metabolisme vitamin a

56
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitamin A Vitamin A adalah salah satu dari berbagai vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh yang larut dalam lemak berasal dari dua sumber yaitu retinoid dan provitamin karotenoid. Terdapat beberapa senyawa yang digolongkan ke dalam kelompok vitamin A, antara lain retinol, retinil palmitat, dan retinil asetat (Murray, 2001). 2.1.1 Sumber Vitamin A berasal dari dua macam yaitu retinoid, seperti retina dan retinoic acid, ditemukan dalam sumber hewan seperti hati, ginjal, telur, dan produk susu serta karotenoid seperti beta-karoten (yang memiliki aktivitas tertinggi vitamin A) yang ditemukan di tanaman seperti sayuran gelap atau kuning dan wortel ditemukan dalam produk susu, ikan, sayuran berwarna gelap dan buah-buahan. Konsumsi lima porsi buah dan sayuran per hari memasok 5-6 miligram per hari provitamin A karotenoid, yang menyediakan sekitar 50-65% kebutuhan vitamin A untuk orang dewasa (Murray, 2001). 14

Upload: fadlan-adima-adrianta

Post on 11-Jan-2016

33 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Vitamin A pada pasien LUPUS

TRANSCRIPT

Page 1: metabolisme vitamin A

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vitamin A

Vitamin A adalah salah satu dari berbagai vitamin yang dibutuhkan oleh

tubuh yang larut dalam lemak berasal dari dua sumber yaitu retinoid dan

provitamin karotenoid. Terdapat beberapa senyawa yang digolongkan ke dalam

kelompok vitamin A, antara lain retinol, retinil palmitat, dan retinil asetat (Murray,

2001).

2.1.1 Sumber

Vitamin A berasal dari dua macam yaitu retinoid, seperti retina dan

retinoic acid, ditemukan dalam sumber hewan seperti hati, ginjal, telur, dan

produk susu serta karotenoid seperti beta-karoten (yang memiliki aktivitas

tertinggi vitamin A) yang ditemukan di tanaman seperti sayuran gelap atau

kuning dan wortel ditemukan dalam produk susu, ikan, sayuran berwarna gelap

dan buah-buahan. Konsumsi lima porsi buah dan sayuran per hari memasok 5-6

miligram per hari provitamin A karotenoid, yang menyediakan sekitar 50-65%

kebutuhan vitamin A untuk orang dewasa (Murray, 2001).

Sumber-sumber vitamin A menurut Murray (2001) adalah :

1. Sereal: jagung kuning.

2. Umbi-umbian: ubi kuning, ubi kuning kukus, ubi jalar merah, ubi rambat

merah.

3. Biji-bijian: kacang ercis dan kacang merah.

4. Sayuran: bakung, bayam, bayam keripik goreng, bunkil daun talas,

bayam merah, daun genjer, daun jambu, daun jambu mete, daun kacang

14

Page 2: metabolisme vitamin A

panjang, serta daun hijauan lainnya, Gandaria, kacang panjang, kankung,

kol cina, labu kuning, pak soy, putri malu, ranti muda, rumput laut, sawi,

semanggi, terong hintalo dan wortel.

5. Buah-buahan: apel, buah negeri, kesemek, mangga, pepaya, pisang,

sowa serta sukun.

6. Hewani: daging ayam, bebek, ginjal domba, hati sapi, hati ayam, sosis

hati, berbagai jenis ikan (baronang, cakalang, gabus, kawalinya, kima,

lehoma, malugis, rajungan, sarden, sunu, titang dan tongkol), telur dan

juga telur ikan asin.

7. Hasil olahan lainnya: kepala susu, mentega, minyak ikan, minyak kelapa

sawit, tepung ikan serta tepung susu.

2.1.2 Kebutuhan

Kebutuhan vitamin A tergantung dari ukuran tubuh, rate of growth, jenis

kelamin dan umur, kondisi khusus seperti kehamilan, laktasi, penyakit akut

ataupun kronik. Kebutuhan harian Vitamin A berdasarkan rekomendasi US

Recommended Daily Allowance (RDA) untuk orang dewasa adalah: 900

mikrogram per hari (3.000 IU) untuk pria dan 700 mikrogram per hari (2.300 IU)

untuk perempuan. Untuk wanita hamil 19 tahun dan lebih tua, 770 mikrogram per

hari (2.600 IU) yang dianjurkan. Untuk wanita menyusui 19 tahun ke atas, 1.300

mikrogram per hari (4.300 IU) yang dianjurkan.Untuk anak – anak dibawah 18

tahun kebutuhan vitamin A berdasarkan rekomendasi US Recommended Daily

Allowance (RDA) adalah : untuk anak-anak berusia 1-3 tahun, 300 mikrogram

per hari (1.000 IU); untuk anak-anak berusia 4-8 tahun, 400 mikrogram per hari

(1.300 IU), dan untuk anak-anak 9-13 tahun berusia 600 mikrogram per hari

(2.000 IU).

2.1.3 Produksi

15

Page 3: metabolisme vitamin A

Vitamin A memiliki tiga bentuk aktif yaitu:

1) Retinol

2) retinil palmitat,

3) retinil asetat

Gambar 1. Struktur Kimia dari Vitamin A (Murray,2001)

Gambar di atas menunjukan berbagai macam bentuk dari vitamin A, gambar A merupakan

struktur kimia dari all-trans retinol, pada gambar B menunjukan struktur kimia dari all-trans retinal,

gambar C struktur kimia dari all-trans retinoic acid, gambar D struktur kimia dari 11-cis retinal,

gambar E struktur dari retinyl esters, gambar F struktur all-trans β-carotene, gambar G struktur

trimethyl methoxyl-phenol asam retinoik (etrin dan acitrein), dan gambar H struktur dari lycopene

(Murray, 2001).

Di dalam hepar vitamin A disimpan dalam bentuk retinyl ester. Retinol di

dalam peredaran darah berikatan dengan reseptor retinol-binding protein (RBP)

untuk dapat masuk atau keluar dari hati beberapa kali sehari dalam proses yang

dikenal sebagai retinol recycling. Proses ini mempengaruhi kadar retinol di

peredaran darah dan memproteksi sel dari efek kerusakan akibat retinol bebas

16

Page 4: metabolisme vitamin A

atau asam retinoik (Shirakami et al., 2011). Retinol yang berlebihan di dalam sirkulasi

dapat disimpan di hepar dalam bentuk retinyl ester. Proses penyimpanan ini

dimulai dari ikatan antara retinol dengan reseptor cellular RBP (CRBP atau

CRBP II) dan diesterifikasi dengan enzim lecithin retinol acyltransferase (LRAT)

dan hasil esterifikasi tersebut akan disimpan di sel hepar (Kida et al., 2011).

Karotenoid atau beta karoten dan provitamin A yang lain dicerna di mukosa

usus dengan enzim karoten dioksigenase dan menghasilkan retinaldehid yang

direduksi menjadi retinol. Retinol ini nantinya akan teresterifikasi dan disekresi di

kilomikron bersama dengan ester yang terbentuk dari diet retinol. Aktivitas enzin

karoten dioksigenasi ternyata rendah sehingga beta karoten yang dimakan akan

relatif tinggi kadarnya di peredaran darah. Enzim tersebut mengoksidasi asam

retinoid tetapi tidak bisa digunakan sebagai sumber retinol atau retinaldehid (Lobo

et al., 2010).

2.1.4 Metabolisme Vitamin A

Makanan yang mengandung vitamin A akan dilepas oleh enzim pepsin

dalam lambung dan oleh berbagai jenis enzim proteolitik dalam saluran usus

bagian atas. Vitamin A akan terkumpul di dalam globula lemak yang terdispersi

dalam usus bagian atas oleh asam empedu. Vitamin A dalam bentuk emulsi

lemak ini selanjutnya dihidrolisis oleh berbagai enzim esterase dalam cairan

pankreas karotenoid dan vitamin A bebas. Bersamaa dengan itu, trigliseride,

fossolipid , dan ester-ester kolesterol juga dihidrolisis. Partikel-partikel teremulsi

yang dihasilkan akan terdifusi ke dalam lapisan glikoprotein di sekitar mikrofili

sel-sel epitel usus. Dari semua retinol yang diserap, sebagian besar diesterifikasi

dengan asam palmiat di dalam sel-sel mukosa oleh kerja enzim lecctin retinol

acyltransferase (LRAT). Beta karoten dan karotenoid lainnya sebagian besar

dipecah pada ikatan rangkap 15, 15’ oleh enzim 1, 15’-karotenoid dioksigenase

menghasilkan molekul all trans retinaldehida. Pemecahan ini memerlukan

17

Page 5: metabolisme vitamin A

molekul oksigen dan garam-garam empedu. Beberapa karotenoid yang

terhidroksilasi tunggal mungkin juga diubah menjadi satu molekulretinaldehida

diikuti oleh pemendekan rantai (Murray, 2001).

Proses pemecahan beta karoten menjadi dua unit retinol atau salah satu

unit dengan panjang rantai yang berbeda. Sebagian besar retinaldehida yang

terbentuk direduksi oleh enzim retinaldehida reduktase menjadi retinol kemudian

diesterefikasi menuju kilomikrok lalu dibawa ke hati atau organ lain melalui limfe

dan darah. Untuk sekresi hati ke dalam plasma, retinol atau retinoid lainnya akan

bersatu dengan RBP yang disintesis di tempat tersebut. Pada waktu

meninggalkan hati, di dalam plasma vitamin A-RBP memventuk kompleks

dengan praalbumin dengan rasio 1:1. Hal ini bertujuan untuk mencegah

hilangnya vitamin A pada glomerulus ginjal. Kompleks tersebut membawa

vitamin A ke berbagai sel targetnya, dimana reseptor yang berada di permukaan

sel dapat menjadi perantara dalam pengambilannya dan pemindahan CRBP

(Murray, 2001).

2.1.5 Absorpsi dan Transportasi Vitamin A

Preformed vitamin A akan dibebaskan dari protein makanan di dalam gaster,

dan kemudian di usus halus retinol ester akak dihidrolisis menjadi retinol yang

lebih efisien untuk diabsorpsi sebanyak 80-90%. Vitamin A merupakan bagian

dari kilomikron yang akan ditransport melalui jalur limfatik intestine lalu dibawa ke

pembuluh darah dan menuju hati. Sebagian vitamin A akan diabsorpsi kembali

ke hati melalui mekanisme enterohepatik. Untuk absorpsi tersebut diperlukan

vitamin atau zat pereduksi lain seperti vitamin E yang berfungsi untuk melindungi

vitamin A dari destruksi oksidatif. Vitamin A dalam bentuk retinol yang tidak

dimetabolisme atau ditranspor dari hati akan diesterifikasi kembali untuk

disimpan di parenkim sel hati sebanyak 80-95% dan disimpan sebagai cadangan

pada sel stelat perisinusoidal (Arthur, 2007).

18

Page 6: metabolisme vitamin A

Selain di hati vitamin A juga disimpan di jaringan adiposit, paru-paru, dan

ginjal dalam bentuk retinil ester khususnya dalam bentuk retinil palmiat.

Cadangan vitamin A di hati terikat pada cellular retinol binding protein (CRBP).

Cadangan vitamin A dibutuhkan untuk mencegah defisiensi terutama pada saat

asupan vitamin A rendah. Kadar vitamin A merupakan gambaran dari asupan

vitamin A yang dikonsumsi setiap harinya, dan gambaran cadangan vitamin A di

hati (Arthur, 2007).

Gambar 2. Absorpsi dari vitamin A (Arthur, 2007)

Vitamin A berasal makanan dalam bentuk retinel ester dan β karoten. Yang akan diubah

menjadi retinol dan menjadi retinyl ester di dalam intestinal mukosa. Kemudian diubah menjadi

kilomikron β-lipoprotein di limpa lalu diubah menjadi retinyl ester di dalam liver. Kemudian diikat

dengan RBP untuk dibawa oleh darah yang akhirnya disebarkan diberbagai organ tubuh

(Arthur,2007).

19

Page 7: metabolisme vitamin A

Distribusi vitamin A dari hati ke jaringan perifer melalui proses de-esterifikasi

retinil ester dan kemudian akan diangkut berikatan dengan kompleks retinol

binding protein (RBP)-transthyretin (RBP-TTR). RBP-retinol akan ditangkap oleh

reseptor jaringan lain yang akan memperantarai transfer retinol dari RBP ke

CRBP. Vitamin A akan dieksresi melalui asam empedu dalam bentuk feses

(70%) dan urine (30%) (Arthur, 2007).

2.1.6 Peran Vitamin A dalam Kesehatan

. Vitamin A atau retinol merupakan vitamin yang larut lemak yang memiliki

peran penting dalam pertumbuhan, perkembangan dan penglihatan.Vitamin A

merupakan mikronutrien yang banyak terkandung pada sumber makanan hewani

dan nabati. Retinoid yang terdiri dari retinol, retinaldehid, dan asam retinoid

adalah sumber vitamin A yang berasal dari makanan hewani sedangkan

karotenoid merupakan sumber vitamin A yang terdapat pada tumbuhan. Retinoid

dan karotenoid adalah sumber provitamin A (Ros, 2010).

Vitamin A memiliki tiga bentuk aktif, yaitu retinal, retinol dan asam retinoik

sedangkan di dalam hepar vitamin A disimpan dalam bentuk retinyl ester. Retinol

di dalam peredaran darah berikatan dengan reseptor retinol-binding protein

(RBP) untuk dapat masuk atau keluar dari hati beberapa kali sehari dalam

proses yang dikenal sebagai retinol recycling. Proses ini mempengaruhi kadar

retinol di peredaran darah dan memproteksi sel dari efek kerusakan akibat retinol

bebas atau asam retinoik (Shirakami et al., 2011). Retinol yang berlebihan di dalam

sirkulasi dapat disimpan di hepar dalam bentuk retinyl ester. Proses

penyimpanan ini dimulai dari ikatan antara retinol dengan reseptor cellular RBP

(CRBP atau CRBP II) dan diesterifikasi dengan enzim lecithin retinol

acyltransferase (LRAT)dan hasil esterifikasi tersebut akan disimpan di sel hepar

(Kida et al., 2011). Karotenoid atau beta karoten dan provitamin A yang lain dicerna

20

Page 8: metabolisme vitamin A

di mukosa usus dengan enzim karoten dioksigenase dan menghasilkan

retinaldehid yang direduksi menjadi retinol. Retinol ini nantinya akan

teresterifikasi dan disekresi di kilomikron bersama dengan ester yang terbentuk

dari diet retinol. Aktivitas enzin karoten dioksigenasi ternyata rendah sehingga

beta karoten yang dimakan akan relatif tinggi kadarnya di peredaran darah.

Enzim tersebut mengoksidasi asam retinoid tetapi tidak bisa digunakan sebagai

sumber retinol atau retinaldehid (Lobo et al., 2010).

Vitamin A dibutuhkan sepanjang hidup dan berperan penting dalam aktivitas

reproduksi sel, perkembangan embrio, penglihatan, diferensiasi sel dan

proliferasi, memeliharaan jaringan dan metabolism lipid. Fungsi vitamin A lainnya

adalah dalam mengontrol proses diferensiasi sel dimanaasam retinoid dapat

terikat pada DNA dan meregulasi transkripsi dari gen spesifik. Ada dua reseptor

retinoid pada nukleus, yaitu Retinoic Acid Receptor (RARs) yang mengikat

semua asam retinoiktrans atau 9-cis asam retinoik dan Receptor X Retinoic

(RXRc) yang mengikat 9-cis asam retinoik (Sommer et al., 2008). Vitamin A juga

memliki peran dalam meregulasi sistem imun dimana dibuktikan bahwa

pemberian vitamin A ternyata mampu menurunkan proliferasi dari sel Th 17 dan

menginduksi diferensiasi sel Treg. Penelitian yang dilakukan oleh Elias et al.

(2008) membuktikan bahwa vitamin A dapat menurunkan kadar IL-17 dengan

cara menghambat sinyal dari IL-6 yang mengaktivasi faktor transkripsi STAT3

dan menginduksi aktivasi FoxP3 untuk diferensiasi dari sel Treg (Elias et al., 2008).

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Mucida et al. (2007) juga menunjukkan

hasil yang serupa bahwa pemberian vitamin A mampu menurunkan diferensiasi

Th17 dan meningkatkan diferensiasi dari sel Treg (Mucida et al., 2007).

Defisiensi vitamin A cukup sering terjadi, khususnya di negara Indonesia.

Suatu laporan kasus membuktikan bahwa rata-rata penduduk Indonesia ternyata

21

Page 9: metabolisme vitamin A

mengalami defisiensi vitamin A. Defisiensi vitamin A tersebut dapat disebabkan

oleh beberapa macam faktor, baik faktor eksogen maupun endogen. Faktor

eksogen yang menyebabkan kekurangan vitamin A adalah kurangnya diet yang

mengandung vitamin A sedangkan faktor endogen yang menyebabkan defisiensi

vitamin A tersebut terdiri atas berbagai macam penyebab, seperti kondisi

inflamasi dan paparan radikal bebas dalam jangka waktu yang lama. Penelitian

yang dilakukan oleh Kida et al. (2011) membuktikan bahwa kondisi inflamasi

kronis ternyata mampu menurunkan ekspresi dari enzim LRAT. Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya penurunan penyimpanan retinyl ester di hepar dan

dapat meningkatkan ekskresi vitamin A melalui ginjal (Kida et al., 2011).

2.2 Sel Limfosit T CD4+

Limfosit menghasilkan produk-produk yang berfungsi sebagai sistem

imun tubuh kita. Limfosit ini banyak ditemukan di dalam nodus limfe namun juga

banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid khusus, seperti limpa, daerah

submukosa saluran cerna, timus, dan sumsum tulang. Limfosit terdiri dari dua

macam yaitu limfosit T dan limfosit B. Kedua limfosit ini berasal dari prekusor

yang sama, diproduksi dalam sumsum tulang termasuk pembentulkan reseptor.

Pematangan sel limfosit B terjadi di dalam sumsum tulang sedangkan progenitor

sel T bermigrasi dan matang di dalam timus. Sel limfosit T berperan pada proses

inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B. Sel T terdiri

dari sel CD4+, sel CD8+, sel T naif, NKT, dan Treg. Sel CD4+ akan berproliferasi

dan berdiferensiasi, berkembang menjadi subset sel Th1 dan sel Th2. Sel CD4+

yang diaktifkan dan berdiferensiasi menjadi sel efektor juga menjadi sel memori

yang dapat menetap di organ limfoid atau bermigrasi ke kelenjar nonlimfoid

(Rengganis, 2009).

22

Page 10: metabolisme vitamin A

2.2.1 Definisi dan Jenis Sel Treg

Sel Treg merupakan subpopulasi sel T supresor yang secara aktif

mensupresi proliferasi limfosit autoreaktif yang lolos dari toleransi sentral dan

dapat menginduksi toleransi perifer serta mencegah autoimunitas (Rottman et al.,

1999; Pita et al., 2006; Lee et al., 2007; Venken et al., 2007; Razmara et al., 2008; La Cava, 2009;

Mercer et al., 2010). Karakterisasi sel Treg didasarkan atas ekspresi rantai α

reseptor IL-2 (CD25) dan FoxP3 (Pita et al., 2006; Zu et al., 2008; ; Bonelli et al., 2009;

Mercer et al., 2010). Sel Treg dibentuk dari timosit di timus mengekspresikan dan

melepas TGF-β (berfungsi untuk menekan proliferasi sel T dan aktivasi

makrofag) dan IL-10. Sel Treg ini berfungsi sebagai regulator imunitas,

imunoregulasi dengan menekan sejumlah respon imun. Treg terdiri dari berbagai

populasi sel yang heterogen yaitu sel CD4, CD8 dan bahkan sel T NK. Adapun

sel T CD4+ yang memiliki kemampuan untuk mensupresi respon imun dapat

dibagi menjadi 2 jenis yaitu sel : naturally occurring Treg (nTreg) dan inducible

Treg (Treg) (Fehervari et al., 2005).

a. n Treg

n Treg bergenerasi di timus dan berada di perifer dengan fungsi yang

stabil (Couper et al., 2008; Le et al., 2007; Razmara et al., 2008; Wing et al., 2006). nTreg

mensekresikan IL-10 dan TGF-β, dan fungsi supresinya melalui kontak sel

melalui ikatan molekul-membran (Jonuleit et al., 2003; Mc Fadden et al., 2007). nTreg,

secara aktif mensupresi aktivasi dan ekspansi sel T self-reaktif. Pada isolasi dan

stimulasi poliklonal sel T, sel nTreg bersifat anergi dan dapat mensupresi

proliferasi dan produksi sitokin dari sel T CD4+ dan CD8+ (Suarez et al., 2006;

Venigalla et al., 2008).

b. iTreg

23

Page 11: metabolisme vitamin A

Inducible Treg (iTreg) diinduksi dari sel T naïve di perifer akibat stimulasi

antigenik dosis rendah atau melalui sitokin imunosupresif seperti TGF-β. Selain

itu, generasi iTreg di perifer juga tergantung pada maturasi dan jenis stimulasi

APC. TGF-β (sitokin mediator sel Th3) terbukti mengubah sel T naïve

CD4+CD25- perifer menjadi sel T reg, diduga melalui induksi ekspresi FoxP3.

iTreg diduga berfungsi untuk membantu mengakhiri respon saat patogen

dieliminasi dan mencegah autoimunitas sekunder (Le et al., 2007). Aktivitas supresi

imun iTreg menunjukkan spesifisitas antigenik yang minimal (Wan et al., 2009).

Populasi iTreg terbagi 2 yaitu sel Th3 dan Tr1. Kemampuan supresi Th3 dan Tr1

bersifat kontak independen (tidak melalui interaksi sel) dan terutama didasarkan

pada produksi sitokin inhibisi seperti IL-10 dan TGF-β (Jonuleit et al., 2003; Le et al.,

2007; Milojevic et al., 2008).

Th3

Th3 terinduksi dan berkembang di perifer akibat adanya TGF-β kadar

tinggi. Th3 mensekresi TGF-β dan sejumlah IL-10 atau IL-4 (Le et al., 2007;

Mc Fadden et al., 2007; Zu et al., 2008).

Tr1

Tr1 merupakan sel yang terinduksi dan berkembang di perifer akibat ada

IL-10 dengan kadar tinggi. Tr1 mensekresi IL-10 dan dapat menghambat

perkembangan inflamasi yang dimediasi oleh Th2. Tr1 sangat mirip

dengan Th3, tetapi Tr1 mensekresi IL-10 lebih banyak dan lebih sedikit

TGF-β dan IL-5 (Le et al., 2007; Mc Fadden et al., 2007; Wing et a.l, 2006; Zu et al.,

2008). Sel Tr1 bersifat anergi, in vitro berfungsi supresi dan dapat

mencegah penyakit autoimun yang secara eksperimental diinduksi Th1

seperti kolitis yang ditransfer in vivo (Wing et al., 2006).

2.2.2 Perkembangan dan Aktivasi Sel Treg

24

Page 12: metabolisme vitamin A

Treg berasal dari 2 sumber, yaitu yang berkembang di timus dan yang

dihasilkan di perifer. Treg yang berasal dari timus diperkirakan berada pada

transisi antara tahap positif ganda (double positive) dan positif tunggal (single

positive) yang mengikuti pertemuan antara sel timus dengan afinitas tinggi TCR

terhadap peptida self dengan antigen yang sama. Sel Treg autoreaktif

mengalami delesi setelah interaksi dengan superantigen endogen dan APC, baik

yang berasal dari timus ataupun sumsum tulang, akan tetapi Treg perifer

memiliki frekuensi yang lebih tinggi terhadap sel autospesifik dibandingkan

alloreaktif (Afzali et al., 2007).

Sitokin untuk perkembangan dan diferensiasi Treg:

1. IL-2

IL-2 terutama dihasilkan oleh limfosit T teraktivasi. Pada sel T, ikatan

dengan IL-2 mengakibatkan aktivasi jalur JAK3-STAT5. IL-2 secara

khusus dibutuhkan untuk perkembangan dan memelihara nTreg. IL-2

mengaktivasi dan dibutuhkan untuk fungsi optimal nTreg, terutama untuk

proliferasi dan daya tahan.

2. Thymic stromal lymphopoietin (TSLP).

TSLP merupakan sitokin yan mirip dengan IL-7 yang terikat pada IL-Rα.

TSLP menginduksi generasi nTreg terutama melalui sel dendrit in vitro.

3. TGF-β

TGF-β1 terikat pada reseptor heterodimer yang menginisiasi sinyaling

intraseluler melaui Smad dan mitogen activated protein kinase (MAPK).

TGF-β1 meningkatkan generasi de novo iTreg yang diikuti peningkatan

ekspresi FoxP3 setelah stimulasi TCR pada sel manusia dan tikus. TGF-β

juga berfungsi pada perkembangan pemeliharaan perifer nTreg.

4. IL-10

25

Page 13: metabolisme vitamin A

Ikatan IL-10 pada reseptor IL-10 mengaktivasi JAK1/Tyk2-STAT1a dan 3

pada sel T target. IL-10 terekspresi tinggi pada sel Tr1 dan penting untuk

fungsi Tr1. IL-10 meningkatkan generasi sel Tr1 in vitro. Saat sel CD4+

manusia teraktivasi secara kronik akibat adanya IL-10, maka sel CD4+

akan berdiferensiasi menjadi sel Tr1 (Wan et al., 2009).

Faktor transkripsi untuk diferensiasi Treg adalah forkhead family

transcription factor (FoxP3) (Wan et al, 2009). FoxP3 penting untuk mencegah

automunitas dan menjaga keseimbangan homeostatik sistem imun, serta

mencegah sel Treg menjadi sel efektor proinflamasi, Th17 (Horwitz, 2008; Le et al.,

2007). Mutasi pada Foxp3 juga mengakibatkan sindrom autoimunitas berat pada

manusia. Overekspresi FoxP3 pada sel T konvensional mengubah sel T

konvensional menjadi Treg dan membuat Treg menjadi anergi dan memiliki

aktivitas supresi. Ekspresi terus menerus FoxP3 penting untuk menjaga aktivitas

supresi Treg. Penurunan ekspresi foxP3 dapat mengubah Treg menjadi sel yang

menyerupai Th2 (Wan et al., 2009; Zu et al., 2008).

2.2.3 Fungsi T Regulator (Treg)

Sel Treg secara simultan mensupresi sel T autoreaktif yang lolos dari

seleksi negatif timus, menjaga imunitas usus normal terhadap bakteri enterik dan

mengurangi mekanisme efektor antipatogen yang menginduksi patologi imun

(Toda et al., 2006). In vitro, Treg memiliki kemampuan untuk menghambat proliferasi

dan produksi sitokin oleh sel T responder (CD4+CD25– dan CD8+) terhadap

stimuli poliklonal, sebagaimana men-downmodulasi respon sel T CD8+, sel NK

dan sel CD4+ terhadap antigen spesifik. Untuk berfungsi supresi (in vivo)

dibutuhkan aktivasi (aktivasi nTreg memerlukan spesifisitas antigen), homing,

ekpansi dan migrasi ke jaringan inflamasi. Kemampuan Treg untuk mensupresi

aktivasi sel imun lain tidak hanya terbatas pada inhibisi proliferasi awal, akan

26

Page 14: metabolisme vitamin A

tetapi juga supresi sel T efektor pada daerah target. Hal ini mengharuskan Treg

untuk bermigrasi ke daerah inflamasi. Treg teraktivasi mengubah reseptor

homing agar dapat menuju ke daerah inflamasi dan mensupresi sel Teff

teraktivasi. Tr1 cenderung bermigrasi ke daerah inflamasi, sedangkan nTreg

terutama berlokasi di organ limfoid. Kepekaan Treg terhadap kemokin inflamasi

secara potensial menyebabkan Treg dapat menuju daerah inflamasi dan

melakukan kontak dengan sel Tresponding dan APC, yang selanjutnya akan

menginhibisi fungsi APC atau mensupresi sel Tresponding serta men-

downregulasi respon inflamasi yang sedang berlangsung. Manipulasi rekrutmen

sel Treg dapat berguna untuk berbagai kondisi patologik baik untuk

mendapatkan toleransi pada autoimunitas dan transplantassi atau meningkatkan

respon imun terhadap tumor dan infeksi virus (Iellem et al., 2001).

2.2.4 Definisi dan Mekanisme Sel Th17

Sel Th17 merupakan salah satu subset dari sel limfosit T CD4+yang

diaktivasi melalui faktor transkripsi Retinoid-Related Orphan Receptorγ (RORγ).

Faktor transkripsi ini diregulasi oleh signal transducer and activation of

transcription3 (STAT3) (Laurence et al., 2007). Akan tetapi, penelitian terbaru

membuktikan bahwa sinyal yang dibutuhkan untuk diferensiasi sel Th17 ini

ternyata tidak hanya berasal dari RORγ saja melainkan juga diinduksi oleh

RORα. Aktivasi RORα ini diinduksi oleh sinyal yang berasal dari TGF-β dan IL-6

melalui aktivasi STAT3 (Yang et al., 2008). Sel Th17 berperan sebagai sel efektor

yang dapat memediasi reaksi inflamasi jaringan. Proses terjadinya inflamasi

jaringan akibat Th17 ini disebabkan melalui berbagai mekanisme. Pertama, sel

Th17 menghasilkan berbagai macam sitokin, seperti IL-17, IL-22, IL-23, TNF-α,

dan sitokin inflamasi lainnya yang dapat memperkuat respon inflamasi pada

jaringan. Sitokin IL-17 ini merupakan suatu sitokin yang spesifik dihasilkan oleh

27

Page 15: metabolisme vitamin A

sel Th17 sehingga dapat dijadikan sebagai marker untuk melihat aktivitas dari sel

Th17 (Torchinsky et al., 2010). Kedua, sel Th17 juga menghasilkan molekul

kemoatraktan dan faktor pertumbuhan yang akan menarik sel-sel inflamasi

lainnya untuk bekerja di jaringan tersebut (Chenet al., 2008).

2.2.5 Peran Sel Th17 dalam Patogenesis LES

Berbagai macam penelitian telah membuktikan bahwa sel Th17 ternyata

berperan penting dalam patogenesis LES. Banyak penelitian yang menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan persentase sel Th17 dan sitokin IL-17 pada pasien

LES (Wong, et al., 2008; Nalbandian, et al., 2009;Yang, et al., 2009). Hasil ini juga

didapatkan serupa pada pasien LES di Indonesia dimana terjadi peningkatan

yang signifikan dari persentase sel Th17 pada pasien LES (Hasanah, 2012).

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa flare pada pasien LES kemungkinan

diakibatkan dari aktivitas sel Th17. Hal tersebut dikarenakan pemberian antibodi

yang menghambat IL-17 ternyata dapat menghambat inflamasi pada vaskular

secara in vitro (Yang, et al., 2009).

Berbagai bukti di atas tentu saja membuktikan bahwa sel Th17 ternyata

memiliki peran yang sangat penting dalam patogenesis LES. Oleh karena itu,

banyak ahli yang memberikan pendapat bahwa agen yang dapat bekerja dalam

menghambat diferensiasi dan aktivitas dari sel Th17 ini memiliki potensi yang

cukup baik untuk dikembangkan sehingga dapat memperbaiki kondisi klinis

pasien LES, khususnya di Indonesia.

2.2.6 Transforming Growth Factor-β1(TGF-β1)

Transforming growth factor-β1 (TGF-β1) adalah suatu protein 25 kDa

yang memiliki berbagai macam fungsi seperti fungsi imunologis, tumbuh

kembang, dan proses homeostasis. Sitokin ini diekspresikan oleh banyak tipe

28

Page 16: metabolisme vitamin A

sel. Salah satu sel yang mengekspresikan sitokin ini dalam kadar yang tinggi

adalah platelet. Molekul ini disintesa dalam 390 asam amino yang terdiri dari 23

asam amino signal sequence, 255 asam amino pro-region, dan 112 asam amino

mature segment. Molekul ini memiliki proses yang kompleks dan rumit selama

proses pembentukannya (Padgett dan Patterson, 2001).

Setelah dilepaskan oleh sel penghasilnya, TGF-β1 ini disekresikan dalam

bentuk kompleks dengan protein latency-associated peptide (LAP). TGF-β1 dan

LAP tersebut berikatan secara nonkovalen dengan ikatan disulfida. Ikatan ini

akan mengakibatkan TGF-β1 masih belum aktif yang disebut dengan latent

complex TGF-β1 (LTGF-β1). LTGF-β1 ini merupakan suatu ikatan yang stabil

dimana untuk memecahnya membutuhkan lingkungan dalam pH yang ekstrim

yaitu di bawah 3 atau di atas 11 dan dalam suatu lingkungan yang panas tinggi

(Fortunel, et al., 2000). Setelah teraktivasi, TGF-β1 akan berikatan dengan

reseptornya. al-transducing dan bukan tempat ligan TGF-β1 menempel(Fortunel,

et al., 2000). TGF-β1 memainkan peran penting dalam kontrol proliferasi dan

diferensiasi sel epitel, sel endotel, fibroblas, neuron, osteoklas, dan osteoblas.

TGF-β1 juga berperan penting dalam regulasi perkembangan sel Treg, Th17,

dan Th9. Studi terkini menunjukkan bahwa LAP merupakan penanda permukaan

sel Treg yang teraktivasi. TGF-β1 juga dipercaya merupakan suatu sitokin

antiinflamasi. TGF-β1 dapat mensupresi sel T efektor, yaitu sel Th1, sel Th2, dan

sel makrofag yang teraktivasi. Suatu studi membuktikan bahwa pemberian TGF-

β1 eksogen ternyata mampu mengobati penyakit-penyakit autoimun

eksperimental (Fortunel, et al., 2000).

2.2.7 Interleukin-17 (IL-17)

IL-17 adalah sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan terutama oleh limfosit T

atau prekursornya. Sistem sinyal IL-17 terdapat di berbagai jaringan, seperti

29

Page 17: metabolisme vitamin A

kartilago sendi, tulang, meniskus, otak, jaringan hematopoietik, ginjal, paru, kulit

dan usus. Ligan famili IL-17 dan reseptornya penting dalam menjaga

homeostasis jaringan dalam keadaan sehat maupun sakit di bawah naungan

sistem imun. Beberapa anggota famili IL-17 telah ditemukan dimana setiap

anggota tersebut merupakan produk transkripsi gen tertent. Anggota famili yang

menjadi prototipe adalah IL-17A. Beberapa penelitian telah membuktikan peran

IL-17 dalam patogenesis berbagai penyakit. Pengaruh IL-17 terhadap fungsi sel

dan perannya dalam patofisiologi penyakit. Untuk setiap pengaruh kunci IL-17,

tipe target sel yang terlibat dan produk yang dilepaskannya sebagai respon

terhadap IL-17. IL-17 juga memicu produksi yang berlebihan atas autoantbodi

dan sel mononuklear darah tepi IL-6 pada pasien nefritis lupus. Sebaliknya,

pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik justru mengalami penurunan

produksi IL17 yang berkaitan dengan sel Th17.

Peran Sitokin IL-17 Dalam Berbagai Penyakit:

IL-17 adalah sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan terutama oleh limfosit T

atau prekursornya. Sistem sinyal IL-17 terdapat di berbagai jaringan,

seperti kartilago sendi, tulang, meniskus, otak, jaringan hematopoietik,

ginjal, paru, kulit dan usus. Ligan famili IL-17 dan reseptornya penting

dalam menjaga homeostasis jaringan dalam keadaan sehat maupun sakit

di bawah naungan sistem imun.

Beberapa anggota famili IL-17 telah ditemukan dimana setiap anggota

tersebut merupakan produk transkripsi gen tertentu yang bersifat unik.

Anggota famili yang menjadi prototipe adalah IL-17A.

Karena kemajuan teknologi sekuens genom manusia dan proteomik, lima

anggota tambahan telah dikenali dan digandakan: IL-17B, IL-17C, IL-17D,

30

Page 18: metabolisme vitamin A

IL-17E dan IL-17F. Sedangkan reseptor-reseptor untuk anggota famili IL-

17 yang ditemukan sejauh ini adalah IL-17R, IL-17RH1, IL-17RL

(receptor-like), IL-17RD and IL-17RE. Namun, hingga saat ini spesifisitas

ligan kebanyakan reseptor ini masih belum jelas.

Beberapa penelitian telah membuktikan peran IL-17 dalam patogenesis

berbagai penyakit. Sitokin ini telah lama dipelajari memiliki keterlibatan

dalam patogenesis psoriasis dan produksi keratinosit atas sitokin tertentu.

Sejumlah sel Th17 meningkat di darah tepi danlesi kulit akut dermatitis

atopik. Selain penyakit-penyakit kulit, sel-sel endotel sinovial dan

kondrosit yang mengekspresikan IL-17R ditemukan pada kebanyakan

pasien dengan berbagai tipe artritis.

Pengaruh IL-17 terhadap fungsi sel dan perannya dalam patofisiologi

penyakit. Untuk setiap pengaruh kunci IL-17, tipe target sel yang terlibat

dan produk yang dilepaskannya sebagai respon terhadap IL-17. Setiap

pengaruh biologik dikaitkan dengan sebuah kondisi sebagai contoh

dimana IL-17 ditemukan. CRP = C-reactive protein. MMP = matriks

metaloproteinase. RANKL = receptor activator of nuclear factor-B ligand.

Penelitian lain menunjukkan bahwa infiltrasi sel Th17 pada saluran nafas

pasien asma berkaitan dengan aktifitas sel T yang disertai oleh inflamasi

neutrofilik.

Ditemukan pula peningkatan sel-sel T yang menghasilkan IL-17 pada

pasien tuberkulosis paru yang aktif. IL-17 juga memicu produksi yang

berlebihan atas autoantbodi dan sel mononuklear darah tepi IL-6 pada

pasien nefritis lupus.

Sebaliknya, pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik justru

mengalami penurunan produksi IL-17 yang berkaitan dengan sel Th17.

31

Page 19: metabolisme vitamin A

2.2.8 Peran Tregulator dan Th17 pada pasien LES

Sel limfosit T CD4+ merupakan sel limfosit yang berperan penting dalam

respon imun adaptif pada manusia. Sel limfosit T CD4+ ini dapat berdiferensiasi

menjadi berbagai macam fenotip T helper (Th), yaitu Th1, Th2, Th17, dan Treg

(Afzali et al., 2007). Proses diferensiasi ini tergantung dari jenis sitokin lokal yang

menginduksinya. Contohnya sinyal interleukin-12 (IL-12) akan menginduksi

diferensiasi sel Th menjadi sel Th1, sinyal IL-4 menginduksi diferensiasi Th2,

sinyal transforming growth factor-β (TGF-β) menginduksi diferensiasi sel Treg,

sedangkan TGF-β dan IL-6 akan menginduksi diferensiasi sel Th17. Keseluruhan

subset tersebut memiliki fungsi yang berbeda satu sama lainnya (Gonzales-Garcia et

al., 2009).

Sel Treg merupakan salah satu subset dari sel limfosit T CD4+ yang

berperan dalam pengendalian respon inflamasi. Diferensiasi dari sel Treg ini

diperantarai oleh sinyal dari sitokin TGF-β yang mengaktivasi faktor transkripsi

Forkhead Box P3 (FoxP3) melalui aktiviasi STAT5 (Elias et al., 2008). FoxP3 ini juga

sering digunakan sebagai marker penanda aktivitas sel Treg. Sel Treg memiliki

fungsi supresif terhadap respon inflamasi dengan cara memproduksi sitokin

TGF-β dan IL-10 dimana kedua sitokin ini akan menurunkan aktivitas dari sel

imun lainnya (Afzali et al., 2007). Kesimbangan antara sel Th17 dan sel Treg penting

dalam meregulasi respon inflamasi, salah satunya adalah penyakit autoimun LES

(Awasthi et al., 2008). Pada pasien LES terjadi ketidakseimbangan antara produksi

dan fungsi sel Th17 dan sel Treg. Berbagai penelitian membuktikan bahwa

terjadi peningkatan aktivitas sel Th17 dan penurunan aktivitas sel Treg. Hal ini

mengakibatkan semakin parahnya kondisi autoimun pada pasien LES (Yang et al.,

2010).

2.3 Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

32

Page 20: metabolisme vitamin A

Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan

dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus

Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh

menyerang jaringannya sendiri.

2.3.1 Epidemiologi

Lupus Erithematosus merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh

dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus, sedangkan di Amerika

Serikat diperkirakan antara 270.000-1.500.000 orang mengidap lupus. Penyakit

lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak

dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering

antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10

tahun . SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika,

Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian

epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9

(per 100.000 orangper tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika;

2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-

Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena

diagnosis dapat menjadi sukar dipahami (Gaubitz, 2006).

2.3.2 Etiologi

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan

pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun

lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi

33

Page 21: metabolisme vitamin A

yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel

darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

Penyebab dari lupus belum diketahui dengan jelas, tetapi dapat diduga

dipengaruhi oleh faktor genetik dan non genetik (Wilson, 2006).

1. Faktor Genetik :

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen

penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen

dari kromosom 1. Gen MHC (HLA) berperan penting dalam system imun,

sehingga gangguan pada gen MHC, penurunan fungsi sel T supressor dan

gangguan penyajian antigen HLA dapat berperan dalam memicu

lupus.Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun

saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik

menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan

menderita penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita

walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia

berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering

ditemukan pada wanita (Wilson, 2006).

2. Faktor non Genetik

a. Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:

Infeksi

Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)

Sinar ultraviolet

Stres yang berlebihan

Obat-obatan tertentu

Hormon.

34

Page 22: metabolisme vitamin A

b. Faktor Humoral

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih

sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa

sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan

bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya

penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih

tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi,

masih belum diketahui (Wilson, 2006).

c. Obat

Kadang-kadang obat jantung tertentu (hidralazin, prokainamid dan beta-

bloker, INH, Quinidin) dapat menyebabkan sindroma mirip lupus, yang akan

menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

2.3.3 Patogenesis

Patomekanisme yang mendasari progresivitas dari gejala klinik pada

pasien LES adalah adanya ketidakseimbangan antara respon pro-inflamasi dan

anti-inflamasi dimana terjadi peningkatan jumlah dan aktivitas dari sel Th17

sebagai sel efektor yang berperan dalam regulasi respon inflamasi dan

penurunan jumlah dan aktivitas sel Treg yang berperan sebagai supresor respon

imun. Berbagai penelitian membuktikan bahwa terjadi peningkatan aktivitas dari

sel Th17 dan penurunan aktivitas sel Treg (Yang et al., 2010). Dalam

patomekanisme proses autoimun pada LES, sel Th17 berperan sebagai sel yang

menghasilkan berbagai macam sitokin pro-inflamasi, seperti sitokin IL-17, IL-22,

IL-23, dan molekul kemoatraktan lainnya. Sitokin tersebut mampu menginduksi

dan memperparah proses inflamasi baik lokal maupun sistemik pada pasien

LES. Penelitian lain membuktikan bahwa Th17 merupakan sel yang berperan

35

Page 23: metabolisme vitamin A

sangat penting pada proses autoimun kronis pada LES. Hal tersebut dikarenakan

sel Th17 ditemukan mampu bertahan lebih lama dan lebih tahan terhadap sinyal

apoptosis dibandingkan dengan subset sel lainnya yang dapat menimbulkan

inflamasi (Afzali et al., 2007).

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan

aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,

hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun

(Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi

antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA

bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu

protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)

atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh

sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang

ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat

merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara

sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD

40, CTLA-4 (Mok dan Lau, 2003).

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel

Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel

tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE

ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang

berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity. Sel

T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan

hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu

meningkatkan ekspresi sel T  (Mok dan Lau, 2003). Abnormalitas dan disregulasi

36

Page 24: metabolisme vitamin A

sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B,

NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T

karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan

terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-

antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan

CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock

protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi

pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel

T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+

(inducer/helper).

SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan 

subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi 

dengan menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga

menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke

CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B

yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double

negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau,

2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu

jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel

sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003)

melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA)

terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang

menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat

komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen

akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah

autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen

37

Page 25: metabolisme vitamin A

yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan

berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum

diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Albar, 2003).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens

kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan

penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens

kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang

inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan

FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1,

C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan

antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan

Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada

organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang.

Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ

atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,

kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat

menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti

klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan

jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami

apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.

Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel,

pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi

ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan

38

Page 26: metabolisme vitamin A

berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter

ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan

mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan 

pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian

akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin

proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada

pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan

Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

Selain itu, kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai

faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun tersebut yang

mungkin sudah didasari kelainan genetik, seperti terlihat pada di bawah ini,

Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC) akan

menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis, aktivasi atau kematian sel

tubuh, sedangkan beberapa antigen di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut

Self Antigen) contoh nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan

diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B. Peptida ini akan

menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel pada reseptornya untuk selanjutnya

menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh

peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak

organ target (glomerulus, sel endotel dan thrombosit) (Mok dan Lau, 2003).

39

Page 27: metabolisme vitamin A

Gambar 4. Apoptosis pada LES (Mok and Lau, 2003).

Antibodi berikatan dengan antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat

merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan. Perubahan abnormal di dalam sistem imun

tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke dalam sistem imun

tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat

berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga

dapat bereaksi dengan antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan

menyebabkan proses apoptosis (Mok and Lau, 2003).

Gambar 5. Pembersihan sel apoptosis (Mok and Lau, 2003)

40

Page 28: metabolisme vitamin A

Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh gen-gen yang berbeda,

yang mungkin dapat direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek imun di

dalam sirkulasi. Sel apoptosis sebenarnya bisa dibersihkan oleh makrofag. Komplek imun tersebut

dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan reseptor C3b di sel

darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui hepar maka akan

dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG.

Ketidakmampuan kedua organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik berupa hemolisis

(Mok and Lau, 2003).

Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana karena melibatkan

aktivasi berbagai komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi lainnya

yang timbul karena kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah. Berbagai

keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah : penurunan jumlah IL-1dan

peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6. Ketidakseimbangan sitokin ini dapat

meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibody (Rengganis, 2009).

Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES:

1. Sel T

Limfopenia

Penurunan sel T supresor

Peningkatan sel T helper

Penurunan memori dan CD4

Penurunan aktivasi sel T supresor

Peningkatan aktivasi sel T helper

2. Sel B

Aktivasi dan poliklonal sel B

Peningkatan terhadap respon sitokin

41

Page 29: metabolisme vitamin A

2.3.4 MANIFESTASI KLINIS SLE

1. Gejala konstitusional menurut Supardi (2006) ditunjukkan dengan :

Perasaan lelah. Pasien yang mengidap SLE akan mengeluh lemas

dan capai sehingga dapat menghalangi beraktivitas. Kelelahan yang

moderat terjadi sampai 76 %.

Penurunan berat badan. Terjadi pada sekitar 63 % pasien.

Demam tanpa disertai menggigil. Merupakan gejala yang timbul

selama berbulan-bulan sebelum ada gejala lain. Demam yang

ringan terjadi pada sekitar 83 % penderita. Bila demam meninggi

selama beberapa waktu, harus diperiksa karena adanya

kemungkinan infeksi.

Gejala lainnya seperti sakit kepala, migrain, seizure, stroke,

deperesi, dan cemas

2. Kelainan di kulit dan mukosa

Kulit, kelainan yang sering terjadi pada penderita SLE adalah :

Lesi seperti kupu-kupu di area malar dan nasal dengan sedikit

edema, eritema, sisik, dan atropi

Erupsi makulo popular, polimorfi, eritema bulosa di pipi

Fotosensitif di daerah yang tidak tertutup pakaian

Lesi popular dan urtikarial kecoklat-coklatan

Kelainan lain seperti ruam dan fenomena Raynaud

Mukosa. Kelainan yang sering terjadi pada mukosa mulut, mata, dan

vagina penderita SLE adalah :

Stomatitis

Keratokonjungtivitis

Erosi

Ulserasi

3. Kelainan di organ dalam

Organ dalam yang sering terserang adalah ginjal dan paru-paru.

Selain itu dapat juga ditemukan nefrosis, kolitis ulserativa, dan

hepatosplenomegali.

Kelainan di darah, sendi, tulang, otot, kelenjar getah bening, dan

sistem saraf

42

Page 30: metabolisme vitamin A

Kelainan pada darah berupa anemia hemolitik. Adapun gangguan

saraf dapat berupa sakit kepala dan konvulsi. Terdapat juga kelainan

psikiatrik seperti psikosis atau sindrom organik otak

Kelainan utama dan pertama pada SLE adalah arhtralgia (pegal dan

linu di dalam sendi). Dapat juga timbul arthritis nonerosif pada dua

atau lebih sendi perifer. Arthritis biasanya hanya berlangsung

beberapa hari. Lokasi arthritis akut biasanya di sendi tangan,

pergelangan tangan dan lutut serta biasanya simetris. Arthritis dapat

berpindah-pindah atau tetap di satu sendi dan menjadi menahun.

Arthritis biasanya tnpa deformitas, bersifat episodik dan migratorik,

nekrosis kepala femur dan atropi muskulo (skeletal dengan mialgia).

Neuritis perifer, ensefalitis, konvulsi, dan psikosis pun dapat terjadi

2.3.5 Diagnosis dari LES

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) dan America

Rheumatism Association (ARA) mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE,

di mana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis tersebut dapat ditegakkan.

No. Kriteria Keterangan

1. Ruam di daerah malar (malar

rash)

Ruam kemerahan di sekitar pipi dan hidung menyerupai

bentuk kupu-kupu.

2. Lesi discoid (discoid rash) Penebalan kulit, biasanya pada bagian kulit yang terkena sinar

matahari langsung

3. Fotosensitivitas Terjadi ruam kemerahan akibat reaksi abnormal terhadap

sinar matahari langsung.

4. Ulserasi mulut (oral ulcer) Bersifat kambuhan dan tidak nyeri, terjadi di daerah mulut

atau nasofaring.

5. Artritis Artritis non erosif yang mengenai satusendiatau lebih.

43

Page 31: metabolisme vitamin A

Ditandainyeri, bengkak,atauefusi.

6. Serositosis Pleuritis : nyeri pleural, bunyi gesekan pleura, efusi pleura.

Perikarditis : Gambaran EKG, bunyi gesekan perikardial, efusi

perikardial.

7. Kelainan ginjal Proteinuria selalu lebih dari 0,5g/dL.

Ditemukan sedimen selular abnormal dari urine (mikroskopis).

8. Kelainan neurologis Kejang/seizure yang bukan disebabkan obat, timbul secara

spontan dan terjadinya psikisosis.

9. Kelainan hematologic Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia, leukosit<

4000/mm3 (min.2 kali periksa) Limfopenia, limfosit< 1500

/mm3 (min.2 kali periksa)Trombositopenia, trombosit< 100.000

/mm3 tanpa obat yang mungkin menyebabkannya.

10. Kelainan imunologi Terdapat sel LE, atau Anti-DNA (anti-dsDNA) dengan titer

abnormal, atau Anti Sm (antibodi dari antigen otot polos)

positif, atau Uji serologi sifilis(VRDL) yang positif palsu selama

min 6 bulan.

11. ANA Titer abnormal ANA yang diukur secara fluorosensi.

Uji Laboratorium

1. CBC (Complete Blood Count)

2. ANA (anti nuclear antibodi)

3. Sel LE

4. Tes sifilis

5. ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate)

44

Page 32: metabolisme vitamin A

Argumen kuat untuk menyangkal SLE. Harus

ditemukan penjelasan yang tepat untuk manifestasi yang

terjadi pada sistem organ tersebut

4 atau lebih kriteria ACR terpenuhi

Penjelasan diperoleh

Penjelasan tidak diperoleh

6. CRP (C-Reactive Protein)

7. Urinalisis

8. Skrining hati dan ginjal (biopsi)

9. Studi imunologi spesifik melalui tesENA (Extractable Nuclear Antibody)

Tahapan Diagnosa:

Gambar 6. Bagan Diagnosis LES (Wilson, 2001)

45

Penderita dengan manifestasi klinis SLE yang meliputi dua atau lebih organ

0-3 kriteria ACR terpenuhi

SLETidak terjadi SLE atau SLE inkomplit

Dipastikan bukan SLE

Mengacu pada ahli rematologi jika diperkirakan SLE inkomplit

Titer 1 : 40 atau lebih

Titer < 1 : 40

Tes ANA

Evaluasi total SLE lebih lanjut meliputi:

1. Kriteria diagnosis ACR 2. Tes laboratorium : CBC, urinalisis,

kratinin, antibodi antifosfolipid, anti dsDNA dan anti Sm.

Page 33: metabolisme vitamin A

2.3.6 Terapi pada Pasein LES

Pengobatan untuk lupus bertujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi

inflamasi, dan menjaga fungsi tubuh dalam keadaan normal. Pengobatan pada

pasien lupus bergantung pada organ yang terlibat dan tingkat keakutannya.

Obat-obatan yang biasa digunakan (Davey, 2002):

1) Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs) – Obat ini, termasuk

aspirin dan ibuprofen, biasanya direkomendasikan untuk mengurangi

nyeri sendi dan otot, dan arthritis.

2) Asetaminofen – Analgesik ringan yang digunakan untuk mengurangi

nyeri, misalnya Tylenol.

3) Kortikosteroid – Kortikosteroid sintetik seperti Prednison, digunakan

untuk mengurangi inflamasi dan menekan aktivitas sistem imun.

Kortikosteroid adalah senyawa kimia yang secara normal diproduksi

oleh korteks kelenjar adrenal. Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang

paling kuat. Kortikosteroid yang paling umum digunakan pada pengobatan lupus

adalah prednisone. Kortikosteroid yang lainnya adalah prednisolon (sangat

mudaah dimetabolisme di hati), hidrokortison (lebih lemah daripada prednison),

metilprednison (lebih kuat daripada prednison), dan dexamethason (sangat

potent dan hanya digunakan dalam situasi yang tidak biasa). Kortikosteroid

digunakan pada pasien yang tidak merespon NSAIDs atau antimalaria, atau

pada pasien yang memiliki penyakit yang menyerang organ. Steroid dapat

digunakan secara oral, topikal (untuk ruam kulit), diinjeksi ke persendian untuk

arthritis, atau diberikan injeksi intravena atau intramuskular. Kortikosteroid dapat

diberikan secara intravena dalam dosis tinggi (1000 mg dalam sekali suntik).

Terapi ini disebut pulse therapy. Terapi ini digunakan pada lupus akut (Davey,

2002).

46

Page 34: metabolisme vitamin A

Kortikosteroid memiliki efek samping seperti mengakibatkan

peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah, osteoporosis, peningkatan

risiko diabetes, peningkatan risiko infeksi, perubahan bentuk tubuh, susah tidur,

selulit, penipisan kulit, katarak, psikosis, depresi, jerawat dan timbul rambut pada

wajah, nekrosis avaskular, dan memar. Untuk mengurangi efek samping dari

steroid dapat dilakukan diet rendah sodium, rendah lemak, rendah karbohidrat,

dan membatasi asupan kalori. Diuretik dapat digunakan sesekali untuk

mengurangi kembung dan retensi cairan. Konsumsi kalsium dan vitamin D harus

ditingkatkan untuk mengurangi risiko osteoporosis (Davey, 2002).

Penggunaan steroid harus dikurangi secara bertahap agar kelenjar

adrenal dapat berfungsi kembali dengan baik. Fungsi kelenjar adrenal sangat

penting karena memproduksi hormon yang mengatur metabolisme garam dan

air, dan juga merupakan sumber adrenalin yang merupakan ”fight or flight”

hormon yang diinhibisi oleh dosis besar kortikosteroid. Kelenjar adrenal dapat

berfungsi kembali, tetapi memerlukan waktu. Oleh karena itu menghentikan obat

secara langsung dapat menyebabkan ketiadaannya kortison dalam tubuh.

Dengan mengurangi kortikosteroid secara bertahap, fungsi kelenjar akan kembali

baik dan penggunaan obat dapat dihentikan. Kortikosteroid dapat diberikan

secara intravena dalam dosis tinggi (1000 mg dalam sekali suntik). Terapi ini

disebut pulse therapy. Terapi ini digunakan pada lupus akut (Davey, 2002).

Glukokortikoid menekan cell-mediated immunity. Glukokortikoid bekerja

dengan menghalangi gen yang mengkode IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8,

dan TNF-γ. Semakin kecil produksi sitokin, proliferasi sel T semakin berkurang.

Glukokortikoid juga menekan imunitas humoral, menyebabkan sel B

mengekspresikan lebih sedikit IL-2 dan reseptor IL-2. Hal ini akan mengurangi

ekspansi klon sel B dan sintesis antibodi.

47

Page 35: metabolisme vitamin A

Efek Anti-inflamasi Glukokortikoid

Glukokortikoid menginduksi sintesis lipocortin-1 (annexin-1), dengan

berikatan dengan membran sel sehingga mencegah fosfolipase A2 kontak

dengan substrat asam arakidonat. Hal ini menghentikan produksi eikosanoid.

Ekspresi siklooksigenase (baik COX-1 maupun COX-2) juga ditekan.

Glukokortikoid juga menstimulasi lipocortin-1 keluar dari ekstraselular, lalu

berikatan dengan reseptor leukosit pada membran dan mencegah aktivitas

inflamasi seperti adhesi epitel, emigrasi, kemotaksis, fagositosis, respiratory

burst, dan pelepasan mediator inflamatori (enzim lisosomal, sitokin, aktivator

plasminogen jaringan, chemokines, dll.) dari neutrofil, makrofag, dan mastosit.

4) Antimalaria

Antimalaria bekerja menghalangi sinar UV dari perusakan kulit, memiliki

efek anti inflamasi, mengurangi kadar kolesterol, mencegah pembekuan darah,

menghalangi sitokin yang berperan dalam proses inflamasi, dan yang paling

penting adalah mengatur asam-basa sel yang membatasi kemampuan untuk

memproses antigen. (Jika antigen diproses, akan terbentuk antibodi yang tidak

diperlukan.) Antimalaria tidak menurunkan jumlah darah dalam tubuh dan tidak

membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi.

Antimalaria yang biasa digunakan adalah hydroxychloroquine dan

chloroquine. Hydroxychloroquine lebih sering digunakan karena memiliki potensi

yang lebih rendah untuk merusak retina. Antimalaria diberikan pada pasien yang

tidak memungkinkan untuk mengunakan prednisone atau obat anti inflamasi

lainnya, pasien yang diberi prednisone dosis rendah yang juga menggunakan

antimalaria (untuk mencegah efek samping dari prednisone dosis tinggi).

Antimalaria dapat mengurangi 90% lesi discoid, kemerahan pada kulit, mouth

48

Page 36: metabolisme vitamin A

ulcers, dan kerontokan rambut pada pasien. Antimalaria dapan mengurangi

inflamasi pleura dan perikardium.

Efek samping penggunaan anti malaria yang paling umum adalah diare,

sakit kepala, kehilangan selera makan, mual atau muntah, kram atau nyeri perut.

Efek samping yang agag sering terjadi pada pasien adalah peningkatan

kerontokan rambut, perubahan warna kulit (blue-black), kuku, dan rongga mulut,

pening, gatal, lemas, ruam pada kulit. Efek samping seperti ini akan hilang jika

penggunaan antimalaria dihentikan. Efek samping lain yang sangat jarang

ditemukan adalah seizure, telinga berdengung, lemah otot, berkurangnya fungsi

pendengaran, demam dan luka pada tenggorokan, perdarahan. Untuk mencegah

timbulnya efek samping, harus dilakukan tes darah secara rutin.

5) Immunosupresan – Bekerja mirip dengan kortikosteroid

dalam hal menekan inflamasi dan menekan sistem imun.

Obat imunosupresif atau sitotoksik dapat menekan sistem imun. Obat-

obatan ini dapat menekan serangan sistem imun, seperti sel T atau sel B, dapat

menekan penolakan transplantasi organ, pembentukan antibodi, penyerangan

sel ”self”, virus, atau tumor. Pengobatan dengan obat sitotoksik disebut

kemoterapi. Sitotoksik menghentikan atau mencegah kerja sistem imun. Hal ini

dapat megakibatkan kematian sel atau interupsi sintesis antibodi. Obat-obatan

sitotoksik sangat kuat dan hanya digunakan pada saat benar-benar diperlukan.

Obat-obatan ini digunakan pada pasien yang memiliki penyakit organ, menderita

inflamasi otot akut, atau arthritis akut.

Mekanisme Kerja Sitotoksik

Sitotoksik menginhibisi pembelahan sel. Dalam imunoterapi, digunakan

dalam dosis rendah dibandingkan dengan dalam penyakit malignan.

Mempengaruhi proliferasi sel T dan sel B. Sitotoksik dibagi menjadi :

49

Page 37: metabolisme vitamin A

Alkylating agent yang paling sering digunakan adalah siklofosfamid

(paling potent).

Anti metabolit bekerja dengan mengganggu sintesis asam nukleat. Yang

termasuk anti metabolit, yaitu analog asam folat (mis. methotrexate),

analog purin (mis. azathioprine dan mercaptopurine), analog pirimidin,

dan inhibitor sintesis protein.

Antibodi sitotoksik

Obat-obatan imunosupresif yang biasa digunakan menurut Wardhani (2000)

yaitu:

Cyclophosphamide (Cytoxan) - paling baik diberikan secara intravena.

Efek samping: kerontokan rambut, mual, muntah, infertilitas, penurunan

fungsi sumsum tulang, anemia, rendahnya jumlah sel darah putih dan

platelet.

Chlorambucil (Leukeran) - penggunaan jangka panjang dapat

menyebabkan kanker. Efek samping: ruam kulit, mual, muntah, diare,

supresi sumsum tulang, peningkatan produksi jaringan fibrous pada paru-

paru.

Azathioprine (Imuran) - dapat mengurangi penggunaan steroid. Efek

samping: ruam kulit, diare, mual, muntah, supresi sumsum tulang.

Azathioprine merupakan senyawa sitotoksik imunosupresan utama yang

secara nonenzimatik dipecah menjadi mercaptopurin. Mercaptopurin

merupakan analog purin dan menginhibisi sintesis DNA. Dengan

mencegah ekspansi klonal dari limfosit dalamfase induksi respon imun,

akan mempengaruhi imunitas humoral dan sel yang terlibat.

Mercaptopurin digunakan pula untuk mengontrol reaksi penolakan pada

transplantasi organ.

50

Page 38: metabolisme vitamin A

Methotrexate (Rheumatrex) - mengurangi inflamasi sendi, tetapi dapat

membuat pasien lupus menjadi lebih sensitive terhadap sinar UV. Efek

samping: mual, muntah, diare, anemia, supresi sumsum tulang,

kerusakan hati. Methotrexate merupakan analog asam folat. Methotrexate

berikatan dengan dihidrofolat reduktase dan mencegah sintesis

tetrahidrofolat.

Selain dengan pengobatan, gaya hidup sehat juga harus dilakukan untuk

melawan penyakit. Terapi non Farmakologi yang harus dilakukan:

a. Menjaga keseimbangan antara melakukan aktivitas dan beristirahat

b. Memakan makanan dengan nutrisi seimbang

c. Menghindari perubahan cuaca (mempengaruhi proses inflamasi)

d. Menghindari stress dan trauma fisik

e. Menghindari paparan sinar matahari secara langsung

f. Menghindari terjadinya infeksi

g. Menghindarkan pemakaian obat-obat tertentu yang dapat menginduksi

LES

51