memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/makalah...
TRANSCRIPT
1
PENDIDIKAN TEOLOGI INKLUSIF; KONSEP DAN APLIKASI1
Oleh: Dr. H. Zainuddin Syarif, M.Ag2
Abstrak
Pendidikan teologi inklusif adalah proses internalisasi kesadaranberteologi bagi setiap siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat dasarsuci (fitrah) yang sudah tertanam dalam hati setiap manusia. Karena dalamrealitasnya, terdapat ribuan agama, budaya, bahasa di dunia. Maka agama-agama yang sudah diakui secara resmi saja kita melihat keragaman yangluar biasa, apalagi jika kita melihat cara setiap orang menjalankanagamanya.
Pertama, pendekatan teologi pluralistik. Tugas utama dalam efektivitasbelajar-mengajar adalah bagaimana menanamkan kesadaran akan artiperbedaan kepada peserta didik. Perbedaan bukan untuk melahirkanpertentangan dan konflik, malainkan sebagai jembatan yang mengantarkanpada sebuah kerangka kerja yang menguntungkan semua pihak. Secaraideal muatan materi teologi pluralistik bertujuan untuk menggugah danmenggelar kesadaran kultural dan kesempatan yang sama untuk belajar bagisemua individu (peserta didik) dan kelompok masyarakat, sekaligusmemberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman dan perbedaan.
Kedua, pendekatan spritual. Muatan materi memperhatikan perpaduanantara tubuh dan jiwa. Harus disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik akansangat mempengaruhi psikis, seperti, persepsi, kognisi, kensepsi diri dansebagainya. muatana materi meliputi aspek kemampuan yang di memilikioleh Manusia yang hampir tak terbatas. Tubuh dan jiwa manusia dapatberkembang jauh melebihi dari apa yang kita bayangkan. Pendidikan harusberusaha mengoptimalkan seluruh potensi ini.
Ketiga, pendekatan tauhid sosial. Adanya fenomena banyak agamamerupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia modern. Manusiamodern harus didorong menuju kesadaran saling tolong menolong antarasesama manusia memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusiameskipun berbeda pandangan dalam keyakinan. Mendorong setiap oranguntuk dapat menghargai dalam pilihan keyakinan dan berintraksi dengansaling tolong menolong antara sesama manusia adalah sangat pentingdilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini.
1 Dipresentasikan pada forum The Annual International Conference on Islamic Studies(AICIS) ke 15. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, DepartemenAgama RI di Hotel Sintesa Panensula Manado pada 3-6 September 2015
2 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan. Pendiri sekaligusPembina Studi Riset Pengembangan Madura (SRPM)
2
A. Pendahuluan
Diakui atau tidak, adanya keanekaragaman tidak jarang menyebabkan
dampak negatif sehingga memunculkan adanya fanatisme pada kelompok
tertentu bahkan hingga menyebabkan kerusuhan di beberapa daerah. Sejarah
mencatat, mulai dari pembantaian terhadap pengikut Partai Komunis
Indonesia (PKI) tahun 1998, pembantaian etnis China di Jakarta tahun 1998,
perang antara umat Islam dan Kristen di Maluku Utara tahun 1999-2003,
perang etnis antara suku Dayak dan Madura tahun 2000.3 Bahkan akhir-akhir
ini, konflik-konflik serupa seringkali mewarnai dalam hiruk pikuk kehidupan
umat Indonesia, seperti kerusuhan Sunni-Syiah di Sampang Madura 28
Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah di Lombok, dan
munculnya Isu Radikalisme dan Fundamentalisme Agama.5 Yang sangat
terbaru adalah Tragedi pembakaran Masjid di Tolikara (17/7/2015), kejadian
3 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 53
4 Bisa dikroscek; “Ini Kronologi Pengusiran Warga Syiah di Sampang” di webhttp://surabaya.okezone.com/read/2013/06/21/521/825293/redirect. Diakses pada Jam, 09.30 AM,tanggal; 10/07/2014.
5 Radikalisme merupakan gerakan bertradisikan pemahaman fundamental akaninterpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan islam sebagai agama dan ideology, sehinggayang dikembangkan di dalamnya tidak hanya dokrin teologis, akan tetapi doktrin-doktrinideologis. Pandangan Martin E Marty yang telah dimodifikasi oleh Azzumardi Azra, bahwabeberapa prinsip-prinsip fundamentalime Agama sebagai berikut. Pertama, oposisionalisme.Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil perlawanan yang sering melakukankekerasan terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yangbebentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai baru. Kedua, penolakan terhadap pluralismedan relativisme. Bagi kaum radikalisme, pluralisme merupakan pemahaman yang sangat keliruterhadap teks-teks kitab suci. Kemudian, pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selarasdengan pandangan mereka merupakan bentuk dari relativisme keagamaan. Ketiga, penolakanterhadap perkembangan histories dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwaperkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh doktrin literal kitabsuci. Keempat, penolakan terhadap hermeneutika. Gerakan kaum fundamentalisme menolak sikapkritis terhadap teks, karena al-Qur’ān harus dipahami secara literal sebagaimana bunyi danperintahnya. Azumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Cet. I.Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 91
3
anarkis berbasis provokasi semacam ini mengundang keprihatinan semua
pihak. Karena provokasi dalam fanatisme agama hanya mencederai
silaturahmi antar umat beragama, yakni ketegangan antara Islam dengan
kristen. 6
Adanya serentetan bukti kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA di
Indonesia, menunjukkan bahwa secara kolektif kita sebenarnya tidak mau
belajar tentang bagaimana hidup secara bersama secara rukun. Bahkan dapat
dikatakan, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga
pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif
dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam masyarakat
plural. Di sinilah letak pentingnya sebuah ikhtiar menanamkan berfikir
inklusif melalui pendidikan agama. Konflik sosial dalam masyarakat
merupakan proses interaksi yang natural, karena masyarakat tidak selamanya
bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain ketika konflik sosial
yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif,
tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkkritis seperti yang seringkali
terjadi. Berbagai macam respon dari seluruh elemen masyarakat pun menjadi
tak terbendung, hingga muncullah key word sebagai bagian dari respon
tersebut, dalam bentuk wacana yang sering disebut dengan istilah
“Inklusifisme”.7
6 http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/21/078685306/ini-kesaksian-jemaah-salat-id-korban-rusuh-di-tolikara. diakses pada tanggal 30 Juli 2015.
7 Banyak definisi berkenaan dengannya. Hal itu multikulturalisme berhubungan dengankebudayaan, dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingantertentu Lihat, Zakki Mubarak, dkk. Buku Ajar II, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
4
Kemajemukan menjadi potensi unik tatkala mereka bisa hidup rukun,
berdampingan dengan damai, aman dan tenteram. Sebaliknya, masalah yang
ditimbulkan juga sangat besar, apalagi jika di antara mereka sedang bertikai,
baku hantam dan saling bunuh. Indonesia bahkan sempat dicap sebagai negeri
yang rentan terhadap konflik antaragama.8 Sehingga Ian G. Barbour,
sebagaimana dikutip oleh Amin Abdullah menerangkan beberapa hal terkait
dengan persoalan konflik sangat erat dengan karakteristik berikut ini:
Pertama, kecenderungan untuk mengutamakan loyalitas kepada kelompok
sendiri yang sangat kuat. Kedua, adanya keterlibatan pribadi (involvement)
dan penghayatan yang begitu kental dan pekat kepada ajaran-ajaran teologi
yang diyakini kebenarannya. Ketiga, mengungkapkan perasaan dan pemikiran
dengan menggunakan bahasa aktor dan bukannya bahasa seorang pengamat.9
Kemutlakan religuisitas manusia mengalami penurunan status menjadi
relatif partikular, ketika ia dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat
bahasa manusia dan diinstitusionalisasikan secara berbeda-beda. Perbedaan
dalam ekspresi rasa keberagamaan tersebut terjadi karena perbedaan bahasa,
budaya, kemampuan bersosial, dan strategi pencapaiannya.10 Paling tidak
ketiga karakteristik di atas dalam diri seseorang atau kelompok tertentu
terintegrasi (MPKT) cetakan kedua. Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat,. Depok: FEUI, 2008.
8 Aloys Budi Purnomo Pr, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik (Jakarta: Kompas,2013), hlm. 23
9 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1999), hlm. 14
10Amin Abdullah, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian Era Multikultural-Multirelijius, Jurnal On Line UIN Sunan Kalijaga, www.uin.suka.com, diakses jam 18 PM, pada16/08/2014.
5
memberi andil yang cukup besar bagi terciptanya ‘enclave-enclave’
komunitas teologi yang cenderung bersifat eksklusif, emosional dan kaku.
Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang
ditandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah membangun
dan menumbuhkan kembali teologi pluralistik dalam masyarakat.11 Maka
pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting, sebab
pendidikan sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam
membentuk karakter individu-individu bagi yang dididiknya, dan mampu
menjadi guiding light bagi generasi muda penerus bangsa.
Alex R. Rodger mengatakan sebagaimana dikutip oleh Sumartana,
bahwa pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada
umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang
dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk
memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka.12 Dalam konteks inilah,
pendidikan Teologi Inklusif sebagai media penyadaran umat perlu
membangun teologi inklusif demi harmonisasi SARA. Peran dan fungsi
pendidikan Teologi Inklusif adalah untuk meningkatkan keberagamaan
peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan
11 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional, ... hlm. 22
12 Sumartana at al, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 61
6
kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama
lain guna untuk menumbuhkan sikap toleransi. 13
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi pustaka (library research). Artinya
penelitian ini mengacu pada data-data atau bahan-bahan tertulis yag berkaitan
dengan topik pembahasan yang sedang diangkat, tentu penelitian ini
menggunakan gagasan berbentuk tulisan sebagai sumber penekanan kepada
interpretasi dan analisis makna konsep pemikiran yang berupa ungkapan-
ungkapan baik secara empiris maupun secara ide-ide rasional.14 Sumber data
dalam penelitian ini bersentuhan langsung dengan gagasan Teologi Inklusif.
Selain itu, penyusun mengacu buku-buku karya orang lain yang membahas
tentang wacana pendidikan berbasiskan keterbukaan untuk mempermudah
pemahaman.
Penelitian ini menggunakan dokumentasi untuk menambah bukti atau
verifikasi nama data dan menambah rincian spesifik guna mendukung
informasi dan sumber-sumber lainnya serta membuat inferensi dari
dokumen-dokumen tertentu. Dokumen dimaksud adalah dokumen yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti seperti (a) surat, pengumumam
resmi, (b) brosur dan booklet, (c) dokumen administratif, (d) kliping-kliping
dan artikel di media massa. Analisis data atas studi pustaka dalam
13 John Sealy, Religious Education Philosophical Perspective, (London: George Allen &Unwin, 1985), hlm. 43-44
14 Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 9
7
penelitian ini menggunakan teknik analisis wacana (Discourse analisys)15
dan teknik pendekatan analisis hermeneutik.16
Ada 3 elemen penting dalam pendekatan heremeuetika adalah: konteks
pemikiran, makna autentik (dari sesuatu yang sedang dikaji), dan relevansi
(dari makna asli dengan konteks masa lalu/aslinya kearah makna sesuai
dengan konteks saat ini dan kontemporer).17 Metode pengumpulan data yang
penulis gunakan dokumentasi gagasan. Proses pengumpulan data dari metode
dokumentasi, sebetulnya tidak begitu sulit. Tetapi seringkali data dokumen
yang sudah dikoleksi sebelumnya tercecer di suatu tempat dan bahkan ada
yang hilang. Untuk mengganti data yang hilang, penulis terpaksa berburu data
kembali. Data-data juga penulis kumpulkan dari buku-buku gagasan tentang
pendidikan teologi inklusif.
Analisis data ini bersifat non statistik dengan menggunakan pola pikir
deduktif. Deduktif adalah pola pikir yang bersumber dari fakta-fakta bersifat
15 Diantara karakteristik analisis wacana adalah pertama, wacana dipahami sebagaisebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagaibentuk interaksi, dan bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Kedua,mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacanadipandang diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Ketiga,menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam kontekstertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satuaspek penting untuk bisa mengerti teks adalah menempatkan wacana itu dalam konteks historistertentu. Bahasan elaboratif periksa Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 8-11
16Paul Ricour, Hermeneutika Ilmu Sosial, Diterj. Muhammad Syukri, (Yogyakarta: KreasiWacana, 2006), hlm. 57
17Akh. Minhaji, Strategies For Social Reseach; The Methodological Imagination InIslamic Studies (Bahan Kuliah untuk Metodologi Penelitian dalam Bidang Studi Islam)(Yogyakarta: Sukapress, 2009), hlm. 94
8
umum ditarik ke khusus.18 Sedangkan metode yang penyusun gunakan untuk
menganalisis adalah interpretatif, berupa analisis wacana teologi inklusif baru
kemudian menelaah secara kontrastif-implikatif terhadap pendidikan Islam
untuk mendapatlan hasil penelitian komprehensif dan konklusif . 19
C. Konsep Pendidikan Teologi Inklusif
Dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa
yang disebut dengan general pattern dan particular pattern. General pattern
adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap agama, di luar kemampuan
pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, history serta
konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari
agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut.
Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan
particular pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda,
misalnya dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan
Kristen berpegang konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai
sholat sedangkan Kristen mempunyai kebaktian.20
Pendidikan sebagai media pengembangan dan pembinaan aspek internal
(rohaniah/spritual) dan eksternal (jasmaniah) manusia, tidak bisa berlangsung
secara instan dan terima jadi. Tetapi membutuhkan suatu proses panjang yang
berkesinambungan, terarah, dan bertujuan untuk mengarahkan anak didik
18 Amirul Hadi, Metologi Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka setia, 2005), hlm.41
19 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu pendekatan Proposal l (Jakarta, Bumi Aksara,1995), hlm. 20
20 Lihat; M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999)
9
(manusia) pada satu titik optimal atas segenap jenis kemampuannya yang amat
beragam. Pendidikan teologi inklusif--secara epistemologi-- berangkat dari
asumsi dasar pluralitas agama yang tidak lain merupakan sunnatullah dengan
memperkenalkan bahwa perbedaan agama manusia yang dipercayainya
merupakan kenyataan ontologis yang tak terbantahkan.21
Maka pendidikan teologi inklusif harus sesuai dengan landasan filosofis
yang dibangun di atas pondasi yang kuat, baik sisi epistemologi, konsep
manusia dengan merujuk tauhid.22 Pendidikan teologi inlkusif mengedepankan
penyadaran dialog yang santun bagi murid menjadi sebuah prasyarat
terbangunnya berteologi inklusif yang merupakan tantangan yang harus
diimplementasikan dalam setiap kehidupan umat beragama. Karena menolak
pluralitas justru akan sangat membahayakan terciptanya kedamaian yang
diidamkan semua pihak.23 Pendidikan teologi inklusif harus mampu
memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual yang mampu memberikan
pencerahan spiritual, yaitu pencerahan yang mengantarkan pada keakraban,
cinta, keberanian, nilai eskatis dan kemabukan dalam diri sang Khaliq
(Allah).24
Atas dasar itu, dapat kita ditemukan sebuah pemahaman pendidikan
teologi inklusif adalah proses internalisasi kesadaran berteologi bagi setiap
21 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,(Bandung: Serambil Ilmu Semesta, 2006), hlm 34
22 Jalaluddin Rakhmat, Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995), hlm. 34
23 Ibid24 ibid
10
siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat dasar suci (fitrah) yang sudah
tertanam dalam hati setiap manusia.25 Seperti memberikan sebuah pemahaman
konkret bahwa fitrah manusia adalah keberagamaan.26 Di mana, fitrah yang
dimiliki setiap diri manusia terpancar sebagai potensi dan benih kreativitas
yang mampu melahirkan semangat dan gerak peradaban dan kebudayaan.27
Meminjam istilah Kontowijoyo, teologi adalah pembentuk struktur paling
dalam (deep structure) yang menjadi kekuatan fondasi aspek permukaan Islam,
seperti puasa, sholat, haji, moral/etika, dan segenap perilaku manusia sehari-
hari. Aspek permukaan Islam ini tidak akan bermakna, jika tidak ditopang oleh
kekuatan teologi.28
Hal itu menunjukkan, pandangan tentang kemutlakan Tuhan sekaligus
merelatifkan segala sesuatu selainnya-Nya, termasuk dalam hal pemahaman
manusia tentang tauhid. Dengan demikian, tauhid sekalipun ketika masuk
dalam konteks pemahaman dan nalar manusia harus dipahami dalam kerangka
proses pencarian keesaan terus menerus tanpa henti, never ending, sesuai
dengan rentang zaman yang melingkupi. Karena itu, apa pun yang merupakan
hasil kreasi dan penalaran manusia, memungkinkan adanya pembacaan ulang
dan tidak kebal kritik dan perubahan.
25 Alwi Shihab, Islam Inklusif menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,cet. IV,1998), hlm. 279
26 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004), hlm. 3927 Hujair AH. Sanaky, Konsep Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’ān dan Upaya
Pendidikan, (makalah tidak diterbikan), hlm. 328 Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dam Etika (Teraju:
Yogyakarta, 2005 ), hlm. 36
11
Pendidikan teologi inklusif berpandangan bahwa sebenarnya ada hal
yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. 29 Dalam bidang
akhlak, semua orang bisa setujua, apa pun mazhabnya. Pendidikan yang
berbasis teologi inklusif selalu berusaha dengan memelihara dan berupaya
menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik.30 Dengan suatu
orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan
pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-
agama lain. Sejatinya gagasan pendidikan teologi inklusif harus mampu
diimplementasikan di lembaga pendidikan yang didirikan, yaitu mulai dari
SMP hingga SMA. Sehingga ada muatan yang mengajarkan keterbukaan untuk
menghargai perbedaan di antara berbagai madzhab. Sehingga, pendidikan
berbasis teologi inklusif dapat dijadikan sarana bagi peserta didik untuk
menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-
masing sekaligus mengenal tradisi agama orang lain.
Untuk menumbuhkan kesadaran berteologi inklusif adalah harus diawali
di lingkungan sekolah untuk memperkuat kecerdasan sosial, yang bukan hanya
semata-mata dengan memberikan tantangan. Karena lingkungan itu
memberikan peluang untuk belajar dengan banyak begerak. Secara
keseluruhan, lingkungan lebih menentukan daripada keturunan. hal ini
dibenarkan, karena gen dan pengaruh orangtua ikut membentuk kepekaan
tauhid sosial, tetapi gen tidak menentukan nasib. Proses pendidikan dan
29 Jalaluddin Rakhmat, Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995, hlm. 234
30 Ibid
12
tantangan berfungsi tidaknya pikiran kita untuk bersikap inlkusif. Secara ilmu
biologis, dimensi tubuh manusia memiliki kemampuan yang hampir tidak ada
batasnya.31 Di sinilah dimensi spiritual (mistikal) mampu memberikan
pengetahuan baik substansi maupun proses untuk bersikap inklusif. Allah akan
memberikan ilmu kepada hamba-hamba yang hatinya sepenuhnya diberikan
untuk Tuhan. Dia memetik hadist nabi:
"Didunia ini ada sekelompok hamba Allah yang menjadi lemari-
lemari penyimpan kebijaksanaan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang
mengikhlaskan hati setujul-tulusnya untuk Allah." Menurutnya, merekalah
yang memperoleh pengetahuan tidak melalui otak-atik otak, tetapi melalui
pembersihan hati. Ke sanalah kita semua berharap untuk menujur”.32
Dengan demikian, paling tidak model pendidikan teologi inklusif
memiliki dua tujuan. Pertama, agar pendidikan tidak terisolasi, terbelenggu
secara terpisah dari lembaga pendidikan atau institusi pendidikan sebagai
teritorial yang sempit, akan tetapi diharapkan merupakan suatu model
pendidikan yang terbuka, berada dalam lautan kehidupan masyarakat dan alam
sekitarnya. Kedua, peserta didik memiliki keseimbangan antara rohani dan
jasmani.33
Peran teologi inklusif dalam pendidikan menumbuhkan rasa
“persaudaraan” antara sesama siswa, saling terbuka. Dengan mengedepankan
31 Ibid, 3832 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi, (Depok: Pustaka IlMaN, 2008), hlm. 11933 Djohar, Ms. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,
(Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 120-121
13
pelajaran aqidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik untuk
menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada
Allah swt, nabi Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti
pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya,
aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-
Karimah pada peserta didik.
D. Pola Pendekatan Pendidika Teologi Inklusif
Ada tiga pendekatan demensi aspek pendidikan teologi inklusif di
antaranya:
1. Pendekatan Teologi pluralistik
Dalam Islam, teologi sebagai risalah profetik memerlukan pembacaan
yang produktif-kreatif (al-qira’ah al-muntijah) agar tetap sesuai dengan
perkembangan dan perubahan zaman. Maka teologi pluralistik secara
substantif mengandung seruan kepada semua umat manusia menuju satu
cita-cita bersama dan kesatuan manusia tanpa membeda-bedakan ras, warna
kulit, etnik, kebudayaan, dan agama. Sebagai realisasi prinsip teologi, maka
tidak ada seorang pun, kelompok, atau bangsa mana pun yang dapat
membanggakan diri dan merasa diistemewakan Tuhan. Katakanlah: “Hai
Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah
kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
14
“Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)”.34
Ayat di atas merupakan landasan merajut keragaman budaya dalam
kesatuan dan kebersamaan untuk dapat berjumpa secara dialogis-inklusif.
Perjumpaan secara dialogis-inklusif bukan semata-mata percakapan searah,
tetapi mencerminkan percakapan dua arah pikiran dan hati serta
mengawinkan keduanya untuk mengusung persoalan-persoalan bersama
dengan komitmen agar masing-masing dapat belajar dari yang lain, sehingga
menuai hasil perubahan perkembangan. Ini berarti tauhid mampu menjadi
semangat proses efektivitas belajar-mengajar dalam situasi keragaman
budaya, yang dapat terselenggara secara terbuka, jujur, dan simpatik, serta
membawa kesalingsepahaman (mutual understanding).35
Dalam konteks pendidikan, kalimatun sawa’ di samping dapat dijadikan
landasan dan pengakuan pluralisme kehidupan dan multikultural, ia juga
adalah bentuk manifesto gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality)
dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan meneguhkan
pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara
(equality) dan sama bermartabatnya (dignity). Kalimatun sawa’ boleh jadi
merupakan ajakan bertauhid secara inklusif, agar umat beragama dan
34 Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan) bergegaslah menujudialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu” (QS. Ali Imran 3:64)
35 Lihat Q.S. al-Hujurat 49: 13,” “Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian darijenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling mengharhagai. Sesungguhnya orang yangpaling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargaiperbedaan di antara kamu.”
15
segenap budaya yang mengitarinya dapat berpindah dari pemusatan
terhadap “diri” kepada “Yang Suci” untuk mengeliminasi perbedaan-
perbedaan yang ada dan menumbuhkan koeksistensi.36
Di antara materi teologi pluralistik memuat tentang at-tawassuth yaitu
sikap tengah-tengah, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. At-
tasammuh, yaitu toleransi terhadap segala perbedaan. At-tawazun, yaitu
seimbang dalam segala hal. Sehingga, siswa diarahkan dan diajak
berdiskusi, berdialog dan berfikir tentang realitas sosial, hingga mampu
memiliki sence of belonging akan masalah sosial yang muncul. Secara ideal
muatan materi teologi pluralistik bertujuan untuk menggugah dan
menggelar kesadaran kultural dan kesempatan yang sama untuk belajar bagi
semua individu (peserta didik) dan kelompok masyarakat, sekaligus
memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman dan perbedaan.
Dorongan “kesatuan” ini bisa merujuk pada konsep tauhid sebagai ranah
profetik37 yang dapat memberikan spirit bagi tumbuh kembangnya
kesadaran multikulturalme. “Kesatuan” secara ontologis bermuara pada
konsep tauhid, di mana seluruh kebudayaan, peradaban, sejarah, dan
keragaman merupakan cermin dan pancaran tauhid itu sendiri. Pada konteks
36 Lihat; Muhammad Zaini, Membumikan Tauhid; Konsep dan Implementasi PendidikanMultikultural (yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2011)
37 Konsep tauhid sebagai ranah profetik kenabian Muhammad Saw., adalah cerminkarakteristik kepribadian Nabi yang selalu melakukan refleksi dan perenungan-perenungan tentangalam, lingkungan, masyarakat sekitarnya, dan Tuhan. Di samping itu, Nabi juga memilikisemangat belajar tinggi dan budi pekerti terpuji dan mulia, serta suka mencari hikmah-hikmah,sehingga beliau menjadi sosok yang fungsional sebagai pendidik yang berhasil. Lihat, AzyumardiAzra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1999), hlm. 55
16
ini dapat dikatakan, tujuan materi ini adalah untuk menanamkan sikap
simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya
yang berbeda, berdasarkan inklusivitas pemahaman teologis.
Sejatinya, implikasi dari tujuan di atas, muatan materi pendidikan Agama
mestilah mencakup topik-topik seperti: toleransi, perbedaan ethno-kultural
dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM,
demokrasi, kemanusiaan universal dan subjeksubjek lain yang relevan.
Salah satu ciri paradigma inklusif dalam uraian topik-topik materi agama
yang umum adalah pemaparan yang dilakukan secara terbuka dan dialogis.
Artinya, dalam setiap tema dipaparkan semua perspektif yang terkait dengan
pemahaman tema tersebut. Ambil contoh, ketika menjelaskan tentang
wahyu dan al Qur’an, maka kita tidak hanya menampilkan pandangan yang
mengatakan bahwa ia adalah kalam Allah yang diturunkan lafzhan wa
ma’nan, dengan memberikan pandangan lain yang mungkin berbeda secara
diametral dengan pandangan sebelumnya. Semua pandangan disampaikan
lengkap dengan argumennya masing-masing dan penjelasan tentang konteks
yang mendasari munculnya pandangan seperti itu, tanpa harus menghakimi
atau memihak salah satu pandangan tersebut.38
Diakui atau tidak, perbedaan faham (khilafiyah) seringkali memicu
perpecahan (ketegangan) sosial di ranah hubungan interumat beragama,
seperti sesame umat Islam. Hal ini diakibatkan oleh mata pelajaran agama
(Aqidah dan Fiqih) seringkali hanya terpaku pada satu pendapat atau faham
38 Syamsul Ma’arif, Islam dan Pendidikan Pluralisme, makalah disampaikan pada annualConference Kajian Islam di Lembang 26-30 Nopember 2006, hlm. 15
17
(madzhab). Sejauh pengamatan penulis, tidak jarang siswa dicekoki dengan
pendapat dari faham madzhab yang dianut oleh sang guru mata
pelajarannya, baik faham imam Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Dan
bahkan mengabaikan aspek perbedaan (khilafiyah) atau pengenalan akan
perbedaan madzhab, sehingga mazhab lain yang tidak sesuai dengan
paradigma berfikir guru yang bersangkutan tidak pernah disampaikan
kepada siswa.
Sejatinya, perbedaan faham bukanlah untuk melahirkan pertentangan
yang melahirkan konflik, malainkan sebagai jembatan yang mengantarkan
pada sebuah kerangka kerja yang menguntungkan semua pihak. Di sinilah
tugas utama lembaga pendidikan agama, terutama Islam dalam efektivitas
belajar-mengajar adalah bagaimana menanamkan kesadaran akan arti
perbedaan faham (madzhab) kepada peserta didik. Modelnya adalah
pendidikan lintas faham.
Pendekatan teologi pluralistik adalah pekerjaan yang sangat menantang
dan tidak mudah dan menjadi bagian agenda terpenting untuk para guru
(pendidik) dalam upaya membangun pendidikan lintas fahan dalam teologi
agar tercipta sikap-sikap inklusif menjadi sangat penting bagi kehidupan
negeri ini. Karena, kesadaran akan kemajemukan faham dalam agama
sendiri mesti didukung dengan sebuah teologi yang terbuka di tengah
keragaman. Cakrawala pemikiran yang berlandaskan pada teologi inklusif-
pluralistik dapat menjadi pijakan bagi seluruh komponen bangsa untuk
18
membangun masyarakat beradab, berkeadilan sosial serta demi menegakkan
harkat dan martabat bangsa.
Dalam hal ini semangat teologi pluralistik bisa diinternalisasikan secara
konkret dalam perubahan-perubahan sosial melalui bentuk transformasi
yang meliputi tiga jalan sebagai berikut. Pertama, transformasi sekolah.
Sekolah adalah sebuah institusi pendidikan yang juga dapat disebut sebagai
komunitas multikultural yang berkemampuan untuk mengelola keragaman
sehingga sekolah yang bersangkutan dapat hidup dalam keragaman itu
sendiri. Bagaimana cara sekolah dapat hidup dalam keragaman, pertama
harus dimulai dengan membangun sistem kepercayaan dan perilaku yang
mengakui dan menghargai kehadiran kelompok-kelompok yang beragam.
Selanjutnya, memahami dan menilai perbedaan sosio-kultural mereka, dan
mendorong serta mendukung mereka agar tetap memberi kontribusi
berkesinambungan dalam suatu konteks kebudayaan inklusif yang
memberdayakan semua orang dalam organisasi atau masyarakat.
Kedua, transformasi diri. Perlu disadari sejak awal bahwa refleksi diri
dan kritik diri merupakan bagian penting dalam proses transformasi diri.
Yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan kembali dan menguji
segala hal yang berinteraksi di dalam kelas baik mencakup sistem nilai,
prasangka, bias, asumsi-asumsi, pengalaman, gaya belajar yang dipilih, dan
lainnya. Selanjutnya peserta didik harus diarahkan pada pemahaman tentang
19
kedirian secara lebih luas, konsep diri positif,39 dan bersahaja pada identitas
keagamaannya, identitas kultural, dan etniknya.
Ketiga, transformasi lingkungan sosial. Suatu hal yang perlu dicermati,
harus dipastikan bahwa dalam lingkunan sosial yang inklusif semua
kelompok merasa aman dalam suasana perbedaan dan keragaman. Lebih
dari itu, tentu tidak sekadar dibutuhkan kesadaran dan kepekaan menangkap
perbedaan dan keragaman, tetapi juga keberanian memasuki perubahan
paradigma, di mana setiap orang dapat saling menguntungkan dalam
perbedaan dan keragaman.
Dalam lingkup sekolah, peserta didik perlu belajar berinteraksi dan
memahami orang lain yang berbeda baik etnik, agama, dan budaya. Dalam
kerangka ini, guru yang memandu perjalanan proses belajar mengajar di
kelas secara khusus memberikan informasi akurat tentang semua segmen
keagamaan dalam masyarakat, mengembangkan kesadaran sosial, dan
ketegasan moral, sehingga peserta didik lebih manusiawi dan simpati pada
pluralitas kultural, etnik, dan agama, serta adil secara moral dan egalitarian.
Maka, Pendidikan Agama hendaknya diarahkan pada upaya untuk
menumbuhkan kesadaran beragama yang menghargai perbedaan dalam
kultur keagamaan yang dialogis. Perbedaan ekspresi keberagamaan, baik
dalam intern Islam sendiri atau antara Islam dan selain Islam harus
diperkenalkan kepada mahasiswa sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus
39 W.S. Winkel & M.M Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan,(Jakarta: Media Abadi,), cet. IV, hlm. 379. Lihat juga, F.S. Caprio, Mengatasi Rasa Sepi,Frustrasi, dan Rendah Diri, terj. (Jakarta: Arcan, 1984), hlm. 8
20
disyukuri, dihargai, dipelihara, dan dikembangkan bersama dalam rangka
membangun peradaban manusia yang damai dan harmonis.
2. Pendekatan Spritual
Pendidikan merupakan proses menuju kesempurnaan individu. Dalam
pandangan pendidikan teologi inklusif, pendekatan spiritual merupakan
usaha sadar untuk menghantarkan peserta didik memiliki hubungan yang
sangat kuat antara ruhani manusia dengan Sang Pencipta, dengan kata lain
sebagai upaya mencapai ma’rifah ruhiyah. Dalam perjalanan ruhani ini
manusia harus dapat menyerap asma Allah yang merupakan cerminan sifat-
sifat-Nya, seperti Pengasih dan Penyayang.40
Seseorang yang mengkaji tradisi keagamaan Islam segera akan
menyadari bahwa di bawah lapisan dohma monoteistik yang kokoh serta
ketat dan hukum monolitik terdapat kehidupan bawah tanah dari
pengalaman keagamaan yang kaya, kehidupan yang dimaksud disini adalah
kehidupan para mistikus Islam.41 Kehidupan yang penuh toleransi dan
keramahan mistisisme terhadap agama-agama lain yang terejawantahkan
dalam dialognya yang mendalam dengan agama-agama lain.
Spiritual adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha
pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Menurut Burkhardt spiritualitas meliputi aspek-aspek: pertama,
berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
40 Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 3441 Jalaluddin Rakhmat, “Skisme dalam Islam Syi’ah: Sebuah Telaah Ulang”, dalam
Budhy Munawar Rachman, (ed.), Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:Paramadina, 1994.
21
kehidupan,. Kedua, menemukan arti dan tujuan hidup. Ketiga, menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
Keempat, Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan
yang maha tinggi.42
Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau
mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang.Konsep kepercayaan
mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai
kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha,
dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang
mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan
alasan tentang keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action),
harapan (hope), harapan merupakan suatu konsep multidimensi, suatu
kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan, dan bisa
mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga merupakan
energi yang bisa memberikan motivasi kepada individu untuk mencapai
suatu prestasi dan berorientasi kedepan.Agama adalah sebagai sistem
organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa
mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai
spiritualitasnya.Agama adalah suatu sistem ibadah yang terorganisir atau
teratur.
42 Ibid
22
Aspek spiritual yang harus ditanamkan dalam pendidikan teologi
inklusif adalah spiritual yang bukan sekedar metode pencarian makna,
namun merupakan fondasi bagi pencarian itu sendiri. Pertama, muatan
materi harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dan jiwa. Harus
disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik akan sangat mempengaruhi
psikis, seperti, persepsi, kognisi, kensepsi diri dan sebagainya.43 Kedua,
muatana materi meliputi aspek kemampuan yang di memiliki oleh Manusia
yang hampir tak terbatas. Tubuh dan jiwa manusia dapat berkembang jauh
melebihi dari apa yang kita bayangkan. Pendidikan harus berusaha
mengoptimalkan seluruh potensi ini. Dimensi mistikal dalam kehidupan
manusia harus dikembangkan lagi dalam situasi belajar.44
Pendidikan teologi inlkusif lebih mengutamakan kesalehan pribadi dan
sosial dari pada kesalehan spiritualitas yang eksklusif. Menerapkan
pembelajaran SQ (Spiritual Quotient), yakni pembelajara yang bertumpu
pada bagian dalam diri yang berhubungan dengan kearifan di luar ego dan
jiwa sadar serta berkaitan dengan pencarian nilai. Pada prisipnya manusia
memiliki banyak kecerdasan, tetapi jika tidak dibarengi dengan kecerdasan
spiritual, jiwa tidak akan merasakan kebahagiaan.45
Pendidikan Agama perlu diarahkan pada pencerahan hati dan
kecerdasan emosional serta tidak hanya pada tataran kognitif, agar umat
43Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak, Cet. VII, (Bandung:Penerbit MLC: 2007), hlm. 27
44 Ibid45 Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, Bandung: (Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 89
23
memiliki wawasan akidah, ruhiyah dan moral yang tinggi, kemampuan
empati dan peka terhadap persoalan kolektif. Dengan bahasa lain, melalui
wawasan Teologi Inklusif, terdidik–secara graduatif—diharapkan tidak
hanya sekadar mengetahui sesuatu dengan benar (to know), tetapi juga
mengamalkannya dengan benar (to do), menjadi diri sendiri (to be).
3. Pendekatan Tauhid Sosial
Dalam UUD amendemen II, kebebasan beragama diatur dalam Pasal
29 ayat (2) bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”. artinya, keyakinan (iman) sangatlah
pribadi, siapapun tidak bisa memisahkan iman dan raga seseorang,
begitupun sebuah Negara juga tidak bisa semerta-merta memaksakan
keyakinan tertentu kepada penduduknya.
Selama suatu keyakinan tidak menimbulkan akibat yang melanggar
hukum tata negara dan hak asasi manusia (HAM) maka negara wajib
memberikan perlindungan kepada pemeluk keyakinan itu, tak peduli apakah
keyakinan itu dianggap benar atau sesat oleh kelompok tertentu. Tak
selayaknya keyakinan orang itu dihakimi berdasarkan standar keyakinan
orang lain. tidak ada paksaan dalam agama, tentu juga dalam keyakinan
secara umum. Jaminan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan bukan
saja sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia, tetapi juga dengan
sesuai ajaran Islam.
24
Pendekatan tauhid sosial berupaya untuk menyeimbangkan wilayah
transendental dan rasionalitas, lebih-lebih dalam wilayah pendidikan yang
didasarkan pada keragaman dan realitas multikultural. Pendidikan teologi
iklusif dengan pendekatan tauhid sosial dapat menjadi pionir bagi
terciptanya dan terbukanya jalan pendidikan Islam yang meniscayakan
toleransi, keterbukaan, dan integrasi pengetahuan. Tauhid dapat menjadi
inspirasi dan sumber kreativitas bagi peserta didik dengan menghilangkan
beberapa sifat-sifat negatif yang melekat dan menubuh dalam dialektika
multikulturalisme. Sifat-sifat itu misalnya, pandangan stereotip (pendapat
dan pikiran yang tertanam dalam wilayah kognitif peserta didik yang
menggeneralisasi ciri-ciri sifat negatif seseorang atau sekelompok orang
berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok-kelompok tertentu),
intoleransi (ketidakmampuan untuk menerima dan menghargai pandangan,
keyakinan, nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda),
diskriminasi, dan prejudice-prejudice (perasaan atau sikap negatif yang
secara afektif tertanam dalam diri peserta didik, seperti perasaan tidak suka
atau benci terhadap orang/kelompok yang dilekati dengan prasangka-
prasangka negatif).
Pada dasarnya, manusia yang berpegang pada konsep tauhid—dalam
arti luas—adalah manusia yang berhasil mewujudkan kehidupan yang
cerdas, yang dalam istilah al-Qur’an disebut hayah thayyibah. Orang cerdas
pada zaman dahulu adalah orang yang memiliki keterampilan untuk hidup
sebagai warga masyarakat agraris yang feodalistik dengan posisi sebagai
25
elit (gusti) atau massa (kawula). Sedang pada zaman sekarang orang cerdas
itu adalah orang yang memiliki keterampilan dalam masyarakat industri
yang demokratis dengan posisi sebagai partner. Mengarah pada pemikran
yang dibangun oleh KH. Wahid Hasyim adalah semangat untuk
memosisikan logika, agama beserta budaya secara terintegrasi. Adapun
nilai-nilai moral yang diusung oleh beliausemangat pembentukan generasi
kreatif, saling menghargai antara satu sama lainnya. Dengan kata lain
mengarah pada pendidikan inklusif. Sikap-sikap inklusi harus dimilki oleh
civitas akademika sebagai pelaku pendidikan Islam di Indonesia.46
Dalam kontek ini, Wahid Hasyim menekankan pentingnya filsafat
ketuhanan sebagai dasar merancang pendidikan bangsa Indonesia yang
humanistik. Nilai-nilai ketuhanan perlu ditanamkan sebagai nilai perjuangan
pendidikan atau ruh pendidikan agar semangat pendidikan tidak keluar dari
batas-batas tuntunan agama dan bernilai bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih mulia dan bermartabat yang multikultur.
Pendekatan berbasiskan tauhid sosial, secara ideal adalah doktrin tauhid
yang harus memberikan implikasi makna “kesatuan” dalam berbagai bidang
kehidupan manusia. Artinya, kepada peserta didik doktrin tauhid harus
dipahamkan sebagai kesatuan tujuan dan makna agama-agama, kesatuan ras
dan kulit, kesatuan bahasa, kesatuan budaya, dan seterusnya. Penanaman
nilai-nilai dan pencarian titik temu atas fenomena keragaman harus benar-
46 Noor Achmad, “Visi Pendidikan dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim”, dalamShofiyullah MZ, KH. A. Wahid Hasyim; Sejarah, Pemikiran, dan Bangkitnya bagi Agama danBangsa (Jombang; Pesantren Tebuireng, 2011),hlm.361
26
benar dapat dirasakan oleh peserta didik sebagai bagian dari praktik
keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat tauhid sesungguhnya
sangat bersifat toleran terhadap berbagai perbedaan yang melekat dalam
budaya umat manusia. Keanekaragaman suku, ras, etnis, agama, dan kulit
justru semata-mata menunjukkan kemahakuasaan dan kemahatahuan Allah.
Menerapkan Tauhid sosial memang memerlukan sikap arif dan
keterbukaan dalam bentuk toleransi terhadap aneka perbedaan. Tentu yang
dimaksud bukan toleransi negatif (negative tolerance) yang sarat dengan
sikap semu dan penuh kepura-puraan, melainkan toleransi positif (positive
tolerance) yang berbentuk penerimaan (afirmasi) terhadap segenap realitas
keragaman yang ada, sajauh belum ada pembuktian sebaliknya. Secara
epistemologis toleransi merupakan prinsip dalam menyikapi perbedaan dan
fenomena pluralitas yang juga memiliki makna etis. Lingkungan belajar
yang nyaman dapat dikelompokkan dalam lingkungan intern, melibatkan
zona keamanan individu secara personal dalam pembelajaran.47 Ada tiga
konsep persaudaraan yang mengarah pada Tauhid sosial di antaranya:
Pertama, ukhuwah Islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu
sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang
dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Kedua, ukhuwah
wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena
merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia.
Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti
47 Ibid
27
agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Ketiga, ukhuwah basyariyah,
seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian
dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia.
Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk
ciptaan Tuhan.
E. Penutup
Pendidikan teologi inklusif adalah konsep pendidikan penyadaran terhadap
peserta didik akan menerima keanikaragaman di luar dirinya melalui nilai-nilai
keimanan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pentingnya pememahaman
bagaimana individu berbeda dengan yang lain (individual differences), dan
tidak memahami bagaimana menjadi manusia seperti manusia lain (persamaan
dalam specieshood or humanness). Setidaknya ada enam kesimpulan
sebagaimana berikut:
Pertama, konsep pendidikan teologi inklusif bertitik tolak dari konsep
filosofis-antropologis manusia sebagai Abd Alla>h dan khalifah Alla>h yang
kualitas kemanusiaannya belum selesai (berproses) sehingga memerlukan
perjuangan (muja>hadah) dalam menyempurnakannya. Muja>hadah itu diproses
melalui medium pendidikan–termasuk pendidikan agama (Islam)—yang
menekankan pada tercapainya nilai- nilai akhlak terpuji dalam konteks
kemajemukan yang sudah merupakan Sunnat Alla>h seperti keterbukaan,
sikap inklusif, menyadari dan menerima kemajemukan sebagai design Tuhan
serta berusaha mencari titik temu.
28
Kedua, Konsep pendidikan teologi inklusif adalah proses internalisasi
kesadaran berteologi bagi setiap siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat
dasar suci (fitrah) yang sudah tertanam dalam hati setiap manusia. Dalam
realitasnya, terdapat ribuan agama, budaya, bahasa di dunia. Maka agama-
agama yang sudah diakui secara resmi saja kita melihat keragaman yang luar
biasa, apalagi jika kita melihat cara setiap orang menjalankan agamanya.
Ketiga, pendidikan teologi inklusif relevan dengan lembaga pendidikan
berbasiskan agama secara konsisten dan ekstensif mempraktikkan nilai-nilai
pluralisme, inklusivisme dan keterbukaan dalam ber-Islam, sehingga
mewujudkan genre baru dalam wawasan dan aktualisasi tauhid yang tidak
lagi rikuh dalam mengapresiasi lokalitas dan menghadapi modernitas.
Praktik nilai-nilai di atas dicoba tanamkan melalui konstruksi dan muatan
kurikulum Pendidikan Agama yang lebih bernuansa toleran, terbuka dan
alergi pada truth claim.
29
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian EraMultikultural-Multirelijius, Jurnal On Line UIN Sunan Kalijaga,www.uin.suka.com, diakses jam 18 PM, pada 16/08/2014
_______, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1999), hlm. 14
Amirul Hadi, Metologi Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka setia, 2005)
Azra, Azumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Cet. I.Jakarta: Paramadina, 1999)
_______, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKiS,2001)
Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dam Etika (Teraju:Yogyakarta, 2005 )
Ma’arif, Syamsul, Islam dan Pendidikan Pluralisme, makalah disampaikan padaannual Conference Kajian Islam di Lembang 26-30 Nopember 2006.
Mardalis, Metode Penelitian: Suatu pendekatan Proposal l (Jakarta, Bumi Aksara,1995)
Minhaji, Akh. Strategies For Social Reseach; The Methodological Imagination InIslamic Studies (Bahan Kuliah untuk Metodologi Penelitian dalamBidang Studi Islam) (Yogyakarta: Sukapress, 2009)
Ms., Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,(Yogyakarta: LESFI, 2003)
Mubarak, Zakki dkk. Buku Ajar II, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadianterintegrasi (MPKT) cetakan kedua. Manusia, Akhlak, Budi Pekerti danMasyarakat,. Depok: FE UI, 2008.
Noor Achmad, “Visi Pendidikan dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim”, dalamShofiyullah MZ, KH. A. Wahid Hasyim; Sejarah, Pemikiran, danBangkitnya bagi Agama dan Bangsa (Jombang; Pesantren Tebuireng,2011)
Purnomo Pr,, Aloys Budi, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik (Jakarta:Kompas, 2013)
Rakhmat, Jalaluddin Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995,
_______, Reformasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
30
_______, Jalaluddin, “Skisme dalam Islam Syi’ah: Sebuah Telaah Ulang”, dalamBudhy Munawar Rachman, (ed.), Konstektualisasi Doktrin Islam dalamSejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.
_______, Jalaluddin, Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak, Cet. VII, (Bandung:Penerbit MLC: 2007)
_______, Jalaluddin, Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995)
_______, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme: akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,(Bandung: Serambil Ilmu Semesta, 2006)
_______, Jalaluddin, Meraih Cinta Ilahi, (Depok: Pustaka IlMaN, 2008)
_______, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: (Pustaka Hidayah, 1998)
Ricour, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, Diterj. Muhammad Syukri, (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2006), hlm. 57
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004)
Sanaky, Hujair AH., Konsep Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’ān dan UpayaPendidikan, (makalah tidak diterbikan),
Sealy, John, Religious Education Philosophical Perspective, (London: GeorgeAllen & Unwin, 1985),
Shihab, Alwi, Islam Inklusif menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:Mizan, cet. IV,1998)
Sumartana at al, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach (Yogyakarta: Andi Offset, 1990)
Tilaar,H.A.R, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depandalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004)
Winkel, W.S. & M.M Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di InstitusiPendidikan, (Jakarta: Media Abadi,), cet. IV, hlm. 379. Lihat juga, F.S.Caprio, Mengatasi Rasa Sepi, Frustrasi, dan Rendah Diri, terj. (Jakarta:Arcan, 1984)
Zaini, Muhammad, Membumikan Tauhid; Konsep dan Implementasi PendidikanMultikultural (yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2011)
31
Sumber Media:
Bisa dikroscek; “Ini Kronologi Pengusiran Warga Syiah di Sampang” di webhttp://surabaya.okezone.com/read/2013/06/21/521/825293/redirect. Diakses padaJam, 09.30 AM, tanggal; 10/07/2014.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/21/078685306/ini-kesaksian-jemaah-salat-id-korban-rusuh-di-tolikara. diakses pada tanggal 30 Juli 2015.
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/21/078685306/ini-kesaksian-jemaah-salat-id-korban-rusuh-di-tolikara. diakses pada tanggal 30 Juli 2015.