mari tim

29
Ilmu & Teknologi Maritim untuk Khilafah Thursday, 11 October 2012 17:01 Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar Seperti apa ilmu dan teknologi maritim kalau dunia Islam bersatu dalam Negara Khilafah? Allah mengaruniai umat Islam dengan negeri yang sangat luas, terbentang dari tepi Samudera Atlantik dengan tepi Samudera Pasifik. Di dalamnya ada padang pasir, pegunungan bersalju, tetapi juga hutan tropis dan pulau- pulau yang berserak laksana zamrud katulistiwa, dan semuanya di jalur strategis perdagangan dunia. Dua negeri dengan pulau terbanyak di dunia adalah Indonesia dan Filipina. Indonesia adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Filipina sebelum didatangi bangsa Barat adalah juga sebuah kesultanan Islam. Karena itu sangat relevan bila kita bertanya- tanya, seperti apa dulu ilmu dan teknologi maritim negara Khilafah, dan seperti apa nantinya bila Khilafah berhasil tegak kembali. Adalah Umar bin Khattab yang pertama kali membangun armada angkatan laut Muslim untuk menghadapi Romawi. Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah. Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien. Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum Muslim harus membangun angkatan laut. Thariq bin Ziyad menaklukkan Spanyol dengan armada laut, walaupun dia lalu membakar semua kapalnya agar pasukannya berketetapan hati terus berjihad. Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian. Ada pelaut yang mengoperasikan kapal. Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah. Ada navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan ke mana mereka harus menuju. Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat. Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi. Ada bagian logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup. Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar. Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal. Seluruh hal di atas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini. Ketika angkatan laut Muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan. Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Alquran ataupun hadits Rasulullah, bahwa kaum Muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma. Motivasi mabda’i ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan. Maka sebagian kaum Muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi. Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang. Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas. Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang geografer Yunani untuk dapat menggambar peta. Jadilah mereka orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan. Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang. Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pinggir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1.000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1.500 orang. Menulis pada abad-4 H (abad 10M), al-Muqaddasi mendaftar nama

Upload: akmalia-mn

Post on 29-Sep-2015

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

literatur

TRANSCRIPT

Ilmu & Teknologi Maritim untuk Khilafah

Thursday, 11 October 2012 17:01

Oleh: Prof. Dr. Fahmi AmharSeperti apa ilmu dan teknologi maritim kalau dunia Islam bersatu dalam Negara Khilafah?Allah mengaruniai umat Islam dengan negeri yang sangat luas, terbentang dari tepi Samudera Atlantik dengan tepi Samudera Pasifik. Di dalamnya ada padang pasir, pegunungan bersalju, tetapi juga hutan tropis dan pulau-pulau yang berserak laksana zamrud katulistiwa, dan semuanya di jalur strategis perdagangan dunia.Dua negeri dengan pulau terbanyak di dunia adalah Indonesia dan Filipina. Indonesia adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Filipina sebelum didatangi bangsa Barat adalah juga sebuah kesultanan Islam. Karena itu sangat relevan bila kita bertanya-tanya, seperti apa dulu ilmu dan teknologi maritim negara Khilafah, dan seperti apa nantinya bila Khilafah berhasil tegak kembali.Adalah Umar bin Khattab yang pertama kali membangun armada angkatan laut Muslim untuk menghadapi Romawi. Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah. Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien. Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum Muslim harus membangun angkatan laut. Thariq bin Ziyad menaklukkan Spanyol dengan armada laut, walaupun dia lalu membakar semua kapalnya agar pasukannya berketetapan hati terus berjihad.Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian. Ada pelaut yang mengoperasikan kapal. Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah. Ada navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan ke mana mereka harus menuju. Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat. Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi. Ada bagian logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup. Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar. Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal. Seluruh hal di atas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini.Ketika angkatan laut Muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan. Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Alquran ataupun hadits Rasulullah, bahwa kaum Muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma. Motivasi mabdai ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan. Maka sebagian kaum Muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi. Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang. Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas. Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang geografer Yunani untuk dapat menggambar peta. Jadilah mereka orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang. Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pinggir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1.000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1.500 orang. Menulis pada abad-4 H (abad 10M), al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad sesudahnya. Dan sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa kapal yang dipakai Cheng-Ho, seorang laksamana Muslim abad 15 sudah jauh lebih besar daripada yang dipakai Columbus menemukan benua Amerika.Semua kapal Muslim mencerminkan karakteristik tertentu. Kapal dagang biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang. Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar, tergantung fungsinya. Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu sama lain pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara. Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspal atau ter. Tali untuk menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan salah satu pembeda dari kapal-kapal Muslim adalah layar lateen yang dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut terhadap tiang kapal. Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih lincah daripada layar persegi. Dengan demikian kapal Muslim tidak terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum Muslim di Laut Tengah, sehingga kata Arab untuk galangan kapal, dar al-sinaa, menjadi kosa kata bahasa Eropa, arsenal. Perhatian para penguasa Muslim atas teknologi kelautan juga sangat tinggi. Sebagai contoh, Sultan Salahuddin al Ayubi (1170 M) membuat elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan onta ke pantai Syria untuk dirakit. Dermaga perakitan kapal ini terus beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan Salib. Sultan Muhammad al-Fatih menggunakan kapal yang diluncurkan melalui bukit saat menaklukkan Konstantinopel.Teknologi ini ditunjang ilmu bumi dari para geografer dan penjelajah. Geografer terkenal seperti Al-Idrisi, Al-Biruni dan Ibnu Batutah menyediakan peta-peta yang lengkap dengan deskripsi geografis hasil ekspedisi yang beraneka ragam. Mereka juga menyediakan pengetahuan baik yang bersifat fisik seperti meteorologi dan oseanografi, maupun yang sosial seperti etnologi, yang sangat berguna untuk berkomunikasi dengan suku-suku asing yang tersebar di berbagai pulau terpencil. Para arsitek seperti Mimar Sinan membangun mercu-mercu suar yang lebih kokoh, dan Banu Musa menyediakan lampu-lampu suar yang tahan angin, sehingga secara keseluruhan dunia pelayaran di negeri Islam menjadi lebih aman.Di sisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut dengan menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat. Di luar sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu menggambarkan kehidupan pelaut secara nyatal sehingga menarik jutaan pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi maritim.Tanpa ilmu dan teknologi kelautan yang handal, mustahil daulah Islam yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi sumber dayanya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke Nusantara. Dengan teknologi kelautan, negara Khilafah mampu bertahan beberapa abad sebagai negara adidaya.

Ketika Khilafah Mengadakan AlutsistaDr. Fahmi AmharPupus sudah rencana TNI untuk membeli 100 tank berat Leopard dari Jerman. Bukan karena tank seberat 50 ton itu mungkin akan merobohkan beberapa jembatan yang akan dilewatinya di Indonesia, juga bukan karena Indonesia sebagai negara maritim sebenarnya lebih butuh kapal perang, tetapi karena Parlemen Jerman menolak rencana penjualan tank ke Indonesia karena Indonesia dianggap belum baik dalam soal HAM.Maka muncul pertanyaan: bagaimana umat Islam di masa keemasannya memiliki alat utama sistem senjata (alutsista) yang lebih canggih dari bangsa-bangsa lain? Ataukah keunggulannya di masa lalu itu semata-mata dari semangat jihad yang menyala-nyala, kepemimpinan yang efisien, sehingga kaum Muslim dapat bersatu dan kuat?Masih ada pihak di dalam kaum Muslim yang berpendapat bahwa teknologi militer kaum Muslim di masa lalu tidaklah sepenting semangat, kepemimpinan dan persatuan. Mereka berargumentasi bahwa pada masa Rasulullah dan sahabat teknologi senjata yang dimiliki juga masih sangat sederhana, bahkan di bawah teknologi negara-negara adidaya seperti Romawi dan Persia, namun faktanya tentara Islam berhasil memenangkan peperangan.Karena itu lantas ada sejumlah Muslim yang menolak teknologi militer, apalagi saat ini hampir seluruhnya diimpor dari negara-negara adidaya penjajah seperti Amerika, Inggris, Prancis atau Rusia. Sejumlah orang Islam mencukupkan diri dengan latihan pencak silat dan upaya spiritual. Yang dimaksud adalah upaya menghasilkan kesaktian, seperti kebal, dapat menghilang atau berpindah tempat secara mistik.Namun kalau kita telaah sejarah, ternyata sejak awal kaum Muslim sangat terbuka dalam mempelajari teknologi militer. Pada perang Ahzab, Rasulullah SAW menerima usulan untuk membuat parit dari Salman yang berasal dari Persia. Sampai saat itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal teknik perang parit.Rasulullah juga sempat mengirim sejumlah sahabat untuk berburu ilmu ke Cina. Mereka kemudian pulang di antaranya membawa pengetahuan membuat mesiu yang di Cina biasa dipakai untuk membuat kembang api saat perayaan Imlek, dan saat itu belum dikenal di luar Cina.Kaum Muslim kemudian mengembangkan berbagai ilmu dasar yang terkait teknologi militer, yaitu fisika dan kimia. Sekarang pun bila Hamas ingin merakit sebuah roket sederhana untuk mengganggu Israel, mereka harus menguasai fisika dan kimia dasar. Fisika untuk mekanikanya, dan kimia untuk bahan bakar dan peledaknya. Kalau roket itu ingin dapat dikendalikan, maka mereka harus menguasai elektronika, terutama terkait sinyal radio dan navigasi.Pada tahun 1228, laporan independen dari Prancis menyebutkan bahwa tentara Muslim sudah menggunakan bahan peledak untuk mengalahkan tentara Salib yang dipimpin Ludwig IV. Bahan peledak itu dikemas dalam pot-pot tembikar yang dilontarkan dengan ketapel raksasa.Tahun 1260 pistol pertama telah digunakan oleh tentara Mesir dalam mengalahkan tentara Mongol di Ain Jalut. Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol itu berisi bubuk mesiu yang komposisinya idealnya terdiri dari 74 persen salpeter, 11 persen sulfur, dan 15 persen karbon. Mereka juga sudah menggunakan pakaian tahan api untuk melindungi diri dari bubuk mesiu itu.Tahun 1270 insinyur kimia Hasan al-Rammah dari Suriah menulis dalam kitabnya al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Buku tentang formasi perang [dengan pasukan berkuda] dan peralatan perang) hampir 70 resep kimia bahan peledak (seperti kalium nitrat) dan teknik pembuatan roket. Dia menuliskan bahwa banyak dari resep itu telah dikenal generasi kakeknya, yang menunjukkan akhir abad 12 M. Komposisi bahan peledak secanggih ini belum dikenal di Cina atau Eropa sampai abad-14 M.Torpedo juga ditemukan oleh Hasan al-Rammah yang memberi ilustrasi torpedo yang meluncur di air dengan sistem roket yang diisi bahan peledak dengan tiga lubang pengapian.Ibnu Khaldun menuliskan bahwa pada tahun 1274 penggunaan meriam telah dimulai oleh Abu Yaqub Yusuf dalam menaklukkan kota Sijilmasa. Namun penggunaan senjata super yaitu meriam raksasa pertama kali adalah saat penaklukan Konstantinopel pada 1453 oleh tentara Muhammad al Fatih. Dia memiliki meriam dengan diameter 762 mm yang dapat melontarkan peluru batu ataupun mesiu hingga seberat 680 kg.Pada 1582 Fathullah Shirazy, seorang matematikawan dan ahli mekanik Persia-India yang bekerja untuk dinasti Mughal menemukan senapan mesin. Mesin ini dapat mengoperasikan meriam berikut membersihkan hingga 16 lubang mesiunya secara otomatis. Mesin ini dioperasikan dengan tenaga sapi.Teknologi alutsista di masa khilafah Islam juga mencakup hal-hal yang paling sederhana seperti ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia secara cepat, hingga astronomi navigasi untuk memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.Di berbagai era kekhilafahan, peran para perekayasa militer terus meningkat. Korps perekayasa yang terdiri dari pandai besi (metalurgist), tukang kayu, ahli keramik, ahli kimia dan sebagainya dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang langsung bertanggung jawab kepada Amirul Jihad.Pada 1683 M, tentara Khilafah Utsmani yang persenjataannya masih di atas seluruh persenjataan Eropa bersama-sama, salah strategi, sehingga misi mereka menaklukkan Wina Austria tanpa tetesan darah, gagal total. Jihad kemudian dinyatakan reses. Akibatnya korps perekayasa militer ini mengalami stagnasi. Pada akhir abad 18 saat tentara Napoleon memasuki Mesir, teknologi meriam Prancis sudah di atas meriam Mesir yang praktis sudah berhenti berkembang selama satu abad! Karena itu memang jihad tidak boleh berhenti. Jihad itulah yang akan terus mengobarkan perkembangan teknologi alutsista kaum Muslimin.[]Menyelisik Poros MaritimDuniaPosted by ekoharsono September 3, 2014 Leave a comment Achmad Soetjipto ; Mantan KSAL; Ketua Persatuan Purnawirawan ALMEDIA INDONESIA, 02 September 2014MENJADIKAN Indonesia sebagai poros maritim dunia, demikian tekad pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Itu disampaikan dalam pidato kemenangan mereka di geladak kapal pinisi yang tengah sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Pernyataan yang sama juga pernah dilontarkan pada debat capres edisi ketiga (22/6). Memang sangat nalar bila geostragis dan geohistoris akan mendorong Indonesia menjadi bangsa maritim. Juga wajar manakala sektor maritim kemudian berperan sebagai mainstream pembangunan nasional. Justru pengabaian pembangunan maritim yang terjadi selama ini dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap fitrah dan jati diri bangsa.Faktor-faktor kesejarahan, geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi haruslah tersanding baik dengan dinamika global berikut fakta objektif kebutuhan sekarang dan tantangan mendatang. Tentu saja mewujudkan komitmen dan janji kampanye itu tidaklah mudah. Dalam rentang pendek menjadikan Indonesia poros maritim dunia mungkin agak berlebihan, tetapi setidaknya ada fondasi kuat sebagai pijakan untuk proses selanjutnya. Selama ini pembangunan kemaritiman belum menjadi arus utama. Ada memang dalam RPJP 2025 dimunculkan frasa tentang kelautan, juga dengan keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Terdapat pula beberapa peraturan menyangkut hal tersebut seperti UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang memuat asas cabotage, dan lain-lain.Namun, kesemua itu masih sebatas kebijakan di atas kertas karena faktanya sektor kelautan belum menjadi napas penggerak utama dalam tata kelola kehidupan berbangsa.Perangkat-perangkat yang ada masih sebatas `tempelan dan belum menjadi subjek utama dalam menggerakkan pembangunan. Prasyarat paling mendasar ialah mengubah mindset dan cara pandang, yaitu dari bangsa agraris yang kental dengan isolasi dan mawas ke dalam, akrab dengan status quo, dan nyaman berlingkungan feodal dengan segala mitos dan takhayulnya, berubah menjadi bangsa maritim.Selain itu menjadi bangsa yang berwawasan ke luar, berjiwa dagang, menghargai kesetaraan, kebebasan dan kompetisi sehat, serta menyenangi engagement, aktif terlibat dan berperan dalam tata pergaulan dunia. Menerjemahkan visi revolusi mental untuk kemudian bertransformasi menjadi watak maritim, ini yang paling mendasar dan pasti paling berat. Sudah barang tentu proses transformasi membutuhkan pijakan, fondasi, dan pilar yang kuat, yaitu UU Maritim atau UU Kelautan yang kemudian diterjemahkan menjadi kebijakan nasional berikut berbagai kerangka kerja strategisnya.Adanya kebijakan nasional yang juga merupakan konsensus bangsa dalam menyikapi laut dan lingkungan maritimnya menjadi sangat penting, bahkan menjadi suatu imperatif strategis karena itulah hulu dari segala kebijakan pengelolaan sektor maritim. Pembenahan paradigma bahwa secara alami Indonesia bukan suatu kontinen, melainkan maritime and archipelagic state, merupakan modal mental bagi lahirnya sebuah national ocean policy. Intinya sektor maritim tidak boleh lagi menjadi sektor terpinggirkan. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki UU maritim atau UU kelautan. Kesungguhan pemerintah mendatang dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat dilihat dari sejauh mana mereka serius menerbitkan UU sesuai kebutuhan untuk menjawab tantangan. Paling tidak ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam ruang lingkup penyusunan UU kelautan. Pertama tentu tentang tata kelola, kemudian yang menyangkut aspek ekonomi, dan berikutnya masalah pertahanan dan keamanan.Tata kelolaKebijakan nasional tata kelola maritim pada dasarnya adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan visi Indonesia poros maritim dunia. Ada banyak perangkat yang dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan konsep ini, seperti Deklarasi Juanda, Wawasan Nusantara, UNCLOS, dan IMO. Dengan dasar perangkat-perangkat tersebut pemerintah dapat menyusun suatu kebijakan terpadu untuk tujuan kemajuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Penataan kelembagaan perlu menjadi prioritas, karena selama ini sektor kelautan dikelola setidaknya oleh 16 kementerian dan badan negara yang memunculkan duplikasi wewenang dan tumpang-tindih aturan.Harus dirancang bagaimana sektor kelautan dikelola oleh otoritas tersendiri supaya dapat mengurangi rantai koordinasi, ketumpulan kendali, dan kelambanan meja birokrasi. Selanjutnya perlu disusun satu badan keamanan tunggal semacam coast guard di negara-negara maju. Coast guard bisa menjadi badan atau angkatan kelima di bawah Kementerian Pertahanan seperti di India. Bisa juga dibawahkan ke Kementerian Maritim yang nantinya dirancang sebagai otoritas tunggal pengelolaan laut di luar aspek pertahanan. Kelemahan keamanan menunjukkan banyaknya potensi ekonomi laut disia-siakan. Data audit BPK 2012 menyatakan kehilangan akibat illegal fishing mencapai Rp365 triliun. Angka ini akan lebih besar lagi jika praktik penyelundupan, perusakan lingkungan, dan pencurian artefak di laut juga dihitung.Ekonomi maritimKe depan diperlukan kebijakan nasional ekonomi kelautan. Ini merupakan kebijakan pemerintah untuk bagaimana sektor laut mampu memberikan kontribusi terha dap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat terutama penaikan GDP. Kebijakan yang disusun harus memperhatikan geostrategis nasional yang menjadi penyangga angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah, Samudra Hindia, Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya dari tepian Pasifik menuju Samudra Hindia, Timur Tengah, serta Eropa.Kepemilikan choke point dan corong alur pendekat sampai saat ini belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Padahal dari sekitar 90% pergerakan perdagangan dunia yang memanfaatkan transportasi laut, sekitar 75% melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$1.300 triliun per tahun. Alur perdagangan di Selat Malaka, misalnya, saat ini justru Singapura dan Malaysia yang banyak mengambil manfaat. Ini menjadi salah satu sebab kecilnya kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional. Data saat ini, sektor kelautan Indonesia hanya berkontribusi sekitar 22% dan sektor perikanan sekitar 3,4%.Jepang, Korea Selatan, dan China yang lautnya lebih kecil memberikan kontribusi hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya.Bahkan, Vietnam yang bukan negara kepulauan, sektor kelautannya mampu menyumbang 57,63% terhadap PDB nasionalnya. Beberapa yang harus dibenahi segera untuk membangkitkan sektor maritim alah percepatan pembangunan jaringan pelabuhan dan infrastruktur kelautan, industri pelayaran niaga, industri pembangunan kapal, revitalisasi perikanan, dan pembangunan industri jasa maritim. Jepang dengan garis pantai 34 ribu km memiliki 3.000 pelabuhan atau satu pelabuhan per 11 km panjang pantai. Thailand dengan garis pantai 2.600 km punya 52 pelabuhan atau satu banding 50 km panjang pantai.Indonesia dengan 81 ribu km garis pantai hanya punya 694 pelabuhan atau satu pelabuhan untuk 115 km panjang pantai.Pemerintah sekarang pernah mewacanakan konsep `Pendulum Nusantara, dan capres terpilih merencanakan membangun tol laut yang menghubungkan wilayah dari Sabang sampai Merauke sehingga jarak ekonomis mendekati jarak geografis. Artinya ongkos angkut barang dari Jakarta ke Papua tidak lebih mahal daripada Jakarta ke Hong Kong. Apabila rencana ini tidak berhenti sebatas wacana dan ada konsistensi dalam pelaksanaannya, tentu kebangkitan sektor maritim hanya soal waktu. Jelas keamanan dan kelancaran jaringan dan konektivitas logistik Nusantara itu sangat memerlukan adanya jaminan keamanan. Angkatan Laut harus mengambil peran itu selama badan sipil keamanan dan penegak hukum di laut masih kacau akibat tingginya ego sektoral para pemangku kepentingan.Kebijakan & Politik Maritim3 June 2014 SEJAK zaman kerajaan-kerajaan jauh sebelum Indonesia merdeka, semangat maritim sudah menggelora di bumi pertiwi tercinta ini, bahkan beberapa kerajaan zaman itu mampu menguasai lautan dengan armada perang dan dagang yang besar. Namun, semangat maritim tersebut menjadi luntur tatkala Indonesia mengalami penjajahan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pola hidup dan orientasi bangsa dibelokkan dari orientasi maritime ke orientasi agraris (darat).

Memasuki zaman kemerdekaan, berbagai upayapun telah dilakukan oleh para pendahulu bangsa ini untuk kembali menggelorakan semangat maritim bangsa Indonesia. Sebagai negara merdeka, Indonesia mulai berupaya mendapatkan pengakuan dunia sebagai Negara Kepulauan. Namun, upaya ini tidaklah mudah karena dibutuhkan kemampuan diplomasi serta pemahaman tentang hukum laut dan hukum internasional yang baik. Akhirnya pada tanggal 13 Desember 1957 terbitlah Pengumuman Pemerintah tentang Perairan Indonesia yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda yang mendeklarasikan Wawasan Nusantara yang bertujuan untuk menyatukan nusantara dalam suatu kekuatan hukum untuk menghindari disitegrasi bangsa Indonesia. Meski secara de yure sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sudah ditetapkan bahwa Indonesia yang diproklamasikan adalah Ex Nederlands Indie (Hindia Belanda), sebuah negara yang terdiri dari gugusan pulau yang kini dikenal dengan Negara Kepulauan. Pelurusan sejarah dan persamaan persepsi harus dibangun bahwa Deklarasi Djuanda 1957 bukan awal dari deklarasi Indonesia sebagai Negara Kepulauan namun merupakan penyesuaian terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945.

Pengakuan Internasional bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan akhirnya tercapai dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982. PBB memberikan kewenangan dan memperluas wilayah laut Indonesia dengan segala ketatapan yang mengikutinya. Perluasan wilayah Indonesia dalam UNCLOS 1982 tidak hanya wilayah laut teteapi juga wilayah udara. Selain itu juga terjadi perluasan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE serta landas kontinen serta Indonesia juga masih memiliki hak atas pengelolaan natural reseources di laut bebas dan di dasar samudera. Kesemuanya ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya.

Dekalarasi DJuanda 1957 yang menegaskan konsepsi Wawasan Nusantara memberikan kita anugerah yang luar biasa baik itu laut, darat maupun udara. Sementara UNCLOS 1982 menempatkan Indonesia sebagai Negara Kepulauan dengan potensi ekonomi maritim sangat besar. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman suberdaya alam laut yang potensial, baik hayati dan non-hayati yang tentunya memberikan nilai yang luar biasa pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media transportasi antar pulau yang sangat ekonomis. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70 persen angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah sejauh mana bangsa ini memanfaatkan peluang yang begitu fantastis itu. Pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno sebagai presiden selalu terkumandang semangat maritim, namun dalam implementasi kebijakan pembangunan khusus dibidang laut sepertinya tidak serius, namun paling tidak sudah ada upaya menggelorakan semangat maritim. Salah satu pernyataan Soekarno pada National Maritime Convention (NMC) 1963 adalah Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia. Maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang.

Kondisi hilangnya orientasi pembangunan maritim bangsa Indonesia semakin jauh tatkala memasuki era Orde Baru, kebijakan pembangunan nasional lebih diarahkan ke pembangunan berbasis daratan (land based oriented development) yang dikenal dengan agraris, bahkan dengan bangga Indonesia dideklarasikan sebagai negara agraris penghasil produk rempah-rempah dan produksi pertanian yang spektakuler. Kebijakan Orde Baru ini sejalan dengan perlakuan pemerintah kolonial Belanda saat menjajah bangsa Indonesia. Orientasi dan semangat maritim bangsa Indonesia dibelokkan dari orientasi maritime ke orientasi daratan untuk mengahasilkan komoditas perdagangan rempah-rempah yang saat itu merupakan primadona dunia yang sangat menguntungkan pihak penjajah. Menjadi pertanyaan mendasar, mengapa era Orde Baru melakukan kesalahan fatal dalam menentukan arah kebijakan pembangunan nasional. Jawaban dari pertanyaan tersebut sangat sulit terjawab hingga kini. Kekonyolan tersebut terus berlanjut tatkala memasuki era Reformasi, dimana orientasi kebijakan pembangunan nasional semakin tidak jelas.

Beberapa elemen bangsa yang memahami betul potensi terbesar Indonesia sebagai Negara Kepulauan terus berjuang untuk menggelorakan semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim. Sebagai catatan, bahwa pengertian Negara Kepulauan dan Negara Maritim sangatlah jauh berbeda. Negara Kepulauan adalan ciri sebuah negara yang secara geografis terdiri atas banyak pulau yang terikat dalam suatu kesatuan negara. Sedangkan Negara Maritim adalah sebuah negara yang menguasai semua kekuatan strategis di lautan yang didukung oleh kekuatan maritim baik itu aramada perdagangan, armada perang, Industri maritim serta kebijakan pembangunan negara yang berbasis maritim.

Jika mencermati istilah tentang Negara Maritim, maka saat ini Indonesia belum bisa dikatagorikan sebagai Negara Maritim tapi masih sebatas Negara Kepulauan. Namun jika ada kesepahaman dan ada komitmen para pemimpin bangsa ini untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Maritim yang besar dan kuat serta disegani dunia Internasional, peluangnya sangatlah besar. Modal dasar sebagai Negara Kepulauan dengan posisi strategis serta kekayaan sumberdaya alam yang begitu melimpah memberikan peluang yang sangat besar bagi Indonesia untuk merealisasikan Kodrat Tuhan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan paling strategis di dunia. Selain itu juga bisa lebih dimaksimalkan pencapaian cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Perjuangan menuju Negara Maritim memang tidak mudah, namun jika seluruh bangsa ini memiliki kesamaan visi dan kebulatan tekad maka hal tersebut bukanlah hal yang mustahil. Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982 memberikan peluang yang besar bagi bangsa Indonesia untuk diimplementasikan secara serius melalui kebijakan-kebijakan pembangunan nasional yang memprioritaskan orientasi yang berbasis maritim. Melahirkan kebijakan pembangunan melaui perundang-undangan, pembangunan kekuatan armada pertahanan, armada perdagangan, industri dan jasa maritim yang ditunjang dengan penguasaan IPTEK merupakan upaya serius yang harus segera dilakukan menuju Indonesia sebagai NEGARA MARITIM... Jaya di laut, Sejahtera di darat dan perkasa di udara.

Maritime Policy: Langkah Menuju Negara Maritim

Indonesia berada di peringkat 18 perekonomian dunia. Namun, sejak merdeka 65 tahun silam, Indonesia hingga kini masih menjadi negara berkembang dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, GNP per kapita kecil (2.300 dolar AS), serta daya saing ekonomi rendah. Bahkan, The United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan Indonesia pada peringkat 108 untuk indeks pembangunan manusia (IPM).

Faktor terpuruknya perekonomian Indonesia adalah paradigma pembangunan yang berorientasi ke daratan (land-based development). Sementara laut hanya diperlakukan sebagai tempat eksploitasi sumber daya alam (SDA), pembuangan limbah, dan kegiatan ilegal. Untuk itu, diperlukan Maritime Policy untuk mengembalikan perekonomian Indonesia ke titahnya sebagai negara kepulauan.

Saat ini kebijakan pembangunan kelautan Indonesia belum dilaksanakan secara parsial. Masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri. Sebagai contoh Undang-undang (UU) No 17/2008 ,tentang Pelayaran, motornya adalah Kementerian Perhubungan; UU No 27/2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang No 31/2004, tentang Perikanan, di bawah komando Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim dibutuhkan satu wadah kementerian koordinator yang ditunjang undang-undang kelautan. Sebut saja kementerian koordinator kelautan atau maritim. Melalui upaya ini diharapkan pembangunan kelautan Indonesia bisa dilaksanakan secara terintegrasi sehingga roda perekonomian negara meningkat. Karena itu, pemerintah harus segera mengubah paradigma pembangunan, sebab ekonomi maritim menyimpan potensi menggerakkan perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, SDA non-konvensional, industri sampai dengan jasa maritim.

Total potensi ekonomi maritim Indonesia sangat besar. Diperkirakan mencapai Rp7.200 triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB saat ini (Rp5.000 triliun). Ditaksir lapangan kerja yang tersedia sekitar 30 juta orang.

Ke depan ekonomi maritim akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini sudah terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.

Potensi ini dimanfaatkan Singapura, dengan membangun pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia. Negara yang luasnya hanya 692.7 km2, dengan penduduk 4,16 juta jiwa itu kini telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor barang dan komoditas Indonesia 70 persen melalui Singapura. Saat ini Malaysia mencoba menyamai Singapura dengan membangun pelabuhan Kelang dan Tanjung Pelepas. Ironisnya, sebagai negara yang memiliki wilayah laut dan pesisir terluas, Indonesia hanya bisa menjadi penonton.

Mengenai sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan. Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik.

Di lepas pantai Barat Sumatera, Jawa Barat bagian selatan dan bagian utara Selat Makassar telah ditemukan pula jenis energi baru pengganti BBM, berupa gas hidrat dan gas biogenik dengan potensi melebihi seluruh potensi migas.

Tidak hanya itu, Indonesia memiliki potensi budidaya rumput laut yang besar. Walau hanya mengusahakan 32.000 ha (kurang lebih 30 persen total potensi), ditaksir dapat memproduksi sekitar 160 juta kg rumput laut kering per tahun, dengan nilai sebesar Rp 1,1 triliun per tahun (harga Rp 7.000/kg). Jika dikelola intensif produksinya bisa mencapai 2-3 kali lipat.

Seandainya diproses menjadi beragam semi-refined products (karaginan, alginat, agar, makanan, minuman) atau refined products (bahan pencampur shampo, coklat, es krim, milk shake, permen, pasta gigi, salep, pelembab, lotion, industri cat, tekstil), nilainya akan berlipat ganda sehingga mencapai multiplier effects bagi pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut belum termasuk komoditas lain yang mempunyai harga tinggi dan dibutuhkan pasar domestik, seperti udang, tuna, kerapu, ikan hias, kerang mutiara, teripang, abalone.

Untuk itu, strategi dan kebijakan di bidang maritim (Maritime Policy) harus segera dibenahi guna mengoptimalkan potensi yang dimiliki, baik menyangkut sumber daya laut, industri maupun bisnis transportasi. Sektor maritim juga butuh pemihakan lewat kebijakan fiskal dan moneter.

Kebijakan pemerintah di bidang maritim, baik industri perikanan maupun industri pelayaran harus dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Selama ini pengembangan potensi maritim terbentur masalah struktural. Belum ada kesadaran politis secara nasional tentang betapa besarnya potensi ekonomi perikanan dan maritim. Sehingga, dibutuhkan pemihakan kebijakan sektor maritim, baik melalui kebijakan makro, fiskal, maupun moneter.

Saat ini sektor maritim masih ditempatkan di halaman belakang sebagai sektor yang termarjinalkan. Agar laut bisa menjadi halaman depan, perlu kesadaran politik yang kuat. Sebenarnya langkah ini sudah dirintis saat pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendirikan Departemen Eksplorasi Laut yang kini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Adapun masalah krusial sektor maritim adalah rendahnya komitmen pemerintah membangun sektor ini. Semua aktivitas maritim belum terpusat dalam satu departemen atau kementerian, sehingga fokus pengembangan sektor ini belum optimal karena hanya sebagai sub-sub sektor saja. Harusnya dibentuk satu departemen yang lebih fokus dan menjadikan maritim menjadi satu sektor tersendiri dengan sistem panganggaran dan kebijakan yang lebh terfokus dengan sebuah payung Maritime Policy.

Luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), dikelilingi lebih dari 17.504 pulau, dengan panjang pantai 81.000 kilometer, ini adalah potensi kekayaan yang luar biasa. Potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan lebih dari 100 miliar dolar AS per tahun. Namun, yang dikembangkan kurang dari 10 persen.

Dari industri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku menjadi penyebab tidak berkembangnya industri ini. Utilitas pabrik yang rata-rata hanya 45 persen menjadi masalah karena banyak hasil tangkapan ikan yang langsung diekspor ke luar negeri, terutama ke Thailand dan Jepang. Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5 /2008 yang melarang ekspor langsung hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan implementasi Permen tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sumber permasalahan lainnya adalah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), oleh asing yang nilainya ditaksir mencapai Rp 30 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jumlah kapal ukuran tersebut hanya tiga persen dari kebutuhan.

Pemerintah harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur perikanan dan maritim yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan tertinggal dibanding negara lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian serius pemerintah.

Sementara untuk sektor transportasi laut kendalanya adalah permodalan. Sektor tersebut dinilai masih berisiko tinggi untuk dibiayai, sehingga perbankan enggan mengucurkan kredit pembelian kapal kepada pelaku usaha di bidang pelayaran. Sebagai tulang punggung sektor transportasi laut nasional, industri pelayaran membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam meningkatkan jumlah armada. Hanya dengan jumlah armada yang memadai, sektor transportasi laut bisa berkembang.

Sayang, perbankan enggan mengucurkan dana ke perusahaan pelayaran. Padahal sejumlah perusahaan pelayaran sudah berusaha mengajukan kredit pembelian kapal, namun hasilnya nihil. Kesulitan permodalan sebenarnya sudah terakomodasi dalam UU No 17/2008, tentang Pelayaran. Pasal 56 dari UU ini menyatakan, pemerintah wajib menciptakan inovasi pendanaan bagi perusahaan pelayaran nasional.

Namun, pada kenyataannya, usaha ini masih high risk. Kementerian Keuangan selaku pemegang kebijakan seharusnya bisa melihat masalah itu. Pemerintah harus bisa meyakinkan pihak bank bahwa perusahaan pelayaran nasional mampu mengembalikan kredit.

Pengembangan laut nasional juga membutuhkan dukungan pelabuhan. Sejauh ini, kebanyakan kondisi pelabuhan di Tanah Air sangat kurang kondusif. Selain biaya yang tinggi, pungli marak, juga fasilitas sandar yang sangat minim.

Hal ini karena pelabuhan masih dimonopoli PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Monopoli seharusnya dihilangkan, sehingga pelabuhan-pelabuhan bisa berbenah diri. Saat ini, pelabuhan masih menjadi profit center, tanpa dibarengi peningkatan layanan.

Pembangunan ekonomi maritim juga nyaris tanpa keberpihakan terhadap rakyat. Penguasaan sumber-sumber ekonomi dan praktik ekonomi yang didominasi asing, investasi tanpa seleksi, dan akses yang tidak setara telah mengakibatkan bangsa ini mengalami kemunduran dan tertinggal dari negara lain. Monopoli transportasi laut oleh armada asing saat ini mencapai 90 persen.

Tanpa 'Maritime Policy' Indonesia Jadi Sapi PerahKonsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan anugerah yang luar biasa. Letak geografis yang strategis, sedikitnya 70 persen angkutan barang dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, melawati perairan Indonesia. Wilayah laut yang demikian luas memberikan akses pada sumber daya alam, seperti ikan, terumbu karang, kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wisata bahari, sumber energi terbarukan, minyak, gas bumi, dan mineral langka.

Tak heran, jika Indonesia menjadi grand strategy bagi negara-negara besar di dunia. Ditopang potensi kekayaan alam yang melimpah dan posisinya yang sangat strategis, membuat mereka sangat memiliki kepentingan terhadap bumi khatulistiwa ini.

Bangkitnya kekuatan baru di bidang kelautan, seperti India, China, Australia dan Amerika Serikat (yang telah maju) menjadi tantangan bagi Indonesia. Selain berusaha menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia, negara-negara tersebut berlomba mencari cadangan energi untuk kepentingan mereka.

Di sisi lain, Indonesia telah melupakan visi kelautan dalam Deklarasi Djuanda yang melahirkan konsep Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang Bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi darat, laut dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.

Di era kolonial, budaya bangsa bahari dikikis secara perlahan dan sistematik. Selain itu, belum dimiliki Maritime Policy oleh para pemangku kebijakan yang secara deskriptif bertujuan membangun negara maritim yang besar dan kuat.

Kini di abad 21, negara-negara di dunia berlomba meningkatkan kekuatan maritimnya. Amerika Serikat membangun kekuatan maritime dengan slogan kekuatan maritim melindungi cara hidup Amerika. Lahirlah A Cooperative Strategy for 21st Century Sea Power, yang dipublikasi Oktober 2007 oleh United States Marine Corps, United States Coast Guard dan Department of Navy. Aliansi dengan NATO membentuk Global Maritime Partnership Initiative yang bertujuan menjaga ketertiban dan perdamain dunia, di bawah pengaruh mereka. China membangun Maritime Policy dengan strategi Chain of Pearl yang bertujuan membangun dan menyelamatkan urat nadi perdagangannya lewat laut.

India membangun Maritime Policy dengan mengeluarkan Freedom to Use the Seas: Maritime Military Strategy yang bertujuan meningkatkan pembangunan kekuatan angkatan laut India. Inggris pun tidak kalah dengan mengeluarkan semboyan Britain Rules the Waves yang bertujuan membangun kekuatan maritim Inggris dalam menghadapi era globalisasi.

Kini Indonesia berada dalam lingkaran negara-negara besar tersebut. Bahkan, Malaysia dan Singapura yang merupakan negera kecil berkembang seperti Inggris dengan visi kemaritimannya. Apakah mereka negara kepulauan? Bukan, tetapi kedua negara itu memiliki visi dan Maritime Policy.

Ironisnya, Indonesia sebagai negara kepulauan hanya menjadi penonton. Sudah kah negara ini memilki Maritime Policy sebagai jati diri bangsa kepulauan terbesar di dunia?

Dalam upaya Character of Government menuju Maritime Policy diperlukan enam elemen penting, yaitu Geographical Position, Phisical Confirmation, Extent of Territory, Number of Population, Character of the People and Character of Government. Dari instrumen tersebut dua di antaranya belum dimiliki bangsa Indonesia, yakni karakter pemimpin dan warga negaranya.

Tidak seriusnya pemerintah terhadap Maritime Policy, berimbas pada semakin banyaknya penata kelola maritim, mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, TNI Angkatan Laut, Direktorat Jendera Imigrasi, Kementrian BUMN, Bakorkamla, Polairud, sampai dengan Coast Guard. Tanpa Maritme Policy terjadi tumpang tindih di lapangan seperti sekarang.

Sayang, kekayaan alam yang luar biasa sebagai konsekuensi jati diri bangsa tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas pengelolaan yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu sisi masyarakat mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi secara kultural memposisikan diri sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup disejahterakan. Sementara kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, diperparah inefisiensi birokrasi dan korupsi.

Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai perubahan. Pada jangka pendek, program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur tersebut. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju.

Tetapi pada jangka panjang, diperlukan perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaan budaya, kedalaman budi pekerti serta menyikapi tantangan perubahan secara positif. Sebagai gambaran, betapa Indonesia tidak siap menanggapi perubahan terhadap kemungkinan rencana Thailand membuat kanal di semenanjung Kra, (selesai kurang dari 10 tahun). Sekarang Thailand tengah berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Jika mereka jadi membuat kanal, maka volume transportasi laut melalui perairan nusantara akan berkurang.

Sepintas Singapura akan ikut terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya lebih canggih, menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang tertib, efisien dan membosankan. Menteri Luar Negeri Singapura (di masa lalu), Rajaratnam bahkan pernah mengatakan mereka harus selalu maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga. Para ahli geografi ekonomi mereka dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak.

'Maritime Policy' Mendesak

Ironisnya, sebagai tuan rumah Indonesia tidak bisa memanfaatkan kekayaan laut untuk kesejahteraan rakyat. Tidak hanya itu, Indonesia juga tidak bisa menjaga wilayahnya, sehingga mudah disusupi negara lain. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan strategi Maritime Policy, kebijakan yang mengatur ekonomi berbasis kelautan, pelayaran dan pertahanan. Namun, pemimpin bangsa ini seakan tidak peduli dengan kebijakan tersebut. Tak heran, jika di kancah pembangunan laut, Indonesia tertinggal dari negara luar.

Kondisi ini membuat Sri Sultan Hamangkubuwono X prihatin. Sultan menjelaskan betapa pentingnya Maritime Policy bagi pembangunan negara, khususnya di sektor kelautan. Tokoh nasional ini mencontohkan keberhasilan Singapura dalam menerapkan Maritme Policy. Meskipun luas negaranya hanya 16 mil, mereka bisa menguasai pelayaran Indonesia bahkan dunia. Sebaliknya, sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia justru tergantung terhadap negara tetangga kecil itu.

Selama ini kita banyak menggunakan kapal-kapal Singapura untuk transportasi dan mendistribusikan barang ke provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan Singapura dengan memperkuat kapal-kapal niaganya. Tidak hanya itu, mereka juga membangun hub port terbesar dan tercanggih di dunia, kata Sultan.

Karena itu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini mengharapkan pemerintah mengubah kebijakan-kebijakannya. Malaysia sebagai negara kontinental strategi yang digunakannya maritim. Tak heran jika Indonesia selalu dibohongi Malaysia. Pulau-pulau kita dicaplok terus. Ini terjadi karena orientasi kita kontinental. Bukan laut yang mempersatukan pulau-pulau, tegas pemilik nama lengkap Bendara Raden Mas Herjuno Darpito ini.

Kapan Indonesia bisa dibilang sebagai negara bervisi maritim? Tidak perlu mendeklarasikan, yang paling penting bagaimana langkah-langkah kebijakan Maritime Policy diselesaikan. Kalau belum bisa menyelesaikan, presiden harus memutuskan coast guard. Siapa yang menjadi ujung tombak untuk keamanan negara. Menurut Sultan, sampai sekarang terlihat Kementerian Kelautan dan Perikanan mengejar kapal. Pengawas kementerian kan tidak boleh memakai senjata. Yang boleh adalah AL (angkatan laut). Aturannya begitu.

Sementara itu, Connie Rahakundini Bakrie, analis bidang pertahanan mengatakan, bicara mengenai Maritime Policy tidak lepas dari konsistensi keamanan nasional. Ada tiga unsur penting di sektor ini, yaitu political freedom, stabilitas politik, dan kapastian hukum atau kebijakan.

Political freedom sudah ada, stabilitas politik juga ada, tapi yang tidak ada adalah kapastian hukum atau kebijakan. Hari ini kebijakan presiden yang satu A, besok presiden yang baru bilang B, kondisi tersebut tidak boleh terjadi. Karena yang diperlukan negara dalam membangun keamanan laut adalah kebijakan jangka panjang. Karena itu, dalam menjalankan Maritime Policy diperlukan kepastian hukum dan kebijakan yang didukung DPR sebagai landasan, ujar Connie.

Wakil Direktur Indonesia Maritime Institute (IMI), Zulficar Mochtar mengungkapkan, sudah seharusnya kementerian terkait bidang kelautan membenahi dan berkoordinasi lebih aktif dalam memformulasikan kebijakannya, sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat. Termasuk dalam upaya memperkuat konsolidasi pengawasan laut dalam kerangka Coast Guard.

Menurut Zulficar, Dewan Kelautan Indonesia harus dibangunkan dari tidur panjangnya agar serius mendorong Kebijakan Kelautan (Maritime Policy). Fondasi kebijakan sangatlah penting bagi pembangunan nasional. Mereka harus mendorong dan memfasilitasi terbentuknya strategi pembangunan yang strategis agar Indonesia dapat menjadi negara maritim yang mandiri dan berdaulat.

Dari sisi ekonomi, Juan Permata Adoe, Wakil Ketua Divisi Maritim dari Kamar Dagang Indonesia dan Industri (Kadin), di berbagai kesempatan mengemukakan, dalam menerapkan Maritime Policy pemerintah tidak hanya harus fokus pada kebijakan laut, mereka juga harus mendorong investor asing terlibat dalam usaha maritim di dalam negeri.

Investor juga harus didorong terlibat di sektor lain, seperti industri perkapalan dan lainnya. Saat ini sudah terlalu banyak lembaga pemerintah yang bertugas melindungi domain maritim. Hal ini yang mengakibatkan tumpang tindih kewenangan, kata Juan.

Pengamat Kelautan Indonesia, Profesor Sahala Hutabarat mengatakan, sebagai negara kepulauan, Maritime Policy sangat penting bagi Indonesia. Tetapi pangkal sebenarnya adalah Undang-Undang Kelautan. Amandemen UUD 1945, Pasal 25 A, kalau tidak salah di situ dikatakan negara Indonesia adalah negara kepulauan. Jadi, Maritime Policy sudah sesuai dengan amanat UUD. Pada pasal 33 ayat 1,2,3 juga sudah disinggung-singgung terus, tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya, ungkap Sahala.

Menurut Sahala, konsep Indonesia sebagai negara kepulauan sudah diakui dengan adanya UNCLOS. Jika sudah menjadi negara kepulauan, mau tidak mau Indonesia harus berani bicara maritim. Yang kita tunggu adalah UU Kelautan yang hingga kini masih menjadi draft. UU tersebut sudah lima tahun kita tunggu. Karena itu, pembahasan UU Kelautan harus dipacu agar segera disahkan DPR. Dengan UU ini kita akan menuju Maritime Policy. Selanjutnya, akan ada perpres, kepres, dan permen. Jadi UU itu harus segera direalisasikan.

Sahala menjelaskan, bicara Ocean dan Maritime Policy ada yang membedakan. Menurutnya, Ocean Policy secara otomatis bicara laut. Sementara Maritim Policy cakupannya jauh lebih luas. Soal keseriusan pemerintah sendiri, Sahala mengakui pemerintah belum serius. Action-nya belum kelihatan. Misal, bicara soal batas laut dengan negara tetangga, belum selesai semua, dengan Singapura masih belum jelas, pun dengan 12 negara tetangga lain.

Ia khawatirkan kejadian Sipadan dan Ligitan kembali terjadi. Di ambalat contohnya, ada sekitar 12 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemerintah harus serius menjaga pulau-pulau tersebut sebagai security belt, sabuk pengaman daerah terluar. Penjagaan bisa dilakukan baik dari dalam maupun dari luar, melalui Maritime Policy.

Menanggapi Maritime Policy, meskipun bukan kementerian yang secara langsung menangani kebijakan sektor kelautan nasional, langkah nyata dilakukan Kementerian Luar Negeri dengan memprakarsai kerjasama kelautan di wilayah ASEAN. Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI, Djauhari Oratmangun mengatakan, dalam gagasan kerjasama ASEAN, pihaknya selalu berkoordinasi dengan kementerian lain. Salah satunya adalah dalam membentuk ASEAN Maritim Forum.

Dalam konteks ini, kita harus jadi leader. Untuk menjadi leader kita harus punya backup nasional yang kuat, serta punya kebijakan nasional yang memadai. Itulah yang ingin kita jual. Karena konsep berpikir maritim dalam konteks ini sudah diterima.

Apalagi, kata Djauhari, ASEAN terdiri dari negara-negara yang memiliki pantai (Kecuali Laos), sehingga memiliki potensi sengketa laut yang cukup besar. Maka itu yang kita ke depankan adalah kerjasama. Bagaimana membangun wilayah ASEAN yang tenteram, damai dan maju. Jika ada gesekan jangan sampai terjadi konflik terbuka. Kita sebagai negara kepulauan semestinya bisa leading dan kita mulai dengan membentuk ASEAN Maritime Forum.

Indonesia Belum Merdeka di LautSetelah 67 tahun merdeka Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari penjajahan. Kemerdekaan masih tergadaikan. Pengelolaan ekonomi masih dikuasai negara asing, kelompok dan ideologi yang berkepentingan. Tak terkecuali potensi laut Indonesia yang begitu besar. Pemerintah tak berdaya mengaturnya.

Melihat luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, terdiri dari 0,3 juta km2 perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan kepulauan, 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), dikelilingi lebih 17.504 pulau, dengan panjang pantai 81.000 kilometer, ini semua adalah sumber kekayaan yang luar biasa. Namun, di usianya yang lebih dari setengah abad, Indonesia masih negara berkembang dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi, GNP per kapita kecil (2.300 dolar AS), serta daya saing ekonomi rendah. Bahkan, The United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan Indonesia di peringkat 108 untuk indeks pembangunan manusia (IPM).

Padahal, potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp7.200 triliun per tahun atau enam kali lipat dari APBN 2011 (Rp1.299 triliun) dan satu setengah kali PDB saat ini (Rp5.000 triliun). Lapangan kerja yang akan tercipta lebih dari 30 juta orang.

Jika semua potensi tersebut dimanfaatkan dengan benar tanpa dirongrong pihak-pihak tertentu, rakyat Indonesia akan merdeka dalam arti sebenarnya. Indonesia tidak lagi menjadi bangsa budak, yang menjadi pembantu di negeri orang dan kuli di negeri sendiri.

Untuk itu, pemerintah harus segera mengubah paradigma pembangunan agar lebih berpihak pada rakyat dan bangsa. Apalagi potensi laut Indonesia bisa menggerakkan roda perekonomian nasional. Mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, industri sampai dengan jasa maritim.

Ke depan ekonomi kelautan akan semakin strategis seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Atlantik ke Asia-Pasifik. Hal ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Di mana 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.

Mengenai sumber pertambangan dan energi, 70 persen minyak dan gas bumi diproduksi di kawasan pesisir dan laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 di daratan. Potensi cekungan-cekungan tersebut diperkirakan sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara gas bumi tercadang sekitar 101,7 triliun kaki kubik. Namun, sangat disayangkan yang menguasai kekayaan tambang dan energi bangsa ini lagi-lagi jawabannya adalah perusahaan asing yang merupakan kepanjangan tangan dari negara-negara yang berkepentingan. Indonesia menjadi grand strategy bagi negara yang lebih maju.

Negara Indonesia kehilangan jati diri sebagai negara maritim akibat penjajahan panjang Belanda selama 350 tahun. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia kehilangan infrastruktur, budaya, politik dan visi ekonomi. Bangsa Indonesia kembali lahir dari titik nol. Padahal, Indonesia pernah berjaya di era kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Momen Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, telah menyatukan kembali generasi muda Indonesia dalam satu wadah wilayah nusantara. Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaaan pada 17 Agustus 1945, dan mendapat pengakuan kedaulatan dari badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1949.

Sejak itu babak baru kehidupan bangsa dimulai dengan terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fondasi dan prasarana kehidupan mulai diletakkan. Ibarat jabang bayi yang baru lahir, belajar tengkurap, merangkak, dan berjalan tertatih-tatih, kemudian tumbuh menjadi bocah, remaja dan dewasa.

Perkembangan ekonomi Indonesia sendiri terbagi dalam tiga fase. Fase pertama (1945-1949), adalah era perang kemerdekaan. Praktis tak ada agenda pembangunan yang dilaksanakan. Di samping belum ada sumber-sumber pembiayaan domestik, belum bisa mengharapkan negara sahabat karena Indonesia baru menjadi anggota PBB pada 1949. Lagi pula bantuan negara maju terhadap negara berkembang baru menonjol di era 1960-an.

Fase kedua (1949-1959), sistem demokrasi parlementer. Selama itu terjadi delapan kali pergantian kabinet sehingga agenda pembangunan tidak berkesinambungan. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar dua persen per tahun.

Fase ketiga (1959-1969), disebut era demokrasi terpimpin. Di mana peran Bung Karno sangat dominan dan kemudian disebut sebagai Orde Lama. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi dan politik. Terjadi peristiwa berdarah dengan terbunuhnya sejumlah jenderal. Kondisi ini mendorong Soekarno lengser dari jabatannya.

Fase keempat (1969-1994), era orde baru. Di bawah kendali Soeharto Indonesia mulai membangun. Namun orientasi pembangunannya agraris. Dalam PJP (Pembangunan Jangka Panjang), pembangunan direncanakan selama 25 tahun, dan dibagi dalam lima repelita (5 tahun). Pada Repelita I, Indonesia mendapat dua sumber pembiayaan yang melimpah, yakni pinjaman luar negeri dan durian runtuh harga minyak mentah yang naik sepanjang 1970-an.

Ekonomi yang tumbuh rata-rata di atas tujuh persen membuat Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu keajaiban ekonomi dunia. Prestasi ekonomi monumental antara lain pembangunan infrastruktur, jumlah penduduk miskin berkurang dari 50 menjadi 17 persen, dan pendapatan per kapita naik dari 100 menjadi 1.400 dolar AS.

Di seluruh pelosok daerah terdapat pendidikan dasar dan pusat pelayanan kesehatan. Produksi pangan, sandang dan papan berhasil swasembada. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara eksportir garmen yang terkenal. Puncak keberhasilan memasuki era tinggal landas ditandai dengan terbang perdana pesawat CN-250 pada 10 Agustus 1995. Pesawat bermesin dua dengan kapasitas 50 orang itu merupakan hasil karya insinyur Indonesia. Saat menyaksikan secara langsung bangsa Indonesia bangga dan bernapas lega roda pesawat meninggalkan landasan dengan selamat.

Pada tahun 1994-1995, Indonesia mulai memasuki PJP Kedua dengan Repelita VI. Sayang di tahun ketiga terjadi krisis moneter 1997. Krisis tersebut dimanfaatkan kaum akademisi dan penggiat demokrasi sebagai momentum menurunkan Soeharto. Sadar atas keinginan itu Soeharto pun lengser dan menyerahkan mandat kepada wakilnya BJ Habibie.

Aspirasi penggiat demokrasi dengan melaksanakan pemilu dini (1999), membuka kebebasan berpendapat. Tokoh-tokoh reformis, Amien Rais, Gus Dur, Megawati pun muncul. Sejumlah figur Orba seperti Akbar Tanjung masih ikut mewarnai era reformasi. Begitu juga Ginandjar yang masih ikut mengubah UUD 1945.

Kerinduan pada demokrasi membuat reformasi bangsa Indonesia menuju kutub ekstrem, demokrasi yang kebablasan. Jauh lebih luas dan mendalam dibanding demokrasi barat. Mulai dari tingkat kepala desa hingga presiden dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat. Konsekuensinya jelas, ongkos demokrasi sangat besar, mulai dari ancaman pergesekan horizontal hingga disintegrasi bangsa.

Dalam demokrasi suara orang pintar dan orang idiot sama. Karena sebagian besar bangsa Indonesia masih baru melek huruf, maka kebanyakan wakil dan pemimpin hasil pilihan rakyat tak mampu berbuat lebih baik dari orde baru. Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan sampai Kepala Desa hampir setiap hari menyerukan agar rakyat membuat dan menjaga keadaan supaya tetap kondusif. Makna kestabilan dan keamanan terasa makin sangat berharga, tetapi kian sulit diciptakan.

Pembangunan infrastruktur terhenti, bahkan semakin tak terawat. Sekolah-sekolah Inpres yang dibangun peninggalan masa lalu rusak berat. Jumlah pengangguran terus bertambah dan penduduk miskin tidak bisa dientaskan. Demokrasi ternyata bukan jaminan kemerdekaan ekonomi. Karena itu orang merindukan keberhasilan nation building Soekarno dan pembangunan ekonomi Soeharto. Rakyat kian tak sabar melihat kemajuan yang melambat sementara bangsa lain makin maju.

Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Indonesia harus kembali ketitahnya sebagai negara kepulauan. Membangun persepsi dan visi masa depan cemerlang sebagai negara maritim. Demokrasi harus dijadikan modal melepaskan diri dari belenggu masa lalu dan euforia realita masa kini.

Sebuah teori mengatakan bahwa sistem demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita rendah di bawah 6.600 purchasing power parity (PPP) dolar AS rawan terhadap kegagalan. Negara-negara dengan pendapatan perkapita 1.500 dolar AS, mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Negara dengan tingkat penghasilan per kapita 1.500-3.000 dolar AS, demokrasi negara tersebut hanya dapat bertahan 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6.000 dolar AS, daya hidup demokrasi 1/500.

Maka itu Indonesia harus segera meninggalkan daerah penuh resiko tersebut. Pada saat ini Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2010 mencapai 3.004,9 dolar AS atau Rp27 juta, yang berarti meningkat sebesar 13 persen dibandingkan dengan PDB per kapita 2009 sebesar Rp23,9 juta atau 2.349,6 AS.

Masterplan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada 2025 dengan pendapatan per kapita berkisar antara 14.250-15.500 dolar AS dengan nilai total perekonomian (PDB) antara 4,0-4,5 triliun dolar AS. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada periode 2015-2025.

Pertumbuhan ekonomi tersebut harus dibarengi penurunan inflasi sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi tiga persen pada 2025. Model kombinasi pertumbuhan dan inflasi ini mencerminkan karakteristik menuju negara maju.

Jika itu berjalan pertumbuhan PDB akan mengalami perbaikan, yaitu dari 4,5 persen pada 2009 menjadi 6,1 persen pada 2010, dan pada 2011 diharapkan mencapai 6,4 persen. Untuk menjadikan Indonesia sebagai high income country dengan pendapatan per kapita mencapai 14.900 dolar AS pada 2025 diperlukan pertumbuhan ekonomi tinggi, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berada antara 7,5-9 persen per tahun.

MP3EI menjadi pijakan awal menuangkan komitmen bersama antara pemerintah dan dunia usaha dalam mewujudkan transformasi ekonomi nasional. Upaya ini diharapkan bisa mempercepat kebangkitan ekonomi serta meningkatkan daya saing perekonomian nasional di tingkat regional dan global yang semakin kompetitif.

Kemerdekaan yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, pada 17 Agustus 1945, menjadi momentum penting bangkitnya bangsa Indonesia dari tangan penjajahan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kekuatan Indonesia telah dikebiri kaum kolonial lebih dari 3,5 abad. Kini saatnya Indonesia bangkit menyongsong kejayaan negara maritim yang besar. Di usianya yang ke-67 tahun Indonesia harus sudah terbebas dari segala bentuk penjajahan. Wilayah nusantara harus kembali pada jati dirinya sebagai negara kepulauan yang memiliki integritas tinggi. Jangan ada lagi kesenjangan kesejahateraan antara penduduk di Pulau Jawa dengan masyarakat terluar yang ada di perbatasan.

Namun melihat realita, Pengamat Politik Nasional, Fadjroel Rachman menilai, Indonesia belum sepenuhnya merdeka, terutama di sektor laut. Prinsip negara maritim harus segera dikembalikan, baik dalam bentuk regulasi, kebijakan maupun peraturan. Ini berlaku mulai dari tingkat nasional sampai dengan daerah yang ada di perbatasan. Bagi saya jika kita tidak bisa mengembalikan posisi bangsa sebagai negara maritim, artinya Indonesia melupakan kekuatannya. Karena memang kekuatan Indonesia ada di laut.

Maraknya pencurian kekayaan laut, bagi Fadjroel, belum menunjukkan Indonesia digdaya sebagai negara laut. Sudah saatnya Indonesia kembali menjadi negara maritim. Jika itu terwujud, kata Fadjroel maka pencurian-pencurian ikan bisa teratasi. Karena dalam konsep negara maritim, pertahanan laut yang diutamakan.

Tapi saat ini pertahanan laut kita keteteran, menjadi negara maritim bagi saya bisa mengembalikan kejayaan Indonesia. Banyak industri-industri maritim yang bisa digarap, dan itu sangat luar biasa. Saat ini kan yang diambil hanya sekadar ikan, dan belum menjadi industrialisasi.

Di era Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid), semangat negara maritim pernah dibangun. Tetapi, kata Fadjroel, pertarungan politiknya sangat kuat. Ini terjadi karena upaya mengembalikan negara maritim adalah persoalan politik.

Jika presidennya menyatakan Indonesia sebagai negara maritim, dengan semua kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya dan pertahanan yang berbasis kelautan, negeri ini bisa bergerak cepat. Yang ditakuti negara luar secara geopolitik kan laut kita. Tapi itu juga bisa menjadi kelemahan kita. Saat ini kenyataannya laut adalah kelemahan kita.

Fadjroel yang kerap mengkritik pemerintah mengemukakan, maindset salah yang dijalankan pemerintahan orde baru menjadi faktor utama. Ini bisa dilihat dari cara memusatkan pertahanan dan keamanan negara di darat. Padahal, setelah demokrasi berjalan, tidak ada lagi musuh internal. Sekarang saatnya pertahanan negara dipusatkan di laut.

Ditilik dari sejarah, tidak terbantahkan Indonesia adalah negara maritim. Hal ini bisa dilihat di kerajaan Sriwijaya yang begitu kuat dan disegani bangsa lain. Kesalahan ini bukan lagi berurusan pada pejabat kecil. Karena pejabat di daerah sebetulnya akan mengikuti apa yang disampaikan pemerintah pusat. Jika presidennya mengatakan, Indonesia adalah negara maritim, maka semua alokasi APBN kita arahkan untuk membangun kelautan.

Menurut Fadjroel, presiden itu tugasnya hanya dua, memilih dan bertindak. Memilih negara maritim dan bertindak bahwa Indonesia adalah negara maritim. Ke bawahnya, semua UU, perda dan lainnya pasti akan ikut.

Hal senada dikatakan pakar kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Dietriech G Bengen. Menurutnya, Indonesia harus kembali ke sejarah. Belum jayanya Indonesia terutama di laut, karena telah mengingkari sejarah bangsa. Padahal, secara jelas bangsa ini besar sebagai negara kepulauan yang diwujudkan dalam bentuk negara maritim. Suka tidak suka, itu adalah realitas yang harus diterima. Sebagai negara kepulauan tentu saja bagian terbesar adalah laut. Maka, harus kita bangkitkan bangsa yang mempunyai kapasitas kemaritiman, tegas Dietriech.

Sejarah telah menunjukkan bahwa Indonesia punya kapasitas kejayaan seperti era Sriwijaya. Dietriech menyayangkan setelah sekian lama bangsa ini dijajah, tidak kembali pada jati dirinya. Sehingga, bisa dikatakan laut terlupakan. Orientasi kita membangun daratan. Padahal darat ini bagian dari kepulauan. Hubungan antara satu pulau dengan pulau lain tidak bisa lepas dari laut. Untuk masa depan, wajib segera membangun laut, dan kita tidak bisa mengingkari itu.

Padahal, menurut Dietriech, ada momentum bagi Indonesia untuk kembali menjadi bangsa maritim. Bisa diingat krisis Indonesia pada 1998, hampir semua sektor ambruk. Hanya sektor perikanan dan kelautan yang tumbuh secara positif. Era reformasi, adalah momentum yang paling tepat kembali pada sejarah bangsa ini. Mari membangun laut untuk membangkitkan kejayaan bangsa Indonesia. Sayang, momentum yang baik tidak dibarengi keseriusan. Terlihat pemahaman kita terhadap sektor kelautan sangat kecil. Padahal orang lain memahami kita mempunyai potensi yang luar biasa, kok tidak bisa memanfaatkannya.

Indonesia memang sudah merdeka baik secara de facto maupun de jure. Tetapi, apakah bangsa ini sudah mengisi kemerdekaan? Itulah yang belum terlihat. Belum dimanfaatkannya kekayaan laut menjadi bukti. Apakah ini kesalahan dari pemimpin bangsa? Dietriech melihat di zaman Soekarno pernah dilanda krisis. Pada waktu itu, Soekarno mengatakan, apa yang bisa menyelamatkan bangsa ini. Jawabannya singkat, lautlah yang bisa menyelamatkan bangsa. Laut inilah yang sebenarnya kekuatan kita.

Pemimpin pasca Gus Dur, kata Dietriech, kurang memahami laut dengan baik. Buktinya bisa dilihat apakah ada pemimpin yang betul-betul mempunyai pemahaman dan semangat untuk membangun kekuatan laut, Dietriech tidak melihatnya. Perlu ada revitalisasi, bukan revolusi.

Revitalisasi untuk membangun kembali bahwa bangsa ini adalah bangsa maritim, sehingga semangat jiwa, etos maritim betul-betul tergambar dalam setiap langkah. Semangat untuk membangkitkan itu, lanjut Dietriech, sudah diterapkan di perguruan tinggi terutama kampus yang berbasis kelautan. Mereka sudah terlihat untuk mengangkat itu. Tapi, masih ada kesenjangan dalam hal mengaplikasikan tataran teori. Padahal, para akademisi sebetulnya bisa mendorong. Contohnya, apakah mahasiswa kelautan sudah melakukan praktik di pulau-pulau terluar agar menjiwai semangat maritime? Saya katakan belum juga. Harus ada dukungan yang baik dari kementerian maupun lembaga lain yang membuat mahasiswa bisa kerja lapangan di wilayah terluar.

Undang-Undang Kelautan: Perlukah?

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2, terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 juta km2. Namun pada kenyataannya, Rancangan Undang-undang (RUU) Kelautan yang akan memayungi wilayah maritim Indonesia belum juga selesai.

Melihat cakupan wilayah nusantara yang begitu luas, Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam laut yang potensial. Di dalamnya terhampar 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Sebagai negara maritim dengan luas lautan dua pertiga dari daratan, Indonesia sudah semestinya memiliki payung hukum untuk kesejahteraan rakyat dan melindungi wilayahnya dari ancaman luar.

Namun, RUU Kelautan hingga kini belum tuntas. Padahal Undang-undang (UU) Kelautan atau lebih tepat disebut UU Maritim memiliki fungsi sangat strategis. Jika UU ini rampung, pemerintah dan stakeholders bisa menjalankan pembangunan di wilayah laut Indonesia secara terkoordinasi. Lembaga kementerian dalam menjalankan tugasnya tidak akan tumpang tindih karena sudah diatur dalam UU tersebut.

Karena itu, Indonesia Maritime Institute (IMI) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera mengesahkan RUU Kelautan dan seharusnya namanya UU Maritim. Hal tersebut didasari karena Indonesia sejak merdeka, lahir sebagai negara kepulauan dalam satu wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Bahkan wilayah Indonesia telah mendapat pengakuan dunia melalui Deklrasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982.

Perubahan pimpinan nasional dari orde lama ke orde baru telah mengubah arah kebijakan pembangunan dari Marine Based Oriented ke Land Based Oriented. Pemerintah orde baru mengubah Indonesia menjadi negara kepulauan yang berorientasi daratan.

Tidak hanya itu, sejak era orde baru, kebijakan pembangunan negara kepulauan diubah menjadi negara agraris yang bervisi kontinental (inward looking). Ini sudah salah arah. Negara kepulauan sejatinya menganut visi maritim (outward looking).

Undang-undang Kelautan yang akan disahkan itu harus mengembalikan arah kebijakan pembangunan nasional ke orientasi pembangunan menuju Indonesia sebagai negara maritim. Bukan lagi negara agraris. Anggota DPR RI khususnya Komisi IV yang membidangi kelautan agar benar-benar memahami kondisi real Indonesia sebagai negara kepulauan. Kita (Indonesia) harus menjadi negara maritime yang kuat sehingga martabat kita sebagai bangsa yang besar tidak diinjak-injak negara tetangga. Bahkan, kita harus memaksa dunia menghormati dan menghargai Indonesia sebagai negara paling strategis di dunia.

RUU Kelautan merupakan program legislasi DPR yang seharusnya selesai pada 2010, sesuai dengan Prolegnas 2010-2014. Namun, hingga kini belum ada pembahasan komprehensif yang dilakukan anggota legislatif.

Letak geografis Indonesia yang sangat strategis sebagai jalur lalu lintas perdagangan dunia, memerlukan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut secara maksimal. Ditambah sumber daya alam hayati dan non hayati yang melimpah, seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, Deklarasi Djuanda 1957 dan UNCLOS 1982 menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan potensi ekonomi maritim sangat besar.

Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan Indonesia anugerah yang luar biasa. Letak geografis yang strategis, di antara dua benua dan dua samudera, sekitar 70 persen angkutan barang dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan nusantara. Selain itu, wilayah laut yang demikian luas memiliki sumber daya alam yang luar biasa, seperti ikan, terumbu karang, wisata bahari, minyak, mineral langka dan gas bumi.

Sudah semestinya dalam penyusunan RUU Kelautan tidak ada aturan yang tumpang tindih dengan perundang-undangan yang telah ada. RUU Kelautan secara kompleks mengatur pengelolaan laut, di antaranya terkait perikanan, pertambangan, pelayaran, industri kelautan, pariwisata, penegakan kedaulatan, dan perlindungan laut.

Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bambang Susilo mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan draf RUU Kelautan yang selanjutnya dapat menjadi pertimbangan dan pembahasan DPR bersama pemerintah. Menurut Bambang, jika sudah diundangkan, RUU Kelautan akan menjadi pedoman bersama dalam menyelesaikan beberapa persoalan di bidang kelautan. Sehingga, pembangunan kelautan dapat dilaksanakan secara optimal dan berkelanjutan, dengan memberikan nilai ekonomi bagi pembangunan nasional.

Diakui Bambang, selama ini pembangunan di bidang kelautan banyak yang tumpang tindih sehingga sering menimbulkan konflik kewenangan antar sektor. Meski demikian, pengelolaan bidang kelautan tetap harus ditangani lebih dari satu kementerian. Sayangnya, saat ini pembangunan nasional di bidang kelautan masih memperoleh porsi yang relatif kecil dibandingkan sektor-sektor lain.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mengemukakan, RUU kelautan diharapkan meneguhkan kebijakan kelautan. Namun, substansi RUU tersebut masih berpotensi tumpang tindih dengan undang-undang yang sudah ada.

Aturan mengenai konservasi misalnya, sudah diatur dalam UU No 45/2009, tentang Perikanan. Ketentuan tentang kedaulatan laut sudah diatur dalam UU No 6/1996, tentang Perairan Indonesia dan UU No 17/1985, tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional.

UU Kelautan Payungi Masyarakat Maritim

Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Bahar Buasan mengatakan, RUU Kelautan secara khusus menjadi payung hukum bagi nelayan di daerah, seperti di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Nelayan di sana sering dirugikan akibat penambangan timah di laut.

RUU Kelautan ini bisa menjadi payung hukum bagi nelayan. Mereka akan terlindungi atas aktivitas penambangan timah di laut yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Hal ini berpengaruh atas minimnya hasil tangkapan ikan nelayan.

Bahar mengatakan, dengan RUU ini perusahaan atau penambang yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dikenakan sanksi. Selama ini sanksi yang diberikan terhadap kerusakan dan pencemaran laut, baru diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).Karena itu, RUU Kelautan sangat penting, karena negara Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang memiliki potensi laut sangat besar, yang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat terutama nelayan.

RUU Kelautan adalah peraturan yang sangat vital. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Selain itu, letak geografis Indonesia sangat strategis, karena merupakan jalur lalu lintas perdagangan dunia.

Sangat diperlukan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut Indonesia secara maksimal yang ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Jika RUU Kelautan ini sudah disahkan menjadi UU, para nelayan bisa mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Babel, Yulistio mengatakan, nelayan harus dilindungi dengan payung hukum yang sah, sehingga kesejahteraannya lebih terjamin. Selain adanya kepastian tentang sanksi bagi para penambang yang merusak habitat laut, RUU Kelautan juga mengatur kepentingan distribusi hasil perikanan. Pemerintah wajib mengaturnya, sehingga tidak merugikan nelayan dan budidaya laut lainnya.

DPR Sibuk Manuver Politik Lupakan RUU Kelautan

Terbengkalainya, Rancangan Undang-undang (RUU) Kelautan karena ketidakseriusan dan ketidakmengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terhadap kondisi real wilayah Indonesia. Mereka lebih mengutamakan pembangunan di sektor daratan. Sementara pandangan Indonesia sebagai negara maritim dianggap para wakil rakyat sebelah mata.

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Hanura, Muradi Darmansyah beralasan, pihaknya belum membahas mengenai RUU kelautan, karena Komisi IV masih membahas UU Pangan dan Pembalakan Liar. Bicara mengenai adanya usulan menjadikan UU Maritim baginya sah-sah saja. Sekadar wacana, karena kita akan memilih yang terbaik.

Menurut Muradi, membahas RUU Kelautan secara otomatis membahas mengenai maritim dan dunia internasional. Hal tersebut sudah tertuang dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang sudah diratifikasi Komisi IV.

Muradi mengatakan, yang diatur dalam UU Kelautan, yaitu, bagaimana memberdayakan laut untuk kesejahteraan bangsa. Seperti masalah pencurian ikan. Jadi, yang dimaksud UU Kelautan adalah UU yang mengatur untuk kemakmuran. Semua menjadi prioritas. Kita urus di darat, di laut juga perlu. Kalau untuk hutan, jika tidak cepat dibuat UU akan menjadi masalah serius dalam pembalakan. Itulah yang menjadi fokus UU yang sedang diselesaikan oleh Komisi IV, sehingga UU Kelautan itu masih belum pasti kapan selesainya .

Menanggapi terbengkalainya penyelesaian RUU Kelautan, Profesor Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Indra Jaya mengatakan, sudah tidak aneh lagi jika ada kelambatan pemerintah dan DPR dalam pembahasan laut. Saya kira DPR memandang masalah kelautan terlalu kompleks, karena lintas sektoral. Di kalangan DPR sendiri tidak ada kesamaan visi bahwa laut sebagai salah satu sektor yang harus diprioritaskan. Belum terlihat DPR sampai ke situ dan masih sangat lemah.

Indra menilai, sangat sulit orang-orang yang ingin memajukan kelautan menjadikan UU Kelautan menjadi UU Maritim. Ini karena tidak ada kemauan serius dari DPR untuk membahas RUU Kelautan. DPR sendiri terlihat masih sangat tergantung terhadap lembaga eksekutif. Selama pemerintah tidak serius dalam pembangunan laut. Sangat sulit mewujudkan UU Maritim.

Berapa Jumlah Pulau Indonesia Sesungguhnya?

Berapa jumlah pulau di Indonesia? Menjadi pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Sebab, pemerintah belum sepakat berapa jumlah pulau yang tersebar di negeri ini. Data yang dimiliki Kementerian Pertahanan, tercatat ada 17.504 pulau. Di kementerian lain jumlah ini berbeda.

Pulau-pulau di Indonesia terbentuk pada zaman Miocene (12 juta tahun sebelum masehi); Palaeocene ( 70 juta tahun sebelum masehi); Eocene (30 juta tahun sebelum masehi); Oligacene (25 juta tahun sebelum masehi). Seiring dengan datangnya orang-orang dari tanah daratan Asia, maka Indonesia dipercaya sudah ada pada zaman Pleistocene (4 juta tahun sebelum masehi).

Pulau-pulau terbentuk sepanjang garis yang berpengaruh kuat antara perubahan lempengan tektonik Australia dan Pasifik. Lempengan Australia berubah lambat naik ke dalam jalan kecil lempeng Pasifik, yang bergerak ke selatan, dan antara garis-garis ini terbentanglah pulau-pulau Indonesia. Ini membuat Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak berubah wilayah geologinya di dunia. Pegunungan-pegunungan yang berada di pulau-pulau Indonesia terdiri lebih dari 400 gunung berapi, di mana 100 diantaranya masih aktif. Indonesia mengalami tiga kali getaran dalam sehari, gempa bumi sedikitnya satu kali dalam sehari, serta sedikitnya satu kali letusan gunung berapi dalam setahun.

Ribuan pulau di Indonesia terbentuk dan tersebar luas. Mulai dari pulau kecil, pulau besar sampai dengan pulau pasang-surut mewarnai indahnya alam Nusantara. Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Namun, buruknya penataan data mengenai jumlah pulau membuat simpang siur. Data jumlah pulau yang diyakini selama ini adalah 17.504 pulau dan 17.480 pulau. Namun, tidak sedikit yang ragu dengan memilih menyebutkan jumlah pulau di Indonesia dengan kalimat lebih dari 17.000 pulau.

Polemik mencuat karena jumlah pulau di Indonesia dari tahun ke tahun sering mengalami perubahan. Sebagai bukti, pada 1968-1987, pemerintah mengklaim Indonesia terdiri atas 13.667 pulau. Pada 1972, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau yang telah mempunyai nama. Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara keseluruhan. Selanjutnya, pada 1987, Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Passurta) menyatakan, jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504. Dari jumlah itu hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama.

Pada 1992, giliran Badan Kordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia. Mereka mencatat hanya 6.489 pulau yang telah memiliki nama. Kemudian pada 2002, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), berdasarkan citra satelit mengklaim jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah. Disusul Kementerian Riset dan Teknologi, pada 2003. Berdasarkan citra satelit mereka menyebutkan Indonesia memiliki 18.110 pulau.

Pada 2004, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, merilis bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 buah, dan 7.870 di antaranya telah memiliki nama, sisanya 9.634 pulau belum dinamai. Pada Agustus 2009, jumlah pulau kembali dikoreksi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menteri KKP saat itu, Freddy Numberi menyatakan, pulau di Indonesia berjumlah 17.480 buah. Dari jumlah tersebut baru 4.891 pulau yang telah diberi nama dan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Ironisnya, pada Agustus 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan, merevisi jumlah pulau di negeri ini, dari 17.480 menjadi hanya 13.000. Lalu, berapa sebenarnya jumlah pulau yang dimiliki Indonesia. Kenapa datanya berubah-rubah? Kondisi ini tidak hanya membingungkan masyarakat umum, tapi juga berimbas terhadap sistem pendidikan di sekolah. Karena setiap pertanyaan jumlah pulau diajukan, tidak ada jawaban yang pasti. Mereka dibuat bingung.

Polemik jumlah pulau di Indonesia disebabkan perbedaan pengertian tentang pulau yang dijadikan acuan dan metode survei. Selain itu, banyak nama-nama pulau yang sama atau bahkan satu pulau disebutkan dalam dua atau lebih nama yang berbeda.

Sejak 2006, berdasarkan Keputusan Presiden No 112/2006 telah dibentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Tim yang terdiri atas Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pendidikan Nasional dan Bakosurtanal (sebagai Sekretaris) tersebut menjadi lembaga yang memiliki otoritas dalam penetapan nama-nama geografis (National Authority On Geographical Names) di Indonesia.

Hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang masih dikebut hingga kini adalah penyusunan toponimi geografis Indonesia yang akan dituangkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah tentang Toponimi. Dalam Perpres ini akan menerangkan penambahan rupa bumi, termasuk mencantumkan jumlah dan nama-nama pulau yang dimiliki Indonesia. Selain itu tim ini juga bertugas mendaftarkan jumlah dan nama-nama pulau Indonesia ke PBB.

Hasil survei dan verifikasi terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diketahui bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke. Penurunan jumlah pulau ini tidak berkaitan dengan hilangnya pulau akibat kenaikan muka air laut, atau karena penggalian pasir laut. Sebelumnya, data yang sering dijadikan rujukan menyebutkan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia Indonesia memiliki 17.504 pulau.

Jumlah pulau dan nama-nama pulau yang ada di Indonesia masih jadi tanda tanya besar. Data yang dimiliki pemerintah pun belum sinkron. Sangat disayangkan masih ada pulau yang belum bernama di sebuah negeri yang 70 persennya diisi lautan. Jangan sampai kasus Sipadan dan Ligitan terulang kembali.

Tercatat, sekitar tahun 2006-2007 mulai dibentuk tim Toponimi lintas institusi yang tugasnya mengidentifikasi pulau-pulau RI sesuai dengan kaidah penamaan dan identifikasi pulau yang diakui oleh PBB. Akhir tahun 2010, jumlah yang diverifikasi oleh tim Toponimi tersebut adalah 13.487 buah pulau. Ternyata banyak pulau yang selama ini ada salah identifikasi, nama ganda, termasuk gunakan bahasa daerah. Jumlah inilah yang kemudian dikirimkan ke PBB untuk mendapatkan pengakuan formal.

Pendataan pulau masih sangat simpang siur. Interpretasi citra satelit juga punya bias, khususnya ketika awan atau karang yang ada di permukaan laut, kadang diinterpretasikan sebagai pulau juga. Semenjak hilangnya Sipadan Ligitan dan beberapa pulau yang tenggelam, data jumlah pulau sekitar 17.504, dengan menggunakan argumen data dari Kementerian Dalam Negeri.

Bakosurtanal dan Lapan juga mulai aktif melakukan pemetaan, khususnya menggunakan teknologi interpretasi citra satelit. Mereka mengklaim ada 18.200 buah pulau. Namun diralat, dan akhirnya diserahkan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri (saat itu) dengan jumlah pulau 18.100 buah. Namun, Megawati tidak jadi mengumumkannya.

Pemerintah kala itu mempertimbangkan, PBB tidak begitu saja mengakui klaim sebuah negara. Ada kaidah mengidentifikasi sebuah pulau, misalnya nama, koordinat, dan berbagai aturan lainnya. Penamaan pulau harus mengikuti Resolusi PBB yang jadi prosedur tetap, baik proses, pengumpulan info, dan strategi verifikasinya. Misalnya, pulau harus dikunjungi dan dianggap sah jika diucapkan minimal dua orang penduduk lokal dengan penggunaan dialek yang persis. Sementera defenisi tentang pulau yang dimaksud mengacu UNCLOS, yaitu dikelilingi air laut, alamiah, dan tetap muncul di atas pasang surut tertinggi. (Sumber: hallo-indonesia.blogspot.com)Potensi Indonesia sebagai Negara Maritim- 22 Oktober 2014 11:47 WIBLUAS lautan dibandingkan luas daratan di dunia mencapai kurang lebih 70 berbanding 30, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara di dunia yang memiliki kepentingan laut untuk memajukan maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara.Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya "The Influence of Sea Power upon History" mengemukakan teori bahwa sea power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia ( 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.Data Food and Agriculture Organization di 2012, Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Selain itu, perairan Indonesia menyimpan 70 persen potensi minyak karena terdapat kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Dari angka ini hanya sekitar 10 persen yang saat ini telah dieksplor dan dimanfaatkan.Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum merasakan peran signifikan dari potensi maritim yang dimiliki yang ditandai dengan belum dikelolanya potensi maritim Indonesia secara maksimal. Dengan beragamnya potensi maritim Indonesia, antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan dalam (deep ocean water), wisata bahari, energi kelautan, mineral laut, pelayaran, pertahanan, serta industri maritim, sebenarnya dapat memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) disebutkan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri juga bahwa kekayaan alam khususnya laut di Indonesia masih banyak yang dikuasai oleh pihak asing, dan tidak sedikit yang sifatnya ilegal dan mementingkan kepentingan sendiri.Dalam hal ini, peran Pemerintah (government will) dibutuhkan untuk bisa menjaga dan mempertahankan serta mengolah kekayaan dan potensi maritim di Indonesia. Untuk mengolah sumber daya alam laut ini, diperlukan perbaikan infrastruktur, peningkatan SDM, modernisasi teknologi dan pendanaan yang berkesinambungan dalam APBN negara agar bisa memberi keuntungan ekonomi bagi negara dan juga bagi masyarakat. Sebagaimana halnya teori lain yang dikemukakan oleh Alfred Thayer Mahan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk membangun kekuatan maritim, yaitu posisi dan kondisi geografi, luas wilayah, jumlah dan karakter penduduk, serta yang paling penting adalah karakter pemerintahannya.Selain perbaikan dan perhatian khusus yang diberikan dalam bidang teknologi untuk mengelola sumber daya alam di laut Indonesia, diperlukan juga sebuah pengembangan pelabuhan dan transportasi laut untuk