metode demonstrasi dalam logika...
TRANSCRIPT
METODE DEMONSTRASI
DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Lukman Hakim
11140331000027
Di Bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing Skripsi
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 196808031994032002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul METODE DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-
FĀRĀBĪ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 25 Juni 2019. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
Jakarta, 25 Juni 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 19680803 199403 2 002
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Abdul Hakim Wahid, MA
NIP. 197804242015 03 1 001
Anggota
Penguji I,
Kusen, Ph. D
Penguji II,
Iqbal Hasanuddin, M. Hum
Pembimbing,
Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP. 19680803 199403 2 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Nama : Lukman Hakim
NIM : 11140331000027
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 13 Juni 2019
Lukman Hakim
i
ABSTRAK
METODE DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ
Kata Kunci: Demonstrasi, Logika, al-Fārābī
Tulisan ini memfokuskan pada metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī yang ditulis
dalam bukunya Manṭiq ‘inda al-Fārābī: Kitāb al-Burhān atau secara singkat disebut
Logika Perspentif al-Fārābī: Demonstrasi. Dalam buku tersebut al-Fārābī menulis
mengenai metode demonstrasi untuk menghasilkan kesimpulan yang benar dan sesuai
dengan bukti rasional. Metode ini merupakan jenis silogisme yang berbeda dari bentuk-
bentuk silogisme lainnya, yang lebih mengedepankan bukti rasional yang sesuai
dengan kenyataan. Selain itu, metode demonstrasi, juga merupakan metode untuk
mendapatkan pengetahuan saintifik yang diambil dari kesimpulan yang logis dan dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut al-Fārābī pengetahuan demonstrasi hanya dapat
ditempuh melalui metode demonstratif, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
ketetapan akal tanpa proses observasi dan bertemu langsung, mengetahui melalui
esensi dan substansinya.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka
(library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan
masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang
metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī.
Hasil penelitin ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa metode demonstrasi
memuat prinsip-prinsip rasional yang dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah
kepastian pengetahuan dengan silogisme yang tersusun dari proposisi-proposisi yang
sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya (yaqīniyyah) dan niscaya
menghasilkan konklusi benar. Maka dari itu, tulisan ini menfokuskan pada metode
demonstrasi yang tujuan akhir dari pendekatan ini adalah mengetahui bentuk-bentuk
dasar yang merupakan eksistensi benda-benda yang ada secara pasti.
ii
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang
berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik
secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Risdi dan Ibunda Moplihah yang
telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus
sehingga skripsi ini dapat selesai;
2. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas
semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;
3. Teman-teman Pondok Pesantren Sulaimaniyah Cabang Ciputat;
4. Seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014;
5. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung
dan membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
iii
Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
umumnya.
Jakarta, 13 Mei 2019
Lukman Hakim
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
’ ’ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vocal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī إى
ū ū أو
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 9
F. Metode Penelitian ........................................................................................ 10
BAB II BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ ..................................................................... 12
A. Latar Belakang Pendidikan .......................................................................... 12
B. Karya-Karya ................................................................................................ 16
C. Al-Fārābī dan Falsafahnya ........................................................................... 19
1. Emanasi ............................................................................................... 20
2. Falsafah Kenabian............................................................................... 26
3. Falsafah Politik ................................................................................... 28
4. Logika ................................................................................................. 35
D. Peran dan Pengaruh ..................................................................................... 38
BAB III LOGIKA DAN PERKEMBANGANNYA ........................................ 43
A. Definisi Logika ............................................................................................ 43
B. Urgensi Studi Logika ................................................................................... 50
C. Sejarah Perkembangan Logika .................................................................... 58
1. Logika Pada Zaman Yunani Kuno...................................................... 59
2. Logika Pasca Sokrates ........................................................................ 60
3. Logika Pada Abad Pertengahan .......................................................... 64
4. Logika Pada Era Modern .................................................................... 66
BAB IV DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ ........................ 69
A. Logika Aristoteles ........................................................................................ 69
B. Logika Al-Fārābī: Demonstrasi ................................................................... 72
vi
C. Argumen Demonstrasi (Burhān) ................................................................. 83
D. Silogisme Demonstrasi (Qiyās Burhānī) ..................................................... 87
1. Jenis-Jenis Silogisme Demonstratif .................................................... 91
2. Syarat-Syarat Premis dalam Demonstrasi........................................... 94
E. Metode Burhānī (Demonstrasi) ................................................................... 96
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 108
A. Kesimpulan ................................................................................................ 108
B. Saran .......................................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 111
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tokoh-tokoh failasūf1 Yunani mewariskan banyak pola pemikiran yang
masih terus bertahan dan bahkan mampu mempengaruhi pemikir-pemikir
setelahnya. Perkembangan pemikiran sampai sekarang tidak luput dari
sumbangsih mereka. Salah satu tokoh failasūf yang sangat berperan penting dan
berpengaruh kuat terutama dalam menyumbang rumusan metode berpikir,
adalah Aristoteles2 (348-322 SM.). Dalam karya besarnya, Organon,3 terdapat
pokok pembahasan mengenai instrumen berpikir logis. Hingga, Organon masih
menjadi rujukan utama metode logika berpikir dalam mencari kebenaran.
Aristoteles melahirkan metode kebenaran dengan silogisme deduktif yang
sering diistilahkan dengan logika formal (Manṭiq al-Ṣūrī), logika
tradisional/klasik (Manṭiq al-Qadīm), logika silogistik, dan lain-lainnya.4 Tidak
1 Failasūf adalah Istilah yang dipakai dalam bahasa Arab untuk menyebut subjek atau
seseorang yang cinta kebijaksaan (Philosopher). Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab (Libanon: Dār al-
Ma’ārif, 1981), h. 3461. 2 Aristoteles dilahirkan di Stageira, Yunani Utara, berdekatan dengan kota Macedonia,
tepatnya pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi Amyntas II, raja Macedonia.
Aristoteles meninggal sekitar usia 62 tahun. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat
Barat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), h. 163. 3 Organon adalah kumpulan dari enam risalah karya Aristoteles (384-322 SM.). Pertama,
adalah Categories yang membahas tentang term-term yang simpel, partikular, diferensia dan
katagori-katagori yang universal (sepuluh katagori Aristoteles). Kedua, On Interpretation
membahas tentang proposisi, penegasan atau negasi, menjelaskan tentang statemen yang valid
maupun yang tidak valid, dan inferensi. Ketiga, Prior Analylics berisi tentang inferensi dan
pembuktian silogisme. Keempat, Posterior Analytics tentang demonstrasi pembuktian ilmiah yang
berdasarkan premis-premis. Kelima, Topics yang membahas penalaran dialektik yang berdasar dari
yang disepakati bukan premis meyakinkan. Terakhir, On Sophistical Reputation yang membahas
tentang silogisme yang tidak valid (al-qiyas al-mughliṭa). Richard Mc. Keon, (ed), Introduction to
Aristotle (New York: the Modern Library, 1947), h. 2. 4 Aristoteles sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah logika, tetapi menggunakan
istilah analitika, untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang
benar. Adapun untuk meneliti argumen yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan
kebenarannya menggunakan istilah dealektika. Istilah silogisme atau logika tradisional atau metode
2
bisa disangkal bahwa logika adalah karya falsafah5 terbesar yang dihasilkan oleh
Aristoteles, yang menyebabkannya sebagai pelopor, atau bapak logika. Metode
berpikir rasional menurut Aristoteles merupakan metode terbaik untuk
memperoleh konklusi demi meraih pengetahuan dan mencapai kebenaran. Ia
merupakan seperangkat alat analisis dan cara berpikir yang dengannya mampu
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Maka setiap ilmu
dipastikan membutuhkan logika, dan tidak sebaliknya.
Metode logika formal Aristoteles ini mempunyai pengaruh hingga generasi
selanjutnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa logika Aristoteles memainkan peran
yang sangat signifikan dalam sejarah intelektual umat manusia.6 Sampai saat ini,
buku-buku rujukan dan pegangan logika sebagian besar diisi oleh kontribusi
Aristoteles, khususnya dalam dunia Islam.
Perkembangan semua disiplin keilmuan di dalam dunia Islam, terjadi pada
masa pemerintahan Abbasiyah7 abad ke-13 Masehi. Pada saat itulah ilmu
pengetahuan dalam Islam mencapai puncaknya. Kemajuan yang diperoleh
tidaklah dicapai secara spontan, namun melalui perkembangan sedikit-demi
sedikit dan terus-menerus. Bermula dari penerjemahan buku-buku Yunani ke
dalam bahasa Arab skala besar-besaran pada paruh kedua pemerintahan
deduksi dikenal pada masa kini, bermula dari Alexander Aphrodisiasi (abad ke 3 SM.) menggunakan
istilah logika, sebagai alat dan mikanisme penalaran untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan
premis-premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari penalaran deduktif. Jan Hendrik Rapar,
Pengantar Logika Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 1. 5 Falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui
usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,
Buku Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461. 6 Zainun Kamal, Ibn Taimiyah Versus Para Filosof (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 2. 7 Kekhalifahan Bani Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas bin Abdul Muṭalib, paman
Rasulullah dari pihak bapak. Dinasti ini berdiri pada tahun 132 H. Ali Muhammad Ash-Shallabi,
Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah (Jakarta: Ummul Qura, 2016), h. 133.
3
Umayyah8 abad ke-8 Masehi. Pengaruh falsafah Yunani secara mendalam terjadi
pada kekhalifahan al-Ma’mūn9 pada tahun 215 H., menjadikan Baghdad sebagai
jantung keilmuan Islam. Al-Ma’mūn mendirikan akademik penerjemahan
dengan nama Bait al-Ḥikmah, yang menggalakkan penerjemahan buku-buku
Yunani ke dalam bahasa Arab. Sosok Aristoteles menempati urutan pertama
dalam banyaknya buku yang diterjemahkan,10 terutama terkait dengan dasar
peletakan logika Aristoteles sebagai instrumen dalam memperoleh ilmu
pengetahuan.11
Aristotelianisme memiliki sejarah yang istimewa dalam dunia Islam.
Tulisan-tulisan Aristoteles banyak diminati oleh para sarjana Muslim. Di antara
karya-karya Aristoteles yang dipelajari dengan seksama di kalangan penganut
mazhab Paripatetik12 dunia Islam adalah karya-karya di bidang logika.
Gelombang penerjemahan warisan budaya bangsa Yunani telah
menstimulasi proses kegiatan ilmiah dan menuntun pada perkembangan
keilmuan di dunia Islam, dan secara khusus di bidang logika. Tidak ada edisi
8 Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, suku Quraisy dari
keluarga Umayyah. Kesepakatan terjadi atas kekhalifahan Muawiyah, dan seluruh rakyat sepakat
untuk membaiatnya pada tahun 41 H. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah Daulah Umawiyah dan
Abbasiyah, h. 35-39. 9 Dia adalah Abdullah bin Hārūn bin Muḥammad bin Abdullah. Dilahirkan pada tahun 170
H. dan meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 218 H. Beliau mencintai ilmu, tetapi tidak memiliki
pengetahuan yang mendalam tentangnya. Al-ma’mūn memerintahkan agar buku-buku karya orang-
orang terdahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah
Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, h. 142-143. 10 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),
h. 12. 11 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas,
1980), h. 21. 12 Mazhab Paripatetik (Masya’i) adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”
dengan Aristoteles. Karena kelahiran mazhab ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan
menghidupkan falsafah Aristoteles. Beberapa tokoh failasūf Islam yang dikatagorikan kepada aliran
Paripatetik adalah al-Kindī (w. 866), al-Fārābī (w. 950), Ibn Sīnā (w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Naṣir al-Din Thūsī (w. 1274). Mulyadhi Kertanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 27.
4
yang lebih baik menyaingi komentar-komentar dalam bahasa Syiriac, yang
muncul abad kelima sampai abad keduabelas, atau edisi dalam bahasa Arabnya,
sederet tokoh-tokoh Muslim yang berpengaruh terlibat dalam bidang ini,
terutama failasūf terkemuka Islam awal, bernama al- Fārābī.13
Al-Fārābī dianggap sebagai failasūf Islam pertama yang secara sungguh-
sungguh mengkaji falsafah Yunani Klasik. Kemampuannya memahami,
menjabarkan, serta mengkomperasikan falsafah Yunani klasik Aristoteles
dengan falsafah Islam membentuk reputasinya sebagai salah satu failasūf kaliber
dunia.
Al-Fārābī adalah penerus tradisi intelektual al-Kindī,14 tetapi dengan
kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih
tinggi lagi. Jika al-Kindī dipandang sebagai seorang failasūf Muslim dalam arti
kata yang sebenarnya, al-Fārābī disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar
piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun.
Dalam kajian falsafah Islam, nama failasūf Muslim al-Fārābī (Latin:
Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena dapat
“mengawinkan” antara falsafah dan agama, melainkan juga karena prestasinya
dalam menjelaskan dan mengulas-ulang pandangan Aristoteles. Karena itu, ia
mendapat gelar istimewa sebagai al-Mu‘allim al-Tsānī (Guru Kedua), karena ia
13 Al-Fārābī Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan
Ibn Auzalagh yang biasa disingkat al-Fārābī (870-950 M). Beliau adalah seorang muslim keturunan
Parsi, yang dilahirkan di Wasij, Distrik Farab (Turkestan). Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), h. 65. 14 Al-Kindī, alkindus, nama lengkapnya Abū Yusūf Ya’qūb ibn Ishāq al-Kindī, lahir di
Kufah, Iraq (sekarng), sekitar tahun 185-252/801-866, pada masa khalifah Harun al-Rasyīd (786-
809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M). M. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim
(Bandung, Mizan, 1996), 11, dan Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis
Filsafat Islam, h. 207.
5
merupakan orang pertama yang memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan
Arab-sebagaimana Aristoteles mendapat predikat “Guru Pertama” karena ia
orang pertama yang menemukan ilmu logika.15 Penilaian ini didasarkan dengan
jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Dengan demikian
maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelajar dan tajam dari para
komentator karya Aristoteles, terutama dalam dunia ilmu mantik.
Mantik disebut pula dengan logika, berasal dari kata sifat logike (bahasa
Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau
kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.
Jadi, menurut etimologinya logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang
dinyatakan dalam bahasa, dan berpikir itu sendiri adalah suatu kegiatan jiwa
untuk mencapai pengetahuan.16
Karangan al-Fārābī dalam kajian ilmu mantik (logika) terkumpul dalam
empat jilid, yaitu: jilid pertama, Kitāb al-maqūlāt dan Kitāb al-‘Ibarāh. Jilid
kedua, Kitāb al-Qiyās dan Kitāb al-Tahlīl. Jilid ketiga, Kitāb al-Jadal. Jilid
keempat, Kitāb al-Burhān dan Kitāb al-Syarāiṭu al-Yakīn.
Dalam kajian skripsi ini, penulis mengkhususkan bahasan tentang kitāb al-
burhān yang merupakan salah satu karya terpenting dalam logika al-Fārābī. Al-
burhān merupakan kitab yang membahas tentang pembuktian-pembuktian logis
dalam berpikir. Kitāb al-burhān adalah ringkasan dan terjemah sekaligus
15 Husayin Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), h. 128. 16 Chaerudji Abdulchalik, Ilmu Mantiq: Undang-undang Berfikir Valid (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 1.
6
komentar al-Fārābī terhadap karya Aristoteles, yaitu Posterior Analytics, yang
al-Fārābī sebut sebagai Second Analytics (anālūṭīqā al-tsānī) atau Last Analytics
(anālūṭīqā al-ākhir).17 Dalam kitāb al-burhān sendiri, al-Fārābī menjelaskan
tentang metode demonstrasi untuk menghasilkan kesimpulan yang benar dan
sesuai dengan bukti rasional. Demonstrasi (burhān),18 yaitu kaidah-kaidah yang
mempelajari pernyataan-pernyataan demonstratif, kaidah-kaidah berkenaan
dengan persoalan-persoalan falsafah dan berkaitan dengan semua tindakan yang
lebih utama dan lebih sempurna. Ikhwān al-Ṣafā’19 mengatakan bahwa
demonstrasi (burhān) merupakan standar para failasūf yang dengannya mereka
dapat mengetahui kejujuran dari kebohongan dalam ucapan, kebenaran dari
kesalahan dalam pendapat, dan kebenaran dari kesalahan dalam keyakinan, serta
kebaikan dari keburukan dalam tindakan.20 Demonstrasi adalah prinsip-prinsip
17 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 5-6. 18 Penulis menggunakan term “demonstrasi” sebagai terjemahan dari “al-burhān” terdapat
beberapa alasan, pertama, secara etimologi, term al-burhān (bahasa Arab) memiliki makna yang
sepadan dengan demonstrasi (bahasa Indonesia) yaitu membuktikan, menunjukkan, bukti (dalīl)
atau petunjuk (bayyinah). Lihat, Atābik ‘Alī dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Kamus Kontemporer
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 321, Maḥmud Yūnus, Qāmūs ‘Arabī-Indūnisī (Jakarta:
PT. Maḥmud Yūnus wa al-dzuriyyah, 1990), h. 63, dan
https://kamuslengkap.com/kamus/sinonim/arti-kata/demonstrasi. Kedua, secara terminologi, dalam
beberapa buku yang penulis baca, kata demonstrasi (demonstration) menurut sarjanawan memiliki
definisi yang sama dengan definisi al-burhān menurut al-Fārābī, yaitu, prinsip-prinsip rasional yang
dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah kepastian tentang pengetahuan ilmiah. Lihat, Al-
Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 38, Laurence Johnstone, A Short
Introduction to The Study of Logic (London: Longmans, 1887), h. 88-89, dan Richard F. Clarke,
Logic (London: Longmans, 1921), h. 420, dll. Ketiga, kata demonstrasi - oleh sebagian sarjanawan
yang mengkaji tentang logika al-Fārābī - dipakai untuk menjelaskan tentang silogisme dalam logika
al-Fārābī yang merujuk pada karyanya yaitu Kitāb al-Burhān. Lihat, Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 226, dan Humaidi, Paradigma Sains
Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 82. 19 Ikhwān al-Ṣafā’ (Persaudaraan Suci) adalah organisasi yang bergerak dalam bidang
keilmuan dan juga bertendensi pada politik yang berhubungan dengan kondisi dunia Islam pada saat
itu. Perkumpulan ini lahir pada abad ke-4 H/10 M di kota Basrah. Dari Basrah, Ikhwān al-Ṣafā’ terus
menyebar dan berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139. 20 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 82-83.
7
rasional yang dapat membentuk seseorang menghasilkan sebuah kepastian
pengetahuan.
Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam
mengetahui metode demonstrasi al-Fārābī. Sebab metode ini merupakan jenis
silogisme yang berbeda dari bentuk-bentuk silogisme lainnya, yang lebih
mengedepankan bukti rasional yang sesuai dengan kenyataan. Demonstrasi
adalah silogisme yang tersusun dari premis-premis yang jelas untuk
menghasilkan kesimpulan yang pasti.21 Selain itu, metode demonstrasi juga
merupakan metode untuk mendapatkan pengetahuan saintifik yang diambil dari
kesimpulan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dalam
penulisan skripsi ini, mengetahui metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī
menjadi sangat penting untuk dijelaskan secara mendalam.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa al-Fārābī memiliki beberapa
karangan dalam ilmu mantik. Salah satu karangan beliau adalah Kitāb al-Burhān
atau bisa disebut “kitab tentang pembuktian” atau juga disebut demonstrasi.
Kitab tersebut merupakan tulisan terakhir dari empat jilid karangan al-Fārābī
lainnya, dan merupakan kitab yang membahas tentang metode demonstrasi.
Oleh karena itu, tulisan ini memfokuskan pada konsep mengenai metode
demonstrasi perspektif logika al-Fārābī.
21 Mufaḍḍal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, (İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011), h. 14-15.
8
2. Rumusan Masalah
Dengan mengetahui batasan masalah, yang telah disebutkan sebelumnya,
Penulis menetapkan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
Bagaimana metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari pemaparan tentang rumusan masalah di atas, tujuan
penelitian dapat di tetapkan sebagai berikut:
1. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pandangan al-Fārābī
mengenai logika secara mendalam, agar dipahami sebagai jalan untuk
berpikir logis dan sistematis.
2. Selain tujuan di atas, penulis juga ingin mengetahui metode demonstrasi
dalam pandangan al-Fārābī , sehingga penulis bisa memberikan keterangan
khusus mengenai pemikiran logika al-Fārābī .
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan fokus permasalahan dan tujuan yang disebutkan di atas,
penelitian ini dapat bermanfaat:
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat bertambah wawasan mengenai
pemikiran logika al-Fārābī tentang metode demonstrasi.
2. Penelitian ini diharap bisa memberikan sumbangsih literatur terutama
dalam kajian pemikiran tentang metode demonstrasi menurut
pandangan logika al-Fārābī.
9
E. Tinjauan Pustaka
Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya
yang membahas tentang pemikiran al-Fārābī. Adapun karya tersebut membahas
tentang pemikiran falsafah politik al-Fārābī, seperti yang penulis temukan dalam
karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Desi
Koencoro salah satu mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari’ah
Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah, angkatan 2000-2001.
Adapun skripsi tersebut berjudul Relevansi Politik Abad Modern dalam
Rekonstruksi Pemikiran al-Fārābī. Di dalam skripsinya, ia membahas
sepenuhnya pemikiran yang dituangkan al-Fārābī, yang dibandingkan dengan
pemikiran Ayatullah Khomeini tentang konsep imamah (Wilayah al-Faqih)
terhadap pemerintah Iran juga tentang struktur tubuh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB).
Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya karya akademik dalam
bentuk skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Muhammad Fanshobi salah
satu mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Ushuluddin Program Studi
Aqidah dan Falsafah. Adapun skripsi tersebut berjudul Konsep Kepemimpinan
dalam Negara Utama al-Fārābī. Dalam skripsi tersebut membahas mengenai al-
Fārābī yang telah menyumbangkan pemikiran falsafah politiknya terhadap
khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan
istilah Negara Utama. Dalam skripsi tersebut juga dibahas tentang negara ideal
yang di dalamnya terdapat pembagian negara-negara berdasarkan ideologi
menurut al-Fārābī.
10
Selain itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk skripsi.
Skripsi tersebut ditulis oleh Siti Rahayu Rahmayanti salah satu mahasiswi UIN
Syarif Hidayatullah Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Falsafah Islam.
Adapun skripsi tersebut berjudul Pengaruh Musik Terhadap Kejiwaan Manusia
Menurut al-Fārābī. Dalam karya akademik tersebut, ia membahas mengenai
aplikasi musik religi terhadap jiwa manusia, yang di fokuskan kepada kasus
musik gambus el-Syamwel Cilandak.
Dengan tinjauan tersebut, sejauh yang penulis telusuri, tidak ada skripsi
yang membahas mengenai metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī. Karya
akademik tentang al-Fārābī yang penulis telusuri hanya pada pemikiran tentang
konsep negara utama dan pengaruh musik terhadap kejiwaan menurut al-Fārābī.
Sehingga, jika memang demikian, penelitian yang dilakukan oleh penulis
menjadi penelitian perdana yang mengangkat tema ini.
F. Metode Penelitian
1. Sumber Data Penelitian
Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil
karya al-Fārābī yaitu al-Manṭiq ‘inda al-Fārābī: Kitāb al-Burhān atau
Mantik Pespektif al-Fārābī: Demonstrasi dan Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Sedangkan
data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti buku
Organon: Posterior Analytics karya Aristoteles, ‘Ilm Manṭiq yang ditulis
Muḥammad Nūr Ibrāhīmī, Introduction to Logics yang ditulis oleh Irving
M. Copi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi yang ditulis oleh Humaidi,
dan buku tentang yang terkait lainnya, maupun artike-artikel yang
11
mengandung pembahasan tentang konsep mantik perspektif al-Fārābī.
Sumber yang berkaitan dengan analisis yang ditulis oleh para sarjana dan
cendikiawan yang menggeluti pemikiran al-Fārābī. Data yang lain ialah
seperti ensiklopedia, kamus, internet, koran, jurnal, dan lain-lain, yang
relavan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap rujukan
penulis dalam skripsi ini.
2. Teknik Penelitian
Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di dalam
penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait
permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai
literatur, baik primer maupun skunder.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam
tentang metode demonstrasi perspektif logika al-Fārābī.
3. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti transliterasi yang
digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat
Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
12
BAB II
BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ
A. Latar Belakang Pendidikan
Abu Nasr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlagh al-Fārābī,
yang dikenal dengan al-Fārābī, merupakan failasūf Islam yang lahir di Wasij
Distrik Fārāb (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di Transoxdiana (sekarang
Uzbekistan), pada tahun (257H/870 M).1 Nama al-Fārābī sendiri diambil dari
desa tempat kelahirannya yaitu di Fārāb. Ayahnya bernama Muḥammad Ibn
Auzalgh adalah seorang Jendral Panglima Perang Parsi. Ayahnya adalah seorang
Iran dan menikah dengan wanita Turkestan. Kemudian dia menjadi Perwira
tentara Turkestan. Karena itu, al-Fārābī dikatakan berasal keturunan Turkestan.2
Lingkungan Distrik Fārāb yang mayoritas penduduknya berpaham fiqh
Syafi’iyah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkinkan
al-Fārābī muda menerima pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini
memiliki kecerdasan istimewa dan bakat untuk menguasai hampir setiap subjek
yang dipelajari. Pendidikan dasar al-Fārābī dimulai dengan mempelajari dasar-
dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi al-Qur’an, hadis, tafsir, dan
fikih. Sedangkan ilmu bahasa al-Fārābī memiliki kecakapan yang luar biasa.
Bahasa yang dikuasai antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan, bahkan
ada yang mengatakan bahwa al-Fārābī mampu berbicara dalam tujuh puluh
1 Al-Fārābi, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Al-Atruk: al-Maktabah al-Azhar, 1234
H/1906 M), Cet ke- 1, h. 1. 2 Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke-2, h. 30.
13
macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa,
meliputi bahasa Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.3
Setelah mendapatkan pendidikan awal, al-Fārābī juga mempelajari falsafah
dan matematika serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu
lain. Sejak muda hingga dewasa, dia bergelut di dunia ilmu pengetahuan. Pada
masa mudanya, al-Fārābī belajar falsafah dan logika kepada seorang Kristen
Nestorian, yaitu Yuḥannā ibn Ḥaylān4 (w. 910), dan belajar kepada Abū Bisyr
Mattā ibn Yūnus al-Qunnā’ī5 (w. 940).6 Kemudian, pada tahun 920 M, al-Fārābī
kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat
itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian
belajar falsafah dari Yuhana bin Jilad.7
Pada masa kekhalifahan al-Muktafī8 (902-908 M.) dan awal kekhalifahan
al-Muqtadīr9 (908-932 M.) al-Fārābī pergi ke Konstantinopel10 untuk
3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Pers, 1993), h. 49. 4 Yuḥannā ibn Ḥaylān, failasūf Kristen yang pada tahun 820 telah pergi ke Baghdad dan
kemudian menjadi guru dari sarjana Islam pertama dalam falsafah Yunani bernama al-Fārābī (872-
950). http://www.tahoor.com/en/Article/View/117917. diakses pada 08 Mei 2019, 07.00 WIB. 5 Abū Bisyr Mattā ibn Yūnus al-Qunnā’ī adalah seorang failasūf Kristen yang memainkan
peran penting dalam transmisi karya-karya Aristoteles ke dunia Islam. Ia terkenal terkenal karena
mendirikan Sekolah Failasūf Aristotelian di Baghdad. https://en.wikipedia.org/
wiki/Abu_Bishr_Matta_ibn_Yunus. diakses pada 12 Mei 2019, 06.20 WIB. 6 Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 26. 7 Ainur Rahman Hidayat, Filsafat Berpikir (Pamekasan: Duta Media, 2018), h. 17. 8 Al-Muktafī Billah, Abu Muḥammad adalah anak al-Mu'taḍid (892-902) dengan seorang
budak Turki. Ia lahir pada Rajab 264 H. Ia dilantik menjadi khalifah Daulah Abbasiyah ke-18 ketika
ayahnya sakit, pada hari Jumat usai shalat Ashar 19 Rabiul Awwal 289 H, pada usianya yang ke-25.
Al-Muktafi hanya memerintah selama 6 tahun 6 bulan 19 hari. Al-Muktafī meninggal dalam usia
yang sangat muda. Dia meninggal pada malam Ahad, tanggal dua belas Dzulqa’dah tahun 295 H.
Dia meninggalkan delapan anak laki-laki dan delapan anak perempuan. Kemudian al-Muktafī
digantikan oleh saudaranya al-Muqtadīr (908-932 M). Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’ (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2009), cet ke-6, h. 451-453. 9 Al-Muqtadīr Billah, Abu al-Fadhl, bernama Ja’far bin al-Mu’taḍīd. Dia dilahirkan pada
bulan Ramadhan tahun 282 H. Dia adalah khalifah termuda dan belum pernah ada seorang khalifah
pun yang memerintah sebelumnya yang lebih muda daripadanya. Sebab ia mulai menjadi khalifah
pada usia tiga belas tahun. Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, h. 453. 10 Falsafah Yunani dan logika Aristoteles tersebar di empat tempat pusat kegiatan berilmu
pengetahuan, salah satunya di Roma, yang kemudian ibu kota dari Roma dipindahkan ke
Konstantinopel (didirikan oleh Kaisar Romawi Konstantinus I). Pengaruh falsafah Aristoteles ini,
mempengaruhi pemikiran orang-orang Kristen, terutama sehubungan dengan ketuhanan Yesus
14
mempelajari seluruh silabus falsafah selama delapan tahun. Kemudian, pada
tahun 297 H. dia telah kembali ke Baghdad untuk belajar, mengajar, mengaji
buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Al-Fārābī
menetap di kota ini selama 20 tahun. Di Baghdad pula dia membuat ulasan
terhadap buku-buku falsafah Yunani.11 Ia memperdalam ilmu-ilmu falsafah,
logika, etika, ilmu politik, musik, dan lain sebagainya.12 Meskipun kemungkinan
besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, tetapi ia banyak mengenal para failasūf
Yunani dengan baik seperti Plato13, Aristoteles, dan Plotinus14. Kontribusinya
terletak di berbagai bidang seperti logika, falsafah, matematika, pengobatan,
bahkan musik. Kitāb al-Mūsīqā al-Kabīr, sebagai salah satu karyanya. Ia dapat
memainkan dan telah menciptakan berbagai alat musik.15
Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan
Saif al-Daulah al-Hamdanī16, Sultan Dinasti Hamdaniyyah di Aleppo. Sultan
memberinya kedudukan sebagai seorang ulama instan dengan tunjangan yang
besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik
Kristus di Roma. Aburisman, al-Fārābī dan Logika Aristoteles (Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008), h. 6. 11 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), h. 75. 12 Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), vol. 1,
Cet. Ke-4, h. 331. 13 Nama Plato sebenarnya adalah julu𝑘annya karena memiliki dahi dan bahu yang lebar,
nama aslinya adalah Aristocles. Ia hidup sekitar tahun 427-347 SM. Masykur Arif Rahman, Buku
Pintar Sejarah Filsafat Barat (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), h. 149. 14 Plotinus lahir di Mesir pada tahun 204 SM. Ia tertarik pada falsafat, karena itu ia datang
ke Alexandria untuk menemui seseorang yang terkenal ahli dalam falsafah, khususnya falsafah
Plato. Ia meninggal pada tahun 270 SM di Minturnae, Campania, Italia. Masykur Arif Rahman,
Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 193-194. 15 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 6. 16 Abu al-Maḥasin ibn Abdullah (333H-356H /944-967M) yang bergelar Saif al-Daulat
adalah raja pertama dan pendiri Dinasti Hamdaniyah di Aleppo yang memerintah dari tahun 333 H
sampai tahun 356 H/944 -967M. Muchtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2001), volume 5, h. 209.
15
dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja
setiap hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya,
sisa tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal
sosial di Aleppo dan Damaskus.17
Hal yang mengembirakan dari ditempatkannya al-Fārābī di Damaskus
adalah al-Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan
kaum cendekiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun al-Fārābī tinggal di Aleppo
dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa di antara
kedua kota ini semakin memburuk. Sehingga Saif al-Daulah menyerang kota
Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya.
Al-Fārābī merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan
pencari kebenaran. Kehidupan yang nyaman dan kemegahan di istana tidak
memengaruhinya, dan dalam pakaian seorang sufi dia membebani dirinya
dengan tugas berat ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana
gemercik air sungai dan di bawah dedaunan dan pepohonan yang rindang.18 Al-
Fārābī hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu. Sehingga tidak
dekat dengan penguasa-penguasa Abasiyah waktu itu.
Al-Fārābī mukim di Syiriah hingga wafat pada bulan Rajab tahun 339H/
Desember 950 M. meninggal pada usia 80 tahun dan dimakamkan di luar
gerbang kecil (al-bāb al-saghīr) kota bagian selatan. Saif al-Daulah saat itu yang
memimpin upacara pemakaman al-Fārābī.19
17 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran, h. 75. 18 M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1998), h. 58. 19 Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), h. 93.
16
B. Karya-Karya
Al-Fārābī adalah seorang failasūf Muslim yang banyak meninggalkan
karya-karya penting. Karya al-Fārābī terdapat pada setiap cabang ilmu
pengetahuan yang dikenal dunia pada Abad Pertengahan, dengan pengecualian
khusus pada ilmu kedokteran. Para bibliographer tradisional mencatat bahwa al-
Fārābī memiliki lebih dari seratus karya, yang sebagian besar masih
terselamatkan. Beberapa di antara karya-karya ini hanya terdapat dalam
terjemahan bahasa Ibrani atau Latin. Padahal, al-Fārābī menulis seluruh
karyanya dalam bahasa Arab.20 Dari ratusan karya al-Fārābī tersebut – jika
perhitungan ini benar – berarti banyak karyanya yang tidak terselamatkan.
Banyak di antara karya-karya ini yang baru belakangan tersedia dalam edisi
modern, sehingga interpretasi atas tulisan al-Fārābī terus mengalami revisi,
sejauh ini, sebagian besar karya al-Fārābī difokuskan pada logika dan falsafah
bahasa. Karena sesungguhnya, menurut sejumlah penulis biografi Abad
Pertengahan, ketajaman logika al-Fārābī merupakan landasan memasyhurannya.
Al-Fārābī cukup banyak melahirkan karya-karya yang penting, karena ia
memiliki kemampuan menguasai hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan. Al-
Fārābī sangat aktif dan produktif dalam membuat karya-karya yang sangat
berharga, buku-buku tersebut meliputi karangan dan pemikirannya sendiri,
maupun berisi komentar-komentar dan terjemahan dari failasūf yang
mendahuluinya.
Berdasarkan catatan sejarah, al-Fārābī memiliki 117 buah karya, yang
dibagi ke dalam enam bidang ilmu pengetahuan, yaitu 43 buah mengenai manṭiq,
20 Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of
Science (Malaysia-Kuala Lumpur: Institute for Policy Research, 1992), h. 21.
17
yang meliputi hermeneutik, analytica priora, analytica aposteria, topica,
sophistica elenchi, rhetorica dan poetic. 11 buah mengenai ilmu-ilmu
kepandaian yang mencakup ilmu-ilmu musik, teknik, bintang-bintang
(astronomi), hitungan, dan lain-lain. 10 buah mengenai ilmu alam meliputi
kimia, hewan, kedokteran, dan cakrawala. 11 buah mengenai ilmu ketuhanan
yang diantaranya adalah metafisika, rahasia alam, akal dan sebagainya. 14 buah
tentang ilmu politik yang mencakup ilmu-ilmu akhlak, dan kenegaraan. Dan 28
buah lainnya, mengenai “Bunga Rampai” termasuk di dalamnya buku Iḥṣā’ al-
‘Ulūm, yang meliputi komentar-komentar terhadap karya-karya failasūf Yunani
dan segala macamnya.21
Di antara beberapa karya al-Fārābī adalah sebagai berikut:
1. Maqālah fī Aghrāḍ al-Ḥakīm fī Kulli Maqālah min al-Kitāb al-Marsūm bi
al-Ḥurūf. Buku ini merupakan verifikasi terhadap buku Aristoteles yang
berjudul Taḥqīq Gharḍ Arisṭūṭālīs fī Kitāb mā Ba‘da al-Ṭabī‘ah.
2. Risālah fī Itsbāt al-Mufāraqāt.
3. Syarḥ Risālah Zainūn al-Kabīr al-Yūnānī.
4. Risālah fī Masā’il Mutafarriqah.
5. Al-Ta‘līqāt.
6. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Ḥakīmain Aflaṭūn wa Arisṭū.
7. Risālah fimā Yajibu Ma‘rifatuhu Qabla Ta‘allum al-Falsafah.
8. Risālah Taḥsīl al-Sa‘ādah.
9. Kitāb Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadīlah.
21 Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinah al-Fadhilah) (Jakarta: Kinta, 1968), h.
23.
18
10. Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah.
11. Kitāb al-Musīqā al-Kabīr.
12. Iḥṣā’ al-‘Ulūm.
13. ‘Uyūn al-Masā’il.
14. Al-Tanbīh fī Sabīl al-Sa‘ādah.
15. Fuṣūṣ al-Ḥikam.
16. Maqālah fī Ma‘ānī al-‘Aql.
17. Tajrīd Risālah al-Da‘āwā al-Qalbiyyah al-Mansūbah li Arisṭū.
18. Al-Nuqat fīmā Yaṣiḥḥu wamā lā Yaṣiḥḥu min Ahkām al-Nujūm.
19. Risālah fī Jawāb Masā’il Su’ila ‘Anhā.
20. Talkhīṣ Nawamīs Aflāṭūn.
Buku al-Fārābī yang bejudul “Iḥṣā’ al-‘Ulūm” merupakan teori keilmuan
dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu bahasa, manṭiq, matematika, fisika,
politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para
penulis lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-Fārābī
mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teori keislaman yang ia
rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni fikih (hukum Islam) dan ilmu kalam
yang sangat populer dibicarakan pada masa itu.22
Buku-buku karangan al-Fārābī mulai ditulis sewaktu berada di Harran pada
310 H./941 M., setelah usianya hampir mencapai 50 tahun. Jika diperhitungkan
bahwa semenjak dia menulis sampai usianya 80 tahun, berarti paling lama
waktunya mengarang tidak lebih dari 30 tahun.
22 Sudarsono, Filsafat Islam, h. 32.
19
Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip tersendiri, al-Fārābī juga
sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap karya-karya failasūf Yunani,
seperti al-Burhān (dalil), ‘Ibārah (keterangan), Khitāba (cara berpidato), Al-
Jadal (argumentasi/debat), Qiyās (analogi) dan Manṭiq (logika) yang merupakan
ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Juga ”Kitāb al-Majestī fī-Ihni al-Falak”
yang merupakan ulasan terhadap karya Plotinus dan ”Maqālah fī al-Nafsi”
sebagai ulasan terhadap karya Iskandar al-Daudisī.23
Al-Fārābī memiliki pemahaman yang dalam tentang falsafah Aristoteles.
Terkait ketajaman karya al-Fārābī, diceritakan bahwa Ibnu Sīnā pernah
mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya empat
kali ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari
Metafisika” karya al-Fārābī yang berjudul “Taḥqīq Gharḍ Arisṭūṭālīs fī Kitāb mā
Ba‘da al-Ṭabī‘ah” yang menjelaskan maksud dan tujuan metafisika dari
Aristoteles, barulah ia mengerti bagian yang semula dirasa sulit. Dengan
demikian, al-Fārābī digelari orang dengan al-Mu’alim al-Tsānī (Guru Kedua)
sebagai penerus mendalamnya pemikiran tentang falsafah Aristoteles yang
bergelar al-Mu’alim al-Awwal (Guru Pertama). Seolah tugas Aristoteles dalam
falsafah sudah selesai, maka untuk selanjutnya tugas tersebut diteruskan oleh al-
Fārābī, sehingga ia diberi gelar tersebut.24
C. Al-Fārābī dan Falsafahnya
Falsafah al-Fārābī memiliki karakter yang berbeda dari falsafah lainnya
yaitu ia mengambil ajaran-ajaran para failasūf terdahulu, membangun kembali
dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusunnya
23 A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 127-128. 24 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 27.
20
dengan sistematis dan selaras. Falsafah al-Fārābī memiliki peranan yang penting
dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya. Berikut
ini adalah beberapa pemikiran falsafah al-Fārābī:
1. Emanasi
Emanasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu emanate, yang berarti berasal,
keluar. Emanasi adalah suatu teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang
mumkin (alam makhluk) dari zat yang wājib al-wujūd (zat yang mesti ada:
Tuhan). Teori ini juga dikenal dengan nama teori “urutan wujud”. Falsafah
emanasi ini muncul pertama kali pada masa puncak terakhir falsafah Yunani,
dengan tokohnya yang terkenal bernama Plotinus, aliran falsafahnya terkenal
dengan nama Neoplatonisme25, yang merupakan sintesis dari aliran-aliran
falsafah sebelumnya.26
Dalam sejarah falsafah Islam muncul seorang tokoh yang berpikir tentang
teori emanasi, yaitu al-Fārābī. Berawal dari rasa penasaran al-Fārābī tentang
bagaimana penciptaan itu terjadi. Ia mencari penjelasan melalui Metafisika
Aristoteles, namun ia cukup kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan di sana, padahal pertanyaan bagaimana dari yang Esa muncul dunia
yang beraneka ini tetap perlu mendapat jawaban.27
25 Neoplatonisme adalah ajaran falsafah yang didirikan oleh Plotinus. Dikatakan
Platonisme, karena inspirasi utama dalam falsafahnya berasal dari pemikiran Plato. Pemikiran
mengenai metafisika menurut Plotinus, Yang Esa adalah sumber sekaligus muara segala sesuatu.
Maksudnya, segala sesuatu berasal dari Yang Esa dan Yang Esa menjadi tujuan segala yang ada.
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 195-196. 26 Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2017), Edisi ke 3, h. 8. 27 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 65.
21
Akhirnya al-Fārābī menemukan jawabannya dalam karya Plotinus, bapak
Neoplatonisme, dalam apa yang kemudian dikenal dengan “teori emanasi” (atau
dalam bahasa Arab disebut nazhariyyah al-faidh). Menurut teori ini, alam
muncul sebagai pelimpahan (emanasi) dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
digambarkan sebagai Akal Murni. Alam muncul sebagai konsekuensi logis dari
aktivitas berpikir Tuhan. Dari pemikiran ini, muncullah Akal (Nous), kemudian
jiwa, dan dari jiwa kemudian muncul alam yang beraneka ini.28
Bagi Neoplatonis, akal adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan
dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan
menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan
bentuk. Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia.
dari jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga.
Pada wujud ketiga ini telah mengalami perubahan yang jauh dari sempurna.
Mengingat jasad lebih jauh posisinya dengan Akal (Tuhan). Namun demikian,
hal itu tidak kemudian mempunyai kemiripan dari segala-galanya. Jika akal
mempunyai ide, jiwa memiliki pemahaman, maka jasad memiliki bentuk.29
Al-Fārābī mengadopsi teori emanasi Plotinus di atas dan
menyempurnakannya sesuai dengan perkembangan ilmiah pada masanya,
sehingga muncullah teori emanasi versi al-Fārābī yang lebih kompleks. Menurut
teorinya, setelah Tuhan, bukan hanya akal, jiwa, dan alam materi yang muncul
sebagaimana yang diajarkan Plotinus, tetapi seluruh akal-akal immaterial.
28 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, h.
66. 29 Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), h.
106.
22
Dengan munculnya akal-akal inilah, maka keanekaan muncul, karena ini objek
pemikiran menjadi ganda. Kalau Tuhan hanya bisa memikirkan satu objek saja
(yaitu diri-Nya saja Yang Esa) sehingga dari-Nya hanya satu objek yang bisa
muncul, maka akal-akal yang melimpah dari Tuhan mempunyai lebih dari satu
objek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya. Dari memikirkan Tuhan muncul akal
berikutnya, sedangkan dari memikirkan dirinya muncullah benda-benda langit
dan seterusnya, sampai pada “akal kesepuluh” (biasa juga disebut Malaikat
Jibril) yang kemudian menghasilkan dunia material ini. Akal kesepuluh atau akal
terakhir ini juga disebut akal aktif.30
Dalam koreksi-koreksi atas apa yang dianggap kekeliruan pemahaman
sebelumnya terhadap Metaphisics-nya Aristoteles, al-Fārābī menegaskan bahwa
ilmu ilahi sebenarnya merupakan bagian penting metafisika, seraya mengakui
bahwa hanya sebagian kecil dari teks Aristoteles dicurahkan untuk
membicarakan topik tersebut. Inilah sebabnya mengapa al-Fārābī menyatakan
pada bagian pengujung karyanya, Falsafah Arisṭūṭālīs, bahwa “kita tidak
mempunyai ilmu metafisika”. Akan tetapi, doktrin utama metafisika
Neoplatonik yang dikenal al-Fārābī adalah teori emanasi, yang titik pusatnya
adalah wujud-wujud Ilahi yang hubungan kausalnya dengan alam duniawi.31
Di sinilah nampak sekali pengaruh Neoplatonisme terhadap pemikiran
metafisikanya al-Fārābī, dan dapat disimpulkan bahwa alam ini berasal dari Zat
yang Maha Tunggal, Kekal dan Suci melalui pelimpahan (emanasi). Argumen
30 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, h.
66. 31 Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 236.
23
al-Fārābī dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini
berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan,
kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd). Argumen lain yang
dijadikan dasar oleh al-Fārābī adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang
sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini
menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang
tunggal dan melimpah sedemikian rupa.32
Teori emanasi yang didukung oleh al-Fārābī dalam karyanya bergantung
pada dua pilar kosmologi geomatrik Ptolemaik (berhubungan dengan
Ptolemaus) dan metafisika ketuhanan. Kerangka acuan emanasi diberikan oleh
kosmologi alam semesta dipandang sebagai serangkaian bola-bola langit
(sphere) konsentris: yang paling luar disebut sebagai langit pertama, bola langit
bintang-bintang tetap, dan bola langit Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus,
Merkurius, dan akhirnya Bulan. Mekanisme emanasi sebagai teori yang
menjelaskan kemunculan alam semesta dari Tuhan diambil dari berbagai
sumber. Dalam premis dasarnya teori ini menunjukkan perbedaan yang radikal
dengan Aristoteles, yang menganggap Tuhan bukan sebab efisien bagi eksistensi
(wujūd) wujud-wujud lain, melainkan hanya sebab-pertama gerak alam semesta.
Namun, yang paling penting, Tuhan dicirikan oleh al-Fārābī sebagai intelek yang
aktifitas utamanya adalah “merenungkan dirinya sendiri”, yang menggemakan
konsepsi Aristoteles menganai aktifitas Tuhan sebagai “berpikir tentang
berpikir”. Aktifitas intelek Tuhanlah yang, dalam pola al-Fārābī, mendasari
32 M. Wiyono, Pemikiran Filsafat al-Fārābī (Jurnal Substantia, Volume 18 Nomor 1, April
2016), h. 72.
24
peran Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai hasil dari perenungan-
dirinya terjadilah pelimpahan atau emanasi (faidh), berupa intelektual kedua dari
Tuhan. Intelek kedua ini, seperti Tuhan, dicirikan oleh aktifitas kontemplasi-diri.
Tetapi di samping itu, intelek kedua ini harus memikirkan wujud Tuhan.
Berdasarkan perenungan atas Tuhan, intelek kedua memunculkan intetek ketiga.
Dan berdasarkan perenungan dirinya, terpancarlah bola langit yang bersesuaian
dengannya, yaitu langit pertama. Al-Fārābī kemudian mengulangi pola emanasi
ganda ini untuk tiap-tiap bola langit dalam kosmologi dan intelektualnya yang
sesuai sampai mencapai jumlah sepuluh intelek selain dari Tuhan.33
Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang satu dan
menghasilkan wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara
mekanis determinis yang melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal
murni berpikir tentang dirinya yang menghasil wujud pertama (al-maujūd al-
awwal) yaitu Tuhan sebagai akal yang berdaya pikir tentang diri-Nya. Dari daya
pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan
akal pertama yang juga punya substansi.34
Tentang “jiwa”, al-Fārābī memberika definisi sama dengan Aristoteles dan
al-Kindī sebelumnya, yaitu kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat
alamiyah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik.35 Di samping
definisinya yang sangat Aristotelian ini, ia juga berorientasi kepada Plato di
mana jiwa manusia adalah substansi rohani yang berdiri sendiri, dan inilah
33 Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 236-
237. 34 M. Wiyono, Pemikiran Filsafat al-Fārābī, h. 72-73. 35 Muhammad Usman Najati, Al-Dirasah al-Nafsiah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin. Terj.
Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 63.
25
substansi manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, manusia terdiri dari
dua unsur: pertama, substansi rohani dari alam amar atau amar Ilāhi (jiwa), dan
kedua, badan dari alam pencipta (khalq) atau alam materi.
Pada dasarnya, al-Fārābī membagi jiwa kepada tiga jenis, yaitu:36
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabati) yang mempunyai tiga daya, yakni: daya
makan (al-quwwah al-ghaziyyah; nutrition), daya pemeliharaan (al-
quwwah al-murabbiyah; preservation), dan daya berkembang (al-quwah al-
muwallidah; reproduction).
2. Jiwa hewani memiliki dua daya, yaitu: daya mengetahui (al-quwwah al-
mudrikah; cognition), dan daya penggerak (al-quwwah al-muharrikah;
motion).
3. Jiwa rasional (al-quwwah al-nāṭiqah, intellection), yang terbagi atas dua
bagian, yaitu: akal praktis (al-aql al-‘amali; practical intellect) dan akal
teoritis (al-‘aql al-nazarī; theoretical intellect). Akal teoritis ini mempunyai
tiga tingkatan yaitu akal potensi, actual, dan mustafād. Akal mustafād
merupakan bagian dari jiwa yang tidak mengalami kerusakan seperti
kerusakan materi, dan dia abadi setelah badan mengelami kehancuran.
Kontak akal mustafād dengan Akal Kesepuluh atau Akal Aktif merupakan
faktor yang membentuk kebahagiaan yang paling agung, dan kebahagiaan
yang paling besar yang dapat dicapai oleh manusia, serta tidak ada
kebahagiaan yang lebih besar drinya. Kebahagiaan yang dimaksud al-Fārābī
tidak jauh berbeda dengan ekstasi pada Neoplatonisme. Kebahagiaan adalah
36 Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer, h. 9-10.
26
pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia, dan itulah tingkat akal
mustafād. Ia siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari Akal Aktif.
2. Falsafah Kenabian
Al-Fārābī adalah failasūf Muslim pertama yang mengemukakan falsafah
kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh failasūf
lain sesudahnya. Falsafahnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang
erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika. Seperti yang akan dijelaskan
pada bagian falsafah praktis menurut al-Fārābī.37
Dalam falsafah Kenabian, al-Fārābī erat kaitannya antara Nabi dan failasūf
dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan ‘aql fa’āl. Motif
lahirnya falsafah al-Fārābī ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi kenabian oleh Aḥmad ibn Isḥāq al-Ruwāndī (w. akhir abad III H.)38
dan Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariya al-Rāzī (864-925 M)39. Di mana
menurut mereka, para failasūf berkemampuan untuk mengadakan komunikasi
dengan ‘aql fa’āl.40 Ahmad ibn al- Ruwāndī, tokoh yang berkebangsaan Yahudi
ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada
umumnya dan kenabian Nabi Muhammad SAW khususnya.
37 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 81. 38 Abu al-Ḥasan Aḥmad bin Yahya bin Isḥāq al-Ruwāndī, umumnya dikenal sebagai Ibn
al-Ruwāndī merupakan skeptis awal Islam dan pengkritik agama pada umumnya. Ia lahir di Greater
Khorasan, sekarang terletak di barat laut Afghanistan, sekitar tahun 815 M.
https://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_al-Rawandi. diakses pada 09 Mei 2019, 20.45 WIB. 39 al-Rāzī – dokter, failasūf, kimiawan, dan pemikir bebas, dikenal oleh orang Latin sebagai
Rhazes – dilahirkan, sebagaimana diisyaratkan oleh namanya, di Rayy, dekat Teheran sekarang.
Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 243. 40 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999), h. 44.
27
Menurut al-Fārābī, manusia dapat berhubungan dengan ‘aql fa’āl melalui
dua cara, yakni: penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi
(ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang
dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan.
Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi. Perbedaan antara kedua
cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.41
Tentu saja jika yang dipahami sebagai ‘aql fa’āl itu adalah Jibril, maka yang
dapat berhubungan secara langsung hanyalah para Nabi. Manusia sekelas
failasūf pun tidak akan dapat mencapai derajat ini. Konon lagi, jika
menggunakan logika sederhana bahwa Nabi adalah failasūf, dan failasūf bukan
Nabi. Maka dari sisi tingkatannya pun antara Nabi dan failasūf sangat berbeda,
yakni failasūf berada di bawah Nabi.42
Menurut al-Fārābī, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali,
objek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapat
berhubungan dengan ‘aql fa’āl. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai
taraf kesempurnaan, tidak ada halangan baginya menerima peristiwa-peristiwa
sekarang atau mendatang dari ‘aql fa’āl, pada waktu bangun. Dengan adanya
penerimaan demikian, maka ia dapat nubuwwah terhadap perkara-perkara
ketuhanan.43
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, antara failasūf dan Nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, al-
41 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 44. 42 Qosim Nursheha Dzulhadi, Al-Farabi dan Filsafat Kenabian (Jurnal Kalimah, Vol. 12,
No. 1, Maret 2014), h. 131. 43 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, h. 81.
28
Fārābī menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan falsafah sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari
sumber yang sama, yakni ‘aql fa’āl, (Jibril).
3. Falsafah Politik
Al-Fārābī adalah failasūf Islam yang paling banyak membicarakan masalah
kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang berkecipung
langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat,
karena ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan pihak lain.44
Adapun tujuan hidup bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan
memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja materiil tetapi juga
spiritual, tidak saja di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Pendapat al-Fārābī ini
memperlihatkakn pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam di
samping pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik
dengan moral, akhlak atau budi pekerti. Dari kecenderungan hidup
bermasyarakat inilah lahir berbagai kelompok sosial sehingga muncul kota dan
negara.45
Kesatuan antara ilmu-ilmu teoritis metafisika dan psikologi yang telah
dibangun oleh al-Fārābī juga tercermin dalam falsafah politiknya yang, bersama
logika, merupakan fokus utama karya-karya falsafahnya. Sementara bagian lain
44 Al-Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madinah al-Fāḍilah, h. 96. 45 Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
hingga Indonesia Kontemporer, h. 11.
29
dari falsafah al-Fārābī berkarakter Aristotelian, yang dilengkapi dengan unsur-
unsur Neoplatonik. Falsafah politik al-Fārābī sangat Platonik, dan
mencerminkan cara ideal falsafah politik Plato yang didasarkan pada landasan-
landasan metafisika. Karena itu, dua karya utama al-Fārābī dalam falsafah
politik yaitu, al-Siyāsah al-Madaniyyah (Politik Kekotaan, Politik Kenegaraan)
dan Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota atau
Negara Utama). Meskipun al-Fārābī mencurahlan sebagian perhatiannya pada
karya-karya ini dan karya-karya lainnya tentang falsafah praktis hingga masalah-
masalah etis, seperti sifat kebijaksanaan praktis, kebajikan dan pertimbangan
moral, perhatian utamanya tetaplah falsafah politik, khususnya mengenai syarat-
syarat negara ideal dan penguasanya, serta masalah hubungan antara falsafah
dan agama dalam negara semacam itu.46
Di samping karya-karya tersebut, al-Fārābī juga membahas ilmu politik dan
falsafah politik (‘ilm al-madanī) dalam kitab Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Pembahasan kedua
ilmu tersebut berada di bab kelima bersama dengan pembahasan ilmu fikih (‘ilm
al-fiqh) dan ilmu kalam (‘ilm al-kalām). Menurut al-Fārābī, ilmu politik
membahasa hukum-hukum dan berbagai macam tindakan yang direncanakan
(al-af’āl al-irādiyyah), alami, tindakan moral, kecenderungan baik, tingkatan-
tingkatan karakter, dan bagaimana tindakan-tindakan tersebut dapat terjadi. Ilmu
ini juga membahas tujuan dari perbuatan tersebut, bagaimana mereka seharusnya
ada pada manusia, bagaimana cara mengaturnya di dalam dirinya menurut cara
46 Sayyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam
(Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 238.
30
yang seharusnya ada di dalam dirinya, dan bagaimana cara untuk menjaga
tindakan-tindakan tersebut.47
Di dalam kitab yang lain, al-Fārābī menyebutkan bahwa ilmu politik adalah
ilmu tentang manusia dan ilmu yang menyelidiki bagaimana cara manusia
memperoleh kebahagiaan. Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang
segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam memperoleh kebaikan,
keutamaan, dan kesempurnaan. Manusia harus mampu membedakan tiga elemen
tersebut dari hal-hal yang dapat menghalangi dalam memperoleh keutamaan. Ia
harus mengetahui apa dan bagaimana masing-masing dari mereka, dari manakah
dan untuk apa, sehingga ia benar-benar diketahui dan dapat dibedakan dengan
yang lain.48
Menurut Ibrāhīm ‘Atī, dalam bukunya Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah:
Namūḍaj al-Fārābī, mengatakan bahwa tujuan politik dalam falsafah al-Fārābī
adalah cara untuk mencapai kebahagiaan (al-wusūl ilā al-sa’ādah) melalui
pendidikan dan perbaikan akhlak, “Anna al-ghāyah al-asāsiyyah lifalsafah al-
Fārābī hiya al-wusūl ilā al-sa’ādah ‘an ṭarīqi islāh al-akhlāq wa tahdzībihā.”
Oleh karena itu, al-Fārābī memberi perhatian yang lebih terhadap pendidikan
akhlak melalui falsafah dan ilmu-ilmu yang perlu dipelajari sebelum falsafah.49
Melalui karya tersebut, al-Fārābī pada dasarnya sedang menjelaskan
struktur alam semesta atau makrokosmos dan juga manusia atau mikrokosmos,
47 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 79. Charles E.
Butterworth, Al-Fārābī, the Political Writings: Selected Aphorism and Other Text (London: Cornell
University Press, 2001), h. 76. 48 Muhsin Mahdi, Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles (New York: The Free
Press of Glanco, 1962), h. 24. 49 Ibrāhīm ‘Atī, Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah: Namūḍaj al-Fārābī (Alexandria: al-
Hay’an al-Misyriyyah al-Āmah li-Alkitāb, 1993), 241-242.
31
dari mana alam berasal, bagaimana hubungan antara keduanya, serta bagaimana
manusia memeroleh kebahagiaan. Struktur makrokosmos dan mikrokosmos
iniah serta bagaimana proses untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan,
analog dengan bagaimana seharusnya masyarakat, komunitas dan kota dibentuk
dan berfungsi, serta apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk
mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.50
Penjelasan-penjelasan tentang beragam ilmu politik yang memiliki tujuan
untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan secara bersama-sama,
selanjutnya menjadi landasan bagi al-Fārābī untuk menformulasikan dan
menjelaskan tentang pentingnya manusia untuk berkumpul, bersosialisasi,
berinteraksi, dan berkomunikasi. Tesis al-Fārābī adalah untuk dapat menjaga diri
mereka sendiri dan mencapai kebahagiaan, maka manusia secara alami
membutuhkan banyak hal yang tidak mungkin dicapai oleh dirinya sendiri.51
Berdasarkan pada kenyataan itulah, manusia tidak mungkin akan mencapai
kebahagiaan dan kesempurnaan yang merupakan kecenderungan dasar setiap
individu, kecuali mereka bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tertentu dari masing-masing individu. Dengan demikian, individu-individu
tersebut kemudian berkumpul menjadi satu komunitas besar dan berdiam di
suatu wilayah di muka bumi ini.52
Walaupun demikian, menurut al-Fārābī, yang paling baik dan paling baik
dan paling utama adalah komunitas yang ada di sebuah kota, bukan komunitas
50 Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 105. 51 Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah, di dalam Rāsa’il al-Fārābī (Haydarabad:
Dār al-Ma’ārif, 1926), h. 39. 52 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 228-229.
32
yang lebih kecil dari sebuah kota, seperti desa, kampung, gang, dan keluarga.53
Alasannya adalah pada masyarakat kota inilah kerja sama untuk mencapai
kebaikan dan kebahagiaan dapat dilaksanakan. Ketika orang-orang atau
masyarakat yang ada dalam sebuah kota ini saling bekerja sama untuk mencapai
kebaikan, maka dapat dipastikan kebahagiaan dapat diperoleh. Kota yang seperti
inilah yang kemudian al-Fārābī menyebutnya dengan sebutan kota utama (al-
madīnah al-fāḍilah). Jika kota-kota yang mencapai tingkat kota utama dan
secara bersama-sama bekerja sama dengan kota-kota lain yang ada dalam sebuah
negara, maka negara tersebut akan sampai pada sebutan negara utama (the
exelent nation). Di dalam negara seperti ini, masyarakatnya bekerja sama dan
saling membantu untuk mencapai kebahagiaan, yang menjadi tujuan akhir dari
tujuan hidup setiap individu, masyarakat, kota, dan negara.54
Lawan dari kota utama, menurut al-Fārābī, adalah kota terbelakang (al-
madīnah al-jāhilah) dan rusak (al-fāsiqah). Kota yang terbelakang adalah kota
yang masyarakatnya tidak mengetahui kebahagiaan sejati dan kebahagiaan sejati
tersebut tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Bahkan, jika mereka diberi
tahu, mereka tidak dapat memahami dan tidak percaya tentangnya. Kebahagiaan
yang mereka pahami dan ketahui hanyalah sesuatu yang bersifat parsial, yaitu
kebaikan dan kebahagiaan yang hanya berkaitan dengan tujuan hidup di dunia
ini, seperti kebugaran tubuh, memiliki banyak harta, bersenang-senang dengan
kenikmatan indriawi, kebebasan untuk mengikuti hasrat orang lain, senang jika
dihormati, dan bangga jika diagung-agungkan. Kebahagiaan paling sempurna
53 Al-Fārābī, Kitāb al-Siyāsāt al-Madaniyyah, h. 39. 54 Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 107-108.
33
dan tertinggi bagi masyarakat yang berada di kota terbelakang adalah
keseluruhan hal tersebut.55
Bentuk kota terbelakang terdiri dari berbagai tingkatan. Pertama, disebut
kota niscaya (ḍarūriyyah). Masyarakat kota ini adalah mereka yang hanya
berusaha dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti
makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan seks.
Kedua, disebut kota jahat (nadzālah), yaitu sebuah kota di mana tujuan
hidup masyarakatnya adalah bekerja sama hanya untuk mendapatkan kekayaan
harta benda. Pengumpulan kekayaan tersebut, menurut al-Fārābī, bukan untuk
dibelanjakan pada sesuatu yang lain, melainkan dianggap sebagai tujuan hidup
di dunia ini.
Ketiga, disebut kota rendah (al-khassah) dan hina (suqūth). Kota ini
merupakan sebuah kota yang dihuni oleh masyarakat yang menjadikan
kesenangan dan kenikmatan yang berkaitan dengan makanan, minuman,
hubungan seks, dan sejumlah kesenangan indriawi dan imajinasi sebagai tujuan
hidup mereka.56
Keempat, kota gila kehormatan (karāmah), yaitu sebuah kota di mana tujuan
hidup masyarakatnya adalah mereka yang bekerja sama untuk memperoleh
kehormatan, ketenaran, dan kemasyhuran di tengah-tengah masyarakat. Mereka
selalu mengharap untuk dipuji dan diperlakukan dengan rasa hormat, baik
dengan kata-kata maupun perbuatan. Mereka selalu berusaha untuk memperoleh
55 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 254-255. 56 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 254-255.
34
kemuliaan dan keindahan, baik menurut kecamata orang lain maupun menurut
mereka sendiri.
Kelima, disebut kota despotik (al-taghallub), yaitu sebuah kota di mana
masyarakatnya memiliki kecenderungan untuk mengalahkan yang lain untuk
menghalangi yang lain dalam meraih keberhasilan atau kemenangan. Tujuan
hidup masyarakat di kota tersebut hanyalah kenikmatan dan kesenangan yang
diperoleh melalui kekuasaan.
Timgkat terakhir, keenam, disebut kota demokratis (jamā’iyyah). Tujuan
utama dari masyarakat yang berdiam di kota demokratis adalah memperoleh
kebebasan. Masing-masing melakukan apa yang mereka inginkan tanpa
terkendali dan tanpa aturan.57
Adapun yang dimaksud kota rusak (al-madīnah al-fāsiqah) adalah kota
yang masyarakatnya sama dengan kota utama di satu sisi, namun di sisi lain
berbeda. Pada tingkat pengetahuan, pemahaman, dan kepercayaan, sama dengan
kota utama. Mereka memahami kebahagiaan tertinggi, percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa, mengerti tentang eksistensi tatanan kedua, paham mengenai
aktif intelek, dan semua yang diketahui serta diyakini oleh masyarakat kota
utama. Namun, tindakan dan perbuatan masyarakatnya sama dengan tindakan
dan perbuatan masyarakat terbelakang (al-madīnah al-jāhilah).58 Kota yang
rusak adalah kota yang bersifat primitif, yang perhatian rakyatnya hanya terbatas
57 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 256-257. 58 Al-Fārābī, Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah, h. 257-258.
35
pada pemenuhan kebutuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-
lain.59
Pemikiran politik al-Fārābī ini, menurut Muhsin Mahdi dalam bukunya Al-
Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles, bahwa al-Fārābī memiliki fondasi
dan akar pada pencarian dan penyandaran kebenaran kepada Tuhan kaitannya
dengan semua realitas, alam, dan manusia.60 Ilmu politik, dengan bantuan
metafisika, dalam perspektif al-Fārābī menunjukkan jalan pendakian bertahap
dari persepsi dunia fisik dan prinsip-prinsipnya menuju pada realitas spiritual,
yaitu prinsip segala sesuatu yang ada. Ilmu ini mengajarkan manusia sebagai
anggota masyarakat untuk membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik
mengenai tujuan akhir hidupnya. Inilah salah satu alasan dan penjelasan
mengapa dari sembilan belas bab dalam al-Madīnah al-Fāḍilah, harus dimulai
dengan penjelasan panjang lebar tentang yang Satu, Tuhan, diikuti dengan
kosmologi, dan dilanjutkan dengan eksposisi dari falsafah, dan mengapa hanya
sembilan bab terakhir yang berkaitan dengan masalah politik dalam arti yang
ketat.61
4. Logika
Al-Fārābī merupakan tokoh falsafah Islam, karena beliau peletak
sesungguhnya dasar piramida falsafah Islam, sebab al-Fārābī adalah penerus
tradisi intelektual khususnya di bidang logika. Dalam bukunya Iḥṣā’ al-‘Ulūm
(Katalog Ilmu Pengetahuan) al-Fārābī mengatakan bahwa logika pada
59 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 51. 60 Muhsin Mahdi, Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles, h. 24. 61 Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 112.
36
umumnya memberikan kaidah-kaidah yang jika diikuti dapat meluruskan pikiran
dan membimbing manusia pada jalan yang tepat menuju kebenaran, dan
menjauhkan diri dari terjebak ke dalam jurang kesalahan.62 Dari penjelasan
tersebut, logika merupakan salah satu unsur yang penting bagi manusia untuk
berpikir. Karena berpikir menggunakan logika akan memberikan sebuah kaidah-
kaidah yang akan meluruskan pemahaman dan pikiran manusia, serta
membimbing manusia pada jalan kebenaran. Berpikir menggunakan logika juga
dapat menghidari dan menjauhkan manusia pada kesalahan yang diakibatkan
oleh berpikir manusia itu sendiri.
Al-Fārābī dengan jelas menerangkan bahwa logika akan membantu kita
dalam membedakan yang benar dari yang salah, dan menunjukkan cara berpikir
yang benar, atau membantu kita dalam membimbing orang lain kearah itu.63
Untuk mengetahui mana yang benar dan salah, berpikir secara logika sangat
dianjurkan, dimana logika bisa menuntun atau membimbing diri dan orang lain
kearah kebenaran yang semestinya benar. Intinya, berpikir dengan logika
sebagai jalan untuk mengantarkan manusia pada kebenaran subyektif dan
menuju pada kebenaran obyektif.
Dalam falsafah Aristoteles, al-Fārābī mencoba untuk memberikan
penjelasan yang komprehensif tentang pembagian logika Aristoteles dan pokok
pembahasan dari berbagai tulisannya, kurang lebih sama dalam cara yang dia
lakukan dalam falsafah Plato.64 Pada bagian falsafah yang mencerminkan
62 Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta:
Paramadina, 2000), hal. 62. 63 Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, h. 62. 64 Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism (England, Oneworld Oxford,
2002), h. 25.
37
pengaruh dari silabus Aristoteles, al-Fārābī mengklasifikasikan secara
menyeluruh dan sistematis. Hal ini dimulai dengan logika, yang al-Fārābī
difinisikan sebagai seni yang menetapkan hukum-hukum umum yang
meluruskan pikiran dan membimbing manusia menuju jalan kebenaran dan
kebenaran dalam hal tersebut, di mana ia bertanggung jawab untuk kesalahan.65
Al-Fārābī membagi Organon Aristoteles pada delapan pembahasan:66 (1)
The Categories (Maqūlat, Qātiguriās), mengupas tentang pembagian ungkapan-
ungkapan linguistik menjadi ungkapan non-proposisional. (2) On Intepretation
(‘Ībārah, Bāri Ermeniās: Greek, Peri Hermeias), berisi pembahasan tentang
bentuk-bentuk baku proposisi mantiki. (3) Prior Analytics (Qiyās, Analytica
Priora), membicarakan bentuk-bentuk baku silogisme yang dipergunakan orang
dalam berhujjah atau berargumen. (4) Posterior Analytics (Kitāb al-Burhān,
Analytica Posteriora), yang menjelaskan tentang aturan dalam argumen
demonstratif tentang hakikat ilmu pengetahuan ilmiah. (5) Dialectic (Mawādi
Jadaliyah, Topica), menelaah tentang hukum-hukum perbantahan secara
dealektik. (6) Sophistics (Mughālaṭah, Sophistica), berisi kupasan yang rumit
tentang argumen-argumen yang paradoks. (7) Rhetoric (Khatābah, Rhetorica),
yang berkaitan dengan argumen retoris. (8) Poetics (Kitāb al-Syi‘ir, Poetica),
yang berkaitan dengan wacana puitis.
65 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs (Beirut: Dār Majallat Syia, 1961), h. 71. 66 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 72-83, dan Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 44-46, dan
Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism, h. 41-42, dan Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library, 1947), h. 2.
38
D. Peran dan Pengaruh
Gambaran yang muncul dari berbagai gambaran karya al-Fārābī sangat
menarik. Capaian-capaian logika dan epistemologi al-Fārābī, yang hanya baru-
baru ini terkaji, mempunyai suatu gema yang sangat modern. Minatnya terhadap
analisis kebahasaan yang cermat sebagai alat sangat penting bagi ketelitian dan
perluasan serta penajamannya terhadap standar-standar yang digunakan dalam
mengukur dan menilai pengetahuan, mempunyai pertalian kuat dengan
kecenderungan-kecenderungan kontemporer dalam falsafah, terutama di dunia
Anglo-Amerika. Akan tetapi, pada al-Fārābī, minat-minat ini sebagian besar
merupakan hasil dari pelbagai kondisi historis yang khas yang mewadahinya
praktik falsafah sebagaimana ajaran-ajaran politik dan metafisikanya. Semua
minat tersebut mencerminkan perlunya menghadapi secara serius klaim yang
kadang-kadang berlawanan antara falsafah dan agama, dan mencari “ceruk” bagi
falsafah dan wacananya dalam lingkungan Arab dan Islam. Minat al-Fārābī
dalam tipe-tipe rasionalitas, wacana dan argumentasi, dan pada hubungan antara
bahasa yang umum dan bahasa falsafah, merupakan bagian integral dari
jawabannya terhadap tantangan historis ini, meskipun secara filosofis tetap
penting tanpa perlu dikaitkan dengan hal lain.67
Kepekaan linguistik yang ditunjukkan oleh al-Fārābī, kepeduliannya untuk
mengomunikasikan falsafah kepada ragam khalayak yang luas, dan usaha-
usahanya yang hati-hati untuk membaurkan tradisi falsafah Yunani ke dalam
konteks Islam, semuanya merupakan tonggak-tonggak tulisan al-Fārābī yang
67 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 241.
39
membantu menjelaskan penghargaan tinggi yang diberikan kepadanya oleh para
failasūf terkemudian dalam tradisi Islam, Yahudi dan, Kristen. Kita melihat
betapa besarnya rasa utang budi yang secara terbuka diakui Ibn Sīnā kepada al-
Fārābī dalam metafisika. Ibn Rusyd dan para failasūf Andalusia sejawatnya
meyakini al-Fārābī sebagai otoritas kunci, terutama dalam logika, psikologi, dan
falsafah politik. Dalam tradisi falsafah Yunani, Moses Maimonides memberi
penghargaan paling tinggi di antara para pendahulunya kepada al-Fārābī, sekali
lagi, khususnya dalam bidang logika.68
Menurut penulis sendiri, berkenaan dengan karya-karya dalam bidang
logika, seseorang semestinya hanya cukup mengkaji karya-karya al-Fārābī.
Semua karyanya istimewa tanpa cacat. Orang seharusnya mempelajari dan
memahaminya. Karena ia orang besar. Di Barat, meskipun karya-karya al-Fārābī
kurang diterjemahkan secara luas seperti karya-karya Ibn Sīnā69 dan Ibn
Rusyd70, karya-karya al-Fārābī dalam bidang logika sangat penting pada awal
transmisi pemikiran Aristoteles, dan memberi para pemikir lainnya pengetahuan
awal mengenai kekayaan bahan falsafah yang baru menyusul kemudian.
Falsafah al-Fārābī mempunyai karakter yang berbeda dari falsafah lainnya
yaitu mengambil ajaran-ajaran para failasūf terdahulu, membangun kembali
dalam bentuk yang sesuai dengan lingkup kebudayaan, dan menyusun
sedemikian sistematis dan selaras. Al-Fārābī adalah seorang yang logis baik
68 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 242. 69 Ibn Sīnā atau Avicenna, juga dikenal sebagai al-Syaikh al-Ra’īs, lahir di Afshanah (desa
kecil dekat Bukhara, Ibu Kota Dinasti Sāmāniyyah), tempat ayahnya ‘Abd Allāh, yang berasal dari
Balkh, bertemu dan menikah dengan Sitārah. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 285. 70 Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Rusyd al-ḥafīd (sang cucu) lahir di Kordoba
pada 520 H/1126 M, tahun kematian kakeknya. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 415.
40
dalam pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi, keterangan, dan
penalarannya. Falsafahnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang
keliru dan mungkin juga berisi hipotesis yang telah ditolak oleh ilmu
pengetahuan modern, tetapi ia mempunyai peranan penting dan pengaruh yang
besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya.
Dalam kajian falsafah Islam, nama failasūf Muslim al-Fārābī (Latin:
Alpharabius) begitu “istimewa”. Bukan saja posisinya yang sentral karena dapat
“mengawinkan” antara falsafah dan agama, melainkan juga karena prestasinya
dalam menjelaskan dan mengulas-ulang pandangan Aristoteles. Karena itu, ia
mendapat gelar istimewa sebagai al-Mu‘allim al-Tsānī (Guru Kedua), karena ia
merupakan orang pertama yang memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan
Arab – sebagaimana Aristoteles mendapat predikat “Guru Pertama” karena ia
orang pertama yang menemukan ilmu logika. Sehingga oleh McDonald,
sebagaimana dikutip oleh M. Saeed dalam bukunya Islamic Philosophy,
menyebutnya sebagai “Piramid Falsafah Muslim”.71
Selain hal di atas, al-Fārābī telah mencoba untuk mengganti ilmu falsafah
asing dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab asli (indigenous Arabic
words), dan kata-kata Persia sudah digunakan sejak awal di tanah Arab,
dibanding kata-kata Yunani (Greek). Seperti kata jawhar (substansi) berasal dari
Persia, namun karena sudah terjadi tradisi saling-pinjam istilah antara Persia dan
Arab, sehingga kata itu tidak asing bagi orang-orang Arab sebagaimana juga
71 M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: The Octagon Press, 1982), h. 57.
41
yang terjadi pada kata Yunani (Greek). Ringkasnya, usaha-usaha al-Fārābī
adalah untuk “mengakrabkan” kosa-kata falsafah Islam.72
Karya-karya al-Fārābī beredar di Timur dan Barat pada abad 10 dan 11 M,
sebagaimana terlihat pada terjemahannya ke bahasa Yunani dan Latin hingga
mempengaruhi cakrawala pemikiran sarjana Yahudi dan Kristen. Karya al-
Fārābī juga diterjemahkan ke bahasa Eropa modern, sehingga beberapa failasūf
Barat terpengaruh oleh aroma falsafahnya. Misalnya Albert the Great73 dan
Thomas Aquinas74 yang acap kali mengutip pemikiran al-Fārābī dan
menyamakannya dengan Spencer75 dan Rousseou76. Dalam hal metode deduktif,
ia disamakan dengan Spinoza77. Pemikiran falsafah al-Fārābī menjadi dasar
pijakan Ibn Sīnā, yaitu Ontologi, metafisika teologis, konsep kosmologi yang
berkaitan dengan teori emanasi, jiwa rasional, dan falsafah politik.78
72 Kiki Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy: The Limits of Word,
(London and New York: Routledge Curzon, 2003), h. 32. 73 Albert the Great lahir dekat Ulm sekitar tahun 1200 M. Pendidikan pertama ia belajar
adalah Padua, di mana ia ikut Dominican Order sekitar tahun 1220. Dia pergi ke Jerman untuk
belajar teologi dan pada tahun 1245 menjadi guru besar Jerman pertama di Universitas Paris.
Thomas Aquinas merupakan salah satu murid Albert di Paris. Arthur Stephen McGrade, Ethics and
Political Philosophy (United States of America: Cambridge University Press, 2001), volume 2, h.
12. 74 Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dan meninggal di Lyons
pada tahun 1274. Ia adalah putra dari Pangeran Aquino kalangan bangsawan terkemuka. Ia menjadi
anggota Dominican Order kemudian pergi ke Cologne untuk menjadi murid Albertus Magnus
(Albert the Great) yang terkenal sebagai ahli Aristotelian. Masykur Arif Rahman, Buku Pintar
Sejarah Filsafat Barat, h. 212. 75 Herbert Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April 1820 dan meninggal di Brighton 8
Desember 1903 (pada umur 83 tahun) adalah seorang failasūf Inggris dan seorang pemikir teori
liberal klasik terkemuka. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 52. 76 Jean Jacques Rousseau merupakan seorang tokoh failasūf besar, penulis dan komposer
pada Abad Pencerahan. Ia lahir di Jenewa, Swiss, 28 Juni 1712 dan meninggal di Ermenonville,
Oise, Prancis, 2 Juli 1778 pada umur 66 tahun. https://id.wikipedia.org/wiki/Jean-
Jacques_Rousseau. diakses pada 12 Mei 2019, 07.30 WIB. 77 Baruch De Spinoza lahir di Amsterdam pada 24 November 1632. Ia berasal dari
masyarakat yang menganut agama Yahudi, yang melarikan diri dari dari Spanyol ke Amsterdam
(Belanda) akibat konflik keagamaan. Ayahnya adalah seorang pedagang yang kaya raya. Masykur
Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, h. 244. 78 Ian Richard Netton, Allah Transcendent (Suevey: Curson Press, 1994), h. 114.
42
Al-Fārābī yang dikenal sebagai failasūf Islam terbesar, memiliki keahlian
dalam banyak bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Sehingga failasūf yang
datang sesudahnya, seperti Ibn Sīnā (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu
Rusyd (520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas
sistem falsafahnya. Pandangannya yang demikian mengenai falsafah, terbukti
dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan
Aristoteles lewat risalahnya al-Jam’u baina Ra’yay al-Ḥakimain Aflaṭūn wa
Arisṭū.79
Pada Abad Pertengahan, al-Fārābī sangat dikenal sehingga orang-orang
Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan atau risalah-risalahnya
yang disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih
tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa.80
79 Sujatmoko, Tujuh Tokoh Filsafat Dunia (Sukoharjo: Penembahan Senopati, 2015), h. 59. 80 http://eliamonikasofyan.blogspot.com/2016/09/al-farabi-filsafat-islam.html. diakses
pada 12 Mei 2019, 07.00 WIB.
43
BAB III
LOGIKA DAN PERKEMBANGANNYA
A. Definisi Logika
Logika, yang disebut juga dengan istilah “manṭiq”,1 diturunkan dari kata
sifat “logike”, bahasa Yunani, yang berhubungan dengan kata benda “logos”,
yang berarti pikiran atau perkataan sebagai pernyataan dari pikiran.2 M. Taib
Thahir Abdul Mu’in dalam bukunya Ilmu Manṭiq juga sepakat, bahwa logika
berasal dari bahasa Yunani “logos”. Namun ia mengartikannya dengan kata dan
pikiran yang benar.3 Ini membuktikan bahwa ternyata ada hubungan erat antara
pikiran dan kata atau perkataan yang merupakan pernyataan dalam bahasa (kata
atau perkataan).
Logika merupakan cabang falsafah yang bersifat praktis berpangkal pada
penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar falsafah dan sebagai sarana ilmu.
Dengan fungsi sebagai dasar falsafah dan sarana ilmu karena logika merupakan
“jembatan penghubung” antara falsafah dan ilmu, yang secara terminologis
logika didefinisikan sebagai teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan
pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian
ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan
pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus
juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
1 Manṭiq adalah bahasa Arab, berasal dari akar kata naṭaqa, artinya berpikir. Nāṭiqun, orang
yang berpikir, manṭūqun, yang dipikirkan, manṭīqun alat berpikir. 2 Dardiri, Humaniora, Filsafat, dan Logika (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 26. 3 M. Taib Thahir Abdul Mu’in, ‘Ilmu Manṭiq (Jakarta: Wijaya, 1993), h. 16.
44
Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang
dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk
himpunan. Sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai
keluasan. Dengan dasar himpunan, karena semua unsur penalaran dalam logika
pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan
pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan
tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Penalaran dalam fungsinya sebagai kegiatan berpikir tentunya memiliki
karakteristik atau ciri-ciri tertentu. Pertama, adanya pola berpikir yang secara
luas (logis), hal inilah yang sering disebut sebagai logika. Selanjutnya dapat
dikatakan bahwa setiap usaha penalaran mempunyai logikanya tersendiri karena
ia merupakan sebuah proses berpikir.4 Sehingga berpikir secara logis dapat
dimaknai sebagai suatu pola, dan ketentuan tertentu yang digunakan dalam
proses berpikir. Maka dari itu sebuah kerangka logika dalam satu hal tertentu
sangat mungkin dianggap tidak logis jika ditinjau dari kerangka lainnya. Hal
inilah yang menimbulkan adanya ketidakkonsistenan dalam menggunakan pola
pikir, yang akhirnya melahirkan beberapa motode pendekatan yang bermacam-
macam. Kedua, penalaran harus bersifat analisis, dengan maksud ia merupakan
pencerminan dari suatu proses berpikir yang bersandar pada suatu analisa dan
kerangka berpikir tertentu, dengan logika sebagai pijakannya. Secara
sederhananya poin kedua ini merupakan sebuah proses menganalisa dengan
logika ilmiah sebagai pijakannya. Yang mana analisa sendiri adalah suatu
kegiatan berpikir dengan langkah-langkah tertentu. Sehingga kegiatan berpikir
4 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 58.
45
tidak semuanya berlandaskan pada penalaran. Maka dari itu, berpikir dapat
dibedakan mana yang menggunakan dasar logika dan analisa, serta mana yang
tanpa menggunakan penalaran seperti menggunakan perasaan, intuisi, ataupun
hal lainnya. Karena hal-hal tersebut bersifat non-analistik, yang tidak
mendasarkan diri pada suatu pola berpikir tertentu.5
Lapangan pembahasan (objek studi) logika adalah asas-asas yang
menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat, dan mencari dalil-dalil untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan secara benar. Agar dapat berpikir lurus, tepat,
dan teratur, maka logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-
hukum yang harus ditepati.6
Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus, tepat dan sah.
Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan
suatu keterampilan (skill) untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam
praktik. Inilah sebabnya mengapa logika disebut falsafah yang praktis.
Berpikir adalah objek material logika. Yang dimaksudkan berpikir di sini
adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia dapat
“mengolah” dan “mengerjakan” pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan
demikian, ia dapat memperoleh kebenaran. “Pengolahan” dan “pengerjaan” ini
terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta
menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya. Dalam
logika, berpikir dipandang dari sudut kelurusannya dan ketepatnnya. Karena itu
berpikir lurus, tepat merupakan objek formal logika. Suatu pemikiran disebut
5 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, h. 52-53. 6 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik: Wawasan Dasar, Keilmuan, dan
Falsafati (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 5.
46
lurus, tepat, apabila pemikiran tersebut sesuai dengan hukum-hukum serta
aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika.7 Kalau peraturan-peraturan
itu ditepati, maka kesalahan dan kesesatan berpikir dapat dihindarkan. Dengan
demikian, kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan selamat.
Banyak definisi mengenai logika sebagai bidang kajian, bahkan masih
sering menjadi perdebatan di antara para ahli, seperti yang dinyatakan Mahmud
Yunus dalam Logika Suatu Pengantar. Ia sendiri memberikan definisi logika
sebagai kajian tentang “argumentasi” dan “pembuktian”. Dalam hal ini, yang
dimaksud dengan argumentasi bukanlah suatu perdebatan, melainkan suatu
contoh penalaran yang disertai satu atau lebih pernyataan sebagai pendukung,
alasan, pertimbangan, atau bukti untuk pernyataan yang lain. Pernyataan yang
didukung tersebut merupakan “kesimpulan” dari argumentasi, sedangkan
pernyataan yang mendukung merupakan “premis” dari argumentasi.8
Mempelajari argumentasi sangatlah penting sebab argumentasi merupakan
cara untuk mendukung klaim tentang suatu kebenaran. Hal yang menarik adalah
bahwa suatu argumentasi menetapkan kebenaran kesimpulan yang tidak dapat
diingkari, tetapi dengan logika seseorang dipaksa untuk menilai pernyataan
tersebut. Argumentasi menetapkan kebenaran suatu kesimpulan relatif terhadap
premis-premis dan aturan-aturan tentang inferensi (cara menarik kesimpulan).
Kajian logika tidak mempedulikan apakah argumentasi akan berhasil secara
psikologis dalam mengubah pikiran atau meyakinkan orang lain. Untuk menilai
suatu argumentasi, hanya dua aspek atau sifat dari argumentasi tersebut yang
7 Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 7-8. 8 Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 3.
47
perlu diperhatikan, yaitu kebenaran premis dan keabsahan (validitas) penalaran
yang mengarah pada kesimpulan. Suatu argumentasi adalah valid jika kebenaran
premisnya menjamin kebenaran kesimpulannya; atau kesimpulan adalah benar
atas asumsi bahwa semua premisnya benar; atau jika mustahil kesimpulannya
salah bersamaan dengan semua premis benar; atau jika kesimpulannya dapat
ditarik dari premis-premis sesuai dengan aturan tertentu yang berlaku.9
Perhatikan bahwa pengertian validitas, yaitu valid dan tidak valid, hanya
tepat digunakan untuk menilai argumentasi. Sedangkan nilai kebenaran, yaitu
benar dan salah, hanya digunakan untuk menilai pernyataan. Validitas berkenaan
dengan penalaran, bukan dalil (proposisi), sedangkan kebenaran berkenaan
dengan proposisi, bukan penalaran. Istilah valid dan tidak valid hanya diterapkan
pada argumentasi deduktif, sedangkan untuk argumentasi induktif lebih tepat
digunakan istilah kuat atau lemah untuk menilai argumentasi. Dalam suatu
argumentasi deduktif yang valid dengan semua premis benar, kebenaran dari
kesimpulan sudah semestinya dan mustahil salah. Argumentasi induktif kuat
dengan semua premis benar, kebenaran dari kesimpulan semata-mata mungkin
dan kesalahannya semata-mata tidak mungkin. Jenis pendukung yang
mengarahkan deduksi valid pada kesimpulannya tidak berkaitan dengan
tingkatan, melainkan tentang “semua atau tidak ada”. Akan tetapi, jenis
pendukung yang mengarahkan induksi kuat pada kesimpulannya berkenaan
dengan tingkatan, yakni “lebih atau kurang”. Kesimpulan suatu deduksi yang
valid tidak pernah memuat informasi yang lebih dari yang termuat dalam
premisnya sedangkan kesimpulan suatu induksi selalu memuat informasi yang
9 Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar, h. 4.
48
lebih dari yang termuat dalam premisnya. Hal inilah yang menyebabkan deduksi
memiliki kepastian (tidak pernah memberikan informasi tambahan) dan induksi
selalu tidak pasti dalam tingkatan tertentu.10
Logika juga memiliki keterkaitan amat kuat dengan Ilmu Bahasa.
Keterkaitan tersebut utamanya menyangkut pernyataan pemikiran, sebab logika
mendalami the principles of correct reasoning. Pemikiran memerlukan bahasa
apabila dinyatakan dan juga usaha untuk memperoleh pendapat baru
berdasarkan pendapat lama. Hal ini juga berlaku untuk Bahasa Ilmiah yang harus
dinyatakan secara logis, karena ilmu pengetahuan mengikuti aturan, langkah dan
prinsip-prinsip berpikir logis dalam metode ilmiahnya. Bagaimana pun
coraknya, bahasa selalu merupakan bentuk berpikir dan alat berpikir. Sebagai
bentuk berpikir, bahasa harus disebut penjelmaan berpikir, sebagai alat berpikir,
bahasa mampu mempengaruhi cara berpikir. Sebagai penjelmaan berpikir,
bahasa menampakkan diri pada manusia.11
Dari penjelasan tersebut, secara etimologi (kebahasaan) dapat dinyatakan
bahwa logika adalah bidang penyelidikan yang membahas pikiran yang
dinyatakan dalam bahasa.
Pengertian logika secara etimologi tersebut belum memberikan gambaran
sepenuhnya tentang apa itu logika, sehingga kita juga perlu memahaminya dari
pengertiannya secara terminologi (keistilahan) atau definitif. Di antara sekian
banyak definisi, penulis hadirkan pendapat Irving M. Copy dalam Introduction
to Logics (1978) yang menyatakan pengertian logika sebagai berikut:
10 Mahmud Yunus, Logika Suatu Pengantar, h. 5. 11 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika (Yogyakarta: Aswaja Preeindo, 2014), h.
26-27.
49
“Logic is the study of methods and principles used to distinguish good
(correct) from bad (incorrect) reasoning.”
Artinya:
“Logika adalah penelaahan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip
yang digunakan untuk memperbedakan penalaran yang baik dalam arti
benar dari penalaran yang jelek dalam arti tidak benar”.12
Definisi tersebut memberikan kesan bahwa logika adalah alat (tool) yang
digunakan untuk dapat berpikir secara sah; dalam arti benar. Dalam
kenyataannya, logika dapat membantu orang yang mempelajarinya untuk dapat
berpikir logis. Demikian ini semakin memperteguh pemahaman apabila
dibandingkan dengan definisi yang ditawarkan oleh Susanne K. Langer dalam
bukunya yang berjudul “An Introduction to Symbolic Logic” yang menyatakan:
“Logic is to the philosopher what the telescope is to the astronomer: an
instrument of vision. Logic is a tool of philosophical thought as mathematics
is a tool to physics”.13
Artinya:
“Logika bagi failasūf adalah seperti halnya teropong bagi astronom: suatu
alat penglihatan. Logika merupakan suatu alat (tool) dari pemikiran falsafah
seperti halnya matematika merupakan alat bagi fisika.”
Kemudian Mu’in menyatakan lima macam ta’rif (pengertian) logika yang
menurutnya bahwa simpulan (inti)-nya sama; sebagai berikut:
1. Ilmu tentang undang-undang berpikir;
12 Irving M. Copi, Introduction to Logics (New York: Macmillan Publishing Co, 1978), h.
3. Lihat juga: Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 2. 13 Susanne K. Langer, sebagaimana dikutip oleh: Dardiri, Humaniora, , Filsafat, dan
Logika, h. 26.
50
2. Ilmu untuk mencapai dalil;
3. Ilmu untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam
memeroleh sesuatu kebenaran;
4. Ilmu yang membahas tentang undang-undang yang umum untuk berpikir;
5. Alat yang merupakan undang-undang dan apabila undang-undang ini
dipelihara, maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari pikiran-
pikiran yang salah.14
Dalam buku Logic and Language, seperti yang dikutip oleh Mundiri, logika
disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir
benar.15
Dari beberapa penjelasan dan definisi yang diajukan oleh beberapa ahli di
atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa definisi logika adalah ilmu yang
mempelajari tentang metode berpikir yang dinyatakan dalam bahasa yang harus
digunakan oleh manusia agar terbebas dari kekeliruan sehingga pengetahuan
yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan.
B. Urgensi Studi Logika
Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, bahwa logika membantu
manusia untuk berpikir lurus, tepat, benar dan teratur. Dengan berpikir demikian
ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.
Manusia itu adalah hewan yang berpikir (al-hayawān al-nāṭiq atau homo
sapiens). Berpikir berarti bertanya. Bertanya berarti mencari jawaban. Mencari
jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam, dan
14 M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Mantiq, h. 16. 15 Mundiri, Logika (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 2. Lihat: George F. Kneller, Logic and
Language of Education (New York, John Willey & Son, 1996), h. 13.
51
manusia, berarti mencari kebenaran tentang Tuhan, alam, dan manusia. Dengan
demikian, manusia adalah makhluk pencari kebenaran.16
Berpikir adalah proses mencari tahu “sesuatu yang belum diketahui”
berdasarkan hal-hal yang “sudah diketahui”. Sesuatu yang telah diketahui
merupakan “data” atau “bahan berpikir”, sedangkan sesuatu yang belum
diketahui akan menjadi “kesimpulan pemikiran” berupa pengetahuan yang
benar. Sebagai contoh: Kita mengetahui ‘ada seorang anak yang lahir di dunia’.
Sementara itu kita juga telah mengetahui bahwa‘semua manusia itu pada
akhirnya akan mati’. Sehingga dari sesuatu yang telah kita ketahui yaitu: ‘Ada
anak lahir’ dan ‘semua manusia itu pada akhirnya akan mati’, maka kita dapat
mengambil kesimpulan ‘bahwa anak yang baru lahir itu tentu pada akhirnya
nanti akan mati’.17
Proses berpikirnya manusia sebagaimana dicontohkan di atas menunjukkan
adanya alur berpikir dengan menggunakan prosedur berpikir tertentu dengan
memperhatikan isi pemikiran yang akan dicarinya. Dalam hal ini, hasil
pemikiran adalah buah dari berpikirnya manusia dalam meraih “pengetahuan
tidak langsung” yang didasarkan atas “pengetahuan langsung”. Kebenaran
hasil pemikiran memiliki nilai probabilitas atau peluang kemungkinan, sehingga
kebenarannya tidak bersifat mutlak. Kebenaran pemikiran yang diperoleh
mungkin bisa “benar” atau mungkin juga “salah”. Maka dari itu kesimpulan
yang dapat ditarik adalah mungkin “benar” mungkin “tidak benar” Karenanya
16 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 51. 17 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 14.
52
soal benar dan tidak benar tersebut sangat penting dalam proses pemikiran
seseorang.18
Berbicara tentang kebenaran yang berkaitan dengan pengetahuan.
pengetahuan itu mencakup objeknya; setidaknya mengetahui adalah dasar
pengetahuannya itu. Oleh karena pengetahuan itu mencakup objeknya, maka ia
berusaha menyesuaikan pengetahuan itu dengan objeknya. Objek yang
berhadapan dengan orang yang tahu itu tidak hanya merupakan sasaran
pandangan, tetapi juga sebagai alat pengontrol bagi pengetahuannya tentang
objek itu. Jika orang tahu bahwa pengetahuannya tidak sesuai dengan objeknya,
maka pengetahuannya salah. Kalau pengetahuan itu ternyata sesuai dengan
objeknya, maka pengetahuan tersebut benar, dan orangnya berhasil mencapai
kebenaran. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa yang disebut kebenaran dalam
kompetensi logika adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya.19
Logika membantu manusia untuk berpikir lurus, tepat dan teratur. Dengan
berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.
Dalam semua bidang kehidupan, manusia menggunakan pikirannya. Ia juga
mendasarkan tindakan-tindakannya atas pikiran itu.
Manusia fitrahnya berkemampuan menalar, yaitu mampu untuk berpikir
secara logis dan analisis, dan diakhiri dengan kesimpulan.20 Kemampuan ini
berkembang karena didukung bahasa sebagai sarana komunikasi verbalnya,
sehingga hal-hal yang sifatnya abstrak sekalipun mampu mereka kembangkan,
18 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 14-15. 19 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 51-52. 20 Noor Ms Bakry, Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
2001), h. 55.
53
hingga akhirnya sampai pada tingkatan yang dapat dipahami dengan mudah.
Karena hal inilah mengapa dalam istilah Aristoteles manusia ia sebut sebagai
animal rationale.21 Oleh sebab itu, seorang Cendekiawan seharusnya bekerja
secara sistematis, berpikir, dan berlogika serta menghindari diri dari subjektifitas
pertimbangannya, meskipun hal ini tidak mutlak.
Ketidakpuasan atas keilmuan yang dibangun di atas pemikiran awam terus
mendorong berbagai disiplin keilmuan, salah satunya adalah falsafah. Falsafah
mengurai kembali semua asumsi tersebut guna mendapatkan sebuah
pengetahuan yang hakiki. Setiap kepala memiliki pemikirannya masing- masing,
begitu pula dengan para ilmuan. Setiap individu merujuk pada falsafah yang
sama, yaitu penggunaan metode Ilmiah dalam menyelesaikan sebuah
problematika keilmuan yang mereka hadapi.22 Karena penggunaan metode
ilmiah dalam sebuah wacana keilmuan dapat meringankan ilmuan dan
pengikutnya dalam melacak kebenaran wacana mereka tersebut. Sehingga
akhirnya lahirlah sebuah asumsi bahwa dalam pengetahuan ilmiah semua
kebenaran dapat dipertanggungjawabkan, meskipun hanya atas nama logika.
Karena pada hakikatnya setiap kebenaran ilmiah selalu diperkuat dengan adanya
bukti-bukti empiris maupun indriawi yang mengikutinya.23 Sehingga dalam
proses berpikir ilmiah ataupun sebuah pencapaian pemahaman final perlu
ditopang dengan logika.
21 Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,
2005), h. 1. 22 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006),
edisi ke-3, h. 13-15. 23 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 215.
54
Semua ilmu pengetahuan hampir tidak bisa dilepaskan dari logika. Logika
juga memperkenalkan analisa-analisa yang dipakai dalam ilmu falsafah. Selain
itu, logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berpikir sendiri.24
Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal pada
logika. Dengannya, dapat diperoleh hubungan antar pernyataan. Namun, tidak
semua anggapan atau pernyataan berhubungan dengan logika. Hanya yang
bernilai benar atau salah yang bisa dihubungkan dengan logika.25 Sehingga
dalam sebuah diskursus keilmuan, kajian seputar logika memiliki andil yang
signifikan terhadap perkembangan hal itu. Terlebih lagi, kondisi masyarakat
yang umumnya cenderung praktis tampaknya telah menuntun para pelajar
melupakan aspek terpenting tersebut dari diskursus keilmuan. Padahal sebuah
konsep dianggap ilmiah jika mampu membuktikan validitas argumennya,26
tentunya yang terangkai dalam sistematika yang logis, baik menggunakan panca
indra ataupun lainnya. Sehingga di sini antara penjelasan dan bukti-bukti
terdapat sebuah benang merah yang tidak tergantikan. Maka nampaklah bahwa
penyajian yang baik akan menjadi keyword dari kriteria ilmiah yang paling
dasar. Sehingga ungkapan bahwa metode berpikir ilmiah memiliki peran penting
dalam mendukung manusia memperoleh cakrawala keilmuan baru dalam
menjamin eksistensi manusia bukanlah sebuah bualan belaka. Dengan
24 Alex Lanur OFM, Logika Selayang Pandang, h. 12-13. 25 Imron Mustofa, Jendela Logika dalam Berpikir (Surabaya: El-Benat, Jurnal Pemikiran
dan Pendidikan Islam, Volume 6 No 2), (2016). 26 Geoge F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Willey
& Son, 1964), h. 4.
55
menggunakan metode berpikir ilmiah, manusia terus mengembangkan
pengetahuannya.27
Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi dunia keilmuan untuk
menjadikan sebuah diskursus tentang metode berpikir yang cocok dengan logika
sebagai sebuah pembahasan yang mendalam. Sehingga tepat atau tidaknya
penentuan pilihan dari metode atau cara yang mungkin diambil, akan
menentukan hasil akhir dari wacana tersebut. Maka dari itu akhirnya timbul
pertanyaan tentang seperti apa dan kapan sebuah metode dalam logika berpikir
ilmiah dapat diterima dan digunakan sejalan dengan wacana tersebut.
Suatu tugas ilmiah untuk mencari aturan berpikir, agar diketahui - untuk
dikontrol - jika ada pelanggaran aturan atau penyelewengan dari jalan berpikir
yang lurus. Kemudian para ahli pikir mengadakan percobaan, untuk memenuhi
tugas itu. Hasilnya memang bermanfaat besar bagi manusia yang hendak
berpikir. Pengetahuan itu merupakan bagian dari falsafah dan disebut logika.
Pada intinya, tugas logika adalah memberikan pejelasan bagaimana orang
seharusnya berpikir. Ada yang menyebut bahwa logika itu mengutarakan teknik
berpikir, yaitu cara yang sebenarnya untuk berpikir.28
Lebih jauh, alasan urgensi studi logika adalah karena logika merupakan alat
kunci analisis bagi kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
dalam posisi kuncinya yang menghubungkan antara conceptual world (dunia
konsep) dan empirical world (dunia empiris). Analisis yang bergerak dari antara
conceptual world ke empirical world dikenal sebagai pola deduksi. Sedangkan
27 Imron Mustofa, Jendela Logika dalam Berpikir. 28 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 54.
56
analisis yang bergerak dari empirical world ke conceptual world dikenal sebagai
pola induksi. Alasan urgensi studi logika itu tampak juga dalam falsafah ilmu,
karena logika merupakan bagian dari substansi falsafah ilmu yang memuat
empat bagian, yakni: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3)
konfirmasi, dan (4) logika inferensi. Hal ini semakin mantap ketika dipahami,
bahwa falsafah ilmu bertugas menganalisis prosedur dan logika dari penjelasan
ilmiah. Dengan demikian logika berposisi sebagai alat kunci dalam kerja
falsafah ilmu.29
Logika memiliki peran dan fungsi dalam mengatur arah pemikiran manusia
untuk menuju kepada keabsahan dalam berpikir logis. Manfaat yang dapat
dipelajari dalam logika salah satunya bahwa keseluruhan informasi keilmuan
merupakan suatu sistem yang bersifat logis, karena itu, science tidak mungkin
melepaskan kepentingannya terhadap logika.
Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk
mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Dalam segala aktifitas
berpikir dan bertindak, manusia mendasarkan diri atas prinsip ini logika
menyampaikan kepada berpikir benar, lepas dari berbagai prasangka emosi dan
keyakinan individu, karena itu logika mendidik manusia bersikap objektif tegas
dan berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.30
Menurut Nūr Muḥammad Ibrāhīmī dalam bukunya ‘Ilmu al-Manṭiq, tujuan
dan kegunaan logika adalah sebagai berikut:
29 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 64-65. 30 Mundiri, Logika, h. 17.
57
1. Melatih, mendidik, dan mengembangkan potensi akal dalam mengkaji objek
pikir dengan menggunakan metodologi berpikir.
2. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi
yang tepat.
3. Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang benar dan yang salah.31
mencakup semua hasil pemikiran manusia, baik social science (ilmu sosial)
maupun natural science (ilmu alam), termasuk tata bangunan, pendidikan,
dan politik kenegaraan. Logika adalah alat analisis, bahan argmentasi, serta
barometer bagi keseluruhan disiplin tersebut. Karenanya, tidak keliru jika
logika disebut sebagai mother of science, neraca pengetahuan, serta tolok
ukur absah-tidaknya pengetahuan. Dengan demikian, menjadi jelas urgensi
logika, sebagaiman dikatakan oleh Iman al-Ghāzalī32, bahwa pengetahuan
seseorang yang tidak mengenal logika tidaklah valid dan tidak pula dapat
dipertanggungjawabkan.
Arif Rahman dalam Epistemologi dan Logika, juga menjelaskan tentang
beberapa manfaat dari logika, sebagai berikut:
1. Seseorang akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang hakikat
pengetahuan dan tentang seluk beluk berpikir.
2. Membantu seseorang dapat berpikir lurus sehingga tercapailah hasil
pemikiran yang benar.
31 Nūr Muḥammad Ibrāhīmī, ‘Ilmu al-Manṭiq (Jakarta: 1937), h. 6-7. 32 Nama lengkap al-Ghāzalī adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Thaus Ahmad al-Thūsī al-Syafi’ī. Ia terkenal juga dengan sebutan Hujjah al-Islām,
“Argumentator Islam”. Beliau lahir di Thus, sebuah kota dekat dengan Meshhed di Khurasan pada
tahun 450 Hijriyah atau tahun 1058 Masehi. Lihat: Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis
al-Ghāzalī, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 1.
58
3. Seseorang akan dapat memiliki pemikiran yang rasional-logis, kritis,
objektif, metodis, efektif, dan koheren.
4. Seseorang akan dapat lebih berhati-hati dalam memecahkan masalah hidup
dan kehidupan. Dia akan lebih mementingkan perspektif rasional daripada
emosional dalam memecahkan masalah hidup dan kehidupan.
5. Seseorang akan lebih mandiri dan lebih cinta akan kebenaran, sehingga dia
akan mudah tertipu oleh bujuk rayu yang sepintas kelihatan menggiurkan
akan tetapi sebanarnya merugikan.
C. Sejarah Perkembangan Logika
Aristotelianisme memiliki sejarahnya yang istimewa dalam dunia Islam.
tulisan-tulisan Aristoteles banyak diminati oleh para sarjana Muslim. Di antara
karya-karya Aristoteles yang dipelajari dengan seksama di kalangan penganut
mazhab Peripatetik33 dunia Islam adalah karya-karya tulis di bidang logika. Di
kalangan penganut mazhab Peripatetik belakangan, karya Aristoteles di bidang
logika dikategorikan dalam himpunan yang berjudul Organon, (instrumen).34
Menurut perspektif penganut aliran ini, logika dan penalaran adalah instrumen
utama yang mendahului suatu investigasi saintifik. Aristoteles sendiri,
sebenarnya, menggunakan kata “logika” sebagai kata yang sinonim dengan
penalaran verbal (verbal reasoning).
33 Mazhab Paripatetik (Masya’ī) adalah aliran yang memiliki hubungan “Benang Merah”
dengan Aristoteles. Karena kelahiran mazhab ini dilatarbelakangi oleh semangat meneruskan dan
menghidupkan falsafah Aristoteles. Beberapa tokoh failasūf Islam yang dikatagorikan kepada aliran
Paripatetik adalah al-Kindī (w. 866), al-Fārābī (w. 950), Ibn Sīnā (w. 1030), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Naṣir al-Din Thūsī (w. 1274). Mulyadhi Kertanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam (Jakarta, Lentera Hati, 2006), h. 27. 34 Richard McKeon, (ed.), Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library,
1947), h. 2.
59
1. Logika Pada Zaman Yunani Kuno
Istilah logika menurut sejarah pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium
(334-262 SM),35 pendiri Stoisisme.36 Logika adalah istilah yang dibentuk dari
kata Yunani Logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti
sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan,
dan bahasa. Logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu
pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan atau
mengenai bahasa. Dengan demikian, secara etimologi logika berarti suatu
pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat
bahasa. Dengan demikian penterjemahan istilah logika kepada istilah manṭiq
dalam bahasa Arab sangatlah tepat.37
Meskipun menurut sejarah, Zeno adalah orang yang pertama kali
menggunakan istilah logika, namun sebenarnya akar logika sudah terdapat
dalam pikiran dialektis madzhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas
dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum Sofis38 yang membuat pikiran
manusia sebagai titik persoalan utama pemikiran secara eksplisit. Pada masa
sebelumnya, Gorgias (483-375 SM) dari Lionti (Sicilia),39 mempersoalkan
35 Zeno Citium (334-262 SM) adalah failasūf Yunani dari Citium, Siprus. Zeno adalah
pendiri sekolah falsafah Stoa. Ia datang dari Citium ke Athena pada tahun 312/311 SM untuk
mempelajari falsafah di bawah Xenocrates, murid dan keponakan Plato. Para pengikut ajaran Zeno
disebut Zenonians. Zeno dan dua rekannya, Chrisippus, dan Cleanthes dari Assos dijuluki sebagai
Stoa mula-mula (Early Stoa). https://id.wikipedia.org/wiki/Zeno_dari_Citium. 36 Stoisisme adalah salah satu aliran atau mazhab falsafah Yunani-Romawi yang didirikan
di Athena oleh Zeno. Mazhab ini diambil dari lokasi di Athena tempat pertama kali mazhab ini
ditemukan. Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Stoisisme. 37 Muhammad Nur, Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali
(Lampung: Jurnal al-Ulum, 2011), h. 51. 38 Sofis (sophistes) tidak digunakan sebelumm abad kelima.arti yang tertua adalah “seorang
bijaksana” atau “orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Adapun tokoh-tokoh
failasūf Sufisme adalah Protagoras , Hippias, dan Gorgias, Prodikos, dan Kritias. Lihat: K. Bertens,
Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT Kanisius, 1999), h. 83. 39 Gorgias lahir di Leontinoi, Sisilia, sekitar tahun 483 SM dan meninggal dunia tahun 375
SM pada usia 108 tahun. Ia adalah murid dari failasūf Empedokles dan dipengaruhi juga oleh
60
masalah pikiran dan bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan
pemikiran. Dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap
pikiran.40
2. Logika Pasca Sokrates
Pada abad 5 Sebelum Masehi, hidup seorang tokoh bernama Sokrates (470-
399).41 Sokrates telah mengembangkan metode Sokratiknya, yakni ironi dan
maieutika, de facto mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini
dikumpulkan contoh dan peristiwa konkret untuk kemudian dicari ciri
umumnya. Plato, nama aslinya adalah Aristokles (428-347), mengumumkan
metode Sokratik tersebut sehingga menjadi teori ide, yaitu teori Dinge n sick
versi Plato. Sedangkan oleh Aristoteles mengembangkannya menjadi teori
tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah model yang bersifat umum dan
sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi hanya
merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, yang disebut ectypa. Gagasan
Plato ini banyak memberikan dasar pada perkembangan logika, lebih-lebih yang
bertalian dengan masalah ideogenesis, dan masalah penggunaan bahasa dalam
pemikiran. Namun demikian logike episteme (logika ilmiah) sesungguhnya baru
dapat terwujud berkat karya Aristoteles (384-322).42
dialektika Zeno. Ia adalah seorang failasūf yang termasuk sebagai kaum sofis. Selain sebagai
failasūf, ia juga terkenal di bidang retorika. Seperti kaum sofis lainnya, ia juga mengajar dan
mengumpulkan murid-murid. https://id.wikipedia.org/wiki/Gorgias. 40 W. Poespoprodjo, Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung:
Remadja Rosdakarya, 1999), h. 41. 41 Sokrates lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM.
Bapaknya adalah seorang tukang pembuat patung, sedangkan ibunya seorang bidan. Sekrates
terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Ia merupakan generasi pertama dari tiga
ahli falsafah besar dari Yunani selain Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, kemudian
Plato pada gilirannya mengajar Aristoteles. Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 177-178. 42 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 40-41.
61
Aristoteles sebagai tokoh yang mengembangkan logika, melalui karyanya
yang diberi nama Organon oleh muridnya yang bernama Andronikos dari
Rhodes.43 Melalui karya-karyanya tersebut, Aristoteles telah mengurai persoalan
katagori, struktur bahasa, hukum formal konsistensi proposisi, silogisme
katagoris, pembuktian ilmiah, pembedaan atribut hakiki dan atribut bukan
hakiki, sebagai kesatuan pemikiran, bahkan telah juga menyentuh bentuk-bentuk
dasar simbolisme. Sampai saat ini mayoritas ahli ketika berbicara tentang logika,
mereka merujuk kepada pola yang telah disusun Aristoteles dalam karyanya
Organon.44
Logika sendiri tidak semata-mata lahir sebagai sebuah cara berpikir dalam
memandang hidup yang tersusun rapi, namun sejatinya ia mengalami proses
yang dimulai dari logika sebagai metode berpikir. Ia kemudian bergulir dan
berkembang menjadi sebuah landasan pengembangan ilmu dan akhirnya
menjelma sebagai suatu cara pandang terhadap dunia (worldview).
Muncul logika sebagai suatu cara berpikir, tidak bisa begitu saja terlepas
dari pengaruh pemikiran silogisme Aristoteles. Walaupun konon cara berpikir
seperti ini sudah ada dua abad sebelum zaman Aristoteles, sehingga ia hanyalah
berperan dalam mendeskripsikan pola cara berpikir tersebut, namun bukan
sebagai pencetus awal pandangan tersebut. Dengan kata lain, di sini ia terlihat
menyandarkan upayanya dalam memperoleh pengetahuan pada keterikatan
sebab, dan akibat yang sistematis. Selanjutnya premis-premis dalam logika
43 Andronikos adalah seorang failasūf Yunani dari Rhodes yang juga merupakan sarjana
(kepala) dari sekolah Peripatetik. Ia paling terkenal karena menerbitkan edisi baru karya-karya
Aristoteles yang membentuk dasar teks-teks yang bertahan hingga hari ini. Sedikit yang diketahui
tentang kehidupan Andronicus. Dia dilaporkan adalah cendekiawan kesebelas dari sekolah
Peripatetic. https://en.wikipedia.org/wiki/Andronicus_of_Rhodes. 44 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 41.
62
haruslah merupakan sebuah pernyataan yang benar, primer, dan diperlukan.45
Maka dari itu, pada tahapan ini sumber pengetahuan yang mampu dicapai oleh
rasio sangatlah bergantung pada logika atau pun kemampuan akal dalam
merasiokan suatu hal itu sendiri.
Para sejarawan berbeda pendapat dalam memperkirakan kapan permulaan
gerakan penerjemahan karya-karya logika Yunani ke dalam bahasa Arab, suatu
gerakan yang membantu membangun logika dan falsafah Arab. Proses
penerjemahannya itu sendiri paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani
Umayyah (661-750 M), khususnya masa kekhalifahan ‘Abd al-Malik ibn al-
Marwān (685-705 M).46 Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan
lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan
dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan
melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Setelah itu,
kemudian buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti
kedokteran, kimia, dan antropologi.47 Hanya saja, karena pemerintahan lebih
disibukkan oleh persoalan-persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan
ini tidak berlangsung baik.
Proses penerjemahan atas pemikiran falsafah Yunani ke dalam bahasa Arab
kemudian baru benar-benar dilakukan secara serius pada masa pemerintahan
Bani Abbasiyah, khususnya pada masa kekuasaan al-Ma’mūn pada tahun 215
45 Oesman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), h. 106. 46 ‘Abd al-Malik ibn al-Marwān adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 685 sampai 705.
‘Abd al-Malik lahir pada Ramadhan tahun 23 H (646/647), di kediaman ayahnya, Marwān ibn al-
Ḥakām, di Madinah pada masa kekuasaan Khalifah ‘Utsmān bin ‘Affān. Dia tumbuh di Madinah
sebagai pribadi yang saleh dan zuhud. Ayahnya adalah sekretaris dan tangan khalifah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_bin_Marwan. 47 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Colombia University Press,
1983), h. 5.
63
H., menjadikan Baghdad sebagai jantung keilmuan Islam. Al-Ma’mūn
mendirikan akademik penerjemahan dengan nama Bait al-Ḥikmah, yang
menggalakkan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Sosok
Aristoteles menempati urutan pertama dalam banyaknya buku yang
diterjemahkan,48 terutama terkait dengan dasar peletakan logika Aristoteles
sebagai instrumen dalam memperoleh ilmu pengetahuan.49
Gelombang penerjemahan warisan budaya bangsa Yunani telah
menstimulasi proses kegiatan ilmiah dan menuntun pada perkembangan
keilmuan di dunia Islam, dan secara khusus bidang logika. Tidak ada edisi lebih
baik menyaingi komentar-komentar dalam bahasa Syria, yang muncul pada abad
kelima sampai abad keduabelas, atau edisi dalam bahasa Arabnya, sederet tokoh-
tokoh Muslim berpengaruh terlibat dalam bidang ini.50
Pada perkembangan selanjutnya, Abad Pertengahan falsafah Islam, lahirlah
ahli-ahli falsafah Islam yang turut aktif memberikan sumbangan bagi
pengembangan logika yang sempat statis sejak masa Aristoteles. Sumbangan itu
dapat dibuktikan dengan masuknya materi baru tentang beberapa persoalan yang
berkenaan dengan pembahasan lafadz-lafadz. Maka tampillah pada masa ini, al-
Fārābī (870-950 M) yang digelari ‘guru kedua’ ilmu pengetahuan, setelah
Aristoteles. Ia melakukan tajdīd (pembaruan) terhadap logika, yang sebelumnya
hanya merupakan teori-teori, kemudian dipertajam secara praktis (amaliah);
dalam arti bahwa tiap-tiap qadiyah (proposisi) diverifikasi (diuji) kebenarannya.
48 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),
h. 12. 49 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia dan Tintamas,
1980), h. 21. 50 Richard McKeon, (ed.), Introduction to Aristotle, xxvii.
64
Aristoteles dan al-Fārābī; keduanya adalah tokoh falsafah. Akan tetapi
mereka memperoleh gelar sebagai ‘guru’ bukan dengan karya falsafahnya,
melainkan dengan karya logikanya.51 Ini membuktikan bahwa karena
sedemikian penting peran logika dalam ilmu, sehingga perintisnya digelari
sebagai ‘guru ilmu pengetahuan’. Apa yang dilakukan oleh mereka merupakan
pintu pembuka bagi konstelasi logika bagi para pemikir periode-periode
selanjutnya.
3. Logika Pada Abad Pertengahan
Era berikutnya disusul era dekadensi logika yang cukup lama, yakni pada
Abad Pertengahan. Pada era sebelumnya, logika berkembang karena selalu
menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari pentingnya
kegiatan berpikir dengan memperhitungkan bahwa setiap langkahnya harus
dapat dipertanggungjawabkan. Namun pada era dekadensi ini, logika menjadi
ilmu yang dangkal sifatnya dan amat sederhana, sehingga perkembangan logika
menjadi merosot. Pada masa itu sumber logika yang dipakai sebagai acuan
hanyalah buku-buku seperti Isagoge dari Porphyry, Fonts Scientie (The
Fountain of Knowledge) dari John Damascene,52 buku-buku komentar logika
dari Boethius,53 dan sistematika logika dari Thomas Aquinas.54
51 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 68. 52 Santo Yohanes dari Damaskus atau juga dikenal sebagai John Damascene adalah seorang
biarawan dan imam Gereja Katolik yang berasal dari Syria. Ia lahir dan dibesarkan di kota Damaskus
dan meninggal (kemungkinan terbesarnya) di biaranya Mar Saba, sebelah tenggara kota Yerusalem.
Ia adalah seorang yang memiliki pengetahuan mendalam dalam banyak bidang. Bidang-bidang yang
ia memiliki ketertarikan dan pernah memberikan kontribusi antara lain di bidang hukum, teologi,
falsafah dan musik. https://id.wikipedia.org/wiki/Yohanes_dari_Damaskus. 53 Anicius Manlius Severinus Boethius adalah seorang failasūf Romawi. Ia lahir di kota
Roma sekitar tahun 480 M dan meninggal tahun 524 M (usia sekitar 44) di Pavia. Pemikiran
Boethius memiliki pengaruh penting terhadap falsafah pada akhir era Falsafah Klasik dan juga awal
masa Abad Pertengahan. Selain itu, terjemahan dan komentar Boethius terhadap karya-karya
Aristoteles juga sangat memengaruhi seluruh sejarah falsafah setelahnya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Boethius. 54 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 42
65
Pada Abad Pertengahan, di mana pendalaman logika hanya berkisar pada
karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermeneias, ditambah juga
dengan karya Porphyry yang bernama Isagoge dan karya Boethius yang
membahas pembagian, metode debat, silogisme katagorik hipotetik, yang biasa
disebut logika klasik. Karya Boethius khususnya di bidang silogisme hipotetis
pada perkembangan berikutnya menjadi berpengaruh bagi perkembangan teori
konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari perkembangan
logika di Abad Pertengahan. Kemudian setelah tahun 1141 Masehi, karya
Aristoteles semakin dikenal oleh kalangan luas termasuk keempat karyanya.
Karya Aristoteles kemudian dikenal sebagai logika tradisional sekedar untuk
membedakan dengan logika modern. Logika modern disebut juga logika
suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para failasūf Arab. Logika yang tumbuh
dari pengaruh failasūf Arab tersebut lebih mendalam dalam membahas suposisi
untuk menerangkan kesesatan berpikir, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term
sebagai simbol tata bahasa dari konsep-konsep.55
Perkembangan selanjutnya pada abad 13-15 Masehi, logika modern
menjadi lebih berkembang. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini ialah Petrus
Hispanus (1212-1278), Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-
1315), Wilhelmus Ockhman (1295-1349) dan lain-lain. Khususnya Raymundus
Lullus menemukan suatu metode logika baru yang disebut Ars Magna, yang
merupakan semacam aljabar pengertian. Aljabar ini bermaksud membuktikan
kebenaran-kebenaran yang tertinggi.56
55 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika. 56 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 70.
66
Meskipun Abad Pertengahan merupakan abad kemerosotan logika, namun
pada abad ini telah tercatat berbagai pemikiran yang amat penting bagi
perkembangan logika. Misalnya karya Boethius yang orisinal di bidang
silogisme hipotetik sesungguhnya sangat berpengaruh bagi perkembangan teori
konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari perkembangan
logika di Abad Pertengahan. Di samping itu, kemajuan yang dicapai pada Abad
Pertengahan adalah dikembangkannya teori tentang ciri-ciri term, teori suposisi
yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematik zaman kini.
Selanjutnya, diskusi tentang universalia telah memunculkan logika hubungan,
kemajuan lain adalah penyempurnaan teori silogisme, penggarapan logika
modal, dan penyempurnaan teknis lainnya.57
4. Logika Pada Era Modern
Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis
Bacon (1561-1626)58 mengembangkan metode induktif. Ini terutama dinyatakan
dalam bukunya Novan Organum Scientiarum. W. Leibniz (1646-1716)59
menyusun logika aljabar (Ars Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini
bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih memberikan
kepastian.60
57 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 43. 58 Francis Bacon adalah seorang failasūf, negarawan dan penulis dari Inggris. Ia dikenal
sebagai pencetus pemikiran empirisme yang mendasari sains hingga saat ini. Bacon lahir di London
pada tahun 1561 sebagai putra pegawai eselon tinggi masa pemerintahan Ratu Elizabeth. Tatkala
menginjak usia dua belas tahun ia belajar di Trinity College di Cambridge.
https://id.wikipedia.org/wiki/Francis_Bacon. 59 Gottfried Wilhem Leibniz adalah seorang failasūf Jerman keturunan Sorbia dan berasal
dari Sachsen. Selain seorang failasūf, ia adalah ilmuwan, matematikawan, diplomat, fisikawan,
sejarawan dan doktor dalam hukum duniawi dan hukum gereja. Ia dianggap sebagai Jiwa Universalis
zamannya dan merupakan salah seorang failasūf yang paling berpengaruh pada abad ke-17 dan ke-
18. https://id.wikipedia.org/wiki/Gottfried_Leibniz. 60 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik, h. 71.
67
Logika Aristoteles masih dikembangkan dalam jalur yang murni. Ini
dijalankan, misalnya oleh para Neo-Thomis. Tradisi Aristoteles dilanjutkan juga
dengan tekanan pada induksi. Hal ini tampak antara lain dalam buku System of
Logic, karya John Stuart Mill (1806-1873).61 Logika Metafisis mengalami
perkembangannya dengan Immanuel Kant (1724-1804).62 Dia menamainya
logika transendental. Dinamakan logika karena membicarakan bentuk-bentuk
pikiran pada umumnya, dan dinamakan transendental karena mengatasi batas
pengalaman.63
Pada era modern juga dikembangkan logika simbolik selain tetap menjaga
kelestarian logika Aristoteles. Pada era ini, ditemukan kembali tradisi
Aristoteles, seperti yang termuat dalam karya J.N. Keynes (1852- 1949)64 yang
berjudul Studies and Exercises in Formal Logic (1884). Pada karya tersebut
dipaparkan adanya usaha sungguh-sungguh untuk memberi interpretasi pada
bentuk yang sudah mapan seperti tentang proposisi A (affirmative universal),
proposisi E (negative universal), proposisi I (affirmative particular), dan
proposisi O (negative particular). Logika simbolik sudah dikembangkan,
meskipun simbol teknis belum dibuat dan disepakati.65
61 John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 dan meninggal di
Avignon, Prancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang failasūf empiris dari Inggris.
Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang
merupakan inti falsafah Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa
Latin. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Stuart_Mill. 62 Immanuel Kant (lahir di Königsberg 22 April 1724 dan meninggal di Königsberg 12
Februari 1804 pada umur 79 tahun). Kota itu sekarang bernama Kaliningrad di Rusia. Ia lahir dari
pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.
Ibunya meninggal pada saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia
berumur hampir 22 tahun. https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant. 63 Sokhi Hudan dan A.M. Moefad, Logika Saintifik. h. 71. 64 John Neville Keynes (lahir 31 Agustus 1852 dan meninggal 15 November 1949 pada
umur 97 tahun) adalah failasūf dan ekonom asal Inggris dan ia juga merupakan ayah dari seorang
ekonom, John Maynard Keynes. https://id.wikipedia.org/wiki/John_Neville_Keynes. 65 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 45.
68
Masuk pada zaman Renaissance abad XX, pengembangan logika ditandai
dengan terbitnya Principia Mathematica jilid I yang merupakan karya bernama
A.N. Whitehead (1861-1947)66 dan Bertrand A.W. Russell (1872-1970).67 Karya
ini membuktikan bahwa matematika murni berasal dari logika. Kemudian pada
abad XX perkembangan logika sudah mantap dan sudah dibakukan oleh
Aristoteles, namun juga ditemukan beberapa kritik terhadap logika tradisional
tersebut. Berbagai alasan diajukan guna membenarkan diterimanya sistem-
sistem logika yang menyimpang.68
66 Alfred North Whitehead, (lahir di Ramsgate, Kent, Inggris, 15 Februari 1861 dan
meninggal di Templat: Ciy-state, Amerika Serikat, 30 Desember 1947 pada umur 86 tahun) adalah
seorang matematikawan Inggris yang menjadi seorang failasūf. Ia menulis tentang aljabar, logika,
dasar matematika, falsafah ilmu pengetahuan, fisika, metafisika dan pendidikan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Alfred_North_Whitehead. 67 Bertrand Arthur William Russell adalah seorang failasūf, ahli logika, ahli matematika,
sejarawan, penulis sejarah, penulis esai, kritik sosial, politik Inggris aktivis, dan pemenang Hadiah
Nobel. Ia lahir pada 18 Mei 1872 di Ravenscroft, Trellech, Monmouthshire, dari keluarga aristokrasi
Inggris yang berpengaruh dan liberal. Orang tuanya, Viscount dan Viscountess Amberley, adalah
radikal untuk zaman mereka. https://id.wikipedia.org/wiki/Bertrand_Russell. 68 Arif Rohman, dkk., Epistemologi dan Logika, h. 46.
69
BAB IV
DEMONSTRASI DALAM LOGIKA AL-FĀRĀBĪ
A. Logika Aristoteles
Orang yang secara umum diakui sebagai bapak logika adalah sang failasūf
Yunani kuno bernama Aristoteles (484-322 SM). Para pendahulu Aristoteles
telah berusaha mengembangkan seni mengkonstruksikan argumen-argumen
persuasif dan teknik-teknik untuk menolak argumen-argumen orang lain.
Namun, Aristoteles adalah orang pertama yang menemukan kriteria sistematis
untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen-argumen. Logika Aristoteles
disebut logika silogistik. Elemen-elemen fundamental dalam logika ini adalah
term-term, dan argumen-argumen dievaluasi sebagai benar atau salah yang
tergantung pada bagaimana term-term itu disusun dalam argumen.1 Aristoteles
mensistematisasikan logika dengan menelaah manakah bentuk-bentuk
penyimpulan yang valid dan mana yang tidak.2
Nama “logika” tidak terdapat pada Aristoteles sendiri. Aristoteles
sebenarnya tidak menggunakan istilah logika, tetapi menggunakan istilah
analitika, untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi-
proposisi yang benar. Adapun untuk meneliti argumen yang bertolak dari
proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya menggunakan istilah
dealektika. Istilah silogisme atau logika tradisional atau metode deduksi dikenal
pada masa kini, bermula dari Alexander Aphrodisias (abad ke 3 SM.)3
1 Rafael Raga Maran, Pengantar Logika (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 7-8. 2 Bryan Magee, The Story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 34. 3 Alexander of Aphrodisias merupakan failasūf paripatetik. Alexander dari Aphrodisias
mulai mengajar di Athena sekitar tahun 200. Dia penganut Aristotelian yang kukuh, membebaskan
70
menggunakan istilah logika, sebagai alat dan mikanisme penalaran untuk
menarik konklusi yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah
suatu bentuk formal dari penalaran deduktif.4
Salah satu cara bagaimana Aristoteles mempraktikkan deduksi adalah
dengan silogisme (syllogismos).5 Itulah penemuan Aristoteles yang terbesar
dalam bidang logika dan silogisme mempunyai peranan sentral dalam
kebanyakan karyanya tentang logika. Silogisme adalah argumentasi yang terdiri
tiga proposisi (proposition). Dalam setiap proposisi dapat dibedakan dalam dua
unsur: pertama, hal tentang apa sesuatu dikatakan atau disebut sebagai “subjek”.
Kedua, apa yang dikatakan tentang subjek atau disebut “predikat”. Sebagai
contoh propisisi “Raja adalah seorang manusia”, maka dalam proposisi ini
subjek adalah “Raja” dan predikatnya adalah “seorang manusia”. Argumentasi
yang disebut silogisme menurunkan proposisi ketiga dari dua proposisi yang
sudah diketahui. Misalnya: Semua manusia akan mati (premis pertama), Raja
adalah seorang manusia (premis tengah), Dari sebab itu Raja akan mati
(konklusi).6
diri sepenuhnya dari karakteristik Platonisme religius yang mistis masa itu. Simon Blackburn,
Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 25. 4 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika Tradisional (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 1, dan
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 167, dan Richard F. Clarke,
Logic (London: Longmans, 1921), h. 27-28. 5 Inti logika Aristoteles adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran
untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal
penalaran deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles adalah metode terbaik untuk memperoleh
kesimpulan untuk meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Pola dan sistematika penalaran
silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang
lebih khusus. Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2015), cet. Ke
4, h. 35-36. 6 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 169.
71
Di sinilah Aristoteles menyusun prinsip dasar analisis untuk melakukan
klasifikasi dan menyusun pengetahuan. Dia menulis risalah tentang logika;
Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Postrerior Analytics, dan Topics
On Sophistical Refuttions. Karya ini dikelompokkan bersama dalam koleksi
yang dikenal Organon, atau “alat” berpikir.7
Dalam karya tersebut, Aristoteles mendekati kajian tentang logika bukan
sebagai tujuan itu sendiri, tetapi dengan maksud untuk menjadi alat atau sarana
dalam melakukan penyelidikan dan penjelasan. Karena itu meskipun Aristoteles
menjadikan logika sebagai alat berpikir ia juga mendasarkan pengetahuannya
pada pengamatan. Semua karya-karya Aristoteles menunjukan bahwa hampir
semua pengetahuan vital kita bersifat posteriori, mengikuti fakta, atau
berdasarkan pada pengalaman. Bagi Aristoteles semua pengetahuan bermula
dari pengalaman indriawi, jika kita menarik suatu kesimpulan berdasarkan
penalaran logis, lalu kemudian diketahui hal itu bertentangan dengan kenyataan
empiris maka kesimpulan tersebut akan salah. Bagaimana pun, semua
pengetahuan, konsep dan teori titik berangkatnya harus berdasarkan fakta.8
Jadi, pemikiran harus terhubung dengan kekuatan observasi. Pikiran
berjalan setelah pengalaman, bukan sebelumnya. Pikiran menyusul hasil
observasi menjadi pola-pola yang berarti, kemudian sampai pada pengetahuan
7 Karya Organon Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh beberapa
sarjanawan Barat, diantaranya adalah Categories dan On Interpretation diterjemahkan oleh Harold
P. Cook, dulunya seorang dosen falsafah dan sarjanawan di Perguruan Tinggi Armstrong,
Universitas Durham. Prior Analytics dan Posterior Analytics diterjemahkan oleh Hugh Tredennick,
seorang sarjanawan dan Kepala Jurusan Classics (sarjana yang memperlajari sastra dan seni Yunani
Kuno) Perguruan Tinggi Queen Mary di Universitas London. Dan terakhir Topica, yang
diterjemahkan oleh E. S. Forster, seorang Profesor Emeritus (pensiun) Yunani di Universitas
Sheffield. Lihat, T. E. Page, The Loeb Classical Library (London: Harvard University Press, 1938). 8 Sahrul Maulidi, Aristoteles: Inspirasi dan Pencerahan untuk Hidup Lebih Bermakna
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2016), h. 75.
72
tertentu dan eksak. Aristoteles menyebutnya dengan istilah epistêmê yang
kemudian dilatinkan menjadi scientia.9
Mengenai silogisme yang berdasarkan pada fakta pengalaman ini,
dijelaskan secara komprehensif oleh Aristoteles dalam bukunya Postrerior
Analytics atau bisa disebut Demonstration (demonstrasi atau silogisme ilmiah),
dalam bahasa Arab disebut al-Burhān (istilah yang digunakan al-Fārābī, yang
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya).
B. Logika Al-Fārābī: Demonstrasi
Al-Fārābī mencoba untuk memberikan penjelasan yang komprehensif
tentang pembagian logika Aristoteles dan pokok pembahasan dari berbagai
tulisannya, kurang lebih sama dalam cara yang dia lakukan dalam falsafah Plato.
Dia memulai dengan melekakkan sebuah premis bahwa bagi Aristoteles
kesempurnaan umat manusia tidak dapat dicapai dengan pengetahuan tentang
apa yang natural dan tentang apa yang secara sengaja. Sekarang, sejauh alam
mendahului kehendak, adalah kewajiban kita untuk memulai dengan
menyelidiki hal-hal yang ada secara alami dan kemudian sesuatu tersebut ada
karena kehendak atau pilihan, untuk mendapatkan pengetahuan tentang proses
yang alami dan yang secara sengaja. Karena alasan ini Aristoteles meyakini,
menurut al-Fārābī, bahwa penyelidikan harus dimulai dengan penentuan sifat
dan bagian pengetahuan yang pasti (yakīn) dan bagaimana menimbulkan
pendapat (ẓann), serta tingkat dari persetujuan lainnya, seperti imajinasi dan
persuasi. Inilah yang dilakukan Aristoteles, kita diberitahu, dalam seni logika,
9 Sahrul Maulidi, Aristoteles, h. 76, dan Georgios Anagnostopoulos, A Companion to
Aristotle (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), h. 51.
73
yang mendahului dua ilmu tentang yang secara alami dan secara sengaja, yaitu
ilmu teoritis dan praktis.10
Kemudian di bidang logika dan falsafah bahasa, al-Fārābī membahas
mengenai komentar bebas atas Organon-nya Aristoteles dan risalah-risalah lepas
lainnya. Dalam katagori yang pertama, al-Fārābī telah menghasilkan
sekumpulan lengkap ringkasan Organon Aristotelian, termasuk yang sudah
menjadi kelaziman sejak masa-masa para komentator Alexandrian, Isagoge-nya
Porphyry,11 dan Rhetoric dan Poetics-nya Aristoteles. Ia juga menulis komentar
besar atas De Interpretatione. Ringkasan-ringkasannya bukan sekedar usaha
terperinci untuk menafsirkan teks-teks Aristoteles, juga bukan sekedar ringkasan
belaka, melainkan mengambil susunan dan inspirasi menyeluruh dari
Aristoteles, di samping mengembangkan interpretasi-interpretasinya sendiri
terhadap logika Aristotelian dan tradisi dari maszhab yang muncul darinya. Di
antara karya-karyanya yang lebih pribadi sebagian besar isi Kitāb al-Ḥurūf dan
Kitāb al-Alfāzh al-Musta’malah fi al-Manṭiq, juga dicurahkan pada topik-topik
logika dan kebahasaan, yang menekankan perlunya memahami hubungan
terminologi falsafah dengan bahasa dan tata bahasa yang lazim.12
Salah satu pokok perhatian dalam logika al-Fārābī, adalah menguraikan
sejelas-jelasnya hubungan antara logika, falsafah dan tata bahasa umum.
10 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs (Beirut: Dār Majallat Syia, 1961), h. 70, dan Majid
Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism (England: Oneworld Oxford, 2002), h. 25. 11 Porphyry (±232-305) ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dari Syria kuno,
murid sekaligus editor Plotinus. Porphyry juga menulis sejumlah komentar tentang Plato dan
Aristoteles. Karyanya yang paling berpengatuh adalah Isagoge, atau Introduction terhadap
Categories karya Aristoteles. Simon Blackburn, Kamus Filsafat, h. 676. 12 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku
Pertama) (Bandung: Mizan, 2003), h. 223.
74
Realitas historis masuknya falsafah ke dalam bahasa Arab dari suatu bahasa dan
budaya asing, masuknya bahasa Yunani kuno, dan munculnya kesulitan akibat
kebutuhan untuk menciptakan kosakata falsafah dalam bahasa Arab, menjadi isu
yang penting sekali bagi para failasūf Arab awal, termasuk para guru dan murid
al-Fārābī sendiri. Di samping itu, fokus kebahasaan dari sebagian besar logika
Aristotelian menciptakan konflik teritorial dengan para praktisi ilmu tata bahasa
Arab setempat yang melihat bahwa minat para failasūf pada logika Yunani tidak
lain hanyalah merupakan upaya untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan
Yunani. Karya-karya logika dan kebahasaan al-Fārābī menggambarkan salah
satu usaha sistematis untuk menyelaraskan pendekatan-pendekatan yang saling
berlawanan dalam studi bahasa.13
Konsentrasi logika al-Fārābī berhasil mengurai falsafah bahasa dan sistem
epistemologi keilmuan Yunani yang dianggap asing di mata bangsa Arab. Al-
Fārābī percaya bahwa setiap bahasa memiliki struktur linguistiknya sendiri-
sendiri. Sehingga ia berupaya mempertemukan kebahasaan antara falsafah
Yunani dan bahasa Arab, karena baginya memahami falsafah Yunani bukan
dengan cara mengarabisasikannya, tetapi dengan mengetahui maksud yang
disampaikan para failasūf Yunani hingga kemudian dapat diterima sejelas-
jelasnya oleh bangsa Arab. Maka al-Fārābī merubah paradigma di zamannya
yang mengupayakan untuk menggantikan tata bahasa Arab dengan Yunani.
Sebaliknya, al-Fārābī melakukan penyelarasan pendekatan-pendekatan yang
saling berlawanan dalam studi bahasa dengan menggunakan logika.14
13 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 223. 14 Achmad Ghalib, Filsafat Islam (Jakarta: Faza Media, 2009), h. 117-118.
75
la menyatakan bahwa seni logika, umumnya, memberikan aturan-aturan,
yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang benar dan mengarahkan
manusia secara langsung pada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-
kesalahan. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti,
sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata. Logika adalah
kaidah-kaidah yang menunjukkan pemahaman dapat diuji melalui aturan-
aturannya, sebagaimana dimensi volume dan massa ditentukan oleh ukuran.15
Di sepanjang karya-karya linguistiknya, al-Fārābī mengangkat suatu
konsepsi tentang logika sebagai sejenis tata bahasa universal yang memberikan
kaidah-kaidah yang harus diikuti guna berpikir secara benar dalam bahasa apa
pun. Tata bahasa, di sisi lain, senantiasa wajib memberikan kaidah yang
dibangun atas dasar konvensi dalam pemakaian bahasa tertentu dari budaya
tertentu. Karena itu, al-Fārābī meletakkannya dalam suatu bagian karyanya yang
terkenal Iḥṣā al-Ulūm, “seni (logika) ini analog dengan seni tata bahasa, dalam
pengertian bahwa hubungan logika dengan intelek dan intelijibel-intelijibel (hal-
hal yang dapat dipikirkan dan dipahami oleh akal) adalah seperti hubungan seni
tata bahasa dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan. Maksudnya, bagi setiap
kaidah pengungkapan yang diberikan oleh ilmu tata bahasa kepada kita, terdapat
suatu (kaidah) intelijibel sepadan yang diberikan oleh ilmu logika kepada kita.”16
Dengan menegaskan bahwa logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu
berlandaskan kaidah (rule-based sciences) yang terpisah, masing-masing dengan
15 M. Syarif, ed., History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim (Bandung,
Mizan, 1998), h. 62. 16 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 223-
224.
76
lingkup dan pokok permasalahannya sendiri. Al-Fārābī berusaha dengan keras
membangun logika sebagai kajian otonom falsafah bahasa yang saling
melengkapi, bukan bertentangan dengan ilmu tata bahasa tradisional, akan
tetapi, meskipun logika dan tata bahasa masing-masing tetap merupakan ilmu
yang terpisah dan otonom, al-Fārābī juga berpendirian bahwa logikawan dan
failasūf bergantung pada ahli tata bahasa kerena kemampuan mereka dalam
mengartikulasikan doktrin-doktrin mereka dengan idiom suatu bangsa tertentu.
Karena itu, “seni tata bahasa seharusnya sangat diperlukan untuk menjadikan
kita tahu dan paham terhadap prinsip-prinsip seni (logika)”.17
Pada bagian falsafah yang mencerminkan pengaruh dari silabus Aristoteles,
al-Fārābī mengklasifikasikan pemikiran Aristoteles secara menyeluruh dan
sistematis. Hal ini dimulai dengan mendefinisikan logika, yang al-Fārābī sebut
sebagai seni yang menetapkan hukum-hukum umum yang meluruskan pikiran
ke arah yang pasti, membedakan mana yang benar dan mana yang salah sehingga
membimbing manusia menuju jalan kebenaran, dan kebenaran dalam hal
tersebut, di mana ia bertanggung jawab untuk kesalahan.18
قني وحنوالنافع من احناء التعليم والتعّلم إذ كانت تقوم اجلزء الناطق من النفس وتسّدده حنو اليوتبصره األشياء اليت تعدل به عن اليقني وعن األايء النافعة يف التعليم والتعّلم , وألجل اّّنا أيضا تبصره كيف النطق ابللسان وكيف املخاطبة اليت يكون هبا التعليم وكيف املخاطبة اليت هبا تكون
املغالطة .Al-Fārābī memiliki analogika tertentu untuk tata bahasa, sejauh logika
memberikan kita aturan yang mengatur intelejen (ma’qūlāt) dalam cara yang
17 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 224. 18 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 71.
77
sama bahwa tata bahasa memberi kita aturan istilah atau ungkapan yang
mengatur. Al-Fārābī berhati-hati mencatat, bahwa ada perbedaan besar antara
keduanya dan mengkritik mereka yang mengklaim bahwa studi logika itu
berlebihan, karena seperti tata bahasa, itu dapat dikuasai dengan mempraktikkan
penalaran logis, seperti halnya seseorang dapat menguasai tata bahasa dengan
menghafal sastra atau puisi.19
Cara kerja logika dikatakan al-Fārābī adalah sebagai pedoman atau
peraturan yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkannya pada kebenaran
dalam lapangan yang tidak dapat dijamin kebenarannya. Kedudukan logika
dalam lapangan pemikiran dikiaskan al-Fārābī dengan kedudukan ilmu nahwu
dalam lapangan bahasa.20 Mengikuti Aristoteles, al-Fārābī kemudian
menetapkan ilmu semantik sebagai alat atau sarana untuk menetapkan hukum
umum guna memperkuat kesanggupan berpikir yang dapat membawa manusia
ke jalan yang tepat dalam menjelaskan kebenaran.21
Al-Fārābī menjelaskan bahwa logika memiliki beberapa fungsi: pertama,
sebagai kaidah-kaidah umum yang posisinya menjadi aturan untuk meluruskan
pikiran dari sesuatu yang membingungkan dan membimbing manusia menuju
jalan yang benar dari kemungkinan adanya kesalahan di semua objek yang dapat
dimengerti oleh akal (intelligibles). Kedua, logika berfungsi untuk mendorong
manusia untuk mencari pengetahuan yang benar berdasarkan hukum akal.
19 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996), h. 28. 20 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 28, dan Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), h. 88. 21 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 76.
78
Ketiga, sebuah hukum logis yang berfungsi sebagai alat untuk menguji pikiran-
pikiran agar tidak terjadi kesalahan, kekeliruan, dan kesesatan berpikir.22
شياء أخر ميكن أن يغلط فيها ويعدل عن احلق اىل ما ليس حبق وهى اليت شأّنا أن تدرك وأ .1 بفكر وأتمل.
ن الذي يلتمس الوقوف على احلق اليقني ىف مطلوابته كلها إىل قوانني املنطق.يضطر اإلنسا .2
قد العقل يكون أن يؤمن ماال املعقوالت يف هبا ميتحن آالت هي اليت املنطقية القوانني فإن .3 حقيقته. إدراك يف قصر أو فيه غلط
Meskipun sebagian besar logika al-Fārābī dicurahkan pada topik-topik
linguistik, ia juga memberikan sumbangan penting kepada aspek-aspek logika
yang lebih formal, seperti silogisme, teori demonstrasi, dan masalah-masalah
epistemologi. Alur menonjol dalam logika dan epistemologi al-Fārābī adalah
pengadopsian interpretasi hierarkis seni silogistik (termasuk retorika dan puisi),
yang mengidentifikasi demonstrasi sebagai metode falsafah yang paling tepat,
dan semua metode lain diturunkan statusnya hanya sebagai alat untuk
komunikasi non-falsafah.23
Teori demonstratif al-Fārābī sendiri terpusat pada analisis terhadap syarat-
syarat yang harus dipenuhi agar memperoleh ilmu atau pengetahuan ilmiah
“ḥaddada māhiyatu al-ma’rifati al-‘ilmiyyati (au al-yaqīni) wa syurūtihi”.24
Seperti pemikir muslim pengikut Aristoteles yang lain, al-Fārābī mendasarkan
analisis ini pada perbedaan antara dua tindakan kognitif dasar, yakni
22 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 28-29. 23 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, h. 226. 24 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 6.
79
konseptualisasi (taṣawwur)25 dan pembenaran (taṣdīq)26. Tindakan pertama
bertujuan memahami konsep-konsep sederhana dan memungkinkan kita
mencerap esensi objek yang kita pahami itu ketika tindakan itu menjadi utuh
atau sempurna. Tindakan kedua, yaitu pembenaran, terjadi atau muncul dalam
pertimbangan dan penilaian benar atau salah, ketika tindakan itu utuh atau
sempurna, ia memberikan pengetahuan yang pasti. Dua tindakan kognitif ini,
pada gilirannya diidentifikasi berturut-turut sebagai tujuan yang ingin dicapai
oleh definisi dan silogisme demonstratif, dua topik penting yang dibahas dalam
Posterior Analitics-nya Aristoteles, sehingga analisis terhadap syarat-syarat bagi
konseptualisasi dan konfirmasi yang sempurna menjadi kunci interpretasi al-
Fārābī atas teori demonstratif Aristoteles.27
Salah satu sisi penting interpretasi ini adalah analisis al-Fārābī tentang
kepastian (certitude) yang mencirikan konfirmasi sempurna. Al-Fārābī
mendefinisikan kepastian mutlak dalam batas-batas yang disebut sebagai
pengetahuan tingkat-kedua, dengan menegaskan bahwa kepastian itu terdiri dari:
(1) keyakinan bahwa kebenaran yang telah kita terima mustahil menjadi
kebalikannya (salah); dan (2) keyakinan bahwa, tidak ada keyakinan lain yang
mungkin selain keyakinan yang kita pegang (al-Fārābī menambahkan bahwa
proses ini sesungguhnya dapat berlanjut adinfinitum atau sampai tidak
terhingga). Singkatnya, kepastian tidak hanya mensyaratkan pengetahuan kita
25 Taṣawwur adalah hasil gambaran tentang sesuatu dalam pikiran (ḥuṣūlun ṣūratu al-syaii
fī al-aqli), seperti konsep Ahmad, Tohir, Engkau, Rumah, Burung, Pohon, dll. Mufaḍḍhal ibn
‘Umar, Īsāghūjī (İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011), h. 2. 26 Taṣdīq adalah mengetahui hubungan (relasi) antara dua konsep yang memiliki
kemungkinan benar atau salah (isnādun amrun ilā amrin ākhara ījābān au salbān), seperti
pernyataan bahwa “Muhammad Abduh adalah pencetus kebangkitan Islam modern”, dan “Indonesia
adalah negara yang kaya”. Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 2. 27 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 19-22.
80
bahwa sesuatu itu adalah suatu hal, tetapi juga pengetahuan bahwa kita
mengetahuinya. Setelah mendefinisikan kepastian dengan cara demikian, al-
Fārābī dapat membebaskan dari interpretasi tradisional. Dengan demikian
memungkinkan adanya kepastian niscaya (ḍarūrī) yaitu bahwa apa yang
diyakini seseorang sebagai suatu hal mustahil merupakan hal yang lain untuk
selama-lamanya. Dan kepastian tidak niscaya (ghairu ḍarūrī), yaitu kepastian
yang hanya pada saat-saat tertentu saja. Kepastian niscaya mensyaratkan suatu
objek yang niscaya dan abadi keberadaannya, sedangkan kepastian tidak niscaya
tidaklah demikian: “kepastian niscaya dan wujud yang niscaya dapat ditukar
sesuai dengan keperluan, karena apa yang diverifikasi sebagai kepastian-niscaya
adalah wujud yang niscaya”.28
Kemudian, al-Fārābī dalam pembahasan logika, yang merupakan terjemah
dan sekaligus komentar dari Organon karya Aristoteles, Ia membagi pada
delapan pembahasan:
1. The Categories (al-Maqūlat, Qātiguriās), mengupas tentang pembagian
ungkapan-ungkapan linguistik menjadi ungkapan non-proposisional.29
Kemudian ungkapan non-proposisional ini dibagi menjadi 10 katagori.
Seluruh kata atau kata-kata yang menunjukkan satu pengertian dalam
pembicaraan maupun tulisan kita sehari-hari itu menurut Aristoteles tidak
28 Di samping pembahasan dalam Kitāb al-Burhān, al-Fārābī juga menulis pada kelanjutan
pembahasan pada topik ini, yang disebut Syarā’ith al-Yaqīn (Syarat-Syarat Kepastian) dalam
Manthiq ‘Inda al- Fārābī (Kitāb Syarā’iṭ al-Yaqīn) (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 97-104. 29 Ungkapan proposisional adalah rangkian kata-kata yang merupakan pernyataan lengkap
atau proposisi. Ungkapan non-proposisional merupakan kata tunggal atau majemuk yang
menunjukkan sesuatu pengertian saja. Ungkapan ini belum dapat dinilai apakah benar atau salah,
karena belum menjadi pernyataan lengkap.
81
akan terlepas dari 10 katagori pengertian itu. Adapun katagori-katagori
tersebut adalah:
a. Substansi (Substance), yang juga sering disebut esensi, hakikat atau zat,
ialah materi dasar yang dimiliki oleh sesuatu yang dapat berdiri sendiri,
yang merupakan jawaban dari pertanyaan “apa”nya sesuatu itu.
b. Jumlah (quantity), yang menerangkan besaran atau ukuran substansi,
yang merupakan jawab pertanyaan “berapa”?
c. Sifat (quality), ialah atribut yang melekat pada substansi, merupakan
jawab dari pertanyaan “bagaimana”?
d. Relasi (relation), yang menunjukkan hubungan antara suatu substansi
dengan yang lain, merupakan jawab pertanyaan-pertanyaan “apa atau
bagaimana hubungannya”?
e. Aksi (action), yang menyatakan kegiatan atau perubahan substansi yang
berpangkal pada suatu prinsip atau sebab, merupakan jawaban
pertanyaan “apa yang diperbuat”?
f. Pasi (passion atau affection), yang menunjukkan penderita atau sasaran
tindakan stansi, merupakan jawab dari pertanyaan “apa sasarannya”?
g. Tempat (place), ialah ruang penempatan substansi, yang merupakan
jawab pertanyaan “dimana”?
h. Waktu (time), yang menyatakan tempo atau berapa lama substansi itu
ada, merupakan jawab pernyataan “kapan”?
i. Posisi (position), yang menjelaskan kedudukan sebstansi dalam suatu
tempat, merupakan jawab pertanyaan “apa kedudukannya”? atau
“bagaimana posisinya”?
82
j. Keadaan (state), yang menerangkan pemilikan khusus yang menyertai
kedudukan substansi, merupakan jawab pertanyaan “bagaimana
keadaannya”?
2. On Intepretation (al-‘Ībārah, Bāri Ermeniās: Greek, Peri Hermeias), dua
jilid, berisi pembahasan tentang bentuk-bentuk baku proposisi mantiki,
yang berkaitan dengan proposisi atau ekspresi majemuk.
3. Prior Analytics (al-Qiyās, Analytica Priora), dua jilid, membicarakan
bentuk-bentuk baku silogisme yang dipergunakan orang dalam berhujjah
atau berargumen, yang membahas tentang aturan-aturan wacana umum.
4. Posterior Analytics (al-Burhān, Analytica Posteriora), yang menjelaskan
tentang aturan dalam argumen demonstratif tentang hakikat ilmu
pengetahuan ilmiah.
5. Dialectic (Mawādi Jadaliyah, Topica), ada delapan jilid, menelaah tentang
hukum-hukum perbantahan secara dealektik, semacam pedoman berdiskusi
yang melibatkan argumen yang harus valid atau sahih.
6. Sophistics (Mughālaṭah, Sophistica), berisi kupasan yang rumit tentang
argumen-argumen yang menyesatkan, seperti dilema dan paradoks.
7. Rhetoric (Khatābah, Rhetorica), yang berkaitan dengan argumen retoris dan
varietas pidato otorial dan kefasihan.
8. Poetics (al-Syi‘ir, Poetica), yang berkaitan dengan wacana puitis, bagian-
bagiannya dan aturan pembacaan puisi atau prosodi.30
30 Al-Fārābī, Falsafah Arisṭūṭālīs, h. 72-83, dan Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 44-46, dan
Majid Fakhry, al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism, h. 41-42, dan Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle (New York: The Modern Library, 1947), h. 2.
83
C. Argumen Demonstrasi (Burhān)
Demonstasi (burhān), yaitu kaidah-kaidah yang mempelajari pernyataan-
pernyataan demonstratif, kaidah-kaidah yang berkenaan dengan persoalan-
persoalan falsafah dan berkaitan dengan semua tindakan yang lebih utama dan
lebih sempurna. Demonstrasi (burhān) merupakan standar para failasūf yang
dengannya mereka dapat mengetahui kejujuran dari kebohongan dalam ucapan,
kebenaran dari kesalahan dalam pendapat, dan kebenaran dari kesalahan dalam
keyakinan, serta kebaikan dari keburukan dalam tindakan.31 Demonstrasi adalah
silogisme yang tersusun dari premis-premis yang jelas untuk menghasilkan
kesimpulan yang pasti.32 Menurut al-Fārābī sendiri demonstrasi adalah prinsip-
prinsip rasional yang dapat membantu seseorang menghasilkan sebuah kepastian
pengetahuan dan bukan sebaliknya.33
فالربهانية هي األقاويل اليت شأّنا أن تفيد العلم اليقني يف املطلوب الذي نلتمس معرفته، سواء استعملها اإلنسان فيما بينه وبني نفسه يف استنباط ذلك املطلوب أو خاطب هبا غريه، أو خاطب
ال الذي أحواهلا كلها شأّنا أن تفيد العلم اليقنيهبا غريه يف تصحيح ذلك املطلوب، فإّنا يف .خالفه يكون أن أصال ميكن
Pada bagian ini, adalah menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode
yang dasar dengan tujuan untuk memverifikasi kebenaran obyektif, dan
membuatnya yakin bagi pikiran kita. Nilai argumen dalam membangun
kebenaran dan kepastian, sepenuhnya bergantung pada kekuatan dan tingkat
bukti yang ditunjukkannya, yang mungkin memberikan keyakinan pada
berbagai bukti, atau sebaliknya. Dari sudut pandang ini, argumen terbagi
31 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi (Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 82. 32 Mufaḍḍal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 14-15. 33 Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, h. 38.
84
menjadi dua bagian. Pertama, argumen yang pasti atau demonstrasi, di mana
bukti itu sendiri meyakinkan. Kedua, argumen yang mungkin atau diragukan, di
mana bukti hanyalah probabilitas, dan karenanya tidak meyakinkan. Jelas
bahwa, dari dua bagian ini, hanya yang pertama yang dapat disebut demonstrasi
dalam arti kata yang jelas.34
Argumen demonstratif merupakan deduksi kebenaran proposisi dari
proposisi lain yang sudah dikenal dan diakui kebenarannya, dan deduksi ini
dilakukan dengan menggunakan silogisme. Dasar dari semua demonstrasi harus
menjadi aksioma bahwa “kebenaran tidak mengandung apa pun kecuali yang
benar.” Konsekuensinya, semua yang mengikuti kebenaran tertentu, pastilah
benar. Jika suatu kebenaran dapat mengandung konsekuensi yang salah, secara
pasti akan berhenti menjadi kebenaran. Konsekuensinya lagi, karena “kebenaran
tidak dapat menentang apa yang benar,” apa pun yang bertentangan dengan
kebenaran tertentu, pastilah salah. Dari dua kontradiksi, yang satu harus benar
dan yang lainnya salah, dan karena dua pertentangan tidak bisa keduanya benar
secara bersamaan, jika satu benar, yang lain harus salah. Untuk mendapatkan
gagasan yang jelas tentang demonstrasi, kita harus membedakan antara materi
(matter) dan bentuk (form)-nya.35
Sebagai materi (matter) dari setiap argumen, pertama-tama segala sesuatu
harus dibuktikan, dan ini disebut tesis atau proposisi yang ditetapkan sebagai
sebuah dalil jika ia adalah bersifat teoritis, dan sebagai sebuah masalah jika
bersifat praktis. Poin utama yang dipermasalahkan dalam tesis, biasanya
34 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic (London: Longmans,
1887), h. 88-89. 35 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 89.
85
dinyatakan dalam bentuk interogatif, dikenal sebagai “pertanyaan”. Penjelasan
dari tesis utama ini, dependensi dan sub-dependensi disebut secara umum
sebagai pengembangan dari kondisi pertanyaan. Kemudian ada sesuatu yang
terbukti dari tesis, yang disebut sebagai prinsip atau landasan demonstrasi. Hal
ini bisa secara langsung, yaitu ketika kebenaran tersebut jelas bagi pikiran tanpa
bukti. Atau secara tidak langsung, yaitu ketika kebenaran tersebut harus dibuat
jelas dengan adanya bukti. Dalam hal ini, prinsip demonstrasi terdiri dari sebuah
kesepakatan yang digunakan sebagai principium demonstrationis36 dalam
kesepakatan yang didasarkan padanya, dan harus sudah dibuktikan sendiri, atau
setidaknya dapat dibuktikan. Jika tidak benar-benar terbukti, itu hanya menjadi
sebuah asumsi.37
Berbeda dengan materi (matter), Bentuk (form) Demonstrasi adalah
konsekuensi yang diperlukan tesis dari prinsip demonstrasi. Hanya ada sebuah
konsekuensi seperti itu yang bisa menjadi sebuah argumen. Oleh karena itu,
terdapat kebenaran deduksi.
Terakhir, harus dicatat bahwa demonstrasi pada dasarnya tergantung pada
principia per se nota (terbukti dengan sendirinya), yang tanpanya argumen akan
menjadi mustahil. Alasannya, jika setiap proposisi diambil untuk dasar
demonstrasi, maka diperlukan bukti. Kita harus terus mencari selamanya dan
argumen kita tidak akan pernah berakhir, maka akibatnya akan berhenti menjadi
36 Hukum kontradiksi atau principium contradictionis (Bahasa Inggris: law of
contradiction) adalah aturan yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu itu pada waktu yang
sama adalah sesuatu itu dan bukan sesuatu itu. Maksudnya: mustahil sesuatu itu adalah hal satu dan
bertentangan pada waktu yang bersamaan. https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_kontradiksi.
Diakses pada 16 Mei 2019, pukul 09:55. 37 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 90.
86
sebuah argumen. Seperti pada kasus paralel dalam menangani definisi. Sama
seperti definisi yang tidak akan mungkin kecuali jika dimulai dari mengarahkan
pada konsep-konsep yang tidak dapat didefinisikan. Demikian juga argumen
tidak mungkin kecuali didasarkan pada yang mengarah kembali ke proposisi
yang tidak dapat dihindarkan, atau tidak memerlukan maupun mengakui bukti.38
Aturan dalam Argumen Demonstratif, yang berhubungan dengan (1) tesis,
(2) prinsip atau landasan demonstrasi, (3) silogisme sebagai instrumen argumen,
adalah sebagai berikut:39
1. Aturan untuk tesis, merupakan pengertian yang harus ditentukan dengan
jelas, bahwa tidak ada hal lain yang dapat dibuktikan selain apa yang harus
dibuktikan. Oleh karena itu, sebelum memulai argumen, keadaan
pertanyaan harus selalu dijelaskan dan ditetapkan dengan jelas. Khususnya
adalah penjelasan yang diperlukan ketika tesis mungkin memiliki banyak
makna atau makna yang tidak jelas, dengan alasan bahwa penjelasannya
harus memadai dan masuk akal.
2. Aturan pada prinsip atau landasan demonstrasi, yaitu meliputi:
a. Benar dan pasti, karena apa yang diragukan dan tidak pasti tidak dapat
menjadi dasar pembuktian. Aturan ini terutama berlaku untuk argumen
obyektif, tetapi tidak boleh dilanggar dalam argumen subyektif.
b. Prinsip demonstrasi harus diakui sebagai benar dan pasti sebelum dapat
menjadi dasar argumen, atau dasar pembuktian.
38 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 91. 39 Laurence Johnstone, A Short Introduction to The Study of Logic, h. 91-93.
87
c. Prinsip demonstrasi harus lebih dikenal daripada tesis, jika tidak maka
tidak dapat menjawab akhir membuktikan atau menjelaskan tesis.
d. Yang terakhir, prinsip demonstrasi harus berbeda dari tesis, karena itu
adalah prinsip yang digunakan untuk membuat tesis. Oleh karena itu
tidak boleh mengungkapkan hal yang sama, juga tidak boleh memiliki
sifat yang sama dengan tesis.
3. Terakhir, adalah aturan untuk silogisme yang dianggap sebagai bagian dari
argumen. Pertama, tidak boleh ada pelanggaran hukum dan aturan untuk
silogisme. Dan kedua, semua bagiannya harus benar. Singkatnya, silogisme
atau serangkaian silogisme harus dalam seluruh perluasannya, harus benar
secara formal dan material. Karena itu, semua aturan untuk kebenaran
formal dan material dari silogisme berlaku dengan kekuatan yang sama
dalam argumen. Bertentangan langsung dengan tiga kelas aturan untuk
argumen tersebut, maka akan mengalami kekeliruan atau sofisme.
D. Silogisme Demonstrasi (Qiyās Burhānī)
Silogisme demonstrasi40 (qiyās burhānī) adalah silogisme yang tersusun
dari proposisi-proposisi yang sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya
(yaqīniyyah) dan niscaya menghasilkan konklusi benar.
Silogisme ini merupakan bentuk dari pembuktian demonstratif, sedangkan
materinya adalah proposisi-proposisi yaqīniyyah, baik proposisi tersebut berupa
proposisi aksiomatis yang jelas dengan sendirinya atau proposisi teoretis yang
dijelaskan dengan merujukkannya pada proposisi aksiomatis. Silogisme ini
40 Dalam menerjemahkan qiyās burhānī, penulis memilih kata ‘silogisme demonstratif’.
88
menghasilkan keyakinan dalam pengertian yang sangat khusus, yaitu keyakinan
kuat yang sesuai dengan realitas mutlak yang konstan. Maka, “keyakinan” di
sini adalah lawan dari dugaan, “sesuai dengan realitas” adalah lawan dari
kebohongan sebagaimana yang terjadi pada ketidaktahuan kompleks (jahl
murakkab), “mutlak” adalah lawan dari kenisbian, dan “yang konstan” adalah
lawan dari perubahan.41
Tujuan dari demonstrasi ini adalah mengetahui objek-objek sebagaimana
adanya dalam realitas, dan pengetahuan yang mutlak dan kekal tanpa perubahan.
Akhir dari demonstrasi adalah ilmu pengetahuan, yang dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan tertentu tentang kebenaran. Ini berkaitan dengan
kesimpulan, bukan dengan prinsip-prinsip yang menjadi dasar kesimpulan
tersebut, karena kita dikatakan lebih memahami Prinsip Pertama daripada
memiliki pengetahuan ilmiah tentangnya. Ilmu pengetahuan tidak mengajarkan
kita bahwa hal-hal yang sama untuk sesuatu yang sama adalah sama satu sama
lain, atau bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab. Prinsip Pertama lebih pasti
dan lebih diketahui oleh kecerdasan manusia daripada kesimpulan yang diambil,
karena pengetahuan kita tentang Prinsip Pertama adalah langsung (immediate),
sedangkan pengetahuan kita tentang kesimpulan hanya memediasi (mediate).42
Demonstrasi atau silogisme demonstrasi yang berhubungan dengan
berbagai penggunaan Ilmu pengetahuan, menurut Richard F. Clarke dalam
bukunya Logic terbagi pada beberapa divisi:43
41 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika: Sebuah Daras
Ringkas (Jakarta: Sadra Press, 2018), h. 117. 42 Richard F. Clarke, Logic (London: Longmans, 1921), h. 420. 43 Richard F. Clarke, Logic, h. 422-424.
89
a. Argumen priori dan argumen posteriori
Argumen priori adalah dimulai dari yang universal hingga yang khusus, dari
prinsip pertama hingga kesimpulan yang mengikutinya, dari sebab hingga
akibat. Sedangkan argumen posteriori berasal dari yang khusus ke
universal, dari hasil prinsip ke prinsip itu sendiri, dari sebab ke penyebab.
Jadi, jika berdebat tentang ketidakterbatasan Tuhan sampai kekekalan-Nya,
dengan menggunakan argumen priori, maka silogisme ini adalah sebagai
berikut:
Semua hal yang kekal adalah kekal
Tuhan itu abadi
Jadi, Tuhan itu kekal.
Tetapi jika argumen tersebut adalah sebuah posteriori yaitu tentang sifat
tergantung dan bergantung pada hal-hal yang diciptakan dari eksistensi yang
berdiri sendiri yaitu Pencipta mereka, maka silogisme tersebut adalah:
Semua hal yang tidak berdiri sendiri menyiratkan keberadaan wujud pada
siapa mereka bergantung
Semua hal yang diciptakan tidak berdiri sendiri
Jadi, Semua hal yang diciptakan menyiratkan keberadaan makhluk di mana
mereka bergantung.44
b. Demonstrasi harus murni, empiris, dan bercampur.
44 Dari argumen di atas adalah proses dari sebab menuju ke penyebab efisien mereka
sendiri.
90
Demonstrasi Murni berasal dari premis-premis yang keduanya merupakan
priori, seperti dalam Matematika. Demonstrasi empiris berasal dari premis-
premis yang keduanya merupakan posteriori, seperti dalam Kimia dan ilmu
fisika.
Sedangkan demonstrasi dikatakan bercampur ketika premis Minor berlaku
untuk susunan yang nyata dari pernyataan premis utama. Seperti pada
contoh:
Semua bidang segitiga memiliki garis lurus untuk setiap sisinya
ABC adalah bidang segitiga
Jadi, ABC memiliki garis lurus untuk setiap sisinya.
c. Argumen langsung (direct) dan tidak langsung (inderect)
Dalam Argumen Langsung, menunjukkan pada kesimpulan yang benar
dengan argumen positif. Sedangkan dalam Argumen Tidak Langsung
menunjukkan kesimpulan yang benar dengan menunjukkan pada sesuatu
yang absurd (absurditas) dari setiap alternatif lain.
d. Absolut dan relatif
Argumen Absolut berasal dari premis-premis yang benar pada dirinya.
Argumen Relatif muncul dari premis-premis yang disepakati antara subjek
(pembicara) dan objek (lawan bicara), tanpa mempertimbangkan apakah itu
benar atau tidak. Seperti ketika membuktikan skeptis adalah salah dengan
mengasumsikan premisnya sendiri, dan menunjukkan kepadanya
bagaimana dia berbeda.
91
1. Jenis-Jenis Silogisme Demonstratif
Karena demonstrasi ini sejenis silogisme, maka term tengah (ḥadd ausaṭ)
yang ada di dalamnya mestilah sebab (‘illah) bagi penilaian (taṣdīq) di konklusi
pada taraf itsbāt (penetapan).
Namun, karena yang dikehendaki dari demonstrasi adalah menghasilkan
keyakinan yang sesuai dengan realitas, maka mestilah ia didasarkan pada
hubungan kohesif alami dalam realitas antara term tengah dan konklusi. Dan
hubungan kohesif tersebut hanya ada dalam poros sebab-akibat (‘illiyyah).
Berdasarrkan hal ini, maka mestilah term tengah tersebut berupa sebab atau
akibat bagi konklusi, atau term tengah dan konklusi merupakan akibat dari satu
sebab.45
Berdasakan hubungan term tengah dengan konklusi dari sisi ini, selanjutnya
para ahli logika membagi demonstrasi ke dalam tiga jenis:46
1. Burhān limmī (demonstrasi dari sebab menuju akibat), yaitu argumentasi
yang term tengahnya merupakan sebab-penetapan (‘illah itsbātiyyah) dan
sebab-kenyataan (‘illah tsubūtiyyah) bagi konklusi. Dan di sini, tingkat
‘penetapan’ (itsbāt) sejalan dengan tingkat ‘kenyataan’ (tsubūt).
Contoh:
Kayu ini terkena api
Setiap kayu yang yang terkena api terbakar
Jadi, kayu ini terbakar
45 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 118. 46 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 119-122, dan
Atsīr al-Dīn al-Abharī, Mughnī al-Ṭullāb: Syaraḥ Matan Īsāghūjī (Damasyqu: Dār al-Fikr, 2003),
h. 89-90.
92
Terkena api di sini, sebagaimana merupakan sebab, yakni sebab-penetapan
atau sebab dalam menetapkan term mayor (terbakar) terhadap term minor
(kayu ini). Ia juga merupakan sebab-kenyataan, yakni sebab terbakarnya
kayu dalam realitas adalah lantaran dikenakannya api padanya.
2. Burhān innī (demonstrasi dari akibat menuju sebab), yaitu argumentasi yang
term tengahnya merupakan sebab-penetapan bagi konklusi (yakni sebab
bagi penilaian di konklusi).
Demonstrasi tipe ini ada dua macam:
a) Koklusi penetapan (tsubūt) term mayor terhadap term minor, merupakan
sebab-kenyataan bagi term tengah.
Contoh:
Besi ini memuai
Setiap yang memuai adalah panas
Jadi, besi ini panas
Term tengah (memuai) merupakan sebab-penetapan dalam menetapkan
term mayor (panas) terhadap term minor (besi ini), tetapi ia merupakan
akibat bagi konklusi menurut realitas, karena “memuai” dalam
realitasnya merupakan akibat dari penetapan panas pada besi. Bagian ini
disebut dalīl.
b) Term tengah dan konklusi adalah akibat bagi satu sebab.
Contoh:
Di tempat ini ada cahaya
Setiap tempat yang ada cahayanya adalah panas
93
Jadi, tempat ini panas
Term tengah (ada cahaya) dan konklusi (tempat ini panas) merupakan
akibat dalam realitas bagi satu sebab yaitu “api”, misalnya.
3. Burhān syibh limmī atau al-mulāzamāt (demonstrasi yang serupa dengan
‘demonstrasi dari sebab menuju akibat’), yaitu argumentasi yang term
tengahnya – dalam kaitan dengan keberadaan – merupakan sebab penetapan
bagi konklusi. Maka, ia merupakan ‘illah taḥlīliyyah tsubūtiyah juga
baginya, bukan sebab-eksternal (‘illah khārijiyyah), yakni ia tidak termasuk
dalam empat sebab.47
Burhān syibh limmī menyerupai burhān limmī dalam hal keberadaan term
tengah sebagai sebab-faktual bagi konklusi, tetapi berbeda dalam hal
keberadaannya sebagai ‘illah wāqi’iyyah taḥlīliyyah, bukan sebagai salah
satu dari empat sebab-eksternal. ‘illah taḥlīliyyah artinya keberadaan term
tengah sebagai lāzim dan jelas bagi term minor, dan term mayor (ḥadd
akbar) sebagai lāzim dan jelas bagi term tengah.
Contoh:
Alam ini berubah
Setiap yang berubah adalah bersifat baru
Jadi, alam ini adalah bersifat baru
Maka term tengah di sini (berubah) merupakan illah wāqi’iyyah taḥlīliyyah
bagi konklusi, yaitu “alam adalah bersifat baru”.
47 Maksud dari empat sebab di antaranya adalah: sebab (1) sebab material (māddah), (2)
sebab formal (ṣūrah), (3) sebab efisien (fā’ilah), (4) dan sebab final (ghāyah). Al-Fārābī, Kitāb al-
Burhān, h. 26-27.
94
2. Syarat-Syarat Premis dalam Demonstrasi
Terdapat beberapa syarat yang mesti dipenuhi dalam premis untuk
menjamin adanya keyakinan mutlak yang benar dan pasti. Kriteria keyakinan
adalah kejelasan, sedangkan kriteria benar, mutlak, dan pasti adalah adanya
sebab asersi dalam taraf penetapan (itsbāt), yang pada dirinya sendiri merupakan
sebab keyakinan dalam hal-hal yang memiliki sebab. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut:48
1. Premis tersebut harus sudah terbukti kebenarannya dengan sendirinya
(yaqīniyyah), entah dijelaskan dengan sendirinya lantaran keaksiomatiknya
atau dijelaskan dengan merujukkannya kepada proposisi-proposisi
aksiomatis, sehingga ia menjadi lebih jelas bagi kita ketimbang konklusi.
Syarat ini diperlukan karena premis itu merupakan sebab penetapan bagi
konklusi. Sekiranya premisnya bukan dari yaqīniyyah, maka ia tidak bisa
menjadi sebab penetapan bagi konklusi.
2. Premis-premis hendaklah lebih dahulu ada, baik esensinya maupun sifatnya,
daripada konklusi serta sesuai dengan konklusinya. Artinya, mesti ada
hubungan afinitas di antara premis-premis dan konklusi. Dengan demikian,
secara eksistensial premis-premis harus ada, sehingga kemunculan konklusi
darinya menjadi sah. Pasalnya, premis-premis merupakan sebab kenyataan
bagi konklusi. Ini merupakan syarat bagi premis-premis dalam demonstrasi
hakiki, yakni burhān limmī.
3. Premis hendaklah “niscaya benar”, yakni pengetahuan tentang
kebenarannya tidak dapat hilang atau berubah karena ia mendatangkan
48 Syaikh Falah al-‘Abidī dan Sayyid Sa’ad al-Musawī, Buku Saku Logika, h. 124-127.
95
keyakinan dalam pengertian yang sangat khusus. Inilah yang membedakan
antara demonstrasi dengan jenis-jenis silogisme yang lain.
4. Predikat-predikat dalam premis-premis hendaklah bersifat esensial bagi
subjek-subjeknya. Hal ini membutuhkan penjelasan, karena kata ‘esensial’
– yang termasuk kata ekuivokasi (isytirāk lafzhī) – memiliki banyak makna
dalam logika dan falsafah. Berikut di antara makna-makna terpentingnya:
a) Esensial dalam bab Īsāghūjī, yaitu esensial yang merupakan lawan dari
aksidental. Dalam bab ‘lima (konsep) universal’ (kulliyyāt khamsah)
telah dijelaskan bahwa esensial terbagi menjadi tiga, yaitu genus (jins)
dan diferensia (faṣl) dalam hubungan dengan spesies (nau’).49
b) Esensial dalam bab al-ḥaml (predikat), yaitu esensial yang disebut
dengan ‘aradh dzātī (sifat esensial) dan merupakan kebalikan dari ‘aradh
gharīb (sifat asing). Aradh dzātī ini subjeknya atau sesuatu yang
menopangnya diambil dalam definisinya.50
Contoh: genap dalam hubungannya dengan dua, karena makna genap
adalah terbaginya bilangan menjadi dua bagian yang sama besar, dan
bilangan tersebut adalah yang bisa dibagi dua karena dua merupakan
genusnya. Dan juga pada contoh dinamis dan statis dalam hubungannya
dengan benda-benda alami.
49 Jins huwa kulliyun maqūlun ‘ala katsīrīna mukhtalifaini bi al-ḥaqāyiqi fī jawābin mā
huwa, ka al-ḥayawāni bi al-nisbati ilā al-insāni wa al-faras. Faṣl huwa kulliyun maqūlun ‘ala
katsīrīna mukhtalifaini bi al-‘adadi dūna al-ḥaqīqatu fī jawābin mā huwa, ka al-insāni bi al- nisbati
ilā Zaidun wa ‘Amrun. Nau’ huwa kulliyun maqūlun ‘ala syaii fī jawābin aiyi syaiin huwa fī ḍādzihi,
ka al-nātiqi bi nisbati ilā al-insān. Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 3-4, dan Al-Fārābī, Manṭiq
‘Inda al- Fārābī: Īsāghūjī, al-Juz’u al-Awwal (Beirut: Dārul al-Maṣriq, 1987), h. 76-79. 50 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 29.
96
c) Esensial dalam bab al-burhān (demonstrasi), yaitu esensial yang
mencakup dua jenis esensial sebelumnya. Ia adalah predikat (al-
maḥmūlāt) yang diambil dalam definisi subjeknya, atau yang subjeknya
atau apa yang menopang subjeknya diambil dalam definisinya. Contoh:
setiap manusia adalah hewan. 51
Para logikawan dan failasūf mensyaratkan keberadaan predikat sebagai
esensial bagi subjek dalam dua premis demonstrasi. Hal ini bertujuan
untuk menjamin kejelasan bagi kita, dan premis tersebut merupakan
sebab secara esensi bagi konklusi, bukan secara aksiden.
5. Premis-premis tersebut hendaklah bersifat universal (kullīyyah): dalam
pengertian bahwa predikat dapat diterapkan pada semua satuan (afrād)
subjek dan dalam semua waktu dan keadaan, hingga terjamin kontinuitasnya
bagi kita. Di samping itu, tidak ada keterpisahan predikat dari subjek dalam
keadaan apa pun.
E. Metode Burhānī (Demonstrasi)
Metode demonstrasi atau Burhānī merupakan metode deduksi untuk
mengambil kesimpulan berdasarkan premis yang pasti. Metode deduksi berbeda
dengan induksi. Menurut al-Fārābī, metode induksi mirip dengan pengalaman
indriawi, tetapi keduanya tidak sama. Metode induksi merupakan salah satu
bagian dari kemampuan akal yang beroperasi melalui bantuan memori dan alat-
alat indriawi. Dengan kata lain, induksi, menurutnya, tidak mengarahkan pada
dasar pengetahuan.52 Untuk membedakan antara induksi dan pengalaman
51 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 28. 52 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 258-259.
97
indriawi adalah dengan katagori kepastian yang pasti yaitu dengan metode
demonstrasi.
Pernyataan dalam sebuah demonstrasi harus merupakan pernyataan yang
benar pada hakikatnya, yang al-Fārābī sebut sebagai keyakinan (al-yaqīn).
Keyakinan ini merupakan sebuah kebenaran yang dihasilkan dari pernyataan
yang tidak mungkin berbeda dari selain dirinya, sehingga menghasilkan sebuah
kesimpulan yang benar. Al-Fārābī juga memberikan penjelasan tentang yang
bukan sebuah keyakinan (laisa bi yaqīn), bahwa ia adalah keyakinan yang
dihasilkan dari pernyataan yang berbeda dari keyakinan itu sendiri.53
Keyakinan (al-yaqīn) terbagi menjadi dua, yaitu: keyakinan yang pasti
(ḍarūrī) dan keyakinan yang tidak pasti (ghairu ḍarūrī). Keyakinan yang pasti
merupakan keyakinan yang tidak mungkin pada wujud dan aslinya terdapat
perbedaan pada waktu tertentu. Ia tidak mungkin menunjukkan kebohongan,
tetapi menunjukkan hasil pemikiran yang positif atau negatif. Keyakinan yang
pasti dihasilkan dari suatu wujud yang tetap ada, seperti universal (kullī) lebih
besar dari partikular (juz’ī), pada perkara ini tidak mungkin berubah. Keyakinan
yang pasti ini merupakan landasan untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang
sesuai dengan pengetahuan demonstrasi. Yang menurut Mufaḍḍhal ibn ‘Umar,
dalam bukunya Īsāghūjī, bahwa keyakinan yang pasti dalam demonstrasi terbagi
menjadi enam:54
53 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 20. 54 Mufaḍḍhal ibn ‘Umar, Īsāghūjī, h. 14-15, dan Atsīr al-Dīn al-Abharī, Mughnī al-Ṭullāb:
Syaraḥ Matan Īsāghūjī, h. 90-92.
98
1. Awwaliyāt, adalah pengetahuan-pengetahuan pasti yang dihukumkan oleh
akal tanpa membutuhkan dalil, cukup melihat pada subjek (mauḍu’) dan
predikat (maḥmūl). Contoh: satu setengah dari dua atau universal (kullī)
lebih besar dari partikular (juz’ī).
2. Musyahadāt, merupakan proposisi-proposisi (qaḍiyyah) yang dihukumkan
oleh akal dengan menyaksikan secara dzāhir dan bāṭin. Contoh: secara
dzāhir, matahari bersinar terang (dengan pandangan mata) atau api yang
membakar (dengan menyentuh). Secara bāṭin, bahwa kita lapar dan haus.
3. Mujarrabāt, adalah proposisi-proposisi (qaḍiyyah) yang dihukumkan oleh
akal dengan pengulangan yang menunjukkan keyakinan. Contoh: meminum
obat ini dapat menghilangkan sakit perut.
4. Ḥatsiyyāt, adalah kesimpulan (natījah) yang langsung dihasilkan oleh akal
ketika melihat sughra dan kubra. Contoh: cahaya bulan diambil dari
matahari.
5. Mutawātirāt, merupakan proposisi-proposisi (qaḍiyyah) yang dihukumkan
oleh akal dengan perantara mendengar dari kelompok atau kaum, yang mana
perkataan atau kesepakatan mereka tidak mungkin bohong. Contoh:
Muhammad SAW mendakwahkan kenabiannya dan menunjukkan mukjizat
melalui tangannya.
6. Qaḍāyā Qiyāsātuhā Ma’ahā, merupakan proposisi-proposisi (qaḍiyyah)
yang dihukumkan oleh akal dengan perantara yang ada pada akal. Contoh:
empat adalah bilangan genap (akal menghukumi bahwa empat merupakan
bilangan genap).
99
Sedangkan keyakinan yang tidak pasti (ghairu ḍarūrī) adalah sebaliknya,
yaitu keyakinan dalam waktu tertentu. Ia menunjukkan sebuah kebohongan.
Pada keyakinan yang tidak pasti ini dihasilkan dari perpindahan wujud yang
berubah, seperti pada keyakinan bahwa kamu berdiri dan Zaid ada di dalam
rumah.55
Hal ini juga dipertegas oleh penjelasan Aristoteles dalam Posterior
Analytics,56 bahwa pengetahuan demonstratif harus bertumpu pada dasar
kebenaran, karena objek pengetahuan ilmiah tidak lepas dari dasar kebenaran
tersebut. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada subyek, juga harus melekat
pada atribut itu sendiri, karena esensi atribut adalah dasar dalam sifat esensial
dari subjek itu sendiri. Dari sinilah premis-premis dari silogisme demonstratif
harus merupakan hubungan-hubungan yang esensial, karena semua atribut harus
ada pada esensinya, bukan pada aksiden.57
Selanjutnya, pengetahuan demonstrasi menurut al-Fārābī dapat ditempuh
hanya melalui metode demonstratif, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
ketetapan akal tanpa proses observasi dan bertemu langsung, mengetahui
melalui esensi dan substansinya. Pengetahuan fisik atau indriawi, tegas al-
Fārābī, tidak akan cukup dan tidak akan mengantarkan manusia pada
kesempurnaan. Berdasarkan penjelasan ini al-Fārābī mengatakan bahwa
55 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 21. 56 Aristoteles, Organon: Posterior Analytics, Book I, Ch. 6. Versi bahasa Yunani
“APIƩTOTEΔOϒƩ ANAɅϒTIKΩN ϒƩTEPΩN”, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Hugh
Tredennick, lihat: T. E. Page, The Loeb Classical Library (London: Harvard University Press, 1938),
h. 30, dan diterjemahkan juga oleh G. R. G. Mure, lihat: Richard Mc. Keon, Introduction to Aristotle
(New York: the Modern Library, 1947), h. 21-22. 57 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 21-22.
100
pengetahuan akal dan jiwa lebih tinggi dibanding pengetahuan indra. Pasalnya
secara ontologis, akal dan jiwa berada di atas indra. Dalam konteks tersebut, al-
Fārābī menyebutkan bahwa realitas, secara epistemologis, dapat diketahui
melalui persepsi indra dan juga melalui demonstrasi. Akal dan jiwa dengan
kemuliaan dan kehalusan substansinya mudah untuk menerima bentuk-bentuk
esensi pengetahuan dan menggambarkannya secara bersamaan baik yang
bersifat indriawi maupun rasional, sedangkan pancaindra tidak dapat
mengetahui bentuk akal secara bersamaan karena indra hanya menerima satu
bentuk.58
Karena tempat dan tingkatan akal lebih tinggi dan lebih mulia, maka cara
untuk memperoleh pengetahuan yang berasal darinya adalah melalui metode
demonstrasi (burhān) yang meyakinkan. Pengetahuan akal tentang sesuatu yang
lebih tinggi dan mulia daripada dirinya ditempuh melalui jalur pembuktian
demonstratif (burhān), yang mendorong akal untuk menetapkannya tanpa proses
meliput dan bertemu langsung. Dengan metode tersebut, maka pengetahuan akal
dengan zat dan substansinya menjadi pengetahuan intelektual (intelligible),
karena hubungan akal dengan jiwa adalah seperti hubungan cahaya dan mata,
atau seperti hubungan cermin dengan orang yang memandangnya. Sebagaimana
mata tidak dapat melihat sesuatu, kecuali melalui cahaya dan sebagaimana
manusia tidak dapat melihat wajahnya, kecuali melalui cermin dengan cara
memandangnya, demikian juga dengan jiwa, ia tidak dapat melihat zatnya,
58 Al-Fārābī, al-Ta’līqāth di dalam Rāsa’il al-Fārābī (Haydarabad: Dār al-Ma’ārif, 1926),
h. 2-3, dan Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 186-187.
101
kecuali dengan cahaya akal, dan tidak dapat mengetahui realitas wujud, kecuali
dengan memandang pada akal itu sendiri.59
Untuk memahami realitas fenomina salah satunya adalah ukuran. Alat ukur
dan hasil dari pengukuran oleh para fisikawan dianggap sebagai satu-satunya
kebenaran. Padahal ukuran hanyalah sebuah daftar, data-data, dan representasi
dari reaksi-reaksi terhadap fenomena fisik dan data-data tersebut harus
ditafsirkan.
Tentunya, alat untuk menafsirkan bukan terdapat pada ukuran itu sendiri,
melainkan terdapat pada alat yang lain, yaitu akal. Metode untuk menasirkan
tersebut kemudian dikenal dengan metode demonstrasi, burhānī, deduktif.
Metode demonstrasi dan tujuan akhir yang ingin diperoleh dari pendekatan ini
adalah mengetahui bentuk-bentuk dasar (muqawwimah) yang merupakan
eksistensi-eksistensi benda-benda yang ada secara pasti.60 Bentuk-bentuk dasar
ini diperoleh dengan cara silogisme atau penyusunan premis-premis.
Penggunaan premis-premis merupakan penarikan konklusi yang diambil dari
maklumat-maklumat yang ada di dalam prinsip-prinsip berpikir (awā’il al-
‘uqūl).61
Metode burhānī atau demonstrasi terbagi menjadi dua bagian: pertama,
berkaitan dengan ilmu ukur. Dan kedua, berkaitan dengan logika. Prinsip-prinsip
dalam dalam disiplin ilmu ukur diambil dari disiplin lain sebelumnya, seperti
perkataan Euclid, “Titik adalah sesuatu yang tidak terbagi; garis adalah panjang
59 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h, 188. 60 Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa’ādah (Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1995), h. 88-89, dan
Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 264. 61 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 264.
102
tanpa lebar; permukaan adalah sesuatu yang mempunyai panjang dan lebar.”
Prinsip-prinsip demonstrasi logis juga diambil dari disiplin sebelumnya, seperti
perkataan ahli mantik, “bahwa setiap wujud, selain Allah, ada yang berupa
substansi dan ada yang aksiden.” Juga perkataan, “bahwa substansi (dapat)
berdiri dengan dirinya sendiri, dan dapat menerima kontradiksi, sedangkan
aksiden adalah yang menempel pada sesuatu, dan tidak seperti menjadi bagian
darinya, juga ketiadaan aksiden tidak meniadakan sesuatu itu.”62
Sedangkan metode burhānī yang berkaitan dengan logika, al-Fārābī
menjelaskan bahwa demonstrasi yang berkaitan dengan logika ini membantu
wujud dan sebab secara bersamaan. Sebab terbagi menjadi empat: (1) sebab
material (māddah), (2) sebab formal (ṣūrah), (3) sebab efisien (fā’ilah), (4) dan
sebab final (ghāyah). Sebab-sebab ini tersusun dari qiyas pada premis tengah,
artinya, qiyas diambil pada bagian premis tengah dari sebab-sebab yang
membantu untuk membuat kesimpulan, baik sebab yang jauh atau sebab yang
dekat.63
Setiap salah satu dari sebab-sebab di atas ada pada jawaban: apakah sesuatu
itu, apa yang menjadi masalah dengan sesuatu tersebut, apakah mungkin sesuatu
itu dihasilkan dari pengetahuan wujudnya. Sebagai contoh, kenapa manusia
mati? Maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah manusia tersusun dari
tubuh (sebab material), kehidupan manusia yang berakal akan mati (sebab
62 Humaidi, Paradigma Sains Integratif al-Farabi, h. 265. 63 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 26-27.
103
formal), yang paling cocok untuk manusia adalah mati (sebab tujuan), Tuhan
sebagai pencipta telah merubah manusia (sebab efisien).64
تنفسم اىل األقسام اليت ذكران. وكل واحد من تلك يوجد يف جواب ,األسباب األول أربعة وأجناسمل هو الشئ. فإن النمسألة بلم هو الشئ, إمنا ميكن فيما حصلت لنا معرفة وجوده, فإان إمنا نقول:
انطق مل صار اإلنسان ميوت. فيكون اجلواب يف ذلك إما ألنه مرّكب من األضداد, وإّما األنه حّي مائت, وإما ألن األصلح له أن ميوت, وإما ألن احلافظ له أو الفاعل له متبّدل. فلجواب األّول
هو مأخوذ من ماّدته, والثاين من صورته. والثالث من غايته. والرابع من فاعله.Sebab-sebab yang dijelaskan di atas merupakan sebab demonstrasi yang
berhubungan dengan pengetahuan yang menurut al-Fārābī terbagi menjadi dua
bagian: universal dan partikular. untuk menghasilkan sesuatu dari pengetahuan
universal terdapat sesuatu yang dihasilkan pengetahuan partikular, yaitu dengan
cara mengetahui perkara yang dihasilkan dari demonstrasi yang diambil dari
pengetahuan universal. Maka pandangan tentang demonstrasi ini harus diambil
dari pengetahuan universal untuk menjadi premis yang universal.65
لى ما ينتج واملعلومة ابلرباهني, إما كلية وإما جزئية. وملا كان النظر فيما ينتج الكلّيات يشتمل عاجلزئيات, لزم أن يعرف أوال أمر ما ينتج من الرباهني النتائج الكلية. فظاهر أن الرباهني اليت تنتج
نتائج كلّية ينبغى أن تكون مقّدماهتا كلّية.Dijelaskan juga oleh Aristoteles bahwa untuk menghasilkan pengetahuan
yang ilmiah dan berdasarkan pada prinsip-prinsip demonstrasi maka diambil dari
premis-premis universal yang sudah terbukti. Premis-premis tersebut
mengisyaratkan pada hubungan antara predikat dan subjek, yaitu predikat harus
benar untuk semua subjek, predikat harus esensial untuk subjek, dan predikat
64 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 42. 65 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 27.
104
harus dari subjek yang benar dari dirinya sendiri, bukan bagian dari yang lain.
Dengan demikian menurut Aristoteles kesimpulan akan terdiri dari hubungan
universal antara predikat dan subjek.66
Premis universal ini harus dihasilkan dari kepastian yang pasti (yaqīn
ḍarurī) untuk sebuah argumen demonstrasi, di mana kepastian ini dapat
dihasilkan, pertama, melalui tanda (ṭabā’) yaitu dihasilkan dari kepastian yang
tanpa harus diketahui dari mana dan bagaimana ia dihasilkan, tanpa harus
dirasakan pada waktu-waktu tertentu, tidak meningkatkan pengetahuan, dan
tidak menjadikannya perlu di setiap saat. Akan tetapi, dapat menimbulkan
prinsip pertama. Yang disebut sebagai premis petama atau pernyataan pertama.
Maka jelas bahwa untuk menghasilkan pada kepastian ini harus terdiri dari
qiyas-qiyas yang tersusun dari premis pertama. Dan jika tidak, maka tidak
mungkin digunakan untuk mendemonstrasikan sesuatu dengan benar.67
Kedua, dapat dihasilkan melalui eksperimen (tajribah) yaitu sesuatu yang
dihasilkan dari kepastian sebab hukum-hukum universal. Premis ini
didemonstrasikan untuk sesuatu yang tidak terbatas pada ukuran yang meliputi
hukum-hukum universal. Dan ini disebut sebagai premis kepastian. Dari premis-
premis inilah menurut al-Fārābī dapat digunakan sebagai metode ilmiah yang
sah dalam memperoleh pengetahuan yang pasti.68
Penjelasan di atas merupakan langkah awal mengetahui proposisi
demonstrasi untuk menghasilkan sebuah kepastian pengetahuan yang ilmiah.
66 Aristotle, Organon: Posterior Analytics. Lihat, E. Page, The Loeb Classical Library
(London: Harvard University Press, 1938), h. 7. 67 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 23-24. 68 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 25.
105
Selanjutnya, mengenai prinsip demonstrasi - berdasarkan analisis penulis -
kurang lebih ada tiga prinsip metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī,
pertama, premis dan kesimpulan demonstrasi harus berada dalam satu genus.
Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa premis dalam sebuah demonstrasi
merupakan premis yang pasti kebenarannya dan diambil dari pengetahuan yang
universal. Premis yang pasti (muqaddimāt al-ḍarūriyyah) tersebut, terdiri dari
subjek (mauḍu’) dan predikat (maḥmūl) yang pasti juga.69 Sehingga akan
menghasilkan premis universal (muqaddimāt al-kulliyah) yang berada dalam
satu genus, yaitu subjek dan predikatnya menunjukkan pada genus yang sama.
Contoh: jika sama dua sisi dari segitiga, maka sisi segitiga yang lain juga sama.
Semua sisi saling berkaitan dan sudut keduanya meliputi bagian yang sama,
maka setiap segitiga yang sama adalah serupa.70 Oleh karena itu, untuk
mendapatkan sebuah konklusi (natījah) yang benar dari premis-premis tersebut
maka kesimpulan juga berada pada satu genus. Seperti yang diungkapkan
Aristoteles, bahwa demonstrasi harus terdiri dari masing-masing genus mereka
sendiri, sehingga jika genus demonstrasi berpindah dari satu bidang ke bidang
yang lain, gunusnya juga harus sama. Jika tidak demikian, maka tidak mungkin
dapat berpindah, karena term tengah harus diambil dari genus yang sama,
sehingga ia tidak akan esensial dan akan menjadi rusak.71 Karena dasar dari
premis demonstrasi ini adalah definisi, merupakan premis yang tergantung pada
premis sebelumnya dan tidak akan berakhir, atau kebenaran utama dalam premis
69 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 27. 70 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 32. 71 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 25.
106
ini akan menjadi definisi yang tidak bisa dilanggar. Sehingga akan menghasilkan
kesimpulan yang valid 72
Kedua, susunan demonstrasi harus terdiri dari definisi yang pasti. Al-Fārābī
menjelaskan bahwa susunan yang merupakan bagian dari demonstrasi serta
kesimpulan yang didapatkan dari metode demonstrasi yaitu dengan melalui
definisi yang jelas. Untuk mendapatkan sebuah definisi tentang sesuatu, maka
harus mengetahui tentang batasan itu sendiri berdasarkan bagian-bagiannya.
Seperti: hewan pada batasan manusia, berbicara pada batasan manusia, manusia
pada batasan tertawa. Dan bilangan pada batasan genap dan ganjil. Kemudian,
untuk mendapatkan sesuatu dari jenis (jins) sesuatu yang lain, maka ia harus
mengandung sesuatu tersebut, seperti hewan mengandung makna atas manusia.
Dan terkadang sesuatu tersebut merupakan faṣal dari sesuatu yang lain, seperti
kata berfikir (nāṭiq) yang memiliki hubungan dengan pengertian tentang
manusia (insān). Dan sesuatu yang mengandung pada bagian faṣal ini, maka
juga menjadi bagian dari faṣal itu sendiri, seperti bentuk lingkaran yang meliputi
satu garis. Artinya, setiap yang meliputi satu garis adalah bagian dari satu faṣal,
yaitu bentuk lingkaran tersebut memiliki satu garis. maka tidak bisa dikatakan
bahwa sebagian garis tersebut tidak mungkin mengandung satu lingkaran, dan
sebagiannya lagi adalah mungkin.73
Ketiga, demonstrasi harus terdiri dari hubungan yang abadi. Jelas bahwa,
jika demonstrasi dihasilkan dari premis-premis universal, maka kesimpulan dari
demonstrasi juga harus bersifat abadi. Oleh karena itu, tidak ada atribut yang
72 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book II. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 76. 73 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 33.
107
bisa didemonstrasikan oleh pengetahuan ilmiah jika ia bersifat fana, karena
hubungan atribut dengan subjek yang fana hanya bersifat sementara dan khusus.
Jika demonstrasi ini dilakukan, maka premis akan rusak dan tidak universal,
sehingga kesimpulan yang dihasilkan hanya berupa fakta yang bersifat
sementara.74 Dalam demonstrasi ini merupakan hubungan yang mencakup
wujud dan sebab secara bersamaan untuk mengetahui sebuah kesimpulan yang
diambil dari term tengah (haḍḍ ausaṭ).75 Yang menurut al-Fārābī harus
dijelaskan dengan premis-premis yang abadi.76
Dari penjelasan di atas, al-Fārābī menjadikan metode demonstrasi sebagai
bentuk kepastian untuk mencapai kesimpulan yang pasti. Dengan metode
demonstratif, menurut al-Fārābī, manusia dapat membedakan mana metode
penalaran yang benar dan mana yang salah.77
74 Aristotle, Organon: Posterior Analytics, Book I. Lihat, Richard McKeon, (ed.),
Introduction to Aristotle, h. 25-26. 75 Term Tengah merupakan term yang sama-sama disebut (diulang) pada proposisi pertama
dan proposisi kedua. Nūr Muḥammad Ibrāhimī, ‘Ilmu al-Manṭiq, terj. Achmad Bahrur Rozi, Logika
Lengkap (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 65. 76 Al-Fārābī, Kitāb al-Burhān, h. 41. 77 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy
Mizan dan UIN Jakarta Press, 2015), h. 140 dan Osman Bakar, Classification of Knowledge in
Islam: A Study in Islamic Philosophy of Science (Kuala Lumpur: Institute for Policy Research,
1992), h. 153.
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
Demonstrasi adalah prinsip-prinsip rasional yang dapat membantu
seseorang menghasilkan sebuah kepastian pengetahuan. Menurut al-Fārābī
pengetahuan demonstrasi hanya dapat ditempuh melalui metode demonstratif,
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui ketetapan akal tanpa proses observasi
dan bertemu langsung, mengetahui melalui esensi dan substansinya. Metode
demonstrasi dan tujuan akhir yang ingin diperoleh dari pendekatan ini adalah
mengetahui bentuk-bentuk dasar (muqawwimah) yang merupakan eksistensi
benda-benda yang ada secara pasti. Bentuk-bentuk dasar ini diperoleh dengan
cara silogisme atau penyusunan premis-premis. Penggunaan premis-premis
merupakan penarikan konklusi yang diambil dari maklumat-maklumat yang ada
di dalam prinsip-prinsip berpikir (awā’il al-‘uqūl).
Terdapat tiga prinsip metode demonstrasi dalam logika al-Fārābī, pertama,
premis dan kesimpulan demonstrasi harus berada dalam satu genus. Kedua,
susunan demonstrasi harus terdiri dari definisi yang pasti. Ketiga, demonstrasi
harus terdiri dari hubungan yang abadi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Aristoteles dapat dilihat pada
karangan al-Fārābī. Di antara karangan Aristoteles berupa Organon, yang
hampir mirip dengan karangan al-Fārābī yang terkumpul dalam bukunya yang
109
berjudul Manṭiq ‘inda al-Fārābī, terutama dibagian yang penulis bahas yaitu
kitab al-Burhān. Namun, al-Fārābī tidak semerta-merta menjiplak karya asli
Aristoteles, ia juga mengonmentari dan memberikan ulasan yang komprehensif
mengenai logika Aristoteles khususnya tentang demonstrasi.
110
B. Saran
1. Diharapkan dengan penelitian tentang metode demonstrasi dalam logika al-
Fārābī, dapat dikembangkan dan digali lebih lanjut.
2. Diharapkan kepada mahasiswa yang ingin mengkaji logika al-Fārābī secara
umum, tulisan ini hanya sebagai pengantar awal untuk melihat pemikiran
al-Fārābī. Namun, untuk melihat sosok al-Fārābī lebih perlu lebih jauh
adanya upaya yang lebih serius.
3. Harapan untuk Fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam dapat mengembangkan dan melakukan kajian intelektual tentang
logika al-Fārābī, karena pemikiran al-Fārābī banyak memberikan kontribusi
terhadap khazanah intelektual dalam Islam.
4. Dan penulis mengharapkan penelitian sederhana ini bisa memberikan
loncatan awal terhadap dinamika pemikiran Islam, khususnya untuk kaum
akademisi, serta dapat menjadi bagian amal sholeh yang dicatat oleh Allah
SWT.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abdulchalik, Chaerudji. Ilmu Mantiq: Undang-undang Berfikir Valid. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013.
Al-Abharī, Atsīr al-Dīn. Mughnī al-Ṭullāb: Syaraḥ Matan Īsāghūjī. Damasyqu: Dār
al-Fikr, 2003.
Al-‘Abidī, Syaikh Falah dan Sayyid Sa’ad al-Musawī. Buku Saku Logika: Sebuah
Daras Ringkas. Jakarta: Sadra Press, 2018.
Ahmad, Zainal Abidin. Negara Utama (Madinah al-Fadhilah). Jakarta: Kinta,
1968.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Amin, Husayin Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Anagnostopoulos, Georgios. A Companion to Aristotle. Oxford: Blackwell
Publishing, 2009.
Aristotle. Organon: Posterior Analytics.
‘Atī, Ibrāhīm. Al-Insān fī Falsafah al-Islāmiyyah: Namūḍaj al-Fārābī. Alexandria:
al-Hay’an al-Misyriyyah al-Āmah li-Alkitāb, 1993.
Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophies of Science. Malaysia-Kuala Lumpur: Institute for Policy
Research, 1992.
Bakar, Oesman. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.
Bakry, Noor Ms. Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Yogyakarta:
Liberty, 2001.
Bertens, K.. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008. Cet.
Ke-5.
________. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: PT Kanisius, 1999.
Blackburn, Simon. Kamus Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Butterworth, Charles E., Al-Fārābī, the Political Writings: Selected Aphorism and
Other Text. London: Cornell University Press, 2001.
Clarke, Richard F.. Logic. London: Longmans, 1921.
Copi, Irving M.. Introduction to Logics. New York: Macmillan Publishing Co,
1978.
112
Dardiri. Humaniora, Filsafat, dan Logika. Jakarta: Rajawali, 1986.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Day, Kiki Kennedy. Books of Definition in Islamic Philosophy: The Limits of
Words. London and New York: Routledge Curzon, 2003.
Drajat, Amroeni. Filsafat Islam. Jakarta: Erlangga, 2006.
_____________. Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik. Yogyakarta: LKiS,
2005.
Dzulhadi, Qosim Nursheha. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian. Jurnal Kalimah, Vol.
12, No. 1, Maret 2014.
Effendy, Muchtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Universitas
Sriwijaya, 2001), volume 5.
Fakhry, Madjid. A History of Islamic Philosophy. New York: Colombia University
Press, 1983.
____________. Al-Fārābī Founder of Islamic Neoplatonism. England: Oneworld
Oxford, 2002.
Al-Fārābi. Ārāʼ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Al-Atruk: al-Maktabah al-Azhar,
1906.
________. Falsafah Arisṭūṭālīs, Beirut: Dār Majallat Syia, 1961.
________. Iḥṣā’ al-‘Ulūm. Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1996.
________. Manṭiq ‘Inda al- Fārābī: Īsāghūjī, al-Juz’u al-Awwal. Beirut: Dārul al-
Maṣriq, 1987.
________. Manṭiq ‘Inda al- Fārābī: Kitāb al-Burhān. Beirut: Dārul al-Maṣriq,
1987.
________. Manṭiq ‘Inda al- Fārābī: Kitāb Syarā’iṭ al-Yaqīn. Beirut: Dārul al-
Maṣriq, 1987.
________. Rasā’il al-Fārābī. Haydarabad: Dār al-Ma’ārif, 1926.
________. Taḥṣīl al-Sa’ādah. Beirut: Dār wa Maktabah al-Hilal, 1995.
Ghalib, Achmad. Filsafat Islam. Jakarta: Faza Media, 2009.
Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia, 2008.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
113
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Universitas Indonesia dan
Tintamas, 1980.
Hidayat, Ainur Rahman. Filsafat Berpikir. Pamekasan: Duta Media, 2018.
Hudan, Sokhi dan A.M. Moefad. Logika Saintifik: Wawasan Dasar, Keilmuan, dan
Falsafati. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.
Humaidi. Paradigma Sains Integratif al-Farabi. Jakarta: Sadra Press, 2015.
Ibrāhīmī, Nūr Muḥammad. ‘Ilmu al-Manṭiq. Jakarta: 1937.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam. Jakarta:
Kencana, 2010.
Johnstone, Laurence. A Short Introduction to The Study of Logic. London:
Longmans, 1887.
Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah Versus Para Filosof. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Kertanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam.
Jakarta: Lentera Hati, 2006.
____________. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy
Mizan dan UIN Jakarta Press, 2015.
____________. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas.
Jakarta: Erlangga, 2007.
____________. Mozaik Khasanah Islam; Bunga Rampai dari Chicago. Jakarta:
Paramadina, 2000.
Keon, Richard Mc.. Introduction to Aristotle. New York: the Modern Library, 1947.
Kneller, Geoge F.. Introduction to the Philosophy of Education. New York: John
Willey & Son, 1964.
____________. Logic and Language of Education. New York: John Willey & Son,
1996.
Magee, Bryan. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Mahdi, Muhsin. Al-Fārābī’s Philosophy of Plato and Arestoteles. New York: The
Free Press of Glanco, 1962.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2009.
Mandzur, Ibnu. Lisān al-‘Arab. Libanon: Dār al-Ma’ārif, 1981.
Maran, Rafael Raga. Pengantar Logika. Jakarta: Grasindo, 2007.
114
Maulidi, Sahrul. Aristoteles: Inspirasi dan Pencerahan untuk Hidup Lebih
Bermakna. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2016.
McGrade, Arthur Stephen. Ethics and Political Philosophy. United States of
America: Cambridge University Press, 2001.
Mufid, Muhammad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2015.
Muḥḍar, Atābik ‘Alī dan Aḥmad Zuhdī. Kamus Kontemporer. Yogyakarta: Multi
Karya Grafika, 1998.
Mu’in, M. Taib Thahir Abdul. Ilmu Mantiq. Jakarta: Wijaya, 1993.
Mundiri. Logika. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Mustofa, A.. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Mustofa, Imron. Jendela Logika dalam Berpikir. Surabaya: El-Benat, Jurnal
Pemikiran dan Pendidikan Islam, Volume 6 No 2, 2016.
Nasr, Sayyed Hussein dan Oliver Leaman. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, 2003. Cet ke-1.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Nasution, Muhammad Iqbal, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer.Jakarta: Kencana, 2017. Edisi ke 3.
Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana, 2011.
Netton, Ian Richard. Allah Transcendent. Suevey: Curson Press, 1994.
Nicholson, Reynold A.. The Mystics of Islam. London: Routledge and Kegan Paul,
1975.
Nur, Muhammad. Islam dan Logika Menurut Pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.
Lampung: Jurnal al-Ulum, 2011.
OFM, Alex Lanur. Logika Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Page, T. E.. The Loeb Classical Library. London: Harvard University Press, 1938.
Poespoprodjo, W.. Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung:
Remadja Rosdakarya, 1999.
Rahman, Masykur Arif. Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogjakarta: IRCiSoD,
2013.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika Tradisional. Bandung: Bina Cipta, 1980.
Ridwan, Kahrawi. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999.
115
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana, 2007.
Rohman, Arif. Epistemologi dan Logika. Yogyakarta: Aswaja Preesindo, 2014.
Rozi, Achmad Bahrur. Logika Lengkap. Yogjakarta: IRCiSoD, 2012.
Al-Ṣafā’, Ikhwān. Rasā’il Ikhwān al-Ṣafā’ wa Khullān al-Wafā’i. Beirut: al-Dār al-
Islāmiyyah, 1992.
Shaikh, M. Saeed. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Adam Publisher &
Distributors, 1994.
____________.Islamic Philosophy. London: The Octagon Press, 1982.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Jakarta:
Ummul Qura, 2016.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Pers, 1993.
Soleh, A. Khudori. Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016.
____________. Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam. Malang, Jurnal
Tsaqafah, Volume 10 No 1, 2014.
Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis al-Ghāzalī. Jakarta: Riora Cipta,
2000.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Suhartono, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,
2006. Edisi ke-3
Suhartono, Suparlan. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Yogyakarta: Ar Ruzz
Media, 2005.
Sujatmoko. Tujuh Tokoh Filsafat Dunia. Sukoharjo: Penembahan Senopati, 2015.
Supriasumantri, Jujun S.. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan, 1985.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam; Konsep, Filusuf dan Ajaran. Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
As-Suyuṭi, Imam. Tarikh Khulafa’. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.
Syarif, M.. History of Muslim Philosophy, terj., Para Filosof Muslim. Bandung,
Mizan, 1998.
‘Umar, Mufaḍḍal ibn. Īsāghūjī. İstanbul: Fazilet Neşriyat, 2011.