menyoroti konsumerisme kelas menengah terhadap blackberry dalam kerangka teori fetisisme komoditas

18
Aulia Dwi N | 0906561452 Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Isu-isu Sosial Budaya KETIKA BLACKBERRY MENJADI ADIKSI DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2011 | Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah terhadap Blackberry dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas |

Upload: aulia-nastiti

Post on 29-Jul-2015

1.143 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

Aulia Dwi N | 0906561452 Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Isu-isu Sosial Budaya

08 Fall

KETIKA BLACKBERRY MENJADI ADIKSI

D E P A R T E M E N I L M U K O M U N I K A S I F A K U L T A S I L M U S O S I A L D A N I L M U P O L I T I K U N I V E R S I T A S I N D O N E S I A 2 0 1 1

| Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah terhadap Blackberry dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas |

Page 2: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

1 |

Dalam bukunya, Das Kapital II, Karl Marx pernah menulis tentang bagaimana seorang

individu dalam masyarakat kapitalis modern mempercayai bahwa suatu barang hasil

produksi memiliki kekuatan otonom untuk menentukan relasi sosialnya (Lewin dan Morris,

1977). Hal ini berarti dalam diri individu tersebut timbul keyakinan bahwa nilai-nilai eksistensi

dirinya dalam ruang sosial bisa tersimbolisasikan dalam barang-barang produksi tersebut.

Pada indvidu ini, yang terjadi ialah ia membeli barang hanya untuk mendapatkan ‘nilai yang

melekat pada barang itu’, bukan karena membutuhkan nilai gunanya.

Pemikiran Marx tersebut relevan dengan kondisi masyarakat modern saat ini yang identik

dengan suatu paradigma bahwa barang produksi dapat mendefinisikan status sosial mereka.

Dengan menjual brand, sebuah produk menghadirkan prestise, untuk menunjukkan apa

posisi pemiliknya. Berbagai komoditas dengan segala simbol yang melekat di dalamnya

telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup yang tak bisa dipisahkan dalam

kehidupan masyarakat modern. Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu

untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial

seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang

sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada

masyarakat di kalangan menengah.

Di Indonesia, perubahan gaya hidup kelas menengah ini sangatlah terlihat dari tingkat

belanja kelas menengah yang semakin meningkat. Berdasarkan Survei Nielsen yang

dilakukan sepanjang tahun 2011 pada responden kelas menengah kelas menengah

Indonesia dinilai sebagai pasar yang luar biasa kuat daya belinya (Kompas, 9 Desember

2011). Kuatnya daya beli masyarakat kelas menengah ini salah satunya dipengaruhi oleh

tingkat penggunaan media yang juga tinggi. Produsen produk apa pun dapat mengiklankan

berbagai macam produknya melalui segala media, mulai dari televisi (96 persen kelas

menengah menontonnya), internet (22 persen kelas menengah mengaksesnya), telepon

seluler karena 71 persen kelas menengah di perkotaan memakainya, dan jejaring sosial,

mengingat 94 persen kelas menengah Indonesia terkoneksi satu sama lain. Pesan-pesan

yang disampaikan melalui berbagai media membentuk konstruk sosial mengenai gambaran

masyarakat ideal yang didefinisikan dengan segala macam kepemilikan barang.

L A T A R B E L A K A N G

Page 3: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

2 |

Berbagai konstruk sosial tersebut pada menumbuhkan sifat fetish yang mendorong

masyarakat pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud

kebendaan. Media, dengan segala kontennya, membangun persepsi sosial yang

mempercayai bahwa gaya hidup modern adalah yang senantiasa memperbaharui diri

dengan mengkonsumsi barang-barang bermerk yang paling up to date. Pola belanja

semacam ini terlihat jelas dalam konsumsi gadget terbaru, salah satunya ialah ponsel.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mahbubani Kishore dalam bukunya, Asian: The

New Hemisphere (2008), yang menggambarkan bahwa salah satu dampak modernisasi ialah

merebaknya telepon seluler. Dalam laporan tahun 2010, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga

menunjuk kepemilikan ponsel sebagai salah satu indikator meningkatnya kelas menengah.

Di Indonesia sendiri, tingkat penetrasi ponsel mencapai 60 persen dari populasi atau lebih

dari 100 juta penduduk. Perkembangan teknologi ponsel yang demikian cepatnya dan

menghasilkan berbagai macam ponsel yang selalu berganti dengan menghadirkan berbagai

macam fitur dan brand membuat masyarakat modern merasa tertinggal jika tidak membeli

ponsel dengan model terbaru. Masyarakat kelas menengah pun pada akhirnya terbentuk

menjadi kelompok yang konsumtif terhadap pembelian ponsel dan didorong semakin

konsumtif oleh penggunaan ponsel sehingga terjebak dalam lingkaran konsumerisme.

Di Indonesia, konsumerisme kelas menengah terhadap teknologi dibuktikan oleh fenomena

maraknya ponsel Blackberry (BB). Sejak hadir di Indonesia, ponsel ini mulanya hanya

dinikmati oleh kalangan atas, tetapi kini semua orang yang berasal dari berbagai lapisan

masyarakat pun berlomba-lomba membeli Blackberry karena terdorong oleh tren. Angka

penjualan Blackberry yang terus meningkat membuktikan hal tersebut. Animo masyarakat

terhadap smartphone ini begitu besar, sampai bisa dibilang tak rasional.

Fenomena ricuhnya antrian peluncuran perdana BB Bellagio pada 26 November 2011

menunjukkan bahwa fetisisme terhadap BB telah melanda masyarakat. Blackberry dianggap

dianggap sebagai lambang modernitas mendorong masyarakat untuk belanja gaya hidup

modern, bukan belanja fungsi ‘sebuah ponsel’. Oleh karena itulah, fenomena maraknya

konsumsi Blackberry oleh kelas menengah di Indonesia menarik untuk dikaji dalam kerangka

teori fetisisme komoditas untuk menjelaskan bagaimana sifat fetish terhadap Blackberry

dapat melanggengkan kapitalisme modern melalui pembentukan masyarakat konsumtif.

Page 4: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

3 |

TEORI FETISISME KOMODITAS

Jika ditilik berdasarkan terminologi harfiahnya, kata fetisisme merujuk pada suatu sifat

memuja (fetish). Fetisisme pada komoditas merupakan rangkaian dari proses konsumsi pada

produk setelah perilaku konsumsi menjadi bersifat konsumtif dan berkembang menjadi gaya

hidup (Mulvey, 1993; 1996). Fetisisme berkaitan erat dengan konsumtivisme, atau kondisi di

mana seorang individu, sebagai konsumen, mengkonsumsi barang di luar kebutuhan riilnya.

Dalam perspektif Teori Kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Karl

Marx ketika menganalisis mengapa individu yang terdominasi dapat menerima dan

mengadopsi kepercayaan yang dapat mendukung dan mereproduksi status quo kapitalisme.

Tesis Marx ini selajutnya dikembangkan menjadi terfokus pada operasionalisasi berbagai

komoditas yang dihasilkan kapitalis dalam membentuk kepercayaan individu yang

terdominasi. Bagi Marx, cara seorang individu menerima dan mengalami dominasi kapitalis,

berbeda dari cara bagaimana sistem kapitalisme itu bekerja (Marx, dalam Lloyd, 2008).

Dengan demikian, berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem kapitalisme, dalam

Teori Fetisisme Komoditas, yang menjadi fokus adalah bagaimana kapitalisme bekerja

membentuk kepercayaan pada tataran individu.

Fetisisme terjadi apabila konsumsi individu terhadap suatu produk tidak berada pada level

yang dibutuhkan, tetapi pada level di mana individu tersebut bahkan tidak mengetahui

fungsi utama produk tersebut. Pada fetisisme komoditas, kebutuhan seorang individu

didominasi dan dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang

diperoleh dari komoditas tersebut (Ripstein, 1987). Dalam relevansinya dengan kapitalisme,

fetisisme menjadi salah satu pondasi yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan dan

abadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bourdieu (1989) melalui teori distingsi

sosialnya bahwa status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu-individu di

dalamnya melalui cara konsumsi mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Akar konseptual Teori Fetisisme Komoditas berasal dari pemikiran Karl Marx. Tesis Marx

tentang fetisisme komoditas merupakan landasan teori bagaimana bentuk-bentuk

K E R A N G K A K O N S E P T U A L

Page 5: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

4 |

komodifikasi bisa berfungsi mengamankan dominasi modal ekonomi. Menurut Marx, asal

mula fetisisme komoditas adalah hasil usaha kerja manusia yang diobjektifikasi. Hubungan

antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri dihadirkan sebagai suatu

hubungan sosial sosial yang tidak hanya terjadi di antara produsen itu sendiri, tetapi juga di

antara berbagai hasil produksi mereka. Hasil-hasil usaha tersebut menjadi sebuah komoditas

yang seolah menjelma sebagai entitas otonom dan menjalin relasi sosial di antara mereka.

Berbagai komoditas tersebut seolah memiliki wujud jiwa yang nyata, memiliki sifat dapat

ditangkap sekaligus tidak dapat ditangkap oleh kemampuan indrawi. Meskipun sebenarnya

perwujudan komoditas tersebut hanyalah pendefinisian manusia yang mengambil wujud

fantastis dari suatu hubungan di antara benda-benda hasil produksi tersebut. Inilah yang

disebut Marx sebagai fetisisme, yang merekatkan manusia pada hasil-hasil kerja ketika

diproduksi sebagai komoditas (Marx, 1963 dalam Strinati, 2007: 63).

Kerangka pemikiran Marx mengenai fetisisme dikembangkan oleh Adorno, untuk

menganalisis tentang ‘rahasia sejati keberhasilan’ kapitalisme melalui fetisisme. Menurut

Adorno, fetisisme komoditas merupakan cara bagaimana produsen menunjukkan bahwa

asas pertukaran dapat memaksakan kekuatannya secara khusus dalam dunia benda-benda

budaya (Adorno, 1991, dalam Strinati, 2007). Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu

mendominasi asas manfaat karena roda eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar

produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di

mana masyarakat merasa bahwa konsumsi yang dilakukan merupakan upaya memenuhi

kebutuhan hidupnya.

Cara yang dilakukan kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya melalui fetisisme

komoditas ialah mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia dengan ‘kebutuhan’ semu

untuk melakukan pertukaran yaitu dengan mengkonsumi berbagai komoditas yang

dihasilkan para produsen kapitalis tersebut. Dengan demikian, dalam fetisisme komoditas,

asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat dengan cara

menyamarkan dirinya sebagai objek kenikmatan (Strinati, 2007).

Merujuk pada Bourdieu (1989), pola konsumsi individu dalam masyarakat kapitalis modern

ini dapat mereproduksi kapitalisme dalam dua jalan. Pertama, membuat inidvidu untuk

mengkonsumsi secara gila-gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi

Page 6: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

5 |

‘kelas atas’. Namun yang terjadi adalah muncul kelas menengah beranggotakan sekumpulan

individu dalam jumlah besar yang memiliki komoditas yang serupa. Pembagian kelas

pekerja-dan kelas penguasa dalam level produksi pun menjadi tersamarkan dengan adanya

‘kelas menengah’ dalam jumlah besar. Hal ini pada akhirnya menyamarkan sumber masalah

yang sebenarnya dan melanggengkan dominasi pemilik modal.

Kedua, kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus berebut menduduki hirarki sosial

dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas ‘high-end’ atau barang-barang

yang paling mutakhir. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan status dalam hirarki sosial.

Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan

memperbaharui produk ‘high-end’ tersebut secara kontiyu dan gradual. Pola konsumsi

modern yang terjadi dalam repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus ‘catch-up

consumption’. Sehingga, yang terjadi pada akhirnya adalah berlangsungnya konsumsi terus

menerus dan bertambahnya kelas menengah yang terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd,

2008).

Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme

bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola

konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola

konsumsi ‘kelas atas’ tersebut. Bourdieu (1989) menyebutkan bahwa yang diciptakan

fetisisme sebenarnya tak lebih dari differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah

dan jarak sosial antara keduanya selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu

kelas atas. Dengan demikian, differensiasi sosialmelalui fetisisme ini menjadi kontributor

utama dalam kelanggengan dominasi kapitalis.

KONSUMERISME

Pemahaman kata konsumerisme pada masa sekarang identik dengan sebuah bentuk atau

gaya hidup. Gagasan tentang konsumerisme ini terkait dengan teori-teori konsumsi dan

kapitalisme modern yang berakar dari pemikiran Mahzab Frankfurt. Menurut Mahzab

Frankfurt, melalui konsumerisme, sistem kapitalisme memanfaatkan kesempatan untuk

menciptakan masyarakat kelas menengah sebagai konsumen produknya. Oleh karena itu,

keruntuhan akhir kapitalisme dan kebangkitan sosialisme serta masyarakat tanpa kelas

merupakan hal utopis yang agaknya tak mungkin terwujud. Hal ini disebabkan pada

Page 7: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

6 |

fleksibilitas dan sifat tahan lama sistem kapitalisme yang didasarkan pada kemakmuran dan

konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk kontrol sosial yang lebih umum

melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007).

Sistem kapitalisme modern menciptakan kemakmuran bagi kelas pekerja dengan tingkat

pengendalian idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan

kelas menengah tersebut. Para pekerja kelas menengah seolah diberi ‘jaminan’ keamanan

secara finansial agara bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan dan meraka

butuhkan, sementara barang-barang tersebut adalah hasil produksi kapitalisme. Segala

macam komoditas semakin mudah terjangkau. Konsekuensinya, komoditas tersebut lebih

mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme membawa seorang

konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli barang-barang tersebut dan

membuatnya tidak sadar akan kebutuhan yang sebenarnya, saat itulah kapitalisme suskses

mencipatakan fetisisme dalam diri konsumen (Strinati, 2007).

Dalam konsumerisme, juga terdapat adanya kebutuhan palsu yang konsepnya

dikembangkan oleh Herbert Marcuse (1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan

tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial,

prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui berbagai komoditas yang diperoleh

dengan jalan konsumerisme. Implikasinya, kebutuhan-kebutuhan palsu yang diciptakan

dipenuhi sementara kebutuhan-kebutuhan sejati yang sebenarnya masih belum terpenuhi.

Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan palsu,

mereka memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan.

Seorang tokoh posmodern, Jean Baudrillard (1998), memberi kontribusi berupa gagasannya

tentang masyarakat konsumsi. Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh

kenyataan bahwa manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak

dan konkret, yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang

material. Lebih lanjut ia menunjukkan gagasan manusia dalam memenuhi kebutuhannya:

“the immediately self-evident, such as an analysis in term of needs, will never produce

anything more than a consumed reflection on consumption.” Pemikiran Baudrillard ini

menginterpretasikan bahwa sesungguhnya manusia tak pernah terpuaskan secara actual,

sehingga segala kebutuhannya pun tak akan pernah terpuaskan.

Page 8: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

7 |

Ricuh Antrean BlackBerry

Gara-gara Bellagio, Jakarta "Mendunia"

Didik Purwanto | Reza Wahyudi | Minggu, 27 November 2011 | 11:35 WIB

KOMPAS.com - Sejumlah media asing ikut memberitakan penjualan diskon Blackberry Bellagio

yang ricuh pada Jumat (25/11/2011). Jakarta yang menjadi lokasi penjualan perdana Blackberry 9790

(Bellagio) makin "dikenal" masyarakat dunia.

RIM sengaja memilih lokasi Jakarta sebagai tempat peluncuran Blackberry Bellagio pertama di dunia.

Seminggu setelah peluncuran khusus bagi media, RIM juga sudah membuat geger karena

membagikan Blackberry Bellagio kepada seluruh undangan secara gratis. Sepekan kemudian, RIM

kembali membuat gempar dengan menyediakan Blackberry Bellagio yang didiskon 50 persen kepada

1000 orang pembeli pertama.

Seperti dikutip Slashgear, RIM sukses membuat Blackberry begitu populer bagi masyarakat

Indonesia, khususnya Jakarta gara-gara diskon besar ini. Masyarakat tumpah ruah untuk mengantri

dan sempat ada pembeli yang cedera serta pingsan. Sekitar 200 anggota polisi dan mobil ambulans

pun ikut berjaga-jaga mengamankan penjualan ponsel tersebut.

Media Phonesreview di Inggris menulis penjualan ponsel Blackberry di seluruh dunia mengalami

penurunan. Namun, penjualan ponsel tersebut di Indonesia justru mengalami kenaikan.

Selain itu, media tersebut menulis masyarakat di negara lain sudah berpindah membeli iPhone dan

ponsel Android, tapi Indonesia ternyata masih menjadi pasar terbesar bagi penjualan Blackberry.

Bahkan, Indonesia mendapat julukan "Blackberry Nation".

Pingsan Berebut pun Dijalani Koordinator Pemasaran dan Komunikasi PT Pacific Place Monica Cindy Nugroho awalnya mengaku

bangga lobi selatan malnya terpilih untuk peluncuran pertama di dunia ponsel pintar Blackberry Bold

9790 atau Bellagio.

Namun, kebanggaannya pupus. Acara peluncuran pada Jumat, 25 November, lalu itu berubah kacau

dan nyaris berbuah malapetaka. Ribuan orang berdesakan. Puluhan orang jatuh pingsan dan luka.

Polisi pun turun tangan.

”Sejak manajemen menyetujui, kami sudah meminta acara berlangsung dengan syarat ketat dan rinci,

termasuk keamanan,” kata Monica , Senin (5/12).

Kepolisian Resor Jakarta Selatan menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu General Manager

Pacific Place; perwakilan produsen BB, yaitu Research in Motion/RIM; konsultan keamanan; dan

pengorganisasi acara. ”Mereka melanggar Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu

tindak pidana yang menyebabkan orang lain terluka karena kelalaian. Ancamannya paling lama lima

tahun atau kurungan setahun,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jaksel Ajun Komisaris

Besar Budi Irawan, Senin. Mereka diduga gagal mengantisipasi situasi keamanan acara.

G A M B A R A N K A S U S

Page 9: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

8 |

Peristiwa berawal dari iklan diskon 50 persen—harga menjadi Rp 2,3 juta—bagi 1.000 pembeli

pertama BB Bellagio. Inilah yang menarik minat ribuan orang. Pembelian disyaratkan memakai kartu

kredit sesuai identitas pengantre.

Pendaftaran dibuka Jumat pukul 09.00 dan penjualan dimulai pukul 10.00. Namun, sebagian orang

antre dari Kamis tengah malam, salah satunya Sonny (30), pegawai toko distributor ponsel di Roxy,

Jakarta Barat. Setelah mendaftar, dia mendapat gelang merah tanda punya KTP dan kartu kredit atas

namanya.

Apa lacur, menjelang tengah hari, antrean kacau. Paramedis Medic One, Dedi Hidayat, yang siaga

sejak pukul 06.00, mengaku menolong empat pengantre. ”Mereka butuh oksigen dan ada yang patah

lengannya. Saya lihat ada ambulans bolak-balik antar korban,” tuturnya.

Meski kekacauan terjadi, banyak pengantre tetap bertahan. Sonny baru meninggalkan tempat pukul

15.00 setelah diusir polisi yang membawa anjing pelacak.

”Saya sakit hati, kapok antre lagi,” ungkapnya, Selasa. Dia mengaku ingin memiliki ponsel

berteknologi lebih canggih pengganti ponsel lamanya. Menurut Sonny, kekacauan muncul setelah

panitia tak konsisten. Selain itu, ”Ada joki dibayar sampai Rp 1 juta.”

Karyawan swasta di Jelambar, Suwardjono (41), antre sejak pukul 06.00. ”Kaget waktu lihat antrean

berjubel, tetapi informasinya, gelang ditambah. Tetapi, kok tak ada. Daripada jadi korban, saya

pulang,” ujar Suwardjono.

Cita-cita Susanto (30) memberikan kejutan kepada istrinya juga kandas. Akan tetapi, ia lega bisa

selamat meski sempat terjepit di antara massa. ”Konyol kalau ingat kejadian itu,” kata pegawai asal

Ciputat, Tangerang Selatan, itu.

Kejar Diskon

Menurut praktisi teknologi informasi Onno W Purbo, motivasi antre cuma mengejar diskon, bukan

teknologi. ”Dari teknologi tak ada loncatan baru,” katanya.

Effendi Gazali, dosen di Universits Indonesia yang mendalami komunikasi politik, tak habis pikir ada

yang mengejar Rp 2,3 juta dengan mempertaruhkan nyawa. ”Tak mungkin ribuan orang dapat kalau

sudah ada 1.000 orang pertama. Jangan-jangan mereka berharap ada celah seperti kebiasaan KKN,”

kata dia.

Bagi dosen Fakultas Psikologi UI, Bagus Takwim, fenomena seperti itu tidak terlalu mengherankan.

”Bukan hanya teknologi baru, berebut BLT dan ketemu selebriti pun bisa rusuh dan makan korban,”

ujarnya.

Menurut Bagus, penyebabnya adalah ada faktor penguatan sosial tentang nilai produk. ”Kehadiran

teknologi juga ditandai dan dianggap penting untuk citra,” paparnya.

Tak ada informasi, dari 1.000 Blackberry Bellagio, berapa yang yang terjual. Kantor RIM yang

dihubungi via telepon tak merespons, sementara berita acara pemeriksaan kepolisian tak boleh didapat

wartawan. (har)

http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/0549551/pingsan.berebut.pun.dijalani

Page 10: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

9 |

Ribuan Orang Antre Beli Blackberry Bellagio di Pacific Place

Roderick Adrian Mozes | Heru Margianto | Jumat, 25 November 2011 | 10:26 WIB

KOMPAS.COM/ RODERICK ADRIAN MOZES

Meski RIM hanya menjanjikan diskon 50 persen untuk 1.000 pembeli pertama BlackBerry Bold 9790 atau Bellagio pada penjualan perdana di Pacific Place, Jakarta, Jumat 925/11/2011), antrian calon pembeli

diperkirakan lebih banyak.

JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan orang mengantre untuk membeli Blackberry (BB) Bold 9790

(Bellagio) di Pacific Place, Jakarta, Jumat (25/11/2011). Produk baru RIM (Research in Motion) yang

diluncurkan pertama kali di Indonesia ini di jual perdana hari ini dengan potongan diskon 50 persen

bagi seribu pembeli pertama. "Sebagian dari mereka telah menunggu sejak kemarin malam, cuma kita

harus suruh pergi karena penjualan baru ada pagi ini," kata salah seorang sekuriti Pasific Place.

Penjualan perdana BB seri terbaru ini memang menggiurkan. Resminya, Bellagio dibanderol Rp

4,599 juta. Dengan diskon separuh harga, seribu pembeli pertama hanya perlu merogoh kocek sekitar

Rp 2,3 juta.

"Saya datang dari jam setengah lima pagi, dan berencana membelikannya untuk istri saya yang

berulang tahun," kata Abot (29). Ramainya orang yang membludak di kawasan itu membuat jalan

ditutup. Beberapa kali terlihat aksi saling dorong di tengah kerumunan pengantre.

Page 11: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

10 |

FETISISME KOMODITAS TERHADAP BLACKBERRY

Kasus kisruh yang terjadi saat sejumlah massa mengantre Blackberry Bellagio yang dijual

dengan diskon 50 persen di Pacific Place dinilai mengundang keheranan banyak orang,

terutama karena penyebab rusuh adalah Blackberry, smartphone yang dinilai melekat

dengan orang terliterasi dan berkebutuhan akan teknologi. Telepon seluler itu pun hanya

boleh dibayar menggunakan kartu kredit sesuai identitas pengantre. Lokasi penjualan di mal

kelas atas Jakarta. Semua mengindikasikan para pengantre berasal dari kelas menengah

yang asumsinya punya kemampuan ekonomi dan rasionalitas cukup. Oleh karena itulah, jika

sampai terjadi keksiruhan yang sampai menyebabkan puluhan orang pingsan, tentu ada

suatu irasionalitas yang menjangkiti para pengantre tersebut, yang menjadi tanda tanya

besar, mengapa mereka rela berdesak-desakan demi membeli BB terbaru yang didiskon

setengah harga dan hanya boleh dibayar dengan kartu kredit?

Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, kasus rusuhnya antrian masyarakat pada acara

peluncuran BB Bellagio merupakan sebuah fenomena yang meggambarkan bagaimana

fetisisme telah merasuki para konsumen teknologi dalam sistem sosial masyarakat di

Indonesia, yang notabene didominasi oleh kalangan menengah. Sebagaimana yang

dikatakan Mulvey (1963) mengenai fetisisme sebagai gaya hidup, dalam fenomena tersebut

dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia cenderung terjebak pada gaya hidup fetish

dengan berusha mati-matian mendapatkan BB Bellagio yang dijual separuh harga tersebut.

Sesuai dengan konsep fetisisme komoditas yang dikemukakan Marx dalam Das Kapital

(1954), orang-orang yang turut terlibat dalam antiran peluncuran BB Bellagio itu dapat

dipandang sebagai entitas yang terdominasi oleh sistem kapitalisme. Namun, sebagai pihak

yang berada dalam posisi subordinat, perilaku mereka justru merupakan suatu bentuk

adapatasi dan reproduksi kapitalisme. Operasionalisasi sistem kapitalis kelas menengah

bekerja melalui pembentukan kepercayaan akan nilai-nilai sebuah komoditas. Begitu juga

dengan kelas menengah yang menganggap Blackberry adalah alat pemuas kebutuhan.

Mereka seolah-olah tak mau kehilangan kesempatan ketika ada produk terbaru BB.

A N A L I S I S K A S U S

Page 12: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

11 |

Kasus diskon ponsel hanya titik peledak untuk menyalurkan rasa frustrasi karena tidak puas

dengan keadaan diri. Berbagai acara di media, iklan, serta tren masyarakat sosial berusaha

menyampaikan bahwa Blackberry dapat memberikan kepuasan diri sebagai produk yang

melambangkan status sosial tinggi dan gaya hidup modern. Berbagai konstruk sosial

tersebut pada menumbuhkan sifat fetish dalam diri individu tersebut. Realitas mengenai

diskon Blacberry di atas menunjukkan fenomena fetisisme terhadap suatu produk, di mana

seorang individu tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya

demi kepuasan akan sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri individu tersebut

membawanya pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud

kebendaan. Pada akhirnya, sistem kapitalisme menggiring perilaku konsumtif ini pada

belanja gaya hidup modern, bukan belanja fungsi barang tersebut.

Marx menjelaskan bahwa fetisisime komoditas merupakan jawaban mengapa komodifikasi

bisa mengamankan dominasi kapital. Hal ini bisa dilihat dari berbagai komoditas bermerk

Blackberry yang berhasil menanrik animo masyarakat, khususnya kelas menengah untuk

membeli dan mengonsumsinya. Komoditas tersebut sebenarnya merupakan hasil produksi

yang dijadikan sebagai objek pemuas kebutuhan. Melaui merk-merk yang melekat pada

komoditas itu, hadir hubungan sosial, hadir suatu konstruk sosial tentang citra, prestise, dan

status sosial yang terbentuk dalam diri seseorang ketika ia menggunakan Blackberry, apalagi

model terbaru. Produsen berbagai komoditas itu berusaha menancapkan suatu definisi diri

yang tersampaikan melalui merk BB Bellagio tersebut.

Fetisisme terhadap komoditas Blackberry ini merupakan cara bagaimana produsen produk

kapitalis seperti Blackberry menunjukkan bahwa asas pertukaran dapat memaksakan

kekuatannya secara khusus dalam benda-benda yang menjadi lambang kultural masyarakat.

Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena roda

eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas.

Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di mana masyarakat merasa bahwa konsumsi

harus terus menerus dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena

itulah, produsen komoditas kapitalis berusaha menciptakan definisi sosial melalui sebuah

lambang produk atau brand Blackberry. Setelah brand tercipta, produsen kapitalis berusaha

membentuk definisi sosial dalam brand tersebut melalui konstruksi media, konstruksi media

ini membentu tren masyarakat, dan mempengaruhi masyarakat untuk melakukan

Page 13: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

12 |

konformitas dengan kehidupan modern yang dilambangkan dalam produk tersebut. Ketika

masyarakat telah merasa bahwa ia harus konform secara sosial dengan menggunakan brand

Blackberry, produsen Blackberry ini terus menjaga agar masyarakat tetap membeli dan

membeli Blackberry dengan cara terus memproduksi dan memperbaharui produk-produk

Blackberry dengan tipe terbaru yang bisa jadi tak berisikan peningkatan teknologi secara

signifikan, hanya reka ulang model atau penambahan sedikit fitur.

Jika merujuk pada Bourdieu (1989), apa yang dilakukan produsen Blackberry tersebut

menunjukkan sistem reproduksi kapitalisme modern. Bourdieu (1989) menjelaskan ada dua

jalan para produsen kapitalis ini dapat mempertahankan sistem kapitalisme modern melalui

pola konsumsi masyarakat. Pertama, membuat inidvidu untuk mengkonsumsi secara gila-

gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi ‘kelas atas’. Contohnya ialah

upaya mobilisasi vertikal yang dilakukan orang-orang ketika mereka menginginkan membeli

produk Blackberry demi kepentingan prestisius. Namun yang terjadi adalah bukanlah orang-

orang tersebut tergolong sebagai kelas atas dengan memakai Blackberry, tetapi muncul

kelas menengah beranggotakan sekumpulan individu dalam jumlah besar yang memiliki

komoditas yang serupa, yaitu Blackberry. Terjadinya kelas menengah ini sangat tampak di

Indonesia dengan adanya kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan mencukup tapi

tak besar dan memiliki daya beli yang luar biasa yang ditunjukkan dengan tingkat belanja

yang tinggi (Nielsen, dalam Kompas, 9 Desember 2011). Menurut Nielsen, kelas menengah

ini dapat ditandai dengan kepemilikan beberapa barang yang serupa, terutama barang-

barang konsumsi yang identik dengan kepraktisan, antara lain produk teknologi.

Fenomena kisuruhnya antrian BB Bellagio juga menunjukkan jalan kedua reproduksi

kapitalisme yang dilakukan para produsen dengan memebntuk siklus konsumsi melalui

produk yang plaing up-to-date. Dimulai dari kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus

berebut menduduki hirarki sosial dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas

‘high-end’ atau barang-barang yang paling mutakhir, salah satunya ialah Blackberry. Namun,

oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan memperbaharui

produk ‘high-end’ tersebut secara kontiyu dan gradual, yang terlihat dari maraknya produk-

produk BB masuk ke Indonesia dengan berbagai tipe dan rutin diperbaharui, mulai dari BB

Curve, BB Gemini, BB Apollo dan lain-lain yang diproduksi dnegan berbagai macam fitur dan

harga jual, disesuaikan untuk kelas atas atau kelas menengah.

Page 14: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

13 |

Para pemilik BB yang memiliki model tertentu biasanya menunjukkan kecenderungan untuk

terus meng-upgrade tipe BB yang dimilikinya. Bellagio yang harga aslinya dibanderol sekita

4,6 juta rupiah ini cenderung diperuntukkan untuk masyarakat kelas atas. Ketika BB ini

akhirnya diluncurkan perdana, masyarakat kelas menengaj pun berlomba-lomba untuk

memanfaatkan kesempatan memiliki produk prestisius dengan harga yang cukup terjangkau.

‘Diskon peluncuran perdana’ membuat mereka seolah-olah merasa bahwa inilah kesempatan

langka yang datang hanya sekali untuk melakukan mobilitas sosial vertikal dengan membeli

produk BB prestisius. Keinginan masyarakat untuk terus memperbaharui produk Blackberry

iyang dimilikinya tersebut akhirnya membentuk pola konsumsi modern yang terjadi dalam

repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus ‘catch-up consumption’. Sehingga, yang terjadi

adalah berlangsungnya konsumsi terus menerus dan bertambahnya kelas menengah yang

terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd, 2008). Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang

membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme bekerja dengan membangun kelas atas atau

penguasa kapital yang merencanakan pola konsumsi dan menciptakan kelas menengah

dalam jumlah massif untuk mengikuti pola konsumsi ‘kelas atas’ tersebut.

MEMBANGUN KONSUMERISME KELAS MENENGAH LEWAT BLACKBERRY

Ricuhnya antrian Blackberry yang pembelinya didominasi masyarakat kelas menengah

tersebut menunjukkan bahwa prosuksi kapitalisme berhasil menciptakan pasar untuk

mereproduksi sistem kapitalisme. Sistem produksi kapitalisme modern dengan sengaja

membangun kemakmuran bagi kelas pekerja menengah dengan tingkat pengendalian

idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan kelas menengah

tersebut. Hal ini dibuktikan dari peningkatan pendapatan per kapita Indonesia di akhir tahun

2011 menjadi USD 3.269, padahal analis dari Golden & Sach memperkirakan pendapatan per

kapita Indonesia baru tumbuh menjadi USD3.000 pada tahun 2020. Naiknya pendapatan per

kapita ini dibareng dengan melonjaknya tingkat konsumsi di kalangan kelas menengah,

sehingga dari total pendapatan tersebut, hampir 80-90% habis dibelanjakan, bahkan ada

yang tingkat konsumsinya melebihi pendapatan (Nielsen, dalam Kompas, 9 Desember 2011).

Kondisi tingkat kemakmuran dan pembentukan gaya hidup konsumtif kelas menengah

masyarakat Indonesia tersebut sangat erat kaitannya dengan kapitalisme (Chaney, 1996).

Sistem kapitalisme dengan segala kebebasan produksinya telah mengkondisikan individu

Page 15: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

14 |

pada pemikiran delusional mengenai status, kelas, posisi sosial, dan prestise, dan berbagai

pakem standar yang harus diikuti dalam kehidupan modern. Kapitalisme memastikan bahwa

keuntungan diperoleh melalui produksi yang memberi keuntungan sebanyak-banyaknya.

Salah satu produk kapitalis modern yang memiliki pengaruh terkuat kepada konsumen ialah

produk teknologi, seperti Blackberry ini. Melalui penciptaan sebuah brand yang mengandung

fitur khas di dalamnya, Blackberry berhasil menciptakan fetisisme terhadap brand ini, yang

membuat orang tak lagi rasional ketika melakukan pembelian Blackberry.

Kelas pekerja yang telah mengalami ‘kemakmuran’ ini pada dasarnya menginginkan untuk

mengonsumsi kemewahan Blackberry untuk membeli citra sosial yang dibangun di

dalamnya, bukan untuk memperoleh fungsi telepon genggam yang mereka butuhkan, atau

membeli teknologi yang ada di dalamnya. Sesuai dengan yang dikatakan pakar teknologi,

Onno W. Purbo, tak ada peningkatan teknologi dalam BB Bellagio terbaru ini. Masyarakat

hanya menginginkannya karena produk tersebut bermerk, dicitrakan sebagai lambang

modernitas, dan dijual dengan harga yang sangat menggiurkan. Meskipun masyarakat kelas

menengah ini telah mengalami kenaikan penghasilan, merek tetap kelompok yang

dihadapkan pada keterbatasan finansial, apalagi demi memuaskan hasrat konsumsinya.

Irasionalitas masyarakat dalam mengonsumsi produk Blackberry terbaru tersebut

menunjukkan adanya dorongan akan kebutuhan semu seperti yang didelaskan oleh Marcuse

(1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya

berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang

dinyatakan oleh produk Blackberry. Sehingga ketika diluncurkan produk Blackberry terbaru,

mau tidak mau masyarakat tentu tergoda dengan status sosial, prestise, dan citra yang bisa

didapatkan melalui Blacberry dan dan bisa diperoleh dengan setengah harga. Implikasinya,

kebutuhan-kebutuhan palsu terhadap pencitraan sosial yang dibentuk melalui produk

kapitalis ini membuat masyarakat bernafsu untuk memenuhinya, sementara kebutuhan-

kebutuhan sejati yang sebenarnya, seperti kebebasan diri, rasa aman, perlindungan terhadap

diri sendiri justru diabaikan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan kebutuhan-

kebutuhan palsu yang membuat mereka berpikir bahwa mereka harus memiliki apa yang

(mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan.

Page 16: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

15 |

Oleh karena itu, masyarakat kelas menengah ini seperti tak mau ketinggalan untuk

mendapatkan produk mewah yang harganya didiskon sampai 50%. Mereka tak peduli

meskipun harus berdesak-desakan dan harus menggunakan kartu kredit untuk membelinya,

segala cara dilakukan untuk memuaskan hasrat memiliki produk terbaru Blackberry. Pola

perilaku konsumsi yang cednerung irasional ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah

komoditas, Blackberry mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme

membawa seorang konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli Blackberry model

terbaru dan membuatnya tidak sadar akan kebutuhan akan keamanan diirinya, saat itulah

kapitalisme suskses mencipatakan fetisisme Blackberry dalam diri konsumen.

Fetisisme ini kemudian mendorong pada konsumerisme. Masyarakat yang telah fetis

terhadap Blackberry akan mudah terpengaruh untuk terus membeli dan mengonsumsi

Blackberry yang paling up-to-date. Hal ini ditopang dengan konstruksi media massa

terhadap produk Blackberry terbaru yang dinilai sesuai dengan gaya hidup modern dan

sesuai dengan kebutuhan masyarakat urban. Oleh karena itulah, sasaran penjualan produk

tersebut tak hanya kelas borjuis, tetapi telah mengarah kepada kelas menengah yang yang

didasarkan pada kemakmuran dan konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk

kontrol sosial yang lebih umum melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007).

Metode pembelian BB Bellagio yang menggunakan credit card juga semakin menguatkan

bahwa obral Blackberry ini hanyalah salah satu cara atau insentif yang diberikan kepada kelas

menengah untuk medorong mereka terus dan terus mengonsumsi ke depannya. Masyarakat

kelas menengah menjadi berpikir bahwa kartu kredit adalah barang yang identik dengan

gaya hidup modern dan harus dimiliki untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan

modern tersebut. Fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan melalui sistem kredit, juga

hadirnya kartu ajaib ‘credit card’ akhirnya menjadi solusi instan untuk memenuhi hasrat akan

produk-produk up to date. Dengan hanya menggesek kartu kredit, dalam sekejap barang-

barang mewah tersebut berada dalam genggaman. Meskipun barang-barang mutakhir

tersebut belum tentu menjadi kebutuhan, masyarakat tetap saja membelinya demi

membiayai prestise yang menjadi penunjang gaya hidup modern. Pola konsumsi berlebihan

dan cenderung irasional tersebut akhirnya membentuk individu-individu dalam kehidupan

modern menjadi masyarakat yang konsumtif yang tak pernah puas dalam membeli barang,

persis seperti yang dikatakan Baudrillard (1998) tentang wujud masyarakat konsumsi.

Page 17: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

16 |

Berdasarkan paparan konseptual dan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan

bahwa dari segi konseptual, fetisisme komoditas merupakan konsep yang awalnya

dirumuskan oleh Karl Marx tentang bagaimana sistem kapitalisme mengamankan moda

produksinya melalui pembentukan keyakinan dalam diri individu mengenai nilai dan relasi

sosial suatu hasil produksi. Dalam masyarakat kapitalis modern, fetisisme komoditas

merupakan cara untuk mempertahankan status quo kapitalisme melalui perilaku konsumsi

individu dalam kehidupan sehari-hari.

Fetisisme komoditas menekankan nilai pertukaran suatu barang dibanding nilai fungsinya,

sehingga dalam mengkonsumsi suatu produk, seorang individu lebih memikirkan nilai yang

ia peroleh dalam relasi sosial dari produk tersebut, dibanding fungsi produk tersebut untuk

memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang menciptakan sifat konsumtif dalam diri individu.

Akibatnya, terbentuklah suatu masyarakat pekerja kelas menengah yang selalu berusaha

mengkonsumsi komoditas kapitalis dengan tujuan memperoleh nilai sosial barang tersebut.

Fenomena konsumerisme yang terbentuk melalui fetisisme komoditas ini dapat dilihat dalam

kasus kisruh antrian BB Bellagio yang didiskon 50% pada peluncuran perdana di Indonesia.

Sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam antrian tersebut adalah masyarakat kelas

menengah yang notabene memiliki literasi dan rasionalitas. Namun, fetisisme terhadap

komoditas Blackberry yang terbntuk dalam masyarakat kelas menengajh membuat mereka

tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya demi kepuasan akan

sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri individu tersebut membawanya pada

suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan.

Fetisisme ini kemudian mendorong pada konsumerisme. Masyarakat yang telah fetis

terhadap Blackberry akan mudah terpengaruh untuk terus membeli dan mengonsumsi

Blackberry yang paling up-to-date. Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan

jalan menciptakan dan memperbaharui produk tersebut secara kontiyu dan gradual,

sehingga membentuk siklus ‘catch-up consumption’ dan mengakibatkan berlangsungnya

bertambahnya kelas menengah dan membentuk masyarakat konsumtif.

P E N U T U P

Page 18: Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah Terhadap Blackberry Dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas

17 |

Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Soceity: Myths and Structures. London: SAGE

Publications, Ltd.

Bourdieu, Pierre. (1989). “Social Space and Symbolic Power”. Sociological Theory Vol.7(1)

Burton, Graeme. (2005). Media and Society: Critical Perspectives. New Delhi : Rawat

Publication.

Lloyd, Gareth. (2008). Thesis. Commodity Fetishism and Domination: The Contributions of

Marx, Lukacs, Horkheimer, Adorno and Bourdieu. Rhodes University : School of Humanity.

Lewin, Haskell dan Jacob Morris. (1977). “Marx’s Concept of Fetishism”. Science and Society,

Vol. 41(2), 172-190.

Masniasari, Amelia. (2008). Miss Jinjing: Belanja Sampai Mati. Jakarta: Gagas Media.

Mohamad, Goenawan. (2010, 5 Juli). Repetisi. Kolom Catatan Pinggir dalam Majalah Tempo.

Diunduh dari http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2010/07/05/mbm.20100705.

CTP133997. id.html pada 26 Mei 2011 Pukul 14.30.

Mulvey, Laura. (1993). “Some Thoughts on Theories of Fetishism in the Context of

Contemporary Culture”. October Vol. 65, 3-20. The MIT Press.

Mulvey, Laura. (1996). Fetishism and Curiousity. London : British Film Institute.

Pambudy, Ninuk Mardiana. (2011, 9 Desember). “Siap Berubah dan Menuntut Perubahan”,

dalam Kompas, 46.

Redana, Bre. (2011, 9 Desember). “Hiperkonsumerisme, Hiperteks, Hipermedia” dalam

Kompas, 45.

Ripstein, Arthur. (1987, December). “Commodity Fetishism”. Canadian Journal of Philosophy

Vol. 17 (4), 733-748.

Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.

Terjemahan. Yogyakarta : Jejak.

Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada, Yogyakarta: Jalasutra.

http://tekno.kompas.com/read/2011/11/27/11355290/Gara.gara.Bellagio..Jakarta.Mendunia

http://tekno.kompas.com/read/2011/11/25/10283387/Peminat.Bellagio.Membludak..Antrian.

Sempat.Ricuh

D A F T A R R E F E R E N S I