mekanisme terjadinya kejang

14
1 | Mekanisme Terjadinya Kejang pada Masa Anak  Mekanisme Terjadinya Kejang pada Masa Anak  Mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510  No. Telp (021) 569 4-2061  Fax: (021) 563-1731  ___________ Abstract  Febrile seizures are seizures associated with fever and age. It says a fever when the body temperature above 380 C. Usually febr ile seizures occurred at age 3 to 5 years and most at the age of 14-18 months. Febrile seizures are common disorders in children. Seizures can also occur due to infection of the li ning of the meninges which can be determined by performing a lumbar puncture.  Key words: fe brile seizure, lumbar puncture Abstrak  Kejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur. Dikatakan demam apabila suhu tubuh diatas 38 0  C. Biasanya kejang demam terjadi pada umur 3 sampai 5 tahun dan terbanyak pada umur 14-18 bulan. Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak.  Kejang  juga dapat terjadi akibat adanya infeksi pada lapisan dari meninges yang dapat diketahui dengan cara melakukan lumbal pungsi.  Kata kunci: kejang demam, lumba l pungsi.  BAB I PENDAHULUAN Kejang-kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur  pediatri dan t erjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1.000 anak. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan praktek neurologi anak. Adanya gangguan kejang tidak merupakan diagnosis tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral (SSS) yang mendasari yang memerlukan pengamatan menyeluruh dan rencana manajemen. Pada kebanyakan anak, etiologi untuk kejang tidak dapat ditentukan, dan dibuat diagnosis epilepsi idiopatik. Walaupun hasil akhir pada kebanyakan kejang tidak terkomplikasi pada anak adalah baik, sejumlah kecil mengalami kejang-kejang menetap yang

Upload: jelita-sihombing

Post on 17-Oct-2015

840 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Mekanisme Terjadinya Kejang pada Masa AnakMahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510No. Telp (021) 5694-2061 Fax: (021) 563-1731___________________________________________________________________________

Abstract Febrile seizures are seizures associated with fever and age. It says a fever when the body temperature above 380 C. Usually febrile seizures occurred at age 3 to 5 years and most at the age of 14-18 months. Febrile seizures are common disorders in children. Seizures can also occur due to infection of the lining of the meninges which can be determined by performing a lumbar puncture.Key words: febrile seizure, lumbar punctureAbstrakKejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur. Dikatakan demam apabila suhu tubuh diatas 380 C. Biasanya kejang demam terjadi pada umur 3 sampai 5 tahun dan terbanyak pada umur 14-18 bulan. Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak. Kejang juga dapat terjadi akibat adanya infeksi pada lapisan dari meninges yang dapat diketahui dengan cara melakukan lumbal pungsi.Kata kunci: kejang demam, lumbal pungsi.

BAB I PENDAHULUAN

Kejang-kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1.000 anak. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan praktek neurologi anak. Adanya gangguan kejang tidak merupakan diagnosis tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral (SSS) yang mendasari yang memerlukan pengamatan menyeluruh dan rencana manajemen. Pada kebanyakan anak, etiologi untuk kejang tidak dapat ditentukan, dan dibuat diagnosis epilepsi idiopatik. Walaupun hasil akhir pada kebanyakan kejang tidak terkomplikasi pada anak adalah baik, sejumlah kecil mengalami kejang-kejang menetap yang refrakter terhadap obat, dan ini merupakan tantangan diagnostik dan manajemen. Istilah kejang dan konvulsi dapat secara tidak benar digunakan secara bergantian dengan epilepsi. Kejang (konvulsi) di definisikan sebagai gangguan fungsi otak tanpa sengaja parosismal yang dapat nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris atau disfungsi autonom. Beberapa kejang ditandai oleh gerakan abnormal tanpa kehilangan atau gangguan kesadaran. Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang yang tidak terkait dengan demam atau serangan otak akut.BAB IIISI PEMBAHASAN

KEJANG DEMAMKejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada masa anak, dengan prognosis yang sangat baik secara seragam. Namun, kejang demam dapat menandakan penyakit akut serius yang mendasari seperti sepsis atau menigitis bakteria sehingga setiap anak harus diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati mengenai penyebab demam yang menyertai. Kejang demam adalah tergantung umur dan jarang sebelum umur 9 bulan dan sesudah umur 5 tahun. puncak umur mulainya adalah sekitar 14-18 bulan dan insiden mendekati 3-4% anak kecil. Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik. Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia.1Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 390C atau lebih. Suhu tubuh kita diatur oleh sebuah pengatur suhu yang terletak di otak tepatnya dibagian hipotalamus tepatnya dibagian pre optik anterior (pre = sebelum, anterior = depan). Hipotalamus sendiri merupakan bagian dari deinsephalon yang merupakan bagian dari otak depan kita (prosencephalon). Hipotalamus dapat dikatakan sebagai mesin pengatur suhu (termostat tubuh) karena disana terdapat reseptor (penangkap, perantara) yang sangat peka terhadap suhu yang lebih dikenal dengan nama termoreseptor (termo = suhu). Dengan adanya termorespetor ini, suhu tubuh dapat senatiasa berada dalam batas normal yakni sesuai dengan suhu inti tubuh. Suhu inti tubuh merupakan pencerminan dari kandungan panas yang ada di dalam tubuh kita. Kandungan panas didapatkan dari pemasukan panas yang berasal dari proses metabolisme makanan yang masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya suhu inti berada dalam batas 36,5-37,5C.Dalam berbagai aktivitas sehari-hari, tubuh kita juga akan mengelurakan panas misalnya saat berolahraga. Bilamana terjadi pengeluraan panas yang lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya, atau sebaliknya maka termostat tubuh itu akan segera bekerja guna menyeimbangkan suhu tubuh inti. Bila pemasukan panas lebih besar daripada pengeluarannya, maka termostat ini akan memerintahkan tubuh kita untuk melepaskan panas tubuh yang berlebih ke lingkungan luar tubuh salah satunya dengan mekanisme berkeringat. Dan bila pengeluaran panas melebihi pemasukan panas, maka termostat ini akan berusaha menyeimbakan suhu tersebutdengan cara memerintahkan otot-otot rangka kita untuk berkontraksi (bergerak) guna menghasilkan panas tubuh. Kontraksi otot-otot rangka ini merupakan mekanisme dari menggigil. Contohnya, seperti saat kita berada di lingkungan pegunungan yang hawanya dingin, tanpa kita sadari tangan dan kaki kita bergemetar (menggigil). Hal ini dimaksudkan agar tubuh kita tetap hangat. Karena dengan menggigil itulah, tubuh kita akan memproduksi panas. Hal diatas tersebut merupakan proses fisiologis (keadaan normal) yang terjadi dalam tubuh kita manakala tubuh kita mengalami perubahan suhu. Lain halnya bila tubuh mengalami proses patologis (sakit). Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksis (racun) yang masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya racun kedalam tubuh kita. Contoh racun yang paling mudah adalah mikroorganisme penyebab sakit. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya yakni dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengelurkan senjata berupa zat kimia yang dikenal sebagai piroge endogen (khususnya interleukin 1/ IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.2Proses selanjutnya adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin pun berkat bantuan dan campur tangan dari enzim siklooksigenase(COX). Pengeluaran prostaglandin ternyata akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal).1,2 Adanya peningkatan titik patakan ini dikarenakan mesin tersebut merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena memang setting hipotalamus yang mengalami gangguan oleh mekanisme di atas inilah yang disebut dengan demam atau febris. Demam yang tinggi pada nantinya akan menimbulkan manifestasi klinik (akibat) berupa kejang (umumnya dialami oleh bayi atau anak-anak yangdisebut dengan kejang demam)Kejang khas menyeluruh, tonik-klonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksis dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai dirumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan meningitis, pungsi lumbal dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering.EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya akan membuktikan bentuk non-epileptik atau normal dan temuan tersebut tidak akan mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam apitik atau pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang menetap selama lebih dari 15 menit. Kejang berulang sekama beberapa jam atau hari, dan kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali.Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif. Kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau atipik, tanda perkembangan yang terlambat dan pemeriksaan neurologis abnormal. Insidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor risiko.1,2Pada terapi pengelolaan rutin bayi normal yang menderita kejang demam sederhana meliputi pencarian yang teliti terhadap penyebab demam. Cara-cara aktif untuk mengendalikan demam termasuk penggunaan antipiretik, dan menenangkan orangtua. Profilaksis antikonvulsan jangka pendek tidak terindikasi. Profilaksis antikonvulsan yang lama untuk mencegah kejang demam berulang adalah perdebatan dan tidak lagi dianjurkan. Antiepilepsi seperti fenitonin dan karbamazepin tidak efektif dalam pencegahan kejang demam berulang dan dapat menurunkan fungsi kognitif pada anak yang diobati dibandingkan dengan anak yang tidak diobati.Natrium valproat efektif pada pengelolaan kejang demam, tetapi kemungkinan risiko obat tidak membenarkan penggunaannya pada penyakit dengan pragnosis yang sangat baik tanpa pengobatan. Diazeparn oral dianjurkan sebagai metoda yang efektif dan aman untuk mengurangi risiko kejang demam berulang. Pada mulainya setiap sakit demam, diazeparn 0.3 mg/kg/8 jam peroral diberikan untuk selama sakit (biasanya 2-3 hari). Efek samping biasanya ringan, tetapi gejala kelesuan, iritabilitas, dan ataksia dapat dikurangi dengan menyesuaikan dosis.2Apabila dilihat dari struktur organ target secara makro dapat diketahui penyusun didalamnya adalah meninges, serebrum, dan medula spinalis. Meninges merupakan selaput otak. Didalam meninges terdapat duramater yaitu lapisan yang paling kuat dan paling luar, duramater terdiri dari 2 lapisan yaitu, lamina periosteal (sangat melekat dengan tulang kepala), lamina meningeal (permukaan dalam yang licin). Kedua lapis duramater tersebut menyatu kecuali pada saat membentuk sinus duramatris. Di dalam duramater terdapat sinus terbesar yaitu sinus sagitalis superior. Duramater melekuk kedalam dan memisahkan cavum cranii menjadi beberapa bagian. Di dalam profundal duramater terdapat arachnoidmater. Disini terdapat spatium subdural (ruang potensial antara duramater dan arachnoidmater).3Sedangkan spatium subarachnoid terisi LCS cairan cerebrospinal (liquor cerebrospinalis) dan mengandung pembuluh darah yang mendarahi otak. Di ruangan subarachnoid yang melebar terdapat sisterna karena lapisannya tidak mengikuti lekuk. Sisterna ada di anterior dan posterior. Serta villi arachnoidales yang memungkinkan LCS memasukkan sinus duramatris. Didalam meninges pun terdapat piamater yaitu lapisan paling dalam yang menempel dan merupakan jaringan ikat yang sangat tipis. Piamater melekat erat pada permukaan otak dan mengikuti gyrus dan sulcus otak. Serebrum (otak besar) terdiri atas dua belahan yang disebut hemisfer (hemisphere) ialah sebelah daripada kedua belahan yang membentuk serebrum atau serebelum (otak kecil) yang terletak disebelah kaudal daripada serebrum. Kaudal berarti di sebelah atau di arah ujung (ekor) sesuatu. Bila dilihat secara mikro serebrum dibagi menjadi hemisfer serebri kiri dan kanan. Secara histologis terdiri dari enam lapisan yaitu lapisan molekular, lapisan granular luar, lapisan sel-sel piramid, lapisan granular dalam, lapisan piramid/ganglioner dan lapisan sel-sel multiform atau poliform. Semua lapis ini tidak mempunyai batas yang tegas dan semua berisi neuroglia. Sel-sel di serebrum terdapat sel piramid, sel granuler, sel horizontal dan sel martinotti.4Sistem saraf pusat berfungsi untuk menerima dan mengintegrasikan semua rangsang yang diterima di luar tubuh (eksteroseptif) dan dari dalam tubuh (interoseptif) melalui reseptor-reseptor tertentu. Histologis SSP dibagi menjadi empat yaitu neuron, neuroglia, serat saraf dan struktur tambahan. Neuron pada medula spinalis terletak di kolumnar berbentuk huruf H (di substansi grisea). Pada otak terletak di lapisan permukaan korteks serebri (substansi grisea). Pada serat saraf umumnya merupakan akson yang panjang dengan atau tanpa mielin. Sedangkan struktur tambahan terdapat pembuluh darah, cairan serebrospinal, dan selaput otak.Apabila dilihat secara mikro otak dan medula spinalis terdiri atas dua lapisan yaitu substansi grisea/kelabu dan substansi alba/putih. Di dalam substansi grisea/kelabu terdapat perikarion dan serat saraf tidak bermielin sedangkan di dalam substansi alba/putih terdiri atas akson yang bermielin. Di medula spinalis potongan melintang terdiri atas substansi alba (sebelah luar) dan substansi grisea (sebelah dalam) berbentuk huruf H atau kupu-kupu. Bagian tengah terhadap kanalis sentralis. Substansi alba berisi akson dan fungsi khusus yaitu motorik dan sensoris yang disebut funikulus.Ada tiga funikulus yaitu dorsal, ventral dan lateral. Sedangkan substansi grisea berisi perikarion, banyak terdapat di sinaps neuron mempunyai sel saraf motorik yang merupakan sel saraf multipolar. Neuron motorik terdapat di kornu anterior medula spinalis. Sel sarafnya yaitu dendrit (mengandung substansi Nissl), akson (tidak mengandung S.Nissl/akson hilock) dan inti beserta anak inti terlihat jelas, besar.5Dilihat secara makro medula spinalis berawal pada foramen magnum, sebagai lanjutan dari medula oblongata, dan meneruskan diri sampai setinggi vertebta lumbalis pertama atau kedua. Medula spinalis terbungkus rapat oleh membran yang disebut pia mater dan dikelilingi cairan serebrospinalis (LCS) yang merupakan lanjutan langsung LCS yang mengelilingi otak. LCS terisi dalam ruang yang tertutup oleh membran ganda membran fibrosa luar (dura mater) dan membran transparan halus (araknoid mater) yang melekat erat pada lapisan dalamnya. ruang diantara membran membran ini (ruang subdura) biasanya hanya merupakan ruang potensial dan mempunyai arti praktis yang terbatas. Ruang yang berisi LCS diantara araknoid mater dan medula spinalis terbungkus oleh pia mater dikenal sebagai ruang subaraknoid atau ruang intradura. Dura (dan demikian juga ruang subaraknoid) meluas sebagai pipa yang ujungnya tersembunyi setinggi vertebra sakralis kedua.4,5

Radiks nervus spinalis berjalan ke segmen tubuh di bawah foramen magnum meninggalkan medula dan melintas melalui ruang subaraknoid. Terdapat 8 nervus servikalis, 12 nervus torakalis, 5 lumbalis, 5 sakralis, dan 1 koksigealis. Karena medula spinalis berakhir setinggi L 2 pada orang dewasa, maka semua radiks nervus dibawah lumbah kedua (yaitu yang membentuk pleksus lumbalis dan sakralis serta mempersarafi tungkai dan perineum) melintas hampir vertikal ke bawah ruang subaraknoid dalam suatu serabut, yang umumnya dikenal sebagai kauda ekuina (buntut kuda) sebelum meninggalkan foramina intervertebralis masing-masing. Pada daerah ini nervus terendam dalam LCS dan disinilah ruang subaraknoid paling mudah dimasuki dengan jarum yang diselipkan diantara vertebra lumbalis, dan anestesi lokal disuntikkan untuk memberikan blok spinalis (subaraknoid). Semua nervus torakalis (T1 sampai T2) memberikan serabut vasokonstrikor simpatis.Ruang epidularis (atau ekstraduralis) terletak di dalam saluran dalam tulang vertebra, di antara dura dan periosteum yang membatasi bagian dalam lamina vertebra. Periosteum dan dua bergabung pada foramen magnum sehingga menutupi ruang epidura dibagian superior. Sebaliknya ruang subaraknoid berlanjut ke kavum kranium. Ruang epiduralis dibatasi di bagian inferior oleh hiatus sakralis yang tertutup oleh membrana sakrokoksigealis di apeks tulang sakralis. Ruang epidura berisi nervus spinalis ketika mereka berjalan ke foramina masing-masing dan juga berisikan jaringan alveolar, arteri dan pleksus vena.Bagian ruang epidura yang terkandung di dalam bagian tulang sakralis disebut ruang epidura kauda (atau sakralis). Karena dura mengandung LCS yang berakhir pada S2 pada orang dewasa maka terdapat ruang diantara dura dengan membrana sakrooksigealis tempat dimasukkannya penyuntikan anestesi lokal dengan aman sekali melalui membrana sakrooksigealis. Ruang paravertebralis dalam regio torakal dibatasi dibagian atas dan bawah oleh periosteum iga dan dibagian lateral oleh ligamentum kostotransversum. Setiap ruang paravertebralis torakalis menghantarkan nervus interkostalis masing-masing dari foramen intervertebralis ke ruang interkostalis. Ruang paravertebralis sendiri-sendiri tidak berhubungan langsung dengan ruang di atas dan dibawahnya, tetapi secara tidak langsung melalui ruang epidura melalui foramina intervertebralis. Pada regio lumbalis hubungan antara ruang menjadi lebih terbuka. Medula spinalis merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis. Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transesksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia. MEKANISME KEJANGMeskipun mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada beberapa faktor fisiologi yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge yang berarti dan sistem hambatan GABergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glutamaterik. Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmitter asam amino (glutamat, asparatat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada reseptor sel tertentu.5Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat, hematoma, gliosis dan malformasi arteriovanosus) menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil secara bedah, kejang kemungkinan berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal amigdala) akhirnya menyebabkan konvulsi menyeluruh. Pembangkitan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang dari lobus temporalis abnormal dapat menimbulkan kejang pada lobus temporalis normal kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui korpus kollosum.Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu pada populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) yang menunjukkan bahwa otak yang kurang berkembang lebih rentan terhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus epilepsi familial telah dikenali, termasuk konvulsi neonatus benigna, epilepsi mioklonik juvenil dan epilepsi mioklonik progresif. Sangat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar molekuler epilepsi tambahan seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung akan dikenali. Juga diketahui bahwa substansia abu-abu akan memegang peranan integral pada terjadinya kejang menyeluruh. Aktivitas kejang elektrografi menyebar dalam substansia abu-abu menyebabkan peningkatan pada ambilan 2-deoksiglukosa, tetapi sedikit atau tidaknya aktivitas metabolik dalam substansia abu-abu bila binatang imatur mengalami kejang. Telah diduga bahwa imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan kerentanan kejang otot imatur.4,5Lagipula, neuron pars retikulata substansia asam-gama amiobutirat memainkan peran pada pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar substansia abu-abu mengatur memodulasi penyebaran kejang tetapi tidak menyebabkan mulainya kejang. Penelitian tambahan mungkin akan memfokuskan pada penyebab hipereksitabilitas neuron, mekanisme hambatan tambahan, pencairan mekanisme non sinapsis perambatan kejang dan kelainan reseptor GABA.Cara diagnosis kejang dapat dilihat dari pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umut penderita, tipe dan frekuensi kejang dan ada atau tidak adanya temuan neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa demam pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit serum dan EEG. Peragaan discharge paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman antar kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidut dan penempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik) sangat meningkatkan hasil positif. Discharge kejang lebih mungkin direkam pada bayi dan anak daripada remaja atau dewasa.5 Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Teknik ini sangat membantu dalam kalsifikasi kejang karena ia dapat secara tetap menentukan lokasi dan frekuensu discharge kejang saat perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati dan tipe kejang (misal kompleks parsial dan menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting oada pengamatan anak yang mungkin merupakan calon untuk pembedahan epilepsi.Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi) hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT. Dengan demikian, skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaan neurologis abnormal. Kejang sebagian yang lama tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis setempat dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan proses infeksi, perdarahan subarknoid atau gangguan dermielinasi. Uji metabolik spesifik digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status epileptikus.LUMBAL PUNGSIKembali pada kasus yang didapat, kejang-kejang yang dialami setelah satu minggu panas tinggi segera dilakukan lumbal pungsi untuk diketahui apakah terdapat infeksi didalamnya. Pungsi lumbal dikerjakan guna pemeriksaan sitologi bila terdapat kecurigaan meningeal karsinomatosis atau meningeal limfomatosis. Sebagai sarana terapi, pungsi lumbal dapat dikerjakan untuk memasukan methotrexate pada lekemia susunan saraf pusat, atau amphotericine B untuk meningitis karena jamur mengurangi cairan serebrospinalis sebagai terapi peningkatan tekanan intrakranial yang bersifat jinak (BIH) atau pada nyeri kepala akibat perdarahan subaraknoidea.6

Pungsi lumbal tidak boleh dilakukan pada penderita dengan papiledema (funduskopi) harus dilakukan setiap akan menentukan adanya sumbatan ruang subaraknoidea medula spinalis. Pemeriksaan adanya sumbatan ruang subaraknoidea medula spinalis ditentukan dengan menekan vena jugularis dan dilakukan pengukuran peningkatan dan penurunan tekanan cairan serebrospinalis. Pemeriksaan dengan manometer tidak dikerjakan secara rutin dan tidak pernah dilakukan bila terdapat peningkatan tekanan dasar (awal) atau dicurigai adanya lesi masa.7 Posisi penderita sangat membantu keberhasilan pungsi lumbal. Penderita harus dalam posisi fetal dengan punggung tegal lurus terhadap tempat tidur. Masukkan jarum ke bawah kulit (setelah diberikan anestesi lokal) dan tentukan sudut tusukan jarum tersebut. Pastilah arah jarum sejajar terhadap tempat tidur dan menyudut ke arah umbilikus penderita. Pada penusukan lebih lanjut, bila jarum tidak masuk ke ruang subaraknoidea atau bila membentur tulang, arah jarum tidak dapat berubah. Jarum tersebut ditarik kembali hingga sedikit dibawah kulit dan coba arahkan kembali. Dengan berbagai pengalaman dapat dirasakan saat jarum masuk ruang subaraknoidea. Bila pungsi lumbal tidak mungkin dilakukan dalam posisi fetal, penderita didudukkan dengan memeluk bantal, coba kembali pada posisi duduk (lebih mudah untuk menentukan garis tengah). Perlu diingat bahwa pengukuran tekanan pada posisi duduk sulit diinterpretasikan, untuk itu penderita ditidurkan kembali setelah jarum berhasil masuk ruang subaraknoidea.8Bila tidak mungkin dilakukan pungsi lumbal karena kelainan tulang atau infeksi lokal tetapi pemeriksaan cairan serebrospinalis sangat diperlukan, lakukan pungsi sisternal atau servikal dibawah bimbingan fluoroskopi.

BAB IIIKESIMPULAN

Melalui makalah ini dapat disimpulkan, meskipun mekanisme kejang yang tepat belum diketahui tetapi mekanisme kejang ini melibatkan sel-sel saraf yang terdapat di otak. Kejang juga dapat terjadi akibat adanya infeksi pada lapisan dari meninges yang dapat diketahui dengan cara melakukan lumbal pungsi. Kejang dapat memiliki multifaktoral penyebab, yang sebenarnya disebabkan oleh adanya muatan listrik yang terlalu banyak di dalam lapisan korteks serebri yang disebabkan neurotransmitter inhibitorik berkurang dan neurotransmitter eksitatorik bertambah jumlahnya.

DAFTAR PUSTAKA1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. 15th Ed. Jakarta: EGC, 2000.h. 2059.2. Corwin EJ. Patofisiologi. 3rd Ed. Jakarta: EGC, 2007.h. 391.3. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC, 1994.h. 498-9.4. Shadily H. Ensiklopedia umum. Yogyakarta: Kanisius, 2012.h. 769.5. Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I et al. Ilmu bedah saraf satyanegara. 4th Ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2010.h. 17-9.6. Boultan TB, Blog CE. Anestesiologi. 10th Ed. Jakarta: EGC, 1994.h. 123.7. Weiner HL, Levitt LP. Buku saku neurologi. Jakarta: EGC, 2004.h. 248-51.8. Rubenstein D, Wayne D, Bradcey J. Kedokteran klinis. 6th Ed Jakarta: Erlangga, 2003.h.101.

13 | Mekanisme Terjadinya Kejang pada Masa Anak