materi pak darrundono kampung masa depan

11

Click here to load reader

Upload: panembahan-senopati-sudarmanto

Post on 11-Jul-2015

147 views

Category:

Environment


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Materi pak darrundono   kampung masa depan

KAMPUNG MASA DEPAN

MEMAHAMI PROYEK PERBAIKAN KAMPUNG DI JAKARTA

Dr. ir. Darrundono M.Si

Page 2: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 1

PENGENTASAN MASALAH SLUM

MELALUI PEMBANGUNAN FISIK LINGKUNGAN PENGALAMANJAKARTA

Abstrak-Kilas balik Urbanisasi merupakan fenomena global, dan salah satu dampaknya adalah timpangnya penyediaan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan. Penyediaan tidak dapat memenuhi permintaan, yang besar jumlahnya, dan terjadi terus menerus. Terutama di kota-kota negara-negara berkembang, masalahnya lebih pelik, karena pertumbuhan penduduk yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan' yang terjadi di negara-negara maju. Kemampuan penyediaan perumahan sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada. Peningkatan jumlah penduduk kota yang terus menerus tidak dapat diimbangi dengan penyediaan perumahan, sekalipun dalam bentuk sesederhana apa pun. Dampaknya adalah tumbuh subumya permukiman informal, yang di Indonesia lazim dinamakan kampung. Ciri-ciri permukiman kampung adalah padat, kumuh, jorok, tidak mengikuti aturan-aturan resmi, dan mayoritas penghuninya miskin.

Kota Jakarta, pada tahun 1969 telah melaksanakan proyek perbaikan kampung, yang dinamakan Proyek Muhammad Husni Thamrin (P. MHT) sampai tahun 1999 dengan sukses. Kualitas lingkungan dan kualitas hidup penduduknya meningkat. Model pembangunan ini dikenal sebagai pembangunan partisipatif. Model pembangunan ini cepat dikenal baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tahun 1974 Bank Dunia membantu dengan dana pinjaman lunak, untuk mempercepat selesainya kampung-kampung kumuh diperbaiki, dengan komentar: the best money spent. Dengan dana yang rendah telah mengangkat harkat dan derajat warga kampung. Pada tahun 1980, model ini mendapat penghargaan dari Yayasan Aga Khan dengan sebuah award, dengan komentar, Jakarta telah melakukan langkah yang berani dengan memperbaiki permukiman informal. Model ini pula diangkat sebagai kebijakan nasional pada pada Pelita III, dan tercatat memperbaiki permukiman kampung lebih dari 400 kota-kota di Indonesia dengan jumlah penerima manfaat lebih dari 15 juta jiwa.

Pada tahun 1972 Bank Dunia mengirim sebuah tim studi untuk membuat kajian, yang dalam laporannya menyatakan bahwa Jakarta dipilih sebagai kota pertama yang menerima pinjaman dana, untuk proyek perkotaan dengan pertimbangan sebagai berikut: (i) Kemiskinan yang akut; (ii) Angka migrasi yang cukup tinggi; (iii) Kekurangan perumahan, dan (iv) Kekurangan layanan perkotaan. Keadaan sekarang mirip 40 tahun yang lalu. Sekalipun angka migrasi tidak setinggi 40 tahun yang lalu, namun pertumbuhan penduduk kota-kota yang menuntut layanan perkotaan, terutama perumahan, ditambah dengan kekurangan perumahan yang tidak kunjung berkurang, berdampak pada makin besamya jumlah penduduk miskin yang diam di kampung-kampung. Proyek Perbaikan Kampung di Jakarta, Proyek Muhammad Husni Thamrin, telah membuktikan keberhasilannya dalam memperbaiki permukiman kumuh, meningkatkan kualitas lingkungan fisik maupun kualitas hidup warganya Ttidak kurang dari 5,5 juta jiwa menerima manfaat dari model ini, dengan jumlah luas kampung sebesar 18.000 hektar. Pada tahun 1986, P. MHT dikembangkan menjadi P. MHT III dengan asas tribina, yaitu bina sosial, bina ekonomi, dan bina lingkungan. Pada dasamya asas ini adalah pemberdayaan komunitas, yang dikenal sebagai community based development. Kembali lagi Bank Dunia membantu pembiayaannya dari tahun 1989 sampai dengan 1999. Penelitian terhadap model ini baik oleh Pemda DKI (1999) maupun Bank Dunia dan UNDP (2000) menjelaskan suksesnya model ini, bukan saja meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warganya, tetapi juga merupakan pembangunan yang berkelanjutan. Asas tribina pada Summit Meeting di Rio de Janeiro, Brazil 1992, dijadikan asas tumpuan pembangunan berkelanjutan.

Page 3: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 2

Pada tahun 1980-an, Pemprov DKI telah mengubah arah kebijakan penyediaan perumahan dan permukiman dengan mengembangkan program peremajaan perkotaan dan membangun rumah susun. Program peremajaan perkotaan dengan membongkar kawasan perumahan kumuh, dan membangun bangunan-bangunan baru berupa rumah susun, telah lama ditinggalkan, bahkan di negara-negara maju. Kebijakan pembangunan rumah susun ini lebih ditingkatkan pada kurun waktu 2000-2006. sampai sekarang, dan P. MHT secara per!ahan dimatisurikan. Tidak kurang Rp.1,- trilyun dana dibelanjakan untuk membangun rumah susun. Pemerintah Pusat bahkan mencanangkan program pembangunan 1000 menara rumah susun. Perubahan kebijakan publik ini mengundang pertanyaan: Apakah dengan pendekatan teknokratik kekumuhan dan kemiskinan dapat teratasi, dan apakah kebijakan produk jadi/pasokan ini dapat mencapai Target 11 Millennium Development Goals, yaitu mengurangi angka kemiskinan sebesar 50 per sen sampai pada tahun 2015, dari jumlah 1 milyar orang? Terdapat 2 pilihan: model pembangunan: partisipatif, yaitu perbaikan kampung, dan yang teknokratik, seperti real estat, rumah susun. dan permukiman formal lainnya. Namun pertanyaan yang mendasar adalah: model mana yang dapat meningkatkan kualitas hidup penghuninya, dan berkelanjutan. Kebijakan publiklah yang menentukan. Sekretaris Jendral PBB. Ban Kim Oon. menyatakan bahwa tidak ada tata ruang yang baik, selama tidak ada tata kelola pemerintahan yang baik. Perumahaan dan permukiman adalah bagian terbesar dalam tata ruang.

Abad 21 -Abad Perkotaan Pada pergantian abad 20 ke abad 21. tingkat urbanisasi dunia telah mencapai 50 per sen. Berarti separuh penduduk dunia adalah penghuni perkotaan. Tingkat urbanisasi ini naik terus. Di Indonesia, saat pergantian abad yang lalu telah mencapai 42 per sen. dan diperkirakan tahun 2010 ini akan mencapai 50 per sen. Ini berarti bahwa kota-kota makin banyak penduduknya, dan makin padat. Para penentu kebijakan seharusnya tanggap dan siap menghadapi tantangan masa depan kota-kota yang sudah pasti akan lebih majemuk dan lebih pelik. Sejak abad yang lalu. perubahan dalam kependudukan dunia memang luar biasa, karena dalam kurun waktu seratus tahun itu angka penduduk dunia terjebol 5 kali bilangan milyar. Sejak kelahiran Nabi lsa sampai abad 17, atau selama 1600 tahun, penduduk dunia berlipat dua kali (doubling), sedang perlipatan dua kali berikutnya hanya memakan waktu 200 tahun, dan perlipatan dua kali berikutnya lagi, hanya dalam waktu 80 tahun. Perlipatan dua kali terakhir, dari 2 ke 4 milyar, hanya memakan waktu 45 tahun, dan terjadi pada tahun 1975 (Southwick, 1976). Perlipatan dua kali berikutnya diperkirakan terjadi dalam waktu 38 tahun, atau kira-kira pada tahun 2013. Pada tahun 2001, 924 juta orang, atau 31,6 per sen penduduk perkotaan di dunia hidup di permukiman kumuh. Mayoritas terdapat di negara berkembang, meliputi 43 per sen penduduk. Perserikatan Bangsa Bangsa mencatat bahwa pada pertengahan tahun 1990, 43 per sen (2,3 milyar) penduduk dunia hidup di kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan ini 2,5 kali lebih cepat ketimbang pertumbuhan penduduk di kawasan perdesaan. Diprediksikan bahwa pada tahun 2025 lebih dari tiga per lima (60 per sen) penduduk planet bumi akan menjadi penghuni kawasan perkotaan, dengan jumlah sekitar 5,2 milyar. Dari jumlah itu, 77 per sen terdapat di negara-negara berkembang. Baru 20 tahun yang lalu, penduduk perkotaan di kota-kota negara maju lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang hidup di kota-kota negara berkembang, dan perimbangan ini bergeser pada tahun 1975. Pada tahun 1990, penduduk dunia yang hidup di negara-negara berkembang mencapai 61 per sen, dan angka ini bertambah terus, karena baik pertumbuhan penduduk secara umum, dan pertumbuhan penduduk perkotaan negara-negara ketiga jauh lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara maju (Badshah,1996). Pada beberapa negara berkembang, pertumbuhan penduduk perkotaan meningkat dua kali Iipat setiap 20 tahun. Hal ini sempat terjadi di Jakarta. Persoalan perkotaan timbul karena jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat, sedang kemampuan pemerintah daerah atau pemerintah pusat dalam penyediaan perumahan sangat terbatas. Kesenjangan antara permintaan dan penyediaan ini, ditambah dengan tidak/kurang peka dan kepedulian penentu kebijakan terhadap golongan miskin

Page 4: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 3

berakibat terlantarnya ”permukiman kumuh adalah produk kebijakan yang gagal, tata pemerintahan yang buruk, korupsi, peraturan yang berbelit-belit, pasar pertanahan yang tidak berfungsi, sistem keuangan yang tidak jelas, dan kemauan politik yang lemah" (UN Habitat, 2003). Keadaan seperti ini, masih terjadi saat ini, sedangkan Menteri Perumahan Rakyat (2008) menyatakan bahwa sistem pasokan hanya mampu menyediakan 20 per sen dari permintaan. Ini mengindentifikasikan bahwa sisanya, yang 80 per sen, disediakan dengan model swadaya Shirvani (1985) menyatakan: Sementara perumahan orang mampu/kaya dirancang oleh para ahli, orang miskin dibiarkan memikirkan perumahan mereka sendiri. Kota dilihat sebagai habitat, banyak yang harus disediakan, seperti permukiman, lapangan kerja, transportasi, makanan, layanan perkotaan, dan masih banyak lagi, termasuk pembuangan limbah. Perubahan ekosistem perkotaan pasti pula terjadi dengan lebih banyak lingkungan buatan ketimbang lingkungan alam. Pembangunan kota memerlukan sumber daya alam terutama lahan, sedang lahan kota sangat terbatas. Beberapa penelitian di Jakarta menjelaskan bahwa kepadatan penduduk di permukiman kampung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan permukiman rumah susun 4 lantai. Seharusnya rencana kota memperhatikan setiap variabel perkotaan, yang mempunyai peran besar dalam kehidupan kota. Salah satu variabel itu manusia, dan mereka memerlukan tempat berteduh. yaitu rumah. Perumahan dan permukiman adalah bagian/variabel yang terbesar dalam tata ruang perkotaan. Sekretaris PBB, Bang Kim-oon (2008) berpendapat tidak ada tata ruang yang baik, se!ama tidak ada tata pemerintahan yang baik. Urbanisasi memang masih merupakan hal yang kontroversial. Ada yang menentang-pesimis, ada yang menerima-optimis, ada yang menerima dengan sinis. Yang pertama, yang pesimis, berpendapat bahwa urbanisasi merupakan suatu petaka, karena mengalihkan kemiskinan dari perdesaan ke perkotaan. Pendapat kedua, yang optimis, berpendapat bahwa urbanisasi merupakan suatu anugerah, dan gejala yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih jauh ditulis bahwa kemiskinan bukan merupakan suatu yang unik di kota, yang keadaannya tidak lebih buruk dibandingkan di desa. Pendapat ketiga, yang menerima dengan sinis, berpendapat bahwa kaum miskin yang masuk kota, sekalipun tidak dikehendaki, namun merupakan bagian dari lansekap perkotaan. Organisasi Buruh Sedunia, berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih banyak daripada desa. Perlman (1976) menulis, "menentang urbanisasi berarti menentang pembangunan nasional". Dari pendapat para ahli itu dapat disimpulkan bahwa kehadiran kaum migran yang tidak bermodal dan tidak berpendidikan itu harus diterima sebagai kenyataan, karena akhirnya mereka dapat menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Mereka membangun permukiman, menciptakan lapangan kerja tanpa bantuan siapa pun. Pada krisis moneter 1998, kelompok informal ini yang menunjukkan kekukuhan, dan tetap menghidupi kota secara keseluruhan. lronisnya, mereka seringkali menjadi korban kepicikan kebijakan, berupa penggusuran. Pertimbangan sosial terlindas oleh pendekatan kekuatan Tramtib. Kebijakan perkotaan dalam menangani masalah ini seharusnya berlandaskan paradigma keberpihakan kepada orang miskin (pro poor), dengan asas yang dapat dan bukan yang harus. Pejabat Bank Dunia, Serageldin (1994) menulis: "tak ada catatan pembangunan tanpa urbanisasi”.

Pendapat-pendapat itu tidak berarti bahwa pertumbuhan penduduk suatu kota

dibiarkan tanpa arah dan kendali, tetapi fenomena itu dijadikan pegangan dalam menentukan kebijakan menajemen perkotaan, dengan memahami benar apa yang terjadi di kota. Wilheim (1994) menulis: "kalau hutan kita tebang secara serakah tanpa pertimbangan lingkungan, generasi mendatang akan mewarisi padang pasir. Namun yang kita hadapi sekaiang adalah masalah perkotaan. Dapatkah dijamin pembangunan yang berkelanjutan dengan mempertahankan lingkungan alami dalam lingkungan perkotaan? Penjagaan ini penting, tetapi tidak cukup. Sumber daya manusia harus dijaga pula, suatu keadaan yang menentukan yang di suatu saat akan merupakan gangguan sosial yang sangat besar, apabila pengangguran tidak berarti sekedar kehiiangan pekerjaan, tetapi juga kesulitan mendapat pekerjaan untuk pertama kali”

Di Jakarta, dua-duanya terjadi, yaitu banyaknya

pengangguran yang disebabkan oleh PHK, dan angkatan kerja yang sulit mendapatkan lapangan kerja. Dampak sosialnya sangat luas, di antaranya makin tingginya angka kriminalitas dan penyakit-penyakit sosial lainnya. Di bidang perumahan, masih banyak permukiman kumuh dan miskin, sekalipun anggaran pembangunan Pemprov DKI tahun 2007

Page 5: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 4

berjumlah Rp.21,- trilyun. Sebaliknya. pembangunan permukiman mewah bertebaran di mana-mana, demikian juga pembangunan kawasan perdagangan mewah dalam waktu kurang 5 tahun ini berjumlah hampir 4 juta M2 (UNTAR, 2007), dan proyek-proyek mewah sejenis akan menyusul. Proyek 1.000 menara rumah susun, dengan kenaikan koefisien luas bangunan (KLB), sehingga mencapai kepadatan penduduk sampai mencapai 5.000-6.000 jiwa per hektar, ternyata tidak ramah lingkungan, dan menjadi salah satu penyebab bencana perkotaan. Permukiman dengan kepadatan penduduk setinggi itu, dalam satu hal, yaitu air bersih, memerlukan sedikitnya 5.000 -6.000 x 120 liter setiap hari, yang sebagian besar diambil dari air tanah (aquifer), karena pasokan air dari PDAM hanya 50 per sen. Penyedotan air tanah terus menerus akan berdampak penurunan tanah. Timbul pertanyaan: Apakah bangunan-bangunan raksasa yang serba mewah itu yang diperlukan oleh kota, terutama penduduknya yang mayoritas masih miskin? Lalu, pembangunan itu untuk apa dan untuk siapa? Dalam tulisan ini, penulis membatasi diri pada masalah permukiman, khususnya tentang kebijakan perbaikan kampung, yang sempat dimatisurikan. Pemprov DKI yang didukung oleh sumber daya manusia dengan pendidikan yang baik (gelar magister) di setiap tingkat dan jajaran birokrat, dapat membuat kekeliruan dalam menentukan kebijakan. Dalam Iingkup makro, penulis merasa galau membayangkan kesiapan sumber daya manusia (SDM) daerah-daerah yang sedang melaksanakan undang-undang otonomi daerah, yang kualitas SDM nya tidak seperti di Jakarta. Peran perguruan tinggi dalam hal memegang peranan penting, sehingga kebijakan publik hendaknya berasaskan rasionalitas (Dye, 1981) Kebijakan Perbaikan Kampung (Proyek MHT) Proyek Muhammad Husni Thamrin, yang diperkenalkan tahun 1969, merupakan lompatan langkah kebijakan pengelolaan kota yang rasional. Pada waktu itu, penduduk Jakarta sebesar 4,8 juta jiwa, dan Iebih dari 60 per sen, sekitar 3 juta jiwa, diam di kampung-kampung yang keadaaan fisik maupun kualitas hidup warganya memprihatinkan. Dengan dilaksanakan P. MHT sebagai kebijakan publik, pada hakikatnya terjadi perubahan paradigma, yaitu kampung kumuh yang semula sebagai masalah, telah berubah menjadi jalan keluar. Dalam buku-buku bacaan tata ruang yang ada pada waktu itu, jalan keluarnya adalah peremajaan perkotaan. Kebijakan itu berupa membongkar kampung yang ada, dan menggantikannya dengan bangunan baru, yang biasanya berupa rumah susun. Tidak mungkin pemecahan seperti ini dilakukan mengingat keterbatasan dana, dan besarnya sasaran yang harus ditangani. Penduduk sebanyak 3 juta jiwa dengan kualitas hidup yang rendah, kualitas lingkungan yang buruk akan menjadi beban kota, yang menjurus ke suburnya pesemaian kegaduhan sosial. Pengalaman menunjukkan, dengan berbagai cara telah ditempuh untuk menahan laju urbanisasi ternyata mengalami kegagalan, seperti Jakarta telah dinyatakan sebagai kota tenutup, menggalakkan transmigrasi, perencanaan regional JABOTABEK membangun pusat-pusat pertumbuhan, Perda 11 1999. yang diganti dengan Perda 28 tahun 2007, tentang ketertiban umum, "namun Jakarta tetap menarik para migran. Fenomena ini seharusnya menjadi perhatian para pengelola perkotaan, karena mengeloia kota bukanlah sekedar membangun gedung-gedung yang megah, jalan-jalan yang lebar, taman-taman yang indah, melainkan bagaimana kota dapat membawa penghuninya ke kehidupan yang aman, tenteram, sejahtera, dan krasan. Exline, dkk. (1982) berpendapat: "Kota kadang-kadang dipandang seakan-akan hanya kumpulan bangunan-bangunan dan jalan-jalan". Kaisar Romawi Agustinus (400 AD) mengatakan: "Kota bukan jalan-jalan dan bangunan, melainkan penduduk dan harapan mereka". Meningkatkan kualitas hidup penghuninyalah tujuan manajemen perkotaan, dan bukan megahnya bangunan-bangunan atau gemerlapnya lampu-Iampu jalan, atau indahnya taman-taman dengan patung-patung. Dalam pandangan maderen, Kimm (1995) menyatakan: "rumah bukanlah wujudnya, melainkan fungsinya" Kampung-kampung di Jakarta itu pada awal tahun 1970-an tumbuh dengan sangat cepat, antara 100 -150 hektar per tahun, di samping kampung-kampung yang sudah ada semakin padat. Pertumbuhan yang demikian cepat ini tak dapat diikuti dengan penyediaan layanan perkotaan, sehingga terbentuklah kampung-kampung kumuh dengan kualitas lingkungan fisik

Page 6: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 5

yang rendah. Keputusan memperbaiki kampung-kampung adalah meningkatkan kualitas lingkungan fisik dengan membangun layanan dasar perkotaan. Sejak diperkenalkan, misi proyek ini adalah investasi kemanusiaan, yang sekalipun tidak ada penjabarannya, namun dalam bahasa sekarang adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai penghuni kampung. Proyek yang dicetuskan pada tahun 1969 yang mengangkat nama baik Kota Jakarta dan Pemerintah Indonesia itu sampai saat ini oleh dunia manajemen perkotaan masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menangani masalah permukiman perkotaan. Keterbatasan dana, majemuknya masalah perkotaan, dan terus bertambahnya penduduk kota, merupakan tantangan yang dihadapi pada waktu itu sampai sekarang. Proyek MHT tidak sekedar perbaikan fisik, melainkan social betterment yang diterjemahkan dalam social policy/program (Mark et ai, 2000). Karena sifatnya sosial, maka peran komunitas sebagai anggota pemangku kepentingan (stakeholders) terbesar harus dilibatkan sejak awal. Dimulainya Proyek MHT pada tahun 1969 merupakan tonggak sejarah perubahan dalam tata ruang maupun manajemen perkotaan seperti peristiwa di Eropa Barat sesudah revolusi industri, yaitu berubahnya asas bureaucracy planning ke advocacy planning. Dengan diperkenalkannya Proyek MHT, berarti suatu pengakuan keberadaan permukiman kampung sebagai bagian dari rajutan perkotaan (urban fabric). Permukiman informal yang terbentuk itu, dilengkapi dengan layanan perkotaan (urban services), seperti prasarana, sarana, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Kebijakan itu merupakan perubahan paradigma dari kampung yang semula sebagai permukiman liar (wilde ocoepantie) menjadi bagian resmi dari sistem dan lansekap perkotaan. Dengan perbaikan kampung, permukiman informal itu dianggap sebagai jalan keluar, karena rumahnya sudah ada, penghuninya pun demikian. Tumer (1972) beberapa tahun kemudian menulisnya sebagai problem as solution, dan housing as a verb. Peattie (1981) menulisnya sebagai housing is on going process. Dalam falsafah ilmu pengetahuan, perubahan paradigma, dan masalah menjadi jalan keluar ini merupakan revolusi dalam manajemen perkotaan. Sach (2005) menulis, bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup penghuni permukiman kumuh, prasarana, air bersih, dan sanitasi harus disediakan. Pendapat Sach ini dibandingkan dengan pendekatan Perbaikan Kampung1969, ketinggalan 36 tahun. Beberapa penelitian dilakukan oleh lembaga dalam maupun luar negen menyatakan model pendekatan ini sesuai untuk negara-negara berkembang da!am menangani masalah perumahan dan permukiman kaum miskin. Pada Konperensi Habitat II di Istanbul, Turki, tahun 1995, proyek ini masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menyelesaikan masalah permukiman di negara-negara berkembang. Juga dalam Cities Alliance Launching yang dilaksanakan di Washington DC tahun 1999, proyek ini pula yang masih disebut-sebut sebagai proyek yang dapat diandalkan. Sampai tahun 2004, Presiden Bank Dunia, Wolfensohn menyatakannya sebagai The Global Best Practice. UN-HABITAT (2003). Peran komunitas dalam perbaikan kampung UN-HABITAT (2003) menyatakan bahwa "permukiman kumuh, hanyalah satu-satunya jalan keluar dengan skala besar dalam menyediakan perumahan bagi kaum miskin". Karenanya, apa dan bagaimana pun rona awalnya, permukiman kumuh adalah persediaan perumahan perkotaan, yang disediakan oleh penghuninya sendiri. Kampung tumbuh atas prakarsa para pendatang secara swadaya dan swasembada. Semangat paguyuban yang mereka bawa dari perdesaan dan mereka teruskan di daerah perkotaan, sekalipun dalam alam patembayan. Modal sosial merupakan kekuatan bagi para migrant dalam membangun permukiman mereka sekalipun harus menghadapi rintangan alam, dan rintangan sosial politik berupa penggusuran. Lahan-Iahan yang mereka bangun kebanyakan lahan-Iahan marjinal, seperti bantaran sungai, rawa-rawa, sepanjang rel kereta api, dan bahkan kuburan. Rumah-rumah mereka bangun secara gotong royong, atau sambatan, dari bahan-bahan sederhana. Rona awal suatu kampung adalah kumuh, namun berangsur-angsur berubah semakin baik sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial ekonomi penghuninya. Sekalupun mereka datang dari berbagai daerah, namun modal sosial yang mereka bawa masih melekat. Terpacu dengan rasa senasib sepenanggungan, semangat kebersamaan berupa gotong royong, mereka menimbun lahan-Iahan rendah, membangun tempat ibadah, lapangan olah raga, dengan bahan-bahan sederhana yang dapat mereka temukan, seperti puing-puing dan bahan-bahan bangunan bekas.

Page 7: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 6

UN Habitat-dan UN Escap (2008) menggarisbawahi, "bahwa menyediakan perumahan yang cukup untuk semua orang di kota-kota kita, bukanlah merupakan kemustahilan. Adalah mungkin untuk memecahkan masalah persoalan perumahan yang serius, apabila kita memandang permukiman orang miskin perkotaan bukan sebagai masalah, melainkan sebagai sumber energy dan sumbangan yang amat penting da!am produksi perumahan. Merupakan suatu yang mungkin, kalau kita dapat melihat orang miskin bukan sebagai penerima manfaat dari prakarsa orang lain, melainkan sebagai aktor utama di tengah-tengah karya pembangunan mereka sendiri". Pendapat ini mendukung pengertian bahwa arsitek telanjang kaki, bukanlah para perancang yang membenahi kampung, melainkan kaum pendatang yang dengan kesederhanaan, dan tekad yang bulat menciptakan permukiman mereka secara gotong royong, dengan kearifan lokal, merancang dan membangun permukiman mereka, sebagai hak mereka dalam memilih permukiman mereka di tanah air mereka. Sejak semula pemerintah menyadari, bahwa pembangunan perbaikan kampung akan mengalami kesulitan kalau harus membayar ganti rugi bagi tanah, bangunan yang harus dibongkar karena penebaran jalan, atau saluran. Karenanya setiap suatu kampung akan diperbaiki, wakil komunitas diundang dalam sidang perencanaan, membicarakan rencana perbaikan kampung mereka. Langkah ini merupakan pengenalan public hearing, dalam proses merencanakan suatu pembangunan, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Melibatkan mereka sejak awal, membawa dampak berupa kepercayaan mereka, bahwa pembangunan adalah untuk kebaikan mereka. Pada Laporan Bappem P. MHT 1985, nilai pengcrbanan komunitas seperti tanah dan bangunan sebesar 98 per sen dari jumlah biaya proyek. Ini berarti, bahwa suksesnya pembangunan P.HT, bukan hanya dana yang berasal dari pemerintah, melainkan peranserta komunitas. Emil Salim (2003) menulis, bahwa "interaksi antara modal sosial dalam komunitas, dipacu dengan intervensi modal ekonomi berupa pembangunan Iayanan dasar perkotaan, sehingga meningkatkan kualitas hidup warga, berupa meningkatnya kehidupan sosial ekonomi warga. Sejak awal tahun 80-an, kebijakan peremajaan perkotaan (urban renewal): telah dimulai di Jakarta, dengan dibangunnya rumah susun Penjaringan akibat kebakaran. Proses pembangunan itu demikian lama, sehingga akhimya penghuninya, mayoritas bukan kelompok sasaran. Pada tahun 1985, peremajaan perkotaan dilaksanakan di Kecamatan Tambora, dan kemudian Karang Anyar, sesudah yang belakangan ini tertimpa musibah kebakaran. Apa yang terjadi kemudian adalah kelompok sasaran tidak tercapai, karena lebih dari 90 per sen penghuni adalah golongan pendapatan menengah. Ini berarti pemerintah memberikan subsidi terus menerus terhadap kelompok yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas mendapatkannya. Bangunan rumah susun menjadi monumen kekumuhan bertingkat, karena manajemen pengelolaan yang lemah. Namun kebijakan ini diteruskan, terutama pada kurun waktu enam tahun ini, tahun 2000-2007, dengan menyerap anggaran lebih dari satu trilyun rupiah. Penelitian yang dilakukan oleh Dinas Perumahan Pemprov DKI tahun 2002 menunjukkan, bahwa hanya 20 per sen saja penghuni rumah susun merupakan kelompok sasaran. Ini berarti, bahwa 80 per sen penghuninya adalah mereka golongan menengah yang tidak pantas dan tidak perlu mendapat subsidi. Penelitian akhir 2009, juga menghasilkan kesimpulan yang sama, karena perubahan dan ongkos sosial penghuni tidak diperhitungkan. Dalam buku bacaan tata ruang, kebijakan peremajaan perkotaan sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju, karena dianggap gagal, dan hanya populer pada kurun waktu 1950 -1960. Merupakan pertanyaan, bilamana kebijakan yang oleh negara pencetus peremajaan perkotaan (Amerika Serikat, negara maju dan kaya) telah meninggalkannya. mengapa negara yang sarat dengan masalah mengulangi kesalahannya. Dalam pelatihan-pelatihan internasional, di mana pun. selalu disarankan untuk tidak mengambil Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Israel sebagai acuan dalam kebijakan perumahan dan permukiman. Alasannya adalah karena negara-negara itu mempunyai Pendapatan Domestik Bruto (POB) yang tinggi, di samping mereka mempunyai keterbatasan lahan. Sosial, ekonomi, budaya. politik mereka berbeda dengan apa yang ada di Indonesia.

Page 8: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 7

Sejak tahun 2000, nyaris tidak ada pembangunan P. MHT. Sebaliknya, pada sektor pemerintah pembangunan rumah susun digalakkan. Sektor swasta, pembangunan perumahan mewah bermunculan di segenap penjuru kota, menawarkan permukiman yang bernuansa "moderen", seakan-akan di dalam Kota Jakarta tidak terdapat masalah permukiman. Terjadi kesenjangan yang mencolok, di mana di satu pihak permukiman formal dimanjakan, sedang permukiman informal diterlantarkan. Shirvani (1985) menulis: "Sementara karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi. orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendin". Kekumuhan dan kemiskinan, ditambah dengan kehilangan lapangan kerja, seperti menimbun bahan bakar yang mudah tersulut menjadi api yang besar. Tragedi Mei 1998 telah membuktikan hal itu, yaitu dampak kesenjangan sosial ekonomi masih terasa sampai saat ini. Singapura sering dipakai sebagai acuan oleh para birokrat dalam membangun rumah susun, tanpa mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (1) Singapura adalah sebuah pulau, sebuah kota, dan sebuah negara, dengan lahan terbatas, (2) hampir setiap warganya mempunyai pencaharian yang cukup, dengan standar hidup yang tinggi, dan mampu membayar sewa rumah susun, (3) golongan berpenghasilan terendah masih jauh lebih tinggi dan upah rata-rata di Jakarta -sebelum krisis ekonomi, GOP Singapura adalah US $24000, sedang Jakarta waktu itu US $3,600.- dan mayoritas warganya adalah keturunan Tionghoa yang sudah terbiasa hidup di rumah susun, (4) pembayaran sewa dan pajak langsung dipotong dari upah mereka, (5) angkutan umum sangat baik, (6) tingkat disiplin sangat tinggi, dengan sangsi yang berat bagi pelanggarnya, (7) tidak ada KKN, dan (8) kriminalitas sangat rendah (disarikan dan George Jelinek, 1997). Lebih dari 20 tahun yang Ialu, tentang peremajaan perkotaan ini Kimm (1985, waktu itu Direktur USAID) menulis: "(1) lemah dalam mengamati sumber dana, yang menggantungkan dana dan pemenntah, (2) lemah dalam pengelolaan proyek, (3) tidak ada peran serta masyarakat dan swasta, dan (4) standar perencanaan yang terialu tinggi". Kritik Kimm ini terbukti tepat, karena swasta hanya tertarik kepada pembangunan rumah susun untuk golongan menengah ke atas, dan pembangunan rumah susun untuk golongan penghasilan rendah lebih banyak bersifat top down, tanpa mendengar pandangan calon penghuni. Prof. Selo Soemardjan (almarhum) berpendapat: "(1) penghuni rumah susun merasa jauh dari tanah, (2) penghuni merasa jauh dengan tetangga, walaupun fisik berdekatan, dan (3) kebebasan hidup di rumah susun kurang, tidak seperti kehidupan di tempat sebelumnya". Pendapat ini mudah dicerna. karena pada umumnya para pendatang di perkotaan berasal dari desa yang akrab dengan tanah, dan hubungan dengan tetangga yang demikian dekat dan bebas, tanpa "aturan-aturan" seperti di rumah susun. Masih banyak kritik-kritik lainnya, dan studi-studi tentang dampak diam di rumah susun. Alasan lain penentu kebijakan dengan membangun rumah susun bagi golongan penghasilan rendah adalah: (a) efesiensi lahan, (b) Iebih menghemat biaya prasarana, (c) jarak ke tempat kerja dekat, (d) memperbaiki kualitas hidup rakyat miskin. Alasan efesiensi lahan temyata salah, karena dari beberapa kawasan rumah susun 4 lantai yang dibangun oleh Pemprov DKI, angka kepadatan penduduknya tidak lebih dari 410 jiwa/hektar. Dibandingkan dengan kepadatan penduduk di beberapa kampung yang lebih dari 1000 jiwa/hektar, maka alasan efesiensi itu tidak benar. Alasan menghemat biaya prasarana juga meleset, karena kawasan rumah susun menuntut prasarana dan utilitas yang jauh lebih mahal daripada yang dibangun di kampung. Alasan ketiga dan keempat, karena kelompok sasaran akhimya bukan penghuni rumah susun, dan mereka menyebar ke kampung-kampung lain, maka alasan efesiensi biaya transportasi dan peningkatan kualitas juga tidak tepat. Saat ini beberapa lahan telah dibebaskan untuk pembangunan rumah susun ini, yang terletak di pinggiran kota. Ini berarti menggalakkan urban sprawl, yang dihindari dalam kebijakan tata ruang. Beberapa di antaranya memerlukan pengurugan, jadi menambah ongkos pembangunan. Pembangunan rumah susun itu sekalipun disediakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan, tetapi lapangan kerja mereka tetap di tengah kota, sedang transportasi dari pinggirian kota ke tengah kota belum siap. Dari segi biaya, pembangunan rumah susun dari pembebasan lahan sampai konstruksi senilai US $ 3,700.-/kapita. Dibandingkan dengan

Page 9: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 8

biaya pembangunan P. MHT III (dengan asas tribina: bina sosial, bina ekonomi, dan bina fisik lingkungan) yang senilai US $ 23.-/kapita, maka perbandingannya menjadi 1 : 160. Karena temyata kelompok sasaran yang menghuni hanya 20 per sen, maka perbandingan itu menjadi 1 : 640 atau sama dengan penduduk empat rukun tetangga (RT). Sulit menyatakan bahwa kebijakan peremajaan perkotaan dengan rumah susun ini merupakan kebijakan yang berkelanjutan, karena sejak pembebasan tanah sampai pada pengelolaan terdapat subsidi, sehingga pemerintah akan terjebak pada opportunity cost, yaitu membiayai suatu program terlalu besar, sehingga program-program lainnya akan terbengkalai lebih-lebih kalompok sasaran yang ingin dicapai ternyata meleset. Kesimpulan Maraknya pembangunan apartemen mewah, pusat-pusat perdagangan, mal-mal, merupakan cerminan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Pembangunan taman-taman dengan patung-patung yang biayanya miliaran rupiah terdapat di mana-mana. Tetapi, di tengah-tengah kampung hampir di seluruh kota. masih terdapat rumah-rumah sempit, reyot, yang tidak dapat dibedakan antara siang dan malam karena kurangnya pencahayaan alami. Kesenjangan sosial ekonomi yang makin lebar dan curam merupakan ancaman tersembunyi bagi kehidupan kota. Ada nuansa terdapat ketidakadilan dan ketidakrataan dalam menikmati hasil pembangunan. Kofi Annan (2004) menyatakan: "Kekumuhan dan kemiskinan merupakan cerminan ketidakadilan yang terburuk

n , sedang UN Habiat (2004) berpendapat:

"Kekumuhan dan kemiskinan bukan hanya dampak globalisasi dan ketidakadilan, tetapi lebih pada pemerintahan yang yang buruk." Penyediaan perumahan dan permukiman perkotaan tidak dapat diselesaikan dengan produk jadi, seperti melalui real estat, Perumnas, dan swasta. Kekurangan perumahan (khususnya di Jakarta) terjadi sejak kembalinya ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta pada tahun 1950, menurunnya kualitas perumahan yang ada, dan permintaan yang jauh lebih besar daripada penyediaannya. Masih terdapat penyelesaian teknis dalam menata kampung untuk mempunyai daya tampung yang Iebih besar, tanpa menggusur, dengan melibatkan komunitas. Berdasarkan Deklarasi Rio de Janeiro (1992), pembangunan berkelanjutan apabila mencakup unsur sosial, ekonomi, dan lingkungan. Unsur sosial menempati urutan pertama, karena proyek yang menyangkut kehidupan rakyat adalah merupakan social betterment yang dijabarkan menjadi social program/policy (Mark et al. 1998) yang menyatakan: "social betterment' kami maksudkan pengurangan atau pencegahan masalah-masalah sosial, perbaikan keadaan sosial, dan pengurangan penderitaan manusia". Penentu kebijakanlah yang pegang kemudi melaksanakannya, dengan melibatkan segenap unsur pemangku kepentingan, seperti perguruan tinggi, LSM, dan terutama komunitas. Betapapun bagusnya suatu program, tetap dukungan politiklah yang pegang peranan utama. Dana yang ada berupa pendapatan asli daerah (PAD) pada hakikatnya adalah berasal dari pajak rakyat, sehingga harus dimanfaatkan. Sekalipun pertumbuhan penduduk Jakarta tidak sepesat pada masa-masa yang lalu, namun dalam beberapa dekade mendatang Proyek MHT masih diperlukan. Dampak krisis moneter terasa berat bagi rakyat miskin, namun ongkos sosialnya lebih berat lagi. Pengangguran. putus sekolah, yang dampak berantainya ke vandalisme, MIRAS, NARKOBA, berujung pada meningkatnya kriminalitas, dan patologi sosial lainnya. Pengangguran tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan sektor formal yang memerlukan tenaga terdidik dan biaya tinggi. Sektor informal perkotaan yang banyak perannya dalam kehidupan perkotaan, haruslah diberi peluang lebih besar dalam menentukan pilihan. Narayan et al (2000) menulis: “Kemiskinan disebabkan karena terbatasnya rakyat miskin dalam kebebasan untuk memilih dan bertindak". Masalah perumahan adalah masalah kebijakan publik. Pemerintahlah adalah penentu kebijakan yang bertanggung jawab atas asas yang disepakati dalam Piagam Istanbul 1996 yaitu shelter for all. Asas ini berarti setiap orang yang lewat di depan para pejabat pemerintah, pemerintahlah yang bertanggung jawab pengadaan perumahannya tanpa membedakan status sosial, ekonomi, dan budaya. Apa yang terjadi di Jakarta, lebih banyak rumah yang digusur ketimbang rumah yang dibangun. Masih terdapat tidak kurang dari 200.000 KK yang terdapat di bantaran sungai,

Page 10: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 9

sepanjang rel kereta api, di bawah kolong jembatan, di bawah jalan tol, di bawah jalur listrik tegangan tinggi yang sebagian besar tidak ber KTP Jakarta. Belum jelas kebijakan Pemprov DKI terhadap mereka yang tidak ber-KTP itu. Dari operasi yustisi yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, rupanya Pemprov DKI mengarnbil jalan pintas: yang tidak ber-KTP DKi dirazia, dan dipulangkan ke daerah asal mereka. Memikirkan perumahan mereka menjadi lepas dari pemerintah daerah, sekalipun kebijakan ini bemuansa adanya diskriminasi dalam kependudukan. Dalam catatan Bank Dunia (1999-2001) tentang altematif lain kecuali P. MHT, ditulis: “mengapa tidak peremajaan perkotaan? Menggusur kampung pada hakikatnya sama dengan menggusur jaringan sosial, yang membantu para warga kampung memecahkan persoalan dalam keadaan sulit, dan membangkitkan rasa indentitas dan saling memiliki. Dari segi ekonomi, peremajaan perkotaan lebih mahal10 -15 kali. Tanah makin sulit, dan mengapa harus membongkar rumah-rumah yang sudah ada, dan telah menjadi perumahan bagi orang yang dalam jumlah yang besar, dan akan membuat masalah lebih rumit. Maka, pilihan pertama, perbaiki yang telah kita miliki. Tentang relokasi, tak ada tanah yang terjangkau harg:mya bagi orang-orang yang dipindahkan, dan akan jauh dan tempat kerja". Selama lebih dari 30 tahun, P. MHT telah terbukti andilnya dalam memperbaiki kualitas Iingkungan dan kualitas penduduknya, yang sekaligus juga berperan dalam pengentasan kemiskinan. Pendekatan dengan memperhatikan potensi modal sosial ini akan lebih berkelanjutan dibandingkan dengan pemberian hibah dana.. Keadaan administrasi kota, sosial, ekonomi, budaya, terutama politik telah berubah, tidak seperti keadaan 30 tahun yang lalu. Tantangan terbesar adalah bagaimana menggalang koordinasi antar sektoral, dan terutama dukungan politik dari segenap unsur pemangku kepentingan, sehingga terdapat keterpaduan pendekatan dalam pembangunan yang adil dan merata. Betapapun baiknya suatu program, kalau tidak mendapat dukungan politk, sulit untuk dilaksanakan (Darrundono, 2000). Keadilan dalam menikmati hasil pembangunan menuju ke hidup yang layak dan adil merupakan dambaan segenap warga kota. Peter Evans, dalam Livable Cities, University of California, Berkeley (2002), menulis: "Kelayakan hidup seperti mata uang, mempunyai dua sisi. Mata pencaharian salah satunya. Dari titik pandang masyarakatnya, kota-kota tidak berkelanjutan, kecuali kotakota mampu menyediakan lapangan kerja". Apa pun bentuknya, permukiman kumuh, pedagang kaki lima, asongan, warung-warung tempel di pagar-pagar jalan, adalah sektor informal perkotaan, yang sumbangannya terhadap kota sangat besar. Apa pun bentuknya, tempat berteduh, lapangan kerja yang mereka ciptakan secara swadaya, dan mandiri merupakan impian dan harapan mereka. Penggusuran terhadap mereka bukan sekedar tempat berteduh, tetapi juga lapangan kerja dan kehidupan keluarga yang selama ini tertopang. Dampak turunannya adalah pengangguran, putus sekolah, kekurangan gizi, dan kualitas hidup, impian dan harapan warga kota. Perumahan bukanlah sekedar ilmu bagaimana membangun rumah. dan permukiman bukanlah sekedar kumpulan rumah-rumah. Ada kehidupan di dalamnya. Dalam segi manajemen perkotaan kelemahan yang ada adalah:

1. Pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan kebijakan perumahan dan permukiman, dan cenderung masih terjebak pada penampilan wujud fisik, dan bukan fungsi rumah.

2. Dalam menentukan kebijakan perumahan dan permukiman, tidak/kurang didasarkan pada landasan demografi dan sosial dalam menuju pembangunan yang berkelanjutan

3. Tidak ada career planning bagi pimpinan unit pelaksana, sehingga terdapat banyak distorsi dan kemlencengan dalam menentukan kebijakan.

4. Dalam serah telima estafet kebijakan, penerima cenderung melempar tongkat estafet ke luar lapangan.

5. Kata kunci adalah lemahnya analisis kebijakan berdasarkan perkembangan demografi, bahwa urbanisasi adalah berkah, bukan petaka.

Page 11: Materi pak darrundono   kampung masa depan

Tantangan Pembangunan Permukiman di Perkotaan 2014

email address |[email protected] 10

DAFTAR BACAAN

Aga Khan Award. 1980 Grand Jury Consideration.

Annan, Kofi 2004 World Urban Forum, Barcelona.

Badshah, Akhtar 1966 Our Urban Future, Zed Books, London & New Jersey

Boedihardjo, Eko 2000 Some notes on kampung improvement program in indonesia

Darrundono. 2000 Kilas Balik Pelaksanaan Proyek Muhammad Husni Thamrin.

_________ 2000 Jakarta Kampung Improvement Program "Muhammad Husni Thamrin"

Towards Better Urban Life.

_________ 2000 Thirty Years Kampung Improvement Program International Workshop.

Jakarta.

Evans, Peter 2002 Livable Cities. University of Berkrfey, California,

Exline et al 1982 The City : Pattern and Process in the Urban Ecosystem, Westview

Press, Boulder, Colorado

Jelinek, George. 1996 Some Considerations on housing for the Low Income Groups in DKI

jakarta Unpublished

Kimm, Peter. 1985 Contrasting Images of the Housing Problem. USAID Washington D.C

Mark, Melvin et al 2000 Evaluation San Francisco. Jossey Bass A Wiley Company

Narayan, D. et al. 2000 Voices of the Poor. The World Bank

Peattie L. 1981 Settlement Upgrading. Planning find Squatter Settlement In Bogata.

Columbia. MIT Press.

Perlman, JE 1976 The Myth of Marginality, Univeristy of California Press, Berkeley

__________ 1987 Misconception about the Urban Poor and the Dynamic of Housing Policy

Evaluation. Association of Collegiate School of Planning, New York

Shirvani, H 1985 Special Address on the Enabling Sustainable Community

Serageldin, I. 1994 Development, The World Bank The urban Design Process, Van

Nostrand Reinhold Company, New York Southwick, C.H 1976 Ecology and the Quality of Our Environment, Van Nostrand Reinhold

Company, New York

Turner, J.F.C. 1976 Housing by People: Towards Aytonomy in Building Environment, Marion

Boyars, London

UN Habitat 2004 The State ofthe World

Wilheim, J 1994 Discussion Remarks on The Human Face of the Urban Environment,

The world Bank. Washington D.C.

Wirutomo, Paulus 2000 The Concept of "TRIBINA" as a Community Empowerment Model: A

Critical Review. Miscellany of Kampung Improvement Program