membingkai rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/kumpulan-puisi... · kita...

114
Membingkai Rembulan

Upload: others

Post on 06-Jul-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Membingkai Rembulan

Page 2: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

Tentang Hak Cipta

1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin

Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin

Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Page 3: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Kumpulan Puisi

Membingkai Rembulan

Figuran Triyoga Lilik Nuzuliana

Raja Iqbal Widya Alfan

Yusnita Larashati

RUANG SASTRA Gresik 2018

Page 4: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Kumpulan Puisi

Membingkai Rembulan Copyright © Ruang Sastra Gresik

Figuran Triyoga, Lilik Nuzuliana, Raja Iqbal, Widya Alfan, Yusnita Larashati

Penyunting & Penyelia: Abizar P. & Nizar R. Gambar sampul & ilustrasi: Irni Resmi Apriyanti Diterbitkan oleh PAGAN PRESS Dusun Tanjungwetan, RT/RW 001/001 No. 35 Desa Munungrejo, Kec. Ngimbang, Lamongan Telp.: 081-335-682-158 E-Mail: [email protected]

Cetakan I, Desember 2018 Ruang Sastra Gresik, PAGAN PRESS, 2018 106 + viii hlm.; 13 x 20 cm ISBN: 978-602-5934-35-3 1. Sajak. I. Ruang Sastra Gresik Isi di luar tanggung jawab percetakan Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved

Page 5: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Meruang dalam sastra Bagi siapa saja

Page 6: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

DAFTAR ISI Mezzaluna -1 FIGURAN TRIYOGA

- Raut Rembulan -2 - Lamunan -3 - Derai-Derai Kegusaran dalam Gelap yang Mengikis

Waktu Tidurku, lalu Terjebak Ingatan tentang Gemulai Tarianmu yang Mengundang Hasrat Canduku, dan Elok Rautmu Masih Terngiang di Kepala hingga Membuat Jutaan Syairku Tertahan di Kerongkongan, hingga Tak Pernah Tersirat Tersurat Padamu -4

- Alchemist -5 - Kebutaan Cinta -6 - Literasi 4 Pagi -7 - Pria Hujan -8 - Insomnia -9 - Asphyxia -10 - Kalut -11 - Rakit Tak Berdayung -12 - 13 -13 - Futari -14 - Lembayung Pergi -15 - Puncak -16

Menanti Nafsi, Mendinginkannya -17 LILIK NUZULIANA

- Biarkan Aku Terjebak di dalam Hutan Kerinduan -18 - Hari Keenam -19 - Izinkanlah Aku Mencintaimu dalam Diam -20 - Kaktus -21 - Kata, Musik, Nostalgia -22 - Kepelikan Rindu -23 - Kota, Kamu, dan Kenangan -26 - Pagi Bertanya -27

Page 7: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

- Pengatur Masa -29 - Pulang -30 - Rapuh -32 - Sendiri -33 - Sungai Air Mata -34 - Tangisan Perjuangan -36 - Terlampaui Batas -37

Kerak Keretak -38 RAJA IQBAL

- Pertemuan -39 - Bidang Tanah -41 - Manggarai -42 - Tol -43 - Terseret -45 - Metamorfosis -47 - Teror -49 - Memintal Kenangan -51 - Semarak Penyair -54 - Tumbuh di Batu-Batuan -56 - Perhitungan -58 - Aku Belum Menemukan -60 - Iklan Makin Ada-Ada Saja -62 - Belajar menjadi Jawa -64 - Kisah Jalan Hidup -65

Selaku Luka -67 WIDYA ALFAN

- Pendosa-Pendoa -68 - ? -69 - Aku Datang Lagi -70 - Poliandri -71 - Avonturir -72 - Duka di Selatan -73 - Menyongsong Hari -74 - Muhasabah -75 - Hakikat -76

Page 8: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

- Menanti Generasi -77 - Pengasingan -78 - Kekasih Tuhan -79 - Maaf, Taz -80 - Cekrek -81 - Perserikatan -82

Dari Dongeng-Dongeng -83 YUSNITA LARASHATI

- Jeritan dalam Tempayan -84 - Pemakan Bangkai -86 - Perajut Kegelapan -88 - Platonisme -89 - Filsafat -90 - Sun-Believable -91 - Pemantik Sepi -92 - Opto Ergo Sum -93 - Aubade Janji Pagi -95 - Himne Malaikat Senja -96 - Rekuiem Malam -97 - Relikui Kekayaan -98 - Prameswari Banyu Bumi -99 - Bukan Pengantar Tidur -101 - Apel Pembawa Petaka -103

PARA PENULIS -105

Page 9: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 1

Mezzaluna FIGURAN TRIYOGA

Page 10: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

2 / Membingkai Rembulan

RAUT REMBULAN Raut keheningan. Menggugah jiwa-jiwa yang hendak merebah. Rona beriringan gemintang Perlahan membuai mata-mata: Lelah Bak sebuah kalam penuntun harapan, Dosakah jikalau tanganku hendak meraihmu? “Tuhan, aku jatuh hati pada cahaya malam-Mu.”

Page 11: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 3

LAMUNAN Adakah sajakku yang pantas untuk membuai sanubarimu? Adakah sepenggal larikku yang mampu merenggut jiwamu? Sedangkan kehadiranmu adalah puisi-puisi cinta yang telah merakit kembali puing hatiku yang semula remuk oleh masa lalu.

Page 12: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

4 / Membingkai Rembulan

DERAI-DERAI KEGUSARAN DALAM GELAP YANG MENGIKIS WAKTU TIDURKU, LALU TERJEBAK INGATAN TENTANG GEMULAI TARIANMU YANG MENGUNDANG HASRAT CANDUKU, DAN ELOK RAUTMU MASIH TERNGIANG DI KEPALA HINGGA MEMBUAT JUTAAN SYAIRKU TERTAHAN DI KERONGKONGAN HINGGA TAK PERNAH TERSIRAT TERSURAT PADAMU Sedemikian rupa sudah kusampaikan gundah dalam sukmaku, salam!

Page 13: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 5

ALCHEMIST Tiada kehampaan yang hendak menjadi riuh Jika tiada nyanyian yang merayu Tiada kayu yang hendak menjadi abu Jika tiada api yang melalapnya tanpa ragu Kita adalah lemah yang tak mau tahu Membungkam pancaindra, dan meragu.

Page 14: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

6 / Membingkai Rembulan

KEBUTAAN CINTA Bila benar Cinta akan membawa kau dan aku dalam kebutaan, Maka biarlah kasih, Kau dan aku, saling mencari dalam gelap Saling menuntun dalam kesunyian Tersesat berdua dalam kehampaan Biarkan saja kasih, Siul-siul angin yang menerpa dedaunan itu Perlahan mengikis ragumu Dan rembulan yang kian meninggi, Akan menjadi pijar yang menyudahi kebutaan cinta itu sendiri

Page 15: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 7

LITERASI 4 PAGI Dini hariku, kian rancu Setibanya ingatan kecil tentangmu Datang dengan begitu mendayu Selayaknya irama yang menuntun tarian penaku Ia begitu riang Kala menjabarkan sorot matamu di atas kertas buku Tanpa peduli apa makna tatap matamu padaku di hari itu.

Page 16: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

8 / Membingkai Rembulan

PRIA HUJAN Dengan telapak kaki telanjang Pria itu, berlari menyapa langit muram Langit yang tengah berpangku tangan pada sang hujan. Pria itu, diam termenung di antara rintiknya yang menggebu Tak seorang pun dapat menerka, Sukacita ataukah sebaliknya yang tengah ia rasa Rautnya hening, “Mungkinkah pelangi yang ia cari?”

Page 17: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 9

INSOMNIA Puan mencoba pejamkan mata Mencampakkan gulita, lekas beranjak ke alam fana Ruang-ruang kedap hendak merangkai mimpi Namun karsa seolah tak ingin mengamininya. Puan risau, Karena sepercik ingatan. tentang jemari yang sempat mematahkan tangkainya kemarau yang dulu tanduskan bunga di tamannya juga tentang hati yang mengekalkannya apa itu luka. Puan terjaga, Berbaur dengan seisi kepala Perlahan mulai menguras habis kelenjar air mata Puan melebur melintasi malam Menelisik hati sendiri dan meramu ketabahan.

Page 18: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

10 / Membingkai Rembulan

ASPHYXIA Sesak

Belenggu peradaban perlahan kian menelisik amarahku, Kala waktu kembali pada saat ia curi separuh nyawaku Entah apa yang kujadikan alasan Hingga sampai saat ini aku masih bertahan dan bersembunyi di balik senyuman. Dan tibalah aku pada lelah akan kenyataan Manakala ia renggut bahagia yang seharusnya kurasakan Dengan congkak ia meretas asa yang sudah kurajut dalam keikhlasan Bukankah ini terlalu menyakitkan untuk sebuah rasa kehilangan?

Page 19: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 11

KALUT Dipaparkannya mata-mata surgawi itu Bak ujung tombak yang menghunus kalbu tak berzirah Penghakiman semesta telah dimulai Dilantunkannya lagu-lagu ketuhanan Yang terlihat hanya jejak kebenaran yang kian semu Terpaut pada ketentuan baku Semua bernyanyi, menggebu Dan melupakan air mata darah yang sedang bicara

Page 20: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

12 / Membingkai Rembulan

RAKIT TAK BERDAYUNG Terjebak di tengah lautan hampa Pasrah akan raga yang terombang-ambing oleh ombaknya Tanpa tahu pada siapakah hendak berjaga Tiada dayung yang akan menuntun ke tepi Pasang surut kian menggoyahkan iman Berharap topan datang dan menghempasku ke tepian Sungguh, aku ingin melipir sejenak.

Page 21: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 13

13 Kilas balik, Saat malam menyingkap tabirnya, aku datang. Memikul harapan dari rahim yang kutinggalkan Telanjang, dan tanpa kesiapan. Sedikit demi sedikit, waktu menjabarkan seperti apa dunia tempatku berperan Tapi, aku terlalu bebas untuk ada dalam satu ketetapan Menolak segala titah dan tumbuh sebagai anjing tak bertuan. Selalu ada, Berulang kali hati mulia datang menjinakkan Namun keras kepala tak terhentikan Membawaku kembali dalam kesendirian. Sudahlah, Aku hanya binatang penyendiri terlahir dari kegelapan malam yang sunyi Dan keangkuhan-lah teman terbaikku saat ini

Page 22: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

14 / Membingkai Rembulan

FUTARI Berdua

Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di atas kepala Kadang kala, terpikir jika waktu tak usah lagi berjalan Biarkan sampai di sini saja. Agar tak perlu lagi berpisah dan menanti esok hari untuk kembali bersua Tanpa peduli bahagia atau tidaknya dirimu saat kita bersama. Adakah keluh kesah yang sudah lama kau pendam dalam dada? Tuturkan saja, akan kusimak semua layaknya orang bijak di luar sana. Percuma menjadi satu tanpa hati yang saling terbuka Aku ingin kita benar-benar berdua Dan berbagi apa yang kita rasa.

Page 23: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 15

LEMBAYUNG PERGI Dititipkannya secercah cahaya surya, Pada jiwa yang terbakar kecantikannya Pada doa yang berharap bisa menatapnya lebih lama Lalu menyerah ditelan gelap, tanpa asa Mega yang semula ranum Menghitam seiring kepergiannya Salam akhir darinya Pada mereka yang jatuh cinta

Page 24: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

16 / Membingkai Rembulan

PUNCAK Pasang mata yang menua Begitu dekat pada cakrawala Bibir kering nan pucat Tak henti memuja-muja mega Hela napas terengah-engah Kala menembangkan rasa syukur Peluh yang bercucuran bukan harga mahal

Untuk mahabesar karya-Mu.

Page 25: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 17

Menanti Nafsi, Mendinginkannya LILIK NUZULIANA

Page 26: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

18 / Membingkai Rembulan

BIARKAN AKU TERJEBAK DI DALAM HUTAN KERINDUAN Malam Aku masih terjaga di dalam ruang hitam Raga dipenuhi balutan sunyi temaram Tiada ingar-bingar alunan menghantam Semakin malam, semakin suram Bertambah samar, bertambah debar Ular menggeliat mendera raga, membawa racun kegundahan Malis; patetis; menghipnotis Serigala melaung menusuk telinga, bersenandung lagu kesayuan Melankolis; tangis; miris Harimau menggeram mencakar pikiran, menembus luka kesakitan Perih; pedih; merintih Begu-begu menghampiri menghantui jiwa, menjelma menjadi sosok yang kurindu Takut; kusut; berkabut Tolonglah diri ini Terbawa hingga bawah sadar Terbaring lunglai layaknya orang mati Namun tak ada satu pun orang yang sadar Bahkan orang yang kurindu pun tak kunjung menghampiri

Page 27: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 19

HARI KEENAM Jelang senja Berkabut kalbu Antara bahagia dengan gulana Wahai, pemikat rasa Apakah kau di sana pun merasa? Bahwa di balik wajah berseringai Ada hati yang tengah berderai Entah kenapa Setiap hitungan hari keenam Mulai lahirlah rasa tanpa rencana Diri ini harus apa? Aliran air mata? Sungguh tiada gunanya Rentetan rasa itu begitu bersedu parah Alunan piano, melankolis Membawa pikiran ini ke memori lampau Di kota nan telah nyaman untuk menyimpan kenangan Menyiksa kalbu tak berdaya Merasakan rasa nan tak seharusnya diri ini rasa

Page 28: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

20 / Membingkai Rembulan

IZINKANLAH AKU MENCINTAIMU DALAM DIAM Sejak pertama kali ku melihatmu Entah mengapa hati ini bergetar Aku tak memperlihatkan rasa ini Kepadamu yang tiap hari tergambar Di setiap lamunan malam meredam Hati ini tak bisa ditipu dan sungguh Rasa ini tercipta hanya untukmu Bahagia melihatmu dari kejauhan Jua bahagia bila kau bersama yang lain Aku bukanlah dia yang kau cinta Tersenyum getir mulai terbentuk di bibir Aku harus apa dengan rasa yang Terkutuk lama tersimpan lara? Menghapus rasa ini? Rasanya tak kuasa Karena lama berjuang, lalu sekejap hilang? Aku akan selalu menantimu dalam setiap sang doa Perkara jawaban? Biar Tuhan yang menyimpannya

Page 29: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 21

KAKTUS Tiada kata pupus Layaknya kaktus Yang ada hanya kata harus Kendati hidup di ladang penuh tandus Harus tetap dapat berembus Kendati terik matahari kian berderus Harus tetap tak mengaus Manusia alegori kaktus Harus dapat berjuang hidup penuh ambisius Kendati hidup kian dipenuhi sebongkah dubius Harus dapat pantang mampus

Page 30: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

22 / Membingkai Rembulan

KATA, MUSIK, NOSTALGIA Dalam deretan kata Yang tak pernah terduga Tertulis sebuah sajak Yang berbicara Dalam alunan musik Yang tak pernah terusik Terdengar sebuah lirik Yang mengerti Dalam kebun nostalgia Yang tak pernah terlupa Tersentuh sebuah rasa Yang melara

Page 31: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 23

KEPELIKAN RINDU Sudah sewindu Hati ini tak hentinya merindukanmu Pikiran ini tak penatnya memikirkanmu Wajahmu membayang di setiap lamun sendu Hayat jumpa hanyalah secercah ilusi Nan terus kuharapkan Terus-menerus kurakit Namun tak kunjung berdiri gagah Bak bangunan tak berfondasi Jatuh, lunglai, runtuh Mengapa meredam rindu saja menyiksa? Meredam rindu padamu, tak sepantasnya kurindu Dirimu, tulang atas beban perjalanan Dirimu, rusuk atas nama cinta Dari pengawal hingga pengujung tahun Dari musim kemarau hingga penghujan Dari terang benderang hingga gelap gulita Penantian panjang perkara secarik kertas penamu Tak kunjung kugenggam Resah, sedih, sengsara, amarah, namun tetap merindu Segala gundahan hati telah ditakdirkan singgah tak pergi

kerap tumbuh karena dirimu Berkumpul satu dalam dasar hati Maka, mengertilah Ku selalu bahagia dengan sebongkah angan Angan menjalani hidup, bersamamu Memadu kasih menuai cinta Merayakan pesta kerinduan hanya berdua

Page 32: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

24 / Membingkai Rembulan

Ku selalu terlarut dalam pelukanmu Seolah-olah dekapku segenap kenyamanan Hingga tenggelam dalam cintamu Namamu, selalu kusebut dalam sujud Setiap akhir malamku Merayu Tuhan agar perjumpaan denganmu

kunjung menjadi bayan Tuhan berkehendak, maka terjadilah Ia membawa secarik kertas pena, tak kuduga Bahwa kau dengan diri ini ditakdirkan untuk berjumpa Kuterperanjat terbawa kebahagiaan Almanak mengalirkanku pada Juli yang kembali Kepada manusia yang menenggelamkan di laut kerinduan Yang telah menari-nari di atas sang sastra Bukti bahwa kusungguh-sungguh tengah merindu Tetapi Kau membengkalaikan diriku begitu saja Seakan aku tiada di sampingmu Kularut dalam kesendirian Sembari mendengarkan musik kereta api Anganku selama ini keliru Kau berubah kaku ibarat air, membeku Kau dingin menakutkan hingga aku tak mengerti apa di balikmu Gelagatmu acuh tak acuh Bincangmu juga rancu Membuat kubertanya-tanya Apa ini balasan untukku? Mengapa kau berubah tak seperti sewindu suntuk?

Page 33: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 25

Apakah kau sungguh-sungguh tengah melupakan diriku? Apakah ada orang lain telah menduduki hatimu selain aku? Apakah kau sedang terpenjara oleh beban berat yang enggan kutahu? Hati ini tenggelam hingga ke dasar laut nestapa Tubuh ini bak dipukul oleh cambuk kenyataan

berbalik dan sungguh menyakitkan Dalam keramaian layaknya dalam kesunyian Berada di sampingmu kurindu, namun layaknya di samping yang asing Lalu, berderailah Menangis dalam ratapan harapan, semu Lalu, berkhayal-lah Bahagia tanpa dirimu bak gila sendiri Kini Kusendiri, kendati nampak wujudmu, samar Terduduk dengan kenyataan yang berbalik Dengan rasa rindu yang pelik Semakin berbalik Semakin pelik

Page 34: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

26 / Membingkai Rembulan

KOTA, KAMU, DAN KENANGAN Katanya Kota itu dihiasi kesejukan Tapi bagiku Penuh polusi Kita berada di permadani racun ratusan persegi Katanya Kamu sosok menyebalkan Tapi bagiku Kau hadir membawa bah’gia Kataku Kota dan kamu itu fusi Tak seorang mampu memisahkan Di antara keduanya, terbelit kenangan Yang tak bisa dijabarkan dengan deret kata Yang tak terlupa, yang menumbuhkan rasa

Page 35: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 27

PAGI BERTANYA Kepada bentala Hujan awan selesai mengeluarkan amarah Lalu, ia lega dan gembira Aku merasakan lega-gembiranya Terpancar jelas oleh pelangi indah megah Warna-warninya berteguh, cipta rasa damai Tanpa tinggi hati, saling melengkapi Malam suntuk berganti ufuk fajar Matahari terbit seolah berseri, hangat Layaknya memberi dekapan penuh rasa tenang

kepada sang sukma Burung berkicau merdu, lantunkan alunan impian

bagi sang kalbu Awan biru cerah melukiskan hujan mata penuh sukacita

terseduh kerinduan Bunga bunga mekar bersemi membawa sejuta

makna keindahan Keindahan yang terbangun berkat buah tangan

para peronta Kupandang sebongkah mimpi membubung

menggantung ke angkasa Bersama kilauan cahaya mentari Kunapas, kubiarkan se-bahara Lepas sepadi demi sepadi Terpejam mata, terseringai arti Percaya bahwa ada kebahagiaan

menanti nafsi, mendinginkannya Sebongkah mimpi kian menyapa tiap pagi Tiada henti mengundang gelora jingga

Page 36: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

28 / Membingkai Rembulan

Tiada perih suarakan tekad naluri Tiada usik cetuskan tanya: “Wahai diriku, masih adakah celah menggapai sebongkah mimpi?”

Page 37: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 29

PENGATUR MASA Aku ini pengatur masa Memutar balik masa Sesuka hati Hingga tiada kata Penyesalan Aku ini pengatur masa Memutuskan menetap di masa kini Sebahagia jiwa Hingga tiada kata peluh di antara dahulu dan kelak Aku ini pengatur masa Melompat berpijak ke masa depan Semampu raga Hingga tiada kata penasaran Dan ragu Aku ini pengatur masa Tercipta untuk sekadar ilusi Tentang masa lalu-kini-nanti Sebagai pengatur masa Aku bahagia dengan seuntai kenangan Bersyukur akan nikmat-Nya Berjerih payah demi perubahan Dan akulah pengatur masa Hanya aku dan Tuhan Mengetahui rahasia Di balik masa

Page 38: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

30 / Membingkai Rembulan

PULANG Sebuah pikiran tinggal membungkam di kepalaku Membawa secercah angan menghantu Kapanpun, di manapun, tak peduli Sampai tiba masanya Angan itu berubah menjadi awan-awan Mereka tergambar di lukisan kusut, pernah ada! Menceritakan gundah gulananya Memperlihatkan senyum bahagianya Menyembunyikan hujan matanya Mendoakan insan dalam sepinya Namun, semuanya telah menjadi kenangan Yang singgah dalam hati dan pikiran

terpaku dan terpana panah Dalam raga terkujur lunglai tak daya Memasrah temui pengujung perjalanan kehidupan Memohon keikhlasan sebuah kata: perpisahan Jumat tiga puluh satu di sabit yang lalu Dalam untaian suka, namun susah Kamis empat Juni di serabut waktu Dalam untaian bahagia, namun tersiksa Meninggalkan sejuta jejak nostalgia Suci penuh keteladanan Setidaknya Diri ini mampu merasakan sebuah firasat Bahwa mereka kucinta, tiada Tak hadir kembali di antara sejuta keajaiban Yang tak kunanti Tak pernah terlintas

Page 39: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 31

Kini Masa-masa indah bersamamu Telah punah pada khatamnya Mencoba merakit ikatan, luruh Meninggalkan deraian air hujan, basah Menorehkan sayatan luka, membekas Lalu Mulailah mekar untaian rindu Untaian rindu nan menggebu nggebu Untaian rindu nan berkecamuk Untaian rindu nan mustahil terbayarkan Semakin dalam Semakin kelam Ku tertegun menyadari Bahwa ini adalah awan-awan yang tak kuharapkan Namun, kini telah sungguh terjadi Tinggalkanku agar selalu mengingat dan mendoa Meyakinkan diri ini bahwa akan ada sejuta keajaiban menanti Aku dan mereka berjumpa kembali Berjumpa di lain ruang Berjumpa di lain masa Berjumpa di lain suasana Pulang Telah tiba masa kalian untuk pulang Pulanglah dengan tenang Pulang ke rumah yang telah menanti Bersama lembar suci menyelimuti sekujur raga Kualirkan setiap alunan ayat-Nya nan indah Menjemput kalian saat masa kutiba kelak: “Selamat jalan!”

Page 40: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

32 / Membingkai Rembulan

RAPUH Aku layakya dedaunan kering, lemah, berkeping-keping Tak lama, ku diterpa kencangnya angin Lalu Goyah dan akhirnya jatuh tak berdaya Terkujur lunglai di atas yang raya ini

Page 41: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 33

SENDIRI Sendiri Kata yang tak berfrasa Memiliki pasangan adalah hal yang fana baginya Berdiri dengan penuh pengorbanan, tanpa bantuan Seperti anak yang kehilangan induknya Jua kehilangan deretan kalimat pengembang Tak memiliki kesatuan kemajemukan Bahkan, semu akan kejelasan gagasan Kata penghubung? Akankah ia mengenalnya? Morfologi? Apa gunanya? Ya, jangan ditanya lagi. Ia benar-benar sendiri. Bila kau bertanya apa sebab ia menjadi ‘sendiri’? Justru ia enggan menjawab, berat sekali rasanya. Sendiri Bagai aku, tanpa kehadiranmu Tak berjalan biasa telah biasa kujalani Setelah tragedi yang tak pernah kuinginkan

tiba-tiba terjadilah ia Hati hampa penuh kosong kerap menyambar Yang tersisa hanya:

Suaramu yang bingar melengking kaku Bayangan wajah temarammu gerogoti pikiran Kenangan indah bersamamu memilu Buta

Page 42: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

34 / Membingkai Rembulan

SUNGAI AIR MATA Bunga penuh sayatan Kertas penuh coretan Yang ‘ngingatkan Kepada sebuah kenangan Bunga penuh sayatan Kertas penuh coretan Yang terjaga serupa nyata Yang terselimuti janji, hampa Aku linglung Aku bambung Aku kian pandir Dan tertipu Dalam angan, kau seorang pahlawan Singgah dan menyelamatkan Dalam bayang, kau seorang bajingan Kediryahanmu tak terampunkan Kau memandangku Tenggelam Di dalam sungai air mata Tersesat Dibawa arus deras pekat Bernaung dalam ombak Mencoba bertahan Dan berkata:

“Pergilah, pergi!” Tangis dalam harapan Terenggut dalam nestapa

Page 43: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 35

Tenggelam, hanyut, dan terdampar Cinta dalam ratapan Harapan dalam angan Di deras sungai air mata

Page 44: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

36 / Membingkai Rembulan

TANGISAN PERJUANGAN Di keheningan malam Ada hati tak henti mendekam Perkara kebun harapan mencekam Ada pikiran tak henti menyelam Hingga tenggelam dibawa arus terdalam Di keheningan malam Bintang gemerlap: sang saksi perontaan Bulan benderang: makna rentetan kata Langit temaram: maksud jeritan kalbu Hujan deras lampiaskan seluruh amarahnya kepada bentala Suara gemuruhnya kasar meriuh Memecah hening malam, tenteram Maka Biarkan lisan ini melontar laungan impi Biarkan wajah ini dibasahi derai tirai hujan Biarkan kaki ini melangkah kabirkan perubahan Ku menengadah memandang langit malam, hitam

dipenuhi jatuhan air hujan Dan seberkas harap terbang membubung ke langit-langit impian Kupejam mata sembari menangis dan berangan Seandainya mimpi diizinkan oleh Tuan Tiada kata yang mampu kuucap

selain ode syukur mendalam Aliran air mata tak sanggup kutahan Benar-benar kupeluk erat Wahai, juang-juang yang tertangiskan

Page 45: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 37

TERLAMPAUI BATAS Garis suntukku sudah melampaui batas Hampir saja aku menjadi orang tidak waras Biarkan aku dengan diriku tertawa lepas Tak peduli kendati berada di antara ramai Entah apa yang sedang berjingkrak di pandora pikiran Mencipta tawa yang tak sebenarnya tanpa makna Memang, cara ini sebagai penglipur

sekaligus pelampias Bahwa tiada seorang pun yang

merasa iba Mereka pikir aku sedang berada di titik normal Tapi sebenarnya aku sedang berada di titik paling tinggi

dengan suhu terpanas mendidih berkepul-kepul

Mereka pikir diriku cakap melewati semuanya Tapi sesungguhnya diriku ingin melontarkan jeritan keras

sekeras-kerasnya hingga titik penghabisan

Mereka pikir di dalam kalbuku tak ada satu celah meretak patah Tapi kenyataannya di dalam sang kalbu ada banyak retakan bercelah

berisi genangan hujan air mata

Dan kau, dan kau. Akankah rela menjadi bendung hujan mataku yang tak mampu diserap oleh akar kalbu hingga meluap-luap tak ada ruang menampung ranggas hatiku?

Page 46: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

38 / Membingkai Rembulan

Kerak Keretak RAJA IQBAL

Page 47: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 39

PERTEMUAN Hembus angin selatan-utara bertemu. Dapat kubayangkan pertamuan sapamu. Dengannya, yang terlampau langkah batuan antarkota. Ah, biasa. Pemuda-mudi terlebih lincah, tua-tua penuh waspada. Tagih hak atas kewajiban-kewajiban yang macet di meja kerja. Mendekati bulan curiga. Periksalah pakaian puan, lain hal hati dan pikiran.

Pastikan. Tak ada noda tumpah,

Kau kan di duga-duga angkara. Semalam suntuk, sekian pemuda merumus nilai-nilai. Jarum merah di dinding. Berdetak tak biasanya, seirama degup jantungmu, gugur merasuki jiwa? Pertemuan, kau di antara sekian pemuda bercuitan. Menyerbui pagar amar. Serba-serbi semerbak persekutuan di pangkuan perkotaan. Dalih. Sorak-sorai semacam pesta anggur darah para pemabuk. Tetua antara puak-puak melempar pandang, menyisir setiap jengkal sekat-sekat, daya pertahanan. Lalu, Pekik menanduk pelamun. Lembayung panji menjubahi dirinya, kian kentara. Semangat membuncah, menguras daya. Aku merasa, seolah ada darah yang mengalir perlahan melewati ruas pori dalam tubuh segenap insan, membanjiri jalanan. Seketika pula merah mereka, sepenuhnya!

Page 48: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

40 / Membingkai Rembulan

aku terkagum, ia yang hidup aku decak, ia yang melangkahi sejengkal malam namun, kujemui mereka, menyelami persekutuan sebagai gaya hidup! Kian bertabur Menjamur!

Page 49: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 41

BIDANG TANAH Bidang tanah belakang rumah, menyisahkan runtuhan. Angkut sisa-sia, menjadi buah waktu Menguras daya serta mengeringkan keringat basah. Bidang tanah belakang rumah, mengeruk ingatan. Aku menyapanya, bisa jadi apa saja ia. Duh, hidup tiada lain prosesi pengulangan peristiwa lainnya. Bidang tanah belakang rumah, aku memisahkan paku-pakuan liar tertinggal. Bidang tanah belakang rumah, berubah jadi etalase atau gedung kota polutan. Bidang tanah belakang rumah, menimbulkan bunga-bunga taman. Bidang tanah belakang rumah, dapat menjadi hutan. Bidang tanah belakang rumah, pertemuan angin barat dan timur, mengubahnya asri pedesaan. Bidang tanah yang terpampang kupandang, berubah jadi kuil, gereja, dan masjid. Bidang tanah belakang rumah berkerak! Menjelma jalur perkotaan beserta marka lalu-lintas. Bidang tanah belakang rumah yang basah, menggerus kisah-kisah menuju muara, tak karuan di dada. Bidang tanah kuakrabi adalah diriku, akar alam kehidupan. Bidang tanah terjaga adalah dirimu, dari tamu-tamu petaka, tapi kau bebas berpindah halaman depan atau lainnya. Sebab, kau penjaga peradaban-peradaban! Sebab, antrean chairil cukup panjang, bidang tanah harapan: pertemuan butuh perhitungan dan persiapan.

Page 50: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

42 / Membingkai Rembulan

MANGGARAI Berkereta di Manggarai, ‘ngingatkan malam darurat, malam bahaya. Satu rangkaian paling rahasia Di sini Sempat, suatu kali luar biasa. Satu langsiran menembus kegelapan menyatu bersamanya. Keretak langkah dan napas sengaja disembunyikan, dikejar ancaman.

Menuju Jogja, tak ubahnya menemui impian

disertai doa kenyataan: membuka gerbang segala gerbang segala gegas mengembang,

lepas dari kungkungan penjajah, semestinya. Manggarai saat ini riuh dan pucat tertumpuk keributan atau kesemrawutan ibu kota. Manggarai menjadi catatan. Orang-orang lalu-lalang, kuda harapan keadaan.

Page 51: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 43

TOL Jalan tol semakin tampak jadinya, menduduki tanah-tanah perjaka. Menembus jarak aku dan kau, tak lama lagi. Namun, Aku nikmat tak sepenuhnya, roda dua dilarang berbagi kegembiraan, kepentingan bersama? Sudahlah. Sebelum debu kapur yang tak kunjung diguyur, truk muatan lalu-landang. Keresahan bertebaran sesukanya dan makin macet jalan pedesaan, aspal tetas meliuk tak karuan. Kabar gempa tersiar di media, benar nyata tumbuh di kalbu. Sebegitunya? Ya, ketika punggung bumi tertimpa beton dan pakuan tol menggetarkan perkampungan. Telah cukup berhitung jarak rumah-rumah yang kalah, dari hujaman pembangunan, menghabisi kisah di balik rumahnya yang kini penuh keresahan. Sia-sia, isi saku datang dari petugas membagi rezeki, kabarnya. Aku melamun, antara iba dan amarah bersarang kepada siapa? Sebab, berapa diantaranya terlibat dalam proyek yang tak membutuhkan jari perhitungan ditamatkan oleh bocah kelas lima sekolah dasar, sekitar seratus meter jarak menuju rumahnya. Berdampingan dengan truk-truk muatan, terkadang lupa ukuran injakan pedalnya. Debu kapur, debu pasir, debu karat, debu asap menebali muka, menyesakkan napasnya. Ia

Page 52: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

44 / Membingkai Rembulan

seolah menyimpan umpatan, jala bertuan yang ragu dilemparkan. Di sini puisi mati, sebagian bunyi di jalan sampai bernada, melahirkan puisi. Bayang-bayang kengerian memenuhi pikiran, laju yang kini tak tahu diri, segera siap berkejaran lajur cepat tol antarkota-provinsi. Mengusik nyenyak lautan mimpi. Pemuda desa yang mulai terbiasa pada deru, mengaisi waktu. Aku melahirkan puisi, membekali diri bertamu.

Page 53: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 45

TERSERET Mengagumimu adalah satu keheningan menghadirkan kesunyian bernama ketabahan. Bila saja kau mau menyibak dan teliti melihat persoalan rasa antara aku dan kau, wajahmu-lah yang terpampang dalam dinding-dinding dadaku. Pertemuan kita belum berharga, namun, tatapan kita berkakuan tegas, meneguhkanku bahwa kau layak untuk ditemu. Perlu disadari Memilikimu bukan tanggung jawabku sebagai manusia, jalur lain menjadi kita ialah kewenanganku di dunia. Aku tak peduli orang berkata, aku ini bagaimana, aku ini mengapa dan kenapa? Mengikuti alur yang tanpa sengaja kau cipta dan kau tak mengerti maksud-maksudku pula. Sebab pertemuan, memang sebuah keganjilan yang tiada sangka. Umumnya orang mengagumi siapa yang berlagak singa mimbar, tapi ini lain persoalan. Si singa mimbarlah mengagumi mata yang terselip berjuta mata. Entah, mengapa dari sekian mata hanya kau yang mampu menumbuhkan reaksi batin luar biasa. Bolehkah aku menamaimu bunga jalanan? Perjalanan menemuimu adalah wewangian asmara. Di tengah malam yang sunyi, aku terjerembab dalam kubangan mimpi. Suatu mimpi seolah suri, kau yang telah terkubur dalam ingatan. Sebab kali ini tak peduli persoalan atas nama cinta! Begini mimpi itu: Menyisir belukar di antara bukit dan tanah berkapur. Sedikit bergidik, warna kunir membumbung mencakar-cakar kegelapan malam disertai letupan senjata. Aku memperkirakan angka 65 di tahun yang suram.

Page 54: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

46 / Membingkai Rembulan

Dalam mimpi itu, tujuanku mengemasi buku-buku yang kutitipkan seorang. Kisah yang kualami itu sedang berkecamuk, letupan seolah menembus tubuhku. Meski, ku tiada berpihak! Keadaan tak menentu siapa saja diburu! Peristiwa itu berjalan sangat cepat, begitulah alam mimpi yang membuat pusing. Tiba-tiba saja aku terseret kemauan di antara gerombolan mesin pembakar dan pembunuh. Seketika, keberadaan berpindah dan berubah-ubah. Aku bertemu buku-buku yang kutitipkan ke seseorang, rupanya ia wanita. Terheran-heran kumaklumi, keadaan tak mengenal siapa. melihat buku yang kutitipkan telah memenuhi isi rumahnya. tertegun, tembok-tembok buku! Perlu kau ketahui, buku yang kujemput telah menjadi merah, akibat darah-darah yang membanjiri desa hingga kota. Ia menyarankan untuk segera menyelamatkan buku. Aku menyarankan nyawanya dan keluarganya patut diselamatkan. Bangun dari tidur, kuhabiskan lamunan. Kusadari, mencarimu adalah kerja arsip menaklukkan tumpukan-tumpukan ombak.

Page 55: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 47

METAMORFOSIS Dikandungnya kata-kata menjadi ruri, di kantong matanya tak terpatri perempuan, tak tebersit impian, pun hasrat menyembul setiap pandang, laiknya lelaki rindangkan hati. Jalan hidup adalah nasib waktu, memunguti setiap mil kisah-kasih, menjadi sebongkah pualam pahatan, orang-orang ribut. Laku yang terlampaui didapuk percuma saja. Biarlah. Mengasah angan menjadi runcing, senjata pemahat sampai payah. Mengeja segala bait-bait doa menjemput kuasa-Mu atas puisi. Sebagai pemuda meneguk angan sampai gigih, tak ada puas melintas. Mengukir dan mengikis, bahwa perempuan harus tinggi bukan maksud memilih letak hati. Pygmalion seorang diri, sang Agung meneguhkan keteguhan, dari orang perebut gulma, menjadi kambing mengembik di pelataran. Jalan hidup saling bersimpangan, aku: mengembara menyusuri arah angin, Melambung ke angkasa. Setibanya, Kuasa karya-Mu mengisi karya si sepi, meniupkan hidup pada yang mati. Terkecup ia sampai birahi, hidup! Mimpi apa semalam. Aku termangu, membayang si purba. Tak kualirkan cemasku di sana. Dari kisah terangkut angin nun jauh. Jatuh di ujung bibir, getar kata-kata gugur

Page 56: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

48 / Membingkai Rembulan

menjadi anak-anak sungai, ke muara, ke laut, hingga ke langit dan turun menjadi rintik rindu. Berjatuhan di ubun menyadarkan ke-Agungan. Kusampaikan sekarang, Kelak kan tahun arah jalan Pygmalion mengendap setiap angan Yang runtut, dan muntab atas keceriaan.

Page 57: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 49

TEROR Matahari di Surabaya, memanggang ketakutan-ketakutan dari ledakan putus asa. Berlarian, menderas air tubuh bersamaan darah yang menguap ke udara. Panasnya melumat daging dan tulang. Bercampur udara dan debu. Isak tangis mengarungi jalan, gerimis tumpah. Sepasang suami-istri Menebar kerawanan Bersembunyi di balik doa Aparat bersiaga Mengemas statistik Matahari di Surabaya, menyimak tragedi dari sebab musabab musafir memanggul problem, mengunyah ayat, lapar pikiran. Matahari di Surabaya bermata merah, ada sekumpulan penyamun Menggasak harga-harga. Matahari di Surabaya menjadi merah, darah ke angkasa. Matahari di Surabaya terkekeh, melihat kelulusan sekolah ada kecurangan bocah membuang jawaban ujian kawan lainnya.

Page 58: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

50 / Membingkai Rembulan

Wartawan berebut, meliput keganjilan kelulusan seorang diri. Aku, tiba di Surabaya Hening dan genting bergandengan mata-mata penuh waswas aku cemas, pada mereka Mereka cemas dua tas yang kubawa.

Page 59: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 51

MEMINTAL KENANGAN untuk Lenon Machali

Asap sepur dan gambut lain hal saling mengepul, tak sebanding dengan salam terakhirmu membumbung ke angkasa secepat cahaya, kasat mata melebih jalur kereta Surabaya-Yogya. Wahai, arwah yang terjaga Sedang kutulis riwayat resah. Segala yang pergi mengukuh diri kutenggak takdir sendiri. Setiap perpisahan membuka jalan ke laut Tenanglah, tak ada yang melebihi setia maut. Di matamu waktu itu mengupas bahasa Menjadi jernih yang tak lagi hadir. Hanya saja, tepat di ujung kelopak mataku dadais, bergelayut jasadmu mengetuk tak kenal kantuk, putaran waktu kedua mengkristal bayang-bayang salammu. Kuingat, Tamu tumpah ruah beribu wajah Sesak malam. Kucari dirimu di ujung malam, Pak sadar, yang lunglai Bu ranum, yang sunyi Di hari ke-seribu, mengurung kata Kau tetap saja membayang

Page 60: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

52 / Membingkai Rembulan

Dengan seuntai senyuman Seperti biasa kau bagi-bagikan. Belum biasa aku memintal kenangan Bunga kapas menjadikannya bulir-bulir jagung Memilinnya setiap waktu atau hanya seperempat waktu Saat sunyi dan sepi berpihak pada malam. Kau pernah berbagi: Tentang berjuta nama anak-anak melayang mengais impian yang setiap saat mereka siap direnggut ancaman dan kematian debu jalanan menebali muka di kota, mereka riang terpagar. Tentang ibu-ibu yang tersungkur lelap diselimuti dingin malam. Tentang para bajingan, yang tentu tergaris arah pulang kecup dan salam rindunya Tentang jahanam di jalur makadam dari bukitan kapur tentang tragedi politik elit saling mengintai menerkam menghunus pedang ilalang

Page 61: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 53

tentang mitos-mitos tanah kecemasan tentang percintaan berceceran tanpa ampas tentang balada pasukan berkuda memanah bulan berdarah nganga, merah saga kelopak-kelopak mahkota bungah setaman terdapat pada tubuhnya tentang pedagang, tentang arsitek, tentang penjahit, tentang ilmuwan, tentang kebatinan, tentang pertapaan, yang mengerti ukuran.

Page 62: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

54 / Membingkai Rembulan

SEMARAK PENYAIR Sendiri dipagut sunyi, menanam bibit bahasa, tumbuh rumah ingatan yang dikerek hari depan. Ada yang terbakar, tergerus, tersisa, menjadi lagu pejalan. Penyair satu melekapkan kuncup wangian bunga-bunga yang timbul pada baris huruf, angka, kata serta kalimat siapa berpaling. Ini puisi pecinta yang mabuk amarah, mengepak-ngepak sayapnya di dahan, ranting dan akar pohonan, dipagutnya perlahan sampai bisa. Getah merembesi sayap hingga ekornya, menjatuhkan buah kesedihan pada ruang kamarnya. Penyair dua, kota metropolitan problem lalu lintas, melekat pada malamnya, membuat dirinya gusar, dimakan sangkala kesemrawutan. Kian hari makin diburu waktu. Memangkas waktu dan meminta waktu di loakan. Buru buruh bertebar di kota, membuat madu bagi beruang. Penyair tiga, Ada tokek Bunyi Jadi mantra Tanpa beli obat dan raket Melenyapkan nguing, nguing. Penyair keempat, bersolek Penyair lima, birahi Penyair enam, lautan Penyair tujuh, gunung dan hutan Penyair delapan, keadilan Penyair sembilan, mati ditelan kutukan

Page 63: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 55

Kesekian penyair bersahutan, bertebaran tertiup angin bagai debu menempel pada barang-barang, gedung, tembok, sepeda, jalan, bendera, tiang, kantor, mulut, muka, dasi, buku, meja, kursi, kaca, gelas, laptop, kipas, dan lalu, siapa gerangan berani menulis profesi sebagai penyair? Yang kini masuk di ruang politik kepartaian.

Page 64: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

56 / Membingkai Rembulan

TUMBUH DI BATU-BATUAN Membaca teks untuk resbowo, Diembus angin bis malam, Melepas kelam dari pundak patung yang menanti keheningan, sejarak stasiun kota, kesia-siaan mengacungkan telunjuk kayu tangan. Chairil sempat menghinggap antara genderang para pejuang. Begitu pula landu yang lindu setiap teks-teks puisi deklamasi para peguru. Tersebar kian juta pasang mata dan tangan-tangan penyair dan penyesap bahasa. Kayu tangan sebutnya Daku ketiga, berjumpa Muka yang tak semestinya Mengubah sajak teramat sia-sia. Menggantung tilas sepanjang jalan, kepada ia yang lupa alamat tidurnya. Serupa penjagal, berhadapan, menyeret pada meja interogasi. Kupecah dadanya, batu-batu jatuh tepat menggebrak meja. Kaget minta ampun, huruf bernama paling rahasia. Seketika, hari tak kulalui, bulan tak berlayar di puncak kepala Tertutup kabut dan awan malam yang kelam Hujan berjatuhan selurus rambut yang menunjuk bumi. Hujan berjatuhan selurus jarum bagi penjahit Menghadang langkah pejalan. Akhirnya, kau mencipta hujan lambang Menghanyutkan sampah-sampah Telaga ternoda. Akhirnya, di gigilnya malam

Page 65: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 57

Aku menemukan diriku Terbujur dalam kotak yang retak Meratapi kalbu, melintas haru. Pada jiwa yang cedera, di gelapnya tilas itu Terseok tertatih-tatih. Aku menemukan diriku, Mengayuh kencang meninggalkan jejak yang hilang. Pada lencana takdir-Mu Aku menemukan jiwaku yang tumbuh, terbelah dan ‘kan menyatu Membuka peta dan angka-angka perhitungan langkah.

Page 66: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

58 / Membingkai Rembulan

PERHITUNGAN Siapa di luar? Di luar siapa? Kau yang di luar? Di luar itu kau? Yang hadir bersama kelam Serta secuil girang riak laut utara Jawa. Masuk, Tunggu! Sebelum bertatapan membaca teks-teks wajah masing Ada suatu batas yang tak dapat kau tempuh, Aku tak sempat menyuguhimu jawaban-jawaban, Tak perlu pertanyaan-pertanyaan pilu. Bila kesepakatan terakui Terselenggara pertemuan Masuk, Tunggu! Jauh dari itu Siapa kau yang berani mengusik keheningan malam. Aku suka purnama, bila sama kita dapat, ketuk perlahan Perbincangan membangun peradaban Ya, masuk, Tunggu! Kenapa kau terdiam? Kaukah itu sayang? Sayang siapa? Benar itu kau? Yang meruncingkan ikhtiar Memanggil nama panjang di tengah malam Mengirim tangis ilalang Menjadi sebilah parang Sebentar,

Page 67: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 59

Adakah kau garis tangan yang Bila saling merapatkan dan berpangkuan Menjadi jantung kehidupan suatu riwayat keselamatan. Baiklah, masuk Silakan tunggu Perkenankan mengenakan pakaian Duduklah, Kuhidangkan sepasang kursi dan lentera di atas meja Menawarkan kisah-kisah mesra dan manja. Lembar pertama kusingkap, kau menekuk lengan, berpakuan. Menyibak lembar berikutnya Merembes hal-ihwal lampau tak terbendung Riwayat bisu semakin karam dibalut malam.

Page 68: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

60 / Membingkai Rembulan

AKU BELUM MENEMUKAN Kau saja masih berkilah, di kupingmu ada nganga yang sempit, kian hari makin sempit, diimpit besi berkarat, kemacetan, pabrik menjadi gang makin sempit ada pada kupingmu. Di matamu ada sebongkah kengerian sendiri, mengasingkan derita dan duka para bocah yang lupa kapan mengenyam pendidikan tamatnya, ditaklukkan zaman. Mengasingkan ibu yang lusuh dan keriput diperas teriknya siang. Suara terlontar apa adanya, memukul jantungmu. Sebab telingamu ditempa deru, pagar, dan tembok korporasi yang tak mampu ditembus. Telingamu berpindah ke samudra dimakan lokan, dihantam kapal-kapal pengangkut. Sekarang aku menawar: di tubuh ku dan mu ada mawar yang tumbuh, biasanya membekas pada sujud dan tumbuh beribu, di sajadah pun becek ke lantai-lantai. Di dada ku dan mu ada segumpal cahaya menerangi yang padam. Di mata ku dan mu ada anak panah dan jarum beribu menancap dan menggedor pintu-pintu hidup, di mata ku dan mu ada rasi bintang yang meranggas dan melingkar asa serta keinginan. Di bibir ku dan mu ada secercah kebaikan yang mesti tersampaikan, aku mengerti kini sedang macet jalan dihadang hewan buas. Di tangan ku dan mu ada biji-biji yang melingkar menjadi doa dan pujian mengharap takdir baik turun beruntun. Salam hangat padamu, yang mungkin ku dan mu tak saling akrab.

Page 69: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 61

Di mata, bibir, tangan, tubuhmu ada lorong cahaya abad anak-anakku, berikutnya. Biar ku kini menggenapi dengki dan gundah, kepadamu kan bergaris tebal menjadi muara dan telaga bagi angsa-angsa yang selam dan menari di ambang. Kau tak akan menemukan resah di atas tungku, “Ganyang! Turun! Hancurkan! Bunuh!” Sebab, orang-orang muhabah pada tanah tetua yang tak maksud meminta sebarang lebih. Menyandang Kasunanan Kedaton Giri, kau tak lagi takdis. Kecuali pada plakat, plang, dan rambu yang sengaja. Beberapa terlihat sekumpulan manusia berduyun silih ganti bertamu di pesarean antara batuan-batuan nisan. Tapi, aku belum menemukan padamu. Kecuali tanda pangkat dikenakan saben hari kerja.

Page 70: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

62 / Membingkai Rembulan

IKLAN MAKIN ADA-ADA SAJA Gejolak iklan makin ramai, menumpuk bagai berkas tuntutan tersangka korupsi, Perlahan tertiup angin bertebaran tumbuh di pekarangan rumah Pak Haji yang telah lama ditinggal pergi, angker dan ngeri. Kini, menjadi belukar dan meranggas memenuhi dinding-dinding, ada desis ular yang menyamar, bersiaga siapa ngerti ada langkah pejalan yang tersesat menuju huma. Iklan makin padat, suaranya dapat menyeruak masuk menggedor pintu rumah, atau bahkan memasuki lubang-lubang jendela, menutupi suara-suara bayi, batuk pesakitan, dan kentungan penanda waktu. Kalau biasanya para sufi mesti belajar bahkan kantuk dan lelap padanya, kini orang-orang sibuk memikirkan iklan. Dalam mimpinya ia menggapai-gapai ketinggian biar melihat dan terlihat semua orang. Semakin padatnya pendaki itu, orang-orang kecil yang tak mengerti bergidik ngeri. Sesak di langit, Langit pun muram pada kehidupan kali ini. Menggelapkan kebenaran-kebenaran. “Mari beli produk kami asli dijamin murah dan terjangkau harganya.” “Asli atau tidak, tergantung tangan pembuatnya, siapa yang terlebih dahulu mendaftar ketahanannya dan kalau terjangkau harganya, tersisa sekeping koin di dompet, apakah bisa mengambil barangnya?” tak ada tanggapan, pekiknya makin penuh dan padat menyirnakan siapa penanya yang lugu dan ragu. Iklan menyerupai apa saja kali ini, aku sempat membujuk merayunya, sia-sia dilahapnya. Suatu kali, aku melihat iklan

Page 71: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 63

berubah menjadi ikan-ikan, buah-buah, anak muda, serigala, hingga setan-setan. Iklan makin liar saja, hinggap di dahan-dahan dan rongga dada, surup di tubuh politikus di meja-meja kerja menjadi iklan selanjutnya, televisi, radio, koran, majalah, tembok, tiang, jalan, rumah ibadah, angkutan, motor, mobil, internet, reklame, kampus, bahkan di mukanya terbius iklan sendiri yang merasuk di suara-suara mulutnya mencari massa

Page 72: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

64 / Membingkai Rembulan

BELAJAR MENJADI JAWA Dari Mbah

Sesungguhnya, Di tengah gempuran peperangan segala cara zaman tabah atas lapar dan dahaga. Demikian, tak ada taranya memikul duka yang juga lara di perutnya. Asal saja adab menggelontorkan hati, tekun sekali. Sebab, dewi pohaci, leluhur yang luhur, segala para kedekatannya pada tumbuhan dan tanahnya menjadi cukup menggembirakan ketimbang negeri lain, sejak pertanda kelahirannya. Sesungguhnya, jawa papa tak ada dari bekal seadanya, bekal kemanusiaan orang-orang desa, kecuali ia yang terbuai atas nasib jaman, terbius kenyamanan yang membuat dirinya menganggur. Digarong oleh angkuh feodalis tak membuatnya terpuruk yang tersimpan semrawut di kamar tidurnya. Menjadi jawa minta ampun susahnya, berpuasa amarah yang terkadang dituduh menyimpan dendam pada garis tangannya, merahasia piciknya pada gurat wajah, melihat iming-iming tetangga yang telah terjerembab lubang tuntutan mengungkung berbuka, selalu dahaga dan lapar. Jawa penjaga perbatasan laut utara lain halnya, yang terjaga dan siaga, menyiapkan segala kebutuhan utuh dari kelahiran-kelahiran para maling. Aku belajar dari jawa Penjaga dan tabah.

Page 73: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 65

KISAH JALAN HIDUP Kuantar kalian pada sebongkah kisah, yang mungkin kita banyak musykil memaknai: mengandung sukar dan sengsara, membayangi kayuh langkah. Kepulangan ke negeri asal di usia muda memikul beban-beban derita serta keterpurukan segala manusia. Bertolak kembali di negeri terjajah. Bilamana zaman tak menuntun pada lembah hitam, memilih simpul angan yang telah tekun digemari, ambisi literasi. Bertahun-tahun tak ada alamat nama pada lembar-lembar pewarta. Malah bersarang pada puak-puak yang mabuk asmara begitu juga pukat memikat seorang putri, saling jatuh hati kita. Sebagai seorang pemberontak, atas segala ketidakadilan kemanusiaan telah lama terkandung hinaan dan duka hingga sederetan rangkaian camuk serta kematian kekasih sendiri, sunyi, dan sepi. Demikian saja, tak tersebut alamat nama pada lembar-lembar pewarta. Adalah buah perjalanan menemukan ikatan hidup, sebut ia tine yang telah kupinang. seketika itu, perlahan tertatih lentera kian pijar menjadi gugusan bintang pada keterusterangan tulisan surat-surat kekasih

Page 74: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

66 / Membingkai Rembulan

yang tumbuh seketika pada benak. Aku multatuli, seorang pengarang yang gagal sebagai pegawai Mengubah haluan pemerintah Belanda pada iklim tanah Jawa yang tentu berbeda.

Page 75: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 67

Selaku Luka WIDYA ALFAN

Page 76: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

68 / Membingkai Rembulan

PENDOSA-PENDOA Dia menyelinap sendirian, ketika mata lain terpejam. Harapannya membias pada langkah yang entah, kala udara dingin kering membinasakan munajatnya. Perempuan bertubuh sintal itu membawa rupa-rupa kisah di esok hari. Tak sanggup menyembunyikan jejak seribu lelaki. Terlanjur, menjelma buah bibir yang ranum. Kehinaan telah tersiar dari ujung ke ujung. Namun air matanya telah digdaya oleh manusia. Satu pertanyaan yang kerap ia gumam. Siapa sebenarnya sang pemilik firman? Tuhankah? Atau orang-orang yang merasa paling benar? Di sepertiga malam terakhir, konon malaikat turun ke langit bumi dan mendapati sang perempuan tengah melacurkan diri. Izzah dan marwah-nya terlucuti. Malam Adalah waktu yang kerap disebut Tuhan dalam janji-Nya untuk mengijabahi tiap doa yang dilangitkan. Perempuan itu mengerti, Dan menagih. Agar tiada lagi tubuh kaum ibu yang ditawarkan bandar-bandar pada lelaki ajnabi. Cukup dia saja, kemarin dan kini, Entah esok hari

Page 77: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 69

? Ada begitu banyak yang ingin ku tuntaskan, tentang sumpah yang Kau nisbatkan kepada malam. Istimewa, Kau berjanji atas nama ciptaan-Mu sendiri. Ada apa sebenarnya? Sebagai kaum nokturnal, kurasa perlu menelisik lebih jauh tentang rahasia di balik malam yang tak pernah sederhana. Aku terlibat dalam kesengajaan yang panjang, bertafakur mencari pemaknaan. Meraba bentuk lain dari kesunyian, bertanya kabar malam yang dianugerahi banyak hal. Seharusnya, beruntunglah ia yang terjaga, menyaksikan kesakralan udara menjawab salam-salam dari atap semesta, menjadi bagian dari doa yang terijabah. Namun Bukankah malam hanya kesempatan yang hilang dari jatah waktu yang kerap berlalu jika tak ditadaburi? Ya, aku tak mampu selain itu. Karsaku sebatas merenungkan kisah tanpa menyibak hijab atas penciptaan-Nya yang muskil diterka.

Page 78: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

70 / Membingkai Rembulan

AKU DATANG LAGI Aku adalah reinkarnasi, Dari air mata yang menjelma, Luka yang terlupa. Ketiadaan bermaujud sebagai diriku yang sekarang. Aku datang lagi, Tanpa melupakan perihal yang membuatku pergi. Kini kupulang, Untuk menebus ketiadaan atas pengakuan yang kupinta, Namun enggan kau aminkan.

Page 79: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 71

POLIANDRI Perempuan di pojok ruang Sibuk menyulam sajak-sajak pencitraan Memintal benang merah perjalanan dengan pura-pura, lalu menjadikannya pakaian Dia adalah bagian dari kaum ibuku yang gemar mengatakan “Aku baik-baik saja, dan bahagia.” Meski Wajahnya persis kota di musim hujan yang bencana Mendung berguguran dari matanya lalu meninggalkan jejak yang berpinak Hatinya hancur Namun tak kehabisan daya untuk membangun reruntuhan senyum. Entah Bagaimana bisa seorang perempuan berpoliandri? Memilih luka dan bahagia untuk dikawini dalam satu tubuh puisi. Dahulu Antara dia dan Tuhan saja. Tapi Sejak kisahnya dibukukan dan dibaca banyak orang Perempuan ini membinasakan diri.

Page 80: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

72 / Membingkai Rembulan

AVONTURIR Jarak hanyalah nisbi Maka biar kugulung pertalian tanah kelahiran ini sampai tiba waktuku kembali. Sudah kuperkirakan angin keberangkatan Arahnya menyampaikan pesan bahwa batas dua kemungkinan hanyalah setipis benang. Ia tak pernah letih menanggung kejauhan Biar kaki ini menderakkan tanah sebagai jejak salam undur diri Dari pekarangan yang kerap kita gelar kisah kasih. Aku tak akan pulang, sebelum mengalami kepergian. Salam.

Page 81: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 73

DUKA DI SELATAN Tidurnya kian larut, Sebab tidak ada lagi mata kail yang menunggu saat pagi menggigil. Tambak sudah tunduk pada pemilik modal, Dan masa depan, semakin tak terbeli. Semuanya gamang, Termasuk jatah rokok para petambak yang kian berkurang. Hari itu tengkulak datang, Menawarkan angin segar. “Halah! Sebelum kalian datang kami sudah pernah termakan tengkulak yang lebih besar,” tukas seseorang dengan pongah menceritakan kilas balik hidupnya. Ya! Khazanah pencaharian jadi ironi. Janji pembangunan semakin bual akhir-akhir ini, seakan terempas simpang siur tragedi. Sebuah kedatangan membawa titah peradaban, menyampaikan mandat kepada orang-orang awam. Pada akhirnya istilah tamu adalah raja benar-benar terjadi, Pemilik rumah menjadi penyewa di buminya sendiri.

Page 82: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

74 / Membingkai Rembulan

MENYONGSONG HARI Melibatkan pagi, beserta bibir-bibir penggumam zikir. Mengawal mentari menyongsong hari. Kuhirup derai-derai semangat dan mengabadikannya pada jejak keringat. Meninggalkan bekas napas di kaca jendela, hingga membuatnya tampak buram. Biarlah, setidaknya ada gambaran masa depan yang sempat kita tangkap dari sana. Meski kabar detik selanjutnya tetap rahasia.

Page 83: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 75

MUHASABAH Ada yang muncul di sela-sela lampu remang, bayangan Berpantomim unjuk kebolehan, Mempertontonkan sisi lain kenyataan di pentas kegelapan. Setiap arah bebas menentukan citra, Setiap mata bebas merangkai kisah atas apa yang dilihatnya. Tidak ada yang bisa menjangkau kepastian, Sebab sudut pandang tak pernah niscaya.

Page 84: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

76 / Membingkai Rembulan

HAKIKAT Nanti kita sama-sama membangun semuanya dari ilmu Hingga tidak ada satu pun fatwa yang bisa bicara pisah, meski ia adalah kematian. Ini bukan majas yang kulebih-lebihkan, semua yang terkatakan adalah keniscayaan, meski sempat kau anggap bual. Semua hanya soal waktu dan siapa yang berangkat lebih dulu. Percayalah, pengembaraan tak pernah berakhir. Kita akan melanjutkan kisah dalam fase hidup yang lain.

Page 85: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 77

MENANTI GENERASI dipersembahkan untuk mendiang pejuang sastra dan buku

Atas nama perpustakaan yang sunyi Aku berniat menyalin nasib dalam buku-buku karyamu yang merindukan sidik jari Menyibak sampulnya yang berdebu dan kuhirup wangi khas buku baru Tidak ada siapapun di sana, selain kehidupan dalam Rahim kata-kata

yang kesepian di rak paling bawah Menunggumu, generasi pembaca abad dua puluh satu

Page 86: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

78 / Membingkai Rembulan

PENGASINGAN Benih. Bersemi di suatu hari. Membawa kelopak mekar pada pucuk tangkai yang terkapar. Tertanam di lembah haribaan. Mengakar, menjalar ke dasar tanah keagungan. Merayakan keabadian seorang diri. Mengenang perbincangan tentang nasib turi putih tempo hari, Yang kini ia alami.

Page 87: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 79

KEKASIH TUHAN Cahaya di langit malam itu bukan kembang api tahun baru. Andai kau tahu, malamnya sebuah negeri terancam tak menemui pagi. Setiap hari salam pamit terjadi, namun keberanian bermaujud jelaga atas doa yang berkobar-kobar. Tentu sudah sampai suatu berita kepadamu, tentang: Deru takbir yang membersamai kerikil dari tangan mujahid-mujahid kecil; rentang tangan perempuan yang luluh lantak oleh meriam; dan janji kepulangan seorang ayah tak pernah tertunaikan. Semua yang terjadi bukan pagelaran, maka laknat bagi siapapun yang mengiringi elegi dengan sorak-sorai dan tepuk tangan. Semesta tak boleh memalingkan muka selama angin belum letih menyampaikan duka. Tuhan Adakah singgasana bagi tubuh yang terlampau lelah di dunia? Apakah telah Kau sajikan kautsar sebagai pemuas dahaga mereka di sana? Ingar bingar telah padam, langitkan derajat mereka yang sempat terinjak para keparat. Mereka, kekasih-Mu yang tangguh. Mereka yang Kau panggil karena rindu.

Page 88: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

80 / Membingkai Rembulan

MAAF, TAZ Berawal dari jilid ngaji yang sudah khatam dan jadi pensiunan. Celah hijaiah mengantar pikiranku mencari pengibaratan, lalu mendapati amsal Tuhan yang tersembunyi. Bahkan tukang dalil pun belum tentu tahu arti majas di balik tajwid yang kutemui. Maka dari itu, kugubah semuanya dalam suatu karya agar mereka percaya bahwa sastra ada di mana-mana. Inilah puisiku, tentang luka yang bertalu-talu. Bacalah!

Di Balik Hukum Tajwid Aku menahan suara Memangkas napas seperti membaca saktah lalu melanjutkan kisah seperti sedia kala. Aku melesapkan luka Sebagaimana alif lam syamsiah yang dilenyapkan huruf berikutnya, tak terbaca. Aku sudah banyak diam dan menghilang Aku bukan isyarah mu’annaqoh yang menjadi pilihan untukmu berhenti atau melanjutkan masa depan. Aku sudah berkorban menahan luka ini sendirian.

Hm, maaf, Ustaz! Aku telah menukil harakat untuk puisi luka yang kubuat. Menghadiahkan metafora pada kaidah yang tak semestinya. Tapi, bukankah Tuhan Maha Nyeni lagi Pengasih? Dia ingin melihatku berpuisi. Lagi, lagi, dan lagi.

Page 89: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 81

CEKREK

Adalah lelaki milenial yang tak kehabisan akal. Ia sempat menjadi tebing penjaga untuk air mata kekasihnya, namun terkikis kesia-siaan, sebab senyum seorang perempuan tak jua berkabar.

Ia menyudahi derita melankolia, melesap dari kungkungan roman picisan, lalu memilih cara lain dalam mencintai. Asal kesedihan perempuannya segera berakhir.

Bukan dengan memberi mawar, melati, atau kenanga. Melainkan, kamera depan beresolusi tinggi.

Satu! Dua! Tiga! Cekrek! Kesedihan kekasihnya tak berdaya, tunduk

menghamba pada kamera. Perempuan itu sibuk menata senyum, menanggalkan wajahnya yang semula durja. Akhirnya kesedihan berganti fajar, merekah di ketimuran. Belum puas, ia memulai hitungan lagi.

Satu! Dua! Tiga! Cekrek! Abadilah sebuah kisah, seorang lelaki menadaburi

riak wajah perempuannya di galeri. Satu hal yang ia sadari, jika kata Sapardi ‘yang fana adalah waktu’, maka baginya senyum perempuan abad ini jauh lebih ringkas ketimbang tiga-tiga hitungan di atas.

Page 90: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

82 / Membingkai Rembulan

PERSERIKATAN Ketika perjalanan menjadi naskah, hilir mudik peristiwa sebagai hurufnya. Kita didik mereka lewat lorong-lorong spasi, agar keberadaannya berarti. Kita ajarkan mereka tanda baca, biar tahu mana berhenti mana jeda. Tibalah saatnya, anak kalimat tumbuh sebagai puisi-puisi. Namun kita menelantarkannya. Hingga mereka saling berserikat, Menghimpun kekuatan pada halaman buku yang terlipat.

Page 91: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 83

Dari Dongeng-Dongeng YUSNITA LARASHATI

Page 92: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

84 / Membingkai Rembulan

JERITAN DALAM TEMPAYAN Kemarilah, Nak Mendekat Aku siap mendengar keluh Dan menyimpan jeritan dalam tempayan Kutahu kau telah mendekat pohon terlarang Mencium harum bunga Bahkan menikmati buahnya Tahukah yang kau perbuat? Tubuhmu telah dijamah kupu-kupu dan ulat Mereka liar merambat Jangan beri punggungmu! Kau tidak tuli dan bisu Hanya lidahmu kelu Sedang ayat-ayat telah jauh dari hayat Berenang dalam kolam yang jauh dari kalam Berbalut kabut asap Dan berpesta laksana di surga Kupu-kupu itu telah menebar benih Dalam tempayan merah bersih Yang kan menjadi ulat suatu hari nanti Kemarilah, Nak Datanglah padaku saat dunia tak lagi mendengar suaramu dan isak yang menderu terbang berlalu bagai debu Kemarilah, Nak

Page 93: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 85

Suatu hari kau akan kembali Tak lagi beri punggung namun menatap mataku langsung Dan akan terlihat pantulan wajah Dalam mata yang berkaca Kemarilah, Nak Aku menunggu Dan kan kusyairkan kisahmu Tentang keheningan jeritan dalam tempayanmu

Page 94: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

86 / Membingkai Rembulan

PEMAKAN BANGKAI Desir kata Tak sesempurna bentuk aksara Silat lidah Mencabik hati yang tengadah Bukan hanya aku yang bercela Kamu, dia, bahkan mereka Mari kita telanjangi Hingga semua tampak cacat dalam diri Mari kita rayakan ketaksempurnaan ini Bukan hanya aku sendiri Kamu, dia, bahkan mereka Mari kita perbincangkan Borok-borok tubuh Si A, si B, si C Hingga tak ada huruf tersisa Aku berpesta di atas tubuh penuh luka Menari di atas daging diliputi duri Tertawa membahana saat mereka menangis miris Senyum sinis tersungging menggantung di ujung bibir tipis Berbalut kata manis Lalu Saat jam dinding tak lagi berdetak Lidah terikat oleh sekat Dan hanya malaikat maut yang mendekat Semua memerah Sekental darah dan nanah Jauh dari Kautsar

Page 95: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 87

Lapar dan haus Namun aku hanya bisa Merangkak Mengais Mengemis Sisa bangkai amis Saudara sendiri Sedang jahanam telah menanti Jilatan lidah api yang membakar hati Tetapi dahaga ini tiada henti Mencari celah terbit mentari

Page 96: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

88 / Membingkai Rembulan

PERAJUT KEGELAPAN Duduk di sini, Sobat! Kuceritakan sebuah kisah Aku menyembunyikan sebuah peti Di dalamnya tersimpan rahasia Selimut tua Tertutup, rapat Kuncinya telah dibuang Aku ingat betul warna dan lekukannya, Sobat. Merah, biru, hitam sekelam malam Ia merajut di hadapanku, Sobat. Memintal janji Mengikat perih Memilin pedih Dalam keheningan malam Kemudian ia ciptakan selimut Dari rajutan kegelapan Sedangkan aku tertidur dalam dekapan dingin Akankah ayam jantan kembali berkokok Memecah fajar hari esok?

Page 97: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 89

PLATONISME Saat pergi ke hutan Memilih pohon yang hendak ditebang Banyak yang terpikirkan Beraneka bentuk rupawan Sesampainya di rumah Kusiapkan alat segala rupa Dan habiskan waktu bersamanya Mengukir mimpi apa yang akan terwujud nanti Kuingin membuat kursi Sebagai sandaran kala penat merajai Atau hanya sekadar untuk menikmati Gemintang pengujung penutup hari Bentuknya menyerupai meja Lapang, lebar, terbuka (Meski tanpa kursi Meja masih berarti) Ternyata kayu itu rapuh Persis di tengah saat selangkah terwujud Aku masih ingin mengukir Meski kecil setidaknya berarti Namun kayu itu terlanjur tak berbentuk Patah di tengah dan meninggalkan celah Ah, akhirnya kayu itu berakhir di tungku perapian Setidaknya Aku pernah membayangkan dia menjadi kursi, meja, dan ukiran Sebelum semuanya berlalu menjadi abu.

Page 98: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

90 / Membingkai Rembulan

FILSAFAT

Membaca Berpikir

Membaca Meragu

Membaca Kepikiran Membaca

Proses ...

Terkenal dihukum mati Minum racun

Bingung Blank Mati

!

Page 99: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 91

SUN-BELIEVABLE

Siang itu Ada dua matahari

Satu di Barat Satu di Timur

Matahari Timur kuat sinarnya Namun ia beranjak terbenam

Matahari Barat redup Namun ia semakin tinggi

tak pernah terbenam sinarnya tak pernah padam

dan tergantikan

Page 100: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

92 / Membingkai Rembulan

PEMANTIK SEPI Sabana keemasan terbentang Bertahun merindu hujan Rumput terhampar tak berujung Tempat singa berkawan dengan kesombongan Tentang kejayaan masa lalu Tak ada rusa atau kelinci Hujan tak jatuh Bahkan embun enggan berkondensasi Hanya angin berkawan sepi Memetik dawai tangkai rumput kering Kau datang tepat di saat kemarau panjang tak bertepi Bukan hujan! Kau pemantik sepi Bakar saja! Nyalakan Biarkan semua terlalap Habiskan! Karena aku tahu Hujan tak kan pernah turun kembali Dan biarkan semua kembali sepi

Page 101: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 93

OPTO ERGO SUM Dulu aku pernah bertanya Akankah berlayar seorang diri? Atau kau turut bersama? Kau bilang nakhoda yang baik Akan menaklukkan ribuan badai Bukan mengarungi lautan tenang Kini, angin dan badai telah berkawan Setelah sekian lama berlayar Tiba-tiba aku rindu daratan Dari ujung kapal terlihat zamrud di tengah lautan Bergegas berhambur Berlari ke tempat tertinggi Sesaat pemandangan itu kunikmati Lalu aku menoleh ke belakang Ada tenda dan perapian tersadar, pulau ini berpenghuni Segera angkat kaki menuruni Tak kulihat lagi Hanya melangkah pergi Sedetik, cukup membayar kerinduan Aku memilih tinggalkan pulau ini Bukan mencari pulau pengganti Meski tak berpenghuni Aku memilih kembali menantang Menatap langit petang yang terbentang

Page 102: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

94 / Membingkai Rembulan

Bersiap kembali menghitung bintang Melawan ombak yang menerjang Aku memilih Menjadi bagian dari lautan

Page 103: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 95

AUBADE JANJI PAGI Aku tak lagi kaya kata Bahkan bersuara pun tak bisa Telah tertanggalkan jubah makna Yang bertahun terajut dalam senandung duka Tak kenal lagi dewanagari Pena menari berganti jemari Menimang buah hati Ucapan bibir tak lagi berarti Hanya lirih bait nyanyian sendu dinikmati Pernah ada gelora rindu Lagu merdu puisi syahdu Ketika mengikatlah janjiku pagi itu Jelas sudah tugasku

Page 104: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

96 / Membingkai Rembulan

HIMNE MALAIKAT SENJA Tidurlah, anakku Sebelum tidur menjadi mahal bagimu Seluruh urat nadimu Adalah napas kehidupan Tidurlah, anakku Saat mentari mengunjungi belahan lain Burung siang bertebaran kembali ke peraduan Sedang burung malam berhambur mencari penghidupan Tidurlah, anakku Akan kuceritakan dongeng dan nyanyikan lagu indah Agar kau terlelap Agar kau siap menerjang gelap Tidurlah, anakku Simpan laguku dalam ingatanmu Ketika dunia tak lagi menjadi ruang rindu untuk bertemu Suaraku kan selalu menemani dan menenangkan hatimu Tidurlah, tidurlah Saat tangan-tangan kecilmu melepas genggaman dunia Dan semua menjadi hampa Di situ aku kan membimbingmu Pada Tuhanmu Kembali pada Penciptamu

Page 105: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 97

REKUIEM MALAM Kabut tak setipis kemarin Bahkan bau hujan begitu pekat Melekat di ujung hidung Yang berjuang melawan dingin Malam ini aku menabur Meratus dupa aroma kenanga Mengajak angan berkelana Menyibak tabir kenangan lama Seribu malam terlewati denganmu Telah kusiapkan kereta kencana Pengiring kepergian bayang wajahmu Dari balik bulan yang tertutup awan hitam Tanah telah tergali Bersiap menerima jasad luka hati Ah, cukup! Aku samar arah Akankah ini menjadi perayaan kematian kenangan malam Atau berduka tinggalkan kegelisahan Lalu, mana yang kukebumikan Malam atau kenangan?

Page 106: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

98 / Membingkai Rembulan

RELIKUI KEKAYAAN Dengar sebuah nasihat, Kawan Jangan ikuti jalanku Aku menukar tenteramnya kekekalan hati Dengan semunya kilau duniawi Aku telah membuang darah daging Dan memelihara beruk emas dari rimba Aku telah mengutuk janji suci kehidupan Dengan sumpah kematian Dengar sebuah nasihat, kawan Jangan ikuti jalanku Menjadi pemuja ifrit pemakan bunga tujuh rupa Hingga pikir tersihir Sedang diri jauh dari zikir Tanpa perlindungan hingga akhir Hati ini telah membatu Hingga tiba senja Dedaunan yang dulu dapat membebaskanku Kini semua terbang menghilang Mengering hingga ranting Dengar sebuah nasihat, kawan Jangan ikuti jalanku Tubuh tanpa roh ini berdiri Di atas kemegahan materi berbau mayat, tanpa hayat Sendiri, menunggu mati

Page 107: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 99

PRAMESWARI BANYU BUMI Kau adalah raja Semua tunduk pada titah Semua takut pada sabda Tapi semua tak cukup buatmu tenang Semua tak cukup buatmu senang Kau ingin menaklukkan semesta Menyatukan bumi langit Dalam satu genggaman Tanganmu Seluruh alam malam bertekuk lutut di hadapmu Dahsyatnya kekuatan-kebulatan tekad menggetarkan Hingga ikan-ikan berlompatan dan menggelepar Seluruh laut dan daratan gelisah Ombak berlembah dan menggunung, resah Aku tidak jatuh cinta Hanya terpesona Padamu seorang makhluk fana Aku terpaksa harus membuat perjanjian Untuk mengawinkan Rasa khawatir dan penasaran Kau mendapat semua yang kau minta Namun lupa, kau berbatas usia Tapi aku selalu mendapat yang baru Dan seluruh keturunanmu

Page 108: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

100 / Membingkai Rembulan

Hanya aku yang tidak akan pernah bisa kau genggam Karena aku perempuan Per-empuan Tempat menempa segala kekuatan Dari rahimku semua bermula Aku, Prameswari Banyu Bumi

Page 109: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 101

BUKAN PENGANTAR TIDUR Kalian pasti pernah mendengar kisahku Berawal sendu, berakhir menikah di bawah langit biru Tinggalkan hari-hari berdebu Serta kedua kakak dan ibu tiriku Kalian pasti pernah mendengar kisahku Saat ibu peri datang menolongku Memberi gaun dan sepatu Pergi ke istana, bertemu pujaan hatiku Kalian pasti pernah mendengar kisahku Namun Tahukah kalian bagaimana selanjutnya? Apa kalian pikir cerita itu selesai sudah? Belum Ada kelanjutannya Tidak ada cinta dalam kisahku Pangeran tak pernah berbicara padaku, malam itu Ternyata dia bisu Sehingga Sang Raja mengadakan pesta, mencari menantu Tidak ada kasih dalam ceritaku Bahkan yang datang mengantar sepatu Adalah penasihat dan para pembantu Tidak ada sayang dalam ceritaku Sejak pernikahan itu Raja hanya bertanya cucu Sedang Pangeran tak pernah bersentuhan denganku Hanya tersenyum, aku tertunduk, bukan malu Tapi meragu

Page 110: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

102 / Membingkai Rembulan

Aku tetap sendiri di istana Terkurung Murung Merenung Bahkan tak dapat menangis meraung Kalian pasti pernah mendengar kisahku Percayalah Ini tak berakhir seperti yang kalian duga Aku tetap mati dalam kesendirian Dan kesepian

Page 111: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 103

APEL PEMBAWA PETAKA Pernahkah kau baca dongengku? Saat ibu tiri menyamar Memberiku apel segar Lalu aku jatuh tak sadar Pernahkah kau baca dongengku? Tujuh kurcaci menyelamatkan Dan kesatria tampan memberiku ciuman Pernahkah kau baca dongengku? Dan kau percaya? Cerita itu sengaja kubuat begitu Agar kau menilai jahat pada ibu tiriku Dan lupa mencari kebenaran Yang sengaja kusamarkan Sebenarnya Aku iri pada ibu tiri Dia telah membangkitkan gairah hidup ayah kembali Datang sebagai pesaing perebut takhta kerajaan Yang hampir aku dapatkan Aku berhasil membohongi Mengubah alur dan merebut simpati hingga tak ada iba untuk ibu tiri yang mati Sebenarnya Aku iri pada ibu tiri Dia datang lalu menguasai Sedangkan aku tak pernah dihormati Perintahku bukan titah yang harus dijalani Hanya terpaksa disegani karena aku seorang putri

Page 112: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

104 / Membingkai Rembulan

Aku tidak pernah menjadi ratu Karena kesatria membawaku Pergi jauh dari istanaku Aku tak hidup dalam kerajaan yang kuimpikan Istanaku lama tak bertuan Tertutup rimbun pohon, lalu jadi hutan Kisahku berakhir dengan kesepian Hanya tujuh kurcaci sebagai teman Dan semua telah membuatku bosan

Page 113: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

Ruang Sastra Gresik / 105

PARA PENULIS

FIGURAN TRIYOGA Lahir di Gresik, 13 Januari 1999. Hanya anak muda yang tak mengerti harus berbuat apa.

LILIK NUZULIANA Kini sedang menempuh pendidikan SMA jurusan Ilmu Bahasa dan Budaya semester akhir. Lahir di Gresik pada tanggal 14 Desember tahun 2000. Seorang pecinta musik, tari, puisi, makanan udang, dan segala minuman rasa chocochino.

RAJA IQBAL Kelahiran Gresik tahun 1995. Pemuda yang suka makan kerupuk bawang dan nasi putih. Kontak: 0823-5912-0313. IG: rajaiqbalislamy. E-Mail: [email protected].

Page 114: Membingkai Rembulangaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/04/Kumpulan-Puisi... · Kita pernah ada di tempat dan waktu yang sama Berdua menerka warna langit sore yang ada di

106 / Membingkai Rembulan

WIDYA ALFAN Kelahiran Gresik, 27 Mei 1999. Captionista alias penikmat aksara yang suka ketiduran saat menulis. Beberapa coretan dan curhatan bisa dilihat pada akun instagram @wiwid_wan atau kalau mau ketemu langsung silakan main ke rumah di Desa Cerme Lor.

YUSNITA LARASHATI Lahir di Surabaya, 28 Maret 1984. Saat ini tinggal di Rumah Belajar Al Rasyid, Pongangan Indah, Manyar, Gresik. Aktif dalam kegiatan pendidikan non-formal.