matematika 3-hal.-312-473

162
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIPpada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang 312 ANALISIS KESALAHAN DAN PERILAKU YANG DILAKUKAN SISWA KELAS VII-C MTS DARUL HUDA PASURUAN DALAM MENYELESAIAKAN SOAL CERITA PERBANDINGAN MATA PELAJARAN MATEMATIKA Puji Savvy Dian Faizati, Toto Nusantara, dan Abdul Qohar Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected], [email protected] Abstract: This research was conducted to analyze the error and behavior of students in solving mathematical word problems based on the Newman error analysis which consists of reading, comprehension, transformation, process skills, and encoding.This study was conducted on 20 seventh grade students of MTs Darul Huda Prigen. Researchers gave tests about the 20 students to determine whether there is an error committed student and the student's behavior in solving word problem. Once the test results are examined and analyzed, conducted interviews of six students selected from the twenty-ability students representing categories of high, medium and low to uncover information or data that is not revealed by the test.The results of this study found that behaviors of students demonstrated in solving word problems, among others, 1) DTA-Proficient; 2) DTA-Not Proficient; 3) DTA-Limited of Context (without in justification); 4) DTA-Limited Context (with justification), and 5) MBA-Full Context. Mistakes made over many came from students with behavior DTA (Direct Translation Approach) or direct approach, only a few students who make mistakes in the behavior of the MBA (Meaning Based Approach) or meaningful approach. Mistakes made by students in solving mathematical word problems by Newman error analysis contained in the comprehension and transformation stages, two categories of these errors occur due to the inability of the student to understand the problem and determine the information of the problem and unable to interpret the problem in question. In addition, the mistakes made by the students are at the stage of encoding, this error occurs because students can not write the final answer to the question on the relevant matter. This error is the result of a mistake at this stage of comprehension. Keywords: error, behaviour, word problem, Newman Error Analysis Pemecahan masalah dalam matematika sekolah biasanya diwujudkan melalui soal cerita.Dalam penyelesaian soal cerita siswa dituntut untuk dapat memahami konteks permasalahan yang diberikan, menemukan metode penyelesaian, dan menafsirkan kembali selesaian yang diperoleh.Pemecahan masalah dan penalaran menjadi salah satu fokus utama dalam pembelajaran matematika sekolah (NCTM). Selain itu, dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses disebutkan bahwa untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah. Berdasarkan uraian mengenai tujuan pembelajaran matematika menurut kurikulum 2013 dan NCTM di atas, nampak bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang penting untuk dikembangkan oleh siswa dalam belajar matematika. Namun fakta di lapangan belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika di Indonesia dalam aspek pemecahan masalah matematis masih rendah. Marsudi (2008:1) mengatakan bahwa lebih dari 50% guru menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita.Penyebabnya adalah kurangnya keterampilan siswa dalam menerjemahkan kalimat sehari-hari ke dalam kalimat matematika.Otilia (2010: 7) mengatakan bahwa kompleksitas bahasa memiliki pengaruh signifikan terhadap persepsi siswa tentang kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita yang terkait dengan pemahaman teks.Oleh karena itu, penyajian soal cerita dirasa merupakan hal yang perlu diperhatikan. Saat ini dikembangkan media gambar dan komik pembelajaran matematika untuk meningkatkan pemahaman bentuk soal cerita. Hasil observasi di MTs Darul Huda Pasuruan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa melakukan kesalahan ketika menyelesaikan soal cerita matematika khususnya pada materi perbandingan. Kesalahan yang dilakukan siswa berupa penulisan langsung jawaban tanpa disertai penulisan mengenai apa yang

Upload: cha-aisyah

Post on 21-Jul-2015

557 views

Category:

Education


25 download

TRANSCRIPT

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

312

ANALISIS KESALAHAN DAN PERILAKU YANG DILAKUKAN

SISWA KELAS VII-C MTS DARUL HUDA PASURUAN DALAM

MENYELESAIAKAN SOAL CERITA PERBANDINGAN

MATA PELAJARAN MATEMATIKA

Puji Savvy Dian Faizati, Toto Nusantara, dan Abdul Qohar

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstract: This research was conducted to analyze the error and behavior of students in

solving mathematical word problems based on the Newman error analysis which consists

of reading, comprehension, transformation, process skills, and encoding.This study was

conducted on 20 seventh grade students of MTs Darul Huda Prigen. Researchers gave tests

about the 20 students to determine whether there is an error committed student and the

student's behavior in solving word problem. Once the test results are examined and

analyzed, conducted interviews of six students selected from the twenty-ability students

representing categories of high, medium and low to uncover information or data that is not

revealed by the test.The results of this study found that behaviors of students demonstrated

in solving word problems, among others, 1) DTA-Proficient; 2) DTA-Not Proficient; 3)

DTA-Limited of Context (without in justification); 4) DTA-Limited Context (with

justification), and 5) MBA-Full Context. Mistakes made over many came from students

with behavior DTA (Direct Translation Approach) or direct approach, only a few students

who make mistakes in the behavior of the MBA (Meaning Based Approach) or meaningful

approach. Mistakes made by students in solving mathematical word problems by Newman

error analysis contained in the comprehension and transformation stages, two categories of

these errors occur due to the inability of the student to understand the problem and

determine the information of the problem and unable to interpret the problem in question.

In addition, the mistakes made by the students are at the stage of encoding, this error occurs

because students can not write the final answer to the question on the relevant matter. This

error is the result of a mistake at this stage of comprehension.

Keywords: error, behaviour, word problem, Newman Error Analysis

Pemecahan masalah dalam matematika sekolah biasanya diwujudkan melalui soal

cerita.Dalam penyelesaian soal cerita siswa dituntut untuk dapat memahami konteks

permasalahan yang diberikan, menemukan metode penyelesaian, dan menafsirkan kembali

selesaian yang diperoleh.Pemecahan masalah dan penalaran menjadi salah satu fokus utama

dalam pembelajaran matematika sekolah (NCTM). Selain itu, dalam Permendikbud No. 65

Tahun 2013 tentang Standar Proses disebutkan bahwa untuk mendorong kemampuan peserta

didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat

disarankan menggunakan pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian mengenai tujuan pembelajaran matematika menurut kurikulum

2013 dan NCTM di atas, nampak bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan

kemampuan yang penting untuk dikembangkan oleh siswa dalam belajar matematika. Namun

fakta di lapangan belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa hasil pembelajaran matematika di Indonesia dalam aspek pemecahan

masalah matematis masih rendah.

Marsudi (2008:1) mengatakan bahwa lebih dari 50% guru menyatakan bahwa sebagian

besar siswa mengalami kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita.Penyebabnya adalah

kurangnya keterampilan siswa dalam menerjemahkan kalimat sehari-hari ke dalam kalimat

matematika.Otilia (2010: 7) mengatakan bahwa kompleksitas bahasa memiliki pengaruh

signifikan terhadap persepsi siswa tentang kesalahan dalam menyelesaikan soal cerita yang

terkait dengan pemahaman teks.Oleh karena itu, penyajian soal cerita dirasa merupakan hal

yang perlu diperhatikan. Saat ini dikembangkan media gambar dan komik pembelajaran

matematika untuk meningkatkan pemahaman bentuk soal cerita. Hasil observasi di MTs Darul

Huda Pasuruan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa melakukan kesalahan ketika

menyelesaikan soal cerita matematika khususnya pada materi perbandingan. Kesalahan yang

dilakukan siswa berupa penulisan langsung jawaban tanpa disertai penulisan mengenai apa yang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

313

dikatahui dan apa yang ditanyakan pada soal cerita dan kurangnya pemahaman siswa mengenai

kalimat-kalimat matematika yang ada pada soal cerita. Kesalahan lain juga terjadi pada saat

menentukan metode yang digunakan. Berikut adalah satu jawaban siswa yang menunjukkan

adanya kesalahan dalam menuliskan apa yang ditanyakan dalam soal yang diberikan pada saat

observasi.

Gambar 1. Kesalahan siswa dalam mengaitkan informasi yang diketahui dan ditanyakan dalam

soal yang berbentuk komik

Siswa tersebut melakukan kesalahan dalam mengaitkan apa yang diketahui dan apa

yang ditanyakan, sehingga dalam perhitungan ia melakukan kesalahan. Kesalahan ini

disebabkan karena siswa tersebut tidak memiliki pemahaman secara menyeluruh terhadap soal.

Dalam menyelesaikan masalah soal cerita, karakteristik perilakuyang ditunjukkan setiap

siswadalam menuliskan penyelesaian soal cerita berbeda dengan siswa yang lain. Karakteristik

perilaku yang ditemukan oleh Pape (2004) yaitu Direct Translation Approach – Proficient

(DTA-Proficient), Direct Translation Approach– Not Proficient (DTA– Not Proficient), Direct

Translation Approach– Limited Context (DTA– LimitedContext), Meaning– Based Approach-

Full Context (MBA – Full Context) dan Meaning-Based Approach - Justification (MBA-

Justification).Salah satu metodeyangdigunakan untuk menganalisa kesalahan tersebut adalah

dengan menggunakan analisis kesalahan Newman (Muksar, dkk., 2009).

Metode analisis kesalahan Newman diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977 oleh

Anne Newman, seorang guru bidang studi matematika di Australia. Dalam metode ini, dia

menyarankan lima kegiatan yang spesifik sebagai suatu yang sangat krusial untuk membantu

menemukan di mana kesalahan yang terjadi pada pekerjaan siswa ketika menyelesaikan suatu

masalah berbentuk soal cerita. Parakitipong dan Nakamura (2006) membagi lima tahapan

analisis kesalahan Newman menjadi dua kelompok kesalahan yang dialami siswa dalam

menyelesaikan masalah. Kesalahan pertama adalah masalah dalam kelancaran linguistik dan

pemahaman konseptual yang sesuai dengan tingkat membaca sederhana dan memahami makna

masalah.Kesalahan ini dikaitkan dengan tahapan membaca (reading) dan memahami

(comprehension) makna suatu permasalahan.Kesalahan kedua adalah masalah dalam

pengolahan matematika yang terdiri dari transformasi (transformation), keterampilan proses

(process skill), dan penulisan jawaban (encoding).

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan

mengklasifikasi kesalahan dan perilaku yang dilakukan siswa dalam pemecahan masalah soal

cerita perbandingan baik yang disajikan dalam bentuk teks, teks dan gambar maupun komik .

METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang dilakukan

adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di MTs Darul Huda Pasuruan pada tanggal 30 Mei

2014 s.d. 5 Juni 2014. Prosedurpenelitianyang dilakukan adalah1)Observasi, Peneliti melakukan

observasi dengancara melakukan pengamatan dan wawancara dengan dengan siswadanguru

berkaitan dengan kesalahan pemahaman materi 2) Pemberian soal tes.

3)Penelitimengidentifikasi temuan dan menganalisis perilaku-perilaku pemecahan masalah serta

kesalahan yang dilakukan ketika siswamenyelesaikan testersebut. 4) Wawancara, peneliti

memilih dua siswa yang mewakili kategori kemampuan tinggi, sedang dan rendah untuk

diwawancaraisesuai metode AnalisisKesalahan Newman.5)Penyusunan laporan, setelah

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

314

memperoleh data yang dibutuhkan, peneliti menyusun laporan yang terdiri dari paparan data,

hasil temuan, pembahasan, serta menulis kesimpulan dan saran sebagai penutup laporan.

Sumber data penelitian iniadalah siswa yang telah mempelajari materi perbandingan.

Subyek penelitian dipilih dari siswa kelas VII C MTs Darul Huda Pasuruan yang terdiri dari

enam siswa yang terbagi dalam dua siswa kategori tinggi, dua siswa kategori sedang, dan dua

siswa kategori rendah.

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan soal tes kepada

masing-masing subjek untuk diselesaikan secara individu. Data yang diperoleh pada penelitian

ini berupa lembar jawaban siswa dan hasil wawancara. Data berupa lembar jawaban siswa

digunakan untuk menentukan siswa yang akan diwawancarai. Data yang diperoleh dari hasil

wawancara digunakan untuk mengidentifikasi bentuk kesalahan yang dilakukan siswa dalam

menyelesaikan soal cerita menurut tahapan analisis kesalahan Newman yaitu reading,

comprehension, transformation, process skill, dan encoding.

Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah peneliti,

lembar soal tes, dan pedoman wawancara. Soal tes dalam penelitian ini berbentuk soal cerita

yang berkaitan dengan perbandingan, soal tes terdiri dari tiga nomor soal. Satu soal disajikan

dalam bentuk teks, satu soal dalam bentuk teks dan gambar, dan satu soal disajikan dalam

bentuk komik. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data berupa kata-kata yang

merupakan ungkapan secara lisan tentang kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam

memahami soal cerita matematika.Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara terstruktur yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada kelima

tahapan Analisis Kesalahan Newman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Perilaku yang Dilakukan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita

Perilaku siswa pada saat menyelesaikan soal cerita antara siswa yang berkemampuan

tinggi, berkemampuan sedang, dan berkemampuan rendah berbeda-beda. Perbedaan yang

paling terlihat adalah pada tahap comprehension, transformation, dan process skill. Siswa yang

berkemampuan tinggi dapat memahami soal dengan indikasi dapat menuliskan kembali soal

dalam bahasa mereka sendiri serta menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan

dengan lengkap. Dan juga dapat memilih metode serta melakukan perhitungan matematis

dengan benar, walaupun terkadang tidak disertai dengan alasan pada setiap langkah

penyelesaiannya

.

Gambar 2. Jawaban S2 (Subjek Berkemampuan Tinggi) dalam tahap Comprehension

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

315

Gambar 3. Jawaban S2 (Subjek Berkemampuan Tinggi) dalam tahap Transformation dan Process

Skill

Siswa yang berkemampuan sedang, saat memilih metode penyelesaian mengalami

keraguan terutama pada soal kategori sulit.Dalam perhitungan matematisnya, kadang juga

mengalami kesulitan.Siswa yang berkemampuan sedang, cenderung tidak teliti dalam

perhitungan matematis.

Gambar 4. Jawaban S4 (Subjek Berkemampuan Sedang)

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

316

Gambar 5. Jawaban S3 (Subjek Berkemampuan Sedang)

Jawaban pada Gambar 4 dan Gambar 5 merupakan jawaban dari soal berbentuk teks

dengan kategori “sulit”. Berikut transkrip wawancara antara peneliti dengan S4.

P : “Mengapa kamu menuliskan empat metode?”

S4 : “Karena semua metode itu bisa digunakan untuk menyelesaikan soal ini.”

P : “Apakah keempatnya kamu gunakan bersamaan?”

S4 : “Tidak, pertama saya gunakan perbandingan dulu kemudian pengurangan.”

P : “Terus yang perkalian sama pembagian kapan digunakan?”

S4 : “Mungkin bisa tapi saya belum mencobanya.”

Pada tahapan process skill, S4 menggunakan perbandingan dalam menyelesaikan soal,

walaupun pada tahapan transformation S4 menuliskan beberapa metode. S4 menuliskan

prosedur penyelesaian soal secara langsung dan tidak menuliskan penjelasan pada langkah-

langkah penyelesaiannya, S4 juga tidak menuliskan hal apa yang diwakili oleh variabel x. S4

juga melakukan kesalahan yaitu pada dua langkah penyelesaian terakhir. S4 menuliskan

𝑥 = 249 = 249− 9 = 240.

P : “Menurutmu, apakah jawabanmu sudah benar?”

S4 : “Iya.”

P : “Apakah 249 = 249− 9?”

S4 : “Oh tidak, maksud saya setelah menggunakan perbandingan dan ketemu nilai 249,

kemudian dikurangkan dengan 9 kardus yang sudah ada.”

P : “Bagaimana kamu bisa menggunakan cara ini, padahal tadi kamu tidak mengerti arti

kata untuk setiap?”

S4 : “Dikira-kira saja Bu, dikaitkan sama kalimatnya.”

S3 terlihat ragu dalam memilih metode yang digunakan.Hal ini ditandai dengan adanya

beberapa hal yang sudah dia tuliskan, tetapi dihapus dan mengganti dengan kata “perbandian”.

Padahal pada jawaban yang dihapus oleh S3, terlihat dia menuliskan perbandingan jumlah siswa

dan beberapa bilangan 7, 3,dan 9 serta variabel ?. Namun, disini peneliti menduga bahwa

metode yang dipilih S3 adalah perbandingan. Dalam perhitungan, S3 tidak menggunakan

konsep perbandingan, walaupun pada tahapan sebelumnya, S3 menuliskan perbandingan

sebagai metode. S3 langsung melakukan perhitungan bilangan-bilangan tanpa ada prosedur

yang berarti.S3 juga tidak memberikan penjelasan pada prosedur yang telah dilakukannya.

Namun, S3 memberikan tanda “/ ” pada bilangan 240 yang mewakili jawaban soal. Berikut hasil

wawancara peneliti dengan S3 terkait hal ini.

P : “Menurutmu, apakah jawabanmu sudah benar?”

S3 : “Iya.”

P : “Apakah 581: 7 sama dengan 83 × 3?”

S3 : “Oh tidak, 581: 7 = 83terus 83 × 3 = 249, terus 249− 9 = 240.”

P : “Tapi itu semua dihubungkan dengan tanda “=” lho, maksudnya bagaimana itu?”

S3 : “Ya seperti yang saya jelaskan tadi, mungkin seharusnya gak pakai tanda “=”.”

P : “Ehm...kamu dapat cara itu darimana?”

S3 : “Menggunakan perbandingan.”

P : “Apa yang dibandingkan?”

S3 : “banyak kardus sama banyak siswa.”

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

317

Sedangkan siswa yang berkemampuan rendah, tidak dapat atau kadang ragu dalam

memilih metode serta dalam perhitungan matematis banyak melakukan kesalahan, sehingga

kebanyakan siswa berkemampuan rendah tidak dapat memperoleh jawaban penyelesaian dari

masing-masing soal.

Gambar 6. Jawaban S6 (Subjek Berkemampuan Rendah) dalam Tahap Transformation pada Soal

yang Berbentuk Komik

Gambar 7. Jawaban S6 (Subjek Berkemampuan Rendah) dalam Tahap Transformation pada Soal

yang Berbentuk Teks & Gambar

Gambar 8. Jawaban S6 (Subjek Berkemampuan Rendah) dalam Tahap Transformation pada Soal

yang Berbentuk Teks

Temuan yang didapat peneliti setelah mewawancarai subjek berkemampuan rendah

adalah kesalahan yang dilakukan subjek berkemampuan rendah dalam tahap transformation dan

process skill dikarenakan mereka tidak mengetahui perbedaan antara metode dan prosedur

perhitungan matematis. Hal ini juga disebabkan kebiasaan untuk melakukan perhitungan

langsung ketika siswa diminta menyelesaikan soal cerita.

Kesalahan yang Dilakukan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita

Proses pemecahan masalah memiliki banyak faktor yang mendukung siswa untuk

mendapatkan jawaban yang tepat. Penelitian oleh Prakitipong dan Nakamura pada tahun 2006

menemukan rintangan yang menghalangi siswa untuk mendapatkan jawaban yang tepat, yaitu:

1) Masalah dalam kemahiran berbahasa dan pemahaman konseptual yang

berkorespondensi dengan bacaan ringan dan pemahaman makna soal

2) Masalah dalam proses pematematikaan yang terdiri dari transformasi, keahlian

proses dan menuliskan jawaban akhir

Klasifikasi ini mengimplikasikan bahwa siswa harus dapat menafsirkan masalah dalam soal ke

dalam proses matematika untuk mendapatkan jawaban yang tepat.Anne Newman (dalam White,

2005) menyatakan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah matematika dalam bentuk soal

cerita, siswa memerlukan lima tahap keterampilan, yaitu reading, comprehension,

transformation, process skill, dan encoding. Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan

subjek penelitian dalam menyelesaikan soal cerita perbandingan.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

318

Gambar 9. Kesalahan Siswa dalam Tahap Comprehension pada Soal yang Berbentuk Teks

Gambar 10. Kesalahan Siswa dalam Tahap Comprehension pada Soal yang Berbentuk Teks &

Gambar

Gambar 11. Kesalahan Siswa dalam Tahap Comprehension pada Soal yang Berbentuk Teks &

Gambar

Gambar 12. Kesalahan Siswa dalam Tahap Process Skill pada Soal yang Berbentuk Komik

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

319

Gambar 13. Kesalahan Siswa dalam Tahap Encoding

Dari hasil paparan data dan temuan penelitian, maka kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa

kelas VII C MTs Darul Huda Pasuruan dalam menyelesaikan soal cerita disajikan dalam Tabel

2berikut.

Tabel 2.Kesalahan-Kesalahan yang Dilakukan Masing-Masing Subjek

Subjek Soal Nomor 3

(Disajikan dalam bentuk

Komik)

Soal Nomor 2

(Disajikan dalam bentuk

Teks & Gambar)

Soal Nomor 1

(Disajikan dalam bentuk

Teks)

S1 Menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dan

apa yang diketahui dalam

soal

Menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri

Menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri

S2 Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

Menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian

soal dalam kalimat

matematika

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

S3 menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dalam

soal

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam

menelaah apa yang

ditanyakan dalam soal

Menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian

soal dalam kalimat

matematika

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dalam

soal

S4 pengerjaan prosedur dan

perhitungan matematika

untuk mendapatkan

jawaban yang lengkap

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri

dan kesalahan dalam

menelaah apa yang

diketahui dalam soal

Menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian

soal dalam kalimat

matematika

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dalam

soal

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

S5 memilih metode yang

digunakan untuk

menyelesaikan soal

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri

memilih metode yang

digunakan untuk

menyelesaikan soal

Menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian

soal dalam kalimat

matematika

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dalam

soal

memilih metode yang

digunakan untuk

menyelesaikan soal

pengerjaan prosedur dan

perhitungan matematika

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

320

untuk mendapatkan

jawaban yang lengkap

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

S6 menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dalam

soal

memilih metode yang

digunakan untuk

menyelesaikan soal

pengerjaan prosedur dan

perhitungan matematika

untuk mendapatkan

jawaban yang lengkap

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

mengartikan kata-kata

yang dianggap sulit dan

kesalahan dalam

menemukan dan

mengartikan istilah-

istilah matematika yang

terdapat dalam soal

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri

dan kesalahan dalam

menelaah apa yang

diketahui dan ditanyakan

dalam soal

memilih metode yang

digunakan untuk

menyelesaikan soal

pengerjaan prosedur dan

perhitungan matematika

untuk mendapatkan

jawaban yang lengkap

Menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian

soal dalam kalimat

matematika

menuliskan kembali soal

dengan bahasa sendiri dan

kesalahan dalam menelaah

apa yang ditanyakan dalam

soal

memilih metode yang

digunakan untuk

menyelesaikan soal

pengerjaan prosedur dan

perhitungan matematika

untuk mendapatkan

jawaban yang lengkap

Menuliskan jawaban akhir

dari penyelesaian soal

dalam kalimat matematika

Kesalahan-kesalahan siswa pada saat menyelesaikan soal cerita antara siswa yang

berkemampuan tinggi, berkemampuan sedang, dan berkemampuan rendah berbeda-beda.

Kesalahan ini juga disebabkan oleh penyajian soal cerita yang berbeda

PEMBAHASAN

Kesalahan-kesalahan yang terjadi ketika siswa menyelesaikan soal matematika bentuk

cerita memang sering terjadi, hal ini dikarenakan soal berbentuk cerita memang mempunyai

tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada soal matematika dengan kata-kata yang minimal

sesuai dengan penelitian Threadgill-Sowder & Sowder pada tahun 1982 (dalam Craig: 3) yang

membandingkan level kesulitan dari soal dalam bentuk cerita dengan bentuk diagram dan yang

hanya menggunakan sedikit kata-kata. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa soal yang

disajikan dalam bentuk diagram secara signifikan lebih mudah dibandingkan dalam bentuk

cerita. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa ini juga dapat diakibatkan ketidakmampuan

siswa untuk mengkodekan kata-kata yang digunakan dalam soal cerita, tidak dapat memahami

kalimat, tidak dapat memahami beberapa kata-kata dan juga tidak mempunyai kepercayaan diri

atau kemampuan untuk berkonsentrasi ketika membaca soal (Cummins: 1988).

Kesalahan Siswa pada Saat Menyelesaikan Soal Cerita Berbentuk Teks

Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks, kesalahan yang umum terjadi adalah

kesalahan dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan dalam menelaah

apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Banyaknya kesalahan yang terjadi tahap

comprehension karena kemampuan membaca yang kurang. Padahal ketrampilan membaca soal

menjadi faktor penting dalam menyelesaikan soal cerita. Karena kesalahan ini siswa menjadi

tidak memahami masalah dari soal sehingga tidak dapat mentransformasikan masalah ke dalam

rencana metode penyelesaian (transformation). Sehingga juga mengakibatkan adanya kesalahan

dalam melakukan prosedur perhitungan matematis (process skill), yang pada akhirnya

menyebabkan adanya kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir soal (encoding).

Dalam penelitian ini, siswa dengan kategori kemampuan rendah melakukan kesalahan

pada tahap comprehension yang berakibat adanya kesalahan pada tiga tahap berikutnya.

Sedangkan siswa dengan kategori kemampuan tinggi dan sedang, walaupun melakukan

kesalahan pada tahap comprehension, mereka tidak melakukan kesalahan pada seluruh tahap-

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

321

tahap selanjutnya. Kesalahan ini tidak mempengaruhi tahap transformation dan process skill.

Namun, kesalahan ini mengakibatkan adanya kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir

(encoding). Siswa juga masih banyak yang menuliskan jawaban akhir secara singkat dan belum

dapat merepresentasikan informasi yang ditanyakan dalam soal secara keseluruhan.

Kesalahan Siswa pada Saat Menyelesaikan Soal Cerita Berbentuk Teks dan Gambar

Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks dan gambar, kesalahan yang umum terjadi

adalah kesalahan dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan dalam

menelaah apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Padahal menurut Nuryasni (2013)

manfaat gambar dalam proses instruksional sebagai alat untuk menyampaikan dan menjelaskan

informasi, pesan dan ide tanpa banyak menggunakan bahasa verbal, tetapi dapat lebih

memberikan kesan. Pada siswa dengan kategori kemampuan tinggi dan sedang, kesalahan pada

tahap comprehension ini tidak berpengaruh terhadap tahap transformation dan process skill.

Namun, kesalahan ini menyebabkan kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir (encoding).

Sedangkan pada siswa dengan kategori kemampuan rendah, kesalahan ini berpengaruh terhadap

3 tahap berikutnya. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan kategori rendah ini

dikarenakan siswa kurang memahami maksud atau makna soal serta tidak memperhatikan

ilustrasi gambar yang diberikan. Dalam hal ini struktur kalimat serta ilustrasi gambar dalam soal

cerita berpengaruh terhadap pemahaman siswa dengan masalah yang harus dipecahkan.

Menurut Haghverdi (2012) kemampuan memahami kata, kalimat serta ilustrasi gambar

merupakan proses penyampaian pesan visual yang sangat penting untuk mengetahui masalah

yang harus dipecahkan. Kemampuan ini merupakan kemampuan awal yang harus dikuasai oleh

pemecah masalah.

Kesalahan Siswa pada Saat Menyelesaikan Soal Cerita Berbentuk Komik

Pada soal yang disajikan dalam bentuk komik, 3 subjek penelitian tidak melakukan

kesalahan pada bagian 2 (comprehension). Namun, mereka melakukan kesalahan pada bagian

transformation, process skill, dan encoding. Sedangkan 2 subjek penelitian yang lain, walaupun

melakukan kesalahan pada bagian 2, comprehension, tidak mengakibatkan kesalahan pada tiga

tahap berikutnya. Kesalahan yang terjadi pada tahap ini karena kurang lengkapnya siswa dalam

menuliskan informasi pada soal. Demikian juga menuliskan apa yang ditanyakan kadang juga

kurang lengkap. Sifat kurang teliti dan hati-hati menjadi penyebab kesalahan ini.Padahal

sebenarnya mereka dapat memahami maksud soal dengan baik.

Selain itu, juga terdapat 1 subjek penelitian yang tidak melakukan kesalahan pada tahap

comprehension, transformation, process skill, dan encoding, tetapi justru melakukan kesalahan

pada tahap encoding.Kesalahan ini disebabkan belum terbiasanya siswa dalam menuliskan

jawaban akhir.Dalam tahap reading, hampir semua siswa yang melakukan wawancara sudah

dapat membaca soal dengan lancar serta tidak terjadi kesalahan pengucapan.Hal ini sesuai

dengan pendapat Novianti (2010: 76) yang mengatakan bahwa media komik pembelajaran

matematika mampu meningkatkan pemahaman soal cerita karena pemakaian bahasa yang

mudah dipahami, kesinambungan antara pelafalan kalimat dengan ilustrasi gambar dengan

konsep sederhana namun jelas dari segi visualnya.Sedangkan dalam menemukan kata-kata sulit

siswa tidak menyebutkannya karena tidak sedikit siswa yang menganggap tidak ada kata sulit

pada soal.

Perilaku Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita

Perilaku pemecahan masalah yang ditunjukkan oleh siswa dalam penelitian ini ketika

mengerjakan tes soal cerita dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori DTA (Direct Translation

Approach) dan MBA (Meaning Based Approach) dimana dari kedua kategori tersebut masih

dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu DTA-Proficient, DTA-Not Proficient, DTA Limited Context.

Sedangkan untuk kategori MBA hanya muncul satu jenis yaitu MBA-Full Context.Perilaku siswa

secara umum yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Perilaku Siswa Berdasarkan Kategori Pape

Siswa Soal Nomor 1

(Sulit dan disajikan dalam

Bentuk Teks)

Soal Nomor 2

(Sedang dan disajikan

dalam Bentuk Teks dan

Gambar)

Soal Nomor 3

(Mudah dan disajikan

dalam Bentuk Komik)

S1 MBA-Full Context

tapi menggunakan informasi

konteks masalah dalam

MBA-Full Context

tapi menggunakan informasi

konteks masalah dalam

Cenderung pada MBA-Full

Context

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

322

menemukan metode menemukan metode

S2 MBA-Full Context

tapi tidak menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian soal

MBA-Full Context

tapi tidak ada penjelasan

ataupun justifikasi dalam

proses perhitungan

MBA-Full Context

tapi tidak menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian soal

S3 DTA-Proficient

tapi menuliskan informasi dan

metode penyelesaian

DTA-Limited Context

Tapi menggunakan konteks

masalah dalam perhitungan

DTA-Proficient

tapi menuliskan informasi dan

metode penyelesaian

S4 DTA-Limited Context

Tapi menuliskan penjelasan

walaupun terbatas

DTA-Limited Context

Tapi menuliskan penjelasan

walaupun terbatas

DTA-Limited Context

tapi tidak menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian soal

S5 DTA-Not Proficient

Tapi menggunakan konteks

masalah dalam perhitungan

DTA-Proficient

Tapi menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian soal

DTA-Proficient

Tapi menuliskan jawaban

akhir dari penyelesaian soal

S6 DTA-Not Proficient

Tapi menggunakan konteks

masalah dalam perhitungan

DTA-Not Proficient DTA-Proficient

Tapi ada penjelasan dalam

perhitungan matematisnya

Berdasarkan Tabel1 terlihat bahwa pada soal no. 1 yang merupakan soal kategori sulit,

semua subjek berkemampuan tinggi menunjukkan perilaku cenderung ke MBA-Full Context,

walaupun ada beberapa indikator yang tidak terdapat pada kategori ini. Sedangkan subjek

berkemampuan sedang dan rendah menunjukkan perilaku DTA-Limited Context dan DTA-Not

Proficient.Sedangkan pada soal no. 2 dan soal no.3, perilaku yang ditunjukkan subjek

bervariasi.

Dari perilaku yang ditunjukkan subjek saat menyelesaikan soal cerita berdasarkan

perilaku pemecahan Pape, ada beberapa perilaku yang tidak memuat semua indikator, namun

terdapat keterkaitan dengan empat kategori yang ditemukan.Kemampuan siswa yang berbeda

ternyata sedikit membedakan kemampuan mereka saat menyelesaikan soal cerita.Siswa

berkemampuan tinggi juga tidak selalu dapat menyelesaikan soal cerita dengan benar, tetapi

mereka lebih sering dapat memahami maksud soal, memilih metode serta melakukan

perhitungan.Demikian juga dengan siswa berkemampuan sedang dan rendah tidak selalu dapat

menyelesaikan soal cerita dengan benar dalam hal memahami maksud soal dan melakukan

perhitungan, terlebih soal dengan kategori sulit.

Perilaku yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal cerita, baik soal yang

disajikan dalam bentuk teks, teks dan gambar, maupun komik bervariasi. Perilaku siswa

berkemampuan tinggi cenderung pada kategori MBA-Full Context, sedangkan siswa

berkemampuan sedang dan rendah cenderung pada kategori DTA dengan subkategori yang

bervariasi. Dari klasifikasi secara umum di atas, menunjukkan bahwa perilaku siswa kelas VII-

C MTs Darul Huda Pasuruan dalam memecahkan masalah soal cerita hanya terdapat dalam 4

kategori Pape, yaitu DTA-Proficient, DTA-Not Proficient, DTA-Limited Context, dan MBA-Full

Context. Dan indikator pada setiap kategori Pape tersebut juga tidak semua terpenuhi.Namun,

untuk kategori Pape, yaitu MBA-Justification tidak ada satu pun siswa yang termasuk dalam

kategori ini karena tidak ada yang memenuhi indikatornya.Padahal siswa dapat dikatakan

memiliki perilaku terbaik jika memenuhi semua indikator pada kategori MBA-

Justification.Akan tetapi tidak semua perilaku siswa terdapat dalam kategori Pape, karena ada

temuan perilaku yaitu DTA-Limited Context (with Justification).

KESIMPULAN DAN SARAN

Klasifikasi kesalahan siswa dalam memecahkan soal cerita matematika yang ditemukan

dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Pada soal yang disajikan dalam bentuk komik, secara umum kesalahan yang dilakukan

siswa adalah pada bagian transformation, process skill, dan encoding. Kesalahan pada

tahap encoding disebabkan belum terbiasanya siswa dalam menuliskan jawaban akhir.

Selain itu, juga terdapat kesalahan comprehension, yang meliputi kesalahan menuliskan

informasi pada soal yang kurang lengkap. Namun pada soal yang disajikan dalam bentuk

komik, kesalahan ini tidak mengakibatkan kesalahan pada tiga tahap berikutnya.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

323

Sedangkan dalam menemukan kata-kata sulit siswa tidak menyebutkannya karena tidak

sedikit siswa yang menganggap tidak ada kata sulit pada soal.

2. Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks dan gambar, kesalahan yang umum terjadi

adalah kesalahan dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan

dalam menelaah apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Pada siswa dengan

kategori kemampuan tinggi dan sedang, kesalahan pada tahap comprehension ini tidak

berpengaruh terhadap tahap transformation dan process skill. Namun, kesalahan ini

menyebabkan kesalahan dalam menuliskan jawaban akhir (encoding). Sedangkan pada

siswa dengan kategori kemampuan rendah, kesalahan ini berpengaruh terhadap 3 tahap

berikutnya. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan kategori rendah ini dikarenakan

siswa kurang memahami maksud atau makna soal serta tidak memperhatikan ilustrasi

gambar yang diberikan. Dalam hal ini struktur kalimat serta ilustrasi gambar dalam soal

cerita berpengaruh terhadap pemahaman siswa dengan masalah yang harus dipecahkan.

3. Pada soal yang disajikan dalam bentuk teks, kesalahan yang umum terjadi adalah kesalahan

dalam menuliskan kembali soal dengan bahasa sendiri serta kesalahan dalam menelaah apa

yang diketahui dan ditanyakan dalam soal. Banyaknya kesalahan yang terjadi tahap

comprehension karena kemampuan membaca yang kurang. Karena kesalahan ini siswa

menjadi tidak memahami masalah dari soal sehingga tidak dapat mentransformasikan

masalah ke dalam rencana metode penyelesaian (transformation). Sehingga juga

mengakibatkan adanya kesalahan dalam melakukan prosedur perhitungan matematis

(process skill), yang pada akhirnya menyebabkan adanya kesalahan dalam menuliskan

jawaban akhir soal (encoding). Siswa juga masih banyak yang menuliskan jawaban akhir

secara singkat dan belum dapat merepresentasikan informasi yang ditanyakan dalam soal

secara keseluruhan.

Adapun klasifikasi perilaku siswa dalam memecahkan soal cerita matematika baik yang

disajikan dalam bentuk teks, teks dan gambar, maupun komik yang ditemukan dalam penelitian

ini adalah:MBA-Full Context, DTA-Limited Context (without Justification), *DTA-Limited

Context (with Justification), DTA-Proficient, DTA-Not Proficient

Guru diharapkan tidak menghindari soal-soal dalam bentuk cerita dalam pembelajaran,

karena soal dalam bentuk cerita dibutuhkan oleh siswa untuk mengasah kemampuan

pemahaman dan intuisi dalam memecahkan masalah. Selain itu, guru sebaiknya mengamati

bagaimana siswa menyelesaikan masalah, dari tahap reading, comprehension, transformation,

process skill, dan encoding, untuk mengetahui bahwa siswa benar-benar memahami setiap soal

sehingga siswa teliti dalam menuliskan informasi soal. Sebaiknya pada saat menuliskan metode

penyelesaian, siswa diminta untuk memberikan alasan agar siswa benar-benar mengerti bahwa

metode yang digunakan benar.

DAFTAR RUJUKAN

Craig, Tracy. 2000. Factors Affecting Students’ Perceptions of Difficulty in Calculus Word

Problems.University of Cape Town. South Africa

Cummins, D.D., Kintsch.W. 1988. The Role of Understanding in Solving Word Problems.

Cognitive Psychology

Marsudi, Rahardjo. 2008. Pembelajaran Soal Cerita Berkait Penjumlahan dan Pengurangan di

SD. Yogyakarta: P4TK

Muksar, dkk.2009. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris dan Hasil Belajar Matematika

Dasar 1 Mahasiswa Bilingual melalui Penerapan Metode Analisis Kesalahan

Newman.Penelitian tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM

Newman, M. A. 1977. An Analysis of Sixth-Grade Pupil’s Error on Written Mathematical

Tasks.Victoria Institute for Educational Research Bulletin

Nuryasni. 2013. Penggunaan Media Gambar dalam Penyajian Soal Cerita Matematika di Kelas I

MIN Gunung Pangilun Padang. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan ( Vol 13 No 1)

Otilia, C.Barbu. 2010. Effects of Linguistic Complexity and Math Difficulty on Word Problem

Solving by English Learner. International Journal of Education( Vol. 2, No. 2: E6)

Pape, J. Steven. 2004. Middle School Children’s Problem Solving Behavior: A Cognitive

Analysis from a Reading Comprehension Perspective. Journal of Mathematics Teacher

Education (Vol 35 No 3: 187-219)

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

324

Prakitipong, Natcha & Nakamura, Satoshi. 2006. Analysis of Mathematics Performance

of Grade Five Students in Thailand Using Newman Procedure. CICE Hiroshima

University, Journal of International Cooperation in Education (Vol. 9)

White, Allan. 2005. Active Mathematics in Classrooms: Finding out why children make

mistakes-and doing something to help them. University of Western: Sidney.

PENERAPAN STRATEGI INKUIRI BERBANTUAN MEDIA

MANIPULATIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

MATEMATIKA PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR

KELAS VIII A MTS AR-RUSYDINY NW SEGAET

Samsuriadi, Akbar Sutawijdjaja, dan I Nengah Parta

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected]

Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan penerapan strategi inkuiri berbantuan media

manipulatif yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang sisi

datar kelas VIIIA di MTS Ar-Rusydiny NW Segaet Lombok Timur. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan

kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan pada siklus I persentase skor tes hasil belajar

matematika siswa sebesar 72,72% dan aktivitas siswa berada pada katagori cukupdengan

persentase 78,64%,aktivitas guru 82,05% sedangkan pada siklus IIpersentase skor tes hasil

belajar siswa sebesar 86,36% dan aktivitas belajar siswa sebesar 90,23%,aktivitas guru

92,95% . Dengan demikian pesrsentase skor tes hasil belajar matematika siswa mengalami

kemajuan sebesar 13,64% dan aktivitas belajar siswa mengalami kemajuan dari kategori

cukup ke kategori sangat baik, dengan persentase kemajuan sebesar 11,59%, aktivitas guru

mengalami kemajuan 10,09%

Kata kunci: Strategi Inkuiri, Media Manipulatif, Hasil Belajar Matematika

Belajar merupakan hal yang paling penting, mendasar dan tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia, karena belajar merupakan bagian dari keseluruhan proses pendidikan pada

semua jenjang pendidikan dan kegiatan belajar merupakan kegiatan yang memegang peranan

yang vital. Hamalik, (2001)berpendapat bahawa belajar adalah modifikasi atau memperteguh

kelakuan melalui pengalaman.Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu

kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih

luas dari itu, yakni mengalami. Lebih lanjut lagi, Hamalik, (2001) menyatakan bahwa belajar

bukan suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan. Jadi, merupakan

langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh untuk mencapai tujuan.

Menurut Soedjadi (2000) beberapa definisi tentang matematika yaitu: (a) matematika

adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, (b) matematika adalah

pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (c) matematika adalah pengetahuan tentang

penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan, (d) matematika adalah pengetahuan tentang

fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (e) matematika adalah

pengetahuan tentang struktur-struktur yang logis, dan (f) matematika adalah pengetahuan

tentang aturan-aturan yang ketat.

Budiningsih, (2005) Teori belajar konstrutivis mengakui bahwa siswa

menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan

pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Hal tersebut sesuai

dengan apa yang diungkapkan Hamalik, (2002) bahwa mengajar adalah menyampaikan

pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah, usaha mengorganisasi lingkungan

sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa, memberikan bimbingan belajar kepada murid.

Menurut Nur, (2001) ide pokok pembelajaran konstruktivisme adalah siswa secara aktif

membangun pengetahuan mereka sendiri. Hujono (1998: 7) lingkungan belajar yang (1)

menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

325

telah dimiliki siswa sehingga belajar merupakan proses pembentukkan pengetahuan,(2)

menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, (3) mengintegrasikan pembelajaran

dengan situasi realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman kongkret (4)

mengintegrasikan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya intraksi dan kerja sama antara

siswa, (5) memanfaatkan berbagai media agar pembelajaran lebih menarik, dan (6) melibatkan

siswa, secara emosional dan sosial sehingga matematika lebih menarik dan siswa mau belajar.

Keinginan untuk memperbaiki kondisi pendidikan terus dikembangkan seiring dengan

paradigma baru pendidikan yang lebih menekankan pada siswa sebagai manusia yang memiliki

potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan

pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus

mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan, tetapi menjadi

fasilitator yang membimbing siswa ke arah pengkonstruksian pengetahuan oleh diri mereka

sendiri.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu seorang guru MTs yaitu guru matematika

MTs Ar-Rusydiny NW Segaet, diperoleh informasi bahwa kenyataannya yang dihadapi guru

masih banyak hambatan belajar siswa dalam mempelajari kubus dan balok. Dalam

melaksanakan pembelajaran siswa hanya menerima secara pasif dan guru melaksanakan

pembelajaran di kelas masih menggunakan model konvensional yaitu guru berceramah di depan

kelas sedangkan siswa sebagai pendengar yang pasif. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap

hasil belajar siswa khususnya terhadap hasil belajar matematika. Siswa hanya menjadi

penghafal tetapi tidak mampu menyelesaikan masalah, karena siswa hanya memahami materi

yang diberikan guru dan siswa tidak dapat mengkontruksi pengetahuan sendiri. Siswa hanya

menghafal rumus-rumus yang diberikan oleh guru. Hal ini tentu saja bertentangan dengan

faham kontruktivis yang mengartikan belajar sebagai proses aktif siswa mengontruksi arti teks,

dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain.

Penelitian yang dilakukan peneliti untuk materi kubus dan balok adalah di dalam

kerangka paradigma baru pembelajaran yaitu dengan strategi inkuiri berbantuan maedia

manipulatif yang menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran di kelas siswa aktif dalam

belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain

dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hal itu patut menjadi perhatian, karena berpikir

yang baik adalah lebih penting daripada sekedar mempunyai jawaban yang benar atas suatu

persoalan yang dipelajari.

Menurut Trowbridge dan Bybee (1973: 210) menyatakan bahwa dalam pendekatan

inkuiri, pembelajaran lebih berpusat pada siswa. Proses belajar melalui inkuiri dapat

membentuk dan mengembangkan konsep dari diri siswa, tingkat pengharapan bertambah. Selain

itu, inkuiri dapat mengembangkan bakat, dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar dengan

menghafal, dan strategi inkuiri memberikan waktu pada siswa untuk mengasimilasi dan

mengakomodasi informasi. Pembelajaran inkuiri adalah strategi pembelajaran yang bertujuan

untuk memberikan cara bagi siswa untuk membangun kecakapan-kecakapan intelektual

(kecakapan berpikir) terkait dengan proses-proses berpikir reflektif. Jika berpikir menjadi

tujuan utama dari pendidikan, maka harus ditemukan cara-cara untuk membantu individu

untuk membangun.

Merrilyn Goos, (2004) menyimpulkantentang karakteristik inkuiri dalam pembelajaran

matematika sebagai berikut:(1). Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpartisipasi.

mengajukan bahwa proses ini dimulai dengan pemaparan/penjelasan guru tentang sifat-sifat

matematika dan seterusnya. Dari penjelasan tersebut, akan memberikan gambaran aktivitas

siswa dalam kegiatan belajar, dimana siswa akan berpartisipasi melalui praktek bertukar pikiran

dengan matematika. Siswa harus aktif, tidak sekedar pasif menerima apa saja yang diberikan

guru.(2) Investigasi, yaitu proses penyelidikan yang dilakukan siswa, dan selanjutnya siswa

tersebut mengkomunikasikan hasil perolehnya, dan dapat membandingkan dengan perolehan

siswa lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dalam

berivestigasi, siswa mempunyai kesempatan untuk menyalurkan ide yang mereka konstruksikan

dan pengalaman mereka sendiri baik secara individu (jika belajar klasik) atau kelompok (jika

belajar dalam grup) sebagai peserta aktif dalam mengkreasikan pengetahuan matematika dalam

diri siswa tersebut, dimana siswa diharapkan dapat membaca data secara akurat,

mengorganisasikan data secara logis dan bermakna, menyalurkan ide serta memperjelas hasil

penyildikan materi. (3). Konstruksi Pengetahuan, yaitu harus mengambil bagian sebelum

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

326

analisis dapat berfungsi secara efektif. Penting untuk disadari bahwa tidak semua kreasi (data)

yang di peroleh siswa itu valid. Selain membuat konjektur, siswa juga melakukan analisis dan

menyajikan hasilnya. Meskipun tidak lengkap atau tidak dapat di terima tafsiran penyelesaian

masalah dapat dijadikan sebagai proses dari aktivitas siswa di kelas dan diskusi.

Lebih lanjut, Nadia Stoyanova, (2009) Juga memberikan gambaran mengenai strategi

inkuiri. Nadia menyimpulkan bahwa dalam teori dan praktek Community Of Mathematical

Inquiry (CMI) memberikan gagasan pembelajaran dan pemikiran bahwa konstruksi pengetahuan

yang dilakukan siswa secara kalaboratif (kelompok) dalam bentuk diskusi, lebih baik

dibandingkan pengetahuan yang diperoleh secara individu. Dengan demikian, proses

pembelajaran di dalam Community Of Mathematical Inquiry (CMI) secara implisit di pahami

sebagai sebuah proses pengembangan strategi pembelajaran.Dalam proses konstruksi diperlukan

beberapa kemampuan siswa, yaitu kemampuan mengingat dan mengungkap kembali

pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan

perbedaan, serta lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.

Terdapat 3 (tiga) hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yakni:

(1) Konstruksi yang lama. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan yang lama (masa lampau)

dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan mendatang. Unsur-unsur yang

diabstraksikan dari pengalaman masa lampau, cara mengabstraksikan dan

mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang digunakan untuk mengerti sesuatu,

semuanya mempunyai pengaruh terhadap pembentukkan pengetahuan berikutnya.

(2) Dominan pengalaman. Pengalaman siswa yang terbatas dalam matematika akan sangat

membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan.

(3) Jaringan struktur kognitif, merupakan suatu sistem yang saling berkaitan konsep,

gagasan/ide, teori dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan

satu dengan yang lain.

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas siswa sekaligus prestasi

belajarnya dalam pembelajaran kubus dan balok. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk

mengadakan penelitian tindakan kelas dengan menerapkan judul:”Penerapan strategi inkuiri

berbantuan media manipulatif untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada materi bangun

ruang sisi datar kelas VIIIA MTs Ar-Rusydiny NW Segaet”

Adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: bagaimana penerapan strategi

inkuiri berbantuan media manipulatif yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi

bangun ruang sisi datar kelas VIIIA di MTS Ar-Rusydiny NW Segaet Lombok Timur.

Tujuan dari penelitian ini yaitu: mendeskripsikan penerapan strategi inkuiri berbantuan

media manipulitif yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang sisi

datar kelas VIIIA di MTS Ar-Rusydiny NW Segaet Lombok Timur.

Penelitian ini difokuskan pada aktivitas siswa. Pembelajaran dalam penelitian ini

membahas materi menyelesaikan kubus dan balok, menyelesaikandengan menggunakan strategi

inkuiri berbantuan media manipulatif

METODE PENELITIAN

Berdasarkan jenis datanya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif mempunyai karakteristik antara lain: (1) latar alamiah, (2) manusia sebagai alat

(instrumen), (3) analisis data secara induktif, (4) lebih mementingkan proses daripada hasil, dan

(5) desain yang bersifat sementara (Moleong, 2006: 8).

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Tujuan

dari penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan praktek

pembelajaran di kelas secara kesinambungan (Aqib, 2009:18). Pengambilan jenis penelitian ini

juga didasarkan pada alasan karena penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri selaku pengelola

kelas, serta perlu dilakukan tindakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: Hasil validasi Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar pengamatan aktivitas

guru dan siswa, lembar tes. Hasil pengamatan aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam

pembelajaran. Hasil tes pra tindakan dan tes setelah tindakan

Data penelitian dikumpulkan secara alamiah dari sumbernya. Sumber data dalam

penelitian ini adalah validator, guru, dan seluruh siswa kelas VIIIAMTsAr-Rusydiny NW

Segaet semester genap tahun ajaran 2014/2015 yang mengikuti pembelajaran kubus dan balok.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

327

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Data hasil validasi ini diperoleh dari validasi pakar terhadap instrumen pembelajaran yang telah

disusun oleh peneliti. Pakar yang dipilih adalah pakar yang berkompeten dibidangnya.

Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama proses pembelajaran

berlangsung. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas

siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan oleh guru matematika dan teman

sejawat. Data hasil tes yang akan dilakukan yaitu: tes awal dan tes akhir. Tes awal

dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa, untuk pembentukan kelompok dan

juga untuk mengetahui kemampuan awal siswa terkait dengan materi prasyarat. Tes akhir

dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan materi dan untuk mengetahui peningkatan

pemahaman siswa terhadap materi kubus dan balok setelah pembelajaran, selanjutnya dianalisis

guna malakukan refleksi pada tindakan selanjutnya. Catatan lapangan dimaksudkan untuk

melengkapi data yang tidak terekam dalam lembar observasi dan bersifat penting sehubungan

dengan kegiatan pembelajaran.

HASIL PENELITIAN Data penelitian ini menunjukkan bahwa hasil catatan lapangan yang dilakukan oleh 2

observer selama pembelajaran berlangsung dan analisis data yang dilakukan peneliti dari

pekerjaan siswa dalam mengerjakan tes, diperoleh persentase keberhasilan aktivitas siswa

sebagai berikut: Pengamatan dilakukan oleh obsever selama penelitian berlangsung.

Pengamatan diarahkan pada aktivitas siswa dan guru selama kegiatan pembelajaran

berlangsung, dimana kedua observer mengisi lembar observasi kegiatan siswa dan lembar

observasi aktivitas guru berdasarkan pengamatan masing-masing.Secara akumulatif hasil

pengamatan observer terhadap aktivitas siswa pada siklus I dari hasil pengamatan terhadap

aktivitas siswa dikategorikan cukup dengan persentase skor 78,18% hal ini menunjukkan bahwa

aktivitas yang dilakukan siswa pada siklus I perlu diperbaiki. sehingga mengalami kemajuan ke

kategori yang lebih baik.

Hasil tes belajar siswa diperoleh skor hasil tes akhir sebagai berikut: dari tes hasil akhir

belajar, diperoleh data bahwa dari 22 siswa, jumlah siswa yang memperoleh skor ≥ 70.

sebanyak 16 siswa dan tidak tuntas sebanyak 6 siswa dengan skor rata-rata hasil tes siswa

72,72%. Hal ini menunjukkan bahwa tes hasil belajar pada siklus I tidak tuntas karena

ketuntasan klasikal sebesar 85%.Dari persentase di atas, diperoleh informasi bahwa persentase

tes hasil belajar siswa pada siklus I belum memenuhi standar minimal 85% dari keseluruhan

siswa mendapatkan skor ≥ 70. Hal ini dapat disimpulan bahwa pada siklus I perlu dilakukan

perbaikan pada siklus selanjutnya. Karena hasil pengamatan observer menunjukkan persentase

aktivitas belajar siswa berada dalam kategori cukup yaitu 78,64% sedangkan aktivitas guru

82,05% dan skor hasil tes belajar hanya mencapai 72,72% sedangkan hasil belajar dikatakan

meningkat jika proses pembelajaran mengalami kemajuan sekurang-kurangnya 85% dari

keseluruhan siswa mendapatkan ≥ 70.

Hal itu perlu dilakukan refleksi, yang diharapkan untuk mengkaji suatu tindakan yang

telah dilakukan. Refleksi tindakan I dilakukan untuk menentukan apakah tindakan siklus I telah

berhasil atau tidak, setelah data-data terkumpul selanjutnya peneliti melakukan refleksi. Hasil

refleksi pada tindakan siklus I adalah sebagai berikut :

1) Pengaturan waktu yang lebih baik lagi sehingga proses pembelajaran tidak terkesan diburu

waktu yang sudah ditetapkan.

2) Siswa belum berani bertanya kepada guru jika ada masalah yang tidak dipahami.

3) Pemberian bimbingan pada saat diskusi harus lebih efektif demi efisiensi waktu dan

memotivasi siswa untuk lebih aktif .

4) Mengurangi peran peneliti sebagai pemberi bantuan, sehingga siswa lebih banyak

melakukan/mengalami sendiri.

5) Dalam menjelaskan dan menyelesaikan masalah harus dapat meningkatkan aktivitas siswa.

6) Mempertegas tatacara diskusi dan mendorong siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan

pembelajaran di kelas.

Dalam kegiatan pembelajaran pada siklus II yang telah dilaksanakan pada pertemuan I

dan pertemuan II menunjukkan bahwa hasil pengamatan aktivitas guru sangat baik, yaitu:

Setelah menganalisis data yang terkumpul, maka diperoleh data observer berupa hasil observasi

aktivitas siswa mengalami kemajuan, dimana persentase aktivitas siswa berada dalam kategori

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

328

sangat baik yaitu 90,23% sedangkan aktivitas guru 92,95% dan data dari hasil tes belajar

matematika siswa sebesar 86,36% memenuhi persentase 85% skor ≥ 70 jadi pada siklus II hasil

belajar mengalami kemajuan, karena sebelumnya pada siklus I aktivitas siswa berada pada

katagori cukup, sedang, pada siklus II berada pada katagori baik, dan persentase tes hasil belajar

siswa pada siklus sebesar 86,36%.

Peningkatan hasil belajar matematika siswa, ditunjukkan dengan persentase skor tes

hasil belajar matematika siswa, dan persentase aktivitas belajar dari siklus I mengalami

kemajuan ke siklus II, yaitu pada siklus I persentase skor tes hasil belajar matematika siswa

sebesar 72,72% dan aktivitas siswa berada katagori cukup dengan persentase 78,64%,aktivitas

guru 82,05% sedangkan pada siklus IIpersentase skor tes hasil belajar siswa sebesar 86,36% dan

aktivitas belajar siswa sebesar 90,23%,aktivitas guru 92,95% . Dengan demikian pesrsentase

skor tes hasil belajar matematika siswa mengalami kemajuan sebesar 13,64% dan aktivitas

belajar siswa mengalami kemajuan dari kategori cukup ke kategori sangat baik, dengan

persentase kemajuan sebesar 11,59%, aktivitas guru mengalami kemajuan 10,09%.

PEMBAHASAN

Penerapan strategi inkuiri dalam pembelajaran matematika, dimaksudkan untuk

meningkatkan hasil belajar matematika. Pada proses pembelajaran inkuiri diterapkan ketiga

karakteristik inkuiri, yaitu: (1) berpartisipasi, (2) melakukan investigasi, (3) mengonstruksi

pengetahuan.

Langkah awal dalam pembelajaran strategi inkuiri adalah kegiatan orientasi. langkah

orientasi dimaksudkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang responsif, yaitu siswa

dalam kondisi siap belajar, dan siswa dapat berpartisipasi karena kegiatan belajar dilakukan

secara berkelompok. Maka langkah orientasi juga dimaksudkan agar guru mengelompokkan

siswa secara hetrogen, yaitu setiap kelompok terdiri atas siswa yang berkemampuan tinggi,

sedang dan rendah. Kegiatan siswa selanjutnya sebagai berikut:

1) Siswa berpartisipasi dalam kegiatan diskusi kelompok, mulai dari merumuskan masalah

sampai pelaporan hasil.

2) Siswa menginvestigasi, mengumpulkan data berupa bahan/materi penunjang yang dapat

membantu dalam proses investigasi, untuk memudahkan menyelesaikan masalah matematika

3) Siswa membuat dan menawarkan konjektur, dimana siswa tidak hanya menyampaikan

pendapat, tetapi juga memberikan komentar dari pendapat siwa lain.

Langkah awal (orentasi) merupakan langkah yang sangat penting untuk mengawali

aktivitas siswa dalam memecakan masalah. langkah ini menuntut guru agar bisa mengondisikan

siswa atau menciptakan suasana kelas yang kondusif/nyaman. Hal ini sejalan dengan penelitian

Richard Schuman dengan tiga struktur sosial pembelajaran inkuiri, yaitu:

(1) Suasana kelas yang nyaman merupakan hal yang penting dalam pembelajaran

(2) Kerjasama guru dan siswa, siswa dengan siswa diperlukan juga adanya dorongan secara

aktif dari guru dan teman.

(3) Dua atau lebih siswa yang berkerja sama dalam berfikir dan bertanya akan lebih baik

hasilnya dibandingkan jika siswa bekerja sendiri

Menurut Merrlyn Goos (2004), tentang beberapa asumsi kegiatan pembelajaran dengan

strategi inkuiri yang mendasari guru dan siswa pada aktivitas matematika (uraian pada BAB II),

merupakan aktivitas siswa sebagaimana yang diperoleh pada penelitian ini. Adapun deskripsi

aktivitas siswa dengan strategi inkuiri dalam pembelajaran matematika, diuraikan seperti tabel :

Tabel 1. Deskripsi Aktivitas Siswa Dengan Strategi Inkuiri

Kararteristik

Inkuiri

Deskripsi Tindakan Siswa

Mengembangkan

partisipasi siswa

Siswa terlibat dalam diskusi kelompok, dan rangkaian kegiatan

pembelajaran lainnya

Melakukan

investigasi Siswa berdiskusi (mendiskusikan buku teks dan contoh-contohnya)

untuk menjelaskan pemahaman mereka tentang masalah yang akan

diselesaikan (membuat rumusan masalah)

Siswa mulai menyalurkan ide

Siswa menawarkan konjektur

Siswa memperlihatkan dan mengoreksi hasil pekerjaan sendiri (masing-

masing kelompok) dan kesalahan dari kelompok lain

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

329

Mengonstruksi

pengetahuan Siswa memberikan penjelasan, penguraian, kritik dan saran penilaian

terhadap hasil kerja kelompok

Siswa mulai memberikan saran sebagai langkah-langkah strategis

Siswa mulai membahas kelayakan (kesesuaian soal dan jawaban )

sebagai laporan hasil belajar

Dari Tabel 1 di atas, Nampak terlihat bahwa keterlibatan siswa dalam pembelajaran di

kelas cukup baik dan kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa. Strategi inkuiri dapat

membuat aktivitas belajar siswa menjadi lebih baik, yaitu struktur berfikir siswa terpola secara

sistematis ditunjukkan dengan: siswa dapat melakukan praktek bertukar pikiran, siswa berpikir

kritis dan matematis, siswa mampu berargumantasi

Hal ini sejalan dengan diungkapkan Nadia Stoyanova (2009) berisi tentang diskusi

sebuah model pembelajaran yang disebut Community of Mathematical Inquiry (CMI)meliputi:

struktur berfikir, argumentasi matematika, pemikiran yang terintegrasi, transpormasi konsep,

internalisasi berfikir kritis, dan konsep dibangun secara bersama-sama.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan fokus penelitian, paparan data, analisis data, serta pembahasan hasil

penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) penerapan pembelajaran pemahaman kubus

dan balok dengan strategi inkuiri adalah: (1) mengadakan tes awal untuk mengatahui

kemampuan prasyarat dan menentukan anggota dari masing-masing kelompok (2) dari 22 siswa

dibuat menjadi 5 kelompok masing-masing terdiri dari 5-6 siswa, 1siswa yang berkemampuan

tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang, dan siswa yang berkemampuan rendah, (3) Guru

menyiapkan alat peraga balok, kubus yang terdiri dari kerangka kubus dan balok, kertas karton,

dan LKS serta langkah-langkah strategi inkuiri, (b) pelaksanaan pembelajaran membangun

pemahaman kubus dan balok dengan strategi inkuiri dapat memecahkan masalah dalam bentuk

pemahaman prosedural maupun pemahaman konseptual siswa kelas VIIIA MTs Ar-Rusydiny

NW Segaet dengan langkah-langkah sebagai berikut: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan

kegiatan penutup, dan (c) hasil belajar matematika siswa, ditunjukkan dengan persentase skor

tes hasil belajar matematika siswa, dan persentase aktivitas belajar dari siklus I mengalami

kemajuan ke siklus II, yaitu pada siklus I persentase skor tes hasil belajar matematika siswa

sebesar 72,72% dan aktivitas siswa berada pada katagori cukupdengan persentase

78,64%,aktivitas guru 82,05% sedangkan pada siklus IIpersentase skor tes hasil belajar siswa

sebesar 86,36% dan aktivitas belajar siswa sebesar 90,23%,aktivitas guru 92,95% . Dengan

demikian pesrsentase skor tes hasil belajar matematika siswa mengalami kemajuan sebesar

13,64% dan aktivitas belajar siswa mengalami kemajuan dari kategori cukup ke kategori sangat

baik, dengan persentase kemajuan sebesar 11,59%, aktivitas guru mengalami kemajuan

10,09%.Strategi inkuiridapat menjadi salah satu alternatif untuk menjadikan siswa belajar aktif.

DAFTAR RUJUKAN

Aqib, Z. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Untuk: Guru. Bandung: Yrma Widya.

Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Goos, Merrilyn 2004. Learning Mathematics in a Classroom Community of Inquiry.Journal

Research in Mathematics Education 2004 vol. 35. No. 4, 258-291

Hujono , 1998. Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Kenedy, Nadia stoyanova. 2009. Towards A Dialogical Pedagogy: Some Characteristics Of A

Community Of Mathematical Inquiry. Eurasia Journal Of Mathematics, Science &

Technology Education, 2009, 5 (1), 71-78

Moleong .L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Nur, M . 2001. Realistic Mathematics Education. Makalah: PPPG Yoyakarta

Hamalik, Oemar. 2002. Media Pendidikan. Bandung, Alumni.

Sund, R.B. dan Trownbrigde, L.W. 1993. Teaching sience By Inquiriy in the secondary school.

Columbus, ochio: Charles B. Merril Publishing

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi Keadaan Masa Kini

Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

330

PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERCIRIKAN

OPEN-ENDED MATERI PERSAMAAN LINIER SATU VARIABEL

Siti Khoiruli Ummah, Ipung Yuwono, dan I Made Sulandra

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstract: The observations in SMP Negeri 2 Jombang was obtained the data that the

process of group discussion was not optimal and problems were resolved by the students

through discussion were procedural. The purpose of this study is to describe the process

and results of the development of mathematics learning materials characterized by the

Open-Ended linear equations of one variable in class VII which is valid, effective, and

practical. The product development is a learning device in the form of lesson plans and

Students’s Worksheet which is characterized by open-ended that contain open-ended

problems. Development model which was used in this study was the 3-D model of

development define (definition), Design (Design) and Develop (Development). Based on

the results of validation, and testing in the classroom it was concluded that the lesson

should be revised, but was valid in practice, the teacher could be done improve the

communication and free to the students, as well as a solution and procedure to the problem.

Keywords: math learning device, open-ended, linear equations of one variable

Kualitas pendidikan khususnya matematika di Indonesia masih berada di peringkat

bawah apabila ditinjau dari perolehan hasil The Trends in International Mathematics and

Science Study (TIMSS) yaitu berada di peringkat ke-39 dari 48 negara. Peningkatan kualitas

pendidikan dapat dilakukan salah satunya dengan cara memenuhi Standar Nasional Pendidikan,

terutama pada Standar Proses. Perbaikan Standar Proses dilakukan dengan cara

mengembangkan perangkat pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa.

Berdasar hasil observasi yang dilakukan pada siswa Kelas VII di SMP Negeri 2

Jombang, karakteristik siswa yaitu siswa tidak dapat dikatakan optimal ketika berdiskusi karena

tidak ada komunikasi antar anggota kelompok. Siswa tidak aktif bertanya dan terbiasa dengan

permasalahan yang bersifat prosedural. Permasalahan yang bersifat prosedural tersebut

mengakibatkan siswa tidak mempunyai pilihan lain atau dengan kata lain terdapat prosedur

penyelesaian dan solusi yang tunggal pada suatu permasalahan. Perangkat pembelajaran berupa

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) dibuat oleh guru

sesuai Kurikulum 2013 namun tidak digunakan pada pembelajaran. Pembelajaran berlangsung

dengan cara diskusi kelompok menyelesaikan permasalahan pada Buku Siswa yang diterbitkan

oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 kemudian pemberian pekerjaan

rumah berupa penyelesaian soal di LKS yang bukan dibuat oleh guru.

Berdasar hasil wawancara, hampir semua siswa mengikuti bimbingan belajar. Hal ini

mengakibatkan siswa mampu menyelesaikan permasalahan prosedural dengan baik namun tidak

dapat berkomunikasi antar anggota kelompok secara optimal. Pemilihan anggota kelompok juga

dapat dijadikan alasan tidak optimalnya diskusi kelompok. Kelompok dibagi berdasar posisi

tempat duduk, bukan berdasar kemampuan setiap siswa secara acak. Presentasi hasil diskusi

dilakukan siswa dengan cara membaca hasil diskusi dan siswa tidak dapat menjelaskan alasan

pemilihan solusi beserta prosedur penyelesaiannya. Siswa juga tidak dapat menjelaskan alasan

darimana setiap langkah dari prosedur penyelesaian diperoleh. Berdasar proses diskusi kelas

yang berlangsung dengan cara penyampaian hasil diskusi kelompok, setiap kelompok

memberikan alasan bahwa prosedur penyelesaian diperoleh dengan cara melihat dan meniru

prosedur penyelesaian permasalahan di setiap contoh soal di Buku Siswa dan LKS.

Berdasar hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa siswa Kelas VII SMP Negeri 2

Jombang mempunyai kemampuan baik dalam menyelesaikan permasalahan yang bersifat

prosedural, tidak dapat mengemukakan alasan dari setiap langkah di prosedur penyelesaian,

tidak mampu berkomunikasi saat diskusi berlangsung, dan terbiasa menyelesaikan

permasalahan bersifat prosedural sehingga tidak mempunyai pilihan prosedur penyelesaian dan

solusi permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan perangkat pembelajaran yang membuat siswa

aktif berkomunikasi dalam kelompok, mengemukakan alasan pemilihan langkah pada prosedur

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

331

penyelesaian, dan menyelesaikan permasalahan yang mempunyai prosedur penyelesaian dan

solusi yang tidak tunggal. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus sesuai Kurikulum

2013, sesuai dengan karakteristik siswa, dan memenuhi kriteria valid, efektif, serta praktis.

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini sesuai dengan

karakteristik siswa berdasar hasil observasi. Karena siswa terbiasa dengan permasalahan

prosedural sehingga siswa tidak mampu berkomunikasi dan mengemukakan pendapat secara

optimal, sehingga penulis memilih mengembangkan perangkat pembelajaran melalui

penyelesaian permasalahan open-ended melalui strategi penyelesaian masalah Polya.

Permasalahan open-ended sesuai pendapat Bush (2000: 23) dan Becker (1997: 1) adalah

permasalahan yang tidak hanya mempunyai solusi tidak tunggal tetapi juga prosedur atau

metode penyelesaian yang tidak tunggal. Berdasar pendapat Yee (1990: 35), permasalahan

dapat dimodifikasi dari permasalahan nyata pada Buku Teks untuk selanjutnya dikonversi

dalam situasi open-ended sehingga mempunyai prosedur dan solusi yang tidak tunggal. Yee

juga menjelaskan pendapat Caroll (1990: 37) bahwa permasalahan open-ended menyediakan

guru dengan pengecekan secara cepat pemikiran dan pemahaman konseptual siswa. Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses menetapkan

adanya perubahan dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran

dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi. Hal ini mengakibatkan permasalahan open-

ended dapat digunakan dalam pembelajaran matematika untuk mengetahui pemahaman

konseptual dan skill matematika siswa secara cepat.

Permasalahan open-ended dipilih berdasar manfaat permasalahan open-ended yang

dikemukakan ahli melalui penelitian. Menurut Becker (1997: 23-24), permasalahan open-ended

mempunyai kelebihan sebagai berikut: (1) siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran

dan sering mengekspresikan ide-ide mereka, (2) siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam

memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematika secara menyeluruh, (3) Siswa yang

berkemampuan rendah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan cara mereka sendiri, (4)

siswa termotivasi secara interinsik untuk memberikan pembuktian, dan (5) memberikan

kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman sebanyak mungkin dalam upaya

menemukan cara-cara efektif dalam menyelesaikan masalah berdasarkan gagasan dari siswa

lain. Keith Leatharn, Kathy Lawrence dan Denise S. Mewborn (2005: 414) dalam studinya

menjelaskan bahwa permasalahan open-ended mampu membangkitkan penalaran, problem

solving dan komunikasi. Selain itu, terkait dengan pengasesan siswa, permasalahan open-ended

tidak hanya mengases kemampuan prosedural, tetapi juga mampu mengases kemampuan

penalaran, komunikasi dan problem solving siswa. Penggunaan permasalahan open-ended

membuat siswa mengetahui bahwa matematika adalah pelajaran yang dapat dipahami secara

konseptual, memerlukan penalaran dan meminta komunikasi dari penggunaan persamaan dan

rumus.

Selain manfaat permasalahan open-ended yang dikemukakan ahli, penelitian terkait

permasalahan open-ended juga menunjukkan adanya manfaat dari pembelajaran melalui

permasalahan open-ended. Ayu (2011) memaparkan hasil penelitian terkait dengan hasil

pembelajaran dengan strategi open-ended bersetting kooperatif pada materi pecahan yaitu

adanya peningkatan aktivitas siswa dari Siklus I ke Siklus II. Penelitian Muthalib (2003) juga

mengenai penerapan permasalahan open-ended pada materi persamaan garis lurus dapat

meningkatkan pemahaman siswa pada materi persamaan garis lurus dan keaktifan siswa.

Hamdani (2005) juga menunjukkan adanya peningkatan keaktifan siswa yaitu dengan

ditunjukkan adanya siswa yang menjadi berani bertanya dan mengajukan pendapat selama

pembelajaran. Saat diskusi, siswa sangat aktif mengerjakan Lembar Kerja Siswa,

mengemukakan ide-idenya dan bertanya pada teman sekelompoknya.

Berdasar hasil observasi dan studi kepustakaan tentang permasalahan open-ended,

penulis termotivasi dan tertantang untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai

dengan Kurikulum 2013 dan sesuai dengan hasil observasi di kelas. Perangkat pembelajaran

yang dihasilkan harus memenuhi kriteria valid, efektif dan praktis. Perangkat pembelajaran

memenuhi kriteria valid apabila telah divalidasikan kepada ahli dan praktisi. Kevalidan

perangkat pembelajaran berarti perangkat pembelajaran layak diimplementasikan dalam

pembelajaran di kelas. Perangkat pembelajaran yang memenuhi kriteria praktis berarti observer

menyatakan bahwa perangkat pembelajaran dapat dipahami oleh guru model dengan baik, telah

diimplementasikan pada pembelajaran sesuai langkah pembelajaran pada RPP, dan siswa

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

332

mampu menggunakan Buku Kerja Siswa melalui diskusi kelompok secara optimal. Perangkat

pembelajaran yang memenuhi kriteria efektif berarti pada pembelajaran, tingkat penguasaan

materi siswa melalui Buku Kerja Siswa baik, siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran, dan

respon siswa positif terhadap setiap permasalahan yang diselesaikan.

METODE

Penelitian ini mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan sintaks

model pembelajaran tertentu. Oleh sebab itu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian

pengembangan. Pengembangan perangkat pembelajaran bercirikan open-ended materi

persamaan linier satu variabel menggunakan model pengembangan 3-D Define (Pendefinisian),

Design (Perancangan), dan Develop (Pengembangan) yang dimodifikasi dari teori

pengembangan 4-D oleh Thiagarajan (1974: 6). Tahap keempat dari 4-D yaitu Disseminate

(Penyebaran) tidak digunakan karena membutuhkan banyak biaya untuk menyebarluaskan

produk dalam skala besar.

Penelitian dilakukan di SMP Negeri 2 Jombang di kelas VII-H dengan alokasi waktu

empat pertemuan pada Bulan Maret 2014. Tahap pendefinisian meliputi analasis awal-akhir,

analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan perumusan tujuan pembelajaran. Tahap

perancangan meliputi penyusunan tes-kriteria yang dirujuk, pemilihan media, pemilihan format,

dan perancangan awal.. Tahap terakhir adalah tahap pengembangan yang meliputi validasi pada

ahli yaitu dosen matematika dan pendidikan matematika dengan kriteria pendidikan minimal S3

serta praktisi yaitu guru. Kemudian dilanjutkan dengan uji keterbacaan produk pada kelompok

kecil pada siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Tahap akhir adalah uji coba

lapangan yang dilakukan dengan cara menguji coba produk di kelas VII-H.

Produk pengembangan yang dihasilkan meliputi RPP dan Buku Kerja Siswa. Instrumen

penelitian meliputi lembar validasi, lembar observasi, tes hasil belajar, format asesmen, dan

angket respon siswa. Lembar validasi yang dikembangkan terdiri dari lembar validasi Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran, lembar validasi Buku Kerja Siswa, lembar validasi dari instrumen

lembar keterlaksanaan pembelajaran, lembar validasi dari instrumen lembar keterlaksanaan

penggunaan Buku Kerja Siswa, lembar validasi angket respon siswa, dan lembar validasi tes

hasil belajar siswa. Aspek pada lembar validasi memuat aspek isi dan konstruk. Namun, pada

setiap lembar validasi, aspek konstruk dijabarkan menjadi aspek bahasa, format penulisan, dan

manfaat lembar validasi. Lembar observasi keterlaksanaan perangkat pembelajaran yang

dikembangkan terdiri dari lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, lembar observasi

keterlaksanaan penggunaan Buku Kerja Siswa, dan lembar observasi aktivitas siswa.

Teknik analisis data dilakukan dengan cara menganalisis data kuantitatif dan kualitatif

yang diperoleh selama proses pengembangan. Data yang diperoleh meliputi data kevalidan,

kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran. Data direkapitulasi untuk empat

pertemuan kemudian dianalisis sesuai kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat

pembelajaran yang telah ditetapkan. Produk pengembangan berupa perangkat pengembangan

selanjutnya dikaji berdasar analisis data dan teori ahli yang dirujuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap Pendefinisian (Define)

Tahap pendefinisian mendeskripsikan hasil observasi untuk menentukan permasalahan

pembelajaran. Observasi dilakukan di kelas VII-I pada bulan September 2013 di SMP Negeri 2

Jombang. Deskripsi hasil observasi pada pendahuluan akan diklasifikasikan sesuai tahapan

analisis tahap pendefinisian.

Analisis Awal-Akhir

Setelah dilakukan wawancara dan observasi pembelajaran, diketahui bahwa guru

menerapkan Kurikulum 2013. Selama pembelajaran, guru menggunakan acuan buku teks dari

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 dan tidak membuat pengembangan materi

dari Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Lembar Kerja Siswa (LKS) telah disusun namun

tidak selalu digunakan pada pembelajaran himpunan melainkan menggunakan LKS dari

penerbit. Selama pembelajaran, siswa mempunyai kemampuan baik dalam menyelesaikan

permasalahan yang bersifat prosedural, tidak dapat mengemukakan alasan dari setiap langkah di

prosedur penyelesaian, tidak mampu berkomunikasi saat diskusi berlangsung, dan terbiasa

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

333

menyelesaikan permasalahan bersifat prosedural sehingga tidak mempunyai pilihan prosedur

penyelesaian dan solusi permasalahan.

Analisis Siswa

Siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Jombang terbagi dalam kelas-kelas dengan

kemampuan akademik dan latar belakang sosial secara acak. Berdasar observasi, Penerimaan

Peserta Didik Baru (PPDB) di SMPN 2 Jombang tahun angkatan 2013-2014 melalui rata-rata

skor penghitungan akhir dari rata-rata nilai pada Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional, rata-

rata nilai rapor kelas V semester gasal dan genap, dan nilai rapor kelas VI semester gasal. Kelas

VII-H sebagai kelas uji coba terdiri dari 32 siswa, yaitu 14 siswa laki-laki dan 18 siswa

perempuan. Pada semester I, kelas VII-H terdiri dari 30 siswa namun terjadi penambahan siswa

pada semester II sebanyak dua siswa. Proses pembelajaran menunjukkan bahwa siswa masih

belum dapat dikatakan optimal dalam bekerja kelompok. Pembagian kelompok dilakukan

dengan cara mengelompokkan siswa yang posisi duduknya berdekatan dan selalu berganti

anggota kelompok di setiap pembelajaran.

Analisis Konsep

Materi persamaan linier satu variabel ditetapkan oleh penulis untuk mengembangkan

materi persamaan linier satu variabel melalui permasalahan open-ended sesuai Kompetensi Inti

dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2013. Materi yang diberikan selama penelitian mengacu pada

aspek pengetahuan dan keterampilan Kompetensi Dasar (KD) Kurikulum 2013 yaitu : (3.3)

menyelesaikan persamaan linier satu variabel dan (4.3) membuat dan menyelesaikan model

matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linier

satu variabel.

Analisis Tugas

Pada hasil observasi, diketahui bahwa setiap siswa tidak mempunyai pilihan lain atau

prosedur penyelesaian dan solusi permasalahan yang tunggal saat diselesaikan melalui diskusi

kelompok ataupun diskusi kelas. Hal ini berarti, diperlukan permasalahan yang menuntut setiap

siswa mengemukakan pendapatnya dan mempunyai solusi lebih dari satu. Keterampilan siswa

yang dijadikan fokus penelitian adalah bagaimana prosedur penyelesaian masalah nyata.

Prosedur penyelesaian masalah nyata pada penelitian ini mengacu pada strategi Polya dengan

bantuan pada tahap pembuatan perencanaan berupa tabel dan tugas siswa membuat model

matematika dari masalah nyata untuk diselesaikan.

Perumusan Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran yang dikembangkan penulis sesuai KI dan KD pada Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013 Tentang

Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

dan disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Tujuan Pembelajaran Setiap Pertemuan

Pertemuan

ke-

Tujuan Pembelajaran

1 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Persamaan Linier Satu Variabel

(PLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

1. membuat model matematika dari permasalahan tersebut,

2. menyelesaikan model matematika, dan

3. menentukan solusi permasalahan tersebut.

2 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Persamaan Linier Satu Variabel

(PLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

1. membuat model matematika persamaan linier satu variabel dari permasalahan

tersebut dengan solusi yang sama,

2. menyelesaikan model matematika,

3. menentukan solusi permasalahan tersebut,

4. membuat permasalahan dengan solusi yang sama, dan

5. membuat persamaan linier satu variabel yang setara.

3 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Pertidaksamaan Linier Satu

Variabel (PtLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

1. membuat model matematika dari permasalahan tersebut,

2. menyelesaikan model matematika, dan

3. menentukan solusi permasalahan tersebut.

4 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Pertidaksamaan Linier Satu

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

334

Variabel (PtLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

1. membuat model matematika pertidaksamaan linier satu variabel dari

permasalahan tersebut dengan solusi yang sama,

2. menyelesaikan model matematika, dan

3. menentukan solusi permasalahan tersebut.

Pertemuan

ke-

Tujuan Pembelajaran

1 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Persamaan Linier Satu Variabel

(PLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

4. membuat model matematika dari permasalahan tersebut,

5. menyelesaikan model matematika, dan

6. menentukan solusi permasalahan tersebut.

2 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Persamaan Linier Satu Variabel

(PLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

6. membuat model matematika persamaan linier satu variabel dari permasalahan

tersebut dengan solusi yang sama,

7. menyelesaikan model matematika,

8. menentukan solusi permasalahan tersebut,

9. membuat permasalahan dengan solusi yang sama, dan

10. membuat persamaan linier satu variabel yang setara.

3 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Pertidaksamaan Linier Satu

Variabel (PtLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

4. membuat model matematika dari permasalahan tersebut,

5. menyelesaikan model matematika, dan

6. menentukan solusi permasalahan tersebut.

4 Jika diberikan permasalahan yang berkaitan dengan Pertidaksamaan Linier Satu

Variabel (PtLSV) melalui diskusi kelompok, siswa dapat:

4. membuat model matematika pertidaksamaan linier satu variabel dari

permasalahan tersebut dengan solusi yang sama,

5. menyelesaikan model matematika, dan

6. menentukan solusi permasalahan tersebut.

Tahap Perancangan (Design)

Penyusunan tes-kriteria yang dirujuk

Sebelum menyusun tes, disusun terlebih dahulu kriteria yang dirujuk berupa indikator

pembelajaran yang dikembangkan dari KI dan KD. Indikator pembelajaran yang dikembangkan

disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Kompetensi Dasar dan Indikator Pembelajaran

No. Kompetensi Dasar Keterangan

1 1.1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

Indikator:

1. Menghargai pendapat dari teman

2. Membuat model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan

persamaan linier satu variabel secara jujur dan tidak mencontek hasil diskusi

kelompok lain

3. Menyelesaikan model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan

persamaan linier satu variabel secara jujur dan tidak mencontek hasil diskusi

kelompok lain

KD pada

KI-1

2 2.1 Menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten, dan teliti, bertanggung

jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.

2.2 Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika serta

memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk

melalui pengalaman belajar.

2.3 Memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya

teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari.

Indikator:

1. Menyelesaikan setiap permasalahan pada buku kerja siswa secara teliti dan

tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan permasalahan.

2. Menjawab pertanyaan dari kelompok lain saat diskusi kelas berlangsung

secara logis

3. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika serta

KD pada

KI-2

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

335

memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk

melalui penyelesaian masalah nyata pada buku kerja siswa

4. Menghargai pendapat teman saat diskusi kelompok dan diskusi kelas

5. Menuliskan ide dalam pembuatan dan penyelesaian model matematika dari

masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan linier satu variabel.

3 3.3 Menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel.

Indikator:

1. Menyelesaikan model matematika berkaitan dengan persamaan linier satu

variabel.

2. Menyelesaikan model matematika berkaitan dengan pertidaksamaan linier satu

variabel

KD pada

KI-3

4 4.3 Membuat dan menyelesaikan model matematika dari masalah nyata yang

berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel.

Indikator: 1. Membuat model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan

persamaan linier satu variabel.

2. Membuat model matematika dari masalah nyata yang berkaitan dengan

pertidaksamaan linier satu variabel.

3. Membuat model matematika dari masalah nyata dengan solusi persamaan

linier satu variabel yang sama

4. Membuat model matematika dari masalah nyata dengan solusi

pertidaksamaan linier satu variabel yang sama

5. Menentukan solusi masalah nyata yang berkaitan dengan persamaan linier

satu variabel.

6. Menentukan solusi masalah nyata yang berkaitan dengan pertidaksamaan

linier satu variabel.

KD pada

KI-4

Setelah indikator pembelajaran dikembangkan, selanjutnya adalah pengembangan tes

hasil belajar dan rubrik penskoran permasalahan open-ended. Rubrik Penskoran mengacu pada

asesmen permasalahan open-ended yaitu memenuhi kriteria kelancaran (fluency), fleksibilitas

(flexibility), dan keaslian atau originalitas (originality). Selain itu, dikembangkan instrumen

asesmen pembelajaran berupa asesmen pribadi dan asesmen kelompok sebagai asesmen sikap

selama pembelajaran.

Pemilihan media

Pada penelitian ini media yang dipilih adalah media pembelajaran cetak berupa Buku

Kerja Siswa. Buku Kerja Siswa dicetak sesuai jumlah kelompok dalam satu kelas yaitu delapan

buku. Buku Kerja Siswa yang dibagikan telah memuat “Buku Kerja Siswa” untuk empat

pertemuan dan telah dijilid menyerupai buku.

Pemilihan Format

Format pembelajaran yang akan dikembangkan yaitu buku ajar siswa yang termasuk pada

format buku teks atau handout. Format buku teks atau handout yang dikembangkan merujuk

pada buku kerja siswa yang diadaptasi dari komponen buku teks, buku kerja, dan lembar kerja.

Perancangan Awal

Produk perancangan awal yang disebut dengan draft-1 merupakan instrumen penelitian

untuk divalidasikan kepada ahli, meliputi: (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), (2)

Buku Kerja Siswa, (3) lembar validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, (4) lembar validasi

Buku Kerja Siswa, (5) lembar validasi dari instrumen lembar keterlaksanaan pembelajaran, (6)

lembar validasi dari instrumen lembar keterlaksanaan penggunaan Buku Kerja Siswa, (7)

lembar validasi angket respon siswa, (8) lembar validasi tes hasil belajar siswa, (9) lembar

observasi keterlaksanaan pembelajaran, (10) lembar observasi keterlaksanaan penggunaan

Buku Kerja Siswa, (11) lembar observasi aktivitas siswa, (12) angket respon siswa, dan (13) tes

hasil belajar siswa.

Tahap Pengembangan (Develop)

Hasil validasi dari Ahli dan Praktisi

Berdasar rekapitulasi hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen

pengembangan diperoleh skor rata-rata total untuk semua aspek (V ) yaitu 3.44. Sesuai

dengan kriteria kevalidan yang ditetapkan yaitu 3V berarti perangkat pembelajaran dan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

336

instrumen pengembangan yang dikembangkan dapat disimpulkan valid dengan revisi sesuai

saran, catatan, serta komentar validator.

Uji Keterbacaan pada Kelompok Kecil

Berdasar hasil uji coba kelompok kecil, dapat disimpulkan bahwa Buku Kerja Siswa

memerlukan perbaikan redaksi soal pada permasalahan open-ended dan permasalahan-

permasalahan pada Buku Kerja Siswa dapat diselesaikan. Permasalahan open-ended dapat

dipahami dengan baik. Hal ini dapat ditunjukkan adanya pendapat siswa yang mengatakan

bahwa terdapat variasi jawaban dan kebebasan anggota kelompok untuk menyelesaikan

permasalahan pada Buku Kerja Siswa. Permasalahan pada kuis juga dapat dipahami oleh siswa

secara benar. Beberapa saran, kritik, dan pertanyaan disampaikan secara langsung kepada

peneliti untuk dicatatat. Dengan demikian, terdapat perbaikan pada redaksi soal, kalimat

permasalahan open-ended , penambahan formula untuk menentukan rata-rata, ditambahkan

contoh soal pada permasalahan Buku Kerja Siswa 2, dan penambahan petunjuk untuk cara

menyelesaikan pertidaksamaan linier satu variabel yang membutuhkan pergantian tanda.

Uji Coba Lapangan

Uji coba di kelas dilakukan pada pembelajaran persamaan linier satu variabel dan

diawali dengan penyelesaian permasalahan nyata bercirikan open-ended. Guru membuka

pembelajaran dengan salam dan doa. Pada langkah pembelajaran “review”, guru memberikan

suatu permasalahan yang dapat diselesaikan dengan prosedur dan solusi yang tidak tunggal.

Siswa sebelumnya telah diberitahukan untuk membaca materi pada buku siswa tentang

persamaan linier satu variabel. Namun, penyelesaian masalah “review” diselesaikan beberapa

siswa dengan tidak menggunakan variabel melainkan kata benda yang ditanyakan pada

permasalahan. Siswa antusias untuk membuat solusi yang berbeda dengan teman sebangkunya.

Pada pertemuan kedua dan keempat, siswa dan guru bersama-sama membahas hasil diskusi

yang dilakukan di luar kelas. Penyelesaian permasalahan disajikan dan dijelaskan secara

klasikal. Pada kegiatan inti pembelajaran, siswa diberikan suatu permasalahan yang mempunyai

prosedur penyelesaian dan solusi yang tidak tunggal. Siswa merasa kebingungan karena ragu

apabila terdapat variasi solusi permasalahan yang tidak tunggal. Guru menegaskan agar siswa

tetap pada jawaban masing-masing dan menyiapkan alasan pemilihan jawaban. Pada saat

presentasi hasil diskusi kelompok, siswa menemukan berbagai jawaban yang berbeda di setiap

kelompok. Pada proses kesimpulan, siswa ditegaskan kembali oleh guru bahwa permasalahan

menuntut jawaban yang berbeda dan tidak tunggal. Siswa Kelas VII-H sangat antusias dalam

menyelesaikan setiap permasalahan. Hal ini juga dibuktikan dari komentar Guru MF bahwa

siswa yang biasanya gaduh atau malas menyelesaikan soal menjadi antusias dan mengutarakan

pendapatnya masing-masing.

Kepraktisan Perangkat Pembelajaran

Data kepraktisan perangkat pembelajaran diperoleh dari rekapitulasi hasil observasi

aktivitas guru dan penggunaan buku kerja siswa. Berdasar hasil rekapitulasi observasi aktivitas

guru dapat diperoleh skor 3.62. Rekapitulasi skor observasi aktivitas guru diperoleh dengan

menghitung rata-rata skor observasi aktivitas guru untuk empat pertemuan. Skor akhir

menunjukkan bahwa aktivitas guru saat pembelajaran berlangsung sesuai dengan langkah

pembelajaran pada RPP. Hal ini berarti, guru dapat memahami RPP dan melaksanakan langkah

pembelajaran di kelas sesuai dengan urutan serta alokasi waktu. Hasil akhir dari rekapitulasi

observasi penggunaan buku kerja siswa adalah 3.52. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dapat

memahami dan menyelesaikan permasalahan pada Buku Kerja Siswa. Selain itu, penggunaan

Buku Kerja Siswa dapat membuat siswa aktif bertanya, berdiskusi, berkomunikasi,

mengemukakan alasan, mendorong siswa menemukan prosedur dan solusi yang tidak tunggal.

Dengan demikian, RPP dan Buku Kerja Siswa dapat dilaksanakan pada pembelajaran secara

praktis oleh guru dan siswa.

Keefektifan Perangkat Pembelajaran Data keefektifan perangkat pembelajaran diperoleh dari skor penguasaan bahan ajar

(asesmen pengetahuan, keterampilan, dan sikap), respon siswa, dan skor aktivitas siswa.

Persentase skor akhir dari asesmen pengetahuan dan keterampilan adalah 75.74%. Hal ini

berarti sebanyak 75. 74% siswa telah mencapai ketuntasan belajar. Ketuntasan belajar dihitung

dari akumulasi skor pengetahuan, keterampilan, dan asesmen sikap selama empat pertemuan.

Skor pengetahuan dihitung dari rata-rata tes hasil belajar (kuis). Skor keterampilan dihitung dari

skor penyelesaian Buku Kerja Siswa melalui diskusi kelompok. Rata-rata skor akhir dari

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

337

asesmen sikap adalah 3.27 yang menunjukkan bahwa sikap siswa Kelas VII-H berpredikat baik.

Berdasar skor pengetahuan, keterampilan, dan asesmen sikap dapat dikatakan penguasaan bahan

ajar siswa malalui Buku Kerja Siswa adalah baik.

KAJIAN PRODUK Berdasar hasil observasi, ditemukan permasalahan utama yaitu kurang optimalnya

diskusi kelompok karena siswa tidak dapat mengemukakan alasan prosedur penyelesaian

permasalahan dan tidak terjadi komunikasi antar anggota kelompok. Selain itu, permasalahan

yang muncul yaitu siswa terbiasa dengan prosedur dan solusi permasalahan yang tunggal

sehingga siswa tidak mempunyai alternatif penyelesaian permasalahan secara pribadi. Oleh

karena itu, dikembangkan perangkat pembelajaran yang harus memenuhi kriteria valid, praktis,

dan efektif. Produk pengembangan yang dimaksud adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) dan Buku Kerja Siswa materi Persamaan Linier Satu Variabel. RPP disusun dengan

menggunakan langkah pembelajaran melalui penyelesaian masalah menggunakan strategi

Polya. Kegiatan Siswa yang dideskripsikan pada RPP memuat komponen pendekatan saintifik.

Buku Kerja Siswa disusun secara sistematis sesuai dengan langkah penyelesaian permasalahan

Polya dan berisi permasalahan-permasalahan bercirikan open-ended. Penyusunan komponen

RPP merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81a Tahun 2013

tentang Implementasi Kurikulum. Buku Kerja Siswa terdiri dari Buku Kerja Siswa 1 sampai 4

sesuai dengan banyak pertemuan. Sesuai dengan Khoh (1996: 57), Buku Kerja Siswa

Matematika berisi investigasi permasalahan open-ended yang memuat konsep matematika,

dalam pengembangan ini adalah konsep persamaan linier satu variabel.

Temuan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini yaitu pembelajaran melalui

penyelesaian masalah open-ended menggunakan strategi Polya mampu membuat siswa

mengemukakan alasan prosedur penyelesaian permasalahan. Hal ini dapat ditunjukkan pada

permasalahan-permasalahan di Buku Kerja Siswa yang menuntut alasan penyelesaian

permasalahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Shimada (1997: 32) yaitu siswa yang

menyelesaikan permasalahan open-ended dapat menjelaskan ide penyelesaian permasalahan

yang sama dengan cara yang berbeda. Hal ini juga dibuktikan dari penelitian Hamdani (2005)

yaitu siswa aktif mengemukakan ide-ide yang berbeda tentang prosedur penyelesaian

permasalahan dan solusinya.

Menurut Shimada (1997: 27) terdapat 3 jenis permasalahan open-ended yaitu

menemukan relasi, mengklasifikasikan, dan mengukur. Jenis soal mengukur yang digunakan

dalam pengembangan ini sesuai dengan penelitian Shimada yaitu siswa diminta untuk

mengukur secara numeric untuk fenomena tertentu. Fenomena yang dimaksud adalah

permasalahan nyata yang familiar bagi siswa. Permasalahan tidak hanya menuntuk solusi yang

tidak tunggal tetapi juga menuntut metode untuk menemukan solusi yang juga tidak tunggal.

Contoh soal oleh Shimada yaitu Kontes Kecantikan Hewan:

“Hasil penjurian pada kontes kecantikan hewan adalah sebagai berikut: juara pertama Aoki,

juara kedua Ito, juara ketiga Uno, juara keempat Eguchi, dan juara kelima Ogata. Sebelum

pengumuman penjurian, audiens diminta untuk menebak urutan konstentan dan akan dijanjikan

hadiah untuk yang paling mendekati dengan jawaban juri. Tabel berikut menunjukkan jawaban

A, B, C, dan D bersama dengan keputusan akhir juri. Tabel 3. Jawaban Kontestan

Kontestan Aoki Ito Unmo Eguchi Ogata

Hasil Final

A

B

C

D

1

3

2

5

4

2

1

3

3

2

3

4

1

2

3

4

5

4

4

1

5

2

5

1

5

Bagaimana kita dapat memutuskan ranking dari tebakan A, B,C, dan D? Tulis semua metode

perangkingan yang kamu peroleh.” (Shimada, 1997: 162).

Pada permasalahan Kontes Kecantikan Hewan, siswa diminta menentukan metode

untuk menemukan solusi mengapa perangkingan tersebut dapat diperoleh. Setiap soal yang

digunakan sebagai contoh pada Shimada menuntut adanya alasan di setiap metode dan solusi

yang diperoleh.

Soal yang diberikan kepada siswa Kelas VII sesuai dengan soal yang diberikan sebagai

contoh oleh Shimada. Permasalah diberikan pemanasan dengan cara memberikan contoh table

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

338

penyelesaian permasalahan kemudian siswa diminta menuliskan pendapat tentang penyelesaian

permasalahan dan menuliskan apabila menemukan prosedur penyelesaian lainnya. Contoh soal

pada Buku Kerja Siswa pada pengembangan ini yaitu:

“Diketahui promo bahan bangunan berupa kayu, keramik, dan cat tembok dengan criteria di

setiap merk. Siswa diminta untuk membuat perencanaan penggunaan seluruh anggaran dana

sebesar Rp 1.200.000,00 untuk belanja bahan bangunan.

Tuliskan bagaimana cara menentukan promo dan banyaknya bahan bangunan yang diperoleh

Pak Dicky dengan anggaran dana Rp 1.200.000,00 pada tabel atau melalui kolom.

Tabel 4. Tabel yang diberikan pada Buku Kerja Siswa

No. Harga

Promo

Keramik

yang dipilih

(Rp)

Harga

Promo Cat

yang

dipilih

(Rp) dan

banyak

kaleng

Harga

satuan

Kayu yang

dipilih

(batang)

Model

Matematika

Banyak kayu

yang diperoleh

(batang)

Langkah

penyelesaian

ke-

1

.

.

.

.

.

.

.

Milan

340000

Catylac

90000

(3 kaleng)

Meranti(

x )

10000

𝟑𝟒𝟎𝟎𝟎𝟎+ 𝟐𝟕𝟎𝟎𝟎𝟎+ 𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎𝒙= 𝟏𝟐𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎

𝟔𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎+ 𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎𝒙= 𝟏𝟐𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎

𝟑𝟒𝟎𝟎𝟎𝟎+ 𝟐𝟕𝟎𝟎𝟎𝟎+ 𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎𝒙= 𝟏𝟐𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎

𝟔𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎+ 𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎𝒙= 𝟏𝟐𝟎𝟎𝟎𝟎

𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎𝒙= 𝟏𝟐𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎− 𝟔𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎

𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎𝒙= 𝟓𝟗𝟎𝟎𝟎𝟎

𝒙 = 𝟓𝟗

i

ii

iii

iv

v

Siswa kemudian diminta untuk memberikan pendapat setuju atau tidak dengan prosedur

penyelesaian berupa table tersebut dan apabila tidak setuju, siswa diminta memberikan alasan

dan menuliskan prosedur penyelesaian yang menurut siswa tersebut lebih tepat.”

Permasalahan buku teks yang dikonversi dengan situasi open-ended untuk pemahaman

konseptual menurut Yee (1990: 135) berarti permasalahan yang termuat pada buku teks tetapi

dimodifikasi menjadi pertanyaan yang mempunyai prosedur penyelesaian dan solusi tidak

tunggal. Contohnya, pada Uji Kompetensi 6.2 Buku Siswa yang diterbitkan Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 halaman 275.

Gambar 1. Soal Uji Kompetensi 6.2 Buku SiswaHalaman 275

Contoh soal 6.7 pada Buku Siswa merupakan contoh permasalahan yang mempunyai

prosedur penyelesaian dan solusi yang tunggal. Permasalahan buku teks yang dikonversi

menjadi permasalahan open-ended dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu menghilangkan data,

pengajuan masalah, dan menjelaskan konsep atau kesalahan. Permasalahan pada Buku Siswa

tersebut dapat dikonversi dengan situasi open-ended dengan cara menghilangkan data yang

berupa gambar serta ukuran panjang dan lebar persegi panjang menjadi sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

339

Gambar 2. Permasalahan Buku Teks yang dikonversi dengan situasi open-ended

Berdasar Gambar 2, permasalahan tersebut mampu menggali pengetahuan siswa tentang

konsep persegi panjang. Siswa dapat menggambar terlebih dahulu (mendesain semua gambar

yang mungkin dan sesuai dengan ukuran), membuat tabel yang berisi semua kemungkinan

jawaban, menyelesaikan dengan model matematika, atau menggunakan cara trial-error. Solusi

permasalahan pada Gambar 2 juga tidak tunggal. Hal ini dikarenakan tidakdiberikan keterangan

bahwa kayu untuk pagar harus digunakan seluruhnya sehingga terdapat berbagai ukuran yang

mungkin dari keliling tanah berukuran kurang dari 50 meter.

Temuan lain yang berkaitan dengan Buku Kerja Siswa yang memuat permasalahan

open-ended yaitu permasalahan open-ended dapat membuat siswa aktif dalam berdiskusi,

bertanya pada sesama anggota kelompok, dan antusias dalam menyelesaikan permasalahan dan

berusaha mempunyai prosedur dan solusi yang berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian

Hamdani (2005) yang menyatakan bahwa permasalahan open-ended mampu membuat siswa

aktif mengerjakan Lembar Kerja Siswa, menjawab pertanyaan guru, dan adanya siswa yang

berani bertanya serta mengajukan pendapat selama pembelajaran. Penelitian lain terkait

permasalahan open-ended yang membuat siswa lebih aktif adalah penelitian Muthalib (2003)

dan Ayu (2011) yaitu permasalahan open-ended mampu meningkatkan aktivitas siswa dari

Siklus I ke Siklus II.

Permasalahan open-ended pada Buku Kerja Siswa membuat siswa mempunyai banyak

pilihan cara dalam menyelesaikan permasalahan. Siswa termotivasi menemukan cara dan solusi

dari permasalahan untuk didiskusikan sesama anggota kelompok. Hal ini ditunjukkan dengan

banyaknya solusi dari satu permasalahan yang telah ditemukan siswa melalui penulisan nomor

presensi siswa yang menemukan solusi tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Hamdani

(2005) dan Shimada (1997) yang menyatakan bahwa permasalahan open-ended membuat siswa

termotivasi untuk menghasilkan banyak alternatif dan solusi yang benar.

RPP dan Buku Kerja Siswa yang telah direview oleh ahli dan praktisi ternyata hasilnya

valid dan dapat dipraktikkan pada pembelajaran melalui penyelesaian masalah open-ended

menggunakan Strategi Polya. Buku Kerja Siswa yang memuat permasalahan open-ended juga

dapat terselesaikan dengan baik oleh siswa. Meskipun RPP dan Buku Kerja Siswa telah

memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif, akan tetapi RPP dan Buku Kerja Siswa

mempunyai kelemahan yaitu pembuatan respon siswa yang diharapkan dari permasalahan open-

ended oleh guru membutuhkan banyak waktu karena terdapat banyak alternatif solusi dan

prosedur penyelesaian. Adanya kelemahan permasalahan open-ended juga dijelaskan oleh

penelitian Becker (1997: 23-24), yaitu sulit untuk menyiapkan situasi-situasi masalah matematik

yang bermakna bagi siswa. Dengan kata lain, untuk membuat permasalahan open-ended

diperlukan banyak waktu oleh guru sehingga dapat bermakna bagi siswa.

Berdasar kajian terhadap produk, saran pemanfaatan dari produk yaitu pengembangan

Buku Kerja Siswa bercirikan open-ended dilakukan pada materi lain sehingga guru terbiasa

menyusun permasalahan beserta respon sisw ayang diharapkan. Saran diseminasi yang dapat

dilakukan yaitu menyebarluaska produk pada kelas lain yang mempunyai karakteristik siswa

yang sama. Saran pengembangan produk yaitu mengembangkan produk berupa permasalahan

open-ended yang berlaku untuk semua karakteristik siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Ayu, H.D. 2011. Penerapan Strategi Open-Ended Problem Bersetting Kooperatif untuk

Meningkatkan Kreativitas dan Pemahaman Pecahan Bagi Siswa Kelas VII SMP PGRI 6

Malang. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS-UM.

Becker, J.P &Shimada, S. 1997. The Open-Ended Approach: A new Proposal for Teaching

Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics.

Kawasan wisata Kusuma Agrowisata akan membuat lahan kebun

anggur dan akan dibatasi pagar kayu. Kayu yang tersedia

sebanyak sepuluh batang dengan ukuran enam meter setiap

batang. Pemilik Agro menginginkan kebun berbentuk persegi

panjang dengan ukuran sisi terpanjang adalah dua kali ukuran

sisi terpendek. Tentukan ukuran kebun anggur tersebut untuk

membantu pemilik Agro.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

340

Bush, W. S., Leinwald S, et.al. 2000. Mathematics Assessment: A Practical Handbook For

Grade 6-8. Reston: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Hamdani. 2005. Pembelajaran Persamaan Garis Lurus Dengan Pendekatan Open-Ended Pada

Siswa Kelas II SMP Sriwedari Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS-UM

Khoh, L. S. 1996. Using Worksheets for Secondary School Mathematics. Singapore:

Association of Mathematics Educators. (online), (http://www.repository.nie.edu.ME-1-

1-55.pdf.) diakses pada tanggal 11 November 2013.

Leatharn, Keith R., L., Kathy, and Mewborn, D. S.. 2005. Getting Started with Open-Ended

Assessment. Reston: National Council of Teachers of Mathematics, Inc. (online),

(www.elem-math.wiki.educ.msu.edu/file/view/Leatham_etal_TCM05.pdf), diakses

pada tanggal 20 Februari 2013.

Muthalib, A. 2003. Pembelajaran Persamaan Garis Lurus Dengan Pendekatan Berakhir

Terbuka Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Sojol. Tesis

tidak diterbitkan. Malang: PPS-UM.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar

dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. (Online),

(http://www. http://bsnp-indonesia.org) diakses 9 September 2013

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81a Tahun 2013 Tentang Implementasi

Kurikulum. (Online), (http://www. http://bsnp-indonesia.org) diakses 9 Februari 2014

Thiagarajan, Sivasailam, S, S. Dorothy and Semmel, Melvyn I. 1974. Instructional

Development for Training Teachers of Exceptional Children. Minnesotta: Indiana

University.

Yee, F.P. 1990. Using Short Open-Ended Mathematics Questions to Promote Thinking and

Understanding. Singapore: National Institute of Education. (online),

(www.math.unipa.it/~grim/SiFoong.PDF), diakses pada tanggal 19 Februari 2013.

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF

MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN MODEL

TREFFINGER PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

BAGI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 19 MALANG

Sorta Corie Ivana Panjaitan, Ipung Yuwono, dan I Made Sulandra

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected]; [email protected]

Abstrak: Penelitian ini mengimplementasikan model Treffinger untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif matematika pada materi garis dan sudut bagi siswa kelas VII

SMPN 19 Malang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian

tindakan kelas. Hasil penelitian menunjukkan pembelajaran model Treffinger yang dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika adalah sebagai berikut. Model

Treffinger tingkat I, yaitu (1) memberikan pemanasan, (2) melatih siswa berpikir divergen,

(3) siswa menuliskan semua ide menyelesaikan masalah terbuka, (4) siswa mendiskusikan

ide dalam menyelesaikan masalah terbuka bersama kelompoknya, dan melakukan sumbang

saran dan (5) mempresentasikan hasil diskusi. Model Treffinger tingkat II, yaitu (1)

Memberikan warming up (pemanasan) dan penggunaan ide kreatif, dan (2) Bermain peran

dalam menyelesaikan masalah (sosio drama). Model Treffinger tingkat III, yaitu (1) siswa

untuk mengajukan masalah secara berkelompok, (2) memberikan permainan creative

problem solving, dan (3) memberikan reward. Berdasarkan hasil observasi dan hasil tes

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematika siswa meningkat.

Kata kunci: berpikir kreatif, matematika, model Treffinger, garis dan sudut.

Pada Era Globalisasi dan Teknologi komunikasi yang canggih dewasa ini, tingkat

kompleksitas permasalahan semakin tinggi. Keadaan tersebut menuntut dunia pendidikan

sebagai tombak masa depan, mempersiapkan peserta didik yang memiliki berbagai ketrampilan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

341

dan kemampuan, antara lain kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah.

Lois (Van Gundy, 2005:3) menyatakan kreatifitas dapat menyelesaikan hampir setiap masalah.

Kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan seseorang untuk menemukan solusi dari masalah

yang dihadapi. Hasil perbincangan pada tanggal 16 januari 2013 dengan ibu Rina Karyati, S.Pd,

MM., guru di SMP Negeri 19 Malang, dapat disimpulkan bahwa tingkat kreativitas siswa sangat

rendah. Kesulitan yang dialami oleh siswa dalam pembelajaran matematika, salah satunya pada

materi garis dan sudut. Hal ini diperkuat dengan soal yang diberikan siswa guna melihat

kreativitas siswa pada materi garis dan sudut diperoleh jawaban-jawaban yang belum

menunjukkan kreativitas yang tinggi bahkan tidak kreatif.

Sternberg (2007 :3) menyatakan orang-orang kreatif dapat lebih kreatif bukan karena

bawaan lahir, tetapi lebih dikarenakan perilaku dalam kehidupan, mereka dibiasakan merespon

masalah dengan cara yang baru dan unik daripada membiarkan diri mereka merespon secara

otomatis tanpa berpikir, selain itu DeMatteo (2010:134) juga mengemukakan bahwa kegiatan

pemecahan masalah dapat memberikan siswa pengalaman yang berkaitan dengan situasi

kehidupan nyata yang kompleks.

Salah satu model pembelajaran kreatif yang memiliki sifat dan karakter tersebut adalah

pembelajaran kreatif model Treffinger. Pembelajaran model Treffingerterdiri dari tiga tahap dan

setiap tahap mencakup segi kognitif dan segi afektif yang prosesnya berlangsung secara terpadu

(Semiawan, 1990:38). Tahap pertama disebut fungsi divergen, yaitu suatu tahap yang

menekankan pada keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan. Tahap kedua adalah proses

pemikiran dan perasaan yang majemuk, yaitu suatu tahap dimana faktor-faktor kognitif dan

afektif dari tahap pertama diperluas. Tahap ketiga adalah keterlibatan dalam tantangan-

tantangan nyata.

Selain meningkatnya perilaku kreatif yang diamati selama proses pembelajaran,untuk

menilai kemampuan berpikir kreatif setelah dan sebelum proses pembelajaran, menurut Darwis

(2012:259) kemampuan berpikir kreatif dapat dinilai dari kelancaran, fleksibilitas,

kebaruan/keaslian, elaborasi, transformasi. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan hanya

pada 3 aspek yaitu kelancaran, fleksibilitas, kebaruan/keaslian sesuai dengan Silver (1997:78)

memberikan indikator untuk menilai berpikir kreatif siswa berdasarkan tiga komponen kunci

dalam TTCT (The Torance Test of Creative Thinking) yaitu kelancaran (fluency), fleksibilitas

(flexibility) dan kebaruan (novelty) menggunakan pemecahan dan pengajuan masalah.

Ada empat kategori alasan dari pembelajaran Problem solving menurut Pehkonen

(1997:64) yaitu : (a)Pemecahan masalah membangun ketrampilan kognitif secara umum,

(b)Pemecahan masalah membantu perkembangan kreativitas, (c)Pemecahan masalah adalah

bagian dari proses aplikasi matematika, (d)Pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar

matematika. Menyadari pentingnya pemecahan masalah dan dilihat sebagai upaya

meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, maka dalam penelitian ini yang dimaksud

pemecahan masalah adalah menyelesaikan soal tidak rutin yang mempunyai solusi tidak tunggal

atau bersifat terbuka atau divergen. Sedangkan yang dimaksud pengajuan masalah atau problem

posing yaitu siswa diberi masalah khusus kemudian siswa diminta membuat soal baru.

Penjenjangan tingkat berpikir kreatif pada siswa digunakan penjenjangan berpikir

kreatif dari Siswono (2009:7) yaitu (1) Tingkat Kemampuan Berpikir Sangat Kreatif(2) Tingkat

Kemampuan Berpikir Kreatif (3) Tingkat Kemampuan Berpikir Cukup Kreatif(4) Tingkat

Kemampuan Berpikir Kurang Kreatif, dan (5) Tingkat Kemampuan Berpikir Tidak

Kreatif.Tujuan Penelitian ini adalah (1)Mendeskripsikan pembelajaran model Treffinger yang

dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika pada materi garis dan sudut

bagisiswa kelas VII SMPN 19 Malang, dan (2) Mendeskripsikan peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematika pada materi garis dan sudut bagisiswa kelas VII SMPN 19 Malang

melalui pembelajaran model Treffinger.

METODE

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu berupa penjelasan

tentang penerapan pembelajaran matematika dan dipaparkan sesuai dengan kejadian dalam

penelitian. Dengan pendekatan kwalitatif dan jenis penelitian yaitu Penelitian Tindakan Kelas

(PTK). Langkah-langkah penelitian yang digunakan dalam penelitianterdiri dua siklus dan

setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu : (1) perencanaan (planing), (2) pelaksanaan (action), (3)

pengamatan (observation), dan (4) refleksi (reflektion). Keempat komponen tersebut adalah

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

342

langkah-langkah dalam suatu siklus (Arikunto, 2006 : 97), yang dilaksanakan di SMP Negeri 19

Malang jalan Belitung No. 1 kota Malang, pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) hasil tes kemampuan awal, (2)

hasil tes akhir siklus, (3) hasil pekerjaan siswa dalam mengerjakan Lembar Kegiatan Siswa, (4)

hasil tugas mandiri,(5) hasil observasi, dan (6) hasil wawancara dengan subyek penelitian.

Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2009:129). Pada penelitian ini

data hasil tes awal, hasil tes akhir siklus dan hasil pekerjaan siswa mengerjakan LKS bersumber

dari subyek penelitian. Data observasi bersumber dari observer setelah mengamati aktivitas guru

danaktivitas enam siswa sebagai fokus pengamatan selama proses pembelajaran. Data hasil

validasi perangkat dan instrumen penelitian bersumber dari validator yang terdiri dari dua dosen

matematika yang sudah berpengalaman. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

lembar observasi, lembar validasi, dan lembar tes siswa.

Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini : (1) validasi

perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, (2) observasi aktivitas siswa, (3) wawancara,

dan (4) tugas dan tes. Kemudian data di cek keabsahannya, cara untuk mengecek keabsahan

data melalui triangulasi yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan

berbagai waktu (Sugiyono, 2011:274).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan tanggal 31 januari 2013 dapat diidentifikasi beberapa

temuan yaitu, (1) siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika, (2)

suasana pembelajaran kurang kondusif karena siswa dihadapkan pada latihan soal yang

monoton, (3) siswa kurang berani bertanya dan menyampaikan pendapat (4) keadaan kelas

yang terdiri dari 42 siswa dan posisi ruangan yang membuat kelas berisik akibat suara dari luar

kelas.

Siklus I

Tahap ini dimulai dengan penyusunan instrumen dan divalidasi oleh 2 dosen

Universitas Negeri Malang serta dilanjutkan dengan mempersiapkan tes awal untuk mengetahui

tingkat kreativitas siswa dalam menyelesaikan dan mengajukan masalah matematika.

Berdasarkan hasil tes awal dapat disimpulkan terdapat 8 siswa berada pada tingkat tidak kreatif,

24 siswa kurang kreatif, 8 siswa cukup kreatif, dan hanya 2 siswa yang kreatif.

Siklus I dilaksanakan 5 kali pertemuan, Pertemuan pertama dan kedua menerapkan

pembelajaran model Treffinger tingkat I, pertemuan ketiga dan keempat menerapkan

pembelajaran model Treffinger tingkat II, pertemuan kelima menerapkan pembelajaran model

Treffinger tingkat III.

Pembelajaran Model Treffinger tingkat I dilaksanakan dengan teknik kreatif: (a) Teknik

warming up serta teknik pemikiran berakhir terbuka (keterbukaan) dimulai dengan pertanyaan

siswa tentang pengalamanya contoh garis yang ada disekitar mereka dan apa yang terjadi jika

tidak ada garis di dunia ini, pertanyaaan ini membuat pemikiran siswa terbuka. Kemudian

dilanjutkan dengan siswa diminta memperagakan garis secara langsung dengan seutas tali

rapiah biru yang dikedua ujungnya dipegang oleh dua orang siswa dari mulai keadaan sangat

kendur, kendur dan akhirnya semakin ketat sehingga membentuk sebuah garis lurus. Peragaan

dilakukan untuk memahamkan siswa tentang garis lurus dan garis lengkung, dilanjutkan dengan

menambahkan pasangan siswa dan tali rapiah yaitu rapiah putih, tali rapiah merah, dan tali

rapiah hijau. Yang diantara keempat garis tersebut dikondisikan memiliki hubungan garis yang

saling sejajar, berpotongan, berpotongan tegak lurus, dan berhimpit. (b) Teknik penyusunan

sifat hubungan garis. Berdasarkan peragaan yang dilakukan oleh siswa, siswa diarahkan untuk

memahami garis dan menyusun sifat-sifat yang dimiliki garis jika garis saling berpotongan,

sejajar, berimpit dan bersilangan. Siswa mendiskusikan dan menuliskan di papan tulis sifat-sifat

yang dimiliki. (c) Teknik penulisan gagasan dan sumbang saran. Untuk menampung gagasan

setiap siswa, LKS diberikan kepada setiap siswa dan diberikan satu LKS yang sama untuk

kelompok tempat menampung hasil diskusi dan hasil akan dikumpulkan. (d) Teknik sumbang

saran, yaitu salah satu kelompok siswa diminta menampilkan hasil diskusinya dan kelompok

lain memberi tanggapan berupa saran untuk menghasilkan jawaban yang lain sehingga muncul

bermacam ide yang meningkatkan kreativitas siswa.

Pembelajaran Model Treffinger Tingkat II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan,

didalamnya terdiridari beberapa teknik: (a) Teknik warming up, melalui pertanyaan tentang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

343

jenis sudut dan peragaan seorang siswa. (b) Teknik Warming up (Penggunaan ide kreatif) guru

menyediakan lembar geoboard untuk setiap siswa dan meminta siswa menggambarkan bentuk-

bentuk menarik yang di dalamnya terdapat hubungan sudut, dan menuliskan hubungan sudut

beserta sudutnya. Siswa merasa senang dan asyik dalam bentuk-bentuk yang dibuatnya dan

menunjukkan hubungan sudut tersebut. Salah satu hasilnya terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Contoh Penggunaan Ide Kreatif pada Lembar Geoboard

(c) Konflik internal, siswa diminta membuat naskah drama yang terkait dengan cake yang

berbentuk segitiga dan akan dibagi dengan ketentuan bahwa saat membagi cake masih dalam

bentuk segitiga. (d) Teknik bermain peran dalam menyelesaikan masalah (sosio drama), Siswa

diminta untuk mempersiapkan diri untuk memperagakan naskah drama yang telah mereka

tuliskan. Kemudian guru meminta beberapa kelompok siswa memperagakan di depan kelas dan

kelompok lain memperhatikan dan memberi tanggapan diakhir peran kelompok temannya.

Salah satu contoh naskah drama yang ditampilkan ada pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh Naskah sosio drama cake segitiga

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

344

Pembelajaran Model Treffinger Tingkat III. Di tahap inti pembelajaran, guru mengajak

siswa terlibat dalam tantangan dan masalah nyata. Melalui kegiatan pembelajaran ini diharapkan

siswa mampu mengorganisasi, mengolah keterangan dan gagasan, sehingga masalah yang

dihadapi dapat dipahami dan diselesaikan. (1) Teknik CreativeProblem solving, Teknik ini

diawali oleh guru dengan bercerita masalah nyata yang berkaitan dengan garis dan sudut, yaitu

tentang seorang pembuat pagar yang menerima pesanan untuk membuat pagar.

Dari hasil tes akhir tindakan siklus I diperoleh 3 siswa pada tingkatan tidak kreatif, 27

siswa pada tingkatan kurang kreatif, 2 siswa cukup kreatif, dan 10 siswa pada tingkat kreatif.

Berkenaan dengan kriteria keberhasilan, maka pembelajaran model Treffinger pada siklus I

dikatakan belum berhasil, karena walaupun siswa yang mengalami peningkatan kreativitas

sebesar 35% tetapi hanya 70% variabel pengamatan pribadi yang mencapai kriteria minimal

“baik” dan rerata hasil observasi variabel aspek kognitif dan afektif tiap tingkat model

Treffinger belum 100% (66,67%) pada kategori “baik” atau “sangat baik” . Untuk itu penelitian

perlu dilanjutkan ke siklus II dengan memperbaiki rencana pembelajaran dan memilih teknik

yang lebih sesuai.

Siklus II

Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti menyusun instrumen penelitian yang terdiri

dari lembar tes akhir dan observasi, dan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana

pelaksanaan pembelajaran dan lembar kerja siswa.

Pelaksanaan Tindakan Siklus II dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan dan materi

pembelajaran yang digunakan adalah hubungan garis yang terbentuk jika dua dua garis dipotong

oleh garis yang lain. Kegiatan pembelajaran model Treffinger tingkat I dilaksanakan dengan

tenik (a) teknik warming up (b) teknik pemikiran berakhir terbuka (c) teknik penyusunana sifat

hubungan sudut (d) teknik penulisan gagasan (e) teknik sumbangan saran. Pembelajaran model

treffinger tingkat II dilaksanakan dengan tenik (a) Teknik Warming Up (Penggunaan Ide

kreatif), (b) Teknik bermain peran dalam menyelesaikan masalah (sosio drama). Pembelajaran

model Treffinger tingkat II dilaksanakan dengan tenik Creative Problem Solving.

Berdasarkan analisa hasil tes akhir tindakan siklus II, diperoleh informasi 22 siswa

kurang kreatif dan 20 siswa kreatif. Terdapat 12 siswa yang mengalami peningkatan kreativitas.

Dibandingkan tes awal jumlah siswa yang mengalami peningkatan kreativitas adalah 41%.

Peningkatan kreativitas siswa pada tes akhir dibandingkan dengan tes awal disajikan

pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Peningkatan Kreativitas Selama Penelitian

Sesuai dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditetapkan, maka pembelajaran model

Treffingerpada siklus II dikatakan berhasil, karena 97,2% variabel pengamatan pribadi

mencapai kriteria minimal “baik” sedangkan rerata hasil observasi variabel aspek kognitif dan

afektif tiap tingakat model Treffinger 100% pada kategori “baik” atau “sangat baik”. Dan

42,8% siswa mengalami peningkatan kreativitas.

TEMUAN PENELITIAN

Selama pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menerapkan model Treffinger,

terdapat temuan ikutan sebagai berikut: (a) Siswa merasa senang, karena pembelajaran terasa

lebih santai, bebas berpendapat, dan banyak tantangan. Hal ini membuat siswa menyukai

pelajaran matematika, (b) Pada Siklus I sempat terkendala dengan kekurangan waktu karena

siswa asyik berdiskusi dengan teman kelompok dan menikmati saat berkreasi di LKS dan tugas-

0

5

10

15

20

25

30

Tes Awal Tes Akhir

Siklus I

Tes Akhir

Siklus II

Tidak Kreatif

Kurang Kreatif

Cukup Kreatif

Kreatif

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

345

tugas lain, (c) Pelaksanaan pembelajaran model Treffinger menggunakan soal-soal problem

solving yang open ended, siswa yang belum terbiasa harus membiasakan diri lebih dahulu

akibatnya mereka merasa kesulitan di awal tetapi setelah terbiasa merasa tertantang dan dapat

menyelesaikan soal. Tetapi siswa yang berkemampuan rendah sedikit kewalahan, diperlukan

waktu yang lebih lama untuk membiasakan mengerjakannya.

Pembelajaran Matematika melalui Model Treffinger

Tindakan pada penelitian memberikan pemanasan dengan memberikan pertanyaan yang

membebaskan siswa untuk berimajinasi dan memberikan jawaban yang beragam tentang apa

yang akan terjadi untuk sesuatu hal yang selama ini belum terbayangkan, bila tidak ada garis

lurus. Hal itu menimbulkan cara berpikir divergen sebagai ciri khas dari pembelajaran

Treffinger tingkat I sesuai dengan pernyataan Munandar (2009:195) bahwa berpikir divergen

dapat dirangsang dengan mengajukan pertanyaan yang mendorong ungkapan pikiran dan

perasaan yang berakhir terbuka (open ended thoughts and feelings).

Pemecahan masalah terbuka dilakukan secara berkelompok dengan menerapkan teknik

daftar penulisan gagasan dan teknik sumbang saran. Gagasan untuk menyelesaikan masalah

yang sudah ditulis masing-masing siswa disampaikan pada saat diskusi kelompok. Peneliti

sebagai guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator, mengarahkan agar pada saat

penyampaian gagasan tidak terjadi penilaian dan kritik dari siswa lain, hal ini sesuai dengan

Semiawan (1990:43) bahwa kritik akan mengahambat timbulnya gagasan-gagasan spontanitas.

Kritik dan penilaian baru disampaikan pada tahap penilaian, yaitu pada saat diskusi kelompok

dan pada saat setelah salah satu kelompok mempresentasikan hasil kelompoknya.

Pembelajaran dilanjutkan ke Model Treffinger tingkat II, diawali menggunakan teknik

warming up (pemanasan) dengan penggunaan ide kreatif melalui bantuan lembar geoboard.

Selanjutnya dengan belajar kreatif yang menggunakan proses pemikiran dan perasaan majemuk,

teknik yang digunakan pada pembelajaran ini adalah bermain peran dalam menyelesaikan

masalah (sosio drama). Karena melalui teknik bermain peran, siswa secara langsung dapat

menangani konflik, stress, dan masalah yang timbul dari pengalaman dalam kehidupannya

(Haryono, 2009:23). Siswa dihadapkan pada masalah menantang seputar kehidupan siswa

SMP. Siswa ditantang dengan masalah pada LKS untuk membuat sebuah cerita yang

diperankan mereka sendiri dan didalamnya ada suatu masalah matematika terkait tentang sudut

yang harus diselesaikan. Penggunaan LKS pada saat siswa melakukan diskusi bertujuan agar

terjadi proses bimbingan yang dilakukan oleh siswa yang lebih mampu menyelesaikan masalah

kepada siswa yang kurang mampu.

Model Treffinger tingkat III, yaitu (1) meminta siswa untuk mengajukan masalah yang

berkaitan dengan garis dan sudut, sejalan dengan hasil penelitian Siswono (2005:86) bahwa

pengajuan masalah banyak memberi manfaat dalam pembelajaran matematika, salah satunya

dalam mendorong kemampuan berpikir kreatif siswa. Pengajuan masalah terjadi antara anggota

kelompok selama diskusi kelompok dan antar kelompok. Diskusi mengarahkan siswa

memperoleh pengalaman melalui partisipasi dan interaksi Melalui diskusi terjadi aktivitas

pertukaran gagasan, fakta, opini, di antara siswa. sehingga belajar menjadi lebih dinamis

(Tsaniyah, 2005). (2) memberikan permainan creative problem solving berupa lomba

menyelesaikan masalah yang sudah dibuat masing-masing kelompok pada kegiatan problem

posing dan sudah diacak, (3) memberikan reward kepada siswa yang mengalami peningkatan

kemampuan berpikir kreatif karena menurut Hudojo (1988:279) penghargaan sangat diperlukan

untuk meningkatkan sikap, rasa puas, dan bangga siswa terhadap matematika.

KESIMPULAN

Pembelajaran model Treffinger yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif

siswa kelas VII SMP Negeri 19 Malang adalah sebagai berikut:

a. Model Treffinger tingkat I

(1) Memberikan pemanasan melalui pertanyaan yang menarik dan menantang tentang garis

dan sudut

(2) Melatih siswa berpikir divergen melalui pemberian LKS yang berisi masalah terbuka

tentang garis dan sudut.

(3) Meminta siswa menuliskan semua ide atau gagasannya dalam menyelesaikan masalah

terbuka tentang garis dan sudut.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

346

(4) Meminta siswa mendiskusikan ide atau gagasan masing-masing siswa dalam

menyelesaikan masalah terbuka bersama kelompoknya, dan menentukan beberapa

alternatif penyelesaiannya melalui kegiatan sumbang saran

(5) Meminta salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi dalam menentukan

beberapa alternatif penyelesaian masalah terbuka

b. Model Treffinger tingkat II

(1) Memberikan warming up (pemanasan) dan penggunaan ide kreatif dengan membuat

gambar yang berkaitan dengan garis dan sudut pada lembar geoboard,

(2) Bermain peran dalam menyelesaikan masalah (sosio drama). Masalah yang diberikan

kepada siswa adalah masalah sehari-hari yang terkait dengan materi garis dan sudut

c. Model Treffinger tingkat III

(1) Meminta siswa untuk mengajukan masalah yang berkaitan dengan garis dan sudut

secara berkelompok melalui kegiatan problem posing

(2) Memberikan permainan creative problem solving berupa lomba menyelesaikan masalah

yang sudah dibuat masing-masing kelompok pada kegiatan problem posing dan sudah

diacak.

(3) Memberikan reward kepada siswa yang mengalami peningkatan kemampuan berpikir

kreatif

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diuraiakan di atas, maka ada beberapa saran yang dapat

dikemukakan berkaitan dengan menumbuhkan krativitas siswa. Saran-saran tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh guru bahwa untuk mengoptimalkan kemampuan

berpikit kreatif siswa dibutuhkan pembelajaran dengan memberikan masalah-masalah yang

menantang yang menuntut jawaban maupun cara yang beragam

2. Dalam menyusun tes kemampuan berpikir kreatif matematika, aspek bahasa merupakan

aspek yang rumit karena susunan kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa terkadang tidak

komunikatif dan sulit dipahami siswa. Sehingga selain memperhatikan kaidah bahasa, jika

siswa belum memahaminya maka guru harus memberikan penjelasan. Hal ini bertujuan agar

tujuan penilaian dapat tercapai.

3. Dalam menerapkan model Treffinger, guru harus sering memberikan motivasi, karena

ketika diminta untuk mengajukan masalah matematika siswa cenderung untuk membuat

yang mudah supaya tidak menyulitkan diri sendiri.

4. Tingkat berpikir kreatif yang diperoleh dari tes dapat digunakan sebagai pedoman dalam

mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa dalam berpikir kreatif, sehingga guru dapat

menentukan strategi untuk pembelajaran selanjutnya.

5. Untuk memperoleh hasil penelitian yang memiliki validitas yang tinggi tentang kreativitas

siswa, sebaiknya menggunakan observer dari ahli psikologi atau memberdayakan guru

bimbingan konseling.

6. Bagi peneliti lain yang berminat mengadakan penelitian lanjutan hendaknya melakukan

pada materi yang lain atau sekolah yang lain sehingga akan diperoleh gambaran lebih lanjut

mengenai kreativitas siswa dalam pembelajaran dengan model Treffinger. Selain

peneliti/guru matematika yang menggunakan pembelajaran model treffinger, peneliti/guru

mata pelajaran lain juga dapat menerapkan pembelajaran model treffinger dengan

menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan untuk merancang penelitian baru berkaitan

tentang kreativitas siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Darwis, Gary A. Anak Berbakat dan Pendidikan Keberbakatan: Suatu Buku Panduan untuk

Guru dan Orang Tua. Diterjemahkan Harry Slamet. 2012. Jakarta: PT Indeks

DeMatteo, Rachel Wing. 2010. A Model Approach to Problem Solving.diperoleh dari

JournalMathematics Teaching in The Middle School NCTM. Vol. 16 No. 3. October

2010 : 132-135.

Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

347

Haryono, Ari Dwi. 2009. Pebelajaran Model Treffinger untuk Menumbuhkan Kreativitas dalam

Pemecahan Masalah Operasi Hitung Pecahan Siswa Kelas V SD Islam Hasyim

Singosari Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM

Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat-Cet.3. Jakarta: Rineka Cipta.

Pehkonen, Erkki. 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity. (Online),

http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a4.pdf, diakses 8 januari 2013

Semiawan, Conny dkk. 1990. Memupuk Bakat dan Kreatifitas Siswa Sekolah Menengah:

Petunjuk bagi Guru dan Orang tua. Jakarta : Penerbit PT Gramedia

Siswono, Tatag Y. E. 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa melalui

Pengajuan Masalah. Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan

Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005.

ISSN 1410- 1866, hal 1-9, (On line),

http://www.papero5_problemposing.pdf (application/pdf.object), diakses 27 Februari

2013

Siswono, Tatag Y. E. 2009. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan IdentifikasiTahap

Berpikir Kreatif siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika.

Ringkasan Disertasi, (On line), http://suaraguru.wordpress.com/2009/02/02/ringkasan-

disertasi-tatag-yuli-eko-siswono-2/ diakses 27 Februari 2013

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : CV Alfabeta

Tsaniyah, S. 2005. Penerapan Model Siklus Belajar yang Menggunakan Asesmen Presentasi

dan Diskusi dalam Meningkatkan Kualitas Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas X

Semester 1 SMA Negeri 1 Gresik. MIPA. 10 (1):1-15.

Silver, Edward A. 1997. Fostering Creativity trough Instruction Rich in MathematicalProblem

Solving and Thinking in Problem Posing, (Online),

http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm.973a2.pdf. diakses 8 januari 2013

Sternberg, Robert. 2007. Creativity as A Habit : Creativity dalam Al-Girl Tan (Ed). A

Handbook for Teacher (hlm 3-25). Singapore: Nayang Technological University.

VanGundy, Athur B. 2005. 101 Activities for Teaching Creativity and Problem Solving. San

Fransisco: John Wiley & Son. Inc.

PEMBELAJARAN THINK-PAIR-SHARE UNTUK

MENINGKATKAN KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN

MATEMATIKA PADA SISWAKELAS VIII SMP

Tafsillatul Mufida Asriningsih, Ipung Yuwono, dan Sri Mulyati

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstract: The observations and interview in VIII H grade of SMP Negeri 11 Malang were

obtained the data that the mathematics learning was not effective. Mathematics teacher in

VIII grade said that students had difficulties on the study of system of linear equations in

two variables. This research aimed to describe the used of TPSmodel to increase the

effectiveness of mathematics learning in VIII H grade SMPN 11 Malang. The research

design was used in classroom action research. The research result that students activity,

teacher’s ability to manages the learning, and students response fulfilled the criterias for

effectiveness of TPS learning in system of linear equations in two variables lesson. But

students score of test were unfulfilled. Therefore, TPS learning in SPLDV lesson was not

effective yet.

Keywords: Think-Pair-Share, The Effectiveness of Mathematics Learning, system of

linear equations in two variables

Abstrak: Hasil observasi dan wawancara di kelas VIII H SMPN 11 Malang menunjukkan

bahwa pembelajaran matematika tidak efektif. Guru matematika di kelas VIII menyatakan

bahwa siswa mengalami kesulitan mempelajari materi Sistem Persamaan Linear Dua

Variabel (SPLDV). Tujuan penelitian ini mendeskripsikan penerapan model TPS yang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

348

dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika pada siswa kelas VIII H SMP

Negeri 11 Malang. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas.Hasil penelitian

menunjukkan bahwa aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan

respon siswa memenuhi indikator keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV.

Sedangkan hasil tes siswa tidak memenuhi indikator keefektifan pembelajaran. Dengan

demikian, pembelajaran TPS pada materi SPLDV dinyatakan belum efektif.

Kata Kunci: Think-Pair-Share, Keefektifan Pembelajaran Matematika, Sistem Persamaan

Linear Dua Variabel

Usaha pewujudan lingkungan pembelajaran efektif meliputi strategi yang digunakan

guru untuk menciptakan pengalaman kelas yang positif dan produktif (Slavin, 2006:351).

Strategi untuk mewujudkan lingkungan pembelajaran efektif memuat pencegahan dan

peresponan terhadap perilaku yang salah, menggunakan alokasi waktu di kelas dengan baik,

menciptakan atmosfer yang konduktif untuk ketertarikan dan penyelidikan, serta merancang

aktivitas yang dapat mengaitkan pemikiran dan imajinasi siswa.Pembelajaran matematika

efektif dapat menciptakan pengalaman kelas yang produktif, mendukung hasil belajar yang baik

dari siswa, dan menyediakan waktu pembelajaran yang efektif pula. Sedangkan pembelajaran

yang tidak efektif berakibat siswa menjadi kurang produktif dan kurang memahami materi yang

telah dipelajari di kelas.

Pada bulan Oktober semester gasal tahun ajaran 2013/2014, peneliti melakukan

observasi dan wawancara mengenai kondisi pembelajaran matematika di kelas VIII H SMP

Negeri 11 Malang. Melalui observasi, teramati bahwalangkah-langkah pembelajaran yang

dilakukan adalah guru menyampaikan materi, siswa mencatat penjelasan guru, setelah itu siswa

mengerjakan soal. Media pembelajaran yang digunakan berupa power point dan buku paket.

Kendala yang dihadapi adalah sebagian siswa kurang memahami konsep dari materi yang

disampaikan guru.Melalui wawancara dengan guru matematika, diperoleh informasi bahwa

beberapa siswa biasanya ramai saat pembelajaran berlangsung. Sehingga guru harus terus-

menerus mengingatkan siswa agar memperhatikan pembelajaran. Perilaku siswa mengakibatkan

proses pembelajaran terhambat dan pembelajaran menghabiskan waktu lebih banyak daripada

yang direncanakan.

Kondisi pembelajaran serta perilaku siswa berakibat tujuan pembelajaran kurang

tercapai dengan baik. Kurang tercapainya tujuan pembelajaran dapat dilihat dari hasil belajar

siswa di kelas. Menurut guru matematika, banyak siswa yang hasil belajarnya kurang maksimal.

Hasil Ulangan Tengah Semester Gasal 2013/2014 pada mata pelajaran matematika

menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas VIII H rendah. Dari jumlah total 39 orang siswa,

hanya 18 siswa (sebanyak 46%) yang nilainya memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Sedangkan nilai dari 21 siswa (sebanyak 54%) tidak mencapai KKM.

Memperhatikan uraian sebelumnya, nampak bahwa pembelajaran matematika siswa

Kelas VIII H tidak efektif. Hal ini tercermin dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, yaitu

kurangnya aktivitas pembelajaran yang lebih terpusat pada siswa, proses pembelajaran

terhambat oleh perilaku siswa, pembelajaran menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang

direncanakan, dan diperolehnya hasil belajar yang rendah.

Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) merupakan salah satu materi yang

harus dikuasai di kelas VIII. Namun masih terdapat masalah dalam mempelajari SPLDV. Guru

matematika di kelas VIII SMP Negeri 11 Malang menyatakan bahwa kesulitan yang sering

dialami siswa adalah: (1) pada soal menyelesaikan SPLDV dengan metode eliminasi, siswa

kesulitan menentukan apakah harus dilakukan penjumlahan atau pengurangan pada persamaan

untuk mencari nilai salah satu variabel, dan (2) pada soal menyelesaikan SPLDV dengan

metode grafik, siswa kesulitan menentukan letak titik koordinat dan miring saat menggambar

grafik persamaan.

Hasil penelitian Febriansyah (2014) juga menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan

dalam memahami materi SPLDV. Kesulitan tersebut yaitu: kesulitan mengklasifikasi contoh

dan bukan contoh PLDV, kesulitan menentukan penyelesaian, kesulitan menentukan himpunan

penyelesaian, dan kesulitan menggambar grafik. Faktor penyebab kesulitan adalah tidak

menguasai konsep PLDV, tidak mengetahui langkah-langkah dalam menentukan penyelesaian

dan menggambar grafik, serta tidak menguasai konsep himpunan penyelesaian.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

349

Kesulitan-kesulitan tersebut menunjukkan bahwa penguasaan siswa terhadap materi

SPLDV belum maksimal. Hal ini didukung oleh rendahnya penguasaan materi SPLDV pada

Ujian Nasional SMP/MTs Tahun 2012/2013 di kota Malang, yaitu sebanyak 65,47%. Persentase

penguasaan materi SPLDV di Provinsi Jawa Timur adalah 67,15%. Sedangkan persentase untuk

tingkat nasional adalah 61,31% (BSNP, 2013).

Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) menurut Arends (2007b:15-16) terdiri dari tiga

langkah. Langkah 1: Berpikir (Thinking), yaitu guru mengajukan pertanyaan atau isu yang

terkait dengan pelajaran. Kemudian meminta siswanya memikirkan sendiri tentang jawaban isu

tersebut. Langkah 2: Berpasangan (Pairing), yaituguru meminta siswa untuk berpasangan dan

mendiskusikan semua yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat berupa saling

berbagi jawaban bila suatu pertanyaan telah diajukan atau berbagi ide bila suatu isu tertentu

diidentifikasi.Langkah 3: Berbagi (Sharing), yaitu guru meminta pasangan-pasangan siswa

untuk berbagi sesuatu yang sudah dibicarakan bersama pasangannya masing-masing dengan

seluruh kelas.

TPS diharapkan dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran karena beberapa alasan.

Pertama, TPS merupakan pembelajaran konstruktivistik, dimana siswa harus menemukan

sendiri informasi/konsep SPLDV sehingga mereka dapat memahami materi yang dipelajari.

Sesuai dengan pendapat Slavin (2006:243), dalam pembelajaran konstruktivis siswa harus

menemukan dan mentransformasi informasi, memeriksa informasi baru yang berbeda dengan

aturan sebelumnya, dan merevisi aturan lama dengan pemahaman yang baru. Kedua, pada

langkah-langkah pembelajaran TPS, penyajian materi tidak diberikan secara langsung oleh guru

sehingga siswa dapat menemukan konsep SPLDV secara mandiri.Guru bertindak sebagai

fasilitator. Ketiga, langkah-langkah pembelajaran TPS membantu menstrukturkan pelaksanaan

diskusi, pemikiran dan tingkah laku siswa karena siswa harus melaporkan hasil pekerjaan secara

individu kepada anggota kelompoknya. Dengan demikian, tingkah laku siswa akan menjadi

lebih terarah. Keempat, dalam pembelajaran TPS, media yang digunakan berupa LKS berisi

masalah SPLDV. Pemberian LKS berisi masalah dengan tujuan agar siswa dapat menemukan

sendiri konsep SPLDV yang dipelajari.

Keberhasilan model TPS untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika

didukung oleh penelitian Wahyudi (2010). Wahyudi menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif TPS dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan kemampuan afektif siswa kelas X

TKJ B SMK Negeri 8 Malang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran

TPSberpengaruh positif terhadap dua kriteria pembelajaran efektif, yaitu aktivitas siswa dan

hasil belajar.

Berdasarkan masalah di kelas VIII dan kajian mengenai pembelajaran TPS di atas,

tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan model Think-Pair-Share (TPS) yang

dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika pada siswa kelas VIII H SMP

Negeri 11 Malang.

Dalam penelitian ini, pembelajaran materi SPLDV dengan TPS dikatakan meningkat

keefektifannya jika pembelajaran tersebut meningkat dari kurang efektif menjadi efektif.

Indikator keefektifan pembelajaran yaitu: (1) aktivitas siswa, (2) kemampuan guru mengelola

pembelajaran, (3) respon siswa, dan (4) hasil tes. Pembelajaran TPS dikatakan efektif jika

memenuhi kriteria:(1) aktivitas siswa baik, (2) kemampuan guru mengelola pembelajaran baik,

(3) respon siswa positif, dan (4) hasil tes siswa baik. Apabila salah satu kriteria tersebut tidak

terpenuhi, berarti pembelajaran TPSdikatakan kurang efektif dan akan dilakukan perbaikan

pembelajaran.

METODE

Pendekatan dan jenis penelitian sebagai berikut. Pendekatan penelitian ini adalah

kualitatif dan kuantitatif. Jenis penelitian adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Tindakan

yang diterapkan berupa pembelajaran Think-Pair-Share untuk meningkatkan keefektifan

pembelajaran matematika.

Lokasi, subjek penelitian, dan kehadiran peneliti diuraikan sebagai berikut. Penelitian

dilakukan di kelas VIII H SMP Negeri 11 Malang, Jl. Ikan Piranha Atas No. 185, Malang.

Subjek penelitian adalah siswa kelas VIII H SMP Negeri 11 Malang, sebanyak 38 siswa.

Kehadiran peneliti mutlak diperlukan dalam penelitian. Peneliti adalah instrumen utama karena

peneliti sebagai perencana dan pemberi tindakan dalam penelitian.Prosedur penelitian mengacu

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

350

pada prosedur penelitian tindakan Mertler dan Charles (dalam Mertler, 2009:31) yang terdiri

dari 4 tahap, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengembangan, dan refleksi.

Perangkat pembelajaran adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Lembar

Kerja Siswa (LKS). Sedangkan instrumen penelitian adalah lembar tes, pedoman wawancara,

Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran, dan dokumentasi. Lembar Pengamatan

Keterlaksanaan Pembelajaran memuat deskripsi tertulis tentang aktivitas siswa dan aktivitas

guru selama pembelajaran.

Data dalam penelitian ini yaitu: hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen

penelitian, hasil kerja siswa pada LKS, hasil tes siswa, hasil pengamatan aktivitas siswa, hasil

pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, keterlaksanaan pembelajaran, dan

wawancara. Sedangkan sumber data yaitu: validator, LKS, lembar tes siswa, Lembar

Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran, catatan lapangan, dokumentasi, dan siswa.

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dan teknik

analisis data kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif berupa teknik analisis data yang

dikembangkan oleh Miles & Huberman (1994:10-11), yaitu: (1) mereduksi data, (2) penyajian

data, dan (3) menarik kesimpulan dan verifikasi data. Data yang dianalisis secara kualitatif

adalah Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Pembelajaran (data yang diperoleh berupa hasil

pengamatan aktivitas siswa dan kemampuan guru mengelola pembelajaran), wawancara (data

yang diperoleh berupa respon siswa), catatan lapangan, dan dokumentasi. Sedangkan data yang

dianalisis secara kuantitatif adalah hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen

penelitian, serta hasil tes.

HASIL

Paparan Data Penelitian Hasil utama yang diperoleh dalam penelitian berupa langkah-langkah penerapan

pembelajaran Think-Pair-Share(TPS) untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran

matematika pada materi SPLDV. Hasil ini diperoleh berdasarkan hasil pengamatan aktivitas

siswa, hasil pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, hasil tes, dan hasil

wawancara untuk memperoleh respon siswa.

Pembelajaran TPS pada siklus I dikaji sebagai berikut. Hasil observasi aktivitas siswa

menunjukkan:(1) aktivitas siswa pada pertemuan 1 adalah tidak baik, (2) aktivitas siswa pada

pertemuan 2 adalah tidak baik, dan (3) aktivitas siswa pada pertemuan 3 adalah baik. Mayoritas

aktivitas siswa adalah tidak baik sehingga aktivitas siswa pada Siklus I dinyatakan tidak baik.

Hasil observasi aktivitas guru menunjukkan: (1) kemampuan guru mengelola

pembelajaran pertemuan 1 adalah tidak baik, (2) kemampuan guru mengelola pembelajaran

pertemuan 2 adalah baik, dan (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran pertemuan 3 adalah

baik. Dengan demikian, kemampuan guru mengelola pembelajaran pada Siklus I dinyatakan

baik.

Hasil wawancara dan tes pada siklus I sebagai berikut. Hasil wawancara menunjukkan

bahwa tiga dari empat siswa yang diwawancara merasa senang dan berminat terhadap

pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sehingga, respon siswa terhadap pembelajaran TPS pada

materi SPLDV dinyatakan positif.Berdasarkan rata-rata nilai tes siklus I, persentase siswa yang

mencapai KKM adalah 66%. Dalam penelitian ini, hasil tes dikatakan tidak baik jika kurang

dari 80% siswa mencapai KKM sehingga hasil tes siswa pada siklus I adalah tidak baik.

Berdasarkan uraian sebelumnya, pembelajaran Think-Pair-Share pada siklus I

dinyatakan tidak efektifkarena kriteria keefektifan pembelajaran (khususnya aktivitas siswa dan

hasil tes) tidak terpenuhi. Dengan demikian, diterapkan siklus II dengan harapan keefektifan

pembelajaran materi SPLDV akan mengalami peningkatan.Kekurangan dalam pelaksanaan

tindakan siklus I dan rencana perbaikannya diuraikan dalam tabel berikut.

Tabel 1.1 Kekurangan dan Rencana Perbaikan Terhadap Kekurangan Pelaksanaan

PembelajaranThink-Pair-ShareSiklus I

No Kekurangan Rencana Perbaikan Terhadap

Kekurangan

Tahap Think

1 Pertanyaan dan instruksi pada LKS

kurang sederhana dan komunikatif

sehingga sulit dipahami oleh siswa.

Menyusun pertanyaan LKS menjadi lebih

sederhana, sehingga mudah dipahami oleh

siswa.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

351

2 Proses pendampingan yang diberikan

guru kurang optimal, akibatnya:

beberapa siswa tidak memperoleh

bantuan dari guru, yaitu siswa yang

tempat duduknya berada di

belakang,

masih ada siswa yang bekerjasama

untuk mengerjakan LKS Individu.

Mengoptimalkan proses pendampingan

sehingga bisa membantu semua siswa

yang kesulitan mengerjakan LKS.

Memotivasi siswa untuk mengerjakan

LKS secara individu. Misalnya dengan

mengatakan, “Jika kalian mengerjakan

secara individu, maka pemahaman kalian

akan meningkat.”

3 Guru tidak dapat segera memberikan

bantuan kepada seluruh siswa yang

kesulitan, sehingga banyak siswa yang

mendatangi guru untuk bertanya.

Akibatnya suasana menjadi gaduh.

Jika mayoritas siswa mengajukan

pertanyaan yang sama, maka guru

menjawab pertanyaan tersebut secara

klasikal.

Memberikan motivasi agar siswa berusaha

mengerjakan terlebih dahulu sebelum

bertanya kepada guru.

Tahap Pair

4 Pengawasan dan motivasi yang

diberikan guru kurang optimal.

Sehingga ada siswa yang tidak mau

menyumbangkan ide untuk mengerjakan

LKS Kelompok.

Meminta semua siswa menanggapi

pertanyaan pasangannya.

Mendekati siswa secara perorangan dan

memberikan motivasi agar siswa mau

bekerjasama mengerjakan LKS.

Meningkatkan pengawasan dan meminta

siswa melaporkan apabila anggota

kelompoknya tidak mau mengerjakan

LKS.

Tahap Share

5 Guru kurang memperhatikan siswa yang

tidak ikut serta menyampaikan pendapat

dalam diskusi kelas, sebab yang

menyampaikan pendapat hanya

beberapa kelompok saja.

Meminta siswa untuk menyampaikan

pendapat jika jawabannya berbeda dengan

hasil presentasi.

Menunjuk beberapa siswa untuk

menyampaikan pendapatnya, sehingga

siswa menjadi lebih aktif.

Pengelolaan Waktu

6 Pengelolaan waktu tidak sesuai dengan

yang direncanakan.

Mengoptimalkan pengelolaan waktu

pembelajaran.

Perilaku Siswa

7 Guru tidak menegur siswa yang

membuat kegaduhan selama

pembelajaran.

Menegur dan menasehati siswa yang gaduh

secara perorangan agar lebih tertib.

Tindakan siklus II dilaksanakan untuk memperbaiki masalah yang muncul pada

tindakan siklus I. Refleksi tindakan pembelajaran Siklus II sebagai berikut.Hasil observasi

aktivitas siswa menunjukkan: (1) aktivitas siswa pada pertemuan 1 adalah tidak baik, (2)

aktivitas siswa pada pertemuan 2 adalah baik, dan (3) aktivitas siswa pada pertemuan 3 adalah

baik. Mayoritas aktivitas siswa adalah baik, sehingga aktivitas siswa pada siklus II dinyatakan

baik. Hasil aktivitas siswa pada siklus II mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus I.

Hasil observasi aktivitas guru menunjukkan: (1) kemampuan guru mengelola

pembelajaran pertemuan 1 adalah baik, (2) kemampuan guru mengelola pembelajaran

pertemuan 2 adalah baik, dan (3) kemampuan guru mengelola pembelajaran pertemuan 3 adalah

baik. Dengan demikian, kemampuan guru mengelola pembelajaran pada Siklus II dinyatakan

baik.

Hasil wawancara menunjukkan: (1) diantara empat siswa yang diwawancarai, tiga siswa

mampu menyelesaikan SPLDV dengan baik, dan (2) diantara empat siswa yang diwawancarai,

hanya satu siswa yang dapat menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik. Disimpulkan bahwa

penguasaan siswa terhadap materi menyelesaikan SPLDV baik. Tetapi penguasaan terhadap

materi menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik tidak baik.

Peneliti membandingkan hasil tes siswa pada siklus I dan siklus II. Rata-rata nilai tes

secara klasikal pada siklus I adalah 75,84. Sedangkan rata-rata nilai tes pada siklus II adalah

77,61. Dinyatakan terjadi peningkatan rata-rata nilai tes.Berdasarkan rata-rata nilai tes siklus II,

persentase siswa yang mencapai KKM adalah 68%. Dalam penelitian ini, hasil tes dikatakan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

352

tidak baik jika kurang dari 80% siswa mencapai KKM. Sehingga, hasil tes siswa pada siklus II

dinyatakan tidak baik.

Pembelajaran TPS pada materi SPLDV dinyatakan belum efektif. Hal ini disebabkan

salah satu kriteria keefektifan pembelajaran, yaitu hasil tes tidak terpenuhi. Akan tetapi, siklus

(penelitian) telah dihentikan dengan pertimbangan: (1) berdasarkan pendapat Arikunto, dkk

(2012:23), Suyadi (2012:19), dan Daryanto (2011:30), penelitian tindakan kelas dapat dilakukan

minimal dalam dua siklus, dan (2) sekolah tidak mengizinkan penelitian lebih lanjut disebabkan

siswa harus melaksanakan Ujian Akhir Semester.

TEMUAN PENELITIAN

Pada Tahap Think, guru mengoptimalkan proses pendampingan agar bisa membantu

mayoritas siswa yang kesulitan mengerjakan LKS. Guru juga memberikan motivasi dan

menasehati siswa agar mengerjakan LKS secara individu. Berdasarkan observasi, tindakan ini

meningkatkan banyaknya siswa yang mengerjakan LKS secara Individu.

Pada Tahap Pair, guru meminta siswa menganggapi pertanyaan pasangannya. Guru

juga memotivasi bahwa siswa pasti bisa mengerjakan LKS jika saling bekerjasama dengan

anggota kelompoknya. Sehingga terjadi peningkatan banyaknya siswa yang aktif bekerjasama

menyelesaikan LKS Kelompok. Berdasarkan observasi, semua siswa menyumbangkan idenya

dalam diskusi kelompok.

Pada Tahap Share, guru menanyakan kepada kelompok lain apakah jawaban yang

dipresentasikan benar atau salah. Guru meminta kelompok lain dan menunjuk beberapa siswa

untuk menyampaikan pendapat jika jawabannya berbeda dengan hasil presentasi. Berdasarkan

observasi, tindakan ini meningkatkan partisipasi kelompok dalam diskusi kelas.

Terbatasnya pengawasan dan pendekatan guru kepada siswa berakibat masih ada siswa

yang membuat kegaduhan selama pembelajaran. Berdasarkan observasi, masih ditemui

beberapa siswa yang gaduh di kelas.

Pada kegiatan apersepsi untuk materi menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik,

guru kurang memperhatikan siswa yang tidak ikut menyampaikan pendapat. Beberapa siswa

menyampaikan pendapatnya dan menguasai materi prasyarat, yaitu menggambar grafik garis

lurus dengan benar. Selanjutnya, guru menganggap semua siswa telah mampu menggambar

grafik garis lurus. Tetapi, ternyata masih banyak siswa yang tidak dapat melakukannya.

PEMBAHASAN

Langkah-Langkah Pembelajaran Think-Pair-Share pada Materi Sistem Persamaan

Linear Dua Variabel

Tahap awal pembelajaran Think-Pair-Share (TPS)dalam penelitian ini adalah guru

menyampaikan topik dan tujuan pembelajaran. Kemudian guru menjelaskan langkah-langkah

pembelajaran yang akan dilaksanakan. Dengan menyampaikan tujuan dan langkah

pembelajaran, siswa mengetahui apa yang diharapkan untuk mereka pelajari. Sehingga siswa

dapat mengalokasikan waktu untuk kegiatan belajarnya. Siswa juga dapat memantau kemajuan

belajarnya berdasarkan materi yang seharusnya dikuasai. Sesuai dengan pernyataan Arends

(2007a:123) yaitu melalui pengkomunikasian tujuan unit dan berbagai kegiatan pembelajaran,

siswa dapat mengetahui apa yang diharapkan untuk mereka pelajari. Pengetahuan tentang

perencanaan unit dapat membantu siswa untuk mengalokasikan waktu belajar dan memantau

kemajuannya sendiri.

Tahap Think dilakukan dalam empat langkah. Langkah pertama, guru memberikan

permasalahan tentang SPLDV (berupa LKS Individu). LKS berisi permasalahan yang dapat

mengarahkan siswa untuk memahami materi SPLDV. Sehingga dalam proses pembelajaran,

siswa dapat terlibat aktif untuk menemukan konsep SPLDV.Langkah kedua, guru meminta

siswa untuk mengerjakan permasalahan dalam LKS secara individu. Pada langkah ini,

kemampuan individu siswa diperlukan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sehingga

siswa dapat memahami materi melalui pengerjaan LKS.Sesuai dengan pendapat Hitipeuw

(2009:93) mengenai belajar dalam pandangan konstruktivistik kognitif, yaitu belajar adalah

proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan

yang bersifat individual dan internal.

Langkah ketiga, guru memantau dan memberikan bimbingan kepada siswa. Saat

memberikan bimbingan, guru berkeliling mendatangi siswa sehingga kegiatan masing-masing

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

353

siswa dapat lebih teramati. Pada kegiatan ini, banyak siswa yang bertanya kepada guru tentang

kesulitannya mengerjakan LKS. Guru tidak memberikan jawaban secara langsung kepada siswa,

melainkan memberikan pertanyaan pancingan agar mereka dapat menemukan sendiri

jawabannya. Langkah keempat adalah meminta siswa mengumpulkan LKS Individu.

Tahap Pair dilakukan dalam lima langkah. Langkah pertama, guru membagi siswa ke

dalam pasangan-pasangan kelompok belajar TPS. Pemilihan anggota kelompok ditentukan

berdasarkan tingkat kemampuan siswa. Setiap pasangan terdiri dari siswa dengan kemampuan

yang heterogen.Langkah kedua adalah guru memberikan LKS kelompok kepada setiap

pasangan siswa. Langkah ketiga, guru meminta siswa untuk mendiskusikan LKS Kelompok.

Pada kegiatan ini, siswa bekerjasama dan saling berbagi ide untuk menemukan penyelesaian

masalah pada LKS. Langkah keempat adalah guru memantau dan memberikan bimbingan

kepada kelompok. Pelaksanaan bimbingan dilakukan seperti pada tahap sebelumnya, yaitu guru

berkeliling mendatangi masing-masing kelompok. Pada kegiatan ini, kelompok siswa bertanya

kepada guru apabila masih ada masalah yang tidak dipahami dalam diskusi. Langkah kelima

adalah guru meminta siswa mengumpulkan LKS Kelompok.

Tahap Share dilakukan dalam tiga langkah. Langkah pertama, guru memilih beberapa

kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Pemilihan kelompok presentasi dilakukan

secara acak. Kelompok yang terpilih menuliskan jawaban di papan tulis. Kemudian kelompok

tersebut menjelaskan jawabannya kepada seluruh siswa. Langkah kedua adalah meminta

kelompok lain untuk memberikan tanggapan terhadap jawaban yang dipresentasikan. Guru

melibatkan siswa dalam diskusi kelas dengan cara menanyakan persetujuan dan pendapat

kelompok lain terhadap jawaban presentasi. Kelompok lain menyampaikan pendapat apakah

jawaban yang dipresentasikan benar atau salah. Selain itu, kelompok lain juga menyampaikan

pendapat jika jawabannya berbeda dengan jawaban yang dipresentasikan. Langkah ketigaadalah

guru mengkonfirmasi kebenaran jawaban siswa. Kegiatan ini diperlukan agar siswa mengetahui

kebenaran dari hasil diskusi kelas.

Tahap akhir dari pembelajaran TPS adalah guru bersama siswa menyimpulkan hasil

pembelajaran. Kesimpulan dibuat bersama-sama dengan siswa sehingga siswa dapat mengingat

materi yang telah dipelajari.

Keefektifan Pembelajaran Think-Pair-Sharepada Materi SPLDV

Aktivitas Siswa

Berdasarkan pengamatan, aktivitas siswa mengalami perbaikan setelah diterapkan

pembelajaran TPS pada materi SPLDV. Perbaikan pada tahap think yaitu lebih dari 80% siswa

mengerjakan LKS secara individu. Upaya guru untuk memperbaiki aktivitas siswa sesuai

dengan penelitian Puspita, dkk (2013) yaitu memotivasi, memberikan pengawasan dan teguran

agar siswa mengerjakan LKS secara individu.

Pada tahap pair, terjadi peningkatan partisipasi siswa dalam diskusi kelompok. Masing-

masing pasangan bekerjasama dan berbagi ide untuk mengerjakan LKS. Untuk meningkatkan

kerjasama dan kemandirian siswa, guru meminta siswa saling menanggapi pertanyaan

pasangannya sehingga guru dapat mengurangi bantuan yang diberikan kepada siswa.Sesuai

dengan pendapat Setyoriani, dkk (2014:203), pada pembelajaran TPS peran guru dalam

menjelaskan materi dengan ceramah dapat dikurangi karena guru lebih banyak berfungsi

sebagai fasilitator daripada pengajar.Ningsih, dkk (2013:486) menyatakan bahwa pembelajaran

TPS memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kerjasama dengan baik sehingga

menjadikan siswa lebih mandiri, kreatif, bersemangat, dan termotivasi.

Pada tahap share, terjadi peningkatan partisipasi siswa dalam diskusi kelas. Lebih dari

50% kelompok lain menyampaikan pendapat jika jawabannya berbeda dengan jawaban yang

dipresentasikan. Hasil ini didukung oleh penelitian Iswarini, dkk (2013:61), yaitu pembelajaran

TPS meningkatkan keaktifan dan berpikir kritis siswa kelas VII. Setelah diterapkan

pembelajaran TPS, siswa tidak lagi takut untuk bertanya jika kurang memahami materi.

Aktivitas siswa pada siklus I adalah tidak baik dan pada siklus II adalah baik, sehingga

aktivitas siswa mengalami perbaikan. Aktivitas siswa dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan

pembelajaran TPS pada materi SPLDV.

Perbaikan aktivitas siswa dalam pembelajaran TPS didukung oleh beberapa penelitian

sebelumnya. Wahyudi (2010) menyatakan bahwa kemampuan afektif siswa mengalami

peningkatan setelah mendapat tindakan pembelajaran TPS. Aspek afektif yang diamati dalam

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

354

penelitian Wahyudi adalah aktivitas siswa berupa kerjasama dalam kelompok, keaktifan, serta

keberanian mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan. Muzaki (2012), menyatakan

bahwa Problem Based Learning melalui belajar kooperatif TPS sangat baik untuk

meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa.Kismanto (2008) menyatakan bahwa pembelajaran

TPS dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X.

Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran

Berdasarkan pengamatan, aktivitas guru pada siklus II mengalami perbaikan

dibandingkan dengan siklus I. Kemampuan guru mengelola pembelajaran siklus II adalah baik.

Sehingga, kemampuan guru mengelola pembelajaran dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan

pembelajaran TPS pada materi SPLDV.

Respon Siswa

Hasil wawancara menunjukkan bahwa tiga dari empat siswa yang diwawancara merasa

senang dan berminat terhadap pembelajaran TPS yang telah dilaksanakan. Dengan demikian,

respon siswa terhadap pembelajaran TPS adalah positif. Respon siswa dinyatakan memenuhi

kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV. Respon siswa yang diamati dalam

penelitian ini sesuai dengan penelitian Mufidah, dkk (2013) yaitu kerjasama siswa, perasaan

bersemangat/tidak bersemangat, penguasaan materi, keberanian untuk bertanya dan menjawab

pertanyaan. Mufidah menyatakan bahwa respon siswa kelas XI terus mengalami peningkatan

selama tiga siklus penelitian pembelajaran TPS.

Respon positif dalam pembelajaran TPS didukung pula oleh beberapa penelitian lain.

Marlina, dkk (2014) dan Wahyudi (2010)menyatakan bahwa respon siswa terhadap

pembelajaran TPS adalah positif. Pramesti (2010) menyatakan bahwa mahasiswa senang

dengan strategi pembelajaran TPS yang digunakan. Sehingga mereka termotivasi untuk lebih

giat belajar.

Hasil Tes Siswa

Hasil pembelajaran pada siklus II menunjukkan bahwa siswa dapat menguasai materi

menyelesaikan SPLDV dengan metode selain grafik. Nilai rata-rata tes pada siklus II rendah

disebabkan karena rendahnya nilai siswa pada topik tes menyelesaikan SPLDV dengan metode

grafik.

Kegiatan apersepsi untuk materi menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik berupa

tanya jawab mengenai materi prasyarat, yaitu menggambar garis lurus. Pada kegiatan apersepsi,

guru kurang memperhatikan siswa yang tidak menyampaikan pendapat. Sebagian siswa mampu

menggambar grafik garis lurus dengan benar sehingga guru menganggap semua siswa telah

menguasai materi apersepsi. Tetapi pada kegiatan mengerjakan LKS, ternyata masih banyak

siswa yang tidak dapat menggambar garis lurus. Akibatnya, siswa kesulitan mempelajari materi

menyelesaikan SPLDV dengan metode grafik.

Tingkat penguasaan terhadap materi prasyarat mempengaruhi kemampuan siswa untuk

mempelajari materi berikutnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Slavin (2006:277), yaitu

kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru bergantung pada keterampilan atau pengetahuan

yang dibutuhkan untuk mempelajari materi baru tersebut. Siswa tidak akan mempelajari suatu

materi jika mereka memiliki kekurangan dalam keterampilan atau informasi prasyarat.

KESIMPULAN

Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) pada materi SPLDV dinyatakan belum efektif

karena kriteria keefektifan pembelajaran (khususnya hasil tes) tidak terpenuhi. Pembelajaran

TPS yang diterapkan dalam penelitian ini sebagai berikut.Kegiatan pada Tahap Think yaitu: (1)

guru memberikan permasalahan tentang SPLDV (berupa LKS Individu), (2) guru meminta

siswa mengerjakan permasalahan dalam LKS, (3) guru mendatangi siswa satu-persatu untuk

memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan mengerjakan LKS Individu,

bantuan diberikan dengan cara mengajukan pertanyaan pancingan agar siswa dapat menemukan

jawaban LKS, dan (4) meminta siswa mengumpulkan LKS Individu.

Kegiatan pada Tahap Pair yaitu: (1) guru membagi siswa ke dalam pasangan-pasangan

kelompok belajar, setiap pasangan terdiri dari siswa dengan kemampuan yang heterogen, (2)

guru memberikan permasalahan tentang SPLDV (berupa LKS Kelompok) kepada setiap

pasangan siswa, (3) guru meminta siswa mendiskusikan LKS secara berpasangan, (4) guru

mendatangi setiap kelompok siswa untuk memberikan bantuan kepada kelompok yang

mengalami kesulitan mengerjakan LKS Individu, bantuan diberikan dengan cara mengajukan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

355

pertanyaan pancingan agar siswa dapat menemukan jawaban LKS, (5) guru meminta setiap

siswa menaggapi pertanyaan pasangannya dalam diskusi kelompok, dan (6) guru meminta siswa

mengumpulkan LKS Kelompok.

Kegiatan pada Tahap Share yaitu: (1) guru memilih beberapa kelompok untuk

mempresentasikan hasil diskusinya, (2) guru meminta kelompok lain memberikan tanggapan

terhadap jawaban yang dipresentasikan, tanggapan dari kelompok lain berupa menyampaikan

apakah jawaban yang dipresentasikan benar atau salah, kelompok lain juga diminta

menyampaikan pendapat apabila jawabannya berbeda dengan jawaban yang dipresentasikan,

dan (3) guru mengkonfirmasi kebenaran jawaban siswa.

Indikator yang memenuhi keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV adalah

aktivitas siswa, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan respon siswa. Sedangkan

indikator yang tidak memenuhi keefektifan pembelajaran adalah hasil tes siswa.

Pembelajaran TPS pada materi SPLDV dapat meningkatkan aktivitas

siswa.Berdasarkan hasil pengamatan, aktivitas siswa pada siklus I adalah tidak baik sedangkan

aktivitas siswa pada siklus II adalah baik. Aktivitas siswa dinyatakan memenuhi kriteria

keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV.

Pada siklus I kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah baik. Begitu pula pada

siklus II, kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah baik. Dengan demikian, kemampuan

guru mengelola pembelajaran dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada

materi SPLDV.

Respon dan nilai tes siswa sebagai berikut. Respon terhadap pembelajaran TPS pada

materi SPLDV adalah positif, maka respon siswa dinyatakan memenuhi kriteria keefektifan

pembelajaran TPS pada materi SPLDV. Berdasarkan rata-rata nilai tes siswa secara klasikal

pada siklus I dan siklus II, terjadi peningkatan rata-rata nilai tes. Tetapi, persentase siswa yang

mencapai KKM pada kedua siklus kurang dari 80% sehingga hasil tes adalah tidak baik. Hasil

tes dinyatakan tidak memenuhi kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV.

Saran

Salah satu kriteria keefektifan pembelajaran TPS pada materi SPLDV yang tidak

terpenuhi adalah hasil tes. Pembelajaran TPS dalam penelitian ini dinyatakan belum efektif.

Peneliti menyarankan untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai pembelajaran TPS

yang dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika (khususnya pada kriteria hasil

tes).Apabila selanjutnya dilakukan penelitian pada materi Sistem Persamaan Linear Dua

Variabel (SPLDV), disarankan agar masalah SPLDV diperluas dengan soal tentang SPLDV

yang tidak mempunyai penyelesaian dan SPLDV yang mempunyai tak-hingga banyaknya

penyelesaian.

DAFTAR RUJUKAN

Arends, R. I. 2007a. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar: Buku Satu (edisi7).

Terjemahan Soetjipto, H. P. & Soetjipto, S. M. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Arends, R. I. 2007b. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar: Buku Dua (edisi7).

Terjemahan Soetjipto, H. P. & Soetjipto, S. M. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Arikunto, S., Suhardjono. & Supardi. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

BSNP. 2013. Laporan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2012-2013 SMP/MTs. (Online),

(https://www.dropbox.com/s/e23xdw1vht0av3h/DVD%20analisis%20penilaian2013.rar

), diakses 30 Mei 2014.

Daryanto. 2011. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Tindakan Sekolah Beserta Contoh-

Contohnya. Yogyakarta: Gava Media.

Febriansyah, R., Edy, Y. & Asep, N. 2014. Analisis Kesulitan Siswa dalam Memahami Materi

Persamaan Linear Dua Variabel di Kelas X SMA. Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran. (Online), 3 (2): 1-9.

(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/4453/4528), diakses 10 Agustus

2014.

Hitipeuw, I. 2009. Belajar & Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

Negeri Malang.

Iswarini, F., Bambang, P. D. & Astuti, E. P. 2013. Eksperimentasi Model Pembelajaran Think-

Pair-Share Terhadap Prestasi Belajar Matematika Sub Pokok Bahasan Segitiga pada

Siswa Kelas VII SMPN 8 Purworejo Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurnal Ekuivalen,

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

356

(Online), 3 (1): 57-62, (http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/ekuivalen/article/

view/509/501), diakses 3 Juni 2014.

Kismanto. 2009. Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika dengan Menggunakan

Pendekatan Struktural “Think-Pair-Share” Pada Pokok Bahasan Luas dan Volume Pada

Bangun Ruang Pada Kelas X-3 Semester Genap Tahun Pelajaran 2007/2008SMA

Negeri 6 Surakarta.Jurnal Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (Online), 2 (5): 10-16,

(http://mgmpmatsolo.wordpress.com/2010/02/04/jrnal-think-pair-share/), diakses 2 Juni

2014.

Marlina., Hajidin. & Ikhsan, M. 2014. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-

Share (TPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematis

Siswa di SMA Negeri 1 Bireuen. Jurnal Didaktik Matematika, (Online), 1 (1): 83-95,

(http://jurnal.unsyiah.ac.id/DM/article/view/1341/1222), diakses 30 Mei 2014.

Mertler, C. A. 2009. Action Research: The Teachers as Researchers in the Classroom.

California: SAGE Publication, Inc.

Miles, M. B. & Huberman, A. M. 1994. An Expanded Sourcebook: Qualitative Data Analysis

(edisi 2). California: Sage Publications Inc.

Mufidah, L., Effendi, D. & Purwanti, T. T. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe TPS untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Matriks.

Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo, (Online), 1 (1): 117-125,

(http://lppm.stkippgri-sidoarjo.ac.id/files/Penerapan-Model-Pembelajaran-Kooperatif-

Tipe-TPS-untuk-Meningkatkan-Aktivitas-Belajar-Siswa-pada-Pokok-Bahasan-

Matriks.pdf), diakses 3 Juni 2014.

Muzaki, A. 2012. Problem-Based Learning melalui Belajar Kooperatif Think-Pair-Share untuk

Meningkatkan Pemahaman Keterbagian Bilangan Bulat pada Mahasiswa Semester IV

G Pendidikan Matematika IKIP Mataram. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.

Ningsih, S. H., Budiyono. & Riyadi. 2013. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Group Investigation (GI) dan Think Pair Share (TPS) pada Materi Trigonometri

Ditinjau dari Kecerdasan Logika Matematika Siswa Kelas X SMA di Kabupaten

Sukoharjo. Jurnal Pembelajaran Matematika. (Online), 1 (4): 479-488,

(http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/s2math/article/view/3514/2448), diakses 30 Mei

2014.

Pramesti, C. 2010. Peningkatan Prestasi Belajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika

STKIP PGRI Blitar Melalui Pembelajaran Think Pair Share pada Materi Ruang Vektor

Real. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.

Puspita, S. A. R., Pitadjeng. & Nugraheni, N. 2013. Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Geometri Berbasis Discovery Learning Melalui Model Think Pair Share. Joyful

Learning Journal, (Online), 2 (3): 1-9,

(http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jlj/article/view/2058/1874), diakses 3 Juni

2014.

Setyoriani, F., Sapti, M. & Darmono, P. B. 2014. Eksperimentasi Model Pembelajaran

Kombinasi Think Pair Share dan Pair Checks pada Materi Segitiga. Jurnal Ekuivalen,

(Online), 8 (3): 199-204,

(http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/ekuivalen/article/view/1121/1058), diakses 3

Juni 2014.

Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice (edisi 8). USA: Pearson

Education Inc.

Suyadi. 2012. Buku Panduan Guru Profesional: Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS). Yogyakarta: Andi.

Wahyudi, B. 2010. Penerapan Belajar Kooperatif TPS (Think-Pair-Share) untuk Meningkatkan

Kemampuan Kognitif dan Kemampuan Afektif Siswa Kelas X TKJ B pada Materi

Program Linear di SMK Negeri 8 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

357

PENGGUNAAN KEMASAN MINUMAN

MELALUI JOYFUL LEARNING

UNTUK MEMAHAMKAN SISWA BANGUN RUANG SISI DATAR

DI KELAS VIII-A SMP NEGERI 2 SIKUR LOMBOK TIMUR

Muhamad Kamharudin, Gatot Muhsetyo, dan Santi Irawati

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected],[email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran

melalui joyful learning menggunakan kemasan minuman yang dapat memahamkan siswa

materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII-A SMP Negeri 2 Sikur Kabupaten Lombok

Timur. Ada banyak pilihan metode pembelajaran dalam menciptakan pembelajaran yang

aktif dan menyenangkan, diantaranya adalah pembelajaran menggunakan media atau alat

peraga seperti kemasan minuman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

dengan rancangan penelitian merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada siklus I diperoleh hasil hanya 84,85% siswa yang mencapai

kriteria ketuntasan minimal (KKM), karena itu dilanjutkan ke siklus II yang menunjukkan

bahwa 90,91% siswa telah mencapai KKM. Dengan demikian siswa telah memahami

bangun ruang sisi datar.

Kata kunci: kemasan minuman, Joyful Learning, bangun ruang sisi datar

Pendidikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia sudah

sepatutnya mendapat perhatian secara terus menerus. Untuk meningkatkan mutu pendidikan

perlu dilakukan pembaruan dalam bidang pendidikan. Pembaruan pendidikan perlu karena kita

harus berpegang teguh pada tantangan masa depan yang penuh dengan persaingan global.

Seiring perkembangan masyarakat yang ditandai oleh perkembangan tekhnologi informasi dan

komunikasi, tuntutan adanya kurikulum yang sesuai dengan zamannya menjadi relevan

(Suparno, 2002:69). Pada tahun 2013 diberlakukan kurikulum 2013 sebagai kelanjutan

kurikulum 2006, yang dianggap sesuai dengan perkembangan kebutuhan peserta didik, maupun

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan dijenjang persekolahan yaitu

Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama, dan Sekolah Menengah yang sesuai dengan

kurikulum (Soedjadi, 2003:37). Mata pelajaran matematika yang diberikan kepada siswa di

jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah diarahkan untuk mempersiapkan siswa agar

sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan didunia yang selalu berkembang,

melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien

dan efektif (Puskur, 2002).

Salah satu tujuan umum pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk

mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam

kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdikbud, 2004:1).

Setyaningsih (2009:3) berpendapat bahwa dalam hal belajar matematika, pada dasarnya

merupakan belajar konsep. Salah satu cabang matematika yang memuat banyak konsep dan

merupakan salah satu kesulitan siswa dalam belajar matematika adalah belajar dalam cabang

geometri. Geometri merupakan suatu pengetahuan yang berkaitan dengan bentuk (bangun),

sifat-sifat bangun, dan hubungan-hubungan yang ada diantara sifat-sifat dari bangun tersebut.

Geometri pada dasarnya sudah dikenal anak sejak kecil. Anak-anak mengenal geometri

melalui benda-benda yang ada di lingkungan sekitar. Oleh karena kehidupan dikelilingi dan

dibentuk dari bangun-bangun (bangun ruang, bangun datar), maka pembelajaran geometri perlu

didasari dan diarahkan agar siswa mampu untuk memahami bangun-bangun yang ada

disekitarnya. Bangun ruang sisi datar khususnya kubus dan balok yang merupakan salah satu

cabang dari geometri mempunyai peranan penting dalam bidang matematika dan banyak

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, penguasaan terhadap kubus dan balok

perlu ditekankan pada siswa sejak dini.

Meskipun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penguasaan siswa

terhadap materi bangun ruang kubus dan balok masih rendah. Hal ini tidaklah mengherankan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

358

karena Pembelajaran matematika yang digunakan selama ini adalah pembelajaran konvensional,

di mana metode tersebut lebih banyak ditransfer oleh guru kepada siswa. Pembelajaran

konvensioanl didominasi oleh ceramah dan cara-cara yang mengedepankan pemberian

pengetahuan prosedural. Pembelajaran konvensional yang dilakukan guru merupakan

pembelajaran secara gamblang atau mudah saja, melalui mencatat definisi-definisi pada buku

teks, pemberian contoh, latihan soal-soal atau penugasan, tanpa memikirkan taraf berfikir anak

yang memiliki kemampuan berfikir rendah atau dangkal.

Ada tiga kemungkinan yang terkait dengan pembelajaran konvensional. Antara lain (1)

guru seringkali mengutamakan buku teks atau LKS sebagai bahan utama pembelajaran (Hiebert

et al. 2003). (2) guru fokus pada perolehan keterampilan dasar menjawab soal-soal melalui

pengulangan masalah secara prosedural tanpa memperhatikan proses yang harus dipahami anak

(Schoenfeld, 2006). (3) guru sering memberikan tantangan soal pada siswa dengan maksud

mengembangkan penalaran matematika siswa, namun kadang membuat siswa kebingungan

sehingga merugikan guru itu sendiri (Sullivan et al 2009). Pembelajaran diatas dikenal dengan

“Shallow Teaching Syndrome” (STS) atau penyakit mengajar dangkal, mau gampangnya saja.

Tentu saja STS itu harus di hindari untuk dilakukan karena dengan cara seperti itu, tidak akan

cukup untuk membuat siswa memahami matematika secara bermakna.

Sesuai dengan pendapat Ausubel (dalam Salirawati, 2008:10) bahwa belajar akan

bermakna jika anak didik dapat mengaitkan konsep yang dipelajari dengan konsep yang sudah

ada dalam struktur kognitifnya, dan pendapat Bruner (1991) yang menyatakan belajar akan

berhasil lebih baik jika selalu dihubungkan dengan kehidupan orang yang sedang belajar (anak

didik). Secara logika dapat dipahami, bahwa kita pasti akan belajar serius bila yang dipelajari

ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan kata-kata atau kalimat yang didengar sudah

familiar di kepala kita.

Menyadari pentingnya materi geometri bangun ruang sisi datar khususnya kubus dan

balok, perlu kiranya dilakukan usaha yang serius dalam membangun pemahaman siswa terhadap

materi kubus dan balok. Pemahaman konsep yang baik sangat penting, karena untuk

memahami konsep yang baru diperlukan prasyarat pemahaman konsep sebelumnya. Jika dalam

memahami konsep matematika diperlukan media atau alat peraga yang dapat membantu siswa,

maka seyogyanya guru menyiapkan media atau alat peraga.

Media pembelajaran adalah salah satu faktor yang mendukung keberhasilan proses

pembelajaran. Karena media pembelajaran berfungsi sebagai perantara atau pengantar pesan

dari guru (tenaga pendidik) kepada penerima pesan (peserta didik). Penggunaan media yang

sesuai dengan karakter materi pelajaran, pembelajaran akan merasa menarik, membuat siswa

senang dan materi pelajaran akan dengan enak diterima peserta didik serta mudah dipahami.

Apalagi bila didukung dengan penggunaan media yang tepat dan menarik, misalnya pada materi

bangun ruang sisi datar menggunakan kemasan minuman sebagai media pembelajaran,

diharapkan siswa dapat melakukan pembelajaran secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan

menyenangkan.

Gambar 1. Hubungan Antara Pesan dan Media

Penggunaan kemasan minuman sebagai media pembelajaran sebaiknya memperhatikan

kepatutan antara materi yang akan diajarkan dengan media yang akan dipakai, karena akan

mendorong partisipasi siswa sehingga dapat memaksimalkan proses pembelajaran (Suherman,

2009:9). Pemilihan dan penggunaan media kemasan minuman dilandaskan pada kecocokan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

359

media itu dengan karakteristik siswa, disamping kriteria lain seperti kualitas dan teknik

penggunaan, kepraktisan serta kemudahan memperolehnya.

Kemasan minuman dalam penelitian ini adalah kemasan minuman berbentuk kubus dan

balok, yaitu bangun tiga dimensi yang memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi yaitu bangun

yang dapat dilihat dari semua sisinya. Penggunaan kemasan minuman yang berbahan dasar

kertas dengan bentuk tiga dimensi, seperti kemasan minuman teh kotak, kemasan minuman susu

indomilk, dan lain-lain. berbentuk kubus dan balok dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar

untuk memahamkan siswa konsep-konsep tentang kubus dan balok, membuat jaring-jaring

kubus dan balok, dan melakukan pengukuran seperti menghitung luas permukaan dan volume

kubus dan balok. Penggunaan kemasan minuman dapat menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa,

sehingga tujuan pembelajaran dalam proses belajar tercapai.

Gambar 2. Macam-Macam Kemasan Minuman

Apabila dalam belajar, masih diperoleh banyak siswa belum mengalami ketuntasan

dalam belajar,maka dapat disimpulkan bahwa penyebab masalah adalah pada proses

pembelajaran yang dilaksanakan guru. Metode pembelajaran dan suasana belajar yang kurang

menyenangkan menjadi salah satu faktor penyebab siswa kesulitan memahami konsep-konsep

matematika. Guru lebih suka menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas, serta kurang

berorientasi pada tingkat berfikir siswa. Akibatnya siswa menjadi jenuh dan dan malas untuk

belajar matematika. Hal ini diasumsikan menjadi penyebab rendahnya hasil belajar matematika

karena guru dalam menerapkan model pembelajaran kurang tepat.

Metode pembelajaran jenisnya beragam, masing-masing memiliki kelebihan dan

kelemahan, sehingga pemilihan metode yang sesuai dengan topik atau pokok bahasan yang akan

diajarkan perlu dipikirkan dengan baik oleh guru yang akan menyampaikan materi pelajaran.

Perbaikan pada proses pembelajaran sangat penting agar diperoleh hasil belajar benar-benar

berkualitas. Terkait dengan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya,

metode joyful learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang dapat dijadikan

alternatif dalam menciptakan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan (Ochimath, 2012).

Hayati (2012) mengemukakan bahwa pembelajaranyang merangsang adanyapartisipasiaktif dari

siswa sehingga dalam proses pembelajaran akan terjadi komunikasi yang aktif antara guru

dengan siswa dan antara siswa itu sendiri adalah metode joyful learning.

Metode joyful learning terdiri atas enam fase yaitu penyampaian tujuan dan memotivasi

siswa, penyampaian materi, penjelasan mengenai langkah-langkah, pelaksanaan, pencapaian

hasil, dan refleksi (Holil, 2009).

Tabel 1. Langkah-langkah pembelajaran joyful learning

FASE PERAN GURU

Fase-1

Menyampaikan tujuan

dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada

pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase-2

Menyajikan materi

Guru menyampaikan materi atau bahan ajar melalui tayangan atau

lewat bahan bacaan seperti LKS.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

360

Fase-3

Mengorganisasikan

siswa ke dalam

kelompok kecil

Guru menjelaskan kepada siswa langkah-langkah metode

joyful learning, dengan caranya

membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar

mampu melakukan pemecahan masalah pada setiap aktivitas yang

diberikan pada LKS.

Fase-4

Membimbing kelompok

bekerja dan belajar,

memberikan reward

Guru membimbing dan mengarahkan kelompok untuk mengerjakan

tugas mereka, melakukan diskusi, saling memberikan ide-ide,

membandingkan hasil jawaban antara sesama teman kelompok.

Memberikan reward sebagai salah satu stimulus atau ransanagan agar

siswa aktif dalam pembelajaran

Fase-5

pencapaian hasil

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari

atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase-6

Refleksi

Guru merefleksi pembelajaran yang telah dilakukan untuk

mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa tentang materi yang telah

dipelajari.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian, Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu,

penelitian ini lebih menekankan pada proses pembelajaran dari pada hasil. Peneliti

membutuhkan data tentang tanggapan siswa, dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.

Pengambilan data diambil secara alami, yaitu sesuai dengan kejadian dalam penelitian. Selain

Selain itu, peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian, karena peneliti yang

merencanakan, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan

membuat laporan. Rancangan penelitian ini mengacu pada perbaikan pembelajaran yang

berkesinambungan. Jadi jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

tindakan kelas (PTK). Penelitian ini melibatkan guru (peneliti) secara penuh dalam proses

perencanaan (plan), pelaksanaan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection).

Keempat komponen tersebut adalah langkah-langkah dalam satu siklus.

Berikut diagram alir rancangan penelitian yang mengacu pada model Kemmis dan

Taggart. Langkah-langkah penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3. Diagram Alir Rancangan Penelitian Tindakan

Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas VIII-A SMP Negeri 2 Sikur dengan jumlah

siswa 33 orang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) Skor hasil tes

pratindakan dan hasil tes akhir tindakan. Tes pratindakan dimaksudkan untuk mengecek materi

prasyarat siswa dan untuk selanjutnya dijadikan dasar penentuan kelompok. Tes akhir tindakan

berupa tes pada materi bangun ruang sisi datar kubus dan balok. Tes akhir tindakan ini untuk

mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipelajari. (2) Hasil

pengamatan tentang aktivitas guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran melalui metode

joyful learningmenggunakan kemasan minuman bentuk kubus dan balok. (3) Hasil wawancara

terhadap subyek wawancara, yaitu 6 siswa yang terdiri dari 2 siswa berkemampuan tinggi, 2

siswa berkemampuan sedang, dan 2 siswa berkemampuan rendah. Pemilihan subyek wawancara

Berhasil Tidak

Ya

Laporan

/selesai

Revisi Perencanaan

Observasi PelaksanaanTindakan Refleksi Perencanaan

Pendahuluan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

361

dilakukan berdasarkan hasil tes awal dan pertimbangan guru matematika bahwa siswa-siswa

tersebut mudah diajak komunikasi.

Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2009:129). Pada

penelitian ini data hasil tes awal, hasil tes akhir siklus, dan data hasil wawancara. Data observasi

bersumber dari observer setelah mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses

pembelajaran. Data hasil validasi perangkat dan instrumen penelitian bersumber dari validator

yang terdiri dari dua dosen matematika yang sudah berpengalaman. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah lembar observasi, lembar validasi, dan lembar tes siswa.

Prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah:(1)

validasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian,(2) observasi aktivitas guru dan siswa,

(3) wawancara, dan (4) tes. Kemudian data dicek keabsahannya, cara untuk mengecek

keabsahan data melalui triangulasi yaitu pengecekan data dari yang memanfaatkan sesuatu yang

lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.

Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi dengan sumber, yaitu

membandingkan data hasil pengamatan teman sejawat dengan hasil observasi lain, disamping

hasil pekerjaan peserta didik atau tes, dan data hasil wawancara. (Moleong, 2000:327).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, materi yang dibahas yaitu, (1) membuat dan melukis jaring-jaring

kubus dan balok. Kegiatan yang dilakukan, siswa diminta untuk menggunting pada setiap rusuk

dari kemasan minuman yang telah disiapkan dengan salah satu sisi masih tersambung. (2)

menemukan dan menghitung luas permukaan kubus dan balok. Kegiatan yang dilakukan, siswa

diminta untuk melakukan pengukuran pada setiap kemasan minuman yang telah disiapkan,

kemudian melakukan perhitungan sesuai dengan rumus luas yang diketahui sampai siswa

diarahkan untuk menemukan rumus luas permukaan kubus dan balok. (3) menemukan dan

menghitung volume kubus dan balok. Salah satu kegiatan yang dilakukan, misalnya siswa

diminta untuk melakukan pengukuran pada setiap rusuk kemasan minuman yang telah

disiapkan, kemudian melakukan perhitungan sesuai dengan rumus volume yang diketahui.

Siswa diarahkan untuk memahami rumus volume antara kubus dan balok.

Sejalan dengan proses pembelajaran yang terjadi. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus.

Siklus I terdiri dari tiga pertemuan, berdasarkan materi yang disebutkan disebutkan sebelumnya

dan siklus II hanya satu pertemuan, yaitu membahas tentang soal-soal aplikatif yang melibatkan

konsep-konsep kubus dan balok, menggunakan kemasan minuman. mencari perubahan luas dan

volume jika ukurannya berubah.

Gambar 4. Aktivitas Siswa Dalam Menemukan Jaring-Jaring, Menentukan Luas Permukaan dan

Volume

Hasil penelitian pada siklus I menunjukkan bahwa hanya diperoleh hasil 84,85% siswa

yang mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Walaupun siswa menunjukkan respon yang

positif pada pembelajaran kubus dan balok, namun hasil belajar siswa secara keseluruhan belum

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

362

memenuhi kriteria keberhasilan. Hal ini disebabkan masih terdapat siswa yang kurang

memahami prosedur atau langkah-langkah penyelesaian soal-soal aplikatif. Oleh karena itu

penelitian dilanjutkan ke siklus II. Berdasarkan kekurangan yang terjadi pada siklus I, maka

pada siklus II difokuskan pada pengaplikasian yang melibatkan konsep-konsep pada kubus dan

balok dalam pemecahan masalah. Hasil belajar pada siklus II menunjukkan bahwa 90,91%

siswa telah mencapai KKM. Dengan demikian siswa telah memahami bangun ruang sisi datar

kubus dan balok.

Gambar 5. Contoh Kesalahan Siswa Dalam Mengerjakan Tes Akhir

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dilakukan, ditemukan bahwa siswa

merasa senang belajar melalui metode joyful learning dengan pendekatan konstruktivis.

Pemahaman siswa terhadap materi kubus dan balok ditunjukkan dengan adanya aktivitas,

motivasi dan sikap antusias siswa dalam menemukan konsep-konsep dan membuat strategi-

strategi penyelesaian tentang kubus dan balok menggunakan kemasan minuman.

Selanjutnya, berdasarkan hasil belajar siswa yang diukur melalui tes setiap akhir

tindakan, menunjukkan bahwa siswa telah memahami materi dengan baik. Walaupun masih ada

siswa yang menjawab soal dengan salah, kesalahan tersebut kebanyakan terjadi karena siswa

kurang cermat dalam memahami soal dan kurang teliti dalam melakukan operasi menghitung.

Namun ketika siswa tersebut diwawancarai, mereka dapat menjawab dengan baik. Ini berarti

metode pembelajaran menyenangkan (joyful learning) berhasil membangun pemahaman siswa

terhadap materi kubus dan balok.

Temuan Siklus 1

Siswa melakukan

kesalahan prosedural

tidak mencari lebar

balok terlebih dahulu

sebelum mencari luas

permukaan kubus

Temuan Siklus 2

Siswa melakukan

kesalahan prosedur

dalam melakukan

operasi hitung

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

363

Ada beberapa teori atau hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan

antara oleh Tety Astuti (2011) dalam penelitiannya tentang pengaruh joyful learning pada

materi kelarutan dan hasil kali kelarutan menyimpulkan bahwa dengan penerapan model

pembelajaran joyful learning berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Selanjutnya,

Wang Wei (2011) dalam penelitiannya tentang pembelajaran perkalian matematika

menyimpulkan bahwa JCLS dapat membantu anak-anak peserta didik untuk memiliki

pengalaman belajar yang lebih baik dalam hal pengalaman belajar, belajar konstruktivis dan

pembelajaran yang menyenangkan. Banyak pelajar menjawab bahwa Joyful Classroom

Learning System (JCLS) dapat meningkatkan motivasi belajar mereka dan membantu mereka

berkonsentrasi pada pengajaran dan kegiatan belajar.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pembelajaran dengan metode joyful

learning yang dapat memahaman siswa tentang konsep-konsep dan sifat-sifat yang berhubungan

dengan kubus dan balok pada siswa kelas VIII-A SMP Negeri 2 Sikur terbagi dalam tiga

kegiatan pembelajaran, yaitu (1) kegiatan awal, meliputi menyampaikan tujuan pembelajaran,

memotivasi siswa tentang pentingnya materi kubus dan balok, mengingatkan kembali materi

prasyarat, pembentukan kelompok dan menyiapkan media belajar. (2) kegiatan inti meliputi

pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran joyful learning terdiri dari pembagian LKS dan

kemasan minuman, memberikan bimbingan dan arahan seperlunya untuk menggali pengetahuan

siswa dan membangun ide-ide yang memotivasi siswa untuk menemukan strategi-strategi

penyelesaian melalui diskusi kelompok. Kemudian mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

Setelah itu menarik kesimpulan akhir, dan (3) pada kegiatan akhir melakukan refleksi dan

evaluasi seperti kuis, atau penugasan untuk mengetahui respon positif siswa terhadap

pembelajaran melalui joyful learning pada materi kubus dan balok.

Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa saran yang diperkirakan dapat meningkatkan

pembelajaran sebagai berikut. (1) menjadikan pembelajaran menyenangkan (joyful learning)

sebagai salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan. (2) untuk kelancaran proses

pembelajaran sebaiknya dibentuk kelompok kecil yang heterogen dengan anggota 4-5 siswa.

(3) membantu siswa dalam belajar menggunakan media atau alat peraga, seperti penggunaan

kemasan minuman memungkinkan siswa terlibat secara fisik dan mental sehingga dapat

menjadikan siswa lebih cepat memahami konsep matematika dengan baik. (4) penyusunan

LKS harus secara cermat dan hati-hati karena memungkinkan LKS yang disusun justru dapat

mematikan kreativitas siswa. Sebaiknya LKS hanya memuat secara garis besar saja dan tidak

terlalu menuntun langkah yang harus dilakukan siswa. (5) bagi para peneliti yang menginginkan

penelitian yang serupa, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk pengembangan

penelitian selanjutnya. Sehingga diperoleh gambaran lebih lanjut mengenai efektifitas

pembelajaran melalui joyful learning.(6) semakin banyak fakta yang dapat mendukung

rancangan penelitian ini untuk menjadi teori yang bisa membantu meningkatkan dunia

pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran pada khususnya.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2009. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Astuti, T. 2011. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Joyful Learning Berbantuan Modul

Smart-Interaktif Pada Hasil Belajar Materi Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan. thesis,

Universitas Negeri Semarang.

Bruner, J.1961. The process of education. Cambridge, MA : Harvard University Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Standar Kompetensi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran

Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Puskur.

Hayati, S. 2003. Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Lingkungan

Hidup (PLH)http://pakguruonline/pendidikan.net diakses 27 Februari 2013

Hiebert, J. 2003. Teaching mathematics in seven countries: Results from the TIMSS 1999 Video

Study. Washington: National Centre for Education Statistics, U.S. Department of

Education

Holil, A. 2009, Joyful Learning sebagai Landasan Pembelajaran Siswa Aktif

(online)http://blogspot.com200901joyfullearningsebagailandasan.html diakses 27

Februari 2013

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

364

Choppin, J. 2011. The Role Of Local Theories: Teacher Knowledge And Its Impact On

Engaging Students With Challenging Tasks. Published: 22 April 2011. OO Mathematics

Education Research Group of Australasia, Inc. 2011

Moleong, L.J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Nana Sujana dan Ahmad Rivai.2002. Media pengajaran. Bandung : Sinar Baru.

Ochimath, 2012. Peningkatan Keaktifan Belajar Matematika Melalui Metode Pembelajaran

Berbasis Joyful Learning (online) http://ochimath. wordpress.com/2012/01/12/-

peningkatan-keaktifan-belajar-matematika-melalui-metode-penbelajaran-berbasis-

joyful-learningdiakses tanggal 28 Februari 2013.

Piaget, J. 1960. The child’s conception of the world. Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press.

Pijl, M. 2009. Students Discussing Their Mathematical Ideas: The Role Of The Teacher.

Published: 1 December 2011 The Author(s) 2011. This article is published with open

access at Springerlink.com

Puskur, 2002. Kurikulm dan Hasil Belajar. Kompetensi dasar mata pelajaran Matematika

sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Russell, J.D. 2012. Instructional Technologi And Media For Learning (Teknologi Pembelajaran

dan Media untuk Belajar). Jakarta: Kencana

Salirawati, D. 2008. Metode Pembelajaran Inovatif Sebagai Magnet Belajar : Makalah ini

disampaikan dalam rangka Lokakarya Metode Pembelajaran Inovatif dan Sistem

Penilaiannya, Program Hibah Kompetisi (PHK) A-2 Jurdik Kimia FMIPA UNY,

Jum’at, 24 Oktober 2008, di Ruang Sidang FMIPA UNY.

Schoenfeld, A. 2006. What doesn’t work: The challenge and failure of the What Works

Clearinghouse to conduct meaningful reviews of studies of mathematics curricula.

Educational Researcher, 35(2), 13–21.

Setyaningsih, R. 2011. Peningkatan Pemahaman Konsep Geometri dan Pengukuran dengan

Pendekatan Kontekstual melalui Pemanfaatan Barang Bekas sebagai Media

Pembelajaran. Makalahdisajikan pada Seminar Nasional Matematika Prodi

PendidikanMatematika,Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 Juli 2011,

(Online),(repository.upi.edu/ operator/upload/s_d025_030242_ bibliography.pdf),

diakses 22 September 2013.

Soedjadi, R. 2003. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstanti Keadaan Masa Kini

Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional.

Suherman, Y. 2009. Pengembangan Media Pembelajaran bagi ABK. Makalah Disampaikan

pada Diklat Profesi Guru PLB Wilayah X Jawa Barat, Bandung, 2009, (Online), (

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._ LUAR_BIASA /1966102519 93031-

YUYUS_SUHERMAN/I.Makalah /Pengembangan media Pembelajaran.pdf ), diakses

22 September 2013

Sullivan, P. 2009. Converting mathematics tasks to learning opportunities: An important aspect

of knowledge for mathematics teaching. Mathematics Education Research Journal,

21(1), 85–105.

Suparno, P. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Vincent, J. dkk. 2008. Do mathematics textbooks cultivate shallow teaching? Applying the

TIMSS video study criteria to Australian eighth-grade textbooks. Mathematics

Education Research Journal, 20(1), 82–107.

Wang W.C dkk. 2011. “A Joyful Classroom Learning System With Robot Learning Companion

For Children To Learn Mathematics Multiplication”. The Turkish Journal Of

Educational Technology/ Vol. 10 No. 2, pp. 1-13

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

365

PEMBELAJARAN MELALUI METODE PENEMUAN

TERBIMBING UNTUK MEMAHAMKAN SISWA KELAS VIII E

SMP NEGERI 1 LAMONGAN PADA MATERI LINGKARAN

Musriniyatik, Akbar Sutawidjaja, dan Hery Susanto

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran melalui metode penemuan

terbimbing yang dapat memahamkan siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada

materi lingkaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis Penelitian

Tindakan Kelas (PTK) untuk mendiskripsikan bagaimana pelaksanaan dan respon siswa

kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan terhadap pembelajaran tersebut. Hasil dari penelitian

menunjukkan bahwa pada tes akhir siklus I dan II diperoleh persentase siswa yang tuntas

belajar adalah 76,7% dan 90%, jadi telah meningkat 13,3%. Untuk persentase rata-rata

aktivitas guru pada siklus tersebut adalah 88% dan 91,15%, jadi telah meningkat 3,15%.

Sedangkan untuk siswa pada siklus tersebut adalah 84,1% dan 90,34%, jadi telah

meningkat 6,24% . Dari tiga subyek wawancara menyatakan senang terhadap pembelajaran

tersebut.

Kata kunci: Pembelajaran, Penemuan Terbimbing, Memahamkan.

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyara- kat, berbangsa

dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan

sistem pendidikan nasional termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat

yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman (Trianto, 2010:11).

Namun sampai saat ini nilai Matematika siswa Indonesia belum menunjuk kan hasil

yang memuaskan. Seperti yang dikemukakan oleh Rochmani (2013), anggota komisi X DPR

RI, ia menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-

negara lain. Hal ini terbukti dari riset yang dilakukan oleh Program for International Student

Assessment (PISA) yang menyatakan bahwa nilai Matematika siswa kelas VIII Indonesia masih

kalah dengan negara yang sedang mengalami konflik seperti Palestina. Bahkan Indonesia

menempati urutan 10 besar terendah di dunia (Rochmani, 2013)

Rendahnya hasil nilai ulangan matematika tersebut adalah suatu hal yang wajar

karena selama ini fakta di lapangan menunjukkan proses pembelajaran yang terjadi masih

berpusat pada guru, suasana kelas cenderung teacher centered sehingga siswa menjadi

pasif. Siswa lebih sering hanya diberikan rumus-rumus yang siap pakai tanpa memahami makna

dari rumus-rumus tersebut. Siswa sudah terbiasa menjawab pertanyaan dengan prosedur rutin,

sehingga ketika diberikan masalah yang sedikit berbeda maka siswa akan kebingungan

(Soedjadi, 2000: 30).

Hal ini menurut peneliti disebabkan oleh cara pembelajarannya yaitu siswa langsung

diberikan rumus dan kemudian diberikan latihan-latihan, tanpa tahu bagaimana rumus tersebut

diperoleh. Sehingga siswa cenderung hanya menghafal rumus-rumus atau konsep-konsep

tersebut yang pada akhirnya rumus-rumus atau konsep-konsep tersebut tidak bertahan lama

dalam ingatan siswa. Dan dari wawancara dengan beberapa siswa, diperoleh keterangan bahwa

kalau guru mengajar cuma diterangkan, diberikan rumus dan disuruh mengerjakan latihan.

Siswa kurang dilibatkan dalam setiap pembelajaran. Bagi siswa pembelajaran cenderung

membosankan, dan respon mereka terhadap pembelajaran tidak menyenangkan. Sehingga siswa

banyak yang ngantuk dan ngomong sendiri dengan temannya. Guru sudah berupaya membuat

pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa tapi hasilnya kurang memuaskan.

Menurut Sunardjo (2010) suasana menyenangkan di kelas seharusnya sudah

dibangkitkan sejak awal pembelajaran. Dave Meier (dalam Sunardjo) menyatakan dalam

bukunya yang berjudul The Accelerated Learning Handbook menuliskan “Menyenangkan atau

membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan berarti membuat suasana ribut atau

hura-hura. Kegembiraan disini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, serta

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

366

terciptanya makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajari), dan nilai yang mem-

bahagiakan dalam diri siswa.”

Salah satu teori-teori pembelajaran yang didasarkan pada cara siswa belajar aktif adalah

teori pembelajaran konstruktivis. Dalam hal ini guru dibim- bing untuk menggunakan strategi

pengajaran yang memperhatikan kondisi siswa dan bukannya memperhatikan diri sendiri.

Senada dengan hal ini Bruner (dalam Trianto, 2010:79) mengatakan bahwa inti belajar yang

terpenting adalah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi

informasi secara aktif.

Metode penemuan terbimbing adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan

guru sebagai fasilitator, guru membimbing siswa dimana ia diper- lukan, siswa didorong untuk

berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan

bahan atau data yang telah disediakan guru (Rachmadi, 2004:4). Menurut Wilconx(dalam Nur,

2008:10) mengatakan bahwa pembelajaran penemuan (discovery learning) merupakan metode

pengajaran dimana siswa didorong untuk menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.

Menurut Ruseffendi (2006: 329) metode penemuan adalah metode mengajar yang mengatur

pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya

belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan

sendiri.

Berdasarkan uraian tentang pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing dan

temuan-temuan yang dihasilkan dalam pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan

terbimbing, maka peneliti akan melakukan penelitian pembelajaran di SMP Negeri 1 lamongan

pada materi Lingkaran dengan judul: “Pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing

untuk memahamkan siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada materi Lingkaran”.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: “Bagaimana

pelaksanaan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yang dapat memahamkan

siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada materi Lingkaran dan bagaimana respon

siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan terhadap pembelajaran dengan metode penemuan

terbimbing pada materi Lingkaran”.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena

sumber data diperoleh dari situasi yang wajar dan natural sesuai dengan situasi dan kondisi

kelas yang sebenarnya. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan Classroom Action Research

atau PTK (Penelitian Tindakan Kelas) karena tujuan penelitian ini tidak hanya memperoleh

pengetahuan tapi sekaligus melakukan tindakan untuk memperbaiki atau meningkatkan situasi

yang ada.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tes

yang dilakukan adalah tes awal dan tes akhir siklus, berbentuk uraian dengan masing-masing

terdiri dari 4 butir soal. Tes awal adalah tes yang dilaksanakan sebelum pelaksanaan siklus,

bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki subjek penelitian dan sebagai dasar

dalam pembentukan kelompok. Tes akhir dilakukan setiap akhir siklus pembelajaran dan

diberikan secara individu yang bertujuan untuk mengetahui kemajuan hasil belajar siswa

terhadap materi yang telah dipelajari dengan menggunakan metode penemuan terbimbing

berkelompok.

Menurut Moleong (2009: 186) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

dimana percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu.Wawancara dilakukan dengan tujuan menggali informasi dan pemahaman siswa

setelah mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berkelompok pada

materi lingkaran .

Siswa yang dipilih oleh peneliti sebagai subyek wawancara berdasarkan hasil tes awal

siswa, yang terdiri dari 3 siswa dengan rincian 1 siswa memperoleh nilai tes tertinggi, 1 siswa

memperoleh nilai tes rata-rata dan 1 siswa memperoleh nilai tes terendah. Wawancara dilakukan

setelah tes akhir dilaksanakan dan diluar jam pelajaran, sehingga tidak menggaggu kegiatan

belajar siswa. Wawancara dilakukan berdasarkan pada format wawancara yang telah disediakan.

Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mengamati kegiatan siswa di kelas selama

pembelajaran berlangsung dan kegiatan peneliti sebagai guru. Observasi ini bertujuan untuk

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

367

mengetahui adanya kesesuaian antara pelaksanaan siklus dan rencana yang telah disusun

sebelumnya. Kegiatan observasi dilakukan oleh 2 orang guru mata pelajaran Matematika

dengan menggunakan lembar observasi yang telah disediakan peneliti.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini didasarkan pada 3 kriteria (1) skor tes akhir siklus minimal 85% siswa

yang mencapai KKM yang ditetapkan sekolah yaitu 80, (2) Persentase rata-rata hasil

pengamatan aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru lebih dari 80% (dalam kategori baik). (3)

Dari hasil wawancara setelah siklus II terhadap 3 subyek wawancara menyatakan senang

terhadap materi lingkaran setelah mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan

terbimbing.

Data hasil tes akhir siklus I, sebanyak 23 siswa yang mendapatkan skor ≥ 80 dan 7

siswa yang mendapatkan skor < 80 sehingga persentase ketuntasan siswa secara klasikal adalah

76,7% (belum memenuhi kriteria pemahaman siswa).

Sedangkan pada siklus II, sebanyak 27 siswa yang mendapatkan skor ≥ 80 dan 3 siswa yang

mendapatkan skor < 80 sehingga persentase ketuntasan siswa secara klasikal adalah 90% (telah

memenuhi kriteria pemahaman siswa). Jadi telah meningkat 13,3%.

Observasi terhadap aktivitas guru yang dilakukan oleh 2 observer pada siklus I

menunjukkan bahwa persentase skor rata-rata adalah 88%, sedangkan pada siklus II adalah

91,15%. Jadi telah meningkat 3.15%. Untuk aktivitas siswa pada siklus I menunjukkan bahwa

persentase rata-rata adalah 84,1%. Sedangkan pada siklus II adalah 90,34%. Jadi telah

meningkat 6,24%

Dari ketiga subyek wawancara didapatkan hasil bahwa mereka senang setelah

mengikuti pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing secara

berkelompok pada materi lingkaran.

PEMBAHASAN

Pelaksanaan pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing yang dapat

memahamkan siswa kelas VIII E SMP Negeri 1 Lamongan pada materi lingkaran terbagi

menjadi 3 kegiatan, yaitu : Kegiatan awal, merupakan kegiatan pendahuluan untuk

mempersiapkan siswa agar benar-benar siap belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton

(1992:9–10), yang menyatakan bahwa peserta didik yang siap untuk belajar akan belajar lebih

banyak daripada peserta didik yang tidak siap.

Pada kegiatan awal dimulai dengan mengarahkan siswa agar duduk sesuai dengan

kelompoknya masing-masing. Pembentukkan kelompok sudah dilaksanakan sebelum

pelaksanaan kegiatan dan didasarkan pada hasil tes awal siswa, kelompok yang terbentuk terdiri

atas 5 kelompok dengan 6 anggota. Pada tiap kelompok mempunyai kemampuan yang sama.

Pemilihan kelompok sebanyak 5 atau 6 anggota ini didasarkan pada alasan, jika satu

kelompok hanya terdiri dari 2 anggota, maka interaksi antar anggota kelompok akan sangat

terbatas dan kelompok menjadi terhenti jika salah satunya tidak hadir. Sebaliknya jika dalam

kelompok yang mempunyai anggota sangat besar, sukar bagi setiap siswa untuk mengutarakan

pendapat-pendapatnya dalam melakukan kerja sama.Pembagian kelompok yang beranggotakan

5 atau 6 siswa sesuai pendapat Artzt dan Newman (dalam Suherman, 2001:220-221) bahwa jika

kelompok terlalu kecil akan mengakibatkan interaksi yang terbatas dan jika terlalu besar akan

mengakibatkan kesulitan dalam melakukan koordinasi dan mencapai kesepakatan.

Dengan menyampaikan tujuan pembelajaran maka siswa mengetahui arah yang ingin

dicapai dalam pembelajaran, sehingga siswa termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran dan

akhirnya hasil pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Hal ini mendukung pendapat

Dahar (1988:174) bahwa penyampaian tujuan pembelajaran selain dapat memotivasi juga dapat

memusatkan perhatian siswa terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran.

Melakukan tanya jawab untuk menggali pengetahuan awal siswa tentang materi

sebelumnya. Hal ini sangat berguna bagi siswa dalam mempersiapkan diri untuk memulai

pembelajaran. Dengan tanya jawab diharapkan siswa dapat mengetahui dasar dari materi yang

akan digunakan, sehingga siswa mengetahui gambaran tentang materi yang akan dipelajari.

Hal ini didukung oleh hirarki belajar Gagne yang menyatakan bahwa penguasaan suatu

pengetahuan pada umumnya membutuhkan penguasaan terhadap pengetahuan atau kemampuan

prasyarat. Penyampaian materi prasyarat ini sesuai dengan pendapat Ausubel dalam Trianto

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

368

(2008:55) bahwa pengetahuan prasyarat dapat berfungsi untuk membantu siswa menanamkan

pengetahuan baru dari suatu materi, sangat diperlukan konsep-konsep awal (pengetahuan

prasyarat) yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.

Kegiatan inti dimulai dengan memberikan permasalahan dalam bentuk Lembar Kerja

Siswa (LKS) yang dapat mengarahkan siswa untuk dapat memahami materi lingkaran. LKS ini

berisi permasalahan-permasalahan yang dapat membawa/menuntun siswa memahami materi

yang dipelajari. Penggunaan LKS terbukti sangat membantu arah kerja siswa. Langkah-langkah

yang ditentukan dalam LKS merupakan suatu bentuk bantuan bagi siswa. Meskipun demikian,

LKS tidak menuntun siswa secara mutlak. Siswa diberikan kebebasan untuk mengungkapkan

ide dan kreativitasnya. Dengan demikian, siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri

bersama dengan kelompoknya secara aktif dengan bantuan LKS.

Hal ini didukung oleh pendapat Machmud (2001:7) yang menyatakan bahwa LKS

dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan penemuan. Setelah

LKS diterima oleh masing-masing kelompok, guru memberikan penjelasan untuk melengkapi

keterangan yang ada dalam LKS. Dari permasalahan itu siswa melakukan diskusi dengan

kelompoknya. Setelah masalah diterima dalam bentuk LKS, maka langkah berikutnya

pengumpulan data dengan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam LKS dengan

melakukan diskusi kelompok. Manfaat diadakannya diskusi kelompok adalah untuk

meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari.

Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996:282) yang menyatakan

bahwa pemahaman siswa akan meningkat karena adanya interaksi dalam kelompok. Lebih

lanjut dikatakan bahwa tanggung jawab kelompok akan mendorong siswa untuk bekerja sama

dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Selain itu, manfaat diadakannya diskusi kelompok

adalah untuk melatih siswa berani mengemukakan pendapat, bersedia menerima pendapat orang

lain, dan bersedia menerima perbedaan. Dalam diskusi itu siswa secara aktif melakukan

penemuan dengan kelompoknya. Penemuan dilakukan sendiri oleh siswa serta tidak langsung

diberikan guru, akan menghasilkan pengetahuan yang bermakna.

Penemuan sendiri oleh siswa ini sesuai pendapat Bruner (dalam Dahar,1988:125) yang

menyatakan bahwa berusaha sendiri untuk menemukan pengetahuan akan menghasilkan

pengetahuan yang benar-benar bermakna. Lebih lanjut Ausubel (dalam Hudojo, 2005:95)

mengatakan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara bermakna dapat diingat lebih lama dan

akan mampu menggunakannya ke dalam konteks yang lain.

Setelah diskusi kelompok, kegiatan selanjutnya adalah pemprosesan data dilakukan

dengan presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas. Presentasi hasil diskusi kelompok

diberikan kesempatan kepada salah satu kelompok yang mengajungkan tangan terlebih dahulu.

Hal ini diperlukan untuk dapat memupuk keberanian siswa dalam menyampaikan pendapatnya.

Dalam diskusi ini, memungkinkan adanya pembetulan kesalahan yang dilakukan oleh

kelompok yang mempresentasikan. Jawaban-jawaban yang salah dikoreksi oleh kelompok lain

dengan cara bertanya atau sanggahan. Koreksi yang diberikan kelompok lain dan mengamati

penyajian kelompok lain saat sharing sangat berguna untuk memperbaiki kesalahan yang

dilakukan suatu kelompok. Koreksi dan sharing pada saat diskusi kelas sesuai dengan pendapat

Sutawidjaja (2002:358) bahwa ketika kelompok menyajikan laporannya (benar atau salah),

kelompok akan mempunyai kesempatan berharga untuk memperbaiki laporan mereka.

Pemberian penghargaan terhadap presentasi kelompok diskuai dan tanya jawab yang

terjadi membuat siswa senang. Aplaus yang diberikan oleh siswa lain membuat siswa yang

mempresentasikan hasil diskusi menjadi senang dan percaya diri. Penghargaan ini ternyata

dapat memotivasi siswa dalam belajar. Didukung oleh pendapat Hudojo (1988) bahwa

penghargaan sangat diperlukan untuk meningkatkan sikap, rasa puas, dan bangga siswa

terhadap matematika.

Peneliti dan 2 observer berkeliling untuk memberikan bimbingan kepada siswa yang

mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan. Kegiatan yang dilakukan guru ini

merupakan proses scaffolding yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada peserta didik selama

tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberikan kesempatan peserta

didik untuk mengambil ahli tanggung jawab saat mereka mampu.

Kegiatan penutup dengan mengadakan evaluasi melalui tanya jawab lisan untuk

mengecek kembali pemahaman siswa. Peneliti perlu memastikan bahwa semua siswa dapat

memahami materi yang baru dipelajari. Kegiatan akhir dalam pembelajaran ini adalah

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

369

mengarahkan siswa menuliskan hasil diskusi kelas sebagai simpulan akhir pembelajaran dan

mengerjakan tes. Membuat simpulan ini sesuai dengan pendapat Degeng (1997:28) bahwa

membuat rangkuman atau kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk

mempertahankan retensi.

Hudojo (1988:109) mengungkapkan bahwa pengalaman belajar peserta didik juga

dipengaruhi oleh situasi lingkungan belajar yang diberikan. Kondisi itu dikarena masing-masing

kelompok memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan anggota kelompoknya. Hendaknya

dalam proses pembelajaran, penyusunan kelompok hanya dilakukan sekali sehingga pada

pertemuan-pertemuan berikutnya siswa sudah dapat berinteraksi dan bekerja sama dengan baik

bersama kelompoknya. Hal ini cukup berpengaruh terhadap lancarnya pelaksanaan

pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing.

Lie (2002:45) menyatakan bahwa kelompok yang lebih permanen akan sangat

menghemat waktu, memudahkan pengelolaan kelas, dan meningkatkan semangat gotong royong

karena siswa sudah saling mengenal dengan cukup baik dan terbiasa dengan cara belajar rekan-

rekannya yang lain. Untuk itu pada siklus II sudah tidak ditemuai lagi kelompok diskusi yang

tidak bisa bekerja sama dengan anggota kelompoknya, dikarenakan mereka sudah terbiasa

bekerja dengan kelompoknya, sudah saling mengenal dengan baik dan akrab.

Menurut pendapat Lie (dalam Gintings, 2008:217) bahwa dalam kerja kelompok siswa

dengan kemampuan yang lebih tinggi akan menularkan dan mendorong siswa yang lebih rendah

kemampuannya. Dan pada saat presentasi hasil diskusi kelompok di depan kelas, aktivitas

siswa semakin nampak maksimal dan merata. Kebanyakan siswa sudah dapat menyesuaikan diri

dengan baik pada pembelajaran yang dilaksanakan. Terlihat jelas pada saat diskusi kelas

dilakukan, hampir semua kelompok sudah bisa bekerja sama dengan anggota kelompoknya.

Pada waktu mempresentasikan hasil diskusi, tidak hanya didominasi oleh siswa yang

berkemampuan tinggi saja, tetapi siswa yang berkemampuan rendah juga sudah mulai aktif

ambil bagian. Diskusi kelas juga dapat melatih siswa untuk lebih kreatif dan menyebabkan

pemahaman siswa semakin berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang

menyebabkan semakin optimalnya pembelajaran adalah siswa semakin berani dan mau

mengeluarkan ide-idenya karena merasa termotivasi untuk bertanggung jawab terhadap hasil

diskusi kelompoknya yang dipresentasikan di depan kelas.

SIMPULAN DAN SARAN

Pelaksanaan pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing untuk memahamkan

siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Lamongan pada materi Lingkaran, yang ditunjukkan dalam

perangkat pembelajaran. Terdiri dari tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan

kegiatan penutup.

a. Kegiatan awal, memuat beberapa aktivitas sebagai berikut:

Siswa sudah duduk dengan kelompoknya. Setelah itu peneliti menyampaikan tujuan

pembelajaran, memotivasi siswa dengan melakukan tanya jawab untuk menggali

pengetahuan awal/ materi prasyarat.

b. Kegiatan inti, memuat aktivitas sebagai berikut:

Pemberian masalah yang dituangkan dalam LKS dengan menggunakan metode penemuan

terbimbing pada materi lingkaran. Kegiatan ini meliputi diskusi kelompok dan presentasi

hasil diskusi.

c. Kegiatan penutup, memuat aktivitas sebagai berikut:

Menyimpulkan hasil pembelajaran dan mengadakan evaluasi melalui tanya jawab lisan

untuk mengecek kembali pemahaman siswa.

Respon terhadap 3 subyek wawancara menyatakan senang setelah mengikuti pembelajaran

dengan metode penemuan terbimbing terhadap materi lingkaran.

Saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut :

1. Karena pembelajaran melalui metode penemuan terbimbing berkelompok terbukti dapat

memahamkan siswa dalam pembelajaran, maka diharapkan agar guru matematika di kelas

VIII dapat menggunakannya.

2. Bagi peneliti lain yang berminat menggunakan pembelajaran dengan metode penemuan

terbimbing, dapat mengembangkan lebih lanjut untuk pembelajaran matematika pada

materi yang lain.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

370

3. Bagi guru-guru yang berminat menggunakan metode penemuan terbimbing dalam proses

pembelajaran hendaknya diperhatikan penggunaan waktunya.

DAFTAR RUJUKAN

Dahar, RW. 1988. Teori Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Ditjen Dikti P2LPTK.

Degeng, I.N.1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasikan Isi dengan Elaborasi. Malang:

IKIP Malang.

Eggen, P.D & Kauchak,P.P. 1996. Strategies for Teaching: Teaching Content and Thinking

skill. Boston : Alyn & Bacon.

Gintings, A. 2008. Esensi Praktis Belajar & Pembelajaran. Penerbit Humaniora-Bandung.

Herdian. 2010. Metode Pembelajaran Discovery(Penemuan).(online)

http://herdy07.wordpress.com, diakses pada 29 januari 2013

Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit

Universitas Negeri Malang.

Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud

Lie, A. Cooperatife Learning: Mempraktekkan Kooperatif Learning di Ruang ruang Kelas.

Jakarta: Gramedia

Moleong,J L. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nur, M. 2008. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam

Pengajaran. Surabaya: Unesa Pusat sains dan matematika Sekolah(PSMS)

Orton, A. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Practice. Great Britain: Redwood

Books.

Rachmadi,W. 2004. Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Disampaikan pada Diklat

Instruktur/Pengembang Matematika SMP Jenjang Dasar , 10-23 oktober 2004.

Rochmani. 2013,Nilai Matematika Siswa RI 10 Besar Terendah di Dunia.(online)

http://kampus.okezone.com/read/2013/01/08/373/742801/nilai-matematika-siswa-ri-10-besar-

terendah-di-dunia, diakses 31 maret 2013

Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pendidikan Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Soedjadi. 2001. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing. IKIP Surabaya.

Suherman. 2001. Common Tex Book Strategi Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.

Sunardjo. 2010. Seperti Apa Pembelajaran yang Menyenangkan? (online)

http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/13/seperti-apa-pembelajaran-yang-

menyenangkan-288755.html, diakses 6 Januari 2014

Sutawidjaja, A. 2002. Konstruksivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran

Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. VIII (Edisi Khusus): 355-359.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu, Jakarta: Bumi Aksara

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivisme. Jakarta:

Prestasi Pustaka Publisher

MEMAHAMKAN SISWA TENTANG LUAS BANGUN DATAR

DENGAN PENDEKATAN OPEN ENDED

MENGGUNAKAN MODEL POTONGAN KERAMIK

DI KELAS VII B SMPN 2 WAGIR KABUPATEN MALANG

Nanang Hari Setiyono, Gatot Muhsetyo, dan I Made Sulandra

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pembelajaran yang dapat memahamkan

siswa tentang luas daerah bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan

model potongan keramik. Subyek penelitian ini adalah 32 siswa kelas VII B SMPN 2

Wagir Kabupaten Malang tahun pelajaran 2013/2014. Dari penelitian ini diperoleh langkah-

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

371

langkah pembelajaran dengan pendekatan open-ended yang dapat memahamkan siswa

tentang luas bangun datar adalah: (1) guru memberi masalah open-ended, (2) siswa

menyelesaikan masalah open ended, (3) diskusi kelompok, dan (4) diskusi kelas.

Kata kunci: pemahaman, model potongan keramik, open-ended

Model bangun-bangun datar dijumpai di sekitar kita, misalnya ubin yang dipakai untuk

menutup lantai, dinding bak kamar mandi. Bentuk-bentuk geometri ubin beragam, antara lain

persegi, persegi panjang, segienam, segitiga dan lain-lain. Ubin-ubin di sekitar kita juga

beragam ukurannya. Pada hari Selasa tanggal 2 April 2013 peneliti berkesempatan berkunjung

ke toko bahan bangunan “Makmur Abadi” yang beralamat di Jl. Raya Genengan 133

Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang, dan peneliti mendapat contoh berbagai ukuran ubin,

seperti nampak pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Contoh berbagai ukuran ubin

Menurut silabus matematika kelas lima Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah

Dasar, materi bangun datar sudah diperkenalkan kepada siswa. Sesuai silabus matematika KTSP

SMPN 2 Wagir, pembelajaran materi bangun datar dilanjutkan di tahun pertama untuk jenjang

SMP yaitu kelas VII. Tahun pertama di SMP merupakan pengalaman sebagai langkah untuk

belajar matematika lebih lanjut (Hudojo, 1979:107). Pemahaman materi bangun datar

khususnya luas bangun datar banyak bermanfaat untuk membantu menyelesaikan masalah

dalam kehidupan sehari-hari, dan juga untuk mempelajari luas permukaan dan volum bangun

ruang sisi datar yang dipelajari siswa di kelas VIII. Tetapi pembelajaran bangun datar di SMPN

2 Wagir kabupaten Malang masih belum optimal.

Berdasarkan pengamatan awalyang penulis lakukan pada hari Selasa tanggal 26 Maret

2013, melalui tes awal pertama dengan materi prasyarat tentang mengidentifikasi bangun datar

yang terdiri dari segitiga, persegi, persegi panjang, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang

dan trapesium diperoleh informasi bahwa rata-rata nilai tes awal adalah 68,71 dan 41,94 %

siswa mendapat nilai lebih dari atau sama dengan kriteria ketuntasan minimum, yaitu 75.

Beberapa pekerjaan siswa pada tes awal seperti nampak pada Gambar 1.3 menunjukkan masih

ada siswa yang belum paham tentang ciri-ciri segitiga dan jajar genjang. Menurut pengakuan

siswa melalui wawancara yang dilaksanakan setelah tes awal, jawaban siswa untuk soal nomor

4, pada jajar genjang, panjang sisi yang tidak berhadapan tidak sama panjang, dan sudut-

sudutnya tidak boleh siku-siku, karena akan menjadi belah ketupat bila sisi-sisi yang

berhadapan sama panjang, sedangkan bila sudut-sudutnya siku-siku akan menjadi persegi

panjang.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

372

Gambar 2. Contoh pekerjaan siswa pada tes awal

Pada hari Sabtu tanggal 13 April 2013 peneliti melanjutkan pengamatan awal dengan

memberikan tes awal kedua untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menentukan luas

bangun datar yang berupa gabungan dari bangun-bangun segitiga, persegi, persegipanjang, jajar

genjang, layang-layang dan trapesium. Peneliti memperoleh informasi bahwa beberapa

kesulitan yang dihadapi beberapa siswa adalah (1) tidak paham bagaimana cara memisahkan

bangun yang berupa gabungan dari segitiga, persegi, persegipanjang, dan trapesium menjadi

bagian-bagiannya, (2) tidak tahu (lupa) rumus untuk menghitung luas bangun datar, dan (3)

tahu rumus tetapi salah prosedur operasi hitung. Dari hasil pengamatan awal, peneliti merasa

prihatin dan ingin berupaya untuk memahamkan siswa tentang materi bangun datar

menggunakan pendekatan pembelajaran dan memilih media yang tepat.

Pada penelitian ini peneliti mencari pendekatan yang dapat membantu siswa agar

mampu memahami konsep luas bangun datar serta menggunakannya dalam memecahkan

masalah. Bush dan Leinwand (2003: 22) menyatakan bahwa menurut standar-standar NTCM,

agar berhasil dalam belajar, siswa tidak sekedar mempunyai suatu pemahaman yang jelas

tentang konsep-konsep matematika, tetapi mereka juga harus mahir dengan ketrampilan-

ketrampilan matematika, dan yang lebih penting mereka harus mampu menyampaikan alasan

secara matematis. Shimada dan Becker (1997:1) memaparkan bahwa dalam pembelajaran

dengan pendekatan “open ended” permasalahan disajikan terlebih dahulu. Kegiatan

pembelajaran dijalankan dengan menggunakan banyak jawaban benar dari permasalahan yang

diberikan untuk memberikan pengalaman dalam menemukan sesuatu yang baru pada proses.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan pengetahuan yang telah dimiliki siswa,

ketrampilan atau cara berpikir yang telah dipelajari sebelumnya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 22 tahun 2006

tentang Standar Isi pada lampiran dua menyebutkan bahwa pendekatan pemecahan masalah

merupakan fokus pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi

tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara

penyelesaian. Dari pendapat Bush dan Leinwand, Becker dan Shimada dan Lampiran Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006, dapat diartikan bahwa dalam proses

pembelajaran siswa perlu dilatih agar mampu memecahkan berbagai masalah dengan

bermacam-macam cara menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang telah

dimiliki siswa. Hal senada diungkapkan oleh Sukoriyanto (2001:104) bahwa dalam

memecahkan masalah siswa perlu diberi kebebasan dalam mengungkapkan ide.

Nickson (dalam Hudojo, 1998:6) mengatakan bahwa pembelajaran matematika adalah

suatu upaya membantu siswa membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika

dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu

terbangun kembali. Menurut Hudojo (1998 : 7) pembelajaran matematika dalam pandangan

kontstruktivis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya,

siswa belajar materi matematika secara ber-makna dengan bekerja dan berpikir, (b) informasi

baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang

dimiliki siswa, dan (c) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada

dasarnya adalah pemecahan masalah. Reasoning yang dianggap penting oleh Bush W. S dan

Leinwand S (2003:21) dalam problem solving akan dikembangkan dalam penelitian ini pada

saat siswa menyelesaikan masalah.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

373

Mengingat pentingnya peranan materi bangun datar dalam matematika dan dalam

kehidupan sehari-hari, menurut penulis ketrampilan menyelesaikan masalah bangun datar perlu

ditekankan dengan diawali kegiatan memahamkan siswa tentang materi bangun datar.

Demikian juga pembelajaran yang berfokus pada open ended taskperlu diterapkan sebagai

solusi dari kesenjangan yang ada. Untuk itu, penulis melakukan penelitian yang mampu

menghasilkan suatu deskripsi pembelajaran yang dapat memahamkan siswa tentang luas daerah

bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan keramik.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan jenis Penelitian

Tindakan Kelas. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2013 di SMPN 2 Wagir

Kabupaten Malang dengan subyek 32 siswa kelas VII B yang mengikuti pembelajaran pada

semester genap tahun pelajaran 2012-2013. Penelitian ini diawali dengan observasi awal dengan

memberikan tes awal untuk mengetahui pengetahuan prasyarat yaitu tentang mengidentifikasi

segitiga, persegi, persegi panjang, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang dan trapesium.

Tes awal kedua dengan materi luas daerah bangun yang berupa gabungan dari bangun segitiga,

persegi, persegi pajang, jajar genjang, layang-layang dan trapesium. Hasil tes awal dijadikan

dasar dalam pembentukan kelompok, dan pemilihan subyek wawancara.Dalam penelitian ini,

peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, karena peneliti yang merencanakan, melaksanakan,

mengumpulkan data, menganalisa data, membuat kesimpulan dan membuat laporan.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) hasil observasi kegiatan

pembelajaran, (2) hasil tes dengan tipe soal open-ended, (3) hasil angket respon siswa, (4) hasil

wawancara terhadap subjek wawancara, dan (5) hasil catatan lapangan. Cara mengumpulkan

data dalam penelitian masing-masing adalah: (1) hasil observasi kegiatan pembelajaran yang

dilakukan selama kegiatan pembelajaran berlangsung, (2) hasil tes dengan tipe soal open-ended

yang diberikan pada akhir suatu tindakan, (3) hasil angket respon siswa yang diberikan pada

akhir tindakan, (4) hasil wawancara terhadap subjek wawancara yang dilakukan setelah semua

tindakan selesai dilaksanakan, dan (5) hasil catatan lapangan yang dibuat selama pembelajaran

berlangsung.

Penelitian ini akan menghasilkan deskripsi berupa uraian yang menjelaskan prosedur

pembelajaran materi bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan model

potongan keramik dengan memperhatikan aspek pemberian alasan (reasoning). Dalam

penelitian ini, peneliti lebih mengutamakan proses pembelajaran daripada hasil belajarnya.

Desain penelitian dapat disempurnakan sesuai keadaan di lapangan selama penelitian

berlangsung. Dengan karakteristik tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

seperti dinyatakan Moleong (2000:6).

HASIL

Pada siklus I rata-rata persentase skor observasi aktifitas pembelajaran yang diberikan

kedua observer adalah 85,87 %, aktifitas pembelajaran dalam kriteria baik. Hasil tes akhir

tindakan siklus I secara klasikal banyak siswa yang memperoleh nilai ≥ 75 baru mencapai 46,88

% dengan rata-rata 62,58 hasil tes ini belum memenuhi kriteria keberhasilan. Angket respon

siswa menunjukkan bahwa terdapat 100 % dari siswa kelas VII B yang menyatakan senang

setelah mengalami pembelajaran luas bangun datar dengan pendekatan open ended

menggunakan model potongan keramik. Hasil angket respon siswa telah memenuhi kriteria

keberhasilan. Secara keseluruhan tindakan siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan.

Pada siklus II rata-rata persentase skor observasi aktifitas pembelajaran yang diberikan

kedua observer adalah 93,77 %, dengan kriteria sangat baik. Berdasarkan hasil tes akhir siklus

2 diperoleh data bahwa siswa yang memperoleh skor ≥ 75 adalah sebanyak 28 dari 32 siswa

kelas VII B. Keadaan ini menunjukkan bahwa 87,5 % dari siswa kelas VII B telah memahami

materi luas bangun datar dengan rata-rata 82,74.Persentase hasil penyebaran angket respon

siswa setelah tindakan siklus II yang telah diberikan kepada 32 siswa kelas VII B menunjukkan

bahwa terdapat 96,87% siswa menyatakan senang setelah mengalami pembelajaran luas bangun

datar menggunakan model potongan keramik dengan pendekatan open ended. Hasil angket

respon siswa telah memenuhi kriteria keberhasilan. Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh

peneliti kepada 6 (enam) siswa yang terdiri dari masing-masing dua siswa dari kelompok

bawah, rendah dan atas menyatakan bahwa keenam siswa tersebut menyatakan senang belajar

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

374

materi luas daerah bangun datar dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan

keramik. Secara keseluruhan tindakan siklus II telah memenuhi kriteria keberhasilan.

Dari hasil yang diperoleh pada siklus I dan siklus II pada penelitian ini dapat diperoleh

beberapa informasi berikut: (1) pekerjaan siswa pada tes awal, dan tes akhir tindakan

menunjukkan bahwa kesalahan konsep maupun kesalahan prosedur mula-mula banyak dijumpai

pada siklus I dan sudah berkurang pada siklus II, (2) hasil observasi menunjukkan bahwa

aktifitas pembelajaran berlangsung dengan kriteria baik pada siklus I dan meningkat menjadi

sangat baik pada siklus II. (3) respon siswa terhadap pembelajaran materi luas daerah bangun

datar dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan keramik meningkat dari

88,85% pada siklus I menjadi 89,17% pada siklus II , (4) keenam siswa subyek wawancara

yang terdiri dari masing-masing dua siswa dari kelompok bawah, tengah dan atas menyatakan

senang setelah mengikuti pembelajaran materi luas daerah bangun datar dengan pendekatan

open ended menggunakan model potongan keramik.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh informasi

bahwa pembelajaran dengan pendekatan open ended menggunakan model potongan keramik

telah berhasil memahamkan siswa kelas VII-B SMP Negeri 2 Wagir tentang materi luas bangun

datar. Hal ini didasarkan pada empat kriteria yaitu: (1) hasil observasi aktifitas pembelajaran,

(2) hasil tes akhir siklus, (3) hasil angket untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran

yang telah dialami, dan (4) hasil wawancara yang berfungsi untuk mendukung/ memperkuat

data hasil angket.

Observasi aktifitas pembelajaran dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung

untuk mengamati kesesuaian seluruh aktifitas yang dilakukan guru dan siswa dengan rancangan

yang dituangkan dalam RPP. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Fraenkel (2012:445)

bahwa cara terbaik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah melalui observasi

tentang bagaimana orang berperilaku atau bagaimana sesuatu nampak. Peneliti juga dapat

bertanya kepada guru-guru tentang bagaimana murid-murid mereka berperilaku selama diskusi

kelas, tetapi petunjuk yang lebih akurat dapat diperoleh melalui pengamatan langsung ketika

pembelajaran berlangsung.

Tes akhir pada suatu tindakan diperlukan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap

suatu materi yang dipelajari dalam suatu tindakan. Berkurangnya kesalahan konsep maupun

kesalahan prosedur yang nampak pada pekerjaan siswa dapat menunjukkan bahwa siswa

tersebut makin paham tentang materi yang dipelajari. Hal tersebut sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Arikunto (2010:194) bahwa untuk mengukur pencapaian seseorang setelah

mempelajari sesuatu dilakukan tes.

Angket pada penelitian ini diberikan setelah tes akhir tindakan, berfungsi untuk

mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran luas bangun datar yang telah dialami. Hal

tersebut sejalan dengan pernyataan Arikunto (2010:194) yang menyatakan bahwa angket adalah

sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi perasaan responden.

Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 40

menjelaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana

pendidikan yang menyenangkan. Hal senada juga dijelaskan dalam peraturan pemerintah no 19

tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 19 ayat 1 yang antara lain menyatakan

bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara menyenangkan.

Berdasarkan kedua peraturan tersebut dalam penelitian ini angket respon siswa digunakan

sebagai instrumen untuk menggali informasi tentang respon siswa setelah mengalami

pembelajaran, dan diperkuat melalui wawancara.

Wawancara dilakukan setelah semua tindakan selesai. Wawancara dilakukan selain

untuk memperkuat data angket juga digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap

materi luas bangun datar. Pedoman wawancara dibuat untuk mengarahkan pewawancara

mengenai aspek-aspek apa saja yang perlu ditanyakan. Pedoman wawancara memberi

kesempatan pewawancara untuk memikirkan bagaimana aspek-aspek tersebut akan dijabarkan

secara kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual

saat wawancara berlangsung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fraenkel (2012:452) bahwa data

yang diperoleh akan sistematik dengan menggunakan pedoman wawancara.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

375

Hayati (2012:101) dalam penelitiannya tentang teselasi mengatakan bahwa penggunaan

media kertas berpetak dan pensil berwarna memiliki keterbatasan dalam melakukan teselasi,

karena siswa mengalami kesulitan menciptakan model ubin dalam waktu singkat. Penggunaan

metode ceramah, dimana guru memberi penjelasaian lisan dan siswa hanya mendengarkan,

menyebabkan materi teselasi ini kurang menarik bagi siswa. Mahlobo (2007:1) melalui

penelitiannya tentang penggunaan pendekatan open ended mendapatkan hasil post test yang

lebih baik di sekolah percobaan yang diberi tindakan dengan pendekatan open ended,

dibandingkan hasil post test di sekolah kontrol. Padahal dia memberi pre test dan post test yang

sama, serta jadwal kegiatan yang sama baik di sekolah percobaan maupun sekolah kontrol.

Imprasita (2006:103) mengatakan dari hasil penelitian terhadap mahasiswa keguruan dari Khon

Kaen University Thailand yang melaksanakan kegiatan praktik mengajar di sekolah selama satu

semester menggunakan pendekatan open ended mendapat pengalaman berharga bahwa dalam

pembelajaran matematika tidak sekedar mengajar untuk menghabiskan materi, tetapi yang lebih

penting adalah menekankan proses belajar siswa, gagasan-gagasan yang asli dan sikap terhadap

pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang. Bove (2009:47)

dalam penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa pembelajaran hanya akan berhasil bila

memperhatikan konteks siswa yang unik secara individu, sehingga mereka harus membangun

pemahaman mereka sendiri tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran. Senada

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hayati, Mahlobo, dan Imprasitha, hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan open ended menggunakan model

potongan keramik dapat memahamkan siswa kelas VII B SMPN 2 Wagir tentang materi luas

bangun datar.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan

pendekatan open-ended menggunakan model potongan keramik yang dapat memahamkan siswa

tentang luas daerah bangun datar dalam penelitian ini terdiri dari langkah-langkah berikut: (1)

guru memberi masalah open-ended, (2) siswa menyelesaikan masalah open ended secara

individu, (3) diskusi kelompok untuk membahas hasil kerja individu, dan (4) diskusi kelas untuk

membahas hasil diskusi kelompok.

Saran

Beberapa saran yang dapat peneliti ajukan untuk penelitian, penulisan, atau kegiatan

pembelajaran lebih lanjut mengenai pembelajaran dengan pendekatan open-ended menggunakan

model potongan keramik adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan waktu pada saat diskusi kelompok perlu dikontrol agar diperoleh hasil

pembelajaran lebih optimal.

2. Pada kelas yang belum pernah menggunakan pendekatan open ended, guru perlu memberi

motivasi agar siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran.

3. Perlu ditanamkan kebiasaan siswa untuk bertanya dan menyampaikan pendapat agar

diskusi berlangsung lebih aktif, bila perlu dengan memberikan reward kepada siswa yang

mampu memberi pertanyaan / tanggapan yang berbobot.

4. Penggunaan pendekatan open-ended dan model potongan keramik yang dilakukan penulis

telah memberikan hasil yang baik pada pembelajaran luas daerah bangun datar, oleh

karena itu pendekatan ini dapat dijadikan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran

yang dapat diterapkan guru-guru untuk melaksanakan pembelajaran matematika di sekolah.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2010.Prosedur Penelitian.Yogyakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Bove, Claire. 2009. What Happens When Even the Teacher Doesn’t Know What the Next

Experiments Will Be? Science Educator 18.1 (40 – 47)

Bush W. S dan Leinwand S (Eds). 2003. Mathematics Assessment a Practical Handbook.

Second Printing. The NCTM Inc. Virginia

Depdiknas.2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang

Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Fraenkel Jack R, dkk.2012. How to design and evaluate research in education.8th Edition. The

McGraw Hill Companies.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

376

Hayati, 2012. Pengembangan Media Pembelajaran Berbantuan Komputer Berbasis Inkuiri

Pada Materi Tesselasi di Kelas IX SMP RSBI. Tesis tidak diterbitkan. Malang Program

Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Hudojo, H. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas.

Surabaya: Usaha Nasional

Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis

Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan

Peran Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi”. Program Pasca

Sarjana IKIP Malang. Malang: 4 April 1988

Imprasitha Maitree. 2006.Open Ended Approach and Teacher

Education.(Online).http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec2006/progress_report/Sy

mposium/Imprasitha_a.pdf diakses 15 Maret 2013.

Mahlobo Radley Kebarapetse. 2007. Open Ended ApproachTo Teaching And Learning Of High

School Mathematics.(Online). http://math.unipa.it/~grim/21_project/Mahlobo386-

389.pdf diakses 15 Maret 2013

Moleong, L.J.2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Sekretariat Negara Republik Indonesia.2003. Undang-undang Republik Indonesia no 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta

Sekretariat Negara Republik Indonesia.2005. Peraturan Pemerintah no 19 Tahun 2005 Tentang

Standar Nasional Pendidikan.Jakarta.

Shimada, S dan Becker J.P (Eds). 1997.The Open Ended: A New Proposal for

Teaching.Mathematics.Reston, Virginia. United States: The National Council of Teachers of

Mathematics, Inc.

SMPN 2 Wagir. 2011 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMPN 2 Wagir.Malang.

Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah Dalam Pengajaran Matematika Dengan Menggunakan

Penyelesaian Masalah.Matematika VII.2 (103-111)

Sumini. 2010. Penelitian Tindakan Kelas dan Pengembangan Profesi

Guru(Online).http://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol

24no1april2010/PENELITIAN%20TINDAKAN%20KELAS%20Th%20sumini.pd

diakses 8 Maret 2013.

PENERAPAN PEMBELAJARAN DENGAN PROBLEM POSING

BERBANTUAN MEDIA KOMPUTER UNTUK MENINGKATKAN

PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI GARIS SINGGUNG

PERSEKUTUAN DUA LINGKARAN

Neni Kartika Sari, Subanji, dan Swasono Rahardjo

Universitas Negeri Malang

Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran dengan

problem posinguntuk meningkatkan pemahaman siswa pada materi garis singgung

persekutuan dua lingkaran. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK),yang

dilakukan dalam 2 siklus pada siswa kelas VIII D SMP Negeri 4 Tanggul-Jember tahun

ajaran 2012/2013. Hasil penelitian ini adalah pembelajaran dengan problem posing

berbantuan media komputer yang dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi garis

singgung persekutuan dua lingkaran dilakukan dengan langkah berikut: penyajian materi di

bagian awal dan akhir pembelajaran dikelola melalui power point dan pada bagian inti

pembelajaran disampaikan dengan strategiproblem posing. Dengan pembelajaran tersebut,

terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas, dari 81,45 pada siklus I menjadi 82,95 di siklus II.

Kata kunci: garis singgung persekutuan dua lingkaran, problem posing, dan media

komputer.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

377

Pengajaran geometri, khususnya garis singgung persekutuan dua lingkaran di SMP

Negeri 4 Tanggul, berdasarkan pengalaman peneliti dilapangan, penyebab kesulitan siswa

adalah keterbatasan media pembelajaran.Padahal objek geometri bersifat abstrak dan kehadiran

media pembelajaran sangat diperlukan dalam pembelajaran. Selain itu hingga saat ini

pembelajaran yang diterapkan di sekolah tempat peneliti bertugas masih dilakukan dengan

penyampaian materi kemudian dilanjutkan dengan latihan soal dan penyelesaiannya, siswa

tidak bebas mengeluarkan ide-idenya karena pembelajaran didominasi oleh guru. Siswa kurang

aktif (dalam bertanya, menjawab pertanyaan guru, maju ke depan kelas untuk menyajikan hasil

kerjanya), siswa mengerjakan tugas hanya sebatas untuk dikumpulkan bukan karena ingin

mengetahui sejauh mana kemampuan dalam memahami materi tersebut. Menurut peneliti,

untuk melibatkan siswa secara aktif, pembelajaran matematika sebaiknya dimulai dengan

menghadapkan siswa pada masalah kontekstual, selanjutnya siswa mencoba menyelesaikannya

secara individual atau kelompok berdasarkan konsep-konsep atau pengetahuan matematika

yang telah dimiliki atau dipelajari sebelumnya.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa dalam belajar

matematika adalah problem posing, yaitu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada

kemampuan menyusun soal, mencari langkah penyelesaian sampai menyelesaikan

permasalahan secara tuntas. Pendekatan problem posing dalam pembelajaran akan

menempatkan siswa sebagai subyek belajar yang aktif dan kreatif dalam menyelesaikan

masalah, sedangkan guru sebagai fasilitator bersikap demokratis terhadap pemecahan masalah

yang diajukan oleh siswa Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas

VIII SMP Negeri 4 Tanggul pada materi garis singgung persekutuan dua lingkaran melalui

penerapan pembelajaran dengan problem posing berbantuan media komputer. Pemilihan

pendekatan problem posinguntuk meningkatkan pemahaman siswa pada materi garis singgung

persekutuan dua lingkaran didasarkan pada hasil beberapa penelitian sebelumnya

(Hashimoto,1996; Sutiarso,1999; Timbul Suroso,2005).Hasil penelitian menunjukkan bahwa

problem posing merupakan strategi pembelajaran yang yang dapat memberikan kontribusi

positif dalam pemecahan masalah (NCTM,2000; Perrin,2007). Beberapa hasil penelitian diatas

memberi gambaran bahwa pembelajaran dengan problem posing dapat mengaktifkan siswa

dalam belajar matematika. Penggunaan media komputer dalam penelitian ini diharapkan dapat

menciptakan pembelajaran yang efektif dengan mengelola beban kognitf intrinsic, mengurangi

beban kognitif extranoues, dan meningkatkan beban kognitif germane (Paas,

Renkl&Sweller,2010; Sweller,2004)

Problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teachers of Mathematics

(NCTM) sebagai “the heart of doing Mathematics”, inti dari matematika. Silver (1996)

menggunakan istilah problem posing untuk pembelajaran yang memuat pengembangan masalah

baru atau perumusan kembali masalah yang diberikan.Problem posing mulai dikembangkan

pada tahun 1997 oleh Lynn D.English dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran

matematika. Model pembelajaran problem posing mulai masuk ke Indonesia pada tahun

2000.Istilah problem posing di Indonesia sering dipadankan dengan istilah pembentukan soal

(Suryanto,1998), pengajuan soal (Siswono,1997), membuat soal (Sutiarso,1999). Silver & Cai

(1996) menyatakan bahwa bentuk kegiatan kognitifproblem posingyang bersifat matematis

dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) pre solution posing yaitu membuat soal untuk persiapan

memecahkan masalah, (2) within solution posing, yaitu merumuskan kembali masalah agar

menjadi mudah untuk diselesaikan, dan (3) post solution posing , yaitu memodifikasi tujuan

atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru. Berdasarkan

pengertian di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan problem posing adalah

perumusan atau pengajuan masalah/soal terhadap isi pelajaran yang dapat dilakukan sebelum,

selama atau setelah pemecahan masalah/soal.

Ditinjau dari psikologi kognitif, Kilpatrick (Silver dan Cai,1996) menyatakan bahwa

salah satu dasar kognitif yang terjadi dalam problem posingadalah asosiasi. Dalam usaha

merumuskan soal, semua informasi dan situasi yang diberikan diasosiasikan dengan terlebih

dahulu dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga terjadi proses asimilasi terhadap

pengetahuan yang dimilikinya. Brown dan Walter (1996) mengemukakan bahwa perumusan

soal dalam pembelajaran matematika memiliki dua tahap kognitif yaitu menerima (accepting)

dan menantang (challenging). Tahap accepting terjadi ketika siswa membaca informasi yang

diberikan guru dan tahap challenging terjadi ketika siswa berusaha untuk mengajukan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

378

soal/pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan. Problem posing adalah salah satu model

pembelajaran matematika yang menekankan pada kemampuan peserta didik untuk membuat

sekaligus menyelesaikan soal (Soedjadi,2000).

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan

problem posing dengan bantuan media komputer yang dapat meningkatkan pemahaman siswa

terhadap materi garis singgung persekutuan dua lingkaran.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang dirancang

mengikuti model Kemmis dan Mc Taggart. Model PTK ini memuat empat tahap yang saling

berkesinambungan dalam setiap siklusnya yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi.

Hasil refleksi merupakan pijakan awal untuk melakukan perencanaan pada siklus berikutnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan untuk mendskripsikan penerapan pendekatan

problem posing berbantuan media komputer yang dapat meningkatkan pemahaman siswa pada

materi garis singgung persekutuan dua lingkaran. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus,

dari tanggal 27 April sampai dengan 29 Mei 2013.

Pelaksanaan dan Hasil siklus I

Proses belajar mengajar siklus I dilaksanakan dalam 2 pertemuan (27 dan 30 April

2013),dimana tiap pertemuan berlangsung selama 2x40 menit. Materi yang dibahas pada siklus I

adalah garis singgung persekutuan dalam dua lingkaran. Pada tahap awal, melalui power point

peneliti memaparkan materi yang akan dipelajari.tujuan pembelajaran yang ingin dicapai yaitu:

(1) siswa dapat menemukan rumus panjang garis singgung persekutuan dalam, (2) siswa dapat

menggunakan rumus panjang garis singgung persekutuan dalam untuk menyelesaikan soal-soal

yang terkait, serta tehnik penilaian yang. Dengan memperhatikan gambar-gambar yang

berkaitan dengan materi, melalui tanya jawab peneliti mengingatkan materi prasyarat, meliputi

teorema phytagoras dan pengertian garis singgung seperti berikut:

1. 2.

3. Gambar 1. Gambar yang Berkaitan dengan Materi

Berikut tanya jawab siswa dan peneliti (P)

P : Anak-anak perhatikan gambar nomor 1. Siapa dapat menyebutkan rumus phytagoras

untuk gambar tersebut?

AFR : Saya Bu,

P : ya, silakan

AFR : OP2 = OQ

2 + QP

2

P : bagus sekali, sekarang hitunglah panjang QP

GMN : Saya Bu…..

P : silakan GMN :QP2 = OP

2 – OQ

2 = 7

2- 5

2 = 49- 25 = 24. Jadi panjang QP = 24

P : Ya, bagus sekali. Anak-anak sekarang perhatikan gambar nomor 2, berapakah panjang

AB?

AP : saya Bu

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

379

P : silakan AP

AP : AB = 𝑂𝐵2 − 𝑂𝐴2 = 262 − 102 = 676− 100 = 576 = 24

P : Ya bagus sekali , sekarang perhatikan gambar nomor 3., manakah yang merupakan

garis singgung ?

S : (serentak) garis p, garis k, garis l

P : Semua jawaban kalian benar

Dari tanya jawab tersebut tampak bahwa siswa sudah mempunyai bekal prasyarat untuk

mempelajari materi garis singung pesekutuan dalam. Kegiatan dilanjutkan dengan

membangkitkan motivasi siswa dengan menyampaikan bahwa

materi yang dipelajari saat ini nanti akan dibahas lagi di jenjang pendidikan yang lebih tinggi

dan meminta siswa untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran dengan pendekatan problem

posing.Selanjutnya siswa diminta untuk duduk dalam kelompok masing-masing sesuai dengan

yang telah ditetapkan.

Pada tahap inti, peneliti membagikan lembar kerja siswa 1 (LKS 1) yang memuat

langkah-langkah menemukan rumus panjang garis singgung pesekutuan dalam kepada setiap

siswa dan meminta siswa untuk berdiskusi dalam kelompoknya Melalui bimbingan peneliti

siswa menyelesaikan LKS 1 untuk menemukan rumus panjang garis singgung persekutuan

dalam. Selanjutnya peneliti membagikan lembar kerja siswa 2 (LKS 2) kepada setiapsiswa.

Melalui power pointpeneliti menjelaskan bahwa berdasarkan gambar tersebut siswa diminta

untuk membuat soal. Berikut LKS 2 :

Buatlah 3 soal berdasarkan gambar dibawah ini:

Gambar 2. Gambar yang Digunakan Siswa untuk Membuat Soal

Beberapa soal yang dibuat oleh siswa berdasarkan gambar diatas adalah : (1) apakah

yang dimaksud dengan SQ ?,(2)berapa panjang SQ ?, (3) Jika panjang R = 5 cm,berapakah

panjang r ? (4) berapakah jarak antara pusat lingkaran A dengan lingkaran B , (5) hitunglah

panjang garis singgung persekutuan dalam tersebut jika R = 3 cm, r = 2 cm, AB = 13 cm. Soal

nomor 1 dan 4 berbentuk pre solution posing, soal nomor 2 berbentuk within solution posing,

sedangkan nomor 3 dan 5 merupakan post solution posing.

Selanjutnya peneliti meminta siswa untuk menyelesaikan soal yang dibuat sendiri

tersebut bersama kelompoknya. Setiap kelompok diminta mengumpulkan LKS 2 sebanyak 1

eksemplar untuk penilaian dan dokumen bagi peneliti. Sebelum mengakhiri pertemuan peneliti

menayangkan power point tentang cara mendapatkan rumus panjang garis singgung persekutuan

dalam dengan tanya jawab dalam membuat rangkuman seperti berikut:

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

380

Gambar 3. Cara Mendapatkan Rumus Panjang GSPD

Peneliti : Anak-anak perhatikan gambar, siapa bisa menyebutkan rumus panjang garis

singgung persekutuan dalam pada gambar tersebut.

Siswa : (SN,FA,AFR,UH secara bersamaan ) Saya Bu

Peneliti : Silahkan UH

UH : Pada gambar diatas, segitiga PQS adalah segitiga siku-siku, PSdan SQ adalah sisi

siku-siku, PQ = d adalah hipotenusa, garis singgung persekutuan dalam nya adalah

PS, sehingga

PS = 𝑃𝑄2 − 𝑆𝑄2

PS = 𝑑2 − (𝑟2 + 𝑟1)2

Peneliti : Bagus sekali, anak-anak ada yang ingin bertanya?

Siswa : Sudah jelas Bu

Peneliti :Baiklah anak-anak, pertemuan hari ini sudah cukup, untuk tugas

dirumah kerjakan soal latihan dari buku paket halaman 155 latihan 6 , di

buku tugas masing- masing.

Dari dialog nampak bahwa siswa sudah memahami rumus panjang garis singgung

persekutuan dalam, hal itu terbukti siswa masih bisa mendapatkan rumus yang benar meskipun

gambar yang ada tidak menggunakan lambang yang sama dengan LKS 1 yang sudah mereka

kerjakan.

Pertemuan berikut nya, peneliti menayangkan materi di LKS 3, siswa diminta

memperhatikan gambar dengan seksama. Berikut adalah gambar pada LKS 3:

Gambar 4. Gambar pada LKS 3

Setiap kelompok diminta membuat soal berdasarkan gambar yang tersedia, sekaligus

menyiapkan jawaban nya dalam waktu 15 menit, kemudian dikerjakan oleh kelompok yang lain

dan sebaliknya. Selanjutnya peneliti meminta salah satu siswa mewakili kelompoknya untuk

mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas, siswa lainnya memperhatikan dan kelompok

pembuat soal diminta mengomentari hasil nya.

Berikutnya peneliti membagikan LKS 4 ,dimana siswa diminta membuat soal yang

dianggap sulit kemudian diberikan kepada teman sebangkunya untuk diselesaikan dan

sebaliknya.Berdasarkan hasil kerja siswa pada LKS 2 dan LKS 3, dari soal-soal yang diajukan

siswa setelah dianalisis diperoleh data bahwa:(1) semua soal tergolong bentuk pertanyaan

matematika dan merupakan pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan,.(2) soal

yangdisusun siswa berbentuk Pre Solution Posing (37,03%), Within Solution Posing(25,92%),

danPost SolutionPosing (57.03%)

Demikian juga hasil kerja siswa pada LKS 4 diperoleh data sebagai berikut:(1) Siswa

yang mengajukan soal/pertanyaan , tergolong bentuk soal matematik dan sudah baik sebanyak

31 orang ( 81,57%),(2) Siswa yang mengajukan soal/pertanyaanyang tergolong bentuk soal

matematika dilihat dari segi bahasa masih perlu perbaikan sebanyak 7 orang (18,42%),(3) Siswa

yang menjawab soal/pertanyaaan yang dibuattemannya dan sudah benar sebanyak 33 orang

(86,84%), (4) Siswa yang menjawabsoal/pertanyaan yang dibuat temannya dan masih salah

sebanyak 5 orang (13,15%) .Hal ini memberikan gambaran bahwa pemahaman siswa untuk

materi garis singgung persekutuan dalam sudah baik. Walaupun demikian peneliti melakukan

tes akhir tindakan untuk mengetahui yang lebih mendalam tentang pemahaman dan ketuntasan

belajar pada materi garis singgung persekutuan dalam.

Tes akhir tindakan I terdiri dari 3 soal dalam bentuk esai dengan waktu 45 menit, dan

diperoleh data sebagai berikut : siswa yang memperoleh skor ≥ 70 sebanyak 31 orang, dengan

nilai rata-rata kelas 81,45 (skala 1 – 100). Ini dapat diartikan bahwa siswa yang telah

memperoleh skor ≥ 70 % dari skor maksimal adalah 81,58 % dari jumlah siswa.

P Q

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

381

Dari hasil pengamatan dan diskusi diperoleh kesepakatan yang harus diperbaiki pada

siklus II yaitu: mengingatkan siswa agar banyak membaca buku dari bebagai sumber untuk

memdapatkan berbagai bentuk soal, untuk mengatasi siswa yang tidak aktif selama diskusi

maka motivasi tidak hanya diberikan di awal proses pembelajaran akan tetapi saat ketika

memantau jalannya diskusi, pengaturan waktu diskusi lebih dipertegas sehingga seluruh bahan

diskusi dapat diselesaikan dan dipresentasikan, tugas dikumpulkan bersamaan sebelum

presentasi.

Pelaksanaan dan Hasil siklus II Proses belajar mengajar pada siklus II dilaksanakan dalam 3 pertemuan (7,11,dan 14

Mei 2013), di mana tiap pertemuan berlangsung selama 2x40 menit. Materi yang dibahas dalam

siklus II adalah garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.

Pada tahap awalmelaluipower pointpeneliti memaparkan tujuan pembelajaran yang

ingin dicapai yaitu: (1) siswa dapat menggunakan rumus panjang garis singgung persekutuan

luar dua lingkaran untuk menyelesaikan soal-soal terkait, (2)siswa dapat menyelesaikan masalah

kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan garis singgung persekutuan luar dua lingkaran.

Selanjutnya ditayangkan gambar-gambar dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan

garis singgung persekutuan luar lingkaran seperti berikut:

Gambar 5. Gambar dalam Kehidupan Sehari-hari

Peneliti meminta salah satu siswa untuk menceritakan hubungan gambar-gambar diatas dengan

materi yang akan dipelajari.Berikut dialog siswa dengan peneliti ketika apersepsi :

Peneliti : Anak-anak perhatikan gambar, ceritakan mengenai gambar tersebut.

Siswa : (serempak) gambar yang mana Bu ?

Peneliti : Gambar sebelah kiri, yaitu roda sepeda.

GMN :(mengacungkan tangan) saya pernah membaca bahwa untuk menghitung panjang

rantai sepeda dengan tepat kita bisamenggunakan rumus panjang garis singgung

persekutuan luar.

Peneliti : Mengapa panjang rantai sepeda harus tepat?

DAR : Kalau terlalu panjang maka rantai sepeda akan lepas dan rodasepeda tidak bisa

berputar.

Peneliti : Benar sekali jawaban mu. Bagaimana dengan gambar pipa paralon ?

(beberapa menit belum ada siswa yang menjawab),

setelah mempelajari materi ini diharapkan kalian bisa menerapkan dalam kehidupan

sehari-hari misalnya mengitung panjang rantai sepeda dan panjang tali minimal

untuk mengikat paralon menjadi satu seperti gambar tersebut .Pada akhir pertemuan

kali ini kalian harus dapat menggunakan panjang garis singgung persekutuan luar

lingkarandalam soal yang berkaitan,

Pada tahap inti, sebelum pelaksanaan diskusi kelompok, peneliti meminta setiap

kelompok membaca dan memahami lembar informasi 1 tentang cara mendapatkan rumus

panjang garis singgung persekutuan luar lingkaran beserta contoh soal nya.

Selanjutntya peneliti membentuk kelompok-kelompok berdasarkan hasil tes akhir siklus

I.Pada awal kegiatan diskusi kelompok, peneliti membagikan LKS 1 kepada setiap siswa untuk

membuat soal yang berkaitan dengan informasi yang ada di LKS 1 minimal 3 butir . Informasi

LKS 1 nomor 1 sebagai berikut :

Panjang jari-jari dua lingkaran masing-masing adalah 8 cm dan 2 cm. Jarak

kedua titik pusatnya adalah 10 cm.

Dalam kegiatan ini rata-rata siswa tidak bingung lagi karena sudah pernah mengerjakannya pada

tindakan I yang lalu. Berikut ini adalah beberapa -soal yang dibuat siswa pada LKS 1: (1)

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

382

gambarlah lingkaran sesuai kondisi tersebut (2) lengkapi gambarmu dengan garis singgung

persekutuan luar (3) ada berapa garis singgung persekutuan luar yang dapat digambar?

(4)hitunglah panjang garis singgung persekutuan luar tersebut?(5) berapa besar sudut yang

menghubungkan jari-jari dan garis singgung? (6)jika R = 4 dan r = 2 sedangkan p = 10 cm ,

berapakah nilai ℓ?

Setelah setiap kelompok menuliskan soal yang telah dibuatnya, kemudian peneliti

menginformasikan bahwa semua soal yang telah dibuat benar, hanya saja ada beberapa soal

yang perlu diperbaiki bahasanya agar lebih bagus dan lengkap.Selanjutnya peneliti meminta

perwakilan kelompok 6 untuk mempresentasikan jawaban dari soal yang dibuatnya,Peneliti

meminta beberapa kelompok lain untuk menanggapi serta memberikan pertanyaan apabila

hasil yang diperolehberbeda dengan hasil yang telah mereka diskusikan. Pada tahap akhir

peneliti menyampaikan hasil diskusi hari itu, yaitu rumus panjang garis singgung persekutuan

luar lingkaran dengan tanya jawab melalui power point sebagai berikut :

Gambar 6. Ilustrasi Garis Singgung Persekutuan Luar

“Jelaskan pengertian O, Q, A, B, r1, r 2 dan k pada gambar tersebut, tuliskan rumus untuk

menghitung panjang k pada gambar tersebut”. Hampir semua siswa aktif menjawab, beberapa

siswa mencatat hal-hal yang dianggap penting di buku catatannya. Selanjutnya peneliti

memberikan tugas individual untuk menyelesaikan soal buku paket halaman 158 latihan 8 di

buku tugas sebagai perkerjaan rumah.

Pertemuan berikutnyamempelajari tentang cara menghitung panjang lilitan. Untuk

memudahkan siswa memahami tujuan pembelajaran, peneliti menayangkan power point berikut

:

Gambar 7. Apersepsi untuk materi menghitung panjang taliliitan minimal

Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa dapat menghitung panjang tali

lilitan minimal yang digunakan untuk mengikat beberapa benda berbentuk tabung.Materi

prasyaratadalah rumus menghitung panjang busur lingkaran yang diketahui besar sudut pusat

dan panjang jari-jarinya. Untuk memotivasi siswa, peneliti menyampaikan bahwa mungkin

suatu ketika kita dihadapkan pada suatu pekerjaan, misalnya harus mengangkut beberapa pipa

paralon, tiang listrik, atau kayu gelondongan seperti di power point, ke suatu tempat yang agak

jauh, maka kita harus memastikan bahwa benda yang kita bawa dalam keadaan aman sampai di

tujuan. Untuk itu barang-barang tersebut harus diikat dengan tali.Akan dibahas bagaimana cara

menghitung panjang talililitan minimal yang diperlukan untuk mengikat benda tersebut supaya

aman

Pada lembar informasi II, siswa diminta menyusun pertanyaan-pertanyaan yang

merupakan langkah-langkah untuk menghitung panjang sabuk lilitan minimal yang diperlukan

untuk mengikat tiga pipa paralon tersebut.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

383

.

Gambar 8. Ilustrasi Lilitan Pipa Paralon

Langkah pertama, gambarlah titik pusat setiap lingkaran lalu beri nama dengan A, B

dan C. Hubungkan titik pusat ketiga lingkaran dan titik singgung nya dengan tali yang

melingkarinya, seperti pada gambar diatas sehingga diperolehpanjang DE = FG = HI = AB =

AC =BC,seperti gambar berikut

Gambar 9. Sketsa untuk menghitung panjang tali lilitan minimal

Beberapa pertanyaan yang yang dibuat oleh siswa : (1)berapakah panjang garis

singgung HI ?, (2). berapa panjang garis singgung GF ? (3)berapa panjang garis singgung

DE ?,(4) segitiga ABC merupakan segitiga apa ? ,(5). berapa besar ∠ ABC dan besar ∠ EBF

?,( 6) berapa panjang sabuk lilitan minimal yang diperlukan untuk mengikat pipa?

Selanjutnya peneliti meminta kepada setiap siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

tersebut di lembar informasi II yang sudah mereka terima masing-masing. Siswa tampak

berebut untuk maju ke depan sehingga suasana agak ramai. Hal itu menggambarkan bahwa

siswa sangat antusias dalam pembelajaran dan siswa ingin menunjukkan bahwa mereka sudah

memahami apa yang dimaksud dalam soal.

Pada hari Kamis tanggal 16 Mei 2013 jam ke 5-6 pukul 10.05-11.25 sesuai rencana

peneliti mengadakan tes, yang disebut tes akhir tindakan II,dibantu oleh dua orang pengamat

membagi lembar soal tes akhir tindakan II yang terdiri dari 3 soal dengan bentuk soal esai.

Berdasarkan hasil tes akhir siklus II diperoleh bahwa 36 orang mendapat skor lebih dari

70 dengan nilai rata-rata kelas 82.95. Jika dibandingkan dengan siklus I maka ada kenaikan

sebesar 10,49 %.

KESIMPULAN DAN SARAN Pada tahap inti, sebelum pelaksanaan diskusi kelompok, peneliti meminta setiap

kelompok membaca dan memahami lembar informasi 1 tentang cara mendapatkan rumus

panjang garis singgung persekutuan luar lingkaran beserta contoh soal nya.

Model pembelajaran untuk mengajarkan garis singgung persekutuan dua lingkaran dengan

menerapkan problem posing berbantuan media komputer mengikuti langkah-langkah berikut

:(a) kegiatan pendahuluan dilakukan dengan memotivasi siswa dengan menunjukkan gambar-

gambar dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan garis singgung persekutuan dua

lingkaran melalui power point, mengingatkan materi prasyarat dengan tanya jawab serta

menjelaskan tugas yang harus dikerjakan selama pembelajaran., (b) kegiatan inti dilakukan

dengan meminta siswa menjelaskan LKS yang berupa pengajuan soal beserta penyelesaiannya,

menukarkan dengan kelompok lain untuk diselesaikan lalu mempresentasikannya, (c) kegiatan

akhir dilakukan dengan mengarahkan siswa membuat kesimpulan tentang garis singgung

persekutuan dua lingkaran melalui tanya jawab dan power point, memberi tugas rumah serta

memberitahu materi yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

384

Hal yang perlu diantisipasi bagi guru yang akan menerapkan problem posing di kelas

adalah pengaturan waktu yang baik agar pembelajaran dapat efisien sesuai waktu yang

direncanakan.

DAFTAR RUJUKAN

As’ari, A.R 1999. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem PosingJurnal

Matenatika Buletin Pelangi Pendidikan Vol.2 No.2:42-46

As’ari. A.R 2000. Problem Posing untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru IPA,Jurnal

Pelangi Pendidikan Matematika dan Sains, Jogjakarta. Tahun V.No.1 Hal 5 -25

As’ari A.R.2002.Beberapa Hal Penting tentang Pembelajaran Matematika dengan

Cooperative Learning. Makalah Disajikan dalam Simposium Guru Matematika ke V di

Hotel Sahid Jogyakarta, 11-14 November 2002.

English, I.D.1998.Children’s Problem Posing Within Formal and InformalContexts, Journal for

Research of Mathematics Education 83 – 106.

Soedjadi. 2000. Model Pembelajaran Problem Posing

Kemmis, S & Mc Taggart,R.1998. The Action Research Planner.Deakin University.

Paas, F, Renkl,A& Sweller, J. 2004. Cognitive Load Theory: Instructional Implications of the

Interaction between Information Structures and Cognitive Architecture.Instructional

Science

Silver, E.A dan Cai, J.1996. An Analisys of Arithmetic Problem Posing by Middle

School Student Journal of Research in Mathematics Education,

Vol 27. No. 5.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

385

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

KONTEKSTUAL BERSETTING KOOPERATIF

TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS)

PADA MATERI TRIGONOMETRI

Mariani , Sri Mulyati, dan Santi Irawati

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan suatu perangkat pembelajaran

kontekstual yang valid, praktis dan efektif bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray

(TSTS) pada materi Trigonometri. Desain pengembangan dalam penelitian ini

menggunakan penelitian pengembangan model Plomp yang terdiri dari : (1) preliminary

research (fase penelitian awal), (2) prototyping phase (fase prototype ) dan (3) assessment

phase (fase penilaian). Hasil validasi RPP dan LKS adalah valid dengan skor berturut-turut

3,66 dan 3,60. Hasil observasi mengenai tingkat keterlaksanaan penggunaan LKS berada

dalam kriteria tinggi dan hasil observasi aktivitas guru dalam kriteria aktif, sehingga

perangkat pembelajaran memenuhi kriteria kepraktisan. Keefektifan tercermin dari 100%

siswa mendapat nilai minimal 70, aktivitas siswa dalam kategori aktif dan respon siswa

positif.

Kata kunci: pengembangan, perangkat, kontekstual, kooperatif, Two Stay Two Stray

Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di

Indonesia, di mana salah satu mata pelajarannya adalah matematika. Matematika sebagai mata

pelajaran wajib diberikan pada semua siswa diharapkan menjadi mata pelajaran yang

menyenangkan, menantang dan memotivasi siswa agar siswa dapat terlibat secara aktif dalam

proses pembelajaran.

When students find meaning in their lessons, they will learn and remember what they

study (Johnson, 2002:23). Artinya ketika para siswa menemukan makna dalam pelajaran

mereka, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari. Salah satu pembelajaran yang

sesuai dengan tujuan tersebut adalah pembelajaran matematika dengan pemdekatan kontekstual.

Sesuai dengan pendapat Johnson (2002:24) ―Contextual teaching and learning enabels student

to connect the content of academic subjects with the immediate context of their daily lives to

discover meaning”. Artinya pembelajaran kontekstual membuat siswa dapat menghubungkan isi

pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka untuk menemukan makna.

Menurut Johnson (2002: 24) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah

sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Sistem CTL

mencakup delapan komponen, yaitu: (1) Making meaningful connections (membuat keterkaitan-

keterkaitan yang bermakna); (2) Doing significant work (melakukan pekerjaan yang berarti); (3)

Self-regulated learning (melakukan pembelajaran yang diatur sendiri); (4) Collaborating

(bekerja sama); (5) Critical and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif); (6) Nurturing the

individual (membantu individu untuk tumbuh dan berkembang); (7) Reaching high standards

(mencapai standar yang tinggi); (8) Using authentic assessment (menggunakan penilaian

autentik). Sedangkan Sabil (2011: 46) menyatakan bahwa ada tiga hal dalam konsep CTL yang

perlu dipahami, yaitu: pertama, CTL menekankan pada proses keterlibatan mahasiswa/siswa

untuk menemukan materi; kedua, CTL mendorong mahasiswa/siswa dapat menemukan

hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata; dan ketiga, CTL mendorong

mahasiswa/siswa menerapkan materi yang dipelajari dalam kehidupannya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

memberikan hasil yang memuaskan di sekolah. Diantaranya penelitian Mulyati (2008)

menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dari pembelajaran matematika dengan

pendekatan kontekstual pada hasil belajar matematika. Armiya (2006) menyimpulkan

pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang materi volume tabung

dan kerucut. Penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran kontekstual pernah

dilakukan Tati (2009) menghasilkan perangkat yang valid, praktis dan efektif. Demikian juga

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

386

Irmawan (2013), Junaidi (2012), dan Asmadi (2011) yang mengembangkan perangkat

pembelajaran berdasarkan model pengembangan Plomp.

Pembelajaran kontekstual menekankan pada pembelajaran sebagai proses sosial. Melalui

interaksi dalam komunitas belajar, proses dan hasil belajar menjadi lebih bermakna. Menurut

Johnson (2002:29): ―Collaborating helps student‟s identify issues, design plans, and explore

solutions‖. Artinya dengan bekerja sama, siswa terbantu dalam menemukan persoalan,

merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Pada kegiatan kolaboratif siswa saling

berbagi ide dan pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dapat

mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk saling berbagi ide tersebut dalam mempelajari

materi pelajaran. Slavin (1995:2) menyatakan: ―In Coopertaif classrooms, students are expected

to help each other, to discuss and argue with each other, to assess each other‟s current

knowledge and fill in gaps in each other‟s un derstanding”. Artinya pada pembelajaran

kooperatif, siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi,

untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam

pemahaman masing-masing. Pembelajaran kooperatif adalah metode yang layak namun kurang

dimanfaatkan (Jones, 2008). Jones sangat menyarankan agar menerapkan pembelajaran

kooperatif di kelas. Pembiasaan dengan dasar pembentukan kelompok yang variatif dalam

model pembelajaran kooperatif akan mengembangkan kesadaran hidup sekarang dan nanti bagi

siswa. (Suparmi, 2012). Adapun menurut Yuwono (2006) pembentukan kelompok secara

heterogen berdasarkan kemampuan siswa pada saat diskusi kelompok akan lebih baik karena

siswa biasanya tidak segan bertanya kepada kawannya dalam kelompok tersebut.

Perbandingan hasil dari pembelajaran koperatif dan tradisional khususnya pada bidang

matematika telah dibuktikan oleh Awofala (2012), Kupczynski (2012) dan Zaheer (2010). Pada

penelitian Awofala (2012) siswa mula-mula mendapat skor pre test yang relatif sama, ternyata

pada hasil pos testnya kelompok yang bekerjasama memiliki hasil yang lebih baik. Kupczynski

(2012) menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif menemukan

manfaat belajar lebih dari kelompok tradisional. Sedangkan pada penelitian Zaheer (2010)

menyatakan juga terdapat perbedaan yang signifikan dalam nilai tes kedua kondisi tersebut,

sehingga disarankan guru lebih memilih strategi pembelajaran yang inovatif seperti kooperatif

daripada pembelajaran tradisional.

Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah Two Stay Two Stray (TSTS).

Pada model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini siswa menjadi lebih aktif, yaitu pada saat

diskusi dalam kelompok maupun saat bertamu ke kelompok lain siswa. Pembelajaran kooperatif

menggunakan tipe Two Stay Two Stray (TSTS) sudah banyak dimanfaatkan dalam beberapa

penelitan, antara lain oleh Hamiddin (2010), Mayasari (2012) dan Sary (2013). Menurut

Hamiddin (2010) pembelajaran kooperatif tipe TSTS mampu memperbaiki pemahaman siswa.

Menurut Mayasari (2012) metode pembelajaran TSTS dapat meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis tertulis siswa kelas XI IPA SMAN 1 Purwosari, dan menurut Sary

(2013) model pembelajaran kooperatof tipe TSTS dan tipe NHT memberikan prestasi yang

sama ditinjau dari aktivitas belajar siswa. Model pembelajaran yang didalamnya melibatkan

siswa secara aktif untuk membangun pemahaman untuk menemukan penyelesaian soal sangat

diperlukan skenario pembelajaran yang baik.

Dari pengamatan peneliti selama mengajar matematika di SMA Negeri 5 Banjarmasin,

pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih bersifat konvensional, masih dengan

urutan menerangkan, memberi contoh dan latihan soal. Selain itu, bahan ajar yang digunakan di

SMA Negeri 5 Banjarmasin adalah Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dari penerbit tertentu.

Biasanya penyajian LKS mencakup ringkasan materi, contoh soal dan latihan soal. Tetapi dari

sajian LKS yang ada, siswa hanya mendapatkan keterampilan prosedural. Dapat disimpulkan

LKS yang digunakan di SMA Negeri 5 Banjarmasin masih belum cukup membantu siswa

dalam pemahaman konsep matematika. Berdasarkan data yang diperoleh, Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) yang digunakan juga terkadang bukan buatan guru itu sendiri, melainkan

buatan penerbit tertentu, download di internet atau disusun oleh MGMP namun masih belum

lengkap, dan pada umumnya di RPP yang biasa digunakan tersebut kegiatan guru dan siswa

tidak dideskripsikan dengan detail.

Peneliti memilih materi trigonometri kelas X dalam penelitian pengembangan ini karena

pada saat peneliti mengajar di kelas XI, ditemukan indikasi kesulitan siswa terhadap materi

perbandingan trigonometri yang pernah mereka pelajari di kelas X. Pada saat siswa

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

387

menggunakan rumus trigonometri, masih banyak yang salah dalam menentukan nilai

perbandingan trigonometri sudut istimewa dan nilai perbandingan trigonometri di semua

kuadran, hal ini berkaitan dengan pemberian materi Trigonometri di tingkat sebelumnya.

Karena materi Trigonometri ini adalah materi yang berkelanjutan dari kelas X ke kelas XI.

Kesulitan siswa terhadap materi trigonometri di kelas X juga terjadi di SMAN 50 Jakarta, ada

dua penelitian yang dilaksanakan di sekolah tersebut terkait materi trigonometri. Wiyartimi

(2010) dalam diagnosisnya menemukan letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal

materi trigonometri. Kemudian Livia (2010) berupaya meningkatkan hasil belajar trigonometri

dengan menggunakan sebuah metode pembelajaran yang memacu para siswa untuk bekerja

sama dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang

dimilikinya.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengembangkan perangkat pembelajaran yang

bertujuan untuk menghasilkam RPP dan LKS yang valid, praktis dan efektif bersetting

kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi trigonometri.

METODE

Model pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan perangkat dalam

penelitian yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

merujuk pada Plomp (2010), yang terdiri dari tiga fase, yaitu: pertama, Preliminary research.

Fase ini merupakan fase pengamatan terhadap kondisi yang sedang berjalan di SMA Negeri 5

Banjarmasin. Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan adalah analisis kebutuhan untuk

mengembangkan perangkat pembelajaran. Aktivitas tersebut meliputi : (a) melakukan

pengamatan terhadap pembelajaran matematika, mengamati LKS dan RPP yang digunakan oleh

guru pengajar matematika, (b) mengkaji teori tentang model pembelajaran kontekstual dan

kooperatif, (c) melakukan kajian tentang pengembangan perangkat pembelajaran, (d)

melakukan kajian teori tentang kualitas perangkat yang baik, (e) pemilihan perangkat

pembelajaran yang akan dikembangkan.

Kedua, Prototyping phase. Pada fase ini dilakukan (1) perancangan instrumen yang

meliputi RPP, LKS, lembar observasi keterlaksanaan LKS, lembar observasi aktiviras guru,

lembar observasi aktivitas siswa, angket respon siswa dan soal tes, (2) perancangan lembar

validasi instrumen. RPP dan LKS disusun menggunakan 8 komponen pembelajaran kontekstual

dan skenario pembelajaran di desain bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS).

Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS dilakukan dengan urutan diskusi kelompok (4-5 orang).

Kemudian setelah diskusi, dua orang dari kelompok semula berbagi tugas masing-masing

bertamu ke dua kelompok lain, demikian juga untuk kelompok lainnya. Sisa anggota kelompok

berperan sebagai ―tuan rumah‖. Siswa ―tuan rumah‖ berbagi informasi kepada siswa ―tamu‖.

Siswa ―tamu‖ mengklarifikasi jawaban di lembar tamu. Setelah waktu bertamu selesai, maka

siswa‖tamu‖ kembali ke kelompok asal untuk mendiskusikan kembali isi lembar tamu dengan

hasil diskusi kelompok semula. Hasil diskusi akhir ini akan di presentasikan di depan kelas.

Ketiga, Assessment phase (fase penilaian). Fase ini mengetahui apakah perangkat

memenuhi kriteria perangkat pembelajaran yang baik. Perangkat pembelajaran yang dibuat pada

tahap sebelumnya (Prototipe 1) divalidasi para ahli kemudian di revisi menghasilkan prototipe

2. Prototipe 2 di uji cobakan terbatas pada 12 orang siswa dan kemudian di revisi menghasilkan

prototipe 3. Selanjutnya untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan suatu perangkat,

Prototipe 3 diuji coba di kelas (tidak termasuk 12 siswa sebelumnya). Hasil uji coba di kelas di

analisis dan direvisi untuk menghasilkan Prototipe Final.

HASIL

Penelitian awal dalam pengembangan ini merupakan fase pengamatan terhadap kondisi

pembelajaran yang tengah berjalan. Tahapan ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan

untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP dan LKS. Hasil diskusi

dengan beberapa orang guru matematika SMA di Banjarmasin diketahui bahwa perangkat

pembelajaran selama ini hanya menyajikan kumpulan rumus tanpa penjelasan proses bagaimana

menemukan rumus itu. LKS yang digunakan oleh siswa tidak memuat bagaimana menemukan

nilai trigonometri, tetapi langsung diberikan rumus-rumus yang harus digunakan untuk

perbandingan trigonometri dan langsung dituliskan nilai perbandingan trigonometri sudut

istimewa dan rumus sudut berelasinya. Siswa hanya mengandalkan LKS yang hanya memuat

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

388

rumus-rumus disertai dengan latihan soal. ada tahap penelitian awal ini dilakukan pula kajian

terhadap empat RPP yang pernah digunakan oleh guru matematika di SMA Negeri 5

Banjarmasin, tetapi tidak ditemukan RPP untuk materi trigonometri yang bersetting kooperatif

tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Berdasarkan instrumen penilaian penyusunan RPP, catatan

kelebihan dan kekurangan setiap RPP, maka peneliti membuat rancangan RPP untuk materi

trigonometri yang bersetting kooperatif tipe TSTS dengan memperhatikan kekurangan-

kekurangan yang ada pada RPP sebelumnya, serta dengan mempertimbangkan saran dari

beberapa orang guru matematika mengenai perangkat pembelajaran untuk materi trigonometri.

Hasil dari fase prototype adalah dihasilkannya rancangan perangkat pembelajaran

kontekstual bersetting kooperatif tipe TSTS pada materi trigonometri kelas X yang meliputi: (1)

perancangan instrumen (RPP,LKS,lembar observasi, angket respon siswa dan soal tes

penguasaan bahan belajar), (2) perancangan lembar validasi instrumen.

Hasil fase penilaian didapat dari 2 kegiatan yaitu hasil validasi oleh ahli dan praktisi

terhadap produk yang dikembangkan dan hasil uji coba. Perhitungan hasil validasi RPP dan

LKS berturut-turut 3,66 dan 3,60 dari skor maksimal 4, maka sesuai dengan kriteria yang telah

ditetapkan dapat disimpulkan bahwa RPP dan LKS yang dikembangkan valid. Berdasarkan

saran dari validator, pengembang melakukan revisi. Hasil revisi menghasilkan RPP dan LKS

yang akan digunakan dalam uji coba keterbacaan terhadap 12 orang siswa di luar kelas uji coba,

baru kemudian direvisi kembali sesuai taggapan dari siswa pada uji coba keterbacaan. LKS

yang sudah direvisi pada tahap penilaian ini baru digunakan untuk uji coba kelas.

Adapun hasil pengembangan ini berupa perangkat pembelajaran yang telah mendapatkan

validasi dan revisi. Perangkat pembelajaran yang sudah direvisi diujicobakan pada 30 siswa

kelas X-1 SMAN 5 Banjarmasin. Tujuan dari uji coba ini untuk mengetahui tingkat kepraktisan

dan keefektifan dari perangkat pembelajaran. Untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan

tentang kepraktisan dan keefektifan dari LKS yang telah dikembangkan, maka disajikan dalam

tabel berikut ini.

Tabel 1. Rangkuman Hasil Uji Coba

Indikator Hasil Uji Coba Kesimpulan

Kepraktisan

Keterlaksanaan Penggunaan

LKS Tinggi Memenuhi kriteria

Aktivitas Guru Aktif Memenuhi kriteria

Keefektifan

Aktivitas Siswa Aktif Memenuhi kriteria

Ketuntasan Belajar 100% siswa tuntas Memenuhi kriteria

Respon Siswa Positif Memenuhi kriteria

PEMBAHASAN

Pada penelitian pengembangan ini telah dihasilkan produk pengembangan berupa

perangkat pembelajaran kontekstual bersetting kooperatif tipe TSTS pada materi trigonometri

untuk 5 pertemuan yang telah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan dan keefektifan.

Kriteria kevalidan diperoleh dari hasil validasi lembar RPP dan LKS dari ahli (1 orang dosen)

dan praktisi (1 orang guru). Kriteria kepraktisan diperoleh dari hasil observasi keterlaksanaan

penggunaan LKS dan hasil observasi aktivitas guru model. Sedangkan kriteria keefektifan

diperoleh dari hasil observasi aktivitas siswa, ketuntasan belajar dan angket respon siswa.

Berdasarkan hasil validasi dari dua orang validator, diperoleh skor kevalidan RPP dan

LKS berturut-turut 3,66 dan 3,60 dari skor maksimal 4. Dengan demikian, disimpulkan bahwa

perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah valid dengan beberapa catatan dan revisi

dari validator. Revisi dilakukan pada beberapa bagian yang ditunjukkan oleh validator.

Berdasarkan masukan tersebut peneliti kemudian memperbaiki bagian-bagian tersebut. Hal ini

sesuai dengan Plomp (2010) yang menyatakan pada fase validasi ini sering menghasilkan

rekomendasi untuk perbaikan produk. Disamping itu sejalan dengan Kemp (1977) yang

menyatakan bahwa tiap-tiap pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas perbaikan.

Berdasarkan hasil observasi dilapangan, tingkat keterlaksanaan penggunaan LKS pada

tiap pertemuan berada dalam kategori tinggi dan hasil observasi aktivitas guru pada tiap

pertemuan berada dalam kategori aktif, sehingga sudah memenuhi kriteria kepraktisan yang

telah ditetapkan. Pada penyusunan RPP, skenario aktivitas guru ini dikembangkan berdasarkan

Hobri (2010) yang telah memberikan kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas guru untuk setiap

pertemuan.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

389

Kriteria keefektifan perangkat pembelajaran yang dilihat berdasarkan pada observasi

aktivitas siswa, ketuntasan belajar dan respon siswa telah memenuhi kriteria yang telah

ditetapkan. Untuk indikator ketuntasan belajar, berdasarkan perhitungan dari 30 siswa, 100%

mendapat nilai minimal 70. Dengan kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan, yaitu minimal

85% siswa memperoleh nilai minimal 70 maka kriteria ketuntasan belajar yang diharapkan

sudah terpenuhi. Perhitungan skor berdasarkan hasil observasi pengamatan aktivitas siswa

semuanya berada dalam kategori aktif yang berarti termasuk katagori aktif, sehingga kriteria

yang telah ditetapkan sudah terpenuhi. Berdasarkan perhitungan angket respon siswa diperoleh

kesimpulan bahwa respon siswa positif. Dengan demikian menurut Johson (2007), apabila

komunitas belajar sudah terbina sedemikian rupa di sekolah, guru tentu akan lebih berperan

sebagai pelatih, fasilitator dan mentor.

Aktivitas pada LKS disusun dengan tujuan memungkinkan siswa untuk menemukan

suatu konsep dan rumus. Kemudian juga dilanjutkan aktivitas menggunakan media

pembelajaran sehingga siswa dapat mengetahui salah satu manfaat materi trigonometri. Hal ini

menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan

bermakna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata

(Komalasari, 2011). Selain itu perangkat pembelajaran ini juga dilengkapi dengan soal latihan

dan kuis untuk memantapkan pemahaman siswa. Soal latihan dikerjakan secara kelompok dan

soal kuis dikerjakan secara individu, kemudian skor hasil latihan siswa dan kuis diperhitungkan

sebagai suatu aspek dalam menentukan ketuntasan belajar.

Berdasarkan hasil dari uji coba kelas, penggunaan perangkat pembelajaran ini dinilai

efektif untuk membelajarkan trigonometri pada siswa kelas X SMA Negeri 5 Banjarmasin.

Siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran ini bisa lebih terlibat aktif pada saat

pembelajaran. Hal ini terkait karena perangkat pembelajaran ini harus dilengkapi oleh siswa

sendiri untuk mengisi bagian-bagian yang masih kosong. Kegiatan penggunaan klinometer juga

membuat siswa lebih memahami materi trigonometri yang disajikan pada LKS ini. Media

memudahkan siswa untuk membawa konsep-konsep abstrak matematika ke dalam hal-hal yang

lebih konkrit. Oleh karena itu untuk lebih mengefektifkan proses pembelajaran guna mencapai

tujuan pembelajaran, peneliti membuat media klinometer untuk mengukur sudut elevasi. Arsyad

(2011) menyatakan bahwa guru dituntut untuk dapat mengembangkan keterampilan membuat

media pembelajaran yang akan digunakannya. Kelly (2006), berpendapat bahwa benda

manipulatif merupakan bagian dari media pembelajaran yang berupa alat yang dapat

meningkatkan pemahaman konsep dan menanamkan ingatan yang lama dari siswa. Hal ini

sesuai dengan rekomendasi NCTM (2000) yang menekankan pentingnya penggunaan penyajian

visual dan manipulatif, peragaaan model matematika dalam pembelajaran di setiap tingkatan

kelas.

Berdasarkan pelaksanaan aktivitas pada LKS, siswa tidak hanya belajar dengan cara

mengamati dan berdiskusi, tetapi siswa melakukan sesuatu. Misalkan pada saat menggunakan

media klinometer, siswa dapat menentukan tinggi tiang bendera yang ada di lingkungan sekolah

dengan jarak dan sudut yang tidak ditentukan, tetapi siswa dibebaskan mau mengukurnya dari

tempat mana saja. Pada akhirnya mereka mengetahui manfaat materi perbandingan trigonometri

dan memahami materi tersebut. Dari aktivitas ini siswa terlihat terlibat lebih aktif dalam

pembelajaran, sehingga pada saat kegiatan tersebut, semua siswa aktif belajar, baik dalam

menyampaikan ide, memecahkan masalah ataupun menerapkan apa yang mereka pelajari. Hal

ini sejalan dengan pembelajaran aktif yang dikemukakan Confusius, yaitu (1) What I hear, I

forget, (2) What I see, I remember, (3) What I do, I understand. Kemudian dikembangkan Mel

Siberman dalam buku Active Learning menjadi 5 prinsip pembelajaran aktif.

Pada pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini ada dominasi siswa dalam

hal berbagi ide, menjelaskan ide, mempertahankan ide dan memperoleh kritik, baik pada saat

diskusi dalam kelompok asal maupun pada saat berkunjung ke kelompok lain dan menerima

siswa tamu yang berkunjung. Aktivitas ini termasuk pada komponen kontekstual berpikir kritis

dan kreatif. Hal ini sejalan dengan Rohaeti (2008) yang menyatakan bahwa kemampuan

berpikir kreatif juga berkenaan dengan kemampuan seseorang mengajukan ide-ide dan melihat

hubungan yang baru. Menurut Gaspor dan Dau,O (2011) faktor signifikan yang mempengaruhi

pendidikan kreatif di sekolah yang pertama dimulai dari guru. Sikap kreatif para guru dalam

membentuk sikap kreatif siswa dapat membentuk kemampuan siswa untuk berpikir tingkat

tinggi.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

390

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa

produk yang dikembangkan berupa RPP dan LKS berkualitas karena memenuhi kriteria valid,

praktis, dan efektif. Kelebihan-kelebihan dari perangkat pembelajaran ini meliputi: (a) sudah

melalui proses validasi oleh dua orang validator dan telah diujicobakan sehingga memenuhi

kriteria valid, praktis dan efektif; (b) Perangkat pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk

menemukan sendiri konsep yang dipelajari, sehingga membuat siswa aktif dalam proses

pembelajaran; (c) Adanya tuntunan langkah-langkah pada LKS ini dalam melakukan aktivitas

menggunakan klinometer yang dapat membimbing siswa menemukan rumus.

Kekurangan-kekurangan dari perangkat pembelajaran ini meliputi : (a) kebiasaan siswa

yang pasif di kelas ini membuat guru model lebih sering membantu siswa memahami bagian-

bagian yang kurang dipahami. Kondisi ini menyulitkan siswa dalam mengerjakan LKS yang

menuntut siswa bekerja secara mandiri dalam menemukan konsep trigonometri; (b) perangkat

pembelajaran ini masih minim dengan contoh-contoh soal, sehingga guru perlu menambahkan

sendiri contoh-contoh soal yang berkaitan dengan materi yang sedang diajarkan; (c) salah satu

komponen CTL yang kurang nampak pelaksanaannya pada penelitian ini adalah penilaian

autentik, di mana seharusnya pada setiap pertemuan siswa mengemukakan sesuatu yang berasal

dari diri siswa tersebut untuk dinilai oleh guru.

Untuk pengembangan produk lebih lanjut, disarankan agar guru model dalam

melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang diberikan, maka skenario pembelajaran

tidak hanya diberitahukan kepada guru model tetapi dapat dilihat di rekaman video peneliti saat

memberikan contoh pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Armiya. 2006. Pembelajaran Volum Tabung dan Kerucut dengan Pendekatan Kontekstual

Pada Siswa Kelas I SMA Negeri 1 Samudra. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program

Pasca Sarjana UM

Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers

Awofala. 2012. Achievment in Cooperative versus Individualistic Goal_Structured Junior

Secondary School Mathematics Classroom in Nigeria. International Journal of

Mathematics Trend and Technoloy, 3(1): 7-12

Gaspar dan Dau, O. (2011). The Teacher’s creative attitudes-An Influence Factor Of The

students’ Creativity Attitudes, International conference, The Future of Education.

(Online), Conference.

Fixel.online.net/edu_future/common/download/paper_pdf/ITL53_Gaspar.pdf, diakses 6

oktober 2013.

Hamiddin, 2010. Improving student‟s comprehension of poems using the TSTS strategy. Online

http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/vidya_karya/article

/view/335 Diakses 14 Juli 2013

Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi Pada Penelitian Matematika).

Jember: Pena Salsabila

Irmawan. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dengan Pendekatan Matematika

Realistik Berbantuan LKS Terstruktur Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar

Siswa Kelas XI SMK. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan

Ganesha. Volume 2 Tahun 2013.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press

Junaidi. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Humanistik Untuk

Meningkatkan Kemahiran Matematis. Unnes Jorunal of Mathematics Education

Research. UJMER 1 (2) (2012)

Jones, K. 2008. Making Cooperative Learning Work in the College Classroom: An Application

of the ―Five Pillars‖ of Cooperative Learning to Post-Seconary Instruction. The Journal

of Effective Teaching, 8(2): 61-76

Kelly, C. 2006. Using Manipulatives in Mathematical Probem Solving. A Performance Based

Analysis. The Montana Mathematics Enthisiast, 3(2): 184-193

Kemp, J.E. 1977. Instructional Design. California : David S. Lake Publisher.

Komalasari, 2011. Pembelajaran Kontekstual. Bandung : Refika Aditama.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

391

Kupczynski,L. 2012. Cooperative Learning In Distance Learning: A Mixed Methods Study.

International Journal Of Instruction. 5(2): 81-90

Livia, 2010. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Trigonometri Dengan Menggunakan Metode

Improve di SMAN 50 Jakarta. Jurnal Matematika Aplikasi dan Pembelajaran, 9(2): 27-

36

Mayasari, D. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray untuk

Meningkatkan Komunikasi Tertulis Siswa Kelas XI IPA 5 SMAN 1 Purwosari

Pasuruan. Jurnal-online.um.ac.id. 1(2)

Mulyati, S. 2008. Pengaruh Pendekatan Kontekstual Dalam Proses Belajar Mengajar

Matematika Terhadap Sikap, Motivasi dan Hasil Belajar Siswa SMP. Malang:

Disertasi. Tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana UM

Plomp. 2010. Educational Design Research an Introduction dalam an Introduction to

Educational Research. Netherlands institute for curriculum development: SLO

Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Jurnal Kreano,

Volume 3 Nomor 1, Juni 2012.

Rohaeti. 2018. Sulitnya berikir kreatif dalam matematika? Bagaimana dan Mengapa?. Jurnal

Didaktik, Volume 2 Nomor 2, September 2008.

Sabil, H. 2011. Penerapan Pembelajaran Contextual Teaching & Learning (CTL) pada Materi

Ruang Dimensi Tiga Menggunakan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah

(MPBM) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNJA. Jurnal

Edumatica, 1(1): 44-56

Sary, A. 2013. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Numbered Heads Together Ditinjau dari

Aktivitas Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Surakarta. Jurnal

Pendidikan Matematika Solusi, 1(1): 47-53

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research and Praktice. Second Edition.

Boston: Allyn and Bacon.

Suparmi, 2012. Pembelajaran Kooperatif Dalam Pendidikan Multikultural. Jurnal

Pengembangan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi, 1(1): 108-115

Tati. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Kontekstual Pokok Bahasan

Turunan Di Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika.

Volume 3. No 1. Januari 2009.

Wiyartimi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika Siswa Pada Materi Trigonometri

Rumus-rumus Segitiga di Kelas X SMA Negeri 50 Jakarta. Jurnal Matematika Aplikasi

dan Pembelajaran, 9(2): 89-99

Yuwono, I. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Jurnal

MATHEDU, 1(2): 94-102

Zaheer, A. 2010. Effect of Cooperative Learning vs Traditional Instruction on Prospective

Teachers’ Learning Experience and Achievement. Journal of Educational Sciences.

43(1): 151-164

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BERSETTING KOOPERATIF STAD: LESSON STUDY

Nahdiannor, Toto Nusatara, dan Edy Bambang Irawan

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting

kooperatif STAD dalam kegiatan lesson study. Dalam kegiatan lesson study ini diharapkan

dapat menggali informasi tentang penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting

kooperatif STAD yang dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran

matematika. Lesson study dilaksanakan di kelas XB di SMA Negeri 9 Barabai Kabupaten

Hulu Sungai Tengah. Dari lesson study ini disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

392

terbimbing bersetting kooperatif STAD dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar

siswa.

Kata Kunci: Inkuiri Terbimbing, dan STAD.

Pembelajaran di sekolah diharapkan dapat diselenggarakan secara interaktif,

menyenangkan, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif. Hasil observasi pendahuluan

memperlihatkan bahwa siswa kelas X SMAN 9 Barabai tahun pelajaran 2012/2013 kurang aktif

dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini menyebabkan transfer pengetahuan yang berjalan searah

yaitu dari guru ke siswa. sehingga pengetahuan siswa tidak banyak berkembang dan hasil

belajar matematika masih rendah. Wawancara yang dilakukan dengan guru mata pelajaran

matematika SMAN 9 Barabai tentang keaktifan siswa ketika mengikuti pembelajaran

menuntujukkan bahwa siswa kelas X masih sangat pasif ketika mengikuti pelajaran.

Berdasarkan fakta di atas, diperlukan suatu metode pembelajaran matematika yang

dapat meningkatkan keaktifan siswa. Metode yang diharapkan adalah metode pembelajaran

yang dapat melayani siswa dalam memperoleh pengalaman mengamati dan menganalisis

masalah, dan menentukan penyelesaian-nya. Metode pembelajaran yang dapat memenuhi

harapan tersebut diantaranya metode eksperimen, penemuan terbimbing, dan inkuiri terbimbing.

Inkuiri terbimbing merupakan metode pembelajaran yang menjadikan siswa lebih aktif

dan dapat meningkatkan hasil belajar. Gialamas, Cherif, Keller, dan Hansen (2000:39)

menyatakan bahwa inkuiri terbimbing memperkenalkan pembelajaran aktif: bukan hanya

pembelajaran secara fisik, tetapi pembelajaran yang memanfaatkan pemikiran. Rooney

(2012:121) dalam penelitiannya menya-takan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dapat

mengubah cara siswa dalam belajar matematika, siswa memperlihatkan perilaku yang positif

terhadap matematika dalam kegiatan mereka. Rumanto (2013:94) menyimpulkan bahwa

penerapan inkuiri terbimbing dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Hasil penelitian Minner, Levy dan Century (2009:1) tentang hasil pembelajaran inkuiri

menyatakan bahwa terdapat tren positif yang mendukung praktik pembelajaran berbasis inkuiri,

khususnya instruksi yang menekankan agar siswa berpikir aktif dan menarik kesimpulan dari

data secara mandiri. Kuhlthau, Maniotes, dan Kaspari (2007:2) mendefinisikan pembelajaran

inkuiri sebagai suatu metode pembelajaran yang melibatkan siswa dalam menemukan dan

memanfaatkan sumber informasi dan ide-ide untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap

suatu masalah, topik, atau soal. Withney dan Bloom (2010:3) menyatakan tentang pembelajaran

inkuiri sebagai berikut: “Inquiry is a learning process for organizations as well as for individuals. Seldom do we

search, explore, or study what we already know with certainty. We ask questions about

areas unfamiliar to us. The act of inquiry requires sincere curiosity and openness to new

possibilities, new directions, and new understanding. We cannot „have all the answers,‟

„know what is right,‟ or „be certain‟ when we engage in inquiry”.

Berdasarkan definisi-definisi dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran inkuiri adalah proses belajar yang melibatkan siswa secara maksimal dalam

mencari, menyelidiki, menemukan dan memanfaatkan sumber informasi dan ide-ide secara

kritis, logis dan analitis untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap masalah, topik dan

persoalan-persoalan.

Pembelajaran Inkuiri menurut kapasitas bimbingan guru terbagi menjadi 3 (tiga) (Putra,

2013: 96-99), yaitu: inkuiri bebas, inkuiri bebas yang dimodifikasi, dan inkuiri terbimbing.

Inkuiri terbimbing (Matthew dan Kenneth, 2013:136) adalah pembelajaran yang memungkinkan

siswa secara aktif bekerja langkah demi langkah untuk mengidentifikasi masalah, menentukan

rumusan masalah, mengumpulkan data, memverifikasi hasil, dan menggeneralisasi data menjadi

kesimpulan. Inkuiri terbimbing juga diartikan sebagai metode pembelajaran yang berorientasi

ilmiah yang menjadikan siswa dapat membangun kemampuan mentalnya dalam proses

pembelajaran, dengan kata lain pembelajaran berpusat pada siswa. Jadi, pembelajaran inkuiri

terbimbing adalah pembelajaran yang berorientasi ilmiah dengan bimbingan dan petunjuk yang

cukup luas dari guru untuk mengidentifikasi masalah, menentukan rumusan masalah,

mengumpulkan data, memverifikasi hasil, dan menggeneralisasi data menjadi kesimpulan.

Inkuiri terbimbing merupakan pembelajaran yang direncanakan, ditargetkan, dan

dibimbing selama proses inkuiri (Kuhlthau, 2009:18). Langkah-langkah pembelajaran inkuiri

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

393

terbimbing sama seperti langkah-langkah pembelajaran inkuiri pada umumnya. Ciri khas dari

inkuiri terbimbing adalah adanya bimbingan guru dalam proses inkuiri mulai dari orientasi

sampai menyusun kesimpulan. Siswa tidak dibiarkan melakukan proses inkuiri secara bebas

tanpa bimbingan dari guru, hal ini dilakukan agar pembelajaran terfokus pada tujuan yang telah

ditetapkan. Proses bimbingan juga dimaksudkan untuk mengurangi salah satu efek negatif dari

pembelajaran inkuiri yaitu membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tujuan

pembelajaran.

Metode pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan inkuiri

terbimbing manurut Dewi, Dantes, dan Sadia (2013:4) adalah guru dapat membimbing siswa

melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi.

Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya.

Inkuiri terbimbing digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman dalam pembelajaran

inkuiri.

Selain memiliki kelebihan, metode inkuiri terbimbing juga memiliki kelemahan.

Kelemahan metode pembelajaran inkuiri terbimbing diantaranya: (a) sulit mengontrol kegiatan

dan keberhasilan siswa, (b) sulit merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan

siswa dalam belajar, (c) kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, dan (d) apabila kriteria

keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, metode ini

akan sulit diimplementasikan oleh guru.

Kesulitan yang dialami oleh guru dalam pembelajaran matematika dengan metode

inkuiri terbimbing harus dapat diminimalisir. Guru harus mengontrol siswa dengan baik selama

pembelajaran serta merencanakan pembelajaran dengan baik sesuai dengan tujuan dan alokasi

waktu yang tersedia. Oleh sebab itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat mengatur

siswa secara berkelompok agar pembelajaran inkuiri terbimbing dapat dilaksanakan dengan

baik. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengakomodasikan kebutuhan guru tersebut

adalah model kooperatif STAD.

Model pembelajaran kooperatif yang cocok untuk memenuhi harapan di atas adalah

Student Teams Achievement Divisions (STAD). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wyk

(2012:261) menyimpulkan bahwa siswa yang belajar dengan STAD memperlihatkan sikap yang

lebih positif, menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dan lebih termotivasi untuk belajar.

Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan

hasil belajar siswa yang berpartisipasi (Tran, 2013:5). Langkah-langkah pembelajaran

kooperatif STAD adalah presentasi kelas, diskusi kelompok, tes individu, menentukan poin

perkembangan individu dan kelompok, dan pemberian penghargaan.

Ibrahim dkk (Majid,2013:188) menyampaikan beberapa kelebihan dan kekurangan dari

pembelajaran kooperatif tipe STAD. Kelebihan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: (a)

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan siswa lain, (b) siswa dapat

menguasai pelajaran yang disampaikan, (c) dalam proses pembelajaran siswa saling

ketergantungan positif, dan (d) setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain. Adapun

kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: (a) membutuhkan waktu yang

lama, (b) siswa pandai cenderung enggan disatukan dengan temannya yang kurang pandai,

begitupun sebaliknya, (c) siswa diberikan kuis dan tes secara perorangan sedangkan

pembelajarannya dilaksanakan berkelompok dan skor perorangan juga berdampak besar bagi

skor perkembangan kelompok. Hal ini juga akan bedampak pada pemberian penghargaan

terhadap kelompok.

Berdasarkan uraian tersebut, Pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting STAD

diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Langkah-langkah pelaksanaan

pembelajaran inkuiri terbibing bersetting STAD adalah membentuk kelompok belajar secara

heterogen (4 – 5 orang), diskusi mengamati dan menganalisa masalah dalam Lembar Kerja

Kelompok (LKK)¸ diskusi untuk menemukan data-data yang terdapat pada masalah di LKK,

diskusi untuk menyelesaikan masalah pada LKK, diskusi untuk merumuskan kesimpulan dari

data-data yang telah diperoleh, presentasi kelompok, mencoba keabsahan hasil temuan dengan

menjawab kuis individual, dan mengumumkan rekor kelompok, individu, dan memberikan

hadiah.

Pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting STAD dilaksanakan dalam bentuk lesson

study dengan jumlah 4 (empat) anggota. Masalah dalam pembe-lajaran lesson study ini

difokuskan pada bagaimana penerapan pembelajaran matematika dengan metode inkuiri

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

394

terbimbing bersetting STAD di kelas X SMAN 9 Barabai?. Berdasarkan fokus masalah yang

akan diselesaikan penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang penerapan

pembelajaran matematika inkuiri terbimbing bersetting kooperatif STAD yang dapat

meningkatkan keak-tifan dan mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika di

SMAN 9 Barabai.

METODE PENELITIAN

Lesson study dilakukan untuk memahami fenomena yang terjadi pada saat pembelajaran

di kelas sehingga dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar

sekelompok siswa dan memperbaiki citra serta keterampilan professional guru. Lesson study

dilaksanakan di SMA Negeri 9 Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Subjek dalam

penelitian ini adalah siswa kelas XB SMA Negeri 9 Barabai tahun pelajaran 2013/2014 yang

terdiri dari 20 siswa. Sedangkan instrumen kunci adalah peneliti dengan dibantu oleh 3 (tiga)

observer.

Tahapan lesson study meliputi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, observasi, dan

refleksi. Perencanaan pembelajaran dimulai dengan menentukan materi yang akan disajikan,

model, strategi, pendekatan dan metode yang akan diterapkan, penyusunan Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Kelompok (LKK) serta lembar observasi.

Semua perangkat pembelajaran dan instrumen yang akan digunakan divalidasi oleh semua

anggota kelompok lesson study untuk mengetahui tingkat kelayakan perangkat dan istrumen

yang digunakan.

Pelaksanaan pembelajaran merupakan tahap menerapkan perangkat pembelajaran yang

telah disusun dengan sistematis. Pembelajaran dilaksanakan sejalan dengan RPP dan tidak boleh

menggangu atau menghambat kegiatan pembelajaran di sekolah. Pembelajaran yang dilakukan

mengacu pada skenario yang telah direncanakan dalam RPP inkuiri terbimbing bersetting

kooperatif STAD.

Observasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mengamati dan merekam setiap

peristiwa yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Pelak-sanaan observasi

menyatu dengan pelaksanaan pembelajaran sehingga peneliti membutuhkan cara dan alat untuk

mengakses kegiatan guru dan siswa secara menyeluruh dan akurat. Observasi dilakukan oleh

anggota kelompok lesson study. Observer bertugas mengobservasi kegiatan guru dan siswa

selama proses pembelajaran dan merekam kejadian-kejadian yang terjadi dengan kamera video.

Observasi menggunakan lembar observasi dan dokumentasi.

Refleksi merupakan tahapan melakukan analisis terhadap setiap data hasil observasi dan

hasil tes. Refleksi dilakukan terhadap kegiatan guru dan siswa. Refleksi dilaksanakan dengan

menelaah hasil observasi dan mendengarkan komentar dan saran dari observer secara langsung,

Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi dan kefektifan pembelajaran yang disajikan,

pada bagian apa yang meningkatkan keaktifan siswa dan pada bagian apa yang harus diperbaiki.

Refleksi juga dilakukan terhadap hasil tes untuk menentukan peningkatan hasil belajar siswa

setelah mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting kooperatif STAD.

Sebelum data-data dinarasikan, data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan akan

diuji dan dianalisis. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitasnya. Teknik yang

digunakan untuk pengujian adalah teknik triangulasi. Teknik triangulasi digunakan dengan cara

membandingkan apa diamati langsung oleh peneliti, apa yang diamati oleh observer, hasil

observasi dan memutar kembali rekaman video. Kevalidan data dlihat dari keseuaian antara

unsur-unsur yang digunakan dalam teknik triangulasi tersebut.

.

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING BERSETTING

KOOPEATIF STAD

Pelaksanaan pembelajaran dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap awal, tahap inti, dan

tahap penutup. Tahap awal dimulai dengan guru mengajak siswa berdo’a menurut agamanya

masing-masing, kemudian guru menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran yaitu dasar-

dasar trigonometri dengan tujun agar siswa dapat menyelidiki dan menemukan konsep sinus,

cosinus, tangen, cosecn, secn dan cotangen. Guru menyampaikan keterkaitan yang erat antara

materi trigonometri dengan kehidupan sehari-hari. Guru menyampaikan langkah-langkah

pembela-jaran yang akan dilakukan dan menjelaskan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

395

oleh siswa selama pembelajaran. Kemudian guru melakukan tes awal terhadap siswa tentang

matei prasyarat. Tahap awal pembelajaran berlangsung selama 10 menit.

Langkah pertama pada tahap inti pembelajaran adalah membentuk kelompok belajar.

Kelompok belajar dibentuk berdasarkan hasil tes awal. Kelompok yang terbentuk terdiri dari 3

(kelompok) yang maing-masing terdiri dari 5 anggota. Setiap kelompok terdiri dari 1 siswa

berkemampuan tinggi, 3 siswa berkemampuan sedang dan 1 siswa berkemampuan rendah. Guru

mengumumkan pembagian kelompok kemudian membagikan LKK dan menyampaikan

pentingnya komunikasi dan kerjasama dalam mengerjakan LKK. Setelah menerima LKK, siswa

menuliskan nama kelompok dan anggota-angotanya pada halaman pertama LKK dan langsung

berdiskusi untuk memahami dan mengerjakan LKK yang diberikan. Guru memberikan

kesempatan kepada setiap kelompok untuk menanyakan hal-hal apa saja yang belum dipahami

dari LKK.

Langkah kedua adalah guru mengamati kerja setiap kelompok selama pembelajaran.

Guru membimbing setiap kelompok yang mengalami kesulitan mengerjakan LKK. Semua

anggota kelompok aktif dalam mengerjakan LKK walaupun ada beberapa anggota kelompok

yang terlihat pasif. Siswa-siswa ang terlihat pasif diberikan bimbingan secara personal, didekati

dan diajak bekerja sama alam mengerjakan LKK, sehingga mereka dapat aktif dalam

pembelajaran. Kelompok I dan II tidak mengalami banyak hambatan mengerjakan LKK, dengan

sedikit bimbingan dari guru mereka sudah dapat menyelesaikan LKK. Sebaliknya kelmpok III

memerlukan banyak bimbingan dari guru sehingga mereka agak terlambat dalam mengerjakan

LKK. Guru memberikan bimbingan kepada setiap kelompok dengan cara berdiskusi dengan

siswa dan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa pada penyelesaian

tugas yang diharapkan sampai siswa mampu menyelesaikan masalah pada LKK.

Langkah ketiga adalah presentasi hasil kerja kelompok. Pada saat presentasi terlihat

siswa sudah mulai aktif dan keatif dalam mempresentasikan hasil kelompoknya. Semua

kelompok mendapatkan hasil kerja yang sama sehingga tidak ada pertanyaan yang muncul dari

siswa. Selama siswa melakukan presentasi, guru mengambarkan tabel perhitungan poin

perkembangan kelompok. Setelah presentasi berakhir, guru kemuadian mengajak siswa

menyimpulkan hasil pembelajaran yang telah dijalani.

Selama siswa melakukan presentasi, guru mengambarkan tabel perhitu-ngan poin

perkembangan kelompok. Guru kemudian mengadakan tes akhir pembelajaran. Hasil tes akan

dijadikan sebagai nilai akhir untuk menentukan poin perkembangan kelompok dan menentukan

penghargaan kelompok pembelajaran. Tes berjalan dengan baik dan lancar.

Sebelum menutup pembelajaran, guru mengoreksi dan memberi nilai hasil tes akhir

pembelajaran. Setelah tabel hasil tes akhir pembelajaran terisi, guru bersama-sama siswa

menghitung poin perkembangan kelompok. Kegiatan selanjutnya adalah pemberian hadiah

(penghargaan) kepada siswa. Siswa menerima penghargaan dengan antusias. Berakhirnya

kegiatan penyerahan hadiah ini juga merupakan akhir kegiatan inti pembelajaran. Kegiatan inti

pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Tahap penutup dimulai dengan mengajak siswa bersama-sama menyim-pulkan hasil

pembelajaran. Kemudian guru meminta siswa mempelajari kembali materi pembelajaran

trigonometri terutama materi sinus, kosinus, tangen, cosecan, secan dan cotangen dirumah

masing-masing. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan tentang tugas

yang diberikan guru tersebut. Selanajutnya mengajak siswa berdo’a bersama secara khidmat,

kemudian menutup pembelajaran dengan salam. Pembelajaran berlangsung sesuai dengan waktu

yang direncanakan.

HASIL

Berdasarkan hasil pengatamatan yang dilakukan oleh guru dan observer. Siswa tampak

aktif mengikuti pembelajaran. Respon siswa tampak sudah baik sejak pelaksaan apersepsi.

Siswa mulai aktif berdiskusi sejak menerima Lembar Kerja untuk kelompoknya masing-masing.

Semua siswa terlibat aktif ketika memahami masalah yang diberikan pada LKK. Siswa yang

kesulitan dalam memahami masalah yang terdapat pada LKK segeri bertanya dan berdiskusi

dengan guru. Pada kegiatan prnutup siswa terlibat aktif ketika melakukan refleksi dan

merangkum hasil pembelajaran.

Data hasil tes akhir pembelajaran memperlihatkan bahwa hasil belajar siswa sudah baik.

Data memperlihatkan bahwa terdapat 7 dari total 13 siswa yang mengikuti tes atau 53,85%

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

396

siswa memperoleh nilai sempurna (100), 30,77% mendapatkan nilai baik (≥ 70), dan hanya

terdapat 15,38% dari 13 siswa yang memperoleh hasil belajar yang kurang baik (< 70).

KESIMPULAN

Implementasi pembelajaran inkuiri terbimbing bersetting kooperatif STAD dapat

meningkatkan keaktifan dan hasil belajar. Siswa terlibat akif dalam mengikuti pembelajaran

sejak kegiatan pendahuluan, kegiatan inti sampai kegiatan penutup. Siswa aktif bekerjasama

dalam kelompok dengan baik. Hasil belajar siswa juga memperlihatkan bahwa secara klasikal

84,62% siswa hasil belajar yang baik. Guru matematika dapat menggunakan pembelajaran

inkuiri terbimbing besetting kooperatif STAD untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam

pembelajaran. Pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar terutama pada materi mencari

dan menemukan perbandingan tigonometri (sin, cos, dan tangen) dan menentukan nilai

perbandingan trigonometri pada sudut 300.

DAFTAR RUJUKAN

Alrø, H., & Høines, MJ. 2012. Inquiry - Without Posing Questions?. The Mathematics

Enthusiast. 9 (3). 253-270.

Andriani, N., Husaini, I., dan Nurliyah, L. 2011. Efektifitas Penerapan Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing (Guided Inquiry) pada Mata Pelajaran Fisika Pokok Bahasan Cahaya di

Kelas VIII SMP Negeri 2 Muara Padang. Prosiding Simposium Nasional Inovasi

Pembelajaran dan Sains 2011 (SNIPS 2011). Pada tanggal 22-23 Juni 2011, Bandung,

Indonesia.

Chin, ET., Lin, YC., Chuang, CW., & Tuan, HL. 2007. The Influence Of Inquiry-Based

Mathematics Teaching on 11th Grade High Achievers: Focusing On Etacognition.

Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of

Mathematics Education. Vol 2. 129-136. Seoul: PME.

Dewi, NL,. Dantes, N., Sadia, IW. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing

Terhadap Sikap Belajar IPA. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan

Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar (Vol 3)

Goos, M. 2004. Learning Mathematics in a Classroom Community of Inquiry. Journal for

Research in Mathematics Education. Vol. 35, No. 4. pp. 258-291

Goos, M., Stillman, M,. dan Vale, C. 2007. Teaching Secondary School Mathematics :

Research And Practice for the 21st Century. Singapore: CMO Image Printing.

Gialamas, S., Cherif, A., Keller, S., dan Hansen, A. 2000. Using Guided Inquiry in Teaching

Matematical Concepts. Illionis Mathematics Teachers, Fall 2000. (Online).

(http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&

source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.research

gate.net%2Fpublication%2F256373552_Using_Guided_Inquiry_in_Teaching_Mathem

atical_Concepts_Stefanos_Gialamas_and_Abour), Diakses tanggal 31 Oktober 2013.

Jaworski, B. 2006. Theory And Practice in Mathematics Teaching Development: Critical

Inquiry As A Mode Of Learning In Teaching. Journal of Mathematics Teacher

Education. Vol 9. 187–211.

Kuhlthau, CC. 2009. Guided Inquiry: School Libraries in the 21st Century. School Libraries

Worldwide. 16 (1). 17-28.

Kuhlthau, CC., Maniotes, LK., dan Kaspari, AK. 2012. Guided Inquiry Design: A Framework

for Inquiry in Your School. The Journal of the New Members Round Table. Vol 4 (1).

Majid, A. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandun: .Remaja Rosdakarya.

Majoka, MI., Dad, MH., dan Mahmood, T. 2010. Student Team Achievement Division (STAD)

As An Active Learning Strategy: Empirical Evidence From Mathematics Classroom.

Journal of Education and Sociology, ISSN: 2078-032X. 16-20.

Matthew, BM., dan Kenneth, EO. 2013. A Study on The Effects of Guided Inquiry Teaching

Method on Students Achievement in Logic. International Researcher. 2(1).

Minner, DD., Levy, AJ., dan Century, J. 2009. Inquiry-Based Science Instruction—What Is It

and Does It Matter? Results from a Research Synthesis Years 1984 to 2002. Journal of

Research in Science Teaching. Published online in Wiley Inter Science

(www.interscience.wiley.com).

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

397

Mustika, AC, Lasmawan, IW., dan Candiasa, IM.,. 2013. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif

STAD Terhadap Hasil Belajar Ditinjau Dari Motivasi Belajar Pada Pembelajaran

Matematika Siswa Kelas IV SD Saraswati Tabanan. e-Journal Program Pascasarjana

Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar (Volume 3)

Narso, D., Suyitno, H., dan Masrukan. 2013. Model Kooperatif Tipe STAD Bermuatan

Kewirausahaan Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Peluang.

Unnes Journal of Mathematics Education Research. 2 (1).

Nurcholis. 2013. Implementasi Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil

Belajar Siswa pada Penarikan Kesimpulan Logika Matematika. Jurnal Elektronik

Pendidikan Matematika Tadulako. 1(1). H. 33-42.

Putra, SR. 2013. Desain Belajar Mangajar Kreatif berbasis Sains. Jogjakarta: Diva Press.

Rooney, C. 2012. How am I Using Inquiry-Based Learning to Improve My Practice and to

Encourage Higher Order Thinking Among My Students of Mathematics?. Educational

Journal of Living Theories. 5(2): 99-127.

Rumanto, UD. 2013. Penerapan Metode Inkuiri Terbimbing Untuk Mingkatkan Minat,

Keterampilan Inkuiri dan Hasil Belajar IPA Biologi Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 2

Gemarang. Tesis (tidak dipublikasikan. Malang: PPs UM.

Sanjaya, W. 2013. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Cet ke-5. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sikko, SA., Lyngved, R., & Pepin, B. (2012). Working with Mathematics and Science teachers

on inquirybased learning (IBL) approaches: Teacher beliefs. Acta Didactica Norge

Vision Converensi 2011 teacher education. 6(1) Art. 17.

Slavin, RE. 2005. Cooperative Learning: Thery, Reasearch, and Practice. Terjemahan oleh

Narulita Yusron. 2011. Cet ke-9.Bandung: Nusa Media.

Tran, VD. 2013. Effects of Student Teams Achievement Division (STAD) on Academic

Achievement, and Attitudes of Grade 9th Secondary School Students towards

Mathematics. International Journal of Sciences. 2(Apr).

Withney, D., dan Bloom, AT. 2010. The Power of Appreciative Inquiry A Practical Guide to

Positive Change. Second Edition. San Francisco: Barrett Kohler Publishing Inc.

Wyk, MM. 2012. The Effects of the STAD-Cooperative Learning Method on Student

Achievement, Attitude and Motivation in Economics Education. J Soc Sci, 33(2). 261-

270.

KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA KELAS X PADA

MATERI TRIGONOMETRI

Ni Luh Sakinah Nuraini

Universitas Negeri Malang

Abstrak: Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah mendeskripsikan kemampuan

koneksi matematika siswa kelas X pada materi trigonometri. Penelitian dilaksanakan pada

subyek penelitian yaitu siswa kelas X Pemasaran 2 SMK Negeri 1 Malang. Kemampuan

koneksi matematika siswa ditentukan oleh aspek koneksi yang mungkin muncul dari

jawaban siswa. Aspek koneksi adalah hubungan antara dua konsep yang terdapat pada

struktur koneksi. Struktur koneksi menjadi dasar dalam pembuatan soal pada tes koneksi

matematika yang diberikan kepada siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan

bahwa kemampuan koneksi siswa tergolong sebagian terkoneksi. Hal ini berarti siswa

sudah mulai mengarah pada koneksi yang dimaksud tetapi penjelasan yang diberikan siswa

masih kurang tepat.

Kata kunci: koneksi, koneksi matematika, siswa kelas X, trigonometri

Sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, matematika termasuk mata pelajaran yang

dipelajari secara berkesinambungan dari sekolah tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Bruner dan

Kenney (dalam Bell, 1981: 143) mengemukakan dalil konektivitas sebagai salah satu empat

dalil umum dalam belajar matematika. Dalil konektivitas berarti setiap konsep, prinsip dan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

398

kemampuan dalam matematika terkait pada konsep, prinsip atau kemampuan lainnya.

Keterkaitan ini juga dapat dimaknai bahwa suatu konsep dapat menjadi prasyarat bagi

pemahaman konsep lainnya. Sebagai contoh, konsep luas persegi dapat menjadi prasyarat bagi

pemahaman konsep luas permukaan kubus.

Koneksi juga termasuk dalam salah satu dari lima standar proses kemampuan dasar

matematika yang digunakan NCTM sebagai acuan kurikulum matematika sekolah di Amerika

Serikat. Menurut NCTM (2000: 64), koneksi mengarahkan siswa untuk memahami keterkaitan

antar topik dalam matematika, antara materi matematika dengan subjek lainnya, dan dengan

pengalaman mereka, dalam hal ini terkait dengan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-

hari. Melalui keterkaitan ini, pemahaman siswa terhadap matematika akan menjadi lebih

mendalam dan tahan lama.

Pada pengembangan Kurikulum 2013 oleh pemerintah Indonesia sebagai kurikulum uji

coba pada tahun 2013, dapat dilihat bahwa kurikulum inipun menekankan pada adanya

keterkaitan antar materi dalam suatu mata pelajaran, antar mata pelajaran, yang kemudian dapat

diterapkan untuk dapat memberi solusi pada permasalahan di kehidupan nyata. Hal ini

berdasarkan salah satu faktor pengembangan kurikulum 2013, yaitu faktor pengembangan pola

pikir (Permendikbud No. 70: 5-6). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dalam

kurikulum 2013 juga sejalan dengan standar proses dari NCTM, yaitu koneksi (connection).

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiman (2008) menunjukkan bahwa siswa SMP

memiliki koneksi terendah pada koneksi antartopik matematika, yaitu dengan persentase 41 %.

Penelitian lain pada materi persamaan garis kelas VIII menunjukkan temuan bahwa tingkat

koneksi antara konsep persamaan garis dengan konsep lain dalam matematika serta koneksi

dengan bidang ilmu selain matematik tergolong lebih rendah dibandingkan koneksi intertopik

dan koneksi dengan kehidupan sehari-hari (Mahmudah, 2013). Sehingga disarankan untuk

melakukan kajian koneksi matematika yang lebih mendalam baik pada materi persamaan garis,

maupun materi lainnya.

Pada pembelajaran trigonometri di kelas X semester genap ini di SMK N 1 Malang,

guru menemukan kesulitan siswa dalam menghubungkan konsep-konsep di dalam trigonometri.

Berdasarkan hasil observasi, terlihat bahwa siswa seringkali kurang tepat dalam membuat

representasi perbandingan trigonometri dalam segitiga siku-siku. Selain itu, siswa juga

menunjukkan kekurangan dalam menyelesaikan operasi hitung bilangan real. Beberapa siswa

yang tidak menjawab mengaku bahwa mereka bingung dalam mengaitkan trigonometri ke

rumus luas segitiga.

Menelaah hasil penelitian Sugiman (2008) dan Mahmudah (2013) serta hasil observasi

yang dilakukan, tampak bahwa terdapat kekurangan siswa dalam mengkoneksikan ide-ide

matematika yang telah mereka pelajari. Dalam penelitian ini dikaji secara mendalam

kemampuan koneksi siswa, terutama pada koneksi intertopik dan antartopik trigonometri.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan kemampuan koneksi matematika siswa kelas X pada materi trigonometri.

Kemampuan koneksi siswa dilihat berdasarkan kemampuan koneksi siswa pada tiap aspek

koneksi. Aspek koneksi merupakan hubungan antara dua konsep yang terdapat pada struktur

koneksi. Struktur koneksi merupakan dasar bagi penyusunan soal pada tes koneksi yang

diberikan pada siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena

pendekataan ini dapat memberikan gambaran tentang kemampuan koneksi matematika siswa

pada materi trigonometri. Subjek pada penelitian adalah siswa kelas X Pemasaran 2. Data

kemampuan koneksi matematika siswa pada materi trigonometri diperoleh dari hasil analisis

jawaban siswa menggunakan rubrik penilaian yang telah disusun oleh peneliti, disertai hasil

wawancara seputar pola jawaban siswa dalam tes koneksi yang telah dikerjakan sebelumnya.

Tabel 1. Rubrik Penskoran Koneksi Matematika

Poin Deskripsi

1 Tidak menjawab/jawaban dan penjelasan tidak tepat

2 Jawaban tepat, namun penjelasan kurang jelas/jawaban kurang lengkap,

namun penjelasan jelas (mengarah ke koneksi)

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

399

3 Jawaban tepat disertai penjelasan yang jelas (mengarah ke koneksi)

Kemampuan koneksi matematika siswa pada penelitian ini ditentukan oleh rata-rata poin

siswa ( poinx ) dari aspek-aspek koneksi yang muncul pada jawaban siswa. Rata-rata poin

tersebut selanjutnya digunakan sebagai pedoman penentuan kategori kemampuan koneksi

matematika siswa, dengan kriteria sebagai berikut.

Tabel 2. Pedoman Penentuan Kategori Kemampuan Koneksi Siswa

HASIL

Untuk mengaji kemampuan koneksi siswa dilakukan dengan memberikan masalah

sebagai berikut.

Gambar 1. Masalah untuk Mengaji Kemampuan Koneksi

Soal di atas lebih fokus pada koneksi intertopik trigonometri. Soal ini memuat 5 aspek

koneksi, yaitu koneksi antara segitiga siku-siku dan teorema Pythagoras, cos α dengan segitiga

siku-siku, cos α dengan koordinat kartesius, tan α dengan cotan α, dan cotan α dengan nilai

perbandingan trigonometri di kuadran I, II, III, dan IV. Berdasarkan analisis terhadap 5 aspek

koneksi yang muncul, diketahui bahwa siswa tergolong sebagian terkoneksi pada soal ini. Hal

ini berarti, pada setiap aspek koneksi, jawaban siswa sudah mulai mengarah pada koneksi yang

diharapkan. Akan tetapi, penjelasan yang diberikan dalam jawaban siswa masih kurang tepat.

Hasil ini juga disebabkan karena sebagian besar siswa hanya mencantumkan satu kemungkinan

letak sudut .

Pada soal berikutnya, akan dilihat lebih lanjut koneksi antartopik trigonometri.

Gambar 2. Masalah utuk Melihat Koneksi antartopik

Hasil tes koneksi siswa pada soal ini memberikan tiga pola koneksi yang berbeda.

Perbedaan pola koneksi ini disebabkan karena cara siswa dalam menentukan panjang sisi alas

segitiga. Pada pola pertama, siswa menggunakan cos α pada segitiga siku-siku. Pola kedua,

siswa yang menentukan panjang sisi alas dengan menggunakan tan α pada segitiga siku-siku.

Pola ketiga, siswa menentukan panjang alas segitiga siku-siku dengan menggunakan teorema

Pythagoras. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap hasil tes koneksi siswa pada

soal ini diketahui bahwa siswa tergolong sebagian terkoneksi. Hasil ini disebabkan karena

beberapa siswa tidak memberikan jawaban serta ada siswa yang kurang tepat dalam

memberikan penjelasan.

Rata-rata poin Kategori

1 1.5poinx Tidak terkoneksi

1.5 2poinx

Sedikit terkoneksi

2 2.5poinx Sebagian terkoneksi

2.5 3poinx Terkoneksi

2. Diketahui segitiga samakaki 𝐴𝐵𝐶, jika 𝐴𝐶 = 𝐵𝐶 = 8 𝑐𝑚, dan ∠𝐴 = 30°.

Tentukan luas segitiga tersebut!

1. Diketahui nilai 12

cos13

.

Di kuadran mana sajakah kemungkinan letak sudut ? (Berikan alasanmu)

Berapa nilai cotan di setiap kuadran tersebut? (Berikan alasanmu!)

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

400

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil tes koneksi yang diperoleh siswa, diketahui bahwa siswa

berkemampuan tinggi memiliki kemampuan koneksi yang tinggi pula, begitupun dengan siswa

berkemampuan sedang dan rendah. Kesesuaian antara tingkat kemampuan siswa dengan

kemampuan koneksinya sejalan dengan hasil penelitian Mandur et al. (2013). Mandur et al.

(2013) mengungkapkan bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar matematika ditentukan oleh

kemampuan koneksi matematisnya. Namun kemampuan koneksi matematika bukanlah satu-

satunya hal yang berpengaruh terhadap capaian prestasi belajar siswa. Hal yang juga

mendukung suksesnya siswa dalam belajar matematika adalah kemampuan representasi

matematis serta disposisi matematis siswa. Disposisi merujuk pada sikap siswa terhadap

matematika, yang nampak saat siswa menyelesaikan tugas matematika.

Sejalan dengan Mandur et al., ditemui pula adanya satu siswa berkemampuan tinggi

(Eva) yang menjadi satu-satunya siswa yang memiliki poin terendah pada aspek koneksi antara

cos α dengan Segitiga Siku-siku di soal no. 1. Pekerjaan Eva ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 3. Hasil Pekerjaan Siswa (Eva) pada Soal No. 1

Karena yang diketahui adalah nilai cos α , maka seharusnya perbandingan tersebut

antara sisi samping dan sisi miring. Menurut penuturannya, Eva tidak memeriksa kembali

jawabannya sehingga ia tidak tahu telah melakukan kesalahan itu.

Pranyata (2013) menyatakan hal ini termasuk dalam tipe kesulitan siswa saat

memecahkan masalah trigonometri. Kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan dalam

memeriksa solusi yang didapat. Memeriksa kembali jawaban merupakan salah satu dari empat

langkah Polya dalam memecahkan masalah matematika, yaitu look back. Salah satu pertanyaan

siswa saat melakukan langkah ini adalah ―Is my solution correct? Does my answer satisfy the

statement of the problem?‖ (Musser & Burger, 2011: 5). Kebiasaan siswa melakukan empat

langkah Polya dalam memecahkan masalah akan menghindarkan siswa dari kesalahan yang

disebabkan kecerobohan dan kurang telitinya siswa saat memecahkan masalah.

Kemampuan koneksi terendah siswa berada pada aspek yang terkait dengan

kemungkinan nilai sudut apabila diketahui nilai perbandingan trigonometrinya. Sebagaimana

disebutkan pada soal nomor 1, rendahnya rata-rata poin siswa pada aspek ini disebabkan oleh

siswa kurang mampu dalam menemukan kemungkinan ukuran sudut dari nilai suatu

perbandingan trigonometri. Dari hasil wawancara yang dilakukan, ditemukan bahwa siswa

masih sulit menentukan kapan suatu perbandingan trigonometri (sin α, cos α, dan tan α)

positif/negatif. Hal inilah yang menyebabkan banyak siswa tidak dapat menguasai aspek

koneksi di atas.

Zamir & Leikin (2012) mengungkapkan hal ini terkait dengan kelangsungan ide dan

penggunaan pengetahuan dasar atau dapat disebut fluency (kelancaran) dalam belajar

matematika. Fluency termasuk dalam faktor yang berpengaruh dalam kreatifitas dalam belajar

matematika. Kurangnya kelancaran siswa dalam belajar akan mengurangi kreatifitas siswa

dalam belajar matematika. Hal inilah yang membuat siswa tidak dapat menemukan ukuran-

ukuran sudut yang memenuhi penyelesaian soal tersebut.

Rendahnya rata-rata poin siswa pada aspek-aspek di atas juga dikarenakan siswa kurang

dalam memahami soal yang diberikan. Hasil ini diketahui berdasarkan hasil wawancara

terhadap siswa. Siswa mengaku bingung dengan kalimat ―kemungkinan letak sudut α‖ pada soal

nomor 1. Kebingungan siswa ini mengakibatkan mereka kesulitan dalam menyelesaikan soal

serta memberi penjelasan pada jawaban mereka. Untuk mengeksplorasi ide siswa dalam

menyelesaikan masalah, guru perlu lebih sering memberi siswa soal non-rutin (Fauzi, 2011).

Dengan demikian, pemikiran kreatif siswa akan muncul dan mengurangi kebingungan siswa

saat menghadapi soal yang relatif baru bagi mereka.

Beberapa siswa juga menganggap soal nomor 2 merupakan soal yang baru bagi mereka

sehingga mereka melakukan kesalahan serupa dalam menyelesaikan soal. Beberapa dari mereka

tidak menjawab, serta ada siswa yang mengerjakan aspek ini langsung dengan pendekatan tan α

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

401

pada segitiga samakaki. Dari penuturan siswa, diketahui bahwa siswa mencoba mencari panjang

sisi alas segitiga samakaki dengan menggunakan tan α. Hal ini disebabkan siswa beranggapan

mungkin saja perbandingan trigonometri dapat dihitung pada sebarang segitiga. Selain itu,

pendekatan tan α dipilih karena sering digunakan dalam mengerjakan soal yang rutin diberikan

oleh guru.

Pemberian soal non-rutin atau tidak biasa bagi siswa mengakibatkan beberapa siswa

mengalami kesulitan dan berusaha menebak dan mencoba cara yang tepat untuk menyelesaikan

masalah tersebut. Proses yang dilakukan siswa sudah sesuai dengan salah satu strategi yang

dapat dilakukan pada langkah pemecahan Polya, devise a plan, yaitu guess and test. Sayangnya,

dalam hal ini siswa tidak melakukan test, sehingga jawaban akhir siswa tetap salah.

Keterkaitan antara materi yang telah dipelajari siswa dengan materi yang sudah mereka

peroleh sebelumnya sangatlah penting. Seperti disebutkan Jaijan (2009) bahwa koneksi

matematika yang perlu dimiliki siswa adalah koneksi yang mampu mengaitkan materi dan

mengembangkan koneksi terhadap materi itu sendiri dari topik yang mereka pelajari saat ini

dengan topik yang telah mereka pelajari sebelumnya.

Sebagian besar siswa terkoneksi pada aspek yang pernah mereka pelajari sebelumnya,

seperti koneksi antara teorema Pythagoras dan segitiga siku-siku, serta koneksi antara luas

segitiga dan segitiga samakaki. Hal ini diperjelas dengan keterangan Eva dan Lely, kedua

siswa ini sepakat bahwa jika segitiga samakaki yang dibagi dua tepat pada garis tingginya akan

menjadi segitiga siku-siku yang sama (kongruen). Hampir 100 % siswa telah mampu mencari

panjang sisi yang tidak diketahui pada segitiga siku-siku dengan menggunakan teorema

Pythagoras. Beberapa dari mereka juga mengingat bilangan yang termasuk triple Pythagoras.

Berdasarkan rata-rata hasil tes koneksi yang diperoleh, diketahui bahwa siswa tergolong

terkoneksi, sebagian terkoneksi, dan sedikit terkoneksi. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa

tidak ada siswa yang tergolong tidak terkoneksi. Hasil ini mengungkapkan bahwa siswa sudah

cukup akrab dengan adanya koneksi antarkonsep matematika namun siswa masih belum

terbiasa dalam menerapkan koneksi tersebut. Pada jawaban yang diberikan siswa, diketahui

bahwa sebagian besar siswa dapat memberikan penyelesaian yang benar pada setiap aspek

koneksi, namun siswa tidak dapat memberikan keterangan/alasan mengapa memberikan

jawaban tersebut. Kondisi ini menjelaskan perlunya siswa mengapresiasi hubungan dasar dalam

topik-topik yang ada dalam matematika. Hal ini dikarenakan pada jawaban yang diberikan,

siswa tampak lebih memahami prosedur penyelesaian soal daripada koneksi yang terkait dalam

penyelesaian soal itu sendiri. Hasil ini digambarkan pada diagram lingkaran di bawah ini.

Gambar 4. Diagram Lingkaran Kemampuan Koneksi Siswa

Kekurangan siswa dalam memahami soal, mencari koneksi serta memberi penjelasan

pada jawaban memerlukan solusi dalam pembelajaran. Sulistyaningsih (2012), Permana &

Sumarmo (2007), dan Bahri & Bukhori (2011) mengembangkan desain pembelajaran yang

dapat meningkatkan koneksi matematika siswa. Berdasarkan metode pembelajaran yang

dilakukan oleh ketiganya, diketahui bahwa kemampuan koneksi matematika dapat meningkat

melalui pembelajaran konstruktivis yang menekankan pada pengenalan koneksi yang ada pada

materi tersebut, serta dengan materi lain dalam matematika dan dengan masalah pada kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, selanjutnya pembelajaran perlu dirancang agar siswa mampu

mengenal dan menerapkan koneksi matematika di dalamnya.

18%

47%

35%

0%

Terkoneksi

Sebagian Terkoneksi

Sedikit Terkoneksi

Tidak Terkoneksi

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

402

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan

koneksi matematika siswa kelas X pada materi trigonometri tergolong sebagian terkoneksi. Hal

ini diperoleh dari rata-rata poin koneksi siswa, 2,18, sehingga siswa tergolong sebagian

terkoneksi. Pada penelitian, ditemukan siswa masih menemui masalah dalam mengkoneksikan

ide-ide matematika. Masalah yang muncul pada siswa sebagian besar karena kurangnya

pemahaman konsep pada materi trigonometri.

Pada pembelajaran selanjutnya, baik pada materi trigonometri aupun materi lainnya,

perlu adanya upaya dari guru dalam memfasilitasi siswa mengenal koneksi. Hal ini dapat

dilakukan dengan pemberian soal-soal non rutin atau soal yang mengaitkan konsep matematika

secara kompleks. Kegiatan pembelajaran juga sebaiknya diarahkan untuk mengenalkan siswa

pada koneksi terutama antara konsep baru dengan konsep yang telah mereka pelajari

sebelumnya. Pengenalan ini akan membuat pemahaman siswa terhadap matematika lebih

mendalam dan bermakna. Selain itu, siswa akan dapat memahami bahwa matematika

merupakan kesatuan ilmu, bukan suatu ilmu yang bagian-bagiannya saling terpisah.

DAFTAR RUJUKAN

Bahri, Saiful & Bukhori. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi

Matematika Siswa dengan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and

Learning) di SMA Swasta Al-Azhar Medan, (Online), (www.umnaw.ac.id/wp-

content/uploads/2013/01/LAPORAN-SAIFUL.pdf, diakses tanggal 16 April 2014).

Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). United

States of America: Wm. C. Brown Company.

Jaijan, Wasukree. 2011. The Thai Mathematics Curriculum and Mathematical Connection.

(Online), (http://www.recsam.edu.my/COSMED/cosmed09

/AbstractsFullPapers2009/Abstract/Mathematics%20Parallel%20PDF/Full%20Paper/18

.pdf, diakses pada 7 Januari 2014).

Mahmudah, Yuniek Fauziah. 2013. Kemampuan Koneksi Matematis Siswa Kelas VIII pada

Materi Persamaan Garis . Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri

Malang.

Mandur, Kanisius, Sadra, I Wayan & Suparta, I Nengah. 2013. Kontribusi Kemampuan

Koneksi, Kemampuan Representasi, dan Disposisi Matematis terhadap Prestasi Belajar

Matematika Siswa SMA Swasta di Kabupaten Manggarai. E-Journal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Matematika, (Online),

Volume 2, Tahun 2013, (http://pasca.undiksha.ac.id/e-

journal/index.php/JPM/article/download/ 885/639, diakses pada tanggal 2 Mei 2014).

Musser, G., Burger, W. & Peterson, B. 2008. Mathematics for Elementary Teachers A

Contemporary Approach. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). 2000. Principles and Standards for

School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.

Permana, Yanto dan Sumarmo, Utari. 2011. Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan

Koneksi MAtematik Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Portal Jurnal

Universitas Pendidikan Indonesia. (Online), (jurnal.upi.edu/penelitian-

pendidikan/author/yanto-permana-dan-utari-sumarmo, diakses tanggal 6 Januari 2014).

Pranyata, Yuniar Ika Putri. 2013. Analisis Kesulitan Siswa dalam Memecahkan Masalah

Trigonometri dan Pemberian Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS

Universitas Negeri Malang.

Sugiman. 2008. Koneksi Matematika dalam Pembelajaran Matematika di SekolahMenengah

Pertama. Jurnal Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas

Negeri Yogyakarta. (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/-

131930135/2008_Koneksi_Mat.pdf, diakses tanggal 6 Januari 2014).

Sulistyaningsih, D., Waluya, S. B., Kartono. 2012. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC

dengan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi

Matematik. Unnes Journal of Mathematics Education Research. (Online).

(http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujmer, diakses tanggal 17 Februari 2014).

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

403

Zamir, Hana Lev. & Leikin, Roza. 2012. Creative mathematics teaching in the eye of beholder:

focusing on teacher’s conception . Research in Mathematics Education. (Online),

(http://www.tandfonline.com/loi/rrme20, diakses tanggal 6 Januari 2014).

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATEMATIKA MATERI

TRIGONOMETRI BERDASARKAN PENDEKATAN INKUIRI

TERBIMBING PADA KELAS X

Fetty Nuritasari, Akbar Sutawidjaja, dan Hery Susanto

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected]

Abstrak: Penelitian ini akan mendeskripsikan proses dan hasil pengembangan bahan ajar

berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing materi trigonometri untuk kelas X yang valid,

praktis, dan efektif. Pengembangan bahan ajar ini menggunakan model pengembangan 4D,

tanpa fase diseminasi. Instrumen penelitian meliputi lembar validasi, lembar observasi,

angket, dan tes. Berdasarkan hasil uji kevalidan bahan ajar diperoleh skor rata-rata seluruh

aspek 2,18 (valid) . Hasil uji coba lapangan mengenai observasi keterlaksanaan bahan ajar

diperoleh skor rata-rata seluruh aspek yaitu 2,80 dapat dikatakan bahan ajar praktis.

Berdasarkan uji coba lapangan yang dilakukan, diperoleh hasil yaitu 82,53% siswa kelas X

telah menguasai materi trigonometri. Berdasarkan hasil angket, rata-rata seluruh responden

1,55 memberikan respon positif terhadap penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran.

Berdasarkan indikator-indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan ajar efektif

digunakan dalam pembelajaran.

Kata kunci: Pengembangan, Bahan Ajar, Inkuiri Terbimbing, Trigonometri

Keberhasilan dalam pembelajaran, selain tergantung metode yang digunakan juga

sangat tergantung pada perangkat pembelajaran yang digunakan. Peningkatan mutu pendidikan

nasional adalah jawaban atas pentingnya pendidikan di era globalisasi. Berbagai upaya telah

dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, salah satunya dengan

mengadakan pelatihan pembuatan perangkat pembelajaran yang baik dan sesuai dengan

karakteristik siswa. Selain perangkat pembelajaran hal yang perlu diperhatikan adalah

pembelajaran. Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar yang memungkinkan

siswa dan guru melakukan kegiatan pembelajaran.

Pembaharuan dalam proses pembelajaran pada dasarnya dimulai dari bagaimana cara

siswa belajar dan bagaimana cara guru mengajar yang pada akhirnya adalah mengetahui

bagaimana cara siswa membangun dan mengkonstruksi kemampuan kreativitas pengetahuan.

Menurut Dyer, J.H (2009), Innovators DNA, Harvard Business Review: bahwa dari

kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, dan sisanya berasal dari

genetik. Kemampuan kreativitas diperoleh melalui mengamati (observing), menanya

(questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting) dan membentuk jaringan

(networking). Sehingga dipandang perlu untuk merumuskan kurikulum yang mengedepankan

pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar dan mencoba untuk

meningkatkan kreativitas peserta didik.

Beberapa alasan, mengapa guru perlu untuk mengembangkan perangkat pembelajaran,

yakni: ketersediaan bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum, karakteristik sasaran, dan

tuntutan penyelesaian masalah belajar. Pengembangan perangkat pembelajaran harus

memperhatikan tuntutan kurikulum. Pada Kurikulum 2013 (8: 2013) ―... guru memiliki

keleluasaan waktu untuk mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi siswa aktif

belajar. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu yang lebih panjang dari proses

pembelajaran. Penyampaian informasi karena peserta didik perlu latihan untuk melakukan

mengamati ...‖ Standar kompetensi lulusan telah ditetapkan oleh pemerintah, namun bagaimana

untuk mencapainya dan apa perangkat pembelajaran yang digunakan diserahkan sepenuhnya

kepada para pendidik sebagai tenaga profesional. Dalam hal ini, guru dituntut untuk mempunyai

kemampuan mengembangkan perangkat pembelajaran sendiri.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

404

Pembelajaran inkuiri merupakan salah satu pendekatan mengajar yang berusaha

meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Pendekatan ini menempatkan

siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah

(Sagala, 2003:196). Definisi di atas mensyaratkan bahwa pendekatan inkuiri memposisikan

siswa sebagai pembelajar. Siswa memiliki kebebasan mengembangkan kreativitas dalam

belajar. Peran guru dalam pendekatan inkuiri adalah pembimbing belajar dan fasilitator. Tugas

utama guru adalah memilihkan masalah untuk dipecahkan siswa, dan menyediakan sumber

belajar bagi siswa dalam rangka pemecahan masalah (Sagala, 2003:196). Dengan demikian

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing lebih tepat digunakan dalam

pembelajaran di SMK Putra Indonesia Malang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mayer

(2004:15) bahwa ―guided inquiry methods, in which the student receives problems to solve but

the teacher also provides hints, direction, coaching, feedback, and/or modeling to keep the

student on track‖.

Menurut Martinello dan Cook (2000) Inquiri adalah suatu proses belajar dimana siswa

selalu aktif menyelidiki segala permasalahan dengan cara bertanya dan mencari sendiri atas

pertanyaan tersebut proses ini ditandai dengan tindakan seperti mencari permasalahan, mencari

jawaban atas permasalahan, mengeksplorasi dan menyelidiki. ―Inquiri is a process by which children actively investigate their world through

questioning and seeking answers to their questions. This process is characterized by

action such as probing, searching, exploring and investigating.”

Bahan ajar yang memiliki konten yang bersifat membimbing siswa untuk menemukan

pemahamannya secara mandiri dan disajikan dengan tampilan yang menarik bisa menjadi salah

satu alternatif untuk digunakan siswa dalam mengatasi masalah di atas. Dalam hal ini, Lembar

Kegiatan Siswa (LKS) merupakan bahan ajar yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran

siswa. Hal ini dikarenakan, dengan menggunakan bahan ajar LKS, siswa bisa terlibat aktif

dalam pembelajaran dan sebagai sarana efektif dalam interaksi antara siswa dan guru selama

pembelajaran berlangsung. Dengan memanfaatkan bahan ajar LKS, siswa diharapkan mampu

mendapatkan pemahaman mengenai rumus perbandingan trigonometri dengan pemahaman

tentang materi tersebut agar lebih berkesan dalam pembelajarannya dan siswa bisa menerapkan

teori yang didapatkan dalam menyelesaikan soal tanpa mengandalkan hafalan yang mudah

hilang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bahan ajar LKS yang dibutuhkan siswa adalah

bahan ajar LKS berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing yang disajikan dengan sederhana

dan menarik. Selain itu, saat ini masih jarang ditemukan bahan ajar seperti ini yang disediakan

untuk siswa kelas X di SMK Putra Indonesia Malang. Berdasarkan hal inilah peneliti tertarik

untuk mengembangkan bahan ajar berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing tentang nilai

perbandingan trigonometri suatu sudut di berbagai kuadran dan rumus perbandingan

trigonometri sudut berelasi.

Pembelajaran inkuiri berpusat pada siswa, jika Guru dapat merencanakan pembelajaran

dengan baik maka pembelajaran inkuiri bisa membuat siswa merasa tertantang dan tantangan

ini bisa menimbulkan motivasi belajar siswa. Pelaksanaan pembelajaran inkuiri di kelas bisa

menghadirkan sejumlah tantangan bagi siswa (Edelson. Daniel C, 1999). Prestasi siswa dengan

pembelajaran inkuiri jauh lebih tinggi dari prestasi siswa dengan pembelajaran biasa dalam hal

pengetahuan penalaran dan argumentasi. (Wilson. Christopher D, 2010).

Pembelajaran inkuiri lebih bersifat konseptual daripada faktual dan belajar pemahaman

konsep akan lebih sukses dengan pendekatan inkuiri (Wallace. Carolyn S, 2004). Pembelajaran

berbasis inkuiri harus dirancang oleh Guru (Keys. Carolyn W, 2001), namun begitu masih

sedikit Guru yang mempunyai pengalaman dan konsepsi tentang inkuiri walaupun inkuiri

dipandang sebagai pusat informasi belajar mengajar (Blanchard. Margaret R, 2009). Sehingga

Guru perlu menambah wawasan tentang inkuiri agar bisa melaksanakan pembelajaran dengan

pendekatan inkuiri secara sukses seperti yang diharapkan. Namun begitu untuk menjadi

pengembang inkuiri yang professional tidak hanya menguasai pengetahuan tentang inkuiri

tetapi juga perlu memperhatikan konsep mengajar Guru (Lotter. Christine, et al. 2007).

Disamping itu pembelajaran dengan inkuiri merupakan pendekatan pembelajaran yang efektif

untuk mendukung belajar siswa (Blanchard. Margaret R, 2010).

Berdasarkan kondisi inilah, peneliti memiliki inspirasi untuk mengembangkan bahan

ajar materi trigonometri berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing pada kelas X. Berdasarkan

hal tersebut, maka tujuan pengembangan ini adalah untuk menghasilkan produk berupa bahan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

405

ajar trigonometri yang valid, praktis dan efektif.

METODE Pengembangan ini menggunakan model pengembangan Four D, yang terdiri dari tahap

define (mendefinisikan), design (merancang), develop (mengembangkan), dan disseminate

(menyebarkan). Dari keempat tahap tersebut, alasan pemilihan model 4D dalam penelitian ini

didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: (a) model ini disusun dengan urutan kegiatan

yang sistematis dalam upaya pemecahan masalah belajar yang berkaitan dengan sumber belajar

yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pebelajar; (b) model ini membahas khusus

bagaimana mengembangkan bahan ajar berupa LKS dan bukan pada rancangan pengajarannya;

(c) model 4D sudah banyak digunakan dalam penelitian pengembangan bahan ajar berupa

LKS,peneliti hanya melakukan hingga tahap ketiga karena hasil pengembangan tidak untuk

disebarluaskan melainkan hanya untuk kepentingan pengembangan lebih lanjut.

Tahap mendefinisikan akan dilakukan observasi terhadap pembelajaran baik model

yang digunakan, maupun kemampuan siswa. Selain itu, akan disusun 1) konsep materi

trigonometri, 2) rincian tugas yang akan dikerjakan siswa di akhir pembelajaran, 3) tujuan

pembelajaran sesuai dengan konsep dan rincian tugas.

Pada tahap merancang akan dirancang bahan ajar dan RPP (draf I), serta instrumen.

Instrumen yang dirancang antara lain lembar validasi, lembar observasi, angket, dan tes.

Lembar validasi digunakan untuk mengetahui tingkat kevalidan bahan ajar, RPP, dan tes

berdasarkan skor dan saran yang diberikan oleh validator. Lembar observasi aktivitas guru

untuk mengetahui tingkat kepraktisan bahan ajar dan diisi oleh pengamat ketika pelaksanaan

pembelajaran. Tes digunakan untuk mengetahui nilai ketuntasan belajar siswa yang dikerjakan

secara individu. Lembar observasi aktivitas siswa diisi oleh pengamat ketika pelaksanaan

pembelajaran. Angket respon siswa diisi oleh siswa untuk mengetahui respon siswa terhadap

produk yang digunakan dan aktivitas pembelajaran. Tes, lembar observasi aktivitas siswa, dan

angket digunakan untuk mengetahui tingkat keefektifan bahan ajar.

Sedangkan tahap mengembangkan akan dihasilkan draf akhir bahan ajar berupa LKS

dan RPP setelah dilakukan revisi berdasarkan saran dari validator dan uji coba. Validasi

dilakukan oleh dua dosen dan satu praktisi untuk memperoleh saran/komentar terhadap produk

yang dikembangkan. Uji coba dilakukan pada siswa kelas X SMK Putra Indonesia Malang pada

materi trigonometri yaitu nilai perbandingan trigonometri suatu sudut diberbagai kuadran, dan

rumus perbandingan trigonometri sudut berelasi dan melibatkan guru model yaitu guru yang

mengajar di SMK Putra Indonesia Malang.

Jenis data yang diperoleh dari uji coba produk pengembangan bahan ajar ini

dikelompokkan menjadi dua, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa

masukan, tanggapan, dan saran perbaikan dari ahli, praktisi, observer, pengamatan peneliti dan

siswa, melalui validasi maupun uji coba lapangan. Sedangkan data kuantitatif berupa skor

penilaian yang diberikan oleh validator, observer, dan siswa serta berupa skor hasil ketuntasan

belajar siswa.

Untuk mengukur tingkat kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan maka disusun

instrumen. Instrumen pengumpulan data pada pengembangan bahan ajar LKS ini berupa: (a)

lembar validasi, (b) lembar observasi, (c) angket, dan (d) tes.

Seluruh instrumen pengumpulan data sebelum digunakan, terlebih dahulu divalidasi

oleh para ahli, yaitu dosen dan guru (praktisi) untuk mengetahui validitas instrumen-instrumen

tersebut. Pada Tabel berikut disajikan instrumen penelitian yang diadaptasi dari Parta (2009:

62), dengan adanya beberapa modifikasi.

Tabel 1. Aspek yang diukur, Instrumen, Data yang diamati, dan Responden

Aspek yang diukur Instrumen Data yang diamati Responden

Kevalidan bahan ajar Lembar validasi Kevalidan bahan ajar, RPP, tes, Ahli dan Praktisi

lembar observasi dan angket

Kepraktisan bahan Lembar observasi Keterlaksanaan bahan ajar Observer

ajar

Keefektifan bahan Lembar observasi Aktivitas siswa, aktivitas guru Observer

ajar Angket Respon siswa, tanggapan siswa Subjek uji coba

Tes Penguasaan materi Subjek uji coba

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

406

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian hasil, akan dijabarkan mengenai proses pengembangan bahan ajar LKS

sesuai dengan model pengembangan yang digunakan. Tahap mendefinisikan diperoleh bahwa

1) pembelajaran masih dilakukan secara konvensional yaitu guru menyampaikan materi, siswa

menyalin di buku catatan, guru memberikan contoh soal dan soal latihan, dan siswa

mengerjakan soal tersebut sesuai dengan contoh yang diberikan, 2) guru jarang memberi

kesempatan kepada siswa untuk bertanya sehingga siswa hanya menyerap materi yang

diberikan, 3) buku pelajaran hanya dimiliki oleh guru, 4) bahan ajar yang dimiliki berisi tentang

rangkuman materi, contoh soal, dan soal sehingga siswa tidak aktif dalam pembelajaran, 5)

siswa masih belum menguasai konsep dasar contohnya mengenai trigonometri, dan 6) siswa

merasa takut salah untuk menyelesaikan soal yang diberikan sehingga selalu menunggu guru

untuk membantu.

Setelah itu, melakukan tahap mengembangkan bahan ajar LKS, RPP, dan instrumen.

Bahan ajar LKS yang dikembangkan terdiri dari dua materi yaitu 1) LKS I: menentukan nilai

perbandingan trigonometri diberbagai kuadran, 2) LKS II: penerapan rumus trigonometri

(bagian I), dan 3) LKS III: penerapan rumus trigonometri (bagian II). Pada masing-masing

materi tersebut memuat langkah penemuan terbimbing yang harus dilakukan siswa yaitu

orientasi, menyajikan masalah, mengumpulkan informasi dan menyusun dugaan penyelesaian,

menguji dugaan dan membuat kesimpulan sementara, mengkomunikasikan, refleksi dan

kesimpulan. Aktivitas mengamati dan menduga tersebut dapat melatih siswa melakukan

penalaran induktif (inductive reasoning). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasmussen

(2008:19) bahwa inductive reasoning is the process of observing data, recognizing patterns,

and making generalizations based on those patterns. A generalization based in inductive

reasoning is called conjecture. Canadas (2009:265) juga menyatakan bahwa four steps in a first

approximation of a model to describe inductive reasoning: 1) observation of particular case, 2)

conjecture formulation based on previous particular cases, 3) generalization, and 4) conjecture

verification with new particular cases.

Langkah-langkah pembelajaran Inkuiri disesuaikan dengan Aktivitas Saintifik (5M) 1. Tahap orientasi, kegiatan guru yaitu menyampaikan tujuan pembelajaran; menggali

pengetahuan prasyarat melalui Tanya jawab sehingga siswa berpartisipasi aktif dalam

pembelajaran; dan membagi siswa dalam kelompok diskusi. Kegiatan siswa yaitu

memperhatikan penjelasan guru; menjawab pertanyaan guru; dan duduk sesuai dengan

kelompoknya. Karakteristik inkuiri yaitu partisipasi. Dan aktivitas 5M yaitu apersepsi.

2. Tahap menyajikan masalah, kegiatan guru yaitu menyampaikan topik pembelajaran dan

mengajukan masalah yang berkaitan dengan topik pembelajaran yang disampaikan melalui

LKS (lembar kegiatan siswa). Kegiatan siswa yaitu memperhatikan penjelasan guru dan

menerima LKS. Karakteristik inkuiri yaitu partisipasi. Dan aktivitas 5M yaitu mengamati.

3. Tahap mengumpuklan informasi dan menyusun dugaan penyelesaian, kegiatan guru yaitu

meminta siswa secara individu menggali informasi dari masalah yang diberikan (apa yang

diketahui, apa yang ditanyakan), kemudian menghubungkan dengan pengetahuan yang telah

dimiliki; meminta siswa menyusun dugaan jawaban/penyelesaian dengan cara mereka

sendiri; dan member kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang

berhubungan dengan pemecahan masalah. Kegiatan siswa yaitu memahami informasi yang

disajikan dalam masalah (menulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan) berdasrkan

pengetahuan yang dimiliki; menuliskan dugaan jawaban/penyelesaian dengan cara sendiri;

dan bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami yang berhubungan dengan penyelesaian

masalah. Karaktristik inkuiri yaitu kerjasama; penyelidikan; dan bimbingan. Dan aktivitas

5M yaitu mengumpulkan data atau informasi; dan menanya.

4. Tahap menguji dugaan dan membuat kesimpulan sementara, kegiatan guru yaitu meminta

siswa secara berkelompok mendiskusikan dugaan jawaban yang telah diperoleh setiap

anggota kelompok; dan meminta siswa dalam kelompok bersama-sama menguji dugaan

jawaban dan menyimpulkan jawaban yang akan diambil sebagai jawaban kelompok.

Kegiatan siswa yaitu berdiskusi, saling menilai dan menguji jawaban-jawaban setiap anggota

kelompok; dan menuliskan jawaban yang diambil oleh kelompok. Karakteristik inkuiri yaitu

kerjasama dan penyelidikan. Dan aktivitas 5M yaitu mengasosiasi.

5. Mengkomunikasikan, kegiatan guru yaitu meminta perwakilan kelompok menyampaikan

jawaban dan cara penyelesaian yang diperoleh dari hasil diskusi; dan meminta kelompok lain

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

407

untuk memberikan tanggapan atau pertanyaan kepada kelompok yang presentasi.

Kegiatan siswa yaitu perwakilan kelompok mempresentasikan jawaban hasil diskusi

kelompoknya; dan tanggapan siswa kelompok lain memberikan tanggapan atau pertanyaan

kepada kelompok yang presentasi. Karakteristik inkuiri yaitu partisipasi dan kerjasama. Dan

aktivitas 5M yaitu mengkomunikasikan.

6. Refleksi dan kesimpulan, kegiatan guru yaitu menekankan kembali prosedur atau langkah

penyelesaian mana yang efektif berdasarkan hasil diskusi kelas; dan meminta siswa

menyimpulkan materi yang diperoleh dalam pembelajaran. Kegiatan siswa yaitu menjawab

pertanyaan guru dan menjelaskan prosedur yang efektif berdasarkan hasil diskusi kelas; dan

menulis kesimpulan yang diperoleh selama proses pembelajaran. Karakteristik inkuiri yaitu

partisipasi dan kerjasama. Dan aktivitas 5M yaitu refleksi.

Selain itu RPP juga dikembangkan untuk melaksanakan bahan ajar LKS dalam

pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran yang terdapat pada RPP sesuai dengan langkah

inkuiri terbimbing. Setelah dihasilkan LKS, RPP, dan instrumen, pada tahap mengembangkan

akan dilakukan validasi dan uji coba. Validasi dilakukan oleh dua dosen matematika dan satu

praktisi untuk memperoleh skor dan saran/komentar terhadap LKS, RPP, dan tes.

Berdasarkan uji coba produk hasil pengembangan ini adalah 35 siswa kelas X di SMK

Putra Indonesia Malang yang bersamaan menerima materi trigonometri ini. Uji coba yang

dilakukan adalah uji coba lapangan (kelas). Hasil uji coba lapangan yaitu (1) semua siswa dapat

mengerjakan lebih dari 80% aktivitas-aktivitas yang diminta dalam bahan ajar, (2) siswa yang

tidak tuntas dalam tes penguasaan materi bahan ajar dapat mengerjakan semua aktivitas dalam

bahan ajar, (3) terdapat beberapa siswa yang kurang/tidak teliti dalam mengerjakan tes yang

terdapat dalam bahan ajar.

Berdasarkan hasil uji ahli mengenai kevalidan bahan ajar diperoleh skor rata-rata

seluruh aspek 2,18 maka dapat disimpulkan bahwa bahan ajar valid dan hasil uji coba lapangan

mengenai observasi keterlaksanaan bahan ajar diperoleh skor rata-rata seluruh aspek yaitu 2,80

maka dapat disimpulkan bahwa bahan ajar praktis. Berdasarkan uji coba lapangan yang

dilakukan, diperoleh hasil yaitu 82,53% siswa kelas X telah menguasai materi trigonometri.

Berdasarkan hasil angket, rata-rata seluruh responden 1,55 memberikan respon positif terhadap

penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran. Berdasarkan indikator-indikator tersebut dapat

disimpulkan bahwa bahan ajar efektif digunakan dalam pembelajaran. Dengan demikian,

dihasilkan bahan ajar trigonometri berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing yang valid,

praktis dan efektif.

KAJIAN DAN SARAN

Kajian Produk Pembelajaran yang digunakan pada produk pengembangan, adalah inkuiri terbimbing.

Produk yang dihasilkan pada pengembangan ini telah melalui tahap validasi ahli, validasi

praktisi, dan validasi pengguna. Berdasarkan hasil validasi ahli dan validasi praktisi, semua

komponen pada masing-masing aspek yang dinilai dalam LKS dinyatakan valid. Sementara itu,

berdasarkan hasil validasi pengguna bahwa LKS yang dikembangkan ini sudah baik meski

belum biasa diterima oleh keseluruhan siswa. Meski tidak diperlukan adanya revisi, penulis

tetap melakukan revisi dengan memperhatikan tanggapan validator ahli, praktisi dan pengguna.

Pembelajaran melalui inkuiri terbimbing diharapkan tidak hanya membelajarkan siswa

mengenali produk sains (matematika) tetapi juga membelajarkan siswa proses menemukan sains

dan pada akhirnya menumbuhkan sikap ilmiah. Jika metode ini dilakukan dengan baik, maka

akan menghasilkan ingatan dan transfer ilmu jangka panjang yang lebih baik serta siswa

cenderung lebih aktif secara kognitif dan dapat memotivasi siswa.

Pendekatan inkuiri terbimbing memberikan peluang kepada siswa untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan menumbuhkembangkan sikap ilmiah dengan

sedikit bimbingan guru. Selama kegiatan belajar berlangsung hendaknya siswa dibiarkan

mencari atau menemukan sendiri makna segala sesuatu yang dipelajari. Sedangkan karakteristik

pembelajaran inquiri antara lain (Wilson.J and Murdoch. K, 2004) : 1) berpusat pada siswa, 2)

menekankan pada proses dan pengembangan ketrampilan, 3) meminta siswa untuk mengajukan

pertanyaan, 4) lebih berbasis konseptual daripada faktual, 5) mendorong interaksi peserta didik,

6) membangun pengetahuan sebelumnya, 7) melibatkan penerapan ide-ide, dan 8)

mengekplorasi aspek afektif pembelajaran. Pendekatan inkuiri memberikan waktu pada siswa

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

408

untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi. Menurut Piaget, tidak akan terjadi proses

belajar, apabila siswa tidak mengolah, mengasimilasi atau mengakomodasi segala informasi

yang dijumpai dalam lingkungannya.

Kelebihan dan Kelemahan Produk Hasil Pengembangan

a. Kelebihan Bahan Ajar yang Telah Disusun (1) Bahan ajar berupa LKS dapat digunakan sebagai sumber belajar siswa dalam

pembelajaran menggunakan metode inkuiri terbimbing.

(2) Bahan ajar berupa LKS disusun untuk kepentingan siswa, sehingga strukturnya

disesuaikan dengan karakteristik siswa.

(3) Bahan ajar berupa LKS disusun untuk membimbing siswa dalam mengkonstruk

pemahamannya terhadap materi yang disajikan didalamnya.

(4) Bahan ajar berupa LKS memberi ruang bagi pengguna untuk menuangkan ide dan

gagasannya.

(5) Bahan ajar berupa LKS memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih

mengerjakan soal secara mandiri melalui soal uji kompetensi.

b. Kelemahan Bahan Ajar yang Telah Disusun Kelemahan bahan ajar berupa LKS yang telah disusun hanya berdasar pada analisis

masalah pembelajaran dan analisis karakteristik siswa dalam pembelajaran matematika di

SMK Putra Indonesia Malang , sehingga keberadaannya juga hanya sesuai dengan siswa

SMK Putra Indonesia Malang. Topik yang dimuat belum mencakup semua topik pada poko

bahasan perbandingan trigonometri. Topik yang disajikan meliputi nilai perbandingan

trigonometri untuk sudut diberbagai kuadran, dan rumus perbandingan trigonometri untuk

sudut berelasi. Selain itu, uji coba pengembangan LKS ini hanya sampai pada pengerjaan

secara berkelompok oleh siswa.

Saran (a) Peran guru masih sangat dibutuhkan untuk membimbing siswa dalam menggunakan bahan

ajar berupa LKS, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan siswa dalam

pengambilan kesimpulan.

(b) Bahan ajar LKS ini dapat digunakan sebagai sumber belajar bagi siswa, namun guru

hendaknya menyarankan siswa agar tetap mencari dan mambaca sumber belajar yang lain.

(c) Pilih materi yang cocok untuk dibelajarkan kepada siswa melalui metode inkuiri

terbimbing.

(d) Upayakan pengembangan bahan ajar LKS berdasarkan pendekatan inkuiri terbimbing yang

cocok untuk karakteristik dan masalah pembelajaran yang berbeda-beda.

(e) Disarankan untuk mengujicobakan LKS ini kepada siswa secara individu untuk mengetahui

lebih rinci perkembangan siswa.

DAFTAR RUJUKAN Blanchard, M.R., Sherry A.S, & Ellen M.G.2009. No silver bullet for inquiry: Making sense of

teacher change following an inquiry‐based research experience for teachers. Science

Education. 93.2 : 322-360.

Blanchard, M.R., dll. 2010. Is inquiry possible in light of accountability?: A quantitative

comparison of the relative effectiveness of guided inquiry and verification laboratory

instruction. Science Education. 94.4 : 577-616.

Canadas, Maria C., Castro, Encarnacion, and Castro, Enrique. 2009. Using a Model to

Describe Students’ Inductive Reasoning in Problem Solving. .Electronic Journal of

Research in Educational Psychology, (Online), 17(7):261-278.

Dasopang, N.A.2012. Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa pada Pelajaran Matematika

dengan Menggunakan Model Pembelajaran Inquiry Training di Kelas IV SD Negeri

101780 Percut TA 2011/2012. Tesis tidak diterbitkan. Medan: PPs Universitas Negeri

Medan.

Dyer, J., H. G, & C. Christensen.2009. The Innovators DNA. Harvard Bussiness Review: 61-67.

Edelson, D. C, Douglas N. G, & Roy D. P.1999. Addressing the challenges of inquiry-based

learning through technology and curriculum design. Journal of the Learning Sciences

8.3-4 : 391-450.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas

(SMA)/Madrasah Aliyah (MA).

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

409

Keys, C.W, & Lynn A. B.2001. Co‐constructing inquiry‐based science with teachers: Essential

research for lasting reform. Journal of research in science teaching 38.6 : 631-645.

Lotter, C, William S. H, and J. José B.2007. The influence of core teaching conceptions on

teachers' use of inquiry teaching practices. Journal of Research in Science Teaching

44.9: 1318-1347.

Martinello, M. L. & Cook, G. E. 2000. Interdisciplinary Inquiry in Teaching and Learning, 2nd

Ed. Upper Saddle River, New York: Merrill.

Mayer, Richard. E. 2004. Should There Be a Three-Strikes Rule Against Pure Inquiry Learning?

The Case for Guided Methods of Instruction. American Psychologist, (Online), 59(1):

14-19.

Parta, I. N. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Inquiry untuk Memperhalus

Pengetahuan Matematika Mahasiswa Calon Guru melalui Pengajuan Pertanyaan.

Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.

Rasmussen, David and Miceli, Stacey. 2008. Inquiry Geometry An Investigative Approach,

Condensed Lessons: A Tool for Parents and Tutors. USA: Key Curriculum Press.

Subagio, N.H. 2009. Implementasi Metode Pembelajaran Inquiry (penemuan) pada Mata

Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Hitung Campuran dalam Soal

Cerita/Pemecahan Masalah di Kelas V MI Islamiyah Kota Malang.Skripsi tidak

diterbitkan. Malang: Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar & Prasekolah-Fakultas Ilmu

Pendidikan UM.

Sund, R. B. & Trowbridge, L. W. 1973. Teaching Science by Inquiry in The Secondary School

2nd

ED. Ohio: A Bell & Howell Company.

Thiagarajan, Sivasailan And Others. 1974. Instructional Development for Training Teacher of

Exceptional Children. Minnesota: University of Minnesota.

Wallace, C.S, & Nam‐Hwa K.2004. An investigation of experienced secondary science teachers'

beliefs about inquiry: An examination of competing belief sets. Journal of research in

science teaching 41.9 : 936-960.

Wilson, C. D, dll.2010. The relative effects and equity of inquiry‐based and commonplace

science teaching on students' knowledge, reasoning, and argumentation. Journal of

Research in Science Teaching 47.3 276-301.

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN REALISTIK

MATERI SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL

UNTUK SISWA KELAS VIII

Umi Chobsah, Abdur Rahman As Ari, dan Hery Susanto

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak: Untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif terhadap

matematika perlu diperhatikan cara pengajarannya. Matematika merupakan hal yang

menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan banyak kegunaannya. Hal ini

dapat dirasakan melalui pembelajaran matematika realistik (Realistic Mathematic

Education). Bahan ajar khususnya Lembar Kerja Siswa (LKS) yang ada selama ini

kebanyakan hanya sebatas kumpulan soal-soal, dan sedikit uraian materi di dalamnya.

Siswa hanya terpaku pada uraian dalam LKS tanpa menganalisis suatu masalah. Hal ini

kurang meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Berdasar fakta yang terjadi di

MTsN Paiton untuk materi persamaan linier dua variabel, siswa sudah pernah

mendapatkannya di jenjang pendidikan sebelumnya, namun kebanyakan siswa belum

paham akan konsepnya. Hal di atas yang mendasari dikembangkannya LKS yang

bercirikan Realistic Mathematic Education (RME) yang valid, praktis dan efektif. Adapun

langkah-langkah pembelajaran realistik tercermin dalam rencana pelaksanaan pembelajaran

dan lembar kerja siswa meliputi (a) memulai pembelajaran dengan mengajukan

permasalahan riil sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuan peserta didik (b)

peserta didik mengembangkan model-model simbolik terhadap masalah yang diajukan (c)

pembelajaran berlangsung secara interaktif (d) Penekanan utama bukan pada langkah-

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

410

langkah prosedural, tetapi lebih pada pemahaman konsep dan penyelesaian masalah,

dengan melibatkan masalah yang tidak rutin dan mungkin jawabannya tidak tunggal, (e)

Pembelajaran di desain agar materi pelajaran terkait dengan topik atau bahasan lain

sehingga lebih bermakna.Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Proses untuk

memperoleh hasil pengembangan berdasarkan model Plomp, yaitu meliputi (a)

prototyping stage, meliputi fase investigasi awal, fase desain /perancangandan fase

pengembangan/konstruksi (2) assesment stage meliputi fase implementasi/uji produk dan

fase analisis, evaluasi dan revisi. LKS Sistem Persamaan Linier Dua Variabel bercirikan

RME divalidasi oleh tiga validator dengan skor 91,67% dan uji coba produk menunjukkan

persentase skor ketelaksanaan lembar kerja siswa yang di tunjukkan dari aktivitas siswa

adalah 90,00% dengan kriteria sangat baik. Data tersebut menunjukkan bahwa hasil

penelitian pengembangan ini berupa rencana pelaksanaan pembelajaran dan lembar kerja

siswa telah memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif.

Kata kunci : perangkat pembelajaran matematika, sistem persamaan linier duavariabel

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan

di sekolah. khususnya di SMP/MTs. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang

memasukkan matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang dujikan secara nasional, Akan

tetapi pada kenyataannya sebagian besar siswa mengatakan matematika merupakan pelajaran

yang sulit dan membosankan. Sehingga menjadi pelajaran yang menakutkan. dan sebagian

besar siswa kurang memiliki minat dan menyenangi pelajaran matematika. Padahal setiap segi

kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari matematika.

Kata minat dan senang merupakan dua kata yang saling kait mengait. Seorang siswa

yang memiliki minat untuk belajar tentunya di dalam dirinya akan timbul perasaan senang

terhadap pelajaran itu. Apabila seorang siswa menyenangi pelajaran matematika tentu di dalam

dirinya akan timbul minat untuk mempelajari matematika. Dengan munculnya minat dan

perasaan senang terhadap matematika diharapkan penguasaan konsep matematika akan lebih

baik.

Dalam Permendiknas no. 41/2007 tentang standar proses dinyatakan bahwa standar

proses pembelajaran matematika yang baik,harus interaktif,inspiratif, menantang dan

memotivasi peserta didik untuk mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Agar

proses pembelajaran bisa efektif dan menyenangkan harus didukung oleh beberapa komponen

pembelajaran yaitu sumber-sumber pembelajaran yang memotivasi siswa untuk belajar dengan

model-model pembelajaran yang efektif.

LKS (lembar kerja siswa) merupakan salah satu bahan ajar yang digunakan dalam

pembelajaran . Selama ini perangkat pembelajaran yang berupa LKS ini memang sudah ada di

sekolah peneliti meski bukan buatan guru sendiri.Akan tetapi LKS yang digunakan

penyusunannya seringkali tanpa mempertimbangkan struktur isi bidang studi untuk kepentingan

pembelajaran seperti (a) tidak di tampilkannya kompetensi dasar secara jelas dan terinci (b)

materi yang disajikan belum dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari (c) belum menggunakan

suatu pendekatan pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mengerjakannya.LKS

semacam ini tidak efektif dan kurang optimal dalam proses membelajarkan siswa, siswa hanya

terpaku pada uraian di LKS tanpa menganalisa masalah.

Pendidikan matematika realistik atau PMR dipilih untuk memecahka masalah karena

model pembelajaran PMR peserta didik akan lebih aktif mengkonstuksi pengetahuan

matematika untuk dirinya sendiri, sehingga para guru lebih banyak sebagai motivator dalam

proses pembelajaran bukan sebagai pengajar atau penyampai ilmu (Yuwono, 2001). Melalui

pengaitan konsep-konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari, dapat

menyebabkan siswa tidak mudah lupa terhadap terhadap konsep-konsep matematika yang ia

pelajari. Bahkan ia juga akan lebih mudah mengaplikasikan konsep matematika untuk

menyelesaikan maupun menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Sehinnga mengaitkan pengalaman kehidupan nyata siswa dengan dengan ide-ide matematika

dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna ( Soedjadi, 2000:4,

Zamroni, 2000:3 ). Keunggulan pembelajaran realistik sebagai model pembelajaran didukung

temuan dari penelitian Kultsum (2009) yang menyimpulkan bahwa ada peningkatan

pemahaman dan respon positif siswa kelas VII dalam mengikuti pembelajaran, dengan

pendekatan realistik Jannah (2007) menyimpulkan bahwa pendekatan Realistic Mathematic

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

411

Education (RME) dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa SMP dalam materi persegi

panjang dan persegi. Dalam implementasinya di kelas pembelajaran realistik menggunakan 5

karaktristik dasar (Gravemeijer 1994) yaitu sebagai berikut (1) menggunakan konteks yang

nyata sebagai titik awal belajar (2) menggunakan model untuk menjembatani konsep

matematika yang konkret dan abstrak (3) menghargai sumbangan pikiran siswa (4) belajar

dalam suasana demokratif dan interaktif (5) menghargai jawaban informal siswa sebelum

mereka mencapai bentuk formal matematika. (Nur, 2001). Kelima karakteristik menurut

filosofi realistik inilah yang menjiwai setiap aktivitas pembelajaran matematika.

Berdasar hasil observasi dan studi kepustakaan, penulis termotivasi dan tertantang

untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang realistik. Perangkat pembelajaran yang

dihasilkan berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang bercirikan RME yang harus memenuhi

kriteria valid, efektif dan praktis. Perangkat pembelajaran memenuhi kriteria valid apabila telah

divalidasikan kepada ahli dan praktisi. Kevalidan perangkat pembelajaran berarti perangkat

pembelajaran layak diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas. Perangkat pembelajaran

yang memenuhi kriteria praktis apabila Lembar Kerja Siswa (LKS) dilaksanakan secara nyata di

lapangan yang di tunjukkan dengan perolehan skor akhir respon guru mencapai kriteria minimal

baik. Perangkat pembelajaran yang memenuhi kriteria efektif apabila dalam penyelesaian tes

akhir pembelajaran dengan kriteria baik, tingkat penguasaan materi siswa melalui Lembar

Kerja Siswa baik, siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran.

METODE

Penelitian ini mengembangkan perangkat pembelajaran dengan menggunakan sintaks

model pembelajaran tertentu. Oleh sebab itu, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian

pengembangan. Pengembangan perangkat pembelajaran bercirikan RME materi Sistem

Persamaan linier Dua variabel menggunakan model Plomp. Model Plomp ini terdiri dari dua

tahap utama , yaitu prototyping stape dan assesment stage. Kegiatan pokok pada tahap pertama,

adalah fase infestigasi awal, fase desain, dan fase realisasi/konstruksi, dan kegiatan pokok pada

tahap kedua, adalah fase tes, evaluasi dan revisi dan fase implementasi. Fase implementasi ini

tidak digunakan karena membutuhkan banyak biaya untuk menyebarluaskan produk dalam

skala besar.

Penelitian dilakukan di MTsN Paiton di kelas VIII-G dengan alokasi waktu empat

pertemuan pada Bulan April2014. Kegiatan yang dilakukan pada tahap investigasi awal adalah

menghimpun informasi permasalahan pembelajaran matematika terdahulu dan merumuskan

rasional pemikiran pentingnya mengembangkan perangkat, mengidentifikasi dan mengkaji

teori yang melandasi pengembangan perangkat. Pada tahap desain perangkat, kegiatan di

tujukan untuk menghasilkan prototype perangkat pembelajaran, antara lain menyangkut desain

format, isi, pemilihan metode pembelajaran, dan aktivitas guru dan siswa. Kemudian

kegiatan pada tahap konstruksi adalah kegiatan untuk merealisasika desain untuk menghasilkan

suatu prototipe yang lebih lanjut akan di teliti, divalidasi dan direvisi. Pada tahap ke dua tahap

tes, evaluasi dan revisi dilakukan dua kegiatan utama yaitu kegiatan validasi dan kegiatan uji

coba produk dan prototipe hasil validasi . Sebelum uji coba produk, terlebih dahulu materi dan

proses pembelajaran realistik telah dipahami oleh guru yang melaksanakan pembelajaran dan

pengamatan yang mengamati jalannya proses pembelajaran.

Produk pengembangan yang dihasilkan meliputi RPP danLembar Kerja

Siswa.Instrumen penelitian meliputi lembar validasi, lembar observasi, tes hasil belajar.

Lembar validasi yang dikembangkan terdiri dari lembar validasi Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran, lembar validasi Lembar Kerja Siswa. Aspek pada lembar validasi memuat aspek

isi dan konstruk. Namun, pada setiap lembar validasi, aspek konstruk dijabarkan menjadi aspek

bahasa, format penulisan, dan manfaat lembar validasi. Lembar observasi keterlaksanaan

perangkat pembelajaran yang dikembangkan terdiri dari lembar observasi keterlaksanaan

pembelajaran, lembar observasi keterlaksanaan penggunaan Lembar Kerja Siswa.

Teknik analisis data dilakukan dengan cara menganalisis data kuantitatif dan kualitatif

yang diperoleh selama proses pengembangan. Data yang diperoleh meliputi data kevalidan,

kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran. Data direkapitulasi untuk empat

pertemuan kemudian dianalisis sesuai kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat

pembelajaran yang telah ditetapkan. Produk pengembangan berupa perangkat pengembangan

selanjutnya dikaji berdasar analisis data dan teori ahli yang dirujuk.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

412

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fase Investigasi Awal

Investigasi awal dalam pengembangan perangkat ini mencakup tiga hal yaitu (1)

Investigasi pengetahuan prasarat (2) Mengamati dan analisis perilaku siswa dalam kegiatan

belajar dan mengajar (3) Investigasi sumber pendukung. Hasil investigasi untuk ketiga hal itu

adalah sebagai berikut.

Fase Investigasi Pengetahuan Prasyarat

Pada kelas VII, siswa sudah mempelajari tentang persamaan linier dua variabel

(PLDV). Sebagai materi prasyarat, sebelum mempelajari materi sistem persamaan linier dua

variabel (SPLDV). Karena itu pengetahuan personal yang diperlukan siswa untuk menguasai

materi SPLDV adalah (a) Persamaan linier dua variabel (b) Model matematika yang berkaitan

dengan persamaan linier dua variabel.

Analisis Siswa

Siswa kelas VIII G MTsN Paiton terbagi dalam kelas-kelas dengan kemampuan

akademik dan latar belakang sosial yang berbeda. Berdasar pengamatan Penerimaan Peserta

Didik Baru (PPDB) di MTsN Paiton tahun angkatan 2013-2014 melalui rata-rata skor

penghitungan akhir dari rata-rata pada Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional, rata-rata nilai

rapor kelas V semestergasal dan genap, dan nilai rapor kelas VI semester gasal kelas VIII G

sebagai kelas uji coba yang terdiri dari 25 siswa perempuan. Pembagian kelompok dilakukan

dengan cara mengelompokkan siswa yang posisi duduknya berdekatan dan selalu berganti

anggota kelompok di setiap pembelajaran.

Analisis Konsep

Materi sistem persamaan linier dua variabel ditetapkan oleh penulis untuk

mengembangkan perangkat pembelajaran berupa Lembar Kerja Siswa dengan pembelajaran

RME. Materi yang diberikan selama penelitian mengacu pada Standart Kompetensi Memahami

sistem persamaan linier dua variabel dan menggunakannya dalam pemecahan masalah dengan

kompetensi dasar yaitu 2.1 menyelesaikan sistem persamaan linier dua variabel 2.2 Membuat

matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linier dua variabel 2.3

Menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linier

dua variabel dan penafsirannya.

Fase Perancangan (Design)

Berdasar investigasi awal dan pengamatan terhadap implementasi pembelajaran yang

tengah berjalan selanjutnya disusun rancangan pembelajaran.

Perancangan perangkat pembelajaran dilakukan setelah desain tersusun karena perangkat

merupakan alat untuk melaksanakan desain pembelajaran. Aktivitas yang tercakup dalam

perancangan ini adalah (a) Merancang pengorganisasian materi berdasarkan karakteristik materi

dan alokasi waktu. (b) Membuat peraturan materi dan aktivitas PBM yang relevan. (c)

Membuat rancangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa

(LKS) dengan mengacu pada Pembelajaran Matematika Realistik (RME)

Fase Realisasi

Pada fase ini dikembangkan ada dua yaitu (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

(2) lembar kegiatan Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ini merupakan panduan

bagi guru dalam melaksanakan tahap-tahap kegiatan dalam pembelajaran. Sedang LKS

berfungsi untuk merekap seluruh aktivitas siswa dalam pembelajaran. Aktivitas yang dilakukan

dalam merealisasikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu : a) Untuk menetapkan

kompetensi dasar dan indikator, b) Menentukan materi prasyarat pokok, c) Menentukan

pendekatan dan metode pembelajaran, d) Menyusun skenario pembelajaran, d) Sumber belajar,

e) Penilaian.

Fase tes, evaluasi, revisi

Aktivitas dalam fase ini adalah validasi dan uji coba pada situasi nyata di lapangan:

Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran

Proses validasi dilakukan dengan menyerahkan perangkat dan lembar validasi kepada

validator. Validator menilai perangkat berdasar lembar validasi itu. Hasil Validasi RPP

diperoleh presentase rata-rata keseluruhan yaitu 90,625% dan berdasar kriteria kevalidan yang

telah ditetapkan, maka prototipe RPP memenuhi kriteria valid.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

413

Validasi LKS diperoleh presentase rata-rata keseluruhan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

yaitu 91,05% dan berdasar kriteria kevalidan yang telah ditetapkan, maka prototipe Lembar

Kegiatan Siswa (LKS) memenuhi kriteria valid.

Hasil validasi instrumen Lembar Observasi Keterlaksanaan Penggunaan Lembar Kerja

Siswa tidak ada catatan dari validator. Hasil validasi yang sangat berpengaruh terhadap

kevalidan data. Hal ini dikarenakan lembar observasi obsevasi harus sesuai dengan kegiatan

pembelajaran yang telah disusun pada lembar kerja siswa dan bagaimana penggunaan lembar

kerja siswa dapat menggunakan masalah kontekstual dan adanya kesempatan siswa untuk

menyelesaikan masalah secara individu/kelompok. Berdasarkan skor yang diberikan

validator,lembar observasi dapat digunakan untuk mengamati penggunaan lembar kerja siswa

sehingga siswa dapat menyelesaikan lembar kerja siswa dan mengobservasi aktivitas siswa

secara berkelompok dan diskusi kelas.

Hasil validasi dari validator/observer tidak ada catatan tentang lembar observasi aktivitas

guru. Berdasarkan rata rata tiap aspek maka prosentase rata-rata keseluruhan yaitu 95,00%.

Pengamatan terhadap aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran menggunakan lembar

observasi aktivitas siswa. Pengamatan dilakukan dua guru matematika, pengamatan terhadap

aktivitas siswa yang di mulai dari awal hingga akhir kegiatan pembelajaran. Adapun hasil

validasi dari validator/observer terhadap tes hasil belajar tidak ada catatan tentang lembar

observasi aktivitas siswa.Berdasarkan rata rata tiap aspek maka prosentase rata-rata keseluruhan

yaitu 90,00%.

Berdasarkan pengamatan terhadap tes hasil belajar siswa yang dilaksanakan sudah

memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah 80 sehingga dapat diambil kesimpulan

bahwa siswa sudah menguasai materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV) dengan

pembelajaran realistik

KAJIAN PRODUK Berdasar hasil observasi, ditemukan pada awal pembelajaran masih kurang efektif

siswa belum terbiasa dengan cara belajar secara mandiri/ berkelompok menggunakan LKS,

tanpa bimbingan guru. Namun pada pertemuan berikutnya sudah terbiasa dengan LKS dan

berdiskusi dengan teman jika ada kesulitan sehingga pembelajaran berjalan dengan lancar.

Karena itu, dikembangkan perangkat pembelajaran yang harus memenuhi kriteria valid, praktis,

dan efektif.

Untuk menilai kualitas perangkat pembelajaran ini dikembangkan instrumen dan

perangkat pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar

Kegiatan Siswa (LKS). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus valid, hal ini

dimaksudkan untuk menjamin perangkat pembelajaran mempunyai validitas dan konstruksi.

Validitas yang ingin dicapai yaitu mengembangkan perangkat pembelajaran realistik materi

Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV) Validitas konstruksi ditunjukkan oleh

perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Selain valid,

perangkat pembelajaran yang dikembangkan harus praktis. Hal ini bertujuan agar perangkat

pembelajaran benar-benar dapat diterapkan diamati sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Kepraktisan perangkat pembelajaran ini juga diatur melalui pengamatan tentang keterlaksanaan

pembelajaran dan observasi akativitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Kepraktisan

perangkat pembelajaran ditunjukkan oleh tanggapan ketiga observer, bahwa perangkat

pembelajaran ini dapat diterapkan dalam penelitian. Disamping itu, desain harus memenuhi

kriteria efektif. Keefektifan desain diukur melalui kemampuan siswa dalam melakukan tes hasil

belajar. Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan diperoleh data kemampuan siswa dalam

menyelesaikan Tes Hasil Belajar sudah memenuhi kriteria ketuntasan minimal yaitu 80.

Temuan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini yaitu penggunaan Lembar

Kerja Siswa bercirikan RME dapat membantu siswa membangun pemahaman mereka sendiri,

dapat saling berdiskusi bertukar ide /gagasan dan saling memberi informasi antar siswa

sehingga tidak terlalu terfokus pada guru. Hal ini juga dibuktikan dari penelitian Kultsum

(2009) yang menyimpulkan bahwa ada peningkatan pemahaman dan respon positif siswa kelas

VII dalam mengikuti pembelajaran dengan dengan pendekatan realistik Jannah (2007)

menyimpulkan bahwa pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dapat meningkatkan

pemahaman konsep siswa SMP dalam materi persegi panjang dan persegi. Bahkan siswa juga

akan lebih mudah mengaplikasikan konsep matematika maupun menyelesaikan masalah yang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

414

berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sehinnga mengaitkan pengalaman kehidupan nyata

siswa dengan dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar

pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000:4, Zamroni, 2000:3). Dalam implementasinya di kelas

RPP dan Lembar Kerja Siswa yang telah direview oleh ahli dan praktisi ternyata hasilnya valid

dan dapat dipraktikkan melalui pembelajaran matematika realistik. Lembar Kerja Siswa yang

memuat permasalahan RME juga dapat terselesaikan dengan baik oleh siswa. Berdasar kajian

terhadap produk, saran pemanfaatan dari produk yaitu pengembangan Lembar Kerja Siswa

bercirikan RME dilakukan pada materi lain sehingga guru terbiasa menyusun permasalahan

yang realistik beserta respon siswayang diharapkan. Saran diseminasi yang dapat dilakukan

yaitu menyebarluaskan produk pada kelas lain yang mempunyai karakteristik siswa yang sama.

Saran pengembangan produk yaitu mengembangkan produk berupa Lembar Kerja Siswa yang

realistik yang berlaku untuk semua karakteristik siswa.

DAFTAR RUJUKAN Gravemeijer, K. 1994. Developing Realisties Mathematics Education : Utreach: Freudenthal

Institute.

Jannah, M. 2007. Kemampuan Pemahaman Konsep Sswa Kelas VII SMP Negeri 2 Tanjung

Brebes Dalam Pembelajaran Matematika Desa Pendekatan Realistic Mathematics

Education (RME) pada Sub Materi Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi Tahun

Pelajaran 2006/2007.

Kultsum, S. 2009, Penerapan Pendekatan Matematika Realistik untuk Meningkatkan

Pemahaman Siswa Terhadap Konsep Bilangan Bulat (Penelitian Tindakan Kelas

Terhadap Siswa Kelas VII – E SMP 2 Kab. Bandung) Sekripsi tidak di terbitkan.

Bandung jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Pendidikan Indonesia

Nur, M. 2001. RealisticMathematics Education. Makalah di sampaikan pada pelatihan TOT

guru Mata Pelajaran SLTP dan MTs dan enam propinsi di selenggarakan oleh

Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Dirjend Dikalasmen di Pusat Pendidikan

dan Pelatihan Wilayah IV Surabaya, 20 juni – 6 juli 2001.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Lembaran Negara Republik

Indonesia. BSNP

Soedjadi, R.2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstantasi Keadaan Masa Kini

menuju harapan masa depan. Jakarta : Ditjen Dikti Depdinas Jakarta.

Triyanto. 2010. Mendesaian Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group

Yuwono.I, 2006.Pengembangan Model Pembelajaran Secara Membumi.: Disertasi tidak

diterbitkan. Surabaya : PPs UM

Zamroni, 2000. Paradiqna Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Biqrat Publishiq.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

415

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE JIGSAW MELALUI LESSON STUDY

MATERI PROGRAM LINEAR n : Artikel Hasil Perkuliahan dalam PPL

Rahmini, Ipung Yuwono, dan Makbul Muksar

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripksikan penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe jigsaw melalui pelaksanaan lesson study materi program linear siswa SMK

Muhammadiyah Kusan Hilir. Metode penelitian ini merupakan penelitian deskiptif dengan

menerapkan Lesson study di SMK Muhammadiyah Kusan Hilir. Penelitian dilakukan dalam

2 siklus untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw melalui

lesson study materi program linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada akhir siklus

1, siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 14 siswa dan 3 siswa tidak tuntas.

Sehingga persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 82%, sedangkan pada akhir siklus 2,

siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 12 siswa dan 5 siswa tidak tuntas. Sehingga

persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 70%. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat memberikan pemahaman siswa

pada materi program linear

Kata kunci: jigsaw, Lesson study

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 tahun 1990 tentang

Pendidikan Menengah, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah satuan pendidikan

kejuruan yang mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta

mengembangkan sikap professional. Pesatnya perkembangan teknologi menuntut SMK

melakukan peningkatan kualitas pendidikan agar mampu mengimbangi kebutuhan dunia

industri. Tujuan pengajaran matematika di sekolah menengah kejuruan adalah menumbuh

kembangkan keterampilan dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika

dalam kehidupan sehari-hari dengan membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin.

Langkah nyata dari peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan meningkatkan

kualitas dalam hal kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidik, metode

pembelajaran, maupun siswa itu sendiri.

Salah satu faktor yang menentukan kualitas pembelajaran adalah metode pembelajaran.

Sugihartono dkk (2007: 81) menyimpulkan “metode pembelajaran berarti cara-cara yang

dilakukan dalam proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal”.

Dengan kata lain, metode pembelajaran juga bisa diartikan sebagai teknik pembelajaran

yang akan diterapkan atau dipergunakan pengajar untuk memberikan pengajaran di kelas.

Dari pengertian tentang metode pembelajaran diatas yang harus diperhatikan adalah pada

penerapannya dalam pembelajaran. Karena dengan penerapan suatu metode pembelajaran

yang tepat akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

SMK Muhammadiyah Kusan Hilir menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan

(KTSP), namun menurut hasil wawancara dengan guru terdapat beberapa kendala dalam

pelaksanaan KTSP. Salah satu kendala utamanya adalah kurangnya antusias siswa untuk

belajar, siswa lebih cenderung menerima apa saja yang disampaikan oleh guru dan jarang sekali

mengemukakan pertanyaan maupun pendapat. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang

dilakukan oleh guru hanya cenderung ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Padahal

dalam kerangka pembelajaran matematika, siswa mesti dilibatkan secara mental, fisik, dan

sosial untuk membuktikan sendiri tentang kebenaran dari teori-teori dan hukum-hukum

matematika yang telah dipelajarinya melalui proses ilmiah. Jika hal ini tidak tercakup dalam

proses pembelajaran dapat dipastikan penguasaan konsep matematika akan kurang dan

berakibat terhadap rendahnya prestasi belajar siswa itu sendiri.

Pencapaian prestasi belajar yang kurang maksimal ini dikarenakan pembelajaran

yang berlangsung terlalu pasif. Terlihat bahwa pembelajaran cenderung berpusat pada

guru (teacher centered), sehingga siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan awal

yang dimilikinya dan membuat siswa kurang termotivasi dalam pembelajaran. Berdasarkan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

416

hasil observasi yang dilakukan, ternyata ketika guru menyampaikan materi pada pelajaran

teori, guru menyampaikan materi dengan menggunakan metode konvensional, guru kurang

dapat melibatkan siswa dalam proses pembelajaran ini. Hal ini menyebabkan banyak siswa

yang ngobrol sendiri, bermain handphone pada saat proses pembelajaran berlangsung,

akhirnya siswa kurang dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru. Aktivitas siswa

seperti bertanya, mengajukan pendapat, menyanggah pendapat dari guru dan menjawab

pertanyaan tidak muncul gejala aktif dari siswa. Hal ini menjadikan siswa kurang kreatif dan

kurang bisa mengembangkan diri serta sukar untuk mengaplikasikan apa yang telah

diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan ceramah yang dilakukan oleh guru sama sekali tidak salah, namun ketika

ceramah, interaksi guru dengan siswa kurang begitu berjalan, guru hanya cenderung ceramah

dan tidak memperhatikan situasi dan kondisi siswa di kelas. Metode ceramah juga tidak bisa

dilepaskan dari proses pembelajaran. Metode ceramah akan membuat siswa mendapat hasil

belajar yang maksimal jika dikemas dengan lebih baik dan menarik.

Tercapainya tujuan pembelajaran tidak lepas dari peran utama seorang guru.

Seorang guru tidak hanya dituntut sekedar menyampaikan ilmu, tetapi juga harus dapat

menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif sehingga proses pembelajaran dapat

belangsung secara aktif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diperlukan metode

pembelajaran yang mampu melibatkan peran serta siswa secara menyeluruh sehingga

kekuatan belajar mengajar tidak hanya didominasi oleh siswa-siswa tertentu saja.

Pemilihan metode pembelajaran tersebut di harapkan dapat meningkatkan peran serta dan

keaktifan siswa dalam mempelajari dan menelaah ilmu.

Salah satu metode pembelajaran yang menuntut keaktifan seluruh siswa adalah

metode pembelajaran kooperatif. Johnson & Johnson (2008) menarik kesimpulan sebagai

berikut. Cooperative learning, one kind of student-centered learning approach, has

beendocumented throughout the literature as effective in helping students obtain

practical learning skills, abilities for effective communication and proficiency in term of

understanding knowledge, and it promotes positive student attitudes towards their own

learning. Pembelajaran kooperatif, satu jenis pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa,

yang efektif dalam membantu siswa memperoleh keterampilan belajar yang praktis,

kemampuan komunikasi dan kemampuan yang efektif dalam hal pengetahuan pemahaman, dan

mempromosikan sikap siswa positif terhadap pembelajaran mereka sendiri.

”Students were able to make more progress when they worked in groups than they

would have made working individually” (Jansen, 2012). Siswa mampu membuat kemajuan lebih

ketika mereka bekerja dalam kelompok-kelompok dari mereka akan membuat bekerja secara

individual.

Dalam pembelajaran kooperatif terjadi hubungan interaksi antar siswa. Siswa yang

kurang pandai atau lemah akan dibantu oleh siswa yang lebih pandai, sehingga akan

memperkaya pengetahuan siswa yang diharapkan sehingga hasil belajarnya dapat

meningkat. Lie (2004:28) menyimpulkan “metode pembelajaran kooperatif berbeda dengan

sekedar belajar dalam kelompok”. Perbedaan ini terletak pada adanya unsur-unsur dasar dalam

pembelajaran kooperatif yang tidak ditemui dalam pembelajaran kelompok yang dilakukan

secara asal-asalan. Prosedur metode pembelajaran kooperatif yang dilakukan dengan benar

akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif. Ciri-ciri pembelajaran

kooperatif sebagai berikut: (a) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk

menuntaskan materi belajarnya, (b) kelompok dibentuk dari siswa yang berkemampuan

tinggi, sedang, dan rendah, (c) apabila mungkin, anggota kelompok berasal dari ras,

budaya, agama, etnis, dan jenis kelamin yang berbeda-beda, (d) pembelajaran lebih berorientasi

kepada kelompok daripada individu.

Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap belajar kooperatif. Sistem pengajaran

cooperative learning bisa didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang

terstruktur. Lima unsur pokok yang termasuk dalam struktur ini adalah: (a) saling

ketergantungan yang positif antar anggota kelompok, (b) tanggung jawab perseorangan, (c)

tatap muka antar anggota, (d) komunikasi antar anggota, (e) evaluasi proses kelompok.

Cooperative learning comprises “instructional methods in which teachers organize

students into small groups, which then work together to help one another learn academic

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

417

content” (Slavin, 2011: 344). Pembelajaran kooperatif terdiri dari metode pembelajaran di mana

guru mengatur siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil, yang kemudian bekerja sama untuk

saling membantu mempelajari materi pembelajaran. Aronson, Blaney, Stepan, Sikes & Snapp

(1978) menarik kesimpulan sebagai berikut. Helps students break learning materials into manageable learning pieces, and then has

students teach others the piece they have mastered, consequently combining these pieces

intoone whole. Jigsaw learning is based on the perspective that each student will first

become “an expert” in a small part of the whole learning material, and then teach other

students in his group this part of the material.

Pembelajaran Jigsaw, satu jenis metode pembelajaran kooperatif yang dikembangkan

oleh Aronson, Blaney, Stepan, Sikes & Snapp (1978), membantu siswa memecahkan materi

pembelajaran menjadi beberapa bagian materi dikelola belajar, dan itu telah siswa mengajar

orang lain bagian materi yang mereka telah menguasai, akibatnya menggabungkan bagian-

bagian materi yang terpisah menjadi satu kesatuan. Pembelajaran Jigsaw didasarkan pada

perspektif bahwa setiap siswa pertama akan menjadi "ahli" di bagian kecil dari materi

pembelajaran secara keseluruhan, dan kemudian mengajarkannya kepada siswa lain dalam

kelompoknya ini bagian dari materi.

Metode Jigsaw adalah salah satu teknik pembelajaran kooperatif. Siswa yang

memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pelaksanaan pembelajaran, dan bukan

gurunya. Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Eliot Aroson dan teman-

temannya di Universitas Texas, dan diadopsi oleh Slavin dan teman-temannya di

Universitas John Hopkins (Trianto, 2010: 73). Pembelajaran menggunakan Jigsaw

melibatkan semua peserta didik yang ada di kelas. Tujuan dari metode ini adalah

mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif dan penguasaan materi. Kegiatan-

kegiatan yang dilakukan dalam metode jigsaw ini antara lain: (a) listening (mendengarkan),

siswa aktif mendengarkan dalam materi yang dipelajari dan mampu memberi pengajaran

pada kelompok asalnya, (b) speaking-student (berkata), akan menjadikan siswa bertanggung

jawab menerima pengetahuan dari kelompok baru dan menyampaikannya kepada pendengar

baru dari kelompok asalnya, (c) kerjasama setiap anggota dari tiap kelompok bertanggung

jawab untuk sukses dari yang lain dalam kelompok, (d) Refleksi pemikiran dengan berhasil

melengkapi, menyelesaikan kegiatan dalam kelompok yang asal, harus ada pemikiran

reflektif yang menerangkan tentang yang dipelajari dalam kelompok ahli.

Pada proses pembelajaran Jigsaw siswa dituntut aktif dalam proses belajar mengajar,

peranan guru hanya sebagai fasilitator. Metode ini merupakan metode yang menarik untuk

digunakan karena materi yang disampaikan tidak harus urut dan siswa dapat berbagi ilmu

dengan siswa lainnya. Dengan ini siswa akan selalu aktif dan menambah kualitas prestasi

belajarnya, guru dapat memonitor pemahaman siswa, pembelajaran bisa lebih terarah, dan juga

siswa bisa mengembangkan kemampuan diri sendiri dengan cara diskusi-diskusi dan latihan

soal.

“Students should also be held individually accountable, so that each member has a

responsibility to contribute to the group and is accountable for the learning progress of the

group” (Kotsopoulos, 2010). Siswa harus bertanggung jawab secara individual, sehingga setiap

anggota memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi kepada kelompok dan

bertanggung jawab untuk kemajuan belajar kelompok.

Berdasarkan informasi tersebut penulis melakukan wawancara dengan guru matematika

di SMK Muhammadiyah Kusan Hilir dan diperoleh keterangan bahwa prestasi belajar

matematika siswa kelas X Farmasi di sekolah tersebut masih tergolong rendah. Hal ini dapat

dilihat dari nilai rata-rata ulangan harian siswa hanya mencapai 45 dari skor maksimal 100.

Nilai rata-rata ini jika dibandingkan dengan ketuntasan belajar menurut kurikulum, yakni

sebesar 6,5 dari skor maksimal 10 dan dapat dikatakan bahwa nilai tersebut berada di bawah

standar ketuntasan yang diharapkan.

Dari hasil wawancara juga di peroleh informasi dari guru matematika di sekolah tersebut

bahwa pokok bahasan yang dianggap sulit untuk dipahami oleh siswa adalah pokok bahasan

program linier. Dalam hal ini siswa seringkali mengalami kesulitan dan kekeliruan dalam

menyelesaikan soal-soal latihan. Hal ini disebabkan karena siswa hanya bekerja secara individu

sehingga kemampuan mereka dalam menyelesaikan soal sangat minim. Selama ini mereka

hanya menerima apa saja yang diberikan oleh guru dan tidak pernah bertanya kepada

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

418

guru atau teman yang lebih paham disaat mereka mengalami kesulitan, dan siswa yang bisa

menjawab tidak mau memberikan penjelasan kepada siswa lain yang belum paham. Oleh karena

itu, jika siswa diberi soal-soal latihan mereka tidak bisa menjawab. Yang dapat mereka jawab

hanya soal-soal yang sama persis dengan yang dicontohkan oleh guru. Penulis menduga model

pembelajaran yang digunakan selama ini belum efektif. Hal inilah yang menyebabkan

rendahnya prestasi siswa, khususnya siswa kelas X Farmasi SMK Muhammadiyah Kusan Hilir.

“The results of this study showed that most students liked working with others and

getting help, discussing and sharing information with others, teaching others, helping one

another, and enjoying the jigsaw context” (Tran & Lewis, 2012). “The study revealed that

jigsaw is a very useful technique, most of the pupils were able to take active part in the lesson

by answering questions during and after the lesson” (Adams, 2013). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar siswa menyukai pembelajaran dengan jigsaw karena

mereka lebih aktif dalam menjawab pertanyaan selama dan setelah pembelajaran. Penelitian

Resor (2008) menemukan beberapa komentar dari siswa yang diajar dengan metode jigsaw.

Sebagian besar komentar mereka adalah bahwa metode pembelajaran jigsaw membuat pelajaran

menjadi lebih menarik dan meningkatkan kemampuan berfikir secara mendalam dan

kemampuan melakukan analisis secara kritis. “Seorang siswa mengatakan metode jigsaw

menyenangkan dan memberi pencerahan karena membawa pada hal-hal yang terang yang tak

pernah terfikirkan” (Alsa, 2010).

Berdasarkan dugaan di atas maka penulis menggunakan tindakan alternatif untuk

mengatasi masalah yang ada berupa penerapan model pembelajaran lain melalui lesson study

yang lebih mengutamakan keaktifan siswa dan memberi kesempatan siswa untuk

mengembangkan potensinya secara maksimal. Model pembelajaran yang dimaksud adalah

model jigsaw.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menerapkan lesson studi di SMK

Muhammadiyah Kusan Hilir. Penelitian dilakukan pada saat penerapan Lesson study pada SMK

Muhammadiyah Kusan Hilir tempat penulis bertugas. Subjek penelitian adalah siswa kelas X

Keperawatan yang berjumlah 17 siswa dan kelas X Farmasi yang berjumlah 17 siswa.

Kegiatan pengambilan data dilakukan dengan siklus Lesson study. Tahap siklus Lesson

study mencakup Plan, Do, dan See. Plan dilakukan untuk menyusun perencanaan pembelajaran

(pembuatan RPP, pemilihan metode pembelajaran, dan pembuatan Lembar Kerja Kelompok).

Do dilakukan untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran, mengobservasi kegiatan

siswa dalam pembelajaran. See dilakukan untuk merefleksi kegiatan guru berdasarkan hasil

pengamatan dalam kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan saat penerapan Lesson study pada tanggal 22 April 2014 di

kelas X Keperawatan dan tanggal 23 April 2014 di kelas X Farmasi SMK Muhammadiyah

Kusan Hilir.

Tahap Perencanaan (Plan)

Pada tahap plan, peneliti dengan bantuan Guru matematika, dan teman-teman sejawat

melaksanakan perencanaan pembelajaran yang akan dilakukan, yaitu: kegiatan pembuatan RPP,

pemilihan metode dan model pembelajaran, serta pembuatan Lembar Kerja Kelompok.

Pembelajaran matematika dilaksanakan di kelas X Keperawatan dan kelas X Farmasi

SMK Muhammadiyah Kusan Hilir. Alokasi waktu pembelajaran dilaksanakan 1 kali pertemuan

(2 x 45 menit) dengan rincian waktu : kegiatan awal 20 menit, kegiatan inti 50 menit, dan

kegiatan akhir 20 menit. Materi matematika yang akan diajarkan adalah “Program Linear”.

Tujuan guru melaksanakan pembelajaran ini adalah mengutamakan kegiatan penguasaan konsep

matematika yang diperoleh siswa bukan dari guru melainkan siswa sendiri yang aktif

mendapatkannya, sesuai dengan teori belajar konstruktivis. Guru bertindak sebagai fasilitator

untuk siswa menemukan pengetahuan.

Tahap Pelaksanaan (Do)

Pada kegiatan awal, guru mengkondisikan siswa agar siap untuk menerima pelajaran,

setelah itu siswa ditanya tentang pertidaksamaan satu variabel. Ini dilakukan untuk

mengingatkan siswa bahwa materi yang akan dipelajari berhubungan dengan pengetahuan yang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

419

telah dikuasai siswa. Banyak siswa yang menjawab pertanyaan dari guru, terlihat bahwa guru

sudah menarik perhatian siswa untuk memulai pembelajaran yang akan guru ciptakan, dan

siswa diharapkan siswa dapat mengaitkan pengetahuan mereka tentang pertidaksamaan satu

variabel dengan materi yang akan mereka terima dalam pembelajaran ini.

Penilaian hasil belajar dilihat dari aspek kognitif. Hasil belajar dikatakan meningkat

apabila lebih dari atau sama dengan 75% dari banyaknya siswa di kelas memperoleh nilai tes

lebih dari atau sama dengan 70. Fakta menunjukkan bahwa pada akhir siklus 1 pada kelas X

Keperawatan, siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 14 siswa dan 3 siswa tidak tuntas.

Sehingga persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 82%, sedangkan pada akhir siklus 2 pada

kelas X Farmasi, siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 12 siswa dan 5 siswa tidak

tuntas. Sehingga persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 70%. Hasil ini memberikan

gambaran bahwa penelitian ini telah mencapai kriteria keberhasilan, di mana jumlah siswa yang

mencapai kriteria tuntas melebihi 75%.

Berdasarkan fakta tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran

kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X Keperawatan dan kelas X

Farmasi pada materi Program Linear. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw

yang dapat meningkatkan hasil belajar yang dilakukan peneliti adalah penyajian materi,

penempatan siswa dalam kelompok asal dilakukan sebelum pembelajaran dimulai, membaca

dan mengerjakan LKK yaitu materi ahli dibagi oleh peneliti, pembentukan kelompok ahli dan

diskusi kelompok ahli, laporan masing-masing kelompok ahli ke kelompok asalnya, tes dan

penghargan kelompok.

Langkah-langkah jigsaw yang dapat meningkatkan hasil belajar adalah: (1) Penyajian materi:

peneliti memberikan apersepsi, motivasi, kemudian menjelaskan tujuan pembelajaran dan

aturan main jigsaw, (2) Penempatan siswa dalam kelompok asal: peneliti telah membagi

kelompok asal berdasarkan masukan dari guru matematika yang mengajar di kelas X dan

meminta tiap kelompok agar duduk dengan kelompoknya masing-masing seblum pembelajaran

dimulai agar waktu bisa dikondisikan, kemudian peneliti memberikan LKK, (3) Membaca dan

mengerjakan LKK: peneliti yang menentukan pembagian materi ahli pada tiap kelompok asal,

kemudian peneliti meminta siswa untuk membaca dan mengerjakan LKK yang telah dibagi, (4)

Pembentukan kelompok ahli dan diskusi kelompok ahli: peneliti meminta siswa untuk duduk

bersama dengan anggota kelompok yang lain yang memiliki materi sama, kemudian peneliti

meminta untuk mendiskusikan LKK, (5) Laporan masing-masing kelompok ahli ke kelompok

asalnya: siswa kembali ke kelompok asalnya, siswa menjelaskan bergiliran, peneliti menunjuk

siswa mempresentasikan materi yang bukan menjadi materi ahli mereka pada saat diskusi

kelompok ahli, kemudian siswa menyimpulkan materi bersama peneliti, (6) Tes: peneliti

memberikan tes individu yang terdiri dari beberapa soal, (7) Penghargaan kelompok: peneliti

memberikan penghargaan bagi kelompok asal yang mendapatkan skor rata-rata kelompok

tertinggi.

Tahap Refleksi (See)

Dalam tahap ini, guru model bersama teman-teman observer melaksanakan refleksi. Ada

beberapa temuan yang kami dapatkan selama pelaksanaan pembelajaran.

Temuan: (1) Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jgsaw baru pertama kali

diterapkan di SMK Muhammadiyah Kusan Hilir pada kelas X Keperawatan dan kelas X

Farmasi sehingga di awal pertemuan siswa msh mengalami kebingungan dan masih beradaptasi,

(2) Siswa berani bertanya dan aktif menganggapi pendapat kelompok lain, (3) Berdasarkan

wawancara yang dilakukan dengan tiga orang siswa berinisial A, B, dan C sebagai subjek

wawancara didapatkan bahwa siswa bertambah semangat dalam belajar matematika jika

dilakukan dengan berdiskusi bersama temannya karena merasa tidak takut dan malu jika ingin

bertanya dan menyampaikan pendapatnya.

Hasil tes menunjukkan bahwa pada akhir siklus 1 pada kelas X Keperawatan, siswa

yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 14 siswa dan 3 siswa tidak tuntas. Sehingga persentase

ketuntasan belajar klasikal adalah 82%, sedangkan pada akhir siklus 2 pada kelas X Farmasi,

siswa yang mencapai kriteria tuntas sebanyak 12 siswa dan 5 siswa tidak tuntas. Sehingga

persentase ketuntasan belajar klasikal adalah 70%. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif

tipe jigsaw yang dapat meningkatkan hasil belajar yang dilakukan peneliti adalah penyajian

materi, penempatan siswa dalam kelompok asal dilakukan sebelum pembelajaran dimulai,

membaca dan mengerjakan LKK yaitu materi ahli dibagi oleh peneliti, pembentukan kelompok

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

420

ahli dan diskusi kelompok ahli, laporan masing-masing kelompok ahli ke kelompok asalnya, tes

dan penghargan kelompok. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat memberikan pemahaman siswa pada materi program

linear.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut: (1)

Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat memberikan

pemahaman siswa pada materi program linear, (2) Ada empat tahapan dalam lesson study yaitu

perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refkelsi (see), (3) Komponen dalam tahap

pelaksanaan yaitu pengajar yang bertindak sebagai guru model dan pengajar lainnya bertindak

sebagai observer, (4) Komponen dalam tahap refleksi adalah masukan –masukan dari observer,

(5) Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas tidak akan berhasil tanpa adanya perencanaan

yang matang, (6) Kualitas pembelajaran tidak akan meningkat apabila tidak ada refleksi dan

tindak lanjut dari proses pembelajaran yang dilaksanakan, (7) Kolaborasi antar pengajar sangat

berperan penting untuk keberhasilan lesson study.

DAFTAR RUJUKAN

Adams, Francis Hull. 2013. Using JIigsaw Technique As An Effective Way Of Promoting

Cooperative Learning Among Primary Six Pupils In Fijai. International Journal of

Education and Practice, 1(6), 64-74.

Alsa, Asmadi.(2010. Pengaruh Metode Belajar Jigsaw Terhadap Keterampilan

Hubungan Interpersonal dan Kerjasama Kelompok pada Mahasiswa Fakultas Psikologi. Jurnal

psikologi, 37(2), 165-175.

Aronson, E., Blaney, N., Stepan, C., Sikes, J., & Snapp, N. 1978. The jigsaw classroom.(2rd

ed.). Beverley Hills, CA: Sage.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Degeng, I.S. 1997. Strategi Pembelajaran: Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi.

Malang: IKIP dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia.

Dotger, S., Barry, D., Wiles, J., Benevento, E., Brzozowski, F., Hurtado-Gozales, J., Wisner, E.

2012. Graduate Students Develop Knowledge from Hardy-Weinberg Equilibrium

through Lesson study.Journal of College Science teaching, 2(1), 40-44.

Eggen, Paul D. Kauchak, Donald P. 1996. Strategies for Teachers. Teaching Context and

Thinking Skills. USA: Allyn and Bacon.

Hendayana, S., dkk. 2006. Lesson study: Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan

Pendidikan (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung UPI Press.

Hiebert, J.A., Morris, A.K., Berk, D., & Jansen, A. 2007. Prepare Teachers to Learn to Teach.

Journal of teacher education, 58, 47-61.

Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstuktivistik. Makalah

disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika. Malang: Prorogram Pasca

Sarjana IKIP Malang, 4 Maret.

Jansen, A. 2012. Developing Productive Dispositions During Small-Group Work in Two Sixth-

Grade Mathematics Classrooms. Middle Grades Research Journal, 7(1), 37-56.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. 2008. Social Interdependence Theory and Cooperative

Learning: The Teacher's Role. In R. M. Gillies, A. Ashman & J. Terwel (Eds.),

Teacher's Role in Implementing Cooperative Learning in the Classroom(pp. 9-37). New

York, U.S.A: Springer.

Kotsopoulos, D. 2010. When Collaborative Learning is Not Collaborative: Supporting Student

Learning Through Self-Surveillance. International Journal of Educational Research,

49(4-5), 129-140.

Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang

Kelas. Jakarta: Grasindo.

Lewis, C. 2002. Does lesson study have a future in the United States? Nagoya Journal of

Education and Human Development, 1, pp.1-23.

Ong, E.G., Lim, C.S., & Ghazali, M. 2010. Examine Changes in Novice and Experienced Math

Teacher Asked Techniques Through Lesson study Process. Journal of Science and

Mathematics Education in Southeast Asia. 33(1), 86-109.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

421

Orton, A. 1992. Learning Mathematics. Issues, Theory and Clssroom Practice. Second Edition.

London: British Library Cataloguing in Publication Data.

Skemp, R.R. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. Expanded American Edition.

New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Slavin, R. E. 2011. Instruction Based on Cooperative Learning. In R. E. Mayer & P. A.

Alexander (Eds.), Handbook of Research on Learning and Instruction(pp. 344-360).

New York: Taylor & Francis.

Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sutawidjaja, Akbar. 2002. Konstruktivisme, Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran

Matematika. Jurnal Matematika dan Pembelajarannya. Universitas Negeri Malang.

Edisi Khusus; Juli tahun VII.

Tall, D.O & Mejia-Ramos, J.P. 2009. The Long-Term Cognitive Development of Different

Types of Reasoning and Proof, In H.N. Jahnke & H. Pulte (Eds.), Explanation and

proof in mathematics: Philosophical and educational perspectives. New York:

Springer.

Tran, Van Dat, & Lewis, Ramon. 2012. The Effects of Jigsaw Learning on Students’ Attitudes

in a Vietnamese Higher Education Classroom. International Journal of Higher

Education, 2(1), 9-20.

PENERAPAN PEMBELAJARAN INQUIRY

UNTUK MEMBANTU SISWA MENGKONSTRUKSI

KONSEP LIMIT FUNGSI SECARA INTUITIF

Astutik Talun NU

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Penerapan pembelajaran inquiry pada materi limit fungsi ini dilakukan untuk

membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan tentang limit fungsi secara intuif. Bantuan

atau bimbingan diberikan guru melalui Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan secara langsung

pada saat kegiatan diskusi. Tahap pembelajaran yang dilalui siswa meliputi observasi

menemukan masalah; merumuskan masalah; mengajukan hipotesis; merencanakan

pemecahan masalah; melaksanakan observasi; pengumpulan data; dan analisis data.

Berdasarkan penerapan pembelajaran inquiry yang dilakukan, ditemukan bahwa sebagian

siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan tantang konsep limit fungsi secara intuitif

dengan mengerjakan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang diberikan oleh guru.

Kata kunci: Pembelajaran Inquiry, Limit Fungsi

Pemahaman siswa terhadap matematika lebih dipengaruhi oleh pengalaman belajar

siswa itu sendiri. Pengalaman belajar itu mereka peroleh dari sajian pembelajaran yang

dilakukan oleh guru di dalam kelas. Pembelajaran matematika yang disajikan oleh guru

diupayakan dapat membantu siswa mengkontruksi pengetahuan melalui suatu proses. Hal

tersebut seperti yang dikemukakan Bruner (2006) bahwa memahami suatu konsep adalah suatu

proses, bukan suatu produk. Proses tersebut dimulai dari pengalaman-pengalaman sehingga

siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan yang

harus dimiliki.

Pemilihan cara menyajikan pembelajaran bagi siswa akan turut menentukan karakter

siswa. Pembelajaran yang mereka peroleh untuk seterusnya akan diadopsi sebagai bekal siswa

setelah mereka menyelesaikan studinya (Soekartawi, 1995). Metode pembelajaran yang

disajikan oleh guru juga mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar. Hal tersebut seperti yang

dikatakan oleh Kjersti Wæge (2009) bahwa motivasi belajar siswa untuk belajar matematika,

meskipun dianggap relatif stabil, dapat dipengaruhi oleh perubahan dalam pendekatan

pembelajaran. Siswa dengan memiliki pengalaman belajar yang baik tentu memiliki peluang

lebih besar untuk sukses.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

422

Pembelajaran inquiry merupakan salah satu pembelajaran yang menanamkan karakter

positif bagi siswa. Kata inquiry sering juga dinamakan “heuriskin” yang berasal dari bahasa

yunani, yang memiliki arti “saya menemukan”. Metode inquiry berkaitan dengan aktivitas

pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu sehingga siswa akan

menjadi pemikir kreatif yang mampu memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat

Sanjaya (2006) bahwa metode inquiry adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan

pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban

dari suatu permasalahan yang dipertanyakan.

Pembelajaran inquiry menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing siswa

ketika diperlukan. Dalam pembelajaran ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis

sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah

disediakan guru (PPPG, 2006).

Penelitian tentang pembelajaran inquiry telah dilakukan oleh Muhsetyo (2004), Goos

(2004), Jaworski (2006), Balim (2009), serta Sikko dan Pepin (2011). Muhsetyo (2004)

mengemukakan bahwa metode inquiry dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Sejalan dengan

pendapat tersebut, Jaworski (2006) menyatakan bahwa dalam pembelajaran inquiry pemahaman

siswa menjadi lebih baik dan berkembang. Selain itu, Sikko dan Pepin (2011) menyatakan

pembelajaran inquiry dapat meningkatkan kedalaman belajar siswa. Pembelajaran inquiry akan

berhasil apabila dalam penerapannya dilaksanakan secara benar. Untuk itu, Goos (2004)

menyatakan bahwa bimbingan yang tepat dalam penerapan pembelajaran inquiry akan

menjadikan partisipasi, respon, ide serta pendapat siswa sesuai harapan yang diinginkan.

Materi limit fungsi merupakan materi yang sangat penting untuk dipelajari karena

materi ini berkaitan dengan aproksimasi yang menuntut ketelitian. Namun, masih banyak siswa

yang mengalami kendala dalam mempelajari materi ini. Hal tersebut diamati oleh peneliti

berdasarkan hasil wawancara terhadap rekan peneliti yakni, para beberapa guru SMK di kota

tempat peneliti. Penelitian terkait materi limit fungsi antara lain Sukertiasih (2010), Indriyani

(2011), Miftahudin (2013), Henning dan Hoffkamp (2013), serta Putra (2014). Penelitian

Sukertiasih (2010) adalah pembelajaran limit fungsi dengan metode pembelajaran kooperatif

Snowball Throwing pada siswa kelas XI IPA SMA Saraswati Mataram tahun 2007/2008.

Indriyani (2011) menyatakan bahwa metode TAI (Teams Assisted Individual) lebih baik

daripada metode TPS (Think Pair Share) dalam pembelajaran limit fungsi pada siswa dengan

kepercayaan diri tinggi maupun kurang. Miftahudin (2013) melakukan penerapan PAIKEM

pada pembelajaran limit fungsi trigonometri, sedangkan Putra (2014) melakukan penerapan

pembelajaran metakognisi dalam pembelajaran limit fungsi trigonometri. Henning dan

Hoffkamp (2013) menemukan bahwa siswa masih mengalami miskonsepsi dalam memahami

limit fungsi.

Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada materi limit fungsi, belum ada

penelitian penerapan pembelajaran dengan metode inquiry. Selain itu pada penelitian-penelitian

tersebut sebagian besar masih mengalami kendala terutama pada kegiatan diskusi kelas yakni

masih ada siswa yang tidak terlibat di dalamnya. Pembelajaran inquiry pada pengenalan materi

limit fungsi dapat menimbulkan rasa ingin tahu pada diri siswa. Hal ini dikarenakan

pembelajaran inquiry yang melibatkan aktivitas pencarian suatu pengetahuan (Sanjaya, 2006).

Oleh karena itu, pembelajaran ini diupayakan dapat mengatasi kendala tentang siswa yang

kurang antusias dalam pembelajaran di kelas sehingga dapat membantu mereka mengkosntruksi

pengetahuan limit fungsi secara intuitif dan mengurangi adanya miskonsepsi tentang konsep

materi ini.

Pembelajaran inquiry yang dimaksud dalam penelitian ini adalah guided inquiry yaitu

pembelajaran inquiry terbimbing yang dalam pelaksanaannya sebagian besar perencanaan

dibuat oleh guru dan para siswa tidak merumuskan permasalahan (Rooney, 2009). Penyajian

pembelajaran inquiry terdiri dari tujuh tahapan, yakni: observasi menemukan masalah;

merumuskan masalah; mengajukan hipotesis; merencanakan pemecahan masalah;

melaksanakan eksperimen; melakukan pengamatan dan pengumpulan data; dan analisis data

(PPPG,2006).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan di dua kelas yakni

kelas X jurusan Agrobisnis (AGB) 2 dan kelas X Pemasaran (PM) 2 SMK Negeri 1 Malang.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

423

Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan tindakan,

pengamatan dan refleksi. Penelitian dilakukan dalam dua siklus. Pada siklus pertama penerapan

pembelajaran dilakukan di kelas X AGB 2 sedangkan penerapan pembelajaran pada siklus

kedua dilakukan di kelas X PM 2.

Pada siklus pertama, dilakukan kegiatan perencanaan yang meliputi penyusunan

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Inquiry, Lembar Kegiatan Siswa (LKS) beserta

instrumen penilaian yang berupa kuis. Selanjutnya pada tahap pelaksanaan tindakan, dilakukan

penerapan pembelajaran inquiry pada materi limit fungsi di kelas X AGB 2. Selama kegiatan

pembelajaran berlangsung dilakukan kegiatan pengamatan dengan mendokumentasikan

jalannya pembelajaran. Selain itu kegiatan pengamatan juga dilakukan oleh tiga orang observer

yang merupakan rekan sejawat peneliti. Seusai pembelajaran dilakukan kegiatan refleksi oleh

peneliti dan tiga orang observer tersebut dengan mendiskusikan hasil pengamatan yang

dilakukan para observer maupun hasil rekaman pembelajaran melalui video recorder.

Berdasarkan hasil refleksi yang dilakukan pada siklus pertama, selanjutnya dilakukan

kegiatan perencanaan pada siklus kedua. Pada tahap tersebut dilakukan perbaikan-perbaikan

dalam penyusunan RPP serta LKS yang akan digunakan pada penerapan pembelajaran

berikutnya. Kemudian pada tahap pelaksanaan tindakan dilakukan penerapan pembelajaran

Inquiry pada materi limit fungsi di kelas X PM 2. Pada siklus kedua ini, kegiatan pengamatan

juga dilakukan dengan mendokumentasikan seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan serta

pengamatan oleh tiga orang observer. Di akhir tahapan, dilakukan kegiatan refleksi oleh peneliti

bersama tiga orang observer untuk mendiskusikan pelaksanaan pembelajaran yang telah

dilaksanakan serta membuat kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada kegiatan pendahuluan dalam penerapan pembelajaran siklus pertama, siswa

terlihat masih belum siap dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat diketahui

dengan adanya banyak siswa yang terlambat. Guru mencoba mengkondisikan kesiapan siswa

dengan mengecek kehadiran siswa dan mengajak siswa berdoa sebelum pembelajaran dimulai.

Selanjutnya, guru melakukan kegiatan apersepsi dengan memberi permasalahan terkait

mencari nilai fungsi. Dari kegiatan tersebut didapat informasi bahwa sebagian besar siswa

menguasai materi prasyarat yaitu menentukan nilai fungsi. Hal tersebut terlihat dari beberapa

siswa yang mampu membuat contoh fungsi dan menentukan beberapa nilai fungsi yang diminta.

Pada kegiatan awal, guru juga melakukan kegiatan untuk memotivasi siswa untuk

belajar tentang limit fungsi yakni dengan menayangkan slide powerpoint yang berisi cerita

tentang pentingnya materi limit fungsi. Beberapa siswa diminta membaca narasi pada

powerpoint yang ditayangkan. Guru menayangkan tentang cerita dari dua mobil yang

bertabrakan. Pada slide terakhir disampaikan pertanyaan tentang parahnya kecelakaan atau

kerusakan kedua mobil itu. Guru menyampaikan informasi bahwa parahnya kerusakan atau

kecelakaan pada mobil dapat diperkirakan dari kecepatan sesaat sebelum mobil bertabrakan. Hal

tersebut berhubungan dengan materi limit fungsi yang akan dipelajari. Dari kegiatan ini terlihat

seluruh siswa memperhatikan tayangan slide yang diberikan serta menyimak narasi yang dibaca

oleh temannya. Jadi, penggunaan media powerpoint yang dilakukan guru berhasil memotivasi

siswa untuk mengikuti kegiatan selanjutnya dalam pembelajaran.

Pada kegiatan inti, guru membimbing siswa sesuai tahapan pembelajaran inquiry yakni

observasi menemukan masalah; merumuskan masalah; mengajukan hipotesis; merencanakan

pemecahan masalah; melaksanakan observasi; pengumpulan data; dan analisis data.Tahapan

observasi menemukan masalah, merumuskan masalah serta mengajukan hipotesis dilakukan

secara klasikal. Selanjutnya, guru membagi siswa dalam beberapa kelompok pada tahapan

merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan observasi, pengumpulan data dan analisis

data.

Pada tahap observasi menemukan masalah, guru mengajukan pertanyaan tentang

pengertian limit berdasarkan asal katanya. Ketika siswa tampak masih kebingungan guru

memberikan istilah yang sering dipakai “limited edition”. Beberapa jawaban yang muncul dari

siswa adalah “batas” dan “terbatas”. Selanjutnya guru membantu siswa merumuskan masalah

pembelajaran hari ini yaitu “Apakah pengertian limit fungsi?” Kemudian beberapa siswa

membuat hipotesis tentang hal itu. Pendapat yang dikemukakan oleh seorang siswa adalah

“Limit fungsi adalah batas nilai fungsi”.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

424

Gambar 1. Jawaban Siswa

Selanjutnya, guru meminta siswa berkelompok untuk mendiskusikan LKS yang

dibagikan. Guru membimbing siswa melalui tahapan merencanakan pemecahan masalah,

melaksanakan observasi, pengumpulan data dan analisis data melalui LKS yang dibuat oleh

guru. Selain itu, bimbingan secara langsung juga dilakukan dalam kelompok-kelompok diskusi

di dalam kelas.

Pada tahap melaksanakan pemecahan masalah terlihat beberapa kendala yang muncul.

Beberapa kelompok kesulitan menjawab pertanyaan nomor 2 pada LKS, yaitu: “Dari tabel di

atas berapakan nilai f(x) apabila x mendekati 3 dari arah kanan?” serta nomor 3, yaitu: “Dari

tabel di atas berapakan nilai f(x) apabila x mendekati 3 dari arah kiri?” Hal tersebut tampak dari

beberapa pekerjaan kelompok sebagai berikut.

Gambar 2. Kesalahan yang Dialami Siswa

Beberapa kelompok tidak menunjuk pada satu nilai untuk pertanyaan tersebut. Beberapa

kelompok yang lain menunjuk pada satu nilai namun masih tidak sesuai dengan harapan. Siswa

terlihat masih bingung dengan arti kata “mendekati”.

Gambar 3. Siswa bingung dengan arti kata “mendekati”

Terlepas dari kendala yang muncul, ada kelompok yang berhasil melalui ketujuh tahap

pembelajaran inquiry tersebut dengan baik. Penemuan oleh siswa tentang konsep limit fungsi

ditandai dengan adanya penarikan kesimpulan oleh siswa baik dalam bentuk tulisan pada

jawaban LKS serta secara lisan.

Gambar 4. Kesimpulan secara Tulisan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

425

Berdasarkan pekerjaan mandiri oleh siswa dalam tes yang diberikan ditemukan bahwa

masih banyak siswa yang belum memahami dengan baik tentang pembelajaran limit fungsi.

Kesimpulan tersebut kemungkinan dapat terjadi mengingat hanya beberapa siswa saja yang

mampu membuat kesimpulan tentang konsep limit fungsi secara lisan. Berikut beberapa

pekerjaan mandiri siswa yang mencerminkan ketidakpahaman mereka tentang materi yang

dipelajari.

Gambar 5. Kesalahan yang Dilakukan Siswa

Dari pekerjaan siswa tersebut, terlihat bahwa siswa masih tidak mengerti baik

mengenai konsep limit itu sendiri mauapun simbol-simbol yang digunakan.

Beberapa siswa dapat menjawab tes yang diberikan secara benar, yakni pada soal yang

meminta siswa menentukan nilai suatu limit fungsi dan menjelaskan maknanya.

Gambar 6. Kesalahan yang Dilakukan Siswa

Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran ke-1, dilakukan refleksi bersama observer

dengan mendiskusikan hasil pengamatan oleh ketiga observer dan pengamatan dari hasil

dokumentasi kegiatan pembelajaran melalui video recorder. Berdasarkan hasil diskusi tersebut

diperoleh beberapa catatan yang akan dijadikan bahan pertimbangan untuk mrencanakan dan

melaksanakan penerapan pembelajaran pada siklus kedua.

Faktor kesiapan siswa pada awal pembelajaran merupakan hal yang perlu lebih

diperhatikan dalam pembelajaran. Faktor ini sangat penting karena siswa dalam belajaranya

akan berhasil apabila siswa siap untuk mengikuti proses belajar mengajar (Slameto, 2003). Pada

penerapan pembelajaran sikus pertama ini kesiapan siswa masih kurang sehingga berdampak

pada kurang berhasilnya pembelajaran ini bagi siswa.

Kegiatan pemberian motivasi oleh guru telah dilaksanakan dengan baik. Hal ini

terlihat dari antusiasme siswa memperhatikan tayangan powerpoint yang disajikan. Hal tersebut

sejalan dengan pendapat Githua (2002) bahwa hubungan antara motivasi belajar siswa dengan

penggunaan media dalam pelaksanaan pembelajaran adalah positif.

LKS yang disusun untuk diterapkan dalam pembelajaran perlu memperhatikan

kesistematikaannya. LKS yang digunakan dalam pembelajaran perlu disusun dengan baik untuk

mengurangi kesulitan siswa (Prasetyo, 2012). Tabel pada LKS untuk mengamati beberapa nilai

fungsi perlu dibuat satu tabel untuk masing-masing fungsi agar siswa dapat mengamati dengan

lebih baik. Pertanyan pada LKS juga perlu dibuat lebih jelas sehingga dapat diperoleh jawaban

siswa yang sesuai dengan harapan guru. Oleh karena itu pertanyaan “Dari tabel di atas

berapakah nilai f(x) apabila x mendekati 3 dari arah kanan?” diubah menjadi “Dari tabel di atas

berapakah perkiraan nilai f(x) apabila x mendekati 3 dari arah kanan?” Selain itu, pemberian

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

426

pertanyaan pada LKS dapat dibuat lebih terstruktur sehingga siswa dapat lebih mudah dalam

membuat kesimpulan.

Pelaksanaan tahap analisis data terkesan terburu-buru. Hal tersebut disebakan karena

kekhawatiran akan kurangnya waktu. Dalam mengatasi hal ini pemberian tugas pada LKS

dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya dapat dibagi untuk masing-masing kelompok. Hal

tersebut dilakukan agar waktu yang tersedia dapat digunakan secara optimal. Selain itu juga

agar diperoleh kesimpulan yang mendalam serta bervariasi dari masing-masing kelompok.

Pelaksanaan penerapan pembelajaran pada siklus kedua dilakukan beberapa perbaikan

berdasarkan praktik pembelajaran pertama, antara lain dilakukan revisi pada LKS baik pada segi

konstruksi pertanyaan yang diberikan maupun pada segi sistematika penyusunan pertanyaan.

Selain itu juga dilakukan perubahan pembagian tugas untuk tiap-tiap kelompok pada kegiatan

inti.

Pada kegiatan pendahuluan tidak terdapat kendala yang berarti. Kesiapan siswa sangat

baik dalam menerima pembelajaran meskipun ada dua orang siswa yang terlambat, namun tidak

mengganggu jalannya pembelajaran. Siswa yang terlambat segera menyesuaikan diri dan

mengikuti pembelajaran yang disajikan.

Motivasi siswa tampak ketika guru menyajikan tayangan berupa powerpoint berkaitan

dengan konsep limit. Kegiatan apersepsi yaitu terkait materi fungsi dapat terlaksana dengan

baik. Sebagian besar siswa dapat membuat contoh fungsi serta menentukan beberap nilai fungsi

dari contoh fungsi yang disebutkan.

Pada kegiatan inti, guru juga membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan

masing-masing beranggotakan empat siswa seperti pada praktik pembelajaran pertama.

Selanjutnya, pada kegiatan inti guru membimbing siswa berdasarkan tahapan pembelajaran

inquiry yakni observasi menemukan masalah; merumuskan masalah; mengajukan hipotesis;

merencanakan pemecahan masalah; melaksanakan observasi; pengumpulan data; dan analisis

data.

Berdasarkan pembelajaran pada kelas sebelumnya tetang makna frase “nilai yang

mendekati”, pada awal kegiatan inti pelaksanaan pembelajaran inquiry tahap 1 yaitu observasi

menemukan masalah, tahap 2 yaitu merumuskan masalah dan tahap 3 yaitu merumuskan

hipotesis dilakukan dengan lebih cermat. Pertanyaan arahan yang diajukan guru dibuat lebih

mengarah pada tujuan yang diharapkan. Seperti pada pertemuan sebelumnya, pertanyaan yang

diajukan dapat dijawab dengan baik pada tahap ini meskipun pada tahap pengajuan hipotesis

siswa belum mampu membuat dugaan yang tepat tentang definisi limit fungsi secara intuitif.

Namun, kata-kata seperti “pendekatan” dan “ batas” telah muncul ketika mereka diminta

memberikan hipotesa mereka tentang pengertian limit fungsi. Pada penerapan pembelajaran

kedua ini juga muncul kata “perkiraan” yang lebih menambah pemahaman mereka tentang

konsep limit fungsi.

Gambar 7. Kesalahan yang Dilakukan Siswa

Seperti pada pembelajaran ke-1, pada tahap merencanakan pemecahan masalah siswa

memulai kegiatan diskusi sesuai petunjuk guru. Selanjutnya pada tahap melaksanakan

pemecahan masalah dengan menjawab pertanyaan pada LKS. Kendala terkait pertanyaan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

427

berkurang dengan adanya penyusunan pertanyaan yang lebih runtut dan sistematis pada LKS.

Berikut adalah contoh-contoh pekerjaan kelompok dalam melengkapi LKS yang diberikan.

Gambar 8. Hasil Pekerjaan Kelompok

Penemuan oleh siswa tentang konsep limit fungsi ditandai dengan adanya penarikan

kesimpulan oleh siswa baik dalam bentuk tulisan pada jawaban LKS serta secara lisan.

Gambar 9. Kesimpulan secara Tulisan

Namun, sama dengan pembelajaran sebelumnya, berdasarkan pekerjaan mandiri oleh

siswa dalam tes yang diberikan masih ditemukan bahwa masih banyak siswa yang belum

memahami dengan baik tentang pembelajaran limit fungsi. Peneliti belum mampu menerapkan

pembelajaran ini secara efektif. Meskipun telah dilakukan pembagian tugas untuk tiap-tiap

kelompok untuk mengefisienkan pengguanan waktu yang ada, pembelajaran ini belum dapat

terlaksana dengan baik. Hal tersebut justru menimbulkan pemahaman yang tidak menyeluruh

bagi siswa.

Kesimpulan yang diperoleh oleh satu kelompok belum tentu dipahami oleh kelompok

lainnya. Hal tersebut menjadi kendala tersendiri yang muncul pada pembelajaran tersebut

sehingga dapat dipastikan bahwa masih banyak hal yang belum dimengerti siswa terutama yang

tidak berkaitan dengan tugas yang diberikan kepada kelompoknya.

Berikut beberapa jawaban tes mandiri yang dikerjakan oleh siswa yang juga masih

mencerminkan adanya ketidakmengertian tentang konsep limit fungsi.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

428

Gambar 10. Jawaban Tes Mandiri

Berdasarkan penerapan pembelajaran siklus kedua ini dilakukan refleksi oleh peneliti

dan ketiga observer dan diperoleh beberapa masukan untuk perbaikan perencanaan

pembelajaran inquiry selanjutnya. Saran atau masukan tersebut antara lain adalah bahwa

pembelajaran inquiry untuk materi limit fungsi yang berkaitan dengan menemukan definisi limit

fungsi secara intuitif sebaiknya tidak hanya dilakukan di kelas. Tahap perencanaan penyelesaian

masalah, melakukan observasi, pengumpulan data dan sebagian tahap analisis data dapat

dilakukan di rumah dengan meminta siswa berdiskusi di luar jam pelajaran. Dengan meminta

siswa membawa pekerjaan ke rumah, maka guru memberikan cukup waktu untuk siswa berpikir

dan memahami secara seksama. Hal tersebut dilakukan agar didapat kesimpulan yang lebih

mendalam serta kaya bagi tiap-tiap siswa.

Selanjutnya tahap analisis data diperdalam dengan melaksanakan diskusi di kelas.

Guru membimbing untuk memberi penguatan tentang kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh

siswa beserta teman sekelompoknya. Dengan demikian penggunaan waktu di kelas akan jauh

lebih optimal. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah tentang

kedisplinan siswa dalam mengerjakan tugas tersebut. Diharapkan guru dapat memotivasi siswa

untuk mengerjakan tugas tersebut dengan baik.

KESIMPULAN

Pada perencanaan pembelajaran inquiry hendaknya perlu dimengerti dengan baik

kondisi siswa, baik dari segi karakter maupun kemampuan yang dimiliki siswa. Pemberian LKS

dalam menyajikan materi juga perlu memperhatikan aspek sistematika dan keruntutan susunan

pertanyaannya. Guru hendaknya tidak hanya mementingkan dari sisi kecepatan materi tersebut

diperoleh siswa, namun hendaknya lebih mengupayakan agar siswa mampu menemukan konsep

yang mereka pelajari. Selain itu, perlu diyakinkan bahwa siswa juga mendapat pemahaman

tentang materi yang dipelajari secara benar. Berdasarkan penerapan pembelajaran inquiry pada

materi limit fungsi yang telah dilakukan, meminta siswa melaksanakan tahapan perencanaan

penyelesaian masalah, melakukan observasi, pengumpulan data dan sebagian tahap analisis data

di luar jam pelajaran dapat dijadikan alternatif dalam melaksanakan pembelajaran limit fungsi

yakni dalam menemukan definisi limit secara intuitif. Faktor kedisiplinan siswa dalam

menyelesaikan tugas yang diberikan guru harus lebih diperhatikan apabila alternatif ini

dilakukan.

DAFTAR RUJUKAN

Balim, A.G. 2009. The Effects of Dscovery Learning on Students’ Success Inquiry Learning

Skills. Eurasin Journal of Education Research. Vol.35.

Bruner, J. 2006. In Search of Pedagogy Volume I: The selected works of Jerome S. Bruner.

New York: Routledge.

Jaworski, B. 2006. Theory and Practice in Mathematics Teaching Development: Critical Inquiry

As A Mode of Learning in Teaching. Journal of Mathematics Teacher Education. Vol

9.

Githua. B. N. 2002. Factors Related to The Motivation to Learn Mathematics among Secondary

School Student’s in Kenya’s Nairobi Province and Three Districts of Rift Valley

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

429

Province. Mathematics Education of Egerton University, Njoro, Kenya. Tesis tidak

diterbitkan.

Goos, M. 2004. Learning Mathematics in a classroom community of inquiry. Journal for

Research in Mathematics Education. Vol. 35, No. 4Muhsetyo, G. 2004. Pembelajaran

Matematika Berbasis Kompetensi. Jurnal Matematika Tahun X, Nomor 2, Agustus

2009.

Henning, A., Hoffkamp, A.2013. Developing An Iintuitive Concept Of Limit When

Approaching The Derifative FUunction. Proceeding CERME 2013.

Indriyani, A. 2011. Efektivitas Model Pembelajaran Tipe Teams ASSIsted Individual (TAI) dan

Think Pair Share (TPS) Ditinjau dari Sikap Percaya Diri Peserta Didik Pada Materi

Limit Fungsi Kelas XI IPA SMA Kota Kediri Tahun Pelajaran 2010/2011. Universtas

Sebelas Maret Surakarta. Tesis tidak diterbitkan.

Miftahudin. 2013. Penerapan PAIKEM pada Materi Limit Fungsi Trigonometri Ditinjau dari

Kreativitas Siswa. Universitas Tanjungpura Pontianak. Artikel tidak diterbitkan.

Muhsetyo, G. 2004. Pembelajaran Matematika Berbasis Kompetensi. Jurnal Matematika Tahun

X, Nomor 2, Agustus 2009.

PPPG. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing.

Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional: Pusat Pengambangan dan Penataran

Guru Matematika.

Prasetyo. W. 2012. Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dengan Pendekatan PMR

pada materi lingkaran di kelas VIII SMPN 2 Kepohbaru Bojonegoro. Pendidikan

Matematika Universitas Negeri Surabaya. Tesis tidak diterbitkan.

Putra, M. 2014. Penerapan Pembelajaran Metakognitif pada Materi Limit fungsi Trigonometri

Siswa SMA Negeri 1 Baitussalam. Jurnal Universitas Serambi Mekkah. ISSN 2354-

0074 Volume I. Nomor 1

Rooney, C. 2009. How am I using inquiry-based learning to improve my practice and to

encourage higher order thinking among my students of mathematics? Educational

Journal of Living Theories. Vol.5, No. 2.

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sikko S.A, Lyngved, & Pepin. 2011. Working with Mathematics and Science Teachers on

Inquiry Based Learning Approach: Teacher Beliefs. Visions Coference Teacher

Education. Vol. 6, No. 1

Slamet.2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Soekartawi. 1995. Meningkatkan Efektifitas Mengajar. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Sukertiasih, N.K. 2010. Implementasi Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Snowball

Throwing pada Pokok Bahasan Limit Fungsi Untuk Meningkatkan Aktivitas dan

Prestasi Belajar Siswa Kelas XI IPA SMA Saraswati Mataram Tahun Ajaran

2007/2008. GaneÇ Swara Vol. 4 No.1

Wæge, K. 2009. Motivating for Learning Mthematics in Terms of Needs and Goals. Programe

for Teachers Education. Norwegian University of Science and Technology.

OTOBIOGRAFI MATEMATIKA DAN KEYAKINAN TENTANG

MATEMATIKA MAHASISWA POLINEMA

Arif Rahman Hakim, Ipung Yuwono, Subanji, dan Swasono Raharjo

Politeknik Negeri Malang

Universitas Negeri Malang

Abstrak: Penelitian ini mengaji otobiografi dan keyakinan matematika mahasiswa

polinema. Penelitian dilakukan terhadap 23 mahasiswa Program Studi Teknik Mesin,

Politeknik Negeri Malang angkatan tahun 2014/2015. Angket berisi tentang

kejadian/momen penting terkait matematika yang pernah dialami mahasiswa. Hasil

penelitian ini adalah (1) faktor yang mempengaruhi keyakinan mahasiswa terhadap

matematika yaitu sifat dari matematika (Nature of mathematics), peran dan sifat guru,

metode pembelajaran, konteks sosial, dan konsep diri mahasiswa sebagai pembelajar

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

430

matematika, (2) keyakinan mahasiswa terkait matematika dapat dikelompokkan menjadi

keyakinan tentang pendidikan matematika, keyakinan siswa tentang diri atau lebih dikenal

dengan keyakinan motivasional, dan keyakinan siswa tentang konteks sosial pendidikan

matematika, dan (3) keyakinan mahasiswa terkait matematika mengalami fluktuasi

keyakinan matematika dari menyukai matematika menjadi tidak menyukai matematika atau

sebaliknya.

Kata kunci: otobiografi matematika, keyakinan matematika, fluktuasi keyakinan

Otobiografi matematika memiliki tujuan membantu mahasiswa untuk merenungkan

pengalaman mereka pada matematika. Berry (2003) mengaji otobiografi siswa laki-laki

Amerika Afrika. Partisipan diharapkan untuk mengidentifikasi dan menulis tentang apa yang

mereka anggap menjadi saat-saat penting dan peristiwa dalam riwayat matematika mereka.

Siswa diminta untuk fokus pada peristiwa penting dan sejarah terkait matematika, dan

merenungkan bagaimana mereka merasakan dan menafsirkan tentang peristiwa tersebut. Selain

itu, otobiografi para partisipan memberikan wawasan ke dalam beberapa cara siswa menanggapi

lingkungan matematika mereka.

Studi ini mengeksplorasi tentang otobiografi matematika mahasiswa dan

menghubungkannya dengan keyakinan mahasiswa tentang matematika. Otobiografi matematika

menarik untuk dikaji terutama berkaitan keyakinan tentang matematika mahasiswa teknik.

Birgit Griese, dkk (2011) menyebutkan tingginya mahasiswa teknik yang menyerah dalam

belajar matematika sebelum lulus dan penelitian dari Dewi (2007) yang menyatakan bahwa

kebanyakan mahasiswa Politeknik Negeri Malang (Polinema) yang putus studi dengan prestasi

akademik rendah juga mempunyai prestasi matematika yang rendah. Hal ini menunjukkan

bahwa mahasiswa teknik yang gagal dalam belajar matematika tidak hanya di Politeknik.

Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar matematika mahasiswa. Di sini variabel afektif

(Liston & O'Donoghue, 2008), seperti sikap, motivasi, keyakinan, konsep-diri dan pendekatan

untuk belajar memainkan peranan penting dalam keberhasilan siswa dalam matematika.

Daskalogianni dan Simpson (2001) juga telah menunjukkan peran penting dari keyakinan

tentang matematika dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan di universitas.

Definisi atau pengertian dari keyakinan (beliefes) cukup banyak dan tidak ada satu

definisi yang berlaku umum. Dalam bahasa sehari-hari, istilah "keyakinan" sering digunakan

secara longgar dan sinonim dengan istilah-istilah seperti sikap, disposisi, pendapat, persepsi,

filsafat, dan nilai. Karena berbagai konsep tidak langsung diamati dan harus disimpulkan, dan

karena sifat tumpang tindih mereka, tidak mudah untuk menghasilkan definisi yang tepat dari

keyakinan (Leder &Forgasz, 2002, hal: 96). Kapetanas dan Zachariades (2007) menyatakan

pengertian keyakinan sebagai penilaian pribadi dan pandangan, yang merupakan pengetahuan

subyektif seseorang, yang tidak membutuhkan pembenaran formal. Sedangkan Muis (2004)

menyatakan keyakinan epistemologis tentang matematika meliputi keyakinan tentangsifat

matematika sebagai suatu disiplin, sifat mengetahui matematika, serta akuisisi pengetahuan

matematika dan kegunaan matematika. Lebih lanjut Muis membedakan keyakinan tentang

matematika menjadi keyakinan "availing" (keyakinan yang menguntungkan atau mendukung

proses belajar) dan "nonavailing" (keyakinan yang tidak memiliki pengaruh atau berpengaruh

negatif pada proses belajar). Lorraine A. Steiner (2007) menyatakan keyakinan tentang

matematika meliputi keyakinan tentang waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah

matematika, kompleksitas masalah matematika, pentingnya memahami matematika, dan

kegunaan matematika.

Underhill (1988) telah meringkas penelitian tentang keyakinan siswa menjadi empat

kategori: keyakinan tentang matematika sebagai suatu disiplin; keyakinan tentang pembelajaran

matematika; keyakinan tentang pengajaran matematika; dan keyakinan tentang diri dalam

konteks sosial di mana pengajaran dan pembelajaran matematika terjadi. McLeod (1992),

mempelajari keyakinan dari perspektif afektif, membedakan menjadi: keyakinan tentang

matematika; keyakinan tentang diri; keyakinan tentang pengajaran matematika; dan keyakinan

tentang konteks sosial.

Sedangkan Kloosterman (1996) menyajikan model keyakinan siswa berkaitan dengan

motivasi dalam matematika. Ia mencoba untuk mengintegrasikan empat jenis keyakinan

McLeod dalam dua tipe dasar keyakinan: keyakinan tentang matematika dan keyakinan tentang

pembelajaran Matematika. Tapi ia membedakan kategori kedua menjadi tiga subkategori:

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

431

keyakinan tentang diri sendiri sebagai seorang pembelajar matematika; keyakinan tentang peran

guru, dan keyakinan lain tentang pembelajaran Matematika. Juga Pehkonen (1995)

membedakan empat kategori utama dari keyakinan: keyakinan tentang matematika; keyakinan

tentang diri sendiri dalam matematika; keyakinan tentang pengajaran matematika; keyakinan

tentang belajar matematika.

Eynde, De Corte, dan Verschaffel (2002) telah melakukan analisis filosofis dan

psikologis melalui kajian literatur mengenai artikel tentang keyakinan matematika, kemudian

mengemukakan definisi keyakinan siswa terkait-matematika adalahs ecara implisit maupun

eksplisit yang dipegang siswa yaitu konsepsi subjektif yang dianggap benar tentang pendidikan

matematika, tentang diri mereka sendiri seperti matematikawan, dan tentang konteks kelas

matematika. Keyakinan ini menentukan dalam interaksi satu sama lain dan dengan pengetahuan

siswa sebelumnyat entang belajar dan pemecahan masalah matematika dalam kelas. Selanjutnya

mereka mengemukakan kerangka kerja keyakinan terkait matematika menjadi keyakinan

tentang pendidikan matematika, keyakinan tentang diri (self) dan keyakinan tentang konteks

sosial.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar pendidikan matematika

yang tertarik dengan keyakinan siswa terkait matematika, terdapat beberapa hal yang

mempengaruhi keyakinan tersebut. Keyakinan siswa terkait matematika antara lain dipengaruhi

oleh sifat matematika, peran dan fungsi guru, cara belajar dan mengajar matematika, serta diri

(self) siswa (misalnya van Uden, dkk, 2014; Lazim, dkk, 2004), juga kurikulum (misalnya

Taylor, 2009) dan met-befores (misalnya Tall, Lima dan Healy, 2014; McGowen dan Tall,

2010). Juga telah ditunjukkan bahwa etnis, usia dan gender juga terkait dengan keyakinan siswa

(misalnya Goings, 2014; Fennema dan Sherman, 1978).

Keyakinan siswa tentang diri dalam kaitannya dengan matematika mengacu pada

literatur penelitian motivasional- diberi label keyakinan motivasional – yang disarkan pada tiga

konstruksi dasar motivasi yaitu harapan, nilai dan afektif (misalnya, Pintrich dan Schrauben,

1992; Pintrich, Smith, Garcia, dan McKeachie, 1993). Sedangkan keyakinan siswa tentang

konteks sosial dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, keluarga, komunitas sosial, guru dan teman

belajar (misalnya van Uden, dkk, 2014; Goings, 2014; Lazarides dan Perels, 2012;

Sonnenschein, dkk, 2012).

Keyakinan dapat membatasi harapan dan sumber daya kognitif dan karena itu,

mempengaruhi tujuan dan strategi individu yang digunakan etika terlibat dalam kegiatan

matematika dan pada pemahaman matematika (De Corte, Op't Eynde, Peter, &Verschaffel,

2002; Mason, 2003,Schoenfeld, 1983). Keyakinan yang menghambat motivasi atau memiliki

efek negatif atau tidak ada pengaruh pada pemahaman siswa dianggap tidak menguntungkan

untuk belajar (Kloosterman & Stage, 1992; Muis, 2004). Siswa di semua tingkatan mempunyai

keyakinan nonavailing tentang matematika (Kloosterman & Stage, 1992; Muis, 2004;

Schoenfeld, 1988). Keyakinan nonavailing dapat mencakup keyakinan matematika yang

didasarkan pada fakta, aturan, formula, dan prosedur; pembelajaran matematika harus terjadi

dengan cepat; matematika adalah tentang mendapatkan jawaban yang benar; pengetahuan

matematika secara pasif diturunkan oleh beberapa tokoh otoritas; dan matematika tidak berguna

dalam kehidupan sehari-hari (Cobb, 1986; Kloosterman & Stage, 1992; Mason, 2003; McLeod,

1992; Schoenfeld, 1988; Schoenfeld, 1989).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, dilakukan dengan cara menyebarkan angket

pada satu kelas mahasiswa Politeknik Negeri Malang (Polinema) Program Studi Teknik Mesin

angkatan tahun 2014/2015 yang terdiri dari 24 mahasiswa. Angket berisi isian yang meliputi

identitas mahasiswa termasuk latar belakang sekolah, serta beberapa pertanyaan menyangkut

kejadian/momen penting berkaitan dengan riwayat matematika. Dari angket yang terkumpul

diperoleh data sebagai berikut partisipan terdiri dari 21 mahasiswa laki-laki, 2 orang mahasiswa

perempuan dan 1 orang mahasiswa tidak masuk pada saat pengambilan data. Selain itu juga

diketahui bahwa 8 mahasiswa berasal dari SMK, 14 mahasiswa dari SMA dan 1 mahasiswa dari

MA.

HASIL PENELITIAN

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

432

Angket memuat beberapa pertanyaan yang harus dijawab mahasiswa, pertanyaan dan

beberapa jawaban dari mahasiswa disajikan sebagai berikut.

Identifikasi dan tulis momen penting yang telah anda alami dengan matematika dari TK sampai

saat ini. Sertakan saat-saat menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Jawaban mahasiswa yang paling umum dari pertanyaan tersbut dikelompokkan menjadi

dua. Pertama, kejadian menyenangkan, beberapa alasan yang dikemukakan antara lain dapat

mengerjakan soal dengan benar (maju di depan kelas, waktu ujian, latihan); mendapat nilai yang

bagus; tidak pernah kena remidi; mengikuti olimpiade/lomba matematika; guru sabar dan

menerangkan kembali materi yang belum dimengerti; ditantang mendapat nilai yang baik;

gurunya membuat menyenangi matematika; mendapat hadiah karena prestasi dalam

matematika.

Kedua, kejadian tidak menyenangkan, beberapa alasan yang dikemukakan antara lain

dicubit guru karena tidak mengerjakan PR, dihukum guru karena tidak mengerjakan PR, tidak

dapat mengerjakan soal, mendapat nilai rendah, tidak tuntas, gurunya kaku dan terlalu cepat

dalam menerangkan, dimarahi guru karena mengerjakan PR dengan cara yang berbeda,

mendapatkan jawaban yang salah walau caranya sudah benar diajari matematika sampai

menangis, dihukum guru karena tidak hapal perkalian, tidak hapal rumus.

Apakah ada titik waktu ketika anda tertarik matematika? Apa yang membuat anda tertarik

matematika?

Semua mahasiswa (100%) menjawab ada titik waktu mereka tertarik dengan

matematika. Adapun alasan yang dikemukakan antara lain dapat mengerjakan soal, mendapat

nilai bagus, tidak kena remidi, bisa mengerjakan soal tanpa menghapal, cukup dengan

memahami soal, cara mengajar guru menyenangkan, mudah dipahami, tidak terlalu cepat, rasa

penasaran akan jawaban yang muncul dari soal-soal baru, seru dan penuh tantangan dalam

mengerjakan soal, menyukai matematika sejak kecil, dan ayah membantu menyelesaikan

masalah.

Titik waktu ketika siswa tertarik matematika 70% (16 siswa dari 23 siswa) terjadi pada

saat mereka duduk di bangku SMP ke bawah (SD/MI = 8 siswa, SMP/MTS = 8 siswa) dan 30%

terjadi pada sekolah menengah atas (SMA/MA = 4 dan SMK = 3).

Apakah ada titik ketika anda menarik diri (tidak tertarik) dari matematika? Apa yang

menyebabkan anda menarik diri dari matematika?

Terdapat 21 mahasiswa (91%) yang menjawab ada titik waktu dimana mereka menarik

diri dari matematika. Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain guru tidak jelas, terlalu

cepat dalam menyampaikan materi, guru suka marah-marah, tidak memahami materi, rumus-

rumus; materi sulit, pindahan dari sekolah lain, tidak ada tempat bertanya bila mengalami

kesulitan, tidak suka trigonometri, membutuhkan waktu lama untuk memahami, mendapatkan

nilai jelek, guru terlalu santai dan tidak peduli dengan murid yang nakal, sering tidak masuk

karena aktif di OSIS dan ekstrakurikuler, apabila semua siswa bisa dan hanya saya yang tidak

bisa.

Sedangkan titik waktu ketika siswa menarik diri (tidak tertarik) dari matematika 30% (7

siswa dari 23 siswa) terjadi pada saat mereka duduk di bangku SMP ke bawah (SD/MI = 2

siswa, SMP/MTS = 5 siswa) dan 70% terjadi pada sekolah menengah atas (SMA/MA = 11 dan

SMK = 5).

PEMBAHASAN

Beberapa alasan yang dikemukakan mahasiswa di atas secara teoritis dapat

dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, keyakinan tentang pendidikan matematika,

meliputi keyakinan tentang matematika, keyakinan tentang belajar matematika dan keyakinan

tentang pembelajaran matematika. Keyakinan tentang matematika tercermin dari persepsi

mahasiswa bahwa matematika berisi rumus-rumus yang harus dihafal. Keyakinan terhadap

belajar matematika bahwa belajar matematika harus dilakukan dengan menghafal. Keyakinan

terhadap pembelajaran terkait dengan persepsi guru yang baik adalah pertama menjelaskan teori

dan memberikan contoh latihan sebelum ia meminta untuk memecahkan masalah matematika,

cara mengajar guru yang mudah dipahami. Hal ini sesuai dengan temuan (Underhill, 1988;

McLeod, 1992; Pehkonen, 1995; Kloosterman, 1996).

Kedua, keyakinan siswa tentang diri atau lebih dikenal dengan keyakinan motivasional,

yang didasarkan pada tiga konstruksi dasar motivasi yaitu harapan, nilai dan afektif. Hal yang

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

433

paling memuaskan bagi saya dalam pelajaran matematika adalah memahami konten, penting

bagi saya untuk mempelajari materi pelajaran di kelas matematika, saya yakin bisa memahami

materi yang paling sulit disajikan dalam pelajaran matematika, jika saya belajar sungguh-

sunguh maka saya akan mendapat nilai yang baik. Hal ini juga didukung hasil penelitian dari

McLeod (1992; PintrichdanSchrauben (1992); Pehkonen (1995); dan Kloosterman, (1996).

Ketiga, keyakinan siswa tentang konteks sosial pendidikan matematika mengacu pada

pandangan siswa dan persepsi norma-norma kelas, termasuk norma-norma sosial dannorma-

norma sosial-matematis, peran dan fungsi guru, peran dan fungsisiswadi kelas, peran dan fungsi

orang tua. Pandangan siswa tentang apa yang dianggap sebagai solusi yang berbeda atau sebagai

penjelasan yang dapat diterima dalam kelas mereka, guru yang sabar dan telaten dalam

menerangkan materi, orang tua yang peduli terhadap prestasi matematika siswa. Hal ini juga

ditegaskan oleh Underhill (1988); McLeod (1992); Cobb &Yackel (1998); dan Gunderson

(2012).

Pertanyaan kedua dan ketiga “apakah ada titik waktu anda tertarik (menarik diri) dari

matematika?”, diketahui bahwa semua siswa pernah mengalami tertarik dengan matematika

(70% terjadi pada tingkat SMP ke bawah) hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh

National Research Council,A.S (2001) bahwa siswa sebagian besar memulai sekolah dengan

antusias dan pergeseran orientasi motivasi muncul di sekitar kelas 3 (sekitar 8 tahun). Dan 91%

siswa pernah mengalami menarik diri dari matematika (70% terjadi pada tingkat sekolah

menengah atas). Hal ini paralel dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Steffens, Jelenec,

dan Noack (2010) yang mengungkapkan bahwa perilaku negatif terhadap matematika sering

terjadi pada siswa setelah kelas 10 (usia 15 tahun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

keyakinan siswa dan juga mahasiswa Polinema tentang matematika mengalami pergeseran dari

menyukai matematika menjadi tidak menyukai matematika atau sebaliknya.

SIMPULAN

Berdasarkan pengumpulan data dan pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa: (1)

beberapa faktor yang mempengaruhi keyakinan mahasiswa terhadap matematika yaitu sifat dari

matematika (Nature of mathematics), peran dan sifat guru, metode pembelajaran, konteks sosial,

dan konsep diri mahasiswa sebagai pembelajar matematika, (2) keyakinan

matematikamahasiswa terkaitt matematika dapat dikelompokkan menjadi keyakinan tentang

pendidikan matematika, keyakinan siswa tentang diri atau lebih dikenal dengan keyakinan

motivasional, dan keyakinan siswa tentang konteks sosial pendidikanmatematika, (3) keyakinan

matematika mahasiswa mengalami pergeseran dari menyukai matematika menjadi tidak

menyukai matematika atau sebaliknya.

DAFTAR RUJUKAN

Berry, Robert Quinlyn, III., 2003. Voices of african-american male students: A portrait of

successful middle school mathematics students. Disertasi Doctor of Philosophy: Culture,

Curriculum and Change (Mathematics Education). The University of NorthCarolina at

Chapel Hill

Cobb, P., 1986. Contexts, goals, beliefs, and learning mathematics. For the Learning of

Mathematics, volume 6, halaman 2-9.

Carter, C. S., & Yackel, E., 1989. A constructivist perspective on the relationship between

mathematicalbeliefs and emotional acts. Paper presented at the annual meeting of the

AERA, San Francisco.

Daskalogianni, K., & Simpson, A., 2001. Beliefs overhang: The transition from school to

university. Dalam Proceedings of the British Society for Research into the Learning of

Mathematics, Vol. 2, halaman 97-108.

Dewi, Mutia Lina, dkk, 2007.Belajar Kelompok Model STAD dan Jigsaw untuk Meningkatkan

Motivasi dan Keaktifan Mahasiswa dalam Belajar Matematika di Politeknik Negeri

Malang, Laporan Penelitian Fundamental Dikti,Malang.

Griese, B., Glasmachers, E., Härterich, J., Kallweit, M. dan Roesken, B., 2011. Engineering

Students and the learning of mathematics. Dalam Roesken, B. dan Casper, M. (Eds).

Proceedings of the MAVI-17 Conference. September 17-20, 2011, Ruhr-Universität

Bochum, Germany.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

434

Gunderson, E. A., Ramirez, G., Levine, S. C. dan Beilock,S. L., 2012.“The role of parents and

teachers in the development ofgender-related math attitudes,” Sex Roles, vol. 66,

halaman 153–166.

Kapetanas, E. & Zachariades, T., 2007, Students’ Beliefs and Attitudes about Studying and

Learning Mathematics. Dalam Woo, J. H., Lew, H. C., Park, K. S. & Seo, D. Y. (Eds.).

Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of

Mathematics Education, Vol. 3, halaman 97-104. Seoul: PME.

Kloosterman, P., Raymond, A. M., & Emenaker, C., 1996. Students' beliefs about mathematics:

A three-year study. The Elementary School Journal, volume 97(1), halaman 39-56.

Kloosterman, P., & Stage, F. K., 1992. Measuring beliefs about mathematical problem solving.

School Science and Mathematics, volume 92(3), halaman 109-115.

Leder, G. C. dan Forgasz, H.J., 2002. Measuring Mathematical Beliefs and Their Impact On

The Learning Of Mathematics: A New Approach. Dalam G. C. Leder, E. Pehkonen, &

G. Törner (Eds.), Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics Education?, Kluwer

Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Halaman95-113.

Leder, G. C., Pehkonen, E. & Törner, G., 2002. Beliefs: A Hidden Variable in Mathematics

Education?, Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands.

Liston, N., & O’Donoghue, J., 2008. The influence of affective variables on students’ transition

to university mathematics. Topic Study Group 30, ICME 2008.

http://tsg.icme11.org/tsg/show/31. Diakses tanggal 27 April 2014.

Mason, L., 2003. High school students' beliefs about maths, mathematical problem solving, and

their achievement in maths: A cross-sectional study. Educational Psychology, volume

23(1), halaman 73-85.

McLeod, D. B., 1992. Research on affect in mathematics education: A reconceptualization.

Dalam D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and

learning (halaman 575-596). Reston, VA: The National Council of Teachers of

Mathematics, Inc.

Muis, K. R., 2004. Personal epistemology and mathematics: A critical review and synthesis of

research. Review of Educational Research, 74(3), 317-377.

National Research Council, 2001. Adding It Up: Helping ChildrenLearn Mathematics,

Mathematics Learning Study Committee, Center for Education, Division of Behavioral

and Social Sciencesand Education, National Academy Press, Washington,DC, USA.

Op 'T Eynde, P.,De Corte, E., & Verschaffel, L., 2002. "Knowing what to believe": The

relevance of students' mathematical beliefs for mathematics education. Dalam B. K.

Hofer, & P. R. Pintrich (Eds.), (pp. 297-320). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum

Associates, Inc.

Pehkonen, E. (1995). Pupils’ view of mathematics: Initial report for an international comparison

project. University of Helsinki, Department of Teacher Education. Research report 152

Pintrich, P. R., & Schrauben, B., 1992. Students' motivational beliefs and their cognitive

engagement inacademic tasks. In D. Schunk, & J. Meece (Eds.), Students' perceptions

in the classroom: Causes andconsequences (pp. 149-183). Hillsdale, NJ: Lawrence

Erlbaum Associates.

Pintrich, P. R., Smith, D. A. F., Garcia, T., & McKeachie, W. J., 1993. Reliability and

predictive validityof the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ).

Educational and PsychologicalMeasurement, 53, 801-813.

Schoenfeld, A. H., 1989. Explorations of students' mathematical beliefs and behavior. Journal

for Research in Mathematics Education, volume 20, halaman 338-355.

Schoenfeld, A. H., 1988. When good teaching leads to bad results: The disasters of "well-

taught" mathematics courses. Educational Psychologist, volume 23(2), halaman 145-

166.

Schoenfeld, A. H., 1983. Beyond the purely cognitive: Belief systems, social cognitions, and

metcognitions as driving forces in intellectual performance. Cognitive Science, volume

7, halaman 329-363.

Steffens, M. C., Jelenec, P., dan Noack, P., 2010. “On the leakymath pipeline: comparing

implicit math-gender stereotypesand math withdrawal in female and male children

andadolescents,” Journal of Educational Psychology, vol. 102, no.4, halaman 947–963.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

435

Steiner, L. A., 2007. Disertasi: The Effect of Personal and Epistemological Beliefs on

Performance in a College Developmental Mathematics Class. Doctor of Philosophy.

Department of Foundations and Adult Education, College of Education. Kansas State

University. Manhattan, Kansas.

Taylor, M. W., 2009. Changing Students’ Minds About Mathematics: Examining Short-Term

Changes In The Beliefs Of Middle-School Students. Dalam Swars, S. L., Stinson, D.

W., & Lemons-Smith, S. (Eds.). Proceedings of the 31st annual meeting of the North

American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics

Education, Volume 5, halaman 105-112.Atlanta, GA: Georgia State University.

Underhill, R., 1988. Mathematics learners' beliefs: A review. Focus on Learning Problems in

Mathematics, 10, 55-69.

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEPTUAL DAN

PENGETAHUAN PROSEDURAL PADA MATERI ARITMATIKA

SOSIAL DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING

Moh. Subhan, Sri Mulyati dan Tjang Daniel Chandra

Universitas Negeri Malang

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran

dengan metode penemuan terbimbing yang dapat meningkatkan pemahaman konseptual

dan pengetahuan prosedural pada materi aritmatika sosial pada peserta didik di kelas VII

SMP Al Kautsar Srono. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis

penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas. Tahap tindakan dilakukan

dalam 2 siklus. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode

penemuan terbimbing dapat meningkatkan pemahaman konseptual dan pengetahuan

prosedural pada materi aritmatika sosial pada peserta didik di kelas VII SMP Al Kautsar

Srono. Pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural peserta didik meningkat yang

ditunjukkan dari tes siklus I dan II. Pada siklus I dan II, hasil observasi aktivitas peserta

didik masuk dalam kategori “baik” dan hasil observasi aktivitas guru masuk dalam kategori

“sangat baik”. Metode penemuan terbimbing menjadi alternatif untuk meningkatkan

pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural peserta didik pada materi aritmatika

sosial. Metode ini telah dipakai oleh banyak peniliti dan terbukti efektif dalam

pembelajaran matematika sekolah.

Kata kunci : pemahaman konseptual dan prosedural, penemuan terbimbing

Dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, matematika menjadi salah satu mata

pelajaran yang wajib bagi peserta didik mulai satuan pendidikan sekolah sampai perguruan

tinggi. Matematika sendiri secara garis besar dibagi menjadi 4 cabang yaitu; aritmatika, aljabar,

geometri, dan analisis (Bell, 1978:27). Disini peneliti akan fokus pada materi aritmatika sosial

pada kelas VII SMP karena di SMP Al Kautsar Srono kabupaten Banyuwangi di mana peneliti

sekaligus guru matematika, menemukan banyak peserta didik yang kesulitan pada materi

aritmatika sosial. Hal tersebut telah berlangsung beberapa tahun terakhir dengan dibuktikan nilai

ulangan harian, nilai ujian akhir semester, dan nilai ujian sekolah pada materi aritmatika, hanya

beberapa peserta didik saja yang mendapat nilai diatas KKM yang telah ditetapkan.

Observasi awal kami lakukan di SMP Al Kautsar Srono kabupaten Banyuwangi pada

tanggal 8 Desember 2013, diperoleh nilai tes awal pada materi aritmatika dari 32 peserta didik

diperoleh hasil sebagai berikut: 21 peserta didik berada di bawah KKM dan 11 peserta didik

berada di atas KKM. Dari hasil ulangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa hanya 34 %

peserta didik yang mampu menguasai materi aritmatika dengan benar, baik dari segi

pemahaman konsep dan pengetahuan prosedural. Ini menunjukkan bahwa nilai ulangan peserta

didik khususnya pada pokok bahasan aritmatika sosial masih belum mencapai ketuntasan.

Berdasarkan persentase tingkat pencapaian hasil belajar peserta didik dengan mengacu pada

teori belajar tuntas (mastery learning), Mukminan (2003:14) menyatakan bahwa peserta didik

harus menguasai sekurang-kurangnya 65 % dari kompetensi dasar yang ditetapkan.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

436

Pembelajaran matematika di SMP Al Kautsar Srono, guru biasanya menyajikan materi

terlebih dahulu kepada peserta didik, kemudian memberikan contoh soal, dan selanjutnya

memberikan soal-soal latihan kepada peserta didik. Peserta didik biasanya memperhatikan

penjelasan guru kemudian mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis. Dalam situasi

pembelajaran seperti ini, peserta didik cenderung pasif, menunggu guru menyampaikan materi,

dan kegiatan tanya jawab terjadi hanya jika guru melontarkan pertanyaan. Ditambah lagi dengan

tuntutan untuk lulus UN (Ujian Nasional) sehingga peserta didik lebih tertarik jika materi

tersebut langsung berkaitan dengan soal-soal UN seperti tips dan trik, cara-cara cepat, dan lain

sebagainya. Dengan kata lain, ketika guru menyesuaikan proses pembelajarannya dengan UN,

guru cenderung tidak melakukan proses belajar mengajar ideal sebagaimana tertulis dalam

kurikulum (Daud:2008).

Tinggi rendahnya kemampuan dan hasil belajar matematika peserta didik dalam suatu

proses pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya, karena banyaknya peserta

didik yang menganggap matematika sulit dipelajari. Seperti yang diungkapkan Morgan, Watson

dan Tikly (2004:49) yaitu: “Some common ideas about the nature of mathematics and learning

mathematics include: mathematics is the same now as it has always been; mathematics is dry

and abstract”.

Pengetahuan konseptual bisa dikatakan sebagai suatu pengetahuan yang mempunyai

keterkaitan atau hubungan antara fakta satu dengan fakta yang lain. Sebagaimana definisi

Hiebert dan Lefevre dalam Huda (2010) “knowledge that is rich in relationships. It can be thought of as a connected web of

knowledge, a network in which the linking realtionships are as prominent as the discrete

pieces of information. Relationships pervade the individual facts and propositions so that

all pieces of information are linked to some network.” (Hiebert dan Lefevre, 1986: 3-4)

Hal ini menunjukkan pentingnya peserta didik memahami pengetahuan

konseptual. Pengetahuan konseptual merupakan dasar yang penting untuk

mengembangkan ide-ide matematik untuk memahami prosedural yang dilakukan.

Hiebert dan Lefevre dalam Huda (2010) juga mendefinisikan pengetahuan

prosedural sebagai: “One kind of procedural knowledge is a familiarity with the individual symbols of the

system and with the syntactic convention for acceptable configurations of symbols. The

second kind of procedural knowledge consists of rules or procedures for solving

mathematical problems. Many of the procedures that studens possess probably are chains

of prescriptions for manipulating symbols.” (Hiebert dan Lefevre, 1986, 7-8)

Dari definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa pengetahuan prosedural

merupakan suatu pengetahuan yang banyak menggunakan simbol-simbol, dan juga

merupakan suatu pengetahuan yang melibatkan aturan-aturan dan langkah-langkah

penyelesaian masalah matematika.

Selain kesulitan belajar yang dihadapi oleh peserta didik itu sendiri, rendahnya

kemampuan pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural matematika, juga disebabkan

oleh metode pembelajaran yang masih berpusat pada guru. Seperti metode pembelajaran yang

digunakan kurang bervariasi dan cenderung monoton yang menyebabkan peserta didik pasif dan

tidak termotivasi. Sehingga peserta didik merasa jenuh dan bosan yang menyebabkan

pencapaian kemampuan dan hasil belajar tidak optimal. Oleh karena itu, guru dituntut untuk

menciptakan dan menerapkan suatu metode dalam pembelajaran matematika.

Pembelajaran matematika dengan metode penemuan merupakan satu komponen penting

dalam pandangan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi pendidikan

(Jafaruddin, 2005:13). Peserta didik secara aktif baik fisik (bekerja) maupun mental (berpikir)

dalam membentuk pengetahuannya sendiri. Menurut Hudojo (1998:6) Belajar menurut

pandangan konstruktivis adalah proses membangun atau mengkonstruk pengetahuan, bukan

sekedar memindahkan pengetahuan yang terkesan pasif dan statis, namun belajar itu harus aktif

dan dinamis.

Metode penemuan yang dipandu oleh guru pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu

dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda Socratic

(Cooney, Davis dalam Markaban, 2006:10). Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara

peserta didik dan guru di mana peserta didik mencari kesimpulan yang diinginkan melalui

lembar kerja yang diatur oleh guru. Salah satu buku yang pertama menggunakan teknik

penemuan terbimbing adalah tentang aritmetika oleh Warren Colburn yang pelajaran

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

437

pertamanya berjudul: Intellectual Arithmetic upon the Inductive Method of Instruction,

diterbitkan pada tahun 1821, yang isinya menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan

dalam mengembangkan konsep dan prinsip matematika. Ini menirukan metode Socratic di mana

Socrates dengan pertolongan pertanyaan yang ia tanyakan dimungkinkan peserta didik untuk

menjawab pertanyaan tersebut (Markaban, 2006:10)

Metode belajar penemuan yang dipilih dalam penelitian ini adalah penemuan

terbimbing. Pemilihan ini berdasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (1) penemuan murni

kurang cocok jika diterapkan disekolah dengan kurikulum yang telah diatur pemerintah, dan (2)

peserta didik memerlukan bimbingan guru untuk menemukan sesuatu sesuai dengan tujuan

pembelajaran di sekolah sesuai dengan kurikulum yang telah diatur pemerintah (Sobel dan

Maletsky 1975:6).

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penerapan metode penemuan

terbimbing memberikan dampak yang positif tentang pembelajaran matematika. Jafaruddin

(2005), mengatakan pembelajaran melalui penemuan terbimbing dapat membangun pemahaman

peserta didik pada materi fungsi invers, di samping itu juga dapat melatih peserta didik untuk

belajar secara aktif, mandiri, berpikir kritis dan kreatif, meningkatkan rasa percaya diri yaitu

peserta didik lebih berani mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan guru, kemudian

dikatakan respon peserta didik terhadap model pembelajaran penemuan terbimbing pada materi

invers sangat positif. Selanjutnya Pa’is (2010), mengatakan bahwa pembelajaran dengan metode

penemuan terbimbing berkelompok dapat meningkatkan penguasaan konsep volume bangun

ruang.

Juga ada beberapa penelitian lain yang menyatakan metode penemuan terbimbing

adalah salah satu metode yang cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika. Diantaranya

Karim (2011), “pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing lebih baik

daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan

berpikir kritis peserta didik pada sekolah level tinggi, sedang, dan rendah”., Aryani (2011),

“dengan metode penemuan terbimbing peserta didik lebih aktif dalam menerima materi yang

diberikan”., Nurcholis (2013), “implementasi metode penemuan terbimbing dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi penarikan kesimpulan logika matematika”.

Jumadi (2013), “Pembelajaran matematika dengan menggunakan metode penemuan terbimbing

dapat meningkatkan hasil belajar matematika peserta didik ”., dan Rahayu (2013),

“pembelajaran matematika menggunakan metode penemuan terbimbing melalui pendekatan

open ended lebih efektif daripada pembelajaran konvensional terhadapa kemampuan

pemahaman konsep matematika peserta didik ”.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom actionresearch) dengan

pendekatan kualitatif. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan,yaitu : perencanaan tindakan,

pelaksanaan tindakan, observasi/evaluasi, danrefleksi (Kemmis dan Mc. Taggart dalam

Arikunto 2010:93).

Kehadiran peneliti di lapangan mutlak diperlukan. Menurut Moleong (1996:21),

kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai perencana, pelaksana, pengumpul

data, penganalisis, penafsir data dan akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian. Sehubungan

dengan penelitian ini, maka kehadiran peneliti di lapangan adalah menyusun rencana kegiatan,

melakukan pengamatan, mewawancarai peserta didik, melaksanakan tes awal dan tes akhir pada

setiap akhir tindakan. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai guru dan dibantu teman

sejawat dengan kualifikasi pendidikan S1.

HASIL PENELITIAN

Peneliti melaksanakan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal

peserta didik pada materi aritmatika sosial dan untuk dijadikan alat dalam pembentukan

kelompok yang bersifat heterogen. Dari hasil analisis tes awal tersebut peneliti memeriksa

bahwa dari 32 orang peserta didik yang mengikuti tes tersebut, hanya terdapat 7 orang peserta

didik yang dapat menyelesaikan soal dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman

peserta didik mengenai materi yang diberikan masih rendah sehingga tidak mencapai ketuntasan

klasikal yang telah ditetapkan. Umumnya peserta didik masih sulit mengubah suatu kalimat ke

model matematika.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

438

Siklus I dan siklus II masing-masing dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan.

Pertemuan pertama dan kedua yaitu penerapan pembelajaran yang menggunakan metode

penemuan terbimbing sedangkan pertemuan ketiga yaitu pelaksanaan tes akhir tindakan.

Alokasi waktu untuk setiap pertemuannya adalah 2 x 40 menit.

Pelaksanaan tindakan pada siklus I dan siklus II dimulai dengan membuka kegiatan

awal pembelajaran. Peneliti mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pembelajaran.

Peneliti menyampaikan tujuan pembelajaran serta memberikan gambaran tentang proses

pembelajaran yang akan berlangsung. Kegiatan selanjutnya adalah peneliti menyampaikan

apersepsi dan melakukan tanya jawab untuk mengetahui pengetahuan peserta didik tentang

materi prasyarat.

Pada kegiatan inti pembelajaran, siklus I peneliti membahas materi tentang untung-rugi,

sedangkan pada siklus II peneliti membahas materi tentang diskon, bruto, tara, netto, dan Bunga

tunggal. Kegiatan selanjutnya, peneliti membentuk kelompok. Peneliti memberikan Lembar

Kerja (LK) kepada setiap kelompok dan memberikan penjelasan mengenai kegiatan yang akan

peserta didik lakukan di LK.Peneliti mengamati dan memberikan bimbingan/petunjuk terbatas

pada peserta didik yang berkaitan dengan langkah kerja dalam proses penemuan.

LK yang diberikan oleh peneliti memuat tahap-tahap dalam metode penemuan

terbimbing, yaitu stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification,

dan generalization. LK ini akan menuntun peserta didik kepada penemuan konsep materi

aritmatika sosial.

PEMBAHASAN

Peneliti melaksanakan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal

peserta didik pada materi penarikan kesimpulan logika matematika dan untuk dijadikan alat

dalam pembentukan kelompok yang bersifat heterogen. Hal ini sejalan dengan pendapat

Sutrisno (2012:212), yaitu pelaksanaan, tes sebelum perlakuan dilakukan untuk mengetahui

pemahaman awal peserta didik .

Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam mengelolah pembelajaran

dan aktivitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran pada siklus I, kegiatan pembelajaran

belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan metode pembelajaran yang digunakan agak

sedikit berbeda dengan biasanya. Kecenderungan belajar individu mengakibatkan kurangnya

komunikasi dan kerjasama dalam kelompok. Dalam pembelajaran yang telah dilaksanakan

dapat dilihat bahwa peserta didik yang berkemampuan rendah hanya bergantung pada teman

sekelompoknya yang berkemampuan lebih. Hal ini sejalan dengan pendapat Purnomo

(2011:46), yaitu pada model kooperatif, peserta didik kemampuan lebih dapat membantu

kemampuan di bawahnya pada saat proses interaksi dengan kelompoknya. Namun, peserta didik

berkemampuan rendah dalam proses penyelesaian masalah tidak berkembang karena hanya

bertumpu pada peserta didik berkemampuan lebih.

Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam mengelolah pembelajaran

dan aktivitas peserta didik dalam mengikuti pembelajaran pada siklus II, pembelajaran berjalan

lebih baik dari sebelumnya, baik dari peserta didik yang mengikuti pembelajaran maupun

peneliti dalam menjelaskan materi dan membimbing peserta didik . Proses pembelajaran di

kelas telah berpusat pada peserta didik . Walaupun masih ada peserta didik keliru dalam mengisi

tabel kebenarannya, namun bisa teratasi dengan bimbingan dari peneliti. Peneliti memberikan

bimbingan untuk mengarahkan peserta didik agar menemukan konsep yang dipelajarinya.

Bimbingan tidak hanya diberikan kepada individu/kelompok itu saja, tetapi seluruh peserta

didik di kelas. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutrisno (2012: 214-215), yaitu selama proses

pembelajaran, kelas dibentuk menjadi bebe-rapa kelompok diskusi untuk memudahkan

membimbing peserta didik, selama diskusi berlangsung peserta didik bertanya kepada peneliti

saat mengalami kesulitan. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh

peneliti. Peneliti meminta peserta didik untuk lebih cermat mendiskusikan hal yang ditanyakan,

jawaban harus ditemukan sendiri oleh peserta didik . Oleh karena itu, peneliti membimbing

peserta didik dengan petunjuk tambahan untuk membantu mengarahkan menemukan jawaban

pertanyaan atau konsep yang dipelajari, petunjuk tidak diberikan hanya kepada kelompok yang

bertanya saja, tetapi kepada semua peserta didik di kelas. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi

pengulangan pertanyaan oleh peserta didik /kelompok lain. Dengan demikian, proses

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

439

pembelajaran benar-benar terpusat pada peserta didik, peserta didik berusaha menggunakan dan

mencari ide untuk menemukan suatu konsep.

Dalam proses penemuan, peserta didik dibantu oleh LK yang diberikan dan bimbingan

oleh peneliti. Peserta didik yang berada satu kelompok saling berinteraksi dalam menyelesaikan

permasalahan yang terdapat pada LK. Jika peserta didik belum mengerti dalam menyelesaikan

masalah tersebut, peserta didik bisa berinteraksi dengan peneliti. Peneliti hanya mengarahkan

peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang diberikan dan peserta didik yang

mengkonstruksisendiri pengetahuannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Karim

(2011:30), yaitu dalam melakukan aktivitas penemuan, peserta didik berinteraksi dengan peserta

didik lainnya. Interaksi berupa sharing atau peserta didik yang berkemampuan lemah bertanya

kepada peserta didik yang pandai dan peserta didik yang pandai menjelaskannya. Interaksi juga

terjadi antara guru dengan peserta didik tertentu, dengan beberapa peserta didik atau serentak

dengan seluruh peserta didik dalam kelas. Lebih lanjut Karim (2011:29) mengatakan dalam

proses penemuan konsep, peserta didik mendapat bantuan dari guru, bantuan yang diberikan

menggunakan teknik scaffolding. Teknik scaffolding merupakan suatu teknik memberi bantuan

kepada peserta didik yang mengalami kesulitan di atas kemampuannya dalam memecahkan

masalah, antara lain berupa pengajuan pertanyaan dan pemberian petunjuk, pertanyaan yang

diberikan oleh guru berbentuk pertanyaan yang lebih sederhana dan lebih mengarahkan peserta

didik untuk dapat untuk mengonstruksi konsep. Bentuk pertanyaan tersebut merupakan lanjutan

dari per-tanyaan yang dituangkan dalam LK, bantuan yang diberikan bukan untuk individu

melainkan untuk kelompok yang mengalami kendala dalam melakukan proses penemuan

berdasarkan langkah-langkah penemuan dalam LK.Langkah-langkah penemuan yang disajikan

dalam LK yaitu stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification,

dan generalization.

Hasil tes akhir tindakan siklus I, diperoleh bahwa masih banyak peserta didik yang

belum mampu menyelesaikan soal berkaitan dengan persentase untung-rugi. Akan tetapi, hasil

tes akhir siklus I ini menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan hasil tes awal.

Hasil tes akhir siklus I ini belum mencapai kriteria keberhasilan tindakan yang telah ditetapkan.

Hasil tes akhir tindakan siklus II menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik dalam

menyelesaikan soal diskon, bruto, tara, netto, dan bunga tunggal lebih baik daripada persentase

untung-rugi pada siklus I. Padahal jika kita melihat dari tingkat kesulitannya, menghitung bunga

tunggal lebih sulit dari pada untung-rugi. Hal ini dikarenakan peserta didik sudah memahami

konsep persentase.

Setelah melaksanakan tes akhir, peneliti melakukan wawancara dari informan untuk

memperoleh informasi, baik dari metode yang digunakan oleh peneliti maupun hasil tes yang

diberikan. Peneliti melakukan wawancara untuk melengkapi hasil observasi. Hal ini sesuai

dengan pendapat Sukardi (2011:75), yaitu instrumen observasi akan lebih efektif jika informasi

yang hendak diambil berupa kondisi atau fakta alami, tingkah dan hasil kerja responden dalam

situasi alami. Instrumen observasi mempunyai keterbatasan dalam menggali informasi yang

berupa pendapat atau persepsi dari subjek yang diteliti. Lebih lanjut Sukardi (2011:79)

mengemukakan bahwa pada teknik wawancara ini peneliti berhadapan langsung dengan

responden atau subjek yang diteliti. Peneliti menanyakan sesuatu yang telah direncanakan

kepada responden. Hasilnya dicatat sebagai informasi penting dalam penelitian. Berdasarkan

hasil wawancara siklus I diperoleh informasi bahwa peserta didik bingung dengan persentase

untung-rugi dan belum memahami cara menentukan nilainya. Berdasarkan hasil wawancara

siklus II diperoleh informasi bahwa peserta didik sudah memahami konsep diskon, bruto, tara,

netto, dan bunga tunggal.

KESIMPULAN

Pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yang dapat meningkatkan

pemahaman konseptual dan pengetahuan prosedural peserta didik kelas VII SMP Al Kautsar

Srono, yaitu stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification, dan

generalization. Pada tahap Stimulationadalah kegiatan pendahuluan yang meliputi persiapan

pembelajaran dan apersepsi sebagai perangsang pengetahuan peserta didik,. Tahap problem

Statement dimana peserta didik diberi kesempatan mengidentifikasi permasalahan yang

diberikan dalam lembar kerja (LK). Pada tahap data Collectionpeserta didik diberi kesempatan

untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, kemudian mengamati petunjuk dalam

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

440

LK. Tahap data Processingpeserta didik mengerjakan dan mengolah semua informasi serta

petunjuk dalam LK. Tahap verification peserta didik mengecek kembali hasil kerja atau temuan-

temuan dalam LK. Tahap generalizationpeserta didikmembuat rangkuman atau kesimpulan

berdasarkan hasil temuan. Metode penemuan terbimbing kiranya dapat menjadi bahan

pertimbangan guru matematika khususnya sebagai alternatif dalam meningkatkan hasil belajar

peserta didik .

DAFTAR RUJUKAN

Ampadu, E. 2011. Aspiring Mathematicians: Students’ Views Regarding What it Takes to be

Successful in Mathematics,[email protected], Richmond Uneversity, UK

Arikunto, S., Suhardjono.& Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Aryani, Farida. 2011. Pengembangan Lks Untuk Metode Penemuan Terbimbing Pada

Pembelajaran Matematika Kelas VIII Di SMP Negeri 18 Palembang. (online).

(http://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/article/ download/578/170). Diakses 12

Januari 2014

Bell, Frederick, H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). United

States of America: Brown Company

Bilgin, Ibrahim. 2009. The effects of guided inquiry instruction incorporating a cooperative

learning approach on university students’ achievement of acid and bases concepts and

attitude toward guided inquiry instruction, (Online), 4(10)

(http://academicjournals.org/article/ article1380559513_Bilgin.pdf.) diakses 20 Maret

2014

Dahar, R.W.. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Dedikbud P2LPTK.

Daud, A. 2008. Sekali Lagi, Tentang Dampak Buruk Ujian Nasional, (Online),

(http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/03/26/sekali-lagi-tentang-dampak-buruk-

ujian/) diakses 21 Desember 2013

Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan (Action Research). Jakarta: Depdikbud

Depdikbud. 2013. Kurikulum 2013; Lampiran permendikbud No. 65 tentang standar proses.

Jakarta: Kemendikbud.

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Matematika SMP dan MTs. Jakarta:

Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi Matematika SMP

dan MTs. Jakarta: Depdiknas.

Djali & Muljono, P. 2008. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. PT. Gramedia: Jakarta

Dubinsky, Ed &McDonald, Michael A. APOS: A Constructivist Theory of Learningin

Undergraduate Mathematics Education Research, (Online),

(http://www.math.kent.edu/~edd/ICMIPaper.pdf). Diakses 10 Maret 2014

Even, R. & Tirosh, D. (2002). Teacher Knowledge and Understanding of Students’

Mathematical Learning. Dalam L. D. English (Ed.) Handbook of International

Research in Mathematics Education. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Ewo, M.E, Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model STAD Berbantuan Bahan

Manipulatif yang dapat Meningkatkan Pemahaman Konsep Penjumlahan dan

Pengurangan Pecahan pada Siswa SD Kelas IV.Tesis tidak diterbitkan. Malang:

Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Freudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education.China Lectures.Dordrecht: Kluwer

Academic Publishers.

Grouws, D.A.. 1992. Handbook af Research on Mathematics Teaching and Learning New

York: Macmillan Publishing Co.

Hiebert, J. & Carpenter, Th. P. (1992). Learning and teaching with understanding. In: D. W.

Grouws (Ed.), Handbook of research in teaching and learning of mathematics (pp. 65-

97). New York: Macmilan.

Hiebert, J. & Lafevre, P. 1986. Conceptual and Procedural Knowledge: The Case of

Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associatrs, LEA.

Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah

disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

441

Matematika dala Era Globalisasi”. Program Pasca Sarjana IKIP Malang. Malang: 4

April.

Jafaruddin.2005. Membangun Pemahaman Siswa melalui Model Pembelajaran Penemuan

Terbimbing pada Materi Fungsi Invers di Kelas II SMA Negeri Baktiya.Tesis tidak

diterbitkan. Malang: PPS UM

Jumadi. Penerapan pembelajaran penemuan terbimbing untuk meningkatkan hasil belajar

matematika bagi siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Malang. (Online).

http://library.um.ac.id/ptk/index.php?mod=detail&id=59895 diakses 20 Oktober 2014

Karim, A. 2011.Penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran Matematika

untuk meningkatkan pemahaman konsep dan Kemampuan berpikir kritis siswa sekolah

dasar, (online), (http://jurnal.upi.edu/file/3-Asrul_Karim.pdf.) diakses 12 Januari 2014

Kilpatrick, Jeremy, Swafford, Jane, & Findell, Bradford. 2001. Adding It Up: Helping Children

Learn Mathematics. Washington, DC: National Academy Press

Kinach, M., B. (2002). Understanding and Learning to Explain by Representing Mathematics:

Epistemological Dilemmas Facing Teacher Educators in the Secondary Mathematics

“Method” Course. Journal of MathematicsTeacher Education, 5, 153-186.

Miles, M.B. & Huberman, A.M..1992. Analisis Data Kualitatif.Terjemahan oleh Tjetjep

Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong L. J.. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda.

Morgan, Watson, & Tikly. 2004. Teaching School Subjects 11-19: Mathematics. New York

Mukminan. 2003. Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Depdiknas.

Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing.

Yogyakarta: PPG Depdiknas

Noralhuda, Nik & Hasnida, Nor. 2010.Conceptual and Procedural Knowledge in Mathematics

[email protected], Universiti Kebangsaan Malaysia

Nurcholis. 2013. Implementasi Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil

Belajar Siswa Pada Penarikan Kesimpulan Logika Matematika. (online).

(http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/JEPMT/ article/download/1707/1124). Di

akses 12 Januari 2014

Nurdin, L. 2004. Analisis Pemahaman Siswa Tentang Barisan Berdasarkan Teori Apos(Action,

Processe, Object, And Shceme). Tesis tidak diterbitkan: PPS UM

Pa’is. 2010. Peningkatan Penguasaan Konsep Volume Bangun Ruang dengan Metode

Penemuan Terbimbing Berkelompok di MTs Darussa’adah Gubugklakah Kec.

Poncokusumo Kab. Malang. Tesis tidak diterbitkan: PPS UM

Perkins, David & Simmon, R. 1998. Teaching for Understanding, (Online),

(http://www.exploratorium.edu/ifi/resources/workshops/teachingforunderstanding.html)

Diakses 15 Maret 2014

Perkins, D. N. & Simmons, R. (1988). Patterns of Misunderstanding: An Integrative Model for

Science, Math, and Programming. Review of Educational Research, Vol. 58, No. 3

(Autumn, 1988), 303-326.

Purnomo, Y. W. 2011. Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan Cooperative Learning

Pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Pendidikan. [online], volume 41, nomor 1.

Tersedia: http://journal.uny.ac.id/index.php/jk/article/download/503/366 [3Nopember

2014].

Rahayu, Y. 2013. Efektivitas Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing Melalui Pendekatan

Open-Ended Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Dan Penalaran Matematika

Siswa Kelas Viii Mts Ma’arif Kaliwiro. (Online). (http://digilib.uin-suka.ac.id/7713/)

diakses 20 Oktober 2014

Sobel, M.A. & Maletsky, E.M.. 1975. Teching Mathematics: A. Sourcebook of Aids, Activities,

and Strategies. New Jersey: Prentice-Hall.

Sukardi. E. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.Jakarta: Bumi

Aksara

Sutawidjaja, A.. 1997. Pembelajaran Matematika di SD Jurnal Matematika, IPA dan

Pembelajarannya 26 (2): 175-187

Sutrisno.2012. Efektivitas Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap

Pemahaman Konsep Matematis Siswa.Jurnal Pendidikan Matematika. [online]. Volume

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

442

1, No. 4. Tersedia: http://fkip.unila.ac.id/ojs/data/journals/11/JPMUVol1No4/

016Sutrisno.pdf [4 Oktober 2014].

Wu, H. 1999. Basic Skills Versus Conceptual Understanding; A bogus dichotomy In

mathematics education, (Online), (http://math.berkeley.edu/~wu/wu1999.pdf) diakses

12 Maret 2014

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR

SHARE BERBANTUAN MEDIA MANIPULATIF UNTUK

MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATERI SEGIEMPAT

Afianti, Toto Nusantara, dan Edi Bambang Irawan

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif Think Pair Share

(TPS) berbantuan media manipulatif pada materi segiempat. Model tersebut sesuai untuk

mengatasi permasalahan pembelajaran yang terjadi di SMP Ma’arif Kota Batu. Penelitian

ini digunakan untuk mengatasi kekurangan TPS dengan menggunakan media manipulatif

Hasil penelitian ini adalah penggunaan metode TPS berbantuan media manipulatif dapat

meningkatkan pemahaman siswa. Hal ini terjadi karena adanya pemberian waktu berpikir

(think) untuk siswa, bekerjasama dengan pasangan, dan berbagi dengan pasangan yang lain.

Peningkatan pemahaman dapat dilihat dari rata-rata nilai tes siswa pada siklus 1 ke siklus 2

yaitu dari 61,88 menjadi 73,56.

Kata Kunci: Kooperatif, Think Pair Share, Manipulatif

Pembelajaran matematika di SMP Ma’arif masih kurang menyentuh kepada substansi

komunikasi matematika siswa. Siswa lebih cenderung menghafalkan konsep-konsep

matematika sehingga siswa mudah lupa terhadap konsep materi yang diberikan. Bahkan

kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah atau ide matematika sangat kurang karena

siswa selalu bermalas-malasan saja, tidak mau mencari sendiri ide-idenya, hanya guru saja yang

selalu berperan aktif dalam proses belajar-mengajar.

Selama ini pembelajaran di SMP Ma’arif Batu masih bersifat konvensional. Tampaknya

pembelajaran dengan model konvensional belum dapat melayani kebutuhan belajar siswa secara

maksimal. Secara umum dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terdapat dalam

pembelajaran di SMP Ma’arif Batu masih didominasi oleh kelompok siswa yang pandai, siswa

cenderung mudah lupa terhadap materi yang diberikan, siswa pasif dalam pembelajaran, kurang

memperhatikan proses belajar dan kurang adanya komunikasi antar siswa. Oleh karena itu

diperlukan model pembelajaran yang dapat mengatasi permasalahan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di SMP Ma’arif maka model

pembelajaran kooperatif merupakan model yang sesuai untuk diterapkan. Pembelajaran

kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk bekerja

dalam kelompok-kelompok kecil (Tarim dan Akdeniz, 2008). Pembelajaran kooperatif terdiri

dari beberapa metode seperti Teams-Games-Tournament (TGT), Jigsaw, Cooperative

Integrated Reading and Composition (CIRC), Learning Together (LT), Student Teams-

Achievement Divisions (STAD), Team Assisted Individualization (TAI), Academic Controversy

(AC), Group Investigation (GI), Think pair Share dan lain-lain.

Dalam upaya mengoptimalkan proses pembelajaran di SMP Ma’arif maka model

pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share (TPS) merupakan model yang sesuai untuk

diterapkan. Model pembelajaran kooperatif TPS dapat membawa siswa lebih aktif dan dapat

membuat suasana kelas yang menyenangkan (Ledlow, 2001). Selain itu TPS juga memberi

kesempatan kepada setiap individu untuk berpikir, mengemukakan pendapatnya, berkomunikasi

dengan temannya, dan berbagi dengan teman sekelasnya sehingga dengan TPS ini diharapkan

siswa lebih paham terhadap konsep segiempat. Hal tersebut dapat diperhatikan dari tahapan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

443

pembelajaran yang ditawarkan oleh TPS, yakni Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share

(berbagi).

Menurut Gersten dan Clarke (2007) pemberian waktu berpikir (Think) untuk siswa

sangat penting karena dapat membantu siswa mengungkapkan pemikirannya. Pada tahap diskusi

(Pair dan Share) siswa dilatih untuk menggunakan bahasa dalam mengembangkan kemampuan

terhadap pemahaman matematika (Wagner dan Eisenmann, 2008). Selain itu menurut

Fernandez dan Erbilgin (2009) diskusi juga dapat meningkatkan komunikasi dan melatih siswa

untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan berdiskusi maka akan terjadi interaksi yang baik

diantara siswa tersebut (Gresalfi dkk, 2009) dan dengan diskusi maka dapat menambah

kontribusi dalam pembelajaran matematika serta dapat membangun pemahaman konsep (Weber

dkk, 2008).

Beberapa penelitian tentang TPS sudah pernah dilaksanakan dan menunjukkan hasil

yang positif. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa model pembelajaran TPS ini sangat

efektif, diantaranya Lutfiyah (2009: 103) menyatakan bahwa pada saat berpasangan siswa yang

berkemampuan rendah mendapat bantuan dari siswa yang berkemampuan tinggi untuk dapat

mengkonstruksi pengetahuan ke dalam pikirannya. Begitu pula penelitian oleh Pramesti (2010)

yang menyatakan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran TPS menunjukkan bahwa

prestasi belajar siswa akan meningkat. Wahyudi (2010) juga menyatakan bahwa penerapan

metode TPS dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa.

Think Pair Share menjadi salah satu alternatif model Cooperative Learning sebab

mempunyai proses struktur untuk berbagi informasi secara efisien. Ini dapat digunakan sebagai

alat untuk memperbaiki proses pembelajaran. Menurut Radhakrishna dan Ewing (2012), proses

ini dapat digunakan sebagai petunjuk pada situasi pembelajaran yang lain yang dapat

membangun dasar pengetahuan dan pemahaman. Selain itu, Think Pair Share ini merupakan

cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.

Dalam hal ini diasumsikan bahwa diskusi memerlukan pengaturan untuk

mengendalikan kelas secara keseluruhan sehingga siswa lebih leluasa untuk berfikir, merespon

dan saling membantu. Guru hanya melengkapi dan memberikan penguatan. Pada pembelajaran

TPS siswa harus belajar tidak hanya menemukan jawaban tetapi juga bagaimana

mengkomunikasikan proses jawaban mereka secara jelas dan lengkap sehingga guru harus

mendorong siswa agar dapat mendeskripsikan/ menggambarkan apa yang telah dipikirkan.

Adapun tujuan penerapan TPS dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan respon siswa

b. Mengajak siswa terlibat langsung secara aktif dalam memikirkan konsep-konsep yang

disajikan dalam pembelajaran

c. Mengantarkan siswa agar dapat menyerap informasi-informasi penting pada saat

pembelajaran, sebab siswa mempunyai waktu berpikir, dan berbagi.

d. Untuk dapat memahami ide-ide baru sesuai dengan pengetahuan mereka. Jika terdapat

kesalahpahaman mereka tentang topik yang dibicarakan dapat diselesaikan selama tahap

diskusi ini.

e. Untuk menumbuhkan kesediaan siswa dalam berpartisipasi dan berkomunikasi.

Dengan model pembelajaran TPS ini diharapkan siswa akan lebih paham terhadap

segiempat dan lebih tertarik untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Apalagi

dalam pembelajaran tersebut juga akan digunakan bantuan media manipulatif sebagai alat

peraga untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran TPS. Salah satu kelemahan TPS adalah

didominasi oleh siswa yang pandai. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka dengan

bantuan media manipulatif diharapkan dapat membantu berpikir siswa yang berkemampuan

sedang maupun rendah, sehingga siswa tersebut akan mudah menyelesaikan permasalahan yang

diberikan dan dapat mengomunikasikannya dengan baik.

Menurut Kosko dan Wilkins, penggunaan media manipulatif merupakan salah satu cara

untuk meningkatkan pemahaman siswa. Selain itu manipulatif dapat meningkatkan prestasi

belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, serta menumbuhkan citra metematika sebagai

mata pelajaran yang menyenangkan (Suharjana, 2009). Menurut Abraham (2009), penggunaan

media pembelajaran juga dapat membantu membangun rumus-rumus pada pemikiran siswa

sehingga pemahaman siswa meningkat. Oleh karena itu, dengan bantuan media manipulatif

yang berupa potongan-potongan bangun datar diharapkan dapat membantu meningkatkan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

444

pemahaman siswa pada materi segiempat sehingga pada akhirnya hasil belajar siswa menjadi

meningkat.

Pemahaman merupakan bagian dasar untuk membangun pengetahuan (Hidayah, 2013).

Salah satu faktor penentu pemahaman konsep yang diserap siswa adalah metode pembelajaran.

Pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai metode. Menurut Mulyasa (2007:107)

penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran.

Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu siswa dalam mencapai tujuan

pembelajaran.

Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah menerapkan pembelajaran Kooperatif

TPS sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam materi segiempat, kerjasama

kelompok sebagai kunci keberhasilan dalam memahami materi segiempat (kerjasama terjadi

pada tahap Pair dan Share), serta kemampuan berkomunikasi dan menyampaikan pendapat

dalam diskusi.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Penelitian ini merupakan kegiatan Lesson study yang dilaksanakan di SMP Ma’arif Kota Batu.

Lesson study (LS) adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian

pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip – prinsip kolegalitas

dan mutual learning untuk membangun learning community (Sunawan, 2008). Dalam

pelaksanaannya Lesson study memuat tiga kegiatan utama yaitu Plan (merencanakan), Do

(melaksanakan), See (refleksi) (Ibrohim, 2009).

Penelitian ini terdiri dari dua siklus dan masing-masing siklus menggunakan metode

TPS dalam pembelajarannya. Hal ini dikarenakan menurut peneliti metode tersebut sesuai

untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi di SMP Ma’arif, khususnya pada pembelajaran

matematika untuk materi segiempat. Penggunaan metode tersebut akan dikombinasikan dengan

media manipulatif untuk mengurangi kelemahan-kelemahan metode.

Menurut Kaddoura (2013), pembelajaran TPS merupakan variasi model Cooperative

Learning yang diperkenalkan pertama kali oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas

Maryland pada tahun 1981. Pada pembelajaran ini memberikan kesempatan siswa saling

berinteraksi dan kemudian berpasangan untuk berbagi informasi. Dengan kata lain,

pembelajaran ini melibatkan tiga tahapan pada struktur kooperatif. Pada tahap pertama (Think),

secara individu berpikir tentang masalah yang telah diajukan oleh guru. Pada tahap kedua

(Pair), para individu berpasangan dan saling mentransfer pengetahuan. Pada tahap ketiga

(Share), secara berpasangan berbagi jawaban dengan pasangan lain, kelompok lain, atau semua

kelompok.

Subjek pada kegiatan Lesson study adalah siswa kelas VII A SMP Ma’arif Batu tahun

pelajaran 2013/2014. Banyak siswa kelas VII A adalah 36 siswa, terdiri dari 23 laki-laki dan 13

perempuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan lesson study dengan menggunakan metode TPS berbantuan media

manipulatif ini terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tiga tahap penting yaitu

plan, do, dan see. Untuk siklus pertama dilaksanakan plan pada tanggal 19 Maret 2014, do dan

see dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2014. Untuk siklus kedua, plan dilaksanakan pada

tanggal 27 Maret 2014, do dan see dilaksanakan pada tanggal 3 April 2014.

Pelaksanaan perencanaan (plan) lesson study telah menghasilkan beberapa hal, antara

lain:

1. Tersusunnya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang sesuai dengan kegiatan

pembelajaran.

2. Tersusunnya lembar kerja siswa dan soal-soal tes untuk mengukur keberhasilan

pembelajaran.

3. Terbentuknya media manipulatif yang akan digunakan dalam pembelajaran.

Pada tahap do, pembelajaran terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan

kegiatan penutup. Kegiatan pendahuluan diawali dengan berdoa bersama, kemudian dilanjutkan

dengan penyampaian tujuan pembelajaran, pemberian motivasi dan menguji materi prasyarat

dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan serta penginformasian tentang kegiatan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

445

pembelajaran. Setelah itu, dilanjutkan dengan kegiatan inti yang melibatkan siswa dalam

pengerjaan LKS Kegiatan 1 dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif TPS, dan

diakhiri dengan kegiatan penutup yang berisi tentang penguatan materi dan penyimpulan serta

pemberian tes untuk mengetahui pemahaman siswa.

Pada pembelajaran ini seluruh siswa terlihat siap untuk belajar. Kondisi kelas juga

cukup kondusif untuk memulai pelajaran. Kemudian pada saat guru menyampaikan kegiatan

apersepsi/ pemberian motivasi terlihat beberapa siswa yang merespon aktif. Pada saat guru

menguji materi prasyarat dengan memberikan pertanyaan ada beberapa siswa yang dapat

menjawab pertanyaan tersebut. Siswa terlihat antusias mengikuti pembelajaran dan

memperhatikan guru ketika menginformasikan alur pembelajaran yang akan dilaksanakan

bersama.

Pada saat LKS dibagikan siswa langsung membuka-buka dan membaca LKS tersebut

walaupun tidak ada perintah dari guru. Ini adalah bukti bahwa siswa sangat antusias untuk

mempelajari materi segiempat. Siswa diberi waktu 10 menit untuk membaca, mempelajari,

mencoba memahami dan memikirkan soal-soal yang ada pada LKS secara individu. Setelah itu,

siswa diberi kesempatan untuk mengerjakan LKS secara berpasangan, agar hasilnya lebih

akurat. Pada saat berpasangan terjadi interaksi antar siswa dengan siswa untuk mendiskusikan

permasalahan yang ada pada LKS. Namun ada beberapa siswa yang terlihat bingung

memahami perintah di LKS. Kemudian guru mendatangi siswa tersebut dan memberikan

penjelasan sehingga siswa dapat memahami apa yang harus dilakukan. Selain itu guru juga

memberikan penjelasan secara klasikal untuk menghindari agar siswa lain yang mengalami

kebingungan yang sama.Selanjutnya, guru berkeliling untuk memberikan bantuan kepada siswa

lain yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS. Pada kegiatan ini terlihat adanya

interaksi antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru.

Dari hasil pekerjaan siswa pada LKS dapat diketahui bahwa ternyata materi prasyarat

untuk segiempat masih belum benar-benar dikuasai oleh siswa. Hal ini dapat ditunjukkan

dengan adanya kesalahan siswa dalam membedakan kesejajaran garis. Kesalahan ini juga

merupakan salah satu bahan yang didiskusikan oleh kelompok.

Setelah siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan menyelesaikan permasalahan yang

ada di LKS maka guru meminta setiap kelompok untuk menuliskan kesepakatan hasil diskusi

pada kertas karton yang disediakan oleh guru. Selanjutnya setiap kelompok menempelkan

kertas tersebut pada tempat yang disediakan. Kemudian guru meminta salah satu perwakilan

kelompok untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya. Pada saat presentasi, muncul beberapa

pertanyaan dari kelompok lain sehingga terjadi interaksi lagi di antara siswa. Kelompok

pemresentasi mendapat masukan-masukan dari kelompok lain.

Setelah presentasi maka guru memberikan penguatan materi dan membuat kesimpulan

bersama siswa. Setelah itu guru memberikan soal tes kepada siswa yang harus dikerjakan secara

individu untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Soal tes terdiri

dari tiga soal uraian, yang harus dikerjakan dalam waktu 15 menit. Rata-rata nilai tes yang

diperoleh pada pembelajaran ini adalah 61,88. Kemudian guru memberikan tugas rumah dan

arahan kepada siswa untuk mempelajari materi selanjutnya

Tahap selanjutnya adalah refleksi atau evaluasi pembelajaran pada siklus kesatu yang

dilakukan langsung setelah tahap do selesai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh

observer, tahap do yang telah dilaksanakan pada siklus kesatu masih memiliki beberapa

kekurangan, antara lain:

a. Manajemen waktu yang dilaksanakan oleh guru model masih kurang tertata dengan baik,

sehingga tidak semua kegiatan yang direncanakan dalam tahap plan dapat terlaksana.

b. Apersepsi dan motivasi masih kurang eksplisit.

c. Interaksi antarsiswa masih belum maksimal, karena ada beberapa siswa yang acuh terhadap

pendapat temannya dan sibuk dengan urusannya sendiri.

d. Kerjasama antarpasangan masih belum terlihat maksimal, tidak semuanya serius dalam

berdiskusi dengan pasangan.

e. Ada beberapa siswa yang masih belum paham tentang materi prasyarat, sehingga perlu

penekanan tentang materi prasyarat.

Berdasarkan hasil tersebut, maka dilakukan pembenahan dan perencanaan pembelajaran

yang lebih baik untuk pertemuan pada siklus kedua dengan memperbaiki kekurangan-

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

446

kekurangan yang telah ditemukan sehingga pelaksanaan pembelajaran pada siklus kedua dapat

berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.

Alur pembelajaran pada siklus kedua tidak jauh berbeda dengan pembelajaran pada

siklus pertama. Setelah kegiatan pendahuluan selesai, guru segera membagikan LKS kepada

semua siswa dan memberitahukan bahwa pada pertemuan tersebut permasalahan yang harus

diselesaikan adalah LKS Kegiatan 2. Sesudah mendapatkan LKS maka semua siswa segera

membaca, memahami dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara

individu. Pada saat siswa mengerjakan permasalahan pada LKS tersebut maka guru berkeliling

untuk membantu siswa yang mendapatkan kesulitan dalam memahami permasalahan yang ada

pada LKS. Semua siswa berusaha untuk menyelesaikan permasalahan pada LKS yang telah

diberikan dengan sungguh-sungguh.

Waktu yang disediakan untuk menyelesaikan permasalahan pada LKS Kegiatan 2

secara individu telah berakhir, guru segera memberitahukannya kepada para siswa. Kegiatan

selanjutnya adalah siswa bersama pasangannya diharapkan dapat berdiskusi untuk mendapatkan

kesepakatan penyelesaian. Pada kegiatan ini guru tetap memberikan waktu bagi siswa untuk

bertanya jika mengalami kesulitan. Tidak jauh berbeda dengan pembelajaran pada siklus

pertama, pada pertemuan ini juga ada siswa yang bertanya tentang kebingungannya dalam

mengerjakan LKS dan ada beberapa siswa yang asyik berdiskusi dengan pasangannya. Sesekali

mereka membuka buku paket untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Suasana

kelaspun tampak aktif karena siswa berdiskusi.

Pada pertemuan ini terlihat bahwa sudah lebih banyak lagi siswa yang terarah dalam

menyelesaikan permasalahan LKS. Tahap berdiskusi dengan pasangan telah terlaksana. Guru

meminta setiap kelompok untuk menuliskan kesepakatan hasil diskusi pada kertas karton yang

disediakan oleh guru. Selanjutnya setiap kelompok menempelkan kertas tersebut pada tempat

yang disediakan untuk dipresentasikan.Tahapan ini akan dilanjutkan pada tahap presentasi. Kali

ini guru tidak menunjuk pasangan yang harus presentasi, namun guru mencoba membuat

undian. Undian dibuat dari kertas yang diberi nomor dan digulung. Setelah itu dengan mata

tertutup ketua kelas mengambil satu gulungan yang akan mewakili presentasi. Pada saat

presentasi, muncul beberapa pertanyaan dari kelompok lain sehingga terjadi interaksi lagi di

antara siswa. Kelompok pemresentasi mendapat masukan-masukan dan pertanyaan-pertanyaan

dari kelompok lain. Diskusi siswa terlihat lebih aktif dibandingkan dengan pertemuan

sebelumnya karena beberapa siswa mulai berani bertanya. Bagi siswa yang bertanya diberikan

poin tambahan sehingga hal ini bisa memicu timbulnya diskusi yang lebih aktif.

Tahap presentasi telah berakhir, kegiatan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan

tentang materi pembelajaran oleh guru dan siswa dan memberikan penguatan. Setelah

menyimpulkan dan memberi penguatan, siswa diberikan soal tes untuk menguji seberapa paham

siswa terhadap materi yang telah dipelajari. Tes terdiri dari 3 soal uraian dengan tingkat

kesulitan berbeda yang harus dikerjakan dalam waktu 15 menit. Adapun rata-rata hasil dari tes

pada pertemuan ini adalah 73,56.

Tahap refleksi atau evaluasi pembelajaran pada siklus kedua dilakukan langsung setelah

tahap do selesai. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh observer, tahap do yang telah

dilaksanakan pada pembelajaran pada siklus kedua masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu

masih ada beberapa siswa yang kurang aktif dalam kelompoknya, namun sudah terjadi

peningkatan keaktifan kelompok dibandingkan pembelajaran pada siklus kesatu. Agar terjadi

kerjasama yang maksimal harus diperhatikan pembentukan kelompok yang heterogen karena

akan mempengaruhi keaktifan dalam diskusi.

Peningkatan pemahaman terjadi dari siklus satu ke siklus dua. Hal ini ditunjukkan

dengan adanya peningkatan rata-rata nilai tes akhir siklus yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel. Data Hasil Evaluasi Siklus 1 dan Siklus 2

No Keterangan Siklus 1 Siklus 2

1 Rata-rata Nilai 61,88 73,56

2 Jumlah Siswa Tuntas 15 21

3 Persentase Ketuntasan Siswa 44% 62%

Berikut ini beberapa hal yang ditemukan dalam pembelajaran dengan

menggunakan metode Think Pair Share, diantaranya:

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

447

Metode Think Pair Share dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi segiempat.

Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan rata-rata nilai tes siswa dari siklus satu ke siklus

dua yaitu 61,88 menjadi 73,56.

Siswa dapat menyerap informasi-informasi penting pada saat pembelajaran, sebab siswa

mempunyai waktu berpikir (think) untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan.

Siswa dapat memahami ide-ide baru sesuai dengan pengetahuan mereka. Jika terdapat

kesalahpahaman mereka tentang topik yang dibicarakan dapat diselesaikan selama tahap

share.

Dapat menumbuhkan kesediaan siswa dalam berpartisipasi dan berkomunikasi.

Pembagian kelompok yang heterogen (pemerataan kemampuan siswa) mempengaruhi

keaktifan diskusi.

Pada tahap pair dan share dapat menunjang usaha-usaha pengembangan sikap sosial para

siswa.

Lesson study ini akan bermuara pada analisa atau pembahasan dari sejumlah refleksi

yang muncul. Dari refleksi-refleksi ini akan digunakan untuk melakukan perubahan

pembelajaran ke arah yang lebih baik, efektif, efisien, dan menimbulkan daya tarik dan motivasi

siswa.

KESIMPULAN

Berdasarkan realita dan analisa hasil lessson study yang telah dilaksanakan di SMP

Ma’arif Kota Batu, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil refleksi para observer pada pembelajaran pada siklus kesatu menunjukkan masih

adanya masalah yang ditemukan ketika seorang guru model mengajarkan segiempat dengan

menggunakan metode TPS. Masalah-masalah tersebut dapat teratasi dalam pembelajaran

pada siklus kedua sehingga pada pembelajaran selanjutnya lebih efektif dan efisien.

2. Hasil refleksi para observer sangatlah berarti dalam memberikan solusi alternatif pada

sejumlah permasalahan itu. Pada setiap praktik pembelajaran terdapat sejumlah

permasalahan yang tidak disadari oleh guru dan berdampak pada tidak efektifnya sebuah

pembelajaran. Tanpa diamati oleh observer sejumlah permasalahan pembelajaran itu tidak

pernah diketahui dan terus terjadi dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

3. Refleksi yang dikemukakan oleh para observer sangat bermanfaat yang mampu mengatasi

hambatan dan sekaligus menghindari hal-hal yang tidak mengefektifkan sebuah proses

pembelajaran.

4. Profesionalitas seorang guru akan lebih bisa terbangun lewat lesson study ini, sebab tidak

hanya sekedar kajian teoritis dengan berpijak pada setumpuk buku, namun langsung

berhadapan dengan realita permasalahan di kelasnya.

5. Penggunaan metode TPS dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar dan

meningkatkan kemampuan berfikir mandiri siswa (ini terjadi karena adanya pemberian

waktu berpikir untuk siswa), bekerja sama dengan pasangan dan berbagi dengan pasangan

yang lain.

6. Penggunaan metode TPS dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan pemahaman

siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Abraham, Dor. 2009. Embodied Design: Constructing Means for Constructing Meaning.

Education Study Mathematic, 70:27–47

Fernandez, Maria Lorelei dan Evrim Erbilgin. 2009. Examining the Supervision of

Mathematics Student Teachers Trough Analysis of Conference Communications. .

Education Study Mathematic , 72:93–110

Gersten, Russel dan Benjamin S. Clarke. 2007. Effective Strategies for Teaching Students with

Difficulties Mathematics (National Council of Teacher of Mathematics). Instruction

Research Brief, : 1-2

Gresalfi, Melissa, Taylor Martin, Victoria Hand danJames Greeno. 2009. Constructing

Competence: an Analysis of Student Participation in the Activity Systems of

Mathematics Classrooms. Education Study Mathematic , 70:49–70

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

448

Hidayah, Nurul Malikah. 2013. Pembelajaran Think Pair Share untuk Memahamkan Konsep

Garis Singgung Persekutuan Dua Lingkaran. Tesis tidak diterbitkan. Malang:

Universitas Negeri Malang

Ibrohim. 2009. Panduan Pelaksanaan Lesson study di KKG. Malang: UM Press

Kaddoura, Mahmoud. 2013. Think Pair Share: A Teaching Learning Strategy to Enhance

Students' Critical Thinking. Educational Research Quarterly, 36(4): 3-24

Kosko, Karl W dan Jesse L. M. Wilkins. Mathematical Communication and Its Relation to the

Frequency of Manipulative Use. International Electronic Journal of Mathematics

Education, 2(5): 79-90

Ledlow, Susan. 2001. Using Think-Pair-Share in the College Classroom. Center for Learning

and Teaching Excellence, 1-2

Lutfiyah. 2009. Proses Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Pengetahuan Himpunan melalui

Aktivitas Think Pair Share. Tesis Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri

Malang.

Mulyasa. 2007. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan

Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Pramesti, Cicik. 2010. Peningkatan Prestasi Belajar Mahasiswa Melalui Pembelajara Think

Pair Share pada Materi Ruang Vektor. Tesis Tidak diterbitkan. Malang: Universitas

Negeri Malang

Radhakrishna, Rama dan John Ewing. 2012. TPS (Think, Pair and Share) as an Active Learning

Strategy. NACTA Journal, 56(3): 84-85

Suharjana. 2009. Pemanfaatan Alat Peraga Sebagai Media Pembelajaran Matematika. Sleman:

Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Matematika

Sunawan, Ade dan Ai Rosilah. 2008. Lesson study Disajikan pada Training Of Trainers (TOT)

Fasilitator KKG/ MGMP di LPMP Jawa Barat. Jawa Barat: Lembaga Penjaminan

Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik

dan Tenaga Kependidikan

Tarim, Kamuran dan Fikri Akdeniz. 2008. The Effects of Cooperative Learning on Turkish

Elementary Students Mathematics Achievement and Attitude Towards Mathematics

Using TAI and STAD Methods. Education Study Mathematic, 67:77–91

Wagner, David dan Beth Herbel-Eisenmann. 2008. “Just don’t”: The Suppression and Invitation

of Dialogue in the Mathematics Classroom. Education Study Mathematic, 67:143–

157

Wahyudi, Bambang. 2010. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share untuk

Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Kemampuan Afektif Siswa Kelas X TKJ B

pada Materi Program Linear di SMK Negeri 8 Malan.Tesis tidak diterbitkan. Malang:

Universitas Negeri Malang

Weber, Keith, Carolyn Maher, Arthur Powell dan Hollylynne Stohl Lee. 2008. Learning

Opportunities from Group Discussions: Warrants become the Objects of Debate.

Education Study Mathematic, 68:247–261

PENGGUNAAN MEDIA POTONGAN KAYU MELALUI

PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE

(TPS) UNTUK MEMAHAMKAN SISWA MATERI BARISAN DAN

DERET DI KELAS XII IPA SMAN 11 BANJARMASIN

Husnul Chatimah, Gatot Muhsetyo, dan Tjang Daniel Chandra

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran kooperatif tipe

TPS menggunakan media potongan kayu untuk memahamkan siswa materi barisan dan

deret di kelas XII IPA SMAN 11 Banjarmasin. Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

449

Kelas (PTK) dengan 2 siklus, dan dilaksanakan pada tanggal 13 Maret – 3 April 2014.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA 1 pada semester genap tahun

pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 32 siswa. Pembelajaran dilakukan dengan menerapkan

strategi Think Pair Share (TPS) dengan berbantuan media potongan kayu. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa (1) peningkatan hasil tes belajar, ditunjukkan oleh skor hasil belajar

siswa pada siklus 1 yaitu sebesar 78,125% siswa dikelas memperoleh skor minimal 75 dan

pada siklus II sebesar 93,75% siswa dikelas memperoleh skor minimal 75, dan (2)

berkurangnya kesalahan konsep atau kesalahan prosedur yang dilakukan siswa dalam

menyelesaikan soal pada siklus I terdapat 56,25% siswa mengalami kesalahan konsep atau

salah prosedur dalam mengerjakan soal, dan pada siklus II terdapat 37,25% siswa

mengalami kesalahan konsep atau kesalahan prosedur dalam mengerjakan soal.

Kata kunci: media, potongan kayu, koperatif , Think Pair Share (TPS), pemahaman,

barisan,deret.

Aljabar merupakan salah satu cabang matematika yang diajarkan disekolah. Terdapat 10

standar kompetensi tentang aljabar yang dipelajari di SMA. Salah satu standar kompetensi yang

berkaitan dengan aljabar, khususnya topik barisan dan deret. Barisan dan deret merupakan suatu

topik yang tercantum dalam kurikulum 2006 (KTSP) matematika SMA. Pada kurikulum 2006,

materi barisan dan deret diajarkan di kelas XII IPA semester genap. Penguasaan pokok bahasan

barisan dan deret akan banyak berguna untuk membantu menyelesaikan masalah dalam

kehidupan sehari-hari.

Pengamatan peneliti terhadap hasil belajar siswa menunjukkan bahwa mereka masih

belum memahami konsep barisan dan deret. Dari beberapa jawaban tes yang diberikan, dapat

diketahui bahwa pemahaman mereka masih perlu ditingkatkan. Jenis-jenis kesalahan siswa

tentang barisan dan deret meliputi: (1) kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep barisan

dan deret, antara lain menyebutkan suku, beda, menulis notasi, dan memilih rumus, (2)

rendahnya kemampuan siswa dalam melakukan prosedur penyelesaian, (3) kurangnya

kemampuan siswa dalam membedakan barisan dan deret aritmetika dengan barisan dan deret

geometri, serta (4) kurangnya kompetensi siswa dalam memahami soal yang berakibat pada

kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal. Kesalahan-kesalahan ini menunjukkan siswa belum

memahami materi barisan dan deret serta penggunaaannya dalam pemecahan masalah.

Karena banyaknya kesalahan-kesalahan dalam pekerjaan siswa maka dalam

pembelajaran barisan dan deret diperlukan suatu strategi yang tepat agar konsep barisan dan

deret dapat dipahami dengan baik dan bermakna bagi siswa, sehingga meningkatkan hasil

belajarnya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan guru untuk tujuan meningkatkan

pemahaman siswa pada materi matematika adalah dengan memanfaatkan media pembelajaran

yang konkrit yang berstrukturkan urutan pelajaran.

Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam memilih media pembelajaran,

diantaranya: (1) selaras dan menunjang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, (2) sesuai

dengan materi pelajaran yang berdampak positif pada hasil pembelajaran siswa, (3) sesuai

dengan kondisi siswa, yaitu umur, intelegensi, latar belakang pendidikan, budaya, dan

lingkungan siswa, (4) tersedia di sekolah atau dapat dibuat oleh guru, (5) memerlukan biaya

yang relatif tidak banyak (Usman dan Asnawir, 2002: 15-16).

Berpijak pada pendapat Usman dan Asnawir (2002), dan Bruner (Sujana, 1990) bahwa

dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda (alat

peraga), anak akan langsung melihat bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat

dalam benda yang sedang diperhatikannya. Dalam penelitian ini akan dipilih potongan kayu

sebagai media pembelajaran. Potongan kayu memenuhi syarat untuk dipilih sebagai media

sebab sesuai dengan kondisi siswa, mudah di dapatkan, murah, dan masih cocok digunakan oleh

siswa kelas XII. Selain memenuhi syarat, potongan kayu dapat dipegang, disusun ataupun

ditumpuk dengan ukuran-ukuran tertentu, sehingga membentuk pola-pola yang dapat diamati

untuk memahamkan konsep barisan dan deret sesuai. Bahan media yang digunakan,ini

dimanipulasi sendiri oleh siswa untuk mencapai pemahaman konsep. Kayu yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kayu bangunan. Kayu dipotong berbentuk balok dengan berbagai

ukuran, antara lain 3 cm x 2 cm x 3 cm, 2 cm x 3 cm x 5 cm, 2 cm x 5 cm x 5 cm, 3 cm x 4

cm x 6 cm, 4 cm x 5 cm x 7 cm, dan ukuran lainnya.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

450

Salah satu model pembelajaran yang bisa diterapkan dengan menggunakan media

pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Model

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dikembangkan pertama kali oleh Frank

Lyman dari University of Maryland. Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

memiliki prosedur yang memberikan siswa lebih banyak waktu untuk berpikir, menjawab dan

saling membantu satu sama lain. Pada tipe ini guru memberikan persoalan kepada siswa dan

siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan (think-pairs), kemudian presentasi kelompok

(share) (Slavin, 2005: 257). Dengan cara berpasangan diharapkan siswa mampu termotivasi

dalam belajar , mengurangi rasa jenuh dan bosan sehingga akan mempengaruhi hasil belajar

siswa pada materi barisan dan deret.

Hasil penelitian terdahulu oleh Martini (2013) menyatakan bahwa siswa memberikan

sikap positif terhadap model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Menurut

Ifamuyiwa dan Onakoya (2013), ada pengaruh yang signifikan dari prestasi siswa dalam

matematika dengan menggunakan Think Pair Share (TPS). Rizana (2013) menyatakan bahwa

model pembelajaran Think Pair Share (TPS) memberikan prestasi belajar yang lebih baik

dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional, dan menurut Utami (2013),

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) meningkatkan pemahaman dan hasil

belajar siswa.

Model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok

untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau

inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap

kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karakter), ada kontrol

dan fasilitas, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan dan presentasi

(Ngalimun, 2013: 161–162).

Carlan, Rubin dan Morgan (2005) menyatakan terdapat empat perubahan perilaku siswa

dengan menggunakan pembelajaran kooperatif dalam pemecahan masalah matematika, yaitu:

(1) siswa menjadi lebih terlibat dalam pemecahan masalah, (2) siswa pindah dari kompetitif

untuk sikap kooperatif, (3) siswa menemukan beberapa cara yang benar untuk menemukan

solusi, dan 4) terdapat perubahan karakter siswa dengan latar belakang yang berbeda.

Menurut Morgan (2012) pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan yang dapat

digunakan pendidik untuk meningkatkan kesenangan siswa dalam belajar. Metode pembelajaran

kooperatif menampilkan keragaman tergantung pada jumlah siswa, struktur sosial lingkungan,

struktur fisik dari kelas dan diterapkan pada subjek jurusan dan program studi (Simsek dkk,

2013). Selain itu, ketika siswa bekerja bersama-sama, mereka menunjukkan peningkatan

partisipasi dalam diskusi kelompok, terlibat dalam lebih sedikit gangguan ketika orang lain

berbicara, dan memberikan lebih banyak kontribusi intelektual berharga (Gillies, 2010).

Think Pair Share (TPS) atau Berpikir-Berpasangan-Berbagi dikembangkan pertama kali

oleh Frank Lyman sebagai struktur kegiatan pembelajaran cooperative learning (Lie, 2008: 57).

TPS merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola

interaksi siswa. Ifamuyiwa (2013) menyatakan bahwa TPS menambahkan unsur interaksi teman

sejawat dalam belajar bersama, memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, merespon dan

saling membantu, dan merupakan cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi

kelas.

Langkah-langkah penerapan TPS menurut Majid (2013: 191-192), sebagai berikut: (1)

berpikir (Thinking). Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang berhubungan dengan

pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau masalah tersebut secara

mandiri untuk beberapa saat; (2) berpasangan (Pairing). Guru meminta siswa agar berpasangan

dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Bliss

dan Lawrence (2009) menemukan diskusi kelompok kecil memiliki partisipasi siswa yang lebih

besar , dibandingkan dengan diskusi kelompok secara keseluruhan , serta karena lebih banyak

interaksi peer-to-peer dan pengetahuan yang lebih kaya membangun melalui posting diskusi; (3)

berbagi (Sharing). Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang

apa yang telah mereka bicarakan.

METODE Penelitian tindakan kelas ini berangkat dari permasalahan yang diperoleh peneliti

melalui serangkaian langkah observasi awal yang dilakukan dalam studi pendahuluan.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

451

Berdasarkan hasil studi pendahuluan diperoleh beberapa masalah dalam proses pembelajaran

yang selama ini telah dijalankan di kelas, yaitu (1) kurangnya pemahaman siswa terhadap

konsep barisan dan deret, antara lain menyebutkan suku, beda, menulis notasi, dan memilih

rumus, (2) rendahnya kemampuan siswa dalam melakukan prosedur penyelesaian, (3)

kurangnya kemampuan siswa dalam membedakan barisan dan deret aritmetika dengan barisan

dan deret geometri, serta (4) kurangnya kompetensi siswa dalam memahami soal yang

berakibat pada kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal.. Selanjutnya peneliti merefleksi dan

menganalisis permasalahan yang ada dengan beberapa teori pendukung untuk mencari solusi

masalah. Fokus utama penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran dan berupaya untuk

memperbaiki praktik pembelajaran, yaitu upaya untuk memperbaiki pembelajaran materi

barisan dan deret. Kegiatan pembelajaran dalam penelitian memanfaatkan media potongan

kayu melalui proses pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), sebagai usaha

untuk memahamkan siswa tentang materi barisan dan deret.

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) tes hasil

belajar, data diambil langsung dari siswa yang mengerjakan instrumen tes yang dibuat sendiri

oleh peneliti, (2) wawancara, wawancara disusun secara sistematis terhadap hasil tes siswa

untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang pemahaman siswa terhadap materi barisan

dan deret aritmetika, (3) observasi, dimaksudkan untuk mengamati aktivitas siswa dan guru,

dan (4) catatan lapangan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) lembar tes,

(2) pedoman wawancara, (3) lembar observasi aktivitas siswa dan guru. Teknik analisis data

menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman (Sugiyono, 2010), yaitu (1)

reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan.

Prosedur PTK yang akan diterapkan dalam penelitian ini mengacu pada model Kemmis

dan Mc Taggart. Siklus dimulai dengan rencana (planning), tindakan (acting), pengamatan

(observing), refleksi (reflecting), dan perencanaan kembali yang merupakan dasar untuk suatu

ancang-ancang pemecahan masalah. Rincian daritahap-tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut.

(1) Rencana (Planning). Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti menyiapkan dan menyusun

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar

observasi aktivitas siswa dan guru, tes hasil belajar siswa, media pembelajaran,

memvalidasi RPP, LKS, lembar observasi, dan tes hasil belajar.

(2) Tindakan (Acting). Kegiatan yang akan dilakukan pada tahapan ini adalah melakukan

tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam rencana pelaksanaan

pembelajaran. Pada tahapan ini, peneliti menerapkan pembelajaran dengan menggunakan

potongan kayu melalui pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) seperti yang

terlampir dalam RPP. Pelaksanaan penelitian akan dilakukan dalam 4 x 45 menit yang

terbagi dalam dua kali pertemuan, dengan rincian setiap pertemuan berlangsung selama 2 x

45 menit.

(3) Observasi (Observing). Dilakukan bersamaan peneliti melakukan tindakan. Objek yang

diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas siswa selama kegiatan

pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang diamati meliputi aspek-aspek yang terkait

dengan aktivitas siswa dan guru yang mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran.

Pengamatan akan dilakukan oleh teman sejawat yang disebut observer, yaitu guru mata

pelajaran matematika kelas XII IPA. Bentuk pengamatan dilakukan berdasarkan lembar

observasi yang telah disiapkan sebelumnya.

(4) Refleksi (Reflecting). Merefleksi artinya memikirkan ulang berdasarkan catatan, temuan,

kejadian-kejadian dalam proses pembelajaran demi perbaikan dalam pembelajaran.

Refleksi dilakukan pada akhir tindakan dengan tujuan untuk melihat keseluruhan proses

pelaksanaan tindakan dan hasil pemahaman siswa. Berdasarkan hasil pengamatan akan

dilakukan refleksi. Dalam refleksi data yang telah diperoleh dideskripsikan. Berdasarkan

deskripsi tersebut dapat diambil kesimpulan apakah subyek telah memahami konsep

barisan dan deret atau belum.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dan

kualitatif. Analisis data kuantitatif yang dimaksud adalah data yang telah diperoleh dianalisis

dengan menggunakan rumus yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, peneliti

mengutamakan bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan tetapi tetap memperhatikan hasil

belajar dan pekerjaan siswa. Keberhasilan penelitian ini dilihat dari (1) berkurangnya kesalahan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

452

konsep atau salah prosedur yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal, kesalahan

konsep atau kesalahan prosedur dapat diketahui peneliti berdasarkan hasil penelusuran melalui

pekerjaan siswa dan wawancara, (2) pada tes akhir siklus, lebih dari atau sama dengan 85%

siswa di kelas memperoleh skor minimal 75, dan (3) persentase aktivitas siswa dan guru

minimal baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil validasi instrumen penelitian oleh dua validator antara lain, (1) persentase skor

rata-rata validasi RPP adalah 82% pada kategori valid, (2) persentase skor rata-rata validasi

LKS adalah 83,6% pada kategori valid, (3) persentasi skor rata-rata tes hasil belajar adalah 86%

pada kategori valid, (4) persentasi skor rata-rata lembar observasi guru adalah 84,2% pada

kategori valid, (5) persentasi skor rata-rata lembar observasi siswa adalah 85,6% pada kategori

valid, dan (6) persentasi skor rata-rata lembar wawancara adalah 82% pada kategori valid.

Secara keseluruhan instrumen penelitian berada pada kategori valid dan dapat digunakan.

Pembelajaran pada setiap pertemuan secara umum terbagi dalam tiga tahap kegiatan,

yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Kegiatan awal adalah kegiatan untuk

mempersiapkan siswa agar benar-benar siap belajar. Kegiatan awal meliputi (1) menyampaikan

salam dan mengecek kehadiran siswa (2) memberi waktu siswa untuk mempersiapkan

peralatan berupa alat tulis dan buku sumber untuk kesiapan belajar, (3) menyampaikan tujuan

pembelajaran, (5) memotivasi siswa tentang pentingnya materi barisan dan deret aritmetika,

serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dan (6) menyampaikan apersepsi dengan

mengingatkan kembali tentang materi yang sudah dipelajari yang berhubungan dengan barisan

dan deret aritmetika.

Kegiatan inti pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terdiri dari tiga

tahap, yaitu tahap think, tahap pair, dan tahap share. Memasuki tahap think masing-masing

siswa mendapatkan LKS dan media potongan kayu, siswa aktif mengerjakan soal-soal pada

setiap aktifitas yang diberikan dalam LKS dengan bantuan media potongan kayu. Pada tahap ini

indikator yang diharapkan adalah siswa dapat (1) pertemuan pertama: mengenal barisan dan

beda serta mendefinisikan barisan aritmetika, (2) pertemuan kedua: mengenal deret dan

mendefinisian deret aritmetika, (3) pertemuan keempat: memahami suku tengah dan sisipan,

dan (4) memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan barisan

dan deret. Waktu yang diberikan untuk mengerjakan tahap think adalah 20 menit. Pada tahap

pair siswa berhenti mengerjakan soal secara individu dan bergabung dengan pasangannya, yaitu

teman sebangkunya. Pada tahap ini siswa berdiskusi dan bekerjasama dengan pasangannya

untuk mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam LKS dengan bantuan media potongan

kayu. Siswa yang satu menyatakan pendapatnya, pasangannya menanggapi dan menyatakan

pendapatnya juga. Sehingga didapatkan kesimpulan dari permasalahan yang diberikan dalam

LKS. Kemudian pada tahap share pasangan siswa mempresentasikan hasil yang diperoleh saat

berdiskusi. Pasangan siswa menjelaskan dan memperlihatkan susunan potongan kayu yang

mereka buat di depan kelas dan menuliskan jawaban LKS di papan tulis.

Pada kegiatan penutup guru membimbing siswa membuat kesimpulan dari materi yang

sudah dipelajari, yaitu (1) pengertian barisan aritmetika, suku barisan, beda, (2) pola suku ke-n

barisan aritmetika, (3) pengertian deret dan deret aritmetika, (4) pola jumlah n suku pertama

deret aritmetika, dan (5) rumus suku tengah dan beda sisipan barisan aritmetika. Kemudian guru

menyampaikan materi untuk dipelajari pada pertemuan berikutnya yaitu deret aritmetika pada

pertemuan kedua, suku tengah dan sisipan pada pertemuan keempat, dan memecahkan masalah

dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan barisan dan deret aritmetika pada

pertemuan kelima, kemudian menutup pelajaran.

Hasil observasi aktivitas siswa dan aktivitas guru pada siklus I dapat dilihat dari Tabel 1

berikut. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Siklus I dari Observer

Observer Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2

Skor Kriteria Skor Kriteria

I 76,7% Baik 86,4% Baik

II 79,4% Baik 82,4% Baik

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

453

Selain skor dan kriteria tersebut, dari diskusi yang dilakukan antara peneliti dan

observer, observer memberikan masukan sebagai berikut. (1) Pertemuan ke-1: peneliti

sebaiknya memperhitungkan alokasi waktu karena pada saat bel jam istirahat berbunyi pelajaran

masih belum selesai; pada tahap think siswa masih banyak siswa yang bertanya jawaban dengan

teman disebelahnya, peneliti sebaiknya memisahkan tempat duduk siswa agar tidak mudah

untuk saling bertanya jawaban. (2) Pertemuan ke-2: memberikan tambahan waktu pada tahap

pair, mengurangi butir soal pada LKS agar siswa tidak mengalami kekurangan waktu.

Berdasarkan pengamatan dari hasil tindakan terdapat ketidakpuasan karena (1) masih

banyak siswa yang melakukan kesalahan konsep dan prosedur yaitu sebesar 56,25% siswa, dan

(2) terdapat 78% siswa dikelas memperoleh skor minimal 75 sehingga peneliti harus

melakukan siklus II.

Berdasarkan hasil diskusi peneliti dengan observer, terdapat kekurangan pada siklus I

sehingga perlu diperbaiki pada siklus II. Adapun rencana perbaikan pada siklus II dapat dilihat

pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kekurangan Siklus I dan Rencana Perbaikan Pembelajaran Pada Siklus II

Kekurangan pada siklus I Perbaikan pembelajaran pada siklus II

1. Waktu untuk setiap tahap think danpair

masih kurang.

2. Butir soal LKS terlalu banyak untuk alokasi

waktu 2 x 45 menit.

3. Pada tahap think siswa masih mengerjakan

LKS dengan bertanya jawaban dengan teman

disebelahnya, sebaiknya tempat duduk

dipisah per orang dan penggunaan media

pembelajaran terlalu memakan waktu.

4. Pada tahap pair siswa pada pasangan ada

yang kelihatan bekerja sendiri dan kurang

mendorong teman untuk berpendapat.

1. Menambah alokasi waktu untuk tahap think

dan pair.

2. Mengurangi butir soal pada LKS sehingga

cukup untuk alokasi waktu 2 x 45 menit.

3. Memisahkan tempat duduk siswa, agar

mengurangi bertukar jawaban saat tahap

think dan penggunaan media dibatasi hanya

pada tahap pair saja

4. Mengingatkan kepada siswa dalam pasangan

untuk saling bekerja sama, membantu dan

mendorong teman untuk memberikan

pendapat.

Hasil observasi aktivitas siswa dan aktivitas guru pada siklus I dapat dilihat dari Tabel

3. Selain skor dan kriteria tersebut, pada dua pertemuan ini observer tidak memberikan catatan

apapun, kecuali pernyataan bahwa pembelajaran telah berjalan dengan baik.

Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Siklus II dari Observer

Observer Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2

Skor Kriteria Skor Kriteria

I 93,3% A 86,7% A

II 91,2% A 91,2% A

Selanjutnya berdasarkan hasil tes akhir siklus I, diperoleh data yaitu:

(1) Sebanyak 4 siswa melakukan kesalahan hitung. Dengan kata lain 28 Siswa dari 32 siswa

yang mengikuti tes dinyatakan sudah tidak melakukan kesalahan hitung. Jadi dari informasi

ini dapat disimpulkan bahwa persentase siswa yang melakukan kesalahan hitung adalah

87,5%. Secara rinci jenis kesalahan hitung yang dilakukan siswa adalah salah dalam

melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

(2) Sebanyak 8 siswa melakukan kesalahan karena kelalaian. Dengan kata lain 24 siswa dari

32 siswa yang mengikuti tes dinyatakan sudah tidak mengalami kesalahan karena

kelalaian. Jadi dapat disimpulkan bahwa persentase siswa yang melakukan kesalahan

karena kelalaian adalah 75%. Secara rinci jenis kesalahan karena kelalaian yang dilakukan

siswa adalah: (1) kesalahan karena kurang teliti melihat dan memahami soal,(2) tidak

lengkap menuliskan rumus, dan (3) kesalahan dalam menentukan n suku barisan karena

kelalaian melakukan perhitungan.

(3) Sebanyak 30 siswa atau 93,75% siswa di kelas sudah memperoleh skor yang ditetapkan

yaitu minimal 75.

Berdasarkan analisa data ternyata terdapat peningkatan pemahaman siswa dalam proses

belajar materi barisan dan deret aritmetika. Peningkatan pemahaman siswa tersebut menurut

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

454

kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan diketahui bahwa pada siklus II lebih baik daripada

siklus I. Adapun peningkatannya dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

Tabel 4. Peningkatan Pemahaman Siswa

Instrumen Uraian Kriteria

Keberhasilan

Data Hasil Penelitian Pemahaman

Siswa Siklus I Siklus II

Tes Hasil

Belajar

Hasil kerja

siswa

Lebih dari atau

sama dengan 85%

siswa di kelas

memperoleh skor

minimal 75

78,125% siswa

dikelas

memperoleh skor

minimal 75

93,75% siswa

dikelas

memperoleh skor

minimal 75

Meningkat

Wawancara Hasil

wawancara

dengan

siswa

Berkurangnya

kesalahan konsep

atau salah

prosedur yang

dilakukan siswa

dalam

menyelesaikan soal

56,25 % siswa

salah konsep atau

salah prosedur

dalam

menyelesaikan

soal

37,5% siswa

salah konsep atau

salah prosedur

dalam

menyelesaikan

soal

Meningkat

Berdasarkan hasil analisis ini, pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

menggunakan media potongan kayu efektif untuk memahamkan siswa pada materi barisan dan

deret aritmetika. Terlihat dari proses pembelajaran maupun tes hasil belajar pada setiap

tindakan. Penggunaan media potongan kayu juga cukup menarik antusiasme siswa. Media ini

dapat menjadi alternatif bagi guru untuk meningkatkan semangat belajar siswa untuk belajar

matematika.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan terlaksananya pembelajaran yang telah dideskripsikan pada paparan data

dan juga pada pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. (1) Langkah-

langkah pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan menggunakan media

potongan kayu pada materi barisan dan deret aritmetika pada siswa kelas XII IPA SMAN 11

Banjarmasin adalah sebagai berikut (a) kegiatan awal ,(b) kegiatan inti terdiri dari tiga tahap

pembelajaran kooperatif tipe TPS yaitu tahap think, tahap pair, dan tahap share. Dalam tahap

think siswa secara individu mengerjakan soal-soal pada setiap aktifitas yang diberikan dalam

LKS dengan bantuan media potongan kayu. Kemudian pada tahap pair siswa bergabung dengan

pasangannya yaitu teman sebangkunya untuk berdiskusi dan bekerjasama menyelesaikan

masalah-masalah yang ada di LKS dengan bantuan media potongan kayu. Pada tahap share

pasangan siswa mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas, (c) kegiatan akhir, guru

mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan, melakukan refleksi dan evaluasi. (2)

Pembelajaran matematika melalui pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS)

menggunakan media potongan kayu dapat memahamkan siswa kelas XII IPA SMAN 11

Banjarmasin untuk materi barisan dan deret aritmetika. Penggunaan media potongan kayu

melalui pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dapat digunakan oleh guru

sebagai alternatif model pembelajaran matematika dikelas

DAFTAR RUJUKAN

Bliss, C., & Lawrence, B. 2009. Is The Whole Greater Than The Sum of Its Parts? A Comparis

On of Small Group and Whole Class Discussion Board Activity In Online Courses.

Journal of Asynchronous Learning Networks Volume 13 25-39. 2009.

Carlan, Rubin, dan Morgan. 2005. Cooperative Learning, Mathematical Problem Solving, and

Latinos. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. 30 Juni 2005.

Gillies, R. & Michael Boyle. 2010. Teachers' Reflections on Cooperative Learning: Issues of In

Implementation. Teaching and Teacher Education Volume 26.933 – 940. 2010.

Ifamuyiwa, Adebola S & Onakoya. 2013. Impact Of Think-Pair-Share Instructional Strategy on

Students’ Achievement in Secondary School Mathematics. Journal of the Science

Teachers Association of Nigeria. Volume 45, Issue 1. 2013.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

455

Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang

Kelas. Jakarta: Grasindo.

Majid, Abdul. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Martini, Ajeng. 2013. Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair

Share) Melalui Pendekatan Open-Ended Pada Pembelajaran Matematika Untuk

Meningkatkan Koneksi Matematis Siswa SMP. Jurnal Universitas Pendidikan

Indonesia. 2013.

Morgan, Bobbette M. 2012. Teaching Cooperative Learning with Children’s Literature.

National Forum of Teacher Education Journal Volume 22 Number 3. 2012.

Ngalimun. 2013. Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Rizana. 2013 Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)

dengan Pendekatan Quantum Learning pada Pokok Bahasan Statistika Ditinjau dari

Minat Belajar Siswa Kelas XII SMK Kelompok Teknologi Se-Kabupaten Kebumen

Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal PPs Universitas Sebelas Maret Volume 1 Nomor 1

2013.

Simsek, Ufuk, dkk. 2013. The Effects of Cooperative Learning Methids on Students Academic

Achievements in Social Psychology Lessons. International Journal on New Trends in

Education and Their Implications Volume 4 Issue 3 Article 01. July 2013.

Slavin, Robert E. 2005. Cooperatif Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Sujana, Nana. 1990. Teori-Teori Belajar untuk Pengajaran. Jakarta: LPFE UI.

Tim Depdiknas. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika. Jakarta: Proyek

Pengembangan Sistem Pengendalian Program SLTP.

Usman, M. Basyiruddin dan Asnawir. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Ciputra Pers.

Utami, Sri. 2013. Penerapan Pembelajaran Kooperatif TPS (Think Pair Share) Melalui

Identifikasi Tahapan Newman Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Soal

Cerita Matematika Siswa Kelas VIII-F SMP Laboratorium Universitas Negeri Malang.

Tesis. Malang: Universitas Negeri Malang.

PENGGUNAAN GRAPHMATICA DALAM DISCOVERY LEARNING

PADA MATERI LIMIT FUNGSI

Endah Trajuningsih, Subanji

Universitas Negeri Malang

[email protected], [email protected]

Abstrak: Penggunaan teknologi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran matematika. Salah satu hasil perkembangan teknologi yang dapat

dimanfaatkan adalah Graphmatica. Artikel ini membahas masalah bagaimana penggunaan

graphmatica dalam discovery learning pada materi limit fungsi di kelas XI.IA5 SMAN 8

Malang. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif diskriptif. Hasil yang diperoleh

adalah penggunaan Graphmatica dalam pembelajaran matematika dengan model discovery

learning dilakukan dengan tahapan: (1) memahami permasalahan; (2) mengumpulkan data

(melalui menentukan nilai fungsi dan observasi grafik pada Graphmatica) untuk

menemukan solusi permasalahan; dan (3) mengolah data; (4) membuktikan dan (5)

membuat kesimpulan atas temuan yang diperoleh dari menyelesaikan permasalahan.

Kesimpulan yang diperoleh adalah pelaksanaan pembelajaran tersebut meningkatkan

keaktifan siswa.

Kata kunci: teknologi, pembelajaran, graphmatica, discovery learning

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, penggunaan teknologi merupakan

salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Peningkatan kualitas tersebut

dapat berupa perubahan menjadikan situasi pembelajaran di kelas berbasis teknologi. Perubahan

situasi pembelajaran memerlukan suatu persepsi guru mengenai apa saja yang harus

dipertimbangkan (Hunter, 2010). Kemampuan siswa dalam menggunakan komputer dapat

menjadi bahan pertimbangan guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran. Salah satu

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

456

hasil perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika adalah

Graphmatica. Graphmatica merupakan software untuk menggambar grafik fungsi.

Graphmatica dapat digunakan dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan fungsi

dan grafik.

Beberapa materi matematika yang berkaitan dengan fungsi dan grafik bersifat abstrak,

seperti Limit Fungsi, Turunan dan Integral. Secara umum, materi matematika SMA yang

bersifat abstrak sering kali diajarkan secara prosedural dengan diawali pemberian dogma-dogma

dan dilanjutkan dengan berbagai prosedur untuk menyelesaian soal matematika. Siswa SMA

sering merasa bahwa pembelajaran yang terjadi kurang memberikan kesempatan yang cukup

untuk membahas masalah kritis dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas

mereka (Sutman dkk, 2008). Akan tetapi, walaupun materi matematika SMA bersifat abstrak

dan sulit dicari kontekstualnya, pembelajaran matematika tetap perlu didesain agar dekat dengan

kehidupan dan pengetahuan siswa.

Materi Limit Fungsi merupakan salah satu materi yang berkaitan dengan fungsi dan

grafik serta bersifat abstrak. Pembelajaran Limit Fungsi sulit untuk dirancang agar kontekstual.

Kekontekstualan materi limit terbatas hanya pada apersepsi pembelajaran. Akan tetapi,

walaupun limit fungsi merupakan bagian dari kalkulus yang mana pada matematika universitas

sering diajarkan secara formal dengan diawali definisi limit fungsi, akan tetapi pada matematika

SMA diperlukan suatu model pembelajaran tertentu agar limit fungsi dapat dengan mudah

dipahami oleh siswa. Konsep Limit Fungsi dapat dipelajari melalui kegiatan pengamatan grafik

fungsi dan tabel nilai fungsi. Oleh karena itu, berkaitan dengan penggunaan teknologi untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran, Graphmatica dapat digunakan dalam pembelajaran Limit

Fungsi.

Penggunaan Graphmatica dalam pembelajaran Limit Fungsi perlu dipadukan dengan

penggunaan suatu model pembelajaran yang tepat agar kualitas pembelajaran optimal.

Sebagaimana disampaikan pada paparan sebelumnya bahwa pembelajaran menggunakan

Graphmatica merupakan pembelajaran berbasis teknologi. Menurut Novak dan Krajick (2006),

teknologi merupakan alat yang sangat berguna untuk membantu siswa dalam kegiatan bersifat

penemuan. Oleh karena itu pembelajaran Limit Fungsi menggunakan Graphmatica dapat

dipadukan dengan model pembelajaran penemuan atau discovery learning.

Selain karena pertimbangan tersebut, discovery learning dipilih karena beberapa hal.

Matematika sekolah perlu mengarah pada situasi di mana siswa belajar menikmati matematika,

mempelajari pentingnya matematika, memahami bahwa matematika merupakan bagian dari

kehidupan siswa, dan memahami struktur dasar dari matematika, dan guru berusaha membuat

setiap siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran (National Council of Educational Research

and Training, 2006). Proses mengumpulkan, mengamati dan meringkas informasi merupakan

kegiatan efektif untuk menstimulasi diskusi dan mengembangkan kemampuan berpikir (Sutman

dkk, 2008). Adanya kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif untuk berdiskusi dan

menemukan suatu konsep matematika dapat menjadi kegiatan yang menarik sekaligus

menantang sehingga meningkatkan keaktifan siswa.

Dalam mengimplentasikan suatu model pembelajaran dan media pembelajaran

diperlukan refleksi guru. Walshaw (2010) menyatakan bahwa refleksi guru dapat menjadi suatu

katalis untuk memperkuat dialog untuk perubahan pedagogis. Berdasarkan perspektif teoritis,

refleksi dari temuan yang diperoleh dari hasil kegiatan dan hasil diskusi merupakan inti untuk

mencapai perubahan fundamental sebagai cara mengetahui diri sendiri, belajar dari pengalaman,

mengembangkan diri dan berlatih (Chapman dan Heater, 2010. Manfaat lain dari refleksi

adalah mengembangkan guru sebagai peneliti. Ada beberapa cara dalam mengembangkan guru

sebagai peneliti diantaranya penelitian tindakan, refleksi praktisi, lesson study dan self-study

(Bishop, 2009).

Lesson study merupakan salah satu kegiatan yang tepat digunakan dalam refleksi

penggunaan graphmatica dalam discovery learning pada materi limit fungsi. Hal tersebut

dikarenakan bentuk kegiatan lesson study yang memiliki banyak manfaat. Lesson study

merupakan suatu bentuk kegiatan kolaborasi berbasis pengembangan profesionalisme sekolah

oleh sekelompok guru yang bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui model

pembelajaran diskusi profesional dan pelaksanaan pembelajaran (Burghes dan Robinson, 2009).

Lesson study dapat mengembangkan pengetahuan guru mengenai konten, pedagogi dan

pemikiran siswa, dengan membangun komunitas guru profesional dan dengan meningkatkan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

457

bahan-bahan pembelajaran (Lewis dkk, 2009). Hal ini sesuai dengan pernyataan Doig dan

Groves (2011) bahwa lesson study memungkinkan guru membangun usaha dan memperdalam

pemahaman mereka.

Selain berbagai manfaat tersebut, kegiatan plan, do dan see dalam Lesson study

merupakan wadah bagi guru untuk menganalisis pembelajaran. Analisis pembelajaran dapat

membantu guru memikirkan kembali pembelajaran yang telah dilakukan dengan berfokus pada

mengartikan dari berbagai sisi dan mengajukan pertanyaan tentang pemikiran siswa dan materi-

materi dalam kurikulum (Ryken, 2009). Selain itu, lesson study merupakan suatu cara untuk

belajar dalam mengajar dan meningkatkan profesionalisme guru (Gunnarsdottir dan Palsdottir,

2011). Guru yang meningkatkan profesionalitasnya akan mampu menggunakan literatur mereka

untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pembelajaran (da Ponte, 2009).

Graphmatica

Graphmatica merupakan suatu software untuk menggambar grafik. Graphmatica

didesain oleh Keith Hertzer, seorang lulusan dari University of California. Sofware ini dapat

dioperasikan pada semua versi Microsoft Windows, sehingga mudah dioperasikan di berbagai

komputer di Indonesia yang mayoritas menggunakan Windows. Graphmatica merupakan suatu

aplikasi untuk menggambar menggunakan equation yang mendukung lima tipe bidang grafik,

menggambar bidang vektor dan solusi persamaan diferensial, mampu menampilkan banyak

grafik pada satu bidang, dapat mengunci koordinat cursor, dan memungkinkan grid untuk diatur

ukurannya (Hertzer, 2014).

Graphmatica dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dalam belajar matematika.

Graphmatica dapat digunakan untuk menggambar grafik fungsi di bidang koordinat Cartesius

maupun Polar dengan banyak grafik yang tidak terbatas. Selain itu, Graphmatica juga dapat

digunakan untuk menentukan koordinat titik yang ditunjuk oleh pointer mouse dan menyajikan

tabel nilai fungsi. menggambar garis lusrus yang melalui dua titik, menggambar daerah

penyelesaian dari pertidaksamaan dan menentukan rumus dan menggambar grafik turunan

pertama maupun menggambar garis singgung kurva di suatu titik. Grafik fungsi yang dapat

digambar menggunakan Graphmatica tidak hanya terbatas pada fungsi aljabar, tetapi juga

fungsi trigonometri maupun fungsi transenden.

Graphmatica merupakan software yang mudah digunakan. Untuk menggambar grafik

fungsi, pengguna hanya perlu menuliskan rumus fungsi kemudian menekan tombol enter. Untuk

menggambar daerah penyelesaian dari satu atau beberapa pertidaksamaan, pengguna hanya

perlu menuliskan pertidaksamaannya kemudian menekan tombol enter. Untuk menggambar

garis lurus yang melalui dua titik yang ditentukan, pengguna hanya perlu menekan suatu

toolbar, menuliskan koordinat titik-titik yang diketahui kemudian menekan suatu tombol yang

ada pada kotak dialog. Langkah-langkah serupa juga berlaku untuk fungsi Graphmatica yang

lain.

Tampilan Graphmatica bagus dan mudah untuk diatur. Warna grafik fungsi yang

berbeda untuk rumus fungsi yang berbeda mempermudah pengamatan grafik. Jenis bidang dan

ukuran grid pada bidang koordinat juga dapat diatur dengan mudah. Bidang koordinat juga

fleksibel untuk diberi label. Adanya scrollbar dan zoom tools semakin membuat pengamatan

grafik pada Graphmatica dapat dilakukan secara fleksibel. Selain itu, grafik yang telah

digambar dapat disimpan dalam bentuk file maupun dicetak. Tampilan Graphmatica disajikan

pada gambar 1, contoh grafik fungsi disajikan pada gambar 2, sedangkan toolbar Graphmatica

disajikan pada gambar 2.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

458

Gambar 1. Tampilan Graphmatica

Gambar 2. Contoh Grafik Fungsi Pada Graphmatica

Gambar 3. Toolbar Graphmatica

Selain beberapa keunggulan di atas, ada beberapa kekurangan pada Graphmatica.

Tidak adanya fasilitas penyimpanan dalam bentuk gambar merupakan salah satu

kekurangannya. Untuk meng-copy gambar grafik pada Graphmatica, pengguna perlu menekan

tombol print screen pada keyboard kemudian mengklik tombol paste pada program tempat hasil

copy grafik fungsi, misal MsWord. Hal ini tidak efektif karena hasil copy melalui print screen

memuat tampilan layar secara utuh sehingga gambar hasil copy perlu di-crop untuk membuang

toolbar-toolbar Graphmatica yang ada pada gambar.

Dengan kelebihan dan kekurangan tersebut, Graphmatica tetap merupakan software

yang dapat dimanfaatkan guru dalam pembelajaran matematika. Penggunaan Graphmatica

dalam pembelajaran matematika dapat membuat pembelajaran menjadi berbasis teknologi

sebagaimana merupakan salah satu pembelajaran dengan pendekatan scientific. Selain itu,

penggunaan Graphmatica dapat menjadi salah satu cara peningkatan kualitas pembelajaran.

Discovery learning Berbasis Teknologi

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

459

Discovery learning merupakan salah satu model dari pembelajaran dengan pendekatan

scientific. Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013.

Berdasarkan panduan kurikulum 2013, prosedur pelaksanaan discovery learning yaitu: (1)

Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah); (2) Data collection (pengumpulan data),

(3) Data processing (pengolahan data); (4) Verification (pembuktian) dan (5) Generalization

(menarik kesimpulan/generalisasi).

Discovery learning merupakan salah satu model pembelajaran dengan aktifitas

penemuan yang berpusat pada siswa. (1) Sutman dkk (2008) menyatakan bahwa beberapa

asumsi yang penting dalam mendesain aktifitas penemuan yaitu: (1) siswa perlu melakukan

generalisasi terhadap jawaban; (2) siswa secara signifikan terlibat dalam investigasi; (3) guru

menghindari jawaban personal atau langsung terhadap sebagian pertanyaan siswa; dan (4) guru

menugaskan siswa untuk menggunakan berbagai sumber untuk menjawab atau membuat

kesimpulan. Dari aktifitas penemuan tersebut tampak bahwa discovery learning adalah

pembelajaran yang membuat siswa aktif.

Menurut Sutman dkk (2008), ada tiga fase dalam kegiatan penemuan, yaitu: (1) fase

Pre-Laboratory yang berisi kegiatan menemukan masalah dan merencanakan prosedur

investigasi; (2) fase Laboratory yang berisi kegiatan melakukan percobaan atau pengumpulan

data dan menganalisisnya; dan (3) fase Post-Laboratory yang berisi kegiatan membuat

kesimpulan dan mendiskusikan aplikasi dari kesimpulan atau temuan lain yang terkait. Fase-

fase tersebut dapat dikembangkan dan didesain agar dapat meningkatkan kualitas aktifitas

siswa. Tantangan dalam merubah pembelajaran di kelas untuk memasukkan lebih banyak

diskusi dan interaksi antar siswa dapat dijawab dengan menerapkan penggunaan teknologi

dalam proses diskusi. Salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengembangkannya adalah

penggunaan teknologi dalam kegiatan pengamatan maupun pengumpulan dan penyajian data.

Discovery learning yang melibatkan penggunaan teknologi memiliki banyak

meningkatkan kualitas dan efektifitas pembelajaran. Penggunaan perangkat komputer membuat

guru dapat mendesain dan mengeksplor tugas-tugas dalam pembelajaran matematika dari

perspektif-perspektif yang jelas yang dapat mengarahkan siswa dalam mengkonstruksi

keterkaitan dalam matematika (Santos-Trigo, 2008). Discovery learning yang menggunakan

simulasi komputer yang dipadukan dengan pembelajaran kooperatif efektif untuk meningkatkan

penalaran ilmiah siswa (Abdullah dan Shariff, 2008). Selain itu, komputer dapat menyajikan

representasi visual dari suatu konsep yang sulit untuk dipahami apabila hanya menggunakan

kertas dan pensil saja (Cheng-Yao, 2008).

Selain dapat meningkatkan efektifitas pembelajaran, penggunaan komputer dapat

menjadi daya tarik bagi siswa untuk lebih aktif belajar. Penggunaan komputer dapat menjadi

motivasi bagi siswa untuk membuat matematika menarik (Cheng-Yao, 2008). Hal ini berarti

bahwa, penggunaan komputer dalam discovery learning dapat menjadi salah satu alternatif cara

untuk membuat siswa lebih aktif dalam belajar matematika.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran discovery learning

berbantuan graphmatica. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pembelajaran

matematika yang dibahas pada penelitian ini merupakan hasil kegiatan lesson study di kelas

XI.IA5 SMAN 8 Malang dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014, dengan 4

anggota yang terdiri dari 1 guru model dan 3 observer. Guru model merupakan guru matematika

SMAN 8 Malang dan para observer merupakan guru matematika dari SMA yang lain.

Keputusan menggunakan graphmatica dalam discovery learning pada materi limit fungsi

merupakan hasil dari kegiatan plan.

PEMBAHASAN

Kegiatan do dalam lesson study tersebut berupa pembelajaran di kelas XI.IA5 SMAN

8 Malang pada 8 Maret 2014 dan 13 Maret 2014 yang membahas Limit fungsi dengan indikator:

(1) Menjelaskan arti limit fungsi di suatu titik melalui pengamatan grafik dan perhitungan nilai-

nilai di sekitar titik tersebut; dan (2) Menentukan kondisi yang mengakibatkan ada tidaknya

nilai limit fungsi di suatu titik melalui pengamatan grafik dan perhitungan nilai-nilai di sekitar

titik tersebut. Sebelum pembelajaran limit menggunakan Graphmatica, siswa terlebih dahulu

dikenalkan cara mengoperasikan Graphmatica. Pada kegiatan ini, siswa belajar cara menuliskan

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

460

rumus fungsi pada Graphmatica dan mencoba menggunakan fungsi dari tools yang ada pada

Graphmatica. Cara penulisan rumus fungsi pada Graphmatica berbeda dengan cara menuliskan

rumus fungsi menggunakan equation editor yang ada pada MsWord. Kemampuan menuliskan

rumus fungsi sangat penting. Kesalahan penulisan rumus fungsi akan menyebabkan kesalahan

gambar grafik fungsi. Untuk mengecek kebenaran rumus fungsi yang dituliskan, siswa

diarahkan untuk membandingkan koordinat beberapa titik yang ada pada gambar grafik dengan

hasil perhitungan nilai fungsi dari beberapa nilai pada domain yang bersesuaian dengan titik

yang diamati. Hal ini sangat perlu dilakukan karena walaupun rumus fungsi yang dituliskan di

Graphmatica tidak sesuai dengan rumus fungsi yang ingin digambarkan grafiknya, maka pada

Graphmatica tetap akan muncul gambar grafik fungsinya.

Pada kegiatan do, penerapan discovery learning tidak berarti bahwa guru menjadi

lebih santai dan dapat meninggalkan kelas saat siswa sibuk dengan aktifitas penemuan. Peran

guru pada kegiatan pembelajaran lebih sebagai fasilitator. Selain peran fasilitator dalam

mendesain kegiatan dan memotivasi siswa agar aktif belajar, peran guru sebagai fasilitator

dalam setiap tahap kegiatan sangat diperlukan. Dalam tahap memahami masalah, guru perlu

aktif menghampiri dan memberikan bantuan siswa yang kesulitan memahami LKS. Dalam

tahap mengumpulkan data, guru perlu aktif membantu siswa yang kesulitan dalam menuliskan

rumus fungsi pada Graphmatica atau kesulitan mengoperasikan tools yang ada pada

Graphmatica. Dalam tahap membuat kesimpulan , guru memandu dan membimbing siswa

untuk membuat kesimpulan yang tepat jika kesimpulan yang dibuat oleh siswa belum tepat.

Dari kegiatan see, diperoleh hasil bahwa penggunaan Graphmatica dalam

pembelajaran limit fungsi yang menggunakan model discovery learning dapat meningkatkan

keaktifan siswa. Hal ini diketahui dari hasil pengamatan. Dalam kegiatan pembelajaran, siswa

konsentrasi dalam mengerjakan LKS, siswa tekun dalam berusaha menggunakan Graphmatica

untuk menggambar grafik, siswa aktif berdiskusi dengan teman satu kelompok, siswa aktif

untuk bertanya kepada guru jika mengalami kesulitan, siswa aktif untuk bertanya dan

memberikan tanggapan dalam diskusi kelas. Walaupun masih ada beberapa siswa yang kurang

aktif dan tidak konsentrasi, akan tetapi secara umum siswa lebih aktif dari pada pembelajaran-

pembelajaran sebelumnya yang tidak menggunakan penemuan terbimbing dan Graphmatica.

Penggunaan graphmatica dalam pembelajaran matematika dengan model discovery

learning tidak terlepas dari beberapa kendala. Hal ini sesuai dengan pernyataan Uworwabayeho

(2009) bahwa integrasi teknologi baru dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa

merupakan suatu tantangan. Berdasarkan hasil kegiatan see, beberapa kendala dalam

pembelajaran yang dilakukan tersebut diantaranya adalah banyak siswa kesulitan dalam

mengoperasikan Graphmatica, misalnya kesulitan dalam menuliskan rumus fungsi pada

Graphmatica. Hal ini terjadi karena Graphmatica merupakan software yang baru bagi siswa.

Kendala lain yang ada adalah siswa kesulitan dalam menggambar grafik fungsi yang awam bagi

mereka, misalnya kesulitan dalam menggambar grafik fungsi berbentuk

2,6

2,32)(

2

xx

xxxf , walaupun sudah menggunakan Graphmatica. Hal ini terjadi karena

pada pembelajaran materi fungsi, siswa belum mendapatkan pengalaman untuk menggambar

grafik fungsi seperti itu. Selain itu, Graphmatica merupakan software yang baru bagi siswa

sehingga keterampilan siswa dalam mengoperasikan Graphmatica masih perlu dikembangkan.

KESIMPULAN

Perkembangan teknologi perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran matematika. Ada banyak hal yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran, diantaranya meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,

melakukan pembelajaran dengan mengaplikasikan berbagai model pembelajaran dan media

pembelajaran yang inovatif dan selalu merefleksi kegiatan pembelajaran. Penggunaan

Graphmatica dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu bentuk penerapan

pembelajaran matematika yang berbasis teknologi. Penggunaan Graphmatica dalam

pembelajaran matematika dengan model discovery learning mencerminkan pembelajaran

dengan pendekatan scientific. Pelaksanaan model pembelajaran dan media tersebut di kelas

perlu disertai kegiatan refleksi proses pembelajaran yang dapat dilakukan dengan kegiatan

lesson study.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

461

Penggunaan Graphmatica dalam pembelajaran matematika dengan model discovery

learning dapat dilakukan dengan cara mendesain kegiatan pembelajaran yang memuat tahap-

tahap discovery learning dan aktifitas yang menggunakan Graphmatica sebagaimana dilakukan

pada kegiatan lesson study di SMAN 8 Malang, yaitu: (1) memahami permasalahan; (2)

mengumpulkan data (melalui menentukan nilai fungsi dan observasi grafik) untuk menemukan

solusi permasalahan; (3) mengolah data; (4) membuktikan dan (5) membuat kesimpulan atas

temuan yang diperoleh dari menyelesaikan permasalahan. Penggunaan Graphmatica dapat

dimunculkan pada tahap mengumpulkan data (melalui menentukan nilai fungsi dan observasi

grafik) untuk menemukan solusi permasalahan.

Pembelajaran limit fungsi dengan model discovery learning dan media Graphmatica

yang telah dilakukan di SMAN 8 Malang tersebut, dapat digunakan sebagai salah satu panduan

dalam menggunakan Graphmatica dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan

keaktifan siswa dan dapat menjadi bahan refleksi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran

matematika. Pembelajaran matematika menggunakan Graphmatica maupun model discovery

learning dapat dikembangkan dalam pembelajaran materi matematika yang lain pula, selain

materi Limit Fungsi. Graphmatica dapat digunakan dalam berbagai pembelajaran matematika

yang melibatkan fungsi dan grafik, diantaranya Fungsi, Limit Fungsi, Turunan, Integral, Sistem

Persamaan Linear dan Program Linear. Model discovery learning dapat digunakan

pembelajaran berbagai materi matematika pula. Hal terpenting yang perlu digarisbawahi dalam

meningkatkan kualitas pembelajaran adalah keaktifan guru dalam meningkatkan kemampuan

keilmuan dan pedagogik melalui peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,

pelaksanaan pembelajaran yang inovatif dan refleksi pembelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, Sopiah dan Shariff, Adilah. 2008. The Effects of Inquiry-Based Computer Simulation

with Cooperative Learning on Scientific Thinking and Conceptual Understanding of Gas

Laws. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Tecnology Education, Vol. 4 (4), hal.

387-398.

Bishop, Alan J. 2009. Developing teacher-researchers: a review of two handbooks. Journal of

Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.305-310.

Burghes, David; dan Robinson, Derek. 2009. Lesson study: Enhancing mathematics Teaching

and Learning. Copyright: CfBT Education Trust United Kingdom (http://www.cfbt.com)

Chapman, Olive dan Heater, Brenda . 2010. Understanding change through a high school

mathematics teacher’s journey to inquiry-based teaching. Journal of Mathematics

Teacher Education, Vol. 13, hal. 445-458.

Cheng-Yao, Lin. 2008. Beliefs about Using Technology in the Mathematics Classroom:

Interviews with Pre-service Elementary Teachers. Eurasia Journal of Mathematics,

Science and Tecnology Education, Vol. 4 (4), hal. 135-142.

da Ponte, Joao Pedro. 2009. Conditions of progress in mathematics teacher education. Journal

of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.311-313.

Doig, Brian and Groves, Susie. 2011. Japanese elsson Study: Teacher Professional

Development Through Communities of Inquiry. Mathematics Teacher Education and

development, Vol. 13 (1), hal. 77-93.

Flick, L.B and Lederman, N.G. 2006. Scientific Inquiry and Nature of Science: Implication for

Teaching, Learning and Teacher Education. Netherlands: Springer.

Gunnarsdottir, G. Helga; dan Palsdottir, G. 2011. Lesson study in Teacher Education: A Tool to

Establish A Learning Community. Proceeding of Seventh Congress of the European

Society for Mathematics Education (CERME 7) in Rzeeszow, Poland 3-13 February

2011.

Hertzer, Keith. 2014. Graphmatica. http://archives.math.uk.edu/software/msdos/graphing/g-

rmat/.html (diakses 30 April 2014 pukul 05.00).

Hunter, Roberta. 2010. Changing roles and identities in the construction of a community of

mathematical inquiry. Journal of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.397-409.

Lewis, Catherine C ; Perry, Rebecca R; dan Hurd, Jacqueline. 2009. Improving mathematics

instruction through lesson study: a theoretical model and North American case. Journal of

Mathematics Techer Education Vo. 12, halaman 285-304.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

462

National Council of Educational Research and Training. 2006. Position Paper: National Fokus

Group on Teaching of mathematics. New Delhi: National Council of Educational

Research and Training.

Ryken, Amy E. 2009. Multiple representations as sites for teacher reflection about mathematics

learning. Journal of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal.347-364.

Santos-Trigo, Manuel. 2008. An Inquiry Approach to Construct Instructional Trajectories Based

on The Use of Digital Technologies. Eurasia Journal of Mathematics, Science and

Tecnology Education, Vol. 4 (4), hal. 347-357.

Sutman, Frank X; Schmuckler, Joseph S; dan Woodfield, Joyce D. 2008 . The Science Quest:

Using Inquiry/Discovery to Enhance Student Learning, Grades 7–12. San Fransisco: John

Wiley & Sons, Inc.

Uworwabayeho, Alphonse. 2009. Teachers’ innovative change within countrywide reform: a

case study in Rwanda. Journal of Mathematics TeacherEducation, Vol. 13, hal. 315–324.

Walshaw, Margaret. 2010. Mathematics pedagogical change: rethinking identity and reflective

practice. Journal of Mathematics Teacher Education Vol. 13, hal. 487–497

Weinbaum, Alexandra [dkk]. 2004. Teaching as Inquiry : Asking Hard Questions to Improve

Practice and Student Achievement. New York: Teachers College Press.

Wikipedia. 2014. Graphmatica. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Graphmatica (diakses 30 April

2014 pukul 05.00 WIB).

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V

DI SDN BUMIAYU 1 MALANG PADA MATERI GEOMETRI

BANGUN RUANG MENGGUNAKAN MEDIA BENDA KONKRET

Arda Purnama Putra

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Pembelajaran konstruktivisme merupakan pembelajaran yang bersifat generatif,

yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Pembelajaran ini sangat

sesuai pada materi bangun ruang dengan menggunakan media benda konkret karena siswa

dapat mengonstruk sendiri pengetahuannya dari apa yang telah dipelajari. Berdasarkan

penelitian tindakan kelas yang dilakukan di SDN Bumiayu 1 Malang didapatkan

peningkatan hasil belajar siswa kelas V pada pertemuan kedua, yaitu dari 54% siswa tuntas

KKM menjadi 88% siswa yang tuntas KKM. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pembelajaran konstruktivisme menggunakan media benda konkret terbukti dapat

meningkatkan hasil belajar siswa kelas V pada materi geometri bangun ruang.

Kata Kunci: pembelajaran konstruktivisme, media benda konkret, geometri bangun ruang

Mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit

oleh sebagian siswa. Banyak siswa yang kurang antusias dan kurang semangat mengikuti

pelajaran matematika sehingga hasil belajar matematika biasanya di bawah rata-rata. Masalah

lain yang timbul pada pembelajaran matematika yaitu penggunaan media yang kurang oleh guru

sehingga siswa sulit dalam menerima materi yang bersifat abstrak.

Di dalam belajar matematika, seseorang yang mempelajari konsep B sebelum

memahami konsep A atau suatu konsep yang lebih tinggi tingkatannya (higher-order concept)

hanya dapat dipahami melalui konsep yang lebih rendah tingkatannya (lower-order concept)

(Hudojo, 1990:4). Selain itu, siswa SD berada dalam masa perkembangan operasional konkret.

Siswa pada tahap berpikir konkret akan merasa kesulitan apabila matematika disajikan dalam

bentuk abstrak. Oleh sebab itu, diperlukan penyesuaian pembelajaran yang menyajikan sebagai

bentuk representasi konsep matematika untuk membantu siswa agar dapat memudahkan

belajarnya.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

463

Konstruktivisme merupakan landasan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit

demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan

diingat, tetapi peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna

pengalaman nyata (Trianto, 2009).

Suparno (1997) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran konstruktivisme siswa dituntut

untuk mengkonstruk pengetahuan mereka secara aktif, sedangkan peranan guru sendiri lebih

sebagai moderator dan fasilitator. Dalam perannya sebagai moderator, guru bertugas

menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam

membuat rancangan, proses, dan penelitian. Adapun dalam perannya sebagai fasilitator, guru

bertugas menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan

siswa, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya, dan mengomunikasikan

ide ilmiah mereka. Selain itu, guru juga wajib menyediakan sarana belajar, merangsang siswa

berpikir produktif, serta menyemangati siswa dalam belajar.

Pelaksanaan pembelajaran materi geometri bangun ruang di kelas V SDN Bumiayu 1

Malang selama ini berlangsung kurang efektif. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan

pembelajaran di kelas, diketahui bahwa guru lebih banyak menggunakan metode ceramah dan

tanya jawab. Terlebih dulu guru menerangkan konsep bangun ruang tanpa menggunakan media.

Konsep bangun ruang akan sulit dimengerti oleh siswa jika diterangkan tanpa menggunakan

media. Tanpa menggunakan media siswa hanya akan mendapat konsep secara abstrak. Siswa

akan kesulitan menerjemahkan konsep tersebut karena siswa SD masih pada tahap

perkembangan berpikir konkret.

Pengamatan terhadap hasil pembelajaran menunjukkan bahwa skor rata-rata kelas pada

materi bangun ruang ini rendah. Dari setiap hasil ulangan cenderung sebagian besar siswa

belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu nilai 60, sehingga belum

mencapai ketuntasan klasikal. Baru setelah diadakan ulangan perbaikan, ketuntasan

klasikal tercapai, dan itu pun mesti dilakukan berulang kali.

Dari hasil wawancara di kelas, sebagian besar siswa merasa kesulitan memahami

konsep bangun ruang karena guru tidak memberikan media yang nyata yang bisa dilihat dan di

pegang langsung oleh siswa. Kebanyakan siswa tidak bisa membayangkan bentuk bangun ruang

yang diterangkan guru dengan metode ceramah dan tanpa menggunakan media. Sehingga

pengetahuan siswa tentang konsep suatu bangun ruang sering kali rancu dan saling tertukar

dengan bangun ruang yang lain. Contohnya yaitu siswa sering tertukar antara konsep kubus

dengan balok, konsep prisma dengan limas. Hal ini dikarenakan siswa mengetahui konsep

bangun ruang tersebut hanya dari penjelasan guru saja. Seharusnya guru memberikan contoh

nyata benda-benda bangun ruang tersebut supaya siswa dapat membedakannya dengan mudah.

Dari pemaparan di atas dapat ditarik satu pemahaman bahwa permasalahan dalam

pembelajaran materi geometri bangun ruang terjadi karena pembelajaran bersifat abstrak,

padahal siswa berada pada tahapan operasional konkret. Karenanya pembelajaran untuk siswa

kelas V SD diarahkan pada pembelajaran yang lebih konkret yaitu dengan menggunakan media

benda nyata atau konkret.

Lilis Lisnawati, Widodo (2007:109) media benda konkret adalah benda-benda asli

apa adanya tanpa mengalami perubahan yang dijadikan media dalam kegiatan pembelajaran.

Media benda konkret sering disebut juga media benda nyata atau realita. Realita adalah

benda-benda nyata seperti apa adanya atau aslinya, tanpa perubahan

Untuk mencapai hasil yang optimum dari proses belajar mengajar mengajar, salah satu

hal yang sangat disarankan adalah digunakannya pula media yang bersifat langsung dalam

bentuk objek nyata atau realita (Ibrahim dan Syaodih, 2010:118). Ada beberapa keuntungan

dalam menggunakan media benda nyata ini. Ibrahim dan Syaodih (2010:119) menyatakan

bahwa keuntungan menggunakan media ini antara lain (1) dapat memberikan kesempatan

semaksimal mungkin pada siswa untuk mempelajari sesuatu ataupun melaksanakan tugas-

tugas dalam situasi nyata dan (2) memberikan kesempatan pada siswa untuk mengalami

sendiri situasi yang sesungguhnya dan melatih keterampilan mereka dengan menggunakan

sebanyak mungkin alat indera.

Pada materi bangun ruang maka media konkret yang bisa dipakai oleh guru bisa

berupa media tiruan benda bangun ruang seperti gambar dibawah ini.

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

464

Gambar 1. Media Konkret Bangun Ruang

Guru juga bisa menggunakan media benda-benda yang ada di sekitar kita yang biasa

dijumpai seperti contoh dibawah ini.

Gambar 2. Media Kongkret Bangun Ruang yang Ada di Sekitar Kita

Dengan media konkret bangun ruang ini siswa dapat mempelajari dengan sendiri sifat-

sifat berbagai bangun ruang melalui pengamatan. Dengan menggunakan media tersebut maka

siswa akan mendapatkan pengetahuan secara konkret tentang bangun ruang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Pelaksanaan

penelitian ini mengacu pada siklus PTK yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (1988).

Adapun siklus dalam penelitian ini terdiri dari 4 tahapan yaitu: (1) perencanaan tindakan

(planning), (2) pelaksanaan tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi

(reflecting).

a. Tahap Perencanaan Tindakan

Pada tahap perencanaan tindakan I, hal-hal yang dilakukan dalam pelaksanaan ini

meliputi: (1) menyusun RPP, (2) menyiapkan media pembelajaran berupa benda konkret

tentang bangun ruang, (3) menyiapkan Lembar Kegiatan Kelompok (LKK), (4) menyiapkan

lembar observasi, (5) menyusun instrumen tes hasil belajar berupa tes, (6) menyiapkan

sarana dan fasilitas pendukung yang diperlukan di kelas.

b. Tahap pelaksanaan Tindakan

Pelaksanaan tindakan penelitian dilaksanakan sesuai dengan perencanaan

tindakan yang telah dirumuskan pada tahap perencanaan. Tujuan utama pada tahap ini adalah

mengupayakan inovasi dalam proses pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

465

pembelajaran. Pada tahap ini guru mempraktikan pembelajaran konstruktivisme pada materi

geometri bangun ruang dengan menggunakan media benda konkret.

c. Tahap Observasi

Pada tahap ini, dilakukan proses observasi selama pelaksanaan pembelajaran

dengan menggunakan lembar observasi. Observasi dilakukan terhadap RPP, pelaksanaan

pembelajaran dan aktivitas siswa pada saat mengikuti pembelajaran. Instrumen yang

digunakan untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran yaitu berupa lembar pengamatan

untuk guru, sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengamati aktivitas siswa pada saat

pembelajaran yaitu pedoman penilaian untuk siswa. Setiap akhir pertemuan, siswa diberikan

tes untuk mengukur tingkat pemahaman mereka.

d. Tahap Refleksi

Pada tahap refleksi, kegiatan yang dilakukan adalah: (1) mengevaluasi hasil

penilaian aktivitas siswa, (2) mengevaluasi hasil belajar siswa yang diperoleh melalui hasil

tes di akhir pertemuan I, dan (3) merefleksikan data-data yang didapat pada tahap

pelaksanaan untuk diperbaiki pada siklus selanjutnya. Peneliti melakukan refleksi atas proses

dan hasil pembelajaran yang dicapai pada proses tindakan ini. Refleksi yang dimaksud

adalah melakukan perenungan atau berpikir ulang terhadap kegiatan yang sudah dilakukan,

kegiatan yang belum dilakukan, apa saja yang sudah dicapai, apa saja yang belum dicapai,

masalah apa saja yang belum terpecahkan, dan menentukan tindakan yang perlu dilakukan

dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus I Pada tahap perencanaan yaitu membuat RPP dari KD 6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat

bangun ruang. Bangun ruang yang diidentifikasi diantaranya yaitu kubus, balok, prisma, limas,

tabung, dan kerucut.

Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 15 September 2013 di kelas V.

Pembelajaran berlangsung dalam satu kali pertemuan dengan durasi waktu 3x35 menit. Dalam

pelaksanaan pembelajaran peneliti berkolaborasi dengan teman sejawat, yang mana teman

sejawat bertindak sebagai observer dan penulis sebagai guru. Berdasarkan susunan rencana

pembelajaran yang telah diketahui, pembelajaran berlangsung seperti dalam susunan rencana

pembelajaran yang telah dibuat.

Berdasarkan pengamatan guru pada saat pembelajaran materi geometri bangun ruang

pada siklus I ini, siswa terlihat kurang antusias, namun ada beberapa siswa yang terlihat

antusias. Ada beberapa siswa yang asyik bermain sendiri dan mengganggu siswa lain. Guru

memberikan teguran dan motivasi, agar masing-masing aktif menyelesaikan tugas yang telah

diberikan.

Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus I ini diperoleh data hasil pembelajaran pada tiap

indikatornya sebagai berikut. Tabel 1. Hasil Pembelajaran pada Siklus I

No Indikator Pembelajaran Hasil Pencapaian

1 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang kubus 60%

2 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang balok 60%

3 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang prisma 55%

4 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang limas 60%

5 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang tabung 70%

6 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang kerucut 75%

Untuk mengetahui hasil belajar keseluruhan siswa kelas V di SDN Bumiayu 1 Malang pada

siklus I maka dicari rata-rata nilai hasil evaluasi di kelas tersebut dengan rumus.

Rata − rata hasil belajar siswa = skor perolehan

jumlah siswa

Rata − rata hasil belajar siswa = 2795

41 = 68

Dari perhitungan data didapat rata-rata hasil belajar siswa adalah 68. Dari paparan data

di atas dapat dilihat bahwa siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM sebanyak 19 siswa

atau 46% jumlah seluruh siswa sedangkan siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

466

22 siswa atau 54% jumlah seluruh siswa. Karena hasil belajar ketuntasan klasikal masih di

bawah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan yaitu 85% maka perlu dilanjutkan pada siklus

II.

Gambar 3. Diagram ketuntasan KKM pada siklus I

Dari pelaksanaan siklus I dapat direfleksikan bahwa selama pembelajaran, aktivitas

siswa dalam pembelajaran masih sangat kurang, hal ini terlihat dari sedikitnya siswa yang

mengangkat tangan untuk merespon dan menaggapi pertanyaan dari guru. Hasil observasi

penilaian proses atau penilaian aktivitas siswa masih kurang dan hasil belajar siswa juga masih

kurang.

Dari paparan refleksi di atas perlu adanya pembenahan-pembenahan agar hasil belajar

dalam materi geometri bangun ruang dapat maksimal. Maka dari itu perlu dilaksanakan siklus II

untuk memperbaiki kekurangan di atas serta kekurangan yang lainnya.

Siklus II

Pada tahap perencanaan yaitu membuat RPP dari KD 6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat

bangun ruang seperti pada siklus I hanya saja pada RPP siklus II ini terdapat pembenahan agar

hasil belajar dapat lebih maksimal. Pembenahan terutama yang terkait dengan pengorganisasian

kelas dan strategi untuk mengaktifkan siswa dengan benar.

Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 22 September 2013 di kelas V.

Pembelajaran berlangsung dalam satu kali pertemuan dengan durasi waktu 3 x 35 menit.

Berdasarkan susunan rencana pembelajaran yang telah diketahui, pembelajaran berlangsung

seperti dalam susunan rencana pembelajaran yang telah dibuat.

Berdasarkan pengamatan observer pada saat pembelajaran berlangsung, siswa terlihat

lebih antusias jika dibandingkan dengan siklus I. Siswa yang bermain sendiri juga sudah

berkurang, siswa menjadi lebih aktif dan terjalin kerja sama yang bagus.

Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme dengan menggunakan media benda konkret

untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa kelas V pada mata pelajaran Matematika

materi geometri bangun ruang dapat meningkatkan keaktifan dan kerja sama siswa dengan

siswa yang lain sehingga pembelajaran lebih terpusat pada siswa. kelas lebih terlihat hidup dari

pada pembelajaran sebelumnya. Dari pelaksanaan siklus II ini hasil tes siswa sudah baik.

Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus I ini diperoleh data hasil pembelajaran pada tiap

indikatornya sebagai berikut. Tabel 1. Hasil Pembelajaran Siklus II

No Indikator Pembelajaran Hasil Pencapaian

1 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang kubus 85%

2 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang balok 85%

3 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang prisma 85%

4 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang limas 85%

5 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang tabung 90%

6 Mengetahui sifat-sifat bangun ruang kerucut 95%

Untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas V di SDN Bumiayu 1 Malang pada siklus I

maka dicari rata-rata nilai hasil evaluasi di kelas tersebut dengan rumus.

Rata − rata hasil belajar siswa = skor perolehan

jumlah siswa

Siswa Tuntas KKM

Siswa Tidak Tuntas KKM

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

467

Rata − rata hasil belajar siswa = 3265

41 = 79

Dari perhitungan data didapat rata-rata hasil belajar siswa adalah 79. Dari paparan data

di atas dapat dilihat bahwa siswa yang mendapatkan nilai dibawah KKM sebanyak 5 siswa atau

12% jumlah seluruh siswa sedangkan siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 36

siswa atau 88% jumlah seluruh siswa. Jumlah tersebut sudah mengalami peningkatan dari siklus

I. Hal ini juga menunjukkan bahwa ketuntasan belajar secara klasikal sudah memenuhi target

yang ditentukan yaitu 85%, maka pembelajaran ini di anggap berhasil pada siklus II, serta

meningkatnya rata-rata siswa.

Gambar 4. Diagram ketuntasan KKM pada siklus II

Pada umumnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada siklus II sudah berjalan

lancar dan dapat memenuhi kriteria yang telah ditentukan, namun guru juga perlu

memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran baik media

pembelajaran maupun pengorganisasian waktu. Pembelajaran yang dilakukan mengalami

peningkatan baik dalam proses maupun produknya. Hal ini dapat dijadikan sebagai motivasi

bagi guru untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pembelajaran yang dapat meningkatkan

kemampuan siswa dalam mata pelajaran matematika khususnya materi geometri bangun ruang.

Berdasarkan data rekapitulasi di atas dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan hasil

belajar siswa pada materi geometri bangun ruang siswa kelas V SDN Bumiayu 1 dalam masing-

masing siklus. Hal ini disebabkan siswa termotivasi dalam pembelajaran Matematika pada

materi geometri bangun ruang dengan menggunakan media benda konkret, sehingga hasil

belajar siswa mengalami peningkatan.

Setelah menerapkan Pembelajaran Konstruktivisme dengan menggunakan media benda

konkret pada mata pelajaran Matematika , hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Pada

siklus I, siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 22 siswa atau 54% jumlah seluruh

siswa. Pada siklus II, siswa yang mendapatkan nilai diatas KKM sebanyak 36 siswa atau 88%

jumlah seluruh siswa.

Jumlah siswa yang mengalami peningkatan hasil belajar yaitu sebanyak 35 siswa atau

85% jumlah semua siswa. Sedangkan siswa yang tidak mengalami peningkatan hasil belajar

sebanyak 4 siswa atau 10% jumlah semua siswa. 5% lainnya yaitu 2 siswa merupakan siswa

yang mendapat nilai 100 dari siklus I sampai siklus II.

Peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Matematika dengan meteri

geometri bangun ruang juga ditunjukkan dari rata-rata hasil belajar siswa. Pada siklus I, rata-

rata hasil belajar siswa adalah 68 sedangkan pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa adalah

79.

Di bawah ini dipaparkan perbandingan perolehan rata-rata hasil belajar dan presentase

ketuntasan KKM pada siklus I dan 2.

Siswa Tuntas KKM

Siswa Tidak Tuntas KKM

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

468

Gambar 4. Diagram perbandingan pada siklus I dan siklus II

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme menggunakan media benda konkret terbukti dapat

meningkatkan hasil belajar siswa V di SDN Bumiayu 1 Malang pada mata pelajaran

Matematika khususnya dalam materi geometri bangun ruang. Berdasarkan pembahasan yang

ada, disarankan kepada Guru supaya dapat mengembangkan Pembelajaran Konstruktivisme

pada materi lainnya berdasarkan hasil peningkatan yang telah dicapai pada materi geometri

bangun ruang

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto,S, Suhardjono, dan Supadi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: bumi aksara

Hudojo, H., 1990. Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Jakarta : Depdikbud

Ibrahim,R, & Nana Syaodih S. 2010. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Kemmis, S. dan Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. Deakin:Deakin University.

Lisnawati, Lilis. 2011. Penggunaan Media Konkret Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

Pada Konsep Pesawat Sedehana Di Kelas V SD Negeri Limbangan Tengah Kabupaten

Garut. repository.upi.edu/operator/upload/s_pgsd-0708085_chapter2.pdf. Diunduh pada

19 November 2013 pukul 09.00 WIB

Sudjono, Anas. 1996. Pengantar Statistik Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.

Suwangsih, E dan Triulina. 2006. Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI Press.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

PEMBELAJARAN STRATEGI REACT BERBASIS LESSON STUDY

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI

MATEMATIS TERTULIS SISWA SMKN 2 BARABAI

Siti Rahmah

Universitas Negeri Malang

[email protected]

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pembelajaran strategi REACT

berbasis lesson study untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis

siswa SMKN 2 Barabai pada materi vektor dimensi dua. Pelaksanaannya meliputi 3

kegiatan dalam lesson study yaitu plan, do, see, dan memuat 5 komponen strategi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Siklus 1 Siklus 2

Rata-rata Hasil Belajar

Persentase Siswa Tuntas KKM

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

469

REACT yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring. Indikator

komunikasi matematis adalah siswa mampu menuliskan masalah ke dalam kalimat

matematika, menuliskan pemahaman konsep dengan benar, menuliskan penyelesaian

masalah dengan strategi dan langkah-langkah yang benar, serta melakukan perhitungan

dengan benar. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI B Teknik Kendaraan Ringan di

SMKN 2 Barabai sebanyak 31 siswa. Teknik pengumpulan data meliputi tes tertulis,

observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pembelajaran

strategi REACT berbasis lesson study dapat meningkatkan komunikasi matematis

tertulis siswa.

Kata kunci : lesson study, strategi REACT, komunikasi matematis

Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa

dalam pembelajaran matematika. Komunikasi matematis merupakan kesanggupan atau

kecakapan seorang siswa untuk dapat menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara

lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam soal matematika (Depdiknas, 2006).

Sesuai dengan pendapat Pugalee (2001) mengatakan proses komunikasi membantu makna,

mempublikasikan ide, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan

pemahaman mereka. Khalid dan Tengah (tanpa tahun) juga menyatakan bahwa matematika

adalah subjek yang paling tepat untuk mengembangkan komunikasi karena cara komunikasi dan

pemikiran matematis diperlukan bagi siswa untuk mencapai keberhasilan dalam hidup terutama

ketika bekerja dalam kehidupan nyata. Hal ini juga senada dengan Ilma (2011) yang

menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus

dimiliki siswa karena merupakan bagian yang sangat penting dalam matematika dan pendidikan

matematika. Sebagaimana tercantum dalam prinsip-prinsip dan standar dari National Council of

Teacher of Mathematics (NCTM) yang memuat lima standar proses, yaitu pemecahan masalah,

penalaran dan bukti, komunikasi, koneksi, dan representasi. Beracuan pada NCTM juga, ada

beberapa komponen kemampuan komunikasi matematis tertulis yang menjadi indikator dalam

penelitian ini, yaitu: (1) kemampuan menuliskan masalah ke dalam kalimat matematika, (2)

kemampuan menuliskan pemahaman konsep dengan benar, (3) kemampuan dalam menuliskan

penyelesaian masalah dengan strategi dan langkah-langkah yang benar (4) kemampuan

melakukan perhitungan dengan benar.

Beberapa fakta menunjukkan hasil pembelajaran matematika di SMKN 2 Barabai

belum mencapai target, hasil ulangan harian siswa masih rendah, hanya sekitar 50% siswa yang

tuntas secara klasikal, ini belum mencukupi KKM secara klasikal yang ditetapkan sekolah yaitu

70 % siswa minimal mendapat nilai 70. Hal ini juga diperkuat dengan hasil diskusi dengan guru

matematika di SMKN 2 Barabai bahwa dalam materi vektor dimensi dua, siswa masih bingung

mengomunikasikan permasalahan ke dalam bahasa matematika, mereka juga kesulitan dalam

mengomunikasikan ide-ide matematika kepada siswa lain atau guru di kelas. Ada siswa yang

sudah memahami, namun belum bisa mengomunikasikan pemahamannya di kelas. Ada juga

siswa yang belum mengerti namun bingung untuk mengutarakan ide-ide atau pengetahuan

mereka baik itu secara lisan maupun tertulis.

Menurut CORD (1999) dan Crawford (2001) pembelajaran kontekstual adalah

pembelajaran yang memberikan kesempatan guru berkomunikasi efektif dengan siswa dan

membuka pemikiran siswa tentang makna dan relevansi dari konsep yang mereka pelajari.

Dalam penerapannya pembelajaran ini memuat lima komponen yang disingkat REACT, yaitu

relating (menghubungkan atau mengaitkan), experiencing (mengalami), applying (menerapkan),

cooperating (bekerja sama), transferring (mentransfer). Abdussakir dan Achadiyah (2009)

menyatakan strategi REACT adalah strategi yang dapat mengaktifkan dan mengembangkan daya

pikir siswa karena dalam strategi ini: (a) siswa dapat mengaitkan materi dengan situasi nyata

dan pengetahuan awal siswa, (b) melibatkan siswa dalam pemecahan masalah, (c) melibatkan

siswa dalam pembelajaran kooperatif, dan (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengalami sendiri, mengaplikasikan, dan mentransfer konsep yang dipelajari. Jadi cara terbaik

menyampaikan konsep di kelas, membangun komunikasi guru dan siswa, dan membuka pola

pikir siswa yaitu dengan strategi REACT.

Lesson study sesungguhnya bukanlah program baru sebab sesungguhnya program

kerjasama peningkatan pembelajaran ini merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya yang

disebut “piloting”. Lesson study merupakan sebuah adaptasi program peningkatan kualitas

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

470

pembelajaran yang dilakukan di Jepang. Menurut Lewis dan Takahasi lesson study is explored

both as a means of professional learning for teachers and as an approach to connecting

research and practice more closely. Stigler and Hibert (dalam Sparks) menyatakan lesson study

is a collaborative process in which a group of teachers identifiy an instructional problem, plan

a lesson (which involves finding books and articles on the topic), teach the lesson (one member

of the group teaches the lesson while the others observe), evaluate and revise the lesson, teach

the revised lesson, again evaluate the lesson, and share the results with other teachers. Sejalan

dengan itu, Wang-Invertion (2005) mengatakan lesson study is a unique tool for ongoing

professional learning, because it can help teachers to reach a common understanding of student

thinking and then collaboratively develop strategies that raise students to higher levels of

understanding and accomplishment.

Lesson study dilaksanakan kolaboratif dari sekelompok guru untuk secara bersama-

sama. Ada 3 langkah dalam pelaksanaannya yaitu (1) merencanakan pembelajaran (plan), (2)

salah seorang guru (disebut guru model) melaksanakan pembelajaran di depan kelas dan guru

lain (disebut guru pengamat) mengamati jalannya proses pembelajaran (do), dan (3) melakukan

refleksi atau melihat lagi (see) pembelajaran yang telah dilaksanakannya, guna menemukan dan

memecahkan masalah pembelajaran yang mungkin muncul, agar pembelajaran berikutnya dapat

direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik. Melalui kegiatan Lesson study yang

demikian para guru secara bersama-sama akan belajar masalah pembelajaran dari pembelajaran

pada kelas yang sebenarnya. Fokus pengamatan para guru dalam kegiatan lesson study adalah

mengamati bagaimana siswa atau kelompok siswa belajar dan saling belajar. Jika teramati

adanya masalah pada diri seorang siswa atau kelompok siswa, maka guru pengamat harus

berusaha menganalisa faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi penyebabnya sehingga

kegiatan belajar siswa tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Guru pengamat (observer) juga

diharapkan mampu memberi masukan kepada guru model (praktikan) berdasarkan fakta yang ia

temukan pada siswa atau kelompok siswa selama pembelajaran berlangsung. Lesson study

merupakan kegiatan para guru dalam belajar tentang pembelajaran, memperhatikan bagaimana

guru harus mengamati dan menganalisa jalannya proses pembelajaran pada siswa.

Tujuannya dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran strategi

REACT berbasis lesson study untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis

Siswa SMKN 2 Barabai.

METODE

Metode yang digunakan adalah lesson study yang dapat dikategorikan sebagai

penelitian tindakan. Lesson study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu plan (merencanakan),

Do (melakukan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Pelaksanaan lesson study dilakukan

secara partisipatif dan kolaboratif antara mahasiswa dan guru matematika SMKN 2 Barabai.

Mahasiswa yang terlibat pada lesson study ini adalah tim peneliti sendiri sebanyak 4 orang dan

1 orang guru pengajar matematika di SMKN 2 Barabai. Pada pelaksanaan, 1 mahasiswa akan

bertindak sebagai guru model (praktikan) dan 3 mahasiswa serta 1 guru pengajar bertindak

sebagai observer atau kameramen. Pelaksanaan penelitian berlangsung mulai tanggal 8 sampai

11 Maret 2014. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan model PTK sekaligus dalam bentuk

lesson study. Jumlah siklus tindakan atau siklus lesson study direncanakan sebanyak 2 siklus.

Alur penelitian secara umum adalah kegiatan perencanaan (plan), pelaksanaan (Do) dan refleksi

(See), dan dalam alur tersebut memuat langkah dalam penelitian tindakan (1) perencanaan, (2)

pelaksanaan, (3) pelaksanaan, (4) refleksi.

Tempat penelitian di di SMKN 2 Barabai tahun pelajaran 2013/2014 yang berlokasi di

Jl. Sa’aludin RT. 05 RW. 03 Aluan Mati Seberang Kec. Batu Benawa Kabupaten Hulu Sungai

Tengah Propinsi Kalimantan Selatan. Subjek penelitiannya adalah siswa kelas XI B Teknik

Kendaraan Ringan SMKN 2 Barabai yang berjumlah 31 siswa dengan 1 siswa perempuan dan

30 siswa laki-laki tahun pelajaran 2013/2014.

Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes hasil

belajar, hasil observasi, dan dokumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Siklus 1

1. Plan (Perencanaan)

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

471

Tahap perencanaan ini adalah merencanakan jadwal pelaksanaan, mempersiapkan

perangkat pembelajaran yang meliputi rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar

Kerja Siswa (LKS), bahan ajar, media pembelajaran/alat peraga, serta mempersiapkan

format yang meliputi daftar hadir pengamat, lembar observasi untuk observer, dan alat-alat

untuk dokumentasi berupa handycam dan kamera. Format ini disusun untuk

mendokumentasikan segala kegiatan lesson study sehingga dapat dilakukan refleksi yang

akurat.

2. Do (Pelaksanaan)

Tahap ini adalah penerapan pembelajaran dengan strategi REACT berbasis lesson study

yang memuat 5 komponen yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan

transferring. Praktikan yang berperan sebagai guru model mengawali dengan mengucapkan

salam, mengabsen siswa, dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Kemudian

menyampaikan appersepsi dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan kehidupan

sehari-hari atau menggali pengetahuan yang telah mereka pelajari sebelumnya yang

berkaitan dengan materi yang akan dipelajari (relating). Selanjutnya guru membentuk siswa

menjadi 5 kelompok yang beranggotakan sekitar 5-6 orang dan menjelaskan tugas atau

tanggung jawab siswa dalam kelompok, kemudian memberikan LKS kepada masing-masing

siswa tiap kelompok untuk didiskusikan penyelesaiannya, siswa menggali sendiri informasi

dari buku-buku pelajaran atau pengalaman sebelumnya untuk menyelesaikan LKS

(experiencing dan cooperating). Guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan permasalahan yang ada di LKS. Kemudian siswa menerapkan konsep yang

mereka temukan dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari (Applying) dan

permasalahan yang lebih kompleks (transferring). Setelah sekitar 45 menit, salah satu

kelompok dipilih untuk mempresentasikan hasil kelompoknya dan guru membimbing siswa

untuk mempersiapkan. Guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk

memberikan pertanyaan atau masukan jika ada perbedaan pendapat kepada kelompok

penyaji. Kemudian guru membimbing siswa untuk melakukan refleksi, apa saja yang

didapat hari ini dan kesulitannya apa saja. Setelah itu guru membimbing siswa

menyimpulkan pelajaran. Akhir pertemuan guru memberi siswa latihan soal.

Beberapa siswa semangat berdiskusi dan antusias dalam memberikan pendapatnya serta

merasa tertantang untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di LKS, namun masih ada

siswa juga yang masih pasif, kurang terlibat aktif dalam diskusi kelompok.

3. See (Refleksi)

Pada kegiatan refleksi, tim lesson study mengevaluasi proses pembelajaran, terutama

tindakan praktikan yang berperan sebagai guru model. Para observer memberikan masukan

atas proses pembelajaran, kekurangannya dibagian mana dan solusinya seperti apa.

Ada beberapa hasil refleksi dari observer pada pertemuan siklus 1 ini, yaitu (1) kerja

sama siswa dalam kelompok masih belum optimal karena jumlah siswa dalam kelompok

tertlalu banyak, (2) ada beberapa siswa yang masih mengerjakan LKS secara individual,

kurang kerja sama dalam kelompok, (3) saat presentasi siswa masih malu-malu dan kurang

termotivasi agar lebih percaya diri, (4) pembagian LKS ke setiap siswa membuat siswa

kurang dalam fokus dalam diskusi kelompok dan cenderung ribut, (5) Terlalu banyak soal

dan langkah kerja dalam LKS sehingga siswa sering tidak cukup waktu untuk menyelesaikan

semua.

Beberapa perbaikan untuk pembelajaran berikutnya yaitu (1) mengurangi jumlah siswa

tiap kelompok dan menambah jumlah kelompok, (2) LKS tidak dibagikan ke setiap siswa

dalam kelompok tapi cukup dua saja tiap kelompok, (3) siswa dimotivasi lagi untuk lebih

percaya diri dalam mengemukakan pendapatnya pada saat presentasi, (4) mengurangi soal

atau masalah dalam LKS namun tidak mengurangi dari makna tujuan pembelajaran sehingga

siswa lebih fokus dan efektif.

Hasil tes akhir pertemuan juga masih belum mencukupi KKM, hasil menunjukkan hanya

19 siswa yang mencapai KKM atau secara klasikal 61,3%. Padahal KKM yang ditetapkan

sekolah adalah 70% secara klasikal dan 70 secara individual.

Siklus 2

1. Plan (Perencanaan)

Tahap perencanaan ini adalah mempersiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi

rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), bahan ajar, media

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

472

pembelajaran/alat peraga, serta mempersiapkan format meliputi daftar hadir pengamat,

lembar observasi untuk observer, dan alat-alat untuk dokumentasi berupa handycam dan

kamera. Perangkat pembelajaran pada tahap ini disesuaikan dengan hasil refleksi pada

pertemuan siklus 1.

2. Do (Pelaksanaan)

Seperti pada pertemuan siklus 1, tahap ini masih menerapkan pembelajaran dengan

strategi REACT yang memuat 5 komponen yaitu relating, experiencing, applying,

cooperating, dan transferring. Awalnya praktikan yang berperan sebagai guru mengucapkan

salam, mengabsen siswa, dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Kemudian

menyampaikan appersepsi dengan mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan kehidupan

sehari-hari atau menggali pengetahuan yang telah mereka pelajari sebelumnya yang

berkaitan dengan materi yang akan dipelajari (relating). Selanjutnya memberikan

membentuk siswa menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan hasil refleksi pertemuan siklus

1 maka jumlah siswa dalam tiap kelompok dikurangi menjadi 4-5 orang dan jumlah

kelompok bertambah menjadi 6. Kemudian guru memberikan LKS sebanyak 2 buah saja tiap

kelompok untuk didiskusikan penyelesaiannya, hal ini sesuai dengan refleksi sebelumnya

bahwa dengan membagikan LKS ke setiap siswa dalam kelompok tidak efektif. Siswa

menggali sendiri informasi dari buku-buku pelajaran atau pengalaman sebelumnya untuk

menyelesaikan LKS (experiencing dan cooperating). Guru membimbing siswa yang

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di LKS. Kemudian siswa

menerapkan konsep yang mereka temukan dalam menyelesaikan permasalahan sehari-hari

(Applying) dan permasalahan yang lebih kompleks (transferring). Setelah sekitar 45 menit,

salah satu kelompok dipilih untuk mempresentasikan hasil kelompoknya dan guru

membimbing siswa untuk mempersiapkan. Kemudian guru membimbing siswa untuk

melakukan refleksi, apa saja yang didapat hari ini dan kesulitannya apa saja. Setelah itu guru

membimbing siswa menyimpulkan pelajaran. Akhir pertemuan guru memberi siswa latihan

soal.

3. See (Refleksi)

Pada kegiatan refleksi, tim lesson study mengevaluasi proses pembelajaran, terutama

tindakan praktikan yang berperan sebagai guru model. Para observer memberikan masukan

atas proses pembelajaran, kekurangannya dibagian mana dan solusinya seperti apa.

Berdasarkan hasil observasi dari tim observer, pertemuan kedua mengalami peningkatan dari

sebelumnya, pembelajaran lebih aktif dan hampir semua siswa terlibat dalam diskusi. Hasil

tes juga mengalami peningkatan sebanyak 16,1%. Pada siklus 1 hasil tes mencapai 61,3%

sekarang pada siklus 2 mencapai 77,4%. Pembelajaran mencapai nilai KKM yang

ditetapkan, maka dapat disimpulkan pembelajaran berhasil dan meningkat.

SIMPULAN

Siswa mampu menuliskan masalah ke dalam kalimat matematika, menuliskan pemahaman

konsep dengan benar, menuliskan penyelesaian masalah dengan strategi dan langkah-langkah

yang benar, dan melakukan perhitungan yang benar. Pembelajaran dengan strategi REACT

dapat meningkatkan motivasi dan antusias siswa dalam belajar matematika, serta membuat

suasana belajar tidak kaku dan menjenuhkan. Pembelajaran dengan strategi REACT berbasis

lesson study dapat meningkatkan kemampuan komunikasi tertulis pada siswa SMKN 2 Barabai.

DAFTAR RUJUKAN

Abdussakir dan Achadiansyah, Nur Laili. Pembelajaran Keliling dan Luas Lingkaran dengan

Strategi REACT pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto.

CORD.1999. Teaching Mathematics Contextually: The Cornerstone Of Teach Pref.Waco.

Texas: CORD Communications.Inc

Crawford, M. L. 2001. Teaching Contextually. Research, Rationale, and Techniques for

Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Cord.

Depdiknas.2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas

Ilma, I. Putri. 2011. Improving Mathematics Comunication Ability Of Students In Grade 2

Through PMRI Approach. Universitas Brawijaya : Departemen Pendidikan Matematika

Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa

melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang

473

Khalid, M dan Tengah, Muhammad K. A. Communication in mathematics: The Role of

Language and its Consequences for English as Second Language Students. Brunei

Darussalam: Universiti Brunei Darussalam

Lewis, Catherine dan Takahasi, Akihiko. Learning across boundaries: U.S.-Japan

Collaboration in Mathematics, Science and Technology Education. The National

Science Foundation

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). Curriculum and Evaluation Standards

for Schoo Mathematics. Reston, Va.: NCTM, 1989.

Pugalee, K David. 2001. Using Communication to Develop Students’ Mathematical Literacy.

Mathematics Teaching in The Middle School.

Sparks, Dannis (1999) Overview of Lesson study. [Online]. Tersedia:

http://www.nwrel.org/msec/lessonstudy/overview.html

Wang-Iverson, P., (2002). What makes lesson study unique? in Wang-Iverson, P. & Yoshida,

M., Ed. (2005) Building our understanding of lesson study. Philadelphia, PA: Research

for Better Schools.