materi jurnal terapi

Upload: astri-pratiwi

Post on 05-Apr-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/2/2019 materi jurnal terapi

    1/4

    Kalaupun pencangkokan organ berjalan mulus, ancaman serius masih menghadang.

    Salah satu yang patut diwaspadai adalah infeksi cytomegalovirus

    Ditahun 1954, Dr. Joseph Murray dan rekannya Dr. David Hume dari Brigham Hospital,

    Boston, Amerika Serikat, berhasil melakukan transplantasi ginjal dari donor hidup.

    Delapan tahun kemudian mereka mengulang kesuksesannya, tapi kali ini transplantasibersumber dari donor meninggal atau kadaver .

    Sukses transplantasi ginjal, seolah menjadi inspirasi untuk transplantasi organ lain. Di

    dunia saat ini tak kurang 50.000 organ dicangkokkan setiap tahun. Yang terbanyak (50-

    60%) adalah ginjal atau pankreas. Meskipun penolakan organ akut dapat terjadi setiap

    saat, namun angka keberhasilan tranplantasi ginjal, seperti disampaikan Ketua Bagian

    Ginjal RSCM, Prof. Dr. Endang Susalit SpPD-KGH, relatif tinggi bahkan mendekati 100%.

    "Keberhasilan transplantasi meningkat sejak ditemukannya obat-obatan

    imunosupresan," jelas Endang. Obat penekan imun bermanfaat untuk mencegah rekasi

    penolakan tubuh terhadap organ baru. Dalam manajemen pasien transplantasi organ,

    tambah pakar ginjal yang sudah berpengalaman melakukan lebih dari 200 cangkok

    ginjal sejak 1979 ini, "diwajibkan" pemberian obat-obat imunosupresan dari 3 golongan

    berbeda yang dikenal dengan tripel terapi. Pertama, golongan steroid seperti

    metilprednisolon atau prednison, Kedua dari golongan calcineurin inhibitors seperti

    cyclosporin atau tacrolimus dan ketiga, obat imunosupresan seperti mycophenolate

    mofetil (MMF) atau sirolimus.

    "Ketiga jenis imunosupresan ini harus diberikan apalagi pada pasien transplantasi

    ginjal yang menerima donor dari orang lain, bukan dari keluarga. Kalau organ berasal

    dari keluarga dekat, bisa diberikan dua jenis imunosupresan saja, tetapi memangsebaiknya ketiga-tiganya diberikan," jelas Endang.

    Namun ibarat dua sisi mata uang, obat-obat seperti imunosupresan juga mengundang

    risiko munculnya infeksi oportunistik. Kasus infeksi yang paling sering ditemui pada

    pasien transplantasi organ padat adalah infeksi cytomegalovirus (CMV). 17 Desember

    lalu bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta, diadakan simposium sehari bertajuk "New

    Perspective in CMV Infection: Powerful and Convenient Protection Against the Danger

    of the CMV".

    Menurut Prof. Mark David Pescovitz, ahli Mikrobiologi/Imunologi dan Direktur Divisi

    Bedah dan Transplantasi Universitas Indiana, Amerika Serikat yang hadir sebagai salah

    seorang pembicara, insiden klinik CMV relatif tinggi pada pasien transplantasi.

    Frekuensi tertinggi infeksi CMV pada pasien transplantasi organ padat ditempati oleh

    transplantasi paru atau paru dan jantung (53-75%), disusul transplantasi jantung (30-

    40%), ginjal (5-23%) dan liver (5-10%). "Kematian akibat infeksi CMV yang tidak

    diterapi mencapai lebih dari 90%," tegas Pescovitz.

    Di Amerika Serikat, tambahnya, selama 2005 lalu dilakukan sekitar 300 transplantasi

    organ, dan 200 di antaranya berasal dari kadaver. Di Indonesia sendiri, donor kadaver

    masih menjadi isu yang cukup kontroversial. Beberapa pihak masih menolak donor dari

    orang yang sudah meninggal. Ini menjadi salah satu alasan hanya segelintir pasien gagalginjal atau gagal organ lain yang berkesempatan mendapat organ pengganti.

  • 8/2/2019 materi jurnal terapi

    2/4

    Terbangun dari Tidur

    Cytomegalovirus merupakan salah satu keluarga virus herpes. Virus ini berkaitan erat

    dengan cacar air dan virus Epstein Barr. Infeksi CMV bisa terjadi bila ada kontak

    langsung melalui air liur, darah maupun urin. Transmisi virus terjadi dengan beberapa

    cara, misalnya paparan darah ibu ke janin di uterus, penularan melalui sekresi cairanvagina, ASI, dan hubungan

    seksual.

    Risiko infeksi CMV

    meningkat seiring usia. Pada

    anak-anak, risiko hanya 10-

    40% namun meningkat

    menjadi 50-90% pada orang

    dewasa. Lebih dari 50%

    infeksi dewasa terjadi di usia

    50-an tahun. Pada orang

    dengan kekebalan tubuh

    yang baik, kata Endang

    Susalit, virus ini tidak akan

    menimbulkan masalah yang

    berarti. Infeksi CMV tidak

    akan menunjukkan gejala. Kalaupun ada, gejalanya sangat ringan seperti halnya infeksi

    oleh virus Epstein Barr. Setelah masuk ke tubuh, CMV masuk ke stadium laten dan akan

    terus diam hingga dia aktif kembali. Reaktivasi virus laten bisa terjadi akibat obat-

    obatan imunosupresan pada pasien transplantasi organ padat atau transplantasi

    sumsum tulang belakang, dan penderita AIDS.

    Infeksi CMV bisa berakibat fatal ke seluruh bagian tubuh. Efek utama infeksi CMV ini,

    kata Pescovitz adalah peradangan di berbagai organ tubuh yakni gastroenteritis,

    nephritis, hapatitis, pneumonitis dan renitis. Namun efek yang mengancam pasien

    transplantasi adalah adanya penolakan akut maupun kronik, superinfeksi, dan

    komplikasi pada jantung.

    Pada pasien transplantasi organ padat, infeksi CMV primer terjadi di minggu ke-4 atau 6

    setelah transplantasi. Infeksi bisa berasal dari infeksi laten pada resipien (CMV-) dan

    dari donor (CMV+). Superinfeksi bisa terjadi bila donor maupun resipien sama-sama

    CMV+ namun dengan strain virus yang berbeda. Infeksi CMV primer secara umum lebih

    berat dibandingkan infeksi karena aktivasi kembali virus, dilihat dari tingginya

    kematian pasien dan kegagalan transplantasi.

    Diagnosis infeksi CMV pada pasien transplantasi ditegakkan dengan gejala klinis dan uji

    laboratorium. Titer antibodi dan kultur virus bisa memantapkan diagnosa. Kultur virus

    konvensional melalui sampel darah, jaringan, atau cairan bronkoalveolar, memang

    membutuhkan waktu. Kini ada uji yang lebih cepat dengan deteksi antigen CMV pp56

    pada leukosit periperal dengan menggunakan monoklonal antibodi (anigenaemia) atau

    melalui uji kuantitas DNA/RNA virus dengan polymerase chain reaction (PCR) pada

    serum, plasma atau semua bagian darah. Selain cepat, metode ini juga lebih sensitifdibandingkan kultur konvensional.

  • 8/2/2019 materi jurnal terapi

    3/4

    Profilaksis atau preemptif?

    Terapi standar untuk infeksi CMV adalah menggunakan antivirus ganciclovir. Acyclovir,

    agen antivirus untuk herpes, tidak "mempan" pada infeksi VMV. Sebelum tersedia

    ganciclovir, pilihan terapi untuk infeksi CMV sangat terbatas. Mengurangi

    imunosupresan untuk menekan infeksi justru membuka peluang terjadinya penolakanorgan.

    Ganciclovir diberikan melalui infus (IV). Dengan pertimbangan biaya dan kepraktisan,

    maka dikembangkan formulasi oral agen antivirus ini. Valganciclovir merupakan

    prodrug ester oral dari ganciclovir dan valine yang sudah di-approve untuk pencegahan

    infeksi CMV pada pasien transplantasi organ padat. Valganciclovir ekuivalen dengan

    ganciclovir IV dengan dosis oral yang tepat.

    Ada beberapa strategi manajemen infeksi CMV, yakni pengobatan profilaksis dan

    preemptif. Pengobatan antiviral sebagai tindakan profilaksis bisa jadi akan efektif

    mencegah infeksi CMV, karena 60% pasien yang tidak mendapat profilaksis akan

    mengalami infeksi CMV.

    Strategi terapi profilaksis adalah memberikan ganciclovir sebelum ada gejala kepada

    semua pasien transplantasi, tanpa pandang bulu. Artinya tanpa membedakan pasien

    risiko tinggi dan rendah. Namun tindakan ini juga membawa kerugian pada pasien yang

    sebenarnya berisiko rendah.

    Profilaksis selektif yang hanya memberikan ganciclovir pada pasien risiko tinggi

    barangkali lebih menguntungkan. Namun benar-benar harus diseleksi pasien mana

    yang masuk kategori risiko tinggi. Pemberian profilaksis maupun profilaksis selektifkeduanya membawa risiko resisitensi. Saat ini dilaporkan kasus resistensi CMV

    terhadap ganciclovir mencapai 5-10% pada pasien risiko tinggi.

    Sedangkan strategi terapi preemptif adalah memberikan agen antiviral CMV untuk

    mencegah infeksi CMV berdasarkan hasil diagnostik seperti PCR atau antigenaemia

    pp56 untuk mendetaksi adanya CMV. Pada strategi terapi ini, pasien yang mendapat

    terapi pencegahan jauh lebih selektif. Namun, karena membutuhkan tes yang mahal,

    maka ada penambahan biaya logistik.

    Dari kedua strategi terapi tadi, ada kontoversi yang timbul. Mana yang lebih baik antara

    terapi profilaksis seletif atau preemptif. Beberapa studi klinis terkontrol menunjukkan,

    terapi profilaksis lebih efektif dari segi efikasi dan cost. Guideline dari Inggris

    merekomendasikan apabila Resipien-/Donor+ atau D+/R+ dan mendapat terapi anti-sel

    T maka terapi profilaksis lebih dianjurkan. Melalui penekanan yang efektif terhadap

    CMV dan kemudian mengurangi efek obat imunosupresan, terapi profilaksis akan

    mencegah efek-efek tak langsung seperti infeksi oportunistik, termasuk virus hepes,

    dan memilki efek tambahan yakni anti penolakan. Pengurangan infeksi CMV yang efektif

    berarti memperpanjang harapan hidup pasien transplantasi.

  • 8/2/2019 materi jurnal terapi

    4/4

    Beberapa dekade terakhir, agen antiviral telah tersedia dalam jumlah yang banyak

    untuk manajemen penyakit CMV. Penggunaan agen antiviral tersebut

    dapatdikelompokkan menjadi 3, yakni :

    1. Prophylactic use ; terapi diberikan sedini mungkin.

    2. Pre-emptive use ; terapi antiviral diberikan sebelum munculnya gejalaklinis dari

    infeksi, terutama diberikan kepada mereka yang tergolongkelompok beresiko tinggi

    terinfeksi CMV setelah dilakukan pemeriksaanlaboratorium.

    3. Therapeutic use; pengobatan diberikan berdasarkan pada infeksi yang berkembang,

    inisiasi dari terapi mengikuti onset dari gejala yang muncul.Sejauh ini, pilihan terbaik

    untuk pengobatan dan pencegahan penyakit CMV ialahganciclovir dan valganciclovir.

    Pilihan agen antiviral lain yang bisa diambil ialahfoscarnet atau cidofovir. Ganciclovir

    yang diberikan secara intravena sampai saatini merupakan drug of choice untuk

    pengobatan penyakit CMV