menyoal kembali filsafat, naturalisme dan materialisme

19
Makalah 1 Menyoal Kembali Filsafat: Naturalisme dan Materialisme Oleh: Ahda Abid Al-Ghiffari (09406241042), Raditya Ilham Fadillah (09406241045), Teti Widhi Wahyu Wulandari (09406241023), Azhar Ika Nugroho (09406241048). 2 A. Latar Belakang Pengertian awal untuk mempelajari filsafat adalah bahwa “manusia itu berfikir’. Semua hal yang diterima oleh indera manusia diterima secara kritis oleh manusia sendiri. Mereka kembali mempertanyakan asal muasal dan penguraian dari segala makna yang dapat dicapai oleh pikiran mereka. Terlalu panjang untuk kembali mendiskusikan hal ini. Namun tidak menutup kemungkinan, berangkat dari hal tersebut, kita tahu, semua hal yang terasa oleh panca indera kita, bahkan oleh perasaan kita akan dicerna oleh satu bagian organ dari tubuh kita: otak. Hasilnya pemikiran baru muncul, atau setidaknya memaknai suatu hal akan menjadi lebih luas dan menenggelamkan sifat-sifat meaningless suatu hal. Kita akan berbicara tentang sejarah. Berbicara tentang sungguh bukan membuat suatu penyempitan makna. Berbicara tentang sejarah, artinya menafsirkan sejarah. Bukan makna peristiwa yang definitif atas segala unsur yang khusus tentang sejarah. Semua peristiwa itu sejarah, masa lalu, bentuknya akan begitu luas bila 1 Sebuah karya yang kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah, dosen pengampu: Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag. 2 Mahasiswa UNY jurusan Pendidikan Sejarah 2009 (A).

Upload: raynaldi-agil

Post on 09-Aug-2015

148 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

TRANSCRIPT

Page 1: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Makalah1

Menyoal Kembali Filsafat: Naturalisme dan Materialisme

Oleh: Ahda Abid Al-Ghiffari (09406241042), Raditya Ilham Fadillah (09406241045), Teti Widhi Wahyu Wulandari (09406241023), Azhar Ika Nugroho (09406241048).2

A. Latar Belakang

Pengertian awal untuk mempelajari filsafat adalah bahwa “manusia itu berfikir’. Semua

hal yang diterima oleh indera manusia diterima secara kritis oleh manusia sendiri. Mereka

kembali mempertanyakan asal muasal dan penguraian dari segala makna yang dapat dicapai oleh

pikiran mereka. Terlalu panjang untuk kembali mendiskusikan hal ini. Namun tidak menutup

kemungkinan, berangkat dari hal tersebut, kita tahu, semua hal yang terasa oleh panca indera

kita, bahkan oleh perasaan kita akan dicerna oleh satu bagian organ dari tubuh kita: otak.

Hasilnya pemikiran baru muncul, atau setidaknya memaknai suatu hal akan menjadi lebih luas

dan menenggelamkan sifat-sifat meaningless suatu hal.

Kita akan berbicara tentang sejarah. Berbicara tentang sungguh bukan membuat suatu

penyempitan makna. Berbicara tentang sejarah, artinya menafsirkan sejarah. Bukan makna

peristiwa yang definitif atas segala unsur yang khusus tentang sejarah. Semua peristiwa itu

sejarah, masa lalu, bentuknya akan begitu luas bila dikembalikan pada kata umumnya, maka

pada wilayah itulah kita akan mengotak-atik –memberikan definisi hingga memperdalam

maknanya melalui penguraian yang mendalam.

Bukan tidak bijak memulai sebuah pengertian tentang “filsafat sejarah” dengan serta

merta, melainkan alangkah lebih indahnya bila kita mengerti pembentukan maknanya dari yang

mulai abstrak hingga terwujud banyak bentuk-bentuk yang lebih mudah dikonsumsi oleh publik

–dalam artian segalanya dalam filsafat akan tampak membingungkan bagi orang awam,

mempertanyakan asal- muasal kehidupan hingga menyelami barisan kata-kata yang tersusun oleh

berjuta alam pikir, semuanya begitu rumit hingga manusia mengkonsumsi lebih banyak

pengertian atau analogi agar lebih mudah menerimanya sebagai hasil pikir yang disadari sesama

manusia.

1 Sebuah karya yang kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah, dosen pengampu: Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag.

2 Mahasiswa UNY jurusan Pendidikan Sejarah 2009 (A).

Page 2: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Segalanya terkandung makna untuk ditafsirkan. Barat bereteriak-teriak bahwa awal

kemajuan mereka terletak pada rasionalitas. Akal menjadi dewa. Rennaissance merupakan

tonggak awal dari sederetan omong kosong periodesasi untuk menggambarkan tahap-tahap

mereka memulai kemajuan mereka. Mereka, saat itu (abad 15-16), mengaku ingin kembali pada

filsafat Yunani –yang mereka anggap sebagai sebuah kegemilangan bangsa-bangsa di Eropa.

Yunani mereka anggap sebuah awal, kala sebuah awal yang baik –bagi mereka- saat beberapa

orang mulai mengingkari dogma mitos, dan mulai mempertanyakan asal-muasal inti dari

kehidupan alam semesta. Fakta menggantikan khayalan, empirisme menggantikan mimpi, dan

rasionalitas menggantikan batin-batin relijiusitas. Sebuah tonggak yang mencengangkan

sekaligus memperihatinkan.

Sejak saat itu filsafat menjadi buah bibir. Orang-orang bijak, sophis dan filsuf menjadi

guru bagi mereka yang ingin belajar “membangun sebuah peradaban”. Saat itu, mereka tanpa

sadar telah mengembangkan sebuah proyek ilmu yang akan dinikmati oleh miliaran orang.

Mutlak, dengan pasang surutnya, Eropa berkembang menjadi “negeri yang berfikir”, di samping

pada saat yang sama, orang-orang Timur sedang berdialektika dengan akal budi mereka. Setelah

itu terjadilah estafet filsafat. Filsafat Yunani mulai dipelajari dan dikembangkan oleh generasi-

generasi penghuni Eropa. Karya-karya klasik Yunani diagung-agungkan.

Alam memang menjadi bahan kajian awal. definisi, hingga pertanyaan tentang asal-

muasalnya menjadi bahan perdebatan para filsuf –bahkan hingga masa emas Yunani itu lewat.

Kemudian, mereka, para filsuf mulai melirik manusia sebagai hal yang faktual. Menghubungkan

antara alam dan manusia adalah “bisnis” tersendiri bagi para filsuf. Mereka takkan bisa berfikir

tentang alam tanpa mendalami hakikat manusia. Akal, etika, moral, dan ajaran hidup mulai

dibentrokkan dengan pintu-pintu pemaknaan. Manusia menjadi suatu kajian yang menarik,

mungkin begitu mudahnya.

Filsafat naturalisme dan materialisme akan menjadi suatu awal untuk mendiskusikan

lebih jauh tentang hal sejarah. Sebagai dampak terbukanya pintu gerbang seluas-luasnya akan

pengingkaran terhadap kerohanian3 –relijiusitas, filsafat-filsafat semacam inilah yang muncul

untuk menafsirkan sebuah tatanan yang bernama alam semesta. Materialisme yang menjadi

bagian dari naturalisme berkembang di Eropa sejak abad ke 18, yang dipelopori oleh seorang

3 I.R. Poedjawinata, 1974, Pembimbing Ke Arah Filsafat, Jakarta: Pembangunan, hlm. 118.

Page 3: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Prancis yang bernama Lametrie. Semua pemikiran, termasuk masa lalu (sejarah) akan

dipengaruhi oleh teori-teori awal, dan dasar tentu saja, oleh filsfat-filsafat semacam naturalisme

dan materialisme. Maka sejarah sebagai bentuk umum dari masa lalu dan peristiwa-peristiwanya

dibentuk oleh pemikiran yang berkembang tentang manusia dan alam sekitarnya. Sehingga,

mahasiswa yang sedang belajar mengenai “filsafat sejarah”, akan menemui dan dicekokki

banyak filsafat yang sedang berkembang di Eropa saat itu, menurut arus periodesasi

perkembangan pemikiran di benua tersebut.

Makalah ini mencoba mendeskripsikan kembali gejolak-gejolak pemikiran yang terjadi di

Eropa, namun tidak secara khusus. Artinya, filsafat yang berkembang di Eropa saat itu telah

mempengaruhi banyak ilmu muthakir yang berkembang saat ini, atau dalam maksud

perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Semua ilmu yang berkembang saat ini –

termasuk sejarah, jika kita terima secara membabi-buta, tentu saja berpangkal dari ragam filsafat

yang berkembang di Eropa (Sciences were shaped by philosophy).

Sebagian besar dari keseluruhannya tentu saja dimotivasi oleh semangat lepas dari agama

yang sebelumnya dianggap sebagai penghambat ilmu pengetahuan. Bukan berarti kita lantas

tidak menerimanya secara serta-merta, namun hubungan ini sebenarnya lebih luas akan

menjelaskan kehadiran filsafat-filsafat Barat yang mendefiniskan tentang ilmu pengetahuan yang

kini kita nikmati secara parsial. Maka sejarah sebagai salah satu ilmu tak luput akan pengertian

ini, bahwa segala instrumennya –dari definisi hingga metodologinya- telah banyak dipengaruhi

oleh filsafat-filsafat semacam naturalisme dan materialisme. Sehingga terbentuklah dengan yang

dinamakan “filsafat sejarah”. Atau singkatnya, pandangan-pandangan dalam filsafat kesejarahan

dibentuk melalui filsafat-filsafat semacam ini (Philosophy of history has been shaped by human-

natural philosophy).

Selamat menikmati makalah kami.

B. Naturalisme

Mohammad Hatta, dalam karyanya yang monumental Alam Pikiran Yunani, pada bagian

pendahuluan menulis tentang hakikat filosofi tentang alam. Ia menulis:

Page 4: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Filosofi memandang alam sebagai satu soal yang bulat. Ia mencari pengetahuan yang selesai tentang alam dan penghidupan. Itulah yang dicarinya senantiasa dengan tak pernah sampai penghabisannya.4

Demikian tukilan tulisan singkat dari Hatta. Sebenarnya Hatta telah menamakan suatu

inti penting dari filsafat orang-orang Barat tentang alam ini, bahwa alam semesta ini adalah

sebuah obyek yang nyata dan patut untuk dipertanyakan. Selama beratus-ratus tahun,

pembahasan mengenai alam dan “penghidupannya” telah hidup dalam alam pikiran Barat. orang-

orang Barat telah mengira, bahwa alam merupakan suatu ketegasan dengan adanya obyek yang

nyata (real) dan merupakan inti dari pengalaman manusia melihat sesuatu secara empiris

ekstrim.

Pembahasan tentang Naturalisme tak lepas darinya. Secara khusus, naturalisme

merupakan inti dari sebuah filsafat turunan yang disebut dengan materialisme, yang akan kita

bahas selanjutnya. Naturalisme merupakan sebuah penegasan dari alam pikir orang-orang Barat

mengenai “beginlah kami (orang-orang Barat) memandang alam semesta ini.” Dari segi istilah,

kata naturalisme sebenarnya telah mewakili definisinya sendiri (The term represent its own

definition). Naturalisme adalah seperangkat teori yang menerima ‘natura’ (alam) sebagai

keseluruhan realitas. Istilah ‘natura’ telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam arti, dari

dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang

dan waktu.5

Alam yang dimaksud tidak dapat dipersempit artinya, maksudnya jika segala yang kita

pandang dalam dunia ini, bukan berarti alam itu adalah alam yang dimaksud dalam filsafat

naturalisme, namun nature yang dimaksud adalah keseluruhan ruang dan waktu yang berada

konstan tepat berada di seluruh kesatuan yang ada dalam “penghidupan” ini. Artinya, seluruh

planet yang ada di ruang angkasa, hingga kesatuan-kesatuan terkecil yang ada di alam semesta

ini. Dalam perspektif ini, kehidupan manusia mungkin tampak sebagai suatu perincian, akan

tetapi kata alam tidak merupakan kebalikan dari manusia, karya-karyanya serta kebudayaannya.

Alam mencakup semua itu dalam suatu sistem fenomena yang satu serta tidak terbagi-bagi.6

4 Mohammad Hatta, 1986 (cetakan gabungan ketiga), Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press dan Tinta Mas, hlm. 4.

5 Ajat Sudrajat, 2011, Filsafat Sejarah (Dkitat Kuliah), FIS UNY (Fakultas Ilmu Sosial Universitas negeri Yogyakarta): Tidak diterbitkan. Hlm. 8.

6 Juhaya S Praja, 2003, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Pranada Media, hlm. 143.

Page 5: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Sederhananya, seluruh realitas, atau kenyataan yang dapat disentuh, dan dilihat

merupakan kesatuan yang semestinya diterima. Para filsuf yang mengidap naturalisme, atau para

naturalis takkan pernah menerima khayalan, fantasi, atau segala hal yang menyangkut metafisis –

atau segala kemungkinan-kemungkinan yang [mereka anggap] imajinatif. Naturalisme adalah

dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam. Keseluruhan fenomena, atau

mudahnya kita sebut sebagai peristiwa atau kejadian, merupakan suatu realitas yang dapat

dijelaskan oleh sains dan logika. Naturalis beranggapan, kesemuanya itu berasal dari unit

rasional yang digerakkan oleh sebab-sebab yang dapat ditangkap oleh alam pikir manusia yang

logis. Maka jelas, secara ekstrim para naturalis ini akan terus menyangkal sebab-sebab yang

mengatakan bahwa alam semesta ini telah digerakkan oleh suatu kekuatan yang murni berasal

dari Tuhan. Mereka takkan membesarkan-besarkan pengaruh Tuhan terhadap pertanyaan “apa

yang membentuk alam semesta ini.”

Demikian, sedikit pembahasan tentang naturalisme. Naturalisme jika kita artikan sebagai

pintu gerbang, sebenarnya lebih mudah kita pahami, karena filsafat ini kemudian berkembang

namun perkembangannya justru mempersempit bentuknya. Naturalisme selebihnya merupakan

titik tolak atas filsafat yang lebih dinamis bentuknya, yakni materialisme. Karena itu, untuk

memahami naturalisme lebih jauh, kita harus membahas materialime secara lebih luas.

C. Materialisme

Menambahkan kata ‘material’ pada definisi naturalisme merupakan tugas pengkhususan

makna. Naturalisme menghubungkan segala realitas yang ada di alam semesta ini sebagai sebuah

kesatuan yang terbatas. Kesemuanya ditafsirkan menurut “kesatuan yang tak terbatas”, kemudian

istilah tersebut berkembang dengan hadirnya materialism, bahwa kesatuan-kesatuan tersebut

merupakan kumpulan dari materi-materi yang riil. Materialisme sebenarnya telah bertugas untuk

memperjelas makna naturalisme, atom materi sebelumnya kurang dapat dipahami dalam filsafat

naturalisme, maka materialisme menejelaskannya sebagai suatu yang bergerak sendiri, dan

merupakan unsur-unsur yang membentuk alam semesta.

Pada abad ke 18 di Perancis, muncul pemahaman bahwa kesatuan wujud yang fisik

merupakan hal yang pokok, mereka berdiri sendiri tanpa adanya kekuatan yang mengisi wujud

yang fisik tersebut. Bahkan penggagasnya, Lametrie, menegaskan manusia merupakan bagian

Page 6: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

dari alam fisik ini, semacam mesin, mereka bisa bergerak tanpa adanya unsur jiwa (abstrak)

sekalipun, sebaliknya jiwa tanpa unsur fisik (bahan-wujud) takkan mungkin ada.7 Materialisme

mengatakan bahwa jiwa itu ada setelah adanya materi. Dunia material adalah yang pertama,

sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah yang kedua.8

Materialisme mekanik lebih ekstrim. Materialisme ini menggunakan segala kewenangan

akal untuk menafsirkan segalanya secara mekanis. Dalam artian, mekanisme akan berkembang

dalam sebuah alam yang berlaku segala gerak-gerak fisik dan mekanik dari sebuah tatanan,

karenanya alam berpikir yang abstrak dan dianggap imajinatif merupakan suatu penyangkalan

terhadap materialisme secaraa keseluruhan. Segalanya harus bisa dihitung dan dikalkulasi untuk

melihat keberadaan suatu material yang paling nampak. Sehingga, pada abad ke 15-hingga 20,

karena perkembangan matematika serta metode eksperimen ilmu alam, materialisme semacam

ini seolah-olah mendapat dukungan dan legitimasi di alam pikir orang-orang Barat. Selanjutnya,

mekanisme yang berlaku dalam hal ini kemudian dicoba dikembangkan pada seluruh perilaku

manusia.

Menurut materialisme mekanik, akal dan aktivitas-aktivitasnya merupakan bentuk-bentuk

dari perilaku (behavior). Akibatnya, untuk menjelaskan perilaku tersebut –sebagai bentuk

implementasi akal, kesadaran dan aktivitas manusia- dijelaskan sebagai tindakan-tindakan

(proses bergeraknya material) dalam otot, urat syaraf, dan kelenjar-kelenjar. Kemudian, proses-

proses tersebut secara lebih lanjut dapat dijelaskan dengan fisika atau kimia.9

Kalau saja Phytagoras, Plato dan Aristoteles hidup di zaman ketika materialisme

berkembang, mungkin mereka akan mengingkari sebagian hal yang diyakini oleh para materialis

modern. Menurut pandangan ketiga filsuf itu, tidak sepenuhnya gerak mekanis material

mempengaruhi tatanan pada segala materi yang ada di dunia ini, keteraturan atomik yang besar

maupun yang terkecil bisa saja disebabkan oleh akal (mind) atau maksud (purpose).

Selebihnya, para materialis dalam memandang seluruh perubahan realitas akan

menyangkutkan kepastian sebagai satu-satunya yang harus diandalkan. Para materialis meyakini

bahwa alam itu diatur oleh hukum-hukum alam. Hukum-hukum alam yang dimaksud bukan

7 IR Poedjawinata, loc.cit.

8 Juhaya S Praja, op.cit., hlm. 144.

9 Ibid. hlm. 147.

Page 7: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

merupakan sebuah keniscayaan positif yang baku, tentu saja manusialah yang menegaskan

sendiri bahwa alam memiliki hukum. Hukum-hukum alam tersebut hanya bisa diperoleh dan

dituangkan dalam bentuk matematika saja jika datanya terkumpul. Hukum-hukum yang berasal

dari wahyu menjadi tak relevan dan selebihnya dianggap menjadi khayalan belaka. Segala

realitas dari kehidupan manusia, menurut konsep filsafat ini, merupakan sebuah prinsip “yang

dapat diperhitungkan”. Konsep tersebut menitikberatkan konsep pola yang terjadi dalam alam

semesta. Pola tersebut diyakini sebagai suatu kepastian.

D. Materialisme Dialektika-Historis

Setiap mempertanyakan dan mengungkapkan filsafat materialism, kita tidak dapat

melepaskan satu nama dari beberapa tokoh yang mengembangkan filsafat ini. Dialah Karl Marx

(1818-1883). Marx adalah seorang Hegelian, tulisan-tulisan Hegel membuat Marx terkesan.

Hegel merupakan seorang idealis. Dalam hal yang satu ini, Marx cenderung tak sependapat

dengan Hegel yang mengatakan bahwa ide, atau pikiran dan jiwa juga merupakan esensi alam.

Namun selebihnya, Marx setuju atas metodologi filsafat yang digunakan oleh Hegel. Metodologi

filsafat Hegel tentang dunia yang berkembang dan dinamis menunjukkan kemiripan dengan

filsafat-filsafat yang dihasilkan Marx (dan kawannya, Engels), hal ini tentu saja terjadi karena

pengaruh yang ditularkan Hegel kepada Marx. Dialektika Hegel diambil, tetapi dibalik isinya:

roh Hegel diganti.10

Filsafat dialektika Hegel mendapat seruan positif dari “murid tidak langsungnya” itu.

Materialisme dialektika mengantarkan seseorang berfikir kontradiktif dengan pikirannya sendiri.

Filsafat semacam ini jelas pernah digunakan oleh para sophis Yunani, jauh sebelum Marx

mengangkat topi tanda kehormatan kepada Hegel. Socrates dan Plato, muridnya, mungkin tokoh

yang paling dikenal dengan mengusung metode dialektika ini.11 Dialektika ini, secara sederhana,

mendorong manusia berfikir secara bertubrukkan, misal pemikiran tentang ada (being) belumlah

final sebelum kita memikirkan tentang tidak ada (non-being). Menunjukkan suatu penentangan

terhadap suatu hal merupakan sebuah kehendak dari filsafat ini hingga diperolehlah suatu hasil

10 Burhanuddin Salam, 2005, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 197.

11 Sutardjo A Wiramihardja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama, hlm. 48.

Page 8: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

yang dinamakan becoming, atau menjadi.12 Maka implikasinya, sebuah tatanan manusia belum

final sebelum terjadi penentangan di dalam batasan-batasan kelas dalam tatanan tersebut.

Dalam segi ini, Marx (dan engels, tentu saja) setuju dengan sebuah rumusan

berkelanjutan seperti yang ditunjukkan Hegel tentang suatu perubahan: jika thesis telah terjadi

maka akan muncul pertentangannya yang berupa anti-thesis, kemudian menurut teorinya, setelah

proses tersebut, muncullah suatu proses becoming atau menjadi yang disebut synthesis. Marx

yakin, dialektika merupakan faktor empiris yang menentukan jalannya sejarah (karena doktrin

filsafat lagi bukan lagi secara umum mengomentari alam, filsafat ini telah berkembang dan

mengalami pengkhususan sebagai doktrin politik dan sejarah sejak Marx mengoceh kembali

tentang aliran baru dalam materialisme ini). Dalam ilmu-ilmu sosial yang kita nikmati sekarang,

doktrin filsafat ini lebih implikatif, ketimbang doktrin sebelumnya. Marx dan Engels kemudian

beranjak pada suatu materialisme sejarah.

Marx yakin bahwa manusia mampu mempengaruhi kehidupannya sendiri, juga mampu

mempengaruhi jalannya sejarah hingga batas tertentu. Hingga pada saatnya, Marx menemukan

suatu realisme yang berhubungan dengan determinasi ekonomi sebagai suatu faktor pendorong

bagi berjalannya suatu unit dinamika yang bernama sejarah. Manusia, menurut Marx,

mempergunakan alam untuk keperluan-keperluannya. Dalam hal ini, manusia telah melakukan

suatu kegiatan pemenuhan kebutuhan yang berujung pada tindakan-tindakannya untuk

melakukan kegiatan yang ekonomis.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat merubah kondisi hidupnya, dan ikut

membuat sejarahnya, kata Marx tanpa menegaskan adanya Tuhan sebagai faktor pendorong

tindakan yang utama. Secara nyata, Marx menambahkan bahwa proses produksi adalah faktor

pendorong tindakan, selain idea tau keinginan manusia. Maka, “mainan baru” pikiran Marx ini

jelas merupakan jenis yang berbeda dari materialisme mekanis, yang menurut zamannya terbagi

atas dua. Materialisme mekanis seperti yang kita tahu, sebenarnya condong mengungkapkan

ilmu-ilmu alam seperti fisika dan kimia sebagai suatu alat tafsir untuk memandang tindakan

manusia. Secara ekstrim, materialisme mekanis telah mereduksi tingkah laku manusia menurut

hukum alam (fisika, kimia, dan sebagainya).13

12 Ajat Sudrajat, op.cit, hlm. 12.

13 Joko Siswanto, 1998, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 80.

Page 9: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Sebaliknya, jika materialisme mekanis menempatkan hukum-hukum alam sebagai suatu

inti untuk mempelajari seluruh realitas alam, maka materialisme dialektika (-historis) yang

dikembangkan Marx, memandang perubahan sosial merupakan suatu realitas yang memandang

hukum-hukum perkembangan sosial sebagai cara untuk memandang pola yang terjadi secara

umum dalam realitas sosial.

Ada beberapa cara untuk mendeteksi materialime yang kemudian cenderung pada arah

historis-ekonomis ini. Pertama, produksi merupakan “barang penting” untuk menganalisa arah

yang akan ditempuh sejarah. Sistem produksi yang telah ada dalam tradisonalitas manusia

merupakan material dari kebutuhan dan penggerak sejarah. Kedua, karena hubungan kelas

masyarakat merupakan salah satu unsur dari pendorong suatu tindakan, maka para Marxis

berkesimpulan sejarah bukanlah aktivitas individu, namun merupakan aktivitas massa, kelas,

group, dan kerja sama antar individu. Ketiga, Sejarah merupakan proses yang obyektif.

Kebanyakan Marxis menganggap sejarah sebagai suatu pola yang sama, yaitu sekedar

pertentangan kelas. Maka sejarawan yang menggunakan teori ini sebagai intrepetasi akan banyak

menganggap sebuah peristiwa yang terjadi hanya cenderung didorong oleh faktor konflik antar

golongan. Keempat. Sejarah merupakan perkembangan dari tahap rendah menuju tahap yang

tinggi menuju perjuangan kelas. Dalam arti ini, thesis-antithesis, dan synthesis, menjadi sangat

berlaku, karena klimaksnya, synthesis suatu peristiwa, oleh para Marxis akan dipahami sebagai

masyarakat tanpa kelas.14 Maka kemudian, filsafat ini, seperti yang telah kita kenal selama ini

akan berkembang menjadi filsafat komunisme, seperti yang Marx telah kembangkan bersama

rekannya, Engels.

E. Konklusi

Manusia dipengaruhi oleh cara pandangnya. Apabila dia memandang dunia seluruhnya

secara material (mekanis atau dialektik-historis), jadilah dia seorang yang materialis. Juga

sebaliknya, sebagaimana ragam lain menuntut menjelaskan tentang pandangannya terhadap

dunia ini. Jika ia Islam, ia memandang dunia ini dengan kaca mata Islam, seperti yang

ditunjukkan oleh dua pedomannya (al-Qur’an dan Hadits Shahihah). Jika ia luput atas cara

pandang itu, maka keislamannya mulai dipertanyakan. Begitupula sebaliknya, seorang yang

14 Ibid., hlm. 86.

Page 10: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

mengaku dirinya seorang materialis, dituntut oleh kaum atau golongannya untuk menggunakan

filsafat materialisme untuk menjadi cara pandang, pengimplikasian, dan sistem-sistem di

dalamnya secara mekanis atau dialektika-historis. Jika seorang tersebut, yang mengaku

materialis namun tidak menunjukkan cara pandangnya sebagai materialis, maka kefilsufannya

sebagai filsuf materialisme mulai dipertanyakan. Mungkin ia akan dicap sebagai pengkhianat

oleh golongannya karena filsafat materialisme yang “katanya” akan digunakannya tersebut

ternyata tidak digunakan.

Seperti yang telah kita tahu, belajar filsafat, atau menulis makalah (atau artikel) tentang

filsafat, apapun jenis filsafatnya, bukanlah hal yang mudah. Berkata-kata memang murah.

Namun menjadi beban andai saja ketika seorang Marxian dipaksa untuk membuat makalah

tentang kapitalisme, dan di dalam artikel yang akan ditulisnya itu harus tidak ada kritik. Segala

yang ditulis oleh Marxian tersebut harus tampak indah. Sulit bukan? Namun dalam keadaan tak

terpaksa, mungkin saja Marxian itu bisa menulis kritikan atas pandangannya tentang kapitalisme.

Karena kebenciannya-pun ia takkan bersedia menuliskan keindahan seperti yang diharapkan para

kapitalis, mungkin dalam artikelnya, Marxian itu akan memaki-maki kapitalisme.

Itulah mungkin lebih tepatnya. Jadi, menulis artikel semacam ini bukanlah pekerjaan

yang harus menyita alam pikiran kita untuk menyelami secara lebih dalam filsafat Naturalisme

atau materialisme, atau bahkan terjun ke dalamnya, menjadi seorang naturalis atau materialis

sekalipun. Tentu tidak perlu. Kita hanya perlu menjadi “orang luar”. Sebagai orang luar, kita

tidak harus mengomentari filsafat-filsafat semacam ini dengan penuh kehormatan, kita bisa saja

menjadi seperti Marxian saat ia tidak dipaksa menulis tentang kapitalisme secara penuh klise

keindahan (kapitalisme). Biarlah cara pandang yang kita yakini mempengaruhi tulisan-tulisan

kita tentang filsafat, pemikiran, dan ideologi yang tidak kita yakini dengan sudut pandang “yang

kita yakini”.

Sebagai kesimpulan, kami berpendapat dan memutuskan untuk menjadi “orang luar”

seperti yang telah disebutkan. Kami telah meyakini Islam sebagai filsafat kami. Kami takkan

perlu menjadi seorang naturalis atau materialis, sekalipun kami disuruh berlaku demikian.

Sebagai komentar singkat terhadap dua filsafat yang satu dengan lainnya sangat mempengaruhi

ini, sementara ini kami berkomentar bahwa dua filsafat tersebut lahir dari arus pertentangan

terhadap kerohanian. Dalam suatu masa, orang-orang Eropa telah membenci dengan apa yang

Page 11: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

disebut “agama”. Kerohanian atau relijiusitas dipertentangkan karena, dogma gereja (nasrani)

yang saat itu mendominasi kebijakan para monarki Eropa telah disimpangkan, dan

penyimpangan itu juga telah membawa pertentangan bagi kaum intelektual. Dogma yang telah

sampai pada penyimpangan di tingkat elite politik maupun agamawan tersebut dianggap

menghambat laju perkembangan sains.

Walhasil, singkat cerita, tibalah suatu massa yang terkenal disebut Renaissance pada

sekitar abad ke 15-16, sebagai reaksi atas dogma gereja yang mengungkung. Reaksi ini

berbentuk keinginan untuk mengembalikan alam pikir orang-orang Eropa seperti pada masa

Yunani Klasik, sebagai suatu representasi kejayaan pemikiran yang menang atas mitos yang

berkembang. Maka Renaissance dianggap sebagai zaman kejayaan kembali atas pemikiran dan

filsafat. Filsafat yang muncul setelah Renaissance merupakan filsafat “yang benci Tuhan”

sehingga jelas kita telah melihat naturalisme dan materialisme yang hanya menerima empirisme

(pengalaman) dan realitas (fakta) sebagai hal yang logis dan dapat disentuh. Mereka menafikkan

eksistensi Tuhan. Mereka mereduksi alam pikir tentang Tuhan sebagai salah satu eksistensi yang

berdiri sendiri dan tidak berwenang mengatur alam dan proses kehidupan, padahal kita meyakini

“campur tangan Tuhan” dalam proses dan tindakan itu.

Seperti yang digagas Marx bahwa manusia yang mengarahkan sejarahnya sendiri. Marx

bahkan juga berkesimpulan bahwa agama adalah racun. Agama menurutnya adalah legitimator

bagi kaum reaksioner-diktator, dan rakyat memiliki material tersendiri untuk menggantikan

eksistensi agama. Material tersebut menurut Marx akan berkontradiksi dengan agama “yang

dimiliki” oleh kaum reaksioner-diktator.15 Sistem yang dibangun Marx mencakup keseluruhan

gagasannya, artinya pemikiran tersebut jelas mempengaruhi pemikiran-pemi kirannya yang lain,

lihat saja seperti yang digagasnya tentang manusia adalah satu-satunya unsur yang menggerakan

sejarah. Padahal sebagai Muslim, kita tidak bisa menafikkan eksistensi Allah sebagai unsur

pokokdan mulia yang menggerakan sejarah. Banyak sekali intelektual atau cendikiawan yang

ahli dalam bidang filsafat juga menaruh komentar yang frontal, dan menempatkan cara pandang

Islam untuk mengomentari filsafat-filsafat semacam ini, seperti yang diternagkan Juhaya S. Praja

bahwa jika kita menerima sains sebagai satu-satunya yang dapat menjelaskan segala sesuatu,

akibatnya tidak ada yang percaya dengan Allah.16

15 Lihat IR Poedjawinata, op.cit., hlm. 120.

16 Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 149.

Page 12: Menyoal Kembali Filsafat, Naturalisme Dan Materialisme

Demikian, mengenal filsafat semacam ini bukan menjadi acuan yang pasti untuk bisa

diterapkan secara keseluruhan. Perlu ada timbangan baik dan buruk menurut “apa yang kita

yakini” sebagai ukuran kebenaran. Sebagai guru atau calon sejarawan, mestinya kita juga

bertindak demikian. Kita hanya perlu mempelajari, tanpa perlu menjadi. Mengenal tidak mesti

dengan menyentuh, apalagi bersetubuh. Atau bahasa yang sedang populer belakangan ini,

“bergabung tidak berarti melebur.” Seperti orang bijak mengatakan, “Jika ada kebaikan di

dalamnya marilah kita ambil. Jika ada keburukan di dalamnya buanglah jauh-jauh, sebelumnya

boleh kita injak-injak terlebih dahulu, kita bakar, sobek, atau ludahi.” Sebagai sejarawan, tak

perlulah kita terlalu memaksakan menggunakan teori-teori materialisme dialektika-historis

secara membabi buta. Wallahu’alam.

Daftar Pustaka

Ajat Sudrajat, 2011, Filsafat Sejarah (Dkitat Kuliah), FIS UNY (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakrta): Tidak diterbitkan.

Burhanuddin Salam, 2005, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara.

I.R. Poedjawinata, 1974, Pembimbing Ke Arah Filsafat, Jakarta: Pembangunan.

Joko Siswanto, 1998, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Juhaya S Praja, 2003, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Pranada Media.

Mohammad Hatta, 1986 (cetakan gabungan ketiga), Alam Pikiran Yunani, Jakarta: UI Press dan Tinta Mas.

Sutardjo A Wiramihardja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama.