materi bab 6

11
BAB 6 KEPEMILIKAN YANG SAH A. Kepemilikan Secara bahasa, kata kepemilikan berarti memiliki sesuatu dan sanggup bertindak sekehendak hati terhadapnya. Secara istilah, kepemilikan adalah suatu ikhtisas yang menghalangi orang lain bertindak terhadap benda miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang. Menurut Jumhur ulama, kepemilikan merupakan hak khusus seseorang terhadap suatu benda dan tercegahnya pihak lain untuk ikut memanfaatkannya. Pemilik disahkan menggunakan hak miliknya sejauh tidak melanggar ketentuan syariat. 1. Ketentuan Syariat Mengenai Hak Milik Ketentuan mengenai hak-hak manusia untuk memiliki seisi alam ini harus berlandaskan pada ketentuan yang dibuat Allah SWT. Syariat Islam mempunyai aturan tertentu mengenai keinginan seseorang untuk memiliki kekayaan alam ini menjadi milik pribadinya. Ketentuan Islam mengenai kekayaan pribadi itu meliputi delapan pokok adalah sebagai berikut. a. Pemanfaatan Kekayaan Semua kekayaan harus memiliki manfaat dan dapat digunakan manfaatnya untuk orang banyak. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Orang yang menguasai tanah yang tidak bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya, ia tidak menggarapnya dengan baik.” Pemerintah Islam berhak mengatur dan mencabut izin hak kepemilikan tanah seseorang apabila pemilik berlaku tidak

Upload: diah-ayu-lestari

Post on 27-Jan-2016

10 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

materi fiqh kelas X SEMESTER 2 tentang kepemilikan yang sah

TRANSCRIPT

Page 1: Materi BAB 6

BAB 6

KEPEMILIKAN YANG SAH

A. Kepemilikan

Secara bahasa, kata kepemilikan berarti memiliki sesuatu dan sanggup bertindak

sekehendak hati terhadapnya. Secara istilah, kepemilikan adalah suatu ikhtisas yang

menghalangi orang lain bertindak terhadap benda miliknya sekehendaknya, kecuali ada

penghalang. Menurut Jumhur ulama, kepemilikan merupakan hak khusus seseorang terhadap

suatu benda dan tercegahnya pihak lain untuk ikut memanfaatkannya. Pemilik disahkan

menggunakan hak miliknya sejauh tidak melanggar ketentuan syariat.

1. Ketentuan Syariat Mengenai Hak Milik

Ketentuan mengenai hak-hak manusia untuk memiliki seisi alam ini harus

berlandaskan pada ketentuan yang dibuat Allah SWT. Syariat Islam mempunyai aturan

tertentu mengenai keinginan seseorang untuk memiliki kekayaan alam ini menjadi milik

pribadinya. Ketentuan Islam mengenai kekayaan pribadi itu meliputi delapan pokok

adalah sebagai berikut.

a. Pemanfaatan Kekayaan

Semua kekayaan harus memiliki manfaat dan dapat digunakan manfaatnya untuk

orang banyak. Nabi SAW bersabda yang artinya, “Orang yang menguasai tanah yang

tidak bertuan tidak lagi berhak atas tanah itu jika setelah tiga tahun menguasainya, ia

tidak menggarapnya dengan baik.”

Pemerintah Islam berhak mengatur dan mencabut izin hak kepemilikan tanah

seseorang apabila pemilik berlaku tidak sesuai dengan ajaran Islam, yakni hanya

mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan hak masyarakat secara luas.

b. Membayar Zakat

Semua kekayaan, emas, perak, uang, hasil pertanian, usaha perdagangan, dan apa saja

yang dimiliki oleh seseorang selama hidupnya merupakan harta benda yang wajib

dizakati. Syariat zakat bertujuan untuk kemaslahatan umum, kaum Muslimin secara

keseluruhan,dan tidak untuk menumpuk kekayaan pribadi, melainkan untuk berbakti

kepada Allah SWT.

c. Penggunaan yang Berfaedah

Penggunaan harta benda harus dapat memberi manfaat dan faedah bagi kepentingan

umum, dapat menyejahterakan, menguntungkan, dan memakmurkan. Allah SWT

berfirman:

Page 2: Materi BAB 6

Artinya: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi

Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan

apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu

untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena

mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya

kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan

dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-Baqarah: 272)

d. Penggunaan yang Tidak Merugikan

Apabila Islam memberi tekanan pada pemakaian yang berfaedah, berarti membebankan

kewajiban kepada pemilik harta benda untuk menggunakannya sedemikian rupa

sehingga tidak merugikan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu, jika seandainya

kerugian ditimpakan kepada orang lain, hal itu merupakan pelanggaran. Allah SWT

berfirman:

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)

janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah: 190)

e. Kepemilikan yang Sah

Tindakan untuk memperoleh harta benda dengan cara yang tidak sah dilarang dalam

Islam. Demikian pula kepemilikan yang diperoleh dari penyuapan, sumpah palsu, atau

surat

palsu adalah perbuatan yang melanggar hukum.

f. Penggunaan Berimbang

Di samping syarat kepemilikan harus dilakukan dengan cara yang sah, asas

keseimbangan dalam menggunakan hak milik seseorang pun diatur dengan jelas dalam

Islam. Maksud keseimbangan di sini adalah tidak berlaku kikir dan boros. Allah SWT

sangat tidak menyukai orang-orang yang memiliki sifat kikir dan sombong,

sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya berikut ini.

Artinya: “…Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan

diri, (yaitu) orang yang kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah

kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang

menghinakan.” (Q.S. An-Nisaa: 36 - 37).

g. Pemanfaatan Sesuai Hak

Ketentuan etika bisnis Islami menekankan penggunaan harta dengan menjamin

manfaatnya bagi si pemilik. Harus diakui bahwa sangat banyak orang memanfaatkan

Page 3: Materi BAB 6

harta bendanya untuk kepentingan diri sendiri, baik di bidang politik maupun di bidang

ekonomi, dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan yang luas bagi masyarakat.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam.

h. Kepentingan Kehidupan

Persoalan pengawasan dan pembagian harta tidak timbul sebelum kematian pemiliknya.

Kepentingan bagi mereka yang masih hidup dengan mempraktikkan hukum waris.

2. Sebab Kepemilikan

Sebab-sebab memiliki (tamalluk) yang ditetapkan syarak, sebagaimana disebutkan dalam

buku Pengantar Fikih Muamalat hanya terdiri atas empat sebab, adalah sebagai berikut.

a. Ihrazul Mubahat

Ihrazul mubahat adalah sebab timbul atau sifat memiliki atas benda oleh seseorang.

Yang dimaksud dengan mubah dalam ihrazul mubahat adalah harta yang tidak masuk

ke dalam milik yang dihormati (milik orang yang sah) dan tidak ada pula suatu

penghalang yang dibenarkan syarak dari memilikinya. Contoh barang-barang mubah

dan dapat dimiliki, seperti air yang tidak dimiliki seseorang, rumput dan pepohonan di

hutan belantara yang tidak dimiliki oleh orang, binatang buruan, ikan-ikan di laut.

Dalam ketentuan milkiyah, semua jenis tersebut di atas adalah barang mubah. Siapa

pun berhak memiliki semua jenis barang tersebut. Apabila dia telah menguasai dengan

maksud memiliki, menjadilah miliknya. Tidak yang termasuk mubah untuk dimiliki

seorang pun yang dapat menghalangi karena barang yang dimaksud adalah barang mati

tak bertuan, melainkan milik Allah SWT. Untuk memiliki benda-benda mubah dengan

jalan ihrazul memerlukan dua syarat.

1) Benda tersebut tidak diihrazkan orang lain terlebih dahulu. Misalkan, seseorang telah

mengumpulkan rumput dalam sebuah keranjang dan dibiarkan tidak diambil maka

orang lain tidak berhak mengambil rumput tersebut karena telah diihrazkan (dijaga)

oleh seseorang. Oleh karena itu, ada kaidah yang mengatakan bahwa barang siapa

mendahului orang lain pada sesuatu yang mubah bagi semua orang, maka

sesungguhnya ia telah memilikinya.

2) Ada maksud tamalluk, yakni jika seseorang memperoleh sesuatu benda mubah

dengan tidak bermaksud memilikinya, tidaklah benda itu menjadi miliknya.

Misalnya, seseorang memasang jaring penangkap, lalu terjeratlah seekor binatang

buruan. Jika ia meletakkan jaring penangkap tadi sekadar mengeringkan jaring,

tidaklah dia berhak memiliki binatang buruan yang terjerat oleh jaringnya. Orang

Page 4: Materi BAB 6

lain masih boleh mengambil binatang terjerat itu. Orang yang mengambil itulah

dipandang muhriz, bukan pemilik jaring.

b. Al 'Uqud

Al 'uqud (akad) merupakan sebab terjadi kepemilikan, seperti akad jual beli sepeda.

Sepeda yang dibeli menjadi milik pembeli secara sah karena telah terjadi akad jual beli

sepeda. Artinya, penjual telah memindahtangankan hak kepemilikan sepeda darinya

(penjual) ke pihak kedua (pembeli). Akad ini lazim disebut dengan transaksi

pemindahan hak. Maksud akad dalam sistem kepemilikan mengandung dua hal penting

yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut.

1) 'Uqud jabariyah, yaitu akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada keputusan

hakim, seperti menjual harta orang yang berutang secara paksa. Penjualan tersebut

salah, walaupun dia menjual karena dipaksa oleh hakim, dan hakim memaksa

menjual barang itu untuk membayar utang orang lain.

2) Istimlak untuk maslahat umum

Untuk memahami dengan mudah akad ini, perhatikan contoh berikut ini. Misal tanah

tanah di samping masjid apabila diperlukan untuk masjid harus dimiliki oleh masjid

dan pemilik harus menjualnya.

Kedua kategori di atas, baik 'uqud jabary maupun istimlak masuk dalam bidang

akad. Akad tersebut lazim disebut dengan transaksi pemindahan hak dalam sistem

ekonomi Islam.

c. Khalafiyah

Istilah khalafiyah dikenal dalam sistem ekonomi kontemporer dengan istilah

penggantian. Maksud khalafiyah (penggantian) adalah penggantian posisi dari satu

pihak ke pihak lain, yang dalam prosesnya tanpa ada persetujuan, baik dari pihak

pertama maupun pihak kedua. Misalnya, harta warisan. Warisan berpindah ke ahli

waris tanpa terlebih dahulu bersyarat persetujuan karena ketentuan itu merupakan

ketentuan syariat Islam.

d. Attawallud min Mamluk

Attawallud min mamluk adalah sebuah kepemilikan yang diperoleh dengan jalan anak

pinak, seperti pohon menghasilkan buah, buah ini otomatis menjadi miliknya karena dia

yang memiliki pohonnya. Seseorang memiliki ternak kambing lalu diambil susunya,

susu yang diperoleh dari kambing tersebut menjadi miliknya.

Page 5: Materi BAB 6

3. Menghidupkan Tanah Mati

Ihya mawat al-ard adalah menghidupkan tanah mati. Maksud tanah mati adalah tanah tak

bertuan, yaitu tidak dimiliki seseorang. Islam membolehkan umatnya menghidupkan tanah

mati, sekaligus menjadi milik dari yang menghidupkannya. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati maka ia menjadi pemiliknya,

tidak ada bagi orang yang aniaya hak atas sesuatu." (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Artinya: “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia memperoleh pahala,

dan apa-apa yang dimakan binatang, maka menjadi sedekah baginya.” (H.R. Ahmad)

Menghidupkan tanah mati yang diperbolehkan menurut syarak adalah mempersiapkan

tanah itu untuk keperluan yang diinginkan. Dalam penggunaannya, dianjurkan untuk

memberi tanda batas dengan tembok atau parit yang menunjukkan pembatas atas tanah

yang dihidupkan. Pembatasan itu diperlukan agar tidak terjadi perselisihan di kemudian

hari.

B. Akad

1. Pengertian Akad

Secara bahasa, akad artinya ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun

ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi. Sedangkan secara istilah,

ulama fikih membaginya menjadi dua ketentuan, umum dan khusus.

a. Akad secara Umum

Secara umum, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang

berdasarkan keinginannya sendiri, seperti: wakaf, talak, dan pembebasan atau

sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti: jual beli,

perwakilan, dan gadai.

b. Akad secara Khusus

Untuk pengertian ini, para ulama berbeda pendapat, antara lain:

1) Perikatan yang ditetapkan dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syarak yang

berdampak pada objeknya;

2) Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syarak

pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.

2. Hukum Akad

Ketentuan dasar dari akad adalah firman Allah SWT yang berbunyi:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (Q.S.Al-

Maidah: 1)

Page 6: Materi BAB 6

3. Syarat Akad

Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih,

berdasarkan keadaan masing-masing. Akad dapat terjadi apabila terdapat unsur-unsur,

yaitu sigat akad, akad dengan perbuatan, akad dengan isyarat, dan akad dengan tulisan.

Syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam, yaitu syarat umum dan syarat khusus.

a. Syarat Umum

Adalah syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad, yaitu:

1) kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak;

2) yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya;

3) akad itu diizinkan oleh syarak;

4) akad yang dilakukan tidak dilarang oleh syarak;

5) akad dapat memberikan manfaat;

6) ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul;

7) ijab dan kabul harus bersambung. Apabila seseorang yang berijab sudah berpisah

sebelum adanya kabul, ijab tersebut menjadi batal.

b. Syarat Khusus

Adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus

ini biasa disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat

yang umum, seperti syarat saksi dalam pernikahan.

4. Rukun Akad

1) Pihak-pihak yang akan melaksanakan akad adalah orang-orang yang cakap hukum.

2) Adanya ijab kabul.

3) Tidak adanya unsur paksaan.

4) Objek akadnya jelas.

5. Syarat Sah Akad

Akad dianggap sah jika terhindar dari enam perkara, yaitu kebodohan, paksaan,

pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudaratan, dan syarat-syarat jual beli yang

rusak (fasid).

6. Pembagian Akad

a. Akad Sahih

Adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syarak, baik

asal maupun sifatnya.

b. Akad Tidak Sahih

Page 7: Materi BAB 6

Adalah akad yang tidak memenuhi unsur syarak. Artinya tidak sahih adalah tidak

memenuhi rukun dan tidak ada objek akad. Misal, orang gila mengadakan akad adalah

batil karena orang gila bukan ahli akad. Akad dianggap fasid apabila objek akad tidak

diketahui, meskipun telah memenuhi rukun dan syarat, artinya barangnya tidak

kelihatan atau tidak berada di tempat.

7. Makna Sigat (Ijab Kabul) dalam Akad

Ijab dan kabul sangat penting karena keduanya merupakan syarat yang harus dipenuhi

oleh kelompok yang mengadakan akad. Ijab artinya ucapan tanda penyerahan dari

pihak yang menyerahkan dalam suatu akad. Kabul adalah ucapan tanda setuju (terima)

dari pihak yang menerima dalam suatu akad. Syarat ijab kabul adalah sebagai berikut.

a. Harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad.

b. Antara ijab dan kabul harus sesuai.

c. Antara ijab dan kabul harus bersambung dan berada di tempat yang sama atau berada

di tempat yang sama-sama diketahui oleh keduanya.

8. Hikmah Akad

Adapun hikmah yang didapat dari akad adalah kepemilikan terhadap barang tidak

hanya memiliki saja, tetapi terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang jelas. Hal ini

dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan atau pengalihan hak dengan cara yang tidak

benar. Kepemilikan barang yang didapat dengan cara tidak benar sangat berdosa dan

akan menjauhkan rahmat dan berkah dari Allah SWT.