materi jurnal terapi
TRANSCRIPT
-
8/2/2019 materi jurnal terapi
1/4
Kalaupun pencangkokan organ berjalan mulus, ancaman serius masih menghadang.
Salah satu yang patut diwaspadai adalah infeksi cytomegalovirus
Ditahun 1954, Dr. Joseph Murray dan rekannya Dr. David Hume dari Brigham Hospital,
Boston, Amerika Serikat, berhasil melakukan transplantasi ginjal dari donor hidup.
Delapan tahun kemudian mereka mengulang kesuksesannya, tapi kali ini transplantasibersumber dari donor meninggal atau kadaver .
Sukses transplantasi ginjal, seolah menjadi inspirasi untuk transplantasi organ lain. Di
dunia saat ini tak kurang 50.000 organ dicangkokkan setiap tahun. Yang terbanyak (50-
60%) adalah ginjal atau pankreas. Meskipun penolakan organ akut dapat terjadi setiap
saat, namun angka keberhasilan tranplantasi ginjal, seperti disampaikan Ketua Bagian
Ginjal RSCM, Prof. Dr. Endang Susalit SpPD-KGH, relatif tinggi bahkan mendekati 100%.
"Keberhasilan transplantasi meningkat sejak ditemukannya obat-obatan
imunosupresan," jelas Endang. Obat penekan imun bermanfaat untuk mencegah rekasi
penolakan tubuh terhadap organ baru. Dalam manajemen pasien transplantasi organ,
tambah pakar ginjal yang sudah berpengalaman melakukan lebih dari 200 cangkok
ginjal sejak 1979 ini, "diwajibkan" pemberian obat-obat imunosupresan dari 3 golongan
berbeda yang dikenal dengan tripel terapi. Pertama, golongan steroid seperti
metilprednisolon atau prednison, Kedua dari golongan calcineurin inhibitors seperti
cyclosporin atau tacrolimus dan ketiga, obat imunosupresan seperti mycophenolate
mofetil (MMF) atau sirolimus.
"Ketiga jenis imunosupresan ini harus diberikan apalagi pada pasien transplantasi
ginjal yang menerima donor dari orang lain, bukan dari keluarga. Kalau organ berasal
dari keluarga dekat, bisa diberikan dua jenis imunosupresan saja, tetapi memangsebaiknya ketiga-tiganya diberikan," jelas Endang.
Namun ibarat dua sisi mata uang, obat-obat seperti imunosupresan juga mengundang
risiko munculnya infeksi oportunistik. Kasus infeksi yang paling sering ditemui pada
pasien transplantasi organ padat adalah infeksi cytomegalovirus (CMV). 17 Desember
lalu bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta, diadakan simposium sehari bertajuk "New
Perspective in CMV Infection: Powerful and Convenient Protection Against the Danger
of the CMV".
Menurut Prof. Mark David Pescovitz, ahli Mikrobiologi/Imunologi dan Direktur Divisi
Bedah dan Transplantasi Universitas Indiana, Amerika Serikat yang hadir sebagai salah
seorang pembicara, insiden klinik CMV relatif tinggi pada pasien transplantasi.
Frekuensi tertinggi infeksi CMV pada pasien transplantasi organ padat ditempati oleh
transplantasi paru atau paru dan jantung (53-75%), disusul transplantasi jantung (30-
40%), ginjal (5-23%) dan liver (5-10%). "Kematian akibat infeksi CMV yang tidak
diterapi mencapai lebih dari 90%," tegas Pescovitz.
Di Amerika Serikat, tambahnya, selama 2005 lalu dilakukan sekitar 300 transplantasi
organ, dan 200 di antaranya berasal dari kadaver. Di Indonesia sendiri, donor kadaver
masih menjadi isu yang cukup kontroversial. Beberapa pihak masih menolak donor dari
orang yang sudah meninggal. Ini menjadi salah satu alasan hanya segelintir pasien gagalginjal atau gagal organ lain yang berkesempatan mendapat organ pengganti.
-
8/2/2019 materi jurnal terapi
2/4
Terbangun dari Tidur
Cytomegalovirus merupakan salah satu keluarga virus herpes. Virus ini berkaitan erat
dengan cacar air dan virus Epstein Barr. Infeksi CMV bisa terjadi bila ada kontak
langsung melalui air liur, darah maupun urin. Transmisi virus terjadi dengan beberapa
cara, misalnya paparan darah ibu ke janin di uterus, penularan melalui sekresi cairanvagina, ASI, dan hubungan
seksual.
Risiko infeksi CMV
meningkat seiring usia. Pada
anak-anak, risiko hanya 10-
40% namun meningkat
menjadi 50-90% pada orang
dewasa. Lebih dari 50%
infeksi dewasa terjadi di usia
50-an tahun. Pada orang
dengan kekebalan tubuh
yang baik, kata Endang
Susalit, virus ini tidak akan
menimbulkan masalah yang
berarti. Infeksi CMV tidak
akan menunjukkan gejala. Kalaupun ada, gejalanya sangat ringan seperti halnya infeksi
oleh virus Epstein Barr. Setelah masuk ke tubuh, CMV masuk ke stadium laten dan akan
terus diam hingga dia aktif kembali. Reaktivasi virus laten bisa terjadi akibat obat-
obatan imunosupresan pada pasien transplantasi organ padat atau transplantasi
sumsum tulang belakang, dan penderita AIDS.
Infeksi CMV bisa berakibat fatal ke seluruh bagian tubuh. Efek utama infeksi CMV ini,
kata Pescovitz adalah peradangan di berbagai organ tubuh yakni gastroenteritis,
nephritis, hapatitis, pneumonitis dan renitis. Namun efek yang mengancam pasien
transplantasi adalah adanya penolakan akut maupun kronik, superinfeksi, dan
komplikasi pada jantung.
Pada pasien transplantasi organ padat, infeksi CMV primer terjadi di minggu ke-4 atau 6
setelah transplantasi. Infeksi bisa berasal dari infeksi laten pada resipien (CMV-) dan
dari donor (CMV+). Superinfeksi bisa terjadi bila donor maupun resipien sama-sama
CMV+ namun dengan strain virus yang berbeda. Infeksi CMV primer secara umum lebih
berat dibandingkan infeksi karena aktivasi kembali virus, dilihat dari tingginya
kematian pasien dan kegagalan transplantasi.
Diagnosis infeksi CMV pada pasien transplantasi ditegakkan dengan gejala klinis dan uji
laboratorium. Titer antibodi dan kultur virus bisa memantapkan diagnosa. Kultur virus
konvensional melalui sampel darah, jaringan, atau cairan bronkoalveolar, memang
membutuhkan waktu. Kini ada uji yang lebih cepat dengan deteksi antigen CMV pp56
pada leukosit periperal dengan menggunakan monoklonal antibodi (anigenaemia) atau
melalui uji kuantitas DNA/RNA virus dengan polymerase chain reaction (PCR) pada
serum, plasma atau semua bagian darah. Selain cepat, metode ini juga lebih sensitifdibandingkan kultur konvensional.
-
8/2/2019 materi jurnal terapi
3/4
Profilaksis atau preemptif?
Terapi standar untuk infeksi CMV adalah menggunakan antivirus ganciclovir. Acyclovir,
agen antivirus untuk herpes, tidak "mempan" pada infeksi VMV. Sebelum tersedia
ganciclovir, pilihan terapi untuk infeksi CMV sangat terbatas. Mengurangi
imunosupresan untuk menekan infeksi justru membuka peluang terjadinya penolakanorgan.
Ganciclovir diberikan melalui infus (IV). Dengan pertimbangan biaya dan kepraktisan,
maka dikembangkan formulasi oral agen antivirus ini. Valganciclovir merupakan
prodrug ester oral dari ganciclovir dan valine yang sudah di-approve untuk pencegahan
infeksi CMV pada pasien transplantasi organ padat. Valganciclovir ekuivalen dengan
ganciclovir IV dengan dosis oral yang tepat.
Ada beberapa strategi manajemen infeksi CMV, yakni pengobatan profilaksis dan
preemptif. Pengobatan antiviral sebagai tindakan profilaksis bisa jadi akan efektif
mencegah infeksi CMV, karena 60% pasien yang tidak mendapat profilaksis akan
mengalami infeksi CMV.
Strategi terapi profilaksis adalah memberikan ganciclovir sebelum ada gejala kepada
semua pasien transplantasi, tanpa pandang bulu. Artinya tanpa membedakan pasien
risiko tinggi dan rendah. Namun tindakan ini juga membawa kerugian pada pasien yang
sebenarnya berisiko rendah.
Profilaksis selektif yang hanya memberikan ganciclovir pada pasien risiko tinggi
barangkali lebih menguntungkan. Namun benar-benar harus diseleksi pasien mana
yang masuk kategori risiko tinggi. Pemberian profilaksis maupun profilaksis selektifkeduanya membawa risiko resisitensi. Saat ini dilaporkan kasus resistensi CMV
terhadap ganciclovir mencapai 5-10% pada pasien risiko tinggi.
Sedangkan strategi terapi preemptif adalah memberikan agen antiviral CMV untuk
mencegah infeksi CMV berdasarkan hasil diagnostik seperti PCR atau antigenaemia
pp56 untuk mendetaksi adanya CMV. Pada strategi terapi ini, pasien yang mendapat
terapi pencegahan jauh lebih selektif. Namun, karena membutuhkan tes yang mahal,
maka ada penambahan biaya logistik.
Dari kedua strategi terapi tadi, ada kontoversi yang timbul. Mana yang lebih baik antara
terapi profilaksis seletif atau preemptif. Beberapa studi klinis terkontrol menunjukkan,
terapi profilaksis lebih efektif dari segi efikasi dan cost. Guideline dari Inggris
merekomendasikan apabila Resipien-/Donor+ atau D+/R+ dan mendapat terapi anti-sel
T maka terapi profilaksis lebih dianjurkan. Melalui penekanan yang efektif terhadap
CMV dan kemudian mengurangi efek obat imunosupresan, terapi profilaksis akan
mencegah efek-efek tak langsung seperti infeksi oportunistik, termasuk virus hepes,
dan memilki efek tambahan yakni anti penolakan. Pengurangan infeksi CMV yang efektif
berarti memperpanjang harapan hidup pasien transplantasi.
-
8/2/2019 materi jurnal terapi
4/4
Beberapa dekade terakhir, agen antiviral telah tersedia dalam jumlah yang banyak
untuk manajemen penyakit CMV. Penggunaan agen antiviral tersebut
dapatdikelompokkan menjadi 3, yakni :
1. Prophylactic use ; terapi diberikan sedini mungkin.
2. Pre-emptive use ; terapi antiviral diberikan sebelum munculnya gejalaklinis dari
infeksi, terutama diberikan kepada mereka yang tergolongkelompok beresiko tinggi
terinfeksi CMV setelah dilakukan pemeriksaanlaboratorium.
3. Therapeutic use; pengobatan diberikan berdasarkan pada infeksi yang berkembang,
inisiasi dari terapi mengikuti onset dari gejala yang muncul.Sejauh ini, pilihan terbaik
untuk pengobatan dan pencegahan penyakit CMV ialahganciclovir dan valganciclovir.
Pilihan agen antiviral lain yang bisa diambil ialahfoscarnet atau cidofovir. Ganciclovir
yang diberikan secara intravena sampai saatini merupakan drug of choice untuk
pengobatan penyakit CMV