menentukan sikap,195-.pdf

253

Upload: ngonga

Post on 22-Jan-2017

344 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Dalam buku ini kami aturkan beberapa karangan E. Du Perron, Diantaranja ada jang mengenai politik, ada jang se-mata2 bertjoraksasteradankadang2adapulajang bertjorak filsafat dsb.; pendek kata, tidak ber-lebili2an kiranja, djika kami katakan bahwa bunga-rampai ini mengenai segala segi (aspek) penghidupan kita.

Siapa Du Perron itu, tentu sadja tidak perlu lagi diterangkan pada pembatja jang sudah remadja atau dewasa umumja dimasa sebelum Perang Dunia II. Kepada orang2 jang belum mengenai dia, tjukup- lah djika kita ulangi djulukan jang

diberikankepadanja olehsdr. Fred Batten jang menulis kata-pengantar buku ini; sdr. F. Batten itu menamakannja penga- rang «jang memelihara djiwa Multatuli», artinja, jang meneruskan semangat dan perdjuangan Multatuli.

Sekarang agaknja tidak perlu lagi kami menerangkan, mengapa sebabnja kami berani mengeluarkan terdjemahan ka- rang2an penulis Belanda ini. Nama Mul­tatuli itu sadja sudah merupakan djaminan setjukupnja.

IwL0

E. D U P E R R O N ,

E. D U P E R R O N

M E N E N T U K A N SIKAP

K U M P U L A N K A R A N G A N

D I T E R D J E M A H K A N O L E H

S I T O R S I T U M O R A N G

P e im

N . V . P E N E R B I T A N W . V A N H O E V E - B A N D U N G , ’ s - G R A V E N H A G E

<3 - 8 - 7 v

H AK PENGARANG D ILIN D U N GI OLEH U N D A N G 2

T E N T A N G D U P E R R O N (1899-1940)

Pada tgl. 14 M ci 1940, beberapa djam sesudah Nederland terpaksa menjerah pada serangan dari pasukan Djerman- Hitler, meninggallah pengarang D u Perron. Setelah kem- bali dari Indonesia ia baru sadja disana berdiam dikota ketjil dekat pantai, ja itu Bergen jang berupa permulaan masa baru dalam keliidupannja sebagai pengarang.Serang­an penjakit djantung mengachiri hidupnja, jang seluruhnja diabdikan sedalam-dalamnja kepada sastera.

Entahlah pada orang lain, tapi saja hingga kini masih tidak selalu dapat memikirkan pengarang itu seperti menii- kirkan orang jan g sudah mati. Sulit bagiku menganggapnja seperti suatu tokoh, jan g seperti kebanjakan jang lain dalam masa sebelum perang jan g segera mendjadi sedjarah sesudah mati.

M ulutnja jan g menggambarkan kesungguhan disertai rasa hum or, kening jang tinggi dan halus, pandang jang seakan-akan mengkilap, sikapnja jang tenang tapi waspada seperti jan g terlihat pada segala potretnja, semua itu me- melihara kehadiran jan g hidup dari seorang manusia jang seakan-akan masili berada ditengah-tengah kita, djuga buat orang jan g tak pem ah mengenal dia. Tapi ada lagi hal jan g lebih berarti dari pada gambaran luar ini. Sedjak M ultatuli tak ada pengarang dalam sastera Belanda, tak ada pengarang jan g begitu njaring dan berkesan bersuara didalam tulisan2nja seperti D u Perron, jang memelihara

djiwa Multatuli sampai dalam kalimat jang seketjil-ketjilna. Ia menulis seolah-olah ia sedang berbintjang dengan teman- temannja atau sedang bertengkar dengan lawan. Hal inilah, tjara2 seperti dalam pertjakapan berdua atau perdebatan bermuka-muka, jang memperkuat kebenaran tjara saja untuk membitjarakan. Du Perron seperti membitjarakan orang hidup serta mengemukakan pengaruhnja jang masih berlaku sampai pada hari ini.

Du Perron lahir diachir abad kesembilan belas, mendje- lang ambang abad kedua puluh, di Gedong Menu, Dja- tinegara, sebagai turunan opsir Perantjis jang bekerdja pada tentera Belanda dizaman Napoleon. Keluarga D u Perron mendjadi orang jang kajaraja sebagai tuan tanah disekitar Djakarta dan didalam lingkungan jang menarik itulah, dunia orang kaja dinegeri djadjahan, D u Perron dibesarkan sampai usia 21 tahun. Dunia itu bertjiri kema- nusiaan jang terus-terang dan nafsu kehormatan jang tak disembunji-sembunjikan, keramahan jang mirip sifat anak- anak dan rasa kekeluargaan seperti dialam lepas. Dalam dunia demikianlah ia mendjalani sebagian dari hidupnja - dan temjata sebagian besar dari hidupnja. Pengarang itu sendirilah jang paling tadjam melukiskan kegandjilan asal- nja jang berakar dua, jaitu dalam sebuah surat kepada S. Sjahrir:

«Saja selalu merasa tertarik pada bangsa dan kebudajaan Perantjis, dan karena pendidikan saja tergolong <indische jongen> dan tergolong orang Belanda karena bahasa dan bcberapa kebiasaan. Pada saat ini saja dianggap <vereuro- peest> oleh beberapa orang, <tak banjak lagi sisa indische jongen dulu> kata mereka, hal mana tak saja akui. D jika saja bergaul barang sepuluh menit dengan indische jongens tulen, mereka segera mengenai saja sebagai teman. Dimana saja merasa betah dengan perasaan jang tak mau tahu alas- an itu <inilah lingkunganku?> Sekarang hal itu telah saja ketahui, setelah saja, sesudah mengembara lima belas tahun

di Eropah, kembali dinegeri ini; bilangan M r Cornelis. Tidak di Batavia sendiri tapi dari Meester melalui Bidara- tjina ke Dcpok; djika saja duduk dalam kereta api dan melihat tanah merah itu, saja insjaf, tanpa merumuskannja: <saja anak sini>. Disana sadja saja mendapat perasaan berada kembali <dikampung halaman>; sedang rumah saja sudah lama tak ada disana lagi.»

Pada usia 2 1 tahun ketika ia pertama kali berada di Eropah tjita2nja hanjalah mendjadi seorang pengarang. Ia beber- apa waktu ludup sebagai boheme didjantung kebudajaan Eropah, Paris. Dalam sebuah roman ketjil mungil, Eeti Voorbereiding (1927), ia memberi pertanggung-djawaban atas «masa beladjar» di Montmartre itu, dibalut dalam se- matjam rasa lutju. Anak mandja dari Gedong Menu ini sekali-sekali mengalami kesuhtan djuga di-tengah2 seniman miskin disana.

Sambil menurutkan djedjak penulis kesukaannja, jakni Valery Larbaud, ia beberapa lamanja mengembara dan da­lam melawat dan membatja itu ia lambat-laun menemukan bakatnja sendiri. Pada masa itu baginja lebih menarik men­djadi pengarang termasjhur dalam sastera Perantjis dari pada mendjadi pengarang berdasar penghargaanjang samar dalam lingkungan sastera Belanda. Memang karangan per- mulaannja ialah dalam bahasa Perantjis, kumpulan ketjil berisi prosa dan puisijang diterbitkannja pada usia 23 tahun, bernama Manuscrit trouve dans tine poche (1923), jang se- luruhnja dituhs di Montmartre. Agaknja ia tadinja akan tetap menulis dalam bahasa Perantjis kalau ia tidak ber- temu dengan seniman2 Vlaam dan Belanda, jang djuga telah memasukkan modernisme dalam seni Belanda. K e­tika itu ia berdiam di Brussel.

Pergaulannja dengan Paul van Ostaijen, penjair expres- sionis Vlaam, dengan Jan Greshoff, penjair Belanda, kri- tikus dan bibliopliiel, dan dengan pelukis C . W illink, mo- dernis diantara pelukis2 Belanda, mempunjaipengaruhjang

menentukan dalam pertumbuhan Du Perron sebagai pe­ngarang.

Dalam karangan2nja jang pertama ia mengikuti sikap hidup jang dalam tulis2an jang terbit kemudian disebutnja sikap «pemuda Eropah». Sikap hidup itu menghasilkan, B ij Gebrek aan Ernst (1928) dan Poging tot Afstand (1928), dua kumpulan tjerita jang memperlihatkan daja menelaah dji- wa dan bersifat main2, jang kemudian beralih djadi kesung- guhan karena pengaruh suatu krisis dalam hidupnja, ja itu ketika bapaknja bunuh diri. Dalam kumpulan tjerita Nut- teloos Verzet (1929) suatu kumpulan jang paling asli bentuk- nja dan paling menghenjakkan dilihat dari sudut psychologi dalam sastera Belanda, Du Perron membuktikan sedjelas- djelasnja bahwa ia seorang pengarang jang berbakat besar: Du Perron langsung mendjadi djago dari djenis prosa, jan g biasanja bersifat lirik, dan pada masa itu dipergunakan oleh pengarang2 muda dibawah pimpinan Marsman. T jerita2 dalam kumpulan itu dibangunkan dalam bentuk pertjakap- an2, dalam mana pembitjara jang satu menjerahkan bahan tjerita kepada lawannja atau merenggutkan bahan itu dari padanja. Seperti Andre Gide, Du Perron agaknja dapat djuga menjebut diri suatu «etre de dialogue»: dalam dirinja seakan-akan berdiam dua pribadi, jang saling meng-amat2i dan memberi tegoran, djika jang lain tjondong untukmeng- ambil sikap kurang kritis. Kadang-kadang terdjadilah «in- dische jongen» itu seakan-akan dilampaui oleh «pemuda Eropah», seakan-akan inteligensi jang paling tadjam harus menang diatas rasa jang katjau balau.

Dalam kesepian sebuah puri di Belgia, Gistoux, agak djauh dari dunia sastera Belanda, ia menuliskan kesan2nja ten tang apa jang dibatjanja dalam bentuk tjatatan harian, jang mula2 diterbitkan sebagai Cahiers van een Lezer (1928- 1931) dalam djumlah ketjil untuk kawan2nja dan kemudian dalam tiga bagian dengan nama Voor de kleine Parochie, Vriend ofVijand dan Tegenonderzoek buat lingkungan pem- batja jang lebih luas. Saja belum mendjumpai seorang

kritikus jang dengan tjara jang lebih asli dan pribadi me • neruskan jang dibatjanja kepada pembatja seperti Du Per­ron. Saja dan banjak orang lain telah beladjar bagaimana membatja dari padanja, baliwa membatja itu adalah suatu avontuur, disertai keinginan jang tak kundjung reda untuk menemukan air terdjun dan tepi langit jang lebih djauh seperti keinginan pendjeladjah bumi dulu. Dizaman itu sekitar tahun 1930 bakat Du Perron telah diakui dikalangan pengarang2 jang ternama dalam dunia sastera Belanda. Dalam bulanan De Gids jang akademis itu ia menjiarkan sandjak sindiran Sonnet van Btirgerdengd, sandjak Gebed bij de Harde Dood jang kini tjukup terkenal kiranja dan novel- nja jang pertama Drama van Huize-aan-Zee, jang oleh se- orang teman sezamannja diandjurkan supaja dilarang sadja penjiarannja sedang De Vrije Bladen, bulanan jang dipimpin Marsman, memuat Gesprek over Slauerhoffjang terkenal itu.

Sesudah itu kritik2nja mendapat tempat jang luas diber- bagai madjalah. Orang mengagumi semangatnja sambil menakutinja. Ia menjerang dengan hebatnja sasterawan2 jang ternama seperti Dirk Coster, pengarang essay jang memperdjuangkan pendirian humanisme dan dalam tempo jang singkat dia berhasil mendapat kawan dan lawan se- kaligus. Dalam perdjuangan sastera demikian, jang baginja merupakan perdjuangan untuk mempertahankan nilai2 ke- manusiaan, Du Perron merasa diri kuat dan betah: dalam saat demikian ia mengolah ketjakapannja main tindju dan anggar dengan tulisan mendjadi polemik tadjam imtuk kesenangannja sendiri dan teman2nja. Dalam liidup ia men- tjari manusia dan sastera, ia mentjari manusia tapi lebih sering ia mendjumpai pemain sandiwara jang berpura2 punja kemanusiaan. Ia sering menulis karena djidjiknja dan sebagai perlawanan, tapi orang djangan salah tafsir: ia bu- kan pemurung seperti seorang guru susila jang ketjewa. «Sajalah orangnja jang terachir jang akan menjangkal ke- kuatan watak orang jang sepi, orang jang tjondong pada sikap mistik, orang perasa jang terlalu tjongkak dan suka

menjendiri, tapi saja beraiii mengatakan bahwa djuga 1111- tuk melakukan perdjuangan dengan tekun untuk m em bela nilai2 sendiri tidak kurang meminta kekuatan watak,» de- mikian tulisnja dalam mukadimah untuk D e smalle Mens.

Tjerita-tjeritanja, essay2 dan sadjak2nja m untjul sebagai pembantras lagak kosong dan kegelapan, dengan sifatnja jang djemih dan terus-terang, seliingga berpcngaruh besar pada perkembangan sastera Belanda dikurun masa ja n g dikuasai tadinja oleh pemudjaan bentuk se-mata2.

Pada bulan Djanuari 1932 Du Perron mendirikan inadja- lah bulanan Forum bersama kawannja M enno ter Braak, sebuah madjalah jang memperdjuangkan hak psychologie terhadap hak estetica. Essay2 jang terbaik selama em pat ta­hun dalam madjalah ini dikumpulnja dalam buku D e stnalJe Mens (1934), dalam mana ia mengadakan pertanggung- djawaban individuahsmenja di-tengah2 aHran2 kollektivistis jang kiri atau kanan. Dengan mempertarulikan seluruh ke- pribadiannja jang sangat perasa dan sangat tadjam itu ia menetapkan tempatnja disuatu dunia jang sampai sekarang masih berlaku. «De smalle mens» (manusia sempit) ja n g di- maksudnja ialah manusia jang tidak sudi menjerahkan se- djengkal daerahnja tanpa perdjuangan, manusia ja n g tidak sudi dilebur dalam partai manapun dan jan g lebih suka melagukan lagu mati individualism^ dari pada xnenguak bersama hewan sekitarnja. Krisis politik jan g m engam uk sekitar 1933 di Eropah membangunkan pedjuang dalam diri Du Perron dilapangan pemikiran kemasjarakatan, dan dengan demikian membuktikan lagi bagaimana terbukanja hatinja bagi setiap persoalan jang mengenai manusia. Bahu- membahu ia berdjuang dengan Menno ter Braak m elaw an bahaja keruntuhan Eropah dan tak mengenai djalan tengah dalam perdjuangan kaum intelektuil terhadap perbudakan manusia. Dalam tahun2 jang sangat genting itu, ketika mana ia harus pula mengorek segala kesanggupannja untuk mentjari nafkah sesudah ia kehilangan kekajaannja, ia tulis- lah kerdja-utamanja Het Land van Herkomst (1935), ja n g

dengan tiada sangsi2 sedikitpuii dapat digolongkan roman jang paling kaja isinja sesudah M ax Havelaar. Seluruh rin- dunja kepada negeri kelaliirannja, jang pemah diutjapkan- nja dalam sadjak2 dalam kumpulan Parlando (1931), ke- nangan masa kanaknja, tjintanja dan persahabatannja, harap dan keketjewaannja diterakan dalam buku «anti-roman» ini dengan tjara jang tak ada taranja. Sifat terpudji dari roman Du Perron ini agaknja njata dari penghargaan orang jang be-ragam2, dan hanja buku jang dihargai dengan berbargai tjara oleh beberapa generasilah buku jang mempunjai ha- rapan akan mclcbihi usia pengarangnja. Disamping kom- posisinja jang serupa Havelaar dan «egotisme»nja jang mengarah-arah Stendhal, buku itu mempunjai nafas ter- sendiri dan suasana jang menjamai buku2 jang mendjadi tjontoh baginja. Kalau ia tidak sedang mengerdjakan ker- dja besar, ia mentjatat pikiran dan pandangannja, pertja- kapan dan kesan jang dipcrolehnja dari hidup dan sastera, dengan tjara jang mirip pada tjara kauin moralis Perantjis dari abad ke-18 seperti Diderot, Chamfort dan Vauve- nargues dan pada Stendhal, Leautaud dan Gide kemudian, tjatatan mana ia kumpul dengan nama Blocnote klein for- maat (1936), dikemudian hari diperluas mendjadi kumpulan bernama In deze grootse tijd (1947).

Dengan harapan bahwa negeri kelahirannja akan lebih banjak memberi ketenangan serta bahan2 buat kerdjanja dari pada Eropah jang diobrak-abrik oleh perdjuangan po- litik, D u Perron berangkat ke Indonesia pada Oktober 1936, ketika perang saudara Spanjol telah berketjamuk. Sebagai seorang laki2 jang sudah berusia 36 ia mening- galkan Eropah karena merasa muak dan pula karena dido- rong oleh rindu jang menggelora dan achimja karena keharusan kembali kenegeri kelahirannja, jang sudah 15 tahun ditinggalkannja dan menginsjafi bahwa tempatnja bukan disana lagi. Alam Indonesia itu masili mempunjai pesona jang sama terhadap dirinja seperti dimasa kanaknja, tapi tak boleh tidak setiap hari bertambah pedih perasaan

jang menegaskan bahwa kepergiaii selama 15 tahun mem- buat kita asing dinegeri sendiri: «indischejongen» jan g dulu sudah djadi «europeaan» buat selamanja. Kebanjakan dari pertemuan dengan sahabat lama atau baru dinegeri dja- djahan menimbulkan kesan padanja, bahwa masa kanaknja hanja mimpi dan hanja dapat didjumpai kem bah dalam kenangan jang romantis atau sebagai bajangan ditamasja jang djauh dipegunungan Priangan.

Bertentangan dengan sangkaan dari beberapa orang jan g mengatakan bahwa Du Perron meninggalkan Eropah su- paja dapat hidup menjendiri dan aman seperti kura-kura dalam kulitnja, kerdjanja jang ditulisnja di Indonesia de­ngan tegas membuktikan hidupnja semangat perdjuangan- nja, djuga dinegeri kelahirannja itu. Seakan-akan ia hanja memindahkan medan perdjuangan untuk membela mar- tabat manusia dan seakan-akan ia bemiat membebaskan negeri kelahirannja dari binatang2 jang paling djahat. Ia menulis pemandangan2 sastera dan politik dalam berbagai harian dan madjalah dan dengan demikian turut dalum usaha mentjiptakan pergaulan baru di Indonesia. «Diantara orang2 jang berteman dengan Du Perron di-tahun2 19 3 6 - 1939 timbullah persahabatan jang hingga sekarang masih tetap ada; baikpun berangkatnja D u Perron ke Eropah, maupun meninggalnja ataupun kedjadian2 sesudah itu ru- panja tak dapat menjebabkan putusnja tah persahabatan tsb. Ia selalu berpegang pada persahabatan: kontak dengan kawan2nja merupakan kebutuhan bagi kalbunja dan sudah tentu ia mentjari kontak sebagai tsb. dengan pendukung2 kebudajaan disini, baikpun pendukung2 kebudajaan bangsa Indonesia maupun jang berbangsa Eropah. Ketika beber­apa bulan sesudah kapitulasi Nederland kabar angin ten- tang meninggalnja Du Perron njata benar, maka mendjadi lebih eratlah perasaan solidaritet diantara kami teman2nja; rupanja kenang2an akan Du Perron merupakan pertalian antara kami jang ditinggalkannja» demikianlah utjapan B . Vuyck dalam salah satu karangannja. D u Perron merasakan

dirinja senasib dengan M ultatuli; karena itu M ultatuli di- anggapnja sebagai teman seperdjuangan dan dalam beber- apa m inggu ia berhasil menulis biografie «De M an van Lebak». Dalam sebuahsuratkepada Sjahrir, D uPerron mem- beri pendjelasan kepada teman2nja orang Indonesia ten- tang sebab2 ia kembali ke Eropah, dalam mana ia menjat- akan maksudnja akan mentjeritakan pengalaman2nj a se- waktu ia kembah dimasjarakat kolonial dalam suatu buku bemama Terug cn Tcnig sebagai sambungan Het Land van Herkomst.

Pada bulan September 1939 D u Perron kembah di Neder­land dengan maksud menjelesaikan seri romannja D e O11- zekereti, jang bagian pertamanja, Schandaal in Holland (i939) tclah terbit sebagai pendahuluan rentetan roman jang bersifat kesedjarahan dan psychologis meliputi waktu sedjak zaman Napoleon sampali abad ke-20. Jan g mendjadi tjita2nja ialah psychologie Stendhal dan keobjektipan T o l­stoi dalam hal sedjarah. ‘Beri aku waktu sedikit lagi, nanti aku pasti djadi Stendhal di Nederland’ , katanja sambil ber- tjanda memutus djiwa jang begitu bergelora ini.

Tibalah ‘kesepian besar’ dibekas tempatliidup pengarang jang begitu bernafsu tadinja. Sepi jang mahabesar, seperti ia menjebut mati itu dalam salah satu sadjaknja, tapi dise- balik itu kita mempunjai buah tangannja, puisi dan prosa jang begitu beragam, sebagai protes terhadap kesepian itu, dan jang buat selamanja memeliliara suaranja serta kerdip- an matanja.

Manusia, manusia dalam kebebasan niutlak, itulah jang selalu mendjadi pusat kepudjanggaan D u Perron. Sebenar- nja baginja perdjuangan untuk «De Smalle Mens» itu adalah perdjuangan untuk paham martabat manusia didunia. Ke- jakinannja akan gaja hidup ksatria seperti pada d’Artagnan dalam buku jang paling disukainja De Drie Musketiers - dan keuletannja dalam memperdjuangkan hak2 manusia mendjadikan D u Perron tjontoh bagi setiap orang. Tugas

mengumpul kerdjanja, sekalipun hanja mengenai ja n g bersifat tindjauan sadja, sebenamja tak dapat saja lakukan dengan rasa puas. Tak ubalmja memetik: beberapa buali dari kebun jang rimbun, jang menimbulkan kesan keniis- kinan padahal sebenamja sangat makmur. Pulang m aklum kepada pembatja jang budiman mengenai pohon dari buah- nja dan melihatnja dalam keluasan kebun.

F r e d B a t t e n

I S I

Tentang Du Perron . . . . . . . . vSang intelektuil dan bajangannja . . . . . . iSeorang wanita Indonesia menulis roman . . 3Kesusasteraan dan rakjat . . . . . . . . ! jTjatatan pada karangan Sjahrir . . . . . . 27P.C.C. (Surat kepada seorang Indonesia) . . 42Penemuan sastra .. . . . . . . . . ^Kritik kesusasteraan . . . . . . . . 55Tentang autobiografi . . . . . . . . 68Tentang ragam dalam kesusasteraan . . . . 70Puntjak-puntjak seni roman politik . . . . -72Arti Multatuli . . .. .. . . . . 78Bertjakap-tjakap tentang J . SlauerhofF . . 82Djurubitjara modernisme .. . . .. . . 107Menno ter Braak dan S. Vestdijk.. . . . . 1 15Roman tentang Indonesia . . . . . . . . 125Malraux - Les Conquerants . . . . . . 13 1Malraux - La Voie royale . . . . . . . . 136Dalam kantjah perang saudara Spanjol . . . . 140Andre Gide . . . . . . . . . . . . 147Conrad . . . . . . . . . . . . 157Pertjakapan tentang Tolstoi . . . . . . 159Pertjakapan tentang Sebastopol .. . . . . 164Motto . . . . .. . . . . . . 167Napoleon dan kemerdekaan bitjara . . . . 169

Tentang pendidikan rakjat.. . . . . . . 177Tentang Rusia dan orang Rusia . . . . . . 178Tentang pemuda .. . . . . . . . . 180Main mata dengan revolusi . . . . . . 18 xManusia sempit . . . . . . . . . . 203

S A N G I N T E L E K T U I L D A N B A J A N G A N N J A

Seperti pengisap tjandu-ah, bukan! seperti perokok jang tidak dapat berpisah dengan sigaretnja sang intelektuil pergi menghirup hawa ke-ladang2 dengan sebuali buku dalam saku badju dinginnja. Ia sudah tahu betul bahwa ia tak akan membatja; ia berharap demikian; tapi ia tak berani meng- hadapi kemungkinan akan terserah pada siksaan kekosongan laut, pemandangan, kemungkinan timbulnja selera jang sangat dengan tiba2, dan pajahlah ia kalau tak ada huruf2 tertjetak tersedia untuk mengliilangkan laparnja.

Laut indah sekali, kadang2 lebar, kadang2 sempit terapit lereng bukit seperti lupak; sang intelektuil teringat akan Robinson Crusoe dan akan Treasure Island. Laluiameninggal- kanlaut dan djalanmenjusurperladanganjang telah dibadjak. Ia naik bukit, menobros rumput basah; dari langit turun sinar matahari, sudah djauh siang, memantjarkan sinarnja menepis permukaan buini; sang intelektuil ditampungnja; mula2 kepalanja, kemudian bahunja, pinggangnja, achimja ia djalan ditepi dimana rumput tertimpa sinar disebelah dan gelap disebelah lain. Tanpa berpikir ia djalan terus, sampai sudut matanja tertarik oleh sesuatu hal.

Disebelah dan sekarang djuga dibawahnja, ada lembah ketjil. Diseberangnja, masih lebih rendah, tapi kembah ter- tjelup tjahaja matahari, sebuah pagar semak berduri jang tinggi dan pandjang. Bajangan sang intelektuil djalan pada pagar semak itu, tegak, lengkap, lebih kurus dan liat dari

pada dirinja; dengan. tidak sedar sang intclektuil d jalan demikian rupa hingga bajangannja jan g lengkap berdjalan sedjadjar dengannja, sama2 tak berpikir apa2, tapi d jauh lebih njata dalam keadaan tiada berpikir begitu, diseberang lembah. Sang intelektuil teringat akan tjerita tentang ba- j a n g a n p a d a Andersen, djuga pada Peter Schlemihl tapi lebih sedar bahwa ia hampir nielewatkan nikm at ja n g d jaran g bersua, dan hampir tidak menikmatinja seperti tadi d itepi laut. Lebih terpesona dari pada ketika m cm batja b u ku , sang intelektuil mulai ber-main2 dengan bajan gan nja diseberang. Pabila ia semakin memperhatikan bajan gan itu , semakin merdeka pulalah bajangan itu ; lalu bajan gan itu makin berkurang kesamaannja dengan sang in telektu il, lebih bebas dari garis chajalan jan g m enghu bu ngkann ja dengan sang intelektuil dan m em ang tak m em pcrlih atkan bekas apa2 pada rumput gelap dalam lem bah antara m ereka. Sang intelektuil hidup dalam bajangannja. Lu p a diri.

Dengkul baj angan meHpat, melangkah pandj ang, berp u tar sekitar diri, dan berhenti pada siku 90 derdjat. A d a sepcr- empat djam berlalu sebelum sang intelektuil m cm u tu skan sudah waktunja meninggalkan tepi lem bah tem patn ja ber- diri, dan pada saat terachir ia tak berani lag i m em an d an g bajangannja, jakin bahwa djuga ini telah b crp alin g dan pergi hilang mengikuti djalan sendiri d ibelakan g p ag ar

semak.Sebentar kemudian ia berbaring dalam ru m p u t dalam

sinar sendja, diatas bajangan jan g lain sekali dan tak ber- harga untuk diperhatikan. Ia menutup m ata dan t in g g a l disana sampai hawa mendjadi dingin dan sed jenakpun ia tak hendak mengusap huruf2 tjetak ja n g berada dalam kantongnja.

Saja tidak ragu2 lagi - dan hal ini se-kali2 tidak berdasarkan ukuran2 estetisjang manapun djuga —, bah w a diantara segala matjam kesenian seni-sasteralah jan g paling t in g g i n ila in ja : seni-sastera adelah kesenian jan g paling tepat lu kisann ja , sedang alat2 teater jang dipakainja palin g sedikit pula.

S E O R A N G W A N I T A I N D O N E S I A M E N U L I S R O M A N

Pendahuluan buat:<sBuiten het Garceh, Suwarsih Djojopuspito, ig40

Tokoh utama dari tjerita berikut, Sulastri, mentjeritakan pengalamannja sebagai roman dalam bahasa Belanda; Su­lastri adalah seorang wanita Sunda dan ia terpaksa berba- hasa asing tsb., karena romannja itu ditolak oleh lembaga - penerbit jang menjelenggarakan batjaan jang baik untuk rakjat. Walaupun saja tidak melihat persamaan mutlak antara penulis Bui ten het Gareel, njonja Suwarsih Djojopus­pito, dan tokoh utamanja Sulastri, tak salah rasanja dinjata- kan ditempat ini bahwa bukunja djadi dalam keadaan jang serupa. Seorang Indonesia, jang merasa terdorong menulis untuk bangsanja, jang merasa tjukup «pengetahuan» untuk melakukan hal itu, biasanja harus mempergunakan bahasa Indonesia atau bahasa Belanda. Djika ia memakai bahasa Indonesia, ia dapat mengenakan pakaian bahasa baru pada bentuk2 sastera barat, tapi besar kemungkinan ia akan menimbulkan banjak salah-terima dikalangan orang banjak, karena banjak orang, terutama golongan tua bangsanja, akan heran apa sebabnja ia mempersoalkan hal2 jang begitu remeh dan lata, jakni hal2 jang sedjak berpuluh tahun men- djadi perhatian bagi realisme di Barat. (Pelukisan badan seorang petani jang bersimbah peluh akan mengedjutkan dan membikin tersenjum pembatjanja dikalangan orang tua, jan g lalu akan menjebut pengarangnja kekanak-kanakan: manusia lata jang buang waktu buat soal2 dem ikian!). D jika ia mempergunakan bahasa Belanda, ia hanja akan sampai

pada teman sebangsanja jang sudah tjukup terpcngaruh kebudajaan Barat, tapi disebalik itu la harus mempcrguna kan bahasa sastera jang bukan miliknja, bahasa jang ti a memberi alasan minta m aaf «masih dalam keadaan-dja i» (seperti bahasa umum, jaitu bahasa Indonesia, jang se a rang mendjadi tudjuan orang diseluruh kepulauan Indonesia), dan jang membawa beratus2 pengarang s e agai a han perbandingan jang mentjemaskan had, ber atar e a kang kesusasteraan jang ketjil tapi sudah matang dan mem punjai tradisi sendiri, dengan latar-belakang mana ia a an menarik perhatian melulu hanja karena ia asing. D a^ aSx • kalau ia dapat merasa diri orang Belanda. Tapi ia u a a seorang Indonesia, djika tidak menudjukan karangarmja kepada bangsanja per-tama2, sekalipun ia menu is a am bahasa Belanda. ...

Dalam situasi demikianlah njonja Djojopuspito ter at. bagaimanapun djuga baginja lebih gainpang memperguna kan bahasa Belanda, bahasa jang mula2 memberi pengerti an kesusasteraan padanja, dalam mana ia mendapat lati lan mengarang jang pertama dibangku sekolah; tapi terang, ia tidak per-tama2 menulis untuk pembatja Belanda. Hal ini tidak berarti bahwa njonja Djojopuspito tidak akan meng- hargai perhatian orang Belanda jang suka bersahabat dan berkemauan baik, sebaliknja. Tapi baginja, sebagaimana djuga bagi banjak orang Indonesia lainnja, jang tidak per- nah ke Nederland, jang mengenai orang Belanda terutama hanja dalam bentuk pernjataan kolonial-nja, dan itupun tidak selalu dalam bentuk pernjataannja jang paling baik, djurang jang memisah kedua mentalitet seakan-akan tak dapat ditutupi, dan djika banjak buku Belanda j anS * batjanja, hal itu mungkin merupakan penawar, tapi e 1 dari itu tidak. Kebanjakan orang Indonesia, dan djusteru mereka pada siapa kebudajaan Barat itu telah berarti, sulit kedudukannja dalam bergaul dengan mereka dikalangan Belanda, jang scdianja pasti akan dapat mendjadi teman jang sesungguhnja.

Dalam roman Indonesia tahun2 belakangan ini terdapat dua tema pokok: perkawinan antara dua orang jang sedera- djat, peranan perempuan jang dalam segalahal, djuga dalam hal kerohanian, sanggup mendampingi suaminja sebagai teman, dan bukan hanja alat bersenang-senang, penang- gung-djawab rumah-tangga, kedudukan jang masih dipe- gangnja menurut paham lama, berdasar paham Islam atau tidak - dan arti pendidikan dalam usaha menjedarkan puak2 Indonesia. Kedua tema ini sedjalan djuga, karena kesedaran wanita Indonesia jang semakin bertambah adalah akibat pendidikan itu pula. Demikianlah Buiten het Garccl, walau- pun ditulis dalam bahasa Belanda, merupakan roman In­donesia jang sangat representatif, karena didalamnja kedua soal tersebut didjalinkan sebagai pcrsoalan hidup.

Soal timbul atau tenggelam dilapangan pendidikan se­akan-akan lebih njaring pula suaranja dari soal lain jang ter­dapat dalam buku ini, dan dapatlah dikatakan dalam hal ini bahwa pengarangnja bitjara sebagai seorang nasionalis dan tidak terutama sebagai seorang wanita.

Membajangkan alam demikian, dimana kehausan akan segala jang berbau «intelektuil» lahir dari «perdjuangan hi- dup» jang paling sentimentil dan paling kasar, dimana perka- taan jang telah begitu luas dan lusuli mendapat arti jang baru dan akrab sekali,susah bagi pembatjaBelanda dari tahuni 940.

Dalam lingkungan suatu kesusasteraan, jang bukan sadja melaliirkan seorang Vestdijk, tapi segera sesudah itu menje- butnja dekaden, kita harus punja tjukup fantasi untuk membajangkan suatu alam, dimana kalimat «mawar itu merah» masih mengandung kekuatan gaib memindahkan orang dari suasana hidup jang satu kejang lain. Ialah fadjar penjebaran sekolah rakjat, jang masih dapat kita persaksi- kan dikalangan penduduk «daerah Tim ur kita», jang buat bagian terbesar masih buta huruf; dan suasana jang roman- tis ini, jang menutupi persoalan jang lebih musjkil dari pada jang kelihatan pada pandangan pertama, dilukiskan semur- ni-murninja dalam buku ini.

Seorang pemimpin rakjat Indonesia Ir. Sukarno, j ang oleh beberapa orang dibandingkan dengan Lasalle, telah memberi tjorak nasional jang begitu djelas pada tarat e- bangunan ini, hingga bertambah romantis lagi djika diberi wama pohtik. Masa itu ialah masa non-kooperatie, jan g berarti menolak bantuan Belanda dan mendirikan sekolah2 kebangsaan dengan tenaga sendiri, dalam kemiskinan an semangat jang ber-api2, waktu mana «sekolah liar» turn u 1 dengan subur. Tjara bagaimana kaum nasionalis Indonesia menjusun semua ini, usaha memberi kesadaran politik jang sedjalan dengan itu, tentangan dari pihak jang berwa j i , semua ini kelihatan dalam roman ini. Tapi pokok utama lebih dalam letaknja, dan ada sangkut-pautnja dengan nama buku ini: jaitu romantik tindakan memutuskan pe a jaran, jang se-akan2 menentukan hidup kepegawaian bagi m^r<" a dalam «gareel» Belanda, dan mendjadi guru pada s e o a 1 liar dengan nasib jang tidak tentu.

Dalam buku ini dilukiskan pribadi Sukarno dengan kehalusan tangan wanita dan walaupun lukisannja kurang djelas, pengaruh pemimpin ini dalam alani chusus tempat Sudarmo dan Sulastri hidup, tak dapat disangkal kebena rannja. «Masa kedjajaan Bung Karno» hingga kini masili dikenang-kenang dilingkungan itu sebagai topan semangat perdjuangan; Bung Kamo sendiri hampir merupakan pah- lawan dongengan; Sudarmo dan Sulastri, berdiri diluar barisan gubernemen, memandang diri pula sebagai pening- galan masa jang sudah silam, ibarat kaju apung dalam lupak2 terpisah dari gelombang besar. Tenaga pendorong bagi mereka hanja kegembiraan mereka sendiri, kesetiaan pada tjita2 lama; tapi mereka meliliat diri se-akan2 ter- kurung dalam barisan baru: jaitu barisan guru sekolah liar, satu2nja tempat bekerdja jang terbuka bagi mereka sekarang. Suasana romantik lama jang masih tersisa, tanpa ragi, tanpa zat asam, dalam mana mereka terpaksa ber- kembang, setidak-tidaknja harus dapat bertahan. Mereka telah punja pengalaman, mereka telah memperoleh

penglihatan jang kritis, kegembiraan lama telah diganti oleh keketjewaan, tapi mereka mengharapkan bentuk2 kehidupan baru jang pasti bakal timbul menurut keper- tjajaan mereka, dan mereka berusaha tetap tinggal setia pada tjita2 lama sambil mengenang harapan2 jang sekali waktu telah dibuka oleh Bung Karno.

Sebenarnja Sudarmo-lah jang dalam banjak hal men- djadi tokoh utama buku ini dan bukan Sulastri. Tokoh wanita, Sulastri, diteropong setjara sentimentil tapi djuga kritis, artinja ditindjau dari dalam; terasa benar bagaimana ia berusaha keras mendjadi teman seperdjuangan jang pan- tas bagi lakinja, tapi djuga kelihatan kekurangan2 jang melekat pada dirinja. Walaupun sering ia tidak segan me- nundjukkan rasa sentimentil, njonja Djojopuspito tetap djudjur, hampir seperti pengarang barat: kritis tapi tenang, daja penghhatannja terbalut dalam rasa humor jang tidak menondjolkan diri, sesuai dengan sifat kewanitaan. Djika Sulastri dengan kritis memandang teman2nja senasib, hal demikian djuga sering dilakukannja terhadap dirinja, dan sifat kc-indoncsiaan, sifat «ketimuran» jang chas dalam buku ini, pada hemat saja, ialah nada jang rata dari rangkaian kenang-kenangan dan pengalamannja; tokohnja tidak me­nondjolkan diri, dan se-akan2 bukan seorang wanita jang revolusioner jang bitjara, melainkan seorang wanita, seperti jang mungkin terdapat didimia Barat, jang mendjalankan peranannja dalam kehidupan jang sulit, pilihan golongan- nja, dengan keberanian, tapi tak luput dari kelesuan, dengan kesedaran akan korban jang telah diberikan dan terhambur berkali-kali. Suatu perasaian nasib jang tidak chas terdapat pada wanita sadja tapi mendjadi tjiri sifat manusia umumnja.

Karena sifat2 inilah, maka saja tak ragu2 menulis kata pendahuluan buat buku ini untuk pembatja dikalangan Belanda. Orang Indonesia dan Belanda di Indonesia dapat menentukan pendiriannja terhadap buku ini tanpa perto- longan apa2; walaupun pendirian itu sering akan diten- tukan oleh situasi kemasjarakatan masing2. Djelas, bahwa

roman im sebagai roman hanja sedikit mempunjai «ketc- gangan dramatis»; bahwa buku ini sebagai hasil kesusas­teraan gampang disebut lemah. Barangkali e n a dinjatakan bahwa buku ini per-tama2 ber-tjita2 mendja 1 sematjam lapuran, dokumen; tapi rasanja kurang a 1 me makai perumusan demikian pada ketika in i, karena a ambukuituterdapatkemurnianjangdiwudjudkansetjara a

nada ash, bukan sadja sebagai kesaksian, tapi djusteru psy chologis, jang harus pula diakui sebagai salah satu an pasifatnja jang baik. . ,.

Kenjataan bahwa buku inilah roman pertama, jang it oleh seorang Indonesia dalam bahasa Belan a, c un kudjadikan pertimbangan; lagi hal ini tidak apat me djadi suatu sifat kepudjian melainkan hanja suatu ia J menarik perhatian. Sepandjang pengetahuan saja, hanja Kartini dan Noto Surotolah jang mendahului njonja Djojopuspito dilapangan ini, dan walaupun jang e ua sebenarnja tak dapat didjadikan bandingan, barang a jang pertama masih dapat dibanding sebagai pengarang dengan njonja Djojopuspito karena k e a d a a n jang ke etu an hampir bersamaan. Tapi djuga perbandingan ini ti a tjo tjok benar, ketjuali kalau dipergunakan alasan2 sosio ogis, untuk menundjukkan bagaimana djauhnja pengaru pen didikan barat sedjak masa Kartini di Indonesia.

Anak bupati jang dahulu itu meng-arah2 fenomen, njonja Djojopuspito hanja seorang wanita Indonesia dian- tara jang banjak. Dan dia lebih modern pula dari Kartini, dalam tjara perumusan perasaan sadja; sekalipun tokoh utamanja tjukup memperlihatkan sentimentalitet, nada tulisannja djauh lebih scderhana, dan Kartini, artinja da am pengakuan2nja jang lyris, lebih tjondong pada «kesusastera an», sedang ia menulis surat dan njonja Djojopuspito tanipi sebagai pengarang roman. Dalam tulisan2nja jang lyns, Kartini, sekalipun perasaannja tetap perasaan Djawa, akan nampak sebagai pengarang a la Hollandsche Lelie bagi penv batja Belanda anno 1940, karena pengarub pengarang jang

rupanja mendjadi tcladan baginja, karena perkataan2nja jang berasal dari logat njonja-belanda-jang-dalam-kesulitan; djika kebesaran arti tokoh Kartini (sebagai pertanda zaman, sebagai perintis) kita lupakan, maka prosanja jang diumum- kan hanja berharga bagi kita pada saat2 ia melukiskan sesuatu setjara sederhana dan singkat.

Njonja Djojopuspito, barangkali dengan tak sadar, se- akan-akan mengambil peladjaran dari pengalaman in i: ke- sederhanaannja jang sering bersifat pentjatatan sadja, inilah jang memberi harapan besar, bahwa ia tak akan dianggap ketinggalan zaman kelak. Lagi pula sudah terang bahwa buku ini tcrutama akan merupakan kesaksian dari pada suatu zaman: zaman tjepat berobah, djuga «didaerah tropi- ka Nederland». Kelak segi politik dalam roman ini akan berkurang harganja, jang bagi saja sendiri sudah tidak ber- apa penting lagi, sudah kurang penting, djusteru karena setiap orang Indonesia tak akan luput dari sematjam kesa- daran politik. Dan djuga itu hanja akibat dari pendidikan barat, sebagai jang diperkenankan oleh kekuasaan Belanda sendiri kepada «rakjat bumiputera»-nja; dan betapapun kerasnja usaha orang sekarang memperbaiki kesalahan aki­bat perbuatan sendiri dengan melarang batjaan jang diang­gap berbahaja, agaknja suatu pendirian jang tidak tepat djika orang Indonesia itu hendak dihukum karenanja: jakm, memukul dengan tangan kanan karena mereka menerima jang diberikan dengan tangan kiri.

Melihat bentuk roman ini, maka ia adalah buah dari ke- budajaan Barat, setidak-tidaknja hasil pendidikan Barat, dikalangan «rakjat bumiputera» di Indonesia, dan djika di- sini kelihatan pemandangan satu pihak sadja, suatu hal jang tak dapat dielakkan, itulah kedjudjurannja, kedjudjuran jang sulit dianggap berbahaja. Perasaan2 nasional diakui dan tertjatat didalamnja, pergeseran jang menjakitkan hati dengan alat2 kekuasaan dilukiskan sesuai dengan kebenar- an, tapi tanpa dendam. Utjapan2 jang menimbulkan ke- gelisahan tak akan didjumpai oleh pembatja jang tak ber-

prasangka didalamnja. Barangkali buku inipun dapat menjumbangkan sesuatu pada kemauan «saling mengerti» jang mendjadi tudjuan orang jang suka bersahabat dike- dua belah pihak.

Den Haag, musim hunga 1940

Kesadaran akan penghidupan kultur makin lama makin besar pada kita. Tak dapat disangkal bahwa djasa jang ter- besar untuk menghidupkan dan mengembangkan kesadar­an itu adalah pada scgolongan kaum muda jang berkumpul disekeliling madjalah Pudjangga Baru.

Pergerakan pemuda ini mula2 hanja menarik perhatian oleh semangat kegembiraannja untuk membangunkan su­atu penghidupan kultur di Indonesia, jang tidak berbau udara musium atau menjan. Tudjuan dan dasar mula2 be- lum terang, se-kurang2nja bagi orang diluar. Akan tetapi lambat-laun semangat kegembiraan muda tadipun bertam- bah djernih, dilapis oleh pengalaman dan pengertian jang lebih landjut akan kedudukan dan kesanggupan sendiri.

Pudjangga Baru mendjadi madjalah bulanan jang hen- dak memimpin semangat baru jang dinamis untuk mem- bentuk kebudajaan baru, kebudajaan persatuan Indonesia. Kesadaran akan diri didapat: semangat dinamis semangat pembaru. Tudjuan tetap masih belum terang benar. Bagai- manakah rupanja kelak kebudajaan baru, kebudajaan per­satuan Indonesia itu?

Mengetahui jang akan datang didalam penghidupan dan pergaulan manusia kita serahkan sadja kepada Mme Leila. Kita sebagai manusia biasa hanja dapat menduga dan ber- ichtiar mentjapai apa jang kita kehendaki. Apakah jang dikehendaki pergerakan Pudjangga Barn ini? Bagaimana

rupa kebudajaan baru jang dikehendaki Pndjangga Baru ? Kita hanja dapat men-duga2 dari utjapan2 wakil2nja. Pro­gram rupanja tidak ada. Ini suatu kekurangan akan tetapi bukan suatu kesalahan.

Oleh karena ia tiada mempunjai program selain dari jang se-luas2nja didalam tudjuannja itu, ia hanja dapat dikenal benar oleh memperhatikan dan menjelidiki gerak-geriknja, tendenties jang ada padanja. Inilah pula jang saja gunakan bagi dasarfikiran dan pemandangansajaterhadapnja,serta du- gaan dan pengharapan kedjurusan mana ia akan berlandjut.

Agaknja kepada rakjat. Sebab djika ia nanti mendapat kesadaran jang sepenuhnja akan diri dan tudjuannja, ia akan terpaksa akan memilih satu dari dua djalan jang ter- lihat dimukanja: kekanan balik pada permulaan - kekiri terus dengan rakjat menudju kebudajaan baru. Djalan ke­kanan djalan kekesentosaan jang kekal, djalan kekubur - djalan kekiri, djalan perdjuangan terus - menerus menudju kebudajaan baru jang rupanja tidak pernah akan ditjapai, djalan perdjuangan untuk perdjuangan, djalan dunia di- namis.

Djika Pudjangga Baru memenuhi perdjandjian jang di- berinja pada diri sendiri dan pada rakjat Indonesia: — se- mangat dinamis dan kebudajaan baru - tentu ia akan men- djurus terus pada rakjat dan achimja menggabungkan t'ita2 dan dirinja dengan rakjat.

Rakjat banjak jang tidak mempunjai kesempatan untuk penghidupan kebudajaan didalam kesempitan hidup-men- tjari-makan sedia untuk bersama dan bersatu dengan pah- lawan2 jang hendak mentjapai kebudajaan baru, didalam mana rakjat mendapat tempat. Diantara rakjat banjak jan g sebenarnja belum berkebudajaan pun tak perlu dimusnah- kan dahulu semangat kebudajaan «statis», jang dimusuhi oleh Pudjangga Baru itu.

Oleh karena ini soal kesusasteraan dan rakjat harus men- djadi pokok perhatian sckalian pemuda Indonesia jang berse- mangat dinamis dan berichtiar mentjapai kebudajaan baru.

Beberapa fikiran tentang kesusasteraan dan kebudajaan didalam karangan ini saja dasarkan pada karangan jang lebih besar tentang kebudajaan dan rakjat. Pokok-pokok fikiran didalam karangan itu adalah demikian:

Kebudajaan berarti sama dengan dalam bahasa Inggeris civilization; perbedaan antara Zivilization dan Kultur jang dibuat orang Djerman saja anggap tidak berguna dan saja tolak.

Kebudajaan burdjuis jang djuga dinamakan kebudajaan Barat telah mendjadi kebudajaan universil, kebudajaan se- luruh dunia. Kebudajaan bukan pusaka barang mati, akan tetapi pusaka jang harus dialalikan lebih dahulu, untuk mendapatnja. Waris dari sesuatu kebudajaan bukan sesuatu manusia atau kasta menurut turunan darah, akan tetapi se- kahan jang sedia dan sanggup mengalahkan menguasai pusaka kebudajaan tadi.

Kebudajaan kaum terpeladjar di Timur tak lain dari ke­budajaan Barat itu.

Disini saja landjutkan sedikit fikiran2 ini dengan akibat: pergerakan Pudjangga Baru hanja suatu rupa dari kebuda­jaan universil jang ada didunia.

Lebih dahulu saja akan berichtiar memberi karakteristik pergerakan kesusasteraan baru jang ada di Indonesia.

Pergerakan ini dimulai oleh kaum muda, kaum terpe­ladjar Indonesia. Mereka terpeladjar setjara Barat. Kekajaan kebudajaan mereka bukan sadja ilmu barat akan tetapipun kesusasteraan dan kesenian Barat. Mereka hidup dengan kesusasteraan dan kebudajaan Barat tadi oleh karena bagi mereka memang tidak ada kesusasteraan dan kebudajaan lain jang dapat memuaskan penghidupan rohani mereka. Oleh karena ini pula tjita2 mereka tentang kebudajaan tak berbeda dari tjita2 jang terdapat didalam kebudajaan Barat. Kebenaran dan kenjataan ini sedikitpun tak perlu meren- dahkan deradjat kebudajaan dan kesusasteraan jang dike- hendaki Indonesia muda. Sebaliknja apa jang dikehendaki- nja itu tak lain dari apa jang dibawa zaman.

Sedjalan dengan pergaulan di Indonesia bertambah m o­dem bertambah kuat pula kedudukan Indonesia muda de­ngan tjita2nja. Pemuda2 Indonesia ini jang atjap disebut orang «ontworteld» sebenamja tumbuh dan timbul ditanah baru, di Indonesia baru, jang banjak orang tidak hendak meliliat dan mengetahui. Bertambah modem Indonesia bertambah meluas dan mendalam akar mereka, bertambah besar pengaruh dan kuasa mereka atas pergaulan Indonesia.

Ukuran jang harus dipergunakan pada kebudajaan m e­reka tak lain dari ukuran jang lazim dipakai untuk kebu­dajaan Barat.

Menurut ukuran itu kesusasteraan jang diwakilkan oleh mereka masih terbelakang. Hal ini tak perlu mengetjewa- kan. Pergarakan kesusasteraan ini masih sangat muda. Ia masih penuh tjatjat dan kekurangan jang mendjadi sifat umur muda. Ia djauh dari mempunjai distinctie jan g di- dapat pada rambut putih.

Akan tetapi pula sebenarnja sifat2 itu mendjadi keuntung- an padanja didalam saat ini. Ia masih penuh kegembiraan dan belum dihinggapi skeptisisme dan pessimisme Barat tua. Semangatnja masih dapat menjala oleh tjita2, jan g ha­nja membuat skeptikus Eropah tersenjum. Pergerakan 80 jang di Eropah telah dianggap kuno masih dapat m enggem - birakannja. Ia masih bergumul dengan soal2 jan g di Eropah telah ditanggalkan seolah-olah pakaian tua. A pa jan g telah mendjadi tempo jang sudah lampau untuk Eropah baginja masih masa jang akan datang. Baginja kebudajaan dan ke­susasteraan masih suatu perdjandjian rnasa jan g akan da­tang. Ia pertjaja pada masa jang akan datang itu dan ia ber- sedia untuk mentjapai segala tjita2nja dengan tjepat dan berburu-buru.

Pada waktu ini kebudajaannja belum seukur dengan ke­budajaan di Barat, akan tetapi ia djuga akan mentjapai ukuran itu. Hingga sekarang beberapa fase jan g di Eropah beberapa tahun lamanja, mereka djalani dalam tem po se- dikit. Pun pada waktu ini ada satu dua antara m ereka ja n g

telah mengenjam modemisme Eropah. Muak dan lesu pada kebudajaan jang ada di Eropah masih djauh dari diri me­reka.

Didalam tangan pemuda2 Asia ini kebudajaan masih be- rupa muda. Sehingga banjak orang di Eropah menjangka bahwa kebudajaan mereka ini jang akan mengganti ke­budajaan Eropah jang telah tua itu. Ini ada suatu kechilafan. Kebudajaan pemuda Timur ini satu dengan kebudajaan Barat dan semangat pembarunja hanja dapat membarukan kebudajaan Eropah itu, sedjalan dan bersama dengan se­mangat dan kekuatan-kekuatan pembaru jang ada di Ero­pah itu sendiri.

Dengan bertambah umurnja pergerakan ini, tjita2 ke- budajaannja akan lebih terang dan njata, naik seukur de­ngan tjita2 membarukan kebudajaan jang ada diseluruh dunia.

Pergerakan pembaru kebudajaan di Indonesia boleh di- katakan hanja pergerakan kesusasteraan. Didalam penghi- dupan kebudajaan jang lain selain dari penghidupan agama dan ilmu, semangat pembaru itu belum ada. Pada pergerak­an kesusasteraan ini tergantung djurusan jang akan ditem- puh oleh kebudajaan Indonesia. Untuk menjumbang un- tuk keperluannja didalam perdjalanan dan pekerdjaannja saja hadapkan padanja beberapa fikiran didalam karangan ini.

Didalam tiap2 penghidupan kebudajaan manusia ting- katan romantis harus dilalui. Demikian pula dengan per­gerakan kesusasteraan Indonesia muda. Tingkatan itu ada- lah tingkatan didalam mana kekurangan pengalaman dan pengetahuan dipenuhi dengan perasaan. Penglihatan duma adalah penglihatan dunia oleh perasaan. Mata tidak, belum lagi «dikuasai» oleh fikiran akan tetapi oleh perasaan. Fikir­an passif belum lagi aktif. Dinamik didalam penghidupan dinamik-perasaan belum lagi dinamik-fikiran. Malahan fikiran atjap terasa sebagai penghalang - rem - didalam penghidupan. Perasaan dihargai djauh lebih dari fikiran,

jang kuasanja belum diketahui. Perasaan didjundjung, di- djadikan sesuatu dunia, dipertuhan:

Uud wenn Du ganz in die Gefiihle selig bist,Nenn es dann, wie du wilst,Nenn’s Gliick! H erz! Liebe! Gott!Ich habe keine Namen Dafiir Gefiihl ist alles;Name ist Schall und Rauch,Umnebelnd Himmelsglut.

Tingkatan itu agaknja belum dibelakang kita, kalau sudah belum berpisah dari kita. Meskipun begitu boleh dikatakan, bahwa kita telah keluar dari dunia Weltschmerz dan Idylle, dari dunia Courths-Mahler dan Florence Barclay. Kitapun tidak lagi mengutamakan mengembara didalam «wazigheid enlievigheid»dan«tussenlicht en duisternis». Kita sudah tahu membatja dan menghargakan Du Perron, Ter Braak, Ben­da dan Malraux. Kita madju tjepat dan dengan ketjepatan itu akan lekas pula dapat dibuat djembatan jang akan me- njambung kaum terpeladjar kita serta kebudajaan mereka dengan rakjat dan keperluannja.

Demikian pula dengan soal kesusasteraan dan rakjat. Pertanjaan disini tidak berbunji: perlukah kesusasteraan itu dihadapkan dan didasarkan pada Rakjat? akan tetapi: ba- gaimanakah seharusnja kesusasteraan itu, agar dapat ber- guna jang sebanjak2nja untuk rakjat Indonesia?

Pertanjaan itu dapat pula dipetjah mendjadi dua. Per- tama: bentuk dan isi kesusasteraan itu?

Hal jang kedua biarpun sangat penting sebenarnja hal technisch commercieel. Soal mentjari siaran jang semurah- murahnja dan - oleh karena itu - se-luas2nja didalam ka- rangan ini tidak akan saja bitjarakan lebih landjut.

Hal jang pertama adalah mengenai kesusasteraan sendiri. Apa matjamnja kesusasteraan jang dapat dan harus dibatja oleh orang banjak?

Kalau kita berpaling ke Eropah terlihat dimuka kita nama2: Zola, Gorki, Adama van Scheltema dan A. M. de Jong.

Keempatnja itu tidak sama deradjatnja didalam kesusas­teraan dunia. Akan tetapi buah kesusasteraan mereka ke- empat sama gemar dibatja rakjat dinegeri Belanda.

Zola ajah naturalisme. Gorki boleh dikatakan muridnja dinegeri Rusia, demikian pula Adama van Scheltema dan A. M. de Jong dinegeri Belanda.

Apakah sifat2 naturalisme itu, jang membuat dia dapat bersambung dengan perasaan rakjat? Selintas lalu dapat kita duga. Naturalisme menggambarkan penghidupan ra­kjat banjak. Kcburukan, kesengsaraan jang ada pada rakjat diichtiarkannja menggambarkan dengan bahasa jang se- terang-terangnja. Menurut pengakuaimja, maksudnja ialah tak lain dari menggambar sadja. Pada Zola: hukum alam didalam penghidupan, hukum turun-temurun (erfelijkheid) djuga pada manusia. Djadi sebenarnja pada Zola naturalis­me tidak djuga menggambarkan se-mata2, akan tetapi di- gunakan untuk membuktikan suatu teori ilmu (turun-te- murun). Pendapatan saja rata2 rakjat banjak tertarik oleh buah kesusasteraan Zola bukan oleh karena teori ini, bukan djuga oleh riwajat Rougeon Macqnart dan turunannja, akan tetapi oleh gambaran-gambaran seperti terdapat didalam I’Assommoir dan Germinal, jaitu gambaranjang teliti tentang penghidupan dan kesengsaraan kaum buruh. Pendapatan Zola bahwa manusia sebenarnja didalam perbuatan dan fikirannja didorong oleh perasaan kasar (instinkt), dapat dirasa sebagai kebcnaran oleh rakjat banjak pada permu- laan abad ini. Memang didalam kesengsaraan jang hampir tak terhingga pada waktu itu kehidupan kaum ini tiada ba­njak bedanja dengan kehidupan hewan.

Meskipun Gorki banjak beladjar dari Zola, naturalisme- nja berbeda dari naturalisme Zola. Selain dari Zola ada djuga ia membatja dan beladjar dari Pusjkin, Dostojevski, Gogol dan Tolstoi. Naturalisme padanja boleh dikatakan

berbangun Rusia. Pada Zola hanja kekuatan jang men- dorong fikiran dan tindakan manusia (instinkt). Pada Gorki ada psychologi, meskipun tidak mendalam sebagai Dosto- jevski. Naturahsme pada Zola banjak kali mendjadi sym- bolisme, pada Gorki rata2 realisme. Akan tetapipun Gorki menggambarkan penghidupan kasta paria. Bermula de­ngan Ntfc/zto}'/,jang dikarangnjawaktuiamengembaraseba- gai salah seorang dari kaum paria itu. Zola dapat menggam­barkan penghidupan rakjat banjak itu sebagai orang dari luar jang mempeladjarinja dari luar. Gorki sebagai orang jang mengalami dan mengetahui sendiri. Boleh djadi per- bedaan psychologi didalam buku2 kedua pudjangga besar ini tersebab oleh perbedaan pengalaman penghidupan.

Adama van Scheltema, pudjangga rakjat Belanda pun naturalis didalam bahasa dan masaalah. Kehendak meng­gambarkan jang besar-besar hingga mendjadi symbolik, jang terdapat pada Zola, djauh dari padanja. Didalam se- gala2nja ia ketjil, meskipun sosialisme dunianja hanja dia- lamkannja sebagai salah satu dari perasaannja jang banjak sadja. Akan tetapi sebagai. Zola ia menggambarkan dengan sadjak apa jang dapat dirasa oleh rakjat banjak dalam ba­hasa jang dapat diertikan oleh rakjat.

Demikian pula A. M. de Jong dengan prozanja. Didalam buku2nja tidak ada soal psychologi jang sulit2. Ia men- tjeritakan penghidupan kaum buruh dinegeri Belanda di­dalam abad kita ini dengan bahasa jang lantjar dan mudah.

Gambaran penghidupan itu telah tidak begitu buruk lagi sebagai didalam abad kesembilan belas. Penghidupan kaum buruh dinegeri Belanda menurut gambaran A . M . de Jong menjerupai penghidupan manusia biasa dengan susah-senangnja.

Njata bahwa ke-empat2 pudjangga jang dibatja rakjat banjak di Eropah ini menggambarkan hal2 jang dapat di­rasa oleh rakjat, penghidupannja sendiri, dengan djalan na- turalisme.

Saja pertjaja bahwa djika Zola dan Gorki diterdjemah-

kail didalam bahasa Indonesia dan disiarkan dengan harga murah, pun dinegeri kita ini Zola dan Gorki akan dibatja oleh rakjat jang sanggup membatja, meskipun boleh di- katakan, bahwa gambaran kesengsaraan kaum miskin di Eropah itu - disana lebih dahulu alkohol berkuasa - asing pada rakjat banjak di Indonesia. Jang tak luput akan me- narik hati didalam buku2 itu adalah perhatian kepada ke- miskinan dan kesengsaraan, serta penghidupan primitif jang menjerupai penghidupan rakjat banjak dimanapun djua.

Rakjat di Indonesia, terlebih di Djawa, setingkat kurang kasar dari rakjat-banjak di Eropah, akan tetapi agaknja sama primitif.

Djika ditilik pembatjaan rakjat-banjak itu lain dari apa jang dapat dinamakan kesusasteraan, njata bahwa jang di- gemarinja ialah pembatjaan tentang negeri asing dan avon- tuur dan selain dari itu djuga buku2 tjap Courths-Mahler dan matjam2 sentimentalitet harga murali lagi matjam lagu Jan Koloniaal jang berbitjara dengan mamanja dengan radio-tilpon dan sentimentalitet straatzangers hingga ke SpeenhofF, Songs (Somiy Boy).

Menurut kehendak rakjat niaka kesusasteraan hams reqlis kasar, jaitu naturalis, dan disebaliknja sentimentil.

Haruslah diturut sadja kehendak rakjat ini? Haruslah se- kalian pudjangga jang hendak mendjadi pudjangga rakjat berguru pada Zola sadja? Menurut pendapat saja tidak. Terlebih di Indonesia tidak. Benar bahwa pekerdjaan Zola dan Gorki termasuk kesusasteraan tinggi, akan tetapi tidak perlu kita tinggal pada puntjak jang telah mereka tjapai. Naturalisme jang se-tinggi2nja telah tertjapai oleh Zola, lagi telah banjak bersifat symbolisme. Gorki sebenarnja bukan naturalis se-mata2. Padanja sudah bersinar kehendak rakjat banjak, kehendak mentjapai jang lebih tinggi dan lebih baik. Gorki pun meluas seperti Zola akan tetapi tidak pemah kasar. Salah satu dari buku2nja jang terachir jang saja batja didalam bahasa Belanda (terdjemahannja baik)

Zomer, hampir boleh dikatakan. aesthetis, halus bahasa ptT'a^aan. Berguru pada G orki?

Berguru padanja tentang pengalamannja, kesanggupan- nja membentuk fikiran dan perasaan, pengalamannja ten- tang rentjana2 roman jang baik dan bagus. Akan tetapi bukan padanja sadja. Berguru pula pada Dostojcvski, T o l­stoi, Proust, Gide, pada Van Schendel, Van Oudshoorn, Boutens dan Roland Holst. Berguru pada kesusasteraan umumnja, kepada kebudajaan umumnja, meskipun tidak naturalis atau realis.

Tidak perlu rakjat diberi makanan naturalis dan senti- mentil. Malahan didalam zaman kita ini berbuat demikian adalab berbuat salah, berpendirian kuno didalam buku2nja. Zola tidak bermaksud mendidik. Ia menggambarkan ke- miskinan dan kesengsaraan bukan terutama untuk meng- hilangkannja akan tetapi menurut pengakuannja sendiri menggambar dan menerangkan se-mata2. Kita berichtiar mendidik rakjat, berichtiar menghilangkan kemiskinan dan kesengsaraan, kita berdjuang menurut kebudajaan baru.

Kesusasteraan kita tidak mesti direndahkan ukurannja se­ll ingga dapat memuaskan keperluan rohani rakjat jang belum diasah,jang masih primitif, akan tetapi kesusasteraan kita hams dapat mendidik rakjat banjak, supaja dapat menghargakan fik ir­an dan perasaan, kesusasteraan jang halus pun djtia. Kesusas­teraan kita hams dapat menghela fikiran dan perasaan rakjat pada tempat jang lebih tinggi.

Dimanakah diperoleh perhubungan antara kesusasteraan jang telah membubung tinggi itu dengan perasaan dan fikiran rakjat jang masih primitif? Didalam tempat hidup ke-dua2nja, didalam lapang pergaulan hidup. Kesusasteraan untuk rakjat harus bcrsifat sosial. Dan untuk dapat me- mahamkan penghidupan sosial tadi kita W u s m e m p u n j a i

“ “ ' W a t a dingo, dan ber-

MSUSastern/m imntk rakjal litlak perlu naturalis, akan tetapi harus realis dan sosial.

Psychoanalyse orang2 berkebudajaan bagaimana djuga tadjam dan halusnja, seperti terdapat didalam buah kesu­sasteraan Marcel Proust atau Aldous Huxley, tinggal djauh dari pcrhatian rakjat banjak.

Perasaan sentimentil kasar dan rendah rakjat-banjak ha- rus disaring disublimir mendjadi perasaan dan tjita2 jang bersili dan bagus. Itu semua pekerdjaan kesusasteraan kita dengan djalan sadjak dan roman.

Maka timbul pertanjaan: Djika kewadjiban kita ialah mendidik, tidaklah semua kesusasteraan mendjadi tenden- tieus? Sebenamja kwalifikasi tendentieus itu didalam ke­susasteraan djauh kurang artinja dari anggapan umum di Indonesia. Banjak kali apa jang dinamakan si reaksioner- conservatif tendentieus oleh filiak lain disebut realistis.

Tidakkah pernah Max Havelaar disebut orang tenden­tieus? Dapatkah atau tidak La Guerre et la Paix karangan Tolstoi dinamakan tendentieus? Segenap pekerdjaannja? Roland Holst? Kuranglah harga buah kesusasteraan ini oleh karena ada sesuatu fihak jang menamakan mereka ten­dentieus? Meskipun sebenamja naturalisme Zola dapat di­namakan tendentieus didalam pengertian demikian. D i­dalam mengukur kesusasteraan pengertian tendentieus itu tidak berharga apa2. Dengan ukuran kesusasteraan suatu roman meskipun bolsjewis dapat dihargakan tinggi dari suatu roman l’art pour l ’art. Umpamanja Cement kaiangan Gladkow atau sckalian buah kesusasteraan Michael Sjolo- chov dibandingkan dengan buah pekerdjaan tiap2 Piet atau Mina Lutjebroek dinegeri Belanda jang mangarang l’art pour l ’art mau ia bernama F. de Sinclair, Reyneke van Stuwe, Maurits Dekker, sekalipun Van Ammers-Kuller atau Szekely-Lulofs.

Ukuran buah kesusasteraan tidak sedikit dj ua dipengaruhioleh niaksud sipengarang dengan buah kcsusasteraannja. Sekalipun maksud itu mcngadjak orang untuk mengada- kan revolusi dunia. Ukuran itu sc-mata2 digunakanterhadap buah kesusasteraan itu sendiri. Maksud Multatuli menga-

rang M ax Havelaar ditulisnja dengan terns terang pada radja Belanda jang memerintah waktu itu. Berapa buah karangan didalam bahasa Belandajang dapat dibandingkan dengan Max Havelaar menurut ukuran kesusasteraan?

Ukuran tiap2 buah kesenian, demikian djuga buah ke­susasteraan, proza maupun sadjak, tetap hanja mengenai isi dan bangun. Keindahan tak lain dari kesetimbangan antara bangun dan isi. Kesetimbangan itu bukan suatu kesetim­bangan jang statis, jang tetap. Bangun tak perlu beku, me­nurut schema dan conceptie jang dirantjangkan seperti kaart terlebih dahulu. Bangun boleh hidup, dinamis, me­nurut isi jang hidup, ditentukan oleh isi jan g hidup.

Bagaimana rupa bangun jang baik itu tak dapat diten­tukan atau dikelaskan oleh buku peladjaran kesusasteraan manapun djuga.

Ia tergantung pada sipengarang dan stofnja (bahan2nja). James Joyce dengan Ulyssesnja mempergunakan bangun dan djuga stijl jang luar biasa. Demikian pula Dos Passos dengan Forty Second Parallel.

Djadi bukan pula keindahan tadi terutama tergantung kepada bangun. Formalisme selamanja tanda kekosongan fikiran dan perasaan, kekosongan roh. Seni jan g tiada ber- isi fikiran dan perasaan bukan seni. Jang utama selamanja adalah isi.

Pengertian isi ini dapat dipetjah dalam tiga, jaitu bahan2 (sto j, pengertian (begrip, opvatting) dan bahasa (kekuasaan per ataan an stijl). Didalam buah kesusasteraan jan g indah

etiga ini mendjadi satu jang tidak dapat dipisah lagi.. mPamanj a didalam kesusasteraan Belanda karangan

u tatu i Max Havelaar atau karangan Arthur van Schen- e e Rjjke Man atau karangan W illem Elsschot Lijtnen. iga matjam buah kesusasteraan, tiga matjam stof, tiga

matjam intelligentie (kesanggupan untuk mengerti), tiga matjam stij . Ini dapat ditambah lagi dengan Het Vijfde Zegel

arangan Vestdijk, atau Bint karangan Bordew ijk men- ja 1 ma matjam jang berbeda benar2, akan tetapi diukur

dengan ukuran jang diadjukan diatas harganja hampir sama tinggi. Apa djadinja De Rijke Man djika ditulis dengan stijl Bint atau Max Havelaar atau sebaliknja Bint atau M ax Havelaar ditulis dengan stijl De Rijke Man? Bahasa, stijl, ditentukan oleh stof dan pengertian begitupun suatu pe­ngarang akan mempergunakan stijl jang berbeda dari stijl- nja jang biasa, djika ia memilih stof jang mesti dikarang dengan lain stijl. Umpamanja bandingan stijl Vestdijk da­lam karangannja Terng naar Ina Damman dan didalam ro­man tentang El Greco, Het Vijfde Zegel benar bahwa per- bedaan stijl dua pudjangga selamanja lebih besar, meskipun mereka membitjarakan satu matjam stof, dari perbedaan stijl jang terdapat didalam dua buah karangan seorang pudjangga jang membitjarakan dua matjam stof, akan te­tapi didalam satu intelligence - jang menentukan pengerti­an stof - mesti didapat kesanggupan untuk menjesuaikan bahasanja pada stof. Dan biasanja pula, didalam buah ke­susasteraan lain, tidak pernah pengertian (begrip dan op- vatting) sama.

Lain dari itu stof dan terutama stijl tergantung pada za­man, kepada stijl sesuatu kebudajaan. Kebudajaan kita um­pamanja stijl «zakelijk». Demikian pula stijl jang tidak za- kelijk sukar dapat menimbulkan perasaan keindahan itu pada kita. Dahulu perkataan2 satu2nja tak perlu diperiksa dan ditimbang isinja, hanja pengaruhnja sadja. Beratus perkataan kadang2 digunakan untuk mentjapai suatu mak- sud: sfeer dan stemming. Umpamanja didalam buah ke­susasteraan Hoffmann, Dickens, Dumas, Van Lennep, pen- dek kata didalam kesusasteraan romantik. Stijl zaman dan kebudajaan pada waktu itu romantik djuga.

Sekarang tiap2 perkataan harus berisi (geladen). Dan me- nurut kehendak stijl sekarang tiap perkataan kalau boleh dapat menimbulkan suatu dunia perasaan dan fikiran (de­ngan associaties). Apa jang dikatakan harus ditjeritakan se-pekat2nja, se-pendek2nja. Tjontoh jang bagus untuk ne­geri Belanda, ialah Van Schendel. Apa jang dapat dihilang-

kan dengan menunggu kedjernihan dihilangkannja dida­lam De Rijke Man, beratus komma jang dipandang perlu oleh orang lain. Tanda mula berkata dan mcnutup kata, tak digunakannja sama sekah. Orang jang berbitjarapun atjap kali tak disebutnja. Meskipun begitu buku dan tjeri- tanja tinggal djernih, malahan bertambah djernih pekat mendjadi rupa kristal.

Pengertian dan bahasa ialah alat jang dipergunakan pu- djangga untuk menguasai dan mempunjai sesuatu stof. Dan dengan kesanggupannja membcntuk sesuatu disem- pumakannja itu mendjadi buah kesusasteraan.

Menurut ukuran zaman kita bangun dari luar ja itu pem- bagian stof, susunannja, pendek kata apa jan g lazim dise- butkan struktur karangan harus menurut sto f dan stijl. Oleh karena itu ber-matjam2 struktur dapat diterima asal sesuai dengan stof.

Ukuran zakelijk mendjadi: Bangun hams setimbemg dengan isi, akan tetapi isi jang menentukan bangun.

Ukuran jang saja kemukakan diatas ini dapat dipakaikan pada tiap2 buah kesusasteraan, terutama roman, rom an so- sial atau roman politik sekalipun.

Siapa jang akan teringat pada tendens, kalau lagi m em ­batja Fontamara atau La Condition Humaine atau In de Scha- duw van den Leider. Soal tendens atau tidak tendens sedikit djua tiada perlu mengganggu fikiran pengarang atau kan- didat pengarang di Indonesia.

Djika ia hendak berdjasa pada rakjat ia harus mempela- djari penghidupan rakjat se-luas2nja dan se-dalam2nja. Ia harus berichtiar mengambil stof untuk karangannja dari penghidupan rakjat-banjak itu. Keinginannja m endidik rakjat dengan makna jang se-luas2nja terutama harus men- dorongnja untuk mengenai rakjat itu, kedua untuk mem- perlengkapkan alat2 untuk mengerdjakan pendidikannja se-sempurna2nja sebagai pudjangga dengan kesusasteraan- nja, jang hams dapat diukur dengan ukuran kesusasteraan. Ia tidak dapat memaafkan kekurangan didalam buah kesusas-

teraamija dengan alasan bahwa buah kesusasteraannja tidak dapat dan tidak boleh diukur dengan ukuran kesusasteraan biasa sebab dimaksudkan untuk mendidik rakjat.

Kalau ia tak sanggup mendidik rakjat dengan kesusasteraan jang dapat diukur dengan ukuran kesusasteraan tak pantas ia hendak mendidik dengan kesusasteraan dan tempatnja bekerdja untuk rakjat ialah diperguruan, djurnalistik atau politik.

Malahan oleh karena memang kedudukannja sebagai pudjangga jang hendak berguna untuk rakjat-banjak, mem- bakti pada tjita2 jang lebih luas dari tjita2 kesenian, mem- beratkan pekerdjaannja sebagai pudjangga (pengakuan A l­bert Helman didalam Gulden Winckel Januari j.l. menarik perhatian dalam hal ini), oleh karena itu ia harus berichtiar, beladjar lebih banjak dari pudjangga jang hidup hanja un­tuk kesusasteraan sadja. Ia terus menerus harus mentjari bangun jang sebaiknja dan sepantasnja untuk kesusasteraan jang hendak dipergunakannja untuk rakjat. Untuk itu ia harus beladjar pada sekalipun pudjangga besar jang ada dan jang dikenal didalam riwajat kesusasteraan. Dari Dante, Pascal, Moliere, Shakespeare, Milton, melalui Goethe, Hugo, Balzac, Zola, Nietzsche, Multatuli, Pusjkin, Dosto- jevski, Gogol, Tolstoi ke Maxim Gorki, Marcel Proust, Andre Gide, Van Schendel, Van Oudshoom hingga ke Upton Sinclair, Jules Romains, Thomas Mann, Julien Ben­da, Martin du Gard, Joyce, Kafka, D. H. Lawrence, Ernest Hemingway dan Aldous Huxley, Plivier, Guehenno, An­dre Malraux, Ignazio Silone dan Luis Guzman, dinegeri Belanda Vestdijk, Greshof, Slauerhoff, Elsschot, Borde- wijk, Du Perron dan Ter Braak.

Dari klassik kehumanisme, kerenaissance melalui roman­tik, positivisme dan naturalisme kerealisme modern. Ia harus berichtiar menguasai kesusasteraan jang lalu, dan mengua- satekmk kesusasteraan jang baru.

Didalam karangan lain, jang telah saja sebut diatas, saja telah berichtiar menerangkan arti realisme didalam kebu­dajaan sekarang dan untuk kebudajaan jang akan datang.

Demikian pula perhubungannja dengan rationalisme m o­dem. Realisme kasar jang ada pada rakjat, jang membuat ia tertarik pada naturalisme dalam kesusasteraan harus di- asah mendjadi reaHsme modern. Kebudajaan untuk rakjat harus berdasar realisme modem. Mempunjai stijl zakelijk. Demikian pula dengan kesusasteraan. Ber-matjam2 warna reaHsme itu telah saja sebut diatas dengan menjebut nama2 wakil2nja, dari realisme Upton Sinclair jang meluas se- mata2 dan Huxley jang mendalam se-mata2 hingga ke- reahsme jang lebih baru lagi: document humain, menda­lam dengan meluas hampir mendjadi symbolik kembah djika tidak realis terus menerus: Silone, Malraux.

Semua pudjangga jang berbakti kepada rakjat-banjak harus beladjar dari mereka. Kesusasteraan harus dibawanja pada tingkatan reaHsme modem. Ia merdeka untuk me- milih atau menggabungkan wam a2 jang telah ada m en­djadi wama sendiri, sesuai dengan kesanggupannja sendiri dan sesuai dengan fikiran dan perasaan rakjat. Rakjat- banjak di Indonesia dan dirinja sendiri harus dikenalnja untuk dapat menentukan warna realisme jang akan dipi- lihnja untuk kesusasteraannja.

Dapatlah sembojan Pudjangga Baru jang menuntut ke­budajaan baru, ditambah, diisi, mendjadi:

Dengan reaHsme baru memimpin semangat dinamis m e­nuntut kebudajaan untuk Rakjat Indonesia?

S U T A N S j A H R I R

Neira, Mei 1938

(Dari: Notnor Peringatan Pudjangga Baru 19 3 3 -19 3 8 )

T J A T A T A N P A D A K A R A N G A N S J A H R I R

Karangan Sutan Sjahrir, jang terdjemahannja dapat dibatja dalain madjalah ini*, walaupun mungkin terlalu mem- beratkan soal - seperti menurut pendapat jang pemah kudengarkan walaupun mengandung salah pengertian serta hal jang bertentangan, djelas kelebihannja djika dibanding- kan dengan karangan Sutan Takdir Alisjahbanajang tudju- annja serupa benar dan djuga terbit dalam nomor peringa- tan Pudjangga Baru jang memuat karangan tersebut dalam aslinja; tapi terutama djika diingat bahwa karangan terse­but ditulis dalam pembuangan, halnja akan lebih menarik perhatian. Sesuai dengan Takdir djuga Sjahrir ingin supaja kesusasteraan berdjasa, sekurang-kurangnja berguna hen- daknja, bagi pendidikan bangsa Indonesia. Dj adiia per-tama2 mempunjai harapan jang lebih besar mengenai manfaat kemasjarakatan dari gerakan kesusasteraan dari pada tuan Soeroto jang mengemukakan pendapatnja dalam madjalah init, tidak lama berselang, harapan jang djuga mendjadi kejakinan saja. Kenjataan bahwa golongan pengarang jang tergabung dalam P. Baroe hingga kini masih berdiri «diluar lingkungan orang banjak» sama sekali tidak mendjadi soal: setiap gerakan kesusasteraan dan kebudajaan jang sesung- guhnja baru, mula2 tetap berdiri diluar massa, jang lazimnja

* K. en O. tgl. i dan 16 Mai 1939.•f K. en O. tgl. Maret 1939.

hanja mcncrima hal2 jang gampang, biasa dan tcradat de­ngan tiada perlawanan. Dj uga De Nieui ue Gi7/?(perbandingad jang sering dipergunakan oleh P. Baroe) pada permulaan, bukan hanja mendapat sambutan dingin, malahan men­dapat tjemohan dari pihak «rakjat Belanda».

Lagi pula Sutan Sjahrir menjatakan pendapatnja tentang kebudajaan Indonesia jang akan datang dan jan g sedang tumbuh, pendapat jang perumusan serta tempat tegaknja terang sekali, dan jang memberi djawaban tegas atas per- tanjaan jang ber-ulang2 kita madjukan. Dengan tegas ia njatakan bahwa tiada kebudajaan selain kebudajaan Barat, djuga bagi orang Indonesia, «Kebudajaan bordjuis, jan g djuga disebut kebudajaan barat, sudah mendjadi kebudaja­an sedunia...Kebudajaan kaum intelek T im ur tidak lain dari pada kebudajaan Barat tersebut.» D juga ini langsung membawa kita kembali kedalam kantjah pertukaran pikir- an jang disiarkan dalam madjalah ini. Borobudur, Ardjuna Wiwaha dan Dewarutji tidak disebut2 sama sekali.

Tapi sesudah pendjelasan jang tegas ini ada djuga guna- nja mendengar pendapat seorang pendukung kebudajaan Indonesia lain, jaitu K i Hadjar Dewantoro dengan keung- gulan-djawa-nja, jang tidak begitu dihargai oleh kaum muda ini. Berhubung dengan kutipan dari Serat Baron Sakender jang saja muat dibelakang kumpulan puisi Kom - peni, jang berisi pandangan Djawa mengenai penaklukan kota Djakarta, seorang pemuda Indonesia jan g berpendi- dikan «Barat» menuhs kepada saja: «Baiklah, djuga saja suka membatja pelukisan sedjarah tjara D jaw a dengan keseder- hanaannja jang litjik, dan memang muslihat memperguna- kan uang dukat dan ringgit sebagai pelor m enggelikan, tapi mistik jang meluapruah (sebab bukankah kepertjajaan akan «garis pertahanan tua dan muda» harus disebut dem i­kian?) mengandung bahaja besar. Jaitu bahaja rasa-puas dan pembohongan diri: orang mebuai diri dengan kepertjajaan demikian; tjandu bagi djiwa. Karena itu saja harus meno- lak tiap «ki hadjar», jang menjangka bahwa kebudajaan-

djawa-kimo mengandung segala sari jang dapat berkem- bang dan jang menjambut setiap hasil ilmu pendidikan dan ilmu djiwa Barat dengan utjapan bangga: «Pertjajalah, hal itu telah lama kanii ketahui!»; kami wadjib waspada per- tama2 mengenai diri kami sendiri. Saja bukan tidak suka pada pcngutjapan2 kesenian djawa itu, sebagai salah satu djenis sumber nikmat keindahan; permainan2 rakjat, ga- melan dsb. masili «berkata» pada hatiku. Tapi dasar semua ini: keharuan keigamaan, misalnja karena mengharapkan berkat dan rahmat nenek-mojang dari padanja, teladan dan «budi luhur» didalamnja, tak boleh tidak terpaksa saja tolak. Barangkali banjak terdapat kebenaran dalam pengertian2 kuno itu, tapi tidak disertai alasan jang tjukup dan terlalu merupakan soal rasa - dan itu disebut lebih benar dan me- mang lebih gampang - dan acliirnja orang mempergunakan kata2 hebat dan sampai kcpada «synthese» sebelum analisa. Golongan «ki hadjar» menjebutnja: intuisi (ilhain, firasat: penterdjemah). Hal itu kusubut: ketiadaan metoda dalam berpikir.

Djika menetapkan siapa jang benar, hal itu berarti me- remehkan soal dan bagaimanapun djuga hal itu tidak men­djadi tugas saja. Bagi saja soalnja lebih terang ketika mem- batja kalimat S. Sjalirir: «Djadi ukuran jang harus diper- gunakan buat kebudajaan (Indonesia) ini tidak lain dari pada ukuran jang lazim dipergimakan buat kebudajaan Barat».

Ja, tapi djangan lupa akan tingkatan perkembangan jang harus dilalui. Sambil lalu saja tjatat suatu peristiwa ketjil disini.

Sekali saja didatangi oleh seorang gadis Indonesia jang mcnulis sesuatu karangan karena ingin tahu apa ia punja «gaja» sebagai pengarang, tapi ia tidak membawa apapun dari buah pena-nja. Gadis itu mentjeritakan bahwa seorang pengarang muda Indonesia mentjemolikan gaja karangan- nja, tapi bahwa seorang wartawan Eropah jang berpenga- laman pernah mengutjapkan «bahwa inilah karangan jang

punja gaja» berkenaan dengan salah satu karangaiinja. Saja kira, ia sangat ketjewa karena saja tak sanggup m cm buka «tabir rahasia gaja» padanja dalam beberapa perkataan. U n ­tuk mengetahui «dari mana hendak kemana»-nja, kuma- djukan beberapa pertanjaan. Gadis itu hanja ketaw a ter- pingkel-pingkel dan kemudian mentjeritakan kepada orang lain bahwa tjara saja bertanja agak «serem». M u ngkin gadis itu menjangka saja kaki-tangan P .I.D . Bagaim ana pulalah mempergunakan ukuran Braat pada nona ini dengan ke- budajaannja tanpa pertimbangan lain . . .

Sekarang saja ikuti karangan Sjahrir m enurut urutannja. Ia menjebut «taraf romantik», taraf dimana perasaan me- lengkapkan isi, jaitu dengan hal2 jan g belum m ungkin diperoleh dengan pikiran, pengetahuan dan pengalam an, lalu ia kutip beberapa sadjak D jerm an sebagai gambaran dari pembiusan alam rasa ini. W alaupun dem ikian orang tidak perlu kuatir bahwa kelak, djika pengetahuan dan pengalaman bertambah, perasaan itu akan terkungkung apalagi lumpuh, sepandjang mengenai seniman pentjipta. Sebagai tentangan dari kutipan Sjahrir saja madjukan-se- suai dengan kebiasaan Indonesia-perkataan berikut, jan g digoreskan oleh Stendhal ketika berusia duapuluh tahun: «La tete ne doit jamais etre que le valet de l ’ame» (kepala selamanja harus mendjadi pelajan dari djiw a). Perkataan ini jang berasal dari salah seorang pengarang ja n g paling tjerdik dan paling bernafsu dalam sedjarah dunia, bukan omong kosong sadja. Betapa hebatnja dalil ja n g terkan- dung didalamnja! Sederhana dan lengkap.

Tapi ketika menjatakan bahwa orang Indonesia telah melewati «dunia lamunan rindu dan buaian kedamaian» (aslinja «de wereld van de W eltschm erz en de Idylle»), Sjahrir mempergunakan sebagai gam baran: «dunia Courths- Mahler dan Florence Barclay». Hal ini mengherankan, dan menjedihkan sekah betapa rendahnja tjontoh2 jan g ditjari-

* Tjontoh ini bukan umum.

nja, dengan mcngambil tjontoh Weltschmerz dari per- sediaan kotak-batjaan dan Idylle dari sekolah kepandaian puteri; apakah maksudnja hendak mengatakan baliwa baru ini jang dapat dilampaui saudara2nja? Maka hal itu berarti bahwa sebenarnja bukan perbedaan «dunia» jang mendjadi soal akan tetapi perbedaan «tingkatan». Pentjampur-adukan «dcrdjat» kesusasteraan dan disamping itu djuga pentjampur- adukan «djenis» dalam arti tertentu, mentjolok dalam golon- gan keempat tjontoh, jang oleh Sjahrir digolongkan dalam kaum «naturalis»: Zola, Gorki, Adama van Scheltema, A. M . de Jong. Pendapat Sjahrir mengenai tjontoh2 tersebut hanja dalam garis besamja benar. Terutama ketika ia me- njebut Adama van Scheltema murid dari Zola, kita perlu mengambil djalan liuk supaja dapat diterima akal, itupun kira2. Walaupun demikian maksud Sjahrir dapat ditang- kap dan itulah jang terpenting.

Ia sendiri sadar bahwa Gorki njaris sadja dapat disebut seorang naturalis. Dalam salah satu pidatonja jang terachir Gorki menasehatkan pada pengarang2 negerinja untuk menjelami tjerita2 rakjat dan terutama mengandjurkan su­paja pengarang2 kembah mengemukakan soal2 dan tokoh besar dari dunia dongeng dan hikajat; djauh amat dari naturalisme. Tapi sajang sekali seorang Homer us baru tak dapat ditanam, sebagaimana djuga orang tak dapat meren- tjanakan pentjiptaan tokoh radja Arthur atau Uilenspiegel jang baru. Pertjobaan Gorki sendiri untuk mentjipta tokoh dongeng modern, jaitu Klim Sangin, dapatlah disebut suata usaha jang gagal sama sekali. Nafsu Gorki untuk melihat segalanja dari segi kemasjarakatan demikian besar, hingga marah melihat sukses dari tokoh2 detektip dan djagoan-pentjuri dalam kesusasteraan «bordjuis», dan suka melihatnja sebagai tanda dari korupsi djiwa kaum bor- djuis. Dalam hubungan ini baik dikemukakan betapa baik- nja hasil jang diperoleh oleh seorang tukang kissah jang pandai dengan tiada sem bojanjang muluk2, jaitu Conan Doyle dengan tokoh Sherlock Holmes-nja. Sebab «detektip

terbesap> ini memang mendjadi salah seorang tokoh ja n g hidup dalam kesusasteraan baru diseluruh dunia, hal ja n g djarang terdjadi.

Menjebut Adama van Scheltema seorang naturalis lebih tidak tepat lagi, lagi pula penjair naturalis, kalau tak salah, belum pemah ada*. Pun Scheltema adalah tjontoh ja n g lemah sekah untuk pengutaraan pikiran Sjahrir, karena Scheltema djusteru seorang ja n g bersifat halus dan bangsa- wan, jang sering bunuh diri dalam usaha «me-rakjat-kan» diri itu; lagi pula agaknja, ia tak akan m endjadi seorang penjair besar tadinja. Dipandang dari Indie m u n gk in Schel­tema kelihatannja penjair rakjat; sebenam ja ia m asih djauh dari Speenhoff dalam hal ini, dan dalam perbedaan ini sadja sudah tergambar drama penjair ja n g m em perkosa bakatnja bertentangan dengan penjair ja n g tidak melaku- kan hal itu: Speenhoff berdendang setjara m ain2, karena bakatnja memang ditakdirkan untuk hal itu, sedang Schel­tema, jang mau djadi rakjat, dengan m em perkosa dan «mempermudah» bakatnja, paling banter hanja m endapat penghargaan sebagai penjair didalam partai.

Salah pengertian jang gandjil dan laliir dari tafsiran dari segi kemasjarakatan diperlihatkan oleh S ja h rir : keliidupan kaum buruh abad ke-20 sudah m adju, dibandingkan de­ngan kehidupan kaum buruh diabad ke-19 , karena Z o la , anak abad ke-19 memberi lukisan ja n g lebih suram dari pada A. M . de Jong pengarang abad ke-20. M u n g k in hal ini benar dari segi kemasjarakatan, tapi perbedaan ja n g nampak terletak dalam tipis-tebalnja kem anusiaan penga­rang, djadi lagi-lagi soal tingkatan, antara Z o la dan D e jo n g . Dan hal ini disebabkan kenjataan bahw a dalam diri D e jo n g masih terlalu banjak hidup idylle a la C ourths-M ahler dan Florence Barclay, jang mestinja sudah dibuang djauh2 me- nurut keinginan Sjahrir. «Daja-penarik» buku2 D e Jo n g buat golongan pembatja tertentu ialah kebohongannja

* Ketjuali barangkali penjair seperti W illem van Iependaal.

jang sederadjat dengan kebohongankotak-batjaan. Achirnja batjaan seperti itu bukan terutama mendjadi «batjaan ra­kjat)) lagi, akan tetapi buat keperluan perempuan balu dan kaja jang merasa perlu mengetahui «sifat2 baik» jang terda­pat dikalangan djembel. Tapipun demikian buku2 itu masili djuga punja tugas sosial jang - ini mudah-mudahan mendjadi hiburan bagi pengarang! - pada achirnja melekat pada pengarang apa sadja.

Hal jang paling menarik dari karangan Sjahrir pada hemat saja ialah - dan hal ini merupakan pendjelasan dari hal2 jang bertentangan didalamnja - bahwa ia, sekalipun selalu berpegang pada tugas mcndidik, tetap menolak sifat niurah dan kasar dalam pengarang2 jang disebutnja natu­ralis, barangkali karena naluri seniman pada dirinja. Me- niang, o r a n g intelek jang sesungguhnja, dan bukan ini sadja tapi djuga «prcman jang berkebudajaan», selalu akan menjukai Stendhal dan Balzac lebih dari pada Zola: Dos- tojevsky atau Tolstoi lebih dari pada Gorki; dan kesukaan demikian djuga kesukaan akan bakat jang lebih besar dan lebih baik. Pada satu piliak Sjahrir berpikir: «kesusasteraan harus sampai pada rakjat karena harus mendidik»; pada pi- hak lain: «tapi achirnja rakjat itu djuga jang harus mengang- kat diri mentjapai kesusasteraan jang terbaik, dan bukan kesusasteraan jang selalu harus merendahkan diri sampai kepada jang murah dan gampang ditangkap oleh rakjat. « K c s u l i t a n ini lebih musjkil lagi bila diingat bahwa banjak t a r a f - d j e n d j a n g perbedaan a n t a r a k e s u s a s t e r a a n j a n g s u n g -

g Uh baik dan kesusasteraan jang sungguh djelek dan antara tjita-rasa dan daja-tanggap «rakjat». Dan karena bagi penga- rang tak ada kemungkinan tawar-menawar, maka pajahlah kedudukannja, djika tugas dan bakat «kebetulan» tak berse- suaian. Banjak hidup seniman djadi hantjur dalam praktek karena kesulitan demikian; djuga seniman tergantung darimudjur-tidaknja «konjungtuur».

Dalam pengutaraan Sjahrir sama sekali tak terdapat pro­g r a m jang diuraikan sampai kedahan-rantingnja: memang

program seperti itu tak mungkin diberi, apalagi oleh se­orang seniman. Seorang seniman dalam hal ini boleh m em ­punjai kehendak dan berharap, djuga bolch ditjobanja, tapi tidak dapat ia meramalkan dan memperhitungkan hasilnja. Dalam banjak hal pengutaraan Sjahrir scbenarnja meru- pakan pentjerminan dari pada andjuran «realisme sosialis- tis» dikalangan Indonesia, jang tiga tahun jan g lcw at ramai dipersoalkan oleh pengarang2 jang berhaluan politik kiri- misalnja dalam muktamar «pembelaan kebudajaan» jan g berlangsung di Paris. D juga disana orang mentjampur- adukkan romantik dan realisme; metoda-nja mestinja realis- tis karena harus bertugas kemasjarakatan, sedang pokok soal tentulah romantis, sebab memang revolusioner. Peru- musan jang diadakan achimja tak m elingkupi apa2 lagi, karena telah mengandung segala-galanja; dan setiap pe­ngarang jang suka ikut, ternjata boleh menjebut diri «sosial- reahs».

Dalam bagian kedua dari karangan Sjahrir m engalir nama2, kadang2 dipilih dengan pengertian jan g tepat, ka- dang2 asal sadja, sehingga «orang luar» bisa bingung. Bagai- manapun djuga pengarang jang memperhatikan soal2 kemasjarakatan selalu hendak dimenangkan diatas pe­ngarang jang bersembojan tjongkak «l’art pour l ’art». H al seperti itu terdapat pula dalam karangan Takdir, walaupun tidak dengan tjara sehalus tjara Sjahrir, dimana golongan seniman l’art-pour-l’art ini dengan serta-merta disebut de- kaden dan ditjatji sebagai «kaum individuahs ja n g tjong- kak». Omonganjang begitu tjongkak dan sangat meremeh- kan djarang bersua, tapi hal ini tidak penting.

Seniman-seldadu jang dikehendaki itu, rupanja harus begitu pitjik-karena kepentingan natie, bangsa dan kebu­dajaan nasional! - hingga ia menganggap lebih penting buku djelek dari pada tjiptaan «individualis tjongkak», karena jang pertama itu dapat memberi petuah dan teladan selama satu tahun kepada jang disebut «massa» itu. Lagi apa sebe- narnja jang disebut dekaden? Setiap pemuka Nieuiue Gids

jang dikagumi, tiada ketjualinja, harus disebut dekaden, kalau menurut djalan pikiran kollektip-nasionalis*. Dua matjam sambutan jang mungkin terhadap pendirian ini. Pertama, berkata: lebili baik mendjadi penjair jang «de- kaden» sebesar Verlaine atau Baudelaire, dari pada penju- sun sadjak kebangsaan seperti Freihgrath atau Deroulede. Kedua, dengan tegas menjatakan bahwa djika kita bodoh dan tumpul sebenarnja sudah merupakan kedjahatan ter­hadap bangsa!

Maunja «individualis» itu tidak punja bakat dan karang- annja tidak tahan lama semuanja, sedang pengarang «sel- dadu» itu selalu harus seorang djeni. Tapi sajang kenjataan bahwa seni meminta seluruh kedirian seniman, sehingga karena itu sadja seorang individualis sudah selalu mempu­njai harapan jang lebih baik dari pada seldadu. Tapi hal ini bukan pula suatu hukum. Tak dapat diberi patokan jang tetap akan kekal-tidaknja sesuatu karangan atau akan ke- unggulan seseorang dan seni, sebutan singkat terhadap pengertian jang kita djadikan hakim, tidak memperdulikan maksud2 baik, dan memudji atau menolak, dengan tiada pandang bulu, sang-individuahs dan sang-seldadu. Memang Sjahrir tidak kenal mundur dalam hal ini dan ia lebih «keras» dari pada Takdir: «Masalah tendens atau tak-ada- tendens tidak perlu mendjadi pikiran bagi pengarang Indo- nesia.» Dan ditempat lain: «Dia tak dapat membaikkan kekurangan2nja dalam hal kesusasteraan dengan berkata, bahwa karangannja tak boleh dan tak dapat diukur dengan ukuran kesusasteraan, karena dimaksud sebagai alat pendi- dik. Djika ia tak sanggup mendidik rakjat dengan batjaan jang mempunjai nilai kesusasteraan, maka tidak selajaknja ia melakukan hal ini dengan alat kesusasteraan, dan tem- patnja dilapangan pendidikan rakjat ialah dalam penga- djaran, kewartawanan atau politik.»

* Atau, ada ketjualinja tentu, jaitu Gorter, jang mengarang Pan dan lain2 sebagainja.

Kalimat2 jang baik dinukilkan buat pengarang2 m uda Indonesia jang sedang mentjari. Disini mutulah ja n g diuta- makan. Djuga benar djika Sjahrir menjatakan bahw a seni- bertendens itu bisa djuga bernilai lebih tinggi dari pada karangan-art-pour-art dari si-Polan dan si-Anu. T api ia tak berapa berhasil dalam memberi tjontoh2. Sudah terang si- Polan dan si-Anu ini gampang dikalahkan, djuga oleh se­orang pengarang kelas 3 seperti G ladkov. Lag i pula Maurits Dekker, jang digolongkannja kedalam kaum si- Polan, sebenarnja bukan seorang pengarang-art-pour-art dan sering mendjadi seorang pekerdja seperti jan g dikehen- daki oleh Sjahrir, dengan hasiljanglum ajan djuga. D jangan dikata pula tentang N jonja Szekely-Lulofs, tapi buku Koelie-nja dapat disebut roman-bertendens, dan djuga buku Hongertocht njz, buku jang telah menimbulkan kedjeng- kelan pada wartawan kolonial ZentgraafF. T ap i ini tidak berapa penting.

Tentu sadja pendapat Sjahrir benar dalam garis besarnja; hanja saja ingin tambahkan, bahwa djuga saja tak pertjaja akan sembojan «1’ art pour 1’ arD>jang di-kafir-kanitu, ketj uali sebagai alat pembantu untuk membedakan sedjenis kese- nian dari djenis lain. D jika dipikirkan sadja lebih djauh, akan njata bagi setiap orang bahwa tak ada orang m em buat seni untuk seni melulu. Pengarang jan g bulat2 niemper- tahankan pendirian demikian, m em bohong dengan sedar atau tidak. Orang menulis selalu «untuk» atau «menentang» se- suatu hal; untuk membenarkan diri atau teman sedjenis; untuk mempertinggi budi atau m cnghibur diri; untuk h i­dup landjut, untuk menghalau iseng atau m entjari uang; untuk menetapkan kepribadian atau mengenai diri; supaja masjhur atau menimbulkan kesan bahwa ia tidak ngang- gur, menguasai sesuatu hal, dalam kehidupan jan g lam bat mendjalar atau mengalir tjepat. Selalu ada alasan m engenai soal rasa dan alasan jang lebih sungguh2, sesuatu ja n g m urni atau lata, jang mendorong orang hidup untuk seni; sesuatu hal jang dapat ditangkap atau dilebur dengan pengertian

«seni mumi», tapi tidak dengan sendirinja kan kedalam pengertian itu.

Pascal berkata kira2 sebagai berikut: barang siapa pcr- tjaja akan art-pour-art, dia itu tidak tahu apa itu manusia dan apa itu seni.

Dan wadjiblah setiap orang mentjari kebenaran jang lebih tepat dari pada jang terdapat dalam buku peladjaran sesudah bangku sekolah.

«Kebudajaan dizaman kita» kata Sjahrir (dan dengan ini maksudnja kebudajaan «Barat atau kebudajaan universil» itu pula), «mempunjai gaja singkat-tegas (zakelijk). Sesudah itu ia mendjelaskan arti singkat-tegas, jaitu kata jang kini seharusnja padat sekali lagi pendek, sedang dulu orang mempcrgunakan banjak kata untuk mentjapai satu tudjuan. Sesudah itu berdjedjer pula nama pengarang jang suka menghamburkan kata, jang menurut Sjahrir terdapat da- lam segala kesusasteraan jang romantis».

Djuga ini termasuk pengetahuan-buku, jang segera batal kalau diudji: ada karangan jang romantis - dan dari zaman memuntjaknja romantik - jang gajanja tidak dibunga-bu- ngai, tuhsan jang diasah benar, «zakelik», lebih zakelik dari- jang disebut «nieuwe zakelijkheid» itu. Ingatlah tjerita2 pen­dek Poesjkin dan Von Kleist, karangan Lermontov Pah- lawan Zaman Kita, karangan Stendhal dan Merimee, Poe dan Stevenson. *

Lagi masih merupakan pertanjaan apakah kesusasteraan Indonesia baru akan mendapat pahala dengan gaja jang

* Saja sama sekali tak hendak memperbaiki pemjataan jang bersifat hantam-kromo ini djika saja tak kuatir bahwa pemjataan demikian biasanja merupakan kelcmahan penulis essay Indonesia. Teringat saja pada karangan Sanusi Pane, jang mengupas perbedaan antara ksatria dan ridder abad-pertengahan jang kasar di Barat. Perbedaan jang tjara melihatnja tcrlalu pitjik dan sok tahu. Galahad dan Parzival, tokoh2 jang mumi dan kenal mistik tak disebut2, pun bahwa abad-pertengahan itu mengenai «cours d’amour»-nj a dengan segala kehalusantata-tertibnj a. Sedang S.P. lupa bahwa Ardjuna dan Pandji kadang2 merupakan pe- nafsu pula dimata orang Barat.

zakelik itu. Djika hati seorang pengarang tertarik padanja, mungkin hasiinja baik; djika tidak maka hasilnja harus diragukan. Boleh sesuka hati berteriak bahwa itu suatu «keharusan», asal diingat bahwa djuga pengarang Sovjet Olesja menjatakan pada kongres pengarang di M oskou : bahwa seorang pengarang hanja dapat menulis apa jan g terletak dalam kesanggupannj a. Ini b ukanlah semb oj an 1’ ar t- pour 1’ art, melainkan pengertianj ang sewadj arnj a akan bakat masing2. Pertama2 seorang pengarang tak boleh berkehen- dak berbuat jang tak terletak dalam kesanggupannj a, djuga djika hal ini diperintahkan oleh beratus program a padanja. Djadi seorang pengarang Djaw a atau Sunda, jan g merasa terdorong menerakan irama lambat danberajun-ajun diatas kertas, hanja akan mendjadi lumpuh atau mati dalam gaja jang zakelik. Djuga seni harus direbut; banjak hal jan g da­pat dipeladjari dalam seni, tapi tidak semuanja. O rang tak dapat memainkan peranan jang berbeda seluruhnja dari «udjud»-nja sendiri.

Bandjir nama jang dilepaskan oleh Sjahrir pada pem- batja, jaitu nama pengarang jang baik didjadikan teladan, dapat dianggap baik atau tidak, terserah. D jika kita ber- pendirian, bahwa tak ada hal jang terlalu tua atau terlalu berbeda, maka daftar itu mempunjai arti djuga. B ag i saja sendiri kebaikan tjitarasa Sjahrir terutama njata dari mang- kimja beberapa nama jang mendjadi m ode; dalam suatu bait ia menjebut Silone, M alraux dan Guzman, sedang orang lain jang tjitarasa-nja kurang halus m ungkin akan menjebut nama Ehrenburg, Gladkov dan Panferov. H al ini mengandung arti. Orang jang tak melihat keunggulan seorang Malraux diatas seorang Ehrenburg, masih djauh dari «ukuran kesusasteraan». Berkali2 telah kutanja pada pengarang2 Rusia seniman mana jang diakui m ereka se­bagai seniman-nja jang terbesar: Ehrenburg dan G ladkov tak pernah disebut. Setelah bertanja kiri-kanan dan setelah mengkontrol-nja, terdapatlah daftar berikut jan g saja kum- pul dari berbagai pihak (ditahun 1936): diatas sekali Paster­

nak, Babel Sobolev, Olesja, Kaverin; sesudah itu Fedin Leonov, Sjolochov, tergolong pengarang populer. Setiba dideretan nama jang penghabisan saja tak tahu lagi jang dimaksud oleh Sjahrir. Atau terdjemahan A lw i tidak terang dibagian itu, atau ia sendiri tak tahu lagi apa jang dimak- sudnja dengan tjontoh2 itu; djuga saja tak dapat lagi me- nangkap arti jang diberinja pada «realisme» dalam hubung- an itu, dan «ukuran kesusasteraan»-nja tak kena disana. Djika pada Proust dan Ka£ka kita beri angka 10 dan ang- ka 8 pada Huxley berdasar ukuran kesusasteraan tertentu, maka seorang Upton Sinclair pasti tidak akan mentjapai angka jang lebih dari 3 + , itupun dengan susah-pajah. Pada suatu pendjclasan terdahulu Sjahrir mempergunakan dasar jang sempit pada ukuran kesusasteraannja, terlalu meinperhatikan gaja melulu; ketika ia menjebut M ax Ha­velaar, De Rijke Man, Het Vijj'de Zegel dan Bint sekaligus untuk menguraikan soal gaja; tapi disana masih djelas apa jang dimaksudnja. Terlebih-lebih utjapannja tentang gaja dari Van Schendel tepat.

Daftar jang dikemukakan Sjahrir pasti akan mengedjut- kan pengarang Indonesia jang «baru mulai». Ia bukan hanja harus bergulet dengan pokok-soal jang harus diketahuinja, tapi djuga dengan kesulitan2 jang paling biasa: dimana semua pengarang itu harus ditjari, bagaimana memperoleh karangannja, dan djika hanja bahasa Belanda jang agak gampang dapat dibatjanja dari bahasa2 Eropah, berapalah diantaranja jang diterdjemahkan? Pengarang muda Indo­nesia jang ingin membatja Rom ain Rolland, akan dapat memperoleh se-tidak2nja. karangannja jang paling penting dalam bahasa Belanda, tapi pengarang jang hendak menge­nai Gide hanja akan mcndjumpai beberapa segi dari buah- pena Gide, jang bertjorak-ragam itu, sehingga harganja baru dapat diketahui bila dibatja seluruhnja.

Tapi peladjar soal ini dapat menghibur diri dengan suatu hal djika ia merasa tertimbun dan pengetahuannja belum bertambah: daftar jang paling lengkap dan disusun sete-

liti-telitinja hanja dapat dipergunakan sebagai katalogus sementara. Pentjarian jang dilakukan seorang diri untuk mendapat hal2 jang dapat dipakai - dalam arti katajang se- muha-mulianja serta sekasar-kasarnja - tetap akan member- hasil jang tak dapat di-duga2 semula. D jika soalnja hanja ketjakapan se-mata2, jaitu tjara mempergunakan kata, hal syntaxis dan komposisi, maka seorang pengarang hanja dapat beladjar dari pengarang jang se«keluarga» dengannja; dan pada suatu ketika seorang seniman harus pula men- tjekek pudjangga pudjaannja dalam diri sendiri. D juga ini merupakan hukum jang kedjam: sama kcdjamnja dan achirnja sama pula pahalanja dengan hukum jan g menen- tukan bahwa orang dapat sadja mengikuti segala naluri dan programa dalam kesenian, karena bagaimanapun djuga hanja satu hal jang menentukan: ada-tidaknja bakat dalam diri seseorang.

Dan apakah «rakjat» itu memang dapat did idik. . . dengan kesusasteraan jang sesungguhnja? Djika soal ini dilihat dari sudut keperluan sesuatu programa, jang agaknja m eru­pakan tentangan dari pada perkembangan bertingkat dan seimbang, maka halnja mengerikan. Sebuah «perkumpulan batjaan jang baik dan murah» tetap merupakan tjita2 jan g muluk, tapi sebelum itu harus banjak persediaan batjaan jang baik!

Pada kebudajaan Indonesia jang sedang tumbuh sekarang dihadapi kesulitan pertama dan kesulitan jan g sangat besar pula, jaitu bahwa bahasa umum jang kaja, hal jan g paling perlu buat adanja kesusasteraan Indonesia, masih dalam ke- adaan djadi. Per-tama2 diperlukan seorang pengarang jan g mempunjai kuasa begitu besar, hingga ia membentuk ba­hasa Indonesia umum dengan tidak disedari orang.

Hal ini lebih merupakan soal pembcntukan bahasa dari pada soal nilai kesusasteraan. Djika pembentuk bahasa jan g pertama ini seorang penjair dan penulis prosa jan g ulung sekaligus, seperti Pusjkin buat Rusia, makin baik. D jika ia seorang tokoh kebudajaan jang berlalu sadja, seorang tu-

kang tjeritajang enteng, tapi memikat perhatian dan banjak dibatja orang, lekas dianggap ketinggalan zaman dan agak menggelikan karena naif, seperti Conscience buat negeri Vlaanderen dulu, pun orang harus gembira. Dan orang setidak-tidaknja dapat menghormatinja sebagai «bapak ba­hasa persatuan».

Djuni 1939

P .C .C . (SU R A T K EPA D A SE O R A N G IN D O N ESIA )

Bogor, Agustus 1939

Tuan Sjahrir Jang Terhormat,

Sulit mendjawab surat tuan dengan ketulusan hati atau harus dimasuki daerah jang berbahaja, tapi akan saja tjoba djuga. Potret jang tuan buat dari diri saja, hampir seluruh- nja dapat saja terima, artinja djika menjatakan pendapat tentang diri sendiri tidak menggelikan. Tapi setidak-tidak- nja benar, bahwa di Holland saja tetap dianggap sematjam «orang asing dan tukang retjok». Memang hal itu sudah sewadjarnja: orang tua saja hampir Perantjis tulen dan pula termasuk «tjabang atas masjarakat kolonial», suatu golo- ngan jang lain sama sekali dari golongan bordjuis di H ol­land. Saja selalu merasa tertarik pada bangsa dan kebudajaan Perantjis, dan karena pendidikan saja tergolong indiese jongen, dan tergolong orang Belanda karena bahasa dan beberapa kebiasaan. Pada saat ini saja dianggap vereuro- peest oleh beberapa orang, «tak banjak lagi sisa indiese jongen dulu» kata mereka, hal mana tak saja akui. D jika saja bergaul barang sepuluh menit dengan indiese jongens tulen, mereka segera mengenai saja sebagai teman. Dim ana saja merasa betah dengan perasaan jang tak mau tahu alasan itu «inilah lingkunganku»? Sekarang hal itu telah saja ke- tahui, setelah saja, sesudah mengembara lima belas tahun di Eropah, kembali dinegeri ini: bilangan M r Cornelis. Tidak di Batavia sendiri, tapi dari Meester melalui Bidara- tjina ke Depok; djika saja duduk dalam kereta api dan meli- hat tanah merah itu, saja insjaf, tanpa merumuskannja:

«saja anak sini». Disana sadja saja mendapat perasaan bcrada kembali «dikampung halaman»; sedang rumah saja sudah lama tak ada disana lagi.

Sajang hal itu tidak dapat saja anggap alasan untuk ber- diam seterusnja di Indonesia. Negeri ini mendjidjikkan saja d a l a m banjak hal dilihat d a r i segi m o r i l d a n i n t e l e k t u i l .

Artinja, bukan negeri itu sendiri, sebab hal itu masih scring memetik tali perasaan saja, tapi masjarakat kolonial jang lata dan hypokriet itu. Suatu negeri dimana seorang Zentgraaf memainkan peranan pengawas achlak, sedang semua orang tahu siapa orangnja; suatu negeri jang mem- pertahankan diri atas dasar chantage jang didjalankan oleh orang2 seperti itu antara scsamanja, barang tentu ada apa2- nja; seorang anakpun dapat merasakan hal itu, tanpa «pe- tundjuk» melalui pemandangan hidup Marx. Djumlah pembesar kelas 2 dan 3 jang berkuasa disini dan jang saling menjokong atau djatuh-mendjatuhkan, mengedjutkan be­nar. Tentu sadja djuga di Eropah terdapat orang2 matjamitu, tapi ditempat-tempat ter tentu; maksud saja: disana ada im- bangannja, disamping masjarakat seperti itu (dengan keli- tjikan banditnja) ada masjarakat jang pada saat tertentu tjakap merasakan tenaganja (jaitu masjarakat kerohanian). Disini Jan Lubbes jang djadi radja. Rupanja ada sebuah sadjak, dari M r Pieter Brooshooft (tak pernah saja batja sendiri) tentang Indie <jang dikuasai oleh sang Bandit» - dan sekalipun ada kemadjuan diberbagai lapangan jang tak dapat disangkal pada hakekatnja keadaan masih seperti itu djuga. Sembarang orang ,jang di Eropah mungkin hanja akan diserahi tugas menggosok mobil, tapi disini berhasil merebut sebuah mobil, terdapat dalam bergerak dalam masjarakat Indie dengan wadjah jang selalu berkata: apa tak kau lihat saja Daendels? Dan ketakutannja jang paling besar? Kalau2 ternjata bahwa ia orang ketjil sadja.

Hal itu tidak berarti bahwa saja sembrono menjatakan pendapat2 jang pessimistis tentang Indie ,pun djika dilihat sebagai djadjahan. Djika kita tjukup keberanian dan ke-

kuatan, memang negeri inilah jang meminta perkem bang- an kepribadian jang djauh lebih luas, meminta kcgiatan jang beragam. Orang2 besar abad ke-19 (dan djuga sedjak achir abadke-i8- sedjak zaman«Verlichting») bagi saja ialah : Dirk van Hogendorp, W . R . van Hoevell, Junghuhn, Multatuli, Sikko Roorda van Eysinga, Courier de Dube- kart. Siapakah jang akan menulis buku tentang tokoh2 «in- diese erflaters» ini, peradaban kolonial tulen? Soalnja saja lihat dari pihak Eropah; sedjalan dengan itu harus ada pula buku tentang tokoh2 besar dalam sedjarah Indonesia. D jika saja menetap disini, maka saja ingin menulis buku dem i­kian-jang disebut pertama maksud saja - tapi harus saja akui dengan terus terang: hal itu terlalu menjimpang dari peker- djaan jang wadjib saja lakukan di Eropah.

Saja datang ke Indonesia, muak suasana busuk dilapang- an politik disana, dengan pengharapan akan mendjum- pai Indonesia idam-idamanku, seperti jan g saja lihat kem ­bali dalam buku saja Het Land van Herkomst. Artinja, saja memang tahu benar bahwa pemandangan saja «kepenja- iran» dan akan disangkal dari segala sudut oleh kenjataan jang akan saja djumpai: tapi saja hendak m enghadapi ke­njataan itu supaja djangan selalu rindu pada dunia im pian itu. Setelah berdiam 2% tahun dinegeri ini, saja memper- oleh kepastian jang saja butuhkan. Sekarang saja, sepan- djang mengenai diri saja, boleh kembali ke Eropah; saja telah selesai dengan Indie dari Het Land van Herkomst. Djika saja sudah kembali di Eropah, maka saja akan dapat menjelakan pemandangan hasil kediaman 2% tahun an- tara rindu dan pemandangan lam a; rasanja baru pada usia 60 atau 65 saja akan merasa betah kelak di Indonesia, setelah mengetjap garam kehidupan. Dapatlah saja misalnja ber­diam di Tjilatjap (dekat kuburan dipantai, menanti tempat kediaman terachir); dan menikmati «alam Indie» dan sama sekali djangan batja koran.

Pada saat ini-sedang saja baru empat puluh tah u n -sa ja lambat-laun merasa seorang pengchianat terhadap Eropah,

seorang jang meninggalkan pasukannja. Tuan lihat sendiri: saja tidak begitu individualistis dan «bebas» seperti menurut persangkaan tuan! (Saja lihat bahwa pemuda Indonesia sering memberi arti egoist pada kata «individualist» tanpa pertim bangan apa2 lagi). Tuan membandingkan saja dengan Malraux. Ini sungguh suatu kerhormatan, tapi tidak adil djuga. Malraux saja kenal baik: bagi saja dialah orang jang paling lajak dikagumi dan jang paling djenial, jang pernah saja djumpai: penuh bakat dengan semangat jang ber-api2. Peranan jang didjalankannja tak mungkin mendjadi bagian saja; dan bukan sadja karena saja bertentangan sama sekali dengan dia dalam bebarapa hal, kalau saja hendak setia pada udjud saja sendiri. Saja tak punja «kelapangan pendirian»- nja, dapat memihak pada peradaban jang masih akan da­tang, dengan memperkosa segala hal jang pada saat ini masih dianutnja; saja tak pertjaja pada kebebasan jang da­tang dari Stalin (sementara itu Malraux telah balik dari komunisme, penterdjemah). Sama sadja keberatan saja un­tuk mendjadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan Stalin, Hitler atau Mussolini, — dan tuan tahu hal ini ,danpendirian tuan lain. Djadi dalam hal ini saja lebih «kasar» dan mem- punjai kesombongan jang lebih bodoh dari Malraux; tapi saja tak ada keinginan membohongi diri bahwa sifatku lain dari pada demikian. Memilih pihak? Hal itu pasti kula- kukan, andai kata ada «partai» jang mendapat simpati saja sepenulinja dan dapat pula saja pertjajai sepenuhnja. Na- rnun demikian kurang tepat djika tuan berkata saja meni- perlindungi diri dan bcrsikap netral, sebab pilihan jang menurut tuan telah dilakukan oleh Ter Braak, sudah lama saja lakukan: saja djuga pro-demokrasi dan anti-diktatur; saja sedjak mula djuga mendjadi anggota Waakzaamheid, dan djika N .S .B . (Nationaal-Socialisten Bond Belanda) menang di Holland, maka saja bersama Ter Braak dan Greshoff, akan tertjantum paling atas dalam daftar tjalon buat konsentrasikamp, tidak seorangpun menjangsikan hal ini. Djadi walaupun saja bukan seorang Malraux, dan

tidak punja pembawaan «pahlawan niodern» (seperti peru- musan tuan walaupun saja tetap tinggal seorang «individu- alis tulen», saja bukan pengetjut, walaupun bukan pahla- wan...

Kalau saja kembalike Eropah, ada sangkutnja dengan soal tersebut. Saja tahu (atau katakanlah; saja pikir) saja lebih perlu disana dari pada disini. D juga buat «angkatan muda» jang tumbuh disana. Dan berterus-terang: berat rasanja mentjari sematjani keselamatan di Indonesia, sedang besok- lusa teman2 saja di Eropah mungkin di-bom atau dibunuh dengan gas. Sebab bukankah sedjak tiga tahun orang meng- umumkan bahwa besok-lusa Eropah akan bunuh diri ?

Melakukan sesuatu jang berguna dinegeri ini, memang mungkin bagi saja dalam arti tertcntu, pada hemat saja, tapi toch melalui djalan melingkar. Supaja dapat «berdiri dipiliak jang benar» dengan kejakinan penuh, orangnja harus orang Indonesia. Andai kata saja seorang Indonesia, barangkali saja tetap seorang individualis, kritis, tukang retjok dan keras kepala, tap i. . . nasionalis sampai keudjung djari. Dinegeri ini hal itu mempunjai makna chas. Baru2 ini seorang pemuda Indonesia berkata bahwa sebenamja bukan saja jang benar melainkan Zentgraaff, karena ia ini pro bangsanja, sedangkan saja tidak atau tidak tjukup pro. Dilihat sepintas lalu pendirian itu benar - dan sangat objektip, karena diutjapkan oleh seorang Indonesia - tapi sangat bodoh bila dipikirkan lebih djauh. Karena pendirian demikian hanja mungkin timbul dari pikiran jang telah terlalu tumpul oleh kebiasan politik, karena pertama: melihat pertentangan antara saja dengan orang seperti Zentgraaff hanja sebagai soal tipiste-balnja rasa kebangsaan; kedua sama sekali tidak mempertimbangkan apakah nationalisme Belanda pada tempatnja dinegeri jang didjadjahnja. Lagi pula, saja tak pernah menjia- njiakan bangsa saja; saja hanja malu karena djenis ter- tentu dikalangan teman2ku sebangsa, saja muak melihat keserakahan mereka, jang makin njata saja rasakan dibalik

segala pcrnjataan simpati, kemauan baik mereka terhadap orang Indonesia itu, - dan jang menjebabkan saja tak tahan tinggal lebih lama dinegeri ini ialah djusteru perasaan, bah­w a pada hakekatnja semua itu sudah semestinja, bah­w a mereka, kalau mereka tidak hendak ber-puna2, tak da­pat bersikap lain; bahwa mereka, namun segala simpatinja jang tulus, hanja dapat ikut sampai titik tertentu. Nah, djusteru karena tak suka disindir sebagai pengcliianat, saja lebih baik pergi. Situasi jang berbeht ini sudah menekan perasaan saja sekarang, dan akan makin menekan perasaan saja. «Djuga kau tak akan luput dari nasib mendjadi orang Eropah, di Indonesian kata Ter Braak pada suatu kali se- belum saja pergi. Ketika itu utjapannja kuanggap agak banal. Disini saja alami kebenarannja jang paliit.

Tuan mau apa? Saja tak dapat: ikut separoh djalan de­ngan orang Indonesia, siap sedia bertindak, kalau ia «tidak tahu berterima kasih» atau «bersikap lantang». Saja tahu ada pahlawan2 kolonial, djuga djenis manusia jang lebih tabah dari saja. Tapi biarlah mereka itu sadja jang mendjalankan peranan demikian. «Mendidik» orang, dan sesudahnja me- nindas hasilnja dengan ber-sungguh2, itu tak mungkin djadi tugas saja. Melandjutkan «pendidikan» itu, sampai saja berdiri disamping orang Indonesia menghadapi bangsaku, itupun tidak menarik hatiku. Seorang jang saja hormati benar, sekahpun tak saja kenal baik, berkata tentang soal ini kepada saja: - Ja, toch itulah peranan jang harus kita djalankan disini; orang Eropah jang djudjur dinegeri dja- djahan, harus menerima peranan jang didjalankan oleh Drona. Tuan tahu, kan, Drona guru bangsa Pandawa? se- dang ia termasuk bangsa Hastina, dan ketika perang petjah bangsa Pandawa bertanja kepada sesamanja: Apakah ia harus djuga kita bunuh, guru kita? Dan diputuskan: Ja ! sebab ia bangsa musuh. Lalu mereka membunuhnja, tapi sesudah mati, ia dikubur dengan upatjara kebesaran. - Tapi hal demikian terlalu kepenjairan bagi saja; peranan demiki­an tak menarik hati saja.

Djuga saja tak dapat bersikap masa bodoh, dan berkata pada diri sendiri: «saja toch lahir disini, toch ini negeri saja», dan menikmati kesenangan2 jang ada pada «indiese leven» itu, dan sehari2 mengeluh bahwa keadaan telah banjak ber- obah, dan bahwa Indie bukanlah lagi Indie dulu, Indie zaman bahagia ketika saja masih anak. Pada prinsipnja sikap demikian dapat saja ambil, tapi saja terlalu intelcktuil buat hal demikian. Saja tak dapat mempertanggung-djawabkan kediaman saja dinegeri ini, hal itu sudah djelas. D juga saja tak berani buka mulut besar seperti Multatuli jang saja kagumi itu - andaikata jang demikian dapat saja lakukan da­lam prakteknja - karena saja tidak pertjaja, seperti dia, bah­wa segala sesuatu akan beres kalaukekuasaan Belanda diper- baiki.-Nah, tuan: orang seperti saja memang harus gulung tikar. Bukan karena mereka pengchianat, seperti sebutan jang tersembunji dalam sindiran nasionalis muda Indonesia tadi; tidak, djusteru karena mereka tak mau djadi peng- chianat - ataupun separoh pengchianat.

Ada lagi, sekarang dari sudut lain. Tuan tahu bahwa da­lam banjak hal sebenarnja saja tak dapat dikatakan orang Belanda.

Tapi djika saja meninggalkan daerah djadjahan ini dan pergi ke Holland, saja akan tetap kritis, pengganggu dsb., baiklah, tapi djuga: dalam diriku akan kudjumpailah hak membela negeri ketjil jang bernama Holland itu, untuk «kemerdekaan kita», gandjil, kan? Sajapun tak tahu dulu bahwa saja punja nationalisme demikian: tapi djika orang memang bermaksud mendjadikan Holland «Gau» dari ke- radjaan-Hitler, maka saja tahu dengan djelas dipihak mana saja harus berdiri; maka saja akan turut melawan «saudara2 sesama keturunan djermania» itu. Kadang2 saja bertanja pada diri sendiri: bagaimana kalau Perantjis? Pertanjaan itu belum pemah djadi genting; sekarang, berhubung de­ngan bahaja Djerman, ja. Sekarang, saja pikir akan demiki­an djuga halnja. Dalam hal demikian saja mengkesamping- kan segala simpati kebudajaan dan saja akan bulat2 bertin-

dak sebagai orang Belanda, mcnuruti naluri, melawan orang Perantjis dan melawan orang Djerman. Apakah tuan tidak akan menganggap saja seorang nasionalis Belanda jang lutju, terdesak setjara demikian? Tafsirkanlah sesuka hatimu; saja hanja menjatakan perasaan saja. Saja nieng- ambil hak, sebagai «individualis», untuk membela kemer- dekaan Holland sebagai seorang Belanda, melawan setiap serangan asing. Dinegeri ini soalnja lantas mendjadi lain; disini saja hanja bcrhak untuk bersikap sopan dan ramah sekali terhadap orang Indonesia, - dan supaja situasi tetap djernih lebih baik saja pergi sadja.

Saja djuga tak dapat merasakan keenakan tjara berfikir beberapa orang Belanda golongan «ethis» jang berfikir: «Halnja tidak begitu mudah. Memang orang Indonesia itu memcrlukan saja! Djadi saja patut berdiam disini.» Saja kenal beberapa orang jang berpaham demikian: baik, tu- lus, radjin-dan sesudah beberapa tahun, sangat ketjewa, karena orang Indonesia itu tidak tahu menghargai mereka dan tetap tjuriga, atau tidak tahu berterima kasih, atau ka­rena apa sadja - pendeknja, «pekerdja2» golongan ethis jang «menjerahkan» segala tenaganja, dan sesudah «usia mu- danja habis dibakar matahari tropika» dan mereka naik ka- pal dengan djiwa jang hangus, kepertjajaan diri jang ter- gontjang dan dendam jang membara, karena «inlander itu toch tinggal inlander sadja». Kejakinan saja terlalu dalam, bahwa orang Indonesia, djuga mereka jang saja anggap kawan, memcrlukan saja hanja dalam arti tertentu, tidak beda halnja andai sama2 di Eropah, - dan bahwa kejakinan ini tak ada tjatjatnja, karena bagaimanapun djuga achirnja orang Indonesia itulah jang harus membereskan soalnja. «Barat» itu bcrmanfaat sekali bagi bangsa tuan, seperti jang tuan njatakan dengan penuh kesadaran, tapi achirnja tuan hanja dapat dan mesti hanja mengharapkan tenaga sendiri, djuga djika mempergunakan alat2 kebudajaan Barat. Orang seperti tuanlah jang harus memadjukan kebudajaan negeri ini (belum saja persoalkan segi politiknja); bukan «orang

luar» seperti saja.Pertjajalah, djusteru karena hal jang tuan peroleh dari

Eropah,sahabat tuan:

E. d u P e r r o n

P.S. - Izinkanlah saja umumkan isi lengkap dari surat ini dalam satu2nja madjalah jang memberi kesempatan kepada saja berkata dengan terus-terang selama ini. Tuan tahu saja suka melajani kaum N .S.B . dan jang sekeluarga dengannja, dan jang tertulis diatas mungkin akan memberi ilham pada mereka menuhs utjapan jang keras atau menggelikan, - lagi ini tidak berarti bahwa tuan atau saja misalnja tak sang- gup menulis jang demikian. Manusia selalu berhutang budi pada sesamanja, kata seorang achli filsafat Perantjis, ka- takanlah: basabasi, dehem, terdjangan.

Lagi pula, tuan Sjahrir, tjoba tuan pikirkan: apa djadinja, andai kata tiba2 semua orang Belanda menganut paham saja berkenaan dengan Indie? Untunglah mereka masih dapat berguru pada kelapangan dasar histories adjaran tuan Mansvelt. Sangat lutju melihat, betapa kokohnja dasar histories jang demikian dan betapa banjaknja pendirian jang dapat dibangunkan diatasnja.

P E N E M U A N S A S T R A

Mengapa orang terus sadja mengingat sesuatu buku?... Pada usia 6 atau 7 tahun kutjoba membatja Robinson Crusoe dalam terdjemahan lengkapnja, tapi sia-sia; isinja membosankan, tapi buku itu penuh gambar2, dan salah satu gambar itu bertulisan: «Mentjari ichtiar bagaimana menghantjurkan musuh.» Kahmat jang menarik hatiku dju­ga. Bukannja gambar jang terbaik: disitu Robinson keli- hatan duduk mengepit bedil dengan degulnja, bertupang dagu, tangan memegang djenggot; tapi halaman itu selalu kubalik dengan rasa ngeri. Lama sesudah itu Robinson ku- batja lagi dan ketika itu masa dia sakitlah jang paling me­narik hatiku: ketika dia terpaksa berbaring diajunan tikar, ketika ia masih sendiri sadja dipulau, dan tak sanggup me- landjutkan buku tjatatannja. Djuga berkesan sekah bagiku tjatatan bagian kedua tentang perdjalanannja jang kemu- dian; tapi sampai sekarang ,djika buku itu teringat padaku, maka aku per-tama2 selalu terkenang pada kalimat dibawah gambar itu. Pada waktu itu djuga (7 tahun) buku jang paling kusukai ialah Jack Rustig (demikianlah nama sadur- an bahasa Belanda dari Mr. Midshipman Easy karangan kap- ten Marryat); disanalah kudjumpai kaHmat2 jang pertama kali membuat aku tak dapat tertidur: anak-kapal jang be- rontak berenang kesebuah kapal, lalu dimakan oleh ikan hiu; mereka lenjap dan air laut, demikian tertulis disitu, merah diwarnai darah mereka. Pada gambar dihalaman

itu anak-kapal jang berontak masih didarat, dan kapal di- latar belakang, dilaut tenang, tapi ketika gambar itu kuwar- nai, lautnja kudjadikan merah scluruhnja. Lalu sebuah tjerita lain jang mengerikan lama kusimpan, kugunting dari surat kabar, jang mentjeritakan bagaimana seorang seldadu Belanda ditembak mati di Atjeh; disana terdapat kalimatjang mengerikan, jang artinja salah kutangkap dan lama berkesan pada chajalku; tertulis «Alle duivels» (spu- wend = meludah), djadi demikian kata seldadu itu; kata2 itu kugambar berwarna, menurut tafsiranku sendiri, kemudian kulekatkan pada dinding sebagai sembojan, mendjadi: «segala setan meludah.» Aku berusia 8 atau 9 tahun ketika itu, ketika masih di Zandbaai (Teluk Pasir), dipantai selatan daerah Priangan. Batjaanku ialah roman2 Walter Scott dan Justus van Maurik, jang diberikan oleh bapakku atau kuambil sendiri dari peti, djika ia sedang kepaberik pada siang hari. Ia selalu memberi kebebasan padaku dalam hal batjaan, hal mana kadang2 membuat kenalannja djadi djengkel; bapakku sama sekali tidak ma- rah ketika aku membatja Decamerone pada usia tiga belas tahun, walaupun buku itu harus kuserahkan dulu padanja. Tapi dulu ketika masih di Teluk Pasir, aku masih botja tjilik; karena aku selalu merengek minta buku, ia beri Van Maurik dan Walter Scott (ia beli karangan lengkap dari Walter Scott, kuduga karena ingin mendapat kedua reproduksi lukisan Maris dan Mauve, jang diberikan sebagai hadiah) tapi pada kedua pengarang itu bapak mela- kukan kontrole djuga. Dari Van Maurik misalnja tak boleh kubatja buku Amsterdam bij Dag en Nacht. Sedang 3 dari ke-15 buku Walter Scott «kelak» baru boleh kubatja, jaitu Het Hart van Mid-Lothian, Het Kasteel Kenilworth dan Het Schoone Meisje van Perth. Kekuatirannja mengheran- kan aku, sebab kalau ia sedang dipaberik bagian2 ini kuba­tja djuga, dan aku tak mengerti apa sadja jang perlu diku- atirkan disana. Kukira ia hanja ingin «melarang» sadja seperti kebiasaan orang dewasa. Kemudian aku djuga sering

heran melihat kctololan orang dewasa itu, misalnja ketika aku diudji oleh kenalan bapak jang menjalahkan bapak karena telah memberi buku De Schaapherder karangan Olt- mans kepadaku, sedang mereka merasa bahwa aku belum tjukup umur untuk buku demikian. Mereka ingin tahu dengan tjara jang litjik apa kuketahui maksud «Perrol met de rode Hand» datang dikamar tidur Maria. Tentu sulit menerangkan pada mereka dengan tjara halus, bahwa hal itu tidak gelap bagiku.

Antara membatja buku2 Van Maurik dan Walter Scott, aku membatja buku anak2 jang sengadja dipesan untuk aku; harus kuakui dengan nikmat jang sama pula. Tapi peti buku bapak selalu dekat, dan bukan salahku kalau aku tak mendjumpai buku2 jang sesuai buat memumikan dji- waku. Rom an2 karangan Marie Corelli, jang sering diper- tjakapkan oleh orang2 dewasa, tak pernah menarik hatiku, dulu tidak, ketika berusia 9 th, sekarangpun tidak. Ini salah satu sifat jang kubanggakan; penolakan djiwaku setjara naluri terhadap segala batjaan tingkat kotak-batjaan. De- mikianlah aku tak sampai membatja lebih dari 3 lembar dalam sebuah buku milik bapak ketika itu: Ecu Droom (kukira waktu itu belum ditambahkan perkataan in Tosari) karangan Henri Borel. Bentuknja empat segi, agaknja tje- takan pertama, pakai gambar sekali, gambar jang agak kabur dari seorang pemuda jang berambut pendek dan kuping jang mcngembang kiri-kanan. Ketika itu aku ber­usia 9 atau 10 tahun dan pendapatku ketika itu tentu belum dengan kesedaran, tapi kuketahui dengan pasti bahwa dju­ga ketika itu aku sudah tidak mengharapkan apa2 dari mimpi pemuda jang kedjelekan rupanja terlalu biasa. K u­kira karena rupanja terlalu mirip pada rupa dokter hewan jang pernah mengundjungi desa kami, sehingga tak masuk akalku bahwa seorang seperti itu bisa menulis buku...

Sebuah buku jang mcngerikan bagi saja, terutama ka­rena gambar2nja, ialah Het Vergaan der Wereld karangan Flammarion. Kukira buku itu tak djadi kubatja; hanja tu-

lisan2 dibawah gambar2 sadja, tapipun itu sangat mengeri- kan. Kelihatan komet jang mengantjam bumi, dalam ben­tuk perempuan telandjang berambut perang, tepat sedang hendak menerkam seorang perempuan telandjang beram­but hitam, jang sedang tertidur diatas sebuah bundaran bum i.. .W aktu itu kebetulan masa komet Hailey, lagi mu- sim tidak seperti semestinja, laut bertingkah, dan hantjur- nja bumi dipertjakapkan oleh orang-tuaku kalau sedang makan angin ditepi pantai. Ketakutanku diperhebat oleh buku Flammarion: barang tentu dan demikianlah seperti jang dilukiskan berturut, bumi ini akan hantjur.

Ada gambar lain jang menjiksa pikiranku, mirip tjerita iblis jang meludah dari surat-kabar itu: seorang Iaki2,kepala gundul ditjukur, mengulurkan tangannja jang kurus ber-djari2 bengkok-peot mengerikan, dan dibawahnja ter- tulis: «De letter doodt!» Kubatja itu seperti «De letter dood»: hurufjang terhput rahasia, mengantjam, jang hendak kuta- njakan pada bapak, tapi tak djadi, karena takut aku keta- huan suka membongkar peti bukunja. Penemuan jang isti- mewa bagiku dalam dunia buku ialah nomor2 pertama dari seri De Wilsons; buku2 besar dan tipis, selalu 32 lem- bar (menurut penjelidikanku) berkulit jang berwarna-war- ni, sedang kedua tokoh pahlawannja selalu berwarna biru, titelnja tetap dua dan selalu lain isinja dari buku2 biasa. De Wilsons en het Geheim van Red Cock atau (dalam huruf ketjil) Het Spook van de Black H ills; De Wilsons en de Moord te Harlem Heights atau De Krankzinnige Dokter. Djuga disini aku diberikan kebebasan walaupun bapak sama sekali tak suka membatja tjerita detektip. Pernah ia membatja buku Wilson itu (djusteru Het Spook van de Black Hills) lalu ia kembalikan padaku sambil menarik nafas dan berkata: «Bagaimana kau bisa batja2 buku gituan ?» Dan aku, ketika kutjoba membatja Corelli, jang katanja bagus sekali - dengan seizinnja pula, hal mana berarti aku dianggap sungguh2 olehnja - aku heran bagaimana orang dewasa sanggup membatja buku seperti itu. Sebenamja

manusia itu hanja sedikit bisa berobah. Sebab sekarangpun pendirianku masih demikian. Sekarangpun aku masih suka membatja seri Wilson itu seandainja dapat; aku jang ke­tika masih kanak2 pertjaja - dengan melupakan Aimard, Karl May, De Woudloper dan De Zouaaf van Malakoff - bahwa buku, kalau hendak disebut sempuma, tak boleh lebih dari 32 lembar, format kwarto bersampul dengan warna jang menjolok mata. Warna seri baru sudah agak halus; lebih banjak warna merah-djambu dan biru muda dan tjerita2nja tidak lagi begitu menarik. Dalam seri lama lebih banjak warna merah-djingga dankuning, dihputi war­na tjoklat tipis, berkilat dan tua kelihatannja, menimbul- kan perasaan se-akan2 buku itu didjumpai disuatu sudut gelap dan penuh rahasia. Jang paling baik ialah tjerita De Wilsons en het Huis zonder Dear in Baxterstreet (titelnja tidak termasuk jang terbaik). Tjerita2 jang kubatja sesudah itu, tjerita2 jang mendesak De Wilsons, jaitu Nick Carter, Buffalo Bill dan Lord Lister, selalu mengetjewakan bagiku. Gandjil, dewasa ini tentu dapat didjelaskan dengan teori Freud, bagiku ada tali halus jang menghubungkan seri lama itu dengan tjerita seperti Jan Smees dari Justus van Maurik, dan kemudian dengan buku Couperus, misalnja Van Oude Menschen, de Dingen die voorbijgaan. Tapi barangkali sernua ini hanja disebabkan bau kertasnja.

9 September 1928

Usahaku tak berapa berhasil ketika kutjoba menemui se­suatu diluar sastera Perantjis. Buku jang paling baik jang kubatja belakangan ini ialah Van Oude Menschen, de Dingen die Voorbijgaan. Dan sesudah itu barangkali dapat kusebut buku ketjil jang telah mendapat sukses besar: Overpein- zingen van een Bramenzoeker. Buku demikian sudah barang tentu terlampau tinggi dihargai karena agaknja ditulis un­tuk dibatja malam2 sambil berdiang, walaupun harus dia-

kui bahwa buku itu ditulis dengan baik dan bcrisi kemanu-siaan jang djudjur dan hangat. Baiknja buku demikian di- batja pada usia tertentu, kelak, kalau kita tak mcngharap- kan apa2 lagi dari hidup ini; kesabaran jang diadjarkannja dapat mendjadi peladjaran, tapi kalau sebagian besar dari hidup kita sendiri sudah lampau. Tapi buku itu hendaknja tiga puluh kali lebih tebal dari jang sekarang. Semasa di Gistoux buku itu menjedarkan aku bahwa bunga dan daun- an, air, buah anggur, kelintji, andjing dan jang lain2 itu, tak mendjadi soal bagiku, bahwa ada nilai2 lain dalam hi­dup ini dan bahwa semua hal2 tadi berguna tapi hanja bagi orang jang tak dapat mengerti nilai2 tersebut, jang harus mengisi keadaannja jang tak berdaja atau istirahatnja jang dipaksakan keadaan dengan semua hal itu. Kalau Tolstoi dan Dostojevsky dipertjakapkan dalam buku itu, kita men- dapat perasaan jang itu djuga: bahwa pada hakekatnja hanja dua djenis sastera, djenis jang menenangkan perasaan (atau memelihara ketengan jang sudah ditjapai) dan djenis jang menggelisahkan (atau selalu menghidupkan kegeli- sahan itu). Sjukurlah, bahwa aku sendiri masih merasa ter- tarik oleh djenis jang kedua itu; artinja, djenis kedua itu bagiku masili merupakan kebutuhan.

Malraux berkata padaku tentang Omar Khayyam : «Dja- ngan silap, djangan pertjaja bahwa ia menjerah. Kliayyam adalah seorang pemberontak jang tak dapat mendjadi ma­nusia jang sanggup berbuat, sebab kalau tidak demikian ia barangkali sudah berbuat seperti kepala kaum Hasjisjiin. Dia bukan seorang epikuris; ia selalu berpendapat bahwa dunia ini salah susunannja.»

Kepassipan jang demikian sedjenak dielus dalam diriku oleh buku Niels Lylme; bahkan ada saat aku menganggap- nia buku besar. Aku tak pertjaja halnja demikian lagi; belum berselang dua bulan dari buku itu padaku tersisa hanja suasana jang manis dan lemah: feuillc-morte en gris perle. Simpatik, memang, tapi lcmah;bakat buat sadjak2 halus tapi manis. Ada suatu keistimewaan dalam rentjana

roman ini: tiap bab baru selalu dimulai setjara besar-besaran dan achirnja mendjadi sebuah biografie jang lengkap. Ka- tanja: kalau bukan karena Jacobson Rilke tak akan me­nulis Malte Lanrids Brigge, dan aku sendiri tak akan sedihkalau scandainja buku itu tidak ditulis tadinja. Dibandingdengan buku itu Niels Lyhne scpuluh kali lebih kuhargai, karena bagaimanapun djuga Niels Lyhne tidak tawar; tak merengek2 seperti djanda tua seperti Brigge, memang ber- bau sastera, tapi tidak berlebih-lebihan, tidak mendjadi sas­tera resmi. «Tapi Rilke djudjur, terlalu djudjur hingga...» Mungkin demikian halnja; ia tertimbun oleh sastera. Da- lam Brigge selalu muntjul bagian2 jang mirip pada sadjak- dalam-prosa, jang palsu sama sekali, dilihat dari segi kema- nusiaan jang sungguh2; disengadja dan dibunga-bungai. Memang ada djuga orang tjerdik jang dapat tenggelam dalam suasana matjam itu. Mereka benar; sedang aku bagi diriku hanja dapat mcmastikan bahwa aku tak mengiri pada mereka, dan bahwa aku pun cak dapat mcnjcsali diriku ka­rena hanja mcngalami malaise perasaan tak puas kalau se­dang membatja buku demikian. Buku lain, jang mendapat sukses besar di Inggeris dan Amerika (tentu djuga di N e­derland) : The Bridge of San Luis Rey oleh Thornton Wilder. Ditulis sangat baik, selera kelas satu, terutama kalau diingat pcnuJisnja adnlal) seorang Am erika. W ild er ini sahabat

karib dari petimlju Gelie T unney (jang suka membatja danterutama buku2 jang bcrnilai sastera), mendjadi peminpin- nja discluruh Italia, dan tahu scluruli kcadaan sastera mo­dern Eropah, dsb. Hal ini memberi banjak pengertian pada kita, dan memang The Bridge sempurna bentuknja menurut tanggapan Eropah, djelas dirasakan, dipikirkan, dinjatakan, lengkap sembari scderhana. Teknik Wilder mengingatkan kita pada Merimee. Aku senang membatja bukunja; lalu buku itu kusingkirkan dengan tiada perasaan berdosa se- dikitpun.

Kuhadiahkan lantas pada A. R . H. jang sesudah mem- batjanja dengan tenang berkata: «Tapi Wilder djauh lebih

baik dari Gide.» Dengan segala sifat2 kelebihannja maka buku Wilder adalah kerdja anak sekolah jang utama djika dibanding dengan buku Gide; ia sepantasnja mendapat sukses dalam terdjemahan bahasa Belanda.

Direktur sebuah penerbit Belanda jang besar, importeur buku2 Perantjis kenegeri Belanda, chusus buat terdjemah­an2, berkata pada G r.: «Aku tidak lagi akan menjuruli terdjemahkan buku2 Perantjis, bukan karena aku sendiri tak suka, djusteru sebaliknja, tapi djika aku mendjual $ atau 6 terdjemahan dari bahasa Perantjis, maka aku dapat men­djual 50 atau 60 terdjemahan dari bahasa Djerman, dan 250 atau 300 dari bahasa Inggeris.» Sungguh suatu gedjala jang menarik perhatian. Kesukaan rata2 orang Belanda jang ti­dak sanggup membatja bahasa asing, ialah buku2 seperti Vlammende Jeugd, Als de Winter komt, Sorrell en Zoon, tjerita2 detektip jang menawan hati, jang begitu menarik, «tapi terlalu berbelit dalam bahasa aslinja». Dari kesukaan akan terdjemahan seperti ini dapatlah ditarik kesimpulan ten­tang taraf roman Belanda asli.

Dialog2 dalam roman Belanda hampir dengan tiada ke- ketjualian berupa dialog2 orang lata, tukang2 kumango atau guru2 bantu. (Golongan terachir ini telah membatja achli2 filsafat dan telah mengundjungi tjeramah2 dan pa- meran2.) Orang Belanda itu djuga gampang mengenai diri kembali dalam roman2 asli jang berlangsung dizaman 1am- pau. Telah kutjoba membatja ulang Amazone karangan Vosmaer, sebuah buku halus, puntjak kebudajaan dan ke- beranian Belanda dizamannja. Buku itu mirip pada buku penuntun buat musium2 Italia, dirusak pula oleh sebuah intrise jang tolol sekali. Sungguh batjaan jang menimbul- kan perasaan pahit, kalau kita masih punja illusi dan me- mikirkan masa depan...(Lagi orang seperti tuan Robbers itu memang masih hidup kalau romannja telah habis). Ada beberapa kata Perantjis jang dapat dipergunakan buat men- djelaskan hal pengarang2 Belanda, misalnja kata jan g tak ada tolok badingannja jaitu: «gatisme». Tidak berarti busuk

seluruhnja; tapi sedang membusuk. Ada pula gatisme jang akuut, djuga pada orang2 muda, seperti terlihat dalam buku ketjil De Ravenzwarte, karangan Anton van Duinkerken, berisi tjatatan2 jang tepat dari omongan seorang pemuda kristen jang sangat segar dan murni pikirannja, jang me- njukai anak2 muda dan tidak suka pada «buku2». Sahabat karib dari anak itu, jang barangkali harus kita pandang pelukisan Van Duinkerken sendiri, kadang2 mau memapar- kan pengetahuannja dari buku2, tapi anak itu lalu berkata: «Ah, kau ada-ada sadja! itu salah sama sekali, karena tuhan Jesus telah berkata...» dsb.-inilah hadiah seorang pengarang muda Belanda kepada publiknja, dan, lutjunja ialah bahwa ia tak akan ketjewa. Di Holland orang akan berkata ten­tang buku seperti itu «betapa segar dan mudanja!» dan bukan: «bagaimana orang sampai bisa menulis jang de­m ikian!» lalu orang sudah dapat membajangkan arti Van Duinkerken dimasa depan. Sebenamja tuan itu, pun de­ngan tak menulis De Ravenzwarte, telah memberi petun- djuk jang djelas tentang kesanggupan2nja (djuga dimasa depan), ketika ia dalam kumpulan sadjaknja jang pertama, Onder Gods ogen, memuat terdjemahan jang sangat baik dari sadjak Chesterton, sebab terdjemahan jang sangat baik itulah djusteru perusak seluruh kumpulan itu.

Lalu satu kesilapan lagi: Christiaan Wahnschaffe, tapi batjaan ini berguna sekali bagiku. Buku ini adalah tjontoh jang paling baik dari roman jang gagal. Pengarang Wasser- mann hendak memperlihatkan apa jang bisa terdjadi dalam sebuah roman besar, jang berlangsimg dikota besar; ia ber- hasil mendirikan sebuah musium penuh kedangkalan2 dan omong kosong. Djika Spengler berkata «seni dibunuh oleh kota besar» dan A . R . H. bahwa «seniman djadi apek ka­rena itu pula!» maka utjapan ini mengena pada buku2 se­perti Wahnschaffe dan pengarang2 seperti Wassermann. Van L. mentjeritakan sebuah anekdote padakujang rupanja djuga ditjatat oleh Wassermann; ketika dalam perdjalanan di Amerika rupanja seorang wanita Amerika berkata pa-

danja: «Tuan bodoh tidak membuatnja djadi seratus tjerita pendek! bajarannja djauh lebih tinggi.» Kelutjuan hal itu ialah bahwa Wassermann sendiri menganggap ia telah me- nemukan kebodohan pada wanita itu.

Sajang, tapi djusteru kaum wanitalah, jang tidak tahu apa2, kadang2 menundjukkan ketjerdikan dalam hal2 de­mikian. Seorang wanita jang paling bodoh dalam hal sas­tera, jakni ibuku, pernah berkata padaku, ketika aku sedang mem-balik2 sebuah prosa lyris dari seorang pengarang B e­landa: «Aku tak mengerti maksudnja; kurasa, barangkali itu adalah sematjam Christian science.» Tanpa lagak apa2 ibuku mengutjapkan hal jang padaku sudah sering terpikir kalau sedang membatja sastera tinggi kita. Salahlah berpi- kir bahwa hal itu sebenarnja dapat dikatakan dengan kata2 lain. Pengarang2 itu sendirilah jang tak akan berani menga- takannja dengan kata2 lain; ada orang jang tidak berani men- tjukur djenggotnja karena takut akan kehilangan «muka».

Aku kembali pada daftar kesilapan2 jang kuperbuat... Tidak. Tjape, ketjewa dan putus asa, aku tak berani lagi membatja buku Dreiser, diterdjemahkan oleh W erumeus Buning, jang diberikan orang padaku, karena katanja «setidak-tidaknja sama baiknja dengan Dostojevsky». Lagi aku selalu terkedjut kalau orang mem-banding2kan dengan Dostojevsky; seorang Dostojevsky bertjorak Am erika sama seramnja dengan seorang Voltaire bangsa Eskimo. Aku bertahan pada anggapan bahwa itu tak benar, tanpa mengudji kebenaran utjapan orang tentang kelebihan2 Dreiser, pun tidak hendak menjatakan sesuatu pendapat lain. Lagi aku lambat-laun makin merasa bahwa sastera Inggeris tidak banjak dapat memberi apa jang kuperlukan. Kalau tidak Shakespeare, lebih baik Conan Doyle, sedang antaranja tak ada apa2. Hari ini dengan rasa senang aku kembali pada Stendhal, tak ubah seorang tua jang membatja ulang sesuatu buku sekadar untuk kesenangan hatinja.

Orang tua jang takut membiarkan anaknja main seldadu timah (karena pendapat tolol: barang siapa suka main sel­dadu akan mendjadi pembunuh terbesar) sebaiknja harus djuga mentjegali supaja «buku anak-anak»jang berisi tjerita pahlawan, perdjalanan kekutub, balapan mobil dan kapal terbang djangan sampai djatuh ditangan mereka. Semasa kanak aku bergaul dengan pahlawan2 jang lebih hidup dari pahlawan2 dalam Ilias, dan jang antaranja demikian kuat mempengaruhi djiwa saja, hingga saja kadang2 berhari-hari hidup dalam alam impian, tanpa mengetahui apa mereka itu saja sendiri atau apakah saja hanja budjangnja. Kalau ada orang dulu mengatakan pada saja bahwa Sherlock Holmes atau d’Artagnan sebebcnarnja «tidak ada» atau ha­nja pahlawan «dua dimensi», maka orang itu pasti kuang- gap orang goblok. Saja telah pernah menulis tentang batja­an anak-anak dan disini saja hanja akan mentjatat penang- galan pcrgaulanku dengan pahlawan.

Pada usia 7 sampai 8 tahun: pertemuan pertama dengan pelaut; pemuda2 nekat jang achirnja mendjadi perwira:

Jack Rnstig dan Pieter Simpel karangan Maryat. Lalu saja ingin mendjadi perwira laut; bapak berkata: - Kau selalu mabuk laut. - Kemudian datanglah djago2 prairie: De Wondloper karangan Gabriel Ferry; pahlawan2nja bernama Bois-Rose, Jose, Fabian, bandit Cuchillo dan Baraja. Dalam buku ini puak Comanch adalah simpatik sedang puak Apach djahat, bertentangan sekali dengan pandangan Karl M ay, kemudian, jang melukiskan Winnetou, kepala puak Apach, sebagai manusia jang paling ksatria dibumi dan karenanja tepat pula mendjadi saudara kandung bagi Old Shatterhand.

Dari usia 9 sampai 1 1 : Seldadu2 gagah berani dari perang Krim, Zonaaf van Malakoff karangan Jan Dolleman. Zou- aaf Perantjis ini kebetulan sadja mendjumpai seorang sa­habat Rusia jang menjelamatkannja dari peloton penembak pada detik jang berbahaja sekali. Kemudian saja ketahui bahwa buku itu adalah karangan pengarang Perantjis, jaitu

Louis Boussenard, tapi orang Belanda jang m enjadurnja ’ bemama Hans Verwey, menjebut dirinja sebagai penga rangnja. Buku2 tentang barisan zouaaf itu sedjalan dcngaJ1 buku2 tentang pahlawan2 boer dalam perang A f r i k a - S e

latan: Pieter Marits. Lalu pahlawan2 j ang lebih ketjil artinj a • De Held van Spionkop, De Rapportrijder. Mereka ini ken111 dian terdesak sedikit oleh ksatria2 Zaman Pertengahan (^a lam badju zirah pakaipedang) jang kudjumpai dalam b u k 11 Walter Scott: diatas sekali Ivanhoe, kemudian dilanipal11 pula oleh De Schaapherder karangan Oltmans. Pcniuda2 sekarang tidak membatja buku2 ini lagi. Saja s e n d i r l

sudah terlalu «modern» buat buku2 Jules Verne; andaikata dalam bukunja tak begitu banjak terdapat gambar2 sudah tentu buku2 itu tak akan menarik hatiku lagi tadinja. M e" mang saja menikmati De Reis om de Wereld in 80 dag£, l > tapi Met een kwartje de Wereld rond karangan Paul Iv o y lima kali lebih bagus kurasa: memang Lavarede palilav/a11 jang lebih besar dari Phileas Fogg (bahkan lebih besar dari Passepartout). - Sebagai intermesso dalam barisan p a h ia ' wan itu ialah Een Schooljongen karangan Farrar, b u k u anak-anak jang paling baik jang pernah kubatja. B u ku i tU lebih mengharukan, lebih «benan>, karena mempunjai hu* bungan jang lebih dekat dengan hidupku sendiri. T ap i i tu pun masih romantis, penuh adjaran susila: kematian E d w i11 Russell, Eric jang mendjadi rusak achlaknja, waktu itu tak mungkin dirasakan sebagai semestinja. Saja pim ingin m a- suk sekolah ber-asrama, lupa bahwa sekolah ber-asrama- di Batavia ketika itu penuh anak orang Tionghoa ja n g kaja-raja.

Detektip jang kukenal: Wilson tua, tapi terutama W il" son muda, sesudah itu Sherlock Holmes, m enim bulkan keinginan dalam hatiku untuk mendjadi detektip (men- djadi pemburu prairie, zouaaf, boer Transvaal dan ksatria tak saja ingini, barangkali dihalangi oleh sematjam pikiran sehat). Bapak berkata: - Kau tak berani melihat darah setetes. -Tapi kaum detektip itu terus memikat hatiku dan

tanpa menjadari hal itu, mereka j pentjuri-Q-entleman: disamping r „ i SU berobah djadi (bukan Lord Lister, tapi peniain R a ® esnang). Arscnc Lupin muntjul bcrsanaaR! ' kar“ 8aI' Hor' D oyle, pengarang Holmes, sementara itu ° C pahlawan bar.,: kolonel-pasulan “ u leon, bemama G & ard . Old Shatterl, ^ T 'H a h djazirah Balkan dengan n ^

tapi kurang menarik, walaupun keberaniannja tidak ber-kurang. J

Dari usia 12 sampai 15 : De Drie Musketiers karangan Dumas mengatasi segala-galanja; pedang d’Artagnan men- djauhkan segala jan g terdahulu itu: bajonet Dolleman, senapang perak dan bedil pembunuh beruang Old Shatter- hand, pedang Gerard dan Richard Leeuwenhart dan Jan van Schaffelaar. d Artagnan, Athos, Porthos dan Aramis sama artinja bagi saja seperti arti pahlawan2 dalam Ilias bagi bangsa Junani dulu, tjontoh dan puisi sekali gus, pendeknja sebuah myte. Kutjarilah pahlawan anggar lain, tapi saja se­lalu ketjewa, sampai kudjumpai Cyrano. Namun demiki­an, sekalipun ia memikat hatiku dan saja terkadang merasa demikianlah halnja: Cyrano tak pernah sampai menjaingi d’Artagnan. C yrano «terlalu lain» dan kelainannja ini, re- torik watak, berakibat seperti suara musik trompet padaku.

Kaum musketir itu, heran, kemudian digantikan oleh mahasiswa; kubatjalah Kippeveer dan kenakalan mahasis- w a itu merasuk dalam dunia pahlawanku dengan tiada kusedari. M ereka tergolong djenis kedua, pahlawan ersatz, dan kemudian m ereka ini digantikan pula oleh kaum bo- heme: Boheme karangan M urger dan Trilby karangan D u M aurier. Batjaan ini lebih berbahaja dari jang sebelumnja, karena ternjata hal itu dapat kupraktekkan. Mahasiswa re- volusioner dalam Les Miserables karangan H ugo, jan g lebih menarik hatiku dari pada Jean Valjean, barangkali m eru­pakan rantai penghubung antara kaum musketir dan dunia pahlawan baru itu.

Dari usia 16 sampai 18 tjinta saja bcralih kcdjurusan la in : Jacques Perk, Max Havelaar, Tamalone karangan Van Schendel, Kloos, Edgar Poe, jang bagiku bukan lagi hanja merupakan «guru Sherlock Holmes». Tapi saja menangis ketika membatja buku Marguerite Gautier dan walaupun Armand-nja bukan seorang pahlawan dalam pandanganku, ia sendiri mendjadi perlambang dari...wanita idam-idam- anku dalam dunia kepahlawanan Eropahku jan g terbajang dalam pikiran; Dumas fils merupakan landjutan M urger bagiku: andai kata saja mendjadi sematjam R odolphe, maka Marguerite merupakan M im i jang lebih djelas dan lebih menarik. Tapi djuga ini bukan sastra, tapi hidup itu sendiri, sebanjak-banjaknja. Tapi scdjalan dengan itu pula saja djuga tertarik oleh kaum parlente jang berkelahi hasil karangan Jeffery Franol, oleh gentlemen jang merebut w a­nita jang paling tjantik dari tangan gentlemen jan g berhati busuk, impian anak sekolah Inggeris jang ash: The Broad Highway, The Amateur Gentleman, penjusul Rodney Stone karangan Conan Doyle, jang telah kunikmati pada usia10 tahun, tapi jang ketika itu belum kugolongkan ke- dalam dunia jang istimewa diatas.

Kapan djenis pahlawan pertama lenjap dari pikiranku? Barangkali sekarang pun belum. Balzac dan Stendhal, Ste­venson dan Conrad, Sawinkov dan M alraux, apakah m e­reka ini bukan penjambung «djenis pertama» itu, akan te­tapi dalam bentuk jang lebih dipertanggung-djawabkan dari sudut psychologis dan jang lebih menggambarkan si- fat manusia jang sesungguhnja dengan tjara jan g djauh lebih halus? Dan berkenaan dengan djenis kedua: pada usia 23 tahun, ketika sudah di Eropah, Les Civilises karang­an Claude Farrere merupakan varian jang baru dari djenis itu: saja lalu menemukan cynisme dalam ketidak-atjuhan kaum mahasiswa dan boheme sesudah menganggapnja se­matjam kegagahan dulu. Barnabooth, jang dapat dikatakan mendesak Les Civilises, merupakan penghalusan dan ko- reksi jang pertama, «tingkatan lebih tinggi» dalam djenis

itu; Jean dc Tinan dan Le Petit Ami karangan Leautaud menggantikan Dumas fils dan Murger dengan tjara jang sama. Achirnja, manusia itu tidak banjak dapat berobah, kalaupun berobah.. .

Orang jang sungguh2 hendak djadi «djuru-penerangan» ke- susasteraan, sungguh2 mengingat kepcntingan «pembatja», agaknja terlebih dahulu liarus membagi batjaan jang hen- dak dibitjarakan atas beberapa golongan, niisalnja:

A buat orang jang baru mulai dan orang jang membatja sekadar mengikuti apa jang terdjadi dilapangan kesu­sasteraan;

B buat jang lebih madju «les esprits a moitie chemin» dan jang tidak akan madju2, sekalipun orang itu ber- daja-upaja misalnja;

C buat pembatja jang disebut berkebudajaan, tapi bersifat menerima sadja, artinja, orang jang ingin menikmati atau menarik sematjam peladjaran dari segala aliran, tanpa memilih pihak;

D buat pembatja jang sadar, artinja, jang selalu mcmpu- njai pendapat sendiri, pro atau contra, dan mentjari per- teinuan jang akrab dalam setiap buku.

Tentu sadja mungkin terdjadi pertemuan setjara kebe- tulan antara djiwa sebuah buku (jaitu pengutjapan djiwa seorang pengarang) dan pembatja (jaitu pengalaman dan dajarasa seseorang), lepas dari tjara2 penerangan. Tapi mes- kipun demikian, djadi dengan berpegang seteguh-teguhnja pada pembagian golongan jang dibuatnja, kritikus sastera

itu tak perlu kuatir ia akan mcngurangi semangat mem­batja. Sebab ada orang jang bangga termasuk golongan A dan berkata pada tingkatan itu: «Saja batja apa jang saja sukai!» - seperti djuga ada orang jang dengan senang memasukkan diri dalam golongan B, djenis pembatja jang dengan rasa puas suka menjatakan tentang dirinja: «Saja hanja peminat sadja!» dsb.

T E N T A N G A U T O B I O G R A F I (Riwajat diri sendiri)

Bila dipikirkan lebih djauh, pada hemat saja, akan njata bahwa seorang pengarang tak dapat membuat potretnja sendiri dalam sebuah autobiografi. Artinja sebuah potret sendiri jang dapat dianggap pelukisan jang lengkap dan djudjur dari «aku»-nja. «Aku» itu tergantung dari hal2 jan g kebetulan, terdiri dari urutan «keadaan» jang tidak atau tak dapat disebut tersusun, melainkan «aku» itu hanja dari luar sadja kelihatan sebagai tokoh. Penulis riwajat diri sendiri harus menggambarkan sebuah tokoh, kalau ia mentjeri- takan hidupnja. Tokoh ini selalu ditentukan oleh peman- dangan penulis riwajat diri sendiri terhadapnja, jang berarti ditentukan oleh masa kini-nja. Dan masa kini itu sendiri - dan «aku»-nja - sama sekali tak dapat dilukiskan dengan tjara jang serupa.

«Aku» dari masa lalu itu gampang, dan kadang2 dengan sendirinja, tampak sebagai tokoh; «aku» masa kini hanja mungkin dilukiskan dengan tjara jang serupa itu kalau di- lakukan perobahan seperti oleh penulis roman, djadi m ung­kin tidak djudjur, djika pengarangnja menjatakan hendak melukiskan diri menurut keadaan jang sebenamja. Per- tentangan masa kini dan masa lalu, pemalsuan jan g perlu dilakukan pada keduanja, pertjampuran jang tak dapat di- tjegah dari kedua pemalsuan itu, memberikan gambaran jang tidak tepat, bagaimanapun djuga, walaupun ini tidak perlu dihubungkan dengan soal djudjur atau tidak djudjur.

Artinja kalau pcngarangnja tjukup mempunjai kesanggup- an membeda-bedakan dan zelfkritiek, dan bukan seorang exhibisionis atau tukang chajal. Tentu semua ini tidak ada sangkutpautnja dengan gambaran jang diperoleh oleh pem­batja sendiri dari buku itu; pembatja selalu memperoleh gambarannja sendiri dari «aku»-nja tiap pengarang, ja, dari segala sesuatu: dari pelukisan pemandangan, iramanja dan pilihan kata2, titik-koma-nja serta pililian nama2 orang.

Penulis riwajat sendiri itu dapat dianggap djudjur sekali, djuga djika ia tak memberikan gambaran diri sendiri. Da­lam kedjudjuran seperti ini termasuk sudah: mendiamkan atau menjarukan soal2 tjabang (misalnja tentang orang ke- tiga) jang tidak besar artinja dalam keseluruhan riwajat diri sendiri itu. Djika ia menjatakan hendak menuliskan segala- galanja djuga dilapangan ini, maka ia tak lagi akan meri- wajatkan hidup dirinja sendiri akan tetapi riwajat hidup segala kenalannja, artinja: djika ia mempunjai 10 orang ke- nalan, maka ia harus menulis sepuluh buku pula.

T E N T A N G R A G A M D A L A M K E S U S A S T E R A A N

Kritik kerdil jang selalu bersikap seolah-olah menghadapi udjian, terutama berusaha mem-bagi2 kesusasteraan itu da­lam berbagai djenis: ini roman betul, ini setengah-setcngah, ini sebuah tjerita tapi itu sebenarnja sebuah skets, jang itu sebuah tjatatan peristiwa, dan ini sebuah novel. Suatu tugas jang tak habis-habisnja bagi para guru-bantu kesusasteraan, karena pada pekerdjaan ini mereka mendapat perasaan pula seakan-akan telah berhasil menempuh udjian, soal demi soal, dengan gemilang, sedang pengudji ialah mereka sen­diri.

Sekumpulan tjerita, dikumpul oleh Mavsman dan saja, telah memberi kesempatan pula hampir pada setiap djuru ulas untuk menempuh udjian itu: bukankah beberapa tjeri­ta diantaranja sebenarnja bukan tjerita, melainkan «prosa jang liris», atau «monolog», atau «kutipan dari tjatatan harian», atau «kenang-kenangan», atau jang lain? Beberapa abad sedjarah kesusasteraan rupanja belum tjukup men- djadi peladjaran bagi mereka ini dan andai kata mereka ini kebetulan tidak diadjarkan disekolah bahwa Sara Burger- hart adalah sebuah roman-dalam-surat, maka mereka ini boleh djadi akan mengatakan bahwa buku itu hanjalah se­buah buku berisi surat2, djadinja bukan roman. Mereka dapat pula kita bantu: Eschylus bukanlah seorang penga­rang tragedi, tapi seorang pengarang kata2 buat opera- comique, karena: bukankah kor2 dalam sandiwaranja di-

njanjikan? Gil Bias adalah sebuah Baedeker buat negeri Spanjol; Wahlverwandtschafteii adalah essay berbentuk ro­man penuh pertjakapan2 jang tidak pantas, mirip buku2 zaman sekarang, jang ditakar menurut ukuran seperti ini; Edgar Poe harus pulalah dianggap tak pernah menulis «tales» (Ingg., berarti tjerita2) sebab buah pena seperti The Pit and the Pendulum dan The tell-tale Heart hanjalah mono­log jang bersifat menelaah, djangan pula dipikirkan hal «tjerita» seperti The Dofiiain o f Arnheim, The Colloquy of Monos and Una, dsb.; adalah suatu kesilapan menjebut kum­pulan Maupassant «kumpulan tjerita», karena bukankah di- dalamnja terdapat pula tjerita2 gandjil jang berupa tjatatan harian, atau tjerita2 jang menundjukkan penjakit djiwa se­perti Stir I’Eau dan Lc Horla; pengarang modern seperti Joyce, Larbaud, Virginia W oolf, Huxley, Faulkner, He­mingway, dapatlah didjatulii hukuman, karena tjara2 mereka menulis melanggar kebiasaan sehingga tak dapat lagi disebut «prosa bcrtjerita». Bagaimana harus disebut Lc Neveu de Rameau? bukan sandiwara, bukan tjerita. Apa sebenamja jang dibcrikan Rabelais, dan apa jang diberikan Sterne? dan apa nama jang tepat jang dapat diberikan pada Pilgrim’s Progress karangan Bunyan? dan apakah Marco Polo harus dianggap seorang perantau atau djusteru seorang pengarang roman? sebab pentjari2 jang radjin ini sering pula memperlihatkan kelebihannja: djika dalam keadaan biasa mereka berkata bahwa essay bukan roman, dalam keadaan mereka mentjapai puntjak kelebihannja, maka mereka ini pandai pula menjatakan bahwa suatu roman dapat berupa essay. Teringatlah kita pada utjapan Malherbe: - «Eh bicn, si ce n’est pas un sonnet, monsieur, e’est une sonnettc!»

P U N T JA K - P U N T J A K S E N I R O M A N P O L IT IK

Martin Luis Guzman : «In dc Schaduw van den Leiden, ditcrdjemahkan oleh J . Slaiicrhoff dan dr G . J . Geers (1937)

Seperti diketahui sastra menggantikan hidup dalam arti tertentu; dan mereka jang membatja roman politik di- masa «jang hebat» ini sebagai kewadjiban, sebagai peng- ganti tugas turut berpolitik, dapat dipandang orang arif. Karena banjaknja roman politik, mereka dapat melakukan pilihan jang luas sekah. Sementara itu makin banjak penga­rang dan makin banj ak pula penerbit j ang mau menerbitkan karangan2 jang berteriak-teriak dan berhantam-hantam- an. Zaman sekarang memang memberi lebih dari tjukup bahan, terutama dilapangan pohtik, sehingga beribu pena agaknja tak akan sanggup mendjadikannja «roman».

Rom an pohtik, jang hampir tiada ketjualinja berisi pem- bunuhan dan permusuhan, nampaknja gedjala chas zaman kita ini. Rom an pengarang Sovjet, aman dan ditulis menu­rut resep marxist, adalah gedjala jang paling menarik se­bagai bahan penjelidikan: hampir tak ada satupun jan g menarik untuk dibatja ulang setelah beberapa tahun, de- mikianlah tebalnja sifat lapuran masa lalu jan g terdapat di- dalamnja dan memang tidak memberi lebih dari pada itu. Rupanja «sifat keabadian» seni dikorbankan untuk sifat dokumenter.

Djika kuingat kembah buku2 roman pohtik jan g saja batja, hanja beberapa buku sadja jang djelas teringat dan jang njata dapat mempertahankan harganja; dan temjata- lah pula-seni itu memukul kembah! - bahwa hal itu selalu

karena unsur2nja jang mengatasi jang aktuil. Pengakuan2 jang mengharukan, berbentuk roman atau tidak, banjak djumlahnja. Dalam produksi Sovjet saja teringat akan buku Terres Defrichees, sebuah buku jang agak sulit dibatja, na- mun demikian berisi pelukisan jang gemas tentang pen- djuangan melawan khoelaks, sebuah buku karangan Wla- dimir Sjolochov.

Diantara buku2 jang berwarna fascis, teringat saja akan buku Die Geachteten, karangan Ernst von Salomon, jang menggambarkan kemarahan jang tenang. Diantara jang bersifat anti-fascis, jang menundjukkan kebentjian melulu, Die Moorsoldaten, karangan W olfgang LanghofF. Tapi di­antara roman politik jang lajak diperlakukan sebagai hasil seni, kulihat tiga buku: Ce qui ne fat pas, karangan Boris Sawinkov, sebuah tjerita jang berlangsung dimasa revolusi Rusia jang gagal ditahun 1905; La Condition Hutnaine, ka­rangan Andre Malraux, jang sebagai tindjauan sedjarah mempersoalkan penindasan terhadap kaum komunis di Sjanghai ditahun 1927 oleh Tsjiang-Kai-Sjek, tapi jang pada hakekatnja mengatasi pokoknja sama sekah, dengan tjara jang dapat disebut «tjara Dostojevsky»; achirnja roman re­volusi M eksiko: La Sombra del Caudillo, karangan Martin Luis Guzman.

Pada Sawinkov, jang mengenai segala bahaja dan peng- chianatan kehidupan «illegal», karena ia tadinja, sebagai se­orang sosial-revolusioner, intelektuil dan avonturir, dan sebagai pemimpin terroris jang paling termasjhur dizaman- nja mengalaminja sendiri, terdapat nada dasar: keketjewa- an. Orang ini, sebagai tokoh politik dan pengarang, de­ngan murni mewakili type si-revolusioner «jang sesat», jang cynis dan sentimentil, berani dan lesu, romantis dan penuh dendam, kolot, menjalahi marxisme.

Bukunja, dengan komposisijang djelek, berisi pelukisan2 pembunuhan, pengorbanan dan pengchianatan jang tak terlupakan, dengan kemurnian jang menjatakan satu-satu- nja perasaan jang menguasai seluruh buku: ketjapean pen-

djahat «kelas tinggi». Orangnja bukan Raskoln ikov, tapi pembunuh dengan alasan politik. «Saja telah bertindak se­bagai hakim, apa saja berhak? Saja didorong dan tahu tak ada djalan kembali, karena pembunuhan itu telah mentjap saja; djadi saja tunggu sadja datangnja nasib danpembalas- annja.»

Barangkah buku itu tidak bebas dari pose (lagak) sastra, berbau fm-de-siecle dan mengandung sifat Rusia dalam arti djelek, tapi kebenaran pengalamannja lebih kuat, dan usahanja untuk menangkap kebenaran ini dalam pengerti­an jang tadjam, untuk merebut kembali hal2 jan g telah dilenjapkan oleh keedanan politik, membuatnja lebih me- narik dari pada karangan jang lebih «kcras» atau «lebih sa- dar». Walaupun Sawinkov bukan seorang pengarang besar, tapi ia telah menulis satu roman jang unggul. (Djauh lebili bermutu dari buatan a la Gladkov-Ehrenburg dengan se­gala kelantjaran dan ketebalannja).

La Condition Hnmaine saja anggap sudah dikenal um um : Bakat sastra Malraux djauh lebih besar dari bakat Sawinkov, demikian pula latihan filsafatnja, dialektiknja, ketadjaman- nja berpikir. Pun pessimisme M alraux lebih tinggi ting- katannja: padanja tak ada ketjapean (memang pada M al­raux tak begitu banjak pengalaman sendiri), mclainkan kejakinan jang mendarah daging akan «kekurangan manu- sia». Djadi suatu pessimisme, jang djusteru mendjadi do- rongan dan extaze, karena revolusi dalam buku itu diper- soalkan dalam suasana manusia itu terdorong sampai ke- batas2 kesanggupannja untuk melebihi dirinja. H ingga saat «kekurangannja» njata; tapi sebelum saat itu usaha melebihi diri ini mendjadi tugas, jang seakan-akan merupakan satu-sa- tunja kemenangan, satu-satunja arti dari permainan bunuh- membunuh. Pada Sawinkov pengchianatan politik jang paling hina memainkan peranan utama, M alraux melahir- kan beberapa orang revolusioner, dengan tjara jang drama­tis, mengharukan, tapi djuga dimurnikan dan agung, «di- pertanggung-djawabkan benar dari sudut filsafat», hingga

mereka sebenarnja bukan machluk biasa lagi, tapi kelihatan seperti machluk jang hanja oleh kemalangannja sendiri da­pat dihantjurkan.

Guzman, jang kalau saja tak salah pernah mendjadi se- kretaris Pancho Villa, djadi mempunjai pengalaman prak- tek, sebenarnja menggambarkan pokok jang sama pada garis besarnja dengan soal jang dimadjukan oleh Malraux: sekumpulan kaum revolusioner jang kalah dan jang dising- kirkan sampai orang terachir: tapi perbedaan pengolahan bahannja njata sekali. Ketika saja membatja buku itu sekah lagi, saja harus akui bahwa Guzman, walaupun ketadjam- annja tidak setara dengan ketadjaman Malraux melebihi Malraux dalam kedalaman pengertian, dalam melihat realitet: rupanja pengalamanlah jang berkata disini. Peng­alaman ini djuga diterakannja dalam suatu pengakuan jang lebih djelas, sebuah buku jang lebih besar, bernama Slang en Adelaar, dalam mana ia mcmbuat potret2 jang djelas sekali dari Pancho Villa dan kawan-kawannja. Ba- rangkah orang mengingat djenderal perampok ini hanja karena film Viva Villa (dalam mana pcranannja dimainkan oleh Wallacc Beery untuk melukiskan wataknja, sedang karena persamaan sosok ia sebenarnja harus dimainkan oleh Warner Oland). Dibanding dengan film itu bukunja ibarat Sallustius dibanding dengan parodi lakon Julius Caesar buatan mahasiswa.

Tapi In dc Schaduw van den Lcidcr lebih diasah, lebih utuh, barangkali lebih memikat hati pula. Guzman adalah tukang tjerita jang kuat. Pentjeritaannja tepat, dengan penggunaan effek jang tak dapat dibantah, seperti tjara2 Dashiell Hammett jang sekarang sudah termasjhur, pe­ngarang buku2 gangstcrjang lebih mejakinkan dari «thriller2» Edgar Wallacc jang terlalu dipudji-pudji itu. Tapi Guzman seorang pengarang jang djauh lebih besar, dasarnja djauh le­bih sungguh2, «dunia»nja djauh lebih penting. Guzman se- akan-akan sudah terlalu mcnjelami dan meneropongi heroik- politik itu, hingga ia bcrkat ketjerdikannja tak mengalatni

keketjew aan. Pada Guzm an tak terdapat njanjian k o r se­perti ja n g terdengar dilatar belakang kissah, m em ohon ke- bebasan pahlawan2 M alraux, djuga tidak ada p e r m a s a la h a n

hati ketjil seperti ja n g terdapat pada S aw in k o v . G u z m a n

bertjerita; sebab djika dilihat sepintas lalu, isi rom an ini adalah rentetan tjatatan2 lepas tentang «keadaan2 di M ek- siko».

T och tidak tepat: G uzm an ini pasti sam a dengan to k o h utama bukunja, A xkana, seorang ja n g d ih inggapi denianx k o llek tif dari luar dan bukan m engalam inja dari d a lam ; tentang orang ini Guzm an berkata «ia peserta dan penon- ton, m entjoba m enangkap inti gelora perasaan ja n g d ju ga menjeretnja.» B u kan kebetulan pula kalau pelukisan ja n g paling kedjam dalam buku ini dilepaskan kepada A xk a n a , ja itu dalam bab dim ana ia dipom pa penuh dengan a lk o h o l dengan tjorong bensin. D ju g a bukan suatu hal ja n g k e ­betulan bahw a djenderal m uda A gu irre dalam bab k e ­dua sudah lupa djandjinja kepada A xk an a akan m elin d u n gi gadis R o sario , djandji ja n g diberikannja dibab pertam a. H al itu dilakukannja tanpa merasa bersalah sed ik itpu n ; ketidak-djudjuran ja n g djudjur ini m enentukan p o s is in ja

dalam djalan dram a seterusnja. R o sario lenjap, h in g g a bu- ku djalan terus tanpa perem puan, tapi pem batja lantas su­dah tahu siapa A g u irre : suka dipudja, tapi tidak b o d oh , djudjur m enurut tjaranja sendiri, pertjaja padapersahabatan- ja n g m enurut A xkan a tak dapat tum buh dalam p o litik , (namun dem ikian kedua orang ini adalah sahabat baik) karena politik baginja terbukti sesuatu ja n g m em bu at m a -

nusia itu djadi korbannja, h ingga terum bang-am bing an­tara aliran2 ja n g m endjalankannja dan m end orongn ja ke- mana sadja. P ikiran terdalam pada buku ini ialah sem atjam «takdir» politik, sekalipun manusia m erasa ia m em p u n jai <'kemauan bebas didalamnja», tapi «nasibnja» sudah tertentu. K eunggulan buku ini seakan-akan m enjem bunjikan d iri pada pem batja, m enurut tjara ja n g dipikirkan betul. B u k u ini ja n g dibuka dengan Cadillac kepunjaan A g u irre pada

m a s a m c m u n t j a k n j a k c m a s j]

n g a n C a d i l l a c i t u p u l a s e d a n ' l a i1 4 j c i i d e r a l i t u , b e r a c h i r d e -

a m e m b u n u h A g u i r r e . ' j ' a ® . I^ e n u i i g g u o r a n g j a n g h e n -

i a l a h k e t e p a t a n d a n k c t j C r n J a n S p a l i n g m e n g a g u m k a n

t i a p s i t u a s i : i n i l a h k e s e d c r h a , a n P e ^u k i s a n t i a p o r a n g , d a n

apa, ketegasan ja n g lenias danT*11^ 17® me uPa^an aPa_latannja. Pada senc terachir I- ,Crancka-warna tjara pcngli-

ditem bak mati, Axkana dai . au mereka jang kalah akan sama lain (artinja tak ditjata Suirre tak berkata-kata satu lalu djalan berdampingan pa i si penulis) dan mereka bab pun ketika itu mereka b a SUatu ketika; lain tidak, se- an kalim at itu menjarankan ln^ f n'1 sadja, namun demiki-

M ustaliil seorang dapat m >Ul?tJ ak persahabatan. kap, kalau ia tidak niem pUn . s begitu singkat dan leng- kalau ia tak mempunjai kepa ^eta4jaman berpikir danm em pergunakan gaja jan g SeJ lan.^ari pengalaman sendiri;a n , h a n j a a k a n m e n g h a s i l k a n k t l i t U t a n P asJ a r a t 2 P e n g a I a m '

b u a t a n a k - a n a k . S e g a l a k e d i a l a tJ a a n ^ u a t k e r e t a a p i a t a u

g a s e g a l a k e p a h l a w a n a n j an U t a u d a n k e k a s a r a n , t a p i d ju -

sepertiitu , disini digambarkan j ^ abul dari keadaan2 J anS dengan tepat, dengan warna ' ^ aS tanPa agak> diuraikan baru buku jan g sanggup niera tJ otj°k - Bagi saja inilah

kehidupan politik, dan d e n e - T ■ Pada SaJ a apa itu M m dari pada «thriller»; dan o r a iS " tJara Jang lebih menarik bahw a itu «hanja Meksiko» ] maSlh henc!ak berkatapada kcpcrtjajaaimja dan bcrbal,„ , , bcrf 8 an8

n a g i a l a h m e r e k a i t u !

Bataviaasch Nieuwsblad 10 Nopember 19 37

A R T I M U L T A T U L I

Ada satu teori kesukaanku - jang belum hendak saja tin- djau kem bali-jaitu bahwa seluruh sastra kita, mempunjai tiga, terbilang tiga ,penulis prosa besar: Multatuli, Coupe- rus dan Van Schendel. Jang selainnja adalah seniman, kaum virtuos pena atau tukang-sastra, tukang roman atau achli2 jang tjermat, sasterawan dalam berbagai djenis, tapi jang hanja diluar persaingan internasional dapat dipandang pe­ngarang besar. Dalam tindjauan ini penjair tidak termasuk. Kita memang mempunjai beberapa penjair jan g baik sekali.

Djuga pengarang jang seangkatan dengan saja tidak ter­masuk didalamnja: tokoh seperti Slauerhoff (achirnja dia lebih berarti sebagai penjair) mungkin sekali tergolong di­dalamnja, tapi baiklah mendjadi tugas angkatan datang un­tuk memberi pertimbangan jang lebih tepat, artinja tidak berpihak, tentang dirinja. Mengenai jang tiga orang itu saja telah jakin. Dan djika mereka bertiga harus dibanding, dapatlah dikatakan jang berikut: Van Schendel seniman jang paling ash, seorang jang bcrhak atas nama pudjangga atau djagoan prosa; Couperus pentjipta hidup dan ma­nusia, pengarang roman terbesar jang pernah dimiliki oleh negeri Belanda; Multatuli pribadi jang paling kaja, tokoh jang paling djenial.

Tokoh pengarang jang begitu besar di Perantjis akan dihormati seperti Victor Hugo, nama siapa ditempelkan pada taman dan djalan sampai didjadjahan Perantjis dan

diluar-negcri; sekarang Multatuli sudah mentjapai kema- djuan dengan terpasangnja namanja pada sebuah djalan di Rangkasbetung dan pada sebuah «boulevard» di Bandung, kalau saja tak salah; djalan terachir berdekatan dengan dja­lan Da Costa dan K . A. R . Bosscha! Baiklah. Kita disini memang belum habis merajakan djasa dan pemakaman kembali dari Coen.

Djika masa kita masih terus merindukan «orang kuat», masih tjukup persediaan, jaitu orang seperti De Ruyter dan Daendels dan H. C. Zentgraaff. Semua ini tidak menghi- langkan arti Multatuli sebagai salah seorang Belanda ter- besar jang pcrnah dilahirkan. Usahanja untuk memper- besar dan mcmperlapang Nederland, sedjalan dengan tjam- bukannja atas sifat2 chas bangsa Belanda, jang sementara itu masih sadja melckat sekarang pada pembentji Multa­tuli. Ketika peringatan 100 tahun lahirnja Multatuli ditahun 1920, seorang tuan jang bernama Padberg (what’s in a name?) meramalkan bahwa peringatan 100 tahun mening­galnja Multatuli akan dilupakan orang. Waktunja masih lama, karena tahun ia meninggal baru setengah abad, tapi tanpa kelantjangan, dapat pula diramalkan bahwa 1987 akan lebih menghargai Multatuli dari pada tahun 1937. Sebab tahun ini peringatannja tertanda pro dan contra,

jang seru, suatu hal jang harus dipandang sebagai pudjian terbesar bagi seorang jang telah 50 tahun meninggal.

Dan dalam hal ini bangsa Belanda dapat disebut naif se­perti anak-anak, sebab polemik2 jang demikian tak terba- jangkan akan terdjadi diluar negeri kalau orang memperi- ngati orang jang sudah meninggal. Perhatian politik M ul­tatuli, jang tampak pada banjak tindakannja, achirnja mem­beri gambaran jang paradoxal tapi tepat dari seorang jang tidak termasuk partai politik manapun, seorang jang tak terpakai buat politik praktis, dan terlebih mengherankan, seorang jang sebenarnja insjaf akan hal itu.

Bukan disini tempatnja untuk menjinari soal itu lebih lama; tapi suatu kenjataan bahwa warna2 politik jang di-

tempelkan pada Multatuli, m enjulitkan penguraian ten­tang dirinja, karena prasangka2 ja n g berkuasa. D alam ker- djanja terdapat satu segi jan g sedjalan dengan beberapa tjita2 sosialis, tapi djuga N .S .B . akan dapat mempergunakan Multatuli (setelah memutar-balikkan utjapan2nja seperti jang dilakukan kaum N azi terhadap N ietzsche); bukan suatu rahasia pula bahwa banjak orang ja n g menganggap- nja sebagai seorang «etikus» (dalam artian chas kolonial).

Setiap bunga rampai dari karangan M ultatuli sebenarnja tak ada gunanja. Dengan demikian orang dapat diberi gam ­baran «sedikit», tentang arti pengarang ini, tapi lebih pun tidak. Dan besar pula kem ungkinan bahw a tjitjipan ini akan menimbulkan salah paham. D jika aksennja ditekan- kan pada sindiran2nja, timbul kesan seolah-olah ia adalah sebuah tiruan kampungan dari pengarang2 Perantjis ter- tentu, seorang Voltaire tapi jan g lebih ribut, seorang Ana- tole France tapi jang lebih mudah tersinggung hatinja. D ji­ka «segi sosial»nja dikemukakan - beserta segala sembojan- nja dan ulangan2 jang sukar dielakkan - m aka akan dibenar- kanlah pendapat orang jang tak puas karena tjara2 «tukang djual obat»nja, setidak-tidaknja karena kesukaannja menarik perhatian orang. Keberanian dan perasaan tersinggung, ke- degilan jang bernafsu dari orang ini, keunggulannja dalam menguasai kata-kata djuga, baru akan djelas terasa, djika orang suka membuang waktu m engikuti dram a hidupnja jang tak mempunjai imbangan dalam sastra kita; sebab hidup dan kepengarangan tak terpisah padanja; surat2nja pun menjinari kerdjanja, mendjadikannja lebih mudah di- mengerti, lebih banjak memberi pendjelasan dari pada ka­lau orang membatja autobiografi.

Djika orang tak mau melakukan hal ini, tjukuplah orang membatja dua karangannja jang besar: M a x Havelaar dan Woutertje Pieterse. Dizaman kita ini buku terachir itu mung- kin dianggap terlalu pandjang, tapi buku2 Dickens dan Balzac pandjang djuga: bagaimanapun djuga W outer-ge- schiedenis adalah buku jang paling istim ewa tentang hidup

seorang anak dalam sastra kita, dan buku seperti Johannes, Jaapje hanja gema leinah dari pada buku itu. Minnebrieven dan brosur Over Vrije Arbeici termasuk prosa jang paling indah jang pernah ditulis Multatuh, tapi orang memang selalu dapat berkata bahwa pokoknja telah kehilangan ak- tualitetnja (alasan2 pembatja jang «realistis»). Kalau orang mempeladjari Multatuli seluruhnja - suatu hal jang dinegeri lain sudah terang mendjadi haknja tanpa andjuran apa-apa- maka karangan2nja akan mendapat artinja jang sepenuhnja.

Berkenaan dengan terbitnja sebuah bunga rampai-Multatnli, dalam: Bataviaasch Nieuwsblad

27 Oktober 1937

B E R T J A K A P - T J A K A P T E N T A N G J . S L A U E R H O F F

Seorang tuan datang duduk didepan saja; rambut rapi ter- sisir, berkatja mata tanduk, sebuah tas dipangkuan, buku tjatatan ditangan.

d i a : Tuan, saja ini sebenarnja in gin bertanja perihal teman tuan, jaitu tuan Slauerhoff. Achir-achir ini hanja nama itu sadjalah jang djadi buah bibir dalam sastra Belanda; sungguh banjaklah sudah sadjak atau sadjak- sadjakan dituliskannja dengan ketjepatan jan g luar biasa pula, sehingga rasanja tak p erlu ...

s a j a : Maaf, pembitjaraan tuan saja potong, tapi saja kira tuan mulai menarik kesimpulan2 jang salah. M em ang da­lam waktu satu bulan sadja, menurut orang, telah keluar lima kumpulan Slauerhoff. Tapi semua kumpulan ini di- tulis pasti bukan dalam waktu sebulan itu. Hal itu tak perlu tuan kuatirkan. Kalau tuan menjangka halnja demikian. maka tuan tidak hanja memberi pertimbangan jang salah tentang tenaga Slauerhoff, jang memang luar biasa besar- nja, tapipun tentang kegiatan dan keteraturan pekerdjaan dan kegiatan penerbit2 Belanda, jang sebenarnja tidak se- sempurna jang disangka orang. Antara kumpulan2 jang terbit itu kumpulan Saturnus adalah tjetakan ulangan Clair- Obsctir jang terbit tiga tahun sebelumnja tapi ditambah, dan sadjak2 jang ditambahkan itu ditulis pada w aktu jang sama dengan sadjak2 jang telah terbit. D ja d i...

d i a : Saja tahu, tuan, saja tahu! Saja baru sadja membatja

karangan penjair-kritikus muda Marsman dalam D e Vrije Bladeti tentang hal ini. Marsman, jang saja hargai lebih tinggi dari Slauerhoff sebagai penjair, karena sadjak2nja lebih banjak mengandung puisi dalam arti jang saja pa- hami, pada umumnja menjukai kumpulan Slauerhoff. Tapi ia mempunja keberatan terhadap tjetakan ulangan ini da­lam bentuknja jang sekarang. Marsman berpendapat bah­w a sekarang kemumian Clair-Obscur liilang, bahwa Slauer­h off tadinja harus melakukan saringan jang lebih tadjam, bahwa sekarang ditambahkan sadjak2 jang serupa dengan jang dulu tapi jang lebih lemah, jang sama sekali tidak meru­pakan perkajaan tapi djusteru memperlemah keseluruhan- nja. Bagaimana pendapat tuan tentang hal ini?

s a j a : Bahwa Marsman njata mempunjai penimbangan jang lebih tadjam dari pada saja, djuga terhadap karangan jang disukainja. Barangkali ia tergolong laki-laki, jang kalau hidung perempuan jang ditjintainja mereng sedikit atau tangannja kurang langsing, akan membuang hidung dan tangan itu. Kalau saja sendiri, saja terlalu suka pada sadjak2 Slauerhoff, sehingga saja tak ingin satu sadjakpun dibuang dari segala kumpulannja jang sudah terbit hingga sekarang. Sukakah tuan memperhatikan Clair-Obscur dan Saturnus lebih baik? Tak perlu kita sebut2 perbaikan2 jang me- nguntungkan jang diadakan oleh Slauerhoff dalam tjetakan ulangan ini; kalau hal ini hendak ditjatat oleh para djuru- tulis sastra dikemudian hari, boleh sadja. Bagi saja meru­pakan suatu keuntungan masuknja sadjak Louis X I, jang memang tak sebanding dengan sadjak Chlotarius jang lebih besar jang mendahuluinja, jang pula dapat diang- gap sadjak terbaik dalam kumpulan itu, tapi harus dipan- dang sebuah sadjak jang sempurna, dan sangat berkesan djusteru karena singkatnja. Mungkin sadjak De Chitnaeren dan ketiga sadjak2 Mesir itu tidak begitu baik, tapi mem- bawa dua aspek baru dari masa lalu dan rasanja berharga djuga untuk dibatja. Terutama dalam sadjak Pharao’s Minne terdapat beberapa bait jang tergolong bait2 jang

paling baik jang pemah ditulis oleh Slauerhoff menurut ukuran jang tuan pergunakan. Dan begitu seterusnja: D a­lam In den ouden Koningstuin, terdjemahan sadjak Fete Galante dari Verlaine dan Avondvaart merupakan selingan jang agak riah, mendjelang suasana musim gugur jang terdapat dalam sadjak Versailles jan g pandjang; harus diakui bahwa sesudahnja menjusul Aan de Fontein jang merupakan gema lemah dari sadjak pandjang itu, tapi hampir sama muminja, lagi pula merupakan nuance ter- sendiri sehingga tak lajak dibuang. Kem udian dapat dikatakan bahwa terdjemahan Baudelaire itu tak perlu tadinja, tapi pasti bukan demikian halnja dengan terdje­mahan sadjak tak dikenal dari V illon : Voorden Meestbiedende dan sadjak indah dan asli Rondoel jan g termuat dibaliknja. Kalau tak salah De Bezoeker oleh Marsman sendiri diakui sebagai perkajaan, dan apa pula katanja tentang sadjak Na Jaren, sadjak mungil itu? Dapat saja setudjui andai kata Marsman berkata bahwa sadjak2 jan g bernafaskan suasana sadjak Landelijke Liefde tidak berapa perlu: D e Terugkeer misalnja boleh djadi terlalu lemah sebagai djawaban atas sadjak sebelumnja, tapi karena kesukaanku pada kumpulan itu saja sebagai tukang kumpul variant menjukai sadjak itu, setidak-tidaknja sebagai bahan studi, sebagai bukti be­tapa kajanja Slauerhoff, dan sama sekali tidak menjebabkan saja berkata bahwa ia harus menghilangkan sadjak2 itu. Begitu pula saja tak suka andai kata sadjak D e Dienstmaagd dalam kumpulan Archipel dibuang, sebuah sadjak jan g lebih bernafsu dari pada jang disedari oleh penjairnja ketika me- nulisnja, seperti djuga sadjak Pastorale, dan bahwa sadjak itu dapat dianggap sebagai pendahulu dari sadjak D e Gou- vernante jang kemudian dan lebih baik pula, terserah; begitu djuga saja tak akan ajal membatja De Vazal hanja karena ini misalnja harus dianggap studi terdahulu dari sadjak Chlotarius.

d i a . Saja kira tuan adalah seorang pemudja jan g kikir. Namun saja tetap tjondong pada pendapat M arsm an; ter-

lebih-lebili karena Saturnus, bahkan Clair-Obscur tak dapat dianggap pembaharuan jang lengkap, sesudah kumpulan Slauerhoffjang pertama, Archipel, hal mana tuan akui djuga seperti jang ternjata sekarang. Sadjak seperti De Gouvernante rasanja lebih tjotjok dimasukkan tadinja dalam kumpulan pertama, jang disamping itu saja dengar dianggap sebuah djandji jang tidak dipenuhi seluruhnja sekalipun merupa­kan kumpulan Slauerhoff jang terbaik, karena disana terlihat begitu banjak segi bakat Slauerhoffjang kemudian ternjata tak diwudjudkannja semuanja...

s a j a : M aaf tuan, saja sedih kalau tuan sudi menerima omong kosong seperti itu; sebab pertama hal «mewudjud- kan» ini dapat dipandang dari berbagai sudut, jaitu sudut pembatja dan sudut penjair itu sendiri, dan kedua, djika orang berhadapan dengan penjair seperti Slauerhoff, orang harus menindjau seluruh pekerdjaannja dan tidak boleh mempersoalkan kekurangan keragaman dalam satu-satu kumpulannja. Djika ia mengumpul sedjumlah sadjak jang sedjenis seperti dalam Eldorado, dan djenis lain pula dalam Oost-Azie, suatu hal jang dizaman ini hanja dapat disang- gupi oleh orang seperti dia, karena kekajaan produksinja, itu sudah selajaknja; dan saja pikir tuan tak akan menjang- kal, bahwa barang siapa berkata bahwa Eldorado tidak se- baik Archipel, itu hanja menandakan bahwa ia tidak dju­djur atau tak tahu apa-apa. Pada masa terbitnja kumpulan Archipel pendapat orang bermatjam2 tentang Slauerhoff; saja sendiri, walaupun pada suara kumpulan itu simpatik bagi saja, mula2 menjangsikan bakat dan terutama keaslian penjair itu. Pada masa itu kami di Vlaanderen, jang ketika itu sedang gila2 modern, meletjehkan kumpulan itu; Paul van Ostaijen misalnja berkata: «Kumpulan itu berisi rata- pan tentang nasib babu2 serta gadis2 alim jang tergoda, sesuai dengan humanisme golongan madjalah Stern, tapi sadjak2 demikian di Holland sudah dianggap berani pula.» Ketika itu djugalah ia tulis karangannja jang kurang adil jang kemudian dimasukkan dalam bagian pertama kum-

pulan prosa kritiknja. Tapi ketika itu Van Ostaijen adalah pengandjur satu djenis seni, walaupun ia seorang jang tjer- dik, dan saja sendiri pun mempunjai keberatanku terhadap sadjak2 tjara Corbiere, jang saja tolak sebagai djiplakan, karena memang dapat djuga dipandang sebagai djiplakan. Tapi apakah pentingnja hal demikian djika kita berhadapan dengan seniman jang berbakat begini besar? Pada suatu ketika Slauerhoff mengaku pada saja bahwa ia merasa se- djiwa dengan Corbiere, sehingga ia beberapa lama mera- sakan dirinja diilhami seluruhnja oleh Corbiere; pada suatu ketika ia melakukan ziarah ke M orlaix diatas kertas jang menghasilkan sebuah prosa indah, jang memberi banjak pengertian tentang Slauerhoff dan Corbiere. Tapi berapa- lah umurnja...ketika itu? duapuluh dua atau duapuluh satu tahun; dan andai kata ia tak bertolak dari «poetes mau- dits», rasanja ia akan menulis sadjak2 a la Boutens atau Leopold tadinja, sebab penerimaannja pada R ilke mem- buktikan bahwa ia djuga terbuka buat pengaruh puisi de­mikian. Dalam Archipel kita sekarang mendjumpai penga­ruh Corbiere, Rimbaud, Verlaine dan dilatar belakang Rilke, sedang dalam Clair-Obscur disana-sini masih tampak pengaruh Verlaine, dalam Eldorado dapat ditjari R im baud, misalnja dalam Het Eeuwige Schip, jang merupakan Bateau Ivre Slauerhoff. Sadjak Rim baud begitu melekat dihatinja. Ia tak mau menjiarkan sebuah sadjak jang sebenarnja baik sekali, karena pengaruh Bateau Ivre terlalu njata didalam- nja, jaitu dalam sadjak jang kita sebut Oceaannacht kedua. Tapi saja ulangi, seorang pengarang selalu dilahirkan oleh sesuatu iklim sastra jang telah ada, dan barangkali tokoh Slauerhoff tidak akan berkurang kebesarannja, tapi akan kurang menarik, terlalu biasa djadinja, andai kata ia tak mempunjai kesukaan seperti itu terhadap kaum penjair «terkutuk» itu. Lagi pula Slauerhoff sebenarnja lebih banjak mengandung sifat kepenjairan dari pada Corbiere, tapi se­bagai manusia mereka dapat dianggap anak kembar. B a­rangkali disinilah letaknja rahasia soal itu, sehingga kepu-

djanggaan Slauerhoft terlalu asing bagi tuan, karena bagi tuan barangkali orang seperti Corbiere tak ada sangkut pautnja dengan puisi.

d i a : Atas pendirian itu tak dapat saja njatakan apa-apa; sebenarnja tak tjukup saja kenal karangan Corbiere. Tapi dapat djuga saja njatakan apa seharusnja seorang penjair itu bagi saja, jaitu, bertolak dari bahasa Junani poietes, bahasa Latinnja poeta, seorang Pentjipta, seorang jang misalnja ti­dak memotong sesuatujang pada mulanjahendak dibangun- kannja. Dalam Slauerhoff terdapat sematjam ironi, suatu kelantjangan, jang tak saja sukai, karena pada perasaanku tak sesuai dengan Puisi. Ini baru mengenai djiwanja sadja; sebab berkenaan dengan tekniknja, pekerdjaannja tak me- nundjukkan kebulatan melainkan seperti terkeping-keping agaknja, terputus2, tak terpelihara, pendek kata tak selesai, sehingga ketika membatja membuat saja menggigil terus- menerus.

s a j a : BarangkaU pemutusan sesuatujang kita bangunkan dapat pula dianggap «pentjiptaan». Ini suatu pendirian jang dapat kita persoalkan berlarut-larut. Achirnja sadjak itu se­lesai djuga dihidangkan dihadapan tuan, «tertjipta» tak ku­rang suatu apa. Lagi pula saja ngeri mendengar perkataan Pentjipta, suatu perkataan jang sungguh tepat, ketika Ver- wey mendjadikannja nama salah satu kumpulannja. Ber­kenaan dengan tekniknja jang serampangan dapat pula dibuktikan '(dengan gampang bahwa keserampangan itu sering hanja kesan sepintas lalu. Sadjak-sadjaknja jang se- akan2 terputus2 itu mempunjai daja-penarik jang istimewa, suatu hal jang tidak dapat dirasakan oleh semua orang, tapi njata ada, dan jang adanja diketahui oleh Slauerhoff sendiri dan jang kadang2 ia sempurnakan dengan keachlian jang istimewa. Sukakah tuan dengar saja batjakan tulisannja tentang Corbiere? Dengar. «Kalau Corbiere tidak terlalu menghiraukan gaung jang penuh dan terang, serta indah, tapi lebih mengusahakan pemusatan, kepekatan, penge- kangan dan ketiba-tibaanpada kelokan sadjaknjaitu, adalah

urusannja sendiri: ia suka demikian, ia menjanggupi jang demikian, dankeachlian serta tekniknja sedikitpun tak kalah dibanding dengan keachlian serta teknik <penjair2 besar> lainnja. Mereka ini memang berhasil menimbulkan gelom- bang suarajang lebar, jang tidak pernah surut, tapipun ti­dak pernah melondjak tiba-tiba dengan tenaga jang mem- badai dan berontak, bernafsu, dan selalu mengalir mengi- kuti garis jang itu djuga. Djika orang telah pernah men- dengar nada suara Lamartine maka orang telah mengenalnja buat seterusnja...Lamartine dan penjair2 jang serupa itu dapat dibandingkan dengan kapal besar: garis perdjalanan jang tetap, tamasja2 jang indah, aman, meninggalkan bekas jang lebar, dapat dinikmati sepenuhnja oleh kaum turis jang suka dengan senang mengembara dibumi sastra. Pada Corbiere bahaja mengantjam ditiap tikungan. Tiap kali ia menjerang dengan tjara lain, rentjananja berobah setiap waktu. Tiap sadjak mempunjai kelokannja tersendiri, dan tiap sadjaknja ber-kali2 putar haluan. Orang jang suka ajun- an jang aman, tak boleh tidak akan merasa <kurang betah> pada sadjaknja dan akan berkata bahwa sadjaknja tidak mengandung puisi...» Nah. Rasanja pendapat itu pulalah pendapat jang paling baik tentang puisi dan teknik Slauer­hoff. Tapi bakatnja lebih beraneka warna dari pada bakat Corbiere, dan barangkali tuan tergolong orang jang masih pertjaja pada bakatnja ketika terbitnja Archipel karena sa­djak seperti Grafbeeld van Nofrit, tapi jang kemudian terse- njum pahit membatja Het Boegbeeld, jang ketika ini dapat dianggap pemjataan jang paling sempurna tentang kepri- badiannja sebagai penjair.

d i a : Memang saja hampir djidjik membatja sadjak itu. Bahasanja tidak murni, iramanja tak keruan, rusak, susunan kalimatnja katjau,...

s a j a : Tapi nafasnja pandjang dan kuat, serta mengandung inti hidup kelas satu. Pada saat membatja sadjak ini, jang dimuat sebagai sadjak pertama, orang sudah harus menja- takan «setudju atau tidak», jang akan menentukan pula apa-

kali ia seorang Slauerhoviaan atau tidak. Maka soalnja bukan lagi apakah ada sesuatu unsur jang lain jang dapat dihargai dalam kumpulannja; pada djedjak pertama orang sudah dapat menentukan apakah ia akan merasa betah atau tidak dalam rumah demikian; dalam sadjak ini tiada cynis- me Corbiere, pun tiada keindahan jang halus seperti jang terdapat dalam sadjak2nja jang kemudian, melainkan di- dalamnja telah nampak Slauerhoff sepenuhnja, dengan da- japenariknja, kekasarannja, kerapuhan serta kekuatannja. Djika tuan tak mengerti Het Boegbeeld, barangkali tuan djuga tidak merasakan arti sadjak, jang karena retorik jang menjelubunginja mungkin masih tuan kagumi, jang ba­rangkali dapat dianggap sadjak jang paling hebat dari Slauerhoff: Dsjengis. Djika puisi Slauerhoff harus diper- tjontolikan dengan satu sadjak, saja akan pilih Dsjengis, su­atu sadjak jang begitu mulia djusteru karena keganasannja sedang retoriknja sebenarnja bukanlah retorik. Tidaklah penting apakah lukisan masa muda sang adikara jang terda­pat dalam sadjak ini ada pcrsamaannja dengan tokoh se- djarah jang bernama Dsjengis-Khan. Dsjengis dapat sadja diganti dengan Attila, Timoer-Leng atau Aurung-Zeb; orang jang paling njata tampil dari sadjak itu ialah penjair- nja sendiri. Udarapenghantjuranjang mendjiwai, menjeret dan mengangkat sadjak itu, walaupun luka2, kalau kata kiasan ini boleh dipergunakan, melampaui segala halangan, semua ini dengan tepat menggambarkan sifat2 Slauerhoff, dan karena itu sungguh2 dan bukan retorik, dan sangat berbeda dengan sadjak2 berkissah dalam mana retorik jang diperlukan tidak dihangatkan oleh api nafsu tapi djusteru terbakar olehnja. Lagi pula kalau Slauerhoff melukiskan masa muda Dsjengis, sedang memandang masa depannja dan dengan demikian membuat ramalan tentang itu, se- akan-akan ia seorang nabi, maka hal ini bukanlah dilakukan oleh Slauerhoff setjara untungun-tungan. Semuanja tetap berupa sadjak, sekalipun bersifat drama dan dimulai dengan tjara pentjeritaan biasa untuk melukiskan watak Dsjengis

selajang pandang sebelum Dsjengis bitjara sendiri. Sebuah sadjakjang penuh Urik penghantjuran, membusa, tapi djer­nih dan tinggi, dengan nada bawah, sebagai suara kedua, deru redup dari kissah pahlawan jang diselubungi. Andai kata Slauerhoff menulis sadjak itu dengan tjara lain: misal­nja sebagai lapuran kedjadian masa lalu, barangkali hasilnja tadinja hanja sadjak berkissah jang ketjil, sekali-sekali di- sinari kilatan Urik, tapi tidak akan sebegitu menghenjakkan dan pasti tidak sehebat sadjakjang dibuatnja sekarang. Se­karang sadjak itu mendapat tempat istimewa dalam seluruh karangannja. Dalam kebesaran sadjak ini terkumpul sifat- sifat Slauerhoff jang dalam sadjak2nja jang lain merupakan ungkapan salah satu segi wudjudnja dalam bentuk jang mengharukan, indah dan lesu, mendjadi keseluruhanjang sempurna dan gemilang, merupakan syntese dan penjem- purnaan pribadinja djuga, mendjadi sematjam patung de- wa dari dirinja, berlatar belakang suasana jang terdapat dalam segala sadjaknja, jaitu suasana kemasjgulan dan ke- matian. Apakah kita menghadapi sadjak Dsjengis, De Gou- vernante, atau salah satu sadjak dari kumpulan Serenade jang begitu rapuh itu, kita selalu akan mendengar nada dasar suaranja, jaitu kelesuan: keinsjafan bahwa segalanja sia-sia, kalau tidak tak punja tudjuan apa-pa, mengalir lalu .. . kemana? dari mana? - djadi suatu rasa puitis jang hakiki, djuga bagi tuan. Lagi dengan suara jang bagaimanapun ia bemjanji: suaranja jang parau dan liar, penamaan jang te- pat sekali oleh Greshoff, mempesona dan menjeret dan membuat orang lupa akan segala mazhab estetika dan sastra.

d i a : Mungkin semua utjapan tuan ini benar dan saja ber- maksud akan membatja lagi sadjak jang tuan sebut tadi. Sekali batja, hal ini harus saja akui, sadjak itu memang terasa agimg, tapi disini, seperti pada sadjak2 pandjang Slauerhoff jang lain, djuga menganggu adanja baris2 jang tak serupa, utjapan2 jang terasa mandek, m etrum jang tim- pang, dan sebagainja. Sedapnja masih sadja tak dapat ku-

rasa; hal itu bagiku masih merupakan suatu kekurangan, jang terlebih mengganggu kalau sadjaknja memang sadjak jang indah.

s a j a : Ini suatu haljang tak habis-habisnja dapat dipersoal- kan, karena saja sendiri akan djidjik menghapi sadjak Dsje- ngis jang dilitjinkan dan dimaniskan. Saja harap sadja tuan tidak akan menghitung sadjak dengan djari seperti tuan Uyldert, pelapur puisi dari harian Handel shield, jang bang- ga mendengar sebutan bahwa ialah djuru-ulas sastra jang paling kolot. Kalau tuan tidak terbahak-bahak membatja karangannja tentang kumpulan Eldorado, saja kuatir tuan harus dianggap tak masuk kira, bukan sadja buat puisi Slauerhoff, tapi pun buat «Firdaus kaum penjair» suatu ta- man tertutup buat Slauerhoff menurut tuan U yldert... «Firdaus» itu sama sadja dengan madjalah De Beweging al- marhum bagi tuan Uyldert, dalam madjalah mana tuan Uyldert memang pernah menjiarkan sadjak2nja ketika ia masih mempunjai pengertian sedikit tentang puisi; sesudah djiwa tuan Uyldert mulai membatu sedjak matinja De Beweging, ia pun menghibur hatinja dengan kejakinan bah­wa ia sudah tahu apa penjair jang sesungguhnja, jaitu orang jang buah penanja pernah dimuat dalam madjalah De Be­weging. Tjontoh ini saja kutip dengan harapan...

d i a (ketawa): Tuan tak perlu kuatir! Saja pun telah per­nah membatja sebuah karangan tuan Uyldert ini tentang Albert Verwey, jang sama-sama kami kagumi, dan saja merasa ketjewa sesudahnja... bagaimana mengatakannja ?..,

S A JA : Karena pudjiannja djusterumenandakania seorang lata. Saja kira tuan Uyldert itu, dalam membitjarakan kum­pulan Verwey jang paling dia sukai, berkata seperti ber- ikut: «Kumpulan ini terlalu kusukai, hingga saja tak dapat mengatakan apa-apa». Suatu utjapanjang tentunja harus di- hargai oleh setiap orang, terlebih-lebih Verwey sendiri.

d i a : Tentu sadja. Tapi lepas dari pendapat tuan Uyldert, saja tidak dapat menjetudjui pendirian tuan, dan saja tetap menuntut bahwa sang Penjair, Pentjipta, harus menunggu

saat bahannja mendjadi djernih baginja; kala ia sudah tum- buh diatas pokok soal, kalau ia tak perlu lagi bergu let...

s a j a : Seperti Jakub dengan M alaikat. . .d i a : ...kalau bahannja telah mengendap m endjadinilai

keabadian, unsur utama dari Puisi.s a j a : Ampun, tuan, mengapa sampai begitu benar ? Me-

ngapa kita tak boleh turut mempersaksikan perguletan sang penjair dengan dirinja, dengan pokoknja, dengan ba- han itu? Penjair jang berada diatas pokoknja tak menarik hati saja; djika ia tak kelihatan padaku, saja tak sanggup mentjintainja; dan suara penjair jang mendengus melam- paui pokok soal, sebagaimana sering terdjadi pada jang disebut «Puisi besan> itu, tak menarik sama sekali bagi saja, tak obah seperti kedjadian sesaat jan g tak menghiraukan keabadian.

d i a (dengan gembira): Itu dia: Penjair, tuan, adalah se­bagian dari keabadian! Tuan asing sekali dari Puisi, kalau tuan tak mengerti apa jang kumaksud! Penjair itu mulai kalau manusianja berachir; dan perhatian tuan pada manusi- anja adalah suatu keinginan jang kerdil, artinja berten- tangan dengan wudjud puisi. Lagi pula, Penjair jan g terba- jang dalam pikiranku, bukan tak kelihatan, seperti tuan katakan, tapi terbuka bagi pemandangan k ita ; ia memang kelihatan tapi telah dilebur, berobah dalam sifat keabadian Puisi.

s a j a : Dilenjapkan dan dibunuh oleh keabadian itu - suatu hal jang sungguh tak sedap, mengingat bahwa hidup kita singkat, dan bahwa sesuatu pengalaman banjak kemung- kinannja hanja sekali itu akan terdjadi. Tuan, penjair tuan jang berobah dan dilenjapkan oleh keabadian, bukan sadja tak menarik hati saja, akan tetapi mendjadi antipatik pu la: simpanlah ia buat tuan sendiri dalam segala kebesarannja serta segala bintang kepribadiannja jang lebur. Sesungguh- nja kita tak akan bersetudju dalam soal ini. M arilah kita pertjontohkan dua type penjair, misalnja orang Irlandia Yeats buat tuan dan orang Breton Corbiere buat saja. Per-

tjajalah bahwa antarakedua penjair ini terdapat permusuh- an dan tak akan terdapat saling mengerti. Memperteng- karkan kebesaran kedua penjair itu, sama halnja dengan mengadakan perbandingan antara ikan todak dengan bu- rung elang; Yeats barangkali berhak menganggap diri le­bih besar dari Corbiere, tapi Corbiere mungkin akan ber- pahng dari padanja dengan perasaan «qu’il l’encague a pied et a cheval». Maksud saja ialah bahwa saja sama sekah tak pertjaja akan «kebesaran mutlak». Banjak sifat kebesaran jang berbeda sekali, djuga dalam puisi.

d i a : Sebenarnja saja tak kenal Corbiere tapi saja rasa per­bandingan itu tidak tepat. Tidak benar Yeats hanja seorang penjanji agung seperti jang tuan bajangkan; rupanja tuan tidak kenal sadjak2nja jang terachir, kumpulan Irish Revolt jang merupakan sadjak2 penuli dendam dan bersifat pohtik.

SA JA : Saja menjebut Yeats karena saja perlu seorang «to- koh mutlak», dan saja maksud Yeats dimasa mudanja; dan saja ambil Rimbaud, bukan Rimbaud, jang kebesarannja barang-tidak tuan sangsikan, seorang djeni dan pasti bukan hanja bagi saja, hanja karena saja hendak mempertjontoh- kan seorang penjair chusus dari lingkungan puisi jang kini saja bela. Achirnja segala perbandingan tak tepat. Setiap sadjak, djadi djuga penjairnja, selalu tersendiri; baiklah hal ini tuan tjamkan. Djuga penentuan «kebesaran mutlak», seperti telah saja katakan, sebenarnja kekanak-kanakan. Na- mun terang bahwa golongan tuan djauh lebih rojal mem- pergunakan perkataan «besar» dan «kebesaran». Djadi sekali lagi, djika «kebesaran» diartikan sebagai: sifat kemuliaan jang dipehhara terus, maka teranglah, sebuah tjontoh lain, bahwa Milton lebih besar dari Villon, jang tentu tuan se- tudjui. Bagi saja kelangsungan kemanusiaan Villon, kesa- maan manusia dan penjair padanja, sekalipun ia berada di-tengah2 puisi, lebih besar dari nafas-pengisi-angkasa dari Milton, kalau kebesaran mereka dipersoalkan. Saja tak da­pat berpendapat lain, sekalipun tuan misalnja membukti- kan bahwa Villon hanja sematjam Dop Bles jang sempur-

na, dibanding dengan Milton. Tapi saja kuatir bahwa tuan achirnja tak akan punja alasan lain, ketjuali beberapa man- tera, seperti rasa dan kesukaan tuan sendiri.

d ia : Teranglah bahwa persoalan lebih djauli tentang soal ini akan membawa kita menjimpang dari pokok pembi- tjaraan; djadi lebih baik kita kembali kepokok jang mula- mula, jaitu karangan tuan Slauerhoff. Tadi kita sampai pada kumpulan2nja jang lebih tua, Archipel, Clair-Obscur atau Saturnus, kalau memang keduanja serupa, dan Eldorado, jang kalau saja tak salah terutama berisi sadjak2 lautnja, se- lain Dsjengis. Rupanja Slauerhoff seorang dokter jang be- kerdja pada kapal Java-China-Japan-lijn dan karena itu ten- tulah ia seorang achli tentang laut, kalau perkataan demi­kian dapat dipergunakan padanja. Saja akui bahwa saja banjak menemukan keindahan dalam sadjak2 De Piraat dan Het Eeuwige Schip, sadjak2 jang agak samar-samar bagi saja, tapi sedikit sekali dalam sadjak-sadjak kasar seperti Het Laatste Zeilschip, Afrikaanse Elegie dan De Renegaat. Apakah jang achir ini bukan hanja tjerita jang dibuat bersandjak? dan apakah tuan tak dapat mengerti bahwa penjesalan ua- sib seperti dalam Ajrikaanse Elegie mengganggu bagi orang seperti saja ini, sebab disana njata sekali kehadiran penjair- nja sekalipun ditulis dalam derde persoon.

s a j a : Pertanjaan tuan saja djawab dengan pertanjaan. Tuan tentu pemudja Leopold. Mungkin bisikan2 sukma penjair ini mengandung keabadian dan djernih pula. Ingin- lah saja mendengar pendapat tuan sehabis membatja sadjak jang setelah menjebut bunga-bunga jang pelbagai wama berachir dengan kalimat: «Dan dia jang kutjinta, kuberi setangkai!»

Walaupun ini bukan ratapan nasib, keramahannja jang penuh belas-kasihan itu djuga menundjukkan...

d i a : (agak marah) Tuan! meletjehkannilai2 jang mulia! Penjair Leopold lain dari Slauerhoff! Lagi pula saja tak suka kalau kesukaan saja dihina dan saja harap tuan djangan suka melantur.

s a j a : Tuan, orang jang mengetjam sebuah sadjak seperti De Renegaat sebuah tjiptaan jang dalam lima puluh-bait memberikan inti sedjenis manusia jang mengerikan dan inti sebuah roman...

d i a : Baiklah. Tuan Slauerhoff hampir bersamaan dengan Eldorado, menerbitkan kumpulan sadjak-sadjak laut dan sebagainja, dibawah nama samaran jang tak dapat menipu orang, karena orang langsung sadja merasakan sadjak bu- atannja, selain karena pokoknja: kumpulan jang saja mak- sud ialah kumpulan Oost-Azie. Sekalipun tuan kurang menghargai tuan Uyldert, saja harus akui, bahwa saja se- pendapat dengannja, sebab seperti tuan ketahui ia telah menerangkan bahwa Oost-Azie membawa keuntungan ka­rena Slauerhoff didalamnja tidak mendjangkau hal2 jang terlalu tinggi baginja...

s a j a : Djika tuan masih sadja mengemukakan pendapat orang njinjir ini, saja tak suka lagi melajani pertanjaan tuan. Ketjuali satu sadjak seperti Captain Miguel, Oost-Azie me­mang berisi sadjak2 jang lebih ketjil ukurannja dari pada jang dalam Eldorado; djadi saja menganggap kumpulan ini kurang penting, tanpa menjetudjui pendapat tolol bahwa kumpulan ini lebih sesuai dengan bakat Slauerhoff Tuan sudah tahu betapa besarnja penghargaan saja terhadap ba­kat Slauerhoff, malahan saja hendak berkata bahwa pada saat ini Slauerhofflah barangkali penjair satu-satunja jang sanggup mengerdjakan sadjak seperti Dsjengis tanpa men­djadi tertawaan. Saja telah perlukan membatja Byron kem­bali, mentjari puisi jang mungkin memberi ilham untuk sadjak ini, suatu sadjak jang asing dizaman kita. Setelah saja membatja segala karangan jang membuat Byron djadi termasjur diseluruh dunia, seperti sadjak2 : The Glamour, The Bride o f Abydos, The Corsair dsb. saja terkedjut men- djumpai retorik ash didalamnja dan ketiadaan angin laut, angin badai, ombak, karang dan segala sesuatujang seharus- nja terdapat didalamnja. Sadjak2nja jang ber-metrum sem- purna melukiskan peruntungan tokoh2 tjeritanja dalam

irama jang lekas membosankan. Tokoh2 tjeritanja baiknja dibajangkan seperti gambar2 buat dilekatkan. Tuan boleh sadja geleng kepala, tapi sadjak Leopold Cheops dengan lagak operanja saja hadiahkan pada tuan asal Dsjengis ting- gal buat saja. Dan tuan djangan silap, sebelum tuan melon- tjat lagi, saja tidak berkata bahwa Slauerhoff lebih besar dari Leopold, walaupun soal kebesaran itu tentu terbawa- bawa lagi menurut perasaan tuan. Saja hanja berkata bah­wa saja, dan kalau perlu sendirian sadja, suka sadjak Dsjengis seluruhnja sedang sadjak Cheops sama sekah tidak, se­djenis puisi jang tak menimbulkan perasaan apa2 pada saja, sekaUpun sempurna bentuknja.

d i a : Bitjaralah sesukamu, tuan.s a j a : Berkenaan dengan kumpulan Oost-Azie: didalam-

nja saja hargai ketadjaman pengamatan terhadap alam, terhadap segala apa jang dapat dilihat dalam suatu perdja- lanan, tapi saja akui bahwa disamping pelukisan2 jang kuat dalam Eldorado, Slauerhoff memperlihatkan dirinja dalam kumpulan ini sebagai djuru gambar dengan pena, atau lebih baik dikatakan sebagai seorang pelukis tjat air menu­rut tjara Tionghoa atau Djepang. Banjak diantara sadjak2 itu, terutama jang pendek2 tanpa sandjak, kelihatan seperti goresan arang sadja. Sebagai keseluruhan kumpulan ini barangkah sangat perlu kalau hendak mengenai tokoh Slauerhoff, tapi sebagai hasil seni tak berapa penting dalam keseluruhan kerdjanja, dalam bentuknja jang sekarang.

d i a : Kalau saja menjukai sesuatu ternjata bahwa itulah jang tuan paling tidak sukai. Tapi sudahlah, kita sekarang sampai kepada kumpulan2nja jang baru terbit: pertama-ta- ma kumpulan Serenade. Disini saja bawa pula sebuah ka­rangan Marsman tentang itu, dalam mana ia berkata antara lain: «Disatu pihak dalam Serenade ini saja djumpai banjak sadjak2 jang kurang menarik dari pada isi Eldorado atau Clair-Obscur, tapi disamping itu diberbagai tempat saja djumpai djuga berbagai aksen jang mendalam, seperti jang tak pernah saja djumpai pada karangannja jang lain.»Dan

lebih landjut ia mengeluarkan pemjataan jang gandjil se­bagai berikut: «Makin lama saja makinjakin bahwa hanja ada satu ukuran - lalu sebuah kalimat penjelang - bagi puisi - lagi sebuah kalimat penjelang - jaitu: aksen-nja.»

s a j a : Barangkali inilah pemjataan Marsman jang paling tepat sedjak ia menulis kritik sastra. Saja djuga menjetudjui pertimbangannja terhadap kumpulan Serenade. Tapi seba- liknja, dalam kumpulan jang nampaknja lebih enteng ini, dan jang barangkali tidak mempunjai kekuatan dan keting- gian Eldorado, terdapat sadjak2 jang sangat dalam dan mungil «tak pandai membawakan diri» bak kata orang, se- hingga saja memberi tempat kehormatan pada kumpulan ini dalam keseluruhan kerdjanja, dan bukan pada kumpu­lan Oost-Azie. Hampir semuanja berupa lagu2, lebih dari sadjak, tapi dapat dibagi dalam dua golongan: golongan pertama jang bernada tinggi dan enteng, golongan kedua jang bernada lebih rendah dan berat. Dari golongan per­tama saja sebut: Complainte, De Schalmei, Tzigane, sadjak Bezinning jang indah, jang sangat kelamnamun tjerah(jang oleh Marsman tidak diliargai benar), Birds in the Night dan Voor de verre Primes. Dari golongan kedua: In mijn Leven, De Voorpost, Zwanenzang dan sadjak De Argeloozen jang lapang dan berupa pengakuan. Tapi saja ulangi berkata bahwa saja tak ingin satu sadjakpun dibuang dari kum­pulan itu, djuga tidak sadjak2 jang oleh Marsman disebut lagu kanak2, antaranja III dan IV jang saja kagumi; saja ti­dak berapa suka pada Pierrot dan Arcadia, jang disebutnja cynis, jang bagi saja merupakan sadjak main2 atau olok2 sadja; pendeknja satu baitpun tidak, walaupun karenanja seluruh bagian lainnja dari kumpulan itu mendjadi sadjak jang sungguh rapi. Dalam keadaan seperti ini saja akan berkata: persetan dengan kerapian, biarkan penjair itu be- bas bergerak. Djika seorang penjair hendak menguap atau meregang badan, djangan pula ia dilarang berbuat demi­kian.

d i a : Tuan melantur lagi, tapi nah: djuga saja mengang-

gap Serenade termasuk kumpulan Slauerhoff jang paling indah. Siapa tahu pendapat kita boleh djadi akan bcrtemu djuga!

Sekarang tiba geleran sebuah kumpulan sadjak, jang se- bagian diterdjemahkan dari bahasa Tionghoa, dan jang se- bagian lagi boleh djadi... isapan djem pol. . . menurut tjara2 Tionghoa. Sebenarnja belum dapat saja djumpai kritik tentang buku ketjil ini, melainkan jang satu ini, tertanda Defresne...

SAJA : Lebih baik kita minta pertimbangan tuan ini kalau kita hendak memainkan sebuah sandiwara, katakanlah san- diwara dalam bahasa Tionghoa asli. Apa jang tuan hendak katakan tentang Yoeng Poe Tsjoeng?

d i a : Pertama-tama dalam kumpulan itu terdapat tjap jang serupa jang djuga telah mcmbuat Oost-Azie gagal sebagai mystifikatie, baik dalam sadjak2 jang diterdjemah­kan maupun dalam sadjak2 jang di-tiru2. Ketjuali dalam hal kekeringan nafas, bagi saja kumpulan ini tidak djauh berbeda dari Oost-Azie.

s a j a : Saja kira tuan benar, Slauerhoff bukan seorang sino- loog, walaupun ia telah ber-kali2 ke Tiongkok, dan padanja tak terdapat kemiskinan jang tegang seperti jang terdapat pada terdjemahan orang lain. Saja masih ingat bahwa be­berapa lama ia selalu mem-bawa2 dua kumpulan terdj emah - an Inggeris oleh seorang jang bernama Arthur W haley, jang djuga pernah saja batja2 dan jang sungguh terlalu kering ketjuali dalam satu sadjak, tapi jang oleh Slauerhoff dapat disadur mendjadi sadjak2 jang sederhana tapi ber- djiwa, jang kemudian dikumpul mendjadi Yoeng Poe Tsjoeng. Hampir pasti bahwa sadjak Marschlied, jang di- tulisi Sji King dibawahnja, dan jang termasuk sadjak ter- baik dalam kumpulan itu, tak banjak lagi sangkut pautnja dengan sadjak ash. Orang jang tidak tahu bahasa Tionghoa, boleh djadi akan lebih suka pada sadjak2 jang banjak ber­beda dari sadjak aslinja. Lagi pula kumpulan ketjil ini saja anggap sematjam beranda muka ruangan kumpulan tjerita

pendek Tionghoa Het, Leute-Eilaiid, dalam mana kenangan Slauerhoff disusul oleh tjerita Tiongkok jang disadurnja jang ketjuali tjerita jang terachir bagi saja tidak terlalu ber- hasil. Tapi saja menganggapnja pula sematjam latihan pen- dahuluan buat tjerita terachir itu, jang pada saat ini mung­kin harus dipandang prosa Slauerhoff jang paling mumi. Saja maksudkan tjerita Po Sju I en Yuan Sjen bij de Yang Tse. Tjerita itu memperlihatkan kesederhanaan dan keta- djaman, tanpa merugikan suasana dan kedjelasan pelukisan tokoh2 utamanja. Sebaliknja kedua sifat itu mendjadi sosok jang hidup dalam suatu gaja jang hanja dapat ditjapai oleh pengarang2 prosa terbesar. Lagi pula ada sebab lain maka tjerita ini saja anggap penting, jaitu karena Slauerhoff me- wudjudkan dua sikap hidup dalam diri penjair Po Sju I dan Yuan Sjen. Rasanja Po Sju I simpatik dalam pandangan Slauerhoff dengan tjara jang menimbulkan perasaan pahit padanja, sedang Yuan Sjen agaknja dikaguminja dengan perasaan gemas: Po Sju I jang mengarah-arah Verlaine, djenis «poete maudit» ,Yuan Sjen jang mengarah-arah sifat Goethe, djenis «pawang sjeitan». Pada masa sekarang orang mengusahakan prosa jang singkat padat, tjerita ini barang­kali satu2nja tjontoh jang paling sempurna dari hasil kaum «muda».

d i a : Sementara itu dokumentasi Tionghoa Slauerhoff memperlihatkan banjak kekurangan. Berhubung dengan karangan pertama tentang Kau Lung Seu, achli Tiongkok dan kritikus Borel menulis bahwa terdjemahan Slauerhoff «pulau gua mendengung» adalah salah, sebab sebenarnja pulau itu bernama: «pulau beduk membahana».

s a j a : Kalau tak salah Slauerhoff telah merobah guanja jang berdengung mendjadi gua membahana, karena kara­ngan itu; tapi bagi saja tak soal andai kata ia merobahnja mendjadi «pulau beduk jang membahana». Lagi omongan tuan mentjapekkan karena tuan terlalu suka menukil pen­dapat berbagai achli2 resnii atau achli-achlian. Seorang kritikus seperti Borel, dibanding dengan Slauerhoff, adalah

ibarat burung itik dibanding dengan elang; djadi pendapat achli seperti itu tentang djenis burung elang agaknja hanja berlaku dikandang ajam. Apakah tuan termasuk publik jang menganggap Borel selain sebagai kritikus, djuga seba­gai seniman besar, achli Tiongkok dan guru kesusilaan? Saja harap sadja tidak. Tjamkanlah ini, tuan! Tuan Borel barangkali tjakap memimpin kotak batjaan, terutama sesudah ia mendjadi pengandjur kesusilaan, seperti pelatjur2 jang sudah tak laku. Tapi bahwa ia seorang achli T i­ongkok saja sangsikan: barangkali ia pandai bahasa T i­onghoa sedikit, tapi tingkataan kerohanian seseorang selalu kentara. Pengarang buku2 Wijsheid en Schoonheid in China, Kwan Yin dan tetek-bengek lainnja, buat perintang waktu, saja anggap tak tjakap menterdjemahkan Lao Tse apalagi untuk membuat terdjemahan jang sempurna, sebab hal itu akan bertentangan dengan segala adjaran psychologie. Dari djagoan lingkungan ketjil ini belum pernah saja batja sesuatu jang mengatasi mutubarang dagangan; dihhat dari sudut itu terhitung tindakan jang pin tar djuga, ketika ia lekas2 menempel pada djubah aclih2 filsafat Tionghoa, tapi antara orang jang begitu dan seorang achli jang benar2, terdapat djurang jang tak dapat diseberangi, pada hemat saja, sekalipun ia sedjak beberapa lama berusaha menghan- tjurkan setiap buah pena pengarang Belanda dengan nukilan2 dari buah pena pengarang2 kefilsafatan tersebut.

d i a : Saja lebih suka mendengar pendapat tuan tentang kawan2 tuan dari pada tentang golongan kritikus. Rupanja antara mereka ini dan tuan sudah sedjak lama ada permu- suhan.

s a j a : Sesuka tuan sadja menjebut perasaan saja terhadap mereka - ketjuali segelintir kritikus jang baik-perasaan jang kira2 bergerak antara pandangan hina dan rasa muak. Tapi hal itu tak perlu kita persoalkan sekarang.

d i a : Kalau begitu mari kembali kepokok soal semula dan membitjarakan kumpulan terachir jang tertera pada daftar saja: Schuim en Asch. Itulah kumpulan Slauerhoff jang pa­

ling sering dipcrtjontohkan kalau orang sedang membitja­rakan prosanja. Bukankah tuan telah berkata bahwa dalam buku ini terdapat sebuah tjerita jang lebih baik dari pada tjerita dalam Het Lente-Eiland?

s a j a : Dipandang sebagai prosa sadja, saja berkata: tidak. Prosa dalam Schuim en Asch umumnja mempunjai daja pendorong jang sama dengan pendorong puisi dalam Eldo­rado, kasar melihat bentuknja, tapi sama kuat dan sama2 menghanjutkan, bahkan dalam tjerita Larrios dan Het Eind van het Lied, mentjiptakan udara puisi jang pekat. Tapi tje­rita jang memperlihatkan ketjakapan bertjerita jang begitu dikuasai, murni dan padat, seperti tjerita terachir dalam Het Lente-Eiland tak saja djumpai didalamnja. Soal tersendiri pula apakah Slauerhoff disana tidak lebih bemafsu. Slauer­hoff adalah seorang avonturier (pengadu untung) artinja ia selalu terpaksa mentjari avontuur dan terdjun kedalamnja, seperti tokoh utama tjerita Larrios; tapi seperti orang itu djuga, Slauerhoff termasuk manusia jang bukan membuat atau menguasai avontuur, melainkan mengalaminja. Arti kumpulan seperti Schuim en Asch tak ternilai djika kita memperhatikan kontras jang diberikan oleh prosa ini, dan ditjiptakan oleh manusia Slauerhoffjang berada dibelakang- nja, dengan pengarang prosa Belanda dari angkatan dulu bahkan dengan pengarang2 prosa sekarang. Segala apa jang mungkin diimpikan oleh manusia modern tentang negeri djauh, perdjalanan2 jang menghenjakkan nafas, djauh dari peradaban dengan jazz serta taxi2-nja, ja, segala romantik jang dirasakan angkatan kita dalam dirinja sebagai reaksi atas modernisme Eropah, dan jang tak terpisahkan dari pa­danja, dinegeri Belanda hanja dinjatakan oleh Slauerhoff: artinja dengan kejakinan jang menjala-njala, dengan penge- nalan jang mesra akan soalnja dan dengan sedikit-dikitnja memberi konsesi pada inode dan gaja. Barangkali tuan menganggap saja telah melawan pendapat saja sendiri; tapi sifat singkat-padat dari prosa sekarang bukan gedjala masa ini sadja; lebih tepat kalau dikatakan bahwa prosa bertele-

tele dari realisme bordjuis, jang sekarang subur hidupnja, dapat dianggap djusteru hasil chas zaman ini. Karangan2 klassik sederhana, dan tjara2 modern tidak terdapat pada Slauerhoff. Kesederhanaannja adalah hasil pem- batasan jang sangat fitri dari orang jang bentji pada omongan bertele-tele, tapi kesederhanaan jang ditjapai da­lam Po Sju en Yuan Sjen dengan keachlian jang sadar, rupanja dalam Schuim en Asch diserahkan pada pimpinan naluri. Tapi pada Slauerhoffnaluri ini murni sekali; naluri- nja bisa tergelintjir pada soal2 ketjil tapi ia terdjaga dalam soal2 besar. Selain ia diperlengkapi dengan segala sifat se­orang pengarang, ia beruntung pula terluput dari penge- tahuan ketjil-ketjilan, kehati-hatian dan kesulitan2 jang di- timbulkannja, seperti jang didjumpai pada pengarang tu- kang: Slauerhoff menuhs lurus kedepan, langsung ketudju- annja; ia langsung mendjamah bahannja dengan sikap seakan-akan bahan2 ini bukan bahan mati dan tak melaku- kan perlawanan jang musjkil - dan sekarang njatalah dimana letaknja sukses Slauerhoff, barangkali djuga letak kekuatan- nja: Slauerhoff tergolong atlit jang berhasil melontjat ka­rena tidak menaksir2 djarak. Sebutlah sifat itu kedegilan atau kejakinan; sebutlah itu perbedaan hakiki antara se­orang djeni dan seorang jang hanja berbakat seperti jang disebut Gautier, buat saja sama sadja. Kumpulan seperti Schuim en Asch sungguh suatu peristiwa tersendiri dalam sedjarah sastra kita hari ini, walaupun kita masili dapat me- meriksanja dengan surjakanta dan belebas. Saja kira tuan djuga telah membatjanja, bagaimana pendapat tuan sendiri ?

d i a (berentjana): Tjerita pertama, De Erfgenaam, tidak ada harganja...

s a j a : Barangkali tak berapa berharga, dibanding dengan jang selainnja, tapi lepas dari padanja tjerita itu mempunjai harganja sendiri. Saja tak mengerti orang jang mengang- gapnja sebagai hasil rombengan; hanja hal itu dapat saja mengerti, karena orang itu menghebohkan sadjak2 penjair seperti Alie Smeding. Ceci explique cela. Buat saja tjerita

pertama ini, dengan orientalismc-nja a la Perantjis dan tjara pentjeritaannja jang tak sungguh2 menarik djuga, walau- pun memang tidak sekuat jang lain.

d i a : Saja tahu sekarang tuan hendak mempertahankan segala hasil Slauerhoff, dan karena itu hendak membenarkan semuanja. Tapi saja, tuan, tak menjukai De Erfgenaam dan saja bukan hanja berpendapat bahwa tjerita ini sebenarnja tidak lajak dimasukkan dalam kumpulan ini, tapi djuga bahwa tak terdapat kesatuan dalam susunannja.

s a j a : Barangkali hal itu tak berapa perlu bagi seorang jang djarang meninggalkan kesatuan pribadinja. Tapi bu- kankah saja telah berkata bahwa masuknja De Erfgenaam dalam kumpulan ini dapat dipandang sebagai kesalahan komposisi. Pada tjetak ulangannja tjerita itu dapat diganti dengan tjerita lain dan dimasukkan dalam prosa masa permulaan. Djika tjerita De Erjgeiiaain dikeluarkan maka kumpulan itu memang dapat dibagi mendjadi dua djenis, jaitu dua kali dua tjerita: i Larrios dan HetEind van het Lied jang romantis-puitis; 2 tjerita realistis dan avontuur DeLaat- ste Reis van de Nyborg dan Such is life in China. Sebagai tam- bahan dapat diterangkan bahwa De Nyborg berat tjerita avontuur dari pada tjerita realistis, sedang Such is Life se- baliknja. Tapi acliirnja scmua tjerita ini dikuasai dan di- perhubungkan, djuga De Erjgenaam, oleh pessimisine jang pahit, tersenjum, tjape tapi tetap mumi. Mutlak seperti dalam sadjak-sadjaknja. Bagian teracliir dari HetEind van het Lied adalah sematjam awan ketakutan jang puitis, pokok tjerita Larrios adalah puisi keputus-asaan melulu. Tapi saja bantah kalau orang berkata bahwa Slauerhoff memperguna- kan alat-alatjang lain dari padajang biasa dipergunakan oleh tukang tjerita dan pengarang prosa. Penjair Slauerhoff se­lalu kentara, tapi tak pernah dituliskannja sadjak prosa da­lam tjerita2 ini. Barangkali Larrios-lzh tjerita jang paling saja sukai sebagai keseluruhan, kembah karena tjerita ini dengan njata diisi oleh diri pengarangnja, tapi halaman2 penghabisan dari HetEind van het Lied merupakan puntjak;

tak ada persamaan tjerita ini dengan Poe jan g selalu diper- tjontohkan saban2 orang menemukan tulisan jan g agak gandjil, tapi dengan N erval, artinja tanggapan puitis dalam genggaman suasana jang penuh takut, tanggapan Bajang­an, Perempuan jang selalu luput, jan g hidup dalam diri kita sebagai chajal dan memperlihatkan dirinja hanja dalam m im pi...Saja tak begitu suka pada D e Laatste Reis van de Nyborg, dalam mana saja djumpai kekasaran anak-anakjang sebenamja asing bagi Slauerhoff, dan jan g disebut orang tjampuran Poe dan Conrad. Tapi hal jan g tak dapat saja mengerti ialah mengapa seorang jan g tjerdik, saja mak- sud Albert Helman, memandang Such is lije in China se- matjam lapuran kewartawanan. Saja kira pendapat ini ter- pengaruh pandangan jang mengatakan bahwa «nieuwe zakelijklieid» mengandung unsur kewartawanan. Empat kah tjerita ini saja batja berulang-ulang, dan tiap kali saja kagumi keseimbangan jang indah jan g se-akan2 kebetulan ditjapai dalam tjerita ini, dan barangkali betid2 kebetulan, jang terdapat dalam pentjeritaan jan g berpindah dan berge- ser, landjut-melandjut dan isi-mengisi. T jerita2 tentang hidup orang2 jang berbeda sekali tapi mempunjai persamaan dalam satu hal, jang membenarkan kepala tjerita: «begitulah hidup orang Eropah di Tiongkok.» Kekajaan jan g dapat menjaru sebagai kemiskinan, pengenalan hidup jan g njata dari memberi satu tjontoh sadja, keunggulan jan g dari se- batang hidung dapat membuat synthese suatu wadjah, se­buah sosok mendjadi wakil sedjenis manusia. Semua ini oleh Slauerhoff ditjapai bukan dengan ketelitian, bukan dengan ketjongkakan dan lagak seniman, tapi dengan tjara atjuh tak atjuh, karena demikianlah jan g sebaiknja, karena ia merasa tak lajak berbuat lain.

d i a : Baiklah kita tunggu apakah tuan Slauerhoff akan memperkuat pendapat baik tuan tentang dirinja. D ia de­ngan enak sadja menulis sehingga kita tentu masih akan banjak mendapat buah penanja, bukan? H am pir saja jakin karena pudjaan tuan, tapi sajang, tiap kali saja membuka

kumpulannja perasaan saja selalu mendapat gontjangan karena penggunaan kata-katanja, dan... saja sangkal bahwa satu dan lainnja dapat dipisah-pisalikan. Bagaimanapun djuga penggunaan kata-kata itu senjawa dengan sadjak, dan kalau penggunaannja salah seluruh sadjak dengan sendiri- nja rusak d ju ga ...

s a j a : Tuan, baiklah kita achiri sadja pertjakapan ini. Saja nasehatkan pada tuan, supaja tuan segera sesudah tiba di- rumah menikmati seni sandjak Karel van de Woestijne jang sempurna dan melambung tinggi itu, bersama segala bunga-bungaannja. Nikmatilah alliterasinja jang meluap- luap dan selalu hadir itu seperti: «bralle broeiing van het schroeiigheetehaar» dan«deLiefdeis mijde enmat, hetlijden moede en menig.» Biarlah itu buat tuan sadja. Achirnja tak soal bagi saja apa jang tuan izinkan memasuki Dorado pe­njair tuan; dan hampir saja hendak meminta pada tuan su­paja tuan sudi memikirkan suatu nama lain buat orang se­perti Corbiere dan Slauerhoff, untuk dipakainja seterusnja supaja djelas perbedaannja dari «tukang sadjak» tuan.

d i a : (mengedjek): Tuan jang terhormat, djika tuan memperlihatkan iri tuan dengan menodai penjair seperti Van de Woestijne, maka memang sudah tiba saatnja untnk berpisah. Dengan demikian pertjakapan kita tidak lagi me­ngenai keindahan jang paling kita hargai tapi tentang djenis kesalahan mana jang masing2 dapat kita maafkan! (Ia ber­diri). Tuan tentu mengerti, bahwa hanja sopan-santunlah jang melarang saja memperdengarkan beberapa igauan dari kerdja teman tuan itu! (Ia pergi kepintu). Selamat tinggal, tuan. Saja bukan sadja harus melenjapkan illusi tuan bahwa antara kita telah terdapat saling-mengerti, tapi djuga bahwa tuan pembela jang tjakap dari tuan Slauer­hoff. Hal itu tak tuan sanggupi, karena tuan tak mengenai kehalusan jan g diperlukan kalau sedang mempertjakapkan puisi. Tuan melukai hati orang, tuan meludah, tuan tidak menghormati perasaan orang lain, suatu hal jang wadjib dalam suatu pertjakapan. Selamat tinggal.

s a j a : (membela): Tuan, saja tahu saja tak pantas disebut achli sastra. Hati-hatilah tuan supaja djangan tersandung pada keachlian tuan sendiri; kalau itu terdjadi rugi besarlah puisi kita.

Brussel, Nopember 1930

H. Marsman: «Verzamcld Wcrk», 193S

Pada suatu ketika sepuluh tahun jang lalu Marsman disebut «diktator kaum muda»; sekarang sedjak lama ia sendiri telah menolak peranan itu atau peranan itu telah lepas dari ta- ngannja, dan gambaran jang kini kita peroleh darikarangan- nja lebih merupakan gambaran seorang pembawa pandji - kalau ibarat peperangan hendak dipertahankan djuga. Seperti Cocteau di Perantjis, Marsman di Holland mem- bawa pandji bertulisan «Modernisme», suatu sembojan jang menimbulkan kedjidjikan pada kaum bordjuis.

Pendjual buku jang kurang pengetahuannja, kira-kira duapuluh tahun jang lalu - ketika Marsman berumur de- lapan belas tahun dan masih anak sekolah berhasil menjiar- kan sadjak-sadjaknjajang pertama dalam madjalah Verw ey bernama DeBeweging - kalau sedang melajani pembeH jang kurang puas kira-kira akan berkata: «Apa boleh buat tuan, dizaman sekarang orang seperti Marsman pun sudah masuk toko kami ini.» Herman van den Bergh, N ijhoff dengan De Wandelaar-nja, Hendrik de Vries, telah mendahuluinja memperdengarkan musik modern, tapi «sentakan suara na- firi» serta «ringkik kuda» jang menganggu ketenteraman orang baik-baik, berasal dari Marsman. Ketika madjalah kaum muda jang sesungguhnja, Het Getij, terpaksa gulung tikar siang-siang dan digantikan oleh Dc Vrije Bladen, Marsman-lah jang mendjadi panglimanja.

Sebenarnja kaum muda ini tidak pernah menghadapi

tantangan jang sungguh-sungguh dan Marsman sendiri, se­kalipun dihinggapi semangat bertempur, terpaksa menga- kui, bahwa agaknja orang mendjadi seorang Don Quichot apabila hendak mentjari-tjari perselisihan djuga, sedang ang- katan tua sebenamja menundjukkan kerelaannja. Karena itu ketidak-puasan orang tentang puisi Belanda setelah pe- rang (perang dunia I, pentertdj emah) terutama hanja nampak dimadjalah-madjalah daerah, dipimpin oleh gurujan Ubink, seorang jang tak berarti dan hanja ikut-ikutan sadja, jang sengadja menerbitkan madjalah-umur-sehari, dengan nama De Kemphaan. Selainitu Querido melontarkan maki-maki- annja dalam madjalah Nu, sedang beberapa orang korres- ponden seperti Gerrit Wijbrandts radjin pula mengabarkan kepada surat-kabarnja di Indonesia, bahwa segala jang ber- liama Marsman telah habis diudap oleh tuan Ubink.

Pada saat ini tak ada seorangpun diantara ahli sastera di Nederland jang sedikit pun menjangsikan «kedudukan pen­ting)) dari Marsman-jang kini sudah pula hampir mentjapai usia empat pululi. Kaula sekarang masih ada dikemukakan keberatan terhadap Marsman, maka halnja mengenai soal dalam, jang hampir semuanja mengenai soal teknik: misal nja orang berpendapat bahwa sadjak-sadjaknja jan g dulu lebih bergelora, lebih «lantjar», sebutan jang telah mendjadi klise, berasal dari perbendaharaan kata dunia kritik jang memindjamnja pula dari kritik ballet Buning, pula bahwa sadjak-sadjaknja jang kudian, bukan hanja lebih tenang, tapipun tidak sekuat sadjak-sadjaknja jang dulu, suatu pen­dapat jang ditentang pula oleh orang lain, jan g mengakui adanja ketenangan itu, tapi jang djusteru bagi mereka me- mantjarkan kekuatan isi, kekuatan jang hakiki).

Karena Marsman sekarang telah menjaring karangaimja jang telah terbit hingga saat ini, dan telah merobah susun- annja pula dan hanja mengumpul karangan jan g diang- gapnja berarti, - sambil menambalinja dengan karangannja jang belum pernah dikumpul - maka sekarang kritik diberi tugas menetapkan kedudukan tokoh ini. Dan dari berbagai

pihak telah dikemukakan perbandingan, jang sebenarnja lebih pantas dikemukakan dalam suasana perajaan jubi- leum: bahwa tak ada tokoh lain jang demikian lengkapnja mendjadi djurubitjara dalam hal puisi, prosa jang bersifat kritik dan jang dalam tugas pimpinannja demikian leng­kap mengumpul dan mewudjudkan arti suatu angkatan dalam dirinja, seperti W illem Kloos dan Marsman. Perbe­daan jang sangat besar antara puisi, bahkan djuga prosa kedua orang ini, tak mendjadi soal: djika Kloos dengan sadjak-sadjak pertamanja mewakili seluruh angkatan Men we Gids, maka sadjak-sadjak M a r s m a n jang kini terkumpu dibagian jang bernama «Eerste Periode», dianggap hasiljang paling chas dari «modernisme» Belanda.

Djika Slauerhoff dapat dipandang penjair dunia jang kalau tidak lebih besar pasti lebih luas, dan seorang tokoh jang lebih dramatis dan djenial, maka Marsman adalah Pem a, seorang «vitalis», jang «tadjam dan menjala», «Hdah apijang lurus mcnjala», semuanja penamaan jang dipergunakan orang untuk menggambarkan keberanian jang ada pada sastera Belanda dari angkatan jang langsung mendahului kita. Dan djika orang membatja kumpulannja Critisch Proza maka orang segara akan insjaf, bahwa sesungguhnjalah di- dalamnja diuraikan inti perhatian kaum muda itu, bahwa sesungguhnjalah kumpulan itu mempunjai arti jang sama dengan buku Veertien Jaar Literatim rgescl lie den is untuk ang katan Delapan Puluh (kaum Tachtig). ^

Kritik Marsman biasanja berupa prosa jang me-nja a , tapi disertai kebutuhan jang njata akan pengertian jang 1 dukung oleh pemikiran. Ia memberi gambaran jang sa tentang dirinja djika ia berkata bahwa kritik harus berupa konfrontasi dari dua manusia (jang hidup), jang kaau ta djadi pelukan harus djadi penolakan mentah2, ha is per kara; ia sungguh mengadji hal2 jang lebih dalam eta nja, dan kalau ia mendjumpainja hal itu selalu menimbu an bahagia jang me-luap2 padanja. Ada memang orang ain

jang menemukan hal2 jang lebih baru dan lebih berarti di- lapangan lain (saja teringat pada Ter Braak dan Vestdijk), tapi menghadapi panen jang menimbulkan kekaguman ini - jang pula merupakan bunga rampai tulisan2 kritik dari Marsman, terasalah se-akan2 ia telah memihh dan mem- persoalkan segala masalah jang terpenting dan rasanja tak mungkin mengagumi gajabahasanja jan g sering begitu tjemerlang tanpa mendjadi insjaf betapa tadjamnja pikiran jang mempergunakannja.

Menulis dengan baik, dalam artian kata jan g biasa - tak ada seorangpun diantara kaum muda jang lebih pandai dari Marsman. Prosanja sadja sudah tjukup untuk dinik- mati, tanpa terlalu memperhatikan pikiran2 tentang penga- rang2 jang sedang dipersoalkan didalamnja: tapi bagi orang jang hendak mempergunakan kumpulan demikian sebagai pen untun - terutama «orang luar» - tak ada lagi buku penun- tun jang lebih baik dari pada ini. Barang siapa ingin menge- tahui hal sastra Belanda terbaru ia harus mempunjai buku ini, jang se-akan2 sengadja disusun buat maksud demikian, padahal pasti bukan demikian hahija. Tentang Herman van den Bergh, Hendrik de Vries dan Slauerhoff, A . Roland Holst, Buning dan NijhofF, Marsman telah menjatakan pendapat2 jang agaknja dapat dianggap akan bernilai buat seterusnja; essay2nja tentang penjair2 tersebut, jang sedikit lebih tua dari padanja atau mendjadi teman seangkatannja, dapat dianggap bahan penerangan jang bernilai tinggi. Essaynja tentang Henri de Montherlant se-akan2 sebuah potret-sendiri, hampir merupakan pengakuan kejakinannja sendiri; tapi djuga kupasan2nja tentang pengarang2 luar negeri lain jang berbeda benar dalam banjak hal dengan- nja, sama sadja baiknja: barang siapa ingin dengan tepat merasakan perbedaan, perbedaan tingkatan dan wudjud pula, jang terdapat antara seorang djeni seperti Kafka dan seorang pengarang «untung-untungan» seperti Feuchtwan- ger, dipersilahkan membatja essay tentang kedua penga­rang itu. Kadjian tentang Thomas Mann akan djarang dite-

mui tandingannja dalam rangka perhatian seperti itu; tentang R ilke dan Ludw ig Renn, Marsman setjara main2 mengatakan hal2 jang tak terlupakan. Kumpulan Critisch Proza ini dapat dianggap buah-penanja jang paling baik sesudah puisinja.

Dalam kumpulan jang bernama Proza (jang untuk dje- lasnja tadinja lebih baik rasanja disebut Verhalend Proza = Prosa Kissah) pembatja tidak akan berdjedjak dibumi jang begitu mantap. Inilah hasil Marsman jang menundjukkan kesangsian jang paling besar. Dalam hal ini jang menarik ialah perguletannja untuk menjesuaikan alat2 jang me­mang ulung dengan tudjuan jang hendak ditjapai: penak- lukan materi jang keras, usaha pemetjahan masalah sulit jang telah didjadikannja, walaupun sebenarnja terlalu sulit. Segala sesuatujang bersifat sadjak-dalam prosa, tak menim­bulkan kesulitan apa2 bagi Marsman, hal itu dapat didjel- makannja, tapi ia ternjata bukan seorang pengarang roman atau novel. Tjerita jang paling sempurna dalam kumpulan ini ialah Zelfportret van J . F., tapi sebagian besar memang terdiri dari prosa lirik, jang sebagai novel mempunjai sifat pelukisan-riwajat-hidup-sendiri, mirip sebuah essay pula. Laku jang terdapat didalamnja selalu dikuasai oleh dunia rasa dan pikiran jang diutjapkan dalam bentuk renungan. Antara tjerita ini dan tjerita «Drie Autobiografische Stuk- ken» jang mcndahuluinja, hanja sedikit perbedaan: teru­tama hanja disebabkan niat pengarang sendiri, supaja lebih banjak jang dapat ditjeritakan dalam tjerita jang kudian.

Hasil jang terbaik jang dapat ditjapai oleh Marsman, dapat diperiksa dalam De Dood van Angele Degronx, jang mula2 terbit sebagai roman ketjil dan tersendiri dan oleh kritik dinjatakan sebagai hasil jang tidak matang, gagal dan dilebih-lebihkan, sekalipun mereka tidak menjangkal bah­wa didalamnja terdapat unsur2 jang unggul jang menga- gumkan segelintir orang, kadang2 dengan penerimaan jang berlebih-lebihan.

Tjerita itu dapat didjumpai kembali dalam kumpulan

ini, oleh pengarangnja disingkatkan mendjadi tjerita pen- dek jang pandjang, perbuatan mana telah menjempurnakan sifatnja, dan memperbaikinja pula dalam banjak hal. Tapi pada hakekatnja djiwanja masih serupa sadja, dan kritik jang matang masih akan mendjumpai banjak hal jan g lajak diketjam: masih tetap simpatik dan agak tak masuk akal, penuh lirik-berbuih, jang dalam sadjak mungkin kena tapi tidak kena dalam tjerita, namun demikian mempunjai ha- laman2 jang termasuk prosa kelas satu setiap kali kalau pengarangnja berada didunianja sendiri. Saban kali kalau Marsman hendak bertjerita dalam arti kata sesungguhnja, maka gajanja mendjadi tegurig dan kering, suatu sifat jang lebih kentara padanja dari pada pada diri orang lain. Bab terachir dari Angele Degroux dan tjerita terachir dalam kumpulan itu, Teresa Immaculata, jang sebagai tjerita dapat djuga disebut berhasil, mendjadi tjontohkesederhanaanjang dimaui oleh Marsman. Tapi kalau naik-turunnja pasang perguletan Marsman dipeladjari, saja jakin bahwa M ars­man, asal ia tetap ulet, akan menaklukan musuh ini - dengan hasil jang memuaskan kelak bagi pembatjanja.

Memberi gambaran puisi Marsman ditempat ini dalam beberapa kalimat, akan mendjadi tugas menjatakan pen­dapat dalam utjapan2 usang sadja. Beberapa sifatnja telah kutjatat pada permulaan karangan ini: melondjak, ladju. Jang pen ting dewasa ini: berapakah diantara «pembatja biasa» jang akan menganggapnja puisi «jang dapat dimeng- erti»? Pada tahun 1896, setelah Nieuwe Gids 16 tahun terbit, seorang gurubesar merasa wadjib mengakui, sekalipun de­ngan niatjang paling murni: ja itu prof. H. E. M oltzer bah­wa bahasa Kloos, Verwey, Van Eeden, Henriette van der Schalk terlalu sulit baginja. Sementara itu m em ang telah terdjadi pula pergeseran dari kehendak mengerti puisi ke- arah kemauan merasakannja, - djuga dalam arti keteknikan dan djusteru untuk pembatja, maksud saja. O rang tak da­pat mengerti sadjak Marsman (salah satu sadjaknja jang mula2), seperti mengerti sadjak D e Genestet; tapi siapa pu-

lalah orangnja, jang masili demikian tjaranja membatja di- tahun 1938 ini, kalau ia sungguli mempunjai hubungan jang njata dengan sastra? Lagi pula, bukankah kita djumpai kesulitan pada Potgieter dan Staring? Puisi Marsman jang paling «modern» bersuasana kesemestaan, artinja berilham- kan kesemestaan dan berteknik expressionisme.

Puisinja berupa tjatatan jang meregang diri karena hen- dak terbang tinggi, mengikat segala; kadang2 beberapa kalimat mengena pada kuping kita dan melekat dihati ka­rena keindahannja jang istimewa, seperti kata-mimpi jang berdesir. Tapi ini hanja sebagian ketjil; dalam kumpulan Penthesileia pun (jang sekarang dimasukkan dibagian te- ngah dari «Eerste Periode») Marsman, tanpa keliilangan kepekatannja sudah mempergunakan bahasa jang lebili de- kat kebumi ini dan lebih lantjar (ironi, sendjata jang diper- gunakan oleh begitu banjak penjair sesudah Heine, sudah tak pernah dimasukkannja dalam puisinja). Sedjak ini sam- pai dengan sadjak2 jang mengachiri masa pertama itu, ber- kuasalah bentuk pengutjapan Marsman jang oleh banjak orang dianggap pengutjapamija jang paling chas, bentuk- nja jang paling menawan tapipun jang achirnja didjadikan patokan - dilihat dengan tjara lain: «kulit» dari kedirian Marsman jang acliirnja, mendjadi beban baginja, jang oleh kritik selalu dikemukakan sebagai ukuran padanja dan jang oleh karena itu barangkali mengilhamkan padanja sadjak sombong dan lesu, jang disampaikannja pada seorang pe­njair muda:

vraag elke dag een witte keursteen en het onbeperkt gezag van een nieuwe naam -

jang menjebabkan ia pula menulis sebuah pengakuan jang termasuk tjerita jang paling baik dari kumpulan prosanja: Naamloos en Ongekend.

Sadj ak2 j ang kemudian - dari masa kedua dan ketiga - r asa- nja mudah ditangkap artinja oleh semua orang. Sadjak Ichnaton sekalipun, jang oleh kritikus seperti tuan Ubink tadinja dianggap igauan, sekarang rasanja, dengan batuan sekadarnja dari pihak guru, seluruhnja dapat dinikmati oleh seorang anak sekolah H E S jang duduk dikelas ter ting­gi. Dalam sadjak2nja jang kemudian Marsman sering me- ninggalkan golombang2 aman dan mengusahakan men- djumpai kembah irama kuatnja jang dulu, tapi lalu njatalah bahwa tak ada lagi rahasianja jang chas. Hal ini lebih sering terdjadi dari pada jang ingin diakui orang. Dan kalau se- luruh karangannja ditindjau, saja pertjaja bahwa pada usia pertengahannja Marsman tidak perlu mengiri pada Mars­man muda penggempur awan seperti Shelley, ketjuah ke- mudaan jang telah lewat itu.

Kekuatannja sebagai penjair tidak berkurang, walaupun gaung puisinja pada umumnja mendjadi lain; ia djuga ti­dak mendjadi peratap, walaupun ada pendapat mengemuk- akan demikian, sedjak ia menulis sadjak indah In Memo- riam P.M .-S. dan beberapa sadjak lagi sesudahnja. K um ­pulan jang terdiri dari tiga bagian ini sebenarnja dengan tepat sekah menundjukkan tempatnja didunia sastra: situ- asinja pada saat ini: Marsman telah sanggup memberikan jang demikian, setelah melewati masa pentjiptaan jang be­gitu hebat, akan dapat kembah menghadapi hidup dan materi dengan tangan jang terlatih dan kosong, musuh lama jang tak akan membiarkannja lari keluar dari gelang- gang-

Bataviaasch Nieuwsblad20 Augustus 1938

M E N N O T E R B R A A K D A N S. V E S T D IJK

Mamo ter Braak: «Itt Gesprek met de Vorigem, 1938 S. Vestdijk: «Lier cn Lancet», 1939

Kedua kumpulan ini, terbit pada penerbit jang sama, jang pertama setahun lebih dahulu dari jang terachir (perurutan waktu jang kebetulan, karena essay Vestdijk jang tertua berasal dari tahun 1932 dan 1933), mewakili dua puntjak essay sastra dalam sastra Belanda zaman kita dan sementara itu menundjukkan perbedaan besar, seliingga saja merasa wadjib membitjarakannja dalam satu kronik.

«Dua puntjak dsb.» kata orang; «tapi ce n’est pas jurer gros». - Utjapan ini memang ada djuga benarnja. Sangat menarik perhatian banjaknja essay jang ditulis orang di Nederland dan dikitnja essay jang berharga. Kritik Uyl- dert atau Werumeus Buning, latihan2 Knuvelder, 1001 resensidari 1001 djuru-ulas - amboi! Dimanakah essayisjang sanggup mengukur tenaga dengan «puntjak-puntjak» itu?

«Dua puntjak dsb.» kata jang lain, jang lebih tahu, <<ja, ja, tst.-lah! Tuan2 ini adalah teman karib tuan; sastra Belanda terbagi-bagi dalam beberapa kliek, dan tuan dan mereka ini termasuk Forum-kliek, bukan ?»

Kalau orang sudah mulai tjuriga susahlah memberi dja- waban. Perkataan kliek sangat kedjam. Apa itu kliek, di- samping pengertian kumpulan, aliran, gerakan? Kamus Van Dale dapat membantu kita dalam hal ini dengan mu- dah, tapi tjelakanja ialah bahwa keempat perkataan ini dan perkataan lainnja dipergunakan buat soal2 jang serupa, ter­gantung dari simpati atau antipati jang dianut pembitjara.

Dizaman «tachtig» pembatja jang agak tahu mempergu- nakan kata kliek untuk De Nieuwe Gids, tanpa merasa ber- salah. Djuga disebut adanja kliek Kloos dan Van Deysel. Kliek2 ini kemudian aman sadja dianggap aliran dan ge- rakan masing2 penuh tokoh dan sosok. Leiden dan Utrecht merupakan kumpulan atau aliran bukan sadja mengenai ilmu tatanegara kolonial. Tapi kalau kita sedang marah Leiden dan Utrecht itu pun dapat disebut kliek.. .

Djika orang, setelah pemjataan2 diatas, melaksanakan pemeriksaan hati sendiri, seperti jang diandjurkan oleh A n­thonie Donker kepada setiap kritikus jang sungguh2 se- belum membubuhkan kata2nja diatas kertas, maka orang harus bertanja pada diri sendiri: Andai kata mendjadi ke- wadjiban saja untuk memberi penerangan djudjur, tentang essay Belanda, sekalipun hal ini tak menarik perhatian pembatja jang hanja sanggup menikmati roman - maka ten­tang siapakah ada gunanja bitjara kalau tidak tentang Ter Braak, Vestdijk, Marsman dan barangkali djuga Anthonie Donker, walaupun ia ini sudah termasuk kelas dua, ketjuali kalau ia menulis tentang puisi ?

Van Duinkerken adalah seorang jang berilmu, tapi se­orang jang berilmu, tapi seorang essayis jang tumpul, lagi pula pandangannja sudah terbatas karena katholicisme-nja; sebagai stylis terang ia djauh lebih unggul dari teman se- agamanja Knuvelder, sedang sebagai pemikir, suka atau tidak suka, njata dibawah Ter Braak. D i Holland ada se­orang kritikus jang berpegang pada tradisi keilmuan, jaitu kritik sastra jang terutama bersifat kesedjarahan, dan jang dilakukannja dengan baik: Garmt Stuiveling. Barangkali dr Stuiveling kelak akan menduduki tempat sebagai se­orang kritikus jang paling «objektip», kritikus jang paling terpertjaja dalam sastra kita masa sekarang. Tapi lebih baik, malahan terutama ia seharusnja dipandang seorang sar- djana dari pada seorang kritikus. Bukan seorang essayis.

Ter Braak - lebih dari Vestdijk - adalah seorang jang dapat disebut essayis tulen. Nama keempat essaynja jang

besar sudah tjukup terkenal. Disamping itu dan disela-sela- nja lahirlah kumpulan2nja jang lebih ketjil, dan tidak begitu terkenal: Afscheid van Domineesland (suatu nama jang meng- gemparkan buat hasil masa mudanja, jang djauh lebih «berat» dan lebih «gelap» dari pada jang ditulisnja sekarang), Man tegen Man (kumpulan jang telah berisi beberapa essay- nja jang paling menarik, djuga jang bersifat polemik ter­hadap Van Duinkerken), Het tweede Gezicht, Mephistophelis. Kumpulan terachir ini, penerbitan chusus buat kaum bi- bliophiel, dapat dipandang gedjala samping dari kumpulan jang akan saja bitjarakan dalam karangungan ini, sebab karangan2 singkat, jang hampir berupa aphorisme, jang terdapat dalam kumpulan ini, «lepas» dari kritik2nja, jang tadinja ter bit dalam harian Het Vaderland, pada surat-kabar mana Ter Braak sudah sedjak bertahun-taliun mendjadi pembantu sastra. In Gesprek met de Vorigen adalah pilihan dari kritik2 itu djuga, tapi komplit, hanja ditindjau kem­bali dan diperbaiki disanasini.

Sedjak ia - disertai protes banjak pihak! - menggantikan tuan Borel pada Het Vaderland, Ter Braak telah mentjipta publiknja sendiri, jang mengikutinja dengan gembira dan kepertjajaan seperti jang terdapat pada publik jang tadinja mengikuti tuan Borel (dan jang, kalau tak salah mengakui sendiri bahwa ia tak sanggup mengikuti penggantinja). Kemadjuan jang sangat besar, jang berupa penaikan dera- djat sastra, pada harian pula! Para «achli», dan mereka jang suka membuang tempo, sekarang ramai2 memudji kronik sastra Ter Braak. Saja tahu bahwa banjak orang jang ber- langganan pada Het Vaderland hanja karena tulisan2 Ter Braak. Sukses ini sudah selajaknja bagi Ter Braak sebagai kritikus — djadi sekarang bukan sebagai essayis—karena ia sa­ngat djudjur. Padanja ada perpegangan, kalau kita telah mengenai tjitarasanja, jang dapat kita setudjui atau tidak. Inilah kedudukan jang paling baik bagi seorang kritikus. Seorang djuru-ulas sastra diradio seperti Ritter, jang meng- andjurkan dasar kritik jang «lebih luas» (maklumlah apa

artinja ini) dengan kedjudjuran jang besar djuga telah me- mudji kwahtet jang terdapat pada kritikus seperti Vestdijk dan Ter Braak.

Sangatlah sulitnja mempertahankan deradjat tulisan se­bagai penulis kronik dalam harian, bagi seorang jang sung­guh2 memperhatikan sastra teman2 sezamannja, bukan ha­nja karena banjaknja keluhan2 jang mengatakan bahwa «tulisannja terlalu sulit», tapi djuga karena tugas demikian didjalankan terus-menerus. Seorang seperti Ter Braak, jang membuktikan bahwa ia memiliki ketjerdikan jang creatief, dan tjukup mempunjai masalah hidup untuk dibitjarakan, tentunja sering bertanja pada diri sendiri: Apa pentingnja bagi saja apakah si-A lebih berbakat dari si-B, dan apakah si-C menulis buku jang lebih baik atau lebih buruk dari penulis sebelumnja? Pembatja jang saban kali genibira membatja pendapat penulis kroniknja, biasanja tak dapat membajangkan bahwa menuliskan pendapat2 dengan terus- menerus dan pada waktu ter tentu, adalah tjobaan jang be- rat. Namun demikian Ter Braak melakukan tugasnja de­ngan keliatan dan ketekunan jang luar biasa (kata2 lain tak akan tepat) dan lagi pula dengan kegembiraan jang lebih dari tjukup (quand meme! dan ini bukan suatu hal jang bertentangan); dan ia tetap dapat memelihara mutu tuli- sannja. Djuga kalu kita membatja tulisannja dalam harian itu sendiri, njata bahwa ia sedikit sekali memberi konsesi pada <journalistiek». Ia telah menguasai tjara menulis de­ngan djelas dan sederhana tapi berisi (walaupun keseder- hanaannja itu bukan asal sederhana sadja).

Salah satu rahasianja ialah: setiap pembitjaraan buku di- arahkannja menurut garis kebenaran umum.Saja katakan: diarahkan, walaupun metoda jang diikutinjalebih merupa­kan: penggunaan ukuran kebenaran umum. Sebab biasanja kolom pertama dari karangan Ter Braak berisi teori um um ; walaupun teorinja tentu lahir dari tafsiran tentang buku jang hendak dibitjarakannja, terdapatlah kesan seolah-olah ia hendak menimbang buku itu menurut teori jang lebih

dahulu telah dimadjukannja (hampir setjara kebetulan). Metoda itu sangat baik dan djika dilaksanakan dengan ke- achlian, pasti mendjamin resensi jang tinggi mutunja.

Djika kritik2 ini dibatja lagi, dalam kumpulan In Ge- sprek met de Vorigen, maka hal jang per-tama2 harus dinjata- kan tentang kritik2 itu ialah: bahwa dalam kumpulan jang diperbaiki ini setiap sifat «journalistiek» telah lenjap. Njata bahwa Ter Braak dengan keachlian seorang pengarang unggul telah mentjoret hal2 jang tadinja berlebih, dan menambahkan hal2 jang tadinja harus dihilangkannja ka­rena tuntutan journalistiek. Hasilnja ialah karangan2 jang paling djelas dari jang pernah ditulisnja. Karangan2 jang selain berupa kritik djuga berupa essay, karena masing2 membawakan sifat kebenaran umum, sehingga lebih me­rupakan essay2.

Otak jang begitu sportif tak ada dalam sastra kita; setiap soal dikupas dengan kegembiraan, menarik karena ketia- daan sikap menggurui, hat, lemas ,menghenjakkan karena permainan jang terdapat didalamnja. Ter Braak berpikir dengan pena ditangan, tjermat tapi gemulai seperti penari, seperti seorang pemain anggar. Ada sedjenis pemikir jang terlalu sungguh dan keguru-guruan - orang jang memerlukan kamar jang dindingnja dilapisi dengan pema- dam suara supaja dapat berpikir-jang tidak menjukai «per- mainan2» ini; baiknja mereka ini membatja buku Huizinga Homo Lndens, kalau penjakit mereka belum terlalu parah. Djika mereka gelisah karena tenaga berpikir Ter Braak jang tak suka bermurung-murung dan sama sekali tak mem- bosankan itu, boleh djadi mereka akan mengatakan bahwa Ter Braak itu «studentikoos», dan seorang «wartawan». Saja tak keberatan terhadap perkataan ini, tapi sekali lagi, djangan salah paham: djika Ter Braak disebut «wartawan», maka Huizinga harus disebut seorang «guru sekolah ren- dah».

Karena orang Belanda itu - barangkali terutama orang Belanda jang terpeladjar - tidak biasa menemukan kesung-

guhan dalam keriangan, ia memandang Ter Braak sebagai penggeli, walaupun ia ini sudah terlibat dalam perdjuangan mati-matian. Pada masa ini, ketika intelektuil dengan me- nempuh bahaja wadjib menundjukkan ia seorang intelek­tuil, Ter Braak berlaku dengan berani dan sungguh2, suatu hal jang disanggupi oleh sedikit orang sadja.

Tapi banjak kaum muda telah insjaf akan hal ini, dan se­buah kumpulan karangan «angkatan termuda» tentang GreshofF (jang lebih lutju lagi dari Ter Braak) membuk- tikan bahwa kesungguhan jang tersembunji dibalik per- mainan2 itu rupanja tidak luput dari perhatian mereka.

Peladjar Belanda, jang telah dilatih membatja jang sulit2 dan jang tidak lagi mengeluh kalau sedang menghadapi karangan2 jang «sukar» mudah terdjerumus kedalam kesa- lahan: mentjurigai segala apa jang tidak membosankan dan muram. Dikamar orang jang demikian baiknja digantung- kan papan bertuliskan utjapan Stendhal jang berikut: «Rien ne me semble bete au monde que la gravite», «gravite» jang sama sekali tak terdapat pada Ter Braak; tiap halaman tulisannja menundjukkan kesungguhan, terlebih-lebih hala­man2 jang berisi perumusan2nja jang paling paradoxal.

Djika orang ingin membatja sebuah essay jang membi- tjarakan soal diatas dengan gemilang, tapi mendalam dan lengkap, batjalah: «Diderot, dilettant, en Luppol, school- meester». Karangan ini termasuk essaynja jang terbaik di- antara karangan2 jang hampir semuanja sangat baik.

Karangannja tentang Rembrandt sangat paradoxal dan berat-sebelah, tapi betapa manisnja pelukisan Huygens’ Hof- wijck jang dulu dan betapa bebas tindjauan sedjarahnja da­lam «pelantjongan» ini. Erasmus dan Machiavelli, Couperus dan Van Schendel, Universitas kaum sardjana dan kenis- bian tiap individualisme, ia perlakukan dengan lemas, de­ngan penglihatan jang tak ada taranja di Nederland.

Tapi djika Ter Braak memang begitu tadjam, atau teru­tama mempunjai kelebihan demikian, apakah dalam hal ini ia memang lebih tadjam dari Vestdijk? - inilah salah

satu pertanjaan jang sering saja dengar dikalangan kaum muda. Dan belum pernah saja dengar djawaban jang me- muaskan atas pertanjaan ini jang lajak bagi suatu debating- club. Biasanja persoalan ditutup dengan mengatakan bah­wa ketadjaman mereka sama, hanja...berlainan.

Bertentangan dengan Ter Braak, jang kita hadapi pada saat ini dengan kumpulan essaynja jang kesembilan - beber­apa karangan2 ketjil terketjuali - Vestdijk baru buat per- tama kali mengumpul essaynja jaitu dalam Lier en Lancet. Essaynja jang mula-mula sekali, jang dapat dikatakan di- tulisnja dengan lebih banjak membawakan kepribadiannja, setidak-tidaknja dituhskan lebih spontan dari karangan2nja jang kemudian, ialah tentang penjair wanita Amerika Emily Dickinson, dalam diri siapa ia pasti mengenai dirinja dan karena itu membelanja; dan karangan ini tertanggal tahun 1932. Sebagaimana Baudelaire dulu menjambut Poe sebagai saudara kembarnja demikian pulalah agaknja Vest­dijk menjambut Emily. Nada suara demikian tak pernah lagi didjumpai orang kembali dalam essay2nja jang ke­mudian, pun djika ia menulis tentang orang jang paling disukai dan dipudjanja, dan orang jang menjukai nada de­mikian, boleh djadi akan menganggapnja essay jang paling baik jang pernah ditulis oleh Vestdijk. Saja tidak berkata bahwa saja djuga berpendirian demikian, sebab kepintaran Vestdijk (jang djuga sudah terdapat dalam essay ini) makin lama makin mengagumkan; tapi saja tidak menja- lahkan orang jang merasakan hal itu demikian.

Ketadjaman Vestdijk kadang-kadang seakan-akan lebih dalam membor dari pada ketadjaman Ter Braak, karena ketadjaman Vestdijk seakan-akan lebih gemas melekatkan diri pada persoalan; sedang pada hakekatnja ketadjaman- nja itu sering tjondong pada jang paradoxal, djusteru sifat utama pada Ter Braak. Dalam essay Ter Braak tidak ada jang sama paradoxalnja dengan pernjataan Vestdijk ten­tang puisi Greshoff, pun dalam kumpulan ini, artinja kalau uraian pendahuluannja tentang «puisi sorga dan puisi bumi»

tidak dibuang seperti sekarang. Djika orang seperti Gres- hoff, penulis puisi jang paling sederhana dan mudah, didja- dikan sematjam kumpulan pemjataan kefilsafatan, adalah itu mempergunakan ketadjaman otak sampai kepada batas2 jang absurd, dan oleh karena itu essay ini selalu saja anggap sematjam mystifikatie betapapun tjerdiknja; jaitu bahwa Vestdijk (diamdiam!) berkata pada orang jang suka mu- ram: «Nah, ini kesungguhan, makanlah biar kenjang; ka- gumilah, pudjalah ini, lalu enjahlah karena aku ingin me- njendiri supaja dapat ketawa terbahak-bahak.» Tapi mung­kin djuga saja silap.

Ketadjaman jang mendorong essay2 Ter Braak, adalah ibarat sungei: mengalir lemas, tjepat, djarang berkelok (walaupun banjak menjangka jang sebaliknja), sering da­lam garis2 lurus dan menjeret karena kelantjarannja men- desak air jang kadang2 berbusa, tapi sering litjin sadja dan berkilat ditimpa sinar matahari.

Ketadjaman Vestdijk adalah ibarat pusar air; warna re- dup, ber-putar2, tapi gelap dan dalam, dan melingkupi latar jang lebih ketjil; kebawah mereguk diri, sedang pikiran Ter Braak sekalipun selalu rata bergerak, kadang2 kelihatan seakan-akan sinar jang menusuk udara karena luasnja ruang sekitarnja. Ter Braak meneropong dan menjeret; Vestdijk membongkar lalu membangun kembali.

Sifat dan temperamen ini djuga njata dalam gaja mereka berdua. Djika Ter Braak pandai mempermainkan pengerti­an2 jang paling abstrak, dengan kata2, jang sederhana tapi njata dan tepat sekali, maka Vestdijk menimbulkan kesan seolah-olah ia baru dapat menjelesaikan konstruksi dan analisanja kalau ia mempergunakan segala persediaan isti- lah2 keachlian. Seolah-olah, kata saja, sebab saja jakin, bah­wa Vestdijk sebenamja tak memerlukan istilah2 itu, dan bahwa ia sering ketawa nakal kalau sedang memperguna- kannja. Djika saja salah lihat dan djiwa Vestdijk memang memerlukan «istilah2 keilmuan» ini, maka hal ini dapat saja maafkan karena disebalik itu ia banjak memberikan hal2

jang sungguh berharga. (Tiap pengarang besar harus di- maafkan kalau ia mempunjai kegandjilan2, dan barangkali segala pengarang besar mempunjainja).

Karena terlalu perasa, djuga dalam arti artistik dan este- tis, maka Vestdijkseakan-akanmengolahsifat2njamendjadi ketadjaman, sebab bukankah sudah sewadjarnja demikian kalau seorang perasa seperti dia, hendak mendjelaskan «pcrasaan»nja tentang sesuatu dengan sedjelas-djelasnja ?Ter Braak lebih «terharu» dilapangan penjadaran - diri, pemiki- ran - sebab padanja ketadjaman itu bertugas seperti nafsu2 ter tentu pada orang jang bersifat «kebinatangan». Djika orang hendak melihat Vestdijk dalam «gerak kebinatang- an»nja, maka baiklah orang membatja roman2nja. Vestdijk, seorang jang lebih seniman dari Ter Braak, barangkali ha­nja menundjukkan sepertiga dari kesanggupannja dalam essaynja, dan djika ia kalah pada Ter Braak dilapangan ini, karena ketjekatan jang mendjadi pembawaan bagi Ter Braak, maka ia (dalam sajembara chajalan ini) selalu dapat mentjetak goal penjama karena ketjerdikannja jang luar biasa dan jang selalu tersedia.

Terlalu tjerdik hingga terkadang seakan-akan membatu, mendjadi benteng kristal, tapi jang selalu mengagumkan karena bangunnja jang indah dan karena kebening- annja, demikianlah pikirannja. Tjontolmja ialah karangan- nja tentang R ilke sebagai seniman jang barok, dan demi­kian pula karangannja tentang Kafka walaupun tidak se- njata karangan tentang Rilke. Tapi setiap kali ia menulis tentang sebuah buku, tentang komposisi roman jang baik atau djelek, atau tentang sadjak jang indah seperti sadjak Luke Havergal, «tjiptaan adjaib» dari penjair Amerika, E. A. Robinson, ia menulis lembaran2 jang tak terlupakan, ka­rena dalam karangan itu ketjerdikan dan perasaannja se- iring, gajanja mentjapai keseimbangan, sehingga uraiannja, walaupun tidak menjeret, tak pernah kendor barang se- detik.

Memikat hati pembatja, jang dapat «diadjaknja bitjara»,

sekalipun ia tidak pernah bernafsu, itulah tjiri bakatnja- djuga dalam roman2nja. Ia pun masih sanggup memikat hati, djuga kalau ia njata2 tidak lagi bulat2 memberi per- hatiannja pada pokok soal, seperti ketika ia menulis ten­tang Valery dan Stefan George; karangan jang lebih meru­pakan pemudjaan jang ingin memberi pendjelasan dari pada bukti perasaan persamaan atau ketjintaan. Walaupun demikian ia masih sanggup menerangkan hal2 jang baru, dalam suatu analisa jang hampir dingin sadja, seperti ketika ia membuka tabir jang menjelubungi buku jang tak berapa menarik hatinja (walaupun buku itu sama «kotor»nja, dengan roman2 karangannja) jaitu «indics boek» Het Land van Herkomst, walaupun agak djanggal djuga menuliskan sesuatu tentang itu ditempat ini. Pada hemat saja ka­rangan ini hanja dilebihi oleh essaynja tentang Ulysses karangan Joyce, jang memang merupakan essaynja jang paling tepat dan tadjam, sementara karangannja tentang Emily Dickinson merupakan essaynja jang paling fitri dan halus.

Bataviaasch Nieuwsblad Bergen-binnen17 Nopember 1939 12 Oktober 1939

R O M A N T E N T A N G IN D O N ESIA

Beb Vuyk: «Het laatste Huis van de Wereld», 1939

Ketika terbitnja roman Beb Vuyk jang pertama, jaitu Duizend Eilanden, saja terpaksa menjatakan keketjewaan tertentu disamping penghargaan saja, karena sekalipun bu­ku itu mempunjai kekurangan2 ia termasuk buku2 tentang daerah djadjahan kita, jang mempunjai nilai kesusasteraan djuga, sedang djarang demikian adanja. Buku itu terlalu banjak dipudjikan. Tapi bukan itu alasan jang terpenting, sebab diabad reklame ini, tak perlu heran mengalami jang demikian. Sebabnja jang terpenting ialah bahwa orang menawarkan sebuah roman, sedang jang diliadapi ternjata hanja sebuah novelle, baik melihat mutu maupun sifatnja. Seorang penerbit jang menjadjikan sebuah novelle sebagai roman, dengan mempergunakan huruf jang besar2 dan an- tar-baris jang besar, bukan sadja merugikan pembatja tapi djuga pengarang. Demikian orang memperoleh pandang- an jang tidak tepat tentang diri Beb Vuyk sebagai penga­rang roman, dan seakan-akan Beb Vuyk kurang nafas, tak ada pengalaman luas, miskin soal-dan-isi. Maka njonja Szekely-Lulofs, jang tidak begitu penting dibanding de­ngan Beb Vuyk sebagai pengarang, akan kelihatan lebih penting dari Beb Vuyk sebagai pengarang roman, karena pandai bertjerita dan tebal2 pula buku2 jang diterbitkannja, seperti jang dapat dilihat dalam buku pertamanja, Rubber. Djika mereka dibanding dengan tjara demikian, maka jang mendjadi soal lantas bukan lagi bakat, gaja, pendeknja

mutu, akan tetapi hal tahan nafas dan kekuatan otot. Duizend Eilanden kurus-kering dibanding dengan Rubber.

Pada buku baru Beb Vuyk, Het laatste Huis van de Wereld, kesilapan tak mungkin timbul. Bukan sadja Beb Vuyk pengarang jang lebih berharga dari Szekely-Lulofs, tapi bukunja mendjulang diatas segala buku jang sedjenis de­ngan itu, dan djika orang menjangsikan hal ini, itu berarti bahwa ia mungkin telah banjak membatja, tapi belum sampai pada kedewasaan dalam hal ini.

Tepat sekali djika buku Beb Vuyk ini dibanding dengan buku pertama karangan Albert Helman, jaitu Zuid-Zuid- West-nja, jang tulus, bersuasana puisi dan menarik. Buku jang sekalipun «de West» dan bukan «de Oost» jang men­djadi persoalannja, merebut kedudukan paling depan dalam kesusasteraan kolonial kita.

Seperti Zuid-Zuid-West djuga Het laatste Huis van de Wereld bukan roman, dan tidak pula berusaha supaja orang menganggapnja sebuah roman. Het laatste Huis van de Wereld dapat disebut sesuai dengan kenjataan, pun zakelik, sedang Helman se-akan2 sengadja menulis kepenjairan da­lam mengenang masa kanaknja di Suriname, tapi namun perbedaan ini kedua buku itu menimbulkan satu pikiran. Kedua-duanja ditulis baik sekali, berisi kalimat2 jang dengan beberapa kata sadja mentj ip ta suasana jang setepat-tepatnja, menghidupkan warna dan raut sesuatu dalam pandangan pembatja, serta merasakan matahari atau angin, dingin atau panas, kelembaban atau kekeringan padanja. Mereka sama2 bertolak dari pengalaman sendiri, pengalaman jang namun terbatas dipertanggung-djawabkan penuh.

Lagi zakelikheid Beb Vuyk, karena pokok tjeritanja, ka­rena suasana daerah Maluku tempat tjerita berlangsung, sering tertjelup puisi alam jang tak di-tjari2 sama sekali tapi sewadjamja, hingga ia tak memerlukan gaja poeme-en- prose jang terdapat pada Helman, untuk mentjapai hasil jang sama dengan Helman dilapangan ini. Dan ada pula pertimbangan, jang bcrlaku untuk kedua pengarang ini,

kesegaran, charme jang timbul begitu sadja, jang barang­kali hanja pada pengarangjang barumulai dapat didjumpai.

Daerah Maluku hidup dihadapan saja dalam buku ini, hal jang belum pernah saja alami dalam buku achli2 : buku sedjarah, ilmu bangsa2, ilmu bumi dsb. (Hanja gambar2 tua jang kadang2 sanggup memberi kesan djelas pada kita). Tepat, kena, tak satukatapun berlebih, toch tidak di-buat2, demikianlah tjara Beb Vuyk bertjerita atau melukiskan se­suatu jang hendak ditundjukkannja pada kita, dan kita me­mang melihat semua itu. Beb Vuyk seakan-akan tidak sengadja menulis kesusasteraan; karena ia pandai sekali mengarang, tak pernah karena ia sengadja hendak menulis baik. Apakah padanja terdapat psychologie ? Pendjelasan2 tentang «djiwa ketimuran» pada puak gandjil jang terdapat disana, jang mendjadi pokok tjerita itu? Sebenarnja tak ada dimanapun, - toch bangsa itu hidup dimata kita; lebih dari itu lag i: kita lantas mengenai mereka.

Beb Vuyk tidak menjelubungi perangai mereka jang gandjil, dan kadang2 tidak menarik, dengan kudung ethis, pun ia tidak mengambil pendirian si-«pendjadjah», maupun pendirian kritis jang oleh kaum pendjadjah segera ditjap «kommunisties», djuga bila perkataan itu tidak tjotjok sama sekali, seperti menjebut biola adalah perabbt. Ia membuka hatinja dengan tulus, tapi ia tidak menutup mata, sutji dari rasa-diri orang kulit putih di Timur, tapi pun tanpa teori jang muluk2. Hasilnja menggembirakan: karena ia dengan tulus memberi kesaksian akan apa jang dilihat dan dialami- nja, dengan mentjeritakan peristiwa2 dipulau Buru dalam bab2 jang tjotjok djuga dimuat dalam madjalah «biasa» (lagi sebagian telah disiarkan demikian, kalau tak salah, dalam sebuah madjalah wanita), tapi melakukan semua ini, sedang tulisannja tetap mengenai inti dan menarik, tidak kendor barang semenit, Beb Vuyk tampil dengan sebuah buku, jang bukan sadja melebihi «roman»-nja jang pertama, tapi djuga merupakan unikum dalam lingkungan kesusasteraan Belanda. Bagi saja telah pasti bahwa harganja buat sebagian

besar disebabkan kenjataan, bahwa karangan ini tidak di- kenakan topeng «roman». Het laatste Huis van de Wereld sebenamja merupakan dunia tersendiri, sebuah lapuran, suatu kesaksian, tapi djuga sebuah tjerita; tjerita ini sekadar lapuran sari-pengalaman njonja De W illingen-Vuyk dan suaminja, dalam perusahaan kaju-putihnja nan disana di Timur Djauh. Disamping banjak keterangan2 jang zakelik- technis. Sama sifatnja dengan perintjian perusahaan penang- kapan ikan paus dalam buku Moby Dick jang term asjhur- «romance» manusia djalan terus, dan ternjata bersesuaian. Beb Vuyk melukiskan «kepahlawanan jang tragis» dari per­empuan jang bersalin, tanpa bantuan dokter di tempat jang terpentjil, dengan ketadjaman seorang Hem ingway (tapi lebih singkat dan lebih sederhana), dan se-akan2 - dengan tak sadar - menuliskan lembaran2 klassik epos isteri pionir dari abad ke abad.- Tapi, njonja jang terhormat (saja bitjara pada pembatja wanita, jang berdasar kekuasaan mode sekarang menen- tang pengarang2 jang mentjeritakan «urusan dan nasib- pengalamannja sendiri») njonja jang tertjinta, njonja jang lebih tahu, djika kissah wanita ini mengharukan hatimu; seorang wanita jang lebih berani dan berpengalaman lebih banjak dari njonja sendiri, padahal njonja begitu tjakap, tapi mungkin hanja memuaskan nafsu hidup dengan main sandiwara iseng-iseng, karena hidup njonja jang begitu ter- djamin menghalangi njonja berbuat lain, kenapa njonja harus menentangnja? Apa benar-kah keberatan njonja ter- hadap sebutan «orang jang menulis tentang dirinja sendiri»?- lagi pula ini sebuah sebutan jang njonja kutip dari teori2 pengarang lain, jang mempergunakan metoda baru. Djika njonja sendiri menulis buku, tapi dengan ketjakapan dan bakat dan seboleh-bolehnja dengan ketulusan hati, tentang pengalaman2 njonja, tentang kegagalan atau ketabahan njonja, tentang dunia impian atau dunia jang terwudjud, asal dialami benar2, saja - saja, jang memang sudah mem­batja lebih banjak dari pada njonja, djadi jang lebih

berhak merasa bosan, akan membatja karangan njonja de­ngan penuh minat. Setidak-tidaknja saja akan mulai mem­batja karangan njonja dengan penuh perhatian. Barangkali njonja akan saja sandjung, lebih dari pada sandjungan jang mungkin saja berikan pada Schnitzler atau Vemeuil, dan ketahuilah: barangkali itulah nanti pertama kalinja dalam hidup njonja, bahwa seorang manusia jang sungguh2 me- njandjung njonja»...

Tapi njonja itu lantas merasa «tersinggung» dan tidak berhenti menolak Beb Vuyk, jang sebenarnja tidak mem- punjai persamaan apa2 dengan diri saja, ketjuali soal ketjil jang dapat diulur2, jaitu kesukaan menulis tentang de Oost dan tentang diri sendiri. Djuga ia tak kenal ketulusan hati dan kesederhanaan. Ia pasti akan suka sekali membatja bu­ku Beb Vuyk, sekiranja ia tak merasa wadjib mengemuka- kan teori2 kesenian. Satu hal selalu mengherankan saja: apakah seorang jang menulis tentang dirinja sendiri, tidak dapat lagi dipandang sebagai orang lain, selain dirinja sen­diri, oleh siapa sadja? Djika seorang laki2 atau perempuan merasa terdorong menulis tentang dirinja, boleh djadi ka­rena itulah soal jang diketahuinja betul, dia mendjadi «orang lain» presis seperti tiap orang lain, bagi saja, pembatja, jang hanja dari luar sadja dapat mendekati hal jang diperhati- kannja dan oleh dia sadja dari dalam. Orang terang terlalu banjak prasangka djika orang itu menganggap dirinja... diri orang lain, hanja karena orang ini kebetulan menulis tentang diri sendiri!

Ketika Beb V u yk mengachiri bukunja jang terdahulu dengan kepergian dua tokohnja dari Djawa ke Maluku, di­mana orang bisa tumbuh «seperti pohon», saja madjukan pertanjaan Multatuli apakah barangkali tugas manusia bu­kan hanja mendjadi manusia sadja? Lagi pula tjeritanja telah tjukup pandjang sehingga saja, sebagai seorang «pem- batja biasa», ingin tahu nasib pengalaman mereka selan- djutnja.

Tapi Beb V uyk tidak mau menulis sambungannja, dan

ketika saja mendesak ia memadjukan pertanjaan lutju apa­kah saja ingin tahu bagaimana mereka itu mendjadi pohon disana. Namun begitu ia menulis sambungannja dalam buku ini, dan saja gembira menjatakan bahwa tokoh2nja disana tetap tinggal manusia: sederhana, berani, dan sangat simpatik. Hanja ada metamorfose dari dua planter muda dari Duizend Eilanden mendjadi tuan dan njonja D e Wil- lingen-Vuyk, biasa sadja, pun nama tidak diganti. Hal ini menambah kelangsungan dan ketulusan tjerita: mendjadi lebih tegang, dan lebih sungguh2 sebagai hasil sastera. Hal itu tak merugikan sama sekali tak merugikan dalam hal: gaja, tjara bertjerita, pelukisan pemandangan, pengetahu- an tentang keadaan dan tentang penduduk daerah itu ; ber- tambah suatu dimensi, jang tak terdapat dalam Duizend Eilanden. Buku ini lajak mendapat kepertjajaan jang lebih besar dari pembatja.

Bergen-binnen, Oktober 1939

M A L R A U X - L E S C O N Q U E R A N T S

Rom an pertama karangan Malraux Les Conquerants sudah terbit dan «dilarane; di Rusia dan di Italia» demikian disebut pada sampulnja. (Batja: oleh kaum bolsjewik dan kaum fascis).

Suatu hal jang menggelikan dan benar; buat Malraux- - sebagaimana ia saja kenal - terutama menggelikan.

Buku itu sangat laris; orang telah menunggunja dengan penuh perhatian sedjak beberapa fragmen disiarkan dalam N .R .F ., buku jang terbaik tahun ini. Tak ada sesuatu dalam karangan Malraux meramalkan hal itu: dalam Lunies et Papier tidak, karangannja ketika ia masih berusia 18 tahun, dan sudah terdjual habis sedjak lama dan sudah dilupakan oleh dia sendiri, djuga tidak dalam perbandingan kefil- safatan antara Tim ur dan Barat, La Tentation d’Occident, pun tidak dalam skepticisme-nja dalam essay D'Une Jett- nesse Etiropeenne, pun tidak dalam puisi dan kerinduan jang terdapat dalam Royaume Farfelu. Lagi pula itu tidak banjak, walaupun dikumpul semuanja; dan rasanja me­mang tak mungkin ada lagi diluar itu. Malraux belum tjukup 27 tahun dan banjak sudah pengalamannja, sampai pada hukuman jang didjatuhkan oleh pengadilan di Indo- China.

Disamping itu ia kandidat sastra; pernah djadi anggota pelapur dari Ecole Fran^aise d’extreme-Orient dan pula bertugas sebagai charge de mission archeologique pada Ke-

menterian Djadjahan Perantjis; hidup sebagai petualang di Kambodja, dengan pengalaman jang terlalu gandjil dan terlalu banjak untuk dilukiskan disini; pernah mendjadi komisaris Kwo-Min-Tang, dan direktur madjalah Annam Baru di Saigon; kira2 setahun jang lalu ia mendjadi pener- bit buku luxe atas tanggungannja sendiri; sekarang dia mendjadi direktur dari satu, dua atau tiga tjabang N .R .F . dan sementara itu mengimpikan Dahomey dan Persia dan Afghanistan berganti-ganti. Dia sangat terpeladjar, sangat tadjam otaknja; dia tak tergolong kumpulan sastra mana- pun; dia mempunjai lebih banjak musuh dari pada kawan; dia merasa terdorong menuhs sebuah buku dan djika buku Les Faux Monnayeurs karangan Gide diketjualikan, m akaia telah menulis roman jang terpenting dalam sepuluh tahun belakangan ini, pada usia 26 tahun. Tokoh Garine: seorang pemimpin revolusioner dan petualang, adalah salah satu tjiptaan terbesar dalam sastra Perantjis jang sekarang. Di- atas segala sifat2 kebaikan jang lain dalam buku ini: tokoh ini mendjulang, hidup dan mengenai hati kita. Tak pen- tinglah rasanja dipihak mana ia berdiri, dalam dekor mana ia bergerak, jang selainnja hanja daja penarik (dan kita tak buta pada unsur aktualitet jang terdapat didalamnja, se- kalipun kita tak akan meniru penterdjemah2 di Djerman jang merasa perlu meminta tjatatan2 pada nama2 djenderal2 jang terpenting), tapi nilai kemanusiaan jang terdapat di­dalamnja menguasai seluruhnja. Garine adalah manusia jang suka perbuatan, karena perbuatanlah baginja pengisi hidup jang absurd dengan tjara jang paling bermartabat; ia berbuat sampai ia patah diserang penjakit; ia mentjapai kemenangan terachir, sesudah mana tindakan meluntjur dari tangannja-lalu ? . . . Situasi jang tak mengandung harap- an inilah achir buku itu.

Lebih pedih dari mati; setelah 250 halaman diisi kissah gerakan massa, pertempuran, tindakan2 pohtik, hampir se­lalu diiringi peristiwa batin dan digambarkan dengan alat- alat sehemat-hematnja, tepat sampai kesoal-soal ketjil se-

hingga bukan sadja membuat buku itu memikat perhatian tapi djuga mejakinkan, jang semuanja kita hadapi seakan- akan dengan nafas terputus. Dengan lambat tapi pasti kita dimasukkan kedalam aksi (dengan kesaksian jang djudjur tentang segala kedjadian, oleh teman Garine jang menjam- paikan tjatatan hariannja pada kita tanpa mentjeritakan se­suatu tentang dirinja sendiri, satu-satunjatokoh dalam buku ini jang dengan sengadja tak diberi berwatak oleh Malraux ketjuali sebagai «saksi»), kita serasa dipegang erat-erat, dire- but, diseret; semua itu kita terima sebagai satu-satunja tin- dakan jang mungkin, satu-satunja jang bermartabat; lalu- dengan tjara jang paling halus jang membajangkan ke- menangan dan bukan kekalahan tiba2 semuanja dihentikan. Pengarangnja seakan-akan bertanja: «Apa lagi kalau bukan demikian ?» dan kita tak sanggup mengatakan sesuatu.

Saja jakin bahwa orang tak sanggup menulis buku de­mikian kalau orangnja sendiri bukan manusia-tindak; tapi tak akan mengherankan kalau ternjata bahwa djusteru manusia-tindak demikian hanja akan separoh-mengerti akan maksudnja, akan memandangnja sebagai buah djurnalistik kelas satu atau sebagai sumber jang baik tempat mendapat keterangan. Sebab bagaimanakah lagi dapat diterangkan, tindakan kaum bolsjewik dan kaum fascis jang melarang buku itu? Sifat terpenting dari buku itu ialah karena ia mempunjai dua segi: segi-dalam dan segi-luar; dan bahwa kedua segi ini saling menguatkan dan memperdjelas.

Buku ini tak mempunjai persamaan sama sekali dengan produksi pengarang2 muda sekarang; buku itu bersifat pribadi, sedjauh sebuah buku dapat bersifat pribadi. De­ngan bukunja jang lalu Malraux telah membuktikan bah­w a ia mempunjai bakat jang beragam, dalam buku Lcs Conquerants soal itu tak tampil lagi, temperamennja ber- kuasa, jaitu temperamen orang jang mempunjai sesuatu tugas dan jang membawakannja dengan tjara jang paling langsung, paling tepat, seperti kalau hendak menjatakan sesuatu kebenaran.

Tugas mentjari kesalahan atau kelemahan dalam buku ini dalam «faktur» atau «komposisi» baiklah kita serahkan pada achli2nja-w alaupun saja pertjaja bahwa djuga mereka harus pasang katjamata untuk mendjumpai sesuatu kesala­han - sebab sungguh lebih penting dan menggem birakan: bahwa dikalangan angkatan muda Perantjis terdapat se­orang jang mempunjai sifat2 jang lebih dari ketjakapan dan bakat jang dipunjai rata-rata pengarang jang terhormat atau teliti. Andre Malraux menjatakan diri sebagai pribadi, sanggup meninggalkan kesan bukan sadja pada teman2 sezamannja, tapi pada angkatan sesudahnja djuga, pada pemuda2 jang pada saat ini barangkali berusia 16 tahun. Les Conquerants menundjukkan nilai Malraux sebagai tjon- toh dari gaja dan kepandaiannja bertjerita. Sebenarnja masih banjak jang dapat dikatakan tentang buku itu. Misalnja bahwa titelnja, setelah selesai dibatja, dimaksud menerta- wakan pembatja; bahwa didalamnja tak ada tokoh wanita - bahwa sesudah Garine tokoh utamanja ialah: agen bolsje wis Djerman bernama Klein, pemimpin muda kaum ter roris Kanton bernama Hong, Tsjeng-Dai, sematjam Ga dhi Tionghoa, selain lima atau enam orang lagi) to^ sampingan jang menarik sekali; bahwa diniana sad' ° ^melukiskandekor-.Singapur, S^gon, Honpk(Ana v Ja

se^erapa munRk,n hnm ,

far i iB, iB c n d i i i i L 1 ? m e n -

m , ■ PUJlOU Ull'i iian tjara^ menulis ]angftfpctmtikan tetekbengek. Ia tidak hendak menjugukan

pcrmtang waktu akan tetapi hendak mcjakinkan. Pembatja merasakan bahwa tjeritanja berlangsung di Asia-Timur, karena demikianlah njatanja, lain tidak; bahwa penulisnja mengenai dckor itu, bahkan mengenai 1001 matjam hal2 jang ketjil dan gandjil, tapi dengan kesedaran akan nilai2 jang lain dan lebih besar. N ilai2 jan g demikian besarnja hingga lajak diandjurkan oleh orang jan g ingin menjam- paikannja kepada angkatan muda jan g berpikir; K lein misalnja berkata: «Oui, faire savoir a ces gens-la qu’ une c ose, qui s appelle la vie humaine, existe!» ketika orang

a ia on,

harus berontak dan membunuh, dan Garine: <Je sais que tout le long de ma vie je trouverai a mon cote l ’ordre social et que je ne pourrai jamais l ’accepter sans renoncer a tout ce q u eje suis.» Hal2 ini merupakan bagianjang senjawa de­ngan keseluruhannja, dan karena disini tak didjumpai su- ara2 ketjintaan kemanusiaan, kadang2 suht mempertahan- kannja sebagai sesuatu jang «simpatik» dikalangan tertentu.

Bagi saja pasti: kalau Les Conquerants sudah tergolong buku kelas satu, saja kira M alraux masih akan menulis jang lain. Dari padanja segalanja dapat diharap: buku jang lebih besar, atau pertualangan jang lebih hebat lagi.

Brussel, Oktober 192S

Tugas mentjari kesalahan atau kelemahan dalam buku ini dalam «faktur» atau «komposisi» baiklah kita seralikan pada achli2nja-walaupun saja pertjaja bahwa djuga mereka harus pasang katjamata untuk mendjumpai sesuatu kesala­han - sebab sungguh lebih penting dan menggembirakan: bahwa dikalangan angkatan muda Perantjis terdapat se­orang jang mempunjai sifat2 jang lebih dari ketjakapan dan bakat jang dipunjai rata-rata pengarangjang terhormat atau teliti. Andre Malraux menjatakan diri sebagai pribadi, sanggup meninggalkan kesan bukan sadja pada teman2 sezamannja, tapi pada angkatan sesudahnja djuga, pada pemuda2 jang pada saat ini barangkali berusia 16 tahun. Les Conquerants menundjukkan nilai Malraux sebagai tjon- toh dari gaja dankepandaiannja bertjerita. Sebenarnja masih banjak jang dapat dikatakan tentang buku itu. Misalnja bahwa titelnja, setelah selesai dibatja, dimaksud menerta- wakan pembatja; bahwa didalamnja tak ada tokoh wanita; bahwa sesudah Garine tokoh utamanja ialah: agen bolsje- wis Djerman bernama Klein, pemimpin muda kaum ter- roris Kanton bernama Hong, Tsjeng-Dai, sematjam Gan­dhi Tionghoa, selain lima atau enam orang lagi, tokoh sampingan jang menarik sekali; bahwa dimana sadja ia melukiskan dekor: Singapur, Saigon, Hongkong, Kanton, penulisnja, seberapa mungkin, tanpa pentjeritaannja men­djadi kering, mendjauhkan diri dari tjara2 menulis jang memperhatikan tetekbengek. Ia tidak hendak menjugukan perintang waktu akan tetapi hendak mejakinkan. Pembatja merasakan bahwa tjeritanja berlangsung di Asia-Timur, karena demikianlah njatanja, lain tidak; bahwa penulisnja mengenai dekor itu, bahkan mengenai 1001 matjam hal2 jang ketjil dan gandjil, tapi dengan kesedaran akan nilai2 jang lain dan lebih besar. Nilai2 jang demikian besarnja hingga lajak diandjurkan oleh orang jang ingin menjam- paikannja kepada angkatan muda jang berpikir; Klein misalnja berkata: «Oui, faire savoir a ces gens-la qu’une chose, qui s’appelle la vie humaine, existe!» ketika orang

harus berontak dan membunuh, dan Garine: «Je sais que tout le long de ma vie je trouverai a mon cote l ’ordre social et que je ne pourrai jamais l’accepter sans renoncer a tout ce queje suis.» Hal2 ini merupakan bagian jang senjawa de­ngan keseluruhannja, dan karena disini tak didjumpai su- ara2 ketjintaan kemanusiaan, kadang2 sulit mempertahan- kannja sebagai sesuatu jang «simpatik» dikalangan tertentu.

Bagi saja pasti: kalau Les Conquerants sudah tergolong buku kelas satu, saja kira Malraux masih akan menulis jang lain. Dari padanja segalanja dapat diharap: buku jang lebih besar, atau pertualangan jang lebih hebat lagi.

Brussel, Oktobcr 1928

M A L R A U X - LA VO IE R O Y A L E

Kuterima La Voie Royale karangan Malraux. T iga hari kuperlukan untuk membatjanja kembali. Pertama kalinja, di Paris, proef buku itu terpaksakubatja malam-malam, dan ketika itu agak keburu dan aku merasa bahwa sifat ter- putus2 dan tidak sama dalam djalan tjeritanja sebagian besar disebabkan keadaan jang mempengaruhi saja ketika itu, atau karena didalamnja masih terdapat beberapa tjelah- tjelah jang harus diisi lagi. Tapi pembatjaan buku itu kem­bah temjata meminta ketekunanjang sama dengan dulunja; kadang2 beralih terlalu tjepat, kadang2 terlalu padat, terlalu berisi. Pada hemat saja buku ini, dilihat sebagai roman, memang tidak sebaik Les Conquerants; avontuur dalam bu­ku ini demikian sadar dan terus-menerus diangkat keting- katan lebih tinggi, hingga pembatja terlalu sering mendapat kesan bahwa pembatja bukan menghadapi kenjataan lagi akan tetapi sedjenis metafisika dari avontuur. Tjeritanja berdjalan begitu lantang, dengan tekongan2 jang tadjam, dan terutama berisi hal2 ketjil jang menarik hati penuhsnja (sekalipun misalnja tidak perlu bagi penjelesaian tjerita) sehingga unsur waktu terlalu berkerut dalam tjerita ini. Lagi pula segalanja diatasi oleh komentar jang dikeluarkan tokoh2nja atas laku dan perbuatan jang berdjalan.

Bagi saja, barangkali karena sekarang Malraux saja kenal terlalu baik, hampir tak ada perbedaan antara avonturir muda Claude dan Perken jang sudah lebih tua. Keduanja

mewakili dua taraf kehidupan satu manusia, dan bukan terutama kehidupan dua manusia. M. berkata bahwa saja salah terka dalam hal ini dan bahwa persamaan mereka hanja chajal, jaitu disebabkan adanja pertalian jang hakiki antara dua watak itu; di-bagian2 berikutnja, kataM., orang akan melihat dengan terang adanja perbedaan itu, kalau Claude djuga sudah mendjadi lebih tua. Memanglah M. bermaksud supaja orang mem-batja buku ini sebagai muka- dimah dukatjerita, sematjam «proloog» menurut katanja sendiri. Matinja Perken mendjadi serupa pendjelasan atas perkembangan Claude jang seterusnja, sebagaimana dalam Tete d’Or karangan Claudel berkat kematian kekasih dan temannja Simon Agnel tumbuh mendjadi tokoh matang dari seorang pemenang. Dilihat dari sudut tertentu kurang tepatlah agaknja menerbitkan bagian pertama ini seperti sekarang. Bagaimanapun djuga, bagi saja masih akan terasa adanja hubungan jang lain dari pada hanja persamaan jang dangkal antara Claude dan Perken: saja selalu mendengar suara Malraux, dua kali suaranja sendiri terlibat dalam per- tukaran fikiran jang mendalam dengan dirinja, dan dengan tjara demikian mengutjapkan hal2 jang paling mendesak hatinja; sedang membatja begitu kulihatlah dia didepan saja sebagaimana ia pada saat2 paling mesra, bitjara dengan semangat jang dipendam dan pandang jang sebagian me- neropong dan sebagian melampaui lawannja bitjara (agak­nja demikianlah pandang Saint-Just).

Dalam buku ini ada bagian2, terutama dalam pertjakap­an2 tentang persahabatan, tentang mati - tentang persaha­batan dalam avontuur menghadapi mati -jang bagiku ter- masuk pertjakapan2 jang paling mengharukan jang pernah saja djumpai dalam buku. Demikianlah agaknja maka ke­dua suara itu merumuskan segalanja bagiku, diatas suara lain, pun diatas rimbaraja dan avontuur jang njata2, pula maka ketika saja meletakkan buku itu sesudah pertjakapan terachir dan matinja Perken, aku tidak merasa keluar me- ninggalkan rimbaraja, tapi seperti dari suatu mimpi ngeri

jang gandjil, dalam mana padaku disugukan kebenaran jang antara bentuk2 jang gelap dan menjeramkan: tekanan rimbaraja dan antjaman orang biadab. Ada didalamnja per- tjakapan tentang persahabatan (ketika Perken menjangka bahwa Claude telah mendapat tahu hal2 berkenaan dengan kelakuan2nja dimasa lalu) jang demikian langsung ditu- djukan dari Malraux terhadap saja, jang memperlihatkan persamaan jang begitu besar dengan hal jang pernah dinja- takannja padaku setjara pribadi, ketika berbitjara tentang saja, tentang Pia, atau tentang kawan2nja pada umumnja, sehingga dalam bentuknja jang diasah seperti sekarang bagi­ku utjapannja melenjapkan banjak halaman lain sekitarnja.

«Comprenez moi. Si j ’accepte un homme, je l ’accepte totalement, je l’accepte commc moi-meme. De quel acte, commis par cet homme qui est des miens, puis-je affirmer que je ne l’aurais pas commis?...

Et peu vous importe le lieu ou l’amitie peut vous en- trainer ?... - Craindrai-je l’amour a cause de la verole?Je ne dis pas: peu m’importe, je dis: je l’accepte.»

Dengan sendirinja dekor pertjakapan begitu lenjap ka­rena kepekatannja. Maka rasanja ini pulalah jang akan di- sesalkan orang lain pada buku ini, bahwa kedua avonturir itu bitjara terlalu banjak dan terlalu pekat, terlebih-lebih terlalu lekas memberi perumusan.

Roman avontuur, bahkan jang bcrdasar psychologi, lUpailja hams secljalail dengan sedjenis kebodohan, atau lebih baik, dengan sematjam ketidak-sadaran, karena agak- nja setiap aksi akan dikaburkan oleh tumbuhnja pengertian. Djuga pertjakapan tentang mati, sebelum sampai didesa Stieng, mengagumkan sekali, terlepas dari jang lain. Jang membuat buku ini mendjadi lepas dari kenjataan ialah usaha mendjangkau hal2 jang tak tertjapai oleh kepahlawan jang manapun; avonturir2 ini terlalu sedar menantang mati-Perken, dalam detik jang paling hebat, ketika ia sen- dirian menjongsong orang biadab jang mengantjamnja, merasa bahwa ia mempertaruhkan sesuatu jang lebih dari

pada soal hidup-mati-sehingga perhatian pembatja (atau harus dikatakan, perhatian pembatja tertentu?) beralih dari laku itu sendiri, artinja ditarik oleh sematjam daja kedju- rusan pendjelasan laku itu. Dalam hal inilah bagian per- tama ini mendjauhkan diri, artinja seakan-akan, dari Les Conquerants, seakan-akan hendak mundur selangkah ke- djurusan La Tentation d’Occident (dari Stendhal, menudju Chateaubriand). Tapi boleh djadi nanti, sesudah membatja bagian kedua dan ketiganja, mukadimahnja ternjata ber- banding pada tokoh utamanja sebagai kedjadian jang cha- jal, sebuah mukadimah dan pendahuluan, tragis dan me- nentukan tapi djauli mendjangkau. Tak dapat saja bajang- kan, bahwa Malraux akan menulis bagian2 berikutnja se­perti ia menulis bagian pertama ini, walaupun saja tahu, bahwa ia mempunjai pendirian tjongkak untuk tidak meng- hiraukan sjarat tertentu dalam penulisan roman.

Dalam sebuah cafe di Champs Elysees, tepat sebelum ia bertolak ke Afghanistan, ia bitjara tentang de Bourron dari buku Les Homines Nouveaux: - Djenis manusia self- made jang menimbulkan angkat bahu, lepas dari ketjakap- an Farrere melukiskannja. Saja lalu membatja buku itu kalau2 ada sesuatu jang berharga didalamnja. Tapi me- mang, orang demikian tak masuk kira; djika orang hendak mengambil suatu tokoh tjerita dari dunia keuangan, sekali­pun buat tjerita jang berlaku didaerah djadjahan, pengar- angnja harus mengambil tokoh jang lebih berarti. - Saja katakan bahwa hal ini tak pernah mendjadi masalah bagi Farrere; bahwa tudjuan utamanja ialah menundjukkan bahwa seorang selfmademan itu pada suatu ketika bisa ter- tarik oleh wanita jang mempunjai kebudajaan djuga dan mendjadi bangga kalau kawin dengannja, tapi bagaimana pula wanita ini, djuga kalaupun ia ada melihat sifat2 baik pada lakinja, pasti akan mengchianatinja dengan laki-laki dari dunianja sendiri. - Ia menjatakan keheranannja jang menghina dalam kalimat pendek seperti berikut:

- Qu ’est-ce que 9a peut nous foutre? 1 7 Nopember 1928

D A L A M K A N T J A H P E R A N G S A U D A R A S P A N J O L

Andre M alraux: «L’Espoir», 1937

Barangkali belum terlambat, setelah perang-saudara Spa- njol berlangsung dua tahun, untuk membitjarakan buku Malraux jang terachir, walaupun tugas ini musjkil djuga disuatu negeri dimana seorang komunis kira2 dianggap sama dengan seorang pendjahat. Buku Malraux, sebagai- mana djuga pengarangnja, dengan tegas memilih pihak kiri dalam perang saudara itu. Kita kenal M alraux: bukan sadja ia tergolong pengarang Eropah jang terbesar pada ketika ini, tapi djuga sebagai orang jang membawa pesawat2 ter- bang pertama dari Perantjis ke Spanjol, lalu mendjadi pe- mimpin pasukan-udara-sukarela Perantjis, padahal ia bukan seorang djuru-terbang. Djuga dalam peranan pohtik ini Malraux hanja mengikuti tradisi Perantjis jang terbaik: Lamartine, Hugo, Barres selain mendjadi pengarang pun mendjadi achli pohtik jang giat. Dan saja belum pernah mendengar orang di Eropah jang dapat dibandingkan de­ngan Malraux dalam kepadaian berpidato.

UEspoir ditulis dalam berketjamuknja perang, dan menghadapi buku jang besar ini, kita sudah harus kagum melihat besarnja sadja. Disebalik itu memang karangan ini memperlihatkan bekas2 keadaan itu, bila diperhatikan dari segi keindahan; per-tama2 harus dikemukakan bahwa buku ini lebih rendah nilainja dari La Condition Humaine, jang ulung itu. Dalam buku ini Malraux menerakan soal jang telah bertahun-tahun hidup dalam dirinja; pengalaman di-

lapangan politik jang boleh dikata tak banjak, dipadatkan- nja dalam buku itu hingga mendjadi dunia konflik dan pertanggung-djawaban, didukung oleh tokoh2 jang ham­pir lebih hebat dari pada tokoh kehidupan jang sebenarnja; disana kekedjaman perbuatan disertai pertanggung-djawa- ban kefilsafatan, atau pertanggung-djawaban intelektuil da­lam arti jang setinggi-tingginja, hingga sifat2nja jang terlalu aktuil dan terlalu kasar dapat djuga kita terima. La Condi­tion Hnmaine merupakan tindak politik, jang pada hake- katnja djauli mendjulang diatas segala tindak politik, dan masalah tak-sempurnanja manusia itu sebagai machluk jang tak bisa luput dari tjatjat, menguasai soal pilih pihak, kiri atau kanan, dengan kekuatan jang bertjiri rasa-keaga- maan. Djuga dalam L ’Espoir dimadjukan masalah jang le­bih besar, tapi disini masalah tersebut tetap berhubungan erat dengan aktualitet, lebih erat dari laku jang didjalan- kan oleh seseorang didalamnja.

Per-tama2 masih kurang besar djarak antara pengarang dan pokok-soal. Orang jang menganggap L ‘Espoir gagal sebagai roman, benar buat sebagian besar: buku itu meru­pakan pelapuran jang didjadikan roman, reportase jang menjaru, penuh kilat sinar intelektuil, karena Malraux ba- gaimana djuga sudah ditakdirkan mempunjai ketjerdasan jang ulung, serta daja-pikirjang sangat halus dan disamping itu paham filsafat dan sedjarah, tapi daja-pikirnja, dalam buku ini, hampir luluh diadunja pada pengalaman, bahan2 jang terlalu banjak, jang semuanja mendjadi ramuan buku ini. Supaja kelimpahan ini dapat dipertanggung-djawabkan selengkap-lengkapnja dan setjepat-tjepatnja sebenarnja ia tak boleh mengorbankan anasir jang penting seperti dalam buku ini: jaitu anasir jang disebut kebenaran-bukuharian. Rupanja karena ia merasa perlu menjusun bahan jang ada padanja, maka M alraux lebih menjukai bentuk roman dari pada lapuran langsung; tapi karena ia mengganti orang jang sesungguhnja (jang tadinja tjukup diberi initially a se­bagai nama dalam buku-harian) dengan tokoh2 chajalan

jang belum tjukup matang, ia melakukan «kesilapan» jang terpenting, setidak-tidaknja kelemahan jang paling besar dari buku ini, pada hemat saja.

Sebagaimana pengalamannja berkelimpahan, demikian pulalah terlalu banjak tokoh didalam buku itu; djika dalam La Condition Humaine hanja ada limabelas tokoh jang dje­las, maka dalam L ’Espoir terdapat lebih dari empatpuluh tokoh desak-mendesak atau bergantian dengan tiada tju­kup alasan dan agak mengatjaukan pula.

Saja dengar keberatan orang jang berkata bahwa terlalu banjak pertjakapan dalam buku ini. Ini samasekali tidak tepat, djika ditilik setjara teliti; sebaliknja, buku ini penuh tembak-menembak, perkelahian, serangan dan pemboman, dan orang membitjarakan siasat perang, tentang harapan kalah-menang walaupun dengan persendjataan jang kurang menghadapi lawan jang mempunjai persendjataan jang le­bih lengkap, hingga pembatja jang tak tahu apa2 tentang siasat perang bosan dan tjapek membatjanja. Didalamnja terdapat pelukisan jang baik sekali tentang pertempuran udara dan lain2 jang hebat. Sebenarnja pertjakapan2 dalam buku ini kurang dan lebih keburu dari pada dalam La Con­dition Humaine. Tapi kata2nja kurang meresap, karena pem- bitjara2 disini, dengan beberapa keketjualian, tidak sempat tumbuh mendjadi tokoh2 jang djelas wataknja; karena di- silli, seperti dalam roman Sovjet karangan Ehrenburg, jang hingga kini masih dilebihi oleh Malraux, kadang2 berkuasa kekatjauan umum, dimana tidak dianggap penting soal siapa orangnja jang bitjara, asal sadja bitjara dan ada per- tukaran pikiran, asal sadja orang ramai mentjari perumusan dan beradu pendapat. Lagi salah satu dialog jang paling njata ialah saat ketika orang banjak itu sendiri menjatakan pendapatnja: pertentangan pendirian mengenai soal pihak mana jang mempunjai ideologi jang terbaik, mereka jang mempertahankan Alcazar-kah atau kaum republik. Disini kita djumpai ketepatan a la Malraux mengenai urutan dan perkembangan segala alasan jang dikemukakan, disamping

realisme dan nada suara kerakjatan, hampir mirip pada Heyermans. Disebalik itu dapat dihadapkan pertukaran- pikiran jang sangat tadjam antara Giovanni Scali, achli se- djarah kesenian, tapi ketika itu djuru-terbang pesawat pem- buru, dan si-Alvear tua, jang mengutamakan budi dan buku2nja diatas se-gala2nja, semua ini sedang Madrid dili- puti kegelapan, dan sedang ia tahu bahwa anaknja men­djadi buta karena perang dan bahwa adjalnja sudah dekat. Imbangan jang diperhitungkan benar2 oleh Malraux agak- nja. Pertjakapan ini sangat mengharukan, djuga bagi orang jang tak setudju dengan pendirian bahwa kita baru sampai pada kematangan hidup djika kita sudah setua Alvear, - dan lagi pula, djuga Scali, jang makin mendjauhkan diri dari tindak politik, tidak berhasil membunuh sang-intelektuil dalam dirinja. Tapi achirnja tokoh Alvear ini tidak me- nambah apa2 pada tokoh Gisors dari La Condition Hn- maine; Alvear bukan sadja tidak djelas gambarannja, tapi djuga terbatas dalam hal udjud dan kejakinan.

Scali, ia inilah orangnja dalam L ’Espoir jang merupakan tokoh intelektuil. Meskipun kegembiraan dan kesetiaannja besar pada permulaan, ia melihat bagaimana «perdjuangan untuk kemerdekaan» itu berobah sifat, mendjadi perang seperti setiap perang jang lain, mengandung kepentingan2 jang bertentangan sertakebedjatan alat2jang dipergimakan, lain tidak. Ia kehilangan sebelah kakinja dalam tjerita ini, boleh djadi supaja ia tidak perlu ditembak mati oleh kawan2 nja pada achir tjerita. Tapi bagi Scali harapan itu - l’espoir - lenjap djuga; disinilah ia ditimpa nasib setiap intelektuil. Tapi supaja harapan itu tetap menjala, ditarok djuga tokoh Manuel, djuga seniman, tapi lambat-laun meningkat sam­pai mendjadi opsir, karena nasib menuntut dari padanja mendjadi opsir, pemimpin kawan2. Manuel insjaf akan tanggung-djawabnja sebagai pemimpin dan akan akibatnja, jaitu kekedjaman dan kesepian, ketika pada suatu saat dua orang pradjurit, jang akan ditembak mati sebagai peringa- tan bagi pradjurit lain - mereka ketjut dan lari tadinja -

niinta njawa padanja dan ia harus menampik mereka dan djalan terus. Lalu terpikir padanja: «Ada jang selalu harus menanggung, dan inilah orangnja sekarang.» Bagi seorang intelektuil boleh djadi perkembangan Manuel sampai mendjadi opsir tidak begitu menarik perhatian. Djika seniman ini kemudian melihat dalam tentera merah bahwa opsir dapat ditjipta dari jang tiada, padahal orang lain mulai pada sekolahkadet, maka ini hanja soal pendidik­an jang diperlambat.

Tapi hal jang lebih penting, dalam logika karangan ini, ialah bahwa baginja «l’espoir» hidup terus, sekalipun ia terus diperlengkapi oleh Malraux dengan pandangan jang tadjam, sedang bagi Scali tidak.

Kadang2 nama buku ini se-akan2 tidak tepat, karena kita berpikir bahwa sebaiknja ia diberi nama «La Discipline) dan bukan L ’Espoir, tapi Malraux mungkin akan mendjawab bahwa tak ada bedanja. Hal ini dinjatakan dengan tegas oleh Garcia seorang padri dari mazhab Jezuiet dan meng- gabungkan diri dengan organisasi kiri. Ber-ulang2 ia mem- bela «garis penuntun» marxisties-ortodox dan sebagai penu- tup segala persoalan ia selalu berkata a la Hamlet: dalam tindak politik kebenaran selalu dipihak jang mendapat suk- ses; jang mendjadi soal bukan hal ada, akan tetapi hal ber- tindak. Nasibkaum intelektuil ialah: baginja hal ada lebih penting, artinja tindakannja berharga baginja hanja selama ini dengan sendirinja seudjud dengan, lahir dari amalnja untuk mentjapai adanja seperti jang dikehendakinja. M e­mang Lenin tidak salah djika ia menganggap bahwa pada prinsipnja kaum intelektuil itu tak tjakap untuk segala tin­dak politik; tugasnja dilapangan lain dan memang demi­kianlah halnja.

Maka perbedaan antara seorang Malraux dan seorang Gide memanglah terletak dalam kenjataan bahwa jang pertama menerima disiplin, karena merasa perlu djadi pe- djuang dan pedjuang jang djudjur pula, jaitu tidak boleh merugikan kepentingan pihaknja bagaimanapun djuga, se-

dang jang tcrachir mengutamakan kemumian berpikir, katahati sang-intelektuil, pendek kata: kebenaran seleng- kapnja. Apakah perbedaan usia antara seorang jang beru- rnur tiga-puluh-enam tahun dan seorang jang tiga pululi tahun lebih tua tidak berlaku disini? Mungkin itulah se- babnja, tapi masing2 dapat mempertahankan pendiriannja habis-habisan. M alraux, jang mentjari tugasnja dalam tin­dakan dan perdjuangan, tak dapat menjabot tindakan itu dengan mcmbuka kebenaran selengkapnja, sedang perdju­angan masih djalan; hal ini djelas bukan sadja bagi seorang politikus, tapipun bagi anak-anak. Tjara bagaimana komi- saris2 Sovjet di Spanjol mentjopoti «penghalang2», jaitu pemimpin2 jang berhaluan anarchisties, tidak dilukiskan dalam L ’Espoir, walaupun pasti Malraux tahu hal ini.

Segala hal jang dinjatakannja lebih tadjam, lebih tepat, lebih mulia tjara memandangnja, dari pada jang dilukiskan oleh orang lain. Segalanja mengandung arti jang setinggi- tinggmja, lengkap dalam dirinja, hampir terlalu terang di- soroti, di-rontgen sebagaimana kebiasaan Malraux. Tapi ia tak mentjeritakan segala hal, dan memang Malraux tak dapat mengelakkan tikaman andai kata ada orang jang menjesali hal ini.Mungkin pula orang meminta keberanian dari M alraux seperti jang dipunjai oleh Andre Gide, kebe­ranian menjatakan kebenaran sepenuhnja dengan melu- pakan segala kepentingan, mengchianati «perdjuangan», perkataan jang dilazimkan, supaja djangan berchianat pada tugas tertinggi dari kaum intelektuil. Tapi ia boleh djadi akan mendjawab bahwa dengan demikian ia lantas bukan Malraux lagi, bukan pedjuang, tapi seorang Gide, seorang mandarin, seorang jang tidak pernah mendjadi manusia- tindak, seorang jang tak berapa memberatkan soal: bahwa djalan kearah tindakan tertutup baginja djika ia membela kebenaran.

Pendirian pribadiku dalam soal ini, mungkin harus kunjatakan lebih djelas: saja lebih menghargai sikap Gide, sekalipun saja mengagumi dan mengerti Malraux dan ber-

sahabat dengannja. (Tapi ini penghargaan dari orang jang insjaf bahwa ia tak tjakap untuk setiap tindak politik, dan berserah dalam keadaan seperti itu djuga dizaman ini).

Djadi bagi orang jang tidak membatja L ’Espoir sebagai roman, tapi sebagai sebongkah sedjarah perang saudara Spanjol, bukunja tidak lengkap. Lagi pula buku manalah jang lengkap, serta berdiri diatas segala pihak, jan g terbit sekarang tentang soal ini? Ditulis oleh seorang insider jang tahu seluk-beluk soal, seorang jang turut berdjuang, toch dengan hasil jang mendjulang «lepas dari hiruk-pikuk» per- tentangan» ?

Bagi orang jang pandai mempergunakannja, peringatan jang lazim dikatakan dalam mukadimah buku2 peladjaran, L ’Espoir mengandung penjinaran dan kesungguhan jang tetap mengagumkan, karena M alraux, djuga pada taraf perkembangannja ini, tetap sifatnja, karena keberaniannja jang luar biasa selalu menjertai alat2 ketjerdasannja jang tak ada tolokbandingannja itu, dalam buku ini, lebih njata dari dalam buku2nja jang lain. Dan siapa dapat nieramal- kan dimana orang ini akan berdiri nanti, apa jang akan dibelanja, djika ia mentjapai usia Gide? Apa ianja nanti, artinja djika dia tidak siang2 telah dilenjapkan oleh kawan2- nia: dituduh terlalu anarchistis, terlalu tadjam, terlalu be­sar, terlalu kontra-revolusioner, terlalu intelektuil.

Bataviaasch Nieuwsblad 23 Ju li 1938

Saja tak sampai hati ber-hanjut2 dalam puisi, jang begitu memurnikan djiwa. Disuatu negeri dengan kehidupan jang begitu tenang - sekalipun orang merasa seperti biri-biri jang berdjedjal dalam kandang, dan serigala diluar-rasanja orang wadjib sedikit bertekun menjelami buku2 pengarang jang sadar-keadaan. Menjedihkan djuga bahwa tiap penga­rang kepolitikan tidak memuaskan, baik sebagai politikus maupun sebagai pengarang, tapi kita harus sabar: 50% kesadaran-keadaan disamping 50% bakat, inilah maunja keseluruhan jang harus dapat memberi kepuasaan bagi kita. Hanja masih mendjadi soal apakah kesadaran-keadaan itu akan menjuruh orang menjatakan kebohongan atau kebe­naran; sebab ke-dua2nja toch tak dapat dibenarkan karenatuntutan zaman.

Feuchtwanger lebih tahu keadaan dari pada Gide, kata seorang pcmuda pada saja, jang merasa bahwa ia harus mendjadi seorang Stalinis, dan tetap mendjadi Stalinis, se­kalipun Stalin sepuluh kali menjerang Finlandia, karena banjak sebab: karena ia bentji pada alam bordjuis, sebab ia lahir disana; karena ia jakin bahwa setiap politikus toch adalah pendjahat, bahwa sebenarnja hanja pendjahat jang dapat menjantuni kebutuhan manusia, bahwa mengharap- kan manfaat dari kesadaran bermasjarakatkaum intelektuil adalah kepertjajaan jang kekanak-kanakan dan melempem: karena semua itu tambah keinsjafan bahwa Stalin barang

tentu terpaksa mendjadi pendjahat-utama. Dengarlah hasil ketjerdasan jang realistis ini, umurnja baru 23 tahun, diser- tai tjitarasa kesusasteraan jang toch menempatkan Gide dia- tas Feuchtwanger, jang dengan segenap hati mengaku bahwa dibanding dengan seorang Gide, seorang Feucht­wanger tidak berarti sama-sekali. Kesadaran-keadaan Feuchtwanger jang njata inilah, didampingkan dengan Gide, jang kemilau ibarat sebongkah logam diatas warna bubur susu kata-kata nudjuman Gide.

Djika Gide diapkir sebagai pengarang kepohtikan, baik- lah. Tapi bukunja Retour de L ’ U .R .S .S . tetap perbuatan pohtik jang terpenting jang ternjata dapat disanggupi oleh seorang intelektuil dizaman ini; dan disamping bakat ke- susasteraannja jang djauh lebih besar itu terdapatlah bukti dari kedjudjurannja jang djauh lebih besar, dari kesetiaan- nja jang djauh lebih keras, diatas «kelunakan»nja sebagai rasul jang tak pernah saja pertjajai benar, diatas Rom ain Rolland jang menampakkan diri sebagai pengetjut ditahun 1937-

Beberapa hari jang lalu genaplah 70 tahun usia Andre Gide; kutulis karangan2 buat pers harian sebagai penghor- matan, kubatja Journalnja jang baru sadja terbit dalam pe- nerbitan tjetak-tipis, tapi saja terutama teringat akan sikap- nja sebagai komunis.

Ketika ia masukkomunisme - sebenarnja belum lama ber- selang-, jaitu komunisme seperti jang dimaksud surat2 se- baran dulu sekitar pengchianatan Stalin, maka reklame Sovjet menjergap nama Gide dengan lahapnja, tapi tentu ada djuga beberapa orang dikalangan kaum komunis jang mentjibir ketika itu melihat betapa naifnja orang menjam- but Gide. Bagaimanapun keunggulan Gide dalam hal gaja bahasa, ia tiada lain dari pada «bunga kaum bordjuis», dan walaupun seorang pengarang-bordjuis itu pada gahbnja terlebih kritis terhadap kelasnja sendiri, pada Gide tertem- pel pula rupa2 etiket jang mengistimewakannja.

Pertama ia dianggap cerebraal, semua pemikirannja

«akal». Lalu ia njata seorang protestan murni, sekalipun ia terus-menerus berusaha hidup «dalam kegelisalian» djadi da­lam dosa. Katahati Gide, jang tetap waspada, selalu meng- intai diri sendiri dengan tjermat, kedjudjurannja jang selalu gelisah, seliingga oleh orang jang berwatak kasar dianggap pengetjut, sampai kesilapan itu lamakelamaan diperbaiki djuga, kontrole morilnja jang achirnja dipertjajai oleh se­mua orang, semua ini menundjukkan didikan protestannja demikianlah tjerita orang. Berapa banjak endapan Kitab Indjil, berapa hanja impian Jesus, tak dibawanja kedalam tjita2 komunis, sekalipun ia begitu tjerdas? Lagi pula umum diketahui ia seorang homo-sexuil. Tentu sadja seorang homo-sexuil mengharapkan masjarakat jang sempuma, terutama karena mengharapkan kebaikan bagi golongan-nja!

Dibawah segala tjita2 jang besar dan berkuasa bersem- bunji kepentingan diri-sendiri, kerdil dan kasar. Ketika Gide mengetj'am Stalin, maka lawannja jang paling ketjil dji- wanja mengemukakan alasan bahwa Gide dengan tegas tergolong «sampah» buat selamanja karena Stalin meng- hukum kaum homo-sexuil. Lagi Stalin tak berkenan mene- rimanja menghadap: Pancho Villa kelahiran Georgia ini mengelakkan pertemuan muka dengan Goethe Perantjis, tapi menurut logika politik Goethe Perantjis itulah jang mengalami kekalahan. Napoleon lebih pandai menghargai Goethe jang sesunggulinja. Bagi seorang agen politik, jang dibcri tugas demikian, tidak sulit menimbulkan tjuriga ter- hadap diri Gide. Dan orang politik jang dikalahkan dengan tjara demikian, boleh djadi mendapat suatu dimensi baru sebagai manusia karenanja, suatu dimensi-saja teringat akan Trotsky-jang mungkin sekali akan mclandjut sebagai tokoh sedjarah, menurut logika politik mereka inilah tetap jang lebih lemah, kalah karena kurang alat2 politik, karena ke- tololan dan ke-taksempurna-an dalam hal politik. Batjalah bagaimana Boris Souvarine «menghukum» Trotsky dalam babak 9 dari karangannja dimana ia berpaling dari Stalin.

Dan apa jang diributkan, kalau orang demikian dilumpuh- kan sebagai politikus - karena kalah atau karena muak, apa pula bedanja?-kenapa masihmemberungut? Kenapaharus menggerutu, berpolemik, berdendam tak berdaja, padahal sikap jang sewadjamja hanja satu: mengakui kesilapan dan berpaling dari segala kegiatan politik.

Gide jang ketjewa, kata orang jang pandai politik, tidak djauh berbeda dari Trotsky jang ketjewa: Retour de I’ U .R .S .S . adalah pembalasan dendam diatas kertas, serupa dengan memoires pentjipta Tentara Merah, jang tak urung pula mendjadi algodjo Kroons tad.. . Alasanjang sama-sekali tak tepat. Kelebihan Trotsky diatas Stalin, jaitu bahwa ia seorang intelektuil, merupakan penjakit jang membajakan njawanja sebagai politikus jang praktis seperti jang dike- hendakinja, merupakan beban jang sekali waktu mendjadi- kan ia terpelanting. Sebab djika gaja bahasa mereka diban­ding maka akan njata bahwa Trotsky seorang intelektuil pun lebih dari Lenin. Menjebut Trotsky «bodoh», sekalipun oleh seorang seperti Souvarine, hanjalah kita kiasan; jang melumpuhkan Trotsky, membuatnja memainkan peran jang salah, membuatnja «bodoh», ialah sifatnja sebagai inte­lektuil. Pada suatu ketika hal ini membalas dendam pada politikus ulung jang ber-kali2 mendjelma dalam dirinja. Pohtikus jang sesungguhnja, politikus jang ditakdirkan untuk itu, si-litjik dan pendiam, jang tekun mengintai, jaitu Stalin, dengan, keningnja jang rendah serta tju- riganja dan bahasanja jang peot, itulah jang mesti me- nang dan memang menang. Dalam logika demikian se­orang Trotsky hanja menerima upah jang selajaknja. Dan sebagai politikus jang diusir lebih baiklah ia djangan ber- chajal lagi bahwa ia masih seorang achli pikir dan teori politikjang besar, tapi sebaiknja sabar dengan peranan jang disediakan buat kaum intelektuil seperti itu: mengambil untung dari pengalaman mendjadi pengarang sedjarah jang hidup, sematjam Ranke jang menulis tentang sedjarah bolsjewisme.

Peranan Gide lain sekali. Hal jang menarik hati Gide dalam komunisme ialah negeri harapan kaum intelektuil, sebab ia selalu dan selamanja mendjadi seorang intelektuil. Sungguh naif, tapi itulah memang ia seorang intelektuil. Awaslah menghadapi orang jang naif seperti ini, jang dapat melihat malaikat dalam diri bandit, tapi dengan suara mer- du seperti malaikat dapat pula mentjeritakan pada dunia, bahwa malaikat itu ternjata bandit. Belum berantara satu tahun kesilapan naif sudah pula menjusul, untuk memper- baiki jang lain, dan sang intelektuil tetap intelektuil, sekalipun ia suka mempertontonkan kepintaran politiknja; baiklah, ia telah melakukan kesilapan, tapi dalam kesilapan itu ia hanja main politik. Itulah perbedaan jang sesung- guhnja antara Gide dan Trotsky: jang kedua hendak mengawini seorang pelatjur, dan hal ini diketahuinja dan menggelikanlah djika ia protes kalau perempuan itu mengantjamnja; jang lain itu setjara naif beranggapan bahwa pelatjur itu adalah dewi, tapi keketjewaannja sama akibatnja buat dia sendiri dan dewi buat-buatan itu, sama menggelikan, karena ia berpaling dan berkata sebagai anak jang tak tahu-menahu: - Saja silap, rupanja lonte.

Gide sendiri tak pernah menjangkal pengaruh paham protestan dalam dirinja; sebaliknja, ia bangga karenanja - dan disamping itu bangga pula bahwa ia berpendirian lapang: «non prevenu, sans pente».

Masuknja pengarang besar ini kedalam Stalimsme, se­matjam balik agama dimata orang, sungguh mengetjewa- kan, terutama pengikutnja. Pudjangga ini, jang mendjadi pemimpin mereka menempuh segala ketidak-pastian jang nikmat, ia ini melepaskan mereka dan bertjokol dalam sarang jang aman. Ia menggabungkan diri pada kollektivi- tet, sang individualis tulen jang telah berusia enam puluh tahun lebih; mengchianati segala nilai jang diberi padanja karena karangan2nja, ia kelihatan lenjap menemui adjal jang tak berkehormatan, memeluk komunisme, bukan, Stalinisme pula, ampun! sebagai geredja jang achirnja

memberi keamanan djiwa padanja. Gide mendjawab, dan ia menolak sebutan «balik agama». Perbuatannja, demikian Gide, sudah sewadjarnja kalau diingat tjita2nja semasih muda sebagai seorang protestan dan (disini ia hampir sadja dapat didjadikan tjontoh dari teori Ter Braak dalam essay- nja Van Oude en Nieuwe Christenen), djusteru karena ia tak pertjaja lagi akan keadilan sorga, ia sudah semestinja meme- luk komunisme sebagai kemungkinan teracliir bagi suatu sorga didunia.. .Tentu sadja, kaum Stalinis sendiri, mereka jang paling lahap mengambil keuntungan dari na- manja, tersenjum melihat sikap-liidup jang telah lewat za­man itu. Gide masuk; ia pimpin beberapa pertemuan «membela kebudajaan» dsb.; dan mengabdi dengan sesung- guhnja pada partai baru. Toch ia memperingatkan, sedjak mula, bahwa ia tak tjakap berpolitik; bahwa ia, sebagai seorang intelektuil, barangkali tidak berapa berguna bagi partai seperti sangkaan orang. Dan dengan berkata demi­kian sang politikus (sebagai pengarang jang menjangka diri seorang politikus) menjangka diri sangat tjerdik.

Agaknja politik itu merupakan gedjala jang tak dapat dielakkan lagi. Ada masanja politik itu merupakan alat pembantu untuk membangun kesusasteraan tertentu dulu (ingatlah beberapa buku Balzac), tapi lambat-laun ia men­djadi kuasa-sendiri; akibatnja: bandjir roman aktuil, ber- tele2 atau buru2 membitjarakan soal kollektip, tjampuran reportase dan kesusasteraan, atau lebih parah, tjampuran peladjaran dan kesusasteraan; pendeknja seni jang diper- budak, dipalsukan dan dikebiri. Hampir seluruh kesusas­teraan Sovjet terdiri dari buku2 demikian, dipinipin oleh tuan Ilja Ehrenburg, langganan jang paling tjepat dan tje- katan. Pengarang2 jang sungguh2 mempunjai bakat di Rusia, jang pantas disebut seniman: pengarang prosa Babel dan Olesja, penjair Pasternak jang masili hidup dan umum dianggap jang terbesar, makin sedikit menulis atau bungkem. Walaupun demikian kesusasteraan Rusia itu kaja, dibanding dengan kesusasteraan di-negeri2 fascis. Ke-

simpulan: «memang zamannja bukan zaman baik buat ke- susasteraan». Djika politik itu sungguh2 hendak menelan setiap orang, maka seniman jang sesungguhnja harus de­ngan mutlak memilih antara politik dan seni. Tapi kese- wenang-wenangan politik terhadap seni, barisan bersen- djata terhadap kebebasan menjatakan pikiran, selamanja berarti kematian segala seni jang seungguhnja, apapun di- katakan orang tentang soal ini. Satu bukti ialah zaman Napoleon, ketika segala pengarang jang berarti (Chateau­briand, Mine de Stael, Benjamin Constant) menjingkir ke- luar negeri, mengundurkan diri untuk memberi tempat pada lagu2 pudjaan penjair Luce de Lancival, penjair jang di-pudja2 oleh Perantjis kaum militer, tapi jang sekarang tersimpan dalam gudang lapuk sedjarah kebudajaan.

Namun demikian, bagi orang jang sekali sudah men­djadi pengarang, ada satu alasan jang penting: publik. Ke­tika Gide menulis VImmoraliste, salah satu bukunja jang terpenting hingga kini, pembatjanja hanja tiga puluh orang. Sekarang djumlah itu sudah djauh lebih besar, djuga di Perantjis. Tapi di Rusia djumlah pembatja itu besar se­kali, menakdjubkan, menghenjakkan dan disamping itu menggembirakan,sehinggaseorang pengarang seakan-akan disanalah baru insjaf untuk apa ia menulis. Alasan demikian, berulang-ulang dikemukakan pada «kongres2 pembela ke- budajaan», mempunjai daja penarik pada hampir segala pengarang Perantjis jang tjondong kekiri, dan karena hal itu seakan-akan tidak sadja mempunjai sifat praktis, tapi djuga sifat filsafat kemasjarakatan, maka hal itu menggem- birakan hati Gide benar. Akibatnja ialah, tak pelak lagi, undangan mengundjungi Rusia, sambil dipimpin olehpe- nundjuk djalan jang terpihh benar. Dan para pengundjung jang susul menjusul, dengan gembira menulis lapuran jang sifatnja tepat seperti jang sepantasnja dapat diharapkan oleh tuan rumah jang telah begitu bermurah-hati; akibatnja: semua lapuran djadi membosankan karena bunjinja jang selalu bersesuaian.

Tiba pula giliran Gide; ia disambut sebagai radja, di- pudja, didjamu sekenjang-kenjangnja. Ia kembali ke Peran­tjis dan ia mengumumkan lapurannja tentang perdjalanan itu, dan ia tahu betul apa jang diperbuatnja. Kesimpulan- nja: tidak kurang dari pada di Djerman-Hitler, orang di Rusia tak bebas hidupnja, ditindas dengan tidak kenal am- pun. Lagak disana terlalu kentara, kebodohan orang terlalu kekanak-kanakan, terror polisi menjusupi segala badan, sabda jang pertama dan terachir ialah mengchianati segala orang jang tidak berpikir konformistis. Dengan menulis de­mikian, tanpa menjerang komunisme, melainkan hanja mendj elaskan bahwa komunisme j ang sesungguhnj a tak ada lagi di Rusia jang sekarang, bahwa disana hanja ada kor- ban atau budak Stalin, ia memberi kesaksian jang terbesar jang pernah diberikannja darikesetiaannja, pendeknja, ia tak dapat disogok, dan hal ini merupakan tjontoh jang unik dalam keadaan dunia jang sekarang, jang mendj elaskan udjud tugas kaum intelektuil.

Lenin tahu atau lebih baik dikatakan menjangka tahu: intelektuil itu tak tjakap untuk pohtik, dan Gide memberi bukti bahwa sang politikus itulah jang silap, djika ia me­njangka bahwa intelektuil jang sesungguhnja dapat dipera- lat sebagai boneka jang tak berdjiwa dalam mana politik tak akan mendjumpai lawannja, jaitu «budi». Djadi reaksi orang terhadap Gide selain remeh djuga lata. Sabotase ke- pentingan Sovjet-Uni dalam masa perdjuangan. «Orang jang mengotori rumah dimana ia disambut dengan ramah». (Inilah omongan naif dari tukang sogok jang silap). Dan pernjataan jang paling menarik: «Lagi pula apa jang ditjeri- takannja bukan soal baru, karena semua orang memang suda mengetahuinja!» Setiap orang memang tahu semua itu; tapi setiap orang bungkem dan berdusta; ketjuali Gide ini, jang menganggap bohong itu lebih merugikan, dalam keadaan manapun djuga, dan betapa insjaf pun dia akan tuntutan zamannja».

Dan pada usia jang begitu landjut, sedang ia hampir tak

menulis apa2 lagi, Gide tetap lajak dikagumi karena ke- murniannja, karena buktijang diberikannja bahwa ia meng- ikuti kata-hatinja sebagai intelektuil dengan menundjuk- kan kebesarannja diatas gerombolan pengarang jang mem- biarkan diri diatur oleh kebohongan, tak terkutik oleh pen- dusta jang tjakap, jang merasa berhak me-maki2 Gide, ka­rena tak tjakap. Bahwa achli politik jang tjerdik bisa djuga berpikir tolol, dan ketjewa setjara naif, djelas pula sesudah peristiwa ini.

Supaja «menarik» menurut ukuran mereka itu, Gide ta­dinja harus membuka tabir rahasia sekitar kegiatan Gepeoe, Siberia, dan barangkali sekitar penghidupan pri- badi Stalin. Djuga ini terlalu naif, sebab djuga tjerita2 ten­tang kepala Gepeoe jang murtad tentunja djuga «sudah lama diketahui», dan tidak akan mendapat sambutan jang begitu ramai diseluruh dunia seperti buku ketjil Retour karangan Gide. Kata orang: perbuatan itu adalah tikaman dari belakang bagi Sovjet-Uni, djustru pada saat meno- long Spanjol. Djika orang tahu pertolongan apa jang di­berikan pada Spanjol, maka perkataan tikaman itu tiga kali lebih menggelikan lagi.

Disamping itu Gide tak suka mempergunakan warna2 sensasi, karena mau bertanggung-djawab atas apa jang di- tulisnja, karena ia, sebagai pengarang jang diundang dan bukan sebagai «agent double», beranggapan bahwa tulisan- nja akan lebih berharga djika ia menundjukan akal jang sehat dan mendjauhkan sifat melebih-lebihkan. Hal mana ternjata benar sekali. Tuduhandilepaskanber-tubi2,rentet- an «pengchianat, trotskiis, kontra-rcvolusioncr», jang su­dah basi, dan orang jang mengenai Gide, tak pun memper- dulikannja. Itu sudah kebiasaan kaum politik jang suka memfitnah, termasuk logat pasaran gembong2 politik. Lagi menggelikan melihat lontjatan2 pohtikus antara mo­ral dan praktek; ia dengan lahap menerima segala moral jang dapat membuat partainja djadi simpatik dan menim- bulkan kedjidjikan orang pada lawannja; djika topengnja

terbuka, maka dikatakannja orang memfitnah seolah-olah ia sendiri tak suka memfitnah djika bukti tak dapat disang- kal, lalu ia akan mempergunakan muslihat terachir dan mendjelaskan pada lawannja jang naif itu bahwa politik sebenarnja tidak kenal moral dalam prakteknja. Maka per- bedaan dalam hal metoda bertukar-pikiraninilah menjebab- kan tak akan pernah terdapat persesuasian paham antara seorang politikus dan seorang intelektuil.

Dalam bukunja jang kedua tentang soal ini, jang dibe- rinjanama«Retouches» darilapurannjajang terdahulu, Gide se-akan2 terpaksa memberi keterangan jang lebih djelas :ia mempergunakan bahan angka2, tapi terutama jang ber- asal dari surat2 kabar Sovjet; djadi suatu karangan a la Souvarine. Ia terpaksa menerima kenjataan bahwa kaum fascis dapat mempergunakannja buat kebohongannja sen­diri, hal mana dapat pula dipergunakan sebagai reklame menentang Gide oleh lawannja sendiri. Sekali lagi ia meng- alami udjian batin, tapi djuga dalam hal ini Gide tidak bertedeng aling-aling. Dan betapa sulitnja udjian seperti itu, dibuktikan oleh kenjataan bahwa se-akan2 dia sadjalah satu2nja orang jang berhasil menempuhnja. Paham fascis misalnja baru sesudah ber-tahun2 mendapat lawannja dalam diri tuan Rauschning, tapi tuan Rauschmng lebih tjondong pada sifat keketjewaan Trotsky dari kepada sifat keketje- waan Gide.

Tjontoh jang diberikan oleh Gide adalah tjontoh jang paling djelas menjatakan kebenaran bahwa intelektuil jang sesungguhnja tak tjakap buat politik dan intelektuil jang sesungguhnja ialah intelektuil jang mempunjai kemurnian batin. Multatuli dinegeri Belanda, Gide di Perantjis, ada perbedaan temperamen djadi djuga dalam nasib pengala­man, tapi kedua-duanja sama2 tak tjakap. Selama sifat poli­tik masih seperti sifatnja jang sekarang, saja tak dapat me- nundjukkan tjontoh jang lebih baik bagi setiap intelektuil jang sadar - ja n g lain sekali artinja dari sadar - keadaan.

C O N R A D

«Heart of D arkness»

Dalam kesusasteraan barangkali Kurtz-lah tjontoh jang paling mengharukan dari manusia Eropah jang sekarang sudah tak ada lagi. Jaitu manusia jang melepaskan segala ikatan dan dihadapkan pada hidup baru, lagi pula dibuku ini dalam keliaran hutan-belantara, djadi dengan undang2 pergaulan hidup jang asing benar. Dia tak kembah, karena ia meninggal. Bisa djuga ia djadi gila atau dungu tadinja, atau menjerah pada ketuaan usia jang terlalu tinggi hingga njinjir. Pembatja dapat membajangkan apa sadja tentang nasibnja, karena kita - seperti Conrad sendiri - hanja mende- ngar tjerita orang dan diperlihatkan hanja untuk memper- saksikan kematiannja. Tapi semuanja berkesan sebagai kedjadian jang sesungguhnja.

Saja tidak termasuk pemudja Conrad, tokoh2 wanita dalam bukunja biasanja tak dapat kita terima dan agaknja dimasukkan dalam tjerita sekedar memuaskan kesukaan akan romance; tjara menuhsnja sering kckanak-kanakan dan penuh sunglapan jang telah terkenal. Bukunja jang bernama Victory misalnja, jang sedianja bisa mendjadi buku jang baik sekali, rusak disegala tempat karena ia ter­lalu banjak dan ber-ulang2 memberi lukisan se-akan2 per- mainan pantomime: Schomberg jang suka mengembung- kan dada, Ricardo jang menjeringai, pandangan M r Jones jang se-akan2 dapat membunuh, senjuman istimewa dari Heyst dsb. Tapi Heart of Darkness djauh mendjulang diatas

segala buku Conrad jang telah saja batja (hingga kini enam jang saja batja, tapi menurut Malraux jang mengenai dia lebih baik, tak ada buku Conrad jang sama harganja de­ngan buku itu). Pada hemat saja Conrad paling tjakap djika ia mentjatat kenang-kenangan penuh soal2 ketjiljang bukan hasil isapan djempol - dan djika ia melukiskan orang jang pasti ia kenal, jang djarang pula ia hadapkan pada tokoh2 chajalan. Almayer dan Heyst nampak dihadapan kita se­bagai manusia jang benar2, tapi tokoh2 sekitar mereka - terutama «gadis2» itu-berlalu sadja tanpa meninggalkan ke- san jang mendalam. Kissah pertjintaan antara anak perem­puan Almayer, berdarah tjampuran, dan pangeran Bali, sumbang; intrige demikian dimasukkan dalam buku ing- geris oleh pengarang2 tjerita film - dengan perbedaan bahwa Conrad lebih bertele-tele dan menganggap pokok tjeritanja lebih sungguh2. Mengherankan bahwa djuga Conrad, jang menulis tentang avontuur seperti Robbers tentang ben- tjana2 dalam keluarga belanda, jang mengenai pokok soalnja dengan baik, bahwa djuga pengarang Conrad ini, jang sudah sedjak mudanja mengarang, masih me-mupuk2 keinginan sematjam itu. Rasanja tidak mungkin hal ini terdjadi karena pengaruh penerbit dan lagi djikapun demi­kian, hal itu susah didjadikan alasan untuk memaafkan. Saja sering bertanja pada diri sendiri mengapa begitu ba­njak terdapat tokoh2 wanita jang tak masuk akal dalam buku2 Conrad; perempuan2 mondaine, jang merantau me- nudju pengalaman2 berbahaja dsb. dan jang selalu merusak suasanajang dibangunkan oleh Conrad dengan pelukisan2 alam dan avonturier2. Pada hemat saja keterangannja ada­lah sebagai berikut: untuk Conrad, dalam banjak hal ia tj ontoh seorang «capitaine-au-loncours», perempuan matj am itulah jang mendjadi idam-idaman, perempuan buah im-

ia ingin begitu sadja muntjul dalamplan, perempuan jang biliknja dikapal.

P E R T J A K A P A N T E N T A N G T O L S T O I

Pertjakapan tentang Anna Karenina, dihadiri oleh tiga orang wanita: Sofka, wanita Rusia, R osy, Jahudi-Peran- tjis, Harriet, wanita Amerika. Bernard jang memulai per­tjakapan sambil berkata: - Baru sadja buku itu kubatja lagi, sungguh buku jang luar biasa. Kalau sudah dibatja seper- empat timbul perasaan bahwa kita buang tempo buat se­buah roman realis jang sama sadja dengan jang lain. Kita bertanja pada diri apa pula gunanja membatja riwajat se­orang wanita periah seperti Anna, lagi iramanja lamban dan sebagainja; tapi tiba2 akan kita sadari bahwa didalamnja lebih banjak terdjadi dari pada jang kita sangka, dan bahwa djeni jang paling besar ialah kemampuan menangkap «hidup biasa» itu demikian rupa, serta menghadapkannja pada arti mati, tjinta dan kemanusiaan setjara sederhana. Gaja Tolstoi hemat bahkan dapat disebut kering, djadi baru sesudah beberapa waktu, dengan lambat laun...

s o f k a , dengan suara kerongkongannja: -Tidak, itu dise- babkan karena kau membatja terdjemahan! Dalam bahasa Rusia gaja Tolstoi tak pernah kering, tapi djusteru penuh perasaan: susunan kata-katanja menimbulkan selera. Lagi! kalau kita orang Rusia, kita sungguh kenal akan tokoh2 didalamnja! Artinja kalau kita termasuk angkatan lama. Tolstoi banjak melepaskan ketjaman terhadap bangsawan Rusia tapi disamping itu is suka benar pada mereka.

Be r n a r d : -Tapi sekarang Tolstoi-lah pengarang jang pa­

ling banjak dibatja di Sovjet-Rusia; djadi kalau soal i tu.. . Dan djusteru Anna Karenina jang paling disukai oleh wa­nita2 Sovjet.

s o f k a : -O , Anna! Alangkah manisnja! Aku suka benar padanja ketika aku masih gadis ketjil! Aku kenal betul akan orangnja, dan betapa besar tjintanja pada W ronsky, tjinta jang mengatasi segala kesulitan, tjinta jang mendjadi dasar segala perbuatannja.

a k u : -W ronsky itu sungguh orangnja gandjil. Kalau belum batja buku itu, kita menjangka ia seorang penggoda, menurut tjerita orang, dan kalau disehdiki kebenarannja, tahulah kita bahwa ia sebenarnja seorang gentleman, dan seorang petjinta jang tersiksa. Ia hidup dengan perempuan ini seakan-akan mereka laki-isteri; ia bunuh diri karena Anna, ia meninggalkan djabatannja karena Anna, Anna jang menjiksa batinnja karena Anna pertjaja semuanja akan gagal djuga, sedang Anna lari dan merusak perhubungan mereka, dan ia menanggung semua ini dengan sabar.

s o f k a : -O , ja, memang ia seorang lelaki jang .menarik. Sungguh seorang gentleman, ksatria. Kalau kita wanita mudah mengerti mengapa Anna mendjadi djatuh tjinta padanja. Tjoba bandingkan dengan Karenin: mendjidjik- kan, kupingnja jang merajap entah kemana!

Be r n a r d : -D an Wronsky, betapa putih giginja. Hal2 ketjil jang demikian selalu diatur lebih dulu oleh Tolstoi: seorang lelaki jang bergigi putih tentulah orang istimewa, tentulah mempunjai perangai jang chas.

a k u : -Padahal Tolstoi sebenarnja tak suka pada W rons­ky, selalu menjikutnja, djusteru kalau ia sedang berusaha membenarkan perbuatannja. Sungguh menggelikan orang jang masih pertjaja bahwa Tolstoi tidak berat sebelah da­lam timbangannja. W ronsky didjatuhkannja dibalapan kuda: disana kelataan W ronsky ditundjukkannja, W rons­ky jang menikmati semua ini; pada W ronsky diberinja bakat ketjil, bakat melukis, dangkal, dan W ronsky dile- tjehkannja dengan bakat ini. Tiba2 W ronsky didjadikannja

kajaraja, mendjadi tuan tanah dan mendapat apa sadja jang diidam-idamkanmanusia,lalu.. .Wronsky ditertawakannja karena snobismenja hendak meniru2 gaja Inggeris ketika memilih perabot rumahnja. Sifat orang jang suka berdjudi dibalapan kuda diteruskan dan Tolstoi seakan-akan ber­kata: «Wronsky orang jang djudjur, sungguh ia berusaha berbuat baik.» Sedang kalau Levin dinaikkannja diatas panggung...»

rosy (galak): -Levin, bah! membosankan. Sungguh Kitty perempuan jang tjotjok baginja, perempuan jang hanja baik buat melahirkan anak.

sofka : —Untunglah kau djuga rupanja tak suka padanja; kukira, tak scorangpun perempuan suka padanja. Tolstoi sendiri suka padanja; itulah dia sendiri. Tapi bagus djuga peristiwa itu, ketika ia tjemburu pada bangsawan kota jang berusaha memikat hati Kitty, lalu buru-buru menjuruh dia berangkat naik tarantas jang penuh djerami. Sungguh menggelikan.

Harriet: -Keterlaluan! Kau ketawa karena ia tjemburu sedang isterinja mengandung? Tak penah kubatja jang lebih membuat aku marah. Membosankan kesukaan Tols­toi mem-bawa2 Tuhan didalamnja, dari mula sampai udjung. Ngomong bertele-tele tentang pertanian. Dan diachir sekali ada pula peritiwa jang bikin hati tawar: Tiba2 ia merasa dekat pada Tuhan, hanja karena isteri dan anaknja tidak disambar kilat. Mengapa buku itu diachiri tjara demikian? Mengapa Levin itu muntjul kembah, sedang buku itu sebaiknja diachiri sadja pada saat matinja Aima? Asal tentang Anna, jang merasa hidupnja hantjur namun tak dapat berbuat lain, semua luar biasa.

BERNARD: -Tak ada pengarang Rusia jang berani meng- achiri bukunja dengan demikian. Kalau orang tak mau mempergunakan sunglapan seperti Tolstoi, hal itu ku- hargai. Namun demikian, harus diakui, bahwa kita ter- paksa melihat tokoh2 Tolstoi menurut kemauannja.

rosy: -Aku tak dapat dipengaruhinja memandang Le­

vin menurut kehendaknja. Aku akan lari dari dia, djuga dari tjara dia. . . mentjintai. Lebih baik W ronsky. Kau djuga ‘kan, Harriet?

Ha r r i e t : -O , memang, kalau harus pilih, tentulah W ronsky kupilih. Sofka, bagaimana?

s o f k a : -O , W ronsky! W ronsky! Kadang2 Levin mena­rik djuga seperti jang dilukiskan oleh Tolstoi, tapi biar diupah...

r o s y : -D an kalau masih bimbang, batjalah Kreutzer- sonate.

a k u : -Pada hematku sebuah novelle jang baik.BERNARD: -Ditulis oleh orang gila. Gila seratus persen.

Lagi hal itu djelas kalau kita bandingkan tjatatan harian graaf dan gravin Tolstoi. Isterinjalah satu-satunja bagi Tols­toi, dan Tolstoi satu-satunja bagi isterinja, dan hasilnjapun nampak dalam Kreutzersonate.

r o s y : -Ditam bah manusia bangsa Levin! bangsa K itty! Pantaslah kalau wanita Sovjet suka membatja buku itu. Dapatlah mereka renungkan kepintjangan masjarakat jang menggagalkan perhubungan seperti jang ada antara Anna dan W ron sky...

r o s y : - ...tapi merekapun harus berbangga karena hidup dialam jang menghalangi adanja perhubungan seperti an­tara Levin dan K itty!

Ha r r ie t : -A k u tetap heran mengapa Anna tidak men­tjintai anak jang diperolehnja dari W ronsky. Pada h;mat- ku, itulah jang tadinja dapat menjelamatkan dia.

r o s y : -Ja, aku djuga heran karena hal itu. Perempuan selalu lebih suka pada anak jang diperolehnja dari laki jang ditjintainja; tapi disini djusteru sebaliknja.

s o f k a : -Pada wanita Rusia mungkin terdjadi ia tak mentjintai anaknjajang kedua karena rasa berdosa terhadap anaknjajang pertama. Tapi m em ang...

Be r n a r d : -Itu pulalah bukti penjakit mau satu sadja dari Tolstoi, kalau aku ditanja.

Dsb. Apakah pertjakapan ditahun 1935 ini akan banjak

berbeda dari pada ketika terbitnja buku itu? Kenjataan se- perti itu lebih berarti bagi seorang pengarang dari pada se­buah lapuran tentang nilai sasteranja.

P E R T J A K A P A N T E N T A N G S E B A S T O P O L

Lc Rosclicr, Bretagne

Dalam beberapa tjerita karangan Tolstoi, misalnja Sebasto­pol, terdapat «sosialisties realisme» didasarkan atas balian jang «romanties», suatu realisme jang dapat didjadikan tjontoh oleh semua pengarang Sovjet. Djarang sekah kita djumpai pelukisan jang mengharukan seperti dalam Sebas­topol Mei 1855, dibagian dimana Tolstoi mentjeritakan perasaan jang berketjamuk dalam diri kedua orang opsir, Praskoechin dan Michailov, ketika mereka ini berbaring menunggu sampai bom jang terletak dekat mereka, mele- dak. Jang pertama, jang mengira bahwa ia tak kena, tewas; jang kedua, jang mengira ia sudah mati, hanja mendapat luka enteng. Pelukisan matinja Praskoechin tak dapat dia- tasi sebagai hasil kesusasteraan; dapat dikatakan tak kurang bagusnja dari pikiran pangcran Andrc'i jang mendapat luka dalam buku Perang dan Damai. Setelah bagian ini orang menjangka bahwa Tolstoi akan menjuruh mati segala op- simja, dengan pelukisan jang se-tjakap2nja dan menurut tjara masing2, seperti matinja berbagai sapi oleh matador2 jang beragam.

Dalam Sebastopol, Augustus 1855 pembatja mengikuti nasib Kozeltzov bersaudara dengan kepastian mereka akan tewas, dan pembatja memang tak ketjewa. Tapi setelah uraian jang lengkap tentang tewasnja Praskoechin, Tolstoi disini hanja mempergunakan alat2 saran jang lebih seder- hana: matinja Kozeltzov Sr terlebih mengharukan karena

se-akan2 tak dapat dirasakannja sendiri, dan Kozeltzov J r - jang, serupa junker Pesth dalam novelle pertama, terutama dipergunakan untuk mentjatat perasaian seldadu jang un­tuk pertama kali masuk medan perang - tewas begitu sadja dalam tiga kata, tiba2 mendjadi «sebuah benda pandjang dalam badju robek2».

Sebastopol lebih kuat dan lebih realisties dari pada pe­lukisan pertempuran Waterloo jang termasjur dalam La Chartreuse de Parme (Stendhal), i . karena pembatja merasa Tolstoi tidak «menjunglap», sedang pada Stendhal dapat dikatakan bahwa Fabrice hanja mengalami bagian jang terlalu tenang dari pertempuran Waterloo, 2. karena unsur romanties jang terdapat pada Fabrice tidak ada dalam Se­bastopol (Pesth dan Kozeltzov Jr mirip sekali pada Fabrice). Bagian diamana Fabrice hendak menghalangi pasukan kuda lari lewat djembatan, tidak lagi termasuk dalam per­tempuran Waterloo tetapi termasuk dalam potret psycho­logies dari Fabrice sendiri. Lagi pula Tolstoi sendiri rneng- aku ia beladjar dari Stendhal. -Tapi lebih menarik hati bahwa kita djuga mendjumpai pelukisan jang djelas sekali tentang perang pada pengarang romantikus seperti Ler­montov, dalam sadjak Surat Varvara Lopoechina, jang di- tulis hampir pada waktu jang bersamaan dengan Stendhal: La Chartreuse de Panne pada tahun 1839, Surat Varvara pada tahun 1840.

Bahwasanja «pendidikan kesusasteraan» berguna sekali supaja kita dapat menangkap kesederhanaan atau kebenar­an, telah saja alami sendiri, kalau saja ingat bahwa pada usia 18 tahun Perang dan Perdamaian Tolstoi saja anggap membosankan dibanding dengan buku 1812 karangan Rellstab; demikian pula dengan buku De Kozakken, karena pada hematku tidak tjukup «kedjadian2 didalamnja» (berten- tangan dengan pengharapanku melihat namanja); sehingga djuga Sebastopol pasti akan saja anggap tak berarti, djika tadinja saja bandingkan dengan buku 4 bagian dengan nama itu djuga, jaitu karangan seorang jang bernama Sir

John Redclyffe, kalau tak salah. Sebenamja pandangan saja terhadap roman perang zaman Napoleon, atau setiap roman perang,ketika itu ditentukan oleh karangan Conan Doyle bernama: Exploits o f Brigadier Gerard. (Bahwa visie demi­kian berasal dari Marbot, digarami sedikit dengan humor Inggeris, tak saja tahu ketika itu).

Merasa diri satu dengan massa adalah suatu kepertjajaan, djadi metaphysis. Diperbesarnja diri individu dalam hal kekuatan, runtuhnja batas-batas djadi pembebasan, djuga suatu pembiusan (seperti dalam tari primitif); pen- deknja, suatu keadaan jang selalu dichotbahkan, dianggap sebagai suatu pengalaman kesutjian, tapi jang dimani, lepas dari kebenaran perseorangan (artinja kalau diling- kungan peradaban jang lebih tinggi dari peradaban bangsa alamiah).

Pertjaja kepada massa, djadi pertjaja pada tjita-tjita, sama artinja dengan pertjaja pada Tuhan. Individujang mendjadi sutji dalam kepertjajaan demikian berpikir «aku ialah mas- sa», sebagaimana jang lain itu kira-kira berpikir: «aku ialah Tuhan». Dalam kedua hal terdapat banjak ketjongkakan, jang tentu menjaru sebagai kerendahan hati; lagi sebenar­nja, tjita-tjita seperti ini terang bertudjuan membuat orang jang merasa bangga. Sang individualis, jang dituduh tjongkak, disamping ini hanja mempunjai kebanggaan jang pahit (laliir dari suatu dendam, «van de nood een deugd maken») dari manusia jang mengenai batas-batasnja.

Lagi pula orang selalu mempertjakapkan kemuhaan pengorbanan diri, kemuliaan menjatukan diri dengan N e­gara, dengan Massa, dengan Tuhan.

Individu jang diperkuda itu harus niendapat perasaan bahwa Negara, Massa, Tuhan, tiada akan dapat melandjut kalau bukan karena dia. Kebesarannja lantas mulailah kalau ia pertjaja akan hal itu. Sang individualis, jang tak pertjaja, luput dari «kebesaran jang sesungguhnja» ini.

N A P O L E O N D A N K E M E R D E K A A N B I T J A R A

Rasanja tak banjak buku jang begitu penuh peladjaran dan begitu sesuai dengan keadaan sekarang, bagi orang jang mementingkan soal kemerdekaan pikiran, seperti buku John Charpentier tentang Napoleon et les Homines de Lettres de son temps. Disana dilukiskan bagainiana seorang diktator menurunkan deradjat sastera dengan pengawasanjang pitjik sekah, jang namun demikian tinggal tokoh jang lebih besar dari pengarang2 jang berusana melawannja. Hampir kita jakin akan kesanggupannja dilapangan pemikiran, karena Napoleon ini, kalau diingat sifat2 parvenunja, kadang2 menundjukkan bahwa ia mempunjai kebudajaan seorang opsir artileri, dan bukan hanja kepintaran seorang sersan seperti jang diduga-duga: Goethe sendiri dapat ditipu oleh «djago» ini. Djika kemashurannja dibandingkan dengan kemashuran pengarang, memang ia tetap lebih utama: Djadi seorang Mme de Stael selalu susah bemafas kalau Napoleon ada dekatnja. Ia mendirikan pohsi istimewa buat soal2 sastera, suatu hal jang dapat disebut gandjil, dan di­samping itu tepat pula, buat sasterawan2 tertentu; semasa konsulat, ia telah mengurangi pers dari 63 mendjadi hanja 13 surat-kabar, suatu tindakan jang dapat disambut dengan gembira, kalau tidak ternjata bahwa jang 13 lagi dipimpin oleh kaki-tangannja. Dan mendjadi suatu keistimewaan pula bahwa LeJournal des Homines Lihres diongkosi oleh men- teri urusan kepolisian Fouche.

Apa sadja jang diizinkan dilapangan seni dibawah per- lindungannja hanjalah berkat kerelaan mendjilat, dan sim- bol keadaan itu agaknja njata dari lukisan Bonaparte naik kuda jang se-akan2 terbang melalui gunung Sint-Bernhard (padahal ia sebenarnja djalan kaki atau menunggang kele- dai), lukisanjang dibuat oleh David sebagai pesanan kehor- matan. Dilihat dari zaman kita lukisan itu menjedihkan; tapi sasterawan2 pendjilat kadang2 membuat Napoleon sendiri muak karena ketololan mereka. Pada satu hari ia mengeluh: - Sastera ketjil menjokong, sastera besar me- nentang aku. - Namun demikian ia pernah merebut hati hampir segala «orang besar» sastera, sebab ia bukan hanja memiliki dajapenariknja jang masjhur itu, tapipun ia seorang aktir jang litjik. Selain Stendhal, musulinja jang paling besar sekalipun, rela mendjadi kakitangannja, kalau pun tidak segera, kemudian: Mme de Stael jang hysteris, Benjamin Constant jang ketjewa, pun «seteru mati»nja Chateaubriand. Kebadjikan jang dapat dipertentangkan padanja, seandainja, pun tak ada: nilai «honnete homme» sama sekah hampir tak ada pada djago2 pena itu. Napoleon menguasai segala alat2 untuk memaksa pikiran orang me- mihak padanja: bukan hanja pendjara, tapi djuga tempat pembuangan seperti Saint-Domingo dan rumah-gila di Charenton. Tapi seperti segala diktator, Napoleonpun ku- atir bahwa pikiran orang tidak akan membenarkannja, dan djiwanja tidak tjukup bebal untuk menjembunjikan keta- kutannja, jang diakuinja dalam bukunja Memorial de Saiiit- Helene.

Karena terlalu takut akan kritik, ia sendirilah jang mcn- djalankan pengawasan surat-kabar dan ia mengirim per- hitungan2 perbelandjaannja pada Fouche, djika dalam salah satu surat-kabar tertulis berapa dikeluarkannja. Dan Geof- froy (musuh Stendhal, pembela agama dan pencntang kaum filsafat) mendjilat padanja demikian rupa, liingga Geoffroy mendapat monopoli didunia kritik, jang memberinja ke- bebasan mengudap tiap pengarang jang masih menundjuk-

kan pendirian bebas atau bakat sedikit. Sekali-sekali Napo­leon mendj alankan tugas itu, mendjadi wartawan-penen- tang Inggeris dan ia sendirilah jang mengetjam buku Co- rinne karangan M ine de Stael, jaitu dalam madjalah Moni- teur. Sensornja berpendapat bahwa De VAllemagne harus dipotong; lalu ia membatja buku itu dan hasilnja seluruh oplah buku itu disuruli bakar. «Pekerdjaan wanita ialah menjulam», demikian pendapatnja; hanja lelakilah jang lajak menulis, tapi sesudah dikebiri lebih dahulu (kata Charpentier).

Pada tahun 1806 orang dilarang menulis biar sepatah kata sadja tentang adanja Lodewijk X V I, seperti sekarang di Sovjet Rusia orang dilarang menulis tentang adanja Trotsky. Dalam hal demikian kekerdilan seorang diktator kadang2 lebih besar pengaruhnja dari pada kepentingan pohtik jang sesungguhnja. Henri IV, djuga seorang ketu- runan keluarga radja Bourbon, masih terlalu dekat ber talian dengan orang tersebut sehingga masih merupakan saingan baginja; djadi ia laranglah sebuah sandiwara ten­tang Henri IV dan ia tuhs pada Fouche: «La scene a besoin d’un peu d’antiquite». Artinja kalau masalalu itu memang- gungkan tokoh2 jang akan menggambarkan dirinja, dan tentu sedikitpun tak boleh bertentangan dengan kepen- tingannja. (Keadaannja kira2 serupa kalau Mussert, kalau sudah mendjadi diktator di Nederland, memesan sandiwara tentang Brinio, tapi masih ketakutan mendengar nama Colijn).

Namun semua ini tak ada artinja bagi seorang jang ter­lalu menghargai kcmashurannja sebagai panglima perang diatas kebadjikan jang lain; barangkali ia berpendapat bahwa seorang djenderal besar makin harum namanja, djika ia menundjukkan kekerdilan pula dilapangan pemi- kiran. - Dan sebagai djenderal, seperti kata seorang, susah- lah mentjari tjatjatnja, karena Napoleon lebih banjak me- nang dari pada kalah dalam pertempuran. - Ia memandang hina pada marsekal2nja dan mereka mi selalu diadu-domba-

nja dengan mempergunakan kelebihannja mengenai djiwa manusia: jaitu bahwa tiada alasanjang lebih kuat dari pada rasa kepentingan diri sendiri; dan perlakuan demikian sudah selajaknja bagi orang2 itu, kalau sifat2 mereka diperhatikan dalam segala memoires dimana mereka terdapat, pun ka- valeris Marbot. Sifat2 mereka jang selainnja lebih baik ditutupi dengan kedjagoan mereka bertempur: «La pos- terite ne saura jamais», tulis Stendhal jang mengenai mereka sendiri, «la grossierete et la betise de ces gens-la, hors de leur champ de bataille. Et meme sur le champ de bataille, quelle prudence! C ’etaient des gens comme l’amiral N el­son, songeant toujours a ce que chaque blessure leur rap- porterait en dotations et en crois».*

Djuga di Sint-Helena Kaisar memperlakukan pengikut2- nja seperti dizaman kedjajaannja: iri serta dendam antara mereka dan tjara ia mempergunakamija buat kepentingan- nja, sama sadja keadaannja kalau sebuah rumah istirahat diisi dengan hakim2 pensiunan. Achirnja hanja dongeng tentang orangnja sadja jang dapat dihargai dari manusia ini. Demikianlah Napoleon kita djumpai waktu kita masih anak ketjil. Selalu terhput asap mesiu, pandji robek, pedang terhunus, kuda, majat, uniform; dan dia sendiri ditengah- nja sebagai pahlawan, tukang sihir, jang selalu menang. Kutanja bapak apakah ia tjantik djuga, seperti Achilles, dan Siegfried dan Ardjuna menurut tjerita orang. Djika kita telah tjukup matang, maka jang tinggal hanja kekaguman pada orang2 dagang,«captainsofindustry».Tapipemudjaan bapak pada Napoleon tak terkutik, bahkan setiap kata ten­tang Napoleon bagus buat bapakku; ia menikmati «tjerita pertjintaan» Napoleon dari buku2 murah tentang hal itu, dan ia djidjik menjebut nama Taine, jang tak pernah di- batjanja, tapi jang dari pendengaran menimbulkan kesan padanja bahwa Taine ini seorang jang suka «membusukkan

* Kemuakan Stendhal jang njata dalam kalimat2 ini lebih menarik kalau diingat penghargaannja akan segala keberanian dan «enerdji».

nama Napolcon». Sebaliknja Masson telah menulis hal2 jang «lebih baik»; kalau kita pemudja Napoleon maka Mas­son harus dipandang achhjang paling pandai, sedang Taine jang tak djudjur itu harus ditjurigai. Disamping itu kita, semasa kanak, mendjumpai orang2 jang setjara kerdil me- nentang Napoleon, jang menjebutjna «pembunuh», dan djuga mcnjangsikan keberaniarmja (menurut mereka, Na­poleon selalu berada ditempat jang aman dari pelor, diatas sebuah bukit, dan didjembatan Areola ia dilindungi oleh sebuah tiang bendera).

Djembatan Areola, tjontoh jang paling njata dan kesan- diwara-sandiwaraan dari keberanian Napoleon, menga- gumkan setiap orang. Stendhal mentjeritakannja seperti berikut: «Napoleon se jeta lui-meme a la tete des grenadiers; ceux-ci, cribles par la mitraille, reculent; Napoleon tombe dans le marais; il est un instant au pouvoir de l ’ennemi qui ne s’aper^oit point de la prise qu’il peut faire; les grenadiers reviennent chercher leur general et l’emportent, etc.» Tapi ia tidak berkata bahwa Napoleon penakut karena kedja- dian itu dan ia menertawakan Chateaubriand jang mengu- tjapkan pendapat demikian serta tuduhan bahwa Napoleon sebenarnja tidak bernama Napoleon melamkan Nicolas. Seperti biasa, Stendhal tak suka lapuran resmi, lukisan jang diperindah dari kedjadian2 seperti itu, tapi memang ia se­lalu berkata: <<j’ai renonce a toute noblesse de style»; jang menjebabkan, 6 baris kemudian, kita mendjumpai kalimat seperti: «Mais il etait deja trop tard; on ne pouvait plus tomber avec avantage sur les dcrrieres d’Alvinzi surpris» (djenderal Austria; jang dimaksud: barisan belakangnja). Lalu Stendhal henjimpulkan pendapatnja: «l’incroyable fer- mete d’ame du general et le danger extreme qu il avait couru lorsqu’il tomba dans le marais»- sedang Tolstoi dengan mengliina menjebutnja lupak Napoleon dan berkata Napoleon telah mengotori pandjinja.

Hampir soal ini dapat dianggap soal simpati atau den- dam perscorangan; namun demikian susah rasanja mene-

kan kekaguman kalau orang membatja riwajat bangkitnja opsir artileri jang tak dikenal itu; pemudjaan ini sebenarnja baru diatasi oleh kedjidjikan kalau ia sudah mendjadi kai- sar, jaitu mendjadi tyran. Maka menggelikanlah penda­pat beberapa achli sedjarah jang me-njebut2 «kemanusiaan» serta sifat2 «hati» Napoleon, karenapun bagi seorang anak akan njata bahwa segala perbuatannja bukan sadja hanja didorong oleh keinginan mau temama, tapi djuga oleh nafsu berkuasa jang tak mengenai batas, oleh kehausan akan kepatuhan setiap orang lain, bahwa ia baru menun­djukkan «kemanusiaan» kalau orang telah melajani kemau- annja itu; djadi bahwa orang hanja mengalami kebaikan hati dan belas kasihan seorang tyran. Sjukurlah bahwa se­lalu ada orang jang tidak suka tyran jang bagaimanapun.

Dikemudian hari orang inulai menghargai mereka jang tadinja berani menentang Napoleon dan jang dulu dipan- dang sebagai orang djahat: orang seperti Moreau, Cadou- dal, pun orang seperti Malet, mahasiswa Djerman, Stapps. Tapi djuga ini adalah kebohongan, sebagaimana djuga akan tetap tinggal impian menjangka seorang Hoche atau Saint-Juste, seandainja mereka masih hidup ketika itu, akan menghalangi Bonaparte mendjadi Napoleon, sebagaimana djuga akan tetap hanja puisi belaka memandang Desaix dan Marceau jang mati muda sebagai djenderal-revolusi tulen dibanding dengan marsekal2 kemudian dari keradja- an Napoleon. Desaix tiwas dalam pertempuran untuk me- negakkan konsulat, sedang Marceau mungkin hanja akan mendjadi saingan Murat. Dan seorang Hoche atau Saint- Juste, dengan kuasa seperti jang ada pada Napoleon, akan kehilangan artinja jang sekarang kita hargai dalam diri mereka itu.Julien Sorel (tokoh roman termasjur: Le Rouge et Le Noir karangan Stendhal) tetap simpatik karena ia ter- njata sanggup menghantjurkan angan2nja dengan «crime passionel», karena ia dihukum mati dan tidak mendjadi menteri.

«Djeni dalam segala hal» jang dikatakan ada pada N apo­

leon hanja dapat membuat djasa terhadap kesusasteraan dengan djalan melarang «perang kritik» dan dengan men- djadikan Institut sematjam Mahkamah Tertinggi kesusas­teraan. Kalau perbuatan ini patut dikagumi maka iapun harus dikagumi sebagai politikus jang telah dikitjuh oleh Talleyrand, oleh Fouche dan oleh Mettemich, dan sebagai achli negara jang telah berhasil membawa Perantjis ketepi djurang keruntuhan. Tapipun semua ini lenjap artinja di- tutupi oleh dongengan tentang dia. Hampir ia harus di- pudji pula karena telah mendjadi momok bagi pengarang2 zamannja, karena dengan demikian ia telah memberi ba­han bagi Stendhal, seorang Balzac, Hugo, ja, bagi sastera dunia sedjak kira2 1830.

Sifat dasar dari djeni universil ini keliliatan di-mana2 dan sungguh terlalu biasa kedjenialannja itu: mendirikan Ne­gara Militer, memiliterkan segala-galanja, pendidikan, dji- w a; djadi memang perkataan universil masih dapat diper- gunakan. Maka reflexnja terhadap Chateaubriand jang menuntut kemerdekaan bitjara, sederhana pula, jaitu hen­dak menjuruh pcngawalnja memenggal kepala Chateau­briand ditangga istana Tuilerieen. Setiap kali ia memihak kaum kepentingan sipil melawan kepentingan militer, se­mua itu hanjalah berdasar perhitungan laba-rugi; tak ada sadjak, sandiwara, lukisan jang berharga baginja kalau ti­dak ada hubungannja dengan tentara atau kekuasaannja. M aka iapun memperoleh kesenian jang pantas baginja, de­mikian kesimpulan Charpentier pula setjara singkat lutju.

Kaum achh pengetahuan dan terutama mereka jang menjelami metafysika, sudah terang lebih mudah menje- suaikan diri dengan tyrannie; daerah mereka tidak menji- langi keradjaan penakluk dunia itu; ia menganggap dirinja achh waris Charlemagne, tapi daerah-atas-alam tak perlu dihiraukannja, karena tak berguna dan tak dikenalnja. Na- mun demikian dalam journal intime dari salah seorang achli filsafat jang paling metafysis dizaman Napoleon, jaitu Maine de Biran, dapat didjumpai tjatatan tgl 17 Mei 18 15 :

«Bonaparte dont le nom sera un jour 1c titre le plus odieux dont on puisse fletrir un tyran» - hal mana menandakan ke­sukaan berchajal belaka.

Seorang matematikus dan seorang seldadu, suka lagak pemain panggung, itulah ketiga sifat Napoleon, jang djuga dapat disebut seorang «penjair» kalau hidupnja serta nasib- nja dipandang dari luar dan sebagai «tjerita palilawan». Tapi bagaimanapun djuga antara Attila dan Homerus ter­dapat perbedaan hakiki. Melakukan anahsa watak ini tidak enak, bukan sadja karena timbulnja anti-klimax Bonaparte- Napoleon, tapi karena kita harus menarik kesimpulan bahwa ia mendjadi korban peranannja, individualis jang melampaui segala batas itu. Ada achli sedjarahjang menga- takan, bahwa ia memang suka damai sedjak mendjadi kai- sar; djadi peranan jang direbutnja ternjata lebih kuasa dari kemauannja sendiri; tapi bagaimanapun djuga, teramat bodohlah berkata, bahwa individualis ini tadinja akan lebih bebas sekiranja kuasanja mendjadi lebih besar. Seorang op­sir artileri, diperbudak djadi kaisar, sudah terang tidak akan mengerti arti apa jang disebut dan dimaksud kemerdekaan oleh orang. Djadi djuga dalam hal ini kepitjikannja menen- tukan keputusan jang diambilnja, dengan mengutjapkan bahwa kemerdekaan adalah kata melulu dan tak pernah ada.

Adalah mendjadi bentjana bagi orang jang pertjaja ada djiwa, karena mereka membutuhkan kebebasan seperti tumbuh-tumbuhan memerlukan air dan udara. Bagi inte­lektuil dan seniman jang tidak sudi didjadikan seldadu dalam kuasa diktatur tersedia hanja satu kemungkinan hi- dup: berpikir dan merasa diluar zamannja sendiri. Keadaan demikian bukan tidak mungkin (tjontohnja moraHs Jou- bert dizaman Napoleon), tapi hampir tak mungkin bersi- kap demikian kalau orangnja bukan pengetjut.

Agustus. - Djusteru hari aku hendak berangkat untuk ber- liburan, aku mendapat surat jang pandjang dari seorang sosialis; ia mengirim sebuah karangan tentang pendidikan rakjat dan ia ingin tahu bagaimana tjaranja mengadjarkan pada kaum buruh, bahwa pengarang jang baik memang lebih baik dari pengarang jang buruk.

Tak mungkin diberi djawaban atas pertanjaan seperti ini. Pertama mendjadi pertanjaan bagi saja sendiri. kaum buruh jang mana? Tjara2 kursus malam dan unipersitet rakjat tak saja sukai, artinja, saja anggap tidak lebih tinggi dari pada tjara2 surat-kabar berusaha merabawa segala ke- pintaran dan pengetaliuan dirumah orang.

Berilah djaminan padaku dari adanja kesanggupan me- nerima kesusasteraan pada, misalnja 5 diantara 100 buruh, dan saja akan bersedia membuang banjak waktu unt berusaha mendidik jang 5 orang ini, tidak menurut tjita rasaku sendiri, tapi dengan berusaha mengerti apa jang mereka perlukan, orang seorang dan «individualistis». Ba- rangkah ini akan disebut suatu pendapat dari seorang mte-lektuiljang tjongkak, tapi s a t u - s a t u n j a pendapat jang tidadangkal dalam pandangan saja. Pengetaliuan jang dangkal tentang kesusasteraan pada segolongan buruh tidak berarti bagi saja, seperti djuga halnja pada segolongan gadis-gadis jang terpeladjar.

T E N T A N G R U S I A D A N O R A N G R U S I A

Sofka N ., bekas djururawat dalam tentara putih di W rangel, sekarang hidup sebagai bojongan di Paris, berkata ketika membitjarakan Rusia: — Walaupun Rusia sekarang ke- punjaan kaum Sovjet, aku memandangnja sebagai negeriku sendiri, sebagai suatu kesatuan dan saja tak suka ia diganggu oleh siapapun. Djika Rusia diserang oleh Djerman, aku bersedia lagi ikut sebagai djururawat, kalau kaum merah mengingini bantuan saja. Djuga saja tak suka djika bangsa Kaukasus misalnja hendak mendirikan negaranja sendiri! Djadi karena itu saja mengerti tindakan-tindakan Italia se­karang.

D . mendjawab: — Djerman lain dari bangsa Kaukasus. Kau harus dapat setudju djika bangsa Kaukasus memerde- kakan diri.

S. -D justeru saja tak dapat menjetudjuinja. Rusia bulat dan tak dapat dibagi-bagi buat saja.

D. - Kau dapat mentjoba memikirkan apa jang benar.S. - Djuga hal itu tak mungkin saja lakukan dalam keada­

an begini. Apalah saja? Seorang kristen dan bekas djurur­awat. Kebenaran, bagi saja, hanja dalam kekristenan. Rusia adalah sesuatu dari bumi ini.

D . -D jad i kalau disorga nanti, kau lantas akan mempunjai pendapat jang berlainan?

S. - Djika saja disorga, saja hanja berkeinginan berbuat baik. Merawat orang sakit.

D. - Barangkali tak ada lagi nanti orang sakit disorga. Dan djika kau sudah disana, dapatlah kau nanti sesukamu me- mikirkan hal Rusia, karena Rusia tak akan berarti lagi bagimu. Disorga kau hanja akan menginsjafi sepandjang hari bahwa sorga itu bulat dan tak terbagi-bagi dan kau akan melihat Tuhan lewat sedikitnja tiga kali dalam sehari, se­perti Tsaar!

S. - Saja memerlukan orang sakit!D . - Itu keinginanjang bukan-bukan, sebab tak ada orang

sakit disana. Tapi barangkah kau akan ditempatkan dikelas permulaan dari sorga untuk mengikis keinginan2 seperti itu dari djiwamu; disana kau masih akan diperbolehkan merawat boneka2 jang sakit.

S. - Saja tak perduli apa jang terdjadi di Italia dan Abe- sinia; saja berbohong kalau saja memihak dalam peperangan mereka. Hanja satu hal jang mendjadi pikiran bagi saja. Asal orang djangan mengganggu Rusia. Apakah pikiran itu djahat?

D. - Sajang harus saja akui bahwa selalu bagus kedengar- an kalau orang menjatakan sesuatu hal dengan kejakinan.

T E N T A N G P E M U D A

Pemuda selalu bersikap kritis terhadap kaum tua, karena pemuda.1 selalu jakin ia akan melakukan sesuatu lebih baik (dan

kejakinan ini menjebabkan ia berpikir telah berbuat lebih baik);

2 tidak menghiraukan pengalaman kaum tua, karena ti­dak tahu, atau menganggapnja tidak berharga, karena menjangka fixasatnja lebih baik, tapi umumnja karena pemuda itu menjangka telah «mengatasi» pengalaman kaum tua itu.Soalnja ialah, memperlakukan pemuda itu dengan halus.

Lagi pula kritik dari pihak pemuda bersifat lapang, sebab pada dasarnja pemuda itu ingin kaum tua hendaknja dja- ngan mengetjewakan. Artinja, terutama: djangan kaum tua itu ternjata membohong.* Dan pertjajalah, 9 dari 10 tindakan pemuda jang mula2 dianggap sebagai «kemenang- an», kemudian harus dikerdjakan kembali karena ternjata kekalahan.

Dan hendaknja orang tua djangan melulu menafsirkan perkataan membohong itu dari sudut pendidikan! Orang jang suka «mendidik», lebih sering berbohong dari pada orang jang tidak berapa memper- dulikan soal itu.

M A I N M A T A D E N G A N R E V O L U S I

Brussel, 14 Februari 1931

Dibulan jang lalu aku hanja membatja autobiografie Trots­k y dan Lenin karangan Valeriu Marcu. Membatjanja lam- bat; sebab bukankah individu itu jang selalu mendjadi per- hatian bagiku, sedangkan alat2 jang dipergunakan mereka ini untuk penegasan kediriannja asing bagiku; mereka tum- buh dalam ikhm jang bukan iklim-ku. Van O. memberi padaku sebuah daftar batjaan revolusioner jang harus ku- peladjari: M alraux menambahnja pula; dalam buku Trots­k y satu bait kuberi bergaris, jaitu dimana ia membitjarakan surat-menjurat antara M arx dan Engels jang ber-tahun2 me­rupakan «livre de chevet» baginja: dalam buku inilah kedua pemuka ini kelihatan dengan segala teori sosialnja, tapipun dengan kepribadiannja jang njata. Kemarin malam kutulis surat pada M . jang mendjadi lebih pandjang dari maksudku semula, sebenamja lembaran buku harian untuk cahier ini, jang kuterakan disini dalam terdjemahan (maksudnja dalam bah. Belanda, penterdjemah):«... Sebaik buku2 itukuterima aku akan segera membatjanja, sebab dilapangan ini aku masih merasa ter-bawa2, artinja aku selalu ter-bawa2 oleh aliran jang kebetulan kudjumpai. Tentu aku ada beberapa pendirian jang kurang terang, tapi apa dasarnja? Setiap nilai psychologis dan nilai kemanusiaan jang mereka kemuka- kan harus ditetapkan dulu harganja, sekalipun bukan me­nurut norma lain, setidak-tidaknja dengan memperhatikan iklim jang chas, dan dengan memperhatikan sesuatu hal

ang bertalian dengan perobahan tjara memandang karenaj pekerdjaan seseorang - dan achirnja: aku kuatir bahwa aku terutama tak dapat setjukupnja menghargai tjinta pada ummat manusia jang menggelorakan semangat mereka ini. Mereka dengan segenap hati mengabdi pada hal2 jang ham­pir tak dapat kupahami; aku mengerti tanpa turut merasa- kan, aku kadang2 kagum, tapi tidak menurut keinginanku jang sesungguhnja. Agaknja aku tak akan dapat mengamal- kan «sastera» seperti jang ber-ulang2 dikemukakan oleh Trotsky; senantiasa akan ternjata bahwa aku terlalu malas atau terlalu bodoh buat pekerdjaan demikian. Tapi masalah selalu memburu diriku, walaupun selalu ber- kisar di-itu-itu djuga: au fond, golongan Bonnot lebih mu- dah kupahami dari pada kaum pohtik ini (kaum pohtik jang sungguh2 atau hanja ikut-ikutan masih harus dibedakan pula). Dan djika aku menginat Garine*, misalnja sesudah membatja memoires Trotsky, maka aku bertanja-tanja pada diriku apakah tokoh demikian akan didjumpai orang dalam hidup jang sebenarnja. Sekarang aku merasa, bahwa djika orangnja serupa dengan jang kubajangkan ia tak akan sanggup mendjalankan tugasnja, bahwa ia sebelumnja su­dah ketjewa, seperti kau sendiri tentunja, kupikir, djika kau sendiri harus mendjadi manusia seperti itu, dan bukan hanja mentjiptanja (berikut segala romantik jang sedjalan dengan itu) - djadi tidak sungguh2, pun tidak hanja me­nurut sesuatu «maha kebenaran», tapi dalam kenjataan po­htik se-hari2.

Van O. berkeinginan kau hendaknja datang kemari un­tuk mengadakan tjeramah dihadapan kaum buruh. Ia se­lalu simpatik dalam pandanganku; ia manusia dan agaknja dapat mendjadi teman jang baik. Tapi kadang2 aku merasa diri pengcliianat djika berhadapan dengan dia; rupanja ia menjangka bahwa aku berpikir seperti dia atau bahwa aku

* Tokoh utama dari roman pertama karangan Malraux: Les Con- qtierants.

ingin supaja dapat berpikir seperti dia - tapi sastera komunis itu, djusteru mendjaulikan aku dari dia, dan aku kuatir bu­kan sebaliknja jang terdjadi. Aku ingin tahu pikiranmu jang sesungguhnja tentang komunisme, sebab apakah arti­nja seseorang itu dipandang «besar» atau dianggap «baik» djika toch tidak masuk golongan «awak». Dapatkah kau berkata tentang Trotsky: «cet homme, qui est des miens», seperti Claude berkata tentang Perken*? Izinkanlah aku mengingatkan padamu perihal kebenaran terachir dari Pa’ France, sekalipun masuknja agak serong dalam pengutara- an in i: Jaldabaoth adalah musuhjang harus diperangi dalam diri kita sendiri. Djusteru inilah jang dengan tepat meru- muskan keberatanku terhadap mereka itu; aku selalu me- rasa bahwa segala jang bernama Lenin, Trotsky, Stalin ini, sekalipun mereka mungkin berbeda dalam banjak hal, se­perti dalam hal kebesaran, nilai moril (pula suatu hal jang tak kuketahui sama sekali, sebab djika aku mau pertjaja bahwa Trotsky lebih murni dari Stalin dan Lenin berpe- mandangan jang lebih luas dari Trotsky, apakah ini bukan hanja kesan?) - bahwa mereka serupa dalam satu hal, jaitu bahwa mereka memerangi Jaldabaoth: tzarisme atau kaum bordjuis, tapi alhasil mereka sendiri mendjadi Jaldabaoth. Pendirianmu bahwa orang revolusioner jang sesungguhnja adalah suatu type jang sudah ditakdirkan selalu akan kalah, ditembak mati oleh musuh djika kalah dan oleh kawan djika menang, sungguh saja setudjui benar; tapi apakah orang bersangkutan djuga berpikir demikian? Semakin tak ada harapan dalam perdjuangan, semakin pasti tibanja ke- kalahan, semakin djajalah diri pedjuang itu dalam pan- danganku, kedjajaan jang lebih kuhargai dari pada kebesar­an orang jang berhasil keluar dari gelanggang sebagai orang terkuat atau jang paling litjik. Barangkali ini «puisi» pula, seperti kau katakan tentang perasaanku terhadap

* Dalam La Voie Royale, roman kedua dari Malraux.

Mayrena*; djadi puisi djuga djika aku lebih suka pada Per- ken dari pada kepada Garine? - Semua ini kutuliskan keburu dan tidak sempuma dan akii jakin bahwa tuhsan ini tidak berarti apa2 sebagai «diskusi revolusioner» dan bahwa orang jang hafal akan M arx djauh lebih sanggup mempertjakapkannja, tapi aku hanja berusaha mendjelas- kan pikiran dan perasaan jang bergolak dalam diriku.

Kukira, sesudah batjaan jang tidak seberapa tentang soal ini, pikiranku jang sesungguhnja adalah sebagai berikut: orang revolusioner itu simpatik bagiku selama ia masih tokoh opposisi. Dan djika aku mengingat opposisi, maka aku langsung mengingat seluruh kemanusiaan; opposisi terhadap segala itu, terhadap segala jang bukan kawan. Masih kau ingat pertjakapan kita tentang teori persahabat- an jang berkata bahwa persahabatan adalah tjinta terhadap manusia dalam lingkungan terbatas, ketika mana kau ber­kata bahwa persahabatan djusteru kebalikan dari pendirian demikian, dan bahwa persahabatan jang paling erat djus­teru lahir dari perasaan bersatu dalam menentang <jang lain». Hal jang antipatik bagiku dalam revolusi, perasaan jang selalu ada padaku selama membatja, perasaan jang tak pernah seluruhnja dapat diusir oleh kekagumanku pada tokoh2 dalam tjerita, ialah tjinta itu pula, kasih pada rakjat djelata, rasa pertalian dengan bagian tertentu dari kema­nusiaan itu: bagianjang tertindas dan diabaikan, dan bukan termasuk bagian selainnja: bagian jang puas sendiri dan menjatakan pendiriannja menurut pertimbangan. Seorang tokoh opposisi jang murni, pada hematku, pada dasamja sudah tidak akan dapat bergabung dengan rakjat murba, karena ia akan merasa diri seorang pengchianat, seorang penipu rakjat, rakjat jang tidak berpikir seperti dia. jang

* Marie deMayrena, Radja puak Sedang: avonturier jang gandjil, peni- pupechajal, tapi tokoh utama dari tjerita jang gandjil sekali tokoh jang tragis dalam kekalahannja, lebih tragis (Ada buku Maurice Soulie tentang dia).

sama sekali tak sanggup berpikir seperti dia. Mereka itu ber-tjita2 mendapat giliran djadi makmur. Sedang tjita2 orang revolusioner itu djusteru bertentangan dengan segala pengertian kemakmuran. - Pendeknja, aku terdampar lagi pada «vertus de vaincus» dari Garine. Tapi djika hal seperti itu kita ketahui lebih dulu, bagaimanalah kita sanggup bergabung dengan mereka itu dari tahun ketahun ?

Kubalik halaman berkenaan dengan soal ini. - «Je n’aime meme pas les pauvres gens, le peuple, ceux en somme pour qui je vais combattre. - Tu les preferes aux autres, cela revient au m em e.. . - Je les prefere, mais uniquementparce qu’ils sont les vaincus. Qui, ils ont, dans l’ensemble, plus de coeur, plus d’humanite que les autres: vertus de vaincus... Ce qui est bien certain, c’est que je n’ai qu’un degouthaineux pour la bourgeoisie dont je sors. Mais quant aux autres, je sais si bien qu’ils deviendraient abjects, des que nous aurions triomphe ensemble...Nous avons en commun notre lutte, et c’est bien le plus clair...»

Sedang membatja hal itu, maka dalam hatiku timbullah dua pertanjaan: apakah perasaan orang itu telah berobah, atau apakah pembiusan perbuatan telah membiuskannja sehingga ia dapat melenjapkan kedjidjikannja? dengan per- kataan lain: dapatkah seorang misantroop mendjalankan peranan sosial jang berarti, walaupun ia setiap hari harus berhubungan rapat dengan kemanusiaan karenanja? Bait jang kukutip diataslah, bait jang paling tjotjok pada pe- rasaanku dalam buku Les Conquerants. Disampingnja akan kutempatkan pengakuan Strouvilhou*, jang rasanja akan dipandang hina oleh seorang seperti Garine, jang akan menjebutnja seorang langlangbuana jang tak punja pen­dirian tapi banjak teori: -«On voudrait nous faire croire qu’il n’est pour l ’homme d’autre echappement a l’egoisme, qu’ un altruisme plus hideux encore! Quant amoi,jepretends que s’il y a quelque chose de plus meprisable que l’homme

* Andre Gide, Les Fmtx-Monnayeurs, bagian III, bab II.

et de plus abject, c’est beaucoup d’hommes. Aucun raison- nenient ne saurait me convaincre que l’addition d’unites sordides puisse donner un total exquis.»

Sesuatu pemjataan revolusioner dari etika jang berlaku dinegeri Belanda seharusnja berkata: - Perasaan demikian tak ada sedikitpun faedalinja! - Dan rasanja aku tjondong sudah pada pendapat jang demikian. Gerombolan Bonnot, jang lahir dari anarchisme, mengadakan demonstrasi, kasar dan singkat seperti hal menembakkan pistol sadja lajaknja, sedang dihadapan mereka menghadang kematian jang pas- ti. Keinginan serupa itu timbul djuga dalam diriku kalau sedang memperhatikan keramaian orang melantjong di Rembrandtplein*. Tapi djika kepentingan kemanusiaan mendjadi soal, maka orang terpaksa mem-bawa2 etika, se­bab etika ini ternjata selalu perlu kalau orang mempersoal- kan kemanusiaan; hal jang terdjadi pada Rousseau, dan hal jang mudah ditundjukkan pada kaum idealis-revolusi di­negeri Belanda. W atak seperti jang terdapat pada Henriette Roland Holst tak dapat tidak melainkan akan membawa orang pada sematjam komunisme kekristenan, dan dalam sastera pada Gartenlaube sosialis, doa dan pemberontakan ketjil-ketjilan jang disadjakkan untuk keperluan kawan2 se- partai jang lemah. Lagi pula kurasa aku menjimpang sudah, sebab bagi kaum revolusioner tulen orang2 ini hanjalah Pak Turut jang dipandangnja liina atau jang menimbulkan rasa kasihan padanja, tergantung dari keadaan. Ingat sadja memoires Trotsky; tahulah aku sudah apa jang akan ku- pilih, sekiranja aku bukan sudah ditakdirkan hanja men- djadi dilettan dilapangan ini. Barangkali semua ini kutulis padamu hanja sekedar mendjelaskan diriku pada diri sen­diri, supaja dapat melihat dengan terang dalam perasaanku

* (n Mei 193°)- - (<Qui, repondit Lenine...La voila bien, la con- torsion de ce monstre de petit-bourgeois!»... Et l’ironie avec laquelle il pronon^ait ces mots traduisait assez ce qu’Engels avait exprime en parlant du «rabiat gewordene KleinbiirgeD>. (Trotsky’s Lenin).

sendiri dalam menghadapi hasil jang terbaik dari «sastera2 revolusioner». Kurasa ada baiknja djika kau dapat mene- rangkan apa aku ini sesungguhnja djika ditindjau dari segi sosial: kukira, sematjam rentenier ketjil jang non-konfor- mistis, dengan watak jang mengandimg banjak semangat bordjuis. Seorang jang sama sekali tak tjotjok buat penghi­dupan baru, seperti jang berlaku di Sovjet-Rusia dibawah tekanan oleh pimpinan jang achh, dan mungkin pula se­orang jang tak tjotjok pun buat pertjobaan2 jang lebih lu- nak. A ku bentji sudah memikirkan buku2-ku akan dibagi- bagi! Orang boleh sadja membagi-bagikanpakaianku, uang- ku, mengapa pula tidak ?pun aku tidak keberatan kalau dinjatakan bahwa kita semua harus mendjadi agak miskin dan kum uli; tapi buku-ku! dikerat-kerat dan didjadikan tak- berharga, buku2 jang disaring dan terpilih «sepandjang za- man», diberi bersarung biru, pakai lenan biru, pakai etiket kulit biru, aman dalam bungkusan hitam, buku2 Stendhal dan Gide kcpunjaanku - semuanja akan di-bagi2 seenaknja pada orang2 jang toch hampir tak akan menghargainja, se- kadar mematuhi undang-undang kekuasaan baru! Kuharap aku akan tjukup berani menjabung njawa pada ketika itu nanti untuk menjelamatkan perpustakaanku, seteiah ber- hasil meniwaskan beberapa orang dari kawan2 baru itu.

Pendirian ini tentu akan disebut terlalu bordjuis; dapat- kah orang memikirkan adanja sebuah perpustakaan per- seorangan, dalam alam Pendjadian Baru dari Kemanusiaan jang Djaja? Hampir aku jakin bahwa perasaan demikian akan timbul dalam hatiku, ketjuah kalau aku nanti djadi ketjut atau ingin hidup ter us karena ingin tahu bagaimana djadinja. Dan sekalipun Trotsky kukagumi, djika ia sendiri kulihat membagi-bagikan perpustakaanku, maka ia akanku- pandang tidak lebih dan tak kurang dari pada sematjam Pere Ubu.

Kudengar kau sudah berkata: «Sungguh menggehkan, tapi itu sebuah lelutjon pula». Mungkin sebuah lelutjon, tapi djuga mengandung kebenaran jang dalam. Soalnja se-

bagai berikut: aku mengerti Julien Sorel, individu jang melepaskan diri dari kelas-nja dengan alat2nja sendiri, te- naga sendiri (dan tidak penting apakah kelas-nja itu adalah kelas bordjuis atau kelas proletar); tapi orang jang bekerdja untuk memperdjaja kelas-nja, sedikitpun tidak menarik hatiku».

1 8 Fcbniari

Malraux menundjukkan kesilapanku jang terpenting; ka- tanja aku terutama harus mengingat bahwa masalah kelas- lah jang mendjadi persoalan. (Apakah aku memang tak mengerti hal itu sama sekali? Lalu aku mengingatkannja pada alinea terachir dari suratku). — Tapi Trotsky memberi pemandangannja tentang Les Conquerants dan ia telah men­dj awab pula. Djawab jang paling lengkap jang dapat saja harapkan kurasa djusteru terdapat dalam membatja kedua dokumen itu. Sementara itu masalah kelas ini memberi satu perpeganganjang njata bagiku: pandangan hidup jang materialistis dari komunisme. Trotsky menuliskan tentang sosialis Swiss, Ragaz: «Seorang kristen jang alim, lebih lag i: theoloog jang terdidik dan bekerdj a sebagai theoloog, Ragaz bcrdiridisajap paling kiri darisosialisme Swiss, iapengandjur alat2 jang paling radikal untuk menentang perang dan pengandjur dari revolusi proletar. . .(Tapi) dalam pertja­kapan2 jang kulakukan dengan dia, maka aku, disamping rasa hormat pada orang jang mulia ini, merasakan tirai tipis tapi jang tak tertembus tergantung antara kami. Ia seorang mistikus tulen dan tak mendjadjakan kepertjajaamija, me- njebut-njebutnja pun tak suka, tapi ketika bitjara ia raem- balut segala hal, djuga tenaga bersendjata, dalam suasana achirat, hal mana membuat saja menggigil kedinginan. Sedjak aku mulai berpikir, aku sudah seorang materialis, mula2 intuitif, sesudah itu dengan sadar; aku bukan hanja tak memerlukan dunia lain, tapi aku pun tak pernah ber-' hasil memperoleh djembatan psychologis untuk dapat ber-

hubungan dengan orang jang berhasil mengakui Darwin serempak dengan Tri-Tunggal jang Sutji. (Hidupku, auto- biograpliie Trotsky, terdjemahan E. Brouwer). Pernjataan jan g demikian termasuk kata2 jang paling terang jang dapat kuperoleh dari batjaan serupa itu. Kelas jang meminta ke- makmuran, kemakmuran materiel sadja, dalam liidup jang satu ini, karena tjerita2 lama (Buku Jo b : manusia berserah sadja pada nasib karena insjaf bahwa Tuhan lebih maklum; Orang kaja dan Lazarus: Upah orang jang tertindas akan diberi diachirat dipangkuan Ibrahim) sudah tak laku lagi, memang kelas demikian selalu benar, bagaimanapun kita menghadapinja. Tapi djusteru kemakmuran itu pulalah jang dibela oleh bordjuis; maka disini bordjuis dan komu- nis itu lebur pula djadi satu dibawahnama«manusia». Bukan­kah komunisme sedunia itu hendak mentjiptakan manusia baru? Tanda tanja, tanda tanja; semuanja mendjadi soal keragaman tjorak dari hal jang sama dalam wudjud. Ham­pir kita djadi kuatir akan nasib manusia baru itu nanti, se- kiranja kita djuga tidak tahu pasti, bahwa kita sendiri tak akan mengenalnja lagi, jaitu karena sebab jang sama: hidup ini terlalu singkat.

Brussel, 4 April

Satu setengah bulan dokumentasi revolusioner; mula2 su- sah, tapi achirnja djerih pajah terasa berbuah djuga djika kita melihat ber-matjam2 istilah jang mulanja kosong lam- bat-laun djadi terisi, meliliat tumbuhnja aturan dalam per­soalan, pengertian2 menempati kedudukan tertentu dalam gambaran keseluruhan jang kita bangunkan dalam pikiran, walaupun tidak selalu tepat. Akumendapat banjakpeladjar- an dari buku Ilmu Revolusi karangan M ax Eastman, buku L 'A n I de la Revolution karangan Victor Serge (Kibaltsjitsj dari perkara Bomiot) djuga dari riwajat liidup Bakunin, ketika pada suatu saat aku merasa harus beladjar dari kaum anarchis, sesudah letili mempeladjari sistem marxis. Segala-

nja berobah bentuk dan warna dalam usaha mentjari nilai2 baru ini; misalnja dalam dua hari aku rasanja bisa menge- mukakan pendapat jang berbeda tentang M arx, sekiranja disuruh menjatakan pendapat dalam lingkungan teman. Pada saat ini aku jakin bahwa memang hanja sistem jang lain jang akan bermanfaat (walaupun bersifat sewenang- wenang ditaraf tertentu: taraf kuasa sementara dan kuasa peralihan, menurut Lenin). Dan bahwa sistem Marxlah, jang terbaik barangkali asal djangan dilaksanakan setjara dogmatis, tapi disempurnakan dengan penemuan-setempat oleh kaum pelaksana. Berkata T rotsky: Kaum anarchis itu sungguh besar dan tak terlawan berdebat dalam dinding cafe; utjapan ini mengingatkan aku pada kata2 jang rupanja pernah dinjatakan oleh Slauerhoff pada Arthur M . L., se­sudah ia ini mengadakan pembelaan untuk anarchie: «Ja, akupun mau djadi anarchis, tapi tukang roti dan pembantai hendaknja djangan. Mereka harus tetap liberal.» Perkataan «liberal» sangat lutju dalam hubungan kalimat itu. Djuga dalam hidup Bakunin terdapat humor, jang tentu meru­pakan penghalang djuga bagi pendekatan jang sungguh2 pada paham anarchie; nabi penghantjuran ini sebenamja dapat dipandang serupa tokoh Rabelais dalam banjak hal, sematjam Dumas pere dari revolusi, pun sematjam babakan dari Netsjaev: teori2nja jang dilukiskan dalam diri seorang pemuda dan dalam pertentangan jang timbul, dimana nabi kita itu tiba2 tampak sebagai orang kerdil tapi sim- patik, dapat didjadikan pengganti kursus lengkap, bila di- tindjau dari sudut psychologis.

Sura-menjurat antara M arx dan Engels sudah terdjual habis katanja; lalu aku terdjun kedalam karangan2 lain, jang disampaikan oleh Van O. padaku, walaupun aku jakin telah membatjanja kurang tjermat, artinja dalam urutan jang terbalik: Perdjuangan kelas di Perantjis, Brumaire 18, L . Bonaparte nierebut kekuasaan, kutipan2 dari Das Kapital, semua ini tidak berapa membuka mataku dalam taraf pengintaianku jang sekarang, kalau kubandingkan dengan

peladjaran jang kuperoleh dari buku Manifcs Komunis sadja atau buku Eastman. Dari buku jang terachir ini kuingat satu hal: sesalannja terhadap teman2nja kaum ko- mums serta propaganda mereka ini jang menurut dia tidak mengenai psychologic. Brosur karangan Plechanov jang berisi polemik terhadap kaum anarchis, temjata lemah dan basi; sedang kedua brosur Lenin, tidak dapat disebut lebih berharga, walaupun kelebihan gajanja menulis jang mudah ditangkap harus kukemukakan, tapi karena aku tak berke- sanggupan mengudji kebenaran soal2 jang dibitjarakannja kurang sedap djuga membatjanja. Buku karangan John Reed jang termasjur itu, jang pada bab keempat sudah be­gitu meletilikan, tiba2 mendjelma djadi gambaran jang sangat hidup dan kuat dari pergolakan2 revolusioner, se­hingga kuudap dalam dua hari sadja; memang belum per­nah kudjumpai buku jang begitu djelas menguraikan ke- dudukan masing2 pihak seperti dalam kronik sepuluh hari ini. Lalu kubatja kembali buku tentang revolusi Februari, jang kalau tak salah bernama Febral dalam bahasa Rusia, karangan Tarassov-Radionov; kesan2 jang katjau, tjatatan seorang militer jang terutama menundjukkan bahwa ia ser­ta teman2nja sedikit sekali mengerti zaman itu, tapi tak adil kalau aku terlalu menondjolkan kebodohannja: sudah ba- rang tentu, bahwa bukan hanja kaum militer sadja jang tidak mengerti peristiwa-peristiwa ketika itu. Kenang-ke- nangan bekas komisaris djustisi, Steinberg (dari golongan sosial-revolusioner kiri, jang pernah bekerdja-sama dengan kaum bolsjewis sebcntar) mula-mula memperlihatkan psy- chologi jang tepat, tapi pada achirnja hanja meninggalkan kesan perpetjah-belahan dan tipu-menipu antara kaum politik. Achirnja ada djuga kudjumpai dua hal jang penting dalam «sastera» djenis m i: autobiografie Trotsky dan Ke- nang-kenangan seorang Terroris karangan Boris Sawmkov. Tentang orang ini kubatja pula sematjam roman kesedja- rahan, karangan Rom an Ghoel, sebuah buku jang memper- gunakan effek tjara scenario film : «pauvre en genie» bak

kata M ., tapi berisi keterangan2 jang penting djuga. Lenin karangan Trotsky, kalau kita sudah membatja autobio- grafienja, sebagian besar tidak perlu lagi, walaupun dida- lamnja terdapat djuga bab2 jang sangat baik misalnja: bab tentang gaja Lenin diatas mimbar, perbandingan antara Lenin-Marx, dan kepingan-kepingan dari kritik Gorki jang bersifat anti-intelektuil, terhadap pendapat Trotsky ten­tang tokoh Lenin. Sesudah itu hati tjemas melihat orang jang begitu tjerdik dapat mengagumi buku jang ditulis oleh anak2 Rusia tentang Lenin; bertentangan sekali de­ngan reaksi jang kita harapkan dari seorang jang tak mau sentimentil, reaksinja terhadap pertjobaan memasukkan Lenin kedunia dongeng setjepat mungkin melalui sekolah rendah. Tapi sastera wan Trotsky mungkin telah menggo- danja bersikap demikian: bukankah segala hal jang dila- kukan oleh anak didunia seni selalu segar dan benar dan baik? (Ini kelantanganku sendiri sebagai intelektuil). Aku ingin mendapat kesempatan membatja kritik sastera dari Trotsky; dalam memoiresnja ia menganggap Babel pe­ngarang muda Rusia jang paling berbakat. Kubatja Baris­an herkuda merah\ sekalipun didalamnja kudjumpai peniru- an tjara2 Maupassant dan gaja padat serta realistis dalam menundjukkan kekedjaman2, buku ini membosankan dju­ga; buku seperti itu rasanja tak dapat dibanding dengan Les Conquerants, baik dilihat dari segi sastera, maupun dari segi kemanusiaannja, maupun dari sudut revolusioner.

5 April

Tindjauan tentang Les Conquerants telah terbit dalam N .R . F. Didalamnja bukanlah nilai kritik sasteranja jang teruta­ma mendjadiperhatian bagiku, sekalipun kuingat: «un style dense et beau, l’oeil precis d’un artiste, l ’obscrvation origi- nale et hardie; tapi: il manque au livre une affinitenaturelle entre 1 ecrivain malgre tout ce qu’il sait et comprend, et

son heroine, la Revolutions Tepat; sudah sewadjarnja de­mikian kalau dilihat dari sudut pendirian marxis seperti Trotsky. Inilah pula «pembatasan terhadap intelektuil»: Su­dah selajaknja pula Trotsky memandang hina terhadap Sawinkov dalam hal ini; skepticisme jang romantis, pening- galan masa lalu dari Rusia, katanja dalam buku Lenin, jang katanja tak terdapat sama sekali dikalangan kaum bol- sjewis, tapi katanja selalu terdapat dikalangan kaum sosial- revolusioner bersama ke-sentimentil-an jang lain. Lalu ka­tanja: pada Malraux ini sedianja akan terdapat beberapa lembaran jang dapat dimasukkan dalam bunga rampai revolusi, «si Malraux avait aborde les masses populaires avec plus de liberte (katanja) et de hardiesse, s’il n’avait pas in- troduit dans son etude une petite note de superiority blasee».. . . Dekatlah kita sudah pada perkataan «dilettan» jang sudah kuharap-harap akan dikatakannja. (Sawinkov djuga seorang dilettan, kata Victor Serge, seorang jang mengagumi Sa­winkov). Lalu Trotsky membitjarakan beberapa tokoh da­lam buku itu, tapi ia sekarang sedapat mungkin melihatnja dari sudut kenjataan kesedjarahan: tokoh Borodin sudah lama dikenal oleh Trotsky sebelum membatjanja; buku M alraux dianggapnja sebagai sebuah dokumen, jang ke- benarannja selalu akan diudjinja pada apa jang diketahuinja dari keadaan jang sebenarnja. Namun demikian tak banjak hal jang dapat digugat oleh Trotsky didalam buku ini, suatu kenjataan jang mempertinggi penghargaanku pada M alraux, walaupun penghargaan itu mengenai daerah jang tidak pokok. Bagaimanapun djuga kontrole Trotsky me­narik hatiku djuga, soal demi soal. Dilihat dari sudut pen­dirian revolusioner tulen, maka Borodin mempunjai se­djarah hidup jang mentjurigakan, karena ia termasuk go- longan orang jang tidak turut membantu mentjipta revo­lusi, tapi jang baru menggabungkan diri padanja sesudah kemenangan tertjapai.

Dan Garine? Dengarlah, Garine oleh Trotsky dianggap aku-nja M alraux dan lebih simpatik dari Borodin: «il est

plus original. . . et peut-etre meme plus pres du type du revolutionnaire».

Pembatja dapat lihat sendiri. Bukan pudjian jang luarb ia s a , ta p i s e k a ra n g m c r y u s u l p u la : «ll c st d c p o u r v u d c la

formation indespcnsable: dilettante et vedette de passages, dst. - lagi pula, dari sudut pendirian kesedjarahan memang Borodin dan Garine hanja kaki-tangan Stalin, kawan2 palsu jang disebut epigon oleh Trotsky, golongan jang telah mengusirnja dari Rusia. Pendapat ini bukan lagi kritik ke­sedjarahan, karena sebenarnja sudah mengenai perdjuangan politik, lapangan polemik terhadap segala jang sudah se- mestinja hilang dan rusak karena ulah para epigon jang bekerdja dalam revolusi Tiongkok, menurut Trotsky.

Malraux mendjawab: «Ce ne sont pas mes jugements que l’on trouve dans Les Conquerants, ce sont les jugements d’individus distincts, et surtout (meme lorsqu’il s’agit de Garine) a des instants particuliers. . . Ce livre n’est pas une <chronique romancee> de la revolution chinoise, parce que l’accent principal est mis sur le rapport entre des individus et une action collective, non sur 1’action collective seule.- Persoalan jang tidak enak dalam menghadapi seorang jang rupanja selalu memerlukan massa, supaja dapat mern- bela djenialitet, bahkan dari Lenin.* — M alraux berkata lagi: «J’entends bien que le veritable adversaire de Trotsky, c est precisement 1’ Internationale. Il attaque moins Garine que Borodine, moins Borodine que Staline, Rom ancier, je prends Canton comme elle m ’est donnee». - (Gandjil benar, demikian beberapa kaum politik surat-kabar akan berkata, bahwa tuan Malraux berlindung dibalik keduduk-

* Dari sebuah pidato sesudah pertjobaan pembunuhan atas diri Lenin ditahun 1918: - «C’est la figure Lenine, du plus grand liomme de notre epoque revolutionnaire». - Menjusul pula: «Je sais, et vous savez egale- ment, camarades, que le sort de la classe ouvricrc ne depend pas des individus; mais cela ne signifie pas que les personnalitcs soient indif- ferentes a 1’histoire de notre mouvement et au developpement de la classe ouvriere».

annja sebagai pengarang roman). Sebagai penutup Mal­raux mentjeritakan beberapa peristiwa dari djalannja revo- lusi Tiongkok, peristiwa2 jang harganja tak dapat kuseli- d ik i J a i l ta k d a p a t kunilai. Tapi satu hal djelas bagi saja: «Lorsquc T rotsky, apres avoir donne une biographie un peu incomplete de Borodine, nous dit: <Cet homme n’est pas un revolutionnaireprofessionnel’, il a raison p a r r a p p o r t a lui, T ro tsk y ;...m ais l ’organisateur de trois mouvements in- surrectionnels (Angleterre, Espagne), fonctionnaire de l’ln- temationale communiste, est pour le lecteur fran^ais un revo- lutionnaire de profession).» - Dan hal jang berikut mendjadi pikiran bagiku:—«Attention! dit le marxiste. Nous ne faisons pas la revolution pour la revolution, mais la revolution pour le proletariat)). Untuk mengerti hal ini sedalam-dalam- nja, tjukuplah kita batja kembali autobiografie Trotsky dan kampanje politik jang penuh nista terhadap dirinja. Tapi bagaimana dengan orang jang turut mengobarkan revo- lusi hanja karena revolusi itu sendiri? Apakah mereka se- gera akan dipisalikan dari kaum revolusioner dan segera akan mendapat nama dilettan? Djika demikian aku makin suka pada nama itu; dan teranglah betapa gunanja kaum dilettan ini, djuga dalam praktek, bahkan djauh lebih besar dari barisan kaum marxis kolot. Kutipan merdeka dari La Rochefoucauld: «La plupart des amis degoutent de l’amitie, et la plupart des revolutionnaires, de la revolutions

Sebab apapun orang katakan ketika menghadapi orang banjak, terang bahwa individualitet itulah djaminan jang paling pasti, individualitet dari seorang Lenin, seorang Trotsky, jakni sumber utama dari kegiatan revolusioner. Sebab teori apapun orang hendak kemukakan, teranglah bahwa sifat djeni itu tak dapat dibagi-bagi dikalangan orang banjak, tidak dapat dipisahkan dari individu. Seorang Le­nin, seorang Trotsky, unik dan harus ada; dibawahnja ter­dapat ketekunan, keradjinan, tenaga-buta dari gerombolan dan barisan. Trotsky jang menolak segala sentimentalitet, sebagai marxis menuntut pengabdian pada kaum proletar,

dan aku pertjaja bahwa pada orang seperti dia pengabdian itu memang selalu ada, karena kontrol dari kemauannja sendiri atau kontrol programma partai. Tapi diluar soal praktis dan teknis, berbitjara sebagai manusia, penolakan Trotsky terhadap sifat intelektuil, penolakannja terhadap mereka jang disebut dilettan seperti seorang Garine dan Sawinkow tetap kupandang pitjik dan menggelikan.

22 Ju ni 1932

Dalam bukunja La Revolution Pertnanente Trotsky memberi djawaban dengan kesal, bahkan dapat dikatakan dengan marah, atas karangan Malraux, jang sekarang disebutnja «tuan» Malraux, lalu bagiku satu hal djadi terang: diluar marxisme dan penolakan mutlak terhadap Stalinismetakada jang benar bagi Trotsky. Kata2 jang tidak seberapa jang diutjapkan oleh Malraux tentang soal ini, membuat Trotsky djadi penasaran. Berkatalah Trotsky: marxisme adalah seperti ilmu kedokteran, jang akan dipertahankannja ter­hadap tiap omongan tukang djual obat, sekalipun ada dok- ter jang tidak baik, dan sebagai penutup: «J’avais ecritque l’inoculation du marxisme a Garine lui serait utile. Je ne le penseplus pour l’instant». Utjapan seorang jang diperbudak oleh dogma. Trotsky ini, jang sebagai individu, bahkan sebagai anarchis, merupakan perlambang revolusi, jang sekah-kali tidak kalah dibanding dengan Lenin, bahkan barangkah melebihi Lenin dalam beberapa hal, tidak meng- insjafi bahwa ia dikalahkan oleh Stalin pada detik2 ter- besar dari revolusi; bahwa harus diakui ketepatan gambar tiga serangkai Marx, Lenin, Stalin jang kini tersebar dise- luruh Sovjet-Rusia, jang sama sekali melupakan djasa Trotsky. Djadi tak ada jang benar diluar marxisme, diluar trotskyisme; kepertjajaan «sini» lawan «sana»: dilettantisme, dan kaum avonturir bedebah. Lalu menjusul dua halaman jang menarik hati, menerangkan bahwa seorang beroeps-

revolutionair tidak pernah mendjadi avonturir, dan ke­mudian : «Le revolutionnaire se fraye sa route avec sa classe .. .11 fera toujours une distinction entre sa classe et la classe enneniie et n’aura qu’une seule poHtique, celle qui corres­pond aux forces de sa classe et les raffermit». Sekarang aku gembira mengenangkan sebuah kahmat dari mukadimah buku karangan Bakunin: bahwa perdjuangan antara Ba­kunin dan M arx belum selesai, bahwa ini kembah akan djadi njata sesudah setengah abad nanti, sesudah satu abad boleh djadi. Pemberontakan terhadap beton, kollektivisme, terhadap penghapusan individualitet, terhadap kesukaan atau paksaan untuk mendjadikan manusia itu djadi mesin, diharapkan, barangkali bukan dari kaum anarchis, tapi dari anasir anarchis dalam diri orang revolusioner, djusteru sifat jang membuat revolusioner itu djadi seorang revo u sioner, n’en deplaise Trotsky. Tokoh opposisi jang harus m emilih: djadi binatang gerombolan atau djadi pemim pinnja adalah suatu tontonan jang lebih dari pada menje i 1 kan. Trotsky minta pada kita supaja kita menjembunji an anasir anarchis dalam dirinja, anasir jang akan disang a sekeras-kerasnja olehnja, sekalipun djusteru inilah barang kali separoh dari tenaga pendorong paham anti-Sta nnja, tapi jan g dimintanja harus kita lenjapkan sebagai prasang a intelektuil jang tjongkak, dan sebagai «tjandu terkuti ». D jika Trotsky telah menjatakan kebentjiannja terhadap Garine (Malraux), maka kesimpulannja sudah djelas. Leo Bronstein harus kita anggap seorang dilettan jang e J at dan kepala besar sekiranja ia tak kemasukan marxisme jang pekat. Dan amatlah mulianja peniadaan diri dari Trots y, kalau ia sudah mau menerima hal demikian sebagai e benaran!

Berkenaan dengan Sawinkov, jang bukan hanja mem gandung anasir anarchis tapi bahkan seluruh paham anar chis, sekarang telah kudengar seorang anarchis er ata bahwa Sawinkov tidak mempunjai arti apa-apa sebagai ma­nusia dan sebagai revolusioner, djika dibandingkan dengan

Sacco dan Vanzetti jang mendjadi korban. Pada tingkatan anarcbisme jang sekarang (jaitu anarchisme jang disyndi- kalisir) orang lebih menghargai seorang jang «disalibkan» dari pada seorang terroris jang achli, dan djelas pula bahwa hukum mati dikursi listrik, jang dapat didjadikan bukti dari kedjahatan «berdasar hukum» jang dilakukan oleh masjarakat kapitalis jang korrup djauh lebih berguna bagi partai, dari pada skepticisme jang romantis. Dengan tjara jang lain sekali dari pada dalam diri Garine kita mendjum­pai type revolusioner jang «djelek», djadi jang tak terpakai dalam diri Sawinkov. Tjara berfikir Sawinkov, jang paling- paling hanja mentjerminkan putus asa orang banjak, men­djadi tanah subur bagi tumbuhnja opportunisme (karena tanpa sistem), demikian Trotsky. Lagi pula menurut dia individualitet itu tidak dapat didjadikan djaminan jang tjukup; diperlukan bantuan, ikatan, belenggu, disiplin ke­las. Maka kedjajaan revolusi pastilah sudah kelak nanti, kalau orang sudah dapat menghasilkan seorang revolusi­oner, menurut prosede jang sempurna, seperti mcnghasil- kan sebuah mobil Citroen pakai bensin Shell. Produksi kesusasteraan jang bernafaskan djiwa revolusioner seperti ini memang membajangkan harapan tertjapainja masa djaja itu. Mulai dari sekarang sudah pula dipersoalkan nama apa jang harus diberikan pada individualisme jang nanti telah mendjadi gila itu: bordjuis-baru atau anarchis-tulen. R o ­man karangan Sawinkov, Jang tak terdjadi, sebuah buku jang lemah dan «djelek» dilihat dengan katja mata revolusi­oner, sudah memperlihatkan keunggulannja jang «dilet- tantis», melebihi buku «kuat» karangan Gladkov, Cement, melebihi segala kelebihan karangan seri. Harga dari be­berapa individu jang sekarang setidak-tidaknja dianggap sudah usang baru akan dapat dibuktikan melalui sastera, dilihat dari segi revolusioner dan segi kemanusiaannja, dji­ka tiap penulis di Sovjet-Rusia kelak telah sanggup me­nulis beberapa roman «kuat», masing-masing tebalnja 600 halainan paling sedikit.

Paris, 17 Oktobcr

Sedjak itu M alraux dan aku beberapa kali lama bertjakap- tjakap; dan sekarang satu hal sudah pasti: walaupun pen­dapat naluriku mungkin benar setjara sosiologis sebenar- nja aku tak tahu apa-apa. Kata Malraux: ini namanja main mata dengan revolusi. Tjita kebebasan individu jang diper- tahankan terhadap kommunisme Rusia seperti jang berlaku sekarang (kuingat bagaimana kemarahanku ketika membatja L ’ .U .R .S .S . satis passion karangan Marc Cha- dourne) adalah chajal melulu: djuga masjarakat bordjuis tidak memberi kebebasan pada individu itu. Lalu ia me madjukan beberapa alasan ekonomis, jang langsung me lemahkan segala sendiku. Kesimpulan: sebenamja aku ta^ termasuk masjarakat manapun. Pandangan hidupku ad jang disebut: filsafah tukang ulur. Pergilali ke Tahiti, se lama Tahiti memungkinkan «kebebasan» itu. Berkenaan e ngan kaum proletar, memang sekarang di Rusia ea a annja lebih baik dari pada dulu; maka a d a pula alasan jang disebut «martabat manusia» itu; mempergunakan p ran Nietzsche untuk melawan Lenin tak kena, karena Nietzsc e mempertahankan nilai2 aristokratis, lagi pula, djika P ec a nov menjebut Nietzsche seorang bordjuis tulen 1a itu benar ditindjau dari segi komunis, dan Trotsky terha ap Garine kalau ia ini berkata, bahwa marxisme itu hanjalah alat perdjuangan, dan alat jang paling djitu, barang a 1satu-satunja hingga kini. Orang jang hendak meru L anharganja, pun sebagai ideologi sadja, haruslah menenu an suatu metoda, pro atau kontra, tapi jang dapat me e 11 marxisme. D jika M arx mengalahkan Bakunin dan Prou dhon, adalah karena sudah sewadjarnja metoda per juangan itu menang dari gensi dan renungan perseorangan. Da am semua ini ada satu pertanjaan: bagaimana supaja aum proletar bisa menang? Dan memang tak ada alasan unt ' memihak pada kaum bordjuis. Berkenaan dengan ia ini kita tidak perlu berselisih paham: memang tak ada asan untuk memihak pada kaum bordjuis. jpp

Baiklah akau berhenti main mata dengan komunisme, in- sjaf bahwa orang seperti aku sudah pasti akan hantjur luluh dalam pergeseran jang akan datang. Ini hanja soal waktu. Tahiti hanja sekadar tempat pelarian sementara - mari kita anggap Tahiti seperti sebuah daerah terpentjil di Nieuw- Zeeland atau Kongo - , tapipun disini hal itu hanja soal waktu; agaknja hanja matilah jang sanggup membebaskan kita dari suratan takdir sematjam itu.

Dengan senjum pudar kubalik-balik lembaran madjalah Links richten. Bukankah sia-sia sadja djika J e f Last masih buang tenaga membentangkan paham proletarnja tentang Fregatschip karangan Van Schcndel, paham jang bagiku tetap akan merupakan omong kosong melulu ? Apa pulalah gunanja mendalami pertanjaan apa jang sedianja akan di­katakan oleh Nietzsche tentang «kemerdekaan jang sesung- guhnja» dari kesusasteraan, seperti jang diandjurkan oleh Lenin dan dipupuk di Sovjet-Rusia? Boleh djadi bukan pula sikap pura2 lagi djika kita bentji pada kaum bor- djuis, bahkan mendjadi tjiri kedirian kita sebagai bordjuis. Amatlah kedjinja permainan demikian: bcrontak terhadap dua atau tiga nilai kebatinan, dalam lingkungan masjarakat bordjuis, dalam kemerdekaan-pura-pura-nja, dan namun demikian, selama masjarakat itu ada, dibela olehnja! Soal- nja lantas bukan pun lagi hanja soal suka atau tidak suka puisi atau roman kaum komunis (puisi jang turut mem- bangun kerdja seni jang disebut Sosialisme, menurut gam­baran Je f Last kita pula), tapi mendjadi soal menginsjafi perdjuangan manajang paling besar, dan bahaja mana jang paling mengantjam. Kapitalisme, kaum berdjuis pasti akan tenggelam seperti tiap bentuk peradaban, besok atau lusa, dan sesudah melalui transformasi jang ini atau jang itu se­bagai tenaga «pengundur». Dan djika kaum proletar telah menang nanti, maka masih ada sadja masalah mesin itu. Sungguh ba>k dan menggembirakan buat manusia (djuga buat manusia baru itu!) bahwa masalah2 akan tetap ada; djika individualisme teiah tumpas, mudah-mudahan sadja

kollektivitet itu tidak diudap oleh mesin. Pun produksi individuil itu nanti sudah tak ada lagi, tapi betapa besamja bahaja jan g mungkin timbul pula antara kollektivitet2 itu. Padaku hidup perasaan jang tak terhilangkan, hasil dari perdjuangan kelas berabad-abad tentu, bahwa manusia itu selamanja akan berhasil menemukan alat untuk memper- sukar hidup sesamanja, dan djika tak ada djalan lain, maka hal itu akan terdjadi melalui kollektivitet. Djuga aku me­rasa bahwa disana-sini aku merusak nilai2 kebenaran-ku, tapi peduli apa? Banjak dari hal jang tersebut diatas tentunja baru, bernilai dan sehat, karena didalamnja hampir tak ter­dapat sesuatu jang berasal dari diriku.

D rieu la Rochelle, ketika duduk dalam sebuah music- hall, djidjik melihat publik jang ada disana, djidjik seperti penonton a la Hildebrand. Tapi kalau panggung sudah di- tempati oleh oorrobben, ia pun mulailah mengadakan dia­log dalam dirinja; aku dan aku-jang-lain, aku jang kolot jang bentji pada mesin dan aku-jang-barujang ketarik mau ikut mentjipta. - «Pour moi, cet avenir e’est la fin, puisqu il ne prolonge rien de ce que nous appelons humain...Je ne peux form er d’autre souhait que de perpetuer ce quej aime. J ’ai donne tout mon amour a ce que je connais. Je ne puis remplacer ma raison de vivre par nia raison de mounr.» Tapi aku-jang-lain itu melawan dan menjuruh berpikir, dan ideologi itu lantas mendjadi fonten dobol, langsing dan tinggi dan njaman memantjur-bertemu dan berpisah- lagi, sematjam essay ideologi, achirnja berada diatas masa­lah, jan g kadang2 terlalu mendera batin. Aku-jang-lain me- m ilild kata terachir, tapi k a t a j a n g berisi bintang-bintangserta planet-planet, kata-terachir jang diambil dari puisi. Aku-jang-pertama mungkin masih dapat diselamatkan dji­ka ada disiplin marxistis. Djika Tahiti gagal atau diratjuni orang, siapa tahu: boleh djadi seorang Lunatsjarsky Belan­da masih menganggap aku sanggup mengerdjakan tulis- menulis. Tulisanku terang, dan beberapa orang jang agak­nja tidak tahu apa2 tentang seni-menulis, berkata pula:

sungguh seorang seniman tulis. Djika padaku ada sadja di- siplin dan putus asa manusia, tidak usah banjak-banjak, maka tidak mustahil tangan ini akan sanggup melakukan kerdja meng-kopi, mengisi koloman atau apa sadja jang berguna dalam hubungan kollektif. Kuharap sadja orang djangan meminta «bakat pudjangga» dari padaku; lagi pula kurasa aku lebih dahulu sudah dapat berdjandji bahwa ba­kat demikian sudah mati konjol mendjelang zaman itu.

Tjatatan:

Komunis J . Gans, jang telah melawan karangan ini di Fortim dan jang merasa terpaksa mengutip Marx-Engels untuk membuktikan kekeliruanku, menuhs: «Tjatatan-buku-harian Du Perron jang disiarkan dibawah nama Main m a ta d e n g a n R e v o l u s i » — sebuah nama jang menundjukkan sematjam ketjongkakan tapi mungkin dimaksud sekadar meletjehkan dirinja sendiri - mendjelaskan pendirian jang paling terang dan untuk sebagian jang paling kokoh dasar- nja, dari pihak pengarang2 bordjuis Belanda, terhadap per- soalan, sekalipun dengan tjara mengedjek.

Bagiku inilah kata pertama — betapapun gandjilnja di- rasa orang — jang membawa aku pada «kesadaran kelas»! Tapi tiap pertukar-fikiran dengan kaum komunis, sekalipun mereka pengarang, selalu mendjadi urusan politik; maka aku merasa balasan tidak berguna, maka Gans memper- lakukan De Smalle Mens sebagai gema lemah dari Flirt, se­dang ia kuminta menunggu terbitnja «sambungan»nja, jaitu De Smalle Mens. Bagiku dokumentasi jang terdapat dalam Flirt ternjata hanja persiapan untuk menulis De Smal­le Mens.

M A N U S I A S E M P I T

Paris, 12 Desetnber

Dua bulan jan g lalu saja sangka saja telah sampai pada suatu kesimpulan bagi diriku, tapi rupanja orang tidak begitu mudah dapat melepaskan diri dari suatu obsesi. Teman2 sekarang hanja mempertjakapkan dan membatja tentang hal «jang akan datang», sehingga saja setiap kali harus ber- ulang2 menjatakan pendapatku, memilih pihak dalam teori, m enunggu persoalan mendjadi kenjataan. Disini saja ingin tjatat dua pertjakapan dengan Jean D., karena ia seorang kenalan jan g baru sekali dan karena inilah perkenalan kami jang pertama: type zaman sekarang dari pemuda Perantjis, pintar, sangat tjekatan dalam hidup sehari-hari, tapi sempat pula memperhatikan kebudajaan dengan sungguh2, telah banjak melihat negeri lain dan barangkali mempunjai ba­kat kesenian pula, artinja pemuda itu mempunjai kesukaan jang lebih dari biasa pada musik. Pada pertemuan pertama ia bitjara tentang Gide: - «Saja tak sanggup lagi membatja- nja. Dulu ia menarik bagi saja, ketika protestantisme djadi perhatianku; ketika itu dialah pengarang protestan jang terpenting di Perantjis. Sekarang dia saja pandang hanja seorang jan g suka melirik dari balik pintu untuk memper­hatikan dosa-dosa ketjil jang dilakukan oleh anak-anak. Su­dah demikian halnja dalam L ’Immoraliste; dan lebih parah lagi dalam Les Faux-Monnayeurs. Lalu ia djadi pembela machluk2 jang paling mendjidjikkan diantara pemuda Per­antjis: anak-anak jang tidak mempunjai kelebihan apa-apa

di-sandj ung2, hingga mereka ini melampiaskan memandang kegagalannja seakan-akan kebesaran; anak-anak jang homo- sexuil jang selalu berkumpul direstoran Select.

Suatu angkatan jang telah tamat mengadji adjaran2 dalam buku2 Lenin, lain sekali lagaknja! Dan mereka, jang berkeinginan lain, biasanja terlalu bobrok: lihatlah kaum surrealisjang mendjadi komunis, Louis Aragon jang berhasil menulis sebuah sadjakjang sungguh2 revolusioner dan, ka­lau ia karenanja diganggu oleh polisi, menerangkan bahwa itu hanja sastera. Lihat pula pengakuan jang tjondong pada komunisme dari Gide sendiri jang menggelikan hati, dalam Nouvelle Revue Frangaise, menggok sini menggok sana, se­perti kebiasaannja. Ia merasa diri sudah komunis tulen pada permulaan, dan achirnja djual omong bahwa ia toch tidak hendak masuk — mengapa? karena ia tetap Gide.

Tidak, saja tak suka pendirian jang begitu».Saja tak membatja karangan Gide jang dimaksud, tapi

bahwa sikapnja demikian, sudah sewadjarnja. Sulit men­djadi esprit non prevenu (djiwa tanpa prasangka) dan sans pente (tidak tjondong ke-mana2), tapi achirnja berlutut, tidakpun didepan salib, tapi didepan tuanjoessocf Djoegalsj- wili, jaitu Stalin. Bahwa Gide adalah seorang pengganggu keamanan djiwa dan perusak moral angkatan muda, sudah lama saja ketahui: tapi djika kita masih mengakui turut «dibebaskan» oleh dia dalam arti tertentu, lebih pantaslah djika kita mengenai diri sendiri sebagaimana adanja, dari pada menuduhnja telah membuat orang lata tambah lata sedikit.

Demikianlah kira-kira bunji pembelaanku. Kutambah- kan: - Setelah pengaruh tiap2 orang besar, selalu timbul gelombang reaksi. Sekarang kudengar tuan bitjara dan ku- bajangkan dalam hatiku bahwa djuga seratus tahun jang lalu seorang seperti tuan djuga melontarkan rcaksinja ter­hadap Rousseau. Sjukurlah bahwa tuan sendiri rupanja telah mengalami pengaruh Gide.

- Tidak, pemuda itu tak dipengaruhi: dia memperhatikan

Gide terutama hanja karena protestantismenja. - Perhatian jan g istim ewa ini tak dapat saja tangkap, sehingga saja diam sadja.

- Lagi pula kebanjakan buku Gide membosankan bagi­nja. - Hal ini sering kudengar. Saja sendiri tak pernah men- dapat perasaan demikian. Kutanja dia apakah kebesaran credo komunis, seperti jang diamalkan oleh kaum Lenims ketjil, jan g tidak berkumpul di Select tapi ditempat lain, m engagum kan atau lebih simpatik baginja. Ia tentu me- njahut samar2, berkata «lebih menarik djuga».

D alam pertjakapan berikutnja saja bcrtanja apakah dia seorang komunis. Memang dan katanja lagi, bukan ko­munis intelektuil atau jang disebut komunis salon. Hal ini saja terima sadja; mengapa tidak? Djadi kami lalu mem- pertjakapkan «jang akan datang» itu lebih dari sudut tek- niknja; saja merumuskan keberatanku terhadap Sovjet- Rusia. Ia mendjawab bahwa bentuk negara komunis tidak akan seperti itu djadinja di Perantjis, atau pada umumnja di­negeri Barat. Ketjongkakan individu, ketjongkakan jang mendjadi inti dari pada individualisme itu masih berguna, menurut dia, tapi dalam susunan team, kerdjasama untuk mentjapai tudjuan bersama.

Ketjongkakan dan kebanggaan hati manusia kiranja di- arahkan kedjurusan itu! Lagi pula dalam dunia jang sibuk mentjipta susunan baru, lebih baik kita ikut, dari pada han- tjur. Dan sambil lalu ia menjelipkan utjapan jang meledak, mengandjurkan revolution permanente», bersama Trotsky lawan Stalin. Pada perasaan saja setudju dengan pendapat- nja, tapi untuk memberi garis tertentu pada pertjakapan saja menentang pendapatnja; saja kemukakan alasan2 se­perti jang dikemukakan orang lain terhadap diriku; ting­katan perkembangan seperti jang diwakili oleh Trotsky jang sudah lewat, kekalahannja jang tak dapat disangkal, bahwa peristiwa telah menjalahkannja, bahwa bukan soal apa jang kemudian dikatakan oleh sedjarah, bahwa seorang revolusioner sebaiknja hanja memperhatikan apa jang ter-

tjapai pada saat ini, bahwa bukan soalnja apakah Trotsky itu seorang raksasa dan apakah Stalin seorang jang litjik dan seorang «bordjuis ketjil» (tuduhan Trotsky sendiri), bahwa hanja hasil njata jang berupa materi dari revolusi itu jang wadjib dipentingkan oleh seorang komunis, djuga djika revolusi itu sudah bukan revolusi lagi. O, orang ma­sih sadja dapat djadi Trotskiis, dan bergiat di Spanjol, atau mendjemput perintah sang guru dari Konstantinopel. Tapi dalam pertjakapan ini kemungkinan seperti ini tak kami persoalkan.

Ketika kami berdiri dan meninggalkan medja pergi ke- lu ar- kadang2 hawa malam mempunjai pengaruh istimewa pada pertjakapan2 seperti itu - masuklah sebuah anasir lain dalam pertjakapan: seni. Individualismejang telah melewati setiap matjam pengutjapan seni masjarakat bordjuis, jang djuga telah menimba habis isi dari dekadensi, menurut dia, hanja akan menghasilkan bangkai sadja dimasa depan. Ia tak suka pada Gladkov, sebab ini baru tingkatan permulaan dari seni baru itu, tapi ia djuga tak menjukai Barnabooth. - Mengherankan, karena djusteru buku jang segelintir ini, jang disebutnja baik dan lain dari produksi biasa, menun­djukkan sifat individualistis: dari kedua pertjakapan kami saja ingat beberapa nama buku: Le Grand Maulnes, Les En-

jants Terribles, A High Wind in Jamaica, Don Segundo Sombra, Les Conquer ants. Lalu ia berkata: sebutlah pengarang besar dari seni zaman terachir ini, mana? Dapat kusebut sepuluh nama dengan mudah, pengarang jang mengagumkan, memberi kejakinan dan terutama pengarang2 jang simpatik, suatu sifat jang djauh lebih berharga bagi saja; tapi dike- lokan pembitjaraan itu kuanggap tak baik menjebutnja. Djadi saja berkata bahwa tak ada kukenal pengarang de­mikian, bahwa masa depanlah jang akan menentukannja; suatu masa nanti, 300 tahun sesudah fase komunis, kalau orang ingin pendapat jang mutlak. Dengan tekun ia meng- ulangi menjebut kemungkinan2 jang paling besar diza- man ini: tjiptaan2 unggul jang menurut dia tentu dapat

diwudj udkan - dan kalau tak salah kelemahannja lantas nam- pak, artinja saja duga, bahwa supaja dapat mewudjudkan seni-nja ia sebenarnja ingin dibebaskan dari zelfcritiek jang individualistis, bahwa ia mengharapkan dunia jang baru itu akan membuka kemungkinan mentjipta untuk dia - apalah arti penamaan «individu» lagi? karena katanja sambil mengutjapkan pemantar sok-filsafah-djermania, tu­djuan pertama dan penghabisan dari manusia ialah meng- hasilkan (produceren). Djuga dihawa luar itu keinginan melawat ke Tahiti tiba-tiba timbul dalam hatiku. Untuk memelihara tertib pertjakapan kumadjukan, bahwa masih ada kem ungkinan selain kemungkinan mendapat ilham dari suatu peradaban baru, artinja kalau seniman itu sung­guh berbakat besar, kutambahkan dengan tegas - tentu de­ngan kejakinan seolah-olah hanja seniman besar jang men­djadi soal - ja itu seniman jang dengan kebesaran putus asa memberi kesaksian menjanjikan lagu mati dari individu- alisme, m elawan masa baru itu, mendjadi Simson antara segala jan g runtuh. Dalam hatiku saja tak mengikuti per­tjakapan itu lagi. Saja teringat pada harga mutlak dari alas­an jan g saja kemukakan setcngah djam sebelum itu: djika kollektivism e menjapu saja, maka ketika itu nanti ususku akan menjerukan buat penghabisan kali siapa aku dan aku sendiri.

Bellevue, 15 Desewber

Baru sadja kubatja karangan Gide itu: lembaran dari buku hariannja jan g sedjak beberapa waktu disiarkan dalam N. R -F . Tjatatan tertua akan dimasukkan dibagian pertama dari kumpulan karangannja jang segera akan terbit. Meng- harukan djuga melihat hal berikut terdjadi pada waktu jang sama: terbitnja kumpulan karangannja dan matinja djiwa pentjari ini. «Pertobatan» itu rupanja terdjadi antara achir Djanuari dan pertengahan Djuni. Kesan jang pahit, sekalipun terbalut dalam kehalusan djiwa, jang kuperoleh

dari Gide jang njata sudah terlalu tua, Gide jang kini mem­perhatikan keletihannja sendiri, dan rupanja hendak men- dapat tongkat pertopangan dan pandangan hidup jang lengkap, pendirian jang masih hendak diutjapkannja sebe- lum meninggal. Dengan kegembiraan jang seram saja lihat, bahwa rupanja bagian keekonomian dari pada masalah, masih sama gelapnja bagi Gide pada usia demikian, seperti djuga bagi saja sendiri. — «Ces questions politiques, eco- nomiques, fmancieres sont d’un domaine ou je ne m aven- ture qu’avec crainte, pousse par une interrogation gran- dissante. Mais ce que je sens de plus en plus, c est 1 inex­tricable embrouillement de tous ces problemes. Ces questions sont si compliquees que plus qu’ on s’en occupe moins on y voit clair, moi du moins.»

Namun demikian ternjata Sovjet Rusia mempunjai daja- penarik sempuma baginja; ia rela mengabdikan hidupnja: pada tgl. 23 April ia sudah dapat mengutjapkan credo-nja, jang selama iniditahan-tahannja(deconvaincu, katanja) tapi sekarang berbunji: «S’il fallait ma vie pour assurer le succes de l’ U .R .S .S ., je la donnerais aussitot...» Bukan bagi ke- menangan komunisme a la Perantjis, tapi untuk kedjajaan Sovjet R.usia. Dua kali (pada tgl. 30 Djanuari dan 2 1 Pebru- ari) ia djuga menegaskan harga dari pada individualisme; pertama kali sedikit bangga: «La valeur specifique de l’indi- vidu. Du danger pour tone societe, fut-elle communiste, de n en poin tenir compte.» Sekalipun jang dimaksudnja «l’in- dividualisme.. . bien compris», kiranja orang djangan salah paham. Kemudian pendirian itu berbunji. «Un communis- me bien compris a besoin de favoriser les individus de va­leur, de tirer parti de toutes les valeurs de l’individu». Utjap- an seseorang itu djangan hendaknja bertentangan, djangan tabrakan. Orang boleh sadja mempergunakan kata-kata sub­til dalam praktek jang kasar, asal sadja artinja tetap dapat ditangkap. (Djangan lupa, antara kita sama kita harus ada saling mengerti mengenai soal2 tersebut). Kemudian ke- luar sematjam pembelaan diri (7 A pril): «Il peut y avoir ime

immense jo ie a se sentir en communion parfaite avecles autres - tapi ada tapinj a : a condition que ces «autres» ne soient pas des tricheurs.»

Kukira dilarang memikirkan salali satu dari keedanan ber-massa jang terdapat dalam pengabdian demikian: jaitu rasa ber satu dengan «jang lain» jang hendak menjabung njawa dimedan pertempuran, dalam pemabukan jang sung­guh2 dan nikmat, tanpa sebidji atom pun lagi kekuatiran akan ada-tiadanja kaum bordjuis-uang jang mungkin me- mainkan peranan didalamnja. Sebab penipu itu tentu hanja terdapat dibelakang pedjuang djudjur «pihak lain»; untuk mendjamin kebenaran pendirian demikian tjukuplah de- buran tambur tembak-mati. Tapi selama orang masih main tjurang, jang tcntunja tak akan terdjadi nanti, Gide merasa wadjib melakukan opposisi dulu, memisahkan diri dari «pihak lain»: «Comment ne pas se sentir individualisteparmi les conventions d’une societe bourgeoise ? Ici le <Utinam ex vobis unus> devient honteux.» — En adieu, kemumian, ke- kuatan individu, dan apa sadja jang mungkin bermanfaat! Orang jang dapat menjabung njawa, begitu langsimg pula, tentu sadja tidak akan segan2 menjerahkan individualisme- nja. Hanja agak mengherankan djuga, bahwa kumpulan karangannja masih diterbitkan, dan bertanja-tanja terus, se- akan-akan hendak turut bitjara sebelum kematian jang se- sungguhnja. Sebagai pemudja Gide orang masih dapat mempunjai keinginan berikut: hendaknja Gide menghabis- kan hari tuanja di Sovjet Rusia, mendjalani beberapa ting- katan marxisme, supaja ia dari dekat dapat mempeladjari keadaan jan g hendak ia perbaiki, supaja ia rapat dengan paberik2 dan mesin2 dari negeri jang perkasa jang rupanja begitu menarik bagi orang jang tobat. Kalau tidak, mung- kian ia bukan sadja akan mendapat pengalaman pahit se­perti penonton pada penjelesaian jang kurang — bertang- gung-djawab diachir sesuatu sandiwara, tapi keketjewaan jang besar seperti pada djandji jang salah diartikan oleh si-penerima. Pada tanggal 13 Djuni Andre Gide kembali

merumuskan harga dari pada pendiriannja, dan berkata: «Au demeurant parfaitement inapte a la pohtique. N e me demandez done point de faire parti d’un Partie». - Apakah orang tak akan memintanja masuk partai ? Bagaimana djika ia diminta djuga, dan djika masuknja lebih dikehendaki dari pada njawanja? M ungkin orang tidak puas dengan bantuan moril lembaran buku harian sadja. Tapi hal itu rupanja tidak termasuk dalam kumpulan karangan ini; betapa baiknja djika buku harian jang dimasukkan dida­lamnja berachir dengan «babak penghabisan» seperti itu. Gide man berkata pada dirinja bahwa ia pada achirnja telah mendjumpai kejakinan; sekarang tinggal menjatakan bah­w a segala pentjariannja dulu sudah sewadjarnja menuntun- nja kedjurusan itu. Dan agaknja akan njatalah bahwa per­kataan «babak penghabisan» bukan kata kiasan sadja: buku harian ini, antara Djanuari sampai Djuni 1932, mengingat- kan kita pada jubileum seorang aktir, jang telah tua-bangka tapi terlebih jakin dan berusaha memperlihatkan aksen2 jang memberikan kepuasan bagi segala piliak dalam tjerita sandiwara. Sungguh suatu pertobatan jang baik, keletihan pentjari jang sudah terlalu tua, hingga apa sadja tiada men­djadi soal lagi baginja! Inilah Gide jang achirnja menjerah- kan Gide, mengchianati Gide, tapi dengan demikian me- naikkan derdjatnja pula.

16 Desewber

Keketjewaan jang timbul padaku kutuhskan pada M . «Be- sok barangkali kau akan berkata padaku bahwa ia djudjur djuga, dan mungkin benarlah demikian; tapi kesan jang kuperoleh sekarang, dan jang kuanggap mumi, menjakit- kan.» - Seperti biasa ia membalas suratku dalam kesibukan- nja: «Suratmu lebih merupakan pertjakapan antara kau dan dirimu dari pada pertjakapan dengan diriku. Dan kau lupa- kan satu hal: bahwa djuga 50 tahun nanti, individualisme itu akan tetap tak disukai dalam masjarakat bordjuis.» -

Apakah ini kebenaran jang tak dapat disangkal, dan apakah memang Tahiti hanja angan-angan ? Lalu, individualisme membikin perhituangan jang tjepat: 50 tahun nanti saja akan berusia 83 tahun. Bersama egotisme, egoisme, deka- densi jang gampang didjumpai dalam diri saja oleh setiap orang alim dan penulis sjair golongan S.D.A.P., dan siapa sadja; djawabku tersedia sekarang djuga. Djika anakku ber- hasil mendapat sifat kollektief seluas mungkin, sjukurlah bagi dia; mudah-mudahan komumsme itu menjehnatkan dia dari bahaja di-«ford»-kan!

1 7 Desember

Pada ketika logika uraian saja membakar semangatku, se- hingga saja seakan-akan mengambil sikap bermusuhan ter­hadap sesuatu jang mendesakkan dirinja padaku sebagai obsessi, tapi jang sebelum itu tak pernah kumusuhi sedikit- pun, dan jang tadinja djusteru saja datangi dengan rasa per­sahabatan, pada ketika itu djuga saja melawan situasi-ku, melawan segala hal jang hendak memalsukan pikiran saja dengan kekasaran, nafsu keburu dan politik.

«Il me semble que vous souffrez surtout d une impression de separation des gens pour qui vous avez estinie ou affec­tions, tulis M . lagi. Sering berdengung dalam ingatakanku baris2 terachir dari sebuah soneta Oscar Wilde, dari masa remadjanja; sekarang kutjari baris2 itu jang bagiku menga- gumkan dari mula sampai acliirnja; bukan indah mau iii- dah sadja, tapi tepat dan menghibur hati, sedang buku hari- an Gide jan g djudjur itu — Gide jang bermulut lurus kala berdusta - mengetjewakan saja. Estetisme Wilde sungguh berlebih-lebihan; tapi Wilde jang ber-sungguh2 masih tetap mempunjai harganja. Memang sadjaknja Sonnet to Liberty hanja mengenai kaum anarchis, bukan bentuk dunia baru.

Not that I love thy children, whose dull eyesSee nothing save their own unlovely woe,

Whose minds know nothing, nothing care to know, - But that the roar o f thy Democracies,Thy reign o f Terror, thy great Anarchies,Mirror my wildest passions like the sea And give my rage a brother! - Liberty!For this sake only do thy dissonant cries Delight my discreet soul, else might all kings By bloudy knought or treacherous cannonades Rob nations o f their rights inviolate And I remain unmoved - and yet, and yet,These Christs that die upon the barricades,God knows it I am with them, in some things.

Saudara liar-nja, kepada siapa soneta ini boleh djadi iaper- sembahkan, misalnja W olodja dari buku Sawinkov, mung­kin tadinja akan memukul W ilde pada mulutnja dengan tangan kasarnja. Artinja, djika saudara itu seorang jang praktis, dan kerdjanja hanja membakar hati orang dan hanja menumpaskan, dan tidak mengerti apapun lagi. D jika sau­dara itu, jang berdjenggot dan berambut kusut-masai, de­ngan pistol dipinggang dan bom dikantong, djuga berkata bahwa ia tak lagi hendak mengerti, bahwa orang telah tjukup mengerti kalau orang telah merasakan tjambuk hi­dup semasih anak. Penderitaan dimasa kanak dapat didjadi­kan alasan jang kuat dikemudian hari oleh orang jang tidak mau dan tak dapat lagi mengerti; orang jang sudah seharus- nja dungu dan tumpul supaja dapat bertahan dalam se­mangat revolusionernja, djadi orang jang dengan bangga mengandjurkan dan merestu kedunguan itu; orang jang sebenarnja tak pernah sempat dan tak akan mendapat ke- sempatan memperoleh perasaan halus dan kesadaran bah­w a hidup ini sungguh beragam. Kekasaran penjerahan diri jang bulat2 untuk mentjipta dunia jang lebih baik memang tjita-tjita jang mulia; hidup dan mati dalam kesempurnaan demikian, pasti memberi sinar kemuliaan pun pada hidup seekor kerbau, kemuliaan jang hampir dapat disamakan-

dengan kerasulan dalam indjil. Dan para rasul kekerasan dan kebentjian masih. lebih. simpatik dari pada guru dan agen2 kuasa perundang-undangan baru.

Barangkali komunis Gide dapat berdjasa benar kalau ia memprotes (seperti masih dilakukannja) kedangkalan, sifat propaganda, keremehan dari buku Gladkov jang bemama Cement; lalu Gide buru2 menghundjuk pada Tsjechov dan Ehrenburg sebagai pengimbang. Mengingat Gide adalah seorang pengarang, ia seharusnja dapat menarik kesimpul- an dari kesusasteraan, pembuka tabir kehidupan: Sovjet- Rusia memberi kesusasteraan guru-bantujang berumform, komandan2 pasukan jang revolusioner, jang menganggap pertjikan beton sebagai puntjak tjita-tjita, seperti djuga pe- rempuan jang dirusak-sesuaikan pada tjita2 demikian. Gam­baran «manusia barm itu sungguh menjedihkan, artinja da­lam masa peralihan kollektivisme ini.

Apakah segalanja kesusasteraan? Barangkali demikian, buat seorang pengarang; tapi kesusasteraan jang djuga da­pat merupakan kehidupan, seperti perempuan itu djuga me­rupakan perempuan jang sesungguhnja bagi sang onanis, atau ia bukan pengarang; ia seharusnja mentjari kepuasan dalam kehidupan sendiri, sebagai penikmat tersembunji atau sebagai avonturier, dan bukan dalam pikiran, angan angan, bukan dalam pena. Orang tidak dapat membebas- kan diri dari kediriannja, selama kollektivisme itu belum membuat watak manusia mendjadi seragam, dan seorang Gide jang mendjadi komunis, sedikit sekali harapan men­djadi seorang Lenin atau Trotsky, djuga djika ia sudah «to- bat» empat puluh tahun lebih dulu.

19 DesemberLesu dan djengkel hatiku membatja apa sadja jang aktuil. Buku jang paling dangkal ditawarkan seakan-akan buku jan g mempunjai harga «unium», begitu di Djerman, begitu pula di Inggeris dan begitu pula dinegeri Belanda sendiri. D jika orang menulis tentang pribadi - sebab sulit menang-

kap gerakan umum, menanggapkan gerakan umum -nam - paknja nanti penulis hanja akan berhasil menggambarkan kemauan kollektif, atau paling banter melukiskan orang hanja sebagai simbol.

Selalu diburu keinginan jang tak dipuaskan: membatja ulang buku2 Stendhal (Lucien Leuwen saja kenal hanja dari saduran Jean de Mitty, sedang ada saduran jang lebih baik oleh Martineau), djuga aku ingin kembali menjelam dalam Shakespeare, membersihkan diri dari karangan2 jang ditukangi, sekalipun misalnja hanja satu babak dalam se- hari. Tapi satupun dari niat ini tak djadi; bukan karena tak ada tempo, tapi karena soal lain itu selalu memburu pikir­an: masalah jang mendjadi lebih kuat dari dirimu, kata M.

Retak djiwa-ku (izinkanlah kupergunakan kata jang be­sar ini dengan nada mineur) biasa sadja sebabnja, jaitu ke- njataan bahwa aku merasa tak punja tempat lagi dizaman ini, sedang aku mau hidup didalamnja: tanpa usaha mengu- rung diri, sebab andai kata hal itu sungguh2 terniat padaku, tak mungkin pula dapat kulakukan. Aku iri hati melihat mantap dan pastinja kepertjajaan A. van S. pada manusia individualis; ia sama sekali tak mengerti keinginan kaum kollektif: manusia itu tak dapat didjadikan kollektif, kata- nja dengan tenang, sebab apalah daja menghadapi rasa ter- sendiri dari orang seorang seperti: rasa tak-suka, suka, mi­salnja? «Selama ada manusia, selama itu akan ada individu.» Dan ia heran, ketika kukatakan bahwa sekarang djadi mode atau wadjib orang malu karena individualitet-nja. Pandang- an hinanja pada «kesusasteraan hari ini» - sikap jang tjotjok baginja, tapi tidak tjotjok bagi diriku - memper- kuat niatku untuk mentjoba Shakespeare: kira-kira 180 ba­bak membatja selama 6 bulan, kalau niat hendak didjalan- kan djuga.

Baru kubatja Ville Conquise karangan Victor-Serge. Sa­ma sadja; sungguh tak berguna menulis buku jang begitu putjat dan tak berdjiwa, kalau kita sudah menulis buku se­perti Kabalsjitsj. Tak ada muntjul pribadi2; anak dam, ma-

nusia jang kcbetulan sadja punja nama, entah karena apa. Menurut M . salahlah orang jang mempergunakan bentuk roman buat hal serupa itu; buat gerakan2 massa film-lah alat dan seni jang sewadjanija dimasa depan. Roman ada­lah pengutjapan jang sedang lenjap dari individuahsme: jaitu pendalaman dari individu, sekalipun ia dihadapkan pada seribu orang lain.

Baik atau tidak roman saja sukai, kalau sjarat jang men­djadi sjarat ter penting bagiku dipenuhi: simpatik atau ti­dak. Selama aku masih sanggup bebas menjatakan penda- patku, sesuatu jang keluar dari diriku sendiri, maka saja tidak akan puas membatja segala matjam Gladkov. Saja djusteru bcrkeinginan, supaja aku merasa terhenjak, atau didjungkirkan oleh buku pengarang2 ini, tapi pertjobaanku setiap kali makin mengetjewakan. Satu-satunja buku jang revolusioner dari Rusia, dengan nilai sastera jang tidak se- berapa, tapi ditulis dengan aksen kebenaran, ialah buku Saw inkov bernama Jang tak terdjadi, tapi Sawinkov se orang revolusioner jang sesat. Selain itu tjoret2 jang njata serta sensuil dari Martin-Luis Guzman, tapi mengenai revo lusi M exico, jang dianggap revolusi panggung oleh orang jang berpendapat bahwa revolusi di Rusia tidakpemahber sifat demikian, d a l a m hal mana djuga. Orang Rusia itu, kata mereka, pemurung, dan berperasaan dalam; sedang orang M e x ico ...In i omong kosong jang murung, artinja, kalau orang masih berani memberi gambaran jang djelas an manusia jang ramai2 setjara k o l e k t i f bunuh-membunuh da­lam kemabukan kolektif, dan mau mempertanggung ja wabkannja dari sudut susila atau agama sesudah revolusi. Guzman seorang «pelukis» jang pandai sekali, lagi ia tj up pintar sehingga tahu bahwa semua ini paling2 hanja erupa peristiwa jang menarik atau menggelikan, untuk orang jang menganggap hidupnja tak mempunjai harga apapun lagi dan tahu bahwa hidupnja itu bakal diperlaku 'an emikian bila saatnja sudah tiba.

A ku mendapat perasaan bahwa Ubu-Roi seakan-akanbuku jang besar, di «masanan djaja» ini‘ 215

20 Descmbcr

Pengakuanjang mcnggembirakan dari Dricula Rochellc (dalam VEurope contre les Nations):

«Apres tout, une revolution ce n ’est quunc guerre... L ’Europe n’a plus le choix: trop vieille et trop compliquee, elle ne peut plus se faire que par la p a ix .. .Done j ’annonce que je mourrai passivement pour la paix. Je ne repondrai a aucune mobilisation, ni a celle des patries, ni a celle des par­ties. Je me ferai fusilier par n’importe quel gendarme - celui de Hindenburg ou de Tardieu, ou celui de Staline. Il n est pas de petit exemple qui ne fasse son chemin.»

22 Desember

Kubatja lagi Une femme a sa jenetre karangan Drieu itu djuga. Sungguh mengherankan mengalami arti sesuatu bu­ku bisa berobah karena batjaan jang ada sekeliling kita. Dulu buku ini membosankan bagiku, terlebih karena di­lapangan karang-mengarang jang bersifat revolusioner, aku mengharapkan buku jang lain dari pengarang jang telah menulis buku seperti Geneve ou Moskou: karena aku dulu tidak merasa penting mempersoalkan apakah komunis-nja, Michel Boutros, akan masuk randjang dengan njonja Mar­got Santorini jang romantis dan genit itu, atau akan men- djauhi njonja itu karena berbahaja pada komunisme-nja. Rom an biasa jang berpokok persoalan masuk randjang atau tidak, seperti jang ditulis oleh Drieu, dihias dengan tjorat-tjoret kemasjarakatan, dulu membosankan bagiku dan tak memuaskan. Sekarang buku itu kubatja ulang de­ngan senang; karena maksudnja jang djudjur, karena fira- satnja jang halus, karena kepintarannja, pendek kata, se­sudah ketumpulan jang bersemangat dari kaum kolektif. Pahlawan tjeritanja, tokohjang paling menarik, sebenarnja ialah R ico Santorini, seorang diplomat jang tak berkejakin- an apa2, seorang Don Juan jang sudah bosan tapi masih

sentimentil, suka mengerti, lagi memperlihatkan sematjam kelemalian orang Itali dalam tindakannja jang ksatria, jang memang lajak terhadap Boutros dan karena Margot me­mang memerlukan eksperimen dengan seorang laid2 de­mikian. Hal jang menarik hati dan sungguh2 dramatis, da­lam permainan bersama ini, ialah kesilapan2 jang timbul. M argot menjangka bahwa ia mengagumi kepertjajaan Boutros, dan ia ingin membantunja melaksanakan tugas- kehidupan Boutros: tapi hal itu sudah barang tentu tak ter- djadi, andai kata Boutros, jang dengan tjara romantis ber- sembunji dikamarnja, bukan seorang pemuda jang gagah (keturunan orang berada, tapi berbahu lebar dan punja mulut jan g menarik sekali) tapi hanja seorang djembel jang penuh tjita2, putus asa dan penuhkeketjewaan, jang barang­kali akan mengantjam njonja Margot dengan pistol, seperti dikatakan oleh La Villette. Tapi memang ia memaklumkan pula bahwa ia telah berpisah dari segala apa sadja jang bu­kan komunisme. Pada suatu saat psychologis Margot ber­kata: «Vous reussirez.» Dan Boutros membentak: - «Vous reussirez! H a ! H a ! C ’est bien cela! Mais il ne s’agit pas de reussite. Voila vous n’y comprenez absolument rien. Ah! femme, bourgeoise. . . ! Vous ne savez pas ce que c’est de sentir en soi une necessite qui depasse formidablement votre petite personne.»

Enak bunjinja! Ketjongkakan jang langsung dirasakannj a pada diri Boutros (djusteru pada saat ia hampir mengang- gap Boutros perendahhati), djusteru itulahjang diperlukan supaja orang dapat mengabdi dengan sukarela; kebanggaan jan g mendjadi belandja pasukan penggempur. Pasanglah dalam surat kabar potret dari seorang pekerdja jang telah membuat sepatu sebanjak-banjaknja, karena sungguh2 mem- perdjuangkan kepertjajaan barunja: kebanggaan kerdja, martabat kemanusiaan seorang pekerdja dsb. Mendjadi tu- gas jan g indah dan gandjil dikemudian hari bagi achli ilmu- masjarakat, bagi achli sedjarah, untuk menilainja sebagai ahran, sebagai kesadaran. Menilai sandiwara Meyerhold

dengan bau apeknja jang mendjidjikkan itu, serta potret bunga dan patung batu dari Lenin: massa butuh agama, butuh mistik: pasukan penggempumja ialah para santu, jang memperdjuangkan agama jang dinamakan kerdja; M arx ialah Allah, Lenin-lah Rasul-nja. Kesesatan dan pemabukan (keduanja disini sedjalan) seperti jang terdapat pada kaum kristen jang pertama, dengan kefanatikan kaum inkwisitie dan perang salib.

Hiduplah zaman kekerasan! Tapi Boutros, jang kurang naief, sehingga ia tak sampai mendjadi budak kepertjajaan- nja, tergoda oleh perempuan, jang mengagumi Boutros karena ketjongkakannja. Hendaknja setiap laki2 itu kuat, dibawah pandji sembojan manapun! Menjusul pertjakapan jang pandjang: Boutros menutup perkataannja dengan utjapan: - «Il est plus facile de faire une revolution dans la rue que dans les coeurs.. .Je ne pourrai pas la faire dans le vo tre ...I l faut que je vous fuie, vous etes l ’image de mon supplice», dsb. Dan memang ia lari, disusul oleh perempuan itu. Bukan salah Boutros kalau mereka tak berangkat ber- sama2; satu sadja harapan jang sisa, artinja dilihat dari sudut dialektis: mereka akan berpisah, sebaik perhubungan tak dapat dilandjutkan lagi. Nafsu Boutros jang komunistis da­pat menumpaskan keinginan romantis dari M argot dimasa depan, tapi disamping itu kita harus ingat pula akan sifat2 biasa dari manusia, seperti rasa setia, tanggung-djawab, ka- sihan, jang disebut sifat bordjuis itu, tapi sifat2 jang hakiki pada manusia. Kissah ini suram, kalau dilihat dari sudut revolusioner, tapi bagi seorang revolusioner tulen memang Boutros bukanlah seorang kawan jang benar pada hemat- ku, sedang Drieu La Rochelle akan dipandang sebagai «si- tua-bangka kaum muda» jang harus ditjurigai. Buku ini mungkin merugikan propaganda, karena perempuan itu menang seluruhnja, artinja pada detik ini.

Dan kedjadian dilingkungan ketjil seperti ini, rasanja da­pat djuga dipertjontohkan pada tokoh2 Tolstoi atau Dos­tojevsky: misalnja tenaga berkorban untuk massa dari

Trotsky didjadikan pokok tjerita, dengan aku jang sama chianatnja bersembunji dibawah disiplin dan teori. Apakah aku jang demikian akan timbul? apakah tidak timbul? Apa­kah perempuan itu biangkeladi? atau ketjongkakan? atau keketjewaan usia tua? atau hal lain?

Pidato Boutros menggelikan bagi saja, walaupun saja tahu kegujahan pendirian revolusioner-nja sebagai orang tobat. Berikut renungannja menurut patokan tjita2nja: «Un homm e a deux m oi: l ’un etroit et superficiel, qui 1 isole du m onde; 1’autre souterrain, radical, qui le reurut au monde>>.

Ini adalah sifat ketjut dari seorang individualis, jang tidak berani mengaku, bahwa aku-nja jang mendjadi persoalan, jakni aku-nja jang sempit, jang telah dimumikan dan diper dalam, oleh seabad kebudajaan bordjuis (dimumikan dalam arti diperbesar nilai2 aristokratisnja). Aku-nja jang luas dan mengendap memang tidak djelas seperti segala hal jang ingin mendekap seluruh djagad; meskipun dia jakin dan berusaha benar, ia masih perlu bersenam. Manusia luas itu adalah angan-angan; pun ia suatu tradisi, jang dasarnja diletakkan dalam diri angkatan muda Rusia. Djika u mendera diriku supaja memperoleh rasa kolektif, m a individualitetnja masih akan melekat sekuat-kuatnja pa a diriku. Bagiku tak ada tempat dalam persoalan kelas bersifat sosilogis-praktis, diinana sebarang pergadjul sc a u benar! M ereka selalu dan tetap benar tapi aku tak masugolongan mereka!

Am at pengetjutlah orang jang tidak mengakui kebenar­an hal ini: bukankah orang itu sebenarnja sudah sampai pada kejakinan, bahwa seorang homosexuil tidak larus memilih antara tugas berbiak atau kemungkinan hukuman dibagi-empat ? Kemerdekaan adalah angan-angan, mengapa tidak? Tapi tak dapat dimaafkan paksaan badani jang mendjidjikkan. Rupanja penjelesaian fanatisme massa jang kolektif terhadap segehntir orang hanja dapat dipandang sebagai hukum «siapa kuat dialah jang benar». hasilnja su dah pasti. Tapi orang djangan lagi hendaknja bitjara ten-

tang «nilai», aristokratis atau tidak; massa jang menang dan mahakuasa tidak tahu-menahu tentang «nilai»; sembojan mereka ialah: «Itu kawan k ita-itu tidak». Tidak mendjadi soal apakah timbangan itu tepat, karena «kawan kita» kira2 berarti «dari lingkungan kita». Seekor rusa jang sesat di- tengah-tengah kawanan kerbau, tak mungkin berlama-lama membohongi diri dan kerbau dengan utjapan: aku telah masuk kawanan djadi aku seekor kerbau djuga.

23 Desember

Terang sudah bahwa aku dianggap tak tjinta pada rakjat. Ini kuanggap kebohongan jang paling besar; tapi segala utjapan dan pendapatku «membuktikan hal itu». Dianak- kota Bellevue ini hanja ketenangannja jang menarik hatiku, menjenangkan hatiku, keagungan (sifat kemanusia­an, bukan sifat aristokratis) dari rumah2 jang separoh ter- sembunji - anachronisme dari kehidupan, jang seakan-akan dapat bertahan hidup menjendiri, dibelakang tembok mi- lik sendiri, dibawah pohon milik sendiri. Dari mana pula modal pertahanannja dapat dikorek lagi, dan kapan tiba masanja mereka djuga dihantjurkan? Sebuah sanatorium, sebuah geredja, djalan sempit dengan lapisan jang djelek, dinding dan pepohonan: dan semua ini dekat Paris, bukan lorong kediaman kaum buruh, tapi sebahagian dari «la douce France», pemandangan jang terbajang diangan-angan kalau sedang mendengar tjerita lama.

Tapi djuga disini tjita2 komunis sudah lama sampai: di- dinding perkentjingan tertulis, putih diatas hidjau; «Vive le URSS», didinding rumah: «Vive les Sovietes». Jang terachir ini begitu menggelikan hatiku, hingga dalam hatiku tim- bul keinginan membeli kapur untuk menuliskan dibela- kangnja, menjambung: «et le Garde Republicaine»!

Bernafsu aku menjelami nomor terachir dari N .R .F ., jang berisi beberapa singkatan, programa pendek, pendje- lasan dari aliran2 jang berlaku kini: Cahier de Revendica-

tions. D uduk diperminuman, sambil memegang pensil u- ngu, dalam angan2 aku turut berdjingkrak atau ber-lari2, bernafsu membatja prosa adjaran karangan orang jang tidak kukenal ini, lebih bernafsu dari pada ketika membatja ro­man atau kumpulan sadjak mana sadja diwaktu belakangan ini.

Dan disinilah kubajangkan berlangsung pertjakapan an- tara saja dan orang revolusioner pemurung itu. Saja ber- kejakman akan bertemu djuga dengannja pada suatu wak- tu : kubiarkan dia masuk perminuman itu, didepan geredja Bellevue dimana bioskop dibolehkan oleh ko tap radjamele- katkan reklamenja. Dia memakai badjudingin hitam dan sudah mulai suram kilaunja, lalu ia duduk didepan saja, topi dibiarkannja dikepalanja. Dia tegap lagi besar, seperti W olodja lajaknja, jakni penjamun jang menjebut diri «pe- njita», pembunuh jang menjebut diri «hakimtjepat». Tapi orang ini tak berdjenggot dan tak mempunjai tanda2 dari romantik jan g sudah ketinggalan zaman; ia bitjara dengan tenang, dengan suara seorang jang telah berpengalaman dan dengan metoda seorang guru desa; djuga ia tak marah padaku pada peristiwa ini; rupanja ia bermaksud meme- nuhi tugasnja jaitu mejakinkan kawan jang sesat dan de- kaden. Tangannja jang kasar dan merah dihpat dengan damainja diatas lututnja, seakan-akan ia hendak nienundjuk- kan rasa persaudaraannja, sedang dagunja jang ditjukur me- nondjol kedepan, se-akan2 tangan jang separoh diulurkan dan bukan tindju jang mengantjam. Dan aku sedikitpun tak bim bang; tapi djauh dalam hatiku aku sangsi dan ber­pikir : «Belum djuga ia mengerti, belum, belum. Dia belum djuga ingin dan tidak mempunjai tempo untuk <mengerti>; dia masih sadja hendak mengabdi, lain tidak. Akan kubiar­kan ia bitjara sepuas-puasnja, dan kalau ia sudah merasa bah­w a aku membenarkan utjapannja, dan bahwa aku benar2 mengerti pendiriannja, ia lalu akan memasang pipanja de­ngan tidak sadar....»Tjatatan ini masih terbuka dihadapan saja, disampingnja N .R .F ., djuga terbuka, dan pada kedu-

anja terdapat tjoret2ku jang ungu. Ia berkata, dagu berge- rak kearah semua itu :

— Hebat djuga segala tjoretan itu. Sudah dapat tempat berpidjak ? Belum ? Sjukurlah bahwa orang lain akan mem- perolehnja untuk kau, kalau masanja sudah tiba. Kau rupa­nja menjangka bahwa hal itu tergantung dari usahamu, bahwa keadaan tak berpengaruh padanja. Kalau keadaan nanti menuntut perbuatan, menuntut pemilihan pihak, kau dengan sendirinja akan sadar akan tempatmu. Seorang pa- ngeran Rusia lari dari negeri Bolsjewik dan mendjadi su- pir taksi di London; ketika pemogokan timbul dikalangan supir taksi, ia merasakan betapa erat nasibnja dengan nasib kaum proletar. Apa kau ini, dilihat dari sudut sosiologis? Aristokrat? Masa boleh! W arga biasa? Bukan, sebab pan- dangan hidupmu lain dan kalau ditimbang2 kau sebenarnja tak punja uang. Apa pula jang kau hendak pertahankan, kalau kau memihak pada kaum kapitahs ? sistem Ford atau kemerdekaan chajal jang kau nikmati sekarang? Orang tak mengharapkan kau langsung djadi seldadu tentera merah, lain halnja kalau kau njata2 sudah insjaf bahwa kaum pro­letar berdiri dipihak kebenaran, atau karena kau djidjik mendjadi seldadu kaum kapitahs...

a k u : - Dengan demikian aku nanti mendjadi seldadu merah tapi pemberungut, tanpa kejakinan, atau dengan kejakinan: bahwa aku menjerahkan hidupku untuk tjita2 jang tidak kujakini.

d i a : - Djangan kuatir, bukan kau sadja nanti tukang berungut. Baiklah nanti dibentuk bataljon tukang beru- ngut dan andai kata kamu disuruh kegaris terdepan, supaja kamu lenjap, maka kamu masih akan tertjatat sebagai pah­lawan dalam buku sedjarah merah. Tapi sekali telah me- milih pihak, keinsjafan jang sesungguhnja dengan sendiri­nja akan tumbuh; hanja soalnja menunggu pukulan keras dari pihak putih.

a k u : - Gampang sadja mem-bakar2 kebentjianku terha­dap kaum putih, nanti atau sekarang. Soalnja ialah apakah

saja dapat pertjaja akan lahirnja sorga jang saja harus per- djuangkan itu. Sajang pokok persoalan tetap: Bapak M arx sendiri barangkali tak akan dapat mejakinkan saja bahwa liidup k o lektif itu berarti «kemerdekaan», dan bahwa ko- munisme akan mentjipta sorga dibumi, lebih baik dari aga­ma Kristen dan entail apa lagi. - *

d i a . - Sesuatu perdjuangan lebih berhasil kalau diper- djuangkan dengan dendam jang serendah-rendahnja dari pada dengan perasaan2 jan g mulia. Kulihat kau masih sadja menjukai pentjarian dalam avontuur perseorangan; itu adalah hasil konsepsi avonturier-bordjuis, jang kau per- oleh dari sastera bordjuis. Karena itu kau suka pada Sawin­k ov, pengchianat itu. Ia tjerdik amat, ja ? tidak dapat diabui matanja, sangat individualistis; sekalipun ia telah mentjem- plungkan diri dalam aliran deras jang mendukungnja, tidak teperdaja. Dan betapa menarik keketjewaannja se­sudah itu ! Lagi ia achirnja harus dipandang sebagai tokoh jan g tidak nientjari untungnja sendiri, sebab, namun ketje­w a, ia masih rela mengabdi pada tjita2 jang tidak dijakini- nja lagi. B ah w a ia telah mentjuri uang dari kas massa, jang dihabiskannja bersama pelatjur dan bandit2 lain, uang jang dipertjajakan massa padanja, tentu tidak penting bagimu. Bukankah ini bum bu kepahlawannja sebagai avonturier? T idak mendjadi soal bagimu, kalu ia melawan negerinja dengan uang jan g terang tidak berasal dari kawan2nja! dan kalau ia kusebut seorang pengchianat jang lebih keparat dari Cesar B orgia, maka kau terang akan mendjawab bah­w a Cesar B o rg ia dilaliirkan sebagai pengchianat sedang Saw inkov tidak; Saw inkov mendjadi seorang pengchianat, karena silap, demikian kamu akan berkata. Baiklah orang telah nielenjapkannja, atau dilenjapkan oleh dirinja sendiri, bagaimanapun djuga orang demikian sudah sepantasnja di- tumpaskan, bahkan seluruh sikap dan pendiriannja, tidak perduli apa sadja namanja. Peladjaran apa jang kau peroleh dari kaum revolusioner jang kau katakan kau kagumi, kau jan g hanja niemperhatikan individu Lenin, individu Trots­

ky dan hanja melihat arti avontuur dalam diri keduanja? Kerelaan mengorbankan diri, semangat mengabdi bulat2 terdapat pada diri Lenin, hal jang ternjata tak dapat disang- gupi oleh Sawinkov; kau akan membantah, karena kau memang tak dapat menjelami «mysticisme» seperti ini, se- bagaimana kau djuga tak dapat menjelami mysticisme dari orang sutji; bagimu Trotsky adalah tenaga besar, seorang pedjuang nomor wahid jang menjelenggarakan segala se­suatu bagi Lenin, karena kau hanja mengerti perdjuangan, dan didalamnja hanja melihat kebesaran individuil pula. Tjobalahperhatikan, berapa tebalnja romantik, pemudjaan pahlawan tjara bordjuis, berapa tebalnja mytologi, ketidak- warasan menutupi penilaianmu. Djuga kalau kau menjang­ka kau menimbang dengan hati djudjur. Ingatlah kegem- biraanmu, ketika kau tiba2 insjaf bahwa Robespierre itu boleh djadi bukan binatang buas seperti jang diadjarkan di- sekolah, ketika kau mulai mengagumi Danton karena mu- lut dan dadanja jang lebar, dan karena keberaniannja me- nudju tiang gantungan, ketika kau bersua dengan botjah jang bernama Desmoulins, jang tak banjak berbeda dari pahlawan2 roman-bersambung. Beberapa tahun kemudian kau menemukan Saint-Just, lalu kau hendak menindjau kembali segala pendirian jang lama, karena dia; kau kagum membatja rahasianja, ketenangan Saint-Just, masa mudanja jang djenial, pidato tuduhannja terhadap radja, terhadap Danton, ketenangan ketika menghadapi guillotine, lalu kau lebih menghargainja dari pada Danton, lain tidak hanja karena kau masili lebih suka pada Apollo dari pada kepada Vulkanus, karena rahasia Saint-Just dipersubur oleh ke- gagahannja, karena kau kagum melihat ketjongkakamija menghadapi perempuan jang mengerumuninja, karena kontras antara muscadin jang tinggi hati dan orang banjak, dengan suasana darahnja, menimbulkan keheranan dalam hatimu dan mempengaruhi chajal bordjuismu. Siapa jang kau tjintai dalam diri Saint-Just? Boleh djadi Julien Sorel. Tjitat-jitanja untuk mendasarkanperundang-undangan pada

persahabatan, ketjakapannja untuk mengatur kembali ten- tera, sedang ia bukan seorang militer. Sikapnja jang dingin, sementara kepenjairan, sementara ia sanggup pula bertin- dak tegas dan kedjam. Semua ini terang menjuburkan cha- ja l jang romantis seperti jang njata dalam impian, naluri lata dari penonton adu-djotos jang bertanja: siapakahjang akan menang andai kata Saint-Just jang djenial itu masih hidup, lalu dihadapkan dengan Bonaparte jang djenial itu pula? Jan g mendjadi pertanjaan bagimu ialah kenjataan, bahwa tak ada orang jang sanggup memberi keterangan mengapa ia diam sadja selama empat hari ketika ia sudah djatuh bersama Robespierre, dan mengapa ia seakan-akan terpesona: apakah ia muak, sudah insjaf akan sia-sianja se­gala tindakan, ataukah karena dendamnja karena tahu ia dihukum tak bersalah, karena melihat nilai jang diwakih- nja lenjap begitu sadja? Soal2 demikian menggitik perasa- anmu, jan g mendjadi kesukaan kaum bordjuis, jang disebut pendalaman dan psychologie manusia. Saint-Just tidak me- narik. Saint-Just tidak berarti ditindjau dari sudut sosiologis, hampir seperti Sawinkov.

a k u : - Kukira kau lebih suka menjebut Babeuf. Tapi avonturier bordjuis dapat memadjukan tokoh2 jang lebih baik. M arxis tua jang menulis karangan pertama disini (sambil menundjukkan Revendications, untung masih

menjebut iKreuger dan Ford. Ia menguraikan pendiri- annja dengan djelas dan tenang, tuan Lefebre ini. Ia menundjukkan bahaja jang mengantjam angkatan muda sekarang, menjingkap tjara2 «berkorban»jang salah, karena perdjuangan melawan keisengan telah lewat-katanja; ternjata ia mengenai kesusasteraan. Ia mem-bawa2 nama Baudelaire dan Rim baud dalam persoalan, tapi saja kutip satu kalimatnja dalam uraiannja menentang masjarakat se­karang : «Non seulement il faut se vendre, mais on ne trouve plus a se vendre». Dan untuk mengelakkan hal ini, ia perta­ma- tama mengandjurkan sebuah adjaran realistis dan re­volusioner jan g tegas, untuk melakukan pembersihan da-

lam metoda2 kebohongan dan pembohongan diri dari kaum bordjuis; ia tak mau disuguhkan tjara «melepaskan diri», djuga tidak dalam puisi. Mysticismc, mystifikatie; dan jang paling menjenangkan hatiku ialah, bahwa ia tidak mengandjurkan alat pcnjelamatan seperti jang ditambah- kan oleh rasul2 jang kemudian: kepertjajaan.

d i a : - Namun demikian, kepertjajaanlah satu2nja keku- atan jang dapat dihadapkan pada konsepsi realistis, jang ternjata kau tolak djuga. Sungguh menjedihkan, sungguh sajang, bahwa keduanja tak mcmuaskan bagimu! Tapi bu­kan kau jang mendjadi soal. Insjafkanlah hal ini dulu. Ku- harap tjukup otakmu menangkap hal ini! Kaum proletar- lah jang mendjadi soal. Satu2nja kekuatan jang sungguh2 dapat mewudjudkan pergolakan jang berarti. Sungguh sa­jang bagimu! Kebohongan baru, simbol baru, agama baru, katamu...

a k u : - Terutama p o l is i b a ru .

d i a : - Undang2 dan paksaan baru. Sedang kau tidak da­pat mendjadi anggota kami, kau pun tidak dapat kembali dalam masjarakat bordjuis jang telah merusak dan mem- buat kau berontak, tapi namun demikian kau tetap hasil masjarakat itu dan kau termasuk segelintir orang jang akan terdjepit antara kedua tentara. Artinja kalau kau toch tidak pilih pihak pada saat terachir.

a k u : - Atau saja lari ketempat dipermukaan bumi di­mana perdjuangan sematjam ini belum ada. Dulu kusebut Tahiti, sekarang kusebut Persia. Besok akan kusebut negeri Basuto, barangkali, Sulawesi atau Nieuw-Guinea.

d i a : - Masih mendjadi pertanjaan apakah kau dapat ke- sana. Djika kau nanti tak dapat lari, dan kau tahu bahwa tidak memihak berarti kau akan dibunuh, maka kau rasanja akan menerima konsekwensi...

a k u : - Orang masih bebas bunuh diri. Pendirian jang sesungguhnja realistis bagi manusia seperti saja, agaknja ialah mengakui, bahwa hidupnja tak berharga apa2, dan bahwa oleh karena itu mati sekarang atau nanti sama

sadja. Barangkali sulit dilakukan; dan ia mungkin ketjut djuga melakukannja, dan ingin hidup lebih lama hanja ka­rena ingin tahu bagaimana djadinja, selama masih mung­kin. Tapi bukan tak mungkin dilakukan, asal keadaan mem- bantu sedikit.

DIA: — Barangkali kau djuga akan bunuli diri kalau tcr-

lalu lama terpentjil dipulau. Tapi kalau kau meniilih pihak ?a k u : - Telah kaukatakan sendiri: mungkin halnja nanti

tergantung dari keadaan luar, keadaan jang sekarang belum dapat kubajangkan. Dimana tempat berpidjak isteri, ibu, dan kawan2 kelak? Djika aku hanja memperhatikan suara akalku, saja akan pilih pihak dimana aku dapat memelihara rasa hormat terhadap diriku dan pihak jang objektip. Se­lama polisi baru itu belum sungguh2 berkuasa, maka me- ncntang apa jang bertindak sebagai polisi sekarang dapat kudjadikan tugasku. Tapi aku harus mendjauhkan diri dari orang2 revolusioner seperti djuruulas kedua (kutundjuk pa­da Revendications tuan Nizan. Tak ada jang lebih tjelaka dari bahasa gembung dari seorang sersan revolusi; jang bangga memakai selempangnja; dengan mengingat keada­an jan g ber-bcda2 sedikit, m a k a djusterukedunguan orang seperti ini, jang melahirkan kaki-tangan jang pahng kedjam dari pihak kaum anti-revolusioner, katolik, fascis, radja, atau apa sadja. Malang masih akan menimpa diriku, sebab tjoba pikir: djika aku mcmihak dan kemudian achirnja menganut tjita2 itu, maka aku masih terantjam bahaja mengalami keketjewaan k a r e n a . . .individualitet masing2 pedjuang tjita2 itu sendiri.

d i a : - Utjapan Drieu itu djusteru kena pada dirimu: «si tuobangka angkatan muda».

a k u : — Istilah jang sungguh baik, dipergunakan oleh tuan Philippe Lamour dalam karangan2 ini. Lagi tuan ini sung­guh mempunjai pikiran jang metodis sekali: individualis- me itu berasal dari hukum rumawi, menurut dia; utjapan2 demikian menghibur hati sehingga kita dapat me- lupakan utjapan2 tolol jang mungkin pernah kita lontar-

kan. Dalam seluruh pemandangan jang terkumpul disini, hanja satu orang jang menguraikan pcndiriannja sebagai manusia biasa, namanja Thierry Maulnier.

d i a : - Dia orang Action Franqaise kalau saja tak salah. Ha, bordjuis! kau tertipu lagi. Untung orang ini masili mentjurigai fascisme, kalau tidak kau bisa nicnjembah M us­solini. Marxisme itu bukan sadja ditolaknja sebagai penje- lamatan akan tetapi dianggapnja sebagai bahaja.

a k u : - Ia berkata bahwa hal jang sekarang menindas manusia, itu pula jang akan menindasnja dimasjarakat nan­ti, dan katanja, tak ada satupun teori revolusioner jan g per­nah menundjukan perhatiannja pada sudut ini. A ku kepi- ngin mendengar alasanmu menentang ini. Mesin tidak dilawan, tapi dimasukkan ditempat jang terhormat dalam masjarakat jang akan datang: untuk menguasai mesin, nia- nusia akan mendjadikan dirinja mesin, tapi hal itu dilaku- kan dengan rasa bangga, dan hal itu disebut «martabat nia- nusia»! Ada suatu kemenangan (kubalik halaman jan g di- maksud): «la classe laborieuse etant theoriquement au pou- vir, toute hypocrisie disparait, et c’est ouvertement qu’ on reclame le sacrifice de l’homme a la collectivite, de Fame au rendement techniques - dan jang terutama diidam-idam- kan: «l’individue-outil asservi au technicien-roi». Lihat, dibawalinja kutarik garis jang tebal. Sesudah itu tak ada lagi garis setebal itu, karena sudah tiba uraian para achli filsafah dan orang jang mempersendjatai diri dengan keper­tjajaan. Tapi dibawah ini kutarik garisku jang terachir: «En face des exigences fondamentales de l’homme, collecti- visme et capitalisme sont identiques». Dan tanda seru disampingnja kuanggap sebagai pengganti tempik sorak.

d i a : : - Demikianlah tjara orang bitjara kalau tidak tju- kup dokumentasi.

a k u : - Untuk mejakini kebenaran nilai kebatinan orang tidak memerlukan dokumentasi. Seorang seperti D . H- Lawrence tidak perlu membatja kumpulan karangan Lenin supaja dapat menulis:

Hard, hard on the Earth the machines are rolling But through some hearts they ivill never roll.

DIA: — T entu sadja. Individu, rasa manusia, manusia be- bas. D ju ga djika kau benar, dan djika orang2 ini djuga be­nar - dengan tidak memperhatikan kejakinan politiknja - m aka semua ini masih bajangan masa depan. Aku sebenarnja hendak m enjebut historisch relativisme, satu2nja tempatmu berpidjak, djika tak dihalangi oleh «kepertjajaan»-ku. M a­nusia seperti jan g kau gambarkan, barangkali baru sesudah tiga abad nanti mendapat hak bitjara, djika kesulitan telah diatasi. T ap i terlebih mendjidjikkanlah djika orang ber- sandar pada ramalan2 demikian. Djika orang menjebut neo-burgers atau neo-individualis, aku hanja angkat bahu. M engapa tidak disebut sadja neo-kristen ? Sebab djika orang tidak lagi berpikir m urni setjara sosiologis berkenaan dengan massa, m aka orang pun agaknja akan sampai djuga pada agam a baru. Jan g penting masih: dunia ini atau dunia achirat, djangan lupakan hal ini. Barangkali bukan buat kau, tapi kuulangi lagi: kau tak mendjadi soal, tak masuk kira. M engertikah kau, kalau saja berkata: kau tak ma­suk kira? Pertahankanlah nilai2 aristokratismu, pengutjap­an2 ja n g paling individuil dari manusia, tapi sedarilah djuga bahw a kau liidup dipulaumu jang terpentjil, djuga sebe- lum kau betul2 kesana. Pertahankanlah martabatmu jang setinggi2nja dengan liidup menjendiri atau menjendiri dengan segelintir orang, dan masing2 dalam penjendiri- annja pula, tapi djangan lagi ributkan soal jang terdjadi diluar lingkunganm u.

Berpikirlah setjara sosiologis atau bertahanlah pada pen­dirian jan g historis-relativistis, tanpa memikirkan kepen- tinganm u, dan perhatikanlah timbul dan tenggelamnja per- ad ab an ... D alam hidup jang singkat dan tak berulang ini, kau tak masuk kira, kalau tak turut berdjuang. Djika kau dapat menangkap maksudku, maka pertjakapan ini tidak- lah pertjum a bagiku. Kau pertjaja hidup ini singkat dan

tak berulang, tapi kau masih hendak ber-main2 dengan ni­lai2 aristokratismu jang bukan kau temukan sendiri, dan masih kau mau, kau diberi orang kesempatan ber-main2 atas tanggungan djerih pajah orang lain, sekarang dan di- masa lalu. Tjarikanlah tempat dimana lapar dan dingin tak mengganggu, dimana pakaian tidak perlu dan dimana ma­nusia bisa hidup dari buah-buahan sadja, dan djanganlah lupa bawa Stendhal-mu dan tjobalah perhatikan apakah kau masili dapat menikmatinja seperti sekarang, sesudah mementjil nanti beberapa tahun.

a k u : - Kau mengantjam aku dengan pukulan jang se- keras2nja! Tapi andai kata dapat kulakukan, maka saja tak akan bitjara dengan kau sekarang, dan saja tak akan mcng- hiraukan komunisme.

d i a : - Ja, mengapa pula kau memperhatikannja? Kurasa itulah pokok soalnja!

a k u : - Barangkali gandjil kedengaran bagimu: aku ti­dak terutama memperhatikan komunisme, barangkali, tapi komunismelah jang terlalu suka memperhatikan saja. Se­bab djika perdjuangan jang sesungguhnja tiba nanti...

d i a : - Kau akan memilih pihak, atau orang akan me- milih tempat kau berpidjak. Djika kau tidak terlalu ingin tahu, pilihlah salah satu pclarianjang tegas, jang tadi telah kau sebut: lenjapkan diri, sebelum orang lain melenjapkan kau. Barangkali lebih baik bagi kau sendiri.

Ia berdiri sanibil mengulurkan tangannja.Sedang ia keluar, sedang ia memperlihatkan punggung-

nj a j ang makin menjempit pada tiap langkah, maka manusia sempit dalam diriku kurasa makin kembang, mengembang diatasku ketika memikirkan kemungkinan bunuli diri ber- dasar keputusan diri sendiri. «Kadang2 gampang sadja»... Matahari menjinari geredja ketjil, seolah-olah dimusim pa- nas. Didindingnja jang kelabu tertulis «Vive Les Sovietes», tapi tiap wadjah manusia jang lewat menjinar ketenangan desajang mengingatkan bahwa bangsa Perantjis dulu bang­sa peramah. «Tunggulah sampai orang lain memilih buat

kau.» Orang: kaum politik-orang jang berwadjah seperti Hitler, seperti Herriot, atau berwadjah jang tak dikenal. Tapi djusteru pada saat ini tentu ada orang2 Persia djalan2 dibenua lain2 berdjenggot pandjang, orang2 Persia jang tua, jang menguraikan pendiriannja tentang hidup dan ma- ti, di tempat teduh ditepi lapangan jang dibakar sinar mata- hari. Pikiran2 jang barangkali tidak berapa berbeda benar dengan pikiran2 Hafiz atau Khayam. Sebab ada djuga orang Persia modern jang telah memasukkan mesin terbang da­lam sadjak2nja, tapi kurasa buminja masih sama sadja, djuga bunga mawarnja, dan tak ada jang dapat merusak puisi jang terkandung dalam nama2 seperti Sjiraz, Astrabad, Is­pahan ...

Kuperoleh kesan bahwa tak ada terdapat penjelesaian apapun, tapi djuga bahwa aku tak akan menunggu sadja, apa jang akan terdjadi dengan hidupku jang satu ini. Kuta- hu bahwa orang2 Persia jang tua itu menjampaikan pikir­an2 jang sudah kuketahui, membosankan seperti banjak hal jang djuga dapat kudengar di Eropah; pikiran2 jang nampaknja sadja baru, sebagai kontras dengan apa jang sudah terlalu sering kudengar disini.

Bukankah perdjalanan, berdiam «dinegeri lain», suatu pe- lepasan diri dari hal2 jang terlalu kita kenal? Tapi soal ini didesak oleh soal lain jang sekarang makin mengantjam; mengusahakan tertjiptanja suatu suasana jang memungkin- kan orang bernafas.

No.

6 3 Q . 36 PgRIT) -

PENGARANG & NAMA BUKUf ' e r o p , t ? d u

MenwuKan SiK&p________________ 4 1 1 / 7 ^

Peminjam No.Agt. TanggaJ Paraf

8 3 9 . 3 6

P E Rir>

PerPustakaan Ul

0-07022577

Perpustakaan FIB UI

0 0 0 3 4 9 6 6

un i ve FA