manisnya ilmu (part.1)...asy-sya’by berkata: “aku belum pernah menjumpai seorang raja ataupun...
TRANSCRIPT
-
REKENING WAKAF
Ensiklopedi Fiqih Windows BNI Syariah : 05 875 875 11
(Kode Bank 427)
a.n Muhamad Taufiq
Konfirmasi: WA 085 777 5522 01
Nama/Wakaf EF Windows/Nominal/Tgl
https://wa.me/6285777552201
-
2 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
KEUTAMAAN ILMU DAN PEMILIKNYA
1- KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN PEMILIK ILMU
‘Atha’ bin Abi Rabah adalah seorang budak dari
seorang wanita yang berasal dari Mekkah; kulitnya
hitam, buta sebelah – beberapa saat kemudian buta
keseluruhan –, hidungnya pesek, sebagian tubuhnya
lumpuh, dan berjalan pincang.
Suatu ketika Sulaiman bin ‘Abdul Malik – Amirul
mukminin – mendatanginya (‘Atha’) bersama dengan
kedua anaknya, mereka pun duduk sambil
menunggunya menyelesaikan shalat. Setelah selesai dari
shalatnya, dia pun mendatangi mereka dan mereka
mulai bertanya kepadanya seputar manasik haji tanpa
henti, akhirnya beliau pun membalikkan lehernya.
Kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya:
“Berdirilah”, mereka pun berdiri, kemudian ia berkata:
“Wahai kedua anakku, janganlah kalian lalai dari
menuntut ilmu agama; karena sesungguhnya aku tidak
-
3 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
akan melupakan betapa rendahnya kita di hadapan
budak yang hitam ini.” 1
Abu Bakr Al-Kassani suatu ketika menuntut ilmu dari
Alauddin As-Samarqandy, yang akhirnya beliau
menikahkannya dengan anaknya Fatimah yang sangat
faqih dan alim. Dikisahkan tentang sebab dinikahkannya
Al-Kassani dengan anak Syeikhnya (Alauddin As-
Samarqandy): Anak beliau adalah wanita terbaik ketika
itu dan ia telah menghafal At-Tuhfah karya ayahnya. Para
Raja dari kerajaan Romawi pun tertarik dengan putrinya
tersebut, namun ayahnya menolak. Suatu ketika
datanglah Al-Kassany dan ia pun mulai menunut ilmu
dari Alauddin As-Samarqandy dengan selalu
bersamanya, sehingga akhirnya ia pun menjadi hebat
dalam permasalahan agama, baik itu pokok ataupun
cabangnya. Ia akhirnya menyusun buku yang berjudul
Al-Bada-i’ yang merupakan uraian dari buku karangan
Syeikhnya – At-Tuhfah –. Kemudian ia menunjukkan
1 Tarikh Dimasyq, karya Ibnu ‘Asakir (40/375).
-
4 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
karyanya tersebut kepada Syeikhnya, sehingga
Syeikhnya pun semakin senang kepadanya. Akhirnya ia
menikahkannya dengan putrinya dan buku Al-Bada-i’
tersebut sebagai maharnya. Para fuqaha’ di zamannya
pun berkata: “Ia menguraikan At-Tuhfah-nya dan ia
menikahkannya dengan putrinya.”1
Suatu ketika Ar-Riyasyi melihat seorang petugas
air sedang memikul kantong air, kemudian ia pun
berkata: “Kalau bukan karena ilmu, sungguh aku akan
sepertinya.” Dan diketahui bahwa dahulu ayahnya pun
seorang budak petugas air.2
Abul Aswad berkata : “Tidak ada sesuatu yang lebih
berharga dan berarti dibandingkan ilmu; hal itu
dikarenakan para raja adalah hakimnya (yang
mengontrol) umat manusia, sedangkan para ulama
adalah hakimnya (yang mengontrol) para raja.”3
1 Al-Jawahir Al-Mudhiyyah, karya Al-Qurasyi (4/26). 2 Al-Hats ‘Ala Thalabil ‘Ilm, karya Al-‘Askary (hal. 51-52). 3 Al-Hats ‘Ala Thalabil ‘Ilm, karya Al-‘Askary (hal. 53).
-
5 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Hamdan Al-Ashfahany berkata: “Suatu ketika saya
bersama Syarik, kemudian datanglah beberapa anak Al-
Mahdy dan mereka bersandar ke tembok. Kemudian
mereka menanyakan kepadanya sebuah hadits, namun
Syarik tidak sedikit pun memandang mereka dan ia
menghadap ke arah kami. Mereka pun mengulanginya,
namun tetap tidak diperdulikan. Akhirnya mereka pun
protes dengan berkata: “Apakah kamu hendak
meremehkan anak-anaknya Khalifah?” Syarik
menjawab: “Tidak. Namun ilmu ini sangat mulia bagi
pemiliknya daripada harus hilang begitu saja.” Akhirnya
mereka pun duduk bertumpu dengan kedua lutut
mereka, kemudian barulah mereka bertanya lagi. Lalu
Syarik berkata: “Demikianlah ilmu itu dituntut.””1
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu
‘anhu – bahwasanya ia berkata: “Cukuplah sebagai bukti
kemuliaan ilmu adanya orang yang mengaku berilmu
dan senang ketika digelari dengannya, namun sejatinya
1 Al-Hats ‘Ala Thalabil ‘Ilm, karya Al-‘Askary (hal. 85).
-
6 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
ia tidak pantas dengan itu. Dan cukuplah sebagai bukti
terhinanya kebodohan pengingkaran orang-orang yang
bodoh atas kebodohannya.”1
Ibnul Qayyim berkata: “Setiap sifat yang Allah Ta’ala
puji hamba-Nya di dalam Al-Quran karena sifat itu, maka
hal itu adalah buah dan hasil dari ilmu. Dan setiap hinaan
yang Allah Ta’ala lontarkan kepada hamba-Nya di dalam
Al-Quran, maka hal itu adalah buah dan hasil dari
kebodohan.”2
Allah Ta’ala berfirman:
حت جت هب مب خب حب جب هئ مئ خئ ٹٱٹٱُّٱ
- ٥١الفرقان: َّ مج حج مث هت مت خت٥٢
“Andaikan Kami menghendaki, sungguh telah Kami utus
untuk setiap desa pemberi peringatan. Maka (Wahai
1 Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, karya Ibnu Jama’ah (hal. 10). 2 Miftah Daris Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (1/379).
-
7 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Muhammad) janganlah engkau taati orang-orang kafir
dan perangilah mereka dengan sungguh-sungguh.” [Al-
Furqon: 51-52]
Ibnul Qayyim menjelaskan seputar ayat tersebut
dengan berkata – perhatikan baik-baik perkataan beliau
–: “Ini adalah bentuk jihad melawan mereka dengan Al-
Quran dan inilah bentuk yang paling besar dari dua
bentuk jihad. Dan ini merupakan jihad yang dipakai
melawan orang-orang munafiq juga; dikarenakan orang-
orang munafiq tidak membunuh secara langsung kaum
muslimin, namun mereka tetap menampakkan diri
bersama kaum muslimin, dan bahkan bisa jadi mereka
juga membantu melawan musuh-musuh kaum
muslimin. Meski demikian, Allah Ta’ala sudah
memperingatkan di dalam firman-Nya:
جم يل ىل مل خل ٹٱٹٱُّٱ٧٣اتلوبة: َّ حم
-
8 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan
orang-orang munafiq, serta bersikap keraslah kepada
mereka.” [At-Taubah: 73]
Sudah diketahui dengan jelas bahwa jihad
menghadapi orang-orang munafiq adalah dengan
argumen yang kuat dan Al-Quran.
Kesimpulannya bahwa jalan Allah ialah jihad dan
menuntut ilmu serta mendakwahi manusia dengan ilmu
itu menuju Allah.”1
2- MANIS DAN LEZATNYA ILMU
‘Abdul Malik bin Marwan suatu ketika menulis surat
kepada Al-Hajjaj yang isinya: “Carilah untukku seorang
yang menguasai seputar yang halal dan yang haram,
memahami syair-syair Arab dan kisah-kisahnya; untuk
aku jadikan sebagai pendampingku dan temanku dalam
menambah dan bertukar pengetahuan.” Maka Al-Hajjaj
1 Miftah Daris Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (1/271-272).
-
9 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
pun mengutus Asy-Sya’by kepada ‘Abdul Malik bin
Marwan, dan Asy-Sya’by ini adalah yang paling hebat
dari seluruh orang pada masanya.
Asy-Sya’by berkata: “Aku belum pernah menjumpai
seorang Raja ataupun rakyat jelata, melainkan mereka
butuh kepadaku dan aku tidak butuh kepada mereka,
kecuali ‘Abdul Malik bin Marwan. Tidaklah aku
sampaikan padanya sebuah syair dan tidak pula sebuah
hadits, kecuali dia pun memberiku tambahan ilmu dari
apa yang aku sampaikan. Terkadang aku sampaikan
padanya hadits dan di tangannya masih ada segenggam
makanan, kemudian aku katakan padanya: “Wahai
Amirul Mukminin, selesaikan terlebih dahulu makanmu;
karena percakapan kita bisa dilanjutkan setelah itu”,
namun ia malah menjawab: “Apa yang engkau
sampaikan dari hadits atau yang lainnya lebih mengenai
-
10 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
hatiku daripada seluruh kelezatan yang ada, dan lebih
manis dari faidah apapun.”1
Ibnul Qayyim berkata: “Syeikh kami -Ibnu Taimiyyah-
pernah seketika berkata kepadaku: “Aku ditimpa sebuah
penyakit, maka dokter pun berkata: “Sesungguhnya
membaca dan berbicara dalam permasalahan ilmu
agama yang kau lakukan akan menambah sakitmu.”
Maka aku (Ibnu Taimiyyah) menjawab: “Aku tidak
mampu bersabar dari meninggalkan semua itu. Aku tidak
setuju atas apa yang kamu sebutkan, bukankah jiwa itu
ketika ketika ia senang dan gembira maka jasad pun akan
kuat dan dapat melawan penyakit?” maka sang dokter
pun berkata: “Tentu.” Maka aku (Ibnu Taimiyyah) pun
berkata: “Sesungguhnya jiwaku ini merasa senang
dengan ilmu agama, dengan itu tubuh mejadi kuat,
sehingga aku merasa lebih tenang dan santai.” Maka
1 Mu’jamul Udabaa, karya Yaquut Al-Hamawy (1/33).
-
11 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
sang dokter berkata: “Wah, adapun hal itu, maka di luar
dari pengobatan yang biasa kami ketahui.”
PENCERAHAN SEPUTAR TARBIYAH
1- IKHLASLAH, MAKA ENGKAU SELAMAT
Ikhlas dalam menuntut ilmu adalah syarat yang harus
selalu ada dan berkesinambungan, bukan hanya di
permulaan. Dengan kata lain, seorang penuntut ilmu
harus bersungguh-sungguh dalam mengikhlaskan
niatnya setiap saat, dan jangan kemudian dia mundur
dari jalan menuntut ilmu dengan sangkaan bahwa dia
belum ikhlas.
Makna dari ikhlas itu sendiri telah ditafsirkan oleh
sekian banyak para Ulama. Ibnu Jama’ah misalnya, ia
berkata: “Ikhlas adalah bersih dan tulusnya niat di dalam
menuntut ilmu; dengan kata lain tujuannya ialah
mengharap wajah Allah di dalam menuntut ilmu,
-
12 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
beramal dengan ilmunya, menghidupkan syariat Allah,
menerangi hatinya, membersihkan jiwanya, dekat
dengan Allah di hari kiamat, meraih ridha-Nya dan apa
yang telah Allah siapkan bagi pemilik ilmu.
Sufyan Ats-Tsaury berkata: “Tidaklah aku
memperbaiki sesuatu yang lebih sulit dan berat dari
memperbaiki niatku.”)1
Ibnu Hijah Al-Hamawy menyangkal apa yang
dikeluhkan istrinya padanya – tercantum di dalam bait
syair berikut –:
Dia (istrinya) berkata : Kau habiskan hartamu untuk
mengumpulkan buku-buku, maka kukatakan: biarkan
aku,
Siapa tahu kutemukan buku yang menunjukkan
padaku cara mengambil buku yang aman dengan tangan
kananku.
1 At-Ta’shil fii Thalabil ‘Ilmi, karya Bazmul.
-
13 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Hisyam Ad-Dastawaiy berkata: “Demi Allah, aku
tidak akan mampu untuk mengatakan bahwa sungguh
aku telah pergi walau satu hari untuk mencari dan
mempelajari hadits dalam keadaan aku mengharap
wajah Allah –‘azza wajalla –.”
Kemudian Adz-Dzahabi mengomentari perkataan
Hisyam Ad-Dastawaiy dengan perkataannya: “Demi
Allah, demikian pula saya. Sungguh dahulunya para Salaf
menuntut ilmu karena Allah, sehingga akhirnya mereka
pun mahir dan menjadi imam-imam yang diikuti dan
sebagai panutan. Sebagian dari mereka ada pula yang
pada awalnya menuntut ilmu bukan karena Allah dan
mereka pun semakin meningkat keilmuannya, namun di
tengah perjalanan tersebut akhirnya ilmu mengantarkan
mereka kepada ikhlas; sebagaimana yang dikatakan
Mujahid dan selainnya: “Dahulu kami menuntut ilmu ini
dalam keadaan tidak memiliki niat yang besar dan benar,
kemudian akhirnya Allah Ta’ala memberi kami karunia
niat tersebut.” Dan sebagian dari para ulama juga
-
14 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
mengatakan: “Kami dahulu menuntut ilmu bukan
karena Allah, namun sayangnya ilmu tersebut menolak
dan kabur kecuali jika kami menuntutnya karena Allah.”
Yang demikian itu juga hal yang bagus, kemudian
akhirnya mereka pun menyebarkan ilmu dengan niat
yang baik dan lurus. Sebagian manusia adapula yang
menuntut ilmu dengan niat yang buruk, mengharapkan
dunia yang hina dan pujian dari manusia, maka mereka
pun akan mendapatkan apa yang mereka niatkan.”1
Asy-Syafi’i berkata: “Aku sangat berharap dan
menyukai jika orang-orang mempelajari ilmu ini – yaitu
kitab-kitab karya beliau – tanpa menisbatkan diriku atas
apa yang mereka dapatkan.”2
Harmalah berkata: aku mendengar Asy-Syafi’i
berkata: “Aku sangat berharap dan menyukai jika setiap
ilmu yang diketahui manusia aku mendapat pahala
atasnya dengan tanpa mereka memujiku.” Beliau juga
1 Siyar A’lam An-Nubala’, karya Adz-Dzahaby (7/152). 2 Siyar A’lam An-Nubala’, karya Adz-Dzahaby (19/18).
-
15 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
berkata: “Aku tidak berdebat dengan siapa pun kecuali
dengan tujuan nasehat.”1
Disebutkan di dalam biografi Ibnu Juraij bahwa Al-
Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-
Auza’iy, Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz, dan Ibnu Juraij; Karena
siapa kalian menuntut ilmu?” Mereka semua menjawab:
“Karena diriku sendiri”, kecuali Ibnu Juraij, dia
menjawab: “Aku menuntut ilmu karena manusia.”
Adz-Dzahabi mengomentari kisah ini dengan
berkata: “Betapa indahnya kejujuran! Di zaman ini jika
engkau tanyakan kepada seorang mengaku alim:
“Karena siapa engkau menuntut ilmu?”, niscaya ia akan
segera menjawab: “Karena Allah”, namun pada
hakikatnya ia berbohong, yang benarnya bahwa ia
lakukan itu karena dunia. Aduhai betapa sedikitnya
orang yang memahami tentang hal ini.”2
1 Hilyatul Auliyaa, karya Abu Nu’aim (9/118). 2 Siyar A’lam An-Nubala’, karya Adz-Dzahaby (6/328).
-
16 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Adz-Dzahabi menghikayatkan perkataan Abul Hasan
Al-Qaththan: “Aku terkena penyakit di mata, dan aku
menduga bahwa hal itu sebagai hukuman atas
banyaknya ucapanku selama perjalanan menuntut
ilmu.”
Kemudian Adz-Dzahabi mengomentari ucapan
tersebut: “Dia telah benar, Demi Allah! Sungguh mereka
adalah orang-orang yang memiliki tujuan yang baik dan
niat yang benar, namun bersamaan dengan itu mereka
khawatir dan takut berbicara dan menampilkan
pengetahuan mereka. Di zaman ini, orang-orang
memperbanyak berbicara dengan sedikitnya ilmu yang
mereka miliki dan buruknya niat di dalam diri mereka;
kemudian akhirnya Allah membongkar rahasia mereka
dan nampaklah kebodohan, hawa nafsu, dan
kebimbangan ilmu mereka. Kita memohon kepada Allah
agar diberi taufiq dan ikhlas.
Hal itu terjadi di zamannya, maka bagaimana pula di
zaman kita sekarang?!
-
17 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
2- SUCIKAN DIRI, PRIORITASKAN !
Abul ‘Abbas Ibnu Qudamah berkata: “.....Adapun
terkait dengan ilmu muamalah – yaitu ilmu seputar
keadaan-keadaan hati seperti rasa takut, rasa harap,
ridha, jujur, ikhlas, dan yang semisalnya – maka ilmu
tersebut merupakan sebab terangkatnya citra para
ulama-ulama besar, dan dengan mempraktekkannya
nama-nama mereka semakin dikenal seperti Sufyan, Abu
Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Begitu pula,
sesungguhnya yang menjadi penyebab turunnya tingkat
orang-orang yang menamakan diri mereka ulama atau
ahli fiqih adalah sibuknya mereka dengan berbagai jenis
ilmu dengan tanpa memperhatikan sampainya jiwa-jiwa
mereka kepada hakikat ilmu-ilmu tersebut dan tanpa
mengamalkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hati.”1
1 Mukhtashar Minhajul Qashidin, karya Ibnu Qudamah (hal.27).
-
18 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
3- JUJUR DALAM BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH
Ibnu ‘Abdil Hadi berkata: Ibnu Taimiyah bercerita:
“Dalam membaca satu ayat, bisa jadi aku mendapatkan
ada sekitar 100 penafsiran, kemudian aku pun memohon
kepada Allah agar diberikan pemahaman dengan
berdoa: “Wahai Dzat yang telah mengajari Adam dan
Ibrahim, ajarilah aku”. Aku juga pergi ke mesjid-mesjid
yang tidak terpakai, kemudian aku mengotori mukaku
dengan tanah, lalu aku memohon kepada Allah dengan
doaku: “Wahai Dzat yang telah mengajari Ibrahim,
berikanlah aku pemahaman”. Ibnu Taimiyah pun
menyebutkan kisah Mu’adz bin Jabal bersama dengan
Malik Ibnu Yakhamur ketika ia menangisi Mu’adz saat
sakitnya sebelum meninggal. Malik berkata: “Aku tidak
menangis karena perkara dunia yang telah aku dapatkan
darimu, tetapi aku menangis karena ilmu dan iman yang
telah aku pelajari darimu.” Mu’adz menjawab:
“Sesungguhnya ilmu dan iman itu memiliki tempatnya
sendiri, siapa yang mencarinya ia akan mendapatkannya.
-
19 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Carilah ilmu dari empat orang, namun jika ilmu itu
enggan menghampirimu dengan perantara mereka,
maka ia tidak ada di atas muka bumi ini. Mintalah ilmu
itu langsung dari Dzat yang telah megajari Ibrahim.”1
4- BERAMAL SETELAH BERILMU2
Asy-Syafi’i berkata: “Ilmu itu bukanlah yang sekedar
dihafal, namun illmu ialah yang memberikan manfaat.
Diantara manfaat itu adalah senantiasa damai, tenang,
khusyu’, tawadhu’ karena Allah, dan patuh.”
Di antara yang Malik tulis dalam suratnya kepada Ar-
Rasyid: “Jika engkau diajari suatu ilmu, maka sudah
sewajarnya nampak darimu hasilnya berupa kedamaian,
akhlak, tenang, dan sabar; karena Nabi -shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda: “Para Ulama adalah pewaris
para Nabi.”3
1 Al-‘Uqud Ad-Durriyah, kaya Ibnu ‘Abdil Hadi (Hal. 24-25). 2 Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, karya Ibnu Jama’ah (Hal. 15-16). 3 HR. Abu Dawud (3641), At-Tirmidzi (2682), dan Ibnu Majah (223).
-
20 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah ilmu
ini, dan pelajarilah dengan itu kedamaian dan
ketenangan.”
Sebagian salaf berkata: “Wajib atas setiap orang alim
‘ahli agama’ untuk senantiasa tawadhu’ karena Allah –
dalam kesendirian maupun keramaian –, menjaga diri,
dan mencari jawaban dari setiap permasalahannya.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi berkata: “Siapa saja yang
memahami syariat ini sebagaimana mestinya,
mengetahui keadaan Rasululah – shallallahu ‘alaihi
wasallam –, para sahabat dan para ulama besar; niscaya
ia akan mengetahui bahwa kebanyakan manusia
hanyalah berjalan sesuai kebiasaan atau keinginannya
masing-masing dan tidak sungguh-sungguh seperti
mereka. Kenyatannya bahwa saling mengunjungi
dengan dibumbui ghibah, membongkar aib, saling hasad
atas nikmat yang diberikan, saling mengejek atas
musibah yang datang, takabbur ketika diberi nasehat,
menipu untuk kepentingan dunia, dan mengambil
-
21 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
keuntungan dari yang lain; semua itu terjadi di kalangan
orang-orang yang mengaku-ngaku zuhud dan bukan
dari kalangan jelata. Maka sudah sepantasnya bagi siapa
saja yang mengenal Allah – subhanahu wata’ala –,
syariat-Nya, dan sejarah para salaf yang shaleh untuk
menjauhi semua hal tersebut.”1
Diriwayatkan dari Ayyub As-Sikhtiyani
perkataannya: “Berkata kepada saya Abu Qilabah: “Jika
Allah memberimu ilmu, maka persembahkanlah ibadah
hanya kepada-Nya, dan janganlah yang menjadi
prioritasmu menyampaikan ilmu tersebut.” Asy-Sya’bi
pun berkata: “Dahulu kami memperkokoh hafalan hadits
dengan mengamalkannya.”2
Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Ilmu itu menyeru dan
memanggil amal. Jika amal menjawab maka ilmu akan
menetap, jika ia menolak maka ilmu akan pergi.”3
1 Shaidul Khatir, karya Ibnul Jauzi (Hal. 289). 2 Jami’ Bayanil ‘Ilm, karya Ibnu ‘Abdil Bar (1/709). 3 Jami’ Bayanil ‘Ilm, karya Ibnu ‘Abdil Bar (1/707).
-
22 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: “Sungguh aku
mewasiatkan kepadamu wahai penuntut ilmu untuk
ikhlas di dalam menuntut ilmu dan mendorong jiwa
dengan kuat di dalam beramal dengan ilmu; karena ilmu
adalah pohon dan amal adalah buahnya, tidaklah
dianggap berilmu orang yang tidak beramal dengan
ilmunya. Dikatakan pula bahwa ilmu adalah orangtua
dan amal adalalah anaknya, ilmu selalu bersama amal,
ilmu riwayat dan dirayah dalam ilmu hadits selalu
bersama. Janganlah engkau bersahabat dengan amal
dalam keadaan engkau terpisah dan terlepas dari ilmu,
serta janganlah pula engkau bersahabat dengan ilmu
selama engkau masih kurang di dalam amal.
Kumpulkanlah di antara keduanya, meski hanya sedikit
yang engkau dapatkan dari keduanya.”1
Beliau juga berkata: “Sepantasnya bagi para penuntut
ilmu hadits untuk berbeda di setiap perkara dari apa yang
di tempuh oleh kebanyakan orang, yaitu hendaklah
1 Iqtidhoul ‘Ilmil ‘Amal, karya Al-Khotib Al-Baghdadi (hal. 14).
-
23 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
menggunakan sebaik-baiknya hadits-hadits Rasul dan
menjadikan sunnah beliau sebagai wujud nyata di dalam
kehidupan mereka; dikarenakan Allah Ta’ala berfirman
األحزاب: َّ حك جك مق حق مف خف حف جف ٹٱٹٱُّٱ٢١
“Sungguh benar-benar telah ada untuk kalian pada diri
Rasulullah tauladan yang baik.” [Al-Ahzab: 21].”1
Di antara tanda-tanda ilmu yang bermanfaat :
Syeikh Bakr Abu Zaid berkata:
“Tanyakanlah dirimu sendiri seberapa besar jatah yang ia
dapatkan dari tanda-tanda ilmu bermanfaat berikut ini:
- Beramal dengan ilmu.
- Membenci rekomendasi manusia dan pujian
mereka serta sombong terhadap mereka.
1 Al-Jami’ Li Akhlaqir Rowi Wa Adabis Sami’, karya Al-Khotib Al-Baghdadi (1/215).
-
24 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
- Bertambahnya sifat tawadhu’ dengan
bertambahnya ilmu.
- Lari dan menjauh dari cinta kepemimpinan,
ketenaran dan perkara dunia.
- Menolak dikatakan berilmu.
- Berburuk sangka dengan diri sendiri dan berbaik
sangka dengan yang lain demi menjaga
hubungan.
Abdullah bin Al-Mubarak ketika menyebutkan
akhlak para ulama salaf beliau menyampaikan bait
syair:
Janganlah engkau menyebut kami sejajar dengan
penyebutan mereka,
Tidaklah sama jalannya orang yang sehat dan kuat
dengan jalannya orang yang sakit dan lemah.1
1 Hilyatu Thalibil ‘Ilm, karya Bakr Abu Zaid (Hal. 51).
-
25 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
5- BERADAB SEBELUM MENCARI ILMU
Abdullah bin Al-Mubarak berkata: “Mereka dahulu
mempelajari adab dan akhlak sebelum mempelajari
suatu ilmu.”
Beliau juga berkata: “Hampir saja adab itu menjadi
dua pertiga bagian dari ilmu.”1
Muhammad bin Sirin berkata: “Dahulu mereka
mempelajari adab dan akhlak sebagaimana mereka
memepelajari ilmu.”2
Ibrahim bin Habib bin Asy-Syahid, ia berkata:
“Ayahku berkata kepadaku: “Wahai anakku, datangilah
para ahli fiqih dan para ulama, belajarlah dari mereka,
ambillah adab, akhlak dan tata krama dari mereka;
karena sungguh hal itu lebih aku cintai dari banyaknya
hadits yang engkau dapat.”3
1 Sifatush Shafwah, karya Ibnul Jauzi (4/145). 2 Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, karya Al-Khatib Al-Baghdadi (1/121). 3 Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, karya Al-Khatib Al-Baghdadi (1/121).
-
26 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al-‘Anbari
berkata: “Ilmu dengan tanpa adab bagaikan api tanpa
kayu bakar, adab tanpa ilmu bagaikan jasad tanpa ruh.”1
‘Isa bin Hammad berkata: “Aku mendengar Al-Laits
bin Sa’d berkata -ketika itu beliau sedang mengajar
hadits dan tiba-tiba beliau melihat sesuatu yang tidak
pantas- “Apa ini? Kebutuhan kalian kepada adab lebih
penting walaupun sedikit daripada kebutuhan kalian
kepada ilmu.”2
Di antara Akhlak dan Karakter Penuntut Ilmu:
Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi
penuntut ilmu hadits untuk menjauh dari bermain-main,
berbuat sia-sia, bertingkah laku di majelis dengan
ketololan, tertawa dan terbahak-bahak, saling mengejek,
kecanduan dan banyak bercanda. Candaan yang
diperbolehkan hanyalah yang ringan, jarang dan bersifat
baik yang tidak keluar dari batasan-batasan adab dan
1 Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, karya Al-Khatib Al-Baghdadi (1/122). 2 Syarfu Ashabul Hadits, karya Al-Khatib Al-Baghdadi
-
27 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
jalan ilmu. Adapun candaan yang sifatnya terus-
menerus, berlebihan, ada unsur hinaan, memanaskan
hati dan memancing keburukan; maka itu tercela.
Banyaknya canda tawa menyebabkan kurangnya harga
diri dan hilangnya kewibawaan.”1
Syeikh Bakr Abu Zaid berkata: “Berhiaslah
dengan adab-adab jiwa, berupa pengendalian diri,
ketajaman pemikiran, kesabaran, rendah hati terhadap
kebenaran, ketenangan jiwa dan kerendahan hati
kepada sesama. Bersamaan dengan itu sabar dan tahan
terhadap kehinaan di dalam belajar karena agungnya
ilmu yang dicari, serta merasa rendah dihadapan
kebenaran.
Berhati-hatilah dari hal-hal yang merusak adab-
adab tersebut; karena selain dosa yang didapatkan,
engkau juga berarti telah bersaksi atas tidak sehatnya
akalmu, dan atas diharamkannya dirimu dari ilmu dan
amal. Jauhilah sifat angkuh karena itu adalah
1 Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’, karya Al-Khatib Al-Baghdadi (1/232).
-
28 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
kemunafikan dan kesombongan. Sungguh para salaf
terdahulu telah menjauhi itu semua dengan maksimal.”1
Di antara Adab Penuntut Ilmu
“Adapun penuntut ilmu, maka adab-adab dan
tugas-tugasnya banyak, namun bisa diuraikan dengan
sepuluh kalimat, di antaranya:
- Mengedepankan kesucian jiwa atas akhlak yang
buruk dan sifat yang tercela.
- Mengurangi ketergantungan dengan perkara dunia.
- Tidak menyombongkan diri di hadapan ilmu dan
tidak merasa lebih tinggi dari sang guru.
- Menjauhkan diri sementara dari perselisihan di
antara manusia.
- Tidak melewatkan satupun cabang-cabang ilmu
melainkan dengan melihat dan meneliti dengan
seksama untuk sampai ke tujuan.
1 Hilyatu Thalibil ‘Ilm, karya Bakr Abu Zaid (Hal. 10).
-
29 © Fiqh Learning Center | www.ensiklopedifiqih.com
MANISNYA ILMU (PART.1)
- Tidak mengambil seluruh ilmu sekaligus dan sekejap,
namun dengan memperhatikan urutan prioritas dan
memulai dengan yang terpenting.
- Tidak berpindah ke cabang yang lain sebelum
menguasai yang sebelumnya.
Menjadikan tujuan utamanya membersihkan diri dan
menghiasinya dengan perkara-perkara mulia.1
BERSAMBUNG....
Dapatkan Info Update Buku Terjemah Gratis dari Fiqh
Learning Center, Daftarkan diri Anda:
Nama/Usia/Kota/Buku Terjemah Gratis FLC
Kirim dan Save WA Kami 085 777 5522 01
1 Abjadul ‘Ulum, karya Shiddiq hasan Khan -dengan sedikit perubahan- (1/124-127).
-
Blank Page