media sebagai aktor politik
TRANSCRIPT
Media sebagai Aktor Politik
Oleh:
Aghnia Adzkia
Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]
Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 2 | 9
Media sebagai Aktor Politik
Oleh : Aghnia Adzkia*
Peran media dalam panggung politik kontemporer semakin tak tergantikan. Fenomena yang muncul,
media telah menjadi perpanjangan tangan dari aktor-aktor politik yang bermain. Perannya melampaui apa
yang bisa dikerjakan oleh partai politik melalui cara-cara konvensional. Bisa dilihat dari bagaimana elite-
elite politik mengeluarkan wacana dan gagasan-gagasannya melalui media. Pada tahap tertentu, media
sendiri juga telah menjelma menjadi aktor politik.
Sebagai aktor politik, ia bisa mengeluarkan atau menahan sebuah isu yang menguntungkan maupun
merugikan aktor-aktor politik yang lain. Pembentukan opini publik terjadi, siapa yang memiliki akses atas
media, dia yang menguasai opini. Tesis tersebut nampak pada pergulatan para elit politik dalam ajang
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang lalu.
Media ramai merayakan gegap gempita pertarungan dua kandidat yang berlaga dalam gelaran Pilpres
2014. Hiruk pikuk tersebut melampaui garis batas antara pemilik media, aktivitas politiknya, dan ruang
redaksi. Peniadaan batas terlihat dalam kebijakan redaksional. Produk media dari berita, editorial, sampai
iklan politik menjadi kanal menyalurkan ideologi pemilik dan jurnalisnya. Hal itu muncul di sejumlah
media massa di Indonesia, baik cetak mapun elektronik. Pertanyaannya, mengapa fenomena tersebut
muncul dan semakin masif?
Teks Berita yang Bicara
4 Juli 2014, lima hari jelang hari pemilihan, harian The Jakarta Post melalui editorialnya berjudul
Endorsing Jokowi menunjukkan dukungan terbukanya kepada Joko Widodo sebagai presiden. The
Jakarta Post memaparkan sejumlah alasan berdasar rekam jejak dan pandangan kedua kandidat. Ini
merupakan tradisi baru di mana dukungan politik disampaikan secara terbuka oleh media. Hal berbeda
ditunjukkan media-media lain baik cetak maupun televisi yang secara malu-malu menunjukkan
dukungannya. Padahal data membuktikan bagaimana isi pemberitaan media-media tersebut menunjukkan
dukungan politik kepada kandidat tertentu.
Lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)i menemukan sebanyak 14,29% berita di
harian Sindo dari total 35 berita politik yang diteliti, cenderung berpihak pada kepentingan partai politik
atau organisasi massa. Sementara itu, berita demikian juga ditemukan di harian Kompas yakni sebanyak
2,5% dari total 40 berita yang diteliti. Hal serupa juga terdapat di situs okezone.com yakni sebanyak
16,49% produk beritanya cenderung berpihak pada kepentingan partai politik. Berbeda dengan
okezone.com, semua berita di kompas.com yang diteliti (125 berita) tidak berpihak.
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 3 | 9
Sumber :
Heychael, Muhamad. 2014. Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014. Jakarta : Remotivi
Keberpihakan media melalui pemberitaan juga kentara di media televisi. Remotivi melaporkan
pemberitaan Prabowo di TV One melonjak 70% dari Mei hingga awal Juni 2014. Pada periode tersebut,
Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie berkoalisi dengan Partai Gerindra. Seiring dengan koalisi
tersebut, pemberitaan bernada positif terhadap Prabowo meningkat sampai mencapai angka 52%.
Prabowo semakin sering muncul di layar kaca dengan persentase intensitas 62%. Pola yang sama juga
terjadi di media milik Bakrie lainnya, ANTV.
Dalam dukungan politik, Prabowo juga merangkul pemilik media MNC Group sekaligus politikus Harry
Tanoesoedibjo. Setelah berkoalisi, kepopuleran Prabowo semakin ditonjolkan di RCTI (78%) dan seluruh
berita tersebut bernada positif. Iklan politik juga diberikan kepada pasangan nomor urut satu tersebut.
Sementara iklan politik rivalnya, Jokowi-JK tidak muncul di RCTI selama periode 1 hingga 7 Juni 2014.
Pola yang sama juga terjadi di MNC TV dan Global TV. Berita negatif di dua media tersebut juga
mengarah ke Jokowi.
Remotivi juga menyigi siaran berita dan iklan politik di Metro TV. Media berlambang elang tersebut
dimiliki oleh ketua pembina Partai NasDem Surya Paloh. Pada kontes politik kali ini, Surya Paloh dan
Partai NasDem yang dipimpinnya berkoalisi dengan kubu Jokowi. Alhasil, media yang dimilikinya juga
meroketkan siaran berita positif kepada kandidat nomor urut dua tersebut. Remotivi meriset komposisi
kemunculan terbanyak adalah pasangan Jokowi-JK (70%) sedangkan pasangan Prabowo-Hatta hanya
sebanyak 30%. Surya Paloh melalui medianya juga mengambil kebijakan redaksional untuk menampilkan
pemberitaan negatif kepada Prabowo-Hatta yang terus mengalami peningkatan hingga awal Juni
sebanyak 95%.
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 4 | 9
Sumber :
Heychael, Muhamad. 2014. Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014. Jakarta : Remotivi
Peran Media dalam Pemilihan Umum
Dalam dunia politik, media kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, yudikatif, dan
legislatif. Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication (2003:21) mencatat
ada lima peran ideal media dalam mewujudkan kehidupan demokratis. Pertama, untuk menginformasikan
apa yang sedang terjadi (surveillance). Kedua, media mengedukasi masyarakat ihwal fakta yang
ditemukan di lapangan. Pada posisi tersebut, McNair menggarisbawahi objektifitas jurnalis sebagai
edukator. Soal fungsi untuk mendidik dan membentuk diskursus, John Allen Hendricks dan Robert E
Denton sepakat dengan apa yang dikemukakan McNair. Menurut Hendricks dan Denton, media berperan
membentuk, mengumpulkan, dan menyebarkan informasi agar masyarakat memahami isu politik dan
memiliki keterikatan dengan politik.ii
Ketiga, media menjadi wadah diskursus yang kemudian dapat mempengaruhi opini publik. Media
menjadi peracik agenda politik untuk memberikan informasi dan memilah isu. Pada peran ini, media
memiliki kemampuan yang besar dari yang bisa dilakukan seorang politikus dalam membentuk wacana
publik. Keempat, media juga berperan sebagai pemantau pemerintah (watch dog). Dalam konteks ini,
alih-alih menyanjung saja, media juga memiliki peran untuk mengkritik pemerintah. Kelima, McNair
menyebutkan bahwa media juga berperan untuk mengadvokasi beberapa pandangan politik (persuasion).
Artinya, media sebagai kanal yang digunakan beberapa partai politik untuk menyampaikan sudut
pandangnya.
Peran advokasi kemudian berpotensi untuk berkembang menjadi persuasif. Hal tersebut seringkali terjadi
pada media cetak di mana media cetak biasanya akan mendukung salah satu kandidat atau partai (media
endorsement). Terlepas dari keadaan ideal tersebut, liputan-liputan politik di media cenderung bias,
subyektif dan partisan, alih-alih obyektif atau tidak berpihak. Bias muncul karena realitas sebenarnya
ditampilkan menjadi realitas media yang telah dikonstruksi oleh jurnalis saat membuat berita.
Sementara itu, Shoemaker dan Reese menawarkan dua pendekatan dalam membaca peran media.
Pendekatan pertama yakni pendekatan pasif. Media sebagai kanal yang hanya melaporkan realitas sosial.
Young seperti dikutip Shoemaker dan Reese (1996:33) menawarkan konsep null effects model di mana
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 5 | 9
media merepresentasikan realitas tanpa adanya distorsi. Dalam konteks ini, jurnalis merupakan neutral
transmitter yang melaporkan peristiwa melalui multiperspektif.
Pendekatan kedua, yakni pendekatan aktif. Media ikut membingkai realitas sosial menjadi realitas media.
Media tidak lagi merepresentasikan peristiwa secara utuh, tapi melalui beberapa sudut pandang yang
dianggap menarik. Inilah yang kemudian disebut sebagai manipulasi. Manipulasi bisa dalam bentuk teks
dalam media cetak maupun verbal serta video dalam media elektronik. Melalui pemilihan angle, media
menyuguhkan sajian yang menekankan pada isu tertentu. Dalam konteks ini, rentan terjadi peliputan yang
bias dan tidak obyektif.
Di Persimpangan Jalan: Independen vs Partisan
Menilik sejarah, jurnalisme politik Indonesia pernah berada pada sebuah persimpangan jalan pada tahun
1950-an. Era ini adalah era menjamurnya media partisan yang salah satunya bisa dilihat dalam kontestasi
pemilu tahun 1955. Mochtar Lubis seperti dikutip Daniel Dakhidae (1991:43) menyebutkan bahwa hanya
sedikit koran yang independen dan terlepas dari afiliasi partai politik. Media partisan menjadi
perpanjangan partai dan menjadi senjata untuk berkompetisi dalam gelaran pemilihan elektoral.
Crawford dilansir oleh Dakhidae (1991:45) – bisa dilihat dalam tabel di bawah – menyebutkan jumlah
pembaca media independen saat itu hanya sebesar 22,2%. Sementara itu, jumlah pembaca media partisan
sebesar 77,8% dengan persentase terbanyak yakni koran kelompok komunis sejumlah 28,57%. Koran
nasionalis menempati posisi kedua dengan persentase 19,50%, koran sosialis sebanyak 18,14%, dan koran
muslim sejumlah 11,56%. Empat media besar yang kala itu menjadi corong ideologi partai di antaranya
Harian Rakyat (Partai Komunis Indonesia), Pedoman (Partai Sosialis Indonesia), Suluh Indonesia (Partai
Nasionalis Indonesia), dan Abadi (Masyumi).
Partisannya jurnalisme politik ala tahun 1950-an seperti berulang kembali dalam pilpres tahun 2014.
Beragam sikap politik media tergambar baik secara frontal maupun sembunyi-sembunyi. Kasus media
endorsement oleh The Jakarta Post, adalah ajakan dukungan kepada salah satu kandidat melalui tajuk
atau editorial (persuasion). Secara tidak langsung, The Jakarta Post menyetujui ideologi dan program
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 6 | 9
kandidat yang diusung oleh PDI Perjuangan tersebut. Ihwal bentuk dukungan tersebut, anggota Dewan
Pers Nezar Patria mengatakan hal semacam itu lumrah terjadi sepanjang tidak mempengaruhi
keberimbangan berita.iii Bentuk dukungan tersebut, juga terbatas hanya pada kolom editorial yang telah
dipagari oleh garis api. Sementara untuk pemberitaan, laiknya media lain, The Jakarta Post masih harus
mengedepankan prinsip independensi dan keberimbangan.
Meski demikian, McQuail dalam Shoemaker dan Reese (1996: 39-40) menyebutkan bahwa media
endorsement terhadap seorang politikus melalui editorial sudah termasuk dalam kategori media partisan.
Konten editorial tersebut, menurut McQuail dilakukan terbuka dan dengan maksud mengajak masyarakat
untuk memiliki pandangan terhadap kandidat tertentu. Sementara bentuk partisan lainya adalah kolom
opini di media cetak atau slot tayagan di televisi atau radio, dan iklan.
Bentuk tersebut nampak pada kasus penayangan berita bocornya materi debat calon presiden yang
ditayangkan RCTI. Berita yang ditayangkan RCTI cenderung bias dan lebih tepat disebut sebagai
propaganda. Stasiun televisi ini memilah isu yang dianggap menguntungkan elit politik dan bisnisnya,
kemudian meramu isu menjadi sebuah tayangan yang sesuai kehendak pemilik media dan elit politik.
Berita bocornya materi debat, menyudutkan kandidat Jokowi yang dibingkai sebagai sosok yang bermain
curang.
Pemberitaan TV One dan Metro TV menunjukkan betapa terencananya manipulasi realitas sosial yang
dilakukan. Manipulasi di sini dilakukan melalui berbagai cara di antaranya dengan menganggap penting
peristiwa tertentu dan menyorotnya secara terus menerus menggunakan pelabelan atau stereotip tertentu.
Salah satu cara memanipulasi yang kentara adalah dengan mencurahkan perhatian lebih kepada sosok,
peristiwa, sekelompok orang, dan tempat tertentu dalam waktu yang berulang kali.
Dalam konteks tersebut, media berperan aktif ketimbang pasif. Alih-alih menjadi kanal yang hanya
melaporkan realitas sosial, media justru menggambarkan peristiwa atau isu tertentu melalui realitas
media. Realitas media inilah yang sudah termanipulasi melalui beberapa cara. Alhasil, manipulasi
tersebut menuntun sebuah media menjadi bias dan partisan.
Kebijakan redaksional stasiun-stasiun televisi tersebut mengingkari prinsip standar jurnalistik dalam
sebuah peliputan. Setidaknya ada tiga standar jurnalistik dalam liputan yaitu independensi,
keberimbangan, dan objektifitas.iv Independen berarti terbebas dari tekanan politik, berimbang dalam
konteks konten dan cakupan berita, serta menyajikan berita yang utuh dan informatif alih-alih
memberikan tone negatif kepada salah satu pihak. Tiap televisi telah membuktikan secara jelas di kaki
sebelah mana mereka berpijak.
Kasus pemberitaan di ketiga media menunjukkan minimnya upaya memenuhi prinsip independensi,
keberimbangan, dan objektifitas. Standar dan etika jurnalistik dinafikan. Pada titik ini, berita jadi
komoditas politik si pemilik. Media tidak lagi sekadar menyampaikan tetapi sekaligus membentuk dan
mengonstruksi informasi.
Monopoli Informasi
Bahayanya, para pemilik stasiun televisi ini juga memiliki media-media lain yang berbeda platform.
MNC merupakan grup media terbesar dilihat dari kuatnya kepemilikan platform mereka. MNC Group
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 7 | 9
memiliki tiga stasiun televisi nasional, tiga televisi berbayar, 14 stasiun televisi lokal dan 22 jaringan
stasiun radio.v
Sementara TV One dimiliki oleh kelompok Visi Media Asia dengan pemilik saham adalah Bakrie &
Brothers. Visi Media Asia juga memiliki saham di satu televisi lainnya, yakni ANTV dan satu media
daring yakni viva.co.id. Sedangkan Metro TV merupakan televisi yang dimiliki oleh Surya Paloh melalui
Media Group. Kelompok perusahaan tersebut juga memiliki media cetak seperti Media Indonesia, Borneo
News, dan Lampung Post. Selain itu, Media Group juga memiliki sebuah portal berita online yaitu
metrotvnews.com.
Fenomena ini mengamini apa yang dikatakan Yanuar Nugroho (2012) bahwa kepemilikan perusahaan
media di tangan politikus menyebabkan pemberitaan untuk beberapa isu-isu politik yang sensitif
cenderung dikendalikan oleh kelompok tertentu yang berkuasa. Masyarakat hanya mengonsumsi berita
yang telah diseleksi sesuai bingkai berita media.
Selain itu, fenomena wartawan yang ikut menjadi relawan dan bahkan tim sukses kandidatmencuat baik
secara eksplisit maupun implisit. Misalnya salah seorang pemimpin redaksi televisi nasional yang terlibat
secara terlibat secara aktif menjadi anggota tim kampanye salah satu pasangan. Keterlibatannya dalam
dunia politik praktis menjadi bentuk dualisme dalam pemberitaan. Efek langsungnya, wartawan di
lapangan juga cenderung memilah narasumber sesuai kebutuhan dan sikap politik baik dirinya secara
personal maupun medianya. Bentuk partisan lainnya yakni wartawan yang mengutip pernyataan
narasumber sesuai dengan kebutuhan bingkai berita tanpa melihatnya secara utuh dan kontekstual.
Ihwal penyeleksian atau penyensoran berita tersebut, tak hanya muncul pada ranah elite-elite pemimpin
media. Bias juga bisa terjadi dalam bentuk penyensoran pada level reporter, editor, maupun redaktur.vi
Penyensoran tersebut diadaptasi dengan kebutuhan pasar dari media dan kuasa media. Pada poin ini,
wartawan sebagai pembuat berita memiliki peran yang besar: menyeleksi isu di lapangan, menentukan
narasumber untuk dikutip, dan memilah hasil kutipan atau pernyataan.
Jika mengacu pada regulasi, apa yang dilakukan oleh media-media tersebut telah melanggar independensi
dan objektifitas media seperti termaktub dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS). Merujuk pasal 11 ayat 2, lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitasnya.
Selain itu, pada pasal 40 dikatakan secara definitif bahwa produk jurnalistik harus akurat, adil, berimbang,
dan tidak berpihak. Sementara itu, KPU juga mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 16 Tahun
2014 yang mewajibkan setiap media untuk menerapkan asas keberimbangan dalam pemberitaan maupun
iklan.vii
Dewan Pers juga telah mengeluarkan surat edaran bernomor 02/SE-DP/II/2014 tentang independensi
wartawan dan pemuatan iklan politik di media massa.viii Surat edaran tersebut meminta para awak media
untuk menjaga independensinya dalam menulis berita pemilu. Tiap kandidat yang berlaga dalam
pemilihan presiden sudah seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam pemberitaan dan pemuatan
iklan.
Beragam aturan nampaknya hanya menjadi hitam di atas putih. Tidak ada tindak lanjut dan reaksi nyata
atas terbelahnya pers di Indonesia jelang dan saat gelaran pilpres. Sebagai “hakim” media, Dewan Pers
dan KPI justru seperti tak punya kuasa. Teguran berulang kali dilayangkan, namun tak diindahkan.
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 8 | 9
Pada penghujung November lalu, Dewan Pers memvonis RCTI telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode
Etik Jurnalistik ihwal pemberitaan “Dugaan Pembocoran Materi Debat Capres” yang ditayangkan pada
program Seputar Indonesia Sore, Seputar Indonesia Malam, dan Seputar Indonesia Pagi sepanjang
tanggal 11 hingga 12 Juni 2014.ix Menurut Dewan Pers, RCTI tak melakukan verifikasi soal materi berita
tersebut. Alhasil, yang ditayangkan bukanlah fakta melainkan racikan propaganda. Dalam
rekomendasinya, RCTi diminta untuk mewawancarai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat.
Selain itu, KPI juga menyatakan baik Metro TV maupun TV One melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran
KPI Tahun 2012 Pasal 11 dan Pasal 22 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012 Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2. Peraturan tersebut mengatur
independensi dan netralitas media saat menayangkan berita. KPI juga akan merekomendasikan kepada
Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan evaluasi atas Izin penyelenggaraan Penyiaran
(IPP) keduanya apabila kembali ditemukan pelanggaran.x
Fenomena di atas menggambarkan independensi media kini di ambang batas kritis. Apabila tak hati-hati
memilah asupan berita, konsekuensinya, publik akan termakan propaganda para “spin doctor”. Alih-alih
mencerdaskan, media justru menjerumuskan dan membungkan saraf kritis publik.
Kesimpulan
Media telah bertransfromasi menjadi aktor politik. Namun, ia tak bergerak sendiri dalam memainkan
peran tersebut. Ada kepentingan aktor-aktor politik dan pemilik modal yang membuatnya demikian.
Mereka berlindung di balik topeng media untuk melakukan propaganda politik.
Pada posisi demikian, independensi media berada pada titik nadir. Kebebasan informasi termasuk bebas
megkritik dan menyampaikan pendapat, beralih menjadi kebablasan informasi. Alih-alih bersandar pada
kode etik, penyaringan informasi justru bersandar pada kemauan sang pemilik media yang juga
merupakan politikus.
Saat momen-momen kritis pemilu, media berdiri di dua kaki: kaki kepentingan politik dan kepentingan
ekonomi sang pemilik. Alhasil, berita tak lagi menjadi sebuah upaya mengungkapkan fakta, tetapi
meracik propaganda, cenderung bias dan partisan. Di satu sisi, wartawan tak lagi menjalankan
kewajibannya sebagai “neutral transmitter”. Ia menjelma sebagai “prajurit” yang menghamba pada “sang
jenderal” yang punya kuasa.
Pengalaman pemilu yang baru saja usai menunjukkan betapa brutalnya media yang terbelah menjadi dua
kubu. Efeknya bahkan masih terasa sampai sekarang. Pada titik ini, publik yang menjadi tumbal.
Konsekuensinya, pemahaman mengenai literasi media menjadi pegangan yang menentukan. Hanya
dengan begitu, publik bisa mengambil remah-remah kebenaran di tengah tsunami kesimpangsiuran
informasi yang terjadi.
*Aghnia Adzkia : Jurnalis, kini berdomisili di Jakarta
PINDAI.ORG – Media sebagai Aktor Politik / 3 Desember 2014
H a l a m a n 9 | 9
iPengambilan data dilakukan pada tanggal 1 hingga 7 November 2013.Jumlah berita politik yang dianalisis dalam
penelitian ini sebanyak 372. Dari jumlah tersebut, 222 item berita (59.68%) merupakan berita online, 80 (21.51%)
merupakan berita surat kabar, dan 70 (18.81%) merupakan berita televisi. Laporan penelitian tertuang dalam Jurnal
Dewan Pers edisi Nomor 9, Juli 2014 http://www.dewanpers.or.id/page/publikasi/jurnal/?id=2142 ii John Allen Hendricks dan Robert E-Denton (eds), 2010. Communicator In-Chief: How Barack Obama Used
media Technology to Win The White House. Lanham: Rowman&Littlefield Publisher, Inc. Halaman 2. iiiDewan Pers: Dukungan “The Jakarta Post” untuk Jokowi Lumrah dan Sah. Diakses di
http://nasional.kompas.com/read/2014/07/04/12043771/Dewan.Pers.Dukungan.The.Jakarta.Post.untuk.Jokowi.Lumr
ah.dan.Sahpadatanggal 12 Oktober 2014. ivBernard-Peter Lange dan David Ward, 2004. The Media and Election. London: Lawrence Erlbaum Associates,
Publishers. Halaman 35. vNugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S. 2012. Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Edisi
Bahasa Indonesia). Riset CIPG dan HIVOS. Tidak dipublikasikan. Halaman 13. viEdward S Herman dan Noam Chomsky, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media.
New York: Pantheon Books. Halaman ix. viiPeraturan tersebut tercantum secara definitive pada pasal 18 ayat 2 dan 4 dimana media massa baik cetak dan
elektronik memberikan alokasi waktu yang sama dalam menyiarkan pemberitaan dan iklan kampanye pasangan
calon. Selainitu, materi pemberitaan dan iklan kampanye harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
kode etik jurnalistik. Peraturan tersebut diakses di
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/6e5784e1a35de80b7e794d1fd566ca62.pdf pada tanggal 12 Oktober 2014. viiiDiakses di http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/pernyataan/?id=2079 pada tanggal 11 Oktober 2014. ix Diakses di
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/22/00575711/Dewan.Pers.RCTI.Langgar.Kode.Etik.Jurnalistik pada
tanggal 2 Desember 2014. x Diakses pada http://kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-
tegur-metro-tv-dan-tv-one diakses pada tanggal 2 Desember 2014.