mencari kaidah estetika sastra kontekstual? (ii) · hal ini teras a am at menonjol setidak ......

5
1 Ariel Heryanto Mencari Kaidah Estetika Sastra Kontekstual? (II) Istilah "estetik(a)" yang masuk ke dalam bahasa Indonesia tidak berbeda, atau tidak jauh berbeda,19 dari pengertian mutakhir aesthetic(s). Nilai estetik, nilai seni, dan nilai sastra dianggap (dapat) terpisah dari kait- an konteks so sial dan nilai sosial. Hal ini teras a am at menonjol setidak- tidaknya dalam satu at au dua dekade belakangan di Indonesia. Istilah "sastra" berusia jauh lebih tua daripada "estetika" dalam bahasa-bahasa yang pernah hidup pada sebagian warga masyarakat di ke- pulauan Nusantara ini. Istilah "sastra" datang dari bahasa Sansekerta, bukan dari bahasa-bahasa Eropa. Tetapi pengertian mutakhir untuk "sastra" dalam bahasa kita kini tidak berbeda dari pengertian mutakhir literature dalam bahasa Inggris moderen. 20 Karena itulah kita dapat memahami pentingnya "estetik(a)" dalam "sastra", sebagaimana juga (atau karena) aesthetic(s) penting dalam literature. Belakangan ini, Arief Budiman dan beberapa orang lain termasuk saya telah berulang-ulang menekankan ke-tidak-universal-an sastra, es- tetika, atau nilai sastra. Seeara tegas Arief Budiman (1984, 1985a,b,c) me- nunjukkan keterbatasan hal-hal itu, baik dalam batas-batas ruang, waktu, maupun kelas sosial mereka yang ikut bersastra. Saya ingin ber- usaha melangkah satu tapak lagi. Batas-batas itu juga dapat dan perlu dikaji menurut jenis kelamin mereka yang bersastra, yang (tentu!) dapat dilengkapi dengan kombinasi kajian tentang batas-batas dimensi ruang, waktu, atau kelas sosial mereka. Pada tahap ini, saya belum mampu mengajukan suatu kesimpulan "akhir" tentang pokok yang saya sebut belakangan ini.21 Namun, bebe- 19 Mengingat masih barunya impor istilah "estetika" itu ke dalam bahasa kita, sulit membayangkan sempat-sempatnya terjadi perubahan yang penting dari pengertian aesthetic menjadi "estetik". Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadar- minta, (976) istilah "estetik(a)" itu belum ada. Tidak mengherankan jika berbagai uraian tentang "estetik(a)" di kalangan orang Indonesia hampir selalu didasarkan pad a pengertian aeslhetic(sj, misalnya dalam buku Dick Hartoko (1984). 20 Dalam tulisan lain (Ariel, 1984b), hal ini saya bahas dengan uraian sedikit lebih pan- jang. 21 Saya baru mengawali suatu studi tentang hal ini, yang tidak akan dapat "selesai" dalam waktu dekat. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: vandat

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Ariel Heryanto

Mencari Kaidah Estetika Sastra Kontekstual? (II)

Istilah "estetik(a)" yang masuk ke dalam bahasa Indonesia tidak berbeda, atau tidak jauh berbeda,19 dari pengertian mutakhir aesthetic(s). Nilai estetik, nilai seni, dan nilai sastra dianggap (dapat) terpisah dari kait­an konteks so sial dan nilai sosial. Hal ini teras a am at menonjol setidak­tidaknya dalam satu at au dua dekade belakangan di Indonesia.

Istilah "sastra" berusia jauh lebih tua daripada "estetika" dalam bahasa-bahasa yang pernah hidup pada sebagian warga masyarakat di ke­pulauan Nusantara ini. Istilah "sastra" datang dari bahasa Sansekerta, bukan dari bahasa-bahasa Eropa. Tetapi pengertian mutakhir untuk "sastra" dalam bahasa kita kini tidak berbeda dari pengertian mutakhir literature dalam bahasa Inggris moderen. 20

Karena itulah kita dapat memahami pentingnya "estetik(a)" dalam "sastra", sebagaimana juga (atau karena) aesthetic(s) penting dalam literature.

Belakangan ini, Arief Budiman dan beberapa orang lain termasuk saya telah berulang-ulang menekankan ke-tidak-universal-an sastra, es­tetika, atau nilai sastra. Seeara tegas Arief Budiman (1984, 1985a,b,c) me­nunjukkan keterbatasan hal-hal itu, baik dalam batas-batas ruang, waktu, maupun kelas sosial mereka yang ikut bersastra. Saya ingin ber­usaha melangkah satu tapak lagi. Batas-batas itu juga dapat dan perlu dikaji menurut jenis kelamin mereka yang bersastra, yang (tentu!) dapat dilengkapi dengan kombinasi kajian tentang batas-batas dimensi ruang, waktu, atau kelas sosial mereka.

Pada tahap ini, saya belum mampu mengajukan suatu kesimpulan "akhir" tentang pokok yang saya sebut belakangan ini.21 Namun, bebe-

19 Mengingat masih barunya impor istilah "estetika" itu ke dalam bahasa kita, sulit membayangkan sempat-sempatnya terjadi perubahan yang penting dari pengertian aesthetic menjadi "estetik". Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadar­minta, (976) istilah "estetik(a)" itu belum ada. Tidak mengherankan jika berbagai uraian tentang "estetik(a)" di kalangan orang Indonesia hampir selalu didasarkan pad a pengertian aeslhetic(sj, misalnya dalam buku Dick Hartoko (1984).

20 Dalam tulisan lain (Ariel, 1984b), hal ini saya bahas dengan uraian sedikit lebih pan­jang.

21 Saya baru mengawali suatu studi tentang hal ini, yang tidak akan dapat "selesai" dalam waktu dekat.

.'vfencari Kaidah ESlelika S,

rapa pengamatan awa kaji pokok ini terutan nya partisipasi wan ita satu pihak, dan dorr menurut versi yang "re:

Sebagian terbesar jarah kesusasteraan (kalau malah bukan lel mal yang lebih banya1 bidang pengajaran lain tao Begitu pula aeara-ai maupun di luar sekolah seperti radio, koran d, puisi di berbagai kota. belum tersedia secara me

Hal itu tidak "and sudah menjadi semacam I

Pertama, pendidika ngah dipecah dalam bet kedudukan sosial-ekono alam (dan ilmu terapann material terbesar. Sedar bahasa dan sastra) mendt hampir dalam semua bid, saja berebut menempati t untungkan itu. Bidang 1=

yang disisakan pada kaue umum ini diselingi beberap

Kedua, berkaitan erat akibat) pada yang pertam tahyulan yang memilah-m "eiri" atau "hakekat" bit dianggap sebagai "kodrat"

Kegiatan "sastra" di, daripada pria. Sementara dengan "kodrat" lelaki. S daripada pikiran. Diangga): Dianggap lebih menekanka Dianggap lebih mengharga pribadi daripada kebenaran (

Anggapan-anggapan un pengaruh. Tapikeboeoranpa an dapat segera diamati dala Banyak siswa dan mahasisw bidang pendidikan pasti-alal

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

asa Indonesia tidak 1utakhir aesthetic(s). It) terpisah dari kait-1t menonjol setidak­onesia. . a "estetika" dalam ~a masyarakat di ke-

bahasa Sansekerta, an mutakhir untuk pengertian mutakhir

"estetik(a)" dalam ic(s) penting dalam

)rang lain termasuk versal-an sastra, es-1984, 1985a,b,e) me-batas-batas ruang,

;tra. Saya ingin ber-19a dapat dan periu yang (tentu!) dapat

atas dimensi ruang,

n suatu kesimpulan ini.21 Namun, bebe-

<e dalam bahasa kita, sulit lllg penting dari pengertian 7sa Indonesia (Poerwadar­engherankan jika berbagai l hampir selalu didasarkan Hartoko (1984).

an uraian sedikit lebih pan-

idak akan dapat "selesai"

.Hencari Kaidah Es[e!ika Saslra KOllleks!uul? 73

rapa pengamatan awal dapat ditawarkan di sini. Minat saya untuk meng­kaji pokok ini terutama bertolak dari pengamatan selintas tentang besar­nya partisipasi wan ita (kelas menengah di kota) dalam kesusasteraan di satu pihak, dan dominasi pria pada "puncak" sejarah kesusasteraan menu rut versi yang "resmi" di pihak lain.

Sebagian terbesar kegiatan bersastra yang tidak tercatat dalam se­jarah kesusasteraan "resmi" itu melibatkan wanita-muda sebanyak (kalau malah bukan lebih banyak daripada) kaum lelaki. Pendidikan for­mal yang lebih banyak memberikan pengajaran kesusasteraan daripada bidang pengajaran lain diikuti oleh banyak remaja berjenis kelamin wani­tao Begitu pula aeara-aeara "sastra" dalam pesta dan upaeara di sekolah maupun di luar sekolah. Tidak terkeeuali ruang "sastra" di media massa seperti radio, koran dan majalah, dan acara-acara iomba pcmbaeaan puisi di berbagai kota. Sayang, data yang lebih terperinei ten tang hal tni belum tersedia secara memadai .

Hal itu tidak "aneh" jika diperhatikan adanya dua gejala lain yang sudah menjadi semacam pengetahuan umum kaum tersekolah di kOla.

Pertama, pendidikan formal kita sejak jenjang akhir sekolah mene­ngah dipecah dalam beberapa bidang. Tidak ~emua bidang mempunyai kedudukan sosial-ekonomi yang sederajat. Bidang pendidikan pasti­alam (dan ilmu terapannya) menjanjikan imbalan material maupun non­material terbesar. Sedang bidang pendidikan "humaniora" (termasuk bahasa dan sastra) menduduki tempat (paling?) rendah. Kaum lelaki yang hampir dalam semua bidang kehidupan sosial lebih diistimewakan, tentu saja berebut menempati bidang pendidikan pasti-alam yang paling meng­untungkan itu. Bidang pendidikan seperti "~astra" merupakan bidang yang disisakan pada kaum terpelajar wanita. Tcntu saja, keeenderungan umum ini diselingi beberapa perkeeualian.

Kedua, berkaitan erat (bisa sebagai sebab, dan sekaligus bisa sebagai akibat) pad a yang pertama di atas, timbullah ketahyulan ideologis. Ke­tahyulan yang memilah-milahkan seeara kontra~ baik apa yang disebut "eiri" atau "hakekat" bidang-bidang pengajaran itu, maupun apa yang dianggap sebagai "kodrat" wanitadan pria.

Kegiatan "sastra" dianggap lebih coeok dengan "kodrat" wan ita daripada pria. Sementara "ilmu" pasti-alam dianggap lebih coeok dengan "kodrat" lelaki. Sastra dianggap lebih mementingkan perasaan daripada pikiran. Dianggap lebih mementingkan instink daripada logika. Dianggap lebih menekankan kehalusan sikap daripada ketegasan sikap. Dianggap lebih menghargai keindahan dan keharuan subyek'tif pribadi­pribadi daripada kebenaran obyektif faktual.

Anggapan-anggapan umum demikian memang eukup kokoh dan ber­pengaruh. Tapi keboeoran pada anggapan-anggapan tahyul ideologis demiki­an dapat segera diamati dalam kegiatan para siswa dan mahasiswa sendiri. Banyak siswa dan mahasiswa yang prestasi akademiknya tinggi, memilih bidang pendidikan pasti-alam (karena menguntungkan seeara sosial-eko-

..I

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

74 Basis. Februari 1986

nomi), ternyata aktif dalam berbagai kegiatan "sastra" di luar kelasnya. Walau mereka merasa akrab dengan kegiatan "sastra", mereka rela menga­singkan diri bertahun-tahun dalam pendidikan formal di bidang pasti-alam. Karena ijazah di bidang pasti-alam punya nilai juallebih tinggi daripada ija­zah di bidang "sastra" at au "budaya" . Mungkin mereka tidak "adil", tetapi mereka tidak "bodoh".

Sehingga seakan-akan tampak sesuatu yang "aneh". Bidang "sastra" yang ban yak digel~ti kaum muda wanita dan dianggap cocok dengan "ko­drat" mereka itujustru secara kualitatif didominasi olehkaum priadalam ver­si "resmi" sejarah kesusasteraan kita. Ke"aneh"an ini bukannya merontok­kan ketahyulan ideologis yang memilah-milahkan "kodrat" seseorang ber­dasarkan jenis kelaminnya. Atau membuat orang jadi curiga pada pemben­tukan versi "resmi" sejarah kesusasteraan kita. Malah kadang-kadang cen­derung diperkokoh dengan ketahyulan lain: dalam semua bidang kerja, kaum lelaki dianggap lebih unggul daripada wanita.

Dominasi kaum pria dalam versi "resmi" sejarah kesusasteraan kita dapat ditinjau dengan berbagai cara. Baik secara kuantitatif, maupun kuali­tatif.

Secara kuantitatif, dominasi kaum pria itu, misalnya, dapat diamati dari buku Leksikon Kesusasferaan Indonesia Modern, suntingan Pamusuk Eneste (1981). Dalam buku ini jumlah wanita dibanding pria yang dianggap penting dalam sejarah kesusasteraan kita adalah 1: 7. lumlah total orang Indonesia yang dianggap penting dalam kesusasteraan kita menurutcatatan buku itu 255 orang. lumlah ini mungkin lebih keeil daripada kenyataan yang sesungguh­nya. Dan ini diakui sendiri oleh Pamusuk Eneste dalam catatan "Pengantar" buku. Menurut perhitungan Claudine Salmon (1980: 10), jumlah pengarang Indonesia yang disebut-sebut A. Teeuw (1979) dalam Modern Indonesian Li­(erature22 adalah 284. Sekalipun Pamusuk Eneste (atau A. Teeuw) menambah lagi jumlah total tokoh kesusasteraan Indonesia yang hendak ditambahkan­nya, say a tidak yakin perbandingan jumlah (1: 7) di antara kedua jenis ke­lamin itu banyak berobah. Apalagijika Pamusuk (atau Teeuw) tetap memper­tahankan penilaian ala paham "universal"; mungkin rnalah ketimpangan perbandingan itu justru akan menjadi semakin parah.

Menyusutnya (seeara drastis pula!) jumlah relatif wanita (dalam perban­dingan dengan pria) pada pendakian jenjang prestasi kehormatan dalam seja­rah kesusasteraan Indonesia itu merupakan pokok kajian yang amat penting, tapi langka mendapat perhatian para ahli sejauh ini. Sambil menanti terbitnya hasil penelitian yang lebih mendalam tentang pokok itu, beberapa pertim­bangan sebab-musababnya dapat ditawarkan di sini.

22 Sejauh ini. buku tersebut lazim dianggap sebagai buku terlengkap tentang kesusas­teraan Indonesia moderen menu rut versi "resmi" ala paham "universal", yang salah satu cirinya adalah anggapan bahwa <;ejarah kesusasteraan Indonesia moderen itu berawal sekitar tahun 1920-an.

Mencari Kaidah ESfelika S

Ketimpangan pt puncak sejarah kesus; tidak seeara langsung besar wanita yang gi (setidak-tidaknya me usia dewasa. Yakni se setumpuk kerja rum menjadi dewasa! Hal alasan-alasan sosial-I Agnes S.H. Arswend( dengan pertanyaan: " menyusui?"

Terbelenggunya hari dan bertahun-tat musuk yang tersebut d an yang menyolok di 2

(1 : 7) dan perbanding cerpen (1 : 9). Tetapi u pria itu tidak tanggur jak, atau cerpen dapa terkait erat dengan pc asanya diselenggarak,

Ketimpangan pel cak sejarah kesusastel "sastra" itu sendiri. nilai "sastra" dengar kaum lelaki dalam kor wanita yang terus-mel rnasa hid up dalam pe sasi kesusasteraan yar dan terabaikan. Kary, dandinilai kurang/tid ahli sastra. Dianggap

Para penilai yan~ an") sebagian besar te

23 \lemang. secar dada untuk me' wani ta dalam rr tekanan serupa kan anak lebih yang terlebih dl anak-anak hin! lebih ban yak di kanan demikial

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Basis. Februari 1986

ra" di luar kelasnya. " mereka rei a menga­di bidang pasti-alam. ih tinggi daripada ija­(a tidak "adil", tetapi

!h". Bidang "sastra" p cocok dengan "ko­lkaumpriadalam ver­bukannya merontok­)drat" seseorang ber­curiga pada pemben­

I kadang-kadang cen-1a bidang kerja, kaum

lh kesusasteraan kita titatif, maupun kuali-

ya, dapat diamati dari ngan Pamusuk Eneste ang dianggap penting total orang Indonesia It catatan buku itu 255 taan yang sesungguh­catatan "Pengantar" 0), jumlah pengarang 'odem Indonesian Li­A. Teeuw)menambah lendak ditambahkan­.ntara kedua jenis ke­reeuw) tetap memper­I malah ketimpangan

vanita (dalam perban­hormatan dalam seja­in yang amat penting, lbil menanti terbitnya ItU, beberapa pertim-

erlengkap ten tang kesusas­am "universal", yang salah aan Indonesia moderen itu

.Hencari Kaidah ESlerika Sa5tru Kontekstual? 75

Ketimpangan perbandingan jumlah wanita dan pria pada puncak­puncak sejarah kesusasteraan kita itu mungkin disebabkan oleh hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan "sastra". Nampaknya sejumlah besar wan ita yang giat bersastra ketika berusia muda telah menghentikan (setidak-tidaknya mengurangi secara drastis) kegiatannya di saat menginjak usia dewasa. Yakni semenjak mereka menikah, beranak dan harus mengurus setumpuk kerja rumah-tangga secara non-stop hingga anak-anak mereka menjadi dewasa! Hal ini tidak harus diderita kaum lelaki, terutama karena alasan-alasan sosial-historis daripada "kodrat" alamiah. 23 Secara tajam, Agnes S.H. Arswendo (1976) menutup "Sajak Di Sembarang Kampung"nya dengan pertanyaan: " Adakah kau masih menulis puisil pada saat seharusnya menyusui? "

Terbelenggunya kaum wanita oleh beban mengurus rumah-tangga setiap hari dan bertahun-tahun mungkin ikut menjelaskan suatu hal lain. Buku Pa­m usuk yang tersebut di atas juga menunjuk kan bahwa tidak terdapat perbeda­an yang menyolok di antara perbandinganjumlah total tokoh wan ita dan pria (1: 7) dan perbandingan mereka yang menulis novel (1 : 5), sajak (l : 8), atau cerpen (1 : 9). Tetapi untuk bidang penulisan drama, perbandingan wanitadan pria itu tidak tanggung-tanggung (l :45)! Menulis dan menikmati novel, sa­jak, atau cerpen dapat dilakukan sendirian di rumah. Tapi penulisan drama terkait erat dengan pementasan drama, suatu dunia "luar-rumah", yang bi­asanya diselenggarakan malam hari.

Ketimpangan perbandingan jumlah wanita dan pria pada puncak-pun­cak sejarah kesusasteraan kita mungkin juga disebabkan oleh hal-hal dalam "sastra" itu sendiri. Yakni mapannya suatu proses sosialisasi gagasan dan nilai "sastra" dengan ideologi tertentu yang lebih banyak menguntungkan kaum lelaki dalam konteks sosial-historis kitakini. Mungkinjuga tidak sedikit wanita yang terus-menerus berkarya sastra, melewati mas a dewasa dan/atau masa hidup dalam pernikahan. Tetapi dalam jaring-jaring kekuatan sosiali­sasi kesusasteraan yang kini mapan, karya-karya mereka tergeser, tertampik, dan terabaikan. Karya-karya mereka dianggap kurang/tidak cukup bermutu, dan dinilai kurang/lidak memenuhi tuntutan nilai "estetik" para kritikus dan ahli sastra. Dianggap cengeng, pop, atau dangkal.

Para penilai yang paling berwenang dan berkuasa itu sendiri ("kebetul­an") sebagian besar terdiri dari kaum lelaki. Tetapi kenyataan itu sendiri tidak

23 Memang, seeara alamiah atau "kodrat" hanya wanita yang hamil dan punya buah dada untuk menyusui bayi. Tetapi ,ceara sosial-historis tekanan agar menikah pada wan ita dalam masyarakat kita kini masih jauh lebih besar daripadaUikadianggap ada tekanan scrupa) pad a lelaki. Tekanan pada merekayang menikahdan tidak menurun­kan anak lebih besar dibebankan pada wanita daripada pria (biasanya pihak isteri yang terlebih dulu dianggap " salah", karena dianggap " mandul' '). Dan pengasuhan anak-anak hingga menjadi dewasa tidak seeara alamiah atau "kodrat" harus lebih lebih ban yak dikerjakan wanita daripada lelaki. Baru belakangan saja, tekanan-te­kanan demikian mengendor, dan mengendor sedikit serta lamban sekali.

".

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

76 Basis, FI!bruariJ986

perlu menjerumuskan logika kita pada pemikiran seakan-akan dominasi pria dalam kesusasteraan kita hari ini merupakan suatu siasat yang secara sadar di­rancang dan dilancarkan segerombolan kaum pria belaka. Kenyataan domi­nasi kaum pria :tu lebih logis dipahami sebagai produk dari suatu proses se­jarah kemasyarakatan kita yang panjang, kompleks dan dinamis. Dan tak ku­rang dart kalangan wanita sendiri yang (juga tanpa sepenuhnya sadar) telah mendukung terbentuknya dan kokohnya dominasi kaum pria itu. Hal-hal ini dapat dianggap menjadi salah satu agenda penelitian kita masa mendatang, dan belul1l dapar diuraikan lebih panjang pada kesempatan ini.

Bagaimanapun, tata-nilai dalam kesusasteraan kita yang kini mapan perlu dikaji kembali secara kritis. Termasuk (tetapi tidak hanya) dalam kaitun denganjenis kelamin pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Karenaitulah pe­nelitian kualitatif terasa tidak kurang pentingnya daripada penelitian kuanti­tatif.

Secara kualitatiJ, dominasi pria dalam kesusasteraan kita dapat diteliti dengan cara/pendekatan yang berbeda-beda. Ada dua macam yang selama ini nampak banyak dikerjakan orang.

Pertama, terdapat sejumlah studi ten tang tokoh-tokoh wanita dalam karya-kurya fiksi baik yang ditulis oleh penulis lelaki maupun wanita. Asih Heryana (1981) mempelajari tiga tokoh wanita dalam karya-karya fiksi kita. Sri Rahayu Prihatmi (1977b) membandingkan tokoh-tokoh wanita yang di­ciptakan penulis fiksi lelaki dan wanita dan menyimpulkan bahwa para penulis fiksi lelaki lebih "bisa diandalkan mutunya". Carmel Budiardjo (1981) secara khusus mempelajari tokoh-tokoh wan ita dalam karya-karya fiksi Pramoedya A. Toer, dengan sejumlah pujian.

Kedua, sejumlah penelaah kesusasteraan meneliti kualitas "estetik" karya-karya fiksi oleh penulis wanita yang dibandingkan dengan mereka yang lelaki. Chung Yung Lim (1971) meneliti beberapa prestasi penulis fiksi wanita. Sri Rahayu Prihatmi (1977a) juga membahas mutu para penulis fiksi wanita, dengan kesimpulan bahwa mutu mereka "kebanyakan ... hanya berkisar an­tara sedang dan cukup". Kesimpulan serupa diberikan Jakob Sumardjo (1981) maupun Teeuw (1979: 176-179) dalam telaah masing-masing ten tang para penulis fiksi Indone~ia dari kedua jenis kelamin.

Dalam beberapa contoh di atas, misalnya telaah-telaah Sri Rahayu Pri­hatmi (l977a,b), Jakob Sumardjo (1981), dan Teeuw (1979: 176-182), kedua macam pendekatan di atas dapa! digabungkan. Pendekatan-pendekatan di atas bisa mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing, yang tak mungkin dibahas di sini.

Tanpa niat mengecilkan penghargaan saya pada sumbangan para penela­ah seperti tersebut di atas, saya akan mempertimbangkan suatu pendekatan yang berbeda. Saya tertarik memperhatikan beberapa ungkapan yang menon­jol dalam forum tingkat atas para tokoh kesusasteraan kita. Lewat ungkapan­ungkapan demikian dominasi kaum berpenis di Indonesia dinyatakan, walau mungkin secara "tak terasa" dan "tak teraba".

(Bersambung)

P.J. Suwarno

Nas F

Seminar tentang yang diadakan oleh M yaan Umum Basis pl September 1985 mer patkan nasionalisme I dimensi internasior pada dimensi regiol Maka makalah yang d lah Perkembangan N Eropa, Timbul dan i Nasionalisme Indone Relevankah Nasiona ini?

Tulisan ini dimaksl nUlis untuk mengeml uneg" yang tidak kesc forum diskusi karel waktu yang ditawarkal serta. Seperti dikernuk finisi-definisi nasion ternyata ada dua jeni~ kalau ditinjau dari ur nya, yaitu di satu piha keinginan, kebaktian IBin pihak unsur elogrr Nasiona!isrne golon rnenggerak.kan sekel mencintai. mengingir bakti terhadap sesuatl kelornpok orang tersE sungguh menyatukan isma golongan kedua r sekelompok orang me tah dari dogma ataupu diajarkan oleh seorar pun oleh organisasi. dua itu tidak menyatul disatukan dirinya. golongan pertama bE kratis, sedangkan

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>