menuju indonesia #satu

20
01 BULETIN ANTROPOS Hé-MAn UI JUNI 2014 Menuju #Satu Indonesia FILM Saat Artis Merambah Dunia Politik BUKU Anekdot Pemilihan Umum ETNOMINI Capres & Antropologi Meniti Jalan Lintas Batas PERJALANAN

Upload: antropos-he-man

Post on 19-Mar-2016

225 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

01BULETINANTROPOS Hé-MAn UI

JUNI 2014

Menuju

#SatuIndonesia

FILM

Saat Artis Merambah

Dunia Politik

BUKU

AnekdotPemilihanUmum

ETNOMINI

Capres &Antropologi

Meniti JalanLintas Batas

PERJALANAN

2

DARAdari redaksi antropos

Q: Bagaimana tanggapan kalian tentang PEMILU Legislatif & Presiden

2014 ?DHEA: Saat ini, peran media, secara khusus media sosial, dalam mensosialisasi Pemilu sudah semakin besar. Pengguna sosial media yang mayoritas adalah pemuda, yang berarti adalah pemilih pemula, lebih melek terhadap calon-calon anggota legislatif dan calon presiden yang akan mereka pilih

PEDE: Menurut saya, pemilu legislatif sangatlah abstrak, contohnya poster-poster caleg yang abstrak. Sedangkan pemilu presiden sepertinya akan seru, karena dua kandidat tersebut sama-sama kuat. Siapapun yg menang semoga indonesia bisa lebih baik lagi!

FEBI: Kalau Pilpres maunya pilih yang pro-kesetaraan gender, anti kejahatan lingkungan, gak korup, ga pro-upah murah, dan mau menuntaskan kasus pelanggaran HAM, tapi berhubung calonnya gak ada yang cocok , sepertinya gua gak terlalu excited niih..

NANA: banyak banget harapan untuk Indonesia dari PILPRES 2014 ini, tapi harapan utamanya, siapapun yang terpilih jadi presiden 2014-2019, bisa

mengutamakan pendidikan. Karena pendidikan itu kunci utama majunya Indonesia

WIDI: Siapapun kandidat yang terpilih pada pilpres 2014 nanti, harus bisa mewujudkan negara Indonesia yang tidak hanya hadir sebagai “sebuah negara” dalam buku sejarah di sekolah-sekolah, tetapi juga hadir dalam wujud keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat

SARAS: Siapapun yang terpilih dalam pilpres 2014 haruslah seorang pemimpin yang benar-benar mementingkan kepentingan rakyat, bukan seseorang yang hanya berambisi untuk mendapatkan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan golongannya

DIAN: I’m so excited, karena akan menjadi tahun pertama saya memiliki hakpilih dalam pemilu. Semoga siapapun yang terpilih menjadi presidenbisa mengemban tugasnya dengan baik, lebih mengutamakan kepentinganrakyat dibanding kepentingan pribadi maupun kelompok

FAI: Pemilu 2014 seharusnya menjadi pesta rakyat yang menguntungkan kedua belah pihak (rakyat, dan wakil rakyat) bukan hanya salah satu satunya

VINA: Antusiasme orang di sekitar gue buat pemilu 2014 ini sama sekali gak ada, alhasil banyak yang golput deh. Banyak juga denger cerita yang disuruh orang tuanya

milih calon x karena latar belakang agama. Tahun 2014 masih ngomongin agama?

daftarisi

DARA 2

Editorial 3

Resensi Buku 4

Dokumentasi 5

Tokoh 6

Opini 8

Etnomini 10

Resensi Film 14

Event Antrop 17

Kotak Saran 18

DADA 19

Editorial

3

Haloo kerabat Antropologi dan seluruh warga Universitas Indonesia!

Pemilu sebentar lagi.. Nah, untuk itu pada edisi pertama Antropos Hé-MAn 2014 ini kami akan membahas tentang pemilu yang dilihat dari kacamata antropologi. Bagaimana antropolog melihat pemilu di Indonesia saat ini? Lalu jika biasanya topik ini dibahas oleh orang-orang dikalangan politik, apa bedanya dengan para antropolog yang membahas masalah pemilu?

Di edisi kali ini, kami juga menyajikan pembahasan mengenai film dan buku yang berkaitan dengan pemilu. Selain itu, beberapa hal menarik tentang antropologi juga akan dibahas di sini.

Jadi, daripada panjang lebar lagi, kami dari tim redaksi Antropos mengucapkan, Selamat membaca!!!

Cerita Perjalanan 15

REDAKSI ANTROPOSEditor : Dhea Erissa

Reporter: Febi Rizki, Dian Anisa Putri, Nadira Puspa Dewi, Raden Fairuz, Saras

Fauzia, Widiningsih, Maria VinaLayout: Fikriana Kusuma

Email : [email protected]

Profil 13

4

Penulis : Ahmad SutardiTahun terbit : 2009

Buku ini menceritakan mengenai Pemilu di suatu negeri fiktif bernama RakyatUtama. Dikisahkan bahwa rakyat negeri RakyatUtama mengalami kebingungan akan nasib negeri mereka karena pemimpin negeri mereka baru saja meninggal dunia. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mencari calon pemimpin yang layak untuk menjadi pemimpin negeri mereka. Negeri RakyatUtama terkenal dengan sifat rendah hati dan anti menonjolkan diri yang dimiliki oleh setiap individunya sehingga sulit untuk menentukan siapakah calon pemimpin yang paling tepat untuk mereka. Sebenarnya banyak individu yang memenuhi kriteria pemimpin yang baik menurut rakyat negeri RakyatUtama, akan tetapi karena sifat rendah hati dan anti menonjol-kan diri yang dimiliki oleh setiap indi-vidu di negeri RakyatUtama, sulit untuk membuat mereka mencalonkan diri sebagai calon pemimpin negeri RakyatUtama. Penulis juga menyebutkan mengenai negeri tetangga – yaitu Indonesia, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam buku ini – yang mengalami situasi Pemilu yang kontras

dengan yang ada di negeri RakyatUtama.

Ya, berbeda dengan negeri tetangga dimana para calon pemimpin berlomba-lomba untuk meng-kampanyekan diri dan partai mereka, rakyat negeri RakyatUtama justru harus berusaha keras untukmeyakinkan para calon pemimpin bahwa mereka adalah calon yang tepat untuk memimpin negeri mereka. Singkatnya, buku ini sangat menarik karena selain ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang menarik, buku ini juga seolah-olah menyindir situasi Pemilu yang ada di Indonesia – yang sangat bertolakbelakang dengan situasi Pemilu yang ada di negeri RakyatUtama. Cerita dalam buku ini juga dapat menjadi bahan refleksi bagi para calon pemimpin di Indonesia; bagaimana para calon pemimpin seharusnya memposisikan diri mereka sebagai wakil rakyat dan berada di “bawah” rakyat – bukan sebaliknya.

(FAI)

Resensi Buku

Jangan Pilih Saya :Kisah Anekdot

Pemilu

5

Dokumentasi

Pilihan Hati“Hatiku tidak untuk mereka yang akan berakhir di

balik jeruji”

Judul Foto:

Fotografer: Maria Vina

Bagi yang karyanya ingin dipublikasikan melalui ANTROPOS, bisa mengirimkan karyanya ke

e-mail kami:“[email protected]

6

Tokoh

Ditemui oleh tim Antropos pada hari Senin, 26 Mei 2014, di Taman Korea, FISIP UI, Ruddy Agusyanto atau yang akrab disapa dengan Mas Ruddy berbicara mengenai sejumlah hal terkait Pemilihan Presiden 2014. Beliau merupakan dosen dari Departemen Antropologi yang mengajar mata ajar Analisis Jaringan Sosial. Ia menyatakan bahwa terdapat sejumlah kelemahan pilpres 2014, dari ketiadaan pilihan yang benar-benar layak hingga ketiadaan partai ideologis. Berikut merupakan hasil wawancara kami dengan beliau.

Dalam momentum Pemilihan Presiden 2014, apa yang dapat dilakukan oleh Antropolog?

Dalam pilpres, antropolog dapat memberi pemahaman mengenai masing-masing calon. Menilai cara memimpin, bisa. Membahas soal sistem, proses, dan mekanisme pemilu seperti apa, bisa. Banyak hal. Banyak, kalau pertanyaannya seperti itu.

Kalau begitu, apakah kita dapat menggunakan analisis jaringan sosial dalam melihat koalisi?

Tentu bisa! Melihat jaringan ‘kan kita bicara soal hubungan sosial. Hubungan so-sial kan untuk memenuhi kebutuhan agar tetap eksis. Itu keterkaitannya dengan koalisi.

Sekarang saya tanya balik: Anggota DPR sama Anda pintar mana? Anda masuk kuliah pakai tes, mereka tidak ada tes. Itu pembodohan bukan? Kalau menurut saya, seharusnya ada tes untuk jadi anggota DPR yang sesuai dengan fungsi legislasi mereka. Demokratis nggak itu? Saya punya pilihan nggak? Rakyat itu kan disodori untuk memilih seperti kuesioner tertutup. Rakyat itu memilih nggak punya kewenangan apa-apa. Ini gua kasih nih, A-B-C-D-E, lu pilih yang gua sodorin. Kalau semua nggak layak, bisa nggak ngusulin orang lain? Bisa nggak ngasih nama ke parpol? Nggak bisa. Peran rakyat di mana?

Nah iya, kenalan saya yang di Masjid UI sana bilang, pilihan kita buruk semua, maka pilihlah yang terbaik di antara yang terburuk.

Itu dia, kita tidak punya pilihan.

Ruddy Agusyanto

7

Jadi untuk situasi seperti ini, menurut Mas Ruddy, apa yang harus kita lakukan?

Tentu sistemnya harus diperbaiki. Hal itu harus dimulai dengan perbaikan undang-undang. Akan tetapi, yang paling utama ialah perbaikan kesadaran terlebih dahulu. Kesadaran rakyat soal politik harus diperbaiki, termasuk kita juga. Jangan lupa pendidikan itu tidak hanya dalam kelas, namun masih banyak pendidikan selain pendidikan formal.

Saya sepakat, Mas, namun untuk sekarang ‘kan kita tidak dapat semudah itu mengubah sistem, undang-undang, dan kesadaran, melainkan harus

berhadapan dengan Pilpres. Bagaimana pendapat Mas Ruddy soal Pilpres 2014? Khususnya mengenai pelanggaran HAM yang disinyalir dilakukan

oleh salah satu capres?Memang tidak dapat semudah itu, karena itu prosesnya panjang. Tentang capres, yang dapat kita lihat dalam memilih itu sekarang rekam jejak, bukan visi-misi. Seandainya kita punya sistem pertanggungjawaban visi-misi ketika capres telah menjabat, akan lebih baik, namun sayangnya tidak. Jadi, yang dapat kita lihat rekam jejaknya. Misalnya tentang pertanyaan kamu itu, saya tahu siapa capres yang dimaksud. Kalau dilihat rekam jejaknya, dia ‘kan berasal dari kalangan militer. Cara memimpin militer itu berbeda dengan cara memimpin sipil. Kalau Anda pemimpin tinggi militer, yang posisinya lebih rendah tidak boleh bantah Anda dan perintahnya jalan jadinya. Kalau sipil gimana, ada yang bantah presiden, jalan nggak? Soal HAM, jangan bilang nggak diingatkan soal pengadilan HAM. Itu yang demo tiap minggu hampir tiap saat selalu mengingatkan, tapi pemerintah juga nggak menjalankan pengadilan HAM. Terus ketika ada kasus, kenapa kabur? Kan harusnya klarifikasi. Nah, pokoknya dengan sistem pemilihan yang seperti ini, tidak mungkin akan ada pemimpin yang lahir dari rakyat. Koalisi pun sama bermasalah, cuma bagi-bagi kekuasaan, karena di situ ada sumber daya. Nggak lagi lihat ideologi.

Soal ideologi, Mas, saya justru melihat saat ini tidak ada partai yang benar-benar ideologis, bagaimana menurut Mas Ruddy?

Dengan sistem seperti ini, tidak mungkin lahir yang namanya partai ideologis, kembali semuanya di ujung, di pangkalnya: Pancasila. Jadi kalau undang-undangnya benar, nanti akan bisa lahir partai ideologis. Jadi benar-benar berfungsi melakukan pendidikan politik sesuai ideologinya dan dapat dilihat jika ia terpilih akan bagaimana sistem kepemimpinannya. Partai sekarang, misalnya, soal keanggotaan dan kaderisasi sering keras, namun soal ideologi nggak pernah keras.

(FEBI)

Pemilihan Presiden: Perlunya Perbaikan Kesadaran Politik

8

Opini

Pemilu Indonesia & Antropologi

REDAKSI:Pada ANTROPOS edisi kali ini, kami mewawancarai dua mahasiswa antropologi 2011,

yaitu Unira, yang merupakan ketua Hé-MAn 2014, dan Ditha, kandidat MAPRES FISIP UI 2014. Mari kita simak pandangan keduanya tentang pemilu 2014 dari kaca mata antropologi.

Q: Bagaimana pandangan tentang pemilu secara antropologi?

Unira [U]: Pemilu itu pesta demokrasi kita. Ketika kita dihadapkan oleh pilihan-pilihan untuk menentukan siapa yang akan jadi pemimpin kita. Disini kita akan menemukan satu fakta bahwa negeri ini memang multikultur. Mulai dari ideologi tiap partai yang beda, sampai etnis caleg atau capres nanti. Dari perbedaan itu ada satu persamaan dalam pemilu, yaitu visi untuk membuat negeri ini lebh baik. Yah semoga saja tidak sekedar visi kosong. Ibaratnya pemilu itu layaknya sebuah ritual dalam memilih pemimpin.

Q: Kemarin bagaimana ketika pemilu caleg? Worth it ga sih pemilu caleg?

U : Pemilu caleg kemarin saya rasa sudah berjalan dengan semestinya. Walaupun tetap saja ditemukan berbagai kekurangan.Jika ditanya worth it atau tidak, saya pikir belum. Saya rasa seharusnya ada sistem yang lebih baik lagi dalam menerapkan aturan kampanye caleg, misal pembatasan media

cetak atau pengeluaran tiap caleg. Media cetak seperti poster, baliho, spanduk, dan lain-lain, ujung-ujungnya hanya jadi sampah. Dan kebanyakan orang tidak notice mereka siapa mungkin yaa apal muka, tapi pas di TPS nge-blank soalnya lupa namanya siapa. Kan jadi tidak efektif. Nah, kemudian untuk pengeluaran, ditinjau dari antropologi psikiatri, para caleg yang gagal kemungkinan besar depresi karena kegagalannya. Hal itu dikarenakan caleg gagal putus asa kemudian kepikiran terus sama uang yang sudah dikeluarin. Dari sana jiwa nya menjadi terganggu. Dan kasus ini terjadi setiap pemilu. Bahkan di berita baru-baru ini ada caleg yang ingin menjual ginjal demi melunasi hutang kepada rekan-rekannnya ketika kampanye. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya harus diperhatikan.

9

Q: Kemudian, bagaimana dengan pemilu caleg yang masyarakat di dapil-nya banyak yang tidak mengenal caleg-caleg tersebut?

Ditha [D]: Pertama-tama, saya mau ngutip quote seorang dosen antrop, mas Rudy, beliau bilang jadi caleg itu gampang, kalau saja jadi caleg dites terlebih dahulu seperti tes CPNS, mungkin DPR kita tidak akan sebodoh ini. Makanya kenapa Gusdur pernah bilang DPR kita kayak anak TK, ya emang bener, karena mentang-mentang terkenal, nyalon jadi caleg, berhasil jadi anggota legislatif tapi ya.. tidak berkualitas, itu karena tidak ada tes spesifik untuk menjadi calon legislatif. Tidak seperti di Argentina, jika seseorang mau menjadi calon legislatif, mereka dipersiapkan dahulu selama satu tahun untuk pembinaan, pembibitan dan segala macamnya, sehingga, mereka memang benar-benar berkualitas.

Q: Gimana sih menurut kamu pemilu presiden 9 Juli mendatang ?

D : Menurut saya, pemilu kali ini sangat sengit. Karena sampai saat ini ada dua kandidat yang kuat banget dan memiliki kans yang sangat besar banget buat jadi presiden, dengan track record mereka, dengan plus minus mereka dan bukan cuma pertarungan di rakyat tapi pertarungan di antar mereka sendiri itu terjadi. Di media masa pun muncul perdebatan sendiri jika saya lihat di beberapa artikel di media cetak maupun online. Sebagai masyarakat biasa dan calon antropolog, saya sendiri juga bingung memilihnya, karena pertama kita harus kembali lagi ke apa yang dibutuhkan masyarakat dari seorang pemimpin, dan apakah harapan masyarakat dalam sebuah negara, entah itu ketahanan negara yang lebih dibutuhkan atau peningkatan ekonominya, karena itu dua hal yang berbeda. Dan menurut saya, kedua kandidat ini pun memiliki keunggulannya masing-masing dalam

menanggulangi sebuah masalah.

Q: Lalu terakhir, apasih harapan kamu untuk pemilu?

U : Untuk pemilu tanggal 9 Juli, saya harap masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dengan cermat. Karena dalam satu hari itu nasib negeri ini dlm 5 tahun ke depan dipertaruhkan. Semoga pelaksanaan lebih tertib, baik dari segi kampanye hingga saat datang ke TPS. Tidak ada kecurangan kertas suara juga.

D : Harapan saya sama seperti masyarakat biasa, mudah-mudahan pemilu ini tidak hanya menghabiskan uang negara sangat banyak, tetapi juga memberikan sesuatu bagi masyarakat. Dalam artian, semoga tidak ada mengkambinghitamkan pasangan yang satu dengan pasangan yang lainnya . Dan semoga saja tidak banyak yang golput, karena jika banyak yang golput akan semakin membenar-kan kans kandidat yang tidak begitu bagus, dan tidak diharapkan menjadi pemenang. Dan kehidupan kita 5 tahun ke depannya akan tergantung pada mereka.

(PEDE)

10

Etnomini

Etnomini kali ini akan membahas sebuah tulisan yang dibuat oleh Alumnus Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia yaitu Hajriyanto Y. Thohari. Artikel yang dimuat oleh situs sindonews.com pada tanggal 6 Maret 2014 ini berisi tentang gagasan Hajriyanto mengenai sebuah kajian baru di dalam ilmu antropologi, yang ia sebut sebagai ANTROPOLOGI CAPRES.

Pemilu untuk memilih calon presiden Indonesia memang sudah menjadi topik hangat yang sedang dibicarakan orang banyak saat ini. Untuk itu, dalamtulisannya tersebut, Hajriyanto mengemukakan bahwa dari isu pemilihan capres ini, terdapat hal-hal menarik yang ternyata dapat dikaji secara antropologi.

Antropologi, bicaralah! Berbagai lembaga survei berlomba-lomba menyajikan data mengenai tingkat popularitas serta elektabilitas calon-calon presiden. Berbagai ilmu membahas mengenai politik, seperti psikologi politik dan ekonomi pemilu, menurut Hajriyanto adalah hal sudah banyak diketahui oleh masyarakat. Oleh sebab itu, ia merasa bahwa sangatlah menarik jika melihat isu capres ini secara antopologi. Hajriyanto memulai bahasan antropologi capres dengan menjelaskannya menggunakan kategori-kategori seperti latar belakang suku atau etnis, budaya atau agama, dan ada isttidat para capres yang dinilainya agak sensitif. Ia mempertanyakan mengapa setelah Sumpah Pemuda 1928 bangsa Indonesia masih ada yang berpikir secara etnis dan perpandangan bahwa presiden Indonesia sebaiknya berasal dari etnis Jawa?

Calon Presiden

11

Ia juga mempertanyakan mengenai bagaimana sebenarnya nation and charcter building yang kita lakukan selama ini sehingga integrasi bangsa belum juga tuntas setelah merdeka 68 tahun? Menurutnya, fakta bahwa banyaknya orang berpikir dalam kerangka etnisitas dalam pencalonan presiden seperti itu membuktikan belum tuntasnya pembangunan bangsa (nation building) untuk untuk integrasi bangsa.

Ia juga membenarkan pendapat KS Sandhu, mantan direktur Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura, yang menyatakan bahwa dalam beberapa dasawarsaterakhir ini faktor-faktor etnis telah membingungkan banyak analis sosial karena

perannya yang tetap ada. ”Harapan liberal” bahwa modernisasi akan mengaburkan perbedaan etnis, prestasi akan menggantikan askripsi, serta meluasnya komunikasi dan pendidikan akan membuat masyarakat semakin homogen, ternyata tidak menjadi kenyataan.

Budaya KeterbukaanPertanyaan berikutnya yang muncul dari Hajriyanto

adalah mengapa tokoh berlatar belakang etnis Jawa yang berani menyatakan maju sebagai calon presiden kebanyakan memiliki latar belakang militer dan berpangkat jenderal? Menurutnya, fenomena ini sangat menarik untuk dikaji. Ia melihat adanya keterkaitan antara “doktrin lama” atau “ajaran kuno” yang dulu sangat dipercaya bahwa presiden Indonesia sebaiknya Jawa-Islam-Militer.

& Antropologi

12

Etnomini

Ia mengungkapkan bahwa kebanyakan orang Jawa — tentu ini agak stereotipikal dan karena itu tentu tidak semuanya — memang cenderung lingsem (malu) untuk menyatakan maju secara terus terang. Menurutnya, pendidikan militer yang serbategas, keras, disiplin, dan mementingkan kesamaptaan jiwa raga itu telah mengubah kultur Jawa yang serba tertutup menjadi terus terang, malu-malu menjadi mau dan tidak malu, ewuh pakewuh menjadi bloko suto atau blak kotang, dan last but not least, maaf, dari biso rumongso menjadi rumongso biso. Tak heran kebanyakan capres dan presiden yang berlatar belakang Jawa sebagian terbesar pastilah jenderal militer, tambah Wakil Ketua MPR RI periode 2009 - 2014 ini.

Jadi, seperti yang sudah dijelaskan, isu pemilu capres ternyata bisa dikupas secara antropologi. Dari segi sejarah bangsa, sampai melihat dari latar belakang budaya calon presiden.Kajian antropologi seharusnya bersifat netral, dalam arti tidak berpihak pada kelompok atau golongan tertentu. Begitu juga dalam mengkaji calon presiden di Indonesia. Jadi, alangkah baiknya jika isi dari ka-jian antropologi capres ini tidak mendukung atau mengunggulkan kubu capres tertentu. Untuk kedepannya, semoga ka-jian antropologi capres ini dapat dikembangkan lagi oleh para antro-polog, mengingat ini merupakan kajian yang sangat menarik.

(Dhea)

13

TI Indonesia

Transparency International Indonesia atau TII merupakan salah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global NGO antikorupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Bersama lebih dari 90 chapter lainnya, TII berjuang membangun dunia yang bersih dari praktik dan dampak korupsi di seluruh dunia.

Mau tahu lebih banyak lagi? bisa mengunjungi website TII di

ti.or.id atau follow twitternya:

@TIIndonesia

Kali ini, redaksi ANTROPOS berkesempatan untuk bekerja sama dengan Transparency International Indonesia

dalam penerbitan edisi perdana buletin nya. Yuk mengenal lebih dekat TII !

14

Resensi Film

Jenis Film : Thriller, Satire, Romance-comedyProduser : James G. RobinsonProduksi : Universal StudiosSutradara : Barry LevinsonPemain : Robin Williams, Laura Linney, Christopher Walken, Jeff Goldblum, Lewis BlackTahun Rilis : 2006Movie Length : 115 menit

Film ini berkisah tentang komedian terkenal bernama Tom Dobbs (Robin Williams) yang juga seorang host sebuah comedy talk-show tengah malam. Karena dibujuk oleh para penontonnya, ia pun mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat secara independen. Dengan dibantu tim suksesnya, Dobbs melaku-kan low-cost campaign dan menggembar-gemborkan masalah pelanggaran demokrasi yang dilakukan oleh pemerintah berkuasa. Dia tetap menyelipkan humor dalam kampanye dan hal ini membawa warna baru dalam perpolitikan Amerika. Tak disangka, ia memenangkan pemi-lu tersebut. Di tengah masa kepemimpinannya, Dobbs bertemu dan jatuh cinta dengan wanita bernama Eleanor Green (Laura Linney), mantan karyawan Delacroy (perusahaan pembuat mes-in pemungutan suara) yang mencoba memberi-tahu Dobbs tentang sesuatu hal penting tentang hasil pemilu. Karena pengetahuannya tersebut, Green dikejar-kejar oleh pembunuh bayaran perusahaan Delacroy sebab mereka bisa bangkrut jika berita tersebut terungkap ke publik.

Robin Williams yang aslinya seorang stand-up comedian, bisa memerankan dengan cukup baik tokoh Dobbs yang lebih serius walaupun tetap dibumbui sedikit humor. Namun, tokoh Linney tetap menjadi favorit di film ini karena ia bera-ni mengambil resiko dengan mempertaruhkan nyawa demi terungkapnya sebuah kebenaran.

“Man of The Year” bisa menjadi salah satu tontonan menarik di tahun politik menjelang pemilihan presiden seperti saat ini. Kisah tentang kalangan artis terjun ke dunia politik juga banyak terjadi di Indonesia. Ketenaran seorang artis yang merupakan public figure dianggap bisa mendongkrak popularitas sebuah partai politik. Memang sah-sah saja seorang artis masuk ke dunia politik dan bukan sebuah pelanggaran jika ada parpol yang men-gusungnya, tetapi kita juga harus melihat sejauh mana pengalaman, kapasitas dan kapabilitas artis tersebut di kancah perpolitikan. (Dian)

Saat Artis Merambah Dunia Politik

15

Cerita Perjalanan

Meniti Jalan Lintas Batas

Perempuan dengan nama lengkap Kholidah Zia ini, akrab dipanggil dengan sebutan Zia. Ia ada-lah seorang mahasiswi Antropologi UI angkatan 2010. Pada tanggal 17 Juli 2013 hingga 18 Agustus 2013 yang lalu, ia melakukan perjalanan pertamanya untuk ikut serta meneliti di wilayah perbatasan antara Indonesia-Malaysia bersama salah seorang dosen Antropologi UI (Dave Lumenta), dua orang peneliti PUSKA Antropologi UI (Sindhu dan Imam), dan dua orang temannya yang juga merupakan mahasiswa/i Antropologi UI angkatan 2010 (Feni dan Wieldan). Tepatnya ia pergi ke Kampung Long Busang, yang berada di Sarawak, Malaysia dan Kampung Long Nawang di Kalimantan Utara, Indonesia. Ia mengaku bahwa dirinya telah dua kali melakukan perjalanan ke sana. Perjalanan pertama dilakukan dalam rang-ka memenuhi proyek DRPM sekaligus mata kuliah MPE pada semester tujuh. Sedangkan, perjalanan kedua pada tanggal 20 Januari 2014 hingga 17 Februari 2014 hanya dilakukan bersama Feni dan Wieldan dalam rangka melanjutkan penelitian sebelumnya untuk penyelesaian skripsi mereka yang

bertema mengenai kajian perbatasan.

Banyak pengalaman suka dan duka yang ia lewati selama berada di Kampung Long Busang. “Senang bisa ke sana. Itu pengalaman penelitian langsung yang pertama karena gue nggak pernah ikut etno-edutrip hehe.. Selain itu, tempat penelitiannya juga nggak pernah tau sebelumnya. Jadi, gue seperti orang asing yang memang harus belajar dari nol banget. Terus, di sana keadaan masyarakatnya, bahasanya, dan kebiasaannya berbeda sehingga dituntut banyak belajar dan beradaptasi dengan cepat. Susahnya tuh, jauh dari kota, nggak ada sinyal, banyak ‘agas’ atau serangga kecil yang bisa membuat gatal pada kulit.”, ujarnya. Ia mengatakan pula bahwa Kampung Long Busang memiliki posisi di tengah hutan sehingga sulit untuk menempuh perjalanan ke sana. Jalan untuk menuju ke Kampung Long Busang ditempuh melalui jalur darat dan sungai. Jalur darat dapat dilalui dengan menggunakan mobil bak terbuka yang disewa dengan harga 30 ringgit per orang.

16

Cerita Perjalanan

Adapun kontur jalan darat berupa tanah mer-ah dan bebatuan serta jalan yang berliku-liku naik-turun dengan waktu tempuh sela-ma 6 jam. Sedangkan, jalur sungai dilewati dengan menggunakan express boat selama 6 jam pula dengan harga sewa sebesar 40 ringgit per orang. Ia mengatakan bahwa kurang lebih ia telah mengeluarkan dana sebesar 6 juta rupiah untuk satu bulan. Pengeluaran biaya terbesar menurutnya ada pada transportasi. Selain berbagi mengenai pengalaman suka dan dukanya, Zia juga tak lupa berbagi cerita mengenai cara dirinya ber-adaptasi di sana. “Waktu turlap pertama, gue masih dibantu sama Mas Dave, seperti misalnya diarahin dan ditemenin pada saat wawancara. Nah, terus untuk memulai beradaptasi bisa dilakukan dengan cara ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan/tradisi yang diadakan oleh masyarakat. Contoh-nya ikut ‘ngabang’ dan lomba pada saat hari raya natal dan lebaran. ‘Ngabang’ itu berkunjung ataubertamu ke rumah-rumah warga/keliling kampung pada saat hari natal dan lebaran tersebut. Lomba pada saat hari raya tersebut bertujuan untuk mempererat silaturahmi. Kemudian, lebih sopan atau bersikap normatif, menjaga omongan dengan informan agar tidak terjadi salah-salah kata, jangan pemalu karena akan kesulitan untuk berkomunikasi atau mendapatkan informasi/data, menjaga kesehatan juga perlu karena cuaca di sana yang panas banget ketika siang hari dan dingin banget pada malam harinya. Terus, harus terbiasa pula untuk makan apa adanya di sana karena mereka adalah masyarakat pencari ikan, berburu, berladang, dan berkebun. Sayuran yang ada tak menentu. Sayuran yang ada, yaitu daun singkong, daun kangkung, daun pakis, dan daun ‘balan’ (sejenis bayam). Terkadang juga

memakan daging hasil buruan, seperti ‘payau’/rusa, babi, musang, ular, dan biawak.”, ucap Zia. Ia mengaku senang mendapat kesempatan melakukan penelitian di sana dengan tema kajian perbatasan karena dapat melihat perspektif masyarakat perbatasan secara langsung mengenai perbatasan itu sendiri. Menurutnya, masih banyak yang harus dieksplor di daerah penelitiannya tersebut. Ia juga menambahkan bahwa daerah ini menarik bagi anak-anak yang tentunya tertarik pada kajian lintas batas. Menutup cerita pengalamannya yang menarik tersebut, Zia memberikan beberapa saran bagi teman-teman yang ingin melakukan penelitian di sana, yaitu persiapan mental karena situasi serta kondisi di sana yang sangat berbeda dari perkotaan, dana/budget yang sangat besar untuk akses/transportasi dan akomodasi ke sana, dan persiapan kesehatan dengan mengetahui secara pasti kapabilitas kesehatan yang dimiliki.

(WIDI)

Dokum

entasi pribadi

17

Events

Jika memiliki hasrat untuk mengajar tapi tidak tahu mau disalurkan ke mana, Kocer School dapat menjadi jawabannya. Apa sih Kocer School ini? Kocer School, yang merupakan singkatan dari Kober Ceria School, merupa-kan salah satu program kerja dari divisi Sosial Masyarakat Hé-MAn 2014. Proker ini merupakan proker lanjutan dari tahun lalu, karena ternyata sangat diminati dan bahkan memenangi penghargaan Proker Unggulan Hé-MAn pada FISIP Awards 2013 lalu. Rangkaian mengajar di Kocer School ini dinamakan Pekan Kober Ceria. Jadi, setiap hari Selasa dan Rabu pukul 14.30-16.30, semua mahasiswa Antrop yang berkenan menjadi volunteer dipersilahkan untuk datang ke MI Ar-Rahman di Kober. Mata pelajaran yang diajarkan adalah matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, serta IPA dan IPS.

Kegiatan di Kocer School ini tidak hanya terdiri dari mengajar saja. Pada hari Kartini 21 April yang lalu, kakak-kakak dari Sosmas ini juga turut serta merayakan bersama adik-adiknya dengan ikut mengenakan pakaian daerah. Selain itu ada juga pemutaran film “Denias” beberapa minggu yang lalu. Kegiatan yang terbaru adalah senam bersama yang dipimpin oleh salah satu personil Sosmas. Terlihat sekali bahwa Kocer School sangat ber-manfaat, baik bagi adik-adik yang dibantu dengan pelajarannya dan juga mahasiswa Antropologi sendiri yang tersalurkan hasrat mengajarnya. Maka dari itu, jangan lupa untuk datang pada Pekan Kober Ceria selanjutnya, karena, sesuai dengan tagline Kocer School sendiri, ceria kamu ceria kita juga!

(VINA)

Mengajar dalam Keceriaan

Dokumentasi @KoberCeria

18

Kotak Saran

Punya saran dan kritik untuk ANTROPOS maupun untuk UI ? Atau

punya tulisan, foto, dan opini tapi bingung mau di publikasikan dimana? E-mail saja ke

[email protected] lupa sebutkan nama, jurusan,

fakultas, dan nomor yang bisa dihubungi ya :)

- Gue sih pingin He-MAn tahun ini SATU-nya bukan Cuma sekadar slogan aja, tapi bener-bener bisa nyatuin dan ngompakin anak-anak Antrop. Mau itu Anak Takor, Mesem, Selasar MBRC, atau yang lain… Pokoknya menyatu aja.

- He-MAn itu banyak kurangnya. Fasilitas yang dikasih sering nggak seimbang sama apa yang dihasilkan, misalnya kita nggak punya ruangan khusus dan biaya untuk acara hanya dikasih sedikit. Anak-anaknya kebanyakan bercandanya daripada serius-nya jadi apa-apa kerjanya lama. Mungkin karena jumlah orangnya juga sedikit. Masih ada batasan-batasan di dalam lingkungannya, maksudnya dalam kepengurusan acara-acara.

- Buat He-MAn semua divisi, mampir-mampir ya ke Kocer jadi pengajar buat adik-adik lucu. Jangan lupa ikut Pekan Kober Ceria! (Sindi 2012)

- He-MAn jangan takut mendapat kritikan, selama apa yang dilakukan itu baik, lanjutkan! Hal sekecil apapun bisa membawa perubahan! (Nadya 2012)

- He-MAn harus lebih terkenal, baik di luar Antrop, khususnya di dalam Antrop sendiri. Maksudnya terkenal tuh program-programnya, orang-orangnya, keunggulan-keunggulannya, prestasi-prestasinya, dan kekurangan-kekurangannya gitu. Jadi, siapa tahu anggota jadi lebih mau bantu atau melakukan sesuatu untuk He-MAn. Mak-sud gue kekurangan tuh, pas lagi ngejalanin program, sebaiknya He-MAn kasih tau apa kekurangannya. Misalnya kekurangan dana, kurang orang, atau kekurangan hal-hal lainnya. Biar programnya bisa dijalanin sesuai rencana.

- Sejauh ini masih baik-baik aja saya liat He-MAn kok. Mungkin acara He-Man masih kisaran anak Antrop doang kali ya? Kecuali Anfes doang ya? Lebih perbanyak acara macem EET dong, ‘kan asiknya Antrop jalan-jalannya hehehe, tapi yang ekonomis kalo bisa gratis, wuihh sedapp. (Mauline 2013)

- Acara He-MAn publikasinya lebih goks dong biar ngga kalah sama departemen lain (Dania 2013)

- Yang penting Antrop kompak satu tujuan! #ANTROP3X (Hamba Allah 2013)

19

DADA

“ Hay Antrop!! , mengenal kamu, membukakan mata lewat ceritamu, ungkapkan tanda tanya, Tentang aku si manusia”

- 1306413170 untuk ANTROP-

“ Jika pemikiran mengenai kompleksitas budaya di-gambarkan dalam bentuk gaya rambut, maka Ryan Dwi Saputra (Antrop 2011) adalah makhluk terkompleks yang pernah ada di Antrop UI...Tetap nyentrik yan..hahaha”

-Calon Antropolog untuk Ryan 2011-

“ Galau setiap malam Rabu :3”-Siswa Antrop untuk ANTAG-

“Tolong segera potong rambut ya!”

- Orang yang Peduli Terhadap Kerapian

Rambut, untuk Ryan-

“Sekarang udah bulan Mei 2014 dan lo masih jombloo gan”

- Unknown, kepada Ryan-

(SARAS)

Dari Antropologi

Dengan Artikulasi

“Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti

sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan.”

Tere LiyeNegeri Di Ujung Tanduk

Ingin beriklan di ANTROPOS? Kontak kami melalui e-mail [email protected]

THANKS TO: