melacak gerakan anti-salafi di aceh · 2020. 4. 20. · memiliki dinamika tersendiri di aceh....

43
Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements MELACAK GERAKAN ANTI-SALAFI DI ACEH

Upload: others

Post on 02-Feb-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    MELACAK GERAKAN ANTI-SALAFI DI ACEH

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Jurnal Gerakan merupakan salah satu bentuk publikasi Harakah Institute. Terbit sebulan sekali dalam format digital.

    Harakah Institute merupakan institusi pemantau gerakan sosial Islam (islamic movement) yang dikelola secara swadaya dan berbasis kerelawanan. “Gerakan sosial Islam” telah menjadi subyek studi penting terutama sejak tahun 70-an bersamaan dengan menjamurnya berbagai varian gerakan sosial di seluruh dunia. Harakah Institute memberikan perspektif untuk para pembacanya, khususnya di Indonesia, yang terdiri dari anak-anak muda Muslim yang penuh semangat mempelajari Islam tetapi buta terhadap peta gerakan Islam. Dengan mengetahui keragaman gerakan Islam, diharapkan mereka dapat memilih gerakan keislaman yang berorientasi pada nilai-nilai perdamaian dan kerahmatan yang merupakan elemen kunci dalam Islam.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Pengantar Redaksi

    Laporan ini merupakan terjemahan kasar dari artikel berjudul The Anti-Salafi Campaign In Aceh. Salah satu laporan bulanan The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) nomor 32, tahun 2016.

    Kasus pengusiran penceramah Salafi Firanda Andirja pada bulanJuni 2019 tempo hari membuat artikel ini penting untuk dibaca kembali oleh publik untuk memahami konflik lebih dalam dan komprehensif. Bagaimana masyarakat Aceh dimungkinkan melakukan aksi massa menolak kedatangan Firanda. Setidaknya, hal itu tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik lokal yang melibatkan kekuatan politisi eks GAM dan dukungan ulama tradisional. Patronase keduanya berhasil membuat kebijakan yang pro terhadap ortodoksi Sunni Syafi’i, yang atas dasar itulah masyarakat dapat melakukan aksi vigilantisme. Pertama menganggap sesat kelompok Salafi-Wahhabi, kemudian melakukan aksi penolakan dan pengusiran. Kasus 2008 dan 2016 merupakan preseden penting bagi aksi pengusiran pendakwah Salafi pada 2019 ini.

    Selain persolan strategis, artikel ini mengurai asal-usulnya yang juga dapat ditemukan dalam persoalan teologi keagamaan. Bagaimana pun, perbedaan dalam tafsir agama ini juga menjadi penyulut kasus-kasus pengusiran seperti di atas. Model dakwah sebagian pengikut Salafi yang konfrontatif dan mudah menyalahkan, merupakan alasan lain mengapa masyarakat menaruh curiga dan kebencian kepada Salafisme. Karenanya, perlu koreksi menyeluruh terhadap model dakwah Salafi yang harus dilakukan internal mereka.

    Bagi para pendukung Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja), strategi vigilantisme-kekerasan perlu dihindari dengan menggantinya dengan strategi yang lebih kreatif, persuasif, dan simpatik. Hal ini meniscayakan penguatan kapasitas sumber daya manusia santri agar tidak kalah bersaing dengan kompetitor dakwah dari kelompok Salafi atau modernis lainnya. Aksi kekerasan hanya akan menjadi blunder, jika tujuan awalnya adalah sebagai bentuk penolakan terhadap intoleransi Wahhabisme serta memperjuangkan misi kerahamatan Islam. Jangan sampai, perjuangan melawan intoleransi justru dilakukan dengan cara yang intoleran. Hal ini hanya akan dapat membuat wajah Islam semakin buram di hadapan publik.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    PENDAHULUAN

    Perjuangan ideologis keras sedang berlangsung di Aceh ketika para pemimpin Muslim tradisionalis, yang berbasis di sekolah-sekolah berasrama yang disebut dayah, mencoba untuk meningkatkan pengaruh politik mereka atas kebijakan publik, merebut janji politik serta sumber daya penting dari kelompok-kelompok Muslim modernis, termasuk Salafi.

    Perjuangan memasuki dimensi baru ketika wakil gubernur dan mantan komandan sparatis Muzakir Manaf mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur 2017. Ia menyalurkan dukungan kepada kaum tradisionalis sebagai upaya menopang basis politiknya. Salah satu implikasi yang mungkin terjadi adalah definisi yang lebih ketat tentang ortodoksi Sunni oleh pemerintah daerah yang akan menempatkan tradisi hukum Syafi'i, yang didukung oleh Sunni tradisional, sebagai mazhab resmi di Aceh. Kaum tradisionalis mengklaim aktivitas mereka sebagai bentuk kampanye melawan intoleransi "Wahhabi", tetapi kampanye itu sendiri berisiko menjadi tidak toleran.

    Perjuangan itu juga bisa meningkatkan potensi kekerasan dalam pemilihan kepala daerah 2017. Munculnya kampanye anti-Salafi di Aceh dipicu oleh kecemasan tradisionalis tentang pertumbuhan nyata pengaruh Salafi setelah tsunami tahun 2004. Mereka, terutama, tersinggung oleh beberapa penceramah Salafi yang mencap praktik tradisionalis seperti merayakan Maulid Nabi dan berdoa di kuburan (ziarah kubur) sebagai inovasi sesat (bid’ah) dan karenanya dilarang di bawah hukum Islam. Sementara perbedaan antara tradisionalis dan modernis bukanlah hal baru di Aceh, kampanye anti-Salafi didorong oleh permasalahan politik, ekonomi dan perbedaan doktrinal. Sarjana tradisional (ulama) yang memiliki basis massa besar di pedesaan Aceh, merasa kurang terwakili dalam pemerintahan dan birokrasi keagamaan, yang secara historis didominasi oleh Muslim modernis yang lebih terdidik.

    Sejak akhir 1990-an, mereka mencoba menggunakan ruang demokrasi pasca-Soeharto untuk memperluas pengaruh mereka –dan sebagian besar berhasil. Medan pertempuran utama adalah masjid, khususnya Masjid Baiturrahman “megah” di Banda Aceh. Kaum tradisionalis, yang menyebut diri mereka Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja), telah berupaya untuk mengubah komposisi imam dan praktik ibadah di semua masjid mengikuti mazhab Shafi'i. Gerakan Aswaja tidak membedakan antara Salafi dan Muhammadiyah, karena keduanya mengutuk beberapa praktik tradisionalis sebagai bentuk penyembahan berhala. Anggota Aswaja telah membalas

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    dengan menduduki masjid-masjid modernis dan menyerang sekolah-sekolah Salafi. Kekhawatiran sekarang adalah bahwa kandidat untuk pemilu 2017 dapat mengeksploitasi sentimen anti-Salafi atau bahkan mendukung tindakan diskriminatif terhadap minoritas Salafi / modernis untuk memenangkan suara tradisionalis. Lebih jauh lagi, perpecahan dalam Partai Aceh, partai politik yang didirikan oleh mantan sparatis pada Juni 2007, berarti bahwa semua kandidatnya akan mencari dukungan di luar konstituensi inti mereka. Guru agama (ulama) di sekolah-sekolah pedesaan dengan jaringan alumni mereka yang luas dan pengaruh kuat di daerah pedesaan, dapat menjadi sekutu politik yang menarik. Laporan ini membahas asal mula kampanye anti-Salafi, bagaimana kemungkinannya akan mempengaruhi pemilihan daerah yang akan datang, dan implikasinya terhadap intoleransi agama dan kekerasan di Aceh. Ini didasarkan pada wawancara ekstensif di Aceh dengan anggota dari semua kelompok yang bersaing.

    LATAR BELAKANG

    Upaya ulama dayah untuk menegaskan pengaruh mereka adalah babak terakhir dari perebutan kekuasaan antara tradisionalis dan modernis/Salafi di Aceh yang telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Perjuangan itu telah terjadi di seluruh Indonesia, tercermin dalam persaingan di Jawa antara Muhammadiyah dan organisasi tradisionalis Nadhlatul Ulama, tetapi memiliki dinamika tersendiri di Aceh.

    Persaingan saat ini dapat ditelusuri kembali asal-usulnya sampai ke tahun 1920-an. Yaitu ketika orang Aceh yang belajar di sekolah-sekolah modernis/Salafi di Padang, Sumatra dan Timur Tengah kembali dan menantang dominasi kaum tradisionalis dalam pendidikan dan politik Islam.

    Pada 1950-an, kaum tradisionalis membantu pemerintah Indonesia menghancurkan pemberontakan Darul Islam yang dipimpin kaum modernis, tetapi harus berakhir dengan marginalisasi selama era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1966-1998). Kelompok-kelompok tradisional kembali tampil ke public pada akhir 1990-an setelah Soeharto mengundurkan diri, dan penggantinya mencabut status darurat militer di Aceh yang telah ada sejak 1990 sebagai respons terhadap pemberontakan pro-kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kaum tradisionalis mulai bergabung dengan gerakan untuk referendum kemerdekaan pada tahun 1999, kemudian bergerak untuk mengambil alih posisi strategis dalam dewan ulama, mendefinisikan ortodoksi Sunni melalui peraturan yang

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    dipengaruhi syariah, dan baru-baru ini bersekutu dengan Partai Aceh untuk menegaskan ortodoksi Sunni tradisionalis sebagai bentuk Islam asli –dan satu-satunya yang dapat diterima, di Aceh. Meskipun konflik ini sebagian besar bersifat politis, konflik ini juga didukung oleh perbedaan doktrinal mendasar di antara ketiga kelompok Sunni. Salafisme, Modernisme, dan Tradisionalisme Salafisme, sering disebut oleh para musuhnya sebagai Wahhabisme, dan Islam modern berbeda meskipun ada beberapa kesamaan yang dangkal dalam hal pendirian mereka pada kebutuhan untuk kembali ke Alquran dan tradisi Nabi (hadits) sebagai sumber utama hukum dan untuk menyingkirkan Islam dari takhayul dan inovasi agama.1 Salafisme secara luas didefinisikan sebagai gerakan untuk kembali ke apa yang diyakini penganutnya sebagai bentuk paling murni dari Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi dan dua generasi setelahnya (tabi’in dan tabi’ al-tabi’in).2 Islam modernis –yang di Indonesia sebagian besar diwakili oleh Muhammadiyah, didirikan pada tahun 1912 –diilhami oleh gerakan revivalis abad ke-19 dari reformator Mesir, Muhammad Abduh. Sementara Salafi meromantiskan "murni" Islam abad ketujuh, modernis berusaha membuat Islam kompatibel dengan zaman saat ini. Bagi kaum modernis, kembali kepada Al-Qur’an dan hadis dan adopsi sains modern diperlukan untuk membersihkan dunia Muslim dari tradisi-tradisi dan penyakit-penyakit sosial yang tidak Islami yang menyebabkan keterbelakangan Muslim. Tradisionalisme Indonesia merujuk pada praktik atau pengetahuan Islam yang berasal dari para cendekiawan dan ahli hukum Islam tertentu, khususnya mazhab hukum abad pertengahan, yang bertentangan dengan pembacaan teks suci secara literal, sebagaimana dipromosikan oleh Salafi, atau pemikiran independen (ijtihad), seperti didorong oleh kaum modernis.3

    1 Wahhabisme adalah bentuk Salafisme yang dipraktikkan di Arab Saudi, tetapi di

    Indonesia, ia memiliki konotasi yang merendahkan, menunjukkan ekstremisme dan intoleransi.

    2 Jonathan Brown, Salafisme, (Oxford, 2014), hlm. 3.

    3 Dalam hal yurisprudensi, tradisionalis mengikuti empat aliran pemikiran (madzhab)

    yaitu Syafi'i, Hanbali, Hanafi, dan Maliki, meskipun sebagian besar anggota NU, seperti rekan-rekan mereka di seluruh Asia Tenggara, hanya mengikuti yang pertama. Dalam hal akidah, mazhab Syafi'i menganut ajaran Abu Hasan al-Ash'ari (Ash'ariyah) dan Abu Mansur

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada tahun 1926, adalah organisasi tradisionalis Muslim terbesar di Indonesia.4 Secara teologis, perselisihan antara kaum tradisionalis dan modernis terutama berkisar pada interpretasi mereka tentang tiga konsep Islam: keesaan Tuhan (tauhid) , inovasi agama yang tidak beralasan (bid'ah), dan ketaatan pada ulama (taqlid). Tiga kelompok Sunni percaya bahwa tauhid adalah inti dalam doktrin Islam, tetapi mereka berbeda dalam hal sekolah-sekolah teologis dan apa yang merupakan bid'ah dan penyembahan berhala (syirik). Sebagian besar Salafi dan Muhammadiyah mengajarkan bahwa tauhid terdiri dari tiga komponen: Tuhan adalah pencipta tunggal alam semesta (tauhid rububiyah); Tuhan adalah yang tertinggi dan satu-satunya yang harus disembah (tauhid uluhiyah), dan Tuhan memiliki nama dan atribut yang sepenuhnya unik (tauhid asma wa al-sifat).5 Ini dikenal sebagai sekolah “tauhid tiga”. Tradisionalis mengikuti sekolah “Tauhid 50” dari Abu Hasan Al-Ash'ari dan Abu Mansur Al-Maturidy yang doktrinnya menekankan sifat-sifat Tuhan dan Nabi. Salafi menerapkan pemahaman mereka tentang tauhid dengan sangat kaku: segala sesuatu yang berbeda dari interpretasi mereka dianggap sebagai inovasi yang tidak beralasan, termasuk banyak praktik, seperti merayakan Maulid, yang berkembang setelah kematian Nabi. Dalam hal yurisprudensi, khususnya yang berkaitan dengan ritual sehari-hari, tradisionalis Indonesia semata-mata mengikuti mazhab Syafi'i sambil mengakui tiga mazhab lain (Hanbali, Hanafi, dan Maliki). Salafi dan Muhammadiyah sebagian besar memandang kepatuhan ini sebagai “kepatuhan buta” (taqlid).6 Namun, mereka mengizinkan “kepatuhan informatif” (ittiba ') ulama dari mazhab mana pun asalkan didasarkan pada penilaian rasional, untuk Muhammadiyah, atau argumen teks suci, untuk orang-orang Salafi.7 Sementara orang-orang Salafi telah masuk di Aceh

    al-Maturidi (Maturidiyah), dan dalam hal tasawuf dan etika, ia mengikuti Abu Hamid Al -Ghazali dan Al-Juwaini Al-Baghdadi.

    4 Secara historis, pendirian NU sendiri merupakan reaksi terhadap kebangkitan

    modernis di Indonesia. Untuk lebih lanjut tentang bagaimana perselisihan dengan kaum modernis telah mempengaruhi politik NU selama bertahun-tahun, lihat Robin Bush, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia, (Singapura, 2009), hlm. 29-36.

    5 Quintan Wiktorowicz, “Anatomy of the Salafi Movement”, Studies in Conflict &

    Terrorism, Vol. 29: 3 (2006), hlm. 208-210. 6 Penekanan Muhammadiyah pada penalaran independen (ijtihad) bertujuan untuk

    membebaskan umat Islam dari kerumitan mazhab. 7 “Taqlid, Doa Iftitah, dan Sholawat”, fatwatarjih.com, May 2011; Arif Fathul Ulum,

    “Antara Taqlid dan Ittiba”, almanhaj.or.id, 2 Agustus 2007.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    sebelum tsunami 2004, namun lebih banyak lagi yang datang ke Aceh pada tahun-tahun sesudahnya. Mazhab Salafi yang berorientasi Yaman, yang menjadi sasaran utama serangan, dipelopori oleh seorang guru Jawa yang pertama kali datang ke Aceh pada tahun 2001 tetapi baru membuka pesantrennya pada tahun 2008. Organisasi Salafi yang berbasis di Makassar, Wahdah Islamiyah, mengirim sukarelawan setelah kejadian tsunami dan akhirnya mendirikan cabang di sana. Hizbut Tahrir Indonesia, sebuah kelompok pro-kekhalifahan yang karena advokasi pro-syari'atnya sering salah dikaitkan dengan Salafisme, juga memasuki Aceh pada tahun 2004.8 Meningkatnya kehadiran Salafi dan kelompok-kelompok serupa pasca-tsunami, telah menimbulkan ketakutan yang meluas terhadap "invasi Wahhabi" di kalangan tradisionalis. 1950-1990-an: Sebuah Awal Anggota Aswaja mengklaim bahwa mereka telah menjadi mayoritas di Aceh sejak sebelum kemerdekaan Indonesia dan bahwa Salafisme dan modernisme diperkenalkan oleh orang luar. Klaim yang terakhir ini masih bisa diperdebatkan, terutama karena pendiri organisasi modernis pertama Aceh, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), adalah orang Aceh sendiri.9 Persaingan antara ulama tradisional dan modernis menyerupai konflik antara ulama konservatif (kaum tua), yang pada awal abad ke-20 yang membela ritual dan pendidikan tradisional, dan yang lebih muda (kaum muda) yang mempromosikan madrasah modern.

    8 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah kelompok advokasi pro-kekhalifahan tanpa

    kekerasan yang berafiliasi dengan organisasi Hizbut Tahrir (harfiah: Partai Pembebasan) global. Didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani Palestina pada awal 1950-an, Hizbut Tahrir berekspansi ke Indonesia pada awal 1980-an melalui Abdullah bin Nuh, seorang ulama Indonesia yang dipengaruhi oleh Abdurrahman al-Baghdadi Australia, mantan anggota organisasi di Lebanon yang kemudian mengajar di pesantren Nuh di Jawa Barat. Sejak 2014, HTI telah menjadi salah satu penentang paling sengit terhadap kekhalifahan yang dideklarasikan sendiri oleh Negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS), dengan alasan bahwa jenis kekhalifahan yang dibayangkan tidak akan dibangun melalui kekerasan. Untuk informasi lebih lanjut tentang HTI, lihat Ken Ward, “Non-violent Extremists? Hizbut Tahrir Indonesia,” Australian Journal of International Affairs, Vol. 63: 2 (2009), hlm. 149-164.

    9 Sebaliknya, Muhammadiyah dibawa ke Aceh pada tahun 1927 oleh kolaborator

    lokal Belanda (uleebalang) dalam upaya untuk menghancurkan kaum tradisionalis yang melawan Belanda. Meskipun pada awalnya terjadi konvergensi kepentingan antara kaum modernis dan uleebalang, yang pertama mengembangkan gerakan anti-kolonialis dan berbalik melawan uleebaalang yang kemudian dihancurkan sebagai hasil dari revolusi sosial 1946. Michael Feener, Shari’a and Social Engineering: The Implementation of Islamic Law in Contemporary Aceh, Indonesia, (Oxford, 2013), hlm. 29.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Apa yang membuat Aceh berbeda adalah munculnya kelompok separatis bersenjata yang dimulai dengan unsur-unsur Islam tetapi kemudian berubah menjadi gerakan etno-nasionalis yang lebih sekuler yang membuat persaingan lebih berdarah dan lebih kompleks. PUSA, yang didirikan oleh Daud Beureueh, menjadi organisasi Islam dominan di tahun 1940-an. Lulusan sekolah-sekolah PUSA juga mendominasi aparat administrasi lokal.10 Pada tahun 1953, Daud Beureueh memulai pemberontakan terhadap pemerintah pusat setelah Presiden Sukarno gagal memenuhi janjinya untuk menjadikan Aceh sebuah daerah khusus di mana syariah akan diterapkan, yang sebagai gantinya malah memasukkannya ke provinsi Sumatera Utara. Dalam konflik berikutnya, ulama tradisional mendirikan milisi yang membantu pemerintah pusat mengalahkan gerakan Darul Islam Beureueh. Mereka juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pemberontakan itu melanggar hukum.11 Pada tahun 1962, tentara Indonesia mengalahkan Darul Islam, dan negara kemudian mencoba untuk mengkooptasi baik ulama tradisional maupun modernis. Peluang lain muncul pada bulan Desember 1965 ketika pemerintah pusat, dalam pergolakan pertama melawan kudeta yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), membentuk dewan ulama provinsi (Majelis Permusyawaratan Ulama, MPU) dalam sebuah upaya untuk menggunakan Islam sebagai penyeimbang terhadap Komunisme. Ketua MPU pertama, Tgk H Abdullah Ujong Rimba, berasal dari latar belakang dayah -meskipun ia juga mantan anggota PUSA dan pejabat pemerintah.12 Sementara MPU mencakup beberapa ulama dayah, keanggotaannya tetap didominasi oleh para cendekiawan perkotaan, terutama pegawai negeri sipil yang berada di bawah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, perguruan tinggi Islam utama di provinsi produsen cendekiawan Islam.13 Pembentukan MPU semakin memperdalam kesenjangan antara ulama yang ditunjuk pemerintah kota dan ulama pedesaan yang ditunjuk. Tidak hanya yang terakhir kehilangan otoritas agama formal untuk modernis, tetapi lulusan

    10

    Feener, op. cit., hlm. 32-33. 11

    Ulama tradisionalis lainnya bahkan menyatakan Darul Islam sebagai bughat, pemberontakan ilegal terhadap penguasa sah yang dapat dihukum mati. Ibid., Hlm. 35.

    12 Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, didirikan pada tahun 1965, adalah

    model untuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) nasional yang baru didirikan pada tahun 1975. 13

    Pemerintah menyukai kaum modernis karena antara lain, mereka mencurigai bahwa Persatuan Tarbiyah Islam (PERTI) Pendidikan Islam, partai ulama tradisional, bekerja sama dengan partai Komunis Indonesia (Partai Komunis Indonesia, PKI). Yusny Sabi, Islam and Social Change, (Shah Alam, 2005), hlm. 125-126.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    dayah juga tidak bisa bersaing dengan elit kelas menengah -termasuk anak-anak pemimpin PUSA dan Darul Islam- untuk pekerjaan pemerintah setelah pemerintahan Orde Baru Soeharto berkuasa.14 Banyak tradisionalis mengembangkan sikap antipati terhadap Soeharto dan sebagian besar memilih oposisi bercorak Islam. Dukungan tradisionalis merupakan faktor penting dalam kemenangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Aceh dalam pemilihan umum tahun 1977 dan 1982.15 Pada pertengahan 1980-an, sebagian besar ulama telah berhasil dikooptasi oleh pemerintah, karena peran Ibrahim Hasan, gubernur Aceh dari tahun 1983 hingga 1993. Sebagai seorang profesor di universitas dan keturunan ulama yang disegani, Ibrahim berusaha mengambil simpati ulama dayah melalui kunjungan yang sering serta menyediakan dana besar dan haji gratis ke Mekah.16 Di bawah kepemimpinannya, ulama berubah dari “pemberontak dan kritikus” menjadi “corong pemerintah”. Modernis diberi posisi di universitas, masjid publik dan dewan ulama. Fungsi utama dari yang terakhir, yang pada tahun 1975 telah mengubah namanya dari MPU menjadi Majelis Ulama Indonesia (MUI), adalah untuk mendukung kebijakan pemerintah.17 Tradisionalis menerima bantuan keuangan untuk membangun pesantren dan sedikit lagi. Itu adalah cara untuk membatasi pengaruh mereka ke desa mereka sendiri.18 Ketika konflik dengan GAM meningkat pada awal 1990-an, militer Indonesia mengkooptasi banyak ulama dayah ke dalam upaya kontra-pemberontakan.19 Semua ini berarti penghinaan yang lebih besar bagi kaum tradisionalis: tidak hanya diabaikan dalam rekrutmen dewan ulama dan pengelolaan Masjid Baiturrahman, tetapi mereka

    14

    Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992, Cornell Modern Indonesia Project, (Ithaca, 1995), hlm. 48.

    15 Dwight King dan Ryaas Rasjid, “The Golkar Landslide in the 1987 Elections: The

    Case of Aceh,” Survei Asia, Vol. 28: 9, (1988), hlm. 918. Partai-partai Islam telah menang di Aceh sejak pemilihan pertama Indonesia pada tahun 1955. Namun pada pemilihan 1971, Golkar menang 0,8 persen atas koalisi partai-partai Islam, yang terdiri dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII ), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi). Pada tahun 1973, Presiden Soeharto memaksa keempat partai untuk bergabung menjadi satu partai, PPP.

    16 Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia,

    (Stanford, 2009), hlm. 87. 17

    Nama diubah dari MPU menjadi MUI karena pada tahun 1975, Soeharto mendirikan MUI nasional, sehingga MPU Aceh menjadi cabang MUI Aceh.

    18 Anthony Reid, Verandah of Violence: The Background to the Aceh Poblem,

    (Singapore, 2006), hlm. 329. 19

    Aspinall, op. cit., p. 206.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    sekarang juga dieksploitasi oleh tentara, sebuah lembaga yang dibenci oleh banyak orang Aceh. Akhir 1990-an dan 2000-an: Berjuang untuk Ortodoksi Sunni dalam Legislasi Syariah Para ulama tradisional dan santri mereka melihat peluang baru dalam kejatuhan Soeharto dan pencabutan darurat militer pada tahun 1998. Pada tahun 1999, dukungan kepada GAM meningkat, sementara organisasi kemasyarakatan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa muncul untuk menuntut referendum kemerdekaan seperti yang dijanjikan kepada Timor Timur. Sementara MUI dan elit politik lokal mendukung “otonomi khusus” untuk Aceh sebagaimana diusulkan oleh pemerintah Habibie pada bulan Februari 1999, ulama tradisional dan santri sekarang merasa lebih bebas untuk menyatakan dukungan untuk kemerdekaan.20 Pada bulan Januari 1999, perwakilan santri menghadiri kongres mahasiswa nasional yang diselenggarakan oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), gerakan pro-referendum berbasis mahasiswa yang paling menonjol.21 Pada bulan April, di bawah kepemimpinan Tgk Bulqaini, santri mendirikan gerakan mahasiswa mereka sendiri yang singkatnya disebut Rabithah Thaliban Aceh atau Thaliban, nama yang memberi mereka beberapa masalah mengingat perkembangan global. Tetapi dengan 75.000 anggota, Thaliban dengan cepat menunjukkan kemampuannya untuk memobilisasi banyak orang. Ia menjadi pemain penting dalam politik lokal, seperti halnya afiliasinya, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), didirikan pada September 1999. Kelompok-kelompok ini menjadi terkenal di tingkat nasional ketika pada bulan September 1999 mereka mengadakan rapat umum doa bersama yang melibatkan sekitar 2.000 orang di Masjid Baiturrahman. Acara ini dihadiri oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tak lama setelah terpilih menjadi presiden, dan tokoh politik nasional lainnya. Gus Dur dengan

    20

    Wawancara IPAC dengan Tgk Bulqaini, Banda Aceh, 23 Juli 2016. Tgk. Bulqaini mengatakan bahwa referendum adalah pilihan yang aman; itu adalah jalan tengah antara kemerdekaan dan otonomi khusus. Dia mengatakan: "Jika kita pro-otonomi, GAM akan menjadi musuh kita. Jika kami pro-kemerdekaan, kami akan mendapat masalah dari TNI. Referendum akan menyelamatkan kita dari semua masalah. ”

    21 Wawancara IPAC dengan Tgk. Bulqaini, 23 Juli 2016.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    terkenal meluncurkan spanduk besar bertuliskan: “Konflik Aceh Hanya Dapat Diatasi dengan Referendum”.22 HUDA dan Thaliban merasa lebih diberdayakan oleh Gus Dur, yang merekrut ulama sebagai mitra untuk dicoba untuk memenangkan hati rakyat Aceh.23 Pada bulan April 2000, HUDA dan Thaliban berencana untuk mengadakan Kongres Rakyat Aceh (KRA), di mana 1.500 orang Aceh akan berdebat tentang otonomi khusus versus kemerdekaan. Militer Indonesia menentang gagasan itu dan percaya hal itu akan berubah menjadi unjuk rasa pro-independensi. Komandan GAM lokal juga menentang, melihat KRA sebagai ancaman terhadap momentum referendum tetapi juga mungkin melihat ulama yang aktif secara politik sebagai saingan potensial.24 Di bawah tekanan dari semua pihak, HUDA dan Thaliban membatalkan konferensi. Sementara menarik diri dari politik, mereka mengalihkan perhatian untuk mendapatkan pengaruh di dalam MUI. MUI tiba-tiba menjadi lebih kuat dengan berlakunya UU 44/1999 di parlemen nasional tentang "Implementasi Status Khusus untuk Daerah Istimewa Aceh". Pasal 9 memberi ulama peran yang lebih besar dalam "memberikan saran tentang

    22

    Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, “Latar belakang dan situasi politik di Aceh”, di Olle Törnquist, Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks (eds), Aceh: Peran Demokrasi untuk Perdamaian dan Rekonstruksi, (Yogyakarta, 2010), hlm. 62.

    23 Wawancara IPAC dengan direktur Abdurrahman Wahid Center, Jakarta, 17 Agustus

    2016; Lihat juga Teuku Kamal Fasya, “Gus Dur dan Aceh,” Kompas, 30 Desember 2014. Bulqaini menjadi sangat dekat dengan Gus Dur; dia diundang ke istana presiden setidaknya tiga kali selama periode yang relatif singkat dari era kepresidenan Gus Dur. Selama kunjungannya pada bulan September 1999 ke Aceh, Gus Dur dijadwalkan menghadiri pelantikan HUDA tetapi tidak dapat hadir karena konflik penjadwalan. Tetapi dia menghadiri rapat umum mahasiswa, yang diselenggarakan oleh Thaliban, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya, yang ternyata merupakan rapat umum untuk referendum. Pada tahun 2000, Gus Dur mendapatkan hibah dari Brunei Darussalam untuk upaya perdamaian di Aceh. Hibah ini dikelola oleh Yayasan Aswaja Aceh, sebuah yayasan tradisionalis yang dipimpin oleh Afdhal Yasin, mantan pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Aceh, yang banyak dilihat sebagai bentuk favoritisme, karena Gus Dur adalah pendiri nasional dari PKB. Hibah itu digunakan, antara lain, untuk memfasilitasi perjalanan ulama tradisionalis dan aktivis masyarakat sipil lainnya untuk bertemu dengan Gus Dur di Jakarta.

    24 Wawancara IPAC dengan Tgk. Syamaun Risyad, penyelenggara Kongres Rakyat

    Aceh (KRA) Aceh, Lhokseumawe, 25 Juli 2016; “KRA Ditunda Hingga Medio Mei. Tgk Abdullah Sjafiei Menolak ”, Serambi Indonesia,“ 16 April 2000. “Sekjen GAM: KRA Penting Untuk Aceh,” Serambi Indonesia, 5 April 2000. Sebuah faksi lokal GAM di Pidie dilaporkan mengintimidasi penyelenggara KRA. Rumah penyelenggara KRA, Syamaun Risyad, dibakar habis. Ada juga upaya pembunuhan yang ditargetkan pada kurir Syamaun.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    kebijakan pemerintah daerah". Pengaruh mereka meningkat lebih jauh lagi dengan adopsi UU No.18 / 2001 parlemen nasional tentang Otonomi Khusus untuk Aceh yang untuk pertama kalinya secara eksplisit memberi Aceh hak untuk menerapkan syariah. Struktur MUI lama dibubarkan pada tahun 2002 dan digantikan oleh badan baru dengan nama lama MPU, seolah-olah untuk menyoroti karakteristik Aceh. Anggota dewan dipilih dari antara kandidat yang dipilih oleh tokoh masyarakat dan tetua di tingkat desa dan kabupaten –keuntungan besar bagi ulama dayah.25 Ketika kaum modernis terpilih, seperti di Lhokseumawe pada 2008, beberapa tradisionalis memobilisasi santri mereka untuk memprotes dan bahkan merusakkan Kantor MPU.26 Tetapi jika MPU sekarang berada di tangan tradisionalis, lembaga kunci lain tetap didominasi oleh kaum modernis: Kantor Syariah Islam (DSI), pemain kunci dalam penyusunan undang-undang syariah.27 Banyak modernis melihat kendali atas kantor ini sebagai kesempatan untuk “memodernisasi” Islam di Aceh. Salah satu peraturan yang menjadi fokus perdebatan adalah Qanun 11/2002 tentang Implementasi Hukum Islam dalam Iman, Ibadah dan Hukum (Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syariah), terutama dalam definisi iman Islam yang dapat diterima (aqidah).28 Tradisionalis, diwakili oleh wakil ketua MPU Tgk Daud Zamzami, menuntut

    25

    Prosedur-prosedur ini diamanatkan oleh peraturan provinsi yang diadopsi pada tahun 2000 yang mendahului Undang-Undang Otonomi Khusus.

    26 Wawancara IPAC dengan Tgk. Syamaun Risyad, Lhokseumawe, 25 Juli 2016. Lihat

    juga “Terkait Ricuh di Kantor MPU Tiga Santri Jadi Tersangka”, Serambi Indonesia, 11 Juni 2008. Pada 9 Juni 2008, sebuah massa dayah yang dipimpin oleh pemimpin FPI-Aceh Muslim At-Tahiry menyerang Kantor MPU Lhokseumwawe, memprotes terpilihnya kembali Syamaun Risyad sebagai ketua MPU-Lhokseumawe. Tiga santri ditangkap tetapi pemimpin mereka tidak tersentuh. Syamaun kemudian menjadi ketua tetapi akhirnya mengundurkan diri karena masyarakat dayah diduga melobi pemerintah daerah untuk menunda pendanaan untuk MPU. Dalam kata-kata Sayamaun, "Orang-orang dayah itu membuat saya sangat sulit untuk melakukan pekerjaan saya".

    27 Untuk informasi lebih lanjut tentang DSI dan struktur syariah Islam di Aceh, lihat

    Alyasa Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari'at Islam: Pendukung Qanun Pelaksanaan Syari'at Islam, (Banda Aceh, 2009).

    28 Wawancara IPAC dengan para pemimpin FPI-Aceh, Banda Aceh, 26 Mei 2016.

    Dalam hal undang-undang syariah, ketidaksepakatan antara Salafi dan ulama Dayah adalah tentang definisi ortodoksi Sunni. Namun, kedua kelompok sepakat bahwa syariah adalah hal yang baik untuk Aceh. Beberapa tokoh FPI-Aceh bahkan mengatakan, “tentu saja kami mendukung syariah. Kami, ulama dayah, tidak banyak terlibat dalam penyusunan qanun, kecuali selama audiensi publik [di DPRA] atau melalui MPU. Tapi kami tidak keberatan. Biarkan para profesor itu menyusun qanun. Kami lebih peduli dengan implementasinya, karena kami adalah orang-orang yang bertindak. ”

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    dimasukkannya istilah "Ahlussunnah wal Jama'ah" sebagai satu-satunya aqidah yang dapat diterima di Aceh –yang akan mengecualikan Syiah dan sekte minoritas lainnya. Kaum modernis pada awalnya menolak pembatasan semacam itu, tetapi akhirnya menyerah karena seorang ulama senior memberikan peringatan tertulis bahwa tidak ada ulama akar rumput yang akan membantu pelaksanaan hukum jika qanun tidak menyebutkan frasa “Ahlussunnah wal Jama'ah”.29 Ungkapan itu akhirnya berhasil menjadi qanun dan fatwa lainnya. Pada tahun 2007, MPU mengeluarkan Fatwa 4/2007 tentang Pedoman Identifikasi Sekte-Sekte yang Menyimpang. Terdapat tiga belas kriteria untuk menentukan penyimpangan, termasuk "percaya pada keyakinan agama yang tidak sesuai dengan Ahlussunnah wal Jama'ah". Seperti halnya qanun 2002, fatwa 2007 tidak pernah mendefinisikan istilah itu. SERANGAN TERHADAP SALAFI Serangan terhadap orang-orang Salafi terjadi pada saat pemilihan lokal 2006 dan 2007, sebagian besar di kabupaten Bireuen dan Aceh Besar.30 Ini sama sekali bukan contoh pertama dari kekerasan tradisionalis. Pada tahun 1998, sebuah lembaga pendidikan Salafi di Leung Putu, yang sekarang menjadi distrik Pidie Jaya, dibakar oleh sekelompok orang dari desa-desa tetangga. Sekolah itu dijalankan oleh ulama Aceh yang berpendidikan Saudi, Ustadz Faisal Hasan Sufi, yang dituduh massa menyebarkan kepercayaan yang menyimpang. Setelah serangan itu, kaum tradisionalis merebut kembali masjid.31 Serangan yang lebih sistematis terhadap masjid modernis/salafi terjadi. Kembalinya beberapa Salafi Aceh dari Yaman pada akhir 2000-an dan keberhasilan mereka dalam penyebaran kelompok-kelompok studi di sekitar Aceh memicu reaksi keras dari kelompok-kelompok tradisionalis, yang menargetkan tiga jenis salafi: salafi yang berorientasi Yaman, salafi yang berorientasi Saudi, dan apa yang disebut "Muhammadiyah yang condong Wahhabi " (Muhammadiyah yang ke-wahabi-wahabian). Tradisionalis tidak

    29

    Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu, 2008), hlm. 160.

    30 Sebagian besar pemilihan berlangsung pada bulan Desember 2006 tetapi Bireuen

    adalah salah satu dari dua kabupaten yang melakukan pemungutan suara pada tahun 2007 karena ketentuan bupati tidak kadaluwarsa.

    31 Wawancara IPAC dengan ustad Salafi di Aceh Besar, 22 Mei 2016. Lihat juga

    “Dialog Keislaman Membedah Aliran Sesat dan Ikhtilafiyah,” dewandakwahaceh.com, 1 Agustus 2008.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    membedakan antara Salafisme dan Muhammadiyah, sebagian karena Muhammadiyah di Aceh pada umumnya lebih puritan dan lebih dekat dengan Salafi daripada rekannya di Jawa. Seperti yang dikatakan salah seorang pemimpin Muhammadiyah di Aceh:

    Salafi dan Muhammadiyah berbagi doktrin purifikasi, tetapi kami lebih menekankan pada tajdid atau modernisasi, sedangkan Salafi menerapkan purifikasi terlalu ketat. Semuanya bid'ah. Ketika saya kembali ke Aceh [dari Yogyakarta] pada tahun 2006, saya terkejut bahwa khotbah Jumat di masjid-masjid Muhammadiyah selalu mengutip hadits bid'ah, yang tentu saja membuat marah komunitas dayah. Itu tidak terjadi lagi di Jogja atau di mana pun di Jawa! Tetapi di Aceh, Muhammadiyah memiliki warna Salafi.32

    Pada tahun 2006, ketika kampanye gubernur dalam pemilihan pasca-konflik pertama berjalan, perpecahan politik dan agama menjadi sulit diurai. Beberapa serangan anti-Salafi mungkin dikaitkan dengan persaingan kampanye, sementara yang lain lebih didorong oleh persepsi bahwa orang-orang Salafi, yang banyak di antaranya berasal dari luar Aceh, semakin bertambah jumlahnya dan mengancam praktik-praktik tradisional. Pemilu GAM Pertama Persaingan memperebutkan jabatan gubernur 2006, mengadu Irwandi Yusuf, mantan kepala propaganda GAM, dan calon wakilnya, Muhammad Nazar, pendiri gerakan mahasiswa pro-kemerdekaan, SIRA. Irwandi dan Nazar berdiri sebagai independen. Saingan utama mereka, merupakan calon dari Partai Amanat Nasional (PAN), sebuah partai politik nasional yang mapan, dipimpin oleh Humam Hamid, seorang pemimpin masyarakat dan intelektual non-GAM, dan Hasbi Abdullah, saudara Zaini Abdullah, mantan “Menteri Luar Negeri” GAM.

    32

    Wawancara IPAC dengan pemimpin Muhamamdiyah-Bireuen, Bireuen, 25 Juli 2016; Wawancara IPAC dengan sekretaris Dewan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 16 Agustus 2016. Sekretaris menjelaskan bahwa sejak awal Muhammadiyah tidak pernah menjadi entitas monolitik. Muhammadiyah di Sumatera umumnya memiliki pandangan yang lebih puritan daripada rekan lebih sinkretis di Yogyakarta. Untuk sejarah Muhammadiyah Aceh dan koneksi Padangnya, lihat “Pegawai pemerintah Belanda Menjadi Pendiri Muhammadiyah di Aceh,” sangpencerah.id, 28 April 2014.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Ulama tradisional pada awalnya dibagi di antara dua kandidat ini. Meskipun banyak kandidat lain juga ikut dalam pemungutan suara. Salah satu ulama tradisionalis paling berpengaruh, Tgk Hasanoel Basri (dikenal sebagai Abu Mudi), pemimpin MUDI Mesra, dayah terbesar di Aceh, mendukung Humam dan Hasbi tidak hanya karena ia punya kontak dengan Humam, tetapi juga dilaporkan karena ia dan Irwandi memiliki perseteruan pribadi yang berkelanjutan.33 MUDI Mesra memiliki 7.000 santri dan merupakan pusat dari 200 jaringan sekolah dan beberapa ribu alumni, aset yang berpotensi penting dalam persaingan yang ketat. Irwandi menerima dukungan Abi Lampisang –anggota GAM sejak 1982 yang kemudian menjadi imam Front Pembela Islam (FPI)-Aceh– dan Tgk Bulqaini, teman Nazar dari kampanye pro-referendum. Dengan demikian dukungan ulama tradisional terpecah, dan walaupun Irwandi akhirnya menang, itu sebagian besar disebabkan oleh euforia pasca-perjanjian, keengganan rakyat Aceh untuk memilih partai nasional ketika mereka memiliki alternatif, dan peran mantan kombatan yang menjadi mesin get-out-the-voting yang tangguh.34 Pada titik ini, para ulama relatif tidak cukup kuat ketika berhadapan dengan pemain lain untuk memiliki banyak pengaruh atas hasil. Perjanjian damai mencakup ketentuan bahwa partai-partai lokal di Aceh akan diizinkan mengikuti pemilihan lokal, dan mulai tahun 2007, partai-partai baru mulai mendaftar ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bahkan sebelum para diaspora mantan GAM mendaftarkan Partai Aceh pada 2008, ulama tradisionalis ditarik ke arah yang berbeda. Pada pertengahan tahun 2007, Abi Lampisang mendirikan partai politik yang patuh dan takut akan Allah (Geuneurasi Beusaboh Thaat dan Taqwa, Gabthat) partai politik “untuk menguji kekuatan faksi Irwandi di kalangan ulama pro-GAM.”35 Pada Februari 2008, pesaing untuk Gabthat muncul dalam bentuk Partai Kedaulatan Aceh (Partai Daulat Aceh, PDA). Dipimpin oleh Abu Mudi dan Tgk Nasir Waly, pemilik dayah tertua di Aceh, Dayah Labuhan Haji, partai itu secara luas diyakini sebagai pembentukan Badan

    33

    Wawancara IPAC dengan guru senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016. MUDI Mesra sebenarnya adalah akronim. Nama lengkapnya adalah Ma'hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah Mesjid Raya.

    34 International Crisis Group (ICG), “Pre-election Anxieties in Aceh”, Briefing No.

    81/Asia, 9 September 2008. 35

    ICG, op. cit.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Intelijen Negara (BIN) dalam upaya melemahkan Irwandi.36 Dengan mempromosikan dirinya sebagai pembela sejati hukum Islam, PDA berhasil merekrut beberapa ulama pro-GAM yang prihatin dengan kurangnya komitmen Irwandi terhadap ekspansi syariah.37 Pada bulan April 2008, Irwandi dan Nazar mengadakan pertemuan dengan ulama dayah dari lintas Aceh dalam upaya meningkatkan hubungan. Ulama menggunakan kesempatan itu untuk mengeluh bahwa mereka diperlakukan seperti anak tiri (dianaktirikan). Mereka menuntut lebih banyak dana untuk Kantor Pembinaan Pendidikan Dayah yang baru didirikan.38 Permintaan mereka langsung disetujui: dana naik dari Rp 178 miliar pada 2008, menjadi Rp 223 miliar pada 2009.39 Namun, banyak ulama memberi lebih banyak kredit untuk Nazar daripada Irwandi –memang mereka memberinya kredit untuk mendirikan kantor di tempat pertama. Seorang ulama Samalanga berkomentar:

    Usulan untuk Badan Dayah sebenarnya disahkan oleh legislatif provinsi pada tahun 2007 karena pada saat itu kami memiliki Tgk Harmen Nuriqmar, putra Abuya Nasir Waly dan ulama pro-dayah lainnya sebagai anggota. Tapi itu masih membutuhkan persetujuan eksekutif. Saat itulah Nazar berguna. Nazar memiliki kedekatan alami dengan kita; dia seperti saudara laki-laki bagi Tgk Bulqaini, dia juga memiliki pendidikan dayah. Jika bukan karena dia, pendirian Biro Dayah tidak akan semudah itu.”40

    36

    Wawancara IPAC dengan tokoh pemuda tradisionalis, Banda Aceh, 23 Juli 2016; Wawancara IPAC dengan seorang guru senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016. Satu ulama pro-Nazar dilaporkan dipanggil ke pertemuan dengan BIN di Jakarta pada tahun 2008. Dia ditanya apakah dia tertarik untuk mendirikan sebuah partai Islam dengan bantuan dari pemerintah pusat. Sang ulama menjawab bahwa sementara ia dan rekan-rekannya ingin mendirikan sebuah partai, dukungan BIN akan menjadi tanggung jawab pihak tersebut. Proyek ini kemudian ditawarkan kepada pemimpin HUDA saat itu, Abu Panton, yang kabarnya menunjuk Abu Mudi untuk melaksanakan tugas tersebut.

    37 ICG, op. cit. Tentang keengganan Irwandi untuk memperluas peran syariah Islam

    dalam kebijakan publik, lihat Feener, op.cit., Hal. 216. 38

    Firman Hidayat, “Pemerintah Aceh Bantu Jaringan Internet untuk 10 Dayah,” Theglobejournal.com, 21 September 2011.

    39 Bustami Usman, “Kebijakan Badan Pembinaan Dayah Aceh dalam Peningkatan

    Mutu Pendidikan Dayah,” 2015 (presentasi tidak dipublikasikan). 40

    Wawancara IPAC dengan seorang guru senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Ketika mendekati pemilu 2009, beberapa ulama dayah termasuk pendiri PDA Abu Mudi dan Abu Panton –mantan pemimpin HUDA- tiba-tiba mulai menyampaikan dalam khotbah-khotbah dan media lokal serangan terhadap sebuah peraturan yang dikeluarkan Irwandi dua tahun sebelumnya yang dinilai membuka pintu bagi penyebaran agama Kristen.41 Selebaran yang menyatakan hal yang sama dibagikan kepada dayah di jantung GAM. Faktanya, peraturan tersebut hanya menerapkan dekrit kementerian nasional dan membuatnya lebih sulit di Aceh daripada di daerah lain di Indonesia untuk membangun rumah ibadah baru.42 Irwandi kemudian menuduh mantan komandan militer Aceh Utara, Let.Col Yoseph, menyebarkan disinformasi untuk mendiskreditkan Partai Aceh dan dirinya di kalangan tradisionalis, meskipun pada saat ini, Irwandi dan kepemimpinan Partai Aceh benar-benar berselisih.43 Munculnya PDA dan Gabhat meyakinkan para pemimpin Partai Aceh bahwa mereka juga perlu memiliki organisasi ulama mereka sendiri, dan pada bulan April 2008, Parta Aceh mensponsori pembentukan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), yang didominasi oleh para guru agama yang pernah berperang bersama GAM dan menjadi imam bagi para gerilyawan.44 Dampak dari semua pencarian dukungan ulama ini adalah untuk meningkatkan sumber daya yang tersedia bagi ulama tradisionalis dan dengan demikian pengaruh politik mereka. Ini juga membuat mereka lebih kompetitif dengan para modernis dan Salafi yang sumber dayanya lebih baik dan lebih asertif dalam tuntutan mereka.

    41

    Wawancara telepon IPAC dengan Munawwar Liza, mantan walikota Sabang dan aktivis SIRA, Juli 2016; Irwandi Yusuf, “Kisah Pergub No. 25/2007 dan Fitnah oleh Al-Kazzab tentang Pendirian Rumah Ibadah di Aceh”, Acehmerdekapost.com, 14 Februari 2012

    42 Ini adalah Peraturan Gubernur 25/2007 (Pergub 25/2007) tentang Pedoman

    Pembentukan Rumah Ibadah. 43

    Irwandi Yusuf, “Kisah Pergub no. 25/2007 dan Fitnah oleh Al-Kazzab tentang Pendirian Rumah Ibadah di Aceh”, Acehmerdekapost.com, 14 February 2012.

    44 Wawancara IPAC dengan pemimpin MUNA, Tgk Ali Basyah, Banda Aceh, 23 Mei

    2016. Ulama MUNA juga mengambil bagian dalam Parade Aswaja, tetapi tidak seperti HUDA, perhatian utama mereka adalah untuk mengamankan posisi dalam struktur Wali Nanggroe. Wali Naggroe, secara harfiah berarti kepala negara, dan merupakan posisi yang diciptakan untuk mendiang pemimpin GAM, Hasan Tiro. Menurut Qanun 9/2013, Wali pada dasarnya adalah wali budaya dan pemimpin upacara tanpa kekuatan politik. Pada 15 Agustus 2016, kepala MUNA, Tgk Ali Basyah dan enam ulama dayah terkemuka lainnya disumpah sebagai anggota Tuha Peuet, dewan penasihat di bawah struktur Wali Nanggroe.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Serangan di Bireuen Bireuen adalah salah satu distrik di mana ketegangan antara tradisionalis dan modernis/Salafi berlangsung sangat keras. Pada tahun 2006, sekelompok pengikut tradisionalis yang dipimpin oleh seorang ulama senior telah mencoba untuk mengambil alih masjid Agung Bireuen. Masjid ini mempraktikkan cara ibadah modernis setidaknya sejak 1960-an ketika seorang mantan pemimpin PUSA/DI, Daud Hamzah, menjadi imam. Ketika tradisionalis menduduki masjid, jemaat modernis melawan; kedua belah pihak melemparkan batu tetapi tidak ada yang terluka parah.45 Bupati saat itu, Mustafa Geulanggang, adalah anggota NU dan berpihak pada kaum tradisionalis. Pada 2007, Geulanggang, yang mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua, mengeluarkan surat resmi yang mencopot dewan masjid yang ada (takmir) dengan dasar bahwa itu adalah masjid umum (masjid jami') dan karenanya berada di bawah kendali pemerintah.46 Kemudian tahun itu, dua masjid kecil di Bireuen juga ditempati oleh tradisionalis. Upaya-upaya ini tidak cukup bagi Geulanggang untuk memenangkan pemilihan, dan ia kalah besar dengan independen yang terkait GAM, Nurdin Abdul Rahman. Nurdin sebenarnya lebih bersimpati pada Muhammadiyah, dan perjuangannya dengan kaum tradisionalis adalah bukti kekuatan mereka yang berkembang.47 Pada 2008, ia menyetujui rencana Muhammadiyah untuk membangun Masjid Taqwa baru –nama umum untuk masjid Muhammadiyah di Aceh. Pada tahun 2009, ia mendukung pembangunan masjid baru, juga bernama Masjid Taqwa, di kecamatan Kutablang yang akan didanai oleh organisasi Qatar, Sheik Eid bin Muhammad at-Thani Foundation.48 Penduduk desa setempat menentang

    45

    Wawancara IPAC dengan pemimpin Muhammadiyah-Bireuen, Bireuen, 25 Juli 2016; Wawancara IPAC dengan tokoh terkemuka Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) -Aceh, Banda Aceh, 22 Mei 201

    46 Wawancara IPAC dengan tokoh terkemuka Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

    (DDII) -Aceh, Banda Aceh, 22 Mei 2016. 47

    Wawancara telepon IPAC dengan Nurdin Abdul Rahman, mantan bupati Bireuen, Agustus 2016. Nurdin memiliki latar belakang modernis yang kuat. Kakek-neneknya adalah anggota PUSA dan Nurdin sendiri sekarang menjadi bagian dari dewan Muhammadiyah-Bireuen.

    48 Wawancara IPAC dengan ustad Salafi di Aceh Besar, 22 Mei 2016. Nama lokal

    yayasan ini adalah As-Shilah. Didirikan di Aceh sekitar tahun 2005 untuk membantu rekonstruksi pasca-tsunami; kantor pusat dipindahkan ke Jakarta pada tahun 2009. Selain masjid, Yayasan As-Shilah juga telah mendanai beberapa sekolah di Aceh termasuk Ma'had Ali Ash-Shiddiq yang dosennya didominasi oleh alumni Universitas Andalus, sebuah universitas yang terhubung dengan Salafi di Sana'a, Yaman. Terlepas dari asal-usul Qatar,

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    pembangunan tersebut dengan alasan bahwa sudah ada masjid umum di kecamatan. Mereka bertemu dengan bupati pada malam sebelum upacara peletakan batu pertama, menuntut pembatalannya; tapi Nurdin tidak punya niat untuk menurut. Ketika mobil Nurdin mendekati lokasi upacara, massa yang marah menyergap mobilnya, mencoba menyerangnya. Kerumunan, sekitar ratusan orang, kemudian membakar gudang-gudang tempat bahan-bahan bangunan masjid disimpan.49 Polisi tidak mengambil tindakan; kepala polisi distrik, Saladin hanya mengatakan apakah masjid dibangun atau tidak diserahkan kepada MPU dan Kementerian Agama. Ketua MPU-Bireuen mendukung penduduk desa, dengan alasan bahwa “Kami di MPU percaya bahwa membangun masjid baru di dekat masjid yang sudah ada akan membuat perpecahan di antara umat.”50 Pada akhirnya, pembanugnan masjid dibatalkan. Serangan di Kutablang mungkin dikaitkan dengan pendanaan Qatar, yang sering dikaitkan dengan Salafi dan Wahhabi. Pada 2007, penduduk desa menargetkan sekolah lain yang berhubungan dengan Timur Tengah di Lampeneureut, Aceh Besar bernama Ma'had As-Sunnah. Beberapa anggota staf dan pengunjung dilaporkan diusir dari kompleks perumahan karena mereka gagal menghasilkan kartu identitas lokal. Sekolah itu memiliki sejarah panjang. Didirikan oleh seorang ustad Jawa bernama Ali Basuki pada tahun 2001. Ali, yang baru saja kembali dari studinya di Madinah, Arab Saudi, dikirim ke Aceh oleh ulama Salafi terkenal Ja'far Umar Thalib, yang saat itu berada di puncak pengaruhnya sebagai kepala Laskar Jihad di Ambon.51 Ustadz Ali menjalankan kelompok-kelompok

    cabang yayasan Indonesia dipimpin oleh seorang Sheik Ali Al-Sa'dy Yaman, yang menjelaskan hubungan kuat Yaman. Yayasan ini juga mensponsori siswa Aceh untuk belajar di Yaman.

    49 Wawancara telepon IPAC dengan Nurdin Abdul Rahman, Agustus 2016.

    50 “Bupati Bireuen Dihadang Massa Saat Hadiri Seremoni di Masjid”,

    Seputaraceh.com, 12 September 2009. 51

    Noorhaidi Hasan, “Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia”, Indonesia, Vol. 73 (2002), hlm. 145-169. Lahir dari keluarga Arab Indonesia di Jawa Timur, Ja'far Umar Thalib belajar di LIPIA yang didanai Saudi di Jakarta, sebelum melanjutkan pendidikannya di Sekolah Islam Maududi di Pakistan pada tahun 1986. Ia mengunjungi Afghanistan pada tahun 1987 tetapi tidak berpartisipasi dalam jihad. Pada tahun 1991, ia melanjutkan studi lebih lanjut di Yaman dengan ulama Salafi terkemuka, Sheik Muqbil ibn Hadi al-Wadi'i. Ja'far kembali ke Indonesia dan mendirikan sebuah sekolah di Yogyakarta bernama Ihya al-Sunnah yang menjadi pusat jaringan lembaga salafi dan kelompok diskusi. Alumni mereka kemudian menyebarkan

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    studi keagamaan di kampus-kampus dan masjid-masjid di Banda Aceh, di mana ia merekrut mahasiswa dan profesional kelas menengah. Salah satu rekrutannya adalah Pak Daus, pemilik jaringan restoran terkenal, "Nasi Goreng Daus". Pak Daus membeli sebidang tanah di Lampeneureut untuk sekolah masa depan dan mengirim anggota keluarga untuk belajar di sekolah Salafi yang berbeda di Jawa.52 Daus juga mengirim anggota keluarga ke pusat-pusat pembelajaran salafi di Yaman. Pada 2008, seorang kerabat bernama Harits Abu Naufal dan beberapa siswa lainnya kembali ke Aceh dan mulai mengajar di Ma'had As-Sunnah. Pendiri As-Sunnah, Ali Basuki, saat ini telah kembali ke Jawa dan sebagian besar fakultas dan mahasiswa adalah orang Aceh. Namun, ada beberapa orang Jawa, dan sekolah itu sering dikunjungi pengunjung dari luar Aceh. Semua ini menimbulkan ketegangan hubungan mereka dengan penduduk setempat. Seorang penduduk desa menjelaskan mengapa para Salafi tidak diterima:

    Setelah tsunami, semua jenis orang datang ke Aceh, seperti orang-orang yang mengenakan celana cingkrang [merujuk kaum Salafi].53 Mereka bukan dari sekitar sini; mereka membangun sekolah dan mulai memberi tahu anak-anak kita bahwa tradisi kita salah. Maulid adalah haram, kenduri [pesta tradisional] juga haram. Kami berhenti mengirim anak-anak kami ke sekolah mereka. Apa yang terjadi pada tahun 2007 adalah bahwa mereka memiliki semua pengunjung yang tinggal di sini selama beberapa hari tetapi tidak melaporkannya. Kami memiliki peraturan bahwa pengunjung yang menginap harus

    pengajarannya setelah kembali ke kota asal mereka. Setelah pecahnya konflik sektarian Muslim-Kristen di Maluku pada tahun 1999, Ja'far pada bulan April 2000 mendirikan Laskar Jihad dan mulai merekrut pejuang untuk dikirim ke sana. Anggota Laskar Jihad melihat diri mereka sebagai pejuang separatis Kristen di Maluku, dan dengan demikian menjadikan hal yang sama dengan militer Indonesia. Kedatangan mereka di Aceh secara luas dipandang sebagai taktik anti-GAM, anti-separatis yang didukung oleh militer.

    52 Wawancara IPAC dengan guru di Ma'had As-Sunnah, Aceh Besar, 21 Juli 2016.

    53 Salafi percaya bahwa memiliki celana atau pakaian di bawah pergelangan kaki

    adalah tanda kesombongan. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada sebuah hadits yang berbunyi: “Ada tiga orang di mana Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kebangkitan, juga tidak akan menguduskan mereka, dan mereka akan mendapat siksaan yang menyakitkan: orang yang tidak memberikan apa-apa kecuali bahwa ia mengingatkan (penerima hadiahnya), orang yang menjulurkan pakaiannya (di bawah pergelangan kaki), dan orang yang menjual produknya melalui sumpah palsu. "

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    melaporkan kepada kepala desa dan menunjukkan kartu identitas mereka. Mereka tidak menghormati aturan kami.54

    Ada juga ketidakbahagiaan di antara beberapa ulama dayah dengan ekspansi Muhammadiyah –sebagian karena dalam hal kinerja pendidikan, kaum tradisionalis gagal. Pada tahun 2009, Muhammadiyah di Bireuen memilih seorang ketua baru yang misi utamanya adalah menghidupkan kembali cabangnya yang tidak aktif. Pada tahun 2011, ia mulai mengorganisir acara-acara Muhammadiyah di depan umum, yang bertentangan dengan aturan tidak tertulis di desa-desa di Aceh bahwa Muhammadiyah tidak dapat mengadakan acara besar secara terbuka. Dia juga mulai mengirim pengkhotbah Muhammadiyah ke Samalanga, markas besar MUDI Mesra, dayah tradisionalis besar yang telah mendukung lawan Irwandi yang didukung GAM pada tahun 2006.55 Dia kemudian mendirikan sekolah Al-Quran yang ternyata sangat populer. Siswa memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dalam tes membaca Quran yang wajib bagi semua siswa sekolah dasar Aceh bahwa orang tua lebih memilih sekolah daripada yang dijalankan oleh ulama tradisionalis. Namun, pada akhirnya, permusuhan masyarakat terhadap sekolah-sekolah Salafi dan Muhammadiyah mereda, membuat kaum tradisionalis menjadi lebih tidak nyaman, karena tampaknya memberi kesan bahwa keduanya mendapatkan penerimaan. Dampak Perpecahan Irwandi-Nazar Irwandi dan Nazar, wakilnya, tidak pernah dekat, semakin lama semakin jengkel ketika masa jabatan pertama mereka berakhir dan keduanya memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur. Para ulama dayah cepat mengeksploitasi keretakan: mengekstraksi janji-janji dari keduanya sementara keduanya masih memiliki kekuatan untuk memenuhi. Nazar, sebagai produk sekolah dayah, dipandang lebih simpatik. Pada akhir 2010, terlepas dari upayanya untuk memperbaiki hubungan, Irwandi kembali berseteru dengan kaum tradisionalis, terutama kelompok pro-Abu Mudi dari PDA. Sebelumnya, pada bulan Juni, Nazar telah mengatur

    54

    Wawancara IPAC dengan penduduk desa Lampeneureut, Aceh Besar, 21 Juli 2016. 55

    Wawancara IPAC dengan seorang guru senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016. Pada 2016, MUDI Mesra memiliki sekitar 7.000 siswa dan lebih dari 200 cabang di seluruh Aceh. Sebagian besar pemimpin HUDA adalah alumni MUDI Mesra. Ia juga mengklaim memiliki lebih dari 10.000 anggota dalam jaringan alumni.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    agar Abu Mudi ditunjuk sebagai khatib untuk sholat Idul Fitri.56 Gerakan Nazar dihargai secara luas oleh para ulama dayah karena posisi ini biasanya diperuntukkan bagi para profesor Ar-Raniry. Tetapi pada bulan September, Irwandi tiba-tiba memutuskan bahwa Alyasa Abu Bakar, mantan kepala Kantor Syariah dan tokoh terkemuka Muhammadiyah, akan menjadi khatib yang baru. Ternyata Irwandi telah menunjuknya untuk pekerjaan itu sebelum Nazar memberikan nama Abu Mudi kepada pers. Nazar tampaknya telah bekerja diam-diam dengan Biro Karakteristik Khusus dan Kesejahteraan Sosial Aceh (Biro Keistimewaan dan Kesra Aceh) untuk mencoba merongrong penunjukan Alyasa.57 Perselisihan ini memperkuat keyakinan Abu Mudi dan para pendukungnya bahwa Irwandi menentang mereka. Pada awal 2011, Irwandi dan Nazar aktif berkampanye dan bersaing untuk mendapatkan suara dayah. Keduanya mengklaim telah memberi kredit untuk program sosial populis, terutama asuransi kesehatan gratis (JKA) dan program pengembangan dayah. Nazar khususnya berkampanye pada platform narasi Islam.58 Dia menekankan penguatan syariah; ia juga berkeliling ke sekolah-sekolah tradisionalis, berjanji untuk meminta 40 perusahaan milik negara untuk mendanai program ekonomi berbasis dayah.59 Irwandi mencari suara dayah dengan menunjuk pada peningkatan pendanaan pemerintah untuk Biro Dayah, pengenalan Program “Internet untuk Dayah” dan diberlakukannya peraturan (Pergub 47/2010) yang berusaha meningkatkan kualitas pendidikan dayah melalui kurikulum standar.60 Persaingan antara kedua orang itu dapat menjelaskan mengapa pada awal 2012, desas-desus tentang dugaan proyek Kristenisasi Irwandi tiba-tiba muncul kembali. Irwandi menulis op-ed marah dalam menanggapi berjudul "Kisah Pergub No. 25/2007 dan Pembohong Pembohong", menuduh TNI dan para ulama mitra melakukan kampanye hitam melawannya. Pada akhirnya, sebagian besar

    56

    Wawancara IPAC dengan seorang guru senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016.

    57 “Gubernur Ganti Khatib Idul Fitri Secara Mendadak,” Acehkita.com, 10 September

    2010. 58

    “Nazar: Syariat Islam Harus Tegak di Aceh,” nahimunkar.com, 20 March 2011. 59

    “Wagub Letakkan Batu Pertama Pembangunan Dayah,” Acehtraffic.com, Juni 2011.

    60 “Pemerintah Aceh Prioritas Syari’ah dan Pendidikan Dayah,” dayahamal.com, July

    2015.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    ulama dayah tidak mendukung baik Irwandi maupun Nazar, melainkan Partai Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Pada titik ini, ulama dayah tidak akan puas dengan janji dan pemberian yang tidak jelas. Mereka ingin menggunakan pengaruh politik untuk mengamankan perubahan dalam kebijakan publik, dan itu berarti tantangan yang lebih frontal bagi kaum modernis. Salah satu pertempuran kritis adalah mengenai peran negara dalam mendefinisikan dan menegakkan ortodoksi Islam. Lebih Banyak Tekanan untuk Mendefinisikan Ortodoksi Tekanan pada pemerintah untuk secara jelas mendefinisikan ortodoksi Islam yang dipasang pada 2011 sebagai media lokal dan nasional memainkan peran penting dalam kasus dugaan sekte sesat bernama Millata Abraham (juga dikenal sebagai Millah Ibrahim atau Millah Abraham di daerah lain); kemudian berkembang menjadi sekte lain, Gafatar.61 Sekte ini kabarnya menarik 700 pengikut, sebagian besar pelajar, di seluruh Aceh. Millata Abraham menjadi kasus yang sangat terkenal sehingga gubernur Aceh melarangnya. Tiga bulan kemudian MPU menghasilkan fatwa baru yang menguraikan 34 kriteria yang mendefinisikan Aswaja: empat poin ditargetkan pada Syiah, dan setidaknya dua dapat berpotensi digunakan

    61

    Millata Abaraham dikaitkan dengan Qiyadah Islamiyah, sebuah sekte Islam yang didirikan oleh Ahmad Mosadeq yang dinyatakan menyimpang oleh dewan pusat MUI pada 2007. Pada tahun 2008, Mosadeq, mantan anggota sempalan Darul Islam yang berbasis di Jakarta dan Jawa Barat yang dikenal sebagai KW9, adalah dipenjara selama empat tahun dengan tuduhan penistaan. Pada akhir 2010, Millata Abraham menyebar di Jawa Barat dan Sumatra di Indonesia dan di Selangor, Malaysia. Pada 2012, grup ini berganti nama menjadi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan secara resmi terdaftar sebagai organisasi non-pemerintah dengan cabang di hampir semua provinsi di Indonesia. Pada bulan Desember 2015, Gafatar memicu kontroversi nasional karena dikaitkan dengan beberapa kasus penghilangan orang di Jawa. Pada Januari 2016, polisi menemukan beberapa dari mereka yang dilaporkan hilang di antara 2.816 orang yang tinggal di komune Gafatar di Kalimanrtan Barat. Pada bulan Februari, pemerintah menyebut mereka “korban sesat” dan mulai memulangkan mereka ke daerah asal mereka. Ini juga membuat mereka berpartisipasi dalam program rehabilitasi keagamaan yang dilakukan oleh MUI dan organisasi Islam lainnya. Lihat “Sejarah Lahirnya Gafatar: Dari Mushadeq ke Mushadeq Lagi,” Tempo.co, 14 Januari 2016; Rinaldi Fakhrana, “Melongok‘ Negara ’Gafatar di Belantara Kalimantan,” Cnnindonesia.com, 25 Januari 2016; Kristian Erdianto, “1.611 Pengungsi Eks Gafatar Dipulangkan, Masyarakat Diimbau Menerima,” Kompas.com, 22 Januari 2016.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    untuk melawan Salafi dan Muhammadiyah.62 Setelah berhasil memaksakan definisi mereka sendiri tentang ortodoksi keagamaan, ulama tradisional mendorong untuk pelaksanaan sekolah yurisprudensi Islam Syafii, seperti di Brunei Darussalam.63 Mereka pertama kali mengajukan proposal pada tahun 2010 sebagai salah satu rekomendasi dari konferensi (muhasabah ulama) di Dayah Labuhan Haji, Aceh Selatan.64 Gagasan ini muncul kembali selama penyusunan qanun tentang Dasar-Dasar Hukum Islam (Pokok-Pokok Syariat Islam) pada tahun 2014. Hanya beberapa hari sebelum qanun disahkan, sebuah kongres yang sangat dipublikasikan yang diadakan oleh MPU-Aceh Timur merekomendasikan agar sekolah Shafi'i diterapkan sebagai mazhab resmi dan bahwa semua eksekutif dan legislator terpilih diharuskan untuk menjadi pengikutnya. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Partai Aceh dari Aceh Timur, Iskandar Usman Al Farlaky, berjanji bahwa ia dan rekan-rekannya akan memasukkan rekomendasi tersebut ke dalam rancangan qanun karena “itu dapat berisi pengembangan sekte-sekte yang menyimpang di Aceh”.65 Proposal tersebut mengundang protes dari para intelektual modernis. Seseorang mengeluh bahwa apa yang benar-benar diinginkan oleh para pemimpin dayah bukan hanya mazhab Syafi'i –yang mencakup beragam pendapat- tetapi juga interpretasi mereka sendiri tentang hal itu.66

    62

    Wawancara IPAC dengan sekretaris dewan pusat Muhammadiyah, Jakarta, 16 Agustus 2016. Dua dari 34 kriteria dapat berdampak negatif terhadap Muhammadiyah dan Salafi. Butir 26, yang membutuhkan kepercayaan pada konsep-konsep teologis yang berhubungan dengan akhirat, seperti jembatan di atas neraka (sirath) dan skala perbuatan baik vs. buruk (mizan) bermasalah karena istilah-istilah ini memiliki banyak interpretasi yang berbeda. Muhammadiyah, misalnya, menafsirkan sirat secara metaforis sebagai jalan yang akan mengarah pada kebaikan sementara sebagian besar tradisionalis meyakini adanya jalur fisik yang harus dilewati umat Islam pada Hari Penghakiman. Yang paling kontroversial adalah Poin 34 tentang berdoa untuk orang mati. Dikenal sebagai tahlilan, doa-doa berkala dan peringatan untuk orang mati adalah ciri khas praktik tradisionalis tetapi dijauhi oleh kaum modernis yang ragu mereka akan membawa manfaat bagi almarhum. Berdasarkan kriteria MPU, siapa pun yang menolak kepercayaan bahwa "orang mati ... akan mendapat manfaat dari doa orang hidup" dapat dianggap menyimpang dari ortodoksi Sunni.

    63 Referensi ke Brunei dibuat oleh beberapa dayah ulama yang diwawancarai.

    64 Tgk Teuku Zulfakhri, “Satu Mazhab Resmi untuk Aceh”, Kompasiana.com, 21 May

    2010. 65

    “DPRA Dukung Mazhab Syafiiyah Menjadi Mazhab Pemerintah Aceh,” Beritasore.com, 20 October 2014.

    66 Aslam Nur, “Mazhab Syafi’i atau Syafi’iyah?,” Serambi Indonesia, 26 September

    2014.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Didukung oleh beberapa legislator Golkar, kaum modernis mampu mengubah frasa dari “Mazhab resmi” ke “mazhab yang diprioritaskan” (mazhab yang diprioritaskan) dan juga menambahkan kualifikasi, bahwa kelompok-kelompok di Aceh yang mempraktikkan tiga sekolah lainnya (Hanafi, Maliki, atau Hanbali) tidak bisa dipaksa untuk mempraktikkan Syafi'i.67 Jadi ulama dayah gagal dalam upaya mereka. Kaum tradisionalis juga gagal dalam upayanya untuk membujuk Gubernur Zaini Abdullah, yang terpilih pada tahun 2012, untuk menerapkan cara ibadah Shafi'i di Masjid Baiturrahman. Masjid telah mengikuti cara ibadah modernis selama beberapa dekade. Ulama tradisional menuntut amandemen peraturan pemerintah provinsi (Pergub 37/2013) tentang manajemen masjid agar bisa memasukkan aturan tambahan yang mensyaratkan cara beribadah menurut mazhab Shafi'i. Ketika tuntutan mereka tidak dipenuhi, beberapa anggota HUDA memutuskan untuk mencoba taktik main hakim sendiri —seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), sebuah organisasi yang berbasis di Jakarta yang mendirikan tempat berpijak di Aceh setelah tsunami. Awalnya ditolak sebagai impor Jawa, ratusan anggota FPI datang ke Aceh untuk membantu mengumpulkan dan mengubur mayat, meningkatkan citra FPI di kalangan orang Aceh.68 Cabang FPI Aceh dipelopori oleh dua alumni dayah, Yusuf Qardhawy dan Muslim At-Tahiry pada 2005. Pemimpin gerakan Aswaja, Tgk. Bulqaini, pertama kali bertemu dengan At Tahiry pada awal 2008 selama protes FPI terhadap sebuah sekolah karena diduga memiliki buku-buku porno di perpustakaannya.69 Bulqaini diminta oleh sekolah untuk bernegosiasi dengan at-Tahiry untuk menghentikan protes, tetapi sebaliknya ia menjadi tertarik pada merekrut Tahiry dan anggotanya ke dalam gerakan dayah. FPI telah menjadi mitra HUDA sejak saat itu. Dengan kegagalan lobi konvensional, kaum tradisionalis memutuskan untuk beralih ke penggerebekan gaya FPI dan aksi massa untuk membendung pertumbuhan

    67

    Wawancara IPAC dengan pemimpin Muhammadiyah-Bireuen, Bireuen, 25 Juli 2016; Wawancara telepon IPAC dengan Nurdin Abdul Rahman, mantan bupati Bireuen, Agustus 2016.

    68 “Relawan FPI Tidur di Kuburan,” Tempo.co, 12 Januari 2005.

    69 Buku-buku itu sebenarnya adalah novel roman remaja dan buku biologi yang berisi

    gambar-gambar anatomi manusia.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Muhammadiyah dan Salafisme, yang sekarang gaya FPI itu telah pindah ke kubu tradisionalis. Menjelang Fatwa MPU Ketika kelompok-kelompok belajar Salafi tumbuh, demikian pula penolakan dari kaum tradisionalis. Pada September 2014, MPU mengeluarkan fatwa yang mengutuk Salafisme sebagai gerakan menyimpang. Ini pada dasarnya merupakan respons terhadap konflik di sebuah desa di kabupaten Pidie, yang dipicu oleh masalah pribadi antara pengikut kelompok studi Salafi (pengajian) dan anggota keluarga tradisionalis mereka, serta persaingan antara kepala desa (keuchik) dan sub-sub bupati Gampong Pulo Raya di Kecamatan Titeu, Pidie telah menjadi kubu modernis/Salafi selama beberapa dekade. Faisal Hasan Sufi, ustadz Salafi yang sekolahnya dibakar tahun 1998, biasa mengajar di sana. Tidak seperti desa-desa tetangga, Pulo Raya tidak merayakan Maulid setidaknya selama dua dekade dan orang-orang di sana berdoa dengan cara Muhammadiyah. Sekitar 2011, masjid desa direnovasi menggunakan bantuan Qatar. Ketika akan dibuka kembali, keuchik sedang mencari ustadz baru untuk mengajar di sana. Dia dikenalkan dengan Ustadz Abu Rifqy, seorang Salafi yang berorientasi pada Yaman yang baru saja menikah dengan seorang wanita Pidie, dan menawarinya pekerjaan. Pada 2014, pengajian Abu Rifqy memiliki ratusan peserta; Ust Harits dan para ustad As-Sunnah lainnya juga memimpinnya seminggu sekali. Abu Rifqy juga mendirikan sekolah Al-Quran untuk anak-anak yang pada tahun 2014 memiliki 100 siswa.70 Beberapa peserta yang berasal dari keluarga tradisionalis mulai berkelahi dengan kerabat mereka karena mereka menolak untuk berpartisipasi dalam sholawat massal dan acara-acara tradisional lainnya. Keluhan tentang eksklusivisme dan kesombongan salafi menyebar dari mulut ke mulut. Ada desas-desus bahwa pemilik tanah Salafi mengintimidasi para petani untuk bergabung dengan pengajian dengan mengancam akan mengambil tanah mereka, dan bahwa kaum Salafi menuduh semua orang di luar kelompok mereka sebagai orang kafir. Seorang pria bahkan mengklaim telah diusir dari rumahnya sendiri oleh keluarga Salafi karena dia menolak untuk bergabung dengan mereka.71 Perwira militer lokal juga curiga dengan kegiatan Abu Rifqy, tetapi dia

    70

    Wawancara telepon IPAC dengan Abu Rifqy, 14 Agustus 2016. 71

    Surat pengaduan Amiruddin, dalam “Himpunan Bahan Sidang paripurna-V Tanggal 23-25 Juni 2014,” MPU Aceh, Juni 2014.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    mengatakan dia menjelaskan kepada mereka bahwa ajaran Salafi mengajarkan menekankan rasa hormat kepada para penguasa dan bahkan melarang mengkritik pemerintah di depan umum.72 Sentimen anti-Salafi menyebar ke desa-desa tetangga ketika camat Titeu, Idrus, berbicara di pengajian Maulid di Gampong Loih pada April 2013. Mengkritik Pulo Raya karena menolak Maulid, dia berkata:

    Saya tidak ingin orang meninggalkan tradisi. Tradisi kenabian merekomendasikan [disunnahkan] agar kita merayakan ulang tahun [ulang tahun Nabi]. Jika kita tidak ingin mendoakannya, itu artinya kita sombong, sombong.

    Keuchik dan orang-orang Pulo Raya kemudian memutuskan untuk menuntut Idrus karena pencemaran nama baik, tetapi ini hanya menguatkan posisinya.73 Sebagai balasan, Idrus mengatur pada bulan Maret 2014 agar diadakan pengajian Maulid di Pulo Raya, dengan dirinya sendiri dan ketua MPU–Pidie, Tgk Nasir Ibrahim, sebagai pembicara. Dia berbicara dengan bangga pada dirinya sendiri sebagai lulusan dayah dan sekali lagi menekankan pentingnya menghormati tradisi. Peserta bersorak dan berteriak “Serang Wahhabi!”74 Pada hari Jumat 11 April 2014, ratusan orang dari sekitar Titeu memblokir jalan ke masjid Pulo Raya untuk menghentikan pengikut Abu Rifqy dari melakukan shalat Jumat. Pada 16 April, MPU-Pidie bertemu dengan semua pihak yang terlibat; para peserta sepakat bahwa Pulo Raya untuk sementara waktu harus menghentikan kegiatan shalat Jumat untuk “menghindari konflik lebih lanjut”.75 MPU-Pidie membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini. Tim menginterogasi para ustad Salafi, menyita buku-buku yang digunakan dalam pengajian, dan menyoroti dua hal yang menjadi perhatian: Salafi percaya bahwa Adam dan Idris bukanlah Rasul Allah (rasul) tetapi hanya Nabi (nabi); dan mereka percaya

    72

    Wawancara telepon IPAC dengan Abu Rifqy, 14 Agustus 2016. Beberapa petugas Kodim bertanya kepada Abu Rifqy mengapa seorang ustadz desa memberikan khotbah dalam bahasa Indonesia (sebagian besar ustadz lokal berbicara dalam bahasa Aceh). Dia menjelaskan kepada mereka sifat dakwahnya dan bahwa tidak semua orang mengerti bahasa Aceh. Dia percaya bahwa militer memantau pengajiannya tetapi beberapa perwira datang untuk menyukai pengajiannya.

    73 “Keuchik Gampong Pulo Raya Gugat Camat Titeu,” Serambi Indonesia, 3 October

    2013. 74

    Wawancara telepon IPAC dengan Abu Rifqy, 14 Agustus 2016. 75

    “Surat dari MPU-Pidie kepada MPU provinsi tentang Kelompok Studi Keagamaan Pulo Raya,” 5 Mei 2014.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    bahwa Allah duduk di ‘arsy (secara harfiah berarti takhta).76 Dua alasan ini juga dikutip dalam fatwa MPU sebagai bukti penyimpangan dari Salafi Pulo Raya.77 Tetapi anggota Muhammadiyah berbagi interpretasi Salafi tentang 'arsy, yang membuat mereka dan kaum modernis lainnya berpikir bahwa fatwa itu ditujukan kepada mereka juga.78 Setelah beberapa putaran pertemuan, pada tanggal 25 Juni 2014, MPU provinsi mengeluarkan fatwa yang kuat:

    Pemerintah harus menutup kelompok studi, dakwah, dan khotbah yang telah dilabeli menyimpang oleh MPU-Aceh, seperti kelompok studi Salafi di Gampong Pulo Raya di kecamatan Titeu, Pidie dan di tempat lain, dan melarang kegiatan mereka.79

    HUDA, FPI dan pejabat pemerintah menggunakan fatwa sebagai pembenaran untuk melarang kajian kelompok Salafi dan dalam beberapa kasus, serangan terhadap mereka. Pada tanggal 4 September, kepala polisi Titeu mengirim 150 petugas bersenjata ke Pulo Raya untuk mencegah pertikaian antara penduduk desa anti-Salafi dan simpatisan Salafi. Polisi

    76

    Tim fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, "Allah Bersemayam di Atas‘ Arsy, "Fastabiqu.com, April 2015. Tradtionalists dan Salafi memiliki interpretasi yang berbeda tentang arti‘ arsy. Kata 'arsy' disebutkan beberapa kali dalam Quran, yang paling sering dikutip adalah QS 7:54 10, yang mengatakan: Sesungguhnya, Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam Enam Hari, dan kemudian Dia naik ke atas Takhta. Pertanyaan apakah Tuhan tetap di tempat tertentu adalah salah satu yang paling kontroversial dalam teologi Islam. Ulama modernis Rashid Ridha menafsirkan ‘arsy sebagai semacam ruang kontrol atau ruang tempat semua urusan makhluk duniawi dikelola. Tradisionalis mengkritik interpretasi seperti itu karena bagi mereka, Tuhan tidak terbatas pada tempat atau waktu apa pun. Salafi percaya bahwa Adam dan Idris adalah Nabi tetapi bukan Utusan Allah karena mereka tidak memerintah atas manusia (ummah).

    77 MPU Fatwa no. 9/2014 menetapkan tiga set argumen untuk penyimpangan Salafi,

    yang semuanya adalah masalah parokial yang mungkin berlaku untuk modernis juga. Pertama, dalam hal akidah Islam (aqidah), para Salafi Pulo Raya dikatakan percaya bahwa Tuhan duduk di ‘arsy dan bahwa Adam dan Idris adalah Nabi dan bukan Nabi. Kedua, dalam hal ritual ibadah, Salafi Pulo Raya dilaporkan melarang qunut (doa tambahan dibacakan saat berdiri saat sholat subuh) dan pembacaan keras niat (niat) selama takbiratul ihram (awal shalat). Terakhir, dalam hal moralitas (akhlaq), Salafi diduga melarang perayaan Maulid dan zikir, dan melarang meniru ulama.

    78 Wawancara IPAC dengan pemimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)-

    Aceh, Banda Aceh, 22 Mei 2016. 79

    MPU, “Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pemahaman, Pemikiran, Pengamalan dan Penyiaran Agama Islam di Aceh,” Banda Aceh, 25 Juni 2014.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    kemudian memanggil Idrus sehubungan dengan tuduhan bahwa ia telah mencoba menghasut penduduk desa untuk menyerang Salafi. Pada akhirnya tidak ada cukup bukti untuk menuntutnya.80 Salafi yang berorientasi Yaman tetap menjadi target favorit. Pada bulan Maret 2015, HUDA menantang Ustadz Harits untuk debat publik Aswaja vs Salafi di Banda Aceh. Untuk mewakili kaum tradisionalis, HUDA mengundang Idrus Ramli, kyai NU garis keras dari Jawa Timur yang dikenal karena debat publiknya dengan Wahhabi dan Syiah di YouTube.81 Harits menolak tantangan itu, mungkin takut akan serangan. Pada tanggal 20 Agustus, ratusan santri dayah mengepung sekolahnya dan memperingatkan bahwa jika para ustad Salafi tidak meninggalkan Aceh dalam waktu tiga hari mereka akan menghancurkan sekolah itu karena terkait dengan kelompok Pulo Raya yang telah dinyatakan menyimpang oleh MPU.82 Harits melaporkan insiden ke polisi dan pada akhirnya, tidak ada serangan terjadi. Dia juga mendekati mantan komandan pangkalan udara Sultan Iskandar Muda di Aceh. Dia mengatakan bahwa komandan sangat menyukainya sehingga dia mengundangnya untuk memberikan ceramah di rumahnya. Harits juga mengklaim bahwa ia diundang untuk bertemu dengan Presiden Jokowi ketika ia transit di pangkalan udara militer pada tahun 2015. Banyak yang percaya bahwa koneksi militer telah melindungi “as-Sunnah” dari serangan.83 PARADE ASWAJA DAN SETELAHNYA Setahun setelah fatwa MPU, HUDA dan para mitranya mengintensifkan kampanye anti-Salafi mereka, yang berpuncak pada Parade I dan II Aswaja masing-masing pada bulan September dan Oktober 2015.

    80

    “Polres Pidie Panggil Camat Titeu,” Serambi Indonesia, 6 September 2014. Hingga Januari 2015, Idrus menjadi kepala Kantor Pembinaan Dayah Pidie.

    81 HUDA bahkan menamakan evennya dengan Parade Aswaja mengikuti gerakan

    Aswaja Garis Lurus yang sering dikaitkan dengan Idrus Ramli. Garis Lurus adalah frasa baru yang diciptakan oleh beberapa anggota NU faksi konservatif di dalam NU yang secara aktif terlibat dalam kampanye intoleran, termasuk yang menentang Syiah, Wahhabisme, dan liberalisme. Untuk lebih lanjut tentang gerakan Garis Lurus di NU, lihat IPAC, “Gerakan Anti-Syiah di Indonesia,” Laporan No. 27, 27 April 2016

    82 “Umat Islam Aceh Mengepung Markas Wahabi,” muslimedianews.com, 21 Agustus

    2015 83

    Wawancara IPAC dengan Tgk Bulqaini, Banda Aceh, 23 Juli 2016; IPAC mewawancarai pemimpin perempuan Wahdah Islamiyah Aceh, Banda Aceh, 24 Mei 2016

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Munculnya gerakan Aswaja bertepatan dengan gesekan yang semakin dalam antara Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf. Merasa dikhianati oleh janji pemilihan Zaini untuk memberi perhatian lebih besar pada dayah, ulama tradisional beralih ke Muzakir yang mencari dukungan mereka untuk upaya menggantikan Zaini pada 2017.84 Janji-janji Zaini yang Tidak Terpenuhi kepada para Tradisionalis Pada 2012, para ulama dayah relatif bersatu dalam dukungan mereka untuk kemenangan Partai Aceh. Kubu Abu Mudi percaya bahwa hanya tiket Zaini-Muzakir yang bisa mengalahkan Irwandi. Muzakir sebagai komandan GAM adalah sosok yang lebih populer dan dialah, bukan Zaini, yang menarik dukungan untuk tiket tersebut. Sejak awal para pemimpin komunitas dayah khawatir tentang kedekatan Zaini dengan Muhammadiyah dan fakta bahwa ayah Zaini adalah seorang aktivis PUSA yang sangat dekat dengan Daud Beureueh. Muzakir rupanya meyakinkan mereka bahwa dia akan memastikan bahwa kepentingan dayah akan ditegakkan. Dia juga secara pribadi mengatakan kepada beberapa pemimpin dayah bahwa dia akan mendapatkan lebih banyak dana dan lebih banyak peran publik untuk mereka.85 Hanya beberapa minggu setelah Zaini dan Muzakir secara resmi dinyatakan sebagai pemenang, Muzakir, sebagai langkah pertama untuk memenuhi janjinya, mengundang –dan kemungkinan membayar- 170 ulama untuk melakukan perjalanan ke Mekah untuk umrah dan ibadah bersama.86 Pada saat peresmian pada Juni 2012, Sekretaris Jenderal HUDA Faisal Ali secara khusus memperingatkan para eksekutif yang baru terpilih, “Janji kepada rakyat harus dipenuhi, karena dalam Islam, janji adalah hutang.”87

    84

    Wawancara IPAC dengan seorang ustad senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016. Mengomentari mengapa dayah harus menggunakan mobilisasi massa, ustad itu mengatakan: “Kami tidak turun ke jalan selama kepemimpinan Irwandi karena dia tidak pernah menjanjikan apa pun kepada kami . Tapi Zaini melakukannya, itu adalah bagian dari janji pemilihannya, kami membantunya menang. Sekarang kami hanya menuntut apa yang dijanjikan kepada kami. "

    85 Wawancara IPAC dengan seorang ustad senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli

    2016. 86

    “Mealeum dan 170 Ulama Gelar Doa Bersama di Masjidil Haram,” partaiacehkotalhokseumawe.blogspot.com.au, Mei 2015.

    87 Tgk. Mustafa Husen Woyla, “Zikir Perlahan Lupakan Dayah dan Isinya,”

    santridayah.com, 26 Desember 2012.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    Sejak itu kaum tradisionalis terus memantau kebijakan dayah Zaini-Muzakir. Pada bulan Desember 2012, seorang legislator dan alumni dayah memberi tahu teman-teman tradisionalisnya bahwa anggaran untuk Kantor Dayah akan dipotong dari Rp 136 miliar pada 2012 menjadi Rp 55 miliar pada 2013. Seorang pemimpin pemuda dayah kemudian menulis tentang itu di santridayah. com, situs web tradisionalis terkemuka, mengungkap kesenjangan antara janji Zaini dan implementasinya. Akhirnya jumlah yang disisihkan dalam anggaran 2013 untuk berbagai kegiatan dayah meningkat menjadi Rp 186 miliar.88 Para ulama dayah juga mengklaim bahwa Zaini dan Muzakir telah menjanjikan mereka lebih banyak wewenang dalam pengelolaan masjid dan birokrasi keagamaan. Untuk melaksanakan hal ini, gubernur dan wakil gubernur pada bulan Maret 2013 mengorganisasi “kelompok studi agama tingkat tinggi” bulanan [kajian tinggi] untuk pembuat kebijakan di kantor gubernur. Tradisionalis diundang sebagai pembicara dalam beberapa sesi pertama, kemudian kantor gubernur memutuskan untuk berganti-ganti antara ulama modernis dan tradisionalis. Para pemimpin dayah kurang senang dan berhenti dari pengajian setelah setahun.89 Pada 2014, ulama tradisional meningkatkan tuntutan mereka untuk peran besar dalam pengelolaan masjid, menggunakan semua cara dari lobi politik untuk pekerjaan sampai protes massa. Pada bulan April 2014, perwakilan HUDA, Thaliban, MUNA, dan MPU bertemu dengan Sekretaris Daerah (Sekda). Mereka yang hadir sepakat untuk menandatangani perjanjian tentang implementasi Pergub 37/2013, sebuah peraturan yang mengatur struktur manajemen masjid Baiturrahman. Isinya dua poin penting. Pertama, gubernur diharapkan untuk melarang pegawai negeri, yang berarti profesor universitas yang sebagian besar modernis, dari menjadi imam. Kedua, ritual sholat di masjid Baiturrahman, khususnya pada hari Jumat dan selama Ramadhan (tarawih), harus mengikuti metode tradisionalis. Ketika Ramadhan mendekat, imam Baiturrahman secara resmi mengubah tarawih dari delapan menjadi dua puluh rakaat untuk mengakomodasi tuntutan tradisionalis. Tapi itu terbukti menjadi kemenangan singkat. Imam yang sama melarang pengajian tradisionalis Abu Kuta Krueng pada Desember 2014, dan Faisal Ali langsung menuduh saudara ipar Zaini, Muzakir Abdul Hamid, sebagai “pembisik Wahhabi” yang memengaruhi

    88

    Usman, op. Cit. 89

    Wawancara IPAC dengan Alyasa Abu Bakar, Banda Aceh, 23 Mei 2016.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    gubernur untuk “mendiskriminasi” ulama dayah.90 Muzakir Abdul Hamid adalah lulusan LIPIA, perguruan Salafi (lihat di bawah) dan sering dituduh sebagai simpatisan Salafi yang berorientasi Saudi.91 Peran resminya sebagai penasihat gubernur meyakinkan kaum tradisionalis bahwa Zaini dikelilingi oleh pelobi Wahhabi.92 Insiden ini hanya mendorong ulama untuk meningkatkan lobi pejabat eksekutif dan legislatif. Pada 6 Mei 2015, perwakilan dayah datang ke kantor legislatif provinsi untuk bertemu dengan beberapa legislator, pengelola masjid, dan pejabat lainnya untuk membahas implementasi perjanjian April 2014. Pada tanggal 9 Mei, para pemimpin HUDA bertemu dengan Zaini untuk menyampaikan rekomendasi mereka tentang pelaksanaan mazhab Syafi'i di masjid-masjid umum, tetapi mereka mengklaim bahwa Zaini memberi mereka tanggapan dingin.93 Rumor mulai beredar di komunitas dayah bahwa setelah pertemuan itu, Zaini mengatakan kepada anggota stafnya bahwa Aswaja hanya terdiri dari empat kelompok (HUDA, MUNA, Thaliban, dan FPI) sementara kaum modernis dan Salafi diwakili oleh 21 kelompok. Setelah mendengar ini, para tradisionalis dilaporkan mulai

    90

    "Siapa Pembisik yang Melawang Pengajian Ulama Dayah di Masjid Baiturrahman?", Atjehpost.co, (tidak bertanggal).

    91 Ada sebuah kisah di antara orang-orang GAM tentang bagaimana pendiri GAM

    Hasan Tiro memarahi Muzakir Abdul Hamid di sebuah kamp pelatihan GAM di Libya pada 1980-an. Menurut legenda, Hasan Tiro pernah berbicara di depan para peserta: "Apakah Anda tahu mengapa saya mengirim Anda semua ke Libya sebagai lawan dari Arab Saudi atau Iran? Jika saya mengirim Anda ke Arab Saudi, Anda akan dipengaruhi oleh Wahhabisme; mereka akan meminta Anda untuk membawa pulang ideologi mereka. Jika saya mengirim Anda ke Iran, mereka juga akan mengekspor ideologi Syiah mereka melalui Anda. Jika itu terjadi, kami akan bertarung dengan orang tua kami di rumah. Jadi saya mengirim Anda ke Libya karena meskipun mereka mengikuti mazhab Hanafi, secara teologis mereka masih Asy'ariyah, sehingga tidak berbenturan dengan kepercayaan Aceh." Kemudian Muzakir menyela, dan berkata," Tapi Wahhabisme sebenarnya tidak seburuk yang Anda pikirkan", yang tampaknya dijawab Tiro: "jika Anda mengatakan itu lagi, Anda sebaiknya pergi! "Wawancara IPAC dengan Tgk Bulqaini, 23 Juli 2016. Bulqaini mengklaim telah mendengar cerita dari Muzakir Manaf dan beberapa mantan pejuang lainnya, meskipun mereka yang mengenal Hasan Tiro, yang berasal dari latar belakang yang sangat modernis, ragu akan kebenarannya.

    92 “Masyarakat Aceh Desak Pengelolaan Masjid Raya Baiturrahman,” dakwah.web.id,

    26 June 2015. 93

    Wawancara IPAC dengan seorang ustad senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli 2016; Wawancara IPAC dengan Yusni Sabi, Banda Aceh, 26 Mei 2016; Wawancara IPAC dengan Yusuf Qardhawi, mantan pemimpin FPI-Aceh, Banda Aceh, 23 Mei 2016.

  • Jurnal Gerakan Harakah Institute 28 Juni 2019 the center for monitoring Islamic movements

    merencanakan protes besar-besaran untuk menunjukkan kepada Zaini seberapa besar mereka sebenarnya.94 Pendudukan Baiturrahman dan Kepedulian Terhadap Pengaruh Saudi Tiga bulan sebelum parade pertama, pada 19 Juni 2015, HUDA dan FPI memimpin pendudukan Masjid Agung Baiturrahman selama salat Jumat. Mereka memaksa khatib untuk mematuhi cara tradisionalis memberikan khotbah: memegang tongkat dan mengulangi adzan dua kali.95 Pemimpin FPI Tgk Abdul Wahid mengklaim bahwa masjid telah jatuh di bawah kendali Wahhabi sebagaimana dibuktikan dengan pendirian di sana sebuah cabang LIPIA, sekolah bahasa Arab yang didanai Saudi yang berafiliasi dengan universitas Imam Muhammad Ibn Saud di Riyadh. Didirikan pada 2007, LIPIA-Aceh didanai oleh Saudi Charity Campaign Aceh (SCC) pasca tsunami. Pada bulan September 2012, sebuah MoU ditandatangani antara Universitas Ibn Saud dan dewan masjid Baiturrahman tentang pendirian kampus LIPIA di Aceh Besar. Ini adalah bagian dari rencana ekspansi LIPIA di Indonesia secara lebih umum (pada Agustus 2016, Rektor Universitas Ibn Saud mengumumkan pendirian tiga cabang LIPIA baru di Medan, Makassar, dan Surabaya).96 Tgk Bulqaini, koordinator parade, menambahkan bahwa imam Baiturrahman secara teratur mengundang syekh Saudi sambil mengabaikan ulama dayah.97 Dia mencatat bagaimana pada Desember 2014, imam dan kepala Kantor Syariah Islam (Dinas Syariat Islam) telah melarang pengajian Abu

    94

    Wawancara IPAC dengan seorang ustad senior di MUDI Mesra, Samalanga, 24 Juli