materi pokok iv

18
BAB IV RESEPTOR Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt. Dr. Rina Herowati, M.Si., Apt.

Upload: douce3

Post on 31-Dec-2015

56 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB IV

RESEPTOR

Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt.

Dr. Rina Herowati, M.Si., Apt.

DAFTAR ISI

BAB IV : RESEPTOR

Halaman

1. Pengantar 4.1

2. Tujuan Instruksional Umum 4.1

3. Tujuan Instruksional Khusus 4.1

4. Kegiatan Belajar

4.1 Kegiatan Belajar 1 : JENIS-JENIS RESEPTOR

Uraian 4.2

Rangkuman 4.6

Tes Formatif 1 4.7

Umpan Balik dan Tindak Lanjut 4.8

4.2 Kegiatan Belajar 2 : INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Uraian 4.9

Rangkuman 4.14

Tes Formatif 2 4.15

Umpan Balik dan Tindak Lanjut 4.16

5. Referensi 4.16

6. Kunci Jawaban Tes Formatif 4.16

4.1

RESEPTOR

1. Pengantar

Farmakologi Molekuler merupakan mata kuliah yang mempelajari aksi obat pada

tingkat molekuler, meliputi berbagai molekul biologis sebagai target obat, interaksi dengan

obat serta efek yang dihasilkan. Mata kuliah ini memerlukan pengetahuan dasar tentang

biologi molekuler dan reaksi-reaksi biokimia.

Pada bab ini akan dibahas tentang berbagai jenis, fungsi dan struktur berbagai

reseptor serta tinjauan farmakologi molekuler obat-obat yang bekerja pada reseptor.

2. Tujuan Instruksional Umum

Dengan mempelajari buku ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami dan

menjelaskan tentang aksi obat pada tingkat kompleksitas organisasi, konsep reseptor,

interaksi obat-reseptor, reseptor enzim, neurotransmitter, efek dan mekanisme kerja obat

dan pada neurotransmiter, hormon.

3. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang

jenis-jenis reseptor, interaksi obat-reseptor dan penghantaran sinyal oleh reseptor.

4.2

4. Kegiatan Belajar

4.1. Kegiatan Belajar 1

JENIS-JENIS RESEPTOR

4.1.1. Uraian

Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang

berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter,

mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. Obat

bekerja dengan melibatkan diri dalam interaksi antara senyawa kimia endogen dengan

reseptor ini, baik menstimulasi (agonis) maupun mencegah interaksi (antagonis).

Tipe reseptor (gambar 1) :

1. Reseptor terhubung kanal ion

2. Reseptor terhubung enzim

3. Reseptor terkopling protein G

4. Reseptor reseptor nuklear

Gambar 1. Jenis-jenis reseptor

4.3

A. Reseptor terkopling protein G (GPCR)

GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya

terjadi dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks

transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian

memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal.

Tabel 1. Contoh reseptor terkopling protein G

Contoh reseptor Efek Agonis Antagonis

Histamin H1 Kontraksi otot polos (IP3)

Berbagai efek karena

posforilasi protein

Histamin Mepiramin

Adrenoreseptor β2

Relaksasi otot polos

Adrenalin

Salbutamol

Propanolol

Muskarinik M2 Penurunan kekuatan

kontraksi jantung

Pelambatan Jantung

Asetilkolin Atropin

Struktur :

Gambar 2. Struktur reseptor terkopling protein G

4.4

B. Reseptor terhubung kanal ion

Reseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon terjadi

dalam hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor.

Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat dan reseptor 5-

HT3

Reseptor Nikotinik Asetilkolin

Reseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatk dan parasimpatik,

neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Mekanisme kerja reseptor ini ditunjukkan

pada gambar 3

Gambar 3. Mekanisme kerja reseptor nikotinik (agonis : asetilkolin)

Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ), yang melintasi

membran, membentuk kanal polar (gambar 4a). Masing-masing sub unit terdiri dari 4

segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion (gambar 4b). Domain N-

terminal ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2 residu sistein yang

dipisahkan oleh 13 asam amino membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop,

merupakan binding site untuk agonis (gambar 4c).

4.5

Gambar 4. Struktur reseptor nikotinik asetilkolin

C. Reseptor terhubung transkripsi gen

Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa

ada di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus setelah

berikatan dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid,

reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.

Gambar 5. Mekanisme kerja reseptor glukokortikoid

4.6

D. Reseptor terhubung enzim

Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar

ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin)

dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase).

Aktivasi menginisiasi jalur intraseluler yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear,

bahkan transkripsi gen. Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya

mengaktifkan faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen

Gambar 6. Mekanisme kerja reseptor faktor pertumbuhan

Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan satu sisi

pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan kopling

(dimerisasi). Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling memposforilasi satu

sama lain. Protein penerima (adapter) yang mengandung gugus –SH berikatan pada residu

terposforilasi dan mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor

transkripsi, kemudian mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi.

4.1.2. Rangkuman

• Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang

berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan untuk menghasilkan

respon seluler.

• Jenis-jenis reseptor meliputi : reseptor terhubung kanal ion, reseptor terhubung enzim,

reseptor terkopling protein G dan reseptor reseptor nuklear.

• Reseptor terkopling protein-G (GPCR) berada di sel membran. Tranduksi sinyal

terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur

4.7

aktivitas enzim atau fungsi kanal. Contoh GPCR adaah reseptor histamin,

adrenoreseptor dan reseptor muskarinik.

• Reseptor terhubung kanal ion berada di membran sel, kanal merupakan bagian dari

reseptor. Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat

dan reseptor 5-HT3.

• Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear. Contoh : reseptor

kortikosteroid, reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.

• Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar

ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan,

sitokin) dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin

kinase).

4.1.3. Test Formatif 1

1. Reseptor histamin termasuk golongan reseptor:

A. ionotropik C. metabotropik

B. nuklear D. terhubung enzim

2. Yang bukan merupakan contoh agonis untuk reseptor pada gambar berikut adalah:

A. Adrenalin C. Salbutamol

B. Faktor pertumbuhan D. Histamin

3. Binding site pada reseptor nikotinik merupakan suatu loop yang dibentuk dari ikatan disulfida

antar asam amino:

A. sistein C. lysin

B. isoleusin D. histidin

4.8

4. Contoh reseptor dengan kerja seperti gambar berikut adalah:

A. Reseptor glukokortikoid C. Reseptor faktor pertumbuhan

B. Reseptor adrenergik D. Reseptor nikotinik

5. Reseptor terhubung enzim, pada bagian intraselnya mempunyai aktivitas enzim,

biasanya adalah enzim:

A. kolinesterase C. siklooksigenase

B. tirosin kinase D. Fosfolipase

4.1.4 Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Cocokkanlah jawaban anda dengan kunci jawaban test formatif 1 yang ada di bagian akhir

bab ini. Berdasarkan jumlah jawaban benar dapat diketahui tingkat penguasaan yang anda

capai:

5 jawaban benar = baik sekali

4 jawaban benar = baik

3 jawaban benar = cukup

< 3 jawaban benar = kurang

Kalau anda mencapai tingkat penguasaan baik atau baik sekali anda dapat meneruskan

kegiatan belajar selanjutnya. Tetapi kalau cukup atau kurang anda harus mengulang

terutama bagian yang belum anda kuasai.

4.9

4.2. Kegiatan Belajar 2

INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

4.2.1. Uraian

Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan pada

reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel.

Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan

ligan, merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan

disebut antagonis.

Kurva dosis respon

Hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon obat dinyatakan dengan persamaan

berikut :

k1 α

[D] + [R] [DR] efek

k-1

Pada keseimbangan:

[D] x [R] x k1 = [DR] x k-1

sehingga: [DR] = k1

[D] [R] k-1

k1/k-1 = konstanta afinitas

k-1/k1 = konstanta disosiasi (kd)

Semakin rendah kd semakin poten obat.

Afinitas

D + R DR Complex

Afinitas

Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor. Ikatan kovalen

menghasilkan afinitas kuat, interaksi stabil dan ireversibel. Ikatan elektrostatik bisa

menghasilkan afinitas kuat atau lemah, biasanya bersifat reversibel.

4.10

Efikasi

Kompleks O-R � Efek

Efikasi (atau aktivitas intrinsik) merupakan kemampuan obat terikat untuk mengubah

reseptor sehingga memberikan efek; beberapa obat bisa mempunyai afinitas tapi tidak

menunjukkan efikasi.

Obat + Reseptor Bebas Kompleks Obat-Reseptor

D (100-DR) k-1 DR

dimana:

D = konsentrasi obat

DR= konsentrasi kompleks obat-reseptor

100 - DR = konsentrasi reseptor bebas

Pada kesetimbangan:

[D] x [R] x k1 = [DR] x k-1

Sehingga : [DR] = k1

[D] [R] k-1

Keterangan :

• Ke (k1/k-1) disebut konstanta afinitas

• DR = respon; D = konsentrasi obat

• Saat DR = 50 % (efek setengah dari maksimal), D (or EC50) sama dengan kd atau

lawan dari konstanta afinitas

• respons merupakan ukuran efikasi

• Obat dengan kurva dosis-respon yang paralel sering mempunyai mekanisme kerja

yang sama

4.11

Skala dosis aritmetik verus skala log dosis

Gambar 7. Kurva dosis respon aritmetik (A) vs kurva logaritmik (B)

Skala dosis aritmetik :

Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan dosis. Saat

peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk dianalisis

secara matematis pada kurva dosis aritmetik.

Skala Log Dosis :

Kurva logaritmik mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis

lurus). Hal ini lebih menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara

dengan efek sehingga mudah dianalisis secara matematis

Potensi

Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun

signifikansi secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara

klinis. Obat berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis terlalu

besar sehingga sukar diberikan

Gambar 8. Kurva potensi relatif antara L, M dan N

4.12

Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesik

rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada

golongan narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik.

Agonis and antagonis

Agonis adalah obat yang berinteraksi dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai

afinitas dan efikasi (aktivitas intrinsik). Antagonis mempunyai afinitas tapi tanpa aktivitas

intrinsik.

Ada 2 tipe agonis :

– Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal

– Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal.

Gambar 10. Agonis penuh dan agonis parsial

Antagonist berinteraksi dengan reseptor tapi tidak mengubah reseptor. Antagonis

mempunyai afinitas tapi tidak mempunyai efikasi. Ada 2 tipe antagonis :

– Antagonis kompetitif

Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk menduduki reseptor.

Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Antagonis menggeser

kurva dosis respon agonis ke kanan, mengurangi afinitas agonis

4.13

– Antagonis nonkompetitif.

Antagonis nonkompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat ireversibel. Antagonis

nonkompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke kanan kurva dosis respon agonis

pada kadar rendah. Semakin banyak reseptor diduduki, agonis menjadi tidak mungkin

mencapai efek maksimal

Gabar 11. Pengaruh pemberian antagonis kompetitif dan non-kompetitif

Efektivitas, Toksisitas, Letalitas

• ED50 – Dosis efektif tengah; dosis dimana 50% populasi/sampel menunjukkan efek

(dari kurva DR kuantal)

• TD50 – Dosis toksis tengah – dosis dimana 50% populasi menunjukkan efek toksik

• LD50 – Dosis letal tengah – dosis yang membunuh 50% subjek

Kuantifikasi keamanan obat

Semakin tinggi indeks terapi (IT) semakin baik. IT bervariasi dari 1,0 (beberapa obat

kanker) hingga >1000 (penicillin). Obat yang bekerja pada reseptor atau enzim yang sama

sering mempunyai nilai IT yang sama.

4.14

Gambar 12. Perhitungan indeks terapi

4.2.2. Rangkuman

• Kurva dosis respon menyatakan hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan

respon/efek obat.

• Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor.

• Efikasi (atau aktivitas intrinsik) merupakan kemampuan obat terikat untuk mengubah

reseptor sehingga memberikan efek.

• Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis.

• Agonis adalah obat yang berinteraksi dengan dan mengaktifkan reseptor, mempunyai

afinitas dan efikasi (aktivitas intrinsik). Ada dua tipe, yaitu agonis penuh dan agonis

parsial.

• Antagonist berinteraksi dengan reseptor tapi tidak mengubah reseptor. Antagonis

mempunyai afinitas tapi tidak mempunyai efikasi. Ada 2 tipe antagonis, yaitu

antagonis kompetitif dan antagonis non-kompetitif.

• Kuantifikasi keamanan obat dinyatakan dengan indeks terapi.

4.15

4.2.3. Test Formatif 2

1. Ukuran kemampuan obat berinteraksi dengan reseptor:

A. efikasi C. aktivitas intrinsik

B. afinitas D. potensi

2. Kurva X menunjukkan agonis penuh, sedangkan kurva Y menunjukkan:

A. Agonis parsial

B. Agonis penuh ditambah agonis parsial

C. Agonis ditambah antagonis kompetitif

D. Agonis ditambah antagonis non-kompetitif

3. Antagonis nonkompetitif :

A. Afinitas maksimal dengan efikasi maksimal

B. Efek maksimal dapat dicapai dengan peningkatan dosis

C. Berkompetisi dengan agonis untuk menduduki reseptor

D. Efek maksimal tidak dapat dicapai dengan peningkatan dosis agonis

4. Posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis menyatakan :

A. toksisitas C. potensi

B. afinitas D. efikasi

5. Indeks terapi menyatakan :

A. Kuantifikasi keamanan obat C. dosis letal tengah

B. dosis efektif tengah D. dosis toksik tengah

4.16

4.2.4. Umpan Balik dan Tindak Lanjut

Cocokkanlah jawaban anda dengan kunci jawaban test formatif 1 yang ada di

bagian akhir bab ini. Berdasarkan jumlah jawaban benar dapat diketahui tingkat

penguasaan yang anda capai:

5 jawaban benar = baik sekali

4 jawaban benar = baik

3 jawaban benar = cukup

< 3 jawaban benar = kurang

Kalau anda mencapai tingkat penguasaan baik atau baik sekali anda dapat

meneruskan kegiatan belajar selanjutnya. Tetapi kalau cukup atau kurang anda harus

mengulang terutama bagian yang belum anda kuasai.

5. Daftar Pustaka

1. Korolkovas, A., 1970, Essentials of Molecular Pharmacology : Background for

Drug Design, Wiley-Interscience, New York.

2. Brody, T. M., Larner, J. and Minneman, K. P. (Eds.), 1998, Human Pharmacology :

Molecular to Clinical, 3th ed., Mosby Inc., St. Louis, Missouri.

3. Foreman, J. C. and Johansen, T. (Eds.) (1996) Textbook of Receptor

Pharmacology, CRC Press., USA.

6. Jawaban Tes Formatif

Jawaban Tes Formatif 1 :

1. C 2. B 3. A 4. D 5. B

Jawaban Tes Formatif 2 :

1. B 2. C 3. D 4. C 5. A