masalah ekonomi indonesia (oey hay djoen)

Upload: angah-pija

Post on 05-Jul-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    1/38

    e-newspEnEbar

     Yayasan Penebar ~ Jl. Makmur, no. 15, Rt. 009/Rw.02, Kelurahan Susukan, Jakarta 13750,

    Indonesia Tel./Facs. ~ (+ 62 21) 841 2546 • email ~ [email protected] • website ~

     www.geocities.com/ypenebar

    Nomor 3, Januari - 2004

    Redaksi:Edi Cahyono, MaximNapitupulu, Maulana 

    Mahendra, Muhammad H.T.,Hemasari Dharmabumi

    Photo: koleksi keluarga Oey 

    Hay Djoen 

    Diterbitkan oleh:

    Yayasan Penebar

    pEnEbar e-news terbitsebagai media pertukaran dan

    perdebatan soal-soalperburuhan dan globalisasi.

    Kami mendukung gerak anti-globalisasi masyarakat

    Indonesia. Globalisasi danperdagangan bebas merupakan

     jebakan negeri-negeriimperialis untuk menjadikan

    negeri-negeri miskin terusmenjadi koloni dan dihisap

    oleh negeri-negeri maju. Kamimenerima tulisan-tulisan yang 

    sejalan dengan misi kamiuntuk dimasukkan dan

    diedarkan melalui e-news ini.

     M  M  M  M  M embaca tulisan dari Oey Hay Djoen berkaitandengan keadaan perekonomian Indonesia menjelang dibatalkannya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada 1950-an itu mengingatkan kita akan keadaan sulityang dihadapi Indonesia dewasa ini. Bisa dikatakan

    keadaan di antara kedua masa sulit ini “serupa tapi tak sama” karena beberapa indikator perekonomian pada masa itu sangat mirip dengan keadaan sekarang. Ada empat persoalan mendasar yang dihadapiperekomomian Indonesia menjelang dibatalkannya perjanjian KMB, yaitu dijadikannya Indonesia sebagaisemata-mata (1) daerah sumber bahan mentah yang murah, (2) daerah penanaman modal yang hanya 

    menguntungkan segelintir pemodal Belanda, (3)daerah pemasaran bagi barang jadi, terutama barang-barang konsumtif dan (4) daerah sumber tenaga buruhyang murah. Keempat persoalan tersbut merupakankarakteristik perekonomian kolonial yang hendak dipertahankan oleh Belanda di Indonesia melaluiperjanjian KMB. Bila dibandingan perekonomian

    Indonesia dewasa ini pun masih memperlihatkankeempat indikasi tersebut.

     U  U  U  U  U ntuk persoalan pertama, dijadikannya Indonesia semata-mata sebagai daerah sumber bahan baku yang murah, tentu saja masih berlaku sampai saat ini.Indonesia masih mengandalkan perekonomiannya darihasil-hasil alam, baik yang dapat diperbarui maupun

    Sekapur Sirih

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    2/38

       E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r

       i   2   0   0   4

    2

    no-3yang tidak. Hasil migas dan pertambangan lainnya, hasil perkebunanserta kehutanan masih menjadi andalan ekspor Indonesia, denganharga yang masih banyak ditentukan para produsen di luar negeri.

    Hasil-hasil manufaktur ternyata masih belum bisa mendongkrak pendapatan ekspor Indonesia secara berarti. Walau sampai pada 1997,Indonesia pernah mengalami petumbuhan ekspor manufaktur yang cukup mengesankan, namun apabila dibandingkan negara-negara tetangga yang lain seperti Malaysia dan Singapura misalnya, apa yang dicapai Indonesia masih tertinggal jauh.

    Persoalan kedua, dijadikannya Indonesia semata-mata sebagai daerah

    penanaman modal yang hanya menguntungkan segelintir pemodalBelanda, juga masih berlaku sampai detik ini. Hanya saja, sekarang bukan Belanda lagi pemodal yang mendominasi Indonesia melainkanbeberapa pemodal dari negara-negara industri besar seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan dan sejumlah negara Eropa lainnya. Bagaimana hal ini terjadi, sebetulnya bisa dilihat angka-angka ekspor yang luar biasa besar dari beberapa industri asing yang beroperasi di Indonesia namun tidak membawa perubahan dalam

    kehidupan rakyat Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh, PT.Freeport Indonesia yang beroperasi di Timika, Papua, menghasilkankeuntungan ratusan juta dollar per tahunnya, namun daerahtempatnya beroperasi tetap saja miskin dan terbelakang. PemerintahIndonesia pun hanya mendapat pembagian keuntungan yang sangatkecil. Alih-alih mendapat keuntungan daripadanya, kehadiranperusahaan asal Lousiana, Amerika Serikat ini hanya mendatangkan

    pelanggaran HAM dan kerusakan lingungan hidup bagi penduduk Timika. Pada industri manufaktur juga berlaku hal yang sama. Sektorindustri sepatu, nilai ekspornya mencapai milaran dollar per tahunnya,namun apakah negeri ini menikmatinya? Yang disisakan di negeri inihanyalah secuil bagian untuk upah para buruhnya yang dibayar sangatrendah.

    Selanjutnya Indonesia sampai saat ini juga masih dijadikan sasaran

    perluasan pasar dari barang-barang konsumsi negara-negara industrimaju. Namun bedanya, sekarang negeri ini dipaksa membuka pasarnya atas nama rezim perdagangan bebas yang dilembagakanmelalui WTO dan syarat-syarat untuk mendapatkan pinjaman yang ditetapkan IMF dan Bank Dunia. Kalau kita perhatikan, mulai darisembako sampai minuman keras, telah didominasi barang-barang impor. Tentu saja hal ini sangat membahayakan para produsen lokalyang secara tidak adil diharuskan bersaing dengan barang-barang impor yang adakalanya diproduksi dengan subsidi dan proteksi dari

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    3/38

    3

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

    pemerintahnya masing-masing.

    Dalam bidang perburuhan, kondisinya, sama buruknya. Sejak masa Orde Baru, upah buruh yang rendah selalu dijadikan keunggulan

    Indonesia untuk menarik investor asing. Pemerintah tidak peduliapabila upah para buruhnya hanya kurang dari satu dollar sehari,termasuk yang terendah di Asia, asalkan para investor berduyun-duyun datang ke Indonesia. Maka tidaklah berlebihan apabila sastrawan Multatuli dulu mengatakan bahwa orang Indonesia bisa hidup hanya dengan segobang  sehari.

    Salah satu hal yang menarik dari perjanjian KMB ini adalah kewajiban

    Indonesia untuk membayar utang milik negeri Belanda. Kewajiban initersurat dalam pasal-pasal KMB dan tentu harus dilaksanakan.Mungkin pemerintah Indonesia memang sudah ‘ditakdirkan’ untuk selalu membayari utang yang bukan miliknya. Betapa tidak, bila dibandingkan antara KMB dan LoL (Letter of Intent ) antara pemerintah RI dengan IMF yang terutama menyaratkanrestrukturisasi perbankan dan utang perusahaan-perusahaan swasta,bukankan isinya sama saja? Pemerintah diwajibkan menanggung 

    kerugian perbankan dan utang perusahaan swasta, sesuatu yang bukanhasil kerja dan miliknya?

    Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa berbagai bentuk perjanjiandalam bidang ekonomi yang telah dilakukan oleh pemerintah Indone-sia selama ini seringkali menimbulkan dampak negatif bagi mayoritasrakyat Indonesia. Penanggungan utang milik Belanda pada masa KMB; dan utang swasta pada masa IMF dan World Bank haruslahdilihat dalam konteks tersebut.

    Redaksi 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    4/38

      p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e

      w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    4

    Masalah Ekonomi Indonesia*]

    Oey Hay Djoen

     D D D D Dengan disahkannya Undang-Undang Pembatalan

    Perjanjian K.M.B. terbuka lebarlah jalan raya menujupembangunan Indonesia; jalan raya yang kecuali

    mendekatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi RakyatIndonesia, juga menghadapkan kita pada bermacam-bahaya,

    kesulitan dan kemungkinan serta tak terpenuhinya harapan-harapan karena penghalang-penghalang yang melintang-rintangiperjalanan pada hari depan yang lebih baik itu.

    P P P P P embatalan perjanjian K.M.B. itu, –sekalipun di segi yuridis(hukum) mempunyai arti vital,– tak akan mempunyai kekuatanapapun apabila pembatalan itu hanya bersifat yuridis. Pembatalan

    secara yuridis itu harus disertai tindakan-tindakan yang nyata dilapangan ekonomi, karena perjanjian K.M.B. pertama-tama adalahmasalah ekonomi.

     M  M  M  M  M asalah ekonomi Indonesia adalah masalah/soal pertentanganantara kekuasaan ekonomi kolonial dan ekonomi nasional; masalahpembatalan K.M.B. terutama adalah masalah/soal likuidasi

    kekuasaan ekonomi kolonial itu dan pembangunan ekonominasional.

     D D D D Dari sebab itu, membicarakan masalah ekonomi Indonesia tidak bisa terlepas dari pada membicarakan watak-watak dan ciri-cirikekuasaan ekonomi kolonial atas Indonesia; membicarakan artisebenarnya dari-pada perjanjian K.M.B. dan dari analisa ini

    merintis jalan ke arah pembangunan ekonomi nasional Indonesia.++ ++

    C C C C C iri-ciri pokok daripada politik dan kekuasaan ekonomi kolonialadalah dijadikannya daerah jajahan sebagai:

    a. daerah sumber bahan mentah,

    no-3

    *] Ceramah 27 Mei 1956, Lembaga Pengetahuan Progresif – Semarang.

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    5/38

    5

    b. daerah penanaman modal,c. daerah pemasaran bagi barang jadi,d. daerah tenaga buruh yang murah.

    Dengan menganalisa keadaan pada sebelum perang dunia ke II,dapatlah kita temukan dengan segera ciri-ciri pokok daripada 

    politik dan kekuasaan ekonomi kolonial itu di Indonesia.

    I. Indonesia sebagai daerah sumber bahan mentah

    IIIIIndonesia yang kaya raya akan hasil-hasil bumi, yang mempunyaisumber-sumber kekayaan alam yang seolah-olah tiada batasnya 

    ini merupakan makanan yang empuk bagi kolonialisme Belanda.Pengedukan yang dilakukan oleh kolonialisme atas kekayaan alamIndonesia telah membawa dan menghasilkan kejayaan bagi kuasa-kuasanya di negeri Belanda.

    Seluruh politik ekonomi dan kekuasaan serta susunan ekonomi diIndonesia diselaraskan dengan kepentingan eksploitasi Indonesia 

    dan kekayaan alamnya. Segala usaha di lapang pembangunan: jalanraya, pelabuhan dan lain-lain komunikasi, pendidikan, perumahandan sebagainya ditujukan pada kepentingan eksploitasi kekayaanalam Indonesia itu.

    Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas daripada pengedukankekayaan alam Indonesia, –dijadikannya Indonesia sebagai sumberbahan mentah,– ini baiklah dan memang paling tepat bila kita 

    biarkan angka-angka berbicara.

    Dengan menggunakan angka-angka yang terdapat dari tahun 1938maka terjumpailah, bahwa pada tahun itu berat bahan-bahanmentah yang diangkut ke luar negeri–diekspor–dari Indonesia adalah sebesar: 10.994,43 ribu ton seharga (nilai ekspor) 687, juta  gulden (rupiah sebelum perang). Kalau kita teliti lagi dari jumlah

    berat barang di atas ini, maka tahulah kita, bahwa jumlah itu praktismerupakan jumlah mutlak daripada produksi Indonesia pada tahun 1938 itu pula. Sebagai misal baiklah disebutkan beberapa angka sebagai berikut:

       jenisnya Produksi eksporgula (tanaman  seluas 84.829 ha.) 1.400.340 ton 1.175.300 ton

    karet perkebunan 175.066 ton 156.758 tonteh 80.538 ton 71.921 ton

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    6/38

    p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r

       i   2   0   0   4

    6

    kopi perkebunan 45.572 ton - 68.962 ton

    kopi rakyat 68.690 ton -

    kina (kulit kering) 10.955 ton 6.957 ton (kulit kering)  182 ton (kenini)

    minyak sawit 226.668 ton 220.702 tonbiji sawit 48.036 ton 47.439 tontimah 29.728 long ton 13.699 long ton (biji timah)

      7.207 long ton (logam timah)minyak tanah 7.398.000 ton 6.067.000 tonbauksit 245.000 ton 274.000 tonbatubara 1.456.000 ton 368.000 ton

    serat keras + 95.000 ton 90.079 ton

     Atau kalau kita perinci macam-macam terpenting daripada hasilbumi yang diekspor itu dalam persentase (%)-nja dari nilai ekspor–yaitu seharga 687 juta gulden–maka tampaklah angka-angka sepertiberikut ini: (1938)

    karet 22,6% tembakau 3,9%

    minyak 23,8% kopra 5,7%

    gula 6,5% teh 8,5%minyak sawit 2,8% lain-lain 24,8%

    timah 5,0%

    Seperti telah disebutkan di atas: membiarkan angka-angka berbicara agaknya sudah cukup membuktikan betapa pengedukanyang dilakukan oleh kekuasaan kolonial atas kekayaan alamIndonesia guna kepentingan kolonialisme itu.

    II. Indonesia sebagai daerah penanaman modal

    S S S S S udah tentu juga dalam hal ini politik ekonomi kolonialmenyelaraskan segala sesuatunya dengan kepentingan eksploitasikolonialnya.

    Menurut catatan W. de Cook Buning, jumlah modal milik Belanda 

    yang ditanam di Indonesia pada tahun 1923 adalah sebesar ..... f.1,9 milyar. Sedangkan menurut Prof. G. Gongrijp, modal Belanda pada dekat sebelum perang dunia ke II adalah sebesar ..... f. 4,0milyar, atau dalam perinciannya sebagai berikut:

    perkebunan-perkebunan gula f. 400.000.000,-perkebunan-perkebunan karet “ 450.000.000,-

    perkebunan-perkebunan lain-lain“ 350.000.000,-bank-bank pertanian besar “ 274.000.000,-

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    7/38

    7

    perusahaan timah “ 10.000.000,-

    perusahaan minyak tanah “ 500.000.000,-

    Pelayaran “ 100.000.000,-

     jalan-jalan kereta api “ 150.000.000,-

    perusahaan-perusahaan negara “ 100.000.000,-

    Industri “ 50.000.000,-

    lain-lain “ 250.000.000,- f. 2.634.000.000,- jumlah hutang-hutang haminte-haminte [kota-praja] kepada 

    orang-orang Belanda f. 1.200.000.000,-modal yang ditanam secara 

    tidak langsung “ 200.000.000,- f.1.400.000.000 ,-  f. 4.034.000.000 ,-

     Angka-angka di atas ini ternyata diperkuat juga oleh Prof. Dr. J.D.N. Versluys dalam bukunya (tulisannya) Het Unistatuut de  financieleen en economische overeenkomst   yang kini dijadikandokumen oleh Seksi Perekonomian D.P.R. Republik Indonesia.

    Di dalam memperhatikan angka-angka di atas ini adalah menarik sekali untuk memperhatikan dan secara wajar haruslah disebutkan,bahwa sifat modal Belanda yang ditanam di Indonesia itu sifatnya amat monopoli. Modal Belanda itu menguasai kehidupan ekonomiIndonesia sebagai suatu octopus raksasa yang mempunyai tangannya mencengkeram kehidupan ekonomi.

    Baikah disebutkan, betapa modal Belanda itu berpusat pada 

    beberapa golongan monopoli sebagai berikut:

    Keluarga van Eeghen:  menguasai: Nederlands-Indishe Handelsbank   Incassobank 

      Nederlandse Handel Maatschappij  15 onderneming (cultuur -ondernemingen)  Stoomvaartmaatschappij Nederland  dan juga dalam perusahaan minyak tanah.

    Keluarga Mees-Hintzen:  menguasai: Rotterdamsche Lloyd  K.P.M. dll.  Menarik sekali adalah:

      10 anggota keluarga Mees-Hintzen ini  mempunyai 55 fungsi dalam 52 N.V.,

      yaitu 20 bank besar, 5 perusahaan  asuransi dan 5 onderneming dagang.

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    8/38

    p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r

       i   2   0   0   4

    8

    Kemudian baiklah juga disebutkan kekuasaan modal monopoliBelanda yang biasa disebut BIG FIVE di Indonesia sebagai berikut:

    BORSUMIJ a. mempunyai cabang di seluruh Indonesia 

      b. usaha: menjalankan dagang impor-ekspor dan dagang   komisi, menjalankan perusahaan kasir, bankir, perin-  dustrian dan perkebunan mengadakan eksploitasi atas  barang-barang yang tidak bergerak,  Mengeksploitasi konsesi-konsesi perkebunan, tam-  bang-tambang dll.  c. mengeksploitasi pabrik pers,

    pabrik HIMA di Surabaya,

    pabrik kulit “Djakarta” di Pasuruan,Mempunyai andil 50% dalam “Oranje Brouwerij” di

      Jakarta, dan Pabrik tekstil “Nebritex” di Plered.Mempunyai andil besar dalam N.V. Maatschappij totExploitatie van Book-, Blik- en Offset Drukkerij“FUHRY” di Surabaya, N.V. Lak-Verf Fabriek “Djakarta” di Jakarta dan dalam “Distributie Mij voor

    Phillipe artikelen” di Indonesia,Selanjutnya BORSUMIJ ini menguasai saham-sahamseluruhnya daripada perusahaan sabut kelapa (vezelonderneming ) “Kota Blater” di Ambulu.

    N.V. GEO WEHRY: tersusun sebagai berikut:N.V. Adm. Mij GEO WEHRY yang memiliki perusaha-an-perusahaan lokal di bawah pimpinan konsern terse-but.

    N.V. GEO WEHRY dilapangan impor dan merupakandireksi dan menjadi serta bertindak sebagai gedelegeerdedari 15 perkebunan.N.V. Internationaal dsb.

    Untuk lengkapnya perlulah disebutkan juga modal-modal raksasa monopoli BIG FIVE lain seperti N.V. INTERNATIO, N.V.LINDETEVES dan JACOBSON v.d. BERG N.V. yang dengan

    tak perlu disebut lagi dapatlah dikenal daerah dan langan operasinya di berbagai lapangan ekonomi vital di Indonesia.

    III. Indonesia sebagai daerah pasaran bagi barang  jadi

     D D D D Dilihat secara strukturil dan dengan angka-angka pembukti, yang menunjukkan kedudukan yang diberikan kepada Indonesia sebagaitanah jajahan oleh kolonialisme Belanda: sebagai daerah sumber

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    9/38

    9

    bahan mentah dan lebih-lebih lagi dari lapangan-lapanganpenanaman modal sebetulnya sudah cukup terlihat politik ekonomikolonial di Indonesia.

    Dengan memperhatikan lapangan-lapangan penanaman modal,yaitu perkebunan-perkebunan, pertambangan, pelayaran, bank dsb. itu jelaslah bahwa penanaman modal itu bersifat pelayanankepentingan kolonialisme dalam pengedukan kekayaan bumiIndonesia.

    Di lain pihak kenyataan ini secara keras terbukti dariketerbelakangan Indonesia di dalam industri-industri dalam negeri.Industri dalam negeri pada waktu sebelum perang, dan yang 

     jumlahnya atau yang menurut kedudukannya tidak berarti itu tidak lain dan praktis adalah merupakan industri-industri pelayankepentingan modal Belanda sendiri.

    Industri–kalau bisa dinamakan demikian dalam arti sebenarnya–yang ada di Indonesia pada sebelum perang dunia ke II pada garis

    besarnya ialah:a. Industri-industri perkebunan dan pertanian berat yang 

    menghasilkan bahan-bahan ekspor,b. Industri-industri pembantu atau bengkel-bengkel yang bekerja 

    untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang kecil di berbagaipabrik besar dalam sub a di atas ini,

    c. Industri barang-barang kebutuhan penduduk bangsa asing dangolongan atasan lainnya terutama seperti pabrik-pabrik susu,mentega, es, roti, limun, bir, sabun-wangi, sigaret, radio, pir-lampu, sepatu, ban-mobil, dsb. semacam itu.

    Dengan lain perkataan, industri dalam negeri yang melayanikebutuhan rakyat banyak praktis tidak ada atau tidak berarti sama sekali sehingga bergantunglah pada pemasukkan barang-barang 

    kebutuhan itu dari luar negeri, yaitu barang jadi hasil pengolahankekayaan alam Indonesia sendiri yang telah diangkut ke luar negeridan dikerjakan oleh pabrik-pabrik di sana, ataupun yang memang merupakan barang-barang jadi sisa kelebihan produksi (over -produksi) yang mencari dan dibanjirkan pada pasaran-pasarandaerah jajahan.

    Sebagai bukti dapatlah hal ini dilihat dari angka-angka impor pada sebelum perang dunia ke II (tahun 1938) yang menunjukkan

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    10/38

      p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e

      w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    10

    seperti berikut:

    impor 1938: banyaknya harga  barang-barang konsumsi 779,2 ribu ton f. 206,7 juta 

    barang (bahan) baku/penolong 1056,9 ribu ton f. 154,4 juta  barang-barang modal 166,7 ribu ton f. 117,9 juta   jumlah: 2.002.8 ribu ton f.478,5 juta 

     Atau kalau dihitung menurut persentasenya dari seluruh nilaiimpornya berarti:

    untuk barang konsumsi 43,3%

    untuk bahan baku/penolong 32,2%untuk barang modal 24,5%

    IV. Indonesia sebagai daerah tenaga buruh yang murah

     D D D D Dengan tidak usah terlalu jauh mencari-cari bahan kenyataan

    eksploitasi atas rakyat Indonesia sebagai tenaga buruh yang murahadalah cukup dengan menunjukkan pada sejarah koeli-kontrak ,pemerasan yang tiada terhingga kejamnya seperti dengan dakwaanyang sekeras-kerasnya merebut tempat dalam dunia kesusasteraan:buku Multatuli Max Havelaar  atau pada ejekan kurang ajar yang berbunyi: “Orang Indonesia bisa hidup dengan segobang sehari......”

     Juga sejarah telah membuktikan, bahwa kaum buruh Indonesia–baik di perkebunan, pertanian maupun perusahaan–sadar akanpemerasan dan penindasan penjajahan itu. Adalah sebagaiperlawanan yang sadar apabila pada tahun 1926 terjadipemberontakan yang revolusioner dari rakyat Indonesia melawanpenjajahan itu. Dari sebab itu pula adalah khianat jika kejadian

    bersejarah pada tahun 1926 itu disebut dalam ejekan–seperti juga kaum kolonialis mengartikan kejadian bersejarah itu–sebagai“huru-hara.”

    ++ ++ Adalah tidak lengkap, apabila dalam menganalisa susunan dankekuasaan politik ekonomi kolonial itu kita hanya tinggal pada 

    penyebutan ciri-ciri pokoknya saja. Untuk melengkapi analisa inimau tidak mau dan secara tidak dapat dipisah-pisahkan harus pula 

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    11/38

    11

    diterangkan betapa eksploitasi kolonial itu menguntungkan pihak penjajah. Menyebutkan pengedukan kekayaan berupa keuntungan-keuntungan bagi penjajah akan menenangkan pula secara lebih

     jelas keuletan dan perlawanan yang sengit yang dilakukan olehpenjajah terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia.

    Sebagai hasil daripada pengurasan kekayaan alam Indonesia,penanaman modal dan eksploitasinya atas rakyat Indonesia,keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya diangkut olehpenjajah ke negerinya.

    Menurut angka-angka yang dikumpulkan dan diumumkan olehTinbergen dan Derksen, maka keuntungan di tahun 1938 yang diperoleh penjajah Belanda merupakan tidak kurang daripada kurang lebih 15% daripada pendapatan nasional negeri Belanda pada tahun itu pula, yaitu yang sebesar tidak kurang dari f.5.100.000.000,- sehingga berartilah bahwa keuntungan penjajahpada tahun 1938 itu adalah kurang lebih f. 700.000.000,- setahun.

    Keuntungan sebesar 700 juta gulden itu dapat dibagi dalam dua kategori:

    a. Pendapat-primer yang diperoleh dari onderneming-onderneming  seperti gula, karet, kelapa-sawit, timah, minyak-tanah, perusahaan-perusahaan dagang dsb. yang meliputi

     jumlah f. 400.000.000  ,- kurang lebih.b. Pendapat-sekunder yang diperoleh oleh orang-orang Belanda 

    yang berada di negeri Belanda dan orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia yang berada dalam hubungan yang timbulkarena pekerjaan-pekerjaan dalam penanaman modal diIndonesia, yang meliputi jumlah ....  f  . 300.000.000  ,- kurang lebih.

    Suatu contoh yang amat menyolok telah diberikan oleh HenrieteRoland Holst dalam bukunya  Kapitaal en Arbeid in Nederland  yang membuktikan, bahwa pada tahun 1925 perusahaan-perusahaan/pabrik gula sebanyak 27 buah dengan modal f. 85.000.000,- yang bekerja di Indonesia telah mencapai keuntungan sebanyak tidak kurang dari f. 34.500.000,-!

    Lain contoh lagi menyatakan, bahwa menurut angka-angka resmi,selama 20 tahun sebelum perang dunia ke II Belanda mengalami

    kekurangan dalam neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat.Menurut angka-angka itu dari tahun 1921 sampai dengan tahun

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    12/38

      p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e

      w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    12

    1940 negeri Belanda telah mengumpulkan kekurangan pada neraca perdagangan dengan A.S. itu sejumlah seluruhnya 900 juta dollar .Sebaliknya, dari tahun 1921 sampai dengan 1940 Indonesia telahmengumpulkan kelebihan  dollar   pada neraca perdagangannya dengan Amerika Serikat sejumlah seluruhnya 955 juta dollar . Darisini dapatlah dilihat dengan sejelas-jelasnya, bahwa kekurangandollar yang selama 20 tahun diderita oleh negeri Belanda itu telahdiperkecil, bahkan telah ditutup dengan pendapatan (kelebihan)dari tanah jajahannya!

    Untuk melihat contoh yang agak lebih menyolok lagi dapatlah

    disebutkan pula di sini, bahwa rakyat Indonesia yang merupakan98% dari penduduk kepulauan Indonesia pada tahun 1936 hanya menerima 20% kurang lebih dari pendapatan nasional Indonesia sedangkan penduduk Eropa di Indonesia yang merupakan hanya 0,5% dari penduduk kepulauan Indonesia menerima tidak kurang dari 60% dari pendapatan nasional Indonesia itu!!

    Keadaan-keadaan seperti diuraikan di atas ini tidak bisa lagi ditolak sebagai bukti-bukti yang senyata-nyatanya daripada pemerasan,penindasan dan kemelaratan yang dialami oleh Rakyat Indonesia di bawah cengkeraman kolonialisme Belanda itu.

    ++ ++Kekuasaan kolonialisme seperti diuraikan di atas itulah–yang merupakan pertentangan pokok antara kolonialisme dan aspirasinasional Rakyat Indonesia–menjadikan perjuangan RakyatIndonesia yang paling pokok ialah melenyapkan kekuasaan yang mencengkeram kehidupan Rakyat Indonesia.

    Perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan ekonomi kolonialatas kehidupan Rakyat ini tercermin dengan tegas dalam U.U.D.proklamasi 1945, pasal 33 yang–secara langsung berhadap-hadapan

    dengan kenyataan kekuasaan monopoli kolonial–menetapkan,bahwa perekonomian nasional akan:

    1) diorganisir sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan,2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

    menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,3) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 

    dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat.

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    13/38

    13

    Dengan lain perkataan, perjuangan kemerdekaan dari RakyatIndonesia bertujuan melikuidasi kekuasaan kolonialisme atasekonomi dan kehidupan Rakyat banyak dan menciptakan suatuekonomi nasional yang terpimpin, yang sekalipun memungkinkanadanya dan hidupnya modal perseorangan atau kapitalisme, namundalam batas-batas agar tidaklah ia berkembang menjadi monopoli.

     Jadi suatu ekonomi nasional yang bertujuan mencapai danmeningkatkan derajat hidup dan kemakmuran rakyat secara maksimal.

    Tetapi tujuan perjuangan Rakyat Indonesia ini belum tercapaidisebabkan kekalahan revolusi Agustus 1945. Kekalahan berturut-turut dan secara pasti telah menjadi kenyataan dengan dibuatnya Perjanjian K.M.B.

    Perjanjian K.M.B. tidak lain ialah restorasi kekuasaan kolonialismesekalipun dalam bentuk-bentuk yang agak berlainan daripada sebelum perang.

    Betapa K.M.B. berarti pengembalian kekuasaan kolonialisme bisa secara segera ditemukan pada kenyataan, bahwa di dalamperundingan K.M.B. tidaklah dapat dimasukkan pasal-pasal yang 

     jiwanya termaksud dalam pasal 33 U.U.D. Proklamasi 1945 itudi dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) Terutama bab mengenai pencegahan adanya organisasi-organisasi yang 

    bersifat monopoli di lapangan ekonomi.Baru dengan diproklamasikannya Republik Indonesia Kesatuanpada 17 Agustus 1945 dan di dalam konstitusi sementara (U.U.D.–Sementara ) yang berlaku hingga sekarang dapatlah dicantumkanbab-bab yang dimaksudkan itu sebagaimana terbukti dengan pasal-pasal 37 dan 38 U.U.D.–Sementara .

    Tetapi bagaimanakah kenyataannya yang sebenarnya? Adakah ia sesuai dengan ketentuan yuridis yang sebenarna paling kuasa karena ia tercantum di dalam konstitusi (sekalipun sementara)??

    Kenyataan daripada K.M.B. dan segala konsekuensi yang harusditanggung karena K.M.B. itu sebenarnya menertawakan bab-babtersebut sekalipun sudah tercantum dalam U.U.D.–sementara .

    Seperti sudah disebut di atas, perjanjian K.M.B. tidak lain daripada restorasi kolonialisme atas Indonesia. Dengan K.M.B. itu Indonesia 

     E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    14/38

    p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    14

    tetap daerah jajahan.

    Baiklah untuk membuktikan ini diberikan beberapa fakta yang langsung tercantum di dalam perjanjian K.M.B. itu. Antara lain

    ditentukan, bahwa Indonesia harus mengambil oper segala hutan-hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan sedianya dibebankan kepada “Nederlands Indie,” yaitu:

     Jumlah hutang yang harus dibayar pada negeri Belanda f. 1.138.237.000,-Hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda dan

    harus dibayar kepada Amerika Serikat f. 420.424.000,-

    Lain-lain hutang yang dilakukan oleh negeri Belanda 

    dan harus dibayar pada luar negeri f. 2.800.000.000,-

     Jumlah ........................ f. 4.358.661.000,-

    Selanjutnya bisalah juga disebut beberapa pasal daripada perjanjianK.M.B. bagian FINEC (keuangan dan ekonomi), yang secara langsung bertentangan juga dengan pasal-pasal 37 dan 38 U.U.D.–sementara  kita, antara lain:Pasal 16: “Tentang perubahan perbandingan harga (wisselkoors ) mata uang 

    R.I. dan Nederland lebih jauh akan diadakanpermusyawaratan”

    Pasal 17: “Selama keadaan luar atau dalam negeri memerlukan “deviezenregiem” maka baik Republik Indonesia maupun Nederlandakan mempermusyawaratkan pasal-pasal kebijaksanaan

    devisennya yang penting benar bagi pihak yang lain”

     Akibat langsung daripada pasal-pasal di atas ini dapatlah kita lihatpada waktu gunting uang Sjafruddin [Prawiranegara] yang disiarkan seolah-olah bocor, karena ternyata pengusaha-pengusaha monopoli asing berhasil menyelamatkan diri dari gunting Sjafruddin itu, tetapi sebenarnya kebocoran itu adalah sesuaidengan pasal-pasal di atas, yaitu “dibocorkan” oleh pemerintah

    sendiri. Atau baiklah diambil contoh-contoh lain daripada perjanjianpicang itu, yaitu

    Pasal 3: “Tindakan mencabut hak, menasionalisir, menghapuskan,menyuruh melepaskan atau memindahkan secara paksa benda atau hak, hanya akan dijalankan untuk keperluan umum

    menurut acara yang ditetapkan dengan peraturan undang-undang dan– jika tidak dapat persetujuan antara pihak-pihak 

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    15/38

    15

    yang berkepentingan–dengan mengganti kerugian yang diterimakan atau dijamin lebih dahulu dan yang ditetapkanhakim menurut harga sebenarnya benda atau hak yang diambilitu, segala-galanya itu menurut aturan yang ditetapkan dengan

    undang-undang. Syarat bahwa pengganti kerugian itu harusditerimakan atau dijamin lebih dahulu tidaklah berlaku jika benda atau hak itu perlu diambil dengan sesegeranya, karena keadaan perang, bahaya perang, pemberontakan, kebakaran,banjir, gempa bumi, gunung meletus atau lain-lain kejadian

    yang mendesak.”

     Atau

    Pasal 18: “Pada pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya c.q.“naasting ” Pemerintah Republik Indonesia mengijinkanpemindahan uang pengganti kerugian c.q. harga “naasting ”itu dipindahkan di dalam tempo tiga tahun, maka wajiblahRepublik Indonesia menyatakan sedemikian sebelummenjalankan pencabutan hak, nasionalisasi dan lain-lainnya itu. Sebuah panitia arbitrase yang anggotanya ialah seorang 

     wakil Republik Indonesia, seorang wakil yang berhak danseorang anggota lagi yang ditunjuk sesudah bermusyawaratoleh kedua wakil teresbut tadi, akan memberikan keputusansesudah ikat tentang soal apakah dan sampai dimanakahketentuan tempo 3 tahun itu boleh dilaini - Jika pemindahanuang tidak dijalankan segera, maka uang mengganti kerugianc.q. “naasting ” yang ditetapkan dengan uang Indonesia akan

    dikreditir dengan valuta negara modal itu berasal daripadanya menurut perbandingan uang (wisselkoers ) pada hari pencabutan

    hak itu terjadi.”

     Jelaslah, bahwa untuk mencabut hak milik ataupun hak mengusahakan perusahaan dari perusahaan modal Belanda tidaklahcukup dengan peraturan pemerintah, melainkan pada pokoknya haruslah dengan undang-undang yang menyebutkan jumlah

    pengganti kerugian, serta yang boleh segera ditransfer ke negeriasal modal (negeri Belanda) dengan ketentuan pula mengenai nilaitukar uang pengganti kerugian tersebut.

    Lebih jauh baiklah juga disebut di sini mengenai hak-hak yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak yang disebutkandi dalam perjanjian-perjanjian kolonial dulu dan yang harus

    diteruskan/diterima sebagai warisan oleh Republik Indonesia, yaituapa yang disebut “Let Alone Agreement .” Perjanjian itu menentukan,

     E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    16/38

    p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r

       i   2   0   0   4

    16

    bahwa kongsi-kongsi minyak diberikan kekuasaan untuk menguasai devisen hasil ekspor minyak tanah dari Indonesia. Halini akan diuraikan lebih jauh.

    Sebagai gambaran tambahan baiklah juga disebut tentang eksploitasi jalan-jalan kereta api di Indonesia. Perjanjian K.M.B.menentukan, bahwa semua perusahaan kereta api di Jawa, Madura dan Sumatera harus dikembalikan kepada maatschappj-maatschappij  kereta api (Belanda) partikelir.

    Pada tahun 1946 pemerintah Belanda di daerah-daerah federalmengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan kereta apipartikelir, yaitu dengan “Overeenkomst A” perusahaan-perusahaankereta api partikelir itu disatukan dengan S.S. (Staats Spoorwegen)dan diberi nama SS/VS. Pada tahun 1949 dengan adanya apa yang dinamakan penyerahan kedaulatan, SS/VS disatukan denganD.K.A., tetapi perjanjian K.M.B. menentukan lebih jauh, bahwa pemerintah R.I. wajib:

    a. membayar uang sewa setiap tahun kepada maatschappij sebagaiberikut:

      kepadaN.I.S. f. 3.111.300,-S.C.S. “ 1.063.800,-S.J.S. “ 429.100,-O.J.S. “ 253.000,-S.D.S. “ 184.500,-Madura Stoomtram “ 208.200,-Malang Stoomtram “ 153.200,-Kediri Stoomtram “ 75.800,-Modjokerto Stoomtram “ 55.800,-Pasuruan Stoomtram “ 279.090,-Probolinggo Stoomtram “ 47.500,- jumlah f. 5.640.000,-

    b. semua pegawai maatschappij  digaji dan diberi hak-hak seperti

    pegawai pemerintahc. Pemerintah R.I. memberi sokongan pada  fonds   tunjangan

    maatschappij   setiap tahunnya sebesar f. 160.000,-.Ondersteuningsfonds  ini berada di negeri Belanda.

    d. Pemerintah R.I. memberikan sokongan sebesar 25% dari gaji-aji (jumlah) ambtenar-ambtenar  kepada Fonds Pensiun yang berada di negeri Belanda.

     Wajarlah bila diperhatikan juga, bahwa dari maatschappij-

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    17/38

    maatschappij  itu yang terbesar modalnya ialah N.I.S., gabunganmaatschappij-maatschappij  (SJS, CJS, SDS) dan Malang Stoomtramsebesar masing-masing f. 40 juta, f. 6 juta dan f. 5 juta. Dihitung dengan sewa yang sudah dibayar oleh pemerintah sejak tahun 1949maka nampak keganjilan daripada “kerjasama” di atas ini.

    Sekalipun sudah dibentuk panitia nasionalisasi pada tahun 1952,tetapi sampai kini perusahaan-perusahaan tersebut di atas masihtetap milik maatschappij-maatschappij  itu.

    Demikian inilah secara sekedarnya beberapa contoh tentang konsekuensi-konsekuensi langsung sebagaimana ditetapkan olehK.M.B.

     Adalah masalah ini terbatas sampai demikian ini saja?

    Dalam uraian ini sudah disebutkan, bahwa perjanjian K.M.B.adalah berarti restorasi daripada kekuasaan modal kolonial. Betapa tidak!

    Ciri-ciri pokok yang kita temukan sebagai pembukti daripada berlakunya ekonomi dan dikuasainya Indonesia oleh politik ekonomi kolonial bukanlah semata-mata identik, sama dengankeadaan pada sebelum perang dunia ke II. Dalam kenyataannya penguasaan Indonesia oleh kolonialisme sebenarnya adalah lebihintensif, lebih keras. Dengan lain perkataan: penghisapan kolonialyang berlaku dengan perjanjian K.M.B. itu mencapai bentuk-

    bentuk ekstrim.

    Untuk bergerak pada sistematik penguraian masalah-masalahnya,–bahwa Indonesia tetap daerah jajahan,– baiklah disebutkankedudukan Indonesia dengan K.M.B. itu sebagai daerah sumberbahan mentah, tempat pengurasan bahan mentah untuk kepentingan penjajahan, untuk kepentingan imperialisme.

    Menurut Kantor Pusat Statistik, angka-angka ekspor (sesudahK.M.B.) adalah sebagai berikut:

    tahun beratnya ekspor nilai ekspor1950 8.518.972 ribu ton 2.953,79 juta rupiah1951 9.734.650 ribu ton 4.779,52 juta rupiah –$1 = Rp 3,801952 9.847.979 ribu ton 10.386,75 juta rupiah –$1 = Rp 11,401953 12.192.656 ribu ton 9.343,00 juta rupiah

    1954 12.744.377 ribu ton 9.759,00 juta rupiah

    17

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    18/38

      p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e

      w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    Seperti juga halnya pada waktu sebelum perang, jumlah di atas iniboleh disebutkan sebagai jumlah mutlak daripada penghasilanterpenting Indonesia, seperti terbukti dengan angka-angka sebagaiberikut:tahun Jenisnya produksi ekspor1954 gula (luas tana-  man 49.256 ha.) 717.742 ton 219.441 ton

      “ minyak sawit 168.636 ton 140.062 ton  “ biji sawit 43.319 ton 42.407 ton  “ serat keras 30.733 ton 23.723 ton  “ teh 46.900 ton 40.228 ton

      “ kopi perkebunan 14.196 ton - 37.336 ton  “ kopi rakyat 42.800 ton -  “ kina 1.770 ton 617 ton (kulit kering)

      1 ton (kenini)

      “ timah dalam biji 35.862 long ton 33.941 long ton

    (dalam biji)

    994 long ton (logam)

      “ karet perkebunan 287.551 ton 237.975 ton  “ karet rakyat -tak tercatat- 471.639 ton1950 minyak mentah  & hasil 6.816.000 ton 6.160.000 ton1951 -”- 8.093.000 ton 6.798.000 ton1952 -”- 8.523.000 ton 7.883.000 ton1953 -”- 10.225.000 ton 9.599.000 ton1954 -”- 10.775.000 ton 9.887.000 ton

    Dengan mengambil perbandingan pada keadaan sebelum perang maka nampak juga, bahwa ekspor (baca: pengurasan) hasil-hasil/kekayaan alam Indonesia yang terpenting telah meningkat sekali,sebagaimana terlihat dari hitungan persentase daripada beberapa hasil terpenting itu dalam nilai ekspornya dari nilai-eksporseluruhnya.

    Dengan menggunakan angka tahun 1954 sebagai dasar, maka terlihatlah, bahwa dari jumlah nilai ekspor yang sebesar 9.759 juta rupiah itu:

    nilai ekspor: karet = 30,9% nilai ekspor: timah = 7,2%

      minyak = 26,4% tembakau = 3,8%

      gula = 2,6% kopra = 6,7%  minyak sawit = 3,6% teh = 4,6%

    – lain-lain = 14,2%Kalau kedudukan Indonesia dengan K.M.B. ternyata tidak berubah

    18

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    19/38

    dari keadaan sebelum perang dunia ke II, yaitu sebagai daerahbahan mentah, maka keadaan serupa kita temukan juga dalamkeadaan modal dan kekuasaan modal kolonial di Indonesia sesudahK.M.B. ini.

    Memang, seperti sudah diuraikan di atas, justru K.M.B. inilahyang memberikan jaminan-jaminan agar modal dan kekuasaanmodal kolonial tetap dapat menguasai perekonomian Indonesia,tetap dapat bergerak dan menjalankan peranannya untuk pengurasan dan pengedukan bahan mentah, eksploitasi dankeuntungan.

    Menurut perkiraan, maka modal Belanda sebagai akibat perang dan selama revolusi, telah mengalami kerusakan kurang lebih 25%,yang berarti, bahwa dari modal sebelum perang yang sebesar f. 4milyar lebih itu masih utuh sebesar f. 3 milyar. Pihak resmi Belanda sendiri telah menaksir, bahwa nilai modal yang ditanam diIndonesia adalah kira-kira f. 5 sampai f. 6 milyar (nilai  gulden

    sebelum perang = kurang lebih 2 kali nilai gulden sesudah perang).Dan dengan kenyataan, bahwa nilai riil daripada f. 1,- sesudahperang adalah kira-kira Rp. 8,= sampai Rp. 9,- maka modalmonopoli Belanda yang masih menguasai perekonomian Indonesia berjumlahlah kira-kira Rp. 40 milyar sampai Rp. 50 milyar, bahkandisebut Rp. 64 milyar.

    Untuk bahan perbandingan baiklah disebutkan di sini, bahwa 

    kekuasaan modal kolonial yang bercokol di bumi Indonesia inisungguh-sungguh bersifat menguasai perekonomian Indonesia.Tidak kurang daripada 70% daripada modal asing yang ditanamdi Indonesia adalah milik kolonialis Belanda.

    Sebagai misal baiklah diambil, bahwa 7 bank asing di Indonesia pada permulaan tahun 1955 mempunyai Rp. 2,8 milyar deposito,

    sedangkan 20 bank nasional hanya mempunyai Rp. 75 juta.Di lapangan pelayaran antar-pulau jelas kekuasaan dipegang olehK.P.M. dan serekannya sedangkan perhubungan laut dengan luarnegeri praktis seluruhnya dipegang oleh kongsi-kongsi asing dalammana modal Belanda menguasai 95%. Demikian juga halnya dengan kade-kade  di Indonesia yang untuk 85% dikuasai oleh

    kongsi-kongsi Belanda, sedang instalasi-instalasi pelabuhan praktisdiurus pula oleh kongsi-kongsi Belanda.

    19

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    20/38

    p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r

       i   2   0   0   4

    Di lapang pertambangan dan perkebunan kiranya keadaan yang serupa dengan di atas itu sudah cukup jelas. Demikan juga dilapangan impor dan ekspor dsb.

    Dan memang semuanya itu secara langsung dapat dilihat pada keseretan dan tidak mungkinnya dicapainya perkembangan danpertumbuhan ekonomi nasional yang sehat. Keterbelakangan dilapangan pembangunan ekonomi nasional, bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang dibangun dengan susah payah sejak revolusi, semuanya itu menjadi gambaran umum daripada ekonominegeri.

    Seperti halnya pada waktu sebelum perang juga pada Indonesia dengan K.M.B. ini ditemukan ciri pokok daripada negeri jajahan:menjadi daerah pasaran bagi barang jadi.

    Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya praktis Indonesia harus bergantung pada luar negeri. Pada impor barang-barang yang sekaligus menggantungkan Indonesia pada sumber penghasilan

    devisen yang keadaannya seninkemis .

     Angka-angka impor menunjukkan, bahwa titik beratnya tetapterletak pada pemasukan barang-barang konsumsi (barang jadi)dan barang-barang/bahan-bahan baku penolong sedangkan untuk pembangunan industri persentase impor barang modal tetap kecil,sebagai berikut:

     Jumlah impor Nilai (dalam jutaan Rp.) Persentase dari jumlah  nilai impor

     jenis 1951 1952 1953 1954 1951 1952 1953 1954

    barang-barang pemakaian 1.701 5.377 3.740 2.699 51,3 49,8 43,6 37,6

    bahan-bahan baku/

    penolong 1.148 3.440 3.232 3.048 34,6 31,8 37,6 42,5

    barang-barang modal 469 1.989 1.612 1.425 14,1 18,4 18,8 19,9

    Ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang konsumsidan terapung-apungnya nasibnya pada hasil ekspor bahan-bahanmentahnya itu mendudukkan Indonesia pada tempat yang amattidak enak dan berada di bawah pengaruh langsung daripada pasaran dunia. Ini lebih-lebih lagi hebatnya karena dengan adanya ikatan K.M.B. yang berarti dikuasakannya Indonesia pada Belanda berartilah pula bahwa Indonesia masuk ke daerah pengaruh–ini

    paling sedikitnya–dan kekuasaan modal imperialis Amerika Serikat,pada siapa negeri Belanda menggantungkan nasibnya.

    20

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    21/38

     Juga disebabkan oleh politik yang dijalankan oleh pemerintahIndonesia setelah perjanjian K.M.B. itu makin terjerumuslahIndonesia ke dalam lumpur permainan imperialisme dunia.Indonesia terseret masuk juga ke dalam perangkap yang dipasang oleh imperialisme Amerika: dalam wujud embargo yang tidak sahterhadap R.R.T.

    Indonesia ternyata tunduk pada paksaan imperialisme untuk meletakkan orientasi ekonomi dan pembangunan ekonominya kepada hanya dunia barat dengan benteng imperialismenya:

     Amerika Serikat.

    Betapa langsung kedudukan itu mempengaruhi Indonesia dapatlahdilihat pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negeri yang hampir-hampir dikatakan nyawanya tergantung pada gerak eksporbahan-bahan mentahnya telah menjadi korban daripada politik imperialis.

    Contoh yang amat nyata sebagai akibat ketergantungan pada 

    pasaran barat, pada orientasi ke barat; sebagai akibat embargo,dapatlah dibuktikan dari angka-angka harga bahan ekspor terutama dari Indonesia pada waktu sebelum, selama perang di Korea danembargo terhadap R.R.T. sebagai berikut:

    Pasar NEW YORK – dalam dollar  sen per ponK A R E T T I M A H1951 –Maret 72,00 nom. 1951 –Maret 157,875

    1952 –Sept. 28,24 1952 –Maret 121,501953 –Maret 26,625 1953 –Juni 93,25

    Nop. 20,425 Des. 84,251954 –Maret 20,25 1954 –Jan. 85,25

    Dengan segera terbuktilah, bahwa harga karet pada bulanSeptember 1952 (28,24 $sen) tidaklah lebih daripada hanya 39%dari harga karet pada bulan Maret 1951 (72,00 $sen) untuk setiap

    pon-nya.

    Betapa besar kerugian yang diderita oleh Indonesia karena kejatuhan harga itu sudahlah mudah untuk dibayangkan. Padahalkeadaan kejatuhan harga itu berjalan terus pada tahun-tahunberikutnya dan sampai kini tercapai kembali harga tahun 1951itu.

    Baiklah dicoba memberikan angka-angka daripada kerugian yang 

    21

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    22/38

      p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e

      w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    diderita oleh Indonesia pada tahun 1952 itu saja.

    Pada tahun 1951 diekspor sebanyak 755.000.000 kg. karet dengannilai ekspor sebesar Rp. 2.483.000.000,- Sedang pada tahun 1952

    diekspor sebanyak 745.000.000 kg. karet dengan nilai eksporsebesar Rp. 4.778.000.000,-

    Melihat angka-angka di atas ini orang biasa untuk segera bergembira, karena nampak bahwa untuk ekspor yang hampir sama besarnya telah dihasilkan hampir 2 kali dalam harga.

    Tetapi kegembiraan–kalau orang bergembira–adalah terburu-buru.

    Keadaan sebenarnya ialah, bahwa pada tahun 1951 nilai tukardollar  dan rupiah adalah $.1,- adalah Rp. 3,80. Sedangkan pada tahun 1952 nilai tukar itu berubah (penilaian kembali rupiah)menjadi $.1,- adalah Rp. 11,40.

     Jadi kalau Rp 2.483 juta hasil ekspor karet tahun 1951 itu berarti$. 656 juta maka Rp. 4.778 juta hasil ekspor karet tahun 1952

    hanyalah berarti $. 419 juta kurang lebih. Jadi untuk jumlah kg.yang hampir sama besarnya Indonesia telah mengalami kejatuhanharga sebesar kurang lebih $. 230 juta. Atau dalam rupiah Indonesia berartilah kerugian sebesar 230.000.000 x Rp. 11,40 = Rp.2.622.000.000,-

    Kalau kita periksa, bahwa pada pertengahan tahun 1954 harga 

    karet bahkan telah turun menjadi hanya 20,25 $sen per pon, maka bisalah secara kasar dikatakan, bahwa selama tahun-tahun 1952-1953-1954 saja Indonesia telah mengalami kerugian paling sedikitnya 3 x Rp. 2,5 milyar. Ini hanya dalam ekspor karet.

    Untuk lebih menegaskan lagi betapa Indonesia dieksploitasi sebagaisumber/daerah bahan mentah dan daerah pasaran belaka: tanpa kemungkinan untuk membangun tingkat hidup yang lebih tinggi

    haruslah diberikan gambaran tentang kepincangan dalam tingkatharga barang-barang yang diimpor ke dan barang-barang yang diekspor dari Indonesia.

    22

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    23/38

     ANGKA-ANGKA INDEKS HARGA BARANG-BARANG EKSPOR DANIMPOR 

    (1938 = 100)

    Ekspor (harga-harga f.o.b.) Impor (harga-harga perdagang 

    besar)  Angka-angka indeks tertimbang Angka-angka indeks tertimbang Diantaranya: Diantaranya:

      18 hasil 4 hasil 10 hasil 3 hasil 44 ba- 6 bahan 10 macam 13 ba-  ekspor perke- pertani- hutan rang makanan tekstil han

      bunan an impor kimia    & ti-  mah

    1952-Desember 1.605 1.522 1.668 3.332 2.245 2.555 2.503 2.0951953-Desember 1.208 1.195 1.188 3.391 2.402 3.157 2.574 2.265

    1954-Desember 1.528  1.558 1.479 2.818 2.956 3.414 3.843 2.783sumber: Kantor Pusat Statistik 

     Apakah yang kita dapati dari angka-angka di atas ini?

    Ternyata, bahwa dibanding dengan tahun 1938 (memakai tahun1938 sebagai ukuran 100) maka harga dari 18 hasil ekspor(terpenting) dari Indonesia telah naik dengan 15 kali lebih pada tahun 1954. Tetapi sebaliknya, harga dari 44 barang yang diimpor

    ke Indonesia telah naik dengan hampir 30 kali. Jadi, kalau pada tahun 1938 harga dari 18 hasil ekspor dan harga dari 44 barang yang diimpor ke Indonesia perbandingannya adalah 1 : 1, maka pada tahun 1954 perbandingan itu telah berubah menjadi 15 : 30atau 1 : 2.

    Dengan lain perkataan: untuk dapat mengimpor jumlah yang sama 

    dari 44 macam barang yang dibutuhkan oleh Indonesia, maka Indonesia harus menghasilkan dua kali barang yang harus diekspor.

     Jadi, untuk dapat memenuhi kebutuhannya akan barang-barang impor seperti di tahun 1938 maka rakyat Indonesia harus bekerja duakali lipat dalam menghasilkan barang untuk diekspor.

    Dengan demikian tidaklah mungkin tercapai peningkatan taraf 

    hidup, bahkan sebaliknya rakyat hidup harus memeras keringatnya lebih hebat lagi. Dan dengan demikian tidak mungkin juga tercapaineraca yang menguntungkan secara riil.

    Dan sampai di sini mengertilah juga kita, bahwa memang Indonesia tetap merupakan daerah tenaga buruh yang murah.

    Sebagai contoh baiklah sekedar disebutkan di sini, bahwa–misalnya 

    saja–kaum buruh di lapangan industri minyak sehari menerima upah kira-kira Rp. 6,- atau setengah dollar  Amerika Serikat.

    23

     E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    24/38

    p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e  w  s ,   j   a  n  u  a  r

       i   2   0   0   4

     Jauh melebihi itu adalah, bahwa seorang buruh Amerika yang bekerja di lapangan yang sama (buruh minyak) menerima upah $.8 (delapan dollar ) sehari, atau sama dengan Rp 96,- sehari, yang berarti: 16 kali lipat dari yang diterima oleh seorang buruhIndonesia.

    Dengan sekedar contoh ini saja kiranya sudah cukup tergambarbetapa keras berlakunya pemerasan dan penghisapan terhadapkaum buruh Indonesia. Dan dari sini pula dapatlah dimengertibetapa khianat orang-orang yang mengoper anjuran Dr. HerSchacht–itu fasis Jerman–yang menggambarkan “mehr arbeit ,”

    “mehr arbeit ” itu.

     Adalah juga dengan sekedar contoh tadi itu kiranya cukup untuk setiap orang mengerti betapa adil tuntutan dan perjuangan kaumburuh yang menuntut hapusnya Undang-Undang DaruratTedjasukmana, yang membelenggu kaum buruh danmempenjarakan setiap penuntut yang menggunakan senjatanya 

    yang satu-satunya: mogok .Di satu pihak kaum buruh Indonesia ditindas dalam perjuangannya untuk menuntut penghidupan yang layak sebagai manusia di tanahairnya sendiri, di lain pihak dengan K.M.B. itu kaum penjajahdiberi hak untuk menguras kekayaan dari penidasan itu.

    Dari kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia itu, kaum

    penjajah mengangkut keuntungan ke luar Indonesia yang berjumlah bermilyar-milyar besarnya.

    Prof. Romme dalam suatu Kongres Katholieke Volks Partijbeberapa tahun yang lalu menyatakan, bahwa jumlah uang berupa keuntungan, bunga, pensiun, premi dll. yang ditransfer dariIndonesia ke negeri Belanda pada tahun 1951 adalah sebesar kurang lebih f. 500.000.000,-

     Angka di atas ini jauh daripada kebenarannya. Sebab, menurutlaporan Bank Indonesia 1954-1955, uang yang ditransfer ke negeriBelanda adalah sebagai berikut:

    1952: Defisit neraca perdagangan: Rp. 1.035.000.000,-

     Asuransi: Rp. 139.000.000,-

     Keuntungan investasi modal: Rp. 1.042.000.000,-

     Rupa-rupa: Rp. 357.000.000,- Rp. 2.286.000.000,-

    24

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    25/38

    1953: Asuransi: Rp. 148.000.000,- Keuntungan investasi modal: Rp. 1.249.000.000,-

     Rupa-rupa: Rp. 592.000.000,- Rp. 1.989.000.000,-

    1954: Asuransi: Rp. 111.000.000,-

     Keuntungan investasi modal: Rp. 1.460.000.000,- Rupa-rupa: Rp. 715.000.000,- Rp. 2.573.000.000,-

     Angka-angka di atas ini pun masih harus diragukan, karena belumlah meliputi seluruhnya secara sebenarnya.

    Uang bunga daripada hutang-hutang yang harus dibayar olehIndonesia menurut Laporan Bank Indonesia juga adalah:

    Tahun 1952 : Rp. 115.000.000,-Tahun 1953 : Rp. 132.600.000,-

    Kalau kita ambil bagian kecil saja daripada keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh kaum penjajah, baiklahdisebutkan sebagai misal, bahwa perusahaan-perusahaanperkapalan seperti K.P.M. – S.M.N. – K.R.L. – K.J.C.P.L. pada tahun 1952 saja telah memperoleh keuntungan tidak kurang dari

    f. 250.000.000,- ( gulden!) Pada tahun 1953, K.P.M. memperolehuntung f. 23.500.000,-; K.J.C.P.L. f. 2.450.000,- sedangkan K.R.L.sebesar f. 35.000.000,-

     Angka-angka resmi tetap harus diragukan dan seperti di dalamparlemen sudah pernah disebut, maka keuntungan Belanda setiaptahunnya meliputi jumlah tidak kurang dari Rp. 10.000.000.000,-(sepuluh milyar).

    Baiklah secara agak terperinci diterangkan salah satu segi daripada cara yang berlaku dalam pengedukan kekayaan dan keuntunganoleh kaum penjajah.

    Seperti telah disebut, dengan perjanjian K.M.B. telahdilangsungkan apa yang dinamakan “let alone agreement ” bagi

    perusahaan-perusahaan minyak tanah di Indonesia. Yang diartikandengan perjanjian ini ialah, bahwa perusahaan-perusahaan ituberhak menguasai sebagian besar devisen dari hasil ekspor minyak tanah, dan sebagaimana sudah dapat ditangkap dari nama perjanjian itu, berhak pula dalam lain-lain hal.

    Menurut angka-angkanya, berat dan nilai minyak yang didapatpada tahun-tahun yang lalu adalah sebagai berikut:

    tahun 1952 – 7.883.000.000 kg. – Rp. 2.181.000.000,-

    25

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    26/38

      p   E  n   E

       b  a  r  e -  n  e

      w  s ,   j   a  n  u  a  r   i   2   0   0   4

    tahun 1953 – 9.599.000.000 kg. – Rp. 2.292.000.000,-

    tahun 1954 – 9.887.000.000 kg. – Rp. 2.579.000.000,-

    Dari hasil-hasil ekspor tersebut di atas ini, yang langsung diterima oleh pemerintah sebagai penyetoran pada dana devisen dan bagiankeuangan pemerintah dalam NIAM adalah antara lain sebagaiberikut:

    Tahun 1952 Tahun 1953Penyetoran devisen kongsiminyak pada Dana Devisen Rp. 470.380.000,- Rp. 579.234.000,-Bagian keuntungan Pemerintah Rp. 57.900.000,- Rp. 39.600.000,-

    Rp. 528.280.000,- Rp. 618.834.000,-

    Dihitung dari seluruh nilai ekspornya, maka penerimaan langsung oleh pemerintah tidak lebih dari 25% pada tahun 1952 dan 27%kurang lebih pada tahun 1953.

    Bagian terbesar–kurang lebih 75%–dikuasai langsung olehperusahaan-perusahaan minyak raksasa asing, yaitu dalamperincian sebagai berikut:

    Penggunaan devisen oleh maskapai-  maskapai asing sendiri: 1952 1953a. untuk impor barang modal Rp. 432.000.000,- Rp. 295.000.000,-b. untuk impor barang konsumsi Rp. 38.400.000,- Rp. 23.600.000,-c. yang diangkut ke luar negeri Rp. 1.070.320.000,- Rp. 1.354.566.000,-

    Rp. 1.540.720.000,- Rp. 1.673.166.000,-

    Dari angka-angka di atas ini sudah jelas betapa pincangnya kedudukan pemerintah terhadap maskapai-maskapai minyak itu.

    Namun, angka-angka di atas ini pun belum mewakili seluruhkeuntungan yang digondol oleh maskapai-maskapai minyak itusetiap tahunnya.

    Kalau kita cocokkan angka-angka berat ekspor dan nilai eksporminyak tanah pada tahun 1953, maka terlihatlah, bahwa harga minyak tanah itu dinilai + Rp. 0,25 per kg. (yaitu: Rp.

    2.292.000.000,- : 9.599.000.000 (kg.) -) padahal, menurut catatanharga minyak internasional pada tahun 1953 adalah US.$. 4,45per barrel  (160 liter) atau kurang lebih Rp. 0,40 per kg. Denganini ternyata, bahwa perbedaan penilaian harga (Rp. 0,25 per kg)dan harga sesungguhnya di pasar dunia (Rp. 0,40 per kg)memungkinkan maskapai-maskapai raksasa itu pada tahun 1953itu saja memperoleh keuntungan lagi sebanyak 9.599.000.000 (kg)

    kali Rp. 0,15 (Rp. 0,40 - Rp. 0,25) = Rp. 1.439.850.000,-......!!!

    26

    no-3

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    27/38

    Melihat angka-angka di atas ini tidaklah mengherankan, bahwa menurut perhitungan, maskapai-maskapai raksasa itu dalam tahun1954 juga ternyata berhasil memperoleh keuntungan secara di atasini sampai berjumlah seluruhnya kurang lebih Rp. 6.600.000.000,-!! (berita ANTARA tanggal 16 Nopember 1954)

    Betapa pincangnya keadaan di atas ini makin nampak kalau kita ketahui, bahwa dalam keadaan kongsi-kongsi raksasa penjajah itubisa mengangkut keuntungan-keuntungan yang luar biasa besarnya itu, pemerintah Indonesia selalu mengalami ketekoran anggaran.

    Ketekoran pada anggaran belanja yang dialami oleh pemerintahternyata pada tahun 1953 adalah sebesar Rp. 2.240 juta dan pada tahun 1954 sebesar Rp. 3.602 juta. Sedang menurut taksiran, defisittahun 1955 adalah kira-kira Rp. 2.500 juta.

    Memang ternyata, bahwa pembiayaan anggaran sebenarnya banyak digantungkan pada hutang-hutang/pinjaman-pinjaman. Beberapa angka di bawah ini menunjukkan perkembangan dan

    meningkatnya jumlah hutang pemerintah; yaitu hutang jangka-panjang dalam dan luar negeri serta hutang jangka-pendek dalamnegeri:

    1949: Rp. 6.894.000.000,-1950: Rp. 8.634.000.000,-1951: Rp. 7.646.000.000,-1952: Rp. 11.876.000.000,-

    1953: Rp. 13.385.000.000,-1954: Rp. 16.834.000.000,-

    Dari angka-angka di atas ini terlihatlah, bahwa dibandingkandengan jumlah hutang tahun 1949 jumlah hutang itu telah naik dengan + 245% pada tahun 1954.

    Dalam keadaan seperti itu, dan sebagai akibat langsung daripada 

    ketergantungannya maka Indonesia makin lama makin terjerumusdalam lumpur hutang dan ketekoran anggaran.

    Keadaan ini ternyata oleh pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B.tidak diselesaikan secara pokok, melainkan dalam prakteknya memang susunan ekonomi kolonial yang berlangsung di Indonesia.

     Yaitu, bahwa pemerintah-pemerintah sesudah K.M.B. meneruskan

    pula sistem perekonomian kolonial itu dalam usaha mengatasikesulitan-kesulitan ketekoran dan sebagainya itu.

    27

      p E  n E  b  a  r  e - n e  w

     s  ,  j   a  n u a  r  i  

     2  0  0  4 

  • 8/16/2019 Masalah Ekonomi Indonesia (Oey Hay Djoen)

    28/38

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         E                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     n                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      E

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    b                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     a                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             r

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    e                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          -                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     n

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    e                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      w                        

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     s                                                                                                                                                                                                     ,                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      j                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      a                       

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         n                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 u                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   a                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             r

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       i