mata kuliah pengantar ilmu fiqih sejarah perkembangan fiqih masa imamul madzhab
DESCRIPTION
SEKLOAH TINGGI ISLAM MA'HAD ALYBABAKAN CIWARINGIN CIREBONTRANSCRIPT
MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH MASA IMAMUL MADZHAB
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqih
DOSEN MATA KULIAH : H.Syarif Abu Bakar Yahya, M.si
Di susun oleh:
1. Winanta
2. Moh. Rohmat
3. Yusuf maulana
4. Sri yuliyati
5. Naisa
6. Oliyana
7. Nur Hayati Al-Hikam
PRODI : PROGRAM PENINGKATAN GURU DTA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY (STAIMA)
CIREBON
2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengharap puji syukur kehadirat Allah swt yang Maha Pengasih dan
Penyayang, Maha Pengampun serta Maha Penerima Taubat bagi hamba-hamba-Nya yang
mau bertaubat dan mohon ampunan-Nya.
Dan mudah-mudahan Allah Swt melindungi dari kesalahan diri kami dan dari
keburukan amal kami. Karena siapa saja yang disesatkan oleh-Nya maka tidak seorang pun
yang bisa memberi petunjuk baginya. Dan siapa saja yang diberi petunjuk oleh-Nya maka
tidak seorang pun dapat menyesatkannya.
Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada pahlawan revolusioner dunia, Putra
Abdullah, Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kita ke jalan yang lurus.
Berkat rahmat dan Hidayah-Nya serta Inayah-Nya pulalah, penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini, sebagai tugas dari Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Aly,
Prodi program peningkatan guru DTA pada mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqih.
Penulis sadar, bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik pembaca yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Cirebon, april 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
a. Latar Belakang masalah
b. Rumusan masalah
c. Tujuan penulisan
BAB II : PEMBAHASAN
1. ALIRAN FIQIH ABAD KE-2 HIJRIYAH
a. Madrasah Ahl Al-Hadits
b. Madrasah Ahl Al-Ra’y
c. Madrasah Ahl Adz-Dzahir
2. SEJARAH KEMUNCULAN MADZHAB
3. PENERTIAN MADZHAB
4. BEBERAPA MADZHAB FIQIH DALAM ISLAM
a. Madzhab Hanafi
b. Madzhab Maliki
c. Madzhab Syafi’i
d. Madzhab Hanbali
BAB III : PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH MASA IMAMUL MADZHAB
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. adalah pedoman hidup bagi seluruh umat muslim di
dunia, dan Rasulullah telah mewasiatkan kepada seluruh umat muslim untuk berpegang teguh
kepada keduanya agar tidak tersesat dalam menapaki jalan menuju rahmat dan ridhaNya.
Telah menjadi ketentuan bahwa agama islam telah turun secara sempurna dari segi kaidah dan
hukumnya, namun ternyata perbedaan dalam memahami kaidah-kaidah yang telah ada
merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan, karena pada zaman Rasulullah pun masih terjadi
perbedaan pendapat antara para sahabat meskipun pada akhirnya Rasulullah yang menentukan
pendapat masing-masing di antara mereka. Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik
mengatakan bahwa ia dan para sahabat bepergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan,
sebagian dari sahabat ada yang melanjutkan puasa dan sebagian lain ada yang tidak, tapi sama
sekali tidak saling mencela satu sama lain.[1] Secara tidak langsung, mereka telah memiliki
madzhab masing-masing dalam masalah itu, dan tidak disebabkan oleh mengikuti sunnah
Rasulullah atau tidak.
Pembahasan tentang pengertian madzhab dan pembagiannya tidak akan terlepas dari
kemunculan aliran-aliran fiqh setelah wafatnya Rasulullah saw. perlu sedikit diketahui dari
sejarah, kemunculan aliran fiqh pada masa ini mempunyai pengaruh besar dalam
perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa setelahnya, karena pada masa Rasulullah dan pada
masa Khulafa Ar-Rosyidun tidak ada istilah ilmu fiqh sebagai suatu ilmu yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah dari segi perbuatan yang berdasarkan dari dalil, namun
hanya merupakan fatwa atau pendapat para sahabat dalam memahami Al-Qur`an dan Hadits,
yang sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat karena perbedaan kemampuan berbahasa
mereka atau karena kedekatan hubungan mereka dengan Rasulullah saw.
1. Aliran Fiqih Abad ke-2 Hijriyah
Setelah Rasulullah wafat, sebagian besar sahabat Nabi masih menetap di Madinah, karena
ketika itu daerah kekuasaan islam masih kecil hanya melingkup daerah Hijaz dan sekitarnya,
namun setelah terjadinya perluasan daerah secara besar-besaran, terkhusus ketika zaman
Khalifah Umar bin Khattab, para sahabat mulai berpencar untuk menyebarkan agama islam di
daerah yang telah dikuasai oleh pasukan muslim, maka di antara para sahabat ada yang
menetap di Madinah seperti Sayyidah `Aisyah, Abdullah bin Umar dan lainnya, lalu di
Makkah ada Abdullah bin Abbas, lalu di Basrah ada Abu Musa Al-As`ary, dan Anas bin
Malik, lalu di Kufah ada Abdullah bin Mas`ud, dan di Syam ada Mu`adz bin Jabal, `Ubadah
bin Shomit, Abu Darda, dan di Mesir ada Abdullah bin Amru bin `Ash[2]. Lalu pada generasi
selanjutnya muncullah beberapa tabi`in yang dikenal dengan sebutan Fuqoha As-Sab`ah,
yaitu Sa`id bin Al-Musayyib, `Urwah bin Az-Zubair, Al-Qosim bin Muhammad, Abu Bakar
bin Abdurrahman, Abdullah bin Abdullah bin `Utbah bin Mas`ud, Sulaiman bin Yasar, dan
Khorijah bin Zaid.
Dari tersebarnya para sahabat kebeberapa daerah di semenanjung arab, dan perbedaan
keadaan dan kebiasaan tiap-tiap daerah tersebut maka muncullah aliran-aliran fiqh sesuai
dengan daerah masing-masing, maka muncullah fiqh aliran Hijaz, fiqh aliran Syam, aliran
Mesir, Basrah, dan Kufah. Namun semua aliran fiqh tersebut bisa kita golongkan menjadi
tiga, yaitu Madrasah ahl Al-Hadits, Madrasah Ahl Al-Ra’y, dan Madrasah Ahl Adz-
Dzahir[3].
a. Madrasah Ahl Al-Hadits
Aliran ini berpusat di Madinah, atau biasa juga disebut dengan Madrasah al-Madinah, karena
sebagian besar sahabat menetap di Madinah dan mengajar para penduduk di sana setelah
wafatnya Rasulullah saw. Di sinilah agama islam turun lengkap dengan hukum-hukumnya
dan dijelaskan dengan lisan Rasulnya, para penduduk Madinah sangat berpegang teguh
kepada tradisi menghafal apa yang diucapkan oleh Rasulullah saw. dan dari sinilah terkenal
munculnya tujuh ahli fiqh yang disebut di atas. Para sultan kerajaan Umayyah lebih
mendahulukan pendapat ulama Hijaz dari pada ulama Irak, padahal secara geografis Irak lebih
dekat ke pusat pemerintahan ketika itu.
Aliran fiqh di Madinah berkembang pesat setelah kemunculan Imam Malik bin Anas (93 –
179 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menuliskan tentang Imam Malik “Ia adalah orang
yang paling berpegang teguh dengan madzhab penduduk Madinah dari pengetahuannya dan
riwayatnya”[4]. Umat Islam berbondong-bondong pergi ke madinah untuk mengambil ilmu
dari Imam Malik dan ulama lain yang berada di Madinah, di antaranya adalah Imam Syafi`i
dari Palestina yang mengejutkan Imam Malik karena telah menghafal seluruh Hadits di kitab
Muwattha’ dalam usia sangat muda. Begitu juga Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Syam, lalu `Atho
bin Abi Rabah dari Makkah, dan Yazid bin Abi Habib dari Mesir.
Khalifah Abu Ja`far Al-Mansur pernah meminta beberapa orang dari ulama Madinah untuk
pergi ke Irak dan mengajarkan ilmunya pada penduduknya, maka muncullah Aliran Fiqh
Madinah di Baghdad dengan datangnya Hisyam bin `Urwah, Muhammad bin Ishaq, Robi`ah
bin Abu Abdurrahman guru Imam Malik, dan yang lainnya.
Imam Asy-Syihristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal menulis “Orang-orang yang
berkompeten dalam bidang Hadits adalah penduduk Hijaz, mereka adalah murid Malik bin
Anas, murid Idris Asy-Syafi`i, murid Sufyan Ats-Tsauri, dan murid Daud bin Ali Al-
Ashfahany”.
b. Madrasah Ahl Al-Ra`y
Maksud dari kata Ra`y di sini adalah pendapat dan cara untuk memahami dalil yang tersirat
dengan nalar fikiran, mereka berusaha untuk mengetahui sebab turunnya hukum-hukum
dengan melihat inti bahasan yang terkandung dalam dalil teks tertulis dari al-Qur’an dan
Hadits, dan tidak menggunakan dalil secara langsung tanpa menelisik kedalam makna yang
tersirat jika memang terdapat teks yang memang tidak dapat difahami secara tekstual. Mereka
banyak mempergunakan Qiyas (Analogi) dan Istihsan, dan menentukan hukum untuk hal-hal
yang terkadang belum terjadi.
Aliran fiqh ini berkembang di daerah Kufah di Iraq, setelah beberapa sahabat datang ke Kufah
dan menetap di sana selama beberapa tahun, di antara mereka adalah Abdullah bin Mas`ud,
Abdullah bin Abbas, Sa`ad bin Abi Waqas, `Ammar bis Yasir, Hudzaifah bin Al-Yaman, dan
Anas bin Malik. Dan ketika masa khalifah Ali bin Abi Thalib, Kufah dijadikan pusat
pemerintahan islam yang menyebabkan makin banyaknya orang berdatangan ke sana.
c. Madrasah Ahl Adz-Dzahir
Aliran fiqh ini bertentangan dengan aliran Kufah, mereka berpegang teguh pada pengambilan
hukum dari dalil secara tekstual, tanpa mendalami makna yang terdapat pada teks tersebut.
Kemunculan aliran ini dinasabkan kepada Dawud bin Ali Al-Ashbahani, yang dikenal dengan
Dawud Adz-Dzhahiri (200 – 270 H.). Beliau belajar fiqh kepada Abu Tsaur salah satu murid
besar Imam Syafi`i, dan juga kepada Ishaq bin Rahawiyah, dan masih banyak ulama yang
menjadi sandarannya dalam menelaah fiqh. Aliran ini beranggapan bahwa semua hukum telah
ada dalilnya dalam teks Al-Qur’an dan Hadits, tanpa mendalami hal-hal lain yang
menyangkut tentang dalil tersebut, seperti kata ambigu, atau kata yang umum tapi
dimaksudkan untuk khusus atau sebaliknya, tidak menjadikan Qiyas sebagai sumber hukum,
dan berpendapat bahwa semua pekerjaan atau perilaku seseorang dalam agama tidak akan
diterima oleh Allah tanpa ada dalil yang menjelaskan tentang perbuatan tersebut. Mereka
menerapkan kaidah “Hukum asli segala sesuatu dalam ibadah adalah salah kecuali bila ada
dalil yang menetapkannya, dan hukum asli segala sesuatu dalam hubungan sesama muslim
adalah benar kecuali ada dalil yang melarangnya”.[5]
2. Sejarah Munculnya Madzhab
Sudah kita ketahui sebelumnya, pada zaman Khulafaur Rasyidin wilayah islam meluas
dan umat islam terdiri dari banyak etnis dan budaya. Persoalan hukum islam pun makin
kompleks. Para sahabat juga bertebaran ke berbagai pelosok negeri dengan metode fatwanya
masing – masing. Mereka berijtihad dengan carsnya masing – masing. Fatwanya juga diikuti
murid – muridnya sehingga jumlah pengikut sahabat dengan fatwa masing – masing makin
banyak dan membentuk aliran – aliran.
Seiring dengan berkembangya zaman, masing – masing aliran itu berkembang kualitas
dan kuantitasnya sehingga menjadi sempurna. Kemudian aliran – aliran itulah yang disebut
sebagai madzhab. Diantara madzhab itu ada yang masih eksis dan ada juga yang hilang
karena tidak mempunyai pengikut.
3. Pengertian Madzhab
Dalam kamus Al-Munawwir, kata madzhab berakar dari kata Dzahaba berarti pergi, berjalan,
atau berlalu, madzhab berarti kepercayaan, doktrin, ajaran, teori atau pendapat. Maka
madzhab bisa kita artikan sebagai sebuah teori yang dipakai oleh seorang muslim dalam
memahami ajaran agama. Istilah madzhab tidak hanya dikenal dalam ranah pembahasan fiqh,
karena di dalam kaidah bahasa arab akan kita temui aliran Basrah, Kufah, Bagdad, Andalusia
(Spanyol), dan Mesir, sedangkan dalam pembahasan akidah akan kita temukan aliran
Asy`ariyah, Jabariya, Mu`tazilah, Syi`ah, dan Maturidiyah.
Di dalam pembahasan fiqh, tidak hanya terdapat empat madzhab yang berkembang seperti
sekarang, tapi sepanjang masa kepemimpinan dinasti Umayah dan Abbasiyah telah dikenal
tiga belas ulama mujtahid yang menjadi sandaran para muslim dalam mempelajari ilmu fiqh,
mereka adalah : Sufyan bin `Uyaynah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan Basri di
Basrah, Abu Hanifah An-Nu`man dan Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Al-Auza`i di Syam, Al-
Laits bin Sa`ad dan Idris Asy-Syafi`i di Mesir, Ishaq bih Rahawiyah di Naisabur, Abu Tsaur,
Ahmad bin Hanbal, Dawud Adz-Dzohiri, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Baghdad.
Jika ada pertanyaan, “Kenapa harus ada perbedaan madzhab?” Atau “Kenapa madzhab harus
ada empat?” Atau “Madzhab yang ada sekarang khan bukan pendapat asli dari imam
madzhabnya, tapi sudah dicampur aduk dengan pendapat para pengikutnya!” Pertama,
Perbedaan pendapat (madzhab) adalah hal biasa, bukan sebuah pengada-adaan dalam agama
ataupun pemecah belah agama, namun perbedaan di sini hanyalah pendapat-pendapat dalam
memahami suatu teks dalil dari Al-Qur’an dan Hadits, adalah salah jika mengatakan bahwa
ulama madzhab “menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits sekehendak hatinya!” terjadi perbedaan
pendapat adalah karena perbedaan pendalaman bahasa arab, perbedaan tempat tinggal dan
lingkungan, atau mungkin karena teks itu sendiri aslinya memiliki berbagai arti yang bertolak
belakang, seperti kata Al-Qur’u dalam QS 2:228, para ulama madzhab Hanafi dan Hanbali
menafsirkannya dengan haid, dan para ulama madzhab Syafi`i dan Maliki menafsirkannya
dengan suci.
Kedua, seperti yang telah disebutkan di atas, ulama Mujtahid yang dijadikan sandaran dalam
mempelajari fiqh ada tiga belas, bahkan selain mereka masih banyak ulama yang mumpuni
dalam bidang itu, hanya saja para muridnya tidak banyak atau tidak sependapat dengan
pendapat gurunya, Imam Syafi`i pernah berkata “Sebenarnya Imam Al-Laits lebih tinggi
ilmunya dalam bidang fiqh dari Imam Malik bin Anas, namun para muridnya tidak
meneruskan ajaran pemahamannya.”
Ketiga, tidak semua ulama madzhab Hanafi mengikuti apa yang dikatakan oleh Imam Abu
Hanifah, begitu juga ulama madzhab Syafi`i, Maliki, Hanbali dan yang lainnya, Imam Al-
Buwaithi menyebutkan bahwa ia mendengar Imam Syafi`i berkata “Aku telah menuliskan
buku-buku ini, dan aku tidak mengurangi usahaku (dalam memahami teks dalil), maka
pastilah akan terdapat di dalamnya kesalahan karena Allah swt. berfirman “dan jikalah itu
(al-Qur’an) datang dari selain Allah, maka kamu akan mendapati di dalamnya banyak
pertentangan” (QS 4 : 82) maka jika kalian mendapati di dalam bukuku ini sesuatu yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sesungguhnya aku telah mencabutnya
(pendapatku).” Imam Malik pernah berkata “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia
biasa, terkadang salah dan terkadang benar, maka pertimbangkanlah pendapatku, apabila
terdapat di dalamnya hal yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka ambillah
pendapatku, tapi jika terdapat di dalamnya hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah maka tinggalkan!”.
Jika kita pelajari sejarah perkembangan madzhab-madzhab yang ada sekarang ini, maka kita
akan mendapati perbedaan pendapat Imam Syafi`i ketika di Bagdad dan di Mesir, dan juga
akan kita dapatkan Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Zufar bin Al-Huzail murid-murid
Imam Abu Hanifah yang menggantikan majlisnya setelah beliau wafat, terkadang memiliki
pendapat yang bertentangan dengan gurunya, bahkan bisa jadi dalam satu masalah terdapat
empat pendapat, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah sendiri, lalu pendapat masing-masing
ketiga muridnya. Adanya ulama yang mengoreksi pendapat gurunya bukanlah untuk
mengobrak-abrik kaidah yang sudah diterapkan oleh para imam madzhab, itu hanyalah
perbedaan pendapat murid dari gurunya. Bukankah Imam Syafi`i adalah murid dari Imam
Malik? Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal adalah muridnya Imam Syafi`i? Namun Imam
Syafi`i tidak pernah mencela perkataan Imam Malik begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal.
4. Beberapa Madzhab Fiqih dalam Islam
a. Madzhab Hanafi
Pendirinya adalah Abu Hanifah An-Nu`man bin Tsabit bin Zauthi, lahir pada tahun 80 H. di
kota Kufah. Ia termasuk kepada generasi Tabi`in karena pernah bertemu dengan Anas bin
Malik Abdullah bin Abi Awfa, Sahal bin Sa`ad As-Sa`idi. Ia menghafal Al-Qur’an dalam usia
sangat muda, lalu memperdalami Hadits, Nahwu, Adab, Syi`ir dan lainnya, menghabiskan
masa mudanya dengan berdagang dari tempat ke tempat lainnya, dari pengalamannya ia
mengetahui cara berinteraksi antara penjual dan pembeli beserta hal-hal lain yang berkaitan
dengan masalah jual beli. Lalu ia memperdalami fiqh kepada para ulama yang ada di masa itu,
di antaranya adalah Hamad bin Abi Sulaiman, ia berguru kepadanya selama delapan belas
tahun. Hamad bin Abi Sulaiman berguru kepada Ibrahim An-Nakha`i, lalu Ibrahim An-
Nakha`i berguru kepada `Ilqimah An-Nakha`i, dan Ilqimah An-Nakha`i berguru kepada
Abdullah bin Mas`ud.
Abu Hanifah dikenal mempelajari empat aliran fiqh, yaitu fiqh Umar bin Khatab yang
berlandaskan maslahat, lalu fiqh Ali bin Abi Thalib yang berlandaskan pengambilan
kesimpulan dari makna diturunkannya syari`at, lalu fiqh Abdullah bin Mas`ud yang
berlandaskan Takhrij, dan fiqh Abdullah bin Abbas yang memiliki pemahaman yang dalam
terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Imam Syafi`i pernah berkata “Dalam permasalahan fiqh,
manusia akan condong kepada pendapat imam Abu Hanifah.” Imam Malik pernah berkata
“Sesungguhnya ia adalah seorang Faqih.” Ibnu Mubarak berkata “Aku tidak pernah melihat
orang yang memiliki sifat Wara` melebihi Abu Hanifah.”
Metode pengambilan hukum madzhab Hanafi adalah berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’,
lalu mengedepankan perkataan para sahabat dari qiyas, lalu Istihsan dan `Urf. Di antara
murid-muridnya adalah Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Zufar bin Al-Huzail. Imam
Abu Hanifah wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Madzhab Hanafi tersebar di beberapa
daerah, di antaranya Mesir, Tunisia, AlJazair, Persia (Iran), Afghanistan, Turki, India, dan
beberapa daerah lain.
b. Madzhab Maliki
Madzhab ini disandarkan kepada Malik bin Anas bin `Amir Al-Ashbahi, lahir di Madinah
tahun 93 H. Ia selalu menetap di Madinah selama hidupnya, tidak diketahui pernah
melakukan perjalan kecuali ketika Haji ke Makkah. Ia menghafal Al-Qur’an dalam umur yang
sangat muda, lalu berguru kepada Rabi`ah bin Abdirrahman, Muhammad bin Syihab Az-
Zuhri, Nafi` bekas budak Abdullah bin Umar salah satu dari Silsilah Emas hadits Imam
Bukhori, dan ia masih berguru kepada beberapa orang ulama Madinah di masanya, hingga
terakhir berguru kepada Abdurrahman bin Hurmuz, seorang Tabi`in Ahli dalam ilmu Al-
Qur’an dan Hadits.
Imam Malik dikenal dengan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu dan mengajarkannya,
mencintai dan menghormati para guru dan disegani oleh gurunya, suatu saat Imam malik
pernah berkata “Aku tidak akan mengajarkan fatwa-fatwa atau Hadits sebelum mendapatkan
pengakuan akan ilmuku dari tujuh puluh orang `Alim bahwa ini adalah pendapatku.” Ia
memilih mengajarkan ilmunya di majlis Umar bin Khattab dan juga tinggal dibekas rumah
Abdullah bin Mas`ud karena ingin merasakan sisa-sisa kehidupan para sahabat yang hidup
sangat dekat dengan Rasulullah.
Imam Malik sangat menghargai kedudukan ilmu di atas segalanya, ia selalu membersihkan
badannya, memakai wangi wangian, dan selalu mengenakan baju terbaiknya ketika akan
mengajarkan sesuatu, ia pun selalu membakar wewangian selama pengajarannya berlangsung.
Suatu saat ada seseorang yang bertanya kepadanya tenang suatu masalah, lalu berkata
“Sesungguhnya ini perkara yang mudah!” maka Imam Malik marah kepadanya, lalu berkata
“Tidak ada perkara remeh dalam ilmu agama! Apakah kau tidak pernah mendengar firman
Allah “Sesungguhnya kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu” (QS 73:5).
Semua ilmu adalah perkara berat, apalagi yang berkaitan dengan hari kiamat!.”
Imam Syafi`i berkata “Jika para ulama disebutkan, maka Imam Malik bagaikan bintang bagi
mereka, tidak ada orang lain yang mengkaruniaiku ilmu lebih dari apa yang Imam Malik
berikan.” Imam Ibnu Mahdi berkata “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih
sempurna akalnya dan tinggi derajat ketakwaannya selain Imam Malik.” Imam Bukhari
berkata “Silsilah hadits paling terpercaya adalah Imam Malik dari Nafi` dari Abdullah bin
Umar lalu dari Rasulullah saw.” dan sebagian besar ulama pada masanya dan masa setelahnya
beranggapan bahwa Imam Malik adalah yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam Haditsnya
“… mereka tidak menemukan seseorang yang lebih berilmu kecuali seorang ahli ilmu dari
Madinah.”[6].
Metode ijtihad madzhab Imam Malik bersandarkan kepada Al-Qur’an, Hadits,
mengedepankan perbuatan penduduk madinah dan menganggapnya seperti Hatits Mutawatir
karena dilakukan umum oleh mereka, lalu fatwa para sahabat, Qiyas, Mashalih Mursalah,
Istihsan, dan Sadd Adz-Daroi`. Di antara murid-muridnya adalah Ibnu Al-Qosim, Ibnu
Wahab, Asyhab bin Abdul Aziz, dan Imam As-Syafi`i. Imam Malik meninggal di Madinah
pada tahun 179 H. Madzhab Maliki berkembang di daerah Hijaz, Mesir, Tunisia, Aljazair,
Sudan, Basrah, Bagdad, dan beberapa daerah lainnya. Dan di antara karya tulisnya yang
masih tersebar di penjuru dunia hingga sekarang adalah Al-Muwaththa` dalam Hadits.
c. Madzhab Syafi`i
Imam Syafi`i lahir di Gaza Palestina pada tahun 150 H tahun di mana Imam Abu Hanifah
wafat. Nama aslinya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i bin Abbas bin
Syafi`, nasabnya bertemu dengan Rasulullah saw. pada kakeknya Abdul Manaf. Ia dibesarkan
dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, lalu ibunya membawanya ke
Mekah agar nasabnya tidak terputus karena jauh dari keluarganya di Mekah.
Ketika usianya baru menginjak tujuh tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an seluruhnya, lalu ia
mempelajari Hadits dari ulama-ulama Makkah pada masa itu di antaranya adalah Sufyan bin
`Uyaynah, ia pernah menyendiri ke kabilah Hudzail untuk memperdalami bahasa arab, salah
satu kabilah yang dikenal memiliki kecakapan dan kefasihan dalam bahasa arab. Ia kembali
lagi Mekah dan memperdalami ilmu fiqh dan Hadits, salah satunya kepada Muslim bin
Kholid Az-Zanji Mufti Mekah ketika itu. Ia telah menghafal seluruh isi dari Al-Muwaththa`
pada usia sepuluh tahun lalu berkeinginan untuk mempelajarinya langsung dari Imam Malik,
maka pergilah ia ke Madinah dan terkejutlah Imam Malik karena umurnya ketika itu masih
tiga belas tahun[7]. Ia menetap di Madinah dan mengambil ilmu dari Imam Malik dan
beberapa ulama yang berada di sana. Ia juga pernah berpindah ke Yaman dan mempelajari
fiqh dari Umar bin Abi Salmah murid dari Imam Al-Auza`i, dan ia juga belajar kepada Yahya
bin Hassan murid dari Imam Al-Laits bin Sa`ad. Ia juga pernah belajar kepada para sahabat,
di antaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas`ud, Zaid bin Tsabit.[8]
Pada tahun 184 H. ia berpindah ke Bagdad, memperdalami aliran fiqh Abu Hanifah kepada
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani murid terpercaya dari Imam Abu Hanifah, maka
terkumpullah dalam dirinya fiqh aliran Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Auza`i.
Setelah mempelajari fiqh di Bagdad, ia kembali ke Mekah lalu mengajar dan mengeluarkan
fatwa di sana selama sembilan tahun. Pada tahun 195 H. ia berpindah ke Bagdad untuk
mengajar dan berfatwa, pada masa inilah dalam madzhab Syafi`i terkenal dengan ‘Pendapat
Lama’. Pada tahun 199 H. ketika masa kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun suhu politik di
Bagdad sedang tidak menentu, dan munculnya pemahaman tentang Al-Qur’an adalah mahluk,
akhirnya Imam Syafi`i bertolak menuju Mesir, dari sinilah dikenal pendapat-pendapat baru
darinya.
Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal bertanya kepada ayahnya “Siapakah Imam Syafi`i?
kudengar engkau banyak berdoa baginya” lalu Imam Ahmad berkata “Kedudukan Imam
Syafi`i bagaikan matahari bagi dunia, dan bagaikan kesehatan pada diri manusia, maka
apakah ada kedudukan yang dapat menggantikan mereka berdua?”, dan riwayat lain dari
Imam Ahmad bahwa ia berkata “Sesungguhnya Rasulullah berkata bahwa Allah mengutus
kepada umat islam ini seorang pembaharu di setiap abad, pada abad pertama telah ada Umar
bin Abdul Aziz, maka aku berharap Imam Syafi`i menjadi pembaharu di abad ini”.
Asas madzhab Syafi`i adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma`, Perkataan para sahabat, mengambil
Qiyas moderat tidak menghindarinya seperti Imam Malik dan tidak memperbanyak
penggunaannya seperti Imam Abu Hanifah, memperhatikan esensi turunnya syariat dari
manfaat dan mudharat, dan meninggalkan Istihsan. Imam Syafi`i wafat di Mesir pada tahun
204 H. dengan meninggalkan banyak karya, di antaranya buku Ar-Risalah dalam Ilmu Ushul
Fiqh dan Al-Umm dalam Fiqh. Ia memiliki banyak pengikut dikarenakan kepindahannya dari
Madinah lalu Bagdad dan Mesir, di antara murid-muridnya adalah Abu Ya`qub Yusuf bin
Yahya Al-Buwaythi, Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Mizani. Madzhabnya tersebar di
daerah Palestina, Yaman, Persia, Pakistan, India, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
d. Madzhab Hanbali
Ia adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani,
lahir di kota Bagdad bulan Rabi`ul Awal tahun 164 H. Ia lahir di ladang ilmu, ketika kota
Bagdad dijadikan pusat keilmuan di mana para ahli ilmu Al-Qur’an, Hadits, fiqh, tasawwuf,
filsafat, hukum, dan lainnya. Selain itu, Imam Ahmad sering berpidah-pindah tempat demi
mencari dan mempelajari ilmu, ia pegi ke Mekah, Madinah, Yaman, Basrah, Kufah, dan
bertemu dengan Imam Syafi`i ketika masih berada di Madinah, dan berguru fiqh dan ushul
fiqh kepadanya, dan bertemu kembali dengan Imam Syafi`i ketika berada di kota Bagdad. Di
antara gurunya adalah Sufyan bin `Uyaynah, Ibrahim bin Sa`ad, Yahya Al-Qathan, dan masih
banyak lagi, hingga dikatakan jika ia mendengar ada seorang alim di suatu daerah maka ia
pasti akan datang mengambil ilmu darinya.
Imam Ahmad bin Hanbal mulai mengajarkan ilmunya ketika ia berumur 40 tahun, dan dalam
suatu riwayat dikatakan lebih dari lima ribu orang datang untuk belajar dan mendengarkan
fatwanya di masjid Bagdad. Ia memiliki dua majlis seperti Imam Malik, satu majlis dalam
bidang Hadits dan satu dalam bidang fiqh. Pada mulanya ia melarang para muridnya untuk
menuliskan pendapat-pendapatnya agar tidak mengekor kepada pendapatnya tanpa
mengetahui asal-usulnya, dan membebaskan para muridnya untuk berpendapat dan
mengambil kesimpulan dari dalil-dalil tentang suatu hukum.
Ibnu Qutaibah berkata “Imam Ahmad adalah pemimpin dunia (dalam ilmu)”, Imam Syafi`i
berkata “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih sempurna akalnya dari Ahmad bin
Hanbal dan Sulaiman bin Dawud”, Imam Ahmad sangan berpegang teguh terhadap Hadits
nabi, hingga banyak orang yang beranggapan bahwa madzhab Hanbali sangat ketat dalam
mengeluarkan hukum menggunakan Hadits. Di antara karyanya yang masih tersebar di
seluruh penjuru bumi saat ini adalah Al-Musnad kumpulan Hadits-hadits yang disusun
menurut nama-nama perawinya.
Metode ijtihad madzhab Hanbali disandarkan kepada Al-Qur’an, Hadits, fatwa para sahabat,
lalu mengambil hadits Mursal (yang terputus pada perawi sebelum Rasulullah saw.) atau
hadits Dha`if (hadits lemah yang tidak memenuhi syarat kesahihan suatu hadits) dan
mendahulukannya atas Qiyas dan tidak menggunakan Ijma`, Istihsan, dan beberapa sumber
hukum lainnya. Ia wafat di Bagdad pada tahun 241 H. Di antara murid-muridnya adalah
kedua anaknya Sholih dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al-Atsram, Abdul
Malik Al-Maimuni, lalu setelah murid-murid generasi pertama, muncullah Ibnu Taimiah dan
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Pada mulanya madzhab Hanbali kurang berkembang dibanding
dengan ketiga madzhab lainnya, namun pada masa Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Wahab penggagas dakwah Salafiah, madzhab ini berkembang lebih dari sebelumnya, dan atas
prakarsanya madzhab Hanbali dijadikan sebagai madzhab resmi kerajaan Saudi hingga kini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Lihat HR. Bukhari no. 1811, dan masih banyak riwayat semisalnya, HR. Muslim no.
1880, 1884; Abu Dawud no. 2053; Ahmad no. 10762, 10987, 11259; Malik no. 578.
[2] Rosyad Hasan Kholil, Tarikh Tasyri` Al-Islami. Al-Azhar Cairo; 2011.
[3] Umar Sulaiman Al-Asyqor, Al-Madkhal ila Dirasah Al-Madzahib wa Al-Madaris Al-
Fiqhiyyah. Dar An-Nafais Yordania; 2007.
[4] Ibnu Taimiyah. Shihhatu Amal Ahli Al-Madinah
[5] Umar Sulaiman Al-Asyqor, Al-Madkhal ila Dirasah Al-Madzahib wa Al-Madaris Al-
Fiqhiyyah. Dar An-Nafais Yordania; 2007.
Bisri Syamsuri, Miftahul Ushul, ( Jombang : PP. Bahrul Ulum,tth. ), hlm 101
Hanafiyesss.blogspot.com
[6] HR. Tirmidzi no. 2604
[7] Ali Jum`ah. Al-Madkhal ila Dirasah Al-Madzahib Al-Fiqhiyah. Darussalam Cairo; 2009.
[8] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa An-Nihayah
Mujaddipcinumseir.blogspot.com
Fahmi Hasan