maryam jameelah - traitors of islam

55
Traitors of Islam Penulis: Maryam Jameela 1

Upload: anhelo-deandalucia

Post on 28-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Sejarah

TRANSCRIPT

Page 1: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Traitors of Islam

Penulis:

Maryam Jameela

1

Page 2: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

SIR SAYYID AHMAD KHAN

Pelopor Modernisme di Dunia Islam

Sir Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi, 17 Oktober 1817, dan tumbuh di lingkungan

yang relijius. Ia mendapatkan pendidikan agama dengan metode klasik dan tradisional.

Namun, karena kurang tekun dalam mempelajari bahasa Arab dan Persia, maka

pendidikan agama tersebut akhirnya ditinggalkan. Selama masa mudanya, Ahmad Khan

banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Tidak jarang ia menghadiri

pesta-pesta yang diisi dengan berbagai macam tarian dan nyanyian. Setelah ayahnya

meninggal pada tahun 1838, Ahmad Khan bekerja pada perusahaan East India

Company. Semenjak saat itu, ia mendapat tugas berpindah-pindah dari satu kota ke

kota lain di India.

Pada saat ia berusia dua puluh sembilan tahun, ia memutuskan untuk kembali

memperdalam ilmu keagamaan yang dahulu pernah ia pelajari pada masa kecilnya. Kini,

ia ingin mengejar ketertinggalannya dengan belajar pada beberapa ulama terkemuka

pada waktu itu. Pada waktu luangnya, ia menulis beberapa artikel keagamaan, termasuk

sebuah biografi Rasulullah saw yang sekalipun bergaya ortodoks, namun cukup

berbobot dan bernilai seni.

Karya pertama Sir Sayyid Ahmad Khan yang mendapat penghargaan adalah Athar

al-Sanadid yang diterbitkan pada tahun 1847. Buku tersebut berisi sejarah orang-orang

terkenal dan monumen-monumen di Delhi. Karya bersejarah ini –yang menggambarkan

dengan jelas kedangkalan ilmu agama penulisnya– dicetak ulang pada tahun 1854, dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1863,

Sayyid Ahmad Khan memperoleh penghargaan sebagai anggota kehormatan Royal

Asiatic Society di London.

Dalam ulasannya mengenai buku tersebut, seorang penyair Urdu –Ghalib–

memberikan saran kepada Ahmad Khan agar mempelajari kebudayaan Inggris daripada

menghabiskan waktunya memimpikan masa keemasan peradaban Islam di India. Maka

kita akan melihat kemudian, bagaimana keseriusan Ahmad Khan dalam menerima saran

penyair tersebut.

Setelah terjadi peristiwa perlawanan rakyat India terhadap pasukan Inggris pada

tahun 1857 yang diikuti dengan penjajahan Inggris atas India, Sir Sayyid Ahmad Khan

sampai pada kesimpulan, bahwa keselamatan kaum Muslim tergantung pada sejauh

mana kerjasama dan persahabatannya dengan Inggris, serta pengambilan budaya

2

Page 3: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Inggris dalam kehidupan mereka. Maka, ia memutuskan untuk menjadikan dirinya

sebagai mediator antara Inggris dan kaum Muslim. Ia menyatakan bahwa permusuhan

antara kaum Nasrani dan Islam atas dasar perbedaan agama merupakan sesuatu yang

diharamkan oleh Islam. Karena, “dari semua agama yang ada di dunia, Islam

memberikan penghormatan paling tinggi kepada Kristus dan agamanya.” Ia memberikan

jaminan kepada orang-orang Inggris, bahwa Islam mengajarkan “atas kehendak Tuhan,

kami berserah diri kepada negara yang memberikan kebebasan beragama, memerintah

dengan adil, memelihara perdamaian, serta menghormati kebebasan dan hak milik

pribadi sebagaimana yang dilakukan Inggris pada saat ini di India. Kami berkewajiban

untuk tetap setia dengan ajaran tersebut.” Dalam upayanya membangun ketundukan

kaum Muslim kepada penjajah, Sir Sayyid Ahmad Khan mengutip contoh kesetiaan

pengabdian Yusuf kepada Raja Mesir yang kafir.

Semangatnya untuk mengabdi kepada kepentingan imperialis Inggris

mendorongnya untuk menerbitkan nota resmi yang berkaitan dengan kesetiaan kaum

Muslim dalam mengabdi kepada Pemerintah Inggris. “Saya ingin menjelaskan

keuntungan dan kebaikan yang diberikan oleh pemerintahan yang adil ini (Inggris)

kepada mereka (kaum Muslim) atas kesetiaan yang telah mereka berikan, agar

kebaikan, keadilan, dan dukungan ini semakin dikenal luas, sehingga kaum Muslim di

India yang membacanya dapat mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada

pemerintahan yang bijak ini.”1

Pada bulan April 1869, Pemerintah Inggris memberikan kesempatan kepada Sir

Sayyid Ahmad Khan berkunjung ke Inggris untuk melihat dengan mata kepala sendiri

kekuatan Inggris, agar dengan demikian dapat mengajak bangsanya untuk mengikuti

jejak langkahnya. Ahmad Khan sangat terkesan dengan apa yang ia lihat, dan merasa

yakin bahwa keunggulan Inggris atas kaum Muslim bukan hanya dalam bidang

pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam hal tata sosial, moral,

dan kehidupan spiritual.

Dalam salah satu suratnya dari London, tertanggal 15 Oktober 1869, ia

mengirimkan surat ke tanah air yang isinya sebagai berikut:

“Tanpa bermaksud memuji Inggris, saya dapat mengatakan bahwa penduduk pribumi

India, baik dari kalangan atas maupun bawah, pedagang atau penjaga toko, yang

terpelajar maupun tidak, bila dibandingkan dengan orang Inggris dalam hal pendidikan,

adat kebiasaan, dan keadilan adalah ibarat hewan yang dekil dengan seorang pria yang

1 Dikutip dari buku “The Reforms and Religious Ideas of Sir Sayyid Ahmad Khan, J.M.S. Baljon, Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1964

3

Page 4: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

tampan dan trampil. Oleh sebab itulah, orang Inggris mempunyai alasan untuk

menyebut kami di India sebagai makhluk liar yang idiot . . . Apa yang telah saya lihat

dan saksikan sehari-hari sama sekali tak dapat dibayangkan oleh orang India. Yang

paling menyedihkan adalah kalangan pengikuti Muhammad yang bersikap tertutup dan

berpuas diri dengan keadaan mereka. Mereka masih saja mengenang hikayat-hikayat

kuno dari nenek moyangnya dan senantiasa berpikir bahwa tidak ada umat lain yang

seperti mereka. Kini, pengikut Muhammad yang ada di Turki dan Mesir sudah lebih

beradab. Tanpa pendidikan modern yang dipaksakan kepada masyarakat, sebagaimana

yang terjadi di sini, tidak mungkin penduduk pribumi bangkit menjadi masyarakat yang

beradab dan terhormat.”

Sir Sayyid Ahmad Khan bertekad untuk membuktikan bahwa Islam dapat

menjelma menjadi agama kemanusiaan, peradaban, dan kemajuan, bila konsep-konsep

kuno dan adat istiadat yang bertentangan dengan semangat zaman modern

ditinggalkan.

Untuk “mengangkat martabat” kelompok Muslim, Sir Sayyid Ahmad Khan

mendirikan sebuah sekolah di kota Aligarh pada tahun 1878. Karena tidak yakin kalau

bahasa Arab, Persia, Urdu, maupun berbagai dialek bahasa India cukup menjadi bekal

bagi para pelajar. Ahmad Khan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di

sekolah tersebut. Pada tahun 1920, Aligarh dinaikkan statusnya menjadi sebuah

universitas.

Sayyid Ahmad Khan adalah pelopor utama pemikiran modernisme. Beberapa pemikiran

apologetik yang berasal dari Ahmad Khan adalah:

1. Poligami bertentangan dengan “semangat” Islam dan harus dilarang, kecuali untuk

kasus-kasus tertentu yang sangat jarang.

2. Islam sama sekali melarang perbudakan, termasuk perbudakan terhadap para

tawanan perang yang sebenarnya dihalalkan oleh syariat.

3. Perbankan modern, transaksi bisnis, kredit, dan perdagangan internasional yang

dijalankan oleh sistem perekonomian modern –yang semuanya melibatkan

pembayaran bunga– tidak termasuk dalam pengertian riba, sehingga tidak

bertentangan dengan hukum-hukum dalam al-Qur’an.

4. Hukuman yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti potong tangan

bagi pencuri, rajam bagi pelaku zina yang mukhshan, dan seratus kali cambukan bagi

4

Page 5: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

pezina yang ghairu mukhshan adalah hukuman yang barbar dan hanya cocok untuk

sebuah masyarakat primitif yang belum mengenal hukuman penjara.

5. Jihad diharamkan, kecuali untuk sejumlah kasus yang membutuhkan pembelaan diri.

Satu-satunya kriteria yang menjadi landasan bagi Sir Sayyid Ahmad Khan untuk

menunjukkan kebenaran Islam adalah kesesuaian Islam dengan sifat-sifat alamiah yang

berlaku pada abad ke sembilan belas. Ia berpendapat bahwa bila suatu agama

mempunyai kesesuaian dengan sifat alami manusia atau sifat alamiah secara umum,

maka bisa dipastikan bahwa agama tersebut merupakan agama yang benar. Namun

demikian, untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama ilmu pengetahuan dan

pemikiran, ia harus mengingkari berbagai hal yang gaib, bukan hanya mukjizat,

malaikat, jin, dan kelahiran Isa dari perawan suci Maryam, atau menggambarkan

peristiwa Mi’raj-nya Nabi saw hanya sebagai sebuah mimpi, tetapi juga menafikan

keberadaan hari kebangkitan (yaumul ba’ts), hari penghisaban (yaumul hisab), surga

dan neraka, yang semua itu menurut Ahmad Khan tidak boleh diyakini secara harfiah,

tetapi hanya secara simbolik. Lebih jauh lagi, ia bahkan mengibaratkan fenomena

turunnya wahyu dengan keadaan halusinasi akibat jiwa yang sakit!

Sir Sayyid Ahmad Khan membangun konsepsinya tentang Tuhan menurut konsep

ketuhanan Deists yang berasal dari abad ke-18. Baginya, Tuhan hanyalah sebuah

abstraksi jarak jauh. Menurut pendapatnya, Tuhan tidak mampu mengubah hukum

alam, karena hukum alam bersifat tetap dan tidak berubah. Konsekuensinya, berdoa

kepada Tuhan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebagaimana penyakit flu,

dalam pandangan Deists, Tuhan tidak mungkin dapat memberikan manfaat –walau

sedikit– kepada kita.

Menurut Sir Sayyid Ahmad Khan, al-Qur’an dan as-Sunnah hanya mengatur urusan

peribadatan semata. Ayat-ayat al-Qur’an dan nash-nash Hadits yang mengatur masalah

sosial, ekonomi, atau budaya hanya berlaku pada masyarakat primitif semasa Nabi

masih hidup, dan sama sekali tidak cocok untuk kehidupan modern dan maju

sebagaimana sekarang ini. Oleh karena itu, kaum Muslim tidak wajib mengikuti Islam

secara kaffah sebagai ideologi dan tidak ada halangan untuk mengadopsi budaya Barat.

Dari tulisan di atas, kita bisa melihat dengan jelas bahwa Ahmad Khan sama sekali

tidak memiliki keinginan untuk memperjuangkan kebangkitan Islam. Sejauh ini ia hanya

mempunyai keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial

masyarakat Muslim di India, atas dasar asumsi bahwa semakin besar kemajuan yang

diraih akan semakin tinggi kesejahteraan rakyat. Dalam melaksanakan “perjuangan”

5

Page 6: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

tersebut, Sayyid Ahmad Khan sama sekali mengabaikan fakta bahwa tidak pernah ada

suatu kaum dalam lintasan sejarah yang mampu hidup sejahtera di bawah hukum-

hukum asing.

Mirza Ghulam Ahmad (1839 – 1908) dengan penuh setia mengikuti langkah-

langkah yang diambil oleh gurunya itu. Ketika Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa

pertumpahan darah akibat penjajahan Inggris merupakan sesuatu yang sepantasnya

(wajar), namun memiliki anggapan bahwa jihad adalah suatu kejahatan, maka jelas

bahwa ia hanya mengikuti gagasan-gagasan Sir Sayyid Ahmad Khan,

Ketika tengah menjalani masa pengasingannya di India, Jamaluddin al-Afghani

(1838 – 1897) sempat berkenalan dengan Sir Sayyid Ahmad Khan, kemudian dalam

majalah al-‘Urwah al-Wutsqa ia menyatakan:

“Pemerintah Inggris menganggap Sir Sayyid Ahmad Khan sebagai sarana yang efektif

untuk meruntuhkan semangat perlawanan kaum Muslim, sehingga mereka memuji dan

memberikan gelar kehormatan kepadanya serta membantunya mendirikan sekolah di

Aligarh, kemudian menyebut lembaga tersebut sebagai sekolah Islam sebagai jebakan

untuk menjaring putri-putri orang mukmin dan menyebarluaskan kekafiran di antara

mereka. Materialis seperti Sir Sayyid Ahmad Khan merupakan oknum yang bahkan lebih

buruk dari para materialis di negara-negara Barat, yang meninggalkan agamanya

namun tetap menyisakan patriotisme dalam dada mereka serta tidak kehilangan

semangat untuk mempertahankan tanah tumpah darah mereka. Sedangkan Sir Sayyid

Ahmad Khan dan teman-temannya justru mewakili kepentingan negara asing penjajah.”2

Pengaruh Sir Sayyid Ahmad Khan di kalangan para modernis tidak terlalu besar.

Namun demikian, ungkapan-ungkapan apologetiknya masih saja diikuti hingga saat ini.

Ameer Ali, Chiragh Ali, Khuda Bakhsh, Ghulam Ahmad Parvez, Khalifa Abdul Hakim, dan

Maulana Muhammad Lahori dari kalangan gerakan Ahmadiyah bahkan tidak sekedar

mengulang-ulang gagasannya, tetapi justru mempraktekannya. Saat ini –kalaupun ada–

hanya sedikit saja orang yang mengikuti pendapatnya.

Referensi:

The Reforms and Religious Ideas of Sir Sayyid Ahmad Khan, J.M.S. Baljon, Syaikh

Muhammad Ashraf, Lahore, 1964

2 op. cit. hal. 117 - 1196

Page 7: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

The Religious Thought of Sayyid Ahmad Khan, Bashir Ahmad Dar, Institute of Islamic

Culture, Lahore, 1957

7

Page 8: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

SAYYID AMEER ALI

“Semangat Kafir”: Sebuah Kritik untuk buku “The Spirit of Islam” karangan

Sayyid Ameer Ali

Buku “The Spirit of Islam” karya Sayyid Ameer Ali adalah buku tentang Islam dalam

bahasa Inggris yang paling terkenal. Buku ini banyak dibaca oleh kalangan masyarakat

berbahasa Inggris di dunia. Sedemikian terkenal buku ini, sehingga memperoleh

perhargaan sebagai salah satu karya klasik berbahasa Inggris. Sebagai konsekuensinya,

banyak muallaf dari kalangan masyarakat Eropa dan Amerika yang mendapatkan

konsep-konsep Islam yang keliru dari buku tersebut. Komentar yang khas dinyatakan

oleh seorang muallaf dari Inggris berikut ini:

“Buku tentang Islam yang paling berkesan bagi saya adalah “The Spirit of Islam” karya

Sayyid Ameer Ali, meski bukan berarti tanpa kritik. Dalam dunia Islam, ada banyak

kebiasaan dan sikap yang, menurut pandangan pengarang, perlu direformasi. Namun

demikian, buku tersebut menempatkan kaum Muslim dan dunia dalam satu kesatuan;

kebenaran menjadi inspirasi keagungan Islam, sehingga menjadi tugas setiap muslim

untuk berusaha membumikan Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Tidak diragukan

lagi, buku ini merupakan buku yang harus dipelajari oleh para mahasiswa Islam….”3

Kritik terhadap dunia Islam memang sesuatu yang sangat diperlukan. Bahkan,

kritik belaka sesungguhnya tidaklah cukup. Namun apabila para ulama melaksanakan

sepenuhnya tugas-tugas mereka –bukan hanya tidur saja– maka isi buku ini niscaya

akan dihujat sebagai kesesatan.

Dilahirkan dalam keluarga dengan latar belakang Syiah pada tahun 1849, Ameer

Ali memperoleh pendidikan di Universitas Aligarh dan menjadi murid yang taat dari Sir

Sayyid Ahmad Khan. Sebelum masuk universitas, ia tergila-gila dengan berbagai bentuk

kebudayaan Inggris. Dalam memoarnya, Ameer Ali mengakui bahwa dirinya terpesona

dengan Gibbon sejak sebelum memasuki usia 12 tahun, dan sampai usia 20 tahun ia

telah membaca sebagian besar karya Shakespeare, Milton, Keats, Byron, Longfellow,

dan para penyair lainnya, begitu pula novel-novel Thackery dan Scott, serta hafal

Shelley di luar kepala. Akhirnya ia mengambil profesi sebagai seorang pengacara dan

menghabiskan sebagian besar masa tuanya di London bersama istrinya –seorang wanita

Inggris– sampai meninggalnya pada tahun 1928.

3 Quest of Spirit. Malika Frances Citrine, The Islamic Review, Woking, England, January-February- March, 19638

Page 9: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Edisi pertama The Spirit of Islam diterbitkan di London tahun 1891. Selanjutnya,

Ameer Ali merevisi dan memperluas buku tersebut beberapa kali, hingga diterbitkan

dalam edisi yang baru pada tahun 1922. Sejak saat itu, buku tersebut dicetak berulang

kali di Inggris dan Amerika. Bagian-bagian dari buku tersebut juga diterjemahkan ke

dalam bahasa Arab dan Turki, sehingga mendapatkan penghargaan dari kalangan yang

modern dan terpelajar di wilayah-wilayah tersebut. Tujuan The Spirit of Islam adalah

untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang paling liberal dan rasional –yang

melambangkan “kemajuan” sebagaimana yang dipahami kalangan modern. Poligami,

jilbab, dan jihad adalah sebagian aturan yang dinilai bertentangan dengan “semangat

yang sejati” dari Islam. Dengan demikian, Ameer Ali berharap dapat menarik para

muallaf Eropa dengan jalan mempersamakan nilai-nilai Islam dengan konsep-konsep

modern Barat.

Setengah bagian pertama dari buku The Spirit of Islam kebanyakan berisi apologi

mengenai kehidupan Rasulullah Muhammad saw, dengan tujuan memberikan gambaran

kepada masyarakat Barat bahwa pribadi Rasulullah identik dengan sifat ramah, lemah

lembut, halus budi pekertinya, pemaaf, penyayang, dan pengasih. Perasaan rendah

dirinya ditunjukkan dengan ungkapan-ungkapan bernada apologetik dalam buku

tersebut, seperti ketika ia mencoba memberi alasan jihad Rasulullah saw melawan

musuh-musuhnya:

“Pasukan Quraisy telah jauh menyeleweng sebelum Muhammad menerima perintah

Tuhan untuk memerangi musuh-musuhnya. Muhammad adalah pribadi yang selama

hidupnya belum pernah menggunakan senjata; yang hatinya akan merasa sangat pedih

dan trenyuh hanya karena pandangan mata kaum yang teraniaya; yang menentang

segala peraturan Arab jahiliyah; yang kerap mencucurkan air mata karena kematian

seorang anak atau pengikutnya; yang begitu lemah lembut dan peka perasaannya

sehingga sebagian musuh mengolok-oloknya seperti perempuan. Laki-laki inilah yang

kemudian dipaksa oleh keadaan dan melawan kecenderungan pribadinya untuk

menangkis serangan lawan-lawannya dengan senjata, serta mengorganisasi para

pengikutnya untuk mempertahankan diri…..”4

Karena kepribadian pengarang buku ini sangat rapuh menghadapi kritik Barat

yang sangat membenci jihad, maka ia merasa perlu menyatakan bahwa Rasulullah saw

sebenarnya tidak ingin memerangi musuh-musuhnya. Tetapi, sesungguhnya hanya

hawa nafsu yang mendorongnya berapologi seperti itu. Berbagai kitab biografi

Rasulullah yang otentik, seperti Sirah Rasulullah karya Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, dan

4 The Spirit of Islam, hal. 214-2189

Page 10: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

kitab al-Maghazi karya al-Waqidi, tidak sejalan dengan pernyataan Ameer Ali. Surat

kedelapan dan kesembilan dalam al-Qur’an banyak membahas tentang jihad, sekaligus

meruntuhkan apologi Ameer Ali yang keliru. Atas dasar modernisme, Ameer Ali berusaha

menerjemahkan kejadian-kejadian di masa lampau dengan konteks masa sekarang. Dia

menyatakan:

“Pokok-pokok pikiran Sang Pendidik yang Agung itu, dalam perspektif intelektualisme

dan progresivitas, merupakan sesuatu yang modern. Bagi beliau, pengabdian terhadap

nilai-nilai kemanusiaan merupakan ibadah yang paling utama…..”5

Ameer Ali secara halus menyatakan bahwa al-Qur’an bukan merupakan wahyu

Allah, tetapi hanya sekedar hasil pemikiran manusia, dengan pernyataannya:

“Dapat dipastikan bahwa surat-surat yang turun pada saat benak Sang Pendidik belum

sepenuhnya mencapai kesadaran religius, yaitu ketika dirasakan perlunya menjelaskan

segala sesuatu dalam bahasa yang dipahami masyarakat padang pasir, maka

gambaran-gambaran tentang surga dan neraka dipinjam dari khayalan kaum Zoroaster,

Sabi-in, dan Yahudi, sehingga mampu menarik perhatian masyarakat yang kemudian

dapat menerima tujuan sesungguhnya, yaitu pemujaan kepada Tuhan dengan segala

kerendahan dan sepenuh cinta. Surga adalah konsep yang berasal dari kaum Zoroaster;

sedangkan neraka yang penuh dengan siksaan yang berat berasal dari kitab Talmudnya

orang-orang Yahudi. Nampaknya, pada masa-masa awal kesadaran relijiusnya,

Muhammad sendiri mempercayai beberapa keyakinan yang ada di sekitarnya dengan

kesadaran jiwa yang lebih luas dan hubungan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta

alam semesta; pemikiran-pemikiran yang semula memuat aspek-aspek material

kemudian dimaknai secara spiritual. Benak Sang Guru itu pun semakin berkembang

tidak hanya seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan kesadaran relijiusnya,

tetapi juga selaras dengan semakin banyaknya para pengikut beliau yang memahami

konsep-konsep spiritualnya . . . Kebajikan hanya dapat dipahami dengan benak yang

telah mengalami perkembangan yang hebat; sedangkan untuk orang-orang dengan

kecerdasan rata-rata dan kaum yang tidak berpendidikan, sanksi yang tidak terlalu

dimengerti akan selalu diperlukan . . .”6

Ameer Ali tidak dapat menerima pengertian literal tentang akhirat. Ia memaknai

akhirat hanya sebagai “suatu sarana yang bermanfaat untuk mendidik masyarakat”.

Dengan kata lain, akhirat merupakan deskripsi detil dari konsep kehidupan kaum

Zoroaster kuno yang mempengaruhi “ajaran eklektik” Muhammad.

5 op. cit., hal. 1216 op. cit. hal. 197 – 198

10

Page 11: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Sementara itu, sejarah Khulafa ar-Rasyidin yang diulas dalam bukunya itu

menunjukkan kesesuaiannya dengan ajaran Syiah. Oleh sebab itu tidaklah

mengherankan bila ia memberikan kritik yang pedas kepada Khalifah ketiga, Utsman,

sebagai berikut:

“Utsman tidak memiliki kecerdikan Abu Bakar maupun ketajaman pendapat dan akhlak

mulia sebagaimana Umar . . . Karakter rohaniawan pengkhianat (deluded pontiff)7 ini

telah digambarkan dengan jelas oleh Dozy. Kepribadian Utsman tidak dapat dijadikan

dasar pemilihannya sebagai Khalifah. Memang benar ia adalah seorang yang kaya raya

dan pemurah, telah membantu Muhammad dan agama dengan harta kekayaannya, dan

bahwa ia sering melaksanakan shalat dan puasa, serta merupakan seseorang yang

ramah dan lemah lembut. Namun demikian, ia bukanlah pribadi yang penuh semangat

dan telah lemah karena usia yang lanjut. Sialnya, ia memiliki kecenderungan berlebihan

terhadap kerabatnya, para bangsawan Makkah, yang sebelumnya selama 20 tahun

menghina, menindas, dan menentang Muhammad. Orang inilah yang telah dipilih

menjadi Khalifah. Kecaman datang dari segala penjuru imperium ke Madinah. Namun

kecaman itu selalu ditanggapi dengan kekerasan dan kata-kata yang kasar. Sekelompok

utusan yang terdiri dari dua belas ribu orang di bawah kepemimpinan Muhammad –

putera Abu Bakar– datang ke Madinah untuk menyampaikan keluhan kepada Utsman

dan mencari Khalifah pengganti. Ali membujuk perutusan itu untuk kembali ke rumah

mereka masing-masing dengan janji bahwa keluhan mereka akan disampaikan kepada

Khalifah. Saat pulang, rombongan itu berhasil mendapatkan sebuah surat yang ditulis

oleh sekretaris Utsman dengan stempel Khalifah, yang berisi pemberian mandat kepada

Mu’awiyah yang jahat untuk membantai kelompok mereka. Marah dengan

pengkhianatan tersebut, mereka kembali ke Madinah, masuk ke rumah Khalifah tua

tersebut dan membunuhnya. Kematian Utsman ini menjadi alasan bagi bani Umayah

untuk melakukan segala sesuatu yang selama ini mereka nanti-nantikan –yaitu untuk

menentang Islam serta menentang nilai-nilai demokrasi, persamaan hak, dan moralitas

hukum yang ada dalam Islam . . .”8

Demikianlah penyimpangan yang sangat keji tentang sejarah salah seorang

sahabat Rasulullah saw. Utsman tidak melakukan pengkhianatan. Surat yang disebut-

sebut sebagai dalih pembunuhan itu adalah surat palsu. Utsman sendiri menolak keras

terkait dengan surat tersebut. Andaikata Utsman merupakan merupakan pribadi yang

jahat sebagaimana tulisan tersebut, maka niscaya Rasulullah saw tidak akan pernah

menyertakannya sebagai salah satu dari sahabat yang paling disayangi, dan juga tidak

7 Perhatikan kekeliruan Ameer Ali dalam membandingkan Khalifah Utsman dengan Paus Katolik Roma dengan cara yang paling keji. 8 op. cit. hal. 294 - 295

11

Page 12: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

akan disebut-sebut sebagai salah satu dari sepuluh orang yang akan masuk surga tanpa

hisab. Rasulullah saw telah menyatakan bahwa Utsman akan tetap menjadi sahabat

beliau di surga. Banyak hadits shahih lain yang mengungkapkan kebaikan Utsman.

Setelah bergaul bersama Utsman selama lebih dari dua puluh tahun, Rasulullah saw

tentu jauh lebih paham tentang pribadi Utsman daripada seorang modernis ahli bid’ah

yang memotret pribadi Utsman dengan sudut pandang Syi’ah ini.

Demikian pula, penulis buku “The Spirit of Islam” ini memfitnah semua imam dan

mujadid besar sebagai oknum-oknum yang bertanggung jawab atas kemunduran umat

Islam yang terjadi selama ini. Berikut ini kutipan pernyataan Ameer Ali tentang Imam

Ahmad bin Hanbal:

“Sekte” paling menonjol dari keempat “Sekte Sunni” (Sunni Church)9 digagas oleh Ibnu

Hanbal. Ia adalah ulama termasyhur pada zaman Khalifah al-Ma’mun dan penggantinya,

Khalifah al-Mu’tasimbillah. Kedua Khalifah ini adalah penganut Mu’tazilah. Sikap fanatik

Ibnu Hanbal yang sangat ekstrem dan komitmennya dalam upaya membangkitkan

fanatisme rakyat untuk menentang penguasa, telah membuatnya berurusan dengan

penguasa. Ibnu Hanbal bertanggung jawab atas kegagalan Khalifah al-Ma’mun dalam

menyebarluaskan doktrin-doktrin Mu’tazilah ke seluruh imperium, serta atas

mengalirnya darah kaum Muslim akibat berbagai penyiksaan yang banyak terjadi di

berbagai penjuru dunia “Mohammedan”.10 . . . Ibnu Hanbal, seorang puritan yang keras

kepala –yang senantiasa menyerukan kutukan kepada orang-orang yang berbeda

pendapat dengannya– merasa terkejut dengan liberalisme Hanafiyyah, serta merasa

muak dengan kepicikan Malikiyyah dan keumuman Syafi’iyah. Maka kemudian ia

menyusun suatu kerangka sistem baru berdasarkan hadits bagi seluruh imperium. Abu

Hanifah menolak mayoritas hadits11, sedangkan aliran Ibnu Hanbal memasukkan banyak

sekali riwayat-riwayat yang absurd, tidak rasional, dan membingungkan; banyak di

antaranya yang tidak konsisten –bahkan bertentangan– satu dengan yang lain; pertanda

riwayat-riwayat yang palsu. Ia mencela ilmu pengetahuan dan menyatakan perang suci

terhadap rasionalisme. Masyarakat terpengaruh dengan kefasihan atau retorikanya yang

membuat orang mudah mengalirkan air mata . . . Murid-muridnya mulai menyalakan api

perlawanan terhadap orang-orang yang menyerukan ilmu pengetahuan dan akal sehat. .

. Jalan-jalan di Baghdad menjadi arena kerusuhan dan pertumpahan darah. Penggerak

utama kerusuhan itu akhirnya dipenjara hingga meninggal sebagai ulama yang

9 Perhatikan kekeliruan Ameer Ali yang terpengaruh dengan istilah-istilah dalam agama Kristen, yang kemudian diaplikasikan untuk mendeskripsikan aliran madzhab dalam Islam. Padahal, dalam Islam tidak dikenal perbedaan aliran setajam sekte-sekte dalam Kristen.10 op. cit. hal. 35211 Ini merupakan fitnah yang tidak beralasan

12

Page 13: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

dianggap suci . . .12 Para ulama Islam yang merupakan pengikut Ibnu Hanbal kemudian

menjadi biang kerok berbagai masalah besar di Baghdad pada masa Khalifah bani

Abbasiyah yang lebih lemah. Mereka menjadikan diri mereka sebagai sekelompok

penyensor yang tidak bertanggung jawab; mereka dengan paksa memasuki rumah-

rumah warga, merusak alat-alat musik, dan melakukan berbagai aksi vandalisme

lainnya. . . .”13

Selanjutnya, berikut ini adalah ungkapan Ameer Ali yang memberikan justifikasi

terhadap sikap meninggalkan hukum syariat yang disebutnya sebagai hukum yang

kadaluarsa dan bertentangan dengan “kemajuan”.

“Kemandegan yang dialami masyarakat Muslim pada saat ini pada dasarnya disebabkan

karena pendapat yang telah berakar kuat dalam benak sebagian besar kaum Muslim,

bahwa hak untuk menetapkan peraturan terbatas hanya pada para ulama terdahulu.

Padahal, Nabi telah meletakkan akal sebagai potensi yang paling tinggi dan paling mulia

dalam diri manusia. Namun para ulama dan pengikut-pengikutnya telah menjadikan

aktivitas akal sebagai suatu kejahatan dan dosa. Kaum Muslim pada saat ini telah

meninggalkan pemahaman itu karena menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak

berguna. Merupakan hal yang wajar bila para pengikut Sang Guru (Rasulullah saw) pada

masa-masa awal –sebagai wujud penghormatan dan kekaguman mereka– merasa perlu

meneladani bentuk kehidupan beliau yang sederhana, merekam berbagai peristiwa yang

terjadi dalam beraneka riwayat, kemudian mengabadikannya dalam bentuk berbagai

perintah, aturan, dan hukum yang diterapkan bagi seluruh masyarakat; sesuatu yang

memang sangat dibutuhkan pada masa itu, yakni pada masyarakat yang baru. Namun,

bila ada yang menganggap bahwa sang pembaharu terbesar dalam sejarah dan penyeru

kedaulatan akal paling agung itu bermaksud menjadikan peraturan – yang muncul pada

masyarakat yang kurang beradab – tersebut sebagai hukum yang permanen, maka

sungguh itu merupakan kezhaliman terhadap Nabi. Tak seorang pun yang memiliki

persepsi yang lebih tajam daripada beliau tentang arti penting kemajuan bagi dunia,

yang selalu mengalami perubahan fenomena sosial dan moral. Demikian pula tidak ada

yang lebih tahu daripada beliau mengenai kemungkinan bahwa wahyu yang

dianugerahkan kepadanya tidak mampu menjawab segala permasalahan yang mungkin

terjadi. Tidak ada agama lain yang menjanjikan kemajuan lebih besar, dan tidak pula

ada keyakinan yang lebih murni dan lebih sesuai dengan tuntutan kemanusiaan yang

progresif . . .14 Apa yang dihasilkan oleh para “Pendiri Sekte” (baca: imam madzhab)

12 op. cit. hal. 438 - 43913 op. cit. hal. 48714 op. cit. hal. 182 - 183

13

Page 14: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

tidak pernah berubah dan tidak bisa diperdebatkan. Menurut mereka, agama itu bisa

disampaikan hingga negeri Eskimo, tetapi harus dijalankan menurut hukum-hukum yang

disusun untuk bangsa Irak!”15

Menurut Ameer Ali, “semangat sejati” Islam adalah konsep-konsep sesat

Mu’tazilah, yang para penganutnya –seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu

Rusyd– berusaha mencangkokkan filsafat kaum kafir Yunani ke dalam tubuh Islam.

Ameer Ali menempatkan para filsuf Mu’tazilah sebagai pelopor peradaban Barat modern.

Karena Ameer Ali mencela para mujadid –yang berhasil menolak berbagai unsur asing

dan memelihara kemurnian Islam– dengan maksud untuk meruntuhkan Islam, maka

jelas bahwa yang dibela Ameer Ali bukanlah Islam, tetapi ide-ide Barat modern yang

dikamuflase dengan istilah-istilah Islam.

Referensi:

Islam and Modernism, Maryam Jameelah, Mohammad Yusuf Khan & Sons, Lahore,

1965/1988

The Spirit of Islam, Sayyed Ameer Ali, Christophers, London, 1922

15 op. cit. hal. 35314

Page 15: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

MAULANA ABUL KALAM AZAD

Pelopor Nasionalisme dan Sekularisme Kaum Muslim India

“Kesalahan paling mendasar kaum Muslim adalah menafsirkan Islam sebagai

suatu sistem tertutup. Sistem yang tertutup bukan hanya terhadap kebenaran yang

dibawa oleh konsep dari luar Islam, tetapi juga tertutup bagi orang-orang non-Muslim.

Optimisme muncul dari kalangan masyarakat Muslim India yang diharapkan dapat

memecah kebekuan ini . . . Mereka diharapkan dapat menemukan nilai-nilai

kemanusiaan, yang akan diperjuangkan sebagai ikatan persaudaraan dengan berbagai

agama lain . . . Berbagai masalah dalam dunia politik dan institusi sosial selalu berporos

pada nilai-nilai Islam, sebagaimana pada masa lalu, senantiasa diukur dengan standar

halal dan haram. Baik ketika memiliki kekuasaan politik maupun saat mereka tidak

berkuasa, kaum Muslimin tidak pernah berbagi dengan umat lain . . . Senantiasa

berporos pada Islam . . merupakan keyakinan mereka dalam membangun masyarakat,

yakni suatu kelompok masyarakat eksklusif yang taat kepada hukum. Demikianlah

konsep yang pada akhirnya terbukti tidak sesuai dengan masyarakat India.”16

Itulah ungkapan salah seorang orientalis terkemuka mengenai hubungan antara

kaum Muslim dan Hindu di India. Dan salah seorang yang mendukung dengan sepenuh

hati analisis sesat tersebut adalah Maulana Abul Kalam Azad, pelopor persatuan kaum

Hindu dan Muslim atas dasar nasionalisme modern dan sekularisme.

Maulana Abul Kalam Azad beruntung mendapat kesempatan dibesarkan dalam

lingkungan yang sangat Islami. Ayahnya, Maulana Muhammad Khairuddin adalah

seorang ulama terkemuka, yang menulis banyak buku dalam bahasa Arab dan Persia

yang menjadi rujukan ribuan mahasiswa dari segala penjuru India. Setelah pecah

perlawanan terhadap penjajah Inggris pada tahun 1857, ayah Maulana mengungsi

meninggalkan kota asalnya, Delhi, bersama ribuan orang yang lainnya. Melalui bantuan

murid kepercayaannya, ayah Maulana mengungsi ke Arab Saudi dan tinggal di Makkah.

Di sana ia menikahi putri salah seorang ulama yang paling saleh dan ternama, seorang

wanita yang sangat cerdas dan juga sangat alim. Dari pernikahan ini, Abul Kalam lahir

pada tahun 1888. Karena ibunya hanya paham bahasa Arab, maka bahasa itu pula yang

menjadi bahasa aslinya. Ia mendapatkan pendidikan dasar bukan dari sekolah, tetapi

dari kedua orang tuanya serta para ulama Arab Saudi yang menjadi kolega ayahnya.

16 Islam in Modern History, Wilfred Cantwell Smith, Princeton University Press, 195715

Page 16: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Dalam rangka memenuhi permintaan seorang muridnya, pada tahun 1898 ayah

Maulana kembali ke India dan menetap di Calcutta. Dari sejumlah guru privat, Abul

Kalam muda mendapatkan pendidikan bahasa Arab dan Persia, filsafat, ilmu manthiq,

aritmatika, geografi, dan sejarah, yang biasanya baru dapat diselesaikan dalam waktu

empat belas tahun. Namun, karena begitu cerdasnya Abul Kalam muda, ia dapat

menyelesaikan pelajaran tersebut dalam waktu kurang dari empat tahun.

Memahami bahaya yang mengancam serta kejahatan yang dilakukan oleh negara

imperialis Inggris, ayah Maulana menjadi penentang paling keras peradaban modern

Barat dan segala sesuatu yang berasal darinya. Sistem pendidikan Inggris dan pemikiran

Islam modern yang dipropagandakan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan merupakan musuh

besarnya.

Maulana Abul Kalam Azad memang seorang yang benar-benar luar biasa. Ketika ia

baru berusia 12 tahun, ia pernah menyatakan niatnya untuk menulis biografi Imam al-

Ghazali. Pada usia 16 tahun, ia sudah dikenal sebagai seorang yang ulama yang faqih.

Dalam waktu luangnya ia sering menulis puisi dalam Bahasa Urdu yang sangat indah,

dan sejak umur 14 tahun ia sudah dikenal di dunia jurnalistik dengan nama samaran

Lisanus Shidq. Pada tahun 1904, ketika ia baru berusia 16 tahun, ia diundang oleh

kelompok Anjuman-i-Himayat-i-Islam di Lahore untuk menyampaikan ceramah tahunan.

Topik ceramahnya pada waktu itu adalah “Landasan Rasional Agama”. Di antara para

pendengar ceramah terdapat orang-orang yang sangat terkenal pada waktu itu, seperti

penulis Urdu, Nazir Ahmad dan para penyair, Hali dan ‘Allamah Iqbal. Ceramah Maulana

Abul Kalam saat itu sedemikian berkesan, sehingga sejak peristiwa itu ia dikenal di

seluruh India. Penyair Hali menyebutnya sebagai “otak orang dewasa di kepala anak-

anak”.

Hingga periode akhir masa remajanya ia terus mempertimbangkan apa yang akan

ia geluti dalam kehidupannya. Yang menjadi fokus utama pemikirannya adalah masa

depan Islam dan bagaimana ia dapat membantu saudara-saudaranya yang seakidah.

Maka, pada tahun 1912, ketika ia baru berusia 24 tahun, ia memutuskan untuk terjun ke

dunia jurnalistik dengan menerbitkan “al-Hilal”, sebuah majalah mingguan berbahasa

Urdu dengan misi menyerukan persatuan pan-Islam dan mengungkapkan agenda-

agenda jahat kaum imperialis Inggris ke seluruh dunia Islam. Penerbitan mingguan ini

sebenarnya terinspirasi oleh majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh

Jamaluddin al-Afghani. Di dunia jurnalistik ini, Abul Kalam Azad bisa membuktikan diri

sebagai seorang yang memiliki kemampuan sastra sangat tinggi. Di dalam majalah ini,

dengan retorika yang sangat persuasif, ia menentang pemikiran-pemikiran gerakan

16

Page 17: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Aligarh yang dipelopori Sir Sayyid Ahmad Khan dan semua produk yang berasal dari

pemikiran tersebut. Ia menentang sistem pendidikan modern dan segala bentuk

Westernisasi. Bila ada yang bertanya mengenai aliran yang ia anut, aliran garis keras

atau aliran politik yang moderat, maka ia akan mencemooh siapa pun yang menyerukan

ketaatan kepada konsep selain Islam. Karena, mereka (umat Islam) adalah umat yang

dipilih Allah dan memiliki jalan yang membimbing mereka dengan jelas. Secara

konsisten ia menyatakan bahwa tidak ada yang ia anut kecuali al-Qur’an yang suci, dan

terus menerus mengajak kaum Muslim untuk melakukan hal yang sama. Pernyataan-

pernyataannya itu membakar semangat kebangkitan Islam di seluruh India, dan

membuat pemikiran-pemikiran Sayyid Ahmad Khan yang cenderung apologetik, serta

seluruh upaya menyesuaikan Islam dengan filsafat modern kehilangan daya tariknya.

Sebelum al-Hilal dibredel oleh penjajah Inggris dan Abul Kalam dipenjara, tiras majalah

itu mencapai jumlah 25 ribu eksemplar.

Pembebasan Abul Kalam dari penjara pada tahun 1920 menandai titik balik dalam

kehidupannya. Sejak saat itulah pandangan keagamaan Abul Kalam berubah 180

derajat, sampai-sampai masa depan kaum Muslim seolah tidak lagi menjadi urusannya.

Ia tidak lagi menaruh minat pada perjuangan membentuk masyarakat Islam sejati di

India, tetapi justru menganjurkan persatuan Hindu – Muslim demi tujuan nasionalisme

sekular. Ia menyatakan, “Saya adalah salah seorang yang percaya bahwa kebangkitan

boleh jadi merupakan kebutuhan dalam suatu agama; tetapi dalam urusan-urusan

sosial, hal itu adalah sebuah pengingkaran terhadap kemajuan!”

“Sampai dengan 1920-1921, Maulana Abul Kalam Azad adalah pejuang kebangkitan

Islam dan aktivis harakah Khilafah yang penuh semangat, tetapi setelah itu pemikiran

dan tindakannya berbalik 180 derajat. Berubah sedemikian drastis sehingga banyak

orang yang merasa perlu mengusap mata untuk meyakinkan penglihatan mereka,

apakah ia Azad yang sama atau –karena suatu proses metamorfosis– ada pribadi lain

yang muncul dalam tubuh Azad. Abul Kalam Azad yang sekarang adalah seorang

nasionalis India tulen dan penganjur persatuan Hindu – Muslim yang sangat

bersemangat. Ia memadukan teori kesatuan agama-agama sebagaimana yang

diungkapkan sejumlah filosof Hindu dengan teori evolusi biologi yang berasal dari Barat.

Gambaran teori tersebut dapat dilihat dengan jelas pada tafsir al-Qur’an yang ia

susun.”17

Berdasarkan keyakinannya bahwa keselamatan kaum Muslim India sangat

tergantung dengan penerimaan mereka terhadap nasionalisme dan sekularisme,

17 Dikutip dari surat pribadi Maulana Abul A’la al-Maududi kepada Maryam Jameelah, tertanggal 30 Maret 1962.17

Page 18: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Maulana Abul Kalam Azad bergabung dengan Partai Kongres Nasional India dan menjadi

sahabat terdekat Mahatma Gandhi.

“Demi tujuan kemerdekaan India dan gerak perjuangan saat ini,” ia menyatakan, “Saya

sepenuhnya sepakat dengan semua pemikiran Mahatma Gandhi, dan saya sangat yakin

dengan kejujurannya. Inilah keyakinan saya, bahwa India tidak akan mampu meraih

keberhasilan melalui perjuangan bersenjata, dan tidak layak kita menggunakan cara ini.

India hanya akan dapat meraih kemenangan melalui perjuangan tanpa kekerasan, dan

kemerdekaan India akan menjadi kenangan abadi kemenangan gerakan moral.”18

Setelah Mahatma Gandhi menghentikan gerakan Khilafah pada tahun 1922 dan

gagal mencegah kerusuhan massal yang mengakibatkan hilangnya nyawa ribuan

Muslim, mayoritas anggota Partai Kongres yang beragama Islam, seperti Maulana

Muhammad Ali (saudara kandung Abul Kalam Azad), Syaukat Ali, dan Qaid al-Azam

merasa kecewa, dan satu demi satu keluar dari partai. Meski demikian, Maulana Abul

Kalam Azam tetap bertahan, bahkan menjadi ketua partai selama hampir dua puluh

tahun dan menjadi pembela partai yang paling setia.

“Tuan Ali Jinnah menuduh bahwa kebijakan Partai Kongres jelas-jelas anti-Muslim; bahwa

partai bermaksud menghancurkan peradaban kaum Muslim, terus-menerus

mengganggu kehidupan relijius dan sosial umat Islam, dan selalu menginjak-injak hak-

hak politik dan ekonomi orang-orang Islam. Sebelum ini saya sudah sering menyatakan

dan kembali mengulang pernyataan itu dengan penuh tanggung jawab, bahwa semua

tuduhan terhadap Partai Kongres sama sekali tidak beralasan. Adalah dusta yang amat

besar bila mengatakan bahwa kebijakan Partai Kongres bersifat anti-Islam, serta

menginjak-injak hak-hak keagamaan, politik, dan ekonomi kaum Muslim. Bila Tuan

Jinnah dan rekan-rekannya mengatakan demikian atas dasar kemaslahatan kaum

Muslim, maka saya ingin mengatakan dengan penuh kesungguhan, bahwa sejatinya

mereka tengah melakukan hal yang sebaliknya; mereka baru dapat disebut memberikan

kontribusi nyata, apabila mereka mengubah pandangan tersebut secepatnya; kontribusi

nyata yang sangat dibutuhkan kaum Muslim India pada saat ini.”19

Setelah kemerdekaan India pada tahun 1947, Maulana Abul Kalam Azad diangkat

menjadi Menteri Pendidikan hingga meninggalnya pada tahun 1958. Alih-alih menyusun

sistem pendidikan bagi kaum Muslim India berdasarkan akidah Islam, ia malah justru

memilih berbagai pemikiran Barat seperti penggunaan abjad Latin bagi bahasa Urdu dan

bahasa-bahasa bangsa India lainnya.

18 Mahadev Desai, Maulana Abul Kalam Azad, George Allen & Unwin, London, 1941, hal. 8219 Desai, op. cit. hal. 152 - 155

18

Page 19: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Tidak ada tokoh Muslim di India yang lebih keras menentang pembentukan negara

Pakistan ketimbang Maulana Abul Kalam Azad. Dalam masalah ini, ia mengemukakan

alasan sebagai berikut:

“Usulan Liga Muslim tentang pembentukan negara Pakistan merupakan usulan yang

fantastis. Mereka yang mengajukan usul ini sama sekali telah mengabaikan mata rantai

sejarah, etnologi, dan kecenderungan zaman modern ini. Bila mereka berpendapat

bahwa kaum Hindu dan Muslim adalah dua kaum yang berbeda, maka timbul

pertanyaan besar. Nenek moyang sebagian besar dari kita adalah sama, dan saya tidak

sepakat dengan teori tentang ras yang unggul dan ras yang terbelakang. Umat manusia

adalah ras yang satu, dan kita harus hidup secara harmonis satu sama lain. Demikianlah

Tuhan menciptakan kita lebih dari seribu tahun lalu. Dulu kita pernah mengalami perang

saudara. Kita lihat pula, bagaimana antar sesama orang Inggris berperang dalam Perang

Mawar. Namun mereka tidak pernah mempunyai keinginan untuk hidup dalam negara

yang terpisah. Selama seribu tahun ini, kita telah saling bekerjasama demi kepentingan

ruhani, peradaban, moral, dan material kita bersama. Tuan Jinnah dan para simpatisan

Liga Muslim ingin memutar jarum jam ke belakang. Tidak ada gunanya mempertajam

perbedaan. Setiap orang yang cinta damai harus memperkokoh persamaan. Yang saya

benci adalah pendekatan komunal untuk menyelesaikan permasalahan nasional.

Konstitusi yang nantinya disusun oleh para wakil rakyat India, orang-orang Hindu

maupun Islam harus memikirkan kedudukan dan kepentingan mereka, bukan sebagai

orang Hindu atau Islam, tetapi sebagai seorang petani, buruh, kapitalis, dan sebagainya

….”20

Ketika pada akhirnya konsep nasionalisme sekular yang diyakini bertabrakan

dengan konsep masyarakat Islam, Abul Kalam Azad menggunakan seluruh

kemampuannya sebagai seorang ulama dalam menyajikan dalil-dalil agama untuk

menjustifikasi segala tindakannya.

“Mengapa kaum Muslim harus bergandengan tangan dengan umat Hindu dalam

perjuangan politik di negeri ini? Al-Qur’an telah membolehkan seorang Muslim untuk

menikahi wanita Nasrani atau Yahudi, untuk kemudian keduanya harus saling mencintai

dan tidak boleh ada ikatan cinta kasih lain di luar ikatan pernikahan tersebut. Andaikata

al-Qur’an sama sekali melarang seorang Muslim menjalin hubungan dengan orang-orang

non-Muslim, bagaimana mungkin Allah membolehkan seorang Muslim menjadikan

20 Desai, op. cit. hal. 170 - 17119

Page 20: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

seorang wanita non-Muslim sebagai ratu di rumah tangganya dan menyerahkan seluruh

urusan duniawi kepadanya? Di sinilah letak kunci persatuan Hindu dan Muslim.”21

Sungguh mengherankan ungkapan bernada apologetik seperti ini keluar dari lisan

seorang yang alim. Izin yang diberikan bagi seorang Muslim untuk menikahi wanita yang

tidak seakidah dengannya hanya dibatasi pada wanita Nasrani dan Yahudi, atau wanita-

wanita Ahlul Kitab. Al-Qur’an melarang seorang Muslim menikahi wanita musyrik,

termasuk yang beragama Hindu. Seorang Muslim boleh menikahi wanita yang tidak

seakidah, dengan syarat bila laki-laki Muslim itu mampu menjadi kepala keluarga dan

anak-anaknya akan dididik sebagai Muslim. Selain itu, berulang kali al-Qur’an

menekankan agar kaum Muslim menaruh kepercayaan hanya kepada orang-orang

mukmin, dan mengingatkan bahwa siapa saja yang menjadikan orang kafir sebagai

pelindung orang-orang mukmin maka ia telah berdosa besar. Di samping itu, tidak ada

perbedaan akidah yang lebih besar dari pada perbedaan kepercayaan syirik Hindu

dengan Islam, dan Maulana Abul Kalam Azad mengabaikan fakta bahwa tidak mungkin

ada persatuan sejati antar manusia yang tidak memiliki kesamaan akidah.

Demikian bersemangatnya Abul Kalam Azad dalam memperjuangkan nasionalisme

sekuler, sampai-sampai ia pernah mengingatkan kaum Muslim di India bahwa orang-

orang Hindu merasa tersinggung bila kaum Muslim menyembelih sapi untuk keperluan

makan sehari-hari maupun untuk keperluan ibadah kurban pada hari raya Idul Adha.

Oleh karena itu, demi persatuan umat Hindu dan Muslim, Abul Kalam Azad meminta

kaum Muslim untuk menyadari bahwa menyembelih sapi –meski untuk keperluan

kurban– bukanlah suatu hal yang prinsip dalam agama Islam. Begitu pula ia berusaha

meyakinkan rekan-rekannya yang beragama Hindu, bahwa banyak di kalangan umat

Islam yang tidak lagi makan daging sapi serta berusaha mengajak rekan-rekan mereka

untuk mengurangi konsumsi daging sapi “hanya sekedar untuk menunjukkan ikatan

persaudaraannya dengan orang-orang Hindu”. Ia berharap dalam waktu yang tidak lama

lagi orang-orang Hindu maupun Islam mulai melonggarkan berbagai pantangan yang

acapkali membuat keduanya saling bersitegang.

Karya Maulana Abul Kalam Azad yang paling terkenal, yang menjadi sumber

rujukan untuk menjustifikasi berbagai aktivitasnya, adalah kitab tafsir al-Qur’an

berbahasa Urdu yang belum sempat diselesaikannya. Pesan utama yang ia sampaikan

dalam kitab tersebut adalah bahwa semua agama itu sama benar, dan hanya para

penganutnya yang terhanyut dalam kesesatan. Ia berpendapat bahwa semua agama di

dunia ini pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama.

21 A.B. Rajput, Maulana Abul Kalam Azad, Lion Press, 1957, hal. 4020

Page 21: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

“Mereka berbeda satu dengan yang lain bukan pada akarnya, tetapi hanya pada cabang

dan daun-daunnya; bukan pada jiwanya, tetapi hanya pada kulit luar atau tubuhnya

saja. Ritual keagamaan dan peribadatan yang ada memang beraneka ragam, dan akan

semakin bervariasi mengikuti perkembangan waktu dan tempat; tetapi Tuhan dengan

kebijaksanaannya sengaja menciptakan keanekaragaman ini. Sejatinya, agama hanya

ada satu; namun bentuk luar peribadatan dan ritualnya berbeda-beda, sehingga setiap

orang berpendapat agamanya lebih unggul dari agama orang lain. Mereka tidak pernah

melihat dengan cara berpikir seperti ini dari sudut penganut agama lain. Jadi kalau di

mata anda cara peribadatan anda adalah yang terbaik, demikian pula pendapat orang

lain atas cara peribadatan mereka. Oleh karena itu, toleransi merupakan satu-satunya

penyelesaian.”22

Konsep bahwa semua agama itu benar adalah pemikiran Hindu yang tidak

mendapat tempat dalam al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menyatakan dengan jelas dan

muhkamat bahwa, barangsiapa menganut pandangan hidup selain Islam, maka tidak

akan mendapat keselamatan (akhirat) dari Allah.

“Sebenarnya, kaum Muslim India menghadapi masalah yang sama sekali baru dan

sangat besar; yaitu bagaimana caranya hidup bersama dengan umat lain secara

sederajat . . . Masalahnya adalah bahwa doktrin-doktrin Islam dari masa lalu tidak

memberikan panduan yang jelas tentang hal ini. Dan keadaan ini semakin kompleks

karena kasta-kasta Hindu yang hidup bersama mereka juga belum siap untuk hidup

bermasyarakat dengan umat lain.23 . . . Kami yakin bahwa kesejahteraan masyarakat

Muslim di India, secara jasmani maupun ruhani, terletak pada keikutsertaan mereka

secara kreatif dalam segala urusan negara baru ini . . . Berdasarkan pengamatan kami,

inilah yang terjadi selama lima tahun terakhir ini, sekalipun memang terdapat berbagai

kesulitan yang menghalangi. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan hal ini,

sekularisme adalah faktor yang paling utama. Keberhasilan sekularisme ini, sekalipun

bersifat parsial, namun merupakan faktor yang paling mendasar. Tidak perlu pemikiran

yang mendalam . . untuk dapat menyadari bahwa kelangsungan hidup dan

kesejahteraan kaum Muslim sangat tergantung pada sekularitas negara. Keterlibatan

nilai-nilai agama dalam masalah negara tidak akan dapat menghasilkan keberhasilan.

Nampaknya, tinggal sebagian kecil kaum Muslim (sekalipun di India) yang tetap setia

dengan konsep negara Islam . . Apapun pendapat teologi tradisional, sekularisme

terbukti sukses . . .24

22 Desai, op. cit. hal. 104-10523 Islam in Modern History , op.cit. hal. 28824 op. cit. hal. 281

21

Page 22: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Pada tahun-tahun berikutnya, semenjak pernyataan di atas diungkapkan, berbagai

kejadian di India membuktikan kekeliruan pemikiran “bijak” tersebut. Sekularisme tidak

berhasil melindungi kaum Muslim. Bahkan sebaliknya, negara sekular tersebut

menguasai kaum Muslim, khususnya di Kashmir, dimana kaum Muslim dikejar-kejar dan

dibantai. Demikianlah, jalan yang diambil Maulana Abul Kalam Azad, telah membuat

masyarakat Muslim di India hancur dan tercerai berai. Gara-gara tidak mampu

memperhitungkan akibat yang timbul dari tindakannya menjalin kerjasama dan

menyerahkan kepercayaan kepada mayoritas umat Hindu –dengan maksud untuk

membebaskan diri dari penjajahan Inggris– Maulana Abul Kalam Azad telah membuat

kaum Muslim terperosok dari satu penjajahan ke penjajahan berikutnya.

Setelah meninggalnya, Maulana Abul Kalam Azad mewariskan sekelompok Muslim

pengkhianat. Antara lain adalah Chagla, seorang mantan Menteri Luar Negeri pada masa

yang sama ketika seorang Menteri Pendidikan menyerukan kepada Pemerintah India

untuk menghapuskan hukum-hukum Islam, melarang poligami dan purdah, serta

menghapuskan sanksi atas pernikahan seorang muslimah dengan seorang lelaki non-

Muslim yang diharamkan. Untuk menyukseskan program keluarga berencana, secara

terbuka ia pernah menyerukan legalisasi aborsi dan mewajibkan vasektomi kepada para

suami yang telah memiliki lebih dari tiga orang anak. Selain itu, ketika sedang hangat-

hangatnya Perang India – Pakistan (6 – 24 September 1965), ia mengungkapkan dengan

penuh kebanggaan di Radio All-India bahwa nenek moyangnya adalah kaum Hindu.

Kemudian ia menuding bahwa sebagian besar kaum Muslim di Pakistan berasal dari ras

Hindu dan seharusnya merasa bangga dengan asal-usul mereka itu. Ketika Dr. Zakir

Hussain menduduki tampuk kepresidenan, ia melakukan beberapa hal yang berlebihan

sekedar untuk menyenangkan hati tokoh-tokoh Hindu. Setelah menunjukkan rasa

hormatnya kepada seorang pendeta Hindu yang terkemuka dengan cara mengalungkan

rangkaian bunga dan mencium kakinya, ia menyampaikan pidato pelantikan dalam

Bahasa Sansekerta. Kini, salah seorang cucu perempuannya berniat melangsungkan

pernikahan dengan salah satu anak mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi. Ia

mendukung sepenuhnya rencana ini. Ia juga dilaporkan sesekali memuja dewa Hindu,

Wishnu. Selain itu, ada pula M.O.H. Faruq –Menteri Utama Negara Bagian Pondicherry–

yang pernah menyatakan dalam sebuah majalah mingguan berbahasa Tamil, Kalkandu,

pada tanggal 24 Agustus 1967 bahwa “sebuah kekuatan yang luar biasa” telah

mendorongnya untuk memuja dewa Hindu, Muruga. Ia mengaku tertarik dengan dewa

tersebut dan akan mengajak anaknya untuk memuja dewa tersebut. Majalah India

lainnya menyatakan bahwa “suatu perubahan penting telah terjadi di kalangan Muslim

yang berwawasan luas dan progresif, dan Menteri Utama Negara Bagian Pondicherry

22

Page 23: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

merupakan contoh utama.” Lainnya adalah Sadiq –Perdana Menteri Negara Bagian

Kashmir– yang secara terbuka menjalin kerjasama dengan Partai Jana Singh yang fasis,

untuk membantai kaum Muslim di Kashmir. Inilah fenomene sekularisme di India!

Referensi:

Abul Kalam Azad: A Memorial Volume, Humayun Kabir, Asia Publishing House, Bombay,

1959

Modern Muslim India and the Birth of Pakistan, Dr. S.M. Ikram, Syaikh Muhammad

Ashraf, Lahore, 1959, hal. 142 – 157

India Wins Freedom, Abul Kalam Azad, Orient Longmans, Calcutta, 1959

The Tarjuman ul-Qur’an, Abul Kalam Azad, terjemahan Inggris oleh Syed Abdul Latif, Asia

Publishing House, Bombay, 1962. (Penulis mencoba membuktikan kesesuaian al-Qur’an

dengan teori evolusi modern dari Barat, dan juga menunjukkan kesahihan semua agama

sebagaimana ajaran para filsuf Hindu. Ini merupakan karya klasik ulama modernis yang

paling penting. Karya seperti ini harus dibaca secara hati-hati, karena –sengaja atau

tidak– bisa membahayakan pemikiran Islam dan kaum Muslim)

23

Page 24: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

MUSTHAFA KAMAL PASHA

Sejarah Hidup dan Karyanya

Musthafa Kamal lahir pada tahun 1881 di sebuah kawasan miskin di Salonika,

Turki. Ayahnya, Ali Riza, adalah seorang bekas pegawai rendahan di kantor pemerintah.

Setelah mengalami dua kali kegagalan dalam bisnisnya, Ali Riza tenggelam dalam dunia

hitam, menjadi peminum sebagai kompensasi kesedihannya. Hingga akhirnya ia mati

akibat penyakit tuberkulosis saat Musthafa masih berumur tujuh tahun.

Ibu Musthafa, Zubaida –seorang wanita yang buta huruf– menjadi ibu sekaligus

kepala rumah tangga. Berbeda dengan suaminya, Zubaida adalah seorang muslim yang

taat. Sebagaimana wanita-wanita Turki pada masa itu, seluruh hidupnya difokuskan

untuk masa depan anak laki-lakinya yang tertua, Musthafa. Karena ketaatannya kepada

Islam, ia mengharapkan Musthafa menjadi ulama yang faqih.

Namun ternyata Musthafa mempunyai pendirian yang berbeda. Musthafa tumbuh

menjadi remaja pemberontak. Ia melawan segala bentuk peraturan, serta bersikap kasar

dan kurang ajar kepada gurunya. Di depan para siswa yang lain, ia menunjukkan sifat

yang sangat arogan dan suka menyendiri. Ia tidak mau bermain bersama teman-

temannya, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang tidak disukai teman-temannya. Bila

merasa diganggu, ia tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melawan.

Suatu kali, karena sikap kasar dan kurang ajar Musthafa, gurunya menjadi gelap

mata dan memukuli Musthafa sedemikian keras hingga melukai perasaannya. Musthafa

lari dari sekolah dan tidak mau kembali. Meski ibunya berusaha keras membujuk agar

kembali ke sekolah, Musthafa sama sekali menolaknya. Zaubaida merasa putus asa,

sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, datang usulan dari salah

seorang pamannya agar memasukkan Musthafa ke sekolah militer di Salonika. Usulan ini

berdasarkan pertimbangan bahwa Zubaida tidak perlu mengeluarkan biaya pendidikan –

karena sekolah militer itu dibiayai oleh negara; lalu apabila Musthafa bisa menunjukkan

prestasi yang bagus, ia bisa menjadi seorang perwira; dan kalaupun tidak ia tetap akan

menjadi seorang prajurit. Singkat kata, apa pun yang akan terjadi, kehidupan Musthafa

tetap terjamin.

Meskipun Zaubaida tidak sepakat dengan usul tersebut, namun ia tidak bisa

menghalangi Musthafa –yang pada saat itu masih berusia 12 tahun– meminta salah

seorang kenalan ayahnya untuk membantunya masuk ke sekolah militer. Musthafa

mengikuti seleksi dan lulus menjadi seorang kadet. Di sekolah militer inilah, Musthafa 24

Page 25: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

menemukan dunianya. Dia mampu menunjukkan prestasi akademik yang bagus,

sehingga salah seorang pengajar memberinya julukan “Kamal” yang berarti

“kesempurnaan”. Karena kepandaiannya dalam bidang matematika dan pengetahuan

kemiliteran, Musthafa dipromosikan sebagai staf pengajar. Di posisi ini, Musthafa

mempunyai kesempatan mempertunjukkan kekuasaannya. Setelah berhasil

mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian akhir, Musthafa lulus dengan gelar kehormatan

pada bulan Januari 1905 dengan pangkat Kapten.

Pada saat itu, Musthafa bergabung dengan suatu perkumpulan mahasiswa

nasionalis yang fanatik, yang dikenal dengan nama Vatan atau “Tanah Air”. Para

anggota Vatan menganggap diri mereka kelompok yang revolusioner. Mereka sangat

menentang pemerintahan Sultan Hamid II, yang memberangus segala pemikiran

“liberal” yang merongrong pemerintahan Islam. Kelompok ini tak jemu-jemunya

menyalahkan Islam yang dianggap sebagai penyebab keterbelakangan Turki dan terus

menerus menyebarkan kebencian terhadap syariat yang dianggap kolot, serta

menjadikan ajaran-ajaran sufi sebagai bahan tertawaan. Para anggota Vatan bersumpah

akan melengserkan Sultan dan menggantinya dengan sistem pemerintahan ala Barat

lengkap dengan konstitusi dan parlemen, menghancurkan otoritas para ulama,

menghapuskan purdah (jilbab) dan kerudung, serta mendeklarasikan kesetaraan yang

mutlak antara laki-laki dan perempuan. Tidak lama bergabung, Musthafa menjadi

pimpinan kelompok itu.

Kesempatan bagi Musthafa Kamal untuk memperluas pengaruh akhirnya datang.

Begitu Sultan Abdul Hamid II diturunkan oleh Partai Turki Muda pada tahun 1908, Komite

Persatuan dan Kemajuan mengundangnya untuk bergabung bersama. Namun, sebagai

pendatang baru, ia diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah perintah dari pimpinan

organisasi, sedangkan sifat dasarnya menuntut agar dialah yang menjadi pemimpin.

Akibatnya, Musthafa merasa gelisah dan tidak puas. Ia sama sekali tidak menghargai

anggota-anggota lainnya, yang dianggap sebagai penghalang keinginannya. Ia sangat

membenci Perdana Menteri Pangeran Said Halim Pasha (1865 – 1921) dan Menteri

Perang, Anwar Pasha (1882 – 1922), yang seringkali menentang pendapat-pendapatnya.

Selama sepuluh tahun berikutnya, ia kembali menekuni bidang kemiliteran

sebagaimana sebelumnya. Perlahan-lahan, berkat kepribadiannya yang keras dan

kecerdasannya, ia merengkuh semakin banyak kekuasaan politik. Ia menghabiskan

malam-malamnya dengan mengadakan rapat-rapat rahasia untuk merencanakan

kudeta, yang diharapkan dapat menghasilkan kekuasaan absolut baginya.

25

Page 26: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Kesempatan mulai terbuka, ketika pada akhir Perang Dunia I ia memimpin

pasukan pertahanan Turki melawan Pasukan Sekutu Eropa yang ingin memecah belah

kekuatan “The Sickman of Europe” dan menghancurkannya dengan cepat. Dengan

usaha-usahanya merintangi penjajahan Sekutu dan membangkitkan semangat rakyat

untuk berjuang sampai mati demi tanah airnya, Musthafa menjadi pahlawan nasional.

Pada saat Yunani berhasil dikalahkan dan Turki memperoleh kemenangan, rakyat Turki

mabuk kemenangan dan memuja Musthafa Kamal sebagai Sang Penyelamat. Rakyat

Turki memberinya gelar al-Ghazi, yang berarti “Pembela Kebenaran”. 25

Berbagai pengakuan dari para diplomat asing semakin meneguhkan kedudukan

Musthafa sebagai pahlawan Turki melawan Penjajah Barat. Di depan para politisi Arab,

Musthafa berkata, “Saya tidak percaya dengan federasi negara-negara Islam maupun

liga bangsa Turki di bawah kekuasaan Soviet. Tujuan saya satu-satunya adalah

melindungi kemerdekaan Turki dalam batas-batas alaminya, bukan membangkitkan ke-

Khilafahan Utsmaniyah atau ke-Khilafahan lain. Jauh dari segala mimpi dan bayangan-

bayangan! Mereka (ke-Khilafahan) telah banyak merugikan kita di masa yang lalu!”

Kepada delegasi komunis yang meminta dukungannya, Musthafa Kamal dengan

jelas menyatakan, “Tidak ada penindas atau yang tertindas. Yang ada hanyalah mereka

yang membiarkan diri mereka ditindas. Bangsa Turki bukan termasuk bangsa seperti itu.

Bangsa Turki dapat mengurus dirinya sendiri. Biarkan bangsa lain mengurus diri mereka

sendiri. Kami punya satu prinsip, yaitu melihat segala permasalahan dari kacamata

bangsa Turki dan melindungi kepentingan nasional Turki.”26

Musthafa Kamal menyatakan keinginannya untuk membangun Turki dalam batas-

batas alamiahnya menjadi suatu bangsa yang kecil namun kompak, sejahtera, dan

modern, yang dihormati oleh negara-negara lain di dunia. Ia begitu yakin dirinya –dan

hanya dirinya– yang mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Ia pernah menyatakan,

“Saya adalah Turki! Menghancurkan saya sama artinya dengan menghancurkan Turki!”27

Tidak lama setelah berkuasa, Musthafa menyatakan dengan tegas bahwa ia akan

menghancurkan seluruh puing reruntuhan Islam dalam kehidupan bangsa Turki. Hanya

dengan mengeliminasi segala sesuatu yang berbau Islam, Turki bisa memperoleh

“kemajuan” menjadi bangsa yang dihormati dan modern. Tanpa rasa takut dan ragu, ia

menyerang Islam dan pilar-pilar Islam:

25 Semua “perjuangan” Musthafa Kemal tidak lebih merupakan bagian dari skenario Barat dalam menghancurkan Khilafah Islamiyah. Untuk lebih jelas, baca “Shahwatu ar-Rajuli al-Maridl”, Mouffaq Bani al-Marjej., Darul Kuwait li as-Shahafah. (pent).26 The Grey Wolf, H.G. Armstrong, Capricorn Books, New York, 196127 op. cit., hal. 227

26

Page 27: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

“Selama hampir lima ratus tahun, hukum dan teori-teori ulama Arab serta tafsir para

pemalas dan tiada guna telah menentukan hukum perdata dan pidana Turki. Mereka

menetapkan konstitusi, rincian aturan hidup orang Turki, makanannya, waktu-waktu

bangun dan tidurnya, bentuk busananya, rutinitas isteri yang melahirkan anak-anak

mereka, apa yang dipelajari di sekolahnya, adat istiadatnya, pemikiran-pemikirannya,

bahkan sampai perilaku mereka yang paling pribadi. Islam –teologi Arab yang immoral

itu– adalah benda mati. Bisa saja Islam cocok untuk suku-suku di padang pasir. Tetapi

Islam tidak bermanfaat untuk negara yang modern dan maju. Wahyu Tuhan, katanya!

Tidak ada itu wahyu Tuhan! Islam hanyalah rantai yang digunakan para ulama dan

penguasa tiran untuk membelenggu rakyat. Penguasa yang membutuhkan agama

adalah orang yang lemah. Orang yang lemah tidak boleh berkuasa!”28

Ketika Abdul Majid diangkat sebagai Khalifah, Musthafa Kamal Pasha menolak

melakukan upacara tradisi yang biasa dilakukan. Ketika Dewan menemuinya untuk

membahas hal itu, Musthafa memotong pembicaraan, “Khalifah tidak memiliki

kekuasaan atau kedudukan apa pun, kecuali sebagai figur seremonial saja.” Ketika

Abdul Majid menulis petisi untuk meminta kenaikan biaya operasionalnya, Musthafa

menjawab, “Khalifah, kantor anda tidak lebih adalah peninggalan sejarah. Tidak ada

dasar hukum yang melandasinya. Sungguh tidak sopan anda berani menulis surat

kepada sekretaris saya!”29

Pada tanggal 3 Maret 1924, Musthafa mengajukan Undang-undang untuk

menghapuskan Khalifah selamanya dan mendirikan negara sekuler Turki. Namun

demikian, sebelum UU tersebut diperkenalkan, ia telah berusaha membungkam suara-

suara penentangnya dengan memberikan ancaman hukuman mati bagi orang-orang

yang mengritik segala tindakannya.

“Apa pun konsekuensinya, negara republik harus ditegakkan…Khilafah Utsmaniyah

adalah bentuk negara yang tidak masuk akal atas dasar pondasi agama yang rusak.

Khalifah dan keluarga Utsmani lainnya harus diusir. Peradilan dan hukum-hukum agama

yang kolot harus diganti dengan hukum sipil modern. Sekolah agama harus dijadikan

sekolah negeri yang sekuler. Negara dan agama harus dipisahkan. Republik Turki harus

menjadi negara yang sekuler.”30

Akhirnya, Undang-undang berhasil disahkan tanpa perdebatan dan Khalifah

beserta keluarganya harus diasingkan ke Swiss. Rezim baru pun menetapkan:

28 op. cit., hal. 199 – 20029 op. cit., hal. 20130 op. cit., hal. 207-208

27

Page 28: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

“Pembukaan Konstitusi (baru) Turki menyatakan kebulatan tekad untuk melaksanakan

reformasi bangsa Turki, sedangkan Pasal 153 melarang segala bentuk upaya yang

menghalangi proses reformasi tersebut. Dinyatakan bahwa,

‘Tidak ada ketentuan dalam konstitusi ini yang menganggap tidak sah berbagai undang-

undang berikut ini yang bertujuan membangkitkan bangsa Turki menuju peradaban

masa kini, serta untuk menjaga karakter sekuler negara yang telah ditetapkan konstitusi

melalui pemilihan umum:

1. Undang-undang tentang penyatuan (dan sekulerisasi) pendidikan pada tanggal 3

Maret 1924.

2. Undang-undang tentang penutup kepala, pada tanggal 25 November 1925.

3. Undang-undang tentang penutupan biara dan kuburan para darwis, penghapusan

kantor penjaga makam, dan peraturan tentang penghapusan dan pelarangan gelar-

gelar tertentu pada tanggal 30 November 1925.

4. Peraturan sipil tentang pernikahan pada tanggal 17 Februari 1926.

5. Undang-undang tentang pengambilan angka internasional pada tanggal 20 Mei 1928.

6. Undang-undang tentang pengambilan dan penerapan alfabet (latin) Turki serta

pelarangan tulisan Arab, pada tanggal 1 November 1928.

7. Undang-undang tentang penghapusan gelar-gelar dan sebutan seperti Efendi, Bey,

atau Pasha pada 26 November 1934.

8. Undang-undang tentang larangan memakai busana tradisional pada 3 Desember

1934.

Segala bentuk pengingkaran terhadap gerakan Ataturkisme tidak dimungkinkan

dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat. Tidak dimungkinkan karena konstitusi

melarangnya, dan tidak dapat dipahami karena orang-orang Turki, baik tua maupun

muda, telah menerima segala konsekuensi reformasi, dan westernisasi tetap menjadi

kata-kata ajaib yang menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera.”31

Pada masa reformasi tersebut, Musthafa Kamal mengawini seorang wanita cantik

dengan latar belakang pendidikan Eropa bernama Latifa. Pada masa perjuangan Turki,

Latifa didorong oleh Musthafa untuk mengenakan pakaian seperti laki-laki dan menuntut

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun, ketika ia bersikap tegas dan

31 Turkey Today and Tomorrow: an Experiment in Westernization, Nuri Eren, Praeger, New York, 1963, hal. 100-10228

Page 29: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

bersikeras minta diperlakukan dan dihormati sebagaimana mestinya seorang isteri,

Musthafa dengan kasar segera menceraikan dan mengusirnya. Setelah bercerai dari

Latifa, ia menjadi lelaki yang tak tahu malu dan tak mengenal batas. Musthafa menjadi

peminum berat dan tidak bisa lepas dari minuman keras. Sejumlah lelaki muda yang

tampan menjadi objek pemuas syahwatnya. Demikian pula para istri dan anak

perempuan dari para pendukungnya menjadi korban agresivitas nafsunya. Hingga tak

lama kemudian penyakit kelamin menggerogoti kesehatannya.

Ketika menggambarkan kepribadiannya, H.G. Armstrong –pengarang The Grey

Wolf– menulis:

“Musthafa selalu menjadi seorang penyendiri, soliter, dan suka bekerja sendirian. Tak

seorang pun yang dipercayainya. Dia tidak ingin mendengar pendapat yang

bertentangan dengan keinginannya. Dia tidak segan mencemooh orang lain yang berani

menentang pendapatnya. Dia menilai setiap tindakan hanya berdasarkan kepentingan

pribadinya. Ia juga sangat pencemburu. Seorang yang cerdas dan memiliki kemampuan

dipandang sebagai bahaya yang harus segera disingkirkan. Musthafa suka mencela

kemampuan orang lain, dan biasa mencemarkan nama baik dan mencemooh tindakan

orang lain dengan ganas, sekalipun terhadap para pengikutnya sendiri. Ia jarang

mengucapkan kata-kata yang manis, dan kalaupun diucapkan pasti dilakukan secara

sinis. Dia tidak pernah mempercayai siapa pun dan tidak mempunyai seorang pun

teman dekat. Teman-temannya hanyalah beberapa orang fasik yang biasa minum

bersama, menjadi kaki tangannya, dan setia mendengarkan kesombongannya. Semua

orang yang terhormat, yang pernah bekerjasama dengannya pada masa perjuangan

kemerdekaan, telah berubah memusuhinya.”32

Sebagaimana para diktator yang enggan memiliki lawan, Musthafa Kamal selalu

menggunakan kesempatan untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya.

“Polisi rahasia bekerja secara efektif. Melalui penyiksaan, pemukulan, atau cara apa pun

yang dikehendaki, polisi harus mendapatkan bukti yang cukup memberatkan untuk

menangkapi para pemimpin kelompok oposisi. Pengadilan otonom diterapkan kepada

mereka, sehingga tanpa prosedur atau bukti yang kuat pengadilan bisa menjatuhkan

hukuman gantung kepada mereka.

Surat permohonan hukuman mati dikirimkan kepada Musthafa Kamal di rumahnya di

Khan Kaya untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan. Salah satu surat permohonan

hukuman mati diperuntukkan bagi Arif, yang setelah berdebat dengan Musthafa Kamal

32 hal. 213-21429

Page 30: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

kemudian bergabung dengan kelompok oposisi. Arif, sebelumnya adalah pengikut loyal

Musthafa, yang bahu-membahu pada masa perjuangan kemerdekaan. Arif adalah satu-

satunya teman yang pernah menjadi tempat Musthafa mengungkapkan isi hatinya.

Diriwayatkan bahwa ketika surat permohonan hukuman mati bagi Arif itu disampaikan

kepadanya, air muka Musthafa sama sekali tidak berubah. Dia tidak memberikan

catatan-catatan yang meringankan atau kelihatan ragu-ragu. Saat itu, ia tengah

merokok. Kemudian dia meletakkan rokoknya ke asbak, dan menandatangani surat

permohonan hukuman mati itu sebagaimana ia menandatangani surat-surat rutin

lainnya yang datang setiap hari . . .

Musthafa ingin membuat segalanya berjalan dengan sempurna. Pada malam itu juga, ia

mengadakan pesta dansa di Khan Kaya. Setiap orang harus datang –para hakim,

anggota kabinet, para duta besar, menteri luar negeri, para bangsawan, dan semua

perempuan cantik. Singkatnya, seluruh Ankara harus ikut merayakannya……

Pesta dansa itu dimulai dalam suasana muram. Dengan busana malam buatan seorang

penjahit London yang sangat necis, al-Ghazi berdiri di sudut, tengah bercakap-cakap

dengan seorang diplomat. Para tamu menatapnya penuh perhatian. Sebelum ia

mendapatkan mood-nya untuk mulai berdansa, para tamu harus mengatur langkahnya

dengan hati-hati serta bercakap-cakap dengan suara yang rendah. Amat berbahaya

menunjukkan sikap suka-cita, sementara ia tengah dalam suasana hati yang murung.

Namun malam itu al-Ghazi sedang bersemangat. Dirinya tidak sedang menjalankan

tugas-tugas kenegaraan. Malam itu adalah malam untuk bergembira.

“Kita harus bersuka cita! Kita harus hidup, harus hidup!” teriaknya, sambil merengkuh

seorang wanita asing dan segera berdansa dengannya.

Para tamu mengikutinya. Mereka berdansa –bila tidak, al-Ghazi akan memaksanya. Al-

Ghazi sedang berada dalam suasana hati yang paling baik; berdansa berkeliling

bersama pasangan-pasangannya dengan langkah-langkah yang panjang dan memberi

minum kepada mereka pada saat-saat jeda.

Empat mil jauhnya dari Ankara, sebuah lapangan besar diterangi dengan cahaya putih

yang berasal dari selusin lampu listrik. Di sekelilingnya dan di jalan-jalan berkerumun

para warga masyarakat. Di bawah siraman cahaya lampu, tegak berdiri sebelas tonggak

kayu yang besar tepat dibawah tembok penjara. Di bawah masing-masing tonggak kayu,

berdiri seseorang dengan tangan terikat ke belakang dan seutas tali melingkar di batang

lehernya. Merekalah para musuh politik Musthafa Kamal yang siap menerima

kematiannya.

30

Page 31: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Di tengah keheningan, secara bergiliran para terpidana diberi kesempatan untuk

menyampaikan sesuatu kepada masyarakat. Ada yang berpuisi, ada yang berdoa, ada

pula yang menangis mengiba sembari berteriak bahwa ia adalah warga Turki yang setia.

Di Khan Kaya, hampir seluruh tamu telah pulang. Ruangan tersebut pengap dengan

asap rokok, bau minuman keras, dan bau busuk nafas orang yang mabuk. Lantainya

kotor dengan abu rokok, sedangkan kartu judi dan uang bertebaran di meja-meja.

Musthafa Kamal berjalan melintasi ruangan dan memandang keluar jendela. Wajahnya

dingin dan berwarna kelabu; matanya yang pucat tidak menyiratkan ekspresi apa pun.

Dia tidak menunjukkan keletihan, sedangkan jasnya tetap rapi seperti sediakala.

Komisaris Polisi melaporkan bahwa eksekusi telah berakhir. Tubuh-tubuh di tiang

gantungan perlahan menjadi kaku. Akhirnya, ia menjadi pemenang. Musuh-musuhnya

terusir, hancur, atau mati.”33

Sementara itu, gemuruh kaum oposisi Turki mulai menderu. Gemuruh itu akhirnya

meledak pada tahun 1926, ketika suku-suku Kurdi di pegunungan melancarkan

pemberontakan bersenjata melawan rezim Kamalis. Musthafa tidak membuang-buang

waktu. Seluruh suku Kurdistan di Turki dibinasakan dengan cara yang bengis, desa-desa

dibakar, ternak dan hasil panen dihancurkan, perempuan dan anak-anak diperkosa dan

dibantai. Empat puluh enam kepala suku Kurdi digantung di depan umum. Yang terakhir

adalah Syaikh Said, sang pemimpin suku Kurdi. Sebelum dieksekusi, ia mengatakan

kepada eksekutornya, “Saya tidak punya kebencian kepada anda. Anda dan atasan

anda, Musthafa Kamal, membenci Tuhan! Kami harus menyelesaikan tanggung jawab

kami di hadapan Tuhan pada Hari Pembalasan.”

Sekarang Musthafa Kamal menjadi diktator absolut. Rakyat Turki harus menerima

reformasi anti-Islam, seperti larangan mengenakan fez/tarbus (kopiah Turki) dan sorban,

wajib mengenakan busana Eropa, wajib menggunakan aksara Latin, kalender Kristen,

dan menjadikan hari Ahad sebagai hari libur. Semua itu ditetapkan di bawah ancaman

pedang. Ribuan ulama dan para pengikutnya rela mengorbankan jiwa mereka daripada

menerima kehancuran segala sesuatu yang mereka sucikan. Tidak berlebihan kiranya

bila dikatakan bahwa penerimaan rakyat Turki terhadap reformasi ala Musthafa Kamal

hanyalah khayalan belaka. Besarnya penolakan dapat dibayangkan dari fakta bahwa

Musthafa mengumumkan keadaan perang sebanyak sembilan kali. Jutaan rakyat Turki,

terutama di desa-desa dan kota-kota kecil, menghinakan dan mengutuk Musthafa

Kamal.

33 The Grey Wolf, op. cit., hal. 229-23631

Page 32: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Pada tahun 1932, Musthafa Kamal menetapkan agar setiap warga Turki

mencantumkan nama keluarganya sebagaimana biasa terdapat pada masyarakat Eropa

dan Amerika. Ia memilih menggunakan nama “Attaturk” yang berarti “Bapak Turki”.

Enam tahun kemudian, kesehatannya benar-benar memburuk, dan akhirnya mati karena

penyakit radang hati yang disebabkan karena kecanduan alkohol.

“Kategori ‘pribadi psikopatik’ digunakan untuk menyebut keranjang sampah segala

macam penyakit jiwa. Orang-orang yang termasuk dalam golongan itu bukanlah para

psikotik, psikoneurotik, bukan pula orang yang lemah ingatan. Golongan itu sama sekali

berbeda. Psikopat tidak sama dengan psikotik, tidak “gila”. Ia tahu dimana ia berada,

siapa dia, jam berapa sekarang. Ia hidup di dunia nyata, bukan hidup di alam fantasi

psikosis. Tetapi sindrom psikopatik menguasai seluruh kepribadiannya sebagaimana

pada psikosis. Para psikopat tidak bodoh, bahkan tidak jarang mempunyai kecerdasan di

atas rata-rata. Emosinya-lah yang mengalami kerusakan, begitu pula moral atau

‘sifatnya’. Ia bersikap dingin, menyendiri, tidak terjangkau, menunjukkan sikap yang

berbeda dengan orang kebanyakan, bahkan memusuhi orang lain. Secara intelektual, ia

‘mengetahui’ konsekuensi tindakan kriminal yang dilakukannya bagi dirinya maupun

orang lain, tetapi ia tidak mampu ‘merasakan’ konsekuensi itu secara emosional,

sehingga tidak berusaha menahan diri dari perbuatan itu. Ia tidak pernah merasa

menyesal atau bersalah. Bila dia adalah seorang pembunuh yang tertangkap, ia tidak

pernah menyesali pembunuhan itu, namun justru menyesali diri kenapa ia sampai

tertangkap. Psikopat biasa berprofesi sebagai pembunuh bayaran; baginya membunuh

adalah sesuatu yang sama sekali tidak berarti. Ia menolak bersosialisasi, dan

menentang segala peraturan atas dirinya. Selamanya ia akan bersikap memberontak,

tidak mampu menjalin hubungan emosional dengan orang lain secara permanen.

Kehidupan seksualnya bersifat acak dan untung-untungan; orientasinya adalah

kenikmatan seksual bagi dirinya sendiri, bukan bagi pasangannya. Tidak ada data

statistik yang akurat tentang jumlah psikopat yang dikurung dalam penjara, namun

tidak ada yang meragukan bahwa di antara mereka adalah orang-orang yang paling

berbahaya bagi kehidupan manusia. Itulah kenapa penjara penuh dengan orang-orang

seperti itu.”34

Gambaran itu sama persis dengan kepribadian dan sifat-sifat Musthafa Kamal.

Satu-satunya perbedaan adalah bahwa ia adalah pribadi yang terkenal, yaitu sebagai

diktator, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya berbuat kriminal

dalam skala nasional.

34 Break Down the Walls: A Study of the Modern American Prison, John Bartlow Martin, Ballantine Books, New York, 1953, hal. 259 - 261

32

Page 33: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Pihak yang paling sering menunjukkan penghargaan atas kediktatoran Musthafa

adalah para intelektual dan politisi di Amerika. Kaum Yahudi dalam kalangan tersebut

secara sangat antusias memberikan pujian kepadanya. Bagaimana mungkin tradisi

kebebasan berpolitik dan demokrasi yang diklaim bangsa Amerika sebagai sistem yang

terbaik dapat bergandengan tangan dengan kekejian diktator Musthafa Kamal. Ini

merupakan sesuatu yang tidak dapat dipahami, sampai para pemerhati politik

internasional menyadari bahwa penghargaan demokrasi Barat atas hak asasi manusia

hanya terbatas untuk kalangan mereka sendiri. Tanpa maksud-maksud tertentu, konsep

HAM itu tentu tidak akan diekspor di kalangan kaum Muslim. Pernyataan-pernyataan

resmi dari USIS (Lembaga Informasi Amerika Serikat) pada masa Perang Dingin

menunjukkan bahwa mereka tidak pernah ragu mendukung rezim-rezim otoriter

sepanjang tidak berafiliasi dengan blok Komunis. Kediktatoran, dalam pandangan

mereka, bisa diterima apabila menjadi sarana menuju modernisasi (baca: kapitalisme)

negara.35 Rakyat di negara-negara berkembang adalah orang-orang yang terbelakang,

kolot, bodoh, dan buta huruf. Hanya “pemerintahan yang bijaksana”-lah yang mampu

menentukan apa yang terbaik buat mereka. Westernisasi adalah hal yang paling baik,

dan tidak ada nilai-nilai moral yang dipandang terlalu mahal untuk dikorbankan dalam

rangka menuju westernisasi. Oleh karena itu, apa pun caranya –termasuk tiran yang

paling kejam sekalipun– akan mendapat restu dari Amerika dan demokrasi Barat,

sepanjang cara tersebut dapat mempercepat pemisahan negara dari ideologi Islam.

Apakah tujuan Kamalisme? Jawabannya dapat ditemukan dalam buku yang baru-

baru ini ditulis oleh seorang diplomat yang sangat terkenal. Ketika menggambarkan

kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan Turki saat ini dan dibandingkan dengan

kehidupan pada masa lima puluh tahun sebelum masa Musthafa Kamal, dengan penuh

suka cita ia menyatakan bahwa hanya jenis makanan saja yang tidak berubah. Setelah

mengulas keberhasilan “emansipasi” di kalangan para isteri dan anak-anak perempuan

sesuai dengan konsep Barat, serta pembicaraan sehari-sehari pada saat makan bersama

tentang pesiar di hari Minggu, nonton bioskop, atau makan malam di restoran, dan

berbagai “kebiasaan baru dalam kehidupan keluarga Turki” lainnya, ia –dengan penuh

kemenangan– menyatakan bahwa, “Urusan agama tidak pernah terlintas dalam benak

mereka, kecuali pada bulan Ramadhan, ketika kakek-kakek dan bibi mereka yang tua

tengah berpuasa.”36

35 Modernization: The Dynamic of Growth, disunting oleh Myron Weiner, Voice of America Forum Lectures, Washington DC, 199636 Turkey Today and Tomorrow, Nuri Eren, op. cit., hal. 161

33

Page 34: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Referensi:

Islam and Modernism, Maryam Jameelah, Mohammad Yusuf Khan and Sons, Lahore,

1965/1988

The Emergence of Modern Turkey, Bernard Lewis, Oxford University Press, London, 1961

Conflict of East and West in Turkey, Halide Edib, Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore,

1935

The Grey Wolf, H.C. Armstrong, Capricorn Books, New York, 1961

34

Page 35: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

SYAIKH ALI ABD AR-RAZIQ

Ulama Pertama yang Menentang Khalifah

Syaikh Ali Abd ar-Raziq adalah ulama Muslim pertama yang memberikan

pernyataan tertulis mengenai penolakannya terhadap khalifah, dan mendorong kaum

Muslimin untuk mengadopsi sekularisme dan nasionalisme sebagai pedoman hidup

mereka. Memang, pada waktu bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam

dan Prinsip-prinsip Pemerintahan) diterbitkan di Kairo pada tahun 1925, Ziya Gokalp dan

Musthafa Kamal Attaturk dari Turki serta Luthfi as-Sayyid dan Sa’ad Zaghlul di Mesir

telah berhasil menyelesaikan pekerjaan besar mereka, yaitu melenyapkan seluruh jejak

pengaruh Islam dalam sistem pemerintahan di negeri-negeri mereka. Namun, satu hal

yang pasti, bahwa para pemimpin sekular tersebut tidak memiliki kaitan dengan Islam

dan dengan segala konsep yang muncul dari Islam. Sementara itu, sosok Syaikh Ali Abd

ar-Raziq merupakan suatu keunikan; mengingat bahwa ia adalah seorang yang alim,

tetapi justru melontarkan wacana bahwa kaum Muslim sudah semestinya mengadopsi

sistem politik Eropa; dan bahkan menyatakan bahwa “Islam yang sejati” sama sekali

tidak berkaitan dengan negara!

Lahir pada tahun 1888, Syaikh Ali Abd ar-Raziq –sebagaimana saudaranya–

menjadi murid Syaikh Muhammad Abduh dan mendapatkan pendidikan di Universitas al-

Azhar, setelah beberapa waktu lamanya belajar di Universitas Oxford, Inggris. Berbeda

dengan saudaranya, Musthafa, yang pernah tinggal di Paris dan menjadi Rektor

Universitas al-Azhar dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1947, ia memainkan peranan

aktif dalam berbagai urusan umum untuk memodernisasi universitas. Namun setelah

kontroversi sengit akibat penulisan bukunya itu mereda, Syaikh Ali Abd ar-Raziq

menghabiskan sisa hidupnya dalam kondisi yang tidak jelas.

Pada tahun 1925, kejayaan politik kaum Muslim terpuruk hingga ke lubang yang

paling dalam. Sekalipun ada negeri-negeri Muslim yang tidak dijajah secara langsung

oleh negara-negara Eropa, namun secara tidak langsung kendali politik dan ekonominya

tetap saja berada dalam genggaman penjajah. Setelah kekalahan telak yang dialami

Turki pada Perang Dunia I, Musthafa Kamal Attaturk meruntuhkan kekuasaan Bani

Utsmaniyah dan melenyapkan sistem Khilafah. Maka kemudian diadakan sebuah

kongres mengenai Khilafah di Kairo pada bulan Mei 1926 oleh sekelompok ulama Mesir

yang diketuai oleh Rektor Universitas al-Azhar. Sekalipun secara aklamasi para ulama

tersebut sepakat bahwa Khilafah adalah bagian integral dan tak bisa dipisahkan dari

Islam, namun karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan mereka membentuk

35

Page 36: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

kekuasaan, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menunggu terbentuknya

institusi tersebut pada saat yang tepat, yaitu ketika ada seorang Khalifah yang dipilih

oleh sejumlah perwakilan kaum Muslimin.

Al-Islam wa Ushul al-Hukm merupakan produk dari suasana muram akibat sikap

pesimistik dan perasaan rendah diri para cendekiawan Muslim waktu itu, yang

merupakan dampak imperialisme asing. Namun demikian, bagaimana mungkin ada

seorang ulama yang mempertanyakan perlunya seorang Khalifah atau bahkan lebih jauh

lagi mempertanyakan eksistensi Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam? Meskipun

banyak dalil qath’i yang menolak pendapatnya, Ali Abd ar-Raziq tetap saja mengingkari

bahwa al-Qur’an dan al-Hadits secara eksplisit menjelaskan tentang perlu tegaknya

Khilafah! Dengan penuh semangat, ia menolak pendapat bahwa Rasulullah saw pernah

menegakkan kekuasaan politik, dengan mengatakan bahwa tugas beliau semata-mata

bersifat spiritual. Ia menulis:

“Dari sisi politik, Rasul telah mendapatkan peran sebagaimana yang dimiliki oleh

seorang penguasa, tetapi beliau memiliki peran khusus yang tidak dimiliki oleh orang

lain. Termasuk dalam bagian tugas beliau adalah berkaitan dengan jiwa yang berdiam di

dalam raga dan menyingkap tabir untuk membuka hati yang ada di dalam dada. Beliau

mempunyai tugas untuk membuka hati para pengikutnya, sampai beliau dapat

mencapai pusat cinta dan benci, tempat tumbuhnya kebaikan dan keburukan, muara

gerak hati, tempat persembunyian berbagai godaan, pangkal niat, dan gudang akhlak . .

. . Risalah kenabian menuntut Rasul agar dapat menjalin hubungan sejati dengan jiwa

manusia, dengan hubungan pemeliharaan (ri’ayah) dan perlindungan (tadbiir). Dan

pengelolaan hakiki atas hati-hati mereka dengan pengelolaan tiada batas.”37

“Sebagai seorang Rasul, Muhammad memiliki … kepemimpinan spiritual yang

bersumber dari hati yang tulus dan berserah diri secara total; tidak seperti

kepemimpinan politik yang bersandar pada ketundukan jasmani secara paksa.

Tujuannya bukanlah untuk mengatur kepentingan hidup di dunia, tetapi untuk

mendekatkan manusia kepada Tuhan … Dengan demikian bentuk-bentuk pemerintahan

tidak berhubungan dengan kehendak Tuhan; Tuhan telah menyerahkan urusan

pemerintahan kepada akal pikiran manusia. Lebih dari itu, tidak perlu lagi menyatukan

ummat dalam satu wadah politik. Hal itu merupakan suatu yang sungguh mustahil; dan

kalaupun bisa disatukan apakah akan membuahkan kebaikan? Tuhan telah

menghendaki adanya perbedaan yang alamiah antar berbagai suku dan golongan, agar

terjadi perlombaan untuk menyempurnakan peradaban. Islam tidak mengakui

37 Dikutip dari Arabic Thought in Liberal Age, op. cit., hal. 186 - 18736

Page 37: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

keunggulan suatu bangsa, bahasa, negeri, atau suatu generasi, kecuali atas

ketaqwaannya. Kebetulan saja, masyarakat primitif pada waktu itu adalah bangsa Arab .

. . Bukti bahwa Rasul tidak mendapat tugas membentuk sebuah Negara Islam adalah

bahwa beliau tidak memberikan petunjuk-petunjuk kepada kaum Muslim untuk

melestarikan daulah sepeninggal beliau . . . Ketika Khalifah pertama, Abu Bakar,

diangkat, maka jelas terlihat bahwa pengangkatan itu merupakan proses politik. Dalam

proses itu terlekat semua komponen daulah, yang ditegakkan atas dasar kekuatan dan

pedang. Daulah tersebut adalah sebuah daulah Arab yang dibangun atas dasar

keagamaan. Memang dalam praktiknya daulah tersebut memiliki pengaruh besar dalam

perkembangan dan penyebaran Islam, akan tetapi pada hakikatnya dimaksudkan untuk

kepentingan-kepentingan bangsa Arab sendiri . . . Kelompok-kelompok yang menolak

kepemimpinan Abu Bakar dituduh sebagai orang-orang yang murtad. Sejak saat itulah

anggapan yang keliru tentang Khilafah berakar, yang kemudian dimanfaatkan oleh

penguasa-penguasa otoriter untuk mengamankan kekuasaannya . . . Kepemimpinan

Khalifah merupakan hal yang membahayakan Islam. Khalifah merupakan ‘bencana bagi

kaum Muslim, serta sumber kebobrokan dan kebejatan’ . . . Islam sesungguhnya

terlepas dari konsep Khilafah sebagaimana dikenal oleh kaum Muslim pada umumnya.

Agama tidak ada hubungannya dengan suatu bentuk pemerintahan tertentu, dan tidak

ada aturan dalam Islam yang melarang kaum Muslim untuk merobohkan sistem lapuk

yang merendahkan martabat, untuk kemudian membangun kaidah-kaidah kekuasaan

dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan semangat manusia dan pengalaman

mutakhir yang telah teruji ketangguhannya . . .”38

Dalam analisisnya seputar perjalanan Khilafah, Ali Abd ar-Raziq tidak hanya

membuat kesalahan dengan menyatakan ungkapan-ungkapan kasar yang berlebihan.

Tetapi juga, deskripsi yang ia berikan sama sekali bertolak belakang dengan seluruh

fakta sejarah. Padahal, al-Qur’an telah menyatakan:

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik

daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al-Maidah [5]: 50)

Atau firman Allah dalam surat al-Baqarah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw dan

para pengikutnya adalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi.

38 Dikutip dari Arabic Thought in Liberal Age, op. cit., hal. 185 - 18837

Page 38: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Demikian pula al-Qur’an berulangkali menyatakan bahwa kaum Muslim

merupakan satu kesatuan, serta memberikan ancaman siksa di dunia dan di akhirat bagi

siapa saja yang membuat mereka bertikai dan berpecah belah.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu

bercerai berai. (QS. Ali Imran [3]: 103)

Sesungguhnya umatmu adalah ummat yang satu. Dan aku adalah Tuhanmu maka

sembahlah aku. (QS. al-Anbiya [21]: 92)

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang

teguh kepada agama Allah dan perjanjian dengan manusia. Dan mereka kembali

mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. (QS. Ali Imran [3]:

112)

Sebagai ulama dari al-Azhar, apakah ia mengabaikan janji Allah kepada kaum

Muslim yang taat.

Dan barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan takut kepada Allah dan bertaqwa

kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. An-

Nur [24]: 52)

Demikian pula firman Allah:

Maka apakah mereka tidak melihat bahwasannya Kami mendatangi negeri orang-orang

kafir, lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya. Maka, apakah mereka yang

menang. (QS. al-Anbiya [21]: 44)

Atau apakah syaikh yang faqih itu melupakan hadits yang meriwayatkan sabda

Rasulullah saw:

38

Page 39: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Kelak akan terlepas ikatan Islam, ikatan demi ikatan. Setiap kali terlepas satu ikatan

maka orang-orang akan berpegangan kepada (hukum) yang lain. Yang pertama kali

terlepas adalah hukum (pemerintahan), dan yang terakhir adalah shalat. (HR. Ahmad

dan al-Hakim)

Mengenai kepemimpinan Abu Bakar, apakah ulama faqih itu mengabaikan sejarah

Islam, sampai-sampai ia tidak mengetahui bahwa Abu Bakar telah berpidato sesaat

sesudah diangkat sebagai Khalifah:

“Wahai manusia, sekarang aku adalah pemimpin kalian, sekalipun aku bukan yang

terbaik di antara kalian. Bila aku berbuat benar, dukunglah aku; bila aku berbuat salah,

maka tunjukkanlah aku jalan yang benar. Taatilah aku sejauh aku taat kepada Allah dan

Rasul-Nya; bila aku tidak mentaati keduanya, maka kalian tidak boleh taat kepadaku.

Ketahuilah, bahwa aku adalah manusia biasa sebagaimana kalian semua.”

Apakah ungkapan di atas adalah kata-kata seorang politisi yang ambisius, yang

mementingkan urusan bangsa Arab semata; atau seorang penguasa yang bertumpu

pada lambang-lambang kebesaran kerajaan dan tangan besi kediktatoran seperti yang

digambarkan oleh syaikh modernis tersebut? Bila benar tugas Rasulullah saw murni

bersifat spiritual saja dan tidak berjuang menegakkan Islam melalui kekuasaan institusi

politik, maka dapat dipastikan bahwa beliau tidak akan pernah berhijrah. Sebaliknya,

beliau tentu lebih memilih tetap tinggal di Makkah, mendakwahkan risalahnya di tengah

berbagai rintangan yang mustahil dapat dilawan, hingga pada akhirnya beliau dihabisi

musuh-musuh Islam dan wafat sebagai syuhada. Inilah pendapat para orientalis Kristen

di Eropa dan Amerika mengenai apa yang seharusnya Rasulullah lakukan!

Selama berabad-abad, kaum Nasrani menyebarluaskan propaganda bahwa

kekuasaan politik tidak dapat dipadukan dengan nilai-nilai relijius. Itulah sebabnya

seluruh cendekiawan Kristen –nyaris tanpa perkecualian– menyatakan dalam berbagai

buku, bahwa sifat-sifat mulia Rasulullah telah mengalami kerusakan menyusul berbagai

keberhasilan politis dan militer yang diperoleh selepas Hijrah. Dengan demikian,

pendapat Syaikh Ali Abd ar-Raziq sangat terpengaruh dengan pemikiran dan konsep

kaum Nasrani yang ingin mengangkat “kemurnian” ajaran Rasulullah, sampai-sampai ia

merasa harus mendebat dalil-dalil sharih (gamblang) untuk menunjukkan bahwa

Rasulullah tidak pernah menghendaki kekuasaan politik. Padahal, ayat-ayat al-Qur’an,

hadits, dan ijma’ sahabat tidak sedikit pun menyisakan keraguan dalam benak tiap

Muslim atau non-Muslim, bahwa sejak semula Islam ditujukan untuk menjadi suatu

ajaran menyeluruh (kaffah) yang diaplikasikan oleh satu kesatuan umat di bawah satu

39

Page 40: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

kepemimpinan. Berbagai peraturan Islam, seperti zakat, jihad, bahkan shalat berjama’ah

dan hukum-hukum formal lainnya –yang tidak dapat diterapkan tanpa kekuasaan politik–

merupakan bukti yang tak terbantahkan atas fakta tersebut.

Syaikh Ali Abd ar-Raziq dan pendukungnya di Barat mengharapkan Islam menjadi

sekedar ajaran teologis, filsafat teoritis, atau mimpi-mimpi indah yang tidak berguna.

Mereka tidak dapat menerima fakta bahwa Islam pernah benar-benar

diimplementasikan. Sekarang mereka bahkan tidak dapat membiarkan segolongan

kaum Muslim yang tetap terinspirasi dengan sejarah masa lalu kaum mereka. Mereka

juga bertekad bulat mengopinikan pemikiran mereka agar dapat menguasai kaum

Muslim di masa mendatang. Sementara itu, pernyataan dalam al-Islam wal Ushul al-

Hukm tentang Abu Bakar, sahabat Rasulullah yang paling dekat, merupakan pendapat

yang sama sekali keliru. Satu-satunya fakta yang riil adalah bahwa ulama modernis itu

telah berupaya mengubah (agama) Islam menjadi (sebagaimana) Kristen!

Referensi:

al-Islam wal Ushul al-Hukm, Ali Abd ar-Raziq, Cairo, 1925

40

Page 41: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

DR. TAHA HUSSAIN

Idola para Cendekiawan Mesir

Selama hampir setengah abad lamanya, Dr. Taha Hussain menjadi idola para

cendekiawan Mesir. Meski sering disebut-sebut oleh para pengagumnya sebagai salah

seorang murid Syaikh Muhammad Abduh, namun nampaknya mustahil kalau Dr. Taha

Hussain pernah bersama-sama dengan Muhammad Abduh secara pribadi.. Sekalipun

demikian, gagasan-gagasan modern yang disampaikan serta kebesaran reputasi

Muhammad Abduh memang sangat mempengaruhi jalan hidupnya di masa mendatang.

Lahir pada sekitar tahun 1890 di sebuah desa kecil yang terletak di hulu sungai

Nil, Taha Hussain kecil menderita ophthalmia, sebuah penyakit mata yang parah. Di

tengah kebutaannya, Taha Hussain berusaha keras untuk menghafal seluruh al-Qur’an,

sampai pada saat berusia 13 tahun ia mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di

Universitas al-Azhar. Ketika kuliah di Kairo, ia mulai mencari kelompok-kelompok

mahasiswa yang pernah mendapatkan pendidikan Eropa, sampai kemudian timbul

niatnya untuk mengikuti jejak langkah mereka. Akhirnya, dengan perasaan muak, Taha

Hussain keluar dari al-Azhar. Petikan kisah awal kehidupan Taha Hussain tersebut

terungkap secara jelas dan rinci dalam otobiografinya yang ditulis dengan gaya

sentimentil.

Setelah menyelesaikan pendidikannya dan menjadi salah seorang yang pertama

kali mendapat gelar PhD dari Universitas Kairo yang baru didirikan (kemudian berubah

nama menjadi Universitas Mesir), Taha Hussain mendapat beasiswa dari Pemerintah

Mesir untuk melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris, dimana ia mendapat

gelar PhD yang kedua. Di Paris ini pula Taha Hussain bertemu dengan Suzanne

Bresseau, yang kemudian dinikahinya pada tahun 1918. Setelah kembali ke Mesir, ia

menjadi dosen Sastra Arab di Universitas Kairo, dan kemudian menjadi dekan fakultas

tersebut. Pada saat itulah, ia mulai menulis buku-buku yang kemudian menjadi

kontroversi karena memberikan kritik yang sangat pedas terhadap “Islam ortodoks”.

Pada tahun 1926, bom waktu itu meledak ketika Taha Hussain menerbitkan buku

dengan judul yang menyesatkan, “Syair di Masa Sebelum Islam”. Tujuan utama buku

tersebut adalah melontarkan keraguan mengenai otentisitas al-Qur’an dan al-Hadits,

serta para ahli tafsir dan fuqaha yang terkemuka, dengan menyebut syair di masa

sebelum Islam sebagai suatu metode linguistik untuk menafsirkan Kitab Suci. Ia

menyebutkan bahwa telah terjadi pemalsuan besar-besaran, “sehingga dengan

41

Page 42: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

demikian, para ulama dapat membuktikan “kebenarannya” sesuai dengan yang mereka

kehendaki.”

“Tuhan telah memberi manusia akal pikiran yang gemar terhadap keraguan,

kebimbangan, dan kebingungan. Konsekuensinya -dan merupakan hal yang paling

penting– adalah bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada revolusi pemikiran.”39

Dalam bukunya tersebut, Dr. Taha Hussain tidak menyia-nyiakan kesempatan

untuk melemparkan cemoohan kepada seluruh pemikir, fuqaha, dan ulama pada

periode-periode awal sejarah Islam, karena mereka dianggap “melakukan

pengkhianatan terang-terangan” dengan jalan “memalsukan” al-Qur’an dan

“merekayasa” al-Hadits. Tidak cukup dengan itu semua, Taha Hussain menganggap

bahwa Musa as tidak pernah hidup di dunia, sedangkan cerita-cerita dalam al-Qur’an

tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan mitologi semata.

“Taurat memang menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, demikian pula al-Qur’an.

Tetapi, penyebutan nama-nama mereka dalam Taurat dan al-Qur’an tidak cukup kuat

untuk membuktikan keberadaan mereka dalam lintasan sejarah. Apalagi kisah

kedatangan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, ke Makkah dan menjadi nenak moyang

bangsa Arab di daerah tersebut. Kita melihat bahwa dalam kisah tersebut terdapat

sepenggal kisah fiksi untuk sekadar menunjukkan hubungan Bani Israil dan Arab pada

satu sisi dengan Islam dan Yahudi pada sisi yang lain.”40

Buku Taha Hussain yang lain, yang sangat berpengaruh semasa hidupnya adalah

The Future of Culture in Egypt. Diterbitkan pada tahun 1938, buku tersebut mempunyai

misi untuk memperkenalkan budaya Mesir sebagai bagian dari Eropa, serta membuat

suatu rancangan program pendidikan umum berlandaskan kebudayaan tersebut. Taha

Hussain mengawali tulisannya dengan pertanyaan sebagai berikut:

“Apakah Mesir merupakan bagian dari dunia Timur atau dunia Barat? Kita dapat

menguraikan pertanyaan itu sebagai berikut, “Apakah orang Mesir lebih mudah

memahami orang Cina atau orang Hindu daripada memahami orang Inggris atau orang

Prancis? Inilah pertanyaan yang mesti kita jawab sebelum memikirkan akar kebudayaan

kita.”41

Selanjutnya, Taha Hussain menjelaskan bahwa sejak awal telah ada dua macam

peradaban yang sangat berbeda dan sangat bertolak-belakang satu dengan yang lain.

39 Dinukil dari Egypt in Search of a Political Community, Nadav Safram, Harvard University Press, Cambridge, 196140 Egypt in Search of a Political Community, op. cit. hal. 15541 The Future of Culture in Egypt, Taha Hussain, American Council of Learned Societies, Washington, D.C., 1954

42

Page 43: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Yang satu di Eropa dan satunya lagi ada di Timur Jauh. Benar-benar sebuah simplifikasi

sejarah yang berlebihan! Sejak dahulu kala, tidak pernah ada peradaban tunggal di

Eropa. Demikian pula di Timur Jauh. Budaya Hindu di India dan Konghucu di Cina sama

sekali berbeda, sebagaimana peradaban bangsa-bangsa Eropa pada Abad Pertengahan.

Hanya karena masa lalu Mesir yang punya kaitan erat dengan Yunani, dan tidak

pernah menjalin hubungan dengan Timur Jauh, Dr. Taha Hussain berpendapat bahwa,

“Mesir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Eropa, karena secara intelektual

dan budaya mereka saling berhubungan dalam segala bentuk dan pada setiap

cabangnya.” Cendekiawan terkemuka itu mengabaikan fakta bahwa sepanjang

perjalanan sejarahnya, hanya sekali periode saja Mesir menjadi satu dengan Eropa, yaitu

pada saat zaman Hellenistik di bawah kepemimpinan Iskandar Yang Agung.

Dr. Taha Hussain bersikeras bahwa pengadopsian Islam dan bahasa Arab tidak

membuat Mesir menjadi lebih “bersifat ketimuran” daripada bangsa Eropa yang orang-

orangnya memeluk agama Nasrani.

“Mana mungkin orang-orang yang berakal sehat berpendapat bahwa tidak ada ruginya

bagi orang-orang Eropa yang menganut Injil untuk menganggap al-Qur’an sebagai

sesuatu yang murni berasal dari Timur, sekalipun dinyatakan bahwa al-Qur’an

diturunkan hanya untuk memberikan klarifikasi dan penyempurnaan terhadap Injil?

Mereka harus menjelaskan perbedaan konsep-konsep Kristen dan Islam, mengingat

keduanya berasal dari sumber yang sama. Esensi Islam sama dengan esensi Kristen.

Hubungan antara Islam dan filsafat Yunani sama persis dengan kaitan antara Kristen dan

filsafat tersebut. Kemudian darimana datangnya perbedaan pandangan kedua agama ini

mengenai penciptaan pemikiran kalau tidak berasal dari filsafat Yunani? Kenapa

hubungan erat antara Eropa dengan kebudayaan Yunani semasa Renaissance

dipandang sebagai penopang pemikiran orang-orang Eropa, sedangkan kaitan antara

filsafat Yunani dan Islam tidak bisa diterima? Mampukah kita melestarikan keberadaan

konsep-konsep yang berlainan milik orang-orang yang tinggal di pantai Utara dan

Selatan Laut Tengah?”42

Benarkah demikian? Bayangkanlah, betapa cendekiawan paling terkemuka di

Mesir ini tidak mengakui perbedaan sejarah antara Kristen dan Islam! Besar

kemungkinan antusiasme cendekiawan ini dilatarbelakangi keinginannya untuk

membuktikan bahwa Islam tidak menghalangi terobosan-terobosan westernisasi yang

42 op. cit. hal. 7-843

Page 44: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

terjadi di negerinya, sehingga tanpa ragu ia menyimpangkan fakta-fakta sejarah untuk

mendukung tujuan-tujuannya.

“Kami bangsa Mesir mengukur kemajuan yang kami capai semata-mata dari sejauh

mana kami mengadopsi konsep-konsep Barat. Kami belajar dari Eropa bagaimana

caranya meraih kemajuan. Orang-orang Eropa telah mengajari kami bagaimana duduk

di meja dan makan dengan sendok dan garpu, bagaimana tidur di tempat tidur, serta

bagaimana berpakaian ala Barat. Kami tidak mengatur pemerintahan dengan panduan

sistem Khilafah. Namun kami menetapkan hukum-hukum nasional dan peradilan sekular

sebagaimana bangsa-bangsa Barat, bukannya aturan dan undang-undang Islam. Fakta

yang dominan dan tak terbantahkan adalah bahwa dari hari ke hari kami semakin dekat

dengan Eropa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam makna harfiah maupun

kiasan.”43

Taha Hussain menyatakan bahwa westernisasi akan jauh lebih sulit kalau

pemikiran bangsa Mesir berbeda dengan pemikiran orang-orang Eropa. Dengan

pernyataan yang sama, ia mencerca bangsanya yang “sangat terbelakang” jauh di

bawah bangsa Jepang dalam masalah westernisasi ini.

“Apakah lebih baik kita menganut agama dan filsafat bangsa Cina yang terbukti mampu

melakukan westernisasi secara cepat? Orang-orang Mesir yang merendahkan peradaban

Barat adalah orang-orang yang tidak ingin meraih keberhasilan seperti orang-orang Cina

atau Hindu itu.”44

Mengapa Dr. Taha Hussain mendorong bangsanya untuk menentukan pilihan

antara dua alternatif tersebut? Mengapa bangsa Mesir harus berusaha meniru orang-

orang Inggris atau –jika tidak– orang Cina? Mengapa mereka tidak merasa bangga

sebagai kaum Muslim? Secara sengaja dan terang-terangan, Taha Hussain menganggap

remeh kedudukan Islam sebagai suatu peradaban yang independen dan besar di

hadapan para pembaca buku-bukunya.

“Pernyataan Khadif Ismail bahwa Mesir adalah bagian dari Eropa tidak perlu dipandang

sebagai pernyataan yang sombong dan berlebihan . . . Tuhan telah melindungi bangsa

kita dari penjajahan bangsa Turki, maka kita harus tetap menjaga hubungan dengan

negara-negara Eropa dan turut serta dalam kebangkitan renaissance. Langkah-langkah

ini akan menghasilkan suatu peradaban yang khas bagi bangsa Mesir, yang berbeda

dengan peradaban yang tengah kita alami pada saat ini . . . Namun demikian, Tuhan

43 op. cit. hal. 11-1244 op. cit. hal. 22

44

Page 45: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

telah menganugerahkan berkah kepada kita atas segala kesulitan dan kesengsaraan

yang pernah kita alami. Dunia telah berjuang selama ratusan tahun untuk mencapai

kemajuan sebagaimana yang kita rasakan saat ini, dan menjadi tugas kita untuk meraih

itu semua dalam satu generasi ini. Betapa celakanya kita bila tidak merebut kesempatan

emas itu! Bahkan sesungguhnya, bangsa-bangsa Eropa telah memakai metode yang

terdapat di dunia Islam pada masa Abad Pertengahan untuk meraih kemajuan hingga

sejauh ini. Mereka berbuat sebagaimana yang kita lakukan sekarang ini. Ini sekedar

masalah perbedaan waktu saja.”45

Ungkapan-ungkapan bernada apologetik, seperti pernyataan Taha Hussain di atas,

merupakan gaya pengungkapan yang populer pada saat sekarang ini; yaitu bahwa

bangsa Eropa telah mengalami kebangkitan ilmu pengetahuan setelah mengadopsi

metode yang dibawa bangsa Arab (baca: Islam), sedangkan proses westernisasi yang

dilakukan kaum Muslim sekadar merupakan upaya mewarisi semangat kebangkitan

tersebut.46 Atas dasar ungkapan yang sederhana tersebut, banyak kaum Muslim

terpelajar yang meninggalkan akidahnya. Dr. Taha Hussain mengabaikan fakta sejarah

bahwa pengambilan nilai-nilai yang terdapat di dunia Islam oleh orang-orang Eropa tidak

pernah membuat mereka mengubah peradabannya menjadi peradaban Islam. Sekalipun

bangsa Eropa di abad pertengahan menerima kemajuan yang dihasilkan para

cendekiawan dan filsuf Islam dengan penuh semangat, namun mereka tidak pernah

mengorbankan independensi budayanya, sebagaimana yang diserukan Dr. Taha Hussain

kepada bangsanya.

“Tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang dapat mencegah bangsa Mesir dalam

menikmati kehidupan persis seperti bangsa Eropa. Untuk dapat menjadi mitra sejajar

dalam peradaban dengan orang-orang Eropa, kita bangsa Mesir harus meniru peradaban

mereka sebagaimana adanya dan secara menyeluruh; dalam setiap aspek kehidupan,

baik dalam aspek yang disukai maupun tidak. Siapa pun yang menyerukan langkah yang

berlainan dengan cara ini, maka ia termasuk orang yang menyesatkan atau orang yang

tersesat.”47

Tidak lama sebelum Raja Farouk dilengserkan pada tahun 1952, Dr. Taha Hussain

menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Pada masa jabatannya itu, ia berupaya keras

mengimplementasikan program-programnya.

45 op. cit. hal. 9 & 1346 Bahkan seorang filsuf yang brilian sekaligus penyair terkemuka Allama Muhammad Iqbal terjebak dalam gaya pengungkapan yang apologetik ini ketika menulis buku “The Reconstruction of Religious Thought ini Islam” (Rekonstruksi Pemikiran Islam), Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1960, hal. 747 op. cit. hal. 15

45

Page 46: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

“Pengawasan negara terhadap pendidikan tingkat pertama dan kedua di Universitas al-

Azhar merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sejarah Mesir, karena tradisi dan

kewajiban agama yang dipegang teguh di lembaga pendidikan yang terkemuka ini telah

menjadi benteng konservatisme dan praktik-praktik keagamaan yang kolot. Para

mahasiswa yang mendapatkan pendidikan eksklusif al-Azhar akan terisolasi dari

peradaban dunia modern yang melingkupinya. Sebagai konsekuensinya, penyesuaian

yang dilakukan setelah kelulusan agar ia mampu terjun menghadapi kompleksitas

kehidupan dunia modern akan jauh lebih sulit dilakukan ketimbang pada saat ia masih

muda. Kita juga harus memikirkan betapa pola pemikiran al-Azhar yang telah kadaluarsa

boleh jadi membuat para mahasiswa sulit memahami konsep patriotisme dan

nasionalisme dalam pemikiran modern bangsa-bangsa Eropa. Beberapa waktu yang lalu,

Rektor Universitas al-Azhar menyampaikan pidato di radio ketika memperingati suatu

hari besar Islam, dimana ia menyatakan bahwa kiblat di Tanah Suci Makkah merupakan

poros nasionalisme Islam. Para mahasiswa di al-Azhar juga harus belajar dan diajari

sejak awal, bahwa batas-batas geografis tanah tumpah darah mereka Mesir juga

menjadi poros nasionalisme yang tidak bertentangan dengan poros nasionalisme

sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor. Konsep nasionalisme masuk ke Mesir

bersama-sama dengan produk-produk peradaban kontemporer lainnya, dan sekarang

menjadi dasar hubungan antar warga negara dan warga dunia. Oleh karena itu, al-Azhar

mesti memahami realitas ini dan merevisi program pendidikannya, terutama untuk

tingkat pertama dan kedua. Tidak ada alasan bagi Universitas al-Azhar untuk menentang

peradaban abad kedua puluh ini. Al-Azhar tidak boleh terjebak dengan kenyataan bahwa

masyarakat banyak –yang masih bermental abad pertengahan– sampai saat ini masih

menghormati dan membenarkan pemikiran-pemikiran al-Azhar. Generasi-generasi yang

akan datang dapat dipastikan akan menganut pemikiran-pemikiran Eropa, dan al-Azhar

mau tidak mau harus mengikuti alur yang sama bila ingin mempertahankan hubungan

yang erat antara mereka dengan para pendahulunya.”48

Presiden Jamal Abdul Nasser mengikuti saran-saran Dr. Taha Hussain dengan

sepenuh hati, sampai pada tanggal 18 Juli 1961 ia mengeluarkan keputusan untuk

menempatkan Universitas al-Azhar langsung di bawah kendalinya. Dalam rangka

mengaplikasikan program yang disarankan Taha Hussain, Presiden Jamal Abdul Nasser

menetapkan sekularisasi Universitas al-Azhar dengan mendirikan fakultas kedokteran,

adminstrasi bisnis, pertanian, dan teknik. Sesuai dengan ketentuan baru tersebut,

Jurusan Studi Islam seakan terasing dan terpinggirkan, serta tidak lagi menjadi prasyarat

penting bagi kelulusan para mahasiswa. Demikianlah, dengan satu kali pukulan Presiden

48 op. cit. hal. 27 & 13646

Page 47: Maryam Jameelah - Traitors of Islam

Nasser –atas inspirasi dari Dr. Taha Hussaian– menghancurkan salah satu lembaga

pendidikan Islam yang paling penting di dunia.

Referensi:

An Egyptian Childhood, Taha Hussain, Paul Rotledge and Keegan, London, 1932

The Stream of Days: A Student at Al-Azhar, Taha Hussain, Longmans Green & Co.,

London, 1948

The Future of Culture in Egypt, Taha Hussain, American Council of Learned Societies,

Washington DC, 1954

Catatan:

Ketiga buku di atas tergolong sebagai karya klasik modernisme, yang termasuk dalam

“daftar hitam” dan harus dibaca secara hati-hati karena buku-buku tersebut secara

sengaja atau tidak dapat menimbulkan bahaya bagi pembaca muslim.

47