menyoal kembali filsafat, naturalisme dan materialisme
DESCRIPTION
Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan MaterialismeTRANSCRIPT
Makalah1
Menyoal Kembali Filsafat: Naturalisme dan Materialisme
Oleh: Ahda Abid Al-Ghiffari (09406241042), Raditya Ilham Fadillah (09406241045), Teti Widhi Wahyu Wulandari (09406241023), Azhar Ika Nugroho (09406241048).2
A. Latar Belakang
Pengertian awal untuk mempelajari filsafat adalah bahwa “manusia itu berfikir’. Semua
hal yang diterima oleh indera manusia diterima secara kritis oleh manusia sendiri. Mereka
kembali mempertanyakan asal muasal dan penguraian dari segala makna yang dapat dicapai oleh
pikiran mereka. Terlalu panjang untuk kembali mendiskusikan hal ini. Namun tidak menutup
kemungkinan, berangkat dari hal tersebut, kita tahu, semua hal yang terasa oleh panca indera
kita, bahkan oleh perasaan kita akan dicerna oleh satu bagian organ dari tubuh kita: otak.
Hasilnya pemikiran baru muncul, atau setidaknya memaknai suatu hal akan menjadi lebih luas
dan menenggelamkan sifat-sifat meaningless suatu hal.
Kita akan berbicara tentang sejarah. Berbicara tentang sungguh bukan membuat suatu
penyempitan makna. Berbicara tentang sejarah, artinya menafsirkan sejarah. Bukan makna
peristiwa yang definitif atas segala unsur yang khusus tentang sejarah. Semua peristiwa itu
sejarah, masa lalu, bentuknya akan begitu luas bila dikembalikan pada kata umumnya, maka
pada wilayah itulah kita akan mengotak-atik –memberikan definisi hingga memperdalam
maknanya melalui penguraian yang mendalam.
Bukan tidak bijak memulai sebuah pengertian tentang “filsafat sejarah” dengan serta
merta, melainkan alangkah lebih indahnya bila kita mengerti pembentukan maknanya dari yang
mulai abstrak hingga terwujud banyak bentuk-bentuk yang lebih mudah dikonsumsi oleh publik
–dalam artian segalanya dalam filsafat akan tampak membingungkan bagi orang awam,
mempertanyakan asal- muasal kehidupan hingga menyelami barisan kata-kata yang tersusun oleh
berjuta alam pikir, semuanya begitu rumit hingga manusia mengkonsumsi lebih banyak
pengertian atau analogi agar lebih mudah menerimanya sebagai hasil pikir yang disadari sesama
manusia.
1 Sebuah karya yang kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah, dosen pengampu: Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag.
2 Mahasiswa UNY jurusan Pendidikan Sejarah 2009 (A).
Segalanya terkandung makna untuk ditafsirkan. Barat bereteriak-teriak bahwa awal
kemajuan mereka terletak pada rasionalitas. Akal menjadi dewa. Rennaissance merupakan
tonggak awal dari sederetan omong kosong periodesasi untuk menggambarkan tahap-tahap
mereka memulai kemajuan mereka. Mereka, saat itu (abad 15-16), mengaku ingin kembali pada
filsafat Yunani –yang mereka anggap sebagai sebuah kegemilangan bangsa-bangsa di Eropa.
Yunani mereka anggap sebuah awal, kala sebuah awal yang baik –bagi mereka- saat beberapa
orang mulai mengingkari dogma mitos, dan mulai mempertanyakan asal-muasal inti dari
kehidupan alam semesta. Fakta menggantikan khayalan, empirisme menggantikan mimpi, dan
rasionalitas menggantikan batin-batin relijiusitas. Sebuah tonggak yang mencengangkan
sekaligus memperihatinkan.
Sejak saat itu filsafat menjadi buah bibir. Orang-orang bijak, sophis dan filsuf menjadi
guru bagi mereka yang ingin belajar “membangun sebuah peradaban”. Saat itu, mereka tanpa
sadar telah mengembangkan sebuah proyek ilmu yang akan dinikmati oleh miliaran orang.
Mutlak, dengan pasang surutnya, Eropa berkembang menjadi “negeri yang berfikir”, di samping
pada saat yang sama, orang-orang Timur sedang berdialektika dengan akal budi mereka. Setelah
itu terjadilah estafet filsafat. Filsafat Yunani mulai dipelajari dan dikembangkan oleh generasi-
generasi penghuni Eropa. Karya-karya klasik Yunani diagung-agungkan.
Alam memang menjadi bahan kajian awal. definisi, hingga pertanyaan tentang asal-
muasalnya menjadi bahan perdebatan para filsuf –bahkan hingga masa emas Yunani itu lewat.
Kemudian, mereka, para filsuf mulai melirik manusia sebagai hal yang faktual. Menghubungkan
antara alam dan manusia adalah “bisnis” tersendiri bagi para filsuf. Mereka takkan bisa berfikir
tentang alam tanpa mendalami hakikat manusia. Akal, etika, moral, dan ajaran hidup mulai
dibentrokkan dengan pintu-pintu pemaknaan. Manusia menjadi suatu kajian yang menarik,
mungkin begitu mudahnya.
Filsafat naturalisme dan materialisme akan menjadi suatu awal untuk mendiskusikan
lebih jauh tentang hal sejarah. Sebagai dampak terbukanya pintu gerbang seluas-luasnya akan
pengingkaran terhadap kerohanian3 –relijiusitas, filsafat-filsafat semacam inilah yang muncul
untuk menafsirkan sebuah tatanan yang bernama alam semesta. Materialisme yang menjadi
bagian dari naturalisme berkembang di Eropa sejak abad ke 18, yang dipelopori oleh seorang
3 I.R. Poedjawinata, 1974, Pembimbing Ke Arah Filsafat, Jakarta: Pembangunan, hlm. 118.
Prancis yang bernama Lametrie. Semua pemikiran, termasuk masa lalu (sejarah) akan
dipengaruhi oleh teori-teori awal, dan dasar tentu saja, oleh filsfat-filsafat semacam naturalisme
dan materialisme. Maka sejarah sebagai bentuk umum dari masa lalu dan peristiwa-peristiwanya
dibentuk oleh pemikiran yang berkembang tentang manusia dan alam sekitarnya. Sehingga,
mahasiswa yang sedang belajar mengenai “filsafat sejarah”, akan menemui dan dicekokki
banyak filsafat yang sedang berkembang di Eropa saat itu, menurut arus periodesasi
perkembangan pemikiran di benua tersebut.
Makalah ini mencoba mendeskripsikan kembali gejolak-gejolak pemikiran yang terjadi di
Eropa, namun tidak secara khusus. Artinya, filsafat yang berkembang di Eropa saat itu telah
mempengaruhi banyak ilmu muthakir yang berkembang saat ini, atau dalam maksud
perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Semua ilmu yang berkembang saat ini –
termasuk sejarah, jika kita terima secara membabi-buta, tentu saja berpangkal dari ragam filsafat
yang berkembang di Eropa (Sciences were shaped by philosophy).
Sebagian besar dari keseluruhannya tentu saja dimotivasi oleh semangat lepas dari agama
yang sebelumnya dianggap sebagai penghambat ilmu pengetahuan. Bukan berarti kita lantas
tidak menerimanya secara serta-merta, namun hubungan ini sebenarnya lebih luas akan
menjelaskan kehadiran filsafat-filsafat Barat yang mendefiniskan tentang ilmu pengetahuan yang
kini kita nikmati secara parsial. Maka sejarah sebagai salah satu ilmu tak luput akan pengertian
ini, bahwa segala instrumennya –dari definisi hingga metodologinya- telah banyak dipengaruhi
oleh filsafat-filsafat semacam naturalisme dan materialisme. Sehingga terbentuklah dengan yang
dinamakan “filsafat sejarah”. Atau singkatnya, pandangan-pandangan dalam filsafat kesejarahan
dibentuk melalui filsafat-filsafat semacam ini (Philosophy of history has been shaped by human-
natural philosophy).
Selamat menikmati makalah kami.
B. Naturalisme
Mohammad Hatta, dalam karyanya yang monumental Alam Pikiran Yunani, pada bagian
pendahuluan menulis tentang hakikat filosofi tentang alam. Ia menulis:
Filosofi memandang alam sebagai satu soal yang bulat. Ia mencari pengetahuan yang selesai tentang alam dan penghidupan. Itulah yang dicarinya senantiasa dengan tak pernah sampai penghabisannya.4
Demikian tukilan tulisan singkat dari Hatta. Sebenarnya Hatta telah menamakan suatu
inti penting dari filsafat orang-orang Barat tentang alam ini, bahwa alam semesta ini adalah
sebuah obyek yang nyata dan patut untuk dipertanyakan. Selama beratus-ratus tahun,
pembahasan mengenai alam dan “penghidupannya” telah hidup dalam alam pikiran Barat. orang-
orang Barat telah mengira, bahwa alam merupakan suatu ketegasan dengan adanya obyek yang
nyata (real) dan merupakan inti dari pengalaman manusia melihat sesuatu secara empiris
ekstrim.
Pembahasan tentang Naturalisme tak lepas darinya. Secara khusus, naturalisme
merupakan inti dari sebuah filsafat turunan yang disebut dengan materialisme, yang akan kita
bahas selanjutnya. Naturalisme merupakan sebuah penegasan dari alam pikir orang-orang Barat
mengenai “beginlah kami (orang-orang Barat) memandang alam semesta ini.” Dari segi istilah,
kata naturalisme sebenarnya telah mewakili definisinya sendiri (The term represent its own
definition). Naturalisme adalah seperangkat teori yang menerima ‘natura’ (alam) sebagai
keseluruhan realitas. Istilah ‘natura’ telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam arti, dari
dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang
dan waktu.5
Alam yang dimaksud tidak dapat dipersempit artinya, maksudnya jika segala yang kita
pandang dalam dunia ini, bukan berarti alam itu adalah alam yang dimaksud dalam filsafat
naturalisme, namun nature yang dimaksud adalah keseluruhan ruang dan waktu yang berada
konstan tepat berada di seluruh kesatuan yang ada dalam “penghidupan” ini. Artinya, seluruh
planet yang ada di ruang angkasa, hingga kesatuan-kesatuan terkecil yang ada di alam semesta
ini. Dalam perspektif ini, kehidupan manusia mungkin tampak sebagai suatu perincian, akan
tetapi kata alam tidak merupakan kebalikan dari manusia, karya-karyanya serta kebudayaannya.
Alam mencakup semua itu dalam suatu sistem fenomena yang satu serta tidak terbagi-bagi.6
4 Mohammad Hatta, 1986 (cetakan gabungan ketiga), Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press dan Tinta Mas, hlm. 4.
5 Ajat Sudrajat, 2011, Filsafat Sejarah (Dkitat Kuliah), FIS UNY (Fakultas Ilmu Sosial Universitas negeri Yogyakarta): Tidak diterbitkan. Hlm. 8.
6 Juhaya S Praja, 2003, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Pranada Media, hlm. 143.
Sederhananya, seluruh realitas, atau kenyataan yang dapat disentuh, dan dilihat
merupakan kesatuan yang semestinya diterima. Para filsuf yang mengidap naturalisme, atau para
naturalis takkan pernah menerima khayalan, fantasi, atau segala hal yang menyangkut metafisis –
atau segala kemungkinan-kemungkinan yang [mereka anggap] imajinatif. Naturalisme adalah
dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam. Keseluruhan fenomena, atau
mudahnya kita sebut sebagai peristiwa atau kejadian, merupakan suatu realitas yang dapat
dijelaskan oleh sains dan logika. Naturalis beranggapan, kesemuanya itu berasal dari unit
rasional yang digerakkan oleh sebab-sebab yang dapat ditangkap oleh alam pikir manusia yang
logis. Maka jelas, secara ekstrim para naturalis ini akan terus menyangkal sebab-sebab yang
mengatakan bahwa alam semesta ini telah digerakkan oleh suatu kekuatan yang murni berasal
dari Tuhan. Mereka takkan membesarkan-besarkan pengaruh Tuhan terhadap pertanyaan “apa
yang membentuk alam semesta ini.”
Demikian, sedikit pembahasan tentang naturalisme. Naturalisme jika kita artikan sebagai
pintu gerbang, sebenarnya lebih mudah kita pahami, karena filsafat ini kemudian berkembang
namun perkembangannya justru mempersempit bentuknya. Naturalisme selebihnya merupakan
titik tolak atas filsafat yang lebih dinamis bentuknya, yakni materialisme. Karena itu, untuk
memahami naturalisme lebih jauh, kita harus membahas materialime secara lebih luas.
C. Materialisme
Menambahkan kata ‘material’ pada definisi naturalisme merupakan tugas pengkhususan
makna. Naturalisme menghubungkan segala realitas yang ada di alam semesta ini sebagai sebuah
kesatuan yang terbatas. Kesemuanya ditafsirkan menurut “kesatuan yang tak terbatas”, kemudian
istilah tersebut berkembang dengan hadirnya materialism, bahwa kesatuan-kesatuan tersebut
merupakan kumpulan dari materi-materi yang riil. Materialisme sebenarnya telah bertugas untuk
memperjelas makna naturalisme, atom materi sebelumnya kurang dapat dipahami dalam filsafat
naturalisme, maka materialisme menejelaskannya sebagai suatu yang bergerak sendiri, dan
merupakan unsur-unsur yang membentuk alam semesta.
Pada abad ke 18 di Perancis, muncul pemahaman bahwa kesatuan wujud yang fisik
merupakan hal yang pokok, mereka berdiri sendiri tanpa adanya kekuatan yang mengisi wujud
yang fisik tersebut. Bahkan penggagasnya, Lametrie, menegaskan manusia merupakan bagian
dari alam fisik ini, semacam mesin, mereka bisa bergerak tanpa adanya unsur jiwa (abstrak)
sekalipun, sebaliknya jiwa tanpa unsur fisik (bahan-wujud) takkan mungkin ada.7 Materialisme
mengatakan bahwa jiwa itu ada setelah adanya materi. Dunia material adalah yang pertama,
sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah yang kedua.8
Materialisme mekanik lebih ekstrim. Materialisme ini menggunakan segala kewenangan
akal untuk menafsirkan segalanya secara mekanis. Dalam artian, mekanisme akan berkembang
dalam sebuah alam yang berlaku segala gerak-gerak fisik dan mekanik dari sebuah tatanan,
karenanya alam berpikir yang abstrak dan dianggap imajinatif merupakan suatu penyangkalan
terhadap materialisme secaraa keseluruhan. Segalanya harus bisa dihitung dan dikalkulasi untuk
melihat keberadaan suatu material yang paling nampak. Sehingga, pada abad ke 15-hingga 20,
karena perkembangan matematika serta metode eksperimen ilmu alam, materialisme semacam
ini seolah-olah mendapat dukungan dan legitimasi di alam pikir orang-orang Barat. Selanjutnya,
mekanisme yang berlaku dalam hal ini kemudian dicoba dikembangkan pada seluruh perilaku
manusia.
Menurut materialisme mekanik, akal dan aktivitas-aktivitasnya merupakan bentuk-bentuk
dari perilaku (behavior). Akibatnya, untuk menjelaskan perilaku tersebut –sebagai bentuk
implementasi akal, kesadaran dan aktivitas manusia- dijelaskan sebagai tindakan-tindakan
(proses bergeraknya material) dalam otot, urat syaraf, dan kelenjar-kelenjar. Kemudian, proses-
proses tersebut secara lebih lanjut dapat dijelaskan dengan fisika atau kimia.9
Kalau saja Phytagoras, Plato dan Aristoteles hidup di zaman ketika materialisme
berkembang, mungkin mereka akan mengingkari sebagian hal yang diyakini oleh para materialis
modern. Menurut pandangan ketiga filsuf itu, tidak sepenuhnya gerak mekanis material
mempengaruhi tatanan pada segala materi yang ada di dunia ini, keteraturan atomik yang besar
maupun yang terkecil bisa saja disebabkan oleh akal (mind) atau maksud (purpose).
Selebihnya, para materialis dalam memandang seluruh perubahan realitas akan
menyangkutkan kepastian sebagai satu-satunya yang harus diandalkan. Para materialis meyakini
bahwa alam itu diatur oleh hukum-hukum alam. Hukum-hukum alam yang dimaksud bukan
7 IR Poedjawinata, loc.cit.
8 Juhaya S Praja, op.cit., hlm. 144.
9 Ibid. hlm. 147.
merupakan sebuah keniscayaan positif yang baku, tentu saja manusialah yang menegaskan
sendiri bahwa alam memiliki hukum. Hukum-hukum alam tersebut hanya bisa diperoleh dan
dituangkan dalam bentuk matematika saja jika datanya terkumpul. Hukum-hukum yang berasal
dari wahyu menjadi tak relevan dan selebihnya dianggap menjadi khayalan belaka. Segala
realitas dari kehidupan manusia, menurut konsep filsafat ini, merupakan sebuah prinsip “yang
dapat diperhitungkan”. Konsep tersebut menitikberatkan konsep pola yang terjadi dalam alam
semesta. Pola tersebut diyakini sebagai suatu kepastian.
D. Materialisme Dialektika-Historis
Setiap mempertanyakan dan mengungkapkan filsafat materialism, kita tidak dapat
melepaskan satu nama dari beberapa tokoh yang mengembangkan filsafat ini. Dialah Karl Marx
(1818-1883). Marx adalah seorang Hegelian, tulisan-tulisan Hegel membuat Marx terkesan.
Hegel merupakan seorang idealis. Dalam hal yang satu ini, Marx cenderung tak sependapat
dengan Hegel yang mengatakan bahwa ide, atau pikiran dan jiwa juga merupakan esensi alam.
Namun selebihnya, Marx setuju atas metodologi filsafat yang digunakan oleh Hegel. Metodologi
filsafat Hegel tentang dunia yang berkembang dan dinamis menunjukkan kemiripan dengan
filsafat-filsafat yang dihasilkan Marx (dan kawannya, Engels), hal ini tentu saja terjadi karena
pengaruh yang ditularkan Hegel kepada Marx. Dialektika Hegel diambil, tetapi dibalik isinya:
roh Hegel diganti.10
Filsafat dialektika Hegel mendapat seruan positif dari “murid tidak langsungnya” itu.
Materialisme dialektika mengantarkan seseorang berfikir kontradiktif dengan pikirannya sendiri.
Filsafat semacam ini jelas pernah digunakan oleh para sophis Yunani, jauh sebelum Marx
mengangkat topi tanda kehormatan kepada Hegel. Socrates dan Plato, muridnya, mungkin tokoh
yang paling dikenal dengan mengusung metode dialektika ini.11 Dialektika ini, secara sederhana,
mendorong manusia berfikir secara bertubrukkan, misal pemikiran tentang ada (being) belumlah
final sebelum kita memikirkan tentang tidak ada (non-being). Menunjukkan suatu penentangan
terhadap suatu hal merupakan sebuah kehendak dari filsafat ini hingga diperolehlah suatu hasil
10 Burhanuddin Salam, 2005, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 197.
11 Sutardjo A Wiramihardja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama, hlm. 48.
yang dinamakan becoming, atau menjadi.12 Maka implikasinya, sebuah tatanan manusia belum
final sebelum terjadi penentangan di dalam batasan-batasan kelas dalam tatanan tersebut.
Dalam segi ini, Marx (dan engels, tentu saja) setuju dengan sebuah rumusan
berkelanjutan seperti yang ditunjukkan Hegel tentang suatu perubahan: jika thesis telah terjadi
maka akan muncul pertentangannya yang berupa anti-thesis, kemudian menurut teorinya, setelah
proses tersebut, muncullah suatu proses becoming atau menjadi yang disebut synthesis. Marx
yakin, dialektika merupakan faktor empiris yang menentukan jalannya sejarah (karena doktrin
filsafat lagi bukan lagi secara umum mengomentari alam, filsafat ini telah berkembang dan
mengalami pengkhususan sebagai doktrin politik dan sejarah sejak Marx mengoceh kembali
tentang aliran baru dalam materialisme ini). Dalam ilmu-ilmu sosial yang kita nikmati sekarang,
doktrin filsafat ini lebih implikatif, ketimbang doktrin sebelumnya. Marx dan Engels kemudian
beranjak pada suatu materialisme sejarah.
Marx yakin bahwa manusia mampu mempengaruhi kehidupannya sendiri, juga mampu
mempengaruhi jalannya sejarah hingga batas tertentu. Hingga pada saatnya, Marx menemukan
suatu realisme yang berhubungan dengan determinasi ekonomi sebagai suatu faktor pendorong
bagi berjalannya suatu unit dinamika yang bernama sejarah. Manusia, menurut Marx,
mempergunakan alam untuk keperluan-keperluannya. Dalam hal ini, manusia telah melakukan
suatu kegiatan pemenuhan kebutuhan yang berujung pada tindakan-tindakannya untuk
melakukan kegiatan yang ekonomis.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat merubah kondisi hidupnya, dan ikut
membuat sejarahnya, kata Marx tanpa menegaskan adanya Tuhan sebagai faktor pendorong
tindakan yang utama. Secara nyata, Marx menambahkan bahwa proses produksi adalah faktor
pendorong tindakan, selain idea tau keinginan manusia. Maka, “mainan baru” pikiran Marx ini
jelas merupakan jenis yang berbeda dari materialisme mekanis, yang menurut zamannya terbagi
atas dua. Materialisme mekanis seperti yang kita tahu, sebenarnya condong mengungkapkan
ilmu-ilmu alam seperti fisika dan kimia sebagai suatu alat tafsir untuk memandang tindakan
manusia. Secara ekstrim, materialisme mekanis telah mereduksi tingkah laku manusia menurut
hukum alam (fisika, kimia, dan sebagainya).13
12 Ajat Sudrajat, op.cit, hlm. 12.
13 Joko Siswanto, 1998, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 80.
Sebaliknya, jika materialisme mekanis menempatkan hukum-hukum alam sebagai suatu
inti untuk mempelajari seluruh realitas alam, maka materialisme dialektika (-historis) yang
dikembangkan Marx, memandang perubahan sosial merupakan suatu realitas yang memandang
hukum-hukum perkembangan sosial sebagai cara untuk memandang pola yang terjadi secara
umum dalam realitas sosial.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi materialime yang kemudian cenderung pada arah
historis-ekonomis ini. Pertama, produksi merupakan “barang penting” untuk menganalisa arah
yang akan ditempuh sejarah. Sistem produksi yang telah ada dalam tradisonalitas manusia
merupakan material dari kebutuhan dan penggerak sejarah. Kedua, karena hubungan kelas
masyarakat merupakan salah satu unsur dari pendorong suatu tindakan, maka para Marxis
berkesimpulan sejarah bukanlah aktivitas individu, namun merupakan aktivitas massa, kelas,
group, dan kerja sama antar individu. Ketiga, Sejarah merupakan proses yang obyektif.
Kebanyakan Marxis menganggap sejarah sebagai suatu pola yang sama, yaitu sekedar
pertentangan kelas. Maka sejarawan yang menggunakan teori ini sebagai intrepetasi akan banyak
menganggap sebuah peristiwa yang terjadi hanya cenderung didorong oleh faktor konflik antar
golongan. Keempat. Sejarah merupakan perkembangan dari tahap rendah menuju tahap yang
tinggi menuju perjuangan kelas. Dalam arti ini, thesis-antithesis, dan synthesis, menjadi sangat
berlaku, karena klimaksnya, synthesis suatu peristiwa, oleh para Marxis akan dipahami sebagai
masyarakat tanpa kelas.14 Maka kemudian, filsafat ini, seperti yang telah kita kenal selama ini
akan berkembang menjadi filsafat komunisme, seperti yang Marx telah kembangkan bersama
rekannya, Engels.
E. Konklusi
Manusia dipengaruhi oleh cara pandangnya. Apabila dia memandang dunia seluruhnya
secara material (mekanis atau dialektik-historis), jadilah dia seorang yang materialis. Juga
sebaliknya, sebagaimana ragam lain menuntut menjelaskan tentang pandangannya terhadap
dunia ini. Jika ia Islam, ia memandang dunia ini dengan kaca mata Islam, seperti yang
ditunjukkan oleh dua pedomannya (al-Qur’an dan Hadits Shahihah). Jika ia luput atas cara
pandang itu, maka keislamannya mulai dipertanyakan. Begitupula sebaliknya, seorang yang
14 Ibid., hlm. 86.
mengaku dirinya seorang materialis, dituntut oleh kaum atau golongannya untuk menggunakan
filsafat materialisme untuk menjadi cara pandang, pengimplikasian, dan sistem-sistem di
dalamnya secara mekanis atau dialektika-historis. Jika seorang tersebut, yang mengaku
materialis namun tidak menunjukkan cara pandangnya sebagai materialis, maka kefilsufannya
sebagai filsuf materialisme mulai dipertanyakan. Mungkin ia akan dicap sebagai pengkhianat
oleh golongannya karena filsafat materialisme yang “katanya” akan digunakannya tersebut
ternyata tidak digunakan.
Seperti yang telah kita tahu, belajar filsafat, atau menulis makalah (atau artikel) tentang
filsafat, apapun jenis filsafatnya, bukanlah hal yang mudah. Berkata-kata memang murah.
Namun menjadi beban andai saja ketika seorang Marxian dipaksa untuk membuat makalah
tentang kapitalisme, dan di dalam artikel yang akan ditulisnya itu harus tidak ada kritik. Segala
yang ditulis oleh Marxian tersebut harus tampak indah. Sulit bukan? Namun dalam keadaan tak
terpaksa, mungkin saja Marxian itu bisa menulis kritikan atas pandangannya tentang kapitalisme.
Karena kebenciannya-pun ia takkan bersedia menuliskan keindahan seperti yang diharapkan para
kapitalis, mungkin dalam artikelnya, Marxian itu akan memaki-maki kapitalisme.
Itulah mungkin lebih tepatnya. Jadi, menulis artikel semacam ini bukanlah pekerjaan
yang harus menyita alam pikiran kita untuk menyelami secara lebih dalam filsafat Naturalisme
atau materialisme, atau bahkan terjun ke dalamnya, menjadi seorang naturalis atau materialis
sekalipun. Tentu tidak perlu. Kita hanya perlu menjadi “orang luar”. Sebagai orang luar, kita
tidak harus mengomentari filsafat-filsafat semacam ini dengan penuh kehormatan, kita bisa saja
menjadi seperti Marxian saat ia tidak dipaksa menulis tentang kapitalisme secara penuh klise
keindahan (kapitalisme). Biarlah cara pandang yang kita yakini mempengaruhi tulisan-tulisan
kita tentang filsafat, pemikiran, dan ideologi yang tidak kita yakini dengan sudut pandang “yang
kita yakini”.
Sebagai kesimpulan, kami berpendapat dan memutuskan untuk menjadi “orang luar”
seperti yang telah disebutkan. Kami telah meyakini Islam sebagai filsafat kami. Kami takkan
perlu menjadi seorang naturalis atau materialis, sekalipun kami disuruh berlaku demikian.
Sebagai komentar singkat terhadap dua filsafat yang satu dengan lainnya sangat mempengaruhi
ini, sementara ini kami berkomentar bahwa dua filsafat tersebut lahir dari arus pertentangan
terhadap kerohanian. Dalam suatu masa, orang-orang Eropa telah membenci dengan apa yang
disebut “agama”. Kerohanian atau relijiusitas dipertentangkan karena, dogma gereja (nasrani)
yang saat itu mendominasi kebijakan para monarki Eropa telah disimpangkan, dan
penyimpangan itu juga telah membawa pertentangan bagi kaum intelektual. Dogma yang telah
sampai pada penyimpangan di tingkat elite politik maupun agamawan tersebut dianggap
menghambat laju perkembangan sains.
Walhasil, singkat cerita, tibalah suatu massa yang terkenal disebut Renaissance pada
sekitar abad ke 15-16, sebagai reaksi atas dogma gereja yang mengungkung. Reaksi ini
berbentuk keinginan untuk mengembalikan alam pikir orang-orang Eropa seperti pada masa
Yunani Klasik, sebagai suatu representasi kejayaan pemikiran yang menang atas mitos yang
berkembang. Maka Renaissance dianggap sebagai zaman kejayaan kembali atas pemikiran dan
filsafat. Filsafat yang muncul setelah Renaissance merupakan filsafat “yang benci Tuhan”
sehingga jelas kita telah melihat naturalisme dan materialisme yang hanya menerima empirisme
(pengalaman) dan realitas (fakta) sebagai hal yang logis dan dapat disentuh. Mereka menafikkan
eksistensi Tuhan. Mereka mereduksi alam pikir tentang Tuhan sebagai salah satu eksistensi yang
berdiri sendiri dan tidak berwenang mengatur alam dan proses kehidupan, padahal kita meyakini
“campur tangan Tuhan” dalam proses dan tindakan itu.
Seperti yang digagas Marx bahwa manusia yang mengarahkan sejarahnya sendiri. Marx
bahkan juga berkesimpulan bahwa agama adalah racun. Agama menurutnya adalah legitimator
bagi kaum reaksioner-diktator, dan rakyat memiliki material tersendiri untuk menggantikan
eksistensi agama. Material tersebut menurut Marx akan berkontradiksi dengan agama “yang
dimiliki” oleh kaum reaksioner-diktator.15 Sistem yang dibangun Marx mencakup keseluruhan
gagasannya, artinya pemikiran tersebut jelas mempengaruhi pemikiran-pemi kirannya yang lain,
lihat saja seperti yang digagasnya tentang manusia adalah satu-satunya unsur yang menggerakan
sejarah. Padahal sebagai Muslim, kita tidak bisa menafikkan eksistensi Allah sebagai unsur
pokokdan mulia yang menggerakan sejarah. Banyak sekali intelektual atau cendikiawan yang
ahli dalam bidang filsafat juga menaruh komentar yang frontal, dan menempatkan cara pandang
Islam untuk mengomentari filsafat-filsafat semacam ini, seperti yang diternagkan Juhaya S. Praja
bahwa jika kita menerima sains sebagai satu-satunya yang dapat menjelaskan segala sesuatu,
akibatnya tidak ada yang percaya dengan Allah.16
15 Lihat IR Poedjawinata, op.cit., hlm. 120.
16 Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 149.
Demikian, mengenal filsafat semacam ini bukan menjadi acuan yang pasti untuk bisa
diterapkan secara keseluruhan. Perlu ada timbangan baik dan buruk menurut “apa yang kita
yakini” sebagai ukuran kebenaran. Sebagai guru atau calon sejarawan, mestinya kita juga
bertindak demikian. Kita hanya perlu mempelajari, tanpa perlu menjadi. Mengenal tidak mesti
dengan menyentuh, apalagi bersetubuh. Atau bahasa yang sedang populer belakangan ini,
“bergabung tidak berarti melebur.” Seperti orang bijak mengatakan, “Jika ada kebaikan di
dalamnya marilah kita ambil. Jika ada keburukan di dalamnya buanglah jauh-jauh, sebelumnya
boleh kita injak-injak terlebih dahulu, kita bakar, sobek, atau ludahi.” Sebagai sejarawan, tak
perlulah kita terlalu memaksakan menggunakan teori-teori materialisme dialektika-historis
secara membabi buta. Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Ajat Sudrajat, 2011, Filsafat Sejarah (Dkitat Kuliah), FIS UNY (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakrta): Tidak diterbitkan.
Burhanuddin Salam, 2005, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara.
I.R. Poedjawinata, 1974, Pembimbing Ke Arah Filsafat, Jakarta: Pembangunan.
Joko Siswanto, 1998, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Juhaya S Praja, 2003, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Pranada Media.
Mohammad Hatta, 1986 (cetakan gabungan ketiga), Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press dan Tinta Mas.
Sutardjo A Wiramihardja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama.