merindukan cak nur - kemenag jatimjatim.kemenag.go.id/file/file/mimbar308/fzdl1337275970.pdfmateri,...

2
Pada suatu hari di Islamic Cen- ter seorang aktivis dakwah yang du- duk santai di depan aktivis lain meng- kritik pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur). Sang aktivis begitu sema- ngat dan berapi-api mengkritik (mung- kin lebih dekat dengan mencaci) ke- salahan dan penyimpangan dalam pemikiran keislaman Cak Nur. Penulis yang kebetulan berada di dekatnya tidak terkejut dengan apa yang disam- paikannya, karena sudah begitu ba- nyak kritik terhadap pemikiran pendiri Paramadina itu mulai dari yang ilmiah sampai cacian dan makian. Mende- ngar seseorang mengkritik pemikiran Cak Nur bukan pertama kali. Cak Nur juga manusia biasa yang mungkin salah, sehingga tetap membutuhkan kritik. Penulis juga tidak ingin berdebat apalagi membela pemikiran Cak Nur. Namun ada yang berkembang dalam hati: benarkah sang aktivis mengenal pemikiran Cak Nur? Atau pernah membaca dan mencermati pemi- kirannya, atau sekedar korban efek domino kebencian? Penulis kemudian bergerak untuk berta- nya kepada sang aktivis” “Berapa banyak buku Cak Nur yang su- dah antum baca?” Dari ekspresi wajahnya kelihatan mas kita ini belum pernah membaca apalagi mencermati. Kemudian penulis melan- jutkan pertanyaan: “Sudahkah antum membaca bukunya Cak Nur seperti Islam kemoderenan dan keindonesiaan?” Dari Eks- presi wajahnya terlihat belum membaca. “Sudah membaca Islam Doktrin dan Peradaban!?” Ekspre- sinya sama belum membaca bahkan mungkin asing dengan judulnya. Penulis terus menyebutkan buku karya Cak Nur lain yang teringat se- perti Islam Kerakyatan dan Keindo- nesiaan, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, serta Islam Agama Peradaban. Yang terlihat ekspresi belum membaca bah- kan kelihatannya asing dengan ju- dul-judulnya. Penulis ingat peristiwa kenang- an di atas, saat tidak sengaja melihat tiga buah buku Cak Nur di lemari saya (bukan di rak buku) berjudul Perja- lanan Religius Umrah dan Haji (Pa- ramadina, Jakarta, 2000), Pesan- Pesan Takwa (Paramadina, Ja- karta,2000), Fatsoen ( Penerbit Re- publika, Jakarta, 2002). Ingatan kri- tik terhadap Cak Nur semakin me- nguat karena saat ini pe- nulis sedang mempe- lajari studi kritis Na- shiruddin Al-Alba- ni seperti “ Ta- mamul Minnah”, yang merupakan kritik terhadap Fiqhus Sunnahnya Sayyid Sabiq dan beberapa bukunya yang lain seperti 2 jilid “Silsilah Hadis Shahih “, serta buku analisisnya yang hebat sebagai jawaban dan kritik Adabuz Zifaf “ dan “Shifat Shalat Nabi”. Pertama, penulis merindukan Cak Nur yang telah dipanggil Allah Azza wa Jalla mendahului kita. Me- rindukan tulisan-tulisannya yang ilmiah, enak dibaca dan perlu. Se- makin sedikit tokoh intelektual Mus- lim yang mampu menulis dengan il- miah, sehingga semakin jarang kita melihat buku-buku yang berisi tulis- an mencerdaskan di rak-rak toko bu- ku dari tokoh negeri sendiri. Akibat- nya terjadi banjir buku terjemahan dari berbagai penjuru, bahkan kadang kita bisa melihat satu buku diterje- mahkan oleh beberapa penerbit. Tentu aneh rasanya, pendu- duk Islam terbesar di dunia kering pe- mikir- an keislaman. Cak Nur telah pergi. Kita tidak lagi melihat gagasan menyegarkan dalam keislaman. Semakin sedikit intelektual Muslim yang menuang- kan pemikirannya secara istiqamah dengan menulis, meluangkan waktu- nya tentu memuat gagasan besar se- cara terstruktur dengan bahasa yang membumi. Penulis hanya bisa berdoa dari yayasan Paramadina melahirkan pemikiran yang mampu dan mau menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, untuk menyampaikan Merindukan Cak Nur Oleh Agus Ainur Roziqin 30 MPA 308 / Mei 2012

Upload: truongkien

Post on 05-May-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pada suatu hari di Islamic Cen-ter seorang aktivis dakwah yang du-duk santai di depan aktivis lain meng-kritik pemikiran Nurcholish Madjid(Cak Nur). Sang aktivis begitu sema-ngat dan berapi-api mengkritik (mung-kin lebih dekat dengan mencaci) ke-salahan dan penyimpangan dalampemikiran keislaman Cak Nur. Penulisyang kebetulan berada di dekatnyatidak terkejut dengan apa yang disam-paikannya, karena sudah begitu ba-nyak kritik terhadap pemikiran pendiriParamadina itu mulai dari yang ilmiahsampai cacian dan makian. Mende-ngar seseorang mengkritik pemikiranCak Nur bukan pertama kali. Cak Nurjuga manusia biasa yang mungkinsalah, sehingga tetap membutuhkankritik.

Penulis juga tidak ingin berdebatapalagi membela pemikiran Cak Nur.Namun ada yang berkembang dalamhati: benarkah sang aktivis mengenalpemikiran Cak Nur? Atau pernahmembaca dan mencermati pemi-kirannya, atau sekedar korbanefek domino kebencian? Penuliskemudian bergerak untuk berta-nya kepada sang aktivis” “Berapabanyak buku Cak Nur yang su-dah antum baca?” Dari ekspresiwajahnya kelihatan mas kita inibelum pernah membaca apalagimencermati.

Kemudian penulis melan-jutkan pertanyaan: “Sudahkahantum membaca bukunya CakNur seperti Islam kemoderenandan keindonesiaan?” Dari Eks-presi wajahnya terlihat belummembaca. “Sudah membaca IslamDoktrin dan Peradaban!?” Ekspre-sinya sama belum membaca bahkanmungkin asing dengan judulnya.Penulis terus menyebutkan bukukarya Cak Nur lain yang teringat se-perti Islam Kerakyatan dan Keindo-nesiaan, Pintu-Pintu Menuju Tuhan,serta Islam Agama Peradaban. Yangterlihat ekspresi belum membaca bah-kan kelihatannya asing dengan ju-

dul-judulnya.Penulis ingat peristiwa kenang-

an di atas, saat tidak sengaja melihattiga buah buku Cak Nur di lemari saya(bukan di rak buku) berjudul Perja-lanan Religius Umrah dan Haji (Pa-ramadina, Jakarta, 2000), Pesan-Pesan Takwa (Paramadina, Ja-karta,2000), Fatsoen ( Penerbit Re-publika, Jakarta, 2002). Ingatan kri-tik terhadap Cak Nur semakin me-nguat karena saat ini pe-nulis sedang mempe-lajari studi kritis Na-shiruddin Al-Alba-ni seperti “Ta-

m a m u lMinnah”, yang merupakan kritikterhadap Fiqhus Sunnahnya SayyidSabiq dan beberapa bukunya yanglain seperti 2 jilid “Silsilah HadisShahih “, serta buku analisisnyayang hebat sebagai jawaban dan kritik“Adabuz Zifaf “ dan “Shifat ShalatNabi”.

Pertama, penulis merindukanCak Nur yang telah dipanggil AllahAzza wa Jalla mendahului kita. Me-

rindukan tulisan-tulisannya yangilmiah, enak dibaca dan perlu. Se-makin sedikit tokoh intelektual Mus-lim yang mampu menulis dengan il-miah, sehingga semakin jarang kitamelihat buku-buku yang berisi tulis-an mencerdaskan di rak-rak toko bu-ku dari tokoh negeri sendiri. Akibat-nya terjadi banjir buku terjemahandari berbagai penjuru, bahkan kadangkita bisa melihat satu buku diterje-

mahkan oleh beberapa penerbit.Tentu aneh rasanya, pendu-

duk Islam terbesar didunia kering pe-

mikir-an keislaman.

Cak Nur telah pergi. Kita tidaklagi melihat gagasan menyegarkandalam keislaman. Semakin sedikitintelektual Muslim yang menuang-kan pemikirannya secara istiqamahdengan menulis, meluangkan waktu-nya tentu memuat gagasan besar se-cara terstruktur dengan bahasa yangmembumi. Penulis hanya bisa berdoadari yayasan Paramadina melahirkanpemikiran yang mampu dan maumenuangkan gagasannya dalambentuk tulisan, untuk menyampaikan

Merindukan Cak NurOleh Agus Ainur Roziqin

30 MPA 308 / Mei 2012

ide dari al-Qur’an dan sunnah sha-hihah.

Kedua, penulis juga mempunyaikerinduan yang besar terhadap sikapkritis dan adil terhadap setiap pemi-kiran. Kritik yang ilmiah bukan seke-dar caci maki. Sebesar apa pun seo-rang penulis dia tetap manusia juga.Cak Nur juga manusia, pastilah adakekurangan bahkan kesalahan dalampenulisan. Seorang ulama yang pal-ing arif sekalipun bisa melakukan ke-salahan, mungkin salah menafsirkanatau menyangka suatu hadits itu sha-hih padahal dhoif atau palsu. Meng-kritik pemikiran seseorang tanpa per-nah membaca dan mencermati tu-lisannya adalah kesalahan besar danberbahaya.

Tradisi kritik memang perludikembangkan, banyak kitab-kitab besar yang lahir dari per-

debatan atau bantahan,tradisi yang biasa disebut denganjidaal. Kitab-kitab Syaikhul IslamIbnu Taymiyyah sebagian besaradalah bantahan terhadap kesesatantasawuf dan penyimpangan parapengikut Asy’ariyah. Tentu sebuahbantahan yang ilmiah bukan sekedarcaci maki dari seseorang yang tidak

mau mencermati, tidak menyulut apikebencian tetapi rasa saling meng-hormati dan mengajak kebenaranyang hakiki dari al-Haq.

Wajarlah masyarakat merindu-kan pemikiran yang jernih untukmengkritik demi mengajak kepadakebenaran dan memperkaya ilmu,bukan mengajak kepada kebencian

dan memperkaya permu-suhan. Penulis memimpikan tulis-

annya Cak Nur dikritisi dari berbagaibidang pendekatan keilmuan (bukansekedar cacian) seperti halnya apayang dilakukan Al-Albani terhadapSayid Sabiq dan juga kepada bukuHalal wa Haramnya Yusuf Qoro-dhowi. Kata Al-Albani saat mulaimengkritik Fiqhus Sunnah “ KitabFiqhus Sunnah termasuk kitab

terbaik yang saya ketahui dalam halmateri, sistematika dan bahasanyayang mudah dimengerti.” Kemudiandilanjutkan tujuan kritiknya “bukanbermaksud merendahkan nilai bu-ku ini atau merendahkan penulis-nya sama sekali, tetapi saya bertu-juan menolong kebenaran dengankebenaran.”

Dari usaha kritik akan lahir buku-buku bermutu yang mencerdaskan,

tulisan yang meluaskan pema-haman bukan menyem-

pitkan, kritik yangdibangun seba-

gai usaha si-

laturahmi atau tegur sapa bukan pe-mutus ukhuwah. Sebagaimana yangdilakukan Al-Albani dengan mengi-rimkan kritiknya kepada Sayyid Sa-biq, Yusuf Qorodhowi dan Al-Gha-zali. Pembaca mungkin sepakat de-ngan saya, umat sudah sangat dewa-sa untuk membaca karya ilmiah danumat sudah jengah dengan caci maki.Akhirnya, kita merindukan buku-bu-ku yang meluaskan pemahaman danjuga merindukan lagi kritik yang men-dewasakan. Pembaca setuju bukan!?

31MPA 308 / Mei 2012