menjamin hak obat bagi si miskin

10
1 Kertas Kerja Advokasi Edisi Maret 2011 Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) Jakarta Liaison Office d/a Humanitarian Forum Indonesia (HFI) Jln. KH Wahid Hasyim No. 02 Jakarta 10340 Telp. 021-3928756 / Faks. 021-39837302 e-mail: [email protected] Krisis Pelayanan Kesehatan Menjamin Hak Obat bagi Si Miskin © Syamsul Ardiansyah, Yakkum, Liaison Office Jakarta, 2011 SEJAK Januari harga obat naik hingga 10%. Namun, kenaikan harga beberapa obat yang mengandung parasetamol mencapai 43%. Di tingkat apotek, peningkatan harga obat bahkan ada yang sampai 43%. Peningkatan ini terjadi pada berbagai jenis obat, seperti antibiotik, vitamin, dan obat batuk yang mengandung parasetamol. Kenaikan ini membuat warga khawatir tidak dapat membayar biaya pengobatan karena tak semua obat ditanggung Pemerintah. 1 Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group Parulian Simanjuntak menepis anggapan jika harga obat sebagai penyebab semakin mahalnya biaya kesehatan. Menurutnya, kenaikan harga obat adalah kondisi yang tidak bisa dihindari dan selalu terjadi setiap tahun. Situasi ini semestinya diantisipasi dengan penyediaan jaminan sosial untuk pembiayaan kesehatan. “Selama jaminan itu tidak ada, obat akan menjadi kambing hitam,” katanya. Parulian Simanjuntak juga menyatakan bahwa harga obat dipersoalkan karena 80-85% penduduk Indonesia membayar biaya kesehatan dari dana pribadi. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, biaya obat hanya 7-8% dari total biaya kesehatan. Komponen biaya terbesar justru pada penggunaan alat-alat modern untuk diagnosis penyakit serta biaya dokter. Hal senada dinyatakan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Sunarjo. Parulian menyatakan, faktor yang mendorong kenaikan biaya produksi, yakni harga bahan baku obat maupun kemasannya, rencana penghapusan pembatasan (capping) tarif listrik bagi industri serta tingginya suku bunga perbankan. Faktor lainnya, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) obat di Indonesia mencapai 10%, ikut mendorong harga obat di Indonesia turun. Pengenaan PPN di dalam negeri dinilai sangat besar bila dibandingkan negara lain yang hanya maksimal obat 2%. Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia sendiri mengkalkulasi, harga jual obat, khususnya jenis obat resep (ethical) akan naik maksimal 5%. Kenaikan harga jual obat resep diprediksi akan terjadi pada akhir kuartal I 2011, karena para podusen obat saat ini masih menghitung besaran kenaikan harga jual obat. Pada saat ini, kenaikan harga secara khusus dipengaruhi oleh adanya kenaikan pajak bea masuk yang akan berlaku April 2011 yang akan datang. Peraturan yang dimaksud adalah 1 Kompas. “Harga Obat Naik hingga 10 Persen”. Sabtu, 12 Februari 2011 | 07:10 WIB. http://bit.ly/gSf2IN

Upload: syamsul-ardiansyah

Post on 27-Mar-2016

216 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kertas Kerja Advokasi Edisi Maret 2011

TRANSCRIPT

Page 1: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

1

Kertas Kerja Advokasi Edisi Maret 2011

Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) Jakarta Liaison Office

d/a Humanitarian Forum Indonesia (HFI) Jln. KH Wahid Hasyim No. 02 Jakarta 10340

Telp. 021-3928756 / Faks. 021-39837302 e-mail: [email protected]

Krisis Pelayanan Kesehatan

Menjamin Hak Obat bagi Si Miskin © Syamsul Ardiansyah, Yakkum, Liaison Office Jakarta, 2011 SEJAK Januari harga obat naik hingga 10%. Namun, kenaikan harga beberapa obat yang mengandung parasetamol mencapai 43%. Di tingkat apotek, peningkatan harga obat bahkan ada yang sampai 43%. Peningkatan ini terjadi pada berbagai jenis obat, seperti antibiotik, vitamin, dan obat batuk yang mengandung parasetamol. Kenaikan ini membuat warga khawatir tidak dapat membayar biaya pengobatan karena tak semua obat ditanggung Pemerintah.1 Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group Parulian Simanjuntak menepis anggapan jika harga obat sebagai penyebab semakin mahalnya biaya kesehatan. Menurutnya, kenaikan harga obat adalah kondisi yang tidak bisa dihindari dan selalu terjadi setiap tahun. Situasi ini semestinya diantisipasi dengan penyediaan jaminan sosial untuk pembiayaan kesehatan. “Selama jaminan itu tidak ada, obat akan menjadi kambing hitam,” katanya. Parulian Simanjuntak juga menyatakan bahwa harga obat dipersoalkan karena 80-85% penduduk Indonesia membayar biaya kesehatan dari dana pribadi. Di negara maju, seperti Amerika Serikat, biaya obat hanya 7-8% dari total biaya kesehatan. Komponen biaya terbesar justru pada penggunaan alat-alat modern untuk diagnosis penyakit serta biaya dokter. Hal senada dinyatakan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Sunarjo. Parulian menyatakan, faktor yang mendorong kenaikan biaya produksi, yakni harga bahan baku obat maupun kemasannya, rencana penghapusan pembatasan (capping) tarif listrik bagi industri serta tingginya suku bunga perbankan. Faktor lainnya, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) obat di Indonesia mencapai 10%, ikut mendorong harga obat di Indonesia turun. Pengenaan PPN di dalam negeri dinilai sangat besar bila dibandingkan negara lain yang hanya maksimal obat 2%. Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia sendiri mengkalkulasi, harga jual obat, khususnya jenis obat resep (ethical) akan naik maksimal 5%. Kenaikan harga jual obat resep diprediksi akan terjadi pada akhir kuartal I 2011, karena para podusen obat saat ini masih menghitung besaran kenaikan harga jual obat. Pada saat ini, kenaikan harga secara khusus dipengaruhi oleh adanya kenaikan pajak bea masuk yang akan berlaku April 2011 yang akan datang. Peraturan yang dimaksud adalah

1 Kompas. “Harga Obat Naik hingga 10 Persen”. Sabtu, 12 Februari 2011 | 07:10 WIB. http://bit.ly/gSf2IN

Page 2: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

2

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.011/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Saat ini ada sekitar 200 perusahaan farmasi, baik perusahaan dalam negeri maupun asing yang beroperasi di Indonesia. Pangsa pasar obat Indonesia pada 2010 hanya 4 miliar dollar AS atau 0,6% pangsa pasar obat dunia yang 700 miliar dollar AS. Padahal, porsi penduduk Indonesia 3,5% penduduk dunia. Konsumsi obat Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Konsumsi obat per kapita Indonesia tahun lalu hanya 17 dollar AS, jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi obat per kapita Malaysia yang mencapai 3-4 kali lipatnya. Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih meminta agar para pengusaha tidak lantas menyikapi kebijakan pajak terbaru itu dengan menaikkan harga. Menteri Kesehatan meminta agar perusahaan-perusahaan farmasi terlebih dahulu menghitung dampak kenaikan tariff bea masuk barang impor dengan marjin keuntungan. Jika masih dibawah marjin keuntungan, hendaknya kenaikan tersebut tidak dilaksanakan. (Kompas, 17/2) Akan tetapi, ucapan Menteri Kesehatan RI berbeda dengan yang terlebih dulu disampaikan Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan RI, Sri Indrawati. Pada awal Februari 2011 lalu, Sri Indrawati menyatakan rencana pemerintah yang hendak menghitung ulang harga obat generik. Menurut rencana, harga obat generik diperkirakan akan mengalami kenaikan maksimal 10% sebagai penyesuaian atas naiknya harga bahan baku dan beberapa komponen dalam biaya produksi (inflasi, fluktuasi mata uang, tarif listrik, serta bahan baku obat dan kemasan (Indonesia Finance Today, 01/02). Hak Atas Obat-Obat Esensial Naiknya harga obat menyebabkan situasi pelayanan kesehatan di Indonesia semakin tidak menguntungkan bagi masyarakat miskin. Salah-satunya dilaporkan di Depok. Sebanyak 14 rumah sakit swasta di Kota Depok mengajukan permintaan peningkatan biaya pelayanan. Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Depok Syahril Amri mengatakan, peningkatan biaya pelayanan ini sudah sesuai dengan kebutuhan yang proporsional.2 Dengan membaca berita ini, patut diduga jika persoalan harga obat yang tidak tentu, pada akhirnya menghambat akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan secara umum. Jika kondisi ini tidak bisa dikendalikan, bukan tidak mungkin akan semakin memperberat langkah Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs, mengingat akses terhadap obat-obat esensial adalah prasyarat mengisi kesenjangan dalam hal penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, dan penanggulangan HIV dan AIDS serta penyakit menular lainnya. Dalam jangka panjang, persoalan akses terhadap obat, khususnya obat-obat esensial, juga merupakan persoalan penting dalam upaya pemenuhan hak atas kesehatan. Pentingnya akses atas obat-obat esensial bagi kelangsungan hidup manusia, menjadikannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak atas kesehatan—dan khususnya akses terhadap obat-obat esensial—adalah masalah keadilan. Akses terhadap obat-obat esensial dapat berarti penentu atas hidup-matinya seseorang dan karenanya menjadi critical link dalam merealisasikan hak atas kesehatan.3

2 Ibid. 3 Lihat Stephen P. Marks. “Access to Essential Medicine as Component of Human Rights”. Dokumen dapat diunduh dari http://bit.ly/dZMdl8

Page 3: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

3

Yang dimaksud dengan obat-obat esensial, berdasarkan pengertian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah “Obat yang memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan mayoritas penduduk; karena itu, harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang memadai dan dalam bentuk dosis yang tepat, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.” Sejak 1977, Organisasi Kesehatan Dunia, telah mengeluarkan daftar obat-obat esensial yang diperbarui setiap dua tahun. Pada saat ini telah terbit update ke-16 daftar obat-obat esensial yang terbit pada Maret 2010 yang lalu. Obat-obat esensial adalah salah-satu dari elemen-elemen dalam pelayanan kesehatan modern yang memiliki dampak yang penting bagi kesehatan manusia. Pada tahun ini saja, diperkirakan akan terjadi sekitar 40 juta kematian di negara-negara berkembang, yang mana sepertiga diantaranya dialami anak-anak balita. Sekitar 10 juta disebabkan karena infeksi saluran pernafasan akut, wabah diare, tuberculosis, dan malaria, yang mana semua kematian itu bisa dicegah apabila tersedia obat-obat esensial dengan harga yang terjangkau. Penyiapan besi folat yang sederhana dapat mengurangi angka kematian anak dan ibu melahirkan yang diakibatkan oleh anemia pada saat mengandung, demikian pula dengan upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus HIV dan AIDS, serta pengobatan hipertensi untuk menekan kematian akibat jantung dan stroke.4 Arti penting akses terhadap obat-obat esensial terjangkau juga tertera sebagai salah-satu target MDGs sebagai bagian dari Goal 8 tentang Kemitraan Global (Global Partnership). Target tersebut tertulis dalam Target 8.E: Melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan farmasi, menyediakan akses terhadap obat-obat esensial yang terjangkau di negara-negara berkembang. Target tersebut dijabarkan lagi ke dalam indicator 8.13; Proporsi populasi dengan akses terhadap obat-obat esensial yang terjangkau secara berkelanjutan. Terdapat sembilan indikator yang ditetapkan WHO untuk menilai upaya pemerintah di berbagai negara dalam merealisasikan akses terhadap obat-obat esensial. Kesembilan indicator tersebut adalah;

1. menetapkan dalam konstitusi atau aturan perundang-undangan tentang akses terhadap obat-obat dan teknologi pengobatan sebagai bagian yang tidak terpisah dari upaya pemenuhan hak atas kesehatan;

2. Diterbitkannya kebijakan obat nasional yang terupdate secara reguler; 3. terdapat daftar obat esensial nasional yang terupdate pada tahun terakhir; 4. ketentuan hukum yang mendorong pemanfaatan obat-obat esensial pada institusi

pelayanan kesehatan swasta; 5. terdapat data tentang pengeluaran publik atau perkapita nasional; 6. %tase jumlah populasi yang terlindungi asuransi kesehatan; 7. ketersediaan rata-rata 30 obat-obat esensial terpilih di sarana pelayanan kesehatan publik

dan swasta; 8. rasio median harga konsumen atas 30 obat-obat esensial terpilih di sarana pelayanan

kesehatan publik dan swasta; 9. Margin harga konsumen dengan produsen.

Berdasarkan temuan terkini diketahui jika masalah akses terhadap obat-obat generik sebenarnya tidak hanya dialami di Indonesia. Berdasarkan laporan World Medicine Situation 2004, sekitar 1,3-2,1 milyar orang tidak memiliki akses terhadap obat-obat esensial. Kelangkaan akses paling besar terjadi di Afrika dan India. Meskipun kesehatan sebagai hak asasi manusia diakui oleh setidaknya konstitusi 135, namun hanya lima negara yang secara eksplisit mencantumkan hak atas akses terhadap obat-obat dan teknologi pengobatan esensial di dalam konstitusinya dan dinyatakan sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak atas kesehatan.5

4 Pengertian Essential Medicine menurut WHO dapat dilihat di sini http://bit.ly/h3lzHs 5 Dokumen World Medicine Situation 2004 dapat diunduh di link berikut http://bit.ly/i1Kogy

Page 4: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

4

Sekitar 71% dari 135 negara telah menerbitkan kebijakan obat di negerinya masing-masing. Akan tetapi, hanya 48% pemerintah negara berkembang yang melakukan update atas kebijakan obat nasional dan daftar obat-obat esensial di negaranya, berbeda dengan negara-negara maju yang mana sekitar 86% telah memperbarui kebijakan obat nasionalnya. Hampir seluruh negara berkembang telah memiliki daftar obat-obat esensial nasional, namun dari jumlah tersebut hanya 86% negara berkembang yang telah memperbaruinya dalam lima tahun terakhir. Sejak 2008 hingga 2010 lalu, UN-MDGs Gap Task Force ketersediaan obat-obat essensial di sarana pelayanan publik selalu lebih rendah ketimbang sarana pelayanan swasta; dengan kisaran 34% tersedia di fasilitas publik yang dikelola pemerintah dan 64% di fasilitas swasta. Harga obat-obat esensial di pasaran negara berkembang juga selalu lebih tinggi dari harga dasar internasional. Harga terendah obat-obat esensial di fasilitas publik berada dalam kisaran 2,5 kali lebih tinggi dari harga internasional (IRPs), sementara di fasilitas swasta pada tingkat 6,2 kali lebih tinggi dari IRP. Tambahan biaya dalam rantai distribusi kadang melipatgandakan harga obat-obat esensial di pasaran. 6 Kebijakan Obat Nasional Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 hanya menyatakan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.7 Sejak Undang-Undang tersebut disahkan, ketentuan mengenai kebijakan perbekalan kesehatan, khususnya obat, masih mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan No 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. Peraturan tersebut mengatur hal-hal umum tentang kebijakan penyediaan obat nasional dengan semangat liberalisasi pasar obat.8 Kepmen tersebut dengan jelas menyatakan bahwa mekanisme penetapan harga obat di sektor swasta saat ini diserahkan kepada pasar. Mengingat obat bukan komoditi perdagangan biasa dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia, maka diperlukan kebijakan pemerintah tentang pengaturan harga obat esensial.9 Pada tahun 2008, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 302/MENKES/III/2008 tentang Harga Obat Generik. Keputusan tersebut disusul dengan keluarnya Keputusan Menteri Kesehatan No. 791/MENKES/SK/VIII/2008 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2008. Patokan harga obat yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk obat generik10. Sementara penentuan harga obat-obat non-generik diserahkan murni kepada pasar. Pada tahun 2010, Menteri Kesehatan No. 302/MENKES/III/2008 tentang Harga Obat Generik direvisi dengan keluarnya Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tentang Harga Obat Generik.11 Keputusan tersebut dikeluarkan di tengah terjadinya gejolak harga obat generik yang mana diberitakan sekitar 80% obat generik tidak tersedia di pasaran. Sebuah tim yang dibentuk Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih melakukan penilaian kembali dan rasionalisasi harga

6 Untuk menyimak MDGs Gap Taskforce simak di http://bit.ly/hHfDpB 7 Lihat Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 8 Pelepasan harga obat pada mekanisme pasar mengakibatkan pasar dikuasai obat bermerek atau bernama dagang ketimbang obat generik. Padahal, obat bermerek dengan kandungan yang sama dengan obat generik harganya bisa jauh lebih mahal daripada obat generik. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2005 pasar obat nasional yang mencapai Rp 21,07 triliun, pasar obat generik sangat minim hanya Rp 2,52 triliun. Adapun pada tahun 2009 pasar obat naik mencapai Rp 30,56 triliun. Meski demikian, pasar obat generik justru turun menjadi hanya Rp 2,37 triliun. Lihat Kompas. “Obat Bermerek Kuasai Pasar” Edisi Selasa, 23 Februari 2010. http://bit.ly/eK371X 9 Lihat Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. 10 Yang dimaksud dengan obat-obat generik adalah obat-obat umum yang diproduksi dan didistribusikan tanpa disertai dengan perlindungan paten. Obat generik masih mungkin memiliki paten atas formulasi tetapi tidak pada bahan aktif. 11 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tentang Harga Obat Generik bisa diunduh dari http://bit.ly/eCEubT

Page 5: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

5

obat generik. Tim tersebut menetapkan 453 item obat generik, yang mana dihasilkan 106 item obat diturunkan harganya, sementara 33 item mengalami kenaikan, dan sisanya 314 item dinyatakan dengan harga tetap.12 Keputusan tersebut juga dilengkapi dengan ketentuan yang mewajibkan seluruh institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah untuk menggunakan obat generic yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Akan tetapi, mengatur sistem distribusi pada wilayah hilir tidak berarti masalah selesai. Tantangan terbesar justru terletak pada bagaimana mengelola sistem pengadaan obat dan perbekalan kesehatan lainnya di wilayah hulu, yakni di dalam industri farmasi itu sendiri. Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014, yang disahkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK03.01/160/I/2010 tertuang rencana pemerintah di bidang Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan sasaran peningkatan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator keberhasilan program tersebut ditetapkan ketersediaan obat dan vaksin 100% pada tahun 2014. Guna mencapai tujuan tersebut, ditetapkan beberapa kegiatan meliputi yang tertera di bawah ini. Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dengan output Meningkatnya

ketersediaan Obat Essensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

(PKRT) dengan output untuk meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).

Peningkatan Pelayanan Kefarmasian dengan output Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal.

Peningkatan Produksi dan Distribusi Kefarmasian dengan output; (1) meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu produksi dan distribusi kefarmasian; (2) meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian; (3) meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri.

Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan output meningkatnya dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Pada saat ini saja, meski pemerintah masih belum meliberalisasi beberapa BUMN Farmasi (PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan PT Biofarma) mengalami kesulitan menghadapi daya saing di dalam negeri. Baru-baru ini, BUMN tersebut meminta tambahan dana public service obligation (PSO) kepada pemerintah.13 Dana tersebut dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan produksi obat generik murah berkualitas bagi masyarakat. Padahal, peluang keuntungan di industri farmasi di Indonesia sebenarnya masih cukup besar. Setiap tahun, sejak 2003 sampai estimasi 2010, pasar farmasi Indonesia tumbuh rata-rata (compounded annual growth rate/CAGR) 11%. Pada tahun ini pasar farmasi nasional diestimasikan mencapai Rp 38 triliun-Rp 39 triliun, naik 14,7% dibandingkan 2010. Pasar obat resep diperkirakan akan menembus Rp 20,9 triliun, sementara pasar obat bebas mencapai Rp 16,7 triliun.14

12 Lihat Siaran Pers Kementerian Kesehatan RI “106 Item Harga Obat Generik Diturunkan” melalui situs Kementerian Kesehatan di http://bit.ly/hEyAmU 13 Vivanews. Kamis, 7 Januari 2010, 14:30 WIB. BUMN Gabung Kimia Farma-Indofarma Tahun Ini. http://bit.ly/fywwQZ 14 Indonesia Finance Today. Rabu. 23/02/2011. “Penjualan Obat Resep Diprediksi Mencapai Rp 20,9 Triliun”. http://bit.ly/gmQZLh

Page 6: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

6

Porsi penjualan obat resep terhadap total pasar farmasi nasional stagnan 56% sepanjang tiga tahun terakhir. Pada 2009, pasar farmasi nasional mencapai Rp 29,71 triliun dan porsi penjualan obat resep 56% atau senilai Rp 16,63 triliun. Pada 2010, pasar farmasi nasional naik menjadi Rp 32,9 triliun, sedangkan porsi obat resep tetap 56%.15 GP Farmasi memprediksi penjualan obat resep (ethical) tahun 2011 ini akan mencapai Rp 20,9 triliun atau meningkat 13,34% dibandingkan dengan penjualan tahun 2010 lalu yang mencapai Rp 18,44 triliun.16 Kedepannya, persaingan di dunia industry farmasi di Indonesia kemungkinan akan semakin ketat. Baru-baru ini, pemerintah melakukan amandemen terhadap peraturan presiden No. 111 tahun 2007 dengan Peraturan Presiden No 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Sebelumnya, pemerintah mensyaratkan keikutsertaan modal nasional sebesar 25% dari total investasi asing yang akan menanamkan modalnya di sektor industri farmasi. Menurut rencana, pemerintah akan memberikan keleluasaan investasi hingga 100% di industri farmasi. Kebijakan ini ditujukan untuk menggairahkan investasi asing di sektor farmasi dengan harapan ketergantungan pada obat impor bisa ditekan. Akan tetapi, konsekuensi dari kebijakan ini, tentunya akan menyebabkan pemerintah semakin kehilangan kontrol pada industry farmasi, khususnya industry farmasi asing. Selain itu, liberalisasi industri farmasi akan menyebabkan semakin ketatnya persaingan industry yang bukan tidak mungkin justru semakin menyingkirkan posisi perusahaan-perusahaan farmasi milik pemerintah di pasar farmasi dalam negeri. Cukup dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional? Para pengusaha industri farmasi menolak anggapan jika naiknya harga obat-obat adalah hambatan utama bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurut kalangan pengusaha, kenaikan ini adalah hal yang wajar dan semestinya tidak menjadi masalah jika konsep universal coverage berdasarkan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah disahkan sejak 2004 sudah dilaksanakan. Pendapat mengenai pentingnya penerapan UU SJSN juga dinyatakan oleh para pengamat. UU ini selain memberikan jaminan akses pelayanan kesehatan terhadap kalangan miskin juga memberikan kepastian usaha kepada para penyedia pelayanan kesehatan, termasuk perusahaan-perusahaan farmasi. Pengalaman di beberapa negara, seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Korea Selatan, menunjukkan pengaruh positif universal coverage terhadap tingkat afordabilitas pelayanan kesehatan dan obat-obat esensial untuk masyarakat miskin.17 Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional semakin mutlak khususnya ketika sistem jaminan kesehatan yang saat ini berlaku, sudah tidak memadai untuk menampung besarnya biaya kesehatan untuk warga miskin. Transfer dana jamkesmas yang dibayarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah tidak cukup membiayai pengobatan seluruh warga miskin yang ada di wilayah masing-masing. Ketika penanganan pasien jamkesmas tidak bisa dilakukan oleh rumah-sakit rujukan di daerah, rumah sakit rujukan nasional harus menanggung beban tersebut. Informasi hingga Desember 2010, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang menjadi rumah sakit rujukan nasional, memiliki tagihan yang belum dibayar oleh pemerintah daerah sebesar Rp 24,7 miliar. Menurut data RSCM, dari total tagihan sebesar Rp 52,9 miliar, jumlah tagihan yang terbayar

15 Ibid. 16 Ibid. 17 Kompas. Tanpa Asuransi, Harga Obat Tak Bisa Dikendalikan. Rabu, 23 Februari 2011 http://bit.ly/fsMcob

Page 7: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

7

baru Rp 28,2 miliar. Sisanya masih terus diupayakan untuk ditagih ke pemerintah daerah. Kepala Unit Pelayanan Pasien Jaminan RSCM Eka Yoshida, Rabu (2/3), mengatakan, ada 44 kabupaten dan kota yang belum membayar utang ke RSCM. Tunggakan paling besar adalah Kota Bekasi (Rp 6,6 miliar), Kota Depok (Rp 3,9 miliar), dan Kabupaten Bekasi (Rp 3,5 miliar).18 Masalahnya, apakah persoalan Indonesia terkait dengan akses terhadap obat-obat esensial akan selesai dengan mengandalkan universal coverage melalui UU SJSN? Jika disimak dari paparan di atas, persoalan akses atas obat-obat esensial, pada dasarnya tidak hanya terkait dengan rendahnya daya beli masyarakat, yang karenanya perlu ditopang oleh penerapan system jaminan sosial nasional secara komprehensif. Terdapat beberapa persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan dapat bisa menjadi potensi ancaman yang signifikan atas kelestarian akses terhadap obat-obat esensial di Indonesia. Dengan melihat tingginya ketergantungan impor obat dan bahan baku obat sebagai persoalan terpenting di Indonesia, rasanya tidak mungkin jika pemenuhan hak atas obat-obat esensial tidak ditopang dengan kebijakan strategis dalam pembangunan industry farmasi. Terlebih, pasca krisis ekonomi 2008-09 ini, persaingan untuk mendapatkan obat-obat esensial generik di pasaran internasional pun semakin ketat. Sebuah studi yang dilakukan IM Buysee dengan sponsor dari WHO bekerjasama dengan Universiteit Utrech (2010) menyebutkan meski secara umum konsumsi farmasi global tidak mengalami penurunan, namun krisis ekonomi telah menyebabkan konsumen obat internasional harus beralih dari obat paten ke obat generik.19 Tidak hanya itu, riwayat India sebagai salah-satu negara pengekspor obat-obat generik murah sepertinya akan segera berakhir jika perundingan perdagangan bebas antara India dengan Uni Eropa selesai dan ditandatangani. Pelapor Khusus (Special Rapportour) PBB untuk Hak atas Kesehatan, Anand Grover, menyatakan draft perjanjian perdagangan bebas antara India dengan Uni Eropa dapat menghambat akses jutaan orang terhadap obat-obat yang dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa dan memperpanjang kehidupan.20 Terlebih, menurut Grover, India adalah eksportir terbesar obat-obat generik untuk negara-negara berkembang. Tentu saja, pernyataan Grover ini dibantah oleh pemerintah Uni Eropa. 21 Kondisi ini, bagaimana pun, menuntut Indonesia untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, yakni terhentinya pasokan obat generik dari India sebagai implikasi dari perjanjian perdagangan bebas India dan Uni Eropa. Pembangunan industri farmasi di dalam negeri juga perlu masuk pada industri dasar penghasil bahan mentah guna menjamin kelangsungan produksi. Diperkirakan 90% bahan baku obat yang diproduksi di Indonesia harus didatangkan melalui impor. Indonesia mengimpor sebanyak 250 jenis bahan baku obat senilai Rp 6 triliun per tahun. Pasakon bahan baku impor didominasi Cina sebanyak 75%, India 20%, dan sisanya dari Eropa.22 Pada tahun 2011 ini, nilai impor bahan baku obat diperkirakan meningkat menjadi sebesar Rp 9,59 triliun.23 Peluang membangun industri farmasi dasar di Indonesia cukup besar. Dijelaskan oleh Atiek Soemiati dalam Pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Farmasi pada FMIPA UI pada 1 Juli 2009, di hutan tropis Indonesia terdapat 30 ribu spesies tumbuhan dan 9600 diantaranya diketahui

18 Lihat Kompas. “Jaminan Kesehatan Masyarakat Belum Cukup” di http://bit.ly/grlp95 19 Lihat IM Buysee. Impact of the Economic Recession on the Pharmaceutical Sectors. WHO dan Universiteit Utrech. 2010. 20

Lihat “Top UN official says India-EU draft pact threat to generic medications” dalam http://bit.ly/fFAuss 21 Pemerintah Uni Eropa membantah anggapan jika perjanjian perdagangan bebas dengan India akan menghambat akses terhadap obat-obat esensial. Bantahan tersebut tertuang dalam EU-India FTA Negotiations and Access to Medicine, Question and Answer. Dokumen tersedia melalui link berikut http://bit.ly/fjtJvk 22 Kompas. “Bahan Baku Obat di Indonesia andalkan Impor”. Edisi Rabu 1 Juli 2009. http://bit.ly/h9Rlgn 23 Damiana N Simanjuntak. 2011, Impor Bahan Baku Farmasi Rp 9,59 T. Bataviase Edisi 30 Dec 2010. http://bit.ly/fuf31X

Page 8: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

8

berkhasiat obat, namun hanya 200 yang sudah dimanfaatkan.24 Sebenarnya Indonesia pernah punya industri bahan obat sintetis yaitu paracetamol dan acetosal, tetapi kemudian tutup karena bahan bakunya masih impor, sehingga harganya lebih mahal dari negara lain.25 Untuk itu, diperlukan desain pembangunan industri farmasi yang komprehensif dan integral di Indonesia. Strategi pembangunan industri yang mengandalkan investasi asing yang ditempuh Indonesia saat ini sesungguhnya bukanlah strategi yang tepat. Transfer teknologi dan knowledge sharing sebagaimana yang diasumsikan bisa datang seiring dengan masuknya modal asing, dalam kenyataannya tidak pernah terbukti. Fakta tentang tingginya ketergantungan pada bahan baku impor dan teknologi asing di tengah negara yang sebenarnya memiliki kekayaan alam dan sumberdaya manusia yang berlimpah di Indonesia adalah bukti bahwa dibukanya keran liberalisasi industri ternyata tidak serta-merta mendorong terjadinya kemandirian ekonomi. Sebaliknya, ketergantungan ekonomi justru kian menjadi-jadi. Pemerintah perlu meninjau secara lebih kritis implikasi perjanjian perdagangan bebas di bidang hak kekayaan intelektual dan pengaruhnya pada ketersediaan obat-obat esensial di dalam negeri. Kebijakan obat nasional berusaha mendayung peluang diantara karang-karang terjal perdagangan bebas di sektor farmasi. Kecenderungan ini memang masih terus diperdebatkan. Di dalam dokumen Kebijakan Obat Nasional, pemerintah menekankan perlunya Indonesia untuk memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian perdagangan bebas terkait hak kekayaan intelektual dengan, khususnya dengan memaksimalkan fleksibilitas TRIPs dalam hal compulsory license, parallel impor, dan government use untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat di Indonesia. Sementara terkait dengan ancaman yang tersembunyi dibalik segala ketentuan terkait perdagangan bebas dalam hal hak kekayaan intelektual, pemerintah hanya menekankan perlunya sebuah strategi untuk memperkecil dampak dari ancaman tersebut.26 Sebab, selain masalah biaya distribusi, yang didalamnya terkandung bea masuk untuk obat generik impor, hal lain yang menyebabkan tingginya harga obat adalah adanya kebijakan patent terhadap beberapa obat-obat esensial. Selama ini, pemerintah bersikap sangat lunak terhadap ancaman yang muncul dari perjanjian perdagangan bebas TRIPs. Dalam hal TRIPs, Indonesia harus belajar dari Brazil, Afrika Selatan, India, dan Thailand yang tidak dengan mudah tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diterapkan perusahaan-perusahaan farmasi besar. Tidak semua kalangan setuju jika paten sebagaimana diatur oleh TRIPs adalah faktor yang menghambat akses obat-obat esensial di kalangan miskin. Di antara mereka yang tidak sepakat dengan analisis itu adalah Amir Attaran. Dalam esai berjudul “How Do Patents And Economic Policies Affect Access to Essential Medicine in Developing Countries”, Attaran mengatakan bahwa di negara-negara berkembang, kemiskinanlah—bukan paten—yang menghambat orang mendapatkan obat-obat esensial. Kebijakan paten yang didasarkan pada rejim perdagangan Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs) yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dapat menghambat akses terhadap beberapa jenis obat tertentu, khususnya karena dampak penerapan paten yang menyebabkan harga komoditi menjadi sangat mahal dan adanya ketentuan yang melarang pengembangan produk tersebut oleh pihak lain.27 Paten bisa menyebabkan mahalnya obat-obat esensial karena pemegang

24

Lihat Atiek Soemiati. 2009. Potensi Mikroba Endofit Dalam Eksplorasi Bahan Baku Obat Yang Ramah Lingkungan. Pengukuhan Guru Besar FMIPA Universitas Indonesia. 25 Ibid. 26 Lihat Peraturan Menteri Kesehatan RI No 189/MENKES/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional. 27 Kumpulan dokumen WTO yang mengulas hubungan antara TRIPS dengan industri farmasi bisa dilihat di http://bit.ly/ij1vlT

Page 9: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

9

paten bisa memblokir pengembang lain untuk menciptakan obat-obat generik. Dengan tidak adanya persaingan pasar, obat-obat yang dipaten bisa dijual pada harga yang paling tinggi di pasaran. Sebagian besar negara mengembangkan kebijakan yang mendorong penggunaan obat-obat generik untuk memenuhi kebutuhan obat-obat esensial di dalam negerinya. Obat generik adalah obat-obat yang diproduksi dan didistribusikan tanpa perlindungan paten. Dalam pembuatannya, obat generik haruslah memiliki kandungan yang sama dengan kandungan asalnya. WHO mengatakan, penerapan kebijakan yang terarah untuk penggunaan obat-obat generik berkualitas akan bisa mendorong peningkatan akses terhadap obat-obat esensial yang terjangkau. Akan tetapi, penggunaan obat-obat generik masih terhambat oleh adanya asumsi tentang kualitas obat yang berbeda dengan obat-obat paten. TRIPs adalah hambatan utama negara-negara berkembang untuk mengembangkan teknologi pengobatan murah yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan obat-obat esensial di dalam negerinya. Ketentuan ini pulalah yang menghambat pengembangan obat-obat generik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk munculnya sebuah obat generik baru. Sebab pada umumnya, sebuah obat generik baru hanya akan muncul ketika hak paten yang melekat pada sebuah produk obat sudah habis (expired). Di Amerika Serikat misalnya, setiap pemegang hak paten dapat menguasai hak tersebut hingga 20 tahun, namun diterapkan sebelum pengujian klinis. Rata-rata masa berlaku hak paten bagi sebuah obat di AS berkisar antara 7 hingga 12 tahun, dengan asumsi masa uji klinis akan memakan waktu diantaranya.28 Belajar dari pengalaman India, Thailand, Brazil, dan Afrika Selatan, tantangan untuk membangun industri farmasi strategis untuk menjamin akses terhadap obat-obat esensial justru berasal dari perjanjian perdagangan bebas dalam bidang hak kekayaan intelektual. Namun justru dari negara-negara tersebut, Indonesia bisa belajar bagaimana menghadapi tantangan perdagangan bebas untuk melindungi akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin, atas obat-obat esensial. Pemerintah perlu menekankan dan mengawasi masalah akuntabilitas perusahaan-perusahaan farmasi di dalam negeri. Pasalnya, menurut Prof. Hasbullah Thabrany, salah satu persoalan dalam konteks pengadaan obat generik di Indonesia karena industry farmasi di Indonesia masih terjangkit penyakit “rent-seeking”. Prof. Hasbullah juga menyatakan bahwa harga obat generik di Indonesia jauh lebih mahal dibanding negara-negara lain. “Perlu ada aturan harga jual obat generik yang jelas. Jangan sampai masyarakat yang sudah pusing mencari ketersediaan obat generik yang ‘langka’ di peredaran masih harus dipusingkan juga dengan adanya obat generik bermerek yang harganya tidak ‘generik’, sangat mahal. Kasihan masyarakat kecil,” ungkap Prof Dr Hasbullah. 29 Kesimpulan dan Rekomendasi Sebagaimana yang disarankan WHO agar setiap negara melakukan evaluasi terhadap kebijakan obat nasionalnya per-lima tahun, Kebijakan Obat Nasional yang terakhir diterbitkan pada tahun 2006 sudah memasuki tahap harus ditinjau ulang. Demikian pula dengan kebijakan tentang daftar Obat Esensial Nasional 2008 yang semestinya dievaluasi per-dua tahun yang berarti pada tahun ini pemerintah diminta untuk menyusun kembali daftar obat nasional terbaru. Momentum-momentum tersebut sebaiknya dioptimalkan untuk tidak hanya mengevaluasi kebijakan yang sudah dikeluarkan, melainkan juga disertai dengan penyusunan kebijakan yang lebih strategis.

28 Lihat Melissa McClellan. “TRIPS Agreement and the Human Right to the Essential Medicine”. Dokumen bisa diunduh dari http://bit.ly/i6enL7 29 Kompas. “Harga Obat Generik di Indonesia Termahal Se-ASEAN”. Selasa, 6 April 2010. http://bit.ly/eSdYJS

Page 10: Menjamin Hak Obat Bagi Si Miskin

10

Harus disadari jika desain kebijakan obat nasional yang mengandalkan liberalisasi pasar pada kenyataannya tidak mampu menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat-obat esensial secara berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah sebaiknya segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan obat nasional untuk mengkaji akar permasalahan dan merumuskan langkah-langkah strategis guna menjamin menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat-obat esensial di Indonesia. Perubahan kebijakan tersebut harus secara konkret terkait dengan upaya mendorong implementasi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jika untuk implementasi tersebut dibutuhkan segera pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Pengelola Jaminan Sosial (RUU BPJS), maka DPR-RI harus mempercepat pembahasan atas rancangan tersebut. Implementasi UU SJSN akan menjamin aksesibilitas penduduk miskin atas layanan kesehatan, khususnya terhadap obat-obat esensial. UU tersebut juga bisa memberikan jaminan dan kepastian bagi pelaku industri farmasi nasional atas pangsa pasar obat nasional. Selain implementasi UU SJSN, pemerintah juga perlu memikirkan desain industri farmasi yang lebih kokoh, mulai dari desain industri dasar penghasil bahan baku hingga industri manufaktur dan eceran. Pembangunan industri dasar di bidang farmasi ditujukan untuk menjamin ketersediaan (availability) pasokan obat-obat esensial. Hal ini ditujukan untuk mengatasi berbagai persoalan akibat perkembangan pasar farmasi dunia yang fluktuatif di tengah meningkatnya permintaan atas obat-obat generic menyusul krisis financial global 2008-09 lalu. Untuk melaksanakan rencana tersebut, rencana pemerintah yang hendak menghapus industry farmasi dari daftar negatif investasi (negative investment list) dengan merevisi ketentuan yang membatasi kepemilikan asing atas saham industry farmasi maksimal 75% menjadi 100% bisa dikatakan sebagai langkah yang kurang menguntungkan secara strategis. Pertama, meskipun tertera ketentuan pembatasan kepemilikan saham maksimal 75% sebagaimana tertera dalam Peraturan Presiden No. 111 tahun 2007, namun karena ketentuan tersebut tidak berlaku surut dan banyak industri farmasi asing dengan kepemilikan saham asing lebih dari 75%, ketentuan yang baru sebenarnya tidak mengubah banyak. Hanya menegaskan kecenderungan yang saat ini tengah berjalan. Kedua, pembebasan kepemilikan saham asing akan mempersulit pemerintah untuk memasukkan agenda-agenda publik ke dalam program kerja perusahaan-perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia. Dalam jangka pendek, rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif bea masuk produk bahan baku farmasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.011/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor bisa dipandang sebagai ancaman. Sudah bukan hal baru jika kebijakan-kebijakan semacam itu hanya akan menambah beban konsumen dan konsumen miskinlah yang akan menanggung beban yang lebih berat untuk membeli obat. Di tengah kecenderungan daya beli yang kian menurun, bukan tidak mungkin, kebijakan menaikkan bea impor produk-produk bahan baku obat akan semakin menjauhkan akses terhadap obat-obat esensial bagi masyarakat miskin. Pertimbangan utama yang layak untuk dilihat adalah kian dekatnya deadline pencapaian target-target MDGs yang terhitung sejak 2010 lalu telah memasuki periode lima tahun terakhir sebelum 2015. Berdasarkan komitmen tersebut, pemerintah dituntut untuk menyusun kerangka kerjasama yang kokoh dengan perusahaan-perusahaan farmasi untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat-obat esensial secara berkelanjutan. Upaya tersebut ditujukan untuk meningkatkan proporsi akses atas obat-obat esensial bagi penduduk miskin di Indonesia.*** © Komentar dan masukan, mohon dikirimkan ke Syamsul Ardiansyah. Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum). Jakarta Liaison Office. Jln. KH. Wahid Hasyim No. 02 Jakarta. e-mail: [email protected].