materi tambahan (provisi)
DESCRIPTION
provisiTRANSCRIPT
Provisi
Provisi adalah liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum pasti (PSAK No.57
paragraf 10). Provisi dapat dibedakan dari liabilitas lain, seperti utang dagang dan
akrual, karena pada provisi terdapat ketidakpastian waktu atau jumlah yang harus
dikeluarkan pada masa datang untuk menyelesaikan provisi tersebut (PSAK No.57
paragraf 11 dan Kieso 2011 hal. 677). Utang dagang adalah liabilitas untuk membayar
barang atau jasa yang telah diterima atau dipasok dan telah ditagih melalui faktur atau
secara formal sudah disepakati dengan pemasok. Sedangkan akrual adalah liabilitas
membayar barang atau jasa yang telah diterima atau dipasok, tetapi belum dibayar,
ditagih atau secara formal disepakati dengan pemasok, termasuk jumlah yang masih
harus dibayar kepada pegawai (misalnya jumlah tunjangan cuti). Meskipun sering kali
perlu dilakukan estimasi atau penaksiran jumlah dan waktu akrual, tingkat
ketidakpastian akrual pada umumnya lebih rendah dari pada tingkat ketidakpastian
provisi. Akrual sering dilaporkan sebagai bagian dari utang dagang atau utang lain,
sedangkan provisi dilaporkan secara terpisah.
1.5.1 Pengakuan Provisi
Provisi diakui jika (PSAK No. 57 paragraf 14):
a. Entitas memiliki kewajiban kini (baik bersifat hukum maupun bersifat
konstruktif) sebagai akibat peristiwa masa lalu
b. Kemungkinan besar (probable) penyelesaian kewajiban tersebut
mengakibatkan arus keluar sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi
c. Estimasi yang andal mengenai jumlah kewajiban tersebut dapat dibuat.
1.5.2 Pengungkapan Provisi
Dalam PSAK 57 Paragraf 84, untuk setiap jenis provisi, entitas mengungkapkan :
Nilai tercatat pada awal dan akhir periode
Provisi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan, termasuk
peningkatan jumlah pada provisi yang ada
Jumlah yang digunakan yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada provisi
selama periode bersangkutan
Jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan
Peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul
karena berlalunya waktu dan dampak dari setiap perubahan tingkat diskonto.
Contoh 1 :
Perusahaan X memberikan garansi kepada pelanggannya dalam penjualan
barang elektronik. Garansi yang diberikan berlaku tiga tahun dari barang yang
dijual. Berdasarkan pengalaman masa lalu, ada kemungkinan klaim dari
pelanggan yang membeli barang-barang elektronik tersebut.
Q: Apakah Perusahaan X seharusnya mengakui biaya garansi pada laporan posisi
keuangannya?
A: Garansi ini merupakan kewajiban masakini sebagai akibat peristiwa masa lalu.
Peristiwa masa lalu tersebut adalah penjualan barang-barang elektronik
dengan garansi yang disertakan. Garansi mengakibatkan arus keluar sumber
daya yang mengandung manfaat ekonomi, sehingga adanya kemungkinan
besar (probable) kalim dari para pelanggan terhadap garansi yang telah
didapatkan dari pembelian barang-baran elektronik tersebut.
Maka, Perusahaan X harus mengakui provisi tersebut.
Contoh 2:
Seorang karyawan menuntut sebuah perusahaan tempat ia bekerja karena
kecelakaan yang menimpanya saat jam kerja sehingga menimbulkan sebuah
luka yang cukup serius akibat fasilitas perusahaan tersebut. Pengacara
perusahaan tersebut yakin bahwa perusahaan tersebut akan menang dalam
penuntutan tersebut. Setelah melakukan investigasi tersebut, pengacara yakin,
kemenangan yang akan perusahaan dapatkan diatas 50 persen.
Q: Apakah seharusnya perusahaan tersebut mengakui provisi tersebut
pada akhir periode?
A: Meskipun kecelakaan tersebut dari peristiwa masa lalu, namun
perusahaan tersebut tidak harus membayar kerugian kepada
karyawannya karena pengacara telah melakukan penyelidikan dan
kecil kemungkinan untuk kalah.
Perusahan tidak perlu mengakui provisi tersebut, kecuali jika
pegacaranya menyatakan bahwa kemungkinan besar perusahaan akan
kalah dalam tuntutan tersebut, maka perusahaan harus mengakui provisi
tersebut pada akhir periode.
1.5.3 Pengukuran Provisi
IFRS menjelaskan bahwa jumlah yang seharusnya diakui adalah dari estimasi terbaik
dari sebuah pengeluaran yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban masa kini.
Estimasi terbaik harus sesuai dengan jumlah besaran yang akan entitas bayarkan
untuk menyelesaikan kewajbannya pada laporan posisi keuangan (Kieso, 2011, hal
680). PSAK No. 57 paragraf 37 juga menyatakan bahwa estimasi terbaik pengeluaran
yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban kini adalah jumlah yang rasional
akan dibayar entitas untuk menyelesaikan kewajibannya pada akhir periode pelaporan
atau untuk mengalihkan kewajibannya kepada pihak ketiga pada saat itu.
Dalam menentukan sebuah estimasi terbaik, manajemen entitas harus menggunakan
sebuah judgement berdasarkan pengalaman masa lalu atau jenis perusahaan yang
sejenis, berdiskusi dengan para ahli dan sebagainya (Kieso, 2011, hal. 680). Namun,
jika estimasi yang andal tidak dapat dibuat, maka libilitas yang ada tidak dapat diakui.
Oleh karena itu, liabilitas tersebut diungkapkan sebagai liabilitas kontinjensi (PSAK
No.57 paragraf 26).
1.6 Liabilitas Kontinjensi
1.6.1 Pengertian Liabilitas Kontinjensi
Liabilitas kontinjensi adalah (PSAK No. 57 paragraf 10)
1. Kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa lalu, dan keberadaannya menjadi
pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa atau lebih pada masa
depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas
2. Kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu, tetapi tidak diakui
karena:
a. Tidak terdapat kemungkinan entitas mengeluarkan sumber daya yang
mengandung manfaat ekonomi untuk menyelesaikan kewajibannya
b. Jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal.
1.6.2 Pengakuan Liabilitas Kontinjensi
Menurut PSAK 57 paragraf 28, entitas tidak diperkenankan mengakui liabilitas
kontinjensi karena (Kieso, 2011, hal 691):
1. Sebuah kewajban yang mungkin atau possible (belum dipastikan sebagai
kewajiban masa kini)
2. Sebuah kewajiban maa kini yang kemungkinan besar tidak dapat dilakukan
pembayaran (peyelesaiannya)
3. Sebuah kewajiban masa kini yang tidak dapat diukur estimasinya secara andal.
1.6.3 Pengukuran Liabilitas Kontinjensi
Karena kemungkinan arus keluar dalam sebuah penyelesaian kecil, maka entitas harus
mengungkapkan liabilitas kontinjensi pada akhir periode pelaporan, menyediakan
deskripsi yang singkat darimana asal liabilitas kontinjensi itu berasal dan di mana
secara praktis (Kieso, 2011, hal. 691):
1. Estimasi dari dampak keuangannya
2. Sebuah indikasi dari ketidkpastian yang berhubungan dengan jumlah atau
waktu arus keluar
3. Kemungkinan dari penggantian tersebut.
Hubungan atara Provisi dan Liabilitas Kontinjensi
Secara umum, provisi juga bersifat kontinjensi karena tidak pasti dalam jumlah dan
waktu (PSAK No. 57 paragraf 12). Perbedaan mendasar dari kedua liabilitas tersebut
adalah (PSAK No. 57 paragraf 13):
1. Provisi yang diakui sebagai liabilitas (dengan asumsi dapat dibuat estimasi
andal) karena merupakan kewajiban masa kini dan kemungkinan besar
(probable) mengakibatkan arus keluar sumber daya yang mengandung
manfaat ekonomi
2. Sedangkan liabilitas kontinjensi yang tidak diakui sebagai liabilitas karena
liabilitas kontinjensi tersebut merupaka salah satu dari berikut ini:
a. Kewajiban potensial karena belum pasti apakah entitas memiliki
kewajiban kini yang akan menimbulkan arus keluar sumber daya yang
mengandung manfaat ekonomi
b. Kewajiban kini yang tidak memiliki criteria pengakuan secara probable
karena estimasi yang memadai dan andal tidak dapat dibuat.
1.7 Aset Kontinjensi
1.7.1 Pengertian Aset Kontinjensi
Aset kontinjensi adalah aset potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan
keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu atau lebih
peristiwa di masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam entitas kendali entitas
(PSAK No. 57 paragraf 10).
Kieso (2011, hal 692) menyebutkan beberapa karakteristik dari aset kontinjensi:
1. Kemungkinan penerimaan dana dari hibah, donasi, bonus, hadiah
2. Kemungkinan merestitusi selisih lebih pembayaran pajak kepada pemerintah
3. Penundaan kasus di pengadilan yang kemungkinan besar menguntungkan.
1.7.2 Pengakuan Aset Kontinjensi
Menurut PSAK 57 paragraf 31, entitas tidak diperkenankan mengakui aset
kontinjensi. Hal ini disebabkan karena dapat menimbulkan pengakua peghasilan yang
mungkin tidak pernah terealisasikan, namun jika realisasi penghasilan sudah dapat
dipastikan, maka aset tersebut bukan merupakan aset kontinjensi, melainkan diakui
sebagai aset.