meningkatkan efisiensi program breeding sapi perah.pdf
TRANSCRIPT
-
PENDAHULUAN
Mengacu kepada kebijaksanaan sistem
perbibitan nasional (sisbitnas) dalam
kaitannya dengan program multiple ovulation
and transfer embryo (MOET) yang
disampaikan oleh Direktur Perbibitan Ditjen
Peternakan pada Pertemuan Koordinasi
Produksi, Aplikasi dan PenJaringan Bibit,
tanggal 23 September 2003 diBogor .
Dikatakan bahwa sebagai pelaku
pengembangan industri benih/bibitternak
adalah a) Pembibitan rakyatdi
pedesaan/Village BreeditigCenter, b)
Pembibitan Perusahaan Swasta/Koperasi/
LSM, dan c) Pembibitan pemerintah/Balai
Pembibitan Nasional dan Daerah . SeJalan
dengan hal tersebut balai pembibitan ternak
bersangkutan harus mampu menjalankan misi
perbibitan yang selaras dengan tugas pokok
dan fungsi (tupoksi) Direktorat Perbibitan
yang metiputi berbagai aspek managemen,
hubungan struktural, koordinasidan
fungsional. Secara lebih rinci disampaikan
bahwa visi dan misi perbibitanadalah
pengembangan industri dan bibit di Indonesia.
Visinya adalah tersedianya berbagai jenis bibit
ternak dalam jumlah dan mutu yang memadai
serta mudah diperoleh . Sedangkan misinya
adalah menyediakan bibit yang berkualitas
dalam jumlah cukup, mengurangi
ketergantungan impor bibit ternakdan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Tenrm Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006
MENINGKATKAN EFISIENSI PROGRAM BREEDING SAPI PERAH
MELALUI PEMBERDAYAAN BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI
INSEMENASI BUATAN DAN TRANSFER EMBRIO
M. ARIFIN BASYIR
Balai Embrio Ternak, Cipelang Bogor
RINGKASAN
Pola breeding sapi perah selama ini melalui kawin alam, IB dan/atau TE niengaeu pada calving interval 1
tahun dan berlaku bagi semua sapi, baik yang genelis superior (unggul) maupun inferior. Melalui TE sapi
genetis superior dapat ditingkatkan efisiensi reproduksinya, sekaligus mengurangi beban hidup fisiologis
selama periode tertentu . Beban hidup fisiologismeliputi hidup pokok, memelihara kebuntingan dan laktasi .
Beban memelihara kebuntingan dapat ditunda sementara waktu, namun tetap mempunyai anak keturunan
bahkan meningkatkan efisiensi reproduksi . Cara yang ditempuh dengan memindahkan embrio setiap 21hari
siklus birahi (TE segar-flushing tunggat) . Efisiensi reproduksi dapat ditingkatkan lagi dengan memperpendek
siklus birahi menjadi 10 hari melalui rekayasa hormonal .Efisiensi reproduksi selanjutnya menciptakan
kelahiran pedet kembar . Lebih jauh meningkatan efisiensi reproduksi dengan superovulasi atau multiple
ovulasi melalui rekayasa hormon gonadotropin .
Kata kunci : Efisiensi reproduksi, beban hidup fisiologis, transfer embrio segar
melestarikan berikut memanfaatkan bangsa
ternak setempat, serta mendorong pembibitan-
pembibitan pemerintah (pusat dan daerah),
swasta dan masyarakat .
Lebih lanjut disampalkan bahwa
strategi pengembangan industri benih dan
bibit di Indonesia antara lain meliputi strategi
pengembangan pengusahaan benih/bibit dan
sumber daya manusia. Salah satu unsurnya
adalah mengembangkan kemitraan usaha
kerjasama operasional, kerjasama teknis
antara unit pelaksana teknis (UPT) perbibitan
dengan propinsi, kabupaten, swasta, koperasi,
LSM dll . Strategi teknologi benih/bibit unggul
adalah paket teknotogi perkawainan pada sapi
dapat dilakukan melalui bioteknologi
reproduksi berupa insemenasi buatan (IB) .
Dapat pula memberdayakan bioteknologi
reproduksi yang terbaru yaitu transfer embrio
(TE) secara selektif, dibatasi pada pembibitan-
pembibitan yang manajemennya relatif cukup
baik . Adapun strategi pengembangan
kelembagaan perbenihan dan perbibitan antara
lain adalah memperbaiki kinerja Balai
Pembibitan Pemerintah (pusat maupun
daerah) termasuk di dalamnya adalah unit
pelaksana teknis pusat seperti BET, BIB,
BPTU dan unit pelaksana teknis pembibitan
ternak daerah agar mampu menghasilkan bibit
ternak unggul berkualitas setara atau diatas
bibit induk parent stock. Selain itu adalah
519
-
menciptakan iklim yang kondusif agar
pembibitan swasta dapat berkembang baik .
POLA DAN PROGRAM BREEDING
Fokus utama perbaikan mutu adalah
merencanakan program breeding yang terarah
sejalan dengan strategi kebijakan breeding
nasional yaitu pemurnian/konservasi,
persilangan dan penciptaan bangsa (rumpun )
baru. Prinsip melakukan seleksi dan culling
adalah untuk memperoleh keturunan lebih
produktif dan adaptif dibanding induk dan
pejantan tetuanya dalam kaitannya dengan
kaidah Phenotype (P)fGenotype
(G)+Ernviroment(E) .
Seleksi pejantan dapat
dilakukan melalui pendekatan pemillhan 10%
terbaik (the best of ten) dan seleksi betina
adalah 90% terbaik (the best of ninety) .
Ternak yang tidak digunakan sebagai bibit
akan dikeluarkan (culling) sebagai upaya
"membuang" bibit ternak yang tidak baik
untuk pengembangbiakan (breeding), yang
selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai
bakalan penggemukan untuk dipotong.
Pengembangan multiple ovulation and
embryo transfer dalam memperbaiki mutu
genetik ternak dapat dilakukan bila tujuan dan
sasaran perbaikan mutu tersebut
tergambarkan . Apabila tujuannya sudah
terdefinisikan maka faktor lain yang
berpengaruh adalah lingkungan keberadaan
ternak, sesuai dengan kaidah P=G+E . Hasil
seleksi memerlukan waktu sekurang-kurang-
nya I (satu) generasi keturunannya . Oleh
karena itu pengaruh kondisi lingkungan ternak
tersebut diprediksi 1-2 generasi berikutnya .
Sasaran utama multiple ovulation and
embryo transfer adalah kelompok bibit dasar
yang memiliki performance tertinggi untuk
mendapatkan embrio guna menghasilkan
keturunan calon bibit sekandung dan saudara
tiri yang selanjutnya diprediksi nilai
pemuliannya (breeding index) secara individu
pada usia sedini mungkin . Tu.juan
mendapatkan intensitas seleksi dengan
akurasi tinggi tersebut akan menurunkan
interval generasi atau mempercepat perbaikan
mutu genetik per satuan waktu .
Mengacu pada kebijaksanaan program
transfer embrio yang disampaikan oleh
Direktur Perbibitan pada pertemuan
koordinasi dan evaluasi produksi, transfer
520
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006
embrio dan progeny test tanggal 15-17
Desember 2004 di Cipanas . Dalam program
perbibitan dikatakan bahwa arah kebijakan
pemerintah adalah tetap memberi peluang
usaha perbibitan pemurnian dan persilangan
dengan mengutamakan prinsip-prinsip
perbaikan mutu, kelestarian dan upaya
pemanfaatan (eksplorasi) secara seimbang .
Hal ini dimaksudkan agar dapat memenuhi
kebutuhan bibit dalam jumlah dan mutu yang
sesuai dengan permintaan pasar . Fokus utama
perbaikan mutu adalah merencanakan
program breeding yang terarah dan dapat
dilakukan dengan bioteknologi reproduksi
insemenasi buatan maupun transfer embrio .
Kebijakan pengembangan multiple ovulation
and transfer embryo tetap dilaksanakan dalam
upaya membentuk kelompok bibit dasar yang
memiliki performance baik untuk
mendapatkan embrio dalam menghasilkan
calon bibit pada suatu kawasan yang memiliki
manajemen relatif baik .
Mengingat bahwa bioteknologi
reproduksi terutama transfer embrio
menjanjikan terbentuknya bibit unggul (pure
breed), namun membutuhkan kondisi yang
khusus. Maka TE untuk sementara
direkomendasikan pada peternakan yang
mempunyai manajemen relatif sangat baik dan
pada UPT pembibitan pemerintah (pusat
maupun daerah) serta swasta, terhadap
minimal 20% dari betina produktif yang ada.
Dalam istilah sistem perbibitan
nasional dikenal struktur pembibitan ternak,
meliputi bibit dasar, bibit induk dan bibit
sebar yang secara lebih spesifik dapat
diartikan sbb. :
a . Bibit Dasar = Foundation Stock
merupakan bibit basil dari suatu proses
pemuliaan dengan spesifikasi tertentu,
mempunyai silsilah untuk menghasilkan
bibit induk .
b . Bibit Induk = Breeding Stock merupakan
bibit dengan spesifikasi tertentu yang
mempunyai silsilah untuk menghasilkan
bib it sebar.
c . Bibit Sebar/Niaga = Commercial Stock
merupakan bibit dengan spesifikasi
tertentu untuk digunakan dalam proses
produksi .
Dalam hal permintaan komoditas
secara nasional kebutuhan daging masyarakat
rata-rata meningkat 5% per tahun dan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
-
diperkirakan jumlah sapi yang dipotong setiap
tahun telah mencapai 1,7 juta ekor. Apabila
tidak dilakukan langkah yang sungguh-
sungguh untuk mengatasi kecenderungan
penurunan populasi tersebut, maka pada
akhirnya akan mengganggu penyediaan
konsumsi daging sapi di dalam negeri .
Sedangkan kebutuhan bibit untuk
peremajaan/peningkatan populasi sapi perah
90-120 ribu ekor, sapi potong dan kerbau 2
juta ekor .
Berbagai masalah perbibitan masih
mewarnai berbagai komoditas ternak antara
lain :
a. Belum tersedianya bibit ternak dalam
jumlah cukup dan bermutu baik .
b . Konsep pembangunan perbibitan masih
parsial, belum terjalin dan bersambung
erat balk jenis maupun sebarannya di
Indonesia .
c . Kelembagaan perbibitan belum mampu
memenuhi semua permintaan kebutuhan
terhadap bibit .
d . Sumber perbibitan ternak masih
menyebar sehingga menyulitkan
pembinaan produksi, pengumpulan dan
distribusi bibit dalam jumlah yang sesuai
e. Pengembangan pembibitan swasta belum
semuanya berkembang karena iklim yang
tidak kondusif.
BEBAN HIDUP FISIOLOGIS
Beban hidup untuk berlangsungnya
fungsi/fisiologis sapi perah meliputi beban
untuk mempertahankan hidup pokok, beban
memelihara kebuntingan dan menghasilkan
susu atau laktasi . Dalam satu tahun periode
calving interval (CI) sebagian besar waktu
hidup sapi perah (8 bulan) menanggung tiga
macam beban hidup tersebut . Hanya sisa
waktu 4 bulan menanggung dua macam
beban hidup, yaitu 2 bulan setelah melahirkan
days open (hidup pokok dan laktasi) dan 2
bulan kering kandang (hidup pokok dan
kebuntingan). Di lain fihak beban hidup sapi
perah juga merupakan beban mana_jemen
pakan. Pakan untuk mempetahankan hidup
pokok harus ditambah untuk memelihara
kebuntingan dan laktasi .
Melalui pemberdayaan bioteknologi
reproduksi yang berupa transfer embrio (TE),
maka beban hidup sapi perah dapat dikurangi
Pusat Penelitian dan Pengennbangan Peternakan
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Perlanian2006
selama satu periode tertentu, tanpa
mengurangi fungsi fisiologisnya. Dalam hal
ini adalah sapi perah yang sedang menjalani
fungsi laktasinya, ditunda fungsi
kebuntingannya selam a beberapa waktu
tertentu agar konsentrasi menjalankan fungsi
laktasinya . Setelah beberapa waktu tertentu
atau sampai produksi susunya menurun, meski
mungkin telah melewati waktu 305 hari pada
sapi yang produksi susunya tinggi . Namun
tetap diupayakan bahwa sapi perah yang
sementara tidak bunting itu tetap mempunyai
anak keturunan, bahkan jumlahnya berlipat
ganda dibanding apabila sapi tersebut
dibuntingkan yang umumnya hanya
menurunkan satu ekor anak .
Oleh karena itu cara ini perlu
diterapkan pada sapi-sapi tertentu saja yang
mempunyai nilai genetis superior atau unggul
di suatu kawasan, peternakan atau populasi
tertentu . Untuk sapi perah indikator yang
mudah dimbil sebagai parameter unggul
adalah produksi susu yang tinggi per individu .
Perlu pula disadari bahwa sapi perah yang
produksi susu tinggi cenderung sulit bunting,
meskipun telah dipelihara dengan manajen
yang balk . Diduga akibat oksitosin yang tinggi
(untuk proses milk letdown) berdampak pada
kontraksi uterus, sehingga mengganggu
implantasi embrio . Selain itu keberadaan
oksitosin ada hubungannya dengan estrogen,
karena oksitosin bekerja pada kondisi
estrogenik. Sedangkan estrogen merupakan
'kontradiksi' bagi kebuntingan yang berada
dalam kondisi progesteronik . Maka
penundaan kebuntingan merupakan solusi
yang tepat bagi sapi perah produksi tinggi .
Selanjutnya sapi terpilih tersebut dianggap
sebagai sapi donor bagi kelompoknya,
sebelum kelompok tersebut mendapat sapi
donor yang sebenarnya .
Cara yang ditempuh adalah dengan
memindahkan embrio (TE segar dariflushing
tunggal) pada hari ke f7 setiap siklus birahi,
dari sapi perah unggul (sapi donor) kepada
sapi lain (sapi resipien) yang tidak unggul atau
sapi bangsa lain (sapi potong) . Sapi resipien
dianjurkan memilih sapi potong lokal yang
tidak unggul, tetapi sistem reproduksinya
masih balk . Karena sapi potong tidak laktasi
seperti sebagaimana pengertian sapi perah .
Laktasi sapi potong terbatas hanya untuk
memenuhi kebutuhan pedet selama belum
52 1
-
disapih oleh induknya. Dengan demikian sapi
potong resipien tersebut dapat
dikonsentrasikan hanya untuk memelihara
kebuntingan sapi perah dan selanjutnya
memelihara pedet sapi perah tersebut sampai
pada saatnya disapih .
MENINGKATKAN EFISIENSI
REPRODUKSI
Sejalan dengan upaya mengurangi
beban hidup fisiologis bagi sapi perah
unggulan yang berstatus sebagai sapi donor,
maka efisiensi reproduksi sapi unggul/donor
tersebut dapat ditingkatkan sedemikian rupa
dengan perhitungan sebagai berikut :
A. Tanpa rekayasa teknis siklus birahi
dan biaya yang murah
Dengan pengamatan birahi yang prima
sesuai standar operasional prosedur yang baik
dan benar, antara lain tingkah laku birahi
adanya jumping heat (stadium proestrus)
dan/atau sainding heat (stadium estrus) .
Dilanjutkan dengan visualisasi vulva adanya
merah, bengkak dan hangat serta keluarnya
lendir birahi yang jernih dengan kekentalan
yang khas. Selanjutnya pemeriksaan 'dalam'
melalui ekplorasi palpasi per-rektal adanya
ketegangan (ereksi) uterus dan bila perlu
dilanjutkan dengan pemeriksaan keberadaan
folikel de Graaf. Bila memungkinkan
pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan
laboratoris terhadap keberadaan hormon
reproduksi yang dominan pada saat birahi
yaitu estrogen .
Setelah semua gejala klinis birahi
teramati dengan sempurna dilakukan
insemensi buatan (IB) pada sapi
donor/unggulan mengacu pada standar
operasional prosedur IB sebagaimana
mestinya yang telah ditetapkan dan dijalani
selama ini. Pada hari ke 7 (birahi disebut hari
ke 0) dilakukan flushing tunggal. Selanjutnya
embrio yang diperoleh segera ditransfer
(segar) pada saat itu juga kepada sapi resipien
yang telah terseleksi . Seleksi sapi resipien
antara lain adalah pada hari ke 7 tersebut
minimal terdapat corpus luteum (CL)
struktural . Bila memungkinkan seleksi
resipien dapat dilengkapi dengan pemeriksaan
laboratoris terhadap adanya CL fungsional
yaitu keberadaan hormon progesteron .
522
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian2006
Bila dalam setiap siklus birahi didapat
I embrio, maka dalam satu periode tertentu
'istirahat bunting' akan didapat sejumlah
embrio dengan perhitungan sbb .
a. Dalam satu pereode masa laktasi =305
hari X I embrio = f 15 embrio .
b . 21 hari
c . Dalam satu tahun calving interval = 365
hari X I embrio = 18 embrio
21 hari
B . Dengan rekayasa teknis memperpen-
dek siklus birahi dan biaya agak
mahal .
Hasil perolehan embrio yang dapat
dikatakan sebagai peningkatan efisiensi
reproduksi sapi unggul/donor dapat lebih
ditingkatkan dengan induksi memperpendek
sikus birahi menggunakan hormon
prostaglandin F2@ (PG F 2@) atau analog
sintetiknya (Luprostiol, Cloprostenol,
Dinopros tromethamine) yang disuntikkan
pada hari ke 7 setelah flushing tunggal. Birahi
akan terjadi 31 hari kemudian atau dengan
perkataan lain siklus birahi diperpendek
menjadi 7+(31) hari = 101 hari . Maka akan
didapat hasil perolehan embrio dengan
perhitungan sbb. :
a. Dalam satu pereode masa laktasi = 305
hari X I embrio = 30 embrio.10 hari
b. Dalam satu tahun calving interval = 365
hari X I embrio = 36 embrio . 10 hari
C. Dengan rekayasa teknis
superovulasi/multipleovulasi dan biaya
relatif mahal
Superovulasi umumnya dilakukan pada
pertengahan siklus birahi yang juga bertepatan
dengan pertengahan fase luteal, yaitu idealnya
antara hari 9-13 pada prakiraan terjadinya
puncak gelombang folikeler, dengan
mempertimbangkan basil perolehan embrio
flushing tunggal hari ke 7 sebagai salah satu
perangkat seleksi .
Dengan pengertian bahwa embrio yang
didapat tersebut berkualitas A atau B .
Superovulasi umumnya menggunakan hormon
gonadotropin (a. 1 . PMSG, FSH) dan
dilanjutkan dengan sinkronisasi ovulasi-
induksi birahi menggunakan hormon PGF2@
atau analog sintetiknya .
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
-
Hasil perolehan embrio dari
superovulasi/multipleovulasi dikatakan
sebagai non predictable, baik kuantitas
maupun kualitsnya . Berbagai faktor
mempengaruhinya antra lain adalah jenis
hormon gonadotropin yang dipakai dan respon
masing-masing individu sangat variatif,
menyangkut status gizi yang tergambar
melalui penilaian body condition score (BCS)
serta fertilitas sapi donor/unggul tersebut yang
tergambar melalui pengamatan siklus birahi .
EFISIENSI REPRODUKSI DENGAN
KELAHIRAN KEMBAR
Alam telah menciptakan berbagai
makluk hidup, masing-masing dengan
spesifikasi, keistimewaan dan keunikannya
sendiri-sendiri . Pada sapi keunikan yang
dimaksud antara lain pada bentuk uterusnya
yang disebut sebagai tipe bikornua . Namun
dalam menjalani siklus reproduksi hanya salah
satu kornua uteri' yang digunakan untuk
bunting . Fenomena alam inilah yang perlu
disikapi dan diberdayakan untuk menciptakan
kelahiran kembar dengan insemenasi buatan
(IB) dan transfer embrio (TE) .
Produksi kelahiran kembar merupakan
salah satu cara efektif meningkatkan efisiensi
reproduksi. Sapi betina dapat diatur agar
bunting kembar untuk mempercepat
peningkatan populasi . Bahkan menurut
ECHTERKAMP (1992) kapasitas uterus dapat
ditingkatkan tiga fetus per kornua uteri . SEIKE
et a! . (1989) dapat menghasilkan 143,3%
pedet dibanding jumlah induk yang
mengandungnya pada induksi kebuntingan
kembar .
Cara yang ditempuh adalah melakukan
IB pada hari ke 0 siklus birahi dengan
mengacu pada standar operasional prosedur
sebagaimana mestinya. Kemudian pada hari
ke 7 silkus birahi dilakukan TE setelah
melalui seleksi antara lain dengan adanya
corpusluteum (CL) . Corpus luteum tersebut
juga sebagai indikator ipsilateral kebuntingan
dari IB . Posisi TE dianjurkan kontralateral CL
untuk menghindari atau paling tidak
mengurangi resiko kemungkinan terjadinya
kembar free martin dan dikatakan bahwa
kebuntingan kembar bikornua lebih terjamin
kelangsungan hidupnya (HART ELOCK et al.,
1990). Secara teoritis kebuntingan ipsilateral
Pusat Penelitian dan Pengentbangan Peternakan
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006
maupun kontralateral CL tidak ada masalah
yang berarti . Dengan pengertian bahwa CL
gravidarum berfungsi prima menghasilkan
hormon progesteron sebagai pemelihara
kebuntingan. Meskipun dikatakan bahwa
kebuntingan kembar membutuhkan CL
sekurang-kurangnya sejumlah fetus
kembarnya, untuk menjaga stabilitas uterus
memelihara kehidupan intra uterin
(KNICKERBOCKER, 1986 dan HAFEZ, 1993) .
Stimulasi jumlah CL lebih dari satu dapat
dilakukan dengan penyuntikan hormon
gonadotropin sebagaimana prosedur dalarn
program superovulasi/multipleovulasi . Selain
itu dianjurkan bahwa kelahiran kembar yang
terencana tersebut berasal dari jenis atau
bangsa sapi yang berbeda, agar lebih jelas
untuk membedakan daya kehidupan
kebuntingan embrio basil IB atau TE . Selain
melalui IB dan TE terdapat cara lain untuk
membuat kelahiran pedet kembar, yaitu
dengan TE dua embrio pada posisi ipsilateral
dan kontralateral Cl maupun kedua-duanya
ipsilateral Cl . Cara lainnya adalah melalui IB
setelah induk sapi mendapatkan perlakuan
superovulasi/multiple ovulasi dengan hormon
gonadotropin dan sinkronisasi ovulasi/induksi
birahi dengan hormon PGF ,- @
EFISIENSI REPRODUKSI DENGAN
SEMEN KAPASITASI
Bioteknologi reproduksi generasi
pertama yang bernama insemenasi buatan (IB)
telah puluhan tahun diterapkan dalam pola
breeding sapi di Indonesia. Namun revolusi
maupun evolusi atau rekayasa progresif yang
menyangkut IB belum terasa, meski kini
tumbuh balai-balai IB di berbagai daerah .
Salah satu aspek antara lain adalah dosis atau
jumlah set spermatozoa yang dikemas sebagai
semen beku dalam setiap straw, yaitu 25
juta set spermatozoa setiap kemasan straw
semen beku . Padahal hanya satu set
spermatozoa saja yang diperlukan untuk
membuahi satu set telur (ovum) . Hal ini
berarti bahwa sekian juta set spermatozoa
lainnya terbuang sia-sia .
Sumber daya alam berupa set
spermatozoa yang terbuang sia-sia itulah yang
perlu kita berdayakan. Bayangkan seandainya
suatu ketika biteknologi reproduksi IB telah
berhasil memberdayakan hanya satu set
523
-
spermatozoa saja yang dibutuhkan untuk
setiap kali IB, akan terjadi peningkatan
efisiensi reproduksi yang sangat luar biasa
besarnya. Sungguh suatu hal yang sangat
spektakuler, meskipun sangat fantastis tetapi
bukan suatu hat yang tidak mungkin .
Tentunya tidak sedrastis itu menurunkan dosis
set spermatozoa dalam setiap kemasan straw
semen beku. Perlu penelitian lebih lanjut
untuk menurunkan setahap demi setahap dosis
set spermatozoa yang ideal untuk satu
kemasan straw semen beku .
Faktor utama yang perlu menjadi
pertimbangan adalah proses kapasitasi set
spermatozoa agar mampu membuahi set telur .
Dalam metode 113 yang selama ini
penempatan set spermatozoa pada posisi 1-4
atau dalam canalis cervicalis sampai dengan
pangkal cavum uteri, dengan pertimbangan
sebagai waktu men,jalankan proses kapasitasi
set spermatozoa selama perjalanannya menuju
tempat pembuahan di dalamtuba fallopii .
Kenyataan di lapangah ada inseminator yang
'kreatif berpetualang' melakukan IB pada
posisi 6 (biforcatio uteri/kiri dan kanan
masing-masing setengah dosis . Hal ini
tentunya tidak dianjurkan dengan
pertimbangan faktor waktu kapasitasi set
spermatozoa dan apalagi bersifat spekulatif
tidak memastikan lebih dahulu keberadaan
folikel deGraaf terletak pada ovarium kiri
atau kanan. Pada produksi embrio melalui
proses fertilisasi in vitro (IVF) bahwa sebelum
fertilisasi set spermatozoa dari semen beku,
terlebih dahulu dilakukan kapasitasi dengan
cara setelah thawing dimasukkan ke tabung
Percoll gradient, centrifuge 2100 rpm 10
merit, ambil sedimensperma tambahkan BO
so/u/ion dan +heparin+hypotaurin, centrifuge
1800 rpm selama 5 merit. Kemudian dibuat
100 pl tetesan larutan sperma untuk setiap 20
oosit . Set spermatozoa yang telah mengalami
kapasitasi inilah dipertemukan face to face
dengan set oosit yang telah, mengalami
maturasi untuk menjalani proses
fertilisasi/pembuahan di dalam cawan petri
yang selanjutnya dimasukkan inkubator C02
selama 24 jam, diamati perkembangannya dan
diganti medianya setiap 48 jam sampai
menjadi embrio stadium tertentu .
Mengacu pada kapasitasi set
spermatozoa dalam proses IVF atau metode
kapasitasi set spermatozoa lain misalnya
524
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian2006
dengan enzim hialuronidase, bukan tidak
mungkin bahwa proses kapasitasi set
spermatozoa ditakukanin vitro untuk
fertilisasi in vivo pada IB. Lebih dari itu
harapan selanjutnya adalah meningkatkan
efisiensi reproduksi metalui IB dengan
mengurangi dosis set spermatozoa pada setiap
kemasan straw semen beku dan menempatkan
IB pada posisi 7 atau 8 seperti pada TE .
Dengan demikian di masa mendatang cukup
satu alat gun untuk lB dapat digunakan untuk
TE dan begitu sebaliknya .
PEMBAHASAN
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
institusi atau instansi yang mengurusi embrio,
yaitu melaksanakan produksi, pengembangan
dan distribusi embrio yang dalam hal ini
masih terbatas hanya pada komoditas sapi
perah dan sapi potong . Salah satu fungsinya
antara lain adalah pelaksanaan penyiapan
resipien dan transfer embrio. Perlu disadari
bahwa embrio tersebut sebagai benih yang
harus berkembang. Lebih lanjut menjadi bibit
dan individu sapi sebagaimana pengertian
dalam SK Mentan No.208/Kpts./OT.210/l/
2001, tentang Pedoman Perbibitan Ternak
Nasional . Bahwa benih adalah calon bibit
ternak yang mempunyai kemampuan
persyaratan tertentu untuk dikembang
biakkan, seperti mani (semen), set telur
(oosit), telur tetas dan embrio . Sedangkan
bibit ternak adalah semua hasil proses
penelitian dan pengkajian dan/atau ternak
yang mempunyai persyaratan tertentu untuk
dikembang biakkan dan/atau untuk produksi .
Dengan perkataan lain kegagalan produksi
dan transfer embrio harus 'dihargai' sebagai
kematian ternak .
Sejalan dengan kebijakan atau
pemahaman bahwa TE adalah sebagai
generasi penerus bioteknologi sebelumnya,
yaitu IB. Maka TE perlu 'menengok' ke
belakang, melihat keberhasitan generasi
sebelumnya sebagai acuan untuk maju ke
depan menjadi yang lebih baik dari generasi
sebelumnya. Lebih dari itu TE merupakan
fondasi perkembangan berkelanjutan terhadap
bioteknologi reproduksi generasi selanjutnya,
antara lain splitting embrio, transgenik,
kloning, genetic enginering dan rekayasa
embrio tainnya . Artinya perkembangan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
-
berkelanjutan itu semua tidak ada artinya,
kalau hasilnya yang berupa embrio tidak
berhasil ditransfer agar menjadi individu
hidup secara sempurna .
Menyadari bahwa IB dan TE harus
berkembang berkelanjutan, berjalan secara
serasi, sinergis potensiasi dan saling
melengkapi . Maka kedua institusi atau
instansi tersebut perlu dipertimbangan berada
dalam satu institusi instansi kelembagaan,
sehingga mempermudah dalam pembinaannya
secara teknis maupun non teknis. Apapun
nama institusi itu tidak begitu penting, namun
yang penting adalah eselonring harus berada
pada peringkat 2 berjenis balai besar sebagai
institusi terapan yang mempunyai divisi
pengembangan dan penelitian, misalnya
bernama "BalaiBesar Peinberdayaan
BioteknologiReproduksi dan Sumberdaya
GenetikPeternakan" dibawah pembinaan
Direktorat Jenderal Peternakan Departemen
Pertanian. Beda dengan Litbang Departemen
yang ruang lingkupnya umum dan luas, maka
divisi litbang disini khusus sesuai dengan
tupoksi masing-masing balai yang mempunyai
spesifikasi tersendiri . Sekaligus sebagai
'wadah' pejabat fungsional yang ada pada
bagan struktur organisasi suatu balai .
DAFTAR BACAAN
ANONIM, 2006 . Naskah akademik sistem perbibitan
nasional mendukung pengembangan
agribisnis yang berdaya saing dan
berkelanjutan . DepartemenPertanian
Jakarta.
ANONIM, 2006 . Laporan Bulanan Maret 2006 .
Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta .
ANONIM, 2003 . EvaluasiTeknis Kebijakan
Budidaya Peternakan Tahun2003 dan
Rencana Kegiatan Tahun 2004 Direktorat
Budidaya Petemakan dalam Rapat
Koordinasi Teknis 11/2003 Direktorat
Jenderal Bina Produksi Petemakan di
Jakarta .
ANONIM, 2003 . Hasil Monitoring Terpadu Tahun
2003. Sekretariat Ditjen Bina Produksi
Peternakan dalam Rakorteknas 11/2003 .
Ditjen Bina Produksi Peternakan di Jakarta .
ANONIM, 1992. Manual of Embryo Transfer and In
VitroFertilisation in Bovine, NLBC-
MAFF, JICA, Japan .
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian2006
BOEDIONO,A. 1996 . Pedet Lahir dari Embrio
Tanpa Pembuahan, Harian UmumKompas,
Kamis 16 Oktober 1996
BOEDIONO, A . 1993 . Kebuntingan Tanpa Peran
Sperma. Harian UmumKompas, Rabu 22
September 1993 .
BoEDIONO, A. 1993. Sapi Bunting Tanpa Pejantan .
Majalah Berita Tempo, 27 November 1993 .
BOEDIONO, A. 1993 . Satu Anak Empat Induk
dengan Rekayasa Genetika. Harian umum
Kompas, Selasa 27 April 1993 .
BOWEN, R.A. and PETER ELSDEN . Aplication of
Embryo Transfer to Infetile Cows in : David
A . Morrow (ed) . 1980 . Current Therapy in
Thereogenology : Diagnosis, treatment and
prevention of reproductive deseases in
animals . W.G . Saunders Company
Philadelphia-London-Toronto. P .226-228 .
MUSTOFA, 1. dan LABA MAHAPUTRA, 2000 .
Penyerentakan Birahi Sapi Fase Luteal dan
Hipofungsi Ovarium Untuk Induksi
Kebuntingan Kembar dengan Teknik
Transfer Embrio . Media Kedokteran
Hewan, FKH Unair, 16 : 3 ; 155 - 150 .
ISMUDIONO, MASLICHAH MAFRUHATI dan HERRY
AGEOS HERMAD, 2000 . Induksi kelahiran
kembar melalui kombinasi teknik transfer
embrio dan insemenasi buatan pada sapi
perah. Media Kedokteran Hewan, FKH
Unair, 16(3) : 140-144 .
PRABOWO, P. P., 1992. Petunjuk Laboratorium
Teknik Alih Embrio. Pusat Antar Univ .
Bioteknologi Yogyakarta, 86 - 102
SAKAKIBARA H., KUDO H., BOEDIONO A. AND
SUZUKI T. 1996. Induction of Twinning in
Holstein and Japanese Black Cows by
Ipsilateral Frozen Embryo Transfer. Animal
Reproductive Science, 44 (1996) ; 203 -
210 .
5 25
page 1page 2page 3page 4page 5page 6page 7