meningkatkan efisiensi program breeding sapi perah.pdf

7
PENDAHULUAN Mengacukepadakebijaksanaansistem perbibitan nasional (sisbitnas) dalam kaitannyadengan program multipleovulation and transfer embryo (MOET) yang disampaikanolehDirekturPerbibitanDitjen Peternakan pada Pertemuan Koordinasi Produksi,AplikasidanPenJaringanBibit, tanggal 23September 2003 di Bogor . Dikatakan bahwa sebagai pelaku pengembangan industri benih/bibit ternak adalah a) Pembibitan rakyat di pedesaan/ Village Breeditig Center, b) Pembibitan Perusahaan Swasta/Koperasi/ LSM,dan c) Pembibitanpemerintah/Balai PembibitanNasional danDaerah . SeJalan denganhaltersebutbalaipembibitanternak bersangkutanharusmampumenjalankanmisi perbibitan yang selarasdengantugaspokok danfungsi(tupoksi)DirektoratPerbibitan yang metiputiberbagaiaspekmanagemen, hubungan struktural, koordinasi dan fungsional .Secaralebihrincidisampaikan bahwa visi dan misi perbibitan adalah pengembanganindustridanbibitdi Indonesia. Visinyaadalahtersedianyaberbagaijenisbibit ternakdalamjumlahdanmutu yang memadai sertamudahdiperoleh .Sedangkanmisinya adalahmenyediakanbibit yang berkualitas dalam jumlah cukup, mengurangi ketergantungan impor bibit ternak dan PusatPenelitiandanPengembanganPeternakan TenrmTeknisNasionalTenagaFungsionalPertanian 2006 MENINGKATKANEFISIENSIPROGRAMBREEDINGSAPIPERAH MELALUIPEMBERDAYAANBIOTEKNOLOGIREPRODUKSI INSEMENASIBUATANDANTRANSFEREMBRIO M . ARIFINBASYIR BalaiEmbrioTernak,CipelangBogor RINGKASAN Pola breeding sapiperahselamainimelaluikawinalam,IBdan/atauTEniengaeupada calvinginterval ± 1 tahundanberlakubagisemuasapi,baik yang genelis superior (unggul)maupun inferior. MelaluiTEsapi genetis superior dapatditingkatkanefisiensireproduksinya,sekaligusmengurangibebanhidupfisiologis selamaperiodetertentu .Bebanhidup fisiologis meliputihiduppokok,memeliharakebuntingandanlaktasi . Bebanmemeliharakebuntingandapatditundasementarawaktu,namuntetapmempunyaianakketurunan bahkanmeningkatkanefisiensireproduksi .Cara yang ditempuhdenganmemindahkanembriosetiap 21 hari siklusbirahi(TEsegar-flushingtunggat) .Efisiensireproduksidapatditingkatkanlagidenganmemperpendek siklusbirahimenjadi 10 harimelaluirekayasa hormonal . Efisiensireproduksiselanjutnyamenciptakan kelahiranpedetkembar .Lebihjauhmeningkatanefisiensireproduksidengansuperovulasiatau multiple ovulasimelaluirekayasahormongonadotropin . Katakunci : Efisiensireproduksi,bebanhidupfisiologis, transfer embriosegar melestarikanberikutmemanfaatkanbangsa ternaksetempat,sertamendorongpembibitan- pembibitanpemerintah(pusatdandaerah), swastadanmasyarakat . Lebih lanjut disampalkanbahwa strategipengembanganindustribenihdan bibitdi Indonesia antara lain meliputistrategi pengembanganpengusahaanbenih/bibitdan sumberdayamanusia .Salahsatuunsurnya adalah mengembangkan kemitraan usaha kerjasama operasional, kerjasama teknis antara unit pelaksanateknis(UPT)perbibitan denganpropinsi,kabupaten,swasta,koperasi, LSMdll .Strategiteknologibenih/bibitunggul adalahpaketteknotogiperkawainanpadasapi dapat dilakukan melalui bioteknologi reproduksiberupainsemenasibuatan (IB) . Dapat pula memberdayakan bioteknologi reproduksi yang terbaruyaitu transfer embrio (TE)secaraselektif,dibatasipadapembibitan- pembibitan yang manajemennyarelatifcukup baik . Adapun strategi pengembangan kelembagaanperbenihandanperbibitanantara lain adalah memperbaiki kinerja Balai Pembibitan Pemerintah (pusat maupun daerah)termasukdidalamnyaadalah unit pelaksanateknispusatseperti BET,BIB, BPTUdan unit pelaksanateknispembibitan ternakdaerah agar mampumenghasilkanbibit ternakunggulberkualitassetaraataudiatas bibitinduk parentstock . Selainituadalah 519

Upload: rahulgulemq

Post on 14-Sep-2015

238 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • PENDAHULUAN

    Mengacu kepada kebijaksanaan sistem

    perbibitan nasional (sisbitnas) dalam

    kaitannya dengan program multiple ovulation

    and transfer embryo (MOET) yang

    disampaikan oleh Direktur Perbibitan Ditjen

    Peternakan pada Pertemuan Koordinasi

    Produksi, Aplikasi dan PenJaringan Bibit,

    tanggal 23 September 2003 diBogor .

    Dikatakan bahwa sebagai pelaku

    pengembangan industri benih/bibitternak

    adalah a) Pembibitan rakyatdi

    pedesaan/Village BreeditigCenter, b)

    Pembibitan Perusahaan Swasta/Koperasi/

    LSM, dan c) Pembibitan pemerintah/Balai

    Pembibitan Nasional dan Daerah . SeJalan

    dengan hal tersebut balai pembibitan ternak

    bersangkutan harus mampu menjalankan misi

    perbibitan yang selaras dengan tugas pokok

    dan fungsi (tupoksi) Direktorat Perbibitan

    yang metiputi berbagai aspek managemen,

    hubungan struktural, koordinasidan

    fungsional. Secara lebih rinci disampaikan

    bahwa visi dan misi perbibitanadalah

    pengembangan industri dan bibit di Indonesia.

    Visinya adalah tersedianya berbagai jenis bibit

    ternak dalam jumlah dan mutu yang memadai

    serta mudah diperoleh . Sedangkan misinya

    adalah menyediakan bibit yang berkualitas

    dalam jumlah cukup, mengurangi

    ketergantungan impor bibit ternakdan

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

    Tenrm Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006

    MENINGKATKAN EFISIENSI PROGRAM BREEDING SAPI PERAH

    MELALUI PEMBERDAYAAN BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI

    INSEMENASI BUATAN DAN TRANSFER EMBRIO

    M. ARIFIN BASYIR

    Balai Embrio Ternak, Cipelang Bogor

    RINGKASAN

    Pola breeding sapi perah selama ini melalui kawin alam, IB dan/atau TE niengaeu pada calving interval 1

    tahun dan berlaku bagi semua sapi, baik yang genelis superior (unggul) maupun inferior. Melalui TE sapi

    genetis superior dapat ditingkatkan efisiensi reproduksinya, sekaligus mengurangi beban hidup fisiologis

    selama periode tertentu . Beban hidup fisiologismeliputi hidup pokok, memelihara kebuntingan dan laktasi .

    Beban memelihara kebuntingan dapat ditunda sementara waktu, namun tetap mempunyai anak keturunan

    bahkan meningkatkan efisiensi reproduksi . Cara yang ditempuh dengan memindahkan embrio setiap 21hari

    siklus birahi (TE segar-flushing tunggat) . Efisiensi reproduksi dapat ditingkatkan lagi dengan memperpendek

    siklus birahi menjadi 10 hari melalui rekayasa hormonal .Efisiensi reproduksi selanjutnya menciptakan

    kelahiran pedet kembar . Lebih jauh meningkatan efisiensi reproduksi dengan superovulasi atau multiple

    ovulasi melalui rekayasa hormon gonadotropin .

    Kata kunci : Efisiensi reproduksi, beban hidup fisiologis, transfer embrio segar

    melestarikan berikut memanfaatkan bangsa

    ternak setempat, serta mendorong pembibitan-

    pembibitan pemerintah (pusat dan daerah),

    swasta dan masyarakat .

    Lebih lanjut disampalkan bahwa

    strategi pengembangan industri benih dan

    bibit di Indonesia antara lain meliputi strategi

    pengembangan pengusahaan benih/bibit dan

    sumber daya manusia. Salah satu unsurnya

    adalah mengembangkan kemitraan usaha

    kerjasama operasional, kerjasama teknis

    antara unit pelaksana teknis (UPT) perbibitan

    dengan propinsi, kabupaten, swasta, koperasi,

    LSM dll . Strategi teknologi benih/bibit unggul

    adalah paket teknotogi perkawainan pada sapi

    dapat dilakukan melalui bioteknologi

    reproduksi berupa insemenasi buatan (IB) .

    Dapat pula memberdayakan bioteknologi

    reproduksi yang terbaru yaitu transfer embrio

    (TE) secara selektif, dibatasi pada pembibitan-

    pembibitan yang manajemennya relatif cukup

    baik . Adapun strategi pengembangan

    kelembagaan perbenihan dan perbibitan antara

    lain adalah memperbaiki kinerja Balai

    Pembibitan Pemerintah (pusat maupun

    daerah) termasuk di dalamnya adalah unit

    pelaksana teknis pusat seperti BET, BIB,

    BPTU dan unit pelaksana teknis pembibitan

    ternak daerah agar mampu menghasilkan bibit

    ternak unggul berkualitas setara atau diatas

    bibit induk parent stock. Selain itu adalah

    519

  • menciptakan iklim yang kondusif agar

    pembibitan swasta dapat berkembang baik .

    POLA DAN PROGRAM BREEDING

    Fokus utama perbaikan mutu adalah

    merencanakan program breeding yang terarah

    sejalan dengan strategi kebijakan breeding

    nasional yaitu pemurnian/konservasi,

    persilangan dan penciptaan bangsa (rumpun )

    baru. Prinsip melakukan seleksi dan culling

    adalah untuk memperoleh keturunan lebih

    produktif dan adaptif dibanding induk dan

    pejantan tetuanya dalam kaitannya dengan

    kaidah Phenotype (P)fGenotype

    (G)+Ernviroment(E) .

    Seleksi pejantan dapat

    dilakukan melalui pendekatan pemillhan 10%

    terbaik (the best of ten) dan seleksi betina

    adalah 90% terbaik (the best of ninety) .

    Ternak yang tidak digunakan sebagai bibit

    akan dikeluarkan (culling) sebagai upaya

    "membuang" bibit ternak yang tidak baik

    untuk pengembangbiakan (breeding), yang

    selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai

    bakalan penggemukan untuk dipotong.

    Pengembangan multiple ovulation and

    embryo transfer dalam memperbaiki mutu

    genetik ternak dapat dilakukan bila tujuan dan

    sasaran perbaikan mutu tersebut

    tergambarkan . Apabila tujuannya sudah

    terdefinisikan maka faktor lain yang

    berpengaruh adalah lingkungan keberadaan

    ternak, sesuai dengan kaidah P=G+E . Hasil

    seleksi memerlukan waktu sekurang-kurang-

    nya I (satu) generasi keturunannya . Oleh

    karena itu pengaruh kondisi lingkungan ternak

    tersebut diprediksi 1-2 generasi berikutnya .

    Sasaran utama multiple ovulation and

    embryo transfer adalah kelompok bibit dasar

    yang memiliki performance tertinggi untuk

    mendapatkan embrio guna menghasilkan

    keturunan calon bibit sekandung dan saudara

    tiri yang selanjutnya diprediksi nilai

    pemuliannya (breeding index) secara individu

    pada usia sedini mungkin . Tu.juan

    mendapatkan intensitas seleksi dengan

    akurasi tinggi tersebut akan menurunkan

    interval generasi atau mempercepat perbaikan

    mutu genetik per satuan waktu .

    Mengacu pada kebijaksanaan program

    transfer embrio yang disampaikan oleh

    Direktur Perbibitan pada pertemuan

    koordinasi dan evaluasi produksi, transfer

    520

    Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006

    embrio dan progeny test tanggal 15-17

    Desember 2004 di Cipanas . Dalam program

    perbibitan dikatakan bahwa arah kebijakan

    pemerintah adalah tetap memberi peluang

    usaha perbibitan pemurnian dan persilangan

    dengan mengutamakan prinsip-prinsip

    perbaikan mutu, kelestarian dan upaya

    pemanfaatan (eksplorasi) secara seimbang .

    Hal ini dimaksudkan agar dapat memenuhi

    kebutuhan bibit dalam jumlah dan mutu yang

    sesuai dengan permintaan pasar . Fokus utama

    perbaikan mutu adalah merencanakan

    program breeding yang terarah dan dapat

    dilakukan dengan bioteknologi reproduksi

    insemenasi buatan maupun transfer embrio .

    Kebijakan pengembangan multiple ovulation

    and transfer embryo tetap dilaksanakan dalam

    upaya membentuk kelompok bibit dasar yang

    memiliki performance baik untuk

    mendapatkan embrio dalam menghasilkan

    calon bibit pada suatu kawasan yang memiliki

    manajemen relatif baik .

    Mengingat bahwa bioteknologi

    reproduksi terutama transfer embrio

    menjanjikan terbentuknya bibit unggul (pure

    breed), namun membutuhkan kondisi yang

    khusus. Maka TE untuk sementara

    direkomendasikan pada peternakan yang

    mempunyai manajemen relatif sangat baik dan

    pada UPT pembibitan pemerintah (pusat

    maupun daerah) serta swasta, terhadap

    minimal 20% dari betina produktif yang ada.

    Dalam istilah sistem perbibitan

    nasional dikenal struktur pembibitan ternak,

    meliputi bibit dasar, bibit induk dan bibit

    sebar yang secara lebih spesifik dapat

    diartikan sbb. :

    a . Bibit Dasar = Foundation Stock

    merupakan bibit basil dari suatu proses

    pemuliaan dengan spesifikasi tertentu,

    mempunyai silsilah untuk menghasilkan

    bibit induk .

    b . Bibit Induk = Breeding Stock merupakan

    bibit dengan spesifikasi tertentu yang

    mempunyai silsilah untuk menghasilkan

    bib it sebar.

    c . Bibit Sebar/Niaga = Commercial Stock

    merupakan bibit dengan spesifikasi

    tertentu untuk digunakan dalam proses

    produksi .

    Dalam hal permintaan komoditas

    secara nasional kebutuhan daging masyarakat

    rata-rata meningkat 5% per tahun dan

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

  • diperkirakan jumlah sapi yang dipotong setiap

    tahun telah mencapai 1,7 juta ekor. Apabila

    tidak dilakukan langkah yang sungguh-

    sungguh untuk mengatasi kecenderungan

    penurunan populasi tersebut, maka pada

    akhirnya akan mengganggu penyediaan

    konsumsi daging sapi di dalam negeri .

    Sedangkan kebutuhan bibit untuk

    peremajaan/peningkatan populasi sapi perah

    90-120 ribu ekor, sapi potong dan kerbau 2

    juta ekor .

    Berbagai masalah perbibitan masih

    mewarnai berbagai komoditas ternak antara

    lain :

    a. Belum tersedianya bibit ternak dalam

    jumlah cukup dan bermutu baik .

    b . Konsep pembangunan perbibitan masih

    parsial, belum terjalin dan bersambung

    erat balk jenis maupun sebarannya di

    Indonesia .

    c . Kelembagaan perbibitan belum mampu

    memenuhi semua permintaan kebutuhan

    terhadap bibit .

    d . Sumber perbibitan ternak masih

    menyebar sehingga menyulitkan

    pembinaan produksi, pengumpulan dan

    distribusi bibit dalam jumlah yang sesuai

    e. Pengembangan pembibitan swasta belum

    semuanya berkembang karena iklim yang

    tidak kondusif.

    BEBAN HIDUP FISIOLOGIS

    Beban hidup untuk berlangsungnya

    fungsi/fisiologis sapi perah meliputi beban

    untuk mempertahankan hidup pokok, beban

    memelihara kebuntingan dan menghasilkan

    susu atau laktasi . Dalam satu tahun periode

    calving interval (CI) sebagian besar waktu

    hidup sapi perah (8 bulan) menanggung tiga

    macam beban hidup tersebut . Hanya sisa

    waktu 4 bulan menanggung dua macam

    beban hidup, yaitu 2 bulan setelah melahirkan

    days open (hidup pokok dan laktasi) dan 2

    bulan kering kandang (hidup pokok dan

    kebuntingan). Di lain fihak beban hidup sapi

    perah juga merupakan beban mana_jemen

    pakan. Pakan untuk mempetahankan hidup

    pokok harus ditambah untuk memelihara

    kebuntingan dan laktasi .

    Melalui pemberdayaan bioteknologi

    reproduksi yang berupa transfer embrio (TE),

    maka beban hidup sapi perah dapat dikurangi

    Pusat Penelitian dan Pengennbangan Peternakan

    Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Perlanian2006

    selama satu periode tertentu, tanpa

    mengurangi fungsi fisiologisnya. Dalam hal

    ini adalah sapi perah yang sedang menjalani

    fungsi laktasinya, ditunda fungsi

    kebuntingannya selam a beberapa waktu

    tertentu agar konsentrasi menjalankan fungsi

    laktasinya . Setelah beberapa waktu tertentu

    atau sampai produksi susunya menurun, meski

    mungkin telah melewati waktu 305 hari pada

    sapi yang produksi susunya tinggi . Namun

    tetap diupayakan bahwa sapi perah yang

    sementara tidak bunting itu tetap mempunyai

    anak keturunan, bahkan jumlahnya berlipat

    ganda dibanding apabila sapi tersebut

    dibuntingkan yang umumnya hanya

    menurunkan satu ekor anak .

    Oleh karena itu cara ini perlu

    diterapkan pada sapi-sapi tertentu saja yang

    mempunyai nilai genetis superior atau unggul

    di suatu kawasan, peternakan atau populasi

    tertentu . Untuk sapi perah indikator yang

    mudah dimbil sebagai parameter unggul

    adalah produksi susu yang tinggi per individu .

    Perlu pula disadari bahwa sapi perah yang

    produksi susu tinggi cenderung sulit bunting,

    meskipun telah dipelihara dengan manajen

    yang balk . Diduga akibat oksitosin yang tinggi

    (untuk proses milk letdown) berdampak pada

    kontraksi uterus, sehingga mengganggu

    implantasi embrio . Selain itu keberadaan

    oksitosin ada hubungannya dengan estrogen,

    karena oksitosin bekerja pada kondisi

    estrogenik. Sedangkan estrogen merupakan

    'kontradiksi' bagi kebuntingan yang berada

    dalam kondisi progesteronik . Maka

    penundaan kebuntingan merupakan solusi

    yang tepat bagi sapi perah produksi tinggi .

    Selanjutnya sapi terpilih tersebut dianggap

    sebagai sapi donor bagi kelompoknya,

    sebelum kelompok tersebut mendapat sapi

    donor yang sebenarnya .

    Cara yang ditempuh adalah dengan

    memindahkan embrio (TE segar dariflushing

    tunggal) pada hari ke f7 setiap siklus birahi,

    dari sapi perah unggul (sapi donor) kepada

    sapi lain (sapi resipien) yang tidak unggul atau

    sapi bangsa lain (sapi potong) . Sapi resipien

    dianjurkan memilih sapi potong lokal yang

    tidak unggul, tetapi sistem reproduksinya

    masih balk . Karena sapi potong tidak laktasi

    seperti sebagaimana pengertian sapi perah .

    Laktasi sapi potong terbatas hanya untuk

    memenuhi kebutuhan pedet selama belum

    52 1

  • disapih oleh induknya. Dengan demikian sapi

    potong resipien tersebut dapat

    dikonsentrasikan hanya untuk memelihara

    kebuntingan sapi perah dan selanjutnya

    memelihara pedet sapi perah tersebut sampai

    pada saatnya disapih .

    MENINGKATKAN EFISIENSI

    REPRODUKSI

    Sejalan dengan upaya mengurangi

    beban hidup fisiologis bagi sapi perah

    unggulan yang berstatus sebagai sapi donor,

    maka efisiensi reproduksi sapi unggul/donor

    tersebut dapat ditingkatkan sedemikian rupa

    dengan perhitungan sebagai berikut :

    A. Tanpa rekayasa teknis siklus birahi

    dan biaya yang murah

    Dengan pengamatan birahi yang prima

    sesuai standar operasional prosedur yang baik

    dan benar, antara lain tingkah laku birahi

    adanya jumping heat (stadium proestrus)

    dan/atau sainding heat (stadium estrus) .

    Dilanjutkan dengan visualisasi vulva adanya

    merah, bengkak dan hangat serta keluarnya

    lendir birahi yang jernih dengan kekentalan

    yang khas. Selanjutnya pemeriksaan 'dalam'

    melalui ekplorasi palpasi per-rektal adanya

    ketegangan (ereksi) uterus dan bila perlu

    dilanjutkan dengan pemeriksaan keberadaan

    folikel de Graaf. Bila memungkinkan

    pemeriksaan dilengkapi dengan pemeriksaan

    laboratoris terhadap keberadaan hormon

    reproduksi yang dominan pada saat birahi

    yaitu estrogen .

    Setelah semua gejala klinis birahi

    teramati dengan sempurna dilakukan

    insemensi buatan (IB) pada sapi

    donor/unggulan mengacu pada standar

    operasional prosedur IB sebagaimana

    mestinya yang telah ditetapkan dan dijalani

    selama ini. Pada hari ke 7 (birahi disebut hari

    ke 0) dilakukan flushing tunggal. Selanjutnya

    embrio yang diperoleh segera ditransfer

    (segar) pada saat itu juga kepada sapi resipien

    yang telah terseleksi . Seleksi sapi resipien

    antara lain adalah pada hari ke 7 tersebut

    minimal terdapat corpus luteum (CL)

    struktural . Bila memungkinkan seleksi

    resipien dapat dilengkapi dengan pemeriksaan

    laboratoris terhadap adanya CL fungsional

    yaitu keberadaan hormon progesteron .

    522

    Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian2006

    Bila dalam setiap siklus birahi didapat

    I embrio, maka dalam satu periode tertentu

    'istirahat bunting' akan didapat sejumlah

    embrio dengan perhitungan sbb .

    a. Dalam satu pereode masa laktasi =305

    hari X I embrio = f 15 embrio .

    b . 21 hari

    c . Dalam satu tahun calving interval = 365

    hari X I embrio = 18 embrio

    21 hari

    B . Dengan rekayasa teknis memperpen-

    dek siklus birahi dan biaya agak

    mahal .

    Hasil perolehan embrio yang dapat

    dikatakan sebagai peningkatan efisiensi

    reproduksi sapi unggul/donor dapat lebih

    ditingkatkan dengan induksi memperpendek

    sikus birahi menggunakan hormon

    prostaglandin F2@ (PG F 2@) atau analog

    sintetiknya (Luprostiol, Cloprostenol,

    Dinopros tromethamine) yang disuntikkan

    pada hari ke 7 setelah flushing tunggal. Birahi

    akan terjadi 31 hari kemudian atau dengan

    perkataan lain siklus birahi diperpendek

    menjadi 7+(31) hari = 101 hari . Maka akan

    didapat hasil perolehan embrio dengan

    perhitungan sbb. :

    a. Dalam satu pereode masa laktasi = 305

    hari X I embrio = 30 embrio.10 hari

    b. Dalam satu tahun calving interval = 365

    hari X I embrio = 36 embrio . 10 hari

    C. Dengan rekayasa teknis

    superovulasi/multipleovulasi dan biaya

    relatif mahal

    Superovulasi umumnya dilakukan pada

    pertengahan siklus birahi yang juga bertepatan

    dengan pertengahan fase luteal, yaitu idealnya

    antara hari 9-13 pada prakiraan terjadinya

    puncak gelombang folikeler, dengan

    mempertimbangkan basil perolehan embrio

    flushing tunggal hari ke 7 sebagai salah satu

    perangkat seleksi .

    Dengan pengertian bahwa embrio yang

    didapat tersebut berkualitas A atau B .

    Superovulasi umumnya menggunakan hormon

    gonadotropin (a. 1 . PMSG, FSH) dan

    dilanjutkan dengan sinkronisasi ovulasi-

    induksi birahi menggunakan hormon PGF2@

    atau analog sintetiknya .

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

  • Hasil perolehan embrio dari

    superovulasi/multipleovulasi dikatakan

    sebagai non predictable, baik kuantitas

    maupun kualitsnya . Berbagai faktor

    mempengaruhinya antra lain adalah jenis

    hormon gonadotropin yang dipakai dan respon

    masing-masing individu sangat variatif,

    menyangkut status gizi yang tergambar

    melalui penilaian body condition score (BCS)

    serta fertilitas sapi donor/unggul tersebut yang

    tergambar melalui pengamatan siklus birahi .

    EFISIENSI REPRODUKSI DENGAN

    KELAHIRAN KEMBAR

    Alam telah menciptakan berbagai

    makluk hidup, masing-masing dengan

    spesifikasi, keistimewaan dan keunikannya

    sendiri-sendiri . Pada sapi keunikan yang

    dimaksud antara lain pada bentuk uterusnya

    yang disebut sebagai tipe bikornua . Namun

    dalam menjalani siklus reproduksi hanya salah

    satu kornua uteri' yang digunakan untuk

    bunting . Fenomena alam inilah yang perlu

    disikapi dan diberdayakan untuk menciptakan

    kelahiran kembar dengan insemenasi buatan

    (IB) dan transfer embrio (TE) .

    Produksi kelahiran kembar merupakan

    salah satu cara efektif meningkatkan efisiensi

    reproduksi. Sapi betina dapat diatur agar

    bunting kembar untuk mempercepat

    peningkatan populasi . Bahkan menurut

    ECHTERKAMP (1992) kapasitas uterus dapat

    ditingkatkan tiga fetus per kornua uteri . SEIKE

    et a! . (1989) dapat menghasilkan 143,3%

    pedet dibanding jumlah induk yang

    mengandungnya pada induksi kebuntingan

    kembar .

    Cara yang ditempuh adalah melakukan

    IB pada hari ke 0 siklus birahi dengan

    mengacu pada standar operasional prosedur

    sebagaimana mestinya. Kemudian pada hari

    ke 7 silkus birahi dilakukan TE setelah

    melalui seleksi antara lain dengan adanya

    corpusluteum (CL) . Corpus luteum tersebut

    juga sebagai indikator ipsilateral kebuntingan

    dari IB . Posisi TE dianjurkan kontralateral CL

    untuk menghindari atau paling tidak

    mengurangi resiko kemungkinan terjadinya

    kembar free martin dan dikatakan bahwa

    kebuntingan kembar bikornua lebih terjamin

    kelangsungan hidupnya (HART ELOCK et al.,

    1990). Secara teoritis kebuntingan ipsilateral

    Pusat Penelitian dan Pengentbangan Peternakan

    Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006

    maupun kontralateral CL tidak ada masalah

    yang berarti . Dengan pengertian bahwa CL

    gravidarum berfungsi prima menghasilkan

    hormon progesteron sebagai pemelihara

    kebuntingan. Meskipun dikatakan bahwa

    kebuntingan kembar membutuhkan CL

    sekurang-kurangnya sejumlah fetus

    kembarnya, untuk menjaga stabilitas uterus

    memelihara kehidupan intra uterin

    (KNICKERBOCKER, 1986 dan HAFEZ, 1993) .

    Stimulasi jumlah CL lebih dari satu dapat

    dilakukan dengan penyuntikan hormon

    gonadotropin sebagaimana prosedur dalarn

    program superovulasi/multipleovulasi . Selain

    itu dianjurkan bahwa kelahiran kembar yang

    terencana tersebut berasal dari jenis atau

    bangsa sapi yang berbeda, agar lebih jelas

    untuk membedakan daya kehidupan

    kebuntingan embrio basil IB atau TE . Selain

    melalui IB dan TE terdapat cara lain untuk

    membuat kelahiran pedet kembar, yaitu

    dengan TE dua embrio pada posisi ipsilateral

    dan kontralateral Cl maupun kedua-duanya

    ipsilateral Cl . Cara lainnya adalah melalui IB

    setelah induk sapi mendapatkan perlakuan

    superovulasi/multiple ovulasi dengan hormon

    gonadotropin dan sinkronisasi ovulasi/induksi

    birahi dengan hormon PGF ,- @

    EFISIENSI REPRODUKSI DENGAN

    SEMEN KAPASITASI

    Bioteknologi reproduksi generasi

    pertama yang bernama insemenasi buatan (IB)

    telah puluhan tahun diterapkan dalam pola

    breeding sapi di Indonesia. Namun revolusi

    maupun evolusi atau rekayasa progresif yang

    menyangkut IB belum terasa, meski kini

    tumbuh balai-balai IB di berbagai daerah .

    Salah satu aspek antara lain adalah dosis atau

    jumlah set spermatozoa yang dikemas sebagai

    semen beku dalam setiap straw, yaitu 25

    juta set spermatozoa setiap kemasan straw

    semen beku . Padahal hanya satu set

    spermatozoa saja yang diperlukan untuk

    membuahi satu set telur (ovum) . Hal ini

    berarti bahwa sekian juta set spermatozoa

    lainnya terbuang sia-sia .

    Sumber daya alam berupa set

    spermatozoa yang terbuang sia-sia itulah yang

    perlu kita berdayakan. Bayangkan seandainya

    suatu ketika biteknologi reproduksi IB telah

    berhasil memberdayakan hanya satu set

    523

  • spermatozoa saja yang dibutuhkan untuk

    setiap kali IB, akan terjadi peningkatan

    efisiensi reproduksi yang sangat luar biasa

    besarnya. Sungguh suatu hal yang sangat

    spektakuler, meskipun sangat fantastis tetapi

    bukan suatu hat yang tidak mungkin .

    Tentunya tidak sedrastis itu menurunkan dosis

    set spermatozoa dalam setiap kemasan straw

    semen beku. Perlu penelitian lebih lanjut

    untuk menurunkan setahap demi setahap dosis

    set spermatozoa yang ideal untuk satu

    kemasan straw semen beku .

    Faktor utama yang perlu menjadi

    pertimbangan adalah proses kapasitasi set

    spermatozoa agar mampu membuahi set telur .

    Dalam metode 113 yang selama ini

    penempatan set spermatozoa pada posisi 1-4

    atau dalam canalis cervicalis sampai dengan

    pangkal cavum uteri, dengan pertimbangan

    sebagai waktu men,jalankan proses kapasitasi

    set spermatozoa selama perjalanannya menuju

    tempat pembuahan di dalamtuba fallopii .

    Kenyataan di lapangah ada inseminator yang

    'kreatif berpetualang' melakukan IB pada

    posisi 6 (biforcatio uteri/kiri dan kanan

    masing-masing setengah dosis . Hal ini

    tentunya tidak dianjurkan dengan

    pertimbangan faktor waktu kapasitasi set

    spermatozoa dan apalagi bersifat spekulatif

    tidak memastikan lebih dahulu keberadaan

    folikel deGraaf terletak pada ovarium kiri

    atau kanan. Pada produksi embrio melalui

    proses fertilisasi in vitro (IVF) bahwa sebelum

    fertilisasi set spermatozoa dari semen beku,

    terlebih dahulu dilakukan kapasitasi dengan

    cara setelah thawing dimasukkan ke tabung

    Percoll gradient, centrifuge 2100 rpm 10

    merit, ambil sedimensperma tambahkan BO

    so/u/ion dan +heparin+hypotaurin, centrifuge

    1800 rpm selama 5 merit. Kemudian dibuat

    100 pl tetesan larutan sperma untuk setiap 20

    oosit . Set spermatozoa yang telah mengalami

    kapasitasi inilah dipertemukan face to face

    dengan set oosit yang telah, mengalami

    maturasi untuk menjalani proses

    fertilisasi/pembuahan di dalam cawan petri

    yang selanjutnya dimasukkan inkubator C02

    selama 24 jam, diamati perkembangannya dan

    diganti medianya setiap 48 jam sampai

    menjadi embrio stadium tertentu .

    Mengacu pada kapasitasi set

    spermatozoa dalam proses IVF atau metode

    kapasitasi set spermatozoa lain misalnya

    524

    Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian2006

    dengan enzim hialuronidase, bukan tidak

    mungkin bahwa proses kapasitasi set

    spermatozoa ditakukanin vitro untuk

    fertilisasi in vivo pada IB. Lebih dari itu

    harapan selanjutnya adalah meningkatkan

    efisiensi reproduksi metalui IB dengan

    mengurangi dosis set spermatozoa pada setiap

    kemasan straw semen beku dan menempatkan

    IB pada posisi 7 atau 8 seperti pada TE .

    Dengan demikian di masa mendatang cukup

    satu alat gun untuk lB dapat digunakan untuk

    TE dan begitu sebaliknya .

    PEMBAHASAN

    Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi

    institusi atau instansi yang mengurusi embrio,

    yaitu melaksanakan produksi, pengembangan

    dan distribusi embrio yang dalam hal ini

    masih terbatas hanya pada komoditas sapi

    perah dan sapi potong . Salah satu fungsinya

    antara lain adalah pelaksanaan penyiapan

    resipien dan transfer embrio. Perlu disadari

    bahwa embrio tersebut sebagai benih yang

    harus berkembang. Lebih lanjut menjadi bibit

    dan individu sapi sebagaimana pengertian

    dalam SK Mentan No.208/Kpts./OT.210/l/

    2001, tentang Pedoman Perbibitan Ternak

    Nasional . Bahwa benih adalah calon bibit

    ternak yang mempunyai kemampuan

    persyaratan tertentu untuk dikembang

    biakkan, seperti mani (semen), set telur

    (oosit), telur tetas dan embrio . Sedangkan

    bibit ternak adalah semua hasil proses

    penelitian dan pengkajian dan/atau ternak

    yang mempunyai persyaratan tertentu untuk

    dikembang biakkan dan/atau untuk produksi .

    Dengan perkataan lain kegagalan produksi

    dan transfer embrio harus 'dihargai' sebagai

    kematian ternak .

    Sejalan dengan kebijakan atau

    pemahaman bahwa TE adalah sebagai

    generasi penerus bioteknologi sebelumnya,

    yaitu IB. Maka TE perlu 'menengok' ke

    belakang, melihat keberhasitan generasi

    sebelumnya sebagai acuan untuk maju ke

    depan menjadi yang lebih baik dari generasi

    sebelumnya. Lebih dari itu TE merupakan

    fondasi perkembangan berkelanjutan terhadap

    bioteknologi reproduksi generasi selanjutnya,

    antara lain splitting embrio, transgenik,

    kloning, genetic enginering dan rekayasa

    embrio tainnya . Artinya perkembangan

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

  • berkelanjutan itu semua tidak ada artinya,

    kalau hasilnya yang berupa embrio tidak

    berhasil ditransfer agar menjadi individu

    hidup secara sempurna .

    Menyadari bahwa IB dan TE harus

    berkembang berkelanjutan, berjalan secara

    serasi, sinergis potensiasi dan saling

    melengkapi . Maka kedua institusi atau

    instansi tersebut perlu dipertimbangan berada

    dalam satu institusi instansi kelembagaan,

    sehingga mempermudah dalam pembinaannya

    secara teknis maupun non teknis. Apapun

    nama institusi itu tidak begitu penting, namun

    yang penting adalah eselonring harus berada

    pada peringkat 2 berjenis balai besar sebagai

    institusi terapan yang mempunyai divisi

    pengembangan dan penelitian, misalnya

    bernama "BalaiBesar Peinberdayaan

    BioteknologiReproduksi dan Sumberdaya

    GenetikPeternakan" dibawah pembinaan

    Direktorat Jenderal Peternakan Departemen

    Pertanian. Beda dengan Litbang Departemen

    yang ruang lingkupnya umum dan luas, maka

    divisi litbang disini khusus sesuai dengan

    tupoksi masing-masing balai yang mempunyai

    spesifikasi tersendiri . Sekaligus sebagai

    'wadah' pejabat fungsional yang ada pada

    bagan struktur organisasi suatu balai .

    DAFTAR BACAAN

    ANONIM, 2006 . Naskah akademik sistem perbibitan

    nasional mendukung pengembangan

    agribisnis yang berdaya saing dan

    berkelanjutan . DepartemenPertanian

    Jakarta.

    ANONIM, 2006 . Laporan Bulanan Maret 2006 .

    Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal

    Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta .

    ANONIM, 2003 . EvaluasiTeknis Kebijakan

    Budidaya Peternakan Tahun2003 dan

    Rencana Kegiatan Tahun 2004 Direktorat

    Budidaya Petemakan dalam Rapat

    Koordinasi Teknis 11/2003 Direktorat

    Jenderal Bina Produksi Petemakan di

    Jakarta .

    ANONIM, 2003 . Hasil Monitoring Terpadu Tahun

    2003. Sekretariat Ditjen Bina Produksi

    Peternakan dalam Rakorteknas 11/2003 .

    Ditjen Bina Produksi Peternakan di Jakarta .

    ANONIM, 1992. Manual of Embryo Transfer and In

    VitroFertilisation in Bovine, NLBC-

    MAFF, JICA, Japan .

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

    Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian2006

    BOEDIONO,A. 1996 . Pedet Lahir dari Embrio

    Tanpa Pembuahan, Harian UmumKompas,

    Kamis 16 Oktober 1996

    BOEDIONO, A . 1993 . Kebuntingan Tanpa Peran

    Sperma. Harian UmumKompas, Rabu 22

    September 1993 .

    BoEDIONO, A. 1993. Sapi Bunting Tanpa Pejantan .

    Majalah Berita Tempo, 27 November 1993 .

    BOEDIONO, A. 1993 . Satu Anak Empat Induk

    dengan Rekayasa Genetika. Harian umum

    Kompas, Selasa 27 April 1993 .

    BOWEN, R.A. and PETER ELSDEN . Aplication of

    Embryo Transfer to Infetile Cows in : David

    A . Morrow (ed) . 1980 . Current Therapy in

    Thereogenology : Diagnosis, treatment and

    prevention of reproductive deseases in

    animals . W.G . Saunders Company

    Philadelphia-London-Toronto. P .226-228 .

    MUSTOFA, 1. dan LABA MAHAPUTRA, 2000 .

    Penyerentakan Birahi Sapi Fase Luteal dan

    Hipofungsi Ovarium Untuk Induksi

    Kebuntingan Kembar dengan Teknik

    Transfer Embrio . Media Kedokteran

    Hewan, FKH Unair, 16 : 3 ; 155 - 150 .

    ISMUDIONO, MASLICHAH MAFRUHATI dan HERRY

    AGEOS HERMAD, 2000 . Induksi kelahiran

    kembar melalui kombinasi teknik transfer

    embrio dan insemenasi buatan pada sapi

    perah. Media Kedokteran Hewan, FKH

    Unair, 16(3) : 140-144 .

    PRABOWO, P. P., 1992. Petunjuk Laboratorium

    Teknik Alih Embrio. Pusat Antar Univ .

    Bioteknologi Yogyakarta, 86 - 102

    SAKAKIBARA H., KUDO H., BOEDIONO A. AND

    SUZUKI T. 1996. Induction of Twinning in

    Holstein and Japanese Black Cows by

    Ipsilateral Frozen Embryo Transfer. Animal

    Reproductive Science, 44 (1996) ; 203 -

    210 .

    5 25

    page 1page 2page 3page 4page 5page 6page 7