mdr tuberculosis paru
TRANSCRIPT
MULTI DRUG RESISTANT TUBERCULOSIS PARU
A. PENDAHULUAN
Mycobacterium tuberculosis (M.tb) menginfeksi sepertiga penduduk dunia dan
menyebabkan 8 juta kasus aktif tiap tahun dan menempati rangking ke tujuh dari seluruh
morbiditas dan mortalitas. di negara berkembang tuberkulosis merupakan penyebab sekitar
1,5 juta orang setiap tahunnya. Khusus untuk Indonesia, data WHO 2002 menunjukan bahwa
Indonesia merupakan penyumbang terbesar ketiga dengan jumlah penderita baru 583.000
orang dan 262.000 orang penderita tuberkulosis menular per tahunnya.1
Resistensi ganda atau MDR-TB didefinisikan sebagai tuberkulosis yang resisten
terhadap Isoniazid (INH) dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap
antituberkulosis lainnya. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya penderita MDR-TB
diklasifikasikan menjadi : MDR primer dan MDR sekunder. MDR primer adalah kasus MDR
pada mereka yang tidak pernah mendapat pengobatan anti TB sebelumnya atau pernah
mendapat obat anti TB selama <4 minggu sedangkan MDR sekunder adalah kasus MDR pada
mereka yang pernah mendapat obat anti TB selama ≥ 4 minggu.2
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis / TB-MDR ) merupakan masalah
terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2003 WHO meny-
atakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% pertahun. Prevalens TB
diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di
dunia. Oleh karena itu, banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalak-
sanaan TB, hal ini tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan se-
hingga mengurangi angka resistensi termasuk resistensi ganda.2
Timbulnya resistensi obat dalam terapi Tb khususnya MDR Tb merupakan masalah
besar kesehatan masyarakat di berbagai negara dan fenomena MDR menjadi salah satu batu
sandungan program pengendalian Tb. Pengobatan pasien MDR Tb lebih sulit, mahal, banyak
efek samping dan angka kesembuhannya relatif rendah. Penyebaran resistensi obat di berbagai
negara tidak diketahui dan tatalaksana pasien MDR Tb masih tidak adekuat.3
1
B. EPIDEMIOLOGI
Tb resisten obat adalah masalah dunia, Laporan pertama tentang resistensi ganda
datang dari Amerika Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka
kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB
tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis
yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR.4
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil surveilans se-
cara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah menyebar
dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Pada survei WHO dila-
porkan lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka MDR-TB lebih tinggi dari
yang diperkirakan. Enam negara dengan kekerapan MDR-TB tinggi di dunia adalah Estonia,
Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO memperki-
rakan ada 300.000 kasus MDR-TB baru per tahun. OAT yang resisten terhadap kuman tuber-
culosis akan semangkin banyak, saat ini 79% dari MDR-TB adalah “ super strains” yang re-
sisten paling sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis.5
Horsburgh (2000) melaporkan hasil survey terbaru pada 35 negara bahwa 12,6% Tb
sendiri resisten paling tidak terhadap satu macam obat, dan 2,2% resisten terhadap 2 macam
obat yang digunakan untuk mengobati Isoniazid dan Rifampisin. Penting dicatat bahwa
kebanyakan kasus Tb adalah sensitive terhadap obat pada saat di diagnosis dan hanya
menjadi resisten terhadap obat akibat terapi yang tidak optimal.6
C. ETIOLOGI
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :5
Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT
Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoni-
azid dan rifampisin
Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
dan rifampicin
Extensive drug-resistance (XDR) : MDR- TB ditambah kekebalan terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT in-
jeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
2
Yang dimaksud dengan resistensi ganda adalah keadaan resistensi M. tuberculosis ter-
hadap isoniazid dan Rifampicin dengan atau tanpa resistensi terhadap obat anti tuberculosis
lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi : 7
1. Resistensi primer adalah resisten yang terjadi pada orang yang belum pernah memakai
OAT sebelumnya,. biasanya karena terpajan dengan penderita yang telah resisten obat.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada ri-
wayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang sudah pernah
menggunakan obat anti tuberculosis sebelumnya.
Resistensi kuman tuberculosis menurut Mitchison ialah penurunan derajat kepekaan
suatu kuman terhadap suatu obat, dibandingkan dengan kepekaan kuman tersebut dari jenis
yang mumi. Sedangkan menurut Cavallo resistensi ialah keadaan kuman dalam situasi yang
tidak peka lagi terhadap suatu obat meskipun dalam kadar tinggi. Kuman yang resisten
timbul karena adanya mekanisme mikroorganisme membuat enzim yang dapat
menghancurkan aktivitas obat, mengubah sifat permabilitasnya terhadap obat, mengubah
struktur interennya, mengubah sifat metabolismenya dengan cara membuat reaksi yang tidak
dapat dihambat oleh obat.8
Teori lain menyatakan resistensi melalui proses :8
1. Adaptasi
Mekanisme ini muncul kembali karena terjadinya lingkungan baru sebagai akibat efek
kemoterapi, dimana kuman tersebut mengalami perubahan enzimatik yang tidak dapat di
hambat oleh obat.
2. Mutasi
Pada keadaan ini terjadi proses perubahan genetic pada kuman secara spontan pada strain
yang liar. Makin banyak jumlah kuman makin besar kemungkinan timbul mutasi.
Mekanisme resistensi terhadap obat anti tuberculosis umumnya terjadi melalui proses ini
yang berbeda-beda tergantung pada jenis obat. Rata-rata kemungkinan mutasi kuman
menjadi resisten terhadap satu jenis obat berkisar 1 dalam 106 organisme sedangkan
mutasi terhadap dua macam obat dapat terjadi 1 dalam 1012 organisme.
3
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya MDR Tb antara lain dapat di gam-
barkan pada skema : 8
Skema. faktor penyebab resisten dengan OAT.
Selain itu, penyebab lainnya, yaitu : 7
a) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis
b) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang di-
gunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
c) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali
selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
d) Fenomena “ Addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB
telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten
4
e) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu bioavailabiliti obat
f) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
g) pengirimannya sampai berbulan-bulan
h) Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan.
i) Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
j) Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru.
Pasien yang dicurigai kemungkinan MDR-TB adalah :5
1. Kasus TB paru kronik
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan
kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kate-
gori
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori
2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, ter-
masuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9. Pasien yang memenuhi ‘kriteria suspek’ harus dirujuk secara ke laboratorium dengan jam-
inan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.
Masalah yang timbul adalah bila pasien dengan MDR Tb tidak di obati, maka besar
kemungkinan untuk menularkan penyakit ke lingkungannya yang kemungkinan akan resisten
pula terhadap OAT. Oleh karena itu, dibutuhkan obat-obatan yang mampu membunuh kuman
yang resisten terhadap second line misalnya : ofloksasin, ciprofloksasin, etionamid, sikloserin,
dll.4/
5
D. MEKANISME RESISTENSI OAT
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat
obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri meng-
hasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpa-
jan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Re-
sisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan
obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif ter-
hadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah ter-
infeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M.
Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Tetapi, terapi Tb yang
tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Ke-
moterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap
obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada
populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb
HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penu-
laran MDR Tb.3
Terdapat 5 sumber utama penyebab resisten obat Tb menurut “Spigots” yaitu : 3
1. Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi M. Tb resistensi,
2. Lamanya pasien menderita infeksi disebabkan oleh keterlambatan diagnosis MDR Tb
dan hilangnya efektivitas terapi sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap
kontak yang masih sensitif.
3. Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek memiliki angka kesembuhan
kecil dan hilangnya efek terapi epidemiologi penularan.
4. Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek akan mendapatkan resistensi
lanjut disebabkan ketidak hati—hatian pemberian monoterapi (efek penguat).
5. Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi penyakit Tb dan penyebab
pendeknya masa infeksi.
Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniasid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
6
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada
dinding sel mikobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi
katase peroksidase.9
Mutan M.tuberkulosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan
kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh
adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promoter pada
lokus gen yang dikenal sebagai inhA, mutasi missense atau delesi KatG berkaitan dengan
berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.9
Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis
RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung
DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokkus gram positif dan gram negative,
mikobacterium, Chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada
semua populasi mikobakterium terjadi pada frekuensi 1 : 107 atau lebih.9
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau
adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampicin menghambat RNA
polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri
yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain
elongation) tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi rifampicin
berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan
kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada
tempat ikatan obat tersebut.9
Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberculosis. Obat ini bekerja efektif terhadap
bakteri tuberculosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral,
pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek . obat ini merupakan bakterisid yang
memetabolisme secara lambat mikroorganisme yang berada dalam suasana asam pada
7
fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi
bentuk yang aktif asam pyrazinoat.9
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamide sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat.
Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi gen pncA, yang
menyandikan pyrazinamid.9
Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mykobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.
Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinogalactan yang berada didalam
dinding sel.9
Resistensi Ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi
missense pada gen embB yang menjadi sandi arabinosyltransferase. Mutasi ini telah dite-
mukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi
306-406 pada sekitar 90% kasus.9
Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomycin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi
ribosomal.9
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidenti-
fikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen rRNA (rrs) atau
gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl) . kedua target diyakini terlibat pada
ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl telah diidentifikasi se-
banyak 50% isolate yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak
20%. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi
mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten
terhadap streptomycin tidak mengalami resistensi silang terhadap Capreomysin maupun
amikasin.9
8
E. DIAGNOSIS
Diagnosis TB resistensi ganda pada pengumpulan dan proses kultur specimen yang
adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan
sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensi-
tivitas terhadap obat lini pertama dan kedua dilakukan pada laboratorium rujukan yang
memadai.9
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi re-
sistensi obat dimasa lalu disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertum-
buhan M.tuberculosis.akibat sulitnya beberapa metode ini adalah metode fenotipik dan
genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi ri-
fampisin, sejak saat itu metode ini dioertimbangkan sebagai petanda TB resistensi ganda
khususnya pada suasan dengan prevalensi TB resistensi ganda yang tinggi. Sementara
metode fenotipik, disisi lain, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diim-
plementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.9
Tabel. 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT(dikutip dari 9)
Metode Fenotipik konven-
sionalMetode fenotipik baru Metode Genotipik
Metode proporsional Metode phage based Rangkaian DNA
Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase agar
Metode konsentrasi absolute The nitrate reductase assay Teknik real-time polymerase
Chain Reaction (PCR)
Metode radiometri BACTEC The microscopic observation
broth-drug susceptibility assay
microarrays
Tabung indicator pertumbuhan
mikobakterial
Metode agar thin-layer
9
F. PENATALAKSANAAN
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT: 7
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bek-
erja pada pH asam.
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik : etambutol, cycloserin dan PAS
OAT yang dipakai :7
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah : INH, Rifampisin, Pyrazinamid,
Streptomisin, dan Ethambutol.
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) : Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, “makrolid,
amoxicillin dan asam klavulanat” (masih dalam penelitian).
Obat berikut belum tersedia di Indonesia : kapreomisin, Sikloserin, PAS, derivate
rifampisin dan INH, Etionamid.
Tabel. 2. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB(dikutip dari 7)
TINGKATAN OBATDOSIS
HARIAN
AKTIVITAS
ANTIBAKTERI
RASIO KADAR PUNCAK RASIO
SERUM TERHADAP M.Tb
1 Aminoglikosid
a.Streptomisin
b. Kanamisin atau amikasin
c. Kapreomisin
15mg/kg Bakterisid :
Menghambat
organisme yang
multiplikasi aktif
20-30
5-7,5
10-15
2 Thionamides
(etionamid-Protinamid)
10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH
asam
7,5-10
4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid
mingguan
2,5-5
5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3
6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100
10
Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2
kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. OAT primer adalah isoniazid, rifampin,
ethambutol, pyrazinamide. Dengan keempat macam OAT primer itu kebanyakan penderita
tuberculosis dapat disembuhkan. Penyembuhan penyakit umumnya terjadi setelah
pengobatan selama 6 bulan. Keempat macam OAT primer itu diberikan sekaligus setiap hari
selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan dua macam obat (isoniazid dan rifampin)
selama 4 bulan berikutnya.. Bila dengan OAT primer timbul resistensi, maka yang resisten
itu digantikan dengan paling sedikit 2-3 macam OAT sekunder yang belum resisten sehingga
penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus. Strategi pengobatan yang dianjurkan
oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short course) untuk penggunaan OAT
primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT sekunder. OAT sekunder adalah asam para-
aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone, fluorokinolon, aminoglikosida dan capreomycin,
cycloserine, penghambat betalaktam, clarithromycin, linezolid, thioacetazone, dan lain-lain.4
Aminoglikosida dan Capreomycin
Kelompok obat suntik ini mempunyai mekanisme kerja mengikat ribosom yang selan-
jutnya berakibat pengambatan sistesi protein6. Obat ini harus dapat melintasi dinding sel su-
paya tempat kerjanya di ribosom. Pada pH rendah yaitu di dalam kavitas dan abses penetrasi
obat meliwati dinding sel mikobakteri terhalang, dan ini dapat menerangkan kekurangmanju-
ran aminoglikosida sebagai antitiberkulosis. Lebih lanjut aminoglikosida tak dapat melintasi
dinding sel, sebab itu tak berkhasiat terhadap mikrobakteri intrasel. Aminoglikosida
berkhasiat bakterisid hanya terhadap mikobakteri yang sedang membelah dan sedikit sekali
efeknya terhadap basil yang tak sedang membelah. Oleh karena itu aminoglikodsida hanya
bermanfaat pada pengobatan fase induksi, ketika mikobakteri dalam jumlah besar sedang
membelah diri, sedangkan pada pengobatan fase lanjut yang diperlukan adalah OAT yang
aktif terhadap mikobakteri intrasel yang sedang membelah diri secara lambat. Resistensi ter-
hadap streptomycin biasanya sering dijumpai pada wilayah dimana obat itu luas digunakan.
Tempat kerja masing-masing aminoglikosida di ribosom adalah tak sama. Amikacin umum-
nya aktif terhadap mikobakteri yang sudah resistant terhadap streptomycin, tetapi antara
amikacin dengan kanamycin selalu ada resistensi silang. Di lain pihak mikobakteri yang su-
dah resisten dengan amikasin selalu resisten pula dengan streptomycin. Capreomycin adalah
11
obat mahal, tetapi aktif terhadap strain mikobakteri yang sudah resisten terhadap strepto-
mycin. Strain yang sudah resisten dengan capreomycin masih dapat diatasi dengan amikacin,
tetapi sebaliknya tidak.4
Ethionamide
Setelah penemuan isoniazid beberapa turunan pyridine lainnya telah diuji dan dite-
mukan ethionamide dan prthionamide memperlihatkan aktifitas antimikobakteri2.
Mekanisme kerjanya sama seperti isoniazid, yaitu menghambat sintesis asam mikolat. In-
viro kedua turunan pyridine ini bersifat bakterisid, tetapi resistensi mudah terjadi. Dosis har-
ian adalah 500-1000 mg, terbagi dua dosis. Efek samping utama adalah gangguan saluran
cerna, hepatotoksisitas (4.3% penderita); ethionamide memperlihatkan kekerapan efek
samping yang sedikit lebih rendah dari efek samping prothioamide. Efek samping yang lain
adalah neuritis, kejang, pusing, dan ginekomastia.4
Flurokuinolon
Fluorokinolon menghambat tropoisomerase II (DNA gyrase), dan tropoisomerase IV
tetapi enzim ini tak ada pada mikobakteri. Sifat penting fluorokinolon adalah kemampuan-
nya untuk masuk ke dalam makrofag dan memperlihatkan efek mikobakterisidnya di dalam
sel itu. Yang diakui berkhasiat sebagai OAT adalah fluorokinolon generasi kedua, yaitu
ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin. Akan tetapi jumlah kajian klinik yang meneliti
peran fluorokinolon paada pengobatan multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) masih
terbatas. Efek samping yang berkaitan dengan penggunaan fluorokinolon mencakup gang-
guan saluran cerna, efek neurologik, artopathy dan fotosensitifitas. 4
Asam Para-amino Salisilat (PAS)
Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang disunakan
bersama dengan isoniazid dan streptomycin; kemudian kedudukannya digantikan oleh
ethambutol. PAS memperlihatkan efek bakteriostatik terhadap M tuberculosis dengan meng-
hambat secara kompetitif pembentukan asam folat dari asam para-amino benzoat1. Penggu-
naan PAS sering disertai efek samping yang mencakup keluhan saluran cerna, reaksi
hipersensitifitas (10% penderita), hipotiroid, trombositopenia, dan malabsorpsi.4
12
Cycloserine
Cycloserine memperlihatkan efek mikobakteriostatiknya melalui penghambatan sinte-
sis dinding sel. Penelitian klinis yang dilalukan pada tahun 1950-an memperlihatkan keman-
juran yang lebih rendah disbanding dengan PAS, disertai dengan efek samping neueopsikia-
trik yang terlihat pada 50% penderita yang menerima dosis 1 gram perhari. Gejalanya men-
cakup serangan kejang, psikosis, berbicara tak jelas, mengantuk, dan koma.4
Pengobatan MDR-TB sangat mahal, sulit, memerlukan waktu yang lama dan hasilnya
belum tentu memuaskan meskipun dengan obat TB lini kedua. Oleh karena itu pengemban-
gan pengetahuan mengenai mekanisme kerja obat dan resistensi serta pathogenesis strain re-
sisten obat, menjadi dasar pengembangan strategi diagnostik, program pengobatan tuberku-
losis dan obat baru.3
G. PROGNOSIS
Dubia, tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status
imun dan komorbiditas.12
13