menuntaskan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/menuntaskan sengketa tanah...

235

Upload: lehanh

Post on 04-Mar-2019

378 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah
Page 2: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak Cipta Pasal 2:1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara ma sing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (sa tu juta rupiah), atau pi dana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana di mak sud pa da ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda pa ling ba nyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Elza Syarief

melalui Pengadilan Khusus Pertanahan

menuntasKan

Page 3: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan© Elza Syarief

KPG: 901 14 0769

Cetakan Pertama, Oktober 2012Cetakan Kedua, Februari 2014

PenyuntingHasudungan Sirait

Perancang SampulBoy Bayu

PenataletakB. Esti W.U.Fernandus Antonius

SYARIEF, Elza Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus PertanahanJakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012xvi + 448 hlm.; 15 cm x 23 cmISBN: 978-979-91-0674-2

daftar isi

Daftar Isi vDaftar Singkatan ixSambutan Ketua DPR RI xiiiProlog 1

Bab 1 akar Konflik Pertanahan di indonesia 15Dan Konflik pun Berbiak 1• 5Rakyat versus Pengusaha dan Pemerintah 3• 2Jauh Panggang dari Api 4• 7Seribu Wajah Sengketa Tanah di Peng adil an 5• 9Kerangka Pemikiran 7• 2

Bab 2 hukum agraria sepanjang masa 91Sejarah Hukum Pertanahan di Indonesia 9• 1Mendambakan Payung Hukum Agraria Nasional 10• 9Payung Hukum Itu Bernama UUPA 12• 4Hak Menguasai Tanah oleh Negara 13• 1Konsepsi Hukum Pertanahan 15• 7

Page 4: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h vi viiD a f ta r I s I vii

Bab 3 Permasalahan dan sengketa Pertanahan di indonesia 163Land Reform• yang Kandas secara Prematur 163Sengketa Pertanahan 17• 4Masalah yang Berkenaan dengan Pelanggaran •Ketentuan Land Reform 185Sengketa Perdata yang Berkenaan dengan Tanah 19• 6

Bab 4 Jalur Penyelesaian sengketa Pertanahan di indonesia 225Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Ba dan Peradilan 22• 5Mekanisme di Luar Pengadilan 24• 7Hukum Acara di Pengadilan 25• 6Memanfaatkan Lembaga Adat 26• 9Posisi Badan Pertanahan Nasional 27• 4Ragam Masalah dalam Eksekusi 28• 0Agar Eksekusi Lebih Lancar 29• 4

Bab 5 sengketa tak ada ujung 299Putusan-putusan yang Saling Berten tang an 29• 9Sengkarut Sengketa Tanah di Jl. Jenderal Sudirman 30• 3Never Ending• di Kebon Jeruk 330Empat Pihak Pemilik Tanah Kelapa Gading 33• 8

Bab 6 Pengadilan Khusus Pertanahan sebagai Jalan Keluar 343Bentuklah Pengadilan Khusus Pertanahan Selekasnya 34• 3Mari Belajar dari Pengalaman New South Wales •dan Afrika Selatan 350

Bab 7 Penyelesaian sengketa Pertanahan melalui Pengadilan Khusus Pertanahan dalam sistem Peradilan indonesia 371

Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dihubungkan dengan Asas •Kepastian Hukum Khusus Pertanahan di Indonesia 371Fungsi dan Manfaat Pengadilan Khusus Pertanahan di Indonesia 37• 5

Kedudukan Hukum Pengadilan Khusus Pertanahan •dalam Sistem Peradilan Indonesia 388Sosok Pengadilan Khusus Pertanahan Indonesia • 413

Epilog 427Daftar Pustaka 429Tentang Penulis 445

Page 5: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

daftar singkatan

APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa

ADR : Alternative Dispute Resolution

BW : Burgerlijk Wetboek

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia

BUMN : Badan Usaha Milik Nasional

BUMD : Badan Usaha Milik Daerah

DKI : Daerah Khusus Ibukota

DIY : Daerah Khusus Ibukota Yogyakarta

DATI : Daerah Tingkat

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

GBHN : Garis-Garis Besar Haluan Negara

HAM : Hak Asasi Manusia

HGU : Hak Guna Usaha

HGB : Hak Guna Bangunan

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

Page 6: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h x xiD a f ta r s I n g k ata n

HIR : Herziene Inlandsch Reglement

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KKN : Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

KMA : Ketetapan Mahkamah Agung

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Keppres : Keputusan Presiden

LN : Lembaran Negara

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

MA : Mahkamah Agung

Mendagri : Menteri Dalam Negeri

NAD : Nanggroe Aceh Darussalam

NSW : New South Wales

NJOP : Nilai Jual Objek Pajak

PP : Peraturan Pemerintah

PT : Perseroan Terbatas

PKI : Partai Komunis Indonesia

PIR : Perkembangan Inti Rakyat

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

PERMA : Peraturan Mahkamah Agung RI

PERDA : Peraturan Daerah

PIRBUN : Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan

PIRLOK : Perusahaan Inti Rakyat Lokasi

PERMA : Peraturan Mahkamah Agung

PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara

Perpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Perpres : Peraturan Presiden

RI : Republik Indonesia

RT : Rukun Tetangga

RW : Rukun Warga

RR : Reglement opde Rechtsvordering

RV : Recreational Vehicle

RUU : Rancangan Undang-Undang

RNI : Rajawali Nusantara Indonesia

RBg : Rechtsreglement voor de Buitengewesten

RDS : Reglement Daerah Seberang

RPJP : Rencana Program Jangka Panjang

SK : Surat Keputusan

SDA : Sumber Daya Alam

SKPT : Surat Keterangan Pendaftaran Tanah

SHGB : SertifikatHakGunaBangunan

SIPPT : Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

TAP : Ketetapan

TLN : Tambahan Lembaran Negara

TNI : Tentara Nasional Indonesia

TUN : Tata Usaha Negara

UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

VOC : Verenigde Oostindische Compagnie

WNI : Warga Negara Indonesia

Page 7: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

sambutan Ketua dPr-ri

Disampaikan pada Buku “Sengketa Tanah” yang ditulis oleh Dr. Hj. Elza Syarief

Jakarta 11 September 2012

SENGKETA pertanahan di Indonesia bukan me-ru pakan hal yang baru dan masih terjadi sampai saat ini. Pada awalnya sengketa pertanahan ha nya terjadi antara para pihak perseorangan, te ta pi saat ini sengketa pertanahan sudah terjadi di semua sektor kehidupan masyarakat, seperti sektor ke-hu tanan, sektor infrastruktur, sektor pertam-bang an sampai pada wilayah tambak/pesisir.

Selama ini kasus sengketa pertanahan dapat diselesaikan, baik melalui jalur pengadilan maupun jalur di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui Alter native Dispute Resolution (ADR), di antaranya melalui negosiasi, me diasi ataupun arbitrase. Mediasi biasanya dilakukan oleh lembaga Badan Pertanahan Nasional dan lembaga adat, khususnya terkait dengan sengketa tanah adat. Sementara penyelesaian melalui pengadilan diajukan ke Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian ka sus-kasus kepemilikan status pertanahan merupakan kewenangan Pe ng adilan Umum, sedangkan kasus-kasus yang berhubungan dengan do kumen administrasi pertanahan yang diterbitkan oleh pejabat yang ber wenang di bidang pertanahan (BPN) merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

KETUADEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

Page 8: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h xiv xvs a M B U ta n k e t U a D P r r I

Penyelesaian sengketa pertanahan jarang terselesaikan me la lui jalur di luar pengadilan, karena seringkali tidak menyelesaikan per masalahan yang dipersengketakan oleh para pihak. Ironisnya, pe nye lesaian melalui badan pengadilan juga menghadapi berbagai per ma salahan, di antaranya adanya perbedaan putusan yang diputus oleh hakim Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk kasus sengketa pertanahan yang sama. Hal ini akibat maraknya pandangan bahwa hakim Pengadilan Negeri kurang menguasai persoalan sengketa tanah, karena banyaknya kasus lain di luar sengketa tanah yang ditangani hakim tersebut.

Dengan adanya wacana untuk membentuk suatu pengadilan khusus pertanahan (pengadilan agraria), diharapkan permasalahan-perma sa lah-an yang selama ini terjadi di pengadilan tidak terjadi lagi. Dengan peng-adilan khusus pertanahan, maka penyelesaian persoalan status kepe mi -likan maupun pencabutan status penerbitan sertipikat dapat dilakukan melalui satu pintu, yakni pengadilan khusus pertanahan. Hakim di pengadilan pertanahan nantinya merupakan hakim-hakim yang ahli di bidang tanah, sehingga dapat mengurangi persoalan dalam penyelesaian kasus pertanahan.

Merealisasikan wacana pengadilan khusus pertanahan bukan pe ker-jaan mudah, karena menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk membentuk suatu pengadilan khusus, harus disusun suatu undang-undang. Di sisi lain kekuasaan untuk membentuk UU berada di DPR yang akan dibahas bersama dengan Pemerintah.

Pada prinsipnya saya pribadi setuju agar kasus-kasus pertanahan yang terjadi selama ini dapat diselesaikan secara cepat dan murah sesuai dengan prinsip adanya pengadilan yang cepat dan murah. Tetapi untuk menyelesaikan kasus pertanahan yang terjadi selama ini ada dua opsi: pertama, menguatkan sistem Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus-kasus pertanahan, atau kedua, membentuk pengadilan yang khusus menangani kasus pertanahan. Terhadap opsi kedua, jelas harus ada pertimbangan matang, sebab ber-da sarkan pengalaman selama ini pembentukan pengadilan khusus ter-nyata tidak dengan serta-merta menyelesaikan masalah hukum yang terjadi. Tetapi upaya untuk mewujudkan opsi kedua yang akan diusung dalam buku ini tetap perlu kita dukung. Sebab kreativitas manusia untuk membentuk sesuatu yang baru tidak dapat kita pasung.

Oleh sebab itu saya menghargai upaya tulus dari penulis Dr. Hj. Elza Syarief untuk membuat kajian dan analisis hukum tentang pentingnya pembentukan pengadilan khusus agraria di Indonesia. Mudah-mudahan

niat tulus penulis dapat dibaca oleh semua pihak, termasuk pembuat kebijakan dan pembentuk UU tentang pentingnya pengadilan khusus agraria di kemudian hari. Saya juga merasa cukup bangga, bahwa di tengah kesibukan sebagai seorang advokat, penulis masih mempunyai waktu untuk memberikan sumbangsih bagi negara yang kita cintai ini. Saya pun merasa terhormat diberi kesempatan untuk menyampaikan pokok pikiran tentang pentingnya pengadilan agraria di Indonesia. Semoga ide yang tulus untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanahan melalui suatu pengadilan agraria dapat terwujud di hari-hari mendatang. Semoga buku ini menambah khasanah dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan di negeri kita. Terima kasih.

Jakarta, 11 September 2012Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dr. H. Marzuki Alie

Page 9: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

TANAH memiliki nilai yang tinggi dilihat dari kacamata apa pun, termasuk kacamata sosiologi, antropologi, psikologi, politik, militer, dan ekonomi. Tanah merupakan tempat berdiam, mencari nafkah, berketurunan, serta menjalankan adat-istiadat dan ritus keagamaan. Di mata masyarakat tradisional, tanah merupakan kediaman para dewa dan roh sehingga harus senantiasa dipelihara dengan baik. Kalau tidak, dewa dan roh akan murka.

Begitu bernilainya tanah sehingga manusia yang merupakan makh-luk sosial akan mempertahankan tanahnya dengan cara apa pun. Hal itu sudah dilakukan jauh sebelum kebudayaan ter ben tuk. Artinya, sudah demikian adanya sejak zaman manusia purba. Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah kekuasaan yang sekarang kita kenal sebagai ‘teritori’. Mereka sadar bahwa keberadaan teritori meru pakan penentu kelangsungan hidup diri. Perang pun dilakukan un tuk mengamankannya.

Tatkala kebudayaan terbentuk dan berkembang, perang demi pe-rang tetap saja dilakukan manusia untuk mempertahankan dan me-luaskan teritori. Hal ini berlangsung hingga sekarang. Perang Palestina-Israel yang seringkali mengguncang stabilitas Timur Tengah dan dunia,

Prolog

Page 10: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 2 3P r o l o g

contohnya. Tanah atau teritori yang menjadi rebutan sejak Israel menjadi negara tahun 1948. Jadi tak terpungkiri bahwa tanah itu sangat bernilai.

Para pendiri Republik kita—sebutan lainnya: the founding fathers—jauh-jauh hari sudah menyadari nilai penting tanah. Sebab itu tatkala merancang konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) mereka memberi per hatian khusus pada hal satu ini. Menurut jalan pikiran mereka, tanah—mereka memakai istilah ‘agraria’ yang cakupannya jauh lebih luas, yakni bumi, air, berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya—merupakan modal utama dalam menyejahterakan bangsa. Modal ter-se but—mereka tegaskan—milik setiap warga negara Indonesia, bukan milik segelintir orang. Karena itu, negaralah yang harus menguasainya. Apa yang mereka maksudkan dengan ‘menguasai’ bukanlah ‘memiliki’, melain kan ‘mengelola’. Ihwal penguasaan oleh negara demi kesejahteraan rakyat ini mereka maktubkan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Begitu besar perhatian the founding fathers terhadap tanah, pada 1948, tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan, mereka mulai men-desain payung hukum agraria nasional. Sebuah panitia khusus dibentuk di ibukota ne ga ra saat itu, Yogyakarta. Mereka berharap payung hukum itu lekas rampung supaya aturannya segera berjalan. Ternyata ha rap an tinggal harapan. Perlu 12 tahun sebelum harapan itu men jadi kenyataan. Payung hukum yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) berlaku mulai 24 September 1960.

Semangat UUPA sangat nasionalis dan populis. Secara tegas dalam butir-butirnya dinyatakan bahwa UUPA merupakan im ple mentasi Pasal 33 UUD 1945. Semangat nasionalis dan populis ini tentu saja merupakan hasil olah batin the founding fathers sebagai bagian suatu bangsa jajahan. Setelah kemerdekaan tahun 1945, mereka tak ingin bangsanya melarat dan teraniaya lagi akibat jerat penjajahan dalam bentuk apa pun termasuk penjajahan oleh bangsa sendiri. Lihatlah ketentuan dalam UUPA: hanya warga nega ra Indonesia yang boleh memiliki tanah—manusianya saja, kor porasinya tidak. Lantas, luas kepemilikan tanah harus dibatasi agar semua kebagian dan tak ada lagi kesenjangan sosial.

Sebagai langkah awal untuk membumikan UUPA peme rin tahan Sukarno melancarkan gerakan land reform dengan tu ju an agar semua warga negara memiliki tanah. Rakyat biasa pun—yang sebenarnya kelompok mayoritas—menyambutnya dengan sa ngat antusias.

Di luar dugaan masyarakat awam, ternyata terjadi peristiwa G30S. Ir. Sukarno digantikan Jenderal Soeharto. Segala yang berbau Sukarno segera dibuang. Land reform kontan terseok sebelum akhirnya benar-

benar karam. UUPA juga limbung karena sengaja dimarginalkan. Pelbagai regulasi sektoral di sektor sumber daya alam dibuat sejak pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) Tahun 1967 tanpa meng indahkan UUPA, misal nya UU Pertambangan, UU Kehutanan, dan UU Pertanian. Alhasil UUPA menjadi aturan utama tanpa kekuatan nyata.

Tak seperti land reform, UUPA tidak dicabut oleh penguasa Orde Baru. Sampai sekarang pun secara de jure masih berlaku. Namun kon di-sinya seperti kerakap yang ditumbuhkan di atas batu, hidup segan mati tak mau.

Sejak UUPA berlaku, seperti kata Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, tidak ada lagi produk hukum baru di bidang per-tanahan. Akibatnya, terjadi kekosongan hukum sela ma setengah abad. Sementara, di sisi lain, sengketa tanah terus bertambah.1

Wajar bila perkara tanah terus bertambah di negeri kita. Penyebab-nya kasat di depan mata: populasi Indonesia terus ber tambah—Biro Pu sat Statistik pada Agustus 2010 mengumumkan jum lahnya 237,5 juta—sementara jumlah tanah praktis tak berubah. Pendu duk yang mem-ba nyak dengan sendirinya membutuhkan tanah yang lebih luas pula un tuk bermacam keperluan. Permintaan yang tinggi tanpa diimbangi dengan pasokan yang setara niscaya hanya akan melahirkan krisis dan pergesekan. Sengketa, bentuk pergesekan tersebut. Itulah yang terjadi selama ini.

Tanpa pembenahan, niscaya krisis dan sengketa akan lebih parah lagi pada masa mendatang sebab laju pertumbuhan pen du duk cenderung semakin tak terkendali. Sengketa tanah akan bermuara ke pengadilan (pengadilan umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara) kalau ada pihak yang mengadu. Runyamnya, di pengadilan sering perkara tanah tak berujung. Dalam banyak kasus, keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pun tidak dapat dieksekusi. Penyebabnya? Untuk sengketa yang sama bisa terdapat beberapa putusan lain yang juga telah berkekuatan hukum tetap. Celakanya keputusan-keputusan itu saling bertentangan. Itu bisa terjadi akibat tidak adanya data yang akurat di pengadilan atau BPN. Surat atau sertifikat hakkepemilikan bisa asli tapi palsu (aspal). Selain itu, tidak ada otoritas tunggal yang berwibawa da lam pe nanganan sengketa. Alhasil para calo tanah pun leluasa me ngail di air keruh. Carut-marut seperti ini membuat

1 Kompas 24 September 2010.

Page 11: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 4 5P r o l o g

sengketa bisa tak berujung. Tanah menjadi telantar, tak bisa dimanfaat-kan oleh pihak mana pun.

Regulasi pemerintah ikut memperunyam keadaan. Munculnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, misalnya, telah membuat benang-benang masalah semakin berpilin. Pasal 13 dan 14 ayat (1) huruf (k) UU ini menyatakan pelayanan bidang pertanah an merupakan kewenangan Pemerintah Daerah (provinsi/kabu paten/kota). Masalahnya adalah aturan main yang baru tak di buat sehingga pemerintah daerah boleh membuat tafsiran sendiri. Sungguh tak ada kepastian hukum.

Ketakpastian penanganan sengketa tanah di negeri kita sudah waktunya diakhiri sebab terlalu besar biaya yang terbuang untuk itu. Penye lesaian perkara secara tuntas, dengan putusan yang bisa dieksekusi, dan dengan asas sederhana, cepat, dan berbiaya murah—ini dambaan siapa pun yang sedang mencari keadilan—per lu selekasnya kita wujudkan.

Langkah konkret perlu diambil untuk itu. Guru besar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Maria S.W. Sumardjono,2 misalnya, menyatakan, lembaga penyelesaian alter natif untuk bidang pertanahan perlu dikembangkan. Menurut penulis, selain perlu produk undang-undang yang baru, mutlak pula perlu dibentuk pengadilan khusus untuk mengurusi sengketa pertanahan. Tujuannya, antara lain, untuk mencegah telantarnya tanah akibat sengketa tanah yang berkepanjangan. Hal tersebutlah yang menjadi tesis utama dalam telaah ini.

Latar Belakang Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebu tuhan, baik yang langsung untuk kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian, perkebunan, pendidikan, pem-bangunan sarana dan prasarana lainnya.3 Pemberdayaan sumber daya alam yang sangat terbatas harus dapat mengimbangi tingkat pertumbuhan kelahiran manusia yang sedemikian pesat karena seluruh sumber daya alam khususnya tanah bersifat unrenewable.

Di Indonesia masalah sumber daya alam diatur dalam konstitusi sebagaimana terlihat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi landasan hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan

2 Lihat buku Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.

3 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hlm.1.

alam yang terkandung di dalamnya dikua sai oleh negara dan diperguna-kan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.4 Lebih lanjut, tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agra ria (UUPA No. 5 Tahun 1960). Pasal 2 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Berdasarkan hal tersebut, maka negara selaku badan pengua sa atas bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalam nya berwenang untuk mengatur dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Maksud Pasal 2 Ayat (1) UUPA adalah negara mempunyai kekuasaan mengatur tanah-tanah yang telah dimiliki seseorang atau badan hukum maupun tanah-tanah bebas yang belum dimiliki seseorang atau badan hukum akan langsung dikuasasi oleh negara.5

UUPA selanjutnya menyatakan bahwa negara menentukan macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada orang mau pun kepada badan hukum. Oleh karena itu setiap pemegang hak atas tanah akan ter-lepas dari hak penguasaan negara karena ke pen tingan nasional berada di atas kepentingan individu atau kelompok, meski itu bukan berarti bahwa kepentingan individu atau kelompok dapat dikorbankan begitu saja dengan alasan untuk kepen tingan umum.

UUPA adalah hukum tanah nasional yang berlaku di Negara Repu-blik Indonesia. UU ini mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan aspek administrasi, yang berisi poli tik pertanahan nasional, yangsemuanyabertujuanuntukmenciptakanunifikasihukumpertanahandi Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria nasional yang di-saneer dari hukum adat.6 Sebagai hukum tanah nasional, UUPA merupakan peraturan dasar/pokok bagi ke-44 aturan pelaksanaannya, baik yang berupa Undang-Undang maupun peraturan pemerintah.

Dalam UUPA terdapat unsur komunalistik religius konsepsi Hukum Pertanahan Nasional yang diterapkan dalam lem baga hukum Hak Bangsa. Secara tidak langsung7 dikatakan bahwa lembaga hukum “Hak Bangsa”

4 Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2.5 Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya,

Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2.6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,

Djambatan, Jakarta, 1989, hlm. 3. 7 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya Dengan

TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, 2002, hlm. 30.

Page 12: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 6 7P r o l o g

memang tidak disebutkan dalam UUPA secara tegas sebagai salah satu bentuk hak Penguasaan atas tanah.

Terminologi “Hak Bangsa” diberikan oleh ilmuwan hukum agraria untuk menggambarkan hubungan antara bangsa Indonesia dan wilayah Indonesia. A.P. Parlindungan menyatakan bahwa dalam masyarakat Aceh hu bung an itu disebut Haqul-Allah yang diberikan kepada bangsa Indonesia sebagai Haqul-Adam. Dalam UUPA hubungan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang berbunyi: “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional”.

Konsiderans UU No. 23 Tahun 1997 beserta penjelasan umum me -nya takan bahwa lingkungan hidup Indonesia adalah karunia dan rah-mat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Bah kan makna “Hak Bangsa” sudah menjadi wawasan nasional dalam menye-lenggarakan pembangunan politik dan ekonomi nasional.

Sesuai lampiran UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pemba-ngun an Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 dalam BAB IV ten-tang arah, tahapan, dan prioritas pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025, Poin IV.1.58, untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan perlu dilakukan beberapa hal sebagimana dise-butkan dalam poin 11.9 Dalam poin itu disebutkan bahwa perlu dite rap-kan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien dan efektif; selain ituperlu dilaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan me nerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Perlu juga dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pe man faatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif per pajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan pengunaan tanah agar masyarakat golongan eko nomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Tam-bahan lagi, diperlukan penyempurnaan sistem hukum dan produk hu-kum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan per aturan per undang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat, serta peningkatan upaya penyelesaian sengketa perta-

8 Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Fokusmedia, Bandung, 2007, hlm. 124.

9 Ibid., hlm. 128.

nahan baik melalui kewenangan adminsitrasi, peradilan, maupun alter-native dispute resolution. Selain itu akan dilakukan penyempurnaan kelem bagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.

Dalam kebijakan pemerintah RI yang tecermin pada Rencana Pro-gram Jangka Panjang, jelas diperlukan suatu penyempurnaan sistem hu kum dan produk hukum pertanahan, terutama yang mendukung pening katan upaya penyelesaian sengketa pertanahan yang merupakan kelanjutan kebijakan Pemerintah terdahulu. Kebijakan politik pemerintah RI adalah menyatakan:10

Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan keka yaan nya 1. merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang ling kup, dan kesa-tuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa (satu kesatuan politik).Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif 2. adalah modal dan milik bersama bangsa, dan bahwa keper luan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air (satu kesatuan ekonomi)

Dalam hal ini tanah mempunyai kedudukan penting bagi rakyat dan bangsa Indonesia karena merupakan satu-satunya kekayaan yang dalam keadaan apapun akan tetap dalam keadaan semula. Suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, dan merupakan tempat para warga yang meninggal dunia dikuburkan. Menurut kepercayaan kelompok masyarakat adat, tanah meru pa kan pula tempat tinggal para dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam.11 Dalam hukum adat, antara ma sya rakat dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali;hubungan yang bersumber pada pandangan yang ber sifat religius-magis.12 Masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut su-paya dapat dimanfaatkanya bagi kehidupannya dengan cara memungut hasil dari tumbuh-tum buhan yang timbul di atas tanah tersebut, dan juga

10 Penabur Ilmu, GBHN Tahun 1998, Jakarta, 1999, hlm. 20.11 Busher Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Cetakan Ketujuh, Jakarta,

2000, hlm 103.12 Ibid., hlm. 103.

Page 13: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 8 9P r o l o g

berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di tanah tersebut. Hak ma syarakat hukum atas tanah disebut hak pertuanan atau hak ulayat.13

Demikian pentingnya tanah bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara RI. Dalam hal ini Negara mempunyai hak penguasaan atas tanah Indonesia. Berdasarkan aturan tersebut Negara berwenang untuk mengatur tentang hak-hak atas tanah dan melayani rakyat di bidang pertanahan. Kewenang an di bidang pertanahan tersebut dijalankan oleh Badan Per ta nahan Nasional yang mempunyai kantor pusat di Jakarta, kan tor wilayah di setiap provinsi dan kantor-kantor di setiap kota provinsi.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Peme rintah Daerah, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) Huruf (K) yang mengatur bahwa pela yanan bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang menjadi ke-we nangan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang dilim pah-kan kepada Pemerintah Daerah ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu mengenai bentuk lembaga, pembagian tugas, tata cara kerja serta pelayanan bidang perta nahannya agar UUPA dapat dilaksanakan secara utuh dan sejalan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Kondisi ini kemu dian dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk memanfaatkan keko songan hukum sehingga terjadilah peningkatan jumlah sengketa tanah.

Sengketa14 tanah itu sendiri sesungguhnya sudah ada sejak ada per-bedaan kepentingan di antara manusia yang satu dengan manusia yang lain nya. Sengketa tanah dapat dijumpai di mana saja, tidak terkecuali di Indonesia. Sengketa yang berhubungan dengan tanah ini senantiasa terus bertambah, seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah.

Secara umum, sengketa tanah timbul antara lain akibat faktor-faktor berikut:

Peraturanyangbelumlengkap;1. Ketidaksesuaianperaturan;2. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan 3. jumlahtanahyangtersedia;Datayangkurangakuratdankuranglengkap;4.

13 Ibid.14 Dalam bahasa Inggris disebut conflict atau dispute, yang berarti perselisihan, pertentangan

atau ketidaksamaan antara dua pihak atau lebih. Lihat Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 19.

Datatanahyangkeliru;5. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas me nye le saikan 6. sengketatanah;Transaksitanahyangkeliru;7. Ulah pemohon hak atau8. Adanya penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tum pang 9. tindih kewenangan.Di daerah-daerah yang belum berkembang, penyelesaian sengketa

tanah umumnya dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas yang disegani warga setempat. Tokoh tersebut antara lain kepa la adat, kepala suku, kepala kampung, atau kepala marga. Peran an para tokoh tersebut sa-ngat menentukan dalam menye le saikan sengketa tanah. Selain itu, peran tokoh komunitas juga mem bantu menentukan peruntukan serta peng-awas an terhadap penggunaan tanah oleh warga setempat. Ini karena ke pala/ketua adat setempat umum nya memiliki data tanah yang ada di wilayahnya masing-masing, baik yang menyangkut jumlah, batas, maupun penggunaan tanah oleh warga setempat. Walaupun data tanah tersebut jarang yang tertulis, kepala/ketua adat yang bersangkutan mengetahui riwayat kepemilikan tanah tersebut. Hal ini karena pihak yang diangkat sebagai kepala/ketua adat berasal dari penduduk setem pat yang “dituakan”. Oleh karena itu, keputusan yang dibuat kepala/ketua adat dalam menyelesaikan sengketa tanah dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.

Berkurangnya keberadaan dan peran kepala/ketua adat menye-bab kan semakin banyak sengketa tanah yang tidak dapat ter selesaikan. Keterbatasan ini mau tidak mau harus ditutupi dengan peraturan perun-dang-undangan yang dite tap kan oleh Pemerintah, yang daya lakunya bisa bersifat regional maupun nasional. Semakin mendesak kebutuhan ini mengingat dengan meningkatnya angka kelahiran manusia yang sangat mempengaruhi kebutuhan manusia akan tanah, meningkat juga jumlah sengketa tanah yang terjadi di Indonesia. Tahun 1992 hingga 1996 jumlah sengketa tanah meningkat 17% dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sekitar 40% di antaranya diajukan ke Pengadilan Negeri, 20% diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, sedangkan sisanya dise-lesaikan secara musyawarah, mediasi, atau bahkan tidak diselesaikan sama sekali.15

15 Badan Penelitian Permasalan Tanah (BP2T), Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan KanWil BPN Jakarta, Data Primer, Jakarta, 1992 – 1996.

Page 14: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 10 11P r o l o g

Kinerja lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa tanah sa-yangnya belumlah optimal dibandingkan dengan jumlah sengketa yang diajukan. Bahkan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tersebut ternyata sebagian tidak dapat dieksekusi, sehingga persengketaan berlanjut dan tanah sengketa men-jadi terlantar karena sta tus hukum kepemilikannya belum jelas.

Salah satu penyebab putusan-putusan tentang tanah tidak dapat dieksekusi adalah adanya beberapa produk putusan yang telah mempu-nyai kekuatan hukum tetap atas obyek tanah sengketa yang saling berten-tangan. Penyebab lain, adanya beberapa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti yang menetapkan beberapa kepemilikan atas satu obyek tanah sengketa dengan pemilik yang berbeda-beda, sehingga tidak ada suatu kepastian hukum atas status kepemilikan tanah tersebut yang sebenarnya.

Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ter-sebut bisa terjadi karena ada beberapa upaya hukum untuk penyelesaian seng keta pertanahan yang diajukan melalui Peng adilan Tata Usaha Ne-gara tentang Surat Keputusan yang diterbitkan oleh BPN, dan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan kepemilikan tanah serta yang berkaitan de ngan perbuatan tindak pidana seseorang. Demikian juga, hukum aca-ra yang digunakan dalam hal penyelesaian sengketa tanah tentang ke-pemilikan tanah adalah Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR/RBg di mana gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat Tergugat ber domisili sesuai Pasal 118 Ayat (1) HIR16 dan Pasal 16 UU No. 4 Tahun 200417 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga timbullah beberapa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang beberapa pe milik tanah atas satu bidang tanah sengketa.

Belum adanya pengaturan dalam penyelesaian sengketa per tanahan telah memberikan peluang bagi spekulan tanah untuk mengajukan gu-gatan ke pengadilan negeri. Tujuannya adalah untuk mengganggu pem-bangunan atas tanah oleh investor dengan cara mengupayakan terbitnya sita jaminan ataupun status quo atas tanah tersebut. Dengan keadaan tersebut, investor yang sedang mem bangun tanah terpaksa menghentikan kegiatannya, dan terpaksa bersedia berdamai dengan penggugat/spekulan tanah dengan memberikan ganti rugi yang cukup besar. Keadaan seperti

16 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Disusun Menurut Sistem Engelbrecht, PT Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, 1989, hlm. 715.

17 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 16.

ini mengakibatkan para investor yang berminat menanamkan modal di Indonesia berpikir ulang, bahkan dapat juga membatalkan investasinya.

Demikian juga penggunaan/penerapan Keppres No. 32 Tahun 197918 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat, yang disalahartikan oleh para spekulan tanah. Akibatnya, semakin marak penyerobotan tanah negara oleh rakyat, di mana aturan hukum yang mengatur tentang penyerobotan tanah tersebut sangat minim dan tidak memiliki kekuatan untuk meng-atasi tindak pidana penyerobotan tanah-tanah negara. Ini karena penye-lesaian tindak penyerobotan tanah tersebut hanya didasarkan pada Pasal 385 KUHP saja.

Isi KajianPokok bahasan dalam karya ini terdiri atas enam bagian besar. Bagian per tama yang berjudul Akar Konflik Pertanahan di Indonesia menjadi semacam potret besar. Rupa-rupa sengketa per tanahan dipaparkan di sini, mulai dari yang lama hingga yang kontemporer. Yang pasti, dari ta-hun ke tahun jumlah sengketa tanah meningkat di negeri ini dan seba-gian besar perkara itu tanpa ujung yang jelas. Di antara sekian banyak perkara itu, yang sarat dengan muatan kekerasan adalah aksi rakyat da lam mempertahankan apa yang mereka klaim sebagai milik mereka, misalnya kasus Alas Tlogo (Pasuruan) dan makam Mbah Priok (Tanjung Priok) yang menghebohkan itu.

Di bagian ini dibahas secara khusus soal konfrontasi an tara rakyat yang hendak mempertahankan tanahnya dan peng usaha dan penguasa. Intinya, dalam banyak kasus, rakyat mem per sepsikan pemerintah sebagai lawan, sebab telah menjadi pelindung bagi kelompok bisnis yang akan mengakuisisi tanah mereka.

Secara spesifik dipaparkan juga bahwa tidak seperti yang diama­nat kan UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, ta-nah sebagai salah satu bentuk kekayaan alam Indonesia sering sekali tidak menjadi berkah yang menyejahterakan rakyat. Malah, bisa terjadi sebaliknya.

Semacam flash back, itulah kedudukan bagian kedua yang bertopik Hukum Agraria Sepanjang Masa. Dimulai dari pa par an bahwa selama sekitar 3,5 abad menjajah, sesungguhnya penguasa kolonial tidak per-nah merancang secara serius sebuah aturan hal-ihwal agraria untuk

18 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan,, Jakarta, hlm. 142.

Page 15: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 12 13P r o l o g

diberlakukan di negeri kita ini. Ketika belakangan hari penguasa Hindia Belanda menyiapkan sebuah konsepsi hukum agraria, sifatnya parsial saja dan tidak komprehensif karena memang dimaksudkan hanya berlaku untuk kalangan khusus saja [baca: orang Barat dan yang dipersamakan dengan mereka]. Para founding fathers Indonesia-lah yang sepenuh hati memikirkan konsepsi hukum agraria yang utuh dan komprehensif. Lembaga khusus pun mereka bentuk untuk merancang sebuah Undang-Undang agraria. Lembaga tersebut segera bekerja tapi lekas pula terseok. Situasi politik dalam negeri yang senantiasa gonjang-ganjing membuat proses kerjanya tidak mulus. Setelah makan banyak waktu dan sesudah silih berganti lembaga, baru pada 24 September 1960 lahir Undang-Undang Pokok Agraria. ‘Isi perut’ regulasi yang sangat populis dan meng-garisbawahi hak ulayat itu dipaparkan dalam bagian ini.

UUPA—yang walaupun dimaksudkan sebagai payung hukum ter-nyata isinya cukup detail—lantas diberlakukan. Untuk me nguatkannya, pemerintah Sukarno juga menjalankan pro gram land reform berikut sistem peradilannya. Ternyata UUPA meng alami ke matian yang prematur. Pergantian mendadak rezim penguasa setelah peristiwa 30 September 1965 merupakan penyebabnya. Setelah UUPA kandas, tertib tanah pun secara berangsur-angsur berkurang. Konsep tanah untuk kesejahteraan seluruh rakyat dikalahkan oleh konsep tanah versi developmentalisme. “Tanah demi pem bangunan” jargonnya. Itulah yang menjadi pokok ba hasan bagian ketiga, Permasalahan dan Sengketa Pertanahan di Indonesia.

Mekanisme penyelesaiaan sengketa pertanahan di Indonesia sete lah UUPA mati suri menjadi pokok bahasan bagian keempat, Jalur Penye­lesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia. Inti masalahnya adalah bahwa selama ini banyak lembaga yang bisa menjadi otoritas dalam penye lesaian sengketa tanah. Lembaga per adilan hanya salah satu otori-tas. Ketaksinkronan putusan perkara terjadi akibat jalur penyelesaian yang bersimpang banyak. Tidak heran kalau eksekusi pun acap kali sulit dijalankan.

Sebagai pengacara yang lama menangani kasus-kasus sengketa ta-nah penulis merasakan betul selama ini bahwa ranah pe nanganan per-kara pertanahan di negeri kita ini masih seperti rimba raya. Terlalu ba-nyak yang terlibat di sana, termasuk para petugas hukum yang nakal dan petualang yang berjulukan calo. Tanpa sebuah tertib, apa pun bisa terjadi di ranah ini. Penanganan perkara oleh badan peradilan yang berlangsung lama, misalnya. Ini sesuatu yang biasa. Bahkan perkara yang

tidak kunjung berujung kendati sudah berlangsung belasan atau puluhan tahun pun ada.

Supaya gambaran silang sengkarut ini lebih jelas, di bagian lima, Sengketa Tak Ada Ujung, penulis menyajikan beberapa contoh perkara tanah yang suram betul nasibnya. Penulis terlibat me nangani kasus-kasus ini. Termasuk sebuah kasus tanah di Jalan Sudirman, Jakarta, yang solusinya laksana sumur tanpa dasar. Jelas, prinsip yang seharusnya senantiasa menjadi junjungan setiap otoritas peradilan di Indonesia—yaitu penyelesaian sengketa se ca ra sederhana, cepat, dan murah—tidak diindahkan.

Setelahmerefleksikansecaraseksamapengalamanselamainipenulissampai pada kesimpulan bahwa carut-marut penyelesaian ma salah pertanahan di Indonesia sudah waktunya diakhiri sebab sudah terlalu banyak memakan biaya. Ongkos perkara, beban pikiran dan batin, serta waktu yang terbuang, antara lain biaya itu. Peme rintah selaku otoritas hukum tertinggi perlu selekasnya meng ambil langkah.

Penulis berpendapat, agar kepastian hukum terjaga dan azas per-adilan yang sederhana, cepat, dan murah terpenuhi maka pe na ngan an segenap sengketa tanah harus terfokus pada sebuah badan. Peng adilan khu sus pertanahan, itulah badan tersebut. Pemerintah perlu secepatnya membentuk lembaga ini. Untuk mendapatkan model pengadilan yang di-maksud, pengadilan semacamnya yang ada di luar negeri bisa dicontoh. Sebagai ilustrasi, di sini penulis men contohkan mekanisme di peng adil an khusus yang ada di Australia dan Afrika Selatan. Untuk konteks Indo-nesia, seperti apa gerangan sosok pengadilan khusus tersebut dan seperti apa me ka nisme kerjanya? Sebuah konsep yang merupakan tawaran pe-nu lis sendiri termaktub dalam bagian enam, Pengadilan Khusus Tanah sebagai Jalan Keluar.

Metodologi Sekarang soal pendekatan penulis dalam menyiapkan karya ini. Dalam telaah ini penulis menggunakan metode yuridis-normatif, dengan pen-dekatan sejarah dan perbandingan hukum. Cara me nyelesaikan sengketa tanah serta seperti apa hasilnya menjadi fokus perhatian di sini. Sejumlah sengketa pertanahan di DKI yang ditangani oleh penulis sebagai advokat menjadi contoh kasus yang dianalisis.

Langkah awal penulis adalah melakukan studi kepustakaan. Penulis mempelajari bermacam-macam dokumen, di antaranya berkas perkara, surat, memorandum, pengumuman resmi, agenda, simpulan, berbagai

Page 16: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 14

ke putusan peradilan, laporan pertemuan, dan laporan tertulis lain terkait dengan revitalisasi fungsi badan peradilan yang menangani sengketa tanah. Selain di Tanah Air, riset kepustakaan ini antara lain dilakukan di Universitas Leiden, Belanda. Di negeri kincir angin penulis melacak informasi ihwal hukum tanah yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Aturan soal eigendom verponding, peta-peta tanah, dan keterangan tentang kepemilikan tanah, merupakan prioritas.

Komparasi merupakan pendekatan lain dalam telaah ini. Penulis ingin tahu seperti apa gerangan kinerja Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales dan Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan. Diperlukan model kalau kita hendak men diri kan pengadilan khusus pertanahan di Indonesia. Untuk itu riset lewat internet penulis lakukan.

Setelah data riset kepustakaan ada di tangan, menghimpun infor-masi dari lapangan merupakan tahap berikutnya. Berbekal hasil riset kepustakaan tadi, penulis mewawancarai sejumlah nara sumber. Mereka antara lain pegawai BPN, camat, lurah, tokoh masyarakat, dan juga otoritas di New South Wales.

Setelah itu penulis mengolah dan menganalisis seluruh informasi dengan menggunakan metode kualitatif normatif. Di sini, informasi yang telah menjadi data disusun secara sistematis dan diinterpretasikan. Data yang telah terkonstruksi dengan baik kemudian dianalisis secara deskriptif. Tentu saja teori-teori hukum men jadi acuan penulis sewaktu menganalisis. Hasilnya adalah telaah panjang ini. Sepengetahuan penulis, di Indonesia belum ada studi spesifik ihwal penyelesaian sengketapertanahan seperti ini yang mengawinkan sekaligus pengalaman panjang di lapangan dengan pendekatan akademis.

Selamat membaca.

dan Konflik pun Berbiak KEADAAN di kawasan Koja, Tanjung Priok, begitu mencekam sejak pagi Rabu 14 April 2010. Atmosfer pertumpahan darah sudah terasa sedari awal. Tak seperti Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984—bentrokan Amir Biki dan pendukungnya yang dianggap kelompok garis keras dengan TNI-POLRI yang tidak diliput oleh media—kejadian kali itu bisa diikuti oleh siapa saja menit per menit sebab ditayangkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi dan radio. Sebuah stasiun televisi berorientasi berita, misalnya, meliput ketegangan ini sampai berjam-jam dan terus-menerus.

Puncak ketegangan adalah tatkala ratusan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) siangnya akhirnya merangsek men dekati gapura makam Mbah Priok. Saat mereka hendak merubuhkan gapura ternyata perlawanan keras datang dari massa yang berjaga di dalam kompleks makam. Konfrontasi tak terhindarkan. Hujan batu terjadi. Pentung-pentung pun bekerja. Polisi yang sedari tadi berjaga ikut turun tangan. Menghalau massa yang kian beringas, mereka lantas menyemprotkan air dari water

Bab 1

akar Konflik Pertanahan di indonesia

Page 17: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 16 17B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

cannon. Lemparan batu dan benda apa saja, itu balasan yang mereka terima. Di layar televisi berkali-kali tampak orang yang dipentungi dan diinjak-injak.

Pertempuran kian seru. Tayangan media massa—terutama televisi swasta—tak syak lagi telah menjadi menjadi semacam tabuhan genderang yang memanggil siapa saja untuk bergabung de ngan pihak yang berpe-rang. Arus massa mengalir dari mana-mana untuk membantu mereka yang bertahan di makam. Ribuan orang akhirnya menjadi satu front untuk menghadapi aparat negara.

MedankonflikmeluaskekitaranRumahSakitKojadanpelabuhanpeti kemas yang tak jauh dari sana. Polisi menembakkan gas air mata. Massa kocar-kacir, namun sebentar saja sudah ber kon solidasi lagi. Begitu berulang-ulang.

Bala bantuan yang terus mengalir ke kubu penentang peng gusur an makam Mbah Priok membuat keadaan berbalik. Satpol PP yang dibantu Polri akhirnya terdesak. Sekitar pukul 15.00 WIB mereka mundur. Tam-paknya mereka diperintahkan demikian. Ke arah pelabuhan mereka beringsut. Kapal-kapal sudah disiapkan untuk mengevakuasi mereka.

Sejumlah media massa melaporkan dari lapangan bahwa setidaknya tigaorangtewasdalamkonflikinidanseratusanorangterluka.

Mengetahui lawan telah ngacir, massa yang masih berang lalu meng incar kendaraan yang ditinggalkan aparat. Membakari belasan ken daraan roda empat dan roda dua, itulah yang mereka lakukan. Asap hitam membubung di udara. Di layar televisi penampakan asap begitu dramatis.

Menjelang magrib aura perang bisa dibilang pupus sudah. Malam-nya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan konferensi pers. Ia menyatakan satu orang yang tewas dan korban tersebut adalah anggota Satpol PP. Masih pada malam yang sama, media massa mewartakan korban luka berjumlah 130 orang yakni 66 Satpol PP, 10 polisi dan 54 warga.

Konfrontasi itu merupakan ekor sengketa tanah seluas 5,4 hektar antara PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok. Perkara tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun dan sudah diproses oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ahli waris Mbah Priok mengklaim tanah itu sebagai milik mereka berdasarkan Eigendom Verponding no. 4341 dan Nomor 1780 yang dibuat di depan notaris G.H. Thomas di Batavia pada 25 Juli 1934, tetapi PT Pelindo II merasa juga berhak atas tanah tersebut.

Ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad mengugat PT Pelindo II melalui PN Jakarta Utara tahun 2001. Ternyata mereka kalah. Dalam putusan bertanggal 5 Juni 2002 PN Jakarta Utara menyatakan tanah tersebut sah milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar. Tak mengupayakan banding, keturunan Mbah Priok tetap menguasai kompleks yang ber-masjid itu.

Situasi memanas setelah Jakarta Indonesia Container Termi nal (JICT) yang merupakan bagian dari PT Pelindo II mencoba menggusur makam. Pemda Jakarta Utara yang mendukung mereka mengeluarkan surat perintah bongkar sebelum menyegel lahan tersebut pada penghu-jung tahun 2009. Pada 22 Maret 2010 ahli waris Mbah Priok menerima surat perintah untuk mengosongkan tempat itu. Surat perintah ditanda-tangani Walikota Jakarta Utara atas instruksi Gubernur DKI Jakarta. Lanjutannya adalah upaya eksekusi yang berujung dengan pertumpahan darah pada 14 April 2010.

Gaung peristiwa Koja, Tanjung Priok, berdarah itu begitu besar antara lain karena sejumlah faktor, yakni lokasi kejadiannya yang ber-ada di ibukota, massa yang terlibat ribuan, dan—yang tak kalah pen ting-nya—media massa yang mewartakannya secara masif laksana sebuah per tunjukan teater lengkap dengan segala aspek dramanya. Wacana yang ber kembang pesat dan cepat di dunia internet (facebook dan twitter, khu-susnya) menyahuti peristiwa Tanjung Priok dipicu oleh faktor terakhir itu. Belum lagi SMS dan yang lain.

Sengketa tanah yang memperhadapkan aparat dengan warga dalam perbenturan bersenjata acapkali terjadi di negeri kita ini setelah gelombang reformasi mengalun tahun 1998. Salah satu yang dra matik dengan jumlah korban tewas lebih besar dibanding de ngan yang di Koja adalah peristiwa Alas Tlogo tahun 2007. Namun gaung kejadian Alas Tlogo tak seberapa besar sebab lokasinya di se buah desa di Pasuruan. Pula, yang berbenturan seratusan orang saja dan siaran live tak dilakukan televisi.

Alas Tlogo berdarahBerita mengejutkan terbetik dari Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Pasuruan, Jawa Timur, pada siang Rabu 30 Mei 2007. Isinya: sepasukan marinir telah menembaki warga dengan senjata laras panjang. Akibatnya tiga orang meninggal di lokasi dan seorang lagi kehilangan nyawa dalam perjalanan ke rumah sakit. Di samping itu beberapa orang mengalami luka tembak atau terkena sabetan senjata. Salah seorang yang tewas

Page 18: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h18 19B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

adalah perempuan yang sedang menyusui bayinya di rumah. Tak jelas siapa yang memulai sehingga senjata sampai menya-

lak. Dalam konferensi pers setelah kejadian, Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayjen TNI Syafzen Noerdin menya takan ang gotanya me-nembak untuk membela diri. Anak buahnya, ujar dia, terdesak menghadapi massa yang mengejar dengan bersen jatakan celurit dan batu. Versi warga tak seperti itu: marinir yang langsung main bedil.

Seperti kejadian di Koja tadi, perbenturan di Alas Progo meru pa kan ekses sengketa tanah yang berlarut-larut. Lahan se luas 3.500 hektar di Grati yang menjadi Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) sama-sama diklaim TNI AL dan warga setempat sebagai miliknya.

Ceritanya, sejak tahun 1961 lahan berpindah tangan dari war ga ke TNI AL. Ternyata setelah itu TNI AL tak memanfaatkan nya. Setelah te-lantar sekian lama warga pun berangsur-angsur menem patinya kembali. Sebagai catatan, saat penembakan terjadi pada Mei 2007 tak kurang dari 36.000 orang yang berdiam di sana. Pembiaran, itulah yang terjadi sekian tahun.

Tahun 1999 warga mengajukan gugatan ke PN Pasurun sebab TNI AL hendak menguasai lahan. Menurut mereka pengambil alihan tahun 1961 itu tak sah. Buktinya, surat tanah masih atas nama mere ka sampai waktu itu.

Ternyata gugatan mereka ditolak pengadilan. Sejak itu kete gangan kerap terjadi dan terkadang diwarnai intimidasi. Perun ding an demi perundingan berlangsung dan tetap saja tak ada titik temu. TNI AL sempat menawarkan relokasi tapi warga me nampik.

Sebelum penembakan, ketegangan terjadi lagi. Mulanya warga mela-rang kontraktor membangun di sana dengan alasan tanah itu masih sengketa. TNI AL menyuruh para tukang terus bekerja dengan argumen lahan itu milik mereka sesuai putusan Pengadilan Negeri Pasuruan Februari 2007. Cekcok terjadi. Buntutnya adalah penembakan yang merenggut nyawa warga itu. Selain itu, tanaman tebu milik RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) pun dirusak massa.

Setelah peristiwa penembakan, sebuah pertemuan berlang sung untuk meretas perdamaian. Perhelatan dihadiri antara lain oleh sekitar 100 wakil warga, Panglima Armada Timur (Pangarmatim) Laksamana Madya Mukhlas Sidik, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, dan sejumlah pejabat Pemda setempat. Seperti dilapor kan sejumlah media massa, suasana sempat memanas lagi tatkala Laksda Mukhlas Sidik menyatakan tanah sengketa itu milik negara sejak tahun 1961. Ucapan Pangarmatim mengundang reaksi keras wakil warga. Untunglah tak sampai ribut lagi.

Tanpa kejelasan status tanahniscaya bibit konflik akan terus ber­semai di sana. Jika masalah tak diselesaikan, konfrontasi pasti akan berulang sebab bom waktunya masih terus bekerja.

Eskalasi Sengketa TanahPeristiwa di Koja, T. Priok, dan Alas Progo tadi menjadi contoh ba gai -mana sengketa tanah seketika bisa berubah menjadi per tum pahan darah. Di tempat lain peristiwa serupa dengan eskalasi yang lebih rendah acap terjadi sejak reformasi 1998. Rakyat ber kon frontasi dengan aparat pemerintah di banyak tempat. Posisi aparat pemerintah bisa sebagai salah satu pihak dalam sengketa tanah dan bisa juga sebagai kekuatan yang dimanfaatkan oleh salah satu pihak berperkara.

Tentu saja yang kian jamak terjadi setelah reformasi bukan hanya seng keta tanah yang memperhadapkan rakyat dengan nega ra seperti yang terjadi di Koja, T. Priok, dan Alas Progo tadi, melainkan juga antara rak yat dan korporasi serta rakyat dan rakyat. Sampai saat ini masih ada tanah-tanah yang belum memiliki surat bukti hak atas tanah karena meru pakan warisan dari hukum adat mau pun hak-hak atas tanah menurut hukum kolonial sehingga menim bulkan persoalan tersendiri dan setiap tahunnya sengketa pertanahan cenderung meningkat, baik di wilayah perkotaan mau pun pedesaan. Peningkatan itu jelas tampak dari data be rikut.

Penelitian Sugianto tahun 199719 tentang sengketa pertanahan me-nun jukkan di seluruh Indonesia ada 6.448 kasus tanah, 1.248 di antaranya di DKI Jakarta.20

Di lingkungan DKI Jakarta sendiri, sengketa pertanahan cen derung meningkat. B.F. Sihombing21 dan Embun Sari yang me ne liti tahun 2005 menyebut, sejak tahun 1993 hingga 2003 ada 1.791 kasus sengketa tanah diDKIJakarta;778kasus(43,44%)diJakartaTimur,532kasus(29,70%)di Jakarta Utara, 169 kasus (9,44%) di Jakarta Selatan, 118 kasus (6,59%) di Jakarta Pusat, dan 194 kasus (10,83%) di Jakarta Barat.22

Embun Sari menggolongkan 1.791 kasus tanah ini menjadi empat, yaitu ihwal:

Pengakuan kepemilikan 453 kasus (25,25%).1. Peralihan hak 49 kasus (2,73%).2.

19 Sugianto, Studi Tanah Sengketa diProvinsi DKI Jakarta, Skripsi, STPN, Yogyakarta, 1997.20 Ibid.21 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Diser tasi, Toko

Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005.22 Embun Sari, Pola Sebaran Tanah Sengketa di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1999-2003, Tesis,

Magister Geografi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Page 19: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h20 21B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pembebanan hak 11 kasus (0,61%). 3. Pendudukan eks tanah partikelir 1.278 kasus (71,35%).4. 23

Pada periode 2005–2007 kasus bertambah. Dari 869 kasus tercatat 221 kasus diproses di Pengadilan Negeri dan 108 kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sisanya, 540 kasus, berupa peng aduan masyarakat, ke Badan Pertanahan Nasional DKI. Untuk jelas nya lihat tabel berikut:24

tabel 1Jumlah sengketa dan Konflik Pertanahan di Provinsi dKi Jakarta

antara tahun 2005–2007

No Tahun

Penyelesaian

KeteranganPN PTUN Pengaduan ke BPN

1 2005 70 38 153 tahun berjalan 1 tahun

2 2006 82 46 181 tahun berjalan 1 tahun

3 2007 59 24 206 terhitung sampai september

Jumlah 221 108 540 869

Sumber: Kanwil BPN DKI Jakarta, terhitung September 2007

Seperti di DKI Jakarta, jumlah sengketa tanah di DI Yogyakarta juga meningkat. Hasil penelitian Pusat Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2002 menunjukkan bahwa di 150 kabu-paten dan kota terjadi 63,5% sengketa tanah antarwarga, 40% sengketa tanah antara pemerintah daerah dan warga, dan 10,1% sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.25

Sengketa tanah terjadi karena tanah mempunyai kedudukan yang penting, yang dapat membuktikan kemerdekaan dan ke dau lat an pemiliknya. Tanah mempunyai fungsi dalam rangka inte gritas negara dan fungsi sebagai modal dasar dalam rangka me wujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.26 Pentingnya ke du dukan tanah bagi negara Republik Indonesia dapat dilihat da lam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Pokok

23 Ibid.24 Kanwil BPN DKI Jakarta, sengketa pertanahan di DKI Jakarta terhitung September 2007.25 Universitas Gadjah Mada, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Reformasi Tata Peme-

rintahan dan Otonomi Daerah, Suatu Ringkasan Eksekutif, Yogyakarta, 2002.26 Abdurahman, op. cit., hlm. 1.

Agraria yang me nyebutkan:Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari selu ruh 1. rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang 2. terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indo ne sia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ru ang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang ang-3. kasa termaksud dalam ayat (2) Pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tanah 4. bumi di bawahnya serta berada di bawah air. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman mau pun 5. laut wilayah Indonesia.Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air ter-6. sebut ayat (4) dan ayat (3) Pasal ini.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat dipahami bah wa bagi bangsa Indonesia, tanah memiliki hubungan yang sangat erat dan bersifat abadi, sehingga kedudukan tanah bagi bang sa Indonesia merupa kan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipi sahkan satu sama lainnya. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi ke-kuasaan seluruh rakyat.

Ketentuan ini bersifat imperatif karena mengandung perin tah ke-pada Negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang ter kan dung di da-lam nya diletakkan dalam penguasaan Negara, dan dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.27

Secara yuridis Undang-Undang Pokok Agraria telah me ne tap-kan asas-asas pokok dalam pengadaan tanah. Ketentuan hukum tanah nasional mengenai pemberian perlindungan kepada rakyat didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:28

27 Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 26.

28 Boedi Harsono, Sengketa Tanah Dewasa ini, akar permasalahan dan Penang gulangannya, Ma-kalah disajikan dalam Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyele saiannya”,

Page 20: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h22 23B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keper-1. luan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang di se diakan oleh hukum tanah nasional, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya 2. (illegal) tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pida na (Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960).Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi hak yang disedia-3. kan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama warga masyarakat, maupun oleh penguasa sekalipun.

Oleh hukum disediakan beberapa sarana hukum untuk me nang-gulangi gangguan yang dihadapi seperti:

Gangguan dari sesama anggota masyarakat melalui gugatan perdata 1. pada Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya, menurut UU No. 51/Prp 1961 di atas.Gangguan oleh Penguasa melalui gugatan Pengadilan Negeri atau 2. Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keper luan apapun, juga untuk proyek-proyek kepentingan umum, perolehan tanah yang dihaki seseorang atau badan hukum perdata, harus melalui musya-warah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan, maupun mengenai imbalannya kepada yangberhakatasnya;

Maka dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlu-kan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apa pun dan oleh pi-hak siapapun kepada pihak yang berhak atas tanah untuk menyerahkan tanahnya dan menerima imbalan, yang tidak disetujuinya.

Hanya dalam keadaan yang memaksa—jika tanah yang ber sang kut-an diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak mungkin menggunakan tanah lain, sedang mu sya warah yang diadakan tidak dapat menghasilkan kesepakatan me ngenai kedua hal yang dimak-sud di atas—dapat dilakukan peng am bil an secara paksa, melalui apa yang disebut pencabutan hak, se bagai mana diatur dalam UU 20 tahun 1961 dan pelaksanaannya dalam PP 39 tahun 1973.

di Jakarta, 20 Agustus 2003, hlm. 4-5.

Tetapi biarpun pengambilan tanahnya dapat dilakukan secara paksa, artinya tidak memerlukan persetujuan yang berhak, jika tidak menye tujui imbalan yang ditawarkan, pihak yang tanah nya diambil berhak untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tinggi, agar ditetapkan im bal-annya.

Dalam menetapkan imbalan tersebut Pengadilan Tinggi wajib mem-perhatikan asas, yang bersifat universal, yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973, bahwa de ngan diambilnya tanah ter sebut, keadaan sosial ekonomi bekas pe me gang haknya tidak boleh menjadi mundur.

Maka jumlah imbalannya tidak cukup hanya meliputi nilai tanah, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993, tetapi juga kerugian-kerugian di bidang lain yang dialaminya.

Merujuk kepada prinsip-prinsip pertanahan seperti tersebut di atas, seyogyanya tidak akan terjadi sengketa tanah di Indonesia. Kalau-pun terjadi sengketa, tentunya dapat diselesaikan dengan tuntas dan singkat, asalkan prinsip-prinsip pertanahan dijalankan oleh semua pihak. Namun sayangnya, karena nilai ekonomis yang tinggi dari tanah serta mendesaknya kebutuhan akan tanah, banyak pihak yang buta dan mela-kukan pengambilalihan hak atas tanah dengan mengabaikan prinsip-prinsip pertanahan tersebut.

Walaupun setelah kemerdekaan dualisme ketentuan per ta nahan masih belum dapat diatasi secara tuntas, sejak di keluarkannya Un dang -Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agra-ria (UUPA) menurut hukum, dualisme hukum di bidang pertanahan berakhir, sekalipun dalam kenyataan di lapangan masih terdapat berbagai permasalahan yang perlu pengaturan-pengaturan khusus.

KonsorsiumPembaruanAgrariamenyebutkonflikagrariadiIndo­nesia terjadi di berbagai kawasan dengan pola yang mirip. LSM yang fokusmengurusitanahinipernahmemantaukonflikagrariayangterse­bar di 2.834 desa atau kelurahan, 1.355 kecamatan, dan 286 kabupaten atau kota. Luas tanah yang dipersengketakan men capai 10 juta hektar lebih dan menyebabkan satu juta keluarga petani menjadi korban.29

Menurut hasil validasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2007, terjadi 4.581 kasus sengketa pertanahan, 858 kasus konflik

29 Kompas, Jumat 24 September 2010.

Page 21: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h24 25B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

pertanahan, dan 2.952 kasus perkara pertanahan. Kepala BPN Joyo Winoto mengungkap kan, lem baganya menginventarisasi ada 7.491 seng-keta lahan di selu ruh Indonesia dalam kurun waktu setengah abad sejak Undang-Undang Pokok Agraria berlaku (24 September 1960). Kasus-kasus itu be lum terselesaikan sampai sekarang. Penyebab sengketa ter-utama adalah rekonsentrasi aset di tangan segelintir orang telah ter-jadi selama ini, termasuk tanah. “Saat ini diperkirakan ada 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasio nal. Sekitar 62-87 persen aset itu dalam bentuk tanah,” ucap dia.30

Rekonsentrasiasetinitelahmengobarkankonfliktanahyangtakber­kesudahan.AkibatnyaIndonesiapunrawankonflikkomunal.Runyam­nya, lanjut Joyo Winoto, sejak UUPA berlaku tidak ada produk hukum baru di bidang pertanahan. Kekosongan hu kum terjadi sedemikian lama.

Sengketa pertanahan yang muncul setiap tahunnya menun juk kan bahwa penanganan tentang kebijakan pertanahan di Indonesia belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa fak tor yang me nye-babkan timbulnya sengketa pertanahan antara lain:31

Administrasi pertanahan masa lalu yang kurang tertib. Ad mi nis trasi 1. pertanahan mempunyai peranan yang sangat pen ting bagi upaya mewujudkan jaminan kepastian hukum. Pe ngua saan dan kepe mi-likan tanah pada masa lalu, terutama ter hadap tanah milik adat, seringkali tidak didukung oleh bukti-bukti administrasi yang tertib dan lengkap.Peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih.2. Kurang terpadunya peraturan perundang-undangan di bidang sum-ber daya agraria dan sumber daya alam dengan peraturan di bidang pertanahan, bahkan dalam beberapa hal terlihat ber tentangan, se-ringmenimbulkankonflikpenguasaan,pemilikan,penggunaandanpemanfaatan tanah. Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten.3. Akibat tidak sinkronnyapengaturan tersebut timbul konflik kewe­nangan maupun konflik kepentingan, sehingga seringkali hukumper tanahan kurang dapat diterapkan secara kon sisten dan ini sa-ngat mempengaruhi kualitas jaminan ke pas tian hukum dan per lin -dungan hukumnya. Di tengah era refor masi terlihat kurang ada nya

30 Kompas, ibid. 31 Rusmadi Murad, Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Penanganan Kasus Tanah, Ma-

kalah disajikan pada Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penye le sai an nya”, Jakarta, 20 Agustus 2003, hlm. 6-8.

harmonisasi dalam rangka mewu judkan tuntutan reformasi, yaitu su premasi hukum, keter bukaan dan keberpihakan pada kepen ting-an rakyat. Dari ketiga hal tersebut, supremasi hukum kurang mem-peroleh perhatian yang seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal ter sebut dapat dilihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih mengedepankan pada dasar kekuatan baik melalui ke kuat an massa, pengerahan massa dibandingkan dengan dasar per aturan yang lebih menekankan pada aspek legalitas yuridis. Penegakan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara kon sekuen.4. Penegakan hukum merupakan bagian penting upaya untuk mem -berikan jaminan kepastian hukum khususnya untuk meng hindari semakin merajalelanya pendudukan tanah, pe ma l uan surat-surat bukti penguasaan tanah, penyerobotan tanah perkebunan dan sebagainya.

Dalam praktik sehari-hari terdapat berbagai sengketa perta nahan yang disebabkan oleh kurang konsistennya pelaksanaan per aturan per-undang-undangan. Dengan kata lain, dalam praktek seringkali istilah ke pentingan umum dijadikan alasan pembenar untuk mengambil atau melakukan perampasan tanah rakyat guna berbagai kepentingan umum atau kepentingan pengusaha be sar tertentu. Hal ini mengakibatkan terjadi sengketa tanah yang ber kepanjangan.

Sebagai contoh kasus pembebasan tanah yang terjadi di Putat Gede, Kecamatan Tandes di Surabaya yang melibatkan warga ma sya rakat, Pemerintah Kota Surabaya, dan pengusaha.32 Kasus pem bebasan tanah yang terdapat di Karang Bulak sempat me ngor bankan warga yang ber-nama Mbak Kar.33

Demikian pula sengketa tanah dalam kasus pembebasan tanah di Urip Sumoharjo yang melibatkan warga, Pemerintah Kota Surabaya, dan pi hak investor,34 dan kasus-kasus tanah yang terjadi dengan alasan kepen tingan umum dan pembangunan, namun da lam pelaksanaannya ternyata tanah tersebut diperuntukkan bagi pihak swasta untuk memperluas usaha nya. Sebagai contoh, kasus pem bebasan tanah yang dikuasai dan yang dimiliki oleh warga Ta malanrea sejak nenek moyang mereka, di mana Pemerintah Da erah Kotamadya Makassar melakukan pembebasan dengan cara meng-gusur (membuldoser) bangunan milik para warga masyarakat sehingga

32 Surabaya Post, Minggu, 2 Desember 1990.33 Ibid.34 Ibid., Minggu, 17 Oktober 1993.

Page 22: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h26 27B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

mendatangkan kerugian secara materiil dan psikis.35

Ada pula kasus tanah yang terjadi di Jalan Kerung-kerung Makassar, di mana pihak Pemda dengan alasan yang sama seperti kasus-kasus yang sudah disebutkan melarang anggota masyarakat setempat untuk me nempati kembali tanah milik mereka beberapa hari setelah terjadi kebakaran di sana. Tapi karena beberapa anggota masyarakat merasa mempunyai hak atas tanah tersebut, akhirnya pihak Pemerintah Kota Makassar menggusur (membuldoser) tenda-tenda dan bangunan-bangunan darurat yang didirikan masya rakat.36

Berdasarkan uraian kasus-kasus di atas, di Surabaya dan Makassar, pembebasan tanah oleh pemerintah daerah tersebut tidak untuk kepen-tingan umum, tapi sebenarnya dilakukan untuk ke pentingan swasta atau investor agar dapat memperoleh tanah murah dengan menggunakan alasan untuk kepentingan umum dan pembangunan. Sebab dengan alasan itu warga tidak punya peluang tawar-menawar ganti kerugian atas tanah miliknya ter sebut. Pemerintah daerah yang membebaskan tanahnya, dan investor yang menyiapkan uang ganti kerugian. Kasus pertanahan lainnya seperti pembangunan proyek jalan tol, yaitu Pemerintah Daerah menggusur tanah rakyat dengan memberi ganti rugi yang tidak layak, sehingga banyak yang menggugat ke pengadilan.37

Bentuk-bentuk kasus sengketa pertanahan yang terjadi selama ini sa ngat beraneka ragam bentuknya. Sehubungan dengan hal tersebut, Dadang Juliantra membagi lima bentuk sengketa tanah yaitu:38

Pengambilan tanah untuk kepentingan proyek pembangunan peme-1. rintah, seperti waduk, lapangan terbang, tempat latihan tem pur dan lain-lain. Contoh antara lain Waduk Kedung Ombo, Waduk Wangi (Jawa Barat).Pengambilan tanah untuk perkebunan, baik dalam bentuk per usa ha-2. an perkebunan maupun perusahaan inti rakyat.Pengambilan tanah (terutama tanah adat) untuk meng eks ploi tasi 3. hutan, melalui HPH maupun HPI, kasus besar di Maluku, Buntian di Kalimantan Timur.Konflik tanahuntukpermukimandangarapanpetaniversuspeng­4. gunaan tanah untuk hutan atau suaka marga satwa atau taman

35 Heri Tahir, Aspek Kriminal di Bidang Pertanahan, tp., Ujung Pandang, UNHAS, 1994, hlm. 63.36 Ibid., hlm. 64.37 Ibid., hlm. 66.38 Dadang Juliantra, Sengketa Tanah. Modal dan Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995, hlm.

176.

nasional, contohnya Sugara di Jawa Barat, Sumber Klampok di Bali dan lain-lain.Perebutan tanah antara penggarap dengan proyek-proyek wi sata atau 5. rekreasi, seperti hotel, lapangan golf dan lain-lain.

Permasalahan tanah semakin kompleks lagi setelah mun cul nya spe-kulan-spekulan, yang membeli tanah sebanyak-banyak nya tidak untuk dipakai sendiri, tapi dijadikan barang dagangan. Sebe narnya hal ini bertentangan dengan semangat UUPA yang me negaskan bahwa supaya tidak merugikan kepentingan umum, pe milikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diper kenankan.39

Maraknya percaloan disebabkan adanya informasi terse lu bung yang diperoleh para spekulan dari pemerintah yang akan me lakukan pem-be basan tanah yang selalu bersifat tertutup dan se pihak. Informasi itu tidak diumumkan kepada rakyat sebelum pe rencanaan, tetapi rencana itu sering sudah bocor kepada para calo/spekulan tanah sehingga mereka membeli tanah rakyat se banyak-banyaknya dengan harga murah untuk kemudian menanti sampai rencana itu berjalan. Dengan bekerja sama, para spekulan menjual tanah tersebut dengan harga yang tinggi kepada pemerintah dan/atau investor.40 Sebagai contoh tanah-tanah di Jonggol banyak dibeli perusahaan-perusahaan besar seperti PT Bukit Jonggol Asri (PT BJA) karena ada rencana memindahkan pusat pemerintahan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan harga tanah semakin meningkat, sehingga banyak orang tergiur untuk mendapatkan ke un tungan seba-nyak-banyaknya dengan cara menghalalkan ber bagai macam cara seperti memalsukan surat­surat misalnya, surat­surat sertifikat atas tanah,pemalsuan akta jual beli, dan melakukan kejahatan stellionaat. Pelang-garan hukum di bidang pertanahan se benarnya merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam buku II KUHP. Disebut sebagai kejahatan pertanahan karena obyek atau tujuannya untuk menguasai tanah.

Adapun pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berhubungan dengan tindak pidana pertanahan adalah sebagai berikut:

Kejahatan terhadap penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 1. KUHP.Kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat masing-masing diatur 2. dalam Pasal 263, 264, 266 dan 274 KUHP.

39 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 11. 40 Ibid.

Page 23: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h28 29B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak ber gerak se-3. perti tanah, rumah, sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan keja-hatan stellionaat, yang diatur dalam Pasal 385 KUHP.41

Selain itu dalam UUPA juga tercantum ketentuan pidana dalam Bab III Pasal 52 yang menyatakan:42

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 1. dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,- Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang di mak sud 2. dalam pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46, 47, 48, 49 ayat 3 dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pe lang garan peraturannya dengan hukuman kurungan selama-la ma nya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,-Tindak pidana dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelang garan.3.

Sengketa pertanahan juga sering terjadi di daerah bencana alam seperti tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang telah merusak 68.966,60 hektar tanah di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Kerusakan tanah ini tersebar di sepuluh kabupaten dan kota, di antaranya Banda Aceh, Aceh Jaya, Lhokseumawe dan yang terparah berada di kota Aceh Jaya. Di daerah pinggir pantai, batas penguasaan tanah hilang karena diterjang om bak dan tergenang air laut, sehingga harus dilakukan penataan ulang.43

Permasalahan lain yang muncul pasca tsunami adalah banyaknya surat yang rusak akibat terendam air. Di Kanwil BPN Provinsi Aceh, sebanyak 20% dokumen hak atas tanah dan pendaftaran tanah hilang serta rusak. Sedangkan di kota Banda Aceh kerusakan mencapai 40%. Selain itu, juga terdapat sekitar 15 ribu ton dokumen pertanahan Pro-vinsi NAD yang sedang di stabilisasi di Muara Baru, Jakarta dengan meng-gunakan tempat pendingin. Kegiatan penyelamatan ini merupakan kerjasama dengan pemerintah Jepang.44 Keadaan demikian mempersulit Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat baru atas tanah diNanggroe Aceh Darussalam. Selain data-data hilang, juga keadaan tanahnya pun telah berubah.

41 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Syarat Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 15-16.

42 Boedi Harsono, op. cit., hlm. 20. 43 Adrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan Serta Berbagai Permasalah annya, BP.

Cipta Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 16.44 Ibid.

Sengketa tanah antara penduduk dengan pemerintah dapat ber ben-tuk sebagai berikut:

Sengketa yang menyangkut tanah perkebunan yaitu ber ben tuk 1. pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati dengan HGU, baik yang masih berlaku mau pun yang sudah berakhir.Sengketa yang berkaitan dengan kawasan hutan khususnya pem berian 2. hak pengusahaan hutan (HPH) atas kawasan hu tan di mana terdapat tanah yang dikuasai oleh ma sya ra kat hu kum adat (tanah ulayat) serta yang berkaitan dengan ka wasan pertambangan dan kawasan yang diklaim hutan tetapi se nyatanya sudah merupakan non hutan.Sengketa yang berkaitan dengan kawasan pertambangan dan ka-3. wasan yang diklaim sebagai hutan tetapi senyatanya su dah meru-pa kan nonhutan.Sengketa yang berkaitan dengan tumpang tindih atau sengketa batas, 4. tanah bekas hak milik adat (girik) dan tanah bekas hak eigendom.Sengketa yang berkaitan dengan tukar-menukar tanah bengkok desa/5. tanah kas desa, sebagai akibat perubahan status tanah bengkok desa/Tanah Kas Desa menjadi aset Pemda.Sengketa yang berkaitan dengan tanah bekas partikelir yang saat ini 6. dikuasai oleh berbagai instansi pemerintah. Sengketa yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang tidak 7. dapat diterima dan dijalankan.

Akar Masalah Sengketa tanah yang timbul karena penggarapan tanah oleh rak yat umum nya terjadi atas tanah-tanah bekas hak barat/eigendom yang be-rupa lahan kosong. Kadangkala, penggarap-penggarap terse but bekerja sama dengan pejabat-pejabat setempat untuk memberikan keterangan ten tang keberadaan penggarap di atas tanah tersebut. Surat keterangan diterbitkan oleh Lurah dan Camat yang dilan jut kan untuk mengurus pem bayaran PBB atas tanah itu.

Berbekal surat keterangan dari Lurah dan Camat, pembayaran PBB serta KTP penduduk di tanah itu, langsung diajukanlah SKPT dan sertifikatdiBPN.Teknik­teknikpenguasaantanahnegaradengancara­cara tersebut banyak dilakukan para calo tanah, sehingga jika suatu saat pemerintah memberikan hak tanah itu kepada investor, maka para penggarap dengan dimodali oleh para calo mulai mengajukan tuntutan-tuntutan kepada investor seolah-olah tanah tersebut sudah menjadi

Page 24: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h30 31B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

miliknya dengan data-data yang diurus tersebut di atas.Kebanyakan tanah-tanah negara di bantaran kali ataupun se kitar rel

kereta api sering diserobot oleh penduduk liar, dan agar dapat mem per-tahankantanahtersebutmerekaseringmembuatsertifikatpalsu.Sayangnya,penyerobotan tanah secara paksa dan illegal itu diperparah dengan penerbitan sertifikatpenguasaanhakatastanaholehBPNtanpamenelitiriwayat/asal­usul tanah yang bersangkutan. Pemalsuan tanda tangan para pewaris atau sa lah satu ahli waris kerapkali juga dilakukan agar sebidang tanah da pat dialihkan kepada pihak ketiga, dll. Menurut Maria S.W. Sumardjono, peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi:45

Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, per ke bun-1. an, proyek perumahan yang ditelantarkan, dan seba gainya.Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan 2. land reform.Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pem ba ngun an.3.

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah sertaMasalah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.5.

Sedangkan ditinjau dari sisi yuridis praktis, masalah perta nahan yang dapat disengketakan dapat dirinci dalam jenis-jenis sengketa sebagai berikut:46

Sengketa mengenai bidang tanah yang mana yang dimak sud kan.1. Sengketa mengenai batas-batas bidang tanah.2. Sengketa mengenai luas bidang tanah.3. Sengketa mengenai status tanahnya (tanah negara atau tanah hak).4. Sengketa mengenai pemegang hak atas tanah.5. Sengketa mengenai hak yang membebani.6. Sengketa mengenai pemindahan hak atas tanah.7. Sengketa mengenai penunjuk lokasi dan penetapan luas tanah untuk 8. keperluan proyek pemerintah/swasta.Sengketa mengenai pelepasan/pembebasan hak atas tanah.9. Sengketa mengenai pengosongan tanah.10. Sengketa mengenai pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan 11. lainnya.

45 Maria S.W. Sumardjono, Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum, disampaikan dalam “Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan” yang diselenggarakan oleh Sigma Confe ren­ces tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta.

46 Boedi Harsono, Penyelesaian Sengketa Pertanahan sesuai Ketentuan-ketentuan Dalam UUPA, makalah yang disampaikan dalam “Seminar HUT UUPA XXXVI” yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala BPN di Jakarta tanggal 22 Oktober 1996.

Sengketa mengenai pembatalan hak atas tanah.12. Sengketa mengenai pencabutan hak atas tanah.13. Sengketa mengenai pemberian hak atas tanah.14. Sengketamengenaipenerbitansertifikathakatastanah.15. Sengketa mengenai alat-alat pembuktian atas keberadaan hak atas 16. tanah atau perbuatan hukum yang dilakukan, dan lain sebagainya.

Endang Suhendar, yangmeneliti pola konflik pertanahan di JawaBarat tahun 1994,47 membuat pemetaan tentang penyebab sengketa pertanahan; tentu pola yang kurang lebih sama akan kita temukan dibelahan negeri kita yang lain. Berikut ini pemetaan yang dia buat:48

tabel 2Jenis-jenis Konflik Pertanahan yang sering timbul

No Penyebab Persentase

1 status kepemilikan tanah 22,6 %

2 status penguasaan tanah 31,5%

3 ganti rugi akibat pembebasan lahan 34,7%

4 status penggunaan 11,3%

(Sumber: Maria S.W. Sumardjono49)

Hingga kini, persoalan tanah yang berkaitan dengan penggarapan tanah oleh rakyat masih belum tuntas penyelesaiannya. Sebagai contoh, dapat dilihat penyelesaian masalah tanah garapan warga masyarakat yang diokupasi perusahaan perkebunan. Banyaknya tuntutan warga ter hadap tanah HGU perusahaan perkebunan di berbagai daerah di Indonesia dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah bekas garapan merupakan indikasi bahwa penyelesaian masalah tanah garapan masyarakat yang diokupasi oleh perusahaan perkebunan belum tuntas. Tuntutan warga atas pengembalian tanah bekas garapannya di atas tanah HGU umumnya disebabkan oleh okupasi pihak perkebunan dengan cara intimidasi dan pemaksaan yang tidak disertai ganti rugi yang layak.

Selain itu, penguasaan tanah oleh perusahaan perkebunan yang mele-bihi luas HGU yang diberikan dengan mengambil tanah hak masyarakat

47 Paulus Effendie Lotulung, “Tanah dan Permasalahannya di Peradilan Tata Usaha Negara”, ma ka-lah yang disampaikan dalam “Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan” yang diselenggarakan oleh Sigma Conferences tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta.

48 Ibid.49 Maria S.W. Sumardjono, op. cit., hlm. 3.

Page 25: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h32 33B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

juga merupakan faktor pemicu timbulnya masalah pertanahan. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus pertanahan di Kecamatan Bangun Purba, di mana warga yang tergabung dalam organisasi PERSAGE menuntut perusahaanperkebunanPTTjintaRajayangdinilaitelahmenguasaifisiktanah perkebunan sekitar 4.000 hektar.

Selain penggarapan tanah perkebunan, permasalahan per tanahan yang berkaitan dengan penggarapan tanah oleh warga masyarakat juga terjadi di area hutan lindung. Tidak adanya batas area hutan lindung yang tegas telah menyebabkan timbulnya sengketa antar warga masyarakat dengan pihak kehutanan, di mana jika persoalan ini tidak segera ditun-taskan dan Pemerintah tidak membuat aturan pertanahan yang lebih baik, maka persoalan pertanahan ini akan bertambah banyak dan situasi hukum pertanahan di Indonesia akan terganggu.

rakyat versus Pengusaha dan PemerintahRakyat sangat membutuhkan tanah sebagai sumber kehidupan mereka. Jelas, tanah merupakan sesuatu yang sangat vital bagi mereka. Di sisi lain, negara dan para pengusaha juga membutuhk an tanah. Untuk membangun infrastruktur yang menjadi ke bu tuhan publik, itulah alasan utama negara menguasai tanah. Semen tara itu, alasan pengusaha adalah memperluas bisnis dan memperbanyak mata dagangan.

Kebutuhan tanah para pihak ini sering melahirkan per ben turan. Kerap perbenturan itu begitu kerasnya.50 Biasanya yang ber hadapan ada-lah warga dengan pengusaha. Penyebabnya adalah tanah warga telah di-am bil oleh pengusaha yang sedang ber eks pansi. Dalam hal ini pengusaha memanfaatkan pelbagai fasilitas peng alihan hak atas sumber-sumber agraria. Negaralah yang me nye diakan fasilitas itu. Warga akhirnya tak hanya berhadapan de ngan pengusaha tapi juga dengan negara. Pasalnya, mereka menganggap negara menjadi backing pengusaha.

Sengketa tanah ini bukan semata karena langkanya sumber-sumber agraria (termasuk tanah) melainkan juga karena ekspansi modal secara

50 Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus yang memakan korban jiwa. Pada kasus Nipah—konflik antara rakyat yang mempertahankan tanah mereka yang akan dijadikan waduk dan aparat negara—empat warga tewas. Yang terluka lebih banyak lagi. Tentara meggunakan bedil untuk membubarkan warga yang memboikot pengukuran tanah. Untuk lebih jelasnya mengenai kasus ini lihat Andik Hardiyanto et al. (ed.) (1995), Insiden Nipah: Sengkok Cinta Tang Disa Ma’e Tembak. Untuk mendalami kasus Tanah Jaluran bisa dilihat Burhan Azidin (1981), Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan; dan Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung, & Edy Suhartono (1997), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN II: Sengketa Tanah di Sumatra Utara, Medan: WIM dan Akatiga.

besar-besaran yang kemudian bertubrukan dengan kepentingan ekonomi (subsistem) maupun sistem budaya rakyat. Di sini tanah-tanah garapan petani atau tanah-tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pengusaha dengan me man faatkan fasilitas-fasilitas pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang disediakan negara.51

Sengketa pertanahan pada saat ini tidak sederhana, misalnya sebatas rakyat dengan rakyat memperebutkan sebidang tanah. Yang lebih banyak terjadi adalah petani atau rakyat sebagai pe milik tanah atau penggarap atau sebagai satuan masyarakat adat52 bertikai dengan pihak lain yang akan memanfaatkan tanah untuk pengembangan usaha atau akumulasi modal. Tujuan yang ter akhir itu difasilitasi negara.53 Merasa dirugikan, rakyat pun mem per sepsikan negara sebagai lawan mereka sebab negara men jadi alat pengusaha. Memang acap pemerintah, termasuk aparat pene-gak hukum, berpihak kepada investor dengan mengorbankan rakyat.

Sengketa pertanahan antara rakyat dan negara pada dasarnya terjadi akibat obsesi otoritas kekuasaan ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Realitas di lapangan adalah:54

Terjadinya sengketa agraria akibat eksploitasi sumber-sumber agra-1. ria seperti hutan dan lahan tambang. Dalam eksplorasi dan eks-ploi tasi, negara membenarkan diri dengan merujuk keapda pasal 33 UUD 1945 dan pasal-pasal tertentu dalam UUPA 1960. Berbagai kasus di Kalimantan, Papua, Sumatra, atau Sulawesi menjadi contoh

51 Dianto Bachtiar, Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen Reforma Agraria, Laporan Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 308.

52 Masuknya satuan-satuan masyarakat adat sebagai kelompok yang mengadakan perlawanan merupakan fenomena baru dalam sejarah sengketa agraria di Indonesia. Fenomena perlawanan ini secara signifikan hanya bisa disaksikan sejak ekspansi modal yang ekstensif dan juga intensif dari perusahaan-perusahaan besar dalam negeri maupun luar negeri ke daerah-daerah “Indonesia Luar”—meminjam istilah Clifford Geertz—yang masih kaya dengan sumber­sumber agraria yang belum banyak dieksploitasi pada masa kolonial, seperti hutan dan lapisan bumi yang kaya bahan tambang. Ekspansi besar-besaran ini memang dimungkinkan karena pemerintah Orde Baru membuka peluang tersebut dan menyediakan sejumlah fasilitas dan alas hukumnya lewat UU Penanaman Modal Asing, PP tentang Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam Negeri, UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Kehutanan, dan lainnya.

53 Sejumlah fasilitasi negara terhadap proses ekspansi dan akumulasi modal tecermin dalam sejumlah UU, Peraturan Pemerintah, Keppres, SK Menteri, aturan-aturan Perda, dan sebagainya yang dibuat untuk memberikan kemudahan investasi untuk mengeksploitasi sumber-sumber agraria di Indonesia di satu sisi tetapi memarginalkan posisi rakyat dan masyarakat tani khususnya di pihak lain. Untuk itu bisa dilihat sejumlah UU, PP, dan peraturan-peraturan lainnya yang dengan mudah menegaskan hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria tersebut tetapi sebaliknya memberi kemudahan bagi pengusaha untuk mendapatkan hak-hak baru di atas tanah-tanah yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan ekonomi-sosial-budaya masyarakat setempat.

54 Tim BP-KPA, Badan Penyelesaian Sengketa Agraria Reforma Agraria, Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 347-348.

Page 26: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h34 35B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

bagaimana negara mengusahakan pemasukan me lalui penciptaan produksi yang cepat dan murah yakni eksploitasi langsung sumber daya alam. Contoh yang sangat nyata adalah kasus tanah adat suku Amungme-Papua yang diambil PT Freeport untuk mengeksploitasi tambang emas dan tembaga. Juga kasus tanah suku Dayak Bentian-Kalimantan Timur yang diambil PT Kahold Utama untuk dijadikan hutan tanaman industri.Untuk menyediakan makanan murah dan tenaga kerja murah, ne-2. gara melakukan intervensi yang sistematis di sektor per tanian. Eks-ploitasi dan marginalisasi rakyat desa menjadi eksesnya. Program swa sembada beras telah menyebabkan mem beng kaknya jumlah petani tak bertanah. Kita bisa melihat di pantai utara Pulau Jawa di mana satu orang menguasai lahan 50 hektar lebih sementara hampir separo petani di se kitarnya tak ber tanah. Negara tidak saja secara vulgar mem bebaskan tanah melainkan memaksa petani menanam komo ditas tertentu seperti tebu dalam program TRI. Revolusi hijau juga menjadi mesin yang secara sistematik mengusir kaum tani dari desa. Di kota mereka kemudian harus menjadi buruh murah pabrik. Untuk membangun infrastruktur pendukung produksi dan sarana 3. lain, penguasa membangun berbagai sarana pendukung seperti jalan, perumahan, perkantoran, pabrik, dan kompleks olahraga atau lapangan golf. Perbenturan pun terjadi seperti dalam kasus Cimacan, Kedung Ombo, Nipah, atau Mrican. Bagi investor, pembangunan berbagai sarana ini sendiri menjadi bagian kemudahan dan peng-hadiran rasa aman dan nyaman.55

Untuk memperluas produksi, perusahaan negara (BUMN dan 4. BUMD) mengelola dan memperkuat perkebunan-perkebunan ber-skala besar. Ini dilakukan dengan cara mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Contohnya adalah tanah rak yat Penunggu (Jaluran), Sumatra Utara, yang dijadikan lokasi

55 Penggusuran tanah untuk industri jasa, seperti real estate untuk perumahan mewah, hotel-hotel, dan fasilitas wisata. Di Jabotabek luas tanah yang dikuasai oleh per usa haan-perusahaan real estate sudah lebih luas daripada kota Jakarta itu sendiri. Di Bali terjadi penggusuran dan pengalihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Di pesisir Lombok terjadi penggusuran rakyat di Pemongkong dan Gilitrawangan untuk kawasan wisata. Di Jawa Barat saja terdapat setidaknya 21 lapangan golf. Penggusuran tanah dilakukan untuk apa yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” oleh pemerintah sendiri. Tanah dibutuhkan untuk pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintah, sarana militer, dan lain-lain. Seng keta tanah Blangguan di Jawa Timur merupakan contoh penetapan tanah rakyat untuk tempat latihan marinir. Dalam hal ini pemerintah secara langsung turun tangan mem bersihkan rintangan­rintangan yang menghalangi mulusnya “pembangunan”.

perkebunan. Hal serupa juga terjadi di Jenggawah, Jawa Timur. Pihak perkebunan dan petani yang berhubungan inti-plasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (PIR-Bun) juga bersengketa. Seperti yang terjadi di Arso-Papua, Sei Lepan Sumatra Utara, PIRLOK di Silau Jawa Kabupaten Asahan, dan Cimerak.

Menurut Aditjondro, sengketa agraria di Indonesia bersifat multi dimensional yang tidak dipahami hanya sebagai perseng ketaan agraris an sich, tetapi puncak gunung es dari beragam jenis konflik lainnyayangmendasar,sepertikonflikantarsistemekonomi,konflikmayoritas­minoritas, konflik antara masyarakat modern versus masyarakat adat,konflik antara Negara dan warga negara, konflik antarsistem ekologi(ekosistemversusindustrialisme),konflikantarsistempengetahuan(sis­tem pengetahuan positivistik versus sistem pengetahuan asli), konflikantarabudaya(budayamodernversusbudayaasli) sertakonflikdalamrelasi gender.56

Watak sengketa pertanahan tersebut tidak saja menimbul kan satu pola sengketa yang masuk dalam ruang lingkup perdata yang terjadi antara rakyat tidak bertanah melawan rakyat yang berta nah (kaya). Kasus-kasus yang termasuk perbuatan pidana dapat terjadi karena nilai-nilai sosial aparat pemerintah mendapat benturan, longgar, tidak kuat, tidak kokoh, tidak mengakomodasi atau tidak me nye diakan interaksi antar aspek budaya serta faktor struk tural. Maka timbullah kejahatan pertanahan seperti pengambilalihan ta nah milik rakyat dengan jalan menggusur, menyerobot, mem beri kan ganti rugi yang tetapkan sepihak dan sejenisnya yang di la kukan oleh pemerintah, pengusaha serta ga-bungan keduanya me la wan warga masyarakat pemegang hak atas tanah yang mem pertahankan tanah miliknya.

Tidak jarang pemerintah dan aparat penegak hukum dengan ke-kuasaan yang ada dan pengusaha yang mempunyai kekuatan modal yang besar melakukan kesewenangan serta tidak jarang dalam mengambil ke putusan hukum yang mengakibatkan kepen tingan masyarakat sering dirugikan. Dengan kata lain, aparat peme rintah atau penegak hukum selalu berpihak kepada para investor yang berkepentingan komersial;rakyat selalu dikalahkan atau dirugikan.57

Kalau dihubungkan dengan pengertian viktimisasi yang di uraikan

56 George J. Aditjondro, Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah, Makalah Latihan Analisis Sosial Tanah, Medan, 1993.

57 Muhadar, op. cit., hlm 46-48.

Page 27: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h36 37B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

J.E. Sahetapy,58 maka sengketa tanah dapat diartikan sebagai penyebab penderitaan, baik secara fisik maupun secara psikis yang berkaitandengan perbuatan orang lain. Penderitaan itu dapat ditimbulkan oleh perseorangan atau kelompok, bahkan juga oleh pemerintah, sedangkan korban bukan saja perorangan, melainkan dapat pula terdiri atas beberapa orangataukomunitastertentu.Penderitaanjugatakhanyasecarafisik,melainkanjugabisainklusifdalamartisecarafinansial,ekonomi,sosialbudaya, agama, dan dalam arti psikis secara luas.

Noer Fauzi59 menemukan banyak kasus yang pada dasarnya mem-per lihatkan tetap berlangsungnya kekerasan, antara lain: penganiayaan di32kasussengketa/konflikagrariayangmenimpasedikitnya190orangpetani dan aktivis pembela petani, pembu nuhan terhadap petani di 13 kasus sengketa/konflik agraria yang meminta korban jiwa sedikitnya18 orang, penembakan terhadap petani/rakyat di 18 kasus sengketa/konflikagrariayangterjadipadasedikitnya44orangpetanidanaktivispem bela petani, dan tindakan kekerasan lain yang membuat penduduk yang ketakutan terpaksa mengungsi karena takut di kejar aparat. Saking besarnya keterlibatan aparat dalam kasus sengketa pertanahan, Peme-rintah Daerah maupun DPRD sulit mendapatkan solusi dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan karena perlawanan terhadap aparat dapat berdampak terhadap kedudukan pejabat Pemerintah Daerah maupun anggota DPRD yang mencoba berusaha menolong rakyat.

Tidak sedikit kasus konflik tanah yang merupakan upaya sis te matis pemerintah, aparat keamanan, dan badan usaha bermo dal besar mem -ben dung perjuangan rakyat yang mencoba menda patkan haknya atas tanah dan kekayaan alam lain dengan cara represif. Padahal perjuangan rak yat bukanlah tindakan kriminal yang melanggar hukum, melainkan usaha langsung yang sah untuk dilakukan ketika rakyat tidak mendapat perhatian penguasa dalam mencukupi kebutuhan pokok bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, yakni tanah.

Hingga saat ini, konflik agraria belum ditangani secara sistematisdanmenyeluruh.Konflikdilapangantelahmendorongrakyatmengambillang kah sendiri dalam mengambil kembali haknya atas tanah. Motivasi rakyat ini didorong rasa ketidakpercayaan me reka kepada kebijakan, mekanismedankelembagaanpenyelesaiankonflikselama ini.Perlakuanmenghormati dan menjunjung ting gi hak asasi manusia merupakan sa lah

58 J.E. Sahetapy (ed), Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco Bandung, 1995. hlm. 6.59 Tim BP-KPA, Badan Penyelesaian Sengketa Agraria. Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama,

Yogyakarta, 2001, hlm. 367

satu prinsip yang wajib diterapkan oleh (aparatur) negara dalam pe na-nganankonflikagraria.60

Sejauh ini, kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam ma-sih tidak berubah dari kebijakan masa lalu. Berdasarkan ka jian atas kebi-jakan yang ada, ditemukan sejumlah karakter: Peraturan per undangan ter sebut berorientasi pengerukan (use-oriented);lebihberpihakkepadapemodal besar; bercorak sentralistik yang ditandai dengan pemberiankewenanganyangbesarkepadanegara;tidakmemberikanpengaturanyang proporsional terhadap peng akuan dan perlindungan hak asasi manusia dan bercorak sektoral dengan tidak melihat sumber daya alam sebagai sistem ekologi yang terintegrasi.

Hak-hak rakyat dapat dicabut untuk kepentingan investasi pemodal besar ataupun pengelola perkebunan. Ketiadaan bukti legal penguasaan dan pemilikan tanah rakyat menjadi sasaran empuk untuk melancarkan pencaplokan tanah rakyat untuk operasi perkebunan besar. Rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun dan bahkan turun-temurun menguasai tanah, seketika kemudian di ang gap penduduk haram di atas tanahnya sendiri. Konsep hak me nguasai negara atas tanah dan kekayaan alam lainnya ternyata masih disalahkaprahkan untuk kepentingan investasi modal besar.

Hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya telah diper-hadapkan dengan kebijakan yang condong mengutamakan pe nyedia an tanah untuk kepentingan bisnis perkebunan. Orientasi politik agraria semacam ini sudah banyak digugat. Pengutamaan penyediaan tanah bagi rakyat (petani) kecil yang membutuhkannya, dan pengembalian tanah-tanah rakyat yang sempat dirampas pada masa lampau telah menjadi semangat zaman.

Sengketa pertanahan dari hari ke hari bertambah jumlahnya karena sulit untuk menyelesaikannya secara tuntas, bahkan bebe rapa di antara nya masihberadadalamsituasipanaskarenaketegangankonflikyangsangatkeras. Menurut Paulus E. Lotulung, masa lah pertanahan mendo minasi perkara di pengadilan umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara.61

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam dua tahun perta ma pem bentukannya telah dijadikan saluran tidak resmi sebagai lem baga penyelesaian sengketa pertanahan. Jumlah kasus pertanah an yang dapat diurus oleh Komnas HAM menempati urutan pertama yaitu 101 kasus

60 Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

61 Harian Umum Kompas, Tanggal 21 Oktober 1996.

Page 28: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h38 39B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

pada tahun 1994 dan pada tahun 1995 meningkat men jadi 168 kasus yang berarti meningkat sebesar 66%. Belum lagi pengaduan-pengaduan rakyat kepada DPR baik pusat maupun da erah selaku lembaga pembuat kebijakan publik dan pengontrol kegiatan pemerintah.

Kalau meneliti kasus-kasus sengketa pertanahan yang ada, umumnya posisi rakyat lemah sedangkan posisi negara dan modal sangat kuat

dalam menentukan arah dan corak perubahan sosial di Indonesia, yang selalu dinyatakan dengan alasan untuk kepentingan umum. Dalam hal ini rakyat dipaksa untuk menerima saja segala hal yang hendak dilakukan oleh Negara, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan pemodal. Lemahnya posisi rakyat juga terlihat dalam proses dan dinamika sengketa itu sendiri. Negara bisa mengerahkan segala potensinya untuk

Sengketa Pertanahan Pasca-Reformasi

15 Juni 1998 Lapangan Golf Cimacan di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang ditanami singkong dan pisang oleh petani dinyatakan “status quo.” Kasus ini terkait sengketa lahan antara PT Bandung Asri Mulya selaku pengelola lapangan golf dan masyarakat petani.

1 Mei 1999 Sebanyak 85 petani penggarap ditangkap aparat secara massal dengan tuduhan melakukan pembakaran bangunan milik perkebunan Argabintana PT Perkebunan VIII di Cianjur Selatan, Jawa Barat. Para petani kecewa akibat berlarutnya penyelesaian kasus sengketa lahan dengan PT Perkebunan VIII.

6 April 2000Sekitar 100 petani dari Kecamatan Wado, Sumedang, Jawa Barat, menginap di Gedung DPRD Jabar. Mereka mempermasalahkan belum adanya kejelasan soal tuntutan pengembalian lahan garapannya yang sejak tahun 1973 diduga beralih ke proyek pertanian intensif milik bekas anggota TNI dan anggota veteran.

4 Oktober 2001 Merasa hak-hak atas tanahnya dirampas dan upaya hukum menemui jalan buntu, ribuan warga Desa Alas Tlogo dan Desa Gejugjati, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, membabat habis belasan ribu pohon mangga yang saat ini dikuasai TNI AL dan PT Rajawali Nasional Indonesia (RNI).

7 Mei 2002 Sekitar 100 anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) di wilayah Priangan Timur mendatangi DPRD Tasikmalaya, menuntut agar semua kasus sengketa tanah negara yang melibatkan pihak perkebunan atau pun Perhutani dengan warga sekitar di Priangan Timur diselesaikan tanpa kekerasan.

31 Januari 2005 Warga suku Kajang yang berdiam di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,

menuntut PT London Sumatra agar segera mengembalikan tanah adat milik mereka yang dijadikan areal perkebunan sawit.

20 September 2006 Sengketa tanah di Pasar Kembangsari Lama dan Pasar Kembangsari Baru di Desa Karangduren, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, antara warga dan TNI AD yang berniat menggunakan Pasar Kembangsari Lama untuk pembangunan infrastruktur bangunan TNI AD.

30 Mei 2007 Empat warga Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, tewas dan delapan orang luka-luka setelah ditembak prajurit Marinir TNI AL. Peristiwa ini dipicu sengketa tanah seluas 539 hektar di 11 desa di dua kecamatan, yakni Kecamatan Lekok dan Grati, yang juga diklaim PT Rajawali Nusantara.

10 Oktober 2008 Sengketa lahan tebu antara warga dan PT Perkebunan Nusantara XIV di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, berujung konflik yang mengakibatkan empat warga tertembak.

19 Oktober 2009 Sedikitnya 100 petani mendirikan tenda di halaman depan kantor Gubernur Sumatra Selatan. Mereka berupaya mengadukan penyerobotan tanah oleh PT Berkat Sawit Sejati di Desa Sinar Harapan seluas 74 hektar dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII seluas 387 hektar di Desa Sido Mulyo.

1 Juli 2010 Sengketa lahan antara petani dan PT Sumber Sari Petung berujung aksi kekerasan oleh petani di areal perkebunan milik PT SSP di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur. PT SPP bersikeras terus mengelola lahan seluas 650 hektar—sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah Agung. Padahal, 250 hektar di antaranya terkena land reform untuk diberikan kepada petani.

Sumber: Kompas, 24 September 2010

Page 29: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h40 41B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

menindas atau mengalahkan kepentingan dan hak rakyatnya sendiri.62

Segala penaklukan dan penindasan ini dilakukan oleh Negara dalam rangka memaksakan dilaksanakannya satu proyek atau pro gram tertentu yang dinyatakan sebagai program atau proyek pembangunan. Dengan konsep untuk kepentingan Pembangunan, Negara seolah-olah memiliki legitimasi untuk melakukan segala upaya penaklukan dan penindasan terhadap rakyat. Seluruh tindak-tanduk Negara dalam menaklukkan dan menindas rakyat ini selalu diklaim sebagai bagian dari upaya negara untuk menegakkan sta bilitas sosial, politik, dan keamanan agar proses pembangunan bang sa bisa berlangsung terus. Sedangkan upaya rakyat untuk mem pertahankan haknya dituduh menghambat pembangunan, dan dijadikan pembenaran oleh negara dan aparatnya untuk melakukan sejumlah upaya penaklukan atau penindasan.63

Masalah pembebasan tanah untuk jalan tol yang tidak tuntas meng-akibatkan masyarakat melakukan pemblokiran atas jalan-jalan tol yang sudah jadi dan siap digunakan, sehingga dana inves tasi yang telah digunakan untuk membuat jalan-jalan tol tersebut terhambat untuk mengembalikan investasi tersebut seperti tol JORR Hankam–Cikunir, Tol Kanci, Cirebon-Jawa Barat, Tol Ulujami, dan lain-lain yang akibatnya merugikan investor dan jika tidak cepat diatasi dapat membuat trauma investor dalam mau pun luar negeri untuk melakukan investasi di Negara Republik Indonesia.

Contoh sengketa tanah di Perkebunan Negara adalah kasus kebun tebu PT Perkebunan Nusantara XI. Masyarakat yang ber seng keta de ngan PT Perkebunan Nusantara XI menyerobot ma suk areal kebun PT Per-kebunan Nusantara XI dan merusak ta naman tebu siap panen, sehingga produksi gula di tanah air men jadi me nurun, dan terpaksa dilakukan impor gula dari luar negeri.

BentrokfisikyangmenjadiinsidenpenembakanolehanggotaTNI­AL (Marinir) terhadap warga desa Grati di Alas Tlogo Lekok, Kabupaten Pasuruan mengakibatkan jatuh korban nyawa dan rusak nya areal tanah karena dibakar oleh rakyat yang memasuki dan menduduki tanah dalam penguasaan TNI-AL untuk areal latih an perang, dan berimbas merusak tanaman tebu milik RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) di Jawa Timur.

Kondisi-kondisi akibat sengketa pertanahan tersebut makin ru nyam lagi ketika sengketa ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan

62 Dianto Bachriadi, Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen, Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 312.

63 Ibid., hlm. 312.

politik untuk menjatuhkan kedudukan pejabat atau pun kredibilitas pemerintah. Ini dapat terjadi karena seng keta pertanahan menimbulkan kerawanan aspek sosial, politik, eko nomi, keamanan dan aspek-aspek kehidupan manusia, sehingga keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berniat me nga caukan stabilitas nasional.

Telah kita ketahui bersama kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo yang hingga saat ini tidak dapat diatasi pemerintah. Berulang kali terjadi demonstrasi besar-besaran oleh penduduk yang tanah dan bangunannya terendam lumpur tersebut, baik di Surabaya maupun langsung di Jakarta untuk menemui Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tujuan mendesak Pemerintah untuk memberikan ganti rugi yang memadai dan pengalokasian mereka ke tempat yang layak. Dengan adanya gerakan masyarakat korban lumpur Lapindo tersebut, DPR-RI mengeluarkan pernyataan yang berisi ancaman untuk melakukan impeachment ter-hadap Presiden, sehingga memanaskan suhu politik di Indonesia. Ini mengganggu jalannya roda pemerintahan dan stabilitas politik.

Selain masalah-masalah tersebut di atas, kadang masyarakat atau pihak yang dikalahkan putusan pengadilan yang telah mem punyai kekuatan hukum tetap merasakan adanya kecurangan dan ketidakadilan, sehingga menolak putusan tersebut. Akhir-akhir ini sering kita lihat kejadian masyarakat menyerbu dan merusak pengadilan yang merupakan benteng keadilan dan penegakan hukum. Peristiwa seperti ini dapat meruntuhkan kewibawaan pengadilan.

Dalam hal pelaksanaan putusan yang telah mempunyai ke kuatan hukum tetap, kadang putusan tersebut tidak dapat di lak sanakan karena tanah sebagai obyek sengketa/perkara yang di putus telah berubah bentuk dan statusnya maupun ke pemilik annya. Sesuai dengan ketentuan yang dianut oleh pengadilan, ada beberapa hal yang menyebabkan eksekusi terhadap putusan pengadilan tidak dapat dijalankan meskipun amar putusannya bersifat condemnatoir (menghukum). Hal ini terjadi antara lain karena obyek tereksekusi tidak ada lagi, baik karena hancur mau-pun berpindah kepada pihak lain (pihak ke tiga) secara sah dengan alas hak yang sah (misalnya dengan jual beli). Kalaupun amar putusan pengadilan bersifat condemnatoir, tetapi ternyata tidak mencantumkan penghukuman terhadap pihak yang kalah/dihukum untuk menyerahkan tanah dalam keadaan kosong dan dalam proses persidangan dalam ting kat pertama yaitu pengadilan negeri, majelis hakim seharusnya me ner bitkan penetapan sita atas tanah tersebut agar keadaan tanah agar tidak beralih kepada pihak ketiga.

Page 30: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h42 43B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Putusan pengadilan menimbulkan akibat hukum yang berbeda ter-hadap status obyek perkara yang sama. Ada putusan-putusan pengadilan atas obyek perkara yang sama, menimbulkan akibat hukum yang berbeda terhadap status hak atas tanah yang menjadi obyek perkara maupun status kepemilikannya, karena di satu sisi ada putusan perdata yang akibat hukumnya menyatakan A bukan pemilik tanah yang sah sehingga sertifikat hak atas tanahnyaharusdibatalkandanditerbitkan sertifikatpengganti, sementara di pihak lain ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negarayangakibathukumnyamenyatakansertifikathakatastanahatasnama A adalah sah dan diberlakukan kembali. Eksekusi putusan tidak dapat dilaksanakan karena ternyata keadaan tanah sudah berubah, tanah sudah di tangan pihak ketiga yang tidak terlibat dalam sengketa. Ataupun pihak yang dikalahkan tidak menerima putusan sehingga melakukan perlawanan fisik atas eksekusi yang dilakukan pengadilan. Perlawananterhadapeksekusisecarafisiktidakjarangmengakibatkanjatuhkorbanbaik di pihak masyarakat maupun aparat yang melaksanakan eksekusi, bisa korban luka-luka dan tidak tertutup kemungkinan korban nyawa.

Jadi telah diketahui dan disadari bersama bahwa akibat sengketa tanah yang berkelanjutan adalah kerawanan-kerawanan di bidang eko-nomi, sosial, politik dan keamanan serta kerusakan citra investasi bagi investor asing. Selain itu efek langsungnya adalah tanah menjadi terlantar sehingga tidak memberikan masuk an pajak atas tanah ke kas negara dan sangat merugikan negara dan rakyat. Itu semua menyimpang dari tujuan Negara RI agar tanah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

KomodifikasiMaraknya sengketa tanah mudah kita pahami. Di kota-kota besar semua bisnis berkembang termasuk pusat perdagangan dan industri. Tanah dibu tuhkan untuk itu semua. Akibatnya, tanah yang semula berfungsi sosial kemudian dikomersialkan.64Komodifikasitanah,sebutanyangpasuntuk hal ini.

Permasalahan tanah semakin kompleks lagi setelah para spe kulan ikut bermain. Mereka membeli tanah sebanyak-ba nyak nya untuk dijadi-kanbahandagangan;bukanuntukdipakaisendiri.Sepakterjangmerekatentu saja bertentangan dengan semangat UUPA yang menegaskan bahwa untuk tidak merugikan ke pentingan umum, pemilikan dan penguasaan

64 Ibid.

tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.65

Lumrah kalau percaloan marak. Masalahnya, informasi ihwal ren-cana pembebasan tanah terselubung bisa diperoleh para spe kulan dari ok num pemerintah. Sebenarnya informasi itu ber sifat rahasia atau tertu-tup. Setelah memperoleh infomasi para spe ku lan akan berburu tanah sebanyak-banyaknya di lokasi. Harga di sana tentu saja masih murah ka rena para pemiliknya belum tahu kawasan akan dikembangkan peme-rintah atau swasta. Nanti ketika pem bangunan akan berlangsung para spekulan akan melepaskan tanah buruan dengan harga mahal.66

Hal seperti itu terjadi di Jonggol waktu kawasan tersebut direncana -kan pemerintah sebagai ibukota negara menggantikan Jakarta. Perusa-haan-perusahaan besar seperti PT Bukit Jonggol Asri (PT BJA) membeli tanah di sana kala itu. Pembelian tersebut seketika mendongkrak harga tanah setempat. Alhasil banyak pihak yang tergiur untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-ba nyaknya dengan cara apa pun, termasuk dengan memalsukansurattanahdansertifikattanah,memalsukanaktajualbeli,dan mela kukan kejahatan stellionaat (penggelapan hak atas barang tidak bergerak).

Perbuatan melawan hukum di bidang pertanahan merupakan tin-dak pidana, sebagaimana diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Disebut “kejahatan pertanahan” sebab objek atau tujuannya menguasai tanah. Adapun pasal-pasal KUHP yang berhu-bungan dengan tindak pidana pertanahan adalah:

Kejahatan terhadap penyerobotan tanah, diatur dalam Pasal 167 1. KUHP.Kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat, diatur dalam Pasal 263, 2. 264, 266 dan 274 KUHP.Kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak bergerak 3. seperti tanah, rumah, dan sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan kejahatan stellionaat, diatur dalam pasal 385 KUHP.67

Selain itu, dalam UUPA juga mencantumkan ketentuan pidana dalam bab III pasal 52 yang menyatakan:68

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 1.

65 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 11. 66 Ibid.67 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Syarat Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,

Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 15-16. 68 Boedi Harsono, op. cit., hlm. 20.

Page 31: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h44 45B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,- Peraturan pemerintah dan peraturan perundangan yang di mak sud 2. dalam pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46, 47, 48, 49 ayat 3, dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pe langgaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,-Tindak pidana dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelang garan.3.

Tidak konsistenBerbagai sengketa pertanahan disebabkan oleh tidak konsistennya si kap para pelaksana peraturan perundang-undangan. Dalam prak tik se ringkali ‘kepentingan umum’ dijadikan alasan pembenar dalam peng am bilan atau, lebih tepatnya, perampasan tanah rakyat oleh pengusaha besar tertentu.

Kisruh pembebasan tanah di Putat Gede, Kecamatan Tandes, Sura-baya, misalnya. Kasus ini melibatkan warga masyarakat, Pemda Kota-madya Surabaya, dan pengusaha.69 Kasus pembebasan tanah di Karang Bulak yang mengorbankan warga bernama Mbak Kar juga demikian.70 Sengketa tanah di Jl. Urip Sumoharjo Surabaya pun melibatkan warga, Pemda kotamadya, dan pihak investor.71

Atas nama kepentingan umum atau kepentingan pem ba ngunan, ta-nah dibebaskan. Ternyata lahan kemudian dikuasai pihak swasta yang berekspansi. Contohnya, kasus tanah kawasan Tamalanrea, Makassar. Lahan ini dikuasai warga sejak nenek mo yang mereka. Suatu waktu kebakaran besar terjadi di sana. Beberapa hari berselang, Pemda Kota-madya Makassar melarang warga kembali ke tanah mereka. Sebagian warga tak menggubris. Tenda-tenda dan bangunan-bangunan darurat yang mereka dirikan pun dibuldoser oleh Pemkot.72 Kerugian secara materiil dan psikis pun diderita warga.73

Jelas, penggusuran yang dilakukan otoritas pemerintah di Surabaya dan Makassar bukan untuk kepentingan umum. Investorlah yang di un-tungkan sebab mereka bisa mendapatkan tanah murah atas nama ke pen-tingan umum atau pembangunan. Ada pun warga tak berpeluang untuk tawar-menawar guna men dapatkan ganti rugi yang lebih layak.

69 Surabaya Post, Minggu, 2 Desember 1990.70 Ibid.71 Ibid., Minggu, 17 Oktober 1993.72 Ibid., hlm. 64.73 Heri Tahir, Aspek Kriminal di Bidang Pertanahan, tp., Ujung Pandang, UNHAS, 1994, hlm. 63.

Kasus pertanahan lainnya terjadi karena otoritas pemerintah meng-gusur warga dengan alasan akan membangun jalan tol. Ganti rugi mereka berikan tapi nilainya tak memadai. Akibatnya, warga pun menggugat ke pengadilan.74 Sengketa pertanahan yang mem per hadapkan rakyat dengan negara dapat disebabkan oleh:

Pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah 1. dilekati dengan hak guna usaha (HGU), baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir.Pemberian hak pengusahaan hutan (2. HPH) untuk kawasan hutan di mana terdapat tanah yang dikuasai oleh masyarakat hu kum adat (tanah ulayat).Kawasan pertambangan dan kawasan lain yang diklaim se ba gai 3. hutantetapisenyatanyasudahbukanhutan;Tumpang tindih atau sengketa batas tanah bekas hak milik adat (girik) 4. dan tanah bekas hak eigendom.Tanah bengkok desa atau tanah kas desa berubah status men jadi aset 5. Pemda.Tanah bekas partikelir kini dikuasai oleh berbagai instansi pe me rintah.6. Putusan pengadilan yang saling bertentangan dan ditolak oleh 7. masyarakat sehingga tidak dapat dieksekusi.

Kekerasan fisikSosiolog-aktivis George J. Aditjondro menyebut sengketa agraria di Indo nesia bersifat multidimensional yang tidak bisa dipahami sebagai per sengketaan agraris an sich; sengketa agraria harus dilihat sebagaipuncak gunung es dari beragam jenis konflikmendasar seperti konflikantarsistem ekonomi, konflik mayoritas­minoritas, konflik masyarakatmodern versus masyarakat adat, konflik negara dengan warganegara,konflik antarsistem ekologi (ekosistem versus industrialisme), konflikantar sistem pengetahuan (sistem pengetahuan positivistik versus sistem pengetahuanasli),konflikantarabudaya(budayamodernversusbudayaasli),sertakonflikdalamrelasigender.75

Represi merupakan jawaban pemerintah-pengusaha untuk mem -bendung rakyat yang berjuang mempertahankan haknya atas tanah dan kekayaan alam lain. Padahal, perjuangan mereka bukan lah tindak an

74 Ibid., hlm. 66.75 George J. Aditjondro, Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah, Makalah Latihan Analisis Sosial

Tanah, Medan, 1993.

Page 32: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h46 47B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

kriminal yang melanggar hukum. Seyogyanya meng hormati dan men-junjung tinggi hak asasi manusia merupakan salah satu prinsip yang harus dipegangaparaturnegaradalampenanganankonflikagraria.76

Di lapangan rakyat bertindak sendiri untuk mengambil kembali hak-nya atas tanah. Rakyat main hakim sendiri. Sebabnya adalah ketidak per-caya an mereka terhadap lembaga, kebijakan, dan me ka nis me penyelesaian konflikselamaini.

Sejauh ini, kebijakan agraria masih tidak berubah dari kebi jakan masa lalu. Berdasarkan kajian terdahulu atas kebijakan yang ada, ditemu-kan sejumlah karakter.

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam masih berorientasi pada pengerukan (use-oriented) dan lebih berpihak kepada pe modal besar. Selain itu, kebijakan tersebut juga bercorak sen tra listik, kurang meng-hormati HAM, dan bercorak sektoral dengan tidak melihat sumber daya alam sebagai sistem ekologi yang ter integrasi. Dalam hal ini, hak-hak rakyat dapat dicabut untuk ke pen tingan investasi pemodal besar atau pun pengelola per kebunan. Ketiadaan bukti legal penguasaan dan pemilikan tanah oleh rakyat menjadi peluang yang dimanfaatkan investor untuk men caplok tanah mereka. Pemerintah condong mengutamakan pe nyediaan tanah untuk kepentingan bisnis perkebunan. Rakyat pun dikesampingkan.

Paulus E. Lotulung mengatakan masalah pertanahan men dominasi perkara di pengadilan umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara.77 Me-nurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), da-lam tahun pertama pembentukannya, 1993, kasus tanahlah yang paling banyak mereka tangani. Tahun 1994 jumlahnya 101 kasus dan tahun be-rikutnya meningkat 66% menjadi 168 kasus. Selain ke Komnas HAM, rakyat sering mengadu ke DPR atau DPRD.

Johny Nelson Simanjuntak, anggota Komnas HAM, menyebut bahwa pada 2009, dari 4.000 laporan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM, 62 persen di antaranya merupakan kasuslingkunganhidupdankonflikagraria.Sekitar3.000konfliklahansejak reformasi di seluruh Indonesia ini belum diselesaikan.78

Komnas HAM mencatat ada tiga cara pengambilalihan lahan ma-sya rakat oleh perusahaan atau pun pemerintah. Pertama, lahan rakyat

76 Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

77 Kompas, Senin 21 Oktober 1996. 78 Kompas, Jumat 24 September 2010.

diserahkan ke perusahaan untuk dikelola melalui pola ke mitraan bagi hasil. Cara ini banyak dilakukan perkebunan kelapa sawit untuk mem-peroleh lahan produktif. Kedua, pemerintah daerah mengeluarkan izin lokasi atau izin hak guna usaha kepada per usahaan yang di dalam-nya termasuk lahan yang ditempati warga. Izin lokasi yang tidak mem-perhatikan kondisi lapangan ini me nempatkan warga dalam enclave di wilayah perkebunan atau pertambangan. Mudahnya memperoleh izin lokasi ini bahkan memunculkan praktik jual-beli izin. Ketiga, perusahaan dibantu oknum aparat pemerintah dalam memanipulasi titik koordinat batas wilayah. Akibatnya, luas riil wilayah seringkali jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dicantumkan dalam izin.

Jauh Panggang dari apiSelama ini negara seolah memiliki legitimasi untuk melakukan apa saja termasuk menindas rakyat yang mempertahankan tanahnya. Represi selalu diklaim sebagai upaya negara untuk menegakkan stabilitas sosial, politik, dan keamanan agar proses pembangunan bangsa bisa berlangsung terus. Sebaliknya, upaya rakyat untuk mem pertahankan haknya akan dipersepsi oleh negara sebagai langkah menghambat pembangunan. Ini menjadi alasan pembenar bagi negara untuk menindas.79 Negara bisa me -ngerahkan segala po ten sinya untuk menindas atau mengalahkan kepen-tingan dan hak rakyatnya sendiri.80 Posisi rakyat lemah sedangkan posisi negara dan pemilik modal sangat kuat.

Sesungguhnya tindakan sewenang-wenang negara selama ini dalam sengketa tanah bertentangan dengan hukum nasional agraria kita, Un-dang-Undang Pokok Agraria yang berlaku sejak 24 September 1960, serta pelbagai regulasi lain yang dibuat sendiri oleh pemerintah. Mari kita lihat seperti apa ketentuan yang dibuat negara dimaksud.

Semangat UUPABagi bangsa Indonesia, tanah itu mahapenting. Selain perekat bangsa, tanah menjadi modal utama dalam mewujudkan sebesar-besar nya ke-mak muran rakyat.81 Kedudukan tanah yang sangat stra tegis dapat di-lihat dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang me-nyebutkan:

79 Ibid., hlm. 312.80 Dianto Bachriadi, Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen,

Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 312. 81 Abdurahman, op. cit., hlm. 1.

Page 33: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h48 49B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari selu ruh 1. rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang 2. terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indo nesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang 3. angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tu-4. buh bumi dibawahnya serta berada di bawah air. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun 5. laut wilayah Indonesia.Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air 6. tersebut ayat (4) dan ayat (3) pasal ini.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA dite gaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ter kan dung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Ketentuan ini ber sifat imperatif, yaitu negara harus memanfaatkan sumber daya alam untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.82

Secara yuridis UUPA juga menetapkan asas-asas pokok dalam pengadaan tanah. Ketentuan hukum tanah nasional mengenai pem berian perlindungan kepada rakyat didasarkan pada prinsip-prinsip berikut:83

Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan un tuk keper-1. luan apa pun harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya 2. tidak dibenarkan, bahkan pelakunya diancam dengan sanksi pidana (Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960).

82 Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 26.

83 Boedi Harsono, Sengketa-sengketa Tanah Dewasa Ini, Akar Permasalahan dan Penang gu-lang annya, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya”, di Jakarta, 20 Agustus 2003, hlm. 4-5.

Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi hak yang dise-3. dia kan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak mana pun, baik oleh sesama warga masyarakat, maupun oleh penguasa sekalipun.Oleh hukum disediakan beberapa sarana hukum untuk menanggulangi 4. gangguan yang dihadapi seperti.Gangguan dari sesama anggota masyarakat melalui gugatan perdata 5. pada pengadilan negeri atau meminta perlindungan kepada bupati atau walikotamadya, menurut UU No. 51 Prp 1960 di atas.Gangguan oleh penguasa melalui gugatan Pengadilan Negeri atau 6. Pengadilan Tata Usaha Negara.Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapa pun dan untuk keperluan 7. apa pun—termasuk untuk proyek-proyek demi kepen tingan umum—perolehan tanah yang dihaki seseorang atau badan hukum perdata, harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanah nya kepada pihak yang memerlukan, maupun mengenai imbalannya kepada yang berhak atasnya.Maka dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diper-8. lu kan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apa pun dan oleh pihak siapa pun kepada pihak yang berhak atas tanah untuk menyerahkan tanahnya dan menerima imbalan yang tidak dise tu-juinya.Hanya dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang ber sangkutan 9. diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak mung kin menggunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diada-kan tidak dapat menghasilkan ke se pakatan mengenai kedua hal yang dimaksud di atas, dapat di lakukan pengambilan secara paksa melalui apa yang disebut pencabutan hak, sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 dan pelaksanaannya dalam PP No. 39 Tahun 1973.Tetapi meskipun pengambilan tanahnya dapat dilakukan secara 10. paksa, artinya tidak memerlukan persetujuan yang berhak, jika ti-dak menyetujui imbalan yang ditawarkan, pihak yang tanahnya di-am bil berhak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tinggi, agar ditetapkan imbalannya.Dalam menetapkan imbalan tersebut pengadilan tinggi wajib mem-11. per hatikan asas yang bersifat universal yang ditegaskan dalam Per-aturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973, yaitu dengan diam bil nya tanah tersebut keadaan sosial ekonomi bekas pemegang haknya tidak boleh menjadi mundur.

Page 34: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h50 51B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Maka jumlah imbalannya tidak cukup hanya meliputi nilai tanah, 12. bangunan, dan tanaman yang ada di atasnya, seba gai mana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, tetapi juga keru-gian-kerugian di bidang lain yang dialaminya.

Kalau saja prinsip-prinsip pertanahan seperti tersebut di atas di-ja lankan secara konsekuen oleh semua pihak, niscaya sengketa tanah di Indonesia akan jauh lebih sedikit daripada yang terjadi selama ini. Kalaupun terjadi sengketa, tentunya sengketa itu dapat dituntaskan secara cepat dan murah. Nyatanya tak demikian. Nilai ekonomis dan demand yang tinggimembuat tanahdikomodifikasiolehpelbagaipihakdengancara apa pun. Akibatnya prinsip-prinsip tadi pun diabaikan. Menjadi jauh panggang dari api, akhirnya.

Sengketa Perdata yang Berkenaan dengan TanahSengketa perdata yang berkenaan dengan tanah dapat terjadi antar individu atau antar individu dengan badan hukum. Yang disengketakan beraneka ragam,baik yangmenyangkutdatafisik tanahnya,data yuri­disnya, atau karena perbuatan hukum yang dilakukan atas tanah.

Sengketadatafisiksuatubidangtanahdapatmengenailetak,batas,atau luasnya. Sedangkan sengketa data yuridis lebih condong mengenai status hukum (hak atas tanah), pemegang hak, atau hak-hak pihak lain yang mungkin membebaninya.

Sengketa tentang perbuatan hukum dapat berupa perbuatan hukum yang menciptakan hak, pembebanan haknya dengan hak atas tanah yang lain atau hak tanggungan dalam hal bidang tanah yang bersangkutan dijadikan jaminan kredit, pemindahan hak, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, pembebasan hak apabila bidang tanah tersebut diperlukan pihak lain namun tidak dapat diperoleh dengan pemin dahan hak, pembatalan hak, pencabutan hak, serta pemberian surat tanda bukti hak atas tanah.84

Timbulnya sengketa hak atas tanah dapat terjadi karena adanya gu gatan dari seseorang atau badan hukum yang berisi tuntutan hukum akibat perbuatan hukum yang telah merugikan hak atas tanah dari pihak penggugat. Adapun materi gugatan dapat berupa tuntutan akan adanya

84 Boedi Harsono, Sengketa-sengketa Tanah Dewasa Ini, Akar Permasalahan dan Penang gu-lang annya, Makalah yang disampaikan dalam “Seminar Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya” yang diselenggarakan oleh Sigma Research Institute Conferences di Jakarta tanggal 20 Agustus 2003.

ke pastian hukum mengenai siapa yang berhak atas tanah, status tanah, bukti-bukti yang menjadi dasar pemberian hak, dan sebagainya.

Sengketa perdata atas tanah dapat pula terjadi akibat perjanjian pengalihan hak atas tanah, misalnya dengan perjanjian jual beli, sewa menyewa, pewarisan, dan sebagainya.

Apabila perjanjian jual beli tanah disertai dengan alokasi kredit/pin jaman, maka masalah hak tanggungan menjadi salah satu faktor tam-bahan yang juga berpotensimenimbulkan konflik. Pembayaran cicilanyang tidak tepat waktu akan menyebabkan pengambilalihan hak atas tanah milik debitur oleh kreditur.

Musyawarah Pasal 9 UUPA merupakan realisasi prinsip kenasionalan bangsa, di mana setiap WNI memiliki kesempatan yang sama untuk mem per oleh suatu hak atas tanah serta untuk dapat menikmati man faat serta hasil tanah itu bagi dirinya sendiri maupun bagi keluar ga nya. Namun sayangnya, keinginan warga negara kerapkali ber ben turan dengan keinginan pemerintah yang mengatasnama kan kepentingan orang banyak, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan yang memerlukan ketersediaan tanah dalam jumlah yang banyak.85

Tanah sebagai komoditas yang bernilai ekonomis, pada umumnya berada dan di luar serta dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang belum tentu bersedia menyerahkan tanahnya kepada Pemerintah yang akan membangun suatu proyek tertentu di atas tanah yang bersangkutan. Memaksa orang untuk menyerahkan tanahnya pada dasarnya adalah suatu perkosaan hak yang dila rang oleh hukum adat dan negara, karena hal ini dapat menimbul kan sengketa.

Konflikpertanahanseringterjadisewaktupemerintahmembangunproyek, terlebih proyek besar yang memerlukan tanah yang maha luas seperti jalan tol, waduk, pelabuhan, atau lapangan terbang. Sebenarnya pemerintah tak boleh sembarang bertindak manakala hendak menjalankan proyek akbar sebab aturan mainnya sudah jelas.

Konsideran Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 ten tang Peng-adaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, misalnya, berbunyi:86

85 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 28.

86 Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Tentang: Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Page 35: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h52 53B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang me-1. merlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepen ting-2. an umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Pre siden Nomor 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum da -lam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Berdasarkan pertimbangan nomor 1 dan 2, perlu menetapkan Per-3. aturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pem-bangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, konsideransnya menyatakan:87

“Bahwa untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terha-dap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum da lam pe ng adaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk ke pen -tingan umum, dipandang perlu mengubah Peraturan Pre siden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelak sa-naan Pembangunan untuk Kepentingan Umum”.

Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Pasal 1 ayat (3) berbunyi:

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapat kan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang me le pas-kan atau me nyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.88

Bentuk ganti rugi sesuai Pasal 13 Peraturan Presiden No. 65 Tahun2006adalah:uang;dan/atautanahpengganti;dan/atau4.

Umum, CV Medya Duta, Jakarta, 2006, hlm. 9.87 Ibid., hlm. 1.88 Ibid., hlm. 3.

pemukimankembali;dan/atau5. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagai mana 6. dimaksud dalam nomor 1, 2, dan 3.Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang ber sang kutan.7. 89

Ganti kerugian dengan uang adalah menyangkut besarnya ganti ke-ru gian dikaitkan dengan harga tanah, bangunan, dan tanaman yang akan di ganti. Pasal 15 Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 memberikan arah an sebagai berikut:90

Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:1. a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya de-

ngan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian lembaga/Tim Penilai Hak Tanah yang ditunjuk oleh panitia.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan.

c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, lembaga/2. Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh bupati/walikota atau gu-bernur bagi provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pengadaan tanah untuk pembangunan dilakukan dengan cara mu-syawarah sesuai Pasal 8 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Isi pasal ini adalah91:

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan 1. umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai:a. Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi

tersebut.b. Bentuk dan besarnya ganti rugi.Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat 2. undangan.

89 Ibid., hlm. 7.90 Ibid., hlm. 7.91 Ibid., hlm. 15.

Page 36: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h54 55B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pasal 9 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 me nyatakan:92

Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak 1. atau tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah.Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak me mung-2. kinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka mu-sya warah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah atau

92 Ibid., hlm. 16.

pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagai-3. mana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara ter tulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh kepala desa/lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) 4. dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.

Gugat Balik Tanah oleh Rakyat

Sengketa tanah bisa berdampak ke pelbagai bidang, termasuk ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Kita bisa melihat bagaimana masalah pembebasan tanah untuk jalan tol yang tidak tuntas kemudian memicu masyarakat sekitar memblokir lintasan bebas hambatan tersebut, contohnya tol JORR Hankam-Cikunir, tol Kanci Cirebon-Jawa Barat, dan tol Ulujami.1 Dampaknya tentu berimbas ke pelbagai sektor. Pengembalian dana investasi yang telah digunakan untuk membuat jalan-jalan tol tersebut terhambat. Investor pun rugi. Jika masalah seperti ini tidak cepat diatasi investor dalam maupun luar negeri bisa trauma menanamkan modal di negeri kita.

Setelah gelombang reformasi mengalun, rakyat di pelbagai tempat di negeri ini menduduki tanah-tanah bekas hak Barat atau eigendom; tanah perkebunan, terutama. Mereka menggugat bahwa tanah yang diambil alih itu dulunya milik mereka. Tanah itu telah diambil dari tangan mereka—oleh perkebunan pemerintah atau swasta serta otoritas lain yang meminjam tangan pemerintah—secara paksa. Kalaupun ada ganti rugi kala itu, nilainya sungguh tak layak. Jadi, yang mereka lakukan sekarang adalah mengambil kembali atau reclaiming.

Dalam sejumlah kasus, perusahaan perkebunan dituduh telah menguasai tanah yang jauh lebih luas dari HGU-nya. Kuota tanah yang lebih itu digugat oleh warga; warga menganggap tanah tersebut sebagai milik mereka. Contohnya adalah kasus tanah di Bangun Purba, Sumatra Utara. Warga setempat yang bergabung dalam organisasi PERSAGE menuntut perkebunan PT Tjinta Raja yang menguasai lahan sekitar 4.000 hektar. Menurut warga, luas

1 Website http://www.bpjt.net/, 2 Januari 2008.

tanah itu tak sesuai HGU. Sementara itu, warga dianggap telah merambah kawasan hutan lindung. Adapun warga merasa mereka tak bersalah sebab yang mereka kuasai itu masih tanah sendiri, bukan wilayah hutan lindung. Masalah di sini adalah tidak adanya batas tanah yang jelas.

Persoalan juga muncul ketika lahan PT Perkebunan Nusantara XI-Surabaya diserobot masyarakat sehingga produksi gula terganggu. Masyarakat menerobos areal kebun PT Perkebunan Nusantara XI dan merusak tanaman tebu yang siap panen sehingga produksi gula di tanah air menjadi menurun. Impor gula dari luar negeri pun terpaksa dilakukan.

Terkadang ketika melakukan reklaim rakyat bekerja sama dengan para pejabat setempat. Dalam kondisi seperti itu, setelah pendudukan mereka mendapatkan surat keterangan dari lurah dan camat bahwa tanah yang diduduki adalah milik mereka. Berbekal surat keterangan itulah mereka mengurus pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Dengan KTP, surat keterangan lurah dan camat, serta bukti pembayaran PBB mereka lantas mengurus Surat Keterangan Pemilikan Tanah (SKPT) serta sertifikat hak milik di BPPN.

Calo tanah seringkali ada di balik aksi para penggarap tadi. Memodali dan mengajari, itu yang mereka lakukan. Manakala pemerintah memberikan hak tanah tersebut kepada investor, para calo pun bertindak. Mereka akan menggerakkan para penggarap agar menggugat investor. Dasar gugatan penggarap adalah berkas tanda kepemilikan yang sudah ada di tangan mereka.

Selain tanah kosong bekas hak Barat, yang diincar para penggarap adalah bantaran kali dan kitaran rel kereta api. Kendati tindakannya ilegal, mereka bisa juga mendapatkan sertifikat dari BPN. Jelas BPN tak meneliti riwayat tanah bermasalah tersebut. Akibatnya, rakyat pun berkonfrontasi dengan negara.

Page 37: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h56 57B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pasal 10 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 me nyatakan:93

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum 1. yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana di maksud 2. pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah mene tapkan bentuk dan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang ber sangkutan.Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti 3. rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia meni-tip kan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

93 Ibid., hlm. 16.

Rawan

Sengketa tanah yang berkelanjutan mengakibatkan kerawanan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan keamanan nasional. Investor asing menjadi enggan masuk. Akibatnya, tanah menjadi telantar sehingga pajaknya tak masuk ke kas negara.

Kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo yang hingga saat ini tidak dapat diatasi pemerintah menjadi salah satu contoh bagaimana sebuah kasus lokal bisa membahayakan pemerintah pusat. Masalah multidimensi pun segera membayangi pemerintah berkuasa. Berulang kali terjadi demonstrasi oleh masyarakat yang menjadi korban. Mereka menggelar unjuk rasa besar-besaran di Surabaya maupun di depan Istana Negara dengan tujuan meminta kompensasi yang memadai dari kelompok Bakrie dan relokasi mereka ke tempat yang layak.

DPR-RI sempat mengeluarkan pernyataan bernada mengancam Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bahwa mereka akan melakukan impeachment terhadap Presiden jika kasus Lapindo tak diselesaikan pemerintah dengan baik. Ancaman yang sempat menghangatkan suhu politik nasional ini bisa membuat stabilitas politik dalam negeri terganggu.

Pasal 11 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 menyatakan:94

“Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pe-me gang hak atas tanah dan instansi pemerintah dan/atau peme-rintah daerah yang memerlukan tanah, panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai dengan kesepakatan tersebut.”

Dalam ganti kerugian, masalahnya berkaitan dengan persoalan eko-nomi perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Seseorang yang men dapat ganti kerugian pada dasarnya akan tetap merasa rugi ka rena tahu bahwa tanah yang mereka kuasai bernilai ekonomi tinggi. Ter ka-dang hal itu tidak diperhitungkan sehingga yang bersangkutan tak sudi melepaskan tanahnya. Sikap seperti itu oleh calon pembebas tanah bisa dianggap sebagai sesuatu yang keterlaluan, pun oleh pihak panitia atau penilai sebab pedoman penilaian harga yang mereka rujuk semata Keppres No. 55 Tahun 1993 yang bertumpu pada harga riil. Bilamana dihadapkan dengan nilai-nilai jual memang sering masyarakat merasa tidak cocok sebab pada dasarnya mereka tidak mau menjual dengan harga pasaran.95

Keppres No. 55 Tahun 1993 berfungsi berikut:96

Sebagai landasan bagi negara bila memerlukan tanah guna 1. proyek-proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Sebagai pelindung terhadap warga masyarakat pemegang hak 2. atas tanah dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa yang ingin mengambil tanah tersebut dengan dalih untuk kepentingan umum. Pada sisi yang lain ketentuan ini juga men-jadi pembatas terha dap pe ngua sa sesuai dengan prinsip negara hukum, kalau ingin meng am bil tanah warga masyarakat harus melalui mengindahkan prosedur hukum.97

Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan:98

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan 1. tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang me-le paskan atau menye rahkan tanah, bangunan, tanaman, dan

94 Ibid., hlm. 17.95 Abdurrahman, op. cit., hlm. 64. 96 Ibid., hlm. 67.97 Ibid., hlm. 31.98 Mukadir Iskandar Syah, Dasar-dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dilengkapi

Peraturan Perundang-undangan & Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, hlm.1-2.

Page 38: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h58 59B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pen ca-butan hak atas tanah (dalam Pasal 1 ayat (3)). Bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah ke-2. giat an melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan uang ganti rugi atas dasar musyawarah (dalam Pasal 1 ayat (6)).99

UUPA No. 5 Tahun 1960 didasari semangat membangun hu kum yang dapat memberi jaminan, kepastian, dan perlindungan hak bagi rakyat pemegang hak atas tanah. Dengan adanya jaminan dan kepastian hukum dapat diasumsikan bahwa rakyat akan ter hindar dari praktik-praktik manipulatif, pemaksaan, koersif, atau tindakan-tindakan lain yang merampas tanah rakyat secara se wenang-wenang.100

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sering dilakukan penguasa adalah mewajibkan setiap warga negara untuk selalu mengalah demi kesejahteraan orang banyak.101 Tidak jarang terjadi pelepasan hak atas tanah demi kepentingan umum tanpa disertai kompensasi sebagai penggantian biaya atau ganti rugi, baik berupa uang maupun sesuatu yang bernilai material. Inilah yang membuat masyarakat tidak mudah untuk secarasukarelamelepaskanhak­hakatastanahnya;akanlainceritanyabilamereka mem peroleh ganti rugi yang layak dan memenuhi rasa keadilan.

Pembebasan hak atas tanah demi kepentingan umum untuk pem-bangunan fasilitas umum lebih diartikan masyarakat sebagai sesuatu yang kontraktual karena menganggap pembebasan hak-hak atas tanah mereka secara konkret lebih menguntungkan pihak swasta (pihak pemodal besar) meskipun dalam sudut pandang pemerintah pembebasan tersebut dilihat sebagai kepentingan nasional sehingga seringkali pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan dengan paksaan. Singkatnya, pelepasan hak atas tanah warga yang bersifat publiekrechtelijk kadangkala menge-sampingkan hak-hak keperdataan warga masyarakat.

Sosiolog yang juga mantan anggota Komnas HAM Soetandyo Wignjosoebroto menyebut ada dua cara yang memungkinkan untuk ditempuh agar pembangunan nasional yang banyak memerlukan tanah yang dapat dibebaskan bisa bersentuhan kemanusiaan dan berdimensi

99 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005.100 Loekman Soetrisno, Tanah dan Masa Depan Rakyat Indonesia di Pedesaan, Forum LSM LPSM

DIY, 1995, hlm. 30. 101 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pem-

bangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 84.

kerakyatan, yaitu dengan pendekatan:102

Sosiologi antropologi, yang prosesnya harus dilakukan dengan penuh 1. kesabaran yang bertujuan memberi peluang secara luas dan bebas kepada masyarakat awam agar secara bubbling up dapat memutuskan sendiri secara bertanggung jawab ke gu naan lahan yang mereka miliki untuk kepentingan orang banyak.Hukum, yang memprioritaskan prosedur dan proses yang 2. privaat-rechtelijk yang pada hakikatnya merupakan proses demokratis yang men dahulukan publiekrechtelijk, yang dalam masa-masa transisi di negara-negara berkembang terkesan sarat dengan kekuasaan ekstralegal.

seribu Wajah sengketa tanah di Peng adil anSengketa perdata soal tanah dapat terjadi antarindividu atau antara individu dan badan hukum. Yang disengketakan beraneka ragam, baik soal data fisik tanahnya, data yuridisnya, atau perbuatan hukum yangdilakukan atas tanah.

Sengketadatafisiksuatubidangtanahmisalnyaihwalletak,batas,atau luasnya. Sengketa data yuridis lebih condong pada status hukum (hak atas tanahnya), pemegang haknya, atau hak-hak pihak lain yang mungkin membebaninya. Sementara itu, sengketa tentang perbuatan hukum dapat berupa tindakan yang menciptakan hak, pembebanan hak dengan hak atas tanah yang lain, atau hak tanggungan dalam hal bidang atau luas tanah yang di ja dikan jaminan kredit, pemindahan hak, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, dan pembebasan hak. Dalam per-kara yang terakhir, tanah tersebut diperlukan pihak lain tetapi tidak dapat diperoleh dengan pemindahan hak, pembatalan hak, pencabutan hak serta pemberian surat tanda bukti hak atas tanah.103

Sengketa hak atas tanah dapat terjadi karena adanya gugatan dari seseorang atau badan hukum akibat perbuatan hukum yang telah merugikan hak penggugat atas tanah. Adapun materi gugatan dapat berupa tuntutan akan adanya kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas tanah, status tanah, bukti-bukti yang menjadi dasar pemberian hak, dan

102 Soetandyo Wignjosoebroto, “Pembebasan Tanah”, harian Suara Pembaruan, 7 November 1991, hlm. 2.

103 Boedi Harsono, Sengketa-sengketa Tanah Dewasa Ini, Akar Permasalahan dan Penanggulangan-nya, Makalah yang disampaikan dalam “Seminar Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penye-lesaiannya” yang diselenggarakan oleh Sigma Research Institute Conferences di Jakarta, 20 Agustus 2003.

Page 39: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h60 61B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

yang lain. Sengketa perdata atas tanah dapat pula terjadi akibat perjanjian pengalihan hak atas tanah, misalnya dengan perjanjian jual beli, sewa-menyewa, atau pewarisan.

Apabila perjanjian jual beli tanah disertai dengan alokasi kredit atau pinjaman, masalah hak tanggungan menjadi salah satu faktor tambahan yang juga berpotensi menimbulkan konflik. Pembayaran cicilan yangtidak tepat waktu atau tertunda sama sekali akan menyebabkan peng-ambilalihan hak atas tanah milik debitur oleh kreditur.

Aneka wajah Sengketa pertanahan jarang terjadi di daerah pedesaan yang pen du-duk nya masih asli dan sedikit. Pasalnya warga saling kenal dan me nge -tahui siapa yang mempunyai suatu bidang tanah dan apa hak sang pemi-lik. Masuknya orang luar ke sana biasanya akan membuat kedekatan antarwarga berkurang. Sengketa tanah pun bakal terjadi. Pendaftaran tanah bisa menjadi salah satu pangkal sengketa.

Sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia bersifat stelsel negatif;hakseseorangataubadanhukumatastanahyangdidaftarkannyatercipta bukan karena pendaftarannya melainkan karena perbuatan hukum yang dilakukannya.104Persoalannyaadalahdatafisikdanyuridisyang didaftarkan terkadang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya. Jika pejabat yang berwenang (BPN) tak cermat saat pendaftaran niscaya akan timbul permasalahan hukum di kemudian hari. Hal ini kerap terjadi.

Administrasi pertanahan yang kurang tertib menjadi salah satu fak-tor pemicu terjadinya sengketa pertanahan. Bukti penguasaan atas tanah yang tidak jelas dan tidak adanya dokumentasi di bagian administrasi kantor pertanahan setempat akan menyebabkan pertikaian para pihak yang merasa berhak. BPN hanya mempunyai data-data atas tanah yang sudah didaftarkan kepada BPN, sedang kan tanah-tanah yang belum didaftarkan kepada BPN sama sekali tidak ada datanya.

Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan seyog yanya diciptakan untuk memberikan rasa keadilan, perlin dungan, dan kepastian hukum. Nyatanya banyak ketentuan, bahkan perundang-undangan, yang tumpang tindih sehingga menimbulkan kerancuan. Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten akan menimbulkan konflikkewenangan. Selain itu, inkonsistensi pengaturan juga akan berdampak

104 Boedi Harsono, Sengketa-sengketa Tanah Dewasa ini, Akar Permasalahan dan Penanggulangan-nya, makalah yang disampaikan dalam “Seminar Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyele-saiannya”, yang diselenggarakan di Hotel Borobudur Jakarta 20 Agustus 2003, hlm. 2.

pada ter bu kanya peluang bagi oknum-oknum pertanahan untuk mengeruk ke untungan pribadi yang sebesar-besarnya.

Pembuatan peraturan yang baik tanpa disertai dengan pene gakan hukum secara konsekuen dapat menyebabkan pendudukan tanah, pe-nye robotan, pemalsuan, atau penipuan surat bukti hak atas tanah. Se-yog yanya sengketa pertanahan harus dapat dideteksi dan diselesaikan sedini mungkin. Realitasnya lain. Seperti halnya sengketa di bidang lain, sengketa pertanahan dapat diselesaikan dengan tiga cara, yaitu:

Penyelesaian secara musyawarah.1. Penyelesaian melalui badan peradilan. Di sini masalah di ajukan ke 2. pengadilan umum secara perdata atau pidana jika seng ketanya terkait dengan pemakaian tanah secara ilegal sebagaimana diatur dalam UU No. 51 Prp 1960 tentang Larang an Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, atau melalui Peradilan Tata Usaha Negara.Penyelesaian melalui 3. arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbi-trase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ini me rupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa tanah secara arbitrase bersifat informal, tertutup, murah, dan le bih efisien sehinggadiharapkan lebihmemenuhi keinginanparapihakber sengketa. Sementara itu, alternatif penyelesaian sengketa ada lah upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara kon-sultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli.

Kalau dilihat dari segi yuridis praktis, sengketa tanah yang dapat diselesaikan adalah:

Masalah perdata pertanahan, seperti yang timbul akibat jual beli dan 1. sewa-menyewa tanah, pembebanan hak tanggungan atas tanah, atau pewarisan. Masalah pidana pertanahan, antara lain penyerobotan tanah, peng -2. garapan tanah yang tidak dilakukan secara legal, serta yang terkait dengan unsur penipuan, pencurian, dan yang lain.Masalah pertanahan yang berkaitan dengan keputusan ins tan si atau 3. pejabat pemerintahan, misalnya tumpang tindih nya aturan perta-nahan serta penetapan keputusan eksekusi pertanahan yang tidak dapat dijalankan.105

105 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 379-385.

Page 40: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h62 63B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Penanganan Perkara Tanah oleh Pengadilan UmumSengketa kepemilikan tanahSengketa tentang kepemilikan tanah dapat timbul di antara beberapa pihak, baik antarperorangan, perorangan dengan badan hukum, atau perorangan/badan hukum dengan badan hukum milik pemerintah RI. Sengketa umumnya muncul sebab masing-masing pihak merasa berhak atas tanah yang men jadi objek sengketa. Adapun bentuk sengketanya antara lain:

Sengketa para ahli 1. waris karena salah satu ahli waris me nguasai tanah waris seluruhnya sehingga ada ahli waris lain yang diru-gikan.Sengketa yang disebabkan penjualan tanah oleh ahli waris 2. kepada pihak lain. Di sini ada ahli waris yang ditinggalkan (tidak diikutsertakan), sementara tanah tersebut telah berpindah tangan beberapa kali.Sengketa yang disebabkan perjanjian pinjam-meminjam uang 3. dengan jaminan sertifikat tanah. Dalam hal ini, selain suratperjanjian pinjam-meminjam juga dibuat akta pengikatan jual beli dan kuasa menjual atas tanah tersebut bila utang telah jatuh tempo. Masalahnya adalah utang kemudian jatuh tempo dan belum lunas. Lantas dengan akta kuasa menjual tadi si kreditur menjual tanah ke orang lain. Si pemilik tanah kemudian keberatan sebab ia tahu harga jual tanah jauh lebih tinggi dari pinjaman yang ia terima dulu. Sengketa yang dikarenakan kecerobohan dan kekhilafan yang 4. dilakukan notaris waktu pembuatan akta tanah. Misalnya se-orang anak menjual tanah milik orang tuanya kepada sese-orang. Waktu pembuatan akta jual beli tanah itu penjual meng-gunakan data-data KTP palsu atas nama orang tuanya. Masalah kemudian muncul sebab orang tua yang memiliki tanah tidak merasa menjual lahan. Sengketa karena penjualan tanah secara mengangsur yang 5. dalam akta jual belinya sudah dinyatakan lunas sehingga pem-beli dapat menempatinya. Pembayaran ternyata tidak dapat dilunasi sehingga pemilik minta tanah dikembalikan. Pembeli berpendapat urusan mereka sebatas utang-piutang saja sehingga pemilik tanah tidak dapat melakukan pembatalan jual tanah tersebut.

Sengketa yang terjadi karena pemilik tanah menjual tanah milik-6. nya beberapa kali kepada beberapa pembeli.Sengketa karena tanah yang tidak ditempati pemiliknya diserobot 7. pihak lain.

Sengketa tentang keabsahan dokumen kepemilikan tanahSengketa ini umumnya timbul karena penerbitan hak atas tanah secara ilegal. Ini biasanya terkait dengan tanah bekas hak Barat (eigendom)—yangpenyalahgunaannyakemudianbanyakmemunculkansertifikathak eigendom palsu—atau tanah-tanah negara yang kosong dan bernilai ekonomi tinggi. Lahan seperti ini sering diserobot dan di-kuasai orang se cara ilegal. Penggarap-penggarap tersebut bisa be-kerja sama dengan oknum pejabat setempat sehingga mereka bisa mem peroleh surat keterangan tentang keberadaan di mereka di lahan dari lurah dan camat. Dengan surat itu mereka kemudian mengurus pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) tanah. Berbekal surat keterangan dari lurah dan camat, bukti pembayaran PBB, serta KTP sebagai penduduk yang berdiam di tanah tersebut mereka bisa langsung mengurus SKPT dan mengajukan permohonan penerbitan sertifikatdiBPN.

Teknik-teknik penguasaan tanah negara dengan cara-cara ter se but banyak dilakukan para calo tanah. Jika pada suatu saat peme rintah memberikan hak tanah tersebut kepada investor, para peng garap, dengan dimodali para calo, mulai mengajukan tuntutan-tun tutan kepada investor seolah-olah tanah tersebut sudah menjadi milik nya dengan bersenjatakan data-data yang diurus tadi.

Tanah-tanah negara di bantaran kali atau di sekitar rel kereta api sering diserobot oleh penduduk liar. Agar dapat mempertahankan tanahtersebutmerekaakanmenggunakansertifikatpalsu.Runyam­nya,BPNmenerbitkansertifikatpenguasaanhakatas tanahuntukmereka tanpa meneliti riwayat atau asal-usul tanah itu. Pemalsuan tanda tangan para pewaris atau salah satu ahli waris kerap juga dilakukan agar sebidang tanah dapat dialihkan ke pihak ketiga.

Sengketa ganti rugi tanahSelain memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tanah juga mempunyai nilai religius magis. Sebagian besar masyarakat adat yang tersebar di Indonesia menganggap pemilik atau pihak yang mendiami punya hubungan religius magis dengan tanah. Hal inilah yang membuat pemberian kompensasi atau ganti rugi tanah bisa sulit. Masalahnya

Page 41: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h64 65B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

tidaklah sederhana. Selain nilai penggantian kerugian dianggap kecil, kurangnya penghormatan terhadap nilai-nilai religius tanah bisa menjengkelkan pemiliknya. Inilah yang akhirnya membuat pengalihan hak atas tanah terhambat.

Pemberian ganti rugi yang dinilai kurang layak merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya sengketa pertanahan. Meng anggap nilai penggantinya kurang besar, pemilik tidak mau menyerahkan tanahnya kepada calon pemilik baru; tak peduli apakah tanah itusangat diperlukan pihak yang ingin memilikinya.

Sebagian sengketa pertanahan yang berkaitan dengan ganti rugi bisa juga diselesaikan secara musyawarah. Sisanya harus diselesaikan lewat pengadilan atau arbitrase supaya para pihak memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

Penanganan Perkara Tanah oleh Pengadilan Tata Usaha NegaraSengketa soal surat keputusan BPN Masalah bisa timbul akibat ketakcermatan pejabat BPN dan pejabat negara terkait—lurah, camat, walikota, dan gubernur setempat—yang berwenang dalam mengeluarkan surat keterangan atas tanah atau surat keterangan letak tanah. Selain itu, ada pula faktor kesengajaan atau ketidaksengajaan otoritas pemerintah. Dalam hal ini mereka mengeluarkan surat-surat tanah tanpa terlebih dahulu meneliti riwayat tanah dan melihat kondisi di lapangan.

Sengketa misalnya terjadi antara pemegang hak eigendom yang telah dikonversi dengan penduduk yang sejak lama telah mendu duki dan menguasai tanah tersebut. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Bandung, banyak sengketa terkait hak atas tanah bekas tanah hak Barat (eigendom) atau partikelir. Sengketa muncul akibat peralihan penguasaan tanah yang tidak segera diikuti penyelesaian administrasinya. Bahkan, kerap terjadi kasus karena tidak diketahuinya siapa pemegang hak semula.106

Dalam praktik, banyak pemegang hak yang tidak terlebih da-hu lu mengonversi hak eigendom-nya tetapi seakan telah me wa-ris kan tanah kepada ahli waris. Yang terjadi kemudian, ahli waris yang sesungguhnya mengajukan gugatan. Bisa juga pemegang hak eigendommelakukankonversi,tetapiternyatatanahnyasecarafisik

106 Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Kebijakan Pertanahan Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang II, disampaikan pada Apel Danren-Dandim ke-16 Tahun 1995 pada 22 November 1995, Bandung, hlm. 17.

sudah dikuasai penduduk. Pemberlakuan Keppres 32 Tahun 1979 memicu sengketa semacam ini.

Dalam kasus lain, dari segi administrasi pajak terlihat sudah berkali-kali terjadi perubahan objek pajak. Padahal, dari segi pertanahan belum terjadi perubahan pemegang haknya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pen-daftaran Tanah. Di sini banyak dipakai dokumen pertanahan yang diragukankeabsahannya(misalnyagirikpaksadansertifikatpalsu).

Sertifikat palsuSebagaimana kita ketahui, sertifikat hak atas tanah adalah tandabukti hak kepemilikan tanah; dengan demikian merupakan suratber harga. Sebagaimana halnya dengan surat atau surat bukti mau-pun barang yang mempunyai nilai tinggi—baik dipandang dari segi ekonomi, hukum, dan yang lain—proses penerbitannya perlu waktu dan ketelitian untuk menghindari kekeliruan.

Pada dasarnya sertifikat adalah salinan buku tanah besertawarkah-warkah. Arsipnya tersimpan di kantor Badan Pertanahan Nasional. Namun, pemalsuan selalu dilakukan orang-orang tertentu sehingga sertifikatpalsu,sertifikataspal,maupunsertifikattumpangtindih banyak beredar di tengah masyarakat. Pada umumnya palsu tidaknyasertifikatdapatdiketahuiolehpemegangotoritasdikantorBPN.Masalahnya,banyak jugasertifikatpalsuyangmenggunakanblankosertifikatyangdipalsukanpihakketiga.

Sertifikat aspal (asli tapi palsu) dan sertifikat cacat hukum Dalambeberapakasussertifikatyangditerbitkankantorpertanahankabupaten atau kotamadya ternyata bermasalah; surat­surat buktisebagai alas atau dasar penerbitan sertifikat tidak benar ataudipalsukan. Seperti kita ketahui, sejumlah instansi perlu terlibat se -kaligusdalampenerbitansertifikattanah.Seseorangyangmengurussertifikat tanah memerlukan surat keterangan kepala desa, girik,keterangan waris, segel jual-beli, dan yang lain. Surat-surat kete-rangan tersebut tidak luput dari pemalsuan, juga bisa kada luwarsa.

Aspal(aslitapipalsu),itulahsebutanuntuksertifikatbermasa­lahtadi.Sertifikatsemacaminitentunyaharusdibatalkan,dinyata­kantidakberlaku,danditarikdariperedaran.Disampingsertifikataspal, adapula sertifikat cacathukum, yaitu yangditerbitkanber­dasarkan alas hak atas bukti-bukti atau dokumen yang kurang benar atau tidak benar.

Page 42: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h66 67B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Sertifikat gandaTerdapat pula kasus diterbitkannya lebih daripada satu sertifikatuntuk sebidang tanah oleh kantor pertanahan. Akibatnya terjadi tumpang tindih hak, baik seluruhnya atau sebagian. Hal ini terjadi antara lain akibat kesalahan penunjukan batas oleh pemohon atau pemilik sewaktu petugas kantor pertanahan mengukur. Bila batas yang ditunjukkan pemohon atau pemilik keliru—disengaja atau tidak—surat ukur atau gambar situasi batas-batas tanah akan salah. Pa dahal sebelumnyatelahditerbitkansertifikatuntuklokasiyangsama.

Kegandaan ini dapat pula terjadi karena kelalaian kan tor per -tanahan. Di sini sertifikat terdahulu belum mereka petakan. Aki­batnya,terdapatlebihdaripadasatusertifikatyangditerbitkanatastanah yang sama, atau atas bagian yang sama. Kasus semacam ini penuliskategorikansebagaipenerbitansertifikatganda.

Penyebab lain adalah belum tersedianya peta-peta pemilikan tanah yang lengkap, sehingga bidang-bidang ta nah yang telah ber-sertifikattidakdapatdiplotdalampeta.Umumnya,sertifikatgandaterjadi karena pemilik sertifikat tidak memelihara atau menjagatanah nya sehingga ada pihak lain yang menduduki atau meng ga-rap nya. Setelah beberapa lama orang yang menduduki atau meng-garapmemohonagar tanah tersebutdisertifikatkanatasnamanya.Untuk itu dia biasanya akan menyiapkan dokumen terma suk surat dari aparat desa dan surat-surat pembayaran pajak. Ada pun Badan Per ta nahan Nasional tidak mengetahui bahwa bidang tanah tersebut sudah bersertifikat. Timbullah apa yang dikenal sebagai sertifikatganda.

Permintaan pemblokiran sertifikat oleh perbankanDi kota-kota besar, terutama di DKI Jakarta, kantor pertanahan banyak menerima permintaan pemblokiran sertifikat tanah yang dijadikanjaminan kredit, baik oleh bank pemerintah maupun bank swasta.

Meskipun tidak ada keharusan untuk pemasangan hipo tik dan lazim diperjanjikan berdasar Surat Kuasa Memasang Hipotik, seha-rusnya sebelum dibuat perjanjian kredit de ngan jaminan tanah paling tidak bank atau notaris yang ber sang kutan sudah meneliti kebenaran formal sertifikat tersebutdanmenelitikebenarannyadilapangan.

Kerawanansertifikatsebagaijaminanutang,antaralainkarena:Kemungkinansertifikattersebuttidakadabukutanahnya,dalam1. artibukanditerbitkanolehBPN.Jadisertifikatitupalsu.

Untuk hak-hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu seperti 2. hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB), sisa jangka waktu berlakunya hak atas tanah tersebut akan berakhir atau tinggal beberapa tahun saja.

Penggantian sertifikat yang rusak atau hilangMenurut ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961,bilasertifikathaktanahrusakatauhilangbisadiganti.Sertifikatbaru diberikan ke pemohonan yang berhak atas tanah yaitu pemilik sertifikatsemula.Bilasertifikathilang,pemohonharusmelaporkankehilangannya ke polisi. Selan jut nya atas permohonan sang pemilik, oleh kepala kantor per tanahan kabupaten atau kotamadya hal itu diumumkan dua kali berturut-turut dalam sebulan di surat kabar setempat dan Berita Negara RI. Biaya pengumuman ditanggung pemohon.

Apabila dalam sebulan setelah pengumuman yang kedua tidak ada yang mengajukan keberatan, barulah sertifikat pengganti di­beri kan kepada pemohon. Jika ternyata ada yang keberatan dan ke beratan itu dianggap beralasan maka kepala kantor pertanahan ka bupaten atau kotamadya dapat menolak permohonan penerbitan sertifikatbaruataupenggantidanmempersilakanpemohonmemintakeputusan hakim.

Untuk mengatasi masalah dari poin a hingga f di atas otoritas pemerintah telah mengambil langkah berikut:

Penertiban di dalam instansi dengan meningkatkan profe sio nal-1. isme aparat sehingga dokumen-dokumen yang di ajukan dapat benar-benar diuji keotentikannya. Untuk menghindari pemalsuan tersebut sertifikat dicetak di2. blanko dengan kertas khusus sehingga sulit dipalsukan.Penegakan hukum (3. law enforcement). Dalam hal ini pela ku pemalsuan dicari dan ditindak tegas termasuk dituntut secara pidana. Mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah desa yang satu 4. dan yang lain (pendaftaran sistematis) dan membuat peta-peta lengkap pendaftaran tanah.Meningkatkan penyuluhan masyarakat ihwal arti penting serti-5. fikatdanmeningkatkankesadaranhukumnyaagarmerekame­nge tahui hak dan kewajibannya.

Page 43: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h68 69B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Apa yang terjadi di Aceh sewaktu tsunami mendera pada 26 Desember 2004menjadi contoh yang sangat jelas ihwal sertifikatyang rusak atau hilang. Tsunami telah merusak 68.966 hektar tanah di sepuluh kabupaten dan kota termasuk di Banda Aceh, Aceh Jaya, dan Lhokseumawe. Yang terparah di Aceh Jaya. Di daerah pinggir pantai batas penguasaan tanah hilang karena diterjang ombak dan tergenang air laut. Penataan ulang batas tanah perlu dilakukan.107

Permasalahan yang muncul pascatsunami adalah banyak surat yang rusak akibat terendam air. Di Kanwil BPN Provinsi Aceh 20% dokumen hak atas tanah dan pendaftaran tanah hilang atau rusak. Sedangkan di kota Banda Aceh kerusakan mencapai 40%. Selain itu, juga terdapat sekitar 15 ribu ton dokumen pertanahan Provinsi NAD yang sedang distabilisasi di Muara Baru, Jakarta dengan menggunakan mesin pen di ngin khusus. Kegiatan penyelamatan ini merupakan hasil kerja sama dengan pemerintah Jepang.108 Dengan kerusakan yang parah ini pastilah tak mudah bagi Badan Per tanahan NasionaluntukmenerbitkansertifikatbarutanahdiNanggroeAcehDarussalam. Selain data-data hilang, kea daan tanah di sana pun telah berubah.

Sengketa atas beberapa keputusan instansi yang tum pang tindih Sengketa ini timbul akibat dikeluarkannya surat keputusan oleh bebe rapa instansi atas obyek tanah yang tumpang tindih. SK misal -nya dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, Depar temen Perta-nian dan Dirjen Perkebunan, serta Departemen Pertam bangan. Pe-ner bitan SK misalnya untuk penambangan batu bara, pengelolaan HPH, untuk perkebunan atau perta nian. Dalam praktik, SK seperti ini sering melanggar hak ulayat masyarakat hukum adat setempat. Tidak jarang pula ter jadi penerbitan surat keputusan di lokasi atas tanah yang sebe nar nya sudah terbit hak-hak atas tanah seperti HGU.

Sengketa demi sengketa terjadi karena kurangnya koordinasi antar-instansi penyelenggara pembebasan tanah dengan kantor pertanahan setempat, juga akibat tidak adanya penelitian lapangan lokasi serta kurangnya pengawasan atau pengelolaan tanah secara intensif oleh pemiliknya. Akibatnya timbul asumsi pada orang

107 Adrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, BP Cipta Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 16.

108 Ibid.

tertentu bahwa tanah tersebut tidak bertuan. Padahal hak atas tanah tersebut belum berakhir.

Sengketa pertanahan di Indonesia biasanya timbul akibat pe-me rintah tidak konsisten waktu mengeluarkan regulasi di bidang pertanahan maupun saat melaksanakannya. Ka sus-kasus pertanahan yang sering ditangani oleh Badan Per tanahan Nasional dapat di-kelompokkan menjadi tujuh yaitu:109

Pendudukan dan penyerobotan tanah perkebunan. 1. Pangkal masalah adalah pendudukan dan penyerobotan tanah-

tanah perkebunan yang telah dilekati hak guna usaha, baik yang masih berlaku maupun yang akan, atau sudah berakhir hak penguasaannya. Alasan pendudukan dan penyerobotan tanah itu—diketahui setelah inven tari sasi secara intens—adalah: a. Proses ganti rugi yang belum tuntas. Masyarakat merasa nilai ganti rugi yang dibayar per ke bun-

an saat memperoleh tanah terlalu rendah. Karena intimidasi, masyarakat terpaksa melepaskan tanah nya.

b. Tanah garapan turun-temurun yang diambil-alih dan di-jadikan lahan perkebunan.

Dalam sebuah kasus, misalnya, tanah garapan yang telah diusahakan masyarakat sejak zaman penjajahan Jepang, di-ambil-alih negara sekitar tahun 1960-an untuk dijadikan lahan perkebunan. Sekian lama per soal an diambangkan saja.

c. Perbedaan luas hasil ukur dengan luas tanah hak guna usaha Luas hasil ukur yang telah diterbitkan HGU-nya ber beda jauh

dengan kenyataan di lapangan. Artinya ada lahan masyara kat yang masuk areal perkebunan.

d. Tanah perkebunan merupakan tanah ulayat atau warisan dari suatu kesultanan atau keluarga tertentu. Ahli waris kemudian mengkleim tanah tersebut.

2. Permohonan hak atas tanah di kawasan hutan. Masalah di sini adalah tanah yang dimohon itu ternyata masih

termasuk kawasan hutan register. Kawasan itu secara fisikmasih atau sudah tidak berfungsi hutan.

3. Tanah yang hendak didaftar haknya tumpang-tindih atau batasnya masih sengketa.

109 Surjadi Soedirdja, Masalah Pertanahan dan Penanganannya, Depdagri dan Otonomi Daerah, BPN, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 26-35.

Page 44: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h70 71B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Masalahnya adalah saat pendaftaran diketahui terjadi tumpang tindih hak atas tanah. Dalam hal ini tanah milik adat dengan bukti surat girik diperhadapkan dengan tanah milik dengan buktisertifikat.Jaditerjadisengketabatas.Masyarakatmeng­klaim bahwa tanah bekas milik adat dengan bukti girik tersebut mereka beli dari pemilik yang sah dan lokasinya pasti. Ketika memprosessertifikatnyabarumerekatahubahwauntuktanahitutelahterbitsertifikathakatasnamapihaklainyangberasaldari tanah eigendom.

4. Pendudukan tanah oleh masyarakat untuk menuntut ganti rugi kepada developer.

Dalam kasus ini pengembang membeli atau membebas kan tanah. Mereka kemudian mengurus hak atas tanah yang akan dijadikan lahan perumahan atau perkantoran. Ternya ta tanah kemudian diduduki masyarakat dengan alasan mereka belum menerima ganti rugi. Mereka menyatakan, apabila pengembang tidak mau memberi ganti rugi maka BPN harus membatalkan sertifikat induk atau sertifikat­sertifikat di atas bidang tanahtersebut.Masalah ini terjadi karena:a. Masyarakat merasa ganti rugi terlalu rendah sebab nilai

tanah sekarang sangat tinggi. Mereka me nya takan tidak menerima manfaat apa-apa dari kegiatan di atas tanah mereka.

b. Ganti rugi tidak diterima oleh yang berhak karena disam-paikan melalui perantara.Pada hakikatnya ini merupakan masalah keperdata an yang

melibatkan panitia, wakil yang menerima ganti rugi atas nama masyarakat, dan masyarakat bekas pe milik tanah selaku pemberi kuasa. Sebab itu pe nye le sai an keperdataan tersebut seharusnya dilakukan me lalui badan peradilan. Bukan kewenangan BPN untukmenyelesaikannya.Begitupulauntukpembatalansertifi­kat hak atas nama pengembang atau pihak ketiga.

5. Gugatan bahwa tanah merupakan tanah ulayat. Dewasa ini banyak timbul gugatan semacam ini. Misal nya gu-

gatan tanah ulayat Suku Hamba Raja Sultan Siak Indrapura atau pemangku kerajaan Kutai Kartanegara.

Pada dasarnya, hukum tanah nasional kita (UUPA) baik dalam penjelasannya maupun dalam Pasal 5 UUPA mengakui

keberadaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Sesuai kewenangan negara menurut Pasal 2 UUPA, untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan tanah ulayat ini telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 5 Tahun 1999. Ini merupakan peraturan pelaksana. Namun, diakuinya hak ulayat masyarakat hukum adat bukan berarti hak ulayat yang sudah tidak ada harus diadakan lagi.

Tidak mudah menentukan eksistensi hak ulayat di suatu daerah. Perlu dilakukan penelitian secara seksama oleh peme-rintah daerah setempat bersama pakar hukum adat dan pa ra tetua adat untuk menentukan ada tidaknya hak ulayat ter sebut serta apakah ada tanah atau wilayah ter tentu yang benar-benar merupakan ranah atau lebensraum masyarakat hukum adat.

Jadi gugatan dengan dasar hak ulayat harus dilihat se cara hati-hati. Pertanyaannya adalah apakah pihak seba gai subyek tanah ulayat mempunyai kewenangan untuk mengatur peng-gunaan tanah ulayat tersebut, me nen tukan hubungan hukum antara orang dengan tanah, dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah ulayat itu.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, BPN telah menerbitkan surat edaran tanggal 9 Nopember 2000 No. 500-3394-KBPN yang intinya menyerukan agar gubernur, walikota, dan bupati mengantisipasi dan hati-hati terhadap pihak-pihak tertentu yang menjanjikan atau menawarkan kepemilikan tanah kepada masyarakat dan tanah itu dinyatakan berstatus ulayat.

6. Tukar-menukar tanah bengkok milik desa yang telah menjadi kelurahan.

Dengan berubahnya status sistem pemerintahan dari desa menjadi kelurahan sesuai UU No. 5 Tahun 1979, tanah bengkok desa dianggap sebagai aset pemerintah daerah sehingga pro-ses tukar-menukarnya dianggap tunduk pada ketentuan peng -hapusan aset atau kekayaan Pemda. Sesuai ketentuan Permen-dagri No. 7 Tahun 1997 transformasinya tidak perlu mendapat persetujuan masyarakat terlebih dahulu. Di satu sisi masyarakat masih berpendapat bahwa pelepasan atau tukar-menukar tanah bekas ganjaran atau bengkok desa masih tetap memerlukan persetujuan mereka kendati desa telah berubah status menjadi kelurahan.

Page 45: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h72 73B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

7. Masalah lain Masalah dalam kelompok ini bersifat eksidentil seperti pe-

nolakan perpanjangan izin lokasi. Penolakan izin didasarkan ke pada ke tentuan bahwa dalam jangka waktu satu tahun pe-

ngembang harus dapat memberi ganti rugi paling sedikit 25% kepada masya rakat yang tanahnya mereka ambil. Bila pe-ngembang yang tidak memenuhi syarat ini maka per pan jang an izin lokasi yang mereka ajukan harus ditolak.

Kerangka PemikiranDalam penulisan disertasi ini penulis menggunakan teori negara kese-jahteraan (welfare state) sebagai dasar berpijak (grand theory). Teori ini menyatakan tugas dan peran negara sangat luas yaitu mengurusi kepentingan umum dan aktif berusaha me nyejahterakan rakyat. Jadi, campur tangan pemerintah sebagai otoritas negara harus intensif dalam mengurusi kepentingan masyarakat.110

Dalam mewujudkan negara kesejahteraan, negara dapat me lakukan perbuatan hukum di bidang politik maupun perdata. Dalam hal ini negara memiliki dimensi lengkap (dual personality) yakni sebagai kesatuan politik dan perorangan biasa (perdata).111 Penulis sendiri berpandangan bahwa Indonesia menganut kosep si negara kesejahteraan. Terdapat sejumlah pendapat tentang ihwal negara kesejahteraan yang dijalankan Indonesia selama ini. Ada yang menyatakan Indonesia tetap merupakan negara kesejah te ra an kalau dilihat dari sisi nilai-nilai luhur yang hidup di tengah ma sya rakatnya kendati nilai-nilai tersebut sudah dipengaruhi oleh kaum elitenya yang berpendidikan Barat.112 Muhammad Yamin, seorang ahli hukum pribumi awal terkemuka mengatakan Indonesia me ru pakan negara kesejahteraan baru sebab kesejahteranan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka berbasiskan keadilan sosial.113

Bahwa negara Indonesia merupakan negara kesejahteraan dapat dilihat dari pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Alinea keempat pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyatakan:

110 H. Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 156.

111 Yudha Bhakti Adhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 363.

112 Amich Alhumami, Negara Kesejahteraan, www.freelist.org, tanggal 26 Juni 2007.113 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, Percetakan Siguntang, Jakarta, 1971.

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, men cer-das kan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”

Pasal 27 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34 terutama, juga mengamanatkan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.114 Pasal 33 menyatakan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikua sai negara dan dipergunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat. Di sini posisi negara bukan sebagai pemilik (domein) melainkan pengelola yang bertugas mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Khusus tentang pengaturan tanah, penjabaran dari UUD 1945 terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Pasal 2 Ayat (1) UUPA menyatakan, “Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam nya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Sebagai negara kesejahteraan, negara Indonesia mengikuti asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan atau menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya (lex superiori derogate legi inferiori).115 Pembentukan aparat penyelenggara juga ditujukan untuk mencegah atau menghindari kerusuhan dan sengketa di dalam masyarakat. Itu berarti negara berfungsi memberikan perlindungan bagi warganya, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi. Karena itu tugas pemerintah pun meluas, mencakup berbagai aspek kehidupan berbangsa, seperti kesehatan rakyat, pendidikan, perumahan, dan juga distribusi tanah.116

Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg) ini merupakan tugas negara yang berbentuk welfare state atau negara hukum yang baru dan dinamis, atau Negara Hukum Material atau Negara Administratif.117 Sebelum konsep negara kesejahteraan dikenal, yang muncul dalam praktik kenegaraan adalah konsep political state (negara politik) dan legal state (negara hukum yang statis atau negara hukum

114 Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1994, hlm. 228.115 W. Tri Widodo Utomo, Hukum Pertanahan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Navila,

Yogyakarta, 2002, hlm. 9-10. 116 Marbun SF dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,

1987, hlm. 45.117 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Haji Masagung, Jakarta, 1988, hlm. 104.

Page 46: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h74 75B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

formal). Sondang P. Siagian mengatakan bahwa pada tahap political state, suatu pemerintah dianggap sebagai “tuan”-nya rakyat. Pemerintah hanya mempunyai empat fungsi pokok (the classical functions of government) yaitu fungsi memelihara ketenangan dan ketertiban (maintenance of peace and order), fungsi diplomatik atau internasional, fungsi pertahanan keamanan, dan fungsi perpajakan.

Keadilan sosialUntuk menguatkan teori dasar yang dipakai dalam penyusunan disertasi ini penulis menggunakan teori madya (middle range theory) yaitu teori keadilan sosial. Dalam hal ini negara memiliki tugas dan tanggung jawab khusus yaitu memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini se-suai dengan tujuan pembentukan negara Republik Indonesia yaitu “Me-lindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan ke sejah teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemer dekaan, per-damaian abadi dan keadilan sosial.”118

Keadilan yang ingin dicapai negara Republik Indonesia menurut pandangan penulis adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam falsafah Pancasila sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah landasan utama dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita negara yaitu memajukan kesejah te raan masyarakat yang adil dan makmur. Jadi, keadilan yang di mak sud bukan hanya dilihat dari segi cost and benefit semata tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai luhur yang ada dan selama ini dipergunakan sebagai landasan dalam mewujudkan ke-makmuran bangsa. Oleh karena itu keadilan yang dimaksud dalam kon-teks ke-Indonesia-an adalah yang menjunjung tinggi harkat dan mar tabat bangsa.

Esensi yang dikandung sila kelima Pancasila ini dapat dipa hami sebagai suatu idealisme persatuan dan kesatuan semua unsur: manusia, tanah, laut, kekayaan alam, dan yang lain yang ada di Nusantara, dari

118 Alinea keempat Mukadimah UUD 1945 selengkapnya sebagai berikut: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Merauke di timur hingga Sabang di barat. Kembali ke konsep keadilan. Menurut penulis, keadilan adalah kon-

disi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda maupun orang. Penulis sepakat dengan John Rawls—guru besar UniversitasHarvardyangdianggapsalahseorangfilsufpolitikterkemukaabad ke-20—yang menyatakan bahwa “Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”.

Keadilan, lanjut dia, memenuhi dua prinsip. Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat mem beri keun-tungan kepada semua orang. Prinsip pertama mempersyaratkan, teori keadilan menjamin kebebasan warga, baik itu kebebasan berpolitik, ber-keyakinan, berpikir, maupun kebebasan untuk mempertahankan hak milik serta kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang sebagaimana didefiniskan oleh aturan hukum;119 dan semua kebebasan ini, menurut prinsip pertama, harus setara, karena warga suatu masyarakat yang adil memiliki hak dasar yang sama. Prinsip kedua berkaitan degnan distribusi pendapatan dan kekayaan. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama harus dari keuntungan semua orang, posisi otoritas dan jabatan komando harus dapat diakses oleh semua orang. Kedua prinsip ini membentuk struktur dasar masyarakat yang akan mengatur penerapan hak dan kewajiban dan distribusi keuntungan sosial dan ekonomi.

Perlu sedikit catatan ihwal konsep keadilan versi John Rawls itu, yang ia kemukakan secara komprehensif tapi sistematis dalam karya magnum opus-nya, A Theory of Justice (terbit untuk kali pertama tahun 1971).120 John Rawls melihat teori-teori keadilan yang ada kala itu belum memberi keadilan bagi kita sebagai umat manusia. Penyebabnya, teori-teori itu terlalu dipengaruhi oleh utilitarianisme, khususnya, serta alternatifnya, seperti intuisionisme.

Utilitarianisme yang sejak pertengahan abad ke-19 men do mi nasi pemikiran moralitas politik merupakan hasil pemikiran para intelektual Inggris terkemuka yang kembara pikirannya luas—antara lain mencakup politik dan eknomi. Beberapa yang terkemuka dari mereka adalah David Hume, Adam Smith, Jeremy Bentham, dan John Stuart Mill. Pada

119 John Rawls, A Theory of Justice (edisi revisi), OUP, Oxford, 1999.120 Ibid.

Page 47: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h76 77B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

masanya, pemikiran utilitarianisme dianggap sangat progresif karena merupakan kritik radikal atas feodalisme dan kesenjangan sosial di Inggris. Dalam perkembangannya kemudian konsepsi itu berkontribusi besar dalam lahirnya sistem demokrasi konstitusional di negeri tersebut dan belahan dunia lain.

Prinsip utilitarianisme adalah kemanfaatan terbesar bagi se ba nyak-banyaknya orang (the greatest benefit for the greatest number of people). Baik-buruknya sebuah tindakan manusia, menurut konsepsi ini, tergantung nilai manfaat yang dihasilkannya.

Para pemikir tersebut juga melihat bahwa utilitas merupakan kunci pokok yang menautkan ekonomi dengan politik. Ada pun parameter utilitas adalah kebahagiaan manusia yang disebab kan nya. Mereka, terutama Adam Smith, menegaskan bahwa utilitas akan makin besar kalau persaingan bebas (laissez faire) dibiarkan be rlangsung di tengah masyarakat. Sebab itu negara sebaiknya jadi penonton saja, tidak perlu campur tangan.

Sekian lama prinsip utilitas dengan basis laissez faire ini dijalankan di Inggris, negeri industri yang paling maju di dunia pada masa itu. Ternyata muncul jurang kesenjangan yang menganga. Kaum kaya yang merupakan pemilik modal semakin sejahtera sementara kaum miskin (terutama buruh) kian merana. Realitas itu kemudian menyadarkan orang seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill sehingga mengoreksi konsepsinya. Dalam pandangan baru mereka, pemerintah perlu turun tangan agar kesenjangan sosial tidak semakin parah akibat persaingan bebas. Sebagai buah pemikiran ini, kelak, pada awal abad ke-20, lahirlah apa yang disebut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state). Dalam hal ini negara berfungsi sebagai protektor bagi mereka yang kurang beruntung dengan memberikan subsidi di pelbagai bidang termasuk pangan, kesehatan, dan pendidikan.

John Rawls menganggap konsepsi utilitarianisme yang su dah direvisi itu masih saja sarat dengan masalah. Persoalan utama yang ia lihat dalam konsepsi ini adalah prinsip dasarnya yaitu baik-buruknya tindakan manusia tergantung manfaatnya. Kemasla hatan kelompok mayoritas otomatis menjadi tolok ukur ke man faatan tersebut. Diandaikan bahwa yang baik bagi orang banyak dengan sendirinya berlaku untuk individu. Padahal tidak demikian, sebab setiap individu itu unik dilihat dari segi apa pun, termasuk minat dan selera. Setiap individu, Rawls menegaskan, berhak untuk berbeda dan perbedaan itu harus dihargai.

Keadilan, lanjut dia, tidak tegak manakala aspirasi kaum minoritas—

termasuk satu individu pun—dikorbankan. Tirani mayoritas, itulah yang terjadi. Utilitarianisme, menurut dia, gagal menjamin keadilan sosial sebab lebih mendahulukan asas manfaat daripada asas hak.

Dalam konteks masyarakat plural (majemuk) seperti Indonesia ini apa yang dipersoalkan Rawls tentu saja sangat relevan. John Rawls mengkritik intuisionalisme sebab tidak memberi tempat yang memadai kepada nalar atau rasio. Dalam pengambilan sebuah keputusan, intuisi kita saja yang menjadi andalan. Hasilnya tentu akan menjadi serba subjektif karena pertimbangannya juga memang serba situasional. Namanya juga intuisi.

Ingin membangun sebuah konsepsi untuk menegakkan keadilan dalam perspektif demokrasi, itulah tujuan John Rawls. Untuk itu kerangka pikiran pun ia rancang. Bagi dia keadilan tiada lain dari fairness. Lebih jelasnya begini. Katakanlah, misalnya, lingkup cakupan keadilan yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang teratur. Keadilan itu harus bersifat kontraktual, dalam arti lahir sebagai hasil kesepakatan bersama dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat itu tanpa kekecualian. Lantas Rawls membayangkan sebuah situasi ideal. Yakni hak dan kewajiban terdistribusi di sana secara adil. Pula, setiap person ber status bebas, rasional, dan setara. Terdapat prosedur yang fair di sana manakala mereka hendak merumuskan prinsp-prinsip utama keadilan.

Rawls kemudian memunculkan sebuh kondisi hipotetis (bukan yang sesungguhnya) yakni semua person tersebut dalam posisi asali. Salah satu ciri keasalian ini adalah mereka dalam ke adaan tanpa pengetahuan ihwal situasi konkretnya (veil of ignorance). Jadi mereka tidak tahu soal situasi sosial aktual, rencana hidup, apa yang baik dan yang tidak bagi dirinya, serta hal lain yang bisa memunculkan bias dalam diri mereka dalam proses pemilihan prinsip-prinsip pertama keadilan. Singkat kata, mereka bebas nilai, tidak punya preferensi, dan tak saling berbenturan dalam kepentingan (conflict of interest). Dalam kondisi seperti itu, menurut Rawls, semua person tidak akan memilih prinsip keadilan yang dikenal umum seperti utilitarianisme, intusionisme, dan yang lain. Mereka akan memilih prinsip kebebasan yang paling maksimal untuk semuanya (the gratest equal liberty principle) dan prinsip bahwa person yang satu berbeda dari yang lain (the different principle).

Rawls menekankan pentingnya kita melihat keadilan sebagai kebajikan utama setiap lembaga kemasyarakatan. Dengan demi ki an lembaga akan memberikan kesempatan secara adil dan sama kepada setiap person di sana untuk mengembangkan diri dan menikmati harga

Page 48: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h78 79B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

diri serta martabatnya sebagai manusia. Harga diri dan martabat tidak bisa diukur dengan kekayaan ekonomis melainkan dengan kebebasan yang dinikmati person bersangkutan. Sebab itu kebebasan harus menjadi prioritas. Begitulah secara garis besar konsep keadilan yang dikemukan John Rawls. Reaksi luar biasa—baik mendukung maupun menentang—muncul begitu buku A Theory of Justice terbit.

Teori keadilan yang dikembangkan John Rawls kemudian dija-di kan landasan pemikir lain yang memunculkan pelbagai derivat. Di antaranya Global Distributive of Justice (distribusi ke adil an global) yang dikemukakanolehGöranCollste,seorangfilsufberkebangsaanSwedia.

SalahsatupenangggapseriusadalahfilsufJermankenamaan,Jurgen Habermas. Kritik tajam yang dilontarkan Habermas ter hadap karya John Rawlsinitelahmemperkayawacanatentangkeadilansecarasignifikan,bukan meruntuhkan. Kritik Habermas malah telah membuka perspektif keadilan versi Rawls lebih lebar. Banyak juga pertautan ide di antara mereka.

John Rawls dan Jurgen Habermas misalnya menyatakan kerja sama masyarakat pluralistik modern dapat stabil dan berkelanjutan hanya bila berdasarkan prinsip keadilan. Dan keadilan sosial tidak cukup lagi dipahami sebagai kecukupan nasi tapi juga kecukupan demokrasi. Teori keadilan dari kedua pemikir terkemuka ini sangat sesuai dengan keadilan sosial yang termaktub dalam Pancasila. Mereka berdua seakan menerima dan menampung kritik Sukarno dan Hatta setengah abad lebih silam terhadap apa yang mereka sebut individualisme dan demokrasi liberal Barat.

Keadilan dalam konteks ke-Indonesia-an bertujuan me nye jah terakan masyarakat Indonesia sebagaimana telah diatur dan ter lihat dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (1-4) UUD 1945 hasil aman de men keempat. Pasal ini berbunyi:

ayat 1:Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan.

ayat 2:Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

ayat 3:Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat

ayat 4:

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.

Visi pembangunan Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Juga menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum di Indonesia yang antara lain menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta membaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.121

Kebijakan pembangunan hukum tersebut seirama dengan prin sip-prinsip Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Da ya Alam serta Undang-Undang tentang Sistem Pembangunan Na sional Tahun 2004.122 Pelaksanaan pembaruan agraria, ter ma suk pengelolaan sum ber daya alamnya, harus disesuaikan de ngan prinsip-prinsip berikut:123

Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RI.1. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.2. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keaneka-3. ragamandalamunifikasihukum.Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan 4. optimalisasi partisipasi rakyat.Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam pengua-5. saan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pe meliharaan sum-ber daya agraria/sumber daya alam.Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang 6. op ti mal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi men-datang dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan.Melak sanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai 7. dengan kondisi sosial budaya setempat.Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pem-8. bangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, peme-9. rintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu.

121 UUD 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002, GBHN (Tap MPR No. IV/MPR/1999) 1999-2004, Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm. 61.

122 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

123 Ibid.

Page 49: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h80 81B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di ting-10. kat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

Konsepsi negara kesejahteraan yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 menunjukkan bahwa perundang-undangan itu berfungsi sebagai konstitusi hukum, politik, dan ekonomi. Dengan demikian, semua hak keperdataan atas tanah yang dimiliki oleh subyek hukum seyogyanyalah mengacu kepada kedua peraturan perundang-undangan tersebut.124

Sebagai peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendahdaripadaUUD1945danTapMPR—namunlebihspesifikmengaturtentang tanah—UUPA mengejawantahkan tujuan atau misi yang terkan-dung di dalam kedua peraturan perundang-undangan di atasnya tersebut dengan menetapkan sejumlah aturan mengenai prinsip dasar penguasaan tanah beserta struktur hak-haknya. Pasal 7 UUPA memuat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, misalnya. Pasal 10 UUPA mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan. Pasal 17 UUPA mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.

Untuk memenuhi rasa keadilan khususnya dalam hal per tanahan maka pemerintah mengatur pemerataan penguasaan tanah dengan program land reform lewat Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, Per-aturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964. Luas maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu alasan hak tertentu, misalnya, ditetapkan. Kelebihan tanah di luar batas maksimum tersebut wajib diredistribusikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah. Namun sayangnya ketentuan redistribusi kelebihan tanah ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga di satu sisi banyak warga yang mempunyai tanah yang berlimpah, sedangkan di sisi lain banyak orang yang tidak mempunyai tanah sedikit pun. Ketidakseimbangan kepemilikan hak atas tanah inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor pemicu sengketa tanah.

124 UUD 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002, GBHN (Tap MPR No. IV/MPR/1999) 1999-2004, Pustaka Setia, Bandung, 2002 jo TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Adam Smith, seperti disebut sebelumnya, mendalilkan bah wa ke-makmuran masyarakat akan tercapai jika seluruh anggota masyarakat diberi kebebasan yang luas untuk mencapai kemak mur an tersebut. Namun menurut hemat penulis, kebebasan yang luas tersebut perlu diatur agar tidak menghambat pembangunan. Kalau tidak, ketimpangan akan terjadi. Untuk mewujudkan kese jah te raan masyarakat harus ada campur tangan pemerintah, baik dalam bentuk arahan maupun aturan. Masyarakat itu sendiri dikatakan sejahtera jika kualitas hidupnya telah layak (dengan penekanan utama pada terpenuhinya kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan la-pang an kerja) dan mereka bermartabat.125

Setelah membahas konsep negara kesejahteraan dan ide keadilan, sekarang kita akan membahas bangunan hukum yang kita perlukan untuk menopang keduanya.

Pembangunan hukumRoscoe Pound mengembangkan konsepsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Oleh Mochtar Kusumaatmadja konsepsiinidimodifikasimenjadihukumsebagaisaranapembangunan.Romli Atmasasmita kemudian memunculkan model alternatif hukum dan pembangunan yang ia sebut sebagai “hukum sebagai sarana pembaha ruan masyarakat dan birokrasi” atau “law as a tool of social and bureaucratic engineering”. Penulis menggunakan ketiga konsepsi dari pakar hukum terkemuka ini sebagai applied theory dalam penulisan diser tasi. Artinya, teori tersebut menjadi pisau analisis penulis tat kala menelaah pentingnya suatu pembaharuan dalam sistem hu kum di Indonesia khususnya dalam penyelesaian sengketa per tanahan.

Roscoe Pound126 berpendapat bahwa para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial yang ada dalam pekerjaannya, apakah itu berupa pembuatan hukum, penafsiran, maupun penerapan aturan-aturan hukum itu sendiri. Para ahli hukum harus lebih cerdas memperhitungkan fakta-fakta sosial untuk diserap. Ia lantas menyarankan agar perhatian para ahli hukum lebih terarah kepada efek-efek nyata institusi dan doktrin hukum. Alasan dia, pada dasarnya kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.127

125 Misi pembangunan Indonesia yang ditetapkan dalam Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999–2004.

126 Dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 266.127 Ibid., hlm. 266

Page 50: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h82 83B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Tujuan hukum baru dapat tercapai apabila didukung oleh tugas hu-kum yaitu menyerasikan kepastian hukum dengan ke se ban dingan hukum sehingga keadilan terwujud. Untuk mencapai tujuan dan tugas hukum tersebut maka setiap masyarakat hukum men jalankan tiga peranan utama yang saling berkaitan yaitu:

Sebagai sarana pengendalian sosial.1. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial.2. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.3. 128

Sebagai sarana pengendalian sosial, hukum berfungsi atau berperan mempertahankan apa yang ada dalam masyarakat. Sebagai sarana mem -perlancar proses interaksi sosial, hukum dapat berperan sebagai nor ma atau perangkat perilaku teratur yang mempermudah hubungan antar -manusia individu atau antarkelompok manusia. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan, hukum membimbing masyarakat dalam per kem-bangannya. Jadi, pembaruan hukum harus terencana dan dike hendaki masyarakat.

Dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan, penekanan kata ‘hukum’ lebih merujuk ke perundang-undangan, di mana hukum yang baik adalah yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Ini berarti living law-lah yang menjadi pusat perhatian.

Agar hukum dapat lebih memenuhi kebutuhan masyarakat maka kondisi sosial yang paling mutakhir perlu diperhatikan. Dengan meng-akomodasi perkembangan terakhir fakta-fakta sosial—dalam arti kebu-tuhan, kepentingan, dan aspirasi ma sya rakat—fungsi hukum sebagai social engineering akan lebih transformatif.

Romli Atmasasmita129 mengatakan fungsi dan peranan hukum dan pembangunan kurang dipahami sebagai sebagai pembawa perubahan sikap (attitude). Hukum lebih dipahami sebagai sarana (a tool) semata-mata untuk mengubah sikap masyarakat, bukan sebagai sarana untuk meng ubah perilaku penyelenggara negara ke arah yang lebih baik. Kon-sekuensi logis pemahaman ini adalah senjangnya das sollen (yaitu hu-kum sebagai sarana perubahan sikap masyarakat) dan das sein (hukum sebagai alat untuk “memaksakan” kehendak pemerintah kepada masya-rakatnya). Kesenjangan ini, menurut dia, merupakan pertanda kelemahan

128 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1984, hlm.87.

129 Romli Atmasasmita, Strategi Pembangunan Nasional, disampaikan dalam ceramah di SESPIM POLRI DIKREG Ke 41.TP 2005, 4 April 2005, di Lembang, Bandung, diakses pada 17 Januari 2008 dari situs http:/www.portalhukum.com/displayarticle 19.html.

penerapan konsepsi Roscoe Pound sebagai landasan teoretis dalam men-capai ketertiban dan kepastian hukum di Indonesia, negeri yang rezim penguasanya bertransisi dari otoriter ke demokratik.

Untuk mengurangi kesenjangan ini, menurut Romli Atmasasmita, perlu dipertimbangkan model alternatif hukum dan pembangunan generasi kedua, yaitu: “hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat dan birokrasi” atau “law as a tool of social and bureaucratic engineering”. Di sini ditekankan penting dan strategisnya peranan birokrasi dan ma-syarakat yakni, dalam arti sempit, menciptakan ketertiban dan keamanan, dan dalam arti luas, menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) atau good governance.

Model hukum pembangunan generasi kedua ini diharapkan dapat menjadi tulang punggung (the backbone) dalam mewujudkan supremasi hukum (supremacy of law), bukan supremasi ke kua saan. Model alternatif ini memasukkan peranan unsur masyarakat sebagai aktor penting dan merupakan bagian solusi (part of the solution), bukan bagian masalah (part of the problem) dalam pembangunan hukum dan penegakan hukum.

Model alternatif hukum dan pembangunan ini diharapkan dapat mempersatukan birokrasi dan masyarakat sehingga ke duanya menjadi tidak terpisahkan, saling mempengaruhi, dan saling bergantung. Pema -kaian model hukum dan pembangunan ini sejalan dengan arah perkem-bangan dunia abad ke-21 di mana de mokratisasi global menuntut adanya transparansi, akuntabilitas, dan terbukanya akses masyarakat untuk me-mantau kinerja pe nye leng garaan negara.

Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pemba-ngunan masyarakat dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini, kita dapat mengatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya (yurisprudensi yang merupakan salah satu sumber hukum), se ha rusnya menjadi lembaga yang menciptakan ketertiban di bidang pertanahan. Oleh karena itu, dalam penegakan prinsip ke adilan dan demokrasi ekonomi serta kepastian hukum perlu ada kepedulian badan peradilan terhadap kaum lemah dan pada penggalian potensi bangsa dengan tidak membeda-bedakan rakyat—baik sebagai konsumen, pengusaha, maupun sebagai tenaga kerja—berdasarkan apa pun termasuk suku, agama, maupun gender. Dengan begitu mereka akan memperoleh kesempatan, perlindungan, dan hak yang sama dalam meningkatkan taraf hidupnya.

Sehubungan dengan itu, untuk memanfaatkan dan meng gu na kan tanah sebagai salah satu sumber daya agraria secara adil, transparan, dan

Page 51: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h84 85B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

produktif, misalnya, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adat perlu diperhatikan. Selain itu, kelengkapan data ihwal keberadaan (lokasi), jumlah, atau luas tanah beserta status penguasaannya haruslah akurat, lengkap dan up to date, sehingga dengan begitu akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, sengketa itu dapat segera diatasi oleh pejabat terkait secara adil sehingga putusannya dapat diterima para pihak yang bertikai. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hu kum per tanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya.

Pembaharuan hukum pertanahan yang diawali dengan pe ngem-bangan kebijakan pertanahan tentunya harus diawali dengan pe ngem-bangan hukum pertanahan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Na mun pengembangan-pengembangan tersebut semestinya tetap ber-pedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada hukum pertanahan itu sendiri.

Pemerintah RI menggariskan prinsip berikut dalam peng ambilan dan pelaksanaan kebijakan pembaruan agraria:130

Mengkaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang ber-1. kaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar-sektor.Menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peman-2. faatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inven tari sasi dan 3. registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfa atan tanah secara komprehensif dan sistematis da lam rangka pelaksanaan land reform.Menyelesaikankonflik­konflikyangberkenaandengansumberda­4. ya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat meng antisipasi potensikonflikdimasamendatang.Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rang ka me-5. ngembanpelaksanaanpembaruanagrariadanmenyelesaikankonflik­konflikyangberkenaandengansumberdayaagrariayangterjadi.Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam me-6. laksanakanprogrampembaruanagrariadanpenyelesaiankonflik­konfliksumberdayaagrariayangterjadi.

130 Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 5.

UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional juga telah menetapkan sejumlah prinsip dasar. Misalnya, Pasal 2 Ayat (1) mengatur penguasaan tanah oleh negara selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum pertanahan nasional bersumber pada hukum adat. Pasal 19 Ayat (2C) mensyaratkan keberadaan tanda bukti hak sebagai jaminan kepastian hukum penguasaan atas sebidang tanah, dan sebagainya.

Faktanya,memangmasih sering terjadi sertifikat ganda. Sengketapertanahan banyak terjadi di tanah-tanah negara bekas hak milik orang Eropa yang ditinggalkan oleh pemilik asal. Sewaktu ditinggalkan tanah-tanahitutentusajabelumbersertifikat.

Dalam penyelesaian sengketa pertanahan di pengadilan, konsep, asas serta lembaga-lembaga hukum adat yang menjadi sum ber utama pembentukan hukum agraria nasional harus dipandang seba gai sumber pelengkap. Berfungsinya perangkat hukum adat ini akan mengukuhkan konsep hukum pembangunan yang me ning katkan laju pertumbuhan perekonomian nasional. Tanpa ke ter sediaan tanah yang me madai dan kepastian hukum dalam pe nye lesaian sengketa per tanahan maka proses pembangunan akan terhambat karena investor akan ragu-ragu melakukan investasi di Indonesia.

Konsep hukum pembangunan yang melandasi pengem bangan hukum tanah nasional sebagaimana tersebut di atas se jalan dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja, yaitu bah wa hukum tidak cukup kalau hanya berperan sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Hukum per lu berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan-per ubahan di bidang sosial juga.131 Pendapat Mochtar tersebut di landasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa:132

Keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pem-1. baruan itu merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang (mutlak) perluHukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa 2. berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan.

131 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1970, hlm. 11.

132 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1976, hlm. 13.

Page 52: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h86 87B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Mochtar Kusumaatmadja mengingatkan, sebelum hukum nasional dikembangkan hendaklah dilakukan penelitian guna mengetahui bidang-bidang hukum yang harus diperbaharui dan bidang-bidang hukum yang perlu dibiarkan supaya berkembang dengan sendirinya133. Bidang-bidang hukum yang semestinya dibiarkan berkembang dengan sendirinya adalah yang berkaitan erat dengan kelangsungan hidup budaya dan spiritual masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hukum kekeluargaan, hukum perkawinan, hukum perceraian, dan pewarisan.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, dalam rangka pem ba ha ruan hukum ada sejumlah tahapan yang perlu dijalankan, yaitu:134

Mengidentifikasi persoalan yang dihadapi, termasuk di dalamnya1. mengenali secara lebih seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran penggarapan tersebut. Memahami nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Pemahaman 2. terhadap living law ini menjadi tahapan utama yang harus dilakukan jika social engineering tersebut hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk seperti tradisional dan modern. Pada tahap inilah dilakukan penentuan terhadap sektor-sektor mana yang dipilih.Membuat hipotesis dan memilih mana yang paling layak un tuk dapat 3. dilaksanakan.Mengikuti jalan penerapan hukum dan mengatur efek-efeknya.4.

Mengingat hukum tanah merupakan hukum yang tidak netral, diper-lukan kehati-hatian dalam menyusun ketentuan barunya.135 Setidaknya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, yaitu:

Harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu 1. sistem, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu, pengembangan suatu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan berpengaruh terhadap bidang-bidang hukum lainnya. Seba gai contoh, peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal mempunyai keterkaitan

133 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1975, hlm. 6.

134 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 170-171.135 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat

pada Tanah Dalam konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 45.

dengan masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebutsebagaibidangyangnetral;Penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial 2. seringkalimenyebabkandampaknegatifyangperludiperhitungkan;Konsep 3. social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan pengaturan hukum tertulis, karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Aparat penegak hukum yang profesional perlu dilibatkan. Tugas mereka adalah memberi jiwa pada kalimat-kalimat yang tertulis dalam per aturan perundang-undangan ter-sebut136.

Pembaharuan hukum pertanahanRencana pembaharuan hukum tanah hingga kini pelaksanaannya terhambat. Akibatnya hukum tanah menjadi hukum yang tidur (sleeping law) sehingga tidak mendukung upaya pencapaian kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ketentuan perundang-undangan produk pemerintah masa lampau yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan tak sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum adat.

Kurang berperannya program legislasi nasional (Prolegnas) serta ba-nyaknya lembaga pemerintah yang terlibat dalam proses peradilan ma-salah pertanahan telah membuat keputusan tumpang tindih. Tidak jarang aturan yang satu bertentangan dengan yang lain sehingga menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan hukum tersebut.

Pemerintah RI sebenarnya sudah menetapkan arah kebijakan pem-bangunan hukum, antara lain:137 Menata sistem hukum nasional yang me nyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta membaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Agar fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, alat pem baharuan, dan pembangunan masyarakat dapat terwujud, sejumlah persyaratan harus terpenuhi, antara lain:

Adanya aturan hukum yang baik, yaitu aturan-aturan hukum yang 1.

136 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, op. cit., hlm. 203-204.137 Pustaka Setia, UUD 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002, GBHN (Tap MPR No. IV/

MPR/1999) 1999-2004, Bandung, 2002

Page 53: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h88 89B a B 1 : a k a r k o n f l I k P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

sinkron secara vertikal maupun horisontal. Sinkron secara vertikal berarti berarti aturan di tingkat yang lebih rend ah tidak boleh ber tentangan dengan aturan yang ada di atas nya (lebih tinggi). Sedangkan sinkron secara horisontal adalah aturan yang ada tidak boleh bertentangan dan/atau tumpang tindih dengan aturan setingkat terutama jika meng atur materi hukum yang sama.Adanya sumber daya manusia yang baik, yaitu aparat penegak 2. hukum yang memiliki kemampuan memadai, memiliki kom petensi, berintegritas tinggi, dan tangguh.Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, baik dalam jum-3. lah (kuantitas) maupun dalam mutu (kualitas). Adanya masyarakat yang baik, yang memiliki tingkat pen didikan yang 4. memadai, berbudaya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.Untuk memenuhi keempat persyaratan ini fungsi hukum sebagai alat

rekayasa sosial, sarana pembaharuan, serta pem ba ngunan masyarakat harus dijalankan. Juga perlu ada perubahan atau pembaharuan dan pem bentukan pengadilan baru. Dalam hal ini pengadilan khusus untuk menye lesaikan sengketa pertanahan. Hal ini mencakup:

Perubahan gradual pada fungsi badan peradilan seperti pembenahan 1. tertentu pada fungsi peradilan tertentu dengan tetap mengacu pada fungsi yang sudah ada, atauPerubahan radikal terhadap fungsi peradilan yang telah ada. Ini ber-2. arti ada fungsi baru yang diciptakan.Menurut hemat penulis, perlunya pembaruan hukum dan pem-

bentukan badan peradilan khusus terutama untuk mengadili sengketa tanah di Indonesia yang antara lain disebabkan oleh:

Tidak eksekutabelnya putusan badan peradilan. Salah satu penye-1. bab nya adalah rendahnya mutu putusan hakim. Hal ini antara lain akibat:a. Sumber daya manusia (hakim) yang kurang kredibel, baik dari

segikapabilitasmaupunintegritas;b. Kurang atau bahkan tidak adanya aturan hukum yang me madai,

baikyangmenyangkutpengaturanmaupunkesisteman;c. Sisteminformasihukumyangbelumdibangunsecaraoptimal;d. Tanah dipandang hanya sebagai benda sehingga landasan hu-

kum nya adalah perdata. Padahal tanah mempunyai karakteristik publik;

e. Tidak adanya koordinasi otoritas pengadilan dengan pejabat se tempat yang terkait dan tokoh-tokoh masyarakat yang dapat

memberikan data-data tentang tanah yang sedang diper seng-ketakan.

2. Tidak adanya aturan hukum untuk merevitalisasi fungsi badan per-adilan, baik yang menyangkut aspek material maupun aspek formal (hukum acaranya).

3. Penyelesaian sengketa kurang memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam sistem hukum, seperti substansi, struktur, dan kultur hukum.

4. Upaya hukum dalam persengketaan pertanahan dapat di lakukan di beberapa pengadilan (yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, Peng adil-an Umum Perdata, dan Pengadilan Umum Pidana) sehingga putusan bisa saling bertentangan.

5. Hukum acara dalam persidangan sengketa pertanahan tidak meng-atur kewajiban majelis hakim mencari kebenaran materiil dengan memanggil saksi-saksi yang kompeten. Semuanya hanya diserahkan ke para pihak yang berkepentingan sehingga saksi dapat menolak untuk hadir di persidangan.Pengadilan khusus sengketa pertanahan diharapkan dapat berperan

meminimalkan ketidakpastian dalam penyelesaian masalah klaim tanah. Dengan demikian pembangunan ekonomi akan lebih lancar sehingga kesejahteraan bangsa Indonesia akan meningkat.

Page 54: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

sejarah hukum Pertanahan di indonesia SEJARAH perjuangan Bangsa Indonesia merupakan bukti perja lanan panjang pencapaian tujuan hidup Bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam proses mencapai tujuan hidup tersebut, Bangsa Indonesia harus melewati beberapa rezim penjajahan, yang masing-masing dari rezim tersebut memiliki aturan dan kebijakan yang berbeda demi tercapainya tujuan penjajah yang bersangkutan. Di masa penjajahan itu pula, sumber daya alam Indonesia dipakai untuk kepentingan penjajah, termasuk di dalamnya sumber daya tanah beserta semua kandungan alam yang melekat di dalam maupun di atasnya.

Hukum Tanah mengatur hubungan manusia dengan tanah. Sebelum berlakunya UUPA, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mempunyai aturan untuk mengatur hubungan manusia dengan tanah. Saat itu, semua berjalan baik dan kehidupan menjadi tenteram karena tidak ada pertentangan antara warga yang satu dengan warga yang lainnya, namun situasi itu berubah menjadi sebaliknya tatkala masuknya para penjajah.

Sejarah Nusantara—negeri yang sekarang bernama Indonesia—adalah sejarah tanah jajahan. Itu tidak terpungkiri. Seperti galibnya tanah

Bab 2

hukum agraria sepanjang masa

Page 55: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 92 93B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

sejenis di belahan bumi lain, yang paling men derita adalah kaum jelata yang sebutan lainnya rakyat. Sampai sekarang pun, 66 tahun setelah Indo nesia berstatus merdeka, kaum jelata masih saja menderita akibat jurang ketimpangan yang masih saja menganga. Sebelum kolonialisme Belanda dimulai, yang berkuasa di negeri adalah para raja atau sultan. Kekuasaan mereka boleh dikatakan hampir mutlak. Sejarawan Onghokham138 menggambarkan dengan baik bagaimana kekuasaan para raja ini dijalankan di Pulau Jawa.

Di Jawa pada masa prakolonial, menurut Onghokham, raja meru-pakan pusat ketatanegaraan. Kekuasaan mereka hampir bersifat ilahi. Me reka semata-lah pemilik tanah: bukan hanya tanah melainkan rakyat yang mendiami tanah itu juga. Konsekuensi kepemilikan tanah yang sangat monopolis ini adalah rakyat hanya menjadi pemaruh atau pengguna tanah semata. Jadi mereka harus menyetor hasil tanah kepada si empunya. Lalu, sebagai manusia milik raja, mereka harus menyediakan diri secara sukarela manakala si empunya membutuhkan.

Dalam keseharian, raja tidaklah berhubungan langsung de ngan wong cilik yang disebut kawula itu. Ada hamba kerajaan yang difungsikan sebagai perantara. Raja mengangkat hamba kerajaan berdasarkan kekerabatan. Kalau yang diangkat bukan kerabat (priyayi yang artinya adik raja) maka dasar pilihannya adalah loyalitas. Kepada abdi dalem ini, lanjut Onghokham, raja memberi lahan (lungguh) untuk dijadikan sumber pembiayaan pribadi dalam keseharian serta biaya operasioal. Luas lungguh tergantung jumlah rakyat yang dikuasai (cacah). Artinya semakin ba nyak cacah seorang abdi kian luas lungguh-nya. Sebagai catatan, pada masa itu tanah belum bernilai sebab lahan masih luas. Di sisi lain populasi juga belum banyak. Alhasil ukuran kekuasaan se orang abdi kerajaan adalah cacah, bukan tanah.

Para raja punya kebiasaan untuk memecah cacah para abdinya.Tujuannya supaya massa sang abdi itu tidak terkonsentrasi. Pembang-kangan atau kudetalah yang dikhawatirkan raja jika sampai massa seorang abdi dalem terkonsentrasi. Meski begitu, pembangkangan dan kudeta berdarah tetap saja terjadi. Sejarah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa diwarnai banyak tindakan seperti itu.

Keadaan di Pulau Jawa yang digambarkan Onghokham ten tu tak jauh berbeda dari kondisi di kawasan lain. Katakanlah di Sumatra, Kalimantan,

138 Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah—Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Gramedia, 1984.

Sulawesi, atau Maluku. Di sana pun raja-sultan menjadi penguasa mutlak juga, termasuk atas tanah.139 Hege moni para penguasa pribumi baru mulai terusik ketika kolonialis Barat mulai menancapkan kuku di negeri ini. Meski begitu kaum feodal pribumi tetap saja dipertahankan karena memang loyal sebagai operator penguasa kolonial. Sebagai catatan, sebelum pe nye rahan kedaulatan kepada RI (27 Desember 1949 sebagai hasil Konferensi Meja Bundar), negara federal yang merupakan boneka Belanda berbasiskan kerajaan-kesultanan.

VOC (1602–1799)Sebelum Belanda masuk (awalnya tahun 1596), Portugis dan Spanyol-lah kekuatan asing yang menguasai Nusantara. Berburu rempah-rempah yang pusatnya ternyata di Maluku (bukan di Malaka seperti anggapan mereka semula), itulah alasan ke da tangan mereka. Kekuasaan Belanda di Nusantara mulai mapan sejak perusahaan dagang yang mendapat otoritas dari raja mereka, Vereenigde Oostindishe Compagnie (VOC), mulai berdiri dan beroperasi tahun 1602 di Maluku (markas VOC kemudian dipin dah-kan ke Batavia). Awalnya VOC berdagang saja dan kemajuannya lamban. Sekitar 12 tahun berselang mereka mulai memanfaatkan kekuasaan militer yang memang dimandatkan oleh raja Belanda. Ternyata penggunaan kekuatan militer ini sangat efektif. Para pe ngua sa lokal satu per satu berhasil mereka dikte sehingga tidak berikatan lagi dengan saingan dagang mereka, terutama Portugis dan Spanyol. Untuk menguasai para raja dan sultan, mereka menjalankan politik adu domba (divide et impera). Belanda menggempur dan merebut Malaka dari tangan Portugis tahun 1641. Serbuan ini menandai berakhirnya kekuasaan Portugis dan Spanyol di Nusantara dan sekitarnya yang sudah berlangsung sejak akhir abad ke-16.

Praktis tanpa saingan lagi, VOC menjadi perusahaan dagang yang menjalankan sebuah negara di Nusantara. Sekitar dua abad praktik ini berlangsung. Kekuasaan VOC baru berujung setelah per usahaan dagang ini dinyatakan bangkrut tahun 1799 akibat salah urus. Korupsi merupakan salah satu bentuk salah urus yang dimaksud.

Sebagai penguasa ekonomi-politik, selama hampir dua abad di Nusantara tentu saja VOC menegakkan tertib hukum di negeri takhluk-annya.Hukumapayangmerekajalankan?Ternyatatakbaku;tergantung

139 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria—Sebagai Masalah penghidupan Dan Kemakmuran Rakjat Indonesia (Buku I&II), Penerbit Tjakrawala Djakarta, 1952.

Page 56: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 94 95B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

untuk siapa. Mereka membagi penduduk menjadi tiga golongan yakni Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Untuk golongan Eropa (Jepang masuk dalam kelompok ini) berlaku hukum Belanda kuno, hukum Romawi, statuta-statuta, dan plakat-plakat. Tanpa kebakuan, penggunaannya pun cenderung prag matis saja. Untuk orang Timur Asing (termasuk Tionghoa, Arab, India, dan Pakistan), berlaku hukum masing-masing. Adapun untuk Bumiputra yang dipakai adalah hukum adat. Di Nusan tara etnisitas itu bermacam-macam. Jadi hukum adatnya pun ter gantung wilayah hukum masyarakat adat mana.

Tanpa kebakuan hukum, tentu merepotkan bagi siapa saja yang akan berikatan hukum secara lintas golongan. Termasuk bagi VOC sendiri. Kalaubegitumengapamerekatakmengkodifikasihukumsaja?

Bagaimanapun, VOC adalah sebuah perusahaan dagang yang niscaya tak pernah membayangkan akan mengurusi sebuah negeri jajahan. Jadi, ketika ternyata benar-benar menjadi penguasa di Nusantara, mereka tidak siap dalam banyak hal termasuk da lam ins trumen hukum. Sesuatu yang sangat wajar, tentunya. Sebagai gambaran, keadaan yang kurang lebih serupalah yang di ha dapi PBB tatkala menjadi otoritas sementara di Timor Leste se habis referendum 30 Agustus 1999. UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) saat itu kelabakan ken dati menjalankan mandat badan dunia.

Satu hal lagi yang membuat VOC tidak siap adalah mereka me mang tidak punya niat untuk menyelenggarakan tertib hukum di Nusantara. Kehendak untuk melanggengkan monopoli di negeri ini tentunya membuat mereka tak sudi repot-repot menjamin ke pas tian hukum.

Setelah VOC ambruk pemerintah Belanda mengambil-alih sepe-nuhnya kekuasaan di Nusantara. Sembari membangun biro krasi, mereka meneruskan tradisi dagang VOC yang monopolis. Kapitalisme negara atau merkantilisme pun mulai.

Perkembangan politik di Eropa segera saja mempengaruhi negeri jajahan Hindia Belanda tak lama sesudah pengambilalihan ini. Tahun 1804 Napoleon menjadi kaisar Prancis. Ekspansi kekuasaan kon tan ia upayakan di Eropa daratan. Belanda ia taklukkan. Tahun 1806 ia menjadikan saudaranya, Louis, raja Belanda. Inggris yang menjadi pusat perhatian Napoleon selanjutnya merupakan negeri terkuat di Eropa, bahkan di dunia saat itu. Bagaimanapun Inggris sangat berpotensi menjadi perintang dalam rencana ekspansi. Napoleon mengganggu Inggris dengan blokade laut. Inggris terisolasi. Meski begitu Napoleon tetap saja khawatir. Inggris—disebut ‘negeri yang di teritorinya matahari

tak pernah terbenam’ saking banyaknya wilayah jajahannya—pasti akan menyerang balik dengan memanfaatkan basis kekuatannya yang ada di banyak titik di seantero jagad, termasuk di Asia.

Pada masa pergolakan akibat ekspansi Napoleon itu hubungan Hindia Belanda dengan induknya, Belanda, terputus. Penguasa di Belanda khawatir Inggris akanmerebutHindiaBelanda;di sisi lainmereka takkuasa untuk mengerahkan bala bantuan untuk me nyokong pemerintah Batavia.140

Yang mereka lakukan kemudian adalah mengirim seorang jenderal tangguh dan berpengalaman ke Batavia. Orang itu adalah Herman Willem Daendels. Dia bergabung dengan kaum pem berontak sewaktu Revolusi Prancis dan kemudian menjadi komandan pasukan Prancis. Belakangan ia sukses berdinas di jajahan Belanda lainnya, Hindia-Barat (Suriname sekarang, di antaranya).

Daendels terbukti merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi gubernur jenderal. Setibanya di Batavia lewat penyamaran pada tahun 1808, pengagum Napoleon ini tak membuang waktu. Pada 14 Januari 1808 ia memulai pekerjaannya. Kekuaan militer-lah yang pertama ia bangun. Tentara ia perbanyak dari 2.000 menjadi 18.000 orang (orang Eropa-nya hanya 400). Masih dalam tahun awal kekuasaannya, pemimpin yang berwatak otoriter ini memulai pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan. Kerja paksa-lah pendekatan yang ia pakai untuk itu.

Membenahi birokrasi menjadi agenda berkutnya. Pada masa VOC berkuasa para pembesar bumiputra mendapat perlakuan istimewa sebab merekalah perantara antara penguasa dari Belanda de ngan rakyat. Tatkala Daendels berkuasa keistimewaan itu ia pangkas. Pembesar pribumi ia jadikan pegawai biasa atau bawahan yang diangkat. Selain itu, sesuai Ordonansi 25 Februari 1808, ia tak membolehkan lagi mereka menggunakan tenaga rakyat secara cuma-cuma. Pula, tak diizinkan lagi mengambil hasil bumi dari tangan rakyat.

Perlawanan keras tentu saja datang dari para penguasa pri bumi. Daendels menghadapi mereka dengan lebih keras lagi. Sultan Banten, misalnya, ia buang ke Ambon. Sedangkan Sultan Yogya karta ia makzulkan (Desember 1810) setelah keratonnya ia gempur.

Daendels membutuhkan banyak biaya untuk ekspansinya yang progresif. Di sisi lain hasil bumi Nusantara tak bisa dia jual ke pasar komo ditas internasional akibat blokade Inggris. Karena ke ku rangan

140 Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2006.

Page 57: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 96 97B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

biaya, sang gubernur jenderal yang oleh rakyat dijuluki ‘tuan guntur’ ini lantas meniru kebiasaan VOC menjual tanah ke pihak swasta. Mereka yang membeli akan mendapatkan hak pertuanan (heerlijke rechten).

Meskipun progresif dan pekerja keras, toh Daendels dianggap gagal juga oleh atasannya di Belanda. April 1810 ia dipanggil pulang ke Belanda. Terlepas dari atributnya sebagai orang ‘gagal’, bagaimanapun ia telah menorehkan jejak yang sangat tegas di bumi Nusantara.

Setelah kepergian Daendels, tahun 1911 Inggris merebut jajahan Belanda di Nusantara. Inggris menjadikan Thomas Stamford Rafflesse­bagai sebagai wakilnya di negeri ini. Sebutannya letnan gubernur.

SepertiDaendels,Rafflesmemberiperhatiankhususpadabirokrasi.Kekuasaan para pembesar bumiputra ia preteli. Setelah itu ia membagi wilayah kekuasaannya menjad 16 keresidenan. Residen menjadi pejabat pemerintah pusat di daerah. Segenap ke kuasaan di daerah berada di bawah residen, contoh sistem pemerintahan langsung.

Raffles memperhatikan bahwa sebagian besar rakyat negeri inimiskin dan mereka hidup dari hasil tanah. Ia lantas membentuk sebuah tim untuk menyelidiki ihwal kepemilikan tanah di negeri ini. Pulau Jawa saja yang diteliti. Menurut hasil penelitian tim yang dipimpin Colin MacKenzie itu tanah di Nusantara dimiliki oleh para raja dan sultan yang berdaulat. Selama ini hasil bumi dari tanah dihimpun dari rakyat yang merupakan penggarap, oleh para abdi kerajaan.

DalamnalarRafflesparapenguasapribumisudahtakberdaulatlagisebab kekuasaan mereka telah dambil-alih pemerintah, saat itu pemerintah Inggris. Dengan begitu mereka tak berhak lagi meng ambil hasil tanah rakyat. Ia berpendapat bahwa pemerintah saja yang boleh menghimpun hasil tanah rakyat dan itu tanpa perantara lagi. Juga, penghimpunannya tak boleh lagi secara paksa (contingenten) seperti sebelumnya.

Seperti yang dilakukan Inggris di negeri jajahannya, India, tahun 1813 Raffles memperkenalkan pajak tanah (land-rent atau landrente) sebagai sumber penghasilan pemerintah. Ini sesuai reko mendasi tim Colin Mackenzie. Asumsi yang dipakai adalah tanah milik pemerintah sedangkan petani merupakan penyewa (pachter) belaka. Pajak tanah diharapkan merupakan uang tunai. Besarnya disesuaikan dengan mutu tanah. Sawah dan tegalan masing-masing dibagi menjadi tiga kelas.

Pejabat lokal maupun Belanda tak boleh terlibat dalam pe ngum-pulan pajak tanah. Semula kepala desa sebagai wakil peng garap yang menghimpun pajak. Sejak tahun 1814 pemungut pajak harus berhubungan langsung dengan setiap penggarap, bukan lagi dengan kepala desa.

Raffles yang berupaya keras mengupayakan perbaikan—termasukdengan menghapuskan perbudakan—ternyata gagal dalam segi keuangan. Rezimnyayangberusiahanyasekitar4,5tahunmengalamidefisitsampaisekitar 10 juta gulden.

Situasi politik di Eropa membaik. Inggris dan Belanda akhirnya me nanda tangani perjanjian untuk menyelesaikan per tikai an mereka. Salah satu implikasinya, Inggris menyerahkan wilayah yang direbutnya kepada Belanda, termasukNusantara. Raffles ditarik ke Inggris. Sebe­lum meninggalkan Asia ia masih sempat membeli Singapura. Untuk selanjutnya, hingga sekarang, negeri kecil di semenanjung Malaka itu akan menjadi basis utama Inggris di Asia Tenggara.

Tanam PaksaSetelah berkuasa kembali di Hindia Belanda, yang dilakukan Belanda adalah mengembalikan kekuasaan para penguasa bumi putra yang sudah dipangkasDaendelsdanRaffles.Seperti telahdisebut,kaum loyalis itumemang operator andalan mereka yang efektif sejak zaman VOC.

Tahun 1820, waktu Van der Capellen menjadi gubernur jenderal, kekuasaan raja-sultan dan bawahannya sudah pulih. Feodalisasi semua biro krasi Hindia Belanda terutama pegawai bumiputra (inlandsch bestuur—IB) atau pangreh praja pun berlangsung.

SepertiyangdialamiRafflespadatahun­tahunakhirkekuasaannya,otoritas Belanda di negeri ini segera berhadapan de ngan persoalan keuangan. Tak kurang daripada 37 juta gulden pin jaman dan sekitar 20 juta gulden pengeluaran untuk perang Diponegoro dan yang lain harus dibayar. Saat pusing memikirkan sumber uang, di Belanda Johannes van den Bosch kemudian mun cul dengan gagasan tanam paksa (cultuurstelsel). Gagasannya diang gap meyakinkan, sehingga Raja Belanda Willem I pun me nunjuk dia sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda.

Van den Bosch, lahir tahun 1780, bertolak ke Hindia Belanda untuk pertama kali sebagai seorang letnan dua berusia 17 tahun. Tahun 1807 putra dokter ini sudah berpangkat letnan kolonel dan menjadi ajudan-jenderal Gubernur Jenderal Wiese. Pada 1808, masa Daendels, ia minta berhenti dan tahun 1810 pulang ke Belanda. Berkat buku yang ditulisnya dia kemudian menjadi penasihat raja Belanda, Willem I. Tatkala koloni Belanda, Hindia Barat, mengalami krisis sang raja memerintahkan dia untuk memulihkan keadaan. Tugas itu ia tunaikan dengan baik.141

141 Prof. Dr. Mr. Soekanto & Dr. Soerjono Soekanto. SH. MA, Pokok-Pokok Hukum Adat, Penerbit Alumni 1979.

Page 58: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 98 99B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Tahun 1930 sebagai gubernur jenderal van den Bosch menjalankan kebijakan yang sangat progresif untuk Pulau Jawa. Me ngikuti teori Raffles, dia mengklaim bahwa seluruh tanah di Hindia Belanda milikpe merintah. Belanda merupakan pemerintah sekarang. Tak seperti Raffles,yangialakukanbukanmewajibkanpetanimenyerahkan2/5hasiltanamannya sebagai land-rent. Aturan main dia adalah 1/5 lahan petani harus ditanami tanaman wajib tanam seperti nila, kopi, dan tembakau. Tanaman itu untuk diekspor. Selain itu setiap petani juga juga wajib bekerja 60 hari per tahun untuk mengurusi tanaman ekspor.

Kebijakan tanam paksa sangat efektif dalam menyengsarakan rakyat yang memang sebagian besar petani. Sudah sangat berat kewajiban petani, mereka dimanipulasi pula oleh para penguasa pribumi yang menjadi pelaksana tanam paksa. Jadi, seperti kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Dalam praktiknya lahan petani untuk tanaman ekspor bukan 1/5 melainkan sampai 1/3. Masa wajib kerja 60 hari juga acap molor sesuai kemauan aparatus kekuasaan.

Kalau rakyat tanah jajahan sangat menderita akibat cultuurstelsel, di sisi lain penguasa Belanda mengeduk keuntungan besar. Gagasan van den Bosch (ia memerintah hingga 31 Januari 1822) sungguh merupakan formulayangjitudalammengobatikrisisfinansialBelanda.Tahun1831seluruh anggaran pemerintah Hindia Belanda telah tertutupi. Beberapa tahun berselang seluruh utang VOC lunas pula. Negeri Belanda sendiri menerima untung (batig slot) 832 juta gulden selama 1831-1877.

Keuntungan yang luar biasa Belanda berkat tanam paksa telah menggiurkan kalangan swasta di negeri kincir angin. Indus tri se dang ber-tumbuh di sana dan di kawasan lain Eropa Barat. Kapi talisme pun mekar menyahuti. Kaum pemilik modal bereks pansi ke pel bagai sektor terutama manufaktur, perdagangan, dan jasa keuangan. Negeri Belanda sudah kurang luas bagi mereka.

Bau harum gulden dari Hindia Belanda segera menarik perhatian mereka. Mereka ingin berkesempatan menjadi pemain di negeri jajahan itu. Sektor perkebunan yang sangat lukratif itu yang mereka dambakan. Masalahnya adalah ‘bonanza’ tanaman ekspor Hindia Belanda hanya bisa dinikmati pemerintah. Mempraktikkan kapitalisme negara, penguasa Hindia Belanda telah menutup pintu untuk kalangan swasta dengan cara menguasai tanah. Kalangan swasta tak bisa mengaksesnya.

Bukan pebisnis namanya kalau tidak berakal panjang. Meng ang-gap bonanza tanaman ekspor Hindia Belanda terlalu sayang kalau tak dimanfaatkan, sejumlah pelaku usaha di Belanda kemu dian bergerilya

untuk membuka akses. Lobi demi lobi mereka lakukan dengan me man-faatkan otoritas terkait, terutama parlemen. Tak sia-sia jerih payah me reka. Setelah memakan banyak waktu, akhirnya pada 9 April 1870 pe merintah Belanda meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria yang diajukan Menteri Jajahan de Waal. RUU untuk koloni bersebutan Hindia Belanda ini pun men jadi Undang-Undang yang untuk seterusnya dikenal sebagai Agrarische Wet. Semula UU yang berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura ini hanya lima ayat. Pasalnya ditambah lagi ketika UU ini dija dikan Pasal 62 Regerings Reglement (RR). Semula Agrarische Wet berlaku hanya untuk tanah-tanah yang dikuasai negara di Pulau Jawa dan Pulau Madura. Lima tahun berselang baru UU itu berlaku untuk seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda.

Isi Agrarische Wet selengkapnya adalah:142

Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.1. Dalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, 2. yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha kerajinan.Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-3. ke tentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak ter masuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pri-bumi hasil pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang di-guna kan sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan 4. tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh lima tahun.Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah 5. yang melanggar hak-hak rakyat pribumi.Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepu nyaan 6. rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan sen-diri, demikian juga tanah-tanah yang se bagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum ber da sarkan pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semua-nya dengan pemberian ganti rugi yang layak.

142 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003.

Page 59: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 100 101B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai 7. pribadi yang turun-temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepa-danya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang dite tapkan dengan ordonansi dan dican-tumkan dalam surat eigendom-nya yaitu yang mengenai kewa-jibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada non-pribumi.Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada 8. non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang di atur dengan ordonansi.

Agrarische Wet menyatakan bahwa seluruh tanah yang mana se-se orang atau pihak lain tak dapat membuktikan hak kepe milikan nya me rupakan tanah wilayah negara atau milik negara (lands domein). Un tuk selanjutnya klaim ini dikenal sebagai doktrin domain atau do-meinverklaring.

Dalam regulasi agraria yang membuka ruang luas bagi inves tor swas ta ini, tanah yang merupakan hak ulayat masyarakat adat (beschik-kingsrecht) diakui keberadaaannya namun posisinya rawan sebab senantiasa berada di bawah bayang-bayang apa yang selanjutnya di kenal dengan ‘hak negara menguasai tanah’.

Tanah negara di sini dibedakan menjadi dua yakni yang ber status bebas (vrije domeinen atau vrij lands domein) dan tak bebas (lonvrije domeinen atau onvrij landsdomein). Hanya tanah negara bebas yang dianggapdomainnegara;hakkeperdataannegaraatastanahberlakudisana.Adapun tanahnegara bebas didefinisikan sebagai tanahdimanamasih melekat hak-hak adat maupun di atasnya dibebani hak milik berdasarkan Burgerlijk Wetbook.143

Pemberlakuan Agrarische Wet (AW) ini merupakan terobosan besar dalam sejarah Hindia Belanda. Setelah penerapan AW, bumi Hindia Belanda pun menjadi perkebunan raksasa. Pada sisi lain, di negeri ini untuk kali pertama ada tertib hukum di bidang agraria.

Proses untuk sampai ke Agrarische Wet sangat panjang dan berliku. Mari kita susuri perjalanan tersebut secara garis besar.

143 Lihat Marjanne Termorshuizen­Arts dalam Myrna A. Safitri & Tristam Moeliono (Penyunting), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Huma, Van Vollenhoven Institut dan KITLV, Jakarta, 2010.

KodifikasiSekitar dua abad VOC menguasai negeri ini. Sedemikian lama, tak sekali pun mereka mengkodifikasi hukum. Mereka membiarkan saja ketak­pastian hukum berlangsung.

Pada 1 Mei 1848, atau hampir setengah abad setelah kekuasaan VOC berlalu, tonggak hukum yang sangat penting tegak di bumi Nusantara. Kodifikasihukumberlangsunguntukkalipertama.Burgerlijk Wetbook (BW—Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetbook van Koop-handel (WvK—Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) berlaku khusus untuk golongan Eropa. Adapun untuk golongan Timur Asing dan Bumi-putra berlaku hukum masing-masing (untuk Bumiputra ya hukum adat).

Kelak, tahun 1855, BW dan WvK dinyatakan berlaku juga untuk golongan Timur Asing. Kita di sini perlu membahas secara khusus BW karena terkait dengan pertanahan.

Seperti halnya WvK, BW yang diberlakukan di Nusantara sebe-narnya jiplakan dari hukum serupa yang berlaku di Belanda sepuluh tahun sebelumnya. BW sendiri bersumber pada hukum per data Prancis atau Code Napoleon. Belanda mengadopsinya sewaktu negeri itu dijajah Prancis. Adapun Code Napoleon merupakan tulisan pengarang-pengarang Prancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis)—ditambah unsur hukum kanonik (Katolik) dan kebiasaan setempat.

Dalam Burgerlijk Wetbook, tanah diatur dalam Buku II. Kitab ini ihwal kebendaan. Tanah dimasukkan sebagai benda tak ber gerak.

Kodifikasihukumpentingterjadilagipada9April1870.KaliiniUUAgraria dan UU Gula yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda. Kedua UU tersebut disambut hangat oleh para pengusaha swasta yang mulai menanamkan modal di bidang perkebunan terutama di P. Jawa dan Sumatra. Sebagai gambaran, perusahaan per ke bunan (onderneming) mulai tumbuh di Tanah Deli (bagian dari Sumatra Utara sekarang) setelah Jacobus Nieunhuys dan kawan-kawan merintisnya tahun 1863. Korporasi-korporasi itu ber gairah betul setelah Terusan Suez beroperasi tahun 1869. Dengan dibukanya terusan Suez, orang Eropa jika hendak ke Asia tak perlu lagi mengitari benua Afrika. Lintasan berbentuk V itu sangat panjang dengan titik bahaya di sana-sini: dari pantai barat ke pantai timur dengan Tanjung Pengharapan di selatan sebagai titik putar. Lewat terusan di Mesir itu jarak Eropa-Asia menjadi pendek. Ongkos tempuh dengan sendirinya lebih murah. Jadi wajar kalau Asia serta-merta menjadi menjadi hirauan Eropa. Terutama Nusantara yang buminya sangat kaya, termasuk tanahnya.

Page 60: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 102 103B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Berlakunya Agrarische Wet ibarat gayung yang bersambut bagi para juragan onderneming. Bisnis perkebunan pun mekar. Sejarah baru hukum agraria telah dibukukan di bumi Nusantara.

Pada zaman penjajahan Belanda, Hukum Tanah bercorak dualistis, di mana sebagian mengacu pada Hukum Adat (hukum tanah tidak tertulis) dan sebagian lagi merujuk pada Hukum Barat (hukum tanah tertulis). Dualisme hukum di bidang pertanahan itu sendiri bukan disebabkan karena perbedaan hukum yang berlaku bagi orang-orang yang memiliki tanah, melainkan karena perbedaan hukum yang berlaku atas tanah tersebut.

Sistem pertanahan zaman penjajahan Belanda secara umum me-nerapkan ajaran Justinianus serta filosofi Belanda­Romawi yang ber­asal dari daratan Eropa Barat. Dalam kaitannya dengan organisasi masyarakatpolitiknya,filosofiinimembagihukumkedalamduapenge­lompokan, yaitu negara dalam Hukum Publik dan benda, termasuk tanah dalam Hukum Privat, di mana tanah men jadi obyek penguasaan dari subyek hukum. Pengertian benda dalam konteks aturan tersebut dibedakan antara benda dalam arti ke ben daan (ius in rem) dan dalam arti perorangan (ius in personam). Selain itu, sistem ini juga memberikan pengertian ne gara dalam dua jenis, yaitu negara dalam keadaan bergerak (Staat in Beweging) yaitu Pemerintahan (Gouvernment) dan negara da-lam keadaan diam (Staat in Rest) yaitu negara (Staat).

Berkaitan dengan penguasaan dan kepemilikan tanah, kekua-saan negara dibedakan menjadi dua, yaitu kekuasaan untuk me miliki (toeigening occupatie) dan kekuasaan untuk mengurus (beheersing). Ke kuasaan inilah yang nantinya menjadi alasan pembenaran bagi ke-beradaan pernyataan Hak Milik Negara atas Tanah. Tanah yang berada dalam kekuasaan negara dalam kea daan diam disebut Staatsdomein, sedangkan tanah yang berada dalam kekuasaan negara dalam keadaan bergerak disebut Landsdomein. Dalam hal negara dalam keadaan diam ingin me miliki tanah, pemberiannya dilakukan dengan jalan pemilikan tanah ber dasarkan Hukum Privat dan nama tanahnya adalah Gouverment Grund (tanah Pemerintah).

Pada zaman penjajahan Belanda, pengurusan tanah negara, baik staatsdomein maupun landsdomein, merupakan tugas dan ke we nangan departemen van Binnenlands (dapat disamakan dengan Departemen Dalam Negeri). Karena tanah dalam sistem filosofi Hukum Belanda(Burgerlijk Wetboek/BW) merupakan benda yang dapat dijadikan obyek penguasaan dan kepemilikan, baik oleh ne gara maupun oleh perorangan/

individu, maka penataan dan peng organisasian pelaksanaannya harus diatur dalam sistem yang terpadu. Sistem inilah yang kemudian mendasari lahirnya pa ham bahwa tanah adalah simbol keutuhan yurisdiksi suatu negara sehingga penataan dan penguasaannya harus diatur oleh Pemerintah Pusat.

Paham yang mengatakan bahwa tanah adalah simbol keutuhan yuris-diksi suatu negara ini diwujudkan dalam tindakan penarikan pajak tanah (land rente) oleh penjajah Belanda, dengan dalih bahwa ta nah adalah milik raja. Adapun besarnya pajak bumi yang ha rus di bayar masyarakat didasarkan pada luas “kepemilikan” tanah yang mempunyai batas-batas kepemilikan yang jelas.

Penerapan paham bahwa tanah adalah milik raja sehingga masyarakat yang menempati tanah tersebut harus membayar pajak tampak pada masa pemerintahan Thomas Stanford Raffles yang menemukan data bahwasemua tanah yang ada di Indonesia pada awalnya dimiliki oleh raja, sehingga pemakaian tanah oleh rakyat hanya bersifat pinjaman dengan penggantian berupa bahan mentah. Hal ini dapat dilihat pada keberadaan tanah kasunanan di daerah Gubernemen. Berdasarkan temuan itulah makaRafflesmelakukanpungutanpajakbumiyangdinamakanLandrent (sewa tanah). Tindakan Pemerintah Inggris ini, termasuk Stelsel Landrente-nya, juga diikuti oleh Commissarissen-Generaal C.Th. Elout (liberal), A.A. Buyskes dan G.A.G. Baron van der Capellen yang mewakili Pemerintahan Belanda di Indonesia setelah Conventie London 1814.

Pada zaman cultuurstelsel (1830—1870), ketentuan tersebut di atas beserta pemungutan pajak bumi masih diberlakukan. Ketentuan ini baru berubah tatkala Gubernur Jenderal van den Bosch melancarkan kebijakan tanam paksa, di mana petani tidak lagi diwajibkan menyerahkan 2/5 hasil panen (hasil bumi), me lainkan diwajibkan untuk menanami 1/5 tanah miliknya dengan tanaman yang sangat berharga di pasaran Eropa, seperti kapas, nila, kopi, teh dan tebu.

Dalam cultuurstelsel ditetapkan aturan/prinsip-prinsip sebagai be-rikut:

Antara rakyat dengan Pemerintah Belanda di Indonesia diadakan 1. perjanjian yang isinya bahwa rakyat menyerahkan 1/5 bagian dari sa-wahnya untuk ditanami bahan-bahan yang dibutuhkan pasar Eropa.Tanah yang diserahkan untuk ditanami bahan-bahan yang dibu tuh-2. kan pasar Eropa sebagaimana disebutkan dalam Angka (1) di atas akan dibebaskan dari pembayaran pajak bumi.

Page 61: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 104 105B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Penanaman tanaman sebagaimana tersebut dalam Angka (2) di atas 3. tidak boleh membutuhkan lebih banyak tenaga daripada tanaman padi.Apabila harga taksiran lebih besar dari harga padi, kelebihan tersebut 4. dikembalikan kepada rakyat.Penggarapan tanah oleh rakyat dilakukan di bawah instruksi kepala 5. daerah (Lulhoofden) dengan diawasi oleh Bangsa Eropa.

Berdasarkan ketentuan di atas, tampak bahwa stelsel Cultuures-Gu-bernemen merupakan stelsel agraria bagi daerah Jawa, di mana Peme-rintah Belanda yang berkuasa saat itu mengambil keuntungan yang sebesar­besarnya dari daerah jajahan; bahkan segala sesuatu lainnyaharus dikorbankan kepada Pemerintah Belanda. Lebih daripada itu, cultuurstelsel juga mengharuskan rakyat untuk mem bangun waduk-waduk serta bekerja dalam waktu tertentu di area perkebunan. Kerja rodi dan tanam paksa inilah yang akhirnya menimbulkan reaksi dari masyarakat, sehingga timbul tuntutan dari masyarakat agar cultuurstelsel ditinjau lagi keberadaan dan pelaksanaannya.

Masa penjajahan Hindia Belanda ditandai dengan diber la ku kannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang berasaskan domein, yang membuka kesempatan bagi para pemilik perkebunan swasta untuk:

Mendapatkan pengakuan terhadap hak milik tanah (1. eigendom) sehingga memungkinkan adanya penjualan dan per sewaan tanah.Menyewa tanah untuk jangka waktu yang panjang dan dengan harga 2. murah (erfpacht, yang sekarang sudah dikonversi menjadi Hak Guna Usaha).

Melalui asas domein yang mendasari Undang-Undang Agraria 1870 tersebut, maka dikenal dua pengertian tentang tanah, yaitu tanah negara bebas dan tanah negara tidak bebas. Tanah negara bebas adalah tanah negara yang tidak diliputi oleh hak-hak pe ngua saan atas tanah lain seperti hak adat atau hak pribumi, sedangkan tanah negara tidak bebas adalah tanah negara yang diliputi hak-hak lain. Hal inilah yang menjadikan dualisme hukum pertanahan.

Dampak buruk pemberlakuan UU Agraria (Agrarische Wet) men-dorong lahirnya kebijakan baru yang dikenal dengan istilah Politik Etis yang mencakup program irigasi, reboisasi, trans migrasi, pendidikan, kesehatan dan perkreditan. Politik Etis mem bawa perubahan kecil berupa

pemberian kewenangan kepada resi den untuk mengambil kebijakan setempat.

Dalam pelaksanaannya, walaupun telah berupaya memperbaiki kesa lahan masa cultuurstelsel dan mulai memperhatikan nasib rakyat, namun Politik Etis pada kenyataannya tetap mencerminkan ke pentingan pabrik. Hal ini tampak dengan adanya sewa murah dalam waktu panjang (75 tahun) untuk perkebunan besar guna memperoleh tanah luas tanpa terkena batas maksimum, sedangkan perkebunan tebu hanya dapat menyewa tanah-tanah petani dalam jangka pendek dan itu pun bersifat sementara.

Saat pecahnya Perang Dunia II, dan Indonesia diduduki Jepang, ke-bijakan pertanahan kurang jelas. Hal ini disebabkan karena singkatnya waktu dan sedikitnya informasi. Walaupun demikian, pada masa itu Jepang membiarkan dan bahkan menge rahkan rakyat untuk menggarap perkebunan yang terlantar karena ditinggalkan bangsa Belanda dan Inggris. Hal ini tampak di sejumlah daerah di Indonesia, misalnya di Jawa Barat, di mana banyak bekas perkebunan kopi atau kina berubah menjadi kebun sereh atau jarak, yang keduanya dibutuhkan oleh Jepang dan dianjurkan kepada rakyat untuk ditanam.

Tekanan demi tekanan yang diterima masyarakat semasa penjajahan akhirnya membuat bangsa Indonesia sadar akan ke ter pu rukannya dan kemudian bangkit menentang penjajah. Para pendiri Republik Indonesia sadar bahwa suatu program pem bangunan terlebih dahulu perlu dilandasi penataan kembali masalah pertanahan, sebelum bergerak ke arah industrialisasi. Kesadaran inilah yang kemudian mendorong terbentuknya Panitia Agraria yang bertugas mengatasi masalah pertanahan yang ada di Indonesia. Panitia Agraria ini pula yang merupakan tonggak dari proses panjang lahirnya UUPA tahun 1960.

Semangat maupun substansi formal dalam sejumlah pasal UUPA, misalnya Pasal 11 dan Pasal 13 beserta Penjelasannya, mencerminkan ke pe milikan tanah untuk kepentingan rakyat. Dalam kurun waktu lima tahun pertama sejak disahkannya UUPA, diberlakukanlah reformasi penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian (Land reform). Kebijakan ini diambil guna membatasi luas kepemilikan tanah serta untuk men-distribusikan tanah kepada para petani penggarap. Sayangnya, ke bijakan politik pe me rintah yang bertujuan untuk merombak struktur peng uasaan tanah ini tidak dapat dikembangkan dengan mulus karena adanya pe-man faatan oleh PKI yang bertujuan menggoyang stabilitas persatuan dan ke satuan Republik Indonesia.

Page 62: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 106 107B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Munculnya persepsi bahwa UUPA merupakan produk PKI yang diterapkan dalam kebijakan redistribusi tanah melemahkan kegiatan re distribusi dan reformasi di bidang pertanahan. Kebijakan politik eko-nomi masa Orde Baru yang berfokus pada pertumbuhan semula di-yakini tepat untuk menghadapi persaingan global namun ter nyata justru menimbulkan ketimpangan dan ketidakmerataan penguasaan tanah. Hal ini dibuktikan dengan adanya penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan pemilik modal besar. Namun demi kian tidak dapat diingkari bahwa pada masa Orde Baru itu pula dilakukan program pembagian tanah untuk rakyat yang diwujudkan dalam ben tuk transmigrasi dan pem bangunan rumah-rumah susun maupun permu-kiman sederhana.

Upaya pemerintah Orde Baru untuk menciptakan landasan ekonomi kerakyatan yang kokoh belum dapat terwujud karena tidak lama setelah diberlakukannya UUPA dan meletusnya G30S/PKI, terjadilah krisis moneter yang tidak hanya melanda dan membuat terpuruk perekonomian Indonesia, melainkan juga per ekonomian di sebagian besar negara Asia. Sebagian pihak menuding bahwa kerawanan ekonomi di Indonesia itu disebabkan oleh kebijakan pertanahan yang menciptakan penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan investor di bidang lain. Menyikapi tudingan itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan per-tanahan yang memprioritaskan pemerataan penguasaan tanah serta mem perbesar akses rakyat terhadap tanah dengan harapan bahwa upaya itu akan memperjelas dan memperkuat hak mereka.

Reformasi yang digaungkan mahasiswa saat menggulingkan Peme-rintahan Orde Baru membawa perombakan mendasar terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi semasa peme rintahan Orde Baru, yaitu adanya politik ekonomi dalam rangka demo k rasi ekonomi yang didasarkan pada pertimbangan bahwa pelak sanaan demokrasi ekonomi seperti yang dikehendaki Pasal 33 UUD 1945 belum terealisasi selama ini. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan pembangunan nasional, diperlukan politik ekonomi baru yang lebih memberikan du-kung an kepada ekonomi kerakyatan yang meliputi usaha kecil, me-nengah, dan koperasi. Adapun arah yang hendak dituju oleh politik eko-no mi tersebut adalah untuk mewujudkan pengusaha menengah yang ku at, besar jumlahnya, mempunyai keterkaitan dan kemitraan atas dasar sa ling menguntungkan, baik selaku pengusaha kecil, menengah dan usa-ha milik negara/daerah.

Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi tersebut di atas, pe num-pukan asset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada se seorang atau seke-lompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan tak boleh ada. Usaha kecil, menengah, dan koperasi yang merupakan pilar per eko no mian nasional harus mendapat kesempatan utama, du kungan, serta perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN atau BUMD.

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan semakin banyak -nya permintaan akan tanah, lahirlah kebijakan pemerintah tentang Pembaharuan Agraria dan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sum ber Daya Alam. Adapun langkah awal yang di lakukan adalah melak-sanakan demokratisasi dalam hal pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria yang ada di pedesaan. Reformasi agraria diwujudkan dengan me-rombak struktur agraria melalui penghapusan monopoli kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta pendistribusian tanah beserta sum ber-sumber agraria lainnya kepada petani penggarap tanpa dis kri mi-natif atau mem bedakan gender.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (disingkat UUPA) pada 24 September 1960, sifat dualisme hukum pertanahan berakhir. Melalui reformasi agraria itu pula, UUPA menjadi Hukum Tanah Nasional “tunggal”. Sebagai hukum tanah nasional hasil unifikasi hukum tanah,UUPA merupakan satu perangkat per aturan hukum tertulis yang berlaku secara nasional yang di dalamnya dilengkapi dengan sejumlah ketentuan hukum adat yang belum mendapat pengaturan dalam hukum tertulis.

Kebijakan pemerintah menyatakan bahwa unifikasi hukum per­tanahan tetap mengakomodasi keanekaragaman ketentuan hukum adat. Dengan kata lain, ketentuan hukum adat tidak berada di luar ataupun berhadapan dengan UUPA, namun merupakan bagian UUPA yang tidak tertulis.

Hukum adat sebagai dasar UUPA adalah hukum adat yang sudah di-saneer. Artinya, hukum adat yang digunakan adalah hukum adat yang hukum aslinya berlaku bagi golongan rakyat pribumi, yang selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam ben tuk tidak tertulis dan meng an dung unsur-unsur nasionalis asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan ke ke luargaan yang berasaskan ke seim bangan serta diliputi oleh suasana ke agamaan.

Menurut pendapat Mahadi, ketentuan Pasal 5 UUPA yang mene-tapkan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat, adalah

Page 63: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 108 109B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

kalimat yang belum berakhir dengan titik, namun ter dapat tanda koma yang disusul anak kalimat yang mengandung pem batasan-pembatasan terhadap berlakunya hukum adat, yaitu sepanjang hukum adat tidak bertentangan dengan:

Kepentingan nasional yang berdasarkan atas persatuan bangsa.1. Kepentingan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.2. Sosialisme Indonesia.3. Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA.4. Perundang-undangan lainnya.5.

Ekor kalimat menambahkan pula “segala sesuatu dengan meng in-dah kan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Sesuai penjelasan Pasal 5 UU Umum Sub III angka 1 menyatakan bahwa “Hukum agraria yang baru tersebut didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.” Jadi UUPA hanyalah mengambil konsep-konsep dasar hukum adat tersebut.

Hukum adat yang menjadi dasar UUPA berbeda dengan hukum adat yang ada sebelum berlakunya UUPA. Jika hukum adat sebelum ber-lakunya UUPA bersifat konkrit/kontan, maka sesudah berlakunya UUPA hukum adat itu mengalami modernisasi sehingga menjadi satu sistem kon sensual/abstrak seperti sistem hukum Eropa.

Walaupun belum sempurna, harus diakui bahwa sedikit ba nyak UUPA telah berhasil mendukung pembangunan di segala bidang, baik yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tanah yang dibutuhkan, ke pastian hukum dalam penguasaan tanah serta pengawasan peruntukan ta nah. Sejumlah pasal UUPA juga telah memberikan dasar hukum bagi pro sedur penyediaan lahan untuk kegiatan umum, sosial, keagamaan, bis nis, pariwisata maupun kepentingan pribadi atau sekelompok orang. Ke pastian hukum tersebut diberikan dalam wujud tanda bukti hak atau sertifikatpenguasaantanah.

Mengingat aturan-aturan yang ada di dalam UUPA merupakan aturan-aturan pokok, maka dalam praktik penerapannya dibentuk dan diberlakukanlah berbagai aturan pelaksana. Aturan-aturan pelaksana ini-lah yang menjadi pedoman (prosedur teknis) dalam menerapkan maksud dan tujuan Hukum Tanah Nasional di Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah yang ber po-tensi pada terjadinya sengketa tanah, maka aturan pelaksana UUPA di sempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan ma sya rakat pada umum nya. Hingga kinipun penyempurnaan itu masih berlangsung.

mendambakan Payung hukum agraria nasional Penguasa Hindia Belanda akhirnya membuka akses bagi anak-anak pri-bumi ke dunia pendidikan. Pasalnya, birokrasi dan korporasi swasta ko-lo nial membutuhkan tenaga-tenaga adimistratif ren dahan alias klerk. Seko lah-sekolah gubernemen pun berdiri untuk anak-anak elite pribumi.

Sekolah ternyata merupakan jembatan emas untuk mobilitas sosial. Lulus an sekolah berpeluang besar mendapatkan pekerjaan di sektor mo-dern sehingga harkat mereka akan meningkat nanti dengan sendirinya. Banyak sudah contohnya. Kaum pribumi dari kelas bawah sekalipun me-nyadari itu sekarang.

Menyekolahkan anak, itu yang dilakukan oleh mereka yang ber kecu-kupan termasuk yang bukan bangsawan (di Pulau Jawa disebut priyayi) atau pegawai, para pedagang misalnya. Alhasil makin banyak sekolah yang dibutuhkan, termasuk jenjang tingkat lanjutan.

Penguasa kolonial dengan enggan dan seraya was-was me nambah se kolah. Tentu jumlahnya sekadarnya saja. Tapi kaum etis di Belanda dan Hindia Belanda menekan mereka kemudian agar lebih serius mengurusi pen didikan kaum pribumi. Sekolah lanjutan seperti Hollandsch-Inland-sche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burgerschool (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), dan seko lah guru (kweekschool) dibuka di sejumlah kota penting.

Dunia pendidikan akhirnya menggeliat di Hinda Belanda karena per-himpunan Tionghoa dan Arab pun melakukan hal serupa untuk ka lang an sendiri. Langkah ini kemudian diikuti oleh organisasi agama, dan mi si pengabaran agama (terutama Islam dan Kristen). Dari kalangan Kristen, misalnya, zending berkarya di lapangan pengabaran Injil, pengo bat an, dan pendidikan sekaligus. Sekolah-sekolah partikulir alias milik pri-badi juga bermunculan. Pendirinya lazimnya lulusan sekolah guru milik gubernemen.

Produk dari dunia sekolah ini adalah kaum terdidik pribumi dan bukan pribumi angkatan awal. Sebagian mereka melanjut ke perguruan ting gi di Belanda atau ke Batavia, Bandung, dan Surabaya. Sesudah itu me reka berkiprah di pelbagai lapangan dengan menjadi guru, dokter,

Page 64: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 110 111B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

penga cara, jaksa, ahli teknik, wartawan, apoteker, dan yang lain.144 Ada kesamaan yang umum di kalangan kaum terdidik ini se baik

mengenal ilmu pengetahuan modern (Barat) yaitu mata mereka menjadi melek. Seketika mereka menyadari realitas bang sanya sangat menderita akibat penjajahan yang telah tiga abad lebih. Kemelekan seperti inilah yang ditakutkan penguasa Hindia Belanda sehingga mereka enggan me-ngedukasi rakyat jajahan sekian lama.

Berempati kepada rakyat sendiri, elite terdidik ini. Bagai manapun me reka adalah sebangsa dan setanah air. Mereka, seba gian besar, kemu-di an secara sadar menolak kolonialisme-imperialisme, dua unsur yang sangat bertaut dengan kapitalisme. Di sisi lain mereka secara sengaja ber-de kapan dengan paham kebang saan dan kerakyatan.

Kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat menjadi mimpi mereka. Ak-hir nya mereka bergerak dengan intensi membangkitkan kesadaran ko lek tif sesama rakyat terjajah. Rupa-rupa organisasi mereka dirikan de ng an me-manfaatkan ikatan primordial. Sebutannya bond, per him punan, per kum -pulan, dan yang lain. Masa pada dekade pertama abad ke-20 ini dalam se-jarah Indonesia kelak akan dikenal sebagai era kebangkitan nasional.

Seiring waktu secara alami isu yang diusung elite terdidik ini ber ge -ser dari ranah primordial ke kebangsaan. Gerakan mereka yang se mu la sporadis perlahan menemukan titik padunya. Kong res Pemuda I di Bata-via pada 30 April 1926 menjadi pertanda telah meng kristalnya ge rakan. Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemu da II di kota yang sama pa da 28 Oktober 1928 merupakan de klarasinya yang tegas.

Sejak Sumpah Pemuda gerakan menjadi lebih terbuka. Kemerdekaan ne geri dinyatakan sebagai agenda utama. Sebagian organisasi sudah tegas- tegas menamai diri partai. Dengan sen dirinya represi dari penguasa kolo nial pun kian keras. Larangan ber kumpul setiap saat bisa diberlaku-kan manakala mereka menghendaki. Penjara dan negeri pembuangan ki an terbuka untuk para pentolan gerakan. Orang-orang kiri diasingkan ke ‘neraka malaria’ Digul, misalnya. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan yang lain dibuang ke belahan lain di luar Pulau Jawa.145

Lewat proses panjang yang berliku dan banyak membutuhkan pe-ngor banan anak-anak negeri, kebebasan bangsa dari jerat kolonialisme seperti yang didambakan kaum elite terdidik, akhirnya mewujud. Indo ne-sia menyatakan kemerdekaannya ke se antero jagat pada 17 Agustus 1945.

144 Lihat Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya, 1984 dan Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2006.

145 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak—Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti, 1997.

Dua tokoh terkemuka dari elite terdidik yang jumlahnya tak banyak ini—-Sukarno dan Hatta—menjadi deklaratornya. Mereka juga yang kemu dian terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

Konstitusi untuk negara baru disusun. Dengan sendirinya para pen-tol an elite terdidik (sebutan untuk mereka kemudian adalah the founding fathers saja kendati ada unsur perempuannya juga) terlibat penuh dalam penggodokan. Tak terkecuali Sukarno dan Hatta.

Seperti yang dicatat secara komprehensif oleh Muhammad Yamin,146 proses ini berjalan alot sebab rupa-rupa hasrat dan aspirasi mengemuka di sana. Di antara semuanya, yang paling pelik diperdebatkan adalah ihwal ideologi negara. Kendati nasionalisme mereka tak perlu dipertanyakan la-gi, pendapat mereka tetap terbelah juga ketika harus menjawab Islamkah atau nasionalisme atau sosialisme yang menjadi ideologi negara. Pada me nit-menit terakhir secara split decision asas Islam akhirnya dilepaskan. Se ba gai gantinya, asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang dipakai.

Terlepas dari kealotan sidang sewaktu menentukan ideologi negara, ada unsur kesamaan semangat yang menonjol dalam diri para peserta si-dang yaitu semangat kebangsaan dan kerakyatan. Mereka menegaskan da -lam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan yang baru digapai adalah demi kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Semangat ini pa ling nyata dimaktubkan dalam Bab XIV yang bertajuk ‘kesejahteraan so sial’. Bab ini terdiri atas Pasal 33 (tentang perekonomian) dan Pasal 34 (ihwal fakir miskin yang harus diurusi negara). Di Pasal 33-lah semangat itu di-gu ratkan dengan sangat jelas. Bunyi pasal ini adalah:

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ke-1. ke luargaan.Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengua-2. sai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di ku a -3. sai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya ke mak mur-an rakyat.

Dalam penjelasan Pasal 33 ini disebut: Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan 1. ataupenilikananggota­anggotamasyarakat;K2. emakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemak muran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun seba gai usaha ber-

146 Dalam tiga jilid tebal buku berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.

Page 65: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 112 113B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

samaberdasaratasusahakekeluargaan;Bangunanperusahaanyangsesuaidenganituialahkoperasi;3. Perekonomianberdasaratasdemokrasiekonomi;4. Kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi 5. yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang ban-yak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi ja tuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak di -tindasnya;Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak 6. bolehditanganorangseorang;Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi ada lah 7. pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar nya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 dan penjelasannya ini sangat kerakyatan atau sosialis. Tak meng herankan tentunya jika mengingat bahwa perancang-perumus kon-s titusi ini adalah para elite terdidik yang bertransformasi menjadi pejuang kemerdekaan. Bukankah, seperti disebut tadi, itulah impian lama me reka sejak mata mereka celik? Kelak impian serupa akan mengedepan lagi tat-kala mereka memikirkan langkah untuk menyejahterakan rakyat an ta ra lain lewat reformasi di bidang agraria.

Sistem HukumSistem adalah susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak ber diri sendiri, tetapi berfungsi membentuk satu kesatuan secara ke-se lu ruhan.147 Ludwig Von Bertalanffy148 mengatakan bahwa “System are complexes of elements in interaction, to which certain law can be applied” (sistem adalah kompleks elemen-elemen yang berinteraksi, di mana hukum tertentu dapat diterapkan). Walaupun bersifat kompleks, sis tem tetap memiliki nilai antar hubungan yang saling mendukung dan ti dak boleh saling ber benturan, serta berorientasi pada sasaran tertentu.

Pada hakikatnya Hukum juga merupakan suatu sistem, yaitu sistem norma-norma149 yang memiliki cara kerja sendiri untuk mengukur vali-

147 Badudu, J.S dan Sutan Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2001, hlm.1377.

148 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hlm. 5.149 Pada umumnya orang sependapat, bahwa hukum dikatakan sebagai suatu sistem, karena

memiliki ciri-ciri umum suatu sistem hukum, tetapi batasan yang diberikan berbeda karena melihat dari sudut pandang yang berbeda, Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (New York: Russel and Russel, hlm. 398-400) melihat sistem hukum dari sudut hukum positif dikaitkan dengan teorinya yang terkenal dengan Norma Dasar (Grund Norm).

di tas suatu norma150 serta mempunyai ciri umum yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling ter kait (relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).151 Menu rut Fuller,152 agar hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem dan sekaligusdikualifikasikansebagaisistemyangmengandungsuatumora­li tas tertentu, maka sistem itu harus punya ukuran-ukuran tertentu atau prinsip-prinsip hukum (principles of legality) yaitu:

Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-per aturan. Yang 1. dimaksud di sini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.2. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila 3. yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai un tuk menjadi pedoman tingkah laku. Mem bolehkan pengaturan se-ca ra berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang di tu ju-kan untuk berlaku bagai waktu yang akan datang.Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa di-4. mengerti.Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang 5. ber tentangan satu sama lain.Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang me le-6. bi hi apa yang dapat dilakukan.Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehing-7. ga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.Harus ada kecocokan antar peraturan yang diundangkan dengan pe-8. lak sanaannya sehari-hari.

Konsep dasar atau “basic concept” suatu sistem hukum tertentu ada -lah pokok-pokok pikiran mengenai pengertian-pengertian, asas, siste-ma tika dan struktur yang berlaku menurut sistem hukum tertentu.153 Elemen-elemen dasar tersebut harus saling mempunyai hubungan satu sa ma lain dan mempunyai derajat nilai tersendiri yang akan menentukan apakah sistem tersebut dapat menjadi efektif dipergunakan sebagai hukum positif dalam suatu masyarakat. Sebagai suatu sistem maka dia

150 Hans Kelsen (1973).151 Charles Sampford (1989), The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, (New York: Basil

Blackwell, Inc, hlm. 16.152 Fuller, Lon L., The Morality of Law, New Haven, Conn: Yale University Press, 1971, hlm. 39-91

Lihat: Satjipto Rahardjo, op. cit.,, hlm. 51.153 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, 2000, Bandung, hlm. 54.

Page 66: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 114 115B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

juga melahirkan sub-sub sistem yang akan menjadi sistem tersendiri yang juga ha rus saling berkaitan dalam suatu hubungan yang harmonis dan serasi ser ta tidak boleh berbenturan karena sistem tersebut masing-masing mem punyai asas-asas dan sendi-sendi yang saling terpadu.154

Agar menjadi landasan strategi untuk menuju kesejahteraan masya-ra kat yang dicita-citakan, kebijakan hukum harus terangkum dalam suatu sistem hukum sehingga setiap derivasi yang dibutuhkan dalam pe-lak sanaan kebijakan yang bersifat lebih operasional, tetap dapat diukur mela lui sistem itu sendiri. Friedman mengatakan155 bahwa sistem hukum itu sendiri terdiri atas 3 (tiga) elemen yakni struktur hukum (structure), sub stansi hukum (substance) dan budaya hukum (culture).

Menurutnya struktur adalah “The structure of system is its skeleton frame; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough rigid bones that keep the process flowing within bounds....”

Terjemahan: “Struktur suatu sistem adalah kerangkanya: yang meru-pakan bentuk permanennya, badan institusional sistem, tulang-tulang kerasnya yang menjaga proses tetap berjalan dalam batasan....”

Sistem hukummempunyai struktur; sistem hukum terus berubahna mun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.

Jadi, struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka di dalamnya tercakup struktur institusi penegakan hu-kum, juga prosedur serta batasan-batasan kewenangan subjek hukum itu sen diri. Jelasnya, struktur adalah semacam sayatan sistem hukum semacam foto diam yang menghentikan gerak.

Selanjutnya mengenai substansi hukum:

”The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”.

Terjemahan:

“Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu”.

154 Mariam Darus Badulzaman, Mencari sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung 1997, hlm 16.

155 M. Friedman, American Law: An Inaluable guide to faces of the law, and how it affects our daily lives, WW Norton & Copany, Newyork, 1984, hlm. 1-8.

Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang ber-ada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka kel u-ar kan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang.

Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hu kum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Sebagaimana di je laskan Friedman:

“The legal culture, system, their beliefs, values, ideas and expec­tation. Legal culture refers, then, to those ports of general culture, customs, opinions, ways of doing and thinking that bend social forces towards the law and in particular ways”.

Terjemahan:

“Budaya hukum, sistem, kepercayaan mereka, nilai-nilai, ide-ide dan pengharapan. Maka budaya hukum mengacu kepada budaya umum, adat, pendapat, cara-cara bertindak dan berpikir yang membelokkan kekuatan sosial ke arah yang sejalan dengan hukum dan dengan cara-cara tertentu”.

Bagian budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum. Pemi kir -an dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya pro ses hu kum. Dengan kata lain, budaya hukum adalah pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihin dari, atau di sa lah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan ber daya.

Melihat tiga elemen tersebut maka secara implisit dapat dike tahui bah wa masalah hukum tidak bisa digeneralisasikan pada lintas hukum, ka rena budaya hukum adalah khas pada masing-masing masyarakat. Bila dilihat dari pengertian sistem hu kum sebagai susunan/tatanan yang ter atur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang ber -kait an satu sama lain, ter su sun menurut suatu rencana/pola, hasil su-atu pemikiran untuk men capai suatu tujuan,156 maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum pertanahan adalah sebagai suatu susunan/tatanan hukum pertanahan yang teratur, yang merupakan keseluruhan bagian-ba gian hukum pertanahan yang saling berkaitan, tersusun me nu rut suatu

156 Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional yang Akan Datang, Makalah untuk seminar Hukum Nasional IV, Jakarta, 1979.

Page 67: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 116 117B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

ren cana/pola, hasil dari suatu pemikiran untuk men capai suatu tujuan penga turan yang baik dan tertib atas hak-hak pe nguasaan atas tanah.

Hukum agraria nasionalMenyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, seperti disebut tadi, merupa-kan impian the founding fathers. Mereka sepakat langkah konkret harus di ambil untuk itu selekasnya.

Sebelum mengambil langkah mereka menelaah duduk per ma salah-an nya. Mereka melihat dengan mata sendiri bahwa kebijakan penguasa kolo nial yang eksploitatif yang membuat mayoritas rakyat Indonesia mis-kin. Rakyat ini umumnya menggantungkan hidup pada sektor per tanian padahal di bidang ini mereka mengalami marjinalisasi terutama akibat politik agraria penjajah.

Penguasa Hindia Belanda, misalnya, memberlakukan Agra rische Wet sejak tahun 1870. Dengan prinsip domeinverklaring, ke bijakan ini prak tis hanya menguntungkan perusahaan-perusahan per kebunan swasta (onderneming) dan pemerintah kolonial yang menerima uang sewa tanah dari mereka. Rakyat sendiri tetap saja merana akibat tanah mereka terlalu sedikit atau bahkan tak ada sama sekali untuk dimanfaatkan.

Agrarische Wet harus dicabut. Juga, dualisme hukum per tan ahan harus diakhiri. Selama masa Hindia Belanda hukum tanah ala Barat dan hukum tanah adat berlaku sekaligus sehingga sering membingungkan siapa saja yang akan berikatan hukum lintas golongan. Cukup satu saja hukum pertanahan di negeri ini. Begitulah jalan pikiran the founding fathers pada tahun-tahun awal kemerdekaan.

Tahun 1948, di ibukota Yogyakarta, pemerintah RI membentuk Pa-ni tia Agraria. Tugasnya merancang Undang-Undang yang akan meng-gan tikan Agrarische Wet. Kendati panitia bekerja sepenuh hati ternyata peran cangan tak berjalan mulus. Suhu politik nasional yang kerap gon-jang-ganjing antara lain menjadi peghambatnya. Tim perancang silih berganti. Setelah Panitia Agraria Yogya (1948) ada Panitia Agraria Jakarta (1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Ran-cangan Soedjarwo (1960). Untunglah kesinambungan dijaga sejak awal sehingga rancangan tak selalu mulai dari titik nol.157

Setelah dirintis tahun 1948 atau sekitar tiga tahun setelah proklamasi, akhirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Da-

157 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria—Sedjarah penjusunan, isi dan pelaksanaanja, Penerbit Djambatan, Djakarta, 1975.

sar Pokok-pokok Agraria Pokok Agraria—selan jutnya lebih populer de-ngan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA—rampung dan diberlakukan mulai 24 Septem ber 1960. Jadi proses perancangan me-makan waktu 12 tahun.

UUPA jelas merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 untuk bidang agraria. Dalam arti luas agraria yang dimaksud, yakni me liputi bumi, air, dan ruang angkasa meski isi UU ini sekitar 80% ihwal pertanahan (di luar 10 pasal tentang dasar dan ketentuan pokok).

Sekarang mari kita lihat bagaimana UUPA didesain. Kita mulai dengan nalar yang dipakai oleh perancang dan berlanjut de ngan bagai-mana perumusan mereka lakukan bertolak dari logika tersebut.

UUPA payung hukum Hukum tanah itu sendiri adalah hukum yang mengatur hak-hak peng-uasaanatastanahataupermukaanbumi;danjikapengertiansistemhu­kum dikaitkan dengan pengertian Hukum Agraria ten tang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, maka yang dimaksud deng-an sistem Hukum Agraria adalah suatu rang kaian yang teratur me nge -nai aturan-aturan hukum agraria, yang di dalamnya mengatur hak-hak penguasaan atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang ter-kandung di dalamnya.158

Berdasarkan dua pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesim-pul an bahwa hukum tanah tidak mengatur tanah dalam segala aspeknya, me lainkan mengatur salah satu aspek yuridisnya, yaitu yang disebut deng-an hak-hak penguasaan atas tanah. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah inilah yang kemudian disu sun dalam satu kesatuan yang merupakan sistem hukum, yaitu Hukum Tanah.

Mengingat yang diatur dalam sistem hukum pertanahan dalam UUPA bukan tanahnya melainkan hak-hak penguasaan atas tanahnya, maka obyek perhatian hukum tanah ada pada hak-hak dan kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai ben tuk, meliputi kerangka hukum dan institusionalnya, pemindahannya serta pengawasannya oleh masyarakat.

Para perancang UUPA menggunakan silogisme dengan pen dekatan induktif dan deduktif. Titik anjak yang mereka pakai adalah hakikat kemerdekaan pada 1945.

158 TAP MPR IX/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Page 68: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 118 119B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Kemerdekaan Indonesia tidaklah serta-merta diperoleh dan dida-pat kan secara gratis, melainkan lewat perjuangan keras yang menelan banyak korban. Segenap rakyat Indonesia terlibat dalam proses panjang ini. Sebab itu semua mereka penjadi pemilik negeri ini. Sebagai pemilik, me reka berhak atas apa pun hasil kekayaan Republik ini.

Kekayaan Indonesia yang paling nyata adalah bumi, air, dan ruang angkasa. Elemen ini sekarang lebih dikenal sebagai sum ber daya alam atau sumber daya agraria. Singkatannya sama-sama SDA. Untuk kemudahan, selanjutnya dalam tulisan ini yang dipakai adalah SDA.

Merupakan milik seluruh rakyat Indonesia, SDA ini modal yang maha penting. Karena itu harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan selu-ruh rakyat Indonesia.

Agar tujuan pemanfaatan tidak melenceng, harus ada otoritas yang mengelolanya. Otoritas itu tiada lain dari negara. Mengapa negara? Sebab negaralah organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Kepada negara harus diberi hak menguasai. Sebagai penguasa nanti negara bukan pemilik seperti penguasa Hindia Belanda dengan klaim domeinverkelring-nya melainkan sebagai pengelola.

Negara perlu menegakkan aturan main agar pengelolaan nanti senantiasa tertib dan taat asas. Aturan main itu adalah hukum agraria na sional yang mengatur soal bumi, air, dan ruang angkasa. Agar selaras dengan cita-cita proklamasi maka hukum ini harus dirancang sede-mikian rupa sehingga senafas dengan Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan pembangunan semesta untuk menuntaskan revolusi nasional. Hasil rancangan nanti seturut pula dengan prinsip sederhana, tidak dualistis (seperti yang terjadi pada masa Hindia Belanda), dan menjamin kepastian hukum untuk seluruh rakyat Indonesia. Pula, sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak. Ada catatan ihwal poin terakhir ini.

Rakyat Indonesia umumnya hanya akrab dengan hukum adat. Adapun hukum adat itu majemuk sebab wilayah Indonesia luas. Seperti kata pepatah, lain lubuk lain ikannya, lain negeri lain adatnya. Setiap masyarakat adat punya hukumnya sendiri. Terlepas dari kemajemukannya, hukum adat yang ada harus menjadi basis hukum agraria nasional.

Hukum adat bagaimanapun pasti terkontaminasi anasir asing. Salah satu pengontaminasi adalah nilai-nilai penjajah. Jadi, hukum adat yang menjadi rujukan nanti harus disempurnakan. Tujuannya, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat negara modern yang berinteraksi dengan dunia internasional. Juga setala dengan sosialisme Indonesia.

Begitulah jalan pikiran yang menjadi panduan setiap tim saat me-

rancang. Hasil desain itu adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Seiring pemberlakuan UUPA ini pada 24 September 1960 pemerintah pun mengumumkan pencabutan sejumlah regulasi dari zaman kolonial yakni Agrarische Wet, domeinverklaring, Koninklijk Besluit 16 April 1872, dan Buku II Burgerlijk Wetboek Buku II kecuali ketentuan-ketentuan soal hipotik.

UUPA baru berupa garis besar. Isinya berupa asas-asas dan pokok-pokok saja. Ditegaskan bahwa untuk pelaksanaannya perlu dibuat peraturan perundangan. Jelas UUPA dimaksudkan sebagai payung hukum agraria nasional.

Dasar-dasar dan ketentuan pokok UUPA ditetapkan dalam Pasal 1 menyatakan:

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang 1. terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa 2. termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula 3. tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun 4. laut wilayah Indonesia.Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan 5. air tersebut pada ayat 4 dan 5 pasal ini.

Pasal 2 berbunyi:Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal lain sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini mem-1. beri wewenang untuk:a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, peng guna an,

per se diaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ru ang angkasa terse but.

Page 69: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 120 121B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara terse-but pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

3. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-ma-sya rakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Per-aturan Pemerintah.

Pasal 3 berbunyi:Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksana-an hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari ma sya rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut ke nya taannya masih ada, harus sede-mikian rupa sehingga sesuai dengan ke pentingan nasional dan Ne-gara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh ber ten-tangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.159

Mencermati hal tersebut maka sistematika hukum pertanahan Indonesia adalah UUD 1945 dan Pancasila yaitu diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang kemudian dijabarkan lagi dalam UUPA, dan Peraturan lainnya yang mengatur tentang tanah yang tidak bisa saling menyim pangi apalagi bertentangan dengan hukum dasar tentang pertanahan.

Semangat UUPA jelas nasionalisme dan sosialisme. Hal ini tam pak dalam pasal-pasalnya. Semangat nasionalisme nyata dalam ketentuan seperti:

Yang berhak menikmati hasil SDA adalah seluruh rakyat Indonesia, 1. tanpa membedakan perempuan dan laki-laki.

159 Oloan Sitorus, H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm. 168.

Warga negara Indonesia saja yang boleh mempunyai tanah. Adapun 2. hak milik atas tanah tidak bisa dialihkan ke orang asing.Badan hukum tak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Cukup hak 3. lain (Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dsb.) saja untuk me-reka. Ada pengecualian memang, yakni untuk kegiatan sosial dan ke-a gamaan.

Sedangkan semangat sosialisme menyembul dari ketentuan berikut:Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.1. Semua usaha bersama di lapangan agraria berdasarkan kepen tingan 2. bersama untuk kepentingan nasional. Usaha ini ber bentuk koperasi atau kegotongroyongan lain.Monopoli oleh organisasi atau individu di lapangan agraria harus 3. dicegah.Luas maksimum tanah untuk setiap orang harus dibatasi.4. Sosialisme Indonesia harus ditegakkan.5. Kaum ekonomi lemah harus mendapat perhatian.6. Mengakui hak ulayat dan yang sejenis tapi dengan syarat ulayat 7. itu masih ada (masih dipraktikkan), tidak bertentangan dengan kepentingan negara, UUD 1945, dan peraturan yang lebih tinggi.

Langkah konkret yang dilakukan pemerintah Sukarno setelah pemberlakuan UUPA adalah menata struktur pemilikan tanah lewat program land reform. Untuk itu sejumlah perundangan diterbitkan, antara lain UU 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP 10/1961 tentang Peraturan Pendaftaran Tanah, serta PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Land reform dijalankan dengan penekanan pada aspek re distri busi tanah. Pemerintah turun tangan langsung dalam proses ini. Namun land reform mendadak berhenti di tengah jalan akibat pergantian kekuasaan menyusul peristiwa 30 September 1965. Kendati hasilnya tak semaksimal yang direncanakan, sejak program ini berjalan pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga. Tak hanya land reform yang terseok. UUPA juga mengalami degradasi setelah rezim berganti.

Dalam penelusuran melalui literatur yang dilakukan oleh pe nulis, ternyata UU Pokok Agraria hanya memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur tentang bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sehingga penulis sangat sependapat dengan pernyatan yang menyebutkan bahwa UUPA berfungsi sebagai “payung”

Page 70: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 122 123B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

(umbrella provision atau kaderwet) bagi penyusunan peraturan Per-undang-undangan tentang tanah lainnya yang bersifat operasional.160

Namun demikian dalam penelusuran selanjutnya penulis ber pan-dangan bahwa berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pem ben tuk-an Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1),161 tidak lagi tercantum bahwa UUPA adalah payung hukum dalam hie rar khi peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak ter lihat adanya pem-bedaan antara UU sebagai payung dan UU yang bersifat organik, sehing-ga dengan demikian kedudukan UUPA sebagai UU payung seakan-akan tidak lebih tinggi dengan UU organik lainnya. Kondisi tersebut mem bawa konsekuensi hukum: pembuatan suatu UU yang bersifat orga nik tidak lagi harus mengacu atau bertindak berdasarkan UUPA, padahal UUPA dimaksudkan sebagai UU payung yang mengandung ama nat pembuatan beberapa UU (ada sebanyak 44 UU) sebagai pedo man pelaksanaan UUPA. Berdasarkan hal tersebut sudah wak tunya dilakukan perubahan dan penyempurnaan UUPA.

Payung kusut Jenderal Soeharto muncul menggantikan Sukarno. Kebijakan pemerin-tah berubah drastis di semua bidang termasuk politik dan ekonomi, sejak itu. Segala yang berbau Sukarno ditanggalkan oleh kekuasaan baru yang ber sebutan Orde Baru. Termasuk kebijakan yang serba nasionalis dan kerakyatan dengan konsekuensi menolak kapitalisme. Yang hendak di-ke jar sekarang adalah modernitas yang berbasiskan perekonomian dan ilmu pengetahuan-teknologi (Iptek) modern.

Para teknokrat didikan Amerika Serikat (AS) pun merancang sistem pere konomian terbuka. Dengan sistem baru yang sama sekali bertolak bela kang dengan yang sebelumnya, keran modal asing dan pinjaman luar negeri dibuka lebar-lebar. Sumber daya alam pun dibebaskan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh investor mana saja yang punya kapital akbar.

Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun 1967 Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) diberlakukan. Modal pun mengalir. Dibantu AS yang sebelumnya menjadi seteru, lobi-lobi intens dilakukan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri. Arus

160 Siti Rangkuti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 113.

161 Jazim Hamidi & Budiman NPD Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Sorotan, PT Tatanusa, Jakarta, 2005, hlm. 45.

utang luar negeri menderas. Penawaran konsesi-konsesi pertambangan (mine ral, minyak, dan gas) di pasar internasional juga bersambut. Tahun 1967, Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita) dica nang -kan. Masih pada tahun ini pemerintah dan PT Freeport menan da tangani kontrak eksklusif tambang Etsberg, Irian Jaya, seluas 10 kilo meter persegi. Masuknya Freeport telah menjadi inspirasi bagi korpo rasi tam-bang multinasional lain. Mereka pun turut memanfaatkan SDA negeri ini yang memang sangat berlimpah.

Untuk lebih merangsang minat calon investor, pemerintah mem-berlakukan sejumlah regulasi terkait dengan SDA. Di an tara nya adalah UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehu tanan dan UU Nomor 11 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok per tambangan. Kela hiran UU sektoral berlanjut, di an taranya tentang minyak-gas dan pengairan.

Ternyata UU sektoral ini tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya. Lagi pula, regulasi-regulasi ini tumpang tindih dan inkonsisten satu sama lain. Alhasil ketentuan ihwal agraria menjadi semrawut sementara SDA kita makin tipis.

Tentang perkembangan buruk ini ada catatan dari Maria S.W. Sumard jono. Guru besar agraria di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menulis artikel opini di harian Kompas edisi 24 September 2010. Tulisannya yang berjudul “Quo Vadis” UUPA?merupakanrefleksise te ngah abad UUPA.

Maria S.W. Sumardjono menyebut UUPA mengalami degradasi. Pelbagai UU sektoral di bidang SDA tadi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tapi tanpa merujuk UUPA. Itu penyebabnya. Sejauh ini, menurut dia, sudah banyak terbit peraturan pelaksana UUPA namun dua masalah men dasar masih tersisa yakni, pertama, belum tersedia cetak biru (blue print) kebijakan pertanahan yang komprehensif, dan, kedua, arah dan stra tegi penyempurnaan UUPA belum jelas.

Pada hari ulang tahun ke-50 UUPA harian Kompas juga memuat curahan hati Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto. Selama 50 tahun terakhir, ucap Joyo, tidak ada produk hukum baru di bi dang pertanahan. Alhasil terjadi kekosongan hukum khususnya UU. Tam bal sulam saja yang terjadi. Di sisi lain, lanjut dia, telah terjadi rekon sentrasi aset termasuk tanah, di tangan segelintir orang. “Saat ini diperkirakan ada 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai 56 persen aset nasional. Sekitar 62–87 aset itu dalam bentuk tanah,” ucap Joyo Winoto. Ketimpangan kepemilikan yang sangat curam ini me rupa-

Page 71: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 124 125B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

kan realitas.Dampaknya, konflik tanah yang potensialmelecut konflikkomunal pun terus terjadi. Joyo menyebut, dalam 50 tahun sete lah UUPA, BPN menginventarisasi ada 7.491 sengketa lahan di seluruh Indone sia dan perkara ini belum terselesaikan.

Tak terpungkiri bahwa UUPA sebagai payung hukum telah dikun-cup kan. Pertanyaan Maria S.W. Sumardjono mau ke mana (quo vadis) UUPA yang telah berumur setengah abad ini memang pas.

Payung hukum itu Bernama uuPaUndang-Undang Pokok Agraria menetapkan sejumlah prinsip dasar pe-ng u asaan tanah beserta struktur haknya. Sebagai contoh, Pasal 7 UUPA me muat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 UUPA mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri ta nah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, Pasal 17 UUPA mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan ta-nah oleh satu keluarga atau badan hukum guna pemerataan.

Begitupun, menurut penelusuran melalui literatur yang dilakukan penulis tampak bahwa UUPA hanya memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur tentang bumi, air, ruang ang kasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Jadi penulis sangat sependapat dengan per nyatan yang menyebutkan bahwa UUPA berfungsi sebagai “payung” (umbrella provision atau kaderwet) bagi penyusunan peraturan per un-dang-undangan tentang tanah lainnya yang bersifat operasional.162

UUPA hanya merupakan undang-undang pokok. Oleh karena itu, atur-an-aturan pertanahan yang dimuat di dalamnya hanya dalam garis be sar nya saja. UUPA masih memerlukan aturan pelaksana atau aturan teknis.

Sebagai aturan pelaksanaan UUPA, semua ketentuan yang ada di dalam aturan-aturan pelaksana tersebut haruslah merupakan rangkaian sistematika yang terikat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUPA selaku ketentuan pokoknya. Dengan demikian, prinsip-prinsip hukum yang ada di dalam UUPA maupun di dalam peraturan pelaksanaan UUPA akan selaras dan serasi satu sama lainnya.

Berdasarkan UUPA, yang dibentuk bersumberkan pada hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

162 Siti Rangkuti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 113.

Asas-asas UUPAMenurut kamus W.J.S. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka 1976 arti asas adalah sebagai berikut:Dasar,alas,fondamen;misalnya,batuyangbaikuntukasasrumah.

Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir 1. (berpendapatdansebagainya;misalnya:bertentangandenganasas­asashukumpidana;padaasasnyasayasetujudenganusulsaudara).Cita­citayangmenjadidasar(perkumpulan,negaradansebagainya;2. misalnya, membicarakan asas dan tujuan).163

Asas dalam bahasa Inggris adalah principle yang berarti:

Principil (L), Principian, begining, foundation, from primus, first and capere, to take) 1. The Source or origin of something, 2. The ulti mate cause of something 3. Faculty or original endowment. In these three senses, a principle is usually thought of as (a) innate (b) immanent, and (c) found as an agent in a number of things. 4. The rule or ground for a person’s action. 5. The words rule and law are often used in place of the word principle.164

Terjemahan:

Principil (L), Principian, awal, pondasi, dari primus, pertama dan capere, mengambil) 1. Sumber atau asal sesuatu, 2. penyebab uta ma sesuatu 3. kecakapan atau kemampuan asal. Dalam ketiga bentuk tersebut, suatu prinsip biasanya dianggap sebagai (a) bawaan lahir (b) menetap, dan (c) ditemukan sebagai suatu agen dalam sejumlah benda. 4. Aturan atau dasar bagi tindakan se se orang. 5. Kata-kata aturan dan hukum seringkali digunakan sebagai pengganti kata prinsip.

Prinsip atau asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, se bagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, un tuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak kita jelaskan. C.W. Paton men jelaskan tentang principle sebagai berikut:

...those who exercise a public calling should not take an unfair advantage of their position.165

163 Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung, 2007, hlm. 116. 164 Peter A. Angels, Dictionary of Phlosophy, Barnes and Noble Book, A divison of Harper and Ron

Publisers. New York etc, 1981, hlm. 225. 165 C.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1969, hlm. 204.

Page 72: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 126 127B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Terjemahan:

“…seseorang yang mengemban suatu profesi untuk umum hen dak-nya janganlah mengambil keuntungan yang tak wajar dari kedu-dukannya.”

A principle is the broad reason, which lies at the base of a rule of law.

Terjemahan:

“…asas adalah alasan yang dirumuskan secara luas, yang terletak di dasar suatu norma hukum.”.

“legal rules are sometimes born from principles; sometimes even the greatest ingenity can not discover the reason which lies behind a particular rule.”166

Terjemahan:

“Aturan legal seringkali lahir dari prinsip­prinsip; kadangkalakepandaian yang terhebat pun tidak bisa menemukan alasan-alasan yang ada di balik aturan tertentu.”

Asas belum punya warna. Pada norma sudah membayang sua tu war-na. Pada norma hukum, warna itu jelas sekali. Baru dari nor ma ini kita tu run kepada norma hukum untuk berbagai bidang.

Apabila sebuah norma kita jadikan norma hukum, maka kita berusaha menjelaskan “das sollen” menjadi “das Sein”. “Das Sollen” dalam asas dari Paton terlihat dalam istilah “must not change”. Pada “das Sollen” terselip suatu harapan, pada “das Sein” tersembunyi suatu perintah. Untuk itu harus ada suatu badan yang berhak (“normauthority”) dan kelompok orang, yang harus patuh (“norm subjects”) (Homnes, 1976:14).

Pada “subjects” ini melakukan perilaku, tingkah laku, tindakan ter-hadap satu sama lain (“Intersubjective relations”). Pada halaman 20 dari buku Hommes terdapat rumusan untuk pengertian norma sebagai berikut:

“Norm = de op menselijke vormgeving aan beginselenrustende regels, die toepasselijk zijn op vrije, menselijke gedragingen” dan seba gainya.

Dalam rumus ini dikatakan, norma itu adalah suatu aturan. Aturan ini didasarkan pada suatu asas. Aturan diturunkan dari asas dalam suatu

166 Ibid., hlm. 205.

bentuk kalimat bahasa sedemikian rupa, sehingga ia (aturan) mempunyai arti bagi manusia dalam melakukan tindakan-tindakannya.

Asas-asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fun damen hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak berpikir tentang hukum dan pembentukan Undang-Undang dan interpretasi Undang-Undang tersebut”.167

Asas hukum tanah nasional yang berada dalam UUPA168 adalah: Asas 1. hukum adat.Hukum adat setelah UUPA sangat berbeda dibanding yang se be lum-nya berlaku. Apabila hukum adat pada masa lalu masih menga nut sistem konkret atau kontan, maka setelah UUPA sistemnya beda yakni sudah mengenal sistem konsensuil atau abstrak yang di kenal di sistem hukum Eropa.169

Hukum adat yang menjadi dasar UUPA harus memenuhi syarat berikut:a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan

negara yang berdasarkan asas persatuan bangsa. Hukum tanah justru harus mengabdi kepada kepentingan nasional dan ke-pentingan RI. Dengan kata lain, kepen tingan nasional dan negara harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi, golongan, dan daerah.170

b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia. Hal ini didasarkan pada tujuan perjuangan bangsa Indonesia yaitu membentuk masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Panca sila. Dalam UUPA ini disebut masyarakat sosialis Indo-nesia.171

c. Tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUPA karena UUPA merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional. Seharusnyalah tidak boleh ada peraturan hukum tanah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang bertentangan dengannya. Salah satu ketentuan UUPA yang harus

167 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Pustaka Filsafat Kanisius, 2005, hlm. 81. 168 Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi,

Mitra Kebijakan Tanah Indonesia Yogyakarta, 2006, hlm. 66.169 Saleh Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960. Alumni, Bandung,

1970, hlm. 25.170 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 199.171 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 200-201.

Page 73: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 128 129B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

diikuti adalah bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memper oleh hak atas tanah.172

d. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-un-dang an lainnya. Sebagaimana halnya peraturan perundang-un-da ng an lainnya, UUPA juga mengharuskan adanya hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa bagi tanah per tanian. Hal ini dimaksud untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan.173

e. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum tanah nasional harus menjunjung tinggi dan me laksanakan ketentuan sila pertama dari Pancasila.174 Jika da-lam hukum adat tanah ulayat merupakan tanah bersama masya-rakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam hu kum tanah nasional semua tanah yang ada di wilayah kesatuan Republik Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia. Pula, hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa bersifat abadi. Artinya, selama rakyat Indonesia bersatu menjadi bangsa Indonesia serta selama bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia itu ada maka dalam keadaan bagaimanapun tidak ada kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

Asas pemisahan horisontal untuk bangunan dan tanah di atasnya. 2. Asas yang diadopsi dari hukum adat ini menyatakan bahwa peng u-

asaan dan pemilikan tanah tidak meliputi benda-benda di atas nya (bangunan, tanaman, dan benda bernilai ekonomis lain). Jadi pemilik tanah tidak otomatis menjadi pemilik benda-benda yang terdapat di atasnya. Sebab itu, jika jual beli tanah termasuk benda-benda yang ada di atas tanah (misalnya bangunan dan tanah) maka hal itu harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli dimaksud.175

Asas nasionalitas subjek hak atas tanah. 3. Seperti telah disebut, asas nasionalitas subjek hak atas tanah bera-

sal dari hukum adat yang selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan anggota masyarakat hukum adat, daripada orang luar.

172 Ibid., hlm. 202.173 Ibid., hlm. 202.174 Ibid., hlm. 160.175 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat

Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Suatu Konsep Dalam Me-nyo ngsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 116.

Hanya anggota masyarakat hukum adat yang dapat meng ambil manfaat secara penuh dari wilayah hukum adatnya. “Orang asing” hanya dapat mempunyai hak sementara. Di UUPA asas ini dikon-kretkan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia” dan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Se-luruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia seba gai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang ang kasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Ketentuan Pasal 1 UUPA di atas harus dimaknai bahwa bumi, air, dan ruang angkasa di wilayah Republik Indonesia—negeri yang kemer dekaannya diperjuangkan oleh bangsa Indonesia sebagai kese-luruhan—menjadi hak dari bangsa Indonesia. Jadi bukan semata hak para pemiliknya. Penjelasan umum UUPA menegaskan bahwa hu bungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indo nesia merupakan semacam hubungan hak ulayat. Asas fungsi sosial hak atas tanah.4.

Pasal 6 UUPA menyatakan: “Semua hak atas tanah mempunyai fung si sosial”. Konsekuensi fungsi sosial hak atas tanah ini antara lain adalah: a. Tidak dapat dibenarkan menggunakan atau tidak menggunakan

tanah hanya untuk kepentingan pribadi pemegang haknya, apa-lagi bila itu menimbulkan kerugian masyarakat.

b. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan keba-hagiaan pemiliknya maupun masyarakat dan negara.

c. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan ren-cana tata ruang maupun instrumen penatagunaan tanah lain nya yang ditetapkan secara sah oleh pihak berwenang.

d. Pemegang hak atas tanah wajib memelihara tanah dengan baik, dalam arti menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut.

e. “Merelakan” hak atas tanah dicabut demi kepentingan umum.Asas pemerataan dan keadilan.5. Asas ini menjelma konkret dalam pasal-pasal mengenai land reform seperti Pasal 7, 10, 11 dan 17 UUPA. Sama halnya orientasi hidup masyarakat adat yang mengedepankan ‘kesejahteraan dalam kebersamaan dan kebersamaan dalam ke se jahteraan’, maka yang

Page 74: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 130 131B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

pertama kali diidam-idamkan UUPA adalah memberi kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat (terutama rakyat tani) untuk memperoleh tanah. Dengan begitu mereka akan bisa sejahtera. Secara langsung maupun tidak, land reform itu bertujuan untuk memberi akses yang memadai bagi rakyat guna memperoleh tanah. Itu sebabnya UUPA ini disebut bersifat populis.176

Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan ling kungan hidup.6. Asas ini terdapat pada Pasal 14 dan 15 UUPA. Kedua pasal ini pada

intinya menginginkan penggunaan tanah yang bijak dan berke si-nambungan. Untuk menjabarkan asas ini kelak dikembangkan lagi asas-asas operasional seperti asas LOSS (lestari, optimal, serasi, dan seimbang) pada tanah pertanian dan asas ATLAS (aman, tertib, lan-car, dan sehat)177 pada tanah perkotaan.

Ada dua pandangan yang berbeda dalam menentukan cara me-laksanakan maksud ketentuan Pasal 14 dan 15 UUPA tersebut untuk tanah perkotaan. A.P. Parlindungan mengatakan, agar rencana peng-gunaan tanah dapat diimplementasikan secara maksimal untuk ke makmuran rakyat maka Pasal 14 UUPA seyogyanya diterapkan deng an sistem tertutup (zoning).178 Sedangkan I Made Sandy menya-takan sistem zoning hanya bisa diterapkan pada pembangunan kota yang baru; tidak mungkin dilaksanakan apabila suatu kota telahtelah tumbuh. Ia lantasmengutip pernyataan kerasGabriel Bolaffi:“Personally, I regard urban land policy based on zoning as a non­sense wherever it exists” (“Menurut saya, kebijakan pertanahan kota yang didasarkan pada “zoning” itu omong kosong di mana pun itu”). I Made Sandy menyebut implementasi Pasal 14 UUPA itu seharusnya dilakukan dengan sistem terbuka. Tahapannya berikut ini. Pertama, penetapan kebijakan pembangunan. Kedua, penjabaran kebi jakan pembangunan itu ke dalam proyek-proyek dengan tujuan pembangunan sebagai acuan. Ketiga, penggambaran semua proyek yang akan dikerjakan pada tahun anggaran itu dalam “ruang”-nya, dengan luas tanah yang dibutuhkan oleh masing-masing proyek.

176 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, PT Pustaka LP3ES Indonesia bekerja sama dengan Badan Penerbit Universitas Islam Indonesia (UII Press), Yogyakarta, 1998, hlm. 347-348.

177 I Made Sandy, Tanah Muka Bumi UUPA 1960-1995, PT Indograph Bakti-FMIPA UI, Jakarta, 1995, hlm. 56.

178 A.P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, Alumni Bandung, 1983, hlm. 149 dan A.P. Par lindungan, dalam Direktorat Jenderal Agraria-Depdagri, Diskusi Panel tentang Pe laksanaan Pasal 14, 15 UUPA Sehubungan dengan HUT UUPA Ke-25, 1985, hlm. 67.

Keempat, pada tahun anggaran berikutnya, melakukan hal yang sama deng an pengertian bahwa proyek-proyek yang baru menggantikan proyek-proyek yang telah selesai.179 Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam peng gu naan tanah.7.

Asas ini dikonkretkan lewat Pasal 12 dan 13 UUPA yang menyatakan agar mengupayakan usaha kekeluargaan dan kego tong royongan di lapangan agraria. Berarti usaha di lapa ngan keagrariaan yang sesuai dengan asas ini adalah koperasi. Jadi harus dicegah pula usaha-usaha penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersifat monopoli. Namun diberi juga peluang bagi pemerintah untuk bermitra dengan swasta.Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah.8.

Hubungan negara dengan tanah bersifat publik sebab terjalinnya pun lewat pendelegasian unsur publik dari hak bangsa. Pada UUPA rincian bentuk kewenangan itu ada di Pasal 2 ayat (2). Bila instansi pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah maka kepada mereka dapat diberikan Hak Pakai atau Hak Pengelolaan. Karakter publik dalam hubungan negara dengan tanah ini merupakan peru-bahan mendasar sebab sebelum UUPA relasi ini bersifat privat, yaitu yang berdasarkan ‘asas domain’. Dalam Penjelasan Umum UUPA ditegaskan bahwa asas domain bertentangan dengan kesa daran hu kum rakyat Indonesia dan asas negara merdeka dan modern. UUPA berpendirian bahwa untuk mencapai semaksimal mungkin ke mak muran rakyat yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bangsa Indonesia atau negara tidak perlu dan tidak pula pada tem patnya bertindak sebagai pemilik tanah. Lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa.180

hak menguasai tanah oleh negaraHak menguasai atas tanah oleh negara merupakan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang di dalamnya terkandung unsur hukum publik. Sebagai pemegang hak dan dalam tingkatan tertingginya selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, maka negaralah yang melaksanakan tugas dan kewenangan bangsa untuk mengelola seluruh tanah bersama itu.

179 I Made Sandy, op. cit., hlm. 56.180 Herman Soesangobeng, “Upaya Pembentukan Materi Hukum dan Kebijakan Pertanahan yang

Demokratis”, Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengembangan Hukum dan Kebijakan Pertanahan Dalam Era Demokratisasi, yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional di Yogyakarta, pada 23 Desember 2003, 2003, hlm. 12.

Page 75: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 132 133B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara di Indonesia termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di-ku a sai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemak-mur an rakyat.”

Sebelum amandemen UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) tersebut dijelas-kan dalam penjelasan Pasal 33 alinea 4 yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok ke-mak muran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan diper guna-kan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) dan penjelasannya tersebut di atas maka terlihat bahwa menurut konsep UUD 1945, hubungan antara negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hubungan penguasaan.181 Artinya, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, walupun UUD 1945 tidak secara rinci memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “dikuasai oleh Negara”.

Penjelasan otentik tentang pengertian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya atau dengan kata lain sumber daya alam (SDA) dikuasai oleh Negara, termuat dalam UU No. 5 Tahun 1960 yaitu UUPA yang berlaku pada tanggal 24 September 1960. Dalam Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan pengertian hak menguasai Sumber Daya Alam oleh Negara sebagai berikut:

Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan 1. hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini mem-2. berikan wewenang untuk:a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, peng gunaan, per se -

diaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

181 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 1.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kese jahteraan dan ke-mer dekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang mer deka, berdaulat, adil, dan makmur.

4. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pe lak sana annya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-ma-sya rakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan deng an kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Pera-tur an Pemerintah.182

Dalam Penjelasan Umum II/2 UUPA dikemukakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar, tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA183 yang mengatakan bahwa, “Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk ke-kayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara”. Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, melainkan pengertian yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:

Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, peng gu naan, per se-1. diaan, dan pemeliharaannya.Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat di pu nyai atas (bagian 2. dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara 3. orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang me nge nai bumi, air, dan ruang angkasa.Segalanya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

182 Ibid., hlm. 3.183 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah,

Djambatan, 1989, hlm. 5.

Page 76: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 134 135B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2 ayat 2 dan 3).

Berdasar Pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut,184 menurut kon-sep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur tiga hal tersebut di atas. Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata “bersifat publik”, yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bu kan wewenanguntukmenguasaitanahsecarafisikdanmenggunakantanahnyasebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang “bersifat pri badi”.

Oleh karena itu, apabila negara memerlukan tanah untuk memba-ngun kantor-kantor pemerintah, caranya adalah dengan memberikan suatu hak atas tanah (hak pakai atau hak pengelolaan) kepada instansi pe merintah yang memerlukan tanah itu.

Menurut Pasal 2 ayat (3) UUPA,185 wewenang negara yang ber sumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara itu digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Semua kebijakan pemerintah di bidang agraria yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, harus dapat me ningkatkan kemakmuran, kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya. Kebijakan pemerintah di bidang agraria yang hanya meng-untungkan segelintir orang (investor) dan merugikan rakyat banyak tidak dapat dibenarkan.

Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat dengan hubungan hukum antara negara dengan tanah. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapa pun. Oleh karena itu, sangat tidak tepat jika melihat hubungan negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan kesatuan

184 Ibid., hlm. 37.185 Ibid., hlm. 6.

yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, dan bersifat “tritunggal”.Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak

meng u a sai tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat de ngan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara per orangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.

Idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat, dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara har-monis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan keku-atannya, dan tidak saling merugikan.186

Menurut Boedi Harsono,187 hak bangsa adalah hak penguasaan tanah yang tertinggi di samping hak-hak penguasaan tanah lainnya yang ada di bawahnya. Hak-hak penguasaan tanah itu tersusun dalam tata urutan (hierarki) sebagai berikut:

Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 1. UUPA)Hak menguasai oleh Negara atas tanah (Pasal 2)2. Hak Ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3)3. Hak-hak perorangan:4. a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4):

Primer: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang •diberi kan oleh negara, dan hak pakai yang diberikan oleh negara (Pasal 16).Sekunder: hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan •oleh pemilik tanah, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa (Pasal 37, 41 dan 53).

b. Wakaf (Pasal 49). c. Hak jaminan atas tanah.188

Selanjutnya Boedi Harsono menjelaskan bahwa: Hak bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi

da lam Hukum Tanah Nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung maupun tidak langsung bersumber padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas ke wenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan peng-gunaan tanah bersama yang dipunyainya. Hak bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis. Maka dalam

186 Ibid., hlm. 7.187 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya,

Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 24.188 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Djambatan. Jakarta,

2003, hlm. 174.

Page 77: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 136 137B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

rangka Hak Bangsa ada hak milik perorangan atas tanah. Tugas kewe-nangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara.189

Dalam kesempatan lain Boedi Harsono menjelaskan bah wa tanah bersama dalam Pasal 1 ayat (2) dinyatakan sebagai “kekayaan na sio nal” me nunjukkan adanya unsur keperdataan, yaitu hubungan “kepu nya an” antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersama tersebut. Hu bung an kepu-nyaan menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk me ngua sai sesuatu sebagai “empu”-nya, artinya sebagai “tuan”-nya. Hu bung an kepu-nyaan bisa me rupakan hubungan kepemilikan, tetapi ti dak selalu demi-kian. Sebagaimana halnya dengan Hak Ulayat, hubungan kepunyaan Hak Bangsa juga bukan hubungan kepemilikan. Dalam rang ka Hak Bangsa orang dapat menguasai tanah dengan Hak Milik (Pasal 20 dan selanjutnya), hal mana tidak mungkin jika hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersama tersebut merupakan hubungan ke pemilikan.190

Menurut pendapat penulis, penjelasan yang disampaikan oleh Boedi Harsono yang menyatakan bahwa hubungan kepunyaan Hak Bangsa bukan hubungan kepemilikan itu membingungkan, sebab kata “kepunyaan” yang kata dasarnya “punya” sama artinya dengan kata “kepemilikan” yang kata dasarnya “milik”. Jadi, kata kepunyaan sama artinya dengan kata kepemilikan, sehingga dengan demikian bahwa semua tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah kepunyaan/milik bangsa Indonesia.

Adapun kekuasaan negara yang dimaksud di atas mencakup atas bumi, air, dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki se seorang maupun yang belum. Kekuasaan negara atas tanah yang sudah dihaki seseorang diba tasi oleh isi dari hak atas tanah per seorang an tersebut, atau dengan kata lain, sampai seberapa besar negara memberi kekuasaan kepada pemilik tanah untuk meng gu nakan haknya, maka sampai batas itulah kekuasaan dari negara, dan sebaliknya terhadap tanah yang belum dihaki seseorang, ke kua saan negara atas tanah itu lebih luas dan penuh. Negara da pat memberikan tanah tersebut kepada perseorangan atau badan hu-kum dengan suatu hak menurut peruntukkan dan keperluannya, mi sal-nya dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pa kai, dan sebagainya.

Hak menguasai oleh negara memberi pengertian bahwa negara se-la ku organisasi tertinggi dari rakyat secara keseluruhan merupakan pe-

189 Ibid., hlm. 269-270. 190 Ibid., hlm. 232.

ngu asa atas seluruh tanah yang ada di wilayah kedaulatan Republik Indo-nesia dan dalam praktik, pengertian ini sering disalahartikan karena kata “dikuasai” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dipandang pemberian kewenangan yang tidak terbatas kepada Peme -rintah. Hal tersebut mengakibatkan bahwa lembaga Hak Menguasai oleh Negara yang di awal pembentukannya ditujukan untuk pemerataan ke-se jahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam praktiknya menjadi sa-rana merampas hak atas tanah milik kaum lemah, yang pada akhirnya se ring menimbulkan tuntutan dari masyarakat kepada Pemerintah agar Lembaga Hak Menguasai oleh Negara tersebut dihapuskan.

Sebagaimana telah diungkapkan dalam UUPA bahwa tugas dan ke-wajiban mengelola hak-hak atas tanah merupakan hukum publik, maka pelaksanaannya dikuasakan kepada Negara selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA. Pemberian kuasa itu sendiri diberikan oleh para wakil bangsa pada saat proklamasi kemerdekaan, yang selanjutnya dituliskan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam hubungannya dengan bumi, air, ruang angkasa, serta kekayan alam yang terkandung di dalamnya, negara selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang tertinggi, ber-tindak dalam kedudukannya sebagai kuasa dan petugas Bangsa Indo-nesia, baik secara eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Singkatnya, hak menguasai atas tanah oleh negara merupakan pelaksanaan tugas kewe-nangan bangsa yang di dalamnya terkandung unsur hukum publik.

Sebagai pemegang hak dan dalam tingkatan tertingginya selaku orga nisasi kekuasaan seluruh rakyat, maka negaralah yang melaksanakan tugas dan kewenangan bangsa untuk mengelola seluruh tanah bersama itu. Kewenangan menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UUPA itu adalah meliputi kewenangan untuk:

Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penye-1. diaan serta pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya kewenangan negara untuk:a. Membuat rencana umum mengenai peruntukan, penggunaan dan

persediaan tanah guna memenuhi berbagai kebutuhan (Pasal 14 UUPA joUUNo.24Tahun1992tentangPenataanRuang);

b. Mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah, ter masuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA) serta

c. Mewajibkan pemegang hak atas tanah pertanian untuk menger-

Page 78: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 138 139B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

jakan/mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertaniannya de-ng an mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10 UUPA).

Menentukan dan mengatur hubungan hukum yang timbul antara 2. orang dengan tanah, meliputi kewenangan untuk:a. Menentukan hak-hak atas tanah apa saja yang dapat diberikan

ke pa da warga negara Indonesia, baik secara personal ataupun ko lek tif, termasuk di dalamnya kewenangan untuk menentukan pem berian hak atas tanah kepada badan hukum dan warga negara asing (Pasal 16 UUPA) serta

b. Menetapkan dan mengatur pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang dapat dipunyai/dikuasai oleh perorangan maupun oleh auatu badan hukum (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA).

Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara perorangan dan 3. perbuatan hukum yang mengenai tanah, meliputi kewenangan untuk:a. Mengatur pelaksanaan pendaftaran atas seluruh tanah yang ada

di wilayah kesatuan Republik Indonesia (Pasal 19 UUPA jo PP Nomor24Tahun1997tantangPendaftaranTanah);

b. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah sertac. Mengatur penyelesaian sengketa pertanahan, baik yang bersifat

perdata maupun tata usaha negara dengan mengutamakan tata cara musyawarah demi mencapai suatu permufakatan.

Menurut pendapat Oloan Sitorus,191 kewenangan negara dalam bi-dang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA me rupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang merupakan kekayaan nasio-nal. Jadi, hak menguasai negara adalah pelimpahan kewenangan publik dari hak bangsa. Sebagai konsekuensinya, kewenangan menguasai tanah oleh negara hanya bersifat publik semata.

Sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (3) UUPA, tujuan hak menguasai negara atas tanah adalah untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pelaksanaan kewenangan negara atas tanah haruslah dijalankan untuk mencapai kebahagiaan, ke sejahteraan, dan kemerdekaan seluruh masyarakat dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam Pancasila.

191 Oloan Sitorus dalam Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 78-79.

Menurut UUPA, hak menguasai tanah oleh negara dipegang oleh pe-merintah pusat. Pemerintah daerah dapat mempunyai hak itu apabila ada pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah dae rah (tugas perbantuan/medebewind). Akibatnya, hak menguasai ta nah oleh negara itu bersifat sentralistis.

Setelah amandemen UUD 1945, terjadi perubahan paradigma ke-kuasaan negara yang semula bersifat sentralistis dan cenderung otoriter berubah menjadi bersifat desentralistis dan demokratis. Begitu pula de-ngan kekuasaan negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara, yang semula bersifat sentralistis bergeser ke desentralistis. Hal ini membawa konsekuensi perubahan penafsiran tentang hak menguasai tanah oleh negara yang harus dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 B ayat (2), dan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Pasal 18 ayat (5)192 berbunyi: Pemerintah daerah menjalankan otonomi se luas-luas nya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang di-tentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Pasal 18 B ayat (2)193 berbunyi: Negara mengakui dan meng hormati ke satuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradi sio nal-nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masya rakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 28 H ayat (4)194 berbunyi: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.195

Seiring dengan penerapan asas otonomi daerah, sebagian pelaksana-an kewenangan menguasai tanah oleh negara dapat dikuasakan/di lim-pah kan kepada daerah-daerah swatantra, yaitu kepada Pemerintah Da e -rah dan masyarakat hukum adat yang ada di daerah tersebut. Pelim pah an sebagian kekuasaan menguasai negara ini dilaksanakan sepanjang diper-lukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional seba gaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang berlaku di wilayah tersebut (Pasal 2 Ayat (4) UUPA).

192 Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) I-IV Lengkap Dengan Undang-Undang Dasar Yang Pernah Berlaku Di Indonesia, Poliyama Widya Pusataka, Jakarta, 2007, hlm. 21.

193 Ibid., hlm. 20.194 Ibid., hlm. 27. 195 Muhammad Bakri, op. cit., hlm. 25.

Page 79: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 140 141B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang ang kasanya tidaklah berarti menghapuskan hak milik perseorangan atas sebagian dari bumi Indonesia. Dengan kata lain, konsepsi hukum tanah nasional mengakui adanya hak atas tanah yang dimiliki oleh per se-orangan maupun bersama-sama/kelompok, baik yang berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, atau hak- hak lain yang ditetapkan undang-undang. Kata-kata “karunia Tuhan YME kepada Bangsa Indonesia” sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 Ayat (2) UUPA menunjukkan keberadaan unsur religius dari konsepsi hukum ta-nah nasional.

Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pokok UUPA dalam hubungannya dengan Pancasila dan konsepsi hukum pertanahan nasional dapat dinyatakan sebagai berikut:196

Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan keseder-1. hanaandalamhukumpertanahan;Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional 2. yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rang ka menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera serta,Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum me-3. ngenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.Salah satu asas hukum pertanahan yang dituntut pene rapannya oleh

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengambilan tanah untuk kepentingan umum tidak boleh menurunkan keadaan sosial dan ekonomi bekas pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.197 Apabila dicermati dari konsep awal negara hukum, sesungguhnya penggunaan tanah haruslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat yang memiliki nya, masyarakat lain dan negara. Namun pe-ngertian di atas perlu digarisbawahi bahwa penyesuaian tersebut tidak berarti bahwa kepentingan umum mendesak kepentingan perorangan. Sebaliknya, kepentingan umum dan kepentingan perorangan harus saling mengimbangi sehingga akan tercapai tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat secara keseluruhan.198

196 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Jakarta, 2004, hlm. 65.

197 Muzakhir Iskandarsyah, Dasar-dasar Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum, Jala Permata, Jakarta, 2007, hlm. 2.

198 Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Merujuk pada konsep negara hukum serta mengacu kepada tujuan pembentukan Hukum Tanah Nasional, jelaslah bahwa Founding Fathers bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kesejahteraan ber-dasarkan Pancasila. Hal ini dibuktikan melalui sejarah perjuangan Bangsa Indonesia yang cukup panjang, di mana saat itu rakyat bahu-membahu menyingkirkan para penjajah dari tanah air Indonesia. Kemer dekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 bukan lah menjadi akhir proses perjuangan dalam mencapai kesejahteraan bagi sebesar-besarnya rakyat Indonesia. Berbagai penyempurnaan dan pembentukan hukum pun dilakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

Bahkan, pembaharuan dan penyempurnaan hukum itu masih juga di lakukan hingga saat ini. Namun dalam praktiknya, asas pengambilan tanah untuk kepentingan umum tidak boleh menurunkan keadaan sosial dan ekonomi bekas pemegang hak atas tanah yang bersangkutan ini kerap kali tidak diindahkan. Hal ini dapat dilihat pada praktik pemerintahan di masa Orde Baru, di mana pejabat penegak hukumnya berlindung secara membabi buta pada asas lain dari UUPA, misalnya asas yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa: “hak atas tanah apapun yang ada pada se-seorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya akan dipergunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat”.

Selain dibatasi oleh hak perseorangan atas tanah, kekuasaan negara atas tanah juga dibatasi oleh hak-hak ulayat dari kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada. Dari konsepsi ini, tampak bahwa UUPA mengakui keberadaan hak ulayat dari masyarakat hukum adat, sepanjang dalam realitanya hak ulayat tersebut masih ada/hidup dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Hukum pertanahan nasional juga mengenal fungsi sosial atas tanah. Artinya, hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibe narkan jika tanahnya itu digunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika penguasaan tanah ter-sebut menimbulkan kerugian pada masyarakat lain. Oleh karena itu, penggunaan tanah haruslah disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, supaya bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik tanah maupun masyarakat dan negara.

Dalam Pasal 2 Ayat (3) UUPA didalilkan bahwa kepentingan perse-orangan dan kepentingan masyarakat haruslah saling mengimbangi sehingga dapat merealisasikan tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan

Page 80: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 142 143B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan asas fungsi sosial atas tanah, sudah sewajarnyalah jika tanah dipelihara supaya bertambah kesuburannya serta dapat dicegah kerusakannya. Pasal 9 jo Pasal 21 Ayat (1) UUPA secara tegas mengatur bahwa hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

Badan-badan hukum maupun orang asing hanya dapat memiliki tanah dengan hak tertentu dan dengan luas tanah yang terbatas. Asas kebangsaan ini selanjutnya diperjelas oleh Pasal 9 Ayat (2) UUPA, yaitu tentang adanya kesempatan yang sama bagi pria maupun wanita untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.

Asas lain yang ada dalam hukum pertanahan nasional adalah asas land reform atau agrarian reform. Asas ini mendalilkan bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Dalam rangka mengantisipasi serta mengatasi penguasaan tanah dalam jumlah banyak, maka UUPA memberlakukan asas maksimum kepemilikan dan penguasaan tanah. Pelaksanaan Hukum Pertanahan yang dijiwai Pancasila dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 didasarkan pada konsep baru mengenai hubungan antara negara dengan tanah, di mana pada konsep ini tidak lagi diterapkan domein verklaring (negara sebagai pemilik tanah), melainkan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

BPN sebagai Lembaga Pemerintah Pelaksana Kebijak an Nasio nal Pertanahan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara adalah pihak yang menguasai dan mengelola tanah untuk sebesar-besarnya untuk kemak-muran rakyat. Atas dasar ketentuan tersebut maka negara membentuk Badan Pertanahan Nasional yang diharapkan sebagai perpanjangan negara dalam hal penguasaan dan pengelolaan tanah bagi kemakmuran rakyat. Pembentukan BPN didasarkan atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tentang BPN. Organisasi dan tata kerja BPN dibentuk ber-dasarkan Keputusan Kepala BPN No. 11/KBPN/1988 jo Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya.

Tujuan dibentuknya BPN adalah untuk membuat sistem pengelolaan masalah pertanahan di Indonesia. Karena itu, pemerintah melakukan pengangkatan status Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan mem ben-

tuk suatu organisasi dan tata kerja suatu lembaga yang diberi nama Badan Pertanahan Negara (BPN). Struktur kelembagaan BPN sendiri terdiri atas 5 Deputi yaitu Deputi Bidang Umum, Deputi Bidang Penatagunaan Tanah, Deputi Bidang Hak-hak atas Tanah, Deputi Bidang pengukuran dan pendaftaran Tanah dan Deputi Bidang Pengawasan dan lembaga tersebut bertanggung jawab langsung kepada Presiden.199

Tugas lembaga BPN adalah mengelola dan mengembangkan ad-ministrasi pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun peraturan per un-dang-undangan lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengurusan dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan Presiden,200 sedangkan fungsi lembaga BPN adalah merumuskan kebijaksanaan dan perencanaanpenguasaandanpengurusantanah;merumuskankebijak­sanaan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip tanahmempunyaifungsisosial;melaksanakanpengukurandanpemetaansertapendaftarantanah;melaksanakanpengurusanhak­hakatastanah;melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta pendidikan dan pelatihan pegawai dan hal-hal lain yang ditetapkan Pre-siden.201

Berdasarkan Keppres No. 154 Tahun 1999 tentang perubahan Keppres No. 26 Tahun 1988 dinyatakan Mendagri selaku Kepala BPN di ban tu oleh Wakil Kepala BPN, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 da lam Pasal 11, kewenangan pertanahan dilimpahkan ke daerah yaitu kewe nangan desen tralistik dan berdasarkan Keppres No. 15 Tahun 2000 tentang pelak sanaan Tugas-tugas BPN sesuai Keppres No. 95 Tahun 2000.

Dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Dae-rah, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Penuntutan dan kewe nangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Keputusan Pre siden No. 136 Tahun 1998 tentang Pokok-pokok organisasi lembaga peme rin-tahan Non Departemen sebagaimana telah diubah dengan Kepu tusan Presiden No. 82 Tahun 2000, kedudukan, tugas dan fungsi BPN meng-alami perubahan yang diatur dalam Keppres No. 95 Tahun 2000 Tanggal 19 Juli 2000 tentang BPN.

199 S.B. Silalahi, Sejarah Perkembangan Lembaga Agraria/Pertanahan di Indonesia, Seminar Ilmiah Masalah Hukum dan Perekonomian Serta Masalah Pertanahan Provinsi Bangka Belitung, Februari 2004, hlm. 6.

200 Ibid.201 Ibid.

Page 81: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 144 145B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

BPN adalah lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertang-gung jawab langsung kepada Presiden yang dijabat oleh Menteri Dalam Negeri.

Dalam hal ini BPN mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional di bidang:

Pengaturan peruntukan, persediaan, dan penggunaan tanah.1. Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan tanah.2. Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-3. perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah sesuai Pasal 2 Keppres No. 95 Tahun 2000.202

Selanjutnya BPN mengalami perubahan-perubahan lagi yaitu Keppres No. 173 Tahun 2000 tentang perubahan beberapa Pasal dan Keppres No. 166 Tahun 2000 yaitu Pasal 76, 88, 90 dan 91 yaitu Kepala BPN tetap Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

Keppres No. 174 Tahun 2000, BPN ditugaskan untuk mendampingi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan Keppres No. 16 Tahun 2001 yang berisi BPN dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Oto nomi Daerah. Keppres No. 60 Tahun 2001 tentang perubahan Keppres No. 178 Tahun 2000 di mana BPN terdiri atas Kepala, Wakil Kepala, Sekretariat Utama, 3 Deputi, Inspektorat Utama.

Dengan Keppres No. 110 Tahun 2004, BPN memiliki Wakil Kepala BPN. Keppres No. 5 Tahun 2002 lalu Keppres No. 34 Tahun 2003 ten-tang Kebijaksanaan Nasional di Bidang Pertanahan. Oleh karena lahir UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lalu dibuatlah Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang BPN, kewenangannya menjadi sen tralistik kembali (kewenangan pusat kembali), namun ber dasarkan Per aturan Presiden No. 37 Tahun 2007 diubah lagi yaitu ten tang penye leng garaan kewenangan pertanahan diserahkan kepada daerah.

Hak Atas Tanah Menurut KUHPerdataMenurut Ilmu Hukum Romawi (Romeinse Rechtswetenschap), hukum dibe dakan menurut isinya ke dalam 2 golongan, yaitu hukum publik dan hukum privat (sipil).203Hukumpublikdidefinisikansebagaihukumyangmengatur tata cara badan-badan negara (staatsorganen) dalam men-

202 Keputusan Presiden RI No. 95 Tahun 2000 Tentang BPN, CV Mini Jaya Abadi, Jakarta, 2000, hlm. 73.

203 E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Cet. XI, Jakarta, 1983, hlm. 30.

jalankan tugas dan mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang diadakan antara negara selaku Pemerintah dengan individu-individu atau yang diadakan diantara masing-masing badan negara tersebut.204

Dalam perkembangan selanjutnya, Hukum Publik dibedakan lagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:205

Hukum Negara dalam arti sempit atau hukum tata negara (1. staat-srecht), yaitu hukum yang mengatur kewajiban sosial dan we wenang (kom petensi, bevoegheid) suatu organisasi negara.Hukum Tata Usaha Negara (2. administratiefrecht), yaitu hukum yang menguji hubungan hukum khusus yang diadakan untuk memung-kinkan para pejabat negara melakukan tugas mereka.Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Privat adalah hukum

yang mengatur tata tertib masyarakat (family/keluarga) dan kekayaan para individu, termasuk hubungan hukum yang dilangsungkan diantara individu-individu tersebut, maupun antara individu dengan badan negara bilamana badan negara tersebut turut serta dalam pergaulan hukum seolah-olah sebagai individu.206

Berdasarkankeduadefinisitentanghukumpublikdanhukumprivatdi atas, dapat ditarik benang merah bahwa perbedaan utama antara kedua hukum tersebut terletak pada sifat dan obyek yang diaturnya. Apabila hukum publik cenderung bersifat ketatanegaraan dan mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, maka sebaliknya, hukum privat lebih bersifat keperdataan dan mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan antar individu.

Sengketa pertanahan diperiksa dan diadili di pengadilan umum dengan menggunakan hukum acara perdata. Pasalnya, sengketa ini ter-ma suk wilayah hukum perdata yakni hukum yang memuat hak dan ke-wajiban orang dalam kehidupan bermasyarakat.207

Sesuai Aturan Peralihan Pasal II dan IV UUD RI Tahun 1945 jo Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai peraturan hukum acara di pengadilan negeri untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI). HIR dan RBg merupakan bagian dari KUHPerdata (Burgelijk Wetboek).208

204 Ibid.205 E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang., op. cit., hlm. 36.206 E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang., op. cit., hlm. 30-31.207 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,

hlm. 1.208 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, disusun menurut sistem

Engelbrecht, PT Intermasa, 1989, hlm. 431.

Page 82: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 146 147B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) mengartikan benda sebagai se-gala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum. Tepatnya, objek hukum yang berupa lichamelijk (sesuai Pasal 500, 519, 570, 607 KUHPerdata), bagian dari kekayaan pada umumnya (sesuai pasal 501, 503, 508, 511 KUHPerdata), atau objek-objek hukum yang tidak dapat diraba seperti hak cipta, hak tagih, dan lain-lain.209

Sifat hak kebendaan menurut KUHPerdata adalah mutlak sebab yang berhak atas benda itu memiliki kekuasaan tertentu untuk mem per-tahankan hak tersebut terhadap siapa pun. Hak kebendaan yang paling sempurna adalah eigendom. Untuk setiap benda tidak bergerak harus ditunjukahliwarisnya; jikatidakmakabendaitumenjadimiliknegara(Pasal 520 KUHPerdata).

Tentang tanah diatur dalam Buku II KUHPerdata. Ihwal jenis barang tak bergerak, misalnya, diatur dalam Pasal 506. Tentang hak milik eigendom, Pasal 570, menyatakan:210

“Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak menggangguhak­hakoranglain;kesemuanyaitutidakmengurangikemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan peng-gantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan Perundang-undangan.”

Ihwal wilayah hukum benda tak bergerak, Pasal 99 ayat (8) Reglemen Acara Perdata (Reglement opde Rechtsvordering) menyatakan:211

“Dalam perkara mengenai hak atas benda tetap, di hadapan hakim yang di wilayah hukumnya terletak benda tetap tersebut.”

Pasal 118 ayat (3) Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement) berbunyi:212

“Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat

209 Vollmar H.F.A., Inleiding tot de studie van het Netherlends Burgerlijkrecht, disadur oleh Chidir Ali, Hukum Benda (Menurut KUHPerdata), Tarsito, Bandung, 1990, hlm. 32.

210 Ibid., hlm. 437.211 Ibid., hlm. 614.212 Ibid., hlm. 617.

atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang ba-rang tetap, maka tuntutan itu diajukan kepada kita pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu.”

Pasal 499 KUHPerdata menyatakan bahwa kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik:213

Benda dibedakan menjadi:214

Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPerdata).1. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPerdata).2. Benda dapat dipakai habis dan tidak dapat dipakai habis (Pasal 505 3. KUHPerdata).Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada (Pasal 1334 4. KUHPerdata).Benda dalam perdagangan dan di luar perdagangan (Pasal 537, Pasal 5. 1444danPasal1445KUHPerdata);Benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (Pasal 1296 6. KUHPerdata).Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-Undang Hak Tang-7. gungan,Undang­UndangJaminanFidusia);Benda atas nama dan tidak atas nama (Pasal 613 KUHPerdata, 8. Undang-Undang Pokok Agraria, dan Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pen daf tar an Tanah).

Dari pelbagai pembedaan ini yang paling penting adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak serta terdaftar dan tidak terdaftar.215

Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi:216

Benda tidak bergerak menurut sifatnya: tanah dan segala sesuatu 1. yang melekat di atasnya, misalnya pohon-pohon, tumbuh-tum-buhan, dan lain-lain (Pasal 507 KUHPerdata).Benda tidak bergerak karena tujuannya, misalnya mesin-mesin 2. yang dipakai di pabrik (Pasal 507 KUHPerdata).

213 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-hak Yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 2005, hlm. 19.

214 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 16-17.

215 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 97.

216 Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata:Hukum Benda. Yogyakarta, 1981, hlm. 20.

Page 83: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 148 149B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Benda tidak bergerak menurut ketentuan undang-undang, 3. mi sal nya hak-hak atas benda tidak bergerak, seperti hak me-mungut hasil atas benda tidak begerak, hak pakai atas benda tidak bergerak, hipotek, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPerdata).

Benda bergerak dibedakan atas:Benda bergerak karena sifatnya (Pasal 509 KUHPerdata), ialah 1. benda yang dapat dipindahkan, seperti meja, kursi, dan lain-lain, atau dapat pindah dengan sendirinya, seperti ayam, kambing (ternak), dan lain-lain. Pasal 510 KUHPerdata menyebut kapal-kapal, perahu, dan segala sesuatu yang dipasang pada perahu tersebut.Benda bergerak karena ketentuan Undang-Undang (Pasal 511 2. KUHPerdata). Misalnya hak atas benda bergerak seperti hak memu ngut hasil atas benda bergerak, hak pakai atas benda ber-gerak, dan saham-saham dalam PT.

Subekti mengatakan barang adalah benda yang memiliki bentuk nyata sehingga dapat dilihat atau dipegang. Maka barang itu disebut juga benda materil atau benda berwujud yaitu lichamelijke zaak (benda bertubuh). Tanah masuk dalam kategori benda materil yaitu barang tak bergerak.217

Hak kebendaan itu diatur oleh hukum yakni:218

Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat diper-1. tahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak menun-tut setiap orang yang mengganggu haknya.Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas.2. Hak kebendaan mempunyai 3. droit de suite artinya hak itu mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda itu berada. Jika ada beberapa hak kebendaan diletakkan di atas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pe-4. mi liknya. Hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri.

217 Ibid., hlm. 37.218 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Alumni Bandung, 1997,

hlm. 30-31.

Hak milik atas tanah, sesuai Pasal 570 KUHPerdata adalah hak untuk menikmati kegunaan tanah itu secara leluasa, dengan kedaulatan sepe-nuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang. Namun tanpa mengurangi kemungkinan hak itu dicabut demi kepentingan umum ber-dasarkan Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi.219

Berbeda Hukum tanah yang diatur oleh Buku II KUHPerdata ini berbeda secara prinsipdanfilosofidenganyangdiaturolehUUPA. UUPA tidak mengatur ihwal tanahnya, melainkan soal hak atas permukaan bumi saja. Jadi, tidak termasuk seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.220

Tanah yang dimaksud dalam UUPA tidak sama dengan tanah yang dimaksud dalam Buku II KUHPerdata sebagai benda tak bergerak, tetapi tanahdalamUUPAmemiliki asas yang sangat spesifikdanmerupakankultur budaya bangsa Indonesia. Dengan adanya asas yang meliputi atas tanah di Indonesia, maka tanah Indonesia tidak sepenuhnya mempu-nyai sifat-sifat kebendaan sebagai benda tidak bergerak berdasarkan KUHPerdata.

Asas-asas yang meliputi atas tanah yaitu asas hukum adat, asas pe-mi sahan horisontal, asas nasionalitas, asas fungsi sosial, asas peme rata-an dan keadilan, asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkung-an hidup, asas kekeluargaan, dan asas hubungan berkarakter publik, sehingga sifat kebendaan atas tanah tidak sepenuhnya lagi dalam hukum tanah menurut UUPA. Hal ini dapat dilihat dari asas nasionalitas yang meliputi tanah, menyebabkan tanah tidak dapat dibeli atau dimiliki pihak asing secara bebas.

Demikian juga, kepemilikan seseorang atas tanahnya yang ber ser-tifikatHakMiliktetaptidakmemutuskanhubunganantaraTanahdenganNegara, karena sewaktu-waktu negara memerlukan tanah tersebut untuk kepentingan umum, pemilik tanah wajib melepaskan hak tanah tersebut untuk diambil oleh Negara dengan kompensasi ganti rugi berdasarkan Undang-Undang. Ini adalah suatu konsekuensi hukum bahwa Negara mempunyai hak menguasai atas tanah.

Sesuai asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup, hak atas tanah memberi kewenangan sekaligus kewajiban kepada peme-

219 Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 38.220 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta,

2002, hlm. 61.

Page 84: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 150 151B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

gangnya untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan, dan meng ambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang dihakinya. Pema kaian mengandung kewajiban memelihara kelestarian kemampuan tanah serta mencegah kerusakan tanah, sesuai dengan tujuan pemberian, isi hak, serta peruntukan tanah yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah dari daerah di tempat tanah tersebut terletak.

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, mengandung unsur kebersamaan dan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepen -tingan umum. Penerapan hak atas tanah harus disertai dengan penghormatan terhadap hak dan martabat pemegang hak yang bersangkutan. Pengaturan keberadaan dan macam-macam hak atas tanah ada dalam Pasal 4 Ayat (1 dan 2), Pasal 16 Ayat (1) dan Pasal 53 UUPA. Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UUPA, misalnya, menyatakan:

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam 1. Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini memberi 2. wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demi-kian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Pasal 16 Ayat (1) UUPA menyatakan:Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1)

ialah:Hakmilik;1. Hakgunausaha;2. Hakgunabangunan;3. Hakpakai;4. Haksewa;5. Hakmembukatanah;6. Hakmemunguthasilhutan;7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas 8. yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.Sesuai ketentuan Pasal 16 Ayat (1) UUPA, pemerintah Indonesia

mengakui keberadaan delapan macam hak atas tanah kendati beberapa di antaranya tidak dirinci. Adapun rincian dari hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA antara lain:1. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang

da pat dimiliki warga negara Indonesia atas tanah, dengan mengingat fung si sosial dari setiap hak atas tanah. Hak milik dapat terjadi kare-na hukum adat (pembukaan tanah), penetapan pemerintah ten tang pem berian hak milik atas tanah atau karena ketentuan Undang-Undang (ketentuan konversi dari hak-hak adat). Hak milik dapat ber alih dan/atau dialihkan kepada pihak lain, misalnya dengan pe-wa risan, jual beli, hibah, wasiat, perkawinan dengan pencampuran harta dan lain sebagainya. Hak milik dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya yang lebih rendah, kecuali hak guna usaha (HGU) karena HGU hanya dapat diberikan di atas tanah negara. Untuk ke-per luan kredit, hak milik juga dapat dibebani dengan hak tang gung-an. Hak milik hapus jika:a. Tanahnya jatuh kepada negara, baik karena pencabutan hak

(Pasal 18 UUPA), penyerahan sukarela oleh pemiliknya, dite lan-tarkan atau karena melanggar prinsip nasionalitas se ba gaimana diatur dalam Pasal 21 Ayat (3) dan Pasal 26 Ayat (2) UUPA. Keberadaan hakmilik atas tanah dibuktikan dengan sertifikathak milik yang telah didaftarkan di kantor pendaftaran tanah setempat.

b. Tanahnya musnah. Artinya objek haknya sudah tidak ada lagi.Hak Guna Usaha (2. HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang di ku asai langsung oleh negara, baik untuk usaha pertanian, per-ikan an, atau peternakan. Jangka waktu HGU adalah 25 tahun, untuk perusahaan-perusahaan tertentu dapat diberikan jangka waktu maksimal sampai dengan 35 tahun. HGU dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 25 tahun. HGU diberikan kepada WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan ber-kedudukan di Indonesia. HGU terjadi karena penetapan peme rin tah atas permohonan hak yang diajukan. HGU dapat beralih atau dialih-kan. Artinya beralih, jika pemegang HGU meninggal dunia sebelum jangka waktu HGU berakhir maka hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya. Sedangkan pengalihan HGU hanya dapat dilakukan mela -lui jual beli, kecuali lelang, tukar menukar, penyertaan dalam modal dan hibah, di mana pengalihan hak tersebut harus dengan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT). HGU dapat dijadikan

Page 85: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 152 153B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

jaminan hutang dengan dibebani hak tangungan. HGU hapus jika:a. Jangka waktu berakhir.b. Dihentikan sebelum jangka waktu HGU berakhir karena sesuatu

syarat tidak dipenuhi (misalnya karena pemegang hak tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan atau karena me lang-gar ketentuan), karena putusan pengadilan (misalnya karena kesa lahan pemegang hak atau karena cacat administrasi), dan se bagainya.

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu HGU berakhir.

d. Dicabut untuk kepentingan umum.e. Ditelantarkan.f. Tanahnya musnah.g. Karena ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UUPA, yaitu karena pelang -

garan prinsip nasionalitas sehingga dianggap tidak lagi meme-nuhi syarat sebagai subjek HGU.

Hak Guna Bangunan (3. HGB), yaitu hak untuk mempunyai dan mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. HGB dapat diberikan atas tanah milik seseorang, tanah hak pengelolaan, maupun atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Subjek HGB adalah: WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGB terjadi karena:a. Penetapan pemerintah (untuk tanah yang dikuasai langsung

oleh negara).b. Perjanjian otentik antara pemilik tanah dengan pemohon HGB.HGB dapat dialihkan melalui jual beli, tukar-menukar, penyertaan

modal, hibah dan pewarisan karena peristiwa hukum bukan karena perbuatan hukum (Pasal 35 Ayat (3) UUPA). HGB juga dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. HGB dibuktikan dengan keberadaan sertifikat HGB yang telah didaftarkan di kantorpendaftaran pertanahan setempat. HGB hapus karena:

a. Jangka waktunya berakhir.b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu

syarat tidak dipenuhi.c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya

berakhir.d. Dicabut untuk kepentingan umum.

e. Ditelantarkan.f. Tanahnya musnah.g . Pemegang HGB melanggar ketentuan Pasal 36 Ayat (2) UUPA.Hak Pakai4. , yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah orang lain atau tanah negara. Objek hak pakai adalah tanah berstatus hak milik, hak pengelolaan, atau tanah negara. Hak pakai atas tanah milik orang lain dilakukan dengan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah. Subjek hak pakai dapat berupa warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan hukum di Indonesia, atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (Pasal 42 UUPA). Perluasan subjek hak pakai diatur dalam Pasal 39 PP No. 46/1996, yaitu dengan tambahan subjek hukum berupa departemen, lembaga departemen maupun pemerintah daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional. Peralihan hak pakai harus dengan perjanjian dengan pemilik hak atau izin pejabat yang berwenang. Tanah dengan hak pakai dapat dibebani dengan hak tanggungan.Hak pakai hapus jika:a. Jangka waktunya berakhir.b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka wak-

tunya berakhir karena kewajiban pemegang hak tidak dipenuhi dan atau dilanggar, suatu syarat perjanjian tidak dipenuhi atau karena putusan pengadilan.

c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.

d. Dicabut berdasarkan UU No. 20/1961.e. Ditelantarkan.f. Tanahnya musnah. g. Pemegang Hak Pakai tidak lagi memenuhi syarat sebagai subjek

hak pakai (Pasal 40 Ayat (2) UUPA).Hak Pengelolaan5. , yaitu bagian hak menguasai negara yang ke we-nangan pelaksanaan publiknya sebagian dilimpahkan kepada pe me-gang hak untuk menggunakan tanah tersebut bagi keperluan usa ha-nya. Subjek hak pengelolaan adalah:a. Departemen, jawatan, dan daerah swatantra (Penjelasan umum

UUPA dan Pasal 2 Ayat (4) UUPA).b. Badan hukum milik Pemerintah yang seluruh modalnya dimiliki

Page 86: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 154 155B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pem-ba ngunan atau pengembangan wilayah, industri, pariwisata, pelabuhan, dan permukiman (PMDN No. 5/1974).

c. Perum, Persero, atau bentuk lain yang bergerak di bidang penye-diaan, pengadaan, dan pematangan tanah bagi kegiatan usaha (PMDN No. 5/1974).

d. Badan otoritas (Keppres No. 41/1973 jo No. 94/1998).Hak pengelolaan tidak akan pernah hapus selama subjek hak pe-

ngelolaan itu masih ada. Artinya, selama instansi pengelola masih kon-sisten melaksanakan tugas pemerintahan dan tugas untuk memberikan bagian-bagian dari hak pengelolaannya kepada pihak ketiga maka hak itu masih tetap eksis. Adapun bukti keberadaan hak pengelolaan berbentuk sertifikathakpengelolaanyangtelahdidaftarkandalambukutanahyangbersangkutan oleh petugas pendaftaran tanah di kantor pendaftaran tanah setempat.

Menurut Boedi Harsono,221 sistematika hak-hak atas tanah seba gai-mana diatur dalam ketentuan Pasal 16 Ayat (1) UUPA didasarkan pada hu kum adat. Sesungguhnya, yang benar-benar merupakan hak atas ta-nah, lanjut Boedi Harsono, hanyalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa. Sedangkan Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan bukanlah hak atas tanah dalam artian yang sebenarnya karena tidak memberi kewenangan untuk meng-gunakan tanah seperti yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (2) UUPA. Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan merupakan bentuk pengejawantahan hak ulayat dalam hubungannya dengan warga masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya. Hal ini di tegaskan oleh Pasal 46 UUPA. Dengan membuka tanah ulayat yang di ikuti dengan pemanfaatannya secara nyata barulah tercipta hak atas tanah yang bersangkutan.

Selain hak-hak atas tanah tersebut di atas, Pasal 16 UUPA menyiratkan adanya kemungkinan perkembangan “sebutan” atau “jenis” hak atas tanah di masa mendatang, di mana penambahan sebutan atau jenis hak atas tanah tersebut harus tetap dilakukan dengan undang-undang. Singkatnya, hak atas tanah tidak dimungkinkan bertambah sebutan maupun jenisnya hanya dengan analogi atau taksiran ekstensif dari pengertian hak-hak

221 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 291-292.

yang sudah ada.222 Pasal 16 UUPA juga memungkinkan keberadaan hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu yang diatur dalam Pasal 53 UUPA seperti:

Hak Gadai.1. Hak Usaha Bagi Hasil.2. Hak Menumpang.3. Hak Sewa Tanah Pertanian.4. Mengingat hak atas tanah pada salah satu sisi memberi suatu kewe-

nangan tertentu kepada pemegang haknya dan di sisi lain mewajibkan pi-hak lain untuk menghormati hak-hak tersebut, maka perlu adanya pem -batasan kewenangan pemegang hak tersebut. Adapun pembatasan itu secara umum antara lain:

Penggunaan hak atas tanah tidak boleh menimbulkan kerugian pada 1. pihak lain (kepentingan umum).Penggunaan hak atas tanah harus sesuai dengan isi dan sifat hak itu 2. sendiri.Penggunaan hak atas tanah harus sesuai dengan ketentuan rencana 3. tata ruang atau tata guna tanah.Penggunaan hak atas tanah tidak boleh untuk praktik-praktik pe-4. meras an. Tidak diperbolehkan menggunakan ruang atas tanah dan ruang ba-5. wah tanah yang tidak berkaitan langsung dengan penggunaan tanah atau permukaan bumi.Selain pembatasan umum, setiap pemegang hak atas tanah juga

dibebani kewajiban umum, yaitu:Menjalankan fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 UUPA).1. Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah 2. kerusakan tanah (Pasal 52 Ayat (1) Huruf (c) UUPA). Mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertaniannya (Pasal 10 3. UUPA).Untuk kasus-kasus tertentu, pemegang hak atas tanah juga diberi

ke wajiban khusus yang umumnya dicantumkan dalam Surat Keputusan Pem berian Hak, atau dalam perjanjiannya, atau dalam peraturan-pera-turan tertentu yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Misalnya, pemberian hak atas tanah kepada perusahaan pemba-ngunan perumahan (real estate) disertai dengan kewajiban perusahaan

222 Oloan Sitorus & Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm. 75.

Page 87: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 156 157B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

itu menyediakan tanah bagi keperluan fasilitas sosial. Untuk jangka waktu tertentu juga memelihara prasarana lingkungan dan tanah untuk ke perluan sosial yang bersangkutan.223

Pendaftaran tanahKepastian hukum merupakan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria. Demi cita-cita kepastian hukum UUPA telah mewajibkan pendaftaran hak- hak tertentu atas tanah termasuk hak-hak atas tanah menurut hu kum adat.224

Pasal 19 ayat (1) UUPA merupakan landasan hukum pendaftaran tanah di Indonesia. Pemerintah diwajibkan menyelenggarakan pendaftar-an tanah di seluruh wilayah RI. Adapun aturan pelaksanaan dari Pasal 19 ayat (1) ini adalah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pen-daftaran Tanah.

Dengan berlakunya ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 status quo pun terjadi. Artinya tidak mungkin lagi diterbitkan surat-surat keterangan tentang hak-hak seseorang atas hak milik adat kecuali menerangkan bahwa tanah tertentu merupakan hak-hak adat. Tanah-tanah berstatus hak-hak milik Barat yang tunduk kepada KUHPerdata harus memenuhi ketentuan konversi hak-hak atas tanah.225

Pendaftaran tanah merupakan serangkaian proses. Pasal 3 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 menyatakan sebagai berikut:

“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi:

Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan penguasaan dan 1. penggunaan tanah.Merumuskan kebijaksanaan dan perencanaan pengaturan pemilikan 2. tanah dengan prinsip-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.Melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah 3. dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan.Melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka meme-4. lihara tertib administrasi di bidang pertanahan.Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan 5. serta pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan.

223 Boedi Harsono, op. cit., hlm. 299.224 Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya,

Alumni, Bandung, 1983, hlm. 8.225 Parlindungan A.P., Pendaftaran Tanah Di Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 2.

Lain-lain ditetapkan oleh presiden”.6. 226

Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan diper-kuat dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1986 Pasal 3c suatu aturan ten tang pelaksanaan pendaftaran tanah untuk kepastian hukum terhadap hak­hakatastanahdiIndonesia.Berlakunyaunifikasipendaftarantanahun tuk seluruh Indonesia, berdasarkan kepada Undang-Undang Pokok Agra ria. Para ahli menyatakan pendaftaran itu bertujuan baik untuk kepas tian hak seseorang, pengelakan suatu sengketa perbatasan dan juga un tuk penetapan suatu perpajakan.227

Dalam konteks yang lebih luas lagi, pendaftaran menjadi dasar in-for masi untuk mengetahui bidang tanah, penggunaannya, peman faat an -nya, untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, dan potensinya. Juga informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan ta nah -nya, serta pajak tanah dan bangunan tersebut. Pasal 23, 32, dan 38 UUPA menyebut, pendaftaran tanah diwajibkan agar pemilik hak beroleh ke -pastian hukum. Jadi pendaftaran adalah demi kepentingan hukum mereka sendiri. Pendaftaran tanah dan setiap peralihan tanah, peng ha pusan dan pembebanannya atas tanah, demikian pendaftaran per tama kali ataupun pendaftaran karena konversi, ataupun pembe basan nya akan banyak membutuhkan kompilasi hukum jika tidak didaftarkan proses hukum hak atas tanah tersebut dapat merugikan pemegang haknya karena pen -daftaran atas tanah tersebut merupakan bukti kuat bagi pemegang hak atas tanah tersebut.

Jika terjadi sengketa pertanahan maka pembuktian atas kepemilikan tanahsangatdiperlukandenganmengajukansertifikatkepemilikantanahtersebut sebagai bukti terkuat. Kepemilikan atas sebidang tanah hanya da pat dikatakan mempunyai jaminan kepastian hukum bila hak atas ta-nah yang dimilikinya telah terdaftar di BPN.

Konsepsi hukum Pertanahan Konsepsi hukum pertanahan di Indonesia pada prinsipnya bersumber pada naskah Proklamasi dan UUD 1945. Dari naskah Proklamasi maupun Pembukaan UUD 1945 itu jugalah dapat diambil intisari dan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

226 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta,1989, hlm. 883.

227 Parlindungan A.P., op. cit., hlm. 6

Page 88: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 158 159B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap 1. bang sa dan tumpah darah Indonesia.Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan 2. umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia, serta ikut serta me lak sanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, per damaian abadi dan keadilan sosial.Kemerdekaan Bangsa Indonesia harus disusun dalam suatu Undang-3. Undang Dasar.Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat 4. yang didasarkan pada kelima sila dari Pancasila.

Perwujudan pokok-pokok pikiran bahwa kemerdekaan Bangsa Indo-nesia harus disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar sudah terea li-sa si dengan lahirnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang me-muat rechtsidee atau cita-cita hukum sebagaimana dimuat dalam Bab Umum Penjelasan UUD 1945 yang terbentuk dari pokok-pokok pikiran da lam pembukaan beserta pasal-pasalnya. Karena hanya memuat aturan- aturan pokok, ketentuan-ketentuan hukum yang dimuat dalam UUD 1945 perlu ditindaklanjuti dengan aturan-aturan pelaksanaannya. Untuk itu, diperlukan analisis yang mendalam terhadap pasal-pasalnya, prediksi yang tepat dan akurat atas penerapan aturan pelaksana dalam prak tik kehidupan masyarakat sehari-hari, penyesuaian dengan suasana keba-tinan Bangsa Indonesia serta memahami dengan seksama latar belakang sejarah pembentukan hukum itu sendiri.

Kebijakan nasional di bidang pertanahan tentang penguasaan dan pe-na taan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, penguasaan tanah oleh negara harus sesuai dengan tujuan pemanfaatannya dan perlu mem perhatikan kepentingan masyarakat luas serta tidak menimbulkan sengketa tanah.

Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana ta ta ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan mem per-hatikan hak-hak atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas mak si mum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian, termasuk ber bagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan pe nelantaran tanah. Penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam ska la besar untuk mendukung upaya pembangunan nasional dan dae rah ha rus tetap mempertimbangkan aspek sosial, politik ketahanan kea man an dan pelestarian lingkungan hidup.

Pemerataan kesejahteraan yang dilahirkan melalui pembangunan di segala bidang diselenggarakan melalui penataan penguasaan dan pe-man faatan tanah melalui kegiatan redistribusi atau konsolidasi tanah yangdilakukandenganpemberiansertifikathakatastanahgunamem­beri kepastian hak. Selain untuk menunjang dan mempercepat pengem-bangan wilayah, pemerataan peruntukan tanah juga dimaksud un tuk me-nanggulangi kemiskinan serta untuk mencegah kesenjangan sosial yang timbul akibat penguasaan tanah yang tidak merata. Untuk itu, pem ba-ngunan bidang pertanahan perlu dilakukan dan didukung oleh pe nyem-purnaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dipan dang su -dah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial, politik dan hukum di masyarakat.

Salah satu contoh penyempurnaan hukum di bidang pertanahan yang telah dilakukan adalah pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai aturan pelaksana dari Pasal 19 UUPA, yang kemudian diperbaharui oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Aturan tentang pen -daf taran tanah inilah yang meletakkan landasan bagi UUPA untuk meng-operasikan tata laksana pendaftaran tanah yang diperlukan segera.

Pembentukan landasan hukum baru guna mengoptimalkan pene rap-an aturan-aturan pokok yang terkandung dalam UUPA perlu dise suaikan dengan kondisi dan kebutuhan hukum masyarakat saat itu, termasuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Selain itu, perlu juga dibentuk langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi berbagai perubahan yang dapat mengakibatkan per-geseran kerangka dan/atau penerapan Hukum Adat yang mendasari pemberlakuan hukum agraria setempat.

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa semua kegiatan pembentukan dan penerapan kaidah hukum baru sebagai pelaksana ke-ten tuan-ketentuan pokok UUPA seyogianya mempunyai satu tujuan akhir yang sama, yaitu untuk dipergunakan bagi pencapaian sebesar-besar nya kemakmuran rakyat. Untuk itu, negara mempunyai andil yang sangat besar untuk mengusahakan agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi di kuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adapun yang dimaksud dengan negara itu sendiri tidak hanya terdiri atas aparat pemerintahan saja, melainkan juga warga negara, daerah, dan kekuasaan tertinggi yang merupakan anasir suatu negara, di mana ketiga

Page 89: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

s e n g k e ta ta n a h 160 161B a B 2 : h U k U M a g r a r I a s e Pa n j a n g M a s a

un sur tersebut dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan Republik Indo-nesia.

Konsepsi hukum tanah nasional adalah konsepsi hukum adat, yaitu konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, na mun di dalamnya juga terkandung unsur kebersamaan.228 Sifat komu-na listik religius konsepsi hukum pertanahan nasional ini diatur oleh Pasal 1 Ayat (2) UUPA229 yang menyebutkan:

“Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”

Hukum Adat adalah sumber Hukum Agraria, yang menurut Ali Ach-mad Chomzah230 termasuk dalam sumber hukum tidak tertulis, yang ke-be radaannya diakui dan dilindungi oleh konstitusi RI. Pengakuan dan per lindungan terhadap eksistensi Hukum Adat telah dilakukan aturan- atur an tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam231 sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 UU No. 5/ 1960 berserta peraturan pelaksananya.

Sebagai Undang-Undang pokok yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia, Pasal 5 UUPA menegaskan keberadaan Hukum Adat sebagai dasar/sumber Hukum Agraria sebagai berikut:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepen-tingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme yang tercantum dalam Undang-Undang dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama”.

Pasal 5 UUPA secara tegas menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah Hukum Adat. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Hukum Adat sangat kuat kedudukannya dalam

228 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, 2003, hlm. 229.

229 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, 1989, hlm. 5.

230 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 18-19.231 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

UUPA;bahkanHukumAdatmerupakandasarbagihukumpertanahanyang baru, yang terwujud dalam UUPA.

Kedudukan Hukum Adat di dalam UUPA pada hakikatnya dimak-sudkan untuk menciptakan kesatuan hukum di bidang pertanahan. Apa-bila dahulu terdapat dualisme hukum pertanahan, yaitu Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat, maka dengan dijadikannya Hukum Adat sebagai dasar Hukum Pertanahan di Indonesia, secara otomatis ter cipta unifikasihukumpertanahandiIndonesia.

Pemilihan Hukum Adat sebagai dasar UUPA dilandaskan pada pe-mikiran bahwa Hukum Adat adalah hukum yang sesuai dengan kepri-badian bangsa Indonesia dan merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli. Oleh karena sebagian besar rakyat Indonesia tunduk pada Hukum Adat, maka UUPA didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan deng an kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubung-an nya dengan masyarakat internasional, termasuk penyesuaian dengan sosialisme Indonesia.

Hukum adat sebagai dasar dari UUPA adalah Hukum Adat yang sudah di-saneer, yaitu Hukum Adat yang hukum aslinya berlaku bagi go-longan rakyat pribumi, yang selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.232

232 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 174.

Page 90: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

land reform yang Kandas secara PrematurDITINJAU dari sejarahnya, hubungan tanah dengan manusia telah lama mendapat perhatian dan selalu berkembang seiring dengan perkembangan budaya masyarakat yang juga tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor seperti faktor sosial, politik dan ekonomi. Kuatnya sistem penguasaan tanah oleh masyarakat adat merupakan cerminan sistem sosial budaya dan perekonomian tradisional yang hidup di Indonesia, seperti pada zaman Majapahit, di mana rakyat hanya diperkenankan menguasai tanah berdasarkan hak pakai dengan penguasa tertinggi adalah raja.233

Sejak masuknya Belanda di Indonesia, maka di samping hukum tanah adat, juga diberlakukan hukum tanah Barat, yang kemudian mengarah pada hukum pertanahan modern. Ketika Belanda menerapkan hukum Barat terhadap sistem penguasaan tanah-tanah di Indonesia, hukum yang dijadikan acuan adalah hukum Barat yang disesuaikan dengan ke-pen tingan penjajah. Hal inilah yang akhirnya melemahkan sendi-sendi hukum adat sehingga menimbulkan dualisme hukum pertanahan di

233 S. Syamsuddin dkk, 1982, Pertanahan dalam Era Pembangunan Indonesia, Jakarta: ‘Depdagri’, hlm. 17.

Bab 3

Permasalahan dan sengketa Pertanahan di indonesia

Page 91: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

164 s e n g k e ta ta n a h 165B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Indo nesia. Pemberlakukan dualisme sistem hukum pertanahan ini juga-lah yang kemudian memicu timbulnya pertentangan-pertentangan di antara warga masyarakat, baik yang berkaitan dengan obyek tanah mau-pun kepemilikannya.

Langkah awal yang diambil pemerintah Sukarno untuk membumi-kan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah melaksanakan land reform. Gerakan yang sangat populer yang bertujuan mengubah struktur kepemilikan tanah dengan pemihakan pada kaum jelata ini tentu saja disambut rakyat banyak. Ternyata program ini harus berhenti di tengah jalan akibat pergantian rezim yang mendadak di Tanah Air.

Terlepas dari kekandasannya yang prematur, gerakan populis ini tetap menarik untuk kita telaah. Termasuk ihwal dasar pemikiran dan implementasinya. Mari kita mulai dari konsepsinya.

Sejumlahpakarmembuatdefinisiland reform. Di antaranya:234

Land reform is a revolution which reforms the social system, a whole series of political, economic and cultural revolutions, destroying the old and establishing the new, with division of the land as the central element. Division of the land is a result the peasant masses attain through political and economic strunggle; it is a result of peasant dictatorship; it is “the land returning to its original owners”, it is the peasants seizing the landlords, land by revolutionary methods.

Terjemahannya:

Land reform adalah revolusi yang mereformasi sistem sosial, keselu-ruhan revolusi politis, ekonomi dan budaya, menghancurkan yang lama dan menetapkan yang baru, dengan pembagian tanah sebagai unsur utamanya. Pembagian tanah merupakan hasil pen capaian massapetanimelaluipergulatanpolitikdanekonomi;merupakanhasil kediktatoran petani; berupa “kembalinya tanah ke pemilikaslinya”, berupa kaum petani menyita tanah dari tuan tanah, dengan metode yang revolusioner.

Dalam Laporan Ketiga atas “Progress of Land Reform”, PBB me nya-takan:235

Land reform as an integrated of measures designed to eliminate obstracles to economic and social development arising out of defects in the agrarian structure.

234 Emoise, Edwin, Landreform in China and North Vietnam, The University of North Carolina Press, London, 1983, hlm. 27.

235 Ibid., hlm. 175.

Terjemahannya:

Reformasi tanah sebagai suatu tindakan terpadu yang dirancang untuk menghilangkan hambatan pembangungan sosial dan eko no mi yang timbul sebagai akibat dari kesalahan dalam struktur agraria.

Land reform dalam arti sempit, menurut Boedi Harsono,236 adalah se rang kaian tindakan dalam rangka reformasi agraria Indonesia.

Dariketigadefinisidiatasdapatkitasimpulkanbahwaland reform me rupakan sebuah kebijakan pertanahan yang meliputi perombakan kepe milikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum terkait deng-an pengusahaan tanah tersebut. Dalam land reform terkandung unsur- unsur:237

Adanya pembagian tanah dan perombakan sistem persewaan tanah.1. Merupakan upaya pemerataan penghasilan dan kekayaan.2. Merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian me-3. la lui implementasi peraturan pemerintah serta aktivitas legal dari prog ram umum.

Di Indonesia, dalam kurun waktu lima tahun pertama sejak UUPA disahkan, yaitu melalui Repelita III sebagaimana amanat GBHN, diber la-kukanlah reformasi penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian. Lang-kah ini kemudian dikenal dengan istilah land reform. Tujuannya untuk:

Membagi secara adil sumber penghidupan petani yang berupa tanah 1. sehingga akan tercipta pembagian hasil yang adil pula.Melaksanakan prinsip “tanah untuk tani” sehingga tanah tidak lagi 2. dijadikan obyek spekulasi dan alat pemerasan.Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah yang berfungsi 3. sosial dan tanpa memandang jenis kelamin.Mengakhiri sistem “tuan tanah” dan meniadakan pemilikan serta pe ngu-4. asaan tanah secara besar-besaran melalui penetapan batas mak si mum dan minimum kepemilikan atau penguasaan tanah bagi tiap keluarga.Meningkatkan produksi nasional dan mendorong terse lenggaranya 5. pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi maupun bentuk lainnya, guna mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus bagi petani.

236 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 367.

237 Inayatullah, Landreform, APDAC Publication, Kuala Lumpur, 1980, hlm. 3

Page 92: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

166 s e n g k e ta ta n a h 167B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Singkatnya, penyelenggaraan land reform di Indonesia ditujukan untuk membebaskan petani dan rakyat jelata dari pengaruh kolonialisme, imperalisme, feodalisme, dan kapitalisme. Juga untuk meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. Program land reform yang dijalankan di Indonesia meliputi beberapa hal, antara lain:238

Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.1. Larangan pemilikan tanah secara 2. absentee atau guntai.Redistribusi tanah kelebihan dari batas maksimum yang telah di-3. te tapkan, tanah-tanah yang terkena larangan absentee, dan tanah-tanah bekas swapraja serta tanah-tanah negara.Pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang di-4. ga daikan.Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian. 5. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, termasuk la-6. rang an untuk memecah kepemilikan tanah pertanian menjadi ba-gian- bagian yang terlampau kecil.

Guna melaksanakan land reform, pemerintah menetapkan sejumlah aturan pelaksananya, di antaranya:239

Larangan menguasai tanah melampaui batas maksimum kepemilikan 1. atau penguasaan tanah. Ini diatur dalam Pasal 7 dan 17 UUPA.Penetapan luas maksimum, kepemilikan atau penguasaan tanah, 2. diatur dalam Pasal 17 UUPA juncto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (LN 1960 No. 174, TLN No. 5117) tentang Penetapan Luas Tanah Per tanian. UU No. 56 Prp Tahun 1960 inilah yang disebut Undang-Undang land reform Indonesia, di mana di dalamnya diatur tiga hal pokok, yaitu:a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah

pertanian.b. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan la rang-

an untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecah-

238 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 365-370.

239 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

an pe milikan tanah menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil serta.

c. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang diga-daikan.

Seiring dengan kebutuhan daerah maka aturan mengenai penetapan luas maksimum kepemilikan atau penguasaan tanah ini diperjelas lagi oleh Menteri Agraria dengan keputusannya pada 31 Desember 1960 Nomor SK/978/Ka/1960. Tertulis dalam keputusan itu penetapan batas maksimum pemilikan atau penguasaan tanah untuk Dati II didasarkan pada kepadatan penduduk di masing-masing daerah tingkat II (Dati II) serta dengan memperhatikan keadaan sosial ekonomi daerah yang bersangkutan.

Pengadilan Land reformPenyelesaian perkara yang timbul karena penerapan aturan land reform harus secepatnya. Kalau tidak, akan terhambatlah penyelenggaraan program populis itu. Mengingat kekhususan dari perkara-perkara yang ter kait dengan program ini pemerintah Sukarno membentuk badan peradilan tersendiri, yaitu pengadilan land reform. Dasar pem ben tukan-nya mengacu pada Undang-Undang nomor 21 Tahun 1964 (LN 1964 No. 109 – TLN No. 2701).240

Pengadilan land reform hanya mengadili perkara-perkara perdata, pidana, dan administrasi yang timbul karena penerapan peraturan land reform seperti UU No. 2/1960, UU No. 56 Prp Tahun 1960, UU No. 5/1960, UU No. 38 Prp Tahun 1960, UU No. 51 Prp Tahun 1960 dan UU No. 16/1964.241

Untuk membedakan kewenangan mengadili yang dimiliki pengadil-an land reform dari pengadilan negeri ditetapkanlah Keputusan Ber sa ma Presidium Kabinet, Menko Hukum dan Dalam Negeri/Ketua Mahka mah Agung, Menteri Agraria dan Menteri Pertanian pada 23 Agustus 1965 No. Aa/E/106/1965 serta Ketetapan Mahkamah Agung pada 12 Juni 1967 No. 6/KM/845/MA.III/67.242

Pengadilan land reform terdiri atas tingkat pusat dan daerah yang tempat kedudukannya ditetapkan menteri kehakiman atas usul menteri

240 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964.241 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 400-410242 Ibid.

Page 93: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

168 s e n g k e ta ta n a h 169B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

agraria. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 16 No-vember 1964 Nomor YB 1/2/9 dibentuk 18 pengadilan land reform dae-rah yang merupakan pengadilan land reform tingkat pertama, di mana daerah hukumnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Irian Barat. Untuk perkara banding, penanganannya dilimpahkan ke penga dil-an land reform pusat.243

Putusan pengadilan land reform pusat tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung, kecuali demi kepentingan hukum yang diajukan oleh jaksa agung. Pada prinsipnya perkara land reform harus diadili oleh pengadilan land reform daerah, tempat tanah yang berperkara itu terletak. Namun jika dipandang perlu pemeriksaan dan pemutusan perkara dapat dilakukan di tempat terjadinya perkara.244

Keistimewaan lain yang menonjol dari pengadilan land reform ada -lah susunannya, yang merupakan unikum dalam sejarah peradilan Indo-nesia. Yakni keikutsertaan dari perwakilan organisasi tani sebagai hakim anggota.245 Setiap pengadilan land reform—baik pusat maupun daerah—terdiri atas satu atau beberapa kesatuan majelis, yang masing-masing kesatuan terdiri atas:

Seorang hakim dari pengadilan umum sebagai ketua.1. Seorang pejabat dari departemen agraria sebagai anggota.2. Tiga orang wakil organisasi massa tani sebagai anggota dan harus 3. men cerminkan poros Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom).

Dalam praktiknya peradilan land reform tidak berjalan lancar. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain karena terlalu luasnya wila-yah hukum tiap-tiap pengadilan land reform daerah. Untuk menyiasati ke-kurangan tersebut maka melalui Keputusan Presidium Kabinet tanggal 15 Maret 1967 Nomor 58/U/REP/3/1967, jumlah pengadilan land reform di-perbanyak menjadi 150 atau sama banyaknya dengan pengadilan ne ge ri.246

Selain itu, dalam praktik penyelenggaraan peradilan land reform itu sendiri banyak dijumpai kekosongan aturan hukum sehingga dapat me micu timbulnya persoalan hukum baru. Contohnya, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 sebagai peraturan perundang-undangan induk dari land reformtidakmendefinisikansecarajelasapaitutanahpertanian,

243 Ibid.244 Ibid.245 Ibid., hlm. 407.246 Keputusan Presidium Kabinet tanggal 15 Maret 1967 Nomor 58/U/REP/3/1967.

sawah, dan tanah kering. Untuk menutupi celah hukum ini maka pada 5 Januari 1961 diterbitkanlah Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria No. Sekra 9/1/12.247

Contoh lain, kurang tegasnya penjelasan yang diberikan oleh Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 telah mengaburkan batas-batas wewenang pngadilan negeri dan pengadilan land reform dalam mengadili perkara ga-dai tanah pertanian. Untuk menutupi kekosongan hukum tersebut, maka pada 12 Juni 1967 Mahkamah Agung mengeluarkan suatu ketetapan baru yang mengatur bahwa hanya perkara perdata berupa pengembalian gadai ta nah pertanian yang timbul dalam pelaksanaan peraturan land reform saja yang menjadi kewenangan mengadili dari pengadilan land reform.248

Perkara-perkara gadai tanah lain yang tidak ada sangkut paut dengan pelaksanaan land reform (penetapan luas tanah pertanian) merupakan ke we _nangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadilinya. Namun se mua perkara pidana yang timbul karena pelaksanaan land reform tetap menjadi wewenang pengadilan land reform untuk me merik sa dan meng adili nya.

Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah tersebut me-mi liki keterkaitan dengan pelaksanaan land reform sehingga peradilan per karanya menjadi kewenangan pengadilan land reform, maka pihak yang berkepentingan wajib menyampaikan surat keterangan dari panitia land reform tingkat II tentang hal tersebut. Jika oleh karena sesuatu hal ke te rangan tersebut tidak dapat disampaikan secara tertulis, maka atas per mintaan yang berkepentingan atau karena jabatannya hakim yang mengadili perkara tersebut harus memanggil ketua panitia land reform tingkat II tersebut atau wakilnya untuk didengar sebagai saksi.249

Sumber daya manusia penegak hukumnya juga menjadi masalah. Ternyata para pejabat terkait banyak sekali yang tak peduli terhadap peraturan-peraturan land reform seperti penerapan ketentuan UU No. 56 Prp 1960, PP No. 224 Tahun 1961, UU No. 2 Tahun 1960. Akibatnya, banyak persoalan tanah di pengadilan land reform tidak dapat diselesaikan dengan baik. Kelak, pada masa Orde Baru pun begitu: Kepres No. 13 Tahun 1980 maupun Repelita-Repelita yang sudah dan atau sedang dijalani diabaikan oleh otoritas.250

247 Boedi Harsono, op. cit.248 Ibid.249 A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Alumni, Bandung, 1990,

hlm. 80-82.250 Ibid., hlm. 81.

Page 94: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

170 s e n g k e ta ta n a h 171B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

KandasBerdasarkan uraian di atas tampak bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengatur pemilikan atau penguasaan tanah sebaik-baik-nya melalui perangkat perundang-undangan. Namun dalam prak tik nya, pelaksanaan land reform tidaklah berjalan mulus. Tidak sedikit warga masyarakat yang menentang kebijakan pembatasan kepemilikan tanah ter sebut, walaupun itu dilaksanakan dengan alasan untuk mengubah sis-tem penguasaan tanah yang feodalistis menjadi lebih adil demi ter cipta-nya pemerataan pemilikan tanah. Juga, meski ada pembayaran ganti rugi untuk kelebihan tanah yang diserahkan.

Salah satu faktor penyebab tersendatnya land reform adalah keadilan yang diperjuangkan oleh pemerintah bersama petani tidak dirasakan pe-miliktanah.Terutamajikatanahitumerekaperolehdenganjerihpayah;tidak rela mereka tanah miliknya diambil alih pihak lain. Kondisi sema kin buruk sebab program land reform ternyata ditompangi sejumlah ok num penguasa dan pengusaha kaya.

Seiring waktu land reform yang awalnya merupakan kebijakan poli tik pemerintah untuk merombak struktur penguasaan tanah yang diwarnai feo dalisme tidak dapat dikembangkan dengan mulus karena adanya pe-man faatan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Muncul kemudian per-sep si bahwa UUPA merupakan produk PKI.

Sukarno digantikan Soeharto sebagai kepala negara. Selama peme-rin tahan Soeharto (sebutannya: Orde Baru) kebijakan politik eko nomi In do nesia berfokus pada pertumbuhan. Land reform tidak lagi men jadi isu sentral.

Pemerintah Soeharto menganggap banyak ketidakjelasan hukum yang berkaitan dengan land reform ini. Selain itu penyelesaian perkara tanah oleh pengadilan land reform pun tidak efektif. Pula, materi yang diatur dalam peraturan land reform, khususnya UU No. 21/1964, berten-tangan dengan materi yang diatur dalam UUD 1945. Maka, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 tanggal 31 Juli 1970 (LN 1970 No. 41 – TLN No. 2939), UU No. 21/1964 dicabut dan pengadilan land reform dihapuskan. Sejak itu semua perkara pertanahan, termasuk perkara gadai tanah, diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Di masa Orde Baru Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lem baga tinggi negara memberi perhatian yang cukup serius terhadap masalah per tanahan nasional. Lembaga ini pun merasa perlu menetapkan arah

dan dasar bagi pembangunan nasional di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam. MPR lantas menyatakan bahwa pembaruan agraria men cakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan pe-na taan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sum ber daya agraria. Pembaruan dilaksanakan agar ada kepastian dan per lindungan hukum, keadilan serta kemakmuran bagi seluruh rakyat Indo nesia.251

Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, menurut MPR, harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:252

Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan 1. Republik Indonesia. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 2. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keaneka-3. ragamandalamunifikasihukum.Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas 4. sumber daya manusia Indonesia. Mengembangkan demokrasi, kepastian hukum, transparansi dan 5. optimalisasi partisipasi rakyat.Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan yang dapat memberi 6. manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun gene-rasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat-manfaat 7. yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi men -datang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya du-kung lingkungan.Melaksanakan fungsi sosial kelestarian dan fungsi ekologis sesuai 8. dengan kondisi sosial budaya setempat.Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pem ba-9. ngunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum 10. adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sum-ber daya alam.

251 Pasal 2, Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

252 Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Tugujogja, 2005, hlm. 162.

Page 95: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

172 s e n g k e ta ta n a h 173B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, peme rin-11. tah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa-atau yang se-tingkat), masyarakat dan individu.Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di 12. ting kat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa, atau yang setingkat berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka arah kebijakan pem-baruan agraria menurut ketentuan Pasal 5 MPR adalah:253

Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perun -1. dang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sin-k ronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan per undang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai-ma na dimaksud Pasal 4.Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, peng gu-2. naan dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inven tarisasi dan 3. re gistrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan ta-nah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan land reform.Menyelesaikankonflik­konflikyangberkenaandengansumberdaya4. agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflikdimasamendatanggunamenjaminterlaksananyapenegakanhukum dengan di dasar kan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimak-sud Pasal 4.Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka meng-5. emban pelaksanaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik­konfliksumberdayaagrariayangterjadi.Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam me-6. laksanakanprogrampembaruanagrariadanpenyelesaiankonflik­konfliksumberdayaagrariayangterjadi.

Sebagai tindak lanjut pembaruan agraria dan sumber daya alam, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 34 tahun

253 Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, hlm. 162-163.

2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keputusan ini merupakan landasan pengelolaan urusan pertanahan secara utuh dan terpadu, yakni mencakup seluruh aspek dan harus terdapat sinkronisasi kebijakan pertanahan dengan sektor lain. Dalam kebijakan nasional di bidang pertanahan terdapat dua hal penting, yaitu:254

Penugasan kepada Badan Pertanahan Nasional (1. BPN) untuk mela-kukan langkah-langkah percepatan:a. Penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA, RUU Hak atas Tanah

dan peraturan perundang-undangan yang lain.b. Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan

yang meliputi:Penyusunan • database tanah-tanah aset negara/ins tansi pe-me rintah termasuk pemerintah daerah di seluruh wilayah Indonesia.Penyiapan aplikasi tekstual dan spasial bagi pelayanan pen-•daftaran tanah dan penyusunan database pe ngua saan dan pemilikan tanah yang dihubungkan dengan e-government, e­commerce dan e­payment.Pemetaan kadasteral [sesuai dengan batas-batas tanah yang •ditentukan oleh badan pencatat tanah milik—ed.] dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penguasaan, •pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sis-teminformasigeografidalamrangkamemeliharaketahananpangan nasional.

Penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota, provinsi untuk me-2. lak sanakan kewenangan di bidang pertanahan yang meliputi:a. Pemberian izin lokasi3. b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunanc. Penyelesaian sengketa tanah garapand. Penyelesaian masalah ganti rugi dan santunan tanah untuk pem-

bangunane. Penetapan subyek dan obyek redistribusi serta ganti rugi tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee [atau tanah guntai, artinya tanah yang pemiliknya bukan penduduk daerah yang bersangkutan—ed.]

254 Rusmadi Murad, op. cit., hlm. 5-6.

Page 96: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

174 s e n g k e ta ta n a h 175B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah kosongg. Penyelesaian tanah ulayath. Pemberian izin membuka tanah i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

Ketimpangan dan ketidakmerataan penguasaan tanah sejak masa Orde Baru sangat serius. Sejumlah perusahaan yang memegang hak pe-ngua saan hutan (HPH), misalnya, menguasai jutaan hektar tanah. Jelas, ini sangat bertentangan dengan semangat land reform (dan UUPA). Cerita kemungkinan besar akan lain andai saja gerakan populer ini tak kandas secara prematur.

sengketa PertanahanSengketa tanah terjadi karena tanah mempunyai kedudukan yang penting, yang dapat membuktikan kemerdekaan dan kedaulatan pemiliknya. Tanah mempunyai fungsi dalam rangka integritas negara dan fungsi sebagai modal dasar dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.255 Pentingnya kedudukan tanah bagi negara Republik Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan:Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang 1. terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indo nesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang ang-2. kasa termaksud dalam ayat (2) Pasal ini adalah hubungan yang ber-sifat abadi.Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula 3. tanah bumi di bawahnya serta berada di bawah air. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun 4. laut wilayah Indonesia.Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air 5. tersebut ayat (4) dan ayat (3) Pasal ini.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa bagi bangsa

255 Abdurahman, op. cit., hlm. 1.

Indonesia, tanah memiliki hubungan yang sangat erat dan bersifat abadi, sehingga kedudukan tanah bagi bangsa Indonesia merupakan satu ke-satuan utuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Lebih lan-jut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria di tegaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi keku asa-an seluruh rakyat.

Ketentuan ini bersifat imperatif, karena mengandung perintah ke-pada Negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam-nya diletakkan dalam penguasaan Negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang diletakkan dalam penguasaan Negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.256

Secara yuridis Undang-Undang Pokok Agraria telah menetapkan asas-asas pokok dalam pengadaan tanah. Ketentuan hukum tanah na-sional mengenai pemberian perlindungan kepada rakyat didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:257

Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk ke per-1. luan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya 2. (ilegal) tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960).Penguasaan dan penggunaan tanah yang dilandasi hak yang di se-3. dia kan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum ter ha dap gang guan dari pihak manapun, baik oleh sesama warga masyarakat, maupunolehpenguasasekalipun;Oleh hukum disediakan beberapa sarana hukum untuk menanggu-4. langi gangguan yang dihadapi seperti:a. Gangguan dari sesama anggota masyarakat melalui gugatan per-5. data pada Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada

256 Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 26.

257 Boedi Harsono, Sengketa Tanah Dewasa ini, akar permasalahan dan Penanggulangannya, Ma-kalah disajikan dalam Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya”, di Jakarta, 20 Agustus 2003, hlm. 4-5.

Page 97: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

176 s e n g k e ta ta n a h 177B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Bupati/Walikotamadya,menurutUUNo.51/Prp1961diatas;b. Gangguan oleh Penguasa melalui gugatan Pengadilan Negeri

atau Pengadilan Tata Usaha Negara.Dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan 6. apapun, juga untuk proyek-proyek kepentingan umum, perolehan tanah yang dihaki seseorang atau badan hukum perdata, harus me-lalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai pe-nye rahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan, maupun menge-naiimbalannyakepadayangberhakatasnya;Maka dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlu kan 7. tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pi-hak siapapun kepada pihak yang berhak atas tanah untuk menyerah-kantanahnyadanmenerimaimbalan,yangtidakdisetujuinya;Hanya dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkut an 8. diperlukan untuk menyelenggarakan kepen tingan umum dan tidak mungkin menggunakan tanah lain, sedang musyawarah yang dia da -kan tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai kedua hal yang di maksud di atas, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, me la-lui apa yang disebut pencabutan hak, sebagaimana diatur dalam UU 20 tahun 1961 dan pelaksanaannya dalam PP 39 tahun 1973.Tetapi biarpun pengambilan tanahnya dapat dilakukan secara pak-9. sa, artinya tidak memerlukan persetujuan yang berhak, jika tidak menye tujui imbalan yang ditawarkan, pihak yang tanahnya diambil ber hak untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tinggi, agar di tetapkan imbalannya.Dalam menetapkan imbalan tersebut Pengadilan Tinggi wajib mem -10. per hatikan asas, yang bersifat universal, yang ditegaskan dalam Per-aturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973, bahwa dengan diam bil nya tanah tersebut, keadaan sosial ekonomi bekas pemegang haknya ti-dakbolehmenjadimundur;Maka jumlah imbalannya tidak cukup hanya meliputi nilai tanah, 11. bang unan dan tanaman yang ada di atasnya, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993, tetapi juga keru-gian-kerugian di bidang lain yang dialaminya.Merujuk kepada prinsip-prinsip pertanahan seperti tersebut di atas,

seyogyanya tidak akan terjadi sengketa tanah di Indonesia. Kalaupun terjadi sengketa, tentunya dapat diselesaikan dengan tuntas dan sing-kat, asalkan prinsip-prinsip pertanahan dijalankan oleh semua pihak. Namun sayangnya, karena nilai ekonomis yang tinggi dari tanah serta

mendesaknya kebutuhan akan tanah, banyak pihak yang buta dan mela-kukan pengambil alihan hak atas tanah dengan mengabaikan prinsip-prinsip pertanahan tersebut.

Walaupun setelah kemerdekaan dualisme ketentuan perta nahan masih belum dapat diatasi secara tuntas, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agra ria yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menurut hukum, dualisme hukum di bidang pertanahan ber-akhir, sekalipun dalam kenyataan di lapangan masih terdapat berbagai permasalahan yang perlu pengaturan-pengaturan khusus.

Sampai saat ini masih ada tanah-tanah yang belum memiliki surat bukti hak atas tanah karena merupakan warisan hukum adat maupun hak-hak atas tanah menurut hukum kolonial sehingga menimbulkan per-soalan tersendiri dan setiap tahunnya sengketa pertanahan cenderung mengalami peningkatan, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Sengketa pertanahan yang muncul setiap tahunnya menun jukkan bahwa penanganan tentang kebijakan pertanahan di Indonesia belum da-pat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa faktor yang me-nyebabkan timbulnya sengketa pertanahan antara lain:258

Administrasi pertanahan di masa lalu yang kurang tertib. Ad mi-1. nis trasi pertanahan mempunyai peranan yang sangat penting bagi upaya mewujudkan jaminan kepastian hukum. Penguasaan dan ke-pemilikan tanah di masa lalu terutama terhadap tanah-tanah milik adat seringkali tidak didukung oleh bukti-bukti administrasi yang tertib dan lengkap di mana penguasaan dan pemilikan tanah yang datafisiknyaberbedadengandataadministrasidandatayuridisnya.Peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih.2. Pertanahan merupakan subsistem dari sumber daya agraria dan sum-ber daya alam yang memiliki hubungan yang sangat erat, baik dalam kaitan hubungan sub sistemnya maupun dalam kaitan hu bungannya dengan manusia/masyarakat dan negara. Kurang terpa dunya pera -turan perundang-undangan di bidang sumber daya agraria dan sum-ber daya alam dengan peraturan di bidang pertanahan, bah kan dalam beberapahalterlihatsalingbertentangan,seringmenimbulkankonflikpenguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten.3.

258 Rusmadi Murad, Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Penanganan Kasus Tanah, Maka lah disajikan pada Seminar Nasional “Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyel esaian-nya”, Jakarta, 20 Agustus 2003, hlm. 6-8.

Page 98: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

178 s e n g k e ta ta n a h 179B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Akibattidaksinkronnyapengaturantersebut, timbulkonflikkewe­nangan maupun konflik kepentingan, sehingga seringkali hukumper tanahan kurang dapat diterapkan secara konsisten. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukumnya. Di tengah era reformasi terlihat kurang adanya har mo -nisasi dalam rangka mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu su pre-masi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rak-yat. Dari ketiga hal tersebut, supremasi hukum kurang mem per oleh perhatian yang seimbang dari segenap elemen bangsa. Hal tersebut dapat dilihat dari seringnya penyelesaian masalah yang lebih mengedepankan kekuatan, baik melalui kekuatan massa maupun pengerahan massa, dibandingkan menggunakan dasar peraturan yang lebih menekankan pada aspek legalitas yuridis. Penegakan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara konsekuen.4. Penegakan hukum merupakan bagian penting pula dari upaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum khususnya untuk meng hin-dari semakin merajalelanya pendudukan tanah, pemalsuan surat-su-rat bukti penguasaan tanah, penye robotan tanah perkebunan, dan seba gainya.

Dalam praktik sehari-hari terdapat berbagai sengketa pertanahan yang disebabkan oleh kurang konsistensi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, dalam praktek seringkali istilah kepentingan umum dijadikan alasan pembenar untuk mengambil atau dapat diartikan melakukan perampasan tanah-tanah rakyat guna berbagai kepentingan umum atau kepentingan pengusaha besar tertentu. Hal ini mengakibatkan terjadi sengketa tanah yang berkepanjangan.

Sebagai contoh adalah kasus pembebasan tanah yang terjadi di Putat Gede Kecamatan Tandes di Surabaya yang melibatkan para pihak war ga masyarakat, Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya dan pihak pengusaha.259 Kasus pembebasan tanah yang terdapat di Karang Bulak sem pat mengorbankan warga yang bernama Mbak Kar.260

Demikian pula sengketa tanah dalam kasus pembebasan tanah di Urip Sumoharjo yang melibatkan warga, Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya, dan pihak investor,261 dan kasus-kasus tanah yang terjadi dengan alasan kepentingan umum dan kepentingan pembangunan na-

259 Surabaya Post, Minggu, 2 Desember 1990.260 Ibid.261 Ibid., Minggu, 17 Oktober 1993.

mun dalam pelaksanaannya ternyata tanah tersebut diperuntukkan bagi pihak swasta untuk memperluas usahanya. Sebagai contoh dapat dike -mu kakan kasus pembebasan tanah yang dikuasai dan yang dimiliki oleh warga Tamalanrea sejak nenek moyang mereka, di mana Pemerintah Daerah Kotamadya Makassar dalam melakukan pembebasan dengan cara menggusur (membuldoser) bangunan milik para warga masyarakat se-hing ga mendatangkan kerugian secara materiil dan psikis.262

Dalam kasus tanah yang terjadi di jalan Kerung-kerung Makassar, pihak Pemda dengan dalil yang sama melarang anggota masyarakat se-tempat untuk menempati kembali tanah milik mereka beberapa hari se-telah mengalami kebakaran. Karena beberapa anggota masyarakat me-ra sa mempunyai hak atas tanah tersebut, akhirnya pihak Pemerintah Dae rah Kotamadya Makassar menggusur (membuldoser) tenda-tenda dan bangunan-bangunan darurat tersebut.263

Kasus-kasus di atas, baik yang terjadi di Surabaya maupun di Makas -sar, disebabkan karena pembebasan tanah oleh pemerintah daerah ter-sebut tidak dilakukan untuk kepentingan umum. Sebaliknya telah terjadi penyimpangan di mana pembebasan tanah sebenarnya dilakukan untuk kepentingan swasta atau investor agar dapat memperoleh tanah murah dengan alasan untuk kepentingan umum dan pembangunan. Dengan alas-an itu, warga tidak punya peluang tawar-menawar ganti rugi atas tanah miliknya. Pemerintah daerah yang membebaskan tanah, dan investor yang menyiapkan uang ganti rugi. Pada kasus pertanahan lainnya seperti pembangunan proyek jalan tol, Pemerintah Daerah menggusur tanah rakyat dengan memberi ganti rugi yang tidak layak, sehingga banyak yang menggugat ke pengadilan.264

Bentuk-bentuk kasus sengketa pertanahan yang terjadi selama ini sangat beraneka ragam. Sehubungan dengan hal tersebut, Dadang Juli-antra, membagi lima bentuk sengketa tanah:265

Pengambilan tanah untuk kepentingan proyek pembangunan pe-1. merintah, seperti waduk, lapangan terbang, tempat latihan tempur dan lain-lain. Contoh antara lain Waduk Kedung Ombo, Waduk Wangi (Jawa Barat).Pengambilan tanah untuk perkebunan, baik dalam bentuk perusa-2.

262 Heri Tahir, Aspek Kriminal di Bidang Pertanahan, tp., Ujung Pandang, UNHAS, 1994, hlm. 63.263 Ibid., hlm. 64.264 Ibid., hlm. 66.265 Dadang Juliantra, Sengketa Tanah. Modal dan Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995, hlm.

176.

Page 99: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

180 s e n g k e ta ta n a h 181B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

haan perkebunan maupun perusahaan inti rakyat.Pengambilan tanah (terutama tanah adat) untuk meng eksploitasi 3. hutan, melalui HPH maupun HPI, kasus besar di Maluku, Buntian di Kalimantan Timur.Konfliktanahuntukpermukimandangarapanpetaniversuspeng­4. gu naan tanah untuk hutan atau suaka marga satwa atau taman na-sio nal, contohnya Sugara di Jawa Barat, Sumber Klampok di Bali dan lain-lain.Perebutan tanah antara penggarap dan proyek-proyek wisata atau 5. rekreasi, seperti hotel, lapangan golf, dan lain-lain.Permasalahan tanah semakin kompleks setelah munculnya spe ku l-

an-spekulan, yaitu para spekulan membeli tanah sebanyak-banyaknya ti-dak sekedar dipakai sendiri, akan tetapi dijadikan barang dagangan yang sebenarnya hal ini bertentangan dengan semangat UUPA yang me ne gaskan bahwa, untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pe milikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diper ke nankan.266

Hal ini tentunya mudah dipahami, sebab di kota-kota besar tidak hanya di pusat perdagangan dan industri saja, tetapi juga semua sektor kegiatan lainnya. Tanah merupakan syarat utama, bahkan banyak tanah yang beralih fungsi yang semula adalah tanah pertanian menjadi tanah non pertanian, dengan kata lain dari yang berfungsi sosial beralih fungsi menjadi komersial.267

Maraknya percaloan selalu timbul akibat adanya informasi terselu-bung yang diperoleh oleh para spekulan dari pemerintah yang akan me-lakukan pembebasan tanah yang selalu bersifat tertutup dan sepihak. Artinya tidak diumumkan kepada rakyat sebelum perencanaan tersebut, tetapi rencana itu sering sudah bocor kepada para calo/spekulan tanah sehingga mereka membeli tanah-tanah rakyat sebanyak-banyaknya deng-an harga murah untuk kemudian menanti sampai rencana itu ber jalan. Dengan bekerja sama, para spekulan menjual tanah tersebut dengan harga yang tinggi kepada pemerintah dan/atau investor.268 Sebagai contoh tanah-tanah di Jonggol banyak dibeli perusahaan-perusahaan besar seperti PT Bukit Jonggol Asri (PT.BJA) karena ada rencana memindahkan pusat pemerintah atau ibukota.

Kondisi tersebut dapat menyebabkan harga tanah semakin mening-kat, sehingga banyak orang tergiur untuk mendapatkan keuntungan se-

266 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 11. 267 Ibid.268 Ibid.

banyak-banyaknya dengan cara menghalalkan berbagai macam cara se-pertimemalsukansurat­suratmisalnya,surat­suratsertifikatatastanah,pemalsuan akta jual beli dan melakukan kejahatan stellionaat. Pelang-garan hukum di bidang pertanahan sebenarnya bukanlah suatu istilah baru, melainkan merupakan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam buku II KUHP. Disebut sebagai kejahatan pertanahan karena obyek atau tujuannya untuk menguasai tanah.

Adapun pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ber-hubungan dengan tindak pidana pertanahan adalah sebagai berikut:

Kejahatan terhadap penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 1. KUHP;Kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat masing-masing diatur 2. dalamPasal263,264,266dan274KUHP;Kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak bergerak 3. seperti tanah, rumah, sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan kejahatan stellionaat, yang diatur dalam Pasal 385 KUHP.269

Selain itu dalam UUPA juga mencantumkan ketentuan pidana dalam Bab III Pasal 52 yang menyatakan:270

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 1. dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,-.Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimak sud 2. dalam pasal 19, 22, 24, 26 ayat 1, 46, 47, 48, 49 ayat 3 dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000,-Tindak pidana dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.3. Sengketa pertanahan juga sering terjadi di daerah korban bencana

alam seperti bencana Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 telah merusak 68.966,60 hektar tanah di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Kerusakan tanah ini tersebar di sepuluh kabupaten dan kota, di antaranya Banda Aceh, Aceh Jaya, Lhokseumawe, dan yang terparah berada di kota Aceh Jaya. Di daerah pinggir pantai batas penguasaan tanah hilang karena diterjang ombak dan tergenang air laut, sehingga

269 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Syarat Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 15-16.

270 Boedi Harsono, op. cit., hlm. 20.

Page 100: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

182 s e n g k e ta ta n a h 183B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

harus dilakukan penataan ulang.271

Permasalahan lain yang muncul pasca tsunami adalah ba nyaknya surat yang rusak akibat terendam air. Di Kanwil BPN Provinsi Aceh, se ba-nyak 20% dokumen hak atas tanah dan pendaftaran tanah hilang serta rusak. Sedangkan di kota Banda Aceh kerusakan mencapai 40%. Selain itu, juga terdapat sekitar 15 ribu ton dokumen pertanahan Provinsi NAD yang sedang distabilisasi di Muara Baru, Jakarta dengan menggunakan tempat pendingin. Kegiatan penyelamatan ini me rupakan kerjasama dengan pemerintah Jepang.272 Sehingga keadaan demi kian mempersulit bagiBadanPertanahanNasionalmenerbitkansertifikatbaruatastanahdiNanggroe Aceh Darussalam, selain data-data hilang, juga keadaan tanahnya pun telah berubah.

Terjadinya sengketa pertanahan antara penduduk dengan peme-rintah dapat berbentuk sebagai berikut:

Sengketa yang menyangkut tanah perkebunan yaitu berbentuk 1. pen dudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati dengan HGU, baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir;Sengketa yang berkaitan dengan kawasan hutan khu susnya pem berian 2. hak pengusahaan hutan (HPH) atas kawasan hutan di mana terdapat tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat (tanah ulayat) serta yang berkaitan dengan kawasan pertambangan dan kawasan yang diklaimhutantetapisenyatanyasudahmerupakannonhutan;Sengketa yang berkaitan dengan kawasan pertambangan dan ka-3. was an yang diklaim sebagai hutan tetapi senyatanya sudah me ru-pakannonhutan;Sengketa yang berkaitan dengan tumpang tindih atau sengketa batas, 4. tanahbekashakmilikadat(girik)dantanahbekashakeigendom;Sengketa yang berkaitan dengan tukar-menukar tanah bengkok desa/5. tanah kas desa, sebagai akibat perubahan status tanah bengkok desa/TanahKasDesamenjadiasetPemda;Sengketa yang berkaitan dengan tanah bekas partikelir yang saat ini 6. dikuasaiolehberbagaiinstansipemerintah;Sengketa yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang tidak 7. dapat diterima dan dijalankan.

271 Adrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, BP. Cipta Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 16.

272 Ibid.

Permasalahan Umum PertanahanMasalah Penggarapan Tanah oleh RakyatSengketa tanah yang timbul karena penggarapan tanah oleh rakyat umumnya terjadi atas tanah-tanah bekas hak barat/eigendom yang berupa lahan kosong. Kadangkala, penggarap-penggarap tersebut be kerja sama dengan pejabat-pejabat setempat untuk memberikan ke terangan tentang keberadaan penggarap tersebut di atas tanah ter -se but di mana surat kete rangan tersebut diterbitkan oleh Lurah dan Camat yang dilanjutkan untuk mengurus pembayaran PBB atas ta-nah tersebut.

Berbekal surat keterangan dari Lurah dan Camat, pembayaran PBB serta KTP penduduk di tanah tersebut, langsung mengajukan SKPT dan pengajuan sertifikat di BPN. Teknik­teknik penguasaantanah negara dengan cara-cara tersebut banyak dilakukan para calo tanah, sehingga jika pada suatu saat pemerintah memberikan hak tanah tersebut kepada investor, maka para penggarap tersebut deng-an dimodali oleh para calo, mulai mengajukan tuntutan-tuntutan kepada investor seolah-olah tanah tersebut sudah menjadi miliknya dengan data-data yang diurus tersebut di atas.

Kebanyakan tanah negara di bantaran kali ataupun sekitar rel kereta api sering diserobot oleh penduduk-penduduk liar dan agar mereka dapat mempertahankan tanah tersebut, seringkali mereka membuat sertifikat palsu. Sayangnya, penyerobotan tanah secarapaksadanillegalitudiperparahdenganpenerbitansertifikatpengu­asaan hak atas tanah oleh BPN tanpa meneliti riwayat/asal-usul tanah yang bersangkutan. Pemalsuan tanda tangan para pewaris atau salah satu ahli waris kerapkali juga dilakukan agar sebidang tanah dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dll. Menurut Maria S.W. Sumardjono, peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi:273

a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perke-bunan,proyekperumahanyangditelantarkan,dansebagainya;

b. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan land reform;

c. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pem ba-ngunan;

273 Maria S.W. Sumardjono, Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum, disampaikan dalam “Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan” yang diselenggarakan oleh Sigma Confe­rences tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta.

Page 101: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

184 s e n g k e ta ta n a h 185B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

d. Sengketaperdataberkenaandenganmasalahtanah;e. Masalah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat hukum

adat.Sedangkan ditinjau dari sisi yuridis praktis, masalah pertanahan

yang dapat disengketakan dapat dirinci dalam jenis-jenis sengketa sebagai berikut:274

a. Sengketamengenaibidangtanahyangmanayangdimaksudkan;b. Sengketamengenaibatas­batasbidangtanah;c. Sengketamengenailuasbidangtanah;d. Sengketa mengenai status tanahnya (tanah negara atau tanah

hak);e. Sengketamengenaipemeganghakatastanah;f. Sengketamengenaihakyangmembebani;g. Sengketamengenaipemindahanhakatastanah;h. Sengketa mengenai penunjuk lokasi dan penetapan luas tanah

untukkeperluanproyekpemerintah/swasta;i. Sengketamengenaipelepasan/pembebasanhakatastanah;j. Sengketamengenaipengosongantanah;k. Sengketa mengenai pemberian ganti rugi, pesangon atau imbalan

lainnya;l. Sengketamengenaipembatalanhakatastanah;m.Sengketamengenaipencabutanhakatastanah;n. Sengketamengenaipemberianhakatastanah;o. Sengketamengenaipenerbitansertifikathakatastanah;p. Sengketa mengenai alat-alat pembuktian atas keberadaan hak atas

tanah atau perbuatan hukum yang dilakukan, dan lain sebagainya.

Hingga kini, persoalan tanah yang berkaitan dengan peng ga rap-an tanah oleh rakyat masih belum tuntas pe nye lesaiannya. Se bagai contoh adalah masalah tanah garapan warga masyarakat yang di-okupasi perusahaan perkebunan. Banyaknya tuntutan warga ter ha-dap tanah HGU perusahaan perkebunan di berbagai daerah di Indo-nesia dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah bekas garapan merupakan indikasi bahwa penyelesaian masalah tanah garapan masyarakat yang diokupasi oleh perusahaan perkebunan belum tuntas. Tuntutan warga atas pengembalian tanah bekas

274 Boedi Harsono, Penyelesaian Sengketa Pertanahan sesuai Ketentuan-ketentuan Dalam UUPA, makalah yang disampaikan dalam “Seminar HUT UUPA XXXVI” yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala BPN di Jakarta tanggal 22 Oktober 1996.

garapannya di atas tanah HGU umumnya disebabkan oleh okupasi pihak perkebunan dengan cara intimidasi dan pemaksaan yang tidak disertai ganti rugi yang layak.

Selain itu, penguasaan tanah oleh perusahaan perkebunan yang melebihi luas HGU yang diberikan dengan mengambil tanah hak masyarakat juga merupakan faktor pemicu timbulnya masalah pertanahan. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kasus pertanahan di Kecamatan Bangun Purba, di mana warga yang tergabung dalam organisasi PERSAGE menuntut perusahaan perkebunan PT Tjinta Raja yang dinilai telah menguasai fisik tanah perkebunan sekitar4.000 hektar.

Selain penggarapan tanah perkebunan, permasalahan perta nah-an yang berkaitan dengan penggarapan tanah oleh warga masyarakat juga terjadi di area hutan lindung. Tidak adanya batas area hutan lindung yang tegas telah menyebabkan timbulnya sengketa an-tar warga masyarakat dengan pihak kehutanan. Jika persoalan ini tidak segera dituntaskan dan Pemerintah tidak membuat aturan per-tanahan yang lebih baik, maka persoalan pertanahan ini akan ber-tambah banyak dan situasi hukum pertanahan di Indonesia akan terganggu.

masalah yang Berkenaan dengan Pelanggaran Ketentuan Land ReformPengertian mengenai land reformdapatdiketahuidaribeberapadefinisibuatan tentang land reform. Salah satu definis land reform sebagai berikut:275

is a revolution which reforms the social system, a whole series of political, economic and cultural revolutions, destroying the old and establishing the new, with devision of the land as the central element. Division of the land is a result the peasant masses attain through political and economic strunggle; it is a result of peasant dictatorship; it is “the land returning to its original owners”, it is the peasants seizing the landlords, land by revolutionary methods.

Terjemahan:

Reformasi Tanah adalah revolusi yang mereformasi sistem sosial, keseluruhan revolusi politis, ekonomi dan budaya, menghancurkan

275 Emoise, Edwin, Landreform in China and North Vietnam, The University of North Carolina Press, London, 1983, hlm. 27.

Page 102: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

186 s e n g k e ta ta n a h 187B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

yang lama dan menetapkan yang baru, dengan pembagian tanah sebagai unsur pusatnya. Pembagian tanah adalah sebagai hasil dari pencapaianmassapetanimelaluipergulatanpolitikdanekonomi;yangberupahasildarikediktatoranpetani;berupa“tanahkembalike pemilik asalnya”, berupa para petani menyita para tuan tanah, tanah dengan cara metode revolusioner.

Dalam Laporan Ketiga atas “Progress of Land Reform”, PBB menye-butkan bahwa: 276

Land reform as an integrated of measures designed to eliminate obstracles to economic and social development arising out of defects in the agrarian structure.

Terjemahan:

Reformasi Tanah sebagai suatu tindakan terpadu yang dirancang untuk menghilangkan hambatan terhadap pembangungan sosial dan ekonomi yang timbul sebagai akibat dari kesalahan dalam struktur agraria.

Land reform dalam arti sempit menurut Boedi Harsono277 adalah serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa land reform merupakan sebuah kebijakan pertanahan yang kegiatannya meliputi per-ombakan kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaan tanah tersebut. Di dalam land reform ter-kandung unsur-unsur sebagai berikut:278

Adanyapembagiantanahdanperombakansistempersewaantanah;1. Merupakan upaya memberikan pemerataan dalam penghasilan dan 2. kekayaan;Merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian 3. melalui suatu implementasi dari peraturan Pemerintah serta aktivitas legal dari program umum.

Di Indonesia, dalam kurun waktu 5 (lima) tahun pertama sejak disah kannya UUPA, yaitu melalui Repelita III sebagaimana disebutkan dalam GBHN, diberlakukanlah reformasi penguasaan dan kepemilikan

276 Ibid., hlm. 175.277 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 367.278 Inayatullah, Landreform, APDAC Publication, Kuala Lumpur, 1980, hlm. 3

tanah pertanian atau yang kemudian dikenal dengan istilah land reform. Penyelenggaraan land reform di Indonesia itu sendiri bertujuan untuk:

Membagi secara adil sumber penghidupan petani yang berupa tanah 1. sehingga dengan demikian akan tercipta pembagian hasil yang adil pula;Melaksanakan prinsip “tanah untuk tani” sehingga dengan demikian 2. tanahtidaklagidijadikanobyekspekulasidanalatpemerasan;Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah yang berfungsi 3. sosialdantanpamemandanggender;Mengakhiri sistem “tuan tanah” dan meniadakan pemilikan serta pe ng-4. u asaan tanah secara besar-besaran melalui penetapan batas mak simum danminimumkepemilikan/penguasaantanahbagitiapkeluarga;Meningkatkan produksi nasional dan mendorong ter seleng garanya 5. pertanian yang intensif secara gotong royong dalam ben tuk koperasi maupun bentuk-bentuk lainnya, guna men capai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus diperuntukkan bagi petani.Singkatnya, penyelenggaraan land reform di Indonesia ditu jukan

untuk membebaskan petani dan rakyat jelata dari pengaruh kolonialisme, imperalisme, feodalisme dan kapitalisme, termasuk di dalamnya untuk meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. Program land reform yang dijalankan di Indonesia meliputi beberapa hal, antara lain:279

Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah1. Larangan pemilikan tanah secara “2. absentee” atau “guntai”;Redistribusi tanah kelebihan dari batas maksimum yang telah dite-3. tapkan, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee” dan tanah-tanahbekasSwaprajasertatanah­tanahnegara;Pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang di-4. gadaikan;Pengaturan kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian serta5. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, termasuk 6. larangan untuk melakukan perbuatan pemecahan kepemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

279 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 365-370.

Page 103: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

188 s e n g k e ta ta n a h 189B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Guna melaksanakan land reform, Pemerintah Republik Indo nesia menetapkan sejumlah aturan pelaksananya, misalnya:280

Aturan tentang larangan menguasai tanah melampaui batas mak-1. simum kepemilikan/penguasaan tanah, diatur dalam Pasal 7 dan 17 UUPA;Aturan mengenai penetapan luas maksimum, kepemilikan/ pengu-2. asaan tanah, diatur dalam Pasal 17 UUPA jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (LN 1960 No. 174, TLN No. 5117) tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. UU No. 56 Prp Tahun 1960 inilah yang disebut Undang-Undang land reform Indonesia, di mana di dalamnya diatur 3 (tiga) hal pokok, yaitu mengenai:a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah

pertanian;b. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larang-

an untuk melakukan perbuatan yang meng akibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil serta

c. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang di-gadaikan.

Seiring dengan kebutuhan daerah, maka aturan mengenai penetapan luas maksimum kepemilikan/penguasaan tanah ini diperjelas lagi oleh Menteri Agraria dengan Keputusannya tanggal 31 Desember 1960 Nomor SK/978/Ka/1960, di mana penetapan batas maksimum pemilikan/ penguasaan tanah untuk Dati II didasarkan pada kepadatan penduduk yang ada di masing-masing Dati II serta dengan memperhatikan kea daan sosial ekonomi daerah yang bersangkutan. Khusus untuk Dati I Timor Timur pengaturannya dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 30 September 1992 Nomor 20/1992.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengatur pemilikan/penguasaan tanah dengan sebaik-baiknya melalui perangkat perundang-undangan yang telah di-tetapkan. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan land reform tidaklah ber jalan mulus. Tidak sedikit warga masyarakat yang menentang ke bi jak -

280 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

an pembatasan kepemilikan tanah tersebut, walaupun kebijakan ter se but dilaksanakan dengan dalih untuk mengubah sistem penguasaan tanah yang feodalistis kepada pembagian tanah yang lebih adil demi ter cip-tanya pemerataan pemilikan tanah serta ada pembayaran ganti rugi atas penyerahan kelebihan tanah.

Salah satu faktor penyebab timbulnya penentangan terhadap realisasi land reform adalah karena rasa adil yang dirasakan dan diperjuangkan oleh Pemerintah bersama dengan sejumlah petani tidaklah sama dengan kea dilan yang dirasakan pemilik tanah, apalagi jika pemilik tanah ter-sebut memperoleh tanah tersebut dari hasil jerih payahnya, sehingga mereka tidak rela tanah miliknya itu diambil alih oleh pihak lain. Kondisi ini semakin buruk dengan ditumpanginya program land reform tersebut oleh sejumlah oknum penguasa dan pengusaha kaya.

Seiring dengan bertambahnya waktu, land reform yang awalnya me-rupakan kebijakan politik Pemerintah untuk me rom bak struktur pengu-asaan tanah secara feodal ini tidak dapat dikembangkan dengan mulus karena adanya pemanfaatan oleh PKI yang bertujuan menggoyang stabi-litas persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Munculnya persepsi bahwa UUPA merupakan produk PKI yang diterapkan dalam kebijakan redistribusi tanah juga merupakan faktor yang melemahkan kegiatan redistribusi dan reformasi di bidang pertanahan.

Kebijakan politik ekonomi di masa Pemerintahan Orde Baru yang berfokus pada pertumbuhan semula diyakini seba gai kebijaksanaan yang tepat guna menghadapi persaingan global. Namun ternyata kebijakan itu justru menimbulkan ketimpangan dan ketidakmerataan penguasaan ta-nah. Hal ini dibuktikan dengan adanya penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan pemilik modal besar.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Orde Baru dalam rangka men-ciptakan landasan ekonomi kerakyatan yang kokoh belum dapat terwujud karena tidak lama setelah diberlakukannya UUPA dan meletusnya G.30S/PKI, terjadilah krisis moneter yang tidak hanya melanda dan mem buat terpuruk perekonomian Indonesia, melainkan juga terhadap pe re ko-nomian di sebagian besar negara Asia. Terhadap kejadian itu, se bagian pi-hak menuding bahwa kerawanan ekonomi di Indonesia disebabkan oleh ke bijakan pertanahan yang menciptakan penguasaan tanah berskala besar oleh sejumlah perusahaan dan investor di bidang lain.

Pengadilan 1. Land reformPenyelesaian perkara-perkara yang timbul karena penerapan aturan

Page 104: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

190 s e n g k e ta ta n a h 191B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

land reform harus dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat-sing-kat nya, karena jika tidak demikian maka perkara tersebut akan meng hambat penyelenggaraan land reform. Mengingat kekhususan da ri perkara-perkara yang timbul dalam penyelenggaraan peraturan land reform, maka dibentuklah badan peradilan tersendiri, yaitu pe-ng a dilan land reform, yang dasar pembentukannya mengacu pada Undang-Undang nomor 21 Tahun 1964 (LN 1964 No. 109 – TLN No. 2701).281

Pengadilan land reform hanya mengadili perkara-perkara per -data, pidana dan administrasi yang timbul karena penerapan per-aturan land reform, seperti UU No. 2/1960, UU No. 56 Prp Tahun 1960, UU No. 5/1960, UU No. 38 Prp Tahun 1960, UU No. 51 Prp Tahun 1960 dan UU No. 16/1964.282

Guna membedakan kewenangan mengadili Pengadilan land reform dalam hubungannya dengan wewe nang panitia land reform dan Pengadilan Negeri, ditetapkanlah Keputusan Bersa ma Presidium Kabinet, Menko Hukum dan Dalam Negeri/Ketua Mahkamah Agung, Menteri Agraria dan Menteri Pertanian tanggal 23 Agustus 1965 No. Aa/E/106/1965 serta Ketetapan Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1967 No. 6/KM/845/MA.III/67.283

Pengadilan land reform terdiri atas Pengadilan land reform pusat dan daerah, yang tempat kedudukannya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Agraria. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 16 November 1964 Nomor YB 1/2/9, telah dibentuk 18 Pengadilan land reform Daerah yang merupakan pengadilan land reform tingkat pertama, di mana daerah hukumnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Irian Jaya. Untuk perkara banding, dilimpahkan penanganannya kepada Pengadilan land reform Pusat.284

Putusan pengadilan land reform Pusat tidak dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung. Pada prinsipnya, perkara land reform harus diadili oleh pengadilan land reform daerah, tempat tanah yang berperkara itu terletak. Namun jika dipandang perlu,

281 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964.282 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 400-410283 Ibid.284 Ibid.

pemeriksaan dan pemutusan perkara dapat dilakukan ditempat terjadinya perkara yang bersangkutan.285

Keistimewaan lain yang menonjol dari pengadilan land reform adalah terletak pada susunannya, yang me rupakan unicum dalam sejarah peradilan Indonesia, yaitu keikutsertaan dari perwakilan or ga nisasi tani sebagai hakim anggota.286 Setiap pengadilan land reform, baik pusat maupun daerah, terdiri atas satu atau bebe rapa kesatuan majelis, yang masing-masing kesatuan terdiri atas:a. SeoranghakimdariPengadilanUmumsebagaiketua;b. Seorang pejabat dari Departemen Agraria sebagai anggota danc. Tiga orang wakil organisasi massa tani sebagai anggota dan ha-

rus mencerminkan poros Nasakom.

Dalam praktiknya, peradilan land reform tidak berjalan lancar. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain karena terlalu luasnya wilayah hukum tiap-tiap pengadilan land reform Daerah. Untuk menyiasati kekurangan tersebut, maka melalui Keputusan Presidium Kabinet tanggal 15 Maret 1967 Nomor 58/U/REP/3/1967, jumlah pengadilan land reform diperbanyak hingga berjumlah 150 pengadilan, sama banyaknya dengan jumlah Pengadilan Negeri.287

Selain itu, dalam praktik penyelenggaraan peradilan land reform itu sendiri banyak dijumpai kekosongan-kekosongan aturan hukum yang dapat memicu timbulnya persoalan hukum yang baru. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 sebagai per atur-an perundang-undangan induk land reformtidakmemberidefinisidan pembatasan arti yang jelas tentang tanah pertanian, sawah, dan tanah kering. Untuk menutupi celah hukum ini, maka pada tanggal 5 Januari 1961 diterbitkanlah Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria No. Sekra 9/1/12.288

Contoh lain, kurang tegasnya penjelasan yang diberikan oleh Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960 menimbulkan kekaburan tentang batas-batas wewenang antara Pengadilan Negeri dan pengadilan land reform untuk mengadili perkara gadai tanah pertanian. Untuk menutupi kekosongan hukum tersebut, maka pada tanggal 12 Juni

285 Ibid.286 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 407.287 Keputusan Presidium Kabinet tanggal 15 Maret 1967 Nomor 58/U/REP/3/1967.288 Boedi Harsono, op. cit.

Page 105: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

192 s e n g k e ta ta n a h 193B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

1967 Mahkamah Agung mengeluarkan suatu ketetapan baru yang mengatur bahwa: hanya perkara perdata berupa pengembalian gadai tanah pertanian yang timbul dalam pelaksanaan peraturan land reform saja yang menjadi kewenangan mengadili dari pengadilan land reform.289

Perkara-perkara gadai tanah lain yang tidak ada sangkut paut dengan pelaksanaan land reform (Penetapan Luas Tanah Pertanian) merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam pada itu, semua perkara pidana yang timbul karena pelaksanaan land reform tetap menjadi wewenang pengadilan land reform untuk memeriksa dan mengadilinya.

Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah tersebut memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan land reform sehingga peradilan perkaranya menjadi kewenangan pengadilan land reform, maka pihak yang berkepentingan wajib menyampaikan surat kete-rangan dari panitia land reform tingkat II tentang hal ter sebut. Jika oleh karena sesuatu hal keterangan tersebut tidak dapat disampaikan secara tertulis, maka atas permintaan yang berkepentingan atau karena jabatannya Hakim yang mengadili perkara tersebut harus memanggil Ketua Panitia Land reform Tingkat II tersebut atau wakilnya untuk didengar sebagai saksi.290

Dari aspek sumber daya manusia penegak hukumnya, ternyata banyak sekali ekses dan ketidakpedulian para pejabat terkait terhadap peraturan-peraturan land reform seperti penerapan ketentuan UU No. 56 Prp 1960, PP No. 224 Tahun 1961, UU No. 2 Tahun 1960, Kepres No. 13 Tahun 1980 maupun repelita-repelita yang sudah dan atau sedang dijalani.291 Akibatnya, banyak persoalan tanah di pengadilan land reform tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Oleh karena banyaknya ketidakjelasan hukum, tidak efektifnya penyelesaian perkara tanah oleh pengadilan land reform dan terlebih lagi materi yang diatur dalam peraturan land reform, khususnya UU No. 21/1964 bertentangan dengan materi yang diatur dalam UUD 1945, maka melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 tertanggal 31 Juli 1970 (LN 1970 No. 41 – TLN No. 2939), UU No. 21/1964 dicabut dan Pengadilan Land reform dihapuskan. Dengan

289 Ibid.290 A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Alumni, Bandung, 1990,

hlm. 80-82.291 Ibid., hlm. 81.

hapusnya Pengadilan Land reform sejak tanggal 31 Juli 1970, semua perkara pertanahan, termasuk di dalamnya perkara gadai tanah, diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tinggi negara telah memberikan perhatian yang cukup serius terhadap masalah per -tanahan nasional, sehingga perlu menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional di bidang agraria dan pengelolaan sum ber daya alam. Bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali pe ngu a sa-an, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agra ria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan per lin dungan hukum, keadilan serta kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.292

Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:293

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi ke-

anekaragamandalamunifikasihukum.d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas

sumber daya manusia Indonesia.e. Mengembangkan demokrasi, kepastian hukum, trans paransi

dan optimalisasi partisipasi rakyat.f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan yang dapat memberi

manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun ge-ne rasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tam pung dan daya dukung lingkungan.

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat-man-faat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun gene-rasi mendatang dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

h. Melaksanakan fungsi sosial kelestarian dan fungsi ekologis se-suai dengan kondisi sosial budaya setempat.

i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pem ba-

292 Pasal 2, Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

293 Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Tugujogja, 2005, hlm. 162.

Page 106: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

194 s e n g k e ta ta n a h 195B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

ngunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agra-ria dan pengelolaan sumber daya alam.

j. Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hu-kum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agra-ria/sum ber daya alam.

k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pe me-rintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa-atau yang setingkat), masyarakat dan individu.

l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa, atau yang setingkat berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sum ber daya agraria/sumber daya alam.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka arah kebijakan pem baruan agraria menurut ketentuan Pasal 5 ditetapkan sebagai berikut:294 a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan per-

un dang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, peng-gunaan, dan pemanfaatan tanah (land reform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inven tari sasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peman-faatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan land reform.

d. Menyelesaikankonflik­konflikyangberkenaandengansumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengan-tisipasipotensikonflikdimasamendatanggunamenjaminter­lak sananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka me-ngem ban pelaksanaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik­konfliksumberdayaagrariayangterjadi.

294 Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, hlm. 162-163.

f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik­konfliksumberdayaagrariayangterjadi.

Sebagai tindak lanjut tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keputusan tersebut merupakan landasan bagi pengelolaan urusan pertanahan secara utuh dan terpadu, yakni mencakup seluruh aspek dan harus terdapat sinkronisasi kebijakan pertanahan dengan sektor lain. Dalam kebijakan nasional di bidang pertanahan terdapat dua hal penting, yaitu:295

a. Penugasan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan langkah-langkah percepatan:

Penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA, RUU Hak atas 1. Tanah dan peraturan perundang-undangan yang lain.Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan 2. yang meliputi:Penyusunan database tanah-tanah asset negara/instansi 3. pe me rintah termasuk pemerintah daerah di seluruh wilayah Indo nesia.

Penyiapan aplikasi tekstual dan spasial bagi pelayanan •pendaftaran tanah dan penyusunan database pengu-asaan dan pemilikan tanah yang dihubungkan dengan e­government, e­commerce dan e­payment.Pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan •re gis trasi penguasaan, pemilikan, peng gunaan dan pe-man faatan tanah.Pembangunan dan pengembangan pengelolaan pengu -•asaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melaluisisteminformasigeografidalamrangkameme­lihara ketahanan pangan nasional.

b. Penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota, provinsi untuk melaksanakan kewenangan di bidang pertanahan yang meli-puti:

Pemberian izin lokasi1. 2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pem ba ngunan

295 Rusmadi Murad, op. cit., hlm. 5-6.

Page 107: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

196 s e n g k e ta ta n a h 197B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan4. Penyelesaian masalah ganti rugi dan santunan tanah untuk

pembangunan5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi serta ganti rugi

tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah kosong7. Penyelesaian tanah ulayat8. Pemberian izin membuka tanah 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota

sengketa Perdata yang Berkenaan dengan tanahSengketa perdata yang berkenaan dengan tanah dapat terjadi antar in-dividu atau antar individu dengan badan hukum. Yang disengketakan beranekaragam,baikyangmenyangkutdatafisiktanahnya,datayuridis­nya, atau karena perbuatan hukum yang dilakukan atas tanah.

Sengketadatafisiksuatubidangtanahdapatmengenailetaknya,ba­tas atau luasnya. Sedangkan sengketa data yuridis lebih condong menge-nai status hukum (hak atas tanahnya), pemegang haknya, atau hak-hak pihak lain yang mungkin membebaninya.

Sengketa tentang perbuatan hukum dapat berupa perbuatan hukum yang menciptakan haknya, pembebanan haknya dengan hak atas tanah yang lain atau hak tanggungan dalam hal bidang tanah yang bersangkut-an di jadikan jaminan kredit, pemindahan haknya, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, pembebasan hak dalam hal bidang tanah tersebut diperlukan pihak lain di mana hal itu tidak dapat diperoleh dengan pemindahan hak, pembatalan hak, pencabutan hak serta pemberian surat tanda bukti hak atas tanah.296

Timbulnya sengketa hak atas tanah dapat terjadi karena adanya gu -gat an dari seseorang atau badan hukum yang berisi tuntutan hukum aki-bat perbuatan hukum yang telah merugikan hak atas tanah dari pihak penggugat. Adapun materi gugatan dapat berupa tuntutan akan adanya ke pastian hukum mengenai siapa yang berhak atas tanah, status tanah, bukti-bukti yang menjadi dasar pemberian hak, dan sebagainya.

Sengketa perdata atas tanah dapat pula terjadi akibat perjanjian pe ng alihan hak atas tanah, misalnya dengan perjanjian jual beli, sewa

296 Boedi Harsono, Sengketa-sengketa Tanah Dewasa Ini, Akar Permasalahan dan Penang gulang-annya, Makalah yang disampaikan dalam “Seminar Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penye-lesaiannya” yang diselenggarakan oleh Sigma Research Institute Conferences di Jakarta tanggal 20 Agustus 2003.

menyewa, pewarisan dan sebagainya. Apabila perjanjian jual beli tanah disertai dengan alokasi kredit/

pinjaman, maka masalah hak tanggungan menjadi salah satu faktor tam-bahan yang juga berpotensimenimbulkan konflik. Pembayaran cicilanyang tidak tepat waktu atau tertunda sama sekali akan menyebabkan peng ambilalihan hak atas tanah milik debitur oleh kreditur.

Ekses-ekses Dalam Penyediaan Tanah Untuk Pem ba ngunan1. Pasal 9 UUPA merupakan realisasi prinsip kenasionalan bang sa, di mana setiap WNI memiliki kesempatan yang sama un tuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk dapat me nikmati manfaat serta ha-sil tanah itu bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya. Namun sayangnya, keinginan warga negara kerapkali berbenturan dengan keinginan peme rintah yang mengatasnamakan kepentingan orang banyak, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan yang me-merlukan ketersediaan tanah dalam jumlah yang banyak.297

Tanah sebagai komoditas yang bernilai ekonomis, pada umum-nya berada dan di luar serta dimiliki oleh perorangan atau badan hukum yang belum tentu bersedia menyerahkan tanahnya kepa da Peme rintah yang akan membangun suatu proyek tertentu di atas ta-nah yang bersangkutan. Memaksa orang untuk menyerahkan tanah -nya pada dasarnya adalah suatu perkosaan hak yang dilarang oleh hukum adat dan negara, karena hal ini dapat menimbulkan seng keta.

Konflikpertanahan sering terjadi sewaktunegara/pemerintahmelakukan suatu pembangunan di mana pem ba ngunan nasional itu membutuhkan tanah, tetapi ke butuh an tersebut tidak terlalu mu dah untuk dipenuhi seperti pem ba ngunan jalan tol, waduk, dan lain-lain. Hal ini dijelaskan da lam konsideran Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menyatakan:298

a. meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang me merlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip peng hormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.

297 Maria S.W. Sumardjono, ”Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi”, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 28.

298 Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Tentang: Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, CV Medya Duta , Jakarta, 2006, hlm. 9.

Page 108: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

198 s e n g k e ta ta n a h 199B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

b. pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepen-tingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.

c. berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu mene tap-kan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelak -sanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Juga di dalam Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 ten-tang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepen tingan Umum yang di dalam konsideransnya menyatakan:299

“Bahwa untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan ter-hadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum da-lam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk ke pentingan umum, dipandang perlu mengubah Peraturan Pre siden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum”.

Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 tentang Pe rubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pe-nga daan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dalam Pasal 1 ayat (3) dinyatakan:

“Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang mele pas-kan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.300

Bentuk ganti rugi sesuai Pasal 13 Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 adalah:a. uang;dan/ataub. tanahpengganti;dan/atauc. pemukimankembali;dan/ataud. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian se bagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.

299 Ibid., hlm. 1.300 Ibid., hlm. 3.

e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang ber sang kutan.301

Ganti kerugian dengan uang adalah menyangkut besarnya ganti kerugian dikaitkan dengan harga tanah, bangunan dan tanaman yang akan diganti. Sesuai Pasal 15 Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 memberikan arahan sebagai berikut:302

a. Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya 1. dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Hak Tanah yang ditunjuk oleh panitia.Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah 2. yang bertanggung jawab di bidang bangunan.Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh pernagkat daerah yang 3. bertanggung jawab di bidang pertanian.

b. Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lem-baga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepen-tingan umum dilakukan dengan cara musyawarah sesuai Pasal 8 Pe ra-turan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dise but kan:303

a. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepen-tingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka mem peroleh kesepakatan mengenai:

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lo-1. ka si tersebut.bentuk dan besarnya ganti rugi.2.

b. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.

Pasal 9 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 me nyatakan:304

a. Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atau tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang

301 Ibid., hlm. 7.302 Ibid., hlm. 7.303 Ibid., hlm. 15. 304 Ibid., hlm. 16.

Page 109: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

200 s e n g k e ta ta n a h 201B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah.

b. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memung-kin kan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka mu-syawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.

c. Penunjukkan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagai-mana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukkan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.

d. Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.

Pasal 10 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 me nyatakan:305

a. Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.

b. Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan bentuk dan be sarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

c. Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitip-kan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Pasal 11 Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 me nyatakan:306

305 Ibid., hlm. 16.306 Ibid., hlm. 17.

Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai dengan kesepakatan tersebut.

Sehubungan dengan ganti kerugian, masalahnya ber kait an de-ng an persoalan ekonomi baik perorangan maupun ma syarakat pada umumnya. Seseorang yang mendapat ganti ke rugian pada da sar nya akan tetap merasa rugi karena tanah yang mereka kuasai bernilai ekonomi tinggi yang kadang-kadang tidak diperhitungkan sehingga yang bersangkutan meminta harga yang tinggi tetapi sayangnya permintaan tersebut dipandang keterlaluan oleh pihak pa nitia atau penilai karena berdasarkan pedoman penilaian harga yang digunakan panitia semata-mata berdasarkan Keppres No. 55 Tahun 1993, yaitu bertumpu pada harga riil. Bilamana dihadapkan dengan nilai-nilai jual memang sering tidak cocok karena masyarakat pada dasarnya tidak mau menjual dengan harga pasaran.307

Keppres No. 55 Tahun 1993 mengandung fungsi sebagai beri-kut:308

a. Sebagai landasan bagi negara bilamana memerlukan tanah guna proyek-proyek pembangunan untuk kepentingan umum meng-ambil tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat dan juga seka-ligus membuka peluang bagi warga masyarakat untuk berperan serta mensukseskan pembangunan dengan menye rah kan tanah-tanah yang dikuasainya bila mana negara me mer lukan guna keperluan pembangunan untuk kepentingan umum.

b. Sebagai pelindung terhadap warga masyarakat pemegang hak atas tanah dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa yang ingin mengambil tanah tersebut dengan dalih untuk kepentingan umum. Pada sisi yang lain ketentuan ini juga menjadi pembatas terhadap penguasa sesuai dengan prinsip negara hukum, bahwa bila ingin mengambil tanah warga masyarakat, maka harus mengindahkan prosedur hukum.309

307 Abdurrahman, op. cit., hlm. 64. 308 Ibid., hlm. 67.309 Ibid., hlm. 31.

Page 110: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

202 s e n g k e ta ta n a h 203B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 di sebut kan:310

Pasal 1 ayat (3) pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan de ngan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa pelepasan atau pe nyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubung-an hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang di -kua sainya dengan memberikan uang ganti rugi atas dasar musya-warah.311

UUPA No. 5 Tahun 1960 didasari semangat membangun hu kum yang dapat memberi jaminan, kepastian, dan perlindungan hak bagi rakyat pemegang hak atas tanah, karena dengan adanya jaminan dan kepastian hukum dapat diasumsikan bahwa rakyat akan terhindar dari praktek-praktek manipulatif, bersifat pemaksaan, koersif, atau tin dakan-tindakan lain yang merampas tanah rakyat secara se we-nang- wenang.312

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, doktrin yang umum nya diberlakukan adalah doktrin yang mewajibkan setiap war-ga negara untuk selalu mengalah demi kesejahteraan orang ba nyak.313 Dalam kenyataan yang berlangsung saat ini, tidak jarang pe le pasan hak atas tanah demi kepentingan umum tanpa disertai kom pensasi sebagai penggantian biaya atau ganti rugi, baik berupa uang ataupun sesuatu yang bernilai materiil. Hal inilah yang membuat masyarakat tidak mudah untuk secara sukarela melepaskan hak-hak atas tanah-nya, kecuali jika mereka memperoleh ganti rugi yang layak dan me-me nuhi rasa keadilan.

Pembebasan hak atas tanah demi kepentingan umum untuk pem bangunan fasilitas umum, lebih diartikan masyarakat sebagai se suatu yang kontraktual, karena masyarakat menganggap pem-be basan hak-hak atas tanah mereka secara konkret lebih meng-un tungkan pihak swasta (pihak pemodal besar), meskipun dalam sudut pandang pemerintah pembebasan tersebut diartikan sebagai

310 Mukadir Iskandar Syah, Dasar-dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum Dilengkapi Peraturan Perundang-undangan & Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, hlm.1-2.

311 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomnor 36 Tahun 2005.312 Loekman Soetrisno, Tanah dan Masa Depan Rakyat Indonesia di Pedesaan, Forum LSM LPSM

DIY, 1995, hlm. 30. 313 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 84.

ke pentingan nasional, sehingga seringkali pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan dengan paksaan. Singkatnya, pelepasan hak atas tanah warga yang bersifat publiekrechtelijk kadangkala menge sam-pingkan hak-hak keperdataan warga masyarakat.

Menurut Soetandyo, ada dua kemungkinan yang dapat ditem-puh agar pembangunan nasional yang banyak memerlukan tanah yang dapat dibebaskan, dapat bersifat kemanusiaan dan berdimensi ke rak yatan, yaitu dengan menggunakan pendekatan:314

a. Sosiologi antropologi, yang prosesnya harus dilakukan dengan penuh kesabaran. Pendekatan ini bertujuan untuk memberi pe-luang secara luas dan bebas kepada masyarakat awam agar seca-ra bubbling up dapat memutuskan sendiri secara bertanggung jawab kegunaan lahan yang mereka miliki untuk kepentingan orangbanyak;

b. Hukum, yang memprioritaskan prosedur dan proses yang privaat rechtelijk. Prosedur ini pada hakikatnya merupakan pro ses demokratis yang mendahulukan publiekrechtelijk, yang dalam masa-masa transisi di negara-negara berkembang ter-kesan sarat dengan kekuasaan ekstralegal.

2. Masalah yang Berkenaan dengan Hak Ulayat Masyarakat Hukum AdatPenghormatan dan perlindungan atas hak-hak adat telah menjadi ko mitmen masyarakat internasional yang dinyatakan dalam ber-ba gai konvensi internasional, antara lain:315 The United Nations Charter (1945), The Universal Declaration of Human Rights (1948), The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), Convention 169: Convention Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (1989), International Labour Organization (ILO), Rio Declaration on Environment and Deve lopment (1992), dan lain-lain.

Di Indonesia, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak adat dinyatakan dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD1945;Pasal3UUNo.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan-peraturanpelaksanaannya;Pasal9Ayat(1)UUNo.23/1997tentangPengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 5 Ayat (3) dan Pasal 6 Ayat (1

314 Soetandyo Wignjosoebroto, Pembebasan Tanah, Suara Pembaruan, 7 November 1991, hlm. 2.315 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas,

Jakarta, 2008, hlm 156.

Page 111: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

204 s e n g k e ta ta n a h 205B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

dan 2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Huruf (f), Pasal 4 Ayat (3), Pasal 5 Ayat (1–4), Pasal 34, Pasal 37 Ayat (1–2) Pasal67Ayat(1–3);UUNo.25/2000tentangProgramPembangunanNasional (Propenas);Pasal34Ayat (1­2)UUNo.22/2001 tentangMinyak dan Gas Bumi. Pasal 35 Ayat (6) UU No. 20/2002 tentang ketenagalistrikan;Pasal6Ayat(2­3)tentangSumberDayaAir;Pasal9Ayat(2) tentangPerkebunan;Pasal6Ayat(2)UUNo.31/2004;Pasal 58 Ayat (3) tentang Jalan serta Pasal 1 Angka (33), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 dan Pasal 61 UU No. 27/2007.316

Meningkatnya kebutuhan akan tanah, baik untuk keperluan pri-badi, badan hukum swasta, maupun untuk keperluan pembangunan yang berskala nasional, sementara ketersediaan tanah sangat ter-batas jumlahnya, membuat isu tentang eksistensi hak ulayat perlu mendapat perhatian. Setidaknya, ada 2 (dua) pan dangan/sikap ter-hadap eksistensi hak ulayat, yaitu:317

a. Hak ulayat yang eksistensinya semula tidak ada namun di-hidupkan kembali dan

b. Hak ulayat yang dipandang masih ada namun eksistensinya se-makin terdesak akibat peningkatan kebutuhan akan tanah.Hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat

hukum (subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak). Hak ulayat berisi kewenangan untuk:318

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan mau-p un pemeliharaan tanah, baik untuk permukiman, per ke bunan, persawahan,danlainsebagainya;

b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah serta

c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antar indi vidu dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah, seperti jual beli, warisan, sewa menyewa, dan lain sebagainya.

Singkatnya, kewenangan dari hak ulayat menyatakan bahwa hu bungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hu bung an kepemilikan, seba-gai mana halnya dalam konsep hu bungan antara negara dengan

316 Ibid., hlm. 157–184.317 Maria S.W. Sumarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas,

Jakarta, 2001, hlm. 54.318 Ibid., hlm. 56.

tanah menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.UUPA sebagai dasar hukum pertanahan nasional tidak memberi

penjelasan yang lebih rinci tentang kriteria eksistensi hak ulayat. Kekosongan hukum inilah yang membuka peluang bagi timbulnya berbagai persepsi yang berbeda di kalangan masyarakat. Maria S.W. Sumardjono memberikan 3 (tiga) kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, yaitu:319

a. Adanya subyek hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat yang memenuhiciri/karakteristiktertentu;

b. Adanya obyek hak ulayat, yaitu tanah/wilayah yang me ru pakan labensraum masyarakat hukum adat setempat serta

c. Adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam rangka mengelola tanah wilayahnya serta menentukan hubungan yang berkenaan dengan persediaan, peruntuk kan, pemanfaatan dan pelestarian tanah tersebut. 320

Singkatnya, hak ulayat dikatakan masih ada (exist) jika ketiga syarat di atas terpenuhi secara kumulatif. Ketidak berhasilan meme-nuhi ketiga syarat tersebut me nyatakan bahwa hak ulayat di daerah setempat tidak ada.

Tidaklah mudah untuk menentukan ada atau tidak adanya hak ulayat di suatu daerah, apalagi jika harus berhadapan dengan peris-tiwa hukum yang konkrit. Untuk menyatakan bahwa di suatu tempat terdapat hak ulayat, sebelumnya perlu penelusuran yang men dalam terhadap masyarakat hukum adat setempat.

Pada umumnya, permasalahan utama yang berkenaan dengan eksistensi hak ulayat yang dilematis adalah kesulitan untuk meng hi-langkan kebiasaan untuk segera menerapkan aturan-aturan yang ber-sifat formal dengan pendekatan legalistik semata, karena dengan pen-dekatan ini, dapat me nimbulkan pengingkaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.321 Untuk itu, per lu adanya kesadaran. Berhadapan dengan hak ulayat berarti ke ha rus an untuk membuka diri untuk memahami kesadaran hukum suatu masyarakat yang terealisasi dalam tindakan nyata sehari-hari, ber dasarkan sudut pandang dan pola pikir masyarakat yang ber sangkutan.

319 Ibid., hlm. 65.320 Maria S.W. Sumardjono, “Hak Ulayat dan Pengakuannya oleh UUPA”, Kompas, 13 Mei 1993.321 Maria S.W. Sumarjono, op. cit., hlm. 65.

Page 112: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

206 s e n g k e ta ta n a h 207B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Untuk memahami secara utuh keberadaan hak ulayat di suatu daerah, diperlukan pemahaman yang utuh tentang struktur ke masya-rakatannya, termasuk pola-pola kekuasaan yang berlaku di dalam masyarakat hukum adat setempat. Pola kekuasaan yang dimaksud da lam konteks pembicaraan ini adalah yang berkaitan dengan penen-tuan siapa yang ber wenang menentukan, apa yang perlu ditentukan dan dalam forum apa keputusan tentang pelaksanaan kewenangan tersebut dijalankan. Hal ini dimaksud sebagai langkah antisipasi untuk tidak berurusan dengan pihak-pihak yang tidak berkompeten dalam menentukan eksistensi hak ulayat di suatu daerah tertentu.

Permasalahan lain adalah kesulitan untuk menentukan batas-batas wilayah suatu masyarakat hukum adat karena batas-batas tersebut umumnya berupa batas-batas alam. Kesulitan ini dapat diatasi jika para penguasa dan/atau ketua adat yang bersangkutan masih ada dan dapat dijadikan saksi.

Penilaian yang keliru bahwa hak ulayat bersifat eksklusif perlu segera diluruskan. Hak ulayat sesungguhnya berfungsi sosial, sama seperti hak-hak atas tanah yang lain. Oleh karena itu, hak ulayat harus dapat diberikan kepada pihak lain jika hal tersebut diperlukan bagi kepentingan umum atau kepentingan lain yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak.

Tidak semua pihak mengakui dan menghormati ke ber ada-an hak ulayat. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan terhadap pihak-pihak terkait dengan tetap mengindahkan tata cara hidup yang berlaku di masyarakat hukum adat setempat. Kesamaan pemahaman dari berbagai instansi yang sering berurusan dengan masalah tanah ulayat sangat diperlukan demi terwujudnya kesamaan perlakuan terhadap hak ulayat yang menjamin kepastian hukum serta keadilan bagi para pihak terkait. Apabila karena proses individualisasi dan mo netisasi yang merasuk dalam kehidupan suatu masyarakat ter-nyata melemahkan eksistensi hak ulayat, hendaknya hal ini dibiarkan terjadi secara alami.322

Selain ketentuan Pasal 3 UUPA, Peraturan Menteri Negara Agra ria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penye-lesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang terbit tanggal 24 Juni 1999 dimaksudkan sebagai pedoman bagi dae rah untuk melakukan urusan pertanahan dalam kaitannya dengan hak

322 Ibid., hlm. 67.

ulayat yang masih ada di daerah yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa pertanahan yang berkenaan dengan hak ulayat itu sendiri harus dengan mengikutsertakan Pemerintah Daerah, masyarakat hukum adat setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang terkait dengan sumber daya alam.

A. Jenis-jenis Sengketa Pertanahan pada Umumnya yang Ditangani Pengadilan

Dari Segi Yuridis Praktis Masalah-masalah Tanah yang dapat 1. DisengketakanDi daerah pedesaan yang penduduknya masih asli dan sedikit, sengketa pertanahan jarang terjadi. Hal ini karena warga sudah saling kenal dan mengetahui siapa yang mempunyai suatu bi-dang tanah dan apa haknya. Namun dengan masuknya pihak luar sehingga kedekatan antar warga menjadi renggang, seng-keta pun mulai terjadi.

Adapun permasalahan mengenai tanah yang dapat diseng-ketakan antara lain yang berkaitan de ngan pendaftaran tanah. Sistem pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia ada lah sistem publikasi negatif, di mana hak bagi seseorang/badan hukum atas tanah yang didaftarkannya tercipta bukan karena pen daftarannya, melainkan karena perbuatan hukum yang dila-kukannya.323 Dalam pendaftaran tanah, data fisik dan yuridisyang didaftarkan kadangkala tidak sesuai dengan data yang sesungguhnya, dan jika hal ini terjadi tanpa kontrol yang baik dari pejabat yang berwenang (BPN), maka niscaya akan timbul permasalahan hukum di kemudian hari, baik yang me nyangkut pendaftarannya maupun materi yang didaftarkan.

Administrasi pertanahan yang kurang tertib juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya sengketa pertanahan. Bukti penguasaan atas tanah yang tidak jelas dan tidak ada doku men -tasinya di administrasi kantor pertanahan setempat akan me-nye babkan pertikaian antar warga dalam mem pere butkan hak atas tanah yang bersangkutan.

323 Boedi Harsono, Sengketa-sengketa Tanah Dewasa ini, Akar Permasalahan dan Penanggulang-ann ya, makalah yang disampaikan dalam “Seminar Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penye-lesaiannya, yang diselenggarakan di Hotel Borobudur Jakarta tanggal 20 Agustus 2003, hlm. 2.

Page 113: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

208 s e n g k e ta ta n a h 209B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Peraturan perundang-undangan di bidang per ta nahan se-yog yanya diciptakan untuk memberikan rasa keadilan, per lin-dungan dan kepastian hukum. Namun sayangnya banyak keten-tuan atau bahkan antar perundang-undangan saling tumpang tindih sehingga dengan demikian, yang timbul bukan lah kepas-tian hukum, melainkan kerancuan/kebingungan menge nai aturan mana yang diterapkan/diberlakukan.

Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten akan menimbulkan konflik kewenangan. Selain itu, inkonsistensipengaturan juga akan berdampak pada terbukanya peluang bagi oknum-oknum pertanahan untuk mengeruk keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya atas inkonsistensi peraturan tersebut.

Penciptaan peraturan yang baik tanpa disertai dengan penegakan hukum secara konsekuen dapat menyebabkan pen-dudukan tanah, penyerobotan hukum, pemalsuan dan/atau pe-nipu an surat bukti hak atas tanah, dan sebagainya. Oleh ka rena itulah, maka sengketa pertanahan harus dapat dideteksi dan di-selesaikan sedini mungkin.

Seperti halnya dengan sengketa di bidang-bidang lainnya, seng keta pertanahan dapat diselesaikan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:a. Penyelesaian secara musyawarahb. Penyelesaian melalui badan peradilan, yaitu diajukan ke

pe ng adilan umum secara perdata atau pidana jika seng-ke ta nya terkait dengan pemakaian tanah secara ilegal se-ba gaimana diatur dalam UU No. 51/PRP/1960 tentang Larang an Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasa nya, atau melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

c. Penyelesaian melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30/1999 ten tang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Cara ini merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pe ng a dilan. Penyelesaian sengketa tanah secara arbitrase bersifat informal, tertutup,murah dan lebih efisiensi, se­hing ga dengan cara ini diharapkan supaya penyelesaian seng keta tersebut lebih memenuhi keinginan para pihak yang bersengketa. Sedangkan alternatif penyelesaian seng-keta adalah upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan

dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi atau penilaian ahli.Segi yuridis praktis, masalah-masalah tanah yang dapat

diselesaikan adalah:a. Masalah perdata pertanahan, seperti permasalahan yang

tim bul akibat jual beli dam sewa menyewa tanah, pem be ban-anhaktanggunganatastanah;pewarisan,dansebagainya;

b. Masalah pidana pertanahan, antara lain permasalahan pe-nye robotan tanah, penggarapan tanah yang tidak di lakukan secara legal, permasalahan tanah terkait dengan adanya unsur penipuan, pencurian, dan sebagainya

c. Masalah pertanahan yang berkaitan dengan keputusan instansi/pejabat pemerintahan, misal nya yang berkaitan deng an saling tumpang tindihnya aturan pertanahan, pene-tapan keputusan eksekusi pertanahan yang tidak dapat di-ja lankan, dan sebagainya.324

2. Dari Penanganan Pengadilana. Pengadilan Umum

Sengketa tentang kepemilikan tanah1. Sengketa tentang kepemilikan tanah timbul diantara para pihak, baik antar perorangan, perorangan dengan badan hukum ataupun perorangan/badan hukum dengan badan hukum milik Pemerintah RI. Persengketaan tanah yang muncul umumnya di sebabkan oleh anggapan dari masing-masing pihak yang me-rasa berhak atas tanah yang dinyatakan sebagai obyek seng keta. Adapun bentuk sengketa yang terjadi antara lain:

a. Sengketa antara ahli waris yang disebabkan salah satu ahli waris menguasai tanah waris seluruhnya sehingga ada ahli waris lain yang dirugikan.

b. Sengketa disebabkan penjualan tanah oleh ahli waris kepada pihak lain, tetapi ada ahli waris yang di ting-galkan (tidak diikut sertakan) sedangkan pen jualan tanah tersebut telah berpindah tangan bebe rapa kali.

c. Sengketa disebabkan bahwa semula hanyalah perjan-jianpinjam­meminjamuangdenganjaminansertifikat

324 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 379-385.

Page 114: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

210 s e n g k e ta ta n a h 211B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

tanah, di mana selain dibuat perjanjian pinjam-memin jam, juga dibuat akta pengikatan jual beli dan kuasa menjual atas tanah tersebut, sehingga jika telah jatuh tempo atas hutang tersebut. Ternyata hutang ter-sebut belum dilunasi maka dengan akta kuasa menjual tersebut, si kreditur melakukan jual beli atas tanah ter sebut. Yang sering menjadi masalah adalah harga tanah tersebut nilainya tinggi dan tidak seban ding de-ngan nilai pinjaman yang diberikan.

d. Kecerobohan dan kekhilafan yang dilakukan Notaris atas pembuatan akta-akta berkaitan dengan tanah se-per ti seorang anak menjual tanah milik orang tuanya ke pada seseorang, di mana pembuatan akta jual beli ta nah tersebut digunakan data-data KTP palsu atas nama orang tua tersebut, sehingga orang tua yang memiliki ta nah tersebut tidak merasa menjual kepada seseorang tersebut.

e. Penjualan tanah secara mengangsur, tetapi akta jual be -li sudah dinyatakan lunas dan pembeli dapat menem-pati tanah tersebut, sehingga sewaktu pembayaran tidak dapat dilunasi, pemilik lama minta pengembalian tanah tersebut, sedangkan pembeli berpendapat hal ter sebut berkaitan dengan utang piutang saja, sehingga tidak dapat dilakukan pembatalan jual beli yang sudah selesai.

f. Pemilik tanah melakukan penjualan tanah miliknya untuk beberapa kali kepada beberapa pembeli.

g. Tanah yang tidak ditempati oleh pemiliknya diserobot oleh pihak-pihak lain atas tanah tersebut, dll.

2. Sengketa tentang keabsahan dokumen kepemi lik an tanah

Sengketa ini umumnya timbul karena penerbitan hak atas tanah secara ilegal. Sengketa tanah ini umumnya berkaitan dengan tanah negara bekas hak barat/eigendom di mana telah banyak bermunculansertifikathakeigendomyangpalsudansertifikatuntuk mengecek keaslian atas sertifikat eigendom tersebut.Kemudian tanah-tanah negara yang kosong dan bernilai ekono-mi yang tinggi, sering diserobot dan dikuasai orang secara illegal dan menggarap tanah-tanah tersebut. Penggarap-penggarap ter sebut dapat kerja sama dengan pejabat-pejabat setempat

untuk memberikan keterangan tentang keberadaan penggarap tersebut di atas tanah tersebut di mana surat keterangan ter-sebut diterbitkan oleh Lurah dan Camat yang dilanjutkan untuk mengurus pembayaran PBB atas tanah tersebut.

Berbekal surat keterangan dari Lurah dan Camat, pemba-yaran PBB serta KTP penduduk di tanah ter sebut, langsung me-ngajukan SKPT dan pengajuan ser tipikat di BPN. Teknik-teknik penguasaan tanah ne gara dengan cara-cara tersebut ban yak di-lakukan para calo tanah, sehingga jika pada suatu saat peme rin -tah memberikan hak tanah tersebut kepada inves tor, maka pa ra penggarap tersebut dengan dimodali oleh para calo, mulai me -nga jukan tuntutan-tuntutan kepada in ves tor seolah-olah ta nah tersebut sudah menjadi miliknya dengan data-data yang di urus tersebut di atas.

Kebanyakan tanah-tanah negara di bantaran kali ataupun sekitar rel kereta api sering diserobot oleh penduduk-penduduk liar dan agar dapat mem pertahankan tanah tersebut sering tim-bulsertifikatpalsu.Sayangnya,penyerobotantanahsecarapak­sadanillegalitudiperparahdenganpenerbitansertifikatpengu­a saan hak atas tanah oleh BPN tanpa meneliti riwayat/asal-usul tanah yang bersangkutan.

Pemalsuan tanda tangan para pewaris ataupun salah satu ahli waris kerapkali juga dilakukan agar sebidang tanah dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dll.

3. Sengketa ganti rugi tanahPersoalan pembayaran ganti rugi tanah bukanlah pekerjaan yang gampang. Selain memiliki nilai ekonomis yang tinggi, ta nah juga mempunyai nilai religius magis. Sebagian besar masya rakat adat yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia meng anggap bahwa tanah mempunyai hubungan religius magis deng an pemilik atau pihak yang mendiaminya. Hal inilah yang dapat membuat sulit pelaksanaan kompensasi/ganti rugi tanah.

Selain kecilnya nilai penggantian kerugian atas tanah, ku-rang nya penghormatan terhadap nilai-nilai religius atas ta nah menyebabkan pemilik tanah enggan menyerahkan tanah nya ke-pada pihak lain. Hal inilah yang akhirnya membuat penga lih an hak atas tanah men jadi terhambat.

Pemberian ganti rugi yang dinilai kurang layak merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya sengketa pertanahan. Hal ini

Page 115: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

212 s e n g k e ta ta n a h 213B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

terjadi karena si pemilik tanah tidak mau menyerahkan tanahnya kepada calon pemilik baru atau kuasa untuk itu, padahal tanah tersebut sangat diperlukan oleh pihak yang bersangkutan.

Sebagian sengketa pertanahan yang berkaitan de ngan ganti rugi telah diselesaikan secara musya warah, namun sebagian lagi harus diselesaikan le wat peng adilan atau arbitrase, supaya para pihak mem peroleh kepastian hukum dan keadilan.

b. Pengadilan Tata Usaha NegaraSengketa atas surat keputusan Badan Pertanahan 1. Nasional.Sengketa macam ini antara lain sengketa tanah yang tim bul ka rena ketidak cer matan pejabat BPN dan pe jabat ne gara yang terkait seper ti Lurah, Camat, Wali ko ta, Gubernur se -tem pat yang ber wenang da lam me ngeluarkan surat kete-rangan atas tanah ataupun surat keterangan letak tanah.

Selain itu, ada pula faktor kesengajaan atau ketidak-senga jaan mengeluarkan surat-surat atas tanah tanpa terle-bih dahulu meneliti riwayat tanah dan melihat dila pang an atas kondisi tanah tersebut antara pemegang hak eigendom yang telah dikonversi dengan penduduk yang sejak lama telah menduduki dan menguasai tanah tersebut.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Sura-baya, dan Bandung banyak ditemui sengketa hak atas ta nah bekas tanah hak barat/partikelir. Sengketa tersebut mun cul sebagai akibat mutasi penguasaan tanah yang tidak segera diikuti penyelesaian administrasinya, bahkan para pemegang hak semula sudah tidak diketahui sama sekali.325

Dalam praktik, banyak pemegang hak yang semula tidak mengkonversi hak eigendomnya tetapi kondisi telah mewariskan hak eigendomnya kepada ahli waris, di mana ahli waris tersebut di kemudian hari mengajukan gugatan. Sebaliknya, ada juga pemegang hak eigendom yang mela-kukankonversi,tetapiternyatafisiktanahnyasudahdiku­a sai penduduk sehingga pemberlakuan Keppres 32 Tahun 1979 menimbulkan sengketa tersebut.

325 Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Kebijakan Pertanahan Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang II, Disampaikan pada Apel Danren-Dandim ke 16 Tahun 1995 Tanggal 22 November 1995, Bandung, hlm. 17.

Segi administrasi pajak, sudah berkali-kali terjadi per-u bahan obyek pajak, namun dari segi pertanahan belum terjadi perubahan pemegang haknya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pen daftaran tanah, bahkan banyak diantaranya dipakai doku men pertanahan yang diragukan keabsahannya (girik paksa,sertifikatpalsu,dsb).

2. Sertifikat PalsuSertifikatpalsu,sertifikataspalmaupunsertifikattumpangtindih banyak dijumpai di kalangan masyarakat. Seba-gaimana telah diketahui, sertifikat hak atas tanah adalahtanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pem buktian mengenai pemilikan tanah, sehingga dengan demi kian meru pakan su rat berharga. Sebagaimana halnya dengan surat atau surat bukti maupun barang yang mempunyai nilai tinggi baik dipandang dari aspek ekonomi, aspek hukum maupun aspek lainnya, maka dalam penerbitannya diperlukan suatu proses yang memerlukan waktu dan ke-tel itian yang diperlukan sebagai upaya untuk meng hindari kekeliruan. Namun demikian selalu terdapat kecen de rung-an pemalsuan terhadap surat atau barang tersebut.

Pada dasarnya sertifikat adalah salinan buku tanahbeserta warkah-warkah sebagai dasar pe nerbitannya yang tersimpan di kantor Badan Pertanahan Nasional. Pada umumnya palsu tidaknya sertifikat dapat diketahui olehKan tor BPN. Banyak sertifikat palsu yang menggunakanblanko sertifikat yang dipalsukan pihak ketiga maupundata-datanya.

3. Sertifikat Aspal (asli tapi palsu) dan sertifikat cacat hukum. Berdasarkanbeberapakasusmengenai sertifikathakatastanahterungkapbahwaterdapatpenerbitansertifikatolehKantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang ternyata surat­surat bukti sebagai dasar penerbitan sertifikatnyatidak benar atau dipalsukan. Penerbitan suatu sertifikatme ru pakan proses yang memerlukan peran serta beberapa instansi terkait dalam menerbitkan surat-surat keterangan yang diperlukan sebagai alas hak misalnya surat keterang an Kepala Desa, Girik, Keterangan Waris, Segel Jual-Beli dan

Page 116: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

214 s e n g k e ta ta n a h 215B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

seba gainya. Surat-surat keterangan tersebut tidak luput pula dari pemalsuan, kadaluwarsa, bahkan adakalanya tidakbenarataufiktif.

Kasus-kasus yang digambarkan di atas dapat dikate-gorikan sebagai suatu peristiwa penerbitan sertifikataspal(asli tapi palsu). Sertifikat semacam ini tentunya harusdibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku dan ditarik dari peredaran.

Disampingsertifikataspal,adapulasertifikatcacathu­kum,yaitusertifikatyangditerbitkanberdasarkanalashakatas bukti-bukti atau dokumen yang kurang/tidak benar.

4. Sertifikat GandaTerdapat pula kasus di mana sebidang tanah oleh Kantor Pertanahanditerbitkanlebihdarisatusertifikat,sehinggamengakibatkan dua (atau lebih) bidang tanah hak saling tum pang tindih, baik seluruhnya atau sebagian. Hal ini ter-jadi antara lain sebagai akibat kesalahan penunjukan batas oleh pemohon/pemilik sendiri sewaktu petugas Kantor Per -tanahan melakukan pengukuran atau permohonan yang bersangkutan.

Batas yang ditunjukkan oleh pemohon atau pemilik, secara sengaja atau tidak sengaja adalah keliru sehingga Surat Ukur/Gambar Situasinya menggambarkan keadaan batas-batas tanah yang salah, padahal sebelumnya dilokasi yangsamatelahditerbitkansertifikat.

Hal ini dapat pula terjadi karena kelalaian Kantor Per-tanahan,dimanasertifikatterdahulubelumdipetakan.Aki­batnya, terdapat lebihdari satu sertifikat yangditerbitkanatas tanah yang sama, atau atas bagian yang sama. Kasus semacaminikamikategorikanpenerbitansertifikatganda.

Penyebab lain adalah karena belum tersedianya peta-peta pemilikan tanah yang lengkap, sehingga bidang-bidang tanahyangtelahbersertifikat tidakdapatdiplotdidalampeta.Umumnya,sertifikatgandaterjadikarenapemilikser­tifikat tidakmemelihara ataumenjaga tanahnya sehinggaada pihak lain yang menduduki/menggarapnya dan selang beberapalamamemohontanahtersebutdisertifikatkanatasnamanya dan biasanya juga dilengkapi surat-surat dari apa -rat desa dan surat-surat pembayaran pajak sehingga Badan

Pertanahan Nasional tidak mengetahui bahwa bi dang tanah tersebut sudah bersertifikat. Timbullah apa yang dikenalsebagaisertifikatganda.

5. Permintaan pemblokiran sertifikat oleh per bank an.Di kota-kota besar, terutama di DKI Jakarta, kantor per-tanahan banyak menerima permintaan pemblokiran ser-tifikattanahyangdijadikanjaminankredit,baikolehbankpemerintah maupun oleh bank swasta.

Meskipun tidak ada keharusan untuk pe ma sangan hi-po tik dan lazim diperjanjikan berdasar Surat Kuasa Me ma -sang Hipotik, seharusnya sebelum dibuat perjanjian kre dit dengan jaminan tanah, paling sedikit bank atau nota ris yang bersangkutan sudah meneliti mengenai kebenaran formaldarisertifikat tersebutdanmenelitikebenarannyadi lapangan.

Kerawanansertifikatsebagai jaminanhutang,antaralain:

Kemungkinansertifikattersebuttidakadabukutanah­•nya, dalam arti bukan diterbitkan oleh instansi Badan PertanahanNasional,artinyasertifikatdimaksudpalsu.Untuk hak-hak atas tanah yang mempunyai jangka wak-•tu seperti Hak Guna Usaha dan hak Guna Bangunan, sisa jangka waktu berlakunya hak atas tanah tersebut akan berakhir atau tinggal beberapa tahun saja.

6. Penggantian sertifikat yang rusak atau hilang.Menurut ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dalam sertifikat hak tanah rusak atau hilangdapatdiberikanyangbarusebagaipenggantisertifikatyangrusak atau hilang dimaksud.

Sertifikat baru tersebut diberikan atas permohonanyangberhakatastanahyaitupemiliksertifikatsemula.Bagisertifikatyanghilang,sebelumdiberikansertifikatpengganti,pemohon harus melaporkan kepada kepolisian tentang kehilangansertifikat,danselanjutnyaataspermohonannya,oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabu paten/Kotamadya diumum kan 2 (dua) kali berturut-turut dengan antara waktu 1 bulan, dalam surat kabar setempat dan Berita Negara RI biaya pengumuman tersebut ditang gung pemohon.

Page 117: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

216 s e n g k e ta ta n a h 217B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Apabila dalam 1 bulan setelah pengumuman yang ke-2 tidak ada yang mengajukan keberatan terhadap pemberian sertifikat tersebut, barulah sertifikat tersebut diberikankepa da pemohon.

Jika ada keberatan yang diajukan dan keberatan ter-sebut dianggap beralasan, maka Kepala Kantor Per tanahan Kabupaten/Kotamadya dapat menolak permo honan pe-nerbitansertifikatbaru/pengganti,danmempersilakanpe­mo honnya untuk meminta keputusan Hakim.

Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, telah diambil langkah-langkah sebagai berikut:

Penertiban ke dalam dengan meningkatkan profe-sio nalisme aparat, sehingga dokumen-do kumen yang di-aju kan dapat benar-benar diuji apakah dokumen tersebut palsu atau tidak.

Untuk menghindarkan dari pemalsuan tersebut telah •dicetakblankosertifikatdengankertaskhusussehinggatidak dapat dipalsukan.Penegakan hukum (• law enforcement) di mana harus di cari sumber-sumber yang mengadakan pemalsuan dan mengambil tindakan-tindakan secara tegas dan tuntas termasuk tuntutan pidana para pemalsu ter se-but. Penegak hukum harus mencari sebab-sebab pe -mal suan dan mengambil tindakan-tindakan secara tun tas apabila ada unsur pidananya yaitu tindakan pe-mal suan tersebut.Mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah desa •demi desa (pendaftaran sistematis) dan pembuatan peta-peta lengkap pendaftaran tanah.Mening katkan penyuluhan kepada masyarakat menge-•naiartipentingsertifikatdanmeningkatkankesadaranhukum masyarakat akan hak dan kewajibannya.

7. Sengketa atas beberapa keputusan instansi yang tumpang tindih. Sengketa ini timbul akibat dikeluarkannya surat ke -pu tusan oleh beberapa instansi atas obyek tanah yang tum-pang tindih, misalnya yang dikeluarkan oleh Departe men Kehutanan, Departemen Pertanian, Dirjen Per ke bun an, serta Departemen Pertambangan. Penerbitan surat ke pu-

tus an tersebut misalnya untuk penambangan batubara, pengelolaan HPH, untuk perkebunan ataupun per tani an yang pada praktiknya sering melanggar hak ulayat masya-rakat hukum adat setempat. Tidak jarang pula di te mui ada-nya penerbitan surat keputusan di lokasi atas tanah yang se benarnya sudah terbit hak-hak atas tanah seperti HGU.

Terjadinya sengketa-sengketa tersebut di sebabkan kurangnya koordinasi antara instansi penyelenggara pem-bebasan tanah dengan kantor pertanahan setempat, tidak adanya penelitian lapangan terhadap lokasi, tidak adanya pengawasan/pe ngelolaan tanah secara intensif oleh pemi-liknya, sehingga timbul asumsi bahwa tanah tersebut tidak bertuan, padahal hak atas tanah tersebut belum ber akhir.

Pokok permasalahan yang sering terjadi pada seng-keta pertanahan di Indonesia timbul akibat tidak adanya kon sistensi dari pemerintah dalam mengeluarkan regulasi mau pun melaksanakan regulasi di bidang pertanahan ter-se but, sehingga dalam kenyataan di lapangan selalu muncul ber bagai permasalahan.

Berdasarkan penanganan kasus-kasus pertanah an yang masuk di Badan Pertanahan Nasional, maka kasus- kasus pertanahan yang sering ditangani oleh BPN dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok, yaitu:326

a. Masalah pertanahan yang berkaitan dengan tanah-tanah perkebunan. Masalah dalam kategori ini adalah berupa pen dudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati Hak Guna Usaha (HGU), baik yang ma-sih berlaku maupun yang akan atau sudah berakhir hak penguasaannya. Dari kegiatan inventarisasi yang dilakukan se cara intensif diperoleh alasan-alasan pendudukan dan penyerobotan tanah sebagai berikut:Proses Ganti Rugi yang Belum Tuntas.

Nilai ganti rugi pada saat memperoleh tanah per ke-•bunan tersebut dipandang terlalu ren dah oleh masya-rakat, tetapi karena proses perolehannya diser tai deng-

326 Surjadi Soedirdja, Masalah Pertanahan dan Penanganannya, Jakarta: Depdagri dan Otonomi Daerah, BPN, tanpa tahun, hlm. 26-35.

Page 118: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

218 s e n g k e ta ta n a h 219B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

an intimidasi, maka masyarakat terpaksa me le pas kan tanahnya.Tanah garapan turun-temurun yang diambil-alih dan •di jadikan Perkebunan. Tanah garapan yang telah diusahakan sejak jaman •pen jajahan Jepang, diambil-alih pada se kitar tahun 1960- an untuk dijadikan perkebunan tanpa disele sai-kan secara tuntas.Perbedaan luas hasil ukur dengan luas tanah Hak Guna •Usaha dilapangkan Luas hasil ukur yang telah diterbitkan Hak Guna Usaha •berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan. Luas hasil ukur tanah yang telah diterbitkan Hak Guna Usaha berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan sehingga ada tanah-tanah masyarakat yang masuk dalam areal perkebunan.Tanah perkebunan merupakan tanah • ulayat atau warisan dari suatu kesultanan atau keluarga masya ra-kat tertentu. Tanah per kebunan diklaim sebagai tanah adat/ulayat yang merupakan hak masyarakat/te tua adat mereka atau tanah tersebut merupakan waris an dari keturunan Sultan/Raja, sehingga sebagai ahli waris merasa memiliki hak atas tanah perkebunan tersebut.

b. Masalah permohonan hak atas tanah berkaitan dengan kawasan hutan. Bentuk masalah dalam kategori ini adalah adanya permohonan untuk memiliki hak atas tanah yang ternyata masih termasuk kawasan hutan register, baik yang secarafisikmasihatausudahtidakberfungsihutan.

c. Masalah permohonan pendaftaran yang berkaitan dengan tumpang-tindih hak atau sengketa batas. Bentuk masalah yang dihadapi adalah pada saat pendaftaran terjadi tumpang tindih hak atas tanah antara tanah milik adat dengan bukti suratgirikdengantanahmilikdenganbuktisertifikatatauterjadi sengketa batas. Masyarakat mengklaim bahwa tanah bekas milik adat dengan bukti girik tersebut telah dibeli dari pemilik yang sah dengan menunjuk lokasi tertentu yang ketikaakandiprosessertifikatnyadiketahuibahwadiatasyanah tersebut telah terbit sertifikathakatasnamapihaklain yang berasal dari tanah eigendom.

d. Masalah yang berkaitan dengan pendudukan tanah dan/atau tuntutan ganti rugi masyarakat atas tanah-tanah yang telah dibeli/dibebaskan oleh pengembang untuk peru-mahan/perkantoran.

Tanah-tanah yang telah dibeli/dibebaskan oleh pe-ngembang pada waktu yang lalu, dan telah dimohon serta diterbitkan hak atas tanah untuk perumahan atau per -kan toran, sekarang di duduki masyarakat dan/atau di -tun tut ganti ruginya oleh masyarakat dengan dalih bah-wa masyarakat belum memperoleh ganti rugi. Apabila pengembang tidak mau memberi ganti rugi maka BPN di-mintauntukmembatalkansertifikatindukatausertifikat­sertifikatdiatasbidangtanahtersebut.

Kasus atau masalah tersebut di atas terjadi karena:Ganti rugi yang diterima dirasakan terlalu rendah di-•kaitkan dengan nilai tanah sekarang yang sangat ting-gi, sementara masyarakat tidak menerima manfaat apa-apa dari kegiatan di atas tanah bekas mereka.Ganti rugi yang tidak diterima oleh yang berhak karena •ganti rugi diberikan melalui perantara.Masalah yang demikian pada hakikatnya merupakan •masalah keperdataan antara panitia/wakil masyarakat yang menerima ganti rugi atas nama masyarakat de-ngan masyarakat bekas pemilik tanah selaku pemberi kuasa, dan oleh karena itu penyelesaian keperdataan tersebut seharusnya dilakukan melalui badan peradil-an dan bukan merupakan kewenangan BPN untuk me-nyelesaikannyasertamembatalkansertifikathakatasnama pengembang atau pihak ketiga.

e. Masalah yang berkaitan dengan klaim sebagai tanah ulayat. Dewasa ini banyak timbul klaim dari berbagai pihak atas tanah berdasarkan hak ulayat masyarakat hukum adat ter-tentu, seperti klaim tanah ulayat Suku Hamba Raja Sultan Siak Indrapura, pemangku kerajaan Kutai Kartanegara. Pada dasarnya, Hukum Tanah Nasional (UUPA) baik dalam penjelasannya maupun dalam Pasal 5 UUPA mengakui ke-be radaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Sesuai kewenangan Negara yang diatur dalam Pasal 2 UUPA maka untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkaitan

Page 119: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

220 s e n g k e ta ta n a h 221B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

deng an tanah ulayat ini telah diterbitkannya Peraturan Men teri Negara Agraria/KBPN No. 5 Tahun 1999 sebagai per aturan pelaksana. Akan tetapi dengan diakuinya hak ulayat masyarakat hukum adat bukan berarti hak ulayat yang sudah tidak ada harus diadakan lagi.

Tidak mudah menentukan eksistensi hak ulayat di suatu daerah. Perlu dilakukan penelitian secara seksama yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah setempat ber-sama pakar hukum adat dan ketua-ketua adat untuk me-nentukan ada tidaknya hak ulayat tersebut serta apakah ada tanah/wilayah tertentu yang benar-benar merupakan lebensraum masyarakat hukum adat atas tanah tersebut.

Oleh karena itu terhadap tuntutan dengan dasar hak ulayat harus dilihat secara hati-hati, apabila ada hubungan hukum antara pihak yang bersangkutan dengan tanah ulayat tersebut. Apakah pihak sebagai subyek tanah ulayat mempunyai kewenangan untuk mengatur, dan me nye-lenggarakan penggunaan dan penyediaan tanah ulayat ter-sebut, menentukan hubungan hukum antara orang de ng an tanah dan menetapkan hubungan hukum antara orang- orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang ber kait an dengan tanah ulayat tersebut.

Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di ingin-kan, BPN telah menerbitkan surat edaran tanggal 9 Nopem-ber 2000 No. 500-3394-KBPN yang intinya me nye rukan agar gubernur, walikota dan bupati dapat meng antisipasi dan bersifat hati-hati terhadap adanya pi hak-pihak tertentu yang menjanjikan atau menawarkan kepe milikan tanah ke pa da masyarakat yang dinyatakan se bagai tanah-tanah ulayat.

f. Masalah yang berkaitan dengan tukar-menukar tanah beng-kok desa yang telah menjadi kelurahan.

Dengan berubahnya status sitem pemerintahan dari desa menjadi kelurahan, sesuai UU No. 5 Tahun 1979 tanah bengkok desa dianggap sebagai aset pemerintah daerah, se hingga proses tukar-menukarnya dianggap tunduk pada ketentuan penghapusan aset/kekayaan Pemda sebagai ma-na ketentuan Permendagri No. 7 Tahun 1997 yang ti dak per lu mendapat persetujuan masyarakat terlebih da hulu.

Di satu sisi masyarakat masih berpendapat bahwa pe le pas -an atau tukar-menukar tanah tanah Eks. Ganjaran/Beng kok Desa masih memerlukan persetujuan dari mere ka mes -kipun telah berubah status menjadi Kelurahan.

g. Masalah lain-lainMasalah dalam kelompok ini bersifat eksidentil seperti masalah penolakan perpanjangan izin lokasi. Penolakan didasarkan kepada ketentuan bahwa dalam jangka waktu satu tahun pengembang harus dapat mengganti rugi paling sedikit 25%. Bagi pengembang yang tidak memenuhi syarat tersebut maka perpanjangan izin lokasi harus ditolak.

B. Sengketa Pertanahan Berdampak Konflik Multidi mensionalRakyat sangat membutuhkan tanah untuk sumber kehidupan dan kelanjutan hidup mereka, karena tanah merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam berkehidupan rakyat Indonesia.

Sedangkan di pihak lain pada umumnya baik pengusaha dan negara memerlukan tanah untuk kegiatan usaha ekonomi dalam skalabesarataupununtukkepentinganumum;sehinggaseringter­jadisengketapertanahanberkelanjutanyangmenimbulkankonflikhorisontal memiliki dampak yang luas di dalam memperebutkan tanah untuk kegiatan mereka masing-masing terjadi dengan sangat keras.327

Persengketaan atas tanah yang terjadi di antara kedua pihak ini tidak bisa dikatakan diakibatkan oleh langkanya sumber-sumber agraria (termasuk tanah) tetapi lebih diakibatkan oleh eks pansi modal secara besar-besaran yang kemudian berhadapan deng an kepentingan ekonomi (subsistem) maupun kultural rakyat ke ban yak an.

Jadi dalam konteks pengembangan usaha ekonomi skala besar itu yang terjadi kemudian adalah tanah-tanah garapan petani atau tanah-tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pengusaha

327 Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus yang meminta korban jiwa. Pada kasus Nipah., konflik antara rakyat yang mempertahankan tanah mereka yang akan dijadikan waduk oleh Pemerintah menimbulkan korban jiwa sebanyak 4 orang tewas dan sejumlah warga lainnya luka-luka akibat semburan peluru dari senapan-senapan tentara yang membubarkan aksi warga memboikot pengukuran tanah. Untuk lebih jelasnya mengenai kasus ini lihat: Andik Hardiyanto et al. (ed.) (1995), Insiden Nipah: Sengkok Cinta Tang Disa Ma’e Tembak. Untuk mendalami kasus Tanah Jaluran bisa dilihat: Burhan Azidin (1981), Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX, Skripsi Fakultas Hukum USU, Medan; dan Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung, dan Edy Suhartono (1997), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN II: Sengketa Tanah di Sumatra Utara, Medan: WIM dan Akatiga.

Page 120: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

222 s e n g k e ta ta n a h 223B a B 3 : P e r M a s a l a h a n D a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

melalui fasilitas-fasilitas pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang disediakan oleh negara.328

Sengketa pertanahan pada saat ini tidak sederhana yaitu yang bersengketa antara rakyat dengan rakyat memperebutkan sebidang tanah. Sengketa tanah lebih banyak terjadi antara petani atau rakyat sebagai pemilik tanah atau penggarap tanah atau sebagai satuan masyarakat adil329 dengan pihak lain yang akan memanfaat-kan tanah-tanah tersebut sebagai ajang pengembangan usaha atau akumulasi modal mereka yang difasilitasi oleh negara.330

Dalam hal ini Negara menjadi lawan rakyat karena Negara dianggap menjadi alat pengusaha atau menjadi aktor sengketa de-ngan kepentingan tersendiri yang berhadapan langsung dengan ke -pentingan rakyat, sehingga sengketa pertanahan bukan sebagai kon-flikhorisontallagimelainkanberubahmenjadikonflikvertikal,yaitusengketa antara rakyat dengan kekuatan modal atau negara.

Sengketa pertanahan antara rakyat dan negara terjadi pada da-sar nya karena akibat dari proses transformasi melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi yang sedang dijalankan. Untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi tersebut harus diusahakan terselenggarakan produksi dengan cara penyelenggaraan produksi dengan skala besar, murah dan cepat yang merupakan suatu daya dukung produksi be-rupa penyediaan makanan murah dan tenaga murah. Pengusahaan infra struktur pendukung produksi dan perluasan secara massal dan luas serta menciptakan situasi dan kondisi yang aman.

328 Dianto Bachtiar, Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen Reforma Agraria, Laporan Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 308.

329 Masuknya satuan-satuan masyarakat adat sebagai kelompok yang mengadakan perlawanan merupakan fenomena baru dalam sejarah sengketa agraria di Indonesia. Fenomena perlawanan ini secara signifikan hanya bisa disaksikan sejak ekspansi modal yang ekstensif dan juga intensif dari perusahaan-perusahaan besar dalam maupun luar negeri ke daerah-daerah “Indonesia Luar”—meminjam istilah Clifford Geertz—yang masih kaya dengan sumber­sumber agraria yang belum dieksploitasi terlalu banyak pada masa kolonial, seperti hutan, barang tambang dan sebagainya. Ekspansi besar-besaran ini memang dimungkinkan karena pemerintah Orde Baru membuka peluang tersebut dan menyediakan sejumlah fasilitas dan alas hukumnya lewat UU Penanaman Modal Asing, PP tentang Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam Negeri, UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Kehutanan, dan lainnya.

330 Sejumlah fasilitasi negara terhadap proses ekspansi dan akumulasi modal tecermin dalam sejumlah UU, Peraturan Pemerintah, Keppres, SK Menteri, aturan-aturan Perda dan sebagainya yang dibuat untuk memberikan kemudahan investasi untuk mengeksploitasi sumber-sumber agraria di Indonesia di satu sisi tetapi memarjinalkan posisi rakyat dan masyarakat tani khususnya di pihak lain. Untuk itu bisa dilihat sejumlah UU, PP, dan peraturan-peraturan lainnya yang dengan mudah menegaskan hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria tersebut tetapi sebaliknya memberi kemudahan bagi pengusaha untuk mendapatkan hak-hak baru di atas tanah-tanah yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan ekonomi-sosial-budaya masyarakat setempat.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka catatan di lapangan me-nunjukkan:331

Terjadinya sengketa agraria akibat eksploitasi atas sumber-1. sumber agraria seperti hutan (kayu) dan tambang, Negara mem-benarkan dirinya dengan dalih pasal 33 UUD 1945 dan pasal-pasal tertentu dalam UUPA 1960, sebagai landasan hukum un tuk menjalankan misi tersebut. Berbagai kasus di Kalimantan, Papua, Sumatra, Sulawesi, dan lain-lain, merupakan contoh ten tang bagaimana negara mengusahakan pemasukan melalui pen ciptaan produksi yang cepat dan murah, yakni melakukan eksploitasi langsung atas sumberdaya alam. Contoh yang ter-kenal adalah kasus tanah adat suku Amungme-Irian yang dia-mbil PT Freeport dalam rangka eksploitasi tambang emas dan tembaga; Tanah suku Dayak Bentian­Kalimantan Timur yangdiambil PT Kahold Utama untuk Hutan Tanaman Industri.Dalam rangka menyediakan makanan murah dan tenaga kerja 2. murah, negara melakukan intervensi yang sistematis pada sektor pertanian. Hasilnya berupa eksploitasi dan marjinalisasi rakyat desa. Program “swasembada beras”, telah menjadi faktor dari terkonsentrasinya di satu pihak dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah. Gejala ini terjadi di pantai utara Jawa: penguasaan sawah lebih dari 50 ha di tangan satu orang, lebih 50% petani tak bertanah. Apa yang dilakukan negara, tidak saja secara vulgar melakukan pembebasan tanah, melainkan melalui upaya paksa bagi petani untuk menanam komoditas tertentu, seperti gula dalam program TRI. Revolusi Hijau telah pula menjadi mesin sistematik yang mengusir kaum tani dari desa, dan harus menjadi buruh murah pabrik-pabrik di kota.Dalam rangka membangun infrastruktur pendukung produksi 3. dan sarana lain, penguasa membangun berbagai sarana pen-du kung, seperti jalan-jalan, bendungan (waduk), perumahan, lokasi olahraga, dan lain-lain. Kasus-kasus pembebasan tanah untuk pelebaran atau pembangunan jalan, lokasi pariwisata, pem bangunan waduk-waduk besar, perumahan elite, lapangan golf, dan lain-lain, merupakan contoh yang bisa diajukan, seperti kasus Cimacan, Kedung Ombo, Nipah, dan Mrica. Pembangunan

331 Tim BP-KPA, Badan Penyelesaian Sengketa Agraria Reforma Agraria, Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlm. 347-348.

Page 121: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

224 s e n g k e ta ta n a h

Penyelesaian sengketa Pertanahan melalui Ba dan Peradilan1. Pengadilan UmumPrinsip penting yang harus dipegang oleh negara hukum adalah ter-jaminnya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Arti merdeka di sini adalah bebas dari pengaruh kekuasaan lain saat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan keadilan, ke benaran, dan kepastian hukum. Agar itu terwujud perlu peng-a turan susunan, kekuasaan, serta lingkungan peradilan umum. Yang terakhir ini dasarnya adalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Per adilan Umum.

Pengadilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 1986).334.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum di-jalankan oleh:

334 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 32.

Bab 4

Jalur Penyelesaian sengketa Pertanahan di indonesia

berbagai sarana ini sendiri menjadi bagian dari menciptakan kemu dahan, memfasilitasi dinamika modal, dan dengan sendiri-nya memberi rasa aman, dan nyaman bagi investasi.332

Dalam rangka memperluas produksi, negara me nyelenggarakan 4. dan memperkuat pengembangan per kebunan-perkebunan berskala besar, dan hal ini dilaku kan dengan cara mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Contoh historisnya adalah tanah rakyat Penunggu (Jaluran) Sumatra Utara, yang dijadikan lokasi perkebunan. Sengketa yang baru-baru ini meledak terjadi di Jenggawah-Jawa Timur. Variasi sengketa ini adalah sengketa perkebunan dengan petani dalam hubungan Inti-Plasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (PIR-Bun), seperti yang terjadi di Arso-Irian Jaya, Sei Lepan Sumatra Utara, PIRLOK di Silau Jawa Kabupaten Asahan, dan Cimerak.Mayoritaskasusmelibatkankekerasan,baikfisikmaupunnon­5. fisik.Menurut Aditjondro, sengketa agraria di Indonesia bersifat mul-

ti dimensional yang tidak dipahami hanya sebagai persengketaan agraris an sich,tetapipuncakgunungesdariberagamjeniskonfliklainnyayangmendasarsepertikonflikantarsistemekonomi,konflikmayoritas­minoritas,konflikantaramasyarakatmodernversusma­syarakat adat, konflik antar Negara dengan warga negara, konflikantarsistemekologi(ekosisitemversusindustrialisme),konflikantarsistem pengetahuan (sistem pengetahuan positvistik versus sis tem pengetahuan asli), konflik antara budaya (budaya modern versusbudayaasli)sertakonflikdalamrelasigender.333

332 Penggusuran tanah untuk industri jasa, seperti real estate untuk perumahan mewah, hotel-hotel, dan fasilitas wisata. Di Jabotabek, luas tanah yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan real estate sudah lebih luas daripada kota Jakarta itu sendiri. Di Bali, terjadi penggusuran dan pengalihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Di pesisir Lombok, terjadi penggusuran rakyat di Pemongkong dan Gilitrawangan untuk kawasan wisata. Di Jawa Barat saja terdapat setidaknya 21 lapangan golf. Penggusuran tanah untuk apa yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” oleh pemerintah sendiri. Tanah dibutuhkan untuk pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintah, sarana militer, dan lain-lain. Sengketa tanah Blangguan di Jawa Timur merupakan contoh penetapan tanah rakyat untuk tempat latihan marinir. Dalam hal ini pemerintah secara langsung turun tangan membersihkan rintangan-rintangan yang menghalangi mulusnya “pembangunan”.

333 George J. Aditjondro, Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah, Makalah Latihan Analisis Sosial Tanah, Medan, 1993.

Page 122: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

226 s e n g k e ta ta n a h 227B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama.1. Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding.2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak 3. pada Mahkamah Agung RI sebagai pengadilan negara tertinggi (Pasal 3 UU No.2 Tahun 1986)335.

Pengadilan Negeri berkedudukan di kotamadya atau di ibukota ka-bupaten. Daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota povinsi. Daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

Gugatan Perdata Sengketa Tanah di Pengadilan UmumDalam perkara ini berlaku ketentuan-ketentuan perdata seperti KUHPer-data dan ketentuan lain di luarnya, seperti UUPA.

Tugas dan kewenangan badan peradilan perdata adalah menerima, me meriksa,mengadili, serta menyelesaikan sengketa di antara pihak yang berperkara. Subjek sengketa diatur sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun1970yangdiubahmenjadiUUNo.35Tahun1999;sekarangmen­ja di Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.

Dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan umum digunakan hu -kum acara perdata yang bertujuan untuk memelihara dan mem per ta-hankan hukum perdata materiil.336

Ihwal hukum acara perdata, Wirjono Projodikoro me nyatakan:

Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan danbagaimanapengadilanituharusbertindak;satusamalainuntukmelaksanakan peraturan-peraturan hukum perdata.337

Supomo menyebut, dalam peradilan tugas hakim ialah memper ta-hankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.338

Gugatan perdata ada tiga jenis yaitu:

Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair1. Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pe -

335 Ibid.,.hlm. 32. 336 K.Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia. Jakarta, 1997, hlm. 7.337 Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, 1984, hlm. 13.338 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 13.

mohon atau kuasa hukumnya yang ditujukan kepada ketua Peng-adilan Negeri.339 Ciri khas gugat an ini adalah:340

Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for thebenefitofonepartyonly)341.Gugataninidiajukanhanyauntukkepentingan pemohon semata, tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. Jadi, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or difference with another party). Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan. Jadi, bersifat ex-parte. Contohnya adalah permohonan hak waris oleh seorang anak setelah orang tuanya meninggal dunia. Permohonan ini untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party)342.

Landasan hukum yurisdiksi permohonan atau gugatan volun-tair didasarkan pada Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok K ekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999. Yang terakhir ini diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tetapi Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 masih re-le van sebagai landasan gugatan voluntair karena pada prinsip nya pe nye lenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) mela lui ba-dan- badan peradilan bidang perdata dengan tugas pokok mene ri ma, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.343

Secara eksepsional, penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 memberikan kewenangan atau yurisdiksi voluntair kepada pe-ng adilan.344 Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 3139K/Pdt/1984 tanggal 25 November 1987.345 Sesuai ke-tentuan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970, tugas pokok pengadilan ada lah memeriksa dan memutuskan perkara yang bersifat sengketa atau jurisdiction. Namun pengadilan juga berwenang memeriksa per kara yang masuk ruang lingkup yurisdiksi voluntair atau yang lazim disebut perkara permohonan. Kewenangan tersebut terbatas pada hal-hal yang tegas diatur oleh peraturan perundang-undangan.

339 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1994, hlm. 110.

340 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 29.

341 Henry Campbell Black, Black Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974, hlm. 517.342 Bandingkan: Merriam Webster’s Dictionary of Law, Merriam Webster, Springfield Massachussetts,

1996, hlm. 197.343 M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 30.344 Ibid., hlm. 30.345 Beberapa yurisprudensi perdata yang penting, Mahkamah Agung RI, 1992, hlm. 45.

Page 123: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

228 s e n g k e ta ta n a h 229B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pengadilan tidak diperkenankan memutus perkara voluntair yang mengandung partai atau yang harus diputus secara contentious. Jadi peng adilan tidak berwenang menerbitkan penetapan hak atas tanah yang tak dipersengketakan. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi ber dasarkan Putusan Mahkamah Agung RI pada 6 April 1978 No. 1391K/Sep/1974 yang antara lain berbunyi:“Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan penetapan (voluntair) hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas tanah tersebut.”

Yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung RI pada 30 Juni 1987 No. 10K/Pdt/1985346 menegaskan bahwa putusan Peng-adil an Negeri yang menetapkan status hak atas tanah melalui gu-gat an voluntair tidak sah atau tidak mempunyai dasar hukum. Penye babnya adalah tidak adanya ketentuan UU yang memberikan we wenang kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa permohonan yang seperti itu. Jadi, sejak semula permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

Gugatan Contentiosa2. Kewenangan badan peradilan menyelesaikan perkara di antara para pihak disebut yurisdiksi contentiosa. Gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut yurisdiksi contentious. Dengan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak (ex-parte).

Gugatan contentiosa ini yang dimaksud sebagai gugatan per-data dalam praktik di pengadilan negeri.347 Pasal 118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah gugatan perdata.348 Tapi dalam pasal-pasal selanjutnya disebut gugatan atau gugat saja seperti dalam Pasal 118 dan 120.

Sudikno Mertokusumo juga mempergunakan istilah gugatan, yakni berupa tuntutan perdata (burgerlijk vor denj) sehubungan dengan hak yang dipersengketakan dengan pihak lain.349 Bertolak dari penjelasan ini kita bisa mengatakan gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa para pihak. Penyelesaiannya

346 Yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung RI, 1993, hlm. 7347 M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 47.348 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985, hlm. 22.349 Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 34.

di pengadilan. Posisi para pihak seperti berikut:350

Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak 1. sebagai penggugat (plaintiff=planctus, the party who institutes a legal action or claim).351

Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian 2. disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party against whom a civil action is brought)352.Dengan demikian ciri yang melekat pada gugatan perdata ada-

lah: a. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung

sengketa (disputes, differences).b. Sengketa terjadi di antara para pihak, paling kurang dua pihak.c. Gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi:

pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain, berkedudukan sebagai tergugat.Surat gugatan diajukan penggugat atau kuasanya kepada ketua

pengadilan negeri pada daerah hukumnya atau domisili tergugat se-suai Pasal 118 HIR. Pasal ini mengatur dua hal yakni kompetensi atau kekuasaan relatif serta cara mengajukan gugatan.353

Di samping peraturan pokok ini masih ada peraturan tambahan yaitu:354

a. Jika kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akte yang tertulis, maka penggugat, jika ia mau, dapat memajukan gu gatnya ke ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat ting gal yang dipilih itu (Pasal 118 ayat 4).

b. Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, ma-ka yang berkuasa mengadili ialah Pengadilan Negeri tempat ke-di a man tergugat.

c. Jika tergugat juga tidak mempunyai tempat kediaman yang di-ketahui, atau jika tergugat tidak terkenal, maka gugat diajukan ke ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal penggugat atau di tem pat tinggal salah seorang dari penggugat. Atau jika mengenai barang tak bergerak (misalnya tanah), maka gugatan diajukan

350 M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 47.351 Merriam Webster’s Dictionary of Law, Merriam Webster, Springfield Massachussetts, 1996, hlm.

365.352 Ibid., hlm. 128.353 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 22.354 Ibid., hlm. 22-23.

Page 124: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

230 s e n g k e ta ta n a h 231B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

ke ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum barang itu terletak (Pasal 118 ayat 3).Dalam surat gugatan yang diajukan ke ketua Pengadilan Negeri

tiga hal harus termaktub yaitu:a. Keterangan lengkap tentang pihak yang digugat seperti nama,

alamat, dan pekerjaan. b. Dasar gugatan (fundamentum petendi) atau bagian posita

yang memuat uraian tentang fakta-fakta atau peristiwa hukum (rechtfeiten) yang menjadi dasar gugatan. Juga aspek hukum seng keta, tapi tanpa harus menyebutkan pasal-pasal perundang-un dangan atau aturan-aturan hukum termasuk hukum adat. Hakim, dalam putusannya nanti yang akan menyebut rujukan itu jika dipandang perlu (positum).355

c. Hal yang dimohon atau dituntut penggugat agar diputuskan penga dilan, oleh hakim dirumuskan dalam petitum (pokok tun-tutan).

d. Tuntutan dapat dirinci menjadi dua jenis yaitu tuntutan primair yang merupakan tuntutan pokok dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti bila yang pokok ditolak hakim.356

Contoh tuntutan primair misalnya adalah agar tergugat menye-rahkan barang yang dibeli dalam perjanjian jual beli. Tuntutan subsi-dair-nya mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Gugatan sengketa pertanahan yang diajukan ke Pengadilan Nege ri umumnya akibat wanprestasi dalam perjanjian hak atas ta-nah, jual beli tanah, sewa-menyewa tanah, kredit bank dengan ja-min an tanah, atau pewarisan.

Gugatan Perwakilan Kelompok (3. Class Action)Class action secara umum adalah sinonim dari class suit atau re-presentative action yang berarti:357

a. Tuntutan melalui pengadilan yang diajukan satu atau bebe-rapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class rep-resentative).

b. Penggugat bukan hanya atas namanya saja tetapi sekaligus atas

355 R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV Mandar Maju, Semarang, 2005, hlm. 9.

356 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 41.

357 M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 139.

nama kelompok yang diwakili. Namun untuk itu penggugat tak memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok.

c. Dalam gugatan tidak perlu disebutkan satu per satu identitas anggota kelompok yang diwakili.

d. Yangpenting asal kelompok yangdiwakili dapatdiidentifikasisecaraspesifik.

e. Selain itu, di antara seluruh anggota kelompok dan wakil ke lom-pok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang me lahir-kan:

kesamaan kepentingan (• common interest),kesamaan penderitaan (• common grievance), danapa yang dituntut memenuhi syarat kemanfaatan bagi • seluruh anggota.

Apabila dalam kenyataan terdapat persaingan kepentingan (competing interest) di antara anggota kelompok, tidak dibenarkan pe ngajuan gugatan melalui class action.

Menurut Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002:358

a. Istilah yang dipergunakan dalam PERMA ini adalah: Acara Gu-gatan Perwakilan Kelompok (GPK). Hal itu ditegaskan dalam diktum PERMA itu sendiri pada bagian Acara Gugatan Perwa-kilan Kelompok atau Representative Action.

b. Pengertian GPK diatur dalam Pasal 1 huruf a. Di sana dinyata-kan:

suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu •orangataulebih;orang itu, bertindak mewakili kelompok (• class rep resen-ta tive) untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili anggota ke lom pok (class members) yang jumlahnya banyak (nume-rous);yang mewakili kelompok dengan anggota kelompok yang •diwakili, memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum.

Tujuan Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok me nu-rut PERMA No. 1 Tahun 2002 adalah:359

a. Menyederhanakan akses masyarakat dalam memperoleh kea dil -an. Dengan satu gugatan, satu atau beberapa orang yang ber -

358 Ibid., hlm. 140.359 Ibid., hlm. 140.

Page 125: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

232 s e n g k e ta ta n a h 233B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

tindak sebagai penggugat diberi hak prosedural untuk mem-per juangkan sekaligus kepentingan penggugat dan anggota ke lompok (jumlahnya bisa ratusan atau ribuan anggota). Dalam huruf (a) konsiderans disebut salah satu tujuan utama proses Gu gatan Perwakilan Kelompok adalah menegakkan asas penye-lenggaraan peradilan sederhana, cepat, biaya ringan, dan trans-par an agar akses masyarakat terhadap keadilan semakin ter-buka.

b. Mengefisienkan penyelesaian pelanggaran hukum yang me­rugikan orang banyak. Proses berperkara dengan sistem GPK ada lah:

Kepentingan kelompok cukup diajukan dalam satu gugatan •saja.Hal itu dapat dilakukan apabila mereka memiliki fakta atau •dasar hukum yang sama, berhadapan dengan tergugat yang sama.Kalau gugatan diselesaikan sendiri-sendiri, penye lesaian •tidakefektifdanefisien,bahkanmungkin terjadiputusanyang saling bertentangan.

Syarat formal Class ActionSyarat formal yang merupakan conditio sine quo non dalam mengajukan class action oleh PERMA No. 1 Tahun 2002360 digariskan:

Ada kelompok.1. Dua komponen yaitu perwakilan kelompok (2. class repre sentative) dan anggota kelompok (class members) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf (a) dan (c) PERMA. Kesamaan fakta atau dasar gugatan.3. Di antara wakil kelompok dengan anggota kelompok terdapat kesa-4. maan fakta atau dasar hukum yang digunakan dalam gugatan.Kesamaan fakta atau dasar hukum itu bersifat substansial.5. Kesamaan jenis tuntutan.6. Syarat kesamaan jenis tuntutan secara implisit disebut dalam Pasal 1 7. huruf (b) yang berbunyi:Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderi ta kerugian 8. yang mengajukan gugatan dan sekaligus me wa ki li kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

360 Ibid., hlm. 145.

Gugatan class action diatur pada ketentuan Pasal 3 dan Pasal 10 PERMA yaitu:361

Tetap tunduk kepada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara 1. Perdata dalam hal ini HIR dan RBg.Harus juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA.2. Sengketa pertanahan yang menimbulkan gugatan class action ba-

nyak terjadi dalam pembebasan tanah rakyat untuk pembangunan oleh swasta maupun pemerintah. Pemicunya yang lazim adalah ketidakpuasan sewaktu pemberian ganti rugi, pembayaran ganti rugi kepada pihak yang tidak berhak, atau ganti rugi yang tidak diberikan ke semua pihak ber-wenang.

Sebagai contoh, baru-baru ini di Jakarta ada gugatan class action yang diajukan warga Meruya, Jakarta Barat, sehubungan dengan ek se-kusi PT Portanigra di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang berakhir de-ngan perdamaian. Jelaslah bahwa semua penyelesaian sengketa tanah merupakan kewenangan pengadilan umum. Gugatannya bisa merupakan contentiosa maupun class action.

Terhadap putusan tingkat pertama pengadilan umum, upaya hukum banding dapat dilakukan dengan menggunakan hukum acara. Untuk daerah Jawa dan Madura, UU No. 20 Tahun 1947. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura berlaku BAB IV Bagian ke-3 RBg (Reglement Voor de Buitengewesten) atau disebut juga Reglement Daerah Seberang (RDS).

Dalam upaya hukum kasasi dan upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung RI bisa digunakan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Penyelesaian sengketa pertanahan dilakukan di pengadilan umum karena sesuai KUHPerdata—dalam Buku Kedua KUHPerdata—tanah diatur dalam hukum formal. Untuk mem pertahankan hukum formal digunakan hukum acara HIR/RBg. Walaupun Buku Kedua sudah dihapus setelah pemberlakuan UUPA, hingga saat ini belum ada hukum acara yang berfungsi untuk mempertahankan UUPA tersebut. Jadi HIR/RBg masih dipakai.

Selain itu HIR/RBg digunakan sebagai hukum acara penyelesaian sengketa pertanahan karena tanah itu mencakup status dan hak sekaligus. Keduanya tak mungkin dipisahkan. Juga, tidak mungkin diselesaikan dengan memisahkan subjek (pemegang haknya) dan objeknya (tanahnya).

361 Ibid., hlm. 152.

Page 126: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

234 s e n g k e ta ta n a h 235B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Sengketa mengenai hak adalah sengketa perdata; jadi merupakan ke­wenangan pengadilan umum.

Sengketa pertanahan yang ada unsur tindak pidananya—baik yang terdapat pada ketentuan KUHPidana maupun ketentuan dalam UUPA—diajukan ke pengadilan umum juga. Hukum acara yang berlaku dalam perkara ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Tindak pidana dalam sengketa pertanahan diatur dalam sejumlah ketentuan. Kejahatan berupa penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 KUHP dan Pasal 168 KUHP.362 Kejahatan berupa pemalsuan surat-surat tanah masing-masing diatur dalam Pasal 263, 264, 266 dan 274 KUHP. Kejahatan berupa penggelapan hak atas barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan sawah—ini biasa disebut dengan kejahatan stellionaat—diatur dalam Pasal 384 KUHP.363

Undang-Undang Pokok Agraria juga mengatur ketentuan tentang sengketa pertanahan yang ada unsur tindak pidananya. Pasal 52 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria berbunyi:

Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 1. dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,-Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud 2. dalam pasal 19, 22, 24, 26, ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran per-aturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,-.Tindak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelang garan.3. Masalah-masalah tersebut masuk ranah hukum pidana sehingga

pembuktiannya melalui proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan negeri. Hukum acara pidana yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, yang dipakai. Putusan perkara pidana tersebut sifatnya hanya memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana, bukan menentukan kepemilikan atas tanah.

Upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri adalah banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung RI, dan upaya hukum

362 Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 102.363 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria: Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 15.

luar biasa, yaitu peninjauan kembali ke Mahkamah Agung baik untuk perkara pidana maupun perdata.

2. Pengadilan Tata Usaha NegaraSengketa Tata Usaha Negara diselesaikan dengan dua cara yakni:

Melalui upaya administrasi (1. vide Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986).364

Cara ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu ke pu-tusan Tata Usaha Negara.

Bentuk upaya administrasi adalah:a. Banding administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi

yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan.

b. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dila ku-kan sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.

2. Melalui gugatan Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata

Usaha Negara ada dua pihak, yaitu:a. Penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang

me rasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat atau di daerah.

b. Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang me-nge luarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada pa da-nya atau yang dilimpahkan kepadanya.365

Hak Penggugat:Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu keputusan 1. tata usaha negara (Pasal 53).366

Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa hukum (Pasal 2. 57).367

Mengajukan kepada ketua pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma 3. (Pasal 60).368

364 Erman Suparman, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), Fokusmedia, Bandung, 2004, hlm. 59.

365 Ibid. , hlm. 5.366 Erman Suparman, Kitab Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Fokusmedia, 2004, hlm.

61.367 Ibid., hlm. 63.368 Ibid., hlm. 64.

Page 127: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

236 s e n g k e ta ta n a h 237B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Mendapat panggilan secara sah (Pasal 65).4. 369

Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu di-5. tunda selama pemeriksaan sengketa berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 67).370

Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai de-6. ngan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (Pasal 75 ayat 1).371

Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (Pasal 76 7. ayat 1).372

Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang ber-8. sangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (Pasal 81).373

Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat 9. pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin ketua pengadilan yang bersangkutan (Pasal 82).374

Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada 10. saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (Pasal 97 ayat 1).375

Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada pengadilan 11. supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepen-tingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (Pasal 98 ayat 1).376

Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (Pasal 12. 120).377

Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (Pasal 13. 121).378

Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis 14. kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (Pasal 122).379

Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding 15.

369 Ibid., hlm. 66.370 Ibid., hlm. 67.371 Ibid., hlm. 70.372 Ibid., hlm. 71. 373 Ibid., hlm. 72.374 Ibid., hlm. 72.375 Ibid., hlm. 78.376 Ibid., hlm. 79. 377 Ibid., hlm. 87. 378 Ibid., hlm. 88.379 Ibid.

serta surat keterangan bukti kepada panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara panitera pengadilan (Pasal 126 ayat 3).380

Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada 16. Mahkamah Agung atas suatu putusan tingkat terakhir pengadilan (Pasal 131).381

Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada 17. Mahkamah Agung atas suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 132).382

Kewajiban Penggugat:Membayar uang muka biaya perkara (Pasal 59).383

Hak Tergugat:Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa hukum (Pasal 1. 57).384

Mendapat panggilan secara sah (Pasal 65).2. 385

Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai duplik 3. asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat 2).386

Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pen-4. ca butan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (Pasal 76 ayat 2).387

Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang 5. bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (Pasal 81).388

Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada 6. saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (Pasal 97 ayat 1).389

Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan 7. segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (Pasal 97 ayat 2).390

Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis 8.

380 Ibid., hlm. 89.381 Ibid., hlm. 91.382 Ibid., hlm. 91-92.383 Ibid., hlm. 63.384 Ibid.385 Ibid., hlm. 66.386 Ibid., hlm. 70.387 Ibid., hlm. 71.388 Ibid., hlm. 72.389 Ibid., hlm. 78.390 Ibid.

Page 128: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

238 s e n g k e ta ta n a h 239B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukan secara sah (Pasal 122).391

Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding 9. serta surat keterangan bukti kepada panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lain dengan perantara panitera pengadilan (Pasal 126 ayat 3).392

Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada 10. Mahkamah Agung suatu putusan tingkat terakhir pengadilan (Pasal 131).393

Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada 11. Mahkamah Agung atas suatu putusan pengadilan yang telah mem-peroleh kekuatan hukum tetap (Pasal 132).394

Kewajiban Tergugat:Manakala gugatan dikabulkan, badan atau pejabat TUN yang menge-1. luarkan keputusan TUN wajib (Pasal 97 ayat 9):395

a. Mencabut keputusan TUN yang bersangkutan.b. Mencabut keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan

keputusan TUN yang baru.c. Menerbitkan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan

pada Pasal 3.2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap di sebabkan oleh berubahnya keadaan setelah putusan pengadilan di jatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada ketua pengadilan dan penggugat (Pasal 117 ayat 1).396

3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohon-an ganti rugi dikabulkan oleh pengadilan (Pasal 120).397

4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas per-mohonan rehabilitasi dikabulkan oleh pengadilan (Pasal 121).398

391 Ibid., hlm. 88.392 Ibid., hlm. 89.393 Ibid., hlm. 91.394 Ibid.395 Ibid., hlm. 79.396 Ibid., hlm. 86.397 Ibid., hlm. 87.398 Ibid., hlm. 88.

Proses Pemeriksaan Gugatan di PTUNPemanggilan pihak-pihakDilakukan secara administratif yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan. Aturannya adalah:

Panggilan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima su-1. rat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat (Pasal 65 UU No 5 Tahun 1986).Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang 2. dari enam hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa de ngan acara (Pasal 64 UU No 5 Tahun 1986).

Kewajiban HakimMemeriksa persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas 1. (Pasal 63).399

Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap 2. orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (Pasal 68).400

Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan 3. keluarga sedarah, atau semenda (bersaudara akibat perkawinan—ed.) sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (Pasal 78 ayat 1).401

Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan ke-4. luar ga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (Pasal 78 ayat 2).402

Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak 5. langsung atas suatu sengketa (Pasal 79 ayat 1).403

Menanyakan identitas saksi-saksi (Pasal 87 ayat 2).6. 404

Membacakan putusan pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum 7. (Pasal 108 ayat 1).405

Pihak Ketiga:Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan 1. dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan,

399 Ibid., hlm. 66.400 Ibid., hlm. 68.401 Ibid., hlm. 71.402 Ibid.403 Ibid., hlm. 72.404 Ibid., hlm. 75.405 Ibid., hlm. 82.

Page 129: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

240 s e n g k e ta ta n a h 241B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk ke sengketa TUN dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 83).406

Apabila belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama masa pe-2. meriksaan sengketa, pihak ketiga berhak mengajukan gugatan per-lawanan terhadap putusan pengadilan tersebut ke pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama (Pasal 118 ayat 1).407

Pada proses persidangan tingkat pertama, pihak penggugat mau-pun tergugat mendapat kesempatan melakukan jawab-jinawab dan pem-buktian atas dalil-dalil yang diajukan di persidangan. Setelah selesai pemeriksaan sengketa kedua belah pihak diberi kesempatan untuk me-nge mukakan pendapat terakhir berupa kesimpulan masing-masing sesuai Pasal 97 UU No. 5 Tahun 1986.408

Setelah kesimpulan disampaikan ke majelis hakim, maka majelis hakim akan menunda sidang. Tujuannya agar mereka berkesempatan bermusyawarah dan membuat keputusan. Keputusan pengadilan dapat berupa: gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak diterima, atau gugatan gugur sesuai Pasal 97 ayat (7) UU No. 5 Tahun 1986.409

Adapun upaya hukum terhadap putusan tingkat pertama adalah banding ke PTUN di mana permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya. Banding dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan pengadilan diberitahukan ke-padanya secara sah, sesuai Pasal 123 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986.410

Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh panitera dalam daf-tar perkara. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah permohonan banding dicatat, panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara (inzaghe) di kantor PTUN dalam tenggang waktu 30 hari setelah mereka menerima pemberitahuan. Salinan putusan berita acara dan surat lain yang bersangkutan akan di kirim ke panitera PTUN selambat-lambatnya 60 hari setelah per-nyataan permohonan pemeriksaan banding. Para pihak juga dapat menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta

406 Ibid., hlm. 73.407 Ibid., hlm. 87.408 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan

Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 94.409 Ibid., hlm. 95.410 Ibid., hlm. 101.

surat keterangan dan bukti kepada panitera PTUN. Mereka kemudian menunggu pemberitahuan putusan dari PTUN di mana putusan pertama dijatuhkan.

Macam-macam Sengketa yang Ditangani Pengadilan Tata Usaha Negara

Sengketa antara Badan Pertanahan Nasional dengan pihak yang 1. memohon agar status tanah dibukukan dapat terjadi. Misalnya apa-bila Badan Pertanahan Nasional menolak membukukan dengan ala-san tanah yang bersangkutan bukan tanah hak, melainkan bersta tus tanah negara:411

a. Sejak semula memang tanah negara.b. Semula tanah hak tetapi sudah menjadi tanah negara, karena

haknya sudah hapus.Contoh: bekas tanah partikelir yang berstatus “tanah kongsi”,

tanah yang semula berstatus tanah hak milik atas konversi hak milik adat, atau pemberian baru antara 24 September 1960 dan tanggal mulai dilaksanakannya pendaftaran menurut PP 10/1961. Tanah diwarisi bersama oleh orang-orang WNI-tunggal dan bukan WNI-tunggal yang terkena sanksi pasal 21 UUPA.

2. Sengketa mengenai hak dapat terjadi apabila BPN menolak mem-bukukan karena berpendapat bahwa tanah yang bersangkutan bukan berstatus hak milik sebagaimana yang dinyatakan oleh pe mohon, melainkan hak pakai. Contohnya: kasus-kasus di DKI Jakarta me-ngenai tanah-tanah bekas konversi hak-hak yang lama.

3. Sengketa mengenai siapa pemegang hak dapat terjadi apabila BPN menolak membukukan atas nama pemohon sebagai pemegang hak yang bersangkutan karena:a. Tidak ada surat atau dokumen yang dapat membuktikan atau

dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa pemohon adalah peme-gang haknya.

b. Ada pihak lain yang juga menyatakan sebagai pemegang hak nya.Contoh: kasus tanah PMI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

4. Sengketa mengenai batas tanah dapat terjadi apabila BPN menolak membukukan sesuai batas-batas tanah yang ditunjuk oleh pemohon, karena sebagian tanah yang bersangkutan diperlukan pemerintah.

411 Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu Kumpulan Karangan), Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2002, hlm. 144.

Page 130: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

242 s e n g k e ta ta n a h 243B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Contoh: Kasus-kasus di DKI Jakarta, “advice planning”, pernyataan bersedia melepaskan sebagian tanah yang mohon didaftar.

5. Sengketa mengenai luas tanah dapat terjadi apabila BPN menolak membukukan berdasarkan luas tanah yang tercantum dalam pajak bumi/verponding Indonesia karena berpegang pada hasil pengukuran kadastral yang telah dilakukan.

6. Sengketa mengenai ‘hak’ pihak ketiga dapat terjadi apabila BPN menolak mencatat adanya ‘hak’ pihak ketiga karena:a. Hak tanggungan (hipotik/credietverband) yang ikut hapus

dengan hapusnya hak yang dibebaninya.b. Surat kuasa memberikan hak tanggungan (hipotik/crediet ver-

band).

Semua sengketa ini penyelesaiannya termasuk kewenangan PTUN karena penyebabnya adalah putusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat TUN yang berwenang.

3. Kasasi di Mahkamah Agung RISesuai Pasal 131 UU No. 5 Tahun 1986, terhadap putusan tingkat terakhir yaitu putusan Pengadilan Tinggi dapat diajukan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai Pasal 55 ayat (1) No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI412. Adapun landasan hukum kewenangan kasasi adalah sebagai berikut:

Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945 1. yang berbunyi413:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”.

Berdasarkan pasal ini, salah satu kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepada Mahkamah Agung sebagai pelaksanaan ke-ku asaan kehakiman adalah mengadili perkara pada tingkat kasasi.

412 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 397.

413 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama s/d Keempat (Dalam Satu Naskah), Pustaka Yustisia, Cetakan II, 2007, hlm 31.

Pada UUD 1945 yang lama, sebelum dilakukan perubahan atau amandemen ketentuan kekuasaan kehakiman hanya diatur pada pasal 24 dan Pasal 25 saja.

Kedua pasal tersebut tidak menegaskan kewenangan Mahkamah Agung melaksanakan fungsi peradilan kasasi. Baru setelah dilakukan amandemen keempat dengan cara menambah Pasal 24A, yang disahkan pada 10 Agustus 2002, ditegaskan: Mahkamah Agung berwenang meng-adili pada tingkat kasasi414.

2. Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan

ke hakiman yang diterbitkan pada 15 Januari 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, mengatur hal berikut415:

a. Pasal 11 ayat (1) mengemukakan bahwa Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi (the highest state court) dari keempat lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan TUN).

b. Pasal 11 ayat (2) huruf (a) menegaskan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pengadilan negara tertinggi:

“Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan

yang berada di bawah Mahkamah Agung.”

Jadi, apa yang digariskan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kem bali pada Pasal 11 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang No.4 Tahun 2004, yang mengatakan: Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi merupakan wewenang (macht, power) mengadili perkara pada tingkat kasasi terhadap putusan yang dijatuhkan pada tingkat terakhir (in the last instance) dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung416.

3. Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah AgungPada Pasal 28 ayat (1) huruf (a) dirumuskan tugas dan kewenangan

414 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 229.

415 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia. Bandung, 2006, hlm. 15.

416 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 230.

Page 131: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

244 s e n g k e ta ta n a h 245B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Mahkamah Agung yakni memeriksa dan memutus permohonan kasasi.Menurut Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, tugas

dan kewenangan Mahkamah Agung adalah:417

a. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi.b. Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili (SKM).c. Memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.Selanjutnya, Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung

mengaitkan dan mempertautkan tugas dan kewenangan Mahkamah Agung RI mengadili permohonan kasasi dengan aspek:a. Alasan atau syarat permohonan kasasi yang dibenarkan Undang-

Undang yang disebut secara limitatif pada Pasal 30 ayat (1) tersebut.b. Pembatalan putusan pengadilan yang dimohon kasasi apabila putusan

yang bersangkutan tidak memenuhi syarat-syarat yang dideskripsi pada Pasal 30 ayat (1) yang dimaksud.Apa yang diatur pada Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (1) Undang-

Undang Mahkamah Agung merupakan penjabaran lebih lanjut ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004.418

4. Penjelasan Umum Angka 2 Undang-Undang Mahkamah Agung Pada penjelasan umum angka 2 alinea pertama Undang-Undang

Mahkamah Agung diperluas deskripsi kekuasaan dan kewenangan Mah-ka mah Agung dari apa yang disebut pada Pasal 28 ayat (1) UU MA. Pen-jelasan ini mengatakan, Mahkamah Agung sebagai pelaksana ke ku asaan kehakiman diberi kekuasaan dan kewenangan untuk:419

a. Memeriksa dan memutus:Permohonan kasasi.1. Sengketa kewenangan mengadili.2. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah 3. memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta mau-pun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara.

417 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Menegakkan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 392.

418 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 230.

419 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 392.

c. Memberi nasihat hukum kepada presiden selaku kepala negara untuk pemberian atau penolakan grasi.

d. Menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-un-dangan di bawah undang-undang.

e. Melaksanakan tugas lain berdasarkan undang-undang.Berdasarkan penjelasan umum ini, dapat dilihat salah satu tugas dan

kewenangan pokok Mahkamah Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi pada peradilan tingkat kasasi.420

Upaya Hukum Luar Biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI

Prinsip umum Peninjauan Kembali diatur pada BAB IV bagian ke -empat yaitu Pasal 66 s/d Pasal 77 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mah ka-mah Agung.

Putusan yang dapat diminta Peninjauan Kembali, hanyalah putusan 1. yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sesuai Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985.Putusan yang dapat diminta Peninjauan Kembali adalah perlu kon-2. tentiosa atau putusan perkara sengketa yang bersifat partai (inter-parties) sesuai Pasal 66, 67 dan 68 UU No. 14 Tahun 1985.Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali se-3. suai Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung: 421

“Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Prinsip ini bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum (4. to enforce legal certainty). Maksudnya apabila berdasarkan permohonan oleh sebab satu pihak yang berperkara telah dijatuhkan putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI, terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan permohonan Peninjauan Kembali sekali lagi oleh para pihak yang berperkara.Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau meng-5. hentikan eksekusi.Objek permohonan Peninjauan Kembali adalah putusan contentiosa 6. yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berarti pada saat permohonan Peninjauan Kembali diajukan, pada putusan

420 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 231.

421 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 400.

Page 132: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

246 s e n g k e ta ta n a h 247B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

te rsebut telah melekat kekuatan eksekutorial (executorial kracht) jika amarnya bersifat kondemnator yaitu menghukum tergugat mem -bongkar, mengosongkan, menyerahkan, membayar atau melak sa-nakan maupun berbuat sesuatu.422

Hak mencabut permohonan Peninjauan Kembali sebelum adanya 7. putusan diatur pada Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung:423

“Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi”.Perkara Peninjauan Kembali atas yurisdiksi absolut oleh Mahkamah 8. Agung RISesuai Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, ke we-9. nangan memeriksa dan mengadili perkara Peninjauan Kembali di-sentralisasi menjadi yurisdiksi absolut Mahkamah Agung RI. Putusan Peninjauan Kembali merupakan tingkat pertama dan ter-10. akhir. Ditegaskan pada Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Mah kamah Agung yang berbunyi:424

“Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir”.

Maksud ketentuan ini adalah agar tidak ada lagi upaya luar biasa lain yang terbuka untuk mengoreksi. Tertutup semua upaya hukum, demi tegaknya kepastian hukum (legal certainty).

Kendati ada pembatasan seperti itu,tetap ada saja cara para pihak un tuk membuat proses pemeriksaan dan penyelesaian suatu perkara seng keta pertanahan berkepanjangan tanpa akhir (endless).

Dalam proses penyelesaian sengketa pertanahan dengan meng-gunakan hukum acara perdata, selama ini ternyata banyak peluang yang bisa dimanfaatkan para pihak untuk membuat gugatan-gugatan baru. Antara lain dengan cara menambahkan sedikit pihak dengan objek seng-keta yang sama. Dengan menggunakan gugatan perlawanan dari pihak ke tiga, perkara dapat diproses dari awal lagi. Kendati telah ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat juga para pihak membuat gugatan baru atas objek tanah yang sama.

422 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, 2005, hlm. 16.

423 Sentosa Sembiring, op. cit., hlm. 400.424 Ibid., hlm. 401.

Pihak bersengketa dapat juga merekayasa gugatan hutang piutang dengan menyita tanah sengketa. Mereka mengajukan gugatan di peng-adilan lain tempat tergugat berdomisili sehingga pengadilan yang menyi-dangkan perkara tersebut tidak mengetahui bahwa sebenarnya objek seng-keta tersebut adalah tanah yang lokasinya di pengadilan wilayah lain.

Dalam hal ini sengketa pertanahan diproses oleh pengadilan se tem-pat di mana letak tanah yang menjadi objek sengketa tersebut, bukan di pengadilan di mana tergugat berdomisili. Dasar pemikiran ter sebut ada lah tanah sebagai objek sengketa dinyatakan sebagai benda tidak ber ge rak.

mekanisme di luar PengadilanProses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan adalah me -la lui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau dalam bahasa Inggris disebut Alternative Disputes Resolution (ADR). Ada juga yang me-nyebutnya sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Koor peratif (MPSSK).425 Menurut Phillip D. Bostwick426 yang dimaksud Alternative Disputes Resolution (ADR) adalah “sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (A set of practices and legal techniques that aim):

Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan 1. para pihak (To permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefit of all disputants).Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu 2. yang biasa terjadi (To reduce the cost of conventional litigation and the delay to which it is ordinarily subjected).Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke 3. pengadilan (To prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the courts).

Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan pada umumnya dapat dilakukan melalui pelbagai cara berikut427:

1. NegosiasiMerupakan salah satu pola atau langkah utama dalam Alternative

425 Priyatna Abdurrasyid, Abitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 11.

426 Ibid., hlm. 15427 Yudha Pandu, Klien dan Advokat dalam Praktek, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta,

2004, hlm. 133-138.

Page 133: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

248 s e n g k e ta ta n a h 249B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Disputes Resolution (ADR). Negosiasi melibatkan dua atau lebih pi hak yang berkepentingan. Tujuannya, agar tercapai suatu kesepa-katan. Dengan begitu mereka dapat bekerja sama lagi. Negosiasi sering ter jadi di dunia usaha sebab esensinya adalah komunikasi dan tawar-menawar.Fisher dan Ury menyebut ada dua pendekatan fundamental dalam pro ses negosiasi bersasaran jangka pendek dan jangka panjang yaitu:

Pertama, Positional Bargainer Di sini negosiator sangat radikal dalam mencapai suatu target. Pasalnya, mereka sadar bahwa posisinya di atas angin. Mulai me nyelesaikan perkara dengan suatu tawar an, pada saat ber-samaan mengajukan permintaan tertentu.

Negosiator meyakinkan pihak lain bahwa solusi merekalah yang terbaik. Tujuan mereka adalah menang, mengoptimalkan ke untungan, menghindari kompromi, berusaha sedikit mung-kin untuk memberi, dan selalu menawar di titik terendah. Pen dekatan yang dilakukan oleh negosiator ini adalah untuk sa saran jangka pendek sebab tidak mengharapkan hubungan ber kelanjutan. Oleh karena itu pendekatan pertama ini sangat berpotensi menghilangkan kepercayaan (trust).

Kedua, Interest-based Negotiation Prinsip yang digunakan adalah menonjolkan kebersamaan dalam menyelesaikan sengketa. Jadi bukan mendapatkan kesempatan untuk kemenangan satu pihak. Sasaran adalah menemukan su-atu solusi yang paling memuaskan dan mengoptimalkan ke un -tungan para pihak. Tercapainya suatu kompromi adalah yang ter baik dari semua pilihan. Sasaran negosiator bersifat jangka pan jang. Rasa percaya tetap ada sehingga kerjasama di masa da tang mudah dirajut kembali.

2. Proses Mediasi (Mediation)Mediasi atau dalam bahasa Inggris disebut mediation, menurut M. Echols & Hasan Shadily, adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang menjadi penengah.428 Sedangkan menurut Folberg & Taylor mediasi adalah suatu proses di mana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang,

428 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 67.

secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketa kan. Tujuannya mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka.429

Menurut Priyatna Abdurrasyid430 mediasi adalah suatu pro ses penyelesaian sengketa di mana para pihak yang berselisih me man-faatkan bantuan pihak ketiga yang independen sebagai mediator (penengah), namun penengah tidak diberi wewenang un tuk meng-ambil keputusan yang mengikat. Dengan menggunakan ber bagai prosedur, teknik, dan ketrampilan perundingan, negosiator me m-bantu para pihak menyelesaikan perselisihan mereka. Mediator juga merupakan seorang fasilitator yang, jika diperlukan, dalam bebe rapa bentuk mediasi memberikan evaluasi yang tidak mengikat menge-nai nilai perselisihan. Tetapi dia tidak diberi wewenang mem buat keputusan yang mengikat.

Keberhasilan proses mediasi ini sangat tergantung pada ke-inginan para pihak untuk berbicara satu sama lain dan menetapkan sasaran pembahasan untuk menemukan solusi yang dapat diterima masing-masing pihak. Peran mediator sendiri dalam membantu para pihak adalah secara sistematis berusaha mengisolasi isu-isu konflikagar tidak melukai para pihak. Jika proses mediasi tidak berhasil, parapihakmasihdapatdidorongmenyelesaikankonfliknyadengancara lain, misalnya arbitrasi. Mengembangkan dan mencari berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan konflik merupakan tugas me­dia tor. Juga mencari kesepakatan yang dapat mengakomodasi ke-pentingan masing-masing pihak bersengketa.

3. Proses Konsiliasi Konsiliasi (conciliation) dapat diartikan sebagai usaha memper te-mukan keinginan pihak yang berselisih agar mereka sepakat me nye-lesaikan masalah.431

Oppenheim mengatakan konsiliasi adalah proses penyelesaian seng keta dengan menyerahkannya ke suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta-fakta dan —bia-sa nya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar me-re ka men capai suatu kesepakatan—membuat usulan-usulan guna

429 Ibid., hlm. 68.430 Priyatna Abdurrasyid, op. cit., hlm. 23.431 Ibid., hlm. 90.

Page 134: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

250 s e n g k e ta ta n a h 251B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

penyelesaian persoalan. Namun keputusan tersebut tidak meng-ikat.432

4. Proses Fasilitasi (Facilitation)Dalam perkara yang melibatkan lebih dari dua pihak dibutuhkan ada nya pihak ketiga yang berperan sebagai fasilitator. Tugasnya mem bantu pihak yang berperkara dengan cara mencari jalan keluar se cara bersama.

Dalam hal ini fasilitator hanyalah memberikan fasilitas agar ko-munikasi para pihak efektif. Fasilitas yang dimaksud termasuk peng-hubung, penerjemah, sekretariat bersama, atau tempat per temuan.

5. Proses Penilai IndependenPenggunaan jasa pihak ketiga, yaitu penilai independen yang tidak memihak adalah salah satu proses yang dapat digunakan dalam penyelesaian suatu perkara. Pihak ketiga yang independen dan tidak memihak ini akan memberikan pendapat ihwal fakta-fakta dalam perkara. Pihak-pihak yang berperkara menyetujui pendapat penilai independenmenjadisuatukeputusanfinaldanmengikat.Jadipenilaiindependen ini, selain pelaku investigasi juga pembuat keputusan. Pihak-pihak bersengketa juga dapat menjadikan pendapat atau sar an dari penilai independen sebagai bahan pertimbangan dalam negosiasi selanjutnya.

6. Proses ArbitraseArbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa Latin) yang berarti keku-asa an. Husein & A. Supriyani menyebut arbitrasi seba gai kekuasaan un tuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijak sanaan.433 Frank Elkoury dan Edna Elkoury mengatakan arbitrase merupakan pr oses mudah yang dipilih para pihak secara sukarela karena ingin per karanya diputus oleh juru pisah yang netral Keputusan juru pisah inibersifatfinaldanmengikat.434

Z. Asikin Kusuma Atmaja merumuskan arbitrase sebagai the busines community’s self regulatory practise of dispute settlement.435 Artinya, regulasi diri masyarakat dunia usaha dalam menyelesaikan masalah mereka.

432 Priyatna Abdurrasyid, op. cit., hlm. 91.433 Ibid., hlm. 96.434 Ibid.435 Ibid.

Dalam BLACK’S Law Dictionary arbitrasi diartikan sebagai:436 The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is itended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation.

Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999437 adalah cara penyelesaian satu perkara perdata di luar peng-adilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang di buat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penulis merumuskan arbitrase sebagai suatu penyelesaian per kara oleh seorang atau beberapa arbiter (hakim) yang di angkat berdasarkan persetujuan para pihak dan disepakati bah wa putusan yang diambil nanti bersifat mengikat dan final. Tahapan­tahapanpenyelesaian alternatif sengketa sebagai beri kut:

Awalnya para pihak yang bersengketa bertemu secara langsung, melakukan konsultasi atau negosiasi dengan itikad baik berdasarkan musyawarah dan mufakat. Penyelesaian sengketa sepenuhnya di tangan mereka. Menentukan sendiri penyelesaian yang mereka ingin-kan berdasarkan kompromi. Dalam waktu 14 hari telah ada suatu kesepakatan tertulis dari mereka. Apabila usaha musyawarah tidak berhasil mereka dapat meminta bantuan pihak ketiga (perseorangan) yang bertindak sebagai mediator. Dalam 14 hari telah tercapai suatu kesepakatan tertulis mereka. Apabila usaha mediasi ini tidak berhasil, maka mereka dapat menghubungi Lembaga Arbitrase atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk meminta seseorang mediator. Hal ini bertujuan untuk mencari jalan keluar. Mediator memegang teguh kerahasiaan. Paling lama dalam 30 hari harus tercapai kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

Kesepakatan tertulis dan bersifat final­mengikat ini harus di­lak sanakan para pihak dengan itikad baik serta wajib didaftarkan

436 Priyatna Abdurrasyid, Makalah Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution-ADR/Arbitration), Kumpulan Makalah Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Jakarta, 8 & 9 Oktober 2002, hlm. 30.

437 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Page 135: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

252 s e n g k e ta ta n a h 253B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

di pengadilan negeri paling lama 30 hari sejak penandatanganan.Apabila usaha musyawarah dan mediasi juga tidak berhasil, maka para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase. Ini harus diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase dibentuk.

Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibagi men jadi dua jenis yakni:

a. Arbitrase Ad HocArbitrase yang disebut juga arbitrase volunter ini dibentuk khu-sus untuk memeriksa dan memutuskan sengketa tertentu di luar pengadilan sesuai kebutuhan saat itu. Arbitrase ini berakhir apabila arbiter atau majelis arbitrase telah melaksanakan tugas-nya. Dalam perjanjian harus tercantum klausula arbitrase (Pasal 4 UU No. 30 Tahun 99)438. Klausula arbitrase dimuat dalam suatu dokumen (dalam perjanjian pokok atau dibuat secara terpisah). Klausula arbitrase ini merupakan syarat mutlak karena menyangkut kompetensi absolut.Tahap-tahap Arbitrase Ad Hoc

Pemohon harus memberitahukan lewat surat tercatat, tele-1. gram, teleks, faksmili, e-mail, atau dengan buku ekspe disi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. Surat permohonan tersebut memuat antara lain:a. Nama dan alamat para pihakb. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian abitrase

yang berlaku (Pasal 8 UU No. 30 Tahun 99).439

2. Pemohon menunjuk seorang arbitrer dalam waktu 14 hari terhitung sejak pemberitahuan itu (Pasal 15 (1) jo 16 UU No. 30 Tahun 99).440

3. Termohon dalam waktu 30 hari setelah menerima pem-beritahuan dari pemohon harus menunjuk arbiter (Pasal 15 ayat 3, UU No. 30 Tahun 99).441

4. Dua orang arbiter tersebut memilih dan menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua majelis arbitrase (Pasal 15 ayat 1, ayat

438 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, Fikahati Aneska, 2002, hlm. 266.

439 Ibid., hlm. 268.440 Ibid., hlm. 271.441 Ibid., hlm. 272.

2, UU No 30 Tahun 99).442

5. Setelah majelis arbitrase ad hoc terbentuk, majelis arbitrase melalui sekretaris sidang mengundang pemohon dan ter-mo hon untuk membicarakan hal seperti acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa nanti ter ma-suk jangka waktunya dan tempat sidang (Pasal 31 UU No. 30 Tahun 99).443

6. Biaya arbitrase (Pasal 76 UU No. 30 Tahun 99).444

7. Majelis arbitrase memerintahkan pemohon dalam jangka wak tu tertentu untuk menyampaikan surat permohonan arbi trase atau surat tuntutan (Pasal 38 UU No. 30 Tahun 99).445

8. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, majelis ar-bit rase melalui sekretaris sidang menyampaikan satu foto-kopi surat tuntutan tersebut kepada termohon dan mem beri waktu 14 hari untuk memberikan jawaban secara ter tulis (Pasal 39 UU No. 30 Tahun 99).446

9. Majelis arbitrase melalui sekretaris sidang menyampaikan jawaban termohon kepada pemohon dan menetapkan tanggal persidangan (Pasal 40 UU No. 30 Tahun 99).447

10. Pada sidang pertama majelis arbitrase terlebih dahulu me ng usahakan perdamaian (Pasal 45 UU No. 30 Tahun 99).448

11. Selanjutnya pengajuan replik, duplik, pembukuan, dan ke-simpulan oleh para pihak.

12. Majelis arbitrase menyiapkan putusan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57 UU No. 30 Tahun 99).449

13. Para pihak, dalam waktu paling lama 14 hari setelah putus-an diterima, dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk mengoreksi kekeliruan ad-ministratif dan atau menambah atau mengurangi suatu

442 Ibid.443 Ibid., hlm. 278.444 Ibid., hlm. 292.445 Ibid., hlm. 280.446 Ibid.447 Ibid.448 Ibid., hlm. 282.449 Ibid., hlm. 285.

Page 136: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

254 s e n g k e ta ta n a h 255B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

tuntutan. Antara lain telah mengabulkan yang tidak ditun-tut oleh pihak lawan, tidak memuat satu atau lebih hal yang dituntut untuk diputus, atau mengandung ketentuan (meng ikat) yang bertentangan satu sama lainnya.

b. Arbitrase InstitusionalArbitase institusional adalah suatu lembaga atau badan abitrase yang bersifat tetap dan sengaja dibentuk untuk menyelesaikan sengketa para pihak di luar pengadilan.

Tahap-tahap Arbitrase InstitusionalPemohon mengajukan dan mendaftarkan permohonan arbitrase nya ke Sekretariat Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan membayar biaya pendaftaran dan biaya administrasi. Dalam per mo-honan tersebut pemohon dapat menunjuk arbiter atau menye rahkan penunjukan tersebut kepada Ketua BANI (Pasal 6 PP BANI).

Termohon, setelah menerima surat dari sekretariat BANI yang menyampaikan permohonan arbitrase, dalam waktu 30 hari mem be-rikan tanggapan atas permohonan arbitrase tersebut dan me nun juk arbiter atau menyerahkan penunjukan tersebut kepada Ketua BANI (Pasal 8 PP BANI).

Ketua arbiter mengusulkan arbiter ketiga sebagai ketua majelis arbitrase kepada Ketua BANI (Pasal 10 PP BANI).

Biaya administrasi konvensi dan rekonvensi harus dibayar oleh pemohon dan termohon, masing-masing pihak setengah dari estima-si biaya arbitrase (Pasal 36 PP BANI). Setelah terbentuk berdasarkan ketentuan BANI, majelis arbitrase atas nama BANI akan memeriksa dan memutus sengketa para pihak.

Sebelum dan selama persidangan majelis dapat mengusahakan perdamaian di antara para pihak (Pasal 13 PP BANI). Kecuali secara tegas disepakati para pihak, persidangan akan diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak majelis terbentuk (Pasal 4 PP BANI). Selanjutnya pengajuan replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Majelis menetapkan putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak persidangan, kecuali majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya (Pasal 23 ayat 7 jo Pasal 25 PP BANI).

Dalam putusan final dan mengikat ditentukan jangka waktutertentu dalam rentang mana putusan sudah harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, di mana dalam putusan dapat ditetapkan

sanksi dan atau denda dan atau tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang kalah lalai dalam melaksanakan putusan (Pasal 32 PP BANI).

Para pihak mempunyai waktu paling lama 14 hari setelah pu-tusan diterima. Mereka dapat mengajukan permohonan ke BANI agar majelis memperbaiki kesalahan administratif yang mungkin ter jadi dan atau untuk menambah atau menghapus sesuatu, apabila da lam putusan tersebut sesuatu tuntutan tidak disinggung (Pasal 34 PP BANI jo Pasal 58 UU No. 30/1999).

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional, baik melalui arbitrase ad hoc maupun arbitrase institusional dilakukan sebagai berikut:

Setiap putusan arbitrase ad hoc/Badan Arbitrase Nasional Indo nesia diserahkan dan didaftarkan ke panitera pengadilan negeri sesuai Pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999. Dalam hal salah satu pihak yang dikalahkan tidak mau mematuhi secara sukarela putusan arbit-rase ad hoc/BANI sesuai jangka waktu yang ditetapkan, maka pihak yang menang mengajukan permohonan agar pengadilan mem be ri-kan peringatan dan memerintahkan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan tersebut sesuai Pasal 60 jo Pasal 62 UU No. 30 Tahun 1999.

Selanjutnya pelaksanaan putusan arbitrase ad hoc/BANI itu akan dijalankan menurut cara-cara yang biasa dilakukan dalam ek-se kusi putusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata yang pu-tusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999).

Meskipun upaya banding, kasasi, dan peninjauan kembali telah ditiadakan, terdapat alasan yang bersifat limitatif untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ad hoc atau arbitrase instutional. Namun hanya dalam hal-hal eksepsional putusan ter-sebut bisa diminta dibatalkan. Yaitu apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah 1. putusan diajukan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat 2. menentukan, yang disembunyikan pihak lawan.Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh 3. salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa (Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999).Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan se-

Page 137: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

256 s e n g k e ta ta n a h 257B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

cara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera Peng-adilan Negeri (Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999).

Terhadap putusan Pengadilan Negeri butir tersebut dapat di-ajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung RI yang memu tus dalam tingkat pertama dan terakhir.

hukum acara di PengadilanDalam hal ini sengketa pertanahan diproses oleh Pengadilan setempat di lokasi tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut, bukan di do mi -sili tergugat. Dasar pemikiran tersebut adalah tanah sebagai obyek sengketa dinyatakan sebagai benda tidak bergerak. Menurut Pasal 499 KUHPerdata, kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.450

Macam-macam benda dibedakan atas:451

Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPerdata).1. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPerdata).2. Benda dapat dipakai habis dan tidak dapat dipakai habis (Pasal 505 3. KUHPerdata).Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada (Pasal 1334 KUH 4. Perdata).Benda dalam perdagangan dan di luar perdagangan (Pasal 537, Pasal 5. 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata).Benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (Pasal 1296 KUH 6. Perdata).Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-Undang Hak Tang gung-7. an, Undang-Undang jaminan Fidusia).Benda dan atas nama dan tidak atas nama (Pasal 613 KUHPerdata 8. jis. Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Menurut Hukum adat, benda dibedakan atas 2 macam, yaitu tanah dan bukan tanah. Dari pembedaan macam-macam benda sebagaimana diuraikan di atas, yang terpenting adalah pembedaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak, serta pembedaan atas benda

450 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-hak Yang Memberi Kenikmatan, Jilid I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 2005, hlm. 19.

451 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 16-17.

terdaftar dan tidak terdaftar. 452

Benda tidak bergerak dapat dibedakan atas:453

Benda tidak bergerak menurut sifat nya: tanah dan segala sesuatu 1. yang melekat di atasnya, misalnya: pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain (Pasal 507 KUHPerdata).Benda tidak bergerak karena tujuannya, misalnya: mesin mesin yang 2. dipakai di pabrik (Pasal 507 KUHPerdata).Benda tidak bergerak menunit ketentuan Undang-undang, misalnya: 3. hak-hak atas benda tidak bergerak, seperti hak memungut hasil atas benda tidak bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak, hipotik, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPerdata).

Benda bergerak dibedakan atas:

Benda bergerak karena sifatnya (Pasal 509 KUHPerdata), ialah benda yang dapat dipindahkan, seperti meja, kursi, dan lain-lain, atau dapat pindah dengan sendirinya, seperti ayam, kambing (ternak), dan lain-lain. Pasal 510 KUHPerdata: kapal-kapal dan perahu, dan segala sesuatu yang dipasang pada perahu tersebut adalah benda bergerak.Benda bergerak karena ketentuan Undang-Undang (Pasal 511 KUH Perdata) mencakup hak atas benda bergerak, seperti hak me mu ngut hasil atas benda bergerak, hak pakai atas benda ber gerak, saham- saham dalam PT, dan lain-lain.

Daridefinisi tersebutdapatdisimpulkanbahwapengertianbendaialah segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek hak milik.

Jika terjadi sengketa pertanahan antara pihak perorangan atau kelompok orang dengan badan hukum atau sebaliknya, demikian juga orang dan instansi pemerintah berkaitan dengan kepemilikan atas tanah diajukan gugatan ke Pengadilan umum yaitu pengadilan negeri setempat di daerah letak tanah tersebut berada sesuai Pasal 118 Ayat (3) HIR.454

Prof. Subekti mengatakan bahwa barang adalah benda yang memiliki bentuk nyata sehingga dapat dilihat atau dipegang. Karena itu barang tersebut disebut juga benda materiel atau benda berwujud yaitu lichamelijke zaak (benda bertubuh). Tanah masuk dalam kategori

452 Djuhaendah Hassan: Lembaga Jaminm Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 97.

453 Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta, 1981, hlm. 20.454 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penyelesaian,Politea, Bogor, 1979, hlm. 77.

Page 138: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

258 s e n g k e ta ta n a h 259B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

benda materiel yaitu barang tak bergerak.455

Menurut ilmu hukum, tanda-tanda pokok perbedaan ini adalah sebagai berikut:456

Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan 1. terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas.2. Hak kebendaan mempunyai 3. droit de suite, artinya hak itu mengikuti bendanya, di tangan siapapun benda itu berada. Jika ada beberapa hak kebendaan diletakkan di atas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.Hak kebendaan memberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya. 4. Hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan, atau dipergunakan sendiri.Hak milik atas tanah yang dirumuskan dalam Pasal 570 KUHPer-

data adalah hak untuk menguasai dengan bebas dan menikmati de ngan sepenuhnya barang milik secara tidak bertentangan dengan un dang-undang, tanpa mengurangi kemungkinan pencabutan hak untuk kepen-tingan umun dengan pembayaran ganti kerugian yang layak me nurut ketentuan undang-undang.457 Oleh karena itu benda dapat di artikan sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum.

Sifat hak kebendaan adalah mutlak, karena itu yang berhak atas ben-da yang menjadi obyek hukum mempunyai kekuasaan tertentu untuk mem pertahankan hak tersebut terhadap siapapun juga.458

Dasar pemikiran bagi penyelesaian sengketa pertanahan secara per-data adalah bahwa bahwa tanah sebagai obyek hukum merupakan barang tidak bergerak yang diatur dalam Buku II KUHPerdata. Proses penyelesaian perkara di pengadilan bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang teiah dirugikan atau terganggu, mengembalikan sua sana seperti dalam keadaan semula. Setiap orang harus mematuhi per aturan hukum perdata, supaya peraturan hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.459

Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan ber-

455 Ibid., hhn. 37.456 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni Bandung, 1997,

hlm. 30-31.457 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 38.458 Ibid., hlm.34.459 Abdul Kadir Muhammad, Hukum acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,

hlm. 17.

lakunya hukum perdata. Atau, dengan tujuan memohon keadilan melalui hakim, hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata di Pengadilan sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan keputusan Hakim.

Dalam peraturan Hukum Acara Perdata diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya ke Pengadilan, bagaimana caranya pihak yang ter gugat tersebut mempertahankan dirinya, bagaimana Hakim bertindak ter hadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana Hakim memeriksa dan menulis perkara sehingga dapat diselesaikan secara adil, bagaimana ca ra melaksanakan putusan Hakim dan seterusnya di mana hak dan ke-wa jiban orang seperti yang diatur dalam Hukum Acara Perdata dapat ber-ja lan sebagaimana mestinya.

Dengan adanya peraturan Hukum Acara Perdata orang dapat memu-lihkan kembali haknya yang telah dirugikan melalui Pengadilan sehingga diharapkan selalu ada ketentraman dan suasana damai dalam hidup ber-masyarakat.

Hukum Acara Perdata dapat juga disebut sebagai hukum perdata for-mil karena mengatur tentang proses penyelesaian perkara di Peng a dil an secara formil di mana hukum acara perdata adalah aturan-atur an hukum bagaimana caranya mempertahankan berlakunya hukum per da ta. 460

Sejak kemerdekaan Negara RI pada 17 Agustus 1945, telah di ber-lakukan UUD RI 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, di mana pada ke ten-tuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV juncto Peraturan Presiden 1945-2 tanggal 10 Oktober 1945 disimpulkan bahwa hukum acara perdata yaitu HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai peraturan hukum acara di muka Pengadilan Negeri untuk semua golongan penduduk yaitu Warga Negara Indonesia.461

Namun sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tang gal 24 September 1960, dicabutlah ketentuan Buku II KUHPerdata menge-nai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang ini. Sejak itulah KUHPerdata meng alami perubahan prinsipil dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960 No. 5 LN 1960 No. 184.462 Dengan pencabutan tersebut maka Pasal 570 KUHPerdata praktis hanya mengatur barang bergerak, sedangkan

460 Ibid., hlm. 18.461 Ibid., hlm. 14.462 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hlm. 32.

Page 139: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

260 s e n g k e ta ta n a h 261B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

barang tidak bergerak diatur dalamUUPA.463

Dasar pembuatan UUPA sangat berbeda dengan pemikiran dasar KUHPerdata yang berpaham barat, sedangkan UUPA berdasarkan hu-kum adat. Pada UUPA negara mempunyai hak menguasai atas tanah se-perti deng an hak ulayat pada hukum adat.

Prinsip-prinsip dalam hukum adat tanah sangat berbeda dengan prinsip-prinsip eigendom atas tanah dalam pengertian paham barat yang ter dapat dalam KUHPerdata. Hukum tanah dalam UUPA mengatur ten-tang hak-hak atas tanah, bukan tentang tanah itu sendiri.

Walaupun tanah bukan lagi obyek hukum perdata dalam KUHPer-data, ternyata di dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Pengadilan tetap digunakan Hukum Acara Perdata HIR dan RBg secara murni tanpa ada perubahan hingga saat ini. Penyelesaian sengketa pertanahan di peng a dilan umum diajukan dengan memasukkan gugatan di Pengadilan Negeri do mi sili tanah sengketa. Proses penyelesaian sengketa pertanahan di Peng adilan tersebut menggunakan hukum acara perdata formal yang ter muat dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan ketentuan Hukum Acara Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk di luar Jawa dan Madura.

Asas hakim bersifat menunggu1. Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara ke pengadilan sepenuhnya terletak pada pihak berkepentingan. Jadi, apakah perkara itu akan diproses atau tidak, atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada yang berkepentingan. Apabila tidak ada tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat maka hakim tidak berwenang untuk memberikan suatu putusan yang tidak diminta oleh para pihak, baik penggugat maupun tergugat. Jadi, hakim sikapnya menunggu tuntutan hak itu diajukan kepada dia. Setelah ada tuntutan hak dalam bentuk surat gugatan yang telah ditandatangani oleh pihak penggugat atau kuasanya, baru perkara tersebut diproses oleh pengadilan (Pasal 118 HIR, 142 Rbg).

Asas Hakim Dilarang Menolak Perkara2. Apabila sudah masuk ke pengadilan, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas. Asas hakim dilarang menolak perkara ini ber dasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

463 Abdul Kadir Muhammad, op. cit., hlm. 38.

2004 ten tang Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal ini hakim dianggap tahu hukumnya. Apabila ia tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali hukum (rechtsscheppen) yang hidup dalam masyarakat atau mencarinya dalam yurisprudensi, sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang me wa-jibkan hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Beracara Dikenakan Biaya3. Untuk beracara perdata pada asasnya dikenakan biaya perkara, me-l i puti biaya kepaniteraan, pemanggilan, dan pemberitahuan, ser ta bea meterai. Pihak yang memang benar-benar tidak mampu mem ba-yar biaya perkara dapat mengajukan permohonan beracara de ng an cuma-cuma (prodeo).

Asas Hakim Bersikap Aktif4. Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-ke-ras nya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan demi ter-ca painya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

Hakim Bersikap Pasif5. Asas ini mengandung beberapa makna, yakni walaupun menurut sistem HIR dan RBg hakim mempunyai peran aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara, inisiatif untuk meng-adakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang ber ke pen ting an dan tidak pernah dilakukan oleh hakim. Sesuai dengan prinsip ini hakim hanya mempunyai kebebasan menilai sejauh apa yang dikemukakan dan dituntut oleh pihak berperkara. Hakim tidak bo leh mengabulkan lebih dari apa yang dituntut oleh para-pihak. Namun demikian hakim harus menilai sampai di mana kebenaran di ke mukakan oleh pihak-pihak tersebut sehingga keadilan betul-betul dapat tercapai464.

Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Dalam perkara perdata para pihak yang berperkara dapat secara bebas meng-akhiri sendiri perkara mereka yang telah diajukan dan diperiksa

464 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 22.

Page 140: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

262 s e n g k e ta ta n a h 263B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

di pengadilan dan hakim tidak bisa menghalanginya. Hal tersebut berbeda dengan perkara pidana yang mana perkara yang telah dipe-rik sa tidak dapat dicabut, harus tetap diproses sampai ada putusan peng adilan.

Peranhakimadalahaktif;tetapikeaktifanhakimsebatasmeme­riksa bukti-bukti dan saksi-saksi serta dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan di larang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut sesuai Pasal 178 HIR.465

Hakim mengejar kebenaran formal, yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pe ngadilan tanpa harus disertai keyakinan dirinya. Bila hanya ber-dasarkan keyakinan hakim maka akan timbul ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur) dalam putusannya.466 Para pihak yang berperkara bebas untuk meng ajukan atau tidak mengajukan upaya hukum, bahkan untuk meng akhiri perkara dengan perdamaian.

Asas Persidangan yang Terbuka6. Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol dari masyarakat atas jalannya sidang pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperoleh ke-pu tusan hakim yang objektif, tidak berat sebelah, dan tidak me mihak (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

Asas Kedua Belah Pihak Harus Didengar7. Dalam memeriksa perkara perdata, para pihak harus diperlakukan sama dan didengar bersama-sama tanpa pemihakan. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Begitulah bunyi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum acara per-data hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja; pihak lawannya harus diberi kesempatan untukmemberikanketerangan dan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti pula bahwa pengajuan dan pemeriksaan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, Pasal 121 (2) HIR dan Pasal 157 RBg).

465 Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 17.

466 R. Soebekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989, hlm. 79.

Tidak Ada Keharusan Mewakilkan 8. Hukum acara perdata yang berlaku sekarang tidak mengharuskan pihak-pihak yang berperkara mewakilkan pengurusan perkara mereka kepada ahli hukum, sehingga pemeriksaan di persidangan dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.

Asas Putusan Harus Disertai Alasan-alasan9. Apabila proses pemeriksaan perkara sudah selesai, maka hakim memutus perkara itu dan keputusan hakim ini harus memuat alasan-ala san yang menjadi dasar untuk mengadilinya (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 184 (1) HIR).

Asas Pemeriksaan “sederhana, cepat dan biaya ringan” (Pasal 4 10. Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004) Yang dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipa hami, dan tidak berbelit-belit. Kata cepat menunjuk kepada ja-lan nya peradilan. Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Tidak jarang suatu perkara tertunda-tunda sampai bertahun-tahun karena saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak datang atau minta mundur, bahkan perkaranya dilanjutkan oleh ahli warisnya. Ditentukan biaya ringan, agar terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi kebanyakan menyebabkan pi-hak yang berkepentingan enggan mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan.

Asas Objektivitas11. Maksud asas ini adalah bahwa hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan memihak. Untuk menjamin dilaksanakannya asas ini para pihak dapat mengajukan keberatan, bila ternyata memang si-kap hakim itu tidak objektif. Asas ini tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

Berdasarkan hal tersebut pihak penggugat dan tergugat yang merupakan pihak-pihak yang berkepentingan langsung dalam per-kara tanah tersebut dapat mengajukan dalil-dalilnya untuk mem-pertahankan hak-haknya di pengadilan.

Gugatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan ber-kaitan dengan sengketa pertanahan, boleh secara tertulis se ba gai-mana diatur dalam Pasal 118 HIR ataupun secara lisan seba gai mana diatur dalam Pasal 120 HIR. Namun dalam praktik saat ini, gugatan

Page 141: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

264 s e n g k e ta ta n a h 265B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

selalu dibuat secara tertulis. Dalam hal gugatan keperdataan seng-keta pertanahan diajukan secara tertulis, hukum acara perdata tidak mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan. Namun demikian Mahkamah Agung dalam fatwanya memberikan gam baran sebagai berikut:a. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal

cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan (MA, tanggal 15 Maret 1970 Nomor 547 K/Sip/1972).

b. Apa yang dituntut harus disebutkan dengan jelas (MA, tanggal 21 November 1970 Nomor 492 K/Sip/1970).

c. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA, tanggal 13 Mei 1975 Nomor 151 K/Sip/1975).

d. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas, dan ukuran tanah (MA, tanggal 9 Juli 1973 Nomor 81 K/Sip/1973).

Dalam praktik di lapangan, surat gugatan yang dibuat oleh peng gugat memuat tiga hal, yaitu:467

a. Identitas para pihak Adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang ber per-kara, yaitu nama, tempat tinggal dan pekerjaan, jika memung-kin kan agama, umur, dan status.

b. Fundamentum petendi (posita)Adalah dasar gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berperkara (penggugat dan ter-gugat) yang terdiri atas dua bagian, yakni:

Uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa •(eitelijkegronden)Uraian tentang hukumnya (• rechtsgronden)

c. Petitum atau hal-hal yang dimohonkan atau dituntut supaya diputuskan oleh pengadilanTerhadap gugatan yang menyangkut sengketa pertanahan, ber-

dasarkan ketentuan Mahkamah Agung dalam fatwanya tertanggal 19 Juli 1973 Nomor 81 K/Sip/1973, dalam surat gugatan harus disebut dengan jelas batas-batas dan ukuran tanah yang bersangkutan. Sebab apabila tanah yang disengketakan setelah dilakukan pemeriksaan

467 Lihat Pasal 8 ayat (3) Rv yang dulu berlaku pada Raad van Justitie.

setempat ternyata batas-batasnya atau ukuran-ukurannya tidak sa-ma dengan yang tercantum dalam gugatan, maka gugatan akan da pat dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demikian dalam gugatan ke perdataan berkaitan dengan masalah sengketa pertanahanan, pi-hak penggugat harus benar-benar cermat dan berhati-hati dalam meng ajukan surat gugatan agar gugatan dapat dinyatakan diterima oleh hakim Pengadilan Negeri.

Dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, penggugat harus benar-benar mengetahui ke mana harus mengajukan gugatan keperdataan sengketa pertanahan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa un-tuk gugatan keperdataan dengan objek sengketa tanah, maka gu gat -an diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meli puti tanah tersebut berada. Penetapan gugatan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tanah tersebut dimaksudkan un tuk memudahkan pengadilan ini memeriksa di lapangan. Juga meng ek-sekusi jika telah ada putusan Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap (incraht).

Proses Beracara di PersidanganProses beracara dalam pemeriksaan dan pengambilan putusan di per-sidangan, pada pokoknya adalah:468

Pembacaan surat gugatan Pasal 131 HIR/155 RBg1. 469

Usaha perdamaian: jika terlaksana, dibuat “akta perdamaian” Pasal 2. 130 HIR/154 RBg, yang mempunyai kekuatan sebagai “putusan”. Artinya, dapat dieksekusi.Proses jawab-menjawab, yaitu jawaban tergugat yang:3. a. Tidak langsung pada pokok perkara (Eksepsi).b. Langsung pada pokok perkara (ten principale);replikpenggugat;

duplik tergugat.4. Pengajuan alat-alat bukti: 5. Penggugat mengajukan bukti surat dan bukti saksi. Tergugat juga

akan melakukan hal yang sama. 6. Pemeriksaan saksi ahli atau pemeriksaan setempat (kalau dipandang

perlu).

468 R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm. 49.

469 Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, Perbandingan HIR dengan RBg Disertai Dengan Yurisprudensi Mah kamah Agung RI dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata, CV Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm. 58.

Page 142: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

266 s e n g k e ta ta n a h 267B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

7. Kesimpulan, pada saat ini sudah diwajibkan untuk mempermudah majelis hakim memeriksa perkara.

8. Musyawarah majelis hakim.9. Putusan Pasal 184 HIR/195 RBg:470

Ad.2: Usaha perdamaian senantiasa dapat terlaksana sampai dengan perkara tersebut belum diputus.

Ad.5: Dapat dilakukan pemeriksaan tambahan berupa alat bukti:10. Pemeriksaan orang ahli (expert): Pasal 154 HIR/ 181 RBg.471

11. Pemeriksaan setempat (Plaatselijk Ondenzoek) Pasal 153 HIR/180 RBg.472

Putusan Pengadilan NegeriPutusan akhir adalah putusan yang mengakhiri dan menyelesaikan seng-keta perkara pertanahan dalam suatu tingkat pengadilan tertentu. Dalam hal ini tingkat pertama yaitu putusan Pengadilan Negeri. Jika para pihak menerima isi putusan tersebut, maka setelah 14 (empat belas) hari putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi jika salah satu pihak tidak menerima isi putusan tersebut dan sebelum jatuh tempo 14 (empat belas) hari menyatakan banding atas putusan tersebut, maka pu tus an tersebut belum berkekuatan hukum tetap.

Upaya Hukum Atas PutusanBanding ke Pengadilan Tinggi di provinsi tempat keberadaan pengadilan negeriUntuk Hukum Acara Banding atau Peraturan Peradilan Negeri di Jawa dan Madura berlaku UU No. 20 Tahun 1947 dan untuk daerah di luar Jawa dan Madura diatur oleh Reglement Daerah Seberang (RDS) atau Reglement voor de Buitengewesten (RBg).

Syarat Formal Permohonan Banding:Permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu yang 1. ditetapkan Undang-Undang. Pengajuan yang dilakukan melampaui batas tenggang waktu meng-2. akibatkan permohonan cacat formal karena melanggar syarat-syarat yang ditentukan Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 dan Pasal 199

470 Ibid., hlm. 92.471 Ibid., hlm. 85.472 Ibid., hlm. 84.

RBg.473

Membayar biaya perkara (biaya banding sesuai Pasal 199 ayat (4) 3. RBg474 dan Pasal 7 ayat (4) UU No. 20 Tahun 1947. Pembayaran biaya banding dilaksanakan bersamaan dengan penga-

juan permohonan banding. Syarat formal pembayaran biaya banding sifatnya memaksa atau imperatif. Jika biaya perkara belum dibayar maka permohonan banding dianggap tidak ada.

Permohonan banding diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam bentuk surat permohonan banding atau ber bentuk akta tertulis yang diberi judul surat permohonan banding se-suai Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 dan Pasal 199 RBg475.

Akta permohonan banding yang sudah diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut akan diperiksa ke-ab sahan permohonannya dan diregister oleh panitera. Kemudian, oleh pani tera, akan diberitahukan banding kepada terbanding dengan disertai penye rahan salinan memori banding sesuai Pasal 10 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1947 dan Pasal 202 ayat (2) RBg476.

Pemberitahuan banding kepada terbanding tidak ada pengaturan tenggang waktunya. Memori banding sebagai hak yang diberikan ke-pada pemohon banding sesuai Pasal 199 ayat (1) RBg477 dan Pasal 11 ayat (3) UU No. 20 Tahun 1947, di mana pemohon banding dapat atau bo leh mengajukan memori banding. Dalam hal ini memori bukanlah syarat formal dari permohonan banding atas keabsahan permohonan banding.478

Penegasan dari Yurisprudensi antara lain: Putusan Mahkamah Agung RI No. 663 K/Sip/1071:479

Memori banding bukan syarat formal permohonan banding. 1. Undang-Undang tidak mewajibkan pembanding mengajukan me-2. mori atau risalah banding.Memori banding dapat disertai surat bukti dan permintaan peme-

riksaan saksi atau ahli sesuai Pasal 199 ayat (1) RBg dan Pasal 11 ayat (3)

473 Ibid., hlm. 147.474 Ibid., hlm. 147.475 Ibid., hlm. 147.476 Ibid., hlm. 171.477 Ibid., hlm. 147.478 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata

Dalam Tingkat Banding, Sinar Grafika. Jakarta, 2006, hlm. 73.479 Himpunan Kaidah Hukum Putusan MARI Tahun 1961-1991. Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993,

hlm. 22.

Page 143: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

268 s e n g k e ta ta n a h 269B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

UU No. 20 Tahun 1947 dan terhadap terbanding pun diberikan hak untuk membuat kontra memori banding yang memuat bantahan atau balasan atas isi memori banding. Tenggang waktu pengajuan memori banding dan kontra memori banding tidak ditentukan oleh Undang-Undang.

Pada Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 diatur ketentuan inzage yang berbunyi:

“Kemudian selambat-lambatnya empat belas hari setelah per min-taan pemeriksaan ulang diterima, panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat surat-surat yang bersangkutan dengan perkaranya di kantor Pengadilan Negeri selama empat belas hari”.

Pengertian inzage adalah melihat atau memeriksa berkas perkara atau inzage nemen van processtukken, yakni memeriksa berkas perkara (to inspect the document of the case).480Tujuan inzage adalah melihat dan mempelajari berkas perkara guna menyusun memori dan kontra memori banding. Secara teoretis maupun berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947, pemberitahuan inzage cenderung bersifat imperatif, wajib dilaksanakan panitera. Tetapi dalam praktiknya inzage tidak absolut, hal ini dapat dilihat dari yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI tanggal 28 November 1985 No. 3135 K/Sept/1983 yang menyatakan:

Pemberitahuan mempelajari berkas atau 1. inzage sifatnya tidak impe-ratif sebab ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 202 RBg pada dasar-nya tidak bersifat memaksa.Lagi pula memori banding bukan syarat formal keabsahan permo-2. honan banding. Jadi, tanpa memori maupun kontra memori banding, perkara tetap diperiksa ulang secara keseluruhan.

Tenggang waktu pengiriman berkas perkara ada tiga versi yaitu: delapan hari setelah menerima memori banding pembanding (Pasal 203 RBg),481 satu bulan dari tanggal permohonan banding (Pasal 11 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1947) dan tiga puluh hari setelah permohonan banding diajukan.482

Tetapi dalam praktiknya, menurut pengalaman penulis, pengiriman

480 M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 80.481 Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, op. cit., hlm. 153.482 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Mahkamah Agung RI, 1999,

hlm. 14.

berkas jarang dilaksanakan sesuai tiga versi tersebut di atas. Paling cepat tiga bulan setelah pernyataan banding oleh pembanding. Malahan pernah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus PT Phoenix Commodities Pvt Ltd dengan Perkara No. 894/Pdt.G/2005/PN Jakarta Sela tan yang telah diputus pada 13 Februari 2007, pemberitahuan ban ding dan memori banding baru diterima pada 31 Januari 2008 kepada ter banding atau setelah satu tahun pernyataan banding oleh pembanding pada 20 Maret 2007. Pemberitahuan tersebut baru muncul setelah ada protes resmi dari terbanding pada 14 Januari 2008 (Surat Nomor: 015/ES&P/I/2008, Tanggal 28 Januari 2008 Surat Nomor: 021/ES&P/I/2008).

Putusan Pengadilan Tinggi pada tingkat banding ada dua macam yaitu:Putusan sela untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.1. Putusan akhir.2.

memanfaatkan lembaga adatHak-hak adat seperti hak ulayat memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat untuk mengatur dan menyelenggarakan pemanfaatan tanah. Ter masuk di dalamnya kewenangan untuk mengatur dan menentukan hubung an hukum antara orang dengan tanah serta hubungan hukum an-tara orang dengan hukum yang berkaitan dengan dengan tanah.

Kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur dan meman-faatkan tanahnya ini seringkali tidak dapat dijalankan sebagaimana mes-ti nya karena hingga saat ini keberadaan hak adat itu masih dilematis. Di satu sisi, hak adat atau hak ulayat yang semula dinyatakan tidak berlaku lagi ternyata masih ada. Sedangkan di sisi lain, hak adat atau hak ulayat yang dinyatakan masih ada kemudian menjadi hilang karena terdesak oleh proses pembangunan atau oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.

Tanah dengan sistem kepemilikan bersama—tata cara pengaturannya didasarkan pada hukum adat—bisa menarik di mata pemerintah daerah se tempat. Misalnya tanah dianggap cocok untuk menjadi kawasan pe-ngem bangan ilmu pertanahan, adat istiadat, dan kebudayaan se tempat. Sebaliknya tanah itu bisa juga memicu sengketa pertanahan sehing ga menghambat program pembangunan yang telah direncanakan peme-rintah. Terutama karena lahan itu tidak mempunyai batas dan kepe-milikan yang jelas. Contohnya Tanah Horja si Inggir-inggir dan Tanah Horja Silangsang yang ada di kabupaten Toba Samosir.483

483 Evi Katharina, Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Toba Samosir Dalam Kaitannya dengan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,

Page 144: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

270 s e n g k e ta ta n a h 271B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Untuk daerah-daerah yang masyarakatnya masih memegang te guh dan memberlakukan adat istiadat, penyelesaian sengketa tanah umum-nya dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas yang disegani warga se tem-pat. Di antaranya adalah kepala adat, kepala suku, kepala kampung, atau ketua marga. Peranan para tokoh adat tersebut sangat menentukan da-lam penyelesaian sengketa tanah. Mereka berperan dalam menentukan per un tuk an serta pengawasan terhadap penggunaan tanah oleh warga se-tempat. Ini karena kepala atau ketua adat setempat umumnya memiliki data tanah di wilayahnya masing-masing, baik ihwal jumlah, batas, mau-pun penggunaan tanah oleh warga setempat. Kendati data tanah itu jarang yang tertulis namun biasanya mereka tahu riwayatnya. Selain itu, lem baga adat masih berfungsi sebagai tempat penyelesaian sengketa yang ter jadi di antara anggota masyarakat hukum adat setempat.

Salah satu sektor hukum adat Indonesia yang mendapat status isti-mewa dibandingkan sektor hukum adat lainnya ialah hukum adat ten-tang tanah. Pasalnya, setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agra ria pada tahun 1960 hukum adat ini telah dijadikan dasar dari hukum agraria nasional dan sejak itu mengalami proses perkembangan yang berbeda dibanding bidang hukum adat lainnya.484

Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat, yakni kaidah-kaidah sosial yang dibuat dan dipertahankan oleh para fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa).485 Dengan dite-tapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, jelas lembaga adat diperlukan dalam penyelesaian masalah pertanahan.

Dalam Pasal 2 UUPA disebut bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan ter tinggi dikuasai negara dan pada ayat (4) pasal tersebut disebut hak menguasai dari negara dapat dikuasakan kepada masyarakat-masyarakat adat. Jadi jelas bahwa lembaga ulayat sebagai subjek hukum negara diakui oleh UUPA.

Dalam UUPA, peruntukan dan pengunaan bumi, air, dan ruang ang kasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga diatur ber dasarkan urutan prioritas (priority list). Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA urutannya adalah negara (prioritas pertama), keperluan

Yogyakarta, 2003, hlm. 83-87.484 Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria Indonesia,

Akademik Presindo, Jakarta, hlm. 1, 1984.485 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung,

2002, hlm. 14.

suci lainnya (prioritas kedua), pusat kehidupan masyarakat, sosial, ke-budayaan dan lain-lain kesejahteraan (prioritas ketiga), pengembangan produksi (prioritas keempat), pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan (prioritas kelima). Urutan prioritas ini menggambarkan nilai-nilai pandangan masyarakat dan sesuai pula dengan UUD 45 serta Pancasila sebagai pedoman bernegara dan berbangsa.486

Lembaga adat mempunyai peran yang sangat penting dan srategis dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Sengketa tanah sebagian besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan hak adat atas tanah dengan pemilik modal besar yang mendapatkan konsesi pengu asaan hutan, pertambangan—minyak, gas bumi dan yang lain—dan pengem-bangan agribisnis dengan pola PIR (Perkembangan Inti Rakyat). Peng-ambilalihan kembali (reclaiming) oleh masyarakat terhadap lahan yang di atasnya telah ada aset-aset produktif telah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.487

Untuk meminimalkan sengketa semacam ini lembaga adat bisa di-libatkan sebagai mediator yang tak akan merugikan salah satu pihak ber -perkara. Pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat dituangkan da lam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pera turan Dasar Pokok-pokok Agraria, Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 400-2626 ten tang Pen-jelasan Mengenai Permeneg. Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 dan Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 110-201 ten tang Pelaksanaan Otonomi daerah di Bidang Pertanahan.

Lembaga Adat Dalihan NatoluPengakuan terhadap lembaga adat datang, misalnya, dari Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir. Mereka memberlakukan Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir No. 13 Tahun 2000 tentang pem ber-dayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-ke-biasaan masyarakat dan lembaga adat (selanjutnya disingkat menjadi Perda No. 13 Tahun 2000). Dalam Pasal 1 huruf (h) Perda ini lembaga adat didefinisikan sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan yangsenga ja dibentuk atau yang secara wajar timbul dan berkembang di tengah masyarakat yang bersangkutan atau dalam satu masyarakat hu-

486 Agustinus Dawarja & Partners, Negara Adat Papua Kalah Atas Modal, Legal Article, 21 April 2006.487 Arie Sukanti Hutagalung, Perspektif Hukum Serta Instrumen Penyelesaian Sengketa, Seminar

Penyelesaian Sengketa Tanah, Hotel Aryaduta, Jakarta, 29-30 Agustus 2007.

Page 145: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

272 s e n g k e ta ta n a h 273B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

kum adat tertentu dan hak atas harta kekayaan dalam wilayah hukum adat tersebut.488

Menurut Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2000 Lembaga Adat Dalihan Natolu merupakan wadah organisasi permusyawaratan atau permufakatan yang mempunyai tugas:

Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pe-1. merintah dan menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hu kum adat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hukum adat Batak Toba.Memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat 2. serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah, termasuk memberdayakan masyarakat guna me-nunjang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pem-binaan masyarakat. Menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis, dan objektif 3. an tara kepala adat, pemangku adat dan pimpinan/pemuka adat de-ngan aparat pemerintahan.Untuk itu,setiap perbedaan pen dapat akan diselesaikan secara musyawarah mufakat.Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2000 juga mengatur hal-hal yang

men jadi hak dan kewenangan Lembaga Adat Dalihan Natolu, antara lain hak dan wewenang untuk mewakili masyarakat hukum adat Batak Toba ke luar, guna menyelesaikan persoalan yang menyangkut kepentingan mereka. Lembaga Adat Dalihan Natolu juga diberi kewenangan untuk mengelola hak-hak dan harta kekayaan adat, termasuk tanah, guna me-ningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik serta menyelesaikan berbagai perkara adat dan kebiasaan masyarakat, sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan per un dang-undangan yang berlaku.

Mengingat masih kuatnya pengaruh hukum adat terhadap dinamika kehidupan masyarakat hukum adat Batak Toba hingga saat ini, pemerin-tah Kabupaten Toba Samosir berupaya memberdayakan dan melestarikan Lembaga Adat Dalihan Natolu. Tujuannya supaya lembaga adat itu dapat berperan aktif membantu pemerintah.

Dalam praktiknya pola kerja Lembaga Adat Dalihan Natolu lebih terfokus pada permasalahan adat istiadat saja dan belum mencakup masalah tanah adat. Akibatnya, penanganan sengketa pertanahan masih

488 Pasal 1 huruf (h) Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir No. 13 Tahun 2000 tentang Pember-dayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.

sangat minim.489 Padahal, membantu penyelesaian sengketa tanah me-ru pakan salah satu tugas dari lembaga ini. Selain itu, ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu periode 2000-2005 dipandang kurang memahami seluk-beluk tanah adat sehingga penyelesaian persoalan yang timbul akibat adanya benturan kepentingan yang melibatkan tanah adat kurang berhasil. Misalnya, dalam hal pemberian pago-pago (rekognisi) akibat peralihan hak atas tanah marga untuk kepentingan pembangunan.490

Lembaga adat Ninik Mamak di Sumatra Barat lebih berfungsi secara efektif dari pada Lembaga Adat Dalihan Natolu. Dalam bidang hukum per tanahan, lembaga adat Ninik Mamak mempunyai data lengkap ten-tang pemilik, luas, batas, dan letak tanah ulayat di wilayahnya. Inven-tarisasi data tanah adat atau marga yang akurat mempermudah pihak yang berkepentingan memperoleh informasi atas tanah yang diper lu-kannya. Berkat inventarisasi ini pula, maka kewajiban pemilik tanah untuk membayar pajak kepada pemerintah sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal

ini tidak dijumpai pada Lembaga Adat Dalihan Natolu.Lembaga Adat Dalihan Natolu kurang memahami masalah hak-

hak adat atas tanah di Kabupaten Toba Samosir. Jadi lembaga adat ini dapat dikatakan tidak efektif. Pelaksanaan program pembangunan yang memerlukan tanah, termasuk tanah adat, marga, maupun ulayat, mestinya dapat berhasil tanpa harus menghapus hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah itu. Realitasnya di Kabupaten Toba Samosir, akibat peran lem-baga adat yang kurang efektif pembangunan menjadi alat penghapus hak masyarakat hukum adat. Hak-hak atas tanah adat, tanah marga, dan tanah ulayat seakan-akan sengaja dikorbankan demi suksesnya suatu program pembangunan, terutama dalam pengimplementasian otonomi daerah.

Dalam praktik, pengaturan dan tata kerja lembaga adat dalam per-undang-undangan masih banyak yang belum disosialisasikan secara optimal ke masyarakat luas. Perda No. 13 Tahun 2000 tadi misalnya hingga kini masih belum diketahui secara jelas oleh sebagian masyarakat hukum adat Batak Toba.491 Pengangkatan ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu oleh pemerintah dianggap masyarakat Batak Toba kurang as pi-ratif karena lembaga ini jadi cenderung berpihak kepada pemerintah

489 Evi Katharina, Keberadaan Hak Ulayat di Toba Samosir Dalam Kaitannya Dengan Penyeleng-garaan Otonomi Daerah, Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2003, hlm. 95.

490 Ibid.491 Ibid., hlm. 93.

Page 146: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

274 s e n g k e ta ta n a h 275B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

dan kurang memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat hukum adat Batak Toba. Akibatnya, keberadaannya kurang bermakna di mata masyarakat sehingga banyak persoalan tanah yang diselesaikan sendiri oleh warga tanpa melibatkan mereka.

Menurut pengamatan penulis, peran lembaga adat diakui oleh pe-me rintah dan masyarakat adat. Namun, peran tersebut tidak optimal aki-bat sarat kelemahan. Nyatanya lembaga ini tidak dapat menyelesaikan seng keta tanah secara tuntas. Tak hanya itu, sengketa baru di antara ma-syarakat hukum adat tersebut bisa timbul akibat penyelesaian yang tak tuntas.

Posisi Badan Pertanahan nasional Dasar pembentukan BPN adalah Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988. Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri pun diubah men-jadi lembaga pemerintah non departemen untuk menjadi lembaga ini.

Sebagai panduan operasional BPN, pimpinan lembaga ini kemu dian mengeluarkan SK No. 11/KBPN/1988 jo Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN di Provinsi dan Kabu-pa ten/Kotamadya.

BPN terdiri atas lima deputi, yaitu Deputi Bidang Umum, Deputi Bi-dang Penatagunaan Tanah, Deputi Bidang Hak-hak atas Tanah, Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, dan Deputi Bidang Peng-awasan. Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada pre siden.492

Tugas BPN adalah mengelola dan mengembangkan administrasi per tanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-un-dang an lain yang meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan, dan peme liharaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengurusan dan pen daftaran tanah, dan hal lain yang berkaitan dengan masalah per ta-nah an berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Presiden.493

Sedangkan fungsi lembaga BPN adalah merumuskan kebijakan dan perencanaanpenguasaandanpengurusantanah;merumuskankebijakandan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip tanah mempunyai fungsi sosial; melaksanakan pengukuran dan pemetaansertapendaftarantanah;melaksanakanpengurusanhak­hakatastanah;melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta

492 S.B. Silalahi, Sejarah Perkembangan Lembaga Agraria/Pertanahan di Indonesia, Seminar Ilmiah Masalah Hukum dan Perekonomian Serta Masalah Pertanahan Provinsi Bangka Belitung, Februari 2004, hlm. 6.

493 Ibid.

pen didikan dan pelatihan pegawai dan hal-hal lain yang ditetapkan pre-siden.494

Seiring berjalannya waktu, status BPN berubah. Berdasarkan Kep-pres No. 154 Tahun 1999 tentang perubahan Keppres No. 26 Tahun 1988, menteri dalam negeri ditetapkan sebagai kepala BPN. Ia dibantu oleh wakil kepala BPN. Lantas, sesuai UU No. 22 Tahun 1999 (tentang Peme rintahan Daerah) Pasal 11, kewenangan pertanahan dilimpahkan ke dae rah.

Dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Penuntutan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, dan Keputusan Presiden No. 136 Tahun 1998 tentang Po kok-pokok Organisasi Lembaga Pemerintahan Non Departemen—yang diubah dengan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 2000—kedudukan, tugas, dan fungsi BPN pun berubah. Hal ini diatur dalam Keppres No. 95 Tahun 2000 Tanggal 19 Juli 2000 tentang BPN. Disebutkan bahwa BPN adalah lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Posisi kedua BPN dijabat menteri dalam negeri. Lembaga ini bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional di bidang:

Pengaturanperuntukan,persediaan,danpenggunaantanah;1. Pengaturanhubunganhukumantaraorang­orangdantanah;2. Pengaturan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-3. perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah sesuai Pasal 2 Keppres No. 95 Tahun 2000.495

BPN mengalami perubahan lagi. Keppres No. 173 Tahun 2000 ten-tang perubahan beberapa pasal dan Keppres No. 166 Tahun 2000 yaitu Pasal 76, 88, 90 dan 91 muncul. Isinya, kepala BPN tetap menteri dalam negeri dan otonomi daerah dijalankan.

Menurut Keppres No. 174 Tahun 2000, BPN ditugaskan untuk men -dampingi menteri dalam negeri dan otonomi daerah. Sedangkan Keppres No. 16 Tahun 2001 menyebut BPN dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri dan otonomi daerah. Keppres No. 60 Tahun 2001 tentang per ubah-an Keppres No. 178 Tahun 2000 menyatakan BPN terdiri atas kepala, wakil kepala, sekretariat utama, tiga deputi, inspektorat utama.

Dengan pemberlakuan Keppres No. 110 Tahun 2004, BPN memi li ki wakil kepala. Setelah lahir UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

494 Ibid.495 Keputusan Presiden RI No. 95 Tahun 2000 Tentang BPN, CV Mini Jaya Abadi, Jakarta, 2000,

hlm. 73.

Page 147: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

276 s e n g k e ta ta n a h 277B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Daerah, dibuatlah Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang BPN. Kewenangan lembaga ini menjadi sentralistik kembali. Tapi ketetapan itu diubah lagi lewat Peraturan Presiden No. 37 Tahun 2007, yakni ke we-nang an pertanahan diserahkan ke daerah.

Menyelesaikan sengketaBadan Pertanahan Nasional mengupayakan solusi penyelesaian sengketa pertanahan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan rasa keadilan dan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Langkah-langkah penyelesaian masalah pertanahan yang mereka tempuh adalah musyawarah. Mereka berwenang melakukan mediasi, negosiasi, dan fasilitasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan menggagas suatu kesepakatan di antara para pihak.

BPN, Kantor Wilayah BPN provinsi, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menyelesaikan sengketa tanah garapan, masalah ganti rugi, dan santunan tanah untuk pembangunan, masalah tanah kosong, dan masalah tanah ulayat. Pemerintah kabupaten/kota hanya sampai pada putusan penyelesaian masalah, sedangkan tindak lanjut administrasi pertanahan tetap dilaksanakan oleh BPN.496

Dalam era keterbukaan sekarang setiap aspek pelayanan harus jelas dasar hukumnya dan transparan. Untuk meminimalkan sengketa pertanahan maka peran yang perlu dimainkan BPN sebagai pelayan masyarakat antara lain adalah:497

Menelaah dan mengolah data untuk menyelesaikan perkara di bidang 1. pertanahan.Menampung gugatan-gugatan, menyiapkan bahan memori jawaban, 2. me nyiapkan memori banding, memori/kontra memori kasasi, me-mori /kontra memori peninjauan kasasi atas perkara yang dia ju kan melalui peradilan terhadap perorangan dan badan hukum yang me-ru gikan negara.Mengumpulkan data masalah dan sengketa pertanahan.3. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan mengenai keputusan 4. mengenai penyelesaian sengketa atas tanah.Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan pembatalan hak atas5.

496 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam jo. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003.

497 BPN-Karanganyar.net, 25/10/2007, Penanganan Sengketa Pertanahan, Strategi Penanganan Sengketa Pertanahan, hlm. 2.

tanah yang cacat administrasi dan berdasarkan kekuatan putusan peradilan.Mendokumentasi.6.

Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa tanah BPN memiliki mekanisme, di antaranya498:

Sengketa tanah biasanya diketahui oleh BPN dari pengaduan. 1. Pengaduanditindaklanjutidenganmengidentifikasikanmasalah.Di­2. pas tikan apakah unsur masalah merupakan kewenangan BPN atau tidak. Jika memang kewenangannya, BPN meneliti masalah untuk mem-3. buktikan kebenaran pengaduan serta menentukan apakah pengaduan beralasan untuk diproses lebih lanjut.Jika hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data 4. fisikadministrasisertayuridis,makakepalakantordapatmengambillangkah berupa pencegahan mutasi (status quo).Jika permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan 5. beberapa unit kerja. Jika bersifat politis, sosial, dan ekonomis, maka tim melibatkan institusi seperti DPR, departemen dalam negeri, pemerintah daerah terkait. Tim akan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan 6. re komendasi penyelesaian masalah.

Sesuai Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 tentang organisasi dantatakerjaBPN­RI,pengkajiandanpenanganansengketadankonflikpertanahan merupakan bidang Deputi V. Deputi ini membawahi:

DirektoratKonflikPertanahan1. Direktorat Sengketa Pertanahan2. Direktorat Perkara Pertanahan (Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI 3. No. 3 Tahun 2006)

Tugas Direktorat Konflik Pertanahan sesuai Pasal 348 PeraturanKepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 adalah:

Penyiapan perumusan kebijakan teknis pengkajian, penanganan, dan 1. penyelesaiankonflikpertanahan.Penyusunan norma, standar, pedoman dan mekanisme penanganan, 2. danpenyelesaiankonflikpertanahan.Pemetaanakarkonflikpertanahannasional,regional,dandaerah.3.

498 Ibid.

Page 148: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

278 s e n g k e ta ta n a h 279B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pengkajian aspek hukum, sosial, budaya, ekonomi, politik dalam 4. rangkapenanganankonflik.Penyiapan bahan penanganan konflik antara lembaga, kelompok5. masya rakat, dan antara masyarakat dengan badan hukum.Investigasi dan koordinasi dengan lembaga dan instansi terkait dalam 6. penanganandanpenyelesaiankonflikpertanahan.Penyelesaiankonflikmelaluimediasi,negosiasi,danfasilitasi.7.

DirektoratKonflikPertanahanterdiriatas:SubdirektoratKonflikLembaga1. SubdirektoratKonflikKelompokMasyarakat2. SubdirektoratKonflikMasyarakatdenganBadanHukum3.

Direktorat sengketa pertanahan mempunyai tugas menyiapkan peru-musan kebijakan tertulis dan melaksanakan pengkajian, penanganan, dan penyelesaian sengketa pertanahan. Sesuai Pasal 363 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006, Direktorat Sengketa Pertanahan me-nye lenggarakan fungsi:

Penyiapan perumusan kebijakan teknis pengkajian, penanganan, dan 1. penyelesaiansengketayuridis,fisikdanland reform.Penyusunan norma, standar, pedoman, dan mekanisme pengkajian, 2. penanganandanpenyelesaiansengketayuridis,fisikdanland reform.Pengkajian dan pemetaan semua akar sengketa pertanahan.3. Penelitian, penyusunan, dan perumusan petunjuk atau pedoman se-4. ba gai pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang per ta-nahan khususnya dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan.Investigasi dan koordinasi antara lembaga dan instansi dalam 5. penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan.Penyelesaiansengketayuridis,fisikdan6. land reform.Penyelenggaraan alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi, 7. rekonsiliasi, atau fasilitasi atas sengketa pertanahan.Penyiapan keputusan penghentian dan pembatalan hak atas tanah 8. karena cacat administrasi dan atas dasar kekuatan putusan peng-adilan.

Direktorat Sengketa Pertanahan terdiri atas:Subdirektorat Sengketa Yuridis1. Subdirektorat Sengketa Fisik2. Subdirektorat Sengketa 3. Land Reform

Direktorat Perkara Pertanahan mempunyai tugas menyiapkan peru-musan kebijakan teknis dan melakukan pengkajian, penanganan, dan penyelesaian perkara pertanahan. Berdasarkan Pasal 378 Peraturan Ke-pala BPN-RI No. 3 Tahun 2006, fungsi Direktorat Perkara Pertanahan adalah:

Penyiapan bahan perumusan kebijakan penanganan perkara baik di 1. lingkungan peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.Penyusunan norma, standar, pedoman, dan mekanisme pengkajian, 2. penanganan dan penyelesaian perkara pertanahan.Pengkajian dan pemetaan semua akar dan obJek perkara pertanah-3. an.Penyelesaian perkara pertanahan baik di peradilan umum, peradilan 4. tata usaha negara, atau lembaga peradilan lainnya.Penyiapan saksi dan bahan untuk memberikan kesaksian serta 5. bantuan hukum.Penyiapan penghentian atau pembatalan hak sebagai pelaksanaan 6. putusan lembaga peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memerintahkan Badan Pertanahan untuk menghentikan dan membatalkan hak atas tanah.

Direktorat Perkara Pertanahan terdiri atas:Subdirektorat Perkara Wilayah I1. Subdirektorat Perkara Wilayah II2. Subdirektorat Perkara Wilayah III3.

Fungsi Subdirektorat Perkara Wilayah I sesuai Pasal 381 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 adalah:

Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian 1. dan penanganan perkara perdata dan tata usaha negara wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.Pemetaan akar perkara perdata dan tata usaha negara wilayah 2. Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.Penyiapan data dalam rangka penanganan perkara perdata dan tata 3. usaha negara wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.Penanganan perkara perdata dan tata usaha negara wilayah Sumatra, 4. Kalimantan, dan Nusa Tenggara.Penyiapan penghentian atau pembatalan hak sebagai pelaksanaan 5. pu tusan lembaga peradilan umum dan tata usaha negara wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara yang sudah mempunyai ke kuatan hukum tetap.

Page 149: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

280 s e n g k e ta ta n a h 281B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Fungsi Subdirektorat Perkara Wilayah II sesuai Pasal 385 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 adalah:

Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pengkajian, penangan-1. an dan penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara di wilayah Bali, Maluku, dan Sulawesi.Pemetaan perkara perdata dan tata usaha negara di wilayah Bali, 2. Maluku, dan Sulawesi.Penyiapan data dalam rangka penanganan perkara perdata dan tata 3. usaha negara di wilayah Bali, Maluku, dan Sulawesi.Penanganan perkara perdata dan tata usaha negara di wilayah Bali, 4. Maluku, dan Sulawesi.Penyiapan penghentian atau pembatalan hak sebagai pelaksanaan pu-5. tus an lembaga peradilan umum dan tata usaha negara di wilayah Bali, Maluku, dan Sulawesi yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Fungsi Subdirektorat Perkara Wilayah III sesuai Pasal 389 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 adalah:

Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis pengkajian dan pe-1. nangan an perkara perdata dan tata usaha negara di wilayah Jawa dan Papua.Pemetaan perkara perdata dan tata usaha negara di wilayah Jawa dan 2. Papua.Penyiapan data dalam rangka penanganan perkara perdata dan tata 3. usaha negara di wilayah Jawa dan Papua.Penanganan perkara perdata dan tata usaha negara di wilayah Jawa 4. dan Papua.Penyiapan penghentian atau pembatalan hak sebagai pelaksanaan 5. putusan lembaga peradilan umum dan tata usaha negara di wilayah Jawa dan Papua yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut penulis, wewenang BPN ini tidak difungsikan secara pro-fesional sehingga lembaga ini tidak berperan secara optimal dalam me-nye lesaikan sengketa tanah di Indonesia.

ragam masalah dalam eksekusiProses sengketa pertanahan melalui pengadilan—baik melalui pengadilan umum maupun pengadilan Tata Usaha Negara—pada akhirnya akan melahirkan suatu keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berdasarkan Pasal 97 ayat 7 UU No. 5 Tahun

1986499 putusan pengadilan dapat berupa:Gugatan ditolak1. Gugatan dikabulkan2. Gugatan tidak diterima3. Gugatan gugur4.

Jika gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 97 ayat 8 UU No. 5 Tahun 1986).

Kewajiban yang dimaksud adalah berupa:Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang ber sang kutan. 1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan 2. menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru.Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan 3. didasarkan pada Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 yaitu apabila badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya.

Pada perkara perdata di pengadilan umum dikenal adanya putusan akhir dan putusan bukan akhir. Sesuai Pasal 185 HIR-196 RBg dikenal ada nya putusan akhir dan putusan bukan akhir.

Putusan bukan akhir adalah putusan yang diucapkan di muka per-sidangan tetapi tidak dibuat dengan putusan tersendiri melainkan hanya di tuliskan dalam berita acara persidangan. Contoh putusan bukan akhir ada lah putusan atas tuntutan provisi, putusan untuk pemeriksaan di tem-pat, atau putusan pemisahan beberapa gugatan.500

Putusan akhir dalam hukum acara perdata adalah:Putusan 1. condemnatoir adalah putusan yang bersifat meng hukum.Putusan 2. declaratoir adalah putusan yang bersifat menyatukan hukum atau menegakkan suatu keadaan hukum semata.Putusan 3. constitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru.

499 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 95.

500 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm 165.

Page 150: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

282 s e n g k e ta ta n a h 283B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Pada dasarnya suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan (eksekusi), kecuali jika putusan di ja tuh-kan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR.501

Putusan Hakim yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) adalah putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir). Untuk pelak sa-naannya perlu bantuan dari pihak yang dikalahkan. Artinya pihak yang bersangkutan harus dengan sukarela melaksanakan putusan itu. Melak-sa nakan putusan berarti bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh hakim lewat putusannya.502

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai melaksanakan putusan hakim, pihak yang menang dapat mengajukan permohonan ke-pada ketua pengadilan negeri yang memutus perkara itu—baik secara lisan maupun secara tertulis—agar putusan itu dilaksanakan. Ketua pe-ngadilan akan memanggil pihak yang kalah serta memperingatkan supaya melaksanakan putusan itu selambat-lambatnya dalam tempo dela pan hari, sesuai Pasal 196 HIR/207 RBg.

Apabila dalam delapan hari tidak dilaksanakan, atau pihak yang kalah setelah dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap, maka ketua pengadilan negeri—karena jabatannya—memerintahkan secara tertulis supaya melakukan penyitaan atas barang-barang bergerak milik pihak yang kalah senilai harga yang harus dibayarkan ditambah ongkos pelaksanaan putusan.

Setelah adanya putusan akhir (putusan yang telah berkekuatan hu -kum tetap), maka pihak yang dimenangkan mempunyai hak untuk me-nga jukan permohonan pelaksanaan isi (amar) putusan tersebut, yang di sebut sebagai eksekusi putusan pengadilan. Putusan yang dapat di-ek se kusi adalah yang mempunyai kekuatan eksekutorial (executoriale kracht). Artinya tidak semua putusan pengadilan dengan sendirinya me-lekat kekuatan pelaksanaan.

Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang dapat dijalankan. Asas dari putusan yang dapat dieksekusi sebagai berikut:503

501 Retnowulan Sutantio & Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 130.

502 Abdul Kadir Muhammad, op.cit., hlm. 214.503 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, hlm. 7.

Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 1. (res judicata).Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap 2. terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti an-tara pihak yang berperkara.Disebabkan sudah tetap dan pasti hubungan hukum tersebut mesti 3. ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak ter-gugat).Cara menaati dan memenuhi hubungan hukum yang ditetapkan 4. dalam amar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah: dapat dilakukan atau dijalankan secara ‘sukarela’, atau harus dilaksanakan ‘dengan paksa’ dengan bantuan ‘kekuatan umum’.

Pada prinsipnya, apabila terhadap putusan masih ada pihak yang mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan yang ber sangkutan belum berkekuatan hukum tetap (selanjutnya disebut ber-kekuatan hukum tetap atau res judicata) berdasarkan Pasal 1917 KUH Per data. Prinsip ini antara lain ditegaskan dalam Putusan MA No. 1043 K/Sip/1971 yang disadur penulis menjadi berikut ini:504

Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 s/d 224 HIR/S. 1941 No. 44 yang berlaku untuk Jawa dan Madura dalam bagian ke empat Pasal 206 s/d 25 RBg/S. 1927 No. 227 di luar wilayah itu. Dalam Undang-Undang (darurat) No. 1 Tahun 1951 tidak terdapat pengecualian ter hadap berlakunya hukum acara perdata berlaku penuh UU mengenai acara perdata.

Bagian keempat dan kelima tersebut di atas tidak saja mengatur soal bagaimana menjalankan eksekusi putusan pengadilan tetapi juga memuat aturan ihwal upaya-upaya paksa dalam eksekusi yaitu sandera, sita ek-se kusi, upaya lain berupa perlawanan (verzet), serta akta otentik yang me miliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grossie hipotik dan surat hutang (schuld brief) yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME”. Sejak tahun 1996 telah terbit Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang menyatakan antara lain di dalam Pasal 1:505

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah

504 Rangkuman Yurisprudensi MA II (RY MA II), Tanggal 3-12-1974, hlm. 271.505 A.P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah & Sejarah Terbentuknya, CV Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm. 34.

Page 151: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

284 s e n g k e ta ta n a h 285B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.

Hak tanggungan ini dimasukkan dalam suatu Undang-Undang agar ada kepastian hukum. Tidak diwarnai keragu-raguan dan kekacauan lagi seperti sebelumnya kendati isinya jelas: memberikan kedudukan yang utama kepada—atau mendahulukan—pemegangnya, selalu mengikuti objek yang dijamin di tangan siapa pun objek itu berada, memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga, memberi jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan, serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Pasal 159 RBg/Pasal 225 HIR mengatur beberapa hal tentang mengadili perkara istimewa yang termasuk wewenang hakim dalam ek-sekusi perkara yang semula sasarannya berupa suatu perbuatan men jadi sejumlah uang. Undang-Undang sudah mempersiapkan upaya paksa agar eksekusi berhasil dan pihak lain tereksekusi diberi jalan untuk mela wan eksekusi.

Adapun ihwal sandera, pasal-pasalnya telah dibekukan. Atau dengan kata lain, tidak dipraktikkan lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975. Ala-sannya, tindakan sandera bertentangan dengan dasar falsafah negara RI, Pancasila.

Ada tiga macam eksekusi menurut hukum acara perdata:506

Eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan Pasal 208 RBg yaitu 1. eksekusi membayar sejumlah uang.Katakanlah seseorang yang kalah perkara mau memenuhi isi putusan—di mana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang. Tapi sebelum putusan keluar telah dilakukan sita jaminan. Bagaimana nasib sita jaminan itu? Tetap sah dan berharga. Otomatis menjadi sita eksekutorial. Eksekusi dilakukan kemudian dengan cara mele-lang barang-barang milik yang dikabulkan. Nilainya mencukupi jum lah yang harus dibayar menurut isi putusan ditambah dengan

506 Retnowulan Sutantio & Iskandar, op. cit., hlm. 131.

semua biaya sehubungan pelaksanaan putusan tersebut. Jika belum di lakukan sita jaminan, maka sita eksekusi dimulai dengan menyita barang-barangnya sehingga cukup memenuhi pembayaran uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR2. dan Pasal 259 RBg yaitu eksekusi melaksanakan suatu perbuatan.Pasal ini mengatur pelaksanaan putusan hakim di mana seseorang dihukum untuk melakukan sesuatu perbuatan. Jika tidak dilak sa na-kan maka ia dihukum membayar uang paksa. Eksekusi riil berdasarkan Pasal 1033 3. RV. Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR ketentuan Pasal 200 (11) HIR. Tetapi Pasal 200 (11) HIR berbunyi: “Jika perlu dengan pertolongan polisi barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya, serta sanak saudaranya”, memberi sedikit petunjuk tentang bagaimana eksekusi riil dijalankan.507

Putusan pengadilan yang bersifat kondemnatoir artinya dalam amar putusan terdapat perintah penghukuman terhadap tergugat untuk melaksanakan suatu perbuatan.508 Setiap putusan yang bersifat kon dem-natoir, dengan sendirinya mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu dapat dilaksanakan secara paksa oleh kekuatan umum.

Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan (eksekusi) putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dibedakan menjadi yang ber sifat teknis dan non-teknis, yaitu:509

Tentang adanya penundaan eksekusi1. Dalam praktik peradilan dan yurisprudensi penundaan atau penangguhan eksekusi itu bukan sesuatu yang aneh. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No. 1243 K/Pdt/1984 Tanggal 27 Februari 1984510 yang berbunyi: a. Ketua Pengadilan Negeri berwenang menangguhkan eksekusi.b. Penangguhan demikian dituangkan dalam bentuk penetapan dan

sifatnya merupakan kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri.

507 Ibid., hlm. 137508 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, hlm. 24.509 Djazuli Bactiar, 1995, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Akademika Pressindo, hlm. 109.510Varia Peradilan No. IV Tahun 1988, 17 Januari 1988, hlm. 9.

Page 152: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

286 s e n g k e ta ta n a h 287B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

c. Upaya/keberatan terhadap penetapan tersebut tidak dapat dia-ju kan kasasi melainkan diajukan dalam bentuk pengunduran dalam rangka pengawasan kepada ketua pengadilan tinggi.

Penundaan eksekusi bersifat kasuistik dan eksepsional. Tidak ada patokan umum ataupun aturan tentang adanya penundaan eksekusi sebab sifatnya kasuistik. Dan juga penundaan eksekusi ber-sifat eksepsional. Artinya pengabulan penundaan eksekusi meru pa-kan tindakan pengecualian dari asas aturan umum. Asas umum yang berlaku adalah:a. Setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap telah melekat kekuatan eksekutorial.b. Eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh ke ku-

atan hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya.c. Yang dapat menunda eksekusi hanyalah perdamaian sesuai

Pasal 195 ayat (1) dan Pasal 224 HIR.

Alasan-alasan penundaan eksekusi adalah:

a. Alasan perikemanusiaanIni sering menjadi alasan dalam permohonan penundaan ek-se kusi, terutama terhadap eksekusi riil pembongkaran, pe ngo-songan, penyerahan suatu tempat khususnya tanah dan rumah. Jangka waktu penundaan yang telah ditentukan ter lam paui, maka eksekusi paksa harus dilaksanakan tanpa perlu me-nerbitkan aanmaning lagi.

b. Alasan Derden VerzetPasal 195 ayat (6) HIR memberi kemungkinan bagi pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yang akan dilaksanakan. Misalnya putusan menghukum tereksekusi menyerahkan tanah dan rumah dalam keadaan kosong kepada pemohon eksekusi. Sewaktu putusan akan dilaksanakan, bila pihak ketiga yang terlibat dalam sengketa merasa dirugikan oleh eksekusi tersebut, ia dapat mengajukan perlawanan. Caranya de ng an meminta agar eksekusi ditunda sampai putusan per-lawanan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sesuai Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 31 Agustus 1977 No. 697 K/Sip/1977 perlawanan terhadap eksekusi harus diajukan sebelum penjualan lelang dijalankan (sebelum

eksekusi dijalankan). Kalau eksekusi sudah selesai dijalankan, upaya yang dapat diajukan oleh pihak ketiga untuk membatalkan eksekusi harus melalui gugatan511.

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 786 K/Pdt/ 1988512 juga menegaskan bahwa denden verzet atas eksekusi ber-dasarkan alasan sebagai pemilik dapat dilaksanakan asal diajukan sebelum eksekusi selesai. Karena perlawanan diajukan pada saat sita eksekusi diajukan, maka pengadilan negeri diperintahkan untuk mengangkat sita eksekusi.

Pasal 195 ayat (6) HIR membatasi dalil yang diperbolehkan untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi yakni hanya yang didasarkan pada ‘hak milik’ saja.

Jika perlawanan dilakukan atas dasar bukan dalil hak milik, se-suai Pasal 196 ayat (6) HIR, dalil yang seperti itu tidak diperkenankan dan tidak relevan untuk menunda eksekusi. Tetapi jika barang yang akan dieksekusi telah dijaminkan kepada pelawan, maka cukup alasan untuk membenarkan perlawanan terhadap eksekusi tersebut. Selain dapat menunda eksekusi, alasan tersebut malah cukup untuk menyatakan eksekusi “non eksekutabel”.

a. Barang objek eksekusi masih dalam proses di perkara lainDalam praktik bisa saat hendak dieksekusi ternyata objek ma-sih menjadi sengketa dalam perkara lain. Malah bisa objek da-lam beberapa perkara lain sekaligus. Putusannya ada yang telah berkekuatan hukum tetap sedangkan yang lain masih dalam taraf pemeriksaan kasasi. Hal ini biasa terjadi pada objek seng keta tanah. Permasalahan ini bisa membingungkan karena bia sa nya tanah tersebut berstatus sita dalam kasus-kasus yang lain.

Sering terjadi putusan perkara tanah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak dapat dieksekusi (non eksekutorial) karena bertentangan dengan putusan-putusan lain.

b. Alasan peninjauan kembaliMenurut ketentuan Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, permohonan peninjauan kembali tidak me nang guhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan peng a dilan. Tetapi, sesuai fakta di lapangan, ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No.

511 M. Yahya Harahap, op. cit., hlm. 314.512 Varia Peradilan No 89 Tahun VIII, Tanggal 5 Agustus 1992, IKAHI, Februari 1993, hlm. 5.

Page 153: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

288 s e n g k e ta ta n a h 289B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

14 Tahun 1985 tidak bersifat absolut. Nyatanya banyak eksekusi putusan pengadilan ditunda untuk menunggu putusan peninjauan kembali. Namun hal ini tidak dapat digeneralisasikan karena tetap penundaan eksekusi ber sifat kasuistik dan eksepsional.

Undang-Undang juga tidak melarang dan tidak ada sanksi bagi pengadilan yang memberikan penetapan penundaan atau-pun menghentikan eksekusi. Dengan catatan penerapannya secara kasuistik dan eksepsional. Dalam hal ini ada suatu ke-a daan yang mendasar dan alasan kuat agar permohonan pe-nin jauan kembali dapat dipergunakan sebagai alasan menunda atau menghentikan eksekusi.

c. Penundaan eksekusi atas alasan perdamaianIni alasan penundaan atau penghentian eksekusi yang dibe-nar kan oleh Undang-Undang (Pasal 196 dan 224 HIR). Bentuk perdamaian yang dimaksud diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata. Apabila kedua belah pihak setuju mengadakan per da-maian dan bermaksud menunda atau menghentikan ekse kusi, maka pengadilan mesti menuruti kemauan para pihak tersebut.

Eksekusi tidak dapat dilaksanakan (Non Eksekutabel)2. Alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar agar ek-se kusi tidak dapat dijalankan atau non eksekutabel adalah:

a. Hak kekayaan tereksekusi tidak adaYang dimaksud dengan harta kekayaan yang akan dieksekusi sudah tidak ada lagi. Misalnya telah habis terjual sebelum ekse kusi dijalankan. Atau karena bencana alam berupa banjir, tsunami, ke-bakaran, dan yang lain harta kekayaan tersebut tidak ada lagi. Ini pengertian harta kekayaan secara mutlak sudah tidak ada.

Harta kekayaan tereksekusi tidak ada dapat juga terjadi ka-rena pemohon eksekusi tidak mampu menunjukkan harta keka -yaan tereksekusi atau barang yang ditunjukkan tidak di temukan.

b. Barang objek eksekusi di tangan pihak ketigaSewaktu akan dieksekusi objek sengketa tersebut ternyata telah berpindah ke pihak ketiga. Sementara pihak ketiga tidak ikut digugat. Dalam kasus seperti ini perlu diteliti keabsahan hak yang diperoleh pihak ketiga atas barang yang bersangkutan. Juga perlu adanya amar yang mencantumkan penghukuman siapa saja yang mendapat hak dari tergugat.

c. Eksekusi terhadap penyewa (non eksekutabel)Sesuai Pasal 1576 KUH Perdata yang menyatakan transaksi jual beli tidak memutuskan hak sewa-menyewa, maka eksekusi ter-hadap penyewa yang tidak ikut digugat sama halnya dengan eksekusi terhadap pihak ketiga yang menguasai barang objek eksekusi berdasarkan alas hak yang sah pada satu segi513.

d. Barang yang akan dieksekusi dijaminkan ke pihak ketigaEksekusi non eksekutabel terhadap barang yang sudah dia gun-kan kepada pihak ketiga.

e. Eksekusi terhadap tanah saja tak dapat dilaksana kan karena:Tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batas-batasnya1. Dalam sengketa tanah sering terjadi majelis hakim tidak melakukan sidang di tempat untuk melihat lokasi dan ba-tas-batas tanah tersebut. Seyogyanya saat pemeriksaan ta nah perlu hadir para pihak. Juga kepala desa, camat, oto ritas pertanahan (BPN), dan para saksi yang dianggap mengetahui situasi dan keadaan tanah. Sebaiknya hadir juga orang-orang yang tanahnya berbatasan dengan tanah per kara agar tidak ada kesalahan waktu eksekusi nanti.

Sewaktu pemeriksaan tanah sebaiknya diukur. Lantas be rita acara pemeriksaan dibuat. Sering terjadi kondisi ta-nah telah berubah. Misalnya bangunan telah didirikan di atas nya. Atau tanah telah diserobot pihak ketiga sehingga batas-batasnya hilang. Jika saat eksekusi dan pemeriksaan petu gas tidak berhasil menemukan batas-batas tanah yang jelas maka eksekusi dapat dinyatakan non eksekutabel.Perubahan status tanah milik negara2. Akibat panjangnya proses persidangan untuk men dapatkan putusan pengadilan yang mempunyai ke kuatan hukum te tap, tidak jarang status tanah perkara telah berubah. Misalnya tanah yang dikuasai negara dengan status Hak Guna Bangunan telah habis masa berlakunya sementara per mohonan perpanjangan statusnya belum dikabulkan. Sesuai ketentuan Pasal 2 Keppres 32 Tahun 1979, hak prioritas bekas (ex) pemegang hak atas tanah tersebut un-tuk mengajukan permohonan hak baru, sampai adanya pe-

513 M. Yahya Harahap., op. cit., hlm. 346.

Page 154: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

290 s e n g k e ta ta n a h 291B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

nolakan tegas dari Badan Pertanahan Nasional.Barang objek eksekusi berada di luar negeri3. Sesuai asas nasionalitas dan ekstrateritorial yang ter-kandung dalam perundang-undangan hukum acara per data kita, putusan pengadilan hanya berlaku sebatas wilayah Indonesia. Sesuai Pasal 431 RV, putusan pengadilan Indonesia hanya berlaku dan berdaya di wilayah Indonesia saja. Sebaliknya demikian juga: putusan hakim pengadilan asing tidak mengikat dan tidak diakui di Indonesia. Dua atau lebih putusan yang saling berbeda dan saling ber-4. tentanganDalam sengketa pertanahan sering terjadi dua atau lebih putusan sama-sama memperoleh kekuatan hukum tetap tapi amar putusannya saling berbeda dan bertentangan. Padahal baik subjek maupun objeknya persis sama.

3. Biaya EksekusiBiaya eksekusi putusan pengadilan termasuk dalam biaya perkara sebab yang dimaksud dengan menyelesaikan perkara adalah meme-riksa dan mengadili di semua tingkat sampai keluar keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan itu kemudian dijalankan tuntas sesuai amar.

Apabila tergugat tidak mau melaksanakan amar putusan secara suka rela tentu akan perlu biaya eksekusi. Semua biaya eksekusi tanpa kecuali—apakah eksekusi riil atau executoriale verkoop—me-ru pakan biaya perkara yang harus dijumlahkan dengan segenap biaya di semua tingkat persidangan.

Biaya eksekusi riil dan biaya eksekusi sepenuhnya menjadi beban pihak penggugat apabila amar putusan tidak menyebut kepada siapa biaya perkara dibebankan. Biaya eksekusi dibayar dulu oleh pemohon eksekusi. Selama pemohon eksekusi belum membayar lebih dulu eksekusi tidak dapat dijalankan. Mendahulukan pembayaran biaya eksekusi adalah kewajiban hukum yang dipikul pemohon eksekusi. Jika pemohon eksekusi tidak mau mendahulukan pembayaran, maka eksekusi tidak boleh dijalankan. Ketentuan ini sama dengan ketentuan mendahulukan biaya perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 ayat (4) RBg, yakni pembayarannya didahulukan oleh pihak penggugat (pemohon eksekusi).

Biaya eksekusi bisa menjadi sebab terhambatnya eksekusi. Terkadang si pemohon tidak punya uang bahkan untuk panjar saja.

Aki batnya, eksekusi tidak jalan selama bertahun-tahun, bahkan selamanya.

Dalam hukum acara HIR/RBg tidak ada aturan khusus tentang biaya eksekusi. Yang diatur adalah biaya perkara, dalam hal ini gu-gat an-banding-kasasi.

Biaya perkara untuk pengadilan negeri diatur dalam pasal-pasal 121(4), 182, 183 HIR/45 (4), 192-194 RBg. Yang dihitung hanya sam pai biaya yang diperlukan sejak pemutusan perkara. Jadi tidak termasuk biaya kepaniteraan, materai, biaya saksi, penyumpahan, pemeriksaan setempat, dan yang lain.

Ketika hendak melaksanakan sita eksekusi, perlu diketahui lebih dahulu barang-barang apa saja yang akan disita, berapa jumlahnya, di mana letaknya, berkumpul jadi satu atau terpencar. Lalu, bentuk eksekusi apakah yang akan dilaksanakan. Eksekusi riil, penyerahan barang, pengosongan gedung, ataukah dengan cara lelang oleh kantor lelang negara. Setiap jenis akan memengaruhi perhitungan besar-kecilnya panjar biaya eksekusi. Jika tindakan berupa pengosongan tentu diperlukan misalnya tenaga pengamanan yang aktif dari aparat keamanan, ambulans, dan tenaga-tenaga kasar untuk mengangkut barang-barang. Bila lelang, iklan-iklan pengumuman di surat-surat kabar harus disiapkan. Semua biaya yang akan digunakan sebagai ong kos operasional perlu diperhitungkan. Terkadang eksekusi tidak berhasil sehingga perlu ulangan. Biayanya perlu dibebankan ke pemohon eksekusi.

Pengadilan negeri hanya menjalankan tugas eksekusi. Dasarnya adalah permohonan dari pihak yang menang. Pihak yang kalah tidak berhak untuk memohon eksekusi. Jika permohonannya ada peng a-dilan akan menolaknya.

Pemohon eksekusi belum tentu mempunyai dana cukup untuk membayar biaya eksekusi. Walaupun sebagai penggugat ia men da-patkan pembebasan biaya perkara dari Pengadilan Negeri sampai Mah ka mah Agung, belum tentu ia dapat melakukan eksekusi secara cuma-cuma. Pelaksanaan eksekusi riil dengan menggunakan keku a-tan umum makan biaya yang cukup besar. Apalagi jika pihak ter ek-sekusidilapanganmelakukanperlawanansecarafisikdengansegalacara.

Negara tidak pula memfasilitasi berperkara secara gratis atau prodeo. Idealnya pemerintah menyediakan semacam dana bantuan kepada mereka yang benar-benar memerlukan biaya untuk panjar

Page 155: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

292 s e n g k e ta ta n a h 293B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

eksekusi. Berupa pinjaman, suatu ketika uang itu harus dikembalikan setelah hasil eksekusi selesai diperhitungkan.

Kesulitan akan timbul lagi bila eksekusi berupa pe nyerahan ge-dung, rumah, atau barang lain. Kalau dilaksanakan lewat lelang lebih mudah. Uang pinjaman bisa langsung dipotong dari hasil lelang.

Kalau tidak dengan lelang, haruskah pengembalian dana pinjaman itu menunggu hasil penjualan barang-barang eksekusi? Kalau demikian niscaya akan makan waktu. Orang lain yang benar-benar butuh dana untuk panjar eksekusi akan lebih lama gilirannya. Ini lah peluang bagi para calo perkara.

Eksekusi prodeo sebenarnya mungkin juga. Cuma prose durnya tak mudah. Seseorang yang menghendaki berperkara secara prodeo harus meminta izin untuk setiap tingkat sesuai Pasal 238 HIR dan Pasal 12 Undang-Undang 20 Tahun 1947.

Hal-hal yang menjadi hambatan dalam eksekusi adalah pengo-songan perlu diumumkan. Artinya perlu biaya iklan yang besar, apalagi jika di tanah perkara banyak penghuni. Pula jika massa besar nanti digerakkan pihak tertentu untuk menggagalkan eksekusi. Korban jiwa bisa berjatuhan jika perbenturan terjadi.

Hambatan yang pertama yang bersifat teknis tersebut di atas secara juridis tidak merupakan hambatan yang murni karena Un-dang-Undang sendiri telah menyediakan jalan yang boleh ditem puh. Tetapi hambatan-hambatan yang sering terjadi berada di luar aturan hukum sehingga ketua pengadilan negeri wajib mencari jalan keluar (solusi) untuk mengatasinya.

Hambatan lain beraneka, antara lain adanya ikatan hipotik, fiducia, sewa-menyewa, hibah, dan sebagainya. Dalam hal lelang, jika alasan yang dipakai untuk melawan adalah yang melekat hak kebendaan yang bukan grosse hipotik tentu akan sulit untuk diandalkan.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 masih diterima alasan lain berupa gadai sebagai per luas-an pengertian hak milik. Berkenaan dengan alasan yang mungkin dipergunakan dalam perla wanan perlu diperhatikan bunyi Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Jika objek perjanjian masih dalam perselisihan, pejabat me nolak (ini imperatif) untuk membuat akta hak baru atas tanah, pemindahan hak atas tanah, dan sebagainya.

4. Bunyi PutusanBunyi putusan atau amar putusan banyak dipengaruhi oleh petitum yang dibuat penggugat yang dikabulkan hakim. Termasuk urutan maupun kata-katanya.

Seorang advokat berpengalaman tentu akan mem perhitungkan segala sesuatu termasuk jika suatu ketika per kara yang dimenangkan mempunyai kekuatan hukum pas ti. Petitum gugatan akan ia susun dengan baik dengan mem perhitungkan kata-kata dan sistematika. Pemilihan kalimatnya akan jelas, tidak tumpang tindih, dan tidak mengundang penafsiran lagi.

Instruksi yang bertujuan praktis dan dapat dijadikan pegangan harus disusun dengan jelas, singkat, serta menyeluruh. Seluruh instruksi berupa apa yang harus dilaksanakan dalam kenyataan kelak.

Ada memang petita yang disusun seperti catatan harian saja, yang kalau diteliti lebih jauh sebenarnya sebagian besar tidak ada gunanya. Atau sebaliknya, terlalu sumir sehingga membutuhkan uraian yang lebih jelas.

Hakim yang berpengalaman juga akan melakukan hal yang sama. Jika gugatan dikabulkan mereka tidak lupa memperhitungkan agar eksekusi yang bakal dilaksana kan akan mudah direalisasikan dan tidak ada yang mempertentangkannya. Kalau mereka berpikiran “urusan eksekusi urusan nanti terserah ketua pengadilanlah sebagai pelaksana eksekusi” masalah akan membayang. Keputusan yang mereka buat sendiri bisa terjegal saat hari eksekusi tiba.

Amar yang menentukan. Umpamanya memerintahkan tergugat untuk menyerahkan barang yang telah dikuasai secara tidak sah kepada penggu gat. Di sisi lain penggugat membayar ganti rugi untuk penyerahan barang.

Penggugat tentunya sudah siap. Ia menyediakan uang ganti ru-gi yang dapat dikonsinyasikan di pengadilan negeri. Tergugat wajib me nye rahkan barang tersebut sesuai amar putusan.

Kesulitan lain bisa timbul jika pemohon eksekusi tidak mau me -nyimpan kembali uangnya apabila ditolak oleh tereksekusi. Me nu-rut pikirannya, jika uangnya kembali ia belum terbebas sama se kali dari kewajibannya. Untuk lebih menjamin kepastian pelak sana an ek sekusi maka uang tersebut dikonsinyasikan dengan proses pe-nawaran. Apabila secara resmi ditolak lagi ia mengajukan penge-sahan terhadap konsinyasi dengan putusan pengadilan. Sete lah itu barulah ia terbebas sama sekali dari ke wajibannya.

Page 156: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

294 s e n g k e ta ta n a h 295B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Secara jabatan, hakim dapat menambah amar asal masih sesuai dengan posita dan tujuan tetap. Misalnya dalam hal pembagian harta warisan. Jika karena sesuatu sebab warisan tidak mungkin dibagi, barang dilelang. Setelah dikurangi biaya pengeluaran, hasilnya dibagi kepada masing-masing ahli waris sesuai bunyi putusan.

Langkah ini tidak ada tujuan lain kecuali untuk mengatasi macet nya proses eksekusi. Menurut hukum, tin dakan hakim ini ma-sih dapat dipertanggungjawabkan ka rena tidak menyimpang dari posita dan maksud atau tujuan gugatan. Tentunya hakim mempunyai wewenang untuk memperbaiki kata atau kalimat agar amar lebih dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

agar eksekusi lebih lancarPengalaman yang penulis petik dari lapangan kiranya bisa menjadi hi rau-an siapa pun yang akan terlibat dalam eksekusi sebuah putusan per kara. Terlebih otoritas pengadilan.

Menurut penulis, situasi lapangan perlu kita petakan betul manakala hendak menjalankan eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Lapangan yang dimaksud di sini adalah tempat di mana eksekusi yang beragam bentuk itu akan dilakukan. Tempat lelang, misalnya, harus dipastikan di mana lokasinya. Pasal 20 Peraturan Lelang menyebut lokasi pelaksanaan lelang adalah tempat barang bergerak. Bisa juga ditentukan oleh pengawas lelang. Kalau tidak, tempat lain yang di-ke hendaki penjual.

Hambatan di lapangan macam-macam. Katakanlah di lahan perkara. Bila batas tanahnya berupa sungai ini dapat mem bingungkan sebab lebar sungai bisa berubah-ubah akibat air bah yang berlumpur atau yang meng-hanyutkan tanah batas. Sementara kalau di musim kemarau sungai bisa menjadi tanah kering.

Kendala lain—dan ini jamak—adalah pemilik yang tak punya gambar lokasitanahnya,takmemilikisuratukurresmi,atausertifikatsementara.Masalah di sini adalah ukuran tanah yang tertulis dalam putusan peng-adilan tidak cocok dengan kenyataan lapangan. Bisa juga tanah yang semula kosong itu kini telah dipenuhi rumah setengah permanen atau permanen. Ini acap kali terjadi karena waktu tanah disita izin bangunan dari pemerintah setempat tidak dibekukan. Entah mengapa pemerintah tetap mengizinkan pembangunan berlanjut di tempat bermasalah sema-cam ini.

Akan lebih baik sebenarnya kalau sewaktu gugatan diajukan, pengu-saha yang memanfaatkan lahan itu dijadikan tergugat terlebih bila izin bangunan sudah diterbitkan (provisi). Namun harus dipertimbangkan lebih jauh jika bangunan di sana berupa sekolah, rumah sakit, atau fasilitas lain yang kefaedahannya dinikmati masyarakat. Sangat lain halnya jika bangunan di sana berupa supermarket, plaza, shopping centre, dan infra-struktur lain yang bersifat komersial berlaka.

Masalah lain adalah batas tanah tempat dua rumah berdiri berdam-pingan dengan tanaman padi, jagung, dan tanaman berumur pendek lain yang ditanam sang tereksekusi. Dalam keadaan seperti ini jika tanah akan dikosongkan sebaiknya tereksekusi diberi kesempatan untuk memetik hasil tanamannya dulu.

Kendala lain masih banyak. Bisa saja saat penyerahan sebuah bangun-an atau rumah, pihak eksekutan tidak hadir atau tidak mengirimkan kuasanya sehingga berita acara penyerahan tidak ditandatangani. Atau, adaperlawananfisikpihaktereksekusiyangmembahayakankeselamatanjiwa petugas. Lelang yang tidak ada pembelinya atau tidak tercapai harga terendah yang telah disyaratkan, merupakan kendala juga. Satu lagi, protes yang dilanjutkan dengan pengajuan verzet dilakukan pihak ketiga.

Pengosongan tanah dari sebuah bangunan dan penghuninya (het goed door den geexeruteerde met de zynen in het zyne te doen ontruimen en ledig te maken) juga sering terkendala. Setelah bangunan berhasil dirobohkan, misalnya, si penghuni yang kebetulan pejuang zaman kemer-de kaan tak sudi keluar dari lokasi dan malah mendirikan tenda untuk berteduh di sana.

Taktik lain tereksekusi adalah dengan sengaja menempatkan salah seorangkeluargadekatnya yang sedang sakit atau cacatfisikdi rumahyang akan dieksekusi. Akibatnya eksekusi menjadi urung terus. Dalam kasus seperti ini pengadilan sebenarnya bisa mengakali, yakni dengan meminta rumah sakit mengangkut si sakit dengan ambulans. Tentu orang itu akan dibawa ke rumah sakit. Biaya ambulans nanti dibebankan kepada sang tereksekusi.

Memang bisa juga eksekusi yang sepertinya sangat sulit untuk dila-ku kan ternyata berlangsung secara antiklimaks. Artinya mudah saat di-ja l ankan. Apa pun itu, kerja sama semua elemen perlu dijalin saat akan me ng eksekusi. Hal seperti inilah yang terjadi waktu eksekusi tanah per-ka ra di Jalan Bantam, Medan, berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 483K/Sip/1983 yo No. 16/Pdt/1974/PN.Mdn.

Page 157: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

296 s e n g k e ta ta n a h 297B a B 4 : j a l U r P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n D I I n D o n e s I a

Sebelumnya eksekusi di lahan ini telah tertunda beberapa kali. Tu-juannya, pengosongan sebidang tanah yang luas dengan bangunan rumah yang semi permanen maupun yang permanen. Di sana berdiam 170 kepala keluarga. Tanah tersebut terletak di tengah kota yang di sekitarnya padat rumah penduduk.

Saateksekusibantuanpenuhberupatenagafisikdatangdaripamongpraja atau satpol pemerintah daerah setempat. Polisi juga turun. Dengan meng gunakan cara-cara yang tepat akhirnya tanah tersebut berhasil di-kosongkan dan diratakan dengan tanah.

Tidak boleh pula dilupakan sikap membantu dari sang eksekutan kala itu, di mana mereka menyediakan sarana untuk menampung penghuni yang menjadi korban eksekusi.

Penundaan eksekusi waktu itu cepat diatasi antara lain karena oto-ritas menghadirkan kepala desa dan petugas Dinas Tata Bangunan Kota. Mereka dimintai informasi sewaktu penentuan batas tanah seng keta. Waktu itu tanah sengketa terpaksa harus diukur kembali. Sebuah pe ker-jaan yang cukup memakan waktu.

Hambatan di lapangan terutama terkait barang tidak bergerak bisa menjadi bahan koreksi bagi pengadilan. Juga dapat mendorong instansi terkait saling berkoordinasi secara langsung maupun tidak saat eksekusi.

Hambatan terhadap eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap bisa juga muncul akibat amar putusan berbunyi pencabutan dan pe-nerbitansertifikathakatastanahtidakdipatuhipejabatBPN.

Dalam kaitan dengan eksekusi, seyogianya semua pihak perlu me-ngetahui sikap Menteri Dalam Negeri lewat suratnya yang ditujukan kepa da gubernur seluruh Indonesia. Surat nomor 183/971/SJ tanggal 13Desember1979(hal:dukunganmorildanbantuanfisikdalampelak­sa naan eksekusi putusan badan-badan peradilan umum) tersebut pada ha kikatnya berupa permintaan kepada para gubernur selaku kepala wila-yah dan wakil pemerintah pusat agar tidak mencampuri urusan pera dil-an umum yang hendak mengeksekusi putusan badan-badan peradilan umum.

Surat Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan tanggapan atas su rat Menteri Kehakiman yang ditujukan ke Pangkopkamtib pada 20 Nopem ber 1979 No. 352/SM/ K/XI/79. Tembusan surat itu diterima Men teri Dalam Negeri.

Jawaban Menteri Dalam Negeri sangat positif itu akan memudahkan proses eksekusi. Menteri Dalam Negeri menegaskan dua hal berikut:

Tidak dibenarkan untuk berbuat sesuatu yang merintangi eksekusi 1. meskipun gubernur/kepala wilayah menurut Penjelasan Umum Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 angka 5 huruf (b) ayat 1 merupakan penguasa tunggal di bidang pemerintahan di daerah. Juga apabila eksekusi itu ditujukan kepada Pemda.Memberi bantuan yang diperlukan saat eksekusi agar tidak terjadi 2. gangguan keamanan dan ketertiban.

Walaupun surat tersebut ditujukan kepada para gubernur, Direktur Jenderal Agraria terikat juga.

Kalau berbicara ihwal pencabutan hak atas tanah, kita juga perlu merujuk Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 1 menegaskan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa, negara, rakyat, dan pembangunan maka presiden—dalam keadaan yang memak-sa—hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dapat dicabut.

Dalam penjelasan resmi disebut pencabutan hak pada umumnya di adakan demi keperluan usaha negara (pemerintah pusat dan daerah) dan mungkin pula untuk swasta. Contoh kepentingan umum misalnya pem buatan jalan raya, pelabuhan, bangunan untuk industri dan per tam-bangan, perumahan, dan kesehatan rakyat.

Sebagai pedoman pelaksa naan pencabutan hak tersebut ada juga Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 dan lampirannya. Bentuk kegiatan pem bangunan yang terkait dengan kepentingan umum dirinci di sana se banyak 13 bidang, dari pertahanan hingga pariwisata dan rekreasi. Proyek nya sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan/Rencana In-duk Pembangunan Daerah.

Bekas pemegang hak sebenarnya cukup berkesempatan untuk mem-peroleh hak kembali jika merujuk bunyi pasal 3, 7, 12 dan seterusnya dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 tentang ketentuan me nge nai permohonan dan pemberian hak baru atas tanah asal konvensi hak-hak Barat. Pasal 13 ayat 1 berbunyi:

“Dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak yang pada saat mulai berlakunya peraturan ini nyata-nyata menguasai dan menggunakan tanah secara sah”.

Soal bekas hak-hak Indonesia atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun. 1962 tentang penegasan

Page 158: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

298 s e n g k e ta ta n a h

Putusan-putusan yang saling Berten tang anKELIHATANNYA tak masuk akal bila ada putusan yang dibuat oleh satu lingkungan peradilan bunyinya saling bertentangan. Nya ta nya, hal seperti itu tak jarang terjadi. Suatu putusan yang sudah dijalankan mungkin saja menjadi bertentangan dengan putusan di tingkat banding atau putusan kasasi. Jika putusan Pengadilan Negeri tersebut sudah telanjur dieksekusi, maka untuk me menuhi pu tusan banding atau kasasi seyogyanya eksekusi menjadi batal. Pula, harus diikuti dengan tindakan pemulihan be rupa penggantian kerugian atau penyerahan uang atau barang jaminan.

Pertentangan dua putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, baik di tingkat peradilan maupun di tingkat yang lain itu umpamanya soal keahliwarisan dan pembagian warisan de ng an objek gugatan yang sama tapi dengan penggugat dan ter gu gat berbeda. Keadaan seperti itu tampaknya mustahil bisa ter jadi. Realitasnya terjadi juga.

Dalam sebuah kasus, misalnya, pewaris sudah lama sekali me-ninggal dan keturunannya yang banyak telah tersebar di ba n yak tempat. Dalam keadaan seperti ini bisa saja saat putusan akan dieksekusi muncul pihak ketiga yang mengajukan perlawanan dan ter nyata perlawanannya dibenarkan pengadilan. Bisa juga muncul gu gat an dari pihak ketiga yang

Bab 5

sengketa tak ada ujung

konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah (ditambah dengan SK Menteri Dalam Negeri No. SK 26/DDA/1970).

Selain rujukan tadi masih ada langkah penguasa—ini dapat diartikan sebagai kebijakan pemerintah—yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Lihat misalnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. MA/Pemb70159/ 77 tanggal 25 Februari 1977 kepada semua ketua Penga dilan Tinggi dan ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia.

Page 159: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

300 s e n g k e ta ta n a h 301B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

lain terhadap objek sengketa yang sama. Pelawan yang terakhir ini pun ternyata dinyatakan sebagai pelawan yang baik oleh pengadilan.

Jika hanya ada satu perlawanan dan pelawan itu dimenangkan pe-nga dilan, sekarang kita tinggal menentukan sikap soal perkara pokok nya saja. Dengan dinyatakannya si pelawan sebagai pemilik sah, la wan per-ka ranya tidak lagi mempunyai hak atas barang sengketa ter sebut, mi sal-nya berupa rumah. Dengan sendirinya putusan tentang pokok per kara praktis dilumpuhkan dan tidak perlu dieksekusi. Apalagi jika pe la wan-lah yang nyatanya mendiami rumah sengketa itu. Jadi, kepastian hu kum tetap harus diperhatikan dalam pu tusan pokok perkara. Dalam hal ini ha-rus ditentukan dengan sebuah penetapan bahwa putusan tersebut ti dak dapat dijalankan (niet uitvoerbaar/not executable).

Dalam kasus dua gugatan terhadap objek yang sama—dan keduanya dibenarkan pengadilan—keduanya dengan sendirinya melumpuhkan ke-ku atan hukum putusan pokok perkara. Jika tak ada kompromi—misal-nya dengan membagi hasil lelang atau dengan solusi lain—perkara akan berlanjut. Kalaupun jalan kompromi ditemukan, belum tentu para pihak sudi menerimanya karena toh masing-masing sudah memegang putusan yang menguntungkan dirinya.

Selama ini kita melihat adanya pelbagai keputusan yang saling ber -ten tangan dan merisaukan mereka yang berperkara. Pengadilan, menu -rut penulis, perlu mengambil sejumlah langkah berkaitan dengan ad mi-nistrasi perkara agar keadaan tak terduga yang kerap muncul di la pang an menjelang eksekusi bisa diminimalkan.

Kisah tiga perkaraBerikut ini penulis akan menggambarkan tumpang tindihnya putusan pengadilan dalam sejumlah kasus sengketa tanah. Di sini penulis berperan sebagai penasihat hukum, yang menangani kasus-kasus ini di pengadilan, baik di peradilan umum maupun peradilan Tata Usaha Negara. Jadi, penulis bukan orang lain.

Putusan untuk sebidang tanah yang sama, misalnya, ternyata bisa ada beberapa sekaligus yang saling bertentangan satu dengan yang lain-nya. Putusan BPN dan Pemda termasuk yang inkonsisten dan ber ten tang-an. Sebagai contoh konkret, kasus tanah di Jl. Sudirman, Kebon Jeruk, dan Kelapa Gading [Jakarta] akan penulis paparkan di sini. Bertolak dari ketiga kasus ini dan kasus lain yang pernah penulis tangani, penulis berpenilaian bahwa sistem peradilan Indonesia masih carut-marut sehingga sengketa dengan objek (tanah) yang sama masih tetap ada atau

masih diterima pengadilan. Akibatnya, penyelesaian perkara pun menjadi lama.

Dalam kasus tanah di Jl. Sudirman, misalnya, jelas bahwa satu pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara, telah memberikan tiga keputusan atas satu tanah aquo dengan tiga pemilik dan tiga status tanah yang berbeda, yaitu PT Wiguna Utama Pertiwi dengan status tanah pemegang hak Eigendom Verponding 11202 dan Eigendom Verponding 6525;PTJayaMurniDutaKencanadenganstatus tanahGirikC.No.1217Persil1130Zone;sertaDrs.SoemardjosebagaipenggarapEigendom Verponding 6525, 11201 , 11202, 11203 dan 11204, dan TNI-AL sebagai PemegangSertifikatHakPakaiNo.3.Tigaputusaninitetapberlakudanmem punyai kekuatan hukum tetap.

Dalam kasus ini nyata bahwa tidak ada data di pengadilan setempat ten tang tanah termasuk riwayat tanah, status tanah, perkara atas tanah ter sebut, serta yang lain. Asas dalam hukum acara adalah siapa yang men-dalilkan dialah yang membuktikan. Asas ini tidak dapat sepenuhnya di-gu nakan dalam hukum acara pertanahan karena adanya unsur hukum pub lik membuat persengketaan pertanahan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sengketa perdata murni.

Sengketa tanah di Jalan Sudirman, Kebon Jeruk, dan Kelapa Gading ju ga menjadi contoh betapa sebuah perkara bisa tak berkesudahan. Pu-tus an-putusan Mahkamah Agung RI soal kepemilikannya berlainan. Ini bisa terjadi karena keabsahan bukti-bukti surat yang diajukan di per si-dang an perdata tidak pernah diperiksa oleh majelis hakim. Memang ma-jelis hakim tidak punya kewajiban untuk memeriksa keabsahan atau ke-aslian dokumen yang diajukan tersebut sebab hukum acaranya formal. Yang mereka periksa adalah fotokopi bukti yang diserahkan saja. Apakah dokumenpalsuatautidak,merekatidakpernahmemverifikasi.Tapiitu­lah salah satu pangkal masalahnya.

Inilah salah satu kelemahan pengadilan yang memeriksa dan me mu-tus perkara hanya berdasarkan hukum acara perdata yang saat ini berlaku yaitu HIR/RBg. Sekali lagi, asas hukum perdata menyatakan bahwa siapa yang mendalilkan dialah yang membuktikan dan pembuktiannya secara formal. Jadi, hakim tidak mengetahui kebenaran dan keaslian surat-surat tanah tersebut, padahal masalah tanah terkait dengan hukum publik dan kepentingan publik. Terlihat bahwa BPN pun bersifat pasif dalam pembuktian surat-surat tersebut palsu sewaktu diajukan di muka persidangan.

Dari ketiga perkara tadi kita bisa melihat bahwa banyak putusan yang tidak konsisten serta tidak adanya kesatuan pemahaman konsep

Page 160: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

302 s e n g k e ta ta n a h 303B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

tentang hukum tanah. Administrasi juga buruk. Data tentang tanah beser-ta putusan minim. Tidak ada kesatuan dan kepaduan status tanah di instansi-instansi terkait. Pengetahuan hakim soal hukum tanah minim. Mereka tidak mengetahui status tanah. Data tentang putusan-putusan se-be lumnya tidak ada. Alih-alih bermanfaat dan memberikan kepastian hu kum, putusan pengadilan malah menimbulkan permasalahan baru yang makin pelik.

Penulis tak bermaksud menggeneralisasi putusan-putusan peradilan umum lewat contoh kasus yang dianalisis ini. Namun, bagaimanapun sejumlah kekurangan yang penulis paparkan ini mendesak untuk dibenahi agar keputusan pengadilan membaik di masa mendatang. Pembenahan di lakukan, misalnya, dalam hal yang berkaitan dengan pemahaman soal substansi permasalahan dan pengetahuan hakim ihwal sejarah tanah seng keta. Persidangan di lokasi sengketa diperlukan, agar menjadi jelas status, luas, batas, dan keadaan tanah. Dengan begitu, menjadi terang si-apasajayangpernahmenguasaitanahitusecarafisiksertasiapapengu­asanya sekarang. Dalam persidangan di pengadilan, kerap saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak berperkara tidak mengetahui keadaan tanah seng-keta sekalipun mereka pegawai pertanahan, lurah, kepala desa, atau ca-mat setempat.

Memang perkara tanah tidak dapat dilihat dari segi yuridis saja se-bab tak jarang sejumlah instansi terlibat sekaligus secara langsung atau ti dak. Kesamaan persepsi sangat diperlukan agar putusan pengadilan solid dan adil.

Sebagai praktisi hukum yang acap mendampingi klien pencari ke-adilan dalam kasus pertanahan, penulis kerap melihat inkonsistensi putus an pengadilan seperti yang digambarkan tadi. Untuk sebuah objek per kara, keluar sejumlah keputusan berkekuatan hukum tetap yang ber-beda sehingga waktu eksekusi akan dilakukan timbul sengketa baru.

Perlu waktu empat sampai tujuh tahun untuk mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Malah, tak jarang sampai be-las an tahun. Lalu, adanya lembaga sita jaminan dan penetapan provisi “status quo” terhadap tanah sengketa membuat tanah yang akan diman-faatkan swasta atau negara telantar dan terbengkalai. Hal ini lazimnya muncul akibat gugatan baru yang diajukan para spekulan atau mafiatanah dengan motif mencari keuntungan pribadi. Mereka ini biasanya tahu persis bahwa tanah yang mereka gugat akan dikembangkan oleh in-vestor.Berdamaidenganparamafiadengancaramembayargantirugi,itu lah yang biasanya akan dilakukan oleh investor.

Paramafiatanahituharusdiberantas.Caranya,antaralain,denganmenutup akses yang bisa mereka mainkan di pengadilan. Kepastian atur-an main di pengadilan, kuncinya.

sengkarut sengketa tanah di Jl. Jenderal sudirmanKasus Posisi* Penggugat (PT Harangganjang) mengemukakan bahwa mereka ada-

lah pemegang hak dan pemilik yang sah atas tanah seluas ± 5.236 m2, terletak di Jl. Jend. Sudirman Kav. 63. Lahan mereka peroleh ber-dasarkan pembebasan tanah setelah mendapatkan izin (SIPPT) dari Gubernur KDKI Jakarta No. 1198/A/K/BKD/1974 tertanggal 15 Juni 1974, diperkuat dengan adanya surat-surat rekomendasi dari in stansi yang terkait.

* SIPPT tersebut adalah sah dan tidak bertentangan dengan hukum sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 44 PK/TUN/2000 tertanggal 9 September 2002.

* Kepemilikan dan kepenguasaan Penggugat atas Tanah Kav. 63 ter-se but diperkuat dengan diterbitkannya surat dari Kantor Pelayanan PBB Jakarta Selatan No. S.13.538/WPJ.06/KB.05/93 tertanggal 13 Desember 1993 yang telah menetapkan dan mengukuhkan Penggugat se bagai wajib pajak atas Tanah Kav. 63 tersebut.

* Berdasarkan SIPPT tanggal 15 Juni 1974 No. 1198/A/K/BKD/1974 untuk PT Harangganjang atas tanah Jl. Jend. Sudirman Kavling 63, Jakarta Selatan dan dengan bantuan Kanwil BPN DKI Jakarta, Kamtib Jakarta Selatan, serta memperoleh izin dari Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota Madya Jakarta Selatan, PT Harangganjang telah melakukan pengukuran, pematokan, dan pemagaran di sekeliling Tanah Kav. 63 tersebut.

Pada 16 September 1996 tanah milik PT Harangganjang ter-•se but diserobot oleh PT Graha Metropolitan Nuansa dengan cara kekerasan dipimpin oleh Brigadir Jenderal TNI-AD Tukul Santoso dan preman-preman. Mereka merusak pagar, menca -but papan nama PT Harangganjang, serta mengusir para sat-pam perusahaan ini dari tanah tersebut. Lantas PT Graha Metropolitan Nuansa menempati tanah yang diserobot tersebut sampaisekarangdenganpemagaranbaru;PT Graha Metropolitan Nuansa mengakui tanah yang dise ro bot-•nya tersebut adalah miliknya dengan dasar kepemilikan Girik No. C. 568 atas nama H. Abdul Aziz dengan cara pembuatan

Page 161: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

304 s e n g k e ta ta n a h 305B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

akta pemindahan dan penyerahan Hak Cessie No. 55 tanggal 6 Fe bru ari 1990 dari PTIndonesian Sales Organisation di hadap an NotarisWardaSungkarAlurmei,SH;H. Abdul Aziz terbukti telah melakukan pemalsuan Girik dan •Akta Jual Beli palsu atas tanah Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, 64, 65, 67 dan 68, Jakarta Selatan dan untuk itu dia telah dihukum pi dana selama tujuh bulan penjara sesuai putusan kasasi No. 361 K/Pid/1992 tanggal 12 Juni 1993 dan diperkuat dengan putusan Penin jauan Kembali No. 6 PK/Pid/1998 tanggal 5 Maret yang me nolak permohonan Peninjauan Kembali PT Indonesian Sales Or ganisation serta penolakan grasi yang dimohon oleh H. Abdul Aziz oleh Presiden RI (sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 151/Gtahun2000tanggal1Agustus2000);Berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum •tetap (inkracht van gewisjsde) tersebut di atas, maka terbukti bahwa dalil PT Graha Metropolitan Nuansa yang mengaku me-miliki tanah Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan yang di serobotnya tersebut yang diperoleh dari PT Indonesian Sales Orga nisation dan H. Abdul Azis di hadapan Notaris Warda Sung -karAlurmei,SHadalahtidaksahdancacatyuridis;Walaupun telah terjadi sengketa setelah penyerobotan yang •dilakukan oleh PT Graha Metropolitan Nuansa tersebut, Kantor Pe layanan PBB Jakarta Selatan tetap menerbitkan salinan Girik dengan cara memanipulasi data dan menggabungkan tiga girik yang tidak berbatasan tersebut menjadi satu kesatuan. Jelas, ini merupakanperbuatanmelawanhukum;Ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan aparat yang berwenang •dengan penerbitan surat-surat keputusan yang berkaitan deng-an kelengkapan bukti kepemilikan atas hak tanah dan tanpa pe-ne litian secara seksama atas tanah-tanah sengketa telah menim-bulkansengketayangtiadahentinya;Tindak pidana penyerobotan yang dilakukan oleh PT Graha •Metropolitan Nuansa tidak diproses secara tuntas oleh kepolisi-an. Tak ada kejelasan mengenai dapat atau tidaknya tindak pidana ini diproses di persidangan sehingga menjadi masalah tersendiri;Penyelesaian permasalahan sengketa tanah masih dalam seng-•keta keperdataan karena tanah masuk dalam hukum perdata dan bukan hukum publik. Yang jelas, atas satu objek tanah sengketa

telah terbit beberapa putusan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap. persoalannya adalah para pihak saling menggugat kendati sudah ada putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan mengubah kombinasi para pihak yang digugat dan dengan dalil yang dibuat agak berbeda walaupun objeknya hanya satu yaitu tanah di Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan, gugatan tersebut diproses di pengadilan. Alhasil terbit lagi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya berbeda yaitu di satu pihak memenangkan pihak PT Harangganjang, dan di pihak lain memenangkan pihak PT Graha Metropolitan Nuansa dalam persidangan perdata.

Putusan Mahkamah AgungKeputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung RI dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap sengketa tanah Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan antara PT Harangganjang dan PT Graha Metropolitan Nuansa adalah sebagai berikut (dalam format yang kurang lebih sama dengan aslinya):

Putusan Mahkamah Agung RI No. 06 PK/Pid/1998 tanggal 5 Maret 1999 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 361 K/Pid/1992 tanggal 12 Juni 1993 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 147/Pid/1991/PT.DKI tanggal 16 Desember 1991 jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 05/Pid.B/1991/Jak-Sel. tanggal 12 Agustus 1991 terhadap perbuatan pidana memberikan keterangan palsu dalam akta otentik yang termaktub dalam Pasal 266 KUHP dan memalsu surat tanah hak milik adat girik No. C.568 atas tanah yang terletak di Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, 64, 65, 67 dan 68, Jakarta Selatan yang termaktub dalam Pasal 263 KUHP, yang dilakukan oleh Terpidana H. Abdul Aziz bin Marzuki.

PUTUSAN Mahkamah Agung RI No. 06PK/Pid/1998 tanggal 5 Maret 1999, yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon peninjauan kembali/Terpidana:H.ABDULAZIZbinMARZUKItersebut;Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebuttetapberlaku;Menghukum Pemohon peninjauan kembali/Terpidana tersebut untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembaliinisebesarRp2.500,­(duaribulimaratusrupiah);

Page 162: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

306 s e n g k e ta ta n a h 307B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 361 K/Pid/1992 tanggal 12 Juni 1993 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa: H. ABDULAZIZbinMARZUKItersebut;Menghukum Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara tingkat Kasasi ini sebesar RP. 2500,- (dua ribu lima ratusrupiah);

jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 147/Pid/1991/PT.DKI tanggal 16 Desember 1991 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenerima permohonan Banding yang diajukan oleh Terdakwa: H. ABDULAZIZbinMARZUKI;

Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 12 Agustus 1991 No. 05/Pid/B/1991/PN. Jkt.Sel. Sekedar mengenai pemidanaannyasehinggaamarnyaberbunyisebagaiberikut;

Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara •selama:7(tujuh)bulan;Menguatkanputusanselebihnya;•Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara ini dalam •kedua tingkat peradilan, yang untuk peradilan tingkat banding ditetapkansebesarRp.2.500,00(duaribulimaratusrupiah);Menguatkanputusanselebihnya;•Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini dalam •kedua tingkat peradilan, yang untuk peradilan tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 05/Pid.B/1991/Jak-Sel. tanggal 12 Agustus 1991 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenyatakan bahwa terdakwa H. ABDUL AZIZ bin H. MARZUKI telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tin-dak pidana:

Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta •otentik;

Menggunakan akta palsu seolah-olah isinya cocok dengan hal •yangsebenarnya;Menyuruhmembuatsuratpalsu;•Menggunakan surat palsu seolah-olah •suratituaslidantidakdipalsukan;

Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama:10(sepuluh)bulanpenjara;Menetapkan bahwa lamanya terdakwa ditahan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan selu ruhnya daripidanapenjarayangdijatuhkan;Memerintahkan agar barang bukti berupa akta jual beli No. 10/-/1983/ Kebayoran Baru tertanggal 11 Mei 1983 dan surat per nyataan tertanggal 10 Mei 1983, setelah dari panitera diberi catatan tentang kepalsuan surat-surat tersebut tetap terlampir dalam berkas perkara ini;Memerintahkan agar kopi surat bukti lainnya baik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun yang diajukan oleh Team Pe-na sehat Hukum berupa fotokopi:

Surat Hibah dari H. Musa bin Thoyib kepada anaknya Muni’ah di •hadapanLurahSenayandisaksikanH.MARZUKIbinH.Musa;Kwitansi-kwitansi penerimaan uang dari H. Abdul Aziz kepada •anak-anaknya H. Musa bin H. Thoyib yaitu:

Muslimah binti H. Musa dan1. Muni’ahbintiH.Musa;2. Pernyataan Ny. Amien Holla yang membeli sebagian tanah 3. milik H. Musa bin H. Thoyib kemudian dialihkan H. Abdul Aziz;Kwitansi-kwitansi penerimaan uang untuk biaya pem-4. bong karan rumah dan pelunasan pembayaran harga tanah yangditandatanganiH.MusabinThoyib;Surat keterangan dari instansi yang berwenang mengenai 5. luas sebenarnya tanah H. Musa bin H. Thoyib (penjelasan PBB13­Maret­1991);Dokumentasi foto peninjauan 6. on the spot oleh pejabat dari instansi terkait untuk memastikan luas, letak dan batas ta-nahH.MusabinThoyib;Keterangan instansi dari yang berwenang, menerangkan 7. bah wa penambahan luas tanah H. Musa bin Thoyib 12. 030 Meter persegi adalah palsu atau tidak dapat di per-

Page 163: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

308 s e n g k e ta ta n a h 309B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

tanggungjawabkan (Surat PBB tanggal 24 Januari 1991 danKeteranganLurahSenayantanggal18Februari1991);Pernyataan dari anak-anak dan saudara kandung H. 8. Amrul lah mengenai kesaksian H. Amrullah dalam BAP ten tang kebenaran bahwa H. Amrullah telah menjual ta-nahnyakepadaH.AbdulAziz;Pernyataan dan kwitansi-kwitansi bukti pembebasan ru-9. mah- rumah petak di atas tanah H. Musa bin H. Thoyib olehH.AbdulAziz;

Agartetapterlampirdalamberkasperkara;Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 3.000,­(Tigariburupiah);

Putusan Mahkamah Agung RI No. 44 PK/TUN/2000 tanggal 1. 9 September 2002 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 112 K/TUN/1998 tanggal 28 Mei 1999 jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 84/B/1997/PT TUN.JKT. tanggal 27 Agustus 1997 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 181/G.TUN/1996 tanggal 27 Mei 1997 dengan Para Pihak:Penggugat: Makmur MurodTergugat: 1. Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta

sebagai Tergugat I2. Kakanwil BPN DKI Jakarta sebagai Tergugat II3. PT Harangganjang sebagai Tergugat II

Intervensi2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 44 PK/TUN/2000 tanggal 9

September 2002 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenyatakan, bahwa permohonan Peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali II: PT HARANG GANJANG tersebut tidak dapatditerima;Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali I: GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTAJAKARTAtersebut;Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomer: 112 K/ TUN /1998tanggal22Nopember1999;

MENGADILI KEMBALI

Dalam Eksepsi:Dalam eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan III intervensi:Dalam Pokok Perkara:

MenolakgugatanPenggugatseluruhnya;•Membatalkan dan memerintahkan untuk mengangkat kembali •penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 9 Desember 1996 Nomor 181/G.TUN/1996/PTUN. Jakarta tentang penundaan pelaksanaan SK. Gubernur KDH DKI Jakarta, berupa STPPT Nomor 1453/1.77-5 tanggal 30 Mei 1996 dan SK. Kakanwil BPN DKI berupa Surat Rekomendasi Nomor 1.711.52/1182/31/PPT/1994 tertanggal 1 Juni 1994 juncto surat Rekomendasi Nomor 1.711.52/1074/31/PPT/1995 tertanggal 16 Juni 1995:

Dalam Intervensi:MenolakgugatanTergugatIIIntervensi;Dalam Pokok Perkara dan Intervensi:Menghukum Penggugat/Terbanding/Termohon Kasasi/Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara di semua tingkat peradilan yang dalam tingkat peninjauan kembali ditetapkan sebesar Rp.150.000,- (Seratus lima puluh ribu rupiah):

jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 112 K/TUN/1998 tanggal 28 Mei 1999 yang amar putusannya berbunyi:

MENGADILIMenolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi:

GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA •JAKARTA,KEPALA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN •NASIONAL DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTAPT HARANGGANJANG, dengan perbaikan amar putusan •Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 6 Oktober 1997 no.84/B/1997/PT TUN-JKT yang menguatkan dengan perbaikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 27 Mei 1997 No. 181/GUN.TUN/1996/PTUN-JKT sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:

Dalam Eksepsi:Menolak eksepsi Tergugat I, II dan Tergugat II Intervensi masing-masingsebagaipembanding;Dalam Pokok Perkara:

Page 164: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

310 s e n g k e ta ta n a h 311B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

MengabulkangugatanPenggugat/Terbandinguntuksebagian;Menyatakan batal Surat Keputusan tergugat I (Gubernur Kepala 2. Daerah Khusus Ibukota Jakarta), yaitu Surat Izin penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) No. 1453/-1.711.5, tanggal 30 Mei 1996, atas tanah yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, KotamadyaJakartaSelatan;Mewajibkan Tergugat I (gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu-3. kota Jakarta), untuk menerbitkan Surat Izin Penunjukan Peng-gunaan Tanah (SIPPT), atas tanah yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan Keba yoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan, kepada yang ber hak sesuai denganhukum;MenolakgugatanPenggugat/Terbandingyangselebihnya;4.

Dalam Intervensi:MenolakgugatanTergugatIIIntervensi/Pembanding;Dalam Pokok Perkara dan Intervensi:

Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat II Intervensi/ •Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara JakartasebesarRp.70.000,­(Tujuhpuluhriburupiah);Menghukum Pemohon Kasasi I,II, dan III untuk membayar •biaya perkara dalam peradilan tingkat kasasi ini yang ditetapkan sejumlahRp.50.000,­(limapuluhriburupiah);

jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 84/B/1997/PT TUN.JKT. tanggal 27 Agustus 1997 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I LIMenerima permohonan banding dari Tergugat dan Tergugat •Intervensi/Pembanding;Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta •tanggal 27 Mei 1997 Nomor: 181/G.TUN/1996/-PTUN-JKT. yang dimohonkanbandingdenganperbaikanamarsebagaiberikut;

Dalam Eksepsi:Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat II Intervensi masing­masingsebagaipembanding;Dalam Pokok Perkara:

Mengabulkan gugatan Penggugat/ Terbanding untuk • sebagian;

Menyatakan batal Surat Keputusan Tergugat I (Gubernur Kepala •Daerah Khusus Ibukota Jakarta) yaitu Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) Nomor: 1453/-1.7115.5, tanggal 30 Mei 1996, atas tanah yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota-madyaJakartaSelatan;Mewajibkan Terguggat I (Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu-•kota Jakarta) untuk menerbitkan Surat Izin Penunjukan Peng-gunaan Tanah (SIPPT) atas tanah yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru,KotamadyaJakartaSelatankepadaPenggugat;Menyatakan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara •Jakarta nomor 181/G.TUN/1996/-PTUN-JKT. tanggal 9 De-sem ber 1996, tetap dipertahankan hingga putusan ini mem-punyaikekuatanhukumtetap;

Dalam Intervensi:MenolakgugatanTergugatIIIntervensi/Pembanding;•

Dalam Pokok Perkara Dan Intervensi:Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat II Intervensi/ •Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua ting-kat peradilan yang di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara JakartasebesarRp.70.000,­(tujuhpuluhriburupiah);

jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 181/G.TUN/1996 tanggal 27 Mei 1997 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IDalam Eksepsi:Menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat II – Intervensi;Dalam Pokok Perkara:MengabulkanGugatanPenggugatUntukSebagian;

Menyatakan Batal Surat Keputusan Tergugat I (Gubernur •Ke pala Daerah Khusus Ibukota Jakarta ), Yaitu: Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (Sippt) Nomor: 1453/-1.7115.5, Tanggal 30 Mei 1996, Atas Tanah Yang Terletak Di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru,KotamadyaJakartaSelatan;Mewajibkan Tergugat I (Gubernur Kepala Daerah Khusus •

Page 165: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

312 s e n g k e ta ta n a h 313B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

Ibukota Jakarta), untuk mencabut Surat Keputusan tentang Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) Nomor: 1453/-1.7115.5, tanggal 30 Mei 1996, atas tanah yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan KebayoranBaru,KotamadyaJakartaSelatantersebut;Mewajibkan Tergugat I (Gubernur Kepala Daerah Khusus •Ibukota Jakarta), untuk menerbitkan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT), atas tanah yang terletak di Jalan Jendral Sudirman Kav. 63, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan, kepada yang berhaksesuaidenganhukum;Menyatakan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara •Jakarta Nomor: 181/G.TUN./1996/PTUN-JKT, tanggal 9 Desem ber 1996, tetap dipertahankan hingga putusan ini men-jadikuat;Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat Intevensi •untuk menanggung ongkos perkara sebesar Rp.105.000,- (sera-tuslimariburupiah);MenolakgugatanPenggugatyangselebihnya;•

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1 PK/Pdt/2004 1. tanggal 31 Agustus 2004 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 1084 K/Pdt/2000 tanggal 20 November 2001 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 618/Pdt/1998/PT.DKI tanggal 12 April 1999 jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 460/Pdt.G/1996/PN.Jak-Sel. tanggal 11 Juni 1998, dengan Para Pihak:Penggugat: PT Graha Metropolitan NuansaTergugat: 1. PT Harangganjang sebagai Tergugat I

2. Iskandar Indra sebagai Tergugat II3. PT Intibhakti Multipersada sebagai Tergugat III4. H. Amarillah sebagai Tergugat IV.5. Notaris H. Asmawel Amin, SH. sebagai Tergugat

V6. PT Indonesian Sales Organisation sebagai Turut

Tergugat I7. Pemerintah RI cq Menteri Negara Agraria/Kepa-

la Badan Pertanahan Nasional cq Kepala Kan tor Wilayah Badan Pertanahan DKI Jakarta sebagai

Turut Tergugat II8. Pemerintah RI cq Menteri Dalam Negeri cq

Guber nur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakar-ta sebagai Turut Tergugat III

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1 PK/Pdt/2004 2. tanggal 31 Agustus 2004 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenolak permohonan Peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan kembali: I. PT HARANGGANJANG, dalam hal ini diwakili oleh Herry Wijaya, selaku Direktur Utama, bertindak untuk dan dalam jabatannya, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya; J.KAMARU, SH. dan kawan-kawan Advokat/Pengacara tersebut, II. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA CQ. MENTERI DALAM NEGERI CQ. GUBERNUR KEPALA DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: AGUSDIN SUSANTO, SH, dan kawan-kawan, Pegawai Pemerintah Provinsi DaerahKhususIbukotaJakartatersebut;

Menghukum Para Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini ditetapkan sejumlah Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 1084 K/Pdt/2000 tanggal 20 November 2001 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi: I. NOTARIS H. ASMAWEL AMIN, SH., II. ISKANDAR INDRA, dan PT INTIBHAKTI MULTIPERSADA, III. H. AMRULLAH, IV. PT HARANGGANJANG, V. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA CQ. MENTERI DALAM NEGERI CQ. GUBERNUR KEPALA DAERAHKHUSUSIBUKOTAJAKARTAtersebut;

Menghukum para pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah).

Page 166: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

314 s e n g k e ta ta n a h 315B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 618/Pdt/1998/PT.DKI tanggal 12 April 1999 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenerima permohonan banding dari Tergugat I/ Pembanding •I, Tergugat II/ Pembanding II, Tergugat III/ Pembanding III, Tergugat IV/ Pembanding IV, Tergugat V/ Pembanding V dan TurutTergugatIII/PembandingVItersebut;Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tang-•gal 11 Juni 1998 No. 460/Pdt.G/1996/PN.Jkt.Sel. yang dimo-honkanbandingtersebut;Menghukum Tergugat I/ Pembanding I, Tergugat II/ Pem-•banding II, Tergugat III/ Pembanding III, Tergugat IV/ Pem-banding IV, Tergugat V/ Pembanding V dan Turut Tergugat III/ Pembanding VI untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat pemeriksaan peradilan ini, yang dalam tingkat banding sebesarRp75.000.­(tujuhpuluhlimariburupiah);

jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 460/Pdt.G/1996/PN.Jak-Sel tanggal 11 Juni 1998 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IDalam Konpensi

Dalam Provisi Menyatakan Tuntutan Provisionil Dari Penggugat Tidak Dapat Diterima;

Dalam EksepsiMenyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksadanmengadiliperkaraini;Menyatakan menolak eksepsi-eksepsi yang diajukan oleh Tergugat IdanTergugatIV;

Dalam Pokok Perkara

Dalam KonpensiMengabulkangugatanPenggugatuntuksebagian;1. Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemegang hak dan 2. penguasaan secarafisikdan sahatas tanahKavling63 seluas

± 5.132 m2 yang terletak di jalan Jendral Sudirman Kelurahan SenayanKecamatanKebayoranBaruJakartaSelatan;Menyatakan bahwa Tergugat I3. , Tergugat II, Tergugat III, Ter gu gat IV,danTergugatV,telahmelakukanperbuatanmelawanhukum;Menyatakan Akta No.97 tanggal 29 Mei 1990 dan Akta No.3 4. tanggal2Oktober1990tidakmempunyaikekuatanhukum;Menyatakan bahwa surat Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu-5. kota Jakarta No.l453/-1.711.5 tanggal 30 Mei -1996 perihal izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) tidak mempunyai ke-kuatanhukum;MenghukumTurut Tergugat I/ Turut Tergugat II dan Turut Ter-6. gugatIIImentaatiisiputusanini;Menyatakan sita jaminan yang telah dilaksanakan oleh Agus 7. Sudradjat, SH. Jurusita pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari Rabu tanggal 22 Januari 1997 terhadap/atas:

Sebidang tanah Persil No.8 Blok D I seluas ± 5.132 M2 yang terletak di jalan Jendral Sudirman Kavling 63 Kelurahan Senayan Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan/ dengan batas-batas:

Sebelah Utara : Lorong gardu PLN/Gedung •Sumitmas;

SebelahSelatan :Kavling64;•SebelahBarat :JalanJendralSudirman;•SebelahTimur :SisaGirikC519;•Sahdanberharga;•

MenolakgugatanPenggugatselaindanselebihnya;8.

Dalam RekonpensiMenyatakan gugatan Penggugat Rekonpensi I, II, III, IV dan V •tidakdapatditerima;

Dalam Konpensi Dan RekonpensiMenghukum Tergugat I, II, III, IV dan V dalam konpensi/Peng-•gugat I, II, III, IV dan V dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara ini, yang dianggarkan hingga kini sebesar Rp. 515.500; (Lima Ratus Lima Belas Ribu Lima Ratus Rupiah).

3. Putusan Mahkamah Agung RI No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 2260 K/Pdt/2006 tanggal 28 Februari

Page 167: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

316 s e n g k e ta ta n a h 317B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

2007 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 549/Pdt/2005/PT.DKI tanggal 21 Desember 2005 jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 846/Pdt.G/2004/PN.Jak-Sel tanggal 30 Juni 2005, dengan Para Pihak:

Penggugat : PT HarangganjangPara Tergugat : 1. PT Graha Metropolitan Nuansa sebagai Tergugat I

2. PT Indonesian Sales Organisation seba-gai Tergugat II

3. H. Abdul Aziz sebagai Tergugat III4. Kantor Pelayanan Pajak Bumi Dan Ba-

ngun an Jakarta Selatan Dua sebagai Ter-gugat IV

5. PT Intibhakti Multipersada sebagai Turut Tergugat I

6. Syamsudin sebagai Turut Tergugat II7. H. Abubakar, B.A. sebagai Turut Ter-

gugat III8. Pemrintah RI cq Menteri Dalam Negeri

RI cq Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Turut Tergugat IV

9. Notaris Warda Sungkar Alurmei, SH. se-ba gai Turut Tergugat V

4. Putusan Mahkamah Agung RI No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon PeninjauanKembali:PTHARANGGANJANGtersebut;

Membatalkan putusan Mahkamah Agung No. 2260 K/Pdt/2006 Jakar ta tertanggal 28 Pebruari 2007 yang menguatkan putusan Penga dilan Tinggi Jakarta No. 549/Pdt/2005/PT.DKI tanggal 4 April 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 846/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel tanggal 30 Juni 2005.

MENGADILI KEMBALIDalam Eksepsi:

Menolak eksepsi tentang • Ne Bis In Idem yang diajukan oleh Tergugat I,II,III dan IV

Dalam Pokok Perkara:Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.1. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat 2. IV telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad).Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemegang hak atau 3. pemilik yang sah dan satu-satunya atas tanah kavling 63 terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Senayan Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan batas-batas sebagai berikut;

SebelahUtara :GedungSumitmas;•SebelahSelatan :Kavling64;•SebelahBarat :JalanJenderalSudirman;•Sebelah Timur : Tanah girik masyarakat (sisa •

girik C 519)4. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum Akta Pemindahan dan Penyerahan Hak/CESSIE Nomor 55 tertanggal 6 Pebruari 1990 yang dibuat dihadapanNotarisWardaSungkarAlurmei,SH.diJakarta;

5. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak mem-punyai kekuatan hukum Girik C No.87Persil 8D.I. atas nama RomlibinKiming;

6. Memerintahkan Tergugat I, atau siapapun yang menerima hak dari padanya untuk mengosongkan tanah Kavling No.63, terletak di di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Senayan Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan menyerahkannya kepada Penggugat.

7. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap hari nya apabila lalai/ terlambat dalam melaksanakan isi putus-an ini.

8. Menghukum turut Tergugat I sampai dengan turut Tergugat V, untuk mematuhi isi putusan ini.

9. Menolak gugatan selebihnya.

Page 168: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

318 s e n g k e ta ta n a h 319B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

Menghukum Para Termohon Peninjauan Kembali/ Tergugat I, II, III dan IV untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan pe-nin jauan kembali ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).

jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 2260 K/Pdt/2006 tanggal 28 Februari 2007 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT HARANG GANJANGtersebut;

Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI No. 549/Pdt/2005/PT.DKI tanggal 21 Desember 2005 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenerima permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding semulaPenggugat;

Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 30 Juni 2005 No 846/Pdt.G/2004/PN.JAK.SEL yang dimohonkan bandingtersebut;

Menghukum pembanding semula penggugat untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat peradilan, yang dalam peradilan tingkat bandingsebesarRp.300.000,­(tigaratusriburupiah);

jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 846/Pdt.G/2004/PN.Jak-Sel tanggal 30 Juni 2005 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IDalam Eksepsi:

Mengabulkan eksepsi tentang • Nebis In Idem yang diajukan tergugatI,II,IIIdanIV;Menyatakan gugatan penggugat • Nebis In idem

Dalam Pokok Perkara:Menolakgugatanpenggugat;•Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara se jumlah •Rp. 2.319.000,- (dua juta tiga ratus sembilan belas ribu rupiah).

5. Putusan Mahkamah Agung RI No. 434 K/TUN/2000 Tanggal 3 Maret 2010 jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 43/B/2009/PT.TUN.JKT. tanggal 8 Juni 2009 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 86/G.TUN/2008/PTUN.JKT. tanggal 18 November 2008, dengan Para Pihak:Penggugat : PT HarangganjangPara Tergugat :

Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan 1. sebagai Tergugat IGubernur Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai 2. Tergugat IIPT Graha Metropolitan Nuansa sebagai Tergugat II Inter-3. vensi

6. Putusan Mahkamah Agung RI No. 434 K/TUN/2000 Tanggal 3 Maret 2010 yang mana masih dalam proses menunggu putusan.

jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 43/B/2009/PT.TUN.JKT. tanggal 8 Juni 2009 yang amar putusannya berbunyi:

M E N G A D I L IMenerima permohonan banding dari Penggugat/ Pembanding.•Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta •Nomor: 86/G/2008/PTUN-JKT. tanggal 18 November 2008 yang dimohonkan.Menghukum Penggugat/ Pembanding membayar biaya perkara •di kedua tingkat pengadilan yang di tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp 149.000,- (seratus empat puluh sembilan ribu rupiah).

jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 86/G.TUN/2008/PTUN.JKT. tanggal 18 November 2008 yang amar putusan-nya berbunyi:

Page 169: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

320 s e n g k e ta ta n a h 321B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

M E N G A D I L IDalam Eksepsi

Menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat II •Intervensi.

Dalam Pokok PerkaraMenolak gugatan Penggugat.•Menghukum Penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp. •480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah).

Dalam EksepsiMenolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat II •Intervensi.

Dalam Pokok PerkaraMenolak gugatan Penggugat.•Menghukum Penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp. •480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah).

Lima putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan saling bertentangan. Perkara kepemilikan satu objek tanah di Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan ini menjadi rumit akhirnya. Itulah yang membuat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sulit memutusnya se waktu PT Harangganjang mengajukan permohonan untuk eksekusi putusan Mahkamah Agung RI No. 169PK/Pdt/2008 pada 5 Desember 2009. Pengadilan ini akhirnya menolak permohonan eksekusi dengan alasan isi lima putusan masih bertentangan.

PT Graha Metropolitan Nuansa kemudian balik menggugat putusan Mahkamah Agung RI No. 169PK/Pdt/2008. Gugatan perdata mereka ajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan perdata No. 1155/Pdt.G/2009/PN.Jak.Sel tanggal 7 April 2009 dan ini adalah perkara keenam. Adapun perkara tersebut adalah sebagai berikut:

Para Pihak:PT Graha Metropolitan Nuansa sebagai PenggugatAdapun para pihak yang digugat adalah:

PT HARANG GANJANG 1. sebagai TergugatPT INTIBHAKTI MULTI PERSADA 2. sebagai Turut Tergugat ISYAMSUDIN 3. sebagai Turut Tergugat IIAhli waris Abubakar BA 4.

sebagai Turut Tergugat IIIKantor Pelayanan PBB Jaksel Dua 5. sebagai Turut Tergugat IVPemerintahan RI 6. cq Mendagri cq Gubernur DKI Jakarta sebagai Turut Tergugat V Notaris Warda Sungkar A., SH 7. sebagai Turut Tergugat VIPT Indonesian Sales Organisation 8. sebagai Turut Tergugat VIIH. Abdul Aziz 9. sebagai Turut Tergugat VIII

Dengan Petitum Dalam Provisi:1. a. Melarang dan menangguhkan pelaksanaan eksekusi atas

putusan No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 jo. No. 2260 K/Pdt/2006 tanggal 28 Pebruari 2007 jo. No. 549/Pdt/2005/PT.DKI tanggal 4 April 2006 jo. No. 846/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel tanggal 30 Juni 2006 di semua tingkat.

b. Melarang Tergugat atau pihak lain yang mendapat hak dari mereka untuk melakukan tindakan apa pun atas tanah sengketa sampai putusan ini mempunyai kekuatan hukum pasti.

c. Menghukum Tergugat membayar uang paksa sebesar Rp. 10.000.000/hari (sepuluh juta rupiah per hari) untuk tiap-tiap hari lalai menjalankan isi putusan ini.

Dalam Pokok Perkara2. a. MengabulkangugatanPenggugatuntukseluruhnya;b. Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan

hukum;c. Menyatakan putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK/

Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 tidak mempunyai ke-kuatan hukum.

d. Menyatakan putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 non executable atau tidak dapat dieksekusi.

e. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi pada Peng-gugat, yang dirinci, sebagai berikut:

Page 170: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

322 s e n g k e ta ta n a h 323B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

Kerugian materil:1. Biaya pengacara Rp. 1.500.000.000,- (satu mil-•yar lima ratus juta rupiah):Biaya lembur satpam untuk menjaga kea man an •tanah kavling 63 tersebut Rp. 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah).

Kerugian immaterial:2. Hilangnya waktu Penggugat untuk mengurus bis-

nis Penggugat akibat adanya 2 putusan yang saling ber-ten tangan yang sebenamya tidak dapat dinilai deng-an uang namun pantas apabila dinilai sebesar Rp. 500. 000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah).

f. Menyatakan sita jaminan sah dan berharga.g. Menyatakan putusan provisi sah dan berharga.h. Menyatakan putusan ini Uitvoerbaar bij Vorraad.i. Menyatakan para Turut Tergugat tunduk pada putusan.j. Menghukum para Tergugat membayar biaya

Objek perkara adalah tanah milik klien kami PT HARANGGANJANG di Jalan Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan.

Amar putusan perkara No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 adalah:

MENGADILI:Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT HARANGGANJANG tersebut

Membatalkan putusan Mahkamah Agung No. 2260 K/Pdt/2006 tertanggal 28 Pebruari 2007 yang menguatkan putusan-putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 549/Pdt/2005/PT.DKI tanggal 4 April 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 846/Pdt.G/2004/PN. Jak.Sel tanggal 30 Juni 2005.

MENGADILI KEMBALIDalam Eksepsi:Menolak eksepsi tentang Ne Bis In Idem yang diajukan oleh Tergugat I,II,III dan IV.Dalam Pokok Perkara:

Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. 1.

Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, dan Tergugat 2. IV telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechmatige Daad). Menyatakan bahwa Penggugat adalah pemegang hak atau pe-3. milik yang sah dan satu-satunya atas Tanah Kavling 63 ter letak di Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Senayan, Keca matan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Gedung Sumitmas•Sebelah Selatan : Kavling 64 •Sebelah Barat : Jalan Jenderal Sudirman•Sebelah Timur : Tanah Masyarakat (sisa •

girik C 519)4. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak mem-

punyai kekuatan hukum Akta Pemindahan dan Pe nyerah an Hak/Cessie Nomor 55 tertanggal 6 Pebruari 1990 yang dibuat di hadapan Notaris Warda Sungkar Alurmei, SH. di Jakarta.

5. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum Girik C No. 87 Persil 8 D.I. atas namaRomlibinKirning;

6. Memerintahkan Tergugat I atau siapa pun yang menerima hak dari mereka untuk mengosongkan Tanah Kavling No. 63, terletak di Jalan Jenderal. Sudirman, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan menyerahkannya kepada Penggugat.

7. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) se-tiap hari nya apabila lalai/terlambat dalam melaksanakan isi putusan ini.

8. Menghukum Turut Tergugat I sampai dengan Turut Tergugat V untuk mematuhi isi putusan ini.

9. Menolak gugatan selebihnya.

Menghukum Para Termohon Peninjauan Kembali/Tergugat I, II, III dan IV untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus riburupiah);Putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK /Pdt/2008 tersebut adalah

Page 171: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

324 s e n g k e ta ta n a h 325B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

putusan yang berdasarkan upaya hukum luar biasa yang menurut UU hanya dapat berlaku hanya satu kali dalam suatu perkara.

Putusan sela No.: 1155/Pdt.G/2009/PN.Jak.Sel tanggal 17 September 2009, adapun amar putusannya:

MENGADILIMenolak eksepsi Tergugat tentang kompetensi absolut•Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang •untuk memeriksa dan memutus perkara ini sepanjang berkaitan dengan dalil Perbuatan Melawan HukumMenangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir.•

Putusan akhir tanggal 10 Maret 2010, amar putus an nya se-ba gai berikut:

MENGADILIDalam Konpensi 1. a. Dalam Eksepsi

Menolak Eksepsi dari Tegrugatb. Dalam Provisi

Menolak tuntutan provisi dari Penggugatc. Dalam Pokok Perkara

MengabulkangugatanPenggugatuntuksebagian;2. Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan 3. hukum;Menyatakan sah Penetapan Ketua Peng adilan 4. Negeri Jakarta Selatan No. 846/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel. tanggal 16 Juli 2009 yang menya-takan Putusan Peninjauan Kem bali No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 tidak dapat dilaksanakan/ non executable.Menghukum Tergugat untuk membayar ganti ke ru-5. gian materil kepada Penggugat sebesar Rp. 12.000. 000,- (dua belas juta rupiah).Menyatakan Para Turut Tergugat tunduk pada pu tus-6. an ini.Menolak gugatan Penggugat untuk yang lain dan 7. selebihnya.

2. Dalam RekonpensiMenyatakan gugatan Rekonpensi dari Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi tidak dapat diterima (niet ont van kelijke

verklaard)3. Dalam Konpensi dan Rekonpensi

Menghukum Tergugat dalam konpensi/ Penggugat dalam Rekon pensi untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 3.812.000,- (tiga juta delapan ratus dua belas ribu rupiah)

Sementara proses persidangan perkara perdata No. 1155/Pdt.G/2009/PN.Jak.Sel berlangsung, ternyata Mahkamah Agung RI menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 12 Juni 2009 No.: 10/Bua.6/Hs/SPA/VI/2009 yang berbunyi:

SURAT EDARANNomor: 10 Tahun 2009

Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan KembaliBahwa lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan hanya 1 (satu) kali sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tetapi menurut pemantauan Mahkamah Agung hingga saat ini masih ada permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali, sehingga demi kepastian hukum serta untuk mencegah penumpukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung maka Mahkamah Agung memandang perlu memberikan petunjuk sebagai berikut:

Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang 1. sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang-Undang. Oleh karena itu, apabila suatu perkara diajukan per-mohonan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mah-kamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 seba-gai mana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke

Page 172: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

326 s e n g k e ta ta n a h 327B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

MahkamahAgung;Apabila suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan 2. peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.

Demikian agar diperhatikan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.....................................................................................................................................................................................................................

Bahwa dengan alasan adanya beberapa putusan yang saling •bertentangan sehingga PT Graha Metropolitan Nuansa sebagai Pemohon Peninjauan Kembali kedua atas putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK/Pdt/2008, adalah suatu upaya yang tidak jujur dan beritikad buruk, yang bertujuan untuk menunda dan mengulur-ulur waktu agar Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat melakukan eksekusi tanah miliknya yang diserobot dan dikuasai secara ilegal untuk dapat dikembalikan kepada pemilik yang sebenarnya yaitu PT Harangganjang/ Termohon Peninjauan Kembali.PT Graha Metropolitan Nuansa, dengan sengaja membuat atau •merekayasa beberapa gugatan dengan memberi data yang tidak benar sehingga dapat mengelabui para majelis hakim yang tidak mengikuti sejak awal kasus ini, dan terbitlah putusan yang saling bertentangan dari beberapa perkara yang obyeknya sama yang sengaja direkayasa oleh Pemohon Peninjauan Kembali.

Pada 18 Juni 2009, PT Graha Metropolitan Nuansa mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali yaitu No. 169 PK/Pdt/2008 ke Mahkamah Agung RI pada 18 Juni 2009 yang didasarkan atas Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 12 Juni 2009 No. 10/Bua.6/HS/SPA/VI/2009 di samping sebelumnya telah mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 April 2009 dengan register No.: 1155/Pdt.G/2009/PN.Jak.Sel yang tujuannya sama yaitu:

Untuk membatalkan putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK/1. Pdt/2008.

Obyek sengketa tanah Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, milik PT 2. Harangganjang.Alasan hukum baik dalam gugatan No.: 1155/Pdt.G/2009/3. PN. Jak.Sel dan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kem bali No.: 169 PK/Pdt/2008 yang teregister No. 646 PK/Pdt/2010 adalah sama saja yaitu mempersoalkan novum yang diajukan PT Harangganjang pada Peninjauan Kembalinya di No. 169 PK/Pdt/2008.

Adapun para pihak yang digugat adalah:PT HARANGGANJANG 1. sebagai TergugatPT INTIBHAKTI MULTI PERSADA 2. sebagai Turut Tergugat ISYAMSUDIN 3. sebagai Turut Tergugat IIAhli waris Abubakar BA 4. sebagai Turut Tergugat IIIKantor Pelayanan PBB Jaksel Dua 5. sebagai Turut Tergugat IVPemerintahan RI 6. cq Mendagri cq Gubernur DKI Jakarta sebagai Turut Tergugat V Notaris Warda Sungkar A,SH 7. sebagai Turut Tergugat VIPT Indonesian Sales Organisation 8. sebagai Turut Tergugat VIIH. Abdul Aziz 9. sebagai Turut Tergugat VIII

Dengan petitumnya adalah:Dalam Provisi:1. a. Melarang dan menangguhkan pelaksanaan eksekusi atas

putusan No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 jo. No. 2260 K/Pdt/2006 tanggal 28 Pebruari 2007 jo. No. 549/Pdt/2005/PT DKI tanggal 4 April 2006 jo. No. 846/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel tanggal 30 Juni 2006 di semua tingkat.

b. Melarang Tergugat atau pihak lain yang mendapat hak dari padanya untuk melakukan tindakan apa pun atas

Page 173: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

328 s e n g k e ta ta n a h 329B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

tanah sengketa sampai putusan ini mempunyai kekuatan hu kum pasti.

c. Menghukum Tergugat membayar uang paksa sebesar Rp. 10.000.000/hari (sepuluh juta rupiah per hari) untuk tiap-tiap hari lalai menjalankan isi putusan ini.

Dalam Pokok Perkara2. a. MengabulkangugatanPenggugatuntukseluruhnya;b. Menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan

hukum;c. Menyatakan putusan Peninjauan Kembali No.

169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum.

d. Menyatakan putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 non executable atau tidak dapat dieksekusi.

e. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi pada Peng-gugat, yang dirinci, sbb:

Kerugian materil:1. Biaya pengacara Rp. 1.500.000.000,- (satu mil-•yar lima ratus juta rupiah):Biaya lembur satpam untuk menjaga kea man-•an tanah kavling 63 tersebut Rp. 100. 000. 000,-(seratus juta rupiah).

Kerugian immaterial:2. Hilangnya waktu Penggugat untuk mengurus bisnis Penggugat akibat adanya 2 putusan yang saling ber-tentangan yang sebenamya tidak dapat dinilai deng-an uang namun pantas apabila dinilai sebesar Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah).

f. Menyatakan sita jaminan sah dan berharga.g. Menyatakan putusan provisi sah dan berharga.h. Menyatakan putusan ini Uitvoerbaar bij Vorraad.i. Menyatakan para Turut Tergugat tunduk pada putusan.j. Menghukum para Tergugat membayar biaya.

Obyek perkara adalah tanah milik klien kami PT HARANGGANJANG di jalan Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan.

Proses hukum yang tak berkesudahan. Itulah sepotong kalimat yang

pas untuk merumuskan kasus ini. Betapa tidak, upaya hukum setiap waktu dapat direkayasa. Perkara tetap diperiksa oleh majelis hakim baik di tingkat pertama, banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali. Kendati sudah memiliki putusan Peninjauan Kembali yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata putusan tersebut masih dapat digugat lagi melalui tingkat pertama, langkah yang dapat meng-“examinasi” putusan Peninjauan Kembali yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, Mahkamah Agung RI pun mengeluarkan SEMA tanggal 12 Juni 2009 No.: 10/Bua.6/Hs/SPA/VI/2009 yang memperbolehkan siapa pun mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Jadi, jelas peradilan Indonesia dalam penentuan kepemilikan atas tanah dengan sistem hukum acara menggunakan HIR dan tetap meng-gunakan aturan tentang hukum kebendaan dari KUHPerdata. Padahal tanah sudah dikeluarkan dari Buku II KUHPerdata dan sudah di atur dalam UUPA yang menitikberatkan bahwa tanah masuk dalam area sis-tem hukum publik. Saat ini HIR digunakan sebagai hukum acara yang meng adili dan memutuskan sengketa pertanahan di peradilan umum. Padahal, HIR dibuat untuk mempertahankan hukum materil KUH Per-data, bukan untuk mempertahankan hukum materil UUPA. Dengan dalih ada nya Pasal 16 ayat (1) UU RI No. 4 Tahun 2004 tentang Ke kuasaan Keha kiman, bahwa Pengadilan tidak dapat menolak perkara, semua gugatan pasti akan diproses, walaupun sebetulnya gugatan itu ne bis in idem.

Adapun Pasal 16 ayat (1) UU RI No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Faktanya, walaupun objek sengketa perkara sama, para pihak sama, dengan mengubah pihak (menambah atau mengurangi) majelis hakim akan memproses perkara sebab mereka tidak pernah meng-gunakan prinsip ne bis in idem untuk menolak perkara. Selalu perkara diperiksa, diadili, diputus dan isinya bisa berbeda dengan putusan terdahulu. Majelis hakim pun melakukan eksaminasi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut menimbulkan perkara berlarut-larut tiada henti (never ending).

Untuk perkara tanah Jl. Jend. Sudirman Kav. 63, Jakarta Selatan antara PT Harangganjang dan PT Graha Metropolitan Nuansa, saat ini sudah ada lima putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Page 174: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

330 s e n g k e ta ta n a h 331B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

dan akan menyusul lagi dua putusan seperti itu. Walaupun langkah yang ditempuh sudah sedemikian jauh, tetap tidak ada kepastian harus berapa putusan yang berkekuatan hukum tetap lagi agar perkara ini berujung dengan keputusan tegas siapa pemilik tanah sengketa tersebut yang sebenarnya.

Melihat aturan hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa tanah tersebut, jelas tidak ada jaminan bahwa sengketa ini akan berakhir tuntas sebab sengketa ini masih disidangkan di peradilan umum dengan menggunakan hukum acara HIR (sekali lagi: tanah tidak lagi termasuk dalam aturan KUHPerdata, melainkan diatur dalam UUPA. Menurut UUPA karakteristik tanah adalah publik di samping memiliki karakteristik privat juga). Jadi, jelas terbukti bahwa sengketa tanah tidak pernah mendapatkan suatu kepastian hukum sehingga berlarut-larut tanpa henti. Penyebabnya adalah masih digunakannya sistem hukum warisan penjajahan Belanda yang tidak sesuai dengan UUPA.

Keadaan makin runyam setelah terbitnya SEMA tanggal 12 Juni 2009 No.: 10/Bua.6/Hs/SPA/VI/2009. Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, ternyata SEMA tersebut bertentangan dengan Pasal 66 ayat (1) UU 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang menyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali saja. Sementara itu, kedudukan SEMA dalam hierarki perundang-undangan adalah di bawah Undang-Undang.

Memang niat Mahkamah Agung RI baik, yakni memberikan pe tun-juk solusi manakala terdapat beberapa putusan yang saling bertentangan untuk satu objek perkara. Namun, solusi yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI ini, menurut pendapat penulis, bukanlah se suatu yang dapat menyelesaikan masalah dan memberikan kepastian hukum terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dapat diek sekusi, melainkan membuat persoalan lebih rumit. Oleh karena itu, menurut penulis, sistem hukum harus diubah agar senapas dengan Undang-Undang yang mengatur tanah. Dalam hal ini tentu saja UUPA yang dimaksud.

never ending di Kebon JerukTanah sengketa terletak di Jalan Anggrek, Kebun Jeruk dengan luas 37.690 meter persegi (m2). Tanah negara bekas hak eigendom (No. 5894) ini SHGB-nya telah terbit tahun 1966 yakni No.3/Sukabumi Ilir atas nama Ujat Natakusumah. Kaveling ini sebagian (20.120 m2) dibeli Imam Soepardi sehingga terbit SHGB No. 4/Sukabumi Ilir atas nama dia

tahun 1966. Untuk sisanya terbit SHGB No. 3 Sisa/Sukabumi Ilir atas nama Saimot Bapa Madie. Tahun 1970 kaveling ini dipugar dan di sana dibangun gudang PT ISA Contractor milik Imam Soepardi.

Ternyata tahun 1976 BPN menerbitkan SHGB No.7/Sukabumi Udik atas nama Hauw Kang Seng seluas 49.000 m2. Lokasinya persis di atas tanah milik Imam Soepardi. Sengketa pun terjadi sejak tahun 1976 hingga sekarang (31 tahun tanpa berhenti). Pengadilan tetap saja memproses perkara ini kendati mereka seharusnya menolak karena ne bis in idem. Selama masa perkara yang panjang ini telah keluar sejumlah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum berikut:

Pengadilan UmumPutusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat1. Putusan Mahkamah Agung RI No. 951 K/Pdt/1985 tanggal 29 September 1986 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jaya No. 34/ 1982 PT Perdata Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 294/1979/JB tanggal 25 Februari 1981.Obyek Sengketa: Tanah Jl. Kebon Jeruk dan Jl. Anggrek di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Kasus Posisi: Gugatan Hauw Kang Seng agar SHGB No. 7/Sukabumi Ilir seluas 43.040 m2 di persil yang telah bersertifikat atas nama ImamSoepardi—HGB No. 4/Sukabumi Ilir yang merupakan pecahan dari SHGB No. 3/Sisa Sukabumi Ilir atas nama Udjat Natakusumah—tidak dapat diterima.

Putusan Mahkamah Agung 2. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1585 K/Pdt/2000 tanggal 25 April 2002 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 844/Pdt/1998/PT.DKI.Jkt. tanggal 27 April 1999 Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 369/Pdt.G/1997/PN.Jkt.Bar. tanggal 4 Agustus 1998. Obyek Sengketa: Tanah terletak di Jl. Kebon Jeruk Raya dan Jl. Anggrek di Kebon Jeruk Jakarta Barat Kasus Posisi:Gugatandari ahliwaris ImamSoepardi,pemegangSertifikatHGBNo. 4/Sukabumi Ilir atas nama Imam Soepardi, adalah gugatan perbuatan melawan hukum oleh King Yuwono, dkk/PT Dirga Aditata Aneka yang mendapat hibah dari Hauw Kang Seng, pemegang Sertifikat HGB No. 7/Sukabumi Ilir atas nama Hauw Kang Seng.Sudah11(sebelas)tahunhabismasaberlakusertifikatnya,PTDirga

Page 175: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

332 s e n g k e ta ta n a h 333B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

Aditata Aneka masih melakukan penyerobotan, pengrusakan, serta memagari tanah tersebut. Di lahan tersebut PT Total Bangun Persada kemudian membangun gedung Universitas Bina Nusantara.

Ahli waris Imam Soepardi lantas mengajukan gugatan. Dika-bul kan. Putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Salah satu amarnya, tanah tersebut harus di serahkan kepada ahli waris Imam Soepardi dalam keadaan kosong. Saat eksekusi hendak dilakukan, pihak Universitas Bina Nusantara se bagai pemilik gedung mengajukan bantahan terhadap pelaksanaan pu tusan Mahkamah Agung RI No. 1585 K/Pdt/2000.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat3. Putusan No. l82/Pdt.G/2003/PNJkt.Brt.Obyek Sengketa: Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1585 K/Pdt/2000 tanggal 25 April 2002 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 844/Pdt/1998/PT.DKI.Jkt. tanggal 27 April 1999 Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 369/Pdt. G /1997/PN.Jkt.Bar. tanggal 4 Agustus 1998.Kasus Posisi:Sewaktu lahan akan dieksekusi (dikosongkan), PT Bina Nusantara mengajukan bantahan terhadap putusan Mahkamah Agung RI ter-sebut. Namun, bantahan mereka ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dengan begitu putusan No. 109/Pdt/2004/PT.DKI Jakarta jo putusan No. 182/Pdt. G/2003/PN.Jkt.Brt. mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat4. Saat mengajukan bantahan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, ternyata PT Bina Nusantara juga menggugat ahli waris almarhum Imam Soepardi. Gugatan mereka terdaftar di Register Perkara No. 276/Pdt G/2004/PN. Jkt Pst tanggal 26 Agustus.

Ternyata PT Bina Nusantara kemudian berdamai dengan ahli waris Imam Soepardi. Mereka membayar tanah milik Alm. Imam Soepardi tersebut (bekas SHGB No. 4/Sukabumi Ilir atas nama Imam Soepardi seluas 20.120 m2). Seharusnya kasus selesai karena SHGB No. 1271 atas nama PT Dirga Aditata Aneka yang dialihkan kepada PT Bina Nusantara dinyatakan batal dan dikembalikan kepada Kantor Pertanahan Jakarta Barat. Nyatanya, kasus berlanjut sebab PT Dirga Aditata Aneka tidak mau menyerahkan SHGB No. 1259/Sisa Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka yang sudah dinyatakan batal. PT Dirga Aditata Aneka malah mengajukan

gugat an di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Putusan Mahkamah Agung RI No. 88 K/TUN/1998 tanggal 4 1. Februari 1999 jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 06/B/1997/PT.TUN.Jkt. tanggal 27 Oktober 1997 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 131/G.TUN/1995/PTUN.Jkt. tanggal 11 Juli 1996.

Obyek Sengketa: Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) No. 3989/-1.711.5 tanggal 9 Desember 1994.Kasus Posisi:Setelah PT Dirga Aditata Aneka menyerobot tanah sengketa milik ImamSoepardi,untuktanahyangdikuasaifisiknyatersebutditerbitkanSurat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) No. 3989/-1.711.5 tanggal 9 Desember 1994 oleh Gubernur/Kepala Daerah Ibukota Jakarta. Akibat penerbitan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) tersebut Imam Soepardi mengajukan gugatan Tata Usaha Negara. Gugatan dikabulkan dan SIPPT dibatalkan. Putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.Putusan MARI No. 104 K/TUN/1998 tanggal 4 Februari 1999 2. Jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 106/B/1996/PT.TUN.Jkt. tanggal 27 Oktober 1997 Jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 075/G/1995/Ij/PTUN.Jkt. tanggal 8 Januari 1996.

Obyek Sengketa: Surat Perintah Bongkar No.: 2549/1.785.2 ter-tanggal 27 Juni 1995 perihal Surat Perintah Bongkar dan No.: 2351/1.785.2 tertanggal 9 Juni 1995 perihal Surat Peringatan Atas Permintaan PT Dirga Aditata Aneka/Tergugat Intervensi I yang pu-tus annya adalah menyatakan Surat Perintah Bongkar tersebut tidak sah karena persil tersebut merupakan milik Penggugat Inter vensi.Kasus Posisi:Setelah terbit Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) No. 3989/-1.711.5 tanggal 9 Desember 1994 oleh Gubernur/Kepala Dae-rah Khusus Jakarta, kemudian Walikotamadya Jakarta Barat me ner-bitkan Surat Perintah Bongkar No. 2549/1.785.2 tanggal 27 Juni 1995 untuk tanah milik Imam Soepardi di Kebon Jeruk.

Menanggapi surat perintah bongkar tersebut Imam Soepardi menga-jukan gugatan dan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara gugatannya dika-

Page 176: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

334 s e n g k e ta ta n a h 335B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

bul kan. Surat Bongkar yang diterbitkan oleh Walikotamadya Jakarta Barat dinyatakan batal dan putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 405 K/TUN/2000 tanggal 3. 25 Juli 2002 jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 32/B/1999/PT.TUN.Jkt. tanggal 23 Nopember 1998 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 099/G.TUN/1997/PTUN.Jkt. tanggal 25 Mei 1997.

Obyek Sengketa: Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14 Juni 1996 No. 389/HGB/BPN/96 dan Pembatalan Sertipikat HGB No. 1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka.

Kasus Posisi:

Dengan telah terbitnya Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah (SIPPT) No. 3989/-1.711.5 tanggal 9 Desember 1994 oleh Gubernur/Kepala Daerah Khusus Jakarta, King Yuwono/PT Dirga Aditata Ane-kamengajukan permohonan sertifikat ke Badan PertanahanNasi­onal dan terbitlah SK Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nasional tanggal 14 Juni 1996 No. 389/HGB/BPN/96 dan terbit SertifikatHak Guna Bangunan No. 1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka, di atas tanah milik Imam Soepardi. Atas pe ner bitan SK Menteri Negara Agraria dan penerbitan Sertifikat Hak GunaBangunan No. 1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka ter sebut, ahli waris Imam Soepardi mengajukan gugatan ke Men teri Negara Agraria. Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan mene-rima gugatan tersebut, dan SKMenteriAgraria dan SertifikatHakGuna Bangunan No. 1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Adi-tata Aneka dinyatakan batal. Putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

PTUN Jakarta memberikan aanmaning (teguran) kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Pusat agar melaksanakan isi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitumelakukanpembatalanSertifikatHGBNo. 1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka dan atas Aanmaning (Teguran) PTUN Jakarta. Kepala Kantor BPN wilayah DKI Jakarta selanjutnya membuat Surat Keputusan Nomor SK: 054/51-550.2-09.03-Btl-2004 tanggal 16 September 2004 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 1259Sisa/KebonJeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka dan SHGB No. 1271/Kebun

Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka.Perlu diketahui bahwa selama proses persidangan ternyata

Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat telahmemecah SertifikatHGB No.1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka seluas 28.900 m2 menjadi SHGB No. 1259Sisa/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka seluas 8.900 m2 dan SHGB No. 1271/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka seluas 20.000 m2 yang kemudian dijual kepada PT Bina Nusantara tetapi tidak bisa balik nama karena adanya perkara yang sedang berlangsung.

Lantas Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat menerbitkan Surat No. 1722/09-03-HAT tanggal 30 September 2004 kepada PT Dirga Aditata Aneka perihal pemberitahuan secara sah dan resmi kepada PT Dirga Aditata Aneka tentang penarikan sertifikatHGBNo.1259Sisa/KebonJerukdanHGBNo.1271/KebonJeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka tersebut, dan meminta ke-duasertifikattersebutuntukdiserahkankepadaKepalaKantorPer­tanahan Jakarta Barat untuk dimusnahkan. Atas pemberitahuan dari BPN Jakarta Barat dengan Surat No. 1722/09-03-HAT tanggal 30 September2004kepadaPTDirgaAditataAnekatersebut,sertifikatyang dikembalikan dan diserahkan resmi hanya HGB No. 1271/Kebun Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka yang dipegang oleh PT Bina Nusantara.SertifikatHGBNo.1259sisa/KebonJerukatasnamaPTDirga Aditata Aneka tidak diserahkan oleh PT Dirga Aditata Aneka kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat.

Karena PT Dirga Aditata Aneka tidakmenyerahkan SertifikatHGB No. 1259 Sisa/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Barat maka dibuatlah pengumuman disurat kabar Harian Rakyat Merdeka edisi tanggal 23 Desember 2004 hal 4 bahwa SHGB 1259Sisa/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka dinyatakan tidak berlaku lagi. Setelah pengumuman itu PT Dirga Aditata Aneka sampai saat ini pun belum menyerahkan SHGB 1259Sisa/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka. Keluar kemudian Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor SK: 054/51 – 550.2-09.03-Btl-2004 tanggal 16 September 2004 tentang “Pembatalan Hak Guna Bangunan No. 1259Sisa/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka seluas 8905 m2 dan HGB No. 1271/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka seluas 20.000 m2, sebagai pelaksanaan Putusan

Page 177: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

336 s e n g k e ta ta n a h 337B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

Putusan Mahkamah Agung RI No. 405 K/TUN/2000 tanggal 25 Juli 2002 jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 32/B/1999/PT.TUN.Jkt. tanggal 23 Nopember 1998 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 099/G.TUN/1997/PTUN.Jkt. tanggal 25 Mei 1997. Tetapi PT Dirga Aditata Aneka tidak bersedia menyerahkan SHGB No. 3Sisa/Kebon Jeruk kepada Badan Pertanahan Nasional dan kemudian PT Dirga Aditata Aneka mengajukan gugatan di PTUN terhadap Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor dengan obyek sengketa SK: 054/51-550.2-09.03-Btl-2004 tanggal 16 September 2004 tentang “Pembatalan Hak Guna Bangunan No. 1259 Sisa/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka seluas 8905 m2, yang atas gugatan tersebut, yang selanjutnya memperoleh putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai berikut:

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 173/G.TUN/ 2004/PTUN. JKT, Tanggal 04 April 2005 jo Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 111/B/2005/ PT.TUN.JKT. tanggal 26 September 2005 jo putusan Mahkamah Agung No. R.I. No. 156 K/TUN/2006 tanggal 15 Nopember 2006.

Obyek Sengketa: Surat Keputusan No. SK.054/51.550-2.09.03-Btl-2004 tanggal 16 September 2004 tentang Pembatalan Hak Guna Bangunan 1259 Sisa/Kebon Jeruk tercatat atas nama PT Dirga Aditata Aneka berkedudukan di Jakarta seluas 8.905 m2 (delapan ribu sembilan ratus lima meter persegi) dan Hak Guna Bangunan No. 1271/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka berkedudukan di Jakarta seluas 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi) terletak di Jl. Raya Kebon Jeruk/Jl. Anggrek Kelurahan Kebon Jeruk Kecamatan Kebon Jeruk Kotamadya Jakarta Barat.

Kasus Posisi: Atas gugatan PT Dirga Aditata Aneka tersebut, ahli waris Imam Soepardi yaitu Ny. Gloria Imam Soepardi mengajukan gugatan intervensi. Pengadilan mengabulkan gugatan dengan menolak gugatan PT Dirga Aditata Aneka dan putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu putusan Mahkamah Agung RI No. 156K/TUN/2006 tanggal 15 November 2006 jo putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara No. 111/2005/PT.TUN.Jkt. tanggal 26 September 2005 jo putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 173/G.TUN/2004/PTUN.Jkt. tanggal 4 April 2005.

Walaupun sudah dua kali diproses hukum tentang keabsahan dari SHGB No. 1259/Kebon Jeruk atas nama PT Dirga Aditata Aneka, sampai

putusan di Mahkamah Agung tetapi ternyata PT Dirga Aditata Aneka tetap saja mengajukan gugatan yang sama di PTUN Jakarta dan sidang kemudian digelar untuk kali ketiga oleh PTUN Jakarta. Gugatan PT Dirga Aditata Aneka tersebut diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan obyek sengketa yang sama yaitu Surat Keputusan Kanwil Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta No. SK: 054/51-550-2-09-Btl-2004 tang gal 16 September 2004, yang seharusnya gugatan ini tidak dapat di-si dangkan karena ne bis in idem, tetapi kenyataannya gugatan tersebut te tap disidangkan yaitu sebagai berikut:

Perkara No. 80/G.TUN/2007/PTUN.JKT.Obyek Sengketa: Surat Keputusan Tergugat No. SK:, 054/5,1 -550.2-09.03-Btl-2004 tanggal 16 September 2004 tentang Pembatalan Hak Guna Bangunan No. 1259sisa/Kebon Jeruk tercatat atas nama PT Dirga Aditata Aneka, berkedudukan di Jakarta, seluas 8.905 m2.. Perkara ter-sebut terdaftar dengan perkara No. 80/G.TUN/2007/PTUN.JKT. dengan tujuan membatalkan Surat Keputusan Tergugat No. SK:, 054/5,1 -550.2-09.03-Btl-2004.

Para Pihak:PT Dirga Aditata Aneka ............................sebagai Penggugat

Melawan:Kanwil DKI .................................................sebagai Tergugat

Pihak Intervensi:Sechan Shahab, dkk. pemegang SHGB No. 3 Sisa/Sukabumi Ilir atas

nama Soimot..........................sebagai Tergugat Intervensi

Atas gugatan Sechan Shahab, dkk. tersebut sebagai Penggugat Intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, gugatan PT Dirga Aditata Aneka, ditolak, dan gugatan intervensi Shechan Shahab, dkk. diterima, dan SertifikatHakGunaBangunanNo.1259Sisa/KebonJerukatasnamaPTDirga Aditata Aneka tetap dinyatakan batal, dan putusan tersebut sudah sampai di tingkat kasasi, di mana putusan tingkat pertama No. 80/G/TUN/2007/PTUN.Jkt jo putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 2 April 2008 No. 23/B/2008/PT.TUN.Jkt. menyatakan gugatan PT Dirga Aditata Aneka tidak dapat diterima, karena gugatan PT Dirga Aditata Aneka adalah pengulangan gugatan atau adalah gugatan ne bis in idem.

Page 178: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

338 s e n g k e ta ta n a h 339B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

Terhadap putusan tersebut, King Yuwono/ PT Dirga Aditata Aneka ternyata mengajukan kasasi lagi, hingga saat ini sengketa tanah di Kebon Jeruk tersebut tetap berlangsung meski sengketa tanah tersebut telah me-makan waktu sekitar tiga puluh dua tahun, dimulai sejak tahun 1976.

empat Pihak Pemilik tanah Kelapa gadingBeberapa putusan Mahkamah Agung RI yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan lahan di Kelapa Gading milik empat pihak yang berbeda. Akibatnya, putusan tersebut tidak dapat dieksekusi.

Tanah yang diperkarakan terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, RT 00I/RW 04, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Asalnya, tanah negara bekas hak Eigendom Ver-pon ding No. 11202 dan 6252 seluas 31,5 hektar.

Duduk masalah Lahan di kawasan yang dahulu dikenal dengan nama Kandang Sampi/Kampung Antjol, Kecamatan Koja, Jakarta Utara ini adalah tanah negara bekas hak Eigendom Verponding nomor 11202 atas nama Nyoo Seng Hoo dan nomor 6252 atas nama Kho Merie Nio yang tercatat dalam akta Eigendom nomor 850/1953. Setelah itu berlangsung akta over lepas hak ganti rugi. Oleh kuasa pengurus tanah, pada 19 September l962, tanah itu didaftarkan di Kelurahan Sunter dan di Kantor Pertanahan Jakarta. Tanah tersebut kemudian dialihkan kepada PT Wiguna Utama Pertiwi pada 7 Maret 1986 di depan notaris Drs. H. Saidus Sjahar, S.H. dengan pem berian ganti rugi kepada R. Soekandi bin Baie. Tanah tersebut di ku-asai PT Wiguna Utama Pertiwi. Kesempatan untuk memanfaatkan la han diberikan kepada para penggarap.

Ternyata TNI-AL mengajukan hak atas tanah negara tersebut dengan dalil telah membebaskan tanah tersebut dari pemilik tanah hak sewa, hak milik,danhakusahatanahtersebutpada7Maret1960.TerbitlahSertifikatHakPakaiNo.2danNo.3atasnamaTNI­AL.Akibatterbitnyasertifikattersebut, PT Wiguna Utama Pertiwi, PT Jaya Murni Duta Kencana, Drs. Soemardjo, ahli waris almarhum Mohamad Saleh dan almarhum Djuddah menggugat TNI-AL. Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan beberapa putusan tentang kepemilikan tanah tersebut yaitu:

Milik PT Wiguna Utama Pertiwi seluas 31,5 Ha dengan bukti kepe-1. mi likan Eigendom Verponding No. 6525 dan 11202 berdasarkan Pu-tusan Mahkamah Agung RI No. 3092K/Pdt/I996 jo Putusan Peng-adilan Tinggi No 117/Pdt/1995/PT.DKI. jo Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Utara No 06/Pdt.G/1994/PN.Jkt.Ut.Milik PT Jaya Murni Duta Kencana seluas 315,340 m2. 2 dengan bukti kepemilikan Girik C No. 1217 persil No. 1130 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1834K/Pdt/1998 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 635/Pdt/1996/PT.DKI. jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 276/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Ut. Milik Drs. Soemardjo dengan bukti sebagai penggarap tanah negara 3. bekas hak Eigendom Verponding No. 6525, 11201, 11202, 11203 dan 11204 sesuai dengan bagian IV peta No. 80/KH/1990 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 541PK/Pdt/2000. Penggarap ta-nah negara bekas hak barat berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1979 mendapatkan hak prioritas mengajukan hak atas tanah yang di-garapnya tersebut.Ketiga putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap

sehingga pengadilan tidak dapat mengeksekusi ketiga putusan yang saling kontradiktif tersebut. Analisis:Jelas bahwa satu pengadilan yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memberikan 3 keputusan atas satu tanah aquo dengan 3 pemilik dan 3 status tanah yang berbeda yaitu: PT Wiguna Utama Pertiwi dengan sta tus tanah pemegang hak Eigendom Verponding 11202 dan Eigendom Verponding 6525; PT JayaMurni Duta Kencana dengan status tanahGirikC.No.1217Persil1130Zone.KomplekdanKelasSI;DrsSoemardjosebagai penggarap Eigendom Verponding 6525, 11201 , 11202, 11203 dan11204,danTNI­ALsebagaiPemegangSertifikatHakPakaiNo.3tetapber laku dan 3 (tiga) putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Di sini jelas bahwa tidak ada data tanah di setiap pengadilan setempat yang menyangkut riwayat tanah, status tanah, perkara atas tanah tersebut dan lain-lain. Asas dalam hukum acara tentang siapa yang mendalilkan dialah yang membuktikan tidak dapat sepenuhnya digunakan dalam hukum acara pertanahan, karena adanya unsur hukum publik yang membuat persengketaan pertanahan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sengketa perdata murni.

Dua contoh obyek perkara (tanah) di Kebon Jeruk dan Kelapa Gading, yang tidak jelas kapan akan berakhir (perkara Kebon Jeruk) dan meng hasilkan putusan-putusan saling bertentangan mengenai pemilik tanah (Kelapa Gading), terjadi karena keabsahan bukti-bukti surat yang diajukan pada persidangan perdata tidak pernah diperiksa oleh Majelis Hakim sebab Majelis Hakim tidak punya kewajiban untuk memeriksa ke-

Page 179: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

340 s e n g k e ta ta n a h 341B a B 5 : s e n g k e ta ta k a D a U j U n g

absahan atau keaslian dokumen-dokumen yang diajukan tersebut, ka rena dalam hukum acara formal yang diperiksa Majelis Hakim ada lah fotokopi bukti yang diserahkan kepada Majelis Hakim dan telah disesuaikan dengan asli dokumen tersebut. Tapi palsu tidaknya dokumen tersebut palsu tidak pernah diperiksa Majelis Hakim.

Ini suatu kelemahan pada pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara hanya berdasarkan hukum acara perdata yang saat ini berlaku yaitu HIR/RBg. Asas hukum perdata menyatakan bahwa siapa yang men dalilkan dialah yang membuktikan dan pembuktiannya secara for-mal sehingga tidak membuktikan kebenaran dan keaslian surat-surat tanah tersebut. Padahal masalah tanah tersebut terkait hukum publik dan kepentingan publik. BPN pun bersifat pasif dalam hal melihat pem-buktian surat-surat tersebut palsu sewaktu diajukan di persidangan.

Melihat kedua obyek tanah tersebut di atas dengan berbagai putusan terkait, terlihat bahwa banyak putusan yang tidak konsisten dan tidak sepemahaman dalam konsep tentang hukum tanah. Buruknya administrasi, tiadanya data-data tentang tanah beserta putusan, tiadanya kesatuan status tanah yang terpadu dari instansi-instansi terkait, minimnya pengetahuan ha kim terhadap hukum tanah dan status tanah, serta tidak adanya data ten-tang adanya putusan-putusan sebelumnya terhadap tanah tersebut me nye-babkan putusan-putusan yang dibuat oleh pengadilan tidak mem berikan kepastian hukum dan tidak bermanfaat, dan malah me nim bulkan per masalahan baru yang makin sulit untuk diselesaikan se cara baik. Tanpa ber maksud untuk menggeneralisasi, putusan-putusan per adilan umum yang telah kami analisis terhadap beberapa kasus atas seng keta tanah hak eigendom di Jakarta menunjukkan adanya berbagai hal yang me merlukan perhatian demi peningkatan kualitas keputusan peng adilan pada masa mendatang.

Yang perlu ditingkatkan adalah pemahaman mengenai substansi permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang mendasarinya, juga pengetahuan hakim terhadap sejarah atau kronologi tanah yang menjadi sengketa, serta perlunya mengadakan persidangan di lokasi sengketa un-tuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya yakni status, luas, ba tas-batastanah,keadaantanah,siapasajayangpernahmenguasaifisiktanahtersebut, serta siapa penguasa fisik tanah terakhir atau saat ini. Dalampersidangan, seringkali saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak-pihak yang berperkara tidak mengetahui keadaan tanah sengketa tersebut, sekalipun saksi tersebut adalah pegawai pertanahan setempat atau Lurah, Kepala Desa, Camat di lokasi tanah sengketa tersebut.

Memang masalah tanah tidak dapat dilihat dari segi yuridisnya saja dalam rangka melakukan pemecahan sengketan. Tidak jarang ada beberapa pihak dan instansi yang terlibat langsung dan tidak langsung dengan sengketa yang berlangsung di Pengadilan. Dalam hal ini sangat diperlukan kesamaan pemahaman terhadap konsep agar terdapat kesa-ma an persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang menuntut keadilan serta merupakan kebenaran yang hakiki.

Sebagai praktisi yang sering berkecimpung di peradilan mencari keadilan dan kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah, penulis beberapa kali menghadapi adanya beberapa keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan beberapa pihak yang berbeda sebagai pemilik satu obyek tanah dengan status tanah berbeda pula. Tak mengherankan sewaktu akan melakukan eksekusi pu-tus an pengadilan, di lapangan timbul sengketa baru, di mana beberapa orang dinyatakan sebagai pemilik sah atas obyek tanah berdasarkan putus an Pengadilan tersebut.

Untuk mendapat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti, perlu waktu yang cukup lama yaitu minimal empat sampai 7 tujuh tahun, dan tidak jarang dapat mencapai belasan tahun. Demikian juga, adanya lembaga sita jaminan dan penetapan provisi “status quo” terhadap tanah sengketa menyebabkan tanah-tanah yang akan dibangun dan dikelola untuk kemajuan perekonomian masyarakat dan negara menjadi ter-lan tar dan terbengkalai. Hal ini terjadi karena adanya gugatan ter ha dap tanah-tanah yang akan dibangun tersebut yang diajukan oleh spe kul an tanah (mafia tanah)untukmengganggupembangunan tanahyangber­nilai ekonomis.

Spekulan ataumafia tanah tahu persis bahwa tanah yang digugatakan dibangun dengan adanya investor asing, sehingga pengusaha pem-bangunan tanah yang tidak berkeinginan pekerjaannya terganggu sering melakukan perdamaian dengan membayar ganti rugi tidak sedikit kepada mafiatanahyangmenjadipenggugat.Jikaperdamaiantidakdilaksanakan,dengan adanya sita jaminan dan penetapan provisi “status quo” tanah ti dak dapat dibangun, dan pengusaha harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan kemenangannya dan membangun tanah tersebut. Hal terse-but dapat menimbulkan kerugian besar, apalagi dana tersebut mungkin merupakan pinjaman bank ataupun kerjasama dengan investor asing.

Tanpa mengurangi pemberian perlindungan bagi pemegang hak se-jati terhadap pemilik atau pemegang hak atas tanah bekas hak eigendom,

Page 180: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

342 s e n g k e ta ta n a h

kita akanmencari pemecahan danmenutup gerak langkah paramafiatanah atau spekulan tanah yang menggunakan kelemahan stelsel negatif serta mengajukan gugatan ini di Pengadilan di mana Majelis Hakim tidak da pat menolak perkara untuk diperiksa, diadili dan diputuskan tersebut sesuai Pasal 14 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004.

Kepentingan perorangan/individu dengan individu tetap akan me-libatkan instansi yang terkait karena hukum pertanahan menyangkut juga hukum publik. Kemudian kepentingan perorangan dengan masyara-kat, kepentingan perorangan dengan instansi, kepentingan masyarakat dengan instansi, kepentingan masyarakat dengan investor yang berkaitan de ngan kepentingan negara, adalah suatu permasalahan yang sangat kom pleks dalam penegakan hukum dan keadilan demi pemberian putusan yang berkualitas.

Kadang-kadang putusan yang benar tanpa ada rasa keadilan menim-bul kan gejolak dan tindakan anarkis dan masyarakat. Bisa juga, karena ti dak ingin menimbulkan gejolak, putusan menjadi banci dan tidak be nar menurut hukum. Hakim dalam hal ini tidak dapat secara formal hanya melihat pembuktian-pembuktian surat-surat otentik saja, me-lain kan harus mengetahui status tanah tersebut (tanah adat, tanah negara atau tanah bekas hak barat dan lain­lain, sejarah/riwayat tanah, filosofiatas keberadaan tanah tersebut bukti-bukti yang berkaitan dengan tanah tersebut sesuai dengan asal-usul tanah tersebut, pemetaan tanah ter sebut dan asalnya tanah dan peta pembaharuan atas tanah tersebut dan lain-lain) se-hingga dapat memberikan keputusan yang benar, adil dan berkualitas. Di samping itu kesamaan pemahaman terhadap konsep diperlukan agar ter-dapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang meminta keadilan.

Ketidaksamaan persepsi mengenai konsepsi yang menjadi pokok permasalahan atau sengketa antar berbagai instansi me nimbulkan kepu-tusan yang tidak konsisten. Inkonsistensi ke putusan-keputusan instansi menga kibatkan keputusan-keputusan pengadilan yang bukan hanya tidak kon sisten, melainkan juga bertentangan dengan kepastian hukum, tidak mem berikan rasa keadilan dan manfaat bagi pihak-pihak yang ber-perkara, sehing ga putusan tidak dapat dilaksanakan. Bahkan tidak jarang putusan-putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam masalah yang sama saling bertentangan sehingga menimbul-kan masalah baru.

Bentuklah Pengadilan Khusus Pertanahan selekasnyaSENGKETA tanah yang tak berkesudahan dengan pe nyelesaian yang kerap tak jelas dan menimbulkan ke tidakpastian hukum per-lu kita akhiri. Seperti negara-negara maju, sudah waktu nya Indo-nesia mengurusi persoalan yang biasanya me nguras waktu, te naga, dan uang ini dengan lebih serius. Tujuannya supaya pada masa men datang pengeluaran yang besar tapi mubazir ini bisa kita alo-kasikan untuk lapangan lain yang tak kurang mendesaknya untuk diurusi. Lapangan pendidikan dan kesehatan misalnya, yang bela-kangan ini kian sulit saja dimasuki oleh rakyat kita yang sebagian besar masih belum sejahtera. Kalau saja uang berperkara (seng-keta tanah) yang selama ini mubazir dipakai untuk mem bangun sekolah, poliklinik, atau rumah sakit untuk rakyat miskin nis caya fasilitas semacam itu sudah banyak. Selain itu, ketidakpastian hu-kum akibat sengketa tanah juga perlu dihilangkan supaya para in-vestor asing tertarik menambah investasi di Indonesia, agar dapat dibangun sektor riil yang membuka lapangan kerja dan mening-katkan perekonomian rakyat dan negara Indonesia.

Bab 6

Pengadilan Khusus Pertanahan sebagai Jalan Keluar

Page 181: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

344 s e n g k e ta ta n a h 345B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

Untuk mengakhiri persoalan lama yang sungguh runyam ini salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah selekasnya membentuk sebuah lem baga peradilan yang khusus menangani masalah pertanahan. Entah apa pun namanya nanti, demi kemudahan pembahasan, dalam tulisan ini ki ta sebut saja pengadilan khusus pertanahan.

Katakanlah kita akan mendirikan pengadilan khusus pertanahan ini. Lalu, bagaimana dasar hukumnya dan di mana kedudukannya dalam sis-tem hukum kita? Hal ini akan kita telaah dalam paparan berikut.

Pengadilan Khusus Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya ber kaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ini artinya dimungkinkan kehadiran badan peradilan yang sifatnya khu-sus. Pengadilan khusus pertanahan, misalnya.

Bagaimanapun, pembentukan badan peradilan khusus ini harus de-nganmempertimbangkanasasmanfaat,efisiensi,danproduktivitas,dankepaduan sistem (integrated judicial system). Pertimbangan ini perlu agar “sengketa yurisdiksi” nanti tak semakin tajam dengan ke mun cul-an lembaga ini. Sebab, bagaimanapun, pengadilan ini niscaya akan ber-singgungan dengan badan atau lembaga yang berkaitan dengan ke ku a-saan kehakiman, seperti kejaksaan, advokat, dan kepolisian.514

Selain itu, pembentukan badan peradilan khusus nantinya harus sesuai pula dengan Pasal 15 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004. Pasal ini ber-bunyi: “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu ling-kungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 yang di atur dengan UU.” Artinya pengadilan khusus merupakan bagian atau raad-kamar suatu lingkungan peradilan. Sejauh ini, yang ada adalah ling-kungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan per-adilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Raadkamar yang sudah ada di lingkungan peradilan umum adalah peradilan anak, per-adilan korupsi, dan peradilan HAM.515

Pengertian pengadilan “khusus” versi Pasal 15 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 ini berbeda dengan versi UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Keten-tuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Arti “khusus” dalam UU No. 14 Tahun 1970 merujuk pada lingkungan peradilannya. Sedangkan

514 Dr. Ahmad Mujahidin, SH, MH., Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Juli, 2007, hlm. 61-62.

515 Ibid., hlm. 34.

dalam Pasal 15 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 merujuk pada kamar (raad-kamar).

Kalau menurut UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus pertanah-an harus masuk ke dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mah-kamah Agung RI. Jadi, pilihannya adalah lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan khusus tata usaha negara. Yang mana yang lebih tepat? Untuk menentukan hal ini mari kita perhatikan hakikat seng -keta pertanahan.

Sesuai Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 2 dan 3 UUPA, tanah, da-pat kita katakan, masuk dalam ranah hukum publik meskipun di sisi lain memiliki karakteristik privat.

Sengketa pertanahan sendiri muncul karena pelbagai hal, di antara-nya surat keputusan pejabat Tata Usaha Negara terkait dengan tanah di -a ng gap bermasalah, klaim kepemilikan tanah, ganti rugi tanah yang tak me muaskan, pembebasan tanah yang ditolak pihak tertentu, atau pe mal-suan surat-surat tanah.

Ragamnya persoalan dan luasnya cakupan masalah membuat per-kara tanah tidak tepat kalau dimasukkan ke PTUN. Sebab sesuai UU No. 5 Tahun 1986, yang ditangani PTUN sebatas surat keputusan pejabat tata usaha negara saja. Jadi ke lingkungan peradilan umumlah sengketa tanah lebih pas dimasukkan. Di peradilan umum tak dibatasi siapa yang digu-gat—perorangan, badan hukum, atau pejabat pemerintah yang menge-luarkan surat keputusan. Objek sengketanya di mana juga tak masalah.

Sebagai bagian dari peradilan umum maka, sesuai UUD 1945 dan UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus pertanahan nanti berada di bawah otoritas Mahkamah Agung. Mari kita lihat bagaimana kedudukan per adilan umum ini.

AmandemenUUD Negara RI Tahun 1945, dalam penjelasannya, menegaskan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechstaat), tidak ber-dasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Pemerintahan berdasarkan sis-tem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai negara hukum, salah satu prinsip yang harus dijalankan Indonesia adalah penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tujuannya, agar penyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan bisa berjalan.

UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan (amandemen) pada periode 1999–2002. Susunan lembaga-lembaga negara dalam sistem

Page 182: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

346 s e n g k e ta ta n a h 347B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

ketatanegaraanRIpunberubahsecaracukupsignifikansetelahitu.Salahsatu yang berubah adalah kedudukan lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Ke-ha kiman mengatur hal ini.

Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi: “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.”

Pasal 2 UU ini menyatakan: “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud da lam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan per adilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Pasal 2 ini menegaskan bahwa Mahkamah Agung membawahi per-adilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan mili ter, ling kungan peradilan tata usaha negara. Di samping Mahkamah Agung ada juga Mahkamah Konstitusi. Tugas dan kewenangannya tak sama.

Sebelum UU Nomor 4 Tahun 2004 keluar yang berlaku adalah UU No 4 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Keha-kim an. Mari kita bandingkan isi UU ini dengan penggantinya, UU Nomor 4 Tahun 2004. Pasal 1 kedua UU ini sama isinya.

UU No 4 Tahun 1970 berbunyi: Pasal 2(1) Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Pasal 10

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam ling-1. kungan:

Peradilan Umum•Peradilan Agama•Peradilan Militer•Peradilan Tata Usaha Negara.•

2. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi.

3. Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.

4. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas per-buatan pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang dite tap-kan dengan undang-undang.

Dari perbandingan pasal kedua UU ini terlihat bahwa kedudukan Mahkamah Agung secara eksplisit lebih kuat dibanding sebelumnya. Dalam UU terbaru secara tegas dinyatakan Mahkamah Agung membawahi per adilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan mi-li ter, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan kea-dilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Repu -blik Indonesia.” Demikian bunyi Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 2004. Hakim termasuk yang harus merdeka. Ketika memutus perkara se ha rus nya me-reka tidak di bawah tekanan atau pengaruh apa pun. Per so al annya adalah apakah hakim siap memerdekakan dirinya saat men jalankan tugas?

Kedudukan Hukum Pengadilan Khusus Pertanahan dalam Sistem Peradilan IndonesiaBerdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam penjelasannya ditegas kan bahwa Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pemerintahan ber-dasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolut-isme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pe-nga ruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman menurut UUD Negara RI tahun 1945 yang telah diamandemen merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Berdasarkan amandemen UUD 1945 tersebut, ada perubahan penting terhadap penyelenggaraan ke kuasaan kehakiman sehingga UU No. 14 Tahun 1976 tentang Keten tuan -ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1949 dilakukan

Page 183: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

348 s e n g k e ta ta n a h 349B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

penyesuaian dengan UUD 1945 yaitu dibuatnya UU RI No. 4 Tahun 2004 tentang Ke ku a saan kehakiman.

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari ke -em pat peradilan yaitu badan peradilan umum, peradilan agama, pera-dilan militer dan peradilan tata usaha negara. Sesuai Pasal 33 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Sewaktu masih menjadi Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan me nyatakan bahwa dengan mengatasnamakan kebebasan, hakim dapat me nyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut, menurut dia, ha-rus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankan prinsip ke-bebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman. Pembatasan-pem batasan tersebut dengan ketentuan berikut516:

Hakim memutus menurut hukum. Setiap putusan 1. hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang ditetapkan dalam suatu perkara konkret. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum, bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada aturan hukum tertentu.Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Untuk 2. mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, maka tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi atau menemukan hu-3. kum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hu-kum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural justice).Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak 4. hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kebebasannya. Di Amerika Serikat, mekanisme ini ditempuh melalui impeachment yaitu suatu peradilan oleh Kongres (trial by Congress). Proses

516 Ibid.

yang harus dengan lembaga impeachment ini menyiratkan bahwa mengambil tindakan terhadap hakim di sana tidaklah mudah.

Di satu pihak pemerintah kita berkeinginan untuk melindungi ke-kuasan kehakiman, tetapi di lain pihak pemerintah juga berhasrat men-cegah hakim melakukan perbuatan tercela. Perlu ditegaskan bahwa menindak hakim dengan cara meng-impeach misalnya, tidaklah ber-dampak pada fungsi yudisial kelembagaannya. Sebab tidak ada suatu ke-kuasaan pun yang dapat menindak hakim karena putusannya dianggap kurang adil. Tindakan terhadap hakim hanya sehubungan dengan ting-kah laku pribadi yang merugikan negara atau menurunkan martabat ke-kuasaan kehakiman517.

Kekuasaan kehakiman berdimensi yudisial. Jadi kebebasan kekua -san kehakiman bisa dibagi menjadi dua yakni bersifat institutif dan yang individual. Kemerdekaan institutif artinya, lembaga tersebut bebas dari campur tangan institusi lain. Sedangkan kemerdekaan individual mak-sudnya anggota lembaga itu mandiri dalam memutuskan dan mengambil langkah. Dalam hal ini hakim mandiri sewaktu memeriksa, mem pertim-bangkan dan memutus perkara yang diajukan kepadanya518.

Di masa mendatang gangguan atau usaha menggerogoti kekuatan yudisial hakim pasti masih akan berlanjut. Tanda-tandanya terlihat dalam perumusan berbagai undang-undang. Sekarang terserah para pemimpin dan rakyat Indonesia sendiri apakah kekuatan yudisial hakim masih perlu dipertahankan atau tidak. Yang pasti kemandirian yudisial yang bersifat institutif amat berguna baik bagi kelangsungan negara. Juga bagi individu yang ingin hak asasinya dilindungi519. Bagaimanapun setiap orang, ter-masuk para pemimpin, bila terpaksa berhadapan dengan kekuasaan ke hakiman atau dihadapkan ke sidang pengadilan akan memerlukan per lindungan supaya hak asasinya tak dilanggar. Kemandirian yudisial hakim secara institutif akan berguna untuk itu.

Dengan pelaksanaan peradilan yang tidak pandang bulu ini maka setiap orang akan merasa sama hak dan kewajibannya di depan penga-dilan. Keputusan hakim yang adil hanya dapat dicapai dengan terjaganya kemandirian yudisial institutif ini.520

517 Ibid.518 Ibid.519 Ibid., hlm. 26.520 Ibid., hlm. 27.

Page 184: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

350 s e n g k e ta ta n a h 351B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

mari Belajar dari Pengalaman new south Wales dan afrika selatanKalau hendak mendirikan pengadilan khusus pertanahan, Indonesia per-lu belajar ke negara lain yang telah berpengalaman menjalankan lem baga semacam ini. Menurut penulis, antara lain belajar ke Australia dan Afrika Selatan. Di Australia ada Pengadilan Tanah dan Lingkungan. Per sisnya di negara bagian New South Wales. Sedangkan di Afrika Selatan ada Pengadilan Gugatan Tanah. Hakikat kedua lembaga ini berbeda namun unsur kesamaannya ada yakni mengurusi tanah kendati dengan inten-sitas berbeda. Mari kita lihat seperti apa keduanya.

Tujuan utama pembentukan Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales adalah menyediakan fasilitas untuk penyelesaian seng keta tanah di pengadilan. Pembentukannya berdasarkan Land and Environ ment Court Act 1979 No. 204, prinsip pengadilan ini dalam me-nangani perkara adalah adil, cepat, dan murah.

Sementara itu, Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan di dirikan untuk menyelesaikan persoalan tanah yang merupakan ekses dari pem-berlakuan kebijakan apartheid yang telah sangat lama. Diskriminasi oleh kulit kaum putih pendatang telah berlangsung ratusan tahun di Afrika Selatan. Tahun 1948, Partai Nasional de Boer menang dalam pemilu. Men jadi penguasa, mereka pun memasukkan kebijakan apartheid ke da-lam UU negeri tersebut. Segregasi secara resmi dilakukan. Pribumi ku lit hi tam tak boleh masuk ke wilayah orang putih, itu intinya.

Tahun 1961, setelah pemilu yang hanya melibatkan kulit putih, Afrika Selatan dideklarasikan sebagai republik. Kebijakan apartheid ak-bar (grand apartheid) lantas terjadi. Segregasi berlaku untuk semua tem-pat. Perlawanan keras muncul dari kelompok kulit hitam terutama Kong-res Nasional Afrika (ANC) yang dimotori Nelson Mandela.

Suhu politik di negara itu mulai membaik setelah Nelson Mandela yang mendekam di penjara sejak tahun 1962 dibebaskan oleh Presiden Frederik Willem de Klerk pada 11 Februari 1990. Undang-Undang Apart-heid pun dihapus secara perlahan.

Tahun 1994 berlangsung pemilu bebas dan Mandela terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di negeri tersebut. Dunia menyambut hangat.

Penyelesaian sengketa pertanahan yang timbul sebagai akibat politik apartheid kemudian menjadi agenda pemerintah. Pengadilan Gugatan Tanah dibentuk. Tugasnya mengembalikan hak atas tanah atau tanah-tanah yang hilang akibat diskriminasi dan rasialisme sejak 19 Juni 1913.

Pengadilan ini, seperti halnya Pengadilan Tanah dan Lingkungan New South Wales, berkedudukan sebagai superior court (pengadilan tinggi). Tapi ada lagi bedanya. Pengadilan Tanah dan Lingkungan New South Wales kalau banding ke Court of Appeal dan Court of Criminal Appeal sedangkan Pengadilan Gugatan Tanah ke Mahkamah Agung dan, untuk kasus tertentu, ke Mahkamah Konstitusional.

Gubernur negara bagian berwenang menetapkan satu hakim ketua dan beberapa hakim lainnya untuk Pengadilan Tanah dan Lingkungan New South Wales. Dia juga dapat menetapkan orang yang memiliki kua-litas menjadi komisioner pengadilan. Sedangkan penunjukan panitera, asis ten panitera, dan staf lain harus sesuai UU Jasa Publik Tahun 1979.

Sedangkan Pengadilan Gugatan Tanah, presidennya ditunjuk oleh pengadilan Republik Afrika Selatan yang bertindak di bawah pengawasan komisi pelayanan yudisial. Hakim lainnya bisa ditunjuk Presiden Republik Afrika Selatan—ia berkonsultasi dengan presiden pengadilan dan Komisi Pelayanan Yudisial. Hakim yang menunjuk juru taksir. Di pengadilan ini ada juga panitera, wasit yang berfungsi sebagai penyelidik perkara, serta komisioner yang bertugas memanggil orang hadir setelah hakim me ne-rima hasil interogasi (oleh wasit) untuk dijadikan barang bukti.

Di Pengadilan Gugatan Tanah Afrika Selatan ada acara konfe rensi per sidangan yang bertujuan menelaah duduk masalah dan meng i den-tifikasibuktiyangdiperlukanagarprosesperadilanlebihcepat.

Baik di Pengadilan Tanah dan Lingkungan New South Wales maupun di Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan hanya sekali upaya hukum banding. Tujuannya agar proses penyelesaian sengketa lebih singkat.

Pengadilan Tanah dan Lingkungan New South Wales berkonsep one stop shop. Maksudnya, seluruh sengketa pertanahan, air, bangunan, ganti rugi, pencemaran lingkungan, dan hal lain yang terkait dengan tanah di-tangani di sini saja. Sementara lingkup Pengadilan Gugatan Tanah Afrika Selatan terbatas pada pemulihan hak-hak atas tanah dan tanah milik per-orangan atau kelompok yang hilang selama masa apartheid saja. Berikut ini paparan yang lebih komprehensif tentang kedua pengadilan ter sebut.

Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South WalesNegara bagian Australia, New South Wales, memiliki the Land and Environment Court of NSW (Pengadilan Tanah dan Lingkungan). Di-ben tuk tahun 1980, pengadilan ini setingkat dengan Superior Court (Pengadilan Tinggi) dan menggantikan fungsi pengadilan lain seperti the Local Government Appeals Tribunal (Pengadilan Pertimbangan Peme-

Page 185: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

352 s e n g k e ta ta n a h 353B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

rin tah Daerah), the Land and Valuation Court (Pengadilan Tanah dan Penilaian), the Clean Waters Appeal Board and the Valuation Boards of Review (Badan Pertimbangan Air Bersih dan Badan Pertimbangan Peni-laian). Pengadilan distrik yang melaksanakan yurisdiksi tertentu juga di-pin dahkan ke pengadilan yang baru ini.

Tujuan utama Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales adalah menyelesaikan perkara secara adil, cepat, dan murah521. Untuk itu dibentuk badan dan dibuat prosedur yang praktis522.

Diberi kewenangan menjalankan prosedur pengadilan atau menaf-sirkan setiap bagian undang-undang, lembaga ini harus meman faat kan pengaruhnya secara maksimal guna mencapai tujuan utama tadi. Diper-lu kan manajemen khusus agar523:

Proses pengadilan yang adil berlangsung.1. Kegiatanpengadilanefisien.2. Pemanfaatan sumber daya administratif dan hukum optimal.3. Pengadilan yang tepat waktu dengan biaya yang terjangkau bagi 4. semua pihak524.

Dasar pembentukan Pengadilan Tanah dan Lingkungan ini adalah Land and Environment Court Act 1979 No. 204 (UU Pengadilan Tanah dan Lingkungan No. 204 Tahun 1979). Dalam poin 6 UU tersebut di-nya takan bahwa yang membentuk pengadilan adalah hakim tunggal. Undang-Undang Pengadilan Tanah dan Lingkungan No. 204 Tahun 1979 ini menyatakan semua masalah harus disidangkan di depan seorang ha-kim yang membentuk pengadilan.

Komposisi hakim pengadilan ini adalah satu hakim ketua yang di te-tapkanolehgubernurdanbeberapahakimlaindengankualifikasistandar.Gubernurbisamenunjuksetiaporangyangmempunyaikualifikasiuntukmenjadi hakim sebagaimana diatur dalam poin 8. Selain meng angkat hakim,gubernur jugabisamenetapkanorangyangmemilikikualifikasimenjadi komisioner pengadilan.

Penunjukan pegawai pengadilan lainnya seperti panitera dan asisten panitera merujuk pada Undang-Undang Jasa Publik Tahun 1979.

521 Preston Brian J, Practice and Procedure in the Land and Environment Court of New South Wales. Organised by Lexis Nexis, Sydney, 2007, hlm. 1.

522 S 56 of the Civil Procedure Act 2005 and Pt 1 r 5A of the Land and Environment Court Rules 1996.

523 S 57 (1) AND (2) OF THE Civil Procedure Act 2005 and Pt 1 r 5B (1) of the Land and Environment Court Rules 1996.

524 S 57 of the Civil Procedure Act 2005.

Yurisdiksi pengadilan ini dibagi menjadi tujuh kelas yaitu:

Kelas 1, Perlindungan perencanaan dan banding ling kunganDi kelas ini yang disidangkan adalah perkara permohonan keberatan terhadap perencanaan, termasuk penolakan izin, pembangunan. Penga-dilan ini mempunyai yurisdiksi menyi dang kan dan menyelesaikan per-kara terkait sebagaimana ditetapkan dalam poin 17 yaitu terkait dengan: Undang-Undang Operasi Perlindungan Lingkungan tahun 1997, Undang-Undang Pestisida tahun 1999, Undang-Undang Manajemen Air tahun 2000, Undang-Undang Kontrol Biologi tahun 1985, Undang-Undang Peni laian Perencanaan Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Warisan tahun 1977 berkaitan dengan permohonan berdasarkan Undang-Undang Peren canaan dan Penilaian Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Kon servasi Spesies Terancam tahun 1995, Undang-Undang Bahan Kimia yang Berbahaya bagi Lingkungan tahun 1985, Undang-Undang Tumbuhan Asal tahun 2003, Undang-Undang Manajemen Tanah Terkontaminasi tahun 1997, dan Undang-Undang Penghutanan Kembali dan Perkebunan tahun 1999.

Kelas 2, Pemerintah daerah, banding dan izin membangunDi kelas ini disidangkan perkara permohonan keberatan, banding dan aplikasi di tingkat pemerintah daerah, termasuk keberatan atas izin mem-bangun.

Pengadilan ini mempunyai yurisdiksi untuk menyidangkan dan me nyelesaikan perkara sebagaimana diatur dalam poin 18, yaitu terkait dengan: Undang-Undang Pemerintahan Lokal tahun 1993, Undang-Undang Jalan tahun 1993, Undang-Undang Manajemen Air tahun 2000, Undang- Undang Manajemen Air tahun 1955, Undang-Undang Peme-rintahan Lokal (Peraturan Flat) tahun 1955, Undang-Undang Skema Strata (Pembangunan Freehold) tahun 1973, Undang-Undang Skema Strata (Pembangunan Leasehold) tahun 1986, Undang-Undang Otoritas Danau Illawarra tahun 1987, Undang-Undang Kolam Renang tahun 1992, Undang-Undang Rumput Berbahaya tahun 1993, Undang-Undang Warisan tahun 1977, Undang-Undang Warisan tahun 1977, Undang-Undang Skema Strata (Pembangunan Freehold) tahun 1973, Undang-Undang Skema Strata (Pembangunan Leasehold) tahun 1986, Undang-Undang Manajemen Tanah Komunitas tahun 1989, Undang-Undang Pohon (Sengketa Antartetangga) tahun 2006.

Page 186: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

354 s e n g k e ta ta n a h 355B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

Kelas 3, Hak atas tanah dan kompensasiPengadilan ini menyelenggarakan sidang terkait dengan hak atas tanah dan kompensasi, termasuk permohonan keberatan kompensasi, penentuan batas-batas properti, pelanggaran batas, dan klaim tanah Aborigin.

Pengadilan ini mempunyai yurisdiksi untuk menyidangkan dan me-nyelesaikan perkara yang berhubungan dengan banding dan aplikasi se-bagaimana diatur pada poin 19 yaitu terkait dengan: Undang-Undang Tanah Negara tahun 1989, Undang-Undang Tanah Barat tahun 1901, Undang-Undang Jalan tahun 1993, Undang-Undang Penaksiran Tanah tahun 1916, Undang-Undang Rookwood Neoropolis tahun 1901, Undang-Undang Real Property tahun 1900, Undang-Undang Gangguan Bangunan tahun 1922, Undang-Undang Pemerintahan Lokal tahun 1993, Undang-Undang Akses ke Tanah Bertetangga tahun 2000, Undang-Undang Pulau Lord Howe tahun 1953, Undang-Undang Pusat Pertumbuhan (Akuisisi Tanah) tahun 1974, Undang-Undang Kompensasi Pertambangan tahun 1961, Undang-Undang Perencanaan dan Penilaian Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Manajemen Perikanan tahun 1994, Undang-Un-dang Hak Tanah Aborigin tahun 1983, Undang-Undang Hak Tanah Abo-rigin tahun 1983, Undang-Undang Manajemen Air tahun 2000.

Kelas 4, Perencanaan lingkungan dan perlindunganPengadilan ini menyelenggarakan sidang yang berkaitan dengan pe ren-canaan lingkungan dan perlindungan oleh sipil meliputi pengajuan tun-tutan terhadap pelanggaran UU perencanaan (misalnya membangun tan-pa izin) atau pelanggaran syarat izin pembangunan. Proses persidangan pada intinya mempertanyakan keabsahan hukum izin yang dikeluarkan oto ritas perizinan.

Pengadilan kelas ini mempunyai yurisdiksi untuk menyidan g kan dan menyelesaikan perkara seperti diatur dalam poin 20 yaitu ter kait dengan: Undang-Undang Warisan tahun 1977, Undang-Undang Mana-jemen Pemancingan tahun 1994, Undang-Undang Perencanaan dan Penilaian Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Penambangan Ura-nium dan Fasilitas Nuklir tahun 1986, Undang-Undang Perlindungan Ozone tahun 1989, Undang-Undang Perencanaan dan Penilaian Ling-kungan tahun 1979, Undang-Undang Bahan Kimia yang Berbahaya bagi Lingkungan tahun 1985, Undang-Undang Manajemen Tanah Terkontaminasi tahun 1997, Undang-Undang Pestisida tahun 1999, Undang- Undang Pestisida tahun 1999, Undang-Undang Kehutanan dan Taman Nasional tahun 1998, Undang-Undang Pipa tahun 1967,

Undang-Undang Taman Nasional dan Alam liar tahun 1974, Undang-Undang Taman Nasional dan Alam liar tahun 1974, Undang-Undang Taman Nasional dan Alam liar tahun 1974, Undang-Undang Konservasi Spe sies Terancam tahun 1995, Undang-Undang Alam Liar tahun 1987, Undang-Undang Perlindungan Operasi Lingkungan tahun 1997, Undang-Undang Perlindungan Operasi Lingkungan tahun 1997, Undang-Undang Keba karan Pedesaan tahun 1997, Undang-Undang Konservasi Spesies Terancam tahun 1995, Undang-Undang Perlindungan Tanah Pedesaan tahun 1998, Undang-Undang Pemerintahan Lokal tahun 1993, Undang-Undang Tempat Terlarang tahun 1943, Undang-Undang Kompensasi Kece lakaan Tambang tahun 1961, Undang-Undang Kolam Renang tahun 1992, Undang-Undang Hak Tanah Aborigin tahun 1983, Undang-Undang Tanaman Asli tahun 2003, Undang-Undang Manajemen Air tahun 2000, Undang-Undang Perserikatan Konservasi Alam tahun 2001, Undang-Undang Perkebunan dan Penghutanan Kembali tahun 1999, Undang-Undang Pengadilan Tinggi tahun 1970, Undang-Undang Tanah Aborigin tahun 1983, Undang-Undang Kontrol Biologi tahun 1985, Undang-Undang Perlindungan Pantai tahun 1979, Undang-Undang Manajemen Tanah Terkontaminasi tahun 1997, Undang-Undang Perencanaan dan Peni laian Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Bahan Kimia yang Ber bahaya bagi Lingkungan tahun 1985, Undang-Undang Kehutanan dan Taman Nasional tahun 1998, Undang-Undang Warisan tahun 1977, Undang-Undang Pemerintahan Lokal tahun 1993, Undang-Undang Lain-Lain (Perencanaan) tahun 1979, Undang-Undang Taman Nasional dan Alam Liar tahun 1974, Undang-Undang Tanaman Asli tahun 2003, Undang-Undang Otoritas Koordinasi Olimpiade tahun 1995, Undang-Undang Perlindungan Ozon tahun 1989, Undang-Undang Pestisida tahun 1999, Undang-Undang Perkebunan dan Penghutanan Kembali tahun 1999, Undang-Undang Perlindungan Administrasi Lingkungan tahun 1991, Undang-Undang Perlindungan Operasi Lingkungan tahun 1997, Un dang-Undang Kebakaran Pedesaan tahun 1997, Undang-Undang Kon servasi Spesies Terancam tahun 1995, Undang-Undang Pohon (Seng keta antartetangga) tahun 2006, Undang-Undang Penambangan Ura nium dan Fasilitas Nuklir (larangan-larangan) tahun 1986, Undang-Undang Penghindaran Limbah dan Pemulihan Sumber Daya tahun 2001, Undang-Undang Korporasi Daur Ulang dan Pemrosesan Limbah tahun 2001, Undang-Undang Perencanaan dan Penilaian Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Pengadilan Tinggi tahun 1970, Undang-Undang Prosedur Perdata tahun 2005, Undang-Undang Manajemen Tanah

Page 187: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

356 s e n g k e ta ta n a h 357B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

Komu nitas tahun 1989, Undang-Undang Skema Strata (Pembangunan Hak Milik) tahun 1973 dan Undang-Undang Skema Strata (Pembangunan Hak Sewa) tahun 1986.

Kelas 5, Perencanaan lingkungan dan perlindungan–pene gak an pidanaPengadilan di kelas ini dalam yurisdiksi pengadilan pidana perlindungan dan perencanaan lingkungan yang meliputi tuntutan terhadap kejahatan lingkungan. Misalnya tuntutan perlindungan lingkungan karena polusi.

Pengadilan di kelas ini mempunyai yurisdiksi untuk menyidangkan dan menyelesaikan perkara pelanggaran terhadap berbagai perencanaan atau hukum lingkungan sebagaimana diatur dalam poin 21 yaitu terkait dengan: Undang-Undang Operasi Perlindungan Lingkungan tahun 1997, Undang-Undang Perlindungan Ozon tahun 1989, Undang-Undang Pes-tisida tahun 1999, Undang-Undang Pembuangan Limbah tahun 1970, Undang-Undang Transportasi Jalan dan Rel (Barang-barang Berbahaya) tahun 1997, Undang-Undang Warisan tahun 1977, Undang-Undang Perencanaan dan Penilaian Lingkungan tahun 1979, Undang-Undang Manajemen Tanah Terkontaminasi tahun 1997, Undang-Undang Penam-bang an Uranium dan Fasilitas Nuklir (Larangan-Larangan) tahun 1986, Undang-Undang Pemerintahan Lokal tahun 1993, Undang-Undang Mana jemen Air tahun 2000, Undang-Undang Manajemen Perikanan tahun 1994, Undang-Undang Air Sydney tahun 1994, Undang-Undang Taman Nasional dan Alam liar tahun 1974, dan Undang-Undang Kereta Sangat Cepat (Penyelidikan Rute) tahun 1989, Undang-Undang Konser-vasi Spesies Terancam tahun 1995, Undang-Undang Pohon (Sengketa Antartetangga) tahun 2006.

Kelas 6, Banding terkait tindak pidana lingkunganPengadilan kelas ini berupa banding terkait dengan kejahatan lingkungan yang sudah diproses di pengadilan lokal sebagaimana diatur pada poin 21A.

Pengadilan mempunyai yurisdiksi untuk menyidangkan dan me nye-le saikan banding berdasarkan seksi 31 atau 42 Undang-Undang Kejahat-an (Banding dan Pengujian Pengadilan Lokal) tahun 2001.

Kelas 7, Permohonan izin banding terkait tindak pidana lingkunganPengadilan kelas ini adalah banding yang berhubungan dengan tuntutan terkait perkara lingkungan yang sebelumnya telah disidangkan oleh Mah-kamah Agung, seperti diatur dalam poin 21B.

Pengadilan kelas ini mempunyai yurisdiksi untuk menyi dangkan dan me nyelesaikan banding berdasarkan seksi 32 atau 43 Undang-Undang Kejahatan (Banding dan Pengujian Pengadilan Lokal) tahun 2001.

Pengadilan tanah dan lingkungan mempunyai kekuasaan penuh ter-masuk wewenang memerintahkan putusan sela, menetapkan nilai kom-pen sasi, dan hal-hal lain yang relevan seperti penentuan kepemilikan ta-nah, kepentingan, dan jumlahnya.

Urusan pelaksanaan pengadilan menjadi tanggung jawab hakim ke-tua. Dia berkonsultasi dengan hakim-hakim lain.

Para komisioner yang akan melaksanakan yurisdiksi pengadilan akan disesuaikan dengan kelas-kelas yurisdiksi peng adilan. Pengadilan ke las 1, 2 dan 3 dilaksanakan oleh seorang hakim atau satu atau lebih ko-misioner525 sedangkan pengadilan kelas 4, 5, 6, dan 7 dilaksanakan oleh se orang hakim.

Dalam poin 34 UU ini juga diatur adanya pertemuan pendahuluan, yaitu jika proses perkara ditunda maka menurut yurisdiksi Pengadilan Kelas 1 atau 2, panitera harus mengatur pertemuan antar pihak yang ter-libat dalam perkara, atau wakil mereka. Pertemuan dipimpin oleh ko mi-sioner tunggal, kecuali ditentukan lain oleh hakim ketua. Sedangkan me-nurut ketentuan yurisdiksi pengadilan kelas 3, pertemuan dapat di ajukan setiap saat oleh para pihak yang bersengketa atau atas inisiatif pa ni tera. Pani tera dapat mengatur pertemuan antara para pihak yang ter libat da-lam perkara atau wakil mereka. Pertemuan akan dipimpin oleh ko mi si o-ner tunggal. Panitera wajib memberi tahu kapan waktu dan di mana tem-pat pertemuan tersebut.

Prosedur sidang di tempat Sidang di tempat atau lokasi perkara dapat saja dilakukan, seperti diatur dalam seksi 34. Penanganan sidang di tempat berlaku untuk perkara yang disebut dalam seksi 34B dan 34C. Pertemuan akan dipimpin oleh seorang komisioner tunggal. Pertemuan dilangsungkan di tempat pembangunan yang menjadi sengketa, kecuali jika komisioner berpendapat bahwa hal itu tidak adil bagi pihak lain. Atau jika fasilitas di lokasi tidak memadai sebagai tempat sidang.

Adapun soal pengaturan sidang di pengadilan itu ada di poin 34C yang menyatakan sebuah perkara akan disidangkan di pengadilan atas petunjuk hakim ketua, atau jika hakim ketua berpendapat bahwa sidang perkara

525 Land and Environment Court Act 1979 No. 204, http://www.legislation.nsw.gov.au/fragvies/inforce/act+204+1979+fn+0+N.

Page 188: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

358 s e n g k e ta ta n a h 359B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

akan berlangsung lama, atau jika perkaranya melibatkan lokasi publik. Atau jika hakim ketua berpendapat bahwa perkara ini layak disidangkan melalui sebuah panel yang melibatkan dua atau lebih komisioner, atau melibatkan seorang hakim dan dua atau lebih komisioner.

Sebelum penutupan sidang di pengadilan, harus ada inspeksi lokasi pembangunan oleh pengadilan atau orang yang melaksanakan fungsi pe nga dilan. Kecuali jika semua pihak setuju untuk meneruskan sidang tanpa inspeksi.

Kekuasaan pengadilan terhadap banding diatur dalam poin 39. Dalam hal ini banding berarti suatu permohonan keberatan yang bisa diselesaikan oleh pengadilan dalam yurisdiksi pengadilan kelas 1,2 atau 3. Banding terhadap keputusan berarti bersidang ulang. Dalam perkara ban ding, bisa diajukan bukti baru atau bukti tambahan atau bukti peng-ganti. Untuk keperluan persidangan dan penyelesaian banding, pe nga-dilan harus menjalankan seluruh fungsi.

Pada tingkat banding, seseorang lain atau pihak tertentu dapat ber-gabung dalam proses persidangan, sebagaimana diatur dalam poin 39A, ber dasarkan seksi 96(6), 96AA (3), 96A(5), 97 atau 98 UU Perencanaan dan Penilaian Lingkungan Tahun 1979. Aturan ini menyatakan bahwa ber-dasarkan permohonan seseorang atau atas kehendaknya sendiri, penga-dilan bisa memerintahkan seseorang lain untuk bergabung dalam per kara banding, dengan syarat jika pengadilan berpendapat bahwa orang ter-se but akan memberikan keterangan yang bisa dipertimbangkan selama banding, dan dirasa tidak cukup jika orang tersebut harus diwakilkan.

Adanya permohonan tercantum dalam Undang-Undang Prosedur Pidana Tahun 1986 yang diatur pada poin 41 bagian 5 dari Bab 4 Undang-Undang Prosedur Pidana Tahun 1986 dan berlaku untuk proses perkara dalam yurisdiksi pengadilan kelas 5. Sifat dari keputusan pengadilan ada-lahfinaldanmengikat,sepertidiaturdalampoin56yangberkaitandeng­an proses perkara dalam yurisdiksi pengadilan kelas 1, 2, 3 atau 4, serta Undang-Undang Banding Pidana Tahun 1912 yang berkaitan dengan pro-ses perkara dalam yurisdiksi pengadilan kelas 5, 6 atau 7.

Proses perkara banding dalam yurisdiksi pengadilan kelas 1, 2 dan 3 seperti diatur dalam poin 56A, adalah mengajukan banding ke pengadilan terhadap perintah atau keputusan pengadilan yang menyangkut pertanya-an hukum yang dibuat oleh komisioner atau para komisioner. Pada sidang banding, pengadilan harus menguraikan persoalan kepada komisioner atau para komisioner. Proses perkara banding yurisdiksi pengadilan kelas 1, 2 dan 3, diatur pada poin 57 yang menyebutkan bahwa pihak-pihak

dalam proses perkara yurisdiksi pengadilan tersebut bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi terhadap perintah atau keputusan (termasuk perintah atau putusan sela) pengadilan atas pertanyaan hukum. Dalam sidang banding pengadilan tinggi harus mengirimkan masalahnya ke pengadilan untuk diputuskan oleh pengadilan (terkait dengan keputusan pengadilan tinggi) atau memberikan perintah lain yang sesuai dengan bidangnya.

Proses perkara banding kelas 4 diatur pada poin 58 yang menyatakan jika satu pihak dalam proses perkara yurisdiksi pengadilan ini tidak puas terhadap perintah atau keputusan pengadilan (termasuk perintah atau pu-tusan sela) pihak tersebut bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Dalam sidang banding tersebut, pengadilan tinggi harus memberikan pe rintah membalikkan, menguatkan, atau mengubah perintah atau ke-putus an yang dimintakan banding, mengirimkan masalahnya ke penga-dilan un tuk diputuskan oleh pengadilan, memerintahkan sidang ulang proses per kara, memberi perintah lain sesuai dengan keputusan yang dimintakan ban ding, dan memberi perintah lain berkaitan dengan ban-ding.

Pada poin 59 dinyatakan bahwa jika banding diajukan ke pengadilan tinggi maka diatur soal penundaan perintah berla kunya keputusan sampai pe ngadilan memberi keputusan. Pengadilan Tinggi bisa menghentikan pe nundaan sesuai seksi 59 (1). Sedangkan berdasarkan seksi 59 (2), peng-a dilan juga dapat menghentikan penundaan.

Perkara di depan pengadilan harus disidangkan secara terbuka ke-cuali jika diperintahkan sebaliknya oleh pengadilan. Seseorang yang di-haruskan hadir di depan pengadilan bisa hadir sendiri atau diwakili oleh praktisi hukum Australia atau sebuah agen yang ditunjuk oleh orang ter-sebut secara tertulis, kecuali dalam proses perkara yurisdiksi peng adilan kelas 5, 6 atau 7.

Poin 64 juga mengatur tentang kehadiran negara. Negara dapat hadir di depan pengadilan dalam setiap kasus di mana kepentingan umum atau kepentingan negara dapat terpengaruh atau negara terlibat. Dalam proses persidangan, jaksa penuntut umum atau menteri perencanaan dan lingkungan di setiap tahapan perkara di depan pengadilan dapat di in-tervensi oleh praktisi hukum Australia atau agen, dan mereka bisa me me-riksa saksi serta memberi tahu pengadilan tentang hal-hal relevan de ng an proses perkara.

Kewenangan atau kekuasaan pengadilan dalam pengajuan bukti di atur pada poin 67. Pengadilan mempunyai wewenang untuk menjaga

Page 189: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

360 s e n g k e ta ta n a h 361B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

berjalannya fungsi-fungsi yang ada di pengadilan tinggi, seperti: me wa-jib kan kehadiran saksi dan memeriksanya di atas sumpah, penegasan atau deklarasi, mewajibkan dihadirkannya temuan dari hasil pemeriksaan ter hadap buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen, serta kertas-ker tas lain, mewajibkan saksi menjawab pertanyaan yang dianggap rele-van oleh pengadilan, melakukan penangkapan, penahanan, dan meng -hukum orang yang melanggar atau tidak patuh terhadap perintah yang dikeluarkan pengadilan, dan memerintahkan agar saksi dituntut jika memberi keterangan palsu.

Tentang biaya-biaya perkara diatur dalam poin 69, yang merupakan we wenang pengadilan. Juga dalam poin 69AA disebutkan bahwa peng-adilan dapat memberikan satu atau lebih perintah kepada pengacara yang karena kelalaian atau ketidakmampuannya yang serius atau karena kela kuannya telah mengakibatkan penundaan, atau berperan dalam pe-nundaan perkara tersebut.

Poin 69 mengatur biaya-biaya beperkara di pengadilan, biaya ban-ding, dan sebagainya yang merupakan wewenang pengadilan. Peng adilan dapat menentukan oleh siapa biaya harus dibayar dan berapa jumlahnya. Pengadilan juga bisa memerintahkan agar biaya-biaya dinilai berdasarkan ketentuan dalam Divisi 11 Bagian 3.2, dan seterusnya.

Biaya-biaya—kewajiban pengacara, diatur dalam poin 69AA. Pada se tiap tahapan perkara, pengadilan bisa memberikan satu atau le bih pe ri-ngatan kepada pengacara yang karena kelalaiannya, ketidak mam puannya untuk serius atau kelakuannya yang tidak baik, telah meng aki batkan pe-nundaan, atau menyumbang pada penundaan perkara ter sebut.

Penundaan perkara di pengadilan tinggi diatur dalam poin 72. Jika pe ngadilan tinggi berpendapat sebuah perkara bisa atau seharusnya di-lak sanakan di pengadilan, maka atas permohonan satu pihak atau atas ke hen daknya sendiri, pengadilan tinggi dapat memerintahkan agar per-kara tersebut dipindahkan ke pengadilan.

Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika SelatanPengadilan Gugatan Tanah dibentuk tahun 1996 sesuai UU Pemulihan Hak atas Tanah tahun 1994. Ini merupakan pengadilan khusus yang menangani masalah yang bukan bagian dari program Land Reform Afrika Selatan seperti diatur dalam Undang-Undang Pemulihan Hak atas tanah No. 22 Tahun 1994, Undang-Undang Land Reform (penghuni buruh) No. 3 Tahun 1996, dan Undang-Undang perpanjangan perlindungan Masa Sewa No. 62 Tahun 1997.

Persidangan dapat digelar Pengadilan Gugatan Tanah ketika seseo-rang yang menggugat tanah merasa tak dapat mencapai kesepakatan wa-lau pun telah melalui serangkaian proses mediasi atau negosiasi.

Pengadilan Gugatan Tanah mempunyai status sama dengan Penga-dil an Tinggi Afrika Selatan dan banding dapat diajukan ke penga dil an ban ding di Mahkamah Agung, atau, untuk kasus tertentu, diajukan ke Peng a dilan Konstitusional.

Aspek-aspek yurisdiksi Pengadilan Gugatan Tanah dan proses per-sidangannya khas. Misalnya pengadilan dapat bersidang baik resmi atau tidak resmi atau atas dasar penyelidikan. Persidangan dapat dila ku kan di setiap bagian negara bagian dengan tujuan agar lebih mudah di jangkau.

Pengadilan Gugatan Tanah memiliki peraturan-peraturannya sendiri dan mereka menentukan sendiri prosedur peradilan secara detil.

Undang-Undang Pemulihan Hak Atas Tanah No. 22 Tahun 1994 telah diamandemen oleh:

skema hierarki pengadilan di new south Wales

Page 190: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

362 s e n g k e ta ta n a h 363B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

Restitution of Land Rights Amendment Act 84 of1. 1995.Land Restitution and Reform Laws Amendment Act 78 of 19962. . 3. Land Restitution and Reform Laws Amendment Act 63 of 1997.Land Affairs General Amendment Act 61 of 1998.4. Land Restitution and Reform Laws Amendment Act 18 of 1999.5. Land Affairs General Amendment Act 11 of 2000.6.

Undang-Undang Pemulihan Hak Atas Tanah No. 22 Tahun 1994 me netapkan pemulihan hak atas tanah bagi perorangan atau kelompok yang kehilangan haknya setelah 19 Juni 1913 sebagai akibat dari praktik atau penerapan Undang-Undang yang bersifat diskriminatif dan rasial. Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996 (Undang-Undang No. 108 Tahun 1996) menetapkan pemulihan properti yang adil bagi seseorang atau kelompok orang yang kehilangan haknya setelah 19 Juni 1913 seba gai akibat dari praktik atau penerapan Undang-Undang yang bersifat dis-kriminatif dan rasial.

Equitable redress (pemulihan yang adil) adalah upaya pengembalian hak atas tanah setelah 19 Juni 1913 sebagai akibat dari praktik atau pemberlakuan Undang-Undang lama yang bersifat diskriminatif dan rasial, termasuk racially discriminatory practices atau praktik-praktik dis kriminatif yang rasial, baik dalam bentuk perintah atau larangan yang di berikan secara langsung atau tidak langsung oleh sebuah departemen atau lembaga administrasi di tingkat nasional, provinsi, atau pemerintah daerah yang memiliki kewenangan publik yang berhubungan dengan perundang-undangan.

Restoration of a right in land bermakna pengembalian hak atas tanah yang hilang setelah 19 Juni 1913 sebagai akibat dari praktik atau penerapan Undang-Undang yang bersifat diskriminatif dan rasial pada masa lalu.

Wewenang tak sama Pengadilan Gugatan Tanah diatur dalam Undang-Undang Pemulihan Hak atas Tanah No. 22 Tahun 1994 (dalam BAB III ss 22-38). Pengadilan ini memiliki wewenang yang tidak sama dengan pengadilan lain. Peng-a dilan ini antara lain berfungsi untuk: menentukan pemulihan hak atas tanah sesuai dengan undang-undang, menentukan atau menyetujui pem-bayaran kompensasi atas tanah yang statusnya dalam penguasaan se se-orang ketika terjadi pengambilalihan atau akuisisi tanah tersebut, me nen-tu kan apakah seseorang berhak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

seksi 3, memberikan pernyataan hukum yang sifatnya perintah atas pertanyaan hukum berkaitan dengan seksi 25 (7), menentukan apakah nilai kompensasi yang diterima seseorang ketika pengambilan hak atas tanahnya sudah adil dan pantas, membuat pernyataan (soal kepastian hukum) tentang penafsiran Undang-Undang ini atau Undang-Undang Reformasi Tanah (Buruh Penggarap) tahun 1996 (Undang-Undang no. 3 tahun 1996), menentukan sikap berkenaan dengan keabsahan, penegakan hukum, penafsiran atau penerapan suatu perjanjian yang dimaksud dalam seksi 14 (3).

Pengadilan Gugatan Tanah mempunyai yurisdiksi di seluruh repu b lik sebagaimana yang dimiliki pengadilan tinggi. Juga mempunyai we wenang seperti yang dimiliki pengadilan tinggi berkaitan dengan per kara penghinaan terhadap pengadilan. Wewenang lainnya adalah mem beri kan putusan sela dan larangan, serta memutuskan setiap persoalan baik me nurut Undang-Undang ini atau Undang-Undang lain demi kepen tingan keadilan.

Dalam pengadilan tanah terdapat seorang presiden (ketua) penga-dilan. Dia ditunjuk oleh presiden Republik Afrika Selatan. Dia bertindak di bawah pengawasan Komisi Pelayanan Yudisial.

Presiden Afrika Selatan, setelah berkonsultasi dengan presiden pe-ngadilan dan Komisi Pelayanan Yudisial, bisa menunjuk presiden pe nga-dilan dan hakim-hakim tambahan yang bekerja untuk suatu masa ter-tentu. Seorang hakim pengadilan tinggi juga bisa bertindak sebagai hakim Peng a dilan Gugatan Tanah ini. Presiden Afrika Selatan bisa menu gaskan se orang anggota hakim pengadilan ini untuk bertindak sebagai presiden pengadilan jika orang itu berhalangan hadir.

Jika terdapat cukup alasan, presiden Afrika Selatan, setelah ber-kon sultasi dengan presiden pengadilan, bisa menunjuk seorang pejabat ha kim pengadilan untuk bekerja pada suatu masa yang ditentukan oleh pre siden asalkan menteri kehakiman, setelah ia berkonsultasi dengan pre siden pengadilan, membuat penunjukan tersebut dalam kurun waktu tidak lebih dari satu bulan.

Terdapat juru sita dan juru taksir di Pengadilan Gugatan Tanah ini. Penunjukan juru taksir diatur dalam poin 27. Juru taksir ditunjuk oleh hakim yang memimpin pengadilan tanah. Mereka adalah masyarakat umum yang menurut pendapat menteri mempunyai keahlian, kapasitas, dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan pengadilan walaupun tidak harusmempunyai kualifikasi legal. Seorang juru taksir juga bisabertindak sebagai penasihat dalam setiap proses perkara jika diperlukan pengadilan. Dalam melaksanakan pekerjaannya juru taksir menerima gaji

Page 191: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

364 s e n g k e ta ta n a h 365B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

sebagaimana ditentukan oleh menteri kehakiman setelah berkonsultasi dengan menteri keuangan dan presiden pengadilan.

Tempat kedudukan dan sidang pengadilan diatur dalam poin 28. Tempat pengadilan ditentukan oleh menteri kehakiman sete-lah berkonsultasi dengan presiden pengadilan. Meskipun demikian, ada ketentuan pada subseksi (1) yang menyatakan pengadilan bisa melaksanakan sidang di tempat lain di Afrika Selatan dengan tujuan agar lebih mudah diakses oleh penggugat. Sidang pengadilan dipimpin oleh hakim tunggal. Kalau presiden pengadilan tidak hadir maka hakim yang paling senior yang akan memutuskan.

Perkara digelar di pengadilan terbuka sebagaimana diatur dalam poin 28 B yaitu: seluruh sidang di pengadilan ini harus dilakukan di peng adilan terbuka. Dalam kasus khusus pengadilan bisa memerintahkan pengadaan sidang tertutup.

Untuk masalah-masalah tertentu, pengadilan dapat meminta wasit melakukan penyelidikan dan pengujian terhadap dokumen. Hasilnya nan ti akan mereka manfaatkan. Untuk kepentingan penyelidikan ter se but setiap wasit harus mempunyai wewenang penyelidikan. Mereka me nyelidiki se-suai prosedur yang ditentukan lewat perintah khusus peng a dilan.

Putusan yang dikeluarkan tak boleh bertentangan dengan putusan hakim, kecuali seizin pengadilan. Ini diatur dalam poin 28 D yaitu: meskipun bertentangan dengan yang terdapat dalam setiap un dang-undang, tidak ada pemanggilan atau panggilan tertulis kepada pre siden atau hakim lain.

Pengadilan bisa dilakukan terpisah dari pengadilan lain tanpa harus ada izin dari pengadilan yang bersangkutan.

Setiap vonis yang diberikan oleh pengadilan berdasarkan subseksi (4) harus ditegakkan dan bisa banding jika merupakan vonis dalam kasus pi dana.

Komisioner di pengadilan ini bertugas memanggil seseorang yang me miliki bukti untuk diinterogasi. Tidak masalah apakah seseorang ter-sebut tinggal di wilayah yurisdiksi pengadilan atau di luar.

Saat orang itu hadir, dia akan diperlakukan seperti halnya saksi da-lam proses persidangan di pengadilan dan akan diinterogasi dengan per ta-nyaan-pertanyaan. Diharapkan dia dapat memberikan jawaban yang akan bisa dijadikan sebagai bukti untuk dikirimkan ke panitera peng adil an.

Komisioner kemudian mengirimkan kepada panitera sebuah catatan jum lah yang harus dibayar orang tersebut terkait biaya kehadirannya, biaya perkara, dan jasa pemanggilan.

Penunjukan pegawai pengadilan diatur dalam poin 28 I yaitu: sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur pelayanan umum, menteri kehakiman akan menunjuk panitera, asisten panitera, dan pegawai lain untuk pengadilan.

Sedangkan presiden pengadilan, setelah ia berkonsultasi dengan men teri kehakiman, bisa menunjuk seorang atau lebih untuk melakukan pe ne litian guna keperluan pengadilan.

Ruang lingkup dan proses pengadilan diatur dalam poin 28 K yaitu: proses pengadilan dapat berjalan di seluruh Afrika Selatan. Hukum-an, peraturan, keputusan, surat perintah, panggilan, dan proses-pro ses lain harus dilaksanakan di setiap daerah dengan cara yang sama se per ti proses pengadilan tinggi provinsi.

Pelanggaran yang berhubungan dengan eksekusi diatur dalam poin 28 L yaitu: pelanggar adalah setiap orang yang bersalah sesuai tindakan yang dimaksud dalam seksi 40 Undang-Undang Pengadilan Tinggi tahun 1959 (Undang-Undang no. 59 tahun 1959). Eksekusi hukum-an dilakukan oleh sherif atau wakil sherif sesuai ketentuan Undang-Un-dang ini. Setiap orang yang dinyatakan bersalah karena suatu pelang gar -an wajib dikenakan denda atau pemenjaraan selama periode tidak le bih dari enam bulan.

Wewenang Pengadilan pada sidang banding diatur dalam poin 28 N yaitu: pada sidang banding, pengadilan mem punyai wewenang untuk menerima bukti baru (lebih lanjut); mengirim kasusnya kepengadilan lain atau ke arbitrator yang berkepentingan untuk melakukan sidang lanjutan. Juga untuk memberi penegasan, mengubah atau menge-sampingkankeputusanyangmenjadisubjekbanding;ataubahkanmem­beri keputusan atau perintah yang mungkin diperlukan sehubungan kea-daa n tertentu.

Intervensi terhadap proses persidangan di depan peng-adilan, hak untuk hadir dan penafsiran legal diatur dalam poin 29 yaitu: setiap orang atau organisasi bisa melakukan intervensi pada setiap proses perkara di depan pengadilan. Negara juga mempunyai hak untuk intervensi. Setiap pihak yang hadir di depan pengadilan bisa melakukannya sendiri atau diwakili oleh seorang advokat atau pengacara. Jika tidak mampu membayar advokat, ketua komisioner gugatan tanah dapat mencarikan pengacara baik melalui sistem bantuan hukum negara atau jika perlu atas biaya komisi.

Konferensi prasidang diatur dalam poin 31 yaitu: peng adil an, baik secara sukarela atau atas permintaan pihak tertentu, dapat me-

Page 192: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

366 s e n g k e ta ta n a h 367B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

nyelenggarakan konferensi prasidang yang bertujuan untuk mem per jelas masalah­masalahyangdisengketakan,mengidentifikasimasalahterma­suk bukti-bukti yang diperlukan, dan secara umum, dapat mem per ce pat keputusan atas gugatan yang dipertanyakan. Setelah mela ku kan kon-ferensi pra sidang, pengadilan dapat mengeluarkan perintah serta arah an tentang prosedur yang harus diikuti sebelum dan selama per sidang an.

Faktor-faktor yang diperhitungkan oleh Pengadilan diatur dalam poin 33 yaitu: Dalam membuat keputusannya, pengadilan harus mempertimbangkan berbagai faktor. Yaitu adanya niat atau keinginan mengembalikan hak atas tanah kepada setiap orang atau komunitas yang telah diambil tanahnya sebagai akibat dari penerapan Undang-Undang ataupraktik­praktikmasalaluyangdiskriminatif;adanyakeinginanun­tukmemulihkanhakkorbanpelanggaranhakasasimanusiadimasalalu;adanya persamaan dan keadilan dan jika harus mengembalikan hak atas tanah yang digugat perlu mempertimbangkan kelayakan dari pe ngem -balian tersebut; adanya keinginan untukmenghindari gangguan sosialyang berarti. Juga perlu mempertimbangkan jumlah kompensasi yang diterima;sejarahpengambilalihantermasukpenggunaantanahsaat inidan sejarah akuisisi dan penggunaan tanah. Jika akan memerintahkan pemberiangantirugidalambentukkompensasifinansialperlumemper­timbangkan nilai yang wajar termasuk perubahan nilai mata uang sejalan dengan berlalunya waktu.

Perintah Pengadilan atas pemulihan sebelum keputusan akhir diatur dalam poin 34 yaitu: setiap negara, lembaga pemerintah provinsi atau lokal, bisa meminta pengadilan memerintahkan agar ta-nah yang disengketakan tidak dikembalikan kepada penggugat. Jika menya ng kut tanah yang dimilikinya, atau berada dalam wilayah yuris-diksinya pem beritahuan atas permohonan tersebut harus disampaikan ke komisi yang harus menyelidiki masalah ini dan membuat laporan ke pengadilan.

Perintah pengadilan diatur dalam poin 35 yaitu: pengadilan bisa memerintahkan pemulihan tanah (seluruhnya atau sebagian) atau hak atas tanah sehubungan dengan gugatan atau gugatan yang dibuat kepada penggugat. Juga memerintahkan pemberian sebidang tanah atau hak atas tanah kepada penggugat.

Pengadilan mewajibkan negara memberikan kepada penggugat hak yangsesuaidilokasialternatifmiliknegara;jikaperlu,memerintahkanne gara untuk menunjukkannya. Juga memerintahkan negara membayar kom pensasi kepada penggugat dan memasukkan penggugat sebagai pene-

rima bantuan negara dalam program perumahan atau alokasi dan pem-bangunandaerahpedesaan;sertamemberiganti rugialternatifkepadapeng gugat.

Sebagai tambahan untuk perintah yang disebutkan dalam subseksi (1), pengadilan bisa menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebe-lum suatu hak atas tanah bisa dipulihkan atau diberikan kepada peng-gugat. Jika penggugat diharuskan untuk membayar sebelum hak yang disoal dipulihkan atau diberikan, pengadilan menentukan jumlah yang ha rus dibayarkan. Juga cara dan waktu pembayaran.

Jika penggugat suatu komunitas, pengadilan menentukan bagaimana hak itu akan dipegang, atau bagaimana kompensasinya akan dibayarkan, atau bagaimana kompensasi itu dikelola.

Jika pengadilan memerintahkan negara untuk—atau menurut keten-tuan suatu perjanjian yang terdapat dalam seksi 42D—mengambil alih ta-nah, sebagian tanah, atau suatu hak atas tanah, untuk mengembalikan atau memberikannya pada penggugat, menteri harus mengambil alih ta-nah, sebagian tanah, atau hak dalam tanah sesuai dengan subseksi (5A).

Karena perintah pengadilan berdasarkan seksi 3 (1) atau suatu kese-pa kat an menurut ketentuan seksi 42D, menteri kehakiman mempunyai we wenang untuk mengambil alih tanah, sebagian tanah, atau suatu hak atas tanah untuk mengembalikan atau memberikannya pada penggugat, mutatis mutandis sesuai dengan Undang-Undang Pengambilalihan ta-hun 1975 (Undang-Undang no. 63 tahun 1975). Menteri kehakiman bis a men jalankan fungsi-fungsi menteri pekerjaan umum, menurut ke ten-tuan-ketentuan Undang-Undang tersebut. Asalkan pemilik tanah ter-sebut, sebagian tanah, atau hak atas tanah diberikan kompensasi yang adil dan pantas. Kompensasi ditentukan baik melalui kesepakatan atau me lalui pengadilan sebagaimana dijelaskan oleh konstitusi, dengan mem-per hatikan ketentuan-ketentuan seksi 12(3), (4) dan (5) Undang-Undang Peng ambilalihan tahun 1975.

Dalam memberikan tanah, pengadilan bisa memerintahkan agar hak-hak pribadi atas tanah tersebut ditentukan menurut prosedur-pro-sedur yang sesuai Undang-Undang Distribusi dan Transfer Tanah Negara Tertentu tahun 1993 (Undang-Undang no. 119 tahun 1993).

Perintah Pengadilan Gugatan Tanah mempunyai perintah yang ke-kuatannya sama dengan pengadilan tinggi, sesuai tujuan Undang-Undang Pendaftaran Akta tahun 1937 (Undang-Undang no. 47 tahun 1937).

Setiap tanah milik negara yang dikuasai negara atas dasar sewa atau pengaturan yang serupa harus dianggap sebagai milik negara untuk tujuan

Page 193: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

368 s e n g k e ta ta n a h 369B a B 6 : P e n g a D I l a n k h U s U s P e r ta n a h a n s e B a g a I j a l a n k e l U a r

subseksi (1) (a). Kecuali jika pengadilan memerintahkan pemulihan suatu hak atas tanah tersebut, penghuni sah di sana berhak atas kompensasi yang adil dan pantas yang ditentukan baik melalui kesepakatan atau me-la lui pengadilan.

Mediasi diatur dalam poin 35A yaitu: jika sebuah perkara ada ke -mungkinan diselesaikan melalui mediasi dan negosiasi maka peng a-dil an bisa memberikan perintah untuk mengarahkan para pihak agar mencoba menyelesaikan persoalan melalui cara tersebut proses per-sidangan ditunda. Perintah yang disebutkan dalam subseksi (1) harus juga menyangkut waktu dan tempat di mana proses tersebut dimulai. Peng a-dilan harus menunjuk orang yang pantas dan layak sebagai mediator un-tuk memimpin pertemuan pertama para pihak yang berseteru, dengan ca tat an orang tersebut dapat diterima kedua belah pihak.

Seorang mediator yang ditunjuk menurut ketentuan subseksi (2) (b) tidak bekerja fulltime untuk negara tetapi bisa diberi gaji dan tunjangan yang jumlahnya ditentukan oleh menteri setelah berkonsultasi dengan men teri keuangan dan presiden pengadilan.

Peninjauan keputusan komisi diatur dalam poin 36 yaitu: setiap pihak yang tidak puas dengan undang-undang, keputusan menteri, komisi atau segala tindakan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang ini, mereka bisa memohon agar Undang-Undang atau keputusan tersebut di periksa oleh pengadilan. Pengadilan akan menjalankan wewenang pe-ng a dilan tinggi untuk memeriksa masalah tersebut.

Banding dari pengadilan diatur dalam poin 37 yaitu: banding atas keputusan atau perintah pengadilan tidak bisa dilakukan kecuali dengan izin pengadilan, atau dengan izin pengadilan tinggi banding. Banding atas keputusan atau perintah pengadilan disidangkan oleh pengadilan tinggi banding. Wewenang untuk mengizinkan banding sebagaimana terdapat dalam subseksi (1) tidak hanya dibatasi oleh alasan nilai masalah yang disengketakan atau jumlah yang digugat, karena pada dasarnya persoalan yang dipersengketakan tidak bisa dinilai dengan uang.

Izin untuk banding bisa diberikan asalkan kasusnya dapat diper tim-bangkan kepantasannya oleh pengadilan atau pengadilan tinggi ban ding. Termasuk kondisi bahwa pemohon harus bisa membayar biaya ban ding. Pengadilan tinggi banding bisa mengizinkan banding atas per mohonan dalam 15 hari, atau waktu yang lebih lama jika dianggap perlu.

Laporan oleh komisioner gugatan tanah regional atau direktur jenderal diatur dalam poin 38C yaitu: Komisioner gugat an tanah regional atau seorang direktur jenderal bisa secara sukarela me-

masukkan laporan setiap permohonan gugatan. Dia wajib melakukannya jika diperintahkan pengadilan.

Daftar tanah umum diatur dalam poin 39 yaitu: untuk membantu pekerjaan komisi dan pengadilan, menteri perlu menyusun daftar tanah umum yang dapat diakses pihak penggugat. Menteri bisa membuat per-aturan menyangkut izin mengakses sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini serta semua hal yang menurut pendapatnya perlu dan bijaksana untuk mencapai tujuan Undang-Undang ini.

Pendaftaran tanah atas nama penggugat diatur dalam poin 42A yaitu: menurut ketentuan Undang-Undang ini pengadilan dapat me-merintahkan negara untuk mengambil alih tanah dan memberikannya ke penggugat. Penggugat menjadi pemilik sah tanah tersebut pada tang-gal akuisisi atau pengambilalihan tersebut. Tidak ada pajak, biaya, atau tagihan lain yang harus dibayarkan.

Undang-Undang tertentu tidak berlaku untuk tanah yang di pulihkan atau diberikan diatur dalam poin 42B yaitu: Undang-Un-dang yang mengatur pembagian tanah pertanian tidak berlaku bagi seng -keta pembagian tanah yang bertujuan mengembalikan atau mem be rikan tanah pada penggugat menurut ketentuan Undang-Undang ini. Demi-kian juga Undang-Undang yang mengatur pembentukan kota, se pan jang tanah tersebut didominasi oleh penghuni yang menjadi peng gu gat.

Direktur jenderal urusan tanah dengan seizin menteri kehakiman bisa mendelegasikan setiap wewenang ke pegawai negara atau komisioner gugatan tanah regional. Setiap delegasi berdasarkan subseksi (3) atau (4) bisa dibuat secara umum atau dalam kasus tertentu atau dalam kasus yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan atas kondisi-kondisi yang ditentukan oleh menteri atau diektur jenderal urusan tanah.

Page 194: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

Penyelesaian sengketa Pertanahan dihubungkan dengan asas Kepastian hukum Khusus Pertanahan di indonesiaSALAH satu tujuan pentingnya penyelesaian suatu sengketa adalah untuk memperoleh jaminan adanya kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan. Tujuan kepastian hu kum itu sendiri akan dapat terpenuhi bila seluruh perangkat atau sistem hukum itu dapat berjalan dan mendukung tercapai nya suatu kepastian hukum, khususnya peranan lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk itu.

Dalam sistem hukum Indonesia, penyelesaiaan sengketa, khususnya sengketa pertanahan, dapat dilakukan melalui berbagai pro ses penye -lesaian, baik melalui lembaga peradilan seperti dalam per adilan umum, per adilan tata usaha negara, maupun penyelesaian seng keta di luar lem-baga peradilan seperti penyelesaian melalui me di asi, arbitrase maupun melalui penyelesaian lembaga adat, dan sebagainya.

Menurut pengamatan penulis, banyaknya lembaga yang memiliki we wenang dalam penyelesaian sengketa pertanahan yang sering menim-bulkan tumpang tindih kebijakan atau keputusan yang bersifat kelem-bagaan, merupakan salah satu faktor penyebab kurang ter ja minnya ke-pas tian hukum dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia,

Bab 7

Penyelesaian sengketa Pertanahan melalui Pengadilan Khusus Pertanahan

dalam sistem Peradilan indonesia

Page 195: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

372 s e n g k e ta ta n a h 373B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

walaupun faktor pendukung lainnya cukup dominan juga da lam mem-pengaruhi kurangnya kepastian hukum dimaksud, seperti ba nyak nya keputusan hakim yang tumpang tindih atau keputusan hakim yang tidak dapat dieksekusi (non executable) di lapangan.

Lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk melakukan pe meriksaan sengketa pertanahan memiliki dasar hukum sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Ke hakiman. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dika-ta kan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, yang pada dasarnya dilakukan secara se der-hana, cepat dan biaya ringan. Tujuannya adalah meme nuhi harapan bagi masyarakat yang ingin mencari keadilan tanpa membeda-bedakan. Hal ini berarti bahwa siapa saja yang ingin men cari ke adilan harus diterima oleh pengadilan tanpa kecuali. Pe nga dil an wajib membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi se gala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang seder hana, cepat, dan berbiaya ringan.

Dalam praktik yang berlaku sekarang, proses beracara di per si dang-an dalam perkara perdata terkait sengketa tanah pada hakikatnya tidak berbeda dengan sengketa perdata lainnya, yaitu mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku sampai saat ini. Pro ses hukum penyelesaian sengketa yang dimulai dari tingkat pertama sam pai mempunyai kekuatan hukum tetap biasanya memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga menurut pendapat penulis sangat tidak se suai dengan semangat asas peradilan yang sederhana, cepat, dan murah.

Dalam sistem hukum Indonesia, penyelesaian sengketa pertanahan dapat pula dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu suatu peng adilan yang dilakukan oleh hakim-hakim yang khusus diangkat un-tuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha ne gara yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata. Untuk melaku kan pe nilaian terhadap tuntutan hukum terhadap penguasa atau yang sifat-nya besicking, hakim dituntut untuk mencari kebenaran materiil. Pu tusan ha kim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait. Di samping itu Pengadilan Tata Usaha Negara digunakan untuk penyelesaian sengketa tanah yang ber-kaitan dengan surat keputusan yang dikeluarkan pejabat Badan Per ta nahan Nasional atau pejabat daerah lainnya yang berkaitan dengan tanah.

Penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan di luar pengadilan dapat diselesaikan melalui prosedur seperti: Pertama, dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau dalam istilah Inggris Alternative Disputes Resolution (ADR) yang pada da sarnya dipergunakan untuk mempercepat waktu dan sekaligus mengurangi biaya, melalui negosiasi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Kedua, penyelesaian sengketa pertanahan melalui pro-ses mediasi, yaitu proses di mana para pihak dengan ban tuan seseorang atau beberapa orang secara sistematis menyelesaikan per masalahan yang disengketakan untuk men capai penyelesaian. Proses negosiasi dan mediasi telah banyak digunakan secara luas dalam penyelesaian perkara di luar pengadilan. Ketiga, penyelesaian yang di la kukan oleh beberapa instansi/lembaga seperti Badan Pertanahan Nasio nal berupa musyawarah dengan pihak-pihak yang se dang bersengketa terhadap status tanah agar tercapai perdamaian atas seng keta tanah yang berupa masalah ganti rugi dan santunan tanah un tuk pembangunan, masalah tanah kosong, dan masalah tanah ulayat. BPN juga memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi terhadap pi hak-pihak yang bersengketa.

Peran Lembaga Adat dan Badan Pertanahan Nasional dalam penye-le saian sengketa pertanahan masih diperlukan, khususnya bagi daerah-daerah yang masyarakatnya masih memegang teguh dan memberlakukan adat istiadat di mana proses penyelesaian sengketa dilakukan oleh tokoh- tokoh komunitas yang disegani seperti kepala adat, kepala suku, ke-pala kampung atau ketua marga yang sudah barang tentu dengan mem-per gu na kan hukum adat dan lembaga adat sebagaimana tercermin da ri ama nat Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 1 Tahun 1960, juncto Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 ten-tang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 400-2626 tentang Penjelasan Mengenai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 dan Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 110-201 tentang Pelaksanaan Otonomi daerah di Bidang Pertanahan yang mengisyaratkan bahwa Lembaga Adat diperlukan dalam penye le saian ma-sa lah pertanahan. Sedangkan peran Badan Pertanahan Nasio nal dalam proses penyelesaian sengketa pertanahan lebih kepada fung si pengelolaan dan penelaahan serta pengadministrasian data-data ta nah yang sewaktu-waktu diperlukan sebagai dasar pembuktian untuk me nyelesaikan perkara di bidang pertanahan termasuk menangani penye le saian.

Page 196: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

374 s e n g k e ta ta n a h 375B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Penyelesaian sengketa pertanahan yang berlarut-larut tanpa penye-lesaian yang jelas sering mengundang permasalahan yang meng akibatkan masyarakat maupun negara dirugikan. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya atau inkonsistennya sistem peradilan dan ba nyaknya putusan hakim yang tumpang tindih atau saling bertentangan mengenai sengketa tanah sehingga putusan tidak dapat dilaksanakan atau di eksekusi (niet uitvoerbaar/not executable).

Dengan penjelasan tersebut maka dapat digambarkan bahwa fungsi lembaga peradilan maupun lembaga-lembaga yang bersentuhan dengan proses penyelesaian sengketa pertanahan menjadi tidak maksimal dan cenderung menjadi sangat kompleks, memerlukan waktu yang panjang dengan biaya yang sangat banyak, dan pada akhirnya ti dak memberi kepastian hukum bagi masyarakat dan ne gara. Tanpa bermaksud meng-generalisasi, putusan-putusan per a dil an umum yang disebut di atas me-nunjukkan adanya hal-hal yang me merlukan perhatian demi peningkatan kualitas keputusan peng a dilan pada masa akan datang agar dalam setiap penyelesaian sengketa per ta nahan, tetap terjamin adanya keadilan dan kepastian hukum.

Suatu putusan yang benar tanpa ada keadilan menimbulkan gejolak masyarakat dan tindakan-tindakan anarkis dan masya rakat. Hakim da-lam hal ini tidak dapat secara formal hanya melihat pem buktian-pem buk-tian surat-surat otentik saja, melainkan harus me nge tahui status tanah tersebut (tanah adat, tanah negara atau tanah bekas hak barat dan lain-lain, sejarah/riwayat tanah,filosofiataskeberadaanstatus tanah tersebutdanbukti-bukti yang berkaitan dengan tanah ter sebut sesuai dengan asal-usul tanah, pemetaan tanah tersebut, dan lain-lain) sehingga dapat mem-berikan keputusan yang benar, adil dan berkualitas, serta menjamin terciptanya kepastian hukum.

Dari penjelasan tersebut, maka menurut pendapat penulis, penye-le sai an suatu sengketa pertanahan di Indonesia memerlukan lem baga peng adilan khusus pertanahan agar dapat di hin dari terjadinya putusan-pu tusan yang tumpang tindih dan saling kontradiksi se hing ga kurang menjamin adanya kepastian hukum yang berdasarkan ke adilan bagi seluruh masyarakat. Dengan kata lain, ke pastian yang tercermin dalam suatu Undang-Undang hendaklah juga ter cermin dalam putusan hakim yang berorientasi pada rasa keadilan yang terkandung di dalamnya.

Mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, ke pu-tusan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara yang ber asaskan keadilan dan kepastian hukum merupakan suatu tuntut an

dan kenyataan dalam dibentuknya hukum yang baru, khususnya hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia.

Fungsi dan manfaat Pengadilan Khusus Pertanahan di indonesiaDapat dikatakan bahwa pada saat ini sengketa Pertanahan diselesaikan me la lui 3 (tiga) cara yaitu:

1. Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah Dasar musyawarah untuk mufakat tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan dalam UUD 1945. Musyawarah dilakukan di luar pengadilan tanpa atau dengan mediator. Mediator bisa berupa anggota ke luar ga, orang luar yang berpengaruh seperti ke-tua lingkungan seperti RT, RW, Lurah, Ketua Adat, atau dari Badan Per-tanahan Nasional.

Dalam penyelesaian sengketa pertanahan dengan musyawarah, satu syaratnya adalah bahwa sengketa tersebut bukan berupa penentuan tentang kepemilikan atas tanah yang dapat memberikan hak atau meng-hilangkan hak seseorang terhadap tanah sengketa, dan di antara pihak bersengketa memiliki kekerabatan yang cu kup erat serta masih meng-anut hukum adat setempat. Semua itu syarat keberhasilan musya warah ka rena kesepakatan yang dibuat tidak memiliki upaya pak sa secara hu-kum, yang ada hanyalah sanksi sosial kepada pihak yang ti dak bersedia mematuhinya.

2. Melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketaArbitrase adalah penyelesaian perkara oleh seorang atau be be rapa arbiter (hakim) yang diangkat berdasarkan kesepakatan/ per se tu juan para pihak dandisepakatibahwaputusanyangdiambilbersifatmengikatdanfinal.

Kesepakatan atau perikatan itu disebut sebagai perjanjian arbi trase (arbitrase in clause). Menurut UU No. 30 Tahun 1999 klausula arbitrase dalam kontrak dianggap sebagai kesepakatan arbitrase; dan karenastatusnya adalah kontrak, maka kese pa katan ini tidak dapat dibatalkan kecuali disepakati secara tegas, resmi, dan tertulis oleh para pihak.

Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa kelanjutan arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pi hak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.526 Un tuk melimpahkan sengketa ke lembaga arbitrase, harus ada perjanjian tertulis.

526 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 dan 3.

Page 197: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

376 s e n g k e ta ta n a h 377B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Dalam perikatan arbitrase ada 2 (dua) macam klausula arbitrase yaitu: Pactum de compromitendo yaitu klausula yang dibuat sebelum seng keta terjadi, dapat bersama dengan saat perbuatan perjanjian pokok atau sesudahnya—ini berarti perjanjian arbitrase tersebut menjadi satu de-ngan perjanjian pokoknya atau dalam suatu perjanjian yang ter sen di ri di luar perjanjian pokok—dan Acta compromise yaitu klausula/ke sepakatan dibuat setelah terjadinya sengketa yang berkenaan dengan pe lak sanaan suatu perjanjian. Jadi klausula ini dibuat setelah sengketa terjadi dan kedua pihak setuju bahwa sengketa yang terjadi akan diselesaikan dengan arbitrase.527

Menurut UU No. 30 Tahun 1999, perjanjian arbitrase yang menjadi dasar dan sanksi hukum merupakan suatu per janjian tertulis untuk menyerahkan sengketa/perbedaan yang timbul se ka rang atau yang akan datang kepada arbitrase. Jadi, syarat utama sah atau tidaknya perjanjian arbitrase ialah apabila hal itu dilakukan dalam rangka penerapan UU, serta perjanjian tersebut harus tertulis dan harus di tandatangani para pihak yang bersangkutan.528 Bentuk perjanjian apapun dianggap me-madai, asalkan memenuhi sya rat utamanya, yakni ada perjanjian tertulis arbitrase, timbal balik meng hormati kontrak, dan ada pengertian dan tenggang rasa terhadap per jan jian.529

Jika telah tertulis suatu klausula arbitrase dalam kontrak atau suatu perjanjian arbitrase, dan ada pihak lain yang menghendaki menyelesaikan masalah hukumnya ke pengadilan, maka proses pengadilan harus ditunda sampai proses arbitrase tersebut diselesaikan dalam lembaga arbitrase. Dengan demikian pengadilan wajib mengakui dan menghormati we we-nang dan fungsi arbiter.530

Arbiter adalah hakim swasta yang dipilih oleh para pihak untuk me-mu tuskan tanpa naik banding, dan pengadilan tidak berwenang dan tidak mempunyai sangkut paut sama sekali dengan arbiter.531 Di lain pihak para arbiter, se perti layaknya hakim, terikat untuk mencermati agar proses ber-langsung sedapat mungkin sesuai dengan aturan-aturan yang biasa ber -laku di pengadilan atau sesuai aturan-aturan yang disepakati bersama.

Prosesmajelisarbitrasebersifatkonfidensialdanolehkarenaitudapatmen jamin rahasia dan menghindari publisitas yang tidak dikehendaki.

527 Joni Emirzon, op. cit., hlm. 101528 H. Priyatna Abdurrasyid, op. cit., hlm. 91.529 Ibid., hlm. 92. 530 Ibid., hlm. 93. 531 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 3.

Putusan arbi trase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak, meru-pakan putusan final dan mengikat para pihak yang bersengketa. Tatacara nya cepat dan tidak mahal serta biayanya jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan. Sementara, putus an pengadilan bersifat terbuka bagi umum dan proses hukumnya me makan waktu lama.

Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable) serta memberi kesempatan luas untuk meneruskan hu bungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa.532

Arbitrase tidak dapat diterapkan terhadap sengketa-sengketa perta-nah an karena belum tentu ada per janjian antara para pihak. Di kebanyakan sengketa pertanahan, kadang para pihak tidak saling mengenal, misalnya dalam kasus penyerobotan, keabsahan kepemilikan dokumen tanah dan lain­lain. Sifat konfidensial arbitrase bertentangan dengan sifat dasarhukum pertanahan yang terbuka untuk umum, se hing ga arbitrase tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa per tanahan.

Negosiasi adalah salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan mekanisme yang utama dan diberi prioritas dalam pe-nye lesaian sengketa. Negosiasi merupakan suatu cara di mana individu ber komunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bis nis dan kehidupan sehari­harinya. Negosiasi didefinisikan sebagai prosesyang di manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan.533

Alternatif lain penyelesaian sengketa adalah mediasi, yang merupa-kan suatu proses penyelesaian sengketa di mana para pihak yang berse-lisih memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang in dependen untuk ber-tindak sebagai mediator-penengah, akan tetapi tidak diberi wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat. Mediator meng gunakan berbagai prosedur, teknik, dan ketrampilan membantu para pi hak untuk menyelesaikan perselisihan mereka melalui perundingan. Media tor juga merupakan seorang fasilitator yang dalam beberapa ben tuk mediasi memberikan evaluasi yang tidak mengikat mengenai nilai per selisihan jika diperlukan, tetapi tidak diberi wewenang membuat ke pu tusan yang mengikat.534

532 H. Priyatna Abdurrasyid, op. cit., hlm. 63.533 Ibid., hlm. 21.534 Ibid., hlm. 23.

Page 198: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

378 s e n g k e ta ta n a h 379B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Kemudian juga dapat dilakukan konsiliasi yang diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai per setujuan dan menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi dapat juga di ar ti -kan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk me nye-lesaikan permasalahan dengan negosiasi. Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa de ng an menye rahkannya kepada suatu komisi yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah men dengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai ke sepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun ke putusan tersebut tidak mengikat.

Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang relatif baru dikenal di Ne-gara Republik Indo nesia, dan hingga saat ini belum memiliki dasar hu kum yang meng atur tata cara secara rinci dan tegas untuk melakukan nego-siasi, mediasi, dan konsiliasi. Yang berkembang saat ini adalah aturan yang biasa dila ku kan dalam dunia bisnis yang semuanya lebih dahulu disepakati oleh para pihak.

Dalam praktek bisnis, Alternative Dispute Resolution bertumpu pa-da etika bisnis Indonesia, khususnya negosiasi, mediasi, dan arbitrase, pa da hal pola penyelesaian seperti ini biasa dilakukan di daerah-daerah pe desaan Indonesia berdasarkan hukum adat. Hanya istilahnya ber-beda, yaitu “musyawarah untuk mufakat”, dengan Kepala Adat se bagai mediator.

UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur Alternatif Penyelesaian Seng keta dalam satu pasal saja sehingga masih terdapat kevakuman hukum mengenai aturan-aturan yang lebih jelas tentang cara penyele-saian sengketa tersebut. Namun walaupun belum ada pengaturan yang lebih rinci, dewasa ini perkembangan penyelesaian sengketa dengan meng gunakan Alternative Dispute Resolution mulai tampak dan di-kenal oleh masyarakat Indonesia. Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut UU No. 30 Tahun 1999 dapat di lakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau dengan meng gunakan pendapat ahli maupun seorang mediator.535 Alternatif Penye lesaian Sengketa sulit diterapkan dalam sengketa tanah karena dalam kasus sengketa tanah diperlukan pembuktian surat-surat dan saksi serta analisa hukum.

535 Prof.Ny. Arie Hutagalung, SH., MLI, Seminar Dua Hari Perspektif Hukum Serta Instrumen Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jakarta, Agustus 2007, hlm. 4-5.

3. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui badan peradilan Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, pada umumnya pe nye le-saian sengketa pertanahan yang terkait sengketa ke pemilikan diserahkan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1986 jo UU No. 8Tahun 2004 tentang peradilan umum; terhadap sengketa keputusanBadan Pertanahan Nasional melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang Per-adilanTataUsahaNegara;dansengketayangmenyangkuttanahwakafdiajukan ke Per adilan Agama.

Berdasarkanpenjelasantentangspesifikasidarilembagapenyelesai­an sengketa baik melalui non litigasi maupun litigasi, sampai saat ini jelas bahwa semua cara itu ti dak dapat menyelesaikan sengketa perta nahan secara tuntas dalam wak tu yang singkat, malah cenderung berlarut-larut. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediator yaitu melalui Badan Pertanahan Nasional, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, teman atau kerabat, maupun profesional selama ini kurang memuaskan. Bergesernya nilai-nilai moralitas dan budaya ketimuran membuat kepa-tuhan atas putusan solusi yang dibuat oleh mediator sangat kurang se -hingga tidak dilaksanakan oleh para pihak, jika dipikirkan tidak meng-untungkan diri nya. Apalagi keputusan tersebut tidak otomatis akan di patuhi karena tidak ada upaya paksa. Jadi penyelesaian sengketa per ta-nahan melalui musyawarah sangat sulit untuk berhasil, kecuali bagi seng-keta pertanahan yang masalahnya sangat se der hana dan para pihaknya masih dalam lingkungan kehidupan yang masih sederhana di pedesaan.

Penyelesaian sengketa pertanahan melalui arbitrase perlu didasar-kan pada perjanjian antar para pihak yang sepakat untuk menyelesaikan melalui arbitrase ataupun alternatif penyelesaian sengketa terlebih dahulu. Jadi penyelesaian seng keta pertanahan yang dapat diselesaikan dalam arbitrase ataupun alternatif penyelesaian sengketa tersebut adalah yang masalahnya tidak terlalu rumit dan hanya masalah-masalah terten-tu saja, asalkan sebelumnya para pihak sudah membuat kesepakatan, misalnya tentang sengketa jual beli tanah atau tentang ganti rugi tanah. Tapi sengketa pertanahan yang menyangkut kepemilikan tanah tentunya tidak dapat diatasi oleh arbitrase ataupun alternatif penyelesaian sengketa. Karena dalam sengketa demikian diperlukan pembuktian yang rumit, saksi-saksi, riwayat tanah, penelusuran batas-batas tanah, dan persidangan yang bersifat formal dan terbuka untuk umum.

Page 199: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

380 s e n g k e ta ta n a h 381B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa, sifat mengikat pada kepu-tusannya sama dengan keputusan hasil musyawarah dan mufakat yang dilakukan mediator, sehingga kurang efektif juga, apalagi sampai saat ini belum adanya aturan yang lebih rinci dan lengkap. Sehingga penyelesai-an sengketa pertanahan melalui alternatif penyelesaian sengketa tidak efektif.

Masalah sengketa tanah bukan seperti sengketa dagang/bisnis, di mana para pihak saling kenal. Dalam sengketa tanah para pihak belum tentu saling kenal. Bila terjadi suatu tindakan penyerobotan, pe mal-suan surat, penggusuran, dan lain-lain, setiap orang yang me rasa haknya terganggu akan berjuang mempertahankan hak-haknya ter sebut. Sengketa seperti ini sulit untuk diatasi melalui arbitrase, karena selain sulit un tuk dibuat suatu perjanjian arbitrase, juga karena tanah diatur hukum pub lik dan harusa kekuatan upaya paksa untuk menjalankan putusan ter sebut.

Pengadilan Tata Usaha Negara ju ga masih jauh dari memenuhi harapan pencari keadilan ter hadap seng keta pertanahan karena obyek sengketanya terbatas, yaitu ten tang su rat keputusan pejabat tata usaha negara. Di luar obyek tersebut Penga dil an Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili seng keta.

Dari hasil analisis terhadap beberapa kasus menyangkut sengketa per tanahan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari penga dil-an, perlu peningkatan pemahaman substansi permasalahan berkenaan dengan konsep yang mendasarinya agar keputusan yang diambil sungguh-sungguh dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum, sehing ga da-pat diterima oleh pencari keadilan karena keputusan tersebut ber man faat bagi pencari keadilan tersebut.

Masalah tanah dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya dan dalam suatu kasus sering ada beberapa instansi yang langsung ataupun tidak langsung terlibat dengan sengketa yang diajukan dalam pengadilan baik Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Kesatuan pemahaman terhadap konsep sangat diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang diharapkan dapat menghasilkan kepu-tusan yang memuaskan para pihak, adil dan bermanfaat bagi para pihak/pencari keadilan, masyarakat, dan negara.

Para pencari keadilan dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui peradilan, baik peradilan umum maupun Tata Usaha Negara, menghadapi kenyataan yang jauh dari harapan karena pe nye lesaian seng keta dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan penin jau an kembali adalah proses litigasi yang memakan waktu yang sangat la ma , bisa

mencapai lebih dari 7 (tujuh) tahun. Kadang juga setelah kasasi ataupun pe ninjauan kembali memberikan kemenangan kepada salah satu pihak, ter nyata didapatkan fakta bahwa kemenangan pihak tersebut di da-sarkan atas bukti-bukti yang aspal (asli tapi palsu) sehingga putusan yang telah diperjuangkan bertahun-tahun dengan biaya yang tidak sedikit itu ternyata sia-sia dan hasilnya status tanah tetap tidak jelas.

Pencari keadilan yang melakukan upaya hukum atas sengketa per-tanahan dapat melakukan gugatan ke pengadilan umum tentang kepe-milikan dan mengajukan gugatan atas surat keputusan dari Badan Per-tanahan Nasio nal yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, sehingga dapat terjadi ke putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari pengadilan umum yang amar putusannya bertentangan dengan amar putusan dari pe ng a dilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan tetap, maka putusan mana yang dapat dieksekusi? Jadi terhadap satu obyek tanah telah terdapat 2 (dua) putusan atas status tanah sengketa tersebut yaitu dari pengadilan umum dan peng a dilan tata usaha negara yang saling bertentangan. Keadaan ini meru pakan pertentangan yurisdiksi hukum antar pengadilan.

Kemudian setelah adanya keputusan yang telah mempunyai ke kuatan hukum tetap dari pengadilan umum, sewaktu akan dieksekusi ternyata keadaan tanah telah berubah sehingga tidak dapat dieksekusi. Atau sejak awal persidangan tidak pernah ada sidang lokasi tanah sehingga tidak diketahuibatas­batastanahsengketasecarafisik,sehinggasewaktuakandieksekusi tidak diketahui letak tanah sengketa.

Karena banyak putusan-putusan atas tanah tidak dapat dieksekusi dan Pasal 16 (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman me-nyatakan “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan meng-a dilinya”, putusan pengadilan menjadi tidak ber kualitas.

Dengan menggunakan hukum acara perdata yang pembuktiannya bersifat formal dan Pasal 118 ayat (1) HIR, spekulan-spekulan tanah bisa mengajukan gugatan pura-pura atau gugatan reka yasa untuk mengganggu pembangunan atas tanah oleh investor.

Dengan proses hukum litigasi, penyelesaian sengketa per tanahan se cara perdata bisa memerlukan waktu sampai 7 tahun lebih sampai mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini mengakibatkan penumpukan perkara di Mah kamah Agung RI. Hukum acara juga tidak mengatur tentang peng hentian perkara atau penolakan

Page 200: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

382 s e n g k e ta ta n a h 383B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

pendaftaran atas perkara yang ter nya ta ne bis in idem tetapi acap kali terjadi karena kepandaian peng gugat yang mengubah komposisi para pihak sehingga perkara yang sama tetap dapat diproses hukum. Alhasil, seng keta pertanahan atas obyek yang sama dapat diperkarakan terus-menerus oleh pihak-pihak yang belum tentu mempunyai hak atas tanah tersebut. Apalagi jika keadaan obyek sengketa ber ubah, dan pihak ketiga yang akan dieksekusi dapat mengajukan per la wanan atas obyek yang sama. Kalau perkara perlawanan ini bisa sam pai ke Mahkamah Agung RI, akan terbuang waktu yang cukup lama lagi.

Karena belum adanya persamaan pemahaman substansi permasalahan sengketa pertanahan di antara penegak hukum, yaitu hakim, advokat, polisi, dan jaksa, dan hingga saat ini tidak ada pen didikan khusus terhadap hukum pertanahan maupun kondisi pertanahan tentang tata ruang, hukum adat atas tanah dll, maka selalu terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai. Akibatnya sering terjadi double standard dalam putusan atas sengketa per-tanahan. Tidak dapat dieksekusinya putusan-putusan yang telah mem-pu nyai kekuatan hukum juga bukan memecahkan masalah, malahan menimbulkan masa lah-masa lah yang baru.

Karena belum adanya pendidikan khusus tentang pertanahan bagi hukum-hukum yang menangani perkara sengketa pertanahan, maka ke -ah lian hakim-hakim tersebut bersifat general. Padahal tanah adalah sua-tu obyek sengketa yang memiliki kekhususan. Hakim perlu diberikan ke-ahlian khusus untuk pe nanganan kasus sengketa pertanahan agar dapat menghindari kesa lah an pemberian keputusan, double standard, ataupun putusan tidak ber ku a li tas.

Karena cara-cara penyelesaian sengketa pertanahan baik di luar peng adilan maupun melalui peng adilan ternyata tidak dapat menye lesai-kan sengketa per ta nahan secara tuntas, maka sangat diperlukan suatu te-robosan yaitu dibentuknya pengadilan khusus untuk pe nyelesaian seng-keta pertanahan.

Sesuai UUD 1945, Negara RI merupakan negara kesejahteraan (wel-fare state). Oleh karenanya Negara harus berperan untuk mengatur, meng urus, serta menyelesaikan masalah-masalah rakyat, termasuk dalam hal ini masalah tanah yang merupakan sumber kehidupan utama rakyat Indo nesia, untuk kepentingan Rakyat Indonesia mencapai kemakmuran dan ke sejahteraannya. Sengketa pertanahan di Indonesia sudah menjadi masalah yang pen ting dan harus segera dapat diatasi oleh Negara, agar tanah tidak terlantar dan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai UUD 1945.

Menurut KUHPerdata, dalam Buku II tanah masuk dalam hukum benda, yaitu sebagai benda tidak bergerak berdasarkan konsep Barat, Tanah masuk dalam ranah hukum privat sehingga hukum acara yang mem pertahankan hukum materiel tersebut adalah HIR/RBg yang bersifat formal.

Dengan dicabutnya Buku II dari KUHPerdata dan diterbitkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, konsep tanah berubah dari konsep Barat menjadi konsep hukum adat. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (1) UUPA, Negara mempunyai kekuasaan mengatur tanah-tanah yang telah dimiliki seseorang atau badan hukum maupun tanah-tanah bekas yang belum dimliki seseorang atau badan hukum akan langsung dikuasai oleh Negara.536 Pengaturan tanah tidak lagi masuk dalam hukum benda sesuai hu kum Barat tetapi sepenuhnya diatur dalam UUPA. Oleh karena itu tanah bukan termasuk ranah hukum privat, me lain kan merupakan hukum publik dengan karakteristik privat. Maka hukum acara HIR/RBg yang bersifat formal sudah tidak cocok lagi dan harus dilakukan perubahan yang merupakan pembaharuan hu kum acara pertanahan.

UUPA sebagai payung hukum mengamanatkan dibuatnya 44 (em-pat puluh empat) UU organik sebagai pelaksanaan UUPA, tetapi kenya-ta annya hingga saat ini UU organik tersebut tidak pernah dibentuk dan ke dudukan UUPA sudah tidak ada pada posisinya sesuai tata urutan Peraturan Perundang-undangan.

Pada saat ini banyak dibuat peraturan-peraturan tentang tanah yang baik substansi maupun materinya sudah tidak cocok dengan perkem-bangan kehidupan masyarakat dan perekonomian Indonesia. Malahan ada peraturan pertanahan yang substansi dan materinya berten tangan dengan UUPA. Dinyatakan bahwa UUPA berkonsep hukum adat, tetapi tidak jelas dan rinci hukum adat yang seperti apa yang diberlakukan pada UUPA. Hanya dikatakan bahwa dimaksud adalah hukum adat yang masih ada dan berlaku serta tidak bertentangan dengan UUPA, UUD 1945 dan Pancasila. Sementara, dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indo nesia yang masuk dalam era globalisasi antara lain pada aspek per-ekenomian, telah terjadi pembaharuan dan pergeseran nilai-nilai hukum adat di masyarakat Indonesia.

Untuk daya tarik penanaman modal di Indonesia bagi investor

536 Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2.

Page 201: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

384 s e n g k e ta ta n a h 385B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

dalam negeri maupun luar negeri terkait hak-hak perdata atas tanah di Indonesia seperti Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dll., jang ka waktunya dianggap terlalu pendek sehingga tidak seimbang dengan perhitungan pe -ngembalian permodalan yang diinvestasikan oleh investor di atas tanah tersebut.

Demikian juga tentang hak menguasai tanah oleh Negara yang di-atur dalam UUPA. Ternyata telah dikenal dan dilaksanakan adanya Hak Pe ngelolaan atas tanah yang aturan hukumnya tidak diatur dalam UUPA.Dalam hal ini jelas bahwa harus dilakukan perubahan dan pembaharuan dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan masya rakat dan perekonomian serta perundang-undangan yang berlaku di Indo nesia.

Berdasarkan semua hal tersebut, penulis berpendapat perlu dibentuk Peng a dilan Khusus Tanah beserta hukum acara yang cocok dengan hukum ma te rielnya yaitu UUPA agar sengketa pertanahan dapat diselesaikan de ng an cepat, sederhana, berbiaya murah, dan adil bagi semua pihak. Negara harus melakukan pembaharuan hukum yaitu mem-buat Undang-Undang untuk membentuk pengadilan khusus pertanahan yang ketentuan-ketentuannya disesuaikan dengan sistem, substansi serta budaya bangsa Indonesia tentang pertanahan.

Penyelesaian sengketa pertanahan yang sekarang berlangsung kurang memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam sistem hukum dal am UUPA, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum yang terdapat pada ta-nah, karena hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan seng keta pertanahan adalah HIR/RBg yang bersifat formal. HIR/RBg sebe narnya ditujukan untuk mempertahankan hukum materielnya yaitu KUHPerda-ta, bukan untuk mempertahankan UUPA. HIR juga tidak meng atur ke-wajiban Majelis Hakim da lam rangka mencari kebenaran materiil untuk memanggil saksi-saksi yang berkompeten terhadap tanah sengketa, me-lainkan menyerahkan kepada para pihak yang ber kepentingan, sehingga saksi dapat me nolak untuk hadir di persidangan.

Upaya hukum di dalam sengketa tanah dapat dilakukan di beberapa pengadilan yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Umum Perdata, dan Pengadilan Umum Pidana sehingga menimbulkan be be rapa putusan yang saling bertentangan. Hasilnya adalah beberapa keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun isinya saling bertentangan, sehingga mengakibatkan putusan ter sebut tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel).

Mahkamah Agung RI dengan kewenangannya ingin mencari jalan

keluar agar keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dieksekusi dan sengketa pertanahan dapat selesai dengan me-ngeluarkan Surat Edaran No. 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Per mo-honan Peninjauan Kembali tanggal 12 Juni 2009 No. 10/Bua.6/HS/SP/VI/2009 yang berbunyi:

SURAT EDARANNomor: 10 Tahun 2009

Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali

Bahwa lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan hanya 1 (satu) kali sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tetapi menurut pe mantauan Mahkamah Agung hingga saat ini masih ada permohonan pe ninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih da ri 1 (satu) kali, sehingga demi kepastian hukum serta untuk mencegah pe numpukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung ma ka Mahkamah Agung memandang perlu memberikan petunjuk seba gai berikut:

Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun per kara pidana bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu, apa bila suatu perkari diajukan permohonan peninjauan kembali yang ke dua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan menga cu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Mah kamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan ter akhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut di nyatakan tidak dapat diterima dan berkasperkararanyatidakperludikirimkeMahkamahAgung;

Apabila suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan pe ninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam per kara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang di aju kan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kem bali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mah kamah Agung.

Demikian agar diperhatikan dan dilaksanakan sebagaimana mes ti nya.

Page 202: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

386 s e n g k e ta ta n a h 387B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Penerbitan SEMA No. 10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung RI se-cara hierarki aturan hukum tidak dapat mengesampingkan Pasal 23 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 yuncto UU No. 5 Tahun 2004 yuncto UU No. 3 Tahun 2009 serta Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 yang menyatakan bahwa upaya hu kum luar biasa hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

Dengan alasan demi kepastian hukum serta untuk mencegah pe num-pukan permohonan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung RI, terbitlah SEMA No. 10 Tahun 2009 tersebut di atas. Yang menjadi pertanyaan, apakah penerbitan SEMA No. 10 Tahun 2009 ter sebut dapat memberikan kepastian hukum yaitu putusan dapat dieksekusi dan sengketa tanah selesai tuntas dan tidak terjadi pe numpukan permohonan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung RI?

Jika membaca SEMA No. 10 Tahun 2009, tidak dijelaskan secara pasti apakah hanya dapat diajukan Peninjauan Kembali kedua saja, atau dapat pula diajukan Peninjauan Kembali ketiga dan keempat dan seterusnya, sehingga yang menjadi pertanyaan kita, di mana kepastian hukum atas putusan MARI tersebut, kapan putusan MARI tersebut dapat dieksekusi? Yang dapat dipastikan, SEMA No. 10 Tahun 2009 tidak dapat menyelesaikan seng keta pertanahan yang ada, malahan menimbulkan ketidakpas tian hukum atas hak orang atau badan atas suatu tanah. Apalagi jelas SEMA No. 10 Tahun 2009 hanya memiliki kekuatan hukum dalam internal MARI dan peradilan, dan tidak bisa mengikat publik/rakyat Indonesia karena kedudukannya bukan Undang-Undang.

Jadi bagaimanakah akibat hukum putusan yang berasal dari Pe nin-jauan Kembali kedua berdasarkan SEMA No. 10 Tahun 2009?

Pemerintah RI berkeinginan agar sengketa pertanahan di Indoensia dapat selesai secara tuntas dan memiliki kepastian hukum, sehingga in-vestor nyaman dan terlindungi untuk melakukan investasi di Indonesia. Oleh karena itu BPN, MARI dan lembaga-lembaga seperti arbitrase, lembaga adat dll. berupaya untuk melakukan terobosan-terobosan untuk mencapai tu juan tersebut, tetapi faktanya hal tersebut tidak mengatasi masalah, ma lahan menimbulkan ketidakpastian hukum yang lebih runyam ka re na akar masalahnya tidak ditemukan.

SesuaidenganfilosofidanUUD1945,danberdasaratasUUPAyangber konsep hukum adat, diper lukan pengadilan khusus pertanahan untuk penyelesaian sengketa per tanahan di Indonesia. Melalui pengadilan khusus pertanahan, fungsi badan peradilan da pat lebih berperan dalam

menunjang pembangunan ekonomi, sehingga pa da akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Putus an yang dikeluarkan oleh pengadilan khusus pertanahan akan lebih memberi kepastian hukum dan keadilan serta lebih bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, masyarakat dan negara dengan tetap mengacu pada prinsip penyelesaian dengan biaya yang seefisien mungkin serta penyelesaian dalam waktuyang singkat.

Selain itu, keputusan pengadilan khusus pertanahan dalam me-nyelesai kan sengketa pertanahan merupakan salah satu sumber hukum formal, selain undang-undang, kebiasaan, traktat, maupun pendapat ahli hukum terkemuka.537 Ini berarti menciptakan pengembangan sistem per-adilan Indonesia, dalam hal ini membentuk pengadilan khusus pertanahan de ngan konsep yang baru sesuai konsep hukum adat.

Pengadilan Khusus Pertanahan berfungsi khusus hanya melakukan pemeriksaan dan persidangan tentang sengketa per ta nahan baik berkaitan dengan kepemilikan tanah, gugatan terhadap surat keputusan Badan Pertanahan Nasional maupun tentang keabsahan doku men-dokumen kepemilikan tanah ataupun seluruh sengketa yang berkaitan dengan obyek tanah. Jadi semua sengketa yang ber kaitan dengan obyek berupa tanah akan diselesaikan oleh pengadilan khu sus per tanahan ini yang masuk dalam lingkungan peradilan umum deng an hukum acara tersendiri pula.

Pengadilan khusus ini, dengan hukum acara yang khusus, akan mampu mengatasi masalah-masalah pertanahan yang timbul selama ini dari proses non litigasi dan litigasi baik secara perdata tentang kepe mi-likan, gugatan surat-surat keputusan Badan Pertnahan Nasional maupun tentang keabsahan dokumen-dokumen tanah yang merupakan proses pidana. Perlu diketahui, Badan Pertanahan Nasional dan kepolisian secara tersendiri telah mengadakan kerja sama untuk mengatasi hal ini, tetapi usaha inipun tidak dapat secara maksimal untuk mengatasi sengketa pertanahan sebelum landasan pemikiran atas tanah tidak disesuaikan de-ngan landasan pemikiran berdasarkan UUD 1945 dan UUPA.

Seluruh penyelesaian sengketa pertanahan diperiksa, diadili dan diputus dalam satu pengadilan saja, yaitu pengadilan khusus tersebut dalam wilayah keberadaan tanah tersebut. Dengan dasar wilayah letak ta nah dalam lingkungan pengadilan khusus tersebut, aparat penegak hu-

537 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum), Buku I, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 59.

Page 203: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

388 s e n g k e ta ta n a h 389B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

kum yang beracara dalam pengadilan khusus tersebut wajib menge tahui secara benar status tanah sengketa. Hakim berperan aktif de ng an dibantu oleh Badan Pertanahan Nasional setempat, lurah dan camat se tempat, serta tokoh-tokoh masyarakat yang paham atas sengketa ter se but yang memberikan informasi yang benar atas status tanah sengketa.

Berdasarkan teori keadilan John Rawls, diharapkan pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan bermanfaat untuk memberikan keputusan yang benar sesuai dengan fakta-fakta yang ada, adil, diterima oleh para pihak, bermanfaat bagi para pihak, masyarakat, dan Negara. Yang jelas kita dapat memenuhi asas peradilan yang sederhana, cepat, dengan biaya ringan dan yang terpenting memberikan suatu kepastian hukum terhadap status tanah serta kepastian penegakan hukum berupa dapat terlaksananya eksekusi atas keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum.

Pengadilan khusus ini akan mengatasi masalah-masalah yang ada dalam proses penyelesaian sengketa pertanahan yang selama ini timbul dari putusan-putusan pengadilan umum dan pengadilan Tata Usaha Negara. Paling tidak pengadilan ini akan meminimalkan masalah-masalah yang ada atas seng keta-sengketa pertanahan karena menggunakan konsep one stop shop dengan pengetahuan yang mendalam atas tanah yang menjadi sengketa tersebut. Dengan jelasnya status tanah, kepastian hukum dan penegakan hukum akan melancarkan pemanfaatan tanah-tanah tersebut dan juga memberikan rasa aman bagi para investor yang akan menanamkan investasi di negara RI, yang nantinya akan mem buka sektor riel untuk membuka lapangan kerja dan peningkatan devisa negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam hal ini Negara Republik Indonesia sebagai negara kesejahteraan harus terlibat langsung untuk mengupayakan tanah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, Negara juga wajib berupaya agar tidak ada sengketa pertanahan yang berlarut-la rut sehingga tanah menjadi terlantar dan tidak dapat dimanfaatkan oleh rakyat untuk kesejahteraan rakyat.

Kedudukan hukum Pengadilan Khusus Pertanahan dalam sistem Peradilan indonesiaBerdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pemerintahan ber dasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Sejalan dengan ketentuan ter sebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan pe nyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pe ngaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna me negakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 yang telah diamandemen merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari ke-em pat peradilan yaitu badan peradilan umum, peradilan agama, pera dil an mili ter dan peradilan tata usaha negara. Sesuai Pasal 33 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa di dalam menjalankan tugas dan fung si nya, ha-kim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka yang berwujud kebe-bas an hakim dalam memutus perkara tidaklah tanpa risiko. Menu rut pan -dangan Bagir Manan ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung RI, deng an me ngatas nama kan kebebasan, hakim bisa saja menyalahgunakan ke kua-sa annya dan bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah penyalah-gu naan ke kua saan tersebut, menurut Bagir Manan harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan se-ba gai hakikat kekuasaan kehakiman. Pem batasan-pembatasan tersebut ber laku dalam bentuk sebagai berikut: 538

Hakim memutus menurut hukum. Setiap putusan hakim harus dapat 1. menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang ditetapkan dalam suatu perkara konkrit. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum, bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada aturan hukum tertentu.Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Untuk 2. mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau menge sampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Kalau hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, maka

538 Ibid.

Page 204: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

390 s e n g k e ta ta n a h 391B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

tindakan hakim tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi atau menemukan 3. hukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general priciples of natural justice).Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak 4. hakim yang sewenang-wenang atau menya lahgunakan kebebasannya. Di Amerika Serikat, mekanisme ini ditempuh melalui “impeachment” yaitu suatu peradilan oleh Kongres (Trial by Congress). Lembaga impeachment ini mengandung makna bahwa mengambil tindakan terhadap hakim tidak mudah. Di satu pihak ada keinginan untuk melindungi kebebasan hakim, tetapi di lain pihak ada juga keinginan untuk mencegah hakim dari perbuatan tercela. Perlu ditegaskan bahwa tindakan terhadap hakim seperti proses “impeachment” tidak terkait pelaksanaan fungsi yustisialnya. Tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusannya dianggap kurang adil. Tindakan terhadap hakim hanya bisa diterapkan berdasarkan ting kah laku pribadi yang merugikan negara atau menurunkan martabat ke kuasaan kehakiman.539

Telah dikemukakan di atas bahwa kemungkinan penyalahgunaan kebebasan hakim dapat pula terjadi karena kewenangan yang melekat pada kekuasaan ekstra yudisial menyebabkan kebebasan hakim menjadi berkurang atau sama sekali tidak berarti. 540

Pada masa mendatang gangguan atau usaha untuk melemahkan asas kemandirian yudisial secara institutif ini pasti masih akan berlanjut. Tanda-tandanya masih ada dalam berbagai perumusan undang-undang ter sebut di atas. Sekarang terserah kepada para pemimpin dan rakyat Indonesia sendiri agar dengan kecerdasannya masih mau memegang teguh prinsip ke mandirian yudisial yang bersifat institutif dan amat berguna baik bagi ke langsungan negara maupun berguna bagi perlindungan hak asasi ma sing-masing individu tak terkecuali juga bagi para pemimpinnya.541 Ba gai manapun, setiap orang, termasuk para pemimpin, bila terpaksa ber hadapan dengan kekuasaan kehakiman atau dihadapkan ke sidang peng a dilan akan memerlukan perlindungan hak asasi yang dijamin de ng -an asas kemandirian yudisial secara institutif.

539 Dr. Ahmad Mujahidin, SH, MH., Peradilan Satu Atap di Indonesia, kata pengantar Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Refika Aditama, Juli, 2007, hlm. 61­62.

540 Ibid.541 Ibid., hlm. 26.

Dengan pelaksanaan peradilan yang tidak pandang bulu se tiap orang akan merasa terikat dengan keputusan hakim yang adil. Itu hanya dapat dicapai dengan terjaganya kemandirian yudisial insti tu tif.542

Selain kemandirian yudisial yang bersifat institutif yaitu ke man dirian dari sebuah institusi terhadap campur tangan lembaga lain, kemandirian yudisial juga bersifat individual, yaitu kemandirian individu hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan dan me mutus perkara yang diajukan kepadanya.543

Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.” Pasal ini mengatur keberadaan badan-badan peradilan yang sifatnya khusus.

Pembentukan badan peradilan yang khusus tersebut harus memper -timbangkanasasmanfaat, efisiensi, produktivitasdan sistemperadilanyang terpadu secara utuh (integrated judicial system). Hal ini meng -hindarkan keberadaan pengadilan khusus yang mem pertajam “sengketa yurisdiksi” karena berbagai tumpang tindih yang mem bingungkan justitia karena ketidakpastian hukum. Pembentukan badan peradilan khusus tersebut harus diatur dalam Undang-Undang sesuai Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004. Dalam hal ini, selain dapat mem bentuk peradilan khusus, ada juga contoh kon stitusional badan atau lembaga yang berkaitan dengan kekuasaan ke hakiman, seperti kejaksaan, advokat, kepolisian, dll.544

Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan:

Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu ling-kungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 yang diatur dengan UU.

Pengertian “khusus” pada Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 ini berbeda dengan pengertian khusus dalam UU No. 14 Tahun 1970, dalam hal ini memberi arti “pengadilan khusus” sebagai kekhususan pada setiap lingkungan peradilannya. Sedangkan kekhususan dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang dimaksudkan dengan arti kamar (Raad-kamer). Seperti yang kita ketahui bahwa dalam lingkungan per adil an umum, ada pengadilan khusus untuk perkara pidana anak, per kara pi-dana korupsi, perkara hak asasi manusia. Jadi maksud penga dilan khu sus

542 Ibid., hlm. 27.543 Ibid.544 Ibid., hlm. 33.

Page 205: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

392 s e n g k e ta ta n a h 393B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

pada Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 adalah pengkhususan (di-ferensiasi/spesialisasi). Juga ditegaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat di bentuk dalam satu lingkungan peradilan, dan pengadilan khusus me rupa kan bagian (kamar) suatu lingkungan peradilan. Sebagai contoh, per adilan anak, peradilan korupsi, peradilan HAM, berada dalam ling-kung an peradilan umum.545

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) jo Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004, pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan harus ma-suk dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung RI yaitu lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan khusus tata usaha negara. Untuk menentukan hal tersebut perlu dilihat hukum dan karakteristik tanah itu sendiri dan masalah apa saja yang dapat di si dangkan dalam peradilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan ter sebut.

Berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 2 & 3 UUPA dapat ki ta simpulkan bahwa tanah bersifat hukum publik tetapi tanah memiliki ka rakteristik privat.

Sengketa pertanahan tidak terbatas hanya tentang sengketa terbit nya surat keputusan pejabat Tata Usaha Negara saja yang berkaitan tanah, tetapi menyangkut tentang kepemilikan tanah, ganti rugi tanah, pem-bebasan tanah, pemalsuan surat-surat tanah, dan lain-lain. Berdasarkan kerumitan macam sengketa tanah, pengadilan khusus pertanahan perlu memeriksa tentang sengketa ke pe milikan tanah, keabsahan dokumen-dokumen tanah dan gugatan atas surat keputusan Badan Pertanahan Nasional. Maka menurut penulis penga dilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan lebih cemderung masuk dalam lingkungan pera dilan umum di bawah Mahkamah Agung RI. Jika dimasukkan dalam ling kungan peradilan tata usaha negara, maka tidak mungkin untuk mengubah da sar gugatan yang telah ditetapkan dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang siapa yang digugat dan obyek sengketa di mana dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang sangat terbatas untuk pemeriksaan gugatan tersebut, yaitu hanya terhadap surat keputusan pejabat tata usaha negara saja. Oleh karena itu sangatlah tepat jika pengadilan khusus penyelesaian seng keta pertanahan dimasukkan dalam lingkungan peradilan umum.

Dengan keberadaan pengadilan khusus penyelesaian sengketa per-ta nahan di lingkungan peradilan umum, siapa-siapa saja yang dapat digugat tidak dibatasi, bisa berupa sesama orang ataupun badan hukum atau dengan pejabat tata usaha negara. Demikian pula, pengadilan khu-

545 Ibid., hlm. 34.

sus per tanahan tersebut juga dapat menyidangkan keabsahan do kumen-dokumen tentang tanah, tentang penyerobotan tanah, dan lain-lain, asalkan obyek nya “tanah”.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kedudukan dari pengadilan khusus pe nyelesaian sengketa pertanahan adalah sesuai pengaturan oleh UUD 1945 dan UU No. 4 Tahun 2004, dan kedudukannya berada dalam ling kung an peradilan umum yang di bawah Mahkamah Agung RI yaitu se suai dengan UU No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum jo UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU tentang Peradilan Umum jo Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 14 Tahun 1970 yang berpuncak pada Mahkamah Agung.

Hukum Acara Pertanahan Suatu Syarat Utama Pada Pengadilan Khusus Pertanahan Sebelum masuk di dalam pembuatan hukum acara yang dapat digunakan di Pengadilan khusus untuk penyelesaian sengketa pertanahan perlu dibahas tentang hukum yang meliputi atas tanah tersebut.

Sesuai penjelasan Penulis bahwa hukum tanah yang diatur oleh UUPAberbedaprinsipdanfilosofinyadenganhukumtanahyangdiaturoleh Buku II KUHPerdata, di mana UUPA adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah atau permukaan bumi sesuai Pasal 4 UUPA.

Tanah yang dimaksud dalam UUPA tidak sama dengan tanah yang dimaksud dalam Buku II KUHPerdata sebagai benda tak bergerak, tetapi tanahdalamUUPAmemiliki asas yang sangat spesifikdanmerupakankultur budaya Bangsa Indonesia. Dengan asas-asas yang meliputi tanah di Indonesia, maka tanah Indonesia tidak sepenuhnya mempunyai sifat-sifat kebendaan sebagai benda tidak bergerak berdasarkan KUHPerdata.

Dalam Penjelasan Umum II/2 UUPA antara lain dikemukakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya, Negara bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan sebagai organisasi kekuasaan seluruh Rakyat bertindak selaku Badan Penguasa.

Berdasarkan Pasal 2 UUPA dan penjelasannya, menurut konsep UUPA pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, me-lainkan suatu hak yang memberikan wewenang ke pada Negara untuk meng atur bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ter kandung di dalamnya.

Isi wewenang Negara tersebut bersumber kepada hak mengusai

Page 206: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

394 s e n g k e ta ta n a h 395B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

sum ber daya alam oleh Negara tersebut semata-mata “bersifat publik” yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewe-nanguntukmenguasaitanahsecarafisikdanmenggunakantanahnyase­bagaimana pemegang hak atas tanah yang bersifat “pribadi”.

Hukum acara yang berlaku saat ini untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Pengadilan Umum adalah HIR/RBg yang bertujuan mem-pertahankan hak-hak orang untuk dapat memulihkan haknya yang telah dirugikan melalui Pengadilan sehingga diharapkan selalu ada ketentraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat.

HIR/RBg sebagai hukum acara yang digunakan sebagai hukum per-data formil karena mengatur tentang proses penyelesaian perkara da lam hal ini sengketa pertanahan di Pengadilan Umum secara formil di mana hukum acara perdata adalah aturan hukum bagaimana caranya mem -pertahankan berlakunya hukum perdata dalam buku KUHPerdata.

Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tanggal 24 September 1960 yaitu mencabut buku II KUHPerdata sepanjang me nge-nai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mula berlakunya Undang-Undang ini.

Dengan berlakunyaUUPA dengan prinsip dan filosofinya berbedadengan KUHPerdata, maka tentunya hukum acara yang mempertahankan dan pemulihan hak-hak orang atas tanah, tidak cocok jika tetap meng gu-nakan HIR/RBg dan buktinya Pengadilan Umum, Pengadilan TUN dan penyelesaian di luar peradilan tentang sengketa tanah tidak dapat di se-lesaikan dengan tuntas dan memiliki kepastian hukum.

Perbedaan UUPA dengan KUHPerdata adalah adanya “Hak Menguasai atas tanah oleh Negara” di mana Negara mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum sehingga hukum yang meliputi UUPA adalah hukum publik berkarakteristik privat. Sedangkan KUHPerdata mempunyai sifat kebendaan mutlak yang bersifat privat sehingga HIR/RBg sebagai hukum acara mempertahankan KUHPerdata secara formil. Sehingga untuk dapat mempertahankan UUPA yang merupakan hukum publik berkarakteristik privat. Sedangkan KUHPerdata mem pu nyai sifat kebendaan mutlak yang bersifat privat sehingga HIR/RBg se bagai hukum acara mempertahankan KUHPerdata secara formil. Sehing ga untuk dapat mempertahankan UUPA yang merupakan hukum publik berkarakteristik privat, tidak cocok menggunakan HIR/RBg yang bersifat formil, melainkan harus menggunakan hukum acara yang bersifat publik yaitu mencari kebenaran materiel. Sejalan dengan asas Nemo plus Yuris, yaitu mencari pemilik tanah yang sebenarnya maka Penulis,

berpendapat hukum acara yang cocok dan dapat menyelesaikan sengketa pertanahansecaratuntasdanfinal,haruslahhukumacarayangmencarikebenaran materiel.

Dalam penyelesaian sengketa pertanahan tentang kepemilikan ta nah yang disidangkan pada pengadilan umum menggunakan hukum acara perdata yaitu menggunakan HIR dan RBg dengan pembuktiannya ber-sifat formal.

Dalam gugatan tentang Surat Keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang pada umumnya yang digugat Badan Pertanahan Nasional dapat di ajukan Pengadilan Tata Usaha Negara menggunakan Hukum Acara yang diatur dalam BAB IV yaitu Pasal 53 s/d Pasal 132 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan pembuktiannya ber-sifat formal walaupun pada prinsipnya mencari kebenaran materiel te-tapi pemeriksaan dalam perkara Tata Usaha Negara hanya terbatas pa da masalah penerbitan Surat Keputusan pejabat Tata Usaha Negara da lam hal ini untuk masalah tanah kebanyakan ditujukan kepada Badan Per-tanahan Nasional, Gubernur, Walikota, Bupati.

Sedangkan untuk keabsahan atas dokumen-dokumen tanah diproses dari kepolisian lalu ke kejaksaan kemudian disidangkan di pengadilan umum yang menggunakan hukum acara KUHAP, dengan pembuktian material, tetapi walaupun sudah ditetapkan dalam keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang adanya pemalsuan dokumen atas tanah aquo, tetapi keputusan pidana tentang hal tersebut yang telah mem punyai kekuatan hukum tetap belum tentu dapat membatalkan suatu keputusan perdata tentang kepemilikan tanah yang telah juga mem punyai kekuatan hukum tetap yang sudah menempuh upaya luar bia sa yaitu keputusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung RI yang menetapkan seseorang sebagai pemilik tanah.

Karena pembuktian terhadap surat-surat tanahnya palsu tersebut ternyata terlambat, maka hal tersebut tidak dapat lagi membatalkan putus-an Mahkamah Agung RI atas kepemilikan tanahnya tersebut, sehingga status tanah tetap terkatung-katung alias tidak jelas siapa pemiliknya. Wa lau pun kadang kala dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dengan surat palsu tanah tersebut dapat diajukan gugatan baru, yang menjadi pertanyaan kita semua, apakah gugatan tersebut ne bis in idem, bagaimana nasib putusan Mahkamah Agung RI yang telah ber tahun-tahun melakukan pemeriksaan, mengadili dan memutus seng-ke ta pertanahan tersebut. Setelah kemudian ada putusan Mahkamah Agung RI tentang surat-surat asli yang diajukan dalam persidangan ter-se but ternyata palsu?

Page 207: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

396 s e n g k e ta ta n a h 397B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Kemudian masalah tentang gugatan pura-pura (rekayasa gugatan) yang berlangsung di pengadilan umum antar pihak atas tanah sehingga dari Mahkamah Agung RI dapat terbit putusan beberapa pemilik tanah atas satu obyek bidang tanah, tentunya betapa kebingungannya Ketua Pe nga dilan tingkat pertama untuk melaksanakan eksekusi keputusan Mahkamah Agung RI tersebut. Juga adanya putusan Mahkamah Agung RI yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung RI tentang obyek yang sama karena tidak adanya dokumentasi tentang tanah tersebut.

Masalah yang sering terjadi adalah baik di pengadilan umum maupun Tata Usaha Negara tidak dapat menolak pendaftaran atas kasus-kasus yang ne bis in idem, walaupun nantinya dalam putusan akhirnya dinyatakan gugatan tersebut ne bis in idem ditolak, tetapi untuk melakukan putusan pe nolakan gugatan yang ne bis in idem, sering dilakukan pada putusan akhir pada persidangan tersebut, walaupun tergugat telah mengajukan eksepsi tentang hal tersebut. Memang ada juga majelis hakim memberi putusan sela mengabulkan eksepsi tersebut. Tetapi apakah penolakan tentang gugatan ne bis in idem dilakukan sebagai putusan sela ataupun putusan akhir, penggugat tersebut dapat mengajukan banding dan kasasi, demikian juga dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara, tidak ada aturan dalam pasal-pasal hukum acara pengadilan umum maupun Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menolak pendaftaran atau menolak pemeriksaan atas gugatan ne bis in idem. Jadi harus menunggu sekitar ± 7 (tujuh) tahun untuk menunggu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang penolakan terhadap gugatan ne bis in idem tersebut.

Terhadap proses hukum tersebut, biasanya digunakan oleh Peng-gugat untuk melakukan pemblokiran atau penyitaan atas tanah seng -keta tersebut sehingga Badan Pertanahan Nasional tetap tidak be rani melakukan proses penerbitan suatu hak yang didasarkan atas putusan Mahkamah Agung RI tersebut, jika ternyata tercatat masih ada gugatan atas tanah tersebut. Selama proses hukum tersebut penggugat tersebut dapat melakukan sita jaminan atau sita revicandatoir sehingga semua kegiatan atas tanah tersebut terhenti. Hal-hal tersebut itu sebagai suatu trik-trik orang atau badan hukum yang melakukan sengketa atas tanah yang akibatnya status tanah tidak jelas, kepastian hukum tidak ada atas tanah sengketa tersebut karena menunggu putusan tentang penolakan per kara ne bis in idem sampai mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan atas pengalaman penulis bahwa ada sengketa pertanahan yang keli ha t an-nya dapat dikatakan perkara never ending.

Memperbandingkan penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan

oleh Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales dan Peng-a dilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan dengan penyelesaian sengketa tanah di Pengadilan Umum dan dan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka jelas bahwa penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia selain dapat ditangani oleh 2 (dua) peradilan yaitu peradilan umum dan tata usaha negara, juga upaya hukum yang berkepanjangan dari tingkat per tama, banding, kasasi dan Peninjauan Kembali, belum lagi ada masalah yaitu sesudah ada putusan sampai tingkat Peninjauan Kembali ternyata putus-an tersebut tidak dieksekusi karena ada beberapa putusan tentang tanah tersebut yang saling bertentangan, sehingga tidak tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, karena disebabkan belum ada pengadilan khusus pertanahan untuk penyelesaian sengketa pertanahan dengan hukum acara tersendiri juga.

Permasalahan tersebut membuat investor luar negeri dan dalam negeri enggan meneruskan investasinya di Indonesia. Tapi ada juga yang investor yang telah terlanjur mengeluarkan dana untuk membangun tanah tersebut dan dana tersebut sebagian dari pinjaman bank, oleh karena mendapat gugatan tersebut, maka investor tersebut dengan terpaksa melakukan upaya perdamaian kepada penggugat agar gugatan tersebut dapat dicabut. Untuk mendapatkan perdamaian ini, tidak sedikit uang damai yang terpaksa diserahkan oleh investor kepada penggugat yang ternyata adalah spekulan­spekulan tanah atau juga mafia­mafia tanahyang telah merekayasa suatu perkara agar investor berhenti melakukan pembangunan atas tanah tersebut.

Dengan hukum acara yang berlaku selama ini di Pengadilan Umum danPengadilanTataUsahaNegara,ternyatamembukapeluangbagimafiatanah, spekulan tanah atau pihak-pihak yang akan memetik keuntungan dengan cara-cara pemerasan yang terselubung untuk mendapatkan uang damai, karena memang tidak ada aturan hukum acara yang dapat meng-hentikan trik-trik atau langkah-langkah tersebut yang ternyata sangat merugikan investor, masyarakat dan negara RI, karena tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Yang paling memprihatinkan bahwa investor-investor asing men jadi trauma untuk melakukan investasi di Indonesia sehingga sektor riel tidak berkembang, lapangan kerja tidak terbuka luas, devisa negara tidak meningkat, dan banyak lagi kerugian-kerugian yang akan diderita akibatulahdariparaspekulan,makelarataupunmafiatanahtersebut.

Setelah dicermati dan berdasarkan penelitian dan pengamatan sela-ma ini terhadap kasus-kasus tanah yang ada, dapat ditemukan adanya pa sal-pasal dari aturan hukum yang memberikan peluang penyelesaian

Page 208: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

398 s e n g k e ta ta n a h 399B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

seng keta pertanahan tidak dapat tuntas. Aturan-aturan tersebut adalah:Pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan:

Setiap perkara perdata dimulai dengan pengajuan surat gugat dan me netapkan sebagai Pengadilan Negeri yang berwenang dalam suatu per ka ra perdata tertentu adalah pengadilan yang dalam daerah hukumnya si ter gugat mempunyai tempat tinggalnya.

Sebagaimana diketahui, Pengadilan Negeri yang adalah pengadilan tingkat pertama untuk semua macam perkara, baik perdata maupun pidana, dari perkara yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya, ber ada di setiap ibukota kabupaten dan mempunyai wilayah kabupaten tersebut sebagai daerah hukumnya.

Yang dinamakan tempat tinggal atau domisili itu adalah tempat di mana seseorang secara resmi telah menetap dan di mana ia harus dicari untuk kepentingan-kepentingannya. Petunjuk ke arah itu adalah ka lau orang tersebut di tempat itu tercatat sebagai penduduk, hal mana di-buktikan dengan dipunyainya kartu penduduk untuk tempat tersebut atau di mana ia terdaftar sebagai wajib pajak.546

Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan:

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan me mutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hu-kum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk me me riksa dan meng adilinya.

Penggunaan hukum acara HIR/RBg di dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Pengadilan, ternyata adanya ketidaksesuaian antara hukum materiel yaitu UUPA dengan hukum acara yang mempertahankan ber-la ku nya UUPA. Hal ini disebabkan hukum acara HIR/RBg untuk mem-per tahankan hukum perdata yang termuat di KUHPerdata yang dulunya ta nah diatur di Buku II KUHPerdata, tetapi sejak diber lakukannya UUPA dan Buku II KUHPerdata dinyatakan dicabut, tetapi pengadilan umum tetap menggunakan hukum acara HIR/RBg untuk menyidangkan sengketa pertanahantersebut.PadahaldasarataufilosofitanahyangterdapatdiUUPA berbeda dengan dasar pemikiran di Buku II KUHPerdata di mana dinyatakan sifat hak kebendaan adalah bersifat mutlak, karenanya yang berhak atas benda yang menjadi obyek hukum, mempunyai kekuasaan

546 Prof. R. Subekti, SH., Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989.

tertentu untuk mempertahankan hak tersebut terhadap siapapun juga.547

Dasar pemikiran tersebut maka penyelesaian sengketa pertanahan dari para pihak diajukan ke Pengadilan Negeri secara perdata yaitu mengajukan gugatan keperdataan adalah bahwa bahwa tanah sebagai obyek hukum adalah barang tidak bergerak yang mana diatur dalam Buku II KUHPerdata. Untuk proses penyelesaian perkara di Pengadilan yang bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang telah dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata, supaya peraturan hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.548

Oleh karena hal tersebut di atas, maka secara teknologis dapat di-rumuskan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang ber fungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata. Atau oleh karena tujuannya memohon keadilan melalui hakim di Pengadilan, maka hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata di Pengadilan sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan keputusan Hakim.

Dalam peraturan Hukum Acara Perdata diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya ke Pengadilan, bagaimana caranya pihak yang tergugat tersebut mempertahankan dirinya, bagaimana Hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana Hakim memeriksa dan menulis perkara sehingga dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara melaksanakan putusan Hakim dan seterusnya di mana hak dan kewajiban orang seperti yang diatur dalam Hukum Acara Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan adanya peraturan Hukum Acara Perdata orang dapat me mu-lihkan kembali haknya yang telah dirugikan melalui Pengadilan se hing ga diharapkan selalu ada ketentraman dan suasana damai dalam hidup ber-masyarakat.

Hukum Acara Perdata dapat juga disebut sebagai hukum perdata for-mil karena mengatur tentang proses penyelesaian perkara di Penga dil an secara formil di mana hukum acara perdata adalah aturan-aturan hukum bagaimana caranya mempertahankan berlakunya hukum per data.549

Sejak kemerdekaan Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945, telah diberlakukan UUD RI 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, di mana pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV juncto Peraturan Presiden

547 Ibid., hlm. 34.548 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

1992, hlm. 17.549 Ibid., hlm. 18.

Page 209: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

400 s e n g k e ta ta n a h 401B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

1945-2 tanggal 10 Oktober 1945 menyimpulkan bahwa hukum acara perdata yaitu HIR dan RBg masih tetap berbeda sebagai peraturan hukum acara di muka Pengadilan Negeri untuk semua golongan penduduk yaitu Warga Negara Indonesia.550

Tetapi sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tanggal 24 September 1960 yaitu mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang me-nge nai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ke -cuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang ini. Sejak itulah KUHPerdata meng-ala mi perubahan prinsipil dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agra-ria 1960 No. 5 LN 1960 No. 184.551 Dengan pencabutan tersebut maka Pasal 570 KUH Perdata praktis hanya mengatur barang bergerak, se dang-kan barang tidak bergerak diatur dalam UUPA.552

Hukum Agraria dibuat dengan dasar atas hukum adat tentang tanah yang harus memberikan kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan Negara mempunyai hak menguasai atas bumi, air, dan ruang angkasa tersebut yaitu kewenangan Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan pertanahan, penggunaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut hukum adat benda dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu tanah dan bukan tanah. Prinsip yang berbeda dengan prinsip benda dalam paham barat yaitu KUH Perdata.

Tanah mempunyai hubungan bersifat abadi, religius dan magis de-ng an rakyat Indonesia (Pasal 1 ayat 3 UUPA) dan tetap dapat dilak sa-na kan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat. Hukum adat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada dan tidak ber ten tangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA).

Dengan adanya hak penguasaan atas tanah oleh Negara tersebut, hak milik atas tanah oleh seseorang tidak mutlak, prinsip tersebut ber-beda dengan prinsip yang diatur dalam Buku II KUHPerdata yang sudah dicabut tersebut, karena hak milik atas tanah tersebut tetap tidak me mu-tuskan hubungan hukum atas tanah tersebut dengan Negara. Dan UUPA tidak mengatur tentang kebendaan yaitu dalam hal tanah sebagai benda tidak bergerak seperti dalam Buku II KUHPerdata.

550 Ibid., hlm. 14.551 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hlm. 32.552 Abdul Kadir Muhammad, op. cit. hlm. 38.

Hukum Tanah yang dimuat dalam UUPA bukanlah hukum tentang ke bendaan tetapi adalah hukum yang mengatur tentang penguasaan ta-nah, penggunaan tanah, dan lain-lain oleh Negara sesuai Pasal 2 UUPA. Oleh karenanya hukum tanah adalah hukum publik bukan hukum perdata seperti yang dianut dalam buku II KUHPerdata.

DasarfilosofipembuatanUUPAsangatberbedadenganpemikiranda sar dari KUHPerdata, di mana tanah berpaham barat, sedangkan UUPA berdasarkan hukum adat. Pada UUPA negara mempunyai hak me-ngu a sai atas tanah seperti dengan hak ulayat pada hukum adat. Prinsip-prinsip dalam hukum adat tanah sangat berbeda dengan prinsip-prinsip eigendom atas tanah dalam pengertian pada paham barat yang terdapat dalam KUHPerdata, di mana hukum tanah dalam UUPA mengatur tentang hak-hak atas tanah bukan tentang tanah itu sendiri.

Walaupun tanah bukan lagi obyek hukum perdata dalam KUHPer da-ta karena aturannya sudah dicabut, tetapi ternyata di dalam penyelesaian seng keta pertanahan di Pengadilan tetap digunakan Hukum Acara Perdata HIR dan RBg secara murni tanpa ada perubahan hingga saat ini, sehingga penyelesaian sengketa pertanahan menjadi berlarut-larut karena hukum acara persidangan penyelesaian sengketa pertanahan yang digunakan tersebut tidak cocok dengan hukum pertanahan Indonesia yaitu UUPA. Aturan hukum acara perdata yang termuat dalam HIR & RBg sebagai hukum acara penyelesaian sengketa pertanahan selain sudah tidak cocok lagi ternyata faktanya tidak dapat menyelesaikan sengketa pertanahan dengan tuntas karena HIR & RBg tidak dapat mempertahankan dan memulihkan hak-hak seseorang atas tanahnya yang telah dirugikan atau terganggu sesuai dengan peraturan hukum pertanahan yaitu UUPA.

Hukum acara perdata tersebut tidak dapat memuat peraturan-per a-tur an bagaimana caranya orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lainnya un tuk me laksanakan berjalannya aturan-aturan yang termuat dalam UUPA de-ng an peraturan pertanahan lainnya.

Berdasarkan pemikiran hal tersebut, maka hukum acara yang dalam pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan yang harus di gu-nakan adalah hukum acara yang menganut pembuktian kebenaran ma-te rial bukan bersifat formal. Hal ini menghindarkan adanya gugatan pura-pura dari pihak-pihak atas tanah dan tidak ada pemeriksaan dan ke-pu tus an diberikan terhadap gugatan yang ternyata bukti dokumen tanah yang diajukan ternyata adalah asli tetapi palsu.

Kemudian gugatan atas sengketa pertanahan harus diajukan kepada pengadilan di mana merupakan wilayah dari kedudukan/letak tanah

Page 210: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

402 s e n g k e ta ta n a h 403B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

sengketa, bukan digugat pada wilayah domisili tergugat ataupun pe mi-lik tanah, bukankah kita ketahui bersama dilarang kepemilikan tanah absentee? Hal ini untuk supaya gugatan diajukan pada wilayah atas ta-nah agar sidang bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan adalah yang tahu dengan baik atas status tanah tersebut. Begitu juga hakim yang me-meriksa, menyidangkan dan mengadili bila memberikan keputusan atas tanah tersebut dapat dengan mudah melakukan sidang lokasi (sidang setempat) untuk mengetahui batas-batas tanah, siapa yang menguasai fisik tanah dll. Sebagai keperluan pembuktian atas sengketa tanahtersebut sehingga memberikan keputusan yang akurat sesuai fakta untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum.

Aturan Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, perlu diperbaiki bahwa hakim wajib meneliti gugatan dan keabsahan dokumen-dokumen yang mendukung dalil-dalil gugatan tersebut adalah asli bukan palsu sebelum acara persidangan ditetapkan. Oleh karena pembuktian dari pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan untuk mencari kebenaran material, maka majelis hakim yang menangani perkara sengketa pertanahan di pengadilan khusus wajib proaktif untuk menggali fakta untuk jelasnya perkara tersebut. Tidak seperti persidangan saat ini, keaktifan hakim terbatas untuk menggali hukum, melakukan konstruksi hukum dan penemuan hukum tetapi tidak aktif untuk berupaya mendapat bukti-bukti untuk menggali fakta untuk mencari kebenaran materiel.

Hanya para pihak yang aktif mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi untuk kepentingannya sehingga sering terjadi sampai akhir putusan yaitu putus an telah mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah diketahui buk-ti-bukti yang diajukan palsu. Juga terhadap gugatan pura-pura sulit un-tuk di ketahui bahwa baik penggugat dan tergugat memiliki bukti-bukti yang palsu.

Maksud supaya majelis hakim pro aktif menggali kebenaran materiel adalah majelis hakim wajib memanggil pihak-pihak yang terkait men ce-gah adanya perlawanan dan pihak yang mengetahui tentang tanah seng-keta tersebut seperti memanggil BPN setempat, lurah, camat, tokoh-tokoh masyarakat, penduduk sekitar tanah tersebut dan saksi ahli yang terkait dengan sengketa tanah tersebut untuk menjadikan terangnya per-masalahan tanah tersebut.

Atas pemanggilan majelis hakim untuk mendapatkan kete rangan atas tanah tersebut, kepada pihak-pihak yang dipanggil ter sebut, wajib hadir dan adanya sanksi kepada yang tidak me ma tuhi panggilan majelis hakim tersebut. Demikian juga permin taan dari majelis hakim untuk

meminta diperlihatkan dokumen-dokumen tanah asli dari instansi yang berwenang terkait untuk mengetahui jelas status tanah tersebut seperti buku tanah/warkel dari BPN, SKPT, SIPPT, buku girik, petok, dll dari instansi yang berwenang untuk dihadirkan di persidangan. Selama ini yang aktif adalah para pihak untuk mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi, biasanya untuk menghadirkan saksi dari instansi harus minta bantuan dari pengadilan untuk memanggil saksi tersebut, tetapi sering juga karena dibatasi waktu persidangan, permintaan untuk saksi dipanggil melalui pengadilan ditolak.

Terhadap panggilan saksi melalui pengadilan tidak ada sanksinya, sehingga jika dipanggil 2 (dua) kali saksi tidak hadir, maka acara tersebut ditinggalkan dan dibuat suatu keputusan atas sengketa perkara tanah ter-sebut tanpa kelengkapan data tanah sengketa tersebut. Dengan ke ada an tersebut menyebabkan putusan-putusan pengadilan bukannya menye-lesaikan permasalahan tetapi malahan menimbulkan masalah yang baru.

Juga tentang gugatan ne bis in idem perlu dicegah dan dibuat su a-tu ketetapan oleh majelis hakim sebelum digelar suatu perkara di per si-dangan di mana perlu adanya persiapan persidangan untuk meme rik sa isi gugatan tersebut. Keabsahan dokumen-dokumen atas tanah tersebut, apakah perkara adalah ne bis in idem atau tidak? Disini jelas majelis hakim sangat pro aktif dan mempunyai pengetahuan cukup atas tanah yang berada di wilayah pengadilan khusus tersebut serta profesional.

Demikian juga tentang Keppres No. 32 Tahun 1979 perlu di lengkapi aturanpelaksanaandandasar­dasartentangpenguasaanfisikatastanahuntuk mencegah masyarakat melakukan penyerobotan atas tanah-tanah negara yang kosong, hal ini dapat kita lihat adanya penduduk yang men-duduki tanah-tanah sekitar kereta api, bantaran kali, tanah-tanah kosong negara yang persiapan proyek yang ternyata gagal kemudian diduduki penduduk dengan mendirikan bangunan-bangunan liar.

Ternyata penduduk tersebut menduduki tanah-tanah ter sebut selama bertahun-tahun di mana mereka dapat membuat Kartu Tanda Penduduk, membayar Pajak Bumi dan Bangunan, mendapat surat domi-sili bahwa tinggal di tanah tersebut dll yang mana nantinya dapat di aju-kan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah, dan akhirnya meminta hak prioritas mengajukan hak atas tanah negara tersebut sesuai dengan Pasal 5 Keppres No. 32 Tahun 1979.

Padahal tanah tersebut diduduki oleh mereka secara illegal, di ma-na seharusnya dibuat aturan penduduk yang akan meng gu na kan tanah negara yang terbuka/kosong, wajib mengajukan per mohonan atas peng-gunaan tanah tersebut dengan syarat-syarat bahwa jika diperlukan

Page 211: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

404 s e n g k e ta ta n a h 405B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

negara, penduduk wajib meninggalkan ta nah tersebut seperti semula tan-pa mendapat hak ganti rugi. Da lam hal ini perlu dibebankan kewajiban pengawasan atas tanah tersebut kepada camat, lurah, RT/RW setempat atas tanah-tanah negara tersebut.

Dalam pembentukan pengadilan khusus pertanahan ini, penulis mene laah dan mengambil aturan-aturan yang berlaku di Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales dan Peng adilan Gugatan Tanah di Afrika yang cocok dan baik untuk diambil sebagai aturan yang ber laku di pengadilan khusus pertanahan di Indonesia.

Berdasarkan telaah perbandingan dari kedua pengadilan tanah ter-se but, maka hukum acara yang akan digunakan dalam Peng adilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan memiliki aturan-aturan khusus ter-sendiri dan berasas lex specialis derogat lex generalis dalam hukum acara pengadilan umum yang menggunakan HIR dan RBg. Hukum acara yang akan diguna kan dalam pengadilan khusus pertanahan tersebut untuk men ca pai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah tanpa mengesampingkan keadilan dan ketelitian pemeriksaan kasus.

Hukum Acara Pengadilan Khusus Dalam Penyelesaian Seng keta Per tanahan adalah: Acara dengan tertulis, di mana pemeriksaan pokok seng keta berjalan dengan surat-menyurat dimuka hakim, mengingat ma-sa lah tanah berkaitan dengan dokumen-dokumen atas tanah dan juga memerlukan keterangan lisan dari para pihak asli (principal) untuk men-jelaskan tentang sengketa tanahnya. Se tiap pengadilan menyediakan pani tera untuk menjelaskan prosedur pengajuan gugatan-gugatan di peng a dilan khusus tanah dan mencatat dalam tulisan membantu para pi-hak yang tidak dapat menulis, juga memberikan ijin kepada advokat yang akan berpraktek di pengadilan khusus tanah dalam mendapatkan kuasa dari para pihak.

Oleh karena di dalam penyelesaian sengketa tanah bertitik berat ke-pada hukum publik maka hakim wajib mencari kebenaran materiel bu kan bersifat formal. Bertalian erat dengan hukum pembuktian yang meng anut ajaran pembuktian bebas.

Disini hakim mempunyai wewenang memberikan penjelasan kepada para pihak misalnya mengenai materi gugatan, surat-surat tentang ke-pemilikan tanah, alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan, tentang po sita dari petitum yang berkaitan dengan apa yang diperjuangkan atas tanah miliknya, mengingatkan dan mengatur tentang upaya-upaya hu-kum dengan alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dapat ber-jalan baik dan tertib, memanggil saksi dan saksi ahli atas inisiatif hakim untuk mengetahui dengan jelas tentang status tanah tersebut misalnya

Badan Pertanahan Nasional setempat, lurah, camat, tokoh adat, tokoh masyarakat setempat yang mengerti atas tanah tersebut.

Pemanggilan dari hakim harus dipenuhi oleh yang dipanggil dan ada sanksijikatidakmemenuhipanggilantersebut.Danmemintakonfirmasitertulis tentang status tanah beserta bukti-bukti yang ada, berwenang melakukan sidang lokasi atas tanah sengketa, dengan menghadirkan para pihak, pejabat-pejabat instansi yang berwenang dan terkait serta tokoh-tokoh adat dan masyarakat untuk memeriksa keadaan tanah sengketa, dan dibuat berita acara sidang di lokasi dengan pihak-pihak yang hadir dan ikut menjelaskan membubuhi tanda tangan di panitera pengganti.

Sebelum dilakukan persidangan atas permasalahan yang masuk di pengadilan khusus pertanahan tersebut, petugas khusus pertanahan (Commisioner) bertugas menerima, meneliti dan melakukan wawancara kepada pihak yang mengajukan gugatan, kemudian mengkonfirmasikepada pihak instansi ataupun pihak-pihak terkait berkaitan atas kasus tersebut.

Penelitian tersebut berkaitan juga terhadap bukti-bukti yang diaju-kan aspal (asli atau palsu) atau benar-benar asli, kasus ne bis in idem atau tidak, kurang pihak, dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka petugas khusus per-tanahan tersebut membuat resume dan kesimpulan apakah perkara ter-sebut dapat di proses atau tidak. Jika kasus tersebut berkaitan dengan nilai pembebasan tanah, maka juru taksir membuat suatu pendapat/appraisal atas tanah sengketa tersebut.

Dari hasil resume dan kesimpulan tersebut, maka hakim me la-kukan prasidang dan memanggil para pihak dan memerin tah kan untuk melengkapi gugatan atau perbaikan gugatan jika per kara tersebut dapat diproses, atau diberikan keputusan untuk menya takan perkara tersebut tidak dapat diproses.

Terhadap hasil pemeriksaan hakim dalam pra sidang tersebut, hakim dapat membuat penetapan bahwa perkara tersebut tidak dapat disi-dangkan, dan terhadap penetapan tersebut pihak yang keberatan hanya dapat mengajukan banding di Pengadilan Tinggi setempat dan hasil putusanpengadilantinggiadalahfinal.Peranaktifhakimberartihakimmempunyai hubungan langsung dengan segala proses seperti berwenang dan berupaya agar masalah jelas dan didapatkan kebenaran materiel sehingga putusan yang didapat sesuai dengan fakta dan kenyataan yang ada tentang tanah sengketa tersebut. Hubungan demikian merupakan hubungan langsung (onmiddelijk) dan hubungan hidup dalam hakim dari

Page 212: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

406 s e n g k e ta ta n a h 407B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

perkara yang sedang diadili.553

Hakim berwenang menerbitkan penetapan sita atas tanah (con se-ra tory beslag) ataupun sita revicandatoir atas tanah, serta perihal pe-rintah penundaan pembangunan atas tanah, pengo songan tanah, untuk menjaga tanah tidak berubah status selama proses persidangan. Pene-tapan tersebut dikawal oleh aparat ke amanan setempat.

Para pencari keadilan dapat langsung ke pengadilan khu sus tanah untuk memperjuangkan hak atas tanah miliknya, di peng adilan khusus tanah akan disiapkan beberapa petugas panitera yang bertugas hanya untuk memberikan bantuan atau memberikan penjelasan dan mem bantu membuat gugatan dan siapkan bukti-bukti/dokumen tentang kepemi-likan tanah, di samping itu disiapkan juga advokat yang telah mempu nyai ijin bersidang di pengadilan khusus membantu pihak-pihak yang akan bersengketa di pengadilan khusus tanah.

Setiap pengadilan khusus tanah memiliki daftar nama petugas khu-sus pertanahan (Commissioner) panitera yang khusus melayani pihak yang mengajukan gugatan dan daftar nama advokat yang sudah memiliki ijin beracara di pengadilan khusus tanah, dalam hal ini pihak yang akan ber acara di pengadilan khusus tanah bebas memilih, apakah akan maju sendiri atau dibantu oleh kuasanya, di samping nama hakim dan panitera.

Pembuktian di pengadilan khusus tanah adalah mencari kebenaran materiel, bukan formal, maka hakim memegang peran yang aktif dan be-bas sepenuhnya, artinya tidak ada ketentuan yang mengikat hakim, dan hakim berwenang menentukan sendiri apa yang harus dibuktikan dan kepada siapa pembagian beban pembuktian akan dipikulkan serta apa yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.

Oleh karena sebelum ditetapkan perkara layak disidangkan, hakim telah meneliti dengan seksama kebenaran gugatan dan bukti-bukti yang mendukung dalil-dalil gugatan dan keterangan para tergugat beserta bukti-bukti, dan ternyata misalnya tentang penyerobotan dan tanah yang diserobot akan dibangun suatu bangunan serta adanya pejabat instansi yang akan membongkar bangunan seseorang, maka hakim dapat mener-bitkan penetapan untuk memulai pelaksanaan dalam rangka sebe lum melakukan persidangan di tempat/lokasi. Jika ternyata dalam sidang lokasi ternyata dipertimbangkan tidak diperlukan penetapan penundaan,

553 Martiman Prodjomidjojo, Hukum Acara Pengadilan TUN dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.

maka dapat diterbitkan penetapan untuk mencabut penetap an semula, terhadap penetapan tersebut pihak dapat mengajukan ban ding tersendiri kepengadilantinggidanputusanpengadilantinggiadalahfinal.

Pengadilan khusus tanah masuk dalam lingkungan peradilan umum, maka berdasarkan Pasal 5 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan keha-kiman jo UU No. 14 Tahun 1970, menganut asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Prinsip ini dianut juga oleh pengadilan khusus tanah mengingat pemilik tanah di pedesaan-pedesaan banyak yang tidak mampu tetapi dia harus mempertahankan hak atas tanah miliknya yang merupakan kehidupan dan martabatnya. Ketidakmampuan ini dapat diajukan oleh Pemohon dengan melampirkan surat keterangan lurah atau pun kepala desa setempat, kemudian ketua pengadilan me netapkan ten tang biaya perkara cuma-cuma.

Pada prinsipnya gugatan sengketa pertanahan diajukan ke pengadilan khusus tanah yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan tanah sengketa tersebut.

Maksudnya untuk melindungi pemilik tanah yang sebenarnya, sesuai dengan pemilik tanah absentee, dan tanah tidak boleh terlantar di mana tanah memiliki fungsi sosial maka gugatan tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat sesuai Pasal 118 ayat (1) HIR seperti di pengadilan umum, tetap ke pengadilan di mana letak tanah berada.

Menjadi saksi adalah merupakan kewajiban hukum setiap orang. Orang yang dipanggil menghadap persidangan untuk menjadi saksi, tetapi menolak kewajiban itu dapat untuk dihadapkan di persidangan dengan bantuan polisi dan dapat juga dikenakan sanksi jika dipandang perlu oleh Hakim. Tidak pengecualian untuk hadir di persidangan dengan membawa dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan dengan tanah apakah pejabat tata usaha negara seperti Badan Pertanahan Nasional, gubernur, camat, lurah dll, tokoh adat, tokoh masyarakat yang mengetahui tentang status tanah sengketa.

Khusus di Pengadilan Khusus Tanah ini, di setiap pengadilan ini ada pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat yang setiap saat memberikan data-data tentang tanah yang disengketakan dan memberikan penjelasan atas tanah sengketa tersebut di setiap kasus. Juga perlunya diangkat juru taksir (appraisal) yang inde penden untuk menilai harga tanah sengketa yang berkaitan dengan gugatan ganti rugi pembebasan tanah baik untuk umum/pemerintah maupun swasta.

Page 213: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

408 s e n g k e ta ta n a h 409B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Dalam acara pengadilan khusus tanah ada sesuatu kekhu susan se-perti acara pemeriksaan yaitu sebelum pemeriksaan per sidangan, ketua peng adilan khusus pertanahan atau hakim yang ditunjuk majelis untuk hal tersebut dalam rapat permusyawaratan berwenang memutuskan apa kah gugatan tersebut layak atau tidak layak disidangkan atau tidak ber dasar karena: gugatan bukan tentang sengketa pertanahan, gugatan tidak didasarkan hak kepemilikan atas tanah, syarat-syarat gugatan tidak terpenuhi, tidak ada bukti-bukti tentang kepemilikan tanah yang men-du kung gugatan, ternyata bukti-bukti kepemilikannya palsu, gugatan menurut nalar tidak masuk akal, ternyata hak miliknya sudah hapus dan telah menerima penggantian atas tanah tersebut tetapi yang menerima ahli waris yang lain sehingga sengketa tersebut bukan sengketa tanah lagi tetapi sengketa pembagian atas ganti rugi tanah ataupun ternyata gugat-an ne bis in idem.

Untuk acara pemeriksaan sebelum sidang/acara pra sidang, di per lu-kan petugas khusus pengadilan yang di pengadilan tanah dan ling kungan New South Wales dan pengadilan gugatan tanah di Afrika Selatan disebut Commissioner untuk melaksanakan pemeriksaan gugat an yang masuk di pengadilan khusus tanah yang hasil pemeriksaan dari petugas khusus tersebut dilaporkan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim untuk memutuskan kelanjutan gugatan tersebut.

Petugas khusus pengadilan khusus pertanahan ini dapat di ang kat dari Badan Pertanahan Nasional, akademisi, advokat, jaksa, polisi atau-pun mantan hakim yang memiliki keahlian tentang tanah.

Petugas khusus tersebut di atas diberikan wewenang dan diwajibkan melakukan suatu pemeriksaan persiapan untuk menentukan apakah per-kara layak disidangkan atau tidak. Dalam kesempatan ini hakim mem-berikan penjelasan kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan, me me riksa bukti-bukti kepemilikan, meneliti keabsahan surat-surat ke-pe milikan tanah dengan minta penjelasan kepada pejabat-pejabat yang me ner bitkan surat-surat tersebut, memanggil tergugat minta penjelasan deng an masalah gugatan tersebut apakah ne bis in idem atau tidak dalam du duk masalahnya. Sehingga mendapat data lengkap atas perkara ter-sebut yang kemudian atas pemeriksaan petugas khusus tersebut, maka di-buat suatu laporan tertulis yang disampaikan kepada majelis hakim, jadi fungsinya membantu hakim di dalam penelaahan perkara yang masuk di pengadilan khusus pertanahan.

Setelah mendapatkan laporan dari petugas tersebut, maka hakim

wajib menerbitkan penetapan tentang penolakan atau menyatakan gugat-an dapat disidangkan, dan pihak yang keberatan atas penolakan gugat an tersebut,dapatmengajukanbandingdanputusanbandingadalahfinal.Disini adanya faktor pengawasan dari pengadilan tinggi atas pekerjaan hakim di pengadilan khusus tanah di tingkat pertama.

Hukum acara pengadilan khusus tanah adalah perpaduan antara kepentingan orang atau badan hukum dengan kepentingan umum, ma-sya rakat dan negara, yang menghendaki bahwa sekali suatu sengketa di-ajukan kepada pengadilan, maka pengadilan wajib menyelesaikan per kara sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipulihkan kembali dan perkara dapat diakhiri secara tuntas.

Sistem hukum acara pengadilan khusus pertanahan berwenang untuk membentuk suatu keputusan yang pantas dan patut sesuai dengan hu kum yang berlaku, berdasarkan fakta yang ada secara adil, bermanfaat bagi pencari keadilan, masyarakat dan negara. Disini asas ex aequo et bono benar-benar diterapkan oleh majelis hakim, apakah seseorang se-pan tas nya diberikan ganti rugi yang layak ataukan dikembalikan tanahnya seperti keadaan semula.

Pengambilan putusan dilakukan dengan musyawarah majelis di usa-hakan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai permufakatan yang bulat dilakukan dalam sidang tertutup. Putusan majelis harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dan putusan tersebut dicatat oleh pengadilan dan ditulis dalam peta tanah adanya sengketa tanah tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, diharapkan pengadilan khusus pertanahan dalam penyelesaian sengketa pertanahan dengan asas seder-hana, cepat dan biaya ringan menghasilkan putusan yang baik di mana kepastian hukum, keadilan dan bermanfaat bagi para pihak, masyarakat dan negara dapat tercapai, sehingga tanah dapat segera dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sudah menjadi fakta dan pengetahuan umum bahwa persidangan pe nyelesaian sengketa pertanahan yang selama ini berlangsung memakan waktu yang panjang selama bertahun-tahun sehingga beberapa generasi berganti tetapi ternyata masalah tanah belum selesai juga malah berlanjut tanpa henti sehingga asas peradilan sederhaa, cepat dan biaya ringan tidak tercapai.

Hal ini dapat terjadi karena persidangan untuk penyelesaian sengketa pertanahan selama ini bersifat formal dan hakim hanya menerima apa adanya dari para pihak, baik bukti-bukti tertulis maupun saksi-saksi yang kemudian menilai bukti-bukti dan saksi-saksi yang ada di persidangan

Page 214: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

410 s e n g k e ta ta n a h 411B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

berdasarkan hukum yang berlaku. Jika di pihak rakyat yang tidak mampu sebagai pemilik tanah yang sebenarnya tidak mampu mengusahakan bukti-bukti dan saksi-saksi yang cukup untuk membuktikan kebenaran yang ada berupa saksi-saksi yang berkompeten dan saksi yang tahu persis masalah tanah sengketa tersebut, maka akan kalahlah si miskin tersebut. Karena dalam hal ini hakim tersebut tidak mempunyai upaya paksa untuk membantu untuk mencari kebenaran materiel.

Dalam kesempatan dalam persidangan di pengadilan khusus per-tanahan, hakim wajib pro aktif menggali kebenaran materiel dan mem-punyai kewenangan untuk memanggil pejabat-pejabat atau saksi-saksi, tokoh-tokoh adat, masyarakat dll serta memerintahkan peja bat untuk dapat memperlihatkan bukti-bukti/dokumen-dokumen pen dukung tanah sengketa untuk mendapatkan kejelasan tentang tanah ter se but, seper-ti riwayat tanah, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah, dll se hubung an dengan tanah tersebut.

Untuk kepentingan hal tersebut, setiap hakim yang akan masuk dalam pengadilan khusus pertanahan di suatu wilayah hukumnya tanah tersebut berada sehingga wajib mengetahui dengan baik hukum tanah setempat berupa hukum adat yang masih hidup dan digunakan serta telah menjadi norma kebiasaan dari masyarakat disana, sehingga hakim memberikan putusan akhir dalam sengketa pertanahan adalah suatu pu-tusan yang berkualitas, memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, masya-rakat dan negara.

Dengan putusan yang berkualitas tersebut, diharapkan tidak ada gejolak-gejolak yang timbul dari masyarakat untuk menentang jalannya pelaksanaan eksekusi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dan juga dengan pengetahuan yang cukup, maka hakim tersebut tidak memberikan peluang bagi spekulan tanah ataupun mafia tanahdapat melakukan suatu gugatan pura-pura, adanya gugatan yang ne bis in idem yang biasanya di rekayasa seolah-olah gugatan tidak ne bis in idem dengan cara-cara mengubah para pihaknya, misalnya ditambah peng-gugatnya, atau ditambahkan tergugatnya seakan-akan kasusnya berbeda tetapi masalah utamanya sama saja yaitu obyek sengketa pertanahan ada lah sama. Disini perlu kejelian dari hakim terhadap trik-trik dari para mafiatanahtersebut.

Pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan akan didirikan berdasarkan Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 masuk dalam lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Pembentukan pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan didasarkan oleh Undang-

Undang pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan, yang mengatur tentang aturan hukum posisi pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan dan aturan hukum lainnya yang berkaitan dengan pengadilan khusus penyelesaian sengketa pertanahan tersebut.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 pengadilan khu-sus penyelesaian sengketa pertanahan adalah suatu pengadilan khusus yang masuk pada peradilan umum yang khusus untuk penyelesaian seng-keta pertanahan baik kepemilikan atas tanah, tentang Surat Kuasa atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional dan keabsahan dokumen tanah maupun tentang ganti rugi atas tanah untuk kepentingan umum, jadi seluruh masalah yang obyeknya tanah diselesaikan di pengadilan khusus per tanahan.

Pengadilan khusus pertanahan dibentuk oleh Undang-Undang deng-an memiliki aturan dan hukum acara yang khusus yang merupakan lex speciales derogat lex generalis dari hukum acara yang diajukan oleh pengadilan umum.

Wilayah kewenangan dari pengadilan khusus pertanahan adalah se-lu ruh tanah yang berada dalam wilayah pengadilan tersebut. Oleh karena belum semua tanah-tanah di Indonesia dilakukan pendaftaran tanah, sehingga data-data tanah tidak semua berada di Badan Pertanahan Na-sional setempat. Idealnya nanti pengadilan khusus pertanahan me miliki peta tanah wilayah kewenangannya dan lengkap dengan data-data la-pangan, termasuk data-data tentang sengketa tanah-tanah dalam wila yah tersebut. Oleh karena diperlukan kekuatan penyimpanan data atas ta nah dan sengketa-sengketa yang beserta putusan, untuk pengetahuan ha-kim dan panitera, jika ada perkara yang menyangkut tentang tanah yang pernah sengketa dan dapat putusannya.

Pengadilan khusus pertanahan mempunyai koordinasi kuat dengan kepolisian, Badan Pertanahan Nasional, Lurah, Camat, Walikotamadya, Bupatiuntukdapatmengkonfirmasi tentangdata­data tanahsertakoor­dinasi dalam pemberantasan surat-surat palsu atas tanah. Pada saat ini Badan Pertanahan Nasional ada kerjasama dengan kepolisian untuk mela kukan penghapusan tentang surat-surat palsu tanah yang beredar di umum.

Pengadilan khusus pertanahan juga dapat menyelesaikan tumpang tin dih Surat Keputusan dari departemen kehutanan, perkebunan, per-tambangan yang berkaitan dengan tanah. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, maka tanah, air dan isinya dalam pe nge-lolaan dan penguasaan negara, sedangkan negara dalam hal ini di wakili

Page 215: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

412 s e n g k e ta ta n a h 413B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

oleh Badan Pertanahan Nasional untuk mengelola dan peng u asaan atas tanah, maka untuk mempunyai kedudukan yang sama dalam penentuan hak-hak atas tanah, maka Badan Pertanahan Nasional harus minimal setingkat dengan Departemen Kehutanan, Departemen Per tanian, Departemen Pertambangan sehingga pengaturannya atas tanah dapat dikoordinasikan dengan baik.

Jadi dengan dibentuk pengadilan khusus pertanahan, pemberian data tanah yang lengkap dari Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah beserta aparat kepada pengadilan tersebut sehingga wilayah ke we nangan dari pengadilan khusus pertanahan batas-batasnya da-pat jelas, sehingga pencari keadilan tidak salah di dalam pengajuan gu-gatan sengketa tanah di pengadilan tersebut. Perlunya pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat yang berkantor di Pengadilan Khusus Pertanahan ini yang berfungsi untuk memberikan data-data yang benar atas tanah serta memberikan penjelasan tanah tersebut. Demikian juga ada nya petugas khusus pengadilan (Commissioner) dan juru taksir yang membantu majelis hakim dengan tujuan untuk mempermudah hakim untuk memutuskan atas penyelesaian sengketa pertanahan ataupun sengketa ganti rugi pembebasan tanah baik untuk kepentingan umum, maupun swasta.

Terhadap sengketa pertanahan tertentu yang kompleks pem buk-tiannya hakim dapat mengundang saksi ahli dari akademi, ketua adat ataupun ahli tanah langsung yang mengetahui persil tentang tanah seng-keta tersebut sehingga permasalahannya dapat jelas duduk posisinya.

Berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, maka upaya hukum di pengadilan khusus pertanahan ini hanya banding saja di Pengadilan Tinggi Pertanahan dan hasil putusan banding merupakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sesuai Pasal 23 UU No. 4 Tahun 2004, dinyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu (novum) yang ditentukan dalam Undang-Undang, maka terhadap putusan dari Pengadilan Tinggi Pertanahan yang telah mem punyai kekuatan hukum tetap tersebut. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan khusus pertanahan ini dalam lingkungan peradilan khusus dan berpuncak ke Mahkamah Agung RI.

Pengadilan Khusus Pertanahan ini, mempunyai persamaan asas dengan Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales dan Pe-

ng a dilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan yaitu asas sederhana, cepat dan biaya murah dan sidangnya terbuka untuk umum serta pembuktian ke-benaran materiel.

Pengadilan Khusus Pertanahan ini juga seperti Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales yaitu one stop shop di mana seluruh sengketa pertanahan baik perdata maupun pidana adalah wewenang Pengadilan Tanah ini, hanya perbedaannya adalah di mana masalah pencemaran lingkungan bukanlah wewenang pengadilan khusus tanah di Indonesia, karena ini merupakan tindak pidana yang merupakan we-we nang Pengadilan Umum. Demikian juga Pengadilan Khusus Tanah ini tidak memiliki kelas-kelas untuk pengajuan gugatan seperti Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales.

Pengadilan Khusus Pertanahan ini dapat menerima gugatan setiap subyek hukum tanpa pilih bulu, berbeda dengan Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan hanya terbatas orang atau kelompok yang ke hi-langan hak tanah setelah tanggal 19 Juni 1913 sebagai akibat dari prak tek-praktek atau Undang-Undang yang terdahulu yang bersifat dis kri minasi dan rasialis.

Baik di pengadilan khusus pertanahan maupun di pengadilan tanah dan lingkungan di New South Wales dan pengadilan gugatan tanah di Afrika Selatan sama-sama memiliki petugas khusus pengadilan (Com-missioner) dan juru taksir, hanya fungsi petugas khusus tersebut memiliki perbedaan fungsi dengan pengadilan khusus pertanahan di Indonesia.

Dengan memiliki asas yang sama tersebut di atas, maka baik Peng-adilan Khusus Pertanahan di Indonesia, Pengadilan Tanah dan Ling kung -an di New South Wales dan Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika ha nya memiliki upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi sehingga pu tus-annya Pengadilan Tinggi mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi oleh karena perkara tanah di Indonesia belum akurat dan tersusun baik, maka ada upaya hukum luar biasa yaitu jika ada bukti baru (novum) maka dapat mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI.

sosok Pengadilan Khusus Pertanahan indonesiaPengadilan yang khusus menangani sengketa pertanahan sudah mendesak untuk kita miliki. Argumennya sudah penulis paparkan dalam tulisan sebelumnya. Lantas, kalau kita hendak mendirikan lembaga ini, seperti apa gerangan sosoknya?

Lembaga semacam ini belum pernah didirikan di Indonesia. Oleh ka-rena itu, kita belum punya modelnya. Kendati demikian, kalau mau me-

Page 216: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

414 s e n g k e ta ta n a h 415B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

rancang, kita tak perlu beranjak dari titik nol lagi supaya tidak banyak mem buang waktu dan tenaga. Mematut atau meniru model, menurut pe nulis, tak salah untuk kita lakukan. Meminjam istilah dari dunia kom-puter, jalur short-cut saja yang kita tempuh.

Banyak contoh yang bisa kita gunakan dalam re-modelling ini. Penulis sendiri mencoba mematut model Pengadilan Tanah dan Lingkungan di New South Wales dan Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan. Dasar pemilihan kedua sistem yang rundown-nya sebenarnya berbeda di sana-sini ini adalah karena kecocokannya dengan kebutuhan pengadilan kita. Berikut ini hasil re-modelling yang telah diadaptasi dengan kebutuhan kita tersebut.

Pembuktian materialRujukan utama tatkala kita mendesain pengadilan khusus pertanahan Indonesia tentunya adalah UUPA, sebab itulah payung hukum agraria nasional kita. Mari kita mulai dengan pembahasan hukum acara untuk peng adilan khusus nanti yang senapas dengan UUPA.

Selama ini di pengadilan negeri kita, HIR dan RBg-lah—merupakan bagian dari Buku II Burgerlijk Wetboek (BW)—yang dipakai sebagai hukum acara untuk menyelesaikan sengketa tanah. Hakikat kepemilikan tanah menurut HIR dan RBg sangat berbeda dibanding hukum adat yang menjadi dasar dari UUPA. Menurut HIR dan RBg hak kepemilikan tanah semacam hak eigendom, sedangkan menurut hukum adat semacam hak ulayat.

HIR dan RBg harus kita tinggalkan sebab tak sejiwa dengan UUPA. Selain sudah dinyatakan tak berlaku lagi sejak pemberlakuan UUPA pada 24 September 1960, hukum acara perdata yang berasal dari masa Hindia Belanda ini tidak memuat aturan tentang bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan bagaimana pengadilan itu harus bergerak untuk menjalankan ketentuan UUPA dan peraturan pertanahan lainnya. Kalau HIR dan RBg kita tinggalkan, berarti kita harus menyiapkan penggantinya. Lantas, seperti apa sebaiknya sosok pengganti dimaksud? Untuk menjawab pertanyaan ini kita lihat dulu aturan main seperti apa yang kita butuhkan dalam pengadilan khusus nanti.

Penulis berpendapat bahwa hukum acara yang cocok untuk peng-adilan khusus pertanahan [untuk seterusnya pengadilan inilah yang penulis maksudkan manakala menyebut ‘pengadilan’] kita nanti memiliki atur an tersendiri dan berasas lex specialis derogat lex generalis. Prinsip-nya, penyelesaian perkara harus sederhana, cepat, dan berbiaya murah

tanpa mengesampingkan keadilan dan ketelitian. Pembuktiannya mate-rial, bukan formal seperti dalam HIR dan RBg. Ini perlu dilakukan untuk menghindari gugatan pura-pura serta gugatan yang menggunakan doku-men tanah yang asli tetapi palsu.

Hukum acara pengadilan khusus tanah memperhatikan perpaduan keinginan antara orang atau badan hukum dengan kepentingan umum, ma syarakat, dan negara. Sekali suatu sengketa diajukan ke pengadilan, peng adilan wajib menyelesaikan perkara itu sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipulihkan kembali dan perkara dapat diakhiri secara tuntas.

Pengadilan khusus pertanahan, lewat sistem hukum acaranya, ber-wenang untuk membentuk suatu keputusan yang pantas dan patut sesuai dengan hukum yang berlaku, berdasarkan fakta yang ada, adil, serta bermanfaat bagi pencari keadilan, masyarakat, dan negara. Di sini asas ex aequo et bono benar-benar diterapkan oleh majelis hakim. Keputusan mengenai apakah seseorang sepantasnya diberikan ganti rugi yang layak atau tanahnya dikembalikan seperti keadaan semula, misalnya, itu ditimbang dengan seksama.

Prinsip yang dianut adalah setiap gugatan harus diajukan ke peng-adilan tempat tanah sengketa berada, bukan di domisili tergugat. Me-ngapa? Ya, agar sesuai dengan ketentuan UUPA yang melarang pe mi-likan tanah absentee;bukti­buktiyangdiajukanparapihaklebihmudahdicocokkandenganfaktalapangan;parasaksilebihgampangdihadirkan;serta hakim yang memeriksa, menyidangkan, dan mengadili perkara juga akan lebih mudah mengadakan sidang lokasi. Dengan demi kian, pu tusannya bakal lebih akurat dan kuat. Agar hal itu bisa ter wujud, di sisi lain, Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang ke ku asaan ke-ha kiman dengan sendirinya perlu diperbaiki. UU yang sudah di revisi meng haruskan majelis hakim wajib meneliti gugatan, termasuk ke ab sa-h an dokumen yang mendukung dalil-dalil gugatan, sebelum acara per-sidangan ditetapkan.

Karena pembuktian bertujuan mencari kebenaran material, majelis hakimnya wajib proaktif menggali fakta demi kejelasan duduk perkara, tidak seperti dalam persidangan di pengadilan umum selama ini, di mana keaktifan hakim sebatas dalam menggali hukum, mengonstruksi hukum, dan mengupayakan penemuan hukum saja. Mereka tidak aktif meng-upayakan bukti-bukti dan menggali fakta untuk mencari kebenaran ma-terial, hanya pihak yang aktif mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi,

Page 217: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

416 s e n g k e ta ta n a h 417B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, sering terjadi bahwa ketika putus-an yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap keluar, barulah di ke ta-hui bahwa bukti-bukti yang diajukan pihak tertentu ternyata palsu.

Dari segi kelengkapan petugas, pengadilan khusus tanah ini istimewa dibandingkan dengan lembaga pengadilan kita yang ada sekarang. Selain majelis hakim dan panitera, di sini ada petugas khusus yang dalam tulisan ini kita sebut ‘komisioner’, juru taksir, dan staf BPN yang diperbantukan manakala pengadilan membutuhkan. Pada hakekitnya tugas mereka adalah membantu majelis hakim.

Majelis hakim merupakan otoritas tertinggi dalam pengadilan khusus tingkat pertama ini. Mereka yang memimpin proses peradilan serta membuat setiap keputusan. Pengambilan putusan mereka laku kan dengan musyawarah di majelis. Dalam sidang tertutup mereka meng-usahakan dengan sungguh-sungguh supaya tercapai permufakatan yang bulat. Putusan majelis harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam penyelesaian sengketa, majelis hakim berorientasi ke hukum publik sehingga mereka wajib mencari kebenaran material, bukan formal. Pembuktian bebas, dasarnya. Dalam hal ini, mereka berwenang memberikan penjelasan kepada para pihak ihwal materi gugatan, surat-surat tentang kepemilikan tanah, alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan, serta posita dari petitum yang berkaitan dengan apa yang sedang diperjuangkan para pihak. Mereka juga berwenang mengatur agar upaya hukum termasuk pengajuan alat-alat bukti oleh para pihak dapat berjalan dengan baik dan tertib. Mereka bisa memanggil saksi dan saksi ahli supaya status tanah menjadi jelas. Yang dipanggil misalnya staf Badan Pertanahan Nasional setempat, lurah, camat, tokoh adat, dan tokoh masyarakat setempat yang mengerti status tanah.

Pemanggilan oleh hakim harus dipenuhi oleh siapa pun, termasuk para saksi. Kalau yang dipanggil tidak datang, mereka bisa dipanggil pak-sa dengan bantuan polisi. Jika tetap tak datang, manakala merasa perlu, hakim bisa menjatuhkan sanksi untuk mereka. Proses perkara sen diri akan berlanjut kendati yang dipanggil tak muncul.

Panitera mempunyai tugas antara lain menjelaskan pro sedur peng-ajuan gugatan di pengadilan dan mencatat semua proses peradilan. Dia ju-ga membantu para pihak yang tidak dapat menulis, dan memberikan izin kepada advokat yang akan berpraktik di pengadilan nanti. Satu lagi, dia membuat berita acara sidang di lokasi. Pihak-pihak yang hadir dan ikut menjelaskan duduk masalah membubuhi tanda tangan di berita a cara.

Komisioner dapat diangkat dari lingkungan BPN, akademisi, advokat, jaksa, polisi, atau mantan hakim yang memiliki keahlian tentang tanah. Tugasnya memeriksa gugatan yang masuk. Hasilnya dilaporkan kepada ketua pengadilan atau majelis hakim. Ketua pengadilan atau majelis akan menggunakan hasil pekerjaan komisioner saat memutuskan perkara lanjut atau tidak.

Juru taksir, posisinya independen. Tugasnya menilai harga tanah. Kata lainnya, ia membuat taksiran (appraisal) nilai tanah. Taksiran diperlukan manakala gugatan berupa ganti rugi dalam pembebasan tanah baik oleh pemerintah maupun swasta.

Staf BPN setiap saat ada dalam setiap proses peradilan. Tu gasnya adalah memberikan data-data tentang tanah yang diseng ketakan dan menjelaskan soal tanah sengketa manakala diminta oleh hakim.

Para pencari keadilan dapat langsung ke pengadilan khusus tanah untuk memperjuangkan haknya. Di sana panitera akan siap memberikan bantuan atau menjelaskan soal persidangan. Mereka juga bisa membantu para pihak membuat gugatan atau menyiapkan bukti-bukti termasuk dokumen kepemilikan tanah. Di samping itu, tersedia juga advokat yang telah memiliki izin bersidang di pengadilan ini.

Setiap pengadilan memiliki daftar nama komisioner, panitera yang khusus melayani pihak yang mengajukan gugatan, serta advokat yang sudah memiliki izin beracara di pengadilan khusus tanah. Pihak yang akan beracara di pengadilan bebas memilih apakah akan maju sendiri atau dibantu oleh kuasa hukum nanti.

Pengadilan khusus ini berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 5 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 14 Tahun 1970 menyatakan asas yang berlaku di pengadilan adalah sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Dengan sendirinya itu pula asas untuk peng-adil an khusus pertanahan. Ini tentu akan sangat meringankan beban kaum tak berpunya yang akan atau tengah beperkara memperebutkan hak atas tanah. Mereka ini bisa pula mengajukan permohonan beperkara secara prodeo atau cuma-cuma. Caranya, dalam permohonan itu mereka melampirkan surat keterangan dari lurah atau kepala desa setempat yang isinya menerangkan bahwa mereka orang tak mampu. Ketua pengadilan ke mudian akan membuat ketetapan yang isinya meluluskan atau menolak permohonan.

Seperti telah disebut, pembuktian di pengadilan khusus tanah ber-tujuan mencari kebenaran material, bukan formal. Jadi, hakim berperan aktif dan bebas sepenuhnya. Ini berarti hakim mengikuti secara langsung

Page 218: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

418 s e n g k e ta ta n a h 419B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

segala proses peradilan dan berupaya maksimal supaya duduk masalah jelas dan kebenaran material didapatkan. Hubungan hakim dengan perkara yang sedang mereka adili yang demikian disebut bersifat langsung (onmidelijk) dan hidup.554

Tidak ada ketentuan yang boleh membelenggu hakim. Mereka ber-wenang menentukan sendiri apa yang harus dibuktikan dan kepada siapa beban pembuktian akan dipikulkan, serta apa yang harus dibuktikan oleh mereka (hakim) sendiri. Sekarang mari kita lihat proses peradilan yang dipimpin majelis hakim.

Mekanisme kerjaKatakanlah pengadilan telah menerima sebuah gugatan (tentu saja seng-keta pertanahan). Majelis hakim kemudian akan menugasi komisioner memeriksa isi gugatan. Komisioner lantas meneliti gugatan, juga me -wawancarai pihak yang mengajukan gugatan. Tujuannya untuk memas-tikan keautentikan dokumen, ne bis in idem atau tidak gugatan, dan ke lengkapan dokumen para pihak. Setelah penelitian kelar, komisioner melaporkan secara tertulis hasilnya ke majelis hakim.

Ketua pengadilan khusus atau hakim yang ditunjuk majelis hakim kemudian memimpin rapat permusyawaratan hakim. Tujuannya, me-mu tus kan apakah gugatan tersebut layak atau tidak layak disidangkan. Hakim meneliti dengan seksama kebenaran gugatan dan bukti-bukti yang mendukung dalil-dalil gugatan. Pula keterangan para tergugat beserta bukti-bukti. Kalau dianggap tidak layak, bisa jadi karena gugatan bukan tentang sengketa pertanahan, gugatan tidak didasarkan pada hak kepemilikan tanah, syarat-syarat gugatan tidak terpenuhi, tidak ada bukti-bukti tentang kepemilikan tanah yang mendukung gugatan, ternyata bukti-bukti kepemilikannya palsu, gugatan menurut nalar hakim tidak masuk akal, ternyata hak miliknya sudah hapus dan penggugat telah menerima penggantian atas tanah tersebut tetapi yang menerima ahli waris yang lain sehingga sengketa bukan soal tanah lagi tetapi pembagian uang ganti rugi tanah, atau gugatan ternyata ne bis in idem.

Setelah rapat permusyawaratan, majelis hakim akan menggelar pra-sidang. Para pihak dipanggil dan kepada mereka diumumkan per kara laik diproses atau tidak. Kalau perkara dinyatakan tak laik disi dangkan, pi hak yang keberatan dapat mengajukan banding. Putusan ban ding ber-

554 Martiman Prodjomidjojo, Hukum Acara Pengadilan TUN dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.

sifatfinal.Denganadanyapengadilanbanding,berartiadapengawasanpengadilan tinggi terhadap pekerjaan hakim dan otoritas lain di peng-adilan khusus tanah di tingkat pertama.

Jika perkara laik diproses, para pihak akan diperintahkan untuk melengkapi atau memperbaiki gugatan. Masih dalam prasidang, majelis hakim memeriksa bukti-bukti kepemilikan, meneliti keabsahan surat-surat kepemilikan tanah dengan minta penjelasan kepada pejabat-pejabat yang menerbitkan surat-surat tersebut, dan memanggil tergugat untuk me mastikan apakah gugatan ne bis in idem atau tidak. Dengan proses seperti ini, pengadilan akan mendapat informasi (termasuk data) lengkap soal sengketa.

Setelah berkas gugatan lengkap, majelis hakim menggelar sidang. Dalam tahap ini majelis hakim akan meminta instansi yang berwenang memperlihatkan dokumen tanah asli, seperti buku tanah/warkel dari BPN, SKPT, SIPPT, buku girik, dan petok. Hakim harus proaktif, tidak seperti yang terjadi di pengadilan umum selama ini. Di pengadilan umum, yang aktif praktis para pihak beperkara saja. Misalnya, merekalah yang mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi. Biasanya, untuk menghadirkan saksi dari instansi pemerintah, mereka harus meminta bantuan dari pengadilan. Sering permintaan seperti ini ditolak oleh pengadilan dengan alasan waktu persidangan terbatas.

Selama masa persidangan, bisa saja di tanah perkara—yang dise ro-bot pihak tertentu—akan didirikan bangunan atau bangunan yang ada di atasnya akan dibongkar instansi tertentu. Kalau demikian halnya, maka sebelum sidang lokasi digelar, majelis hakim dapat menerbitkan pe netap-an yang isinya membolehkan pembangunan atau pembongkaran.

Jika saat sidang lokasi majelis hakim menganggap tidak diperlukan penetapan penundaan, mereka dapat menerbitkan pene tapan untuk men cabut penetapan semula. Terhadap penetapan ter sebut, para pihak dapat mengajukan banding tersendiri ke peng adilan tinggi. Seperti sudah disebut,putusanpengadilantinggibersifatfinal.

Setelah sidang rampung majelis hakim akan mengumumkan putusan, bentuknya bisa berupa penetapan sita atas tanah (conse ratory beslag) atau sita revicandatoir atas tanah, perintah penun daan pembangunan di atas tanah, atau pengosongan tanah. Semua ini bertujuan agar tanah tidak berubah status selama proses per sidangan. Selanjutnya, pihak yang keberatan hanya dapat mengajukan banding di pengadilan tinggi setem-pat.Hasilputusanpengadilantinggibersifatfinal.

Page 219: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

420 s e n g k e ta ta n a h 421B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Hukum Acara di Pengadilan Khusus PertanahanKekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Kalau pihak beperkara menemukan bukti baru (novum), orang itu bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA atas putusan banding yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai UU No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum jo UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU tentang Peradilan Umum jo Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 14 Tahun 1970. Adapun di pengadilan khusus tanah posisinya agak lain. Menurut konsepsi penulis, gambarannya seperti berikut.

Pengadilan khusus tanah berkedudukan di kotamadya atau di ibu-kota kabupaten. Daerah hukumnya meliputi wilayah tanah yang ber-ada di kotamadya atau kabupaten. Sementara itu, pengadilan tingginya berkedudukan di ibukota provinsi. Cakupannya wilayah provinsi tersebut.

Pengadilan khusus tanah merupakan pengadilan tingkat pertama. Oto ritasnya terdiri atas ketua pengadilan, hakim, petugas khusus peng-adilan (commissioner), juru taksir, panitera, juru sita, dan sekretaris. Sedangkan otoritas di tingkat pengadilan tinggi adalah ketua pengadilan, hakim, petugas khusus, panitera, dan sekretaris, termasuk juga pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat dan juru taksir (appraisal tanah).

Pengadilan khusus tanah bertugas dan berwenang memeriksa, me-mutus, dan menyelesaikan seluruh sengketa yang berkaitan dengan objek tanah dari tingkat pertama, baik itu berupa gugatan yang didaftarkan di pengadilan negeri dalam sengketa antara orang dengan orang maupun antara orang dengan pejabat Tata Usaha Negara, serta persidangan ihwal pemalsuan surat-surat tanah. Hal-hal itu bisa dilakukan tanpa harus me-meriksa sebelumnya apakah gugatan dan bukti-bukti kepemilikan tanah tersebut sah dan perkara tidak ne bis in idem sejak awal. Putusan lembaga ini mempunyai kekuatan hukum tetap dan pengajuan banding di tujukan ke pengadilan tinggi. Jika ada bukti baru (novum), Mah kamah Agung RI meninjau kembali putusan yang pengadilan tinggi pertanahan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengadilan juga berwenang mengeluarkan penetapan tentang sita, penundaan putusan, pelaksanaan putusan dari pejabat instansi mengenai tanah milik pemohon, serta melaksanakan isi putusan yang telah mem-punyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan ini juga bisa menetapkan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan atas perkara yang sedang di-sidangkan dapat masuk sebagai pihak yang mengintervensi.

Sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan khusus per ta nahan, pihak yang merasa dirugikan sebaiknya menempuh jalur musyawarah dulu. Jika upaya ini tak membuahkan hasil baru lah dia maju ke penga dilan khusus tanah. Kemudian, sebelum menyidangkan perkara ter se but, majelis hakim akan memeriksa gugatan dan bukti-bukti, juga me na nyakan langsung ke para pihak apa yang telah terjadi. Keterangan ten tang dokumen-doku men yang diajukan para pihak diminta saat itu pula. Dengan permusyawaratan dan mufakat majelis hakim memutuskan apakah perkara tersebut layak disidangkan atau tidak.

Kalau disidangkan, pada sidang pertama majelis hakim mem berikan kesempatan 40 hari kepada para pihak untuk menye lesaikan masalah secara damai sesuai PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi. Jika damai tidak tercapai, sidang dijalankan se suai aturan hukum.

Seperti dalam hukum acara perdata, dapat diajukan keberatan (exceptie) oleh tergugat serta intervensi dari pihak ketiga yang ber kepen-ting an dan pelawan terhadap penetapan dan putusan yang diucapkan. Saat itu tergugat tak perlu hadir.

Setiap pihak yang mengajukan gugatan di pengadilan khusus per tanahan wajib membayar uang muka perkara. Ini merupakan sa-lah satu syarat administrasi. Setelah itu, gugatan didaftarkan atau di-catat dalam register dengan lebih dahulu untuk diteliti apakah tanah sengketa berada di wilayah kewenangan pengadilan khusus pertanahan tersebut. Beperkara dengan cuma-cuma dapat diberikan kepada pen-cari keadil an yang tidak mampu dengan bukti tidak mampu dari kelurahan setempat.

Pencari keadilan boleh mengurusi sendiri perkaranya, artinya tanpa penasihat hukum. Dalam hal ini, sebagai langkah awal ia bisa meminta penjelasan dari panitera pengadilan. Adapun panitera tidak berwenang menangani perkara agar tak terjadi perbenturan kepentingan (conflict of interest). Kalau para pihak membutuhkan, tersedia advokat yang telah ditatar secara profesional untuk beracara di pengadilan khusus per-tanahan. Mereka ini memiliki izin beracara di sana. Advokat dapat me-wakili dan mendampingi pencari keadilan di tingkat pertama, banding, dan peninjauan kembali, juga saat pelaksanaan isi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Rekonpensi dapat diajukan oleh tergugat jika gugatan ter nyata tidak berdasar dan telah merugikan pihaknya. Pihak ter gugat dapat mengajukan eksepsi bahwa eksepsi hakim tidak berwenang memeriksa perkara atau

Page 220: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

422 s e n g k e ta ta n a h 423B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

eksepsi bahwa penggugat ti dak mempunyai kedudukan sebagai subjek, subjek tergugat tidak lengkap, orangnya keliru (error in persona), dan yang lain. Ken dati sebelumnya ada pemeriksaan prasidang, tetap saja se bagai manusia hakim bisa khilaf. Sebagai kontrol terhadap penetapan hakim tentang prasidang, banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi khu sus pertanahan.

Perihal intervensi, yaitu masuknya ke dalam perkara pihak ketiga yang berkepentingan, juga diatur. Intervensi ini bisa mun cul dari inisiatif pihak ketiga tersebut, karena permintaan pihak tergugat atau penggugat, atau dari kehendak hakim setelah mempelajari duduk masalah. Untuk gugatan tanah tertentu, dapat dilakukan sidang cepat setelah ada pe me-riksaan dari petugas khusus. Sidang cepat bisa dilakukan jika masa lah nya sederhana dan tidak melibatkan banyak pihak, contohnya me nen tukan nilai ganti rugi dan menetapkan batas-batas tanah.

Persidangan Permusyawaratan majelis hakim dipimpin oleh ketua pengadilan atau hakim senior yang ditunjuk oleh ketua rapat. Permusyawaratan merupakan prosedur dismissal, yaitu memutuskan apakah gugatan layak disidangkan atau tidak. Apabila dapat disidangkan, gugatan akan diperiksa. Jika tidak, keputusan tersebut dibacakan dalam rapat permusyawaratan majelis hakim yang dihadiri oleh para pihak bersengketa. Apabila ternyata ada yang keberatan, pihak tersebut dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.PutusanPengadilanTinggibersifatfinal.

Prasidang Prasidang merupakan acara pemeriksaan sebelum pokok gugatan mulai disidangkan. Tujuannya memastikan apakah gugatan punya dasar hukum yang kuat, ada bukti-bukti kepemilikan yang sah atas tanah, dan kasus bukan ne bis in idem.

Untuk kepentingan pemeriksaan ini hakim dapat memanggil para pihak serta pejabat instansi yang berwenang dan terkait untuk mengon-firmasibukti­buktiyangsahdanmemastikandudukmasalah.Masihdalampemeriksaan prasidang (sidang dis missal), majelis hakim dapat segera memanggil pihak ketiga un tuk mengetahui kepentingannya dalam sengketa. Saat bertemu, mereka diberi kesempatan menjelaskan dan memperlihatkan bukti-bukti terkait tanah sengketa. Setelah itu majelis hakim memu tuskan apakah gugatan pihak ketiga itu dapat disi dang atau tidak.

SidangSelama pemeriksaan di persidangan, hakim wajib berperan aktif untuk mencari kebenaran material. Sehubungan dengan itu, mereka memiliki hak memanggil pejabat-pejabat instansi yang berwenang dan terkait atas tanah sengketa dan memerintahkan pejabat tersebut membawa dokumen yang berkaitan dengan tanah perkara. Notaris juga bisa mereka panggil agar kebenaran materila bisa didapat. Sidang dipimpin dan dibuka oleh hakim ketua dan dinyatakan terbuka untuk umum. Selanjutnya, tahapan sidang dilangsungkan seperti dalam hukum acara perdata.

Pada pembukaan sidang pertama hakim akan menawarkan kepada pihak untuk berdamai dalam 22 hari, sesuai SEMA No. 2 Tahun 2003. Jika tidak berdamai, sidang diteruskan. Perubahan gugatan, mencabut gu gatan, keterangan saksi fakta, saksi ahli, pemeriksaan surat-surat, ta-hap an, dan yang lain dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata.

Dalam sengketa pertanahan, majelis hakim akan melihat lokasi tanah untuk mendapat gambaran yang lebih terang. Para pihak wajib meng hadiri sidang lokasi ini, termasuk tokoh masyarakat, adat, staf Badan Pertanahan Nasional, lurah, camat, dan otoritas lain yang diper-lu kan hakim. Sebaiknya mereka membawa dokumen dengan peta yang ber kaitan dengan tanah sengketa. Dalam sidang lokasi ini, semua fakta yang terungkap dicatat. Semua pihak yang hadir diwajibkan mem bubuh-kan tanda tangannya dalam berita acara persidangan.

Kasus kejahatan pertanahan Pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang ber-hubungan dengan kejahatan pertanahan adalah ihwal pe nyerobotan tanah [diatur dalam Pasal 167 KUHP], pemalsuan surat-surat tanah [masing-masing diatur dalam Pasal 263, 264, 266, dan 274 KUHP], peng-gelapan terhadap hak atas tanah, rumah, dan sawah, yang disebut sebagai kejahatan stellionaat [diatur dalam Pasal 385 KUHP555 dan ketentuan Pidana dalam Pasal 52 UUPA].

Untuk hal-hal yang tidak diatur dalam hukum acara yang berlaku di pengadilan khusus pertanahan, yang digunakan adalah KUHAP. Namun, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak kejahatan ini tetap pengadilan khusus tanah.

555 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Syarat Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 15-16.

Page 221: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

424 s e n g k e ta ta n a h 425B a B 7 : P e n y e l e s a I a n s e n g k e ta P e r ta n a h a n M e l a l U I P e n g a D I l a n

Hukum PembuktianHakim proaktif mencari kebenaran material dengan titik berat pa da hukum publik yang berkarakteristik privat. Jadi, pembuktian nya tidak secara formal. Dalam hal ini hakim wajib memanggil instansi yang berwenang untuk menjelaskan soal keabsahan surat atau dokumen yang dijadikan bukti di persidangan.

Putusan Berupa penetapan prasidang, penetapan adanya sita, penundaan pe lak-sanaan putusan pejabat TUN, perintah pengosongan, perintah tidak di-lanjutkan pembangunan bangunan, dan yang lain, atau penetapan bah-wa eksepsi diterima. Putusan akhir yang isinya bisa menolak gugatan, menga bulkan gugatan, tidak menerima gugatan, menolak rekonpensi, atau menerima rekonpensi.

Upaya HukumBerupa banding di pengadilan tinggi atas putusan prasidang dan pe-meriksaan banding. Putusannya memiliki kekuatan hukum tetap. Peme-rik saan peninjauan kembali dilakukan di Mahkamah Agung jika di-temukan bukti baru (novum).

Pengaturan lainIni ihwal biaya perkara persidangan dan pemanggilan, sidang di tempat (sidang lokasi), menghadirkan saksi [baik saksi ahli, saksi pejabat Badan Pertanahan Nasional, dan otoritas lain], pe manggilan pihak yang terkait yang dimungkinkan akan menjadi pihak pelawan dalam sengketa, biaya ek sekusi, biaya permohonan ekse kusi, teguran (aanmaning), iklan pengu muman, biaya pe ngo songan tanah dengan kekuatan pemaksa, serta aturan konsinyasi uang ganti rugi yang berkaitan pembebasan tanah un-tuk kepen tingan umum.

Kebenaran materialHukum acara yang digunakan dalam penyelesaian sengketa per tanahan di pengadilan khusus pertanahan bersifat mencari kebe naran material sebab UUPA menganut sistem negatif dengan tu juan melindungi pemilik tanah yang sejati (sesuai asas nemo plus yuris) serta karena hukum pertanahan me rupakan hukum publik untuk menentukan hak seseorang atau in stansi atas sebidang tanah. Di pengadilan umum, untuk menghindari seng keta yang ber kelanjutan—sehingga kepastian hukum dan keadilan tidak terganggu—serta menaati asas peradilan yang sederhana, cepat, dan

berbiayaringan,penyelesaiansengketadiupayakanduatingkatsaja;tingkatpertama di pengadilan negeri tempat domisili tanah sengketa, ting kat kedua banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Tinggi telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pihak yang mempunyai bukti baru (novum) dapat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri di mana perkara disidangkan untuk kali pertama.

Proses hukum penyelesaian perkara di pengadilan khusus tanah juga berlangsung seperti di peradilan umum ini: menekankan pembuktian materil;senantiasamengingatotonomidaerah;mengurangibebanper­kara diMahkamahAgung;menganut asas peradilan sederhana, cepat,dan biaya ringan. Dengan begitu diharapkan akan lahir putusan yang baik di mana kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tanah bagi para pihak, masyarakat, dan negara dapat tercapai sehingga tanah dapat segera dimanfaatkan secara maksimal untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Page 222: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

426 s e n g k e ta ta n a h

(skema Pengadilan Khusus Pertanahan indonesia)skema Pengadilan khusus pertanahan

PENYELESAIAN sengketa pertanahan di pengadilan se lama ini menggu-na kan hukum acara Herziene In Landsch Regle ment dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (HIR/RBg). Ternyata deng an pendekatan ini seng keta sulit diselesaikan secara tuntas. Putus an pengadilan yang telah mem punyai kekuatan hukum tetap pun ternyata sukar dieksekusi, se-hingga sengketa per tanahan ber larut-larut. Alhasil status kepemilikan tanah tak kunjung pasti.

Hukum acara HIR/RBg dibuat untuk mempertahankan hu kum ma-te rilnya yaitu KUHPerdata yang berkonsep hukum barat, bukan untuk mem pertahankan UUPA yang berkonsep hukum adat. Padahal yang ber-laku di Indonesia adalah UUPA. Tidak sinkron jadinya. Inilah yang mem-buat sengketa tanah berlarut-larut.

Sebab itu pemerintah perlu membentuk suatu pengadilan khu sus per tanahan dengan menggunakan hukum acara yang se suai dengan UUPA dan peraturan pertanahan yang ada. Dengan de mikian penyelesaian seng keta tidak berlarut-larut lagi sebab pe ng adilan khusus itu bisa meng -hasilkansuatuputusanyangfinaldandapatdieksekusi.Jadi,asasper­adilan yang sederhana, cepat, dan murah pun bisa terpenuhi.

epilog

Page 223: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

428 s e n g k e ta ta n a h

Pengadilan khusus pertanahan dimaksud masuk dalam lingkungan per adilan umum. Pengadilan ini berwenang memeriksa, menangani, me-ng adili, dan memutus seluruh sengketa yang berkaitan dengan tanah, ba-ik perdata, maupun pidana.

Pengadilan ini memiliki hukum acara tersendiri dengan pembuktian secara materil untuk mempertahankan hukum materil UUPA dan per a-tur an tanah lainnya.

Pengadilan ini juga memiliki kekhususan tersendiri yaitu selain ha-kim, panitera, juru sita, dan sekretaris, juga di sana ada komisioner, juru taksir, dan petugas BPN yang setiap waktu akan memberikan data-data ta nah kepada hakim.

Kewenangan hakimnya sendiri cukup besar yaitu dapat melang-sungkan sidang di lokasi; memanggil para pihak yang terkait dengansengketa, dan para pejabat dari instansi berwenang.

Jika tidak ada eksepsi bahwa kurang pihak atau bantahan atas pu-tus an maka pengadilan khusus pertanahan ini akan bisa menghasilkan putusan yang kuat. Putusan itu hanya sekali saja bisa dibawa ke Pengadilan Tinggi khusus pertanahan untuk banding. Jika ada bukti baru (novum) peninjauan kembali dapat diajukan ke Mahkamah Agung RI.

Dengan adanya pengadilan khusus pertanahan diharapkan sengketa tanah dapat tuntas serta bisa dieksekusi sehingga kepastian hukum dan ke adilan tercapai.

Agar penanganan sengketa tanah di Tanah Air lebih baik di masa men datang penulis menyarankan agar:

UUPA perlu disempurnakan agar sesuai dengan perkembangan ne-1. gara RI, rakyat, dan peraturan perundang-undangan yang ada.Perlu selekasnya dibuat Undang-Undang sebagai dasar pembentukan 2. pengadilan khusus pertanahan berikut hukum acaranya, dengan pem buktian kebenaran materil untuk mempertahankan UUPA dan per aturan pertanahan lainnya.Kedudukan BPN sebagai lembaga atau badan negara yang menjalankan 3. kewenangan atas hak penguasaan tanah perlu ditingkatkan sehingga sejajar dengan Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, dan Departemen Pertambangan. Semua departemen yang terkait deng-an pertanahan ini harus mengindahkan UUPA dan peraturan per-tanahan lainnya.Perlu diadakan pendidikan dan pelatihan untuk hakim dan unsur 4. peng adilan khusus pertanahan yakni advokat, jaksa, dan polisi. Tu-juan nya, agar mereka dapat beracara dengan baik dan benar.

A. Buku-BukuAbdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Abdurrahman, Kedudukan Hukum ADAT dalam Perundang­undangan Agraria Indonesia, Akademik Presindo, Jakarta, 2004.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Kajian Filosofis Dan Sosiologis,Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002.

------------, Hukum Harta Kekayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Adrian Sutedi, Politik dan Kebijakan Hukum Pertanahan Serta Berbagai Permasalahannya, BP. Cipta Jaya, Jakarta, 2006.

------------, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan,SinarGrafika,Jakarta,2007.

Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Kata pengantar Prof.Dr.SatjiptoRahardjo,SH.,RefikaAditama,Juli,2007.

Alexis de Tocqueville, Democracy in America, dengan kata pengantar Alan Ryan, London, David Campbell Publisher, 1994.

daftar Pustaka

Page 224: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

430 s e n g k e ta ta n a h 431D a f ta r P U s ta k a

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002.

A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan MA di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, 2004.

Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu Kumpulan Karangan), Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2002.

------------, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, 2005.

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.

Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993.

Badudu, J.S dan Sutan Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.

Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII Press, Yogyakarta 2007.

Bdk. Moh. Koesnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pertama, Jakarta, 1988.

B.F. Sihombing, Konversi Hak-hak Atas Tanah Barat dan Hak-hak Atas Tanah Adat Menjadi Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Agraria Nasional (UUPA Nomor 5 Tahun 1960), Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, Oktober 1982.

------------, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Jakarta, 2005.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan­peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1989.

------------, Hukum Agraria Indonesia, Syarat Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1994.

------------, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya Dengan Tap MPR­RI IX/MPR/2002, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002.

------------, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang­Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003.

Busher Muhammad, Pokok­Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Cetakan Ketujuh, Jakarta, 2000.

Charles Sampford, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, New York: Basil Blackwell, Inc., 1989

C.W. Paton, A Textbook of Jurisprudence, Oxford University Press, 1969.

Dadang Juliantra, Sengketa Tanah, Modal, dan Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995.

Dianto Bachriadi, Sengketa Agraria dan Perlunya Penegakan Lembaga Peradilan Independen, Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.

Djazuli Bachtiar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Akademika Pressindo, 1995.

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Edwin Emoise, Land reform in China and North Vietnam, The University of North Carolina Press, London, 1983.

Embun Sari, “Pola Sebaran Tanah Sengketa di Provinsi DKI Jakarta Tahun1999­2003”,Tesis,MagisterGeografiProgramPascasarjanaUniversitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Erman Rajagukguk dan R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, N.V. Masa Baru, Bandung, 1962.

------------, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Daerah Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995.

Erman Suparman, Kitab Undang­Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Fokusmedia, Bandung, 2004.

Page 225: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

432 s e n g k e ta ta n a h 433D a f ta r P U s ta k a

E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Cet. XI, Jakarta, 1983.

Evi Katharina, “Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Toba Samosir Dalam Kaitannya dengan Penyelengaraan Otonomi Daerah”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003.

Fletcher, George P., Basic Concept Of Legal Thought, Oxford University Press, 1996.

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak­hak Yang Memberi Kenikmatan Jilid I, Ind-Hill-Co, Jakarta, 2005.

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Terjemahan, Cetakan Kedua, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1992.

Guillermo S. Santos, The Rule of Law in Unconventional Warfare, Phillippine Law Journal, Number 3, July, 1965.

Gunarto Suhadi, Menegakkan Kemandirian Yudisial, Penerbit Universitas Atmadjaya, Yogyakarta, 2006.

H. Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.

Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, Perbandingan HIR dengan RBg Disertai DenganYurisprudensi Mahkamah Agung RI dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata, CV Mandar Maju, Bandung, 2005.

Henry Campbell Black, Black Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974.

Heri Tahir, Aspek Kriminal di Bidang Pertanahan, Ujung Pandang, UNHAS, 1994.

I Made Sandy, Tanah Muka Bumi UUPA 1960­1995, PT Indograph Bakti-FMIPA UI, Jakarta, 1995.

Inayatullah, Land reform, APDAC Publication, Kuala Lumpur, 1980.

Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2002.

Jazim Hamidi & Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang­undangan Dalam Sorotan, PT Tatanusa, Jakarta, 2005.

J.E. Sahetapy (ed.), Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco Bandung, 1995.

John Rawls, A Theory of Justice (revised ed.), OUP, Oxford, 1999.

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

J.W. Harris, Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal System, Clarendon Press, Oxford, 1982.

K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, CV Remadja Karya, Bandung, 1984.

-------------- & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.

Loekman Soetrisno, Tanah dan Masa Depan Rakyat Indonesia di Pedesaan, Forum LSM LPSM DIY, 1995.

Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven, 1971.

Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung, 2007.

Maria S.W. Sumardjono, Teknik Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1997.

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1997.

Martiman Prodjomidjojo, Hukum Acara Pengadilan TUN dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.

Melvin A. Arquillo, “A Case Survey of the 1970 Supreme Court, Decision on Political Law”, University of Santo Thomas Law Review (August-September, 1971).

Merriam Webster’s Dictionary of Law,SpringfieldMassachussetts,1996.

M. Friedman, American Law: An Inaluable guide to faces of the law, and how it affects our daily lives, WW Norton & Company, New York, 1984.

Mochammad Tauchid, Masalah Agraria—Sebagai Masalah penghidupan Dan Kemakmuran Rakjat Indonesia (Buku I&II), Penerbit Tjakrawala Djakarta, 1952.

Page 226: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

434 s e n g k e ta ta n a h 435D a f ta r P U s ta k a

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1970.

------------, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1975.

------------, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lem-baga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH-UNPAD, Bandung, 1976.

------------ dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum (Suatu Penge­nalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum), Buku I, Alumni, Bandung, 2000.

Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abadi, Yogyakarta, 2005.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama, PT Pustaka LP3ES Indonesia bekerjasama dengan Badan Penerbit Universitas Islam Indonesia (UI Press), Yogyakarta, 1998.

Montesquieu, The Spirit of the Law, Translated by Thomas Nugent, Hafner Press, NY, 1949.

Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1994.

Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah,PTReflikaAditama,Bandung,2007.

Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2006.

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, 2007.

Muzakhir Iskandarsyah, Dasar­dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jala Permata, Jakarta, 2007.

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua,SinarGrafika,Jakarta,2005.

------------, Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Per kara Perdata Dalam Tingkat Banding, SinarGrafika, Jakarta,2006.

------------, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan Pembuktian dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika,Jakarta, 2007.

------------, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Penin­jauan Kembali Perkara Perdata,SinarGrafika,Jakarta,2008.

Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (ed.), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Huma, Van Vollenhoven Institut dan KITLV-Jakarta, 2010.

Notonagoro, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Oloan Sitorus dalam Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985.

Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontem-porer, Alumni, Bandung, 2002.

------------, H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di Indonesia: Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006.

Parlindungan A.P., Aneka Hukum Agraria, Alumni Bandung, 1983.

------------, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 1990.

------------, Land reform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Alumni, Bandung, 1990.

------------, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda­Benda yang Berkaitan dengan Tanah & Sejarah Terbentuknya, CV Mandar Maju, Bandung, 1996.

Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2006.

Peter A. Angels, Dictionary of Philosophy, Barnes and Noble Book, New York, 1981.

Preston Brian J, Practice and Procedure in the Land and Environment Court of New South Wales, Lexis Nexis, Sydney, 2007.

Page 227: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

436 s e n g k e ta ta n a h 437D a f ta r P U s ta k a

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.

P. Sondang Siagian, Administrasi Pembangunan, Haji Masagung, Jakarta, 1988.

Raymond Wacks, Jurisprudence, ed. 4 Blackstone Press, London, 1995.

Retnowulan Sutikno dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV Mandar Maju, Bandung, 1995.

Robert K. Yin, Studi Kasus (Desain dan Metode),RajaGrafindoPersada,Jakarta, 2002.

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, CV Mandar Maju, Bandung, 2000.

Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, New Haven, 1959.

----------------, Pengantar Filsafat Hukum, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, 1982.

R. Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, N.V. Masa Baru, Bandung, 1962.

R. Soebekti, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989.

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok­Pokok Hukum Adat, Penerbit Alumni 1979.

R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1985.

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.

R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV Mandar Maju, Semarang, 2005.

Rusli Muhammad, “Kemandirian Pengadilan dalam Proses Penegakan Hukum Pidana Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Bebas dan Bertanggung Jawab”, Disertasi Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2004.

Saleh Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Alumni, Bandung, 1970.

Sarah Nield, Hongkong Land Law, Longman Group (Far East) Ltd, Hongkong, 1992.

Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Tugujogja, Yogyakarta 2005.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986.

Siti Rangkuti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingk-ungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 2005.

Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1984.

Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang­undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006.

S.F. Marbun & Moh. Mahfud MD, Pokok­Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987.

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indo nesia Press, Jakarta, 1984.

Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1999.

S. Purwopranoto, Penuntun Tentang Hukum Tanah, Astana Buku Abede, Semarang, 1953.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta, 1981.

S. Syamsuddin, dkk, Pertanahan dalam Era Pembangunan Indonesia, Depdagri, Jakarta , 1982.

Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005.

Sumartono, Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Pustaka Filsafat Kanisius, 2005.

Thomas Nagel, “The Problem of Global Justice”, Philosophy and Public Affairs 33, 2005.

Page 228: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

438 s e n g k e ta ta n a h 439D a f ta r P U s ta k a

Vollmar H.F.A, Inleiding tot de studie van het Netherlends Burgerlijkrecht, Disadur oleh Chidir Ali, Hukum Benda (Menurut KUH Perdata), Tarsito, Bandung, 1990.

Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984.

W. Tri Widodo Utomo, Hukum Pertanahan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Navila, Yogyakarta, 2002.

Yudha Bhakti Adhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Alumni, Bandung, 2003.

Yudha Pandu, Klien dan Advokat dalam Praktek, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004.

B. Peraturan Perundang-UndanganAlinea keempat Mukadimah UUD 1945 selengkapnya sebagai berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama s/d Ke-empat (Dalam Satu Naskah), Pustaka Yustisia, Cetakan II, 2007.

GBHN Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999, Penabur Ilmu, Jakarta, 1999.

Himpunan Kaidah Hukum Putusan MARI Tahun 1961-1991, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1993.

Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, disu sun Menurut Sistem Engelbrecht, PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, 1989.

Keputusan Presidium Kabinet tanggal 15 Maret 1967 Nomor 58/U/REP/3/1967.

Keputusan Presiden RI No. 95 Tahun 2000 Tentang BPN, CV Mini Jaya Abadi, Jakarta, 2000.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Misi pembangunan Indonesia yang ditetapkan dalam TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999 – 2004.

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, Percetakan Siguntang, Jakarta, 1971.

Mukadir Iskandar Syah, Dasar-dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepen-tingan Umum Dilengkapi Peraturan Perundang-undangan & Per-aturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1994.

Peraturan Daerah Kabupaten Toba Samosir No. 13 Tahun 2000 Pasal 1 huruf (h) tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005.

Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 Tentang: Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, CV Medya Duta, Jakarta, 2006.

Rangkuman Yurisprudensi MA II (RY MA II), Tanggal 3-12-1974.

S 56 of the Civil Procedure Act 2005 and Pt 1 r 5A of the Land and Environment Court Rules 1996.

Page 229: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

440 s e n g k e ta ta n a h 441D a f ta r P U s ta k a

S 57 (1) AND (2) OF THE Civil Procedure Act 2005 and Pt 1 r 5B (1) of the Land and Environment Court Rules 1996.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal 2 Ayat (1).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964.

UUD 1945 Setelah Amandemen Keempat Tahun 2002, GBHN (Tap MPR No. IV/MPR/1999) 1999-2004, Pustaka Setia, Bandung, 2002.

Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Fokusmedia, Bandung, 2007.

Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) I-IV Lengkap Dengan Undang-Undang Dasar Yang Pernah Berlaku Di Indonesia, Poliyama Widya Pustaka, Jakarta, 2007.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Varia Peradilan No 89 Tahun VIII, Tanggal 5 Agustus 1992, IKAHI, Februari 1993.

Varia Peradilan No. IV Tahun 1988, 17 Januari 1988.

Yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung RI, 1993.

Yurisprudensi perdata yang penting, Mahkamah Agung RI, 1992.

C. Makalah, Artikel, JurnalAgustinus Dawarja & Partners, “Negara Adat Papua Kalah Atas Modal”,

Legal Article, 21 April 2006.

A.P. Parlindungan, dalam Direktorat Jenderal Agraria-Depdagri, Diskusi Panel tentang Pelaksanaan Pasal 14, 15 UUPA Sehubungan dengan HUT UUPA Ke-25, 1985.

Arie S. Hutagalung, Seminar Dua Hari Perspektif Hukum Serta Instrumen Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Jakarta, Agustus 2007.

Badan Penelitian Permasalan Tanah (BP2T), Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan KanWil BPN Jakarta, Data Primer, Jakarta, 1992 – 1996.

Bagir Manan, “Organisasi Pendidikan di Indonesia”, dalam makalah Penataran Hukum Administrasi tahun 1997/1998, Pelaksanaan

Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Penerbit Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari 1998.

Barda Nawawi Arief, “Pokok-Pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999”.

Boedi Harsono, “Penyelesaian Sengketa Pertanahan Sesuai Ketentuan-ketentuan Dalam UUPA”, makalah yang disampaikan dalam “Seminar HUT UUPA XXXVI” yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kepala BPN di Jakarta tanggal 22 Oktober 1996.

Boedi Harsono, “Sengketa-sengketa Tanah Dewasa Ini, Akar Permasalahan dan Penanggulangannya”, Makalah yang disampaikan dalam “Seminar Sengketa Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya” yang diselenggarakan oleh Sigma Research Institute Conferences di Jakarta tanggal 20 Agustus 2003.

Buku Tuntutan Bagi Pejabat Agraria, Departemen Dalam Negeri/Direktorat Jenderal Agraria, Tahun 1982.

George J. Aditjondro, “Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah”, Makalah Latihan Analisis Sosial Tanah, Medan, 1993.

Herman Susangobeng, Data Litbang BPN Pusat tahun 2001, Jakarta, 2001.

------------, “Upaya Pembentukan Materi Hukum dan Kebijakan Perta-nahan yang Demokratis”, Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengembangan Hukum dan Kebijakan Pertanahan Dalam Era Demokratisasi, yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional di Yogyakarta, tanggal 23 Desember 2003.

Kanwil BPN DKI Jakarta, “Sengketa Pertanahan di DKI Jakarta terhitung bulan September 2007”.

Mahadi, “Kedudukan Tanah Adat Dewasa Ini”, Kertas Kerja Dalam Simpo sium “UUPA Dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini”, Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, 6 s/d 8 Oktober 1977.

Page 230: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

442 s e n g k e ta ta n a h 443D a f ta r P U s ta k a

Maria S.W. Sumardjono, “Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum”,disampaikandalam“SeminarPenyelesaianKonflikPerta­nahan” yang diselenggarakan oleh Sigma Conferences tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta.

------------, “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi”, Kompas, Jakarta, 2001.

Oemar Seno Adji, “Prasaran” Dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa, Jakarta, 1996, Lihat Juga Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Cet Pertama, 1993.

Paulus Effendie Lotulung, “Tanah dan Permasalahannya di Peradilan Tata Usaha Negara”, makalah yang disampaikan dalam “Seminar PenyelesaianKonflikPertanahan”yangdiselenggarakanolehSigmaConferences tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta.

Priyatna Abdurrasyid, “Makalah Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Disputes Resolution-ADR/Arbitration)”, Kumpulan Makalah Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum bisnis Lainnya, Jakarta,8 & 9 Oktober 2002.

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, “Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Suatu Ringkasan Eksekutif”, Yogyakarta, 2002.

Romli Atmasasmita, “Strategi Pembangunan Nasional”, Disampaikan dalam ceramah di SESPIM POLRI DIKREG Ke 41.TP 2005, Tanggal 4 April 2005, Di Lembang Bandung, diakses tanggal 17 Januari 2008 dari Website http:/www.portalhukum.com/displayarticle 19.html.

------------, “Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan Di Dalam RUU KUHP”, Launching Buku dan Web Masa Depan Reformasi KUHP Dalam Masa Transisi, Hotel Sultan, Jakarta 23 Agustus 2007.

Rusmadi Murad, “Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Pena-ngan an Kasus Tanah”, Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Seng keta Tanah, Permasalahan dan Penyelesaiannya”, Jakarta, 20 Agustus 2003.

S.B. Silalahi, “Sejarah Perkembangan Lembaga Agraria/Pertanahan di Indonesia”, Seminar Ilmiah Masalah Hukum dan Perekonomian Serta Masalah Pertanahan Provinsi Bangka Belitung, Februari 2004.

Satjipto Rahardjo, “Watak Kultural Hukum Modern”, Catatan-catatan Kuliah Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.

Soetandyo Wignjosoebroto, “Pembebasan Tanah”, Suara Pembaruan, 7 November 1991.

Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, “Kebijakan Perta nah-an Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang II”, Disampaikan pada Apel Danren-Dandim ke 16 Tahun 1995 Tanggal 22 November 1995, Bandung.

Subekti, “Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang”, Makalah untuk seminar Hukum Nasional IV, Jakarta, 1979.

Sudikno Mertokusumo, “Relevansi Penegakan Etika Profesi Bagi Keman-dirian Kekuasaan Kehakiman”, Makalah disampaikan dalam semi-nar 50 Tahun Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia di UGM tanggal 26 Agustus 1995.

Sugianto, “Studi Tanah Sengketa di Indonesia”, Skripsi, STPN, Yogyakarta, 1997.

Surjadi Soedirdja, Masalah Pertanahan dan Penanganannya, Depdagri dan Otonomi Daerah, BPN, Jakarta, tanpa tahun.

Susyanto, “Studi Tanah Sengketa di Provinsi DKI Jakarta”, Skripsi, STPN, Yogyakarta, 1997.

Tim BP-KPA, Badan Penyelesaian Sengketa Agraria Reforma Agraria, Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

D. Kamus, Majalah, Surat Kabar, Terbitan Lain-lain dan Website Kompas, 21 Oktober 1996.

Maria S. W. Sumardjono, “Hak Ulayat dan Pengakuannya oleh UUPA”, Kompas, 13 Mei 1993.

------------, “Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi”, Kompas, Jakarta, 2001.

------------,“Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, Kompas, Jakarta, 2008

Page 231: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

444 s e n g k e ta ta n a h

Memorandum, Selasa, 28 Maret 1995.

Surabaya Post, Minggu, 2 Desember 1990.

------------, Minggu, 17 Oktober 1993.

------------, Minggu, 9 April 1995.

WebsiteAmich Alhumami, “Negara Kesejahteraan”, www.freelist.org, tanggal 26

Juni 2007.

BPN-Karanganyar.net, 25/10/2007, “Penanganan Sengketa Pertanahan, Strategi Penanganan Sengketa Pertanahan”.

http://majalah.depkumham.go.id/article.php/Pasal_43_Rancangan_Undang_Undang_Hukum_Acara_Pidana_Ditinjau_dari_Aspek_Hukum_Administrasi_Negara/24/Paulus Effendi Lotulung, Sebagai Negara Hukum, Tidak Ada Kewenangan Tak Terbatas, http://www.pemkot-malang.go.id/berita/berita.phpsubaction=showfull&id=1118892243&archive=&start _from=&ucat=1&, Sumber: www.jatim.go.id, Kamis 16-06-2005

Moh. Mahfud MD, “Asas Keadilan dan Kemanfaatan”, Selasa, 12 Desember 2006, Lihat: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=162125

Website http://www.bpjt.net/, 2 Januari 2008.

ELZA SYARIEF lahir di Jakarta pada 24 Juli 1957. Ia mengenyam pendidikandiSDTarakanita, Jakarta;SDPius,Tegal;SDSantaTheresia,Semarang;danSDFranciscusXaverius,Ambon;laluSMPKatolikRajawali,Makassar;danSMPXaverius,TanjungKarang;dilanjutkan ke SMA Xaverius, Tanjung Karang. Selulus SMA ia melanjut ke Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta. Gelar master dan doktor ia peroleh dari Universitas Padjajaran, Bandung. Tesis dan disertasinya ihwal hukum agraria, dengan IPK 3,99.

Menjadi pengacara, itulah karir yang dipilih Elza sejak bertitel sarjana hukum. Ke Palmer Situmorang & Associate ia bergabung. Untuk mengayakan pengalaman ia lantas pindah ke kantor peng-acara OC Kaligis & Associate. Di sana posisinya terakhir adalah direktur pidana.

Merasa bekal sebagai seorang profesional sudah memadai, tahun 1991 ia, dengan hati yang mantap, memutuskan untuk me-retas kantor pengacara sendiri. Elza Syarief & Partners nama yang ia pakai. Bermodalkan pengalaman di tempat kerja sebelumnya, perempuan yang menikah dengan Yuswaji (purna wirawan lak-samana madya) ini berkonsentrasi mengurusi kasus perbankan,

tentang Penulis

Page 232: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

446 s e n g k e ta ta n a h

antara lain collapse-nya Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ). Di jalur ini tentu saja ia jauh dari publikasi media massa.

Nama Elza Syarief sontak mencorong tatkala ia menjadi pengacara Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Media massa saban hari me-nyebut namanya, terlebih waktu anak bungsu mantan presiden Soeharto itu dinyatakan buron oleh pemerintah. Selama hampir setahun per buruan Tommy, selama itu pula nama Elza berkibar. Keberanian dan ketegaran dalam membela sang klien, serta ucapannya yang senantiasa gam blang—begitu pembawaannya yang acap terlihat di layar televisi—telah membuat ibu tiga anak (dua putri dan seorang putra) ini menjadi pe sohor di layar kaca di masa itu. Tak syak lagi, dialah advokat perempuan yang paling dikenal khalayak luas di Indonesia, sampai sekarang.

Selain menjadi pengacara, Elza menjadi dosen tetap di UIB (Universitas Internasional Batam). Elza juga bergiat di pelbagai organisasi. Antara lain di Pemuda Panca Marga dan Forum Pembela Merah Putih. Sebagai istri prajurit, ia terlibat dalam sejumlah organisasi yang berkaitan dengan ketentaraan, seperti Badan Kontak Purnawirawan TNI-AL (BKPAL) dan Persatuan Isteri Purnawirawan TNI dan Polri (PERIP). Selain dalam organisasi kemasyarakatan, ia dalam beberapa tahun terakhir aktif di partai politik. Ia menjadi salah seorang pendiri dan ketua Partai Hanura yang dideklarasikan pada Desember 2006. Elza Syarief juga satu-satunya advokat perempuan yang menjadi salah seorang pendiri Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang merupakan wadah tunggal para advokat Indonesia. Bersama M. Nazaruddin, Elza kini aktif mengungkap kasus korupsi proyek Hambalang.

Cum laude dengan iPK 3,99, elza syarief ingin Kembangkan ilmu hukum

[Unpad.ac.id, 26/05/09] Pengacara terkenal Elza Syarief yang me raih gelar doktor pada 13 Februari silam mengaku lega dan se nang melewati seluruh prosesi Wisuda Gelombang III Tahun Aka demik 2008/2009 di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Ban dung, Selasa (26/05). Elza me nga-takan bahwa gelar doktor yang di sandangnya tersebut menuntut tang-gung jawab yang besar da lam mengembangkan ilmu yang ditekuninya saat ini.

“Penelitian yang saya lakukan sangat erat kaitannya dengan bi dang ilmu yang saya jalani selama menjadi pengacara. Saya me ra sa memiliki tang-gung jawab untuk mengembangkan ilmu yang saya pilih itu,” ujar wanita kelahiran 1957 ini saat ditemui usai pe lak sanaan wisuda.

Elza mengungkapkan bahwa pemilihan Unpad sebagai tempatnya me-nimba ilmu program pascasarjana melalui pertimbangan ter sendiri. Istri Laksda TNI (Purn.) H. Yuswaji, S.IP., MBA. ini menga takan bahwa dalam mentransfer ilmu, dosen-dosen di Unpad selalu datang ke kelas dan tidak pernah mewakilkan kehadirannya pada dosen lain. Dengan demikian, ujar Elza, ilmu tersebut diper oleh nya dari seorang yang memang profesional

Page 233: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

448 s e n g k e ta ta n a h 449D a f ta r P U s ta k a

di bidangnya. “Jadi, langsung dari pakarnya,” ujar Elza yang belakangan turut aktif berpolitik bersama Partai Hanura.

Kesibukannya sebagai pengacara ternyata tidak menghalangi wanita pemilik Konsultan Hukum “Elza Syarief and Partners” itu untuk meraih predikat cum laude, dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,99. Ketika ditanya mengenai hal ini, Elza mengatakan bahwa dalam mengerjakan se suatu dirinya selalu bersungguh-sungguh. Ia mengaku bahwa praktik hukum yang ia tekuni selama ini memberikan wawasan sehingga dapat lebih mudah memahami ilmu yang diberikan dalam pendidikan doktoralnya.

Wanita yang pernah mendapat Anugerah Kharisma Kartini Indo nesia 1999 itu kini juga semakin sibuk karena tergabung dalam anggota tim kam panye salah satu pasangan capres/cawapres yang akan berkompetisi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Republik Indonesia 2009. Menu-rutnya, dunia politik perlu dilakukan se cara demokratis. Hukum, tambah Elza juga harus berperan dalam politik, sehingga kecurangan dalam pe-milihan umum tidak perlu terjadi. “Hukum harus jadi panglima di suatu negara,” ung kap pe ng acara yang namanya mulai berkibar sejak dipercaya me nangani kasus putera bungsu mantan Presiden Soeharto. (eh)*

Laporan oleh: Ratih Anbarini

Sumber: http://www.unpad.ac.id/archives/9219

AAceh 28, 68, 181, 182Afrika Selatan 361–369, 413Agrarische Wet 99–100, 102, 104,

116Alas Tlogo 11, 17–19, 38, 39, 40A.P. Parlindungan 6APS 247, 373arbitrase 61, 208, 250–256,

375–378, 379

BBadan Pertanahan Nasional (BPN)

3, 8, 10, 14, 20, 23, 24, 28, 60, 64, 68, 70, 71, 123, 124, 142–144, 157, 173, 182, 195, 212, 213, 217, 220, 274–280, 373, 407, 412, 416

Bagir Manan 348, 389Bangun Purba 54, 185

Belanda 93–97Boedi Harsono 135, 136, 154, 186Bosch, Johannes van den 97–98,

103Burgerlijk Wetbook (BW) 101, 102

CCimacan 38class action 230–233cultuurstelsel 103–104

DDaendels, Herman William 95–97Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

38, 41, 56

Eeigendom 63, 64, 70, 212eksekusi 282–288

indeks

Page 234: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

450 s e n g k e ta ta n a h 451D a f ta r P U s ta k a

Ffasilitasi 250Freeport 34, 123, 223

Gganti rugi 52–53, 57, 63–64, 70,

198–199, 211, 219George Junus Aditjondro 35, 45gugatan perdata 226–233

HHak Guna Bangunan (HGB)

152–153Hak Guna Usaha (HGU) 31, 45,

151–152, 217hakim 348Hak milik 151Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 29,

45, 68, 174Hindia Belanda 12, 94–100, 104,

109, 116Hukum Acara Perdata 10, 258,

260–263, 399, 401Hukum Acara Pertanahan 393–413hukum adat 19, 102, 107, 108, 127,

160, 161, 260, 269–274, 373, 401

hukum tanah 86, 87, 91, 102, 107, 108, 127, 135, 140, 141, 160, 401

JJakarta 66jalan tol 40, 45Jepang 105J.E. Sahetapy 36Jl Sudirman 13, 303–330Johny Nelson Simanjuntak 46Jonggol 27, 43, 180Joyo Winoto 3, 24, 123Jurgen Habermas 78

Kkeadilan sosial 74–78Kebon Jeruk 330–338Kelapa Gading 338–342kolonial 11Komisi Nasional Hak Asasi Manu-

sia (Komnas HAM) 37, 46, 58

konflik tanah 36Konsiliasi 249–250Konsorsium Pembaruan Agraria 23KUHP 27, 28, 43, 181, 423KUHPerdata 145, 146, 147, 148,

149, 226, 256, 257, 258, 383, 394, 398, 400, 401

Lland reform 12, 80, 84, 121, 130,

142, 164–170, 185–194Lapindo 41, 56Lembaga Adat Dalihan Natolu

271–274

MMahkamah Agung 242–247, 346,

347, 348, 386, 389, 395, 396, 412

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 171, 172, 193

Makassar 25, 26, 44, 179Maria S.W. Sumardjono 4, 123, 183masyarakat adat 33, 84Mbah Priok 11, 16, 17mediasi 248–249, 373, 377Mochtar Kusumaatmadja 81, 85, 86Muhammad Yamin 111

Nnegara kesejahteraan 73, 382negosiasi 247New South Wales 351–361, 413

OOrde Baru 3, 106, 122, 141, 170,

189otonomi daerah 4

Ppajak tanah 96, 103Papua 34Partai Komunis Indonesia (PKI)

106, 170, 189Paulus E. Lotulung 37, 46Pelindo 16, 17Pemda 17pemerintah daerah 4, 8, 36, 71, 207pemerintah RI 7, 9, 33, 35, 87pengadilan 3, 42pengadilan khusus pertanahan 13,

88, 344, 345, 347, 374, 375–425

Pengadilan Negeri 9, 10, 16, 20, 41, 398

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) 3, 9, 10, 20, 42, 212, 235–242, 345, 372, 395, 396, 397

Pengadilan Tinggi 23pengadilan umum 225–235, 396,

397penggarapan tanah 183–185Peninjauan Kembali 386penyerobotan 11Pound, Roscoe 81, 83PT Perkebunan Nusantara 40PT Rajawali Nusantara Indonesia

(RNI) 40putusan 299–300

RRaffles 96–97, 103Rawls, John 75–78reformasi 19, 106Romli Atmasasmita 81, 82, 83

Ssengketa perdata 50–51, 196sengketa tanah 8–9, 10–11, 12, 19,

20, 26, 29, 30–31, 38–39, 59, 61, 174–182, 222

sertifikat 65–68, 213, 214, 215Sistem Hukum 112–116Soeharto 2, 122, 170, 172Soetandyo Wignjosoebroto 58Sondang P. Siagian 74spekulan 10, 11, 27, 42–43, 180Sukarno 2, 12, 110, 111, 122, 164,

170Surabaya 25, 44, 55, 178Susilo Bambang Yudhoyono 16, 41

Ttanah bengkok 71, 220Tanam Paksa 97–100Tanjung Priok 15–17

Uulayat 68, 70, 71, 84, 135, 141, 154,

204–207, 218, 219, 220Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945) 2, 4, 8, 11, 21, 33, 73, 78, 80, 111, 117, 132, 137, 139, 142, 157, 158, 170, 203, 345, 347, 348, 382, 389

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 2, 3, 5, 6, 8, 11, 12, 20, 23, 24, 27, 28, 33, 43, 47, 48–49, 51, 58, 70, 73, 80, 85, 91, 105, 106, 107, 108, 117–122, 123, 124, 124–131, 127, 128, 129, 130, 131, 133, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 159, 160, 161, 164, 166, 177, 180, 181, 186, 188, 189, 197, 202, 205, 206, 219, 260, 270, 345, 373, 383,

Page 235: menuntasKan - repository.uib.ac.idrepository.uib.ac.id/779/1/Menuntaskan Sengketa Tanah (Full).pdf · Seperti pada binatang, ada naluri pada manusia purba untuk mempertahankan wilayah

452 s e n g k e ta ta n a h

384, 393, 398, 400, 401, 414, 427

Undang-Undang tentang Sistem Pembangunan Nasional 79

Universitas Gadjah Mada 20, 123Utilitarianisme 75–77UU No. 17 Tahun 2007 6UU PMA 3, 122

VVereenigde Oost-Indische Compag-

nie (VOC) 93–96

Wwaris 62