masteran makalah mikroper.docx
DESCRIPTION
makalah mikrobiologi zoonosisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroba merupakan suatu makhluk mikroorganisme yang ukurannya sangat kecil dan
hanya bisa dilihat oleh lensa pembesar, mikroskop dan mikroskop electron. Keberadaannya
pun sangat melimpah dialam ini. Mikroba banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
fermentasi makanan, obat-obatan (probiotik, prebiotik dan sinbiotik), dan lain sebagainya.
Disamping itu, beberapa jenis mikroba pun ada yang merugikan dan bisa menimbulkan
berbagai penyakit bagi kita atau yang lebih dikenal dengan mikroba Patogen. Mikroba
pathogen ini ada yang bersifat zoonosis ( mikroba pathogen yang menyerang hewan yang
dapat menularkan atau menyebabkan penyakit pada manusia yang mengkonsumsi hewan
tersebut).
Salah satu mikroba pathogen yang bersifat zoonosis adalah bakteri vibrio
parahaemolyticus. Bakteri ini sering menyerang hewan-hewan perairan seperti ikan, udang,
kerang, lobster dan lain sebagainya. Apabila kita memakan ikan, udang atau kerang yang
telah terkontaminasi oleh bakteri vibrio parahaemolyticus, akan menimbulkan penyakit yang
dinamakan gastroentritis (diare akut).
1.2 Tujuan
Mengetahui Klasifikasi, Morfologi, sifat-sifat, dan habitat dari vibrio parahaemolyticus
Mengetahui Distribusi Penyakit Gastroentritis yang disebabkan infeksi vibrio
parahaemolyticus
Mengetahui proses penularan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi vibrio
parahaemolyticus
Mengetahui cara pencegahan terhadap infeksi dari vibrio parahaemolyticus
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Vibrio Parahaemolyticus
V. parahaemolyticus pertama kali diisolasi di Jepang pada tahun 1951 oleh Fujoko et
al. dari para penderita Gastroentritis akut . Bakteri ini merupakan penyebab keracunan
makanan yang terjadi di Jepang pada 1950, Diantaranya 20 orang meninggal dari 272
penderita Gastroentritis. Makanan penyebab keracunan adalah yang disebut “shirazu” yaitu
makanan kering yang dibuat dari ikan sardin Engraulis Japonica.
Bentuk Vibrio parahaemolyticus
Dalam Bergey’s manual edisi 1974, V. parahaemolyticus dibedakan atas dua subgroup
atau biotipe, yaitu biotipe 1 dan biotipe 2 (Buchanan dan Gibbsons,1974). Pada mulanya,
bakteri diduga hanya terdapat di Jepang dan negara tetangganya. Akan tetapi, sejak 1971
bakteri ini telah dilaporkan ditemukan pada berbagai produk laut di berbagai Negara
termasuk Australia, India, Thailand, Malaysia, Filiphina, Mexico, Inggris, dan Amerika
Serikat. Di Jepang, lebih dari 400 letusan keracunan makanan terjadi setiap tahun dengan
jumlah 5.000-10.000 penderita. Keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri ini, di
Jepang disebut “summer diarrhea” yang meliputi 3/5 dari jumlah penderita diare, dan di
Thailand meliputi 2,9-22,6% dari jumlah penderita Gastroentritis yang di rawat di rumah-
rumah sakit.
2
Di Indonesia, keracunan makanan yang disebabkan oleh kontaminasi V.
parahaemolyticus boleh di katakan tidak ada. Hal ini karena makanan-makanan hasil laut
umumnya dikonsumsi setelah dimasak sampai matang, sedangkan di Jepang banyak jenis
makanan hasil laut yang dikonsumsi dalam keadaan masih mentah.
2.2 Klasifikasi
kingdom : Bacteria
filum : Proteobacteria
kelas : Gamma Proteobacteria
order : Vibrionales
famili : Vibrionaceae
genus : Vibrio
species : Vibrio parahaemolyticus
(Sumber : Wikipedia 2011)
2.3 Morfologi & Anatomi
Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik,
bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan
tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis ( Austin 2010). Perubahan bentuk
morfologi Vp dapat terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak
menunjang (Chen et al 2009).
2.4 Sifat – sifat
Vibrio Parahaemolyticus merupakan bakteri batang pendek, lurus atau agak
melengkung dengan ujung membulat, gram negatif, anaerobic fakultatif, kadang-kadang
3
membentuk formasi dalam bentuk rantai, dan membentuk flagellum polar tunggal bila
tumbuh pada medium cair. Bersifat katalase, oksidase peroksidase, indol, gelatinase, lysine
dekarboksilase, dan ornitin dekarboksilase positif, memfermentasi glukosa dan menghasilkan
asam tanpa gas, juga memfermentasi maltose dan trehalosa, tetapi jarang memfermentasi
sukrosa dan laktosa. Bakteri ini juga bisa menghidrolisis pati dan chitin.
Berdasarkan atas sifat pertumbuhan pada medium 10% NaCl, uji V-P, M-R, dan
produksi asam dari arabinosa dan sukrosa, V. Parahaemolyticus dibedakan menjadi 2
biotipe. Biotipe 1 dari V. Parahaemolyticus adalah bersifat --+v, sedangkan biotipe 2
memiliki sifat ++--+ (Buchanan dan Gobbons,1974)
V. Parahaemolyticus memiliki suhu pertumbuhan optimum pada 35-370C, dengan suhu
maksimum 42-440C dan suhu minimum 10-130. Beberapa strain diantaranya dapat tumbuh
pada suhu50C. Pada kondisi optimum, waktu generasi bakteri ini sangat pendek yaitu 12-15
menit. Nilaiaw minimum pertumbuhan bakteri ini bergantung pada suhu inkubasi dan jenis
serta konsentrasisat solute. Di dalam medium Trypticase Soy Broth, bakteri ini mencapai
pertumbuhan yang tercepat pada konsentrasi NaCl 2,9%, yang sesuai dengan aw 0,992, dan
tidak dapat tumbuh pada aw 0,94.
V. Parahaemolyticus dapat tumbuh pada pH 5,0-8,5 dengan pH optimum 7,5-8,6.
Beberapa strain ditemukan dapat tumbuh pada pH 4,8 atau pH 11,0
Berdasarkan sifat antigenik O dan K yang dimilikinya, bakteri ini dapat dibedakan 12
grup. Semua starin bakteri ini memiliki antigen H (flagelar), tetapi dianggap kurang penting
dalam menentukan serotipenya.
2.5 Habitat Vibrio parahaemolyticus
Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai
(coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea). Bakteri Vp terutama hidup di
perairan Asia Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%,
( berkembang baik pada kadar NaCl 0,5% - 8 %) pada kisaran suhu 5 - 43 OC, pH 4,8 –11
dan water activity (aw) 0,94- 0,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 37
4
OC dengan waktu generasi hanya 9-11 menit. Pada beberapa spesies Vibrio suhu
pertumbuhan sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC merupakan suhu minimum pada
lingkungan) (Adams and Moss 2008). Selama musim dingin, organisme ini ditemukan di
lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di perairan pantai. Bakteri
Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut
lainnya (Sudheesh and Xu 2002).
Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan pantai di seluruh dunia. Bakteri
ini ditemukan di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang hadir
dalam jumlah tertinggi selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri ini tetap berada
di bawah muara pada bahan chitinous plankton (Ray 2004).
2.6 Gastroentritis
2.7 Distribusi Penyakit.
Vibrio parahaemolyticus pertama kali menunjukkan gejala enteropatogenik pada
tahun 1951, yang menyebabkan wabah foodborne disease dan menjadi penyebab 50-70%
penyakit gastroenteritis di Jepang (Adams and Moss 2008). Kasus sporadis dan beberapa
kejadian luar biasa (KLB) dengan common source dilaporkan dari berbagai bagian dunia,
terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban yang banyak
terjadi di AS yang disebabkan karena mengkonsumsi seafood yang tidak dimasak dengan
sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas. Beberapa KLB yang akhir-
akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain urease positif.
Vp teridentifikasi sebagai patogen pangan pertama kali di Jepang, pada tahun 1950.
Infeksi disebabkan oleh konsumsi sarden, dengan 272 orang sakit dan 20 meninggal. Sejak
itu, Vp dikenal sebagai penyebab penyakit karena seafood mentah atau setengah matang di
Jepang dan beberapa negara Asia lainnya (Daniels et al 2000). Kejadian luar biasa keracunan
pangan karena Vp (KLB Vp) didefinisikan sebagai kejadian dua atau lebih kasus penyakit
dengan gejala klinis yang mirip, yang terjadi setelah mengkonsumsi suatu jenis seafood. Pada
kasus infeksi Vp 1988 – 1997 di Florida, Alabama, Louisiana dan Texas, 59%-nya merupakan
penyakit gastroenteritis, 8% dengan septisemia dan 34% dengan infeksi kulit. Sebanyak 88%
dari penderita gastroenteritis tercatat mengkonsumsi tiram mentah sebelum sakit, sementara
5
91% penderita septisemia juga mengkonsumsi makanan yang sama sebelum sakit. Dari total
345 kasus, 45% di antaranya dirawat dan 4% meninggal dunia (Daniels et al 2000).
Distribusi penyakit diare akut (gastroenteritis).
2.8 Proses Penularan
Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi
produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang
sempurna. Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun
tercemar oleh personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah.
Kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus
6
Proses Penularan
2.9 Gejala Infeksi
V. Parahaemolyticus dapat menimbulkan berbagai gejala penyakit yaitu diare encer,
kejang perut, mual, muntah, pusing dan demam, dan menggigil (Backer,1974). Gejala
Gastroentritis bervariasi dari ringan sampai berat. Berbeda dengan gejala kolera yang
biasanya tidak disertai muntahberat dan sakit perut, infeksi V. Parahaemolyticus biasanya
disertai dengan sakit perut yang hebat. Masa inkubasi dari mulai mengkonsumsi makanan
yang terkontaminasi sampai timbulnya gejala penyakit bervariasi dari 4 sampai 96 jam. Rata-
rata 12-24 jam, bergantung kepada jumlah sel bakteri yang tertelan dan daya tahan penderita.
Seperti halnya V. chloreae, V. Parahaemolyticus berkembangbiak dengan cepat di
dalam saluran pencernaan, dan dikeluarkan bersama feses selama penderita terserang infeksi.
Jumlah bakteri ini menurun dengan cepat selama proses penyembuhan. Gejala infeksi ini
biasanya terbatas dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu beberapa hari sampai 10
hari setelah timbulnya gejala, rata-rata 3 hari.
7
Mekanisme patogenitas V. Parahaemolyticus belum diketahui dengan jelas. Bakteri ini
mempunyai komponen yang berupa suatu hemolisin yang merupakan penyebab timbulnya
gejala gastroenteritis. Suatu medium agar dengan konsentrasi garam tinggi yang dibuat oleh
Wagatsuma (1968) dapat digunkan untuk menguji keaktifan hemolitiknya. Terjadinya β-
hemolisis pada sel-sel darah merah setelah 24 jam inkubasi menunjukkan bakteri tersebut
menghasilkan reaksi kanagawa positif. Istilah Kanagawa berasal dari nama “Kanagawa
Prefectural Public Health Laboratory”, suatu tempat uji ini dilakukan pertama kali. Reaksi
positif ini disebabkan oleh adanya suatu hemolisin yang bersifat tahan panas dan mempunyai
BM ± 42.000.
Penyebab timbulnya gejala infeksi ini sampai sekarang masih terus diragukan, yaitu
apakah disenbabkan oleh produksi enteroksin, atrau karena sifat invasive dari bakteri
tersebut. Di duga ada hubungan satu sama lain antara hemolisisn yang bersifat tahan panas,
antigen K, dan enteroksin. Ketiganya dipengaruhi oleh adanya plasmid, tetapi hubungan
epidemiologi yang jelas antara serotype dan kemampuan untuk menimbulkan infeksi belum
jelas.
Menurut Sakazaki et. al (1974) bahwa kemampuan strain Kanagawa positif
berkembang biak dengan lebih cepat di dalam saluran pencernaan disbanding strain
Kanagawa negatif, merupakan factor penting yang menentukan sifat virulensi dari bakteri
tersebut. Sedangkan produksi enteroksin baik oleh strain Kanagawa positif maupun negatif,
menentukan daya patogeniknya. Di samping itu, strain Kanagawa positif mungkin lebih
tahan hidup dan tumbuh lebih cepat pada kondisi tertentu disbanding dengan starin
Kanagawa negatif.
Lebih dari 95% strain yang diisolasi dari feses penderita gastroenteritis bersifat
Kanagawa positif. Sedangkan kurang dari 1% starin yang diisolasi dari makanan-makanan
hasil laut, air maupun lingkungan bersifat Kanawgawa positif (Beichat, 1982). Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa kemungkinan terjadi transformasi dari strain Kanagawa negatif
menjadi positif selama bakteri ini berada di dalam saluran usus. Kemudian strain Kanagawa
positif tersebut dapat berkembang biak dengan lebih cepat.
8
V. parahaemolyticus juga memproduksi endotoksin seperti yang diproduksi oleh
enterobacteriaceae. Endotoksin ini mungkin berperan dalam menentukan sifat patogenik
bakteri tersebut.
Infeksi V. parahaemolyticus jarang disebarkan secara langsung dari satu penderita ke
penderita lain. Infeksi umumnya disebarkan melalui makanan. Penderita infeksi V.
parahaemolyticus dapat diberi infus dengan cairan, atau bila keadaan parah dapat diberi
pengobatan dengan antibiotik seperti tetrasiklin, neomisin, atau streptomisin tetapi bukan
ampisislin. Hal itu karena vibrio bersifat tahan terhadap ampisilin.
Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus
Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus (Sumber : CDC)
2.10 Kontaminasi V. parahaemolyticus pada makanan dan cara pencegahannya
9
V. parahaemolyticus banyak ditemukan di dalam perairan, terutama perairan yang
tinggi kandungan bahan organiknya, dan sering mengkontaminasi makanan-makanan hasil
laut seperti udang, ikan, kepiting, kerang lobster, dan sebagainya. Bakteri ini banyak
ditemukan di laut, terutama di daerah iklim tropis atau pada musim panas. Di Jepang,
makanan hasil laut tersebut umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah atau dicelupkan
sebentar di dalam air panas. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya letusan infeksi V.
parahaemolyticus lebih banyak terjadi di Jepang dari pada di Indonesia karena jenis makanan
hasil lautnya biasa dikonsumsi dalam keadaan masak. Di Indonesia kemungkinan terjadi
kontaminasi bakteri ini disebabkan terjadi kontaminasi setelah pengolahan.
V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang sensitif terhadap suhu tinggi maupun
suhu rendah. Ketahanan terhadap panas sangat dipengaruhi oleh kondisi selama pertumbuhan
selnya dan medium tempat pemanasan. Sel-sel yang tumbuh atau ditumbuhkan pada suhu
inkubasi yang lebih tinggi umumnya bersifat lebih tahan terhadap panas. Misalnya, strain
Kanagawa positif mempunyai nilai D 450C, selama 5,3 menit bila ditumbuhkan pada suhu
210C, dan 48,2 menit bila ditumbuhkan pada suhu 370C (Beuchat dan Worthington, 1976).
Ketahanan terhadap panas juga bertambah bila sel dipanaskan di dalam media yang
mengandung produk-produk laut dan garam NaCl (Covert dan Woodburn,1972), dan juga
pada pH mendekati netral.
V. parahaemolyticus sensitif terhadap pendinginan dan pembekuan. Proses
pendinginan (chilling) biasanya lebih bersifat lethal daripada pembekuan. Suatu penelitian
menunjukkan bahwa bakteri ini masih dapat tahan hidup pada makanan hasil laut yang
dibekukan selama 130 hari (Johnson dan Liston, 1973). Oleh karena itu, disarankan untuk
tidak mengkonsumsi prosuk laut dalam keadaan mentah, meskipun sebelumnya telah
disimpan pada suhu rendah yaitu dengan pendinginan atau pembekuan.
2.11 Uji V. parahaemolyticus di dalam makanan
Jumlah V. parahaemolyticus didalam makanan dapat diduga dengan metode MPN
menggunakan medium “enrichment” yaitu Glucose-Salt Teepol (GST) Broth (FDA,1976).
Tabung yang menunjukkan pertumbuhan positif diinokulasikan pada agar Thiosulface-
Citrate-Bile Salts-Sucrose (PCBSA) untuk melihat koloni yang diduga V. parahaemolyticus.
10
Larutan pengencer yang digunakan adalah 3% NaCl (pH 7,0). Inkubasi dilakukan pada suhu
350C selama 18 jam. Pada medium TCBSA, V. parahaemolyticus membentuk koloni bulat
berwarna biru-hijau dengan diameter 2-3mm.
Koloni Vp pada agar CV (a, warna ungu) dan TCBS (b, warna hijau)
Koloni tipikal V. parahaemolyticus dari medium TCBSA kemudian diinokulasikan
pada berbagai medium untuk menguji sifat-sifat morfologi,fisiologi, dan serologinya.
Uji Reaksi Kanagawa
Medium Wagatsuma yang digunakan untuk uji reaksi Kanagawa mempunyai komposisi
sebagai berikut : 5 g ekstrak ragi, 10 g Trypticase (BBL), 70 g NaCl, 5 g mannitol, 1 mg
Kristal violet dan volume akhir dijadikan 1000ml dengan menambahkan air destilata, pH
diatur 7,5. Semua komponen tersebut dilarutkan dengan pemanasan, tetapi medium ini tidak
memerlukan sterilisasi dengan otoklaf. Setelah larut, didinginkan sampai 500C, setiap 100ml
ditambahkan 10ml suspensi sel-sel darah merah manusia (20%) yang masih segar, dan
dituangkan kedalam cawan petri untuk membuat agar cawan.
Agar cawan Wagatsuma kemudian diinokulasi dengan kultur yang diduga V.
parahaemolyticus dan control, inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama tidak lebih 18-24
jam. Kultur yang bersifat Kanagawa positif akan memperlihatkan reaksi β-hemolisis yang
ditandai dengan timbulnya areal bening disekeliling koloni. Koloni yang memperlihatkan
tanda pemucatan warna dan α-hemolisis menunjukkan reaksi Kanagawa negatif.
2.12 Cara Pencegahan
Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya
keracunan makanan dan gastroenteritis. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu
dengan menghindari produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan
11
tersebut merupakan salah satu sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita. Untuk produk
makanan laut segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat bakteri Vp.
Pencucian atau pembilasan makanan dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya.
Pencucian dapat dilakukan dengan air, sanitiser dan lain-lain. Air yang dipakai untuk
mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan.
Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya dimasak secara sempurna
untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan yang akan
dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan pemblansiran terlebih dahulu.
Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air
panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 OC. Waktu blansir bervariasi
antara 1-11 menit tergantung dari macam tergantung pada jenis, ukuran, derajat kematangan
ikan yang diinginkan.Tujuan pemblansiran adalah untuk menghambat atau mencegah
aktivitas enzim Vibrio parahaemolyticus. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan
pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau
dikeringkan. Maksudnya untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan
mikroorganisme. Penyajian pasca pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian.
Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian
besar kasus foodborne diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan
yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.
Untuk produk pangan yang dikalengkan, sebaiknya perhatikan keadaan kaleng.
Jangan mengonsumsi makanan dari kaleng yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu,
tanggal kedaluwarsa juga mutlak diperhatikan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian
untuk produk kemasan adalah proses yang tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama
distribusi maupun penyimpanan.
Ciri-ciri makanan kaleng yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard
swell. Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila salah satu ujung
kaleng ditekan, ujung lainnya akan menjadi cembung. Springer dapat dicirikan dari salah
satu ujung kaleng sudah cembung secara permanen. Bila ditekan, cembung akan bergerak ke
arah yang berlawanan. Soft swell dicirikan dengan kedua ujung kaleng sudah cembung,
tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Hard swell
dicirikan dengan kedua ujung permukaan kaleng cembung dan sangat keras, sehingga tidak
12
bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari. Selain itu, masih ada flat sour, yakni permukaan kaleng
tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk. Hal itu disebabkan oleh
aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama proses sterilisasi.
Cara pencegahan yang lain adalah dengan pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin
mati whole cell, yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan
wabah maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan
parsial (50%) dalam jangka waktu yang pendek (3 - 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi
tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik, oleh karena itu pemberian
imunisasi tidak direkomendasikan.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
14
Daftar Pustaka
Anonimus. 2011. Vibrio. http://id.wikipedia.org/wiki/Vibrio
http://gatotsantoso79.blogspot.com/2011/06/vibrio-parahaemolyticus-sebagai-agen.html
Supardi,imam & sukamto. 1999 . Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan
Pangan. Edisi Pertama. Bandung : Penerbit Alumni.
Entjang,indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : Citra Aditya Bakti
15