metformin sebagai terapi dari sindroma ovarium polikistik
DESCRIPTION
sindrom ovarium polikistikTRANSCRIPT
METFORMIN SEBAGAI TERAPI DARI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
John E. Nestler, M.D.
Seorang wanita usia 23 tahun dengan sindrom ovarium polikistik mengunjungi
dokter keluarganya. Sebelumnya, dia pernah menggunakan kontrasepsi berupa
kontrasepsi oral (pil) namun tidak bisa mentolerir efeknya dan tidak segera
mendapatkan pengobatan. Wanita ini hanya mengalami 3 sampai 4 kali periode
menstruasi tiap tahunnya dan belum berminat untuk hamil sekarang, namun dia
berencana akan menikah pada tahun ini. Dia pernah mendengar bahwa sindrom
ovarium polikistik itu dikaitkan dengan diabetes dan ia merasa khawatir karena
ibu dan ayahnya menderita diabetes tipe 2. Indeks Massa Tubuh (BMI) wanita
tersebut (berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter) adalah
32, lingkar pinggangnya 38 inci ( 96,5 cm ), kadar testosterone total mengalami
peningkatan yaitu sebesar 0,9 ng per milliliter ( 90 ng per desiliter atau 2,9 nmol
perliter ), kadar kolesterol HDL 35 mg per desiliter ( 0,9 mmol per liter ),dan kadar
trigliseridnya adalah 190 mg per desiliter ( 2,1 mmol per liter ). Kadar glukosa 2
jam setelah pembebanan dengan 75 g dextrose adalah 138 mg per desiliter ( 7,7
mmol per liter ). Dokter keluarganya menerangkan bahwa terapi dengan
metformin pada kasus wanita ini mungkin akan lebih efisien dan dokter tersebut
kemudian merujuk pasien ini kepada dokter spesialis endokrin (endocrinologist).
MASALAH KLINIS
Sindrom ovarium polikistik adalah diagnosis klinis yang ditandai oleh
adanya dua atau lebih dari ciri – ciri sebagai berikut : oligoovulasi atau anovulasi
kronis, peningkatan androgen (hiperandrogenisme), ovarium polikistik. Ini terjadi
pada 5 sampai 10% wanita usia reproduktif dan paling banyak menjadi penyebab
infertil di negara – negara berkembang. Manifestasi klinis yang juga termasuk
didalamnya antara lain : siklus menstruasi yang tidak teratur dan tanda
hiperandrogen seperti hirsutisme, jerawat, dan alopesia.
Sindrom ovarium polikistik sering dikaitkan dengan gangguan metabolik.
Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 di Amerika Serikat 10 kali lebih tinggi pada
wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan wanita normal pada
1
umumnya dan gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus tipe 2 itu
meningkat di usia 30 tahun pada 30 – 50 % wanita obes dengan sindrom
ovarium polikistik. Prevalensi sindrom metabolik yaitu 2 sampai 3 kali lebih tinggi
pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan pada wanita normal
umumnya dan dikaitkan dengan usia dan indeks massa tubuh, serta 20 % wanita
dengan sindrom ovarium polikistik yang usianya kurang dari 20 tahun sering
menderita sindrom metabolik. Meskipun hasil data untuk wanita dengan sindrom
ovarium polikistik sangat sedikit (kurang), namun risiko fatal dari kejadian infark
miokard 2 kali lebih tinggi pada wanita dengan oligomenorrhea berat yang
sebagian besar akan menjadi sindrom ovarium polikistik seperti pada wanita
dengan eumenorrhea pada umumnya.
PATOFISIOLOGI DAN EFEK TERAPI
Karakteristik patofisiologi dari sindrom ovarium polikistik belum diketahui
secara pasti, namun diduga melibatkan interaksi kompleks antara aksi dari
gonadotropin, ovarium, androgen, dan insulin. Dasar terpenting dari sindrom ini
adalah resistensi insulin. Mayoritas perempuan dengan sindrom ovarium
polikistik, terlepas dari berat badan, memiliki bentuk resistensi insulin yang
intrinsik pada sindrom ini dan hal tersebut kurang banyak diketahui. Wanita obes
dengan sindrom ovarium polikistik memiliki beban tambahan resistensi insulin
berhubungan dengan kadar lemak mereka.
Resistensi insulin yang merupakan karakteristik dari sindrom ovarium
polikistik tampaknya dikaitkan dengan gangguan pada diabetes mellitus tipe 2.
Resistensi insulin ini juga mendasari adanya sindrom ovarium polikistik dengan
diakuinya faktor risiko kardiovaskular seperti dislipidemia dan hipertensi, yang
dikaitkan dengan gangguan anatomi maupun fungsional dari kardiovaskular.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia juga memainkan peran penting dalam
aspek lain dari sindrom ovarium polikistik, termasuk hiperandrogen dan
anovulasi. Insulin merangsang produksi androgen ovarium dengan mengaktifkan
reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita dengan sindrom ovarium
polikistik tetap sensitif terhadap insulin, atau mungkin malah hipersensitif, bahkan
ketika sasaran jaringan seperti otot dan lemak. Selain itu, hiperinsulinemia
menghambat produksi sel hati yaity hormon seks pengikat globulin (sex
2
hormone-binding globulin), dan lebih meningkatkan kadar testosteron dalam
sirkulasi bebas. Akhirnya, insulin menghambat ovulasi, baik secara langsung
mempengaruhi perkembangan folikel maupun secara tidak langsung dengan
meningkatkan kadar androgen dalam ovarium atau mengubah sekresi
gonadotropin. Bukti lebih lanjut dari pengaruh resistensi insulin pada sindrom
ovarium polikistik adalah adanya intervensi beragam yang terkait satu sama lain
karena sama – sama menurunkan kadar insulin dalam sirkulasi, menghasilkan
peningkatan frekuensi ovulasi atau menstruasi, mengurangi kadar testosteron
serum, atau keduanya. Intervensi ini termasuk penghambatan pelepasan insulin
(dengan menggunakan diazoxide atau octreotide), peningkatan sensitivitas
insulin (dengan penggunaan diet yang menyebabkan penurunan berat badan,
metformin, troglitazone, rosiglitazone, atau pioglitazone) , atau pengurangan
absorbsi karbohidrat (dengan penggunaan acarbose).
Metformin, biguanide adalah obat yang paling banyak digunakan untuk
pengobatan diabetes tipe 2 di seluruh dunia. Aksi utamanya adalah untuk
menghambat produksi glukosa hepatik, tetapi juga meningkatkan sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin, yang
berkontribusi terhadap efektivitas metformin dalam pengobatan diabetes juga
telah terbukti pada wanita non diabetes dengan sindrom ovarium polikistik. Pada
wanita dengan sindrom ovarium polikistik, pengobatan jangka panjang dengan
metformin dapat meningkatkan ovulasi, meningkatkan siklus menstruasi, dan
mengurangi kadar androgen serum; penggunaan metformin juga dapat
meningkatkan hirsutism. Jika data yang dipublikasikan tentang efek metformin
dalam pencegahan diabetes dapat diekstrapolasikan untuk wanita dengan
sindrom ovarium polikistik, maka obat sebenarnya dapat memperlambat
progresi menjadi intoleransi glukosa pada wanita yang terkena dampak, seperti
yang dilaporkan dalam studi kecil retrospektif.
BUKTI KLINIS
Pada tahun 1996, dilaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita
dengan sindrom ovarium polikistik mengurangi kadar insulin dalam sirkulasi dan
dikaitkan dengan penurunan aktivitas ovarium dan sekresi androgen dalam
ovarium. Kebanyakan, tetapi tidak semua, studi menegaskan tentang
3
kemampuan metformin dalam menurunkan kadar insulin puasa dan kadar
androgen pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Namun, penelitian
yang secara khusus menilai efek metformin terhadap tanda-tanda klinis
kelebihan androgen (misalnya, hirsutisme, jerawat, dan androgenetic alopecia)
masih sangat terbatas.
Berhubungan dengan ovulasi, pada hasil uji klinis secara acak yang
dilaporkan pada tahun 1998, perlakuan awal dengan metformin, jika
dibandingkan dengan plasebo, dapat meningkatkan kejadian ovulasi setelah
terapi dengan clomiphene. Selanjutnya, beberapa penelitian metformin
dibandingkan dengan plasebo, metformin dengan tidak diberikan terapi,
metformin ditambah clomiphene dengan clomiphene sendiri, atau metformin
ditambah clomiphene dengan plasebo. Ketelitian pada studi ini dapat disimpulkan
dalam meta-analisis oleh Lord et al 2003. Meta-analisis meliputi data dari 13
penelitian dan 543 wanita dengan sindrom ovarium polikistik, pada uji ini dapat
disimpulkan bahwa metformin efektif dalam meningkatkan frekuensi ovulasi
(odds rasio, 3,88; interval kepercayaan 95%, 2,25-6,69).
Sejak publikasi dari meta-analisis tersebut, tiga tambahan uji klinis secara
acak juga telah dipublikasikan. Keduanya terlibat secara langsung terhadap
perbandingan metformin atau metformin ditambah clomiphene dengan
clomiphene untuk induksi jangka pendek dari ovulasi pada wanita dengan
sindrom ovarium polikistik yang menginginkan kehamilan, dan percobaan
tersebut mengeluarkan hasil yang bertentangan. Yang terbesar pada uji coba
tersebut, yaitu Percobaan Kehamilan dengan Sindrom Ovarium Polikistik,
melibatkan 626 wanita infertil dengan sindrom ovarium polikistik. Ini menegaskan
bahwa penambahan metformin pada terapi dengan clomiphene meningkatkan
rata - rata kumulatif dari ovulasi dibandingkan dengan pemberian clomiphene
saja (60,4% vs 49,0%, P = 0,003), tetapi tingkat kelahiran hidup tidak berbeda
antara kedua kelompok (26,8% dan 22,5%, masing-masing; P = 0,31). Dalam
penelitian tersebut, clomiphene lebih efektif dibandingkan metformin dalam
menginduksi ovulasi dalam jangka pendek dan menghasilkan kelahiran hidup.
Berhubungan dengan diabetes, dua uji klinis acak yang utama, The
Indian Diabetes Prevention Programme (IDPP-1) dan The U.S. Diabetes
4
Prevention Program (DPP), telah menunjukkan bahwa penggunaan metformin
menurunkan risiko relatif terhadap progresi menjadi diabetes tipe 2 (sebesar 26%
dan 31%, masing-masing) antara pasien dengan gangguan toleransi glukosa
pada umumnya. Apakah efek metformin benar-benar berperan dalam
pencegahan progresi menjadi diabetes dan bukan hanya sekedar menutupi
perkembangan dengan cara menurunkan kadar glukosa darah, masih menjadi
kontroversi. Namun, setelah penghentian metformin pada DPP, diabetes
dikembangkan dalam permasalahan yang lebih kecil yaitu menjadi satu-satunya
efek. Untuk pengetahuan saya, tidak ada uji klinis acak yang menilai efek
metformin terhadap progresi menjadi diabetes tipe 2 pada pasien dengan
sindrom ovarium polikistik. Dalam sebuah studi retrospektif terhadap 50 wanita
dengan sindrom ovarium polikistik yang diberi perlakuan dengan metformin
selama kurun waktu kurang lebih 43 bulan di pusat akademik kesehatan, tidak
ada progresi menjadi diabetes tipe 2, meskipun 11 wanita (22,0%) telah
mengalami gangguan toleransi glukosa. Konversi rata – rata tiap tahun dari
toleransi glukosa normal terhadap gangguan toleransi glukosa hanya 1,4%,
dibandingkan dengan 16 sampai 19% yang dilaporkan dalam literatur untuk
wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang tidak diberi perlakuan dengan
metformin.
PENGGUNAAN KLINIS
Pendekatan untuk pengelolaan sindrom ovarium polikistik tergantung
pada pasien dan terapi yang diberikan dokter. Untuk beberapa wanita, infertilitas
adalah masalah utama. Pasien tersebut sering diobati dalam jangka pendek
dengan clomiphene, untuk menginduksi ovulasi. Ketika kesuburan tidak menjadi
perhatian, kontrasepsi estrogen-progestin, dengan atau tanpa anti androgen
seperti spironolakton, telah menjadi andalan terapi jangka panjang. Pendekatan
ini efektif dalam mencapai tujuan pengobatan tradisional pada sindrom ovarium
polikistik, yang meliputi memperbaiki efek dari kelebihan androgen (misalnya,
hirsutisme, kebotakan pada pria, dan jerawat) dan memperbaiki siklus
menstruasi sehingga mencegah hiperplasia endometrium.
Namun, mengingat adanya gangguan metabolik yang berhubungan
dengan sindrom ovarium polikistik, tampaknya lebih tepat untuk merencanakan
5
terapi jangka panjang yang tidak hanya memperbaiki kelebihan androgen dan
anovulasi tetapi juga memiliki tujuan yaitu memperbaiki resistensi insulin dan
mengurangi risiko diabetes tipe 2 serta penyakit kardiovaskular. Efek agen
kontrasepsi (estrogen-progestin) pada toleransi glukosa masih menjadi
kontroversi. Salah satu bukti dalam studi jangka pendek menunjukkan bahwa
penggunaan kontrasepsi oral memperburuk resistensi insulin dan memperburuk
toleransi glukosa pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Penggunaan
kontrasepsi estrogen-progestin dikaitkan dengan peningkatan dua kali lipat
dalam risiko relatif kejadian kardiovaskular (arteri) dalam populasi perempuan
pada umumnya, risiko pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik pada
khususnya tidak diketahui.
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dan, seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, telah terbukti menghambat atau mencegah progresi
menjadi diabetes tipe 2 pada pasien dengan toleransi glukosa
terganggu. Meskipun metformin belum terlibat secara spesifik untuk mengurangi
risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik,
namun mekanisme yang ada dan adanya dukungan bukti klinis dari penggunaan
metformin sebagai perlindungan terhadap efek kardiovaskular yang merugikan
dari resistensi insulin dan kelebihan insulin. Selain itu, metformin dapat
menurunkan kadar androgen dalam sirkulasi dan dapat meningkatkan ovulasi
dan keteraturan siklus menstruasi, sehingga mengatasi tujuan terapi jangka
panjang. Untuk alasan ini, meskipun metformin tidak disetujui oleh Administrasi
Makanan dan Obat untuk pengobatan sindrom ovarium polikistik, obat ini biasa
digunakan untuk tujuan ini.
Untuk meminimalkan efek samping, terapi metformin dimulai dengan
dosis rendah pada saat makan, dan dosis ini kemudian semakin
ditingkatkan. Praktik saya memiliki pasien yang mengkonsumsi 500 mg
metformin sekali sehari pada saat porsi makan terbanyak, biasanya makan
malam, selama 1 minggu, kemudian dosis ditingkatkan sampai 500 mg sebanyak
dua kali sehari, dengan sarapan dan makan malam, selama 1 minggu; dosis
ditingkatkan sampai 500 mg dengan sarapan dan 1000 mg dengan makan
malam, selama 1 minggu, dan akhirnya, meningkatkan dosis sampai 1000 mg
dua kali sehari, dengan sarapan dan makan malam. Tidak ada studi yang
6
melaporkan tentang rata – rata dosis dari metformin pada sindrom ovarium
polikistik, tetapi ada sebuah studi yang melaporkan mengenai dosis dari pasien
dengan diabetes, dengan menggunakan tingkat hemoglobin terglikasi sebagai
tolok ukur hasilnya, studi ini menyarankan bahwa dosis optimal dari pasien
dengan diabetes adalah 2000 mg per hari.
Metformin tidak boleh digunakan pada wanita dengan gangguan ginjal
(tingkat kreatinin serum > 1,4 mg per desiliter [124 umol per liter]), disfungsi hati,
gagal jantung kongestif yang parah, atau riwayat penyalahgunaan
alkohol. Mengingat sindrom ovarium polikistik sering terjadi perempuan usia
muda maka kontraindikasi ini masih jarang. Ulangi pengujian selama terapi
dengan metformin tidak terdapat kontraindikasi kecuali pada penyakit atau
kondisi (misalnya dehidrasi) yang dapat mempengaruhi penurunan fungsi ginjal
atau hati.
Ketika metformin yang diresepkan, saran tentang diet penurunan berat
badan dan latihan rutin juga harus diberikan. Intervensi tersebut bermanfaat
dalam mencegah diabetes. Selain itu, penurunan berat badan meningkatkan
kemungkinan ovulasi, kemungkinan besar sebagai akibat dari peningkatan
sensitivitas insulin.
Pasien diminta untuk mencatat siklus haidnya, peringatan terhadap masa
subur, dan disarankan untuk menggunakan metode kontrasepsi. Agen
kontrasepsi oral dan antiandrogen tidak diberikan pada kunjungan awal, karena
dapat mempengaruhi tingkat androgen haid atau serum dan mengacaukan
penilaian efektivitas metformin. Eflornithine topikal dapat diresepkan untuk
pengobatan hirsutisme wajah.
Kunjungan selanjutnya dijadwalkan pada 3 dan 6 bulan. Keteraturan
siklus haid dan kadar testosteron serum total ditentukan pada setiap
kunjungan. Jika didapatkan peningkatan siklus menstruasi, penting untuk
mendokumentasikan apakah mens adalah ovulasi. Ini bisa dicapai dengan
mengukur tingkat progesteron serum 7 hari sebelum timbulnya menstruasi
berikutnya; tingkat progesteron serum lebih dari 4,0 ng per mililiter (12,7 nmol per
liter) konsisten dengan kehadiran fase luteal dan ovulasi.
7
Setelah 6 sampai 9 bulan pengobatan, efektivitas metformin dinilai. Jika
keteraturan siklus menstruasi dan ovulasi membaik, maka pengobatan dapat
dilanjutkan secara indivial. Untuk beberapa wanita, pengobatan dengan
metformin saja mungkin cukup. Wanita yang menginginkan kontrasepsi dapat
diberikan agen kontrasepsi oral sambil terus mengkonsumsi metformin. Dalam
kasus di mana hirsutisme tetap menjadi masalah, agen kontrasepsi oral, anti
androgen, atau keduanya dapat ditambahkan ke metformin.
EFEK MERUGIKAN
Asidosis laktat telah dilaporkan dengan penggunaan metformin, tetapi
komplikasi ini jarang terjadi (0,3 episode per 10.000 pasien per tahun) pada
pasien sehat dan terbatas terutama untuk pasien yang tidak seharusnya
menerima obat tersebut, karena mereka telah menderita gangguan ginjal atau
penyakit hati sebelumnya.
Batasan utama efek samping metformin, yang mempengaruhi 10 sampai
25% pasien, adalah gangguan pencernaan, yaitu mual dan diare. Jika mual atau
diare terjadi pada dosis yang diberikan, dosis yang baik dipertahankan atau
dikurangi dengan 500 mg per hari selama 2 sampai 4 minggu sampai gejala
mereda. Untungnya, efek samping gastrointestinal metformin biasanya
sementara, namun pada sebagian kecil kasus, gangguan pencernaan mungkin
memerlukan penghentian metformin.
Metformin dapat menyebabkan malabsorpsi vitamin B12 pada beberapa
pasien yang menerima terapi jangka panjang. Dalam satu analisis, faktor risiko
untuk pengembangan efek samping tersebut termasuk baik dosis harian dan
durasi terapi metformin serta usia. Meskipun kemungkinan defisiensi vitamin B12
klinis tampaknya rendah, pasien harus dimonitor tanda dan gejala.
Metformin adalah obat kategori B, dan tidak ada efek teratogenik seperti
yang telah diujicobakan pada hewan percobaan. Ini telah dilakukan di Afrika
Selatan terhadap sejumlah wanita dengan diabetes tipe 2 atau gestational
diabetes, sepanjang kehamilan mereka, dan tidak ada efek teratogenik pada
janin.
8
HAL YANG MASIH DIRAGUKAN
Meskipun metformin semakin banyak digunakan untuk mengobati pasien
dengan sindrom ovarium polikistik, namun panduan terapi tetap didasarkan pada
hasil dari beberapa penelitian seperti yang telah dijelaskan , percobaan dikontrol
(dibandingkan) dengan populasi pada wanita tanpa sindrom ovarium polikistik,
yang menunjukkan bahwa diabetes dapat dicegah. Pada percobaan secara acak
terkontrol secara khusus melibatkan pasien dengan sindrom ovarium
polikistik. Strategi untuk terapi jangka panjang metformin pada pasien dengan
sindrom ovarium polikistik mulai berkembang, dan identifikasi prediktor respon
terhadap metformin, bahkan mungkin melalui pendekatan farmakogenomik, akan
meningkatkan kegunaan dari agen ini dalam pengelolaan sindrom ovarium
polikistik. Meskipun pengobatan jangka panjang dengan metformin tampaknya
akan sangat menguntungkan pada banyak pasien dengan sindrom ovarium
polikistik, namun kurang jelas ketika metformin harus digunakan sebagai
monoterapi atau dikombinasikan dengan antiandrogen atau terapi
hormon. Efektivitas metformin pada perbaikan tanda-tanda kelebihan androgen,
seperti hirsutisme, belum dinilai secara pasti.
Metformin telah digunakan selama bertahun-tahun pada pasien dengan
diabetes tipe 2. Namun, kami tidak memiliki data mengenai efek jangka panjang
potensi obat pada pasien yang diobati untuk sindrom ovarium polikistik, dimana
terapi, jika efektif, dapat dilanjutkan selama bertahun-tahun. Jika seorang wanita
ingin hamil, tidak jelas apakah metformin harus dilanjutkan selama kehamilan
dan, jika demikian, untuk berapa lama.
PEDOMAN
Androgen Excess Society merekomendasikan bahwa wanita dengan
sindrom ovarium polikistik, terlepas dari masalah berat badan, yang menderita
intoleransi glukosa ditest dengan menggunakan tes toleransi glukosa pada
kunjungan awal dan setiap 2 tahun sesudahnya. Dari hasil tersebut tercatat
bahwa penggunaan metformin untuk mengobati atau mencegah pengembangan
menjadi toleransi glukosa dapat dipertimbangkan tapi tidak boleh dipatenkan
9
sampai percobaan terkontrol menunjukkan keberhasilan. Sebuah pernyataan
dari American Association of Clinical Endocrinologists merekomendasikan
metformin yang dianggap sebagai intervensi awal dalam sebagian besar wanita
dengan sindrom ovarium polikistik, terutama mereka yang kelebihan berat badan
atau obesitas.
REKOMENDASI
Obesitas, riwayat keluarga diabetes, dan sindrom ovarium polikistik
merupakan risiko tinggi untuk diabetes tipe 2. Selain obesitas, dia memiliki
beberapa tanda-tanda resistensi insulin, termasuk tingkat HDL rendah, tingkat
kolesterol dan tingkat trigliserida tinggi, dan data nya memenuhi kriteria The Adult
Treatment Panel III Criteria of The National Cholesterol Education Programe for
The Metabolic Syndrome. Meskipun toleransi glukosa nya saat ini normal, terapi
dengan metformin layak diberikan, dan diet penurunan berat badan dan olahraga
juga dianjurkan.
Meskipun fertiliitas bukanlah masalah utama, kemungkinan metformin
akan meningkatkan frekuensi ovulasi, dengan demikian meningkatkan siklus
menstruasi. Setelah siklus menstruasi telah membaik, saya akan menentukan
apakah ovulasi sedang terjadi dengan mengukur tingkat serum progesteron
selama fase luteal diduga. Karena pasien tidak mentolerir kontrasepsi oral,
metode kontrasepsi barier dapat direkomendasikan. Jika pasien menginginkan
kehamilan, fertilitas dapat diperbaiki jika terjadi peningkatan frekuensi ovulasi
selama terapi metformin. Jika tidak, pasien harus dievaluasi untuk mengetahui
penyebab infertilitas yang tidak terkait dengan anovulasi, dan penambahan
clomiphene untuk regimen harus didiskusikan.
Saya akan melihat pasien setiap 3 bulan selama tahun pertama, tidak
hanya untuk memantau kemanjuran metformin tetapi juga untuk memperkuat
perubahan gaya hidup untuk mengurangi berat badan dan meningkatkan
aktivitas fisik. Setelah itu, bisa dilihat setiap 6 sampai 12 bulan, tergantung pada
respon terhadap pengobatan. Mengingat bahwa ia berisiko tinggi untuk diabetes,
saya akan mengulangi tes glukosa toleransi oral setiap 2 sampai 3 tahun,
bahkan jika terapi metformin yang digunakan.
10