marginalisasi perguruan tinggi - ugm

1
Marginalisasi Perguruan Tinggi S ampai detik ini, pemaham- an publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kap- rah. Kesalahan fatal ialah penem- patan perguruan tinggi negeri se- bagai unit pelaksana teknis Ke- menterian Pendidikan dan Ke- budayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf. Dengan kedudukan seperti itu, per- guruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara per- guruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pem- bangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan ma- nusia. Fungsi marginal Dengan fungsi yang marginal seperti diuraikan di atas, maka PTN hanya men- jalankan tugas pemerintaii berdasarkan segala ketentuan yang berlaku. Adapun PTS hanya menjalankan usaha yang men- datangkan keuntungan bagi yayasan atau badan wakaf. Memang PTN dan PTS terkesan me- nyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pen- didikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah for- malitas persekolahan tingkat tinggi (mak- sudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah per- sekolahan tingkat tinggi dengan mem - perlakukan mahasiswa sebagai komodi- tas. ' Oleh SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah karena jauh se- kali dari hakikatnya. Secara perseorangan, kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia tidak kalah, bahkan sering kali lebih baik dibandingkan dengan negara manapun di dunia. Namun, sebagai institusi, pendidik- an tinggi sangat lemah karena pengelo- laannya yang tidak sesuai tuntutan zaman saat ini dan tidak sesuai dengan tantangan global yang terjadi sekarang. Telah terjadi kesalahan pemerintah dalam menata ke- lola perguruan tinggi di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN saat ini hanya mengedepankan pencapaian target pemerintah yang sangat bermuatan politis, seperti halnya angka partisipasi kasar (APK),jumlah mahasiswa miskin, pendirian PTN baru (atau penege- rian PTS) di daerah dengan alasan ke- terjangkauan. Semua itu ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rencana kerja tahunan. Kementerian memperoleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai target tahunan tersebut, yang kemudian didistribusikan melalui mekanisme mata anggaran baku kepada setiap PTN. Seluruh kebijakan dan teknis implementasi pelaksanaan pendidikan tinggi ditetapkan oleh kementerian, PTN hanya melaksanakan perintah ke- menterian di mana kementerian secara berkala melaksanakan koordinasi dan pe- mantauan untuk melihat sejauh mana anggaran diserap secara benar berdasar- kan peraturan perundangan yang ber- laku. / Kelihatannya tidak ada yang salah de- ngan mekanisme tata kelola PTN seperti itu karena kebijakan kementerian mem- berikan kesan bahwa tujuan pendidikan nasional akan dicapai. Namun, sejujurnya, tujuan pendidikan nasional masih belum dicapai, bahkan semakin lama semakin jauh dari pencapaian tujuan tersebut. Se- bab, tujuan pendidikan nasional yang ha- kiki, yaitu mencerdaskan kehidupan ber- bangsa-bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian. Kementerian ha- nya membuat target capaian fisik yang pelaksanaannya dilakukart dalain bentuk proyek fisik. Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan ka- pasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpi- kir, dan pengambilan keputusan, yang ha- rus dirrtiliki peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTS juga belum mampu mengemban tujuan pendidikan nasional yang sebenar- nya. Sebab, PTS harus memperlakukan pendidikan tinggi sebagai kegiatan bisnis yang menguntungkan. Kalau tidak, maka PTS tidak dapat bertahan hidup karena satu-satunya pendapatan PTS hanya dari uang kuliah mahasiswa, tidak ada bantuan dana yang signifikan dari kementerian ataupun dari pemerintah. Solusi badan hukum , Dalam hal ini, PTS sama sekali tidak · salah jika kemudian melakukan kegiatan transaksional, yaitu peserta didik mem- bayar mahal kepada PTS dan PTS mem- berikan pendidikan yang terbaik sesuai harapan peserta didiknya. PTS memang tidak harus memenuhi tujuan pendidikan nasional karena harus membiayai dirinya sendiri kecuali jika kemudian pemerintah atau kementerian menugaskan misi ter- tentu kepada PTS dengan anggaran yang memadai. Artinya, perlu ada ke- bijakan nasional bahwa pemerintah dapat menugaskan PTS bersama PTN mencapai tujuan nasional pendidikan yang hakiki. Dari pembahasan di atas, jelas sekali kunci pokok permasalahan pendidikan na- sional di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi, yaitu perguruan tinggi belum ber- badan hukum: hanya perangkat kerja dari kementerian (bagi PTN) dan dari ya- yasanjbadan wakaf (bagi PTS). Karena hanya perangkat kerja, yang dikerjakan perguruan tinggi hanya menjalankan ke- giatan proyek fisik (bagi PTN) dan ke- giatan yang bersifat transaksional (PTS). Seandainya perguruan tinggi berbadan hu- kum, maka mereka memiliki otonomi dan independensi yang akuntabel, di mana para akademisi dan peserta didik-yang notabene merupakan insan deiigan de- dikasi pendidikan yang terbaik-dapat me- ngembangkan dirinya ·mencapai tujuan pendidikan nasional yang hakiki. Pembentukan perguruan tinggi berba- dan hukum sangat dimungkinkan di In- donesia seandainya ada kemauan politis yang kuat dari pemerintah dan legislatif, sebagaimana halnya yang terjadi di se- jumlah negara di dunia, dengan seluruh perguruan tingginya berbadan hukum. Perangkat hukum hendaknya tidak dija- dikan kendala demi terbentuknya per- guruan tinggi berbadan hukum. Justru sebaliknya, perangkat hukum dirancang sedemikian rupa demi terwujudnya per- guruan tinggi berbadan hukum. Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, legislatif, dan publik, yaitu otonomi bukanlah komersialisasi atau pri- vatisasi. Pemerintah tetap berkewajiban mendanai perguruan tinggi berbadan hu- kum sesuai penugasan yang diamanahkan, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya di sejumlah negara di dunia, perguruan tingginya ber- badan hukum dan pemerintah mendanai perguruan tingginya. SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar ITB; dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Kompas Cetak Sabtu 29 Juni 2013 hal. 6

Upload: others

Post on 18-Dec-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Marginalisasi Perguruan Tinggi - UGM

Marginalisasi Perguruan Tinggi S ampai detik ini, pemaham­

an publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata

belum utuh dan masih salah kap­rah. Kesalahan fatal ialah penem­patan perguruan tinggi negeri se­bagai unit pelaksana teknis Ke­menterian Pendidikan dan Ke­budayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf.

Dengan kedudukan seperti itu, per­guruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara per­guruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pem­bangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan ma­nusia.

Fungsi marginal Dengan fungsi yang marginal seperti

diuraikan di atas, maka PTN hanya men­jalankan tugas pemerintaii berdasarkan segala ketentuan yang berlaku. Adapun PTS hanya menjalankan usaha yang men­datangkan keuntungan bagi yayasan atau badan wakaf.

Memang PTN dan PTS terkesan me­nyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pen­didikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah for­malitas persekolahan tingkat tinggi (mak­sudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah per­sekolahan tingkat tinggi dengan mem -perlakukan mahasiswa sebagai komodi­tas.

' Oleh SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO

Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah karena jauh se­kali dari hakikatnya. Secara perseorangan, kualitas dosen dan mahasiswa Indonesia tidak kalah, bahkan sering kali lebih baik dibandingkan dengan negara manapun di dunia. Namun, sebagai institusi, pendidik­an tinggi sangat lemah karena pengelo­laannya yang tidak sesuai tuntutan zaman saat ini dan tidak sesuai dengan tantangan global yang terjadi sekarang. Telah terjadi kesalahan pemerintah dalam menata ke­lola perguruan tinggi di Indonesia.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTN saat ini hanya mengedepankan pencapaian target pemerintah yang sangat bermuatan politis, seperti halnya angka partisipasi kasar (APK),jumlah mahasiswa miskin, pendirian PTN baru (atau penege­rian PTS) di daerah dengan alasan ke­terjangkauan. Semua itu ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai rencana kerja tahunan.

Kementerian memperoleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ~nt).lk mencapai target tahunan tersebut, yang kemudian didistribusikan melalui mekanisme mata anggaran baku kepada setiap PTN. Seluruh kebijakan dan teknis implementasi pelaksanaan pendidikan tinggi ditetapkan oleh kementerian, PTN hanya melaksanakan perintah ke­menterian di mana kementerian secara berkala melaksanakan koordinasi dan pe­mantauan untuk melihat sejauh mana anggaran diserap secara benar berdasar­kan peraturan perundangan yang ber­laku. /

Kelihatannya tidak ada yang salah de­ngan mekanisme tata kelola PTN seperti itu karena kebijakan kementerian mem­berikan kesan bahwa tujuan pendidikan nasional akan dicapai. Namun, sejujurnya, tujuan pendidikan nasional masih belum dicapai, bahkan semakin lama semakin

jauh dari pencapaian tujuan tersebut. Se­bab, tujuan pendidikan nasional yang ha­kiki, yaitu mencerdaskan kehidupan ber­bangsa-bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian. Kementerian ha­nya membuat target capaian fisik yang pelaksanaannya dilakukart dalain bentuk proyek fisik. Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan ka­pasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpi­kir, dan pengambilan keputusan, yang ha­rus dirrtiliki peserta didik.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PTS juga belum mampu mengemban tujuan pendidikan nasional yang sebenar­nya. Sebab, PTS harus memperlakukan pendidikan tinggi sebagai kegiatan bisnis yang menguntungkan. Kalau tidak, maka PTS tidak dapat bertahan hidup karena satu-satunya pendapatan PTS hanya dari uang kuliah mahasiswa, tidak ada bantuan dana yang signifikan dari kementerian ataupun dari pemerintah.

Solusi badan hukum , Dalam hal ini, PTS sama sekali tidak

· salah jika kemudian melakukan kegiatan transaksional, yaitu peserta didik mem­bayar mahal kepada PTS dan PTS mem­berikan pendidikan yang terbaik sesuai harapan peserta didiknya. PTS memang tidak harus memenuhi tujuan pendidikan nasional karena harus membiayai dirinya sendiri kecuali jika kemudian pemerintah atau kementerian menugaskan misi ter­tentu kepada PTS dengan anggaran yang memadai. Artinya, perlu ada ke­bijakan nasional bahwa pemerintah dapat menugaskan PTS bersama PTN mencapai tujuan nasional pendidikan yang hakiki.

Dari pembahasan di atas, jelas sekali kunci pokok permasalahan pendidikan na­sional di Indonesia, khususnya pendidikan

tinggi, yaitu perguruan tinggi belum ber­badan hukum: hanya perangkat kerja dari kementerian (bagi PTN) dan dari ya­yasanjbadan wakaf (bagi PTS). Karena hanya perangkat kerja, yang dikerjakan perguruan tinggi hanya menjalankan ke­giatan proyek fisik (bagi PTN) dan ke­giatan yang bersifat transaksional (PTS). Seandainya perguruan tinggi berbadan hu­kum, maka mereka memiliki otonomi dan independensi yang akuntabel, di mana para akademisi dan peserta didik-yang notabene merupakan insan deiigan de­dikasi pendidikan yang terbaik-dapat me­ngembangkan dirinya · mencapai tujuan pendidikan nasional yang hakiki.

Pembentukan perguruan tinggi berba­dan hukum sangat dimungkinkan di In­donesia seandainya ada kemauan politis yang kuat dari pemerintah dan legislatif, sebagaimana halnya yang terjadi di se­jumlah negara di dunia, dengan seluruh perguruan tingginya berbadan hukum. Perangkat hukum hendaknya tidak dija­dikan kendala demi terbentuknya per­guruan tinggi berbadan hukum. Justru sebaliknya, perangkat hukum dirancang sedemikian rupa demi terwujudnya per­guruan tinggi berbadan hukum.

Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, legislatif, dan publik, yaitu otonomi bukanlah komersialisasi atau pri­vatisasi. Pemerintah tetap berkewajiban mendanai perguruan tinggi berbadan hu­kum sesuai penugasan yang diamanahkan, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya di sejumlah negara di dunia, perguruan tingginya ber­badan hukum dan pemerintah mendanai perguruan tingginya.

SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO

Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar ITB; dan Anggota Akademi Ilmu

Pengetahuan Indonesia

Kompas Cetak Sabtu 29 Juni 2013 hal. 6