masalah ketenagakerjaan di industri tekstil dan produk tekstil

Upload: afrizan-nurpermadi

Post on 05-Apr-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/31/2019 Masalah Ketenagakerjaan Di Industri Tekstil Dan Produk Tekstil

    1/4

    Masalah Ketenagakerjaan di Industri Tekstil

    dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia

    Posted onDesember 10, 2005|24 Komentar

    Struktur industri TPT nasional berdasarkan sektor.

    1. Sektor industri hulu (upstream), meliputi produksi serat (natural fiberdan man-madefiberatau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang

    (unblendeddan blended yarn). Sektor ini bersifat padat modal, teknologi menengahdan modern-full automatic, skala besar, jumlah tenaga kerja relatif kecil.

    2. Sektor industri menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing)benang menjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan danperajutan (weaving dan knitting) kemudian diolah lebih lanjut melalui prosespengolahan (dyeing, finishing danprinting) menjadi kain-jadi. Industri ini bersifatsemi padat modal investasi dan modal kerja, teknologi madya dan modern-berkembang terus, jumlah tenaga kerja lebih besar dari sektor industri hulu.

    3. Sektor industri hilir (downstream), yaitu industri pakain jadi (garment) termasukproses cutting, sewing, washing danfinishing yang menghasilkan ready-made garment.Sifat industri ini padat modal kerja, padat karya-sebagian besar wanita.

    Masalah tenaga kerja di industri TPT nasional.

    1. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peningkatandaya saing produk TPT nasional di pasar global diantara faktor-faktor yang lainnya,yaitu: perbankan, energi, infrastruktur dan jarak/letak geografis negara Indonesia.

    http://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/http://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/http://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/http://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/#commentshttp://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/#commentshttp://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/#commentshttp://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/#commentshttp://egismy.wordpress.com/2005/12/10/masalah-ketenagakerjaan-di-industri-tekstil-dan-produk-tekstil-tpt-indonesia/
  • 7/31/2019 Masalah Ketenagakerjaan Di Industri Tekstil Dan Produk Tekstil

    2/4

    2. Masalah tenaga kerja yang dihadapi industri TPT nasional yang mengakibatkan industriini sulit bersaing dengan industri TPT dari negara-negara lain adalah:

    o Rendahnya produktivitas pekerja. Hasil penelitian tentang Pemeringkatan

    Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota Tahun 2003 oleh Komite PemantauanPelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) adalah: 1)Dari 156 kabupaten: hanya 13kabupaten yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 3 kabupatenproduktivitas tenaga kerjanya tinggi; dan 24 kabupaten produktivitas tenagakerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 116 kabupaten adalah tenaga kerjayang produktivitasnya rendah dan sangat rendah. 2) Dari 44 kota: hanya 7 kotayang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 5 kota yang produktivitastenaga kerjanya tinggi; 14 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sedang.Sisanya, yaitu sebanyak 18 kota adalah tenaga kerja yang produktivitasnyarendah dan sangat rendah.

    o Kekurangan tenaga professional, antara lain disektor industri weaving untukbidang pemasaran dan disektor industrigarment untuk tenaga di bidangmerchandizing dan marketing. Hasil penelitian tentang kualitas pekerja,khususnya dalam hal pendidikan dan pengetahuan, sebagai berikut: 1)Hasilkajian kuisioner kualitas tenaga kerja KPPOD terhadap 5.140 pelaku usaha di200 kabupaten/kota, yaitu: (i) Untuk usaha yang mempekerjakan > 100 tenagakerja, 30,9% pelaku usaha menilai kualitas tenaga kerjanya kurang baik; (ii)Sementara untuk usaha yang mempekerjakan antara 20 s/d 100 tenaga kerja,sebanyak 20,7% pelaku usaha menilai kualitasnya kurang baik; (iii) Dan untukusaha yang mempekerjakan < 20 tenaga kerja, sebanyak 20,4% pelaku usahamenilai kualitas tenaga kerjanya kurang baik. 2)Data dari Business News,September 2002, menyatakan dari total 100 juta jiwa pada tahun 2001diketahui: (i) Berpendidikan rendah, yaitu 38% Sekolah Dasar (SD); (ii)Berpendidikan menengah (SLTP dan SMU) sekitar 35%; (iii) Tidak pernah lulusdan tidak pernah sekolah sekitar 22%; (iv) Pendidikan Tinggi dan Diploma hanya5%, dan ini juga lebih dari setengahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah(PNS dan BUMN/BUMD).

    Masalah kebijakan ketenagakerjaan di industri TPT nasional.

    Sejak diberlakukannya otonomi daerah, 01 Januari 2001, pelaksanaannya yang dominanmuncul adalah penyimpangan dan efek negatif dari otonomi itu sendiri. Pemerintah daerah(pemda) berlomba-lomba memproduksi peraturan daerah (perda) untuk mengisi keuangandaerah (Pendapatan Asli Daerah PAD) tanpa memikirkan dampaknya bagi dunia usaha.

    Otonomi daerah seharusnya dapat meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap warganya,tetapi kenyataannya justru sebaliknya, yaitu dunia usaha justru dililit oleh pajak daerahmaupun retribusi daerah yang bukan saja membebani akan tetapi juga menambah inefisiensiyang tahap akhirnya menciptakan hambatan terhadap perdagangan dan investasi bagipengusaha/investor yang berniat berusaha/berinvestasi di daerah.

    Hasil kajian tekstual KPPOD tahun 2003 terhadap 896 dokumen perda yangberhubungan dengan kegiatan usaha yang dikeluarkan oleh 200 pemda: 64 daerah

  • 7/31/2019 Masalah Ketenagakerjaan Di Industri Tekstil Dan Produk Tekstil

    3/4

    (32%) perdanya distorsi; 107 daerah (53,5%) perdanya bisa diterima; dan 29 daerah(14,5%) perdanya dinilai supportif untuk kegiatan usaha.

    Hasil surveydari Regional Economic Development Institute (Business News, April 2003)terhadap 1.014 pelaku usaha di 23 kabupaten/kota di 12 propinsi mengenai persepsipelaku usaha tentang otonomi daerah dan dampaknya terhadap iklim usaha di daerah,yaitu: 1)29,7% bermasalah dengan jumlah biaya dan pengurusan izin usaha.

    2)Pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh oknum: aparat desa (27,7%), aparatpemda/kecamatan (24,6%), oknum kepolisian (16%), oknum TNI (9,3%), organisasimasyarakat (8%), satuan tugas partai politik (5%), dan aparat pelabuhan (2,7%).

    Kerancuan koordinasi/kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas, khususnya dalam halpelaksanaannya/operasionalnya. Dari surveyyang dilakukan oleh Regional EconomicDevelopment Institute (Business News, April 2003), bahwa: sebanyak 57,5% pelaku usahamenyatakan pelayanan publik pemda buruk dan sebanyak 12,6% menyatakan lebih burukdibandingkan sebelum adanya otonomi daerah.

    Tumpang tindih peraturan antara pusat dan daerah, materinya banyak tidak mencerminkankeadilan yang tidak seimbang bagi industri dan juga tidak jelas, seperti:

    Perda kota Bandung yang mengatur biaya retribusi tenaga kerja untuk kesehatan,wajib latih tenaga kerja, masalah PHK.

    Sistem pengupahan: 1)Untuk penetapan uang/biaya: pesangon, penghargaan masakerja, ganti kerugian, yang sebelumnya mengalami beberapa kali perubahan danrevisi. 2)Kenaikan upah di Bandung sampai terjadi 4 kali dalam kurun waktu setengahtahun dengan jumlah kenaikan hampir 100%.

    Ratifikasi konvensi ILO No. 87/1948, ternyata menimbulkan masalah, yaitu jumlahserikat pekerja/buruh yang lebih dari satu dalam satu perusahaan. Sementara rambu-rambu hukum yang mengaturnya belum disiapkan, akibatnya konflik yangberkepanjangan antara serikat pekerja/buruh didalam perusahaan.

    Penetapan kenaikan upah:

    Setiap tahun lebih besar dari angka inflasi dan tidak melihat indikator ekonomi. Tidak melihat kemampuan perusahaan untuk membayar upah (company ability to pay)

    serta tidak dikaitkan dengan tingkat produktivitas minimum perusahaan.

    Dibenarkannya oleh pemerintah masuknya unsur ke-4 ikut dalam Tripartit, yaitu parapengamat ketenagakerjaan dan LSM perburuhan, dengan istilah Tripartit Plus. Kenyataannya,sebagian besar suasana hubungan industrial lebih bernuansa provokasi.

  • 7/31/2019 Masalah Ketenagakerjaan Di Industri Tekstil Dan Produk Tekstil

    4/4

    Penutup.

    1. Sebetulnya, kebijakan ketenagakerjaan relatif sama di semua negara, termasukIndonesia, yaitu kebijakan dalam penciptaan kesempatan kerja untuk para pencarikerja dan angkatan kerja baru. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia secara terusmenerus telah menjadi problem yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh

    ketidakmampuan ekonominya untuk menyerap tenaga kerja yang cukup besarjumlahnya.

    2. Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, maka harus disadari bahwa penciptaanlapangan kerja akan terjadi jika adanya pabrik-pabrik baru dan perluasan pabrik lama.Ini artinya, diperlukan investasi, baik asing maupun domestik. Investasi baru akanterjadi bila ada perbaikan pada faktor-faktor: keamanan, kepastian hukum danperaturan, kebijakan pemerintah (moneter, fiskal, energi, ketenagakerjaan, otonomidaerah) yang kondusif. Oleh sebab itu, investasi merupakan faktor utama untukmendorong pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya dapat menciptakankesempatan kerja.

    3. Dalam situasi ekonomi saat ini, untuk masalah ketenagakerjaan, peran pemerintahsebagai regulator belum bisa menciptakan situasi win-win solution. Masalahketenagakerjaan terjebak dalam situasi memenangkan atau memihak siapa, kalautidak pekerja ya pengusaha. Seolah-olah kepentingan antara pekerja dan pengusahasaling bertolak belakang, padahal yang seharusnya diciptakan oleh pemerintah adalahkondisi sama butuhnya. Pekerja butuh penghasilan yang mencukupi dalam memenuhikebutuhan hidupnya, dan pengusaha butuh penghasilan untuk menjaga eksistensinyaatau pertumbuhan usahanya.

    4. Bipartit merupakan sarana konsolidasi pekerja dan pengusaha untuk kepentinganbersama dan meningkatkan kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya bermuarapada pertumbuhan ekonomi nasional.