many child many livelihood

12
Pola Pikir “Banyak Anak Banyak Rejeki” Sebagai Pemicu Kultural Kemiskinan Latar Belakang Masalah Tak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia saat ini sedang terpuruk dalam situasi krisis. Krisis yang bersifat multidimensional, dimana krisis tersebut menggejala di tiap bidang/dimensi kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai krisis di bidang ekonomi dan politik yang paling mencolok, lalu bidang agama, budaya, hingga krisis yang menyangkut masalah moral. Namun demikian, penulis mencermati adanya salah satu bidang/dimensi krisis yang sungguh menjadi masalah utama. Bidang/dimensi tersebut berkaitan dengan segala sesuatu yang menyangkut perekonomian masyarakat. Masalah ekonomi berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan fisik yang menjadi masalah mendasar eksistensi manusia. 1 1 Lima kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial: 1. Kebutuhan Fisiologis Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya. 2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya. 3. Kebutuhan Sosial Misalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan 1

Upload: david-jones

Post on 08-Aug-2015

25 views

Category:

News & Politics


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Many Child Many Livelihood

Pola Pikir “Banyak Anak

Banyak Rejeki” Sebagai Pemicu

Kultural Kemiskinan

Latar Belakang Masalah

Tak dapat dipungkiri, bahwa Indonesia saat ini sedang

terpuruk dalam situasi krisis. Krisis yang bersifat

multidimensional, dimana krisis tersebut menggejala di tiap

bidang/dimensi kehidupan masyarakat Indonesia. Mulai krisis di

bidang ekonomi dan politik yang paling mencolok, lalu bidang

agama, budaya, hingga krisis yang menyangkut masalah moral.

Namun demikian, penulis mencermati adanya salah satu

bidang/dimensi krisis yang sungguh menjadi masalah utama.

Bidang/dimensi tersebut berkaitan dengan segala sesuatu yang

menyangkut perekonomian masyarakat. Masalah ekonomi

berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan fisik yang menjadi

masalah mendasar eksistensi manusia.1 Mengikuti alur

pemikiran Abraham Maslow, kebutuhan fisik menjadi semacam

1 Lima kebutuhan dasar Maslow - disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak terlalu krusial:1. Kebutuhan FisiologisContohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.2. Kebutuhan Keamanan dan KeselamatanContoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.3. Kebutuhan SosialMisalnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.4. Kebutuhan PenghargaanContoh : pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.5. Kebutuhan Aktualisasi DiriAdalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.Lih, http://organisasi.org/teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi, diakses pada tgl. 10 April 2011, pkl. 02.00.

1

Page 2: Many Child Many Livelihood

pintu gerbang untuk memasuki/memenuhi kebutuhan lain yang

lebih tinggi tingkatannya.

Sejauh penulis amati, masyarakat Indonesia banyak

bergulat dengan masalah ekonomi. Pergulatan tersebut

tercermin nyata dalam ungkapan peribahasa: besar pasak

daripada tiang, yang artinya lebih besar pengeluaran daripada

pendapatan. Mengapa demikian? Pertama, masih minimnya

kesempatan untuk memperoleh pekerjaan sebagai sumber

pendapatan. Kedua, kendati memperoleh pekerjaan, upah

tenaga kerja masih sangat murah. Kondisi pendapatan yang

demikian terbatas berbanding terbalik dengan harga-harga

barang pemenuhan kebutuhan yang melambung tinggi dari

waktu ke waktu.

Kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat

Indonesia masih terpuruk dalam masalah mendasar kehidupan

manusia, yaitu pemenuhan kebutuhan fisik sebagai syarat

keberlangsungan kehidupan. Keterpurukan tersebut

membelenggu masyarakat sedemikian eratnya sehingga mereka

kesulitan untuk memenuhi kebutuhan lain. Permasalahan

tersebut merupakan permasalahan yang dialami secara konkrit

oleh keluarga miskin. Keluarga miskin yang terkungkung dalam

lingkaran pemenuhan kebutuhan fisik, kesulitan untuk

memenuhi kebutuhan di luar kebutuhan fisik.

Jika permasalahan tersebut dirumuskan dalam

pertanyaan, maka pertanyaan yang dapat dirumuskan adalah:

Bagaimana mau menyekolahkan anak jika biaya untuk makan

sehari-hari saja kekurangan? Lalu jika ada anggota keluarga

yang sakit, bagaimana mau membawa berobat, jika uang untuk

berobat tidak ada? Esensi pertanyaan-pertanyaan tersebut

sejalan dengan prinsip pemikiran Abraham Maslow yang

2

Page 3: Many Child Many Livelihood

mengharuskan pemenuhan kebutuhan fisik di atas kebutuhan-

kebutuhan yang lain.

Dari uraian di atas, tampak bahwa krisis ekonomi yang

melanda negeri ini sungguh menjadi pergulatan mendasar bagi

tiap-tiap keluarga. Bagaimana setiap keluarga dalam

masyarakat Indonesia setiap hari bergulat akan hal ini. Dalam

kaitannya dengan kajian filsafat kebudayaan, penulis

menangkap sebuah fenomena budaya yang menggejala di

masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan keluarga,

kemiskinan, dan kondisi krisis yang menerpa bangsa ini.

Fenomena tersebut adalah munculnya keluarga-keluarga

miskin yang dilatarbelakangi oleh budaya (pola pikir) tradisional

yang cenderung berorientasi pada masa sekarang dan kurang

memperhitungkan realitas yang akan dihadapi di masa

mendatang. Dengan kata lain, semacam ada pola budaya (pola

pikir) tradisional yang ada dalam masyarakat yang secara sadar

atau tidak sadar dibudayakan oleh tiap individu yang hidup di

dalamnya.

Dalam tulisan ini, penulis hendak menggali fenomena

budaya tradisional yang mendasari seseorang untuk berani

mengambil keputusan menikah, tanpa disertai pertimbangan

yang realistis dan rasional. Di sini penulis melihat suatu masalah

yang cukup mendasar yang berkaitan dengan keluarga,

kemiskinan, dan kondisi krisis. Bagaimana keputusan yang tidak

realistis dan cenderung irasional tersebut merupakan salah satu

akar masalah yang menyebabkan munculnya keluarga miskin

dan terpuruknya masyarakat Indonesia sekarang ini.

Pertama-tama penulis akan membahas sisi irasionalitas

tersebut. Bagaimana keputusan untuk menikah sering kali tidak

disadarkan pada pertimbangan logika yang matang. Pada

pembahasan berikutnya, penulis mengajukan suatu argumen

3

Page 4: Many Child Many Livelihood

bahwa tindakan irasional tersebut tidak lepas dari adanya

budaya (pola pikir) tradisional yang ada dalam masyarakat.

Bagaimana budaya (pola pikir) tersebut “ditiru”, baik secara

sadar atau tidak sadar oleh tiap individu di dalamnya. Pada

bagian selanjutnya, penulis mengemukakan akar masalah yang

menjadi sekaligus solusi terhadap fenomena irasionalitas yang

menggejala dalam masyarakat. Tujuan penulisan ini adalah

memetakan masalah terkait dengan konteks keluarga dan

kemiskinan. Sekaligus dapat digunakan sebagai langkah

preventif untuk menyikapi keadaan keterpurukan bangsa ini,

dalam konteks permasalahan keluarga miskin. Berikut penulis

akan mulai mengkaji irasionalitas keputusan menikah yang

mendasari munculnya keluarga miskin.

Irasionalitas Keputusan Menikah

Kemiskinan menjadi fenomena yang paling disoroti

dewasa ini. Fenomena tersebut dapat ditelaah dengan dua

pendekatan, yaitu pendekatan internal dan eksternal.

Pendekatan eksternal adalah bahwa penyebab tingginya angka

keluarga miskin disebabkan oleh faktor-faktor dari luar (sistem

negara, minimnya lapangan pekerjaan, tingginya harga-harga

barang pemenuhan kebutuhan, dsb). Dengan bahasa yang lebih

lugas, masyarakat sulit untuk sejahtera dikarenakan sistem

yang membelenggu mereka sedemikian rupa. Keluarga-keluarga

miskin serasa “tenggelam” dan “sesak nafas” dalam arus

ekonomi yang kian mengglobal tanpa bisa “berenang” di

dalamnya.

Sedangkan pendekatan internal, yang merupakan kajian

tulisan ini, tingginya angka keluarga miskin juga disebabkan

oleh pengambilan keputusan yang tidak bijaksana dari tiap

keluarga miskin tersebut. Keputusan tidak bijaksana yang

4

Page 5: Many Child Many Livelihood

dimaksud adalah berkaitan dengan keputusan untuk membina

rumah tangga ketika kondisi ekonominya belum mapan. Penulis

menilai keputusan tersebut adalah sebuah keputusan yang

cenderung irasional. Mengapa irasional? Karena dengan

memutuskan menikah tanpa kemapanan ekonomi di tengah

kondisi perekonomian negara yang masih carut-marut, keluarga

tersebut serasa memasang “bom waktu” bagi diri mereka

sendiri.

Fenomena “bom waktu” inilah yang sering penulis jumpai

dalam kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. Kebanyakan

pasangan yang belum mapan kondisi ekonominya, mulai panik

ketika lahirnya anak di tengah-tengah mereka. Kelahiran anak,

semenjak masa balita hingga usia sekolah, membutuhkan biaya

yang sangat banyak. Apalagi harga-harga barang pemenuhan

kebutuhan melonjak-lonjak bukan main. Di samping itu, biaya

untuk sekolah anak serasa bisa mencekik bagi orang tua yang

kondisi ekonominya kekurangan. Kondisi demikian, serasa tak

terpikirkan sebelumnya dan ketika keluarga miskin mulai

menyadari keterpurukan tersebut, semuanya serasa telah

terlambat dan posisi start tidak bisa diulang.

Ketidakmampuan orang tua keluarga miskin untuk

memenuhi kebutuhan si anak menyebabkan anak tersebut

menjadi terlantar. Anak-anak yang seharusnya sekolah, karena

keterbatasan kondisi ekonomi orang tua pada akhirnya harus

mengais rejeki di jalanan untuk memperoleh sesuap nasi. Bagi

penulis, proses inilah yang menyebabkan munculnya banyak

anak jalanan. Akar permasalahan munculnya anak jalanan

(melalui pendekatan internal) lebih disebabkan oleh

ketidakrasionalan orang tua mereka. Para orang tua yang

demikian, cenderung berpikir jangka pendek dan sangat kurang

dalam membuat perencanaan jarak jauh. Akibatnya….anak-anak

5

Page 6: Many Child Many Livelihood

tak bersalah menjadi korban atas keirasionalan orang tua

mereka sendiri.

Pola irasionalitas yang menghinggapi keluarga miskin

ternyata tak lepas dari adanya budaya (pola pikir) tradisional

yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pola tindakan

irasional tersebut dibentuk melalui budaya (pola pikir)

tradisional yang ada, baik itu terintegrasi secara sengaja

ataupun tidak disadari.2 Dengan kata lain, pola tindakan

individu dipengaruhi oleh budaya (pola pikir) masyrakat dimana

ia tinggal.

Pola Pikir Tradisional dalam Masyarakat

Dari uraian di atas, penulis hendak memetakan

permasalahan tersebut melalui segi budaya yang berkaitan

dengan pola pikir tradisional. Fenomena irasionalitas pasangan

yang menikah tanpa berpikir panjang serasa menggejala dalam

masyarakat. Indikatornya adalah tingginya jumlah anak jalanan

dan jumlah keluarga miskin yang ada. Hal itu mengisyaratkan

banyaknya pasangan yang irasional dalam keputusan untuk

menikah. Pertanyaannya, adakah stigma-stigma yang mendasari

tindakan irasional mereka?

Penulis melihat adanya budaya (pola pikir) tradisional

yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Budaya (pola pikir)

tersebut pada akhirnya, secara sadar atau tidak sadar turut

membentuk dan mendasari pola perilaku tiap individu yang ada

di dalamnya. Budaya (pola pikir) tersebut diantaranya adalah

banyak anak banyak rejeki, lalu adanya stigma usia wajib nikah

bagi pria dan wanita, wanita yang harus segera nikah karena

takut dicap negatif, dan lebih parah lagi fenomena yang kita

2 Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal. 51.

6

Page 7: Many Child Many Livelihood

jumpai pada masyarakat pedesaan. Dimana anak usia SMP atau

bahkan SD sudah diwajibkan untuk menikah.

Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kita masih

terkungkung dalam budaya (pola pikir) yang demikian. Karena

takut akan sanksi sosial, tak jarang banyak orang tua yang

menikahkan anaknya terlalu dini. Pada kasus lain juga banyak

dijumpai pasangan yang terburu-buru menikah, entah ingin

cepat punya anak, terburu nafsu, ataupun adanya insiden MBA

(married by accident), padahal secara financial belum dapat

dikatakan mandiri. Kondisi-kondisi demikian tentu sangat tidak

menjamin adanya prinsip kemandirian dan kemapanan sebagai

prasyarat bagi pasangan yang menikah. Malahan, pada kasus di

daerah pedesaan, ada unsur keterpaksaan yang melanggar hak

dan kebebasan tiap individu untuk menentukan sendiri jalan

hidupnya.

Namun demikian, individu adalah person yang memiliki

sisi kebebasan. Dengan adanya kebebasan tersebut, ia dapat

memilih atau menentukan jalan hidupnya sendiri. Jika budaya di

sekitarnya ternyata tak rasional, maka individu tersebut dapat

menolaknya, dan menentukan sendiri pola pikir (budaya)-nya

sendiri. Pada bagian terakhir, penulis menawarkan sebuah

solusi atas fenomena irasionalitas yang mendasari munculnya

keluarga miskin dan anak jalanan. Solusi tersebut juga sekaligus

merupakan akar masalah dari munculnya sisi irasionalitas yang

menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan kemiskinan di

negara ini.

Pendidikan sebagai Usaha Pencerahan

7

Page 8: Many Child Many Livelihood

Lawan kata dari irasional adalah rasional. Masyarakat

yang cenderung irasional disebabkan kurang munculnya

penalaran atau pertimbangan yang rasional dalam mengambil

sebuah keputusan. Penulis mensinyalir bahwa penalaran atau

pertimbangan rasional sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor

pendidikan yang melatarbelakanginya. Dengan bahasa yang

lebih lugas, semakin orang berpendidikan seharusnya semakin

ia menjadi seorang yang rasional.

Jika dikaitkan dengan fenomena pernikahan anak di

bawah umur yang banyak terjadi di daerah pedesaan. Fenomena

tersebut bisa ada dan masih ada karena para orang tua di

daerah pedesaan kebanyakan masih belum berpendidikan. Para

orang tua tersebut belum memiliki paradigma akan pentingnya

pendidikan. Orang tua yang sudah mengenal dan memahami

pentingnya pendidikan, niscaya tidak akan menikahkan anaknya

dalam usia belasan tahun, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.

Pentingnya pendidikan adalah untuk membuka cakrawala

anak tentang dunia. Dengan demikian, menumbuhkan suatu

paradigma baru dalam benak si anak dalam memandang

kehidupan. Kehidupan tidak hanya sekedar ditujukan untuk

menikah, melainkan juga ada aspek untuk aktualisasi diri yang

diwujudkan dalam menggapai cita-cita. Masa muda adalah masa

produktif untuk banyak bekerja atau berkarya, bukannya “mati”

dalam urusan pernikahan.

Pendidikan juga membawa dampak bagi pekerjaan.

Jelasnya, orang yang lulus S1 pasti memperoleh pekerjaan yang

lebih baik daripada orang yang hanya lulusan SD atau bahkan

tidak berpendidikan sama sekali. Fenomena tersebut jelas

menggambarkan bahwa dunia kerja sekarang ini membutuhkan

orang yang memiliki skill. Kebanyakan dalam keluarga miskin,

peran yang dimainkan sebagai seorang ayah hanya memiliki

8

Page 9: Many Child Many Livelihood

pendidikan yang terbatas. Akibatnya, ia hanya bekerja sebagai

tukang parkir, buruh bangunan, dan pekerjaan lain yang

berhubungan dengan fisik. Dengan demikian, faktor pendidikan

jelas berpengaruh pada tingkat kematangan pengambilan

keputusan dan juga posisi kerja yang ideal.

Kesimpulan

Masalah kemiskinan begitu menggejala dewasa ini.

Pendekatan akar permasalahannya dapat dilakukan melalui dua

sisi, yaitu internal dan eksternal. Fokus tulisan ini adalah sering

kali kemiskinan terjadi karena masyrakat yang tidak dewasa

dalam menyikapi keadaan krisis. Masih banyak anggota dalam

masyarakat yang masih terkungkung dalam budaya (pola pikir)

tradisional yang cenderung irasional yang pada akhirnya malah

memperburuk keadaan. Menyikapi keadaan tersebut, diperlukan

suatu budaya tandingan yang berpijak pada sektor pendidikan

guna membuka pandangan terhadap dunia.

David Jones Simanungkalit

Acuan Sumber:

Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Kebudayaan:

Proses Realisasi Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2009.

http://organisasi.org/ teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi, diakses pada tgl. 10 April 2011, pkl. 02.00.

9

Page 10: Many Child Many Livelihood

10