebelumnya yang lebih muda daripadanya. Sebab ia mulai menjadi khalifah

pada usia tiga belas tahun. Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, h. 453. 10 Falsafah Yunani dan logika Aristoteles tersebar di empat tempat pusat kegiatan berilmu

pengetahuan, salah satunya di Roma, yang kemudian ibu kota dari Roma dipindahkan ke

Konstantinopel (didirikan oleh Kaisar Romawi Konstantinus I). Pengaruh falsafah Aristoteles ini,

mempengaruhi pemikiran orang-orang Kristen, terutama sehubungan dengan ketuhanan Yesus

14

mempelajari seluruh silabus falsafah selama delapan tahun. Kemudian, pada

tahun 297 H. dia telah kembali ke Baghdad untuk belajar, mengajar, mengaji

buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Al-Fārābī

menetap di kota ini selama 20 tahun. Di Baghdad pula dia membuat ulasan

terhadap buku-buku falsafah Yunani.11 Ia memperdalam ilmu-ilmu falsafah,

logika, etika, ilmu politik, musik, dan lain sebagainya.12 Meskipun kemungkinan

besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, tetapi ia banyak mengenal para failasūf

Yunani dengan baik seperti Plato13, Aristoteles, dan Plotinus14. Kontribusinya

terletak di berbagai bidang seperti logika, falsafah, matematika, pengobatan,

bahkan musik. Kitāb al-Mūsīqā al-Kabīr, sebagai salah satu karyanya. Ia dapat

memainkan dan telah menciptakan berbagai alat musik.15

Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan

Saif al-Daulah al-Hamdanī16, Sultan Dinasti Hamdaniyyah di Aleppo. Sultan

memberinya kedudukan sebagai seorang ulama instan dengan tunjangan yang

besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik

Kristus di Roma. Aburisman, al-Fārābī dan Logika Aristoteles (Perpustakaan Digital UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 6. 11 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran (Bandung:

Pustaka Setia, 2009), h. 75. 12 Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), vol. 1,

Cet. Ke-4, h. 331. 13 Nama Plato sebenarnya adalah julu𝑘annya karena memiliki dahi dan bahu yang lebar,

nama aslinya adalah Aristocles. Ia hidup sekitar tahun 427-347 SM. Masykur Arif Rahman, Buku

Pintar Sejarah Filsafat Barat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), h. 149. 14 Plotinus lahir di Mesir pada tahun 204 SM. Ia tertarik pada falsafat, karena itu ia datang

ke Alexandria untuk menemui seseorang yang terkenal ahli dalam falsafah, khususnya falsafah

Plato. Ia meninggal pada tahun 270 SM di Minturnae, Campania, Italia. Masykur Arif Rahman,

Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 193-194. 15 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Jakarta:

Kencana, 2010), h. 6. 16 Abu al-Maḥasin ibn Abdullah (333H-356H /944-967M) yang bergelar Saif al-Daulat

adalah raja pertama dan pendiri Dinasti Hamdaniyah di Aleppo yang memerintah dari tahun 333 H

sampai tahun 356 H/944 -967M. Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang:

Universitas Sriwijaya, 2001), volume 5, h. 209.

15

dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja

setiap hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya,

sisa tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal

sosial di Aleppo dan Damaskus.17

Hal yang mengembirakan dari ditempatkannya al-Fārābī di Damaskus

adalah al-Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan

kaum cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun al-Fārābī tinggal di Aleppo

dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa di antara

kedua kota ini semakin memburuk. Sehingga Saif al-Daulah menyerang kota

Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya.

Al-Fārābī merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan

pencari kebenaran. Kehidupan yang nyaman dan kemegahan di istana tidak

memengaruhinya, dan dalam pakaian seorang sufi dia membebani dirinya

dengan tugas berat ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana

gemercik air sungai dan di bawah dedaunan dan pepohonan yang rindang.18 Al-

Fārābī hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu. Sehingga tidak

dekat dengan penguasa-penguasa Abasiyah waktu itu.

Al-Fārābī mukim di Syiriah hingga wafat pada bulan Rajab tahun 339H/

Desember 950 M. meninggal pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar

gerbang kecil (al-bāb al-saghīr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah saat itu yang

memimpin upacara pemakaman al-Fārābī.19

17 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran, h. 75. 18 M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1998), h. 58. 19 Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2016), h. 93.

16

B. Karya-Karya

Al-Fārābī adalah seorang failasūf Muslim yang banyak meninggalkan

karya-karya penting. Karya al-Fārābī terdapat pada setiap cabang ilmu

pengetahuan yang dikenal dunia pada Abad Pertengahan, dengan pengecualian

khusus pada ilmu kedokteran. Para bibliographer tradisional mencatat bahwa al-

Fārābī memiliki lebih dari seratus karya, yang sebagian besar masih

terselamatkan. Beberapa di antara karya-karya ini hanya terdapat dalam

terjemahan bahasa Ibrani atau Latin. Padahal, al-Fārābī menulis seluruh

karyanya dalam bahasa Arab.20 Dari ratusan karya al-Fārābī tersebut – jika

perhitungan ini benar – berarti banyak karyanya yang tidak terselamatkan.

Banyak di antara karya-karya ini yang baru belakangan tersedia dalam edisi

modern, sehingga interpretasi atas tulisan al-Fārābī terus mengalami revisi,

sejauh ini, sebagian besar karya al-Fārābī difokuskan pada logika dan falsafah

bahasa. Karena sesungguhnya, menurut sejumlah penulis biografi Abad

Pertengahan, ketajaman logika al-Fārābī merupakan landasan memasyhurannya.

Al-Fārābī cukup banyak melahirkan karya-karya yang penting, karena ia

memiliki kemampuan menguasai hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan. Al-

Fārābī sangat aktif dan produktif dalam membuat karya-karya yang sangat

berharga, buku-buku tersebut meliputi karangan dan pemikirannya sendiri,

maupun berisi komentar-komentar dan terjemahan dari failasūf yang

mendahuluinya.

Berdasarkan catatan sejarah, al-Fārābī memiliki 117 buah karya, yang

dibagi ke dalam enam bidang ilmu pengetahuan, yaitu 43 buah mengenai manṭiq,

20 Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of

Science (Malaysia-Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992), h. 21.

17

yang meliputi hermeneutik, analytica priora, analytica aposteria, topica,

sophistica elenchi, rhetorica dan poetic. 11 buah mengenai ilmu-ilmu

kepandaian yang mencakup ilmu-ilmu musik, teknik, bintang-bintang

(astronomi), hitungan, dan lain-lain. 10 buah mengenai ilmu alam meliputi

kimia, hewan, kedokteran, dan cakrawala. 11 buah mengenai ilmu ketuhanan

yang diantaranya adalah metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. 14 buah

tentang ilmu politik yang mencakup ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dan 28

buah lainnya, mengenai “Bunga Rampai” termasuk di dalamnya buku Iḥṣā’ al-

‘Ulūm, yang meliputi komentar-komentar terhadap karya-karya failasūf Yunani

dan segala macamnya.21

Di antara beberapa karya al-Fārābī adalah sebagai berikut:

1. Maqālah fī Aghrāḍ al-Ḥakīm fī Kulli Maqālah min al-Kitāb al-Marsūm bi

al-Ḥurūf. Buku ini merupakan verifikasi terhadap buku Aristoteles yang

berjudul Taḥqīq Gharḍ Arisṭūṭālīs fī Kitāb mā Ba‘da al-Ṭabī‘ah.

2. Risālah fī Itsbāt al-Mufāraqāt.

3. Syarḥ Risālah Zainūn al-Kabīr al-Yūnānī.

4. Risālah fī Masā’il Mutafarriqah.

5. Al-Ta‘līqāt.

6. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Ḥakīmain Aflaṭūn wa Arisṭū.

7. Risālah fimā Yajibu Ma‘rifatuhu Qabla Ta‘allum al-Falsafah.

8. Risālah Taḥsīl al-Sa‘ādah.

9. Kitāb Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadīlah.

21 Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinah al-Fadhilah) (Jakarta: Kinta, 1968), h.

23.

18

10. Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah.

11. Kitāb al-Musīqā al-Kabīr.

12. Iḥṣā’ al-‘Ulūm.

13. ‘Uyūn al-Masā’il.

14. Al-Tanbīh fī Sabīl al-Sa‘ādah.

15. Fuṣūṣ al-Ḥikam.

16. Maqālah fī Ma‘ānī al-‘Aql.

17. Tajrīd Risālah al-Da‘āwā al-Qalbiyyah al-Mansūbah li Arisṭū.

18. Al-Nuqat fīmā Yaṣiḥḥu wamā lā Yaṣiḥḥu min Ahkām al-Nujūm.

19. Risālah fī Jawāb Masā’il Su’ila ‘Anhā.

20. Talkhīṣ Nawamīs Aflāṭūn.

Buku al-Fārābī yang bejudul “Iḥṣā’ al-‘Ulūm” merupakan teori keilmuan

dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu bahasa, manṭiq, matematika, fisika,

politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para

penulis lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-Fārābī

mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teori keislaman yang ia

rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni fikih (hukum Islam) dan ilmu kalam

yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.22

Buku-buku karangan al-Fārābī mulai ditulis sewaktu berada di Harran pada

310 H./941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika diperhitungkan

bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti paling lama

waktunya mengarang tidak lebih dari 30 tahun.

22 Sudarsono, Filsafat Islam, h. 32.

19

Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip tersendiri, al-Fārābī juga

sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap karya-karya failasūf Yunani,

seperti al-Burhān (dalil), ‘Ibārah (keterangan), Khitāba (cara berpidato), Al-

Jadal (argumentasi/debat), Qiyās (analogi) dan Manṭiq (logika) yang merupakan

ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Juga ”Kitāb al-Majestī fī-Ihni al-Falak”

yang merupakan ulasan terhadap karya Plotinus dan ”Maqālah fī al-Nafsi”

sebagai ulasan terhadap karya Iskandar al-Daudisī.23

Al-Fārābī memiliki pemahaman yang dalam tentang falsafah Aristoteles.

Terkait ketajaman karya al-Fārābī, diceritakan bahwa Ibnu Sīnā pernah

mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya empat

kali ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari

Metafisika” karya al-Fārābī yang berjudul “Taḥqīq Gharḍ Arisṭūṭālīs fī Kitāb mā

Ba‘da al-Ṭabī‘ah” yang menjelaskan maksud dan tujuan metafisika dari

Aristoteles, barulah ia mengerti bagian yang semula dirasa sulit. Dengan

demikian, al-Fārābī digelari orang dengan al-Mu’alim al-Tsānī (Guru Kedua)

sebagai penerus mendalamnya pemikiran tentang falsafah Aristoteles yang

bergelar al-Mu’alim al-Awwal (Guru Pertama). Seolah tugas Aristoteles dalam

falsafah sudah selesai, maka untuk selanjutnya tugas tersebut diteruskan oleh al-

Fārābī, sehingga ia diberi gelar tersebut.24

C. Al-Fārābī dan Falsafahnya

Falsafah al-Fārābī memiliki karakter yang berbeda dari falsafah lainnya

yaitu ia mengambil ajaran-ajaran para failasūf terdahulu, membangun kembali

dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusunnya

23 A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 127-128. 24 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 27.

20

dengan sistematis dan selaras. Falsafah al-Fārābī memiliki peranan yang penting

dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Berikut

ini adalah beberapa pemikiran falsafah al-Fārābī:

1. Emanasi

Emanasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu emanate, yang berarti berasal,

keluar. Emanasi adalah suatu teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang

mumkin (alam makhluk) dari zat yang wājib al-wujūd (zat yang mesti ada:

Tuhan). Teori ini juga dikenal dengan nama teori “urutan wujud”. Falsafah

emanasi ini muncul pertama kali pada masa puncak terakhir falsafah Yunani,

dengan tokohnya yang terkenal bernama Plotinus, aliran falsafahnya terkenal

dengan nama Neoplatonisme25, yang merupakan sintesis dari aliran-aliran

falsafah sebelumnya.26

Dalam sejarah falsafah Islam muncul seorang tokoh yang berpikir tentang

teori emanasi, yaitu al-Fārābī. Berawal dari rasa penasaran al-Fārābī tentang

bagaimana penciptaan itu terjadi. Ia mencari penjelasan melalui Metafisika

Aristoteles, namun ia cukup kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang

memuaskan di sana, padahal pertanyaan bagaimana dari yang Esa muncul dunia

yang beraneka ini tetap perlu mendapat jawaban.27

25 Neoplatonisme adalah ajaran falsafah yang didirikan oleh Plotinus. Dikatakan

Platonisme, karena inspirasi utama dalam falsafahnya berasal dari pemikiran Plato. Pemikiran

mengenai metafisika menurut Plotinus, Yang Esa adalah sumber sekaligus muara segala sesuatu.

Maksudnya, segala sesuatu berasal dari Yang Esa dan Yang Esa menjadi tujuan segala yang ada.

Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 195-196. 26 Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik

hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2017), Edisi ke 3, h. 8. 27 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas

(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 65.

21

Akhirnya al-Fārābī menemukan jawabannya dalam karya Plotinus, bapak

Neoplatonisme, dalam apa yang kemudian dikenal dengan “teori emanasi” (atau

dalam bahasa Arab disebut nazhariyyah al-faidh). Menurut teori ini, alam

muncul sebagai pelimpahan (emanasi) dari Tuhan Yang Maha Esa, yang

digambarkan sebagai Akal Murni. Alam muncul sebagai konsekuensi logis dari

aktivitas berpikir Tuhan. Dari pemikiran ini, muncullah Akal (Nous), kemudian

jiwa, dan dari jiwa kemudian muncul alam yang beraneka ini.28

Bagi Neoplatonis, akal adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan

dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan

menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan

bentuk. Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia.

dari jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga.

Pada wujud ketiga ini telah mengalami perubahan yang jauh dari sempurna.

Mengingat jasad lebih jauh posisinya dengan Akal (Tuhan). Namun demikian,

hal itu tidak kemudian mempunyai kemiripan dari segala-galanya. Jika akal

mempunyai ide, jiwa memiliki pemahaman, maka jasad memiliki bentuk.29

Al-Fārābī mengadopsi teori emanasi Plotinus di atas dan

menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan ilmiah pada masanya,

sehingga muncullah teori emanasi versi al-Fārābī yang lebih kompleks. Menurut

teorinya, setelah Tuhan, bukan hanya akal, jiwa, dan alam materi yang muncul

sebagaimana yang diajarkan Plotinus, tetapi seluruh akal-akal immaterial.

28 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, h.

66. 29 Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), h.

106.

22

Dengan munculnya akal-akal inilah, maka keanekaan muncul, karena ini objek

pemikiran menjadi ganda. Kalau Tuhan hanya bisa memikirkan satu objek saja

(yaitu diri-Nya saja Yang Esa) sehingga dari-Nya hanya satu objek yang bisa

muncul, maka akal-akal yang melimpah dari Tuhan mempunyai lebih dari satu

objek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya. Dari memikirkan Tuhan muncul akal

berikutnya, sedangkan dari memikirkan dirinya muncullah benda-benda langit

dan seterusnya, sampai pada “akal kesepuluh” (biasa juga disebut Malaikat

Jibril) yang kemudian menghasilkan dunia material ini. Akal kesepuluh atau akal

terakhir ini juga disebut akal aktif.30

Dalam koreksi-koreksi atas apa yang dianggap kekeliruan pemahaman

sebelumnya terhadap Metaphisics-nya Aristoteles, al-Fārābī menegaskan bahwa

ilmu ilahi sebenarnya merupakan bagian penting metafisika, seraya mengakui

bahwa hanya sebagian kecil dari teks Aristoteles dicurahkan untuk

membicarakan topik tersebut. Inilah sebabnya mengapa al-Fārābī menyatakan

pada bagian pengujung karyanya, Falsafah Arisṭūṭālīs, bahwa “kita tidak

mempunyai ilmu metafisika”. Akan tetapi, doktrin utama metafisika

Neoplatonik yang dikenal al-Fārābī adalah teori emanasi, yang titik pusatnya

adalah wujud-wujud Ilahi yang hubungan kausalnya dengan alam duniawi.31

Di sinilah nampak sekali pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran

metafisikanya al-Fārābī, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari Zat

yang Maha Tunggal, Kekal dan Suci melalui pelimpahan (emanasi). Argumen

30 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, h.

66. 31 Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam

(Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 236.

23

al-Fārābī dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini

berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan,

kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd). Argumen lain yang

dijadikan dasar oleh al-Fārābī adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang

sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini

menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang

tunggal dan melimpah sedemikian rupa.32

Teori emanasi yang didukung oleh al-Fārābī dalam karyanya bergantung

pada dua pilar kosmologi geomatrik Ptolemaik (berhubungan dengan

Ptolemaus) dan metafisika ketuhanan. Kerangka acuan emanasi diberikan oleh

kosmologi alam semesta dipandang sebagai serangkaian bola-bola langit

(sphere) konsentris: yang paling luar disebut sebagai langit pertama, bola langit

bintang-bintang tetap, dan bola langit Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus,

Merkurius, dan akhirnya Bulan. Mekanisme emanasi sebagai teori yang

menjelaskan kemunculan alam semesta dari Tuhan diambil dari berbagai

sumber. Dalam premis dasarnya teori ini menunjukkan perbedaan yang radikal

dengan Aristoteles, yang menganggap Tuhan bukan sebab efisien bagi eksistensi

(wujūd) wujud-wujud lain, melainkan hanya sebab-pertama gerak alam semesta.

Namun, yang paling penting, Tuhan dicirikan oleh al-Fārābī sebagai intelek yang

aktifitas utamanya adalah “merenungkan dirinya sendiri”, yang menggemakan

konsepsi Aristoteles menganai aktifitas Tuhan sebagai “berpikir tentang

berpikir”. Aktifitas intelek Tuhanlah yang, dalam pola al-Fārābī, mendasari

32 M. Wiyono, Pemikiran Filsafat al-Fārābī (Jurnal Substantia, Volume 18 Nomor 1, April

2016), h. 72.

24

peran Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai hasil dari perenungan-

dirinya terjadilah pelimpahan atau emanasi (faidh), berupa intelektual kedua dari

Tuhan. Intelek kedua ini, seperti Tuhan, dicirikan oleh aktifitas kontemplasi-diri.

Tetapi di samping itu, intelek kedua ini harus memikirkan wujud Tuhan.

Berdasarkan perenungan atas Tuhan, intelek kedua memunculkan intetek ketiga.

Dan berdasarkan perenungan dirinya, terpancarlah bola langit yang bersesuaian

dengannya, yaitu langit pertama. Al-Fārābī kemudian mengulangi pola emanasi

ganda ini untuk tiap-tiap bola langit dalam kosmologi dan intelektualnya yang

sesuai sampai mencapai jumlah sepuluh intelek selain dari Tuhan.33

Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang satu dan

menghasilkan wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara

mekanis determinis yang melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal

murni berpikir tentang dirinya yang menghasil wujud pertama (al-maujūd al-

awwal) yaitu Tuhan sebagai akal yang berdaya pikir tentang diri-Nya. Dari daya

pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan

akal pertama yang juga punya substansi.34

Tentang “jiwa”, al-Fārābī memberika definisi sama dengan Aristoteles dan

al-Kindī sebelumnya, yaitu kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat

alamiyah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik.35 Di samping

definisinya yang sangat Aristotelian ini, ia juga berorientasi kepada Plato di

mana jiwa manusia adalah substansi rohani yang berdiri sendiri, dan inilah

33 Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 236-

237. 34 M. Wiyono, Pemikiran Filsafat al-Fārābī, h. 72-73. 35 Muhammad Usman Najati, Al-Dirasah al-Nafsiah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin. Terj.

Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 63.

25

substansi manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, manusia terdiri dari

dua unsur: pertama, substansi rohani dari alam amar atau amar Ilāhi (jiwa), dan

kedua, badan dari alam pencipta (khalq) atau alam materi.

Pada dasarnya, al-Fārābī membagi jiwa kepada tiga jenis, yaitu:36

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabati) yang mempunyai tiga daya, yakni: daya

makan (al-quwwah al-ghaziyyah; nutrition), daya pemeliharaan (al-

quwwah al-murabbiyah; preservation), dan daya berkembang (al-quwah al-

muwallidah; reproduction).

2. Jiwa hewani memiliki dua daya, yaitu: daya mengetahui (al-quwwah al-

mudrikah; cognition), dan daya penggerak (al-quwwah al-muharrikah;

motion).

3. Jiwa rasional (al-quwwah al-nāṭiqah, intellection), yang terbagi atas dua

bagian, yaitu: akal praktis (al-aql al-‘amali; practical intellect) dan akal

teoritis (al-‘aql al-nazarī; theoretical intellect). Akal teoritis ini mempunyai

tiga tingkatan yaitu akal potensi, actual, dan mustafād. Akal mustafād

merupakan bagian dari jiwa yang tidak mengalami kerusakan seperti

kerusakan materi, dan dia abadi setelah badan mengelami kehancuran.

Kontak akal mustafād dengan Akal Kesepuluh atau Akal Aktif merupakan

faktor yang membentuk kebahagiaan yang paling agung, dan kebahagiaan

yang paling besar yang dapat dicapai oleh manusia, serta tidak ada

kebahagiaan yang lebih besar drinya. Kebahagiaan yang dimaksud al-Fārābī

tidak jauh berbeda dengan ekstasi pada Neoplatonisme. Kebahagiaan adalah

36 Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik

hingga Indonesia Kontemporer, h. 9-10.

26

pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia, dan itulah tingkat akal

mustafād. Ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari Akal Aktif.

2. Falsafah Kenabian

Al-Fārābī adalah failasūf Muslim pertama yang mengemukakan falsafah

kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh failasūf

lain sesudahnya. Falsafahnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang

erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika. Seperti yang akan dijelaskan

pada bagian falsafah praktis menurut al-Fārābī.37

Dalam falsafah Kenabian, al-Fārābī erat kaitannya antara Nabi dan failasūf

dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan ‘aql fa’āl. Motif

lahirnya falsafah al-Fārābī ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap

eksistensi kenabian oleh Aḥmad ibn Isḥāq al-Ruwāndī (w. akhir abad III H.)38

dan Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariya al-Rāzī (864-925 M)39. Di mana

menurut mereka, para failasūf berkemampuan untuk mengadakan komunikasi

dengan ‘aql fa’āl.40 Ahmad ibn al- Ruwāndī, tokoh yang berkebangsaan Yahudi

ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada

umumnya dan kenabian Nabi Muhammad SAW khususnya.

37 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), h. 81. 38 Abu al-Ḥasan Aḥmad bin Yahya bin Isḥāq al-Ruwāndī, umumnya dikenal sebagai Ibn

al-Ruwāndī merupakan skeptis awal Islam dan pengkritik agama pada umumnya. Ia lahir di Greater

Khorasan, sekarang terletak di barat laut Afghanistan, sekitar tahun 815 M.

https://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_al-Rawandi. diakses pada 09 Mei 2019, 20.45 WIB. 39 al-Rāzī – dokter, failasūf, kimiawan, dan pemikir bebas, dikenal oleh orang Latin sebagai

Rhazes – dilahirkan, sebagaimana diisyaratkan oleh namanya, di Rayy, dekat Teheran sekarang.

Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 243. 40 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999), h. 44.

27

Menurut al-Fārābī, manusia dapat berhubungan dengan ‘aql fa’āl melalui

dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi

(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang

dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan.

Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi. Perbedaan antara kedua

cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.41

Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘aql fa’āl itu adalah Jibril, maka yang

dapat berhubungan secara langsung hanyalah para Nabi. Manusia sekelas

failasūf pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika

menggunakan logika sederhana bahwa Nabi adalah failasūf, dan failasūf bukan

Nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara Nabi dan failasūf sangat berbeda,

yakni failasūf berada di bawah Nabi.42

Menurut al-Fārābī, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali,

objek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapat

berhubungan dengan ‘aql fa’āl. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai

taraf kesempurnaan, tidak ada halangan baginya menerima peristiwa-peristiwa

sekarang atau mendatang dari ‘aql fa’āl, pada waktu bangun. Dengan adanya

penerimaan demikian, maka ia dapat nubuwwah terhadap perkara-perkara

ketuhanan.43

Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, antara failasūf dan Nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, al-

41 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 44. 42 Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi dan Filsafat Kenabian (Jurnal Kalimah, Vol. 12,

No. 1, Maret 2014), h. 131. 43 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, h. 81.

28

Fārābī menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan

pengetahuan falsafah sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari

sumber yang sama, yakni ‘aql fa’āl, (Jibril).

3. Falsafah Politik

Al-Fārābī adalah failasūf Islam yang paling banyak membicarakan masalah

kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang berkecipung

langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia adalah

makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat,

karena ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain.44

Adapun tujuan hidup bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi

kebutuhan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan

memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materiil tetapi juga

spiritual, tidak saja di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Pendapat al-Fārābī ini

memperlihatkakn pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam di

samping pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik

dengan moral, akhlak atau budi pekerti. Dari kecenderungan hidup

bermasyarakat inilah lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan

negara.45

Kesatuan antara ilmu-ilmu teoritis metafisika dan psikologi yang telah

dibangun oleh al-Fārābī juga tercermin dalam falsafah politiknya yang, bersama

logika, merupakan fokus utama karya-karya falsafahnya. Sementara bagian lain

44 Al-Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madinah al-Fāḍilah, h. 96. 45 Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik

hingga Indonesia Kontemporer, h. 11.

29

dari falsafah al-Fārābī berkarakter Aristotelian, yang dilengkapi dengan unsur-

unsur Neoplatonik. Falsafah politik al-Fārābī sangat Platonik, dan

mencerminkan cara ideal falsafah politik Plato yang didasarkan pada landasan-

landasan metafisika. Karena itu, dua karya utama al-Fārābī dalam falsafah

politik yaitu, al-Siyāsah al-Madaniyyah (Politik Kekotaan, Politik Kenegaraan)

dan Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota atau

Negara Utama). Meskipun al-Fārābī mencurahlan sebagian perhatiannya pada

karya-karya ini dan karya-karya lainnya tentang falsafah praktis hingga masalah-

masalah etis, seperti sifat kebijaksanaan praktis, kebajikan dan pertimbangan

moral, perhatian utamanya tetaplah falsafah politik, khususnya mengenai syarat-

syarat negara ideal dan penguasanya, serta masalah hubungan antara falsafah

dan agama dalam negara semacam itu.46

Di samping karya-karya tersebut, al-Fārābī juga membahas ilmu politik dan

falsafah politik (‘ilm al-madanī) dalam kitab Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Pembahasan kedua

ilmu tersebut berada di bab kelima bersama dengan pembahasan ilmu fikih (‘ilm

al-fiqh) dan ilmu kalam (‘ilm al-kalām). Menurut al-Fārābī, ilmu politik

membahasa hukum-hukum dan berbagai macam tindakan yang direncanakan

(al-af’āl al-irādiyyah), alami, tindakan moral, kecenderungan baik, tingkatan-

tingkatan karakter, dan bagaimana tindakan-tindakan tersebut dapat terjadi. Ilmu

ini juga membahas tujuan dari perbuatan tersebut, bagaimana mereka seharusnya

ada pada manusia, bagaimana cara mengaturnya di dalam dirinya menurut cara

46 Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam

(Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 238.

30

yang seharusnya ada di dalam dirinya, dan bagaimana cara untuk menjaga

tindakan-tindakan tersebut.47

Di dalam kitab yang lain, al-Fārābī menyebutkan bahwa ilmu politik adalah

ilmu tentang manusia dan ilmu yang menyelidiki bagaimana cara manusia

memperoleh kebahagiaan. Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang

segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam memperoleh kebaikan,

keutamaan, dan kesempurnaan. Manusia harus mampu membedakan tiga elemen

tersebut dari hal-hal yang dapat menghalangi dalam memperoleh keutamaan. Ia

harus mengetahui apa dan bagaimana masing-masing dari mereka, dari manakah

dan untuk apa, sehingga ia benar-benar diketahui dan dapat dibedakan dengan

yang lain.48

Menurut Ibrāhīm ‘Atī, dalam bukunya Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah:

Namūḍaj al-Fārābī, mengatakan bahwa tujuan politik dalam falsafah al-Fārābī

adalah cara untuk mencapai kebahagiaan (al-wusūl ilā al-sa’ādah) melalui

pendidikan dan perbaikan akhlak, “Anna al-ghāyah al-asāsiyyah lifalsafah al-

Fārābī hiya al-wusūl ilā al-sa’ādah ‘an ṭarīqi islāh al-akhlāq wa tahdzībihā.”

Oleh karena itu, al-Fārābī memberi perhatian yang lebih terhadap pendidikan

akhlak melalui falsafah dan ilmu-ilmu yang perlu dipelajari sebelum falsafah.49

Melalui karya tersebut, al-Fārābī pada dasarnya sedang menjelaskan

struktur alam semesta atau makrokosmos dan juga manusia atau mikrokosmos,

47 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 79. Charles E.

Butterworth, Al-Fārābī, the Political Writings: Selected Aphorism and Other Text (London: Cornell

University Press, 2001), h. 76. 48 Muhsin Mahdi, Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles (New York: The Free

Press of Glanco, 1962), h. 24. 49 Ibrāhīm ‘Atī, Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah: Namūḍaj al-Fārābī (Alexandria: al-

Hay’an al-Misyriyyah al-Āmah li-Alkitāb, 1993), 241-242.

31

dari mana alam berasal, bagaimana hubungan antara keduanya, serta bagaimana

manusia memeroleh kebahagiaan. Struktur makrokosmos dan mikrokosmos

iniah serta bagaimana proses untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan,

analog dengan bagaimana seharusnya masyarakat, komunitas dan kota dibentuk

dan berfungsi, serta apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk

mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.50

Penjelasan-penjelasan tentang beragam ilmu politik yang memiliki tujuan

untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan secara bersama-sama,

selanjutnya menjadi landasan bagi al-Fārābī untuk menformulasikan dan

menjelaskan tentang pentingnya manusia untuk berkumpul, bersosialisasi,

berinteraksi, dan berkomunikasi. Tesis al-Fārābī adalah untuk dapat menjaga diri

mereka sendiri dan mencapai kebahagiaan, maka manusia secara alami

membutuhkan banyak hal yang tidak mungkin dicapai oleh dirinya sendiri.51

Berdasarkan pada kenyataan itulah, manusia tidak mungkin akan mencapai

kebahagiaan dan kesempurnaan yang merupakan kecenderungan dasar setiap

individu, kecuali mereka bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan

tertentu dari masing-masing individu. Dengan demikian, individu-individu

tersebut kemudian berkumpul menjadi satu komunitas besar dan berdiam di

suatu wilayah di muka bumi ini.52

Walaupun demikian, menurut al-Fārābī, yang paling baik dan paling baik

dan paling utama adalah komunitas yang ada di sebuah kota, bukan komunitas

50 Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 105. 51 Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah, di dalam Rāsa’il al-Fārābī (Haydarabad:

Dār al-Ma’ārif, 1926), h. 39. 52 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 228-229.

32

yang lebih kecil dari sebuah kota, seperti desa, kampung, gang, dan keluarga.53

Alasannya adalah pada masyarakat kota inilah kerja sama untuk mencapai

kebaikan dan kebahagiaan dapat dilaksanakan. Ketika orang-orang atau

masyarakat yang ada dalam sebuah kota ini saling bekerja sama untuk mencapai

kebaikan, maka dapat dipastikan kebahagiaan dapat diperoleh. Kota yang seperti

inilah yang kemudian al-Fārābī menyebutnya dengan sebutan kota utama (al-

madīnah al-fāḍilah). Jika kota-kota yang mencapai tingkat kota utama dan

secara bersama-sama bekerja sama dengan kota-kota lain yang ada dalam sebuah

negara, maka negara tersebut akan sampai pada sebutan negara utama (the

exelent nation). Di dalam negara seperti ini, masyarakatnya bekerja sama dan

saling membantu untuk mencapai kebahagiaan, yang menjadi tujuan akhir dari

tujuan hidup setiap individu, masyarakat, kota, dan negara.54

Lawan dari kota utama, menurut al-Fārābī, adalah kota terbelakang (al-

madīnah al-jāhilah) dan rusak (al-fāsiqah). Kota yang terbelakang adalah kota

yang masyarakatnya tidak mengetahui kebahagiaan sejati dan kebahagiaan sejati

tersebut tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Bahkan, jika mereka diberi

tahu, mereka tidak dapat memahami dan tidak percaya tentangnya. Kebahagiaan

yang mereka pahami dan ketahui hanyalah sesuatu yang bersifat parsial, yaitu

kebaikan dan kebahagiaan yang hanya berkaitan dengan tujuan hidup di dunia

ini, seperti kebugaran tubuh, memiliki banyak harta, bersenang-senang dengan

kenikmatan indriawi, kebebasan untuk mengikuti hasrat orang lain, senang jika

dihormati, dan bangga jika diagung-agungkan. Kebahagiaan paling sempurna

53 Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah, h. 39. 54 Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 107-108.

33

dan tertinggi bagi masyarakat yang berada di kota terbelakang adalah

keseluruhan hal tersebut.55

Bentuk kota terbelakang terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama, disebut

kota niscaya (ḍarūriyyah). Masyarakat kota ini adalah mereka yang hanya

berusaha dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti

makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan seks.

Kedua, disebut kota jahat (nadzālah), yaitu sebuah kota di mana tujuan

hidup masyarakatnya adalah bekerja sama hanya untuk mendapatkan kekayaan

harta benda. Pengumpulan kekayaan tersebut, menurut al-Fārābī, bukan untuk

dibelanjakan pada sesuatu yang lain, melainkan dianggap sebagai tujuan hidup

di dunia ini.

Ketiga, disebut kota rendah (al-khassah) dan hina (suqūth). Kota ini

merupakan sebuah kota yang dihuni oleh masyarakat yang menjadikan

kesenangan dan kenikmatan yang berkaitan dengan makanan, minuman,

hubungan seks, dan sejumlah kesenangan indriawi dan imajinasi sebagai tujuan

hidup mereka.56

Keempat, kota gila kehormatan (karāmah), yaitu sebuah kota di mana tujuan

hidup masyarakatnya adalah mereka yang bekerja sama untuk memperoleh

kehormatan, ketenaran, dan kemasyhuran di tengah-tengah masyarakat. Mereka

selalu mengharap untuk dipuji dan diperlakukan dengan rasa hormat, baik

dengan kata-kata maupun perbuatan. Mereka selalu berusaha untuk memperoleh

55 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 254-255. 56 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 254-255.

34

kemuliaan dan keindahan, baik menurut kecamata orang lain maupun menurut

mereka sendiri.

Kelima, disebut kota despotik (al-taghallub), yaitu sebuah kota di mana

masyarakatnya memiliki kecenderungan untuk mengalahkan yang lain untuk

menghalangi yang lain dalam meraih keberhasilan atau kemenangan. Tujuan

hidup masyarakat di kota tersebut hanyalah kenikmatan dan kesenangan yang

diperoleh melalui kekuasaan.

Timgkat terakhir, keenam, disebut kota demokratis (jamā’iyyah). Tujuan

utama dari masyarakat yang berdiam di kota demokratis adalah memperoleh

kebebasan. Masing-masing melakukan apa yang mereka inginkan tanpa

terkendali dan tanpa aturan.57

Adapun yang dimaksud kota rusak (al-madīnah al-fāsiqah) adalah kota

yang masyarakatnya sama dengan kota utama di satu sisi, namun di sisi lain

berbeda. Pada tingkat pengetahuan, pemahaman, dan kepercayaan, sama dengan

kota utama. Mereka memahami kebahagiaan tertinggi, percaya kepada Tuhan

Yang Maha Esa, mengerti tentang eksistensi tatanan kedua, paham mengenai

aktif intelek, dan semua yang diketahui serta diyakini oleh masyarakat kota

utama. Namun, tindakan dan perbuatan masyarakatnya sama dengan tindakan

dan perbuatan masyarakat terbelakang (al-madīnah al-jāhilah).58 Kota yang

rusak adalah kota yang bersifat primitif, yang perhatian rakyatnya hanya terbatas

57 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 256-257. 58 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 257-258.

35

pada pemenuhan kebutuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-

lain.59

Pemikiran politik al-Fārābī ini, menurut Muhsin Mahdi dalam bukunya Al-

Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles, bahwa al-Fārābī memiliki fondasi

dan akar pada pencarian dan penyandaran kebenaran kepada Tuhan kaitannya

dengan semua realitas, alam, dan manusia.60 Ilmu politik, dengan bantuan

metafisika, dalam perspektif al-Fārābī menunjukkan jalan pendakian bertahap

dari persepsi dunia fisik dan prinsip-prinsipnya menuju pada realitas spiritual,

yaitu prinsip segala sesuatu yang ada. Ilmu ini mengajarkan manusia sebagai

anggota masyarakat untuk membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik

mengenai tujuan akhir hidupnya. Inilah salah satu alasan dan penjelasan

mengapa dari sembilan belas bab dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, harus dimulai

dengan penjelasan panjang lebar tentang yang Satu, Tuhan, diikuti dengan

kosmologi, dan dilanjutkan dengan eksposisi dari falsafah, dan mengapa hanya

sembilan bab terakhir yang berkaitan dengan masalah politik dalam arti yang

ketat.61

4. Logika

Al-Fārābī merupakan tokoh falsafah Islam, karena beliau peletak

sesungguhnya dasar piramida falsafah Islam, sebab al-Fārābī adalah penerus

tradisi intelektual khususnya di bidang logika. Dalam bukunya Iḥṣā’ al-‘Ulūm

(Katalog Ilmu Pengetahuan) al-Fārābī mengatakan bahwa logika pada

59 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 51. 60 Muhsin Mahdi, Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles, h. 24. 61 Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 112.

36

umumnya memberikan kaidah-kaidah yang jika diikuti dapat meluruskan pikiran

dan membimbing manusia pada jalan yang tepat menuju kebenaran, dan

menjauhkan diri dari terjebak ke dalam jurang kesalahan.62 Dari penjelasan

tersebut, logika merupakan salah satu unsur yang penting bagi manusia untuk

berpikir. Karena berpikir menggunakan logika akan memberikan sebuah kaidah-

kaidah yang akan meluruskan pemahaman dan pikiran manusia, serta

membimbing manusia pada jalan kebenaran. Berpikir menggunakan logika juga

dapat menghidari dan menjauhkan manusia pada kesalahan yang diakibatkan

oleh berpikir manusia itu sendiri.

Al-Fārābī dengan jelas menerangkan bahwa logika akan membantu kita

dalam membedakan yang benar dari yang salah, dan menunjukkan cara berpikir

yang benar, atau membantu kita dalam membimbing orang lain kearah itu.63

Untuk mengetahui mana yang benar dan salah, berpikir secara logika sangat

dianjurkan, dimana logika bisa menuntun atau membimbing diri dan orang lain

kearah kebenaran yang semestinya benar. Intinya, berpikir dengan logika

sebagai jalan untuk mengantarkan manusia pada kebenaran subyektif dan

menuju pada kebenaran obyektif.

Dalam falsafah Aristoteles, al-Fārābī mencoba untuk memberikan

penjelasan yang komprehensif tentang pembagian logika Aristoteles dan pokok

pembahasan dari berbagai tulisannya, kurang lebih sama dalam cara yang dia

lakukan dalam falsafah Plato.64 Pada bagian falsafah yang mencerminkan

62 Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta:

Paramadina, 2000), hal. 62. 63 Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, h. 62. 64 Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism (England, Oneworld Oxford,

2002), h. 25.

37

pengaruh dari silabus Aristoteles, al-Fārābī mengklasifikasikan secara

menyeluruh dan sistematis. Hal ini dimulai dengan logika, yang al-Fārābī

difinisikan sebagai seni yang menetapkan hukum-hukum umum yang

meluruskan pikiran dan membimbing manusia menuju jalan kebenaran dan

kebenaran dalam hal tersebut, di mana ia bertanggung jawab untuk kesalahan.65

Al-Fārābī membagi Organon Aristoteles pada delapan pembahasan:66 (1)

The Categories (Maqūlat, Qātiguriās), mengupas tentang pembagian ungkapan-

ungkapan linguistik menjadi ungkapan non-proposisional. (2) On Intepretation

(‘Ībārah, Bāri Ermeniās: Greek, Peri Hermeias), berisi pembahasan tentang

bentuk-bentuk baku proposisi mantiki. (3) Prior Analytics (Qiyās, Analytica

Priora), membicarakan bentuk-bentuk baku silogisme yang dipergunakan orang

dalam berhujjah atau berargumen. (4) Posterior Analytics (Kitāb al-Burhān,

Analytica Posteriora), yang menjelaskan tentang aturan dalam argumen

demonstratif tentang hakikat ilmu pengetahuan ilmiah. (5) Dialectic (Mawādi

Jadaliyah, Topica), menelaah tentang hukum-hukum perbantahan secara

dealektik. (6) Sophistics (Mughālaṭah, Sophistica), berisi kupasan yang rumit

tentang argumen-argumen yang paradoks. (7) Rhetoric (Khatābah, Rhetorica),

yang berkaitan dengan argumen retoris. (8) Poetics (Kitāb al-Syi‘ir, Poetica),

yang berkaitan dengan wacana puitis.

65 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs (Beirut: Dār Majallat Syia, 1961), h. 71. 66 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 72-83, dan Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 44-46, dan

Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism, h. 41-42, dan Richard McKeon, (ed.),

Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library, 1947), h. 2.

38

D. Peran dan Pengaruh

Gambaran yang muncul dari berbagai gambaran karya al-Fārābī sangat

menarik. Capaian-capaian logika dan epistemologi al-Fārābī, yang hanya baru-

baru ini terkaji, mempunyai suatu gema yang sangat modern. Minatnya terhadap

analisis kebahasaan yang cermat sebagai alat sangat penting bagi ketelitian dan

perluasan serta penajamannya terhadap standar-standar yang digunakan dalam

mengukur dan menilai pengetahuan, mempunyai pertalian kuat dengan

kecenderungan-kecenderungan kontemporer dalam falsafah, terutama di dunia

Anglo-Amerika. Akan tetapi, pada al-Fārābī, minat-minat ini sebagian besar

merupakan hasil dari pelbagai kondisi historis yang khas yang mewadahinya

praktik falsafah sebagaimana ajaran-ajaran politik dan metafisikanya. Semua

minat tersebut mencerminkan perlunya menghadapi secara serius klaim yang

kadang-kadang berlawanan antara falsafah dan agama, dan mencari “ceruk” bagi

falsafah dan wacananya dalam lingkungan Arab dan Islam. Minat al-Fārābī

dalam tipe-tipe rasionalitas, wacana dan argumentasi, dan pada hubungan antara

bahasa yang umum dan bahasa falsafah, merupakan bagian integral dari

jawabannya terhadap tantangan historis ini, meskipun secara filosofis tetap

penting tanpa perlu dikaitkan dengan hal lain.67

Kepekaan linguistik yang ditunjukkan oleh al-Fārābī, kepeduliannya untuk

mengomunikasikan falsafah kepada ragam khalayak yang luas, dan usaha-

usahanya yang hati-hati untuk membaurkan tradisi falsafah Yunani ke dalam

konteks Islam, semuanya merupakan tonggak-tonggak tulisan al-Fārābī yang

67 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 241.

39

membantu menjelaskan penghargaan tinggi yang diberikan kepadanya oleh para

failasūf terkemudian dalam tradisi Islam, Yahudi dan, Kristen. Kita melihat

betapa besarnya rasa utang budi yang secara terbuka diakui Ibn Sīnā kepada al-

Fārābī dalam metafisika. Ibn Rusyd dan para failasūf Andalusia sejawatnya

meyakini al-Fārābī sebagai otoritas kunci, terutama dalam logika, psikologi, dan

falsafah politik. Dalam tradisi falsafah Yunani, Moses Maimonides memberi

penghargaan paling tinggi di antara para pendahulunya kepada al-Fārābī, sekali

lagi, khususnya dalam bidang logika.68

Menurut penulis sendiri, berkenaan dengan karya-karya dalam bidang

logika, seseorang semestinya hanya cukup mengkaji karya-karya al-Fārābī.

Semua karyanya istimewa tanpa cacat. Orang seharusnya mempelajari dan

memahaminya. Karena ia orang besar. Di Barat, meskipun karya-karya al-Fārābī

kurang diterjemahkan secara luas seperti karya-karya Ibn Sīnā69 dan Ibn

Rusyd70, karya-karya al-Fārābī dalam bidang logika sangat penting pada awal

transmisi pemikiran Aristoteles, dan memberi para pemikir lainnya pengetahuan

awal mengenai kekayaan bahan falsafah yang baru menyusul kemudian.

Falsafah al-Fārābī mempunyai karakter yang berbeda dari falsafah lainnya

yaitu mengambil ajaran-ajaran para failasūf terdahulu, membangun kembali

dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusun

sedemikian sistematis dan selaras. Al-Fārābī adalah seorang yang logis baik

68 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 242. 69 Ibn Sīnā atau Avicenna, juga dikenal sebagai al-Syaikh al-Ra’īs, lahir di Afshanah (desa

kecil dekat Bukhara, Ibu Kota Dinasti Sāmāniyyah), tempat ayahnya ‘Abd Allāh, yang berasal dari

Balkh, bertemu dan menikah dengan Sitārah. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,

Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 285. 70 Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Rusyd al-ḥafīd (sang cucu) lahir di Kordoba

pada 520 H/1126 M, tahun kematian kakeknya. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,

Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 415.

40

dalam pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan, dan

penalarannya. Falsafahnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang

keliru dan mungkin juga berisi hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu

pengetahuan modern, tetapi ia mempunyai peranan penting dan pengaruh yang

besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya.

Dalam kajian falsafah Islam, nama failasūf Muslim al-Fārābī (Latin:

Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena dapat

“mengawinkan” antara falsafah dan agama, melainkan juga karena prestasinya

dalam menjelaskan dan mengulas-ulang pandangan Aristoteles. Karena itu, ia

mendapat gelar istimewa sebagai al-Mu‘allim al-Tsānī (Guru Kedua), karena ia

merupakan orang pertama yang memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan

Arab – sebagaimana Aristoteles mendapat predikat “Guru Pertama” karena ia

orang pertama yang menemukan ilmu logika. Sehingga oleh McDonald,

sebagaimana dikutip oleh M. Saeed dalam bukunya Islamic Philosophy,

menyebutnya sebagai “Piramid Falsafah Muslim”.71

Selain hal di atas, al-Fārābī telah mencoba untuk mengganti ilmu falsafah

asing dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab asli (indigenous Arabic

words), dan kata-kata Persia sudah digunakan sejak awal di tanah Arab,

dibanding kata-kata Yunani (Greek). Seperti kata jawhar (substansi) berasal dari

Persia, namun karena sudah terjadi tradisi saling-pinjam istilah antara Persia dan

Arab, sehingga kata itu tidak asing bagi orang-orang Arab sebagaimana juga

71 M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: The Octagon Press, 1982), h. 57.

41

yang terjadi pada kata Yunani (Greek). Ringkasnya, usaha-usaha al-Fārābī

adalah untuk “mengakrabkan” kosa-kata falsafah Islam.72

Karya-karya al-Fārābī beredar di Timur dan Barat pada abad 10 dan 11 M,

sebagaimana terlihat pada terjemahannya ke bahasa Yunani dan Latin hingga

mempengaruhi cakrawala pemikiran sarjana Yahudi dan Kristen. Karya al-

Fārābī juga diterjemahkan ke bahasa Eropa modern, sehingga beberapa failasūf

Barat terpengaruh oleh aroma falsafahnya. Misalnya Albert the Great73 dan

Thomas Aquinas74 yang acap kali mengutip pemikiran al-Fārābī dan

menyamakannya dengan Spencer75 dan Rousseou76. Dalam hal metode deduktif,

ia disamakan dengan Spinoza77. Pemikiran falsafah al-Fārābī menjadi dasar

pijakan Ibn Sīnā, yaitu Ontologi, metafisika teologis, konsep kosmologi yang

berkaitan dengan teori emanasi, jiwa rasional, dan falsafah politik.78

72 Kiki Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy: The Limits of Word,

(London and New York: Routledge Curzon, 2003), h. 32. 73 Albert the Great lahir dekat Ulm sekitar tahun 1200 M. Pendidikan pertama ia belajar

adalah Padua, di mana ia ikut Dominican Order sekitar tahun 1220. Dia pergi ke Jerman untuk

belajar teologi dan pada tahun 1245 menjadi guru besar Jerman pertama di Universitas Paris.

Thomas Aquinas merupakan salah satu murid Albert di Paris. Arthur Stephen McGrade, Ethics and

Political Philosophy (United States of America: Cambridge University Press, 2001), volume 2, h.

12. 74 Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dan meninggal di Lyons

pada tahun 1274. Ia adalah putra dari Pangeran Aquino kalangan bangsawan terkemuka. Ia menjadi

anggota Dominican Order kemudian pergi ke Cologne untuk menjadi murid Albertus Magnus

(Albert the Great) yang terkenal sebagai ahli Aristotelian. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar

Sejarah Filsafat Barat, h. 212. 75 Herbert Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April 1820 dan meninggal di Brighton 8

Desember 1903 (pada umur 83 tahun) adalah seorang failasūf Inggris dan seorang pemikir teori

liberal klasik terkemuka. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta:

Kencana, 2007), h. 52. 76 Jean Jacques Rousseau merupakan seorang tokoh failasūf besar, penulis dan komposer

pada Abad Pencerahan. Ia lahir di Jenewa, Swiss, 28 Juni 1712 dan meninggal di Ermenonville,

Oise, Prancis, 2 Juli 1778 pada umur 66 tahun. https://id.wikipedia.org/wiki/Jean-

Jacques_Rousseau. diakses pada 12 Mei 2019, 07.30 WIB. 77 Baruch De Spinoza lahir di Amsterdam pada 24 November 1632. Ia berasal dari

masyarakat yang menganut agama Yahudi, yang melarikan diri dari dari Spanyol ke Amsterdam

(Belanda) akibat konflik keagamaan. Ayahnya adalah seorang pedagang yang kaya raya. Masykur

Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 244. 78 Ian Richard Netton, Allah Transcendent (Suevey: Curson Press, 1994), h. 114.

42

Al-Fārābī yang dikenal sebagai failasūf Islam terbesar, memiliki keahlian

dalam banyak bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan

menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Sehingga failasūf yang

datang sesudahnya, seperti Ibn Sīnā (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu

Rusyd (520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas

sistem falsafahnya. Pandangannya yang demikian mengenai falsafah, terbukti

dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan

Aristoteles lewat risalahnya al-Jam’u baina Ra’yay al-Ḥakimain Aflaṭūn wa

Arisṭū.79

Pada Abad Pertengahan, al-Fārābī sangat dikenal sehingga orang-orang

Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan atau risalah-risalahnya

yang disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih

tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.80

79 Sujatmoko, Tujuh Tokoh Filsafat Dunia (Sukoharjo: Penembahan Senopati, 2015), h. 59. 80 http://eliamonikasofyan.blogspot.com/2016/09/al-farabi-filsafat-islam.html. diakses

pada 12 Mei 2019, 07.00 WIB.

43

BAB III

LOGIKA DAN PERKEMBANGANNYA

A. Definisi Logika

Logika, yang disebut juga dengan istilah “manṭiq”,1 diturunkan dari kata

sifat “logike”, bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda “logos”,

yang berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran.2 M. Taib

Thahir Abdul Mu’in dalam bukunya Ilmu Manṭiq juga sepakat, bahwa logika

berasal dari bahasa Yunani “logos”. Namun ia mengartikannya dengan kata dan

pikiran yang benar.3 Ini membuktikan bahwa ternyata ada hubungan erat antara

pikiran dan kata atau perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa (kata

atau perkataan).

Logika merupakan cabang falsafah yang bersifat praktis berpangkal pada

penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar falsafah dan sebagai sarana ilmu.

Dengan fungsi sebagai dasar falsafah dan sarana ilmu karena logika merupakan

“jembatan penghubung” antara falsafah dan ilmu, yang secara terminologis

logika didefinisikan sebagai teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan

pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian

ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan

pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus

juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.

1 Manṭiq adalah bahasa Arab, berasal dari akar kata naṭaqa, artinya berpikir. Nāṭiqun, orang

yang berpikir, manṭūqun, yang dipikirkan, manṭīqun alat berpikir. 2 Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 26. 3 M. Taib Thahir Abdul Mu’in, ‘Ilmu Manṭiq (Jakarta: Wijaya, 1993), h. 16.

44

Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang

dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk

himpunan. Sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai

keluasan. Dengan dasar himpunan, karena semua unsur penalaran dalam logika

pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan

pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan

tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.

Penalaran dalam fungsinya sebagai kegiatan berpikir tentunya memiliki

karakteristik atau ciri-ciri tertentu. Pertama, adanya pola berpikir yang secara

luas (logis), hal inilah yang sering disebut sebagai logika. Selanjutnya dapat

dikatakan bahwa setiap usaha penalaran mempunyai logikanya tersendiri karena

ia merupakan sebuah proses berpikir.4 Sehingga berpikir secara logis dapat

dimaknai sebagai suatu pola, dan ketentuan tertentu yang digunakan dalam

proses berpikir. Maka dari itu sebuah kerangka logika dalam satu hal tertentu

sangat mungkin dianggap tidak logis jika ditinjau dari kerangka lainnya. Hal

inilah yang menimbulkan adanya ketidakkonsistenan dalam menggunakan pola

pikir, yang akhirnya melahirkan beberapa motode pendekatan yang bermacam-

macam. Kedua, penalaran harus bersifat analisis, dengan maksud ia merupakan

pencerminan dari suatu proses berpikir yang bersandar pada suatu analisa dan

kerangka berpikir tertentu, dengan logika sebagai pijakannya. Secara

sederhananya poin kedua ini merupakan sebuah proses menganalisa dengan

logika ilmiah sebagai pijakannya. Yang mana analisa sendiri adalah suatu

kegiatan berpikir dengan langkah-langkah tertentu. Sehingga kegiatan berpikir

4 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar

Harapan, 1985), h. 58.

45

tidak semuanya berlandaskan pada penalaran. Maka dari itu, berpikir dapat

dibedakan mana yang menggunakan dasar logika dan analisa, serta mana yang

tanpa menggunakan penalaran seperti menggunakan perasaan, intuisi, ataupun

hal lainnya. Karena hal-hal tersebut bersifat non-analistik, yang tidak

mendasarkan diri pada suatu pola berpikir tertentu.5

Lapangan pembahasan (objek studi) logika adalah asas-asas yang

menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat, dan mencari dalil-dalil untuk

menghasilkan ilmu pengetahuan secara benar. Agar dapat berpikir lurus, tepat,

dan teratur, maka logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-

hukum yang harus ditepati.6

Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus, tepat dan sah.

Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan

suatu keterampilan (skill) untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam

praktik. Inilah sebabnya mengapa logika disebut falsafah yang praktis.

Berpikir adalah objek material logika. Yang dimaksudkan berpikir di sini

adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia dapat

“mengolah” dan “mengerjakan” pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan

demikian, ia dapat memperoleh kebenaran. “Pengolahan” dan “pengerjaan” ini

terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta

menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya. Dalam

logika, berpikir dipandang dari sudut kelurusannya dan ketepatnnya. Karena itu

berpikir lurus, tepat merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut

5 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 52-53. 6 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik: Wawasan Dasar, Keilmuan, dan

Falsafati (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 5.

46

lurus, tepat, apabila pemikiran tersebut sesuai dengan hukum-hukum serta

aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika.7 Kalau peraturan-peraturan

itu ditepati, maka kesalahan dan kesesatan berpikir dapat dihindarkan. Dengan

demikian, kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan selamat.

Banyak definisi mengenai logika sebagai bidang kajian, bahkan masih

sering menjadi perdebatan di antara para ahli, seperti yang dinyatakan Mahmud

Yunus dalam Logika Suatu Pengantar. Ia sendiri memberikan definisi logika

sebagai kajian tentang “argumentasi” dan “pembuktian”. Dalam hal ini, yang

dimaksud dengan argumentasi bukanlah suatu perdebatan, melainkan suatu

contoh penalaran yang disertai satu atau lebih pernyataan sebagai pendukung,

alasan, pertimbangan, atau bukti untuk pernyataan yang lain. Pernyataan yang

didukung tersebut merupakan “kesimpulan” dari argumentasi, sedangkan

pernyataan yang mendukung merupakan “premis” dari argumentasi.8

Mempelajari argumentasi sangatlah penting sebab argumentasi merupakan

cara untuk mendukung klaim tentang suatu kebenaran. Hal yang menarik adalah

bahwa suatu argumentasi menetapkan kebenaran kesimpulan yang tidak dapat

diingkari, tetapi dengan logika seseorang dipaksa untuk menilai pernyataan

tersebut. Argumentasi menetapkan kebenaran suatu kesimpulan relatif terhadap

premis-premis dan aturan-aturan tentang inferensi (cara menarik kesimpulan).

Kajian logika tidak mempedulikan apakah argumentasi akan berhasil secara

psikologis dalam mengubah pikiran atau meyakinkan orang lain. Untuk menilai

suatu argumentasi, hanya dua aspek atau sifat dari argumentasi tersebut yang

7 Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 7-8. 8 Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 3.

47

perlu diperhatikan, yaitu kebenaran premis dan keabsahan (validitas) penalaran

yang mengarah pada kesimpulan. Suatu argumentasi adalah valid jika kebenaran

premisnya menjamin kebenaran kesimpulannya; atau kesimpulan adalah benar

atas asumsi bahwa semua premisnya benar; atau jika mustahil kesimpulannya

salah bersamaan dengan semua premis benar; atau jika kesimpulannya dapat

ditarik dari premis-premis sesuai dengan aturan tertentu yang berlaku.9

Perhatikan bahwa pengertian validitas, yaitu valid dan tidak valid, hanya

tepat digunakan untuk menilai argumentasi. Sedangkan nilai kebenaran, yaitu

benar dan salah, hanya digunakan untuk menilai pernyataan. Validitas berkenaan

dengan penalaran, bukan dalil (proposisi), sedangkan kebenaran berkenaan

dengan proposisi, bukan penalaran. Istilah valid dan tidak valid hanya diterapkan

pada argumentasi deduktif, sedangkan untuk argumentasi induktif lebih tepat

digunakan istilah kuat atau lemah untuk menilai argumentasi. Dalam suatu

argumentasi deduktif yang valid dengan semua premis benar, kebenaran dari

kesimpulan sudah semestinya dan mustahil salah. Argumentasi induktif kuat

dengan semua premis benar, kebenaran dari kesimpulan semata-mata mungkin

dan kesalahannya semata-mata tidak mungkin. Jenis pendukung yang

mengarahkan deduksi valid pada kesimpulannya tidak berkaitan dengan

tingkatan, melainkan tentang “semua atau tidak ada”. Akan tetapi, jenis

pendukung yang mengarahkan induksi kuat pada kesimpulannya berkenaan

dengan tingkatan, yakni “lebih atau kurang”. Kesimpulan suatu deduksi yang

valid tidak pernah memuat informasi yang lebih dari yang termuat dalam

premisnya sedangkan kesimpulan suatu induksi selalu memuat informasi yang

9 Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar, h. 4.

48

lebih dari yang termuat dalam premisnya. Hal inilah yang menyebabkan deduksi

memiliki kepastian (tidak pernah memberikan informasi tambahan) dan induksi

selalu tidak pasti dalam tingkatan tertentu.10

Logika juga memiliki keterkaitan amat kuat dengan Ilmu Bahasa.

Keterkaitan tersebut utamanya menyangkut pernyataan pemikiran, sebab logika

mendalami the principles of correct reasoning. Pemikiran memerlukan bahasa

apabila dinyatakan dan juga usaha untuk memperoleh pendapat baru

berdasarkan pendapat lama. Hal ini juga berlaku untuk Bahasa Ilmiah yang harus

dinyatakan secara logis, karena ilmu pengetahuan mengikuti aturan, langkah dan

prinsip-prinsip berpikir logis dalam metode ilmiahnya. Bagaimana pun

coraknya, bahasa selalu merupakan bentuk berpikir dan alat berpikir. Sebagai

bentuk berpikir, bahasa harus disebut penjelmaan berpikir, sebagai alat berpikir,

bahasa mampu mempengaruhi cara berpikir. Sebagai penjelmaan berpikir,

bahasa menampakkan diri pada manusia.11

Dari penjelasan tersebut, secara etimologi (kebahasaan) dapat dinyatakan

bahwa logika adalah bidang penyelidikan yang membahas pikiran yang

dinyatakan dalam bahasa.

Pengertian logika secara etimologi tersebut belum memberikan gambaran

sepenuhnya tentang apa itu logika, sehingga kita juga perlu memahaminya dari

pengertiannya secara terminologi (keistilahan) atau definitif. Di antara sekian

banyak definisi, penulis hadirkan pendapat Irving M. Copy dalam Introduction

to Logics (1978) yang menyatakan pengertian logika sebagai berikut:

10 Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar, h. 5. 11 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika (Yogyakarta: Aswaja Preeindo, 2014), h.

26-27.

49

“Logic is the study of methods and principles used to distinguish good

(correct) from bad (incorrect) reasoning.”

Artinya:

“Logika adalah penelaahan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip

yang digunakan untuk memperbedakan penalaran yang baik dalam arti

benar dari penalaran yang jelek dalam arti tidak benar”.12

Definisi tersebut memberikan kesan bahwa logika adalah alat (tool) yang

digunakan untuk dapat berpikir secara sah; dalam arti benar. Dalam

kenyataannya, logika dapat membantu orang yang mempelajarinya untuk dapat

berpikir logis. Demikian ini semakin memperteguh pemahaman apabila

dibandingkan dengan definisi yang ditawarkan oleh Susanne K. Langer dalam

bukunya yang berjudul “An Introduction to Symbolic Logic” yang menyatakan:

“Logic is to the philosopher what the telescope is to the astronomer: an

instrument of vision. Logic is a tool of philosophical thought as mathematics

is a tool to physics”.13

Artinya:

“Logika bagi failasūf adalah seperti halnya teropong bagi astronom: suatu

alat penglihatan. Logika merupakan suatu alat (tool) dari pemikiran falsafah

seperti halnya matematika merupakan alat bagi fisika.”

Kemudian Mu’in menyatakan lima macam ta’rif (pengertian) logika yang

menurutnya bahwa simpulan (inti)-nya sama; sebagai berikut:

1. Ilmu tentang undang-undang berpikir;

12 Irving M. Copi, Introduction to Logics (New York: Macmillan Publishing Co, 1978), h.

3. Lihat juga: Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 2. 13 Susanne K. Langer, sebagaimana dikutip oleh: Dardiri, Humaniora, , Filsafat, dan

Logika, h. 26.

50

2. Ilmu untuk mencapai dalil;

3. Ilmu untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam

memeroleh sesuatu kebenaran;

4. Ilmu yang membahas tentang undang-undang yang umum untuk berpikir;

5. Alat yang merupakan undang-undang dan apabila undang-undang ini

dipelihara, maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari pikiran-

pikiran yang salah.14

Dalam buku Logic and Language, seperti yang dikutip oleh Mundiri, logika

disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir

benar.15

Dari beberapa penjelasan dan definisi yang diajukan oleh beberapa ahli di

atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi logika adalah ilmu yang

mempelajari tentang metode berpikir yang dinyatakan dalam bahasa yang harus

digunakan oleh manusia agar terbebas dari kekeliruan sehingga pengetahuan

yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan.

B. Urgensi Studi Logika

Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, bahwa logika membantu

manusia untuk berpikir lurus, tepat, benar dan teratur. Dengan berpikir demikian

ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.

Manusia itu adalah hewan yang berpikir (al-hayawān al-nāṭiq atau homo

sapiens). Berpikir berarti bertanya. Bertanya berarti mencari jawaban. Mencari

jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, dan

14 M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 16. 15 Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 2. Lihat: George F. Kneller, Logic and

Language of Education (New York, John Willey & Son, 1996), h. 13.

51

manusia, berarti mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia. Dengan

demikian, manusia adalah makhluk pencari kebenaran.16

Berpikir adalah proses mencari tahu “sesuatu yang belum diketahui”

berdasarkan hal-hal yang “sudah diketahui”. Sesuatu yang telah diketahui

merupakan “data” atau “bahan berpikir”, sedangkan sesuatu yang belum

diketahui akan menjadi “kesimpulan pemikiran” berupa pengetahuan yang

benar. Sebagai contoh: Kita mengetahui ‘ada seorang anak yang lahir di dunia’.

Sementara itu kita juga telah mengetahui bahwa‘semua manusia itu pada

akhirnya akan mati’. Sehingga dari sesuatu yang telah kita ketahui yaitu: ‘Ada

anak lahir’ dan ‘semua manusia itu pada akhirnya akan mati’, maka kita dapat

mengambil kesimpulan ‘bahwa anak yang baru lahir itu tentu pada akhirnya

nanti akan mati’.17

Proses berpikirnya manusia sebagaimana dicontohkan di atas menunjukkan

adanya alur berpikir dengan menggunakan prosedur berpikir tertentu dengan

memperhatikan isi pemikiran yang akan dicarinya. Dalam hal ini, hasil

pemikiran adalah buah dari berpikirnya manusia dalam meraih “pengetahuan

tidak langsung” yang didasarkan atas “pengetahuan langsung”. Kebenaran

hasil pemikiran memiliki nilai probabilitas atau peluang kemungkinan, sehingga

kebenarannya tidak bersifat mutlak. Kebenaran pemikiran yang diperoleh

mungkin bisa “benar” atau mungkin juga “salah”. Maka dari itu kesimpulan

yang dapat ditarik adalah mungkin “benar” mungkin “tidak benar” Karenanya

16 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 51. 17 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 14.

52

soal benar dan tidak benar tersebut sangat penting dalam proses pemikiran

seseorang.18

Berbicara tentang kebenaran yang berkaitan dengan pengetahuan.

pengetahuan itu mencakup objeknya; setidaknya mengetahui adalah dasar

pengetahuannya itu. Oleh karena pengetahuan itu mencakup objeknya, maka ia

berusaha menyesuaikan pengetahuan itu dengan objeknya. Objek yang

berhadapan dengan orang yang tahu itu tidak hanya merupakan sasaran

pandangan, tetapi juga sebagai alat pengontrol bagi pengetahuannya tentang

objek itu. Jika orang tahu bahwa pengetahuannya tidak sesuai dengan objeknya,

maka pengetahuannya salah. Kalau pengetahuan itu ternyata sesuai dengan

objeknya, maka pengetahuan tersebut benar, dan orangnya berhasil mencapai

kebenaran. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang disebut kebenaran dalam

kompetensi logika adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya.19

Logika membantu manusia untuk berpikir lurus, tepat dan teratur. Dengan

berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.

Dalam semua bidang kehidupan, manusia menggunakan pikirannya. Ia juga

mendasarkan tindakan-tindakannya atas pikiran itu.

Manusia fitrahnya berkemampuan menalar, yaitu mampu untuk berpikir

secara logis dan analisis, dan diakhiri dengan kesimpulan.20 Kemampuan ini

berkembang karena didukung bahasa sebagai sarana komunikasi verbalnya,

sehingga hal-hal yang sifatnya abstrak sekalipun mampu mereka kembangkan,

18 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 14-15. 19 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 51-52. 20 Noor Ms Bakry, Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu (Yogyakarta: Liberty,

2001), h. 55.

53

hingga akhirnya sampai pada tingkatan yang dapat dipahami dengan mudah.

Karena hal inilah mengapa dalam istilah Aristoteles manusia ia sebut sebagai

animal rationale.21 Oleh sebab itu, seorang Cendekiawan seharusnya bekerja

secara sistematis, berpikir, dan berlogika serta menghindari diri dari subjektifitas

pertimbangannya, meskipun hal ini tidak mutlak.

Ketidakpuasan atas keilmuan yang dibangun di atas pemikiran awam terus

mendorong berbagai disiplin keilmuan, salah satunya adalah falsafah. Falsafah

mengurai kembali semua asumsi tersebut guna mendapatkan sebuah

pengetahuan yang hakiki. Setiap kepala memiliki pemikirannya masing- masing,

begitu pula dengan para ilmuan. Setiap individu merujuk pada falsafah yang

sama, yaitu penggunaan metode Ilmiah dalam menyelesaikan sebuah

problematika keilmuan yang mereka hadapi.22 Karena penggunaan metode

ilmiah dalam sebuah wacana keilmuan dapat meringankan ilmuan dan

pengikutnya dalam melacak kebenaran wacana mereka tersebut. Sehingga

akhirnya lahirlah sebuah asumsi bahwa dalam pengetahuan ilmiah semua

kebenaran dapat dipertanggungjawabkan, meskipun hanya atas nama logika.

Karena pada hakikatnya setiap kebenaran ilmiah selalu diperkuat dengan adanya

bukti-bukti empiris maupun indriawi yang mengikutinya.23 Sehingga dalam

proses berpikir ilmiah ataupun sebuah pencapaian pemahaman final perlu

ditopang dengan logika.

21 Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,

2005), h. 1. 22 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006),

edisi ke-3, h. 13-15. 23 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar

Harapan, 1985), h. 215.

54

Semua ilmu pengetahuan hampir tidak bisa dilepaskan dari logika. Logika

juga memperkenalkan analisa-analisa yang dipakai dalam ilmu falsafah. Selain

itu, logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berpikir sendiri.24

Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal pada

logika. Dengannya, dapat diperoleh hubungan antar pernyataan. Namun, tidak

semua anggapan atau pernyataan berhubungan dengan logika. Hanya yang

bernilai benar atau salah yang bisa dihubungkan dengan logika.25 Sehingga

dalam sebuah diskursus keilmuan, kajian seputar logika memiliki andil yang

signifikan terhadap perkembangan hal itu. Terlebih lagi, kondisi masyarakat

yang umumnya cenderung praktis tampaknya telah menuntun para pelajar

melupakan aspek terpenting tersebut dari diskursus keilmuan. Padahal sebuah

konsep dianggap ilmiah jika mampu membuktikan validitas argumennya,26

tentunya yang terangkai dalam sistematika yang logis, baik menggunakan panca

indra ataupun lainnya. Sehingga di sini antara penjelasan dan bukti-bukti

terdapat sebuah benang merah yang tidak tergantikan. Maka nampaklah bahwa

penyajian yang baik akan menjadi keyword dari kriteria ilmiah yang paling

dasar. Sehingga ungkapan bahwa metode berpikir ilmiah memiliki peran penting

dalam mendukung manusia memperoleh cakrawala keilmuan baru dalam

menjamin eksistensi manusia bukanlah sebuah bualan belaka. Dengan

24 Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang, h. 12-13. 25 Imron Mustofa, Jendela Logika dalam Berpikir (Surabaya: El-Benat, Jurnal Pemikiran

dan Pendidikan Islam, Volume 6 No 2), (2016). 26 Geoge F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Willey

& Son, 1964), h. 4.

55

menggunakan metode berpikir ilmiah, manusia terus mengembangkan

pengetahuannya.27

Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi dunia keilmuan untuk

menjadikan sebuah diskursus tentang metode berpikir yang cocok dengan logika

sebagai sebuah pembahasan yang mendalam. Sehingga tepat atau tidaknya

penentuan pilihan dari metode atau cara yang mungkin diambil, akan

menentukan hasil akhir dari wacana tersebut. Maka dari itu akhirnya timbul

pertanyaan tentang seperti apa dan kapan sebuah metode dalam logika berpikir

ilmiah dapat diterima dan digunakan sejalan dengan wacana tersebut.

Suatu tugas ilmiah untuk mencari aturan berpikir, agar diketahui - untuk

dikontrol - jika ada pelanggaran aturan atau penyelewengan dari jalan berpikir

yang lurus. Kemudian para ahli pikir mengadakan percobaan, untuk memenuhi

tugas itu. Hasilnya memang bermanfaat besar bagi manusia yang hendak

berpikir. Pengetahuan itu merupakan bagian dari falsafah dan disebut logika.

Pada intinya, tugas logika adalah memberikan pejelasan bagaimana orang

seharusnya berpikir. Ada yang menyebut bahwa logika itu mengutarakan teknik

berpikir, yaitu cara yang sebenarnya untuk berpikir.28

Lebih jauh, alasan urgensi studi logika adalah karena logika merupakan alat

kunci analisis bagi kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

dalam posisi kuncinya yang menghubungkan antara conceptual world (dunia

konsep) dan empirical world (dunia empiris). Analisis yang bergerak dari antara

conceptual world ke empirical world dikenal sebagai pola deduksi. Sedangkan

27 Imron Mustofa, Jendela Logika dalam Berpikir. 28 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 54.

56

analisis yang bergerak dari empirical world ke conceptual world dikenal sebagai

pola induksi. Alasan urgensi studi logika itu tampak juga dalam falsafah ilmu,

karena logika merupakan bagian dari substansi falsafah ilmu yang memuat

empat bagian, yakni: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3)

konfirmasi, dan (4) logika inferensi. Hal ini semakin mantap ketika dipahami,

bahwa falsafah ilmu bertugas menganalisis prosedur dan logika dari penjelasan

ilmiah. Dengan demikian logika berposisi sebagai alat kunci dalam kerja

falsafah ilmu.29

Logika memiliki peran dan fungsi dalam mengatur arah pemikiran manusia

untuk menuju kepada keabsahan dalam berpikir logis. Manfaat yang dapat

dipelajari dalam logika salah satunya bahwa keseluruhan informasi keilmuan

merupakan suatu sistem yang bersifat logis, karena itu, science tidak mungkin

melepaskan kepentingannya terhadap logika.

Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk

mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Dalam segala aktifitas

berpikir dan bertindak, manusia mendasarkan diri atas prinsip ini logika

menyampaikan kepada berpikir benar, lepas dari berbagai prasangka emosi dan

keyakinan individu, karena itu logika mendidik manusia bersikap objektif tegas

dan berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.30

Menurut Nūr Muḥammad Ibrāhīmī dalam bukunya ‘Ilmu al-Manṭiq, tujuan

dan kegunaan logika adalah sebagai berikut:

29 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 64-65. 30 Mundiri, Logika, h. 17.

57

1. Melatih, mendidik, dan mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek

pikir dengan menggunakan metodologi berpikir.

2. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi

yang tepat.

3. Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang benar dan yang salah.31

mencakup semua hasil pemikiran manusia, baik social science (ilmu sosial)

maupun natural science (ilmu alam), termasuk tata bangunan, pendidikan,

dan politik kenegaraan. Logika adalah alat analisis, bahan argmentasi, serta

barometer bagi keseluruhan disiplin tersebut. Karenanya, tidak keliru jika

logika disebut sebagai mother of science, neraca pengetahuan, serta tolok

ukur absah-tidaknya pengetahuan. Dengan demikian, menjadi jelas urgensi

logika, sebagaiman dikatakan oleh Iman al-Ghāzalī32, bahwa pengetahuan

seseorang yang tidak mengenal logika tidaklah valid dan tidak pula dapat

dipertanggungjawabkan.

Arif Rahman dalam Epistemologi dan Logika, juga menjelaskan tentang

beberapa manfaat dari logika, sebagai berikut:

1. Seseorang akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang hakikat

pengetahuan dan tentang seluk beluk berpikir.

2. Membantu seseorang dapat berpikir lurus sehingga tercapailah hasil

pemikiran yang benar.

31 Nūr Muḥammad Ibrāhīmī, ‘Ilmu al-Manṭiq (Jakarta: 1937), h. 6-7. 32 Nama lengkap al-Ghāzalī adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad bin Thaus Ahmad al-Thūsī al-Syafi’ī. Ia terkenal juga dengan sebutan Hujjah al-Islām,

“Argumentator Islam”. Beliau lahir di Thus, sebuah kota dekat dengan Meshhed di Khurasan pada

tahun 450 Hijriyah atau tahun 1058 Masehi. Lihat: Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis

al-Ghāzalī, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 1.

58

3. Seseorang akan dapat memiliki pemikiran yang rasional-logis, kritis,

objektif, metodis, efektif, dan koheren.

4. Seseorang akan dapat lebih berhati-hati dalam memecahkan masalah hidup

dan kehidupan. Dia akan lebih mementingkan perspektif rasional daripada

emosional dalam memecahkan masalah hidup dan kehidupan.

5. Seseorang akan lebih mandiri dan lebih cinta akan kebenaran, sehingga dia

akan mudah tertipu oleh bujuk rayu yang sepintas kelihatan menggiurkan

akan tetapi sebanarnya merugikan.

C. Sejarah Perkembangan Logika

Aristotelianisme memiliki sejarahnya yang istimewa dalam dunia Islam.

tulisan-tulisan Aristoteles banyak diminati oleh para sarjana Muslim. Di antara

karya-karya Aristoteles yang dipelajari dengan seksama di kalangan penganut

mazhab Peripatetik33 dunia Islam adalah karya-karya tulis di bidang logika. Di

kalangan penganut mazhab Peripatetik belakangan, karya Aristoteles di bidang

logika dikategorikan dalam himpunan yang berjudul Organon, (instrumen).34

Menurut perspektif penganut aliran ini, logika dan penalaran adalah instrumen

utama yang mendahului suatu investigasi saintifik. Aristoteles sendiri,

sebenarnya, menggunakan kata “logika” sebagai kata yang sinonim dengan

penalaran verbal (verbal reasoning).

33 Mazhab Paripatetik (Masya’ī) adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”

dengan Aristoteles. Karena kelahiran mazhab ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan

menghidupkan falsafah Aristoteles. Beberapa tokoh failasūf Islam yang dikatagorikan kepada aliran

Paripatetik adalah al-Kindī (w. 866), al-Fārābī (w. 950), Ibn Sīnā (w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196),

dan Naṣir al-Din Thūsī (w. 1274). Mulyadhi Kertanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar

Filsafat Islam (Jakarta, Lentera Hati, 2006), h. 27. 34 Richard McKeon, (ed.), Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library,

1947), h. 2.

59

1. Logika Pada Zaman Yunani Kuno

Istilah logika menurut sejarah pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium

(334-262 SM),35 pendiri Stoisisme.36 Logika adalah istilah yang dibentuk dari

kata Yunani Logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti

sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan,

dan bahasa. Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu

pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan atau

mengenai bahasa. Dengan demikian, secara etimologi logika berarti suatu

pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat

bahasa. Dengan demikian penterjemahan istilah logika kepada istilah manṭiq

dalam bahasa Arab sangatlah tepat.37

Meskipun menurut sejarah, Zeno adalah orang yang pertama kali

menggunakan istilah logika, namun sebenarnya akar logika sudah terdapat

dalam pikiran dialektis madzhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas

dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum Sofis38 yang membuat pikiran

manusia sebagai titik persoalan utama pemikiran secara eksplisit. Pada masa

sebelumnya, Gorgias (483-375 SM) dari Lionti (Sicilia),39 mempersoalkan

35 Zeno Citium (334-262 SM) adalah failasūf Yunani dari Citium, Siprus. Zeno adalah

pendiri sekolah falsafah Stoa. Ia datang dari Citium ke Athena pada tahun 312/311 SM untuk

mempelajari falsafah di bawah Xenocrates, murid dan keponakan Plato. Para pengikut ajaran Zeno

disebut Zenonians. Zeno dan dua rekannya, Chrisippus, dan Cleanthes dari Assos dijuluki sebagai

Stoa mula-mula (Early Stoa). https://id.wikipedia.org/wiki/Zeno_dari_Citium. 36 Stoisisme adalah salah satu aliran atau mazhab falsafah Yunani-Romawi yang didirikan

di Athena oleh Zeno. Mazhab ini diambil dari lokasi di Athena tempat pertama kali mazhab ini

ditemukan. Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Stoisisme. 37 Muhammad Nur, Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali

(Lampung: Jurnal al-Ulum, 2011), h. 51. 38 Sofis (sophistes) tidak digunakan sebelumm abad kelima.arti yang tertua adalah “seorang

bijaksana” atau “orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Adapun tokoh-tokoh

failasūf Sufisme adalah Protagoras , Hippias, dan Gorgias, Prodikos, dan Kritias. Lihat: K. Bertens,

Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), h. 83. 39 Gorgias lahir di Leontinoi, Sisilia, sekitar tahun 483 SM dan meninggal dunia tahun 375

SM pada usia 108 tahun. Ia adalah murid dari failasūf Empedokles dan dipengaruhi juga oleh

60

masalah pikiran dan bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan

pemikiran. Dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap

pikiran.40

2. Logika Pasca Sokrates

Pada abad 5 Sebelum Masehi, hidup seorang tokoh bernama Sokrates (470-

399).41 Sokrates telah mengembangkan metode Sokratiknya, yakni ironi dan

maieutika, de facto mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini

dikumpulkan contoh dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari ciri

umumnya. Plato, nama aslinya adalah Aristokles (428-347), mengumumkan

metode Sokratik tersebut sehingga menjadi teori ide, yaitu teori Dinge n sick

versi Plato. Sedangkan oleh Aristoteles mengembangkannya menjadi teori

tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah model yang bersifat umum dan

sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi hanya

merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, yang disebut ectypa. Gagasan

Plato ini banyak memberikan dasar pada perkembangan logika, lebih-lebih yang

bertalian dengan masalah ideogenesis, dan masalah penggunaan bahasa dalam

pemikiran. Namun demikian logike episteme (logika ilmiah) sesungguhnya baru

dapat terwujud berkat karya Aristoteles (384-322).42

dialektika Zeno. Ia adalah seorang failasūf yang termasuk sebagai kaum sofis. Selain sebagai

failasūf, ia juga terkenal di bidang retorika. Seperti kaum sofis lainnya, ia juga mengajar dan

mengumpulkan murid-murid. https://id.wikipedia.org/wiki/Gorgias. 40 W. Poespoprodjo, Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung:

Remadja Rosdakarya, 1999), h. 41. 41 Sokrates lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM.

Bapaknya adalah seorang tukang pembuat patung, sedangkan ibunya seorang bidan. Sekrates

terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Ia merupakan generasi pertama dari tiga

ahli falsafah besar dari Yunani selain Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, kemudian

Plato pada gilirannya mengajar Aristoteles. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat

Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 177-178. 42 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 40-41.

61

Aristoteles sebagai tokoh yang mengembangkan logika, melalui karyanya

yang diberi nama Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dari

Rhodes.43 Melalui karya-karyanya tersebut, Aristoteles telah mengurai persoalan

katagori, struktur bahasa, hukum formal konsistensi proposisi, silogisme

katagoris, pembuktian ilmiah, pembedaan atribut hakiki dan atribut bukan

hakiki, sebagai kesatuan pemikiran, bahkan telah juga menyentuh bentuk-bentuk

dasar simbolisme. Sampai saat ini mayoritas ahli ketika berbicara tentang logika,

mereka merujuk kepada pola yang telah disusun Aristoteles dalam karyanya

Organon.44

Logika sendiri tidak semata-mata lahir sebagai sebuah cara berpikir dalam

memandang hidup yang tersusun rapi, namun sejatinya ia mengalami proses

yang dimulai dari logika sebagai metode berpikir. Ia kemudian bergulir dan

berkembang menjadi sebuah landasan pengembangan ilmu dan akhirnya

menjelma sebagai suatu cara pandang terhadap dunia (worldview).

Muncul logika sebagai suatu cara berpikir, tidak bisa begitu saja terlepas

dari pengaruh pemikiran silogisme Aristoteles. Walaupun konon cara berpikir

seperti ini sudah ada dua abad sebelum zaman Aristoteles, sehingga ia hanyalah

berperan dalam mendeskripsikan pola cara berpikir tersebut, namun bukan

sebagai pencetus awal pandangan tersebut. Dengan kata lain, di sini ia terlihat

menyandarkan upayanya dalam memperoleh pengetahuan pada keterikatan

sebab, dan akibat yang sistematis. Selanjutnya premis-premis dalam logika

43 Andronikos adalah seorang failasūf Yunani dari Rhodes yang juga merupakan sarjana

(kepala) dari sekolah Peripatetik. Ia paling terkenal karena menerbitkan edisi baru karya-karya

Aristoteles yang membentuk dasar teks-teks yang bertahan hingga hari ini. Sedikit yang diketahui

tentang kehidupan Andronicus. Dia dilaporkan adalah cendekiawan kesebelas dari sekolah

Peripatetic. https://en.wikipedia.org/wiki/Andronicus_of_Rhodes. 44 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 41.

62

haruslah merupakan sebuah pernyataan yang benar, primer, dan diperlukan.45

Maka dari itu, pada tahapan ini sumber pengetahuan yang mampu dicapai oleh

rasio sangatlah bergantung pada logika atau pun kemampuan akal dalam

merasiokan suatu hal itu sendiri.

Para sejarawan berbeda pendapat dalam memperkirakan kapan permulaan

gerakan penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam bahasa Arab, suatu

gerakan yang membantu membangun logika dan falsafah Arab. Proses

penerjemahannya itu sendiri paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani

Umayyah (661-750 M), khususnya masa kekhalifahan ‘Abd al-Malik ibn al-

Marwān (685-705 M).46 Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan

lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan

dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan

melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Setelah itu,

kemudian buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti

kedokteran, kimia, dan antropologi.47 Hanya saja, karena pemerintahan lebih

disibukkan oleh persoalan-persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan

ini tidak berlangsung baik.

Proses penerjemahan atas pemikiran falsafah Yunani ke dalam bahasa Arab

kemudian baru benar-benar dilakukan secara serius pada masa pemerintahan

Bani Abbasiyah, khususnya pada masa kekuasaan al-Ma’mūn pada tahun 215

45 Oesman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 106. 46 ‘Abd al-Malik ibn al-Marwān adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 685 sampai 705.

‘Abd al-Malik lahir pada Ramadhan tahun 23 H (646/647), di kediaman ayahnya, Marwān ibn al-

Ḥakām, di Madinah pada masa kekuasaan Khalifah ‘Utsmān bin ‘Affān. Dia tumbuh di Madinah

sebagai pribadi yang saleh dan zuhud. Ayahnya adalah sekretaris dan tangan khalifah.

https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_bin_Marwan. 47 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Colombia University Press,

1983), h. 5.

63

H., menjadikan Baghdad sebagai jantung keilmuan Islam. Al-Ma’mūn

mendirikan akademik penerjemahan dengan nama Bait al-Ḥikmah, yang

menggalakkan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Sosok

Aristoteles menempati urutan pertama dalam banyaknya buku yang

diterjemahkan,48 terutama terkait dengan dasar peletakan logika Aristoteles

sebagai instrumen dalam memperoleh ilmu pengetahuan.49

Gelombang penerjemahan warisan budaya bangsa Yunani telah

menstimulasi proses kegiatan ilmiah dan menuntun pada perkembangan

keilmuan di dunia Islam, dan secara khusus bidang logika. Tidak ada edisi lebih

baik menyaingi komentar-komentar dalam bahasa Syria, yang muncul pada abad

kelima sampai abad keduabelas, atau edisi dalam bahasa Arabnya, sederet tokoh-

tokoh Muslim berpengaruh terlibat dalam bidang ini.50

Pada perkembangan selanjutnya, Abad Pertengahan falsafah Islam, lahirlah

ahli-ahli falsafah Islam yang turut aktif memberikan sumbangan bagi

pengembangan logika yang sempat statis sejak masa Aristoteles. Sumbangan itu

dapat dibuktikan dengan masuknya materi baru tentang beberapa persoalan yang

berkenaan dengan pembahasan lafadz-lafadz. Maka tampillah pada masa ini, al-

Fārābī (870-950 M) yang digelari ‘guru kedua’ ilmu pengetahuan, setelah

Aristoteles. Ia melakukan tajdīd (pembaruan) terhadap logika, yang sebelumnya

hanya merupakan teori-teori, kemudian dipertajam secara praktis (amaliah);

dalam arti bahwa tiap-tiap qadiyah (proposisi) diverifikasi (diuji) kebenarannya.

48 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),

h. 12. 49 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas,

1980), h. 21. 50 Richard McKeon, (ed.), Introduction to Aristotle, xxvii.

64

Aristoteles dan al-Fārābī; keduanya adalah tokoh falsafah. Akan tetapi

mereka memperoleh gelar sebagai ‘guru’ bukan dengan karya falsafahnya,

melainkan dengan karya logikanya.51 Ini membuktikan bahwa karena

sedemikian penting peran logika dalam ilmu, sehingga perintisnya digelari

sebagai ‘guru ilmu pengetahuan’. Apa yang dilakukan oleh mereka merupakan

pintu pembuka bagi konstelasi logika bagi para pemikir periode-periode

selanjutnya.

3. Logika Pada Abad Pertengahan

Era berikutnya disusul era dekadensi logika yang cukup lama, yakni pada

Abad Pertengahan. Pada era sebelumnya, logika berkembang karena selalu

menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari pentingnya

kegiatan berpikir dengan memperhitungkan bahwa setiap langkahnya harus

dapat dipertanggungjawabkan. Namun pada era dekadensi ini, logika menjadi

ilmu yang dangkal sifatnya dan amat sederhana, sehingga perkembangan logika

menjadi merosot. Pada masa itu sumber logika yang dipakai sebagai acuan

hanyalah buku-buku seperti Isagoge dari Porphyry, Fonts Scientie (The

Fountain of Knowledge) dari John Damascene,52 buku-buku komentar logika

dari Boethius,53 dan sistematika logika dari Thomas Aquinas.54

51 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 68. 52 Santo Yohanes dari Damaskus atau juga dikenal sebagai John Damascene adalah seorang

biarawan dan imam Gereja Katolik yang berasal dari Syria. Ia lahir dan dibesarkan di kota Damaskus

dan meninggal (kemungkinan terbesarnya) di biaranya Mar Saba, sebelah tenggara kota Yerusalem.

Ia adalah seorang yang memiliki pengetahuan mendalam dalam banyak bidang. Bidang-bidang yang

ia memiliki ketertarikan dan pernah memberikan kontribusi antara lain di bidang hukum, teologi,

falsafah dan musik. https://id.wikipedia.org/wiki/Yohanes_dari_Damaskus. 53 Anicius Manlius Severinus Boethius adalah seorang failasūf Romawi. Ia lahir di kota

Roma sekitar tahun 480 M dan meninggal tahun 524 M (usia sekitar 44) di Pavia. Pemikiran

Boethius memiliki pengaruh penting terhadap falsafah pada akhir era Falsafah Klasik dan juga awal

masa Abad Pertengahan. Selain itu, terjemahan dan komentar Boethius terhadap karya-karya

Aristoteles juga sangat memengaruhi seluruh sejarah falsafah setelahnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Boethius. 54 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 42

65

Pada Abad Pertengahan, di mana pendalaman logika hanya berkisar pada

karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermeneias, ditambah juga

dengan karya Porphyry yang bernama Isagoge dan karya Boethius yang

membahas pembagian, metode debat, silogisme katagorik hipotetik, yang biasa

disebut logika klasik. Karya Boethius khususnya di bidang silogisme hipotetis

pada perkembangan berikutnya menjadi berpengaruh bagi perkembangan teori

konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari perkembangan

logika di Abad Pertengahan. Kemudian setelah tahun 1141 Masehi, karya

Aristoteles semakin dikenal oleh kalangan luas termasuk keempat karyanya.

Karya Aristoteles kemudian dikenal sebagai logika tradisional sekedar untuk

membedakan dengan logika modern. Logika modern disebut juga logika

suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para failasūf Arab. Logika yang tumbuh

dari pengaruh failasūf Arab tersebut lebih mendalam dalam membahas suposisi

untuk menerangkan kesesatan berpikir, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term

sebagai simbol tata bahasa dari konsep-konsep.55

Perkembangan selanjutnya pada abad 13-15 Masehi, logika modern

menjadi lebih berkembang. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini ialah Petrus

Hispanus (1212-1278), Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-

1315), Wilhelmus Ockhman (1295-1349) dan lain-lain. Khususnya Raymundus

Lullus menemukan suatu metode logika baru yang disebut Ars Magna, yang

merupakan semacam aljabar pengertian. Aljabar ini bermaksud membuktikan

kebenaran-kebenaran yang tertinggi.56

55 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika. 56 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 70.

66

Meskipun Abad Pertengahan merupakan abad kemerosotan logika, namun

pada abad ini telah tercatat berbagai pemikiran yang amat penting bagi

perkembangan logika. Misalnya karya Boethius yang orisinal di bidang

silogisme hipotetik sesungguhnya sangat berpengaruh bagi perkembangan teori

konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari perkembangan

logika di Abad Pertengahan. Di samping itu, kemajuan yang dicapai pada Abad

Pertengahan adalah dikembangkannya teori tentang ciri-ciri term, teori suposisi

yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematik zaman kini.

Selanjutnya, diskusi tentang universalia telah memunculkan logika hubungan,

kemajuan lain adalah penyempurnaan teori silogisme, penggarapan logika

modal, dan penyempurnaan teknis lainnya.57

4. Logika Pada Era Modern

Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis

Bacon (1561-1626)58 mengembangkan metode induktif. Ini terutama dinyatakan

dalam bukunya Novan Organum Scientiarum. W. Leibniz (1646-1716)59

menyusun logika aljabar (Ars Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini

bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih memberikan

kepastian.60

57 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 43. 58 Francis Bacon adalah seorang failasūf, negarawan dan penulis dari Inggris. Ia dikenal

sebagai pencetus pemikiran empirisme yang mendasari sains hingga saat ini. Bacon lahir di London

pada tahun 1561 sebagai putra pegawai eselon tinggi masa pemerintahan Ratu Elizabeth. Tatkala

menginjak usia dua belas tahun ia belajar di Trinity College di Cambridge.

https://id.wikipedia.org/wiki/Francis_Bacon. 59 Gottfried Wilhem Leibniz adalah seorang failasūf Jerman keturunan Sorbia dan berasal

dari Sachsen. Selain seorang failasūf, ia adalah ilmuwan, matematikawan, diplomat, fisikawan,

sejarawan dan doktor dalam hukum duniawi dan hukum gereja. Ia dianggap sebagai Jiwa Universalis

zamannya dan merupakan salah seorang failasūf yang paling berpengaruh pada abad ke-17 dan ke-

18. https://id.wikipedia.org/wiki/Gottfried_Leibniz. 60 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 71.

67

Logika Aristoteles masih dikembangkan dalam jalur yang murni. Ini

dijalankan, misalnya oleh para Neo-Thomis. Tradisi Aristoteles dilanjutkan juga

dengan tekanan pada induksi. Hal ini tampak antara lain dalam buku System of

Logic, karya John Stuart Mill (1806-1873).61 Logika Metafisis mengalami

perkembangannya dengan Immanuel Kant (1724-1804).62 Dia menamainya

logika transendental. Dinamakan logika karena membicarakan bentuk-bentuk

pikiran pada umumnya, dan dinamakan transendental karena mengatasi batas

pengalaman.63

Pada era modern juga dikembangkan logika simbolik selain tetap menjaga

kelestarian logika Aristoteles. Pada era ini, ditemukan kembali tradisi

Aristoteles, seperti yang termuat dalam karya J.N. Keynes (1852- 1949)64 yang

berjudul Studies and Exercises in Formal Logic (1884). Pada karya tersebut

dipaparkan adanya usaha sungguh-sungguh untuk memberi interpretasi pada

bentuk yang sudah mapan seperti tentang proposisi A (affirmative universal),

proposisi E (negative universal), proposisi I (affirmative particular), dan

proposisi O (negative particular). Logika simbolik sudah dikembangkan,

meskipun simbol teknis belum dibuat dan disepakati.65

61 John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 dan meninggal di

Avignon, Prancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang failasūf empiris dari Inggris.

Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang

merupakan inti falsafah Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa

Latin. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill. 62 Immanuel Kant (lahir di Königsberg 22 April 1724 dan meninggal di Königsberg 12

Februari 1804 pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang bernama Kaliningrad di Rusia. Ia lahir dari

pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.

Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia

berumur hampir 22 tahun. https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant. 63 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik. h. 71. 64 John Neville Keynes (lahir 31 Agustus 1852 dan meninggal 15 November 1949 pada

umur 97 tahun) adalah failasūf dan ekonom asal Inggris dan ia juga merupakan ayah dari seorang

ekonom, John Maynard Keynes. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Neville_Keynes. 65 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 45.

68

Masuk pada zaman Renaissance abad XX, pengembangan logika ditandai

dengan terbitnya Principia Mathematica jilid I yang merupakan karya bernama

A.N. Whitehead (1861-1947)66 dan Bertrand A.W. Russell (1872-1970).67 Karya

ini membuktikan bahwa matematika murni berasal dari logika. Kemudian pada

abad XX perkembangan logika sudah mantap dan sudah dibakukan oleh

Aristoteles, namun juga ditemukan beberapa kritik terhadap logika tradisional

tersebut. Berbagai alasan diajukan guna membenarkan diterimanya sistem-

sistem logika yang menyimpang.68

66 Alfred North Whitehead, (lahir di Ramsgate, Kent, Inggris, 15 Februari 1861 dan

meninggal di Templat: Ciy-state, Amerika Serikat, 30 Desember 1947 pada umur 86 tahun) adalah

seorang matematikawan Inggris yang menjadi seorang failasūf. Ia menulis tentang aljabar, logika,

dasar matematika, falsafah ilmu pengetahuan, fisika, metafisika dan pendidikan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Alfred_North_Whitehead. 67 Bertrand Arthur William Russell adalah seorang failasūf, ahli logika, ahli matematika,

sejarawan, penulis sejarah, penulis esai, kritik sosial, politik Inggris aktivis, dan pemenang Hadiah

Nobel. Ia lahir pada 18 Mei 1872 di Ravenscroft, Trellech, Monmouthshire, dari keluarga aristokrasi

Inggris yang berpengaruh dan liberal. Orang tuanya, Viscount dan Viscountess Amberley, adalah

radikal untuk zaman mereka. https://id.wikipedia.org/wiki/Bertrand_Russell. 68 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 46.

69

BAB IV

DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ

A. Logika Aristoteles

Orang yang secara umum diakui sebagai bapak logika adalah sang failasūf

Yunani kuno bernama Aristoteles (484-322 SM). Para pendahulu Aristoteles

telah berusaha mengembangkan seni mengkonstruksikan argumen-argumen

persuasif dan teknik-teknik untuk menolak argumen-argumen orang lain.

Namun, Aristoteles adalah orang pertama yang menemukan kriteria sistematis

untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen. Logika Aristoteles

disebut logika silogistik. Elemen-elemen fundamental dalam logika ini adalah

term-term, dan argumen-argumen dievaluasi sebagai benar atau salah yang

tergantung pada bagaimana term-term itu disusun dalam argumen.1 Aristoteles

mensistematisasikan logika dengan menelaah manakah bentuk-bentuk

penyimpulan yang valid dan mana yang tidak.2

Nama “logika” tidak terdapat pada Aristoteles sendiri. Aristoteles

sebenarnya tidak menggunakan istilah logika, tetapi menggunakan istilah

analitika, untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-

proposisi yang benar. Adapun untuk meneliti argumen yang bertolak dari

proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya menggunakan istilah

dealektika. Istilah silogisme atau logika tradisional atau metode deduksi dikenal

pada masa kini, bermula dari Alexander Aphrodisias (abad ke 3 SM.)3

1 Rafael Raga Maran, Pengantar Logika (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 7-8. 2 Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 34. 3 Alexander of Aphrodisias merupakan failasūf paripatetik. Alexander dari Aphrodisias

mulai mengajar di Athena sekitar tahun 200. Dia penganut Aristotelian yang kukuh, membebaskan

70

menggunakan istilah logika, sebagai alat dan mikanisme penalaran untuk

menarik konklusi yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah

suatu bentuk formal dari penalaran deduktif.4

Salah satu cara bagaimana Aristoteles mempraktikkan deduksi adalah

dengan silogisme (syllogismos).5 Itulah penemuan Aristoteles yang terbesar

dalam bidang logika dan silogisme mempunyai peranan sentral dalam

kebanyakan karyanya tentang logika. Silogisme adalah argumentasi yang terdiri

tiga proposisi (proposition). Dalam setiap proposisi dapat dibedakan dalam dua

unsur: pertama, hal tentang apa sesuatu dikatakan atau disebut sebagai “subjek”.

Kedua, apa yang dikatakan tentang subjek atau disebut “predikat”. Sebagai

contoh propisisi “Raja adalah seorang manusia”, maka dalam proposisi ini

subjek adalah “Raja” dan predikatnya adalah “seorang manusia”. Argumentasi

yang disebut silogisme menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang

sudah diketahui. Misalnya: Semua manusia akan mati (premis pertama), Raja

adalah seorang manusia (premis tengah), Dari sebab itu Raja akan mati

(konklusi).6

diri sepenuhnya dari karakteristik Platonisme religius yang mistis masa itu. Simon Blackburn,

Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 25. 4 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 1, dan

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 167, dan Richard F. Clarke,

Logic (London: Longmans, 1921), h. 27-28. 5 Inti logika Aristoteles adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran

untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal

penalaran deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles adalah metode terbaik untuk memperoleh

kesimpulan untuk meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Pola dan sistematika penalaran

silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang

lebih khusus. Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2015), cet. Ke

4, h. 35-36. 6 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 169.

71

Di sinilah Aristoteles menyusun prinsip dasar analisis untuk melakukan

klasifikasi dan menyusun pengetahuan. Dia menulis risalah tentang logika;

Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Postrerior Analytics, dan Topics

On Sophistical Refuttions. Karya ini dikelompokkan bersama dalam koleksi

yang dikenal Organon, atau “alat” berpikir.7

Dalam karya tersebut, Aristoteles mendekati kajian tentang logika bukan

sebagai tujuan itu sendiri, tetapi dengan maksud untuk menjadi alat atau sarana

dalam melakukan penyelidikan dan penjelasan. Karena itu meskipun Aristoteles

menjadikan logika sebagai alat berpikir ia juga mendasarkan pengetahuannya

pada pengamatan. Semua karya-karya Aristoteles menunjukan bahwa hampir

semua pengetahuan vital kita bersifat posteriori, mengikuti fakta, atau

berdasarkan pada pengalaman. Bagi Aristoteles semua pengetahuan bermula

dari pengalaman indriawi, jika kita menarik suatu kesimpulan berdasarkan

penalaran logis, lalu kemudian diketahui hal itu bertentangan dengan kenyataan

empiris maka kesimpulan tersebut akan salah. Bagaimana pun, semua

pengetahuan, konsep dan teori titik berangkatnya harus berdasarkan fakta.8

Jadi, pemikiran harus terhubung dengan kekuatan observasi. Pikiran

berjalan setelah pengalaman, bukan sebelumnya. Pikiran menyusul hasil

observasi menjadi pola-pola yang berarti, kemudian sampai pada pengetahuan

7 Karya Organon Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh beberapa

sarjanawan Barat, diantaranya adalah Categories dan On Interpretation diterjemahkan oleh Harold

P. Cook, dulunya seorang dosen falsafah dan sarjanawan di Perguruan Tinggi Armstrong,

Universitas Durham. Prior Analytics dan Posterior Analytics diterjemahkan oleh Hugh Tredennick,

seorang sarjanawan dan Kepala Jurusan Classics (sarjana yang memperlajari sastra dan seni Yunani

Kuno) Perguruan Tinggi Queen Mary di Universitas London. Dan terakhir Topica, yang

diterjemahkan oleh E. S. Forster, seorang Profesor Emeritus (pensiun) Yunani di Universitas

Sheffield. Lihat, T. E. Page, The Loeb Classical Library (London: Harvard University Press, 1938). 8 Sahrul Maulidi, Aristoteles: Inspirasi dan Pencerahan untuk Hidup Lebih Bermakna

(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2016), h. 75.

72

tertentu dan eksak. Aristoteles menyebutnya dengan istilah epistêmê yang

kemudian dilatinkan menjadi scientia.9

Mengenai silogisme yang berdasarkan pada fakta pengalaman ini,

dijelaskan secara komprehensif oleh Aristoteles dalam bukunya Postrerior

Analytics atau bisa disebut Demonstration (demonstrasi atau silogisme ilmiah),

dalam bahasa Arab disebut al-Burhān (istilah yang digunakan al-Fārābī, yang

akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya).

B. Logika Al-Fārābī: Demonstrasi

Al-Fārābī mencoba untuk memberikan penjelasan yang komprehensif

tentang pembagian logika Aristoteles dan pokok pembahasan dari berbagai

tulisannya, kurang lebih sama dalam cara yang dia lakukan dalam falsafah Plato.

Dia memulai dengan melekakkan sebuah premis bahwa bagi Aristoteles

kesempurnaan umat manusia tidak dapat dicapai dengan pengetahuan tentang

apa yang natural dan tentang apa yang secara sengaja. Sekarang, sejauh alam

mendahului kehendak, adalah kewajiban kita untuk memulai dengan

menyelidiki hal-hal yang ada secara alami dan kemudian sesuatu tersebut ada

karena kehendak atau pilihan, untuk mendapatkan pengetahuan tentang proses

yang alami dan yang secara sengaja. Karena alasan ini Aristoteles meyakini,

menurut al-Fārābī, bahwa penyelidikan harus dimulai dengan penentuan sifat

dan bagian pengetahuan yang pasti (yakīn) dan bagaimana menimbulkan

pendapat (ẓann), serta tingkat dari persetujuan lainnya, seperti imajinasi dan

persuasi. Inilah yang dilakukan Aristoteles, kita diberitahu, dalam seni logika,

9 Sahrul Maulidi, Aristoteles, h. 76, dan Georgios Anagnostopoulos, A Companion to

Aristotle (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), h. 51.

73

yang mendahului dua ilmu tentang yang secara alami dan secara sengaja, yaitu

ilmu teoritis dan praktis.10

Kemudian di bidang logika dan falsafah bahasa, al-Fārābī membahas

mengenai komentar bebas atas Organon-nya Aristoteles dan risalah-risalah lepas

lainnya. Dalam katagori yang pertama, al-Fārābī telah menghasilkan

sekumpulan lengkap ringkasan Organon Aristotelian, termasuk yang sudah

menjadi kelaziman sejak masa-masa para komentator Alexandrian, Isagoge-nya

Porphyry,11 dan Rhetoric dan Poetics-nya Aristoteles. Ia juga menulis komentar

besar atas De Interpretatione. Ringkasan-ringkasannya bukan sekedar usaha

terperinci untuk menafsirkan teks-teks Aristoteles, juga bukan sekedar ringkasan

belaka, melainkan mengambil susunan dan inspirasi menyeluruh dari

Aristoteles, di samping mengembangkan interpretasi-interpretasinya sendiri

terhadap logika Aristotelian dan tradisi dari maszhab yang muncul darinya. Di

antara karya-karyanya yang lebih pribadi sebagian besar isi Kitāb al-Ḥurūf dan

Kitāb al-Alfāzh al-Musta’malah fi al-Manṭiq, juga dicurahkan pada topik-topik

logika dan kebahasaan, yang menekankan perlunya memahami hubungan

terminologi falsafah dengan bahasa dan tata bahasa yang lazim.12

Salah satu pokok perhatian dalam logika al-Fārābī, adalah menguraikan

sejelas-jelasnya hubungan antara logika, falsafah dan tata bahasa umum.

10 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs (Beirut: Dār Majallat Syia, 1961), h. 70, dan Majid

Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism (England: Oneworld Oxford, 2002), h. 25. 11 Porphyry (±232-305) ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dari Syria kuno,

murid sekaligus editor Plotinus. Porphyry juga menulis sejumlah komentar tentang Plato dan

Aristoteles. Karyanya yang paling berpengatuh adalah Isagoge, atau Introduction terhadap

Categories karya Aristoteles. Simon Blackburn, Kamus Filsafat, h. 676. 12 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku

Pertama) (Bandung: Mizan, 2003), h. 223.

74

Realitas historis masuknya falsafah ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan

budaya asing, masuknya bahasa Yunani kuno, dan munculnya kesulitan akibat

kebutuhan untuk menciptakan kosakata falsafah dalam bahasa Arab, menjadi isu

yang penting sekali bagi para failasūf Arab awal, termasuk para guru dan murid

al-Fārābī sendiri. Di samping itu, fokus kebahasaan dari sebagian besar logika

Aristotelian menciptakan konflik teritorial dengan para praktisi ilmu tata bahasa

Arab setempat yang melihat bahwa minat para failasūf pada logika Yunani tidak

lain hanyalah merupakan upaya untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan

Yunani. Karya-karya logika dan kebahasaan al-Fārābī menggambarkan salah

satu usaha sistematis untuk menyelaraskan pendekatan-pendekatan yang saling

berlawanan dalam studi bahasa.13

Konsentrasi logika al-Fārābī berhasil mengurai falsafah bahasa dan sistem

epistemologi keilmuan Yunani yang dianggap asing di mata bangsa Arab. Al-

Fārābī percaya bahwa setiap bahasa memiliki struktur linguistiknya sendiri-

sendiri. Sehingga ia berupaya mempertemukan kebahasaan antara falsafah

Yunani dan bahasa Arab, karena baginya memahami falsafah Yunani bukan

dengan cara mengarabisasikannya, tetapi dengan mengetahui maksud yang

disampaikan para failasūf Yunani hingga kemudian dapat diterima sejelas-

jelasnya oleh bangsa Arab. Maka al-Fārābī merubah paradigma di zamannya

yang mengupayakan untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan Yunani.

Sebaliknya, al-Fārābī melakukan penyelarasan pendekatan-pendekatan yang

saling berlawanan dalam studi bahasa dengan menggunakan logika.14

13 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 223. 14 Achmad Ghalib, Filsafat Islam (Jakarta: Faza Media, 2009), h. 117-118.

75

la menyatakan bahwa seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan,

yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan

manusia secara langsung pada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-

kesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti,

sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata. Logika adalah

kaidah-kaidah yang menunjukkan pemahaman dapat diuji melalui aturan-

aturannya, sebagaimana dimensi volume dan massa ditentukan oleh ukuran.15

Di sepanjang karya-karya linguistiknya, al-Fārābī mengangkat suatu

konsepsi tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan

kaidah-kaidah yang harus diikuti guna berpikir secara benar dalam bahasa apa

pun. Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang

dibangun atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya

tertentu. Karena itu, al-Fārābī meletakkannya dalam suatu bagian karyanya yang

terkenal Iḥṣā al-Ulūm, “seni (logika) ini analog dengan seni tata bahasa, dalam

pengertian bahwa hubungan logika dengan intelek dan intelijibel-intelijibel (hal-

hal yang dapat dipikirkan dan dipahami oleh akal) adalah seperti hubungan seni

tata bahasa dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan. Maksudnya, bagi setiap

kaidah pengungkapan yang diberikan oleh ilmu tata bahasa kepada kita, terdapat

suatu (kaidah) intelijibel sepadan yang diberikan oleh ilmu logika kepada kita.”16

Dengan menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu

berlandaskan kaidah (rule-based sciences) yang terpisah, masing-masing dengan

15 M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim (Bandung,

Mizan, 1998), h. 62. 16 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 223-

224.

76

lingkup dan pokok permasalahannya sendiri. Al-Fārābī berusaha dengan keras

membangun logika sebagai kajian otonom falsafah bahasa yang saling

melengkapi, bukan bertentangan dengan ilmu tata bahasa tradisional, akan

tetapi, meskipun logika dan tata bahasa masing-masing tetap merupakan ilmu

yang terpisah dan otonom, al-Fārābī juga berpendirian bahwa logikawan dan

failasūf bergantung pada ahli tata bahasa kerena kemampuan mereka dalam

mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa tertentu.

Karena itu, “seni tata bahasa seharusnya sangat diperlukan untuk menjadikan

kita tahu dan paham terhadap prinsip-prinsip seni (logika)”.17

Pada bagian falsafah yang mencerminkan pengaruh dari silabus Aristoteles,

al-Fārābī mengklasifikasikan pemikiran Aristoteles secara menyeluruh dan

sistematis. Hal ini dimulai dengan mendefinisikan logika, yang al-Fārābī sebut

sebagai seni yang menetapkan hukum-hukum umum yang meluruskan pikiran

ke arah yang pasti, membedakan mana yang benar dan mana yang salah sehingga

membimbing manusia menuju jalan kebenaran, dan kebenaran dalam hal

tersebut, di mana ia bertanggung jawab untuk kesalahan.18

قني وحنوالنافع من احناء التعليم والتعّلم إذ كانت تقوم اجلزء الناطق من النفس وتسّدده حنو اليوتبصره األشياء اليت تعدل به عن اليقني وعن األايء النافعة يف التعليم والتعّلم , وألجل اّّنا أيضا تبصره كيف النطق ابللسان وكيف املخاطبة اليت يكون هبا التعليم وكيف املخاطبة اليت هبا تكون

املغالطة .Al-Fārābī memiliki analogika tertentu untuk tata bahasa, sejauh logika

memberikan kita aturan yang mengatur intelejen (ma’qūlāt) dalam cara yang

17 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 224. 18 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 71.

77

sama bahwa tata bahasa memberi kita aturan istilah atau ungkapan yang

mengatur. Al-Fārābī berhati-hati mencatat, bahwa ada perbedaan besar antara

keduanya dan mengkritik mereka yang mengklaim bahwa studi logika itu

berlebihan, karena seperti tata bahasa, itu dapat dikuasai dengan mempraktikkan

penalaran logis, seperti halnya seseorang dapat menguasai tata bahasa dengan

menghafal sastra atau puisi.19

Cara kerja logika dikatakan al-Fārābī adalah sebagai pedoman atau

peraturan yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran

dalam lapangan yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kedudukan logika

dalam lapangan pemikiran dikiaskan al-Fārābī dengan kedudukan ilmu nahwu

dalam lapangan bahasa.20 Mengikuti Aristoteles, al-Fārābī kemudian

menetapkan ilmu semantik sebagai alat atau sarana untuk menetapkan hukum

umum guna memperkuat kesanggupan berpikir yang dapat membawa manusia

ke jalan yang tepat dalam menjelaskan kebenaran.21

Al-Fārābī menjelaskan bahwa logika memiliki beberapa fungsi: pertama,

sebagai kaidah-kaidah umum yang posisinya menjadi aturan untuk meluruskan

pikiran dari sesuatu yang membingungkan dan membimbing manusia menuju

jalan yang benar dari kemungkinan adanya kesalahan di semua objek yang dapat

dimengerti oleh akal (intelligibles). Kedua, logika berfungsi untuk mendorong

manusia untuk mencari pengetahuan yang benar berdasarkan hukum akal.

19 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 28. 20 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 28, dan Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:

Bulan Bintang, 1990), h. 88. 21 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 76.

78

Ketiga, sebuah hukum logis yang berfungsi sebagai alat untuk menguji pikiran-

pikiran agar tidak terjadi kesalahan, kekeliruan, dan kesesatan berpikir.22

شياء أخر ميكن أن يغلط فيها ويعدل عن احلق اىل ما ليس حبق وهى اليت شأّنا أن تدرك وأ .1 بفكر وأتمل.

ن الذي يلتمس الوقوف على احلق اليقني ىف مطلوابته كلها إىل قوانني املنطق.يضطر اإلنسا .2

قد العقل يكون أن يؤمن ماال املعقوالت يف هبا ميتحن آالت هي اليت املنطقية القوانني فإن .3 حقيقته. إدراك يف قصر أو فيه غلط

Meskipun sebagian besar logika al-Fārābī dicurahkan pada topik-topik

linguistik, ia juga memberikan sumbangan penting kepada aspek-aspek logika

yang lebih formal, seperti silogisme, teori demonstrasi, dan masalah-masalah

epistemologi. Alur menonjol dalam logika dan epistemologi al-Fārābī adalah

pengadopsian interpretasi hierarkis seni silogistik (termasuk retorika dan puisi),

yang mengidentifikasi demonstrasi sebagai metode falsafah yang paling tepat,

dan semua metode lain diturunkan statusnya hanya sebagai alat untuk

komunikasi non-falsafah.23

Teori demonstratif al-Fārābī sendiri terpusat pada analisis terhadap syarat-

syarat yang harus dipenuhi agar memperoleh ilmu atau pengetahuan ilmiah

“ḥaddada māhiyatu al-ma’rifati al-‘ilmiyyati (au al-yaqīni) wa syurūtihi”.24

Seperti pemikir muslim pengikut Aristoteles yang lain, al-Fārābī mendasarkan

analisis ini pada perbedaan antara dua tindakan kognitif dasar, yakni

22 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 28-29. 23 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 226. 24 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 6.

79

konseptualisasi (taṣawwur)25 dan pembenaran (taṣdīq)26. Tindakan pertama

bertujuan memahami konsep-konsep sederhana dan memungkinkan kita

mencerap esensi objek yang kita pahami itu ketika tindakan itu menjadi utuh

atau sempurna. Tindakan kedua, yaitu pembenaran, terjadi atau muncul dalam

pertimbangan dan penilaian benar atau salah, ketika tindakan itu utuh atau

sempurna, ia memberikan pengetahuan yang pasti. Dua tindakan kognitif ini,

pada gilirannya diidentifikasi berturut-turut sebagai tujuan yang ingin dicapai

oleh definisi dan silogisme demonstratif, dua topik penting yang dibahas dalam

Posterior Analitics-nya Aristoteles, sehingga analisis terhadap syarat-syarat bagi

konseptualisasi dan konfirmasi yang sempurna menjadi kunci interpretasi al-

Fārābī atas teori demonstratif Aristoteles.27

Salah satu sisi penting interpretasi ini adalah analisis al-Fārābī tentang

kepastian (certitude) yang mencirikan konfirmasi sempurna. Al-Fārābī

mendefinisikan kepastian mutlak dalam batas-batas yang disebut sebagai

pengetahuan tingkat-kedua, dengan menegaskan bahwa kepastian itu terdiri dari:

(1) keyakinan bahwa kebenaran yang telah kita terima mustahil menjadi

kebalikannya (salah); dan (2) keyakinan bahwa, tidak ada keyakinan lain yang

mungkin selain keyakinan yang kita pegang (al-Fārābī menambahkan bahwa

proses ini sesungguhnya dapat berlanjut adinfinitum atau sampai tidak

terhingga). Singkatnya, kepastian tidak hanya mensyaratkan pengetahuan kita

25 Taṣawwur adalah hasil gambaran tentang sesuatu dalam pikiran (ḥuṣūlun ṣūratu al-syaii

fī al-aqli), seperti konsep Ahmad, Tohir, Engkau, Rumah, Burung, Pohon, dll. Mufaḍḍhal ibn

‘Umar, Īsāghūjī (İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011), h. 2. 26 Taṣdīq adalah mengetahui hubungan (relasi) antara dua konsep yang memiliki

kemungkinan benar atau salah (isnādun amrun ilā amrin ākhara ījābān au salbān), seperti

pernyataan bahwa “Muhammad Abduh adalah pencetus kebangkitan Islam modern”, dan “Indonesia

adalah negara yang kaya”. Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 2. 27 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 19-22.

80

bahwa sesuatu itu adalah suatu hal, tetapi juga pengetahuan bahwa kita

mengetahuinya. Setelah mendefinisikan kepastian dengan cara demikian, al-

Fārābī dapat membebaskan dari interpretasi tradisional. Dengan demikian

memungkinkan adanya kepastian niscaya (ḍarūrī) yaitu bahwa apa yang

diyakini seseorang sebagai suatu hal mustahil merupakan hal yang lain untuk

selama-lamanya. Dan kepastian tidak niscaya (ghairu ḍarūrī), yaitu kepastian

yang hanya pada saat-saat tertentu saja. Kepastian niscaya mensyaratkan suatu

objek yang niscaya dan abadi keberadaannya, sedangkan kepastian tidak niscaya

tidaklah demikian: “kepastian niscaya dan wujud yang niscaya dapat ditukar

sesuai dengan keperluan, karena apa yang diverifikasi sebagai kepastian-niscaya

adalah wujud yang niscaya”.28

Kemudian, al-Fārābī dalam pembahasan logika, yang merupakan terjemah

dan sekaligus komentar dari Organon karya Aristoteles, Ia membagi pada

delapan pembahasan:

1. The Categories (al-Maqūlat, Qātiguriās), mengupas tentang pembagian

ungkapan-ungkapan linguistik menjadi ungkapan non-proposisional.29

Kemudian ungkapan non-proposisional ini dibagi menjadi 10 katagori.

Seluruh kata atau kata-kata yang menunjukkan satu pengertian dalam

pembicaraan maupun tulisan kita sehari-hari itu menurut Aristoteles tidak

28 Di samping pembahasan dalam Kitāb al-Burhān, al-Fārābī juga menulis pada kelanjutan

pembahasan pada topik ini, yang disebut Syarā’ith al-Yaqīn (Syarat-Syarat Kepastian) dalam

Manthiq ‘Inda al- Fārābī (Kitāb Syarā’iṭ al-Yaqīn) (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 97-104. 29 Ungkapan proposisional adalah rangkian kata-kata yang merupakan pernyataan lengkap

atau proposisi. Ungkapan non-proposisional merupakan kata tunggal atau majemuk yang

menunjukkan sesuatu pengertian saja. Ungkapan ini belum dapat dinilai apakah benar atau salah,

karena belum menjadi pernyataan lengkap.

81

akan terlepas dari 10 katagori pengertian itu. Adapun katagori-katagori

tersebut adalah:

a. Substansi (Substance), yang juga sering disebut esensi, hakikat atau zat,

ialah materi dasar yang dimiliki oleh sesuatu yang dapat berdiri sendiri,

yang merupakan jawaban dari pertanyaan “apa”nya sesuatu itu.

b. Jumlah (quantity), yang menerangkan besaran atau ukuran substansi,

yang merupakan jawab pertanyaan “berapa”?

c. Sifat (quality), ialah atribut yang melekat pada substansi, merupakan

jawab dari pertanyaan “bagaimana”?

d. Relasi (relation), yang menunjukkan hubungan antara suatu substansi

dengan yang lain, merupakan jawab pertanyaan-pertanyaan “apa atau

bagaimana hubungannya”?

e. Aksi (action), yang menyatakan kegiatan atau perubahan substansi yang

berpangkal pada suatu prinsip atau sebab, merupakan jawaban

pertanyaan “apa yang diperbuat”?

f. Pasi (passion atau affection), yang menunjukkan penderita atau sasaran

tindakan stansi, merupakan jawab dari pertanyaan “apa sasarannya”?

g. Tempat (place), ialah ruang penempatan substansi, yang merupakan

jawab pertanyaan “dimana”?

h. Waktu (time), yang menyatakan tempo atau berapa lama substansi itu

ada, merupakan jawab pernyataan “kapan”?

i. Posisi (position), yang menjelaskan kedudukan sebstansi dalam suatu

tempat, merupakan jawab pertanyaan “apa kedudukannya”? atau

“bagaimana posisinya”?

82

j. Keadaan (state), yang menerangkan pemilikan khusus yang menyertai

kedudukan substansi, merupakan jawab pertanyaan “bagaimana

keadaannya”?

2. On Intepretation (al-‘Ībārah, Bāri Ermeniās: Greek, Peri Hermeias), dua

jilid, berisi pembahasan tentang bentuk-bentuk baku proposisi mantiki,

yang berkaitan dengan proposisi atau ekspresi majemuk.

3. Prior Analytics (al-Qiyās, Analytica Priora), dua jilid, membicarakan

bentuk-bentuk baku silogisme yang dipergunakan orang dalam berhujjah

atau berargumen, yang membahas tentang aturan-aturan wacana umum.

4. Posterior Analytics (al-Burhān, Analytica Posteriora), yang menjelaskan

tentang aturan dalam argumen demonstratif tentang hakikat ilmu

pengetahuan ilmiah.

5. Dialectic (Mawādi Jadaliyah, Topica), ada delapan jilid, menelaah tentang

hukum-hukum perbantahan secara dealektik, semacam pedoman berdiskusi

yang melibatkan argumen yang harus valid atau sahih.

6. Sophistics (Mughālaṭah, Sophistica), berisi kupasan yang rumit tentang

argumen-argumen yang menyesatkan, seperti dilema dan paradoks.

7. Rhetoric (Khatābah, Rhetorica), yang berkaitan dengan argumen retoris dan

varietas pidato otorial dan kefasihan.

8. Poetics (al-Syi‘ir, Poetica), yang berkaitan dengan wacana puitis, bagian-

bagiannya dan aturan pembacaan puisi atau prosodi.30

30 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 72-83, dan Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 44-46, dan

Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism, h. 41-42, dan Richard McKeon, (ed.),

Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library, 1947), h. 2.

83

C. Argumen Demonstrasi (Burhān)

Demonstasi (burhān), yaitu kaidah-kaidah yang mempelajari pernyataan-

pernyataan demonstratif, kaidah-kaidah yang berkenaan dengan persoalan-

persoalan falsafah dan berkaitan dengan semua tindakan yang lebih utama dan

lebih sempurna. Demonstrasi (burhān) merupakan standar para failasūf yang

dengannya mereka dapat mengetahui kejujuran dari kebohongan dalam ucapan,

kebenaran dari kesalahan dalam pendapat, dan kebenaran dari kesalahan dalam

keyakinan, serta kebaikan dari keburukan dalam tindakan.31 Demonstrasi adalah

silogisme yang tersusun dari premis-premis yang jelas untuk menghasilkan

kesimpulan yang pasti.32 Menurut al-Fārābī sendiri demonstrasi adalah prinsip-

prinsip rasional yang dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah kepastian

pengetahuan dan bukan sebaliknya.33

فالربهانية هي األقاويل اليت شأّنا أن تفيد العلم اليقني يف املطلوب الذي نلتمس معرفته، سواء استعملها اإلنسان فيما بينه وبني نفسه يف استنباط ذلك املطلوب أو خاطب هبا غريه، أو خاطب

ال الذي أحواهلا كلها شأّنا أن تفيد العلم اليقنيهبا غريه يف تصحيح ذلك املطلوب، فإّنا يف .خالفه يكون أن أصال ميكن

Pada bagian ini, adalah menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode

yang dasar dengan tujuan untuk memverifikasi kebenaran obyektif, dan

membuatnya yakin bagi pikiran kita. Nilai argumen dalam membangun

kebenaran dan kepastian, sepenuhnya bergantung pada kekuatan dan tingkat

bukti yang ditunjukkannya, yang mungkin memberikan keyakinan pada

berbagai bukti, atau sebaliknya. Dari sudut pandang ini, argumen terbagi

31 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 82. 32 Mufaḍḍal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 14-15. 33 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 38.

84

menjadi dua bagian. Pertama, argumen yang pasti atau demonstrasi, di mana

bukti itu sendiri meyakinkan. Kedua, argumen yang mungkin atau diragukan, di

mana bukti hanyalah probabilitas, dan karenanya tidak meyakinkan. Jelas

bahwa, dari dua bagian ini, hanya yang pertama yang dapat disebut demonstrasi

dalam arti kata yang jelas.34

Argumen demonstratif merupakan deduksi kebenaran proposisi dari

proposisi lain yang sudah dikenal dan diakui kebenarannya, dan deduksi ini

dilakukan dengan menggunakan silogisme. Dasar dari semua demonstrasi harus

menjadi aksioma bahwa “kebenaran tidak mengandung apa pun kecuali yang

benar.” Konsekuensinya, semua yang mengikuti kebenaran tertentu, pastilah

benar. Jika suatu kebenaran dapat mengandung konsekuensi yang salah, secara

pasti akan berhenti menjadi kebenaran. Konsekuensinya lagi, karena “kebenaran

tidak dapat menentang apa yang benar,” apa pun yang bertentangan dengan

kebenaran tertentu, pastilah salah. Dari dua kontradiksi, yang satu harus benar

dan yang lainnya salah, dan karena dua pertentangan tidak bisa keduanya benar

secara bersamaan, jika satu benar, yang lain harus salah. Untuk mendapatkan

gagasan yang jelas tentang demonstrasi, kita harus membedakan antara materi

(matter) dan bentuk (form)-nya.35

Sebagai materi (matter) dari setiap argumen, pertama-tama segala sesuatu

harus dibuktikan, dan ini disebut tesis atau proposisi yang ditetapkan sebagai

sebuah dalil jika ia adalah bersifat teoritis, dan sebagai sebuah masalah jika

bersifat praktis. Poin utama yang dipermasalahkan dalam tesis, biasanya

34 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic (London: Longmans,

1887), h. 88-89. 35 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 89.

85

dinyatakan dalam bentuk interogatif, dikenal sebagai “pertanyaan”. Penjelasan

dari tesis utama ini, dependensi dan sub-dependensi disebut secara umum

sebagai pengembangan dari kondisi pertanyaan. Kemudian ada sesuatu yang

terbukti dari tesis, yang disebut sebagai prinsip atau landasan demonstrasi. Hal

ini bisa secara langsung, yaitu ketika kebenaran tersebut jelas bagi pikiran tanpa

bukti. Atau secara tidak langsung, yaitu ketika kebenaran tersebut harus dibuat

jelas dengan adanya bukti. Dalam hal ini, prinsip demonstrasi terdiri dari sebuah

kesepakatan yang digunakan sebagai principium demonstrationis36 dalam

kesepakatan yang didasarkan padanya, dan harus sudah dibuktikan sendiri, atau

setidaknya dapat dibuktikan. Jika tidak benar-benar terbukti, itu hanya menjadi

sebuah asumsi.37

Berbeda dengan materi (matter), Bentuk (form) Demonstrasi adalah

konsekuensi yang diperlukan tesis dari prinsip demonstrasi. Hanya ada sebuah

konsekuensi seperti itu yang bisa menjadi sebuah argumen. Oleh karena itu,

terdapat kebenaran deduksi.

Terakhir, harus dicatat bahwa demonstrasi pada dasarnya tergantung pada

principia per se nota (terbukti dengan sendirinya), yang tanpanya argumen akan

menjadi mustahil. Alasannya, jika setiap proposisi diambil untuk dasar

demonstrasi, maka diperlukan bukti. Kita harus terus mencari selamanya dan

argumen kita tidak akan pernah berakhir, maka akibatnya akan berhenti menjadi

36 Hukum kontradiksi atau principium contradictionis (Bahasa Inggris: law of

contradiction) adalah aturan yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu itu pada waktu yang

sama adalah sesuatu itu dan bukan sesuatu itu. Maksudnya: mustahil sesuatu itu adalah hal satu dan

bertentangan pada waktu yang bersamaan. https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_kontradiksi.

Diakses pada 16 Mei 2019, pukul 09:55. 37 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 90.

86

sebuah argumen. Seperti pada kasus paralel dalam menangani definisi. Sama

seperti definisi yang tidak akan mungkin kecuali jika dimulai dari mengarahkan

pada konsep-konsep yang tidak dapat didefinisikan. Demikian juga argumen

tidak mungkin kecuali didasarkan pada yang mengarah kembali ke proposisi

yang tidak dapat dihindarkan, atau tidak memerlukan maupun mengakui bukti.38

Aturan dalam Argumen Demonstratif, yang berhubungan dengan (1) tesis,

(2) prinsip atau landasan demonstrasi, (3) silogisme sebagai instrumen argumen,

adalah sebagai berikut:39

1. Aturan untuk tesis, merupakan pengertian yang harus ditentukan dengan

jelas, bahwa tidak ada hal lain yang dapat dibuktikan selain apa yang harus

dibuktikan. Oleh karena itu, sebelum memulai argumen, keadaan

pertanyaan harus selalu dijelaskan dan ditetapkan dengan jelas. Khususnya

adalah penjelasan yang diperlukan ketika tesis mungkin memiliki banyak

makna atau makna yang tidak jelas, dengan alasan bahwa penjelasannya

harus memadai dan masuk akal.

2. Aturan pada prinsip atau landasan demonstrasi, yaitu meliputi:

a. Benar dan pasti, karena apa yang diragukan dan tidak pasti tidak dapat

menjadi dasar pembuktian. Aturan ini terutama berlaku untuk argumen

obyektif, tetapi tidak boleh dilanggar dalam argumen subyektif.

b. Prinsip demonstrasi harus diakui sebagai benar dan pasti sebelum dapat

menjadi dasar argumen, atau dasar pembuktian.

38 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 91. 39 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 91-93.

87

c. Prinsip demonstrasi harus lebih dikenal daripada tesis, jika tidak maka

tidak dapat menjawab akhir membuktikan atau menjelaskan tesis.

d. Yang terakhir, prinsip demonstrasi harus berbeda dari tesis, karena itu

adalah prinsip yang digunakan untuk membuat tesis. Oleh karena itu

tidak boleh mengungkapkan hal yang sama, juga tidak boleh memiliki

sifat yang sama dengan tesis.

3. Terakhir, adalah aturan untuk silogisme yang dianggap sebagai bagian dari

argumen. Pertama, tidak boleh ada pelanggaran hukum dan aturan untuk

silogisme. Dan kedua, semua bagiannya harus benar. Singkatnya, silogisme

atau serangkaian silogisme harus dalam seluruh perluasannya, harus benar

secara formal dan material. Karena itu, semua aturan untuk kebenaran

formal dan material dari silogisme berlaku dengan kekuatan yang sama

dalam argumen. Bertentangan langsung dengan tiga kelas aturan untuk

argumen tersebut, maka akan mengalami kekeliruan atau sofisme.

D. Silogisme Demonstrasi (Qiyās Burhānī)

Silogisme demonstrasi40 (qiyās burhānī) adalah silogisme yang tersusun

dari proposisi-proposisi yang sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya

(yaqīniyyah) dan niscaya menghasilkan konklusi benar.

Silogisme ini merupakan bentuk dari pembuktian demonstratif, sedangkan

materinya adalah proposisi-proposisi yaqīniyyah, baik proposisi tersebut berupa

proposisi aksiomatis yang jelas dengan sendirinya atau proposisi teoretis yang

dijelaskan dengan merujukkannya pada proposisi aksiomatis. Silogisme ini

40 Dalam menerjemahkan qiyās burhānī, penulis memilih kata ‘silogisme demonstratif’.

88

menghasilkan keyakinan dalam pengertian yang sangat khusus, yaitu keyakinan

kuat yang sesuai dengan realitas mutlak yang konstan. Maka, “keyakinan” di

sini adalah lawan dari dugaan, “sesuai dengan realitas” adalah lawan dari

kebohongan sebagaimana yang terjadi pada ketidaktahuan kompleks (jahl

murakkab), “mutlak” adalah lawan dari kenisbian, dan “yang konstan” adalah

lawan dari perubahan.41

Tujuan dari demonstrasi ini adalah mengetahui objek-objek sebagaimana

adanya dalam realitas, dan pengetahuan yang mutlak dan kekal tanpa perubahan.

Akhir dari demonstrasi adalah ilmu pengetahuan, yang dapat didefinisikan

sebagai pengetahuan tertentu tentang kebenaran. Ini berkaitan dengan

kesimpulan, bukan dengan prinsip-prinsip yang menjadi dasar kesimpulan

tersebut, karena kita dikatakan lebih memahami Prinsip Pertama daripada

memiliki pengetahuan ilmiah tentangnya. Ilmu pengetahuan tidak mengajarkan

kita bahwa hal-hal yang sama untuk sesuatu yang sama adalah sama satu sama

lain, atau bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab. Prinsip Pertama lebih pasti

dan lebih diketahui oleh kecerdasan manusia daripada kesimpulan yang diambil,

karena pengetahuan kita tentang Prinsip Pertama adalah langsung (immediate),

sedangkan pengetahuan kita tentang kesimpulan hanya memediasi (mediate).42

Demonstrasi atau silogisme demonstrasi yang berhubungan dengan

berbagai penggunaan Ilmu pengetahuan, menurut Richard F. Clarke dalam

bukunya Logic terbagi pada beberapa divisi:43

41 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika: Sebuah Daras

Ringkas (Jakarta: Sadra Press, 2018), h. 117. 42 Richard F. Clarke, Logic (London: Longmans, 1921), h. 420. 43 Richard F. Clarke, Logic, h. 422-424.

89

a. Argumen priori dan argumen posteriori

Argumen priori adalah dimulai dari yang universal hingga yang khusus, dari

prinsip pertama hingga kesimpulan yang mengikutinya, dari sebab hingga

akibat. Sedangkan argumen posteriori berasal dari yang khusus ke

universal, dari hasil prinsip ke prinsip itu sendiri, dari sebab ke penyebab.

Jadi, jika berdebat tentang ketidakterbatasan Tuhan sampai kekekalan-Nya,

dengan menggunakan argumen priori, maka silogisme ini adalah sebagai

berikut:

Semua hal yang kekal adalah kekal

Tuhan itu abadi

Jadi, Tuhan itu kekal.

Tetapi jika argumen tersebut adalah sebuah posteriori yaitu tentang sifat

tergantung dan bergantung pada hal-hal yang diciptakan dari eksistensi yang

berdiri sendiri yaitu Pencipta mereka, maka silogisme tersebut adalah:

Semua hal yang tidak berdiri sendiri menyiratkan keberadaan wujud pada

siapa mereka bergantung

Semua hal yang diciptakan tidak berdiri sendiri

Jadi, Semua hal yang diciptakan menyiratkan keberadaan makhluk di mana

mereka bergantung.44

b. Demonstrasi harus murni, empiris, dan bercampur.

44 Dari argumen di atas adalah proses dari sebab menuju ke penyebab efisien mereka

sendiri.

90

Demonstrasi Murni berasal dari premis-premis yang keduanya merupakan

priori, seperti dalam Matematika. Demonstrasi empiris berasal dari premis-

premis yang keduanya merupakan posteriori, seperti dalam Kimia dan ilmu

fisika.

Sedangkan demonstrasi dikatakan bercampur ketika premis Minor berlaku

untuk susunan yang nyata dari pernyataan premis utama. Seperti pada

contoh:

Semua bidang segitiga memiliki garis lurus untuk setiap sisinya

ABC adalah bidang segitiga

Jadi, ABC memiliki garis lurus untuk setiap sisinya.

c. Argumen langsung (direct) dan tidak langsung (inderect)

Dalam Argumen Langsung, menunjukkan pada kesimpulan yang benar

dengan argumen positif. Sedangkan dalam Argumen Tidak Langsung

menunjukkan kesimpulan yang benar dengan menunjukkan pada sesuatu

yang absurd (absurditas) dari setiap alternatif lain.

d. Absolut dan relatif

Argumen Absolut berasal dari premis-premis yang benar pada dirinya.

Argumen Relatif muncul dari premis-premis yang disepakati antara subjek

(pembicara) dan objek (lawan bicara), tanpa mempertimbangkan apakah itu

benar atau tidak. Seperti ketika membuktikan skeptis adalah salah dengan

mengasumsikan premisnya sendiri, dan menunjukkan kepadanya

bagaimana dia berbeda.

91

1. Jenis-Jenis Silogisme Demonstratif

Karena demonstrasi ini sejenis silogisme, maka term tengah (ḥadd ausaṭ)

yang ada di dalamnya mestilah sebab (‘illah) bagi penilaian (taṣdīq) di konklusi

pada taraf itsbāt (penetapan).

Namun, karena yang dikehendaki dari demonstrasi adalah menghasilkan

keyakinan yang sesuai dengan realitas, maka mestilah ia didasarkan pada

hubungan kohesif alami dalam realitas antara term tengah dan konklusi. Dan

hubungan kohesif tersebut hanya ada dalam poros sebab-akibat (‘illiyyah).

Berdasarrkan hal ini, maka mestilah term tengah tersebut berupa sebab atau

akibat bagi konklusi, atau term tengah dan konklusi merupakan akibat dari satu

sebab.45

Berdasakan hubungan term tengah dengan konklusi dari sisi ini, selanjutnya

para ahli logika membagi demonstrasi ke dalam tiga jenis:46

1. Burhān limmī (demonstrasi dari sebab menuju akibat), yaitu argumentasi

yang term tengahnya merupakan sebab-penetapan (‘illah itsbātiyyah) dan

sebab-kenyataan (‘illah tsubūtiyyah) bagi konklusi. Dan di sini, tingkat

‘penetapan’ (itsbāt) sejalan dengan tingkat ‘kenyataan’ (tsubūt).

Contoh:

Kayu ini terkena api

Setiap kayu yang yang terkena api terbakar

Jadi, kayu ini terbakar

45 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 118. 46 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 119-122, dan

Atsīr al-Dīn al-Abharī, Mughnī al-Ṭullāb: Syaraḥ Matan Īsāghūjī (Damasyqu: Dār al-Fikr, 2003),

h. 89-90.

92

Terkena api di sini, sebagaimana merupakan sebab, yakni sebab-penetapan

atau sebab dalam menetapkan term mayor (terbakar) terhadap term minor

(kayu ini). Ia juga merupakan sebab-kenyataan, yakni sebab terbakarnya

kayu dalam realitas adalah lantaran dikenakannya api padanya.

2. Burhān innī (demonstrasi dari akibat menuju sebab), yaitu argumentasi yang

term tengahnya merupakan sebab-penetapan bagi konklusi (yakni sebab

bagi penilaian di konklusi).

Demonstrasi tipe ini ada dua macam:

a) Koklusi penetapan (tsubūt) term mayor terhadap term minor, merupakan

sebab-kenyataan bagi term tengah.

Contoh:

Besi ini memuai

Setiap yang memuai adalah panas

Jadi, besi ini panas

Term tengah (memuai) merupakan sebab-penetapan dalam menetapkan

term mayor (panas) terhadap term minor (besi ini), tetapi ia merupakan

akibat bagi konklusi menurut realitas, karena “memuai” dalam

realitasnya merupakan akibat dari penetapan panas pada besi. Bagian ini

disebut dalīl.

b) Term tengah dan konklusi adalah akibat bagi satu sebab.

Contoh:

Di tempat ini ada cahaya

Setiap tempat yang ada cahayanya adalah panas

93

Jadi, tempat ini panas

Term tengah (ada cahaya) dan konklusi (tempat ini panas) merupakan

akibat dalam realitas bagi satu sebab yaitu “api”, misalnya.

3. Burhān syibh limmī atau al-mulāzamāt (demonstrasi yang serupa dengan

‘demonstrasi dari sebab menuju akibat’), yaitu argumentasi yang term

tengahnya – dalam kaitan dengan keberadaan – merupakan sebab penetapan

bagi konklusi. Maka, ia merupakan ‘illah taḥlīliyyah tsubūtiyah juga

baginya, bukan sebab-eksternal (‘illah khārijiyyah), yakni ia tidak termasuk

dalam empat sebab.47

Burhān syibh limmī menyerupai burhān limmī dalam hal keberadaan term

tengah sebagai sebab-faktual bagi konklusi, tetapi berbeda dalam hal

keberadaannya sebagai ‘illah wāqi’iyyah taḥlīliyyah, bukan sebagai salah

satu dari empat sebab-eksternal. ‘illah taḥlīliyyah artinya keberadaan term

tengah sebagai lāzim dan jelas bagi term minor, dan term mayor (ḥadd

akbar) sebagai lāzim dan jelas bagi term tengah.

Contoh:

Alam ini berubah

Setiap yang berubah adalah bersifat baru

Jadi, alam ini adalah bersifat baru

Maka term tengah di sini (berubah) merupakan illah wāqi’iyyah taḥlīliyyah

bagi konklusi, yaitu “alam adalah bersifat baru”.

47 Maksud dari empat sebab di antaranya adalah: sebab (1) sebab material (māddah), (2)

sebab formal (ṣūrah), (3) sebab efisien (fā’ilah), (4) dan sebab final (ghāyah). Al-Fārābī, Kitāb al-

Burhān, h. 26-27.

94

2. Syarat-Syarat Premis dalam Demonstrasi

Terdapat beberapa syarat yang mesti dipenuhi dalam premis untuk

menjamin adanya keyakinan mutlak yang benar dan pasti. Kriteria keyakinan

adalah kejelasan, sedangkan kriteria benar, mutlak, dan pasti adalah adanya

sebab asersi dalam taraf penetapan (itsbāt), yang pada dirinya sendiri merupakan

sebab keyakinan dalam hal-hal yang memiliki sebab. Syarat-syarat tersebut

adalah sebagai berikut:48

1. Premis tersebut harus sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya

(yaqīniyyah), entah dijelaskan dengan sendirinya lantaran keaksiomatiknya

atau dijelaskan dengan merujukkannya kepada proposisi-proposisi

aksiomatis, sehingga ia menjadi lebih jelas bagi kita ketimbang konklusi.

Syarat ini diperlukan karena premis itu merupakan sebab penetapan bagi

konklusi. Sekiranya premisnya bukan dari yaqīniyyah, maka ia tidak bisa

menjadi sebab penetapan bagi konklusi.

2. Premis-premis hendaklah lebih dahulu ada, baik esensinya maupun sifatnya,

daripada konklusi serta sesuai dengan konklusinya. Artinya, mesti ada

hubungan afinitas di antara premis-premis dan konklusi. Dengan demikian,

secara eksistensial premis-premis harus ada, sehingga kemunculan konklusi

darinya menjadi sah. Pasalnya, premis-premis merupakan sebab kenyataan

bagi konklusi. Ini merupakan syarat bagi premis-premis dalam demonstrasi

hakiki, yakni burhān limmī.

3. Premis hendaklah “niscaya benar”, yakni pengetahuan tentang

kebenarannya tidak dapat hilang atau berubah karena ia mendatangkan

48 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 124-127.

95

keyakinan dalam pengertian yang sangat khusus. Inilah yang membedakan

antara demonstrasi dengan jenis-jenis silogisme yang lain.

4. Predikat-predikat dalam premis-premis hendaklah bersifat esensial bagi

subjek-subjeknya. Hal ini membutuhkan penjelasan, karena kata ‘esensial’

– yang termasuk kata ekuivokasi (isytirāk lafzhī) – memiliki banyak makna

dalam logika dan falsafah. Berikut di antara makna-makna terpentingnya:

a) Esensial dalam bab Īsāghūjī, yaitu esensial yang merupakan lawan dari

aksidental. Dalam bab ‘lima (konsep) universal’ (kulliyyāt khamsah)

telah dijelaskan bahwa esensial terbagi menjadi tiga, yaitu genus (jins)

dan diferensia (faṣl) dalam hubungan dengan spesies (nau’).49

b) Esensial dalam bab al-ḥaml (predikat), yaitu esensial yang disebut

dengan ‘aradh dzātī (sifat esensial) dan merupakan kebalikan dari ‘aradh

gharīb (sifat asing). Aradh dzātī ini subjeknya atau sesuatu yang

menopangnya diambil dalam definisinya.50

Contoh: genap dalam hubungannya dengan dua, karena makna genap

adalah terbaginya bilangan menjadi dua bagian yang sama besar, dan

bilangan tersebut adalah yang bisa dibagi dua karena dua merupakan

genusnya. Dan juga pada contoh dinamis dan statis dalam hubungannya

dengan benda-benda alami.

49 Jins huwa kulliyun maqūlun ‘ala katsīrīna mukhtalifaini bi al-ḥaqāyiqi fī jawābin mā

huwa, ka al-ḥayawāni bi al-nisbati ilā al-insāni wa al-faras. Faṣl huwa kulliyun maqūlun ‘ala

katsīrīna mukhtalifaini bi al-‘adadi dūna al-ḥaqīqatu fī jawābin mā huwa, ka al-insāni bi al- nisbati

ilā Zaidun wa ‘Amrun. Nau’ huwa kulliyun maqūlun ‘ala syaii fī jawābin aiyi syaiin huwa fī ḍādzihi,

ka al-nātiqi bi nisbati ilā al-insān. Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 3-4, dan Al-Fārābī, Manṭiq

‘Inda al- Fārābī: Īsāghūjī, al-Juz’u al-Awwal (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 76-79. 50 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 29.

96

c) Esensial dalam bab al-burhān (demonstrasi), yaitu esensial yang

mencakup dua jenis esensial sebelumnya. Ia adalah predikat (al-

maḥmūlāt) yang diambil dalam definisi subjeknya, atau yang subjeknya

atau apa yang menopang subjeknya diambil dalam definisinya. Contoh:

setiap manusia adalah hewan. 51

Para logikawan dan failasūf mensyaratkan keberadaan predikat sebagai

esensial bagi subjek dalam dua premis demonstrasi. Hal ini bertujuan

untuk menjamin kejelasan bagi kita, dan premis tersebut merupakan

sebab secara esensi bagi konklusi, bukan secara aksiden.

5. Premis-premis tersebut hendaklah bersifat universal (kullīyyah): dalam

pengertian bahwa predikat dapat diterapkan pada semua satuan (afrād)

subjek dan dalam semua waktu dan keadaan, hingga terjamin kontinuitasnya

bagi kita. Di samping itu, tidak ada keterpisahan predikat dari subjek dalam

keadaan apa pun.

E. Metode Burhānī (Demonstrasi)

Metode demonstrasi atau Burhānī merupakan metode deduksi untuk

mengambil kesimpulan berdasarkan premis yang pasti. Metode deduksi berbeda

dengan induksi. Menurut al-Fārābī, metode induksi mirip dengan pengalaman

indriawi, tetapi keduanya tidak sama. Metode induksi merupakan salah satu

bagian dari kemampuan akal yang beroperasi melalui bantuan memori dan alat-

alat indriawi. Dengan kata lain, induksi, menurutnya, tidak mengarahkan pada

dasar pengetahuan.52 Untuk membedakan antara induksi dan pengalaman

51 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 28. 52 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 258-259.

97

indriawi adalah dengan katagori kepastian yang pasti yaitu dengan metode

demonstrasi.

Pernyataan dalam sebuah demonstrasi harus merupakan pernyataan yang

benar pada hakikatnya, yang al-Fārābī sebut sebagai keyakinan (al-yaqīn).

Keyakinan ini merupakan sebuah kebenaran yang dihasilkan dari pernyataan

yang tidak mungkin berbeda dari selain dirinya, sehingga menghasilkan sebuah

kesimpulan yang benar. Al-Fārābī juga memberikan penjelasan tentang yang

bukan sebuah keyakinan (laisa bi yaqīn), bahwa ia adalah keyakinan yang

dihasilkan dari pernyataan yang berbeda dari keyakinan itu sendiri.53

Keyakinan (al-yaqīn) terbagi menjadi dua, yaitu: keyakinan yang pasti

(ḍarūrī) dan keyakinan yang tidak pasti (ghairu ḍarūrī). Keyakinan yang pasti

merupakan keyakinan yang tidak mungkin pada wujud dan aslinya terdapat

perbedaan pada waktu tertentu. Ia tidak mungkin menunjukkan kebohongan,

tetapi menunjukkan hasil pemikiran yang positif atau negatif. Keyakinan yang

pasti dihasilkan dari suatu wujud yang tetap ada, seperti universal (kullī) lebih

besar dari partikular (juz’ī), pada perkara ini tidak mungkin berubah. Keyakinan

yang pasti ini merupakan landasan untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang

sesuai dengan pengetahuan demonstrasi. Yang menurut Mufaḍḍhal ibn ‘Umar,

dalam bukunya Īsāghūjī, bahwa keyakinan yang pasti dalam demonstrasi terbagi

menjadi enam:54

53 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 20. 54 Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 14-15, dan Atsīr al-Dīn al-Abharī, Mughnī al-Ṭullāb:

Syaraḥ Matan Īsāghūjī, h. 90-92.

98

1. Awwaliyāt, adalah pengetahuan-pengetahuan pasti yang dihukumkan oleh

akal tanpa membutuhkan dalil, cukup melihat pada subjek (mauḍu’) dan

predikat (maḥmūl). Contoh: satu setengah dari dua atau universal (kullī)

lebih besar dari partikular (juz’ī).

2. Musyahadāt, merupakan proposisi-proposisi (qaḍiyyah) yang dihukumkan

oleh akal dengan menyaksikan secara dzāhir dan bāṭin. Contoh: secara

dzāhir, matahari bersinar terang (dengan pandangan mata) atau api yang

membakar (dengan menyentuh). Secara bāṭin, bahwa kita lapar dan haus.

3. Mujarrabāt, adalah proposisi-proposisi (qaḍiyyah) yang dihukumkan oleh

akal dengan pengulangan yang menunjukkan keyakinan. Contoh: meminum

obat ini dapat menghilangkan sakit perut.

4. Ḥatsiyyāt, adalah kesimpulan (natījah) yang langsung dihasilkan oleh akal

ketika melihat sughra dan kubra. Contoh: cahaya bulan diambil dari

matahari.

5. Mutawātirāt, merupakan proposisi-proposisi (qaḍiyyah) yang dihukumkan

oleh akal dengan perantara mendengar dari kelompok atau kaum, yang mana

perkataan atau kesepakatan mereka tidak mungkin bohong. Contoh:

Muhammad SAW mendakwahkan kenabiannya dan menunjukkan mukjizat

melalui tangannya.

6. Qaḍāyā Qiyāsātuhā Ma’ahā, merupakan proposisi-proposisi (qaḍiyyah)

yang dihukumkan oleh akal dengan perantara yang ada pada akal. Contoh:

empat adalah bilangan genap (akal menghukumi bahwa empat merupakan

bilangan genap).

99

Sedangkan keyakinan yang tidak pasti (ghairu ḍarūrī) adalah sebaliknya,

yaitu keyakinan dalam waktu tertentu. Ia menunjukkan sebuah kebohongan.

Pada keyakinan yang tidak pasti ini dihasilkan dari perpindahan wujud yang

berubah, seperti pada keyakinan bahwa kamu berdiri dan Zaid ada di dalam

rumah.55

Hal ini juga dipertegas oleh penjelasan Aristoteles dalam Posterior

Analytics,56 bahwa pengetahuan demonstratif harus bertumpu pada dasar

kebenaran, karena objek pengetahuan ilmiah tidak lepas dari dasar kebenaran

tersebut. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada subyek, juga harus melekat

pada atribut itu sendiri, karena esensi atribut adalah dasar dalam sifat esensial

dari subjek itu sendiri. Dari sinilah premis-premis dari silogisme demonstratif

harus merupakan hubungan-hubungan yang esensial, karena semua atribut harus

ada pada esensinya, bukan pada aksiden.57

Selanjutnya, pengetahuan demonstrasi menurut al-Fārābī dapat ditempuh

hanya melalui metode demonstratif, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui

ketetapan akal tanpa proses observasi dan bertemu langsung, mengetahui

melalui esensi dan substansinya. Pengetahuan fisik atau indriawi, tegas al-

Fārābī, tidak akan cukup dan tidak akan mengantarkan manusia pada

kesempurnaan. Berdasarkan penjelasan ini al-Fārābī mengatakan bahwa

55 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 21. 56 Aristoteles, Organon: Posterior Analytics, Book I, Ch. 6. Versi bahasa Yunani

“APIƩTOTEΔOϒƩ ANAɅϒTIKΩN ϒƩTEPΩN”, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Hugh

Tredennick, lihat: T. E. Page, The Loeb Classical Library (London: Harvard University Press, 1938),

h. 30, dan diterjemahkan juga oleh G. R. G. Mure, lihat: Richard Mc. Keon, Introduction to Aristotle

(New York: the Modern Library, 1947), h. 21-22. 57 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),

Introduction to Aristotle, h. 21-22.

100

pengetahuan akal dan jiwa lebih tinggi dibanding pengetahuan indra. Pasalnya

secara ontologis, akal dan jiwa berada di atas indra. Dalam konteks tersebut, al-

Fārābī menyebutkan bahwa realitas, secara epistemologis, dapat diketahui

melalui persepsi indra dan juga melalui demonstrasi. Akal dan jiwa dengan

kemuliaan dan kehalusan substansinya mudah untuk menerima bentuk-bentuk

esensi pengetahuan dan menggambarkannya secara bersamaan baik yang

bersifat indriawi maupun rasional, sedangkan pancaindra tidak dapat

mengetahui bentuk akal secara bersamaan karena indra hanya menerima satu

bentuk.58

Karena tempat dan tingkatan akal lebih tinggi dan lebih mulia, maka cara

untuk memperoleh pengetahuan yang berasal darinya adalah melalui metode

demonstrasi (burhān) yang meyakinkan. Pengetahuan akal tentang sesuatu yang

lebih tinggi dan mulia daripada dirinya ditempuh melalui jalur pembuktian

demonstratif (burhān), yang mendorong akal untuk menetapkannya tanpa proses

meliput dan bertemu langsung. Dengan metode tersebut, maka pengetahuan akal

dengan zat dan substansinya menjadi pengetahuan intelektual (intelligible),

karena hubungan akal dengan jiwa adalah seperti hubungan cahaya dan mata,

atau seperti hubungan cermin dengan orang yang memandangnya. Sebagaimana

mata tidak dapat melihat sesuatu, kecuali melalui cahaya dan sebagaimana

manusia tidak dapat melihat wajahnya, kecuali melalui cermin dengan cara

memandangnya, demikian juga dengan jiwa, ia tidak dapat melihat zatnya,

58 Al-Fārābī, al-Ta’līqāth di dalam Rāsa’il al-Fārābī (Haydarabad: Dār al-Ma’ārif, 1926),

h. 2-3, dan Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 186-187.

101

kecuali dengan cahaya akal, dan tidak dapat mengetahui realitas wujud, kecuali

dengan memandang pada akal itu sendiri.59

Untuk memahami realitas fenomina salah satunya adalah ukuran. Alat ukur

dan hasil dari pengukuran oleh para fisikawan dianggap sebagai satu-satunya

kebenaran. Padahal ukuran hanyalah sebuah daftar, data-data, dan representasi

dari reaksi-reaksi terhadap fenomena fisik dan data-data tersebut harus

ditafsirkan.

Tentunya, alat untuk menafsirkan bukan terdapat pada ukuran itu sendiri,

melainkan terdapat pada alat yang lain, yaitu akal. Metode untuk menasirkan

tersebut kemudian dikenal dengan metode demonstrasi, burhānī, deduktif.

Metode demonstrasi dan tujuan akhir yang ingin diperoleh dari pendekatan ini

adalah mengetahui bentuk-bentuk dasar (muqawwimah) yang merupakan

eksistensi-eksistensi benda-benda yang ada secara pasti.60 Bentuk-bentuk dasar

ini diperoleh dengan cara silogisme atau penyusunan premis-premis.

Penggunaan premis-premis merupakan penarikan konklusi yang diambil dari

maklumat-maklumat yang ada di dalam prinsip-prinsip berpikir (awā’il al-

‘uqūl).61

Metode burhānī atau demonstrasi terbagi menjadi dua bagian: pertama,

berkaitan dengan ilmu ukur. Dan kedua, berkaitan dengan logika. Prinsip-prinsip

dalam dalam disiplin ilmu ukur diambil dari disiplin lain sebelumnya, seperti

perkataan Euclid, “Titik adalah sesuatu yang tidak terbagi; garis adalah panjang

59 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h, 188. 60 Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa’ādah (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1995), h. 88-89, dan

Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 264. 61 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 264.

102

tanpa lebar; permukaan adalah sesuatu yang mempunyai panjang dan lebar.”

Prinsip-prinsip demonstrasi logis juga diambil dari disiplin sebelumnya, seperti

perkataan ahli mantik, “bahwa setiap wujud, selain Allah, ada yang berupa

substansi dan ada yang aksiden.” Juga perkataan, “bahwa substansi (dapat)

berdiri dengan dirinya sendiri, dan dapat menerima kontradiksi, sedangkan

aksiden adalah yang menempel pada sesuatu, dan tidak seperti menjadi bagian

darinya, juga ketiadaan aksiden tidak meniadakan sesuatu itu.”62

Sedangkan metode burhānī yang berkaitan dengan logika, al-Fārābī

menjelaskan bahwa demonstrasi yang berkaitan dengan logika ini membantu

wujud dan sebab secara bersamaan. Sebab terbagi menjadi empat: (1) sebab

material (māddah), (2) sebab formal (ṣūrah), (3) sebab efisien (fā’ilah), (4) dan

sebab final (ghāyah). Sebab-sebab ini tersusun dari qiyas pada premis tengah,

artinya, qiyas diambil pada bagian premis tengah dari sebab-sebab yang

membantu untuk membuat kesimpulan, baik sebab yang jauh atau sebab yang

dekat.63

Setiap salah satu dari sebab-sebab di atas ada pada jawaban: apakah sesuatu

itu, apa yang menjadi masalah dengan sesuatu tersebut, apakah mungkin sesuatu

itu dihasilkan dari pengetahuan wujudnya. Sebagai contoh, kenapa manusia

mati? Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah manusia tersusun dari

tubuh (sebab material), kehidupan manusia yang berakal akan mati (sebab

62 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 265. 63 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 26-27.

103

formal), yang paling cocok untuk manusia adalah mati (sebab tujuan), Tuhan

sebagai pencipta telah merubah manusia (sebab efisien).64

تنفسم اىل األقسام اليت ذكران. وكل واحد من تلك يوجد يف جواب ,األسباب األول أربعة وأجناسمل هو الشئ. فإن النمسألة بلم هو الشئ, إمنا ميكن فيما حصلت لنا معرفة وجوده, فإان إمنا نقول:

انطق مل صار اإلنسان ميوت. فيكون اجلواب يف ذلك إما ألنه مرّكب من األضداد, وإّما األنه حّي مائت, وإما ألن األصلح له أن ميوت, وإما ألن احلافظ له أو الفاعل له متبّدل. فلجواب األّول

هو مأخوذ من ماّدته, والثاين من صورته. والثالث من غايته. والرابع من فاعله.Sebab-sebab yang dijelaskan di atas merupakan sebab demonstrasi yang

berhubungan dengan pengetahuan yang menurut al-Fārābī terbagi menjadi dua

bagian: universal dan partikular. untuk menghasilkan sesuatu dari pengetahuan

universal terdapat sesuatu yang dihasilkan pengetahuan partikular, yaitu dengan

cara mengetahui perkara yang dihasilkan dari demonstrasi yang diambil dari

pengetahuan universal. Maka pandangan tentang demonstrasi ini harus diambil

dari pengetahuan universal untuk menjadi premis yang universal.65

لى ما ينتج واملعلومة ابلرباهني, إما كلية وإما جزئية. وملا كان النظر فيما ينتج الكلّيات يشتمل عاجلزئيات, لزم أن يعرف أوال أمر ما ينتج من الرباهني النتائج الكلية. فظاهر أن الرباهني اليت تنتج

نتائج كلّية ينبغى أن تكون مقّدماهتا كلّية.Dijelaskan juga oleh Aristoteles bahwa untuk menghasilkan pengetahuan

yang ilmiah dan berdasarkan pada prinsip-prinsip demonstrasi maka diambil dari

premis-premis universal yang sudah terbukti. Premis-premis tersebut

mengisyaratkan pada hubungan antara predikat dan subjek, yaitu predikat harus

benar untuk semua subjek, predikat harus esensial untuk subjek, dan predikat

64 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 42. 65 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 27.

104

harus dari subjek yang benar dari dirinya sendiri, bukan bagian dari yang lain.

Dengan demikian menurut Aristoteles kesimpulan akan terdiri dari hubungan

universal antara predikat dan subjek.66

Premis universal ini harus dihasilkan dari kepastian yang pasti (yaqīn

ḍarurī) untuk sebuah argumen demonstrasi, di mana kepastian ini dapat

dihasilkan, pertama, melalui tanda (ṭabā’) yaitu dihasilkan dari kepastian yang

tanpa harus diketahui dari mana dan bagaimana ia dihasilkan, tanpa harus

dirasakan pada waktu-waktu tertentu, tidak meningkatkan pengetahuan, dan

tidak menjadikannya perlu di setiap saat. Akan tetapi, dapat menimbulkan

prinsip pertama. Yang disebut sebagai premis petama atau pernyataan pertama.

Maka jelas bahwa untuk menghasilkan pada kepastian ini harus terdiri dari

qiyas-qiyas yang tersusun dari premis pertama. Dan jika tidak, maka tidak

mungkin digunakan untuk mendemonstrasikan sesuatu dengan benar.67

Kedua, dapat dihasilkan melalui eksperimen (tajribah) yaitu sesuatu yang

dihasilkan dari kepastian sebab hukum-hukum universal. Premis ini

didemonstrasikan untuk sesuatu yang tidak terbatas pada ukuran yang meliputi

hukum-hukum universal. Dan ini disebut sebagai premis kepastian. Dari premis-

premis inilah menurut al-Fārābī dapat digunakan sebagai metode ilmiah yang

sah dalam memperoleh pengetahuan yang pasti.68

Penjelasan di atas merupakan langkah awal mengetahui proposisi

demonstrasi untuk menghasilkan sebuah kepastian pengetahuan yang ilmiah.

66 Aristotle, Organon: Posterior Analytics. Lihat, E. Page, The Loeb Classical Library

(London: Harvard University Press, 1938), h. 7. 67 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 23-24. 68 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 25.

105

Selanjutnya, mengenai prinsip demonstrasi - berdasarkan analisis penulis -

kurang lebih ada tiga prinsip metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī,

pertama, premis dan kesimpulan demonstrasi harus berada dalam satu genus.

Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa premis dalam sebuah demonstrasi

merupakan premis yang pasti kebenarannya dan diambil dari pengetahuan yang

universal. Premis yang pasti (muqaddimāt al-ḍarūriyyah) tersebut, terdiri dari

subjek (mauḍu’) dan predikat (maḥmūl) yang pasti juga.69 Sehingga akan

menghasilkan premis universal (muqaddimāt al-kulliyah) yang berada dalam

satu genus, yaitu subjek dan predikatnya menunjukkan pada genus yang sama.

Contoh: jika sama dua sisi dari segitiga, maka sisi segitiga yang lain juga sama.

Semua sisi saling berkaitan dan sudut keduanya meliputi bagian yang sama,

maka setiap segitiga yang sama adalah serupa.70 Oleh karena itu, untuk

mendapatkan sebuah konklusi (natījah) yang benar dari premis-premis tersebut

maka kesimpulan juga berada pada satu genus. Seperti yang diungkapkan

Aristoteles, bahwa demonstrasi harus terdiri dari masing-masing genus mereka

sendiri, sehingga jika genus demonstrasi berpindah dari satu bidang ke bidang

yang lain, gunusnya juga harus sama. Jika tidak demikian, maka tidak mungkin

dapat berpindah, karena term tengah harus diambil dari genus yang sama,

sehingga ia tidak akan esensial dan akan menjadi rusak.71 Karena dasar dari

premis demonstrasi ini adalah definisi, merupakan premis yang tergantung pada

premis sebelumnya dan tidak akan berakhir, atau kebenaran utama dalam premis

69 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 27. 70 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 32. 71 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),

Introduction to Aristotle, h. 25.

106

ini akan menjadi definisi yang tidak bisa dilanggar. Sehingga akan menghasilkan

kesimpulan yang valid 72

Kedua, susunan demonstrasi harus terdiri dari definisi yang pasti. Al-Fārābī

menjelaskan bahwa susunan yang merupakan bagian dari demonstrasi serta

kesimpulan yang didapatkan dari metode demonstrasi yaitu dengan melalui

definisi yang jelas. Untuk mendapatkan sebuah definisi tentang sesuatu, maka

harus mengetahui tentang batasan itu sendiri berdasarkan bagian-bagiannya.

Seperti: hewan pada batasan manusia, berbicara pada batasan manusia, manusia

pada batasan tertawa. Dan bilangan pada batasan genap dan ganjil. Kemudian,

untuk mendapatkan sesuatu dari jenis (jins) sesuatu yang lain, maka ia harus

mengandung sesuatu tersebut, seperti hewan mengandung makna atas manusia.

Dan terkadang sesuatu tersebut merupakan faṣal dari sesuatu yang lain, seperti

kata berfikir (nāṭiq) yang memiliki hubungan dengan pengertian tentang

manusia (insān). Dan sesuatu yang mengandung pada bagian faṣal ini, maka

juga menjadi bagian dari faṣal itu sendiri, seperti bentuk lingkaran yang meliputi

satu garis. Artinya, setiap yang meliputi satu garis adalah bagian dari satu faṣal,

yaitu bentuk lingkaran tersebut memiliki satu garis. maka tidak bisa dikatakan

bahwa sebagian garis tersebut tidak mungkin mengandung satu lingkaran, dan

sebagiannya lagi adalah mungkin.73

Ketiga, demonstrasi harus terdiri dari hubungan yang abadi. Jelas bahwa,

jika demonstrasi dihasilkan dari premis-premis universal, maka kesimpulan dari

demonstrasi juga harus bersifat abadi. Oleh karena itu, tidak ada atribut yang

72 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book II. Lihat, Richard McKeon, (ed.),

Introduction to Aristotle, h. 76. 73 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 33.

107

bisa didemonstrasikan oleh pengetahuan ilmiah jika ia bersifat fana, karena

hubungan atribut dengan subjek yang fana hanya bersifat sementara dan khusus.

Jika demonstrasi ini dilakukan, maka premis akan rusak dan tidak universal,

sehingga kesimpulan yang dihasilkan hanya berupa fakta yang bersifat

sementara.74 Dalam demonstrasi ini merupakan hubungan yang mencakup

wujud dan sebab secara bersamaan untuk mengetahui sebuah kesimpulan yang

diambil dari term tengah (haḍḍ ausaṭ).75 Yang menurut al-Fārābī harus

dijelaskan dengan premis-premis yang abadi.76

Dari penjelasan di atas, al-Fārābī menjadikan metode demonstrasi sebagai

bentuk kepastian untuk mencapai kesimpulan yang pasti. Dengan metode

demonstratif, menurut al-Fārābī, manusia dapat membedakan mana metode

penalaran yang benar dan mana yang salah.77

74 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),

Introduction to Aristotle, h. 25-26. 75 Term Tengah merupakan term yang sama-sama disebut (diulang) pada proposisi pertama

dan proposisi kedua. Nūr Muḥammad Ibrāhimī, ‘Ilmu al-Manṭiq, terj. Achmad Bahrur Rozi, Logika

Lengkap (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 65. 76 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 41. 77 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy

Mizan dan UIN Jakarta Press, 2015), h. 140 dan Osman Bakar, Classification of Knowledge in

Islam: A Study in Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Institute for Policy Research,

1992), h. 153.

108

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

Demonstrasi adalah prinsip-prinsip rasional yang dapat membantu

seseorang menghasilkan sebuah kepastian pengetahuan. Menurut al-Fārābī

pengetahuan demonstrasi hanya dapat ditempuh melalui metode demonstratif,

yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui ketetapan akal tanpa proses observasi

dan bertemu langsung, mengetahui melalui esensi dan substansinya. Metode

demonstrasi dan tujuan akhir yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah

mengetahui bentuk-bentuk dasar (muqawwimah) yang merupakan eksistensi

benda-benda yang ada secara pasti. Bentuk-bentuk dasar ini diperoleh dengan

cara silogisme atau penyusunan premis-premis. Penggunaan premis-premis

merupakan penarikan konklusi yang diambil dari maklumat-maklumat yang ada

di dalam prinsip-prinsip berpikir (awā’il al-‘uqūl).

Terdapat tiga prinsip metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī, pertama,

premis dan kesimpulan demonstrasi harus berada dalam satu genus. Kedua,

susunan demonstrasi harus terdiri dari definisi yang pasti. Ketiga, demonstrasi

harus terdiri dari hubungan yang abadi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Aristoteles dapat dilihat pada

karangan al-Fārābī. Di antara karangan Aristoteles berupa Organon, yang

hampir mirip dengan karangan al-Fārābī yang terkumpul dalam bukunya yang

109

berjudul Manṭiq ‘inda al-Fārābī, terutama dibagian yang penulis bahas yaitu

kitab al-Burhān. Namun, al-Fārābī tidak semerta-merta menjiplak karya asli

Aristoteles, ia juga mengonmentari dan memberikan ulasan yang komprehensif

mengenai logika Aristoteles khususnya tentang demonstrasi.

110

B. Saran

1. Diharapkan dengan penelitian tentang metode demonstrasi dalam logika al-

Fārābī, dapat dikembangkan dan digali lebih lanjut.

2. Diharapkan kepada mahasiswa yang ingin mengkaji logika al-Fārābī secara

umum, tulisan ini hanya sebagai pengantar awal untuk melihat pemikiran

al-Fārābī. Namun, untuk melihat sosok al-Fārābī lebih perlu lebih jauh

adanya upaya yang lebih serius.

3. Harapan untuk Fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan Aqidah dan Filsafat

Islam dapat mengembangkan dan melakukan kajian intelektual tentang

logika al-Fārābī, karena pemikiran al-Fārābī banyak memberikan kontribusi

terhadap khazanah intelektual dalam Islam.

4. Dan penulis mengharapkan penelitian sederhana ini bisa memberikan

loncatan awal terhadap dinamika pemikiran Islam, khususnya untuk kaum

akademisi, serta dapat menjadi bagian amal sholeh yang dicatat oleh Allah

SWT.

111

DAFTAR PUSTAKA

Abdulchalik, Chaerudji. Ilmu Mantiq: Undang-undang Berfikir Valid. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2013.

Al-Abharī, Atsīr al-Dīn. Mughnī al-Ṭullāb: Syaraḥ Matan Īsāghūjī. Damasyqu: Dār

al-Fikr, 2003.

Al-‘Abidī, Syaikh Falah dan Sayyid Sa’ad al-Musawī. Buku Saku Logika: Sebuah

Daras Ringkas. Jakarta: Sadra Press, 2018.

Ahmad, Zainal Abidin. Negara Utama (Madinah al-Fadhilah). Jakarta: Kinta,

1968.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Amin, Husayin Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Anagnostopoulos, Georgios. A Companion to Aristotle. Oxford: Blackwell

Publishing, 2009.

Aristotle. Organon: Posterior Analytics.

‘Atī, Ibrāhīm. Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah: Namūḍaj al-Fārābī. Alexandria:

al-Hay’an al-Misyriyyah al-Āmah li-Alkitāb, 1993.

Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic

Philosophies of Science. Malaysia-Kuala Lumpur: Institute for Policy

Research, 1992.

Bakar, Oesman. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.

Bakry, Noor Ms. Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Yogyakarta:

Liberty, 2001.

Bertens, K.. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008. Cet.

Ke-5.

________. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: PT Kanisius, 1999.

Blackburn, Simon. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Butterworth, Charles E., Al-Fārābī, the Political Writings: Selected Aphorism and

Other Text. London: Cornell University Press, 2001.

Clarke, Richard F.. Logic. London: Longmans, 1921.

Copi, Irving M.. Introduction to Logics. New York: Macmillan Publishing Co,

1978.

112

Dardiri. Humaniora, Filsafat, dan Logika. Jakarta: Rajawali, 1986.

Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.

Day, Kiki Kennedy. Books of Definition in Islamic Philosophy: The Limits of

Words. London and New York: Routledge Curzon, 2003.

Drajat, Amroeni. Filsafat Islam. Jakarta: Erlangga, 2006.

_____________. Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LKiS,

2005.

Dzulhadi, Qosim Nursheha. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal Kalimah, Vol.

12, No. 1, Maret 2014.

Effendy, Muchtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Universitas

Sriwijaya, 2001), volume 5.

Fakhry, Madjid. A History of Islamic Philosophy. New York: Colombia University

Press, 1983.

____________. Al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism. England: Oneworld

Oxford, 2002.

Al-Fārābi. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Al-Atruk: al-Maktabah al-Azhar,

1906.

________. Falsafah Arisṭūṭālīs, Beirut: Dār Majallat Syia, 1961.

________. Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996.

________. Manṭiq ‘Inda al- Fārābī: Īsāghūjī, al-Juz’u al-Awwal. Beirut: Dārul al-

Maṣriq, 1987.

________. Manṭiq ‘Inda al- Fārābī: Kitāb al-Burhān. Beirut: Dārul al-Maṣriq,

1987.

________. Manṭiq ‘Inda al- Fārābī: Kitāb Syarā’iṭ al-Yaqīn. Beirut: Dārul al-

Maṣriq, 1987.

________. Rasā’il al-Fārābī. Haydarabad: Dār al-Ma’ārif, 1926.

________. Taḥṣīl al-Sa’ādah. Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1995.

Ghalib, Achmad. Filsafat Islam. Jakarta: Faza Media, 2009.

Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka

Setia, 2008.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

113

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Universitas Indonesia dan

Tintamas, 1980.

Hidayat, Ainur Rahman. Filsafat Berpikir. Pamekasan: Duta Media, 2018.

Hudan, Sokhi dan A.M. Moefad. Logika Saintifik: Wawasan Dasar, Keilmuan, dan

Falsafati. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.

Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi. Jakarta: Sadra Press, 2015.

Ibrāhīmī, Nūr Muḥammad. ‘Ilmu al-Manṭiq. Jakarta: 1937.

Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam. Jakarta:

Kencana, 2010.

Johnstone, Laurence. A Short Introduction to The Study of Logic. London:

Longmans, 1887.

Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah Versus Para Filosof. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Kertanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam.

Jakarta: Lentera Hati, 2006.

____________. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy

Mizan dan UIN Jakarta Press, 2015.

____________. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas.

Jakarta: Erlangga, 2007.

____________. Mozaik Khasanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago. Jakarta:

Paramadina, 2000.

Keon, Richard Mc.. Introduction to Aristotle. New York: the Modern Library, 1947.

Kneller, Geoge F.. Introduction to the Philosophy of Education. New York: John

Willey & Son, 1964.

____________. Logic and Language of Education. New York: John Willey & Son,

1996.

Magee, Bryan. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Mahdi, Muhsin. Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles. New York: The

Free Press of Glanco, 1962.

Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009.

Mandzur, Ibnu. Lisān al-‘Arab. Libanon: Dār al-Ma’ārif, 1981.

Maran, Rafael Raga. Pengantar Logika. Jakarta: Grasindo, 2007.

114

Maulidi, Sahrul. Aristoteles: Inspirasi dan Pencerahan untuk Hidup Lebih

Bermakna. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2016.

McGrade, Arthur Stephen. Ethics and Political Philosophy. United States of

America: Cambridge University Press, 2001.

Mufid, Muhammad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2015.

Muḥḍar, Atābik ‘Alī dan Aḥmad Zuhdī. Kamus Kontemporer. Yogyakarta: Multi

Karya Grafika, 1998.

Mu’in, M. Taib Thahir Abdul. Ilmu Mantiq. Jakarta: Wijaya, 1993.

Mundiri. Logika. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Mustofa, A.. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1997.

Mustofa, Imron. Jendela Logika dalam Berpikir. Surabaya: El-Benat, Jurnal

Pemikiran dan Pendidikan Islam, Volume 6 No 2, 2016.

Nasr, Sayyed Hussein dan Oliver Leaman. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam.

Bandung: Mizan, 2003. Cet ke-1.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nasution, Muhammad Iqbal, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa

Klasik hingga Indonesia Kontemporer.Jakarta: Kencana, 2017. Edisi ke 3.

Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana, 2011.

Netton, Ian Richard. Allah Transcendent. Suevey: Curson Press, 1994.

Nicholson, Reynold A.. The Mystics of Islam. London: Routledge and Kegan Paul,

1975.

Nur, Muhammad. Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.

Lampung: Jurnal al-Ulum, 2011.

OFM, Alex Lanur. Logika Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Page, T. E.. The Loeb Classical Library. London: Harvard University Press, 1938.

Poespoprodjo, W.. Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung:

Remadja Rosdakarya, 1999.

Rahman, Masykur Arif. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogjakarta: IRCiSoD,

2013.

Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika Tradisional. Bandung: Bina Cipta, 1980.

Ridwan, Kahrawi. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999.

115

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:

Kencana, 2007.

Rohman, Arif. Epistemologi dan Logika. Yogyakarta: Aswaja Preesindo, 2014.

Rozi, Achmad Bahrur. Logika Lengkap. Yogjakarta: IRCiSoD, 2012.

Al-Ṣafā’, Ikhwān. Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’i. Beirut: al-Dār al-

Islāmiyyah, 1992.

Shaikh, M. Saeed. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Adam Publisher &

Distributors, 1994.

____________.Islamic Philosophy. London: The Octagon Press, 1982.

Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Jakarta:

Ummul Qura, 2016.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Pers, 1993.

Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media, 2016.

____________. Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam. Malang, Jurnal

Tsaqafah, Volume 10 No 1, 2014.

Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis al-Ghāzalī. Jakarta: Riora Cipta,

2000.

Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.

Suhartono, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,

2006. Edisi ke-3

Suhartono, Suparlan. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Yogyakarta: Ar Ruzz

Media, 2005.

Sujatmoko. Tujuh Tokoh Filsafat Dunia. Sukoharjo: Penembahan Senopati, 2015.

Supriasumantri, Jujun S.. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Sinar Harapan, 1985.

Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran. Bandung:

Pustaka Setia, 2009.

As-Suyuṭi, Imam. Tarikh Khulafa’. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.

Syarif, M.. History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim. Bandung,

Mizan, 1998.

‘Umar, Mufaḍḍal ibn. Īsāghūjī. İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011.

116

Wiyono, M.. Pemikiran Filsafat al-Fārābī. Jurnal Substantia, Volume 18 Nomor I,

April 2016.

Yunus, Mahmud. Logika Suatu Pengantar. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT. Rajagrafindo

Persada, 2007.

https://id.m.wikipedia.org.