tbc (tuberculosis) mdr

66
LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : An. M Usia : 11 Tahun Jenis Kelamin : Laki – Laki Alamat : Sukaraja Tgl Masuk RS : 09 April 2015 ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS : terhadap Ibu OS) KELUHAN UTAMA Batuk berdahak dan sesak sejak 1 Bulan SMRS KELUHAN TAMBAHAN Sesak makin memberat Demam Pilek Nafsu makan menurun Keringat di malam hari Riwayat Penyakit Sekarang : 1

Upload: sidgi-badjri

Post on 08-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

.

TRANSCRIPT

Page 1: TBC (Tuberculosis) MDR

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. M

Usia : 11 Tahun

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Alamat : Sukaraja

Tgl Masuk RS : 09 April 2015

ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS : terhadap Ibu OS)

KELUHAN UTAMA

• Batuk berdahak dan sesak sejak 1 Bulan SMRS

KELUHAN TAMBAHAN

• Sesak makin memberat

• Demam

• Pilek

• Nafsu makan menurun

• Keringat di malam hari

Riwayat Penyakit Sekarang :

Menurut ibu pasien, batuk berdahak dan sesak sejak 1bulan SMRS, dahak tidak ada

darah. Pilek (+), keringat di malam hari, dan nafsu makan menurun. Berat badan selama 3

bulan terakhir tetap, 20 kg. Demam sejak 6 hari SMRS, demam tidak tinggi, terus menerus.

Sesak makin memberat dalam seminggu terakhir. Tidak ada mual dan muntah. 3 hari SMRS

ibu membawa OS ke klinik, tapi tidak ada perubahan. BAK normal dan BAB normal.

1

Page 2: TBC (Tuberculosis) MDR

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Asma (-)

- Kejang demam (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

• Tidak ada yang mengeluh keluhan yang sama dalam keluarga

Riwayat Pengobatan :

- Sudah berobat ke klinik. Diberikan obat penurun panas dan puyer batuk pilek tapi tidak

ada perubahan

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

ANC teratur di bidan, lahir spontan pervaginam ditolong oleh bidan. BBL: 3000 gr,

PB: 51 cm

Riwayat Imunisasi : Semua imunisasi dasar (+)

Kesan Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang :

- Duduk : 7 bulan

- Berdiri : 8 bulan

- Jalan: 11 bulan

Kesan riwayat tumbuh kembang sesuai dengan usia

Riwayat Makanan :

- ASI eksklusif : 0-6 bulan

- Susu formula : >6 bulan

2

Page 3: TBC (Tuberculosis) MDR

- Nasi tim: > 1 tahun

- Sekarang : anak susah untuk makan

Riwayat Alergi :

- Debu (-)

- Dingin (-)

- Makanan (-)

- Obat (-)

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital :

- Suhu : 36,4 oC

- Nadi : 104 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup

- RR : 38 x/menit

STATUS GENERALIS

Kepala :

Bentuk : Normocephal

Lingkar kepala : 50 cm

Ubun-ubun : sudah menutup

Rambut : hitam, tipis, distribusi merata

Alis : madarosis (-)

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),Sklera ikterus

(-/-),refleks cahaya (+/+), pupil isokor (+/+)

Telinga : Normotia, sekret (-/-)

Hidung : Normonasi, pernapasan cuping hidung (-), septum deviasi (-), sekret (+/+)

3

Page 4: TBC (Tuberculosis) MDR

Mulut : Bibir pucat (-), bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis angularis (-), lidah kotor (),

tonsil, faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (+), jumlah 2, ukuran ± 2 cm, tidak nyeri

Thorak: Normochest

Inspeksi

Dada : simetris kanan kiri

Palpasi

Vocal Fremitus : paru kiri lebih kuat dari pada paru kanan

Perkusi paru : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler, Wheezing (-/-), Ronki (+/+)

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada ulu hati

Palpasi : Ictus cordis teraba pada ulu hati

Auskultasi : BJ I dan II murni, reguler,cepat, murmur (-), gallops (-)

Abdomen :

Inspeksi : supel

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali(-), splenomegali(-),

Turgor (baik)

Perkusi : Timpani

Ekstremitas :

Atas Bawah

- Akral hangat : +/+ +/+

- RCT : < 2 detik < 2 detik

- Udem : -/- +/+

- Clubbing : +/+ +/+

Inguinal : Tidak ada pembesaran kelenjar KGB

Anus dan Rektum : Dalam batas normal.

Genitalia : Laki-laki (normal)

Kekuatan Motorik

5 5

5 5

4

Page 5: TBC (Tuberculosis) MDR

HASIL LABORATORIUM

Hasil Laboratorium 09 April 2015

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Hb 9,1 mg/dL 10,7 – 14,7

Hematokrit 25 % 31-43

Trombosit 418 Ribu / μL 229-553

Leukosit 9,9 Ribu / μL 5,0 – 14,5

LED 13 mm/jam 0 - 20

Elektrolit

Natrium, Na. 129 Mmol/L 137-147

Kalium, K. 4,1 Mmol/L 3,6-5,4

Klorida, Cl. 103 Mmol/L 94-111

GDS 73 Mg/dl < 120

.

DAFTAR MASALAH

TB Paru Susp. MDR

Susp. RHD

FOLLOW UP

Tanggal Perjalanan penyakit Pengobatan 10-04-2015 S : sesak,lemas,batuk,panas,nafsu makan

menurun, mual, pusing, nyeri pada seluruh sendi, BAK dan BAB dbn.O : composmentis Ca +/+ Si -/- Suhu 36,9 CThoraks Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)Cor BJ I&II reguler, sangar cepat. Gl – Mr-

02 1-2 L/mnt IVFD Kaen 3b 20tpmInj. Cefotaxime 2.1grInj. Furosemide 1.20mgInf. Sanmol 3.500mgRo. Thoraks BTA S-P-SDiet TKTP

5

Page 6: TBC (Tuberculosis) MDR

Abdomen Dbn Ekstrimitas clubbing finggers (+/+ | +/+) oedema (-/- | +/+)A : Tb paru anemia susp. Kelainan jantung

11-04-2015 Per S : sesak,lemas,batuk,panas,nafsu makan menurun, mual, pusing, nyeri pada seluruh sendi, BAK dan BAB dbn.O : composmentis Ca +/+ Si -/- Suhu 36,9 CThoraks Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)Cor BJ I&II reguler, sangar cepat. Gl – Mr- Abdomen Dbn Ekstrimitas clubbing finggers (+/+ | +/+) oedema (-/- | +/+)A : Tb paru anemia susp. Kelainan jantung jalanan penyakit

O2 1-2 L/mnt IVFD Kaen 3b 20tpmInj. Cefotaxime 2.1grInj. Furosemide 1.20mgInf. Sanmol 3.500mg

Diet TKTP tan

12-04-2015 S : sesak,lemas,batuk,panas,nafsu makan menurun, mual, pusing, nyeri pada seluruh sendi, BAK dan BAB dbn.O : composmentis Ca +/+ Si -/- Suhu 36,9 CThoraks Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)Cor BJ I&II reguler, sangar cepat. Gl – Mr- Abdomen Dbn Ekstrimitas clubbing finggers (+/+ | +/+) oedema (-/- | +/+)A : Tb paru anemia susp. Kelainan jantung jalanan

02 1-2 L/mnt

IVFD Kaen 3b 20tpm

Inj. Cefotaxime 3.1gr

Inj. Ampicillyn 3.1gr

Inf. Sanmol 3.500mg

Diet TKTP

Planning terakhir

02 1-2 L/ menit

IVFD RL 20 tpm

Inj. Cefotaxime 3.1gr

Inj. Ampicillyn 3.1gr

OAT : INH 200mg

Rif 300mg

Pirazinamid 500mg

6

Rencana rujuk RSUP Hasan Sadikin dengan TB Paru susp. MDR dan dilakukan pemeriksaan Echocardiography

Page 7: TBC (Tuberculosis) MDR

TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS

1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium

tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ

tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi

primer.

1.2 Etiologi

Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis,sejenis kuman

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang

tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M.

tubeculosae, 2. Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis.

Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.

Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT) atypical adalah 1.

M. kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra cellular, 4. M. scrofulaceum, 5. M. malmacerse,

6. M. xenopi .

1.3 Epidemiologi TB di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah

china dan india. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di china, india dan Indonesia

berturut-turut 1.828.000, 1.414.000 dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di

sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survey

kesehatan rumah tangga tahun 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB

menempati rangking no 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. sampai sekarang angka

kejadian TB di Indonesia relative terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena

masih relative rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa

datang mengingat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun.

7

Page 8: TBC (Tuberculosis) MDR

Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB

anak pertahun adalah 5-6% dari total kasus. Tuberkulosis anak merupakan faktor

penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah

40-50% dari jumlah seluruh populasi seperti gambar di bawah ini.

1.4 Patogenesis

Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nudei)

yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak

terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan

seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar

dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan

akan terns berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis

makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang

dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. jika fokus primer

8

Page 9: TBC (Tuberculosis) MDR

terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar

limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,

dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama

masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104,

yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular

Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB

terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin

masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,

pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan

tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas

selular telah terbentuk, kuman TB barn yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi

dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di

paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritic fokal. Jika terjadi

nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui

bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

9

Page 10: TBC (Tuberculosis) MDR

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga

bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve

mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi

dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.

Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang Bering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran

hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di

seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering

di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang

di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di

sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses

patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian

hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang

disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan

10

Page 11: TBC (Tuberculosis) MDR

setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi

kuman TB yang beredar Berta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis

diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam

mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di

bawah dua tahun.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic

spread dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh

tubuh, dalam perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung

kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan

melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier

berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut

(millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3

mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di

dinding vaskular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar

kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic

spread.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),

biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB

paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru

kronik. Sebanyak 0,5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau

meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis

endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat

terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat

bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis paru kronik

biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi

sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan

dewasa muda.

11

Page 12: TBC (Tuberculosis) MDR

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi

TB. Tuberkulosis tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan

paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.

Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. Secara singkat,

patogenesis tuberkulosis dapat dilihat pada Gambar dibawah ini

12

Page 13: TBC (Tuberculosis) MDR

1.5 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko

infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

1.5.1 Risiko infeksi TB

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan

dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemic,

kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat

penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak

terdapat pasien TB dewasa aktif.

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang

dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti, bayi dari seorang ibu

dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin eras bayi

tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan

percik renik (droplet nudei) yang infeksius.

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih

tinggi Jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat lugs atau

kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat,

serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak

baik.

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa

di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret

endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Pertama, jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena

imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan

sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB

primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak

terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak

terdapatnya receptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat

gejala batuk pada TB anak.

13

Page 14: TBC (Tuberculosis) MDR

1.5.2 Risiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut

ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi

sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun mempunyai

risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas

selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini

akan berkurang secara bertahap wiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang

terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang

menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada dewasa 5-10%. Anak

berusia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB

milier dan meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1

tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang

waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun)

dan biasanya timbul gejala yang akut.

Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya

konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam. 1 tahun terakhir. Faktor

risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi

HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes melitus,

dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah

status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan human,

pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan

masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko,

sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang

mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberculosis dan

dosis infeksinya. Akan tetapi, secara klinis hal ini sulit untuk dibuktikan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan

salah satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun

sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan

AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna . di beberapa negara.

Diperkirakan risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif

14

Page 15: TBC (Tuberculosis) MDR

adalah 7 —10% per tahun, dibandingkan dengan pasien non-HIV yang risiko

terjadinya sakit TB adalah 5 —10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6%

kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat

menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun

pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi

bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multiobat (Multi Drug

Resistance = MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim

(Extreme Drug Resistance =XDR). Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang

terinfeksi TB dapat dilihat pada Tabel 4.1.1.

1.6 Gejala-Gejala Klinis

Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB sangat

bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman

TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah

dan virulensi kuman, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi

imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali

tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada

foto toraks. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan

manifestasi spesifik organ/lokal.

Manifestasi sistemik (umum/nonspesifik)

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik

karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar

anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu.

Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB

umumnya berlangsung bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat

berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak dapat

menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai

muncul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala dan

tanda klinis sistemik yang tidak khas, terkait dengan organ yang terkena. Keluhan

sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan tumor necrosis factor-a, (TNF-α).

15

Page 16: TBC (Tuberculosis) MDR

Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam

pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan

hilangtimbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lain yang

sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik (turun, tetap, atau naik,

tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.

Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi

respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru

dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala batuk

berulang lebih sering disebabkan oleh asma, sehingga jika menghadapi anak dengan

batuk kronik berulang. telusuri dahulu kemungkinan asma. Fokus primer TB paru

pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor

batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis

regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik. Selain

itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan

imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang.

Gejala batuk kronik berulang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain, misalnya

rinosinusitis, refluks gastroesofageal, pertusis, rinitis kronik, dan lain-lain (gambar

dibawah). Gejala sesak jarang dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang

berlangsung akut, misalnya pada TB milier, efusi pleura, dan pneumonia TB.

Rangkuman dari gejala umum pada TB anak adalah sebagai berikut:

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan

demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat

disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi.

2. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.

3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan

dengan penanganan gizi yang adekuat.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik

dengan adekuat (failure to thrive).

5. Lesu atau malaise

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

16

Page 17: TBC (Tuberculosis) MDR

1.7 Pemeriksaan penunjang

1.7.1 Uji Tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat

antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah

terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk

imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi

suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan

terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk

reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses

penyakit.

Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal,

tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada

anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di

Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum

Institute Denmark, dan PPD (purified protein derivative) dari Biofarma.

17

Page 18: TBC (Tuberculosis) MDR

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-

23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan

dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi

yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi

untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter

transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan

dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0

mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif (lihat lampiran gambar). Selain ukuran

indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel

hingga bula.

Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar

disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi

Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. Bacille Calmette-Guerin

merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga

kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidak sekuat

infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap

akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung

hingga 5 tahun setelah penyuntikan.

Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm

dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah,

tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥15

mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil

tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.

Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin. negatif.

Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh

kesalahan teknis (trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M.

atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk

menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan

penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.

18

Page 19: TBC (Tuberculosis) MDR

Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais),

maka cut off-point hasil positif yang digunakan adalah ≥5 mm. Keadaan

imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV,

keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien-pasien yang mendapat

imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Pada anak yang mengalami kontak eras

dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan batas ≥5 mm. Uji

tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi

morbili; measles, mumps, rubella (MMR); dan varisela, karena dapat terjadi anergi

(negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin).

Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi

individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga

ulkus di tempat suntikan. juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati

regional, konjungtivitis fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam,

walaupun jarang terjadi.

Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas,

sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang

tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila

hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:

1. Infeksi TB alamiah

a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)

b. infeksi TB dan sakit TB

c. TB yang telah sembuh.

2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).

3. Infeksi mikobakterium atipik.

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:

1. Tidak ada infeksi TB.

19

Page 20: TBC (Tuberculosis) MDR

2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.

3. Anergi.

Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan,

sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya

sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi

buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili,

pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, Berta pemberian vaksinasi dengan vaksin

virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influenza,

bukan batuk-pilekpanas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut

sebagai selesma (common cold).

Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberkulin adalah

kemungkinan uji tuberkulin postif palsu/negatif palsu. Uji tuberkulin positif palsu

dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah,

demikian juga negatif palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik

sehingga potensinya menurun (gambar dibawah).

.

20

Page 21: TBC (Tuberculosis) MDR

1.7.2 Uji Interferon

Secara garis besar, pemeriksaan penunjang untuk mencari bukti adanya

penyakit infeksi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah

pemeriksaan untuk menemukan kuman patogen di dalam spesimen, misalnya dengan

pemeriksaan langsung, pemeriksaan biakan, atau polymerase chain reaction (PCR).

Kedua adalah pemeriksaan untuk mendeteksi respons imun terhadap kuman tersebut.

Pemeriksaan untuk respons imun terhadap penyakit infeksi terdiri dari pemeriksaan

respons imun humoral (enzyme-linked immunoabsorbent assay, ELISA) dan

pemeriksaan respons imun selular. Pada penyakit infeksi non-TB, yang banyak

dipakai adalah pemeriksaan respons imun humoral vaitu pemeriksaan serologi. Pada

infeksi TB, respons imun selular lebih memegang peranan, sehingga pemeriksaan

diagnostik yang lebih representatif adalah uji tuberkulin.

Uji tuberkulin dianggap tidak praktis karena pasien harus datang minimal dua

kali untuk diagnostik, yaitu saat penyuntikan dan saat pembacaan. Pemeriksaan

imunitas selular yang ada biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB dengan

sakit TB, oleh karena itu telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular

yang lebih praktis vaitu dengan memeriksa spesimen darah. Hasil pemeriksaan ini

diharapkan dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB. Pemeriksaan yang

dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma release assay, IGRA).

Ada 2 macam pemeriksaan IGRA di pasar dunia yaitu Quantiferon TB gold

dan Tspot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN-y dengan ELISA yang

dinyatakan dalam pg/ml atau IU-ml. T-spot-TB menghitung jumlah IFN-y secreting

T-cell berupa titiktitik (Spot foaming cells). pemeriksaan IGRA belum dibuktikan

hasilnya pada anak-anak.

1.7.3 Radiologis

Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada

TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal

(tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis

dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto

toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.

21

Page 22: TBC (Tuberculosis) MDR

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut.

· Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.

· Konsolidasi segmental/lobar.

· Milier.

· Kalsifikasi dengan infiltrat.

· Atelektasis.

· Kavitas.

· Efusi pleura.

· Tuberkuloma.

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus

disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus

biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai

ketidaksesuaian (diskongruensi) antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran

klinis ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu

dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti computed tomography scan (CT-scan)

toraks.

1.7.4 Serologis

Pada awalnya, pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara

infeksi TB dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan

imunologik antigenantibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan

menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan

pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar

lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan

serologis yang ada : PAP TB, Mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-

lain, hingga saat ini belum ada satu pun pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi

harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian

untuk pemakaian klinis praktis.

22

Page 23: TBC (Tuberculosis) MDR

1.7.5 Mikrobiologis

Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji

tuberkulin, dan gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan

kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang

dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung

untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis.

Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan

specimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan peffieriksaan bilas lambung

(gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik

langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis

memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saar ini ada pemeriksaan

biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec,

tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.

Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR.

Pemeriksaan PCR merupakan teknik amplifikasi urutan deoxyribonudeotic acid

(DNA) yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini, kuman yang berasal dari

spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M.

tuberculosis pada bahan pemeriksaan, sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup

tinggi.

Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan

PCR sebagai pemeriksaan klinis rutin, yaitu tingginya variasi tingkat sensitivitas pada

pemeriksaan PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi

kuman/bagian dari kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat

menyebabkan positif palsu. Hasil positif pun tidak selalu menunjukkan kuman yang

aktif, karena kuman dorman atau persister dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini.

Selain itu. teknologi yang digunakan masih tergolong rumit, sehingga menyebabkan

tingginya biaya PCR. Oleh karena itu, hingga saat ini pemeriksaan PCR masih

digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis

rutin. penelitian lebih lanjut untuk melihat sensitivitas dan spesifisitasnya pada anak

masih diperlukan.

23

Page 24: TBC (Tuberculosis) MDR

Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukannya suatu

sistem kontrol standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai

pemeriksaan klinis rutin. Pada pasien TB dewasa, metode ini telah terbukti

sensitivitas dan spesifisitasnya yang cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam

diagnosis TB anak masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan spesimen.

Seperti kita ketahui, kuman TB ada di dalam darah hanya dalam waktu singkat selama

masa inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak bermanfaat.

Spesimen yang dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau

CSS.

1.7.6 Patologi anatomi

Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi

mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran

yang khas. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang

ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.

Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di

tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinudeated giant

cell (sel datia Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan

menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.

Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.

Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi, kendalanya adalah kesulitan

mendapatkan spesimen yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling

sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar

gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini

mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara

histopatologis sulir dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya, seringkali KGB kolli

ini sering diambil dengan cara biopsi jarum halus. Sebenarnya, spesimen yang

diambil dengan menggunakan jarum halus kurang representatif karena jaringan yang

terambil hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan sitologi yang sulit

untuk dibuat kesimpulan pasti.

24

Page 25: TBC (Tuberculosis) MDR

1.8 Penegakan diagnosis

Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan

pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan

gambaran sugestif pada foto, toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak

tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data

klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear), dan/atau biakan yang

merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), atau gambaran PA TB. Hanya

saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit

pada TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari

bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan

mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis saja, atau pemeriksaan penunjang

tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisis kritis

perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.

Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha

membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya

pedoman yang dibuat oleh WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respirologi PP IDAI.

WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) membuat kriteria untuk membuat

diagnosis TB pada anak (gambar dibawah).

25

Page 26: TBC (Tuberculosis) MDR

Kriteria WHO ini telah dievaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan

hasil baik. Penilaian pada 258 anak dengan "mungkin tuberkulosis" sesuai kriteria

WHO maka setelah diikuti lebih lanjut 109 (42%) menjadi "pasti tuberkulosis"

dengan biakan positif, 86 (33%) diagnosisnya tetap "mungkin tuberkulosis",

sedangkan 63 (24%) bukan tuberkulosis. Diantara 109 anak dengan biakan positif, 11

anak foto rontgen parunya normal.

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur

diagnosis TB anak yang dimuat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB

yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam alur diagnosis

tersebut, terdapat 10 butir kriteria diagnosis TB anak. Bila terpenuhi tiga atau lebih,

anak sudah dapat didiagnosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaannya di lapangan, alur

diagnosis tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada

anak.

Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan

didukung WHO, membentuk kelompok kerja TB anak (Pokja TB Anak). Salah satu

tugas Pokja ini adalah mengembangkan sistem skoring yang barn untuk meningkatkan

sensitivitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak. Sistem skoring yang telah

disusun tersebut diuji coba melalui tiga tahapan penelitian. Penelitian pertama berupa

penerapan sistem skoring terhadap sekitar 200 pasien TB anak dengan biakan positif

(confirmed TB). Penelitian kedua adalah penerapan sistem skoring terhadap pasien

TB anak di RS yang menjalani prosedur diagnostik lengkap termasuk pemeriksaan

mikrobiologik. Dari kedua tahapan penelitian tersebut didapatkan sistem skoring

dengan cut off-point seperti yang dimuat di dalam buku ini. Penelitian tahap ketiga

adalah penerapan sistem skoring di puskesmas untuk melihat kelayakan dan

kemampulaksanaan petugas kesehatan di lapangan. Revisi sistem skoring diagnosis

TB anak dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

26

Page 27: TBC (Tuberculosis) MDR

· *Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus.

· Mengingat.pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

· Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (<7 hari) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB Anak, BCG bukan merupakan alas diagnostik.

· Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor >6 (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada foto toraks,

dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk, dan penurunan

kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus dirawat inap di

Sistem skoring dikembangkan terutama untuk penegakan diagnosis TB anak

pada sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas. Untuk mendiagnosis TB di

sarana yang memadai, sistem skoring hanya digunakan sebagai uji Lapis. Setelah itu

dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilas lambung (BTA dan

kultur M. tuberculosis), patologi anatomik, pungsi pleura, pungsi lumbal, CT-scan,

funduskopi, serta pemeriksaan radiologis untuk tulang dan sendi.

27

Page 28: TBC (Tuberculosis) MDR

28

Page 29: TBC (Tuberculosis) MDR

1.9 Penatalaksanaan

Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan

antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit

penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila

ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan

kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan. pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan obat secara

teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal pemberian

obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya.

1.9.1 Medikamentosa

1.9.1.1 Obat TB yang digunakan

Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid

merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan

streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),

cydoserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin,

moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin. amikacin, dan capreomycin,

yang digunakan jika terjadi MDR.

Isoniazid

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5 —

15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.

Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam

bentuk sirup 100 mg/5 ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga

tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan

CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam.

Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien

berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator

29

Page 30: TBC (Tuberculosis) MDR

lambat. Asetilasi cepat lebih wring terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Asia

daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada

orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi daripada

dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat

menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak

membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis

perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa

dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien

anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah

yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa

penghentian obat. Tiga hingga sepuluh persen pasien akan mengalami peningkatan

kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna

secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut lebih mungkin terjadi pada remaja atau

anak dengan TB yang berat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2

bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan

laboratorium tidak rutin ilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.

Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama dengan

rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau

fenitoin juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. pemberian isoniazid

tidak dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali harga

normal, atau tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual,

muntah, dan nyeri perut.

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki

semua jaringan, Jan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh

oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada

saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2

jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20

mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per

hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15

30

Page 31: TBC (Tuberculosis) MDR

mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid,

rifampisin didistribusikan secara lugs ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS.

Distribusi rifampisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang

mengalami peradangan daripada keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi

melalui traktus biker. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang

kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,

sputum, dan air mata, menjadi warna orange kemerahan. Selain itu, efek samping

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan hepatotoksisitas

(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase

serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersama isoniazid, terjadi

peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan

dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10 mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat

menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi

tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,

siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin.

Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg,

sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB.

Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi

sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul

malabsorpsi.

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam,

dan diresorbsi baik pada saluran cerna. pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis

15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45

pg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena

pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul akibat jumlah

kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira

10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa

artralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis

31

Page 32: TBC (Tuberculosis) MDR

hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,

anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat

digerus dan diberikan bersama dengan makanan.

Etambutol

Dahulu Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya

pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid,

jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan

pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.

Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis

tunggal. Kadar serum puncak 5 pg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam

bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan

anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak

berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.

Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan

etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta

warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang

belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa

pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian

neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pascapengobatan.

Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan TB anak, etambutol

dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol

dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika

obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh

kuman intraselular. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB,

tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan

MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40

32

Page 33: TBC (Tuberculosis) MDR

mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar puncak 40-50 pg/ml dalam waktu 1-

2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak

dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik

pada jaringan dan cairan pleura, dan dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya

saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika

anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial

VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga

berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi.

Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam

menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin,

yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk

selaput otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa.

Toleransi anak terhadap dosis obat per kgBB lebih tinggi. Saat ini terdapat beberapa

perbedaan dosis OAT di dalam kepustakaan. Oleh karena itu, UKK respirologi PP

IDAI telah menyepakati pedoman dosis OAT dengan mempertimbangkan toleransi

anak terhadap dosis, dan tidak hanya sekedar ekstrapolasi dosis untuk pasien dewasa.

Secara ringkas, dosis dan efek samping OAT dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

33

Page 34: TBC (Tuberculosis) MDR

1.9.1.2 Paduan obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama)

dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga

macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam

obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan

untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular

dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman

juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.

Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan

dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

ketidakteraturan menelan obat yang lebih Bering terjadi jika obat tidak ditelan setiap

hari. Saar ini paduan obat yang bake untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah

paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase . intensif diberikan

rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan

rifampisin dan isoniazid.

Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB

milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan

minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau

streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan.

Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis

TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan

dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama

pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan

tappering off selama 1— 2 minggu. Paduan OAT ini dapat dilihat pada Gambar

dibawah ini.

34

Page 35: TBC (Tuberculosis) MDR

1.9.1.3 Fixed Dose Combination (FDC)

Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien

dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak.

Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang

telah ditentukan, yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut.

· Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

· Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien.

· Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar

dengan tepat.

· Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan,

penyimpanan, dan distribusi obat pada setup tingkat pengelola program

pemberantasan TB).

· Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga

mengurangi resistensi terhadap obat TB.

· Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya

kekambuhan.

· Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga

dapat mengurangi beban kerja.

· Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan mengenai

FDG pada anak seperti pada Tabel dibawah ini.

35

Page 36: TBC (Tuberculosis) MDR

1.9.1.4 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil

terapi memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan

setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak

sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.

Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya

kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan

BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan

lain-lain. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.

Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak

terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih

lanjut mengapa tidak ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,

mistreatment, atau resisters terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana

kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan

respirologi anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis,

ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat, kemungkinan adanya penyakit 36

Page 37: TBC (Tuberculosis) MDR

penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6 —12 bulan dan

terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks ulang pada akhir

pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu

subpopulasi persister M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam

tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan

lebih dari 6 bulan pada TB paru tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang

tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan.

1.9.1.5 Evaluasi efek samping pengobatan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai

efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta

demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak

melebihi 10 mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari

dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-

Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase

(SGPT) hingga >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali batas atas normal (40 U/l) disertai

dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan

SGOT/SGPT dengan nilai berapa pun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea,

dan muntah.

Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan

tidak melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin.

pada keadaan ini, hanya diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum

pemberian terapi serta pemantauan terhadap gejala klinis hepatotoksisitas.

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang

terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan

perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase

yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa

penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan lebih dari >5 kali tanpa gejala, atau >3

37

Page 38: TBC (Tuberculosis) MDR

kali batas atas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin

sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi, mengingat pentingnya

rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini

cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan pengobatan

dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis

yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.

Apabila peningkatan enzim transaminase >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali

batas atas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian

kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. Obat

antituberkulosis diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi

berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis

yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan

laboratorium dengan cermat. Hepatoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian

terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan

pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

1.9.1.6 Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama >2

minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis

saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan, dan berapa

lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.

1.9.1.7 Multi-drug Resistance (MDR)

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan

obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan

tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terns meningkat.

Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data

mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila

pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5%, sedangkan dengan

pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed

treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja. Daftar

OAT lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

38

Page 39: TBC (Tuberculosis) MDR

1.9.2 Nonmedikamentosa

1.9.2.1 Pendekatan DOTS

Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan (adherens)

menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu

setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan.

Nilai sosial dan budaya serta pengertian yang kurang mengenai TB dari pasien serta

keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk menelan obat.

Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan

dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini

menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan

pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly

observed treatment shortcourse adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh

39

Page 40: TBC (Tuberculosis) MDR

WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di

Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat

memberikan angka kesembuhan yang tinggi.

Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen,

yaitu sebagai berikut.

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung

oleh pengawas menelan obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang

bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap

pasien baru yang ditemukan harus selalu didampingi seorang PMO. Syarat untuk

menjadi PMO adalah sebagai berikut: dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh

petugas kesehatan maupun pasien, serta harus disegani dan dihormati oleh pasien;

tempat tinggalnya dekat dengan pasien; bersedia membantu pasien dengan sukarela;

bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan.

Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien,

kader, pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas

unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah

mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan,

memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien

untuk periksa sputum ulang (pasien dewasa), serta memberikan penyuluhan kepada

anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk

segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

40

Page 41: TBC (Tuberculosis) MDR

Saat ini pemerintah telah menyediakan paket OAT (kombipak) untuk anak,

yang dapat diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam bentuk KDT (FDC)

untuk anak sedang dalam tahap persiapan pengadaan.

1.9.2.2 Lacak sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah

orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.

Pelacakan sumber infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis

dan BTA sputum. Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan

sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan

cara uji tuberkulin.

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya

atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan

sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis,

dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.

1.9.2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi. Karena pengobatan

TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama,

maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi

yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanga

penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan

mencapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar

mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar

TB pada anak tidak menular kepada orang di sekitarnya. Aktifitas fisik pasien TB

anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.

1.9.2.4 Pencegahan

Imunisasi BCG

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar

0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot

41

Page 42: TBC (Tuberculosis) MDR

deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak

menganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3

bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang

mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian

vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.

Kemoprofilaksis

Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan

kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah

terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah

berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan

isoniazid dengan dosis 5 — 10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis

ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA

sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan selama

6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang.

jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. jika terjadi konversi

tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam

pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap negatif profilaksis

dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien.

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi

belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis

normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang

termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu

anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan

imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis,

mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja,

dan infeksi TB barn (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan).

Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.

42

Page 43: TBC (Tuberculosis) MDR

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-3. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. 2010

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter

anak Indonesia. 2010

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Respirologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter

anak Indonesia. 2010

43