masteran makalah mikroper.docx

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroba merupakan suatu makhluk mikroorganisme yang ukurannya sangat kecil dan hanya bisa dilihat oleh lensa pembesar, mikroskop dan mikroskop electron. Keberadaannya pun sangat melimpah dialam ini. Mikroba banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan, fermentasi makanan, obat-obatan (probiotik, prebiotik dan sinbiotik), dan lain sebagainya. Disamping itu, beberapa jenis mikroba pun ada yang merugikan dan bisa menimbulkan berbagai penyakit bagi kita atau yang lebih dikenal dengan mikroba Patogen. Mikroba pathogen ini ada yang bersifat zoonosis ( mikroba pathogen yang menyerang hewan yang dapat menularkan atau menyebabkan penyakit pada manusia yang mengkonsumsi hewan tersebut). Salah satu mikroba pathogen yang bersifat zoonosis adalah bakteri vibrio parahaemolyticus. Bakteri ini sering menyerang hewan- hewan perairan seperti ikan, udang, kerang, lobster dan lain sebagainya. Apabila kita memakan ikan, udang atau kerang yang telah terkontaminasi oleh bakteri vibrio parahaemolyticus, akan menimbulkan penyakit yang dinamakan gastroentritis (diare akut). 1.2 Tujuan 1

Upload: sundoro-yoga

Post on 29-Nov-2015

71 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

makalah mikrobiologi zoonosis

TRANSCRIPT

Page 1: masteran makalah mikroper.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mikroba merupakan suatu makhluk mikroorganisme yang ukurannya sangat kecil dan

hanya bisa dilihat oleh lensa pembesar, mikroskop dan mikroskop electron. Keberadaannya

pun sangat melimpah dialam ini. Mikroba banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan,

fermentasi makanan, obat-obatan (probiotik, prebiotik dan sinbiotik), dan lain sebagainya.

Disamping itu, beberapa jenis mikroba pun ada yang merugikan dan bisa menimbulkan

berbagai penyakit bagi kita atau yang lebih dikenal dengan mikroba Patogen. Mikroba

pathogen ini ada yang bersifat zoonosis ( mikroba pathogen yang menyerang hewan yang

dapat menularkan atau menyebabkan penyakit pada manusia yang mengkonsumsi hewan

tersebut).

Salah satu mikroba pathogen yang bersifat zoonosis adalah bakteri vibrio

parahaemolyticus. Bakteri ini sering menyerang hewan-hewan perairan seperti ikan, udang,

kerang, lobster dan lain sebagainya. Apabila kita memakan ikan, udang atau kerang yang

telah terkontaminasi oleh bakteri vibrio parahaemolyticus, akan menimbulkan penyakit yang

dinamakan gastroentritis (diare akut).

1.2 Tujuan

Mengetahui Klasifikasi, Morfologi, sifat-sifat, dan habitat dari vibrio parahaemolyticus

Mengetahui Distribusi Penyakit Gastroentritis yang disebabkan infeksi vibrio

parahaemolyticus

Mengetahui proses penularan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi vibrio

parahaemolyticus

Mengetahui cara pencegahan terhadap infeksi dari vibrio parahaemolyticus

1

Page 2: masteran makalah mikroper.docx

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Vibrio Parahaemolyticus

V. parahaemolyticus pertama kali diisolasi di Jepang pada tahun 1951 oleh Fujoko et

al. dari para penderita Gastroentritis akut . Bakteri ini merupakan penyebab keracunan

makanan yang terjadi di Jepang pada 1950, Diantaranya 20 orang meninggal dari 272

penderita Gastroentritis. Makanan penyebab keracunan adalah yang disebut “shirazu” yaitu

makanan kering yang dibuat dari ikan sardin Engraulis Japonica.

Bentuk Vibrio parahaemolyticus

Dalam Bergey’s manual edisi 1974, V. parahaemolyticus dibedakan atas dua subgroup

atau biotipe, yaitu biotipe 1 dan biotipe 2 (Buchanan dan Gibbsons,1974). Pada mulanya,

bakteri diduga hanya terdapat di Jepang dan negara tetangganya. Akan tetapi, sejak 1971

bakteri ini telah dilaporkan ditemukan pada berbagai produk laut di berbagai Negara

termasuk Australia, India, Thailand, Malaysia, Filiphina, Mexico, Inggris, dan Amerika

Serikat. Di Jepang, lebih dari 400 letusan keracunan makanan terjadi setiap tahun dengan

jumlah 5.000-10.000 penderita. Keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri ini, di

Jepang disebut “summer diarrhea” yang meliputi 3/5 dari jumlah penderita diare, dan di

Thailand meliputi 2,9-22,6% dari jumlah penderita Gastroentritis yang di rawat di rumah-

rumah sakit.

2

Page 3: masteran makalah mikroper.docx

Di Indonesia, keracunan makanan yang disebabkan oleh kontaminasi V.

parahaemolyticus boleh di katakan tidak ada. Hal ini karena makanan-makanan hasil laut

umumnya dikonsumsi setelah dimasak sampai matang, sedangkan di Jepang banyak jenis

makanan hasil laut yang dikonsumsi dalam keadaan masih mentah.

2.2 Klasifikasi

kingdom : Bacteria

filum : Proteobacteria

kelas : Gamma Proteobacteria

order : Vibrionales

famili : Vibrionaceae

genus : Vibrio

species : Vibrio parahaemolyticus

(Sumber : Wikipedia 2011)

2.3 Morfologi & Anatomi

Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik,

bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk

pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan

tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis ( Austin 2010). Perubahan bentuk

morfologi Vp dapat terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak

menunjang (Chen et al 2009).

2.4 Sifat – sifat

Vibrio Parahaemolyticus merupakan bakteri batang pendek, lurus atau agak

melengkung dengan ujung membulat, gram negatif, anaerobic fakultatif, kadang-kadang

3

Page 4: masteran makalah mikroper.docx

membentuk formasi dalam bentuk rantai, dan membentuk flagellum polar tunggal bila

tumbuh pada medium cair. Bersifat katalase, oksidase peroksidase, indol, gelatinase, lysine

dekarboksilase, dan ornitin dekarboksilase positif, memfermentasi glukosa dan menghasilkan

asam tanpa gas, juga memfermentasi maltose dan trehalosa, tetapi jarang memfermentasi

sukrosa dan laktosa. Bakteri ini juga bisa menghidrolisis pati dan chitin.

Berdasarkan atas sifat pertumbuhan pada medium 10% NaCl, uji V-P, M-R, dan

produksi asam dari arabinosa dan sukrosa, V. Parahaemolyticus dibedakan menjadi 2

biotipe. Biotipe 1 dari V. Parahaemolyticus adalah bersifat --+v, sedangkan biotipe 2

memiliki sifat ++--+ (Buchanan dan Gobbons,1974)

V. Parahaemolyticus memiliki suhu pertumbuhan optimum pada 35-370C, dengan suhu

maksimum 42-440C dan suhu minimum 10-130. Beberapa strain diantaranya dapat tumbuh

pada suhu50C. Pada kondisi optimum, waktu generasi bakteri ini sangat pendek yaitu 12-15

menit. Nilaiaw minimum pertumbuhan bakteri ini bergantung pada suhu inkubasi dan jenis

serta konsentrasisat solute. Di dalam medium Trypticase Soy Broth, bakteri ini mencapai

pertumbuhan yang tercepat pada konsentrasi NaCl 2,9%, yang sesuai dengan aw 0,992, dan

tidak dapat tumbuh pada aw 0,94.

V. Parahaemolyticus dapat tumbuh pada pH 5,0-8,5 dengan pH optimum 7,5-8,6.

Beberapa strain ditemukan dapat tumbuh pada pH 4,8 atau pH 11,0

Berdasarkan sifat antigenik O dan K yang dimilikinya, bakteri ini dapat dibedakan 12

grup. Semua starin bakteri ini memiliki antigen H (flagelar), tetapi dianggap kurang penting

dalam menentukan serotipenya.

2.5 Habitat Vibrio parahaemolyticus

Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai

(coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea). Bakteri Vp terutama hidup di

perairan Asia Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%,

( berkembang baik pada kadar NaCl 0,5% - 8 %) pada kisaran suhu 5 - 43 OC, pH 4,8 –11

dan water activity (aw) 0,94- 0,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 37

4

Page 5: masteran makalah mikroper.docx

OC dengan waktu generasi hanya 9-11 menit. Pada beberapa spesies Vibrio suhu

pertumbuhan sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC merupakan suhu minimum pada

lingkungan) (Adams and Moss 2008). Selama musim dingin, organisme ini ditemukan di

lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di perairan pantai. Bakteri

Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut

lainnya (Sudheesh and Xu 2002).

Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan pantai di seluruh dunia. Bakteri

ini ditemukan di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang hadir

dalam jumlah tertinggi selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri ini tetap berada

di bawah muara pada bahan chitinous plankton (Ray 2004).

2.6 Gastroentritis

2.7 Distribusi Penyakit.

Vibrio parahaemolyticus pertama kali menunjukkan gejala enteropatogenik pada

tahun 1951, yang menyebabkan wabah foodborne disease dan menjadi penyebab 50-70%

penyakit gastroenteritis di Jepang (Adams and Moss 2008). Kasus sporadis dan beberapa

kejadian luar biasa (KLB) dengan common source dilaporkan dari berbagai bagian dunia,

terutama dari Jepang, Asia Tenggara dan AS. Beberapa KLB dengan korban yang banyak

terjadi di AS yang disebabkan karena mengkonsumsi seafood yang tidak dimasak dengan

sempurna. Kasus-kasus ini terjadi terutama pada musim panas. Beberapa KLB yang akhir-

akhir ini terjadi disebabkan oleh strain Kanagawa negatif, dan strain urease positif.

Vp teridentifikasi sebagai patogen pangan pertama kali di Jepang, pada tahun 1950.

Infeksi disebabkan oleh konsumsi sarden, dengan 272 orang sakit dan 20 meninggal. Sejak

itu, Vp dikenal sebagai penyebab penyakit karena seafood mentah atau setengah matang di

Jepang dan beberapa negara Asia lainnya (Daniels et al 2000). Kejadian luar biasa keracunan

pangan karena Vp (KLB Vp) didefinisikan sebagai kejadian dua atau lebih kasus penyakit

dengan gejala klinis yang mirip, yang terjadi setelah mengkonsumsi suatu jenis seafood. Pada

kasus infeksi Vp 1988 – 1997 di Florida, Alabama, Louisiana dan Texas, 59%-nya merupakan

penyakit gastroenteritis, 8% dengan septisemia dan 34% dengan infeksi kulit. Sebanyak 88%

dari penderita gastroenteritis tercatat mengkonsumsi tiram mentah sebelum sakit, sementara

5

Page 6: masteran makalah mikroper.docx

91% penderita septisemia juga mengkonsumsi makanan yang sama sebelum sakit. Dari total

345 kasus, 45% di antaranya dirawat dan 4% meninggal dunia (Daniels et al 2000). 

Distribusi penyakit diare akut (gastroenteritis).

2.8 Proses Penularan

Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi

produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang

sempurna. Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun

tercemar oleh personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah. 

Kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus

6

Page 7: masteran makalah mikroper.docx

Proses Penularan

2.9 Gejala Infeksi

V. Parahaemolyticus dapat menimbulkan berbagai gejala penyakit yaitu diare encer,

kejang perut, mual, muntah, pusing dan demam, dan menggigil (Backer,1974). Gejala

Gastroentritis bervariasi dari ringan sampai berat. Berbeda dengan gejala kolera yang

biasanya tidak disertai muntahberat dan sakit perut, infeksi V. Parahaemolyticus biasanya

disertai dengan sakit perut yang hebat. Masa inkubasi dari mulai mengkonsumsi makanan

yang terkontaminasi sampai timbulnya gejala penyakit bervariasi dari 4 sampai 96 jam. Rata-

rata 12-24 jam, bergantung kepada jumlah sel bakteri yang tertelan dan daya tahan penderita.

Seperti halnya V. chloreae, V. Parahaemolyticus berkembangbiak dengan cepat di

dalam saluran pencernaan, dan dikeluarkan bersama feses selama penderita terserang infeksi.

Jumlah bakteri ini menurun dengan cepat selama proses penyembuhan. Gejala infeksi ini

biasanya terbatas dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu beberapa hari sampai 10

hari setelah timbulnya gejala, rata-rata 3 hari.

7

Page 8: masteran makalah mikroper.docx

Mekanisme patogenitas V. Parahaemolyticus belum diketahui dengan jelas. Bakteri ini

mempunyai komponen yang berupa suatu hemolisin yang merupakan penyebab timbulnya

gejala gastroenteritis. Suatu medium agar dengan konsentrasi garam tinggi yang dibuat oleh

Wagatsuma (1968) dapat digunkan untuk menguji keaktifan hemolitiknya. Terjadinya β-

hemolisis pada sel-sel darah merah setelah 24 jam inkubasi menunjukkan bakteri tersebut

menghasilkan reaksi kanagawa positif. Istilah Kanagawa berasal dari nama “Kanagawa

Prefectural Public Health Laboratory”, suatu tempat uji ini dilakukan pertama kali. Reaksi

positif ini disebabkan oleh adanya suatu hemolisin yang bersifat tahan panas dan mempunyai

BM ± 42.000.

Penyebab timbulnya gejala infeksi ini sampai sekarang masih terus diragukan, yaitu

apakah disenbabkan oleh produksi enteroksin, atrau karena sifat invasive dari bakteri

tersebut. Di duga ada hubungan satu sama lain antara hemolisisn yang bersifat tahan panas,

antigen K, dan enteroksin. Ketiganya dipengaruhi oleh adanya plasmid, tetapi hubungan

epidemiologi yang jelas antara serotype dan kemampuan untuk menimbulkan infeksi belum

jelas.

Menurut Sakazaki et. al (1974) bahwa kemampuan strain Kanagawa positif

berkembang biak dengan lebih cepat di dalam saluran pencernaan disbanding strain

Kanagawa negatif, merupakan factor penting yang menentukan sifat virulensi dari bakteri

tersebut. Sedangkan produksi enteroksin baik oleh strain Kanagawa positif maupun negatif,

menentukan daya patogeniknya. Di samping itu, strain Kanagawa positif mungkin lebih

tahan hidup dan tumbuh lebih cepat pada kondisi tertentu disbanding dengan starin

Kanagawa negatif.

Lebih dari 95% strain yang diisolasi dari feses penderita gastroenteritis bersifat

Kanagawa positif. Sedangkan kurang dari 1% starin yang diisolasi dari makanan-makanan

hasil laut, air maupun lingkungan bersifat Kanawgawa positif (Beichat, 1982). Hal ini

menimbulkan dugaan bahwa kemungkinan terjadi transformasi dari strain Kanagawa negatif

menjadi positif selama bakteri ini berada di dalam saluran usus. Kemudian strain Kanagawa

positif tersebut dapat berkembang biak dengan lebih cepat.

8

Page 9: masteran makalah mikroper.docx

V. parahaemolyticus juga memproduksi endotoksin seperti yang diproduksi oleh

enterobacteriaceae. Endotoksin ini mungkin berperan dalam menentukan sifat patogenik

bakteri tersebut.

Infeksi V. parahaemolyticus jarang disebarkan secara langsung dari satu penderita ke

penderita lain. Infeksi umumnya disebarkan melalui makanan. Penderita infeksi V.

parahaemolyticus dapat diberi infus dengan cairan, atau bila keadaan parah dapat diberi

pengobatan dengan antibiotik seperti tetrasiklin, neomisin, atau streptomisin tetapi bukan

ampisislin. Hal itu karena vibrio bersifat tahan terhadap ampisilin.

Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus 

Siklus Hidup Vibrio parahaemolyticus (Sumber : CDC)

2.10 Kontaminasi V. parahaemolyticus pada makanan dan cara pencegahannya

9

Page 10: masteran makalah mikroper.docx

V. parahaemolyticus banyak ditemukan di dalam perairan, terutama perairan yang

tinggi kandungan bahan organiknya, dan sering mengkontaminasi makanan-makanan hasil

laut seperti udang, ikan, kepiting, kerang lobster, dan sebagainya. Bakteri ini banyak

ditemukan di laut, terutama di daerah iklim tropis atau pada musim panas. Di Jepang,

makanan hasil laut tersebut umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah atau dicelupkan

sebentar di dalam air panas. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya letusan infeksi V.

parahaemolyticus lebih banyak terjadi di Jepang dari pada di Indonesia karena jenis makanan

hasil lautnya biasa dikonsumsi dalam keadaan masak. Di Indonesia kemungkinan terjadi

kontaminasi bakteri ini disebabkan terjadi kontaminasi setelah pengolahan.

V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang sensitif terhadap suhu tinggi maupun

suhu rendah. Ketahanan terhadap panas sangat dipengaruhi oleh kondisi selama pertumbuhan

selnya dan medium tempat pemanasan. Sel-sel yang tumbuh atau ditumbuhkan pada suhu

inkubasi yang lebih tinggi umumnya bersifat lebih tahan terhadap panas. Misalnya, strain

Kanagawa positif mempunyai nilai D 450C, selama 5,3 menit bila ditumbuhkan pada suhu

210C, dan 48,2 menit bila ditumbuhkan pada suhu 370C (Beuchat dan Worthington, 1976).

Ketahanan terhadap panas juga bertambah bila sel dipanaskan di dalam media yang

mengandung produk-produk laut dan garam NaCl (Covert dan Woodburn,1972), dan juga

pada pH mendekati netral.

V. parahaemolyticus sensitif terhadap pendinginan dan pembekuan. Proses

pendinginan (chilling) biasanya lebih bersifat lethal daripada pembekuan. Suatu penelitian

menunjukkan bahwa bakteri ini masih dapat tahan hidup pada makanan hasil laut yang

dibekukan selama 130 hari (Johnson dan Liston, 1973). Oleh karena itu, disarankan untuk

tidak mengkonsumsi prosuk laut dalam keadaan mentah, meskipun sebelumnya telah

disimpan pada suhu rendah yaitu dengan pendinginan atau pembekuan.

2.11 Uji V. parahaemolyticus di dalam makanan

Jumlah V. parahaemolyticus didalam makanan dapat diduga dengan metode MPN

menggunakan medium “enrichment” yaitu Glucose-Salt Teepol (GST) Broth (FDA,1976).

Tabung yang menunjukkan pertumbuhan positif diinokulasikan pada agar Thiosulface-

Citrate-Bile Salts-Sucrose (PCBSA) untuk melihat koloni yang diduga V. parahaemolyticus.

10

Page 11: masteran makalah mikroper.docx

Larutan pengencer yang digunakan adalah 3% NaCl (pH 7,0). Inkubasi dilakukan pada suhu

350C selama 18 jam. Pada medium TCBSA, V. parahaemolyticus membentuk koloni bulat

berwarna biru-hijau dengan diameter 2-3mm.

Koloni Vp pada agar CV (a, warna ungu) dan TCBS (b, warna hijau)

Koloni tipikal V. parahaemolyticus dari medium TCBSA kemudian diinokulasikan

pada berbagai medium untuk menguji sifat-sifat morfologi,fisiologi, dan serologinya.

Uji Reaksi Kanagawa

Medium Wagatsuma yang digunakan untuk uji reaksi Kanagawa mempunyai komposisi

sebagai berikut : 5 g ekstrak ragi, 10 g Trypticase (BBL), 70 g NaCl, 5 g mannitol, 1 mg

Kristal violet dan volume akhir dijadikan 1000ml dengan menambahkan air destilata, pH

diatur 7,5. Semua komponen tersebut dilarutkan dengan pemanasan, tetapi medium ini tidak

memerlukan sterilisasi dengan otoklaf. Setelah larut, didinginkan sampai 500C, setiap 100ml

ditambahkan 10ml suspensi sel-sel darah merah manusia (20%) yang masih segar, dan

dituangkan kedalam cawan petri untuk membuat agar cawan.

Agar cawan Wagatsuma kemudian diinokulasi dengan kultur yang diduga V.

parahaemolyticus dan control, inkubasi dilakukan pada suhu 370C selama tidak lebih 18-24

jam. Kultur yang bersifat Kanagawa positif akan memperlihatkan reaksi β-hemolisis yang

ditandai dengan timbulnya areal bening disekeliling koloni. Koloni yang memperlihatkan

tanda pemucatan warna dan α-hemolisis menunjukkan reaksi Kanagawa negatif.

2.12 Cara Pencegahan

Berbagai tindakan preventif mutlak dilakukan untuk meminimalkan terjadinya

keracunan makanan dan gastroenteritis. Namun, pencegahan yang dilakukan tidak perlu

dengan menghindari produk yang potensial tercemar mikroba karena produk pangan

11

Page 12: masteran makalah mikroper.docx

tersebut merupakan salah satu sumber asupan gizi yang diperlukan tubuh kita. Untuk produk

makanan laut segar, pencucian dapat menurunkan potensi bahaya akibat bakteri Vp.

Pencucian atau pembilasan makanan dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan lainnya.

Pencucian dapat dilakukan dengan air, sanitiser dan lain-lain. Air yang dipakai untuk

mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan.

Selain itu, produk makanan laut yang akan dimakan hendaknya dimasak secara sempurna

untuk membunuh larva yang mengkontaminasi makanan. Untuk ikan yang akan

dikalengkan,dibekukan atau dikeringkan, sebaiknya dilakukan pemblansiran terlebih dahulu.

Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air

panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 OC. Waktu blansir bervariasi

antara 1-11 menit tergantung dari macam tergantung pada jenis, ukuran, derajat kematangan

ikan yang diinginkan.Tujuan pemblansiran adalah untuk menghambat atau mencegah

aktivitas enzim Vibrio parahaemolyticus. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan

pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau

dikeringkan. Maksudnya untuk menghambat atau mencegah aktivitas enzim dan

mikroorganisme. Penyajian pasca pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian.

Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian

besar kasus foodborne diseases di Indonesia diakibatkan oleh penanganan pasca pemasakan

yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.

Untuk produk pangan yang dikalengkan, sebaiknya perhatikan keadaan kaleng.

Jangan mengonsumsi makanan dari kaleng yang sudah rusak atau berbau asam. Selain itu,

tanggal kedaluwarsa juga mutlak diperhatikan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian

untuk produk kemasan adalah proses yang tidak sempurna dan kerusakan kemasan selama

distribusi maupun penyimpanan.

Ciri-ciri makanan kaleng yang telah rusak, yaitu flipper, springer, soft swell, dan hard

swell. Flipper dapat dicirikan permukaan kaleng kelihatan datar, tetapi bila salah satu ujung

kaleng ditekan, ujung lainnya akan menjadi cembung. Springer dapat dicirikan dari salah

satu ujung kaleng sudah cembung secara permanen. Bila ditekan, cembung akan bergerak ke

arah yang berlawanan. Soft swell dicirikan dengan kedua ujung kaleng sudah cembung,

tetapi belum begitu keras sehingga masih bisa ditekan sedikit ke dalam. Hard swell

dicirikan dengan kedua ujung permukaan kaleng cembung dan sangat keras, sehingga tidak

12

Page 13: masteran makalah mikroper.docx

bisa ditekan ke dalam oleh ibu jari. Selain itu, masih ada flat sour, yakni permukaan kaleng

tetap datar tetapi produknya sudah berbau asam yang menusuk. Hal itu disebabkan oleh

aktivitas spora bakteri tahan panas yang tidak hancur selama proses sterilisasi.

Cara pencegahan yang lain adalah dengan pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin

mati whole cell, yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan

wabah maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan

parsial (50%) dalam jangka waktu yang pendek (3 - 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi

tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik, oleh karena itu pemberian

imunisasi tidak direkomendasikan.

13

Page 14: masteran makalah mikroper.docx

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

14

Page 15: masteran makalah mikroper.docx

Daftar Pustaka

Anonimus. 2011. Vibrio. http://id.wikipedia.org/wiki/Vibrio

http://gatotsantoso79.blogspot.com/2011/06/vibrio-parahaemolyticus-sebagai-agen.html

Supardi,imam & sukamto. 1999 . Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan

Pangan. Edisi Pertama. Bandung : Penerbit Alumni.

Entjang,indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : Citra Aditya Bakti

15