masyarakat jurnal sosiologi diterbitkan oleh , pusat

28
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo Penulis: Abdil Mughis Mudhoffir Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI. MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] Website: www.labsosio.org Untuk mengutip artikel ini: Mudhoffir, Abdil Mughis. 2011. “Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo.” MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75.

Upload: others

Post on 23-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi Cetak Lepas

Versi Digital

ISSN: 0852-8489

Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo

Penulis: Abdil Mughis Mudhoffir

Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI.

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] Website: www.labsosio.org

Untuk mengutip artikel ini: Mudhoffir, Abdil Mughis. 2011. “Governmentality dan Pemberdayaan dalam

Advokasi Lingkungan: Kasus Lumpur Lapindo.” MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75.

Governmentality dan Pemberdayaan dalam Advokasi Lingkungan:

Kasus Lumpur Lapindo

A b d i l M u g h i s M u d h o f f i r

Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Email: [email protected]

Abstract

this essay examines the social movement within the upturn of environmental problem in ecological disaster case in Sidoarjo. Bringing up the new social movement paradigm, environmental movement is a form of resistance that has never been classified as a Marxist class consciousness social movement. the author argues that Social movement could also be the result of the problem rising from environmental degradation as an effect of state industrialization. As a movement which is not based on determinism of certain class awareness, collaboration turns into important factor of civil society consolidation forces. However, NGO initiative in building alliance with grassroots habitually yields a new problem. the author proposes that NGO’s endeavor to collaborate with the grassroots in the name of empowerment, potentially, could fall into a form of new subjection, coined by Foucault, as governmentality.

Kata kunci: gerakan lingkungan, pemberdayaan, kolaborasi, resistensi, governmentality

50 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

PENDA HU LUA N

Kajian politik ekologi di dunia ketiga umumnya berfokus pada pembahasan mengenai dampak marginalisasi akibat kapitalisme industri dan upaya kelompok marginal untuk melawan aliansi korporasi dan negara (Forsyth 2004: 422; Bryant 1997: 7). Kasus yang dihadirkan dalam tulisan ini memberikan bukti-bukti mengenai hal itu dan, seperti halnya Forsyth, bahwa gerakan aktivisme yang berkorelasi dengan produksi wacana tidak selalu dapat membantu kelompok rentan. Menurutnya, non-governmental organization (NGO) tidak akan dapat membebaskan atau membantu kelompok rentan jika mereka mereplikasi atau bahkan memaksakan bentuk hegemoni wacana baru (Forsyth 2004: 422).

Relasi antara aktivis NGO lingkungan dengan kelompok rentan (grassroot) menjadi perhatian pokok dalam tulisan ini. Relasi aktor-aktor itu melahirkan ironi, yakni apakah mereka berlaku sebagai aktor yang dapat membebaskan kelompok rentan atau justru berperan sebagai hegemon baru yang mensubjektivasikan korban untuk kepentingan tertentu. Posisi NGO dalam gerakan sosial seringkali juga ambigu, terutama dalam hal bagaimana mereka memosisikan diri terhadap kelompok dampingannya. NGO dapat berperan sebagai pendamping yang mengadvokasi masyarakat melawan aliansi negara dan korporasi. Di lain sisi, mereka dapat berperan sebagai kelompok yang menginisiasi kolaborasi dalam sebuah gerakan sosial.

Upaya pendampingan oleh NGO mengandaikan pendefinisian kelompok tertentu sebagai vulnerable, powerless, dan minim sumber daya untuk bisa bernegosiasi secara setara dengan kelompok lain, yakni negara atau korporasi. Inisiatif para aktivis NGO ini dapat mengarah pada pembentukan aliansi masyarakat sipil, meskipun upaya awal yang mereka lakukan adalah pemberdayaan daripada kolaborasi itu sendiri. Upaya pemberdayaan dan kolaborasi sebenarnya memiliki arti yang berbeda. Ada perbedaan relasi antara kelompok marginal dengan NGO jika ditinjau dari aspek pemberdayaan dibandingkan dengan kolaborasi. Dalam pemberdayaan, upaya pendampingan oleh aktivis terhadap kelompok powerless adalah membuat mereka menjadi empowered dalam melakukan resistensi atau untuk bernegosiasi dengan aktor dominan. Upaya ini secara implisit mengandaikan bahwa posisi NGO sedikit lebih tinggi atau lebih powerful dibandingkan dengan kelompok dampingannya,

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 51

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

meskipun mereka juga termasuk kelompok yang powerless di hadapan negara dan korporasi. Berbeda jika NGO sejak awal melakukan upaya resistensi seperti halnya kelompok korban dalam suatu masalah lingkungan, yang jika mereka berkolaborasi dengan kepentingan yang sama, keberhasilan tujuan resistensi menjadi lebih mungkin.

Kasus semburan lumpur di Sidoarjo melahirkan konf lik kepentingan antara aktor-aktor negara, korporasi, masyarakat-korban, dan aktivis NGO dalam upaya penyelesaian kasus tersebut. Pemulihan lingkungan atas kerusakan yang ditimbulkan oleh industri pertambangan tidak hanya menjadi kepentingan korban yang terkena dampak langsungnya saja, tetapi juga seluruh warganegara termasuk dalam hal ini NGO lingkungan. NGO dapat menuntut secara langsung kepada negara dan korporasi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari proyek pertambangan. Pada momen yang bersamaan kelompok rentan atau korban juga menuntut negara dan korporasi, tetapi tidak memberikan prioritas pada pemulihan lingkungan melainkan pemulihan dan rehabilitasi atas kehidupan sosial mereka. Kolaborasi menjadi mungkin jika kedua aktor ini dapat mengartikulasikan kepentingan yang sama. Upaya membentuk kolaborasi ini, baik melalui pemberdayaan atau murni berupa pembentukan aliansi gerakan, menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini.

Pada bagian awal saya akan menggambarkan perbedaan antara gerakan sosial baru (GSB), seperti halnya gerakan lingkungan, dengan gerakan sosial yang berbasis kelas. Kolaborasi kelompok-kelompok kepentingan menjadi ciri utama gerakan ini, selain bahwa gerakan semacam ini lebih terfragmentasi berdasarkan isu yang diadvokasi. Bagian selanjutnya membahas upaya kolaborasi NGO dengan kelompok rentan yang atas nama pemberdayaan sangat berkaitan dengan konsep Foucault yang disebut sebagai governmentality. Argumen utama dalam artikel ini adalah bahwa pemberdayaan tidak selalu dapat memberdayakan bahkan membebaskan kelompok rentan, melainkan justru jatuh pada manufakturisasi subjek untuk kepentingan NGO.

52 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

GER A K A N LINGK U NG A N SEBAG A I GER A K A N SOSI A L BA RU

Gerakan lingkungan merupakan bentuk dari GSB karena tidak berdasarkan pada perjuangan kelas sosial proletar melawan kelas borjuis. Gerakan lingkungan muncul dari konflik lingkungan, bukan dari konflik kepentingan kelas. Kebaruan itu, menurut Meluci (1994: 105), dapat dilihat dari munculnya gerakan kolektif dalam menyikapi isu-isu tertentu, bukan muncul dari konflik kelas yang menyejarah. Dalam konteks Indonesia, gerakan lingkungan sebagai GSB muncul di tahun 1970-an sebagai transformasi dari bentuk gerakan agraria baru (Peluso dkk. 2008: 377). Sebelumnya, gerakan agraria dapat dibedakan dengan gerakan lingkungan.

Gerakan agraria mengacu sebagai geraka petani dalam menghadapi tuan tanah dan merupakan perwujudan dari gerakan sosial yang berbasis kelas. Pada periode awal gerakan ini, organisasi serikat petani mendapat tekanan dari negara pada saat kemunculan kampanye anti-komunis yang menandai naiknya Suharto. Kemunculan gerakan lingkungan menandai transformasi gerakan agraria yang, menurut Peluso dkk. (2008: 377) tidak dilakukan oleh petani pemilik lahan ( farmer), melainkan oleh buruh tani penggarap sawah (peasant). Gerakan agraria kontemporer kini bertujuan menuntut perubahan kebijakan negara dan implementasi atas kebijakan itu (Webster 2004; Moyo and Yeros 2005 dalam Peluso, 2008: 380). Peluso dkk. (2008) berpendapat bahwa gerakan agraria dan gerakan lingkungan tidak lagi berada dalam domain dan diskursus yang terpisah, terutama sejak kemunculan gerakan lingkungan sebagai gerakan sosial baru. Konflik lingkungan dalam konteks penguasaan dan kontrol terhadap hutan serta kampanye anti-dam juga merupakan konf lik agraria karena bersangkutan dengan isu pendakuan dan penggunaan lahan (Peluso dkk. 2008). Argumen ini, oleh Peluso dkk., digunakan untuk mematahkan tesis Christodolous (1990 dalam Peluso, 2008: 112) bahwa reformasi agraria merupakan hasil dari konflik agraria.

Gerakan lingkungan di tahun 1980-an di Indonesia dideskripsikan sebagai gerakan keadilan lingkungan (Tsing 2005). Selama Orde Baru, di mana oposisi politik sangat dilarang, gerakan dan advokasi lingkungan menjadi arena yang paling memungkinkan bagi para aktivis untuk membantu kelompok grassroot (Peluso dkk 2008: 383).

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 53

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Merujuk pada pandangan Peluso dkk. di atas, gerakan sosial dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo juga menjadi bagian dalam gerakan lingkungan. Gerakan para aktivis NGO dan kelompok rentan di Sidoarjo, baik terpisah maupun dalam koalisi, tidak hanya menuntut pemulihan lingkungan yang tercemar akibat kandungan lumpur dengan segala implikasinya, tetapi juga menuntut pendakuan dan hak warga atas tanah serta segala properti yang melekat padanya sampai pada tuntutan pemulihan kehidupan sosial normal mereka (livelihood).

NGO dan Gerakan Lingkungan

Hal penting yang membedakan antara gerakan lingkungan sebagai GSB dibandingkan dengan gerakan sosial berbasis kelas adalah munculnya aktor baru dalam gerakan ini, yakni organisasi masyarakat sipil. Kemunculan aktor ini juga menandai menguatnya gerakan masyarakat sipil dalam menghadapi represi serta kebijakan negara yang mengabaikan kepentingan warganya. Berkaitan dengan kemunculan aktor baru tersebut, yang juga menjadi ciri GSB (gerakan lingkungan) adalah adanya kolaborasi antara NGO dengan masyarakat lokal.

Sebagaimana dikemukakan oleh Bryant dan Bailey (1997: 130), berkembangnya persoalan-persoalan lingkungan di dunia berkaitan dengan kemunculan aktor baru (NGO lingkungan) dalam konflik politik ekologi. Fokus gerakan NGO lingkungan di dunia ketiga, menurut mereka, adalah pada isu-isu developmentalisme, yakni mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan bagi kelompok rentan miskin. Namun, apa yang membedakan NGO lingkungan ini dengan NGO yang concern terhadap isu developmentalisme di dunia ketiga pada umumnya seperti Oxfam atau Grameen Bank adalah gerakan lingkungan dunia ketiga mempromosikan keadilan sosial dan kesetaraan dengan memberikan akses pada kelompok rentan atas sumber daya lingkungan (seperti air bersih, tambang, dan minyak), sementara NGO developmentalis memfokuskan pada pendidikan, kesehatan, dan famine relief (Bryant dan Bailey 1997: 130).

Di Indonesia, gerakan lingkungan tidak melulu berfokus pada isu-isu mengenai degradasi lingkungan. Gerakan lingkungan di Indonesia, dan di Dunia Ketiga pada umumnya, juga concern terhadap isu-isu yang berkaitan dengan livelihood, yakni kemiskinan dan

54 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

ketidakadilan sosial. Kolaborasi NGO lingkungan dengan kelompok grassroot menunjukkan bahwa gerakan lingkungan oleh aktor NGO berkaitan pula dengan isu ketidakadilan sosial yang umum.

Art ikula s i dan Momen kolabora s i

Peran strategis NGO dalam gerakan lingkungan dan gerakan sosial pada umumnya tidak berarti bahwa ia akan bertindak sebagai aktor tunggal dalam melakukan resistensi terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak populis. Gerakan NGO, terutama di Dunia Ketiga, senantiasa bersinggungan dengan aktor atau kelompok lain yang secara langsung terkait dengan isu yang diadvokasi. Hal ini juga menjadi penanda bahwa tujuan gerakan NGO lingkungan bukan sekedar menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga bertujuan ‘membebaskan’ atau memberdayakan kelompok masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kebijakan itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka melakukan kolaborasi dengan organisasi yang biasanya dibentuk oleh komunitas lokal. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah inisiatif untuk membentuk aliansi itu selalu datang dari NGO? Bagaimana kolaborasi dapat terbentuk? Pada momen apa kolaborasi dapat dilakukan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan merujuk konsep Hall tentang politik artikulasi. Menurut Hall (1996: 141), artikulasi adalah bentuk persinggungan atau perjumpaan yang dapat menyatukan elemen-elemen yang berbeda dalam suatu kondisi tertentu. Hubungan ini tidak bersifat absolut dan esensial. Menurutnya, yang mesti ditelisik adalah kondisi apa yang memungkinkan koneksi dan kolaborasi itu dapat dibuat. Dengan demikian, menurut Hall, teori artikulasi ini memuat dua hal, yakni (1) sebagai cara memahami bagaimana elemen ideologi hadir dalam kondisi tertentu bersamaan dengan hadirnya wacana tertentu, serta (2) sebagai cara untuk mempertanyakan bagaimana ideologi dan wacana itu diartikulasikan atau tidak diartikulasikan pada subjek politik tertentu. Kolaborasi atau unity dapat diumpamakan seperti kereta yang memiliki sambungan di setiap gerbongnya. Mereka terhubung satu sama lain melalui penghubung tertentu yang pada momen tertentu dapat pula tercerai.

Tania Li (2000: 151; 2004: 339) menggunakan konsep ini untuk menjelaskan bagaimana kategori transnasional semacam indigenous

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 55

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

people dapat menggerakkan orang-orang di suatu tempat. Li mencoba melihat bagaimana dan siapa aktor yang memaknai dan menggunakan definisi kategori itu untuk membentuk aliansi indigenous people dan melakukan gerakan sosial. Konsep ini digunakan sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan tertentu oleh kelompok tertentu (Dove, 2006: 191). Menurut Li (2004: 339), identifikasi diri kelompok tertentu sebagai indegenous bukan sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan hasil konstruksi dari makna konsep yang ditemukan, diadopsi, dan bahkan dipaksakan. Hal ini berkaitan dengan konsep politik artikulasi Hall.

Konsep indigenous people menjadi perdebatan di kalangan antropolog (lihat Dove dan Li), terutama berkaitan dengan munculnya gerakan hak masyarakat yang didefiniskan sebagai indegenous. Secara umum, terminologi ini berkonotasi dengan keaslian (nativeness) (Dove 2006: 191), seperti jika di Amerika Latin yang disebut sebagai indienous people adalah masyarakat suku Indian. Sementara definisi formal lainnya, menurut Dove, erat kaitannya dengan masyarakat dengan sejarah marginalisasi, self-identity, dan self-governance.

Indonesia, seperti dikemukakan Li, tidak memiliki kelompok masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai indigenous people. Jika pengertian istilah ini mengacu pada defnisi umum yang berkaitan dengan nativeness, semua orang Indonesia adalah native. Hanya saja, yang memanfaatkan artikulasi konsep indigenous dalam gerakan sosial adalah masyarakat adat. Kelompok masyarakat adat inilah yang menjadi perhatian Li dalam melihat bagaimana gerakan indigenous people di Indonesia. Terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di antaranya juga berkaitan dengan gerakan indigenous (indigenous right movement) itu. Pada konteks ini, kolaborasi dan penjelasan konsep artikulasi Hall menjadi signifikan, yakni bagaimana definisi internasional indigenous people dapat digunakan untuk menggerakkan sekelompok orang dalam menuntut hak tertentu.

Pembahasan konsep kolaborasi, menurut Dove, merupakan upaya para akademisi untuk melihat kecenderungan gerakan resistensi yang tidak melulu bersifat lokal, seperti dalam pandangan Scott (Dove: 2006). Menurut Dove, beberapa akademisi melihat Scott begitu optimis dalam menilai kemungkinan resistensi komunitas lokal. Sementara yang lain melihat Scott tidak terlalu optimis

56 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

karena komunitas lokal begitu saja melakukan perlawanan terhadap komunitas lain.

KOL A BOR A SI DA L A M GER A K A N LINGK U NG A N DI SIDOA RJO

Menurut Dove (2006: 201), kajian para akademisi tentang kolaborasi umumnya memfokuskan analisanya pada kolaborasi antara indigenous communities dengan NGO. Tsing, misalnya, yang menurut Dove optimis dengan kolaborasi semacam itu dapat membuka kemungkinan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan lingkungan di suatu negara. Gerakan resistensi dalam bencana ekologi di Sidoarjo memberikan gambaran kompleks mengenai bagaimana bentuk gerakan itu, yang terutama berkaitan dengan kemajemukan aktor yang terlibat serta strategi exercising power yang kompleks.

Sebagai gambaran awal, kasus ini menuai banyak perdebatan di kalangan ilmuwan dan masyarakat awam karena ketidakjelasan status penyebab terjadinya bencana ekologi itu yang pada akhirnya berimplikasi terhadap ketidakjelasan skema penyelesaiannya. Pada satu titik, pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan presiden yang menjadi acuan penyelesaian, berupa ganti rugi untuk korban dan skema penanggulangan lumpur secara umum. Skema ini tidak begitu saja dapat diterima oleh korban sebagai penyelesaian yang adil. Muncul perdebatan, negosiasi, dan konflik yang tidak hanya antara korban dengan pemerintah dan korporasi tetapi juga antarkorban. Definisi korban yang dikonstruksikan oleh pemerintah melalui aturan hukum itu, membuat pembedaan antara masyarakat sekitar yang dapat memperoleh hak ganti rugi dengan yang tidak. Belum lagi, kelompok masyarakat yang secara legal telah masuk dalam definisi korban tidak selamanya dapat menyatu sebagai aktor tunggal berhadapan dengan negara dan korporasi.

Masyarakat terfragmentasi dalam berbagai kelompok berdasarkan tuntutan yang berbeda-beda, bahkan di antara mereka dapat pula saling berkonflik, dan pada lain kesempatan mereka dapat saling berkolaborasi. Namun, perhatian pokok tulisan ini bukan pada kolaborasi antar kelompok korban itu, melainkan pada kolaborasi kelompok korban tertentu atau yang disebut ‘potensial korban’ dengan NGO dalam kerangka gerakan lingkungan.

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 57

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

kolabora s i NGO -korban

Kasus bencana ekologi di Sidoarjo tidak hanya mengundang perhatian para aktivis lingkungan saja, tetapi juga para aktivis yang concern pada isu hak asasi manusia; terkait dengan hak atas pemukiman, pekerjaan, dan kehidupan yang layak. Pada awal pendampingan, kedua tipe NGO ini bergerak terpisah dengan tuntutan mereka masing-masing. Di lain hal, pemerintah telah memberikan acuan penyelesaian mencakup kedua isu tersebut. Namun, munculnya resistensi dari masyarakat serta hadirnya NGO, baik yang mendampingi korban maupun yang melakukan gerakan tersendiri, menandakan bahwa skema penyelesaian dari pemerintah dianggap tidak memadai. Pada momen ketika gerakan para aktivis, baik melalui upaya hukum msupun dengan melakukan pendampingan korban, tidak mampu mengubah praktik negara dan korporasi dalam memenuhi berbagai tuntutan dan gerakan itu, NGO-NGO mengadakan aliansi.

Pertengahan Juli 2008 diselenggarakan sebuah pertemuan nasional di Jakarta yang dihadiri oleh lembaga sosial, NGO, individu, dan beberapa perwakilan korban lumpur Lapindo. Pertemuan tersebut menyepakati kerangka kerja bersama yang dirumuskan dalam beberapa poin, yaitu: menyebarkan informasi seluas-luasnya mengenai bencana ini secara utuh dan tidak dikooptasi oleh kepentingan pemerintah dan korporasi; melakukan tekanan kepada pemerintah dan perusahaan agar mereka lebih serius; memperkuat kelembagaan, jaringan, dan ketahanan ekonomi kelompok-kelompok korban sehingga meningkatkan posisi tawar mereka terhadap korporasi; memperluas dan memperkuat jaringan solidaritas dari lembaga dan individu terhadap bencana lumpur Lapindo; serta melakukan advokasi terhadap bencana ini ke dunia internasional.

Hasil pertemuan itu berujung pada pembentukan sekretariat bersama yang mereka sebut sebagai Posko Bersama. Disebut sebagai Posko Bersama karena yang terlibat dalam kerangka kerja hasil pertemuan itu tidak hanya dari kalangan NGO, tetapi juga dari beberapa kelompok korban seperti Geppres (Gerakan Pendukung Perpres), Perwakilan Warga (PW) Perumtas (Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera), Kelompok Pengontrak Perumtas, Kelompok 9 Desa, dan Besuki Korban Lumpur (BKL). NGO-NGO yang terlibat antara lain Air Putih, Ciliwung Merdeka, Elsam,

58 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

GMLL, HRWG, ICEL, Imparsial, Interaksi, JATAM, JRK, Kontras, Kontras Surabaya, Lapis Budaya, LBH Masyarakat, LHKI, PKMI, SatuDunia, Tifa Foundation, UPC, Uplink, Walhi, Walhi Jatim, Yappika, dan beberapa aktivis individu non-NGO.

kolabora s i a tau kehendak untuk Memberdayakan

Konsep pemberdayaan dalam tulisan Li berkaitan dengan peningkatan (improvement) taraf hidup masyarakat pedesaan dan pengentasan kemiskinan oleh World Bank melalui kecamatan Development Project (kDP). Program pengembangan masyarakat oleh World Bank dijalankan melalui pemberian bantuan yang dikompetisikan kepada komunitas lokal masyarakat desa dalam suatu kecamatan. Inti dari program pengembangan ini adalah merestorasi kemampuan alamiah komunitas perdesaan untuk memberdayakan dirinya dalam kerangka social development. Menurut para ahli World Bank, otoritarianisme Suharto telah memperlemah bahkan meniadakan kemampuan itu sehingga perlu dilakukan restorasi melalui KDP. Dalam pandangan Li, tujuan program ini terlampau ambisius sebagai model perubahan sosial. Komunitas ini dalam kerangka program itu musti diberdayakan sehingga memiliki kemampuan membuat perencanaan proyek pengembangannya sendiri, hingga munculnya inisiatif melakukan perubahan politik dari bawah (Li 2005). Kesimpulannya, melalui pemberdayaan komunitas, World Bank membangun strategi pengaturan diri yang oleh Nikolas Rose disebut sebagai government through community dalam agenda developmenalisme neo-liberal (Li 2005).

Seperti dalam bahasan Li, konsep pemberdayaan yang dipahami dalam tulisan ini berkaitan dengan upaya untuk mengubah kapasitas dan kemampuan masyarakat atau komunitas dari yang sebelumnya dipandang powerless menjadi empowered. Definisi powerless dan empowered sendiri bergantung pada kelompok atau aktor yang berkepentingan atas upaya pemberdayaan itu. World Bank, misalnya, mengaitkan kedua istilah itu dengan agenda social development. Sementara program pendampingan dan advokasi yang dijalankan oleh NGO biasanya berhubungan dengan agenda penguatan sumber daya dan kapasitas masyarakat dampingan dalam konteks resistensi dan gerakan sosial melawan dominasi negara dan korporasi. Penguatan

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 59

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

sumber daya itu, di antaranya dengan pembentukan kolaborasi kekuatan sipil; dan NGO dalam hal ini dapat berperan sebagai aktor yang mempromosikan apa yang disebut Simons (1995: 87 dalam Bryant 2002: 271) sebagai prinsip resistensi yang permanen (an ethic of permanent resistance) terhadap kontrol sosial negara.

Momentum kolaborasi NGO dengan komunitas lokal dapat muncul da lam proses pendampingan yang dilakukan oleh aktivis. Tujuan kolaborasi dan pendampingan memang tidak bisa digeneralisasi. Namun, jika dikaitkan dengan peran NGO sebagai aktor yang, oleh para akademisi, diakui memberikan kontribusi penting dalam perubahan politik di berbagai belahan dunia dengan skala yang berbeda-beda (Bryant, 2002: 285), maka muncul persoalan yang salah satunya adalah pada ranah kolaborasi atau pendampingan. Bryant menilai, peran positif NGO muncul dari penilaian yang hanya berfokus pada capaian yang tampak saja: terpenuhinya proyek-proyek lapangan, adanya perubahan proses politik, atau adanya perubahan perilaku sosial. Padahal, menurut Bryant, jika melihat pada efek-efek yang tidak nampak dari tindakan NGO dalam kaitannya dengan kontribusi terhadap perubahan sosial, akan terlihat adanya ambiguitas.

Ambiguitas itu muncul bukan karena para aktivis dekat dengan kenyamanan-kenyamanan kelompok elit atau bahwa aktivitas NGO akan memperlemah gerakan anti-negara, melainkan karena peran pemberdayaan mereka berkaitan dengan mekanisme politik kontrol dan pengawasan yang disebut governmentality (Bryant, 2002: 285).

Governmenta l i t y s ebagai Bentuk Re la s i kekua saan

Ada perbedaan yang mencolok dalam memahami kekuasaan terutama dari pandangan yang masih belum bisa melepaskan pengaruh perspektif Marxian dan Weberian dengan pandangan Foucauldian. Beberapa akademisi yang mencoba memahami pandangan Foucault tentang kekuasaan pun rupanya tidak terlalu berhasil melepaskan diri dari kerangkeng pengaruh perspektif kekuasaan negatif Marxian. Tania Li, misalnya, memandang governmentality sebagai sejenis dengan hegemoni (teknologi untuk mengontrol populasi tanpa menggunakan kekerasan dan dominasi tetapi dengan memanipulasi konsensus) namun minus potensi resistensi atau anti

60 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

kekuasaan. Kita juga dapat melihat pada tulisan Amity Doolittle yang menggunakan konsep governmentality dalam menjelaskan relasi negara-masyarakat lokal dalam perebutan hak atas tanah sebagai cara negara mengontrol populasi dengan menciptakan mekanisme normalisasi dan pendisipinan, yang tentu saja bias dan tumpang tindih dengan konseps disciplinary power. Demikian pula dapat kita lihat pada tulisan Peluso dan Watts dalam Violent Environments yang memandang bahwa governmentality sebagai konsep relasi kekuasaan dalam medan pertarungan negara vis a vis masyarakat. Selanjutnya pengertian yang sama dapat kita lihat pada tulisan Paul Robbins dalam Political Ecology yang juga merujuk Bryant dalam memahami governmentality sebagai internalisasi cara-cara koersif yang dijalankan negara terhadap populasi dengan menciptakan self-enforcing coersion melalui pengendapan consent (Robbins 2004: 150).

Penulis-penulis di atas memberikan pengertian yang kurang lebih sama atas konsep governmentality, yaitu penundukan yang dilakukan secara hegemonik sebagai mekanisme normalisasi relasi dominasi. Pemahaman demikian memiliki pengertian yang tumpang tindih dengan konsep disciplinary power yang memiliki asumsi teoritik berbeda dengan konsep governmentality. Untuk menjawab tantangan konseptual ini, kita dapat melihat pada karya Foucault Discipline and Punish (1975) yang menekankan pada penyelidikan mengenai rasionalisasi politik yang dijalankan negara dan tentang geneologi negara (geneology of the state) (1995: 139-141). Di sisi lain, kita dapat melihat karya Foucault History of Sexuality Vol I (1978) yang menekankan pada penyelidikan mengenai geneologi subjek (geneology of the subject). Pada karya yang pertama Foucault berkepentingan menyelidiki bagaimana praktik kekuasaan yang dijalankan oleh negara menggunakan aparatus disiplin, sementara pada karya selanjutnya Foucault berkepentingan menyelidiki bagaimana pembentukan subjek dalam relasi kekuasaan. Yang pertama adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana wujud teknologi kekuasaan, sementara yang belakangan menunjukkan bagaimana proses subjektifikasi terhadap individu dalam relasi sosial. Menurut Lemke (2001), dalam missing link di antara dua penyelidikan itu terletak problem government. Konsep governmentality digunakan oleh Foucault untuk menganalisis hubungan antara apa yang disebut sebagai teknologi diri (technology of the self ) dengan teknologi dominasi (technology of domination),

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 61

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

dan pembentukan subjek (constitution of the subject) dengan formasi negara ( formation of the state).

Pandangan tersebut dapat membantu untuk menjelaskan perbedaan antara relasi kekuasaan dengan relasi dominasi. Hannigan (2006: 53-54) dalam Environmental Sociology, Second Edition, secara tegas jugamenjelaskan perbedaan konseptual dalam konsep kekuasaan Foucault dengan konsep dominasi Marxian. Menurut Hannigan:

“... power may be everywhere but relationship of power are rarely asymmetrical and wholly democratic. Fouacult makes an important distinction between power and domination. the latter refers to asymmetrical relationships of power in which the subordinated party has a negligible chance of exercising his or her will. Whereas power relationships are often unstable and reversible, domination means that these relationships are less fluid and less negotiation”.

Dominasi adalah bentuk praktik kekuasaan yang berimplikasi melahirkan situasi di mana ranah pilihan tindakan subjek yang didominasi begitu terbatas. Sebaliknya praktik governmentality adalah bentuk kontrol atau pengendalian diri (self-government) yang membentuk dan menghasilkan terbukanya kemungkinan pilihan tindakan subjek. Konsep kekuasaan ini tidak mengeksklusi bentuk konsensual (hegemoni) atau pilihan penggunaan kekerasan. Penggunaan kekerasan dan model konsensual telah direformulasi menjadi elemen pengendalian antarsubjek dalam relasi sosial. Metode-metode koersi dan konsensus itu merupakan elemen atau instrumen daripada fondasi atau sumber relasi kekuasaan (Foucault 1982b: 219-222). Menurut Lemke (2000: 4) governmentality merupakan konsep kekuasaan yang digunakan oleh Foucault untuk mempelajari kapasitas otonom individu dalam melakukan kontrol diri dan bagaimana hal itu berkaitan dengan kepentingan politik-ekonomi negara. Governmentality adalah konsep kekuasaan yang digunakan untuk menyelidiki bagaimana hubungan antara teknologi diri (power from below) dengan teknologi dominasi (power from above).

“I think that if one wants to analyze the genealogy of the subject in Western civilization, he has to take into account not only techniques of domination but also techniques of the self. Let’s say: he has to take into account the interaction between those two

62 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

types of techniques – techniques of domination and techniques of the self. He has to take into account the points where the technologies of domination of individuals over one another have recourse to processes by which the individual acts upon himself. And conversely, he has to take into account the points where the techniques of the self are integrated into structures of coercion and domination. the contact point, where the individuals are driven by others is tied to the way they conduct themselves, is what we can call, I think government. Governing people, in the broad meaning of the word, governing people is not a way to force people to do what the governor wants; it is always a versatile equilibrium, with complementarity and conflicts between techniques which assure coercion and processes through which the self is constructed or modified by himself ” (Foucault 1993: 203-204).

Dengan merujuk pada pemahaman tersebut, jika governmentality dipandang sebagai praktik kekuasaan yang potensial dalam diri subjek sehingga memiliki kapasitas kontrol diri, maka cara-cara kekerasan dan konsensual pun berlangsung, tetapi bukan dalam relasi dominasi melainkan dalam relasi sosial antar individu. Relasi kekuasaan (governmentality) juga menghadirkan situasi di mana individu merasa bebas. Individu tidak merasa terpaksa atau menganggap tidak ada alternatif tindakan selain yang telah ditentukan oleh kelompok dominan, melainkan secara potensial dalam diri subjek terdapat pengendalian atas praktik hidupnya sesuai dengan kontrol sosial yang dikehendaki oleh kepentingan politik-ekonomi negara.

Relasi dominasi mengandaikan bahwa relasi antar-subjek tidak berlangsung secara sejajar atau seimbang. Relasi dominasi merupakan bentuk relasi kekuasaan yang asimetris di mana subjek yang didominasi memiliki keterbatasan ruang untuk bermanuver atau dalam menentukan pilihan suatu tindakan (Foucault 1982a). Relasi dominasi adalah bentuk dari relasi kekuasaan yang stabil, hirarkis, tetap, dan sulit untuk dipertahankan.

Perbedaan antara kekuasaan dengan dominasi dapat pula diketahui dengan melihat bahwa ada model relasi kekuasaan lainnya, yakni relasi kekuasaan sebagai strategic games between liberties. Beroperasinya kekuasaan dalam model ini dapat dilihat dalam bentuk manipulasi ideologi, penyampaian argumentasi yang rasional, atau eksploitasi ekonomi, tetapi tidak berarti bahwa kekuasaan ini bertentangan

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 63

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

dengan kepentingan subjek yang lain dari relasi kekuasaan itu; dan pada konteks ini juga tidak signifikan untuk mengatakan bahwa menentukan tindakan orang lain (to determine the conduct of other) adalah buruk. Relasi kekuasaan dalam model ini dapat kita amati pada upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) atau upaya pemaksaan terhadap subjek tertentu agar memperoleh kebebasan dalam mengambil keputusan (Foucault 1982a).

Model relasi kekuasaan lainnya adalah yang disebut Foucault sebagai governmentality. Model ini berada di antara strategic games dan dominasi. Governmentality hanya mungkin berlangsung di antara subjek yang memiliki kebebasan atau memiliki banyak kemungkinan pilihan tindakan. Governemntality disebut juga sebagai conduct of conduct, suatu relasi kekuasaan yang dibangun dengan mengandaikan adanya kebebasan tetapi sekaligus mengarahkan (Foucault 1982b). Menjalankan relasi kekuasan dalam model ini juga berarti sebagai mengatur, membentuk, dan mengkonstruksi pilihan tindakan tertentu dari tindakan yang lain. Dengan demikian, ada tiga level analisa kekuasaan, yakni yang dipahami sebagai relasi strategi, governmentality, dan dominasi (yang biasanya disebut sebagai kekuasaan).

Sementara itu, Li dan beberapa penulis tersebut di atas menyamakan governmentality dengan hegemoni atau dominasi yang dinormalisasikan melalui consent, bukan sebagai teknik dalam relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan itu terdapat dalam setiap relasi sosial, karena itu kekuasaan tidak memusat dan tidak pula termiliki, tetapi tersebar: bukan karena merengkuh segalanya tetapi karena ia berasal dari manapun. Relasi dominasi mengandaikan bahwa subjek subordinat memiliki pilihan tindakan yang sangat terbatas, dan ia tidak memiliki pilihan lain selain yang dikehendaki kelompok dominan. Sedangkan relasi kekuasaan memberikan banyak kemungkinan pilihan tindakan. Conduct of conduct bukan bagaimana tindakan seseorang mempengaruhi tindakan orang lain, melainkan adanya suatu tindakan tertentu dapat menghadirkan berbagai kemungkinan pilihan tindakan, tetapi ia sendiri memilih tindakan yang sebenarnya dikehendaki oleh negara (Foucault 1982: 138-141).

Pemilihan tindakan itu bukan karena paksaan atau ketidaksadaran alam pikiran yang diarahkan oleh hegemoni dan menipulasi ideologi, melainkan secara potensial seorang individu menetukan pilihan tindakan yang sesungguhnya dikehendaki oleh negara. Dengan

6 4 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

demikian, governmentality sesungguhnya adalah gambaran tentang mekanisme kekuasaan dalam relasi kekuasaan yang berada dalam setiap relasi sosial, bukan sekedar relasi negara dengan masyarakat seperti dalam pandangan Marx atau Gramsci. Hanya saja, memang relasi kekuasaan yang tampaknya hanya berurusan dengan relasi antar subjek ternyata semakin dipengaruhi oleh negara. Maka pada relasi kekuasaan yang berlangsung dalam setiap relasi sosial sesungguhnya melekat di dalamnya pengaruh kepentingan-kepentingan negara. Menurut Foucault, relasi kekuasaan kini sudah semakin dipengaruhi dan terus-menerus berada di bawah kontrol negara. Itulah mengapa kemudian Foucault menyebut model relasi kekuasaan itu sebagai governmentality karena memang relasi kekuasaan semakin digovermentalisasikan (governmentalized).

Pemberdayaan s ebagai Governmenta l i t y

Governmentality hanya mungkin berlangsung di antara subjek yang memiliki kebebasan atau memiliki banyak kemungkinan pilihan tindakan. Governemntality disebut juga sebagai conduct of conduct (Foucault 1982b). Menjalankan relasi kekuasan dalam model ini juga berarti sebagai mengatur, membentuk, dan mengkonstruksi ranah pilihan tindakan dari yang lain.

Sementara itu, relasi kekuasaan yang bekerja memanfaatkan fungsi wacana sebagai rezim kebenaran, menggunakan aparatus disiplin dalam normalisasi praktik sosial subjek. Bentuk relasi dalam pendisiplinan tubuh individu ini merupakan relasi dominasi. Ada aktor dominan yang memproduksi wacana sebagai pengetahuan yang legitimate dalam menerangkan realitas yang kemudian diendapkan oleh individu yang ditundukkan agar bersikap seperti yang dikehendaki oleh aktor dominan itu. Tindakan individu yang demikian merupakan tindakan yang tepat dan disiplin. Kepentingan aktor dominan menjadi rasionalitas atas tubuh yang disiplin. Praktik pendisiplinan dijalankan sebagai aparatus kekuasaan terhadap target tubuh individu.

Berbeda dengan disciplinary power, governmentality bekerja sebagai relasi kekuasaan dengan targetnya pada tubuh sosial. Jika dalam pendisiplinan berlangsung relasi dominasi, maka pada governmentality beroperasi relasi kekuasaan. Alasannya, target pada tubuh sosial tidak memungkinkan relasi dominasi dijalankan dalam mendisiplinkan

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 65

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

tubuh sosial. Seperti halnya dalam praktik pendisiplinan, penggunaan aparatus governmentality dalam mengontrol tubuh sosial juga memanfaatkan fungsi wacana dan produksi pengetahuan. Namun, bentuk pengetahuannya bukan dihasilkan melalui definisi ilmiah dan klaim kebenaran, melainkan pengetahuan tentang politik-ekonomi.

Konsep tentang problematisasi atas realitas menjadi pintu masuk untuk menjalankan kekuasaan yang menggunakan aparatus governmentality. Problematisasi menghendaki produksi pengetahuan dalam definisi politik-ekonomi produsennya. Pada konteks ini, aktor dominan tidak lagi menggunakan klaim kebenaran dalam mendisiplinkan tubuh sosial, melainkan dengan menghadirkan pandangan bahwa realitas yang tengah dihadapi oleh masyarakat merupakan realitas yang bermasalah. Problematisasi realitas akan membuka peluang bagi aktor dominan untuk mengintervensi dalam mengkonstruksi realitas agar tidak lagi dipandang bermasalah. Populasi yang menjadi target dari beroperasinya kekuasaan ini akan memandang hal itu sebagai suatu cara yang tepat. Demikian pula, aktor dominan akan melihat bahwa praktik sosial dan cara pandang populasi yang demikian sebagai sesuatu yang tepat pula. Praktik sosial populasi yang demikian merupakan praktik yang disiplin dan tepat pada posisi yang diharapkan oleh aktor dominan. Konsep ini disebut Foucault sebagai right disposition of things.

Uraian konseptual di atas akan mengantarkan tulisan ini dalam melihat governmentality pada proses pemberdayaan atau kolaborasi NGO dengan kelompok masyarakat di Sidoarjo. Secara sederhana, elemen-elemen governmentality sebagai form of social control adalah sebagai berikut:

• Governmentality merupakan bentuk exercising power dalamranah relasi kekuasaan, bukan relasi dominasi; karena itu, baikgoverning actor maupun governed actor berdiri sejajar, tidaksebagai powerless atau powerful;

• Governmentality adalah conduct of conduct, mengatur danmengarahkan tindakan subjek satu sama lain dalam ranahkebebasan dan kesetaraan;

• Governmentality juga mengenai right disposition of things,di mana things adalah manusia dalam relasinya dengankesejahteraan, sumber daya, teritori, kebiasaan, cara berpikirdan bertindak (Foucault, 1991: 93 dalam Bryant);

66 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

• Governmentality juga tentang problematisasi, yakni carabagaimana aktor tertentu dapat mengintervensi pilihantindakan aktor lainnya dengan mempersoalkan things ataurelasi aktor tertentu dengan realitas yang ingin diintervensioleh aktor lainnya.

Governmenta l i t y da lam ka su s Lapindo

Kasus pemberdayaan yang dilakukan oleh NGO terhadap masyarakat korban dalam penyelesaian persoalan lingkungan di Sidoarjo dapat memberikan gambaran tentang elemen-elemen governmentality itu. Hal ini sekaligus untuk menunjukkan dilema peran NGO dalam pemberdayaan. Di Sidoarjo, para aktivis yang mendampingi korban berpandangan bahwa ada dua persoalan berkaitan dengan penyelesaian kasus itu. Yang pertama adalah soal tuntutan warga mengenai penyelesaian ganti rugi yang telah diatur dalam Perpres No. 14 tahun 2007. Sementara persoalan lainnya berkaitan dengan kepentingan penyelesaian kasus secara luas tidak hanya soal ganti rugi dalam skema perpres, tetapi juga persoalan pemulihan lingkungan, hak masyarakat atas pemukiman, kesehatan, dan pencemaran Sungai Porong. Persoalan-persoalan besar ini menurut para aktivis seharusnya juga menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah dan Lapindo, korporasi yang dituduh sebagai penyebab terjadinya bencana ekologi. Menurut mereka, pemerintah selama ini abai terhadap persoalan itu, sementara Lapindo hanya mau bertanggung jawab dalam batas aturan legal, itupun tidak semuanya dipenuhi. Sedangkan masyarakat, dalam pandangan aktivis, terjebak hanya berkepentingan mengurusi penyelesaian ganti rugi dalam skema perpres, yakni skema pemerintah mengenai penyelesaian kasus yang hanya memuat dampak sosial melalui pemberian ganti rugi atas musnahnya pemukiman dan tanah warga.

Kepentingan para aktivis adalah menuntut penyelesaian total atas dampak sosial dan lingkungan yang menurut mereka seharusnya juga menjadi kepentingan warga. Namun, para aktivis juga mengakui bahwa tidak mudah persoalan besar itu menjadi bagian dari tuntutan warga. Kelompok korban sebenarnya juga membenarkan pandangan para aktivis bahwa ada persoalan lain selain ganti rugi, tetapi penyelesaian ganti rugi itu saja sudah banyak menyita energi korban. Artinya, sebagian besar masyarakat sebenarnya tidak

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 67

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

begitu berkepentingan dengan apa yang juga seharusnya menjadi kepentingan mereka dalam pandangan aktivis. Sementara instrumen yang paling mungkin menjadi jalan untuk mencapai kepentingan besar para aktivis itu adalah kekuatan massa dari sekelompok warga korban. Para aktivis mengandalkan masyarakat korban sebagai jalan dalam menantang negara dan korporasi.

Kelompok masyarakat yang bisa dikonsolidasikan oleh para aktivis dalam melakukan gerakan bersama, meski tuntutannya terbatas dalam soal skema ganti rugi, adalah Geppres dan kelompok 9 Desa yang pada saat itu berkepentingan menuntut agar desanya masuk dalam peta areal terdampak menurut definisi perpres. Menurut para aktivis, kelompok 9 Desa adalah kelompok yang paling mungkin bisa membawa kepentingan besar mereka menjadi bagian dari isi tuntutan warga. Alasannya, tuntutan kelompok 9 Desa agar masuk dalam peta terdampak dan untuk memperoleh penyelesaian ganti rugi dari pemerintah atau Lapindo didasari atas persoalan pemukiman mereka yang sudah tidak layak huni. Munculnya bubble gas metan yang mudah terbakar dengan bau yang menyengat, amblesnya tanah yang menyebabkan keretakan pada dinding rumah secara vertikal maupun horizontal, serta tercemarnya air sumur warga di sembilan desa itu dapat menjadi dasar di mana persoalan lingkungan, hunian, dan kesehatan juga menjadi kepentingan warga yang lebih mendasar dari sekedar penyelesaian ganti rugi perpres.

Melihat kondisi ini, pilihan sementara yang dapat dilakukan oleh para aktivis pada tahap awal adalah tetap mengawal tuntutan warga atas penyelesaian ganti rugi dalam model cash and carry, sebagaimana menjadi tuntutan kelompok Geppres. Oleh karena itu, para aktvis sangat menjaga hubungan dengan kelompok Geppres agar bisa selalu dikonsolidasikan, bahkan ‘diatur’ dan ‘dikendalikan’. Menjaga relasi kolaborasi dengan Geppres akan memberi peluang bagi aktivis melakukan penyadaran dan intervensi bahwa apa yang dipandang sebagai persoalan bagi aktivis juga akan dipandang sebagai persoalan bagi Geppres, dan apa yang menjadi kepentingan para aktivis juga akan menjadi kepentingan kelompok Geppres. Meski demikian, para aktivis sebenarnya khawatir jika mereka hanya mengandalkan basis massa Geppres dalam melakukan perlawanan. Persoalannya, kalaupun pada saat itu yang bisa dilakukan adalah mengawal tuntutan kompensasi ganti rugi warga, jika tuntutan ini telah terpenuhi, tidak ada jaminan kolaborasi tetap dapat dilakukan.

68 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Para aktivis juga menyadari sulitnya melakukan perlawanan tanpa basis massa dari korban.

Dilema di atas membuat aktivis menempatkan kelompok warga 9 Desa sebagai basis massa potensial dalam menuntut pemulihan dan ganti rugi atas dampak sosial dan lingkungan yang lebih besar. Pada konteks ini media yang diproduksi oleh Posko Bersama menjadi penting. Baik melalui website, buletin, dan radio para aktivis menyusun berita dan membuat laporan tentang segala peristiwa yang berkaitan dengan Kasus Lapindo. Menurut para aktivis, penerbitan media ini bertujuan memberikan keseimbangan informasi atas pemberitaan media mainstream yang menurut mereka terlalu sering mendistorsi fakta kepada korban dan masyarakat luas atas berbagai persoalan yang muncul dari kasus Lapindo. Ada tiga jenis topik yang menjadi sorotan utama media yang diproduksi oleh aktivis. Pertama adalah persoalan penyelesaian ganti rugi warga. Jika sebagain besar isi berita dalam media mainstream atas topik ini memberikan kesan kepada pembacanya bahwa tidak ada masalah dalam proses penyelesaian ganti rugi warga, maka media yang diproduksi aktivis memberikan gambaran sebaliknya. Media milik aktivis sering menampilkan sosok individu warga yang jauh dari penyelesaian ganti rugi, terutama terkait pembayaran bertahap 20% ataupun 80%.

Topik kedua mengenai pedebatan para i lmuwan da lam memandang penyebab semburan lumpur. Media milik aktivis tidak menampilkan kedua pandangan itu secara berimbang, tetapi berpihak pada pandangan yang melihat semburan lumpur berkaitan dengan eksplorasi Lapindo. Para aktivis menampilkan pandangan ini begitu menonjol selain karena mereka meyakini hal itu sebagai “kebenaran”, juga karena cara pemberitaan seperti itu merupakan bagian dari peran media yang memberikan informasi secara berimbang. Media mainstream, dalam pandangan aktivis, terlalu berpihak pada kepentingan Lapindo. Karena itulah hadirnya media milik aktivis justru menyajikan pandangan sebaliknya agar publik dapat mengonsumsi kedua sisi pandangan secara berimbang. Ilmuwan-ilmuwan yang memandang semburan berkorelasi positif dengan pengeboran menjadi rujukan utama media aktivis. Sementara ilmuwan dan sumber apapun yang mengatakan sebaliknya menjadi sasaran kritik media ini.

Topik ketiga tentang dampak yang lebih luas akibat semburan lumpur, tidak hanya soal tenggelamnya pemukiman warga, tetapi

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 69

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

juga soal kerusakan dan pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan warga, hak warga atas pemukiman yang layak, pencemaran air sumur warga, pencemaran akibat pembuangan lumpur ke Sungai Porong yang juga berdampak pada kegiatan para petani, petambak, dan penambang pasir di sekitarnya. Topik ini disajikan misalnya dengan menampilkan sosok warga petani, petambak, dan penambang pasir yang mengalami kerugian akibat pembuangan lumpur ke Sungai Porong. Soal kesehatan dan pencemaran lingkungan juga menjadi perhatian penting yang disajikan media ini. Terlebih isu-isu ini merupakan bagian dari apa yang mereka sebut sebagai persoalan besar daripada sekadar urusan kompensasi ganti rugi.

Ketiga topik itu dapat menggambarkan apa yang menjadi kepentingan aktivis, apa yang mereka perjuangkan, dan realitas macam apa yang hendak mereka konstruksi. Dengan memandang kelompok warga 9 Desa sebagai basis massa potensial dalam perjuangan aktivis, maka para aktivis berusaha mengawal apa yang menjadi kepentingan kelompok 9 Desa. Dengan itu pula, kepentingan aktivis untuk mengangkat isu-isu yang diabaikan oleh pemerintah juga dapat menjadi kepentingan kelompok 9 Desa. Mereka berusaha membuka ruang untuk bisa mengintervensi korban agar tuntutan warga tidak hanya soal ganti rugi menurut perpres atau upaya untuk masuk dalam peta area terdampak, tetapi juga mengangkat masalah-masalah lain yang lebih besar sebagai bagian dari persoalan warga.

Usaha untuk mengintervensi perjuangan dan tuntutan warga agar apa yang menjadi kepentingan aktivis juga menjadi kepentingan korban dengan menampilkan isu-isu penting aktivis yang seharusnya juga menjadi persoalan warga merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai problematisasi. Melalui problematisasi para aktivis membentuk subjek korban yang produktif, yang bermanfaat untuk memperjuangkan kepentingan aktivis. Para aktivis memproduksi wacana tentang realitas yang bermasalah. Walhi misalnya, pada tahun 2008 telah melakukan penelitian mengenai kandungan zat berbahaya berupa PAH (Polyciclic Aromatic Hydrocarbon) di luar ambang batas yang bisa ditoleransi di lingkungan sekitar semburan. Sembilan desa merupakan daerah yang paling rawan udaranya tercemar kandungan zat itu dengan gradasi tingkat bahaya yang bebeda-beda. Temuan ini sering menjadi acuan warga sehingga mereka merasa berhak menuntut ganti rugi dan penyelesaian persoalan lingkungan dari pemerintah.

70 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Dengan mempersoalkan realitas melalui problematisasi, para aktivis memperoleh justifikasi untuk melakukan intervensi yang efeknya menciptakan subjek korban yang berguna, dan bermanfaat bagi tercapainya kepentingan para aktivis. Dari kasus kolaborasi aktivis dengan Geppres, tujuan pendampingan aktivis bukan sekedar mengawal apa yang dipandang penting dan apa yang menjadi tuntutan korban. Lebih dari itu, para aktivis berusaha menghadirkan situasi di mana korban memikirkan dan memperjuangkan kepentingan aktivis. Pembentukan korban sebagai subjek yang berguna merupakan bentuk dari right disposition of things. Apa yang dipandang oleh aktivis dalam melakukan pengorganisasian, pendampingan, dan advokasi bukan semata-mata pemberdayaan (empowerment) terhadap korban, melainkan juga jalan bagi aktivis untuk mencapai kepentingannya dengan menjadikan korban sebagai governable subject. Buktinya, para aktivis tidak akan berhenti melakukan “perjuangannya” jika pendampingan mereka kepada korban telah menghasilkan keberhasilan tuntutan. Kepentingan para aktivis ini bukan pemberdayaan, dan tujuan mereka juga bukan melakukan pemberdayaan terhadap korban melainkan dengan “memberdayakan” korban, mereka memiliki justifikasi mencapai kepentingannya. Kepentingan aktivis adalah menciptakan tatanan sosial dan realitas berdasarkan apa yang dibayangkannya, yakni realitas sosial dan lingkungan yang memperoleh pemulihan total atas dampak semburan sebagai tanggung jawab pemerintah dan Lapindo.

Cara yang digunakan oleh para aktivis dalam membentuk subjek korban yang dikehendaki tidak dengan memaksakan bentuk pilihan tertentu sebagai sesuatu yang harus ditempuh oleh korban. Masyarakat masih memiliki ruang kebebasan yang sangat luas dalam memilih apakah mereka akan mengikuti jalan para aktivis atau tidak. Media yang diproduksi oleh aktivis dalam hal ini memiliki peran yang penting dalam proses governmentality ini. Aktivis tidak memaksakan korban agar mereka menuntut apa yang menjadi kepentingan mereka. Mereka hanya memberikan gambaran apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan korban dan apa yang bisa menjadi alternatif kepentingan lainnya. Adanya kebebasan ini merupakan elemen dari governmentality. Korban memiliki pilihan antara menjadi governable subject dengan pilihan untuk lari darinya.

Praktik-praktik advokasi dan pendampingan para aktivis atas nama pemberdayaan tidak hanya mengandung makna adanya kehendak

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 71

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

untuk memberdayakan tetapi juga kehendak untuk menguasai dan mengontrol korban. Bentuk-bentuk advokasi dan gerakan sosial, seperti dipersoalkan Forsyth, dengan demikian tidak selalu menghasilkan perbaikan kondisi sosial masyarakat. Alih-alih gerakan sosial itu membebaskan atau membantu masyarakat miskin, gerakan sosial seringkali bahkan menghasilkan replikasi atau pemaksaan bentuk wacana hegemonik yang lain, seperti halnya yang membuat kelompok yang hendak diadvokasi itu menjadi marginal.

PENU T U P

Kehadiran NGO sebagai aktor penting dalam gerakan sosial baru tidak selamanya dapat dipandang produktif dalam menciptakan perubahan sosial atau setidaknya dapat membantu kelompok masyarakat yang powerless menjadi lebih seimbang dalam menghadapi dominasi negara dan korporasi. Ada ambiguitas peran aktivis dalam upaya pemberdayaan komunitas lokal. Alih-alih NGO dalam gerakan sosial dapat membantu kelompok rentan terbebas dari masalahnya, ia justru sangat mungkin mereplikasi bentuk wacana hegemonik yang membuat kelompok tertentu menjadi vulnerable. Kasus lumpur Lapindo di antaranya juga memberikan bukti lain bahwa kehendak NGO untuk memberdayakan kelompok rentan akibat munculnya persoalan ekologi di Sidoarjo justru jatuh pada proses subjektivasi korban sebagai governable subject. Pandangan semacam ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan peran NGO dalam gerakan sosial atau bahkan menafikan apa yang selama ini telah dicapai NGO dalam memberikan sumbangan terhadap perubahan sosial-politik.

Artikel ini merupakan upaya penulis untuk melihat secara kritis apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari suatu gerakan sosial. Tujuan semacam ini memang tidak dapat digeneralisasi untuk semua kasus perlawanan masyarakat sipil terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan sosial dan eksploitasi politik-ekonomi negara yang beraliansi dengan korporasi. Gugatan semacam ini berkaitan dengan bentuk-bentuk exercising power yang tidak melulu bersifat eksploitatif dan dominatif. Hadirnya diskusi dari kalangan post-strukturalis, terutama dalam hal ini adalah Foucault, yang memandang kekuasaan bukan semata-mata persoalan atribut dan bentuk-bentuk penguasaan serta kontrol sosial yang seringkali tidak selalu nampak, seharusnya dapat membuat gerakan sosial menjadi lebih ref lektif dalam menjalankan politik

72 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

resistensinya. Abu-Lughot (1989) memberikan kritik yang cukup tajam atas gejala resistensi dalam gerakan sosial ketika mengomentari pandangan resistensi Scott, yang menurutnya bagitu naif jika resistensi hanya diartikan sebagai romantisasi perjuangan kaum lemah tanpa melihatnya sebagai sebuah strategi kekuasaan. Tujuan gerakan sosial, termasuk gerakan lingkungan, adalah resistensi, tetapi tidak seharusnya sekedar resistensi yang membabi buta.

DA F TA R PUSTA K A

Akbar, Ali Azhar. 2007. konspirasi di Balik Lumpur Lapindo: dari Aktor hingga Strategi kotor. Jogjakarta: Galang Press.

Abu-Lughot, Lila. 1989. the Romance of Resistance: tracing transformations of Power through Bedouin Women. New Jersey. Princeton University.

Bryant, Raymond. 2002. “Non-Governmental Organizations and Governmentality: ‘Consuming’ Biodiversity and Indigenous People in the Philippines.” Political Studies 50: 268–92.

Bryant, Raymond L., dan Sinead Bailey. 1997. third World Political Ecology. London: Routledge.

Callewaert, Staf. 2006. “Bourdieu, Critic of Foucault: The Case of Empirical Social Science against Double-Game-Philosophy.” theory, Culture & Society 23(6):73-98.

Cronin, Ciaran. 1996. “Bourdieu and Foucault on Power and Modernity.” Philosophy Social Criticism 22:55-85.

Curtis, Bruce. 2002. “Foucault on Governmentality and Population: The Imposible Discovery.” Canadian Journal of Sociology. 27(4):505-33.

Deacon, Roger. 2002. “An Analytics of Power Relations: Foucault on The History of Discipline.” History of the Human Science 15(1):89-117.

Doolittle, Amity A. 2005. Property and Politics in Sabah, Malaysia: Native Struggles over Land Rights. Seattle and London: University of Washington Press.

Dove, Michael. 2006. “Indigenous People and Environmental Politics.” Annual Review Anthropology 35:191–208.

Edelman, Marc dan Angelique Haugerud. 2005. the Antropology of Development and Globalization: From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism. USA: Blackwell Publishing.

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 73

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Florence, Maurice. 1994. Foucault. Canada: The New Press.Foucault, Michel. 2003. Society must be Defended. UK: Penguin

Books.------. 1990. the History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1. New

York: Vintage Books. ------. 1984. “The Ethics of the Concern of the Self as a Practice of

Freedom.” Pp. 25-42 dalam the Essential Foucault. New York: The New Press.

------. 1983. “Structuralism and Post-Structuralism.” Pp. 80-101 dalam the Essential Foucault. New York: The New Press.

------. 1982a. “Technology of The Self.” Pp. 145-69 dalam the Essential Foucault. New York: The New Press.

------. 1982b. “The Subject and Power.” Pp. 126-44 dalam the Essential Foucault. New York: The New Press.

------. 1980. Power/knowledge: Slected Interviews and Other Writings, 1972-1977. New York: Phanteon Books.

------. 1978a. “Governmentality.” Pp. 229-45 dalam the Essential Foucault. New York: The New Press.

------. 1978b. “Security, Territory, and Population.” Pp. 259-63 dalam the Essential Foucault. New York: The New Press.

------. 1977. Discipline and Punish: the Birth of the Prison. New York: Vintage Books.

------. 1973. The Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical Perseption. London and New York: Routledge.

------. 1970. the Order of things: An Archaeology of the Human Science. New York: Vintage Books.

Fraser, Nancy. 2003. “From Discipline to Flexibilization? Rereading Foucault in the Shadow of Globalization.” Blackwell Publishing 10(2):160-71.

Hall, Stuart. 1996. “On Postmodernism and Articulation: An Interview with Stuart Hall.” Pp. 131-50 in Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies, edited by Lawrence Grossberg, David Morley and Kuan-Hsing Chen, London: Routledge.

Hannigan, John. 2006. Environmental Sociology, Second Edition. New York: Routledge.

Lash, Scott. 2007. “Power after Hegemony; Cultural Studies in Mutation?” theory, Culture & Society 24(3):55-78.

74 | A B D I L M U G H I S M U D H O F F I R

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Lemke, Thomas. 2000. Foucault, Governmentality, and Crituque. Paper presented at the Rethinking Marxism Conference, University of Amherst, September 21-24.

Li, Tania Muray. 1999. “Compromising Power: Development, Culture, and Rule in Indonesia.” Cultural Anthropology 14(3):295-322.

------. 1999. transforming the Indonesian Upland: Marginality, Power, and Production. Netherland: OPA.

------. 2001. “Masyarakat Adat, Difference, and the Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone.” Modern Asian Studies 35(3):645-76

------. 2004. Environmental, Indigeneity, and transnationalism dalam Liberation Ecologies. London: Routledge.

------. 2005. “Government through Community: The World Bank in Indonesia.” Invited Paper for the Hauser Colloquium: Globalization and Its Discontent. New York University School of Law.

------. 2007. the Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. London: Duke University Press.

Mudhoffir, Abdil Mughis. 2008. “Berebut Kebenaran: Governmentality pada Kasus Lapindo.” Tesis Program Pascasarjana, Departemen Sosiologi, FISIP UI, Depok.

------. 2008. “Politik Kebudayaan: Manufakturisasi Subjek Korban Lapindo.” Jurnal Pesantren Ciganjur. 5(3):41-54.

Novriaty, Shanty. 2006. “Pemetaan Pemikiran dalam Sosiologi Lingkungan.” Jurnal Masyarakat 13(2):7-24.

Prayogo, Dody. 2006. “Dinamika, Sebab, dan Peran Negara dalam Konf lik antara Korporasi dengan Komunitas Lokal.” Jurnal Masyarakat 13(2):34-69.

Peluso, Nancy Lee. 1993. Coersing Conservation: the Politics of State Resource Control. Global Environment Change. Pp.199-217.

------. 1992. Rich Forest and Poor People: Resource Control and Resistance in Java. London: University of California Press.

Peluso, Nancy dan Michael Watts. 2001. Violent Environment. USA: Cornell University.

Peluso, Nancy, dkk. 2008. “Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia.” Journal of Agrarian Change 82(2 and 3): 377-407.

Pickett, Brent. 1996. “Foucault and the Politics of Resistance.” Polity 28(4):445-66.

Procter, James. 2004. Stuart Hall. London: Routledge.

G O V E R N M E N T A L I T Y D A N P E M B E R D A Y A A N | 75

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 16, No. 1, Januari 2011: 49-75

Rabinow, Paul and Nicolas Rose. 2003. the Essential Foucault: Selections from Essential Work of Foucault, 1954-1984. London: The New Press.

Robbins, Paul. 2004. Political Ecology. USA: Blackwell Publishing. Seda, Francisia SSE. 2006. “Lingkungan Hidup dan Pembangunan.”

Jurnal Masyarakat Vol. xIII (2). Singer, Brian C.J. and Lorna Weir. 2006. “Politics and Soverign

Power: Considerations on Foucault.” European Journal of Social theory 9(4):443-65.

Smart, Barry. 2002. Michel Foucault. New York: Routledge. Scott, James C. 1998. Seeing Like A State: How Certain Schemes

to Improve the Human Condition Have Failed. London: Yale University Press.

------. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. London: Yale University Press.

------. 1990. Domination and the Art of Resistance: Hidden transcripts. London: Yale University Press.

Tsing, Anna. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Ney Jersey: Princeton University Press.

Thoburn, Nicholas. 2007. “Patterns of Production; Cultural Studies after Hegemony.” theory, Culture & Society 24(3):79-94.

Venn, Couze. 2007. “Cultural Theory and its Future; Inroduction.” theory, Culture & Society 24(3):49-54.

------. 2007. “Cultural Theory, Biopolitics, and The Question of Power.” theory, Culture & Society 24(3):111-124.

Vighi, Fabio dan Heiko Felder. 2007. Žižek: Beyond Foucault. New York: Palgrave Macmillan.