metformin sebagai terapi dari sindroma ovarium polikistik

15
METFORMIN SEBAGAI TERAPI DARI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK John E. Nestler, M.D. Seorang wanita usia 23 tahun dengan sindrom ovarium polikistik mengunjungi dokter keluarganya. Sebelumnya, dia pernah menggunakan kontrasepsi berupa kontrasepsi oral (pil) namun tidak bisa mentolerir efeknya dan tidak segera mendapatkan pengobatan. Wanita ini hanya mengalami 3 sampai 4 kali periode menstruasi tiap tahunnya dan belum berminat untuk hamil sekarang, namun dia berencana akan menikah pada tahun ini. Dia pernah mendengar bahwa sindrom ovarium polikistik itu dikaitkan dengan diabetes dan ia merasa khawatir karena ibu dan ayahnya menderita diabetes tipe 2. Indeks Massa Tubuh (BMI) wanita tersebut (berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter) adalah 32, lingkar pinggangnya 38 inci ( 96,5 cm ), kadar testosterone total mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,9 ng per milliliter ( 90 ng per desiliter atau 2,9 nmol perliter ), kadar kolesterol HDL 35 mg per desiliter ( 0,9 mmol per liter ),dan kadar trigliseridnya adalah 190 mg per desiliter ( 2,1 mmol per liter ). Kadar glukosa 2 jam setelah pembebanan dengan 75 g dextrose adalah 138 mg per desiliter ( 7,7 mmol per liter ). Dokter keluarganya menerangkan bahwa terapi dengan metformin pada kasus wanita ini mungkin akan lebih efisien dan dokter tersebut kemudian merujuk pasien ini kepada dokter spesialis endokrin (endocrinologist). 1

Upload: nimas-dwiastuti

Post on 24-Oct-2015

66 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

sindrom ovarium polikistik

TRANSCRIPT

Page 1: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

METFORMIN SEBAGAI TERAPI DARI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

John E. Nestler, M.D.

Seorang wanita usia  23 tahun dengan sindrom ovarium polikistik mengunjungi

dokter keluarganya. Sebelumnya, dia pernah menggunakan kontrasepsi berupa

kontrasepsi oral (pil) namun tidak bisa mentolerir efeknya dan tidak segera

mendapatkan pengobatan. Wanita ini hanya mengalami 3 sampai 4 kali periode

menstruasi tiap tahunnya dan belum berminat untuk hamil sekarang, namun dia

berencana akan menikah pada tahun ini. Dia pernah mendengar bahwa sindrom

ovarium polikistik itu dikaitkan dengan diabetes dan ia merasa khawatir karena

ibu dan ayahnya menderita diabetes tipe 2. Indeks Massa Tubuh (BMI) wanita

tersebut (berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter) adalah

32, lingkar pinggangnya 38 inci ( 96,5 cm ), kadar testosterone total mengalami

peningkatan yaitu sebesar 0,9 ng per milliliter ( 90 ng per desiliter atau 2,9 nmol

perliter ), kadar kolesterol HDL 35 mg per desiliter ( 0,9 mmol per liter ),dan kadar

trigliseridnya adalah 190 mg per desiliter ( 2,1 mmol per liter ). Kadar glukosa 2

jam setelah pembebanan dengan 75 g dextrose adalah 138 mg per desiliter ( 7,7

mmol per liter ). Dokter keluarganya menerangkan bahwa terapi dengan

metformin pada kasus wanita ini mungkin akan lebih efisien dan dokter tersebut

kemudian merujuk pasien ini kepada dokter spesialis endokrin (endocrinologist).

MASALAH KLINIS

Sindrom ovarium polikistik adalah diagnosis klinis yang ditandai oleh

adanya dua atau lebih dari ciri – ciri sebagai berikut : oligoovulasi atau anovulasi

kronis, peningkatan androgen (hiperandrogenisme), ovarium polikistik. Ini terjadi

pada 5 sampai 10% wanita usia reproduktif dan paling banyak menjadi penyebab

infertil di negara – negara berkembang. Manifestasi klinis yang juga termasuk

didalamnya antara lain : siklus menstruasi yang tidak teratur dan tanda

hiperandrogen seperti hirsutisme, jerawat, dan alopesia.

Sindrom ovarium polikistik sering dikaitkan dengan gangguan metabolik.

Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di Amerika Serikat 10 kali lebih tinggi pada

wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan wanita normal pada

1

Page 2: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

umumnya dan gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus tipe 2 itu

meningkat di usia 30 tahun pada 30 – 50 % wanita obes dengan sindrom

ovarium polikistik. Prevalensi sindrom metabolik yaitu 2 sampai 3 kali lebih tinggi

pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan pada wanita normal

umumnya dan dikaitkan dengan usia dan indeks massa tubuh, serta 20 % wanita

dengan sindrom ovarium polikistik yang usianya kurang dari 20 tahun sering

menderita sindrom metabolik. Meskipun hasil data untuk wanita dengan sindrom

ovarium polikistik sangat sedikit (kurang), namun risiko fatal dari kejadian infark

miokard 2 kali lebih tinggi pada wanita dengan oligomenorrhea berat yang

sebagian besar akan menjadi sindrom ovarium polikistik seperti pada wanita

dengan eumenorrhea pada umumnya.

PATOFISIOLOGI DAN EFEK TERAPI

Karakteristik patofisiologi dari sindrom ovarium polikistik belum diketahui

secara pasti, namun diduga melibatkan interaksi kompleks antara aksi dari

gonadotropin, ovarium, androgen, dan insulin. Dasar terpenting dari sindrom ini

adalah resistensi insulin. Mayoritas perempuan dengan sindrom ovarium

polikistik, terlepas dari berat badan, memiliki bentuk resistensi insulin yang

intrinsik pada sindrom ini dan hal tersebut kurang banyak diketahui. Wanita obes

dengan sindrom ovarium polikistik memiliki beban tambahan resistensi insulin

berhubungan dengan kadar lemak mereka.

Resistensi insulin yang merupakan karakteristik dari sindrom ovarium

polikistik tampaknya dikaitkan dengan gangguan pada diabetes mellitus tipe 2.

Resistensi insulin ini juga mendasari adanya sindrom ovarium polikistik dengan

diakuinya faktor risiko kardiovaskular seperti dislipidemia dan hipertensi, yang

dikaitkan dengan gangguan anatomi maupun fungsional dari kardiovaskular.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia juga memainkan peran penting dalam

aspek lain dari sindrom ovarium polikistik, termasuk hiperandrogen dan

anovulasi. Insulin merangsang produksi androgen ovarium dengan mengaktifkan

reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita dengan sindrom ovarium

polikistik tetap sensitif terhadap insulin, atau mungkin malah hipersensitif, bahkan

ketika sasaran jaringan seperti otot dan lemak. Selain itu, hiperinsulinemia

menghambat produksi sel hati yaity hormon seks pengikat globulin (sex

2

Page 3: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

hormone-binding globulin), dan lebih meningkatkan kadar testosteron dalam

sirkulasi bebas. Akhirnya, insulin menghambat ovulasi, baik secara langsung

mempengaruhi perkembangan folikel maupun secara tidak langsung dengan

meningkatkan kadar androgen dalam ovarium atau mengubah sekresi

gonadotropin. Bukti lebih lanjut dari pengaruh resistensi insulin pada sindrom

ovarium polikistik adalah adanya intervensi beragam yang terkait satu sama lain

karena sama – sama menurunkan kadar insulin dalam sirkulasi, menghasilkan

peningkatan frekuensi ovulasi atau menstruasi, mengurangi kadar testosteron

serum, atau keduanya. Intervensi ini termasuk penghambatan pelepasan insulin

(dengan menggunakan diazoxide atau octreotide), peningkatan sensitivitas

insulin (dengan penggunaan diet yang menyebabkan penurunan berat badan,

metformin, troglitazone, rosiglitazone, atau pioglitazone) , atau pengurangan

absorbsi karbohidrat (dengan penggunaan acarbose).

Metformin, biguanide adalah obat yang paling banyak digunakan untuk

pengobatan diabetes tipe 2 di seluruh dunia. Aksi utamanya adalah untuk

menghambat produksi glukosa hepatik, tetapi juga meningkatkan sensitivitas

jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin, yang

berkontribusi terhadap efektivitas metformin dalam pengobatan diabetes juga

telah terbukti pada wanita non diabetes dengan sindrom ovarium polikistik. Pada

wanita dengan sindrom ovarium polikistik, pengobatan jangka panjang dengan

metformin dapat meningkatkan ovulasi, meningkatkan siklus menstruasi, dan

mengurangi kadar androgen serum; penggunaan metformin juga dapat

meningkatkan hirsutism. Jika data yang dipublikasikan tentang efek metformin

dalam pencegahan diabetes dapat diekstrapolasikan untuk wanita dengan

sindrom ovarium polikistik, maka obat sebenarnya dapat  memperlambat

progresi menjadi intoleransi glukosa pada wanita yang terkena dampak, seperti

yang dilaporkan dalam studi kecil retrospektif.

BUKTI KLINIS

Pada tahun 1996, dilaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita

dengan sindrom ovarium polikistik mengurangi kadar insulin dalam sirkulasi dan

dikaitkan dengan penurunan aktivitas ovarium dan sekresi androgen dalam

ovarium. Kebanyakan, tetapi tidak semua, studi menegaskan tentang

3

Page 4: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

kemampuan metformin dalam menurunkan kadar insulin puasa dan kadar

androgen pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Namun, penelitian

yang secara khusus menilai efek metformin terhadap tanda-tanda klinis

kelebihan androgen (misalnya, hirsutisme, jerawat, dan androgenetic alopecia)

masih sangat terbatas.

Berhubungan dengan ovulasi, pada hasil uji klinis secara acak yang

dilaporkan pada tahun 1998, perlakuan awal dengan metformin, jika

dibandingkan dengan plasebo, dapat meningkatkan kejadian ovulasi setelah

terapi dengan clomiphene. Selanjutnya, beberapa penelitian metformin

dibandingkan dengan plasebo, metformin dengan tidak diberikan terapi,

metformin ditambah clomiphene dengan clomiphene sendiri, atau metformin

ditambah clomiphene dengan plasebo. Ketelitian pada studi ini dapat disimpulkan

dalam meta-analisis oleh Lord et al 2003. Meta-analisis meliputi data dari 13

penelitian dan 543 wanita dengan sindrom ovarium polikistik, pada uji ini dapat

disimpulkan bahwa metformin efektif dalam meningkatkan frekuensi ovulasi

(odds rasio, 3,88; interval kepercayaan 95%, 2,25-6,69).

Sejak publikasi dari meta-analisis tersebut, tiga tambahan uji klinis secara

acak juga telah dipublikasikan. Keduanya terlibat secara langsung terhadap

perbandingan metformin atau metformin ditambah clomiphene dengan

clomiphene untuk induksi jangka pendek dari ovulasi pada wanita dengan

sindrom ovarium polikistik  yang menginginkan kehamilan, dan percobaan

tersebut mengeluarkan hasil yang bertentangan. Yang terbesar pada uji coba

tersebut, yaitu Percobaan Kehamilan dengan Sindrom Ovarium Polikistik,

melibatkan 626 wanita infertil dengan sindrom ovarium polikistik. Ini menegaskan

bahwa penambahan metformin pada terapi dengan clomiphene meningkatkan

rata - rata kumulatif dari ovulasi dibandingkan dengan pemberian clomiphene

saja (60,4% vs 49,0%, P = 0,003), tetapi tingkat kelahiran hidup tidak berbeda

antara kedua kelompok (26,8% dan 22,5%, masing-masing; P = 0,31). Dalam

penelitian tersebut, clomiphene lebih efektif dibandingkan metformin dalam

menginduksi ovulasi dalam jangka pendek dan menghasilkan kelahiran hidup.

Berhubungan dengan diabetes, dua uji klinis acak yang utama, The

Indian Diabetes Prevention Programme (IDPP-1) dan The U.S. Diabetes

4

Page 5: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

Prevention Program (DPP), telah menunjukkan bahwa penggunaan metformin

menurunkan risiko relatif terhadap progresi menjadi diabetes tipe 2 (sebesar 26%

dan 31%, masing-masing) antara pasien dengan gangguan toleransi glukosa

pada umumnya. Apakah efek metformin benar-benar berperan dalam

pencegahan progresi menjadi diabetes dan bukan hanya sekedar menutupi

perkembangan dengan cara menurunkan kadar glukosa darah, masih menjadi

kontroversi. Namun, setelah penghentian metformin pada DPP, diabetes

dikembangkan dalam permasalahan yang lebih kecil yaitu menjadi satu-satunya

efek. Untuk pengetahuan saya, tidak ada uji klinis acak yang menilai efek

metformin terhadap progresi menjadi diabetes tipe 2 pada pasien dengan

sindrom ovarium polikistik. Dalam sebuah studi retrospektif terhadap 50 wanita

dengan sindrom ovarium polikistik yang diberi perlakuan dengan metformin

selama kurun waktu kurang lebih 43 bulan di pusat akademik kesehatan, tidak

ada progresi menjadi diabetes tipe 2, meskipun 11 wanita (22,0%) telah

mengalami gangguan toleransi glukosa. Konversi rata – rata tiap tahun dari

toleransi glukosa normal terhadap gangguan toleransi glukosa hanya 1,4%,

dibandingkan dengan 16 sampai 19% yang dilaporkan dalam literatur untuk

wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang tidak diberi perlakuan dengan

metformin.

PENGGUNAAN KLINIS

Pendekatan untuk pengelolaan sindrom ovarium polikistik tergantung

pada pasien dan terapi yang diberikan dokter. Untuk beberapa wanita, infertilitas

adalah masalah utama. Pasien tersebut sering diobati dalam jangka pendek

dengan clomiphene, untuk menginduksi ovulasi. Ketika kesuburan tidak menjadi

perhatian, kontrasepsi estrogen-progestin, dengan atau tanpa anti androgen

seperti spironolakton, telah menjadi andalan terapi jangka panjang. Pendekatan

ini efektif dalam mencapai tujuan pengobatan tradisional pada sindrom ovarium

polikistik, yang meliputi memperbaiki efek dari kelebihan androgen (misalnya,

hirsutisme, kebotakan pada pria, dan jerawat) dan memperbaiki siklus

menstruasi sehingga mencegah hiperplasia endometrium.

Namun, mengingat adanya gangguan metabolik yang berhubungan

dengan sindrom ovarium polikistik, tampaknya lebih tepat untuk merencanakan

5

Page 6: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

terapi jangka panjang yang tidak hanya memperbaiki kelebihan androgen dan

anovulasi tetapi juga memiliki tujuan yaitu memperbaiki resistensi insulin dan

mengurangi risiko diabetes tipe 2 serta penyakit kardiovaskular. Efek agen

kontrasepsi (estrogen-progestin) pada toleransi glukosa masih menjadi

kontroversi. Salah satu bukti dalam studi jangka pendek menunjukkan bahwa

penggunaan kontrasepsi oral memperburuk resistensi insulin dan memperburuk

toleransi glukosa pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Penggunaan

kontrasepsi estrogen-progestin dikaitkan dengan peningkatan dua kali lipat

dalam risiko relatif kejadian kardiovaskular (arteri) dalam populasi perempuan

pada umumnya, risiko pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik pada

khususnya tidak diketahui.

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dan, seperti yang telah

disebutkan sebelumnya, telah terbukti menghambat atau mencegah progresi

menjadi diabetes tipe 2 pada pasien dengan toleransi glukosa

terganggu. Meskipun metformin belum terlibat secara spesifik untuk mengurangi

risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik,

namun mekanisme yang ada dan adanya dukungan bukti klinis dari penggunaan

metformin sebagai perlindungan terhadap efek kardiovaskular yang merugikan

dari resistensi insulin dan kelebihan insulin. Selain itu, metformin dapat

menurunkan kadar androgen dalam sirkulasi dan dapat meningkatkan ovulasi

dan keteraturan siklus menstruasi, sehingga mengatasi tujuan terapi jangka

panjang. Untuk alasan ini, meskipun metformin tidak disetujui oleh Administrasi

Makanan dan Obat untuk pengobatan sindrom ovarium polikistik, obat ini biasa

digunakan untuk tujuan ini.

Untuk meminimalkan efek samping, terapi metformin dimulai dengan

dosis rendah pada saat makan, dan dosis ini kemudian semakin

ditingkatkan. Praktik saya memiliki pasien yang mengkonsumsi 500 mg

metformin sekali sehari pada saat porsi makan terbanyak, biasanya makan

malam, selama 1 minggu, kemudian dosis ditingkatkan sampai 500 mg sebanyak

dua kali sehari, dengan sarapan dan makan malam, selama 1 minggu; dosis

ditingkatkan sampai 500 mg dengan sarapan dan 1000 mg dengan makan

malam, selama 1 minggu, dan akhirnya, meningkatkan dosis sampai 1000 mg

dua kali sehari, dengan sarapan dan makan malam. Tidak ada studi yang

6

Page 7: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

melaporkan tentang rata – rata dosis dari metformin pada sindrom ovarium

polikistik, tetapi ada sebuah studi yang melaporkan mengenai dosis dari pasien

dengan diabetes, dengan menggunakan tingkat hemoglobin terglikasi sebagai

tolok ukur hasilnya, studi ini menyarankan bahwa dosis optimal dari pasien

dengan diabetes adalah 2000 mg per hari.

Metformin tidak boleh digunakan pada wanita dengan gangguan ginjal

(tingkat kreatinin serum > 1,4 mg per desiliter [124 umol per liter]), disfungsi hati,

gagal jantung kongestif yang parah, atau riwayat penyalahgunaan

alkohol. Mengingat sindrom ovarium polikistik sering terjadi perempuan usia

muda maka kontraindikasi ini masih jarang.  Ulangi pengujian selama terapi

dengan metformin tidak terdapat kontraindikasi kecuali pada penyakit atau

kondisi (misalnya dehidrasi) yang dapat mempengaruhi penurunan fungsi ginjal

atau hati.

Ketika metformin yang diresepkan, saran tentang diet penurunan berat

badan dan latihan rutin juga harus diberikan. Intervensi tersebut bermanfaat

dalam mencegah diabetes. Selain itu, penurunan berat badan meningkatkan

kemungkinan ovulasi, kemungkinan besar sebagai akibat dari peningkatan

sensitivitas insulin.

Pasien diminta untuk mencatat siklus haidnya, peringatan terhadap masa

subur, dan disarankan untuk menggunakan metode kontrasepsi. Agen

kontrasepsi oral dan antiandrogen tidak diberikan pada kunjungan awal, karena

dapat mempengaruhi tingkat androgen haid atau serum dan mengacaukan

penilaian efektivitas metformin. Eflornithine topikal dapat diresepkan untuk

pengobatan hirsutisme wajah.

Kunjungan selanjutnya dijadwalkan pada 3 dan 6 bulan. Keteraturan

siklus haid dan kadar testosteron serum total ditentukan pada setiap

kunjungan. Jika didapatkan peningkatan siklus menstruasi, penting untuk

mendokumentasikan apakah mens adalah ovulasi. Ini bisa dicapai dengan

mengukur tingkat progesteron serum 7 hari sebelum timbulnya menstruasi

berikutnya; tingkat progesteron serum lebih dari 4,0 ng per mililiter (12,7 nmol per

liter) konsisten dengan kehadiran fase luteal dan ovulasi.

7

Page 8: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

Setelah 6 sampai 9 bulan pengobatan, efektivitas metformin dinilai. Jika

keteraturan siklus menstruasi dan ovulasi membaik, maka pengobatan dapat

dilanjutkan secara indivial. Untuk beberapa wanita, pengobatan dengan

metformin saja mungkin cukup. Wanita yang menginginkan kontrasepsi dapat

diberikan agen kontrasepsi oral sambil terus mengkonsumsi metformin. Dalam

kasus di mana hirsutisme tetap menjadi masalah, agen kontrasepsi oral, anti

androgen, atau keduanya dapat ditambahkan ke metformin.

EFEK MERUGIKAN

Asidosis laktat telah dilaporkan dengan penggunaan metformin, tetapi

komplikasi ini jarang terjadi (0,3 episode per 10.000 pasien per tahun) pada

pasien sehat dan terbatas terutama untuk pasien yang tidak seharusnya

menerima obat tersebut, karena mereka telah menderita gangguan ginjal atau

penyakit hati sebelumnya.

Batasan utama efek samping metformin, yang mempengaruhi 10 sampai

25% pasien, adalah gangguan pencernaan, yaitu mual dan diare. Jika mual atau

diare terjadi pada dosis yang diberikan, dosis yang baik dipertahankan atau

dikurangi dengan 500 mg per hari selama 2 sampai 4 minggu sampai gejala

mereda. Untungnya, efek samping gastrointestinal metformin biasanya

sementara, namun pada sebagian kecil kasus, gangguan pencernaan mungkin

memerlukan penghentian metformin.

Metformin dapat menyebabkan malabsorpsi vitamin B12 pada beberapa

pasien yang menerima terapi jangka panjang. Dalam satu analisis, faktor risiko

untuk pengembangan efek samping tersebut termasuk baik dosis harian dan

durasi terapi metformin serta usia. Meskipun kemungkinan defisiensi vitamin B12

klinis tampaknya rendah, pasien harus dimonitor tanda dan gejala.

Metformin adalah obat kategori B, dan tidak ada efek teratogenik seperti

yang telah diujicobakan pada hewan percobaan. Ini telah dilakukan di Afrika

Selatan terhadap sejumlah wanita dengan diabetes tipe 2 atau gestational

diabetes, sepanjang kehamilan mereka, dan tidak ada efek teratogenik pada

janin.

8

Page 9: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

HAL YANG MASIH DIRAGUKAN

Meskipun metformin semakin banyak digunakan untuk mengobati pasien

dengan sindrom ovarium polikistik, namun panduan terapi tetap didasarkan pada

hasil dari beberapa penelitian seperti yang telah dijelaskan , percobaan dikontrol

(dibandingkan) dengan populasi pada wanita tanpa sindrom ovarium polikistik,

yang menunjukkan bahwa diabetes dapat dicegah. Pada percobaan secara acak

terkontrol secara khusus melibatkan pasien dengan sindrom ovarium

polikistik. Strategi untuk terapi jangka panjang metformin pada pasien dengan

sindrom ovarium polikistik mulai berkembang, dan identifikasi prediktor respon

terhadap metformin, bahkan mungkin melalui pendekatan farmakogenomik, akan

meningkatkan kegunaan dari agen ini dalam pengelolaan sindrom ovarium

polikistik. Meskipun pengobatan jangka panjang dengan metformin tampaknya

akan sangat menguntungkan pada banyak pasien dengan sindrom ovarium

polikistik, namun kurang jelas ketika metformin harus digunakan sebagai

monoterapi atau dikombinasikan dengan antiandrogen atau terapi

hormon. Efektivitas metformin pada perbaikan tanda-tanda kelebihan androgen,

seperti hirsutisme, belum dinilai secara pasti.

Metformin telah digunakan selama bertahun-tahun pada pasien dengan

diabetes tipe 2. Namun, kami tidak memiliki data mengenai efek jangka panjang

potensi obat pada pasien yang diobati untuk sindrom ovarium polikistik, dimana

terapi, jika efektif, dapat dilanjutkan selama bertahun-tahun. Jika seorang wanita

ingin hamil, tidak jelas apakah metformin harus dilanjutkan selama kehamilan

dan, jika demikian, untuk berapa lama.

PEDOMAN

Androgen Excess Society merekomendasikan bahwa wanita dengan

sindrom ovarium polikistik, terlepas dari masalah berat badan, yang menderita

intoleransi glukosa ditest dengan menggunakan tes toleransi glukosa pada

kunjungan awal dan setiap 2 tahun sesudahnya. Dari hasil tersebut tercatat

bahwa penggunaan metformin untuk mengobati atau mencegah pengembangan

menjadi toleransi glukosa dapat dipertimbangkan tapi tidak boleh dipatenkan

9

Page 10: Metformin Sebagai Terapi Dari Sindroma Ovarium Polikistik

sampai percobaan terkontrol menunjukkan keberhasilan. Sebuah pernyataan

dari American Association of Clinical Endocrinologists merekomendasikan

metformin yang dianggap sebagai intervensi awal dalam sebagian besar wanita

dengan sindrom ovarium polikistik, terutama mereka yang kelebihan berat badan

atau obesitas.

REKOMENDASI

Obesitas, riwayat keluarga diabetes, dan sindrom ovarium polikistik

merupakan risiko tinggi untuk diabetes tipe 2. Selain obesitas, dia memiliki

beberapa tanda-tanda resistensi insulin, termasuk tingkat HDL rendah, tingkat

kolesterol dan tingkat trigliserida tinggi, dan data nya memenuhi kriteria The Adult

Treatment Panel III Criteria of The National Cholesterol Education Programe for

The Metabolic Syndrome. Meskipun toleransi glukosa nya saat ini normal, terapi

dengan metformin layak diberikan, dan diet penurunan berat badan dan olahraga

juga dianjurkan.

Meskipun fertiliitas bukanlah masalah utama, kemungkinan metformin

akan meningkatkan frekuensi ovulasi, dengan demikian meningkatkan siklus

menstruasi. Setelah siklus menstruasi telah membaik, saya akan menentukan

apakah ovulasi sedang terjadi dengan mengukur tingkat serum progesteron

selama fase luteal diduga. Karena pasien tidak mentolerir kontrasepsi oral,

metode kontrasepsi barier dapat direkomendasikan. Jika pasien menginginkan

kehamilan, fertilitas dapat diperbaiki jika terjadi peningkatan frekuensi ovulasi

selama terapi metformin. Jika tidak, pasien harus dievaluasi untuk mengetahui

penyebab infertilitas yang tidak terkait dengan anovulasi, dan penambahan

clomiphene untuk regimen harus didiskusikan.

Saya akan melihat pasien setiap 3 bulan selama tahun pertama, tidak

hanya untuk memantau kemanjuran metformin tetapi juga untuk memperkuat

perubahan gaya hidup untuk mengurangi berat badan dan meningkatkan

aktivitas fisik. Setelah itu, bisa dilihat setiap 6 sampai 12 bulan, tergantung pada

respon terhadap pengobatan. Mengingat bahwa ia berisiko tinggi untuk diabetes,

saya akan mengulangi tes glukosa toleransi oral setiap 2 sampai 3 tahun,

bahkan jika terapi metformin yang digunakan.

10