manifestasi nilai siri’ dalam tata spasial …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat...

12
1 MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL Studi Kasus: Permukiman Tradisional Masyarakat Bugis Arifuddin 1) E-mail: [email protected] 1) Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota, Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRAK Fenomena yang mengemuka saat ini adalah semakin terkikisnya budaya lokal sebagai dampak dari moderenisasi dan globalisasi. Kemunculan budaya asing cenderung menimbulkan polarisasi dan tekanan rasial terhadap kearifan budaya lokal yang terlihat pada menguatnya fenomena standarisasi produk yang tidak berdasar. Penataan spasial kota tanpa pertimbangan budaya dapat melahirkan rancangan spasial lingkungan yang generik, dan tidak memenuhi harapan. Studi ini bertujuan untuk menemukan manifestasi nilai siri’ sebagai salah satu kearifan budaya Bugis yang dapat diterapan dalam tata spasial permukiman atau perkotaan. Studi ini dimaksudkan untuk mempertajam pedoman penataan spasial yang efektif berdasarkan kearifan lokal sesuai dinamika perkembangan Ipteks. Studi ini dianggap penting karena dapat memberi kontribusi bagi penataan spasial yang berbasis pada kearifan lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat. Kajian kualitatif ini menggunakan metode simbiosa antropologi-arsitektur dengan melihat unit amatan nilai budaya dan manifestasinya terhadap tatanan spasial permukiman/kota. Data-data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan data spasial, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan melihat relevansi antara keduanya melalui wawancara mendalam, observasi, dan kajian kepustakaan. Studi ini menemukan bahwa masyarakat Bugis memiliki nilai budaya berupa nilai Siri’ sebagai sebuah kearifan lokal yang dipahami secara turun temurun dan telah berpengaruh dalam tatanan spasial permukiman maupun perkotaan. Beberapa tatanan yang berbasis nilai siri’ terlihat pada: pola jalan, wujud pola ruang, dan orientasi bangunan. Nilai-nilai siri’ yang bermakna harga diri terungkap pada pola jalan grid yang membentuk aksesibilitas terbuka dan memudahkan pergerakan antar spasial, tersedianya fungsi-fungsi ruang dan pusat permukiman, serta terbentuknya arah orientasi bangunan yang sekaligus menjadi dasar pembentukan pola jalan dan elemen spasial secara umum. Kata-Kata Kunci: Nilai Siri’, Spasial, Budaya Bugis. 1. PENDAHULUAN Setiap budaya akan mencerminkan serangkaian prinsip-prinsip abstrak mulai dari cara memandang sistem jagad raya sampai pada tindakan sehari-hari, seperti cara berperilaku, cara hidup/berkehidupan dengan lingkungan. Konsep budaya mencerminkan serangkaian prinsip-prinsip mulai dari cara pandang sistem makrokosmos sampai ke perilaku konkrit, seperti tata-cara hidup dan berpenghidupan di suatu wilayah. Budaya juga merupakan suatu pola pikir yang terungkap dalam perilaku dan aktifitas manusia sebagai bentuk reaksi terhadap tantangan alam yang terjadi secara turun temurun, sehingga menjadi sebuah identitas suatu etnis atau komunitas. Menurut Daeng, H (2008), tiap kebudayaan pada umumnya mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu sebagai: a) suatu himpunan gagasan, b) jumlah

Upload: phungdang

Post on 29-May-2018

217 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

1

MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL Studi Kasus: Permukiman Tradisional Masyarakat Bugis

Arifuddin

1)

E-mail: [email protected])

Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota, Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRAK

Fenomena yang mengemuka saat ini adalah semakin terkikisnya budaya lokal sebagai dampak dari

moderenisasi dan globalisasi. Kemunculan budaya asing cenderung menimbulkan polarisasi dan

tekanan rasial terhadap kearifan budaya lokal yang terlihat pada menguatnya fenomena standarisasi

produk yang tidak berdasar. Penataan spasial kota tanpa pertimbangan budaya dapat melahirkan

rancangan spasial lingkungan yang generik, dan tidak memenuhi harapan. Studi ini bertujuan untuk

menemukan manifestasi nilai siri’ sebagai salah satu kearifan budaya Bugis yang dapat diterapan

dalam tata spasial permukiman atau perkotaan. Studi ini dimaksudkan untuk mempertajam pedoman

penataan spasial yang efektif berdasarkan kearifan lokal sesuai dinamika perkembangan Ipteks. Studi

ini dianggap penting karena dapat memberi kontribusi bagi penataan spasial yang berbasis pada

kearifan lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat. Kajian kualitatif ini

menggunakan metode simbiosa antropologi-arsitektur dengan melihat unit amatan nilai budaya dan

manifestasinya terhadap tatanan spasial permukiman/kota. Data-data yang dikumpulkan berupa data

kualitatif dan data spasial, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan melihat relevansi

antara keduanya melalui wawancara mendalam, observasi, dan kajian kepustakaan. Studi ini

menemukan bahwa masyarakat Bugis memiliki nilai budaya berupa nilai Siri’ sebagai sebuah

kearifan lokal yang dipahami secara turun temurun dan telah berpengaruh dalam tatanan spasial

permukiman maupun perkotaan. Beberapa tatanan yang berbasis nilai siri’ terlihat pada: pola jalan,

wujud pola ruang, dan orientasi bangunan. Nilai-nilai siri’ yang bermakna harga diri terungkap pada

pola jalan grid yang membentuk aksesibilitas terbuka dan memudahkan pergerakan antar spasial,

tersedianya fungsi-fungsi ruang dan pusat permukiman, serta terbentuknya arah orientasi bangunan

yang sekaligus menjadi dasar pembentukan pola jalan dan elemen spasial secara umum.

Kata-Kata Kunci: Nilai Siri’, Spasial, Budaya Bugis.

1. PENDAHULUAN

Setiap budaya akan mencerminkan serangkaian prinsip-prinsip abstrak mulai dari cara

memandang sistem jagad raya sampai pada tindakan sehari-hari, seperti cara berperilaku,

cara hidup/berkehidupan dengan lingkungan. Konsep budaya mencerminkan serangkaian

prinsip-prinsip mulai dari cara pandang sistem makrokosmos sampai ke perilaku konkrit,

seperti tata-cara hidup dan berpenghidupan di suatu wilayah. Budaya juga merupakan suatu

pola pikir yang terungkap dalam perilaku dan aktifitas manusia sebagai bentuk reaksi

terhadap tantangan alam yang terjadi secara turun temurun, sehingga menjadi sebuah identitas

suatu etnis atau komunitas. Menurut Daeng, H (2008), tiap kebudayaan pada umumnya

mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu sebagai: a) suatu himpunan gagasan, b) jumlah

Page 2: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

2

perilaku yang berpola, dan c) sekumpulan benda atau artefacts. Sebagai suatu himpunan

gagasan, suatu kebudayaan tak dapat dilihat atau diamati, karena tersimpan dalam kepala

orang tertentu kemanapun ia pergi. Wujud himpunan gagasan tergolong wujud kebudayaan

yang paling abstrak dan sehingga disebut cultural system atau cover culture. Selanjutnya

dalam wujud perilaku yang berpola kebudayaan disebut social system. Sedang wujud

sekumpulan benda disebut overt culture.

Menurut Hofstede et al. (2010) dalam Morssink C.B, (2012), budaya adalah sebuah

pemrograman yang membentuk pikiran kolektif yang membedakan suatu individu atau

kelompok. Menurut Hofstede (2009) budaya adalah suatu sistem nilai, kepercayaan,

penilaian, dan dasar dalam berperilaku untuk menetapkan norma-norma dan membentuk rasa

malu, rasa bersalah, kebanggaan, kehormatan, dan nilai sosial, yang secara keseluruhan

terbagi dalam wujud lingkaran moral. Selanjutnya Cockerham (2005) dalam Morssink (2012)

memformulasi keterkaitan antara budaya dengan aspek struktur sosial ekonomi, waktu, dan

lingkungan sebagai sebuah simbol imajiner dalam bentuk segitiga piramida. Definisi budaya

pada intinya adalah unsur abstrak atau tidak berwujud seperti nilai-nilai dan sistem

kepercayaan (Craig, C.S, 2013). Budaya memiliki cakupan yang sangat luas, dan salah

satunya hadir dalam lingkungan fisik, sehingga rumah-rumah dan permukiman, serta seluruh

buatan manusia menggambarkan nilai budayanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lang

(1994) bahwa aspek sosial dan budaya juga mempengaruhi perbedaan ruang geografi dan pola

interaksi masyarakat. Kompleksitas budaya yang membedakan satu kelompok etnik dari yang

lain akan tercermin melalui variasi dari lingkungannya. Menurut Craig C.S (2013) meskipun

terdapat nilai-nilai budaya yang bersifat general terkait dengan sebuah kota, namun demikian

kelompok etnik dan budaya tertentu akan mendefinisikan nilai-nilai budayanya sendiri.

Selanjutnya, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang mengatur

tingkahlaku warganya. Nilai budaya tersebut merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan

tertentu yang terungkap dalam aktifitas, yang pada akhirnya akan berdampak pada hasil karya

manusia termasuk wujud fisik bangunan dan perkotaannya (Daeng, 2008). Lingkungan binaan

dan arsitektur yang berkembang dari tradisi masyarakat merupakan pencerminan langsung

dari budaya, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan keinginan-keinginan masyarakat. Senada

dengan pendapat tersebut Babu (1996) mengungkapkan bahwa budaya dan sistem nilai yang

dimiliki selanjutnya dimanifestasikan dalam wujud fisik berupa lingkungan binaan (build

form). Rapoport (2005) kemudian menegaskan bahwa konsep budaya dapat dilahat secara

konkrit mulai dari pemahaman world view (kosmologi), kemudian tercermin dalam nilai-nilai

budaya yang dipahami yang selanjutnya menjadi prinsip hidup, dan akhirnya tercermin dalam

gaya hidup dan aktifitas masyarakat. Aspek nilai-nilai sendiri dapat diekspresikan oleh aspek:

gaya hidup dan prinsip hidup (gagasan ideal) yang diharapkan oleh seseorang yang kemudian

menjadi sebuah cita-cita. Istilah prinsip hidup dalam kajian ini meliputi: ideals, images,

skemata, meanings, dsb. Lebih lanjut variabel nilai budaya diungkapkan dalam konsepsi

Kluckhohn (1951) bahwa sistem nilai budaya mengandung lima masalah pokok yaitu: a)

hakekat hidup manusia, b) hakekat karya manusia, c) hakekat kedudukan manusia di dalam

ruang dan waktu, d) hakekat hubungan manusia dengan alam, dan e) hakekat hubungan

manusia dengan manusia (Kluckhohn dalam Simanjuntak, B.A, 2010). Hal pokok tersebut

dapat menjadi variabel dan atau indikator dalam melihat wujud sebuah budaya dalam

kaitannya dengan lingkungan binaan.

Page 3: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

3

Masyarakat dan budaya mempengaruhi lingkungannya dan sebaliknya lingkungan

mempengaruhi dinamika perkembangan budaya. Pengaruh budaya terhadap lingkungan

binaan dapat dilihat dengan munculnya berbagai desain seperti rumah, tata letak rumah, dan

bangunan umum (Altman dan Chemers (1984). Unsur-unsur tersebut terangkai dalam sebuah

sistem budaya yang setiap bagiannya saling terkait secara terpadu. Tuan (1977) menjelaskan

bahwa untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat dan ruang

harus dikaitkan dengan budaya. Budaya ini sifatnya unik, dan antara satu tempat dengan

tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Karena itu, penelitian tentang permukiman

berbasis nilai budaya perlu dikaji tersendiri dalam rangka menuhi kebutuhan dan

meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan. Perbedaan bentuk rumah

tergantung respon masyarakat terhadap lingkungan fisik, sosial, kultural dan ekonomi.

Morfologi suatu permukiman cenderung selalu berubah yang mencerminkan karakter

budaya, politik, sosial dan ekonomi yang dianut oleh warganya. Perkembangan dan

perubahan wujud kota menurut Sumalyo (2002), sangat dipengaruhi oleh tingkat variasi dari

berbagai unsur berdasarkan pada perkembangan sejarah dan proses pertumbuhannya. Adapun

unsur yang sangat menentukan perkembangan kota tersebut meliputi geografis, potensi

wilayah, sosial budaya, dan politik. Lebih dipertajam oleh Kuntowijoyo (2003) bahwa suatu

tata kota tidak lahir karena maksimisasi teknologi atau ekonomi, tetapi karena suatu pola

sosio-kultural masyarakatnya. Manusia di perkotaan perlu melakukan upaya-upaya positif

dalam rangka menanggapi tuntutan lingkungan yang berasal dari aspek manusia, alam, dan

teknologi (Koentjaraningrat,1995). Dapat disimpulkan bahwa perwujudan fisik permukiman

atau perkotaan sekalipun seharusnya mempertimbangan karakter sosial budaya

masyarakatnya. Melalui dimensi sosial budaya, akan memudahkan keterhubungan

masyarakat dengan lingkungan alamnya serta hubungan harmonisasi antara manusia. Dengan

demikian, inisiatif dan motivasi pemahaman nilai budaya yang dapat menstimulasi solusi

praktis dalam perencanaan permukiman seperti di perkotaan diharapkan dapat memenuhi

kualitas lingkungan hidup masyarakatnya. Masyarakat Bugis merupakan salah satu

masyarakat yang memiliki kepatuhan kuat dalam mempertahankan kearifan lokalnya walau

sampai di rantauan. Wan Ismail (2012) menjelaskan dalam artikelnya bahwa ada kepatuhan

yang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka.

Dalam kaitan ini kajian yang diketengahkan adalah menggali seberapa jauh manifestasi salah

satu nilai budaya Bugis yaitu nilai siri’ dalam wujud permukiman di Sulawesi Selatan.

2. METODE

Tulisan ini berbasis pada penelitian kualitatif melalui analisis perpaduan antara

pendekatan anthropology dan Architecture (Egenter, 1992; Brewer, 2000; Harsojo, 1999;

Kennedy, 2005). Kajian antropologi budaya terkait dengan latar belakang budaya masyarakat

Bugis; sedangkan kajian lingkungan binaan terkait dengan permukiman. Kajian antropologi

mengacu pada metode penguraian komponen budaya dengan melihat terutama pada unsur

nilai-nilai budaya yang dipahami masyarakat, sedangkan kajian arsitektur menekankan pada

wujud permukiman. Wujud nilai budaya Bugis ditelusuri dengan menggunakan pendekatan

Kluckhohn. Di samping metode tersebut, kajian ini juga menggunakan pendekatan Spradley,

yaitu kajian etnografi yang mengaitkan antara unsur budaya dengan wujud fisik perumahan

dan permukiman. Teknik analisis tersebut merupakan suatu proses mengkonkritkan makna-

makna nilai budaya (untangible) kemudian melihat kaitannya dengan wujud elemen ruang

Page 4: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

4

permukiman/kota (tangible) baik secara spasial maupun visual. Konteks budaya yang

dibicarakan adalah budaya masyarakat Bugis, sedangkan lingkup permukiman tradisional dan

fenomena perkembangannya dikaji secara spesifik terkait pola spasial dan pola jalan. Dengan

demikian metode pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara

mendalam dengan tokoh masyarakat, kajian literatur, dan observasi terhadap beberapa

kawasan permukiman tradisional masyarakat Bugis. Kajian ini diharapkan dapat memberi

kontribusi khusunya terhadap penemuan konsep perencanaan dan perancangan perumahan

dan permukiman yang berbasis kearifan lokal sesuai filosofi masyarakat Bugis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Nilai Siri’ sebagai Kearifan Budaya Bugis

Siri’ berarti harga diri atau martabat atau makna sederhana disebut malu atau budaya

rasa malu (Shame culture) (Hamid, 2003). Mattulada (1975) dan Abidin (2003) sepakat

tentang pengertian siri’, yaitu suatu sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang

merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan

kelompok masyarakat. Harga diri digunakan dalam psikologi untuk mencerminkan penilaian

dari orang lain atau penilaian terhadap nilai sendiri. Hal ini terdapat dalam konsep kebutuhan

manusia menurut Maslow yaitu Esteem Needs (Maslow,1987 dalam Lang, 1994). Harga diri

seseorang dapat tercermin dalam perilaku mereka, seperti dalam ketegasan, rasa malu,

percaya diri atau hati-hati. Karena itu, untuk mencapai harga diri yang sesungguhnya, kita

dituntut untuk memiliki kemuliaan karakter berupa: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih,

kesabaran, dan kelembutan (http://id.shvoong.com).

Nilai siri’ menempatkan eksistensi manusia di atas segala-galanya. Siri’ merupakan

pertahanan harga diri. Siri’ identik dengan manusia yaitu sesuai ungkapan “Ianatu Siri’e

riaseng tau” (siri’ itulah yang dikatakan manusia) (La Side dalam Abidin, 2003). Dalam

buku Mattulada (1975) tertulis:“…Siri’emi ri onroang ri lino….” (hanya untuk siri’ kita

hidup di dunia). Karena itu dipahami bahwa jika seseorang kehilangan siri’ dapat ditebus

melalui pengorbanan nyawa sekalipun. Selanjutnya Abdullah mengatakan bahwa siri’

bukanlah sekedar perasaan malu, tetapi menyangkut masalah yang paling peka yang

merupakan jiwa dan semangat dalam diri orang Bugis, menyangkut faktor martabat atau harga

diri, reputasi, dan kehormatan, yang kesemuanya harus dipelihara dan ditegakkan (Abdullah,

H., 1985). Demikian pula Abu Hamid mengungkapkan bahwa siri’ itu adalah suasana hati

dalam masyarakat yang merupakan sistem nilai sikap, bertindak untuk memantapkan

perasaan dan motivasi dengan membentuk keteraturan tindakan (Hamid, 2003). Dari

ungkapan di atas dapat ditangkap betapa tingginya makna nilai siri’ dalam hidup seorang

Bugis, sehingga dipahami bahwa martabat seseorang hanya jika memiliki siri’. Orang Bugis

senantiasa menjadikan nilai siri’ sebagai pengontrol sifat dan perilakunya agar tetap bernilai

di sisi Tuhan dan orang lain. Hal ini tercatat dalam Pappaseng Bugis bahwa: “Tellui riala

sappo: tau’e ri Dewatae, siri’e riwatakkaleta, siri’e ripadatta tau” (makna: tiga hal yang

dapat dijadikan prinsip utama yaitu: takut pada Tuhan, malu pada diri sendiri, dan malu

kepada sesama manusia) (Achmad Musa dalam Machmud, 1978). Berdasarkan hasil

penelitian tentang makna siri’ berdasarkan data manuskrip [naskah Lontara dan Pappaseng

(pesan, petuah/kata bijak)], buku-buku bertema budaya Bugis, serta hasil wawancara

mendalam pada beberapa pakar budaya Bugis, maka dikemukakan beberapa makna nilai siri’

dalam kaitannya dengan hidup dan penghidupan masyarakat Bugis sebagai berikut:

Page 5: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

5

1) Nilai siri’ sebagai taruhan harga diri yang menjadi faktor pendorong dalam menjunjung

tinggi aturan dan berperilaku sesuai norma adat dan agama.

2) Nilai siri’ sebagai filosofi hidup yang berorientasi pada keseimbangan antara aspek

kehidupan dan ibadah kepada Tuhan. Aspek kehidupan merujuk pada kebutuhan duniawi,

sedangkan aspek ibadah merujuk pada berbagai kegiatan ritual kepada Dewata Seuwae.

3) Nilai siri’ sebagai etika-moral, mendorong untuk selalu mejaga hubungan baik terhadap

manusia maupun terhadap lingkungannya.

4) Nilai siri’ sebagai taruhan harga diri, mendorong seseorang atau kelompok untuk selalu

menciptakan dan menjaga hasil karya yang baik atau bijak.

5) Nilai siri’ sebagai upaya meningkatkan harga diri melalui pengembangan potensi dirinya.

Dalam hal ini nilai siri’ mencakup nilai alempureng (kejujuran), agettengeng (kejujuran),

amaccangeng (kecerdasan), asitinajangeng (kepantasan), asabbarakeng (kesabaran), dan

appesona ri Dewata Seuwae (bertawakkal pada Tuhan Yang Maha Esa).

3.2 Manifestasi Nilai Siri’ dalam Pola Ruang

Dalam permukiman tradisional, perletakan fungsi ruang diatur berdasarkan keterkaitan

hubungannya. Sebagai wujud struktural pola ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur

pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan

lainnya. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan berupa pusat

kota dan sub pusat kota, serta pusat lingkungan. Pola pemanfaatan ruang di perkotaan

menggambarkan ukuran, fungsi, dan karakteristik kegiatan perkotaan (Kustiawan, 2009).

Jenis-jenis pemanfaatan ruang di perkotaan juga memiliki kesamaan dengan lingkup

permukiman hanya saja lebih sedernahana seperti adanya kawasan perumahan, kawasan

pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan ruang terbuka hijau.

Permukiman masyarakat Bugis pada masa La Galigo (pra Islam) kebanyakan terletak

di daerah dataran tinggi atau kawasan agraris, dan setelah abad-14 barulah mereka mendiami

dataran rendah (Pelras, 2006). Mereka mendiami daerah-daerah dataran rendah dan pesisir

sebagai daerah yang potensil secara ekonomi seperti pesisir setelah mengalami perkembangan

sosial ekonomi. Dalam Lontara dijelaskan tentang syarat pembentukan permukiman dimana

masyarakat Bugis tradisional memiliki kearifan dalam menata fungsi ruang permukimannya,

yaitu dengan membagi lahan perkampungan ke dalam tiga bagian yaitu kawasan fungsi ruang

untuk hunian (fungsi tempat tinggal), kawasan fungsi ruang untuk pertanian/perkebunan, dan

kawasan fungsi ruang untuk perairan (fungsi perikanan dan transportasi air) (Abidin, 1970).

Kawasan hunian merupakan daerah dataran atau daerah yang topografinya relatif datar.

Kawasan hijau dapat berupa lahan pertanian sawah, lahan pertanian tanaman pangan, lahan

perkebunan, yang topografinya merupakan daerah yang bervariasi. Pola pemanfaatan ruang

permukiman tersebut pada hakekatnya merupakan fungsi hunian yang disekitarnya terdapat

kawasan dengan fungsi lahan perairan sebagai fungsi lahan pendukung permukiman.

Pembentukan pola pemanfaatan ruang tersebut seperti yang telah diterapkan pada

permukiman Bugis sangat terkait dengan kepatuhan masyarakat Bugis pada norma-norma

adat yang dipahami sebagai cerminan nilai siri’. Cara tradisional mengatur pemanfaatan ruang

tersebut menjadi dasar dalam pengorganisasian masyarakat perkotaan pada era modern ini.

Selanjutnya, karakter khirarkis pada masyarakat Bugis tercermin pada kecenderungan

memberikan pembedaan terhadap tingkatan masyarakat keturunan raja atau bangsawan

Page 6: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

6

dengan masyarakat biasa. Hal ini berpengaruh terhadap pemaknaan fungsi ruang pada rumah

tinggal, perumahan atau permukiman. Dalam sebuah pertemuan, daerah yang layak ditempati

oleh masyarakat yang memiliki tingkat status ruang yang tinggi pada rumah Bugis

ditempatkan pada daerah tengah yang memiliki jarak terjauh dari pintu masuk (Pelras, 2006).

Hal ini menunjukkan dipahaminya sistem zoning dengan mengatur fungsi ruang secara

struktural dalam sebuah area termasuk dalam lingkup permukiman. Demikian pula karakter

khirarkis juga berpengaruh terhadap pemaknaan fungsi ruang, dimana pada perkampungan

tradisional Bugis, kalangan keturunan raja atau bangsawan secara umum bertempat tinggal di

pusat kampung, sedang kalangan masyarakat biasa bertempat tinggal pada bagian pinggir

kampung. Manifestasi nilai-nilai budaya Bugis terhadap pusat permukiman, terlihat pada

beberapa wilayah yang dibangun oleh masyarakat Bugis. Pada abad 20, permukiman

masyarakat Bugis menjadikan rumah raja, masjid, dan lapangan sebagai pusat orientasi.

Biasanya pusat kotanya berada pada sisi jalan utama yang disertai dengan satu atau lebih jalur

jalan yang bercabang dari jalan utama. Pada salah satu daerah percabangan jalan tadi

ditempatkan mesjid yang berdekatan dengan lapangan dan rumah bangsawan/pemerintah.

Bentuk pusat perkampungan tersebut memperlihatkan pola-pola yang bervariasi yang sangat

dipengaruhi oleh letak geografis membentuk pola linier dan memusat. Konsistensi

pemahaman nilai siri’ sebagai etika-moral dan kecenderungan untuk selalu menjunjung tinggi

aturan yang ada mendorong masyarakat Bugis untuk selalu menjaga perilakunya, menjaga

huungan dengan manusia dan lingkungan. Hal tersebut relevan dengan pemahaman nilai siri’

pada point 1), 3), dan 4) di atas. Berikut ini diperlihatkan salah satu variasi bentuk pola pusat

perkampungan yang dibangun oleh masyarakat Bugis seperti pada gambar 1 di bawah.

Keterangan:

Rumah Raja/Bangsawan

Mesjid

Lapangan

Pegawai

Rumah Rakyat

Beberapa fakta yang menunjukkan pembentukan pusat kota dapat terlihat pada gambar 2, 3,

dan 4. Pusat kota Sengkang (Kab. Wajo) ditandai dengan lapangan terbuka yang disekitarnya

terdistribusi fasilitas seperti: Masjid, kantor pemerintahan, rumah jabatan bupati, rumah sakit,

dan kantor polisi. Selanjutnya, pada pusat permukiman Pattojo (Kab. Soppeng) juga

menunjukkan lapangan terbuka sebagai pusat distribusi fasilitas seperti rumah bangsawan,

pusat pemerintahan, dan sekolah. Demikian pula permukiman di Pancana (Kab. Barru).

Kaw. Pusat

Permukiman

Gambar 1. Pola Ruang Pusat Permukiman Gambar 2. Pusat Kota Sengkang Kabupaten Wajo

U

Rumah Ulama Rumah Bupati

Page 7: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

7

3.3 Manifestasi Nilai Siri’ dalam Jaringan Jalan

Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang saling berpengaruh terhadap jenis kegiatan

dipermukiman atau perkotaan. Jaringan jalan yang terbentuk selanjutnya akan menjadi sebuah

permukiman, dan akhirnya menjadi sebuah kota dengan tipomorfologi yang unik. Menurut

Krier (1979) jalan merupakan produk dari penyebaran pembangunan gedung pada ruang-

ruang yang tersedia. Dari sekian banyak komponen wujud kota, pola jalan merupakan

komponen yang paling nyata manifestasinya dalam menentukan pembentukan kota di negara-

negara barat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kustiwan (2009) bahwa jaringan jalan

merupakan indikator utama wujud kota sehingga dalam perencanaan tata ruangnya tidak dapat

dilepaskan dari pola pemanfaatan ruang. Jaringan jalan merupakan sebuah ruang sosial

ekonomi, budaya, dan politik yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam

aspek sosial-ekonomi, jalan akan dimanfaatkan oleh penduduk kota. Jalur jalan menjadi

penunjang bagi orang-orang untuk saling bertukar informasi, berolah raga, dan kesibukan

berbisnis. Bahkan jalan secara nyata menjadi bagian dari proses bisnis yang strategis. Dalam

aspek budaya, jalur jalan dapat berperan secara simbolis mencerminkan karakter pemerintah

dan masyarakatnya. Pada beberapa kota tradisional di Indonesia seperti kota-kota di Jawa,

Nias, dan Bali, pembentukan jalur jalan mencerminkan kosmologi yang dianut.

Moughtin (1992) menegaskan bahwa jalur jalan tidak hanya dimaksudkan sebagai

jalur penghubung, tetapi juga arena untuk ekspresi sosial. Kehadiran jalur jalan sebagai

sebuah elemen fisik kota merupakan sebuah wujud sosial. Jalur jalan akan mengekspresikan

wujud tampilan sebuah kota. Jaringan jalan dapat menarik jika dirancang dengan baik sesuai

karakter fisik dan sosial-budaya masyarakatnya. Di samping itu jalur jalan juga berperan

sebagai prasarana penunjang kegiatan perdagangan. Jalan dan lingkungan tersebut

memberikan banyak pelayanan baik pada individu maupun terhadap kelompok keluarga.

Menurut Moughtin (1992), jalan yang baik dan memenuhi kepentingan masyarakat akan

menjadi sebuah simbol harga diri (self-esteem) masyarakatnya.

Gambar 3, Pusat perkampungan Pattojo – Soppeng Gambar 4. Pusat permukiman Desa Pancana

Page 8: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

8

Pola jalan yang terbentuk pada berbagai permukiman masyarakat Bugis di Sulawesi

Selatan, dominan memperlihatkan pola grid. Pola jaringan jalan grid tersebut juga telah

dikembangkan di Eropa dan Amerika terutama di kota Washinton dan kota Philadelphia, dan

selanjutnya sampai ke Jepang dan Cina. Hal tersebut dimaksudkan sebagai lambang

kemuliaan dari penguasa pada waktu itu (Catanese & Snyder, 1996). Di samping itu pola

jalan tersebut juga banyak diterapkan oleh perancang kota pada masa penjajahan bangsa

Eropa (sampai awal abad 20) di Indonesia. Pola-pola bentuk grid atau kisi tersebut kemudian

berkembang menjadi pola kisi dengan bentuk persegi panjang. Masyarakat Bugis melihat

alam semesta ini sebagai sulapa’ eppa’ wolasuji (segi empat belah ketupat) (Mattulada,

1975). Filosofi tersebut memiliki makna secara vertikal (kepala, badan, dan kaki) dan makna

secara horizontal (meliputi unsur air, api, tanah, dan udara). Makna secara horizontal

berkenaan dengan pemahaman terhadap pembentukan pola jalan grid, yaitu terkait dengan

keseimbangan antara keempat unsur alam tersebut. Beberapa pola jalan permukiman Bugis

yang ditemukan sesuai arah orientasi rumah, dan arah garis pantai.

Peranan jalur jalan yang dikemukakan oleh Moughtin di atas juga terjadi pada kota-

kota yang dibangun oleh masyarakat Bugis yaitu berperan sebagai wadah interaksi antar

masyarakat. Berbagai pola hidup masyarakat Bugis sangat terkait dengan jalur jalan pada

sebuah permukiman antara lain: satu, kecenderungan untuk selalu saling mengunjungi

(silaturrahmi) serta berbagai kegiatan kekeluargaan dan ekonomi. Faktor-faktor aktifitas dan

kebutuhan akses yang mudah terhadap jalan itulah yang menjadi tuntutan utama

dibutuhkannya pola jalan grid yang sangat efisien yang saling terhubung (interconected), serta

mendukung sistem kekerabatan dan kegiatan ekonomi yang menjadi karakter masyarakat

Bugis. Dengan demikian penerapan pola jalan grid merupakan pola jalan yang sesuai tuntutan

perilaku orang Bugis, sehingga secara langsung akan menjadi simbol harga diri yang

membanggakan. Konsistensi pemahaman nilai siri’ sebagai pengembangan kehidupan

manusia, aspek pengembangan potensi lokal, serta upaya menunjukkan pola dasar

perkampungan yang teratur dan menarik. Hal tersebut relevan dengan pemahaman nilai siri’

pada point 2), 4), dan 5) di atas. Beberapa kampung Bugis yang menunjukkan penerapan pola

jalan grid dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5. Pola Jalan Grid pada Permukiman Bugis di Belawa (kiri); kota Sengkang

(tengah) dan kota Tosora (kanan)

Page 9: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

9

3.4 Manifestasi Nilai Siri’ dalam Orientasi Bangunan

Beberapa negara, dimana masyarakatnya masih memandang tinggi nilai budayanya,

telah membangun kotanya sesuai nilai budayanya baik secara visual maupun spasial. Hal ini

terlihat berupa masih banyaknya bangunan bergaya arsitektur lokal yang tetap bertahan

hingga kini. Begitu pula banyak bangunan pemerintah atau swasta tetap mengadopsi nilai-

nilai tradisionalnya. Konsep orientasi bangunan pada masyarakat Bugis mengacu pada konsep

orientasi rumah tradisional Bugis. Studi terhadap orientasi rumah tradisional Bugis dapat

dikaji melalui perilaku atau sistem aktifitas masyarakat Bugis yang sangat tercermin dari

nilai-nilai sosio-kultural yang dipahami. Nilai-nilai siri’ yang menjadi dasar dari orientasi

rumah tradisional Bugis, terkait sebagai filosofi hidup yang meliputi keseimbangan antara

unsur kehidupan dan unsur ibadah kepada Tuhan. Sebagai masyarakat religius, orang Bugis

memahami perinsip hidup bahwa kesejahteraan hidup dapat dicapai melalui keseimbangan

kehidupan dunia dan akhirat. Prinsip tersebut tercermin pada terbentuknya arah zona pada

lantai rumah, yaitu arah Ulu (kepala) dan Toddang (kaki). Zona Ulu terletak pada arah Barat

atau Selatan, sedangkan zona Toddang terletak pada arah Timur atau Utara. Di samping itu

juga mengenal orientasi arah Riolo (depan) dan Rilaleng (di dalam/belakang)

Masyarakat Bugis selalu menggunakan arah mata angin yaitu arah manorang (Utara),

maniang (Selatan), orai (Barat), dan alau (Timur), sebagai penunjuk arah atau letak suatu

benda. Di samping itu, keempat arah tersebut memiliki makna tertentu yaitu: arah Utara

dimaknai sebagai simbol kematian, arah Selatan dimaknai sebagai simbol kehidupan duniawi,

arah Barat terutama arah suci (kiblat), dan arah Timur dimaknai simbol rezeki, yaitu berdasar

pada arah naiknya matahari. Berdasar pada prinsip hidup dan perilaku orang Bugis dalam

konteks nilai siri’ tersebut memberi pengaruh terhadap orientasi bangunan. Dalam hal ini

orientasi rumah yang dipahami masyarakat Bugis mengarah pada empat penjuru mata angin.

Menurut Masdin (2009) bahwa letak rumah orang Bugis cenderung berderet menghadap ke

Selatan atau Barat. Selanjutnya menurut Data, Y. (1977) bahwa arah orientasi yang

dipandang baik orang Bugis adalah menghadap Barat dengan arah memanjang Barat-Timur.

Salah satu contoh orientasi rumah masyarakat Bugis yang konsisten dengan arah depan dan

belakang menggunakan arah Barat-Timur ada di Desa Baringeng Kecamatan Lili Rilau,

Soppeng. Mereka memahami secara turun temurun tentang kosmologi arah Barat - Timur

sebagai arah kehidupan yang baik, sedangkan arah Selatan – Utara merupakan arah yang

kurang baik (arah kematian). Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar 6 dan 7.

Di dalam tata ruang rumah tradisional Bugis juga dipahami bahwa terdapat ruang yang

dikategorikan sebagai ruang bersih dan ruang kurang bersih (kotor). Ruang yang dimaknai

sebagai ruang bersih meliputi: zona ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang tidur. Sedangkan

ruang yang dimaknai kurang bersih meliputi: zona ruang sirkulasi utama rumah, ruang dapur,

dan ruang-ruang servis (ruang toilet, ruang memandikan mayat, ruang cuci, dan lego-lego).

Page 10: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

10

Perletakan ruang bersih selalu ditempatkan pada daerah hulu (ulu) yang biasanya

ditempatkan pada arah Barat atau Selatan. Sedangkan perletakan ruang kurang bersih (kotor)

selalu ditempatkan pada daerah hilir (toddang) yang biasanya ditempatkan pada arah Timur

atau Utara. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. Pada gambar berikut memperlihatkan

dua orientasi rumah tradisional Bugis yang masing-masing berorientasi ke arah Timur dan ke

Barat. Pada gambar kanan memperlihatkan sisi dinding rumah sebelah Selatan (dinding

bagian bawah) merupakan zona ruang bersih (suci) yang terdiri atas ruang keluarga dan

beberapa jejeran kamat tidur. Selanjutnya pada gambar kiri memperlihatkan sisi dinding

rumah sebelah Timur (dinding bagian kanan) merupakan zona ruang kurang bersih yang

terdiri atas ruang servis (sirkulasi utama dari depan ke belakang atau sebaliknya, dapur, ruang

cuci, dll). Konsistensi pemahaman nilai siri’ sebagai aspek keseimbangan antara aspek

kehidupan dan Ibadah. Hal tersebut relevan dengan pemahaman nilai siri’ pada point 2) di

atas. Secara umum pola orientasi bangunan yang dipahami masyarakat Bugis pada

permukiman dapat dilihat pada gambar berikut.

Keterangan:

: Arah Orientasi Depan Rumah

: Zona kurang bersih (tamping)

: Zona bersih / suci

: Posi’ Bola (Pusat rumah)

Gambar 8. Arah Tata Letak dan Pembagian Zona Ruang

Pada Rumah Tradisional Bugis.

Utara

Selatan

Timur Barat

Utara

Barat Timur

Selatan

Gambar 6. Orientasi bangunan Barat-

Timur di Desa Baringeng-Soppeng

Gambar 7. Orientasi bangunan empat

penjuru mata angina di Tosora-Wajo

B T U

Page 11: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

11

4. KESIMPULAN

Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa:

1. Keterkaitan antara nilai budaya yang dipahami masyarakat Bugis dengan lingkungan

binaan terutama wujud permukiman belum banyak diteliti. Pendekatan ini memiliki

relevansi yang lebih jauh terhadap manifestasi pembentukan wujud kota yang berdasar

pada pemahaman budaya masyarakat.

2. Manifestasi nilai siri’ dalam wujud spasial meliputi: pola ruang permukiman, pola

jaringan jalan, dan orientasi bangunan. Manifestasi nilai-nilai siri tersebut berbasis pada

nilai dasar seperti alempureng, amaccangeng, agettengeng, awaraningeng, asabbarakeng,

dan appesona ri Dewata Seuwae.

a. Konsistensi pemahaman terhadap etika-moral dan kecenderungan untuk selalu

menjunjung tinggi aturan mendorong untuk selalu menjaga perilaku dan karyanya,

serta menjaga hubungan dengan manusia dan lingkungan, sangat relevan dengan

pemahaman nilai siri’. Manifestasi nilai tersebut terlihat pada kepatuhan masyarakat

Bugis terhadap konsep permukiman. Seleksi lokasi permukiman berdasar pada

pemenuhan lahan untuk permukiman, lahan perairan, dan lahan pertanian. Pola ruang

permukiman masyarakat Bugis berpola menyebar dan mengelompok yang biasanya

terdistribusi pada sebuah lapangan. Konsep tersebut merupakan sebuah tatanan yang

tetap dipatuhi sebagai cerminan nilai siri’.

b. Konsistensi pemahaman dalam aspek pengembangan kehidupan manusia,

pengembangan potensi lokal, serta upaya menunjukkan pola perkampungan yang

teratur dan menarik, sangat relevan dengan pemahaman nilai siri’. Manifestasi nilai

tersebut terlihat pada penerapan pola jalan grid merupakan pola yang sesuai tuntutan

perilaku orang Bugis, yaitu berdasar pada pembentukan jalur jalan yang saling

terhubung yang memungkinkan untuk memudahkan pergerakan dan pengembangan

ekonomi. Di samping itu pembentukan pola jalan grid, juga mengadopsi filosofi

sulapa’ eppa’ wolasuji dengan makna-makna tertentu yang dipahami. Hal tersebut

pada akhirnya akan menjadi sebuah kebanggaan (harga diri) sebagai cermin nilai siri’.

c. Konsistensi pemahaman masyarakat tentang keseimbangan antara aspek kehidupan

dan ibadah, sangat relevan dengan pemahaman nilai siri’. Manifestasi nilai tersebut

terlihat pada orientasi bangunan arah Barat - Timur dan arah Utara - Selatan yang

mengandung makna keseimbangan antara aspek kehidupan dan aspek ibadah kepada

Tuhan; serta orientasi Timur-Barat bermakna kesatuan arah antara dimensi rejeki dan

spiritual, sedangkan orientasi Selatan-Utara bermakna arah kehidupan dan kematian.

3. Manifestasi nilai Siri’ yang ditemukan dalam tatanan permukiman merupakan kearifan

budaya lokal masyarakat Bugis yang selanjutnya dapat menjadi dasar dalam penyusunan

program pembangunan perumahan dan permukiman yang berbasis pada budaya lokal

Bugis. Hal tersebut dapat mempertajam kebijakan pembangunan permukiman atau

perkotaan, terutama dalam menegaskan identitas budaya bangsa.

5. DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A.Z. (1970), Transkripsi dan Terjemahan Lontara’ Atoriolongnge ri Wajo (milik Andi Sumangerukka, Datu Pattojo, Soppeng, (Tidak dipublikasikan).

Page 12: MANIFESTASI NILAI SIRI’ DALAM TATA SPASIAL …eng.unhas.ac.id/pwk/files/584f4046b55dd.pdfyang kuat terhadap budaya oleh orang-orang Bugis dalam bentuk pembuatan rumah mereka. Dalam

12

Altman, I., and Chemers, M. (1984), Culture and Environment, Brooks/Cole Publishing

Company, First Published by Canbridge University Press.

Babu, V. and Kuttia, K. (1996), ”Cultural Continuity in Development”, Traditional Dwelling

and Settlement, Journal, Vol 96 /IASTE96-96, University of California, Berkeley.

Brewer, J.D. (2000), Ethnography, Open University Press, Philadelphia, USA.

Catanese, A.J., dan Snyder J.C. (1996), Perencanaan Kota (Judul Asli: Urban Planning,

McGeaw-Hill Inc), Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta

Daeng, H.J. (2008), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Data, Y. (1977), Bentuk-Bentuk Rumah Bugis Makassar, Proyek Pengembangan Media

Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Dikbud RI.

Craig, C. Samuel (2013), Creating cultural products: Cities, context and technology, Journal

City, Culture, and Society, Accepted 13 June 2013, Available online xxxx,

Sciencedirect, Elsevier Ltd.

Egenter, Nold (1992), Architectural Anthropology: Research Series, The Present Relevance of

the Primitive in Architecture, Volume 1, Structura Mundi, Switzerland.

Harsojo, (1999), Pengantar Antropologi, Putra Abardin, Bandung.

Kennedy, DP (2005), “Scale Adaptation and Ethnography”, Field Methods Journal; Volume

17, No. 4; p412-431. Sage pub.

Koentjaraningrat (1995), Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, P.T. Gramedia, Jakarta. Krier, Rob (1979), Urban Space, Rizzoli International Publications.inc, London. Kuntowijoyo, (2003), Metodologi Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Lang (1994), Urban Design: The American Experience, Van Nostrand Reinhold, New York.

Machmud, A. Hasan (1978), “Silasa”, Kumpulan Petuah Bugis Makassar, Bhakti Centra

Baru, Makassar.

Masdin (2009), Kebudayaan Bugis Makassar, http://bloglinguistik.co (diakses 25/10/2009).

Mattulada (1975), La Toa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi - Politik Orang

Bugis, Disertasi S3 Universitas Indonesia, Jakarta.

Morssink, Christiaan B., (2012), Linking Culture and Structure: Adding Time and

Environment, Journal Preventive Medicine, ScienceDirect, Elsevier, No. 55 (2012),

page 583–586.

Moughtin, C. (1992), Urban Design, Street and Square, Linacre Hous, Jordan Hill, Oxfort,

London.

Rapoport (2005) Culture,Architecture, and Design, Locke Science Publishing Company, Inc.

Simanjuntak, B. Antonius (2010), Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai

Budaya), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sumalyo (2002), Sejarah Perkembangan Arsitektur dan Kota Makassar, Penelitian Jurusan

Arsitektur – Universitas Hasanuddin, Makassar. Tang, Mahmud (1996), Aneka Ragam Pengaturan Sekuritas Sosial di Bekas Kerajaan Berru,

Sulawesi Selatan, ISBN 90-5485-594-0, Grafisch Service Centrum Van Gils B.V,

Wageningen.

Tuan, Y.F. (1977), Space and Place, The Perspective of Experience, University of Minnesota,

Minneapolis.

Wan Ismail, Wan Hashimah (2012), Cultural Determinants in the Design of Bugis Houses,

Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences, Elsevier, sciencedirect, 50 (2012)

771 – 780.