manifestasi nilai siri’ dalam tata spasial …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat...
TRANSCRIPT
1
MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL Studi Kasus: Permukiman Tradisional Masyarakat Bugis
Arifuddin
1)
E-mail: [email protected])
Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota, Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRAK
Fenomena yang mengemuka saat ini adalah semakin terkikisnya budaya lokal sebagai dampak dari
moderenisasi dan globalisasi. Kemunculan budaya asing cenderung menimbulkan polarisasi dan
tekanan rasial terhadap kearifan budaya lokal yang terlihat pada menguatnya fenomena standarisasi
produk yang tidak berdasar. Penataan spasial kota tanpa pertimbangan budaya dapat melahirkan
rancangan spasial lingkungan yang generik, dan tidak memenuhi harapan. Studi ini bertujuan untuk
menemukan manifestasi nilai siri’ sebagai salah satu kearifan budaya Bugis yang dapat diterapan
dalam tata spasial permukiman atau perkotaan. Studi ini dimaksudkan untuk mempertajam pedoman
penataan spasial yang efektif berdasarkan kearifan lokal sesuai dinamika perkembangan Ipteks. Studi
ini dianggap penting karena dapat memberi kontribusi bagi penataan spasial yang berbasis pada
kearifan lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat. Kajian kualitatif ini
menggunakan metode simbiosa antropologi-arsitektur dengan melihat unit amatan nilai budaya dan
manifestasinya terhadap tatanan spasial permukiman/kota. Data-data yang dikumpulkan berupa data
kualitatif dan data spasial, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan melihat relevansi
antara keduanya melalui wawancara mendalam, observasi, dan kajian kepustakaan. Studi ini
menemukan bahwa masyarakat Bugis memiliki nilai budaya berupa nilai Siri’ sebagai sebuah
kearifan lokal yang dipahami secara turun temurun dan telah berpengaruh dalam tatanan spasial
permukiman maupun perkotaan. Beberapa tatanan yang berbasis nilai siri’ terlihat pada: pola jalan,
wujud pola ruang, dan orientasi bangunan. Nilai-nilai siri’ yang bermakna harga diri terungkap pada
pola jalan grid yang membentuk aksesibilitas terbuka dan memudahkan pergerakan antar spasial,
tersedianya fungsi-fungsi ruang dan pusat permukiman, serta terbentuknya arah orientasi bangunan
yang sekaligus menjadi dasar pembentukan pola jalan dan elemen spasial secara umum.
Kata-Kata Kunci: Nilai Siri’, Spasial, Budaya Bugis.
1. PENDAHULUAN
Setiap budaya akan mencerminkan serangkaian prinsip-prinsip abstrak mulai dari cara
memandang sistem jagad raya sampai pada tindakan sehari-hari, seperti cara berperilaku,
cara hidup/berkehidupan dengan lingkungan. Konsep budaya mencerminkan serangkaian
prinsip-prinsip mulai dari cara pandang sistem makrokosmos sampai ke perilaku konkrit,
seperti tata-cara hidup dan berpenghidupan di suatu wilayah. Budaya juga merupakan suatu
pola pikir yang terungkap dalam perilaku dan aktifitas manusia sebagai bentuk reaksi
terhadap tantangan alam yang terjadi secara turun temurun, sehingga menjadi sebuah identitas
suatu etnis atau komunitas. Menurut Daeng, H (2008), tiap kebudayaan pada umumnya
mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu sebagai: a) suatu himpunan gagasan, b) jumlah
2
perilaku yang berpola, dan c) sekumpulan benda atau artefacts. Sebagai suatu himpunan
gagasan, suatu kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati, karena tersimpan dalam kepala
orang tertentu kemanapun ia pergi. Wujud himpunan gagasan tergolong wujud kebudayaan
yang paling abstrak dan sehingga disebut cultural system atau cover culture. Selanjutnya
dalam wujud perilaku yang berpola kebudayaan disebut social system. Sedang wujud
sekumpulan benda disebut overt culture.
Menurut Hofstede et al. (2010) dalam Morssink C.B, (2012), budaya adalah sebuah
pemrograman yang membentuk pikiran kolektif yang membedakan suatu individu atau
kelompok. Menurut Hofstede (2009) budaya adalah suatu sistem nilai, kepercayaan,
penilaian, dan dasar dalam berperilaku untuk menetapkan norma-norma dan membentuk rasa
malu, rasa bersalah, kebanggaan, kehormatan, dan nilai sosial, yang secara keseluruhan
terbagi dalam wujud lingkaran moral. Selanjutnya Cockerham (2005) dalam Morssink (2012)
memformulasi keterkaitan antara budaya dengan aspek struktur sosial ekonomi, waktu, dan
lingkungan sebagai sebuah simbol imajiner dalam bentuk segitiga piramida. Definisi budaya
pada intinya adalah unsur abstrak atau tidak berwujud seperti nilai-nilai dan sistem
kepercayaan (Craig, C.S, 2013). Budaya memiliki cakupan yang sangat luas, dan salah
satunya hadir dalam lingkungan fisik, sehingga rumah-rumah dan permukiman, serta seluruh
buatan manusia menggambarkan nilai budayanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lang
(1994) bahwa aspek sosial dan budaya juga mempengaruhi perbedaan ruang geografi dan pola
interaksi masyarakat. Kompleksitas budaya yang membedakan satu kelompok etnik dari yang
lain akan tercermin melalui variasi dari lingkungannya. Menurut Craig C.S (2013) meskipun
terdapat nilai-nilai budaya yang bersifat general terkait dengan sebuah kota, namun demikian
kelompok etnik dan budaya tertentu akan mendefinisikan nilai-nilai budayanya sendiri.
Selanjutnya, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur
tingkahlaku warganya. Nilai budaya tersebut merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan
tertentu yang terungkap dalam aktifitas, yang pada akhirnya akan berdampak pada hasil karya
manusia termasuk wujud fisik bangunan dan perkotaannya (Daeng, 2008). Lingkungan binaan
dan arsitektur yang berkembang dari tradisi masyarakat merupakan pencerminan langsung
dari budaya, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan keinginan-keinginan masyarakat. Senada
dengan pendapat tersebut Babu (1996) mengungkapkan bahwa budaya dan sistem nilai yang
dimiliki selanjutnya dimanifestasikan dalam wujud fisik berupa lingkungan binaan (build
form). Rapoport (2005) kemudian menegaskan bahwa konsep budaya dapat dilahat secara
konkrit mulai dari pemahaman world view (kosmologi), kemudian tercermin dalam nilai-nilai
budaya yang dipahami yang selanjutnya menjadi prinsip hidup, dan akhirnya tercermin dalam
gaya hidup dan aktifitas masyarakat. Aspek nilai-nilai sendiri dapat diekspresikan oleh aspek:
gaya hidup dan prinsip hidup (gagasan ideal) yang diharapkan oleh seseorang yang kemudian
menjadi sebuah cita-cita. Istilah prinsip hidup dalam kajian ini meliputi: ideals, images,
skemata, meanings, dsb. Lebih lanjut variabel nilai budaya diungkapkan dalam konsepsi
Kluckhohn (1951) bahwa sistem nilai budaya mengandung lima masalah pokok yaitu: a)
hakekat hidup manusia, b) hakekat karya manusia, c) hakekat kedudukan manusia di dalam
ruang dan waktu, d) hakekat hubungan manusia dengan alam, dan e) hakekat hubungan
manusia dengan manusia (Kluckhohn dalam Simanjuntak, B.A, 2010). Hal pokok tersebut
dapat menjadi variabel dan atau indikator dalam melihat wujud sebuah budaya dalam
kaitannya dengan lingkungan binaan.
3
Masyarakat dan budaya mempengaruhi lingkungannya dan sebaliknya lingkungan
mempengaruhi dinamika perkembangan budaya. Pengaruh budaya terhadap lingkungan
binaan dapat dilihat dengan munculnya berbagai desain seperti rumah, tata letak rumah, dan
bangunan umum (Altman dan Chemers (1984). Unsur-unsur tersebut terangkai dalam sebuah
sistem budaya yang setiap bagiannya saling terkait secara terpadu. Tuan (1977) menjelaskan
bahwa untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat dan ruang
harus dikaitkan dengan budaya. Budaya ini sifatnya unik, dan antara satu tempat dengan
tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Karena itu, penelitian tentang permukiman
berbasis nilai budaya perlu dikaji tersendiri dalam rangka menuhi kebutuhan dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan. Perbedaan bentuk rumah
tergantung respon masyarakat terhadap lingkungan fisik, sosial, kultural dan ekonomi.
Morfologi suatu permukiman cenderung selalu berubah yang mencerminkan karakter
budaya, politik, sosial dan ekonomi yang dianut oleh warganya. Perkembangan dan
perubahan wujud kota menurut Sumalyo (2002), sangat dipengaruhi oleh tingkat variasi dari
berbagai unsur berdasarkan pada perkembangan sejarah dan proses pertumbuhannya. Adapun
unsur yang sangat menentukan perkembangan kota tersebut meliputi geografis, potensi
wilayah, sosial budaya, dan politik. Lebih dipertajam oleh Kuntowijoyo (2003) bahwa suatu
tata kota tidak lahir karena maksimisasi teknologi atau ekonomi, tetapi karena suatu pola
sosio-kultural masyarakatnya. Manusia di perkotaan perlu melakukan upaya-upaya positif
dalam rangka menanggapi tuntutan lingkungan yang berasal dari aspek manusia, alam, dan
teknologi (Koentjaraningrat,1995). Dapat disimpulkan bahwa perwujudan fisik permukiman
atau perkotaan sekalipun seharusnya mempertimbangan karakter sosial budaya
masyarakatnya. Melalui dimensi sosial budaya, akan memudahkan keterhubungan
masyarakat dengan lingkungan alamnya serta hubungan harmonisasi antara manusia. Dengan
demikian, inisiatif dan motivasi pemahaman nilai budaya yang dapat menstimulasi solusi
praktis dalam perencanaan permukiman seperti di perkotaan diharapkan dapat memenuhi
kualitas lingkungan hidup masyarakatnya. Masyarakat Bugis merupakan salah satu
masyarakat yang memiliki kepatuhan kuat dalam mempertahankan kearifan lokalnya walau
sampai di rantauan. Wan Ismail (2012) menjelaskan dalam artikelnya bahwa ada kepatuhan
yang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka.
Dalam kaitan ini kajian yang diketengahkan adalah menggali seberapa jauh manifestasi salah
satu nilai budaya Bugis yaitu nilai siri’ dalam wujud permukiman di Sulawesi Selatan.
2. METODE
Tulisan ini berbasis pada penelitian kualitatif melalui analisis perpaduan antara
pendekatan anthropology dan Architecture (Egenter, 1992; Brewer, 2000; Harsojo, 1999;
Kennedy, 2005). Kajian antropologi budaya terkait dengan latar belakang budaya masyarakat
Bugis; sedangkan kajian lingkungan binaan terkait dengan permukiman. Kajian antropologi
mengacu pada metode penguraian komponen budaya dengan melihat terutama pada unsur
nilai-nilai budaya yang dipahami masyarakat, sedangkan kajian arsitektur menekankan pada
wujud permukiman. Wujud nilai budaya Bugis ditelusuri dengan menggunakan pendekatan
Kluckhohn. Di samping metode tersebut, kajian ini juga menggunakan pendekatan Spradley,
yaitu kajian etnografi yang mengaitkan antara unsur budaya dengan wujud fisik perumahan
dan permukiman. Teknik analisis tersebut merupakan suatu proses mengkonkritkan makna-
makna nilai budaya (untangible) kemudian melihat kaitannya dengan wujud elemen ruang
4
permukiman/kota (tangible) baik secara spasial maupun visual. Konteks budaya yang
dibicarakan adalah budaya masyarakat Bugis, sedangkan lingkup permukiman tradisional dan
fenomena perkembangannya dikaji secara spesifik terkait pola spasial dan pola jalan. Dengan
demikian metode pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
mendalam dengan tokoh masyarakat, kajian literatur, dan observasi terhadap beberapa
kawasan permukiman tradisional masyarakat Bugis. Kajian ini diharapkan dapat memberi
kontribusi khusunya terhadap penemuan konsep perencanaan dan perancangan perumahan
dan permukiman yang berbasis kearifan lokal sesuai filosofi masyarakat Bugis.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Nilai Siri’ sebagai Kearifan Budaya Bugis
Siri’ berarti harga diri atau martabat atau makna sederhana disebut malu atau budaya
rasa malu (Shame culture) (Hamid, 2003). Mattulada (1975) dan Abidin (2003) sepakat
tentang pengertian siri’, yaitu suatu sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang
merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan
kelompok masyarakat. Harga diri digunakan dalam psikologi untuk mencerminkan penilaian
dari orang lain atau penilaian terhadap nilai sendiri. Hal ini terdapat dalam konsep kebutuhan
manusia menurut Maslow yaitu Esteem Needs (Maslow,1987 dalam Lang, 1994). Harga diri
seseorang dapat tercermin dalam perilaku mereka, seperti dalam ketegasan, rasa malu,
percaya diri atau hati-hati. Karena itu, untuk mencapai harga diri yang sesungguhnya, kita
dituntut untuk memiliki kemuliaan karakter berupa: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih,
kesabaran, dan kelembutan (http://id.shvoong.com).
Nilai siri’ menempatkan eksistensi manusia di atas segala-galanya. Siri’ merupakan
pertahanan harga diri. Siri’ identik dengan manusia yaitu sesuai ungkapan “Ianatu Siri’e
riaseng tau” (siri’ itulah yang dikatakan manusia) (La Side dalam Abidin, 2003). Dalam
buku Mattulada (1975) tertulis:“…Siri’emi ri onroang ri lino….” (hanya untuk siri’ kita
hidup di dunia). Karena itu dipahami bahwa jika seseorang kehilangan siri’ dapat ditebus
melalui pengorbanan nyawa sekalipun. Selanjutnya Abdullah mengatakan bahwa siri’
bukanlah sekedar perasaan malu, tetapi menyangkut masalah yang paling peka yang
merupakan jiwa dan semangat dalam diri orang Bugis, menyangkut faktor martabat atau harga
diri, reputasi, dan kehormatan, yang kesemuanya harus dipelihara dan ditegakkan (Abdullah,
H., 1985). Demikian pula Abu Hamid mengungkapkan bahwa siri’ itu adalah suasana hati
dalam masyarakat yang merupakan sistem nilai sikap, bertindak untuk memantapkan
perasaan dan motivasi dengan membentuk keteraturan tindakan (Hamid, 2003). Dari
ungkapan di atas dapat ditangkap betapa tingginya makna nilai siri’ dalam hidup seorang
Bugis, sehingga dipahami bahwa martabat seseorang hanya jika memiliki siri’. Orang Bugis
senantiasa menjadikan nilai siri’ sebagai pengontrol sifat dan perilakunya agar tetap bernilai
di sisi Tuhan dan orang lain. Hal ini tercatat dalam Pappaseng Bugis bahwa: “Tellui riala
sappo: tau’e ri Dewatae, siri’e riwatakkaleta, siri’e ripadatta tau” (makna: tiga hal yang
dapat dijadikan prinsip utama yaitu: takut pada Tuhan, malu pada diri sendiri, dan malu
kepada sesama manusia) (Achmad Musa dalam Machmud, 1978). Berdasarkan hasil
penelitian tentang makna siri’ berdasarkan data manuskrip [naskah Lontara dan Pappaseng
(pesan, petuah/kata bijak)], buku-buku bertema budaya Bugis, serta hasil wawancara
mendalam pada beberapa pakar budaya Bugis, maka dikemukakan beberapa makna nilai siri’
dalam kaitannya dengan hidup dan penghidupan masyarakat Bugis sebagai berikut:
5
1) Nilai siri’ sebagai taruhan harga diri yang menjadi faktor pendorong dalam menjunjung
tinggi aturan dan berperilaku sesuai norma adat dan agama.
2) Nilai siri’ sebagai filosofi hidup yang berorientasi pada keseimbangan antara aspek
kehidupan dan ibadah kepada Tuhan. Aspek kehidupan merujuk pada kebutuhan duniawi,
sedangkan aspek ibadah merujuk pada berbagai kegiatan ritual kepada Dewata Seuwae.
3) Nilai siri’ sebagai etika-moral, mendorong untuk selalu mejaga hubungan baik terhadap
manusia maupun terhadap lingkungannya.
4) Nilai siri’ sebagai taruhan harga diri, mendorong seseorang atau kelompok untuk selalu
menciptakan dan menjaga hasil karya yang baik atau bijak.
5) Nilai siri’ sebagai upaya meningkatkan harga diri melalui pengembangan potensi dirinya.
Dalam hal ini nilai siri’ mencakup nilai alempureng (kejujuran), agettengeng (kejujuran),
amaccangeng (kecerdasan), asitinajangeng (kepantasan), asabbarakeng (kesabaran), dan
appesona ri Dewata Seuwae (bertawakkal pada Tuhan Yang Maha Esa).
3.2 Manifestasi Nilai Siri’ dalam Pola Ruang
Dalam permukiman tradisional, perletakan fungsi ruang diatur berdasarkan keterkaitan
hubungannya. Sebagai wujud struktural pola ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur
pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan
lainnya. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan berupa pusat
kota dan sub pusat kota, serta pusat lingkungan. Pola pemanfaatan ruang di perkotaan
menggambarkan ukuran, fungsi, dan karakteristik kegiatan perkotaan (Kustiawan, 2009).
Jenis-jenis pemanfaatan ruang di perkotaan juga memiliki kesamaan dengan lingkup
permukiman hanya saja lebih sedernahana seperti adanya kawasan perumahan, kawasan
pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan ruang terbuka hijau.
Permukiman masyarakat Bugis pada masa La Galigo (pra Islam) kebanyakan terletak
di daerah dataran tinggi atau kawasan agraris, dan setelah abad-14 barulah mereka mendiami
dataran rendah (Pelras, 2006). Mereka mendiami daerah-daerah dataran rendah dan pesisir
sebagai daerah yang potensil secara ekonomi seperti pesisir setelah mengalami perkembangan
sosial ekonomi. Dalam Lontara dijelaskan tentang syarat pembentukan permukiman dimana
masyarakat Bugis tradisional memiliki kearifan dalam menata fungsi ruang permukimannya,
yaitu dengan membagi lahan perkampungan ke dalam tiga bagian yaitu kawasan fungsi ruang
untuk hunian (fungsi tempat tinggal), kawasan fungsi ruang untuk pertanian/perkebunan, dan
kawasan fungsi ruang untuk perairan (fungsi perikanan dan transportasi air) (Abidin, 1970).
Kawasan hunian merupakan daerah dataran atau daerah yang topografinya relatif datar.
Kawasan hijau dapat berupa lahan pertanian sawah, lahan pertanian tanaman pangan, lahan
perkebunan, yang topografinya merupakan daerah yang bervariasi. Pola pemanfaatan ruang
permukiman tersebut pada hakekatnya merupakan fungsi hunian yang disekitarnya terdapat
kawasan dengan fungsi lahan perairan sebagai fungsi lahan pendukung permukiman.
Pembentukan pola pemanfaatan ruang tersebut seperti yang telah diterapkan pada
permukiman Bugis sangat terkait dengan kepatuhan masyarakat Bugis pada norma-norma
adat yang dipahami sebagai cerminan nilai siri’. Cara tradisional mengatur pemanfaatan ruang
tersebut menjadi dasar dalam pengorganisasian masyarakat perkotaan pada era modern ini.
Selanjutnya, karakter khirarkis pada masyarakat Bugis tercermin pada kecenderungan
memberikan pembedaan terhadap tingkatan masyarakat keturunan raja atau bangsawan
6
dengan masyarakat biasa. Hal ini berpengaruh terhadap pemaknaan fungsi ruang pada rumah
tinggal, perumahan atau permukiman. Dalam sebuah pertemuan, daerah yang layak ditempati
oleh masyarakat yang memiliki tingkat status ruang yang tinggi pada rumah Bugis
ditempatkan pada daerah tengah yang memiliki jarak terjauh dari pintu masuk (Pelras, 2006).
Hal ini menunjukkan dipahaminya sistem zoning dengan mengatur fungsi ruang secara
struktural dalam sebuah area termasuk dalam lingkup permukiman. Demikian pula karakter
khirarkis juga berpengaruh terhadap pemaknaan fungsi ruang, dimana pada perkampungan
tradisional Bugis, kalangan keturunan raja atau bangsawan secara umum bertempat tinggal di
pusat kampung, sedang kalangan masyarakat biasa bertempat tinggal pada bagian pinggir
kampung. Manifestasi nilai-nilai budaya Bugis terhadap pusat permukiman, terlihat pada
beberapa wilayah yang dibangun oleh masyarakat Bugis. Pada abad 20, permukiman
masyarakat Bugis menjadikan rumah raja, masjid, dan lapangan sebagai pusat orientasi.
Biasanya pusat kotanya berada pada sisi jalan utama yang disertai dengan satu atau lebih jalur
jalan yang bercabang dari jalan utama. Pada salah satu daerah percabangan jalan tadi
ditempatkan mesjid yang berdekatan dengan lapangan dan rumah bangsawan/pemerintah.
Bentuk pusat perkampungan tersebut memperlihatkan pola-pola yang bervariasi yang sangat
dipengaruhi oleh letak geografis membentuk pola linier dan memusat. Konsistensi
pemahaman nilai siri’ sebagai etika-moral dan kecenderungan untuk selalu menjunjung tinggi
aturan yang ada mendorong masyarakat Bugis untuk selalu menjaga perilakunya, menjaga
huungan dengan manusia dan lingkungan. Hal tersebut relevan dengan pemahaman nilai siri’
pada point 1), 3), dan 4) di atas. Berikut ini diperlihatkan salah satu variasi bentuk pola pusat
perkampungan yang dibangun oleh masyarakat Bugis seperti pada gambar 1 di bawah.
Keterangan:
Rumah Raja/Bangsawan
Mesjid
Lapangan
Pegawai
Rumah Rakyat
Beberapa fakta yang menunjukkan pembentukan pusat kota dapat terlihat pada gambar 2, 3,
dan 4. Pusat kota Sengkang (Kab. Wajo) ditandai dengan lapangan terbuka yang disekitarnya
terdistribusi fasilitas seperti: Masjid, kantor pemerintahan, rumah jabatan bupati, rumah sakit,
dan kantor polisi. Selanjutnya, pada pusat permukiman Pattojo (Kab. Soppeng) juga
menunjukkan lapangan terbuka sebagai pusat distribusi fasilitas seperti rumah bangsawan,
pusat pemerintahan, dan sekolah. Demikian pula permukiman di Pancana (Kab. Barru).
Kaw. Pusat
Permukiman
Gambar 1. Pola Ruang Pusat Permukiman Gambar 2. Pusat Kota Sengkang Kabupaten Wajo
U
Rumah Ulama Rumah Bupati
7
3.3 Manifestasi Nilai Siri’ dalam Jaringan Jalan
Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang saling berpengaruh terhadap jenis kegiatan
dipermukiman atau perkotaan. Jaringan jalan yang terbentuk selanjutnya akan menjadi sebuah
permukiman, dan akhirnya menjadi sebuah kota dengan tipomorfologi yang unik. Menurut
Krier (1979) jalan merupakan produk dari penyebaran pembangunan gedung pada ruang-
ruang yang tersedia. Dari sekian banyak komponen wujud kota, pola jalan merupakan
komponen yang paling nyata manifestasinya dalam menentukan pembentukan kota di negara-
negara barat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kustiwan (2009) bahwa jaringan jalan
merupakan indikator utama wujud kota sehingga dalam perencanaan tata ruangnya tidak dapat
dilepaskan dari pola pemanfaatan ruang. Jaringan jalan merupakan sebuah ruang sosial
ekonomi, budaya, dan politik yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam
aspek sosial-ekonomi, jalan akan dimanfaatkan oleh penduduk kota. Jalur jalan menjadi
penunjang bagi orang-orang untuk saling bertukar informasi, berolah raga, dan kesibukan
berbisnis. Bahkan jalan secara nyata menjadi bagian dari proses bisnis yang strategis. Dalam
aspek budaya, jalur jalan dapat berperan secara simbolis mencerminkan karakter pemerintah
dan masyarakatnya. Pada beberapa kota tradisional di Indonesia seperti kota-kota di Jawa,
Nias, dan Bali, pembentukan jalur jalan mencerminkan kosmologi yang dianut.
Moughtin (1992) menegaskan bahwa jalur jalan tidak hanya dimaksudkan sebagai
jalur penghubung, tetapi juga arena untuk ekspresi sosial. Kehadiran jalur jalan sebagai
sebuah elemen fisik kota merupakan sebuah wujud sosial. Jalur jalan akan mengekspresikan
wujud tampilan sebuah kota. Jaringan jalan dapat menarik jika dirancang dengan baik sesuai
karakter fisik dan sosial-budaya masyarakatnya. Di samping itu jalur jalan juga berperan
sebagai prasarana penunjang kegiatan perdagangan. Jalan dan lingkungan tersebut
memberikan banyak pelayanan baik pada individu maupun terhadap kelompok keluarga.
Menurut Moughtin (1992), jalan yang baik dan memenuhi kepentingan masyarakat akan
menjadi sebuah simbol harga diri (self-esteem) masyarakatnya.
Gambar 3, Pusat perkampungan Pattojo – Soppeng Gambar 4. Pusat permukiman Desa Pancana
8
Pola jalan yang terbentuk pada berbagai permukiman masyarakat Bugis di Sulawesi
Selatan, dominan memperlihatkan pola grid. Pola jaringan jalan grid tersebut juga telah
dikembangkan di Eropa dan Amerika terutama di kota Washinton dan kota Philadelphia, dan
selanjutnya sampai ke Jepang dan Cina. Hal tersebut dimaksudkan sebagai lambang
kemuliaan dari penguasa pada waktu itu (Catanese & Snyder, 1996). Di samping itu pola
jalan tersebut juga banyak diterapkan oleh perancang kota pada masa penjajahan bangsa
Eropa (sampai awal abad 20) di Indonesia. Pola-pola bentuk grid atau kisi tersebut kemudian
berkembang menjadi pola kisi dengan bentuk persegi panjang. Masyarakat Bugis melihat
alam semesta ini sebagai sulapa’ eppa’ wolasuji (segi empat belah ketupat) (Mattulada,
1975). Filosofi tersebut memiliki makna secara vertikal (kepala, badan, dan kaki) dan makna
secara horizontal (meliputi unsur air, api, tanah, dan udara). Makna secara horizontal
berkenaan dengan pemahaman terhadap pembentukan pola jalan grid, yaitu terkait dengan
keseimbangan antara keempat unsur alam tersebut. Beberapa pola jalan permukiman Bugis
yang ditemukan sesuai arah orientasi rumah, dan arah garis pantai.
Peranan jalur jalan yang dikemukakan oleh Moughtin di atas juga terjadi pada kota-
kota yang dibangun oleh masyarakat Bugis yaitu berperan sebagai wadah interaksi antar
masyarakat. Berbagai pola hidup masyarakat Bugis sangat terkait dengan jalur jalan pada
sebuah permukiman antara lain: satu, kecenderungan untuk selalu saling mengunjungi
(silaturrahmi) serta berbagai kegiatan kekeluargaan dan ekonomi. Faktor-faktor aktifitas dan
kebutuhan akses yang mudah terhadap jalan itulah yang menjadi tuntutan utama
dibutuhkannya pola jalan grid yang sangat efisien yang saling terhubung (interconected), serta
mendukung sistem kekerabatan dan kegiatan ekonomi yang menjadi karakter masyarakat
Bugis. Dengan demikian penerapan pola jalan grid merupakan pola jalan yang sesuai tuntutan
perilaku orang Bugis, sehingga secara langsung akan menjadi simbol harga diri yang
membanggakan. Konsistensi pemahaman nilai siri’ sebagai pengembangan kehidupan
manusia, aspek pengembangan potensi lokal, serta upaya menunjukkan pola dasar
perkampungan yang teratur dan menarik. Hal tersebut relevan dengan pemahaman nilai siri’
pada point 2), 4), dan 5) di atas. Beberapa kampung Bugis yang menunjukkan penerapan pola
jalan grid dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Pola Jalan Grid pada Permukiman Bugis di Belawa (kiri); kota Sengkang
(tengah) dan kota Tosora (kanan)
9
3.4 Manifestasi Nilai Siri’ dalam Orientasi Bangunan
Beberapa negara, dimana masyarakatnya masih memandang tinggi nilai budayanya,
telah membangun kotanya sesuai nilai budayanya baik secara visual maupun spasial. Hal ini
terlihat berupa masih banyaknya bangunan bergaya arsitektur lokal yang tetap bertahan
hingga kini. Begitu pula banyak bangunan pemerintah atau swasta tetap mengadopsi nilai-
nilai tradisionalnya. Konsep orientasi bangunan pada masyarakat Bugis mengacu pada konsep
orientasi rumah tradisional Bugis. Studi terhadap orientasi rumah tradisional Bugis dapat
dikaji melalui perilaku atau sistem aktifitas masyarakat Bugis yang sangat tercermin dari
nilai-nilai sosio-kultural yang dipahami. Nilai-nilai siri’ yang menjadi dasar dari orientasi
rumah tradisional Bugis, terkait sebagai filosofi hidup yang meliputi keseimbangan antara
unsur kehidupan dan unsur ibadah kepada Tuhan. Sebagai masyarakat religius, orang Bugis
memahami perinsip hidup bahwa kesejahteraan hidup dapat dicapai melalui keseimbangan
kehidupan dunia dan akhirat. Prinsip tersebut tercermin pada terbentuknya arah zona pada
lantai rumah, yaitu arah Ulu (kepala) dan Toddang (kaki). Zona Ulu terletak pada arah Barat
atau Selatan, sedangkan zona Toddang terletak pada arah Timur atau Utara. Di samping itu
juga mengenal orientasi arah Riolo (depan) dan Rilaleng (di dalam/belakang)
Masyarakat Bugis selalu menggunakan arah mata angin yaitu arah manorang (Utara),
maniang (Selatan), orai (Barat), dan alau (Timur), sebagai penunjuk arah atau letak suatu
benda. Di samping itu, keempat arah tersebut memiliki makna tertentu yaitu: arah Utara
dimaknai sebagai simbol kematian, arah Selatan dimaknai sebagai simbol kehidupan duniawi,
arah Barat terutama arah suci (kiblat), dan arah Timur dimaknai simbol rezeki, yaitu berdasar
pada arah naiknya matahari. Berdasar pada prinsip hidup dan perilaku orang Bugis dalam
konteks nilai siri’ tersebut memberi pengaruh terhadap orientasi bangunan. Dalam hal ini
orientasi rumah yang dipahami masyarakat Bugis mengarah pada empat penjuru mata angin.
Menurut Masdin (2009) bahwa letak rumah orang Bugis cenderung berderet menghadap ke
Selatan atau Barat. Selanjutnya menurut Data, Y. (1977) bahwa arah orientasi yang
dipandang baik orang Bugis adalah menghadap Barat dengan arah memanjang Barat-Timur.
Salah satu contoh orientasi rumah masyarakat Bugis yang konsisten dengan arah depan dan
belakang menggunakan arah Barat-Timur ada di Desa Baringeng Kecamatan Lili Rilau,
Soppeng. Mereka memahami secara turun temurun tentang kosmologi arah Barat - Timur
sebagai arah kehidupan yang baik, sedangkan arah Selatan – Utara merupakan arah yang
kurang baik (arah kematian). Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar 6 dan 7.
Di dalam tata ruang rumah tradisional Bugis juga dipahami bahwa terdapat ruang yang
dikategorikan sebagai ruang bersih dan ruang kurang bersih (kotor). Ruang yang dimaknai
sebagai ruang bersih meliputi: zona ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang tidur. Sedangkan
ruang yang dimaknai kurang bersih meliputi: zona ruang sirkulasi utama rumah, ruang dapur,
dan ruang-ruang servis (ruang toilet, ruang memandikan mayat, ruang cuci, dan lego-lego).
10
Perletakan ruang bersih selalu ditempatkan pada daerah hulu (ulu) yang biasanya
ditempatkan pada arah Barat atau Selatan. Sedangkan perletakan ruang kurang bersih (kotor)
selalu ditempatkan pada daerah hilir (toddang) yang biasanya ditempatkan pada arah Timur
atau Utara. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar berikut memperlihatkan
dua orientasi rumah tradisional Bugis yang masing-masing berorientasi ke arah Timur dan ke
Barat. Pada gambar kanan memperlihatkan sisi dinding rumah sebelah Selatan (dinding
bagian bawah) merupakan zona ruang bersih (suci) yang terdiri atas ruang keluarga dan
beberapa jejeran kamat tidur. Selanjutnya pada gambar kiri memperlihatkan sisi dinding
rumah sebelah Timur (dinding bagian kanan) merupakan zona ruang kurang bersih yang
terdiri atas ruang servis (sirkulasi utama dari depan ke belakang atau sebaliknya, dapur, ruang
cuci, dll). Konsistensi pemahaman nilai siri’ sebagai aspek keseimbangan antara aspek
kehidupan dan Ibadah. Hal tersebut relevan dengan pemahaman nilai siri’ pada point 2) di
atas. Secara umum pola orientasi bangunan yang dipahami masyarakat Bugis pada
permukiman dapat dilihat pada gambar berikut.
Keterangan:
: Arah Orientasi Depan Rumah
: Zona kurang bersih (tamping)
: Zona bersih / suci
: Posi’ Bola (Pusat rumah)
Gambar 8. Arah Tata Letak dan Pembagian Zona Ruang
Pada Rumah Tradisional Bugis.
Utara
Selatan
Timur Barat
Utara
Barat Timur
Selatan
Gambar 6. Orientasi bangunan Barat-
Timur di Desa Baringeng-Soppeng
Gambar 7. Orientasi bangunan empat
penjuru mata angina di Tosora-Wajo
B T U
11
4. KESIMPULAN
Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa:
1. Keterkaitan antara nilai budaya yang dipahami masyarakat Bugis dengan lingkungan
binaan terutama wujud permukiman belum banyak diteliti. Pendekatan ini memiliki
relevansi yang lebih jauh terhadap manifestasi pembentukan wujud kota yang berdasar
pada pemahaman budaya masyarakat.
2. Manifestasi nilai siri’ dalam wujud spasial meliputi: pola ruang permukiman, pola
jaringan jalan, dan orientasi bangunan. Manifestasi nilai-nilai siri tersebut berbasis pada
nilai dasar seperti alempureng, amaccangeng, agettengeng, awaraningeng, asabbarakeng,
dan appesona ri Dewata Seuwae.
a. Konsistensi pemahaman terhadap etika-moral dan kecenderungan untuk selalu
menjunjung tinggi aturan mendorong untuk selalu menjaga perilaku dan karyanya,
serta menjaga hubungan dengan manusia dan lingkungan, sangat relevan dengan
pemahaman nilai siri’. Manifestasi nilai tersebut terlihat pada kepatuhan masyarakat
Bugis terhadap konsep permukiman. Seleksi lokasi permukiman berdasar pada
pemenuhan lahan untuk permukiman, lahan perairan, dan lahan pertanian. Pola ruang
permukiman masyarakat Bugis berpola menyebar dan mengelompok yang biasanya
terdistribusi pada sebuah lapangan. Konsep tersebut merupakan sebuah tatanan yang
tetap dipatuhi sebagai cerminan nilai siri’.
b. Konsistensi pemahaman dalam aspek pengembangan kehidupan manusia,
pengembangan potensi lokal, serta upaya menunjukkan pola perkampungan yang
teratur dan menarik, sangat relevan dengan pemahaman nilai siri’. Manifestasi nilai
tersebut terlihat pada penerapan pola jalan grid merupakan pola yang sesuai tuntutan
perilaku orang Bugis, yaitu berdasar pada pembentukan jalur jalan yang saling
terhubung yang memungkinkan untuk memudahkan pergerakan dan pengembangan
ekonomi. Di samping itu pembentukan pola jalan grid, juga mengadopsi filosofi
sulapa’ eppa’ wolasuji dengan makna-makna tertentu yang dipahami. Hal tersebut
pada akhirnya akan menjadi sebuah kebanggaan (harga diri) sebagai cermin nilai siri’.
c. Konsistensi pemahaman masyarakat tentang keseimbangan antara aspek kehidupan
dan ibadah, sangat relevan dengan pemahaman nilai siri’. Manifestasi nilai tersebut
terlihat pada orientasi bangunan arah Barat - Timur dan arah Utara - Selatan yang
mengandung makna keseimbangan antara aspek kehidupan dan aspek ibadah kepada
Tuhan; serta orientasi Timur-Barat bermakna kesatuan arah antara dimensi rejeki dan
spiritual, sedangkan orientasi Selatan-Utara bermakna arah kehidupan dan kematian.
3. Manifestasi nilai Siri’ yang ditemukan dalam tatanan permukiman merupakan kearifan
budaya lokal masyarakat Bugis yang selanjutnya dapat menjadi dasar dalam penyusunan
program pembangunan perumahan dan permukiman yang berbasis pada budaya lokal
Bugis. Hal tersebut dapat mempertajam kebijakan pembangunan permukiman atau
perkotaan, terutama dalam menegaskan identitas budaya bangsa.
5. DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A.Z. (1970), Transkripsi dan Terjemahan Lontara’ Atoriolongnge ri Wajo (milik Andi Sumangerukka, Datu Pattojo, Soppeng, (Tidak dipublikasikan).
12
Altman, I., and Chemers, M. (1984), Culture and Environment, Brooks/Cole Publishing
Company, First Published by Canbridge University Press.
Babu, V. and Kuttia, K. (1996), ”Cultural Continuity in Development”, Traditional Dwelling
and Settlement, Journal, Vol 96 /IASTE96-96, University of California, Berkeley.
Brewer, J.D. (2000), Ethnography, Open University Press, Philadelphia, USA.
Catanese, A.J., dan Snyder J.C. (1996), Perencanaan Kota (Judul Asli: Urban Planning,
McGeaw-Hill Inc), Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta
Daeng, H.J. (2008), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Data, Y. (1977), Bentuk-Bentuk Rumah Bugis Makassar, Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Dikbud RI.
Craig, C. Samuel (2013), Creating cultural products: Cities, context and technology, Journal
City, Culture, and Society, Accepted 13 June 2013, Available online xxxx,
Sciencedirect, Elsevier Ltd.
Egenter, Nold (1992), Architectural Anthropology: Research Series, The Present Relevance of
the Primitive in Architecture, Volume 1, Structura Mundi, Switzerland.
Harsojo, (1999), Pengantar Antropologi, Putra Abardin, Bandung.
Kennedy, DP (2005), “Scale Adaptation and Ethnography”, Field Methods Journal; Volume
17, No. 4; p412-431. Sage pub.
Koentjaraningrat (1995), Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, P.T. Gramedia, Jakarta. Krier, Rob (1979), Urban Space, Rizzoli International Publications.inc, London. Kuntowijoyo, (2003), Metodologi Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Lang (1994), Urban Design: The American Experience, Van Nostrand Reinhold, New York.
Machmud, A. Hasan (1978), “Silasa”, Kumpulan Petuah Bugis Makassar, Bhakti Centra
Baru, Makassar.
Masdin (2009), Kebudayaan Bugis Makassar, http://bloglinguistik.co (diakses 25/10/2009).
Mattulada (1975), La Toa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi - Politik Orang
Bugis, Disertasi S3 Universitas Indonesia, Jakarta.
Morssink, Christiaan B., (2012), Linking Culture and Structure: Adding Time and
Environment, Journal Preventive Medicine, ScienceDirect, Elsevier, No. 55 (2012),
page 583–586.
Moughtin, C. (1992), Urban Design, Street and Square, Linacre Hous, Jordan Hill, Oxfort,
London.
Rapoport (2005) Culture,Architecture, and Design, Locke Science Publishing Company, Inc.
Simanjuntak, B. Antonius (2010), Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai
Budaya), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sumalyo (2002), Sejarah Perkembangan Arsitektur dan Kota Makassar, Penelitian Jurusan
Arsitektur – Universitas Hasanuddin, Makassar. Tang, Mahmud (1996), Aneka Ragam Pengaturan Sekuritas Sosial di Bekas Kerajaan Berru,
Sulawesi Selatan, ISBN 90-5485-594-0, Grafisch Service Centrum Van Gils B.V,
Wageningen.
Tuan, Y.F. (1977), Space and Place, The Perspective of Experience, University of Minnesota,
Minneapolis.
Wan Ismail, Wan Hashimah (2012), Cultural Determinants in the Design of Bugis Houses,
Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences, Elsevier, sciencedirect, 50 (2012)
771 – 780.