maxillofacial

24
TRAUMA MAXILLOFACIAL (dr Dewi) BAB I PENDAHULUAN Trauma maxillofacial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maxillofacial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maxillofacial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. Cedera maxillofacial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui

Upload: gunung-mahameru

Post on 17-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TRAUMA PADA MAXILLOFACIAL

TRANSCRIPT

TRAUMA MAXILLOFACIAL (dr Dewi)

BAB IPENDAHULUAN

Trauma maxillofacial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maxillofacial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maxillofacial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.Cedera maxillofacial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki. Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maxillofacial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.

BAB IITINJAUAN PUSATAKA

A. DEFINISITrauma maxillofacial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maxillofacial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala.

Trauma Jaringan lunak 1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato2. Cedera saraf, cabang saraf fasial3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen4. Cedera kelopak mata5. Cedera telinga6. Cedera hidung

Trauma Jaringan keras 1. Fraktura sepertiga atas muka2. Fraktura sepertiga tengah mukaa) Fraktura hidung (os nasale)b) Fraktura maksila (os maxilla)c) Fraktur zygomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus)d) Fraktur orbital (os orbita)3. Fraktura sepertiga bawah mukaa) Fraktura mandibula (os mandibula)b) Gigi (dens)c) Tulang alveolus (os alveolaris) B. ETIOLOGIPenyebab trauma maxillofacial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maxillofacial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maxillofacial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.

C. KLASIFIKASIKlasifikasi dari fraktur maxillofacial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.1. Fraktur ZygomaTulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut fraktur kompleks zigomatik.Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.

Gambar 1. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 2. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur tripod, namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.Arcus zygomaticus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus, yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan secara klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau mendapat perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi fraktur komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.

2. Fraktur NasalTulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi yang lebih umum adalah bahwa fraktur fraktur itu meluas dan melibatkan proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.

3. Fraktur MaxillaKlasifikasi fraktur maxillofacial yang keempat adalah fraktur maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.

a) Fraktur Le Fort I Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari.

b) Fraktur Le Fort II Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.

c) Fraktur Le Fort III Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii.Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.

Gambar 3. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

4. Fraktur MandibulaFraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota besar, setiap harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering terlihatPasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi, dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.

Gambar 4. Fraktur Mandibula

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas sewaktu dipalpasi.

D. DIAGNOSISPemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maxillofacial dapat dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maxillofacial.Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti : Mandibular floatingMaxillar floatingZygomaticum floatingYang dimaksud denganfloatingdisini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.

a) Fraktur ZygomaPada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan CT scan.

b) Fraktur Nasal Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya jejas, deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk. Pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT dan pemeriksaan foto rontgen dengan proyeksi dari atas hidung.c) Fraktur MaxillaFraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda. Le Fort I Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral

Le Fort II Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.

Le Fort III Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.

d) Fraktur MandibullaPemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik tomografi ( panorex ) dan helical CT.

Gambar 5. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks zigomatik

Gambar 6. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le Fort II (kiri)

Gambar 7. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah). E. PENATALAKSANAANPasien dengan trauma maxillofacial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma maxillofacial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakanbantuan hidup dasar berupa airway, brething, circulation.. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri.Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi dibawah analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal lewat mulut yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi perdarahan banyak.Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi : 1. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal, 2. Mengidentifikasi fasia temporalis, 3. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang lebih normal.

Bila hanya arkus zygoma saja yang terkena fraktur, fragmen fragmen harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies. Fiksasi tidak perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat sepanjang bagian atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-fragmen secara efektif.

Gambar 8. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar. Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis frontalis.Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular.Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan.

F. PROGNOSISApabila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma maxillofacial, prognosis bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung pada trauma yang timbul. Kecelakaan mobil atau luka tembak, misalnya, dapat menyebabkan trauma wajah berat yang mungkin memerlukan beberapa prosedur pembedahan dan cukup banyak waktu untuk proses penyembuhan.Trauma maxillofacial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada angota tubuh lain yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak yang luas atau avulsi dan fraktur tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk diobati dan mungkin memiliki prognosa yang buruk. Perdarahan berat dari trauma yang luas dari wajah dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan napas, jika tidak diobati atau dideteksi, dapat menyebabkan resiko kematian yang tinggi.

G. PENCEGAHANKendati teknologi bedah memberi hasil yang baik, pencegahan trauma merupakan langkah yang bijak. Pengendara motor yang berisiko tinggi terjadi trauma hendaknya lebih memperhatikan keselamatan, terutama dibagian kepala. Dari suatu penelitian, disimpulkan bahwa ternyata tidak ada perbedaan berarti pada frekuensi kejadian trauma maksilofacial sebelum dan sesudah era wajib helm. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masih sangat sedikit pengendara sepeda motor yang mengenakan helm dengan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Arabion HR,et al.A Retrospective Analysis of Maxillofacial Trauma in Shiraz, Iran: a 6-Year-Study of 768 Patients (2004-2010).J Denst Shiraz Med Sci. 2014; 15(1): 15-21B.M Rugadi, Rajsherkhar H, Yogesh K. Foreign Bodies in Facial Trauma-Report of 3 Cases. Oral adn Maxillofacial Surgeons of India. 2010.Ballinger WF, Rutherford RB, Zeidema Gd, eds. The management of trauma. London : W.B. Sounders Company.Chitrita G, Uday M.Maxillofacial Trauma in Children. International Journal of Clinical Pediatric Dentistry. 2012. 5(3):231-236Duddley HAF, eds. Hamilton bailey ilmu bedah gawat darurat. 11st ed. Penerjemah A. Sanik Wahab, Soedjono Aswin. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1992:20-3:125-74:22.Eliastam M., Sternbach GL, Blesler MJ. Penuntun Kedaruratan Medis. Alih Bahasa: Humardja Santasa. 5th ed. Jakarta: EGC.Gaurav M, Ramakanth R, Cariappa KP. Three Dimensional Titanium Mini Plates in Oral & Maxillofacial Surgery: A Prospective Clinical Trial. J. Maxillofac. Oral Surg. 2012 Geeta M, Rajinder K, Sunil K, Sanjeev U, Varun M. Airway Management in Maxillofacial Trauma: Do We Really Need Tracheostomy/Submental Intubation. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2014George Dimitroulis. Temporomandibular Joint Surgery: What Does it Mean to India in the 21st Century?. Oral and Maxillofacial Surgeons of India. 2012Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management at pakistan institute of medical science.Department of Plastic Surgery Islamabad: 1-5. Joo M, Ferdinando, Manoela M, Janessa L, Franciele D. Associated Injuries in Patients with Maxillofacial Trauma at the Hospital So Vicente de Paulo, Passo Fundo, Brazil. JOURNAL OF ORAL & MAXILLOFACIAL RESEARCH. 2013Kai L. Global Trends in Maxillofacial Fractures. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction. 2012Kambalimath H,. Agarwal SM, Deepashri H, Mamta S, Neha J, Michael P. Maxillofacial Injuries in Children: A 10 year Retrospective Study. J. Maxillofac. Oral Surg. 2013Kambalimath, HV, Agarwal S, Manta S, Jain N, Michael P. Maxillofacial Injuries in Children: A 10 year Retrospective Study. J. Maxillofac. Oral Surg. 2013.Kazuhiko Y, Yumiko M, Satoshi H, Kazuhiro M, Yoshihiro U, Tsutomu S, Tadaaki K. Maxillofacial Fractures of Pedestrians Injured in a Motor Vehicle Accident. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction. 2013King Maurice, Bedah Primer Trauma, EGC, Jakarta, 2002.Kiran DN, Shina M. Gunshot (Pellets) injury to the maxillofacial complex: a case report. Chinese Journal of Traumatology. 2014Kishore N. Oral and Maxillofacial Surgery: Its Future as a Specialty. J. Maxillofac. Oral Surg. 2011Kumar R, Sathya K, Raja S, Nemaly C, Sridhar. A Clinicians Role in the Management of Soft Tissue Injuries of the Face: A Clinical Paper. J. Maxillofac. Oral Surg. 2013Kumaraswamy SV, Nanjappa M. Pediatric injuries in maxillofacial trauma: a 5 year study. J Maxillofac Oral Surg. 2009Madatanapalli S, NM Mujeeb, V Sridhar R, A Yuvaraj4, Sabir M, P Abdul Razak. Use of Cortical Bone Screws in Maxillofacial Surgery - A Prospective Study. Journal of International Oral Health. 2014Mergime P, Osman S, Sami S.Maxillofacial Fractures: Twenty Years of Study in the Departement of Maxillofacial Surgery in Kosovo.Mater Sociomed.2013. 25(3): 187-191Motamedi M. Comprehensive Management of Maxillofacial Projectile Injuries at the First Operation: "Picking up the Pieces". Trauma Monthly. 2012N Aston. Kapita Selekta Traumatologik Dan Ortopedik. Alih Bahasa Petrus Adrianto 3th. ed.Jakarta: EGC. 1994.Nealon TF, Nealon WH. Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah. Alih Bahasa.Irene Winata.Brahm U Pendt. 4thed.EGC: 114 -24.Jakarta. 1996Oladimeji A. Evaluation and Trends in Reconstructive Facial Surgery: An Update.Oral and Maxillofacial Surgeons of India.2012Piotr M, Beata M, Jan D. Characteristics of maxillofacial injuries resulting from road traffic accidents a 5 year review of the case records from Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. Head & Face Medicine. 2006R.Sjamsuhidajat, Buku Ajar Ilmu Bedah,EGC, Jakarta, 1997Rajay A. D. Kamath, Shiva B, Reshma H, Sumit P, Shah. Maxillofacial Trauma in Central Karnataka, India: An Outcome of 95 Cases in a Regional Trauma Care Centre. Craniomaxillofacial Trauma and Reconstruction. 2012Rasmane B, Patrick D. Associated Injuries in Patients with facial fractures : a review of 604 patients. Pan African Mediacal Journal. 2013Suresh M, Choudhury C. Resorbable Implants in Maxillofacial Surgery: A Reality Check. J. Maxillofac. Oral Surg. 2012Syaiful Saanin. Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatra Barat. 2010.Tanweer K, Arshad H, Syed S. Trauma of facial skeleton in children: An indian perspective. Indian J Surg. 2010UNGARI C, FILIACI F, RICCARDI E, RINNA C, IANNETTI G. Etiology and incidence of zygomatic fracture: a retrospective study related to a series of 642 patients. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2012Virendra S, Puneet P, Aviral A, Pradeep K, Ruchi S. Kite string: An unusual mode of maxillofacial injury. Journal of Indian Society of Pedodontics and Preventive Dentistry. 2013Walid A, Khaled A, Yasser A, Abdullah S, Abdullah S. Patterns and etiology of maxillofacial fractures in Riyadh City, Saudi Arabia. 2013Walid A, Khaled, Yasser. Patterns and etiologt of maxillofacial fractures in Riyadh City, Saudi Arabia. The Saudi Dental Journal. 2013. 25, 33-38Yakup C, Erkan K. An analysis of 45 patients with pure nasal fractures. Turkish Journal of Trauma & Emergency Surgery. 2013

dr. Amru