manajemen risiko kegagalan lereng pada tambang …

10
PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020 85 MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG EMAS MENGGUNAKAN TEKNOLOGI SLOPE STABILITY RADAR 1) Steven*, 2) Febby Afria Sari, 3) Winda Anggraeni dan 4) M. Ikhsan Nasrullah 1,2,3,4) Geotechnical Support Service, PT. GroundProbe Indonesia, *E-mail: [email protected] ABSTRAK Tantangan utama dalam kegiatan operasional tambang adalah adanya risiko geoteknik berupa longsor yang disebabkan oleh ketidakstabilan lereng yang berdampak pada finansial dan operasional pertambangan. Manajemen risiko diperlukan untuk menjamin keselamatan personel dan juga alat yang ada di lapangan. Pada umumnya longsor yang terjadi pada area tambang akan memberikan tanda atau gejala ketidakstabilan lereng yang dapat diidentifikasi melalui historikal data, inspeksi harian di lapangan, hasil pengamatan visual dan juga sistem pemantauan lereng terintegrasi. Pemantauan dan pemeriksaan lereng yang terintegrasi secara real time menggunakan GroundProbe Slope Stability Radar (SSR) dengan menggunakan teknik interferometri terbukti mampu memberikan informasi akurat mengenai perubahan perilaku massa batuan sebagai tanda peringatan terjadinya longsor. Studi kasus dilakukan pada kasus longsor di salah satu lereng tambang emas dengan formasi batuan keras (hardrock). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perubahan tren deformasi massa batuan pada lereng tambang dimulai dari perilaku deformasi linier sejak awal pemantauan kemudian berubah menjadi tren deformasi progresif sebelum longsor terjadi. Kelongsoran terjadi pada pukul 17:39, 17 Februari 2020 dengan nilai akumulasi deformasi maksimum 1298 mm, kecepatan maksimum 28,7 mm/jam dan invers kecepatan minimum 0,03 jam/mm dihitung menggunakan velocity calculation period 60 menit. Waktu kelongsoran telah diprediksi dengan menggunakan metode inverse velocity dari data SSR dengan selisih waktu 14 menit dan notifikasi telah diberikan pada personel di lapangan sebelum terjadinya kelongsoran. Informasi yang diberikan memberikan keyakinan kepada klien untuk melakukan tindakan mitigasi yang diperlukan untuk menyelamatkan personel dan alat di lapangan. Kata kunci : Slope stability radar, manajemen risiko, longsor, tambang ABSTRACT Main challenge in mining operation is presence of geotechnical risk in form of landslide caused by slope instability that has impact on mining operation and finance. Risk management is needed to ensure safety of personnel and equipment at the field. In general, landslide occurred in mine area will give signs of slope instability that can be identified through historical data, daily inspection, visual inspection, and integrated slope monitoring system. Real time integrated slope monitoring and inspection using GroundProbe Slope Stability Radar (SSR) using interferometry technique has been proved to provide accurate information of changes in rock mass behaviour as warning sign of landslides. Case study was carried out in gold mine landslides with hardrock formation. The results indicate changes in trend of rockmass on mine slope start from linear deformation trend at the beginning of wallfolder then change to progressive deformation trend before failure occurred. The failure occurred at 17:39 February 17 th 2020 with maximum deformation 1298 mm, maximum velocity 28.7 mm/hr and minimum inverse velocity 0.03 hr/mm calculated by using VCP60minutes. Time of failure was predicted by using inverse velocity method from SSR data with 14 minutes time difference and notification was made to personnel at the site before failure occurred. This information gives confidence to client to take necessary mitigation action to save personnel and equipment at the site. Keywords: Slope stability radar, risk management, landslide, mining

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

85

MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG EMAS MENGGUNAKAN TEKNOLOGI SLOPE STABILITY RADAR

1)Steven*, 2)Febby Afria Sari, 3)Winda Anggraeni dan 4)M. Ikhsan Nasrullah

1,2,3,4)Geotechnical Support Service, PT. GroundProbe Indonesia,

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tantangan utama dalam kegiatan operasional tambang adalah adanya risiko geoteknik berupa longsor yang disebabkan oleh ketidakstabilan lereng yang berdampak pada finansial dan operasional pertambangan. Manajemen risiko diperlukan untuk menjamin keselamatan personel dan juga alat yang ada di lapangan. Pada umumnya longsor yang terjadi pada area tambang akan memberikan tanda atau gejala ketidakstabilan lereng yang dapat diidentifikasi melalui historikal data, inspeksi harian di lapangan, hasil pengamatan visual dan juga sistem pemantauan lereng terintegrasi. Pemantauan dan pemeriksaan lereng yang terintegrasi secara real time menggunakan GroundProbe Slope Stability Radar (SSR) dengan menggunakan teknik interferometri terbukti mampu memberikan informasi akurat mengenai perubahan perilaku massa batuan sebagai tanda peringatan terjadinya longsor. Studi kasus dilakukan pada kasus longsor di salah satu lereng tambang emas dengan formasi batuan keras (hardrock). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perubahan tren deformasi massa batuan pada lereng tambang dimulai dari perilaku deformasi linier sejak awal pemantauan kemudian berubah menjadi tren deformasi progresif sebelum longsor terjadi. Kelongsoran terjadi pada pukul 17:39, 17 Februari 2020 dengan nilai akumulasi deformasi maksimum 1298 mm, kecepatan maksimum 28,7 mm/jam dan invers kecepatan minimum 0,03 jam/mm dihitung menggunakan velocity calculation period 60 menit. Waktu kelongsoran telah diprediksi dengan menggunakan metode inverse velocity dari data SSR dengan selisih waktu 14 menit dan notifikasi telah diberikan pada personel di lapangan sebelum terjadinya kelongsoran. Informasi yang diberikan memberikan keyakinan kepada klien untuk melakukan tindakan mitigasi yang diperlukan untuk menyelamatkan personel dan alat di lapangan.

Kata kunci : Slope stability radar, manajemen risiko, longsor, tambang

ABSTRACT

Main challenge in mining operation is presence of geotechnical risk in form of landslide caused by slope instability that has impact on mining operation and finance. Risk management is needed to ensure safety of personnel and equipment at the field. In general, landslide occurred in mine area will give signs of slope instability that can be identified through historical data, daily inspection, visual inspection, and integrated slope monitoring system. Real time integrated slope monitoring and inspection using GroundProbe Slope Stability Radar (SSR) using interferometry technique has been proved to provide accurate information of changes in rock mass behaviour as warning sign of landslides. Case study was carried out in gold mine landslides with hardrock formation. The results indicate changes in trend of rockmass on mine slope start from linear deformation trend at the beginning of wallfolder then change to progressive deformation trend before failure occurred. The failure occurred at 17:39 February 17th 2020 with maximum deformation 1298 mm, maximum velocity 28.7 mm/hr and minimum inverse velocity 0.03 hr/mm calculated by using VCP60minutes. Time of failure was predicted by using inverse velocity method from SSR data with 14 minutes time difference and notification was made to personnel at the site before failure occurred. This information gives confidence to client to take necessary mitigation action to save personnel and equipment at the site.

Keywords: Slope stability radar, risk management, landslide, mining

Page 2: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

86

A. PENDAHULUAN

Longsoran lereng tambang menjadi potensi bahaya geoteknik yang dapat memengaruhi aktivitas penambangan. Secara umum, longsoran terjadi pada lereng tambang yang dengan nilai kestabilan lereng yang rendah (FOS<1). Kestabilan lereng dapat disebabkan faktor seperti desain lereng, struktur geologi, massa batuan penyusun lereng, dan kondisi hidrogeologi (Alejano, 2007). Longsoran dan kestabilan lereng perlu menjadi fokus utama manajemen bahaya geoteknik pada tambang di mana pekerjaan produksi harus berjalan dengan kecepatan tinggi, dan pada saat yang sama keselamatan personil dan integritas peralatan pertambangan harus dijamin. Manajemen risiko geoteknik terhadap longsoran lereng dapat dilaksanakan dengan melakukan inspeksi lapangan, pemantauan visual, dan analisis data historis. Zona bahaya yang telah diidentifikasi dapat ditunjang menggunakan perangkat berupa sistem pemantauan (monitoring system) guna mendeteksi perubahan deformasi dan pergerakan lereng. Perangkat sistem monitoring dan peringatan dini dapat menurunkan risiko yang disebabkan oleh longsoran lereng (United Nations International Strategy for Disaster Reductio, 2006)

Sistem monitoring mendeteksi perubahan pola deformasi pada lereng yang akan mengalami longsoran. Perubahan pola deformasi pada lereng umumnya terdiri atas pola deformasi regresif, deformasi linear, dan deformasi progresif (Intrieri, 2019). Terdapat ketidakpastian terhadap waktu dan lokasi potensi longsoran yang akan terjadi sehingga diperlukan sebuah perangkat yang dapat melakukan pemantauan pola dan tingkat deformasi lereng secara akurat dan real time pada seluruh area pertambangan. Sistem ini memungkinkan penyediaan data lereng secara pada area yang luas (board area) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Perubahan pola deformasi yang dihasilkan oleh lereng akan dideteksi oleh SSR dan dikelola kedalam bentuk status bahaya longsoran dalam bentuk triggered action response plan (TARP).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola perkembangan deformasi pada sebuah lereng tambang emas dengan formasi penyusun batuan keras (hardrock) berdasarkan data historis kejadian longsoran yang telah terjadi, mengaplikasikan triggered action response plan (TARP) sebagai manajemen risiko, dan membandingkan hasil prediksi kelongsoran dengan data aktual. Diharapkan dengan diimplementasikannya sistem monitoring tambang menggunakan slope stability radar pada lereng tambang dapat menjadi jawaban dalam manajemen bahaya geoteknik berupa longsoran tambang.

B. METODOLOGI PENELITIAN

B.1. Mekanisme SSR Dalam Mendeteksi dan Memprediksi Kelongsoran

Pemantauan kestabilan lereng merupakan salah satu manajemen risiko bagi industri pertambangan untuk mengidentifikasi pergerakan pada lereng terutama dalam mendeteksi longsor. GroundProbe Slope Stability Radar (SSR) merupakan salah satu teknologi dalam pemantauan lereng yang terintegrasi secara real time mampu memberikan informasi akurat mengenai perubahan perilaku batuan sebagai indikasi peringatan terjadinya longsor. Oleh karena itu, metode ini sangat cocok untuk identifikasi perilaku pergerakan dari waktu ke waktu. Radar mengirimkan gelombang yang akan merambat melalui udara menuju objek kemudian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke radar. Radar memindahkan informasi per-scan dimana radar berputar secara dua dimensi (azimuth dan elevasi) kemudian radar akan mengolah menjadi piksel independen (Noon et al., 2001). Sinyal pantulan yang akan diterima oleh radar yang kemudian akan diukur beda sudut fase sinyal. GroundProbe Slope Stability Radar (SSR) menggunakan metode interferometri untuk menghitung pergerakan dalam pemantauan lereng. Metode interferometri menghitung deformasi lereng berdasarkan perbedaan sudut fase dari satu scan ke scan sebelumnya.

Page 3: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

87

Gambar 1. Teknik interferometri SSR.

SSR diletakkan pada lokasi yang stabil di depan lereng pada area tambang emas yang akan dilakukan pemantauan. SSR control pada radar akan menerima dan menginterpretasi data. Data tersebut kemudian akan dikirim ke Primary Monitoring Point (PMP). PMP merupakan satu komputer yang didedikasikan khusus untuk melakukan aktivitas monitoring. Data tersebut dapat dianalisis langsung oleh geotech engineer GroundProbe di lapangan ataupun geotech engineer akan mengontrol PMP menggunakan remote software untuk melakukan observasi dan analisis data.

Gambar 2. Jaringan komunikasi SSR

Lereng akan menunjukkan perilaku pergerakan yang berbeda seiring berjalannya waktu dari lereng yang stabil yang kemudian meningkat menjadi lereng yang akan longsor. Perilaku lereng yang dapat diamati antara lain linear, regresif dan progresif. Linear adalah pergerakan dengan kecepatan konstan, regresif merupakan pergerakan dengan kecepatan yang menurun dari waktu ke waktu sedangkan progresif adalah pergerakan dengan peningkatan kecepatan. Perilaku pergerakan dapat dibedakan menjadi fase transisi, fase regresif dan fase progresif (Broadbent dan Zavodni, 1982). Indikasi longsor adalah fase transisi yang kemudian berubah menjadi fase progresif dan pada akhirnya setelah lereng mencapai tingkat percepatan tertentu kemudian terjadi longsor maka SSR mampu mendeteksi perubahan perilaku lereng dengan cermat, sehingga mampu memberikan waktu bagi orang-orang yang melakukan pemantauan untuk membuat prediksi terjadinya longsor.

Page 4: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

88

Gambar 3. Tipe perilaku pergerakan batuan terhadap waktu (Broadbent & Zavodni, 1982).

Pemantauan pergerakan lereng pada radar didukung oleh metode inverse velocity yang dapat memprediksi waktu terjadinya longsor. Metode tersebut dikenal dengan metode inverse velocity yang dikembangkan oleh Fukuzono (1985). Konsep inverse velocity dalam memprediksi waktu terjadinya longsor menurut Fukuzono didapatkan berdasarkan uji laboratorium dengan simulasi tanah longsor yang terjadi akibat hujan. Simulasi dilakukan pada longsor dengan karakteristik creep atau pergerakan yang bergerak lambat secara kontinyu dibawah beban gravitasi. Prinsip dari metode ini mengimplikasikan bahwa ketika invers dari plot nilai kecepatan terhadap waktu, nilai yang akan mendekati nol seiring dengan bertambahnya kecepatan maka akan mendekati longsor. Garis tren yang melewati nilai inverse velocity pada titik tertentu yang diproyeksikan terhadap nilai nol akan memberikan prediksi tentang perkiraan waktu longsor. Fukuzono menyajikan tiga jenis plot yang dihasilkan dari uji laboratorium, yaitu tren cekung, cembung dan linear dimana t adalah waktu, α adalah nilai konstan dan tf adalah waktu terjadinya longsor (Gambar 4). Pada praktiknya nilai inverse velocity ketika terjadi longsor tidak pernah sama dengan nol, namun nilainya akan mendekati nilai nol.

Gambar 4. Plot inverse velocity terhadap waktu untuk memprediksi waktu terjadinya longsor (Fukozono, 1985).

Page 5: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

89

B.2. Triggered Action Response Plan

Triggered Action Response Plan (TARP) dalam monitoring secara real-time merupakan tahapan dari aturan yang dibuat untuk menentukan skenario tindakan dan respon untuk setiap perkembangan pergerakan lereng dari waktu ke waktu atau masalah lain yang terkait dengan SSR. TARP diklasifikasikan menjadi beberapa kategori level dengan respon yang ditentukan dari tiap level untuk menginformasikan risiko ke orang yang bertanggung jawab di lokasi. Pada dasarnya ini adalah upaya untuk mentransfer informasi dan risiko ke klien. Klasifikasi TARP dalam pemantauan real-time adalah sebagai berikut:

1. Grey Alarm: terkait dengan masalah isu dan memerlukan perbaikan terhadap sistem. Orang yang bertanggung jawab di lokasi akan diberi tahu untuk setiap penghentian pemantauan karena masalah tersebut.

2. TARP 1 (Green Condition): tidak ada pergerakan yang signifikan atau persistent yang diamati (stabil). Kondisi ini tidak memerlukan komunikasi ke lokasi. Namun, parameter kualitas data dan perubahan tren pergerakan terus diperiksa.

3. TARP 2 (Yellow Condition): Pergerakan dengan tren regresif atau pergerakan menurun yang diamati pada permukaan lereng atau ada proses deformasi. Sebagian besar, komunikasi kepada pihak bertanggung jawab dilokasi tidak diperlukan karena lereng menunjukkan pergerakan perlambatan. Namun, pemantauan harus secara tepat waktu berkomunikasi dengan pihak lokasi untuk setiap perubahan deformasi (regresif ke linear).

4. TARP 3 (Orange Condition): Proses pergerakan linear teramati. Secara umum diperlukan komunikasi dengan penanggung jawab di lokasi untuk menginformasikan lokasi pergerakan lereng, kecepatan pergerakan dan luas area pergerakan lereng. Pemantauan radar akan memverifikasi dan memperbarui untuk setiap perubahan pergerakan terutama dari tren linear menuju progresif (percepatan).

5. TARP 4 (Red Condition): Pergerakan progresif teramati. Pemantauan akan memberi informasi terbaru kepada penanggung jawab lokasi dengan informasi lokasi, luasan, tingkat percepatan tren progresif dan akan memberikan prediksi longsor berdasarkan metode inverse velocity (jika diperlukan). Setelah longsor terjadi dan terdeteksi, komunikasi lain akan dilakukan ke penanggung jawab lokasi untuk memberi tahu lokasi, area, kecepatan pergerakan dan minimum inverse velocity.

Gambar 5. Diagram alir Triggered Action Response Plan (TARP) untuk pemantauan lereng menggunakan SSR.

Page 6: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

90

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

C.1. Perilaku Deformasi Lereng

Pada penelitian ini, analisa balik dilakukan terhadap longsor di sebuah tambang emas dengan melakukan identifikasi karakteristik perilaku deformasi lereng sebelum hingga setelah longsor terjadi (Gambar 6). Evaluasi karakteristik perilaku deformasi lereng (meliputi: nilai deformasi, kecepatan deformasi dan invers kecepatan) didasarkan pada daerah yang mengalami deformasi dan kecepatan deformasi paling tinggi pada data scan terakhir SSR sebelum longsor terjadi, yaitu dalam hal ini ditunjukkan oleh piksel (199,75) yang berada pada lereng bagian atas dan menunjukkan daerah yang paling pertama jatuh saat longsor terjadi. Longsor pada daerah penelitian terdeteksi oleh SSR dengan karakteristik perilaku deformasi lereng secara berurutan menunjukkan perilaku deformasi linear – onset of failure pertama – progresif – linear – onset of failure kedua – progresif – longsor. Karakteristik perilaku deformasi lereng secara lebih detil dijelaskan sebagai berikut:

a. Perilaku deformasi linear

Perubahan kecepatan deformasi pada fase linear menjadi progresif umumnya dipengaruhi oleh peristiwa hujan sebelum longsor terjadi. Perilaku deformasi linear yang terdeteksi sejak awal pemantauan SSR pada tanggal 1 hingga 12 Februari 2020 dengan kecepatan deformasi bervariasi rata-rata berkisar 0.5 – 2 mm/jam (vcp 60 menit) atau 15 – 50 mm/hari (vcp 1440 menit) yang menghasilkan nilai invers kecepatan hingga 0,5 jam/mm (vcp 60 menit) atau antara 0,06 – 0,02 hari/mm (vcp 1440 menit). Beberapa kejadian longsor disertai dengan guguran material lepas yang terjadi secara lokal juga terdeteksi oleh SSR. Beberapa longsor skala kecil atau lokal yang disertai dengan guguran material lepas tersebut umumnya disebabkan oleh peristiwa hujan yang terjadi sebelum longsor terjadi.

b. Onset of failure.

Tahap ini merupakan titik awal perubahan perilaku lereng menjadi progresif yang terdeteksi pukul 00:04 tanggal 12 Februari 2020 dan pukul 19:39 tanggal 15 Februari 2020. Perhitungan waktu menuju longsor atau warning time dihitung mulai dari onset of failure sampai longsor terjadi, sedangkan possible warning time dihitung mulai dari onset of failure sampai waktu terakhir evakuasi aman dapat dilakukan sebelum terjadinya longsor. Dalam hal ini asumsi batas terakhir waktu evakuasi aman adalah 1 jam sebelum longsor terjadi.

c. Perilaku deformasi progresif.

Tahap ini terdeteksi setelah onset of failure pertama terdeteksi pada pukul 00:04 tanggal 12 Februari 2020 hingga kecepatan lereng meningkat dari 1,66 mm/jam ke 9,27 mm/jam (vcp 60 menit) atau 26,1 – 142,6 mm/hari (vcp 1440 menit). Kecepatan tertinggi tercatat mulai meningkat dalam rentang waktu 1,5 hari. Nilai invers kecepatan tercatat semakin kecil mulai 0,6 – 0,1 jam/mm (vcp 60 menit) atau antara 0,04 – 0,007 hari/mm (vcp 1440 menit). Setelah waktu tersebut, kecepatan menjadi konstan (perilaku deformasi linear) hingga pukul 19:39 15 Februari 2020.

Selanjutnya, perilaku deformasi progresif kembali terdeteksi setelah onset of failure pada pukul 19:39 15 Februari 2020 sampai longsor terjadi pada pukul 17:39 tanggal 17 Februari 2020, berlangsung selama 1 hari 22 jam. Kecepatan deformasi tertinggi tercatat mulai meningkat dari 8,12 – 28 mm/jam (vcp 60 menit) atau 147,16 – 387,5 mm/hari (vcp 1440 menit). Nilai invers kecepatan tercatat semakin kecil mulai 0,123 – 0,035 jam/mm (vcp 60 menit) atau antara 0,007 – 0,003 hari/mm (vcp 1440 menit).

Page 7: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

91

d. Longsor.

Karakteristik longsor utama yang terdeteksi oleh SSR secara lebih detail dapat dilihat sebagai berikut:

§ Waktu terjadinya longsor: Pukul 17:39 tanggal 17 Februari, 2020 § Warning time: 1 hari 22 jam. § Deformasi maksimum pada saat longsor: 1.298,4 mm pada piksel (199,75) § Luasan daerah longsor: 9.947 m² § Ketebalan rata-rata daerah longsor sekitar 5 m § Estimasi volume longsor: 49.735 m3 § Estimasi massa batuan yang longsor : 129.311 t (asumsi berat jenis 2.6 t/m3) § Kecepatan deformasi maksimum: 28,7 mm/jam (vcp 60 menit) atau 445 mm/hari § Invers kecepatan minimum: 0,035 jam/mm (vcp 60 menit) atau 0,002 hari/mm (vcp 1440

menit)

e. Perilaku deformasi pasca longsor.

Perilaku deformasi lereng pasca longsor yang terdeteksi pada tanggal 18 hingga 19 Februari 2020 secara berurutan menunjukkan perilaku deformasi regresif menjadi deformasi linear. Selanjutnya, perilaku deformasi regresif dan linear disertai dengan guguran material lepas yang terjadi dalam skala kecil atau lokal juga terdeteksi oleh SSR hingga kegiatan pemantauan lereng menggunakan SSR oleh tim GroundProbe Geotechnical Services pada wallfolder ini berakhir.

Page 8: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

92

Gambar 6. Analisa balik perilaku deformasi lereng sebelum dan setelah longsor terjadi.

Selain data grafik dan gambar perkembangan akumulasi deformasi lereng, perubahan gambar koheren yang dipadukan dengan foto menampilkan penurunan koheren dari waktu ke waktu yang menggambarkan perubahan pada kondisi permukaan lereng hingga longsor terjadi seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Penurunan koheren hingga terjadi kelongsoran.

C.2. Prediksi Kegagalan Lereng

Geotech engineer GroundProbe secara terus menerus melakukan analisis data SSR untuk mendeteksi dan memprediksi kemungkinan terjadinya kelongsoran. Prediksi kelongsoran sudah dimulai ketika pergerakan lereng sudah memasuki fase progresif secara kontinu di mana terjadi peningkatan kecepatan pergerakan lereng. Pergerakan lereng dimonitor secara kontinu yang dimulai dari fase linear sejak awal dimulainya monitoring, 15:33 1 Februari 2020, hingga 18:50 16 Februari 2020. Indikasi pergerakan deformasi linear telah diinfokan ke tim lapangan sebagai peringatan dini adanya pergerakan lereng di lapangan. Saat memasuki fase progresif yang ditandai oleh on set of failure, Geotech engineer GroundProbe terus melakukan pemantauan ketat untuk memberitahu klien tentang adanya kemungkinan kelongsoran. Nilai invers kecepatan minimum yang digunakan adalah 0,05 jam/mm menggunakan periode perhitungan kecepatan 60 menit (VCP60) sebagai asumsi waktu

Page 9: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

93

kelongsoran terjadi saat mencapai nilai tersebut. Nilai tersebut didapat dari kumpulan histori kelongsoran yang pernah terjadi di lokasi tambang tersebut dan juga data dari karakteristik yang sama. Analisis inverse velocity telah dilakukan 1 hari sebelum terjadinya longsor. Hasil dari prediksi kelongsoran adalah kelongsoran terjadi pada pukul 17:25 17 Februari 2020, hanya berselang 14 menit dari waktu aktual kelongsoran yaitu 17:39 17 Februari 2020.

Gambar 8. Prediksi waktu kelongsoran menggunakan metode inverse velocity.

C.3. Penerapan TARP Sebagai Manajemen Risiko

TARP yang telah disepakati menjadi acuan bagi tim geoteknik di lapangan dalam manajemen risiko. Ketika tim geotek yang bertugas memonitor radar memiliki tanggung jawab untuk mengikuti TARP untuk memastikan semua potensi bahaya terdeteksi dan menginformasikan ke klien untuk mentransfer informasi risiko sehingga klien dapat bertindak sesuai dengan pertimbangan di lapangan. Pada umumnya, kondisi TARP 1 (kondisi stabil) dan 2 (regresif) merupakan kondisi yang aman untuk tetap melanjutkan pekerjaan. Ketika tim monitoring radar mengirimkan TARP 3 (linear), tim geotek di lapangan akan menginformasikan kepada pihak terkait di lapangan yang bekerja di sekitar area tersebut untuk meningkatkan kewaspadaan dan mengamati secara visual jika terjadi perubahan pada dinding lereng tersebut. Pada kondisi ini, tim monitoring radar akan melakukan aktivitas pemantauan yang intensif secara berkelanjutan.

Tabel 1. TARP monitoring SSR

Kondisi kritis terjadi saat terdeteksi titik onset of failure yang mengindikasikan telah terjadi perubahan perilaku batuan dari kondisi linear dengan kecepatan konstan menjadi kondis progresif atau terjadi akselerasi kecepatan pergerakan lereng yang menandakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kelongsoran. Pada kondisi ini, tingkatan potensi bahaya pada area tersebut telah meningkat

Pemicu Day Shift Night Shift Keterangan

Grey Alarm(Link down alert )

Memberikan notifikasi melalui panggilan telepon disertai email ke Geotech/IT/Technical Specialist

Memberikan notifikasi melalui panggilan telepon disertai email ke Geotech/IT/Technical Specialist

1. Melakukan prosedur sesuai dengan TARP.2. Melakukan uji koneksi antara PMP ke Server IP, PMP ke radio link, PMP ke modem repeater, PMP ke modem radar atau PMP ke Radar IP.

Deformasi Linear (TARP 3) Memberikan notifikasi melalui email ke Geotech Memberikan notifikasi melalui email ke Geotech

1. Melakukan pemantauan sesuai dengan TARP 3.2. Memberikan rekomendasi kepada Tim Geoteknik Site untuk melakukan inspeksi visual pada area terlapor.

Deformasi Progresif (TARP 4)

Memberikan notifikasi melalui panggilan telepon disertai email ke Geotech

Memberikan notifikasi melalui panggilan telepon disertai email ke Geotech

1. Memberikan informasi area kritikal.2. Melakukan pemantauan sesuai dengan TARP 4.3. Melakukan analisa kecepatan deformasi.4. Melakukan prediksi waktu terjadinya longsor sesuai dengan prosedur.

Indikasi Longsor Memberikan notifikasi melalui panggilan telepon disertai email ke Geotech

Memberikan notifikasi melalui panggilan telepon disertai email ke Geotech

1. Memberikan informasi area longsor beserta dimensinya dan hasil analisa kecepatan deformasi.2. Melaporkan perilaku lereng pasca longsor.

Page 10: MANAJEMEN RISIKO KEGAGALAN LERENG PADA TAMBANG …

PROSIDING TPT XXIX PERHAPI 2020

94

menjadi TARP 4 dengan komunkasi langsung melalui panggilan telepon dan email kepada tim geotek di lapangan sesuai dengan prosedut. Selanjutnya, tim geoteknik akan menganalisis data yang diberikan dan mengambil keputusan untuk melakukan proses evakuasi terhadap unit yang bekerja di area tersebut hingga pemberitahuan lebih lanjut oleh tim monitoring radar. Tim monitoring radar akan melakukan analisis prediksi waktu terjadinya kelongsoran berdasarkan daa SSR terkini secara intensif. Komunikasi yang intensif diberikan hingga longsor terdeteksi oleh SSR dan seluruh data terkait kelongsoran yang telah terjadi meliputi karakteristik kecepatan deformasi lereng, luasan area kelongsoran hingga waktu menuju longsor atau warning time dihitung dari onset of failure sampai longsor terjadi dapat terdokumentasi dengan baik yang nantinya digunakan sebagai referensi penentuan ambang batas pada konfigurasi alarm dan memahami pola dan karakteristik longsoran di masa yang akan datang.

D. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Slope stability radar (SSR) dapat mendeteksi perubahan perilaku pergerakan lereng tambang sebagai tanda peringatan terjadinya kelongsoran.

2. Perilaku deformasi lereng hingga terjadinya kelongsoran pada studi kasus ini adalah perilaku deformasi linear – onset of failure pertama – progresif – linear – onset of failure kedua – progresif – longsor

3. Prediksi waktu kelongsoran adalah 17:25 17 Februari 2020, hanya berselang 14 menit dari waktu aktual kelongsoran yaitu 17:39 17 Februari 2020

4. Penerapan TARP sebagai prosedur acuan dalam melakukan respon dan tindakan dalam mengelola bahaya geoteknik berhasil meminimalisir dampak kelongsoran.

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada PERHAPI karena telah menyelenggarakan TPT XXIX PERHAPI 2020 dan juga kepada site pemilik data wallfolder radar yang telah mengizinkan penggunaan data pada makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Broadbent, C.D., dan Zavodni, Z.M. (1982): Influence of rock structures on stability, in stability in

surface mining, Society of Mining Engineers, 3, 30 - 35. Fukuzono, T.A. (1985): New method for predictiong the failure time of a slope, Proceedings of the

Fourth International Conference and Field Workshop on Landslides, 145 - 150. GroundProbe (2017): SSR geotechnical training module, Internal Document GroundProbe Support

Services. Sannang, M.A., Musa, R.H., dan Manaf, A. (2017): Analisa balik dan penentuan ambang batas alarm

menggunakan slope stability radar (SSR) studi kasus longsor pada batuan keras, PROSIDING TPT XXVI PERHAPI 2017, PERHAPI, Balikpapan, 294 – 308.

Noon, D., and Harries, N (2003): Slope stability radar for managing rock fall risks in open cut mines, Sixth Large Open Pit Mining Conference, 93 - 98.

Noon, D., Reeves, B., Stickley, G., dan Longstaff, D. (2001): Slope stability radar for monitoring mine walls in C Nguyen, Proceedings of SPIE, 4491, 57 – 67

United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), data diperoleh melalui situs internet: http://www.unisdr.org/2006/ppew/iewp/IEWP-brochure.pdf. Diunduh pada tanggal 10 Oktober 2020.