masjid kebon jeruk, penelitian dr. an siregar

109
LAPORAN HASIL PENELITIAN MASJID KEBON JERUK: POTRET AKULTURASI MASYARAKAT MUSLIM DI JAKARTA ABAD XVIII Oleh: Parlindungan Siregar NIP. 19590115 199403 1002 KEMENTERIAN AGAMA RI

Upload: parlindungan-siregar

Post on 01-Jul-2015

1.017 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Masjid Kebon Jeruk yang dibangun pada 1786 oleh seorang Kapiten Cina di Batavia merupakan potret akulturasi masyarakat Muslim. Pada bangunan masjid ini ditemukan unsur-unsur budaya jawa, Arab, dan Eropa, disampin budaya Cina. Ini membuktikan bahwa telah terjadi kerukunan antar umat Islam yang berasal dari beragam suku-suku di Indonesia pada waktu itu

TRANSCRIPT

Page 1: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

LAPORAN HASIL PENELITIANMASJID KEBON JERUK:

POTRET AKULTURASI MASYARAKAT MUSLIM DI JAKARTA

ABAD XVIII

Oleh: Parlindungan Siregar

NIP. 19590115 199403 1002

KEMENTERIAN AGAMA RI

BADAN LITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG LEKTUR DAN KHAZANAH KEAGAMANN

2010

Page 2: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

ABSTRAK

Penelitian ini menunjukkan bahwa gaya arsitektur Cina lebh dominan pada Masjid

Kebon Jeruk. Sekalipun demikian, unsur-unsur budaya lain di luar budaya Cina tetap

ditemukan dalam komponan-komponen materialnya. Dengan demikian telah terjadi proses

corak akulturasi budaya di bangunan Masjid Kebon Jeruk.

Berbeda dengan Heuken, Lombard, dan Valenteen yang menganggap bahwa banguna

masjid di Jawa umumnya mempunyai atap tumpang yang jumlahnya ganjil, Masjid Kebon

Jeruk mempunyai atap tumpang yang jumlahnya genap (dua) yang menunjukkan bahwa atap

tumpang dua sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur Cina.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik-deskriptik, artinya

mendeskripsikan komponen-komponen bangunan Masjid kemudian dilakukan analisis dan

penafsiran. Disamping itu digunakan analisis morfologis, analisis stilistik, dan analisis

teknologi bangunan masjid.

Page 3: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penelitian yang berjudul “Masjid Kebon Jeruk: Potret

Akulturasi Budaya Masyarakat Muslim di Jakarta Abad XVIII” dapat diselesaikan dengan

sempurna. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjngan Nabi Muhammadi Saw.

sebagai penerang bagi umat manusia.

Dalam penyelesaian penelitian ini penulis sangat berterimakasih kepada Kapuslitbang

Lektur Keagamaan Balitbang Kementerian Agama RI yang memberikan kesempatan dan

dana untuk meneliti salah satu masjid tertua di Jakarta dengan pendekatan arkeologi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pengurus Masjid Kebon Jeruk dan

jama’ah tabligh yang memberi peluang bagi penulis meneliti masjid ketika melakukan

pengumpulan data dengan cara memfoto seluruh bagian-bagian masjid hingga ke menara

paling atas. Demikian juga penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan di

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, peserta diklat arkeologi keagamaan tahun 2009,

peneliti dn staff Puslit Lektur Keagamaan Balitbang Kementerian Agama RI, dan para

pemberi materi diklat dari UI dan UIN Jakarta. Atas bantuan mereka berupa masukan-

masukan dan saran-saran penelitian ini dapat penulis lakukan dengan baik. Semoga Allah

Swt. memberi ganjaran pahala yang setimpal kepada mereka dan memasukkan mereka

bersama penulis ke dalam surge-Nya.

Ciputat, Desember 2010

Penulis

Page 4: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...……………………………………………………………………. ii

KATA ENGANTAR…………………………………………………………………… iii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… iv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah…………………………………. 6

C. Tujuan…………………………………………………………………. 7

D. Manfaat………………………………………………………………… 7

E. Tinjauan Pustaka..……………………………………………………. 8

F. Metodologi Penelitian………………………………………………… 10

G. Sistematika Penulisan………………………………………………… 13

BAB II: SEJARAH PERKEMBANGAN MASJID KEBON JERUK SEJAK

ABAD KE- 18

A. Pengertian, Bentuk, dan Fungsi Masjid……………………………. 15

B. Masjid Kuno Sejak Abad ke- 18 di Jakarat……………………….. 19

C. Corak Arkeologi Masjid Kebon Jeruk……………………………… 27

D. Asal-usul Masjid Kebon Jeruk…………………………………...…. 28

BAB III: ANALISIS MASJID KEBON JERUK

A. Tata Letak…………………………………………………………..... 35

B. Pondasi/Ruang Utama……………………………………………….. 36

C. Mimbar dan Mihrab…………………………………………………. 36

D. Serambi……………………………………………………………….. 37

E. Tempat Berwudlu’…………………………………………………… 38

F. Atap…………………………………………………………………… 38

G. Mustaka………………………………………………………………. 40

H. Menara……………………………………………………………….. 41

I. Bedug…………………………………………………………...……. 41

J. Pintu……………………………………………...…………………… 42

K. Jendela………………………………………………………...……… 43

L. Tiang………………………………...………………………………... 43

Page 5: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

M. Ragam Hias………………………...…………………………………. 44

N. Makam……………………...…………………………………………. 47

BAB IV: MASJID KEBON JERUK SEBAGAI POTRET AKULTURASI BUDAYA

MASYARAKAT MUSLIM DI JAKARTA

A. Pengertian Akulturasi………...…………………………………….... 49

B. Corak Akulturasi Masjid Kebon Jeruk…………………………….. 50

C. Akulturasi Masyarakat Muslim Jakarta Abad ke- 18……...…….. 56

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………… 64

B. Saran-saran………………………………...………………………... 65

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Masjid Jami’ Kebon Jeruk adalah masjid pertama yang dibangun di kawasan

pinggiran Jalan Hayam Wuruk Jakarta Barat. Masjid ini dibangun tahun 1786 Masehi oleh

seorang saudagar Cina dari daerah Sin Kiang, negeri Tiongkok, ialah Chau Tsien Hwu

(Tamien Dossol Seng). Chau Tsien Hwu adalah seorang pemeluk Islam yang taat. Ia datang

ke tanah Jawa karena merasa ditindas oleh pemerintah di negaranya.1 Secara administratif,

saat ini, Masjid Jami Kebon Jeruk terletak di jalan Hayam Wuruk No. 85, Kelurahan

Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Di sebelah barat masjid adalah Jalan

Harmoni dan Kali Ciliwung.

Dari segi arsitektur, keaslian beberapa bagian bangunan belum tersentuh perubahan.

Jadi keasliannya masih tetap dipertahankan. Meskipun demikian, proses renovasi sudah

berkali-kali dilakukan untuk menjaga kekokohan masjid. Bahkan dilakukan perluasan di

bagian timur, utara dan barat masjid untuk menampung jamaah dalam jumlah yang lebih

besar.

Saat ini mimbar baru berukuran 2 X 1,5 m. melekat dengan dinding tembok.

Sementara mimbar2 yang asli dibawa ke Museum Fatahillah sebagai benda arkeologis

bersejarah untuk dipamerkan kepada masyarakat. Mimbar kuno merupakan hadiah dari salah

seorang sultan dari Kalimantan. Bagian dinding dan tiang mimbar diukir dengan pahat,

1Tentang ini dikutip dari beberapa situs internet, di antaranya: www.eramuslim.com; www.esnips.com dll. Uka Tjandrasasmita menyebut pendiri masjid ini Tamien Dosol Seeng. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG. 2009. Hlm. 156. Beliau juga di dalam buku ini menyebut nama-nama mesjid tua lainnya di Jakarta.

2Mimbar Masjid Kebon Jeruk merupakan karya seni. Disini masih terdapat karya-karya seni lainnya seperti arsitekturat bangunan masjid, dan makam serta batu nisan di atasnya. Fungsi Seni menurut Dr. A. Aris Munandar adalah 1) dibuat untuk keperluan keagamaan, 2) sebagai penunjuk strata sosial tertentu, 3) ekspresi estetika dari para senimannya, dan 4) masa sekarang: untuk mencari nafkah.

Page 7: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

terbuat dari kayu pilihan anti rayap yang tahun pembuatannya diperkirakan pada 1718 M.3,

hingga saat ini mimbar yang sudah berusia lebih dari dua setengah abad masih sangat kokoh

dan sama sekali tak tersentuh oleh binatang rayap.

Jika dilihat dari bentuk dan ukurannya hampir sama dengan mimbar-mimbar lain di

Kalimantan atau Pulau Jawa. Namun ia tetap memiliki ciri tersendiri, misalnya dalam ukiran

pahat dinding dan tiang-tiangnya. Penempatan jumlah kayu tegak lurus di antara ukiran-

ukiran kayu sedikit menyerupai motif kain sarung asli Kalimantan yang bergaris vertikal.

Ukiran-ukirannya tidak mengambarkan makhluk hidup; ular naga, burung, atau lainnya

seperti ukiran mimbar di Masjid Sendang Dhuwur yang di dalamnya terdapat sebuah mimbar

bermotif Kala Merga yang merupakan motif gabungan antara Batara Kala dan Merga

(kijang). Sementara, ukiran mimbar Masjid Kebon Jeruk motifnya tumbuh-tumbuhan sulur-

suluran.

Bangunan masjid Kebon Jeruk dikelilingi pagar tembok pada bagian utara dan timur.

Sedangkan sisi barat dan selatan dilengkapi pagar besi setinggi hampir 2 meter. Tembok dan

pagar besi bukanlah bangunan asli, ia hasil renovasi dan tambahan. Sementara Kubah masjid

ada dua buah. Sebuah kubah lama dan lainnya baru. Kubah lama bersegi empat yang terbuat

dari kaca dengan teralis kayu. Puncaknya berbentuk empat persegi dengan sebuah mustaka

berhiaskan bulan bintang di dalamnya dan ukiran Cina terbuat dari keramik. Ruang tengah

mesjid yang masih dipertahankan keasliannya dihiasi dengan ukiran kayu yang memiliki

motif tertentu.

Pengadopsian ragam seni arsitektur ke dalam sebuah bangunan masjid hampir terjadi

di semua masjid, masuk di dalamnya Masjid Kebon Jeruk, sebab tidak ada aturan baku

bentuk atau corak bangunan masjid yang tercantum dalam Alqur’an dan Hadis. Dengan

3Team Penulis. Petunjuk Museum Sejarah. Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah. 1995. Hlm. 23. Buku kecil ini tidak menjelaskan tentang keberadaan dan asal-usul mimbar ini. Ia diletakkan di bagian masa Islam Jakarta

Page 8: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

demikian kalangan masyarakat Muslim Jakarta mempunyai kebebasan untuk berkreasi dan

berekspresi membuat bangunan masjid sekalipun mengadopsi budaya di luar Islam.4

Sebagai bukti sejarah, disebelah timur halaman masjid, terdapat makam dengan batu

nisan bertuliskan Fatimah Hwu. Ia adalah istri dari Chau Tsien Hwu, pendiri masjid. Nisan

ini berbentuk kepala naga dengan tulisan huruf Cina dan di sebelah barat terdapat

penanggalan Arab bertulis angka Arab (1257 H.) dan penanggalan masehi 1792. Tahun

wafatnya fatimah. Nisan itu pula yang menjadi lambang keunikan dari masjid Jami Kebon

Jeruk. Di dinding makam terdapat ornamen makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan menyamai

ornamen-ornamen di bangunan-bangunan kuno seperti candi atau makam masa Hindu-

Budha.

Sekalipun sudah menjadi seorang muslim, ular dianggap sebgai sebuah simbol

kemakmuran. Banyak legenda tentang ular naga di kalagan masyarakat Muslim dan diyakini

kebenarannya. Maka tidak mengherankan jika batu nisan makam Fatimah kerkepala ular

naga.

Menempatkan makam dekat masjid sudah merupakan tradisi masyarakat Muslim

Jakarta, terutama dari kalangan keluarga terpandang. Banyak masjid kuno/tua di Jakarta di

bagian barat atau timurnya terdapat makam. Ini mungkin sebuah indikasi bahwa keluarga

Fatima pendiri masjid mengadopsi corak pamakaman di Jakarta.

Jika dianalisis secara mendalam, dibangunnya Masjid Kebon Jeruk tidak dapat

dilepaskan dari kondisi masyarakat Muslim Jakarta. Setelah berhasil mengusir Portugis dari

Sunda Kelapa, masyarakat muslim Sunda Kelapa dikomandoi oleh Falatehan mengganti

nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Kemudian VOC, pada abad ke- 17, mengubahnya

menjadi Batavia. Sejak melepaskan diri dari kolonial, namanya menjadi Jakarta.

4Uka Tjandrasasmita. “Masjid-Masjid Di Indonesia”. Dalam Nafas Islam Kebudayaan Indonesia. Festifal Istiqlal, 1991. Hlm. 48-79

Page 9: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Berabad-abad lamanya Jakarta menjadi tempat subur bagi kebudayaan India. Pada

tahun 1527 Jakarta memasuki era baru dengan masuknya kebudayaan Islam, berikutnya

masuk kebudayaan Cina, Eropa, Arab, dan suku-suku lain di Indonesia. Suku-suku di Jakarta

ini hidup dalam perkampungan tersendiri dan mempertahankan budaya asli mereka, misalnya

orang Bali tinggal di kampung Bali, orang Makasar dan Bugis membangun rumah-rumah

adat di Jakarta di kampung mereka.5

Pada abad ke- 17 mulai tumbuh budaya Betawi sebagai manifestasi menyatunya

budaya suku-suku di atas. Sangat mungkin bangunan Masjid Kebon Jeruk beserta ornamen-

ornamen di dalamnya dapat membuktikan hal ini. Berbagai faktor bisa menjelaskan mengapa

akulturasi terjadi dalam masyarakat muslim Jakarta, di antaranya sebagian besar suku-suku,

misalnya orang Bali di Jakarta masuk Islam, mereka membawa tradisinya ke dalam Islam.

Faktor lain yang sangat mungkin adalah agar masyarakat Muslim mau membaur dengan

masyarakat Muslim Cina di Kebon Jeruk.

Interaksi antar suku dan budaya yang melahirkan suku baru Betawi tidak terbatas

setelah mereka masuk Islam. Namun, banyak serdadu dalam tentara VOC adalah orang

Bugis, Bali, dan Ambon yang tinggal di Jakarta yang beriteraksi yang berdampak terjadinya

akulturasi budaya. Disamping itu, semakin memudarnya hidup berkelompok dan bertetangga

antar masyarakat berdasar suku-suku di Jakarta terjadi pada masa Deandels, karena dia

menghapus sistem kontrol “like over like” yakni suku dikepalai oleh orang asli dari suku itu.6

Banyak faktor lain yang menyebabkan penduduk nusantara di Jakarta menjadi satu,

misalnya faktor agama, khususnya agama Islam, bermacam-macamnya ritual, dan adat

5Gouw Giok Siong menyatakan bahwa dari segi budaya penduduk Batavia terbagi dalam tiga kelompok yaitu : orang Eropa, orang Asia (Cina, Arab, dan India) dan orang Indonesia, dari segi hukum setiap kelompok harus memakai pakaian identitas dan bahasa mereka, dan harus menghormati orang Eropa yang merupakan kelas utama, dan orang Eropa saja yang boleh menggunakan Bahasa Belanda. (Gouw Giok Siong. Segi-segi Peraturan Perkawinan Tjampuran. Jakarta: Jambatan, 1969. Hlm. 7 – 8)

6Hasan Muarif Ambary dan Parlindungan Siregar. “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, 2005. Hlm. 52

Page 10: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

istidat. Mayoritas orang Indonesia di Jakarta adalah senasib menghadapi persoalan dan

kesulitan yang sama, yaitu diskriminasi penjajah, kondisi sosial ekonomi yang paling rendah.

Hal ini juga merupakan faktor yang dominan bersatunya masyarakat jakarta.

Sekalipun terjadi arus urbanisasi ke Jakarta, penduduknya belum mencapai 50.000

orang, baru pada paruh kedua abad ke- 18 penduduk mencapai angka ini.7 Hampir

separuhnya adalah budak. Orang Cina berkisar 6000 orang. Pada saat ini penduduk masih

terpusat di Jakarta Kota8 (Jakarta sebelah barat tempat dibangunnya Masjid Jami’ Kebon

Jeruk).

Keberadaan Cina Muslim di Glodok tak terlepas dari kondisi setelah terjadinya

pembunuhan massal terhadap Cina tahun 1740 M. yang menyebabkan banyak orang Cina

Masuk Islam. Jumlah peranakan Cina yang masuk agama Islam meningkat. Mereka masuk ke

Jakarta sebagai Muslim karena orang Islam tidak dilarang berdagang di kota Jakarta. Mereka

hidup dalam komunitas Islam mulai tahun 1776. Pada sekitar tahun 1780 peranakan Cina

Islam tinggal di luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk. Toko-toko mereka tersebar di

Tanah Abang, Pasar Senin, dan Pasar Baru. Dari saat inipun sudah mulai tampak akulturasi

budaya masyarakat Muslim.

Cina Muslim yang berada di Glodok dan Kebon Jeruk bukan hanya pintar berdagang,

mereka juga berprofesi sebagai petani, dan bahkan sebagai tukang. Jika demikian sangat

mungkin bahwa bentuk arsitektur Masjid Kebon Jeruk dikerjakan oleh orang-orang Cina

Muslim bersama penduduk Betawi lainnya. Sejauhmana keakuratan pernyataan ini perlu

pembuktian yang bersifat arkeologis. Jika benar maka hal ini adalah bagian dari akulturasi

budaya.

7Melihat angka ini Jakarta masih seperti sebuah kecamatan pinggiran saat ini. 8Alwi Shahab. Rabinhood dari Betawi. Jakarta:Republika, 2002. Hlm. 25. Buku ini merupakan

kumpulan karangan yang dimuat dalam harian Republika setia hari Minggu yang khusus membahas Jakarta tempo dulu.

Page 11: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Potret terbentuknya akulturasi budaya dapat dilihat dari berbagai perspektif, di

antaranya perspektif arkeologis (benda-benda yang digunakan masyarakat). Arsitektur

bangunan, artefak, gaya hidup, pendidikan, efigraf, dan ekofak di lingkungan masyarakat

Jakarta secara arkeologis membuktikan pandangan ini, maka arsitektur masjid Kebon Jeruk9

yang bergaya campuran dengan dominasi arsitektur Cina menunjukkan bahwa masyarakat

muslim di Jakarta pada abad kedelapan belas mengalami akulturasi budaya.

Benda-benda kuno yang merupakan bagian dari masjid harus diteliti keaslian dan

motif-motifnya untuk menemukan kebenaran dibalik pembuatan benda dimaksud dan untuk

diketahui apakah ia keberlanjutan akulturasi budaya yang sudah berlangsung sebelumnya

serta berdasar kearifan local (local genuine).

Berangkat dari kekunoan arsitektur Masjid Kebon Jeruk serta corak bangunannya

sangat mungkin ia dibangun atas kearifan lokal dan untuk mewujudkan kerukunan umat

Islam di Jakarta. Sejauhmana kebenaran asumsi ini perlu dilakukan penelitian yang lebih

komprehensif.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

Untuk melakukan penelitian ini perlu diajukan suatu pertanyaan sebagai rumusan

masalah yaitu, “Bagaimana Keberadaan Masjid Kebon Jeruk sebagai potret akulturasi budaya

masyarakat Muslim di Jakarta pada abad XVIII”.

Mengingat luasnya kajian yang mungkin dilakukan terhadap Masyarakat Jakarta abad

ke XVIII, penelitian dibatasi hanya pada beberapa aspek kajian saja yang meliputi:

9Masjid ini digolongkan sebagai bangunan Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi kelesatariannya berdasarkan 1) UU No. 5 dan PP No. 10 tentang Benda Cagar Budaya. 2) SK Gubernur No. Cb/11/1/12/72 Tanggal 10 Januari 1972, Lembaran Daerah ….. / 1972. Di papan pengumuman di depan mesjid disebutkan: 1. Gedung ini dilindungi Undang-Undang Monumen STBL 193.. Nomor 230. 2. Segala tindakan berupa tindakan berupa pembongkaran, perubahan, perubahan, pemindahan di atas bangunan-bangunan ini hanya dapat dilakukan seizing Gubernur Kepala Daerah. 3. Setiap pelanggaran akan dituntut sesuai Undang-Undang yang berlaku. Tanah masjid bersertifikat No. : m710 Tanggal 30-12-1991; AIW/PPAW: K3/MJ.5/111/14/1991 Tanggal 27-05-1991; Luas Tanah 2220 M2; wakif: Hj. Aiasah ; Nazir KH H. Zulfakar

Page 12: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

1. Bagaimana Perkembangan Masjid-masjid kuno di Jakarta dan Masjid Kebon

Jeruk sejak didirikan hingga saat ini.

2. Sejauhmana kekunoan ragam hias dalam komplek Masjid Kebon Jeruk dan corak

arsitekturnya.

3. Analisis dan interpratasi Masjid Kebon Jeruk sebagai potret akulturasi masyarakat

Muslim Jakarta abad XVIII.

4. Bagaimana akulturasi budaya masyarakat Muslim di Jakarta hingga abad XVIII

terhadap kerukunan masyarakat Muslim Jakarta.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui corak ragam hias di Masjid Kebon Jeruk dan seni arsitektur

bangunannya.

2. Menambah khazanah pengetahuan tentang peranan Masjid dalam meningkatkan

kesadaran berkerukunan interen umat Islam.

3. Untuk mengetahui bahwa akulturasi budaya masyarakat Muslim Jakarta sudah

berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.

4. Agar Masyarakat Muslim kini dan mendatang yang bermukim di Jakarta tetap

memlihara warisan budaya masyarakat Muslim masa lalu

D. Manfaat

1. Meningkatnya kesadaran Masyarakat Muslim Jakarta bahwa kerukunan umat

beragama dapat dilakukan melalui berbagai upaya di antara mengadopsi budaya

masyarakat atau akulturasi budaya.

Page 13: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

2. Penelitian terhadap bangunan suci keagamaan misalnya terhadap Masjid Jami

Kebon Jeruk sangat berguna agar generasi sekarang semakin mendekatkan diri ke

Masjid

3. Masjid-masjid Kuno di Jakarta dibangun di atas kearifan local, maka manfaat yang

dapat diambil dari penelitin ini adalah bahwa membangun masjid tidak semata-matan

berorientasi timur tengah dengan ciri kubahnya yang setengah bundaran, tapi dapat

mengadopsi budaya setempat.

E. Tinjauan Pustaka

1. Hasan Muarif Ambari dan Parlindungan Siregar. Sejarah Islam Jakarta Abad XVI-

XIX. Penelitian Fakultas Adab UIN Jakarta. Penelitian ini mengkaji perkembangan

Islam di Jakarta sejak awal kedatangannya hingga abad kesembilan belas. Penelitian

setebal dua ratus lima puluh halaman ini menggunakan pendekatan sejarah sosial,

sekalipun demikian bukan berarti pendekatan-pendekatan kesejarahan lainnya sama

sekali ditinggal. Sebab ilmu sejarah tidak akan lengkap jika tidak didukung disiplin

ilmu lainnya, sebut saja arkeologi. Penelitian ini menelaah bagaimana bermacam-

macam etnis memasuki kota Jakarta sebelum dan sesudah abad kedelapan belas. Pada

akhirnya melahirkan sebuah suku yang disebut Betawi. Proses berfusinya suku

betawi ini diawali akulturasi budaya. Sekalipun demikian, oleh karena proses imigrasi

terus berlangsung memasuki Jakarta ciri-ciri kesukuan ini masih tampak. Akan tetapi

Islam telah mempersatukan mereka menghadapi kaum kolonial.

Mulai dari halaman empat puluh sampai halaman empat puluh lima dibahas secara

khusus sepak terjang dan keberadaan orang Cina di Batavia.

2. Uka Tjandrasasmita. “Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeologi”. Dalam

Arkeologi Islam Nusantara. Buku Kenang-kenangan 80 tahun Uka Tjandrasasmita

yang diterbitkan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, 2009. Tulisan ini

Page 14: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

mengkaji masa Prasejarah Jakartadengan menggunakan bukti-bukti arkeologis, masa

Hindu-Budha, masa Islam (Jayakarta), masa kolonial, dan masa keerdeaan.

Penjelasan tentang masa kolonial dimulai dari VOC yang mengganti nama Jayakarta

menjadi Batavia. Disini Uka menyebutkan ada 132 bangunan yang masuk dala BCB

di Jakara. Beliau menunjukkan buku-buku F. de Haan dalam Oud Batavia (1922, 3

jild), A. Heuken dalam Historical Sites Of Jakarta (1982), dan J.R. van Diessen

dalam Jakarta/Batavia (1989) dan lain-lain yang membahas bangunan-bangunan

bersejarah di Jakarta. Di bagian lain Uka mengatakan,: “Meskipun selama VOC

sampai Hindia-Belanda banyak banguna ala Indies berupa greja yang didirikan, pada

masa tersebut juga banyak pengiggalan Islam yang didirikan oleh masyarakat

Muslim, terutama Masjid. Di antara masjid-masjid tersebut adalah: Masjid Tambora

(1761), didirikan oleh Haji Mustoyib Ki Daeng; Masjid al-Mansur (abad ke- 18);

Masjid Angke (1761); Masjid Bandengan (1749); Langgar Tinggi (1740); Masjid al-

Anshor (1848); Masjid Marunda (abad ke- 17s.d ke- 18)); Masjid Kebon Jeruk

(1785/1786), didirikan Tamien Dosol Seeng, seorang keturunan Cina-Muslim.10

3. Alwi Shahab. Rabinhood dari Betawi. Jakarta:Republika, 2002. Buku ini merupakan

kumpulan tulisan beliau di Harian Rupublik setiap hari minggu. Tentang Masjid Jami

Kebon ia sebutkan bahwa ini merupakan masjid peninggalan sejarah. Kini, masjid

yang berdiri tahun 1786 ini oleh Dinas Kebudayaan dan Permusiuman dilestarikan

sebagai salah satu cagar budaya. Pendirinya adalah Tuan Tschoa yang mengepalai

Muslim Cina di Batavia antara 1780 - 1797. Di masjd tua yang telah diperluas ini kita

masih dapat menemukan beberapa unsur asli, yang telah berusia lebih 200 tahun.

10Uka Tjandrasasmita. “Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeologi”. Dalam Arkeologi Islam Nusantara. Buku Kenang-kenangan 80 tahun Uka Tjandrasasmita yang diterbitkan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, 2009. Hlm. 145

Page 15: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Sebut misalnya empat tiang bersegi empat yang menopang atap yang indah dan

jendela ukir di atas pintu-pintu tua.

Kendati masjid telah diperluas, tapi unsur asli ini tetap dilestarikan. Ketika terjadi

kerusahan dan pembantaian orang Cina yang diperkirakan menewaskan lima ribu

hingga 10 ribu orang warga Cina (September 1740), banyak keturunan Cina yang

masuk Islam. Mereka menyelamatkan diri dari penganiayaan. Akibatnya, penguasa

kolonial Belanda menjadi tidak senang dan mengambil langkah-langkah untuk

menyetop warga Tionghoa menjadi Muslim. Alasan Belanda melarang orang Cina

masuk Islam karena dianggap sangat merugikan pemerintah kolonial. Karena

mengurangi jumlah penduduk yang tidak terkena pajak (pribumi tidak dikenai pajak).

Di samping masuknya ke dalam Islam mempermudah pembauran antara mereka

dengan pribumi.11

F. Metododologi Penelitian

Penelitian terhadap Masjid Jami’ Kebon Jeruk sebagai potret akulturasi budaya

masyarakat Muslim di Jakarta bersifat penelitian kualitatif yang harus dilakukan secara

holistik dan bersifat deskriptik analitik dengan data artefaktual, yaitu bangunan Masjid Kebon

Jeruk beserta ragam-ragam hias yang melekat di dalamnya. Di komplek bangunan Masjid

Kebon Jeruk terdapat data tekstual di batu nisan makam Fatimah Hwu berupa inskripsi.

Pendekatan deskriptik analitik digunakan untuk menggambarkan data-data arkeologis serta

mencari bagaimana hubungan antar variabelnya. Langkah-langkah yang ditempuh adalah

pengumpulan data melalui observasi lapangan dan studi kepustakaan serta analisis data.

1. Pengumpulan Data

Pada dasarnya data-data baik primer maupun sekunder didapatkan melalui

pengumpulan data perpustakaan serta data lapangan.

11http://www.republika.co.id / . Didownload pada jam 04.45, 28 November 2009. Lihat juga Republika. 19 Maret 2004.

Page 16: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

1.1 Data Perpustakaan:

Data perpustakaan sangat dibutuhkan dalam penelitian ini baik yang bersifat primer atau

sekunder. Data primer berupa tulisan, gambar, foto, peta lokasi, dan manuskrip.

Sementara data-data sekunder adalah tulisan-tulisan berupa buku-buku, majalah, surat

kabar-surat kabar yang terbit masa itu atau saat ini yang mengkaji atau menelaah Masjid

Kebon Jeruk atau bangunan-bangunan tua di Jakarta. Data-data ini didapatkan di

berbagai perpustakaan di Jakarta.

1.2 Data Lapangan:

Data lapangan diperoleh melalui penjajagan dan survei. Data Lapangan berupa Masjid

Kuno yang masih berdiri kokoh. Masjid Jami Kebon Jeruk telah mengalami beberapa

kali perbaikan dan penambahan. Namun bentuk bangunan dan bahan bangunan asli

beserta material yang melekat dengannya masih dipertahankan keasliannya dan berada di

posisi tengah bangunan masjid. Di bagian timur terdapat pula makam kuno beserta

ragam ornamennya yang merupakan bagian dari masjid ini,12 sedang data material

setidaknya kini berada di dua tempat; di lokasi masjid berada saat ini dan di Museum

Fatahillah Jakarta Kota.

Data lapangan bisa diperoleh melalui waancara. Peneliti akan mewawancarai pengurus

Masjid Kebon Jeruk untuk mendapatkan data-data yang lebih banyak. Misalnya

berkaitan dengan keberadaan benda-benda masjid yang sudah kuno.

2. Metode Analisis Data

Data-data terkumpul, baik tertulis maupun dalam bentuk material diklasifikasikan dan

dianalisis dengan pendekatan arkeologis, ditelaah, dan akhirnya diinterpretasikan. Teknik

analisis bangunan suci keagamaan dan artefak-artefak yang melekat di dalamnya dilakukan

dengan langkah-langkah berikut ini:

12PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Cet. II, 2008. Hlm. 21-22

Page 17: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

2.1 Analisis Morfologi:

Menganalisis bentuk, variabel-variabel yang diamati, yakni ukuran bangunan, denah

bangunan, arah hadap, bagian fondasi, tubuh, atap, dan ragam hias yang merupakan

bagian-bagian mesjid yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Bangunan masjid sudah sangat

jelas menghadap ke qiblat (arah barat). Dianalisis juga dinding, pintu, jendela, ventilasi,

tiang, atap bangunan, mustaka kubah bangunan dengan segala bentuk dan ukurannya.

2.2 Analisis terhadap teknologi bangunan Masjid:

Menganalisis bahan-bahan bangunan berupa bata, dan batu. Menganalisis terbuat dari

apakah atap Masjid Kebon Jeruk ; c) analisis gaya; dan d) analisis kontekstual.13

2.3 Analisis Stilistik

Analisis stilistik berkaitan dengan variable-variabel berupa ragam hias yang menghiasi

dinding, jendela, pintu, dan lain-lain. Biasanya ragam hias semacam ini mendapat dari

pengaruh ari Eropa, Cina, atau Timur Tengah.

Masjid Kebon Jeruk tidak bisa dipisahkan dari makam di bagian timurnya. Makam

inipun dianalisis dari aspek morfologi, teknologi, stilistik, dan kontekstualnya.

Berangkat dari ketiga analisis di atas, maka akan dicari bagian-bagian mana saja dari

Masjid Kebon Jeruk yang merupakan wujud akulturasi budaya masyarakat Muslim.

3. Kerangka Teoritis

Masjid bukanlah sebuah bangunan berupa material-material mati yang berdiri tepisah dari

lingkungannya. Justru ia adalah bagian integral dari masyarakat muslim. Sejak pertama

kali menginjakkan kakinya di Madinah yang pertama Nabi Muhammad lakukan adalah

membangun masjid. Beliau memandang bahwa masjid tidak semata-mata berfungsi

sebagai tempat mendekatkan diri kepada Tuhan dengan beribadah secara vertikal, tapi

masjid secara horizontal merupakan sebuah sarana dan prasarana interaksi sosial. Maka

13PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL. Metode Penelitian …. Hlm. 89-92

Page 18: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

sangat wajar jika untuk mengakrabkan jama’ah dengan masjidnya arsitektur masjid

didominasi kultur masyarakat yang membangunnya.

Masjid Kebon Jeruk adalah salah satu contoh bangunan yang seni arsitekturnya

didominasi oleh kultur masyarakat setempat yang sudah mengalami akulturasi budaya

saat masjid ini dibangun. Pembuktian asumsi di atas menuntut berbagai langkah yang

harus ditempuh, mulai dari 1) observasi, 2) deskripsi, dan 3) eksplanasi.

Ketiga kegiatan tersebut dibarengi dengan kegiatan analisis, artinya analisis di tingkat

observasi, deskripsi, dan eksplanasi. Pendekatan De Saussure yang kemudian

dikembangkan Roland Barthes (1915 – 1950) dan mempengaruhi pemikiran Foucault

sangat mungkin digunakan dalam menganalisis benda-benda dengan sebutannya sebagai

analisis semiotis. Masing-masing kegiatan tetap mengacu pada menjawab pertanyaan-

pertanyan penelitian di sekitar apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana yang sasaran

akhirnya adalah sebuah rekonstruksi kebudayaan. Istilah rekonstruksi mula-mula

dikemukakan oleh Foucault dalam L’archeoloie du savoir (arkeologi pengetahuan). Dia

menyebutkan bahwa arkeologi sebagai ilmu monumen bisu, jejak lembam, dan benda

yang ditinggalkan masa silam berkecenderungan sejarah dan hanya berarti bila

merekonstruksi suatu wacana historis.14

G. Sistematika Panulisan

Data-data yang terkumpul dianalisis latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan

masalah, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, dan metodologi peneliatian.

Kemudian dalam bab II akan dibahas tentang sejarah perkembangan Masjid Kebon

Jeruk. Bab III Analisis terhadap kekunoan dan corak arsitektur Masjid Kebon Jeruk. Dalam

bab IV merupakan analisis dan interpretasi terhadap Masjid Kebon Jeruk sebagai potret

akulturasi masyarakat Muslim di Jakarta. Kemudian bab V adalah kesimpulan.

14Michel Foucault. L’archeoloie du savoir. Paris:Gallimard, 1969. H. 14 – 15. Baca juga Mohammad Arkoun Nalar Islami dan Nalar Modern:Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru. Jakarta:INIS, 1994. Hlm.22 - 23

Page 19: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN MASJID KEBON JERUK

Page 20: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

SEJAK ABAD KE- 18

A. Pengertian, Bentuk, dan Fungsi Masjid

1. Pengertian

Perkataan “masjid” berasal dari bahasa Arab yang akar katanya sajada,15 yaitu

ج�ـدا م�س� ـ ساجدا ـ سجودا ـ سجدا ـ يسجد ـ yang سجد arti kata

sebenarnya adalah tempat sujud, tempat orang sujud atau shalat sesuai dengan sunnah. Islam

mengajarkan bahwa setiap jengkal bumi Allah ini adalah masjid, sebab Allah yang disembah

ada dimana saja tak harus pada suatu tempat tertentu untuk menyembahnya.16

Dalam prakteknya, untuk shalat selalu disiapkan tempat tertentu yang disebut masjid.

Masjid berarti suatu bangunan tempat orang Islam menjalankan ibadah shalat baik secara

berjamaah maupun sendirian (munfarid) serta kegiatan lain yang berhubungan dengan ajaran

Islam. Masjid adalah sebuah bangunan yang berdiri di atas tanah yang sudah diberi batas-

batas tertentu. Di Indonesia pengertian masjid lebih dikhususkan lagi yakni jika ia dapat

digunakan untuk shalat Jum’at dan ber’itikaf,17 untuk dapat melakukan shalat Jum’at,

menurut madzhab Syafi’i minimal empat puluh orang jama’ah, sedang jika tidak maka

namanya adalah mushalla, langgar, atau surau.18

15 ?Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. http://www.mail-archive.com / , download 29 Sept 201016 ? Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3.Jakarta:Kanisius. Hlm. 75; lihat juga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka. Hlm. 634

17I’tikaf adalah diam beberapa waktu di masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat tertentu (sambil menjauhkan pikiran dari kedunian untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biasanya umat Islam melakukan ibadah ‘Itikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sambil menunggu kedatangan malam lailatur qadr.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia… Hlm. 369. Pada umumnya umat Islam mengadakan I’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlah yang tujuannya untuk mendapatkan lailatul qadr.

18 Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 75

Page 21: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Disebutkan bahwa masjid sebagai tempat sujud, pengertian sujud adalah kepatuhan,

ketundukan, ketaatan kepada Allah secara khusyu’ dan khidmat. Sebaliknya, menolak taat

dan patuh kepasa selain-Nya. Jika demikian, maka benar bahwa semua bumi Allah di adalah

untuk sujud dan dapat dijadikan sebagai masjid dalam arti fisik atau bangunan material.

2. Bentuk

Umumnya, masjid, mushalla, surau, atau langgar bentuk dan susunannya sama yakni,

berbetuk bujur sangkar ditambah sebuah serambi di depannya. Di ruang bujuar sangkar inilah

dilaksanakan shalat. Ia mempunyai atap tersendiri yang ditopang empat buah tiang utama.

Tiang utama ini disebut “soko guru”. Di Masjid Demak, Jawa Tengah, bahkan “soko

guru”nya yang awalnya berasal dari kayu tatal diberinama para wali.

Umumnya masjid menghadap ke timur, sedang bagian belakangnya adalah bagian

dimana mihrab berada atau di sisi barat setiap masjid terdapat sebuah ceruk yang disebut

mihrab tempat imam mengimami jamaah dalam shalat berjamaah yang arahnya ke kiblat. Di

sebelah kanan mihrab terdapat mimbar untuk tempat menyampaikan khutbah khususnya pada

waktu shalat Jumat.

Masjid di zaman Madya Indonesia memiliki ciri-cirinya tersendiri. Bisa terjadi

demikian, sebab baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis nabi tidak ditemukan perintah untuk

membangun masjid dengan bentuk atau format arsitektur tertentu. Umat Islam Indonesia

memiliki kreasi tersendiri seni arsitektur masjid. Atap masjid di zaman in yaitu atap yang

melingkupi ruang bujur sangkar. Kubah sebagai atap mesjid merupakan seni bangunan berciri

Islam pada umumnya tidak terdapat di Indonesia pada masa ini di Pulau Jawa. Masjid di

Pulau Jawa adalah “Atap Tumpangan”19 yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin

kecil sedangkan tingkatan yang paling atas berbentuk limas.20 Jumlah tingkatan selalu ganjil 19Lihat lampiran 1, atap tumpangan bandingkan tumpangan atap Masjid Agung Banten 5, sementara

tumpangan atap masjid Agung Demak 3. Bandingkan pula atap tumpangan masjid-masjid kuno di Jakarta di abad ke- 18.

20Bentuk merunjung ke atas (tt bentuk atap bangunan), seperti bentuk piramida: benda yang alasnya berbentuk segitiga (segi empat dsb.) dan bidang sisinya berbentuk segitiga dengan titik puncak yang berimpit.

Page 22: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

(gasal), biasanya tiga dan juga lima seperti pada Masjid Agung Banten dan Masjid Agung

Demak. Sesekali ada yang tumpangnya dua tapi yang demikian itu dinamakan tumpang satu,

jadi anka gasal pula. Sampai saat ini atap tumpangan masih sering dijumpai terutama di Bali.

Namanya “Meru”. Pada relief-relief candi-candi jawa juga atap tumpang. Bangunan Islam

tentulah menggunakan seni bangunan yang sudah ada lebih dulu.21

Biasanya di puncak atap mesjid atau suarau masih diberi lagi sebuah kemuncak dari

tanah bakar (semacam keramik) atau benda lainya yang seakan-akan lebih memberi tekanan

akan keruncingannya. Penutup puncak atap itu dinamakan mustaka.22Mustaka dibentuk

dalam berbagai cara dan pola ditambah dengan ornament, sehingga tidak ada yang seragam.

Sekalipun demikian ia berbentuk vertikal.23

Menara-menara masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak ada. Menara Masjid

Agung Demak, Masjid Agung Banten, bahkan Masjid Kudus awalnya bukanlah bagian

masjid sebab dibangun jauh sesudah dan sebelum masjid dibangun. Fungsi menara adalah

tempat mengumandangkan suara azan menandai waktu shalat. Waktu itu yang igunakan

adalah bedug. Jadi pada dasarnya azan dan bedung berfungsi menandai masuknya waktu

shalat. Sebagian masjid saat ini menggunakan keduanya sekaligus untuk menandai masuknya

waktu shalat.

Di zaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, tata ruang kotanya masih sangat

sederhana. Namun, tata letak Istana, Alun-alun, dan Masjid selalu berdampingan. Letak

masjid sangat dekat dengan istana. Ketika seorang raja keluar istanya, maka lebih dulu ia

menginjak alun-alun lantas kea rah baratnya lagi aka nada masjid. Tata letak semacam ini

pastilah mengan filosofi tersendiri.

Limasan berarti berbentuk limas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka. Hlm.672

21Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 76 22Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 76 23Idealisasi tempat yang tingi itu yang baik adalah bukti aspek-aspek kehidupan masyarakat dalam

mengatur desain bangunan, arsitektr keagamaan.

Page 23: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Biasa juga masjid berada di pemakaman raja-raja atau para wali. Tempatnya pun

harus berada di bagian yang sacral dari tempat pemakaman ini. Penggabungan makam

dengan masjid tidak saja terdapat pada tempat-tempat suci tetapi juga ditemukan di ibukota-

ibukota kerajaan.24

Di area masjid-makam akan didapatkan makam-makam yang dibuatkan rumahnya

sendiri yang disebut cungkup atau kubba. Ada juga gapura-gapura di gugusan masjid-

makam dalam bentuk candi bentar atau kori agung (beratap dan berpintu). Kori agung

biasanya ditempatkan di bagian-bagian tersuci dari komplek masjid-makam. Jelaslah bahwa

bangunan semacam ini sudah memasukkan unsure local atau kelanjutan seni bangunan zaman

purba yang memang tidak secara qath’I (mutlak) dilarang dalam Islam. Masjid-masjid kuno

yang dibangun di zaman madya sudah mengalami perubahan dan perbaikan yang kaang-

kadang tidak terlihat lagi keaslianya atau ahkan sudah mendapat pengaruh seni bangun Timur

Tengah dengan misalnya membuat kubah.

3. Fungsi

Fungsi masjid sangatlah jelas sebagai tempat mengadakan hubungan dengan Allah

(hablun minallah) dan (hablun minannasi). Atau dengan kata lain sebagai pusat ibadah

mahdlah, khususnya shalat lima waktu dan pusat pengembangan muamalah, yakni urusan-

urusan keduniaan. 25

Fungsinya sebagai pusat ibadah mahdlah dan muamalah pada prinsipnya tidak bisa

dipisah-pisah. Yang disebut ibadah mahdlah adalah semua ibadah yang wajib dilaksanakan

seorang mukallaf ; shalat, puasa, zakat, dan haji yang tatacaranya sudah diatur dan ditetapkan

oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ibada-ibadah ini tampaknya tak bisa dipisahkan dari

24Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 78

25Wiryoprawiro, M. Zein. 1985. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya:Bina Ilmu. Hlm. 155

Page 24: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

usrusan keduniaan dan social/budaya. Dengan berzakat seseorang dapat melakukan hubungan

social/budaya dengan sesame manusia.

Masjid peran strategis untuk kemajuan peradaban ummat Islam. Sejarah telah

membuktikan multi fungsi pe2ranan masjid tersebut. Masjid juga sebagai pusat pendidikan,

pengajian keagamaan, pendidikan militer dan fungsi-fungsi  sosial-ekonomi lainnya.

Rasulullah Muhammad SAW memfungsikan masjid  dalam membina dan

mengurusi seluruh kepentingan umat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial , pendidikan,

militer, dan lain sebagainya. Sejarah juga mencatat, bahwa masjid Nabawi difungsikan oleh

Rasulullah SAW sebagai (1) pusat ibadah, (2) pusat pendidikan dan pengajaran, (3) pusat

penyelesaian problematika umat dalam aspek hukum (peradilan) (4). pusat pemberdayaan

ekonomi umat melalui Baitul Mal (5) pusat informasi Islam, (6) bahkan pernah sebagai pusat

pelatihan militer dan urusan-urusan pemerintahan Rasulullah. Masih banyak fungsi masjid

yang lain. Singkatnya, pada zaman Rasulullah, masjid dijadikan sebagai pusat peradaban

Islam.26

B. Masjid Kuno Sejak Abad ke- 18 di Jakarta

Pada abad kedelapan belas penduduk Jakarta baru sekitar lima puluh ribu orang,

sebagian besar beragama Islam. Oleh karena Islam menyuruh pemeluknya untuk menyembah

Allah, maka suatu keharusan bagi mereka untuk membangun rumah ibadah yang di dalam

budaya Islam sering disebut mushala, langgar, surau atau masjid. Masing-masing memiliki

makna kata dan fungsinya; secara harfiah masjid berarti tempat sembahyang atau tempat

26http://www.pesantrenvirtual.com , download, 29 September 2010. Rasulullah membangun pertama kali Masjid Quba’ saat melakukan Hijrah ke Madinah sebelum beliau membangun masjid di Madinah. Masjid yang beliau bangun terbuat dari pohon kurma dan batu-batuan yang terdapat di sekitar Madinah. Di masjid Madinah Rasul menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada penduduk Madinah. Dengan demikian masjid yang dibangun Rasul menjadi pusat informasi dan pusat pembinaan umat Islam dan pusat menyusun strategi peperangan untuk melawan orang-orang kafir dan musyriq yang sangat tidak menginginkan berkembangnya Islam.

Page 25: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

sujud, sementara fungsinya selain sebagai tempat sembahyang (fungsi keagaman) juga

dijadikan sebagai tempat membina masyarakat Islam (fungsi sosial).27

Demikianlah umat Islam, pada abad kedelapan belas telah mendirikan beberapa

masjid untuk kepentingan shalat mereka, baik untuk shalat infirad maupun shalat jama’ah

juga untuk membina umat. Masjid-masjid yang dibangun serta berdiri pada abad ke- 18 di

Jakarta adalah:

1 Masjid al-Mansur, 1717

2 Masjid Luar Batang, 1736

3 Masjid Kampung Baru, Bandengan Selatan, 1748

4 Masjid An-Nawier, Pekojan, 1760

5 Masjid Angke, 1761

6 Masjid Tambora, 1761

7 Masjid Krukut, 1785

8 Masjid Kebon Jeruk, 1786

9 Masjid Al-Mukarraomah, Jalan Lodan 1789.28

1. Masjid al-Mansur

Masjid al-Mansur terletak di Jalan Sawah Lio II, Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Masjid dirintis oleh Abdul Muhit dari Kerajaan Mataram yang berperang di Jakarta.29

Hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perbaikan dan perubahan konstruksi, mulai

dari perbaikan mihrab oleh Muhammad Arsyad al-Banjari, pembetulan arah kiblat, perluasan

bangunan, pemasangan pagar tembok. Saat ini, di bagian selatan merapat ke jalan, di bagian

utara dan timur berdampingan dengan pemukiman penduduk. Ruang utama, bangunan 27Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta:Ombak. Hlm. 3 dan 10.

Lihat juga Sidi Gazalba. 1962. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Djakarta:Pustaka Antara. Hlm. 112; http://id.wikipedia.org, didownload 13.43, 15 September 2010

28SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm. 29-31

29Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta:Dinas Museum DKI Jakarta. Hlm. 88 – 89

Page 26: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

tertuanya, bersegi empat yang ditopang pula dengan empat sokoguru. Bagian bawah tiap-tiap

tiang bersegi delapan dan di atasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta serta rata.

Batang utama (di bagian utama) berbentuk bulat dan dihiasi pelipit juga. Bagian teratas

berbentuk persegi empat dan dibatasi pelipit. Bangunan asli masjid berukuran 10 x 10 M2

(mungkin juga 12 x 14.40 M2). Nama K.H. Muhammad Mansur diabadikan sebagai nama

masjid sejak tahun 1967, karena beliau mengibarkan bendera merah putih di menara masjid

saat perang melawan NICA pada tahun 1947.30

2. Masjid Luar Batang 31

Masjid Luar Batang berada di Pasar Ikan persisnya Jalan Luar Batang V Nomor 1

Kelurahan Penjaringan Ancol Jakarta Utara. Masjid sudah mengalami perbaikan dan

perubahan. Sekalipun demikian, konstruksi masjid ini masih memiliki ciri-ciri keasliannya.

Soko guru sebagai penopang atap masih asli, langit-langit ruang utama masih asli yang

berbentuk balok melintang. Seorang turis asal Cina menulis bahwa saat meninggalkan Jakarta

pada tahun 1736 bertolak dari sheng mu gang (pelabuhan makam keramat), yaitu dari

pelabuhan Sunda Kelapa. Artinya sudah ada makam keramat di sekitar masjid sekarang.

Hingga saat ini makam keramat tersebut masih diziarahi oleh masyarakat.

Masjid didirikan oleh Alhabib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus yang

meninggal pada tanggal 24 Juni 1756. Nama masjid ini diberikan sesuai dengan julukan

Habib Husein,yaitu Habib Luar Batang. Ia dijuluki demikian karena konon dahulu ketika

Habib Husein dikuburkan, pada saat digotong ke "kurung batang", tiba-tiba jenazahnya sudah

tidak ada. Hal tersebut berlangsung sampai tiga kali. Akhirnya para jama'ah kala itu

30SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 43. Lihat juga www.al-Shia.org. didownload pada jam 12.54, 15 September 2010.

31Kampung Luar Batang terletak di Kelurahan Penjaringan Ancol Jakarta Utara. Diperkiraan perkampungan ini dibangun sekitar 1630-an. Alwi Shahab. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika. Hlm. 20

Page 27: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

bermufakat untuk memakamkan beliau di tempatnya sekarang ini. Jadi maksudnya, keluar

dari "kurung batang".32

Masjid dilindungi SK. Mendikbud No. 0128/M/1998. Arsitekturnya bergaya Eklektik

Moor - Islam jawa (bangunan dahulunya). Ia mempunyai denah dasar segi empat

bujursangkar yang ditopang oleh soko-guru serta beratap tumpang sebagai cirri masjid tua di

Jakarta. Di sebelah utara terdapat ruang kaputren dengan pintu di bagian depan dan

belakang.33

3. Masjid Kampung Baru

Masjid Kampung Baru berada di Jl Bandengan Selatan no. 34 Kel. Pekojan Kec.

Tambora Jakarta Barat (Jakarta 11240). Dibangun antara tahun (1748–1817), oleh orang-

orang imigran Islam dari India. Masjid yang terletak di kawasan Pekojan34 ini adalah masjid

kedua yang dibangun oleh orang-orang Muslim India yang tinggal sejak sebelum pertengahan

abad ke 17 di daerah tersebut. Masjid pertama mereka yang dibangun di Jl Pengukiran

menjadi terlalu sempit diakibatkan oleh pembunuhan massal orang Tionghoa pada tahun

1740 yang ternyata memberikan kesempatan dagang yang lebih leluasa bagi orang-orang

Muslim, sehingga jumlah mereka bertambah banyak. Dalam sebuah karangan Belanda pada

tahun 1829 masjid ini disebut juga sebagai Moorsche Tempel. Denah dasar masjid ini

berbentuk persegi dengan atap bertumpuk (tumpang), atap bagian atas berbentuk limasan.

Bentuk mesjid semacam ini menyerupai bentuk-bentuk bangunan tradisional Jawa, di mana

32http://www.jakarta.go.id , didownload 04.34, 17 September 2010

33Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 70

34 Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Daerah pekojan pada era kolonial Belanda dikenal sebagai kampung Arab. Namun kini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa. Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab, Pekojan merupakan tempat tinggal warga Koja (Muslim India). Sampai kini, masih terdapat Gang Koja --yang telah berganti nama jadi Jl Pengukiran II. Pekojan berasal dari kata “Koja” merupakan sebutan untuk orang Muslim India yang datang dari Benggali. Alwi Shahab. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika. Hlm. 29

Page 28: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

biasanya terdapat 4 tiang soko guru pada bagian tengah bangunan sebagai penyangga atap

berbentuk limas tersebut.35

4. Masjid An-Nawier, Pekojan

Masjid An-Nawier disebut juga sebagai Masjid Pekojan terletak di Jalan Pekojan No

79 Tambora Jakarta Barat.36 Dibangun oleh sekitar tahun 1760 - 1780 oleh Sayid Abdullah

bin Husain Alaydrus berasal dari Hadramaut.37 Arsitekturnya bergaya Arab dan Indies (Jawa-

Eropa). Sebagai kontraktor pembangunannya adalah Orang Cina dan saat ini sudah dilindungi

sebagai BCB (Benda Cagar Budaya) berdasar SK Mendiknas RI No. 0128/M/1998,

Golongan A.38

Masjid an-Nawier mengalami beberapa kali perbaikan dan renovasi. Pada tahun 1850

direhab oleh Komandan Dachlan.39 Tujuh puluh enam tahun kemudian direhab kembali.

Sekalipun mengalami renovasi dan perbaikan, masjid ini masih memiliki ciri-ciri

keasliannya. Disisi utara terdapat 5 pintu, di sebelah timur 6 pintu empat pintu sama

sementara yang di tengah berbeda dengan pintu-pintu lainnya. Pintu tengah ini dihiasi oleh

ukiran-ukiran motif kebudayaan Cina. Di sebelah barat terdapat sebuah mimbar kuno hadiah

Sultan Pontianak, Kalimantan Barat abad ke- 18 dan gantungan lampu kuno. Menara masjid

menyerupai menara mercusuar di dalamnya terdapat tangga yang melingkar hingga ke

35http://www.jakarta.go.id , didownload 04.34, 17 September 2010 lihat juga Atthiyat, Gandrian. 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 93

36Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 85

37SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 59

38Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 85 . http://Jakarta.go.id, download jam 13.42. tanggal 21 Sept. 2010 . Lihat juga Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta.

39Zein, Abdul Baqir.1999. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia”. Jakarta:Gema Insani Press. Hlm. 127

Page 29: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

puncak. Masjid memiliki 33 buah tiang di ruangan shalatnya, 17 tiang teras.40 Memiliki

empat bagian atap limas an tak bertingkat. Atap mihrab berbentuk kubah.

Ciri lain masjid adalah di lisplang atau entabulatur atap bagian utara terdapat hiasan

berupa empat persegi dan pelipit rata, ceplok, bunga serta bulan bintang dalam liangkaran

dan lain-lain.41

5. Masjid Angke

Masjid Angke, sekarang dikenal Masjid al-Anwar, sejak dibangun pada 1761 sudah

beberapa kali dipugar khususnya oleh Pemda DKI mulai dari lantai dalam, kaso-kaso bagian

atap susun, dan langit-langit (plafon), tempat wudhu, tempat bedug, dan pintu masuk.

Sekalipun demikian, masih terlihat gaya arsitekturnya yang asli yakni campuran Arab, Jawa,

Cina, Belanda, dan sedikit Bali. Ditambah di sebelah barat masjid terdapat makam-makam

dengan bentuk nisan-nisan kuno,42 nisan Nyonya Chen men Wang shi zhi mu – nisan Ny.

Chen yang lahir sebagai Wang seorang wanita Cina Muslim.43

Bentuk Masjid Angke adalah bujursangkar yang memperlihatkan adanya pengaruh

Jawa. Ujung-ujung atap Masjid Angke yang sedikit melengkung ke atas menunjuk pada

punggel rumah Bali. Lima anak tangga di depan, daun pintu ganda, lubang angin di atas pintu

yang dihiasi ukiran bagus sama seperti kusen pintu dan (bekas) pot batu alam di pucuk atap

yang yang semuanya bercirikan rumah-rumah Belanda. 44

Masjid terletak di Jalan Tubagus Angke, gang Masjid, Rt 01/05, Kelurahan Angke,

Kecamatan Tambora, Jakarta Barat yang dulunya merupakan perkampungan orang Bali

Muslim. Didirikan pada tahun 1761 oleh seorang bangsa Cina dari Tartar yang menikah

40“Masjid Jami’ Annawier Pekojan”. Kompas. Rabu 4 Desember 2002. Hlm. 6. http://Jakarta.go.id, Http://hamzirwan.wordpress.com. Download jam 13.09, tanggal 21 Sept. 2010

41SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 61 - 62 42Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 87 - 88 43SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 69 44SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 67 – 68. Marco Kusumawijaya.

“Membaca Arsitektur, Membaca Umat”. Tempo. 28 Juli 2003. Lihat http://www.majalah.tempointeraktif.com.,

Page 30: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

dengan putri Banten. Kontraktor bangunan adalah seorang Cina. Sejak 1931 telah dilindungi

Undang-Undang Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No. 238 serta diperkuat SK

Gubernur KDKI tanggal 10 Januari 1972. 45

6. Masjid Tambora

Masjid Tambora merupakan BCB (Benda Cagar Budaya) mulai tahun 1994 yang

dilindungi Undang-Undang. Terletak di Jalan Tambora No. 4 Kelurahan Tambora,

Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Dibangun oleh K. H. Mustoyib ki Daeng dan kawan-

kawan pada tahun 1761 (abad ke- 18).

Meskipun sudah mengalami pemugaran pada tahun 1979 dan tahun 1980 ciri-ciri

keasliannya masih terlihat. Arsitektur Masjid Tambora bergaya paduan Arab, Cina, dan

Belanda, juga dipengaruhi kebudayaan Hindu.46 Menurut Lombard bangunan kecil di atas

makam memperlihatkan unsure gaya bangunan Cina dan Belanda. Tampak juga pada

penyangkka siku pengaruh Cina yang disebut tou-kung. Atap masjid tumpang dua berbentuk

limasan dari genteng dan pada puncaknya terdapat mustaka berbentuk buah nanas. Di

halaman depan masjid di sudut tenggara terdapat bangunan makam bercungkup yang

merupakan makam pendiri masjid wafat tahun 1836.47 Bangunan asli (10 x 10 m) kini

membentuk bangunan inti masjid yang diperluas (1971).

7. Masjid Krukut

Masjid Krukut merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta yang dibangun sejak

abad ke- 18 (1785). Abad ke- 19 dan ke- 20 mengalami perubahan dan perbaikan besar.

Masjid Krukut adalah salah satu masjid yang didirikan dan dibangun Cina Muslim

dari tiga masjid tua di Jakarta; 1) Masjid Tambora, 2) Masjid Krukut, dan 3) Masjid Kebon

45http://Jakarta.go.id , download pukul 13.42, tanggal 21 Sept. 2010. Dr. F. de Haan dalam bukunya “Out Batavia” yang didasarkan dari cerita-cerita masyarakat di sekitar bahwa masjid ini mulai dibangun pada Kamis, 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. http://www.al-shia.org, didownload pukul 13.19, tanggal 21 Sept. 2010.

46Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 90 47http://Jakarta.go.id , download pukul 13.42, tanggal 21 Sept. 2010.

Page 31: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Jeruk. Masjid Krukut memiliki ciri khasnya tersendiri yakni di dalamnya terdapat sebuah

mimbar asli , namun sudah dicat. Mimbar ini diukir oleh orang Cina yang masuk Islam.

Bagian luar masjid pun tidak menyisakan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu masjid

ini. Masyarakat dan pengurus masjid telah memoderenkan bentuk masjid di abad ke- 19 dan

ke- 2048

8. Masjid al-Mukarromah atau Masjid Kampung Bandan

Masjid Al-Mukarraomah terletak di Jalan Lodan, Kelurahan Ancol, Kecamatan

Pademangan, Jakarta Utara. Didirikan dan dibangun oleh Sayid Abdul Rachman bin Alwi Al-

Syatiri pada tahun 1789. Putranya Sayid Alwi bin Abdul Rachman bin Alwi Al-Syatiri

meneruskan pembangunan masjid ini pada tahun 1913 dan selesai tahun 1917.49

Bangunan masjid sudah mengalami berbagai perubahan dan pemugaran dimulai tahun

1956 dengan memperluas bangunan dan pada tahun 1972 dipugar secara total oleh Dinas

Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Demikian pula pada tahun 1978 dilakukan pemugaran

secara total dengan mengganti komponan bangunan lama menjadi baru, namun dalam bentuk

yang sama dengan aslinya. Di sisi utara masjid terdapat makam Sayid Moh. Bin Umar al-

Quds, Sayid Ali bin Abdurrahman ba’ lawi, dan Abdul Rachman bin Alwi Al-Syatiri.

9. Masjid Kebon Jeruk

Masjid Kebon Jeruk terletak di pinggiran Jalan Hayam Wuruk, No. 85, Kelurahan

Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.50 Persisnya di bagian Timur kali Ciliwung.

Daerah ini merupakan daerah padat penduduk, sehingga aktivitas warganya tak pernah

berhenti sejak dulu. Masjid ini dapat dijangkau dengan kendaraan umum dari arah jalan

48Ihsan Tanggok dkk. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. Cet. IJakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hlm

49Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 73

50 ?Nomenklatur kelurahan, RT, RW, dan bahkan nomor alamat masjid ini sudah beberapa kali berubah sejalan dengan perkembangan lingkungan sekitarnya.

Page 32: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Merdeka Barat menuju kota melewati Jalan Gajah Mada atau sebaliknya melewati jalan

Hayam Wuruk yang kedua jalan ini dipisahkan oleh Kali Ciliwung.

Di sebelah kanan masjid adalah bangunan-bangunan perkantoran, sedan di sebelah

kiri berbatasan langsung dengan Jalan Kebon Jeruk. Di bagian Timur masjid terdapat

pemukiman warga Tionghoa yang padat, mayoritas beragama non-Muslim. Penduduk

muslim berada di sebelah timur pemukiman Cina non-muslim tersebut.

Masjid Jami Kebon Jeruk adalah masjid pertama yang dibangun di kawasan pinggir

Jalan Hayam Wuruk saat ini dengan kubah bergaya arsiterktur Cina. Masjid ini dibangun

tahun 1786 Masehi oleh seorang saudagar dari daerah Sin Kiang, negeri Tiongkok, Tamien

Dosol Seeng .51

Sekarang masjid ini berbatasan langsung dengan kompleks pertokoan di sebelah

selatan dan utara. Sedangkan di bagian timur, terdapat pemukiman penduduk yang cukup

padat. Bagian barat masjid adalah Jalan Harmoni dan Kali Ciliwung. Bangunan masjid

Kebon Jeruk dikelilingi pagar tembok pada bagian utara dan timur. Sedangkan sisi barat dan

selatan dilengkapi pagar besi setinggi hampir 2 meter. Tembok dan pagar besi bukanlah

bangunan asli, ia hasil renovasi dan tambahan.

C. CORAK ARKEOLOGI MASJID KUNO DI JAKARTA

Bentuk dan corak bengunan masjid dari berbagai bangsa di dunia sangat beragam atau

berbeda antara satu satu masjid dengan masjid yang lain sejalan dengan latar belakang

budaya masyarakat Muslim dimana masjid dibangun. Demikian bangunan masjid di Jakarta

pada abad kedelapan belas. Sekalipun demikian masih terdapat masjid-masjid yang dalam

berbepa bentuk atau pola pembangunannya sama. Apalagi jika memang diakui kebenaran

51Uka Tjandrasasmita.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia. Hlm. 156. Menurut Heuken pendapat yang menyebutkan bahwa pendiri masjid ini adalah orang yang bernama Chau Tsien Hwu agak baru yang sulit dibuktikan berdasar data-data sejarah. SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 71

Page 33: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

pendapat bahwa pengaruh pertukangan Cina sangat kuat di Pulau Jawa sebelem abad

kedelapan belas.

Masjid-masjid di Jakarta yang dibangun di abad kedelapan belas sangat mendapat

pengaruh arsitektur Cina dan petukangan Cina. Namun tidak berarti bahwa di bangunan

masjid itu tidak terdapat unsur-unsur arsitektur non-Cina.

D. ASAL-USUL MASJID KEBON JERUK

Gambar Masjid Kebon Jeruk di Awal Abad Keduapuluh (kiri) dan Gambar Masjid Saat in (kanan):

1. Orang Cina di Jakarta

Sejak diambil-alih oleh Falatehan hingga dikuasai oleh kolonialis Belanda dan

menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta sudah ramai dikunjungi dan

dijadikan tempat tinggal oleh para pedagang dari nusantara dan berbagai negeri, khususnya

oleh orang Cina. Tawalinudin Haris menyebutkan,:

“Jayakarta sebagai salah satu di antara Bandar terpenting di pantai utara Jawa Barat telah dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai pelosok Nusantara dan dari berbagai negeri , seperti orang Keliling (mungkin Keling ; catatan penulis), Cina, Belanda, Inggris, dan Portugis. Sebagian di antara pedagang tersebut tinggal menetap selama mereka berdagang atau menunggu musim yang baik untuk kembali ke tempat asal, sedang sebagian lagi menetap dan bermukim untuk jangka lama. Lama kelamaan muncullah perkampungan-perkampungan dan loji-loji tempat penimbunan barang dagangan, seperti kampung Cina…”52

52Haris, Tawalinudin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII). Jakarta:Wedatama Widya Sastra. Hlm. 142 - 143

Page 34: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Dibanding etnis-etnis lain, pertambahan penduduk etnis Cina sangat signifikan

kecuali saat terjadinya pembantaian terhadap orang-orang Cina pada tahun 1740. Korban

orang Cina akibat pembantaian diperkirakan antara lima sampai sepuluh ribu orang Cina.

Populasi Cina, kemudian, setelah peristiwa tahun 1740, hingga tahun 1780 bertambah

tiga kali lipat dan menyebar di berbagai wilayah di Jakarta. Pada tahun 1779, beberapa tahun

menjelang dibangunnya Masjid Kebon Jeruk, populasi Cina mencapai 28.801 orang.53

Secara kultural, Cina dapat dibagi menjadi dua kelompok: Singkeh, orang Cina yang

lahir di Cina, dan kelompok kedua peranakan Tionghoa, orang Cina yang lahir di Indonesia

(perantauan).54 Pendiri Masjid kebon Jeruk adalah Singkeh jika berangkat dari dua kategori

ini, sebab ia lahir di Cina yang merantau ke Jakarta. Dalam bahasa Indonesia Singkeh disebut

‘totok’ orang Cina yang lahir di Cina serta masih mempertahankan budaya aslinya, sekalipun

mereka sudah bergaul dengan berbagai etnis lainya di Jakarta.55

Orang Cina Singkeh datang ke Pulau Jawa secara bergelombang mulai sebelum abad

ke- 17. Pendiri Masjid Kebon Jeruk saja datang awal abad kedelapan belas bersama

rombongan orang Cina muslim yang berasal dari Sin Kiang. Di negerinya mereka ditindas

dan diisolasi oleh orang-orang Cina lainnya yang non-muslim di masa Dinasti Chi’ing (1664

– 1912).56 Kemungkinan, rombongan Cina muslim ini masuk Jakarta setelah peristiwa tahun

1740, artinya setelah peristiwa ini orang Cina yang datang ke Jakarta semakin bertambah. 53Haris, Tawalinudin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial

(Abad XVI – XVIII)… Hlm. 167. Dalam buku ini Tawal tidak membuat table komposisi penduduk berdasarkan agama, padahal saat ini penduduk Jakarta sudah mencakup orang-orang penganut agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, dan lain-lain. Konflik-konflik yang berkaitan dengan SARA pun sudah terjadi di masa ini. Lihatlah peristiwa tahun 1740.

54Skinner, G. William. 1963. The Chinese Minority in Indonesia. New Heaven:Yale University.Hlm. 102. Orang Cina perantauan lahir dari hasil asimilasi perkawinan antara orang Cina dengan non-Cina atau orang Cina yang lahir di negeri yang jauh dari Tiongkok. Orang Cina yang di perantauan.

55Muhammad Ali menggunakan istilah “diaspora” bagi Cina totok ini. Lihat Ali, Muhammad. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Rxplorations. Vol. 7. Nomor 2. Hlm. 2. Istilah diaspora sering dikaitkan dengan orang-orang Yahudi yang diusir dari Palestina sejak Nebuchadnesar menguasai Palestian. Jadi agak beda dengan Muslim Cina yang merantau ke Indonesia bukan karena diusir, tapi karena mendapat tekanan dari kaiasr Cina.

56Winoto, Soeryo. “The Old Mosque Was Built By Chinese Convert”. The Jakarta Post. Saturday, 22 Juni 1985.

Page 35: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Orang-orang Cina yang datang ke Jakarta, disamping sebagai pedagang adalah

orang-orang pekerja keras dan ulet dalam bidang pertukangan/perkayuan, pertanian, dan

sebagainya. Karenanya dari segi ekonomi, apakah oleh karena konsesi yang diberikan oleh

kompeni atau sebab usaha yang tekun, mereka berada di posisi teratas dan terkaya di antara

orang Timur Asing.57

Para Singkeh pada abad ke- 17 dan 18 merupakan pedagang kaya di Jakarta. Mereka

sering ‘mudik’ ke kampung halaman dengan membawa uang yang banyak. Mereka tetap

memelihara adat-istiadat mereka di Jakarta seperti; bahasa Cina. Sebagian mereka

mempunyai isteri orang Cina.58

Pendiri masjid Kebon Jeruk yang datang dari Cina sesudah tahun 1700-an, tepatnya

pada tahun 1718, beristerikan orang Cina yang nama Islamnya adalah Fatimah. Ia datang ke

pulau Jawa bersama kelompok orang-orang Cina dari daerah Sin Kiang sebab mendapat

penindasan dari penguasa Cina yang berkuasa pada waktu itu yakni Dinasti Chi’ng (1664 –

1912). Bersamaan dengan itu Gubernur Jenderal Belanda di Batavia Speelman sejak 1682

menarik orang-orang Cina masuk ke Batavia (Jakarta) untk dipekerjakan dan berdagangatau

sebagai broker perdagangan.59 Iapun menjadi pemimpin komunitas Cina di Jakarta, Tamien

Dossol diangkat menjadi Kapiten Cina dari tahun 1780 sampai 1790, selain sebagai seorang

ulama.

Sampai tahun 1740 orang Cina tinggal di dalam tembok kota Jakarta (Batavia) namun

sejak tahun 1741 mereka harus tinggal di luar kota di kampung Cina yang didirikan di luar

pagar kota yang kini disebut Glodok.60 Sebelum matahari terbenam mereka harus masuk di

57Haris, Tawalinudin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII)… Hlm. 164

58Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. (Ph.D. Thesis), University of California.Hlm. 197.

59Tjandrasasmita, Uka. 1995. Sejarah Jakarta Dari Zaman Prasejarah Sampai Batavia Tahun 1750. Jakarta:Dinas Museum dan Sejarah. Hlm. 107

Page 36: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

kampung halaman mereka di Glodok. Sekitar tahun 1780, peranakan Cina Islam tinggal di

luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk.

2. Pembangunan Masjid

a. Pendapat dan Cerita Pembangunan

Sangat sulit untuk melacak dan menelusuri bagaimana proses pembangunan sebuah

masjid yang didirikan pada abad kedelapan belas dan sebelumnya di Jakarta. Mulai dari

kepemilikan tanah, luas tanah wakaf milik masjid, pemborong (tukang), asal material

bangunan, harga material, sampai berdirinya, dan sebagainya, bahkan sebagian masjid kuno

tidak diketahui tahun berapa pastinya mulai dibangun dan siapa penggagas awal

pembangunannya.61

Yang sangat mungkin diketahui adalah kepemilikan tanah, karena pemerintah

kolonial pada abad kedelapan belas sudah memiliki catatan-catatan., khususnya tanah-tanah

di pusat pemerintahan Batavia waktu itu dan sekitarnya. Maka jika dikatakan bahwa pemilik

tanah pertapakan masjid Kebon Jeruk adalah Tuan Tschoa, mungkin sangat benar.

Sebagaimana disebutkan oleh Heuken. “Mesjid 62 Kebon Jeruk didirikan pada tahun 1786

pada sebidang tanah milik Tuan Tshoa yang juga disebut Kapiten Tamien Dossol Seng. Ia

mengepalai kaum Muslim Tionghoa antara tahun 1780 dan 1797.”63 1) Pendapat ini didukung

juga oleh Uka Tjandrasasmita64dan Emot Rahmat yang menyatakan bahwa, awalnya tanah

pertapakan Masjid Kebon Jeruk merupakan tanah milik kapiten Keturunan Cina yang telah

60Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. Hlm. 209

61Masjid adalah milik umat Islam , karena ia dibangun secara bersama-sama oleh umat Islam, khususnya, umat Islam di sekitar masjid dibangun. Oleh karena itu, masjid Kebon Jeruk bukan milik Tuan Dossol, kalaupun valid riwayatnya hanya tanah yang menjadi miliknya sebelum diwakafkan.

62Saat ini kata yang benar adalah masjid dan umum digunakan sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia

edisi terbarunya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Hlm. 719

63SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 71 64. Uka Tjandrasasmita menyebut pendiri masjid ini Tamien Dosol Seeng. Arkeologi Islam Nusantara.

Jakarta: KPG. 2009. Hlm. 156

Page 37: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

masuk Islam, yaitu Tuan Tamien Dossol. Pada tahun 1786 M.. ia dirikan di atasnya Masjid Kebon Jeruk.65

Sekalipun demikian masih ada nama lain selain ini, yaitu Chau Tsien Hwu.66 Apakah dua

nama ini orangnya satu atau dua masih tidak jelas.

2) Pendapat lain menyebutkan bahwa pendiri masjid Kebon Jeruk adalah orang asli

Betawi67 yang bermula dari sebuah surau kecil beratap nipah yang disanggah oleh empat

buah tiang dan delapan soko dengan empat pintu berukuran kira-kira 144 M2. Sedang Tuan

Tamien Dossol hanya sebagai pembeli tanah pertapakan surau dan merenovasi bangunan yang

sudah ada. Akan tetapi pendapat kedua ini tak didukung oleh data-data yang kuat.

3) Menurut Nur Iman (70) salah seorang pengurus masjid, pendapat lain dari sejarah

pembangunan masjid yang saat ini telah berusia kurang lebih 224 tahun itu adalah, masjid

tersebut dibangun oleh seorang panglima perang Cina yang beragama Islam yang ketika itu

tengah singgah di Kebon Jeruk dari perjalanannya. Saat itu sang panglima dan pasukannya

yang beragama Islam hendak menunaikan shalat, akhirnya, sang panglima memerintahkan

kepada para prajuritnya untuk mendirikan masjid Kebun Jeruk tersebut."Nama panglimanya

saya lupa. Banyak versi deh pokoknya," ucapnya.68

4) Cerita dalam situs web resmi dinas pariwisata yang dilansir situs web Indonesia

travel berbeda pula dengan pendapat di atas. Di situs tersebut dinyatakan sebagai berikut,:

“Di Jalan Hayam Wuruk, terdapat Masjid Bandengan yang didirikan pada tahun 1786 dan merupakan masjid pertama didirikan bagi oleh para Cina peranakan di daerah

65Emot Rahmat Taendiftia dkk. Gado-gado Betawi: Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya.Jakarta:Grasindo. Hlm. 5

66Tentang ini dikutip dari beberapa situs internet, di antaranya: www.eramuslim.com; www.esnips.com dll

67 Budaya Betawi mulai tumbuh pada abad ke- 17. sejak pudarnya suku-suku di Jakarta. Banyak orang Bali masuk Islam sehingga terjadi interaksi antar suku. Orang Bugis, Bali, dan Ambon yang tinggal di Jakarta berinteraksi satu sama lain yang akhirnya melahirka suku Betawi. Banyak faktor mengapa penduduk kepulauan nsantara di Jakarta menyatu dan melahirkan suku betawi, misalnya agama Islam. Adanya rasa senasip sepenanggungan menghadapi kompeni yang dengan sengaja memelaratkan rakyat, melakukan diskriminasi, kondisi social-ekonomi yang memarah. Lihat Ambary, Hasan Muarif dan Parlindungan Siregar. 2005. “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Hlm. 52

68http://nasional.kompas.com , 4 Oktober 2010.

Page 38: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Glodok. Masjidnya dibangun di atas tanah milik Kapten Cina yang telah masuk Islam. Dibagian belakang masjid terdapat sebuah makam Islam yang pada batu nisannya terdapat tulisan Cina yaitu Fatimah Hwu serta angka Arab yang menyebutkan tahun 1792 serta terdapat pula ornamenornamen seperti kepala naga. Fatimah Hwu adalah istri Kapten Tamiem Dosol.”

Sebelum masjid Kebon Jeruk didirikan sudah ada masjid kecil yang dibangun pada abad ke-

15 di atas tanah milik Tuan Dossol ini, sebagai ditulis dalam situs ini,:

“Masjid Jami Kebon Jeruk terletak di pinggir Jalan Hayam Wuruk. Menurut sejarahnya didirikan pada tahun 1718. Jauh sebelumnya, …, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid kecil, yang lebih tepat disebut surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui. Pada tahun 1718, datanglah seorang Cina bernama Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu ke daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Rupanya mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha. Oleh karena itu mereka tidak berniat lagi untuk kembali ke negri leluhurnya, mereka bermukim di sini. Lalu Mendirikan mesjid di lokasi bekas mesjid mungil tersebut tadi. Itulah Mesjid Kebun Jeruk yang sekarang.”69

5) Cerita Dudy (86 tahun), mantan penjaga masjid Jami Kebon Jeruk yang kini sudah

pensiun berbeda dengan pendapat-pendapat di atas. Dia menyatakan bahwa Masjid ini

didirikan atas niat Fatimah Hwu yang juga seorang muslimah. Saat tinggal di kawasan

Glodok, keluarganya berdagang, sambil ikut mensiarkan agama Islam di kalangan orang-

orang Tionghoa yang tinggal di kawasan Glodok. Namun, saat mau salat bingung. Tidak ada

masjid di kawasan itu. Lantas dia bangun masjid di situ dengan terlebih dulu meminta pada

suaminya untuk memakaikan sebagian tanahnya di Glodok yang kini jadi Jalan Hayam

Wuruk untuk membangun masjid.70

Dari pendapat dan cerita di atas setidaknya dapat disebutkan bahwa pendiri masjid

yang kini disebut sebagai Masjid Kebon Jeruk adalah keluarga Kapiten Tamien Dossol yang

beristerikan Fatimah Hwu yang makamnya terletak di bagian timur masjid, sementara

suaminya meninggal dan dimakamkan di Cirebon.

b. Benda Cagar Budaya (BCB)

69http://www.indonesia.travel/arsip_id , 5 Oktober 2010 70http://bataviase.co.id , download 5 Oktober 2010

Page 39: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah melalui SK Gubernur No

Cb11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972 menetapkan Masjid Jami’ Kebon Jeruk di Jl Hayam

Wuruk, Jakarta Barat, ditetapkan sebagai monumen sejarah (lihat gambar papan

pengumuman di bawah ini). Dengan demikian, tidak diperbolahkan membangun, merenovasi,

dan memindahkan masjid kecuali seizin gubernur DKI. Bangunan-bangunan yang ada

dipertahankan bentuk dan gayanya untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah yang terkandng

di dalamnya.

BAB III

ANALISIS MASJID KEBON JERUK

Untuk mengetahui Masjid Kebon Jeruk, maka langkah yang harus dilakukan adalah

dengan pendeskripsian. Pendeskripsian dimulai dengan menguraikan bangunan masjid dan

materi-materi yang melekat di dalamnya, mulai dari bangunan induk, komponen bangunan,

ragam hias, dan makam.71

71 ?Masjid Kebon Jeruk yang asli sudah tidak ada, karena ia telah mengalami empat kali pemugaran. 1.Tahun 1950 masjid diperluas pada semua sisinya. Sisi barat diperluas sampai batas pagar Jalan Hayam Wuruk. 2.Pada tahun 1974 masjid dipugar kembali dengan dana bantuan Gubemur DKI Jakarta dengan kegiatanmemperbaiki bagian yang rusak. 3.Untuk yang ke tiga kali masjid dipugar oleh Dinas Museum dan

Page 40: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Bangunan induk Masjid Kebon Jeruk meliputi tata letak, Ruang utama, serambi,

tempat bersuci, atap, menara, dan bedug.Komponen bangunan meliputi pintu, jendela, tiang-

tiang. Ragam hias dan makam Fatimah Hwu juga harus dideskripsikan.

A. Tata Letak

Kecenderungan masyarakat Muslim Jakarta hingga abad kedelapanbelas membangun

masjid dekat sungai sangat kuat. Masjid Tambora dan masjid Kampung Bandan terletak di

pinggiran aliran sungai Ciliwung, majid Angke berada di pinggir kali Angke, masjid

Marunda di pinggir kali Krukut, masjid Kebon Jeruk persis di pinggir Kali Ciliwung (lihat

peta Kali Ciliwung persis berada di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada di

bagian timurnya adalah masjid ), dan sebagainya. Demikian juga pemukiman penduduk

Jakarta sangat dekat dengan aliran sungai. Artinya masjid dan pemukiman penduduk

didekatkan ke sungai untuk mempermudah mandapatkan air bagi kehidupan mereka.

Masjid Kebon Jeruk menghadap ke arah kiblat (barat) yang saat ini bangunannya

dikelilingi pagar tembok pemukiman penduduk disisi utara dan timurnya. Disisi barat dan

selatan terdapat pagar besi yang panjangnya lebih 30 M2.

Seiring dengan perkembangan zaman, setelah dua abad lebih, sisi-sisi bangunan

Masjid Kebon Jeruk sudah dipadati pemukiman dan pertokoan modern.

B. Pondasi/Ruang utama

Sejarah DKI Jakarta pada tahun 1983/1984-1985/1986. 4.Pada tahun 1998 Masjid Kebon Jeruk dipugar kembali untuk yang keempat kali oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Hingga saat ini terus dilakukan perbaikan-perbaikan disana-sini. Sekalipun demikian bentuknya yang asli masih dipertahankan. http://www.fatawisata.com/wisata-sejarah/masjid/579-masjid-kebon-jeruk, 18 Okt. 2010, jam 07.39

Sebagian dari Ruang Utama Masjid

Page 41: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Pada awalnya bangunan masjid Kebon Jeruk berukuran 10 X 10 M.2 yang saat ini

menjadi ruang utama masjid (lihat gambar), sedangkan saat ini bentuk masjid trapesium

dengan ukuran 38,25 X 36,8 X 20,75 X 10,5 X 3 M. Pondasi berada 1 M. dari permukaan

tanah ke bawah.

C. Mihrab dan Mimbar

Pada setiap masjid mihrab dan mimbar tidak bisa dipisahkan. Mihrab untuk tempat

imam memimpin shalat jamaah, sedang mihrab yang di sebelah kiri atau kanannya tempat

menyampaikan khutbah. Mihrab Masjid Kebon Jeruk merupakan mihrab baru berukuran 2 ×

1,5 m yang menyatu dengan dinding tembok, mihrab lama telah dibongkar untuk perluasan

masjid di bagian barat . Sedang mimbar telah dipindah ke Museum Fatahilah untuk

memelihara keutuhan dan kekuatannya dan untuk dipamerkan di museum sebagai benda

purbakala.

Mimbar Kuno Masjid Kebon Jeruk

Page 42: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

D. Serambi

Masjid Kebon Jeruk dilengkapi dengan serambi di bagian selatan masjid yang

berdapan langsung dengan jalan Kebon Jeruk. Serambi memiliki lima tiang penyangga.

Serambi sisi utara yang asli sudah dijadikan bagian dari masjid. Serambi sebelah timur

berhadapan langsung dengan ruang terbuka masjid.

E. Tempat Berwudlu’

Di sebelah timur laut masjid terdapat tempat berwudhu yang terbuat dari batu bata. Di

tempat berwudhu’ disediakan tempat duduk untuk berwudhu.

F. Atap

Gambar di bawah ini merupakan bagian atap Masjid Kebon Jeruk yang berbentuk

limasan dari genteng seperti menara. Atap limasan yang masih ada saat ini pada (gambar 4)

adalah yang tertua yang terpasang saat ini. Masjid lama sebelum renovasi memperlihatkan

bahwa atap masjid bertumpang dua (gambar 2). Atap bertumpang dua masih dipertahankan

Sisi selatan masjid terdapat serambi

Page 43: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

keberadaannya hingga saat ini yaitu pada atap sebelah timur Masjid (gambar 4). Puncak atap

lama berbentuk persegi empat yang keberadaannya seperti di atas lantai dua (lihat gambar 5).

Teralis kayu di bawah atap paling atas seperti gambar 3 diganti dengan kaca (lihat gambar 5).

Pada gambar 5 dan 6 terdapat beberapa jenis komponen utama konstruksi atap yang

menopang atap di atasnya, yaitu: 1) Balok Jurai Limasan, 2) Bantalan/balok pangkal kasau,

3) Bantalan ujung kasau, 4) Bantalan tengah kasau yang dilengkapi dengan tiang penopang

gantung, yaitu tiang penopang yang tidak langsung meneruskan berat beban yang

diperolehnya ke tanah/bumi, tetapi beban tersebut diteruskan ke tanah/bumi melalui bidang

atau titik penopangnya dalam hal ini tiang utama masjid. 5) Balok loteng dan balok bangsal

yang berfungsi melekatkan langit-langit atap agar dapat menutupi bagian dalam system

konstruksi yang kurang bagus dilihat dan menahan serapan panas yang dipancarkan matahari

terhadap genting tidak sampai ke ruang utama, sehingga suhu di dalam ruangan utama tetap

stabil.

Sistem konstruksi atap kedua tidak jauh berbeda dengan tingkat pertama.

Perbedaannya hanya pada bentuk puncak atap, sehingga ada beberapa unsure komponan pada

konstruksi atap kedua yang tidak ada pada atap pertama yaitu pertemuan ujung kasau yang

merupakan pembentuk puncak atap, Keberadaan pertemuan ujung kasau ini mempengaruhi

bentuk limas an atap. Jika semua ujung kasau tidak disatukan pada satu titik pertemuan, maka

atap tidak membentuk limas an uth lagi, tetapi bentuknya menjadi seperti limas an yang

terpenggal pada bagian puncaknya. Pada konstruksi atap kedua ini juga dilengkapi dengan

penyangga.

Atap masjid yang kedua berbentuk limasan segi delapan, dengan konstruksi atap yang

tidak jauh berbeda dengan konstruksi atap limasan tumpang dua, bedanya hanya pada bentuk

balok jurai octagonal yang ditopang oleh delapan tiang yang juga berbentuk segi delapan.

Page 44: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Gambar Atap Masjid Kebon Jeruk

Gambar 1 Gambar 2

Gamab 3 Gambar 4

Gambar 5 Gambar 6

Page 45: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

G. Mustaka

Pada umumnya di puncak atas atap atau kubah masjid diletakkan benda hias untuk

mempecantik atap. Di puncak atap Masjid Kebon Jeruk terdapat ragam hias mustaka yang

berbentuk lekuk-lekuk ke dalam yang sering dijumpai pada arsitektur bangunan Cina (liha

gambar di bawah ini). Bangunan semacam ini sering dijumpai pada bangunan-bangunan

masji di Cina bahkan bangunan-bangunan masjid di pulau jawa abad kelima belas dan

keenam belas.72 Di dindingnya terdapat lukisan berupa gambar bulan dan bintang yang

bintang berada dalam lingkaran bulan sabit. Sementara sebatang besi yang terdapat di paling

puncak mustaka adalah penangkal petir yang dipasang pada tahun 1938.73

H. Menara

72Handinoto dan Samuel Hartono.2007. “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad ke- 15 – 16.” Dimensi Teknik Aristektur. Vol. 38 No. 1, Juli 2007. Hlm. 23 – 24.

73Fijper, G.F. 1992. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin. Jakarta:UI-Press. Hlm. 24

Bentuk Mustaka Masjid Kebon Jeruk

Page 46: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Menara masjid ada satu buah (Gambar 1 foto tahun 1920) yang juga berfungsi

sebagai tempat azan. Menara ini berada di sisi selatan belakang berpotongan dengan sisi

kanan. Menara terbuat dari semen dengan bentuk bulat dan hiasan seperti pada dinding

masjid. Saat ini menara tesebut sudah dihilangkan dan diganti dengan atap. Jadi atap mesjid

saat ini menjadi dua buah yang berfungsi sebagai menara (gambar 2).

I. Bedug

Bedug Masjid Kebon Jeruk masih dapat disaksikan di Museum Sejarah Jakarta.

Bedug terbuat dari batang pohon kelapa yang dalamnya kosong yang panjangnya 150 Cm.

kulit bedug sudah tidak ada.

J. Pintu

Masjid Kebon Jeruk memiliki beberapa buah pintu. Pada dinding sebelah timur

terdapat tiga pintu dengan dua pintu bentuk atasnya lengkung setengah lingkaran dan pintu

dengan persegi panjang terdapat ditengahnya dengan kusen yang dicat berwarna hijau serta di

atas pintu bagian tengah ini terdapat lubang angin yang dihiasi pohon hayat kelopak bunga

yang tumbuh dari lengkungan di pintu pengapit (kiri-kanan). Pada dinding bagian utara dan

selatan terdapat masing tiga pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran yang ditengahnya

Gambar 1 Gambar 2

Page 47: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

terdapat pintu persegi panjang yang di atasnya terdapat lubang angin berbentuk ketupat. Di

sisi barat ruang utama terdapat dua buah pintu.

Daun pintu masjid sudah tidak ada, yang tampak (gambar 1 dan 2) adalah kusen pintu

yang terbuat dari kayu berwarna hijau tua dan terdapat bekas kaitan engsel pintu yang

menunjukkan bahwa pintu mempunyai daun pintu yang sama ukurannya.74

K. Jendela

Jendela yan asli berada di tingkat kedua dengan bentuk kusen bangun empat persegi

panjang polos yang dilengkapi dengan jeruji-jeruji kayu yang terpasang dengan posisi

vertikal. Jeruji berbentuk selinder yang dihiasi dengan bentukan yang menggembung dan

mengempis secara beraturan. Setiap satu kusen tersebut terdapat 12 jeruji. Dalam satu sisi

terdapat dua kusen. Jadi dalam satu sisi terdapat 24 jeruji. Untuk ventilasi udara terbentuk

dari susunan papan dengan posisi horizontal yang terbagi dua sama besar di sisi kiri dan

kanan di setiap kusennya. (lihata gambar di bawah ini)

74SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm. 74

Pintu Masjid Kebon Jeruk

Gambar 1 Gambar 2

Page 48: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Jendela masjid saat ini berada di sebelah selatan dengan terdapat empat buah dan di

sebelah utara depan dua buah dengan bahan kusen kayu yang dicat hijau dan kuning dengan

bentuk silang geometris yang dibagi menjadi empat buah dengan kaca Kristal. Adapun

jendela masjid sebelumnya hanya berbentuk polos.

L. Tiang

Konstruksi tiang-tiang Masjid Kebon Jeruk berdiri di atas susunan pelipit miring

yang di atasnya terdapat bidang kosong empat persegi panjang (gambar 1 dan gambar 2). Di

atas bidang kosong yang berbentuk empat persegi panjang adalah badan tiang. Pada badan

tiang terdapat galur-galur yang berjumalah enam buah (gambar 3). Galur-galur yang

berjumlah enam buah ini terdapat di semua tiang masjid utama yang jumlah tiangnya

sebanyak sepuluh buah, empat tiang utama yang terleyak di sudut-sudut siku-siku masjid dan

enam buah tiang di dinding utara, timur, dan barat.75 Semua tiang masjid menyatu dengan

dinding, seakan-akan tiang semu. Bagian atas tiang terdiri dari pelipit kumuda, rata,

penyangga, dan miring.

75Perhitungan Heuken jumlah tiang ruang utama yang menyatu dengan tembok sebelas buah. SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm. 73

Bagian bawah dan atas tiang Masjid Kebon Jeruk

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3

Page 49: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

M. Ragam Hias

Pendiri dan pengurus Masjid Kebon Jeruk membuat dan meletakkan ragam hias di

dalam masjid, seakan keberadaannya sangat diperlukan. Gambar ragam hias di bawah ini

diletakkan di atas pintu bagian utara dan pintu sebelah timur Masjid Kebon Jeruk. Di atas

pintu sebelah utara dan selatan (gambar 1) terdapat hiasan pintu berbentuk segi empat belah

ketupat berwarna kuning keemasan yang diapit dua kusen pintu yang posisinya di antara dua

tiang utama masjid. Sedang di atas pintu sebelah timur (gambar 2) merupakan hiasan flora

berupa ukiran sulur-suluran,buah, kelopak bunga yang tumbuh dari lengkungan sempurna

dan lain-lain yang keluar dari pas bunga yang diletakkan di atas sebuah bejana semuanya

berwarna kuning keemasan serta diapit oleh dua kusen pintu yang posisinya berada di antara

dua ting utama masjid.

Pintu masuk ruangan utama masjid terdapat juga di dinding utara dan selatan

berbentuk lengkung setengah lingkaran serta lubang angin di bagian tengah berbentuk belah

ketupat.

Ragam hias lainnya dapat dilihat di batu nisan makam Fatimah Hwu.Batu nisan ini

menyerupai kepala naga (lihat gambar 5, 6, dan 7). Motof hias di jirat makam Fatimah Hwu,

isteri Kapiten Tamien Dossol (Tuan Tschoa) sisi Timur dan sisi Selatan berupa sulur-sulur,

gambar burung, dan seekor rusa berasal dari masa dinasitiMing dan Qing.

Ragam hias di atas pintu Masjid Kebon JerukGambar sebelah kiri di atas pintu sebelah utara dan gambar

kanan di atas pintu sebelah timur

Gambar 1 Gambar 2

Page 50: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Ragam Hias Makam Fatimah Hwu sisi Timur dan sisi Selatan (Kaki)

Gambar 1 Gambar 2

Ragam Hias Makam Fatimah Hwu dilihat sisi Barat

Gambar 3

Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi Selatan (kaki)

Gambar 4

Page 51: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi utara (kepala)

Gambar 5

Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi utara (kepala)

Gambar 6

Ragam Hias Mustaka Masjid Kebon Jeruk

Gambar 8

Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi selatan (kaki)Bagian dalam

Gambar 7

Page 52: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

N. Makam

Di komplek Masjid Kebon Jeruk dibagian timurnya terdapat dua buah makam kuno.

Satu di antaranya adalah makam Fatimah Hwu, isteri Kapiten Tamien Dossol (Tuan

Tschoa).76 Nama Fatimah tertera di sisi batu nisan, sedang tanggal wafatnya tertera di jirat

sisi barat dan jirat sisi timur. Tahun wafat Fatimah di jirat sebelah barat beraksara Arab dan

bertahun hijrah, 1027 H., sementara di jirat timur menunjukkan tahun 1792 M. beraksara latin

tahun wafatnya Fatimah Hwu.

Di atas makam Fatimah terdapat dua buah batu nisan di sisi utara dan selatannya.

Tulisan Cina berwarna kuning keemasan yang melakat di batu nisan berbunyi “Fatimah

Hwu” dan “Hsienpi Chai Men Tsu Mow” (artinya inilah makam Cina dari keluarga Chai).77

76Makam tuan Dossol terdapat di Cirebon

77Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Makam Fatimah Hwu dilihat dari sudut selatan

Page 53: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

BAB IV

MMASJID KEBON JERUK SEBAGAI POTRET

AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT MUSLIM JAKARTA

A. Pengertian Akulturasi

Akulturasi berasal dari kata Inggeris acculturation; bahasa Italianya adalah

acculturazione; sedang bahasa Jerman Akkulturation. Akar katanya culture (bahasaInggeris).

Kata akulturasi menunjukkan adanya suatu prose transformasi dan adaptasi budaya suatu

kelompok masyarakat yang memiliki budaya sendiri dengan budaya masyarakat lain yang

juga memiliki budaya tersendiri pula. Keduanya menjalin hubungan untuk melahirkan

Jirat Sisi Barat

Jirat sisi Timur

Page 54: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

budaya yang baru. Para ahli antropologi; R. Linton, M.J. Herskovits dan R. Redfield,

menyimpulkan bahwa akulturasi mencakup semua fenomena interaksi antar individu dengan

kelompok atau kelompok dengan kelompok lain yang sifatnya berkesinambungan. Budaya

yang dimiliki individu atau kelompok tadi masih asli dari tangan pertama, sehingga

bertransformasi lebih jauh yang kemudian melahirkan model budaya yang asli dan baru.78

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa akulurasi adalah percampuran dua

kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Disebutkan juga

bahwa dalam definisi antropologi akulturasi berarti proses masuknya pengaruh kebudayaan

asing di suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur

kebudayaan asing itu, dan sebagian menolak pengaruh itu.79

Pendapat lain menyatakan bahwa akulturasi bukan saja berkaitan dengan adaftasi dan

transformasi, tapi juga dengan konflik antar budaya yang berbeda-beda.

B. Corak Akulturasi Masjid Kebon Jeruk

Jika disebutkan bahwa bangunan masjid kuno di Jakarta sangat diwarnai corak

arsitektur Cina, maka satu di antaranya adalah Masjid Kebon Jeruk. Sekalipun demikian,

unsur-unsur kebudayaan lain dapat ditemukan di Masjid Kebon Jeruk ini sebagai wujud

akulturasi masyarakat muslim di Jakarta, di antaranya unsur budaya Arab, budaya Eropa, dan

budaya Jawa.

1. Akulturasi Atap

Unsur seni arsitektur Cina yang melekat sejak awal hingga saat ini di bangunan

Masjid Kebon Jeruk adalah atap. Bentuk atap Masjid Kebon Jeruk bertumpang dua.80 Pada

78Bolaffi, Guido dkk.(Ed.). 2003. Dictionary of Race, Ethnicity & Culture.London, Thousand Oaks, New Delhi:SAGE Publications. Hlm. 20 79 ?Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka. Hlm. 24

80Masjid Krukut dan Masjid Tambora yang dua-duanya dibangun oleh orang Cina Muslim di abad ke- 18 beratap tumpang dua, demikian juga masjid-masjid lain yang dibangun oleh bukan orang Cina di daerah

Page 55: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

dasarnya hitungan atap bertumpang adalah ganjil; satu, tiga, lima, tujuh, dan seterusnya.

Jika demikian, maka sekalipun Masjid Kebon Jeruk beratap tumpang dua ia dihitung satu.

Masjid-masjid kuno yang atapnya bertumpang tiga dan lima sangat mungkin ia

diadopsi dari bentuk atap bertumpang pura. Suparjo menyebutkan,:

“… Dalam tradisi Hindu yang sarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannyaPura beratap susun sebelas adalah pura yang dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan) dan hanya boleh digunakan untuk beribadah bagi raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja dan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang dibangun oleh rakyat biasa digunakan sebagai tempat beribadah. Pada model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan tetapi ia dipergunakan untuk ibadah rakyat jelata.”81

Jika demikian, pertanyaan besar yang sulit untuk menjawabnya adalah mengapa atap

Masjid Kebon Jeruk bertumpang dua. Padahal, bangunan-bangunan rumah ibadah di Jawa

dan Bali sebagai hasil peninggalan budaya tradisional Indonesia atap bertumpang ganjil.

Bahkan pagoda-pagoda di Tiongkok, kampung halaman asal pendiri Masjid Kebon Jeruk atap

bertumpangnya jumlahnya ganjil. Masjid-masjid kuno di Jawa jumlah atap bertumpangnya

dalam hitungan ganjil.

Jawaban atas pertanyaan di atas masih bersifat kemungkinan, sebab tidak ada catatan

dari pendiri masjid yang ditemukan mengapa ia membangun atap Masjid Kebon Jeruk

bertumpang dua. Kemungkinan pertama adalah ia masih terpengaruh pada falsafat Cina yang

sudah terbiasa dengan hitungan-hitungan genap yang berpasang-pasangan terutama dengan

angka 2. Maka falsafah hidup orang Cina sangat dekat dengan Yin dan Yang. Atap bersusun

dua hanya ada di Jakarta yang mengisaratkan dekatnya hubungan arsitektur masjid ini dengan

falsafah hidup Cina.

Jakarta abad ke- 18 sebagian beratap tumpang dua, misalnya Masjid Al-Anwar atau Masjid Angke, Masjid, al-Alam, Masjid Bandengan, dan Masjid al-Makmur. Heuken menyebutkan bahwa yang mengerjakan bangunan masjid-masjid ini adalah tukang-tukang etnis Cina.

81Suparjo. 2007. “Strategi Kultural Walisongo Dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia (Sebuah Persepektif Sosio-Historis).”Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 15. Nomor 2, Oktober. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Purwokerto, Hlm.204

Page 56: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Atap Masjid Kebon Jeruk menggunakan penyangga siku. Penggunaan penyangga siku

di bagian atap merupakan warisan budaya dan ciri bangunan Cina. Bangunan kelenteng atau

rumah yang berarsitektur Cina pada umumnya menggunakan penyangga siku di atapnya.

Sedangkan atap Masjid Kebon Jeruk berbentuk limasan yang berasal dari budaya

Jawa. Masjid Demak dan Masjid Agung Banten yang lebih dulu dibangun atapnya berbentuk

limasan. Dengan demikian bantuk atap Masjid Kebon Jeruk diadopsi dari bentuk atap masjid

di Jawa

2. Akulturasi Pewarnaan

Unsur warna yang digunakan di Masjid Kebon Jeruk adalah hijau dan kuning. Bagi

orang Cina warna kuning mengandung arti bahwa mereka akan diberikan kekuatan oleh

Tuhan nenek moyangnya orang Cina atau yang diyakini sebagai dewa Kaisar pertama orang

Cina. Huang Ti adalah kaisar pertama dii Cina yang mula-mula memerintah. Ia diyakini

pembawa kesejahteraan bagi rakyat, penguasa yang bijaksana dan masih dipuja hingga saat

ini. Di makam Fatimah Hwu terdapat tulasan yang berwarna kekuningan emas, demikian pula

ragam hias di atas pintu masuk. Dinding masjid berwarna hijau yang mengartikan bahwa ala

mini diliputi hutan yang hijau yang sangat bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup di

dunia ini.

3. Akulturasi Pembuatan Mustaka

Mustaka di puncak atap Masjid Kebon Jeruk, menurut Uka Tjanrasasmita terbuat dari

keramik dan kuningan yang bersusun tiga yang semakin keatas semakin kecil. Di atasnya

terdapat besi yang memanjang sebagai penangkal petir yang bukan bagian dari aslinya.

Hiasan pada masing-masing tingkatan berupa lekukan-lekukan ke dalam yang sangat mirip

dengan bangunan-bangunan atap rumah di Kota Kudus dan di negeri Tiongkok. Lekukan ini

terbentuk dari jurai luar yang terbagi empat, delapan atau bilangan genap lainnya.

Page 57: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Mustaka di puncak atap Masjid Kebon Jeruk memiliki hiasan bulan sabit yang

ditengahnya terdapat bintang. Lambang bulan bintang adalah lambang Islam yang berasal

dari budaya Arab.

4. Akulturasi Pemakaman

Istilah makam berasal dari kata Arab “maqam” yang berarti tempat berdiri dalam

bahasa Indonesia diartikan tempat bersemayam atau tempat bersemayam orang meninggal.

Pemakaman dalam Islam memiliki aturannya sendiri terutama yang berkaitan dengan posisi

makam, bagian kepala dan kaki, serta bahkan bentuk pemakaman.

Sekalipun sebagian ulama menetapkan bentuk pemakaman dan makam yang sejalan

dengan sunnah Rasul, tapi sebagian besar umat Islam mengekspressikan kreasi-kreasi seninya

di pemakaman. Tak sedikit kreasi-kreasi seni tersebut berangkat dari budaya pra Islam dan

budaya lokal (local geneune). Kreasi-kreasi seni estetika, baik lewat ukiran, pahatan, atau

lukisan itu melekat mulai dari bagian-bagian kijing/jirat, batu nisan/maesan, cungkup, gapura

dan tembok keliling.

Lokasi makam pun sangat beragam dan dikaitkan dengan status sosial seseorang, ada

1) makam di daerah-daerah di atas bukit, 2) di tanah datar, 3) di dalam suatu komplek

pemakaman yang khusus 4) didalam lingkungan masjid.82 Makam-makam yang dianggap

keramat umumnya ditempatkan di suatu komplek pemakaman khusus agar mudah dipelihara,

dan dijaga dengan ketat dan diziarahi, seperti komplek pemakaman Sunan Kalijga di Demak,

komplek pemakaman Sudan Kudus di Kudus, komplek pemakaman Sultan Maulana

Hasanuddin, dan sebagainya. Para raja dan keluarganya umumnya dimakamkan di komplek

pemakaman di atas bukit, seperti pemkaman raja-raja Mataram Islam di Imogiri, Yogyakarta.

Dengan demikian, pemakaman para wali dan raja dan orang-orang terpandang dapat disebut

sebagai ekspresi seni masyarakat muslim yang mengadopsikan dan mentransformasikan

82Nasution, Isman Pratama. “Studi Arkeologi tentang Makam.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat, 3 Juni 2010. Hlm. 2

Page 58: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

budaya pra-Islam dan budaya lokal ke dalam pemakaman Islam. Makam Fatimah Hwu

masuk dalam kategori makam di dalam lingkungan masjid.

Makam Fatimah Hwu yang terdapat di bagian sebelah timur Masjid Kebon Jeruk dan

di area tanah datar mendapat pengaruh dari berbagai unsur budaya. Pertama, penempatan

makam di area tanah datar sudah merata di kalangan masyarakat Jakarta dari berbagai

golongan dan status sosial. Sebelum pemakaman Fatimah Hwu di lingkungan Masjid Kebon

Jeruk sudah terdapat pemakaman kauman di wilayah Jatinegara Jakarta Timur, yakni

komplek pemakaman raja-raja Jakarta. Kedua, menempatkan makam di sisi rumah ibadah

sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat muslim di Jakarta, ia bukan dari

budaya Hindu atau Budha serta India atau Cina. Sebagian masyarakat muslim menempatkan

makam disisi barat masjid,83 terutama makam-makam orang terpandang atau tokoh ditengah-

tengah masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan budaya dan ajaran Islam yang sangat

menganjurkan umat Islam menyembahyangkan jenazah untuk mendekatkan si jenazah ke

surga, kemudian dimakamkan tidak jauh dari masjid. Sebagian masyarakat muslim Jakarta

terutama keluarga terpandang dalam masyarakat memakamkan keluarganya di dekat masjid.

Pemakaman kuno di Jakarta dan di daerah Jawa umumnya berada di sisi masjid.

Jumlah batu nisan dua buah yang diletakkan disisi selatan dan utara merupakan tradisi

umat Islam, bukan merupakan sebuah kewajiban. Yang unik dari makam ini adalah tulisan di

batu nisannya. Tulisannya gaya li-shu (persegi) adalah tulisan resmi yang bunyinya “Fatimah

Hwu atau Cai isteri tuan Tschoa.” Nisan bergambar kepala naga juga sesuatu yang unik dari

83Makam-makam di sekitar masjid kuno di pesisir pantai utara Pulau Jawa diletakkan di bagian belakang atau samping masjid. Sebagian makam disakralkan dan dimitoskan. Misalnya di masjid Sendang Duwur di Paciran Lamongan, masjid Mantingan di Jepara, Masjid Menara Kudus di Kudus, masjid Sunan Ampel di Surabaya, masjid Agung Demak di Demak, masjid Agung Banten di Banten, dan sebagainya. Pemakaman yang yang ditempatkan di area perbukitan dan merupakan pemakaman orang terpandang dalam masyarakat dijumpai pada pemakaman Sunan Gunung Jati di Cirebon, pemakaman Sunan Muria di gunung Muria Kudus, pemakaman Sunan Giri di Diri Jawa Timur, pemakaman Sultan-sultan Mataram Islam dan Yogyakarta di Gunung Imogori Yogyakarta, dan makam Sunan Sendang di Sendang Duwur. Handinoto dan Samuel Hartono. 2007.“Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad 15 – 16.” Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 35, No.1, Juli 2007. Universitas Kristen Petra Surabaya. Hlm. 26

Page 59: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

makam ini, demikian juga ukiran burung dan pepohonan sulur-suluran serta hiasan

medallion.

Gambar kepala ular naga di batu nisan sisi utara dan selatan di bagian luar dan

dalamnya serta berkaki empat di jirat bawah pada dasarnya bukanlah tradisi asli Cina. Ular

naga memang telah dikenal di Tiongkok, ia dianggap makhluk yang mendatangkan hujan, air,

dan embun untuk kesuburan tanam-tanaman. Sedangkan di Indonesia ia sudah dibuat menjadi

dekorasi candi-candi seperti di Jawa Timur, namun yang paling banyak ia dibuat untuk

mendekorasi monument misalnya linggayoni dari Prambanan ada juga di Sumatra dan

Madura. Bahkan, naga dijadikan dekorasi di berbagai tempat oleh orang Indonesia dalam

bentuk bermacam-macam motif dan sebagiannya bermotif yang pengaruh Cina sudah sangat

kuat. Gambar naga kita temukan juga di naskah-naskah bertuliskan aksara Jawi (Arab-

Melayu.84 Jika demikian, kepala naga di batu nisan makam Fatimah Hwu sangat kuat

pengaruh Cinanya. Sementara tradisi naganya bukanlah berasal dari Cina. Berbagai tradisi di

Indonesia yang berkaitan dengan upacara keagamaan dan upacara adat-istiadat sangat erat

kaitannya dengan naga. Maka dikenal di Indonesia nama-nama naga; naga dina, naga bulan,

naga tahun, naga bumi.

Tradisi Hindu sudah mengajarkan bahwa tumbuh-tumbuhan berasal dari air liur ular.

Jika demikian, maka penghormatan terhadap ular aslinya adalah ajaran agama Hindu bukan

berasal dari Cina, mungkin saja ketika Hindu dan Budha masuk ke Cina ajaran ini mengalami

akulturasi.85 Sri Suryatmi Satari mengatakan, :

“ The Naga is one of the most popular decorative motifs in Indonesia. It is found as ornamentation on ethnological as well as archeological objects ranging from daily

84Tjandrasasmita, Uka.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia. Hlm. 185. Naskah Melayu yang bergambar dua ekor ular naga yang saling berhadap-hadapan bertanggal 1893 tentang tempayan yang dipasarkan di daerah Sintang pada masa itu.

85Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture”. Dalam PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL.2008. Untuk Bapak Guru. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.Hlm. 209-216. Lihat juga Fitzgerald, C.P. TT. China a Short Cultural History. London:The Cresent Press. Hlm. 126.

Page 60: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

utensils to venerate monuments. The religion and artistic traditions are based on the Indian culture, but the Indonesian artist managed to modify them into a new creation. Naga as temple decoration is not common in central Java, but more apparent on smaller monuments, such as yonis or pedestals. Here it either stands alone, or combined with garuda or turtles, and sometimes with a kalahead.”86

Pada jirat makan bagian timur dan barat terdapat gambar dua ekor burung yang

sedang terbang dekat pohon. Burung adalah lambang musim semi dan hidup muda bagi orang

Cina. Burung juga dianggap sebagai lambang keabadian, khususnya burung feniks yang

dikenal dalam cerita kuno. Untuk melambangkan arti penting burung dalam kehidupan dan

kematian dibuatlah gambar atau ukirannya di tempat-tempat semisal makam atau gafura

pemakaman.87 Burung adalah perlambang keabadian. Pada bagian atas batu nisan makam

Fatimah Hwu terdapat gambar medalion88 yang bagi orang Cina mengadung arti sistem

sirkulasi atau perputaran serta perlambang langit untuk kebahagiaan.

C. Akulturasi Masyarakat Muslim Jakarta Pada Abad ke- 18

Keberhasilan Falatehan mengambil-alih kekuasaan di Sunda Kelapa awal abad

keenam belas merupakan kemenangan Allah/Islam. Sesuai dengan namanya Fathullah

(kemenangan Allah) yang lidah asing menyebutnya Falatehan.

Pengambil-alihan Sunda Kelapa oleh Islam disebabkan berbagai faktor, satu di

antaranya adalah terjadinya perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis untuk meningkatkan

perdagangan, perekonomian, dan perlindungan politik. Hal ini membuat kemarahan Sultan

Demak (Sultan Bintara III, Sultan Treggono) dan tokoh-tokoh ulama dan umara di Cirebon.89

Sunan Gunung Jati dan Sultan Trenggono meminta Falatehan merebut Sunda Kelapa. Dengan

86Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture… Hlm.214 87Hidayatin, Titin. 1997. “Unsur-Unsur Cina Pada Masjid Kebon Jeruk”. Skripsi Sarjana Jurusan

Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hlm. 42. Lihat juga Berg, H.J. Van Den. 1952. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I.Jakarta:Groningen, JB. Wlters. Hlm 144. Lihat Diessen, J.R. van. 1989.Jakarta/Batavia. UitgeverijWestland n.v. Schoten. Hlm.225

88Medalion adalah perhiasan berbentuk bulat (lonjong, jantung dsb.) yang dibuat dari emas, dsb. Yang digantungkan pada kalung, rantai, arloji, dsb. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia… Hlm. 726.

89Rahardjo, Supratikno, MPB Manus, dan Suryo Harsono. 1996, “Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra”. Laporan Penelitian. Jakarta:Departemen P dan K RI. Hlm. 48 - 49

Page 61: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Pasukan Gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten, Falatehan berhasil merebut Sunda

Kelapa pada 22 Juni 152790 serta mengganti namanya menjadi “Jayakarta” yang berarti

kemenangan murni.

Pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama berkuasa, Jakarta menjadi

pelabuhan internasional91 yang menarik pedagang-pedagang asing berdatangan membawa

barang-barang asal Cina, Jepang, Gijarat-India, Persia, Arab, Pegu, dan Birma membanjiri

Jayakarta. Disamping itu terjalin pula hubungan dagang dengan saudagar local dari Ambon,

Maluku, Banjarmasin, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra. Sungai-sungai Cisadane, Citarum, dan

Ciliwung dimanfaatkan untuk angkutan barang.

Pada 30 Mei 1619 Jayakarta berganti nama dengan Batavia, sementara penduduknya

sudah mencapai 12.000 jiwa, sebagiannya adalah muslim. Antara tahun 1700 -1730

penduduk Jakarta sekitar 30.000 jiwa bersal dari berbagai etnik nusantara dan luar negeri.

Saat terjadi pembunuhan missal orang-orang Cina tahun 1740, penduduk Jakarta menurun.

Status sosial penduduk Jakarta di abad ke- 18 terdiri dari berbagai tingkatan, namun,

sebagian besarnya adalah budak. Orang-orang Eropa merupakan kelas utama, Kristen Asia-

Eropa dan Indonesia kelas dua, kemudian disusul orang Cina dan Arab . Status kepegawaian

orang Islam adalah yang terendah yang tertinggi orang Eropa. Dari segi ekonomi, status

tertinggi diduduki oleh orang Eropa disusul orang Cina, Arab, India, dan paling rendah

adalah orang Islam Indonesia.92 Status sosial-budaya masyarakat Jakarta tersusun menjadi

tiga tingkatan; tingkat paling tinggi adalah orang Eropa kemudia disusul orang Asia (Cina,

Arab, dan India), selanjutnya diduduki orang Indonesia yang sebagian besarnya Muslim.

90Soekanto. 1954. Dari Jakarta ke Jakarta. Djakarta:Soeroengan. Hlm. 51 91Ambary, Hasan Muarif. 1983. The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta. Jakarta:Departemen

P dan K, Hlm. 18 92Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the Last. The Metamorphosis of Colonial Capital. Ph.

D.Thesis. University of California. Hlm. 149.

Page 62: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Sebagai daerah pelabuhan Jakarta disinggahi dan dijadikan tempat menetap berbagai

suku bangsa di dunia bahkan lahir pula anak-anak hasil campuran atau asimilasi dari mereka.

Orang Indo, misalnya, adalah anak-anak bapak Eropa dan anak-anak campuran berbagai suku

Indonsia dan Eropa. Sebagian orang Eropa yang menikahi wanita muslim konversi ke dalam

Islam.

Di Jakarta ditemukan juga orang Jepang yang bekerja sebagai serdadu, petani,

pedagang, dan eksportir. Ada juga orang Mardijkers dan Papanger, yaitu orang merdeka

campuran India dan Portugis yang datang dari India Selatan; daerah Coromandel, Arakan,

Malabar, dan Bengal. Pada abad ke- 18 mereka sudah merdeka semua dan menjadi penduduk

Jakarta yang disebut Burgers (campuran). Mereka memperkenalkan budaya Portugis di

Jakarta.

Bangsa atau suku lain yang hijrah ke Jakarta serta menetap untuk selama-lamanya

adalah orang Afrika, Orang Cina, Orang Arab, orang Melayu, dan Orang Bali. Orang Afrika

datang dari Angola dan Mozambique dan bekerja sebagai pembantu polisi serta tukang

gantung. Mereka memiliki fisik yang kuat dan keberanian untuk mampu membantu

pengamanan.

Orang-orang Cina yang sebagian besar dari Cina bagian selatan Cina menetap di

Jakarta dan menjadi orang kaya. Mereka sudah lebih dulu datang dibanding orang Afrika,

bahkan menjadi penduduk pendatang yang mayoritas. Mereka sudah lama tinggal di Banten

dan Sunda Kelapa. Antara tahun 1730 dan 1740 jumlah mereka sudah mencapai 5.000 jiwa di

Jakarta.

Orang Cina di Jakarta dibagi menjadi tiga bagian; Cina peranakan, Cina Singkeh, dan

Cina Kanton. Cina peranakan adalah Cina yang lahir dari ibu orang Indonesia. Cina Singkeh

adalah Cina asli yang datang dari daratan Cina, mereka disebut Cina “totok”. Cina totok

Page 63: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

inilah yang tetap mempertahankan budayanya dan berbahasa Hokkien di Jakarta. Cina

Kanton adalah Cina yang berasal dari daerah Kanton di Cina.

Sebagian Cina Singkeh beristerikan wanita Indonesia asli yang sebagian besarnya

wanita berasal dari Bali. Wanita Bali tidak mempersoalkan makanan Cina yaitu babi. Dari

mereka lahir Cina peranakan yang berdialek campuran Hokkien dan bahasa Melayu Betawi.

Cina Totok dibutuhkan di Jakarta dalam bidang pertukangan dan perdagangan,93 salah

seorang di antaranya adalah pendiri Masjid Kebon Jeruk, Tamien Dossol Seng.

Kedatangan orang-orang Cina di Jakarta disebabkan berbagai hal, di antaranya

dibawa oleh Belanda untuk membangun kota Jakarta. Pendiri Masjid Kebon Jeruk datang ke

Jakarta disebabkan tekanan politik di negerinya. JP. Coen mendatangkan Cina ke Jakarta

karena menyukai usaha mereka di bidang industri gula dan distilasi arak. Belanda

mengirimkan kapal-kapal ke Tiongkok untuk menangkap orang-orang Cina untuk

dimasukkan ke kapal dan membawa mereka ke Jakarta.

Kadatangan orang Cina secara besar-bessaran terjadi awal abad ke- 18, sehingga

banyak yang tidak kebagian pekerjaan dan tempat tinggal. Mereka mulai merampok dan

membunuh serta melakukan penyelundupan. Penguasa Belanda cemas dengan kondisi ini

serta mulai melakukan pengawasan. Sebagian orang Cina dibuang ke Srilanka, pulau Bangka,

dan Cape (Afrika).

Orang Cina terus melakukan tindakan-tindakan melawan hokum, bahkan tersiar kabar

bahwa pada tahun 1740 mereka malakukan pemberontakan untuk menguasai Jakarta.

Perangpun pecah antara Belanda dan orang Cina yang mengakibatkan pengusiran terhadap

orang Cina keluar dari Jakarta. Sebagiannya ditahan dan dibunuh secara missal.

93Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the Last. The Metamorphosis of Colonial Capital… Hlm. 193

Page 64: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Untuk dapat kembali memasuki Jakarta, banyak orang Cina masuk Islam. Demikian

pula Cina peranakan, bahkan mereka ikut budaya Barat. Ada juga orang Cina yang

memelihara konde, rambut gaya Dinasti Ming, suatu kebanggan di Cina.

Konversi ke dalam Islam dalam jumlah besar sesudah peristiwa pemberontakan

mempermudah mereka masuk ke Jakarta sebagai seorang Islam. Mereka pun tidak dilarang

berdagang di Jakarta, mereka hidup dalam komunitas Muslim dengan mandur mereka sendiri

sejak tahun 1776. Para Singkeh yang awalnya kelas buruh lama kelamaan menyimpan uang

dan berdagang sehingga menjadi orang kaya. Sejak tahun 1780, peranakan Cina Islam tinggal

di luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk, di antara kota lama dan kota baru Weltevieden.

Mereka punya took di Tanah Abang, Pasar Senen, dan Pasar Baru. Pada saat bersamaan

Tamien Dossol Seng membangun masjid di sekitar Kebon Jeruk untuk menampung orang-

orang Cina muslim beribadah.

Berbeda dengan orang Cina, umumnya kedatangan orang Arab di Nusantara dan

khususnya ke Jakarta untuk berdagang dan da’wah menyebarluaskan ajaran Islam. Mereka

merupakan penduduk pendatang terbesar di nusantara dan jumlah mereka sangat besar di

Jakarta. Belanda membedakan perlakuannya mengahadapi orang Cina dan orang Arab. Orang

Arab termarjinalkan dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah. Sebagian

orang Arab tingga di Krukut, Tanah Abang, dan lingkungan pribumi.

Pada dasarnya orang Arab memiliki budayanya sendiri, namun di antara mereka

sudah ada yang memakai pakaian ala Eropa karena berbagai faktor.94 Pada abad ke 17 dan

abad ke- 18 mayoritas orang Arab tinggal di kota-kota pelabuhan di Jawa, di antaranya di

Jakarta.

Sebagian besar orang Arab tidak membawa isteri ke Indonesia, mereka menikahi

wanita-wanita muslimah Indonesia dan anak-anak mereka adalah Indo-Arab yang

94Berg, LWC Van Den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta:INIS Book. Hlm. 72 -73 dan 123.

Page 65: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

menciptakan budaya Arab-Indonesia di Jakarta. Mereka yang bekerja di pemerintahan

memakai pakaian Barat.

Hampir sama dengan orang-orang Arab di Jakarta, orang-orang India yang ada di

Jakarta adalah Muslim. Mereka disebut Mooren dari kata Portugis Moura yang berarti Islam.

Kedatangan orang-orang India di Jakarta setelah terjadinya pembantaian terhadap orang-

orang Cina tahun 1740 untuk menggantikan orang-orang Cina di bidang perdagangan dan

perekonomian hanya saja orang-orang Cina segera mengantisipasinya.

Umumnya orang Muslim India memakai baju panjang sesuai pakaian ala India. Pada

abad ke- 17 dan ke- 18 mereka tinggal di luar tembok kota, di daerah Pakojan. Bersama-sama

muslim lainnya dari suku Arab, dan Jawa mereka berdagang menjual kebutuhan sandang

khususnya dari India.

Di Jakarta pada abad ke- 17 dan ke- 18 terdapat orang Melayu. Mereka adalah

muslim. Ada juga orang Melayu yang kaya di Jakarta dan pemerintah Belanda sangat

menghormati mereka.95 Mereka diberi barbagai jabatan, di antaranya di bidang urusan

diplomatik penghubung dengan kesutanan dan penerjemah. Orang-orang Melayu bekerja juga

dalam bidang perdagangan dan pelayaran.

Orang Bali merupakan sebagian dari penduduk Jakarta, khususnya di abad ke- 18.

Orang Bali bekerja di sektor pembangunan sebagai kuli dan montir kapal. Berbagai faktor

yang menyebabkan orang Bali masuk ke Jakarta di abad ke- 18. Di antaranya, para budak

wanita Bali ditekan oleh kaum feudal. Sebab lain adalah kehidupan para budak di Jakarta

lebih baik dari daerah-daerah lain. Sekitar tahun 1770 terdapat sekitar empat ribu budak di

Jakarata.

95Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the Last. The Metamorphosis of Colonial Capital… Hlm. 217

Page 66: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Budak-budak asala Bali sebagian ada yang masuk Kristen untuk bisa merdeka, tapi

setelah merdeka mereka masuk Islam. Abad ke- 17 dan ke- 18 ditengah tekanan pemerintah

Belanda terjadi islamisasi di Jakarta, sebagian dari orang Bali bahkan setelah mereka masuk

Kristen, mereka masuk ke dalam Islam.

Orang-orang Islam dari berbagai suku dan bangsa di Jakarta menjadi mayoritas.

Mereka memakai pakaian seperti Arab, India, Melayu, bahkan berpakaian ala Eropa; di atas

jas, tapi di bawah sarung. Karena sesama Muslim, penduduk dari berbagai suku dan bangsa

ini sekalipun tinggal di perkampungan masing-masing; Cina muslim tiggal di perkampungan

Cina, India muslim tinggal di perkampungan India, Jawa muslim tinggal di perkampungan

Jawa mereka tetap menjalin hubungan yang baik serta berinteraksi, bahkan berasimilasi dan

berakulturasi.

Suku Betawi bukanlah berasal dari Jakarta secara turun temurun sejak jaman purba,

seperti etnis batak, sunda, jawa, dan sebagainya, tapi suku Betawi lahir dari suku dan bangsa

yang menetap di Jakarta. Mereka adalah suku yang dilahirkan berkat terjadinya asimilasi dan

akulturasi antar-suku-etnis-bangsa di Jakarta, bahkan budaya dan kesenian Betawi merupakan

kesenian tradisional yang sangat kental unsur Cina, Arab, dan Eropa. Demikian juga bahasa

sehari-hari yang dipakai suku Betawi adalah bahasa yang kata per katanya gabungan dari

berbagai bahasa di dunia. Kita tidak mendapati seni arsitektur bercirikan asli dari Betawi

kecuali arsitektur bangunan yang diadopsi dan ditransformasikan dari berbagai etnis dan

bangsa di Jakarta.

Berbagai faktor yan menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, asimilasi antar suku

dan bangsa, adopsi dan adaptasi antar budaya, dan transformasi budaya di Jakarta hingga

abad kedelapan belas di antaranya adalah agama Islam, adanya rasa senasib menghadapi

persoalan dan kesulitan yang sama, yaitu diskriminasi yang dilakukan Belanda dan kondisi

sosial eknomi yang sangat lemah. Disamping itu, pada masa Deandels berkuasa dia hapuskun

Page 67: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

sistem kcontrol “like over like”, yakni suku dikepalai oleh orang asli suku tersebut.

Kebijakan ini mengakibatkan pudarnya suku-suku di Jakarta serta terkikisnya system

perkampungan berdasar suku, misalnya suku Bali tinggal di kampung Bali, orang Bugis dan

Makasar tinggal di Kampung Makasar, dan sebagainya.

Ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara suku atau bangsa. Pada abad ke- 17

ajaran ini telah mendorong orang-orang Bali yang hijrah ke Jakarta sebagaian besar masuk

Islam dan menyatu dengan orang-orang Islam lainnya bahkan pria dan wanitanya dinikahi

oleh wanita atau pria dari suku lain. Bukan hanya orang Bali yang melakukan hal serupa,

tapi suku-suku lain pun melakukannya, seperti orang Cina yang menikahi wanita-wanita

bukan Cina, orang Arab, orang Eropa, orang India juga menikah dengan orang-orang yang

berasal dari suku bukan India. Mereka juga melakukan proses akulturasi; adaptasi dan

transformasi budaya sebagai tampak dalam seni yang mereka miliki; seni musik, seni ukir,

seni arsitektur dan lain sebagainya. Seni arsitektur yang berasal dari berbagai unsur budaya

masyarakat Jakarta di antaranya diwakili oleh seni arsitektur Masjid Kebon Jeruk.

Page 68: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Sekalipun sulit, upaya menggali sejarah Masjid Kebon Jeruk masih mendapatkan

jalan untuk menelusurinya. Jalan penelusurannya dimulai dari mengamati arsitektur

bangunannya yang masih berdiri di tengah kota metropolitan Jakarta. Bangunannya yang asli

saat berdiri pada tahun 1786 sudah tidak ada walaupun dalam bentuk foto, sebab fotografhi

masa itu belum ditemukan. Sekiranya ada hanyalah berupa sketsa, fotonya baru diambil awal

abad dua puluh artinya bangunan yang sudah berdiri kurang lebih seratus dua puluh tahun

sudah sangat mungkin mengalami perubahan atau rehabilitasi. Dengan demikian foto yang

diambil di awal abad kedua puluh sangat mungkin bukan bangunan yang seluruhnya utuh

sejak berdirinya.

Jalan meretas sejarah Masjid Kebon Jeruk dapat juga dilakukan melalui catatan-

catatan yang dibuat para pelancong yang menyinggahi Batavia atau arsip-arsip yang

Page 69: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Umumnya, pelancong yang mencatatkan

perjalannya berasal dari Eropa atau Cina. Akan tetapi catatan-catatan ini tak hanya berkaitan

tentang suatu masalah, kaitannya hanya dengan perjalanan yang mereka lakukan. Demikian

pula arsip-arsip pemerintah kolonial, walaupun tentang Batavia ia sangat terpilah-pilah pula,

terkadang berkaitan dengan tanah, bangunan, tata praja, tata kota, kebijakan tentang sosial

kemasyarakatan, dan perdagangan. Memang sesekali menyinggung Masjid Kebon Jeruk,

namun bukan merupakan sebuah kisah tentang Masjid Kebon Jeruk.

Tutur dari mulut ke mulut tentang Masjid Kebon Jeruk masih didapati hingga saat ini;

baik melalui garis keturunan pendiri masjid atau orang dekatnya yang memiliki keturunan

yang dapat menuturkan kisah Masjid Kebon Jeruk. Sejarah lisan yang lebih valid jika si

penutur adalah sumber primer, sementara sumber primer berdirinya Masjid Kebon Jeruk

sudah mustahil ditemukan. Dengan demikian penutur-penutur sekarang merupakan generasi

keempat atau kelima.

Komunitas Cina di Jakarta berasal dari Tiongkok bagian selatan yang sebagiannya

sudah memeluk agama Islam. Pendiri Masjid Kebon Jeruk Chau Tsien Hwu (Tamien Dossol

Seng) adalah salah seorang di antaranya yang menetap di daerah Kebon Jeruk Jakarta Kota

saat masjid ini dibangunnya.

Di Jakarta terdapat bangunan masjid bergaya arsitektur Cina seperti pada umumnya

masjid-masjid kuno di pesisir utara pulau Jawa. Masjid Kebon Jeruk disebut bergaya

arsitektur Cina, sebab bisa dilihat dari kerangka atapnya dan bentuknya yang limasan

bertumpang dua. Persentase unsur arsitektur Cina lebih besar jika dibangdingkan dengan

unsur-unsur budaya non-Cina. Mustaka berbentuk nanas, kerangka kusen atap dan cara

pemasangannya, atap bertumpang dua, ornamen di dalam masjid dan batu nisan kuburan

Fatimah, dan lain-lain merupakan bagian-bagian masjid yang berasal dari budaya Cina.

Page 70: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Unsur-unsur lain yang melekat di masjid berlatar kultur yang sangat beragam; yakni

kultur Jawa, Eropa, dan Arab yang mencerminkan beragamnya budaya etnis masyarakat

Muslim yang tinggal di Jakarta sejak abad kedelapan belas.

Masjid Kebon Jeruk, sejak dibangun, mengalami perkembangan dan perbaikan fisik,

dengan adanya perluasan bangunan dan ditingkat menjadi du sehubungan pertambahan

jumlah penduduk Kebon Jeruk dari waktu ke waktu. Pambatasan rehabilitasi dilakukan untuk

mempertahankan ciri keasliannya baru terjadi sejak ditetapkannya bangunan ini menjadi BCB

(Benda Cagar Budaya).

B. Saran-saran

1. Masjid-masjid di Jakarta yang dibangun pada abad kedelapan belas memiliki seni

arsitektur berlatar belakang beragam budaya masyarakat Muslim yang hidup di

Jakarta, satu di antaranya adalah Masjid Kebun Jeruk. Hal ini menunjukkan bahwa

masyarakat Muslim Jakarta telah mengalami akulturasi budaya.

2. Terjadinya akulturasi budaya masyarakat Muslim berjalan dengan aman dan damai.

Mereka hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Oleh karena itu sangat diharapkan

jika pemerintah DKI menjadikan masjid-masjid yang dibangun di abad kedelapan

belas ini sebagai pilot proyek mempromosikan kehidupan rukun dan damai di

tengah-tengah masyarakat sebagai tergambar dalam bangunan masjid.

3. Disarankan juga kepada pemerintah DKI untuk terus melestarikan budaya lokal

(local geneune) agar budaya masyarakat terdahulu tidak hilang ditelan oleh keadaan

kota metropolitan Jakarta.

Page 71: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Rxplorations. Vol. 7. Nomor 2.

Ambary, Hasan Muarif dan Parlindungan Siregar. 2005. “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta

Ambary, Hasan Muarif. 1983. The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta. Jakarta:Departemen P dan K.

Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta:Dinas Museum DKI Jakarta

Berg, LWC Van Den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta:INIS Book

Bolaffi, Guido dkk.(Ed.). 2003. Dictionary of Race, Ethnicity & Culture.London, Thousand Oaks, New Delhi:SAGE Publications

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka

Page 72: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Emot Rahmat Taendiftia dkk. Gado-gado Betawi: Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya.Jakarta:Grasindo.

Fijper, G.F. 1992. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin. Jakarta:UI-Press

Gazalba, Sidi. 1962. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Djakarta:Pustaka Antara

Haris, Tawalinuddin. “Masjid-masjid di Dunia Melayu – Nusantara.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat, 2 Juni 2010

------------. 2007. .Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII). Jakarta:Wedatama Widya Sastra

Hidayatin, Titin. 1997. “Unsur-Unsur Cina Pada Masjid Kebon Jeruk”. Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta:Ombak

Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. (Ph.D. Thesis), University of California

Nasution, Isman Pratama. “Studi Arkeologi tentang Makam.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat

Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture”. Dalam PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL.2008. Untuk Bapak Guru. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Shahab, Alwi. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika.

SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka.

Skinner, G. William. 1963. The Chinese Minority in Indonesia. New Heaven:Yale University

Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3.Jakarta:Kanisius.

Tanggok, Ihsan dkk. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. Cet. IJakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tjandrasasmita, Uka.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia

Page 73: Masjid Kebon Jeruk, Penelitian Dr. an Siregar

Winoto, Soeryo. “The Old Mosque Was Built By Chinese Convert”. The Jakarta Post. Saturday, 22 Juni 1985.

Wiryoprawiro, M. Zein. 1985. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya:Bina Ilmu.

Zein, Abdul Baqir.1999. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia”. Jakarta:Gema Insani Press

Surat Kabar/Jurnal:

Kompas.

Jurnal Ilmu Dakwah

Dimensi Teknik Arsitektur