many child many livelihood
TRANSCRIPT
Pola Pikir “Banyak Anak
Banyak Rejeki” Sebagai Pemicu
Kultural Kemiskinan
Latar Belakang Masalah
Tak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia saat ini sedang
terpuruk dalam situasi krisis. Krisis yang bersifat
multidimensional, dimana krisis tersebut menggejala di tiap
bidang/dimensi kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai krisis di
bidang ekonomi dan politik yang paling mencolok, lalu bidang
agama, budaya, hingga krisis yang menyangkut masalah moral.
Namun demikian, penulis mencermati adanya salah satu
bidang/dimensi krisis yang sungguh menjadi masalah utama.
Bidang/dimensi tersebut berkaitan dengan segala sesuatu yang
menyangkut perekonomian masyarakat. Masalah ekonomi
berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan fisik yang menjadi
masalah mendasar eksistensi manusia.1 Mengikuti alur
pemikiran Abraham Maslow, kebutuhan fisik menjadi semacam
1 Lima kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial:1. Kebutuhan FisiologisContohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.2. Kebutuhan Keamanan dan KeselamatanContoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.3. Kebutuhan SosialMisalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.4. Kebutuhan PenghargaanContoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.5. Kebutuhan Aktualisasi DiriAdalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.Lih, http://organisasi.org/teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi, diakses pada tgl. 10 April 2011, pkl. 02.00.
1
pintu gerbang untuk memasuki/memenuhi kebutuhan lain yang
lebih tinggi tingkatannya.
Sejauh penulis amati, masyarakat Indonesia banyak
bergulat dengan masalah ekonomi. Pergulatan tersebut
tercermin nyata dalam ungkapan peribahasa: besar pasak
daripada tiang, yang artinya lebih besar pengeluaran daripada
pendapatan. Mengapa demikian? Pertama, masih minimnya
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan sebagai sumber
pendapatan. Kedua, kendati memperoleh pekerjaan, upah
tenaga kerja masih sangat murah. Kondisi pendapatan yang
demikian terbatas berbanding terbalik dengan harga-harga
barang pemenuhan kebutuhan yang melambung tinggi dari
waktu ke waktu.
Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat
Indonesia masih terpuruk dalam masalah mendasar kehidupan
manusia, yaitu pemenuhan kebutuhan fisik sebagai syarat
keberlangsungan kehidupan. Keterpurukan tersebut
membelenggu masyarakat sedemikian eratnya sehingga mereka
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan lain. Permasalahan
tersebut merupakan permasalahan yang dialami secara konkrit
oleh keluarga miskin. Keluarga miskin yang terkungkung dalam
lingkaran pemenuhan kebutuhan fisik, kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan fisik.
Jika permasalahan tersebut dirumuskan dalam
pertanyaan, maka pertanyaan yang dapat dirumuskan adalah:
Bagaimana mau menyekolahkan anak jika biaya untuk makan
sehari-hari saja kekurangan? Lalu jika ada anggota keluarga
yang sakit, bagaimana mau membawa berobat, jika uang untuk
berobat tidak ada? Esensi pertanyaan-pertanyaan tersebut
sejalan dengan prinsip pemikiran Abraham Maslow yang
2
mengharuskan pemenuhan kebutuhan fisik di atas kebutuhan-
kebutuhan yang lain.
Dari uraian di atas, tampak bahwa krisis ekonomi yang
melanda negeri ini sungguh menjadi pergulatan mendasar bagi
tiap-tiap keluarga. Bagaimana setiap keluarga dalam
masyarakat Indonesia setiap hari bergulat akan hal ini. Dalam
kaitannya dengan kajian filsafat kebudayaan, penulis
menangkap sebuah fenomena budaya yang menggejala di
masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan keluarga,
kemiskinan, dan kondisi krisis yang menerpa bangsa ini.
Fenomena tersebut adalah munculnya keluarga-keluarga
miskin yang dilatarbelakangi oleh budaya (pola pikir) tradisional
yang cenderung berorientasi pada masa sekarang dan kurang
memperhitungkan realitas yang akan dihadapi di masa
mendatang. Dengan kata lain, semacam ada pola budaya (pola
pikir) tradisional yang ada dalam masyarakat yang secara sadar
atau tidak sadar dibudayakan oleh tiap individu yang hidup di
dalamnya.
Dalam tulisan ini, penulis hendak menggali fenomena
budaya tradisional yang mendasari seseorang untuk berani
mengambil keputusan menikah, tanpa disertai pertimbangan
yang realistis dan rasional. Di sini penulis melihat suatu masalah
yang cukup mendasar yang berkaitan dengan keluarga,
kemiskinan, dan kondisi krisis. Bagaimana keputusan yang tidak
realistis dan cenderung irasional tersebut merupakan salah satu
akar masalah yang menyebabkan munculnya keluarga miskin
dan terpuruknya masyarakat Indonesia sekarang ini.
Pertama-tama penulis akan membahas sisi irasionalitas
tersebut. Bagaimana keputusan untuk menikah sering kali tidak
disadarkan pada pertimbangan logika yang matang. Pada
pembahasan berikutnya, penulis mengajukan suatu argumen
3
bahwa tindakan irasional tersebut tidak lepas dari adanya
budaya (pola pikir) tradisional yang ada dalam masyarakat.
Bagaimana budaya (pola pikir) tersebut “ditiru”, baik secara
sadar atau tidak sadar oleh tiap individu di dalamnya. Pada
bagian selanjutnya, penulis mengemukakan akar masalah yang
menjadi sekaligus solusi terhadap fenomena irasionalitas yang
menggejala dalam masyarakat. Tujuan penulisan ini adalah
memetakan masalah terkait dengan konteks keluarga dan
kemiskinan. Sekaligus dapat digunakan sebagai langkah
preventif untuk menyikapi keadaan keterpurukan bangsa ini,
dalam konteks permasalahan keluarga miskin. Berikut penulis
akan mulai mengkaji irasionalitas keputusan menikah yang
mendasari munculnya keluarga miskin.
Irasionalitas Keputusan Menikah
Kemiskinan menjadi fenomena yang paling disoroti
dewasa ini. Fenomena tersebut dapat ditelaah dengan dua
pendekatan, yaitu pendekatan internal dan eksternal.
Pendekatan eksternal adalah bahwa penyebab tingginya angka
keluarga miskin disebabkan oleh faktor-faktor dari luar (sistem
negara, minimnya lapangan pekerjaan, tingginya harga-harga
barang pemenuhan kebutuhan, dsb). Dengan bahasa yang lebih
lugas, masyarakat sulit untuk sejahtera dikarenakan sistem
yang membelenggu mereka sedemikian rupa. Keluarga-keluarga
miskin serasa “tenggelam” dan “sesak nafas” dalam arus
ekonomi yang kian mengglobal tanpa bisa “berenang” di
dalamnya.
Sedangkan pendekatan internal, yang merupakan kajian
tulisan ini, tingginya angka keluarga miskin juga disebabkan
oleh pengambilan keputusan yang tidak bijaksana dari tiap
keluarga miskin tersebut. Keputusan tidak bijaksana yang
4
dimaksud adalah berkaitan dengan keputusan untuk membina
rumah tangga ketika kondisi ekonominya belum mapan. Penulis
menilai keputusan tersebut adalah sebuah keputusan yang
cenderung irasional. Mengapa irasional? Karena dengan
memutuskan menikah tanpa kemapanan ekonomi di tengah
kondisi perekonomian negara yang masih carut-marut, keluarga
tersebut serasa memasang “bom waktu” bagi diri mereka
sendiri.
Fenomena “bom waktu” inilah yang sering penulis jumpai
dalam kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. Kebanyakan
pasangan yang belum mapan kondisi ekonominya, mulai panik
ketika lahirnya anak di tengah-tengah mereka. Kelahiran anak,
semenjak masa balita hingga usia sekolah, membutuhkan biaya
yang sangat banyak. Apalagi harga-harga barang pemenuhan
kebutuhan melonjak-lonjak bukan main. Di samping itu, biaya
untuk sekolah anak serasa bisa mencekik bagi orang tua yang
kondisi ekonominya kekurangan. Kondisi demikian, serasa tak
terpikirkan sebelumnya dan ketika keluarga miskin mulai
menyadari keterpurukan tersebut, semuanya serasa telah
terlambat dan posisi start tidak bisa diulang.
Ketidakmampuan orang tua keluarga miskin untuk
memenuhi kebutuhan si anak menyebabkan anak tersebut
menjadi terlantar. Anak-anak yang seharusnya sekolah, karena
keterbatasan kondisi ekonomi orang tua pada akhirnya harus
mengais rejeki di jalanan untuk memperoleh sesuap nasi. Bagi
penulis, proses inilah yang menyebabkan munculnya banyak
anak jalanan. Akar permasalahan munculnya anak jalanan
(melalui pendekatan internal) lebih disebabkan oleh
ketidakrasionalan orang tua mereka. Para orang tua yang
demikian, cenderung berpikir jangka pendek dan sangat kurang
dalam membuat perencanaan jarak jauh. Akibatnya….anak-anak
5
tak bersalah menjadi korban atas keirasionalan orang tua
mereka sendiri.
Pola irasionalitas yang menghinggapi keluarga miskin
ternyata tak lepas dari adanya budaya (pola pikir) tradisional
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pola tindakan
irasional tersebut dibentuk melalui budaya (pola pikir)
tradisional yang ada, baik itu terintegrasi secara sengaja
ataupun tidak disadari.2 Dengan kata lain, pola tindakan
individu dipengaruhi oleh budaya (pola pikir) masyrakat dimana
ia tinggal.
Pola Pikir Tradisional dalam Masyarakat
Dari uraian di atas, penulis hendak memetakan
permasalahan tersebut melalui segi budaya yang berkaitan
dengan pola pikir tradisional. Fenomena irasionalitas pasangan
yang menikah tanpa berpikir panjang serasa menggejala dalam
masyarakat. Indikatornya adalah tingginya jumlah anak jalanan
dan jumlah keluarga miskin yang ada. Hal itu mengisyaratkan
banyaknya pasangan yang irasional dalam keputusan untuk
menikah. Pertanyaannya, adakah stigma-stigma yang mendasari
tindakan irasional mereka?
Penulis melihat adanya budaya (pola pikir) tradisional
yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Budaya (pola pikir)
tersebut pada akhirnya, secara sadar atau tidak sadar turut
membentuk dan mendasari pola perilaku tiap individu yang ada
di dalamnya. Budaya (pola pikir) tersebut diantaranya adalah
banyak anak banyak rejeki, lalu adanya stigma usia wajib nikah
bagi pria dan wanita, wanita yang harus segera nikah karena
takut dicap negatif, dan lebih parah lagi fenomena yang kita
2 Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal. 51.
6
jumpai pada masyarakat pedesaan. Dimana anak usia SMP atau
bahkan SD sudah diwajibkan untuk menikah.
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kita masih
terkungkung dalam budaya (pola pikir) yang demikian. Karena
takut akan sanksi sosial, tak jarang banyak orang tua yang
menikahkan anaknya terlalu dini. Pada kasus lain juga banyak
dijumpai pasangan yang terburu-buru menikah, entah ingin
cepat punya anak, terburu nafsu, ataupun adanya insiden MBA
(married by accident), padahal secara financial belum dapat
dikatakan mandiri. Kondisi-kondisi demikian tentu sangat tidak
menjamin adanya prinsip kemandirian dan kemapanan sebagai
prasyarat bagi pasangan yang menikah. Malahan, pada kasus di
daerah pedesaan, ada unsur keterpaksaan yang melanggar hak
dan kebebasan tiap individu untuk menentukan sendiri jalan
hidupnya.
Namun demikian, individu adalah person yang memiliki
sisi kebebasan. Dengan adanya kebebasan tersebut, ia dapat
memilih atau menentukan jalan hidupnya sendiri. Jika budaya di
sekitarnya ternyata tak rasional, maka individu tersebut dapat
menolaknya, dan menentukan sendiri pola pikir (budaya)-nya
sendiri. Pada bagian terakhir, penulis menawarkan sebuah
solusi atas fenomena irasionalitas yang mendasari munculnya
keluarga miskin dan anak jalanan. Solusi tersebut juga sekaligus
merupakan akar masalah dari munculnya sisi irasionalitas yang
menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan kemiskinan di
negara ini.
Pendidikan sebagai Usaha Pencerahan
7
Lawan kata dari irasional adalah rasional. Masyarakat
yang cenderung irasional disebabkan kurang munculnya
penalaran atau pertimbangan yang rasional dalam mengambil
sebuah keputusan. Penulis mensinyalir bahwa penalaran atau
pertimbangan rasional sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor
pendidikan yang melatarbelakanginya. Dengan bahasa yang
lebih lugas, semakin orang berpendidikan seharusnya semakin
ia menjadi seorang yang rasional.
Jika dikaitkan dengan fenomena pernikahan anak di
bawah umur yang banyak terjadi di daerah pedesaan. Fenomena
tersebut bisa ada dan masih ada karena para orang tua di
daerah pedesaan kebanyakan masih belum berpendidikan. Para
orang tua tersebut belum memiliki paradigma akan pentingnya
pendidikan. Orang tua yang sudah mengenal dan memahami
pentingnya pendidikan, niscaya tidak akan menikahkan anaknya
dalam usia belasan tahun, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.
Pentingnya pendidikan adalah untuk membuka cakrawala
anak tentang dunia. Dengan demikian, menumbuhkan suatu
paradigma baru dalam benak si anak dalam memandang
kehidupan. Kehidupan tidak hanya sekedar ditujukan untuk
menikah, melainkan juga ada aspek untuk aktualisasi diri yang
diwujudkan dalam menggapai cita-cita. Masa muda adalah masa
produktif untuk banyak bekerja atau berkarya, bukannya “mati”
dalam urusan pernikahan.
Pendidikan juga membawa dampak bagi pekerjaan.
Jelasnya, orang yang lulus S1 pasti memperoleh pekerjaan yang
lebih baik daripada orang yang hanya lulusan SD atau bahkan
tidak berpendidikan sama sekali. Fenomena tersebut jelas
menggambarkan bahwa dunia kerja sekarang ini membutuhkan
orang yang memiliki skill. Kebanyakan dalam keluarga miskin,
peran yang dimainkan sebagai seorang ayah hanya memiliki
8
pendidikan yang terbatas. Akibatnya, ia hanya bekerja sebagai
tukang parkir, buruh bangunan, dan pekerjaan lain yang
berhubungan dengan fisik. Dengan demikian, faktor pendidikan
jelas berpengaruh pada tingkat kematangan pengambilan
keputusan dan juga posisi kerja yang ideal.
Kesimpulan
Masalah kemiskinan begitu menggejala dewasa ini.
Pendekatan akar permasalahannya dapat dilakukan melalui dua
sisi, yaitu internal dan eksternal. Fokus tulisan ini adalah sering
kali kemiskinan terjadi karena masyrakat yang tidak dewasa
dalam menyikapi keadaan krisis. Masih banyak anggota dalam
masyarakat yang masih terkungkung dalam budaya (pola pikir)
tradisional yang cenderung irasional yang pada akhirnya malah
memperburuk keadaan. Menyikapi keadaan tersebut, diperlukan
suatu budaya tandingan yang berpijak pada sektor pendidikan
guna membuka pandangan terhadap dunia.
David Jones Simanungkalit
Acuan Sumber:
Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Kebudayaan:
Proses Realisasi Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2009.
http://organisasi.org/ teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi, diakses pada tgl. 10 April 2011, pkl. 02.00.
9
10