manusia makhluk bidimensional (zulfan taufik)

21
1 Manusia Makhluk Bidimensional Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Qur’an “Manusia itu secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil yang hinggap di pohon-pohon. Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat ‘arsy Tuhan, yang luasnya lebih luas dari bumi dan langit”. (Jalaludin Rumi). Pendahuluan Manusia, dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Di dalamnya, manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara. Lebih dari itu, menurut al-Qur‘an, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh kata-kata tersebut. Ia memiliki potensi dalam dirinya, yang menjadikannya dalam bahasa al-Qur‘an makhluk unik, berbeda dari yang lain. Dalam al-Qur‘an, manusia disebut sebagai makhluk yang amat terpuji dan disebut pula sebagai makhluk yang amat tercela. Hal tersebut ditegaskan dalam berbagai ayat, bahkan ada pula yang ditegaskan dalam satu ayat. 1 Ini bukan berarti bahwa ayat- ayat al-Qur‘an bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat -ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat dimensi ganda. Menurut al-Aqqad, pujian dan celaan yang dialamatkan kepada manusia, tidak berarti bahwa manusia dipuji dan dicela dalam waktu yang bersamaan, melainkan berarti bahwa dengan fitrah yang telah disiapkan baginya, manusia dapat menjadi makhluk yang sempurna dan dapat pula menjadi makhluk yang serba kurang. Karena ia dibebani kewajiban (taklif) maka ia dapat menjadi makhluk yang berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang berbuat buruk. 2 1 Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (Q.s. al-Tin/95: 5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk itu dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (Q.s. al-Isra/17: 70). Tetapi di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (Q.s. Ibrahim/14: 34), sangat banyak membantah (Q.s. Al- Kahf/18: 54), dan masih banyak lagi. 2 Abbas Mahmud, al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 11.

Upload: zulfan-taufik

Post on 02-Dec-2015

90 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

1

Manusia Makhluk Bidimensional

Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Qur’an

“Manusia itu secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil

yang hinggap di pohon-pohon.

Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat ‘arsy Tuhan,

yang luasnya lebih luas dari bumi dan langit”. (Jalaludin Rumi).

Pendahuluan

Manusia, dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri.

Di dalamnya, manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi

yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara. Lebih dari itu,

menurut al-Qur‘an, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh

kata-kata tersebut. Ia memiliki potensi dalam dirinya, yang menjadikannya dalam

bahasa al-Qur‘an makhluk unik, berbeda dari yang lain.

Dalam al-Qur‘an, manusia disebut sebagai makhluk yang amat terpuji dan

disebut pula sebagai makhluk yang amat tercela. Hal tersebut ditegaskan dalam berbagai

ayat, bahkan ada pula yang ditegaskan dalam satu ayat.1 Ini bukan berarti bahwa ayat-

ayat al-Qur‘an bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut

menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat dimensi ganda. Menurut al-Aqqad,

pujian dan celaan yang dialamatkan kepada manusia, tidak berarti bahwa manusia dipuji

dan dicela dalam waktu yang bersamaan, melainkan berarti bahwa dengan fitrah yang

telah disiapkan baginya, manusia dapat menjadi makhluk yang sempurna dan dapat pula

menjadi makhluk yang serba kurang. Karena ia dibebani kewajiban (taklif) maka ia

dapat menjadi makhluk yang berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang

berbuat buruk.2

1Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti

pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (Q.s. al-Tin/95:

5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk itu dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk

Allah yang lain (Q.s. al-Isra/17: 70). Tetapi di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan

karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (Q.s. Ibrahim/14: 34), sangat banyak membantah (Q.s. Al-

Kahf/18: 54), dan masih banyak lagi.

2Abbas Mahmud, al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 11.

Page 2: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

2

Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan sebagai

keajaiban alam, berada di dalamnya tetapi melampauinya.3 Bagaimana manusia mampu

melampaui alam dimana ia berada? Adalah karena ―kesadaran‖nya, sebab manusia

merupakan makhluk free consious actifity (bertindak secara sadar),4 kesadaran

mengenai realitas yang ada dan mengenai alternatif-alternatif untuk memperbaikinya.

Dalam kaitan itu di sisi lain, terdapat pandangan bahwa manusia lahir secara organis

dalam kondisi ―belum selesai‖ dalam kaitannya dengan sifat yang relatif dari struktur

instinktifnya. Dunia manusia tidak terprogram dengan sempurna (sekali jadi), tetapi

mesti dibentuk oleh aktivitas manusia itu sendiri. Pembentukan dunia manusia tidak

dapat berlangsung secara individual, tetapi dalam proses dialektik-fundamental yang

terjadi di dalam interaksi antar manusia di tengah-tengah masyarakat melalui

eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.5 Dalam pandangan tersebut, manusia

dalam realitas kehidupannya selalu berada dalam proses ―menjadi‖ yang tiada pernah

henti. ―Menjadi‖ (becoming) dalam arti berproses, selalu berkembang, bertambah-

berkurang ke arah martabat kemanusiaan yang hendak dicapainya yakni manusia

seutuhnya, atau sebaliknya.

Memahami manusia berarti memahami bahwa manusia tidak hanya tertancap di

bumi, melainkan juga merupakan nur-ruh Ilahi. Bahwa manusia mampu mengalahkan

malaikat dalam hal kearifan, merdeka dan karenanya mampu menghidupi diri dan

bertanggungjawab.6 Dengan demikian bisa dipahami sebagaimana al-Aqqad bahwa

manusia adalah makhluk bertanggungjawab dan berkewajiban, yang diciptakan dengan

3Lihat, Erich Fromm, Revolusi Harapan. Penerjemah Kamdani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), h. 61.

4Ungkapan tersebut merupakan ―definisi‖ yang paling signifikan mengenai karakteristik manusia

oleh Karl Marx sesuai kutipan Erich Fromm, Revolusi Harapan, h. 59.

5Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia,

baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas

itu, suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula dalam bentuk kefaktaan yang

eksternal terhadap, dan lain dari, para produsen itu sendiri. Sedangkan internalisasi adalah peresapan

kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur

dunia obyektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat

merupakan produk manusia. Melalui obyektifasi, maka masyarakat menjadi suatu realitas seni generis,

unik. Dan melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat. Lihat, Peter L. Berger,

Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Penerjemah Hartono (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 4-7.

6Lihat, Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama. Penerjemah

Sugeng Rijono dan Farid Gaban (Bandung: Mizan, 1992), h. 134.

Page 3: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

3

unsur-unsur ketuhanan.7 Dalam konteks tersebut, roh merupakan dimensi ketuhanan

dalam diri manusia, yang memungkinkannya dapat mencapai ketinggian derajat hingga

mampu berhubungan dengan Tuhan. Pengaruh roh pada manusia adalah timbulnya

dorongan untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Jasad yang berasal dari tanah lumpur

merupakan simbol yang menunjuk pada kecenderungan manusia pada keburukan,

kejahatan, kerendahan, kehinaan, stagnasi, dan mati. Pengaruh unsur tanah ini membuat

manusia memiliki dorongan-dorongan primitif (nafsu). Hal senada pada dasarnya

banyak disinggung dalam al-Qur‘an di antaranya seperti Q.s. al-Syams/91: 7-8.

Muthahhari melihat bahwa dalam mengisahkan tentang Adam, al-Qur‘an

menyampaikan banyak ajaran moral dan didikan, seperti manusia mampu mencapai

stasiun kreativitas Ilahi, kapasitas pengetahuan manusia tak terhingga, kekurangan

malaikat di bidang pengetahuan, kapasitas manusia untuk melampaui derajat malaikat,

akibat-akibat buruk kerakusan dan kesombongan, bagaimana dosa dapat menjatuhkan

manusia dari derajat wujud yang tertinggi, bagaimana penyesalan dan tobat dapat

menyelamatkan manusia dan mengembalikannya ke stasiun yang dekat dengan Allah,

dan peringatan agar manusia tidak membiarkan dirinya disesatkan oleh nafsu setaniah.8

Dengan komposisi seperti itu bisa dimaklumi, bila kemudian manusia mengandung

potensi benturan dan ketegangan di dalam dirinya.

Tulisan ini berusaha mendiskusikan masalah kecenderungan manusia terhadap

kebaikan dan keburukan, makhluk dua dimensi yang secara sadar berkehendak

menentukan pilihan dan menyadari urgensi mempertanggungjawabkan perbuatannya,

berangkat dari petunjuk al-Qur‘an.

Istilah Manusia Dalam al-Qur’an

Apakah dan siapakah manusia? Pertanyaan ini selalu menarik perhatian manusia

untuk dijawab oleh manusia sepanjang zaman. Sebagian potensi dan sifat manusia telah

terungkap lama tetapi sebagian lainnya belum dan bisa jadi tidak. Bahkan menurut

Alexis Carrel, manusia adalah kunci misteri bagi ilmu pengetahuan. Manusia dalam

7al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‘an, h. 20.

8Murtadha Muthahari, Ruh, Materi dan Kehidupan. Penerjemah Yuliani L. dan A. Hasan

(Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993), h. 45-46.

Page 4: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

4

banyak hal dapat diketahui oleh dirinya, tetapi akan lebih banyak hal yang tidak ia

ketahui. Meneliti manusia sama saja dengan meneliti kemustahilan.9

Dari pendapat di atas, agamawan dapat berkomentar, bahwa pengetahuan

tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk

yang dalam penciptaannya terdapat roh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan

tentang roh, kecuali sedikit. Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima,

satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah dengan merujuk

kepada wahyu Ilahi agar kita dapat menemukan jawabannya.

Ada beberapa istilah yang digunakan al-Qur‘an untuk menunjuk kepada

manusia, yang masing-masing memiliki pemaknaan tersendiri, yaitu al-basyar, al-nas,

al-ins dan al-insan.10

Penggunaan kata basyar dalam keseluruhan al-Qur‘an, mengindikasikan bahwa

al-basyariah pada konteks tersebut berarti dimensi material dari manusia, yang suka

makan dan berjalan-jalan di pasar. Pada dimensi inilah, seluruh anak cucu adam

bertemu dalam keserupaan yang paling sempurna. Menurut al-Raghib, kata basyar

adalah jamak dari kata basyarat ―kulit‖. Manusia disebut “basyar‖ karena kulit manusia

tampak berbeda dibanding dengan kulit hewan lainnya. Kata ini di dalam al-Qur‘an

secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia.11

Al-Qur‘an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan

sekali dalam bentuk mutsanna (dual), untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya

serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad Saw.

diperintahkan untuk menyampaikan keserupaannya dengan manusia pada umumnya

dalam hal kemanusiawian dengan sifat-sifatnya yang material:

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan

kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". (Q.s. al-

Kahf/18: 110).

9Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama (Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2007), 44-45.

10Lihat, Aisyah Abdurrahman Bintusy-Syathi‘, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur‟an.

Penerjemah M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 7.

11Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib

al-Qur‟an (Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961), h. 28.

Page 5: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

5

Adapun kata al-nas, al-ins dan al-insan dalam al-Qur‘an tidak pernah digunakan

untuk arti manusia secara fisik, melainkan masing-masing memiliki intensi makna yang

khusus, saling berbeda satu sama lain.

Kata al-nas, dalam al-Qur‘an disebutkan sekitar 240 kali sebagai nama jenis

(secara mutlak) untuk keturunan Adam, satu spesies di alam semesta. Antara lain:

.

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya

kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu

disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.s. al-Hujurat/49: 13).

Sedangkan kata al-ins dan al-insan, keduanya mempunyai intensi makna yang

serumpun karena berasal dari akar kata yang sama yaitu ―أ ن س‖, yang menunjukkan arti

lawan dari kebuasan. Namun, di dalam retorika al-Qur‘an masing-masing dari kedua

kata tersebut mendapat intensi makna yang berbeda.

Kata al-ins selalu disebutkan bersama dengan kata al-jin sebagai perbandingan.

Dalam al-Qur‘an disebutkan sebanyak 18 kali. Di sini, intensi makna al-insiyyah

sebagai lawan dari kebuasan adalah arti yang sangat jelas karena perbandingannya

dengan kata al-jin yang dalam pengertiannya yang asli adalah kesamaran yang seram —

seirama dengan kebuasan. Oleh karena itu, penyebutan al-insiyyah ini sekaligus

menunjukkan bahwa jenis kita berbeda dengan jenis-jenis lain yang menakutkan, tidak

terketahui, tidak terproses menjadi kita dan mempunyai kehidupan yang lain dari

kehidupan kita.

Kemudian, kata al-insan tersebut di dalam al-Qur‘an sebanyak 65 kali. Dalam

kata al-insan, nilai kemanusiaannya tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifiknya

untuk tumbuh menjadi al-ins, sebagaimana juga ia tidak hanya sebagai manusia secara

fisik yang suka makan makanan dan berjalan-jalan di pasar. Tetapi lebih dari itu, ia

Page 6: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

6

sampai pada tingkat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di bumi, menerima

beban taklif dan amanat kemanusiaan.12

Karena hanya manusia saja lah yang dibekali dengan al-„ilmu, al-bayan, al-„aql

dan al-tamyiz. Sekaligus dengan konsekuensi dia harus berhadapan dengan ujian

kebaikan dan kejahatan, serta ilusi tentang kekuatan dan kemampuannya. Juga

optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi di antara spesies-

spesies lain di alam semesta. Namun, keangkuhan dan kesombongan membuatnya lupa

bahwa ia adalah makhluk yang lemah, yang melintasi perjalanan dunia dari alam misteri

sampai alam ghaib, di atas jembatan yang mengantarkannya ke liang lahat.

. .

Apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?. (Tidak), Maka hanya

bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. (Q.s. Al-Najm/53: 24-25).

Antara Tanah dan Roh; Positivitas dan Negativitas

Hampir semua agama meyakini bahwa hidup manusia didukung oleh dua unsur

atau komponen, yaitu unsur yang bersifat fisik dan unsur metafisik (rohani, spiritual).

Fisik terdiri atas tubuh atau raga, sedangkan metafisik adalah unsur ―dalam‖ (inner self)

diri manusia yang biasanya disebut ruh atau nafs (jiwa).13

Namun, substansi roh atau

jiwa sampai saat ini baik secara ilmiah maupun agama tetap merupakan sesuatu yang

misterius. Kalaupun bisa diketahui masih terbatas pada gejala-gejalanya yang dalam

ilmu modern disebut dengan psikologi, ilmu tentang gejala-gejala jiwa. Bahkan Nabi

Muhammad saw. pun saat ditanya oleh seseorang mengenai hakikat roh ini, Tuhan

memberi jawaban lewat Nabi: “Katakan Muhammad bahwa persoalan ruh adalah

urusan Tuhanku. Ilmu yang diberikan kepadamu sangat terbatas sehingga tidak

mungkin menjangkau atau mengetahui secara hakiki tentang substansi ruh itu”. (Q.s.

al-Isra‘/17: 85).

Rupanya nalar manusia tidak dipersiapkan untuk mengetahui hal-hal yang

memang di luar jangkauan dan kapasitasnya, salah satunya adalah masalah roh.

Keyakinan seperti itu terdapat juga pada agama-agama ―budaya‖, misalnya Mesir Kuno,

12Lihat analisis Bintusy-Syathi‘, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 12-15, dan M.

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, cet. 10 (Bandung: Mizan, 2000), h. 278-280.

13Muhammad Quthb, Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah (al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1993), h. 43-

44.

Page 7: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

7

Babilonia dan Yunani Kuno. Temuan terhadap kuburan-kuburan dan kuil-kuil yang

mereka buat menunjukkan keyakinan mereka bahwa di samping kehidupan yang

bersifat fisik, ada kehidupan lain ―di sana‖ yang bersifat metafisik. Mereka meyakini

bahwa kehidupan ini berbeda dengan dunia fisik. Karena sifatnya yang ―di luar‖

kehidupan fisik maka bukan fisik yang bertempat ―di sana‖, melainkan roh. Di Mesir

terdapat banyak kuburan-kuburan yang berada di museum maupun pyramid. Keyakinan

mereka bahwa dengan disimpannya mayat seseorang di dalam pyramid nantinya akan

ada ―reuni‖ di akhirat antara nyawa-nyawa yang ada di dunia dengan nyawa-nyawa

yang tersimpan terlebih dahulu di pyramid. Jadi, mereka menganggap bahwa mati

bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan sebagai terminal dari satu fase kehidupan

menuju ke kehidupan yang lain.14

Dalam ajaran Islam, telah jelas termaktub dalam al-Qur‘an, bahwa penciptaan

manusia —wakil dan khalifahNya— dari tanah, dan kemudian Ia tiupkan sebagian roh-

Nya sendiri pada acuan tanah itu dan kemudian lahirlah manusia.15

Manusia tersebut

lahir dari dua hakikat yang berbeda; tanah bumi dan roh suci. Menurut Shariati, simbol

kerendahan, kenistaan dan kekotoran adalah lumpur. Tidak ada suatu pun di dalam alam

yang lebih rendah dan hina daripada lumpur, yang dengannya manusia telah diciptakan.

Dan Tuhan adalah Maha Sempurna dan Maha Suci. Dan dalam setiap makhluk, bagian

yang paling sempurna, paling murni dan paling suci adalah spirit atau rohnya. Akan

tetapi roh Yang Maha Suci adalah spirit Maha Sempurna, yang paling suci di antara

semua spirit dan di antara seluruh entitas yang ada dalam alam semesta. Dan manusia

adalah makhluk yang langsung turun dari roh Yang Maha Abadi itu, namun hakikat

manusia yang lain berasal dari bentuk yang paling rendah dari tanah bumi—air yang

nista.16

Jadilah manusia gabungan dari tanah dan spirit suci, telah tercipta menjadi

makhluk dua dimensional, dengan dua arah dan kecenderungan. Yang satu

14Lihat, Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: PT. Listafariska

Putra, 2000), h. 96.

15Al-Qur‘an tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama

dinamai manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya bahwa awal manusia adalah

tanah, kemudian bahan tersebut disempurnakan, setelah proses penyempurnaan selesai, ditiupkan

kepadanya ruh Ilahi. (Q.s. al-Hijr/15: 28-29; Q.s. Shad/38: 71-71). Lihat, M. Quraish Shihab, Wawasan

Al-Qur‟an, h. 281.

16Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah M. Amien Rais, cet. 2 (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1996), h. 6.

Page 8: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

8

membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, ke dasar hakikatnya yang rendah,

di mana seluruh dorongan dan gerak kehidupannya akan membeku, terbenam ke dalam

rawa-rawa hakikatnya yang hina. Akan tetapi dimensi manusia yang lain, yaitu dimensi

spiritualnya, cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi yaitu ke Zat Yang Maha Suci.

Dengan demikian, manusia adalah makhluk dengan dua unsur yang kontradiktif, akan

tetapi—menurut Shariati—kebesarannya dan kejayaannya yang unik justru berasal dari

kenyataan bahwa ia adalah dua dimensional, makhluk dengan dua kutub yang saling

berlawanan. Pada hakikatnya, dua kutub itu memungkinkannya untuk memiliki

kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antara kutub suci dan kutub kehinaan, yang

keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan

kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti dan peperangan terus menerus yang

dilakukan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa untuk

memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya.17

Nilai tambah manusia dalam kehidupan sesungguhnya tidak ditentukan oleh

unsur fisiknya, tetapi oleh unsur metafisiknya yang berupa roh atau jiwa dan kualitas-

kualitas internal lainnya. Karena fisik manusia nilainya tidak terlalu mahal. Seorang

peserta praktikum di laboratorium fakultas kedokteran pernah membeli mayat di rumah

sakit yang harganya hanya Rp. 1.500.000,- Dalam perspektif ini benar apa yang

dikatakan oleh Prof. Muhammad al-Ghazali, salah seorang cendekiawan dan ulama

Mesir. Menurut dia, sekiranya dihitung atau diuraikan unsur-unsur apa yang terdapat

dalam tubuh manusia, maka sebetulnya tubuh manusia sangat murah dan tidak ada

nilainya. Dalam setiap raga manusia, katanya, kira-kira ada satu unsur lemak yang kalau

dikumpulkan hanya cukup untuk membuat tujuh potong sabun kecil-kecil. Kemudian

ada unsur karbon yang kalau dikumpulkan (dijadikan satu) kira-kira cukup untuk

membuat beberapa potong isi pensil. Ada lagi unsur fosfor (besi) yang kira-kira paling

banyak bisa dipakai untuk membuat 120 batang korek api. Di samping itu, ada unsur

garam magnesium yang cukup untuk minum obat sakit perut sekali. Selain itu, unsur zat

besi yang kira-kira bisa dipakai untuk membuat satu potong pasak ukuran sedang.

Kemudian unsur kapur yang hanya bisa dipakai untuk mengapur tembok berukuran

kira-kira 1 X 1 meter. Ada lagi unsur belerang yang kira-kira bisa dipakai untuk

menyiram dan membersihkan kutu seekor anjing. Dan yang terbanyak adalah unsur air

17Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 6-7.

Page 9: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

9

kira-kira 10 galon. Menurut al-Ghazali, jika seluruh unsur atau bahan-bahan kimiawi

yang dikandung tubuh manusia (sempurna) itu dijual atau dibeli dari sebuah toko

niscaya tidak akan mengeluarkan uang banyak. Apalagi suatu saat ditakdirkan

mengalami kelainan misalnya gila, maka jelas tubuh itu akan mengalami penurunan

harga. Itu baru dari segi otaknya yang mengalami kelainan, semua nilai organ tubuh

menjadi turun.18

Lalu apa yang menjadikan manusia mahal dan dihargai tinggi? Mengapa

seseorang dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain padahal tubuhnya sama,

warna kulit dan rambutnya sama, kelengkapan tubuhnya sama dan mungkin pakainnya

juga sama. Ada dua orang berjalan bersama, yang satu pejabat dan seorang lagi ulama

besar, tetapi mengapa penghoramatan orang terhadap ulama lebih besar daripada

pejabat. Di sini tentu saja ada nilai tambah yang bukan fisik, melainkan non-fisik

(metafisik).

Menyadari kenyataan ini, Islam melarang umatnya hanya memikirkan hal-hal

yang bersifat fisik.19

Sebaliknya, Islam mengajak kepada umatnya agar memperhatikan

unsur yang mendukung hidup terutama menyangkut unsur metafisik, seperti ilmu,

agama dan moral. Pilihan terhadap model dan cara hidup seseorang bisa dilihat

sejauhmana orang tersebut memberikan perhatian dan apresiasi terhadap unsur-unsur

penunjang kehidupan. Orang yang mengapresiasi unsur-unsur fisik maka yang dikejar

dalam hidupnya adalah hal-hal yang dapat memuaskan unsur-unsur tubuhnya.

Sebaliknya, orang yang mengapresiasi unsur metafisik tampak pada cara hidupnya yang

mengutamakan kepuasan spiritual, penghoramatan terhadap nilai dan menjunjung tinggi

moralitas.

Dalam al-Qur‘an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, berulang kali pula

direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para

malaikat. Tetapi, pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan setan

terkutuk dan binatang jahanam sekali pun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang

mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi ―yang paling

18Pendapat Muhammad al-Ghazali tersebut, sesuai kutipan Muhammad Tholhah Hasan,

Dinamika Kehidupan Religius, 96-97.

19Dalam istilah al-Qur‘an, orang yang hanya mengikuti kemauan fisiknya disebut ya‟kulu wa

tamatta‟u (hanya urusan perut dan bersenang-senang). Q.s. al-Hijr/15: 3.

Page 10: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

10

rendah dari segala yang rendah‖. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang

harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.20

Di antara potensi-potensi positif manusia, antara lain:

1. Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi. (Q.s. al-Baqarah/2: 30, dan Q.s. al-

An‘am/6: 165).

2. Dibanding dengan semua makhluk lain, manusia mempunyai kapasitas intelegensia

yang paling tinggi. (al-Baqarah/2: 31-33).

3. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain,

manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi, segala

keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari

fitrah mereka sendiri. (Q.s. al-A‘raf/7: 172, dan Q.s. al-Rum/30: 43).

4. Manusia dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang

berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan dan benda-

benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata

dan metafisis, antara jiwa dan raga. (Q.s. al-Sajdah/32: 7-9).

5. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan,

diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi dan dikaruniai rasa

tanggung jawab. (Q.s. al-Ahzab/33: 72, dan Q.s. al-Insan/76: 2-3).

6. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang

jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka. (Q.s. al-Syams/91: 7-8).

Dan di antara potensi-potensi negatif manusia, antara lain:

1. Manusia itu amat zalim dan bodoh. (Q.s. al-Ahzab/33: 72).

2. Manusia sangat mengingkari nikmat. (Q.s. al-Hajj/22: 66).

3. Manusia suka melampaui batas. (Q.s. al-‗Alaq: 6-7).

4. Manusia sangat banyak membantah. (Q.s. al-Kahf/18: 54).

5. Manusia bersifat keluh kesah lagi kikir. (Q.s. al-Ma‘arij/70: 19-21).

6. Manusia bersifat tergesa-gesa. (Q.s. al-Isra‘/17: 11).

Demikianlah manusia dinilai oleh al-Qur‘an sebagai makhluk yang memiliki

potensi ganda, setengah dipuji dan setengah dicela. Dipuji karena pembawaan

fithrahnya yang mulia dan kecenderungannya untuk ―melangit‖ menuju hal-hal

20Lihat, Muthahhari, Perspektif al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama, h. 117.

Page 11: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

11

spiritual, dan dicela karena pilihannya untuk mengikuti kecenderungan negatif yang

terdapat dalam dirinya.

Kebebebasan dan Tanggung Jawab

Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dibekali sejumlah potensi dan

kemampuan untuk mengetahui, memilih dan bertindak. Berbeda dengan makhluk

lainnya, manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalifatullah fi al-ardh (pengganti

Allah di muka bumi). Dengan status ini, manusia dipercaya mengelola alam semesta

sesuai dengan ketentuan kauniyah (sunnatullah) dan qauliyah (syariat).

Fakta yang menarik tentang manusia ialah, bahwa hanya manusia sajalah di

antara seluruh makhluk yang ada di alam semesta, yang mampu menjadi pemegang dan

pengemban amanat Tuhan. Ketika Tuhan menawarkan kepada seluruh makhlukNya —

langit dan bumi, gunung-gunung, lautan dan sungai-sungai, fauna dan flora— apakah di

antara mereka ada yang sanggup mengemban amanat Tuhan, maka sekali lagi manusia

sajalah yang secara sukarela menerima amanat tersebut.21

Oleh karena manusia

memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban amanat Tuhan, penjaga

karuniaNya yang paling berharga, maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi

keberanian dan keutamaan serta kebijakan di alam semesta. Seperti dikatakan oleh

Bintusy Syathi‘, bahwa keberanian manusia mengemban amanat termasuk di antara

keistimewaan tanda kemanusiaan (dilalah al-insaniyyah), di dalam retorika Qur‘ani (al-

bayan al-Qur‟ani) yang membedakannya dari sekedar spesies yang tidak buas (al-

insiyyah) dan kemanusiawian (al-basyariah). Karena dalam Q.s. al-Ahzab/33: 72,

sangat jelas menyandarkan kata حمل pada kata اإلنسان bukan kepada الناس atau اإلنس , atau

. البشر22

Demikianlah manusia bukan sekedar khalifah Tuhan di bumi ini, melainkan juga

pemegang amanatNya. Namun apakah arti amanat ini? Amanat berat apakah ini yang

manusia bersedia mengembannya, sementara langit, bumi dan gunung menolak

memikulnya karena takut berkhianat?

21Kisah penawaran Tuhan untuk memikul amanat kekhalifahan, sesuai dengan firmanNya:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka

semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah

amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. (Q.s. al-Ahzab/33:

72).

22Bintusy-Syathi‘, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 61.

Page 12: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

12

Terdapat banyak pendapat yang berbeda-beda terhadap takwil kata ini. Al-

Thabari di dalam tafsirnya, memilih memaknai amanat secara umum sebagai seluruh

amanat-amanat di dalam agama dan amanat-amanat dalam kehidupan manusia.23

Sedangkan al-Raghib al-Ashfahani memilih akal, karena berkat akallah dihasilkan

pengertian tauhid, pelaksanaan keadilan, pelajaran huruf-huruf hijaiyah, segala hal yang

dapat diketahui dan diperbuat manusia tentang keindahan. Dengan akal, manusia

diunggulkan di atas makhluk-makhluk lain.24

Sementara itu al-Zamakhsyari lebih

memilih makna ketaatan, sambil mentakwilkan kata الحمل dalam makna penolakan.25

Maulana Jalal al-Din Rumi mengatakan bahwa amanat itu berarti kehendak

bebas (free will) manusia yang merupakan hadiah dari Tuhan, karena hanya manusia

yang bersedia mengemban amanat yang telah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi

dan gunung. Menurut Rumi, tidaklah mungkin Tuhan memberi perintah dan larangan

kepada manusia, kalau manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakan-

tindakannya, atau kalau seluruh tindakan-tindakannya telah ditentukan secara pasti

sebelumnya. Diberikannya perintah oleh Tuhan, mengandung arti bahwa manusia yang

diperintah atau dilarangNya, memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, atau

bahkan untuk menolaknya. Karena tidak mungkin Tuhan memerintah manusia, kalau

manusia itu sendiri tidak punya daya apa pun untuk melaksanakannya. Kalau semua

yang dilakukan manusia telah ditentukan Tuhan, maka diperintah atau tidak, niscaya

manusia akan melakukan apa pun yang telah ditentukan baginya. Tetapi kenyataan

bahwa Tuhan telah —dalam al-Qur‘an— banyak memerintah dan melarang manusia,

menunjukkan dengan jelas bahwa manusia memiliki kebebasan.26

Pendapat Rumi tersebut, diamini oleh oleh Ali Shariati. Menurutnya, keutamaan

paling menonjol dari manusia yang menandai superioritasnya atas makhluk-makhluk

lain adalah kekuatan kemauannya atau kekuatan iradatnya. Ia adalah satu-satunya

makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya, sesuatu yang hewan

23al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, Juz 10 (Beirut: Dar al-

Kutub al-‗Ilmiyah, 1999), h. 339.

24al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an.

25al- Zamakhsyari, Mahmud bin Umar Muhammad. al-Kasysyāf, Juz 3 (Beirut: Dar al-Kitab al-

‗Arabi, t.t.), h. 564.

26Pendapat Rumi, sesuai kutipan Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar

Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 122-123.

Page 13: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

13

maupun tumbuh-tumbuhan tidak dapat melakukannya. Hanya manusia saja yang dapat

melawan dirinya menentang hakikatnya, dan memberontak terhadap kebutuhan-

kebutuhan fisik dan spiritualnya. Dan hanya manusia yang dapat berbuat menentang apa

yang baik dan utama. Ia bebas memilih untuk bersikap rasional atau irasional, saleh atau

jahat, seperti malaikat atau seperti iblis. Kemauan bebas oleh karena itu merupakan sifat

manusia terpenting dan menjadi penghubung kedekatannya dengan penciptanya.27

Permasalahan takdir dan kebebasan ini, sebenarnya telah menjadi objek

perdebatan yang panjang dan kadang panas, khususnya di kalangan teolog muslim

(Mutakallimun). Kaum Jabbariyah mengatakan bahwa apa pun yang dilakukan manusia

semua telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan, manusia tidak memiliki daya untuk

berkehendak. Tapi Kaum Qadariyyah menyatakan sebaliknya bahwa manusia adalah

pencipta bagi tindakan-tindakannya, dan harus bertanggung jawab atas apa pun yang dia

lakukan, dalam hal ini mereka menyatakan bahwa sekali pun daya-daya yang dimiliki

manusia dicipta Tuhan, namun manusia memiliki kebebasan untuk menggunakan daya-

daya tersebut dalam memilih perbuatannya. Tetapi baik paham Jabariyyah maupun

Qadariyyah terdapat masalah yang masih sulit dipecahkan.28

Baik secara tersurat maupun tersirat, al-Qur‘an banyak berbicara tentang

kebebasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiari. Yang

dimaksud dengan perbuatan ikhtiari adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada

manusia dan menjadi tanggungjawabnya karena memang ia mempunyai kemampuan

untuk melakukan atau meninggalkannya.29

Kedua sikap ini merupakan perbuatan

ikhtiari. Orang dapat memilih dan melakukan sikap pertama atau kedua, dan karenanya

ia akan dibalas dengan siksaan atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Lain halnya

dengan gerak reflek yang terjadi pada seseorang karena rangsangan yang sangat kuat

pada kulitnya. Orang yang tanpa sadar tersentuh bara api pada ujung jarinya akan

menarik tangannya dengan tiba-tiba. Ia tidak menyadari perbuatannya itu sejak semula.

Dalam keadaan seperti ini ia tidak mempunyai pilihan untuk menarik atau tidak menarik

27Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 9-10.

28Lihat kritik-kritik Imam al-Ghazali terhadap kedua aliran ini, dalam Abdul Hamid Ali dan

Isma‘il Muhammad Husain, Dirasat Haul al-Iqtishad fi al-I‟tiqad; al-Qism al-Tsani (Kairo: Jami‘ah al-

Azhar, 2002), h. 19-25.

29Misalnya, yang seringkali disebutkan di dalam al-Qur‘an, menerima atau menolak ayat-ayat

yang dibawa para rasul. Q.s. Luqman/31: 21-22, disebutkan sikap orang-orang yang menolak untuk

mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan orang-orang yang menerimanya.

Page 14: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

14

tangannya. Menurut H. Agus Salim, ada lima hal berkenaan dengan kehidupan dan

perbuatan manusia yang tidak dapat dikuasainya sepenuhnya: (1) nyawa, (2) alat

kelengkapan badan, semisal panca indera, kerja pencernaan, jantung dan sebagainya, (3)

kesehatan badan, (4) paham, pikiran, pengetahuan dan keyakinan yang terbentuk sejak

kanak-kanak tanpa kehendak dan pilihannya sendiri, dan (5) hubungan ke luar.30

Dalam kenyataannya, perilaku manusia selalu bergerak dan berubah dalam dua

kategori, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk. Allah sendiri telah menjadikan kedua

kriteria itu (baik dan buruk) sebagai pilihan yang tersedia dan mungkin ditempuh oleh

manusia, seperti terdapat dalam surat al-Balad ayat 10: “Dan Kami telah menunjukkan

kepadanya dua jalan”. Dan dalam surat al-Syams ayat 7-8, Allah menegaskan: “Dan

jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu

jalan kefasikan dan ketakwaannya”.

Dari kedua potensi tersebut, manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan

untuk memelihara perbuatan baik. Meskipun dalam aktualisasinya, kecenderungan dasar

atau kecenderungan awal itu dapat terkalahkan oleh kecenderungan selanjutnya

(belakangan). Akan tetapi, dalam kesadaran akhlak yang mulia, kecenderungan

belakangan yang sudah terlanjur teraktualisasikan itu pun sangat mungkin untuk

kembali pada kecenderungan awal (baik).

Dalam ajaran Islam, potensi dasar manusia yang secara esensial tidak dapat

diubah walaupun secara aktual tidak selalu muncul itu, dikenal dengan konsep

“fithrah‖.31

Dalam surah al-Rum ayat 30, Allah menegaskan:

.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah

Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada

30Pendapat H. Agus Salim tersebut sesuai kutipan, Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 30-31.

31Penafsiran linguistik dan religius terhadap kata fitrah, memiliki satu hal yang sama, keduanya

menetapkan fitrah sebagai kecenderungan alamiah bawaan yang tidak bisa berubah. Apa yang

menjadikan pemahaman religius kita positif adalah bahwa ia bukan saja mengakui fitrah sebagai suatu

kecenderungan alamiah, tetapi juga sesuatu yang cenderung kepada tindakan yang benar dan ketundukan

kepada Allah yang Maha Esa. Lihat Yasien Mohamed, Insan Yang Suci; Konsep Fithrah Dalam Islam.

Penerjemah Masyhur Abadi (Bandung: Mizan, 1997), h. 17.

Page 15: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

15

fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

(Q.s. al-Rum/30: 30).

Dengan fitrahnya, manusia mengemban tangung jawab secara mandiri dalam

bertingkah laku. Apa yang diperbuat manusia pada akhirnya akan dikembalikan pada

dirinya sendiri. Dalam akhlak Islam, kebebasan memilih antara jalan yang baik dan

jalan yang buruk diberikan kepada manusia secara penuh, sehingga ia dapat

mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri. Faktor di luar diri pribadi —orang tua,

teman, keluarga, sekolah dan masyarakat— tidak menanggung beban tangung jawab

akhir perbuatan pribadi manusia, meskipun dalam kenyataannya ikut mempengaruhi

lahirnya suatu perbuatan.32

Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sebagai

individu dan sebagai jamaah, seseorang tidak diharuskan memikul dosa kesalahan orang

lain, dan suatu umat tidak diharuskan memikul dosa kesalahan umat yang lain.33

Perbuatan yang dipertanggungjawabkan oleh manusia adalah tindakan yang lahir

dari proses pemilihan atau usaha yang sadar (ikhtiar). Artinya, perbuatan itu dilakukan

atas dasar pengetahuan, kesadaran dan kemampuannya sendiri. Sebaliknya, perbuatan

yang dilakukan seseorang karena kelalaian atau karena paksaan yang benar-benar

menekan —padahal ia sendiri tidak menyukainya— tidak membebani manusia untuk

mempertanggungjawabkannya. Dan juga ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa

pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak

refleks yang tidak melibatkan kehendak. 34

Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk

memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Atas dasar

ini pula, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam

nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.35

32Taufik Abdullah, dkk., ―Akhlak‖ dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. III (Jakarta:

Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 326-327.

33Lihat, Q.s. al-Isra‘/17: 14, Q.s. al-Thur/52: 21, dan Q.s. al-Baqarah/2: 141.

34Lihat, Q.s. al-Baqarah/2: 173 dan 225, dan Q.s. al-Nahl/16: 106. Dari ayat-ayat tersebut dapat

dipahami bahwa ketentuan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya dibatasi oleh sekurang-

kurangnya dua kondisi. Pertama, manusia tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang lahir di

luar pengetahuannya sendiri dalam pengertian yang sesungguhnya. Kedua, manusia tidak harus

mempertanggungjawabkan perbuatan yang memang tidak dilakukannya.

35M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, h. 258.

Page 16: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

16

Catatan Akhir

Bahwa al-Qur‘an menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan

Tuhan, sebagai khalifahNya di muka bumi, serta sebagai makhluk bidimensional.

Memiliki kecenderungan positif dan negatif, sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya,

rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan

atas alam semesta, langit dan bumi. Kapasitas mereka tidak terbatas, baik dalam

kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki suatu keluhuran

dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hal, tidak

bersifat kebendaan. Mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia

yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama, mereka harus

menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.

Manusia adalah makhluk ciptaan yang belum selesai, dan karenanya sangat

berkepentingan untuk secara aktif-kreatif turut dalam proses penyelesaian ke arah yang

diinginkannya. Apakah ke arah yang mulia sampai ke posisi insan kamil ataukah ke

arah yang rendah-hina (Q.s. al-Balad/90: 4). Bila hendak meningkat, ia harus mencari

dan meniti pembimbingan dan pendakian, bila tidak, ia cukup membiarkan dirinya

dalam posisi stagnasi, dan ia akan terseret ke arah yang sebaliknya.

Paulo Freire (1971) percaya bahwa manusia , sebagai makhluk yang tidak

sempurna, punya panggilan ontologis dan historis untuk menjadi manusia yang lebih

sempurna. Apa yang dia maksud dengan ―ontological vocation‖ adalah panggilan

alamiah dari dalam diri manusia untuk merealisasikan potensinya sebagai manusia

secara penuh. Dalam proses ―menjadi‖, manusia diajak untuk secara terus menerus

memanusiakan diri mereka lewat menamakan (naming) dunia dalam aksi-refleksi

dengan manusia yang lain.36

Model pembimbingan yang diperlukan dapat merunut kedua unsur dasar

komponen kejadiannya yang dari ―tanah-fisikal dan dari roh Allah-rohaniah. Dapat

dilakukan secara kolektif-bersama orang lain, dan dapat secara personal-solo training.

Dalam kerangka teknis yang terakhir, perenungan tentang diri sendiri dan pengamalan

do‟a dan ibadah tertentu lebih ditingkatkan, disertai usaha-usaha intensif lainnya untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan. Hasil latihan ini biasanya menimbulkan pandangan

36M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2008), h. 40.

Page 17: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

17

baru tentang diri sendiri, relasi dengan lingkungan sekitar dan dengan Tuhan.

Formatnya dapat dipolakan seperti berikut:37

Keunggulan Kelemahan

Potensi Dikembangkan Dihambat

Aktualisasi Dipertahankan Dikurangi

Akhirnya, manusia perlu terus menyadari bahwa hidup adalah satu dan terus

menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu menerima cahaya-cahaya yang

baru dari suatu Realitas Yang Tak Terbatas, yang setiap saat muncul sebagai

kemegahan yang baru. Dan sang penerima cahaya ketuhanan bukanlah hanya seorang

penerima yang pasif belaka. Setiap perbuatan ego yang merdeka menciptakan suatu

situasi baru, dan dengan begitu, memberikan kemungkinan lebih jauh untuk kerja

kreatif.

Wa Allah a‟lam bi al-shawab

Penulis,

37Lihat, Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan

Pengalaman Tragis (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 66-67.

Page 18: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

18

Daftar Pustaka

‗Abd al-Baqi, Muhammad Fu‘ad. Al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfadzh al-Qur‟an al-

Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Abdullah, Taufik. dkk. ―Akhlak.‖ dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. III.

Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.

Ali, Abdul Hamid dan Husain, Isma‘il Muhammad. Dirasat Haul al-Iqtishad fi al-

I‟tiqad; al-Qism al-Tsani. al-Qahirah: Jami‘ah al-Azhar, 2002.

al-Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia diungkap al-Qur‟an. Penerjemah Tim Pustaka

Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib. Al-Mufradat fi

Gharib al-Qur‟an. Mishr: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1961.

Bastaman, Hanna Djumhana. Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan

Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina, 1996.

Berger, Peter L. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Penerjemah Hartono.

Jakarta: LP3ES, 1991.

Bintusy-Syathi‘, Aisyah Abdurrahman. Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur‟an.

Penerjemah M. Adib al-Arief. Yogyakarta: LKPSM, 1997.

Fromm, Erich. Revolusi Harapan. Penerjemah Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996.

Hasan, Muhammad Tholhah. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: PT. Listafariska

Putra, 2000.

Hidayati, Heny Narendrany dan Yudiantoro, Andri. Psikologi Agama. Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2007.

Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta:

Lentera Hati, 2006.

Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Mohamed, Yasien. Insan Yang Suci; Konsep Fithrah Dalam Islam. Penerjemah

Masyhur Abadi. Bandung: Mizan, 1997.

Page 19: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

19

Muthahari, Murtadha. Ruh, Materi dan Kehidupan. Penerjemah Yuliani L. dan A.

Hasan. Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993.

-------------. Perspektif al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama. Penerjemah Sugeng

Rijono dan Farid Gaban. Bandung: Mizan, 1992.

Nuryatno, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book, 2008.

Quthb, Muhammad. Dirasat fi al-Nafs al-Insaniyah. al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1993.

Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim. Penerjemah M. Amien Rais, cet. 2. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an, cet. 10. Bandung: Mizan, 2000.

al-Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, Juz ... Beirut: Dar

al-Kutub al-‗Ilmiyah, 1999.

al-Zamakhsyari, Abī al-Qāsim Muhammad bin Umar Muhammad. al-.Tafsīr al-

Kasysyāf, Juz …. Baerut: Dar al-Kutb al-‗Ilmiyah, 1971.

Page 20: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

20

IDENTITAS DIRI

Nama : Zulfan Taufik

TTL : Ambon, 17 Juli 1988

NIM : 105060002175

Semester : VIII (delapan)

Fakultas : Dirasat Islamiyah

Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Alamat (rumah) : Jl. Semangka no. 12 Sukaraja Timur Ampenan-Mataram, NTB.

Alamat (kosan) : Desa Pisangan Ciputat, Rt/Rw: 05/08 No. 20E.

Email : [email protected]

Handphone : 085722270036

Pengalaman Organisasi :

- 2005 – 2006 : Anggota KAMMI UIN Syahid.

- 2007 – sekarang : Anggota HMI Komfakdisa.

- 2007 – 2008 : Ketua LITBANG BEM FDI.

Pengalaman Lomba Penulisan :

- Juara 1 Lomba Penulisan Essay antar komisariat HMI Cab. Ciputat, Maret 2007.

- Juara 1 Lomba Penulisan Essay se-FDI 2008.

- Partisipasi Lomba Penulisan Opini ―kampusku‖, LPM UIN Syahid 2008.

Page 21: Manusia Makhluk Bidimensional (Zulfan Taufik)

21

MANUSIA MAKHLUK BIDIMENSIONAL

Telaah tentang Potensi dan Tanggungjawab dalam Perspektif Al-Qur’an.

Karya Ilmiah

Diajukan Dalam Rangka Partisipasi

“Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Mahasiswa PTAIN & PTAIS”

Oleh

Zulfan Taufik

105060002175

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2009