"melihat desentralisasi" - ui (2)

17

Click here to load reader

Upload: alsa-indonesia

Post on 26-Jul-2016

217 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

MELIHAT DESENTRALISASI DALAM LOGIKA ALOKASI DAN DISTRIBUSI

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DAN KANDUNGAN

SERTA IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2004

Penulis: Richarsus Mardiarso dan Satria Afif Muhammad

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian Otonomi Daerah secara etimologi adalah otonomi yang berasal dari bahasa

Yunani yang berarti auto, dan nomous. Auto berarti sendiri, dan nomous berarti hukum

atau peraturan. Jadi, pengertian otonomi daerah adalah aturan yang mengatur daerahnya

sendiri. 1 Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,

otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Tonggak isolasi kebebasan otonomi daerah ialah saat diberlakukannya Undang-undang

No. 5 Tahun 1979. Bahwa daerah atau desa tidak mempunyai kewenangan untuk

menjalankan tugasnya sesuai dengan keinginan rakyat melainkan tugas yang diemban

oleh daerah merupakan dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Artinya pemerintah pusat

mendelegasikan tugasnya untuk diselesaikan di tingkat pemerintah daerah. Setelah

Reformasi, terciptalah Undang-undang baru yang mengatur tentang pemerintah daerah

yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk

mengadakan pemerintahan yang berencana maka terbentuklah Undang-undang No. 25

Tahun 2004 tentang Sistem Perencaan Pembangunan Nasional dan hasil modifikasi

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 ialah Undang-undang No. 32 Tahun 2004.

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 ayat 1, 2, dan 3, pemerintah wajib menyusun

APBN. Sebelum menjadi APBN, pemerintah menyusun Rancangan Anggaran

1 http://www.artikelsiana.com/2015/06/pengertian-otonomi-daerah-tujuan-asas.html

diakses Jumat, 22 Januari 2016 20.42 WIB.

Page 2: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Pembangunan daerah sebagai bagian integral

dari pembangunan dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan

sumber daya nasional. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kesempatan bagi

peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan negara

dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan masyarakat secara umum. Sebagai daerah otonom, daerah

mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan

sesuai dengan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi

masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas,

nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Hal ini diwujudkan melalui

pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional, dan perimbangan keuangan.

Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan

dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Dalam pasal 3 ayat 3 Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, disebutkan

bahwa terdapat tiga rencana pembangunan, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(RPJP), Rencana Pembagunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan

Tahunan. Pasal 4 menyatakan bahwa RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan

dibentuknya pemerintah Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah

pembangunan Nasional.

Berdasarkan teori areal division of power, sistem ini membagi kekuasaan negara secara

vertikal antara “Pemerintah Pusat” di satu pihak, dan “Pemerintah Daerah” di pihak lain.

Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antara level pemerintahan

(intergoverment relations) dalam lingkup suatu negara. Dalam negara kesatuan seperti

Page 3: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

Indonesia, hubungan antara level pemerintahan berlangsung secara inklusif (inclusive

authority model) di mana otoritas pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan

pemerintahan tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang

berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. 2

Permasalahan yang beraikatan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ialah

mengenai keleluasan otonomi daerah yang diberikan kepada daerah demi tercapainya

asas demokrasi dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan landasan dan perspektif daerah itu

sendiri. Sebab, tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan yang sering dilancarkan, baik

menyangkut bidang ekonomi maupun politik pada akhirnya kaan menjadi “relatif” dan

“dilematis”. Dalam anggaran pemerintah daerah terdapat dilema antara pembangunan dan

tuduhan korupsi karena celah-celah yang dimiliki oleh Undang-undang No. 25 Tahun

2004 tentang SPPN tersebut.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana dilema antara pembangunan dan tuduhan korupsi yang terjadi

dalam sistem desentralisasi dalam logika alokasi dan distribusi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah?

2) Bagaimana kandungan dan implementasi Undang-undang No. 25 Tahun 2004

dan hubungannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga

mengakibatkan tuduhan korupsi?

2 Yudoyono, Bambang. 2003. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan SDM

Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 4-6.

Page 4: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

PEMBAHASAN

2.1. Dilema antara pembangunan dan tuduhan korupsi yang terjadi dalam

sistem desentralisasi dalam logika alokasi dan distribusi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

Semenjak diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah maka Pemerintah Daerah mempunyai wewenang dan kewajiban untuk mengelola

daerahnya sendiri yang berskala kabupaten/kota, yaitu:

a. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

b. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

c. Pelayanan administrasi penanaman modal;

d. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

e. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dan

pada aspek-aspek yang berhubungan dengan khalayak hidup orang banyak.

Pemerintah Daerah memerlukan dana untuk menjalankan pemerintahannya. Sebagaimana

diatur dalam pasal 157 Undang-undang No. 32 Tahun 2004, sumber pendapatan daerah

adalah Pendapatan Asli Daerah yaitu antara lain: hasil pajak daerah, hasil retribusi

daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan PAD lain-lain yang sah.

Kemudian dana lainnya ialah Dana perimbangan yang di dalamnya ialah Dana Bagi Hasil

(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Otonomi

Khusus serta pendapatan lain-lain yang sah.

Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 2004 bahwa seluruh perencanaan dan

pembangunan negara diatur di dalamnya. Maka seluruh Peraturan perundang-

perundangan yang berhubungan dengan perencanaan dan pembangunan haruslah sesuai

dan sinkron terhadap Undang-undang No. 25 Tahun 2004. Berdasarkan data yang

diperoleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, rata-rata Dana Perimbangan ialah

sebesar 55% dari total APBD dan rata-rata PAD hanya 25% pada tahun 20153. Dana

perimbangan merupakan dana yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

3 Kuliah Umum Direktorat Jenderal Keuangan. Makassar, 3 Agustus 2015.

Page 5: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

Daerah untuk menjalankan tugasnya. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

yang diberikan Pusat ke Daerah dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan

dan pengadaan air bersih. Dapat diartikan bahwa dengan besarnya presentase Dana

Perimbangan, Pemerintah Daerah masih bergantung kepada Pemerintah Pusat karena

Pemerintah Daerah belum dapat memaksimalkan potensi daerahnya.

Dalam proses penyusunan APBD, Pemerintah Daerah menyusun Rancangan Pendapatan

dan Belanja Daerah. Yang di dalamnya termasuk potensi Pendapatan Asli Daerah. Dalam

proses ini dapat terjadi penyelewengan anggaran dengan menggunakan modus mark

down. Yang dimaksud dengan modus mark down ialah penurunan anggaran perencanaan

asli. Seperti contoh, seharusnya potensi pendapatan asli daerah besar namun untuk

memperoleh dana transfer dari pemerintah pusat yang lebih besar maka dilakukanlah

mark down dengan menurukan potensi pendapatan asli daerah. Salah satu tuduhan

korupsi dalam anggaran pemerintah daerah berada dalam penyusunan APBD mengatur

pengelolaan pendapatan asli daerah. Dalam pembangunan di daerah, praktik korupsi

terjadi mayoritas dalam pembangunan infrastruktur, dana bantuan sosial, dana partisipasi

masyarakat dan audiensi dan dana pengadaan barang dan jasa.

Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan produk hukum mengenai pemerintah daerah dan

bagaimana proses dan perjalanan pemerintah daerah itu sendiri. Seperti contoh dalam hal

pengadaan barang dan jasa, terdapat peraturan yang mengaturnya yaitu Perka LKPP No

14 Tahun 2012 tentang Juknis Perpres No 70 Tahun 2012. Dalam peraturan tersebut

terdapat berbagai macam aturan yang kaku dan tidak dapat diganggu gugat mengenai

pengadaan barang dan jasa yang ada di daerah ataupun pusat. Untuk mengatasi adanya

penyelewengan anggaran saat pengadaan barang dan jasa, selain sudah adanya Peraturan

Perundang-undangan teknis yang jelas, juga diadakan audit akhir yang dilakukan oleh

Badan Pemeriksa Keuangan. Setelah selesai periode akuntansi, maka BPK akan

mengaudit anggaran pemerintah daerah. BPK mempunyai empat opini yang dapat

dikeluarkan, antara lain:

Page 6: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

a. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)

b. Wajar Dengan Pengecualian (WDP)

c. Tidak Wajar (TW)

d. Tidak Memberikan Pendapat (TMP)

Opini BPK inilah yang merupakan hasil audit yang dilakukan BPK terhadap anggaran

pemerintah daerah, ataupun Kementrian atau Lembaga. Namun opini BPK tidak

menjamin tidak adanya tindak pidana korupsi karena keempat jenis opini yang bisa

diberikan oleh BPK tersebut dasar pertimbangan utamanya adalah kewajaran penyajian

pos-pos laporan keuangan sesuai dengan SAP. Kewajaran disini bukan berarti kebenaran

atas suatu transaksi. Opini atas laporan keuangan tidak mendasarkan kepada apakah pada

entitas tertentu terdapat korupsi atau tidak. 4

Dengan semakin luasnya otonomi daerah namun tidak diiringi dengan kemampuan

sumber daya manusia yang baik dalam mengelola anggaran daerah dapat terjadi

pelanggaran administrasi. Sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun

2008 tentang Obudsman Republik Indonesia bahwa perbuatan maladministrasi adalah

perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang menggunakan

wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk

kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik

yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan

kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Pelanggaran administratif bukanlah perbuatan korupsi, namun pelanggaran administratif

sangat sulit untuk dibedakan dengan korupsi karena pada intinya ialah penyalahgunaan

wewenang sama seperti teori korupsi yaitu abuse of power. Secara sekilas, pelanggaran

administratif tentang kelalaian pengelolaan anggaran daerah dapat teridikasi sama dengan

adanya penggelapan anggaran daerah sehingga pelanggaran administratif yang dilakukan

4 http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-tidak-menjamin-tidak-ada-korupsi diakses Jumat, 22 Januari 2016 pukul 20:25

Page 7: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

oleh pegawai pemerintah dapat menimbulkan tuduhan korupsi hingga tuduhan tersebut

dibuktikan di pengadilan sebagai tindak pidana korupsi atau pelanggaran administratif.

2.2. Kandungan dan Implementasi Undang-undang No. 25 Tahun 2004 dan

hubungannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga

mengakibatkan tuduhan korupsi.

UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Di dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang ini mendefinisikan Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk

menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,

dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di

tingkat Pusat dan Daerah5.

Dan terlihat didalam Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2004 SPPN ini mempunyai tujuan yang

sangat luas, yaitu:

1) Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;

2) Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah,

antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan;

4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan

5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,

berkeadilan, dan berkelanjutan6.

Pada dasarnya, Undang-undang ini memiliki makna yang penting dalam perkembangan

Indonesia dalam era demokrasi. Undang-undang ini mengatur bagaimana seharusnya

sistem perencanaan pembangunan menghasilkan rencana yang bersifat kolektif dan

5 http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU252004.pdf. Diakses: 21/1/15 21.07 WIB 6 Ibid.

Page 8: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

publik. Namun demikian, Undang-undang ini memiliki beberapa celah dilematis yang

menjadikan Undang-undang ini belum mengarah pada tujuan-tujuan tersebut. Ialah

celahnya sebagai berikut:

1) Memang benar bahwa produk atau hasil akhir merupakan hal yang penting dan

esensial, namun kita tidak dapat mengesampingkan pentingnya kualitas proses

dalam mencapai produk tersebut. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang

SPPN ini hanya menegaskan tentang adanya kelembagaan Musyawarah

Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang dalam proses penyusunan rencana.

Walaupun pada akhirnya Undang-undang ini akan diturunkan dalam suatu

hierarki peraturan dibawahnya seperti Peraturan Pemerintah (PP), jika diteliti kita

dapat melihat bahwa Undang-undang ini hanya menyentuh permukannya saja

yang tertera pada Pasal 10 Ayat 3, Pasal 11 Ayat 1, dan Pasal 12 Ayat 1. Yang

mana seharusnya dapat dijelaskan secara lebih terperinci.

Makna dari Musrenbang tidak memiliki elaborasi yang baik, padahal Musrenbang

merupakan titik tumpu bagi suatu paradigma baru dalam perencanaan. Pada

hakikatnya perencanaan merupakan tahapan mendasar dari proses pembangunan

berkelanjutan, sekaligus merupakan perwujudan dari idealisme dan aspirasi

seluruh komponen masyarakat dalam rangka membangun dan memajukan

kehidupan ekonomi, sosial-budaya, dan tatanan kehidupan masyarakat secara

menyeluruh yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan masyarakat yang

berkeadilan7.

Proses top-down dan bottom-up merupakan sesuatu yang menyelaraskan program-

program untuk menjamin adanya sinergi/konvergensi dari semua kegiatan

7 Hardjosoekarto, Sudarsono. 2014. Pengkajian Positioning Fungsi Pengawasan

DPD RI Dalam Musrenbang. Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

Page 9: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

pemerintah dan masyarakat. Penyelarasan rencana-rencana lembaga pemerintah

dilaksanakan melalui musyawarah perencanaan yang dilaksanakan baik di tingkat

Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota serta Desa8. Dimana perencanaan makro

yang dirancang pemerintah pusat disempurnakan dengan memperhatikan

masukan dari semua stakeholders dan selanjutnya digunakan sebagai pedoman

bagi daerah-daerah dan lembaga-lembaga pemerintah menyusun rencana kerja.

Namun apa yang terjadi pada kenyataanya terlihat berbeda, banyak perencanaan

dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-sendiri, tidak terkait

satu sama lain bahkan sampai bertentangan. Namun itulah dinamika yang terjadi,

menjadi sebuah kewajiban bagi lembaga-lembaga formal (birokrasi) perencanaan

seperti Bappenas maupun Bappeda yang diamanahkan oleh UU untuk mampu

menyesuaikan diri dan tangguh untuk mengintegrasikan dinamika ini dalam

proses perencanaan.

Sejatinya, inilah yang seharusnya menjadi semangat yang tersirat dalam

‘Musrenbang’ seperti yang dimaksud dalam Undang-undang No. 25 tahun 2004

tersebut. Yang dikhawatirkan bila tidak hati-hati melihat apa yang diamanatkan

oleh Undang-undang No. 25 Tahun 2004 ini sangat mungkin perencanaan

partisipatif yang begitu baik disusun hanya akan menjadi pemanis yang disusun

secara mekanistik, yang pada akhirnya hanya akan menjadi formalitas semata

menggugurkan tujuan mulia yang terkandung didalamnya.

2) Permasalahan kedua ditemukan dalam sinkronisasi antara perencanaan

pembangunan di pusat dan di daerah. Banyak terlihat perbedaan siklus

perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah yang menimbulkan sulitnya

mencapai sinergi di dalam proses pembangunan itu sendiri. Permasalahan

8 Ibid.

Page 10: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

sinergitas antara pusat dan daerah ini dapat dibagi ke dalam tiga permasalahan

utama9, yaitu:

9 http://birohukum.bappenas.go.id/data/data_kajian/kajian_sewindu_UU_25_tahun%202004.pdf

No Kategori Faktor Penyebab Masalah

Page 11: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

Tuduhan Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang secara harifiah

berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

dan penyimpangan dari kesucian10. Kemudian kata korupsi yan telah diterima dalam

10 Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya. Jakarta:

PT Gramedia.

Permasalahan

1 Perencanaan dan

Penganggaran

1. adanya kegiatan dari K/L yang dibiayai

APBN dan kegiatan SKPD yang dibiayai

APBN belum sesuai;

2. nomenklatur dan kodifikasi kegiatan K/L

(APBN) dan SKPD (APBD) belum

seragam.

2 Pengendalian dan

Evaluasi

Belum adanya keterpaduan dalam pengendalian dan

evaluasi antara K/L dan SKPD sehingga terjadi

duplikasi pengawasan dan keterlambatan laporan

pelaksanaan.

3 Penataan Regulasi 1. Belum semua provinsi, kabupaten/kota

memiliki Perda RTRW;

2. Peraturan perundang-undangan antarsektor

terkait penataan ruang yang kurang

sinkron;

3. Belum terjadi sinergi kebijakan pusat dan

daerah dalam upata meningkatkan investasi

sektor rill baik PMA maupun PMDN.

Page 12: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminata dalam

Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-

unsur sebagai berikut:

a. perbuatan melawan hukum,

b. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

c. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

d. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang

paling gampang dihubungkan, misalnya:

a. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab

langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan

demokratik;

b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah;

c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari

pendanaan politik yang normal;

d. Lemahnya hukum;

e. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil;

f. Buruknya ekonomi;

g. Mental pejabat yang kurang baik;

h. Administrasi dan manjemen yang kacau.11

Harus kita pahami bahwa lemahnya hukum dan dalam hal ini bisa kita hubungkan

sebagai Undang-undang merupakan salah satu kondisi yang mendukung munculnya

tindak pidana korupsi. Celah yang ada dalam diatas merupakan lahan basah bagi

11 Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di

Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Page 13: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

penyelenggara negara memanfaatkannya untuk berbuat curang dan demi kepentingan diri

sendiri. Selama permasalahan dilematis ini belum bisa diselesaikan, tuduhan korupsi

tidak akan berhenti dilayangkan kepada pihak yang menjalankan amanat dari Undang-

undang ini.

Page 14: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Dilihat dari perspektif konsep Undang-undang No. 25 Tahun 2004, bahwa

SPPN sudah sangat terintegrasi, sesuai dengan asas desentralisasi dan

memerhatikan seluruh elemen masyarakat dan pembangunan yang bersifat

bottom-top. Perubahan pelaksanaan Undang-undang Pemerintah Daerah sejak

zaman Orde Baru hingga saat ini mengalami perkembangan yang sangat

signifikan, memerhatikan dasar negara dan juga cita-cita rakyat. Bahwa

perkembangan tidak seharusnya hanya dinikmati oleh Pemerintah Pusat yang

bersifat sentralistis sehingga pembangunan hanya terasa di Pulau Jawa seperti

yang terjadi di era Orde Baru, namun seluruh daerah di Indonesia juga berhak

menikmati pembangunan yang terintegrasi antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah seperti yang telah digagas dalam UU No. 25/2004. Namun

permasalah bangsa Indonesia sejak dulu belum kunjung usai, yaitu

pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi masih merajalela

di Republik Indonesia walaupun sudah ada pembaharuan Undang-Undang dan

juga turunannya. Berdasarkan kajian di atas, tindak pidana korupsi terhadap

anggaran Pemerintah Daerah dapat terjadi karena lemahnya pengawasan yang

dilakukan oleh Kepala SKPD terhadap pekerjanya. Sistem pengawasan

terhadap perangkat kerja yang harus diperbaiki demi menanggulangi tindak

pidana korupsi. Namun, pelanggaran administratif juga dapat dituduh korupsi

karena dapat berdasarkan penyalahgunaan wewenang ataupun kelelaian

sehingga menimbulkan kerugian negara secara materil atau immateril.

2) Terdapat dua celah yang cukup mendasar dalam kandungan dan implementasi

Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. Yang pertama yaitu kandungan dari Undang-undang

yang tidak bisa mengelaborasikan poin yang paling menentukan dari

perubahan paradigma perencanaan yang partisipatif dalam era demokrasi di

Page 15: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

Indonesia saat ini. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

hanya dilihat sebagai sebuah produk tanpa memperhatikan kualitas prosesnya

itu sendiri. Menjadikan Undang-undang ini bisa saja dianggap sebagai suatu

bentuk formalitas semata. Dan yang kedua yaitu ditemukan dalam sinkronisasi

antara perencanaan pembangunan di pusat dan di daerah. Dimana setidaknya

ada tiga faktor yaitu perencanaan dan penganggaran, pengendalian dan

evaluasi, dan penataan regulasi yang bertabrakan dan bertentangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jika dia problematika ini dibiarkan

saja, unsur dilematis di dalam Undang-undang ini masih terasa, maka akan

banyak tuduhan korupsi muncul kepada pejabat pusat maupun daerah akibat

lemahnya hukum yang berlaku.

B. Saran

1) Untuk mencegah terjadinya pelanggaran administratif yang dapat dijadikan

indikasi korupsi ialah dengan mengikutsertakan pekerja perangkat daerah

mengikuti berbagai pendidikan dan mempunyai sistem internal yang baik

untuk mencegah adanya kelalaian.

2) Peningkatan pendidikan di sektor perangkat kerja untuk mencegah tuduhan

korupsi yang disebabkan oleh maladministrasi.

3) Pembuatan petunjuk teknis yang jelas oleh Kepala Daerah sebagai Peraturan

Kepala Daerah.

4) Elaborasi yang lebih merinci pada Undang-undang No. 25 Tahun 2004

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terutama menyangkut

masalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan.

5) Sinkronisasi aturan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak

terjadi konflik dan pertentangan yang dapat menyebabkan perlambatan dalam

pembangunan dan menghindari kemungkinan tuduhan korupsi yang dapat

terjadi.

Page 16: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

1. Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya.

Jakarta: PT Gramedia.

2. Hardjosoekarto, Sudarsono. 2014. Pengkajian Positioning Fungsi Pengawasan

DPD RI Dalam Musrenbang. Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

3. Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di

Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

4. Yudoyono, Bambang. 2003. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan

SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kajian

1. http://birohukum.bappenas.go.id/data/data_kajian/kajian_sewindu_UU_25_tahun

%202004.pdf

Peraturan Perundang-Undangan

1. Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

2. Indonesia, Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU No.

25 Tahun 2004. LN No. 104 Tahun 2004.

3. Indonesia, Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN No.

125 Tahun 2004

4. Indonesia, Undang-Undang Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003. LN No.

47 Tahun 2003, TLN No. 4286.

5. Indonesia, Undang-Undang Obdusman. UU No. 37 Tahun 2008. LN No. 139

Tahun 2008. TLN No. 4899.

6. Indonesia, Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU No. 22 Tahun 1999. LN No.

60 Tahun 1999. TLN No. 3839.

Page 17: "Melihat Desentralisasi" - UI (2)

7. Indonesia, Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah. UU No. 25 Tahun 1999. LN No. 72 Tahun 1999. TLN No.

3848.

8. Indonesia, Perka LKPP No 14 Tahun 2012 tentang Juknis Perpres No 70 tahun

2012.